BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG MEDIASI PENAL
DAN TINDAK PIDANA PENGANIYAYAAN RINGAN
2.1 Pengertian Mediasi Penal
Sebelum membahas mengenai mediasi penal maka akan dikaji pengertian
dari mediasi. Mediasi adalah proses negoisasi pemecahan masalah, dimana para
pihak yang tidak memihak bekerjasama dengan pihak yang bersengketa untuk
mencari kesepakatan bersama.1 Menurut Muzlih MZ sebagaimana dikutip
Ridwan Mansyur, mediasi merupakan suatu proses penyelesaian pihak- pihak
yang bertikai untuk mencapai untuk memuaskan pihak-pihak yang bertikai untuk
mencapai penyelesaian yang memuaskan melalui pihak ketiga yang netral
(mediator).2 Mediasi Penal dikenal dengan istilah mediation in criminal cases,
mediation in penal matters, victim offenders mediation, offender victim
arrangement (Inggris), strafbemiddeling (Belanda), der AuBergerichtliche
Tatausgleich (Jerman), de mediation penale (Perancis).3 Menurut Ms.
Toulemonde (Menteri Kehakiman Perancis) Mediasi Penal (penal mediation)
adalah “Sebagai suatu alternatif penuntutan yang memberikan kemungkinan
1Khotbul Umam, 2010, Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Penerbit Pustaka Yustisia,
Yogyakarta, hlm.10
2Ridwan Mansyur, Op.cit. hlm.137.
3 Barda Nawawi Arief, 2008, Mediasi Penal: Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan, Pustaka
Magister, Semarang, hlm.1
penyelesaian negosiasi antara pelaku tindak pidana dengan korban”.4 Sejalan
dengan itu Martin Wright mengartikan Mediasi penal sebagai;
“a process in which victim(s) and offender(s) communicate with the help of an
impartial third party, either directly (face- to-face) or indirectly via the third
party, enabling victim(s) to express their needs and feelings and offender(s) to
accept and act on their responsibilities”.5
Pengertian tersebut dapat diterjemahkan bahwa suatu proses di mana korban dan
pelaku kejahatan saling bertemu dan berkomunikasi dengan bantuan pihak ketiga
baik secara langsung atau secara tidak langsung dengan menggunakan pihak
ketiga sebagai penghubung, memudahkan korban untuk mengekspresikan apa
yang menjadi kebutuhan dan perasaannya dan juga memungkinkan pelaku
menerima dan bertanggung jawab atas perbuatannya.
Mediasi Penal merupakan dimensi baru yang dikaji dari aspek teoretis dan
praktik. Dikaji dari dimensi praktik maka mediasi penal akan berkorelasi dengan
pencapaian dunia peradilan. Seiring berjalannya waktu dimana semakin hari
terjadi peningkatan jumlah volume perkara dengan segala bentuk maupun
variasinya yang masuk ke pengadilan, sehingga konsekuensinya menjadi beban
bagi pengadilan dalam memeriksa dan memutus perkara sesuai asas peradilan
4 Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal dalam Penyelesaian sengketa di Luar Pengadilan, Makalah
yang disampaikan dalam Seminar Nasional Pertanggungjawaban Hukum korporasi dalam Konteks
Good Corporate Governance, 27 Maret 2007, hlm.1 dalam tesis I Made Agus Mahendra Iswara,2011,
Mediasi Penal Penerapan Asas-Asas Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Adat Bali,
Universitas Indonesia.
5Martin Wright dalam Marc Groenhuijsen, 1999, Victim-Offender-Mediation: Lagal And
Procedural Safeguards Experiments And Legislation In Some European Jurisdictions, Leuven, hlm. 1.
sederhana, cepat dan biaya ringan tanpa harus mengorbankan pencapaian tujuan
peradilan yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.6 Adapun ide dan
prinsip dari Mediasi Penal, adalah :7
1. Penanganan konflik (Conflict Handling/ Konfliktbearbeitung) : Tugas
mediator adalah membuat para pihak melupakan kerangka hukum dan
mendorong mereka terlibat dalam proses komunikasi. Hal ini didasarkan pada
ide, bahwa kejahatan telah menimbulkan konflik interpersonal. Konflik itulah
yang dituju oleh proses mediasi.
2. Berorientasi pada proses (Process Orientation/Prozessorientierung) :
Mediasi penal lebih berorientasi pada kualitas proses daripada hasil, yaitu
menyadarkan pelaku tindak pidana akan kesalahannya, kebutuhan-kebutuhan
konflik terpecahkan, ketenangan korban dari rasa takut dan sebagainya.
3. Proses informal (Informal Proceeding/Informalität) : Mediasi penal
merupakan suatu proses yang informal, tidak bersifat birokratis, menghindari
prosedur hukum yang ketat.
Ada partisipasi aktif dan otonom para pihak (Active and Autonomous
Participation - Parteiautonomie/Subjektivierung) : Para pihak (pelaku dan
korban) tidak dilihat sebagai objek dari prosedur hukum pidana, tetapi lebih
6Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hlm.2.
7Stefanie Tränkle, The Tension between Judicial Control and Autonomy in Victim-Offender
Media-tion - a Microsociological Study of a Paradoxical Procedure Based on Examples of the
Mediation Process in Germany and France, http://www. iuscrim.mpg.de/forsch/krim/traenkle_ e.html.
dalam tesis I Made Agus Mahendra Iswara,2011, Mediasi Penal Penerapan Asas-Asas Restoratif
Justice Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Adat Bali, Universitas Indonesia.
sebagai subjek yang mempunyai tanggungjawab pribadi dan kemampuan untuk
berbuat. Mereka diharapkan berbuat atas kehendaknya sendiri.
1.2. Pengertian Tindak Pidana Penganiayaan Ringan
Dalam pengertian hukum materiil, secara sederhana dapat dikemukakan
bahwa hukum pidana merupakan hukum yang mengatur tentang perbuatan-
perbuatan yang dilarang oleh undang- undang beserta sanksi pidana yang dapat
dijatuhkan kepada pelaku. Menurut Satochid Kartanagara bahwa hukum pidana
materiil berisikan tperaturan-peraturan tentang berikut ini: 8
1. Perbuatan yang diancan dengan hukuman (strafbare feiten) misalnya:
a. Mengambil barang milik orang lain
b. Dengan sengaja merampas barang milik orang lain
2. Siapa- siapa yang dapat dihukum atau dengan perkataan lain: mengatur
pertanggungan jawab terhadap hukum pidana
3. Hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap orang yang melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan undang- undang. Atau disebut
dengan hukum penetentair.
Sebelum menginjak pada tindak pidana penganiayaan ringan, maka
penting untuk mengetahui mngenai pidana itu sendiri. Menurut Roeslan Saleh
pidana adalah reaksi atas delik yang banyak berwujud suatu nestapa yang
8Bambang Waluyo, 2000, Pidana Dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.6
dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik. Berkaitan dengan itu R.
Soesilo sebagaimana dikutip oleh Bambang Waluyo merumuskan bahwa hukum
adalah suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan
vonis, kepada orang- orang yang melanggar.9
Sedangkan tindak pidana adalah suatu pengertian dasar dalam hukum
pidana. Istilah tindak pidana adalah salah satu istilah dalam bahasa indonesia
yang biasa dipakai untuk menterjemahkan istilah “strafbaarfeit” atau “delict”
dalam bahasa belanda. Muljatno oleh Djoko Prakoso, memberikan pengertian
bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang
dan diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
Selanjutnya dikatakan bahwa menurut wujudnya atau sifatnya, perbuatan
perbuatan pidana ini adalah perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum.
Perbuatan-perbuatan itu juga merugikan masyarakat dalam arti bertentangan
dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan di
masyarakat yang dianggap baik dana adil.10
Menurut Simon, pengertian tindak pidana adalah sebagai berikut:11
Suatu tindakan atau perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-
undang, bertentangan dengan hukum dan dilakukan dengan kesalahan oleh
seseorang yang mampu bertanggungjawab.
9Ibid, hlm.9
10
Djoko Prakoso, 1984, Tindak Pidana Penerbangan di Indonesia, Ghalia Indonesia,
Jakarta,hlm.38
11
Erdianto Effendi, 2011, Hukum Pidana Indonesia: Suatu Pengantar,PT Rafika Aditama:
Bandung, hlm. 98
Moeljatno berpendapat bahwa pengertian perbuatan pidana adalah sebagai
berikut:12
Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum disertai ancaman (sanksi)
yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan
tersebut.
Beberapa penjabaran tentang pengertian tindak pidana tersebut di atas
maka mengarahkan pada satu intisari bahwa untuk menentukan adanya suatu
tindak pidana harus ada unsur-unsur antara lain:
1. Perbuatan (manusia)
2. Yang memenuhi rumusan dalam undang- undang (syarat formil)
3. Bersifat melawan hukum (syarat materiil)13
Penganiayaan adalah istilah yang digunakan KUHP untuk tindak pidana
terhadap tubuh. Namun KUHP tidak memuat arti penganiayaan tersebut.
Penganiyaan berasal dari kata “aniaya” yang berarti perbuatan bengis. Hal
tersebut dijelaskan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang merumuskan
bahwa penganiyaan berasal dari kata aniaya yang berarti melakukan perbuatan
sewenang-wenang seperti melakukan penyiksaan dan penindasan. Berdasarkan
batasan tersebut di atas, maka penganiayaan dapat diartikan sebagai perbuatan
yang dapat mengakibatkan orang lain menderita atau merasakan sakit.14
12
Moeljatno,2009, Asas-Asas Hukum Pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta, hlm.59
13
Djoko Prakoso, Loc.cit.
14
W.J.S Poerwadarminta. 1987. Kamus Umum Bahasa Indonesia. PN Balai Pustaka, Jakarta,
hlm.249
Menurut Tirtaatmidjaja sebagaiamana dikutip oleh Leden Marpaung
menyatakan bahwa penganiayaan adalah:15
Menganiaya ialah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang
lain, akan tetapi suatu perbuatan yang menyebabkan sakit atau luka pada
orang lain tidaklah dianggap sebagai penganiayaan kalau perbuatan itu
bertujuan untuk menambah kesehatan badan.
Sementara menurut R. Soesilo memberikan penjelasan pengertian
penganiayaan sebagai berikut:16
Perasaan tidak enak misalnya mendorong terjun jatuh sekali sehingga basah,
rasa sakit misalnya mencubit, memukul, dan merampas. Luka misalnya
mengiris, memotong, merusak dengan pisau dan merusak kesehatan misalnya
orang sedang tidur dan berkeringat dibukakan kamarnya sehingga
menyebabkan ia masuk angin, kesemua ini harus dilakukan dengan sengaja
dan tidak ada maksud yang patut atau melewati batas yang diizinkan.
Andi Hamzah menjelaskan bahwa pengaiayaan adalah dengan sengaja
merusak kesehatan orang. Penganiayaan itu tidak mesti berarti melukai orang.
Membuat orang tidak bisa bicara, membuat orang lumpuh termasuk dalam
pengertian ini.17
Selanjutnya Andi Hamzah mengemukakan bahwa:18
Dengan sengaja merusak kesehatan orang. Kalau demikian, maka
penganiayaan itu tidak mesti berarti melukai orang. Membuat orang tidak bisa
bicara, membuat orang lumpuh termasuk dalam pengertian ini. Penganiayaan
15
Leden Marpaung, 2005, Asas - Teori - Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 5.
16
R.Soesilo, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal, Politea, Bogor,hlm.147
17
Andi Hamzah, 2010, Delik- Delik tertentu (Special Delicten) di dalam KUHP), Sinar Grafika,
Jakarta, hlm.69
18
Andi Hamzah, 2004, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 69.
bisa berupa pemukulan, penjebakan, pengirisan, membiarkan anak kelaparan,
memberikan zat, luka, dan cacat.
Bertolak pada ketentuan Pasal 352 KUHP, penganiayaan ringan ini ada dan
diancam dengan maksimum hukuman penjara 3 (tiga) bulan atau denda tiga ratus
rupiah apabila tidak masuk rumusan Pasal 353 KUHP dan Pasal 356 KUHP, dan
tidak menyebabkan sakit atau halangan untuk menjalankan jabatan atau
pekerjaan. Pasal 352 KUHP tidak menjelaskan secara terperinci mengenai
pengertian dan batasan suatu perbuatan bisa dikategorikan sebagai tindak pidana
penganiayaan ringan. Dalam praktek , ukuran ini adalah bahwa si korban harus
dirawat dirumah sakit atau tidak, Hukuman ini biasa ditambah dengan sepertiga
bagi orang yang melakukan penganiayaan ringan terhadap orang yang bekerja
padanya atau yang ada di bawah perintahnya. Sebagaimana dirumuskan dalam
Pasal 352 KUHP sebagai berikut:
1) - kecuali yang tersebut dalam Pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang
tidak menimbulkan penyakit atau halangan ntuk menjalankan pekerjaan
jabatan atau pencaharian, dipidana sebagai penganiayaan ringan, dengan
pidana penjara paling lama 3 bulan atau pidana penjara paling banyak
Rp.4.500,-
- pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu
terhadap orang yang beertkaj padanya atau menjadi bawahannya.
2) percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana
Dalam rumusan ayat ke-1, terdapat dua ketentuan, yakni:
a. Mengenai ancaman dan batasan pidana bagi penganiayaan ringan
b. Alasan pemberat pidana pada penganiayaan ringan
batasan penganiayaan ringan adalah penganiayaan yang:19
a. Bukan berupa penganiayaan berencana (353)
b. Bukan penganiayaan yang dilakukan :
1. terhadap ibu atau bapaknya yang sah, istri atau anaknya
2. terhadap pegamai negeri yang sedang dan/atau karena menjalankan
tugasnyya yang sah
3. dengan memasukkan bahan yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan
untuk dimakan atau diminum (356)
c. Tidak (1) menimbulkan penyakit atau (2) halangan untuk mmenjalankan
pekerjaan jabatan atau (3) pencaharian.
Tiga unsur itulah, dimana unsur b dan c terdiri dari beberapa alternatif, yang
harus dipenuhi untuk menetapkan suatu penganiayaan penganiayaan sebagai
penganiayaan ringan.
1.3. Mediasi Penal dari Pendekatan Restoratif Justice
Restoratif Justice atau keadilan restoratif adalah sebuah konsep pemikiran
yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan
pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan
19
Adam Chazawi., 2007, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hlm.22
mekanisme yang bekerja pada sitem peradilan pidana yang ada pada saat ini.20
Restoratif Justice merupakan suatu pendekataan yang muncul dalam era tahun
1960-an dalam upaya penyelesaiaan perkara pidana.21
Pada pertengahan tahun
1970-an, asas-asas tentang keadilan Restoratif dengan segala bentuk
partisipasinya seperti rekonsiliasi korban dan pelaku kejahatan telah dilakukan
oleh kelompok kecil aktivis kecil secara tersebar, personil Sistem Peradilan
Pidana dan beberapa ahli di Amerika Utara dan Eropa, yang sebenarnya secara
keseluruhan belum menampakkan dirinya sebagai gerakan reformasi yang
terorganisasi. Mereka tidak berfikir bahwa usahanya pada akhirnya akan
mempengaruhi dan mempromosikan serta menggerakan pembaharuan sosial
dalam pendekatan keadilan secara meluas dengan dampak internasional.22
Mengingat bahwa restoratif justice merupakan suatu konsep yang memiliki
banyak mekanisme dalam prakteknya sehingga masih sulit untuk ditemukan kata
sepakat di antara para ahli mengenai pengertian dari restoratif justice itu sendiri.
Namun beberapa ahli mencoba untuk memberikan definisi dari restoratif justice
antara lain sebagaimana dikutip oleh Eva Ahcjani Zulfa sebagai berikut:23
Dignan berpendapat tentang restoratif justice bahwa:
20
Eva Ahcjani Zulfa I, Op.cit. hlm.3
21
Ibid, hlm.2
22
Muladi, Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana, makalah yang disampaikan pada
Seminar Nasional “Peran Hakim dalam Meningkatkan Profesionalisme Menuju Peradilan yang
Agung”, hlm.1 dalam tesis I Made Agus Mahendra Iswara, 2011, Mediasi Penal Penerapan Asas-Asas
Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Adat Bali, Universitas Indonesia.
23
Eva Ahcjani Zulfa,Op.cit, hlm.4.
"Restoratif justice is a new framework for responding to wrongdoing and
conflick that is rapidly gaining acceptance and support by educational, legal,
social work, and counseling professionals and community groups".
Mark Umbreit memberikan pemahaman tentang restoratif justice sebagai
berikut:
"restoratif justice provides a very different framework for understanding and
responding to crime. Crime is understood as harm to individuals and
communities, rather than simply a violation of abstract laws against the state.
Those most directly affected by crime-victim, community members and
offenders-are therefore encouraged to play and active role in the justice
process. Rather than the current focus on offender punishment, restoration of
the emotional and material losses resulting from crime is far more important".
Sejalan dengan itu, Tony Marshall berpendapat sebagai berikut:
“A generraly accepted definition of restoratif justice is that of a process
whereby the parties with a stake in a particular offence come together to
resolve ccollectivelly how to deal with the aftermath of the offence and its
implications for the future”24
Keadilan restoratif dapat digambarkan sebagai suatu tanggapan kepada perilaku
kejahatan untuk memulihkan kerugian yang diderita oleh para korban kejahatan
untuk memudahkan perdamaian antara pihak-pihak saling bertentangan). dapat
24
Marshall, Loc.cit, hlm.1
diartikan secara bebas bahwa restoratif justice adalah proses dimana para pihak
yang terlibat dalam kejahatan secara bersama-sama menyelesaikan permasalahan
yang berkaitan dengan bagaimana cara menghadapi permasalahan pasca
kejahatan serta akibat-akibatnya di masa depan.25
Di Canada (Ontario) tahun 1974, gerakan terhadap keadilan Restoratif
ditandai dengan hadirnya Victim Offender Reconciliation Program (VORP),
Program ini awalnya dilaksanakan sebagai tindakan alternatif dalam menghukum
pelaku kriminal anak. Program ini menganggap pelaku akan mendapat perhatian
dan manfaat secara khusus, sehingga dapat menurunkan jumlah residivis
dikalangan pelaku anak dan jumlah pemberian ganti rugi kepada pihak korban.
Dari pelaksanaan program ini diperoleh tingkat kepuasan yang tinggi bagi korban
dan pelaku, dibandingkan penyelesaian pidana secara formal. Keberhasilan
program ini melahirkan program-program keadilan Restoratif eksperimental baik
di Amerika Utara maupun di Eropa, misal VORP di Indiana (Amerika Serikat)
dan di Inggris Tahun 1978. American Bar Association (ABA) pada tahun 1994
mendukung keberadaan mediasi antara korban dengan pelaku dan dialog di
pengadilan dan Dirumuskan pedoman penggunaannya yang bersifat sukarela.
Kemudian pada Tahun 1995 dibentuk The National Organization for Victim
Assistance) yang mempublikasikan “Restorative Community Justice : A Call to
Action” dalam bentuk monograf. Hasil yang luar biasa dari penyelesaian melalui
25
Ridwan Mansyur, Op.cit, hlm.120
pendekatan Keadilan Restoratif ini, berkembang luas keseluruh Amerika Serikat,
Australia, Afrika, Korea dan Rusia, termasuk, Dewan eropa dan Uni Eropa,
PBB.26
Dalam instrumen internasional, Deklarasi PBB tahun 2000 tentang
Prinsip-Prinsip Pokok tentang Penggunaan Prinsip-Prinsip Keadilan Restoratif
dalam Permasalahan-Permasalahan Pidana (United Nation, Basic Principles on
The Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters), telah
menganjurkan untuk mendayagunakan konsep restoratif justice secara lebih luas
pada suatu sistem peradilan pidana. Hal ini dipertegas oleh Deklarasi Wina
tentang Tindak Pidana dan Keadilan (Vienna Declaration on Crime and Justice ;
“Meeting the Challenges of The Twenty-First Century) dalam butir 27 dan 28.27
Program dari keadilan restoratif adalah program yang menggunakan
konsep keadilan restoratif dan menghasilkan tujuan dari konsep tersebut yaiitu
kesepakatan antara para pihak yang terlibat. Kesepakatan di sini adalah
kesepakatan para pihak yang didasarkan pada upaya pemenuhan kebutuhan
korban dan masyarakat ataau kerugian yang timbul dari tindak pidana yang
terjadi. kesepakatan di sini juga dapat diartikan sebagai memicu upaya proses
reintegrasi antara korban dan pelaku, oleh karenanya kesepakatan tersebut dapat
26
I Made Agus Mahendra Iswara, Ibid.
27
Ridwan Mansyur, Op.Cit, hlm.124.
berbentuk sejumlah program seperti reparasi (perbaikan) restitusi atau community
servis.28
Dalam pelaksanaan program keadilan restoratif, kegiatan yang dilakukan
harus didasarkan pada sejumlah asumsi yaitu:29
1. That the response to crime should repair as much a possible teh harm
suffered by the victim
Asumsi ini lahir dari tujuan utama pendekatan keadilan restoratif yaitu
terbukanya akses korban untuk menjadi salah satu pihak yang
menentukan penyelesaian akhir dari tindak pidana karena korban adalah
pihak yang paling dirugikan dan yang paling menderita.
2. That offender should be brought to understand that their behavior is not
acceptable and that it had some real consequences for the victim and
community
Asumsi ini berangkat dari tujuan restoratif justice untuk memunculkan
kerelaan pelaku untuk bertanggunngjawab atas tindakan yang
dilakukannya. makna kerelaan harus diartikan bahwa pelaku mampu
melakukan introspeksi diri atas apa yang telah dilakukannya dan mampu
melakukan evaluasi diri sehinga muncul akan kesadaran untuk menilai
perbuatan dengan pandangan yang benar. Pelaku digiring untuk
28
Eva Achjani Zulfa, 2011, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, CV. Lubuk Agung, bandung,
hlm.74. (selanjutnya disebut Eva Achjani Zulfa II)
29
Ibid
menyadari bahwa tindak pidana yang dilakukannya adalah suatu yang
tidak dapat diterima dalam masyarakat, merugikan korban dan pelaku
sehingga konsekwensi pertanggungjawaban yang dibebankan kepada
pelaku sebagai sesuatu yang memang seharusnya diterima dan dijalani.
3. That offender can and should accept responsibility for their action
Prinsip ini berangkat dari asumsi bahwa program penanganan tindak
pidana yang menggunakan pendekatan keadilan restoratif akan dapat
membawa pelaku ke arah kesadaran atas kesalahannya.
4. That victims should have opportunity to express their needs and to
participate in determining the best way for the offender to make
reparation
Partisipasi korban bukan hanya dalam rangka menyampaikan tuntutan
atas ganti kerugian, tapi tetapi juga mempengaruhi proses yang berjalan
termasuk pula membangkitkan kesadaran pelaku sebagaimana
dikemukakan pada asumsi kedua di atas.
5. That the commmunity has responsibility to contribute to this prosess.
Akses dalam penyelenggaraan bukan hanya milik korban atau pelaku
tetapi masyarakatpun dianggap memiliki tanggungjawab baik dalam
penyelenggaraan proses maupun pelaksanaaan proses.
Dari beberapa prinsip dasar sebagaimana diungkapkan oleh Eva Achjani
Zulfa dapat diamati bahwa dalam konsep restoratif justice, korban memiliki
peranan yang besar dalam terjadinya dialog dengan pelaku. Bukan hanya korban
namun pelaku serta masyarakat juga terlibat dalam proses dialog. Penanganan
perkara pidana dengan pendekatan restoratif justice menawarkan pandangan dan
pendekatan yang berbeda dalam menangani suatu tindak pidana. Dalam
pandangan restoratif justice makna tindak pidana pada dasarnya sama seperti
pandangan hukum pidana pada umumnya yaitu serangan terhadap individu dan
masyarakat serta hubungan kemasyarakatan. Akan tetapi dalam keadilan
restoratif, korban utama atas terjadinya suatu tindak pidana bukanlah negara,
sebagaimana yang ada dalam sistem peradilan pidana sekarang.30
Proses restorative justice dapat dilakukan dalam beberapa mekanisme
tergantung situasi dan kondisi yang ada bahkan ada yang mengkombinasikan
satu mekanisme dengan mekanisme yang lainnya. Menurut Stephenson, Giller,
dan Brown membagi bentuk keadilan Restoratif menjadi 4 (empat) bentuk, antara
lain:31
1. Victim Offender Mediation (Mediasi Penal)
Bentuk pendekatan Restorative Justice yang membentuk suatu forum yang
mendorong pertemuan antara para pihak yaitu korban, pelaku, dan pihak ketiga
(mediator) yang netral dan imparsial, yang membantu para pihak untuk
berkomunikasi satu sama lainnya dengan harapan mencapai sebuah kesepakatan.
Dalam pertemuan tersebut, korban dapat menggambarkan pengalamannya
30
Eva Achjani Zulfa I, Op.cit.hlm.3
31
Martin Stephenson, Henry Giller, dan Sally Brown, 2007, Effective Practice in Youth Justice,
Willan Publishing, Portland, hlm.163
berkaitan dengan tindak pidana yang dialaminya dan efek yang ditimbulkannya.
Pelaku menjelaskan perbuatan pidana apa dan latar belakang mengapa si pelaku
melakukan hal tersebut. Sedangkan mediator bertugas memberikan berbagai
masukan bagi tercapainya penyelesaian terbaik yang mungkin dilakukan.
Mediasi dapat dilakukan secara langsung atau secara tidak langsung (Shuttle
Mediation).
2. Restorative Conference (Conferencing)
Bentuk penyelesaian dengan model ini merupakan aplikasi keadilan
restoratif yang dikembangkan oleh Suku Maori (Selandia Baru), akan tetapi
pelaksanaannya banyak negara-negara mempergunakan aplikasi ini. Dalam
bentuk Conferencing, penyelesaian tidak hanya melibatkan pelaku dan korban
langsung saja (Primary Victim) namun juga melibatkan korban tidak langsung
(Secondary Victim), seperti keluarga, kawan dekat korban serta kerabat dari
pelaku.
3. Family Group Conference (FGC)
Model ini merupakan pengembangan dari model Conferencing, Model ini
dipergunakan dalam penanganan tindak pidana yang pelakunya anak. Fokus
penyelesaian model ini ialah upaya pemberian pelajaran atau pendidikan bagi
pelaku atas apa yang telah dilakukannya. Dimana kedua belah pihak (korban dan
pelaku) membuat sebuah action plan yang berasal dari informasi dari korban,
pelaku, dan kalangan profesional. Hal ini dilakukan dengan tujuan pencegahan
agar suatu kesalahan tidak terulang lagi.
4. Community Panels Meetings
Pertemuan yang dihadiri oleh tokoh masyarakat, pelaku, korban, dan orang
tua pelaku untuk mencapai sebuah kesepakatan perbaikan kesalahan. Tahap
penyidikan adalah tahap awal dari proses peradilan pidana. Pada tahap ini
dimungkinkan bagi penyidik untuk meneruskan atau tidak meneruskan tindak
pidana ke dalam proses peradilan pidana.32
Mediasi penal sebagai bentuk dari
prinsip-prinsip restoratif justice sangat penting dilakukan terutama dalam proses
penyidikan kepolisian dalam hal ini penyelesaian terhadap tindak pidana ringan
termasuk tindak pidana penganiyayaan ringan. Apabila mediasi penal di tingkat
penyidikan kepolisian berjalan dengan efektif, maka kasus yang masuk ke dalam
sistem peradilan pidana menjadi lebih selektif dan penyelesaian dari tindak
pidana memenuhi rasa keadilan baik bagi korban, pelaku maupun masyarakat.
2.3. Perbandingan Mediasi Penal dengan Mediasi Perdata
Telah dipaparkan pada bagian sebelumnya bahwa salah satu bentuk
aplikasi dari nilai-nilai keadilan restoratif (restoratif justice) adalah mediasi
penal. Berdasarkan Council of Europe Committee of Ministers dalam
recommendation no. R (99) 19 Of the Committee of Ministers to member states
Concerning Mediation in Penal di negara-negara eropa sebagai berikut:33
32
Agustinus Pohan, Op.cit, hlm.324 33
Agustinus Pohan, Loc.cit.
“penal mediation is any process whereby the victim and the offender are
enabled, if they freely consent, to participate actively in the resolution of
matters arising from the crime through the help of an impartial third party
(mediator)”
Dalam terjemahan bebas dapat diartikan bahwa mediasi penal merupakan
suatu proses yang memungkinkan mempertemukan korban dan pelaku tindak
pidana, jika mereka menghendakinya secara bebas untuk secara aktif
berpartisipasi dalam menyelesaikan masalah yang muncul dari kejahatan melalui
bantuan pihak ketiga yang tidak memihak atau mediator.Muzlih MZ memberikan
pandangan tentang mediasi sebagai suatu proses penyelesaian pihak-pihak yang
bertikai untuk mencapai penyelesaian yang memuaskan melalui pihak ketiga
yang netral.34
Samuel Tobing dalam Ridwan Mansyur mengungkapkan bahwa
secara umum cirri pokok mediasi dapat dilihat sebagai berikut:35
1. Proses atau metode
2. Terdapat para pihak yang relevan dan/atau perwakilannya
3. Dengan dibantu pihak ketiga, seorang mediator
4. Berusaha, melalui diskusi dan perundingan, untuk mendapatkan
keputusan
5. Yang dapat disetujui para pihak
34
Ridwan Mansyur, Op.cit, hlm.136
35
Ibid,hlm.137
Mediasi sebenarnya sudah ada di masyarakat sebagai pencerminan nilai-
nilai kepatutan dalam adat maupun agama. Sebagaimana dikutip oleh Eva
Ahcjani Zulfa bahwa dalam berbagai literatur Kutara Manawa sebagai kitab
hukum pidana yang diterapkan masa pemerintahan Majapahit. Qonun Mangkuta
Alam yang dibuat semasa peerintahan Sultan Iskandar Muda merupakaan
cerminan keberlakuan hukum adat yang kini menjadi rujukan keberlakuan
hukum adat di beberapa daerah di Indonesia.36
Dalam Kepercayaaan yang dianut
oleh Umat Hindu dinyatakan bahwa proses reinkarnasi dari seorang dalam setiap
kehidupan yang dijalaninya merupakan gambaran dari perilaku yang dibuat pada
kehidupan sebelumnya. Oleh karenanya perlu dilakukan upaya pemulihan pada
setiap dosa atau kejahataan yang terjadi untuk menghindari keburukan dalam
kehiduppan selanjutnya. Sementara konsep hukum Islam memungkinkan
pengubahaan hukuman terhadap seorang pelaku terhadap pelaku tidak
pidana(dalam hal ini pembunuhan) bila ada perdamaian dan pemaafan dari ahli
waris. Dalam pandangan Kristen, keadilan dan kebenaran dalam Injil Perjanjian
Lama merupakan terminology yang tak terpsahkan satu dengan yang lain, sama
halnya dengan istlah damai maaf dan cinta kasih yang merupakaan inti dari
ajaran Kristiani. Ajaran ini juga terdapat dalam ajaraan Budha, Thao dan
Confusian.37
36
Eva Achjani Zulfa I, Op.cit, hlm.11
37
Eva Ahcjani Zulfa I, Op.cit, hlm.13
Mediasi dalam ranah hukum perdata dapat dilihat dalam Perma No.1 tahun
2008 Pasal 1 butir 6 yaitu penyelesaian sengketa melalui proses perundindingan
para pihak yang dibantu oleh mediator. Menekankan pada kata mediator, Pasal 1
ayat 5 disebutkan bahwa mediator adalah pihak yang bersifat netral dan tidak
memihak, yang berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai
kemungkinan penyelesaian sengketa. Berdasarkan uraian di atas maka mediasi
dalam ranah hukum perdata merupakan suatu proses informal yang ditujukan
untuk memungkinkkan para pihak yang bersengketa mendiskusikan perbedaan-
perbedaan mereka secara pribadi dengan bantuan pihaak ketiga yang netral.
Pihak yang netral tersebut tugas utamanya adalah membantu para pihak
memahami pandangan pihak lainnya sehubungan dengan masalah-masalah yang
disengketak, dan selanjutnya membantu mereka melakukan penilaian yang
obyektif dari keseluruhan situasi.38
Bila dibandingkan definisi mediasi penal
dengan mediasi perdata terdapat persamaaan bahwa paraa pihak yang
mempunyai kuasa untuk menentukan pprosess dan hasil mediasi serta adanya
adanya seorang mediator yang membantu perundingan tanpa kekuasaan
memutus, namun pada mediasi penal lebih diutamakan dialog dan pemecahan
masalah bersama-sama.
Mark Umbreit dalam Fatahillah A. Syukur diungkapkan mengenai
perbandingan mediasi secara umum (perdata) dengan pendekatan mediasi penal
38
Ridwan mansyur,Op.cit, hlm.159
yang diistilahkan dengan humanistic mediation. Perbandingan hal tersebut akan
dijelaskan dalam tabel sebagai berikut :39
Tabel 4. Perbandingan Mediasi Perdata dan Mediasi Penal
Aspek Mediasi Perdata Mediasi Penal
Fokus
Utama Permasalahan dan kesepakatan Dialog dan hubungan
Persiapan
para pihak
dalam
konflik
Mediator tidak boleh
menghubungi para pihak
sebelum Mediasi dimulai.
Setidaknya sekali
pertemuan tatap muka
mediator dengan masing-
masing pihak sebelum
pertemuan bersama.
Peran Mediator
Mengarahkan dan membimbing
para pihak untuk mencapai
kesepakatan yang memuaskan.
Menyiapkan korban dan
pelaku agar mempunyai
harapan yang realistis dan
merasa cukup aman untuk
berdialog secara langsung.
Gaya Mediator
Aktif dan kadang sangat mengatur,
sering berbicara dan bertanya dalam
sesi Mediasi
Sangat tidak mengatur (Non-
directive) selama Mediasi.
Para pihak yang mengontrol
semuanya.
Menghadapi
Konteks Emosi
dalam Konflik
Toleransi yang rendah terhadap
curahan perasaan terkait latar
belakang konflik.
Mendorong curahan perasaan
dari para pihak dan
mendiskusikan latar belakang
konflik.
Jeda Hening Sedikit Banyak
Kesepakatan
Tertulis
Merupakan tujuan utama yang ingin
dicapai sebagai hasil Mediasi.
Merupakan target sekunder.
Yang primer adalah dialog dan
saling membantu.
Sumber: Fatahilllah A. Syukur
39
Fatahillah A. Syukur, 2001, Mediasi Perkara KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga): Teori
dan Praktek di Pengadilan Indonesia, Penerbit Mandar Maju, Bandung, hlm.68
Dari tabel tersebut di atas dapat diamati bahwa mediasi penal lebih
terfokus pada terciptanya dialog demi pemulihan korban, tanggungjawab pelaku
serta perbaikan kerusakan yang telah terjadi serta pemulihan hubungan sosial
aantara pelaku dan korban, sedangkan mediasi perdata lebih menekankan pada
kesepakaatan para pihak.
2.4. Penyidikan sebagai Instrument Sistem Peradilan Pidana
Menurut Mardjono Reksodipoetro sistem peradilan pidana adalah sistem
pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, dan pemasyarakatan terpidana.40
Selanjutnya Hagan dalam Romli
Artasasmita memeberikan pengertian dari criminal justice proces yaitu setiap
tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seorang tersangka ke dalam proses
yang membawanya kepada penentuan pidana baginya.41
Sebagaimana disebutkan
sebelumnya bahwa dalam sitem peradilan pidana (criminal justice siystem) terdiri
dari beberapa subsistem salah satunya adalah Kepolisian. Berjalannya sistem
peradilan pidana tidak terlepas dari interkoneksi dari keputusan-keputusan
masing-masing subsistem peradilan pidana. Kepolisian memiliki kewenangan
untuk melakukan tindakan baik itu penyidikan maupun penyelidikan.
40
Mardjono Reksodipoetro, 1993, Sistem Peradilan Pidana Indonesia: Melihat kepada Kejahatan
dan Penegakan Hukum dalam batas-Batas Toleransi, Fakultas Hukum universitas Indonesia, hlm.1
41
Romli Artasasmita, 2010, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, hlm.2
Mencermati lembaga Kepolisian, tidak terlepas dari dimensi sejarah.
Dipaparkan dalam buku Satjipto Rahardjo bahwa sejarah polisi atau lembaga
kepolisian dimulai sejak kedatangan para pedagang VOC di negeri ini pada abad
ke-16. Sejak saat itu (susunan) kepolisian mengalami penyempurnaan dari waktu
ke waktu. Dasar-dasarnya diletakkan pada masa pemerintahan Gubernur jendral
Inggris raffles. Pada tanggal 11 Februari 1814 dikeluarkan suatu “regulation”
dan peraturan tentang Tata Usaha dari Kehakiman dan Pengadilan-Pengadilan di
Jawa dan Tata Usaha Kepolisian.masing-masing peraturan tersebut menjadi dasar
dari Indische Reglement dan Reglement op de Rechtterlijk Organisatie. Perhatian
terhadap (pengorganisasian) kepolisian meningkat seiring dengan laporan tentang
meningkatnya kriminalitas di negeri ini yang terdengar sampai di negeri Belanda
dalam tahun 1904. Kepada Asisten-asisten Priester ditugaskan untuk memberikan
pemandangan dan usul tentanbg perbaikan kepolisian yang dituangkan dalam
suatu nota yang terkenal dengan “laporan Priester”.42
Demikian sejarah lembaga
kepolisian yang pada perkembangannya diberikan kewenangan untuk melakukan
fungsi penyelidikan maupun penyidikan terhadap suatu perkara.
Sebelum sampai pada tahap penyidikan, terhadap suatu perkara dimulai
dengan tahap penyelidikan. Hartono mengungkapkan bahwa penyelidikan atau
dengan kata lain sering disebut penelitian adalah lanngkah awal atau upaya
awwal untuk mengidentifikasi benar dan tidaknya suatu peristiwa pidana itu
42
Satjipto Rahardjo, 2007, Membangun Polisi Sipil: Perspektif Hukum, Sosial dan
Kemasyarakatan, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hlm.4 (Selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo II)
terjadi. dalam perkara pidana, penyelidikan atau penelitian itu adalah langkah-
lanngkah untuk melakukan penelitian berdasarkan hukum dan peraturan
perundang-undangan untuk memastikan aapakah peristiwa pidana itu benar-
benar terjadi atau tidak terjadi.43
Pasal 1 ayat 5 KUHAP menyebutkan:
"Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk dan menemukan
suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau
tidaknya dilakukan penyidikan menurut acara yang diatur dalam undang-undang
ini"
Setelah penyidikan dilakukan oleh penyelidik ditemukan hasil bahwa suatu
peristiwa merupakan suatu peristiwa pidana maka penanganan perkara
dilanjutkan pada tahap penyidikan. Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian
perkara pidana setelah penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari
ada atau tidaknya tindak pidana dalam suatu peristiwa. Ketika diketahui ada
tindak pidana terjadi, maka saat itulah penyidikan dapat dilakukan berdasarkan
hasil penyelidikan. Pada tindakan penyelidikan, penekanannya diletakkan pada
tindakan “mencari dan menemukan” suatu “peristiwa” yang dianggap atau
diduga sebagai tindakan pidana. Sedangkan pada penyidikan titik berat
penekanannya diletakkan pada tindakan “mencari serta mengumpulkan bukti”.
Penyidikan bertujuan membuat terang tindak pidana yang ditemukan dan juga
menentukan pelakunya.
43
Hartono,2010, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana, Sinar Grafika,Jakarta, hlm.18
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana Penyidikan Pasal 1 butir 2, penyidikan adalah
adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal. dan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan
bukti itu membuat terang serta mengumpulkan bukti itu membuat terang tentang
tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Berdasarkan
rumusan Pasal 1 butir 2 KUHAP, unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian
penyidikan adalah:
a. Penyidikan merupakan serangkaian tindakan yang mengandung
tindakan- tindakan yang antara satu dengan yang lain saling
berhubungan;
b. Penyidikan dilakukan oleh pejabat publik yang disebut penyidik;
c. Penyidikan dilakukan dengan berdasarkan peraturan perundang-
undangan.
d. Tujuan penyidikan ialah mencari dan mengumpulkan bukti, yang
denganbukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi, dan
menemukan tersangkanya.
Berdasarkan keempat unsur tersebut dapat disimpulkan bahwa sebelum
dilakukan penyidikan, telah diketahui adanya tindak pidana tetapi tindak pidana
itu belum terang dan belum diketahui siapa yang melakukannya. Adanya
tindak pidana yang belum terang itu diketahui dari penyelidikannya.44
Menurut M. Yahya Harapan pengertian penyidikan adalah suatu tindak lanjut
dari kegiatan penyelidikan dengan adanya persyaratan dan pembatasan yang
ketat dalam penggunaan upaya paksa setelah pengumpulan bukti permulaan yang
cukup guna membuat terang suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak
pidana.45
Dalam hal penyidik telah melakukan penyidikan sesuatu peristiwa
merupakan suatu tindak pidana, penyidik memberitahuan hal itu kepada penuntut
umum (sehari-hari dikenal dengan nama SPDP/ Surat Pemberitahuan Dimulainya
Penyidikan sesuai dengan Pasal 109 ayat (1) KUHAP). Setelah bukti-bukti
dikumpulkan dan diduga tersangka telah ditemukan, maka penyidik menilai
dengan cermat, apakah cukup bukti untuk dilimpahkan kepada penuntut umum
(kejaksaan) atau bukan merupakan tindak pidana. Jika penyidik berpendapat
bahwa peristiwa tersebut bukan mmerupakan tindak pidana maka penyidikan
dihentikan demi hukum "penghentian penyidikan" ini diberitahukan kepada
penuntu umum dan kepada tersangka/keluarganya.46
Penyidikan dalam bahasa Belanda disejajarkan dengan pengertian
opsporing. Menurut Pinto, menyidik (opsporing) berarti pemeriksaan permulaan
44
Adami Chazawi, 2005, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia,: Bayumedia
Publishing, Malang, hlm. 380.
45
M. Yahya Harahap, 2002, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika,
Jakata, hlm. 99
46
Leden Marpaung, 2009, Proses Penanganan Perkara Pidana Buku I, Sinar Grafika, Jakarta,
hal.12
oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah
mereka dengan jalan apa pun mendengar kabar yang sekadar beralasan, bahwa
ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum.47
Berdasarkan beberapa pengertian
diatas dapat diamati bahwa penyidikan merupakan suatu tahapan yang sangat
penting untuk menentukan tahap pemeriksaan yang lebih lanjut dalam proses
administrasi peradilan pidana karena apabila dalam proses penyidikan tersangka
tidak cukup bukti dalam terjadinya suatu tindak pidana yang di sangkakan maka
belum dapat dilaksanakan kegiatan penuntutan dan pemeriksaan di dalam
persidangan. Oleh karena itu kerap kali proses penyidikan yang dilakukan oleh
penyidik membutuhkan waktu yang cenderung lama, melelahkan dan mungkin
pula dapat menimbulkan beban psikis bagi pelaku.
Penyidikan mulai dapat di laksanakan sejak dikeluarkannya Surat Perintah
Penyidikan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenag dalam instansi
penyidik,di mana penyidik tersebut telah menerima laporan mengenai terjadinya
suatu peristiwa tindak pidana. Maka berdasar surat perintah tersebut penyidik
dapat melakukan tugas dan wewenagnnya dengan menggunakan taktik dan
teknik penyidikan berdasarkan KUHAP agar penyidikan dapat berjalan dengan
lancar serta dapat terkumpulnya bukti-bukti yang diperlukan dan bila telah
dimulai proses penyidikan tersebut maka penyidik harus sesegera mungkin
memberitahukan telah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum.
47
Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1,Raja Grafindo Persada, Jakarta,
hlm.118
Setelah diselesaikannya proses penyidikan maka penyidik menyerahkan
berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada penuntut umum, dimana
penuntut umum nantinya akan memeriksa kelengkapan berkas perkara tersebut
apakah sudah lengkap atau belum, bila belum maka berkas perkara tersebut akan
dikembalikan kepada penyidik untuk dilengkapi untuk dilakukan penyidikan
tambahan sesuai dengan petunjuk penuntut umum dan bila telah lengkap yang
dilihat dalam empat belas hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas
pemeriksaan atau penuntut umum telah memberitahu bahwa berkas tesebut
lengkap sebelum waktu empat belas hari maka dapat di lanjutkan prosesnya ke
persidangan.
Keberhasilan penyidikan suatu tindak pidana akan sangat mempengaruhi
berhasil tidaknya penuntutan Jaksa Penuntut Umum pada tahap pemeriksaan
sidang pengadilan nantinya. Apabila penyidikan harus dihentikan ditengah jalan
maka Undang-Undang memberikan wewenang penghentian penyidikan kepada
penyidik, yakni penyidik berwenang bertindak menghentikan penyidikan yang
telah dimulainya. Hal ini ditegaskan Pasal 109 ayat (2) KUHAP yang memberi
wewenang kepada penyidik untuk menghentikan penyidikan yang sedang
berjalan. Pasal 19 ayat (2) KUHAP berbunyi:
Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak cukup bukti atau
peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan
dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada
penuntut umum, tersangka atau keluarganya.
Dengan demikian dapat disimpulkan alasan-alasan penyidik menghentikan
penyidikan sesuai dengan Pasal 19 ayat(2) KUHAP adalah sebagai berikut:
1. Karena tidak terdapat cukup bukti;
2. Karena peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana;
3. Penyidikan dihentikan demi hukum.