8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan bertujuan untuk mengetahui keaslian karya ilmiah
yang telah dibuat. Pada dasarnya suatu penelitian tidak beranjak dari awal, tetapi pada
umumnya telah ada acuan yang mendasarinya. Hal ini bertujuan sebagai titik tolak
untuk mengadakan suatu penelitian. Oleh karena itu, perlu sekali melakukan
peninjauan terhadap penelitian yang sudah ada. Peneliti sudah melakukan peninjauan
terhadap penelitian yang relevan dalam bentuk skripsi, yaitu penelitian Ari Wigati
(UMP, 2012) yang berjudul “Nasionalisme pada Lirik Soundtrack Film Garuda di
Dadaku, Garuda di Dadaku 2, King, Nagabonar, dan Gie”, penelitian Muhammad
Imron (UMP, 2013) yang ber judul “Analisis Nilai-nilai Nasionalisme dalam Novel
Sebelas Patriot Karya Andrea Hirata (Suatu Tinjauan Sosiologi Sastra)” serta
penelitian Leni Purnama Sari (UMP, 2013) yang berjudul “Nilai Nasionalisme pada
Novel Di Tepi Takdir Karya Samsikin AD”.
Pada penelitian ini, terdapat persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang
telah dilakukan oleh Ari Wigati, Muhammad Imron, dan Leni Purnama Sari. Hal yang
sama dari penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu sama-sama menjelaskan
nilai nasionalisme yang terkandung dalam karya sastra. Akan tetapi, pada penelitian
ini lebih memfokuskan objek penelitian yaitu nilai nasionalisme pada tokoh anak
dalam novel Mimpi Sang Garuda, King, dan Sebelas Patriot. Jadi apabila penelitian
sebelumnya meneliti tentang nilai nasionalisme secara umum dalam karya sastra, pada
penelitian ini meneliti tentang nilai nasionalisme pada tokoh anak dalam karya sastra.
8
Nilai Nasionalisme pada Tokoh..., Erlita Budi Antari, FKIP UMP, 2014
9
Maka dari objek penelitian tersebut dapat ditemukan adanya perbedaan dari penelitian
ini dengan penelitian sebelumnya.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya selain pada objek
penelitian yaitu pada sumber data dan kajian yang digunakan. Sumber data dari
penelitian ini yaitu novel Mimpi Sang Garuda karya Benny Rhamdani, King karya
Iwok Abqori, dan Sebelas Patriot karya Andrea Hirata. Sedangkan kajian yang
digunakan oleh peneliti yaitu kajian sosiologi sastra. Pada penelitian yang telah
dilakukan oleh Ari Wigati, sumber data yang digunakan yaitu lirik lagu soundtrack
Garuda di Dadaku, Garuda di Dadaku 2, King, Nagabonar, dan Gie dengan kajian
semiotika. Sedangkan penelitian Leni Purnama Sari, sumber data yang digunakan
yaitu novel Di Tepi Takdir karya Samsikin AD dengan kajian struktural dan sosiologi
sastra. Pada penelitian yang telah dilakukan oleh Muhammad Imron terdapat
persamaan pada sumber data dan kajian yang digunakan dengan penelitian ini.
Sumber data yang digunakan yaitu novel Sebelas Patriot dengan kajian sosiologi
sastra. Akan tetapi, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, penelitian ini lebih
memfokuskan pada nasionalisme pada tokoh anak. Maka penelitian Muhammad
Imron dengan penelitian ini tetap berbeda. Hasil pada penelitian yang dilakukan oleh
Ari Wigati, Muhammad Imron, dan Leni Purnama Sari yaitu nilai nasionalisme yang
terkandung dalam lirik lagu dan teks novel serta relevansinya dengan kehidupan
nyata. Sedangkan hasil pada penelitian ini yaitu nilai nasionalisme pada tokoh anak
yang terkandung dalam novel Mimpi Sang Garuda karya Benny Rhamdani, King
karya Iwok Abqori, dan Sebelas Patriot karya Andrea Hirata serta relevansinya
dengan kehidupan nyata. Dari hal-hal tersebut dapat disimpulkan bahwa penelitian ini
berbeda dengan penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.
Nilai Nasionalisme pada Tokoh..., Erlita Budi Antari, FKIP UMP, 2014
10
Keistimewaan dari penelitian ini yaitu membahas mengenai nilai nasionalisme
yang ada pada tokoh anak melalui novel yang bertema olahraga. Novel bertema
olahraga rupanya mempunyai sisi-sisi yang bernilai nasionalisme. Hal tersebut
tergambar pada perjuangan seorang anak untuk mewujudkan cita-citanya menjadi atlit
olahraga nasional. Perjuangannya tidak hanya meningkatkan rasa nasionalismenya
terhadap tanah air, tetapi juga mampu membangun rasa nasionalisme pada para
saudaranya, sahabatnya, dan juga para pendukungnya. Selain itu, sumber data
penelitian ini yaitu tiga buah novel yang bertema olahraga. Setelah dianalisis satu per
satu, dari ketiga novel tersebut akan ditemukan perbedaan nilai nasionalisme pada
masing-masing novel yang kemudian akan dibandingkan. Dari uraian tersebut dapat
disimpulkan bahwa penelitian dengan judul “Nilai nasionalisme pada Tokoh Anak
dalam Novel Mimpi Sang Garuda Karya Benny Rhamdani, King Karya Iwok Abqari,
dan Sebelas Patriot Karya Andrea Hirata” belum pernah dilakukan dan dapat
dipertanggungjawabkan keasliannya.
B. Landasan Teori
1. Nasionalisme
Sebelum membahas mengenai teori nasionalisme, terlebih dahulu dipaparkan
mengenai pengertian nilai. Menurut Moeliono (Ed) (2007: 783) nilai adalah sesuatu
yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya. Sedangkan Darmadi
(2009: 27) merumuskan pengertian nilai adalah sesuatu yang berharga baik menurut
standar logika (benar salah), estetika (bagus buruk), etika (adil/layak-tidak adil),
agama (dosa dan haram-halal) serta menjadi acuan atas sistem keyakinan diri maupun
kehidupan. Kaelan (2010: 87) berpendapat bahwa nilai adalah sifat atau kualitas yang
Nilai Nasionalisme pada Tokoh..., Erlita Budi Antari, FKIP UMP, 2014
11
melekat pada suatu objek, bukan objek itu sendiri. Sesuatu mengandung nilai, artinya
ada sifat atau kualitas yang melekat pada sesuatu tersebut. Dengan demikian maka
nilai itu sebenarnya sesuatu kenyataan yang “tersembunyi” di balik kenyataan-
kenyataan lainnya. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat penulis simpulkan
bahwa nilai adalah sesuatu yang berharga yang melekat pada suatu objek dengan dasar
logika, estetika, etika, maupun agama.
Nasionalisme menurut Budiyono (2007: 208) berasal dari kata nation yang
berarti negara atau bangsa, ditambah akhiran –isme. Maka nasionalisme mengandung
arti yaitu suatu dikap ingin mendirikan negara bagi bangsanya sesuai dengan paham
atau ideologinya. Selain itu, nasionalisme juga diartikan suatu sikap ingin membela
tanah air atau negara dari penguasaan dan penjajahan bangsa asing. Sedangkan
menurut Lymant Tower Sargen (dalam Suteng, 2006:22) nasionalisme adalah suatu
ungkapan perasaan yang kuat dan merupakan usaha pembelaan daerah atau bangsa
melawan penguasa luar. Identitas yang menjadi ciri khasnya adalah identitas masa
lalu, suatu sejarah, nenek moyang, akar yang menempatkan diri dalam suatu tradisi,
sebagai (suatu proses peleburan, perpaduan) dari suatu daerah, sejarah, bahasa dan
agama.
Menurut Kohn (dalam Taniredja, dkk. 2010: 74), nasionalisme adalah suatu
paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi harus diserahkan pada negara
kebangsaan. Sedangkan Santoso (2007: 16) membedakan pengertian nasionalisme
menjadi dua macam, yaitu nasionalisme dalam arti luas dan nasionalisme dalam arti
sempit. Dalam arti luas, nasionalisme adalah paham kebangsaan, yaitu mencintai
bangsa dan negara dengan tetap mengakui keberadaan bangsa dan negara lain. Dalam
arti sempit, nasionalisme diartikan sebagai mengagung-agungkan bangsa dan negara
Nilai Nasionalisme pada Tokoh..., Erlita Budi Antari, FKIP UMP, 2014
12
sendiri dan merendahkan bangsa lain. Nasionalisme yang dianut oleh bangsa
Indonesia pada hal ini yaitu nasionalisme dalam arti luas. Nasionalisme pada bangsa
Indonesia adalah nasionalisme tanpa mengagungkan bangsa sendiri dan merendahkan
bangsa lain.
Menurut Sukarno (dalam Tasai, dkk. 2002: 1), nasionalisme merupakan suatu
iktikad, suatu keinsyafan rakyat bahwa rakyat itu ada satu golongan, satu bangsa.
Sedangkan menurut Depdikbud (dalam Cipto, dkk. 2002: 115), nasionalisme ialah: a)
faham atau ajaran untuk mencintai bangsa dan negaranya sendiri, b) kesadaran
keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama
mencapai, mempertahankan, dan mengabdikan identitas, kemakmuran, dan kekuatan
bangsa itu, yakni semangat kebangsaan. Kemudian Cipto, dkk. (2002: 115)
menambahkan bahwa nasionalisme berarti menyatakan suatu afinitas kelompok yang
didasarkan atas bahasa, budaya, keturunan bersama, dan terkadang kepada agama dan
wilayah bersama pula, terhadap semua pengakuan lain atas loyalitas seseorang. Maka,
nasionalisme pada suatu bangsa berarti menyatakan suatu kesatuan atas wilayah
bersama. Indonesia yang terdiri dari beraneka ragam budaya, bahasa, serta agama
membutuhkan nasionalisme sebagai rasa memiliki suatu kesatuan wilayah yaitu
wilayah Indonesia.
Suteng (2006: 21) mengartikan nasionalisme dalam arti yang sederhana, yaitu
sikap mental dan tingkah laku individu atau masyarakat yang menunjukkan adanya
loyalitas atau pengabdian yang tinggi terhadap bangsa dan negaranya. Loyalitas dan
pengabdian tersebut didorong oleh suatu tekad untuk hidup sebagai satu bangsa di
bawah satu negara yang sama, terlepas dari perbedaan etnis, ras, agama, ataupun
golongan. Kemudian Adolf Heuken (dalam Suteng, 2006: 21) menyebut nasionalisme
Nilai Nasionalisme pada Tokoh..., Erlita Budi Antari, FKIP UMP, 2014
13
sebagai pandangan yang berpusat pada bangsanya. Menurutnya, kata nasionalisme
mempunyai dua arti, yaitu:
a. Dalam arti nasionalistis, sebagai sikap yang keterlaluan, sempit, dan
sombong. Sikap ini tidak menghargaiorang dan bangsa lain seperti
semestinya. Apa yang menguntungkan bangsa sendiri begitu saja dianggap
benar, meskipun hal itu mungkin menginjak-injak hak dan kepentingan
bangsa lain. Dengan demikian, nasionalisme ini justru menceraiberaikan
bangsa satu dengan bangsa lainnya.
b. Nasionalisme dapat juga menunjuk sikap nasional yang positif, yakni
sikap memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan serta harga diri
bangsa sekaligus menghormati bangsa lain. Nasionalisme ini berguna
untuk membina rasa bersatu antarpenduduk negara yang heterogen (karena
perbedaan suku, agama, asal usul). Ini juga berfungsi untuk membina rasa
identitas, kebersamaan dalam negara serta bermanfaat untuk mengisi
kemerdekaan yang sudah diperoleh.
Berdasarkan pengertian nasionalisme dari berbagai sumber di atas, maka penulis dapat
menyimpulkan bahwa nasionalisme merupakan sikap rela berkorban untuk bangsa,
ikut serta dalam pembangunan nasional dan bangga menjadi bagian dari negara
tersebut.
Pada saat suatu suku bangsa berkeinginan membangun suatu pemerintahan
sendiri bagi bangsanya, pada saat itu pula mulai timbul rasa nasionalisme yaitu
nasionalisme untuk membangun suatu negara. Setelah suatu bangsa memiliki
pemerintahan bagi negaranya, timbul keinginan untuk mengembangkan
kekuasaannya. Pada saat ini suatu bangsa telah mengembangkan nilai
nasionalismenya. Sebagai konsekuensi logis dari usaha ini terjadilah suatu perubahan
keadaan. Menurut Budiyono (2007: 209) ada beberapa bentuk nasionalisme dan
gerakannya yang terjadi di Indonesia:
a. Nasionalisme kemandirian bangsa, di mana semangat bernegara dibangun
untuk mewujudkan kejayaan bangsanya, contoh: Zaman Sriwijaya,
Majapahit, dan Samudra Pasai.
Nilai Nasionalisme pada Tokoh..., Erlita Budi Antari, FKIP UMP, 2014
14
b. Nasionalisme agama, yaitu sebuah gerakan yang berupaya memperoleh
kemerdekaan melalui semangat keagamaan, contoh: upaya yang
dipelopori oleh Serikat Islam (SI) dalam melawan kolonialisme Belanda.
c. Nasionalisme sekuler, yang berupaya memperoleh kemerdekaan dengan
tidak menyebutkan agama sebagai inspirasi gerakan, walaupun tidak
menentang adanya peran agama dalam kegiatan politik.
d. Nasionalisme anti agama (komunis), sebenarnya ciri nasionalisme ini
lebih mengarah pada internasionalisme, berbeda dengan bentuk gerakan
kedua yang menjadikan agama sebagai spirit gerakannya, nasionalisme
anti agama tidak memberikan peran terhadap agama bahkan agama tidak
berperan dalam gerakan dan harus dijauhi.
Kecintaan terhadap negara dan bangsa tidak hanya ditampilkan jika ada bangsa
lain yang ingin menjajah Indonesia. Akan tetapi, dapat diwujudkan dalam kegiatan
pembangunan di segala bidang. Bentuk pengamalan jiwa nasionalisme dapat
dilakukan dalam kehidupan bernegara, bermasyarakat, berkeluarga, dan sekolah.
Tasai, dkk. (2002: 20) menyebutkan wujud semangat nasionalisme dalam enam hal,
yaitu: a) Cinta tanah air, b) Patriotisme, c) Harapan kemerdekaan, d) Pemujaan
terhadap pahlawan, e) Kebanggaan akan bahasa nasional, f) Unsur kenangan kejayaan
masa lalu. Adapun unsur-unsur yang membentuk nasionalisme (bangsa) Indonesia
menurut Santoso (2007: 16) adalah; a) Kesatuan sejarah, b) Kesatuan nasib, c)
Kesatuan kebudayaan, d) Kesatuan wilayah, e) Kesatuan asas kerokhanian.
Unsur paling penting dalam nasionalisme adalah keyakinan dari suatu
kelompok manusia pada suatu bangsa. Keyakinan tersebut adalah bahwa berhadapan
dengan bangsa lain atau orang/sekelompok orang lain, juga yang ada di daerahnya,
bangsa itu harus bebas merdeka, memegang hak-haknya dan menikmati
kedaulatannya. Inti jiwa nasionalisme adalah mengatur diri dan hidup sendiri,
pemerintah sendiri, swapraja, dan tidak diatur oleh bangasa lain (penjajah) atau
orang/sekelompok orang (diktator/penguasa) yang memerintah hanya demi
kepentingannya sendiri (Suteng, 2006). Santoso (2007: 16) menyebutkan nilai-nilai
Nilai Nasionalisme pada Tokoh..., Erlita Budi Antari, FKIP UMP, 2014
15
yang terkandung dalam nasionalisme, yaitu: a) menempatkan kepentingan bangsa dan
negara di atas kepentingan pribadi dan golongan, b) sanggup atau rela berkorban
untuk bangsa dan negara, c) mencintai tanah air dan bangsa, d) bangga berbangsa dan
bernegara Indonesia, e) menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan berdasarkan prinsip
Bhineka Tunggal Ika, f) memajukan pergaulan untuk meningkatkan persatuan bangsa
dan negara. Berikut pembahasannya.
a. Menempatkan Kepentingan Bangsa dan Negara di Atas Kepentingan
Pribadi dan Golongan
Sadar berbangsa dan bernegara Indonesia dalam bentuk tingkah laku, sikap
dan kehidupan secara pribadi sesuai dengan kepribadian bangsa selalu mengkaitkan
dirinya dengan pencapaian cita-cita dan tujuan hidup bangsa Indonesia, membina
kesadaran, kesatuan dan persatuan, mencintai budaya bangsa dan selalu
mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi atau golongan
(Busrizalti, 2013). Menurut Kansil dan Christine (2011: 204) berdasarkan sila
Persatuan Indonesia, manusia Indonesia hendaknya menempatkan persatuan,
kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan
pribadi dan golongan. Kesatuan timbul dari keanekaragaman. Maka akan menjadi
salah apabila mematikan perbedaan yang terdapat antara suku-suku, agama dan
golongan/politik. Persatuan yang dituntut adalah persatuan yang prinsipal dan
menyangkut dasar negara, yaitu Pancasila. Semua golongan harus menempatkan
kepentingan nasional di atas kepentingan golongannya sendiri-sendiri dan kepentingan
nasional, yang tidak boleh disamakan dengan kepentingan suatu kelompok, partai atau
golongan maupun agama, mencakup kepentingan semua kelompok masyarakat yang
Nilai Nasionalisme pada Tokoh..., Erlita Budi Antari, FKIP UMP, 2014
16
wajar. Selain itu sebagai perwujudan persatuan dan kesatuan ialah menempatkan
kepentingan umum, negara, dan bangsa di atas kepentingan pribadi dan golongan.
Dengan demikian, kita telah mendahulukan dan mengutamakan persatuan dan
kesatuan. Kepentingan bangsa dan negara telah kita tempatkan di atas kepentingan
pribadi atau kelompok.
Menurut Toyibin dan Kosasih (1997: 70-71) sebagai manusia pribadi, setiap
orang mempunyai kehendak, keinginan, ataupun kepentingan, serta pendapat pribadi.
Hal tersebut tidak boleh dilaksanakan sekehendak hati karena tidak selamanya segala
keinginan itu akan membawa kondisi hidup yang baik. Oleh sebab itulah segala
keinginan, kehendak, kepentingan serta pendapat pribadi itu perlu dan harus selalu
ditempatkan dalam kerangka terciptanya hidup bersama yang baik. Dengan demikian
maka akan tercipta hidup yang seimbang, selaras, dan serasi. Hal tersebut perlu
dipertahankan karena merupakan dasar yang kokoh dalam mewujudkan persatuan dan
kesatuan bangsa.
Menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi
adalah kewajiban setiap warga negara. Nilai nasionalisme yang pertama ini memang
sewajarnya dilakukan oleh orang dewasa yang telah mempunyai banyak pengetahuan
dan memahami hak dan kewajiban sebagai warga negara. Contohnya adalah seorang
warga yang menunda untuk berlibur bersama keluarganya untuk lebih mendahulukan
mengikuti pemungutan suara dalam rangka pemilihan kepala desa. Hal ini berarti
warga tersebut lebih mengutamakan kepentingan bersama dibandingkan dengan
kepentingan pribadinya. Pada diri anak-anak hal yang demikian masih jarang
ditemukan. Hal tersebut dikarenakan seorang anak mempunyai pengetahuan
Nilai Nasionalisme pada Tokoh..., Erlita Budi Antari, FKIP UMP, 2014
17
kebangsaan yang masih sederhana dan belum mengetahui akan hak dan kewajiban
sebagai warga negara. Akan tetapi, hal tersebut dengan konteks yang lebih ringan
dapat kita temukan pada pergaulan anak-anak dengan teman-temannya. Sebagai
contoh, seorang anak lebih memilih untuk datang berlatih sepak bola dibandingkan
pergi bersama ayahnya. Meskipun sederhana, tetapi hal ini sudah menjadi dasar anak-
anak untuk dapat membedakan mana yang kepentingan bersama dan mana yang
kepentingan pribadi. Maka kelak ketika dewasa nanti, mereka mampu membedakan
antara hal-hal yang harus didahulukan dengan hal-hal yang dapat ditunda.
b. Sanggup atau Rela Berkorban untuk Bangsa dan Negara
Menurut Busrizalti (2013: 168) rela berkorban untuk bangsa yaitu rela
mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, dan harta benda untuk kepentingan umum.
Seseorang yang rela berkorban pada saatnya ia akan siap mengorbankan jiwa dan raga
bagi kepentingan bangsa. Rela berkorban untuk negara adalah rela berkorban tanpa
pamrih yang diberikan oleh seorang warga negara terhadap tanah airnya. Pengorbanan
tersebut dilakukan dengan penuh kesadaran, keikhlasan, dan tanggung jawab untuk
mempertahankan kelangsungan hidup bangsa dan negara Republik Indonesia.
Kesanggupan untuk rela berkorban pada bangsa dan negara biasanya dilandasi oleh
rasa cinta pada tanah airnya.
Perjuangan bangsa kita menghasilkan kemerdekaan melalui sejarah yang
panjang dan penuh dengan pengorbanan serta penderitaan sejak generasi terdahulu
sampai dengan generasi tahun 1945. Keyakinan akan berkenaan dasar dan tujuan itu
telah menggerakkan bangsa Indonesia untuk merebut kemerdekaan nasionalnya.
Nilai Nasionalisme pada Tokoh..., Erlita Budi Antari, FKIP UMP, 2014
18
Mewarisi keyakinan akan kebenaran Pancasila dan UUD 1945 merupakan kewajiban
generasi penerusnya di dalam mempertahankan dan mengisi kemerdekaan Indonesia.
Oleh karena itu, generasi penerus bangsa Indonesia sewajarnya juga sanggup dan rela
berkorban dalam mengisi kemerdekaan itu demi kepentingan negara dan bangsanya.
Sejarah di masa lampau merupakan unsur yang penting dalam perkembangan jiwa
bangsa Indonesia. Hal tersebut merupakan harapan bangsa Indonesia, agar kita dapat
tetap menumbuhkan semangat itu. Salah satu faktor penting yang wajib
dikembangkan adalah kesanggupan dan kerelaan setiap warga untuk berkorban demi
kemajuan bangsa dan negara (Kansil dan Christine, 2011).
Sanggup dan rela berkorban demi bangsa dan negara berarti sanggup
melakukan apa pun demi bangsanya, tentunya disesuaikan dengan kemampuan
masing-masing warganya. Contohnya, para pahlawan olahraga sanggup dan rela
berkorban untuk bangsanya dengan berlatih keras dan bertanding di ajang kejuaraan
baik nasional maupun internasional. Contoh lainnya yaitu para guru muda yang
sanggup dan rela berkorban untuk menjadi pengajar di daerah terpencil di Indonesia.
Begitu pula dengan anak-anak, mereka sanggup dan rela berkorban demi bangsanya
sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Contohnya, seorang anak di daerah
terpencil harus melewati jalan yang susah dan menyeberang sungai tanpa jembatan.
Demi menjadi generasi yang lebih baik dari pendahulunya ia bersemangat dan
sanggup setiap hari berjalan ke sekolahnya melewati jalanan yang susah untuk dilalui.
Contoh lain yang dilakukan oleh anak-anak yaitu pengorbanannya untuk berlatih keras
demi mewujudkan cita-citanya. Anak-anak sebagai generasi muda mereka bercita-cita
menjadi orang-orang hebat yang dapat membanggakan bangsanya, misalnya menjadi
Nilai Nasionalisme pada Tokoh..., Erlita Budi Antari, FKIP UMP, 2014
19
olahragawan yang bisa mengharumkan nama bangsa. Bukti kerelaan mereka
berkorban untuk bangsanya yaitu dengan berlatih keras agar bisa menjadi atlit
kebanggaan Indonesia.
c. Mencintai Tanah Air dan Bangsa
Mencintai tanah air dan bangsa menurut Busrizalti (2013: 166) yaitu mengenal
dan mencintai wilayah nasionalnya. Mencintai tanah air merupakan sikap positif yang
dapat membangun sebuah bangsa. Seseorang yang mencintai tanah airnya akan selalu
waspada dan siap membela tanah airnya terhadap segala bentuk ancaman, tantangan,
hambatan, dan gangguan yang dapat membahayakan kelangsungan hidup bangsa dan
negara oleh siapa pun dan dari mana pun. Apabila seseorang mau menanamkan dan
menumbuhkan kecintaannya terhadap tanah air maka akan lebih mengenal dan
memahami wilayah nusantaranya dengan baik serta mau memelihara, melestarikan,
dan mencintai lingkungannya. Maka, sikap mencintai tanah air haruslah ditanamkan
pada diri masing-masing individu sebagai bagian dari sebuah negara.
Jiwa persatuan tidak dapat bergelora dan bersemangat jika seorang warga
negara tidak mempunyai rasa cinta tanah air. Selain itu, jiwa untuk berbakti dan
berkorban pun tidak dapat berkobar. Rasa cinta kepada tanah air itulah yang menjadi
dasar bagi semua kegiatan para warga negara untuk membela kepentingan nusa dan
bangsa. Dari rasa cinta tanah air itulah setiap warga negara memiliki kesediaan untuk
mempertahankan kehormatan bangsa dan negara. Rasa cinta tanah air itu menjadi
dorongan bagi bangsa Indonesia untuk bekerja keras dan untuk turut melaksanakan
pembangunan (Kansil dan Christine, 2011).
Nilai Nasionalisme pada Tokoh..., Erlita Budi Antari, FKIP UMP, 2014
20
Rasa cinta tanah air dan bangsa seorang warga dapat terlihat ketika ia
mencintai segala sesuatu yang berkaitan dengan tanah air dan bangsanya. Misalnya
saja, mengenai hal-hal kebangsaan seperti lagu kebangsaan, lambang negara, bendera
pusaka, dan lain-lain. Selain itu wujud cinta tanah air juga terlihat ketika seseorang
merasa memiliki dan mau melestarikan apa yang dimilikinya, hal ini berkaitan dengan
kekayaan bangsa Indonesia. Misalnya, ia merasa memiliki kekayaan alam Indonesia
berarti ia juga seharusnya turut melestarikan kekayaan alam tersebut. Jadi rasa cinta
tanah air dan bangsa berawal dari rasa memiliki bangsa Indonesia, kemudian ia ikut
melestarikan dan membangun bangsanya itu. Sedangkan rasa cinta tanah air yang
dapat dilakukan oleh anak-anak yaitu masih dalam lingkup yang sederhana. Hal ini
dikarenakan faktor pengetahuannya yang belum luas dan mendalam mengenai
bangsanya. Sebagai contoh ketika di sekolah mereka mengenal lagu-lagu daerah di
Indonesia, kemudian mereka mau menghafakannya. Dengan demikian berarti mereka
mempunyai rasa cinta terhadap tanah air dan bangsanya.
d. Bangga Berbangsa dan Bernegara Indonesia
Menurut Kansil dan Christine (2011: 153) kebanggaan berbangsa dan bertanah
air Indonesia didorong oleh adanya beberapa alasan, yaitu; 1) sebagai bangsa yang
benar, 2) mempunyai aneka budaya, 3) identitas bangsa Indonesia, 4) semangat
berkorban untuk negara dan bangsa Indonesia, 5) berhasilnya perjuangan
kemerdekaan kita. Bangsa kita terkenal akan keragaman budaya. Di negara kita
terdapat banyak suku, adat, bahasa, dan seni daerah. Sejak dahulu di negara kita juga
terdapat banyak agama dan terdiri atas berbagai keturunan. Kekayaan negara yang
berlimpah tersebut, harusnya sebagai warga negara kita mempunyai rasa bangga
Nilai Nasionalisme pada Tokoh..., Erlita Budi Antari, FKIP UMP, 2014
21
dengan apa yang kita miliki. Selain itu, dalam rangka mengisi kemerdekaan, generasi-
generasi muda kita mampu membuat perubahan melalui kecerdasan mereka, melalui
bakat dan kreatifitas mereka. Sebagai sesama pemilik bangsa Indonesia kita turut
bangga dengan apa yang telah diraih oleh mereka yang mampu mengharumkan nama
bangsa.
Rasa bangga pada bangsanya dapat dirasakan oleh setiap warga negara, begitu
pun anak-anak. Baik dewasa maupun anak-anak tidak ada bedanya. Dengan melalui
media massa, baik cetak maupun elektronik yang sekarang tersebar luas, setiap warga
dapat mengetahui perkembangan bangsanya dengan cepat. Bagi seorang anak-anak
rasa bangga terhadap bangsanya dapat terlihat ketika mereka mengenal kekayaan
alam, kekayaan budaya, adat dan bahasa yang ada di Indonesia. Selain itu, yang biasa
mereka banggakan adalah pahlawan-pahlawan Indonesia baik pahlawan yang ikut
berperang maupun pahlawan yang mengisi kemerdekaan. Contohnya, anak-anak
bangga dengan prestasi pemain sepak bola Indonesia yang sedang meningkat, atau
prestasi pemain bulutangkis yang dapat mengalahkan lawan dari negara lain. Mereka
akan mulai menghafal nama-nama pemain olahraga tersebut dan mulai
mengidolakannya. Meskipun hal tersebut sangat sederhana, tetapi sebagai bukti bahwa
anak-anak mempunyai rasa bangga dengan apa yang dimiliki oleh bangsanya. Contoh
tersebut sesuai dengan pendapat Sapriya, dkk. (2008: 152) bahwa konsekuensi
seseorang yang merasa bangga sebagai bangsa Indonesia akan selalu berupaya
menjunjung tinggi nama baik bangsa dan negara, di mana pun kita berada. Mereka
juga akan selalu berupaya meningkatkan citra dan nama baik Indonesia melalui
perbuatan-perbuatan nyata di masyarakat.
Nilai Nasionalisme pada Tokoh..., Erlita Budi Antari, FKIP UMP, 2014
22
e. Menjunjung Tinggi Persatuan dan Kesatuan Berdasarkan Prinsip Bhineka
Tunggal Ika
Makna semboyan Bhineka Tunggal Ika adalah walaupun Indonesia terdiri atas
bermacam-macam suku bangsa, bahasa, adat-istiadat, dan agama, tetapi merupakan
satu kesatuan. Bahkan, pulau-pulaunya pun berbeda-beda, tetapi masih pula
merupakan satu kesatuan (Kansil dan Christine, 2011). Semangat dan jiwa persatuan
harus senantiasa dipelihara, dibina serta diamalkan. Hendaknya sikap itu tampak
dalam perilaku kehidupan seluruh rakyat Indonesia dalam pergaulan bermasyarakat
sehari-hari. Setiap warga harus menyadari bahwa kemajuan bangsa harus dibina
melalui persatuan.
Contoh yang sangat sederhana dalam upaya meningkatkan persatuan ialah
integrasi keluarga yang menjadi dasar integrasi nasional. Keluarga merupakan
golongan terkecil dalam masyarakat. Integrasi keluarga dapat terwujud apabila setiap
anggota keluarga memiliki kesadaran untuk mewujudkan cita-cita bersama untuk
terselenggaranya keutuhan dalam keluarga. Selanjutnya kelompok kecil itu bergabung
dengan kelompok lain yang telah terintegrasi. Kemudian gabungan kelompok itu
meluas lagi sehingga tercipta integrasi nasional.
Pendapat di atas selaras dengan pendapat Cahyaningsih (2013: 133) bahwa
Bhineka Tunggal Ika dijadikan semboyan yang lahir melalui perenungan panjang oleh
pendiri negara. Semboyan itu mengandung pengertian bahwa walaupun berbeda-beda
tetapi tetap satu. Semboyan tersebut mengandung makna bahwa negara Indonesia
adalah negara yang luas. Indonesia mempunyai ribuan pulau yang terdiri atas suku
bangsa, agama, istiadat, dan bahasa yang berbeda-beda. Oleh karena itu, para
pemimpin bangsa sudah memiliki semangat dan komitmen untuk hidup dalam
Nilai Nasionalisme pada Tokoh..., Erlita Budi Antari, FKIP UMP, 2014
23
toleransi, kebersamaan, kerukunan, dan memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa
melalui Bhineka Tunggal Ika.
Menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan haruslah dilakukan oleh seluruh
warga Indonesia tanpa terkecuali, begitu pula bagi anak-anak. Akan tetapi, tindakan
yang dilakukan oleh anak-anak jelas sangat berbeda dengan orang dewasa. Hal
tersebut dikarenakan anak-anak mempunyai wilayah pergaulan yang masih kecil. Dia
baru mengenal teman-teman sepergaulannya. Jadi yang dapat anak-anak lakukan
untuk menjunjung persatuan dan kesatuan disesuaikan dengan lingkup pergaulannya,
yaitu mereka tidak membeda-bedakan dalam memilih teman. Mereka mau menerima
teman-teman mereka baik yang berbeda keyakinan, kebiasaan, dan kemampuan
finansial. Dengan demikian mereka ikut menjunjung persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia.
f. Memajukan Pergaulan untuk Meningkatkan Persatuan Bangsa dan Negara
Perasaan cinta tanah air dapat dibina, sifat rela berkorban untuk bangsa dan
tanah air dapat dikembangkan. Dengan demikian persatuan dan kesatuan bangsa akan
tumbuh dengan subur serta dapat mengatasi kebhinekaan (kemajemukan) bangsa
Indonesia untuk kepentingan bersama. Dalam rangka mewujudkan persatuan bangsa
dan negara, kita perlu menyadari dan mengetahui tentang bangsa kita sendiri. Bangsa
kita dengan keberanekaragaman budaya, suku, dan agama perlu usaha keras untuk
meningkatkan persatuan dan kesatuan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Dwiyono,
dkk. (2007: 108) bahwa negara yang masyarakatnya tidak mempunyai jiwa dan
semangat persatuan, kesatuan, dan nasionalisme yang kuat akan dengan mudah
dipermainkan oleh negara-negara maju. Oleh karenanya jiwa dan semangat persatuan,
Nilai Nasionalisme pada Tokoh..., Erlita Budi Antari, FKIP UMP, 2014
24
kesatuan, dan nasionalisme harus terus ditingkatkan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Perwujudan persatuan dan kesatuan dalam keluarga akan memperlihatkan pengaruh di
lingkungan tempat tinggal, berupa keikutsertaan setiap keluarga dalam kegiatan
masyarakat, seperti kerja bakti, gotong royong, dan siskamling. Suasana kekeluargaan
yang penuh keakraban, ramah tamah, sopan santun, serta saling menghormati
merupakan modal dasar perwujudan persatuan dan kesatuan dalam masyarakat,
bangsa, dan negara kita yang sedang membangun.
Memajukan pergaulan merupakan usaha meningkatkan persatuan bangsa dan
negara. Seperti yang telah dicontohkan di atas, dari sebuah keluarga dapat berlatih
meningkatkan persatuan dengan mengikuti kegiatan masyarakat di desanya, kemudian
bisa juga mengikuti kegiatan-kegiatan lainnya yang lebih besar cakupannya. Dengan
demikian seseorang akan belajar menerima perbedaan dan sekaligus berlatih
meningkatkan persatuan. Memajukan pergaulan demi meningkatkan persatuan bangsa
dan negara juga dapat dilakukan sejak kecil. Contohnya, yaitu seorang anak yang
pandai di sekolahnya, kemudian diberi kesempatan untuk mengikuti perlombaan di
tingkat kecamatan maupun kabupaten. Pada awalnya anak tersebut hanya mengenal
teman sepermainannya saja, tetapi berkat diberi kesempatan untuk mengikuti
perlombaan akhirnya dia mengenal teman-teman yang berasal dari daerah lain. Maka
secara tidak langsung dia telah belajar menerima perbedaan dan meningkatkan
persatuan bangsa dan negara.
2. Sosiologi Sastra
Hakikat sosiologi sastra menurut Ratna (2003: v) sosiologi sastra berasal dari
kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari akar kata sosio (Yunani) (socius
Nilai Nasionalisme pada Tokoh..., Erlita Budi Antari, FKIP UMP, 2014
25
berarti bersama-sama, bersatu kawan, teman). Perkembangan berikutnya mengalami
perubahan makna, sosio atau socius berarti masyarakat, logi/logos berarti ilmu. Jadi
sosiologi berarti ilmu mengenai asal-usul pertumbuhan masyarakat, ilmu pengetahuan
yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antar manusia dalam masyarakat,
sifatnya umum rasional dan empiris. Sastra berasal dari akar kata sas (Sansekerta)
berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran tra berarti
alat atau sarana. Jadi sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau
buku pengajaran yang baik.
Menurut Dick Hartoko dan B. Rahmanto (dalam Noor, 2007: 89) sosiologi
sastra adalah cabang ilmu sastra yang mempelajari sastra dalam hubungannya dengan
keyataan sosial. Kenyataan sosial mencakup pengertian konteks pengarang dan
pembaca (produksi dan resepsi) dan sosiologi karya sastra (aspek-aspek sosial dalam
karya sastra). Pembicaraan tentang konteks sosial pengarang dan pembaca disebut
sosiologi komunikasi sastra. Sedangkan pembicaraan sosiologi karya sastra disebut
penafsiran teks sastra secara sosiologis. Dari pendapat di atas, maka peneliti dapat
menyimpulkan bahwa sosiologi sastra merupakan salah satu cabang penelitian sastra
yang mengkaji karya sastra yang berkaitan dengan gejala yang terjadi di masyarakat.
Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif.
Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin
kehidupan masyarakat. Kehidupan sosial akan menjadi pemicu lahirnya karya sastra.
Penelitian sosiologi sastra lebih bnyak memperbincangkan hubungan antara
pengarang dan kehidupan sosialnya. Baik aspek bentuk maupun isi karya sastra akan
terbentuk oleh suasana lingkungan dan kekuatan sosial pada periode tertentu. Hal
Nilai Nasionalisme pada Tokoh..., Erlita Budi Antari, FKIP UMP, 2014
26
penting dalam sosiologi sastra adalah konsep cermin (mirror). Dalam kaitan ini, sastra
dianggap sebagai tiruan (mimesis) masyarakat (Endraswara, 2003: 77-78).
Selanjutnya Endraswara (2003: 80-81) menjelaskan sosiologi sastra dapat
meneliti sekurang-kurangnya melalui tiga persektif. Pertama, perspektif teks sastra,
artinya peneliti menganalisis sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan
sebaliknya. Teks biasanya dipotong-potong, diklasifikasikan, dan dijelaskan makna
sosiologisnya. Kedua, perspektif biografis, yaitu peneliti menganalisis pengarang.
Ketiga, perspektif reseptif, yaitu peneliti menganalisis penerimaan masyarakat
terhadap teks satra. Dari ketiga perspektif tersebut tujuan penelitian sosiologi sastra
adalah untuk mendapat gambaran yang lengkap, utuh, dan menyeluruh tentang
hubungan timbal balik antara ketiga unsur tersebut. Hal ini sangat penting, artinya
bagi peningkatan pemahaman dan penghargaan kita terhadap sastra itu sendiri.
Sedangkan menurut Ratna (2003: 11) tujuan sosiologi sastra adalah meningkatkan
pemahaman terhadap sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, bahwa rekaan tidak
berlawanan dengan kenyataan. Karya sastra jelas dikonstruksikan secara majinatif,
tetapi kerangka imajinatifnya tidak bisa dipahami di luar kerangka empirisnya. Karya
sastra bukanlah gejala individual, tetapi juga gejala sosial.
Sastra selalu hidup dan dihidupi oleh masyarakat sebagai produk budaya.
Menurut Damono (dalam Kurniawan, 2012: 6) relasi sosiologi dengan sastra dapat
dirinci menjadi lima. Pertama, relasi sosiologi dengan sastra dimediasi oleh
pengarang. Kenyataannya, penulis karya sastra merupakan pengarang sebagai individu
yang hidup dalam konteks masyarakat. Kedua, hubungan sosiologi dengan sastra
dimediasi oleh fakta sastra. Dunia sebagai peristiwa dalam sastra memiliki relasi
Nilai Nasionalisme pada Tokoh..., Erlita Budi Antari, FKIP UMP, 2014
27
dengan kondisi sosial masyarakat yang diacu. Ketiga, hubungan sosiologi sastra
dengan sastra dimediasi oleh pembaca. Pembaca adalah pemberi makna terhadap
eksistensi karya sastra. Keempat, hubungan sosiologi dengan sastra dimediasi oleh
kenyataan. Pada kenyataannya, sastra sebagai cermin masyarakat. Kelima, hubungan
sosiologi dengan sastra dimediasi oleh bahasa sebagai media sastra. Bahasa sebagai
media hubungan antara sosiologi dengan sastra didasarkan pada kenyataan bahasa
hidup dan menjadi media komunikasi utama dalam relasi antarindividu di masyarakat.
3. Sastra Anak
Seorang anak sudah bisa tertarik untuk mendengarkan cerita dan dongeng
dengan kemampuan menyimaknya. Anak sudah bisa bercerita tentang pengalaman
sehari-harinya melalui kemampuan bicaranya. Anak sudah bisa memahami cerita-
cerita dari buku sastra melalui kemampuan membacanya. Anak sudah bisa mengarang
dan membuat cerita melalui kemampuan menulisnya. Meskipun kemampuannya
masih sederhana, tetapi pada usia inilah anak-anak sudah dapat memahami dan
menyukai sastra.
Menurut Hunt (dalam Nurgiyantoro, 2013: 8) sastra anak dapat didefinisikan
dengan bertolak pada kebutuhan anak. Sastra anak merupakan buku bacaan yang
dibaca oleh, yang secara khusus cocok untuk, dan yang secara khusus pula
memuaskan sekelompok anggota yang kini disebut sebagai anak-anak. Sastra anak
tidak harus berkisah tentang anak, tentang dunia anak, tentang berbagai peristiwa yang
mesti melibatkan anak. Sastra anak dapat berkisah tentang apa saja yang menyangkut
kehhidupan, baik kehiduan manusia, binatang, tumbuhan, maupun kehidupan yang
Nilai Nasionalisme pada Tokoh..., Erlita Budi Antari, FKIP UMP, 2014
28
lain termasuk makhluk dari dunia lain. Namun, apapun isi kandungan cerita yang
dikisahkan mestilah berangkat dari sudut pandang anak dalam memandang dan
memperlakukan sesuatu, dan sesuatu itu haruslah berada dalam jangkauan
pemahaman emosional dan pikiran anak.
Menurut Resmini (2012: 1) secara konseptual, sastra anak-anak tidak jauh
berbeda dengan sastra orang dewasa (adult literacy). Keduanya sama berada pada
wilayah sastra yang meliputi kehidupan dengan segala perasaan, pikiran dan wawasan
kehidupan. Perbedaannya hanyalah dalam hal fokus pemberian gambaran kehidupan
yang bermakna bagi anak yang diurai dalam karya tersebut. Sastra (dalam sastra
anak-anak) adalah bentuk kreasi imajinatif dengan paparan bahasa tertentu yang
menggambarkan dunia rekaan, menghadirkan pemahaman dan pengalaman tertentu,
dan mengandung nilai estetika tertentu. Sastra anak dapat dibuat oleh orang dewasa
ataupun anak-anak.
Menurut Lukens (dalam Kurniawan, 2009: 22) sastra anak adalah sebuah karya
yang menawarkan dua hal utama, yaitu kesenangan dan pemahaman. Pemahaman itu
datang dari eksplorasi terhadap berbagai bentuk kehidupan, rahasia kehidupan,
penemuan dan pengungkapan berbagai karakter manusia, dan lain-lain. Informasi
inilah yang kemudian memperkaya pengetahuan dan pemahaman pembaca (anak-
anak). Dalam sastra anak, informasi-informasi tersebut di hadirkan dengan ringan dan
menghibur, sehingga anak akan mudah mendapatkan informasi melalui hiburan yang
ia baca atau ia dengar. Dari pendapat beberapa ahli di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa sastra anak adalah karya sastra hasil imajinatif yang disesuaikan dengan
perkembangan anak dan bercerita tentang dunia anak.
Nilai Nasionalisme pada Tokoh..., Erlita Budi Antari, FKIP UMP, 2014
29
Seperti sastra dewasa (adult literature), sastra anak juga dikreasikan
berdasarkan pengalaman hidup. Menurut Saxby (dalam Nurgiyantoro, 2013:6), sastra
anak merupakan citraan dan atau metafora kehidupan yang dikisahkan baik dalam hal
isi (emosi, perasaan, pikiran, saraf sensori, dan pengalaman moral) maupun bentuk
(kebahasaan dan cara-cara pengekspresian) yang dapat dijangkau dan dipahami oleh
anak sesuai tingkat perkembangan jiwanya. Maka sastra dapat dijadikan sebagai salah
satu media untuk mendidik dan mencerdaskan anak, karena anak dan cerita seperti
menjadi dunia yang tak terpisahkan. Menurut Kurniawan (2009: 6) dalam
perkembangannya, anak selalu menyukai cerita (karya sastra). Cerita anak dapat
mengembangkan kemampuan imajinasi, intelektual, emosional, dan belajar
mengidentifikasi dirinya.
Menurut Resmini (2012: 2-3) pengalaman bersastra akan diperoleh anak dari
manfaat yang dikandung sebuah karya sastra lewat unsur intrinsik di dalamnya. Unsur
intrinsik tersebut yakni; 1) memberi kesenangan, kegembiraan, dan kenikmatan bagi
anak-anak, 2) mengembangkan imajinasi anak dan membantu mereka
mempertimbangkan dan memikirkan alam, kehidupan, pengalaman atau gagasan
dengan berbagai cara, 3) memberikan pengalaman baru yang seolah dirasakan dan
dialaminya sendiri, 4) mengembangkan wawasan kehidupan anak menjadi perilaku
kemanusiaan, 5) menyajikan dan memperkenalkan anak terhadap pengalaman
universal dan 6) meneruskan warisan sastra. Selain nilai instrinsik tersebut, sastra
anak juga bernilai ekstrinsik yang bermanfaat untuk perkembangan anak terutama
dalam hal 1) perkembangan bahasa, 2) perkembangan kognitif, 3) perkembangan
kepribadian, dan 4) perkembangan sosial. Sastra yang terwujud untuk anak-anak
selain ditujukan untuk mengembangkan imajinasi, fantasi dan daya kognisi yang akan
Nilai Nasionalisme pada Tokoh..., Erlita Budi Antari, FKIP UMP, 2014
30
mengarahkan anak pada pemunculan daya kreativitas juga bertujuan mengarahkan
anak pada pemahaman yang baik tentang alam dan lingkungan. Selain itu juga
bertujuan untuk pengenalan pada perasaan dan pikiran tentang diri sendiri maupun
orang lain.
Sastra anak berhubungan dengan perkembangan seorang anak. Pengertian anak
di sini adalah pengertian anak yang didasarkan pada perkembangan manusia. Pada
hakikatnya anak adalah suatu fase atau masa dari usia seseorang. Huck (dalam
Nurgiyantoro, 2013: 11) menyatakan bahwa orang yang dapat dikategorikan sebagai
anak adalah seseorang yang berusia 1 hingga kurang lebih 12 tahun. Selanjutnya
Kurniawan (2009: 40) menjelaskan bahwa pada usia 2 sampai 12 tahun anak sudah
berkenalan dengan sastra, karena pada usia ini, anak sudah memiliki kemampuan
untuk menguasai ketrampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan
menulis) yang merupakan bekal atau media untuk memahami sastra.
Hubungan perkembangan anak dengan sastra adalah harus dipahami bahwa
sastra merupakan dunia yang diceritakan dengan kata-kata yang informasinya melekat
pada satuan-satuan gramatikal. Pengenalannya pada karya sastra, maka kemampuan
bahasa anak, baik dalam kemampuan bahasa dan kosakatanya, akan berkembang
pesat. Di sisi lain, bahasa dalam sastra tentu berbeda dengan bahasa keseharian,
bedanya adalah bahasa dalam sastra itu bersifat emostis-estetis, yaitu
mengekspresikan keindahan (Kurniawan, 2009: 50). Ada aksentuasi halus dan indah
yang terdapat dalam bahasa sastra anak. Hal ini berimplikasi pada aspek emosional
pembacanya, sehingga dengan disadari atau tidak, anak belajar dan terpengaruh oleh
bahasa sastra tersebut. Sastra anak mengenal apa yang disebut genre seperti halnya
sastra dewasa. Lukens (dalam Nurgiyantoro, 2013: 15-29) mengelompokkan genre
sastra anak ke dalam enam macam, yaitu:
Nilai Nasionalisme pada Tokoh..., Erlita Budi Antari, FKIP UMP, 2014
31
a. Realisme, merupakan sastra yang bercerita bahwa apa yang dikisahkan itu
kemungkinan saja ada dan bisa terjadi walau tidak harus bahwa ia
memang benar-benar ada dan terjadi. Genre realisme terbagi atas cerita
realisme, realisme binatang, realisme historis, realisme olahraga.
b. Fiksi formula, memiliki pola-pola tertentu yang membedakannya dengan
jenis yang lain, terdiri atas cerita misterius dan detektif,cerita romantis,
dan novel serial.
c. Fantasi, merupakan cerita yang menawarkan sesuatu yang sulit diterima,
terdiri atas cerita fantasi, cerita fantasi tinggi, dan fiksi sain.
d. Sastra tradisional, merupakan sastra yang berasal dari cerita yang telah
mentradisi, tidak diketahui penciptanya, dikisahkan turun temurun secara
lisan. Terdiri atas dongeng rakyat, mitos, legenda, dan epos.
e. Puisi, merupakan sastra yang didalamnya terdapat pendayagunaan
berbagai unsur bahasa yang mencapai efek keindahan.
f. Nonfiksi, terdiri atas buku informasi dan biografi.
Sastra anak diyakini memiliki kontribusi yang besar bagi perkembangan
kepribadian anak dalam proses menuju tahap dewasa sebagai manusia yang
mempunyai jati diri yang jelas. Menurut Nurgiyantoro (2013: 35), sastra diyakini
mampu digunakan sebagai salah satu sarana untuk menanam, memupuk,
mengembangkan, dan bahkan melestarikan nilai-nilai yang diyakini baik dan berharga
oleh keluarga, masyarakat, dan bangsa. Hal tersebut dikarenakan dalam karya sastra
terdapat nilai-nilai positif yang terkandung di dalamnya. Begitu juga pada sastra anak
yang mengandung nilai-nilai positif yang dikemas dengan bahasa yang menarik.
Kontribusi sastra anak bagi anak yang sedang dalam taraf pertumbuhan dan
perkembangan yang melibatkan berbagai aspek kedirian yang secara garis besar
adalah sebagai berikut:
a. Nilai Personal, meliputi: perkembangan emosional, perkembangan
intelektual, perkembangan imajinasi, perkembangan rasa sosial,
pertumbuhan rasa etis dan religius.
b. Nilai Pendidikan, meliputi: eksplorasi dan penemuan, perkembangan
bahasa, pengembangan nilai keindahan, penanaman wawasan
multikultural, penanaman kebiasaan membaca.
Nilai Nasionalisme pada Tokoh..., Erlita Budi Antari, FKIP UMP, 2014
Top Related