BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian
Desa Hulawa tepatnya berada pada kisaran kordinat 0°34'44.63"N dan 123° 2'45.56"E,
dengan luas Wilayah 2.385 H. Hulawa adalah salah satu desa diwilayah Kecamatan Telaga
Kabupaten Gorontalo, sebelah Timur berbatasan dengan Kota Gorontalo melaului batas Sungai
Bolango, sebelah Utara berbatasan dengan Desa Pilohayanga dan sebelah Barat berbatasan
dengan Desa Luhu.
Gambar. 1 Peta Desa Hulawa
Desa Hulawa terdiri atas 4 Dusun dengan jumlah penduduk 3.673 jiwa yang terdiri 1796
jiwa Laki-laki dan 1877 jiwa Perempuan, dan terdapat 2.200 Kepala Keluarga.
4.2 Deskripsi Hasil Penelitian
4.2.1 Kesadaran hukum masyarakat Desa Hulawa dalam mensertifikat hak atas tanah
miliknya
Kepemilikan tanah dewasa ini menjadi masalah yang kompleks dan bahkan
memunculkan banyak peselisihan, mulai dari dominasi pengusaha yang di backup oleh
pemerintah, ada juga karena perebutan hak waris semua itu menjadi fenomena biasa dalam
lingkungan masyarakat. Gorontalo khususnya, masalah sengketa tanah mulai kelihatan,
penyebab utamanya itu karena factor ekonomi masyarakat yang mulai menunjukkan perbaikan
sehingga ada sebagian masyarakat yang memiliki modal berupaya untuk memiliki tanah-tanah
yang potensial. Terlepas dari itu, lebih khusus seperti halnya yang ada di desa Hulawa Kab.
Gorontalo, dalam hasil pengamatan peneliti wilayah administratif tersebut sebagian besar
masyarakatnya belum memiliki sertifikat atau hak kepemilikan tanah yang sah. Hasil
pengamatan yang dilakukan peneliti ini dapat diperjelas dengan data-data hasil yang peroleh
peneliti di lapangan. Untuk lebih jelasnya, peneliti melakukan wawancara dengan beberapa
pihak yang berhubugan persoalan tanaha. Berikut hasil wawancara dengan salah seorang pemilik
tanah Hasan Tahir (02 – 12 – 12):
“Sejujurnya saya belum memahami dengan jelas tentang sertifikat tanah. Tapi yang
jelas kami tahu kalau sertifikat tanah bukti kepemilikan atas tanah, hanya begitu
saja.”
Pernyataan tersebut dapat dapat ditafsirkan sebagai bagian dari pengetahuan masyarakat
tentang sertifikat tanah. Jadi, pemahaman tentang sertifikat adalah bentuk bukti resmi bahwa
yang seseorang warga masyarakat memiliki sebidang tanah, sehingga pembuktianya adalah
sertifikat. Pernyataan yang disampaikan oleh Hasan Tahir tersebut memiliki persamaan
pernyataan dengan beberapa orang warga yang sempat peneliti diskusikan. Berikut kutipan
pernyataan Abdul Wahab Ahmad (02 Desember 2012):
“yang saya tahu, sertifikat itu bukti kepemilikan tanah. Dan kalau tanah so ada
sertifikat sudah jelas tanah itu milikinya seseorang. Jadi kalau mau tanya tentang
sertitifat seperti itu, hanya itu yang saya tahu. Dan kalau saya belum ada sertifikat
tanah, untuk saya punya lahan itu”.
Pernyataan-pernyataan sebagian warga yang sempat peneliti ajak diskusi tentang
kesadaran masyarakat terkait dengan sertifikat tanah. Hampir memiliki jawaban yang sama atau
dengan kata lain semua yang menjadi responden peneliti dalam masalah penelitian memiliki
jawaban yang hampir sama. Disamping itu, ada juga beberapa orang masyarakat yang sejauh ini
mengenal kalau sertifikat tanah itu penting, namun tidak memiliki lahan dan aktivitas sebagian
masyarakat tersebut hanya pembajak tanah yang ada di Desa Hulawa tersebut. Berikut kutipan
pernyataan Rusman Masi dengan beberapa orang masyarakat (02 Desember 2012, pukul 17.15)
kepada peneliti disela-sela diskusi bebas:
“maaf saja Bu, tidak tahu betul itu sertifikat, hanya saya sering dengar-dengar. Saya
belum pernah liat itu model sefirikat, soalnya saya hanya menggarap orang punya
lahan, minta maaf cuma itu”
Pernyataan tersebut bila dilihat menunjukkan tidak ada bebas dan polos. Sehingga yang
terlihat adalah keseriusan seorang petani penggarap tentang aktivitasnya dalam memenuhi
kebutuhan hidup, sehingga masalah-masalah hukum atau seperti legalitas kepemilikan lahan
masih kurang memahami dengan benar. Memang golongan masyarakat tersebut pemahaman
tentang hukum-hukum masih sangat rendah. Kondisi tersebut khususnya di Desa Hulawa relatif
sedikit.
Selanjutnya, peneliti terus mengumpulkan data dengan menginterview beberapa orang
masyarakat yang memiliki lahan yang ada di Desa Hulawa. Dalam pengamatan peneliti serta
didasarkan informasi dari beberapa orang responden yang telah disebutkan di atas, bahwa tanah-
tanah yang ada di Desa Hulawa sebagian besar telah memiliki hak kepemilikan, namun bukan
dalam bentuk sertifikat tetapi dalam bentuk surat keterangan dengan sepengetahuan pimpinan
desa atau kecamatan yang disertai dengan saksi-saksi dari masyarakat sendiri. Untuk
membuktikan informasi dari masyarakat tersebut, peneliti melakukan interview dengan beberapa
orang warga masyarakat yang memiliki lahan Hamid Y. Mahmud (05 Desember 2012):
“sertifikat itu menurut saya bukti kepemilikan tanah yang dikeluarkan oleh
pemerintah. Jadi saya sebaga warga masyarakat di Desa Hulawa ini memiliki tanah
(lahan), dan saat ini saya telah memiliki sertifikat sebagai bukti kepemilikan tanah
saya. Memang sebelumnya saya belum urus, karena masalah biaya, tetapi karena
banyak berita terkait dengan masalah perselisihan tanah, maka saya berusaha
mengurus sertifikatnya tahun 2010 lalu”.
Pernyataan Hamid Y. Mahmud tersebut telah memberikan penjelasan yang cukup berarti
bagi seorang pemilik tanah. Artinya yang bersangkutan telah menyadari eksistensi sahnya
memiliki tanah yang dibuktikan dengan sertifikat. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa
tingkat kesadaran masyarakat terhadap hokum masih sangat rendah karena memang keterbatasan
informasi, dan media televisi sebagai social of control sangat efektif dalam memberikan
pendidikan hokum kepada masyarakat, dengan menampilkan kasus-kasus sengketa tanah. Hal ini
sebagaimana ditambahkan oleh Hamid Y. Mahmud dalam memperjelas tentang eksistensi
sertifikat serta sosilisasi pemerintah yang sangat kurang kepada masyarakat.
“Maaf ini yah, sejujurnya dengan sering menonton berita di televisi, itu membuat
saya menyadari bahwa sertifikat tanah itu penting. Banyak kasus itu di televisi lahan
masyarakat digusur karena sudah dimiliki oleh pengusaha tertentu, padalah tanah itu
tanah warisan keluarga. Kami juga masyarakat menyadari, kalau sosialisasi dari
pertanahan itu sampai hari ini tidak ada, serta dari desa pun demikian. Mungkin anda
harus banyak bertanya lagi, masih banyak juga warga yang belum memiliki
sertifikat, nantilah dicari informasi lagi, dan sebagian dari mereka itu menggunakan
surat keterangan dari desa saja”.
Pernyataan tersebut memberikan kejelasan tentang kesadaran hukum masyarakat
khususnya yang berhubugan dengan hak kepemilikan tanah. Bahkan lebih menarik dari
pernyataan tersebut yakni sumber informasi masyarakat tentang eksistensi kepemilikan sahnya
tanah sangat kurang. Namun demikian, peneliti melakukan interview dengan informan lain.
Berikut kutipan wawancara dengan Abdul Rahman Muhsin (03 Desember 2012):
“saya memang memiliki lahan, dan saat ini telah memiliki sertifikat. Saya menyadari
benar bahwa sertifikat tanah itu penting. Sehingga itu saya mengurusnya, dan
memang proses untuk memilikinya agak lama, karena harus menghadirkan dari pihak
pertanahan untuk melakukan pengukuran, serta pihak desa dan saksi. Dan pada
intinya saya menyadari bahwa sertifikat itu penting”.
Peryataan kedua orang responden tersebut di atas, pada prinsipnya hampir mengalami
kesamaan, tetapi substansinya sama. Artinya, bila seseorang mengurus sertifikat tanah berarti
menyadari konsekuensi hukum bila tidak memiliki sertifikat. Namun untuk terus mendukung
penelitian ini, peneliti terus melakukan wawancara dengan masyarkat lain yang ada di Desa
Hulawa ini. Berikut kutipan wawancara dengan Syukrin Zain (04 Desember 2012):
“terkait dengan pernyataanyaan anda masalah kesadaran hukum. Pada dasarnya saya
sadarlah, buktinya saya memiliki setifikat tanah. Dengan adanya sertifikat tanah ini,
menunjukkan bahwa saya sadar hukum, disamping itu setiap tahun saya taat pajak
kok, karena saya terus membayarkan pajak tanah dan bagunanan rumah saya. Ini
menunjukkan kalau saat ini saya sadar hukum dong. Terkait dengan yang lain belum
memiliki sertifikat tanah, dapat dikatakan seperti itu, tetapi mereka juga bayar pajak
kok. Tapi sekalipun demikian bagi saya adalah saya memegang sertifikat itu yang
terpenting, karena itu bukti pengakuan pemerintah atas tanah yang saya miliki. Bagi
masyarakat lain yang belum memiliki sertifikat, belum bisa juga dikatakan tidak
sadar hukum tetapi kemungkinan karena factor biaya, sehingga mengurusnya agak
terhambat, Karena proses pengurusan sertifikat itu cukup berbelit-belit juga seeh”.
Penjelasan sebagaiman kutipan wawancara dengan Syukrin Zain tersebut, bagi peneliti
mengasumsikan bahwa masyarakat yang telah memiliki sertifikat tanah adalah bentuk kesadaran
hukum sudah baik. Selanjutnya peneliti melakukan interview dengan masyarakat yang memiliki
lahan tetapi tidak memiliki sertifikat atau hanya menggunakan bukti kepemilikan berdasarkan
surat keterangan dari desa.
Berdasarkan dari beberapa informasi yang sifatnya menggantung, bahwa tidak serta
merta masyarakat yang tidak memiliki tanah tidak sadar hukum, bisa saja masyarakat sadar
hukum hanya saja proses untuk mengurus sertifikat mengalami kendala teknis. Untuk
memperjelas hal tersebut, berikut peneliti memaparkan hasil interview dengan masyarakat yang
tidak memiliki sertifikat tanah, Sigar Maia (04 Desember 2012):
“Sebetulnya bu, kami itu tau kalau sertifikat itu begitu penting, tapi mau saya tidak
dapat berbuat banyak, uang terbatas, untuk pengurusan sertifikat jelas perlu uang.
Saya juga ingin punya sertifikat itu, tapi untuk pengurusannya tidak tau bagaimana.
Sebagai bukti sekrang bahwa tanah saya, ada tanda tangan Ayahanda (Kepala Desa)
tahun 1980-an. Jadi bukti itu yang saya pake dan disimpin sebagai hak milik tanah”.
Kutipan wawancara tersebut menjadi bagian dari pengakuan warga tentang hak
kepemilikan tanah. Dengan demikian, masyarakat intinya memahami arti penting keberadaan
sertifikat, dengan demikian kesadaran hukum dimiliki oleh warga masyarkat khususnya yang
memiliki tanah di Desa Hulawa. hal ini dibuktikan dengan beberapa kutipan wawancara peneliti
dengan beberapa orang masyarakat sebagai informan dalam penelitian ini, diantaranya Hamdan
Yusuf (07 Desember 2012)
“saya ini punya tanah, tapi tidak ada sertifikat yang ada hanya surat keterangan
kepemilikan dari desa. Dan setiap tahun saya membayar pajak ke desa”
Hal yang sama sebagaimana pernyataan masayarakat lain yakni, Husain Rajak (07 – 12 -
2012):
“kami ini tidak ada sertifikat, dan kami tau sertifikat itu surat kepemilikan tanah dari
pemerintah. Belum ada uang untuk mengurus sertifikat. Jadi hanya bagitu saya punya
tanah ini. Sudah banyak juga tanah yang kami sama orang lain, dan mereka langsung
buat sertifikat itu”.
Pernyataan-pernyataan tesebut di atas, menunjukkan ada kesamaan substansi, sehingga
itu dapat dikatakan bahwa masyarakat umumnya mehamahi dan menyadari hukum atas
kepemilikan tanah. Sekalipun saat ini ada sebagian besar masyarakat tidak memiliki lahan, dan
pihak-pihak yang tidak memiliki lahan tersebut secara umum tidak memahami dan belum
sepenuhnya menyadari hukum atas kepemilikan tanah.
Memperjelas beberapa argumentasi yang disampaikan oleh sebagian besar masyarakat
tersebut, peneliti akan melakukan interview dengan pihak pemerintah yang secara administratif
memiliki pandangan yang rasional pada setiap aktivitas masyarakat yang ada di desa. Berikut
kutipan dengan kepala Desa Hulawa Raplin Basiru, S.Sos (10 – 12 – 2012):
“berdasarkan data yang kami miliki, tanah-tanah yang ada di Desa Hulawa ini yang
hanya memiliki sertifikat kurang lebih 150 lahan. Selain itu kepemilikan hanya
berdasarkan surat keterangan dari desa, keterangan jual beli, putusan pengadilan dan
lain sebagainya”.
Penjelasan dari kepala desa tersebut menunjukkan sekaligus memetakan bahwa yang
masyarakat yang sadar dan memahami benar peran sertifikat, tetapi yang patut disesalkan adalah
kesadaran yang masih rendah. Selanjutnya, kepala desa dengan memberikan penjelasan lagi
yaitu sebagai berikut:
“Terkait dengan perntanyaan anda masalah pengetahuan masyarakat, mungkin anda
tahu dan telah bercerita dengan mereka. Secara umum mereka memahami dan
menyadari itu keberadaan sertifikat, tetapi anggapan mereka bahwa surat keterangan
yang mereka miliki itu sudah sah menurut hukum. Jadi kami sebagai pemerintah,
tidak ada kompeten untuk mendikte dan mengintervensi mereka terlalu jauh untuk
mengurus sertifikat, karena hal tersebut berhubungan dengan financial”.
Penjelasan ini semakin menguatkan dari beberapa argumentasi di atas, bahwa
pengetahuan masyarakat sudah baik atas pemahaman tentang sertifikat tanah. Bahkan peran
pemerintah desa untuk mengintervensi masyarakat sangat terbatas dan tidak memiliki
kewenangan. Memang fakta dilapangan bahwa salah satu factor yang menyebabkan sebagian
masyarakat tidak mengurus sertifikat adalah factor biaya dan birokrasi yang ruwet. Berikut
pengakuan kepala desa terkait dengan kendala-kendala yang dialami oleh sebagian masyarakata
Desa Hulawa, berikut kutipan wawancaranya:
“mungkin jelas yah, hambatan utama mereka itu masalah uang. Kami menyadari
kurang sosialisasi dari pemerintah desa, tetapi yang memiliki kompeten itu adalah
dari pertanahan, karena secara teknis mereka yang memahami, kami hanya
memfasilitasi mereka dengan masyarakat”.
Dengan pernyataan tersebut, semakin mempejelas pula kapasitas dan peran pemerintah
desa dalam hal berbagai keterbatasan yang dimiliki oleh masyarakat. Sehingga masalah-masalah
teknis agak sulit untuk diintervensi atau diberikan pemahaman terkait dengan kesadaran hokum
masyarakat. Lebih lanjut kepala desa menjelaskan sebagai berikut:
“berhubungan dengan keterlibatan saya, hanya memfasilitasi dan ikut memberikan
rekomendasi berdasarkan saksi-saksi dan kami pun punya kapasitas untuk bersaksi
bila masyarakat melakukan pengurusan sertifikat. Pihak desa khan turut tanda
tangan, jadi kapasitas saya menjetujui itupun dari atas informasi dari saksi-saksi di
lapangan”.
Peran pemerintah desa hanya sebatas fasilitasi kepentingan masyarakat. Namun terkait
informasi teknis yang berhubungan dengan sertifikat, menjadi kewenangan pihak pertanahan.
Pemerintah desa hanya memberikan informasi yang terbatas sebagai persyaratan teknis.
Dari beberapa penjelasan dan pernyataan responden tersebut di atas, maka dapatlah di
fokuskan masalah penelitian ini. Pada prinsipnya masyarakat telah mengetahui dan menyadari
arti penting sertifikat tanah. Jadi masyarakat yang ada di Desa Hulawa sebagian besar telah
memiliki pengetahuan yang cukup tentang ekistensi sertifikat tanah bagi yang memiliki lahan.
Bahkan konsekuensi-konsekuensi hukum pun sebagian besar masyarakat telah memahami, hanya
saja yang belum memahami itu adalah golongan masyarakat yang tidak memiliki lahan resmi.
4.2.2 Pengetahuan masyarakat Desa Hulawa mengenai bukti-bukti kepemilikan hak atas
tanah
Banyak hal yang mengakibatkan seseorang atau warga masyarakat belum memamahmi
atau mengetahuai tentang eksistensi sertifikat tanah khususnya di Desa Hulawa. Pada data-data
hasil penelitian di atas, secara umum telah menjelaskan secara singkat tentang kondisi
pemahaman dan pengetahuan masyarakat tentang bukti-bukti kepemilikan tanah. Bukti-bukti
yang dimaksud dalam masalah penelitian ini adalah bukti sebagai dasar hukum untuk
menentukan bahwa seseorang memiliki sebidang tanah, yang didukung oleh pengakuan saksi
serta pemerintah desa setempat atau keterangan-keterangan lain yang berhubungan dengan hak
kepemilikan.
Data hasil penelitian sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, yakni yang berhubungan
dengan hasil interview peneliti dengan kepala desa. Pada dasarnya bahwa masyarakat selama ini
hanya menggunakan surat ketarangan tertentu dalam pengakuan hak atas tanah yang dimiliki,
dari pada harus memiliki selembar sertifikat. Untuk memperjelas hal tersebut, peneliti
memaparkan kutipan hasil wawancara dengan kepala desa (Raplin Basiru, S.Sos, 13 – 12 - 12):
“maaf yah, kalau saya tidak salah pertanyaan anda telah saya jelaskan waktu lalu.
Tapi baiklah, saya akan jelaskan lebih detail lagi. Khususnya di desa Hulawa, tanah-
tanah milik warga yang saat ini memiliki sertifikat itu sebanyak 150-an bidang tanah,
sisanya (warga) itu ada yang memiliki surat keterangan dari pemerintah desa dengan
saksi-saksi kepemilikan tanah, ada yang menggunakan kwintasi jual beli tanah,
keterangan tanah warisan, ada juga yang memiliki surat keterangan pengadilan atas
penguasaan tanah tersebut. Jadi menurut kami sebagai pemerintah, itu semua legal
sebagai hak miliki, tetapi lagi-lagi alangkah lebih baik bila dibuktikan dengan
sertifikat tanah dari dinas pertanahan”.
Apa yang dijelaskan oleh kepala desa tersebut, pada prinsipnya mengakumulasi semua
fakta lapangan yang ada, sehingga secara implisit memaparkan jenis-jenis surat kesahan
kepemilikan sebidang tanah. Sekalipun secara hukum atau bukti kepemilikan tanah ada dalam
bentuk keterangan-keterangan tersebut, maka yang terpenting adalah pengakuan secara
ketatanegaraan yakni dalam bentuk surat setifikat. Bila warga memiliki surat sertifikat, maka
secara penuh nama dalam sertifikat itu yang memiliki hak sepenuhnya atas tanah.
Selanjutnya peneliti pula melakukan wawancara dengan beberapa responden yang berasal
dari masayarakat yang saat ini belum memiliki sertifikat tanah. Berikut kutipan wawancara dari
(Wawan Tomayahu, 13-12-12):
“benar, saya saat ini tidak memiliki sertifikat tanah sebagaimana orang lain. Saya
sebetulnya memahami fungsi dari sertifikat itu, dan bahkan itu menjadi kewajiban
bagi pemilik tanah sebagai pembuktian kepemilikan tanah. Saya telah merencanakan
itu (untuk buat sertifikat) tetapi karena kesibukan juga sehingga sedikit menghambat
rencana tersebut. Tetapi yang pokok saat ini saya memegang surat pernyataan jual
beli dengan pemilik, serta ada tanda tangan saksi serta pemerintah desa”.
Disamping itupula, peneliti juga terus mengumpulkan data-data yang berhubungan dengan
bukti-bukti kepemilikan tanah bagi masyarakat. Berikut kutipan wawancara peneliti dengan
(Ridwan Lihawa, 13-12-12):
“Begini Bu, saya ini punya surat bukti kepemilikan tanah, kalau mau dilihat, saya
punya bukti surat warisan dari orang tua, hanya itu yang saya punya surat tanah”.
Pernyataan Ridwan Lihawa tersebut memberikan kejelasan bahwa, tanah yang dimilikinya
saat ini hanya bentuk warisan dari orang tua. Dan bukti terkait dengan kepemilikan tersebut,
hanya surat warisan yang diberikan kepada yang bersangkutan. Ridwan Lihawa menambahkan
kalau tanah yang dimilikinya saat ini, ada keinginan untuk memperoleh sertifikat, tetapi karena
kekurangpahaman birokrasi sehingga yang bersangkutan mengurungkan niat untuk
mengurusnya. Berikut ringkasan wawancara dengan peneliti:
“iya, ingin tanah saya punya sertifikat, tapi begitu kan, terlalu rumit cara
pengurusannya, tidak tahu kalau setelah dari ayahanda harus diurus dimana lagi”.
Disamping data-data yang disampaikan oleh sebagian warga yang sempat peneliti
interview khususnya yang berhubungan dengan pemahaman tentang bukti-bukti kepemilikan hak
atas tanah. Banyak informan yang memberikan gambaran baik dari hasil wawancara resmi
dengan responden maupun dengan cara diskusi bebas. Berikut beberapa hasil diskusi dengan
berbagai macam responden yang sebagian besar usia mereka di atas 50 tahun. Berikut ringkasan
hasil diskusi dengan Taufik Lamadilau (14 – 12 -12).
“saya ini Bu, banyak tahu tentang tanah di desa sini. Dan tahun 80-an hampir tidak
ada yang memiliki sertifikat, dan mereka memiliki sertifikat itu nanti tahun 90-an.
Sebelum itu, tanah-tanah ini tidak ada yang bukti hak kepemelikan, tetapi karena
kepercayaan dan masyarakat masih menunjung tinggi kejujuran, sehingga tidak ada
yang berasalah dengan tanah”.
Pernyataan salah seorang tokoh masyarakat tersebut memberikan kejelasan atas
kepemilikan lahan oleh masyarakat yang ada di Desa Hulawa. selanjutnya, Taufik Lamadilau
menambahkan bahwa saat ini sebagian besar atau mayoritas masyarakat yang memiliki lahan
tidak memiliki sertifikat, dan yang ada hanya berupa surat-surat keterangan dari pemerintah
desa. Berikut kutipan sambungan hasil diskusi dengan peneliti:
“iya, saya melihat pengetahuan masyarakat terkait dengan dengan bukti-bukti
kepemilikan itu sudah ada, hanya saja kesadaran penuh masih relative kurang.
Sehingga surat-surat keterangan yang mereka miliki atas kepemilikan lahan itu hanya
menggunakan surat keterangan, surat pengadilan, surat keterangan jual beli, dan
bahkan ada yang menggunakan surat warisan”.
Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa masyarakat sebetulnya tidak buta dengan surat-
surat keterangan itu, karena hanya 5 % masyarakat yang tidak memiliki surat-surat, dan 95 %
masyarkaat memiliki surat keterangan sah kepemilikan, sekalipun bukan dari sertifikat semua,
tetapi dari desa dan pengadilan. Hal ini sebagaimana penjelasan kepala desa hulawa dalam
wawancara dengan peneliti (Raplin Basairu, S.Sos 13 – 12 – 12):
“kami menyadari memang, bahwa kalau dirata-ratakan, masyarakat yang memiliki
surat keterangan resmi kepemilikan lahan baik dari pertanahan, desa maupun
pengadilan sebesar 95 % dan yang tidak memiliki surat keterangan sama sekali
sebesar 5%. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sebagian besar masyarakat
sudah memahami dan mengetahui eksistensi hukum atas kepemilikan lahan di Desa
Hulawa ini”.
Penjelasan yang disampaikan oleh Kepala Desa Hulawa tersebut, memberikan kejelasan
secara administratif dan rasional dalam mendukung pernyataan dari beberapa responden dalam
penelitian ini. Yang intinya bahwa dalam penelitian itu masyarakat secara umum telah
memahami dan mengetahui dengan baik tentang kepemilikan tanah, baik resiko hukum maupun
administratif. Dan bila dilihat dari sisi kewajiban, masyarakat terus memenuhi kewajiban pajak
pada setiap tahun. Berikut beberapa kutipan hasil wawancara peneliti dengan responden (Raflin
Hipi, 07-12-12):
“kami sadar, sebetulnya resiko tidak memiliki keterangan sah tidak nya kepemilikan
tanah secara pribadi saya mengerti. Tetapi yang perlu diingat pula bahwa kami setiap
tahun memenuhi kewajiban pajak sebagaimana ditetapkan dalam undang-undangan.
Jadi kondisi ini menurut saya menjadi sesuatu yang wajar, hanya saja kedepan
dengan semakin tingginya permintaan tanah, maka sertifikat perlu dimiliki bagi
setiap orang yang memiliki lahan disini”.
Pernyataan-pernyataan sebagaimana data hasil penelitian tersebut di atas, menjadi
kenyataan. Sesungguhnya masyarakat memiliki pengetahuan yang cukup tentang keberadaan hak
kepemilikan tanah yang dibuktikan dengan surat-surat tertentu yang dianggap resmi oleh
masyarakat. Seperti halnya pernyataan dari kepala desa, dimana sertifikat tanah, surat keterangan
kepemilikan dari desa, surat warisan, keterangan pengadilan, dan surat ketarangan jual beli
tanah. Semua itu adalah bagian dari bentuk surat-surat yang menjadi dasar atau dianggap legal
oleh masyarakat atas kepemilikan tanah.
Mengacu pada temuan tersebut di atas, maka peneliti beranggapan bahwa pengetahuan
terhadap masalah-masalah hukum, khususnya yang berhubungan dengan kepemilikan tanah bagi
masyarakat yang ada di desa Hulawa sudah baik. Hal ini dapat dibuktikan dengan kenyataan
dimana hampir semua masyarakat memiliki surat keterangan kepemilikan lahan, serta
pengakuan-pengakuan atas beberapa responden baik dari unsur pemerintah maupun tokoh
masyarakat. Disamping itu, bentuk-bentuk surat-surat kesahnya surat kepemilikan tersebut
dibuktikan dengan keterangan dari pemerintah desa setempat.
4.2.3 Pengetahuan masyarakat Desa Hulawa tentang tata cara pensertifikat hak atas
tanah
Prosedur pengurusan sebuah surat keterangan atau hal-hal yang berhubungan dengan
administrasi, sudah menjadi fenomena baru dalam system pelayanan yang ada di lingkungan
pemerintahan saat ini, proses yang birokratis dapat mempengaruhi psikologi masyarakat atau
user untuk menggunakan atau memanfaatkan pelayanan yang dimaksud. System otonomi daerah
belum secara tuntas dilaksanakan dengan baik, karena salah satu tujuannya adalah meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat. Banyak penelitian yang mengupayakan pelayanan berbasis
kepuasan kepada masyarakat, tetapi ketika hal tersebut diimplementasikan dilapangan,
sepenuhnya konsep pelayanan dimaksud hanya sebuah wacana bagi penyelengara pemerintah.
Hal ini dikaitkan dengan masalah dalam penelitian ini yakni pengetahuan masyarakat tentang
tata cara atau proses sertifikat tanah. Dalam beberapa pernyataan responden di atas, dapat
dikemukakan bahwa proses pengurusan yang tidak dipahami dan dimengerti benar oleh
masyarakat, sehingga kesan birokratis kelihatan dalam pelayanan administrasi dimaksud.
Menjawab semua perosalan itu, peneliti mengumpulkan data hasil penelitian dari
berbagai sumber atau informan yang dianggap pantas dan layak untuk dimintai tanggapannya
terhadap materi atau permasalahan dalam penelitian ini. Berikut kutipan wawancara peneliti
dengan salah seorang tokoh masyarkaat di Desa Hulawa (Taufik Lamadilau, 13 – 12 – 12):
“benar itu, masyarakat saat ini kurang informasi dalam mengurus sertifikat itu.
Disamping itu, prosesnya yang tidak dimengerti sehingga rasa ingin tahu untuk
mengurus setifikat tersebut tidak dilakukan lagi. Dan ada anggapan dari beberapa
orang masayarakat bahwa sulitnya mengurus sertifikat tanah, karena banyak kantor
dan pintu untuk dilewati”.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa, fenomena pada level pemerintahan saat ini adalah
sulit untuk memenuhi kebutuhan pelayanan sebagaimana yang diharapakan oleh penyelenggaran
otonomi daerah. Pernyataan tersebut ada benarnya, karena dalam pengamatan peneliti disaat
pelaksanaan penelitian ini. Orang yang berurusan dengan pertanahan cukup banyak khususnya
pada unit pelayanan sertifikat. Proses pelayanan yang lambat, mengharuskan masyarakat atau
user merasa bosan dengan pelayanan yang ada. Dalam suasana pengamatan tersebut, peneliti
melakukan interview dengan beberapa masyarakat yang memang berurusan dengan sertifikat
tanah (Sukarman Yusuf, 15-12-12), berikut kutipan wawancaranya:
“jujur saja, kami ini tidak tau untuk mengurus sertifikat tanah, dengar-dengar itu ada
rekomendasi dari desa, selanjutnya ke pertanahan. Bo itu yang saya tahu. Kebetulan
saya lagi ada rencana mau mengurus”.
Apa yang dikatakan oleh Sukarman Yusuf tersebut, menjadi bentuk gambaran bahwa
secara teknis prosedur pengurusan sertifikat bagi masyarakat belum sepenuhnya dipahami
dengan baik. Terkait dengan itu, peneliti juga mengutip hasil wawancara dengan salah seorang
warga yang belum memiliki sertifikat tanah sebagaimana orang lain. Berikut hasil wawancaranya
dengan Risman Lamusu (16-12-12):
“saya ini belum ada sertifikat tanah, jadi bulum tahu bagaimana itu proses
pengurusan sertifikat. Soalnya di desa hanya memberitahu untuk mengurus, tapi cara
mengurusnya mereka tidak sampaikan, jadi bingung juga”.
Pernyataan Risman Lamusu tersebut adalah bentuk kebingungan bagi sebagian
masyarakat yang belum secara langsung bersentuhan dengan pelayanan di pemerintahan. Dengan
demikian, pengakuan-pengakuan dari beberapa responden tersebut dapat ditafsirkan sebagai
bentuk belum optimalnya peran pemerintah dalam memberikan pemahaman terhadap
masyarakat. Rata-rata masyarakat yang belum memahami benar proses pengurusan sertifikat
tanah, menjadi warga mayoritas yang ada di Desa Hulawa. Hal ini seiring dengan pernyataan
yang disampaikan oleh Kepala Desa Raplin Basiru, S.Sos berikut kutipan wawancaranya:
“kami dari pemerintah mengakui bahwa sosialisasi terkait dengan pertanahan ini
reatif kurang, namun demikian bukan berarti saya (pemerintah desa) tidak
menginformasikan kepada masyarakat, tetapi yang terjadi adalah masyarakat
terkesan terlalu ‘enteng’ dengan keberadaan sertifikat tanah ini. Alasannya adalah,
ada sertifikat dan tidak ada tetap juga bayar pajak dan tidak ada konsekuensi dari
pemerintah bila tidak memiliki sertifikat”.
Pernyataan tersebut terkesan menghindar dari tanggungjawab, namun secara pikiran
rasional ada benarnya, karena memang kurangnya sangsi bagi yang punya tanah. Biasanya upaya
pengurusan sertifikat tanah itu terjadi karena tanah digusur untuk jalan, atau menjadi objek
proyek pemerintah. Bila kondisi itu terjadi, maka dalam bayang masyarakat adalah dapat
menjual tananya kepada pihak lain, dengan harga yang relative menguntungkan. Karena niat
menjual tanah, yang terjadi adalah pengurusan sertitifikat tanah. Hal ini dikutip dari ringkasan
diskusi yang tidak terbatas dengan pihak dinas pertanahan, berikut ringkasan hasil diskusi (14-
12-12):
“proses pengurusan sertifikat tanah itu, biasanya yang saya alami dan amati warga
disini adalah karena adanya upaya untuk menjual tanah mereka kepada pihak ke tiga
dengan harga yang menguntungkan. Kondisi ini memang menjadi hal bisa di
lingkungan masyarakat, dan jelas ini yang melukan proses pengurusan sertifikat
menjadi hal nyata”.
Pernyataan ini pula diperkuat dengan apa yang disampaikan oleh kepala desa Hulawa
(Raplin Basiru, S.Sos 12-12-12):
“saya melihat trend pengurusan sertifikat tanah itu terjadi apabila sudah ada tanah
yang dijual, dan yang mengurus itu orang yang membeli. Namun demikian,
sebetulnya proses pengurussan itu tidak berbelit-sebagaimana yang dipikirkan, kalau
memang itu benar-benar hak kepemelikan ada, tinggal meminta pengantar dari desa,
dan selanjutnya di bawah ke dinas pertahanan. Selanjutnya pihak pertanahan akan
turun di lokasi untuk melakukan pengukuran yang disaksikan pemerintah desa dan
masyarakat, baru selanjutnya sambil menungu informasi dari dinas pertanahan”.
Pernyataan ini menjelaskan teknis pengurusan sertifikat tanah, oleh karena ini penting,
maka mestinya menjadi bagian dari kegiatan sosialisasi dari pemerintah desa itu sendiri. Disisi
lain, ketika diskusi dengan pihak yang memahami teknis pengurusan sertifikat tanah yakni dinas
pertahanan (Dwi Deddy Tristanto, S.H 14-12-12) berikut ringkasan diskusinya:
“kami menyadari memang, tidak pernah melakukan sosialisasi kepada masyarakat,
jadi sesungguhnya peran kami yang mesti dibantu dengan pihak desa dan masyarakat
untuk terus mengkapanyekan sertifikat. Saya kira ini bentuk tanggungjawab
pemerintah kepada rakyatnya, memang idealnya seperti itu”.
Sangat jelas memang peran pemerintah, tetapi jarang dilaksanakan bahkan tidak ada
sosialisasi dari pemerintah. Maka tidak mengherankan masyarakat masih terkesan awam dengan
proses pengurusan sertifikat. Hasil-hasil interview di atas menjelaskan bahwa masyarakat Desa
Hulawa pengetahuan masyarakat terkait dengan proses pengurusan sertifikat masih rendah. Ini
dibuktikan dengan beberapa pernyataan dari pihak pemerintah desa yang secara langsung
menangani masyarakat untuk berurusan dengan sertifikat, serta yang memberikan penjelasan-
penjelasan teknis pengurusan. Disini juga peran sosialisasi dinas pertanahan tidak pernah
dilakukan, sehingga berakibat kurangnya pengetahuan masyarakat dan kemauan untuk mengurus
sertifikat sangat rendah.
4.3 Pembahasan
Kesadaran hukum dan ketaatan hukum yang sering menjadi bahan diskusi dan perdebatan
dikalangan masyarakat. Masih terasa sulit untuk mengukur tingkat kesadaran hukum apalagi
pengetahuan yang berhubungan dengan hukum. Sebetulnya, masalah-masalah klasik di
masyarakat ini dapat teratasi kalau semua elemen baik pemerintah, yudikatif serta masyarakat itu
terlibat secara langsung dalam proses pendidikan hukum bagi masyarakat. Media televisi
menjadi media yang efektif untuk memberikan pembelajaran hukum kepada masyarakat.
Sebagai perbandingan bahwa tulisan Rawls (1995) tentang teori keadilan, dimana Rawl
dapat memberikan spirit bagi kalangan pemerhati hukum, bahwa untuk mencapai keadilan dalam
penyelenggaraan hukum harus terbebas dari kepentingan baik kepentingan politik dan dari sisi
kekeluargaan serta dari sisi kepentingan usaha. Dalam realitasnya tiga masalah klasik ini yang
dapat memporak-porandakan penyelenggaraan hukum dinegara-negara berkembang seperti
halnya Indonesia. Sesungguhnya, apa yang dikakatan oleh Rawls tersebut menjadi pembelajaran
penting, artinya penerapan keadilan hukum sebagaimana diharapkan maka harus menjauhkannya
dari kepentingan politik, usaha dan kekeluargaan. Bila dikaitkan dengan penelitian ini, sangat
relevan, biasanya dalam proses pengurusan administrasi tertentu, bila seseorang yang memiliki
jaringan atau keluarga di lembaga pengurusan sertifikat tanah seperti dinas pertahanan maka
proses pengurusan sertifikat akan berjalan mulus bahkan lebih cepat dari apa yang seharusnya,
sebaliknya bagi orang yang tidak ada keluarga atau kenalan, jelas akan mengalami pelayanan
yang cukup birokratis serta membutuhkan waktu yang relatif lama. Intinya bahwa proses
pengurusan sertifikat sebagaimana yang diharapkan adalah untuk mencapati keadilan, maka
argumentasi Rawls di atas sangat mempengaruhi proses pengurusan sertifikat yang ada di Desa
Hulawa. Hal inipun sejalan dengan pandangan Ujan (2009) lahirnya hukum karena ada
fenomena dimasyarkat yang pantas dan patut dan diterima umum. Ujan bahkan menjelaskan hal-
hal manusiawi menjadi pertimbangan dalam hukum, dalam kasus atau pembahasan tentang
sertifikat tanah sebagaimana dalam penelitian ini, proses pengurusan sertifikat sebagaimana
tersebut bila tidak mengedepankan keadilan dalam pelaksanaannya, maka yang terjadi adalah
masyarakat tidak akan memberikan penilaian negatif terhadap pengelola Negara, karena dalam
urusan-urusan pengurusan sertifikat berjalan sesuai dengan prosedur yang sebenarnya.
Dari penjelasan teoritis tersebut di atas, maka dapatlah dilihat dalam koteks masalah
penelitian ini yakni bahwa kesadaran hukum masyarakat Desa Hulawa dalam mensertifikat hak
atas tanah miliknya sudah berjalan sebagaiman mestinya atau dapat dikatakan baik, artinya
masyarakat telah memiliki pengetahuan yang cukup terkait dengan masalah sertifikat.
Pengetahuan yang dimaksud adalah masyarakat secara umum telah menyadari bahwa keberadaan
sertifikat tanah atas kepemilikan lahan menjadi kewajiban, dan sertifikat tanah menjadi bukti dari
pemerintah bahwa bidang tanah tertentu adalah benar-benar memiliki kepemilikan sah dan resmi,
dan segala kebijakan yang akan berakibat pada hak atas kepemilikan tanah tersebut, memiliki
konsekuensi hukum sebagaimana diatur dalam UU. Hal ini berarti bahwa, bila tanah digunakan
oleh pemerintah atau pihak lain untuk kepentingan umum, maka tanah tersebut memiliki
konsekuensi hukum bagi pihak yang menggunakannya. Dan sebaliknya, bila tidak memiliki
dokumen jelas atas kepemilikan tanah, maka pemerintah berhak menggunakan kewenangannya
tanpa harus mempertimbangkan konsekunsi hukum, karena ketidak adaan sertifikat tanah
sebagai pertimbangan utama. Pada titik pengetahuan inilah yang dapat digambarkan oleh peneliti
terkait kesedaran masyarakat pada kepemilikan sertifikat tanah. Dengan demikian, masyarakat
secara umum memahami dan mengetahui dengan jelas masalah-masalah klasik tersebut,
sehingga itu keinginan untuk mengurus sertifikat resmi dari Pertahanan sangat tinggi, hal ini
terlihat dari antusiasme masyarakat terhadap hak atas kepemilikan tanah, namun karena system
dan biaya menjadi kendala utama dalam memenuhi kewajiban tersebut.
Selanjutnya untuk masalah penelitian yang berhubungan dengan bukti-bukti kepemilikan
hak atas tanah. Pada dasarnya masyarakat yang memiliki lahan atau sebidang tanah di Desa
Hulawa Kabupaten Gorontalo telah memiliki bukti kepemilikan tanah, namun bukti kepemilikan
yang dimaksud hanya bias digunakan dan diakui pada tingkat desa atau masyarakat desa, tetapi
dalam hukum pertanahan yang tidak memiliki sertifikat tanah resmi tidak mendapat pengakuan
dari pemerintah. Dalam penelitian ini, bentuk-bentuk bukti kepemilikan tanah masyarakat berupa
surat keterangan dari desa, surat keterangan warisan, putusan pengadilan, keterangan jual beli
tanah menjadi pegangan masyarkat, dan bukti-bukti tersebut dinilai telah diakui oleh pemerintah
sekalipun tidak memiliki sertifikat tanah sebagaimana yang dimaksud. Surat-surat bukti
kepemilikan tanah tersebut, bila dikaji secara administrasi, maka tingkat pengakuan administratif
kepemilikan tanah adalah hanya pada tingkat masyarakat di desa, atau dengan kata lain surat-
surat bukti kepemilikan tersebut dapat digunakan sebagai persyaratan penting dan menjadi
pelengkap dalam proses pengurusan sertifikat tanah. Oleh karena itu, dalam penelitian ini yang
menerangkan bahwa bukti-bukti kepemilikan hak atas tanah oleh masyarakat sebagaiman telah
dijelaskan tersebut, belum dapat diakui sepenuhnya oleh lembaga pertanahan atas kepemilikan
tanah, karena salah satu bentuk pengakuan kepemilikan oleh Negara adalah telah memiliki
nomor registrasi dari lembaga pertanahan. Bukti registrasi dimaksud tercantum dalam sertifikat
tanah yang dikeluarkan oleh Dinas Pertanahan setempat. Dengan demikian, bila seseorang tidak
memiliki sertifikat tanah, maka kepemilikan hak atas tanah belum di akui oleh Negara. Karena
pentingnya hal tersebut, maka peran serta pemerintah setempat baik dari Pemerintah Desa
maupun dari Dinas Pertanahan untuk terus memberikan sosialisasi kepada masyarakat atas
eksistensi sertifikat tanah bagi masyarakat yang saat ini belum memiliki sertifikat.
Terkait dengan masalah di atas, tentunya masyarakat berkeinginan untuk mengurus
sertifikat tanah dimaksud. Dalam penelitian ini, sebagaimana telah dijelaskan oleh beberapa
informan dari masyarakat bahwa masalah teknis yang dialami oleh masyarakat terkait dengan
pengurusan sertifikat tanah adalah masalah yang cukup birokratis serta membutuhkan waktu
yang lama dalam proses pengurusaanya, dan yang terpenting adalah ketidaktahuan masyarakat
atas proses pengurusan tersebut. Pernyataan-pernyataan yang rasional dari masyarakat tersebut
setidaknya memberikan gambaran bahwa proses pengurusan sertifikat membutuhkan waktu dan
tenaga. Pada tahap ini, pemerintah dan dinas yang terkait dengan itu memerlukan keikutsertaan
untuk memberikan penyadaran dan pengetahuan kepada masyarakat. Untuk mengurus satu
sertifikat, maka salah satu prosedur yang dilewati adalah bukti-bukti kepemelikan tanah
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnnya, disamping itu dinas pertanahan yang akan
melakukan pengukuran luas tanah yang menjadi objek sertifikat.
Proses teknis ini yang menjadi dilemma ditingkatan masyarakat, karena bila dinas
pertanahan melakukan pengukuran, beban psikologi dari masyarakat untuk memfasilitasi proses
pengukuran tersebut dan pasti membutuhkan biaya yang besar. Animo inilah yang secara
psikologi dirasakan oleh masyarakat. Pada tahap ini, masyarakat tidak memiliki kemampuan
untuk memfasilitasi pihak pertanahan karena keterbatasan biaya dan himpitan ekonomi sehingga
keinginan memiliki sertifikat hanya menjadi sebuah mimpi. Dan informasi itu hanya
berkembang dari tingkatan masyarakat, dan belum pernah mengurus administrasi yang
dimaksud. Kondisi ini dapat dikatakan sebagai masalah klasik dan terjadi pada masyarakat yang
memiliki keterbatasan dari sisi ekonomi, sehingga perlu keterlibatan Pemerintah Daerah dan
Pertanahan untuk terus memberikan penjelasan dan gambaran yang jelas dalam proses
pengurusan sertifikat tanah. Jadi inilah fakta lapangan yang memang selama ini menjadi titik
lemah dan ketidak berdayaan masyarakat untuk sadar hukum atas kepemilikan tanah. Disisi lain
juga, tata cara pengurusan sertifikat yang masih kabur ditingkatan masyarakat, sehingga terjadi
miss komunication antara dinas pertanahan dengan masyarakat berakibat pada ketidaksiapan
mental masyarakat untuk melalui proses pengurusan sertifikat tanah dimaksud, dan menjadi
bukti bahwa masyarakat kurang peduli atas aspek-aspek hukum, sekalipun Negara ini adalah
Negara hukum.
Top Related