BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Pembangunan ekonomi desa tidak terlepas dari adanya kesenjangan
pembangunan di pedesaan dan perkotaan. Sampai saat ini, pembangunan
ekonomi di pedesaan masih jauh dari harapan. Dari data Kementerian Negara
Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) tahun 2009 menyebutkan: Desa maju
berjumlah 38.232 desa (54,14 persen) yang terdiri dari Desa berkategori maju
sebanyak 36.793 desa (52,03 persen) dan Desa berkategori sangat maju sebanyak
1.493 desa (2,11 persen). Sementara, Desa tertinggal berjumlah 32.379 (45,86
persen) yang terdiri dari Desa kategori tertinggal sebanyak 29.634 desa (41,97
persen) dan Desa kategori sangat tertinggal sebanyak 2.745 desa (3,89 persen).
Dari data tersebut, menggambarkan masih banyak pedesaan di Indonesia
berkategori tertinggal. Pedesaan dengan ciri khas pertaniannya kurang mendapat
perhatian pemerintah pusat atau pun pemerintah daerah. Sektor pertanian di
pedesaan cenderung tidak memberikan penghidupan yang layak bagi para Petani.
Wilayah pedesaan di Indonesia secara mayoritas dihuni oleh para Petani yang
berpendapatan rendah. Tidak heran, bahwa saat ini pertanian di pedesaan banyak
ditinggalkan. Mereka lebih memilih mencari penghidupan di perkotaan. Padahal,
sumber daya yang ada di perkotaan terbatas, misalnya air, lahan, infrastruktur dan
lainnya. Di sisi lain, banyak wilayah pedesaan memiliki potensi yang besar dalam
1
2
sektor pertanian untuk dikembangkan. Sehingga, fenomena urbanisasi merupakan
suatu hal yang wajar ketika kondisi tersebut terjadi dihampir semua pedesaan di
Indonesia.
Ketimpangan pembangunan, antara pedesaan-perkotaan yang terjadi telah
diakui oleh pemerintah. Pemerintahan saat ini melalui Menteri Pembangunan
Daerah Tertinggal Helmy Faishal Zaini mengakui masih adanya disparitas atau
kesenjangan antar daerah di Indonesia. Karena itu, dalam rencana jangka panjang
pembangunan nasional kedua ini pemerintah akan lebih menekankan pada aspek
keadilan dan pemerataan. Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal
mengungkapkan, saat ini perbandingan jumlah penduduk yang tinggal di pedesaan
dan perkotaan hampir seimbang. Sekitar 42 persen penduduk Indonesia kini
tinggal di perkotaan. Jumlah tersebut melonjak tajam dibanding tahun 1980-an
yang hanya 20 persen, dan tahun 1990-an yang sekitar 30 persen. Pedesaan
selama ini memang banyak tertinggal dibanding perkotaan, terutama dari sisi
infrastruktur dan kesejahteraan masyarakat. (Kompas, 23/05/2010). Data yang
disampaikan oleh Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal, menunjukkan arus
urbanisasi yang begitu cepat.
Kondisi pertanian di Indonesia pada umumnya belum merupakan suatu
kegiatan yang integratif (budidaya, penanganan pasca panen, pengolahan dan
pemasaran). Sistem yang terpisah antara pedesaan-perkotaan semua aktivitas
ekonomi, informasi dan teknologi terpusat di perkotaan. Sehingga, masyarakat
pedesaan mengalami kesulitan dalam hal pemasaran dan pengolahan produk. Oleh
karena itu, diperlukan suatu keterkaitan fungsional yang menyatu antara hubungan
3
pedesaan dan kota dalam segala aspek khususnya pertanian. Potensi Sumber daya
alam dan sumber daya manusia khususnya daerah pedesaan belum dikelola dan
dikembangkan secara optimal. Karena, kurangnya peran serta lembaga-lembaga
ekonomi baik swasta maupun pemerintah dalam mengelola dan mengembangkan
sektor pertanian (Achmad Firman, 2007).
Dengan peran penting yang dimiliki sektor petanian bagi perekonomian
Indonesia, selayaknya pemerintah memberikan perhatian lebih untuk terus
membangun sektor pertanian. Menurut Kepala BPS Suryamin sektor pertanian
meiliki peranan strategis dan tak tergantikan dalam penyediaan bahan baku
produksi, pangan dan kelangsungan ekologis lingkungan. Tidak hanya itu, sektor
pertanian berperan penting juga dalam pembangunan ekonomi Indonesia dengan
kontribusi dalam PDB 2011 sebesar 14,7 persen, menempati posisi kedua setelah
sektor industri pengolahan dan dari 109,7 juta jiwa penduduk yang bekerja per
Agustus 2011 sebanyak 39,33 persen bekerja pada sektor pertanian (Kompas,
20/04/2012).
Unutuk mengatasi ketimpangan pembangunan antara pedesaan dan
perkotaan salah satu alternatifnya melalui pengembangan kawasan agropolitan.
Menurut Kementrian Pertanian, agropolitan (Agro=pertanian dan Politan=kota)
adalah kota pertanian yang tumbuh dan berkembang dan memacu
berkembangnnya sistem dan usaha agribisnis sehingga dapat melayani,
mendororng, menarik, menghela kegiatan pembangunan pertanian diwilyah
sekitarnya (http://www.deptan.go.id). Agropolitan cocok diterapakan di pedesaan
yang sebagian besar masyarakatnya hidup dari sektor pertanian.
4
Kabupaten Ciamis merupakan sebuah Kabupaten yang memiliki potensi
ekonomi yang besar di sektor pertanian. Selain sektor pariwisata, sektor pertanian
merupakan penyumbang andalan untuk Kabupaten Ciamis dalam pendapatan asli
daerah (PAD). Pembangunan ekonomi daerah di Kabupaten Ciamis layak untuk
lebih ditekankan pada sektor pertanian dengan dukungan sumber daya lokal
lainnya. Pembangunan ekonomi daerah dengan potensi yang ada telah ditetapkan
oleh Pemerintah Kabupaten Ciamis dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Ciamis tahun 2004-2019. Pengembangan
sektor pertanian ditujukan untuk menyejahterakan masyarakat dan memberikan
sumbangan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Ciamis. Salah
satu bentuk pembangunan sektor pertanian di Ciamis adalah dengan
mengembangkan kawasan agropolitan tepatnya di kawasan Ciamis Utara.
Pengembangan Kawasan Agropolitan di kawasan Ciamis Utara telah
dirintis sejak tahun 2007, dengan menetapkan beberapa kecamatan menjadi
Kawasan agropolitan yaitu melalui Surat Keputusan Bupati Ciamis Nomor
520/Kpts.511-Huk/2007 tentang Kawasan Agropolitan Kabupaten Ciamis.
Kawasan Pengembangan Agropolitan di Ciamis Utara mencakup 5 kecamatan,
yaitu: Kecamatan Panumbangan, Kecamatan Sukamantri, Kecamatan Panjalu,
Kecamatan Lumbung, dan Kecamatan Cihaurbeuti. Namun, pengembangannya
masih dibutuhkan keseriusan pemerintah. Pemerintah Kabupaten Ciamis sendiri,
mengakui kurangnya pemanfaatan potensi Ciamis Utara sebagaimana yang
disampaikan Kepala BAPPEDA Kabupaten Ciamis Tiwa Surkianto bahwa
Kabupaten Ciamis berada lokasi yang strategis karena terletak pada simpul jalan
5
nasional lintas Selatan Jawa Barat-Jawa Tengah, dan jalan provinsi antara Ciamis-
Cirebon-Jawa Tengah. Potensi Ciamis juga dalam bidang pertanian, peternakan
sehingga perlu upaya untuk menunjang dan mengembangkan kawasan tersebut.
Salah satunya adalah mengembangkan wilayah agropolitan, terutama untuk
sejumlah kecamatan di Ciamis utara seperti Kecamatan Panjalu, Sukamantri,
Kawali dan sekitarnya. Hanya saja kondisi tersebut diakuinya belum
dimanfaatkan secara maksimal (Pikiran Rakyat, 29/11/2009).
Dalam perkembangannya, pengembangan Kawasan Agropolitan di Ciamis
Utara telah dicantumkan dalam Rencana Induk Pengembangan Kawasan. Dimana
didalamnya terdapat Rencana Tata Ruang Kawasan Agropolitan dengan lima
Kecamatan sebagai wilayah pengembangan. Tetapi, keterlibatan masyarakat atau
petani dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Agropolitan terutama
menyangkut program-program prioritas pengembangan masih kurang. Padahal,
partisipasi masyarakat terhadap setiap program yang disusun berguna untuk
disesuaikan dengan kebutuhan atau persoalan yang dihadapi oleh masyarakat.
Tujuan dengan adanya keterlibatan masyarakat adalah efektifitas dan efisiensi dari
program-program tersebut. Sehingga, dapat langsung dirasakan dampaknya bagi
kehidupan masyarakat.
Pengelolaan Pengembangan Kawasan Agropolitan di Ciamis Utara
dipegang oleh beberapa Organisasi Perangkat Daerah (OPD) berbentuk kelompok
kerja (POKJA) pengembangan Kawasan Agropolitan. Tapi, pengelolaannya
masih belum optimal. Kurang optimalnya pengeloaan, berkaitan dengan
koordinasi antar instansi terkait dan persoalaan dana. Selain itu, belum
6
terbentuknya badan/lembaga khusus dalam hal ini adalah Badan Pengelolaan
Kawasan Agropolitan menambah persoalan. Padahal, Badan Pengelolaan
Kawasan Agroppolitan diperlukan disamping adanya kelompok kerja
pengembangan Kawasan Agropolitan. Menurut Ketua Forum Peduli Masyarakat
Ciamis Utara (FPMCU) Endang Sutrisna, meminta agar pembangunan di Ciamis
Utara lebih mendapatkan perhatian. Perhatian Pemerintah kabupaten Ciamis
dinilai masih kurang. Masyarakat Ciamis utara merasakan adanya ketimpangan
pembangunan jika dibandingkan daerah lainnya. Salah satunya menyangkut
infrastruktur jalan yang merupakan urat nadi perekonomian masyarakat. Dengan
percepatan pembangunan diharapkan akan mampu membuka serta
mengembangkan potensi Ciamis Utara. (Pikiran Rakyat, 28/10/2009).
Selanjutnya, dari segi sumber daya manusia, secara umum merupakan
masyarakat miskin yang memiliki mata pencaharian yang bergantung pada alam
dan kualitas sumber daya manusia yang rendah dikarenakan tingkat pendidikan
yang sebagian besar berpendidikan rendah. Dari segi kelembagaan yang ada
masih perlu ditingkatkan, terutama yang menyangkut kelembagaan agribisnis.
Sebetulnya, jika melihat kelembagaan berupa organisasi yang menjadi wadah
khususnya para petani (Poktan/Gapoktan) sudah terbentuk dengan jumlah yang
cukup banyak. Tapi, sayangnya sebagian dari kelompok tani tersebut kurang
memiliki peran yang besar dalam kegiatan pengembangan pertanian. Jika dikelola
dengan baik kelompok tersebut dapat memberikan posisi tawar yang lebih dalam
menyampaikan aspirasinya terhadap pemerintah. Artinya, peran kelompok tani
maupun Gabungan Kelompok Tani terhadap pengembangan kawasan agropolitan
7
belum terasa. Maka, tidak heran jika ada sebagian dari para petani enggan untuk
bergabung membentuk sebuah kelompok. Mereka masih memandang dengan
bergabungya mereka dengan suatu kelompok tani tidak memberikan manfaat yang
besar bagi dirinya. Kemudian, dilihat dari sisi jalinan kemitraan antara para petani
dan pihak ketiga khususnya masih belum terjalin secara optimal. Sebagian besar
dari para petani belum memiliki jalinan kerjasama dengan pihak lain (swasta).
Jalinan kemitraan yang baik dapat memberikan manfaat yang besar bagi petani
seperti dalam akses informasi pasar bagi penjualan produknya.
Selain itu, kondisi sarana dan prasarana yang menyangkut sistem
agribisnis dan sistem penunjang lainnya belum memadai. Misalnya saja, Sub
Terminal Agribisnis yang berada di Kecamatan Panumbangan sebagai pusat
Agropolitan kondisinya membutuhkan perhatian pemerintah. Kondisi Sub
Terminal Agribisnis menurut salah satu warga yang tinggal di sekitarnya belum
beroperasi secara optimal bahkan tidak ada aktifitas yang berarti sejak dibangun
oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat tahun 2004. Sub Terminal Agribisnis (STA)
ditujukan untuk aktifitas pelayanan agribisnis bagi para petani untuk memberikan
nilai tambah bagi produk yang dihasilkan. Karena itu, dibutuhkan keseriusan
Pemerintah Kabupaten Ciamis dalam penyediaan prasarana dan sarana yang
mendukung pengembangan Kawasan Agropolitan di Ciamis Utara.
Berdasarkan latar belakang tersebut, pengembangan Kawasan Agropolitan
di Ciamis Utara bukan hanya penetapan lokasi maupun penyususnan Tata Ruang
Kawasan saja, yang terpenting adalah bagaimanan penguatan sumber daya
manusia, kelembagaan, dan prasarana dan sarana yang memadai guna mendukung
8
pengembangan kawasan Agropolitan. Oleh sebab itu, Peneliti tertarik untuk
meneliti lebih lanjut mengenai bagaimana pengembangan kawasan Agropolitan
oleh pemerintah Kabupaten Ciamis di Ciamis Utara dan menyusunnya dalam
bentuk skripsi dengan judul :
”Pengembangan Kawasan Agropolitan Di Ciamis Utara Kabupaten Ciamis”
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, maka peneliti merumuskan
identifikasi masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengembangan Kawasan Agropolitan di Ciamis Utara
oleh Pemerintah Kabupaten Ciamis dilihat dari segi penetapan
lokasi Pengembangan Kawasan Agopolitan?
2. Bagaimana pengembangan Kawasan Agropolitan di Ciamis Utara
oleh Pemerintah Kabupaten Ciamis dilihat dari segi peyusunan
Rencana Tata Ruang Pengembangan Kawasan Agropolitan?
3. Bagaimana pengembangan Kawasan Agropolitan di Ciamis Utara
oleh Pemerintah Kabupaten Ciamis dilihat dari segi pembentukan
organisasi pengelola Kawasan Agropolitan?
4. Bagaimana Pengembangan Kawasan Agropolitan di Ciamis Utara
oleh Pemerintah Kabupaten Ciamis dilihat dari segi penguatan
SDM dan kelembagaan?
9
5. Bagaimana pengembangan Kawasan Agropolitan di Ciamis Utara
oleh Pemerintah Kabupaten Ciamis dilihat dari segi pembangunan
prasarana dan sarana?
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, penelitian ini bermaksud untuk
mengetahui bagaimana pengembangan Kawasan Agropolitan di Ciamis Utara
yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Ciamis.
Tujuan dari penelitian ini antara lain adalah:
1. Untuk mendeskripsikan pengembangan Agropolitan di Ciamis
Utara oleh pemerintah kabupaten Ciamis dilihat dari penetapan
lokasi Pengembangan Kawasan Agopolitan.
2. Untuk mendeskripsikan pengembangan kawasan Agropolitan di
Ciamis Utara oleh pemerintah kabupaten Ciamis dilihat dari
peyusunan Rencana Tata Ruang Pengembangan Kawasan
Agropolitan.
3. Untuk mendeskripsikan pengembangan kawasan Agropolitan di
Ciamis Utara oleh pemerintah kabupaten Ciamis dilihat dari
pembentukkan organisasi pengelola Kawasan Agropolitan.
4. Untuk mendeskripsikan pengembangan kawasan Agropolitan di
Ciamis Utara oleh pemerintah kabupaten Ciamis dilihat dari
penguatan SDM dan kelembagaan.
5. Untuk mendeskripsikan pengembangan kawasan Agropolitan di
Ciamis Utara oleh Pemerintah Kabupaten Ciamis dilihat dari
10
pembangunan prasarana dan sarana.
1.4 Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi
pengembangan ilmu pemerintahan, khususnya di bidang pengembangan
Kawasan guna menggerakkan perekonomian masyarakat di daerah.
2. Kegunaan Praktis
a. Bagi Aparatur pemerintahan
Diharapkan dapat memberi masukan tindakan yang dapat
dilakukan pemerintah berkaitan dengan pengembangan wilayah
dalam rangka mengembangkan kawasan Agropolitan di daerahnya.
b. Bagi peneliti
Penelitian ini merupakan sarana untuk mengembangkan
pemahaman peneliti tentang Ilmu Pemerintahan, khususnya
berkaitan Upaya Pemerintah Daerah dalam mengembangkan
kawasan Agropolitan.
c. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi masyarakat untuk
lebih kritis terhadap tindakan yang dilakukan pemerintah dalam
membangun perekonomian masyarakat.
11
1.5 Kerangka Pemikiran
Sebelum masuk dalam pembahasan pengembangan kawasan agropolitan
yang menjadi fokus peneliti. Terlebih dahulu dibahas mengenai fungsi yang
dimiliki oleh pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan. Otonomi daerah
merupakan konsekuensi diberlakukannya Asas Desentralisasi di era reformasi.
Otonomi daerah merupakan hak yang dilimpahkan kepada daerah untuk mengurus
urusannya sendiri selain lima urusan sebagaimana yang tertuang dalam Undang-
undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Keleluasaan yang
diberikan dengan adanya otonomi daerah sebagai akibat dari Desentralisasi
berkaitan dengan fungsi pemerintahan. Fungsi yang dimiliki pemerintah
hendaknya dapat dijalankan dengan sungguh-sungguh dalam rangka mengatasi
setiap permasalahan yang terjadi. Fungsi yang melekat pada pemerintah sangat
penting guna menciptakan masyarakat kedalam kondisi yang sejahtera. Rasyid
(2000:59) berpendapat bahwa fungsi pemerintahan meliputi : fungsi pengaturan,
fungsi pelayanan, fungsi pemberdayaan, dan fungsi pembangunan. Lebih lanjut,
Rasyid menjelaskan fungsi-fungsi pemerintahan tersebut yaitu:
“Pelaksanaan fungsi pengaturan, yang lazim dikenal sebagai fungsi regulasi dengan bentuknya, dimaksudkan sebagai usaha untuk menciptakan kondisi yang tepat sehingga kondusif bagi berlangsungya berbagai aktivitas, selain terciptanya tatanan sosial yang baik di berbagai kehidupan masyarakat. fungsi pelayanan akan membuahkan keadilan masyarakat. pemberdayaan akan mendorong kemandirian masyarakat dan pembangunan akan menciptakan kemakmuran dalam masyarakat” (dalam Labolo, 2010:36-37).
Otonomi Daerah yang memberikan keleluasaan kepada setiap Pemerintah
Daerah dalam mengurus urusannya, selayak dapat dimanfaatkan untuk
12
membangun perekonomian rakyatnya. Fungsi pembangunan merupakan salah satu
fungsi Pemerintahan di daerah yang menjadi urusan wajib. Pembangunan
merupakan hal penting guna menyejahterakan masyarakat di daerah. Fenomena
ketimpangan antara wilayah pedesaan dan perkotaan yang melahirkan
Urbanisasi,harus menjadi perhatian Pemerintah Daerah. Pembangunan ekonomi di
pedesaan yang masih jauh tertinggal perlu mendapat perhatian serius.
Pengembangan Kawasan Agropolitan merupakan salah satu alternatif dalam
menanggulangi persoalan tersebut. Pengembangan Kawasan Agropolitan
merupakan salah satu bentuk dari pembangunan, dimana pengembangan kawasan
Agropolitan merupakan pendekataan pengembangan wilayah yang didalamnya
terdapat kegiatan agribisnis.
Mulyanto memberikan pendapatanya mengenai pengembangan wilayah
dan mengenai kawasan sebagai berikut:
“Pengembangan wilayah adalah seluruh tindakan yang dilakukan dalam rangka memenfaatkan potensi wilayah yang ada, unutk mendapatkan kondisi-kondisi dan tatanan kehidupan yang lebih baik bagi kepentingan masyarakat disitu khususnya. Dan dalam skala nasional
“Kawasan adalah bagian dari suatu wilayah yang khusus disediakan/dikembangkan untuk suatu keperluan tertentu misalnya Kawasan Industri, Kawasan Pemukiman, Kawasan Perdagangan, Kawasan dan lainnya”(Mulyanto, 2008:1).
Jika pengembangan dilihat sebagai proses pengembangan merupakan
sebuah proses yang dikelola dari atas, terencana, sistematis, terus-menerus, dan
menyeluruh. Dalam pengembangan selalu terdapat unsur potensi (sesuatu yang
sudah ada), proses (dikelola dari atas, terencana, sistematis, terus-menerus,
menyeluruh), dan tujuan (meningkatkan, memajukan, memperbaiki). Selain itu
13
terdapat unsur lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu organisasi atau lembaga
sebagai pelaku pengembangan tersebut (Indrawijaya, 2000 : 38).
Jadi, pengembangan kawasan merupakan bagian dari pengembangan suatu
wilayah. Kawasan merupakan bagian dari wilayah yang dikhususkan untuk tujuan
tertentu. Pengembangan kawasan merupakan proses yang bertahap, terdapat
tujuan yang ingin dicapai, dan pelaku dari pengembangan itu sendiri.
Berkaitan dengan pengembangan kawasan agropolitan, maka dalam
melakukan pengembangannya, diperlukan adanya tahapan dalam pelaksanaannya.
Adapun, tahapan-tahapan dalam pengembangan Kawasan Agropolitan adalah
sebagai berikut:
1. Tahap penetapan lokasi kawasan Agropolitan;
2. Tahap penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Agropolitan;
3. Tahap pembentukan organisasi pengelola Kawasan Agropolitan;
4. Tahap penguatan sumber daya manusia dan kelembagaan;
5. Tahap pembangunan prasarana dan sarana.
(Rustiadi & Pranoto, 2007:99-100).
Selanjutnya tahapan-tahapan tersebut, dijelaskan Rustiadi & Pranoto
bahwa dalam tahap penentuan lokasi Kawasan Agropolitan, menjadi tanggung
jawab pemerintah setempat:
“Tahap penentuan lokasi kawasan Agropolitan dilakukan oleh Bupati terkait berdasarkan pada kriteria penentuan lokasi Kawasan Agropolitan. Penetuan tersebut menjadi tanggung jawab Pemerintah Kabupaten setempat sesuai dengan pedoman umum yang ada”( Rustiadi dan Pranoto, 2007:100).
14
Sementara, penentuan kawasan pengembangan agropolitan didasarkan atas
kriteria-kriteria sebagai berikut:
1. Memiliki komoditas dan produk olahan pertanian unggulan. Komoditas dan produk olahan pertanian unggulan menjadi salah satu persyaratan penting bila akan mengembangkan kawasan Agropolitan. Komoditas pertanian unggulan yang dimaksud seperti tanaman pangan (jagung,padi), hortikultura (sayur-mayur, bunga, buah-buahan), perkebunan (kakao, sawit, kopi), perikanan darat/laut(udang berbagai jenis ikan), dan peternakan (sapi,babi);
2. Memiliki daya dukung dan potensi fisik yang baik. Daya dukung lahan untuk pengembangan agropolitan harus sesuai syarat dengan jenis komoditas unggulan yang akan dikembangkan meliputi antaralain; kemiringan lahan, ketinggian, kesuburan lahan, dan kesesuaian lahan;
3. Luas kawasan dan jumlah penduduk yang memadai. Untuk memperoleh hasil produksi yang dapat memenuhi kebutuhan pasar serta berkelanjutan perlu luas lahan yang memadai dalam mencapai skala ekonomi (economic scale) dan cakupan ekonomi (economic scope);
4. Tersedianya dukungan prasarana dan sarana. Tersedianya prasarana dan sarana pemukiman dan produksi yang memadai untuk mendukung kelancaran usha tani dan pemasaran hasil produksi. Prasarana dan sarana tersebut antara lain adalah jalan poros desa, pasar, irigasi, terminal, listrik dan lain sebagainya. (Rustiadi & Pranoto, 2007:115-116).
Tahap penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Agropolitan, perlu
keterlibatan langsung masyarakat sekitar untuk ikut serta dalam penentuan
program-program prioritas untuk pengembangan kawasan agropolitan:
“… penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Agropolitan yang berisikan indikasi program utama yang menjadi prioritas pembangunan. Didalam penentuan program-program yang menjadi prioritas tersebut dilakukan melalui rempug Desa atau Focus Group Discussion (FGD) dan merupakan kesepakatan bersama antara pemerintah dan masyarakat” (Rustiadi & Pranoto, 2007:100).
Kemudian, Rencana Tata Ruang Kawasan Agropolitan yang disusun
didalamnya memuat hal-hal sebagai berikut:
1. Tujuan kebijakan, dan strategi penataan ruang kawasan agropolitan;
15
2. Rencana struktur ruang kawasan agropolitan yang meliputi sistem pusat kegiatan dan sistem jaringan prasarna kawsan agropolitan;
3. Rencana pola ruang kawsan agropolitan yang meliputi kawasan lindung dan kawasan budidaya;
4. Arahan pemanfaatan ruang kawasan agropolitan yang berisi indikasi program utama yang bersifat interdependen antar desa, dan;
5. Ketentuang pengendalian pemanfaatan ruang kawasan argopolitan yang berisi arahan peraturan zonasi kawasan agropolitan, arahan ketentuan perizinan, arahan ketentuan insentif dan disentif, serta arahan sanksi.
(Rustiadi & Pranoto, 2007:129).
Tahap selanjutnya dari pengembangan kawasan Agropolitan adalah
pembentukan organisasi atau badan pengelolaan kawasan Agropolitan. Menurut
Kementrian Pertanian (2003) bahwa perlu dibentuk Badan/Unit Pengelola
Kawasan Agropolitan disamping Kelompok Keja (POKJA). Badan/unit ini
dibentuk oleh Bupati untuk kabupaten. Dengan payung hukumnya adalah perturan
daerah atau untuk sementara ditetapkan melalui Surat Keputusan Bupati dan
dikelola oleh tenaga profesional.
Tahapan penguatan sumber daya manusia dilakukan dengan serangkaian
kegiatan berupa pengembangan kualitas sumber daya manusia dalam hal ini para
petani di lokasi kawasan Agropolitan. Iwan Nugroho dalam tulisannya berjudul
Agropolitan : suatu kerangka berpikir baru alam srategi pembangunan nasional
mengatakan “upaya pengembangan sumber daya manusia mencakup pendidikan,
pemberian pelatihan dan peningkatan motivasi pelaku ekonomi”. Dari sisi
kelembagaan, diperlukan kelembagaan yang mendukung berkembangnya kawasan
agropolitan seperti adanya organisasi petani, organisasi produsen agribisnis dan
lain-lain” (Rustiadi & Pranoto, 2007:95). Dalam tahap ini, didalamnya termuat
juga mengenai kemitraan. Kemitraaan yang terjalin dalam pengembangan
16
kawasan agropolitan terdiri dari Pemerintah, Masyarakat, dan pihak Swasta.
Kemitraan yang terjalin meliputi : kemitraan permodalan, produksi, pengolahan,
pemasaran:
“Kemitraan harus melibatkan pihak masyarakat, sektor swasta, dan pemerintah. Kemitraan menuntut dukungan institusi kemitraan gabungan semua stakeholders terkait refleksi dari kebersamaan public-private-partnership.
… Pola kemitraan semacam itu (kemitraan permodalan, produksi, pengolahan, pemasaran) akan menjamin terhindarnya eksploitasi pelaku usaha tani ditingkat perdesaan oleh pelaku usaha lain di satu pihak, dan memungkinkan terjadinya nilai tambah yang bisa dinikmati pelaku usaha tani. Ini akan menjamin peningkatan pendapatan”(Rustiadi & Pranoto 2007:102-103)
Pembangunan prasarana dan sarana dalam pengembangan Kawasan
Agropolitan tidak hanya meliputi pengolahan dan pemasaran saja (sistem
agribisnis). Tetapi, prasarana dan sarana lainnya sebagai pendukung usaha
agribisnis. Selain itu, perlu adanya keterlibatan masyarakat untuk berpartispasi
dalam pembangunan prasarana dan saran tersebut. Seperti yang disampaikan
Rustiadi & Pranoto:
“… prasarana dan sarana yang memadai untuk mendukung pengembangan sistem dan usaha agribisnis seperti jalan, sarana, irigasi, air bersih, pasar, terminal, jaringan telekomunikasi, listrik, pusat informasi pengembangan agribisnis, fasilitas umum, dan fasilitas sosial.
tahap berikutnya adalah pembanguanan prasarana dan sarana pendukung pengolahan dan pemasaran produk. Dalam pelaksanaannya dilibatkan masyrakat sebanyak mungkin sesuai dengan tingkat kemampuan masyrakat seperti antara lain ikut mengawasai pelaksanaan pembangunan, bantuan memepringan biaya pemebebasan tanah untuk pelebaran jalan desa, gotong royong penegrasan jalan”(Rustiadi & Pranoto,2007:95-100).
17
Dengan demikian, pengembangan Kawsan Agropolitan merupakan sebuah
proses yang memerlukan tahapan-tahapan dalam pelaksanannya. Penelitian ini
berfokus pada bagaimana Pemerintah Kabupaten Ciamis mengembangkan
Kawasan Agropolitan di Ciami Utara yang meliputi lima (5) Kecamatan tersebut.
Dimulai dari tahap pemilihan atau penentuan wilayah yang akan menjadi sebuah
Kawasan Agropolitan hingga pembangunan prasarana dan sarana. Keterlibatan
aktif baik dari pemerintah daerah maupun masyarakat sangat diperlukan untuk
pencapaian tujuan yang ttelah ditetapkan.
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, peneliti merumuskan anggapan
dasar sebagai berikut:
1. Pembangunan merupakan fungsi pemerintahan dalam upaya
mengembangkan perekonomian masyarakat di suatu wilayah salah
satunya dengan pengembangan Kawasan Agropolitan.
2. Pengembangan Kawasan Agropolitan merupakan proses pembangunan
pertanian yang bertahap, dimulai dari tahap penetapan lokasi
pengembangan kawasan Agropolitan, Penyusunan Rencana Tata Ruang
Kawasan Agropolitan, pembentukan organisasi pengelolaan kawasan
Agropolitan, penguatan SDM, kelembagaan, dan pembangunan prasarana
dan sarana.
Berdasarakan uaraian di atas, peneliti menggambarkan kerangka
pemikiran dalam model kerangka berpikir sebagai berikut:
Fungsi Pemerintahan(Fungsi Pembangunan)
Pengembangan Wilayah(Pengembangan Kawasan
Agropolitan)
Tahap penentuan lokasi Kawasan Agropolitan.Tahap penyususnan Rencana Tata Ruang Kawasan Agropolitan.Tahap pembentukan organisasi pengelola Kawasan Agropolitan.Tahap penguatan SDM dan kelembagaan Tahap pembangunan prasarana dan sarana.(Rustiadi & Pranoto)
18
Gambar 1.1 Model Kerangka Berpikir
1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian yang bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif.
Pendekatan kualitatif lebih menekankan proses dalam memahami suatu gejala,
dalam hal ini mengenai pengembangan Kawasan Agropolitan di Ciamis Utara.
19
Deskriptif, mencoba untuk menggambarkan bagaimana pengembangan Kawasan
Agropolitan di Ciamis Utara yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Ciamis.
Bogdan dan Taylor berpendapat bahwa penelitian kualitatif adalah “sebagai
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis
atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati” (dalam Moleong,
2004:3). Sedangkan menurut Kirk dan Miller penelitian kualitatif adalah:
“Penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya” (dalam Moleong, 2004 : 3).
Pendapat lain, menurut Moleong penelitian kualitatif adalah:
“Suatu penelitian dimana data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Hal ini disebabkan adanya penerapan metode penelitian kualitatif. Dengan demikian laporan penelitian akan berisi kutipan data-data untuk memberikan gambaran penyajian laporan tersebut. Data tersebut mungkin berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, foto, video tape, dokumen pribadi, catatan atau memo, dan dokumen resmi lainnya” (Moleong, 2004:6)
Jadi, penelitian ini lebih menekan bagaimana pengembangan kawasan
agropolitan di Ciamis Utara Kabupaten Ciamis. Data-data diperoleh melalui studi
literatur, observasi, wawancara dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan
pengembangan kawasan agropolitan di Ciamis Utara. Observasi dilakukan
terhadap wilayah pengembangan kawasan agropolitan, yaitu Ciamis Utara.
Wawancara dalam penelitian ini ditujukan kepada Pemerintah Kabupaten Ciamis
yang diwakili oleh Kepala BAPPEDA Kabupaten Ciamis dan masyarakat Ciamis
Utara melalui Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) tiap masing-masing
kecamatan di Ciamis Utara. Kemudian, untuk melengkapi data-data yang
20
diperoleh, peneliti melengkapinnya dengan dokumen-dokumen yang berkaitan
dengan pengembangan kawasan agropolitan di Ciamis Utara. Dokumen-dokumen
tersebut diantaranya Surat Keputusan Bupati Ciamis tentang Kawasan
Agropolitan, Surat Keputusan Bupati Ciamis tentang Kelompok Kerja (POKJA)
Pengembangan Kawasan Agropolitan, Rencana Induk Pengembangan (RIP)
Agropolitan dan dokumen lainnya. Selanjutnya, data-data yang telah diperoleh
tersebut, diolah dan disusun dalam sebuah laporan penelitian. Instrumen dalam
penelitian ini adalah peneliti sendiri. Karena, instrumen atau alat penelitian
kualitatif adalah peneliti itu sendiri (Sugiyono, 2009:59).
1.6.2 Teknik Penentuan Informan
Informan yang dipilih dalam penelitian ini adalah orang-orang yang
dianggap oleh peneliti memiliki pengetahuan yang cukup mengenai
pengembangan kawasan agropolitan di Ciamis Utara. Adapun, definisi informan
adalah sebagai berikut:
“Informan adalah orang-orang pada lokasi penelitian yang dimanfaatkan untuk memberi informasi tentang situasi dan kondisi pada lokasi penelitian. Jadi ia harus mengetahui banyak tentang latar belakang penelitian.Informan merupakan orang yang diamati dan memberikan data berupa kata-kata atua tindakan, serta mengetahi dan mengerti masalah yang sedang diteliti. Jadi ia harus banyak tentang latar belakang penelitian. Informan merupakan orang yang diamati dan memberikan data berupa kata-kata atau tindakan, serta mengetahui dan mengerti masalah yang diteliti.” (Moleong, 1994 : 90).
Narasumber atau informan dalam penelitian ini ditentukan secara
Purposive. Purposive adalah “menentukan sampel dengan pertimbangan tertentu
yang dipandang dapat memberikan data sampel dengan pertimbangan tertentu
21
yang dipandang dapat memberikan data secara maksimal” (Arikunto, 2006:16).
Pertimbangan informan dalam penelitian ini adalah orang yang dianggap p
mengetahui dan terlibat langsung dalam pengembangan kawasan agropolitan di
Ciamis Utara. Informan yang dipilih peneliti terdiri dari pihak Pemerintah
Kabupaten Ciamis melalui organisasi perangkat daerah terkait dan dari
masyarakat melalui Ketua Gabungan Kelompok Tani.
Adapun informan dalam penelitian pengembangan Kawasan Agropolitan
di Ciamis Utara yaitu:
Tabel 1.1 Tabel informan
Informan Informasi yang diharapkan Jumlah
Kepala BAPPEDA Kabupaten Ciamis
Informan memiliki pengetahuan terhadap pengembangan kawasan agropolitan di Ciamis Utara .
1 orang
Kepala Dinas Cipta Karya, Kebersihan dan Tata ruang
Informan memiliki pengetahuan dalam hal tata ruang, sarana dan prasarana di Kawasan pengembangan agropolitan di Ciamis Utara.
1 orang
Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan
Informan memiliki pengetahuan dalam hal produksi pertanian di Kawasan pengembangan agropolitan di Ciamis Utara.
1 orang
Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UMKM
Informan memiliki pengetahuan dalam hal kondisi penanganan pasca panen, pemasaran pertanian di Kawasan pengembangan agropolitan di Ciamis Utara.
1 orang
Kepala Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Masyarakat
Informan memiliki pengetahuan dalam hal pengembangan sumebr daya manusia di Kawasan pengembangan agropolitan
1 orang
22
Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan)
Informan memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam pengembangan kawasan agropolitan di Ciamis Utara.
5 orang
Sumber : Peneliti, 2012
1.6.3 Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Studi pustaka, yaitu pengumpulan data yang bersumber pada buku-
buku, literatur serta dokumentasi mengenai teori, konsep, serta kaidah
peraturan perundang-undangan yang memiliki relevansi dengan
pengembangan Kawasan Agropolitan.
2. Studi lapangan, yaitu dengan cara mengumpulkan data dan menyeleksi
data yang diperoleh dilokasi penelitian meliputi:
a. Observasi, yaitu teknik pengumpulan data dengan mengadakan
pengamatan langsung dan pencatatan gejala objek penelitian.
Yaitu, berkaitan dengan Pengembangan Kawasan Agropolitan di
Ciamis Utara.
b. Wawancara, yaitu teknik pengumpulan data dengan mengadakan
tanya jawab secara langsung dengan pihak-pihak yang
berhubungan dengan Pengembangan Kawasan Agropolitan di
Ciamis Utara yang dianggap dapat mewakili, yaitu Kepala
BAPPEDA Kabupaten Ciamis dan Ketua Gabungan Kelompok
23
Tani (Gapoktan) yang berjumlah lima orang. Metode wawancara
yang digunakan adalah wawancara mendalam.
c. Dokumentasi, yaitu pengumpulan data dengan menggunakan
fasilitas data sekunder yang berupa dokumen-dokumen. Dokumen
bisa berbentuk Surat Keputusan (SK) Bupati, Peraturan Daerah
(Perda), Rencana induk pengembangan kawasan dan dokumen
lainnya. Kaitannya dengan penelitian ini berarti dokumen-
dokumen yang berkaitan dengan pengembangan kawasan
Agropolitan di Ciamis Utara. Studi ini merupakan pelengkap dari
penggunaan metode observasi dan wawancara.
1.6.4 Teknik Analisis Data
Analisis data kualitatif adalah bersifat induktif, yakni berawal dari yang
bersifat khusus berupa kumpulan data ke yang bersifat umum berupa konsep.
Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki
lapangan sampai penulisan laporan penelitian. Nasution (1988) menyatakan
bahwa ”Analisis telah mulai sejak merumuskan dan menjelaskan masalah,
sebelum terjun kelapangaqn, dan berlangsung terus sampai penulisan hasil
penelitian” (dalam Sugiyono, 2009:89).
Pada teknik analisis data, peneliti menggunakan teknik analisis data dari
Miles dan Huberman. Analisis data terdiri dari tiga alur kegiatan yang secara
bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, serta penarikan kesimpulan atau
verifikasi.
24
1. Reduksi data adalah sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data ”kasar” yang
muncul dari catatan-catatan lapangan, dengan maksud menyisihkan data
atau informasi yang tidak relevan. Reduksi data dilakukan sejak
pengumpulan data.
2. Penyajian data adalah pendeskripsian sekumpulan informasi tersusun yang
memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan
tindakan. Penyajian data kualitatif disajikan dalam bentuk teks naratif.
3. Penarikan kesimpulan atau verifikasi merupakan kegiatan di akhir
penelitian kualitatif. Makna yang dirumuskan peneliti dari data harus diuji
kebenaran, kecocokan, dan kekokohannya.
1.6.5 Teknik Validasi Data
Untuk menguji keabsahan data yang diperoleh dari lapangan, dalam
penelitian ini peneliti menggunkan teknik triangulasi. Menurut Wiliam Wieserma
triangulasi adalah:
“Triangulation is qualitative cross-validation. It assesses the sufficiency of the data according to the convergence of multiple data sources or multiple data collection procedures. Triangulasi dalam pengujian kredibilitas ini diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara, dan berbagai waktu. Dengan demikian terdapat triangulasi sumber, triangulasi teknik pengumpulan data, dan waktu” (dalam Sugiyono 2009:125).
Dalam pengujian keabsahan data, Triangulasi diartikan sebagai
pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan berbagai waktu.
Pendapat lain mengemukakan bahwa triangulasi adalah: “teknik pemeriksaan
25
keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk
keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu”(Moleong
2002:178).
Adapun teknik triangulasi meliputi triangulasi sumber, triangulasi teknik,
dan triangulasi waktu, yaitu:
1. “Triangulasi SumberTriangulasi sumber untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data yang diperoleh melalui beberapa sumber.
2. Triangulasi TeknikTriangulasi tenik untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda.
3. Triangulasi WaktuWaktu sering mempengaruhi kredibilitas data. Data yang dikumpulkan dengan teknik wawancara di pagi hari pada saat nara sumber masih segar, belum banyak masalah, akan memberikan data yang lebih valid sehingga lebih kredibel. Bila hasil uji menghasilkan data yang berbeda, maka dilakukan secara berulang-ulang sehingga sampai ditemukan kepastian datanya”.
(Sugiyono, 2009:127-128).
Data yang diperoleh peneliti di lapangan perlu diuji keabsahan data
tersebut. Dengan triangulasi sumber, peneliti dapat melakukan pengecekan
kebenarannya dengan berbagai teknik pengumpulan data. Misalnya, dari hasil
wawancara dapat dicek kebenarannya dengan dokumen yang ada atau dengan
obervasi. Kemudian, setiap informan yang berbeda memungkinkan informasi
yang disampaikaan berbeda juga. Oleh sebab itu, untuk menjaga keabsahan data,
peneliti melakukan pengecekan pada masing-masing jawaban informan. Pada
penelitian ini, peneliti tidak menggunakan triangulasi waktu. Dikarenakan,
keterbatasan waktu informan untuk memberikan informasi yang diharapkan.
Sehingga, peneliti menyesuaikan waktu dengan masing-masing informan untuk
26
memperoleh informasi yang berkaitan dengan pengembangan Kawasan
Agropolitan di Ciamis Utara.
1.7 Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian dilaksanakan di Ciamis Utara dimana di wilayah tersebut
dikembangkan Agropolitan. Ciamis Utara meliputi lima kecamatan. Waktu yang
dibutuhkan dalam melakukan penelitian ini diperkirakan selama 11 bulan dimulai
dari bulan November 2011-September 2012. Adapun rincian kegiatan penelitian
ini sebagai berikut:
1.2 Waktu Kegiatan Penelitian
NO Kegiatan2011 2012
Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep
1. Studi Pustaka
2. Observasi Awal
3. Penyusunan UP
4. Seminar UP
5. Penelitian Lapangan
6. Pengumpulan Data
7. Pengolahan Data
27
8. Penyusunan Laporan
9. Seminar Draft
10. Sidang
DAFTAR PUSTAKA
28
Adisasmita, Rahardjo.2006 Pembangunan pedesaan dan perkotaan. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Antara Jawa Barat. 2011. Kabupaten ciamis kehilangan Rp8 miliar dari pangandaran. Dapat diakses pada: http://antarajawabarat.com/ lihat/berita/30061/lihat/kategori/94/Kesra (diakses 5 september 2011).
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktek). Jakarta : PT Rineka Cipta.
Bppsdmp, deptan. 2003. Gerakan pengembangan kawasan agropolitan. Dapat diakses pada : http://pustaka.pu.go.id/files/pdf/KT-gpka-00718-11112007 110047.pdf (diakses 26 Maret 2012).
Firman, Achmad. 2007. Agropolitan berbasis subsektor peternakan. Dapat diakses pada : http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/ uploads/2009/03/ agropolitan_berbasis_subsektor_peternakan.pdf. (diakses 20 Maret 2011).
Indrawijaya, Adam I. 2000. Perilaku Organisasi. Bandung : Sinar Baru Algesindo.
Kompas. 2010. Pemerintah akui kesenjangan pembangunan. Dapat diakses pada : http://nasional.kompas.com/read/2010/05/23/22265067/Pemerintah.Akui.Kesenjangan.Pembangunan (diakses 18 April 2011).
Kompas. 2012. BPS lakukan survei pertanian 2013. Dapat diakses pada : http://nasional.kompas.com/read/2012/04/03/04232695/BPS.Lakukan.Sensus.Pertanian.pada.2013 (diakses 20 April 2012)
Moleong, Lexy. 2004. Metode Penelitian Kualitati . Bandung : Rosda Karya.
Mulyanto, H.R. 2008. Prinsip-prinsip pengembangan wilayah. Yogyakarta:Graha Ilmu.
Nazir, M. 1998. Metode Penelitian. Jakarta: Bina Aksara.
Nugrorho, Iwan. Agropolitan : suatu kerangka berpikir baru dalam strategi pembangunan nasional. Dapat diakses pada: http://isjd.pdii.lipi.go.id/ admin/jurnal/51066475.pdf (diakses 27 Februari 2012).
Nurcholis, Hanif. 2007. Teori dan praktik pemerintahan dan otonomi daerah. Jakarta : PT. Grasindo.
Pikiran Rakyat. 2009. Ciamis utara minta lebih diperhatikan. Dapat diakses pada :http://www.pikiran-rakyat.com/node/102458?page=3 (diakses 28 september 2011).
Pikiran Rakyat. 2009. Lokasi ciamis strategis. Dapat diakses pada : http://www.pikiran-rakyat.com/node/91565 (diakses 28 september 2011).
29
Rustiadi Ernan dan Sugimin Pranoto. 2007. Agropolitan Membangun Ekonomi Perdesaan. Bogor : Crestpent Press
Rustiadi, Ernan., S.Sunsun., dan Dyah R.P. 2009. Perencanaan dan pengembangan wilayah. Jakarta : Crestpent dan Yayasan Obor Indonesia.
Sugiyono.2009. Statistika Untuk Penelitian. Bandung : CV Alfabeta.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-undang Republik Indonesia Noomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Top Related