II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Epilepsi
1. Definisi
Epilepsi menurut JH Jackson (1951) adalah suatu gejala akibat
cetusan pada jaringan saraf yang berlebihan dan tidak beraturan. Cetusan
tersebut dapat melibatkan sebagian kecil otak (serangan parsial atau fokal)
atau yang lebih luas pada kedua hemisfer otak (serangan umum) (Browne,
2000). Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh
bangkitan epilepsi berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi
otak secara intermiten disebabkan oleh lepasnya muatan listrik abnormal
dan berlebihan di neuron-neuron secara paroksismal disebabkan berbagai
etiologi (Harsono et al, 2008).
International League Against Epilepsy (ILAE) dan International
Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 merumuskan kembali definisi
epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor
predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik, perubahan
neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang
diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat
bangkitan epileptik sebelumnya. Bangkitan epileptik didefinisikan sebagai
tanda dan/atau gejala yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas
neuron yang berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak (Fisher et al,
2005).
Terdapat beberapa elemen penting dari definisi epilepsi yang baru
dirumuskan oleh ILAE dan IBE yaitu (Octaviana, 2008):
1. Riwayat sedikitnya satu bangkitan epileptik sebelumnya
2. Perubahan di otak yang meningkatkan kecenderungan terjadinya
bangkitan selanjutnya
3. Berhubungan dengan gangguan pada faktor neurobiologis, kognitif,
psikologis, dan konsekuensi sosial yang ditimbulkan.
Ketiga elemen di atas harus diperhatikan karena dalam tatalaksana
seorang penderita epilepsi, tidak hanya faktor bangkitan atau kejang yang
perlu diperhatikan namun konsekuensi sosial yang ditimbulkan juga harus
diperhatikan seperti dikucilkan oleh masyarakat, stigma bahwa penyakit
epilepsi adalah penyakit menular, dan sebagainya (Octaviana, 2008).
2. Etiologi
Epilepsi disebabkan oleh beberapa kondisi yang dapat mempengaruhi
otak, antara lain (Harsono et al, 2008):
1. Idiopatik: penyebabnya tidak diketahui, umumnya mempunyai
predisposisi genetik.
2. Kriptogenik: dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum
diketahui termasuk disini adalah sindrom West, sindrom Lennox-
Gastaut dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinik sesuai dengan
ensefalopati difus.
3. Simtomatik: disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf pusat.
Misalnya; cedera kepala, infeksi SSP, kelainan kongenital, lesi desak
ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat),
metabolik, kelainan neurodegeneratif.
Penyebab epilepsi dilihat dari umur, biasanya disebabkan paling
sering karena; pada bayi terjadi asfiksi atau hipoksia waktu lahir, trauma
intrakranial waktu lahir, gangguan metabolik, malformasi kongenital pada
otak, atau infeksi; pada anak dan remaja kebanyakan epilepsi idiopatik
dan pada usia dewasa penyebabnya lebih bervariasi oleh karena idiopatik,
cedera kepala, tumor (Ikawati, 2009).
3. Klasifikasi
Klasifikasi epilepsi berdasarkan American Society Epilepsy (2010)
adalah sebagai berikut :
a. Epilepsi parsial
1) Epilepsi parsial sederhana
Epilepsi parsial sederhana ditandai dengan gejala motorik
(gerakan abnormal unilateral), gejala sensorik dari visual,
auditory, olfactory, gustatory (halusinasi seperti kilatan cahaya,
kesemutan, telinga berdengung, vertigo), gejala otonom (sensasi
epigastrium, panas, berkeringat, kemerahan, merinding dan
dilatasi pupil), gejala psikis (gangguan berbahasa, gangguan
kognitif, de javu, ketakutan, marah-marah, gangguan ilusi).
Biasanya berlangsung kurang dari satu menit (Price dan Wilson,
2006).
2) Epilepsi parsial kompleks
Epilepsi parsial komplek pada awalnya berupa epilepsi
parsial sederhana tetapi diikuti dengan hilangnya kesadaran.
Durasi serangan berlangsung antara 1 sampai 3 menit (American
Society Epilepsy, 2010).
3) Epilepsi sekunder umum
Epilepsi sekunder umum adalah epilepsi parsial sederhana
atau komplek yang berkembang menjadi epilepsi umum. Kejang
biasanya berlangsung antara 1 sampai 3 menit (American Society
Epilepsy, 2010).
b. Epilepsi umum
1) Epilepsi absence (Petit mal)
Epilepsi absence ditandai dengan hilangnya kesadaran
secara singkat, sering salah diagnosis sebagai melamun. Ditandai
dengan tatapan mata yang kosong, kelopak mata bergetar,
berkedip dengan cepat yang berlangsung beberapa detik. Kejang
absence hampir selalu terjadi pada anak, jarang dijumpai pada usia
diatas 20 tahun. Setelah pubertas biasanya menghilang atau
digantikan dengan kejang tipe lain, terutama kejang tonik klonik
(American Society Epilepsy, 2010).
2) Epilepsi mioklonik
Epilepsi mioklonik ditandai dengan kontraksi menyerupai
syok mendadak yang terbatas pada beberapa otot atau tungkai dan
berlangsung singkat (Price dan Wilson, 2006).
3) Epilepsi klonik
Gejala yang ditimbulkan pada epilepsi klonik adalah
gerakan menyentak, repetitif, dapat tunggal atau multipel pada
lengan atau tungkai (Price dan Wilson, 2006).
4) Epilepsi tonik
Epilepsi tonik ditandai dengan peningkatan mendadak
tonus otot (menjadi kaku, kontraksi) wajah dan tubuh bagian
atas, fleksi lengan dan ekstensi tungkai. Kejang berlangsung 2
sampi 20 detik ( Price dan Wilson, 2006 dan American Society
Epilepsy, 2010).
5) Epilepsi tonik klonik (grand mal)
Serangan kejang epilepsi umum tonik klonik sering
didahului oleh gejala prodorma berupa rasa tidak enak, nteri
kepala, insomnia, perubahan suasana hati (mood), euforia, dan
iritabel. Hal ini terjadi beberapa jam atau hari sebelum serangan
(Natriana, 2001),
Epilepsi tonik klonik diawali dengan hilangnya kesadaran
dengan cepat. Penderita kehilangan posisi berdiri, mengalami
gerakan tonik kemudian klonik. Terjadi spasme tonik-klonik otot,
inkontinensia urin, menggigit lidah. Pada fase tonik, otot-otot
berkontraksi dan posisi tubuh mungkin berubah. Fase ini
berlangsung beberapa detik. Fase klonik memperlihatkan
kelompok otot yang berlawanan bergantian berkontraksi dan
melemas sehingga terjadi gerakan menyentak. Keseluruhan kejang
berlangsung selama 3 sampai 5 menit dan diikuti oleh periode
tidak sadar yang mungkin berlangsung beberapa menit sampai 30
menit. Setelah sadar mungkin pasien tampak kebingungan, agak
stupor, atau bengong. Tahap ini disebut periode pascaiktus.
Umumnya pasien tidak dapat mengingat kembali kejadian
kejangnya (Price dan Wilson, 2006).
Pemeriksaan EEG menunjukkan gelombang lambat
paroksismal bilateral dalam periode interiktal.
6) Epilepsi atonik
Epilepsi atonik ditandai dengan kehilangan tonus otot
postural sehingga pada keadaan yang berat pasien dapat terjatuh.
Serangan berlangsung kurang dari 1 menit (American Society
Epilepsy, 2010).
4. Patofisiologi
Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih
dominan dari pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi
aferen, disinhibisi, pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated
ion channel opening, dan menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting
artinya dalam hal inisiasi dan perambatan aktivitas serangan epileptik.
Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler
dan intraseluler dan gerakan keluar-masuk ion-ion menerobos membran
neuron (Raharjo, 2007).
Fokus kejang terjadi pada tingkat membran sel terjadi melalui
beberapa fenomena biokimiawi, termasuk berikut ini (Price dan Wilson,
2006) :
a. Instabilitas membran sel saraf, sehingga lebih mudah mengalami
pengaktifan.
b. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang melepaskan muatan
menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan secara
berlebihan.
c. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang
waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan kelebihan asetilkolin atau
defisiensi asam gama aminobutirat (GABA).
d. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam basa
atau elektrolit yang mengganggu homeostasis kimiawi neuron
sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan ini
menyebabkan peningkatan neurotransmitter eksitatorik atau deplesi
neurotransmitter inhibitorik.
Hipotesis secara seluler dan molekuler yang banyak dianut sekarang
adalah membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion
kalium dan ion klorida, tetapi sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion
kalsium. Dengan demikian konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel
(intraseluler), dan konsentrasi ion natrium dan kalsium ekstraseluler
tinggi. Sesuai dengan teori dari Dean (Sodium pump), sel hidup
mendorong ion natrium keluar sel, bila natrium ini memasuki sel,
keadaan ini sama halnya dengan ion kalsium (Raharjo, 2007).
Pada kanal ion yang normal terjadi keseimbangan antara masuknya
ion natrium (natrium influks) dan keluarnya ion kalium (kalium efluks)
sehingga terjadi aktivitas depolarisasi dan repolarisasi yang normal pada
sel neuron (gambar A). Jika terjadi mutasi pada kanal Na seperti yang
terdapat pada generalized epilepsy with febrile seizures plus, maka terjadi
natrium influks yang berlebihan sedangkan kalium refluks tetap seperti
semula sehingga terjadi depolarisasi dan repolarisasi yang berlangsung
berkali-kali dan cepat atau terjadi hipereksitasi pada neuron (gambar B).
Hal yang sama terjadi pada benign familial neonatal convulsion dimana
terdapat mutasi kanal kalium sehingga terjadi efluks kalium yang
berlebihan dan menyebabkan hipereksitasi pada sel neuron (gambar C)
(Octaviana, 2008).
Gambar 2.1. Gangguan Pompa Na+/K+ pada Kejang (Chang dan Lowenstein, 2003)
Bangkitan epilepsi terjadi karena transmisi impuls yang berlebihan
di dalam otak yang tidak mengikuti pola yang normal sehingga terjadi
sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok
atau seluruh neuron di otak secara serentak, secara teori sinkronisasi ini
dapat terjadi karena (Raharjo, 2007) :
1. Fungsi jaringan neuron penghambat (neurotransmitter GABA dan
Glisin) kurang optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik
secara berlebihan.
2. Fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat dan Aspartat) berlebihan
hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan.
Teori patofisiologi lain adalah terjadi perubahan komposisi dan
ekspresi reseptor GABAa. Pada keadaan normal, reseptor GABAa terdiri
dari 5 subunit yang berfungsi sebagai inhibitori dan menyebabkan
hiperpolarisasi neuron dengan cara mengalirkan ion klorida. Pada epilepsi
lobus temporal, terjadi perubahan ekspresi reseptor GABAa di sel granula
dentatus berubah sehingga menyebabkan sensitivitas terhadap ion Zinc
meningkat dan akhirnya menghambat mekanisme inhibisi. Mekanisme
epilepsi lain yang dapat diterangkan adalah terjadinya epilepsi pada
cedera otak. Saat terjadi suatu mekanisme cedera di otak maka akan
terjadi eksitoksisitas glutamat dan meningkatkan aktivitas NMDA (N-
Methyl-D-Aspartate) reseptor dan terjadi influk ion kalsium yang
berlebihan dan berujung pada kematian sel. Pada plastisitas maka influx
ion calsium lebih sedikit dibandingkan pada sel yang mati sehingga tidak
terjadi kematian sel namun terjadi hipereksitabilitas neuron (Octaviana,
2008).
Dari sudut pandang biologi molekuler, bangkitan epilepsi disebabkan
oleh ketidakseimbangan sekresi maupun fungsi neurotransmiter
eksitatorik dan inhibitorik di otak. Keadaan ini bisa disebabkan sekresi
neurotransmiter dari presinaptik tidak terkontrol ke sinaptik yang
selanjutnya berperan pada reseptor NMDA (N-Methyl-D-Aspartate) atau
AMPA (A-amino-3 hydroxy-5 Methyl-4 isoxazol Propionic Acid) di
postsinaptik. Keterlibatan reseptor NMDA subtipe dari reseptor glutamat
(NMDAR) disebut-sebut sebagai patologi terjadinya kejang dan epilepsi.
Secara farmakologik, inhibisi terhadap NMDAR ini merupan prinsip
kerja dari obat antiepilepsi. Beberapa penelitian neurogenetik
membuktikan adanya beberapa faktor yang bertanggungjawab atas
bangkitan epilepsi antara lain kelainan pada ligand-gate (sub unit dari
reseptor nikotinik) begitu juga halnya dengan voltage-gate (kanal
natrium dan kalium). Berbicara mengenai kanal ion maka peran natrium,
kalium dan kalsium merupakan ion-ion yang berperan dalam sistem
komunikasi neuron lewat reseptor. Masuk dan keluarnya ion-ion ini
menghasilkan bangkitan listrik yang dibutuhkan dalam komunikasi
sesame neuron. Jika terjadi kerusakan atau kelainan pada kanal ion-ion
tersebut maka bangkitan listrik akan juga terganggu sebagaimana pada
penderita epilepsi. Kanal ion ini berperan dalam kerja reseptor
neurotransmiter tertentu (Utomo, 2011).
Dalam hal epilepsi dikenal beberapa neurotransmiter seperti gamma
aminobutyric acid (GABA) yang dikenal sebagai inhibitorik, glutamat
(eksitatorik), serotonin (yang sampai sekarang masih tetap dalam
penelitian kaitan dengan epilepsi, asetilkolin di hipokampus yang dikenal
sebagai yang bertanggungjawab terhadap memori dan proses belajar
(Utomo, 2011).
5. Penegakan Diagnosis
Diagnosis epilepsi merupakan masalah tersendiri karena membuat
diagnosis epilepsi secara rutin memerlukan pengetahuan klinis dan
ketrampilan yang khusus. Dengan mengenali serangan kejang dan
membuat diagnosis yang benar dapat menjadi pengobatan lebih efektif.
Pada kebanyakan pasien epilepsi, diagnosis dapat dibuat dengan
mengetahui secara lengkap riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan
neurologi, pemeriksaan elektroensefalografi dan pencitraan otak
(Sunaryo, 2007).
a. Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi (Raharjo, 2007):
1. Pola / bentuk bangkitan
2. Lama bangkitan
3. Gejala sebelum, selama dan paska bangkitan
4. Frekuensi bangkitan
5. Faktor pencetus. Serangan kejang dapat dicetuskan oleh karena
kurang tidur, cahaya yang berkedip, menstruasi, faktor makan dan
minum yang tidak teratur, konsumsi alkohol, ketidakpatuhan
minum obat, stress emosional, panas, kelelahan fisik dan mental,
suara suara tertentu, dan drug abuse.
6. Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
7. Usia saat serangan terjadinya pertama
8. Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
9. Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
10. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
b. Pemeriksaan Fisik Umum dan Neurologis
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan
dengan epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus,
gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus,
kecanduan alkohol atau obat terlarang dan kanker (Raharjo, 2007).
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Elektro ensefalografi (EEG)
Baku emas untuk diagnosis epilepsi adalah pemantauan video
EEG secara simultan, yang mengaitkan temuan EEG dengan
serangan. Pemeriksaan ini juga dapat digunakan untuk
mengetahui tipe bangkitan dan prognosis (Price dan Wilson,
2006).
Indikasi pemeriksaan EEG (Utomo, 2011):
a. Membantu menegakkan diagnosis epilepsi
b. Menentukan prognosis pada kasus tertentu
c. Pertimbangan dalam penghentian obat anti epilepsi (OAE)
d. Membantu dalam menentukan letak fokus
e. Bila ada perubahan bentuk bangkitan dari bangkitan
sebelumnya.
2. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging
bertujuan untuk melihat struktur otak dan melengkapi data EEG.
Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRl lebih sensitif dan
secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk
membandingkan hipokampus kanan dan kiri. MRI dapat
mendeteksi sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan
hemangioma kavernosa (Price dan Wilson, 2006).
Indikasi pemeriksaan radiologis (Utomo, 2011):
a. Semua bangkitan pertama yang diduga kelainan struktural
b. Adanya perubahan bentuk bangkitan
c. Terdapat defisit neurologis fokal
d. Epilepsi dengan bangkitan parsial
e. Bangkitan pertama di atas usia 25 tahun
f. Untuk persiapan tindakan pembedahan epilepsi
Epilepsi ditegakkan atas dasar adanya gejala dan tanda klinik
dalam bentuk bangkitan epilepsi berulang (minimum 2 kali) yang
ditunjang oleh gambaran epileptiform pada EEG (Utomo, 2011).
6. Penatalaksanaan
Prinsip Terapi Epilepsi (Dewanto et al, 2009)
1. Pemilihan obat. Disesuaikan dengan keadaan klinis, efek samping,
interaksi antar OAE (obat anti epilepsi), dan harga obat.
2. Strategi pengobatan. Dimulai dengan monoterapi OAE lini pertama
sesuai dosis, kemudian ditingkatkan dosisnya sampai bangkitan
teratasi/didapat hasil yang optimal dan konsentrasi plasma OAE pada
kadar kadar maksimal. Jika bangkitan masih tidak teratasi, secara
bertahap ganti ke OAE lini kedua sebelum pemberian politerapi.
3. Konseling. Edukasi keluarga dan pasien bahwa penggunaan OAE
jangka lama tidak akan menimbulkan perlambatan mental permanen
(meskipun penyebab dasar kejang dapat menimbulkan keadaan
demikian) dan pencegahan kejang untuk 1-2 tahun dapat menurunkan
kemungkinan bangkitan berulang. Perubahan obat atau dosis harus
sepengetahuan dokter.
4. Tindak lanjut. Periksa pasien secara berkala, dan awasi adanya
toksisitas OAE. Pemeriksaan darah dan uji fungsi hati harus dilakukan
secara periodik pada beberapa OAE. Penting juga dilakukan evaluasi
ulang fungsi neurologis secara rutin.
5. Penanganan jangka panjang. Teruskan pengobatan OAE sampai
pasien bebas bangkitan sekurang-kurangnya 1-2 tahun.
6. Penghentian pengobatan. Dilakukan secara bertahap. Jika penghentian
pengobatan dilakukan secara tiba-tiba, pasien harus dalam
pengawasan ketat karena dapat mencetuskan bangkitan atau bahkan
status epileptikus. Jika bangkitan timbul selama atau sesudah
penghentian pengobatan, OAE harus diberikan lagi sekurang-
kurangnya 1-2 tahun.
Untuk keberhasilan pengobatan epilepsi, disamping ketepatan
diagnosis dan jenis OAE, diperlukan juga kepatuhan, sikap dan
pengetahuan penderita menghadapi penyakit epilepsi.
Memulai Pengobatan (Dewanto et al, 2009)
1. Pengobatan OAE dapat dimulai bila terjadi dua kali bangkitan dalam
selang waktu yang tidak lama (maksimum satu tahun).
2. Pada umumnya, bangkitan tunggal tidak memerlukan terapi OAE,
kecuali bila terdapat pertimbangan kemungkinan berulang yang tinggi.
3. Bangkitan parsial sederhana tipe sensorik/psikis biasanya tidak perlu
OAE, kecuali mengganggu penderita.
Tabel 1. Pemilihan OAE berdasarkan bentuk bangkitan (Shornov,
2005)
Tipe bangkitan Obat yang menunjukkan
efek
Obat yang dapat
memperburuk kejang
Parsial, tonik
klonik primer,
tonik klonik
sekunder
Acetazolamide,
carbamazepine, clobazam,
clonazepam, felbamate,
gabapentin, lamotrigine,
levetiracetam,
oxcarbazepine,
phenobarbital, phenytoin,
pregabalin, primidone,
rufinamide, tiagabine,
topiramate, valproate,
vigabatrin, zonisamide
Absence (typical
absence)
Aretazolamide, clobazam,
clonazepam,
ethosuximide, lamotrigine,
levetiracetam,
phenobarbital, topiramate,
valproate
Carbamazepine,
gabapentin,
oxcarbazepine,
tiagabine, vigabatrin
mioklonik Clobazam, clonazepam, Carbamazepine,
lamotrigine, levetiracetam,
phenobarbital, piracetam,
topiramate, valproate
gabapentin,
oxcarbazepine,
phenytoin, tiagabine,
vigabatrin
Atipical
absence, tonik
dan atonik
Acetazolamide, clobazam,
clonazepam, felbamate,
lamotrigine, phenobarbital,
primidone, rufinamide,
topiramate, valproate,
zonisamide
Carbamazepine,
gabapentin,
oxcarbazepine,
phenytoin, tiagabine,
vigabatrin
B. Fungsi Kognitif
1. Definisi Kognitif
Kognisi adalah suatu konsep yang kompleks yang melibatkan
sekurang-kurangnya aspek memori, perhatian, fungsi eksekutif, persepsi,
bahasa dan fungsi psikomotor. Setiap aspek fungsi kognitif adalah
kompleks. Memori dapat dibagi kembali menjadi memori jangka pendek,
memori jangka panjang, dan working memory. Perhatian dapat secara
selektif, terfokus, terbagi atau terus menerus, dan persepsi meliputi
beberapa tingkatan proses untuk mengenal objek yang didapatkan dari
rangsangan indera yang berlainan (visual, auditori, perabaan, penciuman).
Fungsi eksekutif melibatkan penalaran, perencanaan, evaluasi, strategi
berpikir, dan lain-lain. Pada sisi lain, aspek kognitif bahasa adalah
mengenai ekspresi verbal, perbendaharaan kata, kefasihan dan
pemahaman bahasa. Fungsi psikomotor adalah berhubungan dengan
pemrogaman dan eksekusi motorik. Semua fungsi kognitif di atas
dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti suasana hati (sedih atau
gembira), tingkat kewaspadaan, tenaga, kesejahteraan fisik dan juga
motivasi (Nehling, 2010). Secara sederhana fungsi kognitif dapat
disimpulkan sebagai semua proses mental yang digunakan oleh organisme
untuk mengatur informasi seperti memperoleh input dari lingkungan
(persepsi), memilih (perhatian), mewakili (pemahaman), menyimpan
(memori) informasi dan akhirnya menggunakan pengetahuan ini untuk
menuntun perilaku (penalaran dan koordinasi output motorik) (Bostrom
dan Sandberg, 2009).
Perbedaan manusia dengan makhluk lain adalah fungsi luhur. Otak
manusia jauh berbeda dengan otak binatang karena adanya korteks
asosiasi yang menduduki daerah antar berbagai korteks perseptif primer.
Terdapat tiga sistem yang penting yang mengatur fungsi kortikal luhur
yaitu sistem kesadaran, sistem limbik, dan kortek (Yudawijaya, 2010).
Fungsi kognitif mempunyai empat item utama yang dapat
dianalogkan dengan kerja komputer yaitu (Dongoran, 2007) :
1. Fungsi reseptif, yang melibatkan kemampuan untuk
menyeleksi, memproses, mengklasifikasikan dan
mengintegrasikan informasi.
2. Fungsi memori dan belajar, maksudnya adalah mengumpulkan
informasi dan memanggil kembali.
3. Fungsi berpikir adalah mengenai organisasi dan reorganisasi
informasi.
4. Fungsi ekspresif, yaitu informasi-informasi yang didapat
dikomunikasikan dan dilakukan.
2. Manifestasi Gangguan Kognitif
Manifestasi gangguan fungsi kognitif dapat meliputi gangguan
pada aspek bahasa, memori, emosi, visuospasial dan kognisi
(Lumbantobing, 1997).
1. Gangguan bahasa
Gangguan bahasa pada demensia terutama tampak pada
kemiskinan kosa kata. Pasien tak dapat menyebut nama benda atau
gambar yang ditunjukkan padanya (confrontation naming), tetapi lebih
sulit lagi untuk menyebutkan nama benda dalam satu kategori
(categorical naming), misalnya disuruh menyebut nama buah atau
hewan dalam satu kategori. Sering adanya diskrepansi antara
penamaan konfrontasi dan penamaan kategori dipakai untuk
mencurigai adanya demensia dini. Misalnya orang dengan cepat dapat
menyebutkan nama benda yang ditunjukkan tetapi mengalami
kesulitan kalau diminta menyebutkan nama benda dalam satu kategori,
ini didasarkan karena daya abstrak mulai menurun (Lumbantobing,
1997).
2. Gangguan memori
Gangguan mengingat sering merupakan gejala yang pertama
timbul pada demensia dini. Pada tahap awal yang terganggu adalah
memori barunya, yakni cepat lupa apa yang baru saja dikerjakan.
Namun lambat laun memori lama juga dapat terganggu. Dalam klinik
neurologi fungsi memori dibagi dalam tiga tingkatan bergantung
lamanya rentang waktu antara stimulus dan recall, yaitu
(Lumbantobing, 1997) :
a. Memori segera (immediate memory), rentang waktu antara
stimulus dan recall hanya beberapa detik. Disini hanya dibutuhkan
pemusatan perhatian untuk mengingat (attention).
b. Memori baru (recent memory), rentang waktunya lebih lama yaitu
beberapa menit, jam, bulan bahkan tahun.
c. Memori lama (remote memory), rentang waktumya bertahun-tahun
bahkan seumur hidup.
3. Gangguan emosi
Sekitar 15% pasien mengalami kesulitan melakukan kontrol
terhadap ekspresi dari emosi. Tanda lain adalah menangis dengan tiba-
tiba atau tidak dapat mengendalikan tawa. Efek langsung yang paling
umum dari penyakit pada otak terhadap kepribadian adalah emosi yang
tumpul, disinhibition, kecemasan yang berkurang atau euforia ringan,
dan menurunnya sensitifitas sosial. Dapat juga terjadi kecemasan yang
berlebihan, depresi dan hipersensitif (Lumbantobing, 1997).
4. Gangguan visuospasial
Gangguan ini juga sering timbul dini pada demensia. Pasien
banyak lupa waktu, tidak tahu kapan siang dan malam, lupa wajah
teman dan sering tidak tahu tempat sehingga sering tersesat
(disorientasi waktu, tempat dan orang). Secara obyektif gangguan
visuospasial ini dapat ditentukan dengan meminta pasien mengkopi
gambar atau menyusun balok-balok sesuai bentuk tertentu
(Lumbantobing, 1997).
5. Gangguan kognisi
Fungsi ini yang paling sering terganggu pada pasien demensia,
terutama gangguan daya abstraksinya. Ia selalu berpikir kongkrit,
sehingga sukar sekali memberi makna peribahasa. Daya persamaan
(similarities) juga mengalami penurunan (Lumbantobing, 1997).
3. Penilaian Fungsi Kognitif
Pemeriksaan status mental mini (mini mental state examination)
merupakan suatu tes uji tapis yang valid terhadap gangguan kognitif. Tes
tersebut diperkenalkan oleh Folstein pada tahun 1975 dan telah banyak di
gunakan di dunia dan di Indonesia juga telah direkomendasikan oleh
kelompok studi fungsi luhur Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia (PERDOSSI). (Dahlan, 1999).
Mini mental state Examination (MMSE) telah dipergunakan secara
luas selama lebih dari 25 tahun untuk penilaian gangguan sederhana dan
cepat. MMSE dianjurkan oleh American Neuropsyciatric Association
sebagai alat skreening rutin untuk mengidentifikasi gangguan kognitif
dalam praktek klinis dan penelitian. MMSE adalah salah satu tes kognitif
umum dengan komponen orientasi, atensi, kalkulasi, bahasa, dan
kemampuan mengulang (recall). Tes ini memiliki sensitivitas yang tinggi
dalam menilai gangguan kognitif dan sering dipergunakan untuk menguji
tapis gangguan kognitif ringan maupun demensia tahap awal (Kanaya &
Elizabeth, 2004).
Tes ini terdiri atas dua bagian, bagian pertama merupakan respon
fokal yang meliputi pemeriksaan orientasi, daya ingat dan perhatian
dengan jumlah skor 21. Bagian kedua meliputi kemampuan untuk
menyebutkan nama, mengikuti perintah verbal dan tulisan, menuliskan
kalimat dan menggambarkan polygon serupa gambar Bender-Gestalt
dengan jumlah skor 9. Skor maksimal seluruhnya adalah 30. Skor ini
harus dikurangi 1 angka pada setiap kenaikan satu dekade diatas umur 60
tahun dan satu angka untuk setiap pendidikan kurang dari 8 tahun
(Departemen Kesehatan, 2004).
Penilaian tes ini dimulai dari 0-5, apabila pada tes ini didapatkan
nilai 23 atau kurang diduga terdapat gangguan kognitif. Pemeriksaan
MMSE memiliki skor maksimal 30, nilai dibawah ≤23 dianggap abnormal
dan mengindikasikan gangguan kognitif yang bermakna pada pasien
berpendidikan tinggi dan berpotensi menjadi demensia. Penyandang yang
berpendidikan rendah dianggap memilki resiko yang lebih tinggi untuk
menjadi demensia bila fungsi kognitif <23 (Charles, 2003).
Beberapa penulis melaporkan bahwa nilai MMSE dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti faktor sosiodemografik, termasuk di dalamnya
adalah umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan dan status
perkawinan. Faktor lingkungan dan kebiasaan meliputi beban kehidupan
secara umum, stress fisik, kontak sosial, aktifitas fisik, merokok dan
minum alkohol juga ikut berpengaruh. Penelitian lain melaporkan bahwa
umur dan pendidikan akan mempengaruhi nilai MMSE sedangkan
penelitian lain melaporkan bahwa yang mempengaruhi nilai MMSE hanya
tingkat pendidikan saja (Yudawijaya, 2010).
Interpretasi pemeriksaan MMSE memiliki cut off point 27, akan
tetapi pemeriksaan ini juga tergantung pada tingkat pendidikan seseorang.
Interpretasi gangguan kognitif untuk pendidikan < 8 tahun apabila skor
MMSE < 26 sedangkan, interpretasi gangguan kognitif pada pendidikan >
8 tahun apabila skor MMSE > 27 (Charles, 2003). Berikut ini adalah tabel
interpretasi skor pemeriksaan MMSE :
Tabel 4. Interpretasi skor pemeriksaan MMSE
Metode SKOR INTERPRETASI
Single cut off <27 Penurunan fungsi kognitif
Rentang <23
>25
Peningkatan odds demensia
Penurunan odds demensia
Pendidikan <25
<26
<27
Tidak normal untuk pendidikan 8 tahun.
Tidak normal untuk pendidikan SMA/SMU.
Tidak normal untuk pendidikan sarjana
Keparahan 27-30
23-26
17-22
0-16
Tidak ada gangguan kognitif.
Gangguan kognitif ringan
Gangguan kognitif berat
Sumber: (Daphne, et al., 2005)
4. Faktor-Faktor Yang Menimbulkan Gangguan Fungsi Kognitif
Beberapa penyakit atau kelainan pada otak dapat mengakibatkan
kelainan atau gangguan fungsi kognitif, antara lain (Yudawijaya, 2010):
a. Cedera kepala
b. Obat-obat toksik
c. Infeksi susunan saraf pusat
d. Epilepsi
e. Penyakit serebrovaskuler (termasuk di dalamnya faktor-faktor
resiko stroke yang saling mempengaruhi, salah satunya
hiperhomosisteinemia)
f. Tumor otak
g. Degenerasi
5. Penyebab Gangguan Kognitif Penderita Epilepsi
Beberapa faktor dapat mempengaruhi gangguan kognitif penderita
epilepsi. Faktor-faktor tersebut antara lain (Natriana, 2001) :
a. Kerusakan otak
Banyak keadaan yang dapat menimbulkan epilepsi seperti trauma
kepala, infeksi susunan saraf pusat, penyakit serebrovaskuler,
intoksikasi, dan penyakit degeneratif. Jumlah penderita epilepsi yang
diketahui penyebabnya ternyata lebih rendah dibandingkan dengan
yang tidak diketahui penyebabnya. Meskipun demikian, beberapa
peneliti mengemukakan bahwa kerusakan otak bertanggung jawab
terhadap gangguan fungsi kognitif (Natriana, 2001)
b. Frekuensi dan durasi serangan epilepsi
Kerusakan otak akan timbul bersamaan dengan frekuensi serangan
kejang yang tinggi. Frekuensi serangan epilepsi sendiri baik secara
langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi fungsi kognitif.
Kejang dengan kehilangan kesadaran secara langsung mengganggu
fungsi mental, tidak hanya terjadi selama serangan bahkan beberapa
hari setelah serangan (Natriana, 2001)
Kejang yang berlangsung lama dapat menyebabkan efek
neurologik dan kardiorespirasi yang berat. Efek dini disebabkan oleh
meningkatnya katekolamin dalam sirkulasi. Apabila kejang berlanjut
lebih dari 15 menit, maka terjadi deplesi katekolamin yang
menyebabkan turunnya tekanan darah, gula darah, disritmia, edema
paru. Kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit dapat
menyebabkan hipotensi serebrum dan gangguan sawar darah dan otak
yang menyebabkan edema serebrum (Price dan Wilson, 2006).
c. Beratnya serangan epilepsi
Faktor ini merupakan faktor yang cukup berperan walaupun
bervariasi diantara penderita dengan bentuk yang sama dan mungkin
juga bervariasi di antara serangan pada individu yang sama. Serangan
dianggap menjadi berat bila sampai menimbulkan trauma sekunder
(edema otak, hipoksia otak). Beratnya serangan akan menggambarkan
luas dan sifat yang mendasari keadaan patologis otak (Natriana, 2001)
d. Lamanya menderita epilepsi
Fungsi kognitif dapat terganggu akibat epilepsi yang diderita dalam
jangka waktu lama. Gangguan kognitif banyak terjadi setelah
menderita epilepsi dalam kurun waktu 10 tahun. Lamanya
menyandang epilepsi secara umum berarti penderita mengalami
serangan berulang dan pengobatan yang lama (Natriana, 2001)
e. Umur saat serangan pertama
Serangan awal yang terjadi pada usia muda di duga sebagai faktor
yang memperburuk. Dikmen menyatakan bahwa serangan awal pada
usia kurang dari lima tahun akan menimbulkan gangguan mental yang
lebih berat daripada bila serangan awal pada usia 17-50 tahun. Pada
umumnya kombinasi penderita dengan serangan awal pada usia muda
dan telah lama menderita epilepsi akan mengalami gangguan kognitif
yang lebih berat (Natriana, 2001)
f. Gambaran elektroensefalografi (EEG)
Cetusan epilepsi subklinik dapat mempengaruhi fungsi kognitif.
Cetusan di hemisfer kiri mengganggu registrasi materi verbal,
sedangkan cetusan di hemisfer kanan mengganggu registrasi stimulus
non verbal. Cetusan epilepsi subklinik akan mengganggu memori
interiktal (memori antara dua serangan) yang menyebabkan kesulitan
dalam proses penyandian dan konsolidasi. Epilepsi umum tonik klonik
dapat pula menyebabkan kerusakan hipokampus (pusat memori)
karena kepekaan daerah tersebut terhadap gangguan metabolik dan
hipoksia (Natriana, 2001)
g. Obat anti epilepsi
Obat anti epilepsi dapat menyebabkan gangguan fungsi kognitif.
Obat antiepilepsi menurunkan rangsangan membran, meningkatkan
penghambatan postsinaptik atau mengubah sinkronisasi jaringan saraf
untuk mengurangi rangsangan saraf berlebihan yang berhubungan
dengan terjadinya kejang. Efek samping umum dari penurunan
rangsangan saraf adalah memperlambat motor dan kecepatan
psikomotor, miskin perhatian dan gangguan memori ringan (Loring,
2005). Reynold dkk (1981) menyatakan bahwa pengobatan politerapi
akan memberikan hasil fungsi memori yang lebih buruk jika
dibandingkan monoterapi. Penderita dengan kadar obat toksik,
mempunyai fungsi memori yang lebih buruk jika dibandingkan
dengan penderita epilepsi dengan kadar obat dalam rentang terapi
(Natriana, 2001). Menurut Meador (2005) kadar obat dalam darah
hanya sedikit mempengaruhi fungsi kognitif. Suasana hati yang dapat
mengganggu kewaspadaan lebih dari atensi biasa sehingga dapat
mempengaruhi memori. Natriana (2001) juga menyatakan kadar obat
dalam serum (lebih rendah atau sesuai kadar terapetik), tidak
mempengaruhi fungsi memori penderita epilepsi grand mal yang
mendapat monoterapi fenitoin.
Herman et al dalam Cramer et al (2010) menyatakan obat anti
epilepsi yang paling besar menyebabkan gangguan fungsi kognitif
adalah fenobarbital. Penurunan mental terjadi ketika pemberian
fenobarbital dihentikan. Anak-anak yang mendapat terapi fenobarbital
juga mempunyai intelegensi skor yang rebih rendah dari anak normal.
Pemberian fenitoin dan valproat tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan.
Kantoush et al (1998) melaporkan terjadi penurunan tingkah laku
pada penderita epilepsi yang menerima monoterapi fenitoin. Fenitoin
menginduksi gangguan fungsi behavioral dengan mengurangi enzim
asetilkolin esterase di hipokampus, cerebellum, dan corpus striatum.
Natriana (2001) menyatakan pemberian monoterapi fenitoin pada
penderita epilepsi grand mal memberikan pengaruh buruk pada fungsi
memori. Gangguan memori tersebut meliputi gangguan memori verbal
dan visual segera, gangguan memori verbal baru dan memori verbal
lama. Lama penggunaan monoterapi fenitoin lebih dari satu tahun
pada anak memiliki resiko lebih besar menimbulkan gangguan
kognitif dibanding valproat (Tan et al, 2008).
Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu diketahui kerja obat
antiepilepsi (OAE) pada otak manusia, sehingga dapat diketahui
mekanisme dasar yang menimbulkan gangguan fungsi kognitif.
C. Tinjauan Umum Obat Fenitoin
Fenitoin dapat diberikan secara oral atau intravena. Pemberian secara
intra muskular tidak dainjurkan karena dapat terjadi penggumpalan dalam
otot. Absorpsi maksimal terjadi di duodenum sedangkan di jejunum dan
ileum lebih lambat karena mempunyai pH 7-7,5. Kadar puncak pemberian
peroral dicapai dalam 4-12 jam setelah pemberian Pengikatan fenitoin oleh
protein plasma, terutama albumin antara 70-95% sedangkan sisanya dalam
bentuk bebas. Bentuk bebas ini yang aktif sebagai obat anti epilepsi (OAE).
Pemberian bersama obat lain dapat menimbulkan interaksi obat (Shorvon,
2005).
Dosis terapi 4-6 mg/kg BB/ hari untuk dewasa dan 6-8 mg/kg BB/ hari
untuk anak. Kadar terapi dalam darah antara 10-20 µg/mL. Waktu paruh obat
18-24 jam, kadar optimal dicapai setelah 5-10 hari pemberian per oral.
Sebagian besar dimetabolisir di hati dan diekskresi melalui empedu dan
ginjal. Pemantauan kadar obat dalam darah merupakan suatu upaya untuk
mencapai keberhasilan terapi. Pemantauan dilakukan 5-10 hari setelah
pengobatan fenitoin.
Efek samping yang berhubungan dengan susunan saraf pusat yaitu
tremor, nistagmus, ataksia, disartria, diplopia, sedasi, neuropati perifer,
ensefalopati. Efek samping lainnya antara lain alergi/urtikaria, rash
morbiliform, sindroma steven johnson, SLE, dermatitis eksfoliata, anemia
megaloblastik, hipertropi ginggiva, kulit muka menebal (berjerawat),
hirsutisme, teratogenik.
Untuk mengetahui mekanisme dasar yang menimbulkan gangguan fungsi
kognitif, maka perlu duketahui efek farmakologi fenitoin pada sel neuron dan
sinap. Cara kerja utama fenitoin pada epilepsi adalah memblokade pergerakan
ion melalui kanal natrium dengan menurunkan aliran ion Na2+ yang tersisa
maupun aliran ion Na+ yang mengalir selama penyebaran potensial aksi.
Fenitoin bekerja pada fokus epileptogen, dengan mengaktifkan sodium-
potasium ATP-ase sehingga terjadi inaktivasi kanal ion Na2+, depolarisasi
dihambat (Utama, 2009).
Fenitoin juga dapat menghambat kanal Ca2+ dan menunda aktifasi aliran
ion K+ keluar selama potensial aksi sehingga menyebabkan Ca2+ influks
menurun. Mobilisasi vesikel yang berisi neurotransmitter ke ujung saraf
terminal juga ikut turun. Dengan demikian fenitoin menghabat terjadinya
proses depolarisasi dan pelepasan neurotransmitter. Efek fenitoin terhadap
sistem neurotransmitter adalah menurunkan konsentrasi asam glutamat otak
dan meningkatkan glutamin dan GABA (Utama, 2009).
D. Kerangka Teori
Epilepsi
Penyekit degenerasicedera kepalaInfeksi SSPtumor otak
Lesi di otak
Sekunder/simtomatikPrimer/idiopatik
Jenis serangangelombang EEG subklinik
lama menderitausia awitan
frekuensi seranganlama minum obat
Fungsi kognitifGangguan kejiwaan
(depresi, psikosis dll)
Gambar 2.2. Kerangka Teori
Keterangan :
: Berhubungan/Mempengaruhi
E. Kerangka Konsep
Gambar 2.3. Kerangka konsep
Retardasi mental
Obat-obat yang mempengaruhi SSP
Epilepsi
Faktor lain yang mempengaruhi fungsi kognitif:
usia awitanfrekuensi serangan
lama sakit
FenitoinLama
pengobatan
Epilepsi
Fungsi kognitif
Fungsi kognitif
Gangguan kognitif
Ya Tidak
Faktor lain yang mempengaruhi fungsi kognitif:
usia awitanfrekuensi serangan
lama sakit
Non-FenitoinLama
pengobatan
F. Hipotesis
Terdapat perbedaan fungsi kognitif penderita epilepsi yang
mendapat monoterapi fenitoin dengan monoterapi non fenitoin di Rumah
Sakit Margono Soekarjo.
Daftar pustaka BAB II
Browne TR, Holmes GL. 2000. Epilepsy: definitions and background. In: Handbook of epilepsy, 2nd edition. Philadelphia: Lippincott Williams &Wilkins hal.1-18
Harsono, Kustiowati E, Gunadharma S. 2008. Pendahuluan, definisi, klasifikasi, etiologi, dan terapi. Dalam: Pedoman Tata Laksana Epilepsi. Jakarta: PERDOSSI hal.1-13
Fisher RS, Boas WE, Blume W, Elger C, Genton P, Lee P, et al. 2005. Epileptic seizures and epilepsy: definition proposed by the International League Against Epilepsy (ILAE) and the International Bureau for Epilepsy (IBE). Epilepsia; 46(4):470-2
Octaviana, Fitri. 2008. Epilepsi. Dalam: Medicinus Scientific journal of Pharmaceutical Development and Medical Application. Medicinus Vol. 21, No.4 hal.121-124
Ikawati, Zullies. 2009. Epilepsi:Lecture Notes. (Online) Diakses di: zulliesikawati.staff. ugm .ac.id/wp.../ epilepsy .pdf Pada tanggal 25 September 2012.
Price, S. A. dan Wilson, L. M. 2006. Patofisiologi Konsep klinis Proses Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Jakarta : EGC. Hal.1158-1164
Raharjo, Tri B. 2007. Faktor-Faktor Risiko Epilepsi Pada Anak di Bawah Usia 6 Tahun. Tesis. Program pascasarjana Magister Ilmu Biomedik dan Program
Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Saraf Universitas Diponegoro: Semarang (Dipublikasikan)
Utomo, Tranggono Y. 2011. Dosis dan Lama Pemberian Fenitoin Sebagai Faktor Risiko Timbulnya Hiperplasia Ginggiva Pada pasien Epilepsi. Tesis. Program pascasarjana Magister Ilmu Biomedik dan Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Saraf Universitas Diponegoro: Semarang (Dipublikasikan)
Shorvon, Simon. 2005. Handbook of Epilepsy Treatment. Second Edition. Blakwell Publishing: Massachusetts, USA. Hal. 75
Katzung, Bertram G. 1998. Obat Antiepilepsi pada Farmakologi Dasar dan Klinik. EGC: Jakarta. Hal.380-384
Dewanto G., Suwono W.J., Riyanto B., Turana Y. 2009. Panduan Praktis Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Syaraf. Jakarta: EGC
Utama, Hendra dan Vincent H.S. 2009. Antiepilepsi dan Antikonvulsi dalam Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta: FKUI. Hal. 179-185
Wibowo S. Dan Gofir A. 2006. Farmakologi Obat Antiepilepsi dalam Buku Obat Anti Epilepsi. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Cendekia Press. Hal: 7-12.
Philip, W. Dan Long M.D. 2008. Phenytoin. Diakses dari http://www.mentalhealt.com pada 2 oktober 2012.
Cramer J.A., Mintzer S., Wheless J., Mattson R.H. 2010. Adverse effects of antiepileptic drugs: a brief overview of important issues. Expert Rev. Neurother. 10(6), 885–891 (2010)
Schmitz, G., Hans L., Michael H. 2009. Antikonvulsi dalam Buku Farmakologi dan Toksikologi Edisi 3. Jakarta: EGC. Hal. 118-123
Shorvon, Simon. 2005. Handbook of Epilepsy Treatment. Second Edition. Blakwell Publishing: Massachusetts, USA. Hal. 157-165
Farida, Zakiah S., Eva D., Joedo P. 2008. Densitas massa Tulang Penyandang Epilepsi Usia 20-40 Tahun dengan Terapi Fenitoin. Neurona, Vol.25, No.2. Hal 20-24
Nehlig, A., 2010. Is Caffeine a Cognitive Enhancer? Journal of Alzheimer Disease 20: S85-S94.
Bostrom, N., Sandberg, A., 2009. Cognitive Enhancements: Methods, Ethics, Regulatory Challenges. Sci Eng Ethics (2009), 15: 311-341.
Yudawijaya, A. 2010. Hubungan Antara Homosistein Plasma Dengan Perubahan Skor Fungsi Kognitif Pada pasien Paska Stroke Iskemik. Tesis. Program
pascasarjana Magister Ilmu Biomedik dan Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Saraf Universitas Diponegoro: Semarang (Dipublikasikan)
Dongoran, D.N.H. 2007. Hubungan Antara Arteriosklerosis Retina Dengan Fungsi Kognitif Pada Penderita Hipertensi. Tesis. Program pascasarjana Magister Ilmu Biomedik dan Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Saraf Universitas Diponegoro: Semarang (Dipublikasikan)
Lumbantobing, S.M. 1997. Kecerdasan pada usia lanjut dan demensia. Jakarta: FKUI. Hal. 1-43
Dahlan P .1999. Definisi dan diagnosis banding sindroma demensia, Berkala Neuro Sains, 1(1):39-43.
Kanaya AM & Elizabeth B. 2004. Changes in kognitif function by glucose tolerance status in older adults a 4 year, Prospective Study of the Rancho Bernardo study cohort, AIM. 164:1327-1333
Departemen Keshatan. 2004. Pemeriksaan Gerontologi dalam berbagai aspek. Tersedia dalam: http://www.depkes.go.id [diakses 7 Oktober 2010]
Charles D. 2003. Mild kognitif impairment: prevalence, prognosis, aetiology, and treatment. Lancet Neurology. 2: 15–21.
Daphne M., Geslani., Mary C., Tierney., Nathan H., John P., Szala., 2005. Mild Kognitif Impairment: An Operational Definition and Its Conversion Rate to Alzheimer's Disease. DGCD. 19:383-389
Natriana, T. 2001. Perbedaan Pengaruh Pengobatan Monoterapi fenitoin dan Karbamazepin Terhadap Memori Penderita Epilepsi Grand Mal. Thesis. SMF Ilmu Penyakit Saraf FK Undip: Semarang (Dipublikasikan)
Meador, K.J. 2005. Cognitive Effects of Epilepsy and its Treatment. Clinician interview. Advanced Studies in Medicine Vol. 5 (6C) June 2005
Kantoush M.M., Azza K.E., Mokhtar A.H., Abdou S.E., Abdel W.M. 1998. The Impact of Antiepileptic Drugs on Cognitive and Behavioral Functions in Children With Idiopathic generalized Epilepsy. Alexandria Journal of Pediatrics; Volume 12, Number 1; january 1998
Tan S., Sri S.S., Parnodjo D. 2008. Perbedaan Efek Fenitoin dan Valproat dama menimbulkan Gangguan Kognitif Epilepsi Anak Bangkitan Umum Tonik Klonik. Berkala Kesehatan Klinik Vol. XIV No. 2: 86-97
Sunaryo, Utoyo. 2007. Diagnosis Epilepsi. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma Vol. I No. I
Top Related