Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1. Gambaran lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Kulon Progo yang merupakan
salah satu dari lima kabupaten/kota di D.I. Yogyakarta yang terletak
paling barat. Kabupaten Kulon Progo memiliki topografi yang
bervarariasi yang terdiri dari 3 wilayah dengan bagian utara yang
merupakan dataran tinggi/perbukitan Menoreh dengan ketinggian
Antara 500-1000 meter di atas permukaan air laut meliputi Kecamatan
Girimulyo, Kokap, Kalibawang, dan Samigaluh.
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Kokap, desa Hargorejo, lebih
tepatnya di SMPN 1 Kokap yang berada dalam wilayah Puskesmas 1
Kokap.
2. Distribusi Frekuensi Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan
Kejadian Anemia Pada Remaja Putri
Tahap pertama dari analisis data adalah analisis univariat. Analisis
univariat dilakukan untuk mendapat gambaran pada masing-masing
variabel dalam bentuk distribusi frekuensi yaitu variabel pendidikan,
dan pendapatan sebagai karakteristik orangtua repsonden, variabel
aktivitas fisik, lama menstruasi, dan konsumsi TTD (Tablet Tambah
Darah) sebagai variabel bebas, kejadian anemia sebagai variabel terikat.
50
Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
Tabel 4. Tabel Distribusi Frekuensi Faktor – Faktor yang Berhubungan
dengan Kejadian Anemia pada Remaja Putri
Kasus Kontrol
n % n %
Pendapatan Orangtua
Rendah
36
76,6%
30
63,8%
Tinggi 11 23,4% 17 36,2%
Pendidikan Orangtua
Rendah
25
53,2%
18
38,3%
Tinggi 22 46,8% 29 61,7%
Status Gizi
Tidak normal
18
38,3%
22
46,8%
Normal 29 61,7% 25 53,2%
Lama Menstruasi
>7 hari
27
57,4%
27
57,4%
51
Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
paling banyak pada status gizi normal (53,2%). Berdasarkan faktor lama
menstruasi pada kelompok kasus dan kontrol paling banyak pada lama
menstruasi >7 hari (57,4%). Berdasarkan faktor konsumsi TTD (Tablet
Tambah Darah) pada kelompok kasus paling banyak mengkonsumsi
Tablet Tambah Darah
52
Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
Tabel 5. Hasil Analisis Bivariat faktor-faktor yang berhubungan dengan
kejadian anemia pada remaja putri
Keterangan
*Signifikan pada α≤0,05
Pada tabel 5 dapat dilihat dari 7 variabel yang diuji secara
bivariat terdapat 2 variabel yang memiliki p-value
53
Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
ini menunjukan ada hubungan bermakna antara konsumsi TTD (Tablet
Tambah Darah) dengan kejadian anemia pada remaja dengan OR 3,238
yang berarti konsumsi Tablet Tambah Darah berisiko 3,2 kali terhadap
kejadian anemia dibanding remaja yang tidak mengkonsumsi Tablet
Tambah Darah. Pada variable aktivitas fisik p-value 0,010 lebih kecil
dari α (p
54
Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
Sebelum membuat pemodelan multivariat maka 7 variabel tersebut
diuji dengan variabel dependent (kejadian anemia) secara bivariat.
Variabel dengan p-value
55
Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
Pada tabel 7 menunjukkan hasil analisis regresi logistik variabel
konsumsi TTD (Tablet Tambah Darah), aktivitas fisik, dan pendidikan
ketiga variable tersebut berhubungan secara statistik dan variable yang
paling dominan yaitu variable konsumsi Tablet Tambah Darah dengan OR
4,636 yang artinya remaja yang konsumsi TTD (Tablet Tambah Darah) nya
kurang dari 4 berisiko 4,6 kali lebih besar daripada yang konsumsinya lebih
dari 4 kali.
Persamaan yang didapatan dari analisis regresi logistik adalah
sebagai berikut :
P = konstanta + B ((Tablet Tambah Darah) + B (aktivitas) + B
(pendidikan)
P = -4,083 + 1,534 (TTD) + 2,772 (Aktivitas Fisik) + 0,904
(Pendidikan)
TTD (Tablet Tambah Darah) bernilai 1 jika “≤4kali” bernilai 0 jika
“>4kali”. Aktivitas fisik bernilai 1 jika “sedang/berat” dan bernilai 0 jika
“rendah”. Pendidikan bernilai 1 jika “rendah” dan bernilai 0 jika “tinggi”.
Dari persamaan diatas, probabilitas dihitung dengan rumus:
𝑝 =1
1 + 𝑒−𝑃
𝑝 =1
1 + 𝑒−1,127
𝑝 =1
1 + 0,32
𝑝 =1
1,32
56
Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
𝑝 = 0,75
𝑝 = 75 %
Jadi peluang jika konsumsi TTD (Tablet Tambah Darah)
57
Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
keterbatasan pendapatan orang tua. Semakin tinggi penghasilan orang tua
maka semakin mudah mendapatkan sarana dan prasarana yang diperlukan
oleh anak, sementara orang tua yang berlatar belakang ekonomi rendah,
mereka lebih susah mendapatkan sarana dan prasarana yang diperlukan
oleh anak dan lebih sedikit waktu yang dapat mereka berikan kepada
anaknya dikarenakan orang tua lebih megutamakan untuk bagaimana agar
dapat memenuhi kebutuhan seharihari. Tingat ekonomi (pendapatan)
keluarga yang rendah akan mempengaruhi pola dan jenis makanan keluarga
tersebut, di mana sebagian besar kelarga yang memiiki tingkat ekonomi
(pendapatan) yang rendah lebih memilih jenis makanan yang berorientasi
pada karbohidrat dibandingkan protein, vitamin dan mineral. Hal ini
dikarenakan makanan yang mengandung karbohidrat lebih murah
dibandingkan yang lain.7
Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukan bahwa faktor pendidikan
orangtua (ibu) tidak berhubungan dengan kejadian anemia dengan
(p=0,214;OR=0,546). Hal ini sejalan dengan penelitian Dhenok dkk tahun
2018 yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara
pendidikan terakhir ibu dengan perilaku penyebab anemia. Tingkat
pendidikan seseorang mempengaruhi perilaku individu. Makin tinggi
pendidikan atau pengetahuan kesehatan seseorang, makin tinggi kesadaran
untuk berperan serta dan menjaga kesehatan begitu juga sebaliknya.8 Hal ini
tidak sejalan dengan penelitian Abdul Basith dkk tahun 2017 yang
menyatakan Orang tua (ibu) yang berpendidikan tinggi akan lebih
58
Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
memperhatikan pola makan anaknya dikarenakan mereka mengetahui
asupan nutrisi yang diperlukan oleh anaknya. Semakin tinggi tingkat
pendidikan seorang ibu maka akan semakin baik cara ibu mendidik dan
merawat anaknya, dikarenakan orang tua yang berpendidikan tinggi tidak
akan langsung menerima apa yang dikatakan orang, mereka akan berpikir
secaara logis untuk menentukan setiap tindakan yang akan mereka ambil.
Keluarga yang memiliki pendidikan yang tinggi dapat lebih mudah
menerima dan memilih informasi yang berguna bagi dirinya dan
keluarganya, serta dapat mengaplikasikannya kedalam kehidupan sehari-
hari. Orang yang memiliki pendidikan yang tinggi akan mudah untuk
menerima dan menyesuaikan diri dengan hal-hal yang baru, hal tersebut
yang memungkinkan orang yang berpendidikn tinggi mengetahui serta
menyadari cara memelihara kesehatan dirinya dan keluarganya. Hal ini juga
sejalan dengan peneltian Yamin tahun 2012 yang menunjukkan pendidikan
rendah berpeluang 2,221 dan 1,945 kali remaja menderita anemia
dibandingkan ayah dan ibu dengan pendidikan tinggi.28
Berdasarkan hasil penelitian faktor status gizi tidak berhubungan
dengan kejadian anemia dengan (p=0,531;OR=0,705). Hal ini sejalan
dengan penelitian Abdul Basith dkk tahun 2017 yang menyatakan
responden yang memiliki status gizi normal, mereka dapat terkena anemia
apabila kebiasaan makan mereka yang tidak seimbang seperti apabila
responden jarang mengkonsumsi sayur-sayuran dan bisa juga disebabkan
apabila sering memakan makanan yang mengandung karbohidrat dan lemak
59
Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
saja tidak diimbangi dengan mengkonsumsi makanan yang mengandung
mineral, protein, dan vitamin. Anak remaja saat ini sering sekali kurang
memperhatikan konsumsi makanan mereka, mereka sering mengkonsumsi
makanan yang kurang sehat seperti gorengan, pentol, mie dan lain lain, serta
tak jarang juga ada anak yang tidak mau mengkonsumsi sayuran. Padahal
kecukupan gizi sangatlah penting, karena kekurangan gizi dapat
menyebabkan penurunan pembentukan sel darah merah yang mana dapat
menyababkan berkurangnya sel darah merah dalam tubuh dan
menyebabkan anemia . Hal itu juga sama dengan orang yang memiliki status
gizi sangat gemuk atau bisa disebut obesitas, mereka lebih sering
mengkonsumsi makanan yang tinggi lemak dan karbohidrat dibandingkan
dengan yang mengandung mineral, protein, dan vitamin. Asupan zat besi
yang merupakan salah satu penyebab anemia pada setiap orang berbeda-
beda. Kebutuhan zat besi sangat bergantung dengan berat badan seseorang,
di mana setiap penambahan 1 kilogram berat badan maka akan terjadi
peningkatan kebutuhan zat besi sebanyak 35 – 45 mg.7 Hal ini juga sejalan
dengan hasil penelitian Indartanti dan kartini tahun 2014 menunjukkan hal
yang sama dimana tidak ada hubungan antara status gizi dengan kejadian
anemia pada remaja putri yang menyatakan bahwa indikator IMT/U untuk
menilai status gizi, indikator ini lebih dipengaruhi olah zat gizi makro yang
merupakan sumber energi terbesar bagi tubuh seperti karbohidrat, lemak,
dan protein dari pada asupan zat gizi mikro (vitamin dan mineral),
dikarenakan kandungan energi pada zat gizi mikro sangat sedikit. Padahal
60
Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
zat gizi yang lebih menentukan kejadian anemia adalah zat gizi mikro
dikarena pada vitamin, asam folat dan zat besi termasuk kedalam zat gizi
mikro.29,30 Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Reni Yunila tahun 2017
yang menyatakan bahwa seseorang yang memiliki status gizi yang baik
maka pertumbuhan dan perkembangan juga akan baik. Dalam penelitian ini
mayoritas responden sudah memiliki status gizi normal, hal ini sudah
merupakan suatu hal yang baik karena status gizi sangat berpengaruh
terhadap kondisi kesehatan seseorang. Status gizi adalah keadaan seseorang
yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi dari
makanan dalam jangka waktu yang lama . Penilaian status gizi secara
langsung dapat di bagi menjadi empat penilaian yaitu
antropometri,klinis,biokimia,dan biofisik.31 Gizi merupakan kebutuhan
yang penting bagi remaja, hal tersebut sesuai dengan pendapat yang
dikemukakan oleh Sitiningsih dalam Rumpiati tahun 2010 bahwa gizi atau
nutrisi yang baik pada masa remaja memungkinkan kesehatan yang baik,
pertumbuhan dan perkembangan yang optimal, gizi yang cukup dan baik
juga membentuk kecerdasan otak, jiwa dan kehidupan sosial. Status gizi
pada remaja dapat ditingkatkan dengan mengkonsumsi makanan yang
memenuhi zat-zat gizi.32
Berdasarkan hasil penelitian faktor lama menstruasi tidak berhubungan
dengan kejadian anemia ditunjukan dengan hasil (p=1,000;OR=1,000). Hal
ini sejalan dengan teori dari Proverawati tahun 2011, anemia defisiensi besi
juga dapat disebabkan oleh perdarahan pada ulkus peptikum yang mungkin
61
Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
atau karena dirangsang oleh obat-obatan bahkan sangat umum karena
kelebihan obat seperti aspirin dan ibuprofen.33 Hasil ini berbeda dengan
hasil yang diperoleh dalam penelitian yang dilakukan oleh Dyah Eka
Mentari tentang hubungan lama menstruasi dengan anemia pada mahasiswa
program studi DIII Kebidanan STIKES Harapan Bangsa Purwokerto tahun
2013. Berdasarkan hasil analisis dengan uji chi-square pada penelitian
tersebut dapat diketahui nilai p = 0,026. Dengan taraf signifikan 5%
sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara lama menstruasi
dengan anemia pada mahasiswa. Diketahui nilai coefisien corelasi adalah
0,361 sehingga dapat disimpulkan kekuatan hubungan adalah rendah.
Peneliti menyatakan bahwa kejadian anemia pada remaja dapat disebabkan
karena pada seorang wanita yang mengalami menstruasi tiap hari akan
mengeluarkan darah rata- rata 33,2 ± 16 cc dengan lama menstruasi
normalnya antara 3-5 hari. Dalam darah mengandung sel darah putih
(leukosit), keping darah (trombosit), dan sel darah merah (eritrosit), dan
dalam sel darah merah terdapat hemoglobin yang kaya akan zat besi,
sehingga apabila lama menstruasi lebih dari normal akan mengakibatkan
pengeluaran darah yang lebih banyak sehingga dapat menyebabkan
kekurangan zat besi.34
Berdasarkan hasil penelitian faktor konsumsi TTD (Tablet Tambah
Darah) behubungan dengan kejadian anemia dengan (p=0,033;OR=3,238).
Hal ini sejalan dengan penelitian Retno dkk tahun 2017 yang menyatakan
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kepatuhan konsumsi tablet
62
Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
Fe dengan kejadian anemia pada remaja putri. Penelitian ini sejalan dengan
penelitian Yuniarti yang mengatakan bahwa ada hubungan yang bermakna
antara kepatuhan minum tablet Fe dengan kejadian anemia pada remaja
putri di MA Darul Imad kecamatan Tatah Makmur Kabupaten Banjar Tahun
2013 dengan hasil uji statistik uji chi- square diketahui p=0,001. Kepatuhan
minum tablet tambah darah dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu faktor
dari petugas kesehatan dan faktor dari diri sendiri seperti kesadaran dalam
mengkonsumsi tablet Fe. Kepatuhan dalam mengkonsumsi suplementasi zat
besi atau pemberian tablet Fe sangat mempengaruhi perubahan kadar
hemoglobin, dimana kadar hemoglobin yang normal maka status anemia
juga akan normal, sehingga dapat mencegah dan menanggulangi anemia
defisiensi besi.35 Penelitian Susanti Y, dkk menyatakan bahwa kepatuhan
dalam mengkonsumsi suplementasi besi secara mingguan memiliki
efektivitas yang sama terhadap suplementasi mingguan dan selama masa
menstruasi dalam meningkatkan kadar hemoglobin pada remaja putri.
Tingginya kepatuhan dalam mengkonsumsi suplementasi secara mingguan
dapat meningkatkan kadar hemoglobin remaja putri. Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa kepatuhan dalam mengkonsumsi suplementasi
mingguan dapat menghasilkan peningkatan kadar hemoglobin yang sama
dengan mengkonsumsi suplementasi harian.36
Berdasarkan hasil penelitian faktor status kesehatan tidak berhubungan
dengan kejadian anemia dengan (p=0,507;OR=1,482). Hal ini kemungkinan
disebabkan bahwa responden yang baru saja sakit itu tidak termasuk dalam
63
Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
penyakit malaria, TBC, infeksi yang kronis sehingga tidak berhubungan
dengan kejadian anemia.
Berdasarkan hasil penelitian faktor aktivitas fisik berhubungan dengan
kejadian anemia dengan (p=0,010;OR=12,432). Hal ini sejalan dengan
penelitian Baku S, W tahun 2014 yang menyatakan aktivitas fisik manusia
sangat mempengaruhi kadar hemoglobin dalam darah. Individu yang secara
rutin berolahraga kadar hemoglobinnya akan naik. Hal ini disebabkan
karena jaringan atau sel akan lebih banyak membutuhkan O2 ketika
melakukan aktivitas. Namun adapula yang memiliki nilai Hb normal namun
memiliki kesegaran jasmani yang kurang. Hal ini disebabkan adanya faktor
lain selain kadar Hb yang menentukan kesegaran jasmani. Aktifitas fisik
maksimal dapat memicu terjadinya ketidakseimbangan antara produksi
radikal bebas dan sistem pertahanan antioksidan tubuh, yang dikenal
sebagai stres oksidatif. Pada kondisi stres oksidatif, radikal bebas akan
menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid membran sel dan merusak
organisasi membran sel. Peroksidasi lipid membran sel memudahkan sel
eritrosit mengalami hemolisis, yaitu terjadinya lisis pada membran eritrosit
yang menyebabkan Hb terbebas dan pada akhirnya menyebabkan kadar Hb
mengalami penurunan.37 Hal ini sejalan dengan penelitian Lee tahun 2008
yang menyatakan bahwa aktivitas fisik yang dapat mempengaruhi kadar
hemoglobin adalah pada aktivitas fisik yang sifatnya berat. Aktivitas fisik
yang terlalu berat dapat menimbulkan hematuria, hemolysis dan perdarahan
pada gastroinstestinal yang dapat mempengaruhi status besi. Hematuria
64
Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
dapat terjadi karena adanya trauma pada glomerulus. Intensitas latihan dapat
menyebabkan aliran darah pada ginjal menurun dan menyebabkan
peningkatan laju filtrasi glomerulus. Hemolisis dapat timbul akibat dari
kompresi pembuluh darah yang disebabkan ole kontraksi yang kuat dari
otot-otot yang terlibat dalam aktivitas fisik yang dilakukan oleh seseorang.
Hemolisis dapat menyebabkan kehilangan zat besi akibat dari penghancuran
membrane sel darah merah yang akan mempengaruhi kadar Hb dalam
darah.38 Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Kosasi tahun 2014 yang
menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara aktivitas
fisik dengan kadar hemoglobin, hasil penelitian ini menunjukkan
peningkatan kadar besi sesudah aktivitas fisik yang diduga disebabkan oleh
perubahan plasma dan volume darah sebagai respons dari aktivitas fisik.
Segera setelah aktivitas fisik, plasma dan volume darah akan menurun
sebagai akibat dari kehilangan cairan melalui keringat dan respirasi, filtrasi
ke dalam ruang ekstravaskuler sebagai akibat dari peningkatan tekanan
arterial dan kontraksi otot selama aktivitas fisik dan peningkatan tekanan
onkotik jaringan akibat akumulasi metabolit seperti laktat.39,42 Kemudian
penelitian lain dari Saputro tahun 2015 juga menyatakan bahwa tidak
terdapat hubungan yang bermakna antara aktivitas fisik dengan kadar
hemoglobin. Penelitian ini juga diperkuat dengan penelitian yang dilakukan
oleh Evans tahun 2015 yang menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan
bermakna antara kadar besi darah sebelum dan sesudah aktivitas fisik
intensitas berat. Peneliti menyatakan bahwa aktivitas fisik yang tidak
65
Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
berlebihan tidak terjadi rusaknya dinding sel eritrosit dan tidak terjadi
penurunan hemoglobin. Aktivitas fisik yang tidak berlebihan juga tidak
akan mengakibatkan kekurangan energi yang menyebabkan seseorang
menderita anemia. Sehingga zat gizi yang dikonsumsi masuk ke dalam
tubuh dan diproses oleh tubuh untuk pembentukan hemoglobin
65
Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
Top Related