BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kemasan
Kemasan merupakan salah satu proses yang paling penting untuk menjaga
kualitas produk makanan selama penyimpanan, transportasi, dan penggunaan akhir.
Kemasan yang baik tidak hanya sekedar untuk menjaga kualitas makanan tetapi juga
secara signifikan memberikan keuntungan dari segi pendapatan, Selama distribusi,
kualitas produk pangan dapat memburuk secara biologis dan kimiawi maupun fisik.
Oleh karena itu, kemasan makanan memberikan kontribusi untuk memperpanjang
masa simpan dan mempertahankan kualitas dan keamanan produk makanan (Jun H.
Han, 2005). Berdasarkan bahan dasar pembuatannya maka jenis kemasan pangan
yang tersedia saat ini adalah kemasan kertas, gelas, kaleng/logam, plastik, dan
kemasan komposit atau kemasan yang merupakan gabungan dari beberapa jenis
bahan kemasan, misalnya gabungan antara kertas dan plastik, kertas dan logam.
Masing-masing jenis bahan kemasan ini mempunyai karakteristik tersendiri, dan ini
menjadi dasar untuk pemilihan jenis kemasan yang sesuai untuk produk pangan (Elisa
dan Mimi, 2006).
Yokoyama (1985) menyarankan syarat yang diperlukan untuk menghasilkan
kemasan yaitu :
1. Jumlahnya berlimpah
2. Material yang digunakan layak dan efisien sebagai kemasan
3. Struktur dan bentuknya sesuai
4. Menyenangkan
5. Pertimbangan pembuangan
Penggunaan plastik sebagai pengemas pangan terutama karena keunggulannya
dalam hal bentuknya yang fleksibel sehingga mudah mengikuti bentuk pangan yang
dikemas, berbobot ringan, tidak mudah pecah, bersifat transparan/tembus pandang,
Universitas Sumatera Utara
mudah diberi label dan dibuat dalam aneka warna, dapat diproduksi secara massal,
harga relatif murah dan terdapat berbagai jenis pilihan bahan dasar plastik.
2.2 Polipropilen
Salah satu bahan plastik yang umum digunakan adalah polipropilen (PP).
Monomer-monomer penyusun rantai polipropilen adalah propilena yang diperoleh
dari pemumian minyak bumi. Propilena, merupakan senyawa vinil yang memiliki
struktur : CH2=CH-CH
3. Secara industri polimerisasi polipropilena dilakukan dengan
menggunakan katalisasi koordinasi. Proses polimerisasi ini akan menghasilkan suatu
rantai linear yang terbentuk -A-A-A-A- dengan A merupakan propilena. Polipropilen
biasanya didaur-ulang, dan simbol daur ulangnya adalah nomor "5": (http://
Wikipedia, diunduh Desember 2010). Struktur tiga dimensi dari propilena dapat
terjadi dalam tiga bentuk yang berbeda berdasarkan posisi relatif dari gugus metil
satu sama lain di dalam rantai polimernya. Ketiga struktur tersebut dapat dilihat pada
gambar berikut :
Gambar 2.1 Struktur Tiga Dimensi dari Polipropilen
Kebanyakan polipropilena komersial merupakan isotaktik, Polipropilena memiliki
titik lebur ~160 °C (320 °F), sebagaimana yang ditentukan Differential Scanning
Calorimetry (http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Polypropylen.Svg,Desember 2010).
Universitas Sumatera Utara
Ciri-ciri plastik jenis ini biasanya transparan tetapi tidak jernih atau berawan, keras
tetapi fleksibel, kuat, permukaan berlilin, tahan terhadap bahan kimia, panas dan
minyak. Merupakan pilihan bahan plastik yang baik untuk kemasan pangan, tempat
obat, botol susu, sedotan. Polipropilena juga lebih kuat dan lebih tahan dari polietilena
(Anonimous, diunduh Desember 2010).
2.3 Tandan Kosong Kelapa Sawit
Pengolahan perkebunan kelapa sawit saat ini dituntut tidak hanya berorientasi
pada produktivitas semata, namun juga harus ramah lingkungan. Kecendrungan
pengelolaan perkebunan kelapa sawit yang mengarah pada konsep zero waste
merupakan salah satu upaya menjawab tuntutan tersebut. Salah satu tindakan nyata
dalam penerapan konsep zero waste adalah pengolahan limbah tandan kosong kelapa
sawit (TKS). Dalam pengolahan 1 ton tandan buah segar (TBS) akan menghasilkan
220 Kg tandan kosong kelapa sawit dan diperkirakan saat ini limbah TKS di
Indonesia mencapai 20 juta ton (Eko Noviandi Ginting dan Suroso Rahutomo, 2008).
Sifat kimia dari Tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan organik dapat kita lihat
dalam table 2.1 berikut:
Table 2.1 Komposisi Kimia Tandan Kosong Kelapa Sawit No Komposisi Kimia Komposisi (%) 1 lignin 22,60 2 pentosan 25,90 3 α-selulosa 45,80 4 holoselulosa 71.88 5 abu 1,6 6 pektin 12,85 7 kelarutan dalam: 1% NaOH 19,50 air dingin 13,89 air panas 2,50 alkohol-benzen 4,20
(Nuryanto, Eka, 2000)
Universitas Sumatera Utara
Tandan Kosong Sawit (TKS) hingga saat ini pemanfaatannya belum dilakukan
secara optimal, sejauh ini pemanfaatan yang dilakukan hanya terbatas untuk pengeras
jalan, dijadikan pupuk serta digunakan sebagai penetral pH. Kandungan α - selulosa
yang besar didalam TKS memungkinkan untuk mengolah TKS menjadi pulp, dimana
dari TKS kering dapat dihasilkan 40-70% pulp dengan proses organosolv pulping.
kandungan selulosa yang besar ini mungkin juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan
baku pembuatan selulosa asetat (Asnetty Maria Amin, 2000).
2.3.1 Struktur dan Sifat Selulosa
Selulosa merupakan konstituen utama kayu. Kira-kira 40-45 % bahan kering
dalam kebanyakan spesies kayu adalah selulosa (Eero Sjostrom,1995). Selulosa
terdapat pada semua tanaman dari pohon tingkat tinggi hingga organisme primitif
seperti rumput laut, flagelata, dan bakteria (Dietrich Fengel dan Gerd Wegener,
1995). Selulosa merupakan homopolisakarida yang tersusun atas unit-unit β-D-
glukopiranosa yang terikat satu sama lain dengan ikatan-ikatan glikosida (14).
Gambar 2.2 Struktur Selulosa
Molekul-molekul selulosa seluruhnya berbentuk linear dan mempunyai kecendrungan
kuat membentuk ikatan-ikatan hidrogen intra dan intermolekul. Berkas-berkas
molekul selulosa membentuk agregat bersama-sama dalam bentuk mikrofibril, dalam
mana tempat-tempat yang sangat teratur (kristalin) diselingi dengan tempat-tempat
yang kurang teratur (amorf). Mikrofibril membentuk fibril-fibril dan akhirnya serat-
serat selulosa. Sebagai akibat dari struktur yang berserat dan ikatan-ikatan hidrogen
Universitas Sumatera Utara
yang kuat selulosa mempunyai kekuatan tarik yang tinggi dan tidak larut dalam
kebanyakan pelarut.
Setiap unit β-D-glukopiranosa di dalam rantai selulosa mempunyai tiga gugus
hidroksil reaktif, dua sekunder (HO-2, HO-3) dan satu primer (HO-6) maka keasaman
dan kecendrungan untuk terurai naik sesuai dengan urutan: HO-6 < HO-2 < HO-3
oleh karena itulah HO-2 mudah untuk tereterifikasi, tetapi untuk esterifikasi HO-6
memiliki reaktivitas yang tinggi dibandingkan dengan gugus OH lainnya (Eero
Sjőstrőm,1995). Untuk mengetahui kualitas dari selulosa, antara lain dengan
pemantauan derajat polimerisasi (DP). Berdasarkan derajat polimerisasi dan kelarutan
dalam senyawa natrium hidroksida (NaOH) 17,5%, selulosa dapat dibedakan atas tiga
jenis yaitu :
1. Selulosa (Alpha Cellulose) adalah selulosa berantai panjang, tidak larut
dalam larutan NaOH 17,5% atau larutan basa kuat dengan derajat polimerisasi
600 - 1500. Selulosa dipakai sebagai penduga dan atau penentu tingkat
kemurnian selulosa.
2. Selulosa β (Betha Cellulose) adalah selulosa berantai pendek, larut dalam
larutan NaOH 17,5% atau basa kuat dengan derajat polimerisasi 15 - 90, dapat
mengendap bila dinetralkan.
3. Selulosa γ (Gamma cellulose) adalah sama dengan selulosa β, tetapi derajat
polimerisasinya kurang dari 15.
Selulosa α merupakan kualitas selulosa yang paling tinggi (murmi). Selulosa α > 92%
memenuhi syarat untuk digunakan sebagai bahan baku utama pembuatan propelan
dan atau bahan peledak. Sedangkan selulosa kualitas dibawahnya digunakan sebagai
bahan baku pada industri kertas dan industri sandang/kain (Umar S. Tarmansyah,
2007).
Morfologi selulosa mempunyai pengaruh yang besar pada reaktivitasnya.
Gugus-gugus hidroksil yang terdapat dalam daerah-daerah amorf sangat mudah
dicapai dan mudah bereaksi, sedangkan gugus-gugus hidroksil yang terdapat dalam
Universitas Sumatera Utara
daerah-daerah kristalin dengan berkas yang rapat dan ikatan antar rantai yang kuat
mungkin tidak dapat dicapai sama sekali. Pembengkakan awal selulosa diperlukan
baik dalam eterifikasi (alkali) maupun dalam esterfikasi (asam) (Eero Sjőstrőm,
1995).
2.3.2 Asetilasi Selulosa
Selulosa dapat dimodifikasi melalui reaksi esterifikasi, hal ini disebabkan
karena gugus OH pada selulosa merupakan gugus-gugus polar yang dapat diganti
oleh gugus-gugus atau senyawa-senyawa nukleofil dalam larutan asam kuat. Secara
teoritis pembentukan ester selulosa adalah mungkin dengan semua asam anorganik
maupun organik. Adanya tiga gugus OH pada setiap unit glukosa memungkinkan
pembentukan mono, di, atau triester. Saling pengikatan gugus-gugus OH dengan
ikatan hidrogen didalam struktur supramolekul selulosa dipecah sebagian atau
keseluruhan selama esterifikasi. Masuknya gugus ester menghancurkan rantai-rantai
selulosa, hingga strukturnya sangat berubah atau bahkan rusak.
Pembentukan ester yang lebih cepat dan sama dapat diperoleh dengan cara
perlakuan awal selulosa menggunakan air atau asam asetat. Kecepatan asetilasi
selulosa yang membengkak-awal kira-kira tiga kali lebih tinggi daripada selulosa
yang tidak membengkak. Pembengkakan awal jelas membuka jalan untuk media
pengasetilasi mencapai daerah yang teratur dengan lebih mudah. Perlakuan awal
dengan H2SO4 encer, larutan ammonia dan etilena diamin dapat mempercepat
asetilasi. Pada umumnya anhidrida asetat digunakan sebagai media asetilasi. Reaksi
asetilasi juga membutuhkan adanya katalisator, asam sulfat dan asam perklorat telah
terbukti paling efektif (Dietrich Fengel dan Gerd Wegener,1995).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Eero Sjőstrőm (1995) Asetilasi selulosa yang dikatalisis dengan
asam berlangsung menurut persamaan reaksi sebagai berikut:
Gambar 2.3 Asetilasi Selulosa yang Dikatalisis dengan Asam
Setelah protonasi anhidrida asetat ion karbonium elektrofil yang dibentuk
ditambahkan pada atom oksigen hidroksil nukleofil selulosa. Zat antara ini kemudian
terurai kemudian menjadi selulosa asetat dan asam asetat dengan membebaskan
proton.
2.3.3 Selulosa Asetat
Selulosa asetat merupakan ester yang paling penting yang berasal dari asam
organik. Bila dibandingkan dengan selulosa nitrat, selulosa asetat tidak mudah
terbakar (Dietrich Fengel dan Gerd Wegener,1995). Berdasarkan SNI 06-2115-1991
defenisi Selulosa asetat adalah selulosa yang berupa gugusan hidroksilnya digantikan
oleh gugusan asetil (-OCCH3) dengan rumus kimia: [C6H7O2 (COOCH3)x]y,
berbentuk padatan putih tidak beracun, tak berasa, tak berbau, untuk pembuatan serat.
Selulosa asetat telah dipakai secara luas diantaranya sebagai material membran, filter
rokok, tekstil, plastik dan industri makanan serta farmasi. Hingga saat ini selulosa
asetat diketahui mempunyai sifat yang sangat baik sebagai polimer alam didasarkan
oleh dua alasan berikut yaitu:
Universitas Sumatera Utara
1. Mempunyai derajat polimerisasi yang tinggi dan orientasi molekulnya linear.
2. Kemampuannya membentuk ikatan hidrogen inter dan intrarantai yang stabil
dengan molekulnya sendiri maupun terhadap molekul tetangganya untuk
membentuk mikrofibril (Hinterstoisser, Akerholm dan salmean, 2003).
Menurut Ranby dan Rydholm (1956) dalam Eero Sjőstrőm (1995); Fengel dan
Wegener (1995) terdapat hubungan antara derajat substitusi terhadap pelarut maupun
aplikasi dari selulosa asetat seperti pada table 2.2 berikut:
Table 2.2 Hubungan antara Derajat Substitusi terhadap Pelarut maupun Aplikasi dari Selulosa Asetat
No Derajat Substitusi Pelarut Aplikasi 1 0,6-0,9 Air - 2 1,2-1,8 2-metoksietanol Pernis dan Plastik 3 1,8-1,9 Air-Propanol-Kloroform Tekstil, Komposit 4 2,2-2,3 Aseton Pernis dan Plastik 5 2,3-2,4 Aseton Rayon asetat 6 2,5-2,6 Aseton Film sinar-X 7 2,8-2,9 Metilena Klorida-Etanol lembaran Penginsulasi 8 2,9-3,0 Metilena Klorida Tekstil
Shibata et al (2010) menyebutkan bahwa derajat substitusi juga berpengaruh
terhadap karakter fisik produk yang dihasilkan, selulosa asetat yang mempunyai
derajat substitusi asetil yang tinggi menunjukkan kelarutan yang rendah dalam
pelarut, tetapi menghasilkan produk yang mempunyai karakter fisik yang sangat baik.
Secara umum pembuatan selulosa asetat yaitu selulosa sebagai bahan dasar
direaksikan dengan pelarut asam asetat atau asetat anhidrat dengan adanya katalis
untuk sintesis selulosa asetat. Dalam sintesis ini asam asetat berfungsi sebagai
pelarut, asam sulfat berfungsi sebagai katalis dan asetat anhidrat sebagai donor asetil.
Reaksi umum sintesis selulosa asetat dapat dilihat pada gambar 2.4 sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.4 Reaksi Sintesis Selulosa Asetat (http://Wikipedia, diunduh Desember 2010)
Berdasarkan derajat substitusinya selulosa asetat dapat dibagi menjadi tiga yaitu:
1. Selulosa monoasetat dengan derajat substitusi (DS) 0 < DS < 2 larut dalam
aseton dan mempunyai titik leleh 2350C.
2. Selulosa diasetat dengan derajat substitusi (DS) 2,0 – 2,8 dengan kandungan
% asetilnya 35 – 43,5 % dengan titik leleh 2350C
3. Selulosa triasetat dengan derajat substitusi (DS) 2,8 – 3,0 mempunyai
kandungan asetil 43,5 – 44,8 % dengan titik leleh 265 – 295 0C.
Derajat substitusi selulosa asetat adalah 0 – 3 dan meningkatnya derajat substitusi
akan meningkatkan titik leleh dari selulosa asetat (Misdawati, 2008).
Universitas Sumatera Utara
2.4 Komposit
Komposit adalah material yang dibentuk dari dua atau lebih material dasar yang
mempunyai sifat lebih baik dari material pembentuknya. Menurut keberadaannya
komposit ada dua jenis yaitu:
1. Komposit alam (kayu, gigi, tulang)
2. Komposit buatan ( semen beton, fiber reinforce, be metal)
Komposit dapat dinyatakan sebagai hasil manipulasi orde satu atau hasil manipulasi
sifat makroskopis material yang dikenal dan mulai dibuat sejak awal tahun 1972.
Komposit dibuat karena ingin mendapatkan suatu bahan baru yang mempunyai
sifat sebagai, (A+B)/2 = X dimana X > (A+B)/2, sifat ini disebut sebagai sifat
sinergitik. Sebagai contoh bahan karet + karbon = ban. Sifat yang diinginkan oleh
komposit antara lain:
1. Kekuatan ( strength)
2. Kekokohan (stiffness)
3. Tahan korosi (corrosion resistance)
4. Tahan keausan (wear resistance)
5. Menarik (attractiviness)
6. Masalah berat (weight)
7. Unsur kelelahan ( ftique life)
8. Ketahanan temperatur (temperature depended)
9. Konduktivitas termal (thermal behavior conductivity)
10. Insulasi panas (thermal insulation) dan insulasi akustik ( acustic insulation)
Komposit juga dapat diklasifikasikan kedalam tiga kelompok yaitu:
1. Komposit serat (fibricus composite), yaitu komposit yang terdiri dari serat dan
matriks (bahan dasar) yang diproduksi secara fabrikasi, misalnya serat yang
ditambah resin sebagai bahan perekat. Sebagai contoh ialah FRP
(fiber reinforce plastic), PCB (pulp cement board).
2. Komposit lapis (laminated composite), yaitu komposit yang terdiri dari
lapisan dan matriks, yaitu lapisan yang diperkuat oleh resin sebagai contoh
Universitas Sumatera Utara
plywood, laminated glass yang sering digunakan sebagai bahan bangunan dan
kelengkapannya.
3. Komposit partikel (particulate composite), komposit yang terdiri dari partikel
dan matriks.
Sifat-sifat mekanik komposit yaitu:
1. Sifat mikromekanik, mempelajari komposit sebagai bahan yang inhomogenis
yaitu menelaah interaksi antara filler (isian) dengan matriks khususnya
kerekatan antara filler dan matriks.
2. Sifat makromekanik, mempelajari sifat makro komposit sebagai bahan yang
homogen yang dapat menerima aksi dari luar (Arijanto S.W., 2002)
2.4.1 Antar Muka Pengisi-Matriks Komposit
Pada umumnya suatu bahan komposit terdiri dari dua fasa yang berlainan
yang dipisahkan oleh antar muka kedua fasa tersebut. Daya sentuh dan daya kohesif
antar muka sangat penting, karena antar muka pengisi-matriks berfungsi untuk
memindahkan beban (tegangan) dari fasa matriks ke fasa pengisi, (Hull, 1992 dalam
Faisal, 2008).
Untuk kerja dan stabilitas dari bahan komposit yang diperkuat oleh serat
tergantung kepada suatu ikatan antar muka antara serat dan matriks. Pada komposit-
komposit yang diperkuat dengan pengisi alami biasanya terdapat suatu kekurangan
pada adhesi antar muka di antara serat-serat selulosa hidrofilik dengan resin-resin
hidrofobik yang berpengaruh terhadap ketidakserasian (incompability). Keberadaan
senyawa-senyawa waxy pada permukaan serat juga akan berakibat tidak efektifnya
ikatan antara resin dengan serat serta mengakibatkan pembasahan pada permukaan
yang tidak baik. Selain hal tersebut di atas, keberadaan air dan gugus-gugus hidroksil
khususnya daerah amorf melemahkan kemampuan dari serat untuk memperbaiki
karakteristik adhesi dengan bahan pengikat. Kandungan air dan penyerapan
kelembapan yang tinggi pada serat-serat selulosa menyebabkan pembengkakan
Universitas Sumatera Utara
(swelling) dan efek pemplastikan yang menyebabkan ketidakstabilan dimensional dan
menurunkan sifat-sifat mekanik, (Faisal, 2008). Pemindahan beban ini bergantung
pada daya ikatan yang terbentuk pada antar muka.
Ada berbagai teori yang menerangkan pengikatan pada antar muka dan
kebanyakannya melibatkan ikatan kimia dan mekanik. Menurut Hull (1992) dan
Schwartz (1983) terdapat lima mekanisme pada antar muka yaitu:
1. Adsorpsi dan Pembasahan.
Untuk pembasahan pengisi yang baik, leburan fasa matriks (resin) harus
menutupi seluruh permukaan pengisi agar udara dapat disingkirkan.
2. Interdifusi
Suatu ikatan akan terbentuk apabila molekul-molekul polimer meresap dari
suatu permukaan ke dalam struktur molekul permukaan yang lain. Kekuatan
ikatannya bergantung pada jumlah kekusutan molekul dan jumlah molekul yang
terlibat. Jumlah peresapan bergantung pada konfirmasi molekul, konstituen yang
terlibat dan kemudahan pergerakan molekul. Selain itu, resapan juga dapat
ditingkatkan dalam kehadiran pelarut dan pemplastik.
3. Daya Tarikan Elektrostatik
Pengikatan daya tarikan elektrostatik berhasil apabila terdapat perbedaan
kutub antara dua konstituen. Kekuatan pengikatan bergantung pada perbedaan kutub
antara dua konstituen ini. Mekanisme ini tidak begitu berpengaruh kepada ikatan
antar muka kecuali apabila agen penghubung digunakan.
4. Pengikatan Kimia
Pengikatan kimia terjadi apabila komposit digunakan bersama-sama agen
penghubung atau bahan penyerasi. Pengikatan terbentuk sebagai hasil suatu reaksi
kimia antara senyawa kimia di atas permukaan pengisi (fasa penguat) dengan
senyawa kimia yang serasi dengan matriks. Kekuatan pengikatannya bergantung pada
jenis ikatan kimia.
Universitas Sumatera Utara
5. Pengikatan mekanik
Pengikatan mekanik berlaku secara interlocking mekanik apabila geometri
permukaan fasa matriks dan fasa pengisi tidak rata. Walau bagaimanapun, kekuatan
pada arah tegangan melintang adalah lemah dibandingkan pada arah tegangan
menegak. Beberapa faktor yang mempengaruhi pengikatan mekanik ialah kekasaran
permukaan (faktor utama dan terpenting), aspek geometri, tekanan dalam dan tekanan
residual yang berhasil pada saat proses fabrikasi, (Faisal, 2008).
2.5 Analisis 2.5.1 Pengujian Sifat Kekuatan Tarik (σt) dan Kemuluran (ε)
Sifat mekanis biasanya biasanya dipelajari dengan mengamati sifat kekuatan
tarik (σt) menggunakan alat pengukuran tensometer atau dinamometer, bila terhadap
bahan diberikan tegangan. Secara praktis kekuatan tarik diartikan sebagai besarnya
beban maksimum (Fmaks) yang dibutuhkan untuk memutuskan spesimen bahan,
dibagi dengan luas penampang bahan. Karena selama dibawah pengaruh tegangan,
spesimen mengalami perubahan bentuk (deformasi) maka definisi kekuatan tarik
dinyatakan dengan luas penampang semula (A0)
σt = Fmaks / Ao
selama deformasi, dapat diasumsikan bahwa volum spesimen tidak berubah, sehingga
perbandingan luas penampang semula dengan penampang setiap saat, Ao/A = l/lo,
dengan l dan lo masing-masing adalah panjang spesimen setiap saat dan semula. Bila
didefenisikan besaran kemuluran (ε) sebagai nisbah pertambahan panjang terhadap
panjang spesimen semula (ε = Δl/lo) maka diperoleh hubungan :
A = Ao/ (l + ε)
Hasil pengamatan sifat kekuatan tarik ini dinyatakan dalam bentuk kurva tegangan,
yakni nisbah beban dengan luas penampang, terhadap perpanjangan bahan
(regangan), yang disebut dengan kurva tegangan-regangan. Bentuk kurva tegangan-
Universitas Sumatera Utara
regangan ini merupakan karakteristik yang menunjukkan indikasi sifat mekanis bahan
yang lunak, keras, kuat, lemah, rapuh atau liat (Basuki wirjosentono,1995).
Gambar 2.5 Kurva Tegangan-Regangan untuk Beberapa Karakteristik Sifat
Mekanis Bahan, (i) Lunak dan Tidak Kuat, (ii) Keras dan Rapuh, (iii) Lunak dan Liat, (iv) Keras dan Kuat, (v) Keras dan Liat (Basuki wirjosentono,1995).
2.5.2 Analisis Sifat Termal Bahan Polimer
Analisis termal bukan saja mampu untuk memberikan informasi tentang
perubahan fisik sampel (misalnya titik leleh dan penguapan), tetapi terjadinya proses
kimia yang mencakup polimerisasi, degradasi, dekomposisi, dan sebagainya. Dalam
bidang campuran polimer (poliblen) pengamatan suhu transisi kaca (Tg) sangat
penting untuk meramalkan interaksi antara rantai dan mekanisme pencampuran
beberapa polimer. Campuran polimer yang homogen akan menunjukkan satu puncak
Tg (eksotermis) yang tajam dan merupakan fungsi komposisi. Tg campuran biasanya
berada diantara Tg dari kedua komponen, karena itu pencampuran homogen
digunakan untuk menurunkan Tg , seperti halnya plastisasi dengan pemlastis cair.
Pencampuran polimer heterogen ditujukan untuk menaikkan ketahanan bentur bahan
polimer, seperti modifikasi karet dengan resin ABS. campuran polimer heterogen ini
ditandai dengan beberapa puncak Tg , karena disamping masing-masing komponen
masih merupakan fase terpisah, daerah antarmuka mungkin memberikan Tg yang
Universitas Sumatera Utara
berbeda. Pengamatan termal campuran polimer juga dapat digunakan untuk
menentukan parameter interaksi, yang merupakan faktor penurunan suhu leleh kristal
(Basuki wirjosentono, 1995).
2.5.3 Spektrofotometer FT-IR
Spektrofotometer infra merah terutama ditujukan untuk senyawa organik yaitu
menentukan gugus fungsional yang dimiliki senyawa tersebut. Pola pada daerah sidik
jari sangat berbeda satu dengan yang lain, karenanya hal ini dapat digunakan untuk
mengidentifikasi senyawa tersebut. Penetapan secara kualitatif dapat dilakukan
dengan membandingkan tinggi peak (transmitansi) pada panjang gelombang tertentu
yang dihasilkan oleh zat yang diuji dan zat yang standar. Dalam ilmu material, analisa
ini digunakan untuk mengetahui ada tidaknya reaksi atau interaksi antara bahan -
bahan yang dicampurkan. Selain itu, nilai intensitas gugus yang terdeteksi dapat
menentukan jumlah bahan yang bereaksi atau yang terkandung dalam suatu campuran
(Antonius Sitorus, 2009).
2.5.4 Pengujian Scanning Electron Microscopy (SEM)
SEM adalah alat yang dapat membentuk bayangan permukaan spesimen
secara makroskopik. Berkas elektron dengan diameter 5-10 nm diarahkan pada
spesimen. Interaksi berkas elektron dengan spesimen menghasilkan beberapa
fenomena yaitu hamburan balik berkas elektron, sinar X, elektron sekunder dan
absorpsi elektron.
Teknik SEM pada hakekatnya merupakan pemeriksaan dan analisa
permukaan. Data atau tampilan yang diperoleh adalah data dari permukaan atau dari
lapisan yang tebalnya sekitar 20 µm dari permukaan. Gambar permukaan yang
diperoleh merupakan tofografi dengan segala tonjolan, lekukan dan lubang pada
permukaan. Gambar tofografi diperoleh dari penangkapan elektron sekunder yang
dipancarkan oleh spesimen. Sinyal elektron sekunder yang dihasilkan ditangkap oleh
detektor yang diteruskan ke monitor. Pada monitor akan diperoleh gambar yang khas
Universitas Sumatera Utara
menggambarkan struktur permukaan spesimen. Selanjutnya gambar di monitor dapat
dipotret dengan menggunakan film hitam putih atau dapat pula direkam ke dalam
suatu disket.
Sampel yang dianalisa dengan teknik ini harus mempunyai permukaan dengan
konduktivitas tinggi. Karena polimer mempunyai kondiktivitas rendah maka bahan
perlu dilapisi dengan bahan konduktor (bahan pengantar) yang tipis. Bahan yang
biasa digunakan adalah perak, tetapi juga dianalisa dalam waktu yang lama, lebih
baik digunakan emas atas campuran emas dan palladium (Rusdi Rafli, 2008).
2.5.5 Uji Serapan Air (Water Absorption)
Pengujian serapan air didefinisikan: (1) Jumlah air yang diserap oleh material
komposit ketika direndam dalam air untuk jangka waktu ditetapkan. (2) Rasio berat
air yang diserap oleh material, dengan berat bahan kering. Semua bahan polimer
organik akan menyerap air sampai batas tertentu yang mengakibatkan
pembengkakan, melarutkan, pencucian, plastisizing dan / atau hidrolisis, peristiwa
yang dapat menyebabkan perubahan warna, kehilangan sifat mekanik dan listrik,
resistensi yang lebih rendah terhadap panas dan cuaca dan tekanan yang
menakibatkan keretakan (http://composite.about.com/library/glossary/w/bldef-
w6012.htm, diunduh 5mei 2011).
Penyerapan air digunakan untuk menentukan jumlah air yang diserap dalam
kondisi tertentu. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan air meliputi:
1. Jenis plastik
2. Aditif yang digunakan
3. Temperatur dan lamanya paparan.
Penyerapan air dinyatakan sebagai peningkatan persen berat. Rumusnya
adalah sebagai berikut :
Persen Penyerapan air = [(Basah berat - berat kering) / berat kering] x 100
(http://www.plastribution.co.uk/, diunduh April 2011).
Universitas Sumatera Utara
2.5.6 Pengujian Sifat Biodegradabilitas
Beberapa simulasi di laboratorium digunakan untuk mengukur biodegradasi.
Degradasi dilakukan di kompos, tanah atau air laut, dalam sebuah reaktor terkontrol.
Walaupun lingkungannya sangat berbeda dengan kondisi uji di lapangan, parameter
eksternal (temperatur, pH, kelembaban, dll) dapat dikontrol dan ditentukan, dan
peralatan analitik dapat difungsikan lebih baik (misalnya analisis residu dan
intermediat, penentuan evaluasi CO2 atau konsumsi O2). Untuk mengurangi waktu
pengujian penambahan nutrisi dapat meningkatkan aktivitas mikroba dan
mempercepat degradasi (Pagga, 1998)
Prosedur analitik untuk mengamati biodegradasi antara lain dengan :
pengamatan visual, perubahan sifat mekanik dan massa molar, pengukuran
pengurangan berat (penentuan polimer residu), konsumsi O2/ perubahan CO2,
penentuan biogas, pelabelan radio aktif, pembentukan daerah nyata (pada cawan
agar), pengukuran DOC, penurunan densitas optik, penurunan ukuran partikel, dan
penentuan asam bebas. Standarisasi uji biodegradasi terbagi berdasarkan lingkungan
uji yakni:
a. Pengujian kompos
b. Pengujian biodegradasi anaerobik
c. Pengujian biodegradasi di tanah
Metode skrining mikroorganisme dan zona terang (clear zone) diaplikasikan
untuk mengetahui penyebaran mikroorganisme pengurai polimer plastik dan
perbandingannya terhadap jumlah total mikroorganisme (Müller, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Top Related