8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sectio caesarea
2.1.1. Definisi
Sectio caesarea adalah persalinan melalui sayatan pada dinding abdomen
dan uterus yang masih utuh dengan berat janin lebih dai 1000 garm atau umur
kemamilan > 28 minggu (Manuaba, 2012). Sectio caesarea merupakan tindakan
melahirkan bayi melalui insisi (membuat sayatan) didepan uterus. Sectio caesarea
merupakan metode yang paling umum untuk melahirkan bayi, tetapi masih
merupakan prosedur operasi besar, dilakukan pada ibu dalam keadaan sadar
kecuali dalam keadaan darurat (Hartono, 2014). Persalinan melalui sectio
caesarea (SC) didefinisikan sebagai pelahiran janin melalui insisi didinding
abdomen (laparatomi) dan dinding uterus (histerotomi) (Norman, 2012)
2.1.2. Indikasi Sectio caesarea
Beberapa indikasi dilakukan tindakan sectio caesarea yaitu antara lain
sebagai berikut :
a. Faktor Janin
Faktor janin merupakan tindakan operasi sesar yang dilakukan
karena kondisi janin tidak memungkinkan untuk dilakukan persalinan
normal, contohnya bayi yang terlalu besar dengan perkiraan berat lahir
9
4.000 gram. atau lebih. Kondisi tersebut jika dilakukan persalinan
normal dapat membahayakan keselamatan ibu dan janinnya. Pada
posisi sungsang berat janin lebih dari 3600 gram sudah dianggap besar
sehingga perlu dilakukan kelahiran dengan operasi sesar (Nugroho,
2012)
b. Letak Sungsang
Sekitar 3-5 % atau 3 dari 100 bayi lahir dalam posisi sungsang.
Keadaan janin sungsang terrjadi apabila letak janin didalam rahim
memanjang dengan kepala berada dibagian atas rahim, sementara
bokong berada dibagian bawah rongga rahim. Risiko bayi lahir
sungsang pada persalinan alami diperkirakan 4 kali lebih besar
dibandingkan lahir dengan letak kepala yang normal. Oleh karena itu
biasanya langkah terakhir untuk menntisipasi hal terburuk karena
persalinan yang tertahan akibat janin sungsang adalah operasi
(Heryani, 2012)
c. Letak Lintang
Kelainan lain yangsering terjadi adalah letak lintang atau miring
(oblique). Letak yang demikian menyebabkan poros janin tidak sesuai
dengan arah jalan lahir. Letak miring yang dimaksud yaitu letak kepala
pada posisi yang satu sedangkan bokong pada sisi yang lain. Pada
umumnya bokong akan berada sedikit lebih tinggi daripada kepala
janin, sementara bahu berada pada bagian atas panggul. Konon
punggung dapat berada didepan, belakang, atas maupun bawah.
Kelainan letak lintang ini hanya terjadi sebanyak 1%. Kelainin ini
biasanya ditemukan pada perut ibu yang menggantung atau karena
10
adanya kelainan bentuk rahim. Penanganan untuk kelainan letak
lintang ini juga sifatnya sangat individual . Apabila dokter
memutuskan untuk melakukan tindakan operasi, sebelumnya harus
memperhitungkan sejumlah faktor keselamatan ibu dan bayi
(Jitowiyono & Kristiyanasari, 2012)
d. Ancaman Gawat Janin (fetal distress)
Keadaan gawat janin pada tahap persalinan, memungkinkan
dokter untuk memutuskan dilakukaknnya operasi. Seperti diketahui,
sebelum lahir, janin mendapat oksigen dari ibunya melalui ari-ari dan
tali pusat. Apabila terjadi gangguan pada ari-ari akibat ibu menderita
tekanan darah tinggi atau kejang rahim, serta gangguan pada tali pusat
(akibat tali pusat terjepit antara tubuh bayi maka jatah oksigen yang
disalurkan ke bayi pun menjadi berkurang. berakibat janin akan
tercekik karena kehabisan nafas. Kondisi ini bisa menyebabkan janin
mengalami kerusakan otak, bahkan tidak jarang meninggal dalam
rahim (Liu, 2008).
e. Bayi Kembar
Pada konsidi Bayi kembar akan di lahirkan secara operasi sesar,
kelahiran kembar ini memiliki resiko terjadinya komplikasi yang lebih
tinggi dari pada kelahiran satu bayi. Misalnya, lahir prematur atau lebih
cepat dari waktunya. Sering kali terjadi preeklampsi pada ibu yang
hamil kembar karena stres. Selain itu karena bayi kembar pun dapat
mengalami sungsang sehingga sulit untuk melahirkan normal
(Manuaba, 2012)
11
f. KPD (Ketuban Pecah Dini)
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat
tanda persalinan dan ditunggu satu jam belum terjadi inpartu.
Sebagian besar ketuban pecah dini adalah hamil aterm di atas 37
minggu, sedangkan di bawah 36 minggu.
g. Faktor Ibu
1) CPD ( Chepalo Pelvik Disproportion )
Chepalo Pelvik Disproportion (CPD) adalah ukuran lingkar
panggul ibu tidak sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin
yang dapat menyebabkan ibu tidak dapat melahirkan secara
alami. Tulang-tulang panggul merupakan susunan beberapa
tulang yang membentuk rongga panggul yang merupakan jalan
yang harus dilalui oleh janin ketika akan lahir secara alami.
Bentuk panggul yang menunjukkan kelainan atau panggul
patologis juga dapat menyebabkan kesulitan dalam proses
persalinan alami sehingga harus dilakukan tindakan operasi.
Keadaan patologis tersebut menyebabkan bentuk rongga
panggul menjadi asimetris dan ukuran-ukuran bidang panggul
menjadi abnormal.
2) PEB (Pre-Eklamsi Berat)
Pre-eklamsi dan eklamsi merupakan kesatuan penyakit yang
langsung disebabkan oleh kehamilan, sebab terjadinya masih
belum jelas. Setelah perdarahan dan infeksi, pre-eklamsi dan
eklamsi merupakan penyebab kematian maternal dan perinatal
paling penting dalam ilmu kebidanan. Karena itu diagnosa dini
12
amatlah penting, yaitu mampu mengenali dan mengobati agar
tidak berlanjut menjadi eklamsi.
2.1.3. JenisSectio Cesarea
a. Insisi Abdominal
Pada dasarnya insisi ini adalah garis tengah subumbilikal dan insisi
abdominal transversa
1) Insisi Garis Tengah Subumbilikal
Insisi garis tegah subumblikal adalah operasi yang di lakukan di
bawah segmen kulit, Bekas luka tidak terlihat, terdapat banyak
ketidaknyamananan pasca operasi dan luka jahitan lebih
cenderung muncul di bandingkan dengan insisi tranversa. Insisi
garis tegah subumblikal ini lebih mudah dan cepat, dengan
pendarahan minimal (Liu, 2008). Tanpa membuka peritoneum
parietalis, dengan demikian tidak membuka kavum
abdominal.Dilakukan dengan melakukan sayatan melintang
konkat pada segmen bawah rahim low servical transversal kira-
kira 10 cm kelebihannya adalah penjahitan luka lebih mudah,
Penutupan luka dengan reperitonealisasi yang baik (Jitowiyono
& kristiyanasari 2012).
2) Insisi Tranversa
Insisi transversa merupakan jenis operasi Sectio caesarea yang
menimbulkan sedikit jahitan dan sedikit ketidaknyamanan,
memungkinkan mobilitas pasca operasi yang lebih baik. Insisi
Secara teknis lebih sulit kususnya pada operasi berulang. Insisi
13
ini lebih vaskuler dan memberikan akses yang lebih sedikit
(Manuaba, 2012). Section cesaria klasik atau korporal dengan
insisi memanjang pada korpus uteri sedangkan section cesaria
ismika atau profunda atau low cervical dengan insisi pada
segmen bawah rahim. Sectio caesarea klasik atau corporal
dengan insisi memanjang pada corpus uteri. Dilakukan dengan
membuat sayatan memanjang pada korpus uteri kira-kira 10 cm.
Kelebihannya adalah Mengeluarkan janin dengan cepat, tidak
mengakibatkan komplikasi kandung kemih tertarik, sayatan bisa
diperpanjang proksimal atau distal (Manuaba, 2012).
b. Insisi Uterus
Jalan masuk ke dalam uterus dapat melalui insisi garis tengah atau
segmen bawah tranversa
1) Sectio caesarea segmen bawah
Sectio caesarea segmen bawah adalah pendekatan yang lazim di
gunakan. Keuntungan dari Sectio Caesare segmen bawah yaitu
Lokasi tersebut meiliki sedikit pembuluh darah sehingga
kehilangan darah yang di timbulkan hanya sedikit, Mencegah
penyebaran infeksi ke rongga abdomen, merupakan bagian
uterus yang sedikit berkontraksi sehingga hanya sedikit
kemungkinan terjadinya rupture pada bekas luka di kehamilan
berikutnya. Penyembuhan lebih baik dengan komplikasi
pascaoperasi yang lebih sedikit seperti pelekatan. Kerugiannya
yaitu Lokasi uterus yang berdekatan dengan kandung kemih
14
meningkatkan resiko kerusakan kususnya pada prosedur
pengulangan, Perluasan kes sudut lateral atau belakang kandung
kemih dapat meningktakan kehilangan darah (jitowiyono &
kristiyanasari, 2012). Sectio caesarea segmen bawah yaitu dengan
melakukan sayatan mendatar. Pada jenis ini di buat sayatan kecil
melintang di bawah uterus (rahim), kemudian sayatan ini
dilebarkan degan jari-jari tangan dan berhenti di daerah
pembuluh-pembuluh darah uterus. Pada sebagian besar bayi
kasus persalinan, posisi kepala bayi terletak dibalik sayatan,
sehingga harus diekstraksi atau didorong, diikuti oleh bagian
tubuh lainnya, dan plasenta serta selaput ketuban (Liu, 2008).
2) Sectio caesarea klasik atau segmen atas
Sectio caesarea klasik adalah jenis insisi di lakukan secara vertical
di garis tengah uterus. Indikasi penggunaannya meliputi Getasi
dini dengan perkembangan buruk pada segmen bawah, Jika
akses ke segmen bawah terhalang oleh pelekatan fibroid uterus,
Jika ada karsinoma serviks (Liu, 2008). Segmen atas pada
persalinan sectio caesarea adalah pembedahan melalui
sayatanvertikal pada dinding perut (abdomen) yang leboh
dikenal dengan classical incision atau sayatan klasik. Jenis ini
memungkinkan ruangan yang lebih besar untuk jalan keluar
bayi. Operasi section caesarea jenis ini jarang digunakan untuk
tenaga kedokteran karena lebih beresiko pada kelahiran.
Seringkali diperlukan luka insisi yang lebih lebar karena bayi
sering dilahirkan dengan bokong dahulu (Liu, 2008).
15
3) Insisi Kronig-Gelhon-Beck
Insisi kronig-Gelhom-Beck ini adalah insisi garis tengah pada
segmen bawah yang di gunakan pada pelahiran premature
apabila segmen bawah terbentuk dengan buruk atau dalam
keadaan terdapatnya perluasan ke segmen uterus bagian atas
yang di lakukan untuk banyak akses. Insisi ini lebih sedikit
komplikasi dari pada sectio caesaraea secara klasik. Operasi
yang mengeluarkan janin dari cavum uteri bisa karena janin
sudah mati dan laksung dilakukan histerektomi, misalnya pada
keadaan infeksi rahim yang berat (Liu, 2008).
2.1.4. Komplikasi
a. Infeksi puerperal (nifas)
Infeksi ini berupa ringan dan berat, kenaikan suhu beberapa hari
termasuk dalam kategori ringan, sedangkan suhu yang lebih tinggi,
disertai dehidrasi dan perut sedikit kembung termasuk sedang.
kenaikan suhu yang lebih tinggi disertai dengan peritonitis , sepsis dan
ileus paralitik termasuk dalam kategori berat. Infeksi disebabkan oleh
adanya kuman atau bakteri sumber penyebab infeksi pada daerah luka.
Infeksi menyebabkan peningkatan inflamasi dan nekrosis yang
menghambat penyembuhan luka (Marmi, 2016).
b. Perdarahan
Perdarahan disebabkan karena banyak pembuluh darah yang terputus
dan terbuka, atonia uteri, perdarahan pada plasental bed. Perdarahan
primer sebagai akibat kegagalan mencapai homeostatis karena insisi
16
rahim atau akibat atonia uteri yang dapat terjadi setelah pemanjangan
masa persalinan.Sepsis setelah terjadi pembedahan, frekuensi dari
komplikasi ini lebih besar bila sectio caesaria dilaksanakan selama
persalinan atau bila terdapat infeksi dalam rahim.Luka kandung
kemih, emboli paru dan keluhan kandung kemih bila reperitonialisis
terlalu tinggi. Cidera pada sekeliling struktur usus besar, kandung
kemih yang lebar dan ureter. Hematuri singkat dapat terjadi akibat
terlalu antusias dalam menggunakan regaktor di daerah dinding
kandung kemih (Jitowiyono & Kristyanasari, 2012)
c. Komplikasi yang timbul pada eklampsia
Komplikasi tergantung derajat pre eklampsia atau eklampsia antara
lain Antonia uteri, Sindom HELLP (Hemolysis, Elevated Livr
Enzimes, Low Platelet Count), ablasi retina, KID (Koagulasi
Intravaskuler Diseminata), Gagal gijal, Perdarahan otak, edema paru,
gagal jantung, hingga syok dan kematian. Komplikasi pada janin
berhubungan dengan akut atau kronisnya insufisiensi uteroplasenta,
misalnya pertumbuhan janin terlambat dan prematuritas (Saputri,
2013).
d. Hipotermi
Perawatan pasien pasca bedah dapat menjadi kompleks akibat
perubahan fisiologis yang mungkin terjadi, diantaranya komplikasi
perdarahan, irama jantung tidak teratur, gangguan pernafasan,
sirkulasi, pengontrolan suhu (hipotermi), serta fungsi-fungsi vital
lainnya seperti fungsi neurologis, integritas kulit dan kondisi luka,
17
fungsi genito-urinaria, gastrointestinal, keseimbangan cairan dan
elektrolit serta rasa nyaman (Potter, 2006). Beberapa kejadian
menggingil (hipotermia) yang tidak diinginkan mungkin dialami pasien
akibat suhu yang rendah di ruang operasi, infus dengan cairan yang
dingin, inhalasi gas-gas yang dingin, kavitas atau luka terbuka pada
tubuh, aktivitas otot yang menurun, usia yang lanjut, atau agent obat-
obatan yang digunakan seperti vasodilator/fenotiasin. (Minarsih 2013)
2.1.5. Fisiologi Ibu Post Partum
Perubahan yang terjadi selama masa nifas post sectio caesarea adalah
sebagai berikut Uterus merupakan alat yang keras karena kontraksi dan reaksi
otot-ototnya. Fundus uteri 3 jari dibawah pusat. Ukuran uterus mulai dua hari
berikunnya akan mengecil hingga hari kesepuluh tidak teraba dari luar.
Involusi uterus terjadi karena masing-masing sel menjadi kecil, yang
disebabkan oleh proses antitoksis dimana zat protein dinsing pecah,
diabsorbsi dan di buang melalui air seni. Sedangkan endometrium menjadi
luka degan permukaan kasar, tidak rata kira-kira sebesar telapak tangan. Luka
ini akan mengecil hingga sembuh dengan pertumbuhan endometrium baru
bawah permukaan luka, mulai pinggir dan dasar luka (Saleha, 2009)
2.1.6. Penatalaksanaan
Menurut Manuaba (2012), beberapa hal yang dapat dilakukan sebagai
penatalaksanaan pada ibu post Sectio caesarea antara lain :
1. Pemberian cairan : Karena 24 jam pertama penderita puasa pasca
operasi, maka pemberian cairan perintavena harus cukup banyak dan
18
2. mengandung elektrolit agar tidak terjadi hipotermi, dehidrasi, atau
komplikasi pada organ tubuh lainnya. Cairan yang biasa diberikan
biasanya DS 10%, garam fisiologi dan RL secara bergantian dan jumlah
tetesan tergantung kebutuhan. Bila kadar Hb rendah diberikan transfusi
darah sesuai kebutuhan.
3. Diet : Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah penderita
flatus lalu dimulailah pemberian minuman dan makanan peroral.
Pemberian minuman dengan jumlah yang sedikit sudah boleh dilakukan
pada 6 - 10 jam pasca operasi, berupa air putih dan air teh.
4. Mobilisasi : Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi, Miring kanan
dan kiri dapat dimulai sejak 6 - 10 jam setelah operasi, Latihan
pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur telentang sedini
mungkin setelah sadar. Hari kedua post operasi, penderita dapat
didudukkan selama 5 menit dan diminta untuk bernafas dalam lalu
menghembuskannya. Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah
menjadi posisi setengah duduk (semifowler). Selanjutnya selama
berturut-turut, hari demi hari, pasien dianjurkan belajar duduk selama
sehari, belajar berjalan, dan kemudian berjalan sendiri pada hari ke-3
sampai hari ke5 pasca operasi.
5. Kateterisasi : Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan
tidak enak pada penderita, menghalangi involusi uterus dan
menyebabkan perdarahan. Kateter biasanya terpasang 24 - 48 jam /
lebih lama lagi tergantung jenis operasi dan keadaan penderita.
6. Pemberian obat-obatan
Antibiotik
19
Analgetik dan obat untuk memperlancar kerja saluran
pencernaan
Obat-obatan lain
7. Perawatan luka : Kondisi balutan luka dilihat pada 1 hari post operasi,
bila basah dan berdarah harus dibuka dan diganti
Perawatan rutin : Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan
adalah suhu, tekanan darah, nadi,dan pernafasan.
2.2. Konsep Suhu tubuh
2.2.1. Definisi
Produksi panas tubuh pada prinsipnya merupakan hasil dari
metabolisme. Metabolisme yang menentukan produksi panas antara lain
aktivitas otot, hormon dalam tubuh, stimulasi simpatis sel, peningkatan
aktivitas kimia dalam tubuh dan asimilasi makanan (Hall, 2016).
Keseimbangan antara pembentukan dan pengeluaran panas menentukan suhu
tubuh. Fungsi tubuh normal bergantung pada suhu yang relatif konstan
karena sistem enzim memiliki rentang suhu normal yang sempit agar
berfungsi optimal (Ganong, 2008). Suhu tubuh pada prinsipnya dikontrol
oleh panas yang hilang dan panas yang diproduksi oleh tubuh (Kam and
Power 2015). Sebagian besar panas yang diproduksi oleh tubuh merupakan
hasil samping metabolisme organ dalam, terutama hepar, otak, jantung, dan
otot rangka selama melakukan latihan. Semakin tinggi aliran darah ke perifer
maka semakin banyak panas yang di distribusikan. Semakin sedikit aliran
20
darah ke perifer maka semakin sedikit panas yang di distribusikan (Diaz
2010).
Suhu tubuh adalah perbedaan antara jumlah panas yang di produksi
oleh proses tubuh dan jumlah panas yang hilang ke lingkungan luar tubuh
(Potter & Perry, 2005:760). Suhu tubuh pada manusia relatif konstan. Kulit
merupakan organ tubuh yang bertanggung jawab dalam memelihara suhu
tubuh agar tetap normal dengan mekanisme tertentu. Suhu tubuh manusia
normal kisaran antara 36° - 37° C. Panas di produksi tubuh melalui proses
metabolisme aktivitas otot dan sekresi pada kelenjar. Produksi panas dapat
meningkat atau juga dapat menurun dipengaruhi oleh beberapa hal. Dan suhu
tubuh yang terlalu ekstrim baik panas maupun dingin juga dapat
menyebabkan berbagai komplikasi hingga menyebabkan kematian. Oleh
karena itu perawat perlu membantu klien saat homeostatis tubuh untuk
mengontrol suhu tubuhnya tidak mampu mengatasi perubahan suhu tubuh
tersebut secara efektif. (Asmadi, 2008:155).
2.2.2. Faktor Yang Mempengaruhi Suhu Tubuh
Menurut Asmadi (2008:157) beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi peningkatan ataupun penurunan suhu tubuh pada manusia
antara lain :
a. Umur
Pada orang dewasa dengan bayi mekanisme pengaturan suhu tubuh
berbeda. Karena pada bayi mekanisme pengaturan suhu tubuh belum
sempurna oleh karena itu suhu tubuh bayi sangat dipengaruhi oleh
lingkungan dan harus selalu dilindungi dari perubahan suhu yang ekstrim.
21
b. Jenis Kelamin
Jenis kelamin antara laki – laki dan perempuan pun berbeda. Misalnya,
pada wanita terdapat peningkatan suhu sebesar 0.3°-0,5°C saat
mengalami ovulasi. Hal tersebut karena selama ovulasi terjadi
peningkatan hormon progesteron dan hormon esterogen dan
progesteron meningkatkan basal metabolism rate.
c. Emosi
Keadaan emosi dan perilaku yang berlebihan dapat mempengaruhi suhu
tubuh. Peningkatan emosi dapat meningkatkan suhu tubuh. Pada orang
yang apatis maupun depresi dapat menurunkan produksi panas, sehingga
suhu tubuh pun dapat menurun secara signifikan.
d. Aktifitas Fisik
Sebagai hasil dari kita melakukan aktifitas fisik seperti berolah raga suhu
tubuh dapat meningkat. Karena dengan olah raga dapat meningkatkan
metabolisme sel sehingga produksi panas pun meningkat yang pada
akhirnya dapat meningkatkan suhu tubuh.
e. Lingkungan
Lingungan juga dapat mempengaruhi suhu tubuh manusia. Ketika
lingkungan panas dapat meningkatkan suhu tubuh manusia. Selain itu
jika lingkungan dingin suhu tubuh akan beradaptasi sehingga dapat
menurunkan suhu tubuh seseorang.
2.2.3 Mekanisme Termoregulasi
Secara fisiologis, tubuh menggunakan 4 mekanisme untuk menstranfer
panas : radiasi, konduksi, konveksi, dan evaporasi (Sherwood, 2013).
22
1. Radiasi
Radiasi merupakan emisi energi panas dari permukaan tubuh dalam
bentuk gelombang elektromagnetik (Sherwood, 2013). Apabila suhu
tubuh lebih tinggi dari suhu di sekitar, jumlah panas yang diradiasikan
dari tubuh lebih besar daripada yang diradiasikan ke tubuh (Hall, 2016).
2. Konduksi
Perpindahan panas secara konduksi terjadi secara langsung dari suhu
tinggi ke rendah. Panas merupakan energi kinetik yang bergerak
molekuler, sedangkan molekul kulit mengalami gerakan vibrasi secara
terus menerus. Banyak energi dari pergerakan ini dapat ditransfer ke
udara apabila suhu udara lebih dingin dari kulit. Apabila suhu udara yang
berdekatan dengan kulit sama dengan suhu kulit, maka tidak terjadi
kehilangan panas (Hall, 2016).
3. Konveksi
Ketika tubuh kehilangan panas secara konduksi akibat udara sekitar yang
lebih dingin, udara yang kontak dengan kulit akan dihangatkan. Karena
udara hangat lebih ringan, maka udara hangat akan naik dan udara dingin
akan bergerak menggantikan udara hangat di kulit. Proses ini terjadi
secara berulang dan disebut arus konveksi (Sherwood, 2013).
4. Evaporasi
Selama terjadi evaporasi pada permukaan kulit, panas diperlukan untuk
mengubah air dari bentuk cair ke gas yang diserap kulit, sehingga
mendinginkan tubuh. Karena kulit tidak sepenuhnya tahan air, molekul
air secara konstan berdifusi melalui kulit dan berevaporasi. Evaporasi
23
yang terjadi dari kulit tidak berkaitan dengan kelenjar keringat
(Sherwood, 2013).
2.2.4 Perubahan Suhu
Perubahan suhu tubuh jika di temukan diluar rentang nilai normal
mempengaruhi set point hipotalamus. Perubahan ini dipengaruhi oleh produksi
panas yang berlebihan, produksi panas minimal, dan pengeluaran panas yang
berlebihan. Sifat perubahan tersebut mempengaruhi masalah klinis yang
dialami klien. Pengeluaran panas akibat paparan terus menerus terhadap suhu
dingin mempengaruhi kemampuan tubuh untuk memproduksi panas,
mengakibatkan hipotermia. Hipotermi diklasifikasikan menurut pengukuran
suhu inti. Hal tersebut dapat terjadi kebetulan atau tidak sengaja selama
prosedur bedah untuk mengurangi kebutuhan metabolik dan kebutuhan
tubuh terhadap oksigen. Bagian tubuh yang rentan terhadap rangsang dingin
adalah lobus telinga, ujung hidung, jari, dan jari kaki. Pasien akan mengalami
hilang sensasi pada daerah yang terkena. Interverensi yang dapat dilakukan
yaitu tindakan memanaskan secara bertahap, analgesik, dan perlindungan area
yang terkena. (Potter, 2005:764 - 766)
Terpapar panas dalam kurun waktu yang cukup lama dapat
meningkatkan aktivitas metabolik tubuh dan meningkatkan kebutuhan
oksigen jaringan. Pemaparan pada panas yang lama dan berlebihan juga dapat
memberikan efek fiosiologis khusus, seperti terpapar panas pada lokal
tertentu dapat menimbulkan luka bakar derajat pertama, derajat kedua, atau
luka bakar derajat tiga. Pada pasien post operative sectio caesarea dengan post
anastesi membutuhkan pengawasaan yang ketat di ruang pulih sadar. Yang
24
paling perlu diperhatikan adalah perubahan suhu tubuh pasien. Pada
pengukuran suhu tubuh dapat dilakukan dengan menggunakan termometer
pada lokasi yang berbeda melalui oral, rectal, dan kulit dimana lokasi tersebut
perlu mengandalkan sirkulasi darah di tempat pengukuran. Suhu pada
membran timpani mengandalkan radiasi panas suhu tubuh karena suplai
darah pada membrane timpani dianggap sebagai suhu inti. Seperti pada tabel
Perry & Potter (2005) ditetapkan bahwa :
Tempat pengukuran suhu (oral, rektal, aksila, membrane timpani,
esophagus, arteri pulmonary, atau bahkan kandung kemih) merupakan salah
satu faktor yang menentukan suhu tubuh pasien. Pengukuran suhu yang
paling umum dan sering digunakan adalah termometer aksila. Termometer
aksila merupakan termometer yang tempat kegunaannya ialah diletakkan
didaerah aksila atau ketiak dengan menggunakan termometer raksa atau
digital. Menurut Potter & Perry (2005) terdapat beberapa jenis termometer
yang bisa digunakan untuk menentukan suhu tubuh yaitu termometer air
raksa atau kaca, termometer elektronik, termometer infra merah dan
termometer sekali pakai. Setiap alat pengukur suhu tubuh menggunakan skala
celcius atau skala farenheit.
1. Termometer Air Raksa
Termometer air raksa atau kaca adalah termometer yang paling
sering kita jumpai dan sering digunakan. Termometer tersebut tebuat
dari tabung kaca dimana salah satu ujungnya tertutup dan ujung lainnya
terdapat sisi pentolan yang berisi air raksa. Paparan pentolan ( bulb )
terhadap panas menyebabkan air raksa memuai dan berjalan naik keatas
25
tabung. Titik paling jauh yang di capai air raksa pada tabung adalah
pembacaan suhu. Air raksa akan turun jika termometer di hentakkan
dengan kuat. Perawat membaca termometer air raksa dengan memegang
termometer secara horizontal dan sejajar dengan jarak pandang mata.
Dengan melihat kolom tabung termometer secara perlahan kita dapat
melihat kolom air raksa yng berwarna perak. Garis yang dikalibrasi pada
bagian akhir kolom air raksa adalah pembacaan suhu. (Perry & Potter :
2005)
2. Termometer Elektronik
Termometer elektronik terdiri atas tampilan tenaga baterai yang
dapat diisi ulang dengan bentuk biasanya menyerupai pensil. Probe yang
anti pecah tersedia untuk oral, aksila, dan rectal. Adapun termometer
yang didesain untuk pengukuran timpanik. Speculum otoscop dengan
ujung sensor inframerah dimana dapat mendeteksi penyebaran panas dari
membrane timpani. Dalam 2 sampai 5 detik dari mulai di masukkan ke
dalam canal auditorius hasilnya akan terlihat pada layar termometer.
Ketika termometer menghasilkan bunyi disitulah puncak bacaan suhu
telah tercapai.
Termometer elektronik oral tidak lebih akurat jika di bandingkan dengan
termometer air raksa. Keuntungan paling besar dari termometer
elektronik adalah dapat digunakan dengan cepat, hasil dapat diliht
langsung dan mudah saat termometer berbunyi dan angka suhu muncul
pada layar.
26
3. Termometer Sekali Pakai
Termometer sekali pakai dan penggunaan tunggal berbentuk strip
kecil yang terbuat dari plastik dengan sensor suhu pada salah satu
ujungnya. Sensor tersebut terdiri atas matriks dari lengkungan seperti titik
yang mengandung bahan kimia yang larut dan berubah warna jika
terdapat perubahan suhu. Termometer sekali pakai dapat digunakan di
aksila maupun oral. Cara painya sama dengan termometer aksila dan
digunakan secara disposible. Waktu yang dibutuhkan hanya 60 detik.
(Erick et al, 1996)
4. Termometer Infra Merah
Termometer infra merah mengukur radiasi termal dan aksila,
saluran telinga, maupun membrane timpani. Hasil pengukuran suhu akan
tampak pada layar dalam kurun waktu kurang lebih 1 detik. Prinsip dasar
termometer infra merah adalah bahwa semua objek memancarkan energi
infra merah. Semakin panas suatu benda maka molekulnya semakin aktif
dan semakin banyak energi infra merah yang dipancarkan. Termometer
infra merah terdiri dari sebuah lensa yang fokus mengumpulkan energi
infra merah dari obyek ke alat pendeteksi. Detektor akan mengkonversi
energi menjadi sebuah sinyal listrik, yang menguatkan dan melemahakan
dan ditampilkan dalam unit suhu setelah dikoreksi terhadap variasi suhu.
(Hermalinda,2010)
Termometer infra merah juga bisa di gunakan pada arteri
femoralis. Termometer ini memanfaatkan scanner inframerah untuk
mengukur suhu tubuh melalui arteri femoralis pada dahi. Cara
penggunaannya dapat menyapukan dengan lembut pada dahi sampai
27
termometer memberiakn kode lalu angkat dan baca hasilnya. (Medkes,
2014)
2.2.3. Pengertian Hipotermi
Pengeluaran panas akibat paparan terus menerus terhadap dingin
mempengaruhi kemampuan tubuh untuk memproduksi panas sehingga
mengakibatkan hipotermia. Hipotermi dapat di deteksi melalui suhu inti. Hal
tersebut dapat terjadi secara kebetulan atau tidak sengaja selama prosedur
pembedahan untuk mengurangi kebutuhan metabolik dan kebutuhan
terhadap oksigen. Hipotermia aksidental biasanya terjadi secara berangsur dan
tidak diketahui selama beberapa jam. Ketika suhu tubuh menurun hingga 35°
C pasien akan mengalami gemetar yang tidak terkontrol, hilang ingatan,
depresi, dan tidak mampu menilai. Jika suhu tubuh turun dibawah 34,4°C
frekuensi jantung, pernafasan, dan tekanan darah akan menurun dan kulit
akan menjadi sianosis. Jika hipotermi terus berlangsung pasien akan
mengalami disritmia jantung, kehilangan kesaran, dan tidak responsif
terhadap stimulus nyeri. Dalam kasus hipotermia berat pasien dapat
menunjukkan gejala klinis yang mirip dengan orang mati ( misalkan tidak ada
respon terhadap stimulus dan nadi serta pernapasan sangat lemah ) (Potter,
2005:766).
Ada beberapa penelitian yang menunjukkan dampak negatif ndari
hipotermi terhadap pasien, antara lain yaitu resiko perdarahan meningkat,
iskemia miokardium, pemulihan pasca anastesi yang lebih lama, gangguan
penyembuhan luka, serta meningkatnya resiko infeksi. Hipotermia akan
menmabah kebutuhan oksigen, produksi karbon dioksida, dan juga
28
peningkatan kadar katekolamin di dalam plasma yang kana diikuti dengan
peningkatan laju nadi, tekanan darah serta curah jantung. Keadaan seperti ini
sangat tidak menguntungkan bagi pasien terutama pada pasien geriatri yang
telah mengalami penurunan bahkan gangguan pada fungsi kardiovaskular dan
juga pulmonal seperti hipertensi, aritmia jantung, gagal jantung, dan infark
miokardium. Biasanya terdapat pasien geriatri telah terjadi penurunan
kemampuan untuk meningkatkan laju jantung dalam merespon
kondisihipoksia, hipotensi, hipovolemia. Peregangan paru dan fungsi tubular
ginjal juga mengalami penurunan (Harahap, 2014).
2.2.4. Penanganan Pasien Hipotermi
Dari beberapa resiko yang dialami akibat terjadinya hipotermi hingga
terjadinya shivering perlu dilakukan beberapa interverensi untuk menurunkan
keadaan shivering pasca bedah. Interverensi yang dapat dilakukan bisa dengan
tindakan farmakologi maupun non farmakologi. Apapun metode yang dipakai
untuk menurunkan tingkat terjadinya shivering harus dilakukan secara bertahap
dan tepat bukan dengan cepat. Adapun cara nonfarmakologis bisa dengan
pemanas internal aktif atau eksternal aktif, seperti yang disebutkan Nur Akbar
Fauzi (2014) beberapa diantaranya meminimalkan kehilangan panas selama
operasi dengan berbagi interverensi mekanik seperti :
1. Suhu lingkungan yang ditingkatkan (suhu kamar operasi yang
nyaman bagi pasien berkisar pada 72°F atau 22°C)
2. Ruang pemulihan yang hangat dengan suhu ruangan 75°F atau
24°C
29
3. Penggunaaan sistem low flow atau sistem tertutup pada pasien
kritis atau pasien beresiko tinggi
4. Penggunaan lampu penghangat atau selimut penghangat atau
matras
5. Melakukan kompres hangat
6. Penggunaaan cairan kristaloid yang dihangatakan (untuk
keseimbangan cairan intravena, untuk irigasi luka pembedahan,
untuk prosedur cistoscopi)
7. Menghindari genangan darah atau cairan di meja operasi dan
ruang pemulihan yang hangat.
2.3. Pengaruh Pemberian Cairan Infus Hangat dan Selimut HangatPada Ibu
Post SC
Hipotermi pasca operasi bisa dialami pasien sebagai akibat suhu rendah
di kamar operasi (21-230C), infus dengan cairan yang dingin, inhalasi gas-gas
dingin, kavitas atau luka terbuka pada tubuh, aktivitas otot yang menurun, usia
lanjut atau obat-obatan yang digunakan (vasodilator, anastetik umum, dan lain-
lain). Kehilangan panas pada pasien berasal dari kulit dan daerah yang terbuka
untuk dilakukan operasi. Jaringan tidak tertutup kulit akan terekspose oleh
udara,sehingga terjadi kehilangan panas berlebihan (Butwick et al. 2007 dalam
Minarsih, 2013)
Menurut Guyton (1997 dalam Nayoko, 2016), menggigil atau keadaan
hipotermi mengakibatkan konsumsi oksigen meningkatkan dan juga produksi
karbondioksida., strategi khusus untuk pengendalian temperatur tubuh secara
non farmakologis antara lain adalah mempertahankan temperatur ruang operasi
yang sesuai dengan usia dewasa yaitu 240C – 260C, pemberian selimut hangat,
30
pemberian cairan intravena atau cairan infus yang dihangatkan dengan
mengatur cairan intravena sejak 10 menit pasca bedah dapat dimulai pada suhu
37°Cmelalui alat penghangat cairan atau fluid warmer (Butwick et
al.2007:Hasankhani et al 2007). Hal ini dapat mengaktifkan terjadinya
mekanisme termoregulasi refleks dan semi refleks pada manusia, dimana
respon tersebut dapat mencakup adanya perubahan dari otonosomatik,
endokrin dan perilaku. Terdapat beberapa intervensi dalam meningkatkan suhu
inti dari pasien pasca pembedahan secara eksternal dan internal. Penghangatan
secara internal antara lain dengan memberikan cairan infus hangat dan airway
humidification (Frca, 2003). Penghangatan secara eksternal yaitu dengan
diberikan selimut hangat. Akan tetapi penggunaan selimut hangat walaupun
telah dilakukan sebagai protap rumah sakit mempunyai makna bahawa selimut
tebal merupakan tindakan keperawatan untuk mengatasi maslaah hipotermi
yang akan melindungi pasien dari kehilangan panas yang lebih parah dan proses
penghangatan hanya mengandalkan produksi panas dari dalam tubuh saja.
Tindakan pemberian infus hangat membantu meminimalkan kehilangan panas
tubuh. Penghangatan cairan dapat dilakukan dengan memasangkan warmer
atau menggunakan lemari penghangat cairan (Ganong, 2008).
Metode penghangatan cairan infus bervariasi, dapat berupa warming
cabinet atau in-line fluid warmers (perangkat penghangat cairan) (Campbell, et al.,
2015). Perangkat penghangat cairan infus menggunakan tenaga listrik atau
baterai, dan menghantarkan panas ke cairan melalui kanula saat cairan melewati
alat penghangat. Output panas dapat disesuaikan untuk suhu cairan yang
dibutuhkan dan terdapat informasi suhu yang akurat pada perangkat. Untuk
meminimalkan masalah kehilangan panas pada pasien, perangkat penghangat
31
diletakkan dengan jarak beberapa cm dari lokasi insersi infus (Cleves et al.,
2010). Jarak perangkat penghangat dengan lokasi insersi yang paling efektif
menurut Euasobhon, et al., (2016) adalah 15 cm dengan level kecepatan tetes
medium. Suhu infus hangat yang diberikan tidak boleh melebihi 40oC hingga
42oC untuk menghindari terjadinya denaturasi protein plasma (Thongsukh, et
al., 2018). Jumlah cairan infus hangat yang diberikan memiliki efek yang
menurun apabila laju aliran infus meningkat. Perubahan suhu tubuh tergantung
pada durasi waktu pemberian cairan infus hangat. Oleh karena itu, cairan dapat
dihangatkan pada laju aliran yang rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
efektivitas penghangatan cenderung berbanding terbalik dengan peningkatan
laju aliran (Thongsukh et al., 2018).
Hipotermi pasca bedah tersebut ternyata dapat diatasi secara efektif dan
meyakinkan sejak 10 menit pasca pembedahan, dengan mengatur cairan
intravena pada suhu 370C melalui suatu alat penghangat cairan intravena.
Dengan penggunaan alat blood warmer pasien yang menjalani pembedahan,
khususnya bedah caesar menerima suplai cairan yang sudah sesuai dengan suhu
inti (core temperature) dan mengalir ke seluruh tubuh sehingga efektif dalam
mengurangi atau meminimalisir gejala hipotermia pada pasien pasca operasi.
Pemberian cairan juga dilakukan karena pada 24 jam pertama penderita puasa
pasca operasi, maka pemberian cairan perintavena harus cukup banyak dan
mengandung elektrolit agar tidak terjadi dehidrasi, atau komplikasi pada organ
tubuh lainnya. Cairan yang biasa diberikan biasanya DS 10%, garam fisiologi,
RL, dan ringer asetat secara bergantian dan jumlah tetesan tergantung
kebutuhan sesuai instruksi dokter. Akan tetapi penggunaan ringer asetat lebih
efefktif untuh mencegah hipotermi dan menggigil dikarenakan kecepatan
32
metabolisme asetat yang lebih tinggi yaitu 250 – 400 mEq/jam
(Khasimoto,dkk).
Top Related