ANALISIS KESENJANGAN ANTARKABUPATEN/KOTA DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
TAHUN 2007-2010
OLEH DWI WIDIANIS
H14114006
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
RINGKASAN
DWI WIDIANIS. Analisis Kesenjangan Antarkabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2007-2010 (dibimbing oleh IRFAN SYAUQI BEIK).
Kesenjangan pendapatan mengindikasikan tidak meratanya pembangunan terutama dalam bidang ekonomi di Indonesia. Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu provinsi yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang tidak diiringi pembangunan secara merata sehingga tidak bisa dinikmati oleh sebagian besar masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari angka kemiskinan yang menunjukkan Provinsi NTT merupakan provinsi yang menduduki peringkat kelima provinsi termiskin di Indonesia dengan penduduk lebih dari seperlimanya (23,03 persen) digolongkan sebagai penduduk miskin.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kesenjangan pendapatan antarkabupaten/kota dan kelompok kepulauan, menganalisis dampak kesenjangan antarkabupaten/kota terhadap kesejahteraan sosial yang hilang (social welfare loss) dan mengklasifikasikan kabupaten/kota menurut tingkat pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita di Provinsi NTT. Data yang digunakan adalah data sekunder dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang meliputi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku dan harga konstan tahun 2000, data jumlah penduduk provinsi dan kabupaten/kota, serta data-data pendukung lainnya. Periode pengamatan penelitian ini adalah tahun 2007-2010. Penelitian ini menggunakan metode analisis antara lain: analisis deskriptif, indeks Williamson, indeks Theil, indeks Atkinson dan tipologi Klassen.
Hasil penelitian menunjukkan tingkat kesenjangan antarkabupaten/kota di Provinsi NTT berada pada level sedang berdasarkan indeks Williamson yakni sebesar 0,4572. Kesenjangan antar kabupaten/kota lebih banyak disebabkan oleh kesenjangan dalam pulau (within) sebesar 0,04896 dibanding kesenjangan antarpulau (between) sebesar 0,03001 berdasarkan indeks Theil. Adapun indeks Atkinson menunjukkan peningkatan social welfare loss selama periode tahun 2007-2010. Tipologi Klassen menggambarkan kabupaten/kota paling banyak berada di kuadran keempat (daerah relatif tertinggal) antara lain: Kabupaten Timor Tengah Selatan, Alor, Lembata, Manggarai Barat, Sumba Tengah, Nagekeo, Manggarai Timur dan Sabu Raijua selama periode pengamatan.
ANALISIS KESENJANGAN ANTARKABUPATEN/KOTA DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
TAHUN 2007-2010
Oleh
DWI WIDIANIS H14114006
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Judul Skripsi : ANALISIS KESENJANGAN ANTARKABUPATEN/KOTA DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2007-2010
Nama : Dwi Widianis
NRP : H14114006
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Irfan Syauqi Beik, Ph.D. NIP. 19790422 200604 1 002
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dedi Budiman Hakim, Ph.D. NIP. 19641022 198903 1 003
Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-
BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU
LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, November 2011
Dwi Widianis H14114006
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Dwi Widianis merupakan buah hati tercinta dari pasangan Ramudji
dan Tonah, yang dilahirkan pada tanggal 20 Maret 1982 di kota Surabaya, Provinsi Jawa
Timur. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Penulis menamatkan pendidikan
sekolah dasar pada SDN Sidotopo Wetan IV No. 558 Surabaya dan lulus pada tahun 1995.
Pada tahun yang sama penulis melanjutkan ke SLTP Negeri 9 Surabaya dan lulus pada tahun
1998. Tiga tahun kemudian pada tahun 2001 penulis menamatkan pendidikan menengah
atas di SMU Negeri 9 Surabaya.
Tahun 2001 penulis mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pendidikan ikatan dinas
pada Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) di Jakarta dan empat tahun kemudian yaitu tahun
2005 menamatkan pendidikan Diploma IV dengan gelar Sarjana Sains Terapan (S.S.T.).
Pada tahun 2006 penulis diterima bekerja sebagai PNS di Badan Pusat Statistik Kabupaten
Manggarai, Provinsi NTT sebagai Staf Seksi Integrasi Pengolahan dan Diseminasi Statistik
(IPDS). Sekarang penulis sedang mengikuti Tugas Belajar melalui Program Alih Jenis S1
sebagai salah satu syarat melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana Mayor Ilmu Ekonomi
Institut Pertanian Bogor.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah ‘Azza Wajalla, Rabb semesta alam
yang senantiasa melimpahkan nikmat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Analisis Kesenjangan Antarkabupaten/kota di Provinsi Nusa
Tenggara Timur Tahun 2007-2010”. Skripsi ini diajukan untuk memenuhi tugas akhir
dan sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Institut Pertanian
Bogor serta sebagai salah satu syarat melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana Mayor
Ilmu Ekonomi IPB.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua
pihak atas dukungan spiritual, moral, materiil, tenaga dan pikiran khususnya kepada:
1. Dr. Rusman Heriawan, Kepala BPS yang telah membuka kesempatan bagi pegawai
BPS untuk meningkatkan kemampuan melalui program tugas belajar ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi.
2. Ir. Poltak Sutrisno Siahan, Kepala BPS Provinsi Nusa Tenggara Timur yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan sekolah di IPB.
3. Dedi Budiman Hakim, Ph.D., selaku Ketua Departemen Ilmu Ekonomi IPB.
4. Irfan Syauqi Beik, Ph.D., yang telah memberikan bimbingan dan arahan sampai dengan
selesainya penulisan skripsi ini.
5. Dr. Sri Mulatsih, selaku penguji yang telah memberikan evaluasi dan masukan yang
sangat berarti untuk penyempurnaan skripsi ini.
6. Istri (Tri Mulyani) dan anak-anakku (Naufal Shalih dan Farah Shalihah), atas doa dan
dukungannya.
7. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, saran dan kritik yang
membangun penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat
bagi penulis pribadi dan semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, November 2011
Dwi Widianis H14114006
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI .................................................................................................. viii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xii
I. PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2. Perumusan Masalah ........................................................................ 5
1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................ 6
1.4. Manfaat Penelitian .......................................................................... 6
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ............................................................... 7
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN..................... 8
2.1. Tinjauan Pustaka ............................................................................. 8
2.1.1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ........................... 8
2.1.2. Teori Pertumbuhan Ekonomi ............................................... 12
2.1.3. Teori Pembangunan Ekonomi .............................................. 13
2.1.4. Teori Kesenjangan ............................................................... 14
2.1.5. Tinjauan Penelitian Terdahulu ............................................. 16
2.2. Kerangka Pemikiran ........................................................................ 23
III. METODOLOGI PENELITIAN ............................................................... 25
3.1. Jenis dan Sumber Data .................................................................... 25
3.2. Metode Analisis .............................................................................. 25
3.2.1. Analisis Deskriptif ............................................................... 25
3.2.2. Analisis Kesenjangan........................................................... 27
3.2.3. Tipologi Klassen .................................................................. 33
IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI NTT ................................................. 35
4.1. Keadaan Geografis dan Administratif Provinsi NTT ....................... 35
4.2. Keadaan Ekonomi dan Sosial Provinsi NTT .................................... 36
4.2.1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ........................... 36
ix
4.2.2. PDRB Perkapita .................................................................. 38
4.2.3. Laju Pertumbuhan Ekonomi ................................................ 40
4.2.4. Struktur Ekonomi ................................................................ 42
4.2.5. Jumlah Penduduk.................................................................... 44
4.2.6. Keadaan Sosial......................................................................... 45
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 48
5.1. Analisis Kesenjangan ...................................................................... 48
5.1.1. Indeks Williamson ............................................................... 48
5.1.2. Indeks Theil ......................................................................... 50
5.1.3. Indeks Atkinson ................................................................... 53
5.2. Tipologi Klassen ............................................................................. 56
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 59
6.1. Kesimpulan ..................................................................................... 59
6.2. Saran............................................................................................... 60
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 62
LAMPIRAN ................................................................................................... 65
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1.1. Persentase Penduduk Miskin menurut Provinsi di Indonesia Tahun 2010 .................................................................................... 5
3.1. Daftar Data yang Digunakan dalam Penelitian ................................ 25
3.2. Klasifikasi menurut Tipologi Klassen ............................................. 34
4.1. PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 menurut Kabupaten/Kota di Provinsi NTT Tahun 2007-2010 (Miliar Rupiah) ........................ 37
4.2. PDRB per Kapita menurut Kabupaten/Kota di Provinsi NTT Tahun 2007-2010 (Juta Rupiah) ...................................................... 39
4.3. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi NTT Tahun 2007-2010 ........................................................................... 41
4.4. Struktur Ekonomi Provinsi NTT Tahun 2007-2010 ........................ 43
4.5. Persentase Penduduk Miskin di Provinsi NTT Tahun 2010 ............. 46
5.1. Indeks Williamson Provinsi NTT Tahun 2007-2010 ....................... 49
5.2. Indeks Theil Provinsi NTT Tahun 2007-2010 ................................. 51
5.3. Indeks Atkinson dan Persentase Pertumbuhan Provinsi NTT Tahun 2007-2010 ............................................................................ 53
5.4. Tipologi Klassen Kabupaten/Kota di Provinsi NTT Tahun 2007-2010 ............................................................................ 57
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
2.1. Kerangka Pemikiran Penelitian .......................................................... 24
5.1. Indeks Williamson Provinsi NTT Tahun 2007-2010 .......................... 49
5.2. Indeks Theil Provinsi NTT Tahun 2007-2010 .................................... 52
5.3. Tipologi Klassen Provinsi NTT Tahun 2007-2010 ............................. 56
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. PDRB ADHK 2000 Kabupaten/Kota di Provinsi NTT Tahun 2007-2010 (Ribuan Rupiah) .................................................... 64
2. PDRB per Kapita Kabupaten/Kota di Provinsi NTT Tahun 2007-2010 (Rupiah) ................................................................ 65
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Istilah pembangunan ekonomi bisa saja diartikan berbeda oleh satu orang
dengan orang lain, daerah yang satu dengan daerah yang lain, negara satu dengan
negara lain. Penting bagi kita untuk dapat memiliki definisi yang sama dalam
mengartikan pembangunan ekonomi. Secara tradisional, pembangunan ekonomi
memiliki arti peningkatan yang terus menerus pada Produk Domestik Bruto
(PDB) untuk suatu negara atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) untuk
provinsi dan kabupaten/kota.
Sebuah definisi alternatif pembangunan ekonomi yang lebih menekankan
pada peningkatan pendapatan per kapita (income per capita). Definisi ini
menekankan pada kemampuan suatu negara untuk meningkatkan output yang
dapat melebihi tingkat pertumbuhan penduduk. Definisi pembangunan tradisional
sering dikaitkan dengan sebuah strategi mengubah struktur suatu negara atau
sering kita kenal dengan industrialisasi. Kontribusi pertanian mulai digantikan
dengan kontribusi industri. Definisi yang cenderung melihat segi kuantitatif dari
pembangunan ini dipandang perlu melihat indikator-indikator sosial yang ada.
Paradigma pembangunan modern memandang suatu pola yang berbeda
dengan pembangunan ekonomi tradisional. Pertanyaan muncul dari benarkah
semua indikator ekonomi yang ada memberikan gambaran kemakmuran.
Beberapa ekonom modern mulai mengedepankan dethronement of GNP
2
(penurunan pentingnya pertumbuhan ekonomi), pengentasan kemiskinan,
pengurangan kesenjangan distribusi pendapatan dan penurunan tingkat
pengangguran. Pendapat para ekonom ini membawa perubahan dalam paradigma
pembangunan yang mulai menyoroti bahwa pembangunan harus dilihat sebagai
suatu proses yang multidimensional (Kuncoro, 2003).
Beberapa ahli menganjurkan bahwa pembangunan suatu daerah haruslah
mencakup tiga nilai inti (Todaro dan Smith, 2006):
1. Ketahanan (Sustenance): kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok
(pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan) untuk mempertahankan
hidup.
2. Harga diri (Self Esteem): pembangunan harus memanusiakan orang. Dalam
arti luas pembangunan suatu daerah harus meningkatkan kebanggaan
sebagai manusia yang berada di daerah itu.
3. Kebebasan diri (Freedom from servitude): kebebasan bagi setiap individu
untuk berpikir, berkembang, berperilaku dan berusaha untuk berpartisipasi
dalam pembangunan.
Pada akhir tahun 1960, banyak negara berkembang mulai menyadari bahwa
“pertumbuhan ekonomi” (economic growth) tidak identik dengan “pembangunan
ekonomi” (economic development). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi,
setidaknya melampaui negara-negara maju pada tahap awal pembangunan
mereka, memang dapat dicapai namun dibarengi dengan masalah-masalah seperti
pengangguran, kemiskinan di pedesaan, distribusi pendapatan yang timpang dan
ketidakseimbangan struktural (Sjahrir dalam Sjafrizal, 1986). Ini pula yang
3
memperkuat keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan syarat yang
diperlukan (necessary) tetapi tidak mencukupi (sufficient) bagi proses
pembangunan (Esmara dalam Sjafrizal, 1989). Pertumbuhan ekonomi hanya
mencatat peningkatan produksi barang dan jasa secara nasional, sedangkan
pembangunan berdimensi lebih luas dari sekedar peningkatan pertumbuhan
ekonomi. Dengan kata lain, pembangunan ekonomi tidak lagi mengedepankan
PDB atau PDRB sebagai sasaran pembangunan, namun lebih memusatkan
perhatian pada kualitas dari proses pembangunan.
Masalah kesenjangan antarwilayah ini menjadi perhatian utama di negara
berkembang yang sedang memacu pembangunan ekonomi. Hal ini karena adanya
kecenderungan bahwa kebijakan pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan
ekonomi telah menimbulkan semakin tingginya tingkat kesenjangan yang terjadi.
Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Kuznets dalam Todaro dan Smith
(2006) bahwa pada tahap pembangunan awal terdapat pertentangan antara
pertumbuhan dan pemerataan. Semakin tinggi usaha meningkatkan pertumbuhan
ekonomi, semakin memburuk pula tingkat kesejahteraan. Dengan kata lain, antara
pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan terjadi trade off, dimana
pertumbuhan ekonomi yang pesat akan meningkatkan kesenjangan pendapatan.
Seringkali dalam pembicaraan terkait kesenjangan antarwilayah mengacu
pada persoalan dikotomi Jawa dan luar Jawa. Sementara, sebenarnya di Jawa
bahkan luar Jawa sendiri pun masih terdapat kesenjangan antardaerah.
Kesenjangan di luar Jawa lebih bersumber pada potensi sumber daya alam yang
belum optimal dimanfaatkan untuk keperluan proses produksi dalam
4
menghasilkan output produksi serta sumber daya manusia yang belum mampu
mengolah secara efektif sumber daya alam pada wilayah domestik di luar Jawa.
Disparitas pembangunan antardaerah sebaiknya tidak hanya dilihat dari
wilayah Jawa dan luar Jawa atau kawasan barat dan kawasan timur. Perencanaan
pembangunan baik di tingkat nasional maupun regional harus memperhatikan
daerah (provinsi) secara parsial karena kita harus menyadari betapa beragamnya
potensi dan kemampuan daerah di Indonesia untuk berkembang dengan kekuatan
mereka sendiri. Salah satu provinsi di kawasan Indonesia Timur, yakni Nusa
Tenggara Timur (NTT) memiliki karakteristik dan keunikan tersendiri. Provinsi
kepulauan yang dihuni penduduk dengan etnik beragam ini lebih dari
seperlimanya (23,03 persen) digolongkan sebagai penduduk miskin (BPS, 2010).
Hal ini menjadikan Provinsi NTT menduduki peringkat kelima provinsi termiskin
dibandingkan provinsi lain di Indonesia pada tahun 2010 (lihat Tabel 1.1).
Tabel 1.1 Persentase Penduduk Miskin menurut Provinsi di Indonesia Tahun 2010 Provinsi Persentase Penduduk Miskin Peringkat
Papua 36,80 1 Papua Barat 34,88 2 Maluku 27,74 3 Gorontalo 23,19 4 NTT 23,03 5 NTB 21,55 6 Aceh 20,98 7 Lampung 18,94 8 Bengkulu 18,30 9 Sulteng 18,07 10 Indonesia 13,33
Sumber: BPS (diolah), 2010
Tabel 1.1 menggambarkan persentase penduduk miskin yang menduduki
peringkat 10 besar provinsi di Indonesia. Hal ini mengindikasikan adanya
5
kesenjangan antara Kawasan Indonesia Barat (KIB) dan Kawasan Indonesia
Timur (KIT). Dapat dijelaskan pula adanya pembangunan ekonomi yang belum
dirasakan secara adil dan merata oleh segenap lapisan masyarakat di KIT.
Permasalahan kesenjangan antarwilayah kabupaten/kota di Provinsi NTT
merupakan permasalahan serius yang harus dipandang sebagai tantangan yang
senantiasa membutuhkan pemecahan masalah yang menyentuh kepada
permasalahan sesungguhnya.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut dapat diuraikan berbagai permasalahan
sebagai berikut:
1. Bagaimana kesenjangan pendapatan kabupaten/kota dan kelompok
kepulauan di Provinsi NTT pada periode tahun 2007-2010?
2. Bagaimana dampak kesenjangan antarwilayah kabupaten/kota terhadap
kesejahteraan sosial yang hilang (social welfare loss) di Provinsi NTT pada
periode tahun 2007-2010?
3. Bagaimana klasifikasi kabupaten/kota di Provinsi NTT menurut tingkat
pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita pada periode tahun 2007-2010?
6
1.3 Tujuan Penelitian
Dengan memperhatikan rumusan permasalahan di atas, maka tujuan yang
ingin dicapai dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis kesenjangan pendapatan kabupaten/kota dan kelompok
kepulauan di Provinsi NTT pada periode tahun 2007-2010.
2. Menganalisis dampak kesenjangan antar wilayah kabupaten/kota terhadap
kesejahteraan sosial yang hilang (social welfare loss) di Provinsi NTT pada
periode tahun 2007-2010.
3. Mengetahui klasifikasi kabupaten/kota di Provinsi NTT menurut tingkat
pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita pada periode tahun 2007-2010.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang ingin dicapai dari hasil penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagi pemerintah dan instansi terkait: dapat memberikan bahan
pertimbangan dan masukan sebagai pengambil kebijakan dalam menyusun
rencana-rencana atau strategi pembangunan daerah dalam rangka
mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan suatu wilayah.
2. Bagi akademisi dan peneliti: dapat digunakan sebagai bahan referensi untuk
penelitian selanjutnya.
3. Bagi penulis: dapat mengembangkan dan menerapkan ilmu pengetahuan
mengenai ekonomi regional.
4. Bagi pembaca dan pemerhati: dapat memberikan informasi dan gambaran
mengenai kondisi kesenjangan antarkabupaten/kota di Provinsi NTT.
7
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini meneliti kesenjangan antarkabupaten/kota di Provinsi NTT
dengan menggunakan PDRB per kapita atas dasar harga konstan tahun 2000, laju
pertumbuhan PDRB, dan jumlah penduduk kabupaten/kota. PDRB atas dasar
harga konstan digunakan karena dapat melihat pergerakan kuantum produksi dan
tidak memasukkan unsur fluktuasi harga sehingga lebih baik bila digunakan untuk
melihat pertumbuhan ekonomi.
Periode analisis dalam penelitian ini adalah tahun 2007-2010. Periode
tersebut menunjukkan kondisi setelah pemekaran sehingga jumlah kabupaten/kota
sebanyak 21 kabupaten/kota di Provinsi NTT.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu
daerah pada periode tertentu adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB),
baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan. PDRB pada
dasarnya merupakan nilai tambah (value added) yang dihasilkan oleh seluruh unit
ekonomi. PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) menggambarkan nilai
tambah barang dan jasa yang dihitung dengan menggunakan harga yang berlaku
pada setiap tahun, sedang PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK)
menunjukkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung dengan harga yang
berlaku pada satu waktu tertentu sebagai tahun dasar (BPS, 2000).
Perkembangan PDRB ADHB dari tahun ke tahun menggambarkan
perkembangan yang disebabkan oleh adanya perubahan dalam volume produksi
barang dan jasa yang dihasilkan dan perubahan dalam tingkat harganya dan
menunjukkan pendapatan yang dapat dinikmati oleh penduduk suatu daerah serta
menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga
pada setiap tahun. PDRB ADHB ini digunakan untuk melihat struktur ekonomi
pada suatu tahun. Oleh karenanya untuk dapat mengukur perubahan volume
produksi atau perkembangan produktivitas secara nyata, faktor pengaruh atas
perubahan harga perlu dihilangkan dengan cara menghitung PDRB ADHK.
9
Penghitungan atas dasar harga konstan ini berguna antara lain dalam perencanaan
ekonomi, proyeksi dan untuk menilai pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan
maupun sektoral. PDRB menurut lapangan usaha atas dasar harga konstan apabila
dikaitkan dengan data mengenai tenaga kerja dan barang modal yang dipakai
dalam proses produksi, dapat memberikan gambaran tentang tingkat
produktivitas dan kapasitas produksi dari masing-masing lapangan usaha tersebut
Penghitungan PDRB ada tiga pendekatan yang dapat digunakan, antara
lain (BPS, 2000):
a. Pendekatan Produksi
PDRB adalah jumlah nilai tambah atas barang dan jasa yang dihasilkan
oleh berbagai unit produksi di wilayah tertentu pada periode tertentu (biasanya
satu tahun). Nilai tambah merupakan hasil pengurangan output dengan input
antara. Unit-unit produksi dikelompokkan menjadi 9 (sembilan) lapangan usaha
(sektor).
PDRB menurut lapangan usaha dikelompokkan dalam sembilan sektor:
1) Pertanian (tanaman bahan makanan, perkebunan, peternakan, kehutanan dan
perikanan)
2) Pertambangan dan Penggalian
3) Industri Pengolahan
4) Listrik, Gas dan Air Bersih
5) Konstruksi
6) Perdagangan, Hotel dan Restoran
7) Pengangkutan dan Komunikasi
10
8) Keuangan, Persewaan dan Jasa perusahaan
9) Jasa-jasa
Untuk tujuan penyederhanaan sembilan sektor tersebut dikelompokkan
dalam sektor primer, sekunder, dan tersier. Sektor primer terdiri atas sektor 1 dan
2 (pertanian; pertambangan dan penggalian), sektor sekunder terdiri atas sektor 3,
4 dan 5 (industri pengolahan; listrik, gas dan air bersih; konstruksi) sedangkan
sektor tersier terdiri dari sektor 6, 7, 8 dan 9 (perdagangan, hotel dan restoran;
pengangkutan dan komunikasi; keuangan, persewaan dan jasa perusahaan; dan
jasa-jasa).
b. Pendekatan Pendapatan
PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor
produksi yang ikut serta dalam proses produksi pada suatu daerah dalam jangka
waktu tertentu (biasanya satu tahun). Balas jasa faktor produksi tersebut adalah
upah dan gaji (balas jasa tenaga kerja), sewa tanah (balas jasa tanah), bunga modal
(balas jasa modal) dan keuntungan (balas jasa kewiraswastaan), semuanya
sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam definisi
ini, PDRB mencakup penyusutan dan pajak tak langsung neto (pajak tak langsung
dikurangi subsidi).
c. Pendekatan Pengeluaran
PDRB adalah jumlah semua komponen permintaan akhir yang terdiri dari:
(1) pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta nirlaba, (2)
konsumsi pemerintah, (3) pembentukan modal tetap domestik bruto, (4)
perubahan stok dan (5) ekspor neto (ekspor dikurangi impor). Dengan kata lain,
11
PDRB merupakan jumlah dari empat kelompok pengeluaran yaitu konsumsi,
investasi, pembelian pemerintah, dan ekspor neto (Mankiw, 2007). Jika dituliskan
ke dalam suatu formula, dimana PDRB disimbolkan dengan Y, maka
Y = C + I + G + NX (2.1)
− Konsumsi (C) terdiri barang dan jasa yang dibeli rumah tangga. Konsumsi
dibagi menjadi tiga subkelompok yaitu barang tidak tahan lama, barang tahan
lama, dan jasa.
− Investasi (I) terdiri dari barang-barang yang dibeli untuk penggunaan masa
depan.
− Pembelian pemerintah (G) adalah barang dan jasa yang dibeli oleh pemerintah
pusat, negara bagian, dan daerah. Kelompok ini meliputi peralatan militer,
jalan layang, dan jasa yang diberikan pegawai pemerintah.
− Ekspor neto (NX) memperhitungkan perdagangan dengan negara lain. Ekspor
neto adalah nilai barang dan jasa yang diekspor ke negara lain dikurangi nilai
barang dan jasa yang diimpor dari negara lain.
PDRB per kapita merupakan gambaran nilai tambah yang bisa diciptakan
oleh masing-masing penduduk akibat dari adanya aktivitas produksi. Nilai
PDRB per kapita didapatkan dari hasil bagi antara total PDRB dengan jumlah
penduduk pertengahan tahun. PDRB per kapita sering digunakan untuk
mengukur tingkat kemakmuran penduduk suatu daerah. Apabila data tersebut
disajikan secara berkala akan menunjukkan adanya perubahan kemakmuran.
Menurut Jhingan (2010), kenaikan pendapatan per kapita dapat tidak
menaikkan standar hidup riil masyarakat apabila pendapatan per kapita meningkat
12
akan tetapi konsumsi per kapita turun. Hal ini disebabkan kenaikan pendapatan
tersebut hanya dinikmati oleh beberapa orang kaya dan tidak oleh banyak orang
miskin. Di samping itu, rakyat mungkin meningkatkan tingkat tabungan mereka
atau bahkan pemerintah sendiri menghabiskan pendapatan yang meningkat itu
untuk keperluan militer atau keperluan lain.
2.1.2 Teori Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu ukuran kuantitatif yang
menggambarkan perkembangan suatu perekonomian dalam suatu tahun tertentu
apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Sukirno, 2007). Perkembangan
tersebut dinyatakan dalam bentuk persentase perubahan PDRB pada suatu tahun
dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Ada tiga komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi dari setiap bangsa
(Todaro dan Smith, 2006):
1). Akumulasi modal, yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru yang
ditanamkan pada tanah, peralatan fisik, dan modal atau sumber daya manusia.
2). Pertumbuhan penduduk yang pada tahun-tahun berikutnya akan
memperbanyak jumlah angkatan kerja.
3). Kemajuan teknologi.
Pertumbuhan ekonomi belum tentu melahirkan pembangunan ekonomi
dan peningkatan kesejahteraan (pendapatan) masyarakat. Hal tersebut disebabkan
karena bersamaan dengan terjadinya pertumbuhan ekonomi akan berlaku pula
pertambahan penduduk. Apabila tingkat pertumbuhan ekonomi selalu rendah dan
13
tidak melebihi tingkat pertambahan penduduk, pendapatan rata-rata masyarakat
(pendapatan per kapita) akan mengalami penurunan. Sedangkan apabila dalam
jangka panjang pertumbuhan ekonomi sama dengan pertambahan penduduk, maka
perekonomian negara tersebut tidak mengalami perkembangan (stagnan) dan
tingkat kemakmuran masyarakat tidak mengalami kemajuan. Dengan demikian,
salah satu syarat penting yang akan mewujudkan pembangunan ekonomi adalah
tingkat pertumbuhan ekonomi harus melebihi tingkat pertambahan penduduk
(Sukirno, 2007).
2.1.3 Teori Pembangunan Ekonomi
Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses multidimensional yang
mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktural sosial, sikap-sikap
masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi
pertumbuhan ekonomi, penanganan kesenjangan pendapatan, serta pengentasan
kemiskinan (Todaro dan Smith, 2006). Jadi, pembangunan ekonomi dan
pertumbuhan ekonomi adalah dua hal yang berbeda. Suatu negara dikatakan
mengalami pertumbuhan ekonomi jika di negara tersebut terdapat lebih banyak
output dibandingkan dengan kurun waktu sebelumnya, sedangkan suatu negara
dikatakan mengalami adanya pembangunan jika mengalami pertumbuhan
sekaligus juga terdapat perubahan dalam kelembagaan, pengetahuan, dan
pengurangan ketidakmerataan pendapatan. Jadi, pertumbuhan ekonomi adalah
bagian dari pembangunan ekonomi dimana pertumbuhan ekonomi adalah salah
satu tolak ukur keberhasilan pembangunan ekonomi.
14
2.1.4 Teori Kesenjangan
Kuncoro (2003) menyatakan bahwa kesenjangan mengacu pada standar
hidup relatif dari seluruh masyarakat. Kesenjangan antardaerah disebabkan karena
adanya perbedaan faktor anugerah awal. Perbedaan inilah yang menyebabkan
kemampuan suatu daerah dalam mendorong proses pembangunan di berbagai
wilayah berbeda-beda. Terjadinya kesenjangan antardaerah ini membawa
implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat antardaerah yang pada
akhirnya menyebabkan kesenjangan pendapatan. Karena itu, aspek kesenjangan
pembangunan antardaerah ini juga mempunyai implikasi terhadap formulasi
kebijakan wilayah yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
Menurut Emilia dan Imelia (2006), faktor-faktor penyebab kesenjangan
pembangunan ekonomi antara lain:
a. Konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah: ekonomi dari daerah dengan
konsentrasi tinggi cenderung tumbuh pesat dibandingkan dengan daerah yang
tingkat konsentrasi ekonomi rendah
b. Alokasi investasi: rendahnya investasi di suatu wilayah membuat pertumbuhan
ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat per kapita di wilayah tersebut
rendah karena tidak ada kegiatan kegiatan ekonomi yang produktif.
c. Tingkat mobilitas faktor produksi yang rendah antardaerah: kurang lancarnya
mobilitas faktor produksi seperti tenaga kerja dan kapital antar provinsi
merupakan penyebab terjadinya kesenjangan ekonomi regional.
15
d. Perbedaan sumber daya alam antarwilayah: pembangunan ekonomi di daerah
yang kaya sumber daya alam akan lebih maju dan masyarakatnya lebih
makmur dibandingkan di daerah yang miskin sumber daya alam.
e. Perbedaan kondisi demografis antarwilayah: jumlah populasi yang besar
dengan pendidikan dan kesehatan yang baik, disiplin yang tinggi, etos kerja
tinggi merupakan aset penting bagi produksi.
f. Kurang lancarnya perdagangan antarwilayah: tidak lancarnya arus barang dan
jasa antardaerah mempengaruhi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi
suatu wilayah melalui sisi permintaan dan sisi penawaran.
Perbedaaan kemajuan antardaerah berarti tidak samanya kemampuan
untuk tumbuh sehingga yang timbul adalah ketidakmerataan. Kuznets
menempatkan pemerataan dan pertumbuhan pada posisi yang dikotomis dengan
mengemukakan hipotesis “Kurva U Terbalik”. Hipotesis ini dihasilkan melalui
kajian empiris terhadap pola pertumbuhan ekonomi terhadap trade off antara
pertumbuhan dan pemerataan. Seiring dengan kemajuan pembangunan ekonomi
maka setelah mencapai tahap tertentu trade off tersebut akan menghilang diganti
dengan hubungan korelasi positif antara pertumbuhan dan pemerataan.
Proses trade off ini terjadi di negara sedang berkembang, dimana pada saat
proses pembangunan dilaksanakan, kesenjangan semakin meningkat. Hal ini
disebabkan karena pada waktu proses pembangunan baru dimulai di negara
sedang berkembang, kesempatan dan peluang pembangunan yang ada pada
umumnya dimanfaatkan oleh daerah-daerah yang kondisi pembangunannya sudah
lebih baik, sedangkan daerah-daerah yang masih sangat terbelakang tidak mampu
16
memanfaatkan peluang ini karena keterbatasan sarana dan prasarana serta
rendahnya kualitas sumber daya manusia. Hambatan ini tidak saja disebabkan
oleh faktor ekonomi, tetapi juga oleh faktor sosial budaya sehingga akibatnya
kesenjangan pembangunan antardaerah cenderung meningkat karena pertumbuhan
ekonomi cenderung lebih cepat di daerah dengan kondisinya lebih baik,
sedangkan daerah yang terbelakang tidak banyak mengalami kemajuan (Sjafrizal,
2008).
2.1.5 Tinjauan Penelitian Terdahulu
Bhinadi (2002) melakukan penelitian yang berjudul “Disparitas
Pertumbuhan Ekonomi Jawa dengan Luar Jawa”. Analisis yang digunakan adalah
analisis regresi data panel. Dengan PDRB migas riil, didapatkan bahwa nilai
efisiensi atau produktifitas faktor total Jawa lebih rendah daripada luar Jawa.
Sedangkan dengan PDRB non migas riil, didapatkan bahwa nilai efisiensi atau
produktifitas faktor total Jawa lebih tinggi daripada luar Jawa.
Sutarno dan Kuncoro (2003) melakukan penelitan dengan mengambil
judul “Pertumbuhan Ekonomi dan Kesenjangan Antarkecamatan: Kasus
Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah”. Penelitian ini menggunakan Tipologi
Daerah, indeks Williamson, indeks Entropy Theil, hipotesis Kuznets dan korelasi
Pearson. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam periode pengamatan 1993-
2000, terjadi kecenderungan peningkatan kesenjangan, baik di analisis dengan
indeks Williamson maupun dengan indeks Entropy Theil. Berdasarkan tipologi
daerah, daerah/kecamatan di Kabupaten Banyumas dapat diklasifikasikan menjadi
17
empat kelompok daerah yang cepat maju dan cepat tumbuh, daerah maju tapi
tertekan, daerah yang berkembang cepat, dan daerah yang relatif tertinggal. Dalam
penelitian ini hipotesis kurva U-terbaliknya Kuznets berlaku di Kabupaten
Banyumas. Sedangkan berdasarkan perhitungan analisis korelasi Pearson antara
pertumbuhan PDRB dengan indeks Williamson dan indeks Entropy Theil,
didapatkan bahwa ada korelasi yang kurang kuat.
Bhakti (2004) melakukan penelitian yang berjudul “Kesenjangan
Antardaerah di Pulau Jawa Ditinjau dari Perspektif Sektoral dan Regional”. Alat
analisis yang digunakan adalah indeks Williamson dan Theil. Hasil penelitian
mengatakan bahwa tahun 1983-2001 masih terjadi kesenjangan antardaerah di
Pulau Jawa dan mengalami tren kesenjangan antardaerah yang relatif menaik.
Kondisi ini dipicu pula oleh peningkatan besamya kontribusi sektor industri yang
mampu mendorong terciptanya peran pada sektor jasa di Pulau Jawa (derived
demand). Secara empiris terbukti, bahwa di Pulau Jawa telah terjadi transformasi
stuktural. Kesenjangan antardaerah pasca pemekaran wilayah di Pulau Jawa
cenderung naik.
Khusaini (2004) melakukan penelitian dengan judul “Analisis Disparitas
Antardaerah Kabupaten/Kota dan Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Regional di Provinsi Banten”. Dalam penelitiannya menggunakan Indeks
Williamson untuk mengukur kesenjangan dan model regresi persamaan tunggal
untuk mengetahui dampak kesenjangan dan variabel lain terhadap pertumbuhan
regional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan indeks Williamson
kesenjangan tertinggi di Kota Cilegon pada tahun 2003, dan yang terendah di
18
Kota Tangerang pada tahun 2002. Sedangkan hasil estimasi menunjukkan variabel
aglomerasi dan kapital berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi regional.
Sedangkan variabel tenaga kerja berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan
ekonomi regional.
Caska dan Riadi (2005) melakukan penelitian yang berjudul “Pertumbuhan
dan Kesenjangan Pembangunan Ekonomi Antardaerah di Provinsi Riau”. Analisis
data yang digunakan antara lain analisis tipologi Klassen, indeks Williamson,
indeks Entropi Theil, dan kurva U terbalik. Selama periode pengamatan 2003-
2005, terjadi kesenjangan pembangunan yang tidak cukup signifikan
berdasarkan Indeks Williamson. Sedangkan menurut indeks Entropi Theil,
kesenjangan pembangunan boleh dikatakan kecil yang berarti masih terjadinya
pemerataan pembangunan setiap tahunnya selama periode pengamatan.
Sebagai akibatnya hipotesis Kuznets tentang kurva U terbalik tidak terbukti di
Provinsi Riau.
Wijayanto (2005) dalam penelitiannya yang berjudul “Pertumbuhan
Ekonomi dan Distribusi Pendapatan Daerah di Kabupaten Semarang (Tahun
1999-2003)”, menggunakan teknik perhitungan LQ, Shift Share dan indeks
Williamson. Hasil penelitian mengatakan bahwa sektor unggulan di Semarang
yaitu sektor industri, sektor listrik, gas, dan air, sektor lembaga keuangan dan
persewaan dan jasa perusahaan, dan sektor jasa-jasa. Dengan perhitungan indeks
Williamson dengan dan tanpa mengikutkan sektor industri dapat diketahui bahwa
sektor industri merupakan faktor penyebab terjadinya kesenjangan.
19
Chrisyanto (2006) juga melakukan penelitian yang berjudul “Faktor-
Faktor yang Mempengaruhi Kesenjangan Perekonomian Antardaerah di
Indonesia”. Untuk menganalisis kesenjangan digunakan indeks Williamson dan
untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kesenjangan digunakan
analisis regresi linier berganda. Dari hasil analisis ditemukan bahwa terjadinya
kesenjangan ekonomi antardaerah disebabkan oleh tingginya pendapatan per
kapita DKI Jakarta yang menyebabkan kesenjangan di Pulau Jawa dan tingginya
pendapatan per kapita di Kalimantan Timur yang menyebabkan kesenjangan di
luar Jawa.
Saskara (2007) dalam penelitiannya yang berjudul “Kesenjangan
Pembangunan Ekonomi Antardaerah Kabupaten/Kota di Provinsi Bali’,
menggunakan koefisien disparitas yang sudah dimodifikasi oleh Setyarini (1999).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Karangasem merupakan kabupaten yang
memiliki kesenjangan yang paling lebar. Sedangkan kabupaten Badung dan Kota
Denpasar memiliki pertumbuhan ekonomi yang paling tinggi dan berada di atas
pertumbuhan ekonomi Provinsi Bali.
Hartono (2008) dengan penelitiannya yang berjudul “Analisis
Kesenjangan Pembangunan Ekonomi di Provinsi Jawa Tengah”, menggunakan
alat analisis indeks Williamson dan analisis regresi linier sederhana. Hasil
penelitian ini menyimpulkan bahwa kesenjangan pembangunan ekonomi di
Provinsi Jawa Tengah yang diukur dengan indeks Williamson dalam kurun waktu
1981 sampai dengan 2005 cenderung relatif meningkat. Berdasarkan analisis
regresi linier, diketahui bahwa variabel investasi swasta per kapita dan rasio
20
angkatan kerja berpengaruh negatif terhadap kesenjangan. Sedangkan alokasi
dana pembangunan per kapita berpengaruh positif terhadap kesenjangan.
Prasetyo (2008) melakukan penelitian dengan judul “Kesenjangan dan
Dampak Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Wilayah Kawasan Barat
Indonesia”. Beberapa alat analisis yang digunakan antara lain indeks Williamson,
tipologi Klassen, analisis Location Quotient, dan analisis regresi data panel.
Kesenjangan ekonomi di wilayah KBI dari tahun 1995-2007 cukup besar.
Kesenjangan tertinggi terjadi pada tahun 2000 tepat pada saat awal-awal mulai
diberlakukannya otonomi daerah. Hal ini disebabkan adanya perbedaan kesiapan
masing-masing daerah dalam menghadapi otonomi daerah. Dengan model fixed
effect ditemukan bahwa infrastruktur panjang jalan, listrik, dan air bersih
mempunyai pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan juga pendapatan
per kapita.
Priyanto (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Kesenjangan
dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Banten”,
menggunakan alat analisis berupa indeks Williamson, tipologi Klassen, analisis
regresi data panel. Berdasarkan indeks Williamson diketahui bahwa pada tahun
2001-2008 di Provinsi Banten terjadi kesenjangan antarkabupaten/kota yang
meningkat, sedangkan menurut tipologi Klassen hanya Kota Tangerang dan Kota
Cilegon yang termasuk daerah maju dan cepat tumbuh. Hasil analisis regresi
menunjukkan bahwa belanja modal, angkatan kerja berpengaruh nyata positif
terhadap pertumbuhan ekonomi, namun angka melek huruf tidak signifikan
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di Provinsi Banten.
21
Bhakti (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “Kesenjangan
Pendapatan di Provinsi Nusa Tenggara Timur Sebelum dan Selama
Desentralisasi” menggunakan tipologi Klassen, indeks Williamson, dan indeks
Theil dalam analisisnya. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kesenjangan
selama desentralisasi relatif meningkat. Hal ini diduga lebih terkait dengan adanya
pemekaran wilayah, karena pada analisis yang tergabung dengan kabupaten
induknya, kesenjangannya tidak meningkat.
Masli (2009) dalam jurnal penelitiannya yang berjudul “Analisis Faktor-
faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi dan Kesenjangan Regional
antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat” menggunakan indeks Williamson,
indeks Entropi Theil, dan tipologi Klassen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pertumbuhan ekonomi Jawa Barat mengalami fluktuasi dan menunjukkan arah
negatif jika dibandingkan pada awal penelitian. Menurut tipologi Klassen, pada
umumnya kabupaten/kota di Jawa Barat termasuk klasifikasi daerah relatif
tertinggal. Sedangkan menurut indeks Williamson dan indeks Entropi Theil
kesenjangan antarkabupaten/kota meningkat.
Rani (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Kesenjangan
Antardaerah Kabupaten/Kota di Provinsi Riau Tahun 2003-2009” menggunakan
indeks Williamson, indeks Theil, indeks Atkinson dan tipologi Klassen. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa dengan menggunakan tipologi Klassen pada tahun
2009 hanya Kota Dumai yang diklasifikasikan sebagai daerah relatif tertinggal
karena laju pertumbuhan dan PDRB per kapita dengan sektor migas berada di
bawah laju pertumbuhan dan PDRB per kapita dengan sektor migas Provinsi
22
Riau. Jika tanpa sektor migas, tidak ada kabupaten/kota yang diklasifikasikan
sebagai daerah relatif tertinggal selama tahun 2009.
Kesenjangan di Provinsi Riau berdasarkan perhitungan indeks Williamson
dengan migas sangat tinggi dan jika tanpa migas kesenjangan rendah. Jika
menggunakan indeks Theil, Provinsi Riau berada pada tingkat kesenjangan rendah
dengan migas ataupun tanpa migas. Kesenjangan tanpa migas jauh lebih rendah
daripada kesenjangan dengan migas. Tren kesenjangan dengan migas dan tanpa
migas menunjukkan bahwa tiap tahunnya terjadi penurunan kontribusi
kesenjangan antarkelompok sehingga di tahun 2009 sudah mulai seimbang antara
kontribusi kesenjangan antar kelompok dan inter kelompok.
Indeks Atkinson menunjukkan social welfare loss dengan migas
menunjukkan pergerakan yang makin menurun terkecuali pada tahun 2007 ketika
terjadi krisis global. Sedangkan bila tanpa migas justru meningkatnya social
welfare loss dimulai pada tahun 2005 hingga tahun 2009. Bagi Provinsi Riau,
sektor migas memang sangat mempengaruhi perekonomian tetapi sektor migas
justru menimbulkan kesenjangan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan
tanpa sektor migas. Selain kesenjangan yang lebih tinggi, sektor migas juga
menyebabkan social welfare loss yang lebih besar bagi masyarakat. Tren
kesenjangan tanpa sektor migas terus meningkat tetapi peningkatan tersebut tidak
siginifikan dan tidak menyebabkan social welfare loss yang besar.
Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini bermaksud
menganalisis kesenjangan antarwilayah di Provinsi NTT selama kurun waktu
2007-2010. Dalam analisis ini dilakukan penghitungan sampai dengan level
23
kabupaten/kota. Untuk mengukur kesenjangan antarwilayah digunakan alat
analisis indeks Williamson, indeks Theil dan indeks Atkinson. Adapun tipologi
Klassen digunakan untuk mengklasifikasikan daerah berdasarkan laju
pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita.
2.2 Kerangka Pemikiran
Salah satu penyebab kesenjangan antardaerah adalah adanya perbedaan
potensi dan sumber daya dari masing-masing daerah. Beberapa studi mengatakan
bahwa terpusatnya pembangunan nasional di Jawa, khususnya di DKI Jakarta
sebagai ibukota negara, turut menjadi penyebab terjadinya kesenjangan di luar
Jawa. Adanya kepercayaan penuh terhadap mekanisme trickle down effect dimana
diharapkan pertumbuhan ekonomi menetes dengan sendiri ternyata berjalan
lambat. Akibatnya pembangunan ekonomi hanya terpusat di suatu daerah yang
kuat potensinya. Oleh karena itu, penelitian ini ingin menganalisis seberapa besar
kesenjangan pembangunan antardaerah di luar Jawa khususnya pada wilayah
Provinsi NTT.
Penelitian ini menggunakan indeks Williamson, indeks Theil dan indeks
Atkinson untuk mengukur kesenjangan antarkabupaten/kota di Provinsi NTT.
Selanjutnya, dari hasil perhitungan kesenjangan, akan dianalisis tren kesenjangan
yang terjadi di Provinsi NTT. Tipologi Klassen digunakan untuk memberikan
gambaran klasifikasi daerah di Provinsi NTT berdasarkan laju pertumbuhan
ekonomi dan PDRB per kapita. Pada akhirnya, penelitian ini diharapkan bisa
24
memberikan rekomendasi kebijakan bagi pemerintah dalam rangka mencapai
pertumbuhan ekonomi disertai dengan pemerataan (growth with equity).
Untuk memudahkan dalam mencermati alur pemikiran mengenai
penelitian ini, maka alur kerangka pemikiran penelitian dijelaskan pada Gambar
2.1.
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Penelitian
Kesenjangan pembangunan antarkabupaten/kota
− Perbedaan potensi daerah di Provinsi NTT − Provinsi NTT menduduki peringkat kelima
provinsi termiskin di Indonesia
− Menganalisis kesenjangan antarkabupaten/kota − Menganalisis social welfare loss − Mengetahui klasifikasi wilayah kabupaten/kota
Rekomendasi kebijakan peningkatan pertumbuhan ekonomi disertai pemerataan (growth with equity)
Indeks Williamson
Indeks Theil
Tipologi Klassen
Indeks Atkinson
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Sumber Data
Berdasarkan sumbernya, data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
data sekunder dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang meliputi Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku dan harga konstan tahun 2000,
data jumlah penduduk provinsi dan kabupaten/kota, serta data-data pendukung
lainnya. Data yang digunakan ini berupa data deret waktu (series) dari tahun
2007-2010. Penjelasan lebih lengkap mengenai data yang digunakan dalam
penelitian ini ada dalam Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Daftar Data yang Digunakan dalam Penelitian
No Data Satuan Sumber
1 PDRB Atas Dasar Harga Berlaku Rupiah BPS
2 PDRB Atas Dasar Harga Konstan Rupiah BPS
3 Jumlah Penduduk Jiwa BPS
4 PDRB per Kapita Rupiah BPS
5 Laju Pertumbuhan Ekonomi Persen BPS
3.2 Metode Analisis
3.2.1 Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif merupakan bentuk analisis sederhana yang bertujuan
mendeskripsikan dan mempermudah penafsiran yang dilakukan dengan memberikan
pemaparan dalam bentuk tabel, grafik, dan diagram. Oleh karena itu, analisis
26
deskriptif menyangkut berbagai macam aktivitas dan proses. Salah satu bentuk
analisisnya adalah kegiatan menyimpulkan data mentah dalam jumlah yang besar
sehingga hasilnya dapat ditafsirkan. Pengelompokkan atau pemisahan komponen
atau bagian yang relevan dari keseluruhan data, juga merupakan salah satu bentuk
analisis untuk menjadikan data mudah dikelola.
Dalam penelitian ini, analisis deskriptif digunakan untuk memberikan suatu
gambaran secara umum mengenai kondisi dari Provinsi NTT dilihat dari kondisi
geografis, penduduk, ekonomi, maupun sosial. Variabel-variabel pembangunan
ekonomi yang ingin dijelaskan dalam penelitian ini adalah mengenai tingkat
pertumbuhan ekonomi.
Laju pertumbuhan ekonomi suatu bangsa dapat diukur dengan
menggunakan laju pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK).
Berikut ini adalah rumus untuk menghitung tingkat pertumbuhan ekonomi
(Sukirno, 2007):
G =PDRB1-PDRB0
PDRB0 × 100% (3.1)
dimana:
G = Laju pertumbuhan ekonomi
PDRB1 = PDRB ADHK pada suatu tahun
PDRB0 = PDRB ADHK pada tahun sebelumnya
PDRB juga dapat digunakan dalam melihat struktur ekonomi dari suatu
wilayah. Struktur ekonomi digunakan untuk menunjukkan peran sektor-sektor
ekonomi dalam suatu perekonomian. Sektor yang dominan mempunyai
kedudukan paling atas dalam struktur tersebut dan akan menjadi ciri khas dari
27
suatu perekonomian. Struktur ekonomi merupakan rasio antara PDRB suatu
sektor ekonomi pada suatu tahun dengan total PDRB tahun yang sama. Struktur
ekonomi dinyatakan dalam persentase. Penghitungan struktur ekonomi adalah
sebagai berikut:
Struktur Ekonomi =PDRB sektor itTotal PDRBt
× 100% (3.2)
dimana:
PDRB sektor it = nilai PDRB sektor i pada tahun t
Total PDRBt = nilai total PDRB pada tahun t
3.2.2 Analisis Kesenjangan
Sebagian masyarakat berpendapat bahwa suatu daerah memiliki
kesenjangan yang tinggi jika terdapat banyak orang miskin. Akan tetapi, ada juga
masyarakat yang berpendapat bahwa suatu daerah mengalami kesenjangan yang
tinggi jika ada sekelompok orang kaya di tengah-tengah masyarakat yang
umumnya masih miskin. Pendapat masyarakat tersebut lebih cenderung mengarah
ke distribusi pendapatan yang melihat kesenjangan antarkelompok masyarakat,
sedangkan untuk kesenjangan pembangunan antardaerah lebih melihat ke
perbedaan antardaerah. Berikut ini adalah beberapa ukuran kesenjangan yang
digunakan dalam penelitian ini:
1) Indeks Williamson
Indeks Williamson merupakan koefisien variasi tertimbang yang dibuat
oleh Williamson pada tahun 1965. Indeks Williamson sangat sensitif untuk
mengukur perbedaan daerah dan mencermati tren kesenjangan yang terjadi.
28
Formula indeks Williamson dapat ditulis sebagai berikut (Williamson dalam
Akita and Kataoka, 2003):
𝐼𝑊 = 1𝑦� ��(𝑦𝑖𝑛
𝑖=1−𝑦�)2𝑃𝑖
𝑃 (3.3)
dimana:
IW = Indeks Williamson
𝑦𝑖 = PDRB per kapita kabupaten/kota i
𝑦� = Rata-rata PDRB per kapita Provinsi NTT
Pi = Jumlah penduduk kabupaten/kota i
P = Jumlah penduduk Provinsi NTT
Apabila angka indeks kesenjangan Williamson semakin mendekati nol,
maka menunjukkan kesenjangan yang semakin kecil dan bila angka indeks
menunjukkan semakin mendekati satu maka menunjukkan kesenjangan yang
makin melebar. Matolla dalam Puspandika (2007) menetapkan sebuah kriteria
yang digunakan untuk menentukan apakah kesenjangan ada pada kesenjangan
level rendah, sedang, atau tinggi. Berikut ini adalah kriterianya:
a. Kesenjangan level rendah, jika IW < 0,35
b. Kesenjangan level sedang, jika 0,35 ≤ IW ≤ 0,5
c. Kesenjangan level tinggi, jika IW > 0,5
29
2) Indeks Theil
Indeks Theil merupakan indeks yang banyak digunakan dalam menghitung
dan menganalisis distribusi pendapatan regional. Karakter utama indeks ini adalah
kemampuannya untuk melihat terjadinya kesenjangan antarkelompok wilayah
(between inequality) dan kesenjangan dalam suatu kelompok wilayah (within
inequality) itu sendiri. Nilainya berkisar antara nol sampai dengan satu, dimana
nol menyatakan bahwa distribusi PDRB ADHK merata sempurna antarkelompok
wilayah, sedangkan apabila mendekati satu artinya distribusi PDRB ADHK tidak
merata antarkelompok wilayah.
Indeks ini mempunyai beberapa kelebihan, yaitu:
a. Sifatnya tidak sensitif terhadap skala daerah dan tidak terpengaruh oleh nilai-
nilai ekstrim.
b. Independen terhadap jumlah daerah sehingga dapat digunakan sebagai
pembanding dari sistem regional yang berbeda-beda.
c. Dapat didekomposisikan ke dalam indeks ketidakmerataan antar kelompok dan
intra kelompok daerah secara simultan.
Adapun kelompok kabupaten/kota yang digunakan dalam penelitian ini
adalah 3 (tiga) pulau besar terbagi atas Pulau Timor (Kabupaten Kupang, Timor
Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Belu, Alor, Rote Ndao, Sabu Raijua dan
Kota Kupang), Pulau Sumba (Kabupaten Sumba Barat, Sumba Timur, Sumba
Barat Daya dan Sumba Tengah) dan Pulau Flores (Kabupaten Lembata, Flores
Timur, Sikka, Ende, Ngada, Manggarai, Manggarai Barat, Nagekeo dan
Manggarai Timur).
30
Formula indeks Theil dituliskan sebagai berikut (Tadjoeddin, 2003):
𝑇 = ���𝑌𝑖𝑗𝑌 �
𝑗
ln �𝑌�𝑖𝑗𝑌�� = 𝑇𝑊 + 𝑇𝐵
𝑖
(3.4)
𝑇𝑊 = ��𝑌𝑖𝑌�𝑇𝑖
𝑖
(3.5)
𝑇𝑖 = ��𝑌𝑖𝑗𝑌𝑖� 𝑙𝑛
𝑗
�𝑌�𝑖𝑗𝑌�𝑖� (3.6)
𝑇𝐵 = ��𝑌𝑖𝑌� 𝑙𝑛
�𝑌�𝑖𝑌��
𝑖
(3.7)
dimana:
T = Indeks Theil
Tw = Kesenjangan dalam pulau
TB = Kesenjangan antarpulau
Yij = PDRB kabupaten j, pulau i
Y = Total PDRB Provinsi NTT ( ∑∑𝑌𝑖𝑗 )
𝑌�𝑖𝑗 = PDRB per kapita kabupaten j, pulau i
𝑌� = PDRB per kapita Provinsi NTT
Yi = PDRB pulau i
𝑌�𝑖 = PDRB per kapita pulau i
31
3) Indeks Atkinson
Indeks Atkinson adalah ukuran kesenjangan pendapatan yang
dikembangkan oleh ekonom Inggris, Anthony Barnes Atkinson. Ukuran ini
mampu menangkap perubahan atau pergerakan pada segmen-segmen yang
berbeda dari distribusi pendapatan. Indeks ini bisa diubah menjadi pengukuran
normatif dengan mengesankan koefisien ε sebagai penimbang pendapatan. Indeks
Atkinson menjadi lebih sensitif untuk berubah ketika mencapai nilai mendekati
satu. Sebaliknya, ketika mendekati nol indeks Atkinson menunjukkan bahwa lebih
sensitif ke perubahan batas atas distribusi pendapatan. Penghitungan indeks
Atkinson dimulai dengan konsep EDE (Equally Distributed Equivalent). EDE
adalah level pendapatan dimana jika pendapatan tersebut dihasilkan oleh setiap
individu dalam distribusi pendapatan, maka semua individu tersebut
dimungkinkan untuk mencapai level kesejahteraan yang sama.
Indeks Atkinson menggunakan parameter kesenjangan yang dilambangkan
dengan ε. Jika pendapatan masyarakat dianalogikan dengan PDRB per kapita
kabupaten/kota, berarti penggunaan ε=0 memiliki arti meningkatkan jumlah
PDRB per kapita kabupaten/kota terkecil memiliki dampak kesejahteraan sosial
yang sama sebagaimana meningkatkan jumlah PDRB per kapita kabupaten/kota
terbesar. Untuk ε>0 berarti meningkatkan jumlah PDRB per kapita
kabupaten/kota terkecil secara sosial lebih baik dipilih daripada meningkatkan
jumlah PDRB per kapita kabupaten/kota terbesar. Parameter kesenjangan ε yang
lebih besar menyebabkan peningkatan proporsi yang lebih besar bagi peningkatan
PDRB per kapita dari rata-rata PDRB per kapita seluruh kabupaten/kota. Indeks
32
Atkinson dihitung dengan menggunakan parameter kesenjangan ε yang bervariasi
dari ε=0,5 , ε=1, ε=2, dan ε=3 dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran
kebijakan mana yang paling tepat untuk meminimalisir dampak kesenjangan
regional terhadap kesejahteraan masyarakat. Pengukuran Indeks Atkinson sensitif
terhadap perubahan ε sehingga menghasilkan indeks yang bervariasi untuk setiap
ε yang berbeda.
Kebijakan yang dapat dilakukan secara implisit ditunjukkan dengan ε,
adalah peningkatan pendapatan masyarakat atau PDRB per kapita bagi kabupaten
yang berada di urutan terbawah dari distribusi dengan mekanisme transfer
pendapatan. Transfer pendapatan adalah kebijakan yang dilakukan oleh
pemerintah yang bisa berupa penyaluran kredit kepada masyarakat, peningkatan
anggaran untuk membangun infrastruktur, pemberian dana tambahan untuk
perbaikan kesehatan dan pendidikan, dan pemberian subsidi bagi masyarakat
miskin. Nilai indeks Atkinson berkisar antara nol sampai dengan satu, dimana satu
mengindikasikan kesenjangan yang sangat tinggi dan social welfare loss sebesar
100 persen.
33
Penghitungan Indeks Atkinson adalah sebagai berikut:
𝐴(𝜀) = 1 − � 𝑌𝑒𝑑𝑒𝑌
� (3.8)
𝑌𝑒𝑑𝑒 = � 1𝑛
∑ 𝑌𝑖1−𝜀 𝑖 �1
1−𝜀 , 0 < 𝜀 < 1 ∪ 𝜀 > 1 (3.9)
𝑌𝑒𝑑𝑒 = ∏ (𝑌𝑖)1𝑛𝑖 , 𝜀 = 1 (3.10)
dimana:
𝐴(𝜀) = Indeks Atkinson
𝑌𝑖 = PDRB per kapita kabupaten/kota
𝑌𝑒𝑑𝑒 = Level pendapatan EDE
𝜀 = Parameter kesenjangan
𝑛 = Jumlah kabupaten/kota
𝑌 = Rata-rata PDRB per kapita Provinsi NTT
3.2.3 Tipologi Klassen
Alat analisis tipologi Klassen digunakan untuk mengetahui gambaran
tentang pola dan klasifikasi daerah berdasarkan dua indikator utama, yaitu
pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita daerah. Dengan menentukan rata-rata
pertumbuhan ekonomi sebagai sumbu vertikal dan rata-rata PDRB per kapita
sebagai sumbu horisontal, daerah yang diamati dapat dibagi menjadi empat
klasifikasi, yaitu:
1. Daerah cepat maju dan cepat tumbuh (high growth and high income),
daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita
yang lebih tinggi dibanding rata-rata Provinsi NTT.
34
2. Daerah maju tetapi tertekan (high income but low growth), daerah yang
memiliki PDRB per kapita lebih tinggi, tetapi tingkat pertumbuhan
ekonominya lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata Provinsi NTT.
3. Daerah berkembang cepat (high growth but low income), adalah daerah
yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi, tetapi tingkat PDRB
per kapita lebih rendah dibanding rata-rata Provinsi NTT.
4. Daerah relatif tertinggal (low growth dan low income), adalah daerah yang
memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita yang lebih
rendah dibandingkan dengan rata-rata Provinsi NTT.
Tabel 3.2 Klasifikasi menurut Tipologi Klassen
𝑌� 𝑅�
𝑌𝑖𝑗 < 𝑌�𝑗 𝑌𝑖𝑗 > 𝑌�𝑗
𝑅𝑖𝑗 > 𝑅�𝑗 Kuadran III
Daerah berkembang cepat
Kuadran I
Daerah cepat maju dan cepat tumbuh
𝑅𝑖𝑗 < 𝑅�𝑗 Kuadran IV
Daerah relatif tertinggal
Kuadran II
Daerah maju tetapi tertekan
Sumber: Prasetyo, 2008
Keterangan:
Rij adalah laju pertumbuhan ekonomi tiap kabupaten/kota di Provinsi NTT
𝑅�𝑗 adalah rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT
Yij adalah PDRB per kapita tiap kabupaten/kota di Provinsi NTT
𝑌�𝑗 adalah rata-rata PDRB per kapita Provinsi NTT
BAB IV
GAMBARAN UMUM PROVINSI NTT
4.1 Keadaan Geografis dan Administratif Provinsi NTT
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terdiri dari pulau-pulau yang
memiliki penduduk yang beraneka ragam, dengan latar belakang yang berbeda-
beda. Provinsi NTT sebelumnya lazim disebut dengan “Flobamora” (Flores,
Sumba, Timor dan Alor). Sebelum kemerdekaan RI, Flobamora bersama
Kepulauan Bali, Lombok dan Sumbawa disebut Kepulauan Sunda Kecil. Namun
setelah proklamasi kemerdekaan beralih nama menjadi “Kepulauan Nusa
Tenggara”, sampai dengan tahun 1957 Kepulauan Nusa Tenggara merupakan
daerah Swatantra Tingkat I (statusnya sama dengan Provinsi sekarang ini).
Selanjutnya tahun 1958 berdasarkan Undang-Undang Nomor 64 tahun 1958
Daerah Swatantra Tingkat I Nusa Tenggara dikembangkan menjadi 3 Provinsi
yaitu Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Provinsi Nusa Tenggara
Timur. Dengan demikian Provinsi Nusa Tenggara Timur keberadaannya adalah
sejak tahun 1958 sampai sekarang.
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 2008 tanggal
31 Januari 2008, luas daerah Provinsi NTT adalah 48.718,10 kilometer persegi
atau sebesar 2,55 persen dari total luas daerah wilayah Indonesia (BPS, 2009).
Provinsi NTT terletak antara 80-1200 Lintang Selatan dan 1180-1250 Bujur Timur
dan memiliki 1.192 pulau (42 pulau dihuni dan 1.150 pulau tidak dihuni).
Sebagian besar wilayahnya bergunung dan berbukit, hanya sedikit dataran rendah.
36
Memiliki sebanyak 40 sungai dengan panjang antara 25-118 kilometer (BPS,
2010). Sebagai bagian dari negara maritim, Provinsi NTT dikelilingi oleh perairan
maupun daratan. Provinsi NTT di sebelah utara berbatasan dengan Laut Flores, di
sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia, sebelah barat berbatasan
dengan pulau Sumbawa dan Provinsi NTB, dan di sebelah timur berbatasan
dengan negara Timor Leste.
Secara administratif, berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6
Tahun 2008, Provinsi NTT terdiri dari 20 kabupaten, 1 kota, 254 kecamatan, 297
kelurahan dan 2.387 desa.
4.2 Keadaan Ekonomi dan Sosial Provinsi NTT
4.2.1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
PDRB merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan dalam
melihat kondisi perekonomian suatu daerah di Provinsi NTT. PDRB Atas Dasar
Harga Konstan (ADHK) tahun 2000 menggambarkan pertumbuhan nilai produksi
wilayah kabupaten/kota secara riil yakni tanpa dipengaruhi komponen harga atau
tanpa dipengaruhi nilai inflasi yang dihitung berdasarkan harga tahun dasar yaitu
tahun 2000.
Total PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) tahun 2000 menurut
kabupaten/kota di Provinsi NTT menunjukkan peningkatan dari tahun 2007
sampai 2010 (Tabel 4.1).
37
Tabel 4.1 PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 menurut Kabupaten/Kota di Provinsi NTT Tahun 2007-2010 (Miliar Rupiah)
Kabupaten/Kota 2007 2008 2009 2010
1. Sumba Barat 258,72 270,85 284,83 300,69 2. Sumba Timur 613,75 655,13 682,57 715,50 3. Kupang 893,99 931,23 969,88 1.009,56 4. Timor Tengah Selatan 843,14 879,82 915,56 954,25 5. Timor Tengah Utara 416,49 446,62 471,67 498,97 6. Belu 813,19 930,31 974,40 1.022,05 7. Alor 375,48 393,00 409,23 429,13 8. Lembata 134,53 139,37 145,60 152,44 9. Flores Timur 545,45 571,07 590,41 624,82 10. Sikka 742,62 789,83 821,37 858,01 11. Ende 687,85 721,01 757,64 797,81 12. Ngada 344,02 364,56 382,95 403,88 13. Manggarai 512,29 534,94 562,82 595,47 14. Rote Ndao 289,59 315,77 330,54 347,51 15. Manggarai Barat 359,29 381,36 394,79 408,24 16. Sumba Barat Daya 336,00 351,76 369,06 385,17 17. Sumba Tengah 91,97 94,60 97,56 101,20 18. Nagekeo 266,47 280,66 293,95 307,23 19. Manggarai Timur 338,83 350,93 369,28 385,78 20. Sabu Raijua 126,17 128,89 136,32 146,97 21. Kota Kupang 1.860,99 2.000,22 2.122,33 2.296,92
NTT 10.850,85 11.531,95 12.082,77 12.741,62 Sumber: BPS, 2011
Kota Kupang merupakan pusat pemerintahan, bisnis, dan keuangan
memberikan kontribusi terbesar bagi pembentukan PDRB Provinsi NTT yaitu
dengan PDRB sebesar 2.296,92 miliar rupiah atau dengan kontribusi sebesar
18,03 persen. Sedangkan penyumbang terkecil bagi pembentukan PDRB Provinsi
NTT adalah kabupaten Sumba Tengah dengan PDRB sebesar 101,20 miliar rupiah
atau dengan kontribusi sebesar 0,79 persen. Kondisi ini disebabkan kabupaten
38
Sumba Tengah merupakan kabupaten baru yang berasal dari pemekaran
kabupaten Sumba Barat. Adapun yang memiliki kontribusi terbesar kedua adalah
kabupaten Belu (1.022,05 miliar rupiah atau 8,02 persen dari PDRB NTT) dan
terbesar ketiga adalah kabupaten Kupang (1.009,56 miliar rupiah atau 7,92 persen
dari PDRB NTT) pada tahun 2010.
Jika dilihat dari nilai PDRB kabupaten/kota di Provinsi NTT pada tahun
sebelumnya yaitu tahun 2007 sampai 2009 masih menunjukkan gambaran yang
hampir sama dengan tahun 2010.
4.2.2 PDRB per Kapita
PDRB per kapita menunjukkan kemampuan nyata dari suatu wilayah
dalam menghasilkan barang/jasa dan kemakmuran yang diperoleh setiap
penduduk (per kapita). Meskipun PDRB per kapita tidak mampu mencerminkan
tingkat pemerataan pendapatan yang diterima oleh masyarakat di suatu wilayah,
namun PDRB per kapita tetap merupakan indikator yang cukup penting yang
digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan yang telah dilaksanakan di
wilayah tersebut.
PDRB per kapita kabupaten/kota di Provinsi NTT mencerminkan nilai
PDRB ADHK masing-masing kabupaten/kota dibagi dengan jumlah penduduk
pertengahan tahun pada masing-masing kabupaten/kota di Provinsi NTT.
39
Tabel 4.2 PDRB per Kapita menurut Kabupaten/Kota di Provinsi NTT Tahun 2007-2010 (Juta Rupiah)
Kabupaten/Kota 2007 2008 2009 2010
1. Sumba Barat 2,35 2,40 2,47 2,55 2. Sumba Timur 2,62 2,74 2,84 2,96 3. Kupang 2,58 2,92 3,03 3,16 4. Timor Tengah Selatan 1,93 1,98 1,96 2,02 5. Timor Tengah Utara 1,92 1,91 1,98 2,06 6. Belu 1,82 2,76 2,82 2,90 7. Alor 2,00 2,03 2,10 2,11 8. Lembata 1,22 1,19 1,21 1,24 9. Flores Timur 2,23 2,41 2,46 2,57 10. Sikka 2,59 2,55 2,62 2,70 11. Ende 2,82 2,67 2,78 2,89 12. Ngada 2,50 2,52 2,59 2,69 13. Manggarai 1,98 1,81 1,86 1,93 14. Rote Ndao 2,53 2,73 2,73 2,75 15. Manggarai Barat 1,72 1,72 1,73 1,75 16. Sumba Barat Daya 1,24 1,22 1,25 1,27 17. Sumba Tengah 1,45 1,49 1,50 1,53 18. Nagekeo 2,06 2,11 2,17 2,22 19. Manggarai Timur 1,23 1,35 1,39 1,42 20. Sabu Raijua 2,32 2,09 1,97 1,92 21. Kota Kupang 5,51 5,46 5,61 5,91
NTT 2,30 2,42 2,48 2,56 Sumber: BPS (diolah), 2011
Pada Tabel 4.2 terlihat bahwa selama periode pengamatan Kota Kupang
mempunyai PDRB per kapita tertinggi yakni sebesar 5,91 juta rupiah sekaligus di
atas PDRB per kapita Provinsi NTT sebesar 2,56 juta rupiah, bahkan jauh
melampaui PDRB per kapita kabupaten/kota lain di Provinsi NTT. Gambaran ini
menunjukkan bahwa Kota Kupang menempati peringkat konsentrasi
perekonomian yang paling tinggi di antara kabupaten/kota lain di Provinsi NTT.
40
Kondisi ini disebabkan karena kontribusi PDRB di sektor jasa yang cukup
signifikan. Sedangkan PDRB per kapita terendah ditunjukkan oleh Kabupaten
Lembata (1,24 juta rupiah) dibandingkan dengan PDRB per kapita Provinsi NTT
maupun dengan PDRB per kapita kabupaten/kota lain di Provinsi NTT pada tahun
2010.
4.2.3 Laju Pertumbuhan Ekonomi
Laju pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT sebagai salah satu indikator
keberhasilan pembangunan yang dihitung berdasarkan persamaan 3.1 mengalami
fluktuasi (Tabel 4.3). Rata-rata laju pertumbuhan ekonomi di Provinsi NTT relatif
meningkat dari tahun 2007-2010. Hanya saja pada tahun 2009, rata-rata laju
pertumbuhan melambat dibandingkan tahun sebelumnya. Lambatnya laju
pertumbuhan ekonomi pada tahun 2009 dipengaruhi adanya krisis moneter
(keuangan) global pada tahun 2008.
Selama periode 2007-2010 rata-rata laju pertumbuhan ekonomi tertinggi
didominasi oleh kota Kupang sebesar 8,19 persen. Sedangkan rata-rata laju
pertumbuhan ekonomi terendah ditempati oleh Kabupaten Kupang sebesar 0,71
persen. Hal ini mengindikasikan adanya kontribusi sektor jasa-jasa di Kota
Kupang sangat mendominasi, sedangkan pada Kabupaten Kupang pernah
mengalami pertumbuhan ekonomi minus 9,56 persen pada tahun 2007.
41
Tabel 4.3 Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi NTT Tahun 2007-2010
Kabupaten/Kota 2007 2008 2009 2010 Rataan
1. Sumba Barat 7,87 4,69 5,16 5,57 5,82 2. Sumba Timur 4,74 6,74 4,19 4,83 5,12 3. Kupang -9,56 4,16 4,15 4,09 0,71 4. Timor Tengah Selatan 3,86 4,35 4,06 4,23 4,13 5. Timor Tengah Utara 3,02 7,23 5,61 5,79 5,41 6. Belu 5,77 14,40 4,74 4,89 7,45 7. Alor 4,93 4,67 4,13 4,86 4,65 8. Lembata 5,76 3,60 4,47 4,70 4,63 9. Flores Timur 3,49 4,70 3,39 5,83 4,35 10. Sikka 1,91 6,36 3,99 4,46 4,18 11. Ende 2,93 4,82 5,08 5,30 4,53 12. Ngada 5,19 5,97 5,05 5,46 5,42 13. Manggarai 6,91 4,42 5,21 5,80 5,59 14. Rote Ndao 2,00 9,04 4,68 5,14 5,21 15. Manggarai Barat 4,29 6,14 3,52 3,41 4,34 16. Sumba Barat Daya 6,00 4,69 4,92 4,37 4,99 17. Sumba Tengah 6,00 2,86 3,13 3,73 3,93 18. Nagekeo 4,59 5,32 4,74 4,52 4,79 19. Manggarai Timur 1,43 3,57 5,23 4,47 3,67 20. Sabu Raijua 0,01 2,16 5,76 7,82 3,93 21. Kota Kupang 10,96 7,48 6,10 8,23 8,19
Rataan 3,91 5,59 4,63 5,12 4,81 Sumber: BPS (diolah), 2011
Tabel 4.3 juga menunjukkan secara umum bahwa rata-rata laju
pertumbuhan ekonomi pada masing-masing kabupaten/kota di Provinsi NTT
cenderung stabil mendekati rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT
bahkan ada beberapa kabupaten/kota di atas rata-rata laju pertumbuhan ekonomi
Provinsi NTT.
42
4.2.4 Struktur Ekonomi
Struktur ekonomi dapat dilihat dari peran atau kontribusi dari masing-
masing sektor ekonomi. Distribusi PDRB atas dasar harga berlaku menurut sektor
menunjukkan struktur perekonomian atau peranan setiap sektor ekonomi dalam
suatu wilayah domestik. Sektor-sektor ekonomi yang mempunyai peran besar
menunjukkan basis perekonomian sehingga sangat berpengaruh terhadap
perekonomian suatu daerah. Namun, sektor yang mempunyai kontribusi kecil
tidak bisa diabaikan, sebab bisa jadi di masa mendatang sektor tersebut
berkembang dan menjadi sektor unggulan di daerah tersebut, seperti yang
disajikan pada persamaan 3.2. Adapun Tabel 4.4 di bawah ini menunjukkan
struktur ekonomi yang terdiri dari sembilan sektor, dan untuk penyederhanaan
sembilan sektor tersebut dikelompokkan menjadi sektor primer (sektor 1 dan 2),
sekunder (sektor 3, 4 dan 5) serta sektor tersier (sektor 6, 7, 8 dan 9) pada periode
penelitian tahun 2007 sampai 2010 di Provinsi NTT.
43
Tabel 4.4 Struktur Ekonomi Provinsi NTT Tahun 2007-2010 (persen)
LAPANGAN USAHA 2007 2008 2009 2010 Sektor Primer 41,64 41,73 40,82 39,77
1. Pertanian 40,27 40,39 39,51 38,45
2. Pertambangan dan Penggalian
1,37 1,34 1,31 1,32
Sektor Sekunder 9,20 8,88 8,90 8,93
3. Industri Pengolahan 1,70 1,59 1,55 1,54
4. Listrik, Gas dan Air Bersih
0,44 0,41 0,42 0,42
5. Konstruksi 7,06 6,88 6,93 6,97
Sektor Tersier 49,16 49,39 50,28 51,30
6. Perdagangan, Hotel dan Restoran
15,99 15,70 16,09 16,76
7. Pengangkutan dan Komunikasi
6,22 6,17 6,08 5,78
8. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
3,90 3,91 3,99 4,07
9. Jasa-Jasa 23,05 23,61 24,12 24,69
TOTAL 100,00 100,00 100,00 100,00
Sumber: BPS (diolah), 2011
Pada Tabel 4.4 menunjukkan bahwa selama periode penelitian peranan
sektor primer dan sekunder terhadap PDRB Provinsi NTT cenderung menurun
dan peran ini berpindah ke sektor tersier. Tingginya peranan sektor primer
khususnya pertanian pada tahap-tahap awal pembangunan, disebabkan karena
usaha-usaha di sektor primer sebagian besar dikerjakan dengan skala-skala kecil
atau usaha rakyat dan teknologinya belum berkembang seperti sekarang. Pada saat
teknologi masih terbatas, pilihan usaha di sektor pertanian merupakan pilihan
44
yang tepat karena umumnya sektor pertanian dalam pengelolaannya dapat dengan
teknologi yang sederhana dan modal yang relatif kecil.
Berdasarkan komposisi nilai PDRB, dapat diketahui bahwa sektor yang
memberikan kontribusi tertinggi dalam pembentukan PDRB Provinsi NTT adalah
sektor pertanian (38,45 persen). Kontribusi sektor pertanian mengalami fluktuatif
dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2010, begitu pula secara absolut PDRB
sektor pertanian terus mengalami fluktuatif. Tingginya peran sektor pertanian ini,
didukung oleh beberapa subsektor tanaman bahan makanan yang menjadi
unggulan dari masing-masing daerah dalam meningkatkan nilai tambah.
Sektor kedua yang memberikan kontribusi terbesar bagi pembentukan
PDRB Provinsi NTT adalah sektor jasa-jasa (24,69 persen). Sektor ini cenderung
meningkat selama kurun waktu 2007-2010. Semakin meningkatnya kontribusi di
sektor ini sebagai akibat dari semakin tingginya aktivitas perekonomian di
subsektor pemerintahan umum.
Adapun sektor ketiga yang memberikan kontribusi terbesar bagi
pembentukan PDRB Provinsi NTT adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran
(16,76 persen). Sektor ini cenderung meningkat selama kurun waktu 2008-2010.
Semakin meningkatnya kontribusi di sektor ini sebagai akibat dari semakin
tingginya aktivitas perekonomian di subsektor perdagangan besar dan eceran.
4.2.5 Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk Provinsi NTT dari tahun 2007 sampai dengan 2010
mengalami peningkatan. Berdasarkan data sensus penduduk BPS, jumlah
45
penduduk Provinsi NTT tahun 2010 sebanyak 4.683.827 jiwa (2,01 persen dari
total penduduk Indonesia) dengan Kabupaten Timor Tengah Selatan memiliki
jumlah penduduk terbanyak (9,42 persen dari total penduduk Provinsi NTT)
sedangkan Kabupaten Sumba Tengah adalah kabupaten yang paling sedikit
jumlah penduduknya (1,33 persen dari total penduduk Provinsi NTT).
Menurut tingkat kepadatan penduduknya, Kota Kupang tetap menjadi kota
terpadat (12.843 jiwa per kilometer persegi) dibandingkan kabupaten/kota lainnya
di Provinsi NTT. Sebaliknya, Kabupaten Sumba Timur merupakan kabupaten
dengan kepadatan penduduk paling rendah yaitu sebesar 33 jiwa per kilometer
persegi pada tahun 2010.
4.2.6 Keadaan Sosial
Kemiskinan dan kesenjangan merupakan dua masalah dalam konteks
pembangunan setiap bangsa. Pengentasan kemiskinan sebagai upaya untuk
meningkatkan kesejahteraan tidak dengan sendirinya mengatasi kesenjangan.
Begitu pula sebaliknya, kemerataan kesejahteraan tidak senantiasa serta merta
mengentaskan semua orang dari kemiskinan. Masalah kemiskinan muncul karena
ada sekelompok anggota masyarakat yang secara struktural tidak mempunyai
peluang dan kemampuan yang memadai untuk mencapai kehidupan yang layak
(Prayitno, 1996).
46
Tabel 4.5 Persentase Penduduk Miskin di Provinsi NTT Tahun 2010
Kabupaten/Kota Persentase Penduduk Miskin Peringkat
1. Sabu Raijua 41,16 1 2. Sumba Tengah 34,05 2 3. Rote Ndao 32,81 3 4. Sumba Timur 32,42 4 5. Sumba Barat 31,73 5 6. Sumba Barat Daya 29,88 6 7. Timor Tengah Selatan 28,71 7 8. Lembata 26,76 8 9. Manggarai Timur 25,94 9 10. Manggarai 22,91 10 11. Timor Tengah Utara 22,73 11 12. Ende 21,65 12 13. Alor 21,17 13 14. Kupang 20,79 14 15. Manggarai Barat 20,40 15 16. Belu 15,48 16 17. Sikka 13,38 17 18. Nagekeo 12,70 18 19. Ngada 12,05 19 20. Kota Kupang 10,57 20 21. Flores Timur 9,61 21 Sumber: BPS (diolah), 2011
Kabupaten Sabu Raijua merupakan kabupaten penyumbang terbesar
penduduk miskin di Provinsi NTT yang menduduki peringkat pertama
dibandingkan kabupaten/kota lain di Provinsi NTT, yakni sebesar 41,16 persen
penduduknya dikategorikan penduduk miskin. Kondisi ini dimungkinkan karena
kabupaten Sabu Raijua adalah kabupaten termuda yang merupakan pemekaran
dari kota Kupang.
47
Adapun yang menduduki peringkat terakhir adalah Kabupaten Flores
Timur, yakni sebesar 9,61 persen penduduknya dikategorikan penduduk miskin.
Hal ini mengindikasikan adanya pemerataan pembangunan yang dapat dinikmati
segenap lapisan masyarakat Kabupaten Flores Timur.
Tabel 4.5 juga menyajikan adanya tingkat kemiskinan yang cukup
signifikan di antara kabupaten/kota di Provinsi NTT dengan rata-rata persentase
penduduk miskin sekitar 23 persen. Hal ini mengindikasikan adanya trickle down
effect berjalan lambat atau tingkat pertumbuhan ekonomi tidak sepenuhnya
dirasakan oleh masyarakat lapisan bawah. Oleh karena itu program pengentasan
kemiskinan sangat penting, di samping program pemerintah lainnya guna
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dibarengi pemerataan pembangunan yang
senantiasa dinikmati berbagai lapisan masyarakat (growth with equity).
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Analisis Kesenjangan
Berdasarkan data PDRB per kapita, diketahui bahwa nilai PDRB per
kapita Kota Kupang sangat tinggi dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya
di Provinsi NTT. Hal tersebut mengindikasikan adanya kesenjangan
antarkabupaten/kota di Provinsi NTT. Oleh karena itu, dalam analisis ini peneliti
melakukan perhitungan kesenjangan antarwilayah kabupaten/kota di Provinsi
NTT untuk mengetahui perkembangan kesenjangan antarwilayah kabupaten/kota
di Provinsi NTT pada periode pengamatan 2007-2010.
5.1.1 Indeks Williamson
Kesenjangan pembangunan antarwilayah kabupaten/kota di Provinsi NTT
pada tahun 2007-2010 dapat dianalisis dengan menggunakan indeks Williamson.
Data yang digunakan adalah data PDRB per kapita atas dasar harga konstan tahun
2000 menurut kabupaten/kota di Provinsi NTT dan data jumlah penduduk
kabupaten/kota serta jumlah penduduk provinsi NTT. Penghitungan Indeks
Williamson berdasarkan persamaan 3.3. Adapun hasil pengolahan data dapat
disajikan pada Tabel 5.1.
49
Tabel 5.1 Indeks Williamson Provinsi NTT Tahun 2007-2010
TAHUN IW
2007 0,4532
2008 0,4483
2009 0,4552
2010 0,4721
RATA-RATA 0,4572 Sumber: BPS (diolah), 2011
Berdasarkan Tabel 5.1 di atas, terlihat bahwa pada tahun 2007-2010, rata-
rata kesenjangan di Provinsi NTT sebesar 0,4572 dan termasuk kategori
kesenjangan level sedang. Sepanjang tahun 2007 terjadi kesenjangan sebesar
0,4532 dan terjadi penurunan kesenjangan selama periode tahun 2008 menjadi
0,4483. Adapun terjadi peningkatan kesenjangan pada tahun 2009 dan 2010
dimana masing-masing secara berurutan menjadi sebesar 0,4552 dan 0,4721.
Gambar 5.1 Indeks Williamson Provinsi NTT Tahun 2007-2010
0.4532
0.4483
0.4552
0.4721
0.4350
0.4400
0.4450
0.4500
0.4550
0.4600
0.4650
0.4700
0.4750
2007 2008 2009 2010
Inde
ks W
illia
mso
n
Tahun Pengamatan
50
Tren kesenjangan pembangunan antarkabupaten/kota di Provinsi NTT
selama periode pengamatan mengalami fluktuasi (Gambar 5.1). Akan tetapi jika
dilihat secara keseluruhan dari tahun 2007-2008, kesenjangan di Provinsi NTT
cenderung mengalami penurunan, namun pada kurun waktu 2008-2010
cenderung mengalami peningkatan. Adanya peningkatan kesenjangan ini salah
satunya diakibatkan karena adanya krisis global yang berimplikasi pada krisis
keuangan pada tahun 2008 yang melanda Indonesia sehingga Provinsi NTT tidak
luput dari pengaruh krisis ini, faktor lain yakni tingginya konsentrasi aktivitas
ekonomi di Kota Kupang sebagai pusat pemerintahan, bisnis dan sektor ekonomi
lainnya semakin memicu kesenjangan pembangunan antarkabupaten/kota di
Provinsi NTT.
5.1.2 Indeks Theil
Alat ukur kedua yang digunakan untuk menganalisis kesenjangan adalah
dengan menggunakan indeks Theil. Salah satu kelebihan dari indeks Theil adalah
bisa melihat kesenjangan antarkelompok dan dalam kelompok yang ditentukan.
Dalam analisis ini, digunakan data PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000
menurut kabupaten/kota di Provinsi NTT. Sejumlah 21 kabupaten/kota di Provinsi
NTT dikelompokkan ke dalam 3 pulau besar yaitu Pulau Timor, Sumba dan
Flores. Berikut ini adalah hasil perhitungan dengan menggunakan Indeks Theil
yang menggunakan persamaan 3.4 sampai dengan 3.7.
51
Tabel 5.2 Indeks Theil Provinsi NTT Tahun 2007-2010
Tahun Antar pulau Dalam pulau Total
Theil persen Theil persen Theil persen
2007 0,02216 28,15 0,05658 71,85 0,07874 100
2008 0,03210 42,08 0,04418 57,92 0,07628 100
2009 0,03228 41,30 0,04588 58,70 0,07816 100
2010 0,03350 40,51 0,04920 59,49 0,08270 100
RATA-RATA 0,03001 38,00 0,04896 62,00 0,07897 100 Sumber: BPS (diolah), 2011
Tabel 5.2 menunjukkan bahwa kesenjangan antarpulau dan kesenjangan
dalam pulau memberikan kontribusi yang cukup berbeda terhadap kesenjangan
total di Provinsi NTT. Kesenjangan antarpulau menyumbang sekitar 38 persen
dari total kesenjangan Provinsi NTT, sedangkan sisanya merupakan kontribusi
dari kesenjangan dalam pulau. Hal ini berarti pola kesenjangan di Provinsi NTT
menyebar tidak merata baik dari level kesenjangan antarpulau maupun
kesenjangan dalam pulau serta adanya indikasi kesenjangan dalam pulau lebih
besar dibandingkan kesenjangan antarpulau. Hal ini disebabkan oleh perbedaan
kondisi geografis dalam pulau yang meliputi beberapa kabupaten/kota sehingga
faktor kelimpahan sumber daya alam cukup berbeda antarkabupaten/kota dalam
satu pulau.
Pola kesenjangan pendapatan antara indeks Williamson dan indeks Theil
hampir sama yakni menunjukkan kecenderungan berfluktuasi yaitu periode tahun
2007-2008 mengalami penurunan nilai indeks, namun sebaliknya menampakkan
peningkatan yang signifikan pada periode 2008-2010 seperti yang ditampilkan
oleh Gambar 5.2.
52
Gambar 5.2 Indeks Theil Provinsi NTT Tahun 2007-2010 Perbedaan kondisi geografis merupakan faktor pemicu tingginya
kesenjangan baik antarpulau maupun dalam pulau. Adapun pulau Flores,
kontribusi sektor pertanian sangat dominan dalam pembentukan PDRB.
Sedangkan pulau Timor, sektor jasa-jasa mendominasi lantaran kota Kupang
sebagai ibukota provinsi terletak di dalam pulau Timor. Begitu pun pulau Sumba
hampir sama dengan pulau Flores dengan didominasi kondisi alam yang subur
sehingga sektor pertanian memiliki kontribusi yang cukup signifikan. Namun
nilainya masih lebih kecil dibandingkan hasil pertanian pulau Flores.
0.07874
0.07628
0.07816
0.08270
0.07200
0.07400
0.07600
0.07800
0.08000
0.08200
0.08400
2007 2008 2009 2010
Inde
ks T
heil
Tahun Pengamatan
53
5.1.3 Indeks Atkinson
Alat ukur ketiga yang digunakan untuk menganalisis kesenjangan adalah
dengan menggunakan indeks Atkinson. Penghitungan Indeks Atkinson
menggunakan persamaan 3.8 sampai dengan 3.10. Indikator ekonomi pada ukuran
ini menekankan pada indikator PDRB per kapita kabupaten/kota dan rata-rata
PDRB per kapita Provinsi NTT yang bertujuan untuk mengetahui dampak social
welfare loss atau dampak kesejahteraan sosial yang hilang akibat adanya
kesenjangan pendapatan setiap individu dalam wilayah kabupaten/kota.
Hasil perhitungan indeks Atkinson dapat ditunjukkan oleh Tabel 5.3 yang
menyertakan parameter kesenjangan ε yang bernilai 0,5 sampai dengan 3.
Tabel 5.3 Indeks Atkinson dan Persentase Pertumbuhan Provinsi NTT, 2007-2010
Tahun Indeks Atkinson dan Persentase Pertumbuhan
A(0,5) % A(1) % A(2) % A(3) %
2007 0,03067 0,00 0,05804 0,00 0,10795 0,00 0,14909 0,00
2008 0,03052 -0,50 0,05849 0,77 0,11048 2,35 0,15480 3,83
2009 0,03125 2,38 0,05982 2,27 0,11287 2,17 0,15740 1,68
2010 0,03298 5,53 0,06292 5,19 0,11805 4,59 0,16364 3,97
Sumber: BPS (diolah), 2011
Tabel 5.3 menggambarkan kecenderungan peningkatan kesenjangan
pendapatan ketika ε bervariasi untuk penggunaan data PDRB per kapita. Pola
kesenjangan cenderung berfluktuasi untuk ε=0,5, namun untuk ε=1, ε=2, dan ε=3
cenderung meningkat pada periode tahun 2007 hingga tahun 2010.
54
Selama periode pengamatan memunculkan adanya indikasi ε yang
semakin besar maka persentase perubahan indeks Atkinson juga semakin besar.
Pada tahun 2008 dengan ε=0,5 indeks Atkinson turun 0,5 persen, meningkat
ketika ε=1 yaitu 0,77 persen, dan ketika ε=2 meningkat sebesar 2,35 persen serta
ketika ε=3 meningkat kembali sebesar 3,83 persen. Pada tahun 2009 dengan ε=0,5
indeks Atkinson naik 2,38 persen, meningkat ketika ε=1 yaitu 2,27 persen, dan
ketika ε=2 meningkat sebesar 2,17 persen serta ketika ε=3 meningkat kembali
sebesar 1,68 persen. Pada tahun 2010 dengan ε=0,5 indeks Atkinson naik 5,53
persen, meningkat ketika ε=1 yaitu 5,19 persen, dan ketika ε=2 meningkat
sebesar 4,59 persen serta ketika ε=3 meningkat kembali sebesar 3,97 persen.
Hal ini menunjukkan jika transfer pendapatan masyarakat untuk
meningkatkan PDRB per kapita dilakukan hanya pada kabupaten dengan PDRB
per kapita terkecil saja maka kesenjangan akan makin meningkat. Hal ini
disebabkan karena kesenjangan di Provinsi NTT rendah atau cenderung merata,
sehingga mekanisme transfer justru akan memperbesar tingkat kesenjangan jika
dilakukan tidak tepat sasaran.
Tahun 2007 dengan ε=0,5 indeks Atkinson sebesar 0,0307 yang berarti
terdapat social welfare loss sebesar 3,07 persen dan tidak termanfaatkan untuk
dapat menuju ke level kesejahteraan tertinggi dari PDRB per kapita yang ada.
Adapun tahun 2008 social welfare loss menurun menjadi 3,05 persen dan
kembali meningkat menjadi 3,12 persen pada tahun 2009 serta kembali melonjak
pada level 3,30 persen pada tahun 2010.
55
Tahun 2007 dengan ε=1 indeks Atkinson sebesar 0,0580 yang berarti
terdapat social welfare loss sebesar 5,80 persen dan tidak termanfaatkan untuk
dapat menuju ke level kesejahteraan tertinggi dari PDRB per kapita yang ada.
Adapun tahun 2008 social welfare loss meningkat menjadi 5,85 persen dan
kembali meningkat menjadi 5,98 persen pada tahun 2009 serta kembali melonjak
pada level 6,29 persen pada tahun 2010.
Tahun 2007 dengan ε=2 indeks Atkinson sebesar 0,1079 yang berarti
terdapat social welfare loss sebesar 10,79 persen dan tidak termanfaatkan untuk
dapat menuju ke level kesejahteraan tertinggi dari PDRB per kapita yang ada.
Adapun tahun 2008 social welfare loss meningkat menjadi 11,05 persen dan
kembali meningkat menjadi 11,29 persen pada tahun 2009 serta kembali melonjak
pada level 11,80 persen pada tahun 2010.
Tahun 2007 dengan ε=3 Indeks Atkinson sebesar 0,1490 yang berarti
terdapat social welfare loss sebesar 14,90 persen dan tidak termanfaatkan untuk
dapat menuju ke level kesejahteraan tertinggi dari PDRB per kapita yang ada.
Adapun tahun 2008 social welfare loss meningkat menjadi 15,48 persen dan
kembali meningkat menjadi 15,74 persen pada tahun 2009 serta kembali melonjak
pada level 16,36 persen pada tahun 2010.
56
5.2 Tipologi Klassen
Klasifikasi daerah dilakukan berdasarkan dua indikator utama, yaitu
pertumbuhan ekonomi dan produk domestik regional bruto per kapita daerah.
Sumbu horizontalnya (sumbu-x) adalah rata-rata produk domestik regional bruto
per kapita, sedangkan sumbu vertikalnya (sumbu-y) adalah rata-rata pertumbuhan
ekonomi seperti yang disajikan oleh Gambar 5.3.
Keterangan: 1. Kabupaten Sumba Barat 2. Kabupaten Sumba Timur 3. Kabupaten Kupang 4. Kabupaten Timor Tengah Selatan 5. Kabupaten Timor Tengah Utara 6. Kabupaten Belu 7. Kabupaten Alor 8. Kabupaten Lembata 9. Kabupaten Flores Timur 10. Kabupaten Sikka
11. Kabupaten Ende 12. Kabupaten Ngada 13. Kabupaten Manggarai 14. Kabupaten Rote Ndao 15. Kabupaten Manggarai Barat 16. Kabupaten Sumba Barat Daya 17. Kabupaten Sumba Tengah 18. Kabupaten Nagekeo 19. Kabupaten Manggarai Timur 20. Kabupaten Sabu Raijua 21. Kota Kupang
Gambar 5.3 Tipologi Klassen Provinsi NTT Tahun 2007-2010
1
2
3
4
5
6
7 8 9
10
11
12 13
14
15
16
20
18
19 17
21
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
8.00
9.00
0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00
Pert
umbu
han
Ekon
omi (
pers
en)
PDRB Perkapita (juta rupiah)
57
Dalam analisis ini akan diklasifikasikan kabupaten/kota dengan
menggunakan tipologi Klassen. Berdasarkan hasil pengolahan data didapatkan
bahwa empat klasifikasi kabupaten/kota yaitu daerah cepat maju dan cepat
tumbuh, daerah maju tetapi tertekan, daerah berkembang cepat, dan daerah relatif
tertinggal. Alat analisis ini sangat berguna untuk berbagai pihak terutama
pemerintah dalam hal menentukan kebijakan pembangunan bagi daerah tertinggal
maupun daerah maju. Adapun Tabel 5.4 menampilkan hasil alat analisis tipologi
Klassen.
Tabel 5.4. Tipologi Klassen Kabupaten/Kota di Provinsi NTT Tahun 2007-2010 Kuadran I. Kabupaten/kota cepat maju dan cepat tumbuh 1. Kabupaten Sumba Barat 2. Kabupaten Sumba Timur 3. Kabupaten Belu
4. Kabupaten Ngada 5. Kabupaten Rote Ndao 6. Kota Kupang
Kuadran II. Kabupaten/kota maju tetapi tertekan 1. Kabupaten Kupang 2. Kabupaten Flores Timur 3. Kabupaten Sikka 4. Kabupaten Ende Kuadran III. Kabupaten/kota berkembang cepat 1. Kabupaten Timor Tengah Utara 2. Kabupaten Manggarai 3. Kabupaten Sumba Barat Daya Kuadran IV. Kabupaten/kota relatif tertinggal 1. Kabupaten Timor Tengah Selatan 2. Kabupaten Alor 3. Kabupaten Lembata 4. Kabupaten Manggarai Barat
5.Kabupaten Sumba Tengah 6. Kabupaten Nagekeo 7. Kabupaten Manggarai Timur 8. Kabupaten Sabu Raijua
Sumber: BPS (diolah), 2011
Tabel 5.4 menampilkan bahwa yang termasuk dalam Kuadran I atau
klasifikasi daerah cepat maju dan cepat tumbuh adalah kabupaten/kota di Pulau
58
Timor yaitu Kota Kupang, Kabupaten Belu dan Rote Ndao, kabupaten/kota di
Pulau Sumba antara lain adalah Kabupaten Sumba Barat dan Sumba Timur serta
Pulau Flores adalah Kabupaten Ngada.
Adapun yang termasuk dalam Kuadran II atau klasifikasi daerah maju
tetapi tertekan adalah kabupaten/kota di Pulau Timor yaitu Kabupaten Kupang
serta Pulau Flores adalah Kabupaten Flores Timur, Sikka dan Ende.
Pada Kuadran III atau klasifikasi daerah berkembang cepat adalah
kabupaten/kota di Pulau Timor yaitu Kabupaten Timor Tengah Utara,
kabupaten/kota di Pulau Sumba antara lain adalah Kabupaten Sumba Barat Daya
serta Pulau Flores adalah Kabupaten Manggarai.
Pada Kuadran IV atau daerah relatif tertinggal antara lain kabupaten/kota
di Pulau Timor yaitu Kabupaten Timor Tengah Selatan, Alor dan Sabu Raijua,
kabupaten/kota di Pulau Sumba antara lain adalah Kabupaten Sumba Tengah serta
Pulau Flores adalah Kabupaten Lembata, Manggarai Barat, Nagekeo dan
Manggarai Timur.
Diantara beberapa kabupaten/kota yang tergolong daerah relatif tertinggal,
terdapat 8 kabupaten yang dinyatakan sebagai daerah tertinggal oleh Kementrian
Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) pada RPJMN 2005-2009.
Penentuan 8 kabupaten tertinggal tersebut berdasarkan enam kriteria utama, yaitu
perekonomian masyarakat, sumber daya manusia, infrastruktur (prasarana),
kemampuan keuangan lokal (celah fiskal), aksesibilitas, dan karakteristik daerah.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan analisis dan pembahasan
yang diuraikan di atas, yaitu:
1. Berdasarkan analisis indeks Williamson dapat disimpulkan bahwa
kesenjangan antarkabupaten/kota di Provinsi NTT menunjukkan
kesenjangan dengan level sedang.
2. Berdasarkan analisis indeks Theil dapat disimpulkan bahwa kesenjangan
antarpulau dan dalam pulau di Provinsi NTT memberikan kontribusi yang
cukup berbeda terhadap kesenjangan total di Provinsi NTT dimana
kesenjangan dalam pulau lebih besar daripada antarpulau.
3. Berdasarkan analisis indeks Atkinson dapat disimpulkan bahwa
penggunaan parameter kesenjangan yang bervariasi dan makin besar
dalam pengukuran indeks Atkinson di Provinsi NTT menunjukkan social
welfare loss yang makin tinggi persentasenya. Hal ini menunjukkan bahwa
terjadi distribusi perekonomian yang kurang merata antarkabupaten/kota.
4. Berdasarkan analisis tipologi Klassen bahwa kabupaten/kota di Provinsi
NTT paling banyak berada di kuadran keempat (daerah relatif tertinggal)
yakni Kabupaten Timor Tengah Selatan, Alor, Lembata, Manggarai Barat,
Sumba Tengah, Nagekeo, Manggarai Timur dan Sabu Raijua.
60
6.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas dapat diberikan beberapa saran yang dapat
digunakan antara lain:
1. Basis ekonomi antardaerah perlu mendapatkan perhatian serius.
Konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi di daerah tertentu seperti Kota
Kupang merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya
kesenjangan pembangunan antardaerah. Oleh karena itu, perlu adanya
pemisahan antara pemerintahan, industri, dan perdagangan.
2. Diperlukan suatu kerjasama dan koordinasi antara kabupaten/kota, terutama
dalam satu pulau untuk mengejar ketertinggalan pembangunan
antarwilayah.
3. Diperlukan upaya terencana dan berkesinambungan untuk mencapai
pertumbuhan ekonomi yang disertai dengan pemerataan (growth with
equity) khususnya bagi daerah relatif tertinggal dengan strategi
penanggulangan kemiskinan dan membuka isolasi daerah serta bagi daerah
yang cepat maju dan berkembang dengan strategi menarik investasi dan
promosi daerah.
4. Dengan hasil penelitian ini diharapkan pemerintah daerah dapat mendeteksi
jika ada kesalahan dalam pengambilan kebijakan untuk mewujudkan
distribusi perekonomian yang lebih merata, khususnya pada kebijakan
transfer pendapatan. Distribusi perekonomian yang lebih merata akan dapat
mengurangi social welfare loss yang berarti tingkat kesejahteraan
masyarakat akan mencapai titik maksimal dari pendapatan atau PDRB yang
61
dihasilkan.
5. Hasil penelitian ini akan lebih berarti bilamana dikaitkan dengan masalah-
masalah sosial ekonomi lainnya seperti pendidikan, kesehatan, angkatan
kerja, dan lain-lain. Untuk itu penulis menyarankan adanya penelitian
lanjutan yang diharapkan dapat meninjau berbagai isu yang berkembang
secara lebih luas dan mendalam.
6. Penelitian ini tidak mencakup faktor-faktor yang mempengaruhi
kesenjangan antarwilayah, untuk itu penulis menyarankan penelitian yang
lebih luas dan terperinci mengenai aspek-aspek regional yang dapat
menyebabkan kesenjangan antarwilayah.
62
DAFTAR PUSTAKA
Akita, T. dan Kataoka, M. 2003. Regional Income Inequality in the Post War Japan. 43rd Congress of the European Regional Science Association, Jyvaskyla, Finland.
Badan Pusat Statistik. 2000. Pedoman Praktis Penghitungan PDRB
Kabupaten/Kotamadya: Pengertian Dasar: Buku 1, Jakarta. _______. 2011. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota di Indonesia 2006-2010, Jakarta. _______. 2011. Provinsi NTT Dalam Angka 2011, Kupang. Bhakti, A.S.A.S. 2004. Kesenjangan Antardaerah di Pulau Jawa Ditinjau dari
Perspektif Sektoral dan Regional [tesis]. Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Depok.
Bhakti, D. 2009. Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Nusa Tenggara Timur
Sebelum dan Selama Desentralisasi [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Bhinadi, A. 2002. “Disparitas Pertumbuhan Ekonomi Jawa dengan Luar Jawa”.
Jurnal Ekonomi Pembangunan: Kajian Ekonomi Negara Berkembang, Volume 8, Nomor 1: 39-48.
Caska dan RM. Riadi. 2005. “Pertumbuhan dan Ketimpangan Pembangunan
Ekonomi Antar Daerah di Provinsi Riau”. Universitas Riau, Pekanbaru. Chrisyanto, C. 2006. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketimpangan
Perekonomian antar Daerah di Indonesia [tesis]. Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Depok.
Emilia dan Imelia. 2006. Ekonomi Regional. Fakultas Ekonomi, Universitas
Jambi, Jambi. Hartono, B. 2008. Analisis Ketimpangan Pembangunan Ekonomi di Provinsi
Jawa Tengah [thesis]. Program Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro, Semarang.
Jhingan, M.L. 2010. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Rajawali Pers,
Jakarta. Khusaini. 2004. Analisis Disparitas Antar Daerah Kabupaten/Kota Dan
Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional di Provinsi
63
Banten [tesis]. Program Pasca Sarjana Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Depok.
Kuncoro, M. 2003. Metode Riset untuk Bisnis dan Ekonomi. Erlangga, Jakarta. Mankiw, N. G. 2007. Makroekonomi. Edisi keenam. Erlangga, Jakarta. Masli, L. 2009. “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan
Ekonomi dan Ketimpangan Regional antar Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat”. Jurnal Sains Manajemen dan Akuntansi STIE STAN-IM. Volume 1, Nomor 1.
Prasetyo, R.B. 2008. Ketimpangan dan Pengaruh Infrastruktur Terhadap
Pembangunan Ekonomi Kawasan Barat Indonesia [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Prayitno, H. dan Santosa, B. 1996. Ekonomi Pembangunan. Ghalia Indonesia,
Jakarta. Priyanto, A. 2009. Analisis Ketimpangan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Banten [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Rani, I. 2010. Analisis Kesenjangan Antar Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi
Riau Tahun 2003-2009 [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Saskara, I.A. 2007. “Kesenjangan Pembangunan Ekonomi antar Daerah
Kabupaten/Kota di Provinsi Bali”. Forum Manajemen, Volume 5, Nomor 1: 91-97.
Sjafrizal. 2008. Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Baduose Media, Padang. Sukirno, S. 2007. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah, dan Dasar
Kebijakan. Kencana, Jakarta. Sutarno dan Kuncoro, M. 2003. “Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Antar
Kecamatan di Kabupaten Banyumas”. Jurnal Ekonomi Pembangunan: Kajian Ekonomi Negara Berkembang, Volume 8, Nomor 2:97-110.
Tadjoeddin, M.Z. 2003. Aspiration To Inequality:Regional Disparity And Centre-
Regional Conflicts In Indonesia. United Nations University, Tokyo. Todaro, M.P. dan Smith, S.C. 2006. Pembangunan Ekonomi. Jilid I. Edisi ke-9.
Haris Munandar (penerjemah). Erlangga, Jakarta.
64
Wijayanto, D.Y. 2005. Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan Daerah di Kabupaten Semarang [skripsi]. Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang, Semarang.
65
Lampiran 1. PDRB ADHK 2000 Kabupaten/Kota di Provinsi NTT, 2007-2010 (Ribuan Rupiah)
Kabupaten/Kota 2007 2008 2009 2010
01. Sumba Barat 258 724 281 270 845 961 284 833 614 300 689 305
02. Sumba Timur 613 747 205 655 129 170 682 566 495 715 503 256
03. Kupang 893 994 097 931 228 823 969 884 266 1 009 559 914
04. Timor Tengah Selatan 843 141 848 879 824 457 915 563 193 954 254 063
05. Timor Tengah Utara 416 490 563 446 618 972 471 674 665 498 973 627
06. Belu 813 192 871 930 308 528 974 399 443 1 022 047 575
07. Alor 375 478 311 393 004 420 409 230 966 429 126 052
08 Lembata 134 531 011 139 373 023 145 601 650 152 442 886
09. Flores Timur 545 452 835 571 071 851 590 406 007 624 823 820
10. Sikka 742 620 526 789 829 978 821 368 532 858 010 697
11. Ende 687 847 648 721 013 207 757 636 747 797 813 736
12. Ngada 344 018 401 364 558 873 382 952 040 403 877 478
13. Manggarai 512 290 661 534 940 484 562 824 316 595 465 072
14. Rote Ndao 289 588 841 315 767 780 330 535 075 347 514 765
15. Manggarai Barat 359 292 993 381 360 920 394 786 689 408 240 521
16. Sumba Barat Daya 336 001 310 351 760 247 369 056 691 385 171 150
17. Sumba Tengah 91 974 290 94 601 783 97 560 600 101 201 013
18. Nagekeo 266 471 474 280 658 172 293 953 663 307 230 579
19. Manggarai Timur 338 828 125 350 932 191 369 281 727 385 779 493
20.Sabu Raijua 126 167 724 128 893 259 136 316 617 146 970 436
21. Kota Kupang 1 860 990 122 2 000 223 460 2 122 332 805 2 296 923 513
Provinsi NTT 10 850 845 136 11 531 945 559 12 082 765 801 12 741 618 951
66
Lampiran 2. PDRB per Kapita Kabupaten/Kota di Provinsi NTT, 2007-2010 (Rupiah)
Kabupaten/Kota 2007 2008 2009 2010
01. Sumba Barat 2 352 015 2 396 394 2 465 661 2 551 957
02. Sumba Timur 2 624 867 2 736 336 2 836 951 2 955 315
03. Kupang 2 575 958 2 916 833 3 033 265 3 158 800
04. Timor Tengah Selatan 1 926 646 1 975 321 1 960 668 2 018 023
05. Timor Tengah Utara 1 917 171 1 906 156 1 975 611 2 060 907
06. Belu 1 817 603 2 756 943 2 823 045 2 901 096
07. Alor 1 999 153 2 032 974 2 095 981 2 109 751
08 Lembata 1 220 903 1 187 184 1 208 361 1 235 620
09. Flores Timur 2 228 676 2 413 263 2 457 442 2 565 480
10. Sikka 2 593 721 2 551 773 2 617 544 2 700 271
11. Ende 2 817 419 2 674 232 2 776 697 2 892 558
12. Ngada 2 504 356 2 520 700 2 594 285 2 686 971
13. Manggarai 1 984 097 1 806 502 1 861 688 1 931 963
14. Rote Ndao 2 533 486 2 734 680 2 729 155 2 745 812
15. Manggarai Barat 1 715 351 1 724 102 1 734 783 1 747 190
16. Sumba Barat Daya 1 244 848 1 223 261 1 249 888 1 273 525
17. Sumba Tengah 1 453 660 1 485 818 1 499 683 1 525 668
18. Nagekeo 2 064 290 2 110 796 2 171 981 2 220 711
19. Manggarai Timur 1 231 550 1 348 380 1 389 005 1 423 059
20.Sabu Raijua 2 320 697 2 086 011 1 970 714 1 919 513
21. Kota Kupang 5 513 319 5 463 599 5 606 575 5 907 672
Provinsi NTT 2 301 357 2 420 087 2 477 378 2 562 141
Top Related