PRINSIP, KARAKTERISTIK FIQH, SYAR’U MAN
QOBLANA DAN SADD ADZ-DZARI’AH
MAKALAHDibuat dalam rangka memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Fiqh Semester I
Tahun Akademik 2013-2014
Jurusan Hukum Bisnis Syariah Fakultas Syariah
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Dosen
Abdul Azis M.Hi
Oleh
KELOMPOK 1
Muh. Sirojul Munir : 13220206
Nur Musyahidah : 13220227
Amin Makmun Adi Putra : 13220199
Wahyu Irhamni Maulaya Hasan : 13220190
MALANG
2013
KATA PENGANTAR
حيم الر حمن الر الله بسم
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat-Nya lah
kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul Pengertian Fiqh secara Komprehensif
Makalah ini diajukan guna memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Fiqh, dengan
dosen pembimbing Bapak Abdul Azis M.Hi
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini masih jauh
dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi mahasiswa dan bermanfaat
untuk pengembanngan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
Malang, 12 September 2013
Penyusun
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam adalah agama dan cara hidup berdasarkan syari’at Allah yang
terkandung dalam kitab Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Setiap orang yang
mengintegrasikan dirinya kepada Islam wajib membentuk seluruh hidup dan
kehidupannya berdasarkan syari’at yang termaktub dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Syari‟at Islam adalah pedoman hidup yang ditetapkan Allah SWT untuk
mengatur kehidupan manusia agar sesuai dengan keinginan Al-Qur‟an dan Sunnah.
Dalam kajian fiqh, yang dimaksud dengan hukum Islam ialah khitab (firman) Allah
SWT yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, atau dengan redaksi lain, hukum
Islam ialah seperangkat aturan yang ditetapkan secara langsung dan lugas oleh Allah
atau ditetapkan pokok-pokonya untuk mengatur hubungan antara manusia dan
tuhannya, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan alam semesta.
B. Rumusan Masalah
1. Apa sajakah prinsip Ilmu Fiqh itu?
2. Bagaimana Karakteristik Ilmu Fiqh ?
3. Apakah yang dimaksud dengan Syar’u man qablana ?
4. Apakah yang dimaksud dengan Adz-dzari’ah
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi Ilmu Fiqh, objek kajian dan tujuan mempelajarinya.
2. Untuk mengetahui kedudukan Ilmu Fiqh dalam Islam.
3. Untuk mengetahui perbedaan dan hubungan antara Ilmu Fiqh, Ushul Fiqh dan
Qawaidh Fiqhiyah.
4. Untuk mengetahui kaitan antara Fiqh, Syari’ah dan hukum Islam.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Prinsip-prinsip Ilmu Fiqh
Abu Zahrah mengemukakan pandangannya, bahwa hukum adalah
ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf baik
berupa iqtida (tuntutan perintah atau larangan), takhyir (pilihan) maupun
berupa wadh’i (sebab akibat). Ketetapan Allah dimaksudkan pada sifat yang telah
diberikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan
mukalaf.1
Sebagaimana hukum-hukum yang lain, hukum Islam memiliki prinsip-
prinsip dan asas-asas sebagai tiang pokok, kuat atau lemahnya sebuah undang-
undang, mudah atau sukarnya, ditolak atau diterimanya oleh masyarakat,
tergantung kepada asas dan tiang pokoknya.2
Secara etimologi (tata bahasa) prinsip adalah dasar, permulaan, aturan
pokok.3 Juhaya S. Praja memberikan pengertian prinsip sebagai berikut:
permulaan; tempat pemberangkatan; titik tolak; atau al-mabda.4
Adapun secara terminologi Prinsip adalah kebeneran universal yang
inheren didalam hukum Islam dan menjadi titik tolak pembinaannya; prinsip yang
membentuk hukum dan setiap cabang-cabangnya. Prinsip hukum Islam meliputi
prinsip umum dan prinsip umum. Prinsip umum ialah prinsip keseluruhan hukum
Islam yang bersifat unuversal. Adapun prinsip-prinsip khusus ialah prinsip-
prinsip setiap cabang hukum Islam.
Prinsip-prinsip hukum Islam menurut Juhaya S. Praja sebagai berikut :
1. Prinsip Tauhid
Prinsip ketauhidan menghargai akal pada posisi yang serasi dengan
wahyu dalam upaya meyakini keberadaan Allah. Hukum islam seluruhnya
diperuntukkan bagi orang berakal dan mau berfifkir. Dalam suatu keterangan
dikatakan bahwa agama itu untuk yang berakal, dan tidak berlaku agama
bagi yang tidak berakal. Karena fungsi akan membedakan dan memilih
1 Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994) hal, 262 M. Hasbi Ash-Shiddiqieqy, Falsafah Hukum Islam, (Bulan Bintang, Cet-V, Jakarta, 1993) hal, 733 Suryadi, Kamus Baru Bahasa Indonesia, (Usaha Nasional, Surabaya, 1980) hal, 1904 Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (LPPM Unisba, Bandung, 1995) hal, 69
3
perbuatan yang baik dengan yang buruk, prinsip ketauhidan melahirkan
prinsip ahklaq al-karimah, yakni prinsip moralitas yang terpuji ynag dapat
menyucikan jiwa dan meluruskan kepribadian
Prinsip tauhid inipun menghendaki dan memposisikan untuk
menetapkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah (Al-Qur’an
dan As-Sunah). Barang siapa yang tidak menghukumi dengan hukum Allah,
maka orang tersebut dapat dikateegorikan kedalam kelompok orang-orang
yang kafir, dzalim dan fasiq (Q.S. ke 5 Al-Maidah : 44, 45 dan 47).
Dari prinsip umum tauhid ini, maka lahirlah prinsip khusus yang
merupakan kelanjutan dari prinsip tauhid ini, umpamanya yang berlaku
dalam fiqih ibadah sebagai berikut :
a) Prinsip pertama yaitu berhubungan langsung dengan Allah tanpa
perantara, artinya bahwa tak seorang pun manusia dapat menjadikan
dirinya sebagai zat yang wajib di sembah.
b) Prinsip kedua yaitu beban hukum (takli’f) ditujukan untuk memelihara
akidah dan iman, penyucian jiwa (tajkiyat al-nafs) dan pembentukan
pribadi yang luhur,artinya hamba Allah dibebani ibadah sebagai
bentuk/aktualisasi dari rasa syukur atas nikmat Allah.
2. Prinsip Keadilan
Prinsip keadilan atau al-mizan (keseimbangan) dalam bahasa salaf
antara hak dan kewajiban. Sebagai titik tolak kesadaran setiap manusia
terhadap hak-hak oarng lain dan kewajiban dirinya. Jika ia berkewajiban
melakukan sesuatu, maka ia berhak menerima sesuatu tersebut. Keduanya
harus berjalan seimbang dan dirasakan adil untuk dirinya dan orang lain.
Terlebih lagi, manusia diberi alat untuk mempertahankan
keseimbangannya dengan akal dan hati.
Nilai-nilai kemanusiaan membangun prinsip persamaan dimata Allah
dan sesama manusia. Evaluasi tentang derajat manusia bergantung kepada
hak prerogatif Allah, yakni ketaqwaannya sebagaimana difirmankan dalam
surat Al-hujarat ayat 13:
4
شعوبا وجعلناكم وأنثى ذكر من خلقناكم ا إن اس الن ها أي يا
خبير عليم ه الل إن أتقاكم ه الل عند أكرمكم إن لتعارفوا وقبائل
)١٣( “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal.” (Q.S. Al-Hujarat: 13)
3. Prinsip Amar Makruf Nahi Mungkar
Hukum Islam digerakkan untuk merekayasa umat manusia untuk
menuju tujuan yang baik dan benar yang dikehendaki dan ridloi Allah dalam
filsafat hukum Barat diartikan sebagai fungsi social engineering hukum.
Tujuan prinsip amr ma’ruf nahy al-munkar yakni untuk menyebarkan
luaskan persamaan hak dan kewajiban, karena dalam hukum islam
ditanamkan. Dengan demikian, semua umat islam berkewajiban memberikan
contoh yang patut diteladani dan mengajak kepada kebenaran.
4. Prinsip Kebebasan/ Kemerdekaan
Prinsip kebebasan dalam hukum Islam menghendaki agar
agama/hukum Islam disiarkan tidak berdasarkan paksaan, tetapi berdasarkan
penjelasan, demontrasi, argumentasi. Kebebasan yang menjadi prinsip
hukum Islam adalah kebebasan dl arti luasyg mencakup berbagai macamnya,
baik kebebasan individu maupun kebebasan komunal. Keberagama dalam
Islam dijamin berdasarkan prinsip tidak ada paksaan dalam beragama.
5. Prinsip kemaslahatan
Prinsip kemaslahatan umum (al-masahih al-‘ammah), yakni yang
bertitik tolak dari kaidah penyusunan argumentasi dalam berprilaku bahwa
meninggalkan kerusakan lebih diutamakan daripada mengambil manfaatnya
(dar’u al-mafasid muqadamun min jalb al- mashalahih), operasionalisasi
kaaidah ini berhubungan dengan kaidah yang menyatakan bahwa
5
kemaslahatan khusus (al-maslahah al-‘ammah muqadamatun al-maslahah
al-khashah).
6. Prinsip At-Ta’awun
Prinsip ini memiliki makna saling membantu antar sesama manusia
yang diarahkan sesuai prinsip tauhid, terutama dalam peningkatan kebaikan
dan ketakwaan.
Prinsip ta’awun, tolong menolong, sebagai titik tolak ukur kehidupan
manusia sebagai mahlik sosial yang saling membutuhkan.
7. Prinsip Toleransi (tasamuh)
Prinsip toleransi yang dikehendaki Islam adalah toleransi yang
menjamin tidak terlanggarnya hak-hak Islam dan ummatnya tegasnya
toleransi hanya dapat diterima apabila tidak merugikan agama Islam.
Prinsip tasamuh, prinsip toleransi, sebagai titik tolak ukur pengamalan
hukum islam, karena cara berfikir manusia yang berbeda-beda, satu sama
lain harus saling menghargai dan mengakui bahwa kebenaran hasil
pemikiran manusia bersifat relatif.
B. KARAKTERISTIK FIQH ISLAM
1. Bersumber dari Wahyu Ilahi
Fiqh Islam berbeda dari hukum-hukum positif, karena sumbernya
adalah wahyu Allah Swt yang dituangkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah
Nabi, karena itu dalam mengambil kesimpulan hukumnya, setiap mujtahid
terikat secara kuat dengan teks-teks dari kedua rujukan tersebut, yakni Al-
Qur’an dan Sunnah Nabi. Dengan demikian fiqh lahir tumbuh dan
berkembang dengan sempurna.Strukturnya kokoh dan pilar-pilarnya tangguh
sehingga menyempurnakan dasar-dasar serta pondasinya yang mampu
mengokohkan prinsip-prinsipnya di zaman Rasulullah Saw.Allah berfirman :
لكم ورضيت نعمتي عليكم وأتممت دينكم لكم أكملت اليوم
: المائدة ] دينا [3اإلسالم
6
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-
cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama
bagimu “.
Setelah itu tidak ada yang tersisa kecuali menerapkan syari’at sesuai
dengan kemaslahatan manusia yang sejalan dengan tujuan-tujuan utama
ditetapkannya syariat Islam.
2. Komprehensif dan Memenuhi Tuntutan Hidup Manusia
Fiqh Islam berbeda jauh dari hukum-hukum dan undang-undang
buatan manusia, karena meliputi tiga dimensi hubungan dalam hidup
manusia:
a. Hubungan manusia dengan Tuhannya
b. Hubungan manusia dengan dirinya sendiri
c. Hubungan manusia dengan masyarakat.
Lebih jauh lagi, fiqh Islam diperuntukkan bagi kemaslahatan hidup di
dunia dan di akhirat. Dan cakupan fiqh Islam meliputi wilayah agama dan
negara. Fiqh Islam berlaku umum untuk seluruh umat manusia dan bersifat
abadi sampai hari kiamat. Hukum-hukumnya saling menguatkan dan
mengukuhkan satu sama lain, baik dalam bidang akidah, ibadah, etika
maupun muamalah, demi mewujudkan puncak keridlaan dari Allah Swt,
ketenangan hidup, keimanan, kebahagian, kenyamanan dan keteraturan
hidup bahkan memberikan kebahagian kepada dunia secara keseluruhan.
3. Bercorak Religius dan Mengandung Sisi Halal dan Haram
Fiqh Islam berbeda dengan undang-undang dan hukum positif dari
aspek pemikiran halal dan haram, bahwa setiap perbuatan atau perilaku sipil
dan yang terjadi dalam muamalah disifati dengan sisi halal dan haram. Atas
dasar itu, hukum muamalah memiliki dua corak.
4. Hubungan Fiqh Islam dan Akhlaq
Fiqh Islam sangat memperhatikan terpeliharanya keutamaan,
kemulyaan, dan keluhuran akhlak. Oleh karena itu, ibadah di syari’atkan
7
untuk mensucikan jiwa, menjernihkan hati dan menjauhkan dari berbagai
kemungkaran. Riba diharamkan untuk memupuk jiwa kerjasama, saling
menolong, dan saling menyanyangi diantara sesama manusia. Diharamkanya
riba juga dimaksudkan untuk melindungi orang-orang yang membutuhkan
bantuan dari kekuasaan para pemilik modal.
5. Balasan Melanggar Syariah Bersifat Duniawi dan Ukhrawi
Fiqih Islam sangat berbeda dengan undang-undang dan hukum positif.
Sebab, hukum positif buatan manusia hanya memberlakukan dua macam
hukum atau sanksi atas pelaku pelanggaran di dunia dan akhirat sekaligus.
Di dunia, balasan ini merupakan hukuman tertentu (al-hudud)dan hukuman
tidak tertentu (at-ta’zir) yang diberlakukan atas perbuatan-perbuatan lahiriah
yang tampak oleh mata manusia. Sementara itu, hukum ukrawi diterapkan
atas perbuatan-perbuatan batin atau hati yang tak tampak oleh mata manusia
seperti dengki atau iri hati, dendam dan keinginan membahayakan orang
lain.
6. Fiqh Islam Lebih Memihak Kepentingan Kolektif
Fiqh Islam memperhatikan kemaslahatan individual maupun kolektif
secara keseluruhan. Karenanya, tidak ada suatu kemaslahatan individu atau
pun kolektif yang melampui kemaslahatan lainnya. Akan tetapi, jika ada
benturan antara dua kemaslahatan itu, maka kemaslahatan kolektif akan di
utamakan ketimbang kepentingan individu.
Demikian pula, jika terjadi benturan antara kemaslahatan dua
individu, maka yang didahulukan adalah kemaslahatan orang yang lebih
banyak menderita. Ini sejalan dengan kaidah, “tidak boleh ada kemadlorotan
dan menimbulkan kemadlorotan” (ladhororo wala dhiroro) dan juga
kaidah, “jika ada dua kemadlorotan lebih besar ditolak kemadlorotan yang
lebih kecil” (yudfa’ akbar al dhororain bi al akhaffi minhuma).
7. Fiqh Islam Relevan dan Bisa Diterapkan Sepanjang Zaman
Prinsip-prinsip dasar fiqih tidak pernah berubah-ubah seperti suka
sama suka dalam berbagai transaksi atau jual beli, menolak mudorot,
8
menghindari perbuatan dosa, memelihara hak, dan juga menerapkan
tanggung jawab individual.
Sementara itu, dimensi fiqih yang berpijak pada qiyas atau anologi
dan bertujuan memelihara kemaslahatan dan adat istiadat (yang baik) bisa
berubah dengan berkembang sesuai dengan kebutuhan zaman, kemaslahatan
manusiadan ligkungan yang berbeda dalam konteks ruang dan waktu
selama-selama hukum berada dalam wilayah yang sesuai dengan tujuan-
tujuan syariat (maaqashid asy-syari’ah) prinsip-prisipnya yang benar.
8. Karakteristik Fiqh (Hukum Islam) menurut beberapa Tokoh
a. Menurut Hasbi As-Shidiqy
Hukum Islam adalah hukum yang berkarakter dan mempunyai ciri-ciri
khas. Hukum Islam mempunyai tiga karakter yang merupakan ketentuan-
ketentuan yang tidak dapat berubah. Karakteristik dan ciri-ciri khas yang tiga
itu ialah:
1) Takamul, sempurna buat dan tuntas.
Hukum Islam membentuk umat dalam suatu kesatuan yang bulat
walaupun mereka berbeda-beda bangsa dan berlainan suku. Meskipun masa
berganti masa, hukum Islam tetap memiliki karakter yang utuh, harmonis,
dan dinamis.
2) Wasathiyah, imbang, harmonis.
Hukum Islam menempuh jalan tengah, jalan yang seimbang antara
kepentingan jiwa dan raga. Menyelaraskan seluruh aspek kehidupan.
3) Harakah, dinamis (bergerak dan berkembang sesuai dengan
perkembangan zaman).
b. Menurut Minardi Mursyid
Hukum Islam bersifat komprehensif dan universal. Ini berarti
komprehensif itu meliputi semua aspek dan bidang kehidupan yang secara
garis besar dapat diklasifikasi menjadi tiga sub-sistem yaitu : Aqidah,
Syariah dan Akhlak. Aqidah adalah hukum-hukum yang bersangkut paut
dengan keimanan dan ketauhidan yang merupakan dasar keislaman seorang
muslim. Syariah adalah hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia
dengan Khalik maupun dengan makhluk. Sedangkan Akhlak menitik
9
beratkan pada pendidikan rohani dan pembersihan hati dari sifat-sifat tercela
dan menghiasi dengan sifat-sifat yang terpuji.
Dalam arti yang komprehensif ini meliputi beberapa aspek yaitu :
1) Islam adalah agama yang menyentuh seluruh isi kehidupan manusia
Islam adalah sistem yang menyeluruh, mencakup seluruh sisi
kehidupan dan Islam adalah aqidah yang lurus, ibadah yang benar, tidak
kurang tidak lebih.
2) Islam adalah agama sepanjang masa
Islam yang berarti penyerahan diri kepada Allah, dan ber-Tauhid
kepada Allah, adalah agama masa lalu, hari ini dan sampai akhir zaman
nanti.
3) Kelengkapan ajaran Islam dalam bidang aqidah
Aqidah Islam adalah aqidah yang lengkap dari sudut manapun. Ia
mampu menjelaskan persoalan-persoalan besar kehidupan ini. Ia tidak hanya
ditetapkan berdasarkan instink/perasaan atau logika semata, tetapi aqidah
Islam diyakini berdasarkan wahyu yang dibenarkan oleh perasaan dan
logika.
4) Kelengkapan ajaran Islam dalam bidang ibadah
Ibadah dalam Islam menjangkau keseluruhan wujud manusia secara
penuh. Seorang muslim beribadah kepada Allah dengan lisan , fisik, hati,
akal, dan bahkan kekayaannya.
5) Kelengkapan ajaran Islam dalam bidang akhlaq
Akhlaq Islam memberikan sentuhan kepada seluruh sendi kehidupan
manusia dengan optimal.
6) Kelengkapan ajaran Islam dalam bidang hukum
Syariah Islam tidak hanya mengurus individu tanpa memperhatikan
masyarakatnya, atau masyarakat tanpa memperhatikan individunya.
C. SYAR’U MAN QABLANA
1. Pengertian Syar’u Man Qoblana
Syar’u man qoblana adalah syari’at orang – orang yang sebelum kita,
yang dimaksud dengan syar’u man qablana adalah syari’at hukum dan
ajaran – ajaran yang berlaku pada masa nabi atau rosul sebelum nabi
10
Muhammad SAW, diantaranya adalah syari’at Nabi Ibrahim, Nabi Daud,
Nabi Musa, Nabi Isa dan lain-lain.
Syari’at yang pertama kali turun ke umat manusia adalah syari’at nabi
Muhammad SAW, tidak ada lagi setelahnya, yang menjadi pembahasan para
ulama’ yaitu apakah syari’at yang diturunkan kepada nabi – nabi terdahulu
itu juga berlaku atas nabi Muhammad SAW dan umatnya.
2. Pendapat Ulama’ Tentang Syar’u Man Qablana
Dalam pembahasan ini, semua ulama’ sepakat bahwa syar’u man
qablana yang tidak terdapat dalam al-quran dan as-sunnah tidak berlaku bagi
syari’at nabi Muhammad SAW da umatnya , karena syari’at nabi
Muhammad SAW itu sifatnya menggantikan syari’at para nabi terdahulu
yang tidak termaktub dalam al-quran dan as-sunnah, maka dengan
sendirinya tidak berlaku pada zamannya nabi Muhammad SAW.
Contoh: tindakan bunuh diri sebagai cara untuk bertaubat, dan memotong
baju yang terkena najis.
Syar’u man qablana yang termaktub dalam al-quran dan as-sunnah,
semua para ulama’ sepakat bahwa syari’at itu berlaku bagi Rasulullah
SAWdan ummatnya, akan tetepi bukan karena berkedudukan sebagai syar’u
man qablana, melainkan karena telah diterangkan dalam al-quran dan as-
sunnah, misalnya: syari’at puasa, berlakunya syari’at puasa bukan karena
merupakan berkeduduka sebagai syar’u man qablana, melainkan karena
disyari’atkan oleh al-quran, terdapat didalam surat Al-Baqoroh : 183.
Objek berbeda pendapatnya ulama’ adalah hukum dan masalah-
masalah yang tidak secara tegas diberlakukan pada syari’at nabi Muhammad
SAW, tetapi juga tidak terdapat nash-nash yang menasakh-kannya, terdapat
2 kelompok pendapat ulama’ yang bertolak belakang tentang berlaku dan
tidaknya syar’u man qablana tersebut bagi nabi Muhammad dan seluruh
umatnya, pendapat-pendapat tersebt adalah sebagai berikut .
Mayoritas ulama’ Hanafiyyah, Malikiyyah, sebagian ulama’
Syafi’iyyah, dan Hambaliyyah, antara lain: at-Tamimi, berpendapat, bahwa
syar’u man qablana berlaku bagi umat nabi Muhammad SAW, jika syari’at
tersebut diinformasikanmelalui nabi, mengacu atas dasar berikut ini:
a. Firman Allah pada surat al-an’am ayat 90 :
11
االنعام ) : أو اقتده فبهداهم الله هدى ذين ال )90لـئك
“Mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah
petunjuk mereka.” (Q.S. Al-an’am:90)
Ayat ini ditujukan atas nabi Muhammad SAW agar mengikuti para
nabi dari bani Isroil, selama tidak ada nash yang menasakh-kannya.
b. Firman Allah SWT pada surat an-nahl ayat 123:
﴿ ن� ك�ي ك� ش� م ش� ا ن� ك� ن� ن�ا ن�ا ن� اا ك�يف ن� ن� ك�ي ن�ا ش� ك�ا ن� �� ن ك� �ش �ك �� ن ا ك� ن ا ن! شي ن� ك�ا ن�ا شي ن� ش� ن ا ��ن ﴾١٢٣م"
“Kemudian kami mewahyukan kepadamu (Muhammad) ikutilah agama
Ibrahimseorang yang hanif dan ia tidak termasuk orang-orang yang
menyekutukan tuhan.”
Ayat ini memerintahkan kepada Rasulullah untuk mengikuti agama
Ibrahim, serta syari’atnya.
Ulama’ Asy’ariyah, Mu’tazilah, Syi’ah, sebagian ulama’ Syafi’iyyah,
dan mayoritas ulama’ Hambaliyyah berpendapat, bahwa syar’u man qablana
yang tidak ada pemberlakuan penegasannya dan tidak pula ada nash yang
menasakh-kannya, maka ia tidak berlaku pada nabi Muhammad SAW dan
umatnya, mengacu atas dasar berikut, antara lain ialah:
a. Firman Allah SWT pada surat al-maidah : 48:
﴿ اا ن%اج ش� ك� ن� ا� ن& ش� ك' ش� م) ك�� ن�ا ش� ن( نج ل* م) ﴾٤٨ك�“Untuk tiap-tiap umat diantarakamu, kami berikan aturan dan jalan yang
terang.”
Ayat ini menerangkan bahwa tiap-tiap umat sudah ada syari’atnya
masing-masing, jadi tidak aisuruh untuk mengikuti syari’at umat lain, oleh
karena itu syar’u man qablana tidak berlaku bagi umat nabi Muhammad.
b. Ketika Rasulullah SAW mengutus Mu’adz bin Jabal ke yaman untuk
menjadi hakim, beliau bertanya kepadanya tentang pedoman yang
digunakannnya, Mu’adz menjawab bahwa ia berpedoman kepada al-
quran, as-sunnah, dan ijtihad. Jawaban itu disetujui oleh nabi Rasulullah,
12
dan tidak mengarahkannya untuk berpedoman kepada syar’u man
qablana, dari situ syar’u man qablana tidak berlaku kepada umat nabi
Muhammad SAW.
Itulah dalil-dalil yang dikemukakan oleh masing-masing kelompok
sebagai pendukung pendapatnya, masing-masing pendapat itu mempunyai
kelemahan, misalnya dalil kelompok yang pertama, tentang perintah
mengikuti nabi sebelumnya, sebenarnya yang diperintahkan adalah yang
berkaitan dengan aqidah tauhid dan prinsip-prinsip umum syari’at, bukan
yang berkaitan dengan syari’at umum secara keseluruhan.
Dari perdebatan 2 kelompok diatas, sebagian ulama’ lebih cenderung
kepada kelompok yang pertama, misalnya seperti Khudori Baik,Abdul
Wahab Khallaf, dan Zakiyuddin Sya’ban, dengan syarat syari’at tersebut
termaktub dalam al-qur an dan as-sunnah.
Alasan-alasan mereka ialah sebagai berikut:
1. Dengan tercantumnya syar’u man qablana di al-quran dan as-sunnah,
maka ia termasuk syari’at samawi.
2. Keberadaannya dalam al-quran dan as-sunnah tanpa diiringi dengan
penolakan dan tanpa naskh yang menunjukkan bahwa ia juga berlaku
sebagai syari’at nabi Muhammad SAW.
3. Sebagai implementasi dari pernyataan bahwa al-quran membenarkan
kitab-kitab taurat dan injil, contoh: ulama’ Hanafiyyah, Syafi’iyyah,
Hambaliyyah membolehkan transaksi ji’alahn atas dasar kisah yusuf
yang terdapat dalam al-quran surat yusuf ayat 72:
﴿ م� ك&ي ن- ك. ك� شا ن/ ن ا ن� ر� ك(ي ن� م* ش ك� ك. ك� نجاء �ن ك� ن� ك! ك� ن ش� ا ن2 ن3ا م4 م5 ك6 شف ن/ شا م�3 ﴾٧٢ن7ا“Mereka berkata: “kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat
mengembalikannya akan memperoleh beban makanan (seberat ) beban unta,
dan aku menjamin atasnya”
D. SADD ADZ-DZARI’AH
Asy-Syatibi menyatakan bahwa sadd adz-dzari’ah adalah menolak sesuatu
yang boleh (jaiz) agar tidak mengantarkan kepada sesuatu yang dilarang
(mamnu’) Menurut Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, sadd adz-dzari’ah adalah
13
meniadakan atau menutup jalan yang menuju kepada perbuatan yang terlarang.
Sedangkan menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, jalan atau perantara tersebut
bisa berbentuk sesuatu yang dilarang maupun yang dibolehkan.
Dari beberapa contoh pengertian di atas, tampak bahwa sebagian ulama
seperti asy-Syathibi dan asy-Syaukani mempersempit adz-dzariah sebagai
sesuatu yang awalnya diperbolehkan. Namun al-Qarafi dan Mukhtar Yahya
menyebutkan adz-dzari’ah secara umum dan tidak mempersempitnyahanya
sebagai sesuatu yang diperbolehkan. Di samping itu, Ibnu al-Qayyim juga
mengungkapkan adanya adz-dzari’ahyang pada awalnya memang dilarang
1. Dasar Hukum Sadd Adz-Dzari’ah
a. Alquran
بغير عدوا الله وا فيسب الله دون من يدعون ذين ال وا تسب وال
﴿ ن� م�3 ن ش( ن8 شا م/3 ن�ا نا ك� م%� م9 �ب ن� مي ن; ش� م% م( كج ش� �� ن ك%� ب� ن> ن�ى ك�ا ��ن م" ش� م% ن� ن ن& ر� �� ن م ا ب* م) ك� ��ا ن 8� ن ن- ن! ك� ن< ن� ر� ش� ﴾١٠٨ك&
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah
selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui
batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat
menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah
kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu
mereka kerjakan. (QS. al-An’am: 108).”
b. Sunah
“Dari Abdullah bin Amr RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda:
“Termasuk di antara dosa besar seorang lelaki melaknat kedua orang
tuanya.” Beliau kemudian ditanya, “Bagaimana caranya seorang lelaki
melaknat kedua orang tuanya?” Beliau menjawab, “Seorang lelaki mencaci
maki ayah orang lain, kemudian orang yang dicaci itu pun membalas
mencaci maki ayah dan ibu tua lelaki tersebut.”
c. Kaidah Fikih
14
Di antara kaidah fikih yang bisa dijadikan dasar penggunaan sadd
adz-dzari’ah adalah:
المصالح جلب من أولى المفاسد .دفع
“Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih
kebaikan (maslahah)”.
Kaidah ini merupakan kaidah asasi yang bisa mencakup masalah-
masalah turunan di bawahnya. Berbagai kaidah lain juga bersandar pada
kaidah ini. Karena itulah, sadd adz-dzari’ah pun bisa disandarkan
kepadanya. Hal ini juga bisa dipahami, karena dalam sadd adz-dzari’ah
terdapat unsur mafsadah yang harus dihindari
d. Logika
Secara logika, ketika seseorang membolehkan suatu perbuatan, maka
mestinya ia juga membolehkan segala hal yang akan mengantarkan kepada
hal tersebut. Begitupun sebaliknya, jika seseorang melarang suatu perbuatan,
maka mestinya ia pun melarang segala hal yang bisa mengantarkan kepada
perbuatan tersebut. Hal ini senada dengan ungkapan Ibnu Qayyim dalam
kitab A’lâm al-Mûqi’în: ”Ketika Allah melarang suatu hal, maka Allah pun
akan melarang dan mencegah segala jalan dan perantara yang bisa
mengantarkan kepadanya. Hal itu untuk menguatkan dan menegaskan
pelarangan tersebut. Namun jika Allah membolehkan segala jalan dan
perantara tersebut, tentu hal ini bertolak belakang dengan pelarangan yang
telah ditetapkan
2. Macam-macam Adz-dzari’ah
Sedangkan dilihat dari aspek kesepakatan ulama, al-Qarafi dan asy-
Syatibi membagi adz-dzari’ah menjadi tiga macam, yaitu:
a. Sesuatu yang telah disepakati untuk tidak dilarang meskipun bisa menjadi
jalan atau sarana terjadinya suatu perbuatan yang diharamkan.
Contohnya menanam anggur, meskipun ada kemungkinan untuk
dijadikan khamar; atau hidup bertetangga meskipun ada kemungkinan
terjadi perbuatan zina dengan tetangga.
15
b. Sesuatu yang disepakati untuk dilarang, seperti mencaci maki berhala
bagi orang yang mengetahui atau menduga keras bahwa penyembah
berhala tersebut akan membalas mencaci maki Allah seketika itu pula.
Contoh lain adalah larangan menggali sumur di tengah jalan bagi orang
yang mengetahui bahwa jalan tersebut biasa dilewati dan akan
mencelakakan orang.
c. Sesuatu yang masih diperselisihkan untuk dilarang atau diperbolehkan,
seperti memandang perempuan karena bisa menjadi jalan terjadinya
zina; dan jual beli berjangka karena khawatir ada unsur riba.
3. Cara Menentukan Adz-Dzariah
Guna menentukan apakah suatu perbuatan dilarang atau tidak, karena
ia bisa menjadi sarana (adz-dzariah)terjadinya suatu perbuatan lain yang
dilarang, maka secara umum hal itu bisa dilihat dari dua hal, yaitu
a. Motif atau tujuan yang mendorong seseorang untuk melaksanakan suatu
perbuatan, apakah perbuatan itu akan berdampak kepada sesuatu yang
dihalalkan atau diharamkan. Misalnya, jika terdapat indikasi yang kuat
bahwa seseorang yang hendak menikahi seorang janda perempuan talak
tiga adalah karena sekedar untuk menghalalkan si perempuan untuk
dinikahi oleh mantan suaminya terdahulu, maka pernikahan itu harus
dicegah. Tujuan pernikahan tersebut bertentangan dengan tujuan
pernikahan yang digariskan syara’ yaitu demi membina keluarga yang
langgeng.
b. Akibat yang terjadi dari perbuatan, tanpa harus melihat kepada motif dan
niat si pelaku. Jika akibat atau dampak yang sering kali terjadi dari suatu
perbuatan adalah sesuatu yang dilarang atau mafsadah, maka perbuatan
itu harus dicegah. Misalnya, masalah pemberian hadiah (gratifikasi)
yang diawasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Berdasarkan
beberapa peristiwa yang sebelumnya terjadi, seorang pejabat yang
mendapat hadiah kemungkinan besar akan mempengaruhi keputusan
atau kebijakannya terhadap si pemberi hadiah. Karena itulah, setiap
pemberian hadiah (gratifikasi) dalam batasan jumlah tertentu harus
dikembalikan ke kas negara oleh pihak KPK.
16
17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Prinsip-prinsip dari ilmu fiqh antara lain tauhid, keadilan amar makruf
nahi mungkar, kebebasan/ kemerdekaan, kemaslahatan, at-ta’awun dan toleransi
(tasamuh).
Karakteristik dari ilmu fiqh itu sendiri yaitu bersumber dari wahyu Ilahi,
komprehensif dan memenuhi tuntutan hidup manusia, bercorak religius dan
mengandung sisi halal dan haram, hubungan fiqh islam dan akhlaq balasan
melanggar syariah bersifat duniawi dan ukhrawi fiqh islam lebih memihak
kepentingan kolektif dan fiqh Islam relevan dan bisa diterapkan sepanjang
zaman.
Syar’u man qoblana adalah syari’at orang – orang yang sebelum kita,
yang dimaksud dengan syar’u man qablana adalah syari’at hukum dan ajaran –
ajaran yang berlaku pada masa nabi atau rosul sebelum nabi Muhammad SAW,
diantaranya adalah syari’at Nabi Ibrahim, Nabi Daud, Nabi Musa, Nabi Isa dan
lain-lain.
Sadd adz-dzari’ah adalah menolak sesuatu yang boleh (jaiz) agar tidak
mengantarkan kepada sesuatu yang dilarang (mamnu’) dan juga bisa diartikan
meniadakan atau menutup jalan yang menuju kepada perbuatan yang terlarang
B. Kritik dan Saran
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. oleh
karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar
kami dapat memperbaikinya di masa yang akan datang.
18
DAFTAR PUSTAKA
Zahrah Abu, Ushul Fiqh, (Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994)
Ash-Shiddiqieqy M. Hasbi, Falsafah Hukum Islam, (Bulan Bintang, Cet-V, Jakarta,
1993)
Suryadi, Kamus Baru Bahasa Indonesia, (Usaha Nasional, Surabaya, 1980)
S. Praja Juhaya, Filsafat Hukum Islam, (LPPM Unisba, Bandung, 1995)
Dahlan Abd. Rahman, Ushul Fiqh, (Amzah, Jakarta, 2010)
Diposkan oleh Chimoe Syae di 01.24
http://chimoesyai.blogspot.com/2012/04/makalah-saddu-al-dzariah.html
Diposkan oleh Soffia Az-Zahra di 00.51
http://soffia-az.blogspot.com/2012/01/makalah-ushul-fiqh-syaru-man-qablana.html
Diposkan oleh Azhar Effendi di 07.53.00
http://effendi10.blogspot.com/2012/02/karakteristik-hukum-islam_09.html?
zx=9adb225124e9c74c
Diposkan oleh khaira nick di 22.20
http://khairajember.blogspot.com/2013/04/prinsip-islam-dalam-menetapkan-hukum.html
19
Top Related