SUJASMIN / HK AC PIDANA / STHB 1
Sistem Pemeriksaan Dalam Hukum Acara Pidana
Penyelenggaraan peradilan pidana merupakan mekanisme bekerjanya
aparat penegak hukum pidana mulai dari proses penyidikan, penuntutan,
pemeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan keputusan
pengadilan. Di berbagai negara mempunyai tujuan tertentu yang pada intinya
usaha pencegahan kejahatan (prevention of crime) telah dikenal beberapa
model penyelenggaraan peradilan pidana yaitu :
Sistem inquisitoir (memeriksa) :
sistem peradilan pidana sudah sejak abad ke 13 dimulai di Eropa sampai dengan
awal pertengahan abad ke 19. Proses penyelenggaraan peradilan pidana dalam
rangka penyelesaian perkara pidana berdasarkan sistem ini dimulai dengan
adanya inisiatif dari penyidik atas kehendak sendiri untuk menyelidiki kejahatan.
Cara penyelidikan dan pemeriksaan yang demikian ini ditempuh secara
rahasia. Tahap pertama yang dilakukan oleh penyidik ialah meneliti apakah
suatu kejahatan telah terjadi, dan
kemudian mengadakan indetifikasi terhadap pelaku atau para pelakunya. Apabila
orang diduga melakukan kejahatan itu telah diketahui dan ditangkap.
Tahap kedua dilakukan pemeriksaan terhadap pelaku kejahatan tersebut.
Pada tahap ini si pelaku ditempatkan terasing dan tidak diperkenankan
berkomunikasi dengan pihak lain atau keluarganya, dimana pemeriksaan
terhadap dirinya maupun terhadap saksi atau saksi saksi dilakukan secara terpisah.
Perbuatan apa yang dituduhkan terhadap si pelaku tidak diberitahukan kepadanya.
Satu satunya tujuan pemeriksaan waktu itu adalah usaha untuk memperoleh
pengakuan (confession) dari si pelaku. Apabila kejahatan yang dituduhkan terhadap
secara sukarela tidak mau mengakui perbuatan yang dituduhkan dan ternyata
setelah bukti berhasil dikumpulkan menimbulkan dugaan yang kuat akan
kesalahannya, maka petugas pemeriksa akan memperpanjang penderitaan si
pelaku kejahatan melalui cara penyiksaan (torture) sampai diperoleh pengakuan.
Setelah petugas pemeriksa selesai dengan tugasnya, maka ia menyerahkan hasil
pemeriksaannya kepada pengadilan, yang selanjutnya pengadilan dalam
memeriksa perkara tersangka yang diajukan itu hanya atas dasar hasil
pemeriksaan sebagaimana yang tercantum di dalam berkas.
2SUJASMIN / HK AC PIDANA / STHB
Penuntut umum pada waktu itu tidak memiliki peranan yang berarti dalam proses
penyelesaian perkara, khususnya dalam pengajuan, pengembangan lebih lanjut,
atau dalam penundaan perkara yang bersangkutan. Selama berlangsung
pemeriksaan, terdakwa tidak dihadapkan ke muka persidangan dan
dilakukan secara tertutup. Pada waktu itu tidak ada kemungkinan terdakwa
didampingi oleh seorang pembela. Demikianlah gambaran proses peradilan
pidana yang terjadi pada abad ke 13 sampai awal abad pertengahan ke 19.
Perkembangan selanjutnya timbul gerakan revolusi perancis, maka sistem
inquisitor tidak mendapat pasaran lagi (tidak dikenal) dalam rangka proses
peradilan pidana. Dan muncullah model baru sebagai pengganti bentuk
inquisitor yaitu the mixed type (type campuran) sebagai salah satu dikenal dengan :
Sistem Accussatoir (menuduh/mendakwa),
Dimana tersangka / terdakwa mempunyai kedudukan yang sama dengan pejabat
penegak hukum lainnya. Sistem ini yang belakangan diprakarsai oleh kaum
cendekiawan Eropa. Sebagai berikut :
3SUJASMIN / HK AC PIDANA / STHB
1. Crime Control Model dan Due Process Model (herbert packer /amerika
serikat)
Kedua model penyelenggaraan peradilan pidana ini diperkenalkan oleh
Herbert Packer dan diterapkan di Amerika Serikat, kedua model tersebut
dilandasi oleh pemikiran apa yang disebut dengan adversary model (model
permusuhan) yang berintikan sebagai berikut : a. Prosedur peradilan pidana
harus merupakan suatu disputes (sengketa) atau combative proceeding
(sidang pertempuran) antara terdakwa dan penuntut umum dalam kedudukan
yang sama di muka pengadilan. b.. Judge as umpire (hakim sebagai wasit)
Kedudukannya yang demikian ini mengakibatkan bahwa ia tidak ambil bagian
dalam pertempuran (fight) dalam proses pemeriksaan di pengadilan. Ia hanya
berfungsi sebagai wasit yang menjaga agar aturan permainan tidak dilanggar,
baik oleh terdakwa maupun oleh penuntut umum.
c. Rule are very strictly (Ketentuan diperlakukan secara ketat).
d. Sensational cross of examination (pemeriksaan silang / berlawanan yg
dilakukan oleh PU dgn Advokat),
e. Fiction of an always elusive truth (fiksi dari kebenaran selalu sulit dipahami) ,
4SUJASMIN / HK AC PIDANA / STHB
The crime control model didasarkan atas anggapan bahwa penyelenggaraan
peradilan pidana adalah semata mata untuk menindas perilaku criminal
(criminal conduct) dan ini merupakan tujuan utama proses peradilan. Sebab
dalam hal ini yang diutamakan adalah ketertiban umum (public order) dan
efisiensi. Disini berlaku apa yang dinamakan “sarana cepat” dalam rangka
pemberantasan kejahatan. Dan pada dasarnya berlakulah apa yang disebut
dengan istilah presumption of guilty. Kelemahan yang menonjol pada model
ini adalah sering terjadi pelanggaran hak hak asasi manusia demi
efisiensi. Oleh karena itu muncullah apa yang dinamakan model kedua yaitu
Due Process Model.
2. Due Process Model
Model ini muncul suatu nilai baru yang sebelumnya kurang diperhatikan, yaitu
konsep perlindungan hak hak individual dan pembatasan kekuasaan dalam
penyelenggaraan peradilan pidana. Jadi di sini proses criminal harus dapat
dikendalikan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan sifat ototriter
dalam rangka mencapai maksimum efisiensi. Di dalam model ini berlakulah
apa yang dinamakan presumption of innocence.
5SUJASMIN / HK AC PIDANA / STHB
3. Family Model (Model Kekeluargaan) (John Grifitths : Belanda)
Menurut beliau model yang diperkenalkan Packer yang mendasarkan pada
pemikiran tentang hubungan antara Negara dan individu dalm proses criminal,
dimana seorang pelaku kejahatan dianggap musuh masyarakat (enemy of the
society). Tujuan utama dari penyelenggaraan peradilan pidana adalah segera
mengasingkan pelaku tersebut di dalam masyarakat (exile function of
punishment). Landasan filosofis dari model yang diperkenalkan oleh Packer
adalah oleh Griffitths dinamakan. Battle model (model pertempuran) Pertentangan
antara kepentingan individu dengan Negara yang tidak dapat dipertemukan
kembali (irreconcilable disharmony of interests), sehingga apabila terjadi suatu
kejahatan yang dilakukan oleh seseorang secara sistematis, harus ditempatkan
dalam suatu proses yang menempatkan dia sebagai seorang yang dijadikan objek
di dalam penyelenggaraan peradilan pidana. Model ketiga (famile model)
dikatakan : Masyarakat tidak dapat diperbaiki atau dinetralisasi dari kejahatan
selama kita tidak berfikir di dalam pertimbangan kepentingan / keuntungan
di dalam memahami kejahatan dan penjahat. Untuk itu landasan filosofis
harus dirubah terlebih dahulu yaitu irreconcilable disharmony of interests harus
diganti dengan suatu asumsi bahwa tidak ada pertentangan kepentingan
yang tidak bisa diselaraskan.6SUJASMIN / HK AC PIDANA / STHB
Untuk itu filsafat yang mendasari penyelenggaraan peradilan pidana adalah
cinta kasih sesama hidup atas dasar kepentingan yang saling menguntungkan
(mutually supportive and a state of love). Salah satu Negara yang menerapkan
model ketiga ini adalah negeri Belanda.
4. Model Terpadu (Integrated Model) (Hiroshi Ishikawa : Jepang).
Dalam model terpadu, lembaga atau instansi yang ada tersebut (polisi, jaksa,
pengadilan, pengacara) meskipun tugasnya berbeda beda, dan mempunyai tujuan
masing masing, mempunyai tujuan dalam bentuk kecil (t), namun di dalam hal ini
pada dasarnya sekaligus juga menuju kepada tujuan yang besar yang kami
dirumuskan dalam bentuk besar (T), yaitu usaha pencegahan kejahatan senantiasa
harus mengadakan kerja sama dan koordinasi untuk mencapai tujuan (T), yang
sudah barang tentu harus didukung dengan perundang-perundangan yang
memadai. Sebab apabila tidak demikian, bukan mustahil akan terjadi
instansi sentries serta fragmentaris, serta tidak menunjukkan kesatuan sistem
yang terpadu sebagaimana yang dikehendaki oleh suatu sistem. Model terpadu
ini dipakai di Negara Jepang.
7SUJASMIN / HK AC PIDANA / STHB
Top Related