BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kerangka...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kerangka...
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual penelitian pada dasarnya adalah suatu kerangka
hubungan antara konsep-konsep yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian
yang akan dilakukan (Notoatmodjo, 2010). Adapun kerangka konseptual dalam
penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual
Berdasarkan kerangka konseptual diatas, ada dua konsep utama, yaitu: konsep
tentang self-efficacy dan sikap. Setiap konsep mempunyai variable sebagai
indikasi pengukuran dari konsep itu sendiri. Pengukuran terhadap self-efficacy
dilakukan melalui dimensi tingkat, dimensi keluasan dan dimensi kekuatan. Sikap
diukur dengan komponen kognitif, komponen afektif dan komponen konatif.
Sikap
1. Komponen Kognitif
2. Komponen Afektif
3. Komponen Konatif
Pembelajaran Matematika
Self-Efficacy
1. Dimensi Tingkat
2. Dimensi Keluasan
3. Dimensi Kekuatan
10
Dari kerangka konseptual terlihat bahwa self-efficacy dan sikap secara
langsung berhubungan terhadap pembelajaran matematika. Self-efficacy yang
tinggi akan mendorong siswa untuk mencapai keberhasilan dan mampu
menghadapi kesulitan saat mengerjakan tugas. Sikap yang baik akan mendorong
siswa untuk belajar dengan serius agar apa yang ingin dicapai dapat terwujud
dengan baik sesuai harapan siswa. Berorientasi dari kerangka konseptual maka
penelitian ini menganalisis self-efficacy dan sikap siswa SMA dalam
pembelajaran matematika.
2.2 Self-Efficacy
Self-efficacy didefinisikan sebagai keyakinan seseorang terhadap kemampuan
mereka untuk menghasilkan tingkat kemampuan dalam mengerjakan latihan yang
mempengaruhi peristiwa yang terjadi dalam kehidupan. Self-efficacy menentukan
bagaimana seseorang merasa, berpikir, memotivasi dirinya dan berperilaku.
Keyakinan tersebut menghasilkan perbedaan yang berdampak melalui empat
aspek yakni kognitif, motivasi, afektif dan seleksi (Bandura, 1994). Menurut
Zimmerman (2000) self-efficacy merupakan penilaian pribadi tentang kemampuan
seseorang untuk mengatur dan melaksanakan program kerja dalam mencapai
tujuan yang telah ditentukan, dan ia berusaha menilai tingkat, keumuman, dan
kekuatan dari seluruh kegiatan dan konteks. Self-efficacy pada siswa SMA adalah
penilaian atas kemampuan diri siswa dalam mengatur dan melaksanakan berbagai
macam tugas-tugas akademik yang diberikan oleh guru. Self-efficacy
mempengaruhi pilihan tindakan yang akan dilakukan dan besarnya usaha ketika
11
menemui kesulitan dan hambatan. Individu yang memiliki Self-efficacy tinggi
memilih untuk melakukan usaha lebih besar dan tidak mudah putus asa.
Pajares dan Kranzler (1995) menyebutkan bahwa self-efficacy adalah suatu
alat yang berguna dalam pembelajaran matematika. Self-efficacy matematis
didefinisikan sebagai suatu penilaian situasional dari suatu keyakinan individu
dalam kemampuannya untuk berhasil membentuk atau menyelesaikan tugas-tugas
atau masalah-masalah matematis tertentu. Artinya ketika kepada siswa diberikan
suatu masalah matematika ia dapat meyakini dirinya tentang kemampuannya
dalam menyelesaikan masalah tersebut. Alwisol (2007) menyatakan bahwa self-
efficacy sebagai persepsi diri sendiri mengenai seberapa bagus diri dapat berfungsi
dalam situasi tertentu, self-efficacy berhubungan dengan keyakinan bahwa diri
memiliki kemampuan melakukan tindakan yang diharapkan.
Berdasarkan dari beberapa definisi pendapat ahli mengenai self-efficacy
tersebut dapat disimpulkan bahwa self-efficacy adalah keyakinan atau
kepercayaan diri yang bisa mengarahkan seseorang untuk menemukan solusi
dalam sebuah situasi dan evaluasi terhadap kemampuan dirinya dalam mengatur,
melakukan suatu tugas untuk mencapai suatu tujuan.
2.2.1 Dimensi Self-Efficacy
Bandura dalam Janatin (2015) mengemukakan bahwa self-efficacy
individu dapat dilihat dari tiga dimensi, yaitu:
a. Dimensi Tingkat (Level)
Dimensi ini mengacu pada derajat kesulitan tugas yang dihadapi.
Penerimaan dan keyakinan seeorang terhadap suatu tugas berbeda-beda.
12
Persepsi setiap individu akan berbeda dalam memandang tingkat kesulitan
dari suatu tugas. Persepsi terhadap tugas yang sulit dipengaruhi oleh
kompetensi yang dimiliki individu. Ada yang menganggap suatu tugas itu
sulit sedangkan orang lain mungkin merasa tidak demikian. Keyakinan ini
didasari oleh pemahamannya terhadap tugas tersebut.
Indikator dimensi tingkat (Janatin, 2015):
1) Tingkat penyelesaian tugas.
2) Tingkat kesulitan tugas.
3) Optimis menghadapi kesulitan.
b. Dimensi Keluasan (Generality)
Dimensi ini mengacu sejauh mana individu yakin akan kemampuannya
dalam berbagai situasi tugas, mulai dari dalam melakukan suatu aktivitas
yang biasa dilakukan atau situasi tertentu yang tidak pernah dilakukan hingga
dalam serangkaian tugas atau situasi sulit dan bervariasi.
Indikator dimensi keluasan (Janatin, 2015):
1) Penguasaan tugas-tugas yang diberikan.
2) Penguasaan materi-materi yang diberikan.
3) Cara mengatur waktu.
c. Dimensi Kekuatan (Strength)
Dimensi strength merupakan kuatnya keyakinan seseorang mengenai
kemampuan yang dimiliki ketika menghadapi tuntutan tugas atau
permasalahan. Hal ini berkaitan dengan ketahanan dan keuletan individu
dalam pemenuhan tugasnya. Self-efficacy yang lemah dapat dengan mudah
menyerah dengan pengalaman yang sulit ketika menghadapi sebuah tugas
13
yang sulit. Sedangkan bila self-efficacy tinggi maka individu akan memiliki
keyakinan dan kemantapan yang kuat terhadap kemampuannya untuk
mengerjakan suatu tugas dan akan terus bertahan dalam usahannya meskipun
banyak mengalami kesulitan dan tantangan.
Indikator dimensi kekuatan (Janatin, 2015):
1) Gigih dalam belajar.
2) Gigih dalam mengerjakan tugas.
3) Konsistensi dalam mencapai tujuan.
2.2.2 Self-Efficacy dalam Pembelajaran Matematika
Self-efficacy matematika diartikan sebagai kepercayaan diri siswa terhadap
kemampuan merepresentasikan dan menyelesaikan masalah matematika, cara
belajar atau bekerja dalam memahami konsep dan menyelesaikan tugas, dan
kemampuan berkomunikasi matematika dengan teman sebaya dan pengajar
selama pembelajaran. Untuk mengembangkan kemampuan tersebut, guru haruslah
melatihkan kepada siswa bahwa dalam menyelesaikan soal atau masalah
matematika perlu adanya menguji jawabannya, perlu diberikan berbagai cara atau
strategi dalam menyelesaikan soal matematika.
Self-efficacy dan prestasi siswa SMA meningkat saat mereka menetapkan
tujuan yang spesifik, untuk jangka pendek dan menantang. Meminta siswa untuk
menetapkan tujuan jangka panjang adalah hal yang baik seperti: “Saya ingin
malanjutkan ke perguruan tinggi”, tetapi akan sangat lebih baik kalau mereka juga
membuat tujuan jangka pendek tentang apa yang harus dilakukan seperti: “Saya
harus mendapatka nilai tinggi untuk tes matematika yang akan datang”. Dengan
14
adanya tujuan jangka pendek ini diharapkan keyakinan siswa akan meningkat,
sehingga mereka pun akan lebih berusaha keras dalam mencapai tujuan tersebut.
Self-efficacy atau keyakinan kebiasaan diri itu dapat diperoleh, diubah,
ditingkatkan atau diturunkan, melalui salah satu atau kombinasi empat sumber,
yakni pengalaman menguasai sesuatu prestasi, pengalaman vikarius, persuasi
sosial, dan pembangkitan emosi (Alwisol, 2007).
Siswa SMA yang mempunyai self-efficacy tinggi, tentu memiliki rasa
percaya diri yang tinggi sekaligus mengenal dirinya dengan baik. Percaya diri dan
kenal diri sangat erat kaitan dalam belajar matematika. Seorang siswa dapat
menyelesaikan soal matematika dengan benar tentu siswa tersebut percaya diri
akan dapat menyelesaikan soal matematika tersebut. Dia akan selalu optimis dan
merasa bisa atau mampu dalam menyelesaikan soal tersebut. Perasaan rasa
mampu tersebut menunjukkan bahwa siswa mempunyai self-efficacy. Siswa yang
mempunyai self-efficacy akan mempunyai kemandirian, kerja keras dan selalu
berusaha untuk tidak mudah menyerah untuk menyesaikan suatu soal matematika.
Secara umum disimpulkan bahwa self-efficacy yang dimiliki siswa SMA
memberi pengaruh yang besar terhadap pembelajaran matematika. Hal ini
dimaksudkan bahwa semakin tinggi self-efficacy siswa, maka semakin tinggi
kemampuannya dalam pembelajaran matematika. Sebaliknya semakin rendah self-
efficacy siswa maka semakin rendah kemampuan dalam pembelajaran
matematika.
15
2.3 Sikap
Faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa adalah sikap. Sikap
merupakan kecenderungan pola tingkah laku individu untuk berbuat sesuatu
dengan cara tertentu terhadap orang, benda atau gagasan. Sikap dapat diartikan
sekelompok keyakinan dan perasaan yang melekat tentang objek tertentu dan
kecenderungan untuk bertindak terhadap objek tersebut dengan cara tertentu
(Calhoun, 1978). Allport dalam Susanti (2013) sikap adalah kesiapan mental dan
saraf yang diorganisasi melalui pengalaman yang mempengaruhi respon
seseorang terhadap semua objek dan situasi yang saling berhubungan. Sikap tidak
muncul seketika atau dibawa lahir, tapi disusun dan dibentuk melalui pengalaman
serta memberi pengaruh langsung pada respon seseorang.
Azwar (2009) mengatakan bahwa sikap adalah evaluasi umum yang dibuat
manusia terhadap dirinya sendiri, orang lain, objek atau isu. Menurut Azwar
contoh sikap siswa terhadap objek misalnya sikap terhadap sekolah atau terhadap
mata pelajaran. Sikap siswa terhadap mata pelajaran harus lebih positif setelah
siswa mengikuti pembelajaran dibanding sebelum mengikuti pembelajaran.
Perubahan ini merupakan salah satu indikator keberhasilan guru dalam
melaksanakan proses pembelajaran. Untuk itu guru harus membuat rencana
pembelajaran termasuk pengalaman belajar siswa yang membuat sikap siswa
terhadap mata pelajaran menjadi lebih positif.
Berdasarkan dari beberapa definisi yang diungkapan diatas dapat disimpulkan
bahwa sikap adalah suatu kecenderungan individu menanggapi secara positif atau
negatif terhadap objek, situasi, konsep, orang lain maupun dirinya sendiri akibat
16
hasil dari proses belajar maupun pengalaman di lapangan yang menyatakan rasa
suka atau tidak sukanya (positif, negatif, atau netral).
2.3.1 Komponen Sikap
Azwar (2009) menyebutkan bahwa sikap terdiri atas tiga komponen yang
saling menunjang yaitu:
a. Komponen kognitif merupakan representasi apa yang dipercayai oleh
individu pemilik sikap, komponen kognitif berisi kepercayaan stereotipe yang
dimiliki individu mengenai sesuatu dapat disamakan penanganan (opini)
terutama apabila menyangkut masalah isu atau problem yang kontroversial.
Indikator komponen kognitif (Tapia dan Marsh dalam Susanti, 2013):
1) Keyakinan siswa atas kemampuannya dalam matematika.
2) Keyakinan siswa akan kegunaan, relevansi, dan keberhargaan
matematika dalam kehidupan pribadi siswa dan kehidupan profesional
mereka di masa depan.
b. Komponen afektif merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional.
Aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling dalam sebagai
komponen sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan terhadap
pengaruh-pengaruh yang mungkin adalah mengubah sikap seseorang
komponen afektif disamakan dengan perasaan yang dimiliki seseorang
terhadap sesuatu.
Indikator komponen afektif (Tapia dan Marsh dalam Susanti, 2013):
1) Kekhawatiran siswa akan matematika.
17
2) Kesenagan perasaan nyaman siswa dalam belajar matematika dan terlibat
dalam kelas matematika.
c. Komponen konatif merupakan aspek kecenderungan berperilaku tertentu
sesuai dengan sikap yang dimiliki oleh seseorang. Dan berisi tendensi atau
kecenderungan untuk bertindak atau bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-
cara tertentu. Dan berkaitan dengan objek yang dihadapinya adalah logis
untuk mengharapkan bahwa sikap seseorang adalah dicerminkan dalam
bentuk tendensi perilaku.
Indikator komponen konatif (Tapia dan Marsh dalam Susanti, 2013):
1) Motivasi minat siswa dalam matematika dan keinginan siswa untuk
mempelajari matematika lebih lanjut.
Berdasarkan pendapat di atas maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa
sikap terdiri atas 3 komponen yaitu: kognitif, afektif dan konatif. Komponen
kognitif yang berhubungan dengan pengetahuan, pandangan, keyakinan tentang
objek sikap. Komponen afekti berhubungan dengan perasaan (suka tidak suka,
senang tidak senang) atau emosi yang dimiliki seseorang atau penilaian terhadap
objek sikap. Komponen konatif berhubungan dengan kecenderungan untuk
berprilaku atau bertindak dengan cara-cara tertentu berkaitan dengan objek sikap.
2.3.2 Sikap Siswa dalam Pembelajaran Matematika
Sikap siswa terhadap matematika dapat didefinisikan sebagai
kecenderungan yang dipelajari individu untuk merespon secara positif atau negatif
terhadap matematika (Aiken dalam Bassette, 2004). Sikap belajar matematika
dipengaruhi oleh keyakinan terhadap aktivitas belajar tersebut yang akan
18
membawa kepada hasil belajar yang memuaskan. Sikap siswa SMA dalam
pembelajaran matematika dapat dinyatakan sebagai perasaan terhadap matematika
dan kesiapan mempelajarinya. Sementara itu perasaan terhadap matematika dapat
berupa perasaan positif atau perasaan negatif terhadap matematika. Perasaan
positif terhadap matematika yang berarti mendukung dan menyenangi
pembelajaran matematika, dan sebaliknya perasaan negatif terhadap matematika
berarti tidak mendukung atau tidak menyenangi pembelajaran matematika. Sikap
terhadap matematika dapat dilihat saat siswa mengikuti pembelajaran matematika,
mengerjakan pekerjaan rumah, atau mengikuti kursus matematika.
Sikap siswa SMA dalam pembelajaran matematika bermacam–macam,
ada siswa yang menunjukan sikap positif dengan cara memperhatikan dan tenang
dalam proses pembelajaran, namun ada juga siswa yang menunjukkan sikap
negatif dengan mengobrol sendiri dan tidak memperhatikan penjelasan guru.
Menurut Tapia dan Marsh dalam Susanti (2013) sikap terhadap matematika
dipengaruhi oleh faktor kepercayaan (keyakinan siswa atas kemampuannya dalam
matematika), kekhawatiran (perasaan khawatir siswa akan matematika), nilai
(keyakinan siswa akan kegunaan, relevansi, dan keberhargaan matematika dalam
kehidupan pribadi siswa dan kehidupan profesional mereka di masa depan),
kesenagan (perasaan nyaman siswa dalam belajar matematika dan terlibat dalam
kelas matematika), dan motivasi (minat siswa dalam matematika dan keinginan
siswa untuk mempelajari matematika lebih lanjut). Selanjutnya kelima faktor ini
akan peneliti gunakan sebagai indikator pengukuran sikap siswa SMA dalam
pembelajaran matematika.
19
Sikap siswa terhadap pembelajaran matematika akan sangat bermanfaat
dalam penanganan masalah-masalah atau kesulitan-kesulitan belajar matematika
yang dihadapi siswa. Penanganan itu antara lain dalam bentuk pemberian stimulus
tertentu untuk memperoleh efek perilaku yang diinginkan. Demikian pula untuk
memecahkan soal-soal matematika, siswa dituntut untuk banyak berlatih. Baik
berlatih mengerjakan soal matematika, maupun mengkaji ulang mengenai konsep
atau teori matematika yang telah dipelajarinya. Dalam hal ini, untuk mencapai
hasil belajar yang optimal pada pelajaran matematika sangat diperlukan sikap
positif seorang siswa SMA.
2.4 Hubungan Self-Efficacy dan Sikap Siswa dalam Pembelajaran
Matematika
Self-efficacy sebagai keyakinan yang bisa mendorong atau mengarahkan
seseorang untuk menemukan solusi dalam sebuah situasi dan mampu
menghasilkan sikap positif dari situasi yang terjadi tersebut. Dengan kata lain self-
efficacy menjadi kunci dan stimulus utama yang bisa membantu seseorang
menemukan solusi atau jalan keluar dari sebuah situasi yang sedang dihadapi dan
bersikap optimis terhadap berbagai situasi dan tempat berbeda.
Kemampuan belajar setiap orang itu berbeda-beda tergantung bagaimana
seseorang dalam menyesuaiakan dirinya dengan pembelajaran tersebut. Sehingga
jika setiap orang di dunia ini memiliki self-efficacy yang tinggi maka seseorang
itupun akan mampu memaksimalkan usaha yang dimiliki untuk mencapai
harapannya. Dalam belajar, setiap siswa memiliki harapan yang berbeda untuk
mencapai keinginannya dan setiap siswa pun memiliki respon yang berbeda-beda
20
pada setiap stimulus yang ada atau yang diberikan sehingga sikap yang baik
dalam diri setiap individu ini akan membuat seseorang mampu merespon stimulus
yang ada dengan baik pula dalam proses belajar mengajar.
Sikap positip siswa terhadap matematika artinya siswa memiliki keyakinan
tentang matematika, manfaatnya matematika baik bagi matematika sebagai ilmu
maupun sebagai penunjang ilmu yang lain, bagi kehidupan, manfaat dan
pentingnya belajar matematika bagi dirinya sendiri maupun bagi kemaslahatan
kehidupan bangsa. Hal itu akan menyebabkan siswa senang terhadap matematika
dan memiliki kecenderungan yang positip dalam memilih dan menentukan
strategi belajar matematika.
Diduga jika self-efficacy tinggi maka sikap siswa positip terhadap
pembelajaran matematika, dan sebaliknya jika self-efficacy rendah maka sikap
siswa negatip terhadap pembelajaran matematika. Dengan kata lain diduga
terdapat korelasi positif antara self-efficacy dan sikap siswa. Artinya diduga
semakin tinggi self-efficacy maka semakin baik sikap siswa terhadap
pembelajaran matematika, sebaliknya rendah self-efficacy nya maka semakin
sikap siswa jelek terhadap pembelajaran matematika.
2.5 Hasil Penelitian yang Relavan
Hasil penelitian pertama yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian
yang dilakukan Hasanah (2016) yang diteliti bagaimana pemahaman konseptual
dan self-efficacy pada pemecahan masalah geometri siswa SMP pada siswa kelas
IX-G SMP Negeri 11 Malang dengan subjek penelitian terdiri 29 siswa untuk
angket self-efficacy menunjukkan bahwa dengan self-efficacy pada pemecahan
21
masalah Geometri termasuk kedalam ketagori self-efficacy tinggi. Penelitian
kedua yang dilakukan oleh Erliana (2015) bertujuan untuk mengetahui gambaran
secara umum self-efficacy bidang akademik pada siswa kelas XI di SMAN 14
Bekasi dengan subjek penelitian terdiri 175 siswa secara keseluruhan berada
dalam kategori sedang. Penelitian ketiga yang dilakukan oleh Janatin (2015)
bertujuan untuk mengetahui hubungan antara self efficacy dengan prestasi belajar
siswa kelas IV SD se-Gugus II Kecamatan Bantul tahun ajaran 2014/2015 dengan
subjek penelitian terdiri 172 siswa menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
positif dan signifikan antara self-efficacy dengan prestasi belajar siswa kelas IV
SD se-Gugus II Kecamatan Bantul tahun ajaran 2014/2015. Penelitian keempat
yang dilakukan oleh Fatimaturrohmah (2010) dengan penelitian hubungan antara
sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan prestasi belajar pada siswa
kelas VIII SMP Negeri 6 Salatiga tahun ajaran 2009/2010, yang menunjukkan
bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara sikap siswa terhadap
pelajaran matematika dengan prestasi belajar matematika siswa, dan penelitian
kelima yang dilakukan oleh Kuncoroningsih (2013) bertujuan untuk mengetahui
adanya hubungan yang signifikan antara sikap siswa dalam pembelajaran
matematika dengan prestasi belajar siswa kelas VIII SMP Negeri 2 Pabelan
dengan subjek penelitian terdiri 70 siswa yang menunjukkan ada hubungan positif
signifikan antara sikap siswa dalam pembelajaran matematika terhadap prestasi
belajar namun dalam kategori rendah.
Bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan Arsiah (2005) hubungan
antara sikap terhadap matematika dan prestasi belajar matematika siswa kelas 2
SMP di Indonesia, yang menyatakan bahwa sikap siswa terhadap matematika di
22
Indonesia tidak mempengaruhi prestasi belajar matematika dan penelitian yang
dilakukan oleh Atawalo (2011) dengan penelitian hubungan antara sikap siswa
terhadap pembelajaran matematika dengan prestasi belajar pada siswa kelas IX
SMP Negeri 2 SOE tahun ajaran 2010/2011, menyatakan bahwa tidak ada
hubungan yang positif dan signifikan antara sikap siswa terhadap pembelajaran
matematika dengan prestasi belajar matematika pada siswa kelas IX SMP Negeri
2 SOE Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah subjek yang
dijadikan penelitian, pada penelitian yang dilakukan oleh Hasanah adalah siswa
SMP dan terdapat kesamaan objek yaitu mengambil self-efficacy, sedangkan
untuk penelitian yang dilakukan Fatimaturrohmah dan Kuncoroningsih adalah
siswa SMP dan terdapat kesamaan objek yaitu sikap siswa. Untuk penelitian
terdahulu yang pertama hanya fokus meneliti tentang pemahaman konseptual
pada pemecahan masalah geometri dan self-efficacy siswa SMP sedangkan
penelitian kedua juga untuk mengetahui gambaran secara umum self-efficacy
bidang akademik, penelitian ketiga mengetahui hubungan antara self efficacy
dengan prestasi belajar siswa SD, penelitian keempat dan kelima membahas
hubungan antara sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan prestasi
belajar pada siswa SMP. Untuk penelitian yang sedang diajukan peneliti
menganalisis mengenai self-efficacy dan sikap siswa SMA dalam pembelajaran
matematika serta hubungan self-efficacy dan sikap siswa SMA dalam
pembelajaran matematika.
23
2.6 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang dirumuskan, teori serta beberapa hasil
penelitian yang relevan dan guna mengetahui ada tidaknya hubungan self-efficacy
dan sikap siswa SMA dalam pembelajaran matematika maka dapat diajukan
hipotesis penelitian yaitu :
(tidak ada hubungan self-efficacy dan sikap siswa)
(ada hubungan self-efficacy dan sikap siswa)
Dengan kalimat:
: Tidak ada hubungan yang signifikan antara self-efficacy dengan sikap siswa
SMA dalam pembelajaran matematika.
: Ada hubungan yang signifikan antara self-efficacy dengan sikap siswa SMA
dalam pembelajaran matematika.