BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pembangunan Ekonomi
2.1.1 Definisi Pembangunan Ekonomi
Pembangunan adalah sebuah proses mencakup berbagai perubahan atas
stuktur sosial. Pada hakekatnya pembangunan mencerminkan perubahan total suatu
masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan, tanpa mengabaikan
keragaman kebutuhan dasar masyarakatnya untuk bergerak maju menuju suatu
suatu kondisi kehidupan yang lebih baik, secara material maupun spiritual, adapun
tujuan dari pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pengertian dari pembangunan menurut para ahli memberikan definisi yang
bermacam-macam. Istilah pembangunan bisa saja diartikan berbeda oleh satu orang
dengan orang lain, daerah yang satu dengan daerah lainnya, negara satu dengan
negara lain. Namun, secara umum ada suatu kesepakatan bahwa pembangunan
merupakan proses untuk melakukan perubahan (Riyadi dan Bratakusumah, 2005).
Sedangkan Kartasasmita (1997) memberikan pengertian yang lebih sederhana,
yaitu sebagai “suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik melalui upaya yang
dilakukan secara terencana”. Pembangunan (development) adalah proses perubahan
yang mencakup seluruh sistem sosial, seperti politik, ekonomi, infrastruktur,
pertahanan, pendidikan dan teknologi, kelembagaan, dan budaya.
Menurut Tikson (2005), bahwa pembangunan dapat pula diartikan sebagai
transformasi ekonomi, sosial dan budaya secara sengaja melalui kebijakan dan
strategi menuju arah yang diinginkan. Sedangkan dalam pengertian ekonomi murni,
pembangunan adalah suatu usaha proses yang menyebabkan pendapatan perkapita
masyarakat meningkat dalam jangka panjang (Sukirno, 1995). Dengan demikian,
proses pembangunan terjadi di semua aspek kehidupan masyarakat, ekonomi,
sosial, budaya, politik, yang berlangsung pada level makro (nasional) dan mikro.
Makna penting dari pembangunan adalah adanya kemajuan/perbaikan (progress),
pertumbuhan dan diversifikasi. Sebagaimana dikemukakan oleh para para ahli di
atas, pembangunan adalah semua proses perubahan yang dilakukan melalui upaya-
upaya secara sadar dan terencana (Riyadi dan Bratakusumah, 2005).
Pembangunan ekonomi merupakan sebuah proses kenaikan pendapatan
secara total dan maksimal, pendapatan perkapita penduduk dengan
memperhitungkan bertambahnya penduduk serta adanya perubahan yang
fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara dan pemerataan pendapatan bagi
penduduk dalam jangka panjang. Secara ringkas, pembangunan ekonomi juga dapat
diartikan sebagai proses yang menyebabkan pendapatan perkapita suatu penduduk
dalam sebuah negara meningkat dalam jangka panjang.
Menurut Suryana (2000), pembangunan ekonomi sebagai proses multi
dimensional yang mencakup segala aspek dan kebijaksanaan yang komprehensif
baik ekonomi maupun non ekonomi. Selanjutnya Suryana menyatakan ada empat
model pembangunan, yaitu model pembangunan ekonomi yang berorientasi pada
pertumbuhan, penciptaan lapangan kerja, penghapusan kemiskinan dan model
pembangunan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dasar. Menurut
Tarigan (2005), orientasi pembangunan ekonomi Indonesia lebih menekankan pada
pertumbuhan (growth) dan mengurangi ketimpangan antara desa dan kota.
Ekonomi pedesaan tidak memperoleh nilai tambah (value added) yang proporsional
akibat dari wilayah perkotaan hanya sekedar menjadi pipa pemasaran dari arus
komoditas primer dari pedesaan, sehingga sering terjadi kebocoran wilayah yang
merugikan pertumbuhan ekonomi daerah itu sendiri.
2.1.2 Teori Transformasi Struktural
Struktur perekonomian suatu negara dapat dibagi dalam tiga sektor, yaitu 1)
Sektor pertainan atau sektor primer; 2) Sektor industri atau sekunder; dan 3) Sektor
jasa atau tersier. Berdasarkan pengalaman sejarah di negara-negara maju, terlihat
bahwa tahap awal pembangunan ekonomi di negara tersebut kontribusi sektor
pertanian sangat dominan, namun akan terus mengalami penurunan sampai pada
tahap tertentu. Peran dominan sektor pertanian ini akan digantikan oleh sektor
industri atau jasa. Fenomena perubahan seperti ini disebut sebagai proses
transformasi struktural (Todaro dan Smith, 2011). Selanjutnya transformasi
struktural menurut Todaro dan Smith mengatakan proses perubahan struktural
dimana peranan kontribusi sektor pertanian terhadap pendapatan nasional lebih
rendah dibandingkan dengan kontribusi sektor manufaktur/industri atau dengan
kata lain terjadi pergeseran peran sektor pertanian ke sektor industri. Teori
perubahan struktural (structural change theory) memusatkan perhatian pada
transformasi struktur ekonomi dari pola pertanian yang tradisional ke struktur yang
lebih modern serta memiliki sektor industri manufaktur dan sektor jasa-jasa yang
tangguh. Aliran pendekatan struktural ini didukung oleh W. Arthur Lewis yang
terkenal dengan model teoritisnya tentang “surplus tenaga kerja dua sektor” (two
sector surplus labor) dan Chenery yang sangat terkenal dengan analisis empirisnya
tentang “pola-pola pembangunan” (patterns of development).
Teori pola pembangunan Chenery memfokuskan terhadap perubahan
struktur dalam tahapan proses perubahan ekonomi, industri dan struktur institusi
dari perkonomian negara sedang berkembang, yang mengalami transformasi dari
pertanian tradisional beralih ke sektor industri sebagai roda penggerak ekonomi.
Penelitian yang dilakukan Chenery tentang transformasi struktur produksi
menunjukkan bahwa sejalan dengan peningkatan pendapatan perkapita,
perekonomian suatu negara akan bergeser dari yang semula mengandalkan sektor
pertanian menuju ke sektor industri (Todaro dan Smith, 2011).
Salah satu karakteristik dalam pembangunan ekonomi adalah pergeseran
jangka panjang populasi dan produksi dari sektor pertanian menjadi sektor industri
dan sektor jasa. Menurut Lewis, dalam perekonomian yang terbelakang ada 2 (dua)
sektor, yaitu sektor pertanian dan sektor industri manufaktur. Sektor pertanian
adalah sektor tradisional dengan marjinal produktivitas tenaga kerjanya nol.
Dengan kata lain, apabila tenaga kerjanya dikurangi tidak akan mengurangi output
dari sektor pertanian. Sektor industri modern adalah sektor modern dan output dari
sektor ini akan bertambah bila tenaga kerja dari sektor pertanian berpindah ke sektor
modern ini. Dalam hal ini terjadi pengalihan tenaga kerja, peningkatan output dan
perluasan kesempatan kerja. Masuknya tenaga kerja ke sektor modern akan
meningkatkan produktivitas dan meningkatkan output.
Teori struktural sendiri mengacu pada teori pembangunan yang
disampaikan oleh Arthur Lewis, pembahasannya lebih pada proses pembangunan
antara daerah kota dan desa, diikuti proses urbanisasi antara kedua tempat tersebut.
Selain itu, teori ini juga mengulas model investasi dan sistem penetapan upah pada
sistem modern yang juga berpengaruh pada arus urbanisasi yang ada. Lewis
mengasumsikan bahwa perekonomian suatu negara pada dasarnya terbagi menjadi
dua, yaitu sebagai berikut.
1) Perekonomian tradisional, Lewis berasumsi bahwa daerah pedesaan dengan
perekonomian tradisional mengalami surplus tenaga kerja. Surplus tersebut erat
kaitannya dengan basis utama perekonomian tradisional. Kondisi masyarakat
berada pada kondisi subsiten akibat perekonomian yang subsisten pula yang
ditandai nilai produk marginal dari tenaga kerja yang bernilai nol. Kondisi ini
menunjukkan bahwa penambahan tenaga kerja justru akan mengurangi total
produksi yang ada, sebaliknya dengan mengurangi tenaga kerja justru tidak
mengurangi total produksi yang ada. Dengan demikian, nilai upah riil
ditentukan oleh nilai rata-rata produk marginal, dan bukan produk marginal dari
tenaga kerja itu sendiri; dan
2) Perekonomian industri, Sektor industri berperan penting dalam sektor ini dan
letaknya pula di perkotaan. Pada sektor ini menunjukkan bahwa tingkat
produktivitas sangat tinggi termasuk input dan tenaga kerja yang digunakan.
Nilai marginal terutama tenaga kerja, bernilai positif dengan demikian daerah
perkotaan merupakan tempat tujuan bagi para pencari kerja dari daerah
pedesaan. Jika ini terjadi maka penambahan tenaga kerja pada sektor-sektor
industri akan diikuti pula oleh peningkatan output yang diproduksi. Dengan
demikian, industri perkotaan masih menyediakan lapangan pekerjaan bagi
penduduk desa. Selain lapangan kerja yang tersedia tidak kalah menarik tingkat
upah di kota dan ini kemudian menjadi ketertarikan bagi penduduk desa dalam
melakukan urbanisasi.
Rangkaian proses pertumbuhan berkesinambungan atas sektor modern dan
perluasan kesempatan kerja, diasumsikan akan terus berlangsung sampai semua
surplus tenaga kerja pedesaan diserap habis oleh sektor industri. Selanjutnya,
tenaga kerja tambahan yang berikutnya hanya dapat ditarik dari sektor pertanian
dengan biaya yang lebih tinggi karena hal tersebut pasti akan mengakibatkn
merosotnya produksi pangan. Hanya penurunan rasio tenaga kerja terhadap tanah
secara drastis sajalah yang akan mampu membuat produk marjinal tenaga kerja desa
menjadi tidak sama dengan nol. Dengan demikian, tingkatr upah serta kesempatan
kerja disektor modern terus mengalami pertumbuhan, maka kemiringan kurva
penawaran tenaga kerja bernilai positif. Transformasi struktural perekonomian
itupun pada akhirnya pasti beralih dari perekonomian pertanian tradisional yang
berpusat di daerah pedesaan menjadi sebuah perekonomian industri modern yang
berorientasikan kopada pola kehidupan perkotaan.
Proses transformasi struktural tersebut ditandai dengan perubahan struktur
ekonomi yang dicerminkan oleh perubahan kontribusi sektoral (shift-share) di
dalam pendapatan nasional. Proses transformasi struktural itu sendiri dapat
dikelompokkan dalam empat proses utama, yaitu (1) proses akumulasi, (2) proses
alokasi, (3) proses distribusi, dan (4) proses demografis (Stimson et al., 2006).
Perubahan struktur perekonomian dapat dilihat dari besarnya sumbangan masing-
masing sektor terhadap pendapatan nasional. Dari sumbangan masing-masing
sektor tersebut, perekonomian dapat dibagi menjadi tiga komponen, perekonomian
dengan struktur primer atau agraris, perekonomian dengan struktur sekunder atau
industri, dan perekonomian dengan struktur tersier atau jasa (Hidayat, 2004).
Pembangunan harus dapat menghasilkan perubahan struktural yang
seimbang yang tidak menimbulkan ketimpangan antar sektor perekonomian dan
membentuk perekonomian yang sehat yaitu perekonomian yang mampu menjaga
kesinambungan dari satu generasi ke generasi berikutnya (Gie, 2002).
Pembangunan harus dapat menghasilkan perubahan struktural yang seimbang,
sehingga perubahan pada sektor yang satu akan digantikan oleh sektor yang lainnya
yang dapat memberikan keuntungan. Apabila perubahan struktural terus terjadi
pada perekonomian, akan tetapi perubahan yang terjadi menghasilkan adanya
ketimpangan antarsektor yang kemudian. Menumbuhkan struktur ekonomi yang
rapuh, struktur ekonomi yang dapat dengan mudah dipengaruhi perubahan-
perubahan yang terjadi di suatu sektor tanpa dapat digantikan oleh sektor lainnya.
Perubahan struktural melibatkan pergeseran utama antara sektor yang
membuat sisi output pada persamaan fungsi produksi. Salah satu pola yang jelas
dalam perubahan struktur perekonomian adalah sejalan dengan meningkatnya
pendapatan perkapita, kontribusi (share) sektor industri terhadap pembentukan
produk domestik bruto juga meningkat (Gillis et al., 1987). Syrquin (1988),
menyebutkan struktur yang sering digunakan dalam pembangunan dan sejarah
ekonomi mengacu pada pentingnya sektor-sektor perekonomian dalam hal produksi
dan faktor-faktor yang digunakan. Industrialisasi disebut sebagai pusat proses dari
perubahan struktural.
Dalam hal ini (struktur sebagai komposisi dari agregat) perubahan struktur
juga diterapkan pada agregat lainnya yang telah membawa proses industrialisasi
seperti permintaan (demand) dan perdagangan. Proses yang saling berhubungan
dari perubahan struktur yang menemani pembangunan ekonomi sering disebut
transformasi struktural (structural transformation), seperti apa yang dikatakan
Hollis Chenery (Annaf, 2011) yang menyarankan adanya perubahan struktur
produksi, yaitu pergeseran dari produksi barang pertanian ke produksi barang
industri pada saat pendapatan per kapita meningkat. Model ini menyatakan bahwa
peningkatan tabungan dan investasi perlu tetapi tidak harus cukup (necessary but
not sufficient condition) untuk memungkinkan terjadinya pertumbuhan ekonomi.
Pola ini juga menyaratkan bahwa selain akumulasi modal fisik dan manusia,
diperlukan pula himpunan perubahan yang saling berkaitan dalam struktur
perekonomian suatu negara untuk terselenggaranya perubahan dari sistem ekonomi
tradisional ke sistem ekonomi modern. Perubahan struktur ini melibatkan seluruh
fungsi ekonomi termasuk tranformasi produksi dan perubahan dalam komposisi
permintaan konsumen, perdagangan internasional serta perubahan-perubahan
sosial-ekonomi seperti urbanisasi, pertumbuhan dan distribusi penduduk.
2.1.3 Pembangunan Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi
Pembangunan pertanian dapat didefinisikan sebagai suatu proses perubahan
sosial, implementasinya tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan status dan
kesejahteraan petani semata, tetapi sekaligus juga dimaksudkan untuk
mengembangkan potensi sumberdaya manusia baik secara ekonomi, sosial, politik,
budaya, lingkungan, maupun melalui perbaikan, pertumbuhan dan perubahan
(Iqbal dan Sudaryanto, 2008).
Dalam literatur klasik pembangunan pertanian karya Arthur Mosher dalam
Bustanul (2005), yang berjudul “Getting Agriculture Moving” dijelaskan tentang
syarat pokok dan syarat dalam mempelancar pembangunan pertanian. Adapun
syarat pokok pembangunan pertanian, meliputi sebagai berikut.
1) Adanya pasar untuk hasil-hasil usaha tani. Pembangunan pertanian akan
meningkatkan produksi hasil-hasil usahanya tentu diperlukan pasar untuk
diperjualbelikan, tentu harapan dari petani adalah harga yang cukup tinggi
untuk menutupi biaya-biaya dan tenaga yang telah dikeluarkan oleh para petani
sewaktu memproduksinya. Dalam memasarkan hasil-hasil produk pertanian
tersebut diperlukan adanya permintaan (demand) akan hasil-hasil pertanian,
sistem pemasaran, dan kepercayaan para petani pada sistem pemasaran.
Keadaan ini dapat tercapai dengan adanya daya beli dari konsumen terhadap
hasil pertanian, serta kebijakan pemerintah (perdagangan) yang mendukung.
Khususnya kebijakan perdagangan internasional seperti ekspor dan impor,
kedua kebijakan ini akan mempengaruhi struktur, komposisi dan arah transaksi
serta kelancaran usaha untuk peningkatan devisa negara dari hasil pertanian;
2) Teknologi yang senantiasa berkembang. Teknologi pertanian adalah tata cara
petani bertani. Di dalamnya termasuk cara-cara bagaimana para petani
menyebarkan benih, memelihara tanaman, dan mengolah hasil pertanian serta
memeliharanya, termasuk pula di dalamnya membeli benih, pupuk, obat-
obatan, alat-alat yang digunakan dalam mengolah lahan pertanian dan sumber-
sumber tenaga. Pengembangan teknologi juga dapat mendukung diversifikasi
pertanian sebagai suatu usaha yang komplek dan luas untuk meningkatkan
perekonomian pertanian melalui penganekaragaman komoditas barang
pertanian pada produksi yang subsistem, konsumsi dan distribusi pada tingkat
usaha tani regional maupun nasional;
3) Tersedianya bahan-bahan dan alat-alat produksi secara lokal.
Pembangunan pertanian memerlukan tersedianya bahan-bahan dan alat-alat
produksi di berbagai tempat dalam jumlah yang cukup banyak untuk memenuhi
keperluan tiap petani untuk mengolah lahan pertaniannya dengan
mendayagunakan alat-alat produksi lokal dan adanya akses yang mudah
produksi dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien;
4) Adanya perangsang produksi bagi petani. Faktor perangsang utama yang
membuat petani bergairah untuk meningkatkan produksinya adalah yang
bersifat ekonomis. Faktor tersebut antara lain adalah harga hasil produksi
pertanian yang menguntungkan, pembagian hasil yang wajar, serta tersedianya
barang-barang dan jasa yang ingin dibeli oleh para petani untuk memenuhi
kebutuhan keluarganya;
5) Tersedianya pengangkutan yang lancar dan kontinyu. Tanpa pengangkutan
yang efisien dan murah, keempat syarat mutlak lainnya tidak dapat berjalan
secara efektif, karena produksi pertanian harus tersebar luas. Oleh karena itu
diperlukan suatu jaringan pengangkutan yang bercabang luas untuk membawa
bahan-bahan perlengkapan produksi ke tiap usaha tani dan membawa hasil
usaha tani ke konsumen di kota-kota besar dan kecil untuk didistribusikan. Bagi
hasil pertanian, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai pasar, ifrastruktur jalan
yang memadai, serta jaminan keamanaan produk pertanian selama proses
distribusi sangat menentukan kesegaran dan kondisi produk pertanian.
Menurut Mosher (1991), ada lima syarat lagi yang meskipun tidak mutlak
adanya, namun akan sangat memperlancar pembangunan pertanian. syarat-syarat
atau sarana pelancar tersebut, adalah sebagai berikut.
1) Pendidikan Pembangunan di sini di titik beratkan pada pendidikan non formal
yaitu beruapa kursus-kursus, latihan-latihan, dan penyuluhan-penyuluhan.
Pendidikan pembangunan ini dimaksudkan untuk meningkatkan produkivitas
petani;
2) Kredit Produksi, petani dalam mengolah lahan pertanian diperlukan biaya,
karena itu lembaga-lembaga prekreditan yang memberikan kredit produksi
kepada para petani merupakan suatu faktor pelancar yang penting bagi
pembangunan pertanian;
3) Kegiatan gotong royong petani digunakan secara berkelompok dan bersifat
informal, hal ini didapatkan dari rasa kebersamaan dan rasa memiliki;
4) Perbaikan dan perluasan tanah pertanian. Ada dua cara tambahan untuk
mempercepat pembangunan pertanian yaitu pertama, memperbaiki mutu tanah
yang telah menjadi usaha tani, misalnya dengan pupuk, irigasi, dan pengaturan
pola tanam. Kedua, mengusahakan tanah baru, misalnya pembukaan petak-
petak sawah baru; dan
5) Perencanaan nasional pembangunan pertanian merupakan proses memutuskan
apa yang hendak dilakukan Pemerintah mengenai tiap kebijaksanaan dan
kegiatan yang mempengaruhi pembangunan pertanian selama jangka waktu
tertentu.
Pembangunan pertanian dapat dilakukan dengan baik jika unsur-unsur yang
ada pada pembangunan pertanian dilakukan berkesinambungan. Menurut Algamari
(2011), unsur pertama pembangunan pertanian adalah proses produksi, yaitu suatu
kegiatan yang dilakukan untuk mengubah output menjadi input dengan tujuan
menambah nilai guna dari produk tersebut. Unsur kedua adalah petani atau
pengusaha, sebagai manusia yang berusaha mengatur dan mengusahakan
pertumbuhan tanaman serta lingkungan agar dapat memenuhi kebutuhan manusia.
Peran petani adalah sebagai penggarap dan manajer yang mempengaruhi
pertumbuhan tanaman sehingga pertumbuhan tersebut menjadi lebih sesuai dengan
kemauan dan kebutuhan manusia. Unsur ketiga adalah usaha tani, yaitu pengolahan
suatu tanaman atau membudidayakan tanaman yang memanfaatkan sumberdaya
alam sebagai inputnya yang bertujuan untuk menghasilkan suatu hasil yang
menguntungkan secara efektif dan efisien. Pembangunan pertanian menurut Lynn
(2003), adalah bagian utuh dari pembangunan. Industri harus menyediakan barang
untuk petani. Lapangan kerja non pertanian perlu untuk mempertahankan keluarga
di daerah pedesaan. Produksi pangan harus konsisten dengan selera konsumen.
2.1.4 Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Konsep pembangunan berkelanjutan sebenarnya sejak sudah lama menjadi
perhatian para ahli. Namun istilah keberlanjutan (sustainability) sendiri baru
muncul beberapa dekade yang lalu, walaupun perhatian terhadap keberlanjutan
sudah dimulai sejak Malthus pada tahun 1798 yang mengkhawatirkan ketersedian
lahan di Inggris akibat ledakan penduduk yang pesat. Satu setengah abad kemudian,
perhatian terhadap keberlanjutan ini semakin mengental setelah Meadow dan
kawan-kawan pada tahun 1972 menerbitkan publikasi yang berjudul The Limit to
Growth (Fauzi, 2006) dalam kesimpulannya, bahwa pertumbuhan ekonomi akan
sangat dibatasi oleh ketersediaan sumber daya alam. Dengan ketersediaan sumber
daya alam yang terbatas, arus barang dan jasa yang dihasilkan dari sumber daya
alam tidak akan selalu bisa dilakukan secara terus menerus (on sustainable basis).
Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) merupakan implementasi
dari konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) pada sektor
pertanian. Konsep pembangunan berkelanjutan mulai dirumuskan pada akhir tahun
1980an sebagai respon terhadap strategi pembangunan sebelumnya yang terfokus
pada tujuan pertumbuhan ekonomi tinggi yang terbukti telah menimbulkan
degradasi kapasitas produksi maupun kualitas lingkungan hidup. Konsep pertama
dirumuskan dalam Bruntland Report yang merupakan hasil kongres Komisi Dunia
Mengenai Lingkungan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa:
“Pembangunan berkelanjutan ialah pembangunan yang mewujudkan kebutuhan
saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk mewujudkan
kebutuhan mereka” (WCED, 1987).
Berdasarkan definisi pembangunan berkelanjutan tersebut, Organisasi
Pangan Dunia mendefinisikan pertanian berkelanjutan, sebagai berikut.
“…manajemen dan konservasi basis sumberdaya alam, dan orientasi perubahan
teknologi dan kelembagaan guna menjamin tercapainya dan terpuaskannya
kebutuhan manusia generasi saat ini maupun mendatang. Pembangunan pertanian
berkelanjutan menkonservasi lahan, air, sumberdaya genetik tanaman maupun
hewan, tidak merusak lingkungan, tepat guna secara teknis, layak secara ekonomis,
dan diterima secara sosial (FAO, 1989).
Pezzy (1992), mencatat ada 27 definisi konsep berkelanjutan dan
pembangunan bekelanjutan, dan tentunya masih ada banyak lagi yang luput dari
catatan tersebut, walau banyak variasi definisi pembangunan berkelanjutan,
termasuk pertanian berkelanjutan, yang diterima secara luas bertumpu pada tiga
pilar, yaitu ekonomi, sosial, dan ekologi (Munasinahe, 1993; Sanim, 2006). Dengan
perkataan lain, konsep pembangunan berkelanjutan berorientasi pada tiga dimensi
keberlanjutan, yaitu keberlanjutan usaha ekonomi (profit), keberlanjutan kehidupan
sosial manusia (people), keberlanjutan ekologi alam (planet), atau sering disebut
dengan pilar Triple-P.
Dimensi ekonomi berkaitan dengan konsep maksimisasi aliran pendapatan
yang dapat diperoleh dengan setidaknya mempertahankan aset produktif yang
menjadi basis dalam memperoleh pendapatan tersebut. Indikator utama dimensi
ekonomi ini ialah tingkat efisiensi, dan daya saing, besaran dan pertumbuhan nilai
tambah (termasuk laba), dan stabilitas ekonomi. Dimensi ekonomi menekankan
aspek pemenuhan kebutuhan ekonomi (material) manusia baik untuk generasi
sekarang maupun generasi mendatang.
Dimensi sosial adalah orientasi kerakyatan, berkaitan dengan kebutuhan
akan kesejahteraan sosial yang dicerminkan oleh kehidupan sosial yang harmonis
(termasuk tercegahnya konflik sosial), preservasi keragaman budaya dan modal
sosial budaya. Untuk itu, pengentasan kemiskinan, pemerataan kesempatan
berusaha dan pendapatan, partisipasi sosial politik dan stabilitas sosial-budaya
merupakan indikator-indikator penting yang perlu dalam pelaksanaan
pembangunan.
Dimensi lingkungan alam menekankan kebutuhan akan stabilitas ekosistem
alam yang mencakup sistem kehidupan biologis dan materi alam. Termasuk dalam
hal ini ialah terpeliharanya keragaman hayati dan daya lentur biologis (sumberdaya
genetik), sumberdaya tanah, air dan agroklimat, serta kesehatan dan kenyamanan
lingkungan. Penekanan dilakukan pada preservasi daya lentur (resilience) dan
dinamika ekosistem untuk beradaptasi terhadap perubahan, bukan pada konservasi
suatu kondisi ideal statis.
Ketiga dimensi tersebut saling mempengaruhi sehingga ketiganya harus
diperhatikan secara berimbang. Sistem sosial yang stabil dan sehat serta
sumberdaya alam dan lingkungan merupakan basis untuk kegiatan ekonomi,
sementara kesejahteraan ekonomi merupakan prasyarat untuk terpeliharanya
stabilitas sosial-budaya maupun kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan
hidup. Sistem sosial yang tidak stabil (misalnya terjadinya konflik sosial dan
prevalensi kemiskinan) akan cenderung menimbulkan tindakan yang merusak
kelestarian sumberdaya alam dan merusak kesehatan lingkungan, sementara
ancaman kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan (misalnya kelangkaan tanah
dan air) dapat mendorong terjadinya kekacauan dan penyakit sosial.
Secara operasional, Turner et al. (1993) mendefinisikan pembangunan
berkelanjutan sebagai upaya memaksimalkan manfaat bersih pembangunan
ekonomi dengan syarat dapat mempertahankan dan meningkatkan jasa, kualitas dan
kuantitas sumber daya alam sepanjang waktu. Selanjutnya The Agricultural
Research Service (USDA) mendefinisikan pertanian berkelanjutan sebagai
pertanian yang pada waktu mendatang dapat bersaing, produktif, menguntungkan,
mengkonservasi sumber daya alam, melindungi lingkungan, serta meningkatkan
kesehatan, kualitas pangan, dan keselamatan. Pertanian berkelanjutan merupakan
pengelolaan sumber daya alam serta perubahan teknologi dan kelembagaan
sedemikian rupa untuk menjamin pemenuhan dan pemuasan kebutuhan manusia
secara berkelanjutan bagi generasi sekarang dan mendatang (Food and Agriculture
Organization, 1989).
2.1.5 Peranan Sektor Pertanian dalam MDGs dan SDGs
Pertanian berkelanjutan merupakan gerakan pertanian menggunakan prinsip
ekologi, studi hubungan antara organisme dan lingkungannya (Rural Science
Graduates Association, 2002). Peranan pembangunan sektor pertanian terhadap
tercapainya target pembangunan MDGs sangatlah besar, di negara-negara yang
sedang berkembang termasuk Indonesia. Sektor pertanian adalah penghasil pangan.
Sementara itu aktor utama pertanian adalah petani serta buruh tani yang sebagian
besar tinggal di perdesaan yang jumlahnya sangat besar dan secara umum tingkat
kesejahteraan mereka (petani) tertinggal dari kelompok masyarakat lainnya,
meskipun kontribusi sektor pertanian dalam pembentukan Produk Domestik Bruto
(PDB) dari tahun ke tahun makin rendah tetapi peran sektor ini peranannya sangat
strategis dalam pembangunan nasional, baik dalam pencapaian MDGs maupun
SDGs. Karena sektor pertanian yang memproduksi bahan pangan, oleh karena itu
pangan sangat esensial bagi semua penduduk. Food security bukan hanya soal
menyediakan pangan bagi semua penduduk. Namun juga berkaitan dengan akses,
dan bagaimana memproduksi dan mengonsumsi pangan secara efisien dan
berkelanjutan.
Salah satu kunci sukses pencapaian MDGs dan SDGs terletak pada kinerja
sektor pertanian. Berbagai hasil penelitian empiris menunjukkan bahwa peran
sektor pertanian dalam pengentasan kemiskinan yang pada dasarnya merupakan
epicentrum sasaran MDGs sangat besar dan tidak hanya mencakup aspek-aspek
kuantitatif karena sifat multifunctionality pertanian melibatkan dimensi-dimensi
kualitatif yang sebagian di antaranya bersifat intangible (Rosegrant et al., 2006;
Dewbre, 2011; Suryahadi dan Hadiwidjaja, 2011; Grewal et al., 2012).
Peran strategis sektor pertanian tidak akan berhenti pada pencapaian sasaran
MDGs, tetapi juga untuk sasaran pada pembangunan milenium pasca tahun 2015
yang disepakati dengan istilah Sustainable Development Goals (SDGs). Alasannya
sebagai berikut. Pertama, adalah fakta bahwa jumlah penduduk miskin sangat besar
sehingga tidak mungkin dapat ditanggulangi dalam jangka pendek dan menengah.
Kedua, implikasi dari perubahan iklim terhadap ketahanan pangan karena
pertumbuhan vegetatif dan produktif komoditas pertanian sangat rentan terhadap
variabilitas iklim yang sangat tajam atau ekstrim (IPCC, 2007; FAO, 2007).
Kondisi ini menyebabkan: (i) pertumbuhan produksi pangan melemah, (ii) harga
pangan cenderung meningkat dan semakin volatil. Pada gilirannya, hal itu
menyebabkan laju penurunan angka kemiskinan menjadi lebih lambat karena: (a)
sebagian individu atau rumah tangga yang semula telah terangkat dari garis
kemiskinan sangat potensial terjatuh kembali menjadi miskin, dan (b) munculnya
barisan kelompok miskin yang baru. Oleh karena itu, MDGs dan SDGs disusun
untuk men-drive pembangunan dengan pendekatan multi sektor (Maftuchan, 2013).
Peran penting sektor pertanian dalam pengentasan kemiskinan telah banyak
dibuktikan dalam berbagai tinjauan maupun penelitian empiris (Thirtle et al., 2002;
Thurlow, 2004; Thurlow et al., 2004; Christensen et al., 2010; Cervantes-Godoy
dan Dewbre, 2010; Dedan et al., 2012 dalam Bappenas, 2008). Terutama pada
negara-negara berkembang, peranannya makin menonjol ketika didukung
pengembangan infrastruktur yang memadai. Ini selaras dengan berbagai penelitian
yang menunjukkan bahwa infrastruktur pertanian dan pedesaan adalah basis bagi
peningkatan produktivitas (Van Blarcom et al., 1993; Van De Walle, 1996; Zhang
dan Fan, 2000 dalam Bappenas, 2008).
2.2 Konsep Ketahanan Pangan dan Kedaulatan Pangan
2.2.1 Konsep Ketahanan Pangan
Buku The Poverty and Famines-nya Amartya Sen (1981) dianggap sebagai
salah satu pelopor utama perubahan perspektif ketahanan pangan (Maxwell dan
Slater, 2003; Boudreau dan Dilley, 2001). Diakui bahwa Amartya Sen berhasil
menggugat kesalahan paradigma kaum Maltusian yang kerap berargumentasi
bahwa ketidak tahanan pangan dan kelaparan (famine) adalah soal produksi dan
ketersediaan semata. Sedangkan dengan mengangkat berbagai kasus di India dan
Afrika, Sen mampu menunjukan bahwa ketidak tahanan pangan dan kelaparan
justru kerap terjadi karena ketiadaan akses atas pangan (entitlements failures).
Sedikitnya ada empat element ketahanan pangan berkelanjutan (sustainable
food security) di level keluarga yang diusulkan oleh Maxwell (1996), yakni:
pertama, kecukupan pangan yang didefinisikan sebagai jumlah kalori yang
dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat. Kedua, akses atas pangan, yang
didefinisikan sebagai hak (entitlements) untuk berproduksi, membeli atau
menukarkan (exchange) pangan ataupun menerima sebagai pemberian (transfer).
Ketiga ketahanan yang didefinisikan sebagai keseimbangan antara kerentanan,
resiko dan jaminan pengaman sosial. Keempat: fungsi waktu manakala ketahanan
pangan dapat bersifat kronis, transisi dan/atau siklus.
Dalam UU Pangan yang baru yaitu No. 18 Tahun 2012, definisi ketahanan
pangan adalah sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan
perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah
maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak
bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup
sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Ketahanan pangan mencakup tiga
dimensi yaitu: (a) ketersediaan pangan (food availability), (b) akses/distribusi
pangan (access to sufficient food), dan (c) pemanfaatan/konsumsi pangan
(utilization of food, which is related to cultural practices). Namun ketiga dimensi
tersebut dilakukan dalam upaya menjaga stabilitas pangan (stability of food stock).
Oleh karena itu, ketiga dimensi tersebut sering digunakan untuk mengukur
pencapaian ketahanan pangan. Ketersediaan pangan diartikan bahwa pangan
tersedia cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik jumlah maupun
mutunya, serta aman, sedangkan distribusi pangan diartikan pasokan pangan dapat
menjangkau seluruh wilayah sehingga harga stabil dan terjangkau oleh rumah
tangga. Konsumsi, yaitu setiap rumah tangga dapat mengakses pangan yang cukup
dan mampu mengelola konsumsi kaidah gizi dan kesehatan, serta preferensinya.
Ketersediaan pangan harus dipertahankan sama atau lebih besar daripada
kebutuhan penduduk terhadap pangan. Ketersediaan pangan yang cukup di suatu
wilayah (pasar) tidak dapat menjamin tersedianya pangan di tingkat rumah tangga,
karena tergantung pada kemampuan rumah tangga dalam mengakses pangan, dalam
arti fisik (daya jangkau) maupun ekonomi (daya beli). Oleh karena itu, dalam
konsep ketahanan pangan mengamanakan tersedianya pangan yang dapat dijangkau
sampai tingkat individu/perseorangan.
Penyediaan pangan yang cukup, beragam, bergizi dan berimbang, baik
secara kuantitas maupun kualitas, merupakan pondasi yang sangat penting dalam
pembangunan sumber daya manusia suatu bangsa. Kekurangan pangan berpotensi
memicu keresahan dan berdampak pada masalah sosial, keamanan, dan ekonomi.
Distribusi pangan mencakup aspek aksesibilitas atas pangan secara merata, baik
secara fisik maupun ekonomi. Hal ini berarti bahwa sistem distribusi bukan semata-
mata mencakup aspek fisik dalam arti pangan tersedia di semua lokasi yang
membutuhkan, tetapi juga menyangkut keterjangkauan ekonomi yang dicerminkan
oleh harga dan daya beli masyarakat.
2.2.2 Konsep Kedaulatan Pangan
Konsep kedaulatan pangan muncul pertama kali tahun 1996, atau lebih dari
20 tahun setelah konsep katahanan pangan digulirkan. Kedaulatan pangan semula
merupakan kerangka kebijakan dan wacana untuk mengangkat kesejahteraan petani
kecil. Konsep ini lalu berkembang cepat dan telah diadopsi ribuan organisasi petani,
masyarakat lokal, Lembaga Swadaya Masyarakat, lembaga kemasyarakatan,
bahkan mulai diadopsi lembaga-lembaga di bawah PBB, termasuk oleh FAO.
Namun demikian, di Indonesia khususnya, konsep ini tidak mudah diterima
terutama dari kalangan pemerintahan.
Kedaulatan pangan merupakan dianggap sebuah konsep politik, padahal
tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan melestarikan
ekologi dan lingkungan. Konsep yang menganggap sebagai konsep politik
tampaknya mengambil pendapat Windfuhr dan Jonsen (2005) yang menyatakan
”food sovereignty is essentially a political concept”. Demikian pula dengan (Lee
dalam Syahyuti, 2011) yang menyebutkan bahwa kedaulatan pangan sebenarnya
agak terkait dengan politik formal. Konsep kedaulatan pangan bersumber dari
gerakan petani Via Campesina. Pemicunya adalah sering terjadinya konflik dalam
penggunaan sumberdaya genetik tanaman, sehingga menimbulkan ketegangan
antara pendekatan ketahanan pangan dengan kedaulatan pangan. Kedua konsep ini
sesungguhnya merupakan produk dari wacana perubahan pertanian global. Gagasan
kedaulatan pangan yang muncul tahun 1996 merupakan respon terhadap sikap yang
inklusif pada pertanian dalam sistem perdagangan dunia.
Kedaulatan pangan adalah “hak setiap bangsa dan setiap rakyat untuk
memproduksi pangan secara mandiri dan hak untuk menetapkan sistem pertanian,
peternakan, dan perikanan tanpa adanya subordinasi dari kekuatan pasar
internasional” (Ika, 2014). Kedaulatan pangan juga merupakan pemenuhan hak
manusia untuk menentukan sistem pertanian dan pangannya sendiri yang lebih
menekankan pada pertanian berbasis agri-culture berdasarkan pada prinsip
keluarga atau solidaritas dan bukan pertanian berbasiskan agri-business
berdasarkan pada profit semata. Negara mempunyai otoritas serta kapasitas untuk
mengkonsolidasikan berbagai macam sumber daya ekonomi dan politik yang
tersedia demi kepentingan pemenuhan hak atas pangan
Kedaulatan pangan dipahami sebagai hak bangsa dan rakyat untuk
mengontrol sistem pangan mereka sendiri, termasuk pasar, sistem produksi, sistem
pangan dan lingkungan... "sebagai alternatif untuk mengkritik model neoliberal
yang dominan dalam usaha pertanian (agriculture) dan perdagangan" (Wittman
dkk., 2010). Konsep ini sangat erat direkatkan dengan La Via Campesina dan para
pendukungnya, dan digunakan terus-menerus sebagai slogan, manifesto dan proyek
politik, serta cita-cita untuk mengubah sejarah dunia.
Secara konseptual, kedaulatan pangan berarti hak setiap negara atau
masyarakat untuk menentukan sendiri kebijakan pangannya, melindungi sistem
produksi pertanian dan perdagangan untuk mencapai sistem pertanian yang
berkelanjutan dan mandiri. Kedaulatan pangan mengatur produksi dan konsumsi
pertanian yang berorientasi kepada kepentingan lokal dan nasional, bukan pasar
global. Dalam Undang-Undang tentang Pangan No. 18 Tahun 2012 Pasal 1 ayat 2
menyatakan bahwa kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara
mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat
dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang
sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Dengan dicantumkan kedaulatan pangan
dalam undang-undang pangan, diharapkan tidak lagi dijumpai persoalan-persoalan
dasar tentang pangan, seperti gizi buruk, kelaparan, rawan pangan, dan sebagainya.
Dengan undang-undang pangan ini berupaya memberikan kewajiban kepada negara
untuk menghormati, memenuhi, dan melindungi hak atas pangan warga negaranya
yang selama ini pemerintah mengandalkan konsep ketahanan pangan dalam
pemenuhan pangan masyarakat, karena untuk mempertahankan ketahanan pangan
pemerintah bisa melakukan impor pangan. Kalau kedaulatan pangan dijalankan
oleh pemerintah ini akan mendidik masyarakat/petani untuk menggunakan sumber
daya lokal untuk pemenuhan kebutuhan pangannya atau dengan kata lain
pendekatan kedaulatan pangan dapat melengkapi dan menyempurnakan pencapaian
ketahanan pangan.
Menurut Bernstein dan Bachriadi (2014), sembilan prinsip kedaulatan
pangan, adalah (1) pangan adalah hak asasi manusia yang mendasar; (2) pangan
adalah sumber nutrisi dan hanya untuk tujuan berikutnya menjadi barang
perdagangan; (3) perempuan memainkan peran sentral dalam kedaulatan pangan;
(4) setiap orang memiliki hak untuk memperoleh informasi yang akurat dan
sebenarnya terkait dengan pangan serta terlibat dalam proses pembentukan
kebijakan pangan dan pertanian yang demokratis; (5) menjauhkan kegiatan
produksi pertanian dari kecenderungan hanya untuk ekspor; (6) setiap petani
memiliki hak untuk menghasilkan pangan secara berkelanjutan yang diawali
dengan adanya jaminan ketersediaan tanah yang baik, dan pengurangan pemakain
bahan kimia; (7) kontrol yang demokratis atas sistem pangan adalah hal yang
esensial; (8) perdamaian adalah pra kondisi yang diperlukan untuk kedaulatan
pangan; (9) pemerintah harus mengalokasi anggaran yang cukup untuk mendukung
kegiatan pertanian yang seharusnya menjadi sektor utama.
Konsep kedaulatan pangan mensyaratkan berkembangnya sistem pangan
(kedaulatan pangan) yang cocok dengan kondisi sumber daya yang ada, baik dari
sudut lingkungan (termasuk lingkungan alam, lingkungan sosial, dan budaya),
teknologi (termasuk budaya, kebiasaan dan praktek-praktek keseharian lainnya),
maupun sumber daya manusianya. Dalam hal ini, sistem dan struktur sosial,
budaya, politik, dan ekonomi pangan perlu dikembangkan, dibangun dan
disesuaikan dengan sumber daya lokal.
Ada empat (4) variabel lokal yang saling terkait dalam konteks yang khas,
yaitu knowledge, technology, people dan environment. Keempatnya harus selalu
dijadikan sebagai modal utama pengembangan sistem kedaulatan pangan. Itu
sebabnya, konsep kedaulatan pangan menjadikan peran serta aktif penduduk lokal
sebagai indikator penting. Dalam prakteknya, ketiga konsep dari ketahanan pangan,
kemandirian pangan dan kedaulatan pangan secara politis mempunyai tempatnya
sendiri-sendiri. Namun, sebagai negara kaya dengan sumber daya alam melimpah
dan jumlah penduduk yang sangat banyak, sudah selayaknya Indonesia lebih
menganut pada konsep kedaulatan pangan. Secara sederhana, perbedaan ketiga
konsep tersebut – ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan pangan serta beberapa
indikatornya – disarikan oleh Hariyadi (2011) seperti tersaji pada Tabel 2.1 berikut.
Tabel 2.1
Perbandingan Ketahanan Pangan, Kemandirian Pangan dan
Kedaulatan Pangan
Ketahanan Pangan Kemandirian Pangan Kedaulatan Pangan
Definisi Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman,merata, dan terjangkau **)
Kemandirian Pangan adalah kemampuan produksi pangan dalam negeri yang didukung kelembagaan ketahanan pangan yang mampu menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup ditingkat rumah tangga baik dalam jumlah, mutu,keamanan, maupun harga yang terjangkau, yang didukung oleh sumber-sumber pangan yang beragam sesuai dengan keragaman lokal ***).
Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri dapat menentukan kebijakan pangannya, yang menjamin hak atas pangan bagi rakyatnya, serta memberikan hak bagi masyarakatnya untuk menentukan system pertanian pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal***).
Indikator Ketersediaan pangan
Kecukupan jumlah (kuantitas) Kecukupan mutu Kecukupan gizi Keamanan
Kecukupan jumlah (kuantitas) Kecukupan mutu Kecukupan gizi Keamanan
Kecukupan jumlah (kuantitas) Kecukupan mutu Kecukupan gizi Keamanan
Indikator Keterjangkauan pangan
Keterjangkauan fisik, ekonomi, dan sosial, Kesesuaian dengan preferensi
Keterjangkauan fisik,ekonomi, dan sosial, Kesesuaian dengan preferensi Kesesuaian kebiasaan, dan budaya Kesesuaian dengan kepercayaan
Keterjangkauan fisik,ekonomi, dan sosial, Kesesuaian dengan preferensi Kesesuaian kebiasaan, dan budaya Kesesuaian dengan kepercayaan
Indikator Konsumsi pangan
Kecukupan asupan (intake), Kualitas pengolahan pangan, Kualitas sanitasi dan hygiene, Kualitas air Kualitas pengasuhan anak
Kecukupan asupan (intake), Kualitas pengolahan pangan, Kualitas sanitasi dan hygiene, Kualitas air Kualitas pengasuhan anak
Kecukupan asupan (intake), Kualitas pengolahan pangan, Kualitas sanitasi dan hygiene, Kualitas air Kualitas pengasuhan anak
Indikator Kemandirian
Tingkat ketergantungan impor pangan Tingkat ketergantungan impor sarana produksi pangan (benih, pupuk, ingredient, pengemas, mesinmesin, dan lain-lain)
Tingkat ketergantungan impor pangan Tingkat ketergantungan impor sarana produksi pangan (benih, pupuk,ingredient, pengemas, mesinmesin,dan lain-lain)
Indikator Kedaulatan
Tingkat keaneka-ragaman sumberdaya pangan lokal
Tingkat partisipasi masyarakat dalam sistem pangan
Tingkat degradasi mutu lingkungan
Tingkat kesejahteraan masyarakat petani, nelayan dan peternak
Sumber: Purwiyatno Hariyadi
*) Disarikan dari berbagai sumber (Hariyadi, 2007; 2009; 2010a
**) UU No 7,1996 tentang Pangan, Bab I, Pasal 1.
***) UU No 41, 2009, tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, Bab I, Pasal 1.
Upaya peningkatan kedaulatan pangan perlu secara sadar, sistematis, dan
terstruktur diupayakan, baik oleh pemerintah maupun oleh masayarakat. Secara
umum, kondisi kedaulatan pangan bisa dievaluasi dan dimonitor melalui capaian
indikator-indikator yang telah ditetapkan seperti pada Tabel 2.1. Dengan
memperhatikan indikator-indikator tersebut, maka bisa dilihat bahwa riset dan
teknologi mempunyai peranan sangat penting untuk meningkatkan kedaulatan
pangan melalui peranannya dalam meningkatkan dan menjamin ketersediaan,
keterjangkauan, konsumsi, kemandirian, maupun kedaulatan pangan.
Kedaulatan pangan tumbuh dalam menanggapi ilusi yang diberikan oleh
prinsip ketahanan pangan kebijakan penyediaan pangan yang dominan secara
global. Kebijakan ketahanan pangan menekankan akses pangan bernutrisi yang
mencukupi untuk semua, yang dapat disediakan melalui produksi dari dalam negeri
maupun dari impor. Dengan mengatasnamakan efisiensi dan produktivitas, di
berbagai negara justru berkembang rezim korporasi pangan di mana perusahaan
besar mendominasi produksi dan perdagangan pangan sementara petani kecil
terlantarkan (Philip, 2009). Fokus ketahanan pangan pada rezim korporasi pangan
demi produktivias dan efisiensi telah menyebabkan berbagai masalah yang terus
meluas secara global, seperti hilangnya pangsa pasar bagi produsen kecil dan
berbagai dampak lingkungan dari pertanian.
Ketika harga beras melonjak pada tahun 2008, banyak masyarakat yang
tidak mampu membelinya, sedangkan produksi pangan dalam negeri sudah
terlanjur turun, sehingga suplai pangan tidak mencukupi dan banyak yang memakan
makanan yang tidak layak (Annie, 2010). Untuk mengetahui perbedaan ketahanan
pangan dan kedaulatan pangan dapat dilihat dalam Tabel 2.2 berikut.
Tabel 2.2
Perbedaan Konsep Ketahanan Pangan dan Kedaulatan Pangan
Aspek Ketahanan Pangan Kedaulatan Pangan
Perdagangan Perdagangan bebas dianggap
segalanya atau satu-satunya
jalan menuju kesejahteraan
rakyat.
Pangan dan pertanian dilindungi oleh
perdagangan bebas.
Tujuan utama
produksi
Budidaya tanaman pangan
untuk komoditi perdagangan
dan ekspor.
Budidaya aneka tanaman pangan untuk
kebutuhan sendiri dan pasar lokal.
Harga Terserah pasar (mekanisme
pasar murni).
Harga yang adil, memperhitungkan biaya
produksi, pendapatan buruh tani,
keuntungan bagi petani kecil secara
bermartabat.
Akses pasar Pasar luar negeri. Akses ke pasar lokal dan menghentikan
investasi pasar agribisnis.
Subsidi Dilarang (namun AS dan UE
memberikan subsidi yang besar
kepada petaninya yang kaya).
Boleh selama tidak merusak pasar negeri
lain. Justru diperlukan untuk petani kecil
dan untuk mendukung pertanian
berkelanjutan.
Pangan Komoditas yang penting dan
menguntungkan (komoditas
perdagangan).
Kebutuhan dasar manusia, sehingga harus
terjangkau dalam jumlah yang cukup
sesuai budaya lokal dan produksi lokal
(komoditas sosial).
Pilihan komoditas Satu pilihan komoditas untuk
efisiensi ekonomi.
Pilihan jenis tanaman adalah hak
penduduk pedesaan, terutama petani.
Efek produksi Kelaparan karena rendahnya
produksi pangan.
Masalah akses dan distribusi, karena
kemiskinan dan ketidakadilan.
Daya tahan pangan Dicapai dari manapun (termasuk
impor) asal harga murah.
Diproduksi sendiri oleh komunitas lokal,
keanekaragaman pangan berdasarkan
histori dan kultur daerah setempat, tidak
memaksakan keseragaman pangan.
Diprivatisasi Lokal dan kontrol oleh komunitas
Komunitas yang dipatenkan. Lokal, warisan yang menjadi milik
bersama.
Dari bank, swasta atau
pemerintah
Dari pemerintah yang dirancang untuk
mendukung petani kecil, modal sendiri,
arisan desa atau serikat tolong menolong.
Dumping Tidak begitu masalah Harus dilarang
Monopoli Tidak masalah Jadi sumber persoalan, harus dihilangkan.
Kontrol terhadap
sumber produksi
Harapan masa depan. Merusak ekologi dan kesehatan, tidak
diperlukan
Benih
Sumber modal
produksi
Sumber: Diadaptasi dan dikembangkan dari Rossert (2003)
Sebagai sebuah konsep, kedaulatan pangan sesungguhnya sejajar dengan
ketahanan pangan, karena yang membedakan keduanya adalah elemen di dalamnya.
Elemen-elemen itu meliputi model produksi pertanian agroekologis yang berbeda
dengan pertanian industri, model perdagangan pertanian yang proteksionis dan
mendorong pasar lokal dibandingkan liberal, menggunakan instrumen dari
International Planning Committee for Food Security yang berbeda dengan WTO,
pendekatan terhadap sumber daya genetik pertanian yang bersifat komunal dan
lebih cenderung antipaten yang bertolak belakang dengan perjanjian Trade Related
Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS), serta penekanan pada wacana
lingkungan green rationalism dibandingkan economic rationalism sebagaimana
diadopsi dalam ketahanan pangan. Kedua konsep ini cenderung menuju polarisasi
sebagaimana dipaparkan pada Tabel 2.3 berikut. Ini sesuai dengan pandangan
Tramel (2009) dalam Syahyuti, (2011).), bahwa Food security and food sovereignty
are represented as opposing paradigms of food production
Tabel 2.3
Berbagai Elemen Pokok antara Ketahanan Pangan
dan Kedaulatan Pangan
Aspek Ketahanan pangan Kedaulatan
pangan
Model produksi pertanian Fokus pada produksi atau
bertipe industrial
Agro-ekologis
Model perdagangan pertanian Liberalisasi Proteksionis
Organisasi yang memimpin WTO Via Campesina
Instrumen yang digunakan AoA, TRIPS, SPS IPC
Pendekatan terhadap
sumberdaya genetis
tanaman
Hak penguasaan
individual
Anti hak paten,
penguasaan
secara komunal
Wacana tentang lingkungan Rasionalis ekonomis Rasionalisme hijau
(green
rationalism) Sumber: Tramel (2009) dalam Syahyuti, 2011
Konsep ketahanan pangan lebih mapan bila dibandingkan dengan
kedaulatan pangan, pencapaian ketahanan pangan bisa tidak didukung oleh lahan
pertanian yang memadai, karena bisa mengimpor pangan. Seperti Negara Singapura
dan negara-negara lainnya yang tidak punya lahan pertanian yang memadai,
sedangkan kedaulatan pangan, harus ada dukungan lahan pertanian yang cukup
memadai dalam arti produktivistasnya demi berdaulat.
2.3 Alih Fungsi Lahan
Menurut Utomo dkk. (1992), mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazim
disebut dengan konversi lahan sebagai perubahan penggunaan atau fungsi sebagian
atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan)
menjadi fungsi lain yang membawa dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan
dan potensi lahan sendiri. Alih fungsi lahan dalam artian perubahan/penyesuaian
peruntukan penggunaan, disebabkan oleh faktor-faktor secara garis besar meliputi
keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin banyak jumlahnya
dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik, sedangkan Agus
(2004) menyatakan konversi lahan sawah adalah suatu proses yang disengaja oleh
manusia (anthropogenic), bukan suatu proses alami.
Percetakan sawah dilakukan dengan biaya tinggi, namun ironisnya konversi
lahan tersebut sulit dihindari dan terjadi setelah system produksi pada lahan sawah
tersebut berjalan dengan baik. Konversi lahan merupakan konsekuensi logis dari
peningkatan aktivitas dan jumlah penduduk serta proses pembangunan lainnya.
Konversi lahan pada dasarnya merupakan hal yang wajar terjadi, namun pada
kenyataannya konversi lahan menjadi masalah karena terjadi di atas lahan pertanian
yang masih produktif.
Konversi lahan pertanian erat hubungannya dengan aspek-aspek perubahan
orientasi ekonomi, sosial, budaya, dan politik masyarakat. Arah perubahan ini
secara langsung atau tidak langsung akan berdampak terhadap pergeseran kondisi
ekonomi, tata ruang pertanian, serta prioritas-prioritas pembangunan pertanian
wilayah dan nasional (Winoto, 1995a; Nasoetion dan Winoto, 1996). Terjadinya
konversi lahan pertanian ke non pertanian tidak sepenuhnya bersifat alamiah, tetapi
ada juga yang secara langsung atau tidak langsung dihasilkan oleh proses
kebijaksanaan pemerintah (Anwar dan Pakpahan, 1990; Winoto, 1995a). Menurut
Anwar (1995), dalam proses alih fungsi lahan, telah terjadi asimetris informasi
harga tanah, sehingga sistem harga tidak mengandung semua informasi yang
diperlukan untuk mendasari suatu keputusan transaksi. Terjadi harga asimetris
karena pihak petani (orang yang menjual lahan pertaniannya) cendrung tidak
memiliki informasi yang sempurna tentang harga lahan pertanian, akibatnya harga
pasar belum mencerminkan nilai sebenarnya dari lahan pertanian, sehingga harga
yang ditetapkan melalui mekanisme pasar cenderung under valuation. Menurut
Nasoetion dan Winoto (1996), Kegagalan mekanisme pasar dalam mengalokasikan
lahan secara optimal disebabkan faktor-faktor rent (sewa) lainnya dari keberadaan
lahan sawah terabaikan, seperti fungsi sosial, fungsi kenyamanan, fungsi konservasi
tanah dan air, dan fungsi penyediaan pangan bagi generasi selanjutnya.
Dalam perspektif makro, Kustiawan (1997) mengemukakan bahwa
fenomena alih fungsi lahan terjadi akibat transformasi struktural perekonomian dan
demografis, khususnya di negara-negara berkembang. Transformasi struktural
perekonomian berlangsung dari semula bertumpu pada pertanian bergeser ke arah
industri. Sementara itu, transformasi geografis terjadi akibat pesatnya pertumbuhan
penduduk perkotaan yang berakibat pada alih fungsi penggunaan lahan pertanian
ke penggunaan non pertanian. Khusus untuk lahan pertanian yang berigasi (sawah),
secara langsung dan tidak langsung alih fungsi lahan pada jenis ini disebabkan oleh
beberapa faktor (Pakpahan dkk., 1993). Alih fungsi secara langsung terjadi akibat
keputusan para pemilik lahan (petani) untuk mengalihfungsikan sawah mereka ke
penggunaan lainnya seperti untuk industri, perumahan, prasarana dan sarana atau
pertanian lahan kering. Alih fungsi kategori ini didorong oleh motif ekonomi,
dimana penggunaan lahan setelah dialihfungsikan memiliki nilai jual/sewa (land
rent) yang lebih tinggi dibandingkan pengunaan lahan untuk sawah yang
pengasilannya jauh lebih rendah bila difungsikan menjadi bukan fungsi sawah.
Dampak negatif dari alih fungsi adalah terletak pada kesempatan/peluang
memproduksi hasil pertanian (lahan sawah) akan semakin menurun (Sumaryanto
dkk., 1994).
Menurut Irawan (2005), konversi lahan pertanian pada dasarnya terjadi
akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan pertanian dengan non
pertanian. Sedangkan persaingan dalam pemanfaatan lahan tersebut muncul akibat
adanya tiga fenomena ekonomi dan sosial, yaitu a) keterbatasan sumberdaya lahan,
b) pertumbuhan penduduk, dan c) pertumbuhan ekonomi. Sedangkan Sihaloho
dalam Munir (2008) membagi konversi lahan kedalam tujuh pola atau tipologi,
antara lain sebagai berikut.
1) Konversi gradual berpola sporadis; dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu
lahan yang kurang/tidak produktif dan keterdesakan ekonomi pelaku konversi;
2) Konversi sistematik berpola ‘enclave’; dikarenakan lahan kurang produktif,
sehingga konversi dilakukan secara serempak untuk meningkatkan nilai
tambah;
3) Konversi lahan sebagai respon atas pertumbuhan penduduk (population growth
driven land conversion); lebih lanjut disebut konversi adaptasi demografi,
dimana dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk, lahan terkonversi untuk
memenuhi kebutuhan tempat tinggal;
4) Konversi yang disebabkan oleh masalah sosial (social problem driven land
conversion); disebabkan oleh dua faktor yakni keterdesakan ekonomi dan
perubahan kesejahteraan;
5) Konversi tanpa beban; dipengaruhi oleh faktor keinginan untuk mengubah
hidup yang lebih baik dari keadaan saat ini dan ingin keluar dari kampung;
6) Konversi adaptasi agraris; disebabkan karena keterdesakan ekonomi dan
keinginan untuk berubah dari masyarakat dengan tujuan meningkatkan hasil
pertanian; dan
7) Konversi lahan erat kaitannya pula dengan kepadatan penduduk yang semakin
meningkat. Rusli (1995) mengungkapkan bahwa dengan meningkatnya jumlah
penduduk, rasio manusia-lahan menjadi semakin besar, sekalipun pemanfaatan
setiap jengkal lahan sangat dipengaruhi taraf perkembangan kebudayaan suatu
masyarakat. Pertumbuhan penduduk menyebabkan makin mengecilnya
persediaan lahan rata-rata per orang.
Irawan (2005) mengemukakan bahwa konversi tanah lebih besar terjadi
pada tanah sawah dibandingkan dengan tanah kering karena dipengaruhi oleh tiga
faktor, yaitu pertama, pembangunan kegiatan non pertanian seperti kompleks
perumahan, pertokoan, perkantoran, dan kawasan industri lebih mudah dilakukan
pada tanah sawah yang lebih datar dibandingkan dengan tanah kering. Kedua,
akibat pembangunan masa lalu yang terfokus pada upaya peningkatan produk padi
maka infrastruktur ekonomi lebih tersedia di daerah persawahan daripada daerah
tanah kering. Ketiga, daerah persawahan secara umum lebih mendekati daerah
konsumen atau daerah perkotaan yang relatif padat penduduk dibandingkan daerah
tanah kering.
Perkembangan teknologi juga berperan dalam menggeser fungsi lahan.
Siswanto (2006), mengatakan ada tiga hal bagaimana teknologi mempengaruhi pola
penggunaan lahan. Pertama, perubahan teknologi telah membawa perubahan dalam
bidang pertanian melalui peningkatan produktivitas lahan pertanian dan
produktivitas tenaga kerja; Kedua, perubahan teknologi transportasi meningkatkan
efisiensi tenaga kerja, memberikan peluang dalam meningkatkan urbanisasi daerah
perkotaan; dan Ketiga, teknologi transportasi dapat meningkatkan aksesibilitas
pada suatu daerah. Para ahli berpendapat bahwa perubahan penggunaan lahan lebih
disebabkan oleh adanya kebutuhan dan keinginan manusia. Faktor-faktor yang
mendorong perubahan penggunaan lahan adalah politik, ekonomi, demografi dan
budaya. Aspek politik adalah adanya kebijakan yang dilakukan oleh pengambil
keputusan yang mempengaruhi terhadap pola perubahan penggunaan lahan.
Menurut Priyono (2011), faktor yang penyebab terjadinya konversi lahan
pertanian dikelompokkan menjadi 6 (enam) faktor penting yang sering terjadi di
suatu wilayah, antara lain 1) Faktor Ekonomi; 2) Faktor Demografi; 3) Faktor
Pendidikan dan Ipteks; 4) Faktor Sosial dan Politik; 5) Faktor Kelembagaan; 6)
Faktor Instrumen Hukum dan Penegakannya. Menurut Isa (2004), faktor-faktor
yang mendorong terjadinya konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian, antara
lain adalah 1) Faktor kependudukan; 2) Kebutuhan lahan untuk kegiatan
nonpertanian; 3) Faktor ekonomi; 4) Faktor sosial budaya; 5) Degradasi
lingkungan; 6) Otonomi daerah; dan 5) Lemahnya sistem perundang-undangan dan
penegakan hukum (law enforcement).
Sementara itu Winoto (2005), mengemukakan bahwa lahan pertanian yang
paling rentan terhadap alih fungsi adalah sawah disebabkan oleh: (1) Kepadatan
penduduk di pedesaan yang mempunyai agroekosistem dominan sawah pada
umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan agroekosistem lahan kering, sehingga
tekanan penduduk atas lahan juga lebih tinggi; (2) Daerah persawahan banyak yang
lokasinya berdekatan dengan daerah perkotaan; dan (3) Akibat pola pembangunan
di masa sebelumnya.
2.4 Konsep Kelembagaan
2.4.1 Konsep Kelembagaan dan Pengertian Kelembagaan
Pengertian lembaga sampai saat ini masih menjadi bahan perdebatan
kalangan ilmuan sosial. Belum adanya kesepahaman tentang arti “kelembagaan” di
kalangan ahli, hal ini menyebabkan munculnya beberapa pengertian dan konsep
yang menyebabkan tidak dapat dioperasionalkan. Namun, semenjak era 1950-an,
sesungguhnya sudah terlihat adanya pembedaan yang tegas antara kelembagaan
(social institution) dan organisasi (social organization). istilah “kelembagaan”
untuk menyebut suatu sistem sosial, yang didalamnya dapat dibagi menjadi dua
komponen penting, yaitu “aspek kelembagaan” dan “aspek keorganisasian”.
Menurut Uphoff (1986), istilah kelembagaan dan organisasi sering
membingungkan dan bersifat interchangeably. Secara keilmuan, social institution
dan social organization berada dalam level yang sama, untuk menyebut apa yang
dikenal dengan kelompok sosial, social form, dan lain-lain yang relatif sejenis.
Namun, perkembangan akhir-akhir ini, istilah “kelembagaan” lebih sering
digunakan untuk makna yang mencakup keduanya sekaligus. Ada beberapa alasan
kenapa orang-orang lebih memilih istilah tersebut. Kelembagaan lebih dipilih
karena kata “organisasi” menunjuk kepada suatu social form yang bersifat formal,
dan akhir-akhir ini semakin cenderung mendapat image negatif. Kata kelembagaan
juga lebih disukai karena memberi kesan lebih “sosial” dan lebih menghargai
budaya lokal, atau lebih humanis.
Sementara itu, Koentjaraningrat (1997) mengemukakan bahwa belum
terdapat istilah yang mendapat pengakuan umum dalam kalangan para sarjana
sosiologi untuk menterjemahkan istilah Inggris ‘social institution’. Ada yang
menerjemahkannya dengan istilah ‘pranata’ ada pula yang ‘bangunan sosial.
Ketidaksepakatan tersebut bukan sekedar apa padanan katanya yang cocok dalam
bahasa Indonesia. Yang lebih penting adalah, apa makna kata itu sendiri
seharusnya. Selama ini pengertiannya sering berbeda-beda antar penulis,
tergantung acuan yang digunakan (Horton dan Hunt, 1984). Ada berbagai definisi
kelembagaan yang disampaikan oleh ahli dari berbagai bidang, antara lain sebagai
berikut.
…”aturan di dalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi yang
menfasilitasi koordinasi antar anggotanya untuk membantu mereka dengan harapan
di mana setiap orang dapat bekerjasama atau berhubungan satu dengan yang lain
untuk mencapai tujuan bersama yang diinginkan” (Ruttan dan Hayami, 1984).
…“aturan dan rambu-rambu sebagai panduan yang dipakai oleh para anggota
suatu kelompok masyarakat untuk mengatur hubungan yang saling mengikat atau
saling tergantung satu sama lain. Penataan institusi (institutional arrangements)
dapat ditentukan oleh beberapa unsur: aturan operasional untuk pengaturan
pemanfaatan sumber daya, aturan kolektif untuk menentukan, menegakan hukum
atau aturan itu sendiri dan untuk merubah aturan operasional serta mengatur
hubungan kewenangan organisasi” (Ostrom, 1985; 1986).
…“suatu himpunan atau tatanan norma–norma dan tingkah laku yang bisa
berlaku dalam suatu periode tertentu untuk melayani tujuan kolektif yang akan
menjadi nilai bersama. Institusi ditekankan pada norma-norma prilaku, nilai budaya
dan adat istiadat” (Uphoff, 1986).
...”sekumpulan batasan atau faktor pengendali yang mengatur hubungan
perilaku antar anggota atau antar kelompok. Dengan definisi ini kebanyakan
organisasi umumnya adalah institusi karena organisasi umumnya mempunyai
aturan yang mengatur hubungan antar anggota maupuna dengan orang lain di luar
organisasi itu” (Nabli dan Nugent, 1989).
...”aturan main di dalam suatu kelompok sosial dan sangat dipengaruhi oleh
faktor-faktor ekonomi, sosial dan politik. Institusi dapat berupa aturan formal atau
dalam bentuk kode etik informal yang disepakati bersama (North, 1990). North
membedakan antara institusi dari organisasi dan mengatakan bahwa institusi adalah
aturan main sedangkan organisasi adalah pemainnya
...”mencakup penataan institusi (institutional arrangement) untuk
memadukan organisasi dan institusi. Penataan institusi adalah suatu penataan
hubungan antara unit-unit ekonomi yang mengatur cara unit-unit ini apakah dapat
bekerjasama dan atau berkompetisi (Williamson, 1985).
Dalam pendekatan ini organisasi adalah suatu pertanyaan mengenai aktor
atau pelaku ekonomi di mana ada kontrak atau transaski yang dilakukan dan tujuan
utama kontrak adalah mengurangi biaya transaksi. Berdasarkan berbagai konsep
dan definisi yang dikemukan oleh beberapa ahli maka kelembagaan dapat diartikan
sebagai suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi
yang saling mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau
antar organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan
oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik aturan formal
maupun informal untuk pengendalian perilaku sosial serta insentif untuk
bekerjasama dan mencapai tujuan bersama. Aplikasi Ilmu Ekonomi Kelembagaan
dapat ditunjukan dengan tiga pendekatan yaitu: (1) teori ekonomi biaya transaksi;
(2) teori hak kepemilikan, dan (3) teori modal sosial (Yustika,2012)
2.4.2 Peran Kelembagaan dalam Pembangunan Ekonomi
Pembangunan kelembagaan bertujuan untuk mengarahkan aliran investasi
secara efektif, menjamin proses transaksi maupun investasi sesuai kontrak, dan
mencegah incredible commitment, dua hal tersebut yang menjadi perhatian
(Williamson, 1995). Pada level makro, yaitu institutional environment, aturan yang
menyangkut aspek sosial, politik, dan aspek legal lainnya yang mendasari sistem
produksi, konsumsi dan distribusi, harus ditegakkan oleh semua pihak dalam
kedudukan yang sama di muka hukum. Pada level mikro, yaitu institutional
arrangement, aturan atau mekanisme di antara unit-unit ekonomi yang
mengendalikan operasi, koordinasi dan kompetisi ditekankan kepada partisipasi
dan utility untuk mencapai suatu transaksi secara de facto. Berjalannya mekanisme
kelembagaan yang efektif menuntut adanya kesatuan sistem hukum antara yang
lebih tinggi dengan yang di bawahnya. Ketidakharmonisan ini akan dapat
menimbulkan ketidakpastian hukum dan berakibat pada malapetaka (chaos) akibat
terjadinya benturan sistem. Untuk itu diperlukan kesungguhan, kejujuran, dan
kearifan untuk menghargai indigenous institution, property right, dan aturan
kontrak dalam rangka mengembangkan perekonomian sekaligus meningkatkan
peranan modal sosial (social capital) di dalamnya.
Pembangunan lembaga yang efektif adalah hal yang rumit, namun demikian
ada empat hal utama yang dapat dijadikan panduan untuk membangun lembaga
yang efektif. Pertama, melengkapi lembaga yang ada, walaupun mengubah secara
keseluruhan itu lebih baik, namun ada kendala-kendala. Misalnya sosial, budaya
dan politik yang tidak memungkinkan perubahan secara keseluruhan. Dengan
melengkapi lembaga yang ada, menjadi dasar untuk perubahan lembaga yang lebih
besar nantinya. Kedua, melakukan inovasi untuk mengidentifikasi mana lembaga
yang bisa digunakan mana yang tidak. Perlu eksperimen untuk melihat lembaga
mana yang paling efektif untuk kondisi masyarakat tertentu. Dua hal pertama tadi
adalah faktor yang terkait dengan penawaran lembaga yang efektif. Sedangkan dua
faktor berikut adalah faktor yang terkait dengan permintaan terhadap permintaan
lembaga yang efektif. Ketiga, menghubungkan masyarakat atau komunitas dari
pelaku pasar, melalui penyaluran informasi yang terbuka dan perdagangan terbuka.
Dengan adanya informasi yang baik memberikan kesempatan bagi masyarakat
untuk membandingkan kondisi mereka dengan daerah dan negara lain. Dan jika
mereka melihat ada lembaga yang mungkin dapat memberikan perbaikan untuk
mereka, maka mereka akan meminta lembaga tersebut untuk diterapkan di
daerahnya. Perdagangan terbuka demikian juga effeknya, karena perdagangan
semakin luas dan komplek membuat masyarakat atau negara merasa perlu untuk
membuat lembaga yang dapat menghadapi lingkungan yang lebih komplek
tersebut. Kedua mendorong persaingan antar yuridiksi, perusahaan dan individu.
Persaingan ini akan membuat kualitas lembaga meningkat.
2.4.3 Kelembagaan Petani
Kelembagaan pertanian merupakan norma, aturan atau kebiasaan yang
terstruktur dan terpola serta dipraktekkan terus menerus untuk memenuhi
kebutuhan anggota masyarakat yang terkait erat dengan penghidupan dari bidang
pertanian di perdesaan. Dalam kehidupan komunitas petani, posisi dan fungsi
kelembagaan petani merupakan bagian pranata sosial yang memfasilitasi interaksi
sosial atau social interplay dalam suatu komunitas. Kelembagaan pertani juga
memiliki strategis (entry point) dalam menggerakkan sistem agribisnis di
perdesaan. Untuk itu segala sumberdaya yang ada di perdesaan perlu
diarahkan/diprioritaskan dalam rangka peningkatan profesionalisme dan posisi
tawar petani (kelompok tani). Saat ini potret petani dan kelembagaan petani di
Indonesia diakui masih belum sebagaimana yang diharapkan (Suradisastra, 2008).
Peran kelembagaan dalam membangun dan mengembangkan sektor pertanian di
Indonesia terutama terlihat dalam kegiatan pertanian tanaman pangan, khususnya
padi.
Menurut Dimyati (2007), permasalahan yang masih melekat pada sosok
petani dan kelembagaan petani di Indonesia, adalah (1) Masih minimnya wawasan
dan pengetahuan petani terhadap masalah manajemen produksi maupun jaringan
pemasaran; (2) Belum terlibatnya secara utuh petani dalam kegiatan agribisnis.
Aktivitas petani masih terfokus pada kegiatan produksi (on farm); (3) Peran dan
fungsi kelembagaan petani sebagai wadah organisasi petani belum berjalan secara
optimal.
Kelembagaan usahatani memiliki potensi untuk meningkatkan
produktivitas, pendapatan dan kesejahteraan pelaku usahatani (Viswanathan dalam
Fitria, 2013). Namun, fakta di lapangan menyatakan bahwa masih terdapat
kesenjangan antara kelembagaan yang dibentuk secara top down oleh Pemerintah,
dengan kelembagaan yang dibutuhkan oleh pelaku usahatani (Fitria, 2013). Selama
ini pendekatan kelembagaan juga telah menjadi komponen pokok dalam
pembangunan pertanian dan pedesaan. Namun, kelembagaan usahatani, terutama
kelompok petani cenderung hanya diposisikan sebagai alat untuk
mengimplementasikan proyek belaka, belum sebagai upaya untuk pemberdayaan
yang lebih mendasar (Wahyuni, 2003).
Meningkatnya produksi pertanian atau output hasil pertanian selama ini
belum diikuti dengan meningkatnya kesejahteraan petani secara signifikan dalam
usahataninya. Petani sebagai unit agribisnis terkecil belum mampu meraih nilai
tambah yang rasional sesuai skala usahatani terpadu. Oleh karena itu persoalan
membangun kelembagaan di bidang pertanian dalam pengertian yang luas menjadi
semakin penting, agar petani mampu melaksanakan kegiatan yang tidak hanya
menyangkut on farm bussiness saja, akan tetapi juga terkait erat dengan aspek-
aspek off farm agribussinessnya.
Kelembagaan pertanian memiliki delapan jenis kelembagaan, yaitu 1)
kelembagaan penyedia input, 2) kelembagaan penyedia modal, 3) kelembagaan
penyedia tenaga kerja, 4) kelembagaan penyedia lahan dan air, 5) kelembagaan
usaha tani, 6) kelembagaan pengolah hasil usaha tani, 7) kelembagaan pemasaran,
8) kelembagaan penyedia informasi (Basuki dalam Fitria, 2013) Dalam sistem
pertanian dikenal juga istilah kelembagaan rantai pasok yakni hubungan
manajemen atau sistem kerja yang sistematis dan saling mendukung di antara
beberapa lembaga kemitraan rantai pasok suatu komoditas. Prinsip-prinsip yang
harus dipenuhi oleh suatu kelembagaan petani agar tetap eksis dan berkelanjutan,
adalah sebagai berikut 1) Prinsip Otonomi (Spesifik Lokal). Pengertian prinsip
otonomi disini dapat dibagi kedalam dua bentuk yaitu; a) Otonomi individu dan b)
Otonomi desa (spesifik lokal); 2) Prinsip Pemberdayaan. Pemberdayaan
mengupayakan peningkatkan kemampuan dan potensi yang dimiliki masyarakat,
sehingga masyarakat dapat mewujudkan jati diri, harkat dan martabatnya secara
maksimal untuk bertahan dan mengembangkan diri secara mandiri baik di bidang
ekonomi, sosial, agama dan budaya (Widjaja,2003)
Inti utama pemberdayaan adalah tercapainya kemandirian (Payne, 1997).
Pada proses pemberdayaan, ada dua prinsip dasar yang harus dipedomani (Saptana,
dkk, 2003), yaitu a) Menciptakan ruang atau peluang bagi masyarakat untuk
mengembangkan dirinya secara mandiri dan menurut cara yang dipilihnya sendiri,
dan b) Mengupayakan agar masyarakat memiliki kemampuan untuk memanfaatkan
ruang atau peluang yang tercipta.
2.4.4 Kelembagaan Subak di Bali
Keberadaan Subak di Bali diatur berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi
Tingkat I Bali Nomor: 2/DPRD/1972 tentang Irigasi Daerah disebutkan bahwa
subak adalah masyarakat hukum adat yang bersifat sosio-agraris religius yang
secara historis didirikan sejak dulu kala dan berkembang terus sebagai organisasi
penguasa tanah dalam bidang pengaturan air dan lain-lain persawahan dari suatu
sumber di dalam suatu daerah, seiring dengan kondisi dan kebutuhan hukum saat
ini dan perkembangan saat ini, maka Perda Nomor: 2/DPRD/1972 tersebut, di ganti
dengan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali No. 9 Tahun 2012 tentang subak
menyebutkan bahwa subak adalah organisasi tradisional di bidang tata guna air, dan
atau tata tanaman di tingkat usaha tani pada masyarakat adat di Bali, yang bersifat
sosio-agraris, religius, ekonomis yang secara historis terus tumbuh dan
berkembang. Definisi ini tampaknya kurang tepat, karena tidak operasional dalam
menjawab tantangan permohonan pendirian subak di Bali. Di samping itu, dalam
perda itu dicantumkan aspek ekonomi dalam definisi subak. Hal ini tidak tepat,
karena subak sejatinya bukan lembaga ekonomi, tetapi lembaga sosio-kultural.
Kalau seandainya subak adalah lembaga ekonomi, maka semua subak di Bali harus
dibubarkan, karena memang tidak menguntungkan secara ekonomi (Windia dkk.,
2016).
Sutawan dkk. (1989) mengatakan bahwa subak sebagai sistem irigasi
merupakan organisasi petani pengelola air yang mendistribusikan dan
mengalokasikan irigasi pada usahatani lahan basah yang memiliki satu sumber air,
memiliki satu atau lebih pura, memiliki hak otonomi untuk mengatur organisasinya
sendiri serta memiliki berbagai aturan yang dibuat bersama dan diataati bersama
oleh semua anggotanya. Lebih lanjut, disebutkan juga bahwa terdapat beberapa
fungsi subak, yaitu (1) mendistribusikan dan mengalokasikan air irigasi; (2) operasi
dan pemeliharaan jaringan irigasi; (3) mobilisasi sumber daya; (4) penanganan
konflik yang dihadapi subak; dan (5) menyelenggarakan kegiatan ritual/keagamaan,
menurut Windia pada FGD di Pemda Kabupaten Gianyar pada tanggal 22-4-2016,
menyatakan bahwa fungsi subak sebagai sosial-agraris ada kurang lebih 15 buah
ritual yang dilakukan oleh petani/subak dari mulai menanam pada sampai dengan
pasca panen.
Ambler (1990) juga menyebutkan bahwa organisasi pengelola air irigasi
termasuk subak bukanlah merupakan sekedar organisasi yang mengelola aspek
teknis semata tetapi lebih sarat pada aspek sosial-budaya. Rachman (2009)
mengungkapkan bahwa dalam upaya untuk menciptakan pengelolaan sumber daya
air yang efisien dan merata dalam pengalokasiannya, diperlukan adanya
penyesuaian kelembagaan baik untuk kelembagaan pemerintah, swasta maupun
petani. Di tingkat petani, misalnya, diperlukan upaya untuk mengembangkan
kapasitas asosiasi pemakai air menjadi suatu organisasi yang mampu berperan
ganda, yaitu tidak semata-mata sebagai pengelola sistem irigasi, tetapi juga mampu
sebagai pengelola usaha ekonomis.
Kuswanto (1977), mengungkapkan bahwa organisasi pengelola air irigasi
dipandang dari fungsi dan keuntungannya agar tetap mempertahankan sifat
sosialnya di dalam mengahadapi isu semakin kompetitifnya pengelolaan sumber
daya air dewasa ini. Beberapa pertimbangannya, adalah sebagai berikut (1)
pemilikan hak guna atas air dan jaringan irigasi oleh subak sebagai perkumpulan
petani pengelola air (P3A) bersifat kolektif; dan (2) P3A dapat berfungsi sebagai
instrumen untuk menciptakan dan menjaga pemerataan ekonomi di kalangan petani
anggota.
Namun apapun definisi yang diberikan, namun subak di Bali tetap saja eksis
dan beroperasi sesuai tradisi yang telah berjalan sejak terbentuknya pada Abad ke-
11 (Purwitha, 1993). Walaupun dari tahun ke tahun lahannya berkurang akibat dari
pembangunan, pertumbuhan penduduk yang terus berkembang. Keberadaan sistem
irigasi subak di Bali, berkait erat dengan sistem desa pakraman/desa adat dan sistem
desa dinas. Banyak ada kasus, di mana areal kawasan subak saling tumpang tindih
dengan areal desa adat, dan areal desa dinas. Dengan demikian, areal kawasan
subak bisa terdapat dalam satu kawasan desa adat atau desa dinas, dan lain-lain.
Bahkan satu kawasan subak melintasi lebih dari satu kecamatan, atau lebih dari satu
kabupaten. Tegasnya, batas kawasan subak, bukanlah sama dengan batas-batas
administratif desa, namun berdasarkan pada prinsip-prinsip batas hidrologis.
2.5 Tindakan Kolektif
2.5.1 Konsep Tindakan Kolektif /Aksi Kolektif (Collective Action)
Konsep tindakan kolektif (collective action) secara akademis diperkenalkan
pertama kali oleh Mancur Olson, seorang pengamat hubungan internasional dalam
bukunya berjudul “The Logic of Collective Action” yang terbit tahun 1965. Analisis
yang diajukan oleh Olson dalam bukunya yang kemudian diterbitkan kembali tahun
1971 ini membuka pemahaman akan berbagai kelebihan maupun kekurangan
bentuk collective action. Olson menyadarkan kita bahwa memang ada saatnya
kepentingan-kepentingan dari beberapa aktor bisa dirumuskan secara rasional
untuk mencapai suatu kepentingan bersama (common interest), dan memang benar
kekuatan dari kelompok sangat penting dalam mencapai tujuan bersama. Tapi di
sisi lain, keadaan ideal ini hanya tercipta dalam suatu situasi dan kondisi tertentu
saja dan sangat tergantung pada faktor tertentu (jumlah aktor, insentif, dan unsur
paksaan). Tindakan kolektif (collective action) timbul ketika adanya suatu usaha
dari dua atau lebih suatu individu untuk memperjuangkan suatu hasil yang
diinginkan dan merupakan kebutuhan bersama
Tindakan Kolektif (collective action), yang menjadi penyebab awal secara
historis adalah kegagalan pasar (market failures) yang di kemukakan oleh kaum
ekonom klasik, dalam konsepsi “The Invisible Hand” Adam Smith yang mendasari
semua kegiatan ekonomi liberal. The Invisible Hand, menekankan kebebasan
individu untuk menghasilkan produk maupun jasa, menyerahkan semuanya kepada
mekanisme pasar. Pasar dalam konsepsi invisible hands ini harus komplet, dalam
artian bahwa barang dan jasa harus diperdagangkan secara kompetitif, artinya ada
sejumlah produsen dan konsumen yang ada tanpa adanya salah satu pihak yang
mampu mengontrol atau menentukan harga secara sepihak dan adanya kebebasan
dalam memperoleh informasi pasar bagi semua pihak yang terlibat. Ada dua faktor
yang mengakibatkan kegagalan pasar yaitu, saling ketergantungan (uncompensated
interdependencies) dan informasi yang asimetris, dua faktor tersebut menjadi sebab
utama kegagalan pasar.
Menurut Gilbert (1989) dalam Novi (2016), collective action
mencerminkan komitmen interpersonal yang disebut joint comitment dimana
seorang aktor melalui partisipasinya ingin membuat sebuah kontribusi dalam joint
comitment tersebut. Namun, adakalanya setiap aktor memiliki kepentingan berbeda
sehingga jika joint comitment tersebut berseberangan dengan kepentingannya maka
aktor tersebut punya keputusan independen dan pilihan rasional dalam menentukan
arah joint, yaitu keluar atau mempengaruhi komunitas dalam joint agar sesuai
dengan kepentingannya. Karena, pada dasarnya, menurut Gilbert, joint comitment
dapat dibuat secara implisit dan melalui proses dapat diperpanjang jangka waktunya
atau sebalikya. Menurut Olson (1965), pada hakekatnnya orang menolak untuk
bertindak kolektif kecuali dalam situasi koersif. Alasannya adalah karena tidak
tersedia insentif yang sama untuk mereka yang memberi pengorbanan. Karena itu,
orang lebih senang menjadi penumpang gelap (free-rider). Salah satu cara
mengurangi kecenderungan ini adalah dengan membentuk kelompok-kelompok
berukuran kecil.
Beard dan Dagupta (2006), bahwa individu dan masyarakaat sesungguhnya
mampu menciptakan sendiri aturan mereka berserta institusi dan sistem
manajemen, dalam upaya mendapatkan tujuan-tujuan mereka. Pertanyaannya
adalah mengapa ada kelompok yang mampu menyelesaikan masalah koordinasi
dan dilema sosial lain, sedangkan yang lain gagal. Dari beberapa studi ditemukan
bahwa faktor yang mempengaruhi terbentuknya tindakan kolektif adalah
heterogenitas sosial ekonomi, ukuran kelompok, serta kehadiran relasi non linear
(non-linear relations) dan mediasi yang dimainkan oleh institusi. Tindakan kolektif
pada level kelompok/komunitas memberikan perhatian pada kualitas hubungan
antara pelaku yang secara langsung dipengaruhi oleh hasil (outcome) dari sistem.
Hasil merupakan faktor utama yang dipertimbangkan dalam membentuk keinginan
terlibat dalam jaringan, selain level kepercayaan antar pelaku. Rumusan ini lalu
dipayungi dalam konsep modal sosial.
Berdasarkan hasil penelitiannya, Beard dan Dasgupta dalam Sahyuti (2011)
menemukan bahwa tindakan kolektif dalam komunitas dapat dipahami yang
pembentukannya dipengaruhi oleh sosial, politik dan historik, baik di dalam
maupun di luar komunitas. Faktor penentunya adalah tarik menarik antar invidu
atau kelompok (kohesi) dalam komunitas dimana kepercayaan menjadi
komponennya, di samping kestabilan relasi sosial serta hierarkhi sosial yang
terbentuk.
Menurut Marshall (1998) dalam Vanni (2014), menyatakan tindakan
kolektif didefinisikan sebagai tindakan yang diambil oleh sebuah kelompok (baik
langsung atau atas nama melalui organisasi) dalam mencapai tujuan kepentingan
bersama. Seperti yang diamati oleh Meinzen-Dick et al. (2004) yang lebih spesifik
dan definisi bervariasi yang telah ditambahkan kemudian memiliki kesamaan ciri
berikut membangun struktur: keterlibatan sekelompok orang, kepentingan bersama,
umum dan sukarela tindakan untuk mengejar kepentingan-kepentingan bersama.
2.5.2 Tindakan Kolektif dan Kerjasama dalam Komunitas
Tindakan kolektif dan kerja sama berhubungan erat dengan dimensi
solidaritas dan kepercayaan, di samping itu pula tindakan kolektif diperlukan
aturan-aturan yang mengikat, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Walaupun
aturan-aturan tidak tertulis, tapi ditaati oleh setiap anggota masyarakat dan
menentukan pola tingkah laku yang diharapkan dalam konteks hubungan sosial.
Aturan-aturan kolektif yang tidak tertulis misalnya, bagaimana cara menghormati
orang yang lebih tua, menghormati pendapat orang lain, norma untuk tidak
mencurangi orang lain, norma untuk selalu bersama-sama dan lain lain. Jika dalam
suatu komunitas norma tersebut akan tumbuh dan dipertahankan oleh kelompok
masyarakat itu sendiri. Norma seperti halnya nilai, senantiasa memiliki implikasi
yang ambivalen, tetapi di sisi lain, norma cenderung tidak merangsang munculnya
ide-ide baru, karena semua bentuk hubungan lebih mengutamakan kulit luar yaitu
suatu label ketimbang pada dimensi substansi isinya. Konfigurasi norma yang
tumbuh ditengah masyarakat juga mementukan apakah norma tersebut akan
memperkuat keretakan hubungan antar individu dan memberikan dampak positif
bagi perkembangan kelompok masyarakat tersebut.
Dalam banyak tindakan kolektif, studi empiris telah dipakai sebagai satu
indikator keluaran dari modal sosial, bagaimanapun tindakan kolektif sendiri
membantu berkembangannya norma dari kerja sama/kolaborasi, pembentukan
organisasi, dan tindakan kolektif yang merupakan indikator penting di dalam
mengukur tingkat modal sosial (Grootaert, 2003). Berbagai macam bentuk tindakan
kolektif (collective action) petani akan memiliki pengaruh terhadap individu dan
masyarakat secara luas yang akan berdampak pada tindakan individu itu sendiri.
Jika masing-masing individu pada akhirnya memutuskan tindakan yang sama maka
akan berpengaruh pula pada masyarakat (kelompok masyarakat).
Berbagai tindakan kolektif yang didasari atas rasa saling mempercayai yang
tinggi akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam berbagai ragam bentuk dan
dimensi terutama dalam konteks membangun kemajuan bersama. Kehancuran rasa
saling percaya dalam masyarakat akan mengundang hadirnya berbagai
problematika sosial yang serius. Masyarakat yang kurang memiliki perasaan
perasaan saling mempercayai akan sulit menghindari berbagai situasi kerawanan
sosial dan ekonomi yang mengancam. Semangat kolektifitas tenggelam dan
partisipasi masyarakat untuk membangun bagi kepentingan kehidupan yang lebih
baik akan hilang. Lambat laun akan mendatangkan biaya yang tinggi bagi
pembangunan karena masyarakat cenderung bersikap apatis dan hanya menunggu
apa yang akan diberikan oleh pemerintah. Jika rasa saling mempercayai telah luntur
maka yang akan terjadi adalah sikap-sikap yang menyimpang dari nilai dan norma
yang berlaku. Kriminalitas akan meningkat, tindakan-tindakan destruktif dan
anarkis gampang mencuat, kekerasan dan kerusuhan massa akan cepat tersulut dan
masyarakat tersebut cenderung pasif, sendiri-sendiri dan pada akhirnya akan
muncul perasaan keterisolasian diri. Pada situasi yang tersebut terakhir ini,
masyarakat akan gampang terserang berbagi penyakit kejiwaan seperti kecemasan,
putus asa dan kemungkinan akan melahirkan tindakan-tindakan fatal baik bagi
dirinya, masyarakat dan negara (Putnam, 1993).
2.5.3 Posisi Individu dalam Menggerakkan Kelompok
Perilaku manusia secara individu umumnya berbeda antara satu dengan
lainnya. Perilaku itu sendiri adalah suatu fungsi dari interaksi antara seseorang
individu dengan lingkungannya. Dilihat dari sifatnya, perbedaan perilaku manusia
itu disebabkan beberapa hal anatra lain kemampuan, kebutuhan, cara berpikir,
pengalaman, pengaruh lingkungan baik internal maupun eksternal dan lain lain.
Secara umum sifat manusia pada prinsipnya ingin hidup berdampingan satu dengan
yang lainnya, sehingga peranan komunikasi antar individu sangat memegang
peranan penting dalam kehidupan. Meskipun manusia memiliki hak asasi untuk
bertindak berdasarkan keinginan dan kebutuhan sepanjang melanggar ketentuan
norma dan hukum yang telah menjadi pranata sosial. Meskipun demikian, dalam
kehidupannya membutuhkan orang lain diajak untuk bekerjasama untuk
membentuk kelompok, berkomunikasi untuk memenuhi keinginan dan
kebutuhannya.
Peran pengurus kelompok adalah untuk menjaga kekompakan kelompok
dan juga berperan sebagai penggerak kelompok dan dipercaya oleh para petani agar
dapat berjalan dengan baik, sehingga apa yang menjadi tujuan utama terwujud.
Oleh karena itu, kedudukan dan perannya sangat penting. Pengurus kelompok
dengan dedikasi yang tinggi, jujur, mempunyai integritas dan penuh keikhlasan
akan membawa kelompoknya menjadi suatu kelembagaan petani berkembang dan
mandiri.
Dengan terbentuknya kelompok-kelompok tani yang digerakkan oleh
beberapa individu (pengurus) akan memperkuat kelembagaan petani dan
mempunyai posisi tawar yang lebih kuat bila dibandingkan dengan bergerak secara
individu. Dengan kelompok, kegiatan atau aksi bersama (tindakan kolektif) akan
mampu mempunyai kekuatan dalam meningkatkan posisi tawar, karena dalam
konsep aksi kolektif, Marshal (1998) menggambarkan aksi kolektif sebagai
tindakan yang diambil oleh suatu kelompok (baik secara langsung maupun melalui
organisasi) untuk mencapai kepentingan bersama. Jadi peran petani secara individu
akan lebih kuat jika mereka bergabung dalam kelompok tani. Melalui aksi kolektif,
petani dalam kelompok tani dapat berinteraksi dan bernegosiasi dengan para pihak
luar serta membangun jaringan kerja dalam rangka memperjuangkan hak bersama
di dalam kelompok taninya. Aksi kolektif secara bersama-sama lebih kuat daripada
aksi individu. Melalui kelompok tani, petani bisa melakukan proses pembelajaran
yang dilakukan mendorong motivasi setiap individu (petani) anggota kelompok
untuk melakukan aksi bersama guna mencapai satu tujuan. Kepentingan bersama
menjadi aspek penting dan menjadikan semangat bagi anggota kelompok untuk
bekerjasama.
2.6 Modal Sosial
2.6.1 Konsep dan Definisi Modal Sosial
Pierre Bourdieu (1986) seorang sosiolog Perancis kenamaan, dalam
sebuah tulisan yang berjudul “The Forms of Capital”, mengemukakan bahwa untuk
dapat memahami struktur dan cara berfungsinya dunia sosial perlu dibahas modal
dalam segala bentuknya, tidak cukup hanya membahas modal seperti yang dikenal
dalam teori ekonomi. Penting juga diketahui bentuk-bentuk transaksi yang dalam
teori ekonomi dianggap sebagai non-ekonomi karena tidak dapat secara langsung
memaksimalkan keuntungan material. Padalah sebenarnya dalam setiap transaksi
modal ekonomi selalu disertai oleh modal immaterial berbentuk modal budaya dan
modal sosial. Bourdieu menjelaskan perbedaan antara modal ekonomi, modal
budaya dan modal sosial, dan menggambarkan bagaimana ketiganya dapat
dibedakan antara satu sama lain dilihat dari tingkat kemudahannya untuk
dikonversikan. Modal dalam pengertian ekonomi selalu dikaitkan/diukur dengan
material (uang).
Bourdieu (1986) mendefinisikan modal sosial sebagai keseluruhan
sumberdaya baik yang aktual maupun potensial yang terkait dengan kepemilikan
jaringan hubungan kelembagaan yang tetap dengan didasarkan pada saling kenal
dan saling mengakui. Coleman (1988) dalam sebuah tulisan yang berjudul “Social
Capital in the Creation of Human Capital” memperkenalkan modal sosial sebagai
sarana konseptual untuk memahami orientasi teoritis tindakan sosial dengan
mengaitkan komponen-komponen dari perspektif sosiologi dan ekonomi.
Dalam bukunya Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern
Italy (1993) Putnam mendefinisikan modal sosial sebagai 'features of social
organisation, such as networks, norms, and trust, that facilitate coordination and
co-operation for mutual benefit,’ ciri-ciri organisasi sosial, seperti jaringan, norma-
norma, dan kepercayaan yang memudahkan koordinasi dan kerjasama untuk
mendapatkan manfaat bersama. Definisi ini paling mudah dipahami kalangan
masyarakat luas dibandingkan dengan difinisi yang lainnya, sehingga menurut
Robert Putnam yang memandang modal sosial sebagai seperangkat hubungan yang
horizontal (horizontal associations) antar orang.
Pentingnya kepercayaan dalam mencapai kesejahteraan ekonomi
merupakan sorotan utama dalam kajian yang dilakukan Francis Fukuyama. Dalam
karyanya Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity (1995).
Fukuyama menggunakan konsep kepercayaan untuk mengukur tingkat modal
sosial. Ia berpendapat modal sosial akan menjadi semakin kuat apabila dalam suatu
masyarakat berlaku norma saling balas membantu dan kerjasama yang kompak
melalui suatu ikatan jaringan hubungan kelembagaan sosial. Fukuyama
menganggap kepercayaan itu sangat berkaitan dengan akar budaya, terutama yang
berkaitan dengan etika dan moral yang berlaku. Karena itu ia berkesimpulan bahwa
tingkat saling percaya dalam suatu masyarakat tidak terlepas dari nilai-nilai budaya
yang dimiliki masyarakat bersangkutan.
Burt (1992) mendefinsikan modal sosial adalah kemampuan masyarakat
untuk melakukan asosiasi (berhubungan) satu sama lain dan selanjutnya menjadi
kekuatan yang sangat penting bukan hanya bagi kehidupan ekonomi akan tetapi
juga setiap aspek eksistensi sosial yang lain. Fukuyama (1995) mendifinisikan
modal sosial sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang
dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan
terjalinnya kerjasama di antara mereka. Adapun Cox (1995) mendefinisikan modal
sosial sebagai suatu rangkaian proses hubungan antar manusia yang ditopang oleh
jaringan, norma-norma, dan kepercayaan sosial yang memungkinkan efisien dan
efektifnya koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan dan kebajikan bersama.
Sejalan dengan Fukuyama dan Cox, Partha dan Ismail S. (1999)
mendefinisikan, modal sosial sebagai hubungan-hubungan yang tercipta dan
norma-norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam
masyarakat dalam spektrum yang luas, yaitu sebagai perekat sosial yang menjaga
kesatuan anggota kelompok secara bersama-sama. Pada jalur yang sama Solow
(1999) mendefinisikan modal sosial sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-
norma yang diwujudkan dalam perilaku yang dapat mendorong kemampuan dan
kapabilitas untuk bekerjasama dan berkoordinasi untuk menghasilkan kontribusi
besar terhadap keberlanjutan produktivitas.
Adapun menurut Cohen dan Prusak L. (2001), modal sosial adalah sebagai
setiap hubungan yang terjadi dan diikat oleh suatu kepercayaan (trust), kesaling
pengertian (mutual understanding), dan nilai-nilai bersama (shared value) yang
mengikat anggota kelompok untuk membuat kemungkinan aksi bersama dapat
dilakukan secara efisien dan efektif. Senada dengan Cohen dan Prusak L.,
Hasbullah (2006) menjelaskan, modal sosial sebagai segala sesuatu hal yang
berkaitan dengan kerja sama dalam masyarakat atau bangsa untuk mencapai
kapasitas hidup yang lebih baik, ditopang oleh nilai-nilai dan norma yang menjadi
unsur-unsur utamanya sepetri trust (rasa saling mempercayai), keimbal-balikan,
aturan-aturan kolektif dalam suatu masyarakat atau bangsa dan sejenisnya.
Pernyataan Dasgupta (1997), mengenai modal sosial adalah pribadi yang
dipengaruhi oleh eksternalitas, baik positif maupun negatif.
Modal sosial mempunyai fungsi yang sangat penting dalam hubungan antar
manusia. Ife dan Tesoriero (2008), mengatakan bahwa modal sosial dapat dilihat
sebagai ‘perekat’ yang menyatukan masyarakat- hubungan-hubungan antar
manusia, orang melakukan apa yang dilakukannya terhadap sesamanya karena ada
kewajiban sosial, timbal balik, solidaritas sosial dan komunitas. Modal sosial
mengarahkan orang untuk berbagai kekuatan (power sharing) yang dilandasi oleh
nilai-nilai dan norma-norma kehidupan.
Modal sosial merupakan jaringan, norma dan kepercayaan yang berpotensi
dapat meningkatkan intensitas hubungan kemasyarakatan. Modal sosial bersifat
kumulatif dan bertambah dengan sendirinya. Putnam mendefinisikan modal sosial
sebagai penampilan organisasi sosial seperti jaringan dan kepercayaan yang
memfasilitasi adanya koordinasi dan kerjasama bagi keuntungan bersama.
Sementara menurut Fukuyama, modal sosial adalah kemampuan yang timbul dari
adanya kepercayaan dalam sebuah komunitas. Ini sejalan dengan pemahaman Bank
Dunia (1999) atas modal sosial. Leana (1999) mengidentifikasi modal sosial
organisasi sebagai atribut kolektif dari jumlah koneksi yang dimiliki individu dalam
organisasi. Komponen utama modal sosial organisasi adalah asosiabilitas dan trust.
Berdasarkan beberapa konsep dan definisi modal sosial (social capital)
dapat didefinisikan sebagai kemampuan masyarakat untuk bekerja bersama, demi
mencapai tujuan bersama yang dilandasi oleh tiga komponen, yaitu (1) Norma
adalah sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh anggota
masyarakat pada suatu entitas sosial tertentu; (2) Kepercayaan (trust) adalah suatu
bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan sosialnya yang didasari
oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan melakukan sesuatu seperti yang
diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang saling
mendukung, paling tidak yang lain tidak akan bertindak merugikan diri dan
kelompoknya; dan (3) Jaringan adalah hubungan sosial antar kelompok atau
individu. Modal sosial tidak dibangun hanya oleh satu individu, melainkan terletak
pada kecenderungan yang tumbuh dalam suatu kelompok untuk bersosialisasi
sebagai bagian penting dari nilai-nilai yang melekat.
2.6.2 Unsur-unsur Modal Sosial
Menurut Hasbullah (2006), unsur-unsur pokok modal sosial adalah 1)
partisipasi dalam suatu jaringan, 2) timbal balik (resiprocity), 3) kepercayaan
(trust), 4) norma-norma sosial, 5) nilai-nilai, dan 6) tindakan yang proaktif.
Penjelasan masing-masing unsur secara ringkas, adalah sebagai berikut.
1) Participation in a network (partisipasi dalam suatu jaringan). Kemampuan
sekelompok orang untuk melibatkan diri dalam suatu jaringan hubungan sosial,
melalui berbagai variasi hubungan yang saling berdampingan dan dilakukan
atas dasar prinsip kesukarelaaan (voluntary), kesamaan (equality), kebebasan
(freedom), dan keadaban (civility). Kemampuan anggota kelompok atau
anggota masyarakat untuk selalu menyatukan diri dalam suatu pola hubungan
yang sinergis akan sangat besar pengaruhnya dalam menentukan kuat tidaknya
modal sosial suatu kelompok.
2) Reciprocity (hubungan timbal balik). Kecenderungan saling tukar kebaikan
antar individu dalam suatu kelompok atau antar kelompok itu sendiri. Pola
pertukaran terjadi dalam suatu kombinasi jangka panjang dan jangka pendek
dengan nuansa altruism tanpa mengharapkan imbalan. Pada masyarakat dan
kelompok-kelompok sosial yang terbentuk yang memiliki bobot resiprositas
kuat akan melahirkan suatu masyarakat yang memiliki tingkat modal sosial
yang tinggi.
3) Trust (kepercayaan). Suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam
hubungan-hubungan sosialnya yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang
lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa
bertindak dalam suatu pola tindakan yang saling mendukung. Paling tidak, yang
lain tidak akan bertindak merugikan diri dan kelompoknya (Putnam, 1993).
Tindakan kolektif yang didasari saling percaya akan meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam berbagai bentuk dan dimensi terutama dalam konteks
kemajuan bersama. Hal ini memungkinkan masyarakat untuk bersatu dan
memberikan kontribusi pada peningkatan modal sosial.
4) Social norms (norma sosial). Sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi dan
diikuti oleh masyarakat dalam suatu entitas sosial tertentu. Aturan-aturan ini
biasanya terinstitusionalisasi, tidak tertulis tapi dipahami sebagai penentu pola
tingkah laku yang baik dalam konteks hubungan sosial sehingga ada sangsi
sosial yang diberikan jika melanggar. Norma sosial akan menentukan kuatnya
hubungan antar individu karena merangsang kohesifitas sosial yang berdampak
positif bagi perkembangan masyarakat. Oleh karenanya norma sosial disebut
sebagai salah satu modal sosial.
5) Values (nilai). Sesuatu ide yang telah turun temurun dianggap benar dan penting
oleh anggota kelompok masyarakat. Nilai merupakan hal yang penting dalam
kebudayaan, biasanya ia tumbuh dan berkembang dalam mendominasi
kehidupan kelompok masyarakat tertentu serta mempengaruhi aturan-aturan
bertindak dan berperilaku masyarakat yang pada akhirnya membentuk pola
cultural.
6) Proactive action (tindakan yang proaktif). Keinginan yang kuat dari anggota
kelompok untuk tidak saja berpartisipasi tetapi senantiasa mencari jalan bagi
keterlibatan anggota kelompok dalam suatu kegiatan masyarakat. Anggota
kelompok melibatkan diri dan mencari kesempatan yang dapat memperkaya
hubungan-hubungan sosial dan menguntungkan kelompok. Perilaku inisiatif
dalam mencari informasi berbagai pengalaman, memperkaya ide, pengetahuan,
dan beragam bentuk inisiatif lainnya baik oleh individu mapun kelompok,
merupakan wujud modal sosial yang berguna dalam membangun masyarakat.
Unsur-unsur modal sosial menurut Blakeley dan Suggate (1977) dalam
Suharto (2007), menyatakan bahwa unsur-unsur modal sosial adalah kepercayaan,
kohesifitas, altruism, gotong-royong, jaringan, dan kolaborasi sosial Ridell dalam
Suharto (2007) menuliskan tiga parameter modal sosial, yaitu (1) kepercayaan
(trust); (2) norma-norma (norms); dan (3) Jaringan-jaringan (networks).
2.6.3 Peranan Modal Sosial dalam Pembangunan Ekonomi
Penelitian-penelitian yang pernah dilakukan sejumlah pakar terhadap
berbagai kelompok masyarakat di beberapa negara menemukan bahwa modal sosial
berperan penting dalam mencapai keberhasilan ekonomi mereka (Gittell et al.,
2001). Studi ini memperlihatkan bagaimana modal sosial berperan dalam menjalin
kerjasama antara masyarakat dengan lembaga-lembaga keuangan yang diharapkan
untuk membantu pengembangan usaha masyarakat.
Putnam (2000) mengemukakan bahwa pemanfaatan modal sosial dalam
pembangunan sangat penting. Hal ini dikarenakan (1) modal sosial memungkinkan
warga untuk menyelesaikan masalah kolektif lebih mudah; (2) modal sosial sebagai
roda yang memungkinkan masyarakat untuk lebih lancar bergerak; dan (3) modal
sosial mengacu pada kehidupan masyarakat. Hal yang sama disampaikan oleh
Coleman (1988), bahwa modal sosial merupakan sumber penting bagi individu
untuk dapat mempengaruhi kemampuan individu dalam bertindak dan memberikan
kualitas hidup yang baik. Oleh karenanya, modal sosial akan membentuk
masyarakat menjadi kuat dan berkepribadian yang sanggup mengatasi
permasalahan dengan cepat tanpa harus dirugikan.
Beberapa hasil kajian penelitian di Indonesia memberikan informasi adanya
peran modal sosial dalam pembangunan. Bulu (2016) menemukan bahwa modal
sosial merupakan faktor utama yang perlu mendapatkan perlakuan dominan dalam
desiminasi inovasi dan pemberdayaan kelembagaan tani dalam adopsi inovasi
pertanian. Modal sosial merupakan faktor yang menentukan keterladan petani
terhadap informasi inovasi, modal manusia, dan promosi inovasi. Oleh karenanya,
untuk meningkatkan kapasitas petani dan tingkat adopsi inovasi pertanian maka
diperlukan revitalisasi modal sosial yaitu penguatan modal sosial.
Mawardi (2007) dalam penelitiannya tentang pemberdayaan masyarakat,
mengemukakan bahwa pemberdayaan masyarakat akan mengalami kegagalan
tanpa menyadari pentingnya melibatkan dimensi kultural dan mendayagunakan
peran modal sosial yang tumbuh di tengah masyarakat. Modal sosial yang berisikan
kepercayaan, pertukaran timbal balik, norma-norma sosial, dan nilai-nilai etis,
merupakan pondasi penopang yang akan menentukan perkembangan dan
keberlanjutan beragam aktifitas usaha di berbagai sektor kehidupan. Hasil
penelitian Rustanto (2007) menunjukkan bahwa penguatan modal sosial yang
tumbuh dan berkembang dalam bentuk kelompok-kelompok sosial merupakan
salah satu pendekatan yang perlu dikembangkan dalam penanganan kemiskinan.
Pada pendekatan tersebut, individu-individu sebagai anggota kelompok mengalami
proses belajar sosial untuk mengembangkan potensi dan sumberdaya yang dimiliki.
Di samping itu, setiap individu akan terlibat belajar mengembangkan perilaku pro
sosial untuk mengatasi masalah dan kebutuhannya.
2.6.4 Hubungan Modal Sosial dengan Sumberdaya Alam
Secara khusus Isham (2000) menganalisis potensi pengaruh modal sosial
terhadap sumberdaya alam dan lingkungan, dapat terjadi melalui dua mekanisme,
yaitu sebagai berikut. 1) Biaya transaksi (transaction cost). Interaksi sosial
sesungguhnya dapat mempengaruhi besarnya biaya transaksi dalam pertukaran.
Ketika pelaku ekonomi terus-menerus dan secara regular berinteraksi dalam suatu
kondisi sosial tertentu, mereka akan membentuk suatu pola perilaku dan
membangun ikatan kepercayaan. Ditambah lagi, jika terdapat kemungkinan
pengenaan sanksi, maka interaksi ini bisa menurunkan kemungkinan perilaku
oportunistik dari pelaku ekonomi yang berada dalam struktur sosial yang sama; 2)
Aksi bersama (collective action). Olson (1965) menyatakan bahwa tanpa adanya
kendala tertentu yang mendorong ataupun memaksa pelaku ekonomi, maka pelaku
ekonomi tidak akan memiliki insentif untuk berpartisipasi dalam aksi bersama
untuk mencapai tujuan bersama. Interaksi secara reguler dalam suatu kondisi sosial
dapat mengarah kepada pembentukan institusi yang dapat berfungsi sebagai
kendala, sehingga dapat menurunkan insentif bagi pelaku ekonomi untuk menjadi
penumpang gelap.
Dalam mengatasi permasalahan pemanfaatan sumberdaya alam, maka
modal sosial dapat berkontribusi pada pola pemanfaatan agar tidak menimbulkan
dampak negatif bagi penggunanya, seperti pencemaran dan atau produksi yang
berlebih. Melangkah dari perspektif ini, maka pengaruh modal sosial dapat dilihat
dari dua hal utama, yaitu: (1) Modal sosial dengan eksternalitas terbatas dan (2)
Modal sosial dengan eksternalitas luas. Paling tidak terdapat dua pengaruh modal
sosial dengan eksternalitas terbatas, sebagai berikut: bagi individu atau jaringannya
dan bagi komunitas masyarakat dataran tinggi dan dataran rendah tertentu.
Hasil kajian menunjukkan: modal sosial dilihat dari actor perspective
maupun public perspective berkorelasi positif terhadap kelestarian hutan (sumber
daya alam); manfaat ekonomi yang dirasakan masyarakat sekitar hutan berkorelasi
negatif dengan kelestarian hutan, dan manfaat ekologi berkorelasi positif terhadap
kelestarian hutan (Ekawati dan Nurrochmat, 2014).
2.6.5 Modal Sosial dalam Komunitas Petani
Modal sosial dalam kelompok tani seperti subak di Bali merupakan hasil
akumulasi segala bentuk modal sosial yang dibawa oleh individu anggota ke dalam
kelompok tani untuk kemudian dimanfaatkan secara kolektif dan memberikan
keuntungan bagi kelompok tani tersebut. Masyarakat yang memiliki modal sosial
tinggi akan membuka kemungkinan menyelesaikan kompleksitas persoalan dengan
lebih mudah. Dengan saling percaya, toleransi, dan kerjasama mereka dapat
membangun jaringan baik di dalam kelompok masyarakatnya maupun dengan
kelompok masyarakat lainnya.
Pada masyarakat tradisional (petani), telah diketahui memiliki asosiasi
(hubungan) informal yang umumnya kuat dan memiliki nilai, norma, dan etika
kolektif sebagai sebuah komunitas yang saling berhubungan yang sudah dipelihara
sejak dulu kala. Hal ini merupakan modal sosial yang dapat mendorong munculnya
organisasi yang modern dengan prinsip keterbukaan, dan jaringan-jaringan
informal dalam masyarakat yang secara mandiri dapat mengembangkan
pengetahuan dan wawasan dengan tujuan peningkatan kesejahteraan dan kualitas
hidup bersama dalam kerangka pembangunan masyarakat.
Secara umum kemampuan modal sosial (social relationship) diperdesaan
masih kuat dan mengakar termasuk kesediaan dan saling membantu dalam
pengerjaan usahatani. Pembangunan pertanian akan berhasil apabila petani sebagai
subjek (sebagai anggota subak) pembangunan bergairah dan termotivasi untuk
bekerja keras, motivasi akan menumbuhkan daya kreasi petani dan kegotong-
royongan diantara mereka yang pada gilirannya menumbuhkan modal sosial yang
telah menjamin keberhasilan penerapan teknologi pertanian untuk keberlanjutan
pembangunan pertanian di masa akan datang.
2.6.6 Modal Sosial dalam Tindakan Kolektif
Konsep modal sosial mendapat perhatian dalam literatur tentang
pengelolaan sumberdaya bersama (common pool resources) dan tindakan
kelompok (collective action), khususnya dalam hubungannya dengan penggunaan
dan pembangunan sumberdaya alam yang berkelanjutan. Konsep ini terkait dengan
mekanisme insentif atau pengaturan kelembagaan untuk mencegah insentif
individu untuk bertindak sebagai “penumpang gratis (gelap)” (individual incentive
to free riding) terhadap penyediaan barang publik (Ishihara dan Pascual, 2008).
Modal sosial memiliki salah satu unsur yang penting, yaitu keinginan yang
kuat dari anggota kelompok untuk tidak saja berpartisipasi tetapi senantiasa
mencari jalan bagi keterlibatan mereka dalam suatu kegiatan masyarakat. Maka dari
itu ide dasarnya adalah bahwa seorang atau kelompok senantiasa kreatif dan aktif.
Melibatkan diri dan mencari kesempatan yang dapat memperkaya, tidak saja dari
sisi material tapi juga kekayaan hubungan sosial, dan menguntungkan kelompok,
tanpa merugikan orang lain, secara bersama sama. Mereka cenderung tidak
menyukai bantuan yang sifatnya dilayani, melainkan lebih memberi pilihan untuk
lebih banyak melayani secara proaktif. Tindakan proaktif memiliki kandungan
sosial (modal sosial) dapat diperhatikan melalui tindakan dari yang sederhana
sampai berdimensi dalam dan luas. Individu yang terbiasa proaktif untuk memungut
sampah misalnya yang berserakan di ruang-ruang publik, membersihkan
lingkungan tempat tinggal, menolak menjual sawah yang digunakan untuk non
pertanian, dan tindakan yang lainnya merupakan bentuk tindakan yang di dalamnya
terkandung semangat keaktifan dan keperdulian. Begitu pula dengan inisiatif untuk
mengunjungi keluarga, teman, berdiskusi sesama petani, mencari informasi yang
dapat memperkaya ide, pengetahuan dan beragam bentuk inisiatif individu yang
kemudian menjadi insiatif kelompok, merupakan wujud proaktif yang bernuansa
modal sosial. Pada dasarnya satu individu masyarakat secara alami akan cenderung
memilih melakukan aksi bersama dengan individu lain ketika mereka merasa ada
kesamaan dalam hal tujuan yang ingin dicapai dan ketika mereka merasa adanya
ketidakpastian dan resiko yang dihadapi jika bergerak sendirian.
Tindakan kolektif yang hadir dimanfaatkan untuk merespon situasi di luar
masyarakat yang kemudian dikembangkan menjadi kemampuan beradaptasi.
Modal sosial menjadi kekuatan untuk dapat merespon situasi yang ada di
masyarakat dalam pembangunan baik yang dilksanakan oleh masyarakat di
pedesaan maupun oleh pemerintah. Upaya merespon berupa kerja sama dan
partisipasi adalah bentuk kemampuan adaptasi mereka. Kemampuan ini kemudian
dikembangkan lebih lanjut dengan upaya memobilisasi sumber daya dan
memodifikasi sistem kelembagaan yang ada. Kemampuan tersebut menjadi dasar
kuat lemahnya daya lenting, fleksibilitas, dan stabilitas masyarakat pedesaan dalam
merespon pembangunan, seperti terlihat pada Gambar 2.1
Mobilisasi
Kelembagaan
Daya Lenting
,Fleksibilitas,Stabilitas
Modal Sosial
(Bonding)
Upaya Merespon Situasi Luar
Pembangunan Infrastruktur
“Power”
Tindakan KolektifKemampuan
Adaptasi
Mobilisasi Sumber
Daya
Gambar 2.1
Hubungan Antara Tindakan Kolektif (Collective Action)
Dengan Tindakan Individu dan Masyarakat
Sumber: Ayu Kusumastuti (2015)
Tindakan kolektif yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat karena
sekelompok masyarakat tersebut karena adanya perubahan. Kecenderungan
terjadinya perubahan-perubahan sosial merupakan gejala yang wajar yang timbul
dari pergaulan hidup manusia di dalam masyarakat. Perubahan-perubahan sosial
akan terus berlangsung sepanjang masih terjadi interaksi antarmanusia dan
antarmasyarakat. Perubahan sosial terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-
unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat, seperti perubahan dalam
unsur-unsur geografis, biologis, ekonomis, dan kebudayaan.
Perubahan-perubahan tersebut dilakukan untuk menyesuaikan dengan
perkembangan zaman yang dinamis, salah satu teori perubahan sosial adalah teori
fungsionalisme struktural yang dikemukakan oleh Stephen K. Sanderson (1993)
yang menyatakan bahwa fungsionalisme struktural adalah sebuah sudut pandang
luas dalam sosiologi dan antropologi yang berupaya menafsirkan masyarakat
sebagai sebuah struktur dengan bagian-bagian yang saling berhubungan.
Fungsionalisme menafsirkan masyarakat secara keseluruhan dalam hal fungsi dari
elemen-elemen konstituennya; terutama norma, adat, tradisi dan institusi. Secara
essensial prinsip-prinsip pokok fungsionalisme struktural adalah sebagai berikut:
1) Masyarakat merupakan system yang kompleks yang tediri dari bagian-
bagian yang saling berhubungan dan saling tergantung, dan setiap bagian
saling berpengaruh secara signifikan terhadap bagian-bagian lainnya.
2) Setiap bagian dari sebuah masyarakat eksis karena bagian tersebut memiliki
fungsi penting dalam memelihara eksistensi dan stabilitas masyarakat
secara keseluruhan.
3) Semua masyarakat memiliki mekanisme untuk mengintegrasikan dirinya,
yaitu mekanisme yang dapat merekatkannya menjadi satu. Salah satu bagian
penting dari mekanisme ini adalah komitmen para anggota masyarakat
kepada serangkaian kepercayaan dan nilai yang sama.
4) Masyarakat cenderung mengarah kepada satu keadaan equilibrium atau
homeostatis, dan gangguan padasalah satu bagian cenderung menimbulkan
penyesuaian pada bagian lain agar tercapai harmoni dan stabilitas.
5) Perubahan sosial merupakan kejadian yang tidak biasa dalam masyarakat
tetapi bila itu terjadi juga maka perubahan itu pada umumnya akan
membawa kepada konsekwensi-konsekwensi yang menguntungkan
masyarakat secara keseluruhan.
Top Related