Triyani (C 301 13 039)
Akuntansi untuk Perusahaan Dagang
A. Pengertian Perusahaan Dagang
Perusahaan dagang adalah perusahaan yang kegiatan usahanya membeli barang
dengan tujuan menjualnya kembali tanpa memprosesnya terlebih dahulu.
Contoh–contoh perusahaan dagang di antaranya, yaitu : toko, supermarket, grosir,
pusat–pusat perbelanjaan, dan lain–lain.
B. Ciri-ciri Perusahaan Dagang
1. Pendapatan utamanya berasal dari penjualan barang dagangan.
2. Biaya utamanya berasal dari harga pokok barang yang terjual dan biaya usaha
lainnya.
3. Dalam akuntansinya terdapat akun persediaan barang dagang.
4. Sebagai perantara antara produsen dan konsumen.
5. Antara barang yang dibeli dan barang yang dijual tidak ada perubahan.
6. Tujuan utamanya mencari laba dengan menjual barang dengan harga lebih tinggi
dibanding harga belinya.
C. Pengelolaan Persediaan Barang Dagang
Persediaan barang dagang (merchandise inventory) adalah barang yang
disediakan untuk dijual. Penyediaannya biasa melalui pembelian, dalam artian barang
dibeli kemudian dijual tanpa mengadakan perubahan lebih dulu terhadap sifat barang
yang bersangkutan.
Triyani (C 301 13 039)
1. Sistem Pencatatan Persediaan Barang Dagang
Pada dasarnya ada 2 sistem pencatatan persediaan barang dagang, yaitu
sistem periodik/fisik (periodical/phisical system) dan sistem perpetual (perpetual
system).
a. Sistem Fisik
Sistem ini biasanya digunakan oleh perusahaan yang menjual barang
yang jenisnya banyak dan harga satuan tiap jenis barang relatif murah,
sehingga secara teknis harga pokok penjualan untuk tiap jenis barang sulit
dihitung. Oleh karena itu, dalam penerapan sistem pencatatan fisik, harga
pokok penjualan dihitung tiap akhir periode, setelah sisa barang dihitung secara
fisik.
Untuk menentukan harga pokok penjualan dalam sistem fisik, kita harus
menentukan harga pokok barang yang tersedia pada awal periode akuntansi
(cost of goods on the beginning), yang kemudian menambahkannya pada harga
pokok barang yang dibeli (cost of goods purchased), dan mengurangkannya
dengan harga pokok barang yang tersedia pada akhir periode akuntansi.
b. Sistem Perpetual
Pencatatan sistem perpetual atau metode pencatatan terus-menerus
(continue), lebih cocok digunakan untuk pencatatan persediaan barang dagang
yang jenisnya tidak terlalu banyak dan harga satuan tiap jenis barang relatif
tinggi.
Dalam sistem pencatatan perpetual, baik transaksi pembelian maupun
penjualan barang dicatat dalam akun persediaan barang dagang. Dengan kata
lain, catatan mutasi (keluar-masuknya) barang tampak dalam akun persediaan
barang dagang. Sehingga, untuk mengetahui nilai persediaan barang dagang
Triyani (C 301 13 039)
pada akhir periode tidak perlu dilakukan penghitungan barang secara fisik
karna pada akhir periode yang bersangkutan saldo akun persediaan barang
dagang menunjukkan informasi nilai (yang sebenarnya).
Demikian pula harga pokok barang yang dijual (cost of goods sold) dalam
suatu periode tidak perlu dihitung seperti pada penerapan pencatatan sistem
fisik. Dalam penerapan sistem perpetual, harga pokok barang yang dijual
tampak dalam akun Harga Pokok Penjualan.
Berikut ini adalah prosedur pencatatan persediaan dalam sistem fisik dan
perpetual.
Dalam sistem fisik, baik penjualan tunai maupun penjualan kredit, kita
hanya melakukan 1 kali penjurnalan. Sedangkan dalam sistem perpetual, kita
harus menjurnal harga pokok penjualan barang yang terjual, yang nilainya
diambil dari kartu persediaan yang bersangkutan.
Sama halnya dengan jurnal pada saat terjadi penjualan, apabila ada
barang yang dikembalikan oleh pelanggan, maka kita menjurnal harga jual
Triyani (C 301 13 039)
barang yang dikembalikan itu dan menjurnal HPP barang yang dikembalikan
(dalam sistem perpetual).
Pada saat pelanggan melunasi piutang dalam periode diskon, baik dalam
sistem fisik maupun perpetual, melakukan penjurnalan yang sama. Diskon
penjualan tersebut didasarkan pada harga faktur dikurangi retur (jika ada)
yang kemudian dikalikan dengan persentase diskon yang diperoleh berdasarkan
termin yang berlaku.
Setiap pembelian kredit harus didukung dengan faktur pembelian
(purchase invoice). Dokumen ini menunjukkan jumlah harga pembelian dan
informasi lain yang berkaitan, seperti termin.
Termin adalah syarat pembayaran yang tertera dalam suatu faktur.
Termin biasa ditulis 2/10, n/30. Maksudnya, kita akan dikenakan diskon 2%
apabila dapat melunasi hutang selama 10 hari pertama setelah tanggal faktur.
Dan pelunasan hutang selambat-lambatnya adalah 30 hari setelah tanggal
faktur. Apabila lewat dari batas waktu yang ditentukan, biasanya kita dikenakan
denda ataupun kesepakatan lainnya.
Triyani (C 301 13 039)
Sebelumnya telah dibahas bahwa dalam faktur pembelian terdapat termin
yang memungkinkan pembeli mendapat diskon saat pelunasan hutang.
Dorongan ini memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak. Karna, pembeli
dapat menghemat pengeluaran dan penjual dapat mempersingkat siklus operasi
karena dapat mencairkan piutang usaha menjadi kas secara lebih cepat.
Adapun penjurnalan yang dilakukan perusahaan, yang dalam hal ini
adalah sebagai pembeli, dapat dilihat pada gambar di atas.
Perlu diketahui bahwa syarat pengiriman biasanya dinyatakan dengan
FOB shipping point atau FOB destination – FOB adalah singkatan dari free on
board – Apabila syarat pengiriman yang disepakati adalah FOB shipping point
atau FOB tempat pengiriman atau frangko gudang penjual, berarti biaya angkut
pengiriman ditanggung oleh pembeli. Sedangkan jika syarat pengiriman yang
disepakati adalah FOB destination atau FOB tempat tujuan atau frangko gudang
pembeli, berarti biaya angkut pengiriman barang ditanggung oleh penjual.
Triyani (C 301 13 039)
2. Manajemen Persediaan
Perlu manajemen persediaan yang baik agar persediaan tersedia sesuai
dengan kebutuhan perusahaan. Karena jika sebuah perusahaan dengan tingkat
persediaan yang terlalu sedikit tidak akan mampu memenuhi permintaan
pelanggan. Dan apabila perusahaan menyimpan persediaan terlalu banyak, maka
akan menambah beban perusahaan untuk biaya penyimpanan.
D. Penilaian Persediaan Barang Dagang
Ada beberapa metode penilaian persediaan barang dagang yang dapat digunakan
baik dalam pencatatan sistem fisik maupun dalam pencatatan sistem perpetual.
1. Penilaian Persediaan dalam Pencatatan Sistem Fisik
Dalam pencatatn sistem fisik, nilai persediaan pada akhir periode diketahui
setelah kuantitas barang yang tersedia dihitung secara fisik, kemudian dikalikan
dengan harga satuannya. Harga satuan barang yang digunakan sebagai dasar
penilaian tergantung pada metode penilaian yang digunakan. Metode penilaian
persediaan yang dapat digunakan dalam pencatatan sistem fisik, antara lain :
a. Metode tanda pengenal khusus (Spesifick Identification Method)
Dalam metode ini, setiap barang yang masuk diberi tanda pengenal yang
menunjukkan harga satuan barang tersebut sesuai dengan faktur yang diterima.
Sehingga, pada saat melakukan penghitungan fisik, kita dapat menghitung
harga pokok persediaan akhir dengan mudah.
Contoh :
Data persediaan barang AB untuk bulan Mei 2004 adalah :
Mei 1 Persediaan 6.000 kg @ Rp 4.000,00
5 Pembelian 6.000 kg @ Rp 4.400,00
Triyani (C 301 13 039)
10 Pembelian 5.000 kg @ Rp 4.800,00
15 Pembelian 8.000 kg @ Rp 5.200,00
20 Pembelian 4.000 kg @ Rp 5.400,00
26 Pembelian 6.000 kg @ Rp 5.200,00
30 Pembelian 5.000 kg @ Rp 5.600,00
Setelah dilakukan perhitungan fisik, sisa barang AB yang masih tersedia di
gudang hingga tanggal 31 Mei 2004 sebanyak 7.500 kg, yang terdiri atas :
40 karung @ Rp 5.600,00
30 karung @ Rp 5.200,00
5 karung @ Rp 4.800,00
(ket : tiap karung berisikan 100kg)
Maka, nilai persediaan akhir perusahaan dihitung dengan cara sebagai berikut.
40 x 100 x Rp 5.600,00 = Rp 22.400.000,00
30 x 100 x Rp 5.200,00 = Rp 15.600.000,00
5 x 100 x Rp 4.800,00 = Rp 2.400.000,00
Nilai Persediaan Akhir = Rp 40.400.000,00
b. Metode Masuk Pertama Keluar Pertama (First In First Out/FIFO) Dalam metode ini, barang yang lebih dulu masuk dianggap juga lebih
dulu keluar.
Berdasarkan contoh di atas, maka persediaan 7.500 kg terdiri dari :
Pembelian tanggal 30 : 5.000 kg
Pembelian tanggal 26 : 2.500 kg
Maka, nilai persediaan akhir perusahaan dihitung dengan cara sebagai berikut.
5.000 kg x Rp 5.600,00 = Rp 28.000.000,00
2.500 kg x Rp 5.200,00 = Rp 13.000.000,00 Rp 41.000.000,00
Triyani (C 301 13 039)
c. Metode Masuk Terakhir Keluar Pertama (Last In First Out/LIFO) Dalam metode ini, barang yang terakhir masuk dianggap yang lebih dulu
keluar.
Berdasarkan contoh di atas, maka persediaan 7.500 kg terdiri dari :
Persediaan awal : 6.000 kg
Pembelian tanggal 5 : 1.500 kg
Maka, nilai persediaan akhir perusahaan dihitung dengan cara sebagai berikut.
6.000 kg x Rp 4.000,00 = Rp 24.000.000,00
1.500 kg x Rp 4.400,00 = Rp 6.600.000,00
d. Metode Rata-rata (Average Method) 1) Metode Rata-rata Sederhana
Dalam metode ini, harga rata-rata per satuan barang dihitung dengan
cara membagi total harga per satuan setiap transaksi pembelian dengan
jumlah transaksi pembelian termasuk persediaan awal.
Berdasarkan contoh di atas, maka harga rata-rata per satuan barang
dapat dihitung dengan cara :
Maka, nilai persediaan akhir perusahaan = 7.500 x Rp 4.943,00
= Rp 37.072.500,00
2) Metode Rata-rata Tertimbang
Dalam metode ini, harga pokok rata-rata per satuan dihitung dengan
cara membagi jumlah persediaan awal dan harga pembelian barang yang
disediakan untuk dijual dengan jumlah satuannya.
Rp 30.600.000,00
Triyani (C 301 13 039)
Berdasarkan contoh di atas, maka harga rata-rata per satuan barang
dapat dihitung dengan cara :
Maka, nilai persediaan akhir perusahaan = 7.500 x Rp 4.920,00
= Rp 36.900.000,00
e. Metode Persediaan Dasar Persediaan dasar merupakan penetapan jumlah minimal persediaan yang
harus ada setiap saat, baik mengenai kuantitasnya maupun mengenai harga
satuannya. Nilai persediaan pada akhir periode dihitung dengan ketentuan :
Jika kuantitas (persediaan akhir) lebih banyak daripada kuantitas persediaan
dasar, maka nilai persediaan akhir adalah nilai persediaan dasar ditambah
dengan harga pasar kelebihannya.
Jika kuantitas (pesediaan akhir) lebih kecil daripada kuantitas persediaan
dasarnya, maka nilai persediaan akhir adalah nilai persediaan dasar
dikurangi harga pasar kekurangannya.
Berdasarkan contoh di atas, maka persediaan 7.500 kg terdiri dari :
Persediaan awal : 6.000 kg
Kelebihan persediaan dari pembelian terakhir : 1.500 kg
Maka, nilai persediaan akhir perusahaan dihitung dengan cara sebagai berikut.
6.000 kg x Rp 4.000,00 = Rp 24.000.000,00
1.500 kg x Rp 5.600,00 = Rp 8.400.000,00 Rp 32.400.000,00
Triyani (C 301 13 039)
Namun, apabila kuantitas persediaan akhir pada 31 Mei 2004 sebanyak 5.500
kg, maka nilai persediaan akhir perusahaan dihitung dengan cara :
6.000 kg x Rp 4.000,00 = Rp 24.000.000,00
500 kg x Rp 5.600,00 = (Rp 2.800.000,00)
f. Metode Taksiran/Estimasi Terkadang persediaan perlu diestimasi perusahaan karena beberapa
alasan. Pertama, manajemen mungkin menginginkan laporan keuangan per
bulan atau per kuartal, namun persediaan secara fisik dihitung hanya sekali
setahun. Kedua, musibah seperti kebakaran, banjir, atau gempa bumi membuat
perhitungan fisik persediaan mustahil untuk dilakukan. Mengestimasikan
persediaan sangat membantu bagi perusahaan yang menggunakan sistem
persediaan periodik karena ketiadaan catatan akuntansi yang terinci.
Terdapat 2 metode yang dapat digunakan untuk mengestimasi persediaan
1) Metode Laba Kotor
Metode laba kotor (gross profit method) mengestimasikan harga
pokok persediaan akhir dengan menggunakan persentase laba kotor
terhadap penjualan bersih.
Untuk menggunakan metode ini, perusahaan perlu mengetahui
penjualan bersih, harga pokok barang yang tersedia untuk dijual, dan
persentase laba kotor.
Berikut ini langkah-langkah mencari estimasi harga pokok
persediaan akhir dengan menggunakan metode laba kotor.
Rp 21.200.000,00
Triyani (C 301 13 039)
Sebagai contoh, Kishwavkee Company ingin menyusun laporan laba-
rugi untuk bulan Januari. Catatan perusahaan menunjukkan penjualan
bersih sebesar Rp 20.000.000,00, dengan persediaan awal Rp
4.000.000,00, dan harga pokok barang yang dibeli Rp 12.000.000,00.
Tahun sebelumnya, persentase laba kotor perusahaan yang direalisasikan
sebesar 30%. Diperkirakan persentasse yang sama tercapai pada tahun ini.
Berdasarkan fakta dan asumsi ini, estimasi harga pokok persediaan akhir
pada tanggal 31 Januari dapat dihitung dengan menggunakan metode laba
kotor sebagai berikut.
2) Metode Harga Eceran
Dalam menggunakan metode harga eceran (retail price method),
catatan perusahaan harus menunjukkan baik harga pokok maupun harga
eceran dari barang yang tersedia untuk dijual, dan juga jumlah penjualan
bersih yang telah terjadi dalam periode yang bersangkutan.
Triyani (C 301 13 039)
Berikut ini langkah-langkah mencari estimasi (taksiran) harga pokok
persediaan akhir dengan menggunakan metode harga eceran.
Logika metode eceran dapat ditunjukkan dengan menggunakan data biaya per unit. Asumsikan 30 unit dibeli dengan harga Rp 10.000.000,00 per unitnya. Barang itu dijual dengan harga Rp 15.000.000,00 per unit dan masih menyisakan 4 unit yang tidak terjual. Maka estimasi harga pokok persediaan akhir dapat diperoleh dengan cara berikut ini.
Estimasi di atas sesuai dengan jumlah harga pokok barang yang dimiliki menurut harga per unit, yakni 4 x Rp 10.000.000,00 = Rp 40.000.000,00.
Kerugian utama dari penggunaan metode harga eceran adalah teknik
perata-rataan. Teknik ini menghasilkan penilaian persediaan yang tidak
tepat jika bauran persediaan akhir tidak menunjukkan bauran barang yang
tersedia untuk dijual. Sebagai contoh, apabila rasio harga pokok terhadap
harga eceran suatu perusahaan sebesar 75% terdiri atas proporsi yang
sama dari barang persediaan yang memiliki rasio harga pokok terhadap
harga eceran sebesar 70%, 75%, dan 80%. Jika persediaan akhir hanya
Triyani (C 301 13 039)
terdiri atas barang yang memiliki rasio 70%, maka akan timbul harga
pokok persediaan yang tidak tepat. Masalah ini dapat diminimalisir dengan
menggunakan metode eceran pada level departemen atau lini produk.
g. Metode Harga Terendah antara Harga Pokok dan Harga Pasar (lower of cost or
market) Jika ternyata pada saat penilaian persediaan harga pasar lebih rendah
dari harga pokoknya, maka persediaan akan dicatat sebesar harga pasar.
Metode ini sering disebut dengan istilah metode pengganti karna penilaian
persediaan dilihat dari harga yang lebih rendah antara harga pokok atau
harga pasar (lower of cost or market – LCM).
Dengan dasar LCM, “harga pasar” didefinisikan sebagai biaya
penggantian pada saat ini (current replacement cost), bukan harga penjualan.
Untuk perusahaan dagang, “harga pasar” merupakan biaya pembelian barang
yang sama pada saat ini dari pemasok yang sama dan jumlah yang sama.
Misalnya, suatu perusahaan memiliki persediaan yang terdiri atas
bermacam-macam jenis barang. Berikut ini adalah data persediaan barang
dagang beserta harga pokok dan harga pasarnya.
Jenis Barang Harga Pokok
Harga Pasar
Harga Terendah antara Harga Pokok dan Harga Pasar
Kel. A Brg. A-1 $ 60.000 $ 55.000 $ 55.000 Brg. A-2 $ 45.000 $ 52.000 $ 45.000
Jumlah Kel. A $105.000 $107.000 $100.000 Kel. B
Brg. B-1 $ 48.000 $ 45.000 $ 45.000 Brg. B-2 $ 15.000 $ 14.000 $ 14.000
Jumlah Kel. B $ 63.000 $ 59.000 $ 59.000 Jumlah Kel. A dan B $168.000 $166.000 $159.000
Triyani (C 301 13 039)
Penerapan metode LCM dapat dilakukan berdasarkan:
1) Setiap jenis barang
Berdasarkan data pada daftar di atas, harga terendah untuk tiap jenis
barang :
Barang A-1, harga pasar $ 55.000
Barang A-2, harga pokok $ 45.000
Barang B-1, harga pasar $ 45.000
Barang B-2, harga pasar $ 14.000
Jumlah harga terendah untuk tiap jenis barang $159.000
Jadi, apabila perusahaan menerapkan metode harga terendah kepada setiap
jenis barang, maka nilai persediaan yang dilaporkan dalam neraca akhir
periode adalah $159.000.
2) Masing-masing bagian/kelompok
Berdasarkan data pada daftar di atas, harga terendah untuk masing-
masing kelompok barang :
Kelompok A, harga pokok $ 105.000
Kelompok B, harga pasar $ 59.000
Jumlah harga terendah untuk tiap kelompok $ 164.000
Jadi, apabila perusahaan menerapkan metode harga terendah kepada
masing-masing kelompok, maka nilai persediaan yang dilaporkan dalam
neraca akhir periode adalah $164.000.
3) Total seluruh persediaan
Berdasarkan data pada daftar di atas, harga terendah untuk seluruh
persediaan adalah harga pasar, yaitu senilai $ 166.000, sehingga nilai
persediaan yang dilaporkan dalam neraca adalah sebesar $ 166.000.
Triyani (C 301 13 039)
2. Penilaian Persediaan dalam Pencatatan Sistem Perpetual
Dalam pencatatan sistem perpetual, setiap terjadi transaksi penjualalan
barang, harga pokok barang dijual harus dihitung dan dicatat debet pada akun
“Harga Pokok Penjualan”. Artinya, penerapan metode penilaian persediaan
dilakukan pada saat terjadi transaksi penjualan.
Menurut sistem perpetual, nilai persediaan dapat dihitung berdasarkan:
a. Metode FIFO
Menurut metode FIFO, harga pokok barang yang dijual dihitung dengan
anggapan bahwa barang yang masuk pertama adalah barang yang dijual lebih
dahulu, kekurangannya diambil dari barang yang masuk berikutnya.
Sebagai ilustrasi, misalnya PD. Putra Jaya menjual barang X, Y, dan Z.
Adapun data mengenai persediaan barang X untuk bulan Maret 2004 adalah
sebagai berikut.
Maret 1 Persediaan awal 120 unit @ Rp 54.000,00 = Rp 6.480.000,00
5 Pembelian 180 unit @ Rp 60.000,00 = Rp10.800.000,00
10 Penjualan 200 unit
16 Pembelian 200 unit @ Rp 63.000,00 = Rp12.600.000,00
20 Pembelian 120 unit @ Rp 64.000,00 = Rp 7.680.000,00
26 Penjualan 280 unit.
Berdasarkan data di atas, maka dengan menggunakan metode FIFO,
harga pokok penjualan tanggal 10 dan 26 Maret dapat dilihat dalam kartu
persediaan di bawah ini.
Triyani (C 301 13 039)
b. Metode LIFO
Menurut metode LIFO, harga pokok barang yang dijual dihitung dengan
anggapan bahwa barang yang terakhir masuk adalah barang yang lebih dulu
keluar/dijual.
Berdasarkan data di atas, maka dengan menggunakan metode LIFO,
harga pokok penjualan tanggal 10 dan 26 Maret dapat dilihat dalam kartu
persediaan di bawah ini.
Triyani (C 301 13 039)
c. Metode rata-rata bergerak
Penerapan metode rata-rata dalam sistem pencatatan perpetual, disebut
metode rata-rata bergerak (moving average method). Disebut demikian,
karena tiap terjadi transaksi pembelian, harga rata-rata per satuan barang
harus dihitung. Sehingga, harga rata-rata per satuan akan berubah-ubah.
Harga pokok rata-rata per satuan barang yang dijual adalah harga pokok
rata-rata per satuan yang berlaku pada saat terjadi transaksi penjualan.
Berdasarkan soal yang sama, maka dengan menggunakan metode rata-
rata bergerak, harga pokok penjualan tanggal 10 dan 26 Maret dapat dilihat
dalam kartu persediaan di bawah ini.
Dapat dilihat pada gambar di atas bahwa setiap terjadi pembelian
barang dagang akan mempengaruhi harga pokok per satuan barang (lihat
pada tabel yang berwarna abu-abu). Harga per satuan itu dihitung dengan
cara menjumlah saldo sebelum pembelian dengan harga pokok pembelian (Rp
6.480.000,00 + Rp 10.800.000,00), yang kemudian dibagi dengan total
kuantitas barang yang ada setelah pembelian (120 + 180).
Triyani (C 301 13 039)
E. Pencatatan Kerugian Akibat Penurunan Nilai Persediaan Barang Dagang
Kerugian akibat penurunan nilai persediaan harus diakui sebagai beban pada
periode terjadinya. Apabila jumlahnya cukup berarti (material), penurunan nilai
persediaan harus dijelaskan dalam catatan atas laporan keuangan. Sementara dalam
laporan laba rugi disajikan terpisah dari kelompok harga pokok penjualan. Berikut ini
adalah ilustrasi pencatatan kerugian akibat penurunan nilai persediaan.
1. Pencatatan Dalam Sistem Fisik
Dalam penarapan sistem fisik, persediaan akhir baru diketahui setelah
dilakukan penghitungan barang secara fisik. Artinya, harga pokok persediaan akhir
baru dicatat ke dalam buku besar pada akhir periode. Oleh karena itu, jika
penurunan nilai persediaan dipandang tidak cukup berarti (selisih tidak terlalu
tinggi), jumlah harga pasar dicatat debit akun persediaan barang dagang, kredit
akun ikhtisar laba rugi.
Sebagai contoh, dari hasil inventarisasi fisik pada 31 Desember 2004, nilai
persediaan Rp 108.000.000,00. Harga pasar persediaan barang yang bersangkutan
Rp 105.000.000,00. Maka jurnal yang dibuat pada tanggal 31 Desember 2004
adalah sebagai berikut.
Des 31 Persediaan Barang Dagang Rp 105.000.000,00
Ikhtisar Laba Rugi Rp 105.000.000,00
Atau dapat juga dicatat dengan jurnal berikut ini.
Des 31 Persediaan Barang Dagang Rp 108.000.000,00
Ikhtisar Laba Rugi Rp 108.000.000,00
Harga Pokok Penjualan Rp 3.000.000,00
Persediaan Barang Dagang Rp 3.000.000,00
Triyani (C 301 13 039)
Apabila dicatat seperti di atas, rugi penurunan nilai persediaan sebesar Rp
3.000.000,00 dalam laporan laba rugi disajikan sebagai penambah harga pokok
penjualan.
Sementara itu, apabila penurunan nilai persediaan dipandang cukup berarti
(selisih terlalu tinggi), rugi akibat penurunan nilai persediaan dicatat debit akun
beban penurunan nilai persediaan (expense from inventory declines) dan kredit
akun persediaan barang dagang atau penyisihan untuk penurunan nilai persediaan
(allowance for inventory declines).
Persediaan Barang Dagang XXX
Ikhtisar Laba Rugi XXX
(senilai harga pokok barang)
Beban Penurunan Nilai Persediaan XXX
Persediaan Brg. Dagang / Penyisihan untuk Penurunan N. S XXX
(selisih penurunan nilai sediaan)
2. Pencatatan Dalam Sistem Perpetual
Dalam penerapan sistem perpetual, saldo akun persediaan pada akhir
periode menunjukkan nilai persediaan menurut harga belinya (harga pokok).
Dengan demikian, jika harga pasar persediaan lebih rendah daripada harga
pokoknya, jurnal penyesuaian yang harus dibuat hanya untuk mencatat selisih atau
penurunannya. Jika penurunannya dipandang tidak cukup berarti, dicatat debit
pada akun harga pokok penjualan dan kredit akun persediaan barang dagang.
Contoh, saldo akun persediaan pada 31 Desember 2004 menunjukkan saldo
sebesar Rp 145.000.000,00. Harga pasar barang yang bersangkutan Rp
142.000.000,00. Nilai penurunan sebesar Rp 3.000.000,00 dipandang tidak cukup
Triyani (C 301 13 039)
berarti dibandingkan dengan nilai persediaan Rp 145.000.000,00. Adapun jurnal
penyesuaian yang diperlukan pada tanggal 31 Desember 2004, yaitu :
Des 31 Harga Pokok Penjualan Rp 3.000.000,00
Persediaan Barang Dagang Rp 3.000.000,00
Sedangkan dalam hal penurunan nilai persediaan dipandang cukup berarti,
kerugian akibat penurunan nilai persediaan harus dicatat terpisah dari harga
pokok penjualan. Ada 2 jurnal yang dapat dibuat, yaitu sebagai berikut.
Beban Penurunan Nilai Persediaan XXX
Persediaan Barang Dagang XXX
atau
Beban Penurunan Nilai Persediaan XXX
Penyisihan Penurunan Nilai Sediaan XXX
F. Laporan Keuangan Perusahaan Dagang
Laporan keuangan memuat informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja,
serta perubahan posisi keuangan suatu perusahaan yang berfungsi sebagai alat bantu
dalam proses pengambilan keputusan.
Berikut ini adalah beberapa laporan keuangan yang terdapat dalam perusahaan
dagang.
1. Laporan Laba Rugi (Income Statement)
Laporan laba rugi menyajikan pendapatan dan beban serta laba atau rugi
bersih yang dihasilkan selama suatu periode tertentu.
Laporan laba rugi dapat disajikan dalam 2 bentuk, yaitu :
a. Laporan Laba Rugi Langsung (single step income statement)
Triyani (C 301 13 039)
Disebut single step income statement karena hanya terdapat satu tahap
yang diperlukan untuk menentukan laba atau rugi bersih, yaitu mengurangkan
total beban dari total pendapatan (termasuk kegiatan di luar operasional).
Dalam laporan laba rugi bentuk langsung, seluruh data dikelompokkan
menjadi 2 kelompok, yaitu pendapatan dan beban. Kelompok pendapatan
mencakup pendapatan operasi utama perusahaan dan pendapatan lainnya.
Sementara kelompok beban mencakup harga pokok penjualan, beban operasi
(beban penjualan dan beban administrasi dan umum), serta beban-beban
lainnya.
b. Laporan Laba Rugi Bertahap (multiple step income statement)
Disebut multiple step income statement kerena di dalamnya menunjukkan
berbagai langkah dalam menentukan laba atau rugi bersih. Laporan ini
menunjukkan 2 tahap utama, yakni harga pokok penjualan dikurangkan dari
penjualan bersih, untuk menentukan laba kotor, dan yang kedua adalah beban
operasi dikurangkan dari laba kotor, untuk menentukan laba bersih.
Triyani (C 301 13 039)
Triyani (C 301 13 039)
2. Laporan Ekuitas Pemilik (Owner’s Equity Statement)
Laporan ekuitas pemilik merangkum perubahan-perubahan yang terjadi pada
ekuitas pemilik selama suatu periode tertentu. Oleh karena itu, laporan ini sering
pula disebut dengan laporan perubahan modal (capital statement).
Ada 2 bentuk laporan ekuitas pemilik, yaitu :
a. Bentuk Pertama
b. Bentuk Kedua
3. Neraca (Balance Sheet)
Neraca melaporkan aktiva perusahaan, kewajiban, dan ekuitas pemilik pada
tanggal tertentu (akhir periode akuntansi perusahaan).
Ada 2 bentuk neraca, yaitu :
Triyani (C 301 13 039)
a. Dua Kolom
b. Satu Kolom
Triyani (C 301 13 039)
4. Laporan Arus Kas (Cash Flow Statement)
Laporan arus kas menyajikan seluruh informasi mengenai arus kas masuk
(semua penerimaan) dan arus kas keluar (semua pengeluaran) selama periode
tertentu. Semua penerimaan dan pengeluaran itu berasal dari kegiatan operasional,
kegiatan investasi serta kegiatan pendanaan.
Kegiatan operasional untuk perusahaan dagang terdiri dari membeli barang
dagangan, menjual barang dagangan tersebut serta kegiatan lain yang terkait
dengan pembelian dan penjualan barang. Kegiatan ini akan mengakibatkan
terjadinya uang masuk untuk pendapatan dan aliran uang keluar untuk biaya. Baik
pendapatan dan biaya yang terjadi telah dilaporkan dalam laporan laba rugi.
Triyani (C 301 13 039)
Namun besarnya pendapatan tersebut belum tentu sama dengan uang yang
diterima karena perusahaan umumnya menggunakan dasar akrual untuk
mengakui pendapatan. Demikian halnya dengan biaya, biaya yang dilaporkan laba
rugi belum tentu sama dengan arus keluar untuk biaya tersebut.
Kegiatan investasi merupakan kegiatan membeli atau menjual kembali
investasi pada surat berharga jangka panjang dan aktiva tetap. Jika perusahaan
membeli investasi/aktiva tetap akan mengakibatkan arus keluar dan jika menjual
investas/aktiva tetap akan mengakibatkan adanya arus kas masuk ke perusahaan.
Kegiatan pendanaan adalah kegiatan menarik uang dari kreditor jangka
panjang dan dari pemilik serta pengembalian uang kepada mereka.
Terdapat dua bentuk penyajian laporan arus kas, yaitu metode langsung dan
metode tidak langsung. Perbedaan antara kedua metode terletak pada penyajian
arus kas berasal dari kegiatan operasi.
Dengan metode langsung, arus kas dari kegiatan operasional dirinci menjadi
arus kas masuk dan arus kas keluar. Arus kas masuk dan keluar dirinci lebih lanjut
dalam beberapa jenis penerimaan atau pengeluaran kas. Sementara itu dengan
metode tidak langsung, arus kas dari opersional ditentukan dengan cara
mengoreksi laba bersih yang dilaporkan di laporan laba rugi dengan beberapa hal
seperti biaya penyusutan, kenaikan harta lancar dan hutang lancar serta laba/rugi
karena pelepasan investasi.
Berikut ini diberikan contoh bentuk laporan arus kas dengan metode langsung
dan metode tidak langsung.
a. Metode Langsung
Triyani (C 301 13 039)
Dari laporan terlihat bahwa arus kas yang berasal dari kegiatan
operasional dirinci menjadi penerimaan dari berbagai sumber yang merupakan
kegiatan operasional dan pengeluaran kas untuk berbagai kegiatan operasional.
Arus kas dari kegiatan investasi dan keuangan juga dirinci menurut jenis-jenis
kegiatan yang mengakibatkan timbulnya penerimaan dan pengeluara kas.
Triyani (C 301 13 039)
b. Metode Tidak Langsung
Jika kita amati contoh di atas, terlihat bahwa perbedaan antara metode
langsung dengan metode tidak langsung terletak pada penyajian arus kas
berasal dari kegiatan operasi, sementara itu baik aliran kas dari kegiatan
investasi dan keuangan adalah sama penyajiannya.
Top Related