BAB IPENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perbedaan teologi dalam agama Islam tidak akan ada habis-habisnya, karena
terus menerus terjadi perpecahan dan penyempalan mulai dengan munculnya khawarij
dan syiah kemudian muncullah satu kelompok lain yang berkedok dan berlindung
dibawah syiar akal dan kebebasan berfikir, satu syiar yang menipu dan mengelabuhi
orang-orang yang tidak mengerti bagaimana Islam telah menempatkan akal pada porsi
yang benar. sehingga banyak kaum muslimin yang terpuruk dan terjerumus masuk
pemikiran kelompok ini. akhirnya terpecahlah dan berpalinglah kaum muslimin dari
agamanya yang telah diajarkan Rasulullah dan para shahabat-shahabatnya. Akibat dari
hal itu bermunculanlah kebidahan-kebidahan yang semakin banyak dikalangan kaum
muslimin sehingga melemahkan kekuatan dan kesatuan mereka serta memberikan
gambaran yang tidak benar terhadap ajaran Islam, bahkan dalam kelompok ini terdapat
hal-hal yang sangat berbahaya bagi Islam yaitu mereka lebih mendahulukan akal dan
Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk menasehati
saudaranya agar tidak terjerumus kedalam pemikiran kelompok ini yaitu kelompok
Mu’tazilah yang pengaruh penyimpangannya masih sangat terasa sampai saat ini dan
masih dikembangkan oleh para kolonialis kristen dan yahudi dalam menghancurkan
kekuatan kaum muslimin dan persatuannya.
Bermunculanlah pada era dewasa ini pemikiran mu’tazilah dengan nama-nama
yang yang cukup menggelitik dan mengelabuhi orang yang membacanya, mereka
menamainya dengan Aqlaniya, Modernisasi pemikiran, Westernasi, sekulerisme serta
nama-nama lainnya yang mereka buat untuk menarik dan mendukung apa yang mereka
anggap benar dari pemkiran itu dalam rangka usaha mereka menyusupkan dan
menyebarkan pemahaman dan pemikiran ini. Oleh karena itu perlu dibahas asal
pemikiran ini agar diketahui penyimpangan dan penyempalannya dari Islam, maka dalam
pembahasan kali ini akan dibagi menjadi beberapa pokok pembahasan.
2.1 Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah munculnya aliran Mu’tazilah?
2. Bagaimana ajaran-ajaran aliran Mu’tazilah?
3. Apa sajakah kritikan untuk aliran Mu’tazilah?
2.1 Tujuan
Mengatahui bagaimana sejarah munculnya aliran Mu’tazilah
Mengetahui bagaimana ajaran-ajaran Mu’tazilah
Dan mengetahui berbagai macam kritikan untuk Mu’tazilah
BAB II
PEMBAHASAN
Problematika teologis di kalangan umat Islam baru muncul pada masa pemerintahan
Khalifah Ali bin Abi Thalib (656-661M) yang ditandai dengan munculnya kelompok dari
pendukung Ali yang memisahkan diri mereka karena tidak setuju dengan sikap ‘Ali yang
menerima Tahkim dalam menyelesaikan konfliknya dengan Muawiyah bin Abi Sofyan,
Gubernur Syam, pada waktu Perang Siffin. Di situ ‘Ali mengalami kekalahan diplomatis dan
kehilangan kekuasaan “de jure”-nya. Karena itu mereka memisahkan diri dengan membentuk
kelompok baru yang kelak terkenal dengan sebutan kaum Khawarij (Pembelot atau
Pemberontak). Kaum Khawarij memandang ‘Ali dan Mu’awiyah sebagai kafir karena
mengkompromikan yang benar (haqq) dengan yang palsu (bathil). Karena itu mereka
merencanakan untuk membunuh ‘Ali dan Mu’awiyah. Tapi kaum Khawarij, melalui
seseorang bernama Ibn Muljam, hanya berhasil membunuh ‘Ali, sedangkan Mu’awiyah
hanya mengalami luka-luka saja.
Bila Khawarij merupakan kelompok yang kontra terhadap Ali, maka kelompok kedua
yang muncul kepermukaan yaitu Rhawafidl (Syi’ah) justru kebalikan Khawarij. Mereka
adalah pendukung Ali dan mendaulatkan bahwa Ali-lah yang berhak menyandang gelar
khalifah setelah Nabi Muhammad SAW. bukan Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Mereka
semua ini bahkan dikafirkan oleh Syi’ah.
Selanjutnya muncul pula Murji’ah pada akhir kurun pertama (akhir masa sahabat)
tepatnya pada masa pemerintahan Ibnu Zubair dan Abdul Malik. Kemudian pada awal kurun
kedua (masa tabi’in) yakni pada masa akhir pemerintahan Bani Umayyah muncul Jahmiyah,
Musyabihah, dan Mumatstsilah yang diusung Ja’di bin Dirham dan Jahm bin Shafwan,
penganut faham Jabariyah. Kemunculan berikutnya adalah Mu’tazilah yang mempunyai ciri
khas ialah rasionalitas dan paham Qadariyyah kebalikan dengan apa yang diusung Jahm bin
Shafwan.
Mu’tazilah sebenarnya merupakan gerakan keagamaan semata, mereka tidak pernah
membentuk pasukan, dan tidak pernah menghunus pedang. Riwayat-riwayat yang
menyebutkan tentang keikutsertaan beberapa pemimpin kaum Mu’tazilah, seperti ‘Amru Ibnu
‘Ubaid dalam serangan yang dilancarkan kepada al-Walid ibn Yazid, dan yang menyebabkan
gugurnya Al Walid ibnu Yazid, tidaklah menyebabkan Mu’tazilah ini menjadi suatu
golongan yang mempunyai dasar-dasar kemiliteran, sebab pemberontakan terhadap Al-Walid
itu bukanlah pemberontakan kaum Mu’tazilah, melainkan adalah suatu pemberontakan yang
berakar panjang yang berhubungan dengan kepribadian dan moral Khalifah. Maka ikut-
sertanya beberapa orang Mu’tazilah dalam pemberontakan itu hanyalah secara perseorangan,
disebabkan prinsip-prinsip umum, yang menyebabkan rakyat memberontak kepada penguasa
yang zalim.
Walaupun gerakan Mu’tazilah merupakan gerakan keagamaan, namun pada saat ia
mempunyai kekuatan ia tidak segan-segan menggunakan kekerasan dan tekanan-tekanan
terhadap pihak-pihak yang menantangnya. Pemakaian kekerasan itu dipandang sebagai salah
satu dari sikap Mu’tazilah yang tercela. Dan adanya tekanan-tekanan itu menjadi sebab yang
terpenting bagi lenyapnya aliran ini di kemudian hari.
Meskipun aliran Mu’tazilah pada era dewasa ini sulit ditemukan, pemikiran-
pemikiran Mu’tazilah menurut hemat penulis sepertinya terus berkembang, tentunya dengan
gaya baru dan dengan nama-nama yang cukup menggelitik dan mengelabui orang yang
membacanya. Sebut saja istilah Modernisasi Pemikiran, Sekulerisme, dan nama-nama
lainnya yang mereka buat untuk menarik dan mendukung apa yang mereka anggap benar dari
pemikiran itu dalam rangka usaha mereka menyusupkan dan menyebarkan pemahaman dan
pemikiran yang bersumber dari akal pikiran semata.
Untuk itulah, pada kesempatan ini penulis mencoba untuk membahas tentang asal
usul aliran Mu’tazilah berikut prinsip-prinsip pemikiran mereka agar kita dapat mengetahui
secara jelas apakah aliran ini memang dapat diterima atau malah menyimpang dari ajaran
agama Islam. Namun pada pembahasan ini, penulis sengaja tidak banyak memaparkan bentuk
bantahan-bantahan terhadap aliran Mu’tazilah ini, karena tujuan utama makalah ini hanya
sekedar memperkenalkan prinsip-prinsip aliran tersebut.
A. Latar belakang munculnya aliran Mu’tazilah
Secara etimologi, Mu’tazilah berasal dari kata “i’tizal” yang artinya menunjukkan
kesendirian, kelemahan, keputus-asaan, atau mengasingkan diri.1
Sedang secara terminologi sebagian ulama mendefenisikan Mu’tazilah sebagai satu
kelompok dari Qodariyah yang berselisih pendapat dengan umat Islam yang lain dalam
permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh Washil bin Atho’ dan Amr bin
Ubaid pada zaman Al Hasan Al-Bashri. Aliran ini muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad
ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik
Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk
Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi
Al-Ghozzal.2
Munculnya aliran Mu’tazilah sebagai reaksi atas pertentangan antara aliran Khawarij
dan aliran Murjiah mengenai soal orang mukmin yang berdosa besar. Menurut orang
Khawarij, orang mukmin yang berdosa besar tidak dapat dikatakan mukmin lagi, melainkan
sudah menjadi kafir. Sementara itu, kaum Murjiah tetap menganggap orang mukmin yang
berdosa besar itu sebagai mukmin, bukan kafir. Menghadapi kedua pendapat yang
kontroversial ini, Wasil bin Atha' yang ketika itu menjadi murid Hasan Al-Basri, seorang
ulama terkenal di Basra, mendahalui gurunya mengeluarkan pendapat bahwa orang mukmin
yang berdosa besar menempati posisi antara mukmin dan kafir. Tegasnya orang itu bukan
mukmin dan bukan pula kafir, tetapi di antara keduanya. Oleh karena di akhirat nanti tidak
ada tempat di antara surga dan neraka, maka orang itu dimasukkan ke dalam neraka, tetapi
siksaan yang diperolehnya lebih ringan dari siksaan orang kafir.
Sebenarnya, kelompok Mu’tazilah ini telah muncul pada pertengahan abad pertama
Hijrah yakni diistilahkan pada para sahabat yang memisahkan diri atau bersikap netral dalam
peristiwa-peristiwa politik. Yakni pada peristiwa meletusnya Perang Jamal dan Perang Siffin,
yang kemudian mendasari sejumlah sahabat yang tidak mau terlibat dalam konflik tersebut
dan memilih untuk menjauhkan diri mereka dan memilih jalan tengah. Sedangkan pada abad
1 Luwis Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughah, (Bairut: Darul Kitab, t.t), hal. 2072 Musthafa Muhammad Syak’ah, Islam Tanpa Mazhab, Terj. Abu Zaidan Al-Yamani & Abu Zahrah Al-Jawi (Solo: Tiga Serangkai, 2008), hal. 489
kedua Hijrah, Mu’tazilah muncul karena didorong oleh persoalan aqidah. Dan secara teknis,
istilah Mu’tazilah ini menunjukkan pada dua golongan, yaitu:
Golongan pertama disebut Mu’tazilah I: Muncul sebagai respon politik murni, yakni
bermula dari gerakan atau sikap politik beberapa sahabat yang “gerah” terhadap kehidupan
politik umat Islam pada masa pemerintahan ‘Ali. Seperti diketahui, setelah Ustman terbunuh,
‘Ali diangkat menjadi Khalifah. Namun pengangkatan ini mendapat protes dari beberapa
sahabat lainnya. ‘Aisyah, Zubair dan Thalhah mengadakan perlawanan di Madinah, namun
berhasil dipadamkan. Sementara di Damaskus, gubernur Mu’awiyah juga mengangkat senjata
melawan ‘Ali. Melihat situasi yang kacau demikian, beberapa sahabat senior seperti Abdullah
ibn ‘Umar, Sa’ad ibn Abi Waqqas dan Zaid ibn Tsabit bersikap netral. Mereka tidak mau
terlibat dalam pertentangan kelompok-kelompok di atas. Sebagai reaksi atas keadaan ini,
mereka sengaja menghindar (i’tazala) dan memperdalam pemahaman agama serta
meningkatkan hubungan kepada Allah. Menurut Abdur Razak, golongan inilah yang mula-
mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah
khalifah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada
kaum Mu’tazilah yang tumbuh di kemudian hari.3
Golongan kedua disebut Mu’tazilah II: Muncul sebagai respon persoalan teologis
yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim.
Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan
Mur’jiah tentang pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar. Namun demikian,
antara kedua golongan ini masih terdapat hubungan yang sangat erat dan tidak bisa dipisah-
pisahkan. Mengenai pemberian nama Mu’tazilah untuk golongan kedua ini terdapat beberapa
versi, di antaranya:
1. Versi Asy-Syahrastani mengatakan bahwa nama Mu’tazilah ini bermula pada
peristiwa yang terjadi antara Washil bin Atha’ serta temannya, Amr bin Ubaid, dan
Hasan Al-Bashri di Basrah. Ketika Washil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh
Hasan Al-Basri di masjid Basrah, datanglah seseorang yang bertanya mengenai
pendapat Hasan Al-Basri tentang orang yang berdosa besar. Ketika Hasan Al Basri
masih berpikir, tiba-tiba Washil mengemukakan pendapatnya: “Saya berpendapat
bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi
berada pada posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir”. Kemudian dia
3Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), hal. 77
menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan pergi ke tempat lain di lingkungan mesjid.
Di sana Washil mengulangi pendapatnya di hadapan para pengikutnya. Dengan
adanya peristiwa ini, Hasan Al Basri berkata: “Washil menjauhkan diri dari kita
(i’tazaala anna).” Menurut Asy-Syahrastani, kelompok yang memisahkan diri pada
peristiwa inilah yang disebut kaum Mu’tazilah.4
2. Versi Al-Baghdadi menyebutkan bahwa Washil bin Atha’ dan temannya, Amr bin
Ubaid, diusir oleh Hasan Al Basri dari majelisnya karena adanya pertikaian di antara
mereka tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan
diri dari Hasan Al Basri dan berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak
mukmin dan tidak pula kafir. Oleh karena itu golongan ini dinamakan Mu’tazilah.5
3. Versi Tasy Kubra Zadah berkata bahwa Qatadah bin Da’amah pada suatu hari masuk
mesjid Basrah dan bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya
adalah majelis Hasan Al Basri. Setelah mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan
majelis Hasan Al Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata, “ini kaum
Mu’tazilah”. Sejak itulah kaum tersebut dinamakan Mu’tazilah.6
Ketika pertama kali muncul, aliran Mu’tazilah tidak mendapat simpati umat Islam,
terutama di kalangan masyarakat awam karena mereka sulit memahami ajaran-ajaran
Mu’tazilah yang bersifat rasional dan filosofis. Alasan lain mengapa aliran ini kurang
mendapatkan dukungan umat Islam pada saat itu, karena aliran ini dianggap tidak teguh dan
istiqomah pada sunnah Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Aliran Mu’tazilah baru
mendapatkan tempat, terutama di kalangan intelektual pada pemerintahan Khalifah al
Ma'mun, penguasa Abbasiyah (198-218 H/813-833 M).
Kedudukan Mu’tazilah semakin kokoh setelah Khalifah al Ma'mun menyatakannya
sebagai mazhab resmi negara. Hal ini disebabkan karena Khalifah al Ma'mun sejak kecil
dididik dalam tradisi Yunani yang gemar akan filsafat dan ilmu pengetahuan. Pada masa
kejayaan itulah karena mendapat dukungan dari penguasa, kelompok ini memaksakan
alirannya yang dikenal dalam sejarah dengan peristiwa Mihnah (Pengujian atas paham bahwa
4 Muhammad bin Abd Al-Karim Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, (Beirut-Libanon: Dar al-Kurub al-'Ilmiyah, 1951), hal. 485 Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), hal. 786 Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), hal. 78
Alquran itu makhluk Allah, jadi tidak qadim). Jika Al-Qur’an dikatakan qadim, berarti ada
yang qadim selain Allah, dan ini hukumnya syirik.
Pada umumnya ulama berpendapat bahwa tokoh utama Mu’tazilah adalah Wasil Ibn
Atha’. Ia adalah seorang peserta dalam forum ilmiah Hasan Al-Basri. Dalam forum ini
muncul masalah yang hangat pada waktu itu, yaitu masalah pelaku dosa besar. Wasil berkata
dalam menentang pendapat Hasan.
Kami juga berpendapat bahwa madzhab ini sudah ada lebih dahulu sebelum kisah
washil, walaupun banyak ahlu bait yang menempuh pola pikir yang sama dengannya, seperti
Zaid Ibn Ali yang merupakan teman dekat washil. Washil sendiri adalah salah seorang
penyiar paham ini yang menonjol sehingga kebanyakan ulama memandang dialah tokoh
utamanya.
Sebagian orientalis berpendapat bahwa mereka dinamai Mu’tazilah karena mereka
terdiri dari orang–orang yang menjaga harga diri, sulit ekonominya, dan menolak hidup
bersenag-senang. Kata Mu’tazilah menunjukkan bahwa orang yang menyandang predikat itu
adalah mereka yang hidup zuhud terhadap dunia. Sebenarnya tidak semua penganut paham
ini seperti itu, tetapi sebagiannya bertaqwa dan ada pula yang dituduh melakukan pekerjaan–
pekerjaan maksiat, banyak yang baik dan ada pula yang jahat.7 Gerakan kaum Mu`tazilah
pada mulanya memiliki dua cabang yaitu:
1. Di Basrah (Iraq) yang dipimpin oleh Washil Ibn Atha` dan Amr Ibn Ubaid dengan
murid-muridnya, yaitu Ustman bin Ath Thawil, Hafasah bin Salim, dll. Ini
berlangsung pada permulaan abad ke 2 H. Kemudian pada awal abad ke 3 H wilayah
Basrah dipimpin oleh Abu Huzail Al-Allah (wafat 235), kemudian Ibrahim bin Sayyar
(211 H) kumudian tokoh Mu`tazilah lainnya.
2. Di Bagdad (Iraq) yang dipimpin dan didirikan oleh Basyir bin Al-Mu`tamar salah
seorang pemimpin Basrah yang dipindah ke Bagdad kemudian mendapat dukungan
dari kawan-kawannya, yaitu Abu Musa Al- Murdan, Ahmad bin Abi Daud,(w.240 H),
7 Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik Dan Aqidah Dalam Islam, (Jakarta : Logos Publishing House, 1996) , cet.1 hal.150
Ja’far bin Mubasysyar (w.234 H), dan Ja’far bin Harib al-Hamdani (w. 235 H).8
Inilah imam-imam Mu`tazilah di sekitar abad ke-2 dan ke-3. Di Basrah dan di
Bagdad, khalifah-khalifah Islam yang tereang-terangan menganut aliran ini dan
mendukunhnya adalah:
1. Yazid Bin Walid (Khalifah Bani Umayyah yang berkuasa pada tahun 125-126 H)
2. Ma`mun Bin Harun Ar-Rasyid (Khalifah Bani Abbasiah 198-218 H)
3. Al-Mu`tashim Bin Harun Ar-Rasyid (Khalifah Bani Abbasiah 218-227 H)
4. Al- Watsiq Bin Al- Mu`tashim (Khalifah Bani Abbasiah 227-232 H)
5. .Al-Ushul Al-Khamsah: Lima Ajaran Dasar Teologi Mu’tazilah
B. Ajaran Mu’tazilah
Kelima ajaran dasar mu’tazilah yang tertuang dalam Al-ushul al-khamsah adalah at-
tauhid (pengesaan tuhan), al-adl (keadilan tuhan), al-waad wa al-wa’id (janji dan ancaman
tuhan), al-manzilah bain al-manzilatain (posisi diantara dua posisi) dan al-amr bi al-ma’ruf
wa al-nahy an al-mungkar (menyerukan kepada kebaikan dan mencegah pada kemungkaran).
At-Tauhid
At-tauhid (pengesaan tuhan), merupakan prinsip utama dan intisari ajaran
mu’tazilah. Sebenarnya, setiap mazhab teologis dalam islam memegang doktrin ini.
Namun, bagi mu’tazilah, tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari
segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemahaeseaan-Nya. Tuhanlah satu-satunya
yang esa, yang unik dan tidak ada satupun yang menyamainya. Oleh karena itu, hanya
dialah yang qadim. Jika ada lebih dari satu yang qadim, maka telah menjadi ta’addud al-
qudama (berbilangnya dzat yang tak berpermulaan).9 Untuk memurnikan keesaan tuhan
(tazih), mu’tazilah menolak konsep tuhan memiliki sifat-sifat, menggambarkan fisik
tuhan (antromorfisme tajassum), dan tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Mu’tazilah
berpendapat bahwa tuhan itu esa, tak ada satupun yang menyamai-NYA. Dia maha
melihat, mendengar, kuasa, mengetahui dan sebagainya. Namun, itu semua bukanlah sifat
8 Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010), hal. 1659 Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), hal. 80
Allah, malainkan dzatnya. Menurut mereka, sifat adalah sesuatu yang melekat. Bila sifat
tuhan itu qodim, maka yang qodim itu berarti ada dua, yaitu dzat dan sifatnya. Wasil bin
Atha’ seperti yang dikutip oleh Asy-Syahrastani mengatakan “siapa yang mengatakan
sifat yang qadim, berarti telah menduakan tuhan” 10 ini tidak dapat diterima karena
merupakan perbuatan syirik.
Apa yang disebut dengan sifat menurut mu’tazilah adalah dzat tuhan itu
sendiri. Abu Hudzail, sebagaimana di kutip oleh Musthafa Muhammad, berkata “Tuhan
mengetahui dengan ilmu, dan ilmu itu adalah Tuhan itu sendiri. Tuhan berkuasa dengan
kekuasaannya, dan kekuasaan itu adalah tuhan itu sendiri”.11 Dengan demikian,
pengetahuan dan kekuasaan tuhan adalah tuhan itu sendiri, yaitu dzat dan esensi tuhan,
bukan sifat yang menempel pada dzatnya.
Mu’tazilah berpendapat bahwa Al-qur’an itu baru (diciptakan), Al-qur’an
adalah manifestasi dari kalam tuhan, Al-qur’an terdiri atas rangkaian huruf, kata, dan
bahasa yang satunya mendahului yang lainnya.
Harun Nasution mencatat perbedaan antara Al-jubba’I dengan Abu Hasyim
adalah pernyataan bahwa “tuhan mengetahui dengan esensinya”. Menurut al-Jubba’i, arti
pernyataan tersebut adalah untuk mengetahui bahwa tuhan tidak berhajat kepada suatu
sifat dalam bentuk pengetahuan atau keadaan mengetahui. Adapun menurut abu hasyim,
pernyataan tersebut berarti tuhan memliki keadaan mengetahui, sungguhpun demikian,
mereka sepakat bahwa tuhan tidak memilikki sifat.12
Terlepas dari adanya anggapan bahwa Abu al-Hudzail mengambil konsep nafy
ash-shifat (peniadaan sifat Allah) dari pendapat Aristoteles.13 Agaknya beralasan, bila
para pendiri mazhab ini lebih berbangga dengan sebutan ahl al-adli wa at-tauhid
(pengikut faham keadilan dan keesaan tuhan). Ini terlihat dari upaya keras mereka untuk
mengesakan Allah dan menempatkannya benar-bemar adil.
10 Muhammad bin Abd Al-Karim Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, (Beirut-Libanon: Dar al-Kurub al-'Ilmiyah, 1951), hal. 4611 Musthafa Muhammad Syak’ah, Islam Tanpa Mazhab, Terj. Abu Zaidan Al-Yamani & Abu Zahrah Al-Jawi (Solo: Tiga Serangkai, 2008), hal. 50912 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986) hal. 135-13613 Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), hal. 81
Doktrin tauhid Mu’tazilah lebih lanjut menjelaskan bahwa tidak ada satupun yang dapat
menyamai tuhan. Begitu pula sebaliknya, tuhan tidaklah sama dengan makhluknya. Tuhan
adalah immateri. Oleh karena itut tidak layak baginya setiap atribut materi. Segala
mengesankan adanya kejisiman Tuhan, bagi mu’tazilah tidak dapat diterima oleh akal dan itu
adalah mustahil. Maha suci Tuhan dari penyerupaan dengan yang diciptakanNya. Tegasnya,
mu’tazil antropomorfisme.14
Penolakan terhadap faham antropomorfostik bukan semata-mata atas pertimbangan akal,
melainkan memiliki rujukan yang sangat kuat di dalam Al-Qur’an. Mereka berlandaskan
pada pernyataan Al-Qur’an yang berbunyi:
�ص�ير� �ب ال م�يع� الس و�ه�و� ي�ء� ش� �ه� �ل �م�ث ك �س� �ي ل
Artinya: “tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia” (QS. Asy syuraa 42:11)
Memang tidak dapat dibantah bahwa mu’tazilah sebagaimana aliran lain , telah
terkena pengaruh filsafat yunani, namun hal itu tidak menjadikannya sebagai pengikut
buta hellenisme. Usaha keras mereka yang telah menghabiskan banyak waktu dan energi
benar-benar membuahkan hasil. Dengan didorong oleh semangat keagamaan yang kuat,
pemikiran hellenistik yang telah mereka pelajari, dijadikan senjata mematikan terhadap
serangan para penentangnya,yakni para muhadditsin rafidah manichscanisme, dan
berbagai aliran keagamaan yang lain di India.15
Untuk menegaskan penilaiannya terhadap antropomorfisme, Mu’tazilah
memberi takwil terhadap ayat-ayat yang secara lahir menggambarkan kejisiman Tuhan.
Mereka mamalingkan arti kata-kata tersebut pada arti kata yang lain, sehingga hilanglah
kejisiman tuhan. Tentu saja pemindahan ini dilakukan secara semena-mena, tetapi
merujuk pada konteks kebahasaan yang lazim digunakan dalam bahasa Arab. Beberapa
contoh yang dapat dikemukakan disini, misalnya kata-kata tangan (Q.S shad 38:75)
diartikan “kekuasaan”. Pada konteks yang lain (Q.S. al-Maidah 5:64) di artikan “nikmat”.
14 Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), hal. 8215 Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), hal. 82
Kata wajah ((Q.S. ar-Rahman 55:27) diartikan “esensi” dan “dzat”, sedangkan al-asyri
(Q.S. Thaha 20:5) diartikan “kekuasaan”.16
Penolakan Mu’tazilah terhadap pendapat bahwa tuhan dapat dilihat oleh mata
kepala merupakan konsekuensi logis dari penolakannya terhadap antropomorfisme.
Tuhan adalah immateri, tidak tersusun dari unsur, tidak terikat oleh ruang dan waktu, dan
tidak berbentuk. Adapun yang dapat dilihat hanyalah yang berbentuk dan yang memiliki
ruang saja. Andaikan tuhan dapat dilihat dengan mata kepala di akherat, tentu diduniapin
dia dapat dilihat oleh mata kepala. 17 Oleh karena itu,melihat (Q.S. al-Qiyamah 75:22-23)
di takwilkan dengan “mengetahui”.
Al-Adl
Ajaran dasar Mu’tazilah yang kedua adalah al-adl yang berarti “tuhan maha
adil”. Adil ini merupakan sifat yang paling gambling untuk menunjukkan kesempurnaan.
Karena tuhan maha sempurna, di sudah pasti adil. Ajaran ini bertujuan ingin
menempatkan tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia, kerena
diciptakannya alam semesta ini sesungguhnya untuk kepentingan manusia. Tuhan
dikatakan adil jika bertindak hanya yang baik (ash-saleh) dan terbaik (al-ashlah), dan
bukan yang tidak baik. Begitu pula tuhan itu dipandang adil jika tidak menyalahi/
melanggar janjinya.18 Dengan demikian, tuhan terikat oleh janjinya. Ajaran tentang
keadilan ini berkaitan erat dengan beberapa hal, antara lain:
Perbuatan manusia
Manusia menurut mu’tazilah, melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri,
terlepas dari kehendak dan kekuasaan tuhan, baik secara langsung atau tidak. 19Manusia benar-benar bebas menentukan pilihan perbuatannya; baik atau buruk.
Tuhan hanya menyuruh dan menghendaki yang baik, bukan yang buruk.
Berbuat baik dan terbaik
16 Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010), hal. 178-17917 Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010), hal. 178-17918 Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), hal. 8219Mahmud Mazru’ah, Tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah, (Kairo: Dar Al-Manar, 1991), hal. 122
Dalam istilah arabnya, berbuat baik dan terbaik disebut ash-shslah wa al-ashlah.
Maksudnya adalah kewajiban tuhan untuk berbuat baik, bahkan yang terbaik untuk
manusia. Tuhan tidak mungkin berbuat jahat dan aniaya karena akan membuat kesan
bahwa tuhan itu penjahat dan penganiaya, dan itu sesuatu yang tidak layak bagi tuhan.
Jika tuhan berlaku jahat kepada sesorang, dan berbuat baik kepada yang lain, berarti
tuhan tidak adil. Dengan sendirinya, tuhan juga tidak maha sempurna.20 Bahkan
menurut An-Nazam, salah satu tokoh mu’tazilah, tuhan tidak dapat berbuat jahat. 21
Konsep ini berkaitan dengan kebijaksanaan, kemurahan, dan kepengasihan tuhan,
yaitu sifat-sifat yang layak baginya. Artinya, bila tuhan tidak bertindak seperti itu
berarti dia tidak bijaksana, pelit dan kasar/kejam.22
Mengutus rasul
Mengutus rasul kepada manusia merupakan kewajiban tuhan, karena alasan-
alasan berikut ini : Tuhan wajib berlaku baik kepada manusia dan hal itu tidak
dapat terwujud, kecuali dengan mengutus rasul kepada mereka.
Al-qur’an secara tegas menyatakan kewajiban tuhan untuk memberikan belas
kasih kepada manusia (Q.S asy-syuro 26:29). Cara terbaik untuk maksud tersebut
adalah dengan mengutus rasul. Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk
beribadah kepada Allah. Agar tujuan tersebut berhasil, maka tidak ada jalan lain
kecuali dengan mengutus rasul.23
Al-Wa’d Wa Al-Wa’id
Ajaran ketiga ini sangat erat hubungannya dengan ajaran kedua di atas. Al-wa’d wa
al-wa’id berarti janjin dan ancaman. Tuhan yang maha adil dan maha bijaksana tidak
akan melanggar janjinya. Perbuatan tuhan terikat dan dibatasi oleh janjinya sendiri,
yaitu memberi pahala berupa surga bagi orang yang mau berbuat baik (al-muthi) dan
mengancam dengan siksa neraka bagi orang yang durhaka (al-ashi). Begitu pula janji
tuhan untuk member pengampunan bagi yang mau bertobat nashuha, pasti benar
adanya.24
20 Mahmud Mazru’ah, Tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah, (Kairo: Dar Al-Manar, 1991), hal. 12221 Muhammad bin Abd Al-Karim Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, (Beirut-Libanon: Dar al-Kurub al-'Ilmiyah, 1951), hal. 5422 Mahmud Mazru’ah, Tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah, (Kairo: Dar Al-Manar, 1991), hal. 12823 Mahmud Mazru’ah, Tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah, (Kairo: Dar Al-Manar, 1991), hal. 12824 Mahmud Mazru’ah, Tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah, (Kairo: Dar Al-Manar, 1991), hal. 138-139
Ini sesuai dengan prinsip keadilan. Jelasnya, siapapun yang berbuat baik akan dibalas
dengan kebaikan pula dan juga sebaliknya, siapa yang berbuat jahat akan dibalas
denga siksa yang pedih. Ajaran ketiga ini tidak memberi peluang bagi tuhan, selain
menuaikan janjinya. Yaitu memberi pahala bagi orang yang taat dan menyiksa orang-
orang yang berbuat maksiat, kecuali bagi yang sudah bertobat nasuha. Tidak ada
harapan bagi pendurhaka, kecuali bila ia bertobat. Kejahatan dan kedurhakaan yang
menyebabkan pelakunya masuk kedalam neraka ,merupakan dosa besar, sedangkan
bagi dosa kecil, mungkin Allah mengampuninya.25Ajaran ini tampaknya bertujuan
mendorong menusia berbuat baik dan tidak melakukan perbuatan dosa
Manzilah Bain Al-Manzilataini
Inilah ajaran yang mula-mula melahirkannya aliran Mu’tazilah. Ajaran ini terkenal
dengan status orang beriman (mukmin) yang melakukan dosa besar. Seperti yang
tercatat dalam sejarah, khawarij menganggap orang tersebut sebagai orang musyrik,
sedangkan murji’ah berpendapat bahwa orang itu tetap mu’min dan dosanya
sepenuhnya diserahkan sepenuhnya pada tuhan. Boleh jadi dosa itu diampuni tuhan.
Adapun pendapat wasil bin ata’ (pendiri mazhab Mu’tazilah) lain lagi. Menurutnya,
orang tersebut, berada diantara dua posisi (al-manzilah bain al-manzilatain). Karena
ajaran ini, wasil bin ata’ dan sahabatnya amr bin ubaid harus memisahkan diri (I’tizal)
dari majlis gurunya, hasan al-basri. Berawal dari ajaran itulah dia membangun
mazhabnya.
Pokok ajaran ini adalah bahwa mu’min yang melakukan dosa besar dan belum tobat
bukan lagi mu’min atau kafir, tetapi fasiq. Izutsu, dengan mengutip ibn hazm,
menguraikan pandangan mu’tazilah sebagia berikut “orang yang melakukan dosa
besar disebut fasiqin . Ia bukan mu’min bukan pula kafir, bukan pula munafik
(hipokrit).26 ”Mengomentari pendapat tersebut izutsu menjelaskan bahwa sikap
mu’tazilah adalah membolehkan hubungan perkawinan dan warisan antara mu’min
25 Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), hal. 8226 Tosihiko Izutsu, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam. Terj. Agus Fahri Husein dkk, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), hal. 53
pelaku dosa besar dan mu’min lain dan dihalalkannya binatang sembelihannya.27
Menurut pandangan mu’tazilah, pelaku dosa besar tidak dapat dikatakan sebagai
mu’min secara mutlak. Hal ini karena keimanan menuntut adanya kepatuhan kepada
tuhan, tidak cukup hanya dengan pengakuan dan pembenaran. Bagi pelaku dosa besar,
tidak dapat dikatakan kafir secara mutlak karena ia masih percaya kepada tuhan dan
rasulnya, dan masih mengerjakan kebaikan. Hanya saja, kalau meninggal dan belum
bertobat, maka ia akan dimasukkan kedalam neraka dan kekal didalamnya. Orang
fasikpun akan dimasukkan kedalam neraka, hanya saja siksaannya lebih ringan dari
pada orang kafir. Jikalau ada pertanyaan “mengapa orang fasik tidak dimasukkan
kedalam surga yang lebih rendah dibandingkan orang mu’min sejati?”. Tampaknya
disini mu’tazilah ingin mendorong agar manusia tidak meremehkan dosa, baik besar
maupun yang kecil.
Al- Amr Bi Al-Ma’ruf Wa An-Nahy An-Munkar
Ajaran dasar yang kelima adalah menyuruh pada kebajikan dan melarang pada
kemunkaran (Al-amr bi Al-ma’ruf wa An-nahy an-Munkar). Ajaran ini menekankan
keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan konsekuensi logis dari
keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik,
diantaranya dengan mengajak pada kebajikan dan melarang pada kemunkaran.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang mu’min dalam beramar ma’ruf
nahy munkar, seperti yang dijelaskan oleh salah seorang tokohnya, Abd Al-Jabbar,
yaitu berikut ini:
a) ia mengetahui yang disuruh itu memang ma’ruf dan yang dilarang itu adalah
munkar
b) ia mengetahui bahwa kemungkaran telah nyata dilakukan orang
c) ia mengetahui bahwa perbuatan amr ma’ruf atau nahy mun’kar tidak akan
membawa mudharat yang lebih besar.
27 Tosihiko Izutsu, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam. Terj. Agus Fahri Husein dkk, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), hal. 53
d) ia mengetahui atau paling tidak menduga bahwa tindakannya tidak membahayakan
diri dan hartanya.28
Al-amr bi al-ma’ruf wa an-nahy an-munkar bukan monopoli Konsep
mu’tazilah. Frase tersebut sering digunakan dalam Al-Qur’an. Arti al-ma’ruf adalah apa
yang telah diakui dan diterima oleh masyarakat karena Mengandung kebaikan dan
kebenaran. Lebih spesifiknya, al-ma’ruf adalah apa yang diterima dan diakui Allah.29
Sedangkan al-munkar adalah sebaliknya, yaitu sesuatu yang tidak dikenal, tidak diterima,
atau buruk. Frase tersebut berarti seruan untuk berbuat sesuatu sesuai dengan keyakinan
sebenar-benarnya serta menahan diri dengan mencegah timbulnya perbuatan yang
bertentangan dengan norma tuhan.30
Perbedaan mazhab Mu’tazilah dengan mazhab yang lain mengenai ajaran
kelima ini terletak pada tatanan pelaksanaannya. Menurut Mu’tazilah, jika memang
diperlukan, kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut. Sejarahpun telah
mencatat kekerasan yang pernah dilakukannya ketika menyirkan ajaran-ajarannya.
C. Kritik Terhadap Ajaran Mu’tazilah
Pada ajaran Mu’tazilah at-Tauhid dikatakan bahwasanya “Mereka menafikan/
meniadakan sifat-sifat Allah sebab bila Allah bersifat dan sifatnya itu bermacam-macam,
pasti Allah itu berbilang.” Sudah dijelaskan di Al-Qur’an bahwa Allah mempunyai sifat
wajib yang sebanyak 20, yaitu wujud, qidam, baqa’, muqalafatililqawatisi, dsb. Jadi sangat
jelas bahwa ajaran at-Tauhid ini menyimpang dengan esensi Al-Qur’an. Pada kasus ini,
orang-orang Mu’tazilah salah menafsirkan sifat-sifat Allah. Sifat yang banyak tidak berarti
Allah berbilang-bilang. Allah tetap Esa dengan segala sifat-sifatnya.
At-Tauhid juga mengajarkan bahwa “Allah tidak dapat diterka dan dilihat mata
walaupun di akhirat nanti.” Ajaran ini juga tidak sesuai dengan Al-Qur’an, karena di Al-
Qur’an dikatan barang orang-orang soleh akan berjumpa dengan Allah nanti di akhiat.
28 Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), hal. 8729 Tosihiko Izutsu, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam. Terj. Agus Fahri Husein dkk, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), hal. 257-25830 Tosihiko Izutsu, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam. Terj. Agus Fahri Husein dkk, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), hal. 259-260
Aliran Mu’tazilah juga tidak menyebutkan atas dasar apa ajaran ini dikeluarkan, jadi
kefalidannya tidak jelas.
Ajaran ketiga aliran Mu’tazilah adalah janji dan ancaman yang di dalamnya tertulis
bahwa “di akhirat tidak akan ada Syafaat karena syafaat berlawanan dengan al-Wa’du wal
Wa’id (janji dan ancaman).” Di dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa siapa yang selalu
bersholawat atas Nabi maka di hari akhir akan mendapat Syafaatnya. Memang Syafaat ini
hanya untuk orang-orang yang taat, jadi orang-orang yang berbuat dosa besar dan
meninggal sebelum bertaubat sudah dipastiakan tidak akan mendapat Syafaat di hari akhir.
Sesuai esensi Al-Qur’an, Syafaat ada di hari akhir, jadi sekali lagi ajaran ini menyimpang
dari dasar-dasar agama Islam.
Selanjutnya yaitu ajaran tentang tempat diantara dua tempat, tempat bagi orang Fasik,
yaitu orang-orang Mu’tazilah yang melakukan dosa besar tetapi tidak Musyrik, nanti akan
ditempatkan disuatu tempat yang berada diantara surga dan neraka. Ajaran ini sangat
membingungkan, karena Mu’tazilah sendiri tidak mendiskribsikan bagaimana keadaan
tempat tersebut. Bisa tempat yang setengah surga dan setengah neraka, atau mungkin bisa
juga tempat yang setengah panas dan setengah indah. Kalau dipikir secara logika sangat
tidak rasional. Tidak adil juga jika orang yang berbuat dosa besar tidak disiksa dalam
neraka, padahal dikatakan dalam Al-Qur’an, jangankan dosa besar, dosa sekecil zahro saja
akan dipertangjawabkan yaitu berupa siksa api neraga. Lalu bagaimana bisa orang yang
berbuat dosa besar tidak masuk dalam neraka.
Dalam ajaran amar ma’ruf nahi munkar, Mu’tazilah mengatakan bahwa “Orang yang
menyalahi pendirian mereka dianggap sesat dan harus dibenarkan atau diluruskan”.
Tercatat oleh sejarah bahwa kaum Mu’tazilah pernah membunuh ulama-ulama Islam
diantaranya ulama Islam yang terkenal Syekh Buwaithi, seorang ulama pengganti Imam
Syafi’i dalam suatu peristiwa “Qur’an Makhluk”. Pada ajaran ini kaum Mu’tazilah
menggunakan dasar al-Hadist yang artinya “siapa diantaramu yang melihat kemungkaran
maka rubahlah dengan tanganmu”. Nampaknya salah penafsiran terjadi kembali pada
ajaran ini. Hadist mengatakan “rubahlah dengan tanganmu sendiri” maksudnya tidak
dengan kekerasan tangan (membunuh) seperti yang dilakukan kaum Mu’tazilah tersebut.
Namun bagaimana kita bertindak untuk membenarkan mereka yang salah dengan halus
dan sopan seperti cara Rasul menyebarkan ajaran Islam. Dari sini dapat disimpulkan
bahwa yang dinamakan amar ma’ruf atau menyuruh kebaikan itu dimaksudkan hanya
ma’ruf (kebaikan) bagi kaum Mu’tazilah, yaitu hanya pendapat mereka bukan ma’ruf
(kebaikan) yang sesuai dengan Qur’an.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Aliran Mu’tazilah yang selalu membawa persoalan-persoalan teologi banyak
memakai akal dan logika sehingga mereka dijuluki sebagai “kaum rasionalis Islam“.
Penghargaan mereka yang tinggi terhadap akal dan logika menyebabkan timbul
banyak perbedaan pendapat di kalangan mereka sendiri, hal ini disebabkan
keberagaman akal manusia dalam berfikir. Bahkan perbedaan tersebut telah
melahirkan sub-sub sekte (aliran) mu’tazilah baru yang tidak sedikit jumlahnya.
Setiap sub sekte memiliki corak pemikiran tersendiri yang ditentukan oleh corak
pemikiran pimpinan sub sekte tersebut.
Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk menasehati
saudaranya agar tidak terjerumus kedalam pemikiran kelompok ini yaitu kelompok
Mu’tazilah yang pengaruh penyimpangannya masih sangat terasa sampai saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Asy-Syahrastani, Muhammad bin Abd Al-Karim, Al-Milal wa An-Nihal, Beirut-Libanon:
Dar al-Kurub al-'Ilmiyah, 1951
Abu Zahrah, Muhammad, Aliran Politik Dan Aqidah Dalam Islam, Jakarta : Logos
Publishing House, 1996
A. Nasir, Sahilun, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya,
Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010
Izutsu, Tosihiko, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam. Terj. Agus Fahri Husein dkk,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994
Ma’luf, Luwis, Al-Munjid fi Al-Lughah, Bairut: Darul Kitab
Mazru’ah, Mahmud, Tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah, Kairo: Dar Al-Manar, 1991
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI-
Press, 1986
Razak, Abdur dan Anwar, Rosihan, Ilmu Kalam, Bandung: Puskata Setia, 2006
Syak’ah, Musthafa Muhammad, Islam Tanpa Mazhab, Terj. Abu Zaidan Al-Yamani & Abu
Zahrah Al-Jawi Solo: Tiga Serangkai, 2008
Top Related