6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Makna dan Representasi Sosial
Makna (meaning) dinyatakan sebagai representasi internal yaitu suatu
proses yang diawali dengan stimulus fisik dari luar kemudian mendapat respon
internal sampai akhirnya menciptakan respons yang tampak sebagai perilaku.
Makna diperoleh melalui interaksi sosial yang dialami oleh seseorang. Selain itu,
dalam pemaknaan individu terhadap suatu simbol terdapat beberapa hal yang
mempengaruhi pola pikir (pemahaman simbol) antara lain sifat alamiah individu,
pengalaman, pengetahuan, budaya, dan struktur sosial masyarakat tempat individu
tinggal (Whyte 1991 dikutip Hamzah 2008).
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan oleh para ilmuwan,
masyarakat juga mengembangkan pengetahuan mereka sendiri mengenai
fenomena atau obyek yang ada di dunia. Salah satu cara dalam menangkap
representasi mental masyarakat mengenai suatu objek adalah dengan
menggunakan teori representasi sosial yang pertama kali dikembangkan oleh
Serge Moscovici pada tahun 1963. Salah satu poin penting dalam teori
representasi sosial adalah dikajinya hubungan yang erat antara aspek subyektif
dan obyektif (Wagner & Hayes 2005 dikutip Idhamsyah et al. 2009).
Representasi sosial dapat dipahami sebagai sebuah sistem sosial yang
berfungsi ganda, seperti yang disampaikan oleh Moscovici (1973) dikutip oleh
Idhamsyah et al. (2009) sebagai berikut:
“Sebuah sistem nilai, ide dan praktik dengan 2 fungsi utama: pertama,
untuk membentuk keteraturan yang membantu manusia mengarahkan serta
7
menguasai diri mereka dalam dunia material dan sosial. Kedua, untuk
membantu agar komunikasi terjadi diantara anggota dari sebuah komunitas
dengan menyediakan kepada mereka sebuah kode untuk pertukaran sosial,
serta menamai dan mengklasifikasikan secara ambigu berbagai macam
aspek dari dunia, individu, dan sejarah kelompok (Moscovici 1973).
Definisi yang lebih sederhana disampaikan oleh Jodelet (1984) dikutip oleh
Idhamsyah et al. (2009) yang menekankan pada pikiran umum (common
knowledge) yang merupakan sebuah proses berpikir sosial yang berkembang
melalui adanya interaksi dan komunikasi yang dijelaskan sebagai berikut:
“… a specific form of knowledge –common knowledge- whose contents
show the operation of generative processes and socially marked functions. More
broadly, it refers to a form of social thinking. The social marking of contents or
processes of representations refers to conditions and contexts in which those
representation reveal themselves in communication and through which they
circulated and the fuctions thoses representations serve in interactions with the
world and with others” (Jodelet 1984 dikutip Idhamsyah et al. 2009).
Moscovici dikutip oleh Deaux dan Philogene (2001) menyatakan bahwa
representasi sosial adalah suatu proses untuk memahami suatu obyek, orang dan
peristiwa yang diperoleh dari ide-ide implisit, eksplisit dan simbol-simbol,
kemudian mengkomunikasikannya kepada individu-individu lain yang ada dalam
kelompok. Dalam representasi sosial ada sebuah informasi yang disebarkan,
kemudian pengetahuan ini menjadi sebuah pengetahuan sosial. Tujuan utama dari
proses representasi sosial adalah mengubah informasi yang unfamiliar menjadi
familiar.
8
Menurut Jost dan Ignatow (2001), representasi sosial menyajikan dinamika
sosial dan kultural yang membentuk manusia serta keyakinan bersama tentang
kenyataan yang bersifat alami secara empiris, yang sangat dinamis dan
mengabaikan pengaruh kekuasaan dalam kognisi sosial. Representasi sosial
didefinisikan sebagai shared symbolic product yang harus didefinisikan melalui
koordinasi dan kerjasama antar individual, yang mana membutuhkan pertunjukan
yang menampilkan kreasi atau adopsi dari representasi sosial yang memudahkan
pelaksanaannya dalam kelompok.
Menurut Campbell (1963) dikutip oleh Bergmann (1998) dinyatakan bahwa
representasi sosial, attitudes dan values dapat dipertimbangkan sebagai “acquired
behavioural dispositions”. Behavioural dispositions ini mengacu pada
kecenderungan untuk bertingkah laku. Disposisi perilaku ini merupakan suatu
kekuatan yang menyalurkan manusia dalam mempersepsikan,
mengkategorisasikan, mengorganisasikan atau memilih, namun memiliki
beberapa konsekuensi. Kecenderungan berperilaku yang diperoleh dalam perasaan
hampir seluruhnya adalah kecenderungan berperilaku yang telah disosialisasikan.
(Lazarsfeld, Berelson, & Gaudet 1968; Campbell, Converse, Miller, & Stokes
1964 dikutip Bergmann 1998). Oleh sebab itu, representasi sosial, attitudes dan
values secara kuat dibentuk dari sejarah masa lalu, keanggotaan dalam kelompok,
kelompok acuan, dan tergantung dari pengalaman dalam momen tertentu.
Attitudes, values dan representasi sosial secara substansi terkadang terjadi
tumpang tindih (overlap), namun terdapat perbedaan diantara ketiganya. Attitudes
merupakan pengambilan posisi ke arah sesuatu yang abstrak atau konkrit, yang
bisa saja stabil tetapi dapat sangat tergantung pada konteks tertentu. Values
9
merupakan cara, alat dan tujuan yang menunjuk pada beberapa tujuan kolektif.
Sedangkan representasi sosial adalah suatu sistem yang dapat mentransformasikan
hal yang tidak diketahui menjadi sesuatu yang dapat diketahui, yang berbeda dari
dibentuk attitude dan values, atau bisa oleh attitudes dan values (Bergmann
1998). Begitu pula Idhamsyah et al. (2009) menyatakan bahwa konteks
lingkungan berpengaruh terhadap representasi sosial.
Abric (1976) dikutip oleh Deaux dan Philogene (2001) menyatakan bahwa
representasi sosial terdiri dari beberapa elemen yakni informasi, keyakinan,
pendapat, dan sikap tentang suatu obyek. Elemen-elemen ini terorganisasi dan
terstruktur kemudian membentuk suatu sistem sosial-kognitif seseorang.
Representasi sosial terdiri dari dua bagian yaitu central core dan peripheral core.
Abric (1993) dikutip oleh Adriana (2009) menyatakan bahwa central core
ditentukan oleh beberapa hal yakni obyek itu sendiri, jenis hubungan antara obyek
tersebut dengan suatu kelompok, serta oleh nilai dan norma sosial yang meliputi
ideologi dari konteks yang ada di lingkungan pada saat itu dalam suatu kelompok
tersebut. Elemen peripheral dapat ditemukan di sekitar central core, memiliki
sifat yang konkret dan merupakan elemen yang paling dapat diakses secara
langsung. Elemen ini bersifat lebih fleksibel bila dibandingkan dengan central
core. Ketika ada informasi baru atau perubahan baru masuk dan menyatu dalam
suatu proses representasi, maka elemen ini akan dipinggirkan kehadirannya, lalu
mengartikannya kembali pada pola central yang ada, atau dengan memberinya
karakter tertentu. Hal ini dapat mendukung perkembangan dan pergerakan dari
suatu representasi.
10
Jadi, representasi sosial merupakan suatu sistem yang dapat memahami
konsep-konsep mental, lalu menciptakan suatu pemaknaan dari konsep tersebut
yang lebih dipahami bersama dalam linkungan sosial. Pemaknaan bersama ini
diperoleh melalui proses komunikasi yang terjadi dalam lingkungan sosial atau
komunitas yang terjadi secara terus-menerus.
2.2 Pengukuran Representasi Sosial
Idhamsyah et al. (2009), melakukan penelitian representasi sosial tentang
pemimpin. Representasi sosial tentang pemimpin ini diukur dengan menggunakan
teknik asosiasi kata untuk mengumpulkan data dalam bentuk kuesioner. Partisipan
diminta untuk menuliskan lima kata yang terlintas di benak mereka ketika mereka
membaca kata pemimpin. Kemudian, dari kelima kata yang telah dituliskan,
partisipan diminta untuk mengurutkannya berdasarkan kata yang paling
merepresentasikan arti pemimpin sampai kata yang dipandang paling tidak
merepresentasikan arti pemimpin. Partisipan juga diminta untuk menjelaskan arti
dan maksud asosiasi kata yang telah mereka tuliskan dalam kuesioner. Teknik
pengukuran ini dapat menjelaskan representasi mental yang ada dalam sebuah
masyarakat mengenai sebuah obyek tertentu, dalam hal ini adalah makna
pemimpin.
Pada tahap awal, dicari kata-kata apa saja yang muncul untuk memaknai
kata pemimpin untuk keperluan pengkodean. Pada tahap ini dicari seberapa
banyak kata yang digunakan partisipan pada masing-masing kelompok dan kota
untuk menggambarkan kata pemimpin untuk melihat perbedaan antar kelompok.
Selanjutnya, kata-kata yang serupa dan memiliki karakteristik yang sama
11
dikelompok-kelompokkan sampai diperoleh beberapa kategori besar. Berdasarkan
definisi yang diberikan partisipan, kata-kata tersebut kemudian dikode ulang
kedalam kategori besar tersebut untuk memperoleh klasifikasi yang lebih general.
Data diolah lebih lanjut untuk melihat frekuensi pada masing-masing kategori
besar.
2.3 Dimensi Makna Kerja Pertanian
Tjakrawati (1988) menyatakan makna kerja pertanian melalui nilai kerja.
Dalam tesisnya dinyatakan bahwa nilai sebagai konsepsi baik buruknya yang
dihayati seseorang dan sebagian besar warga masyarakat yang memberi pedoman
untuk memilih perilaku dalam menghadapi situasi tertentu. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa nilai merupakan cara pandang suatu komunitas tentang
baik atau buruknya suatu obyek yang dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakat
serta pengetahuan yang diadopsi telah masyarakat tersebut yang selanjutnya akan
mempengaruhi seseorang dalam berpikir dan bertindak. Menurut Tjakrawati
(1988), makna kerja pertanian dapat diukur dari tujuh dimensi yaitu:
1. Dimensi Lahan
Lahan bagi petani di daerah persawahan memiliki nilai ekonomis dan juga
nilai sosial. Nilai ekonomis lahan terlihat melalui usaha petani dalam
menghimpun lahan, melalui pemilikan atau penguasaan, dan mempertahankan
lahan yang telah dimilikinya. Semakin luas lahan yang dimiliki maka keuntungan
dari hasil pertanian yang diperoleh pun semakin banyak. Hal ini juga didukung
oleh Tarigan (2004), keuntungan ekonomis akan lebih banyak jika memiliki lahan
yang luas. Nilai sosial lahan dapat menunjuk status sosial seseorang. Semakin luas
12
lahan yang dimiliki seseorang maka semakin tinggi status orang tersebut di
masyarakat (Tjakrawati 1988; Amelia 2005). Hal ini juga didukung oleh Marbun
(2008), ternyata dikalangan mahasiswa Batak Toba IPB lahan juga menjadi hal
yang penting dalam pertanian karena status sosial seseorang ditentukan dari lahan
yang dimilikinya.
2. Dimensi Tenaga Kerja, Teknologi dan Hasil Kerja
Tjakrawati (1988) menyatakan bahwa dengan kemunculan teknologi dalam
pekerjaan pertanian ternyata mempersempit peluang kerja pertanian bagi
buruhtani, khususnya pemuda yang kebanyakan belum mempunyai lahan sendiri.
Sempitnya peluang usaha di sektor pertanian, menjadikan pemuda lebih memilih
untuk bekerja di luar sektor pertanian yang dirasa lebih mudah dijangkau oleh
mereka. Selain itu, mahalnya teknologi baru dapat membuat orang enggan untuk
bertani. Hal ini akan mengakibatkan minat pemuda semakin turun terhadap
pekerjaan pertanian.
3. Dimensi Modal
Petani mengartikan modal sebagai barang atau uang yang tersedia untuk
pengadaan bahan-bahan dan alat-alat yang mendukung usahataninya. Seringkali
modal menjadi hambatan utama dalam pelaksanaan pekerjaan pertanian. Apalagi
bagi mereka yang memiliki lahan sempit. Keuntungan yang diperoleh tidak
sebanding dengan modal yang telah mereka keluarkan. Tjakrawati (1988),
menegaskan bahwa terbatasnya modal bertani dapat menyebabkan orang bekerja
di sektor non-pertanian. Selain itu, dengan terbatasnya modal menyebabkan
pemuda memanfaatkan uang kredit untuk membeli keperluan bertani.
13
4. Dimensi Pasar, Komoditi dan Transportasi
Menurut Tjakrawati (1988), pasar merupakan kegiatan menjual hasil
panennya ke pedagang melalui proses pembentukan harga. Posisi petani lemah
dalam hal menentukan harga jual barang yang dimilikinya sendiri terhadap
pedagang. Hal ini menyebabkan petani berpikir lebih baik hasil panennya
disimpan dan dijual seperlunya daripada harus dijual ke tengkulak yang
merugikan mereka. Penghasilan yang tidak tetap dari pekerjaan pertanian ini
mengakibatkan banyak pemuda yang keluar dari sektor pertanian sehingga mereka
melakukan migrasi untuk mencari pekerjaan non-pertanian. Jika berbagai jenis
kesempatan kerja/berusaha non tani ada di pedesaan dan dapat dijangkau petani,
maka arus migrasi desa-kota dapat dikurangi.
5. Dimensi Pola Pekerjaan dan Pandangan terhadap Kerja
Petani menganggap jika mempunyai usaha tani dan non tani sekaligus
merupakan suatu usaha yang ideal karena keduanya saling melengkapi dalam
waktu dan pendapatan. Pekerjaan tani dianggap baik karena tidak dibayang-
bayangi untung-rugi, tidak terikat waktu, dan santai, hasil tetap ada walau ada
hama yang menyerang. Selain pekerjaan tani dianggap baik, ternyata memiliki
segi buruk pula. Segi buruk pekerjaan pertanian yaitu kepanasan, kotor berlumpur,
kehujanan, dan berat (Tjakrawati 1988; Marbun 2008).
Hal ini didukung oleh pernyataan Tarigan (2004), masyarakat Desa
Sukajembar yang menilai rendah pekerjaan pertanian. Pekerjaan ini dianggap
sebagai pekerjaan melelahkan, kuno, kolot, dan sangat bertolak belakang dengan
pekerjaan modern. Namun, secara moral pekerjaan usaha tani dianggap lebih halal
atau bersih dari keterkaitan praktek bunga dan kemungkinan praktik-praktik
14
kecurangan (Muksin 2007). Pada komunitas nelayan, Hamzah (2008) menemukan
makna kerja yang positif terhadap pekerjaan nelayan. Hal ini disebabkan dengan
bekerja sebagai nelayan mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga
mereka selama ini walaupun mereka hidup sederhana sebagai nelayan. Begitu
pula dengan penelitian yang dilakukan Gunawan (2003), masyarakat Lombe
merepresentasikan kerja menjadi tiga yakni kerja sebagai strategi bertahan hidup,
kerja sebagai upaya peningkatan pendapatan, dan kerja sebagai aktualisasi diri.
6. Dimensi Hubungan dengan Teman dan Kerabat
Keberhasilan teman/kerabat dan pengalaman baik dalam suatu bidang
pekerjaan menyebabkan petani mencoba dan mendalami suatu pekerjaan. Namun
sebaliknya, apabila melihat kegagalan yang dialami oleh teman/kerabat dan
pengalaman pahitnya, petani memilih untuk bertani karena bertani merupakan
pekerjaan yang memiliki resiko rendah (Tjakrawati 1988).
7. Dimensi Harapan-Harapan
Petani mengartikan harapan sebagai suatu keadaan yang menjadi cita-
citanya yang akan terjadi kelak dikemudian hari. Cita-cita ini dapat terwujud atau
tidak terwujud sesuai dengan takdir atau nasib yang tak bisa ditolak oleh siapapun.
Bagi petani berlahan luas, mereka mengharapkan anak-anak mereka agar bisa
bekerja di sektor pertanian mengikuti jejak orangtuanya. Akan tetapi, bagi petani
yang memiliki lahan sempit maupun tak berlahan, sangat berharap anak mereka
tidak bekerja di sektor pertanian. Mereka berharap anak mereka bekerja sebagai
guru atau pegawai kantoran (Tjakrawati 1988).
Pemahaman dan penghayatan terhadap makna pertanian menjadi relatif
terkait dengan situasi dan sudut pandang tertentu. Salah satunya ialah pendekatan
15
yang digunakan Tarigan (2004) mengajukan konsep mengenai tipologi mengenai
makna kerja pertanian, yang intinya pertanian merupakan:
1. Pekerjaan Sampingan yang Aman dan Nyaman
Bagi pemuda yang memiliki pekerjaan tetap non pertanian, menganggap
bahwa pekerjaan pertanian dapat menjadi sumber penghasilan yang potensial.
Pertanian sebagai penopang ekonomi keluarga dinilai sangat tepat, paling tidak
untuk menjaga keamanan konsumsi keluarga. Pekerjaan pertanian memiliki
beberapa sifat yang mendukung untuk diusahakan bersamaan dengan pekerjaan
lain yang sifatnya lebih terikat.
Pertama, fleksibilitas dalam pengerjaannya, yakni bisa dikerjakan pagi,
siang ataupun sore hari sehingga bagi seseorang yang bekerja sebagai pegawai
negeri, masih memungkinkan untuk mengerjakan pekerjaan pertanian. Kedua,
pekerjaan ini tidak mengharuskan pemilik mengerjakan langsung usahanya.
Paling tidak sudah memiliki lahan, penghasilan bisa diperoleh dari hasil
menyewakan lahan. Bagi pemuda yang telah memiliki pekerjaan yang tetap,
berusahatani berfungsi memperoleh produksi dan menjadi momentum untuk
menumpahkan kejenuhan dan kekesalan pada waktu bekerja. Secara psikologis
pekerjaan pertanian juga memberi rasa nyaman dan tenang karena berada di antara
masyarakat desa yang jauh dari sikap bersaing.
2. Bisnis Pendukung yang Potensial
Pandangan bahwa pertanian sebagai pekerjaan pendukung bisnis potensial
secara implisit mengandung makna bahwa proses produksinya sendiri merupakan
usaha sampingan. Namun dalam kasus ini, pekerjaan utamanya sendiri masih
bergerak dalam bidang komoditas pertanian. Oleh karena itu, motivasi memajukan
16
kedua pekerjaan ini (utama dan sampingan) berjalan secara bersamaan atau
bersifat komplementer.
3. Usaha dan Pekerjaan yang Prospektif
Pertanian yang berorientasi pada pasar dan berproduksi cepat, dipandang
sebagai peluang bisnis yang tidak kalah menguntungkan dibandingkan dengan
usaha dan pekerjaan di luar pertanian. Indikator ekonomi dipandang penting
ketika memilih pekerjaan bertani di desa. Artinya pertanian dipandang prospektif
karena dapat menghasilkan keuntungan yang lebih besar secara ekonomi di masa
depan. Pandangan ini memotivasi pemuda untuk aktif mencari dan menerapkan
inovasi baru berkaitan dengan teknik produksi dan pemasaran hasil pertanian.
4. Usaha dan Pekerjaan Hari Tua
Bagi pemuda yang memandang pekerjaan pertanian sebagai usaha dan
pekerjaan hari tua menganggap pekerjaan pertanian dinilai aman karena bisa
menghasilkan produksi yang relatif stabil terhadap gejolak politik atau kondisi
perekonomian negara, dan nyaman karena berada diantara komunitas asalnya
yang dinilai tenang, ramah, penuh rasa kekeluargaan. Oleh karena itu, pemuda
yang akan menekuni pekerjaan pertanian dihari tua akan secara rutin menabung
dari sebagian penghasilannya untuk dibelikan lahan pertanian di desa.
2.4 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Representasi Sosial
Berdasarkan penelitian Chandra (2004), Amelia (2005), Tarigan (2004), dan
Tjakrawati (1988) maka diperoleh beberapa faktor yang berhubungan dengan
makna kerja pertanian bagi pemuda tani pedesaan yang digunakan untuk
mengukur representasi sosial, antara lain:
17
1. Usia
Arti kerja pertanian pada pemuda terhadap pekerjaan pertanian terdapat dua
arti menurut golongan usia mereka. Bagi pemuda (remaja) mengartikan pekerjaan
pertanian sebagai pekerjaan sementara sebelum mereka mendapat pekerjaan yang
mereka harapkan. Sedangkan pemuda (dewasa) mempersepsikan pekerjaan
pertanian sebagai pekerjaan yang sesuai dengan usia mereka yang sudah
berkeluarga. Hal ini yang menyebabkan mereka tetap bertahan bekerja di sektor
pertanian (Chandra 2004; Amelia 2005). Hal ini dikuatkan dengan pernyataan
Tarigan (2004), semakin muda usia maka semakin negatif arti kerja pertanian bagi
pemuda pedesaan. Begitupun sebaliknya, semakin tua usia maka semakin positif
arti kerja pertanian bagi pemuda pedesaan.
2. Jenis Kelamin
Hubungan ini lebih tertuju pada persepsi masyarakat dan pemuda mengenai
karakteristik pekerjaan pertanian. Pekerjaan pertanian mempunyai ciri-ciri
diantaranya butuh tenaga kuat, dapat merusak penampilan karena ruang kerjanya
di bawah terik sinar matahari dan kotor sehingga lebih sesuai untuk kaum pria.
Wanita hanya terlibat dalam pekerjaan pemeliharaan dan proses panen. Akhirnya
pekerjaan pertanian lebih ditekuni oleh pria akibat tuntutan sebagai penanggung
jawab ekonomi keluarga (Tarigan 2004; Chandra 2004). Berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh Gunawan (2003), kinerja perempuan lebih
dominan dalam menggerakkan roda perekonomian dibandingkan dengan laki-laki
karena laki-laki lebih sering merantau ke kota. Perbedaan ini terjadi karena
perbedaan konteks budaya masing-masing daerah. Jadi, laki-laki lebih memiliki
persepsi yang positif terhadap pekerjaan pertanian dibandingkan perempuan.
18
3. Status Kepemilikan dan Luas Lahan Usahatani
Jika bekerja sebagai petani dan memiliki lahan sendiri, maka nilai statusnya
lebih tinggi karena dianggap sebagai orang yang memberi makan warga lainnya.
Semakin luas lahan yang dimiliki maka semakin positif persepsi pemuda terhadap
pekerjaan pertanian (Chandra 2004; Amelia 2005). Hal ini didukung oleh
pernyataan Tarigan (2004), bahwa semakin luas lahan yang dimiliki oleh pemuda
maka semakin positif representasi mereka terhadap pekerjaan pertanian.
4. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan merupakan faktor penentu dalam pembentukan kualitas
sumberdaya manusia. Terdapat perbedaan arti kerja antar pemuda yang
berpendidikan rendah dengan pemuda yang berpendidikan tinggi. Semakin tinggi
tingkat pendidikan maka pekerjaan pertanian semakin tidak menarik untuk
ditekuni karena sektor non-pertanian lebih menarik bagi mereka. Semakin rendah
tingkat pendidikan maka pekerjaan pertanian semakin diminati. Hal ini
disebabkan oleh kerja di bidang pertanian tidak dituntut untuk memiliki
ketrampilan khusus dan pendidikan yang tinggi (Tarigan 2004; Amelia 2005).
5. Status Perkawinan
Jika seseorang telah berkeluarga tentunya akan melakukan pekerjaan apapun
demi kelangsungan hidup keluarganya. Mereka berpikir lebih baik bekerja keras
sebagai petani daripada tidak mempunyai pekerjaan sama sekali. Selain itu,
mereka yang sudah menikah, tidak mau hidup terpisah dengan keluarganya.
Pemuda belum menikah relatif lebih mudah untuk bermigrasi sehingga
berorientasi bekerja di luar sektor pertanian (Tarigan 2004; Chandra 2004). Dapat
disimpulkan bahwa jika seseorang telah menikah maka persepsi terhadap
19
pekerjaan pertanian cenderung positif, sedangkan pemuda yang belum menikah
cenderung negatif mempersepsikan pekerjaan pertanian.
6. Sosialisasi Pekerjaan Pertanian
Sosialisasi pekerjaan pertanian dan persepsi pekerjaan pertanian mempunyai
hubungan yang positif. Semakin tinggi sosialisasi maka semakin positif persepsi
pemuda terhadap pekerjaan pertanian. Pemuda yang mendapat sosialisasi yang
tinggi akan memiliki pengetahuan (Chandra 2004; Amelia 2005). Hal ini tidak
didukung oleh pernyataan Tarigan (2004), yang menyatakan bahwa secara sadar
atau tidak sadar orangtua telah mensosialisasikan pandangan kepada anak tentang
kelelahan, kerendahan dan ketidakcerahan bekerja di pertanian. Orangtua sudah
mengalami pergeseran pandangan terhadap pekerjaan pertanian walaupun secara
faktual mereka masih hidup di dalamnya. Sebagai agen sosialisasi, orangtua
membantu mengarahkan pemuda untuk berusaha keluar dari pekerjaan pertanian.
Semakin tinggi tingkat sosialisasi maka semakin negatif representasi pemuda
terhadap pekerjaan pertanian.
7. Aspek Sosial Budaya
Nilai budaya setempat yang menganggap pekerjaan pertanian sebagai
kebiasaan turun-temurun menyebabkan sebagian pemuda desa mempunyai
persepsi positif terhadap pekerjaan pertanian. Idhamsyah et al. (2009) menyatakan
konteks sosial dapat mempengaruhi komunitas dalam merepresentasikan suatu
hal. Tjakrawati (1988), menyatakan bahwa arti kerja pertanian terkait dalam
konteks pelaku sosial memberi penilaian terhadap kerja yang terwujud dalam
perilaku sosial. Setiap komunitas memiliki budaya yang berbeda-beda sehingga
arti kerja yang ada dalam komunitas pun berbeda-beda.
20
2.5 Karakteristik Pemuda Tani
Sebagian besar pemuda tani yang ikut serta dalam pekerjaan pertanian
adalah laki-laki karena karakteristik pekerjaan pertanian relatif membutuhkan
kekuatan fisik. Sebelum menikah, anak perempuan rumahtangga petani jarang
diikutsertakan dalam pekerjaan pertanian tersebut. Perempuan biasanya mulai ikut
serta dalam pekerjaan pertanian setelah mereka menikah, karena jika bekerja
bertani sebelum menikah dianggap akan jauh dari jodoh (Muksin 2007).
Pemuda tani umumnya cenderung memiliki tingkat pendidikan rendah
karena latar belakang keluarga mereka yang serba kekurangan. Melibatkan anak
dalam proses produksi pertanian sering dipandang lebih baik menurut orangtua
mereka daripada orangtua harus mengeluarkan biaya untuk menyekolahkan anak.
Orangtua menganggap hal ini lebih menghasilkan bagi si anak itu sendiri
dibandingkan jika anak itu dibiayai sekolah (Tarigan 2004; Amelia 2005).
Angkatan kerja muda pedesaan khususnya pemuda tani, jarang yang
memiliki minat untuk bekerja di pertanian. Hal ini disebabkan karena angkatan
kerja muda tidak mau ikut dalam kerasnya kerja dalam pertanian. Pekerjaan
pertanian dipandang identik dengan kotor, perlu kerja keras, dan kelelahan
(Tarigan 2004). Pemikiran ini muncul karena mereka melihat orangtua mereka
yang kelelahan ketika bekerja, baik itu di sawah, ladang maupun kebun. Selain
itu, orangtua mereka pun tidak mengharapkan anak-anak mereka menjadi pekerja
pertanian karena mereka ingin anak-anaknya dapat hidup lebih baik daripada
orangtuanya (Arwani 2001).
Pemuda tani saat ini cenderung memilih pekerjaan di luar sektor pertanian,
seperti menjadi buruh bangunan, supir/tukang ojek (Anwar 2000). Namun, tidak
21
sedikit pula yang membantu orangtua mereka di lahan pertanian atau menjadi
buruh tani sebelum mendapat pekerjaan lain (Chandra 2004). Pemuda tani
cenderung berpikir untuk bekerja di lahan pertanian hanya apabila tidak mendapat
pekerjaan lain di kota. Pekerjaan pertanian dengan kata lain menjadi pilihan
terakhir bagi Pemuda tani jika tidak mempunyai pekerjaan lain.
2.6 Pertanian di Indonesia
Pembangunan pertanian seringkali diperbincangkan dalam setiap wacana.
Akan tetapi, dalam kenyataannya, pemberdayaan petani seringkali terabaikan oleh
berbagai pihak. Sektor pertanian yang ada saat ini masih didominasi oleh usaha
pertanian yang masih berskala kecil, memiliki modal yang terbatas, teknologi
yang digunakan pun masih sederhana, sangat dipengaruhi oleh musim, dan
umumnya hasil produksinya dipasarkan pada tingkat lokal. Tentunya, hal ini
terkait dengan masih lemahnya kelembagaan usaha dan kelembagaan petani yang
ada di Indonesia. Adapun yang terjadi saat ini pemasaran hasil produksi pertanian
dikuasai oleh kelompok usaha yang besar, yang tentunya hal ini sangat merugikan
petani (Antara 2007).
Pertanian di Jawa Barat2
Provinsi Jawa Barat, merupakan salah satu wilayah yang mempunyai
potensi sumberdaya alam sangat besar, terutama potensi sumberdaya di sektor
pertanian. Hal ini sebenarnya dapat memberikan dukungan dalam mempercepat
2 Kastaman et al.. 2007. Model Optimasi Pola Tanam pada Lahan Kering Di Desa Sarimukti Kecamatan Pasirwangi Kabupaten Garut. http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/no.13%20jurnal-ftip-roni%20vol.1%20no.1-2007.pdf. Diakses tanggal 26 Agustus 2009.
22
pengembangan pembangunan perekonomian Jawa Barat, akan tetapi belum semua
potensi yang dimiliki dapat dikelola secara optimal. Salah satu potensi
sumberdaya yang belum digali secara optimal adalah potensi sumberdaya lahan
kering. Provinsi Jawa Barat mempunyai luas lahan kering 3.214.484 hektar,
sampai saat ini produkrtivitas usahataninya masih rendah3.
Jawa Barat adalah salah satu kawasan yang masyarakatnya masih hidup dari
sektor pertanian. Produk Domestik Bruto Regional Jawa Barat tahun 2001 untuk
sektor pertanian tersebut sebesar Rp30.987.578 juta (16.04 persen) dan tahun
2002 sebesar Rp33.391.149 juta (15,6 persen) (BPS 2002). Nilai tersebut masih
cukup besar dibandingkan sektor lain seperti perdagangan dan jasa. Hal ini
menunjukkan bahwa pertanian masih memiliki peran yang besar dalam
pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat.
Wilayah Jawa Barat yang menjadi sentra pengembangan tanaman pangan
lahan kering yaitu wilayah dataran tinggi bagian tengah Jawa Barat. Salah satu
daerah sentra pertanian tersebut yaitu Kabupaten Garut. Berdasarkan Rencana
Tata Ruang Wilayah Kabupaten Garut (2001) pengembangan pertanian tanaman
pangan lahan kering akan dikembangkan pada seluruh bagian wilayah kecamatan
di Kab. Garut kecuali Kecamatan Leuwigoong dan Kecamatan Banyuresmi yang
peruntukannya hanya untuk lahan sawah. Hal ini sesuai dengan luas penggunaan
lahan kering di Kabupaten Garut sebesar 108.648 hektar yang lebih banyak dari
lahan sawah dengan luas hanya 49.477 hektar (BPS 2003).
3 (www. jabar. litbang. deptan. go.id)
23
Keberhasilan pengembangan pertanian tanaman pangan lahan kering
tersebut tidak hanya melibatkan instansi terkait sebagai perumus kebijakan tetapi
juga petani sebagai pelaksana kegiatan pertanian. Nilai Produk Domestik Bruto
(NPDB) sektor pertanian yang cukup besar seharusnya juga diimbangi dengan
peningkatan kesejahteraan petani sebagai pelaksana kegiatan pertanian, tetapi
pada kenyataannya pendapatan yang diperoleh oleh para petani masih rendah.
Konteks Pertanian Lahan Kering
Lahan (tanah) merupakan bagian dari ruang sehingga pemanfaatan lahan
harus sesuai dengan perencanaan tata ruang. Yang dimaksud dengan pemanfaatan
lahan merupakan penggunaan lahan pada fungsi waktu tertentu. Penggunaan lahan
merupakan suatu keadaan dimana suatu areal lahan ditempati oleh vegetasi,
bangunan, atau objek/ kegiatan lain, baik yang ditata maupun yang tidak ditata
(Beny 2007).
Ciri-ciri usahatani lahan kering antara lain produktivitas yang sangat rendah;
tanaman yang ditanam adalah jagung, padi ladang, ubi-ubian dan kacang-
kacangan (umumnya jagung merupakan tanaman utama); mixed cropping sebagai
strategi antisipasi gagal panen; teknologi berasaskan low input; budidaya yang
tradisional (manual); penguasaan lahan yang terbatas karena kendala tenaga kerja;
serta cenderung menerapkan ladang berpindah yang berotasi sebagai upaya
penyembuhan lahan secara tradisional (Basuki 2005 dan Notohadiprawiro 1989
dikutip Beny 2007).
Komplikasi antara dari sifat alamiah kondisi biofisik wilayah serta keadaan
usahatani yang telah disebutkan, maka profil usahatani lahan kering dapat
disebutkan sebagai berikut: menanam pada lahan-lahan miring yang rentan
24
terhadap kualitas tanah; persiapan lahan yang didahului dengan pembakaran lahan
atau istilah lokal kono; menanam tanpa olah tanah; sering mengalami gagal panen
akibat kekeringan; musim tanam hanya sekali setahun (antara bulan Desember
dan Maret); serta menggunakan varietas lokal secara turun-temurun (Beny 2007).
Tabel 1. Luas dan penyebaran lahan kering di dataran rendah dan tinggi (hektar), di Indonesia, tahun 2002
Pulau Dataran rendah Dataran tinggi Jumlah
Sumatera 23.122.300 10.172.700 33.295.000
Jawa 7.844.600 2.902.400 10.747.000
Bali+NT 3.261.900 3.476.100 6.738.000
Kalimantan 29.784.600 12.688.400 42.473.000
Sulawesi 6.879.600 8.937.400 15.817.000
Maluku+Irja 16.400.700 18.474.300 34.875.000
Indonesia 87.293.700 56.651.300 143.945.000
Sumber: Hidayat dan Mulyani (2002) dikutip oleh Nursyamsi (2004)
Pengembangan pertanian lahan kering seringkali menghadapi berbagai
kendala, seperti fisik, kimia dan biologi tanah serta ketersediaan air, yang
semuanya menyebabkan produktivitasnya sangat rendah. Di daerah transmigrasi,
sering dijumpai lahan kering yang telah dibuka dan dikembangkan untuk lahan
pertanian kondisi tanahnya sangat memprihatinkan. Produktivitas tanah sangat
rendah yang dicerminkan oleh indeks pertanaman (IP) palawija sekitar 0,27-0,83
dengan hasil atau produksi yang sangat rendah pula (Amien 1999 dikutip
Nursyamsi 2004).
Rata-rata produktivitas beberapa tanaman pangan di lahan kering masih
rendah atau masih jauh lebih rendah daripada potensi produksinya. Produksi
jagung yang relatif tinggi dijumpai di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi, masing-
masing sebesar 2,77 ton/hektar, 2,59 ton/hektar, dan 2,50 ton/hektar, sedangkan di
tempat lainnya (Bali, NTT, Kalimantan, Maluku, dan Irian Jaya) sangat rendah
25
berkisar antara 1,40 – 2,09 ton/ hektar. Produksi kacang tanah dan kedelai relatif
sama yakni masing-masing berkisar antara 0,95 – 1,09 ton/ hektar dan 1,09 – 1,23
ton/ hektar. Demikian pula produksi ubi kayu dan ubi jalar relatif rendah, masing-
masing berkisar antara 9,6 – 13,3 ton/hektar dan 8,0 – 10,9 ton/ hektar (lihat Tabel
2). Dengan penerapan teknologi yang sesuai maka produksi tanaman dapat
ditingkatkan hingga mendekati potensi produksinya. Dengan demikian maka
peluang untuk meningkatkan produksi tanaman pangan di lahan kering melalui
penerapan teknologi yang tepat cukup besar.
Tabel 2. Rata-rata hasil beberapa komoditas tanaman pangan di lahan kering(ton/hektar), di Indonesia, tahun 1998
Pulau Jagung Kc. tanah Kedelai Ubi kayu Ubi jalar
Bali+NTT 2,77 1,06 1,25 13,3 10,9
Jawa 2,09 1,09 1,09 9,6 9,0
Kalimantan 1,57 1,12 1,08 11,9 8,0
Sulawesi 2,50 1,09 1,23 10,8 8,3
Maluku+Irja 1,40 0,95 1,09 11,3 8,7
Sumatera 2,59 1,06 1,12 11,4 9,0
Sumber : BPS (1998)
2.7 Komposisi Usia Tenaga Kerja Pertanian
Menurut Maulana et al. (2007), komposisi usia pekerja pertanian saat ini
telah mengalami pergeseran. Hal ini ditunjukan dari data BPS tahun 1982-2003
(lihat Tabel 3), yakni pada tahun 1982, jumlah pekerja pertanian masih didominasi
oleh pekerja usia dibawah 30 tahun yaitu sebesar 38 persen, sedangkan pekerja
usia 30-44 tahun sebesar 32 persen dan 45-59 tahun sebesar 22 persen. Akan
tetapi, pada tahun 2003, terjadi perubahan komposisi, pekerja pertanian usia
dibawah 30 tahun semakin menurun dan pekerja usia di atas 30 tahun semakin
meningkat.
26
Selama kurun waktu 1982 - 2003, terjadi perubahan komposisi, dari
dominasi pekerja usia di bawah 30 tahun menjadi dominasi usia di atas 30 tahun.
Fenomena ini, diakibatkan minat pemuda pada sektor pertanian mulai menurun.
Pemuda lebih tertarik untuk bekerja di luar sektor pertanian. Bagi mereka yang
berusia di atas 30 tahun masih tetap setia terhadap pekerjaan pertanian karena
mereka masih merasa mampu untuk mengolah lahan pertaniannya.
Tabel 3. Jumlah Pekerja di Wilayah Pedesaan dan Perkotaan di Indonesia Berdasarkan Golongan Umur (Orang), 1982 – 2003.
Sektor/Gol. Umur 1982 1990 2000 2001 2002 2003
10 – 29 12.012.555 14.874.087 11.470.393 10.761.816 10.664.176 11.099.423
30 – 44 9.988.064 13.143.187 14.053.075 14.448.223 14.608.302 15.267.839
45 – 59 7.216.091 9.498.944 9.949.160 9.921.730 10.485.245 10.600.637
60 + 2.376.604 3.728.794 5.073.225 4.612.139 4.875.904 5.033.538
T o t a l 31.593.314 41.245.012 40.545.853 39.743.908 40.633.627 42.001.437
Sumber : BPS (diolah) dikutip Maulana et al. (2007)
2.8 Peluang Kerja Sektor Pertanian di Indonesia
Sektor pertanian tentunya memberikan peluang pekerjaan bagi pemuda
pedesaan. Terutama jika sektor pertanian menjadi suatu andalan penopang
perekonomian suatu desa. Sektor pertanian tidak hanya sebatas pertanian padi
sawah. Akan tetapi juga termasuk perkebunan, peternakan, perikanan, dan sektor
pertanian lainnya. Dalam penelitian Amelia (2005) di Desa Purasari tampak ada
beragam usaha pertanian diantaranya usaha pertanian sawah, hortikultura,
peternakan ayam, usaha kerajinan hasil hutan, usaha gula aren, dan penanaman
cengkeh. Usaha peternakan ayam merupakan usaha baru yang memberikan hasil
yang cukup berarti bagi pemilik peternakan dan bagi masyarakat Desa Purasari
27
secara keseluruhan. Usaha ini memberikan peluang bekerja yang cukup besar bagi
masyarakat desa, khususnya bagi pemuda.
Selain usahatani dan buruhtani, terdapat beberapa aktivitas perekonomian
sebagai sumber pendapatan masyarakat, diantaranya berdagang kebutuhan sehari-
hari, tengkulak hasil pertanian, industri pengolahan teh dan pembuatan gula aren,
serta sebagai jasa angkutan (Tarigan 2004). Terlihat bahwa peluang pekerjaan
pemuda di sektor pertanian tidak hanya di pertanian padi sawah. Akan tetapi,
pemuda berpeluang di sektor pertanian lainnya.
Gunawan (2003) menyebutkan bahwa di Lombe jenis pekerjaan utama
masyarakat yaitu sebagai petani, pekebun, peternak dan nelayan. Sedangkan untuk
perempuan Lombe, pekerjaan utama mereka adalah usaha pengkacipan mente.
Hamzah (2008) menyatakan bahwa di Desa Lagasa, jenis pekerjaan utama
masyarakat yaitu sebagai nelayan dan menangkap ikan. Chandra (2004) dan
Amelia (2005) menyebutkan bahwa sebagian besar pemuda di pedesaan bekerja
sebagai buruhtani. Hal ini disebabkan mereka belum mempunyai modal untuk
membeli lahan sendiri. Kalaupun ada pemuda yang memiliki lahan itu berasal dari
warisan orangtuanya terdahulu.
Kerangka Pemikiran
Representasi sosial tentang pertanian pada pemuda tani adalah sejumlah
pencitraan (image), opini, penilaian, dan keyakinan umum mengenai pertanian.
Representasi sosial diartikan sebagai pemahaman bersama tentang suatu hal pada
komunitas tertentu yang di dalamnya terdiri dari informasi, keyakinan, dan opini.
28
Saat ini minat angkatan kerja muda pedesaan terhadap pekerjaan pertanian
mulai menurun. Hal ini terkait dengan bagaimana mereka merepresentasikan
pertanian yang tentunya dipengaruhi banyak faktor. Faktor-faktor yang terkait
dengan representasi sosial antara lain adalah (i) karakteristik individu pemuda
tani, (ii) konteks pertanian di lahan kering, (iii) sosialisasi pekerjaan pertanian,
serta (iv) intensitas keikutsertaan angkatan kerja muda dalam pertanian.
Representasi sosial tentang pertanian pada pemuda tani ini berhubungan
dengan karakteristik individu yang meliputi (i) usia (diduga semakin muda usia
pemuda maka cenderung negatif representasi pemuda terhadap pertanian), (ii)
jenis kelamin (diduga laki-laki cenderung memiliki representasi yang positif
terhadap pertanian), (iii) tingkat pendidikan (diduga semakin tinggi tingkat
pendidikan maka representasi yang dimiliki cenderung negatif terhadap
pertanian), (iv) status perkawinan (diduga pemuda yang telah menikah cenderung
memiliki representasi yang positif terhadap pertanian), (v) status kepemilikan
lahan (diduga status kepemilikan lahan sebagai pemilik cenderung memiliki
representasi yang positif terhadap pertanian) dan (vi) luas penguasaan lahan
(diduga semakin luas lahan yang dikuasai cenderung memiliki representasi yang
positif terhadap pertanian). Selain karakteristik individu, representasi sosial
pemuda tani juga berhubungan dengan konteks pertanian yang ada di lokasi
mereka yaitu pertanian lahan kering. Kondisi pertanian yang ingin dilihat yaitu (i)
komposisi usia tenaga kerja pertanian, (ii) peluang kerja sektor pertanian serta (iii)
bentuk aspek sosial budaya setempat (diduga konteks pertanian lahan kering
berhubungan dengan representasi sosial pemuda tani).
29
Sosialisasi dalam aktivitas pertanian tentunya juga berhubungan dengan
representasi sosial tentang pertanian (diduga semakin tinggi tingkat sosialisasi
dalam aktivitas pertanian, pemuda tani cenderung memiliki representasi yang
positif terhadap pertanian. Hal ini dapat dilihat dari (i) pengajaran cara bertani
yang biasa dilakukan oleh keluarga ataupun kerabat yang dekat dengan pemuda
tani dan (ii) awal usia ketika diberikan pengajaran. Keikutsertaan dalam pertanian
dapat dilihat dari (i) jumlah aktivitas pertanian yang sering dilakukan oleh pemuda
tani dan (ii) frekuensi keikutsertaan dalam pekerjaan pertanian. Kedua hal tersebut
tentunya dapat terjadi melalui interaksi dan komunikasi yang terjadi dalam
komunitas khususnya di pertanian lahan kering.
Secara sederhana penjelasan di atas dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Operasional
Karakteristik Individu Pemuda Tani
1. Peluang Kerja Sektor Pertanian
2. Aspek Sosial dan Budaya
Representasi Sosial • Pertanian • Pekerjaan Tani • Petani • Lahan • Lahan Kering
1. Usia 2. Jenis Kelamin 3. Tingkat Pendidikan 4. Status Perkawinan 5. Status Kepemilikan Lahan 6. Luas Penguasaan Lahan
Konteks Pertanian Lahan Kering
Intensitas Keikutsertaan dalam Pertanian: 1. Jumlah aktivitas yang
dilakukan 2. Frekuensi keikutsertaan dalam
aktivitas pertanian
Sosialisasi dalam aktivitas pertanian: 1.Pengajaran cara bertani 2.Usia ketika diajarkan
Keterangan: Berhubungan
30
Dengan demikian representasi sosial ini sebenarnya memperkenalkan suatu
sintesis antara interaksi individu dengan lingkungan sosialnya. Dalam teori ini
suatu komunitas dipandang bisa saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya.
Hal tersebut sebagai dasar bagi munculnya pemaknaan bersama tentang suatu
obyek tertentu yang mempengaruhi pemikiran atau pandangan individu
berdasarkan makna bersama dalam suatu komunitas. Representasi sosial yang
telah terbentuk akan menjadi penuntun dalam bertingkah laku.
Hipotesa Penelitian
1. Diduga karakteristik individu pemuda tani berhubungan dengan representasi
sosial.
2. Diduga sosialisasi nilai pertanian dalam pertanian berhubungan dengan
representasi sosial.
3. Diduga intensitas keikutsertaan pemuda tani dalam aktivitas pertanian
berhubungan dengan representasi sosial.
Definisi Operasional
1. Representasi sosial pertanian pada pemuda tani didefinisikan sebagai
sejumlah opini, penilaian, dan keyakinan umum tentang pekerjaan pertanian
yang ada pada pemuda tani di pedesaan yang diperoleh dari ide-ide implisit,
eksplisit dan simbol-simbol, kemudian mengkomunikasikannya kepada
individu-individu lain yang ada dalam kelompok. Representasi sosial diukur
dengan melihat dua dimensi yakni dimensi pola pekerjaan dan
pandangan terhadap pekerjaan dan dimensi lahan Untuk mengetahui
representasi sosial tentang pertanian pada pemuda tani dilihat dari frekuensi
kumulatif kategori yang telah digeneralisasi dari kata-kata yang telah
31
terkumpul dari metode asosiasi kata. Kata-kata tersebut antara lain kata
Pertanian, Pekerjaan Tani, Petani, Lahan, Dan Lahan Kering.
2. Pekerjaan pertanian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kegiatan
proses produksi komoditas pertanian, atau sebagai seluruh kegiatan yang
berhubungan langsung dengan proses pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya alam pertanian yang terdapat di Desa Pasawahan. Misalnya
kegiatan menanam padi di sawah, menanam berbagai tanaman hortikultura
serta menanam tanaman pertanian di ladang kering (tanaman kopi, coklat,
albasia,dll).
3. Petani adalah orang yang mata pencaharian utama atau sampingan berasal
dari pekerjaan dan usaha pertanian.
4. Pemuda tani adalah anak (laki-laki dan perempuan) yang berasal dari
rumahtangga petani baik yang mengolah lahan pertanian sendiri ataupun
menyewa/menggarap lahan orang lain, bertempat tinggal di desa pada saat
penelitian berlangsung dengan usia antara 16 sampai 25 tahun.
5. Usia pemuda tani adalah jumlah tahun hidup responden dari sejak lahir
sampai dengan saat dilakukannya penelitian. Dikategorikan menjadi:
a. Usia 16 - 20 tahun
b. Usia 21 - 25 tahun
6. Jenis kelamin adalah pembedaan fisik responden, dikategorikan menjadi:
a. Laki-laki
b. Perempuan
32
7. Tingkat pendidikan akhir adalah kondisi yang menggambarkan tingkat
pendidikan formal akhir yang pernah ditempuh oleh responden,
dikategorikan menjadi:
a. Tidak Tamat SD
b. Tamat SD
c. Tamat SMP
d. Tamat SMA
8. Status perkawinan adalah status pernikahan responden pada saat dilakukan
penelitian, dikategorikan menjadi:
a. Belum Menikah
b. Menikah
9. Jenis pekerjaan utama orangtua adalah aktivitas utama yang dilakukan
dalam satu bulan terakhir.
Untuk ayah, dikategorikan menjadi:
a. Petani
b. Buruhtani
c. Dagang
d. Pegawai Desa
Untuk ibu, dikategorikan menjadi:
a. Petani
b. Buruhtani
c. Ibu Rumahtangga
33
d. Dagang
10. Jenis pekerjaan sampingan orangtua adalah aktivitas sampingan yang
dilakukan untuk memperoleh penghasilan tambahan dalam satu bulan
terakhir.
Untuk ayah, dikategorikan menjadi:
a. Tidak ada sampingan
b. Petani
c. Dagang
d. Lainnya
Untuk ibu, dikategorikan menjadi:
a. Tidak ada sampingan
b. Petani
c. Dagang
d. Lainnya
11. Status kepemilikan lahan adalah areal atau lahan yang dimiliki ataupun
dikelola responden baik yang digunakan untuk pertanian ataupun non-
pertanian. Status kepemilikan lahan dapat dikategorikan menjadi:
a. Pemilik
b. Pemilik dan Penggarap
c. Penggarap
d. Sewa/Gadai
34
12. Luas penguasaan lahan adalah jumlah hamparan tanah (dalam hektar)
yang dikuasai oleh orangtua yang dimanfaatkan dalam berusahatani
Dikategorikan menjadi:
a. Kurang dari 0,25 hektar
b. 0,25 - < 0,50 hektar
c. 0,50 - < 1,00 hektar
d. Lebih dari 1,0 hektar
13. Sosialisasi pekerjaan tani adalah nilai-nilai yang ditanamkan oleh orangtua
ataupun kerabat lainnya, melalui pengenalan terhadap lingkungan pertanian,
serta pengajaran cara bertani. Hal ini dapat dilihat dari waktu pertama kali
ke lahan pertanian, orang yang mengajak ke lahan pertanian pertama kali,
hal-hal yang dilakukan di lahan pertanian pertama kali, pernah diajarkan
cara bertani, usia berapa diajarkan bertani, siapa yang mengajarkan bertani,
serta keikutsertaan dalam penyuluhan pertanian dan frekuensi
keikutsertaan penyuluhan.
Pertama kali ke lahan pertanian, dikategorikan menjadi:
a. Kurang dari usia 5 tahun (skor=3)
b. Usia 6-12 tahun (skor=2)
c. Lebih dari usia 12 tahun (skor=1)
Orang yang mengajak ke lahan pertanian pertama kali, dikategorikan
menjadi:
a. Orangtua (skor=2)
b. Kerabat (skor=1)
35
Hal yang dilakukan di lahan pertanian pertama kali, dikategorikan menjadi:
a. Menemani orangtua dan bermain (skor=1)
b. Ikut serta dan belajar bertani (skor=2)
Pernah diajarkan cara bertani, dikategorikan menjadi:
a. Tidak pernah (skor=1)
b. Pernah (skor=2)
Awal usia diajarkan cara bertani, dikategorikan menjadi:
a. Usia 5-10 tahun (skor=3)
b. Usia 11-15 tahun (skor=2)
c. Usia lebih dari 15 tahun (skor=1)
14. Intensitas keikutsertaan pemuda tani dalam aktivitas pertanian adalah
banyaknya frekuensi keikutsertaan pemuda tani dalam pekerjaan pertanian
untuk membantu pekerjaan orangtua menggarap lahan. Aktivitas pertanian
tersebut antara lain persiapan lahan, pembibitan, penanaman, penyiangan
gulma, pemupukan, penggantian bibit mati, penyemprotan pestisida, panen
dan memasarkan hasil panen. Hal ini diidentifikasi dengan jumlah aktivitas
pertanian yang sering diikuti serta frekuensi keikutsertaan dalam pekerjaan
pertanian.
Jumlah aktivitas yang diikuti, dikategorikan menjadi:
a. < 3 aktivitas (skor=1)
b. 3-6 aktivitas (skor=2)
c. > 6 aktivitas (skor= 3)
36
Frekuensi keikutsertaan dalam pekerjaan tani dikategorikan menjadi:
a. Jarang (skor=1)
b. Sepanjang musim (skor=2)
c. Jika dibutuhkan (skor=3)
d. Sering (skor=4)
Top Related