11
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Akad Jual Beli
Hukum Islam (syari’at Islam) menurut Muhammad ‘Ali At-Tahanawi
dalam kitabnya Kisyaaf Ishthilaahaat al-Funun memberikan pengertian
syari’ah mencakup seluruh ajaran Islam, meliputi bidang aqidah, ibadah,
akhlaq dan muamallah (kemasyarakatan).Syari’ah disebut juga syara’, millah
dan diin.1 Hukum Islam berarti keseluruhan ketentuan-ketentuan perintah
Allah yang wajib diturut (ditaati) oleh seorang muslim.
Salah satu cakupan dalam hukum islam adalah muamallah. Muamallah
merupakan tukar menukar barang, jasa atau sesuatu yang memberi manfaat
dengan tata cara yang ditentukan. Termasuk dalam muammalat yakni jual
beli. Dalam penelitian ini akan menjelaskan tentang muamallah jual beli.
1. Definisi Jual Beli
Jual beli atau dalam bahasa Arab al-bai’ menurut etimologi adalah:
Tukar-menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain2
Sayid Sabiq mengartikan jual beli (al-bai’) menurt bahasa sebagai berikut:
Pengertian jual beli menurut bahasa adalah tukar menukar secara
mutlak.3
1Ahmad Azhar Basjir, 1990, Asas-asas Hukum Mu’amalat (Hukum Perdata Islam), Perpustakaan Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, Hal 1.2 Wahbah Zuhaili, Al-fiqh Al-Islâmiy wa Adillatuh, Juz 4, Dar Al-Fikr, Damaskus, 1989, hlm.344.
pengertian yang sama dikemukakan oleh Ali Fikri, Syamsuddin Muhammad Ar-Ramli, dan ulama-ulama yang lain. Lihat Ali Fikri, Al-Mu’âmalat Al-Mâddiyah wa Al-Adabiyah, Musthafa Al-Babiy Al-Halabiy, Mesir 1357, hlm.8; lihat juga: Syamsuddin Muhammad Ar-Ramli, Nihâyah Al-Muhtaj, Juz 3, Dar Al-Fikr, Beiru, 204, hlm.372
3Sayid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Juz 3, Dar Al-Fikr, Beirut, cet. III, 1981, hlm.126
12
Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa jual beli menurut bahasa
adalah tukar menukar apa saja, baik antara barang dengan barang, barang
dengan uang, atau uang dengan uang. Pengertian ini diambil dari firman Allah
dalam surat AL-Baqarah (2) ayat 16:
Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.
2. Dasar Hukum Jual Beli
Jual beli merupakan akad yang dibolehkan berdasarkan Al-Qur’an, sunnah
dan ijma’ para ulama. Dilihat dari aspek hukum , jual beli hukumnya mubah
kecuali jual beli yang dilarang oleh syara’. Adapun hukum dari Al-Qur’an
antara lain:
a. Surat Al-Baqarah (2) ayat 275:
Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
b. Surat Al-Baqarah (2) ayat 282:
Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan.Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan dalam dirimu.Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Dasar hukum dari sunah antara lain :
a. Hadis Rifa’ah ibnu Rafi’
Dari Rifa’ah ibnu Rafi’ bahwa Nabi SAW ditanya usaha apakah yang paling baik? Nabi menjawab: usaha seseorang dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur. (Diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan dishahihkan oleh Al-Hakim)4
4 Muhammad bin Ismail Al-Kahlani, Subul As-Salam, Juz 3, Maktabah Musthafa Al-Babiy Al-Halabiy, Mesir, cet. IV, 1960, hlm. 4.
13
b. Hadis Abi Sa’id
Dari Abi sa’id dari Nabi SAW, beliau bersabda: pedagang yang jujur (benar), dan dapat dipercaya nanti bersama-sama dengan Nabi, shiddiqin, dan syuhada. (Hr. At-Tirmidzi. Berkata Abu ‘Isa: Hadis ini adalah hadis yang shahih)5
c. Hadis Ibnu ‘Umar
Dari Ibnu ‘Umar ia berkata: Telah bersabda Rosulullah: Pedagang yang benar (jujur), dapat dipercaya dan muslim, berserta para syuhada pada hari kiamat. (HR. Ibnu Majah)6
Dari ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis yang dikemukakan di atas dapat
dipahami bahwa jual beli merupakan pekerjaan yang halal dan mulia.Apabila
pelakunya jujur, maka kedudukannya di akhirat nanti setara dengan para nabi,
syuhada, dan shiddiqin.
Para ulama dan seluruh umat Islam sepakat tentang dibolehkannya jual
beli, karena hal ini sangat dibutuhkan oleh pada manusia pada umumnya.
Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari tidak semua orang memiliki apa yang
dibutuhkannya. Apa yang dibutuhkannya kadang-kadang berada ditangan
orang lain. Dengan jual beli, maka manusia saling tolong-menolong untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan demikian, roda kehidupan ekonomi
akan berjalan dengan positif karena apa yang mereka lakukan akan
menguntungkan kedua belah pihak.
3. Rukun Jual Beli
Rukun jual beli menurut Hanafiah adalah ijab dan qabul yang menunjukan
5 At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, Juz3, Nomor hadis 1209, CD Room, Maktabah Kutub Al- Mutun, Silsilah Al-‘Ilm An-Nafi’, Seri 4, Al-Isdar Al-Awwal, 1426 H, hlm.515.
6 Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Juz 2, Nomor hadis 2139, CD Room, Makabah Kutub Al-Mutun, Silsilah Al-‘Ilm An-Nafi’, seri 4, Al Ishdar Al-Awwal, 1426 H, hlm.724.
14
sikap saling tukar-menukar atau saling memberi.Atau dengan redaksi yang
lain, ijab qabul adalah perbuatan yang menunujakan kesediaan dua pihak
untuk menyerahkan milik masing-masing kepada pihak lain, dengan
menggunakan perkataan atau perbuatan.
Menurut jumhur ulama rukun jual beli ada empat, yaitu penjual, pembeli,
shigat, ma’qud ‘alaih (objek akad).7
a. Ijab dan Qabul
1) Pengertian ijab dan qobul
Pengertian ijab menurut hanafiah adalah
Menetapkan perbuatan yang khusus yang menunjukan kerelaan,
yang timbul pertama dari salah satu pihak yang melakukan akad.8
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa ijab adalah pernyataan
yang disampaikan pertama oleh atu pihak yang menunjukan
kerelaan, baik dinyatakan oleh si penjual, maupun si pembeli.
Adapun pengertian qabul adalah
Pernyataan yang disebutkan kedua dari pembiacaraan salah satu
pihak yang melakukan akad.9
2) Shighat Ijab dan Qabul
Shighat akad adalah bentuk ungkapan dari ijab dan qabul apabila
akadnya akad iltizam yang dilakukan oleh dua pihak, atau ijab saja
apabila akadnya akad iltizam yang dilakukan oleh satu pihak. Ada
beberapa pendapat tentang shighat ijab dan qabul, namun hanya
7Wahbah Zuhaili, op.cit., Juz 4, hlm. 347.8Ibid.9 Ibid.
15
beberapa yang akan dijelaskan. Para ulama sepakat bahwa landasan
untuk terwujudnya suatu akad adalah timbulnya sikap yang
menunjukan kerelaan atau persetujuan kedua belah pihak untuk
merealisasikan kewajiban diantara mereka, yang oleh para ulama
disebut sighat akad. Dalam sighat akad disyaratkan haru timbul dari
pihak-pihak yang melakukan akad menurut cara yang dianggap syah
oleh syara’. Cara tersebut adalah bahwa akad harus menggunakan
lafal yang menunjukam kerelaan dari masing-masing pihak untuk
saling tukar-menukar kepemilikan dala harta, sesuai dengan adat
kebiasaan yang berlaku. Menurut Malikiyah, Syafi’iyah dan
Hanabilah, baik akad jual beli maupun akad nikah, hukumnya sah
dengan menggunakan lafal istid’a (amar atau istifham), karena yang
terpenting dalam akad jual beli itu adalah kerelaan (at-taradhi).10
3) Sifat Ijab dan Qabul
b. ‘Ăqid (Penjual dan Pembeli)
Rukun jual beli yang kedua adalah âqid atau orang yang melakukan
akad, yaitu penjual dan pembeli.
c. Ma’qud ‘Alaih (Objek Akad Jual Beli)
Ma’qud ‘alaih atau objek akad jual beli adalah barang yang dijual
(mabi’) dan harga/uang (tsaman).
4. Syarat Sah Jual Beli11
10Wahbah Zuhaili, op.cit., hlm. 250.11Abdullah Mushlih dan Shalah Shawi, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, (Jakarta: Darul Haq, 2004), halaman 92-93.
16
Agar jual beli dapat dilaksanakan secara sah dan memberi pengaruh yang
tepat, harus dipenuhi beberapa syaratnya terlebih dahulu. Syarat-syarat ini
terbagi dalam dua jenis, yaitu syarat yang berkaitan dengan pihak penjual dan
pembeli, dan syarat yang berkaitan dengan objek yang diperjualbelikan.
Pertama, yang berkaitan dengan pihak-pihak pelaku, harus memiliki
kompetensi untuk melakukan aktivitas ini, yakni dengan kondisi yang sudah
akil baligh serta berkemampuan memilih. Dengan demikian, tidak sah jual
beli yang dilakukan oleh anak kecil yang belum nalar, orang gila atau orang
yang dipaksa.
Kedua, yang berkaitan dengan objek jual belinya, yaitu sebagai berikut:
a. Objek jual beli harus suci, bermanfaat, bisa diserahterimakan, dan
merupakan milik penuh salah satu pihak.
b. Mengetahui objek yang diperjualbelikan dan juga pembayarannya, agar
tidak terhindar faktor ‘ketidaktahuan’ atau ‘menjual kucing dalam
karung’ karena hal tersebut dilarang.
c. Tidak memberikan batasan waktu. Artinya, tidak sah menjual barang
untuk jangka waktu tertentu yang diketahui atau tidak diketahui.
5. Klasifikasi Jual Beli12
Jual beli dibedakan dalam banyak pembagian berdasarkan sudut pandang.
Adapun pengklasifikasian jual beli adalah sebagai berikut:
12Ibid, halaman 90-91
17
a. Berdasarkan Objeknya
1) Jual beli umum, yaitu menukar uang dengan barang.
2) Jual beli as-Sharf (Money Changer), yaitu penukaran uang dengan
uang.
3) Jual beli muqayadhah (barter), yaitu menukar barang dengan
barang.
b. Berdasarkan Standardisasi Harga
1) Jual Beli Bargainal (tawar menawar), yaitu jual beli di mana
penjual tidak memberitahukan modal barang yang dijualnya.
2) Jual Beli Amanah, yaitu jual beli di mana penjual memberitahukan
modal barang yang dijualnya. Dengan dasar ini, jual beli ini terbagi
menjadi tiga jenis:
a) Jual beli murabahah, yaitu jual beli dengan modal dan
keuntungan yang diketahui.
b) Jual beli wadhi’ah, yaitu jual beli dengan harga di bawah modal
dan kerugian yang diketahui.
c) Jual beli tauliyah, yaitu jual beli dengan menjual barang sama
dengan harga modal, tanpa keuntungan atau kerugian.
c. Cara Pembayaran
1) Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran secara
langsung (jual beli kontan).
2) Jual beli dengan pembayaran tertunda (jual beli nasi’ah).
3) Jual beli dengan penyerahan barang tertunda.
18
4) Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran sama-sama
tertunda.
6. Sebab-sebab Dilarangnya Jual Beli13
Larangan jual beli disebabkan karena dua alasan, yaitu:
a. Berkaitan dengan objek
1) Tidak terpenuhniya syarat perjanjian, seperti menjual yang tidak
ada, menjual anak binatang yang masih dalam tulang sulbi pejantan
(malaqih) atau yang masih dalam tulang dada induknya
(madhamin).
2) Tidak terpenuhinya syarat nilai dan fungsi dari objek jual beli,
seperti menjual barang najis, haram dan sebagainya.
3) Tidak terpenuhinya syarat kepemilikan objek jual beli oleh si
penjual, seperti jual beli fudhuly.
b. Berkaitan dengan komitmen terhadap akad jual beli
1) Jual beli yang mengandung riba.
2) Jual beli yang mengandung kecurangan.
Ada juga larangan yang berkaitan dengan hal-hal lain di luar kedua hal di
atas seperti adanya penyulitan dan sikap merugikan, seperti orang yang
menjual barang yang masih dalam proses transaksi temannya, menjual senjata
saat terjadinya konflik sesama mulim, monopoli dan sejenisnya. Juga larangan
karena adanya pelanggaran syariat seperti berjualan pada saat dikumandangkan
adzan shalat Jum’at.Akan tetapi, kemungkinan yang paling banyak tersebar
13Ibid, halaman 95-97
19
dalam realitas kehidupan adalah objek jual beli yang haram, riba, kecurangan,
dan syarat-syarat yang menggiring kepada riba, kecurangan atau kedua-duanya.
7. Jual Beli yang Bermasalah
Jual beli yang bermasalah dikategorikan kedalam dua macam, diantaranya
adalah sebagai berikut :
a. Jual Beli yang Diharamkan
1) Menjual tanggungan dengan tanggungan
Telah diriwayatkan larangan menjual tanggungan dengan tanggungan
sebagaimana tersebut dalam hadits Nabi dari Ibnu ’Umar Ra14. Yaitu
menjual harga yang ditangguhkan dengan pembayaran yang
ditangguhkan juga. Misalnya, menggugurkan apa yang ada pada
tanggungan orang yang berhutang dengan jaminan nilai tertentu yang
pengambilannya ditangguhkan dari waktu pengguguran. Ini adalah
bentuk riba yang paling jelas dan paling jelek sekali15.
2) Jual beli disertai syarat16
Jual beli disertai syarat tidak diijinkan dalam hukum Islam. Malikiyah
menganggap syarat ini sebagai syarat yang bertentangan dengan
konsekuensi jual beli seperti agar pembeli tidak menjualnya kembali
atau menggunakannya. Hambaliyah memahami syarat sebagai yang
14Dikeluarkan oleh ath-Thahawi dalam Syahrul IV: 21, dan juga dalam Musykilul Atsar nomor 795. Diriwayatkan oleh ad-Daruquthni III: 71, juga oleh al-Hakim II: 57, oleh al-Baihaqi V: 290 dengan sanad yang lemah, karena lemahnya Musa bin Ubaidah ar-Rubadzi. (Lihat catatan kaki Abdullah Mushlih dan Shalah Shawi, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, halaman 97).15Ibid, halaman 98.16Ibid, halaman 140.
20
bertentangan dengan akad, seperti adanya bentuk usaha lain, seperti jual
beli lain atau peminjaman, dan persyaratan yang membuat jual beli
menjadi bergantung, seperti ”Saya jual ini kepadamu, kalau si Fulan
ridha.”Sedangkan Hanafiyah memahaminya sebagai syarat yang tidak
termasuk dalam konsekuensi perjanjian jual beli, dan tidak relevan
dengan perjanjian tersebut tapi bermanfaat bagi salah satu pihak.
3) Dua perjanjian dalam satu transaksi jual beli
Tidak dibolehkan melakukan dua perjanjian dalam satu transaksi,
namun terdapat perbedaan dalam aplikasinya sebagai berikut:
a) Jual beli dengan dua harga; harga kontan dan harga kredit yang lebih
mahal. Mayoritas ulama sepakat memperbolehkannya dengan
ketentuan, sebelum berpisah, pembeli telah menetapkan pilihannya
apakah kontan atau kredit17.
b) Jual beli ’Inah, yaitu menjual sesuatu dengan pembayaran tertunda,
lalu si penjual membelinya kembali dengan pembayaran kontan yang
lebih murah.18
4) Menjual barang yang masih dalam proses transaksi dengan orang atau
menawar barang yang masih ditawar orang lain. Mayoritas ulama fiqih
mengharamkan jual beli ini. Hal ini didasarkan pada larangan dalam
hadits shahih Bukhari dan Muslim, ”Janganlah seseorang melakukan
transaksi penjualan dalam transaksi orang lain. Dan janganlah
seseorang meminang wanita yang masih dipinang oleh orang lain,
17Ibid, halaman 141.18Ibid, halaman 106.
21
kecuali bila mendapat ijin dari pelaku transaksi atau peminang yang
pertama.”19
5) ’Orang kota menjual barang orang dusun.’ Yang dimaksud dengan
istilah ini adalah orang kota yang menjadi calo bagi pedagang orang
dusun.20 Rasulullah saw bersabda: ”Janganlah orang kota menjualkan
komoditi orang dusun. Biarkan manusia itu Allah berikan rizki, dengan
saling memberi keuntungan yang satu kepada yang lain.” (HR. Muslim)
6) Menjual anjing. Dalam hadits Ibnu Mas’ud, Rasulullah telah melarang
mengambil untung dari menjual anjing, melacur dan menjadi dukun
(HR. Bukhari). Kalangan Syafi’iyah dan Hambaliyah menganggap
tidak sah menjual anjing apapun, baik dipelihara (untuk berburu)
maupun tidak. Sedangkan, Malikiyah membolehkan menjual anjing
kelompok yang pertama dengan hadits: ”Rasulullah mengharamkan
hasil jualan anjing, kecuali anjing buru.” (HR. An-Nasa’i).
7) Menjual alat-alat musik dan hiburan. Mayoritas ulama mengharamkan
semua lat-alat hiburan dan alat-alat musik yang diharamkan.21
8) Jual beli saat adzan Jum’at dikumandangkan. Allah swt berfirman: ”Hai
orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at,
Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah
jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahu.”
(Alquran, 62: 9). Adzan yang dimaksud adalah adzan ketika khatib naik
mimbar. Parameter diharamkannya jual beli ini adalah bahwa orang
19Ibid, halaman 107 – 108.20Ibid, halaman 111.21Ibid, halaman 116.
22
yang melakukan transaksi adalah orang yang wajib shalat Jum’at,
mengetahui larangan tersebut dan tidak dalam kondisi darurat. Jika
keduanya tidak wajib shalat Jum’at, maka tidak apa-apa. Namun jika
salah satunya wajib, keduanya berdosa.22
b. Jual Beli yang Diperdebatkan
1) Jual beli ’Inah. Yaitu jual beli manipulatif agar pinjaman uang dibayar
dengan lebih banyak (riba). Mayoritas ulama mengharamkannya tanpa
pengecualian, sedangkan Imam as-Syafi’i membolehkannya jika tidak
disepakati sebelumnya.23
2) Jual beli Wafa. Yakni jual beli dengan syarat pengembalian barang dan
pembayaran, ketika si penjual mengembalikan uang bayaran dan si
pembeli mengembalikan barang. Menurut pendapat ulama tujuan dari
jual beli ini adalah riba yang berupa manfaat barang.24
3) Jual beli dengan uang muka. Yaitu dengan membayarkan sejumlah uang
muka (urbun) kepada penjual dengan perjanjian bila ia jadi membelinya,
uang itu dimasukkan ke dalam harganya. Jika tidak terjadi, urbun
menjadi milik penjual. Mayoritas ulama membolehkan jual beli seperti
ini, jika diberi batasan menunggu secara tegas.25
4) Jual beli Istijrar. Yaitu mengambil kebutuhan dari penjual secara
bertahap, selang beberapa waktu kemudian membayarnya. Mayoritas
22Ibid, halaman 142.23Ibid, halaman 143.24Ibid, halaman 143.25Ibid, halaman 143.
23
ulama membolehkannya, bahkan bisa jadi lebih menyenangkan bagi
pembeli daripada jual beli dengan tawar menawar.26
B. Jual Beli Istijrar
1. Definisi
Istijrar secara bahasa artinya menarik atau menyeret. Secara terminologis
ilmu fiqih: Mengambil kebutuhan yang perlu dibeli sedikit demi sedikit, lalu
membayarnya sesudah itu.27
Bai Istijrar adalah adalah perjanjian/kesepakatan penjualan/pembelian
normal yang berulang dimana penjual menyetujui menjual beragam
jumlah/unit komoditas dari waktu ke waktu.28
26Ibid, halaman 143.27Sumber : Tulisan Prof.Dr.Abdullah al-Mushlih & Prof.Dr.Shalah ash-Shawi;http://www.alsofwah.or.id28Understanding Islamic Finance. Muhammad Ayub
24
2. Landasan Hukum29
Para ahli fiqih berbeda pendapat juga tentang jual beli ini. Pemicu
perbedaan pendapat mereka adalah karena si pembeli tidak tahu harga barang
ketika mengambilnya, bukan karena pembayarannya yang ditunda sampai
waktu penghitungannya.Berdasarkan hal ini, apabila harganya telah diketahui
secara pasti, maka jual beli ini sah menurut seluruh ulama. Karena dalam kon-
disi demikian, jual beli ini tidak akan keluar dari bentuk jual beli nasiah,
sehingga termasuk dalam keumuman dalil-dalil yang me-netapkan
disyariatkannya jual beli tersebut. Namun kalau harga-nya tidak diketahui,
inilah yang menjadi perdebatan di antara para ulama.
Mayoritas ulama menetapkan tidak disyariatkannya jual beli ini karena tidak
diketahuinya harga pembayaran.Kalangan Hambaliyah dalam salah satu
riwayat dari mereka menjelaskan bahwa hal itu dibolehkan.Itulah pendapat
yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim. Hal itu menurut mereka
sama dengan sahnya nikah tanpa menyebutkan jumlah mahar. Jumlah mahar
itu dikembalikan dengan standar mahar secara umum. Dan harga barang dalam
jual beli ini pun dikem-balikan kepada harga standar. Kemungkinan di antara
dalil yang paling jelas yang menjelaskan disyariatkannya jual beli ini adalah
karena bentuk jual beli ini sudah demikian populer di berbagai negeri dan
belahan dunia, sampai di kalangan mereka yang melarangnya sekalipun. Dan
tak seorangpun di antara mereka yang berani menyatakan bahwa jual beli itu
batal.
29Ash-shawi, Op.cit.
25
Abu Daud menjelaskan dalam al-Masail bab: Membeli Tanpa Mengetahui
Harga, "Aku pernah mendengar Ahmad ditanya tentang seorang lelaki yang
mengirim orang ke tukang sayur dan mengambil kebutuhannya satu demi satu,
baru di kemudian hari ia menghitung semua pembeliannya. Beliau menjawab,
'Saya harap jual beli semacam itu tidak ada apa-apa.'Beliau ditanya, 'Apakah
saat itu juga disebut sebagai jual beli?'Beliau menjawab, 'Tidak'." Ibnul
Qayyim menyebutkan dalam I'lamul Muwaqqi'in: "Para ulama berbeda
pendapat tentang bolehnya jual beli tersebut karena harga diputuskan tanpa
perkiraan harga barang sesungguhnya pada saat transaksi. Bentuk aplikatifnya:
Jual beli yang dilakukan dengan rekan bisnis, seperti tukang roti, tukang
daging atau penjual minyak samin, atau yang lainnya. Ia mengambil
kebutuhannya dari mereka dan menghitung seluruhnya di awal bulan atau awal
tahun, lalu membayarnya. Namun sebagian besar ulama melarangnya.Mereka
menganggap serah terima barang itu tidak memindahkan kepemilikan.Itu
adalah serah terima rusak seperti halnya serah terima barang rampasan. Karena
serah terima itu dilakukan dengan transaksi yang rusak. Namun mereka semua
juga melakukan jual beli tersebut, selain orang yang bersikap ekstrim. Karena
mereka tidak menemukan jalan lain, meskipun mereka menyebutkan fatwa
bahwa jual beli semacam itu batil, dan bahwa barang itu masih dalam
kepemilikan oleh si penjual. Ia tidak bisa melepaskan diri dari jual beli itu,
dalam arti mereka tidak mungkin menawar setiap kali ia membutuhkan sesuatu
yang diambil, murah atau mahal. Kalau serah terima barang harus dilakukan
26
dengan pelafalan, maka tawar menawar itupun harus dilakukan dengan
pelafalan ijab dan qabul (serah terima).
Kemudian Ibnul Qayyim melanjutkan:
"Pendapat kedua: –dan inilah pendapat yang tepat– yakni yang selalu
diamalkan oleh umat Islam di segala masa dan di segala tempat, yakni
dibolehkannya jual beli itu sampai batas harga termahal. Itulah pendapat yang
dinyatakan oleh Ahmad dan dipilih oleh guru kami Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah.Aku pernah mendengarnya berkata, "Itu lebih menyenangkan hati
pembeli daripada tawar menawar. Dalam hal ini saya juga memi-liki
panutan.Saya hanya memilih pendapat yang telah diambil oleh ulama selain
saya. "Kemudian beliau melanjutkan, "Orang-orang yang melarang jual beli
semacam itu tetap tidak mungkin meninggalkan jual beli tersebut. Bahkan
mereka turut melakukan-nya juga. Sementara dalam Kitabullah maupun
Sunnah Rasulullah bahkan juga ijma' kaum muslimin, atau sekedar pendapat
seorang sahabat maupun qiyas yang sah, tidak ada yang menjelaskan
keharamannya. Di sisi lain umat Islam telah bersepakat mengang-gap sah nikah
tanpa mengetahui jumlah mahar dengan memberikan mahar standar. Bahkan
kebanyakan ulama juga membolehkan perjanjian sewa menyewa dengan
pembayaran standar, seperti me-nyewa tukang cuci, tukang roti, nelayan,
tukang membersihkan dan dapur. Namun setidaknya jual beli tersebut dengan
meng-gunakan harga standar. Jual beli semacam itu dibolehkan, sebagaimana
halnya membayar dengan harga standar baik dalam jual beli ini ataupun jual
27
beli lainnya.Inilah qiyas yang tepat, yang hanya dengan analogi inilah
kepentingan umat dapat ditegakkan.
C. Letter of Credit (L/C)
Letter of Credit atau biasa disebut L/C adalah suatu instrumen perbankan yang
sangat penting khususnya dalam perdagangan ekspor-impor yang digunakan
sebagai sarana untuk memudahkan penyelesaian utang-piutang.
1. Definisi30
L/C adalah suatu surat yang dikeluarkan oleh bank devisa atas permintaan
importir nasabah bank devisa bersangkutan dan ditujukan kepada eksportir di
luar negeri yang menjadi relasi dari importir tersebut. Isi surat itu menyatakan
30 Amir M.S, Letter of Credit Dalam Bisnis Ekspor Impor, halaman 1
28
bahwa eksportir penerima L/C diberi hak oleh importir untuk menarik wesel
(surat perintah untuk melunasi utang) atas importir bersangkutan untuk
sejumlah uang yang disebut dalam surat itu. Bank yang bersangkutan
menjamin untuk mengakseptir atau menghonorir wesel yang ditarik tersebut
asal sesuai dan memenuhi semua syarat yang tercantum di dalam surat itu.
2. Isi Pokok L/C31
Isi pokok L/C antara lain :
a. Nomor dan tanggal L/C
b. Jenis dan sifat L/C yang dibuka
c. Nama dan alamat eksportir (penerima L/C) atau beneficiary.
d. Jumlah dana yang tersedia.
e. Uraian barang dan jumlahnya.
f. Perincian dokumen pengapalan yang disyaratkan seperti:
1) Bill of lading
2) Faktur perdagangan
3) Daftar pengepakan
4) Daftar kubikasi
5) Daftar timbangan
6) Keterangan negara asal
7) Sertifikat mutu
8) Laporan kebenaran pemeriksaan
9) Polis asuransi dan lain-lain.
31Ibid, halaman 2.
29
g. Batas waktu pengapalan terakhir.
h. Batas waktu berlakunya L/C.
i. Syarat pengapalan seperti partial shipment, transhipment dll.
j. Ketentuan negosiasi dokumen pengapalan.
Eksportir harus mempelajari dengan seksama semua keterangan yang
tercantum didalam L/C. Kalau semua ketentuan itu tidak dipenuhi secara
tepat dan cermat, maka bank dari importir yang membuka L/C berhak penuh
untuk menolak dokumen pengapalan yang diajukan dan menolak pembayaran
atas beban L/C itu.
3. Pihak-pihak Dalam L/C32
Pihak-pihak yang terlibat dalam pembukaan suatu L/C adalah:
a. Opener atau Applicant
Importir yang meminta bantuan bank devisanya untuk membuka L/C
guna keperluan penjual atau eksportir, disebut sebagai opener atau
applicant dari L/C itu.
b. Opening bank atau Issuing bank
Bank devisa yang diminta bantuannya oleh importir untuk membuka
suatu L/C untuk keperluan eksportir. Bank devisa inilah yang
memberikan jaminan kepada eksportir. Oleh karena itu, nilai L/C
sangat bergantung pada nama baik dan reputasi dari bank devisa yang
membuka L/C tersebut.
c. Advising
32Ibid, halaman 3.
30
Opening bank membuka L/C untuk eksportir melalui bank lain di
negara eksportir yang menjadi koresponden dari opening bank
tersebut. Bank korespondensi ini berkewajiban untuk menyampaikan
amanat yang terkandung dalam L/C kepada eksportir yang berhak.Oleh
karena itu, bank koresponden bersangkutan disebut advising bank, atau
bank penyampai amanat.
d. Beneficiary
Eksportir yang menerima pembukaan L/C dan diberi hak untuk
menarik uang dari dana L/C yang tersedia.
e. Negotiating Bank
Di dalam L/C biasanya disebutkan bahwa beneficiary boleh
menguangkan (menegosiasikan shipping document) melalui bank mana
saja yang disukainya asalkan memenuhi syarat L/C. Bank yang
membayar dokumen itu disebut sebagai negotiating bank.
4. Mekanisme dan Skema L/C33
Secara skematis pembukaan suatu L/C dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1. Skema pembukaan L/C
B C
33Ibid, halaman 4.
Advising/negotiating/ paying bank
Opening bank
13
2
31
A D
Dalam Negeri Luar Negeri
Keterangan :
1. Importir meminta banknya (bank devisa) membuka suatu L/C untuk
dan atas nama eksportir. Dalam hal ini importir bertindak sebagai
opener (A-B).
2. Bank bertindak sebagai opening bank pada saat melaksanakan
pembukaan L/C atas nama importir. Pembukaan L/C ini dilakukan
melalui salah satu koresponden bank diluar negeri atau yang disebut
dengan advising bank (B-C)
3. Advising bank memberitahukan kepada mengenai pembukaan L/C
tersebut. Eksportir yang menerima L/C disebut beneficiary (C-D).
jikaadvising juga dikuasakan untuk membeli wesel-wesel yang ditarik
oleh eksportir maka advising bank juga disebut negotiating bank.
5. Keuntungan L/C34
L/C adalah suatu alat (isntrumen) yang memudahkan transaksi dagang
antara eksportir dengan importir yang belum saling mengenal, atau yang tidak
mempunyai ikatan khusus tertentu.
a. Keuntungan bagi eksportir.
1) Kepastian pembayaran dan menghindari resiko.
34Ibid, halaman 5.
sellerbuyer
32
Sekalipun eksportir tidak mengenal importir, tetapi dengan adanya
L/C sudah merupakan jaminan bagi eksportir bahwa tagihanya
pasti dilunasi bank sesuai ketentuan.
2) Penguangan dokumen dapat langsung dilakukan.
Bila barang sudah dikapalkan, maka dengan adanya L/C shipping
documents dapat langsung diuangkan atau dinegosiasikan dengan
advising bank dan tidak perlu lagi menunggu pembayaran atau
kiriman uang dari importir.
3) Biaya yang dipungut bank untuk negosiasi dokumen relatif kecil
bila ada L/C.
4) Terhindar dari risiko pembatasan transfer valuta.
Di berbagai negara terdapat pembatasan transfer valuta asing dan
diperlukan izin impor sebelum dilakukan pembukaan L/C. bank
devisa di negara importir sudah mengetahui ketentuan ini dan
mereka baru bersedia membuka L/C bila semua ketentuan
pemerintah dipenuhi oleh importir. Oleh karena itu, setiap
pembukaan L/C opening bank sudah menyediakan valuta asing
untuk setiap tagihan yang didasarkan pada L/C tersebut.Dengan
demikian eksportir terhindar dari risiko non-payment yang
mungkin terjadi bila transaksi dilakukan tanpa L/C.
5) Kemungkinan memperoleh uang muka atau kredit tanpa bunga.
Bila importir bersedia membuka L/C dengan syarat “Red Clause”,
maka eksportir dapat memperoleh uang muka dari L/C yang
33
tersedia. Ini berarti eksportir mendapat kredit tanpa bunga atau
semacam uang panjar yang biasanya diperlukan untuk memulai
produksi barang yang akan diekspor itu.
b. Keuntungan bagi importir.
1) Pembukaan L/C dapat diartikan bahwa opening bank meminjam
nama baik dan reputasinya kepada importir sehingga dapat
dipercaya oleh eksportir. Eksportir yakin bahwa barang yang akan
dikirim pasti akan dibayar. Dengan pembukaan L/C
memungkinkan importir menyimpan barang. Tanpa pembukaan
L/C hampir mustahil bagi importir untuk mendapatkan barang
impor.
2) L/C merupakan jaminan bagi importir, bahwa dokumen atas barang
yang dipesan akan diterimanya dalam keadaan lengkap dan utuh,
karena akan diteliti oleh bank yang sudah mempunyai keahlian
dalam hal itu.
3) Importir dapat mencantumkan syarat-syarat untuk pengamanan
yang pasti akan dipatuhi oleh eksportir agar dapat menarik uang
dari L/C yang tersedia.
6. Jenis-jenis L/C35
a. Commercial Documentary L/C
35Ibid, halaman 7.
34
Adalah L/C yang mewajibkan eksportir penerima L/C untuk
menyerahkan dokumen pengapalan yang membuktikan pemilikan
barang serta dokumen penunjang lainnya sebagai syarat untuk
memperoleh pembayaran dari dana yang tersedia pada L/C tersebut.
b. Clean L/C
Adalah suatu L/C yang dapat dicairkan dananya dengan penyerahan
wesel atau hanya kuitansi biasa. L/C ini tidak membutuhkan
penyerahan dokumen pengapalan seperti bill of lading dan sebagainya.
c. Open L/C
Adalah L/C yang memberi hak kepada eksportir penerima L/C untuk
menegosiasi dokumen pengapalan melalui bank mana saja yang
diinginkannya.
d. Restricted L/C
Adalah L/C yang membatasi hak eksportir penerima L/C untuk
menegosiasi dokumen pengapalan pada bank tertentu yang disebutkan
oleh opening bank didalam L/C tersebut dan biasanya terbatas pada
advising bank saja.
e. Straight L/C
Adalah L/C yang negosiasi atau pelunasan dokumen pengapalannya
hanya dapat dilakukan di kassa opening bank sendiri.
f. Revocable L/C
Adalah L/C yang dapat dibatalkan kembali kapan saja oleh importir
tanpe memerlukan persetujuan eksportir. L/C ini mengansung risiko
35
besar bagi eksportir, karena pelunasan atas barang yang dikirim bisa
mengalami kelambatan.
g. Irrevocable L/C
Adalah L/C yang dibuka oleh bank devisa untuk eksportir, dimana
opening bank mengikatkan diri untuk melunasi wesel-wesel yang
ditarik dalam jangka waktu berlakunya L/C. L/C tersebut tidak dapat
dibatalkan selama jangka waktu yang dimaksud, kecuali dengan
persetujuan semua pihak yang terlibat.
h. Irrevocable and Confirmed L/C
Adalah L/C yang:
1) Tidak dapat dibatalkan/ diubah selama jangka waktu berlakunya,
kecuali bila mendapat persetujuan dari semua pihak yang terlibat
dengan L/C tersebut.
2) Mempunyai jaminan pelunasan berganda atas wesel dan atau
penyerahan doumen pengapalan yang diberikan oleh opening bank
bersama advising bank.
3) Merupakan cara pembayaran yang paling aman dipandang dari
sudut kepentingan eksportir penerima L/C.
i. Red Clause L/C
Red Clause L/C adalah L/C yang menguasakan advising, negotiating
atau confirming bank untuk memberikan pembayaran di muka kepada
beneficiary (eksportir) sebelum pengajuan dokumen-dokumen.Red
Clause tersebut dicantumkan pada L/C berdasarkan permintaan khusus
36
dari applicant (importir) dan redaksi kata-katanya tergantung kepada
permintaannya.
j. Back to Back L/C
Pada hakikatnya back to back L/C ini merupakan dua L/C yang
identik, kecuali harganya dan tanggal pengapalan serta tanggal
berlakunya L/C. Jenis L/C ini umumnya digunakan dalam kondisi
sebagai berikut :
1. eksportir bukanlah supplier barang-barang eksporr.
2. eksportir tidak mempunyai dana untuk membayar supplier.
3. eksportir tidak ingin supplier mengetahui nama importir asli dan
harga-harga barang yang sesungguhnya.
Oleh karena itu, haruslah dibuat dua L/C yang terpisah tanpa ada
indikasi kepada importir asli bahwa kedua L/C tersebut berkaitan.L/C
yang pertama atau L/C induk (master L/C) dibuka oleh importir di luar
negeri kepada eksportir melalui bank di negara eksportir.
k. Revolving L/C
1) Kredit yang tersedia dapat dipakai ulang tanpa perlu mengadakan
perubahan syarat.
2) Pemakaian ulang dapat dilakukan untuk “waktu dan nilai”.
Misalnya kredit disediakan sebesar US$ 15.000 sebulan, dengan
jangka waktu 6 bulan. Ini berarti secara otomatis setiap bulan
tersedia kredit sebesar US$ 15.000 selama 6 bulan berturut-turut,
tidak peduli kredit itu dipakai atau tidak. Dengan sendirinya kredit
37
semacam ini bersifat cumulative atau non cumulative. Jika kredit
cumulative berarti setiap jumlah yang tidak terpakai dalam bulan
terdahulu masih dapat dipakai dalam bulan berikutnya. Jika kredit
non cumulative berarti setiap jumlah kredit yang tidak terpakai
dalam bulan terdahulu otomatis menjadi batal.
3) Pemakaian ulang juga dapat dilakukan untuk “nilai” saja. Misalnya
kredit disediakan sebesar US$ 100.000. Nilai kredit tersebut akan
diperbaharui secara otomatis setiap jumlah itu dipakai, asal saja
masih dalam jangka waktu berlakunya kredit (validity). Kredit
semacam ini sudah tentu sangat memudahkan penerima kredit
(L/C), namun bagi opener atau opening bank merupakan resiko
yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya. Kalau frekuensi
pengambilan kredit bertambah tinggi, berarti jumlah yang diambil
dari L/C juga semakin tinggi. Oleh karena itu, pada revolving
credit semacam ini biasanya ditetapkan batas maksimum nilai yang
dapat ditarik.
l. Transferable L/C
L/C yang member hak kepada eksportir penerima untukmenoperkan
atau menguasakan haknya atas L/C itu kepada pihak lain atau eksportir
lain yang menyanggupi.
m. Stand by L/C
Semacam bank garansi oleh yang dikeluarkan oleh mitra dagang asing,
untuk menjamin pinjaman yang dilakukan perusahaan lokal.
38
n. Merchant L/C
L/C yang dibuka oleh importir (bukan bank) kepada eksportir, yang
memberikan hak kepada eksportir penerima L/C untuk menarik wesel
terhadap importir, dan importir pembuka menjamin untuk melunasi
wesel-wesel tersebut pada saat jatuh temponya.
o. Usance L/C
L/C yang mengharuskan eksportir penerima L/C untuk menarik wesel
berjangka dan bukan wesel unjuk.
7. Penyelesaian L/C36
Negosiasi
Pada prinsipnya pembayaran kepada beneficiary dapat dilakukan setelah
negotiating bank menerima hasil pengkreditan dari Issuing Bank atau
Depository Correspondent.Agar beneficiary (eksportir) dapat menerima
hasil negosiasi saat diajukandokumen engkap kepada negotiating bank,
harus terlebih dahulu memperoleh fasilitas dari bank bersangkutan. Setelah
memperoleh fasilitas di atas, pembayaran dapat dilakukan apabila
negosiasi memenuhi ketentuan sebagai berikut :
1) Didasarkan atas L/C yang merupakan operative credit instrument.
2) Tidak terdapat suatu penyimpangan.
3) Telah ada copy PEB/PEBT yang telah diregistrasi dan difiat muat
oleh Bea & Cukai.
4) Penilaian bank atas eksportir yang bersangkutan baik.
36Workshop : Transaksi Ekspor-Impor dengan Letter of Credit LPBP – LePMA, halaman 40.
39
5) Eksportir mempunyai kemampuan finansial untuk membayar
kembali kepada bank, bila terjadai penolakan pembayaran oleh
Issuing Bank (hak regres bagi bank atau “with recourse”)
Terhadap eksportir yang tergolong di atas perlakuan pembayaran
dilakukan :
1) Jika availability L/C : by Payment at Sightdan dibayarkan dalam
Rupiah dengan menggunakan Kurs Beli Devisa Umum, dengan
dikurangi Transit Time Interest atau dibayarkan dalam valuta asing
dengan membagi hasil rupiah di ats dibagi dengan kurs jual bank.
2) Jika availability L/C :by acceptance of draft at : x days after B/L
dapat dibayarkan dalam rupiah dengan Kurs Devisa Umum dengan
dikurangi Bunga Diskonto.
3) Jika availibility L/C :by Negotiation, dapat dibayarkan dalam rupiah
dengan Kurs Beli Devisa Umum Negotiating Bank, tanpa
pengurangan dengan Transit Time Interest.
Pengenaan hari bunga Transit Time Interest perbankan rata-rata
dikenakan 4 hari jika syarat remburs L/C TT dan 12 hari jika syarat
remburs L/C dengan mail. Apabila terjadi pengkreditan di atas 12 hari,
maka bank akan mengenakan tambahan hari bungan di aas 12 hari,
dinamakan Overdue Interest.
1) Biaya Komisi Negosiasi yang diperhitungkan dalam valuta asing
kepada eksportir (biasanya ¼ % dari nilai wesel).
40
2) Biaya Pajak Ekspor, apabila eksportir membayarkan PE melalui
bank untuk disetorkan kepada Kas Negara.
3) Overdue interest (bila ada)
D. Letter of Credit Syari’ah
1. L/C Impor Syari’ah37
Letter of Credit (L/C) Impor Syariah adalah surat pernyataan akan
membayar kepada Eksportir yang diterbitkan oleh Bank untuk kepentingan
Importir dengan pemenuhan persyaratan tertentu sesuai dengan prinsip
syariah. L/C Impor Syariah dalam pelaksanaannya menggunakan akad-akad:
Wakalah bil Ujrah, Qardh, Murabahah, Salam/Istishna’, Mudharabah,
Musyarakah, dan Hawalah.
Akad untuk L/C Impor yang sesuai dengan syariah dapat digunakan
beberapa bentuk:
a. Akad Wakalah bil Ujrah dengan ketentuan:
1) Importir harus memiliki dana pada bank sebesar harga pembayaran
barang yang diimpor;
37FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL Nomor: 34/DSNMUI/IX/2002 Tentang LETTER OF CREDIT IMPOR SYARI’AH
41
2) Importir dan Bank melakukan akad Wakalah bil Ujrah untuk
pengurusan dokumen-dokumen transaksi impor;
3) Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk
nominal, bukan dalam bentuk prosentase.
b. Akad Wakalah bil Ujrah dan Qardh dengan ketentuan:
1) Importir tidak memiliki dana cukup pada bank untuk pembayaran
harga barang yang diimpor;
2) Importir dan Bank melakukan akad Wakalah bil Ujrah untuk
pengurusan dokumen-dokumen transaksi impor;
3) Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk
nominal, bukan dalam bentuk prosentase;
4) Bank memberikan dana talangan (qardh) kepada importir untuk
pelunasan pembayaran barang impor.
c. Akad Murabahah dengan ketentuan:
1) Bank bertindak selaku pembeli yang mewakilkan kepada importir
untuk melakukan transaksi dengan eksportir;
2) Pengurusan dokumen dan pembayaran dilakukan oleh bank saat
dokumen diterima (at sight) dan/atau tangguh sampai dengan jatuh
tempo (usance);
3) Bank menjual barang secara murabahah kepada importir, baik
dengan pembayaran tunai maupun cicilan.
4) Biaya-biaya yang dikeluarkan oleh bank akan diperhitungkan
sebagai harga perolehan barang.
42
d. Akad Salam/Istishna’dan Murabahah, dengan ketentuan:
1) Bank melakukan akad Salam atau Istishna’ dengan mewakilkan
kepada importir untuk melakukan transaksi tersebut.
2) Pengurusan dokumen dan pembayaran dilakukan oleh bank;
3) Bank menjual barang secara murabahah kepada importir, baik
dengan pembayaran tunai maupun cicilan.
4) Biaya-biaya yang dikeluarkan oleh bank akan diperhitungkan
sebagai harga perolehan barang.
e. Akad Wakalah bil Ujrah dan Mudharabah, dengan ketentuan:
1) Nasabah melakukan akad wakalah bil ujrah kepada bank untuk
melakukan pengurusan dokumen dan pembayaran.
2) Bank dan importir melakukan akad Mudharabah, dimana bank
bertindak selaku shahibul mal menyerahkan modal kepada
importir sebesar harga barang yang diimpor.
f. Akad Musyarakah dengan ketentuan:
Bank dan importir melakukan akad Musyarakah, dimana keduanya
menyertakan modal untuk melakukan kegiatan impor barang.
g. Dalam hal pengiriman barang telah terjadi, sedangkan pembayaran
belum dilakukan, akad yang digunakan adalah:
Alternatif 1:
Wakalah bil Ujrah dan Qardh dengan ketentuan:
1) Importir tidak memiliki dana cukup pada bank untuk pembayaran
harga barang yang diimpor.
43
2) Importir dan Bank melakukan akad Wakalah bil Ujrah untuk
pengurusan dokumen-dokumen transaksi impor;
3) Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk
nominal, bukan dalam bentuk prosentase;
4) Bank memberikan dana talangan (qardh) kepada nasabah untuk
pelunasan pembayaran barang impor
Alternatif 2:
Wakalah bil Ujrah dan Hawalah dengan ketentuan:
1) Importir tidak memiliki dana cukup pada bank untuk pembayaran
harga barang yang diimpor;
2) Importir dan Bank melakukan akad Wakalah untuk pengurusan
dokumen-dokumen transaksi impor;
3) Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk
nominal, bukan dalam bentuk prosentase;
4) Hutang kepada eksportir dialihkan oleh importir menjadi hutang
kepada Bank dengan meminta bank membayar kepada eksportir
senilai barang yang diimpor.
2. Penyelesaian Utang dalam Impor38
Penyelesaian Utang Impor adalah pengalihan utang dari pihak yang
berutang kepada LKS, kemudian LKS membayar utang tersebut kepada pihak
38FATWA DEWAN SYARI’AH NASIONAL NO: 61/DSN MUI/V/2007 Tentang PENYELESAIAN UTANG DALAM IMPOR
44
yang berpiutang atau pihak lain yang ditunjuk oleh pihak yang berpiutang.
Ketentuan akad :
a. Akad yang dapat digunakan dalam penyelesaian utang impor adalah
Hawalah bil Ujrah dengan mengacu pada Fatwa DSN No. 58/DSN-
MUI/V/2007 tentang Hawalah bil Ujrah.
b. LKS sebagai muhal alaih menerima pengalihan utang dari pihak yang
berutang senilai utang impor.
c. Pengalihan utang harus dilakukan atas dasar kerelaan dari para pihak
yang terkait.
d. LKS sebagai muhal alaih boleh mengenakan ujrah/fee atas pengalihan
utang.
e. Besar ujrah harus disepakati secara jelas, tetap dan pasti pada saat
akad dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk
prosentase yang dihitung dari pokok utang.
f. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk
menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
g. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau
menggunakan cara-cara komunikasi modern.
h. Kedudukan dan kewajiban para pihak harus dinyatakan dalam akad
secara tegas.
i. Jika transaksi hawalah telah dilakukan, hak penagihan muhal
berpindah kepada muhal ‘alaih.
45
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui
Badan Arbitrasi Syariah atau Pengadilan Agama setelah tidak tercapai
kesepakatan melalui musyawarah.
E. KDPPLKS ( Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan
Keuangan Syariah)
1. Tujuan dan Peranan
Kerangka dasar ini menyajikan konsep yang mendasari penyusunan dan
penyajian laporan keuangan bagi para penggunanya. Tujuan kerangka
dasar ini adalah untuk digunakan sebagai acuan bagi:
a. Penyusun standar akuntansi keuangan syariah, dalam pelaksanaan
tugasnya;
b. Penyusun laporan keuangan, untuk menanggulangi masalah akuntansi
syariah yang belum diatur dalam standar akuntansi keuangan syariah;
c. Auditor dalam memberikan pendapat mengenai apakah laporan
keuangan disusun sesuai dengan prinsip akuntansi syariah yang
berlaku umum;
d. Para pemakai laporan keuangan, dalam menafsirkan informasi yang
disajikan dalam laporan keuangan yang disusun sesuai dengan standar
akuntansi keuangan syariah.
46
Pengertian transaksi syariah yang dimaksud dalam kerangka dasar ini adalah
transaksi yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah. Kerangka dasar ini
bukan standar akuntansi keuangan dan karenanya tidak mendefinisikan standar
untuk permasalahan pengukuran atau pengungkapan tertentu. Revisi kerangka
dasar ini akan dilakukan dari waktu ke waktu sesuai dengan pengalaman badan
penyusun standar akuntansi keuangan syariah dalam penggunaan kerangka
dasar tersebut.
2. Ruang Lingkup
Kerangka dasar ini membahas:
a. Tujuan laporan keuangan;
b. Karakteristik kualitatif yang menentukan manfaat informasi dalam
laporan keuangan;
c. Definisi pengakuan dan pengukuran unsur-unsur yangmembentuk
laporan keuangan.
Kerangka dasar ini membahas laporan keuangan untuk tujuan umum
(general purpose financial statements, yang selanjutnya hanya disebut
“laporan keuangan”), termasuk laporan keuangan konsolidasi. Laporan
keuangan disusun dan disajikan sekurang-kurangnya setahun sekali untuk
memenuhi kebutuhan sejumlah besar pemakai. Beberapa di antara pemakai
ini memerlukan dan berhak untuk memperoleh informasi tambahan di
samping yang tercakup dalam laporankeuangan. Namun demikian, banyak
pemakai sangat tergantung pada laporan keuangan sebagai sumber utama
informasi keuangan dan karena itu laporan keuangan tersebut seharusnya
47
disusun dan disajikan dengan mempertimbangkankebutuhan mereka. Laporan
keuangan dengan tujuan khusus seperti prospektus dan perhitungan yang
dilakukan untuk tujuan perpajakan tidak termasuk dalam kerangka dasar ini.
Laporan keuangan merupakan bagian dari proses pelaporan keuangan.
Laporan keuangan yang lengkap meliputi laporan keuangan atas kegiatan
komersial dan atau sosial. Laporan keuangan kegiatan komersial meliputi
neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan posisi keuangan (yang dapat
disajikan dalam berbagai cara seperti, misalnya, sebagai laporan arus kas,
atau laporan perubahan ekuitas), catatan dan laporan lain serta materi
penjelasan yang merupakan bagian integral dari laporan keuangan. Laporan
keuangan atas kegiatan social meliputi laporan sumber dan penggunaan dana
zakat, dan laporan sumber dan penggunaan dana kebajikan. Di samping itu
juga termasuk, skedul dan informasi tambahan yang berkaitan.