HADHANAH AKIBAT PERCERAIAN DALAM HUKUM KELUARGA
DI INDONESIA DAN MAROKO
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Mutia Wardah
NIM: 11140440000080
Oleh:
MUTIA WARDAH
NIM. 11140440000080
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2018 M / 1440 H
v
ABSTRAK
Mutia Wardah. NIM 11140440000080. HADHANAH AKIBAT PERCERAIAN
DALAM HUKUM KELUARGA DI INDONESIA DAN MAROKO. Program
Studi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhshiyyah), Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, (x halaman, 86 halaman,
dan 12 lampiran)
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui hadhanah akibat perceraian di
Indonesia dan Maroko, faktor-faktor yang menyebabkan persamaan dan
perbedaan hadhanah akibat perceraian di Indonesia dan Maroko, dan unsur-unsur
persamaan dan perbedaan mengenai hadhanah akibat perceraian dalam dalam
kedua sistem hukum tersebut.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan (termasuk wawancara dengan
narasumber), dengan meneliti Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan, Undang-undang Nomor 17 tahun 2016 tentang Perlindungan Anak,
Kompilasi Hukum Islam, dan The Moroccan Family Code (Moudawana) Of
February 5, 2004, berbagai buku, majalah, surat kabar, dan tulisan-tulisan ilimiah
lainnya yang ada hubungannya dengan judul yang dibahas dalam skripsi ini.
Penulis juga mewawancarai Dr. H., Nasich Salam Suharto, Lc, Llm. Hakim di
Pengadilan Agama 1A Cibinong. Adapun analisis data yang dipakai dalam
penelitian ini adalah analisis komparatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum terdapat 10 hal yang
diatur dalam hadhanah akibat perceraian diantaranya yaitu kewajiban pengasuh
anak. Adanya perbedaan antara hadhanah akibat perceraian di Indonesia dan
Maroko diantaranya batas usia anak boleh memilih antara ayah dan ibunya adalah
12 tahun jika di Indonesia dan 15 tahun jika di Maroko. Adapun persamaannya
diantaranya adalah mengenai kewajiban pengasuh anak. Faktor-faktor yang
menyebabkan adanya perbedaan diantaranya dari segi mazhab Indonesia
menganut mazhab Syafi’i sedangkan Maroko menganut mazhab Maliki. Lalu dari
segi politik dengan Indonesia yang menganut Civil Law System yang diwarisi dari
pemerintah kolonial Belanda dan Maroko dengan pengaruh hukum Prancis
sebagai akibat jajahannya. Adapun yang terakhir dengan adanya pergerakan
seperti di Indonesia Ikatan Sarjana Wanita Indonesia (ISWI) dan Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) yang mengajukan kembali RUU tentang perkawinan
kepada DPR RI untuk dibahas kembali dan dilaksanakan sebagai uu yang
diberlakukan untuk seluruh warga negara Indonesia. Maroko dengan permintaan
dari The Women’s Action Union (UAF) agar raja segera merevisi Undang-Undang
Hukum Keluarga tetap berlandaskan hukum Islam akan tetapi tetap sesuai dengan
hak asasi manusia tuntutan modernitas.
Kata Kunci : Hadhanah, Penerapan, Perceraian, Indonesia, Maroko
Pembimbing : Dr. H. Muchtar Ali, M. Hum.
Daftar Pustaka : 1974 s.d. 2018
vi
KATA PENGANTAR
Bismilahirrahmaanirrahim
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa Ta’ala
yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya serta memberikan segala
petunjuk dan kemudahahan kepada penulis sehingga atas karunia pertolongan-
Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam penulis
panjatkan kepada Nabi Agung Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat
dan para ummat-Nya.
Dalam penulisan skripsi ini, sedikit banyak hambatan dan kesulitan
yang penulis hadapi, akan tetapi syukur Alhamdulillah berkat rahmat dan inayah-
Nya, kesungguhan serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak baik langsung
maupun tidak langsung segala hambatan dapat diatasi sehingga pada akhirnya
skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
Skripsi ini penulis persembahkan untuk motivator terhebat sepanjang
perjalanan hidup penulis, yaitu kedua orang tua penulis Drs, H. Sirojuddin SH.,
dan ibunda Hj. Yuyu Rubiasih beserta saudara-saudaraku terkasih dan tercinta
Hakimah Farhah S.Sy, SH., Zakiyah Fitratunnisa, Akbar Fariz Ramzi, dan Habib
Baqir Azfa yang tiada lelah dan bosan memberikan motivasi, bimbingan, kasih
sayangnya serta do’a, semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat dan
kasih saying kepada mereka semua.
Penulis juga mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya
kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Univeristas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag dan Indra Rahmatullah, S.HI., M.H. selaku
Ketua Program Studi dan Sekertaris Program Studi Hukum Keluarga
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta
vii
3. Dr. H. Muchtar Ali, M.Hum. selaku dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktu, tenaga, pikiran untuk mengarahkan memotivasi
selama membimbing penulis semoga Allah SWT senantiasa memberikan
rahmat dan kasih sayangnya kepada beliau.
4. Dr. H., Nasich Salam Suharto, Lc, Llm. Hakim di Pengadilan Agama 1A
Cibinong sebagai narasumber yang telah meluangkan waktu, tenaga,
fikiran dan membantu penulis dalam pembuatan skripsi ini.
5. Segenap Bapak Ibu dosen, pada lingkungan Program Studi Hukum
Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
yang telah memberikan banyak ilmu selama penulis duduk di bangku
kuliah.
6. Segenap pimpinan dan staf Perpustakaan Umum dan Perpustakaan
Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas pelayanan dan
penyediaan buku-bukunya sehingga memudahkan penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
7. Sahabatku terkasih Muhammad Aris Munandar, Neng Emawati, Nida
Sriwidianti dan Hilman Fauzi yang senantiasa memberikan semangat,
canda, tawanya melewati suka duka selama di bangku perkuliahan serta
kesabaran dan kesetiaannya menemani dari awal bertemu sampai pada
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
8. Seluruh teman-teman Hukum Keluarga 2014 yang tidak bisa saya
sebutkan satu persatu yang telah memberikan semangat serta kenangan
indah penulis selama di bangku perkuliahan semoga kesuksesan selalu
menyertai kita.
9. Keluarga besar UKM Bahasa-FLAT sebagai tempat penulis dalam
mengembangkan potensi diri dan menjadi tempat berbagi canda tawa dan
berbagi ilmu selama di bangku perkuliahan.
10. Sahabat-sahabat terkasih Catur Dasa. Ikmal Wafa, Riki Hanafy, Fatimah,
Anisa Rizkia dan yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu yang telah
menemani penulis selama di bangku perkuliahan dengan segala kesabaran,
viii
kesetiaan, dan pengertiannya sampai pada penulis dapat menyelesaikan
skripsi.
Tidak ada yang dapat penulis berikan atas balas jasa dan
dukungannya, hanya doa semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah
SWT dengan balasan yang berlipat ganda kepada semua pihak yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis
khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun senantiasa penulis harapkan untuk skripsi ini.
Bogor, 16 Oktober 2018
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBINGAN .............................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ............................................................ iii
LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................. iv
ABSTRAK ......................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...........................................................1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah .....................5
C. Tujuan Penelitian ......................................................................6
D. Manfaat Penelitian ....................................................................6
E. Tinjaun (Review) Kajian Terdahulu .........................................6
F. Kerangka Teori dan Konseptual ...............................................9
G. Metode Penelitian .....................................................................10
H. Sistematika Penelitian ...............................................................13
BAB II REFORMASI HUKUM KELUARGA DI INDONESIA
DAN MAROKO
A. Reformasi Hukum Keluarga di Indonesia .................................14
B. Reformasi Hukum Keluarga di Maroko ...................................26
BAB III HAK ASUH ANAK MENURUT HUKUM
PERKAWINAN DI INDONESIA DAN MAROKO
A. Hadhanah Menurut Para Ulama Mazhab .................................40
B. Hadhanah Menurut Peraturan Perundang-undangan
Hukum Keluarga di Indonesia ..................................................50
C. Hadhanah Menurut Peraturan Perundang-undangan
Hukum Keluarga di Maroko .....................................................52
x
BAB IV HADHANAH AKIBAT PERCERAIAN DI INDONESIA
DAN MAROKO
A. Pengaturan Hadhanah Akibat Perceraian di Indonesia dan
Maroko ......................................................................................67
B. Faktor-faktor yang Menyebabkan Adanya Persamaan dan
Perbedaan Hadhanah Akibat Perceraian di Negara
Indonesia dan Maroko ...............................................................70
C. Unsur-Unsur Persamaan dan Perbedaan Mengenai
Hadhanah Akibat Perceraian di Indonesia dan Maroko ...........75
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...............................................................................81
B. Saran-saran ................................................................................83
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................84
LAMPIRAN-LAMPIRAN ...............................................................................
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagai akibat dari perceraian seringkali hadhanah menjadi hal yang
sering diperselisihkan antara suami dan istri. Hal ini menyebabkan hak anak
menjadi terabaikan dan penguasaan yang tidak jelas dengan berbagai alasan.
Padahal, hak-hak anak sudah dilindungi dalam Undang-undang Dasar
1945 selanjutnya disebut UUD 1945 pada Amandemen ke-4 sebagai landasan
konstitusional yang secara tegas telah mengatur tentang pentingnya
perlindungan terhadap hak asasi manusia, termasuk didalamnya hak-hak
perempuan dan anak-anak, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28 B ayat
(2), yang menyebutkan bahwa Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,
tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi”.1
Ini berarti bahwa semua hak termasuk didalamnya hak-hak anak sudah
diatur salah satunya dalam UUD 1945 sehingga pengabaian hak anak dan
penguasaan yang tidak jelas tidak seharusnya terjadi.
Oleh karena itu orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak
mereka dengan sebaiknya. Sebagaimana dinyatakan dalam pasal 45 Undang-
undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan selanjutnya disebut UUP bahwa
Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-
baiknya dan berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri
kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua
putus.2
1 Undang-undang Dasar 1945, (DAP Publsher: Jakarta, 2014), h. 32.
2 Undang-Undang Pokok Perkawinan, (Bumi Aksara: Jakarta, 1989), h. 14.
2
Pasal ini menjelaskan bahwa orang tua harus memelihara dan
mendidik anak-anak mereka sampai anak itu kawin meskipun perkawinan
antara kedua orang tua putus.
Adapun jika terjadi perceraian maka seperti yang diatur dalam Intruksi
Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 105,
bahwa dalam hal terjadi perceraian Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz
atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, jika sudah mumayyiz
diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai
pemegang hak pemeliharaannya dan biaya pemeliharaan ditanggung oleh
ayahnya.3
Jadi kita dapat melihat bahwa terdapat pembagian yang jelas kepada
siapa anak harus harus diasuh dan dipelihara tergantung dari apakah si anak
itu sudah mumayyiz atau belum.
Perlindungan dan jaminan hak pemeliharaan terhadap anakpun
semakin diperkuat dengan ditetapkannya UU No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Adapun UU ini telah diamandemen dengan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016
Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak.4
Hal ini semakin memperkuat hak-hak pemeliharaan terhadap anak
karena sudah diatur dalam UUD 1945, UU Perkawinan, Kompilasi Hukum
Islam, bahkan dalam UU yang khusus membahas tentang perlindungan anak.
Lalu penjabaran tentang hak-hak anak setelah terjadinya perceraian
semakin dikuatkan pula dalam pasal 14 dalam Undang-Undang No. 35 tahun
2014 tentang perlindungan anak yang pada prinsipnya merincikan tentang
3 Departemen Agama R.I., Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta:
Departemen Agama R.I., 1997), h. 50. 4 Khoiruddin Nasution, Perlindungan Terhadap Anak Dalam Hukum Keluarga
Islam Indonesia, (Al-'Adalah Vol. XIII, No. 1, Juni 2016), h. 2.
3
hak-hak anak setelah terjadi perceraian seperti berhak bertemu langsung dan
berhubungan pribadi, mendapatkan pengasuhan dan hak anak lainnya.
Akhir-akhir ini seiring dengan perkembangan peradaban dan kemajuan
teknologi, arus informasi diseluruh penjuru dunia menjadi terbuka dan cepat
beredar yang menimbulkan kesadaran akan pentingnya penegakan Hak Asasi
Manusia (HAM), kesetaraan gender, dan perlindungan anak.5
Hadhanah pun berkaitan dengan Hak Asasi Manusia dan kesetaraan
gender karena kecenderungan hukum yang tidak memberikan hadhanah
kepada wanita yang menikah kembali.
Seperti Mukhtar Zamzami dalam artikelnya menjelaskan bahwa
hukum Keluarga yang ideal adalah hukum keluarga yang memerhatikan
aspek-aspek penegakan HAM, kesetaraan gender, dan perlindungan anak.
Ketiga aspek ini adalah intisari dari ajaran-ajaran Islam jika diukur dengan
kondisi peradaban manusia saat awal munculnya Islam. 6
Seperti yang sudah dijelaskan di atas tentang perlindungan hak-hak
anak, sehingga pantaslah perlindungan anak termasuk dalam aspek-aspek
penegakan hukum keluarga yang ideal.
Salah satu Negara yang melakukan pembaharuan hukum keluarga
adalah Maroko. Mounira M. Charrad dalam artikelnya menjelaskan bahwa:
We now turn to Morocco, which comes second after Tunisia in the
Arab world in implementing a family law reform that gave women greater
rights in family life. Following its independence from French colonial rule in
1956, Morocco initially adopted a socially conservative policy towards family
law by promulgating the Muddawwana or Code of Personal Status of 1957-
5 Mukhtar Zamzami, “Pembaruan Hukum Keluarga Dalam Perspektif Politik
Hukum Islam di Indonesia”., Mimbar Hukum dan Peradilan. (Jakarta: Pusat
Pengembangan Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHIMM), 2009), h. 114. 6 Mukhtar Zamzami, “Pembaruan Hukum Keluarga Dalam Perspektif Politik
Hukum Islam di Indonesia”., Mimbar Hukum dan Peradilan. , h. 115.
4
58. The Mudawwana was essentially a reiteration of Maliki family law left in
place during French colonization.7
Artinya: Sekarang kita beralih ke Maroko yang merupakan negara kedua
setelah Tunisia di dunia Arab yang mengimplementasikan perubahan hukum
keluarga yang memberikan wanita hak yang lebih baik dalam kehidupan
berkeluarga. Setelah kemerdekaannya dari pemerintahan kolonial Prancis pada
tahun 1956, Maroko mengadopsi sebuah kebijakan sosial konservatif terhadap
hukum keluarga dengan mengumumkan Moudawana atau Undang-Undang
Hukum Keluarga Tahun 1957-1958. Moudawana pada dasarnya adalah
sebuah pengulangan Hukum keluarga bermadzhab Maliki yang masih berlaku
selama penjajahan Prancis.
Dalam Undang-undang Hukum Keluarga di Maroko pasal 164-165
Moudawana 2004 dalam hal hadhanah dijelaskan bahwasanya hadhanah
adalah kewajiban orang tua selama pernikahannya masih berjalan dan jika di
antara orang yang berhak mendapatkan hak asuh tidak memenuhi syarat maka
pengadilan dapat memberi hak asuh kepada anggota keluarga yang lain atau
institusi yang ditunjuk.8
Intisarinya adalah hadhanah merupakan kewajiban orang tua selama
pernikahan masih berjalan. Akan tetapi jika terjadi perceraian dan jika orang
yang diberi hak asuh tidak bisa atau tidak memenuhi syarat maka pengadilan
dapat memberi hak asuh kepada anggota keluarga yang lain atau institusi yang
ditunjuk.
Hal inilah yang penulis anggap sebagai sesuatu yang menarik untuk
diteliti apa sebenarnya faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pembentukan
hukum keluarga khususnya hadhanah di Indonesia dan Maroko sehingga akan
diangkat sebagai kajian dalam bentuk skripsi yang berjudul “HADHANAH
AKIBAT PERCERAIAN DALAM HUKUM KELUARGA DI
INDONESIA DAN MAROKO”
7 Mounira M. Charrad, Family Law Reforms In The Arab World:Tunisia And
Morocco, (Good Practices in Family Policy Making:Family Policy Development,
Monitoring and Implementation: Lessons Learnt, diselenggarakan sebagai bagian dari
persiapan untuk ulang tahun kedua puluh tahun internasioanal keluarga 2014),h. 6. 8 Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 18. Diakses
dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00
5
B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
a. Bagaimana pengaturan hadhanah yang disebabkan perceraian di
Negara Indonesia dan Maroko?
b. Apa saja perbedaan mengenai hadhanah yang disebabkan perceraian
antara Negara Indonesia dan Maroko?
c. Apa yang melatarbelakangi perbedaan mengenai hadhanah yang
disebabkan perceraian antara Negara Indonesia dan Maroko?
2. Pembatasan Masalah
Penulis membatasi permasalahan mengenai hadhanah yang
disebabkan perceraian antara Negara Indonesia dan Maroko. Berdasarkan
latar belakang dan permasalahan di atas maka penulis ingin melakukan
analisis perbandingan terhadap peraturan perundang-undangan hukum
keluarga khususnya tentang hadhanah akibat perceraian di Indonesia dan
Maroko.
3. Perumusan Masalah
Penulis merumuskan permasalahan yaitu bagaimana hadhanah yang
disebabkan oleh perceraian antara Negara Indonesia dan Maroko dengan
pertanyaan penelitian sebagai berikut:
a. Bagaimana pengaturan hadhanah akibat perceraian di Indonesia dan
Maroko?
b. Apa faktor-faktor yang menyebabkan persamaan dan perbedaan
hadhanah akibat perceraian di Indonesia dan Maroko?
c. Apa unsur-unsur persamaan dan perbedaan mengenai hadhanah akibat
perceraian dalam dalam kedua sistem hukum tersebut?
6
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hadhanah yang
disebabkan oleh perceraian antara Negara Indonesia dan Maroko dengan hasil
akhir penelitian sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengaturan hadhanah akibat perceraian di Indonesia
dan Maroko.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan persamaan dan
perbedaan hadhanah akibat perceraian di Indonesia dan Maroko.
3. Untuk mengetahui unsur-unsur persamaan dan perbedaan mengenai
hadhanah akibat perceraian dalam dalam kedua sistem hukum tersebut.
D. Manfaat Penelitian
1. Penulisan skripsi ini diharapkan mampu mengembangkan pengetahuan,
menambah khazanah keilmuan di bidang hukum keluarga khususnya
bidang hadhanah.
2. Penelitian ini diharapkan akan menjadi pelengkap penelitian-penelitian
sebelumnya.
3. Memberikan sumbangan kepada mahasiswa atau siapa saja yang konsen
dengan permasalahan ini.
4. Memberikan saran kepada pemerintah ketika nanti akan merevisi Undang-
Undang Perkawinan di Indonesia khususnya di bidang hadhanah.
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
1. Skripsi Ahmad Firdaus, Hak Hadhanah Bagi Anak yang Belum Mumayyiz
(Analisis Putusan No. 184/pdt.G/PA. Dpk). Program Studi Hukum
Keluarga 2015. Skripsi ini memaparkan tentang pengaturan hadhanah
bagi anak yang belum mumayyiz yang jatuh kepada bapak dalam putusan
perkara hadhanah di Pengadilan Agama Depok perkara No.
184/pdt.G/PA. Dpk. yang dilihat berdasarkan pertimbangan hakim.
Adapun skripsi ini membahas mengenai hadhanah jika terjadi perceraian
7
dengan membandingkan peraturan perundang-undangan Indonesia dan
Maroko.
2. Skripsi Diana Yulita Sari, Hak Asuh Anak di bawah Umur Akibar
Perceraian Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak (Analisis Putusan Perkara Mahkamah Agung Nomor
349 K/AG/2006). Program Studi Perbandingan Madzhab Hukum 2010.
Skripsi ini memaparkan tentang hak asuh anak di bawah umur akibat
perceraian menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak dan berdasarkan analisa dalam putusan perkara
Mahkamah Agung No. 349 K/AG/2006. Adapun skripsi ini membahas
mengenai hadhanah jika terjadi perceraian dengan membandingkan
peraturan perundang-undangan Indonesia dan Maroko yang dalam
peraturan perundang-undangan Indonesia dibahas menurut Undang-
Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, Inpres Kompilasi Hukum Islam
No. 1 tahun 1991, dan Undang-Undang tentang Perlindungan Anak No. 17
tahun. Adapun dalam peraturan perundang-undangan Maroko dibahas
dalam The Moroccan Family Code (Moudawana) Tahun 2004.
3. Skripsi Mahrur Rahmansyah, Hak Asuh Anak Terhadap Orang Tua yang
Bercerai karena Berbeda Agama (Analisis Keputusan Ijtima’ Ulama
Komisi Fatwa Se-Indonesia Tahun 2015). Program Studi Perbandingan
Mazhab Hukum 2016. Skripsi ini mengemukakan seputar permasalahan
hak asuh anak bagi orang tua yang bercerai akibat berbeda agama yang
didasarkan pada Analisis Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-
Indonesia Tahun 2015. Adapun skripsi ini membahas mengenai studi
komparasi peraturan perundangan-undangan tentang hadhanah akibat
perceraian antara Negara Indonesia dan Maroko.
4. Skripsi Siti Munawaroh, Pelimpahan Hak Asuh Anak Kepada Bapak
karena Istri Mafqud (Analisa Yurisprudensi No: 881/Pdt.G/2008/PA.JB).
Program Studi Hukum Keluarga 2011. Skripsi ini membahas mengenai
dasar pertimbangan hakim dalam menetapkan pelimpahan hak asuh anak
kepada bapak karena istri mafqud dalam pokok bahasan analisis putusan
8
Pengadilan Agama Jakarta Barat No. 881/Pdt.G/2008/PA.JB). Adapun
skripsi ini membahas mengenai hadhanah akibat perceraian dalam pokok
bahasan peraturan perundang-undangan Indonesia dan Maroko.
5. Skripsi Hakimah Farhah, Hak Asuh Anak Dalam Hukum Keluarga di
Indonesia dan Tunisia. Program Studi Hukum Keluarga 2016. Skripsi ini
memaparkan tentang hak asuh anak menurut hukum perkawinan di
Indonesia dan Tunisia secara umum baik ketika masih dalam ikatan
perkawinan ataupun ketika bercerai, faktor-faktor yang mempengaruhi
pembentukan peraturan perundang-undangannya, dan segi persamaan dan
perbedaan anatara keduanya. Adapun skripsi ini membahas mengenai
hadhanah menurut hukum perkawinan Indonesia dan Maroko akibat
perceraian, faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukannya, dan
persaman dan perbedaan antara keduanya.
6. Paper Abbas Hadjian, The Children of Shari‟a., Los Angeles Lawyer 36.2
(2013): 32-39. Artikel ini membahas mengenai status hukum dan hak asuh
anak secara umum di 5 Negara Islam yaitu Bangladesh, Indonesia, Iran,
Maroko, Arab Saudi, dan bagaimana undang-undang hak asuh anak pada
Negara-negara tersebut berangkat dari tradisi masing-masing. Adapun
penelitian penulis mengkaji mengenai status hukum dan hadhanah di
Indonesia dan Maroko akibat perceraian dan bagaimana peraturan
perundang-undangan tentang hadhanah di Indonesia dan Maroko.
7. Paper Leila Hanafi, The Implementation Of Morocco‟s 2004 Family Code
Moudawana: Stock-Taking & Recommendations, The Danish Centre for
Research and Information on Gender, Equality, and Diversity. Artikel ini
membahas mengenai penerapan Moudawana sebagai Undang-Undang
Hukum Keluarga di Maroko tahun 2004 secara umum. Adapun skripsi ini
membahas mengenai peraturan perundangan-undangan tentang Hukum
Keluarga di Negara Indonesia dan Maroko khususnya mengenai hadhanah
akibat perceraian.
9
F. Kerangka Teori dan Konseptual
1. Kerangka Teori
Penulis membahas beberapa definisi, diantaranya:
a. Pembaharuan Hukum Islam
Pembaharuan hukum Islam dalam berbagai aspek sudah terjadi
dalam kurun waktu yang lama, berproses dengan kondisi dan situasi
perkembangan zaman. Hal ini disebabkan karena hukum-hukum yang
terkandung dalam kitab-kitab fikih klasik sudah tidak mampu lagi
mengakomodir persoalan-persoalan baru yang berkembang.9
Maka diperlukan pembaharuan agar hukum-hukum yang ada
dapat diterapkan dan hasil penerapannya dirasa berpengaruh karena
sesuai dengan tuntutan zaman.
b. Hadhanah
Hadhanah merupakan suatu kewenangan untuk merawat dan
mendidik orang yang belum mumayiz atau orang yang dewasa tetapi
kehilangan akal (kecerdasan berpikirnya. Munculnya persoalan
hadhanah tersebut ada kalanya disebabkan oleh perceraian atau
karena meninggal dunia di mana anak belum dewasa dan tidak mampu
mengurus diri mereka, oleh karena itu diperlukan adanya orang-orang
yang bertanggung jawab untuk merawat dan mendidik anak tersebut.10
Adapun skripsi ini akan membahas persoalan hadhanah yang
disebabkan oleh perceraian. Hal ini disebabkan karena tidak jarang
bila antar mantan suami dan mantan isteri, saling berebut
mendapatkan hadhanah mereka. Seringkali dalam kenyataannya salah
satu orang wali saja yang mendapatkan hak perwalian anak dan
ternyata tidak dapat melaksanakan kewajibannya, sedangkan pihak
9 Hilal Malarangan, “Pembaruan Hukum Islam Dalam Hukum Keluarga Di
Indonesia”, (Jurnal Hunafa Vol. 5 No. 1, April 2008), h.. 40. 10
Andi Syamsu Alam, dkk, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, (Jakarta:
Prenada Media Group, 2008), h. 114.
10
lain yang tidak mendapatkan hak perwalian juga ternyata sangat
melalaikan kewajibannya.11
Akibatnya hak anak menjadi terombang-ambing karena
kelalaian pihak orang tua atau bahkan pengadilan dalam memutuskan
suatu perkara.
2. Kerangka Konsep
Kerangka konsep dalam skripsi ini penulis ambil dari analisis
komparatif yang merupakan salah satu cara yang digunakan dalam
penelitian normatif untuk membandingkan salah satu lembaga hukum
(legal institutions) dari sistem hukum yang satu dengan lembaga hukum
(yang kurang lebih sama dari sistem hukum) yang lain. Dari perbandingan
tersebut dapat ditemukan unsur-unsur persamaan dan perbedaan kedua
sistem hukum itu. Persamaan-persamaan akan menunjukkan inti dari
lembaga hukum yang diselidiki, sedangkan perbedaan-perbedaan
disebabkan oleh adanya perbedaan iklim, suasana, dan sejarah masing-
masing bangsa yang bersangkutan dengan sistem hukum yang berbeda.12
Dengan diketahuinya persamaan dan perbedaan masing-masing
peraturan perundang-undangan dapat ditarik benang merah terhadap
perbaikan dan perluasan terhadap pengetahuan hukum kita.
G. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini diaplikasikan metode pendekatan perbandingan,
yaitu membandingkan undang-undang suatu Negara dengan undang-
undang dari satu atau lebih Negara lain mengenai hal yang sama.13
Dengan
11
Rahmadi Indra Tektona, “Kepastian Hukum Terhadap Perlindungan Hak Anak
Korban Perceraian”, (Muwâzâh, Volume. 4, Nomor. 1, Juli 2012), h. 45. 12
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang:
Bayumedia Publishing, 2008), h. 313. 13
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenadamedia Group,
2005), h. 135.
11
adanya perbandingan itu diperoleh poin-poin persamaan dan perbedaan di
antara undang-undang tersebut.
2. Jenis Penelitian
Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan (termasuk wawancara
dengan narasumber) yang mencakup perbandingan hukum, yaitu
membangun pengetahuan umum mengenai hukum positif dengan
membandingkan sistem hukum di Negara lain dimana dalam skripsi ini
membahas perbandingan hadhanah akibat perceraian di Indonesia dan
Maroko.14
Dengan adanya bahan kepustakaan yang disertai wawancara dengan
narasumber semakin memperkuat data yang ada.
3. Sumber Data
a. Data Primer: yaitu data yang berasal dari Al-Qur’an, kitab hadis, UUD
1945, UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Intruksi Presiden No. 1
Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan The
Moroccan Family Code (Moudawana) Of February 5, 2004.
b. Data Sekunder: yaitu data yang berupa dokumen-dokumen yang
terdapat dalam buku, majalah, surat kabar, jurnal ilmiah, internet, dan
artikel yang relevan dengan tema skripsi ini.
4. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini dilakukan
dengan studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier dan atau
14
Mukti Fajar, dkk, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2015), h. 34-35.
12
bahan non-hukum.15
Jadi diharapkan materi dalam skripsi ini dapat
memenuhi tujuan penelitian.
5. Teknik Pengolahan Data
Dalam penelitian hukum normatif, pengolahan bahan berwujud
kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum
tertulis. Dalam hal ini pengolahan bahan dilakukan dengan cara,
melakukan seleksi data sekunder atau bahan hukum, kemudian melakukan
klasifikasi menurut penggolongan bahan hukum dan menyusun data hasil
penelitian tersebut secara sistematis, tentu saja hal tersebut dilakukan
secara logis, artinya ada hubungan dan keterkaitan antara bahan hukum
satu dengan bahan hukum lainnya untuk mendapatkan gambaran umum
dari hasil penelitian.16
Jika datanya sistematis maka gambaran umum dari hasil penelitian
akan lebih jelas dan dapat lebih mudah dipahami oleh pembaca.
6. Teknik Analisa Data
Adapun analisis data yang dipakai dalam penelitian normatif ini
adalah analisis pendekatan perbandingan dimana dalam hal ini dilakukan
dengan membandingkan peraturan perundangan Indonesia dengan Maroko
dalam hadhanah sehingga dapat ditemukan persamaan dan perbedaan dari
hukum masing-masing Negara.17
Selain itu dengan melakukan analisa
pendekatan perbandingan data yang ada dapat lebih mudah diklasifikasi
sehingga lebih mudah dipahami.
7. Teknik Penulisan Skripsi
Secara teknis penulisan ini berpedoman pada buku “Pedoman
Penulisan Skripsi Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tahun 2017”
15
Mukti Fajar, dkk, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, h. 160. 16
Mukti Fajar, dkk, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, h. 181. 17
Mukti Fajar, dkk, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, h. 188.
13
H. Sistematika Penelitian
Bab I Pendahuluan
Berisi Latar Belakang, Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan
Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan (Review)
Kajian Terdahulu, Kerangka Teori dan Konseptual, Metode
Penelitian, dan Sistematika Penelitian.
Bab II Berisi tentang reformasi hukum keluarga di Indonesia dan Maroko
disertai biografi Negara Maroko.
Bab III Berisi tentang paparan hadhanah menurut ulama mazhab dan
hadhanah menurut peraturan perundangan di Indonesia dan
Maroko
Bab IV Berisi tentang hadhanah akibat perceraian di Indonesia dan
Maroko, faktor-faktor yang menyebabkan persamaan dan
perbedaan hadhanah akibat perceraian di Indonesia dan Maroko
dan unsur-unsur persamaan dan perbedaan hadhanah akibat
perceraian di Negara Indonesia dan Maroko.
Bab V Kesimpulan dan penutup
14
BAB II
REFORMASI HUKUM KELUARGA
DI INDONESIA DAN MAROKO
A. Reformasi Hukum Keluarga di Indonesia
Salah satu fenomena yang muncul sejak awal abad ke-20 di dunia
Muslim dan Islam adalah adanya usaha pembaruan Hukum Keluarga
(perkawinan, perceraian dan warisan). Turki tercatat sebagai Negara pertama
yang melakukan pembaruan Hukum Perkawinan kemudian diikuti oleh
Mesir.1 Di Asia Tenggara upaya ini diawali pemerintah Malaysia dan
Kemudian di Indonesia.2
Hal ini membawa dampak baik untuk Negara-negara lainnya untuk
turut serta melakukan pembaruan hukum keluarga sehingga hukum-hukum
yang ada sesuai dengan perkembangan masyarakat dan tuntutan modernitas.
Indonesia menggunakan kodifikasi sebagai konsep dan metode
pembaharuannya. Kodifikasi hukum yaitu pembukuan materi hukum secara
lengkap dan sistematis; pada awalnya dikenal dari sistem hukum Barat
terutama Eropa Kontinental. Dalam pertemuan antara masyarakat muslim
dengan Barat di masa kolonial; pengaruh sistem hukum Barat ini pun diadopsi
oleh negara-negara Muslim. Berbagai Negara muslim membuat kodifikasi
dengan mengundangkan berbagai materi hukum Islam dalam rangka
pembaharuan hukum Islamnya.3
Adapun dalam perkembangannya dibagi ke dalam 5 masa,
diantaranya:
1 Khoirudin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundang-
Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta:INIS,
2002), h. 3-4. 2 Khoirudin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundang-
Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, h, 10. 3 Sri Wahyuni, Pembaharuan Hukum Keluarga Islam Di Negaranegara
Muslim, Al-Ahwal, Vol. 6, No. 2, 2013 M/1435 H, h. 4.
15
1. Masa sebelum Penjajahan Belanda
Sebelum pemerintahan kolonial dahulu menguasai tanah air,
hukum Islam telah ada dan berlaku dan dapat ditelusuri melalui catatan
sejarah. Dimulai dari ketika Ibnu Batutah singgah di Samudera Pasai
(Aceh, dekat Lho’Seumawe sekarang) pada tahun 1345 Masehi, ia
mengagumi perkembangan Islam di “negeri” itu dan kemampuan Sultan
al-Malik al-Zahir sebagai sultan dari kerajaan Samudra Pasai dalam
pemahamannya tentang berbagai masalah Islam dan ilmu fikih.4
Menurut Hamka, dari Pasailah disebarkan paham Syafi’i kerajaan-
kerjaan Islam lainnya di Indonesia, bahkan setelah kerajaan Islam Malaka
berdiri (1400-1500 M) para ahli hukum Islam Malaka datang ke Samudera
Pasai untuk meminta kata putus mengenai berbagai masalah hukum yang
mereka jumpai dalam masyarakat.5
Hal ini merupakan suatu hal yang bagus dimana sudah ada ahli
hukum Islam pada saat itu meskipun perkembangan dan penyebarannya
belum merata.
Dalam proses Islamisasi kepulauan Indonesia yang dilakukan oleh
para saudagar melalui perdagangan dan perkawinan, peranan hukum Islam
adalah besar. Melalui perkawinan dengan mengislamkan wanitanya
terlebih dahulu dan pernikahannya dilangsungkan menurut ketentuan
hukum Islam. Setelahnya, hubungan antar anggota keluarga diatur sesuai
kaidah-kaidah Islam atau kaidah lama yang disesuaikan dengan hukum
Islam.6
Fakta ini di dukung oleh sumber-sumber yang berasal dari Cina
yang mengatakan bahwa menjelang akhir abad ke tujuh, seorang pedagang
4 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (PT Raja Grafindo
Persada: Jakarta, 2002), h, 190. 5 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 190.
6 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 190.
16
Arab menjadi pemimpin sebuah pemukiman sebuah pemukiman Arab
muslim di pesisir pantai Sumatera. Sebagian dari orang Arab itu
melakukan perkawinan dengan wanita setempat, sehingga membentuk
sebuah komunitas muslim yang terdiri dari orang-orang Arab pendatang
dan penduduk lokal, dan anggota komunitas muslim ini melakukan
penyebaran Islam. 7
Kita dapat melihat kecerdikan para saudagar dalam menyebarkan
hukum Islam yaitu dengan mendekati para wanitanya terlebih dahulu lalu
menikahi mereka sesuai ketentuan Islam dimana setelah itu mereka dapat
dengan mudah menerapkan hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Setelah agama Islam berakar dalam masyarakat, peranan saudagar
dalam penyebaran Islam digantikan para ulama yang bertindak sebagai
guru, khatib, pengawal hukum Islam. Sekedar contoh dapat dikemukakan
nama Nuruddin ar-Raniri (yang hidup di abad 17 M) menulis buku hukum
Islam dengan judul Sirathal Mustaqim (Jalan Lurus) pada tahun 1628. 8
Maka dengan datangnya para saudagar, mulai bermunculanlah para
Ulama yang bertugas menyebarkan agama Islam di Indonesia saat itu.
Hukum Islam diikuti dan dilaksanakan juga oleh para pemeluk
agama Islam dalam kerajaan-kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik,
Ngampel dan kemudian Mataram. Hal ini dibuktikan dari karya para
pujangga yang hidup di masa itu. Di antaranya dapat disebut misalnya
Kutaragama, Sajinatul Hukum dan lain-lain.9
7 Yayan Sopyan, Islam Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam
Hukum Nasional, (Wahana Semesta Intermedia: Jakarta, 2012), h. 22-23. 8 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (PT Raja Grafindo
Persada: Jakarta, 2002), h. 191. 9 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 192.
17
Dengan adanya para Ulama sebagai pengganti para saudagar maka
semakin banyak karya-karya yang dihasilkan para Ulama saat itu guna
dipelajari oleh para pengikutnya.
2. Masa Penjajahan Belanda
Di zaman Daendels (1800-1811) perubahan masih belum dimulai.
Di masa itu umumlah pendapat yang mengatakan bahwa hukum Islam
adalah hukum asli orang pribumi. Oleh karena itu, Daendels mengeluarkan
peraturan yang menyatakan bahwa perihal (hukum) agama orang Jawa
tidak boleh diganggu dan hak-hak penghulu mereka untuk memutus
beberapa macam perkara tentang perkawinan dan kewarisan harus diakui
oleh alat kekuasaan pemerintah Belanda. 10
Kita bisa melihat bahwa pada awalnya pemerintah Belanda
menghormati adanya hukum Islam sebagai hukum asli orang pribumi
dengan mengeluarkan peraturan dimana hak-hak penghulu dalam
memutus perkara harus diakui dan tidak boleh diganggu.
Waktu Inggris menguasai Indonesia (1811-1816) keadaan tidak
berubah. Thomas S. Raffles yang menjadi Gubernur Jendral Inggris untuk
kepulauan Indonesia pada waktu menyatakan bahwa hukum yang berlaku
di kalangan rakyat adalah hukum Islam.11
Keadaanpun tidak jauh beda ketika Inggris yang menguasai
Indonesia, mereka tidak mengotak-atik hukum yang sudah berlaku di
Indonesia yaitu hukum Islam.
Setelah Indonesia dikembalikan oleh Inggris kepada Belanda,
pemerintah kolonial Belanda membuat suatu undang-undang tentang
kebijaksanaan pemerintah, susunan pengadilan, pertanian dan perdagangan
dalam daerah jajahan-(nya) di Asia yang mengakibatkan perubahan di
10
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 195. 11
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 195.
18
hampir semua bidang kehidupan orang Indonesia termasuk bidang hukum
yang akan merugikan perkembangan hukum Islam selanjutnya.12
Kita dapat melihat inkonsistensi dari pemerintah kolonial Belanda
terhadap pengakuan penerapan hukum Islam setelah Indonesia
dikembalikan oleh Inggris kepada Belanda.
Menurut H.J. Benda, pada abad ke-19, banyak orang Belanda baik
di negerinya sendiri maupun di Hindia Belanda, sangat berharap segera
dapat menghilangkan pengaruh Islam dari sebagian besar orang Indonesia
dengan berbagai cara, di antaranya melalui proses Kristenisasi. 13
Tujuan dari proses kristenisasi ini adalah untuk mengubah agama
penduduk yang semula Islam menjadi pemeluk Kristen. Dengan masuknya
orang-orang pribumi dari Islam ke Kristen harapannya akan
menguntungkan hubungan agama mereka dengan agama
pemerintahannya.14
Menurut penulis, pemerintah kolonial Belanda sengaja
mengangkat hukum Islam pada awalnya lalu kemudian mencoba
menghilangkannya salah satunya dengan kristenisasi sehingga
kepercayaan penduduk Indonesia terpengaruh oleh para penjajah dan
setelah mereka masuk Kristen akan menjadi warga Negara yang loyal lahir
batin.
Untuk melaksanakan maksud tersebut pemerintah Belanda
mengangkat komisi yang diketuai oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem
yang bertugas antara lain untuk melakukan penyesuaian undang-undang
Belanda itu dengan keadaan istimewa di Hindia Belanda.15
12
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 195. 13
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 195. 14
Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan Sosial
Politik di Indonesia, (Bayumedia Publishing: Malang, 2005), h. 37. 15
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (PT Raja Grafindo
Persada: Jakarta, 2002), h. 196.
19
Menurut penulis disini terlihat sudah terjadi pergerakan bahwa
pemerintah kolonial Belanda mulai mengambil alih dari sistem hukum di
Indonesia dengan menyesuaikan Undang-undang Belanda dengan keadaan
istimewa di Hindia Belanda itu sendiri.
Dalam usaha pembaharuan tata hukum di Hindia Belanda itu, Mr.
Scholten van Oud Haarlem yang menjadi ketua komisi tersebut menulis
sebuah nota kepada pemerintah Belanda, yang berbunyi antara lain, “
Untuk mencegah timbulnya keadaan yang tidak menyenangkan, jika
ditiadakan pelanggaran terhadap hukum orang bumi putera dan agama
Islam, maka harus diikhtiarkan sedapat-dapatnya agar mereka itu dapat
tinggal tetap dalam lingkungan (hukum) agama serta adat istiadat
mereka.”16
Akan tetapi disini terlihat bahwa pemerintah Belanda tidak serta
merta merubah hukum yang ada, mereka tetap berupaya agar pribumi
dapat tetap tinggal dalam lingkungan agama dan adat istiadat mereka guna
mencegah adanya perlawanan.
Sebagai contoh pembentukan pengadilan agama dengan keputusan
Raja Belanda dimuat dalam Stb. 1882 Nomor 152 itu sesungguhnya
adalah pengakuan resmi dan pengukuhan sesuatu yang telah ada, tumbuh
dan berkembang dalam masyarakat, tetapi dengan pengawasan atau
pengendalian ketat melalui fiat eksekusi17
ketua pengadilan negeri atau
landraad atas semua keputusan.18
Hal ini semakin dikuatkan dengan adanya Pengadilan Agama
meskipun diawasi dan dikendalikan secara ketat oleh ketua Pengadilan
Negeri termasuk semua keputusannya.
16
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 196-197. 17
Penetapan pengadilan untuk melaksanakan putusan jika pihak yang dikalahkan
dalam putusan menolak untuk melaksanakannya secara sukarela (Diakses dari
https://www.maknaa.com/hukum/fiat-eksekusi pada tanggal 25 September 2018 15.44) 18
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 198.
20
Sementara itu terdapat pendapat yang dikemukakan oleh Solomon
Keyzer (1823-1886) seorang ahli bahasa dan ahli kebudayaan Hindia
Belanda yang menyatakan bahwa di Indonesia berlaku hukum Islam.
Pendapat ini dikuatkan oleh Lodewijk Christian van den Berg (1845-1927)
yang menurutnya, hukum itu mengikuti agama yang dianut seseorang. Jika
orang itu memeluk agama Islam; hukum Islamlah yang berlaku baginya.19
.
Berdasarkan pernyataan diatas terlihat jelas bahwa tidak semua
orang Hindia Belanda menginginkan penghapusan hukum Islam dengan
proses kristenisasi. Seperti Solomon Keyzer dan Lodewijk Christian van
den Berg dengan pernyataannya bahwa jika orang itu beragama Islam
maka hukum Islamlah yang berlaku untuk dirinya.
Teori ini dikenal dengan nama Receptio in Complexu, yang
menyatakan bahwa yang diterima oleh orang Islam Indonesia itu tidak
hanya bagian-bagian hukum Islam tetapi keseluruhannya sebagai satu
kesatuan. 20
Sebab mereka telah memeluk agama Islam walaupun dalam
pelaksanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan. Apresiasi Belanda
pada teori ini hanya terhadap hukum keluarga Islam. Van den Berg
mengusahakan hukum keluarga Islam dijalankan oleh hakim-hakim
Belanda dengan bantuan penghulu/qadli Islam.21
Hal ini berarti jika terjadi
perkara maka hendaklah hakim memutus berdasarkan hukum Islam secara
keseluruhan.
Pendapat ini ditentang oleh Christian Snouck Hurgronje (1857-
1936), ia berpendapat bahwa yang berlaku bagi orang Islam itu bukanlah
hukum Islam tetapi hukum adat. Ke dalam hukum adat itu, memang telah
masuk pengaruh hukum Islam, tetapi pengaruh itu baru mempunyai
kekuatan hukum kalau telah benar-benar diterima oleh hukum adat.
19
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 199. 20
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 200 21
Yayan Sopyan, Islam Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam
Hukum Nasional, (Wahana Semesta Intermedia: Jakarta, 2012), h. 30.
21
Pendapat itu kemudian terkenal dengan reseptie theorie yang mempunyai
banyak pengikut di kalangan para sarjana hukum.22
Jadi, pemerintah Belanda disini memberikan “toleransi” kepada
pribumi dengan mendahulukan hukum adat ketimbang hukum Islam
sehingga hukum Islam baru mendapatkan kekuatan ketika diterima oleh
hukum adat.
Akan tetapi pendapat ini mendapat tantangan dari pemikir hukum
Islam di Indonesia seperti Prof Hazairin yang merupakan salah seorang
murid Ter Haar tetapi tidak sejalan dengan ajaran yang dikembangkan
gurunya.23
Menurut teori resepsi, demikian Hazairin, hukum Islam itu sendiri
bukanlah hukum kalau belum diterima ke dalam dan menjadi hukum adat.
Jika telah diterima oleh hukum adat (setempat) hukum Islam yang
demikian, tidak dapat lagi dikatakan hukum Islam, tetapi hukum adat.
Hukum adatlah yang menentukan apakah hukum Islam itu hukum atau
bukan 24
Kita dapat melihat jelasnya dukungan kolonial Belanda terhadap
pergantian hukum Islam dengan hukum adat karena sejatinya hukum Islam
tidak dianggap hukum tanpa pengakuan dari hukum adat.
3. Masa Penjajahan Jepang
Pada masa ini tidak ada perubahan yang terlalu berarti meskipun
terdapat beberapa upaya atau usaha mengenai pengadilan agama dan
wewenangnya. Disini terdapat dua jenis pemimpin, yaitu pemimpin
nasionalis Islamis melalui Abikoesno Tjokrosoejoso yang menghendaki
agar kedudukan dan wewenang pengadilan agama lebih dikukuhkan.
22
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (PT Raja Grafindo
Persada: Jakarta, 2002), h. 200. 23
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 201. 24
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 201.
22
Kedua yaitu pemimpin nasionalis sekuler seperti Sartono yang
menghendaki agar pengadilan agama dihapuskan saja.25
Menurut pendapat penulis alasan kenapa tidak bisa diterapkan
hukum Islam secara menyeluruh karena dalam hal Pengadilan Agama saja
terdapat dua kubu yang bertentangan yaitu yang islamis dan nasionalis
sehingga kaum penjajah baik Belanda ataupun Jepang dapat dengan
mudah merubah hukum yang dapat diterapkan di Indonesia.
4. Masa Indonesia Merdeka: 1945-1974
Usaha selanjutnya dalam upaya melahirkan UU Perkawinan,
diupayakan lebih serius lagi setelah pemilihan umum tahun 1971 dalam
kondisi politik stabil. Dalam sebuah simposium, Ikatan Sarjana Wanita
Indonesia (ISWI) tanggal 29 Januari 1972 memberi saran kepada
pengurusnya agar memperjuangkan kembali UU Perkawinan untuk
diberlakukan kepada seluruh warga negara Indonesia. Kemudian Badan
Musyawarah organisasi-organisasi Wanita Islam Indonesia pada tanggal
22 Februari 1972 juga mendesak pemerintah agar mengajukan kembali
kedua RUU tentang Perkawinan yang dulu dikembalikan DPR kepada
pemerintah, agar dibahas kembali oleh DPR RI.26
Akhirnya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) membicarakan
kembali tentang hukum perkawinan umat Islam di Indonesia dalam acara
sarasehan yang dilaksanakan pada tanggal 11 Februari 1973 di Jakarta dan
mengaharapkan agar pemerintah segera mengajukan kembali RUU tentang
perkawinan kepada DPR RI untuk dibahas kembali dan dilaksanakan
sebagai uu yang diberlakukan untuk seuruh warga negara Indonesia.27
25
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 203. 26
Yayan Sopyan, Islam Negara, Tranformasi Hukum Perkawinan Islam dan
Hukum Nasional, (Wahana Semesta Intermedia: Jakarta, 2012), h. 87. 27
Yayan Sopyan, Islam Negara, Tranformasi Hukum Perkawinan Islam dan
Hukum Nasional, h. 87.
23
Akhirnya pelaksanaan hukum perkawinan dan hukum kewarisan
di Indonesia setelah Indonesia merdeka, dalam periode 1945-1974, melalui
badan peradilan agama di Indonesia, tetap tidak berubah seperti sediakala
karena adanya teori resepsi.28
Akibatnya teori ini mulai digugat karena tidak sesuai dengan UUD
1945 sebagai penjabaran Pancasila dengan Ketuhanan Yang Maha Esa
sebagai sila pertamanya karena teori ini bertentangan dengan iman orang
Islam dan dengan dua kalimat syahadat karena mengajak orang-orang
Islam tidak mematuhi firman Allah yang tercantum dalam al-Qur’an dan
Sunnah Rasulullah dalam kitab-kitab Hadis seharusnya tidak diikuti. 29
Penulis sepakat dengan pendapat Mohammad Daud Ali karena
seharusnya hukum yang dianut oleh seseorang adalah hukum yang sesuai
dengan agamanya. Adapun hukum adat dapat dijalankan secara berirama
dengan hukum Islam.
Namun melalui pasal peralihan UUD 1945 dan kuatnya tertanam
teori resepsi yang diajarkan, tetap saja berlangsung dalam Negara
Indonesia merdeka, kendatipun Undang Undang Dasar atau peraturan
dasarnya sudah berganti dan berbeda.30
Baru tahun 1974, dengan diundangkannya Undang-Undang No. 1
Tahun 1974, teori resepsi itu menemui ajalnya “dihantam” kalimat,”
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dengan perumusan pada
pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan tersebut, setiap perkawinan
harus dilakukan menurut hukum agama. Untuk orang Islam, misalnya,
perkawinan seorang pria dengan seorang wanita baru sah, kalau dilakukan
menurut hukum perkawinan Islam yang merupakan bagian dari agama
28
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 207. 29
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 208. 30
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 208.
24
Islam, tanpa syarat istimewa teori resepsi “ kalau hukum Islam itu sudah
diterima oleh hukum adat”.31
Menurut penulis dengan diundangkan Undang-undang No. 1
Tahun 1974 terdapat kejelasan tentang pemberlakuan hukum Islam di
Indonesia karena sebagaimana telah dijelaskan dalam pasal 2 ayat (1)
tentang kesahan perkawinan tanpa syarat istimewa dari teori resepsi.
5. Masa setelah Tahun 1974 sampai sekarang
Setelah Undang-undang Perkawinan diundangkan awal 1974,
dibuat perangkat perundang-undangan sebagai peraturan pelaksanaannya
melalui PP No. 9/1975 Undang-undang Perkawinan yang berlaku secara
efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975. Namun, dalam pelaksanaannya
seringkali Undang-undang Perkawinan ini menghadapi banyak kendala
dan masalah.32
Masalah yang bersifat intern, yang muncul dari kekurangjelasan
rumusan pasal yang terdapat di dalamnya, karena mengejar target harus
selesai sebelum hari ibu tanggal 22 Desember 1973 dan banyak pula pasal-
pasal yang bertentangan dengan hukum Islam yang harus disesuaikan lebih
dahulu atau dihilangkan saja dari rancangannya.33
Salah satu pasal yang bertentangan adalah pasal 37 ayat 1 yang
menyatakan bahwa harta benda yang dieproleh selama perkawinan
menjadi milik bersama (dalam islam ditentukan bahwa hasil usaha masing-
masing suami atau isteri secara sendiri-sendiri, adalah menjadi milik
masing-masing yang mengusahakannya.) 34
31
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 208. 32
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 218. 33
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 218. 34
Yayan Sopyan, Islam Negara, Tranformasi Hukum Perkawinan Islam dan
Hukum Nasional, (RMBooks: Jakarta, 2012), h. 97.
25
Menurut penulis hal ini disebabkan karena ketergesa-gesaan para
perancang Undang-undang sehingga rumusan pasal yang dihasilkanpun
kurang maksimal.
Secara ekstern, masyarakat menganggap Undang-undang
Perkawinan ini bertentangan dengan Hukum Perkawinan Islam. Masih
berlakunya SE Biro Peradilan Agama tahun 1958 yang memuat tentang
batas-batas kekuasaan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah, materi
hukum yang dipergunakan dalam memutuskan perkara, penyelenggaraan
tata-usaha dan kepaniteraan, sidang keliling dan perjalanan dinas dan
bandingan yang dapat juga dipakai sebagai kendala ekstern.35
Hal ini terjadi karena peraturan yang bentrok dan pemahaman
masyarakat tentang Undang-undang Perkawinan yang tidak sempurna.
Lalu diadakanlah pengumpulan kaidah-kaidah hukum perkawinan
Islam ke dalam satu kitab yang dapat dijadikan pegangan oleh hakim
Pengadilan Agama di seluruh Indonesia setelah lahirnya UU No. 7/1989
tentang Peradilan Agama yang diundangkan tanggal 29 Desember 1989
yang dinamakan dengan Kompilasi Hukum Islam selanjutnya disebut
KHI.36
Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia bercermin kepada
Moudawwana al-Usrah di Maroko karena masyarakat Maroko dengan
masyarakat Indonesia sama-sama beraliran ahl al-sunnah wa al-jama‟ah
(aswaja), di Maroko Mazhab Maliki yang menjadi pedoman dan di
Indonesia Mazhab Syafi‟i yang menjadi panutan. Kedua mazhab itu masih
termasuk dalam bingkai aswaja, termasuk juga Mazhab Hanafi dan
Mazhab Hambali termasuk di dalamnya. Oleh karena itu, masalah
35
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 218-219. 36
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 219.
26
perkawinan Islam tidak ada perbedaan yang signifikan antara masyarakat
Maroko dengan Indonesia.37
Dalam praktik, walaupun KHI bersumber dari kitab-kitab fikih,
tetapi ketika detail masalah hukum yang dibutuhkan tidak terdapat dalam
KHI, para hakim peradilan agama kembali membuka kitab-kitab fikih
karena pada umumnya kitab-kitab fikih sering membahasa suatu persoalan
dengan rinci. Selain rinci, jumlah kitab-kitab fikih juga begitu banyak
sehingga masalah-masalah yang tidak terdapat dalam suatu kitab, besar
kemungkinan akan ditemui dalam kitab yang lain. 38
Adapun di Indonesia permasalahan tentang hadhanah khususnya
yang terjadi akibat perceraian diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016
Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak, Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam (KHI). Adapun yang mengalami pembaharuan
hanyalah Undang-undang tentang perlindungan anak yaitu selama dua
kali.
B. Reformasi Hukum Keluarga di Maroko
1. Biografi Negara Maroko
Dalam The World Book Encyclopedia dijelaskan bahwa, “Morocco
is mountainous country on the north-western coast of Africa. It lies only
nine miles from Spain, across the strait of Gibraltar. The moroccans call
their country Moghreb el Aksa, which is Arabic for the farthest west.
Rabat is the capital of Morocco. Casablanca is the largest city.”39
Artinya: Maroko adalah negara pegunungan yang terletak di sudut
barat laut Afrika. Hanya berjarak sembilan mil dari Spanyol dan melintasi
37
Nasiri, Perkawinan Di Maroko, Syaikhuna Volume 8 Nomor 1 Maret 2017, h. 4. 38
Mukhtar Zamzami, “Pembaruan Hukum keluarga Dalam Perspektif Politik
Hukum Islam di Indonesia”, Mimbar Hukum dan Peradilan. No. 68, Februari 2009, h.
114 39The World Book Encyclopedia, (USA: Field Entrepises Educational Corporation,
1966), Vol. 8 di bawah artikel “Morocco”, h. 412.
27
selat Gibraltar. Orang-orang Maroko memanggil negara mereka dengan
“Moghreb el Aksa” yang merupakan bahasa Arab dari “barat yang
terjauh”. Rabat adalah ibu kota Maroko. Kasablanka adalah kota terluas.
Lalu dalam Encyclopedia Britannica dijelaskan lebih lanjut bahwa
“The country borders Algeria (east and southeast) and western sahara
(south); its western border is defined by the atlantic ocean, and its
northern border is defined by the Mediteranean Sea.”40
Artinya: Negara ini berbatasan dengan Aljazair (timur dan tenggara)
dan sahara barat (selatan); perbatasan baratnya ditentukan oleh samudra
atlantik, dan perbatasan utaranya didefinisikan oleh Mediterania.
Menurut Juan E. Campo dalam Encyclopedia of Islam mengenai
populasi negara Maroko adalah “The population is 99 percent Sunni
Muslim, with a small number of Christians (mostly foreign) and Jews.
Moroccan Islam has traditionally followed Maliki religious law. art,
architecture, music, and culture combine Berber, Arab, and Andalusian
themes, although the influence of European styles has become much more
visible in recent years.”41
Artinya: Populasinya 99 persen Muslim Sunni, dengan sejumlah kecil
orang Kristen (kebanyakan orang asing) dan orang Yahudi. Muslim
Maroko secara tradisional mengikuti Mazhab Maliki. Hukum, seni,
arsitektur, musik, dan budaya menggabungkan tema Berber, Arab, dan
Andalusia. Meskipun pengaruh gaya Eropa menjadi lebih terlihat dalam
beberapa tahun terakhir.
2. Sistem Pemerintahan di Negara Maroko
Dalam Grolier Academic Encyclopedia tentang sistem
pemerintahan di negara Maroko, “Morocco is a constitutional monarchy.
The 264 members of the unicameral legislature are elected to 4-year
terms. The king holds executive power; he appoints the cabinet and may
dismiss its members and may also disband the legislature”42
Artinya: Maroko adalah negara yang menganut sistem Monarki
Kontitusional. 264 anggota legislatif unikameral (sistem pemerintahan
yang hanya terdiri dari satu kamar parlemen) dipilih untuk masa jabatan 4
tahun. Raja memegang kekuasaan eksekutif. Ia menunjuk kabinet dan
40
Encyclopedia Britannica, (USA: The University of Chicago, tt.), Vol. 8 di bawah
artikel “Morocco”, h. 331. 41
Juan E. Campo, Encyclopedia of Islam, (New York: Facts on File, 2009),
dibawah artikel “Morocco”, h. 481. 42
Grolier Academic Encyclopedia, (USA: Grolier International, 1983), Vol. 13,
dibawah artikel “Morocco”, h. 586.
28
dapat memberhentikan anggotanya dan mungkin juga memberhentikan
undang-undang.
3. Sistem Hukum di Negara Maroko
Hukum di Maroko tidak menggunakan hukum syariah, dan bahkan
lebih diwarnai oleh sistem hukum barat. Hukum Islam yang dipakai adalah
madzhab Maliki, akan tetapi itu juga hanya berlaku untuk umat Islam dan
hanya dalam bidang-bidang tertentu, yakni perkawinan, warisan dan
perwakafan.43
Kedudukan hukum Islam sebagai prinsip hukum, dan posisinya
sebagai sumber hukum ketiga setelah hukum Perancis dan hukum eropa
lainnya. Begitupula di Indonesia, posisi hukum Islam juga sebagai sumber
hukum positif selain hukum barat dan hukum adat.44
Secara umum, sistem hukum di Maroko dibagi menjadi 4 macam
badan peradilan, mahkamah Syariah dan mahkamah Madaniyah (peradilan
umum), hukum kanomik, civil law Prancis. Bersamaan dengan
diberlakukannya hukum Islam di lembaga pengadilan syariat, ditetapkan
pula hukum adat di beberapa Negara bagian Maroko yang diatur oleh
pengadilan setempat. Pada aspek-aspek tertentu pemberlakuan hukum adat
dapat membawa konflik terhadap hukum Islam. Hal ini diakui oleh para
ahli hukum Islam Maroko yang tidak menyukai muatan-muatan hukum
Prancis dan adat setempat masuk dalam hukum privat di Maroko.45
Jadi dapat disimpulkan bahwa sistem hukum yang dianut di
Maroko merupakan perpaduan dari beberapa sistem hukum. Yakni
43
Diakses dari http://syffzh2314.blogspot.com/2014/10/sistem-hukum-di-
maroko.html pada tanggal 31 Juli 2018 44
Muhammad Maksum, Kedudukan syariah sebagai sumber Hukum positif: Kajian
Awal atas Hukum Perkawinan, Ekonomi Islam, dan Hukum Ketenagakerjaan di
Indonesia dan Maroko, Istinbáth Jurnal Hukum Islam Vol. 15, No. 2, Desember 2016, h.
2 45
Diakses dari http://syffzh2314.blogspot.com/2014/10/sistem-hukum-di-
maroko.html pada tanggal 31 Juli 2018
29
perpaduan dari hukum agama, hukum adata, dan hukum Eropa terutama
Prancis yang dibawa saat menjajah Maroko.
4. Kehidupan Masyarakat Maroko
a. Bidang Sosial
Masyarakat Maroko yang berada di pedalaman atau pedesaan
yang merupakan 4/5 bagian dari penduduk Maroko keseluruhan,
mempunyai dua pola kehidupan, yaitu nomaden dan menetap. Suku
Berber sebagai suku asli, sebagian besar merupakan penduduk yang
menetap, sementara suku Arab yang pada mulanya merupakan kaum
pendatang secara umum merupakan penduduk nomaden dan sebagain
kecil dari mereka ada juga yang menetap pada lahan-lahan yang ingin
mereka kembangkan. Ini berarti pembagian pola hidup nomaden dan
menetap ini bukan berdasarkan faktor etnis semata-mata tetapi karena
pengaruh kondisi geografis. Biasanya mereka yang tinggal di daerah
pegunungan masuk kelompok yang menetap, sementara mereka yang
berada di gurun pasir seringkali berpindah-pindah. 46
Penduduk yang bertempat tinggal di kota dikategorikan
menjadi dua, yakni mereka yang disebut hadhariyya dan non-
hadhariyya. Pola hidup kota yang masuk dalam kategori hadhariyya
konon banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Spanyol, Negara yang
pernah menjajah mereka, yaitu Fez, Rabat-Sale, dan Tetwan. Adapun
kota yang disebut non hadhariyya antara lain Udjda, Mazagan, dan
Tangier, yang komposisi penduduknya kebanyakan berasal dari
pedesaan yang berpindah ke kota (masyarakat urban).47
b. Bidang Politik
Maroko menganut sistem banyak partai politik dan menolak
sistem satu partai. Hukum adalah pernyataan tertinggi dari kemauan
rakyat dan semua harus tunduk kepadanya. Islam adalah agama
46
Atho Mudzhar, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Ciputat
Press, 2003), h. 98. 47
Atho Mudzhar, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, h. 99.
30
negara. Laki-laki dan perempuan menikmati hak-hak politik yang
sama. Tiap warga negara baik laki-laki maupun wanita mempunyai
hak untuk memilih.negara juga menjamin kebebasan bagi semua
warga negara untuk menyatakan pendapatnya, berserikat dan
membentuk atau memasuki organisasi/partai pilihan nya.48
Sebagaimana negara-negara yang menganut sistem demokrasi,
Maroko mendasarkan sistem politiknya atas prinsip kedaulatan rakyat
dengan arti bahwa kemauan rakyat merupakan hukum tertinggi serta
atas prinsip banyak partai dan bukan sistem satu partai seperti yang
terdapat di negara-negara sosialis khususnya di Eropa Timur sampai
waktu belakangan ini.49
c. Bidang Ekonomi
Dalam The New Book of Knowledge dipaparkan bahwa sekitar
setengah dari orang-orang Maroko bekerja sebagai petani. Maroko
mengekspor serat pohon palem yang digunakan untuk membuat isian
perabotan dan gabus yang berasal dari pohon oak. Maroko memiliki
pelabuhan sarden terkemuka di dunia yang bernama Safi. Penduduk
Maroko juga membuat jenis tepung baru dan ikan sarden yang lebih
murah dan lebih bergizi daripada tepung yang terbuat dari biji-bijian.
Maroko juga kaya akan mineral. Industri Maroko berkembang pesat.
Pabrik-pabrik membuat semen, truk, dan mobil. Maroko memiliki
jalan yang baik, kereta api, dan sistem listrik dan telepon yang dimulai
oleh orang Prancis dan Spanyol. 50
d. Bidang Agama
Menurut E.J. Brill dalam First Encyclopedia of Islam pada
awalnya, terutama di daerah perkotaan, masyarakat Maroko sedikit
banyak dipengaruhi oleh ajaran agama Yahudi dan Kristen walaupun
48
Diakses dari http://hasbagiilmu.blogspot.com/2015/08/sistem-politik-di-negara-
negara-islam.html 1 Agustus 15.08 49
Diakses dari http://hasbagiilmu.blogspot.com/2015/08/sistem-politik-di-negara-
negara-islam.html 1 Agustus 15.08 50
The New Book of Knowledge, (USA: Grolier Incorporated, 1986), Vol. 12, di
bawah artikel “Morocco”, h. 460.
31
diragukan ritual keagamaan mereka berdasarkan ajaran yang tepat dari
dua agama tersebut. Nampaknya mereka hanya sebatas mengakui
ajaran-ajarannya ketimbang sebagai pemeluk yang teguh kepada ajaran
kedua agama tersebut. Terbukti ketika mereka mengenal agama
Monoteis baru, Islam yang diperkenalkan oleh bangsa Arab, ternyata
mereka cepat bisa mengadopsinya. 51
Seluruh muslim Maroko adalah penganut aliran sunni, hampir
tidak ditemukan ajaran syi’ah disana. Penduduk perkotaan merupakan
penganut agama yang taat dan menjalankan ritual keagaaman secara
teguh, sementara penduduk desa terutama suku Berber dan Baduwi
agak longgar dalam menjalankan ajaran agama. Namun di daerah
perbukitan, hampir pada setiap desa dapat ditemukan masjid. 52
5. Reformasi Hukum Keluarga di Maroko
Maroko menggunakan kodifikasi sebagai konsep dan metode
pembaharuannya. Kodifikasi hukum yaitu pembukuan materi hukum
secara lengkap dan sistematis; pada awalnya dikenal dari sistem hukum
Barat terutama Eropa Kontinental. Dalam pertemuan antara masyarakat
muslim dengan Barat di masa kolonial; pengaruh sistem hukum Barat ini
pun diadopsi oleh negara-negara Muslim. Berbagai Negara muslimpun
membuat kodifikasi dengan mengundangkan berbagai materi hukum Islam
dalam rangka pembaharuan hukum Islamnya. Di antara negara-negara
yang telah melakukan pembaharuan tersebut adalah Lebanon, Jordania,
Syiria, Tunisia, Maroko dan Irak, yang membuat peraturan perundang-
undangan yang diambil dari hukum Islam tradisional tanpa beberapa
perubahan.53
Menurut Tahir Mahmood dalam Personal Law in Islamic
Countries tentang reformasi hukum keluarga di Maroko, “Between 1912
51
E.J Brill, First Encylopedia of Islam, (The Netherlands: tp, 1987), Vol. VI, di
bawah artikel “Morocco”, h. 593. 52
E.J Brill, First Encylopedia of Islam, h. 594. 53
Sri Wahyuni, Pembaharuan Hukum Keluarga Islam Di Negara-negara
Muslim, Al-Ahwal, Vol. 6, No. 2, 2013 M/1435 H, h. 4
32
and 1956 major parts of Morocco were under the political domination of
France and Spain. During this period the French and the Spanish legal
systems influenced the local law, but in the matters of personal law the
Sha‟riah remained supreme. Inhabited mainly by the followers of the
Maliki school of Islamic law, Morocco had the priciples of that law
applied in its Shariah courts. Along with the shariah, however, was also
applicable in some parts of Morocco a customary law (ta‟amul),
administered by local tribunals, which in some aspects came in conflict
with the shariah law. The moroccan jurists were unhappy with the
influence of both the French law and local custom and wanted that the
shariah should be meticulously applied in cases of personal status.
Codification of the shariah law on modern lines was they thought,
imperative for this purpose: and they began working towards this goal.” 54
Artinya: Antara tahun 1912 dan 1956 sebagian besar wilayah Maroko
berada dibawah dominasi politik dari Prancis dan Spanyol. Selama periode
ini sistem hukum Prancis dan Spanyol telah mempengaruhi hukum lokal,
tapi dalam hal hukum keluarga Maroko masih berdasarkan syariah Islam.
Penduduknya mayoritas adalah pengikut Mazhab Maliki, Maroko
memiliki prinsip-prinsip dari ajaran Mazhab Maliki yang diaplikasikan di
Pengadilan Syariah. Bersamaan dengan syariah bagaimanapun hukum adat
juga diaplikasikan dalam beberapa hal yang diatur oleh pengadilan dengan
beberapa aspek yang bertentangan dengan syariah. Ahli hukum Maroko
merasa tidak senang dengan pengaruh dari Hukum Prancis dan Hukum
Adat dan menginginkan bahwa syariah harus dengan teliti diaplikasikan
dalam urusan hukum keluarga. Kodifikasi hukum syariah dalam garis
modern yang mereka pikirkan penting sekali untuk tujuan ini dan mereka
memulai bekerja untuk tujuan ini.
“The year of Morocco‟s independence coincided with the promulgation of
a new code of personal status in the neighbouring Tunisia. Influenced by
this development, the jurists and legal scholars in Morocco accelerated
tehir deliberations on the feasibility of codifying the personal law in their
country. By the time the old sultanate of Morocco was changed into a
constitutional monarchy the debate on the codification of personal law in
the country had entered an advanced stage”55
Artinya: Hari kemerdekaan Maroko bertepatan dengan pengumuman
dari New Code of Personal Status dari Negara tetangga yaitu Tunisia.
Terpengaruh dari perkembangan ini, ahli hukum dan para sarjana hukum
di Maroko mempercepat pertimbangan mereka dalam kemungkinan
terjadinya kodifikasi hukum keluarga di Maroko. Pada saat itu kesultanan
54
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, (Academy of Law and
Religion: New Delhi, 1987), h. 117 55
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, h. 118.
33
tua Maroko berganti menjadi Monarki Konstitusional. Perdebatan dalam
kodifikasi hukum keluarga di Negara ini telah memasuki tahap lanjutan.
“On 19 august 1957 the government of Morocco set up a high-power
commission charged with the function of fializing a draft code of personal
status for the country on which leading Moroccan law-men had been
working for several years. The royal decree isued for this purpose outlined
the aims and objects of the proposed codification of Islamic personal law.
The commision soon came out with a final draft. The sources on which the
draft was based included:
1. Principles of the various schools of Islamic law, especially the
dominant opinion in the Maliki law:
2. The Maliki doctrine of [ublic interest (masalih al-mursalah); and
3. Legislation enacted i the other Muslim countries.”56
Artinya: Pada tanggal 19 Agustus 1957 pemerintah Maroko
mempersiapkan komite yang bertanggung jawab dalam fungsi
penyelesaian draft Undang-Undang Hukum Keluarga untuk Negara yang
mana para ahli hukum Maroko sudah bekerja selama beberapa tahun.
Keputusan kerajaan yang dikeluarkan untuk tujuan ini menggariskan
tujuan dan objek dari kodifikasi hukum Islam yang diusulkan. Sumber-
sumber dari draft peraturan perundang-undangannya berasal dari:
1. Prinsip-prinsip dari berbagai aliran hukum islam, khususnya pendapat
dominan dalam Mazhab Maliki.
2. Ajaran Mazhab Maliki untuk kepentingan public (masalih al
mursalah)
3. Undang-undang yang diberlakukan di negara-negara muslim lainnya.
“The draft code finalized by the commission was approved and enacted in
stages by the Moroccan legislature within the next few months. Unlike
Tunisia where the code of personal status was called Majallah, Morocco
called its new Code the Mudawanah al-ahwal al-Shakhsiyah. The bulky
Code had over 300 articles arranged in six “books” which came in force
on different dates mentioned below:
I. Marriage 21.11.1957
II. Dissolution of Marriage -do-
III. Birth and Its results 18.12.1957
IV. Legal Capacity and Representation 25.1.1958
V. Testamentary Succesion 20.2.1958
VI. Intestate Succesion 3.4.195857
56
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, h. 118. 57
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, h. 118.
34
Artinya: Draft peraturan perundang-undangan yang diselesaikan oleh
komite disetujui dan disahkan secara bertahap oleh Badan Legislatif
Maroko dalam beberapa bulan ke depan. Tidak seperti Tunisia yang
menamai peraturan perundang-undangannya dengan Majallah, Maroko
menamainya dengan Mudawanah al-Ahwal al-Shakhsiyah. Kitab
Peraturan Perundang-undangannya memiliki lebih dari 300 pasal yang
disusun dalam enam buku yang berlaku pada tanggal yang berbeda yang
disebutkan di bawah ini:
I. Perkawinan 21.11.1957
II. Putusnya Perkawinan 21.11.1957
III. Kelahiran dan hal-hal yang 18.12.1957
berkaitan dengannya
IV. Kecakapan Hukum dan Perwalian 25.1.1958
V. Wasiat 20.2.1958
VI. Warisan 3.3.1958
“A large number of the provisions of the code were based exclusively on
the Maliki law. The enactment of the code was described by the then
Moroccan ruler as “return to the riches of the Shariah”58
Artinya: Sejumlah besar ketentuan Undang-Undang secara eksklusif
didasarkan pada Mazhab Maliki. Pemberlakuan Undang-Undang
digambarkan oleh penguasa Maroko saat itu sebagai "kembali ke kekayaan
syari'ah".
Setelah memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 19 Agustus
1957 Maroko yang penduduknya adalah pengikut mazhab Maliki
melakukan kodifikasi selama tahun 1957-1958 yang menghasilkan
Moudawwana al – Ahwal al – Shakhsiyah.59
“As such, the 1958 law was “the only major area of the Moroccan legal
system based on Islamic Shari‟a law. Criminal and business law, for
example, were drafted in secular terms.”60
58
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, h. 119. 59
A. Khumedi Ja’far, dkk, Hukum Keluarga di Negara-negara Muslim Modern,
(Anugrah Utama Raharja: Lampung, 2013), h. 97. 60
Ann Marie Eisenberg, Law on the Books vs. Law in Action: Under-Enforcement
of Morocco's Reformed 2004 Family, (Cornell Law Library Prize for Exemplary Student
Research Papers. Paper 1), h. 703.
35
Artinya: Undang-Undang Tahun 1958 adalah satu-satunya bidang
dari system hukum Maroko yang berdasarkan syariah Islam. Adapun
hukum pidana dan bisnis disusun secara sekuler.
Meskipun penduduk Maroko adalah pengikut mazhab Maliki
akan tetapi yang dikodifikasi setelah kemerdekaan hanyalah Undang-
Undang Hukum Keluarga yang berbasis hukum Islam.
Sejarah lahirnya Undang-Undang Maroko berawal pada tanggal 6
Desember 1957 (13 Jumadil Awal 1377 H) dengan terbitnya Dekrit Raja
yang bertanggal 22 Nopember 1957 (28 Rabiul Tsani 1377 H),
mengumumkan akan lahirnya Undang-Undang Perkawinan dan Perceraian
(Code of Personal Status and Inheritance).61
Akhirnya Undang-Undang Keluarga pertama yang mencakup
perkawinan dan perceraian ini mulai berlaku di seluruh wilayah Maroko
sejak tanggal 1 Januari 1958. Kedua buku ini adalah hasil kerja dari komite
(Komisi) yang di bentuk tanggal 19 Agustus 1957 (22 Muharram 1377
H).62
Komisi yang dibentuk berdasarkan Keputusan Raja ini bertugas
menyusun rancangan Undang-Undang Hukum Keluarga, termasuk
Kewarisan. Penyusunan rancangan Undang-Undang ini didasarkan pada
tiga sumber pokok. Pertama, beberapa prinsip hukum dari Mazhab Hukum
Islam (fiqih), khususnya Mazhab Maliki yang dianut Muslim Maroko.
Kedua, prinsip mashlahah mursalah. Ketiga, UU yang berlakukan di
beberapa negara Muslim laainnya. Adapun isinya terdiri dari 8 Bab, yaitu:
I. Perkawinan dan Pinangan; II. Dasar-dasar dan Syarat-syarat Akad Nikah;
61
A. Khumedi Ja’far, dkk, Hukum Keluarga di Negara-negara Muslim Modern,
(Anugrah Utama Raharja: Lampung, 2013), h. 97. 62
A. Khumedi Ja’far, dkk, Hukum Keluarga di Negara-negara Muslim Modern, h.
97.
36
III. Wali Nikah; IV. Mahar; V. Pembatalan Perkawinan; VI. Jenis
Perkawinan dan Akibat-akibatnya; VII dan VIII. Tentang Perceraian.63
Imane Chaare menjelaskan tentang perdebatan tentang Undang-
Undang Hukum Keluarga, “Despite some debates in the 1970s and the
1980s, the Family Code has remained virtually identical to that which was
enacted after independence. In the early 1990s, the debate concerning the
Code began to grow in importance. In 1993, a campaign led by the
associative sector managed to collect one million signatures to support the
claims of those working towards a change in the law.“64
Artinya: Meskipun ada perdebatan di tahun 1970-an dan 1980-an,
Undang-undang Hukum Keluarga tetap identik dengan apa yang dilakukan
setelah kemerdekaan. Pada awal 1990-an, perdebatan tentang Undang-
undang Hukum Keluarga mulai menjadi penting. Pada tahun 1993, sebuah
kampanye yang dipimpin oleh sektor asosiasi berhasil mengumpulkan satu
juta tanda tangan untuk mendukung klaim dari mereka yang bekerja
menuju perubahan dalam hukum.
Kita dapat melihat bahwa mulai tampak kesadaran masyarakat
tentang pentingnya pembaharuan hukum keluarga dengan mengadakan
petisi untuk pemerintah agar Moudawwana segera direvisi.
“The Women‟s Action Union (UAF) founded in 1987 presented an open
letter to the House of Representatives including claims based on a triple
standard: the objectives of Sharia (under Islamic law), social reality, and
universal human rights. This letter was addressed to politicians, not to the
king who is the „Commander of the Faithful‟. King Hassan II reacted
stating that the issue is based on religious values and declares that its
treatment comes under the „Commander of the Faithful‟, and not the
political world.”65
Artinya: The Women‟s Action Union (UAF) atau yang bisa disebut
dengan Serikat Aksi Perempuan yang didirikan pada 1987
mempresentasikan surat terbuka untuk Dewan Perwakilan termasuk klaim
63
A. Khumedi Ja’far, dkk, Hukum Keluarga di Negara-negara Muslim Modern, h.
97. 64
Imane Chaare, Pro-Women Legal Reform in Morocco: Is Religion an Obstacle? Proceedings of the German Development Economics Conference, Berlin 2011, No. 17, h.
4. 65
Imane Chaare, Pro-Women Legal Reform in Morocco: Is Religion an Obstacle,
h. 4.
37
berdasarkan tiga standar diantaranya berdasarkan hukum Islam, realitas
sosial, dan hak asasi manusia. Surat ini ditujukan kepada politisi, bukan
kepada raja yang merupakan pemimpin Negara. Raja Hasan II bereaksi
menyatakan bahwa masalah ini didasarkan pada nilai-nilai agama dan
menyatakan bahwa hal ini diatur oleh Raja dan bukan politisi.
Permintaan dari The Women‟s Action Union (UAF) agar raja
segera merevisi Undang-Undang Hukum Keluarga tetap berlandaskan
hukum Islam akan tetapi tetap sesuai dengan hak asasi manusia tuntutan
modernitas.
“The king then received a delegation of women. He quoted ijtihad3,
stressing that it cannot prohibit what God has not prohibited, and it
cannot allow what has not been permitted by God. He promised
amendments proposed by a committee composed of ulama (theologians
and jurists). However, the changes are limited. The steps taken toward
establishing a polygamous marriage and obtaining a divorce are more
complicated than before.”66
Artinya: Raja kemudian menerima perwakilan wanita, ia
mengutip ijtihad dan menekankan bahwa raja tidak dapat melarang apa
yang tidak dilarang tuhan dan tidak dapat membiarkan apa yang tidak
diizinkan tuhan. Dia menjanjikan amandemen yang diusulkan oleh sebuah
komite yang terdiri atas Ulama (ahli teologi dan ahli hukum). Namun
perubahannya terbatas, langkah-langkah yang diambil untuk membangun
pernikahan poligami dan mendapatkan perceraian lebih rumit dari
sebelumnya.
Upaya dari The Women‟s Action Union (UAF) membuahkan hasil
dengan pada akhirnya raja menjanjikan amandemen meskipun
perubahannya terbatas.“These reforms considerably enhanced the rights of
women in terms of equality within the family, increasing their rights within
the household on two levels. Firstly, husbands and wives were provided
joint responsibility in family matters, making both de jure heads-of-
household. Secondly, women were no longer required to be obedient to
their husbands in return for exercise of other rights, such as the rights to
financial maintenance or employment outside of the home.”67
66
Imane Chaare, Pro-Women Legal Reform in Morocco: Is Religion an Obstacle,
h. 4. 67
Paul Scott Prettitore , Family Law Reform, Gender Equality, and Underage
Marriage: A view from Morocco and Jordan,( The Review of Faith & International
Affairs , volume 13, number 3 (fall 2015) , h. 32.
38
Artinya: Perubahan ini sangat meningkatkan hak perempuan
dalam hal kesetaraan dalam keluarga, meningkatkan hak mereka dalam
rumah tangga. Pertama, suami dan istri diberikan tanggung jawab bersama
dalam masalah keluarga, membuat keduanya secara de jure sebagai kepala
keluarga. Kedua, perempuan tidak lagi dituntut untuk patuh kepada suami
mereka sebagai imbalan atas pelaksanaan hak-hak lainnya, seperti hak atas
pemeliharaan keuangan atau pekerjaan di luar rumah.
Perubahan ini secara tidak langsung sebagai bentuk penerapan
kesetaraan jender dalam kehidupan keluarga dan memberikan sedikit
kelonggaran bagi wanita dalam berumah tangga.
“The new Moudawana also increased protections afforded
women. For example, it introduced an option for married couples to sign
an additional contract at the time of marriage, separate from the marriage
contract, allowing for designation of a community property regime, which
could greatly benefit women given the low labor force participation of
married women in Morocco. It also restricted polygamy, gave women the
authority to sign their own marriage contracts and allowed women access
to no-fault divorce.”68
Artinya: Moudawwana yang baru juga meningkatkan
perlindungan yang diberikan perempuan. Sebagai contoh, Moudawwana
menawarkan pilihan untuk pasangan yang sudah menikah untuk
menandatangani kontrak tambahan ketika pernikahan, yang berbeda dari
perjanjian perkawinan, memungkinkan penunjukkan aturan harta bersama,
yang dapat sangat menguntungkan perempuan mengingat rendahnya
wanita menikah yang bekerja di Maroko. Moudawwana juga membatasi
poligami, memberi perempuan wewenang untuk menandatangani kontrak
pernikahan mereka sendiri dan mengizinkan perempuan tanpa salah
mengakses perceraian.
Perlindungan hak-hak wanita dalam Moudawwana benar-benar
berusaha diangkat dan dijunjung tinggi terbukti dengan beberapa aturan
yang menguntungkan perempuan.
“The Moudawana also enhanced protections for children. In terms of
child custody, the best interests of the child could be used as a basis for
making custody decisions, rather than relying on less flexible formulas.
Protection of children was to be increased through the inclusion in the
68
Paul Scott Prettitore , Family Law Reform, Gender Equality, and Underage
Marriage: A view from Morocco and Jordan, h. 33.
39
Moudawana of provisions of international conventions ratified by
Morocco.”69
Artinya: Moudawwana juga meningkatkan perlindungan bagi
anak-anak. Dalam hal pengasuhan anak kepentingan terbaik anak dapat
digunakan sebagai dasar untuk membuat keputusan hak asuh, daripada
mengandalkan pada cara yang kurang fleksibel. Perlindungan anak-anak
harus ditingkatkan melalui penyantuman dalam Moudawwana tentang
ketentuan konvensi internasional yang diratifikasi oleh Maroko.
Selain hak perempuan, hak anak juga turut diangkat dalam
Moudawwana dengan dikuatkan konvensi internasional yang diratifikasi
oleh Maroko.
“On the matter of the age of marriage, it raised the age of
marriage for girls to 18, equating it with the age of marriage for boys.
However, it allows for marriage under the minimum age if certified by a
court. To improve implementation of the Moudawana, priority was given
to establishing a system of competent family courts.”70
Artinya: Dalam hal usia boleh menikah, untuk gadis menjadi 18
tahun disamakan dengan laki-laki. Bagaimanapun, undang-undang
membolehkan menikah di bawah umur jika diizinkan oleh pengadilan.
Untuk meningkatkan penerapan Moudawwana, prioritas diberikan untuk
membangun sistem pengadilan hukum keluarga yang kompeten.
Dengan penyamarataan usia boleh nikah semakin menyiratkan
bahwa Moudawwana berusaha untuk menerapkan keserataan jender dalam
Hukum Keluarga.
69
Paul Scott Prettitore , Family Law Reform, Gender Equality, and Underage
Marriage: A view from Morocco and Jordan, h. 33. 70
Paul Scott Prettitore , Family Law Reform, Gender Equality, and Underage
Marriage: A view from Morocco and Jordan, h. 33.
40
BAB III
HADHANAH MENURUT HUKUM PERKAWINAN
DI INDONESIA DAN MAROKO
A. Hadhanah menurut Para Ulama Mazhab
1. Pengertian Hadhanah
a. Hanafi
1.ونمةياحينفولعجفولزتعايأءيالش لجالر نضحاؿقيػةياحينفءيالش لعج Artinya: Menjadikan sesuatu itu dalam pihak yang
dikatakan mengasuh seseorang atau yang membatasinya maka
menjadikannya dalam pihak sesuatu itu.
b. Maliki
ـيالقوزاجالعةانيص 2.وحالصمبا Artinya: Memelihara orang lemah dan mengurusi
kepentingannya.
c. Syafi’i
كنونػجامريػبكول,وهر ضايم عويقيووحلصايمبهرومأبل قتسيلنمةي برتػ هده عتػيػفأاـنيػلوكيرحتودهيالمفريغالص طبروولحكوونىدووابيثوهدسجلسغبػ 3.ا
Artinya: Mendidik seseorang yang tidak bisa mengurusi
urusannya sendiri dengan apa yang bermanfaat baginya dan
menjaganya dari yang membahayakannya. Meskipun sudah
dewasa dan gila seakan-akan menjaganya, memandikan jasadnya
dan bajunya dan meminyakinya dan seperti keadaanya dan
mengikat anak kecil dalam ayunan dan menggerakkannya untuk
tidur.
d. Hanbali
ـيالق,وهر ضايم عوظفح,وولوتي برتػوصخىالش لإاهنعيمفنمولفالط م ض 4.وحالصمبا
1 Bakr ibn Mas’ud al-Kasani, Badaai‟u as-Shonaa‟i fii tartiibi asy-Syarooi‟ juz IV,
(t.p., Beirut, 1986), h. 40. 2 Syaikh Muhammad ibn Muhammad Salam, Lawami‟ ad-dururi fii hataki astari
al-Mukhtashor juz VIII, (t.p., t.t., 2015), h. 755. 3 Syaikh Muhammad asy-Syarbayni al-Khotib, Al-Bujairomi ali Khotib juz IV, (t.p.,
Beirut: 2007), h. 104.
41
Artinya: Mengumpulkan anak kecil dan yang dimaksud
dalam artinya merujuk kepada seseorang dan mendidiknya, dan
menjaganya dari yang membahayakannya, dan mengurusi
kepentingannya.
Jika disimpulkan dari masing-masing pendapat fuqaha
madzhab sebenarnya hampir sama secara keseluruhan. Hanya saja
Syafi’i menambahkan orang dewasa atau gila dalam definisinya.
2. Dasar Hukum Hadhanah
Dasar hukum hadhanah adalah firman Allah Swt. (QS Al-Tahrim
ayat 6):
يأيػ هاالذينءامنػواقػوأنػفسكموأىليكمناراوقػودىاالن اسوالحجارة...Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia
dan batu…” (QS Al-Tahrim [66]: 6)
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah SWT memerintahkan kepada
kaum Mukminin agar memelihara diri mereka dengan amal perbuatan
mereka, dan memelihara keluarga mereka dari neraka dengan nasihat,
didikan, bimbingan, tuntunan, dan pengajaran. Termasuk anggota
keluarga dalam ayat ini adalah anak. 5
Maksud ayat diatas adalah perintah kepada kaum mukminin untuk
menjaga dirinya sendiri dan keluarga mereka dengan ajaran yang benar
terutama kepada anak.
3. Yang Berhak Memegang Hadhanah
a. Hanafi
عاؿجالر واءسالن نمبارقللتبثتػةانضالح التػ ل, فتالبيترى اباسالن ق حأي:أىدعبػنمم ,ثةقل طموأبالبةجو زتػمتانكاءو,سـ الةانضلح ا,وهم أـ أاوهم اوذكى وةانضحللةحالصـ الـ أ فوكتفأد بلا. أفق حالـ الـ لسيل. في
4 Abdul Karim ibn Muhammad Lahim, Al-Muthlai‟ „ala daqoiqi zaadu al-Mustaqni
juz V, (t.p.: Riyadh, t.th.), h. 404. 5 Wahbah Az-Zuhaili, ed, Tafsir Al-Munir Jilid 14, Penerjamah Abdul Hayyie al-
Kattani, dkk, (Gema Insani: Jakarta, 2014), h. 695.
42
المهتنبنابنضحت فأةالالحهذيىفبلل,فولو دعون ا؟لهجوزتييبػفةجو زتػاـ لةانضالحق حلقتػانػريغالص ـرحمريغبتجو زتػو.أـ الـ أتاتامذإا.فهنػمهذخأي
إم .أتل عفإوبال كذا كةمرحمبةجو زتػمتانا إم. كذا .هد جبةجو زتػمةد جتانالهتػانػضحفإف فطقستا فةقيػقش التخللق حاللقتػانػتجو زتػوأتاتمفإ. فإ,اىدعبػنمم ,ثةقيػقالش تخاالىدعبػنمم .ثبلتخياللإلقتػانػتجو زتػوأتاتم6.ـ لتخالتنب
Artinya: Hak asuh anak ditetapkan untuk kerabat dari pihak
perempuan dan laki-laki, dengan ketetapan sebagai berikut: orang
yang paling berhak mendapatkan hak asuh adalah ibunya,
meskipun masih dalam ikatan pernikahan atau sudah bercerai.
Kemudian setelah itu adalah nenek dan ibunya nenek. Dan wajib
ibu sahnya untuk mengasuh anak. Dan bukan ibu yang mengasuh
anak-anaknya di rumah suaminya. Maka untuk ayah pada bagian
ini adalah mengambil anaknya darinya. Maka jika meninggal
ibunya ibu, atau menikah dengan selain mahrom maka berpindah
hak asuhnya untuk ibunya ayah dan keatasnya. Adapun jika
menikah dengan mahromnya. Sebagaimana jika nenek menikah
dengan kakeknya maka hak asuhnya tidak jatuh. Maka jika
meninggal atau menikah maka haknya berpindah kepada saudara
perempuan seayah dan seibu, maka jika meninggal atau menikah
maka berpindah kepada saudara perempuan seayah tapi tidak
seibu. Kemudian setelahnya saudara perempuan seayah dan seibu,
kemudian setelah anaknya bibi.
b. Maliki
ذتالبيترالتػ ىلعروكذواثنإنمريػغالص بارقأةانضالحق حتسي فهركي ق حأ,,ـ لةالالخم ,ثةقيػقالش ةالالخم ,ثتل عفإووم لوتد يجنعا,يػهم أم ,ثوم أوباسالن ىلعـد قتػن هنػمي برقال.وويبأـ أووم أـ أم ,ثبالـ أم ,ثـ الةم عم ,ثـ الةالخم ثودعبػال ثويبأةهجنيمتىال لعـد قتػوم أةهجنيمتال ى. ةهجنمةد الجدعبػم ,
ىلإم ,ثويبأتخأريغالص ةم ىعلإم ,ثتخىاللإم ,ثبىاللإةانضالحلقتنتػبالىلإم ,ثبلم ,ثـ لم ,ثقيقالش خالتنبم ,ثويبأةالىخلإم ثهد جتخأويبأةم ععجرمهضعبػو,ةانضحللحلصالن هنػمـد قيػءلؤىعمتجااذإوكلذكتخالتنباءويسصىالولإةانضالحلقتنتػءلؤىدعبػم ,ثتخالاتنىبػلعخالاتنبػميدقتػ
6 Abdur ar-Rahman al-Juzairi, Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟ah juz IV, (Darul
Kutub al-Ilmiyah: Lebanon, 2003), h. 455.
43
م ,ثـ الةهجنمد الجويلعـد قيػ,وخالنبام ,ثريػغالص خالم ىثثنػأواأركذافك 7ا.بسنوتبصعوأق تعالمم ثدعبػىاللعبرقػالـد قيػ,وونبػام ثم عال
Artinya: adapun yang berhak memegang hak asuh anak
dari pihak perempuan dan laki-laki sebagai berikut: maka yang
paling berhak adalah ibunya, ibu ibunya, yaitu nenek ibunya dan
keatas, kemudian bibi seayah dan seibu, kemudian bibi dari
ibunya, kemudian bibinya ibu, kemudian ibunya ayah, kemudian
ibu ibunya dan ibu ayahnya. Dan kerabat dari pihak wanita lebih
diutamakan daripada dari pihak laki-laki. Kemudian setelah nenek
dari pihak ayah berpindah hak asuh kepada ayah, kemudian kepada
saudara perempuan, kemudian kepada bibi (saudara perempuannya
ayah), kemudian kepada bibinya ayah (saudara perempuan
kakeknya) kemudian bibinya ayah, kemudian anak perempuan
saudara laki-laki yang seayah dan seibu, kemudian kepada ibu,
kemudian kepada ayah, kemudian kepada anaknya saudara
perempuan begitupula jika berkumpul maka yang paling didahulukan untuk hak asuh anak adalah dari pihak perempuan,
dan sebagiannya kembali mendahulukan anak perempuan saudara
laki-lakinya terhadap anak perempuan saudara perempuan.
Kemudian setelah itu hak asuh anak berpindah kepada yang
memberikan wasiat baik itu lelaki atau perempuan kemudian
saudara laki-lakinya, kemudian anak laki-lakinya saudara laki-laki,
dan didahulukan kakek dari pohak ibu, kemudian paman kemudian
anaknya, dan didahulukan yang lebih dekat dibanding yang lebih
jauh kemudian kerabatnya almarhum.
c. Syafi’i
الحاؿوحأةثلثةانضيالحفنيقحتسملل ألوالةال: عمروكالذ بارقالعمتجيفى:الحاثنال أةيانالث ةال. الحطقفػاثنالعمتجيف: أةثالالث ةال, روكالذ عمتجتف: 8.طقفػ
Artinya: untuk orang-orang yang berhak memegang hak
asuh anak ada tiga bagian, yaitu: 1. Mengumpulkan pihak laki-laki
dan perempuan, 2. Mengumpulkan pihak perempuannya saja, 3.
Mengumpulkan pihak laki-lakinya saja.
d. Hanbali
فإوواتهم أم ,ثبالم ا,ثرجملىا,وهم أـ أم ا,ثهم أم ,ثـ لاةانضحالباسالن ق حأةالخم ,ثنيوبػلةالخم ,ثبلتخأم ,ثنيوبػلتخأم ثواتهم أم ثد جالم ,ثتل ع
7 Abdur ar-Rahman al-Juzairi, Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟ah juz IV, h. 456.
8 Abdur ar-Rahman al-Juzairi, Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟ah juz IV, h. 456.
44
ـد قتػ,ووم أتالخم ,ثبلةم عم ثـ لةم عم ,ثنيوبػلةمعم ,ثبلةالخم ,ثـ لثةقيػقالش ثـ يلتال م , ثبيلتال م , ثكلذكويبأةالخم , م ثكلذكويبأاتم عم ,
ـمعأاتنبػم ,ثواتم عاتنبػم ,ثواممعأاتنبػم ,ثوتوخإاتنبػم ,ثوتوخإاتنبػ ووم أاـمعأاتنبػ ,وبلنيذال م ,ثـ لنيذال م .ثاءقشالول ككليذفـد قتػ,فػكلذكويبأا
لهيػلعةانضحل كـرحما وم عالنبا. وبالم عنبا, لذك, لهيػلعةانضحا ـرحما 9.اعضرب
Artinya: orang yang paling berhak atas hak asuh adalah ibu,
kemudian ibunya ibu dan seterusnya. Kemudian ayah, kemudian
ibu-ibunya ayah keatas, kemudian kakek kemudian ibu-ibunya
kakek kemudian saudara perempuan dari orang tua, kemudian
saudara perempuan dari ibu, kemudian bibi dari orang tua,
kemudian bibi dari ibu, kemudian bibi dari ayah, kemudian bibi
dari kedua orang tua, kemudian bibi dari ibu, kemudian bibi dari
ayah, kemudian bibi-bibi dari ibunya, dan didahulukan yang sah,
kemudian yang dari ibu, kemudian yang dari ayah, kemudian bibi-
bibi dari ayah begitupula, kemudian bibi-bibi ayahnya, kemudian
anak-anak perempuan saudara perempuannya, kemudian anak-
anak perempuan paman-pamannya, kemudian anak-anak
perempuan bibinya, kemudian anak-anak permepuan paman-
pamannya ibunya kemudian dari ayahnya juga, maka didahulukan
atas semua itu semua saudara kandung, kemudian yang dari pihak
ibu, kemudian dari pihak ayah, dan tidak ada hak asuh baginya
untuk mahrom, seperti anaknya paman, anaknya pamannya ayah,
dan begitupula tidak ada hak asuh bagi mahrom dengan susuan.
Jika disimpulkan mayoritas madzhab mengutamakan ibu
dan kaum perempuan dalam bagian orang-orang yang berhak
menerima hadhanah.
4. Syarat-syarat Pengasuh Anak
a. Madzhab Hanafi
فهق حطقستدتارفإ,فناضالحد تريػلفأ .1 اردبتق حلاءو.سةناضيالحا ا.هق احهلعجرتابتفإ.فلو أبرالح
.ويلعةنومأمريػغةقاسففوكتلفأ .2
9 Abdur ar-Rahman al-Juzairi, Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟ah juz IV, h. 457.
45
فويبأريػغجو زتػتػلفأ .3 إهق حطقستجو زتػفإ, رهجوزفوكيفأل ا, امحاكريغلص ل لم عفوكيفأ, فوا فهق حطقسةي بنجأتجو زتػفإ, الز هقل طفإا, جوا
.ةانضيالحافهق حاهلاديعانالث .ةباقػرمفودبي بالص ؾرتػتػلفأ .4 .ةرجأبل إريغالص ةانضحنعـ التعنػتػاما,ورسعمبالفوكيلفأ .5 10.دلوـ أوأومأفوكتلفأ .6
Artinya:
1. Pengasuh tidak murtad, maka jika murtad gugur hak asuhnya
meskipun berada di daar al-harb. Maka jika ia bertaubat
kembali lagi haknya.
2. Bukan orang fasik
3. Tidak menikah kecuali ayahnya, maka jika menikah jatuh
haknya,kecuali jika suaminya sayang terhadap anaknya,
seakan-akan paman baginya, maka jika ia menikahi laki-laki
asing maka jatuh haknya, maka jika suaminya menyeraikannya
maka hak asuhnya dapat kembali lagi.
4. Tidak meninggalkan anak-anak tanpa pengawasan.
5. Sekiranya ayah tidak menyulitkan, dan melarang ibu dari
mengasuh anak kecuali dengan upah.
6. Bukan budak, maka tidak ada hak asuh baginya.
b. Madzhab Syafi’i
كذإل ,إفونػجمللةانضحل,فلاقعفوكيفأ .1 كرادنليلقونونػجافا داحوـويػا, ا.هل كةن يالس ف
.قيقرلةانضحل,فةير الح .2 .ملسىملعرافكلةانضحل,فـلسال .3 .قاسفلةانضحل,فةف الع .4 ةانمال .5كذإفوضحالمدلبػنمةامقال .6 .ازيػ ممافا 11.ـرحمريغبةجو زتػمريغالص ـ أفوكتلفأ .7
Artinya:
1. Berakal, maka tidak ada hak asuh bagi orang gila. Kecuali jika
gilanya sedikit, seperti satu hari dalam setahun.
2. Merdeka, tidak ada hak asuh bagi budak.
10
Abdur ar-Rahman al-Juzairi, Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟ah juz IV, h. 457. 11
Abdur ar-Rahman al-Juzairi, Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟ah juz IV, h.458.
46
3. Islam, tidak ada hak asuh untuk kafir atas muslim.
4. Suci, maka tidak ada hak asuh untuk orang fasik.
5. Dapat menjaga kepercayaan.
6. Mampu menjaga anak jika sudah mumayyiz.
7. Ibunya tidak menikah lagi dengan selain mahrom.
c. Madzhab Hanbali
.فونػجملةانضحل,فلاقعناضالحفوكيفأ .1 ا.قيػقرفوكيلفأ .2 ازجاعفوكيلفأ .3 .ةانضيالحفوق حطقسل إ,وـذجأو,أصربػأفوكيلفأ .4فإ,فوبيرقوهد جكي بنجأريػغافكفإ,فلفالط نمي بنجأبةجو زتػمفوكتلفأ .5
12.ةانضاالحهلArtinya:
1. Pengasuh harus berakal. Maka tidak ada hak asuh untuk orang
gila.
2. Bukan budak
3. Tidak cacat.
4. Tidak memiliki sakit kusta atau ajdzam, maka jatuh hak
asuhnya.
5. Tidak menikah dengan laki-laki asing dari anaknya, maka jika
tidak asing seperti kakeknya dan kerabatnya, maka baginya hak
asuh.
d. Madzhab Maliki
لقعةف خوبنملل,وافيحالضعيبػفقيفيول,وفونػجملةانضحل,فلقالع .1 .شيطو
ـيىالقلعةردالق .2 .زاجعللةانضحل,ففوضحالمفأشباياكمناضحللفوكيفأ .3 بػتال ويفتنالبػظفحنكمف نمةوهالش د حتغلي
كذإ,فادسفال .طقستوتانػضحفإ,فةنومأمريغةهيجفافا .نييالد فةانمال .4 .ونملفىالط لىعشخيدعمضرمباباصمناضالحفوكيلفأ .5فديشرناضالحفوكيفأ .6 فإفوضحالماؿمفلتيػل ئ,لرذ بمويفسلةانضحلا
.اؿمولافك
12
Abdur ar-Rahman al-Juzairi, Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟ah juz IV, h. 458.
47
إاهبلخدجوزنعولالخ .7 تػذإل , أـرحمبتجو زا ةانضالحق حولنمملعو,ـعةد متكساوهجو زتػايػىدعبػ 13 .كلذبطقستوتانػضحفإفرذعلبا
Artinya:
1. Berakal, maka tidak ada hak asuh anak bagi orang gila walau
gilanya setengah dan lemahnya akal.
2. Mampu membesarkan yang diasuh, maka tidak ada hak asuh
bagi orang yang lemah.
3. Pengasuh memiliki tempat tinggal yang memungkinkan
menjaga anak yang sudah mencapat batasan syahwat dari
kerusakan.
4. Dapat dipercaya dalam agama.
5. Pengasuh tidak tertimpa penyakit yang menakuti anak yang
diasuhnya.
6. Pengasuh harus pintar.
7. Tidak adanya suami baru, kecuali jika menikah dengan
mahrom, atau mengetahui hak asuhnya setelah menikah dan diam selama setahun tanpa udzur maka hak asunya gugur.
Jika disimpulkan secara keseluruhan, seluruh fuqaha
madzhab sepakat bahwa ibu tidak boleh menikah lagi kecuali
dengan mahrom. Sebagian fuqoha seperti Hanbali dan Malikipun
mensyaratkan bahwa pengasuh harus terbebas dari penyakit.
Malikipun mensyaratkan bahwa pengasuh harus memiliki tempat
tinggal.
5. Masa dan Upah Hadhanah
a. Masa Pengasuhan
1. Madzhab Hanafi
14.نينسعستبمهضعبػ,ونينسعبسبمهضعابػىرد قـلغللةانضالحةد م Artinya: masa pengasuhan untuk anak diukur sebagian
dengan tujuh tahun dan sebagian lagi dengan sembilan tahun.
2. Madzhab Maliki
ألإوتدلونيحنمـلالغةانضحةد م فغلبػيػفى ىت حوتانػضحـ أولافكفإ,ثغلبػيػ وهتػانػضحطقستم , ونونػجمغلبػولا, اذإبىاللعوتقفنػر متستنكلا, 15.جو زتػىتػت ىحثنػالةانضحةد ما,ونونػجمغلبػ
13
Abdur ar-Rahman al-Juzairi, Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟ah juz IV, h. 458. 14
Abdur ar-Rahman al-Juzairi, Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟ah juz IV, h. 459.
48
Artinya: masa pengasuhan anak-anak dari sejak
kelahirannya sampai baligh, maka jika untuknya ibu yang
mengasuhnya sampai baligh maka gugur hak asuhnya
meskipun sampai menjadi gila, akan tetapi nafkah ditanggung
ayah jika sampai menjadi gila, dan masa hak asuh perempuan
sampai ia menikah.
3. Madzhab Syafi’i
فةمولعمةد مةانضحللسيل متمي بالصفإ, فوم أوويبأنيبػزيػ ى ارتخافإ,كمىدحأ 16.ولافا
Artinya: bukan untuk hak asuh itu masa yang diketahui,
maka jika seorang anak memilih antara ayah dan ibunya, maka
jika ia memilih salah satunya dia menjadi milik orang yang
dipilihnya.
4. Madzhab Hanbali
قفتػ اونينسعبسي بالص غلابػذإنكلى,وثنػالوركالذ نينسعبسةانضالحةد مفمىدحأدنعفوكيفأاهوبػأ وح صيون إا في بالص ريػاخعازنتػفإ, نمعمافك,لمىدحأارتخاون أملعيػلفأطرشا,بمهنػمارتخا ويلعدد شالت ـدعووتلوهسا 17.اداسفب شيفػولافنالعؽلطإووتي بريالتػ ف
Artinya: Masa hadhanah adalah tujuh tahun bagi laki-laki
dan perempuan, akan tetapi jika anak itu sampai tujuh tahun
dan ayahnya sepakat untuk memilih salah satu dari keduanya
maka sah saja. Dan jika mereka berdua bertengkar tentang
anaknya maka itu bergantung bersama siapa anak itu memilih
dengan syarat ia mengetahui bahwa ia memilihnya dengan
kemudahan dan tidak keras dalam mendidiknya, dan
mengekangnya dan ia menjadi rusak.
Adapun jika disimpulkan mayoritas ulama menyatakan
batas hadhanah adalah sampai anak tersebut baligh. Yaitu pada
umur tujuh atau sembilan tahun.
b. Upah Hadhanah
1. Madzhab Hanafi
15
Abdur ar-Rahman al-Juzairi, Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟ah juz IV, h. 459 16
Abdur ar-Rahman al-Juzairi, Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟ah juz IV, h.459. 17
Abdur ar-Rahman al-Juzairi, Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟ah juz IV, h. 459.
49
,اعضالر ةرجأريػغيىا,وىريػغواأم أتانكاءو,سةناضحللةتابثةانضالحةرجأفػدلالوةقفنػريػغو اللعبجي, أبى أةثلثةقفالنػ ويلعبجتنمو, ةرج:
18.دلالوةقفنػ,وةانضالحةرجأ,واعضالر Artinya: Upah hadhanah tetap untuk pengasuhnya
meskipun ibu atau selainnya, yaitu selain upah susuan, dan
selain nafkah anak, maka wajib untuk ayah, atau yang wajib
baginya itu ada 3 nafkah: upah susuan, upah hadhanah, dan
nafkah anak.
2. Madzhab Maliki
الحلعةرجأناضحللسيل سةانضى أم أتانكاءو, بىريػغوا نعرظالن عطقا,كذاأهنػ إ,فةناضالح اؿمنامهيػلعقفنيػون إفاؿمفوضحولدىاالملوةريػقفتانا
لىدلو لىرقفا الوم أةانضحللا وةوسكالوةقفالنػ ويبىألعولفػفوضحالمدلا 19.ويلعوقفنتوونموضبقتػةناضالح,وشرالفواءطالغ
Artinya: Bukan untuk pengasuh itu upah atas hadhanah,
meskipun ibu atau selainnya, dengan berhenti melihat kepada
pengasuhnya, maka jika sesungguhnya ada seorang faqir dan
anak yang diasuhnya memiliki harta maka ia menginfakkan
atasnya dari harta anaknya. Adapun anak yang diasuh maka
untuknya atas ayahnya nafkah dan pakaian dan penutup dan
kasur, dan pengasuhnya memegangnya darinya dan
menginfakkannya atasnya.
3. Madzhab Syafi’i
كذإ,فاعضالر ةرجأريػغيى,وـ ىالت حناضحللةتابثةانضالحةرجأ ـ التاناريغلص لافكفإم ,ثتبيجأةانضحالواعضالر ىلعةرجالتبلطوةعضرالميىمفةرجالتانكاؿم ووالي اللعفل إ, ووتقفنػومزلتػنموأبى اهلردقيػ, 20ا.هالحبسحايهتػايػفك
Artinya: Upah hak asuh tetap atas pengasuh sampai ibu,
yaitu selain upah susuan. Maka jika ibu dan ia menyusui juga
dan meminta upah atas susuan dan hak asuh maka
diperkenankan. Maka jika anak memiliki harta maka upah ada
dalam hartanya, dna kecuali pekerjaan ayah atau siapa yang
wajib atas nafkahnya, dan menetepkan atasnya kemampuannya
yang mengukur keadaannya.
18
Abdur ar-Rahman al-Juzairi, Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟ah juz IV, h. 462. 19
Abdur ar-Rahman al-Juzairi, Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟ah juz IV, h. 462. 20
Abdur ar-Rahman al-Juzairi, Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟ah juz IV, h. 462.
50
4. Madzhab Hanbali
ونضحتةعر بػتمتدجوولووتانضحبق حأـ ال,وةانضالحةرجأبلطةناضحللواعضلر لةارماترجؤتػااسذإا,وهلفطةانضىحلعـ الربػجتلن كلا,وانجم
بةانضالح الحهتػمزلاعضالر دقيالعفركذفإ,ودقالعلزماىا فإوا,عبػتػةانضاالر همزليػملةانضحللترجؤتػسا واعضا اذإ, وهق حطقسـ التعنػتػما لقتػانػا, 21.ـد قتػالموجوىاللا,عىريىغلإ
Artinya: Untuk pengasuh meminta upah atas hak asuh, dan
ibu lebih berhak dengan hak asuhnya meskipun ia
mendapatkan derma yang cuma-cuma, akan tetapi ibu tidak
dipaksa atas hak asuh anaknya, dan jika perempuan itu
memberanikan diri untuk susuan dan hak asuh maka
seharusnya dengan akad, dan jika disebutkan dalam akad
susuan seharusnya hak asuhnya mengikuti, dan jika ia berani
untuk hak asuh maka tidak mewajibkannya atas susuan, dan
jika ibu melarang maka jatuh haknya, dan berpindah ke yang
lain dengan penjelasan yang lebih lanjut.
Jadi jika disimpulkan mayoritas ulama membolehkan
adanya upah hadhanah kecuali fuqaha Maliki.
B. Hadhanah Menurut Peraturan Perundang-undangan Hukum Keluarga
di Indonesia
1. Hadhanah Menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
Pemeliharaan anak yang menjadi kewajiban orang tua harus
dipenuhi karena kegagalan memelihara anak dalam membekali kebutuhan
mereka, terutama bekal keagamaan, bukan saja merugikan diri si anak
yang bersangkutan, namun kedua orang tuanya pun akan menderita
kerugian yang tidak kecil.22
Hal ini dirumuskan dalam pasal 45 Undang-
undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai berikut:
21
Abdur ar-Rahman al-Juzairi, Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟ah juz IV, h. 463. 22
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Raja Grafindo
Persada:Jakarta, 2013), h. 195.
51
1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak
mereka sebaik-baiknya.
2. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban
mana berlaku terus meskipun perkawinan antara orang tua putus.23
Jadi, intisari dari kedua ayat diatas adalah kedua orang tua tetap
berkewajiban mengasuh dan memelihara anak-anaknya baik dalam ikatan
perkawinan ataupun tidak.
Namun apabila terjadi perceraian maka kedudukan orang tua
sebagai pengasuh anak dijelaskan dalam pasal 41 ayat 1 dan 2 Undang-
undang Nomor 1 tahun 1974 sebagai berikut:
1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak
bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak
pengadilan memberi keputusannya.
2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam
kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut,
pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya
tersebut.24
Jadi, intisari dari pasal diatas adalah tentang penegasan hak-hak
yang harus dipenuhi jika terjadi perceraian. Termasuk didalamnya hak
anak untuk tetap diasuh oleh kedua orang tuanya dan ditambahkan pula
dalam poin terakhir untuk memberikan biaya penghidupan untuk bekas
istri.
2. Hadhanah Menurut Inpres KHI (Kompilasi Hukum Islam) Nomor 1
tahun 1991
23
Undang-Undang Pokok Perkawinan, (Bumi Aksara : Jakarta, 1989), h. 14. 24
Undang-Undang Pokok Perkawinan, (Bumi Aksara : Jakarta, 1989), h. 13.
52
Dalam pasal 105 KHI dijelaskan bahwa:
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12
tahun adalah hak ibunya;
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak
untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak
pemeliharaanya;
c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.25
Intisari dari pasal diatas adalah jika anak belum mumayyiz atau
belum berumur 12 tahun maka ibunya yang berhak mengasuh, selebihnya
ia boleh memilih antara ayah dan ibunya. Adapun biayanya tetap
ditanggung ayah.
Adapun hubungan kajian antara Undang-Undang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam adalah jika Undang-Undang Perkawinan
membahas tentang kewajiban mengasuh anak baik dalam ikatan
perkawinan maupun tidak dan penegasan hak-hak yang harus dipenuhi
setelah perceraian. Sedangkan KHI membahas tentang batas usia anak dan
hal-hal yang berkaitan dengan pengasuhannya.
C. Hadhanah Menurut Peraturan Perundang-undangan Hukum Keluarga
di Maroko
Setelah memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 19 Agustus
1957, Maroko yang penduduknya adalah pengikut mazhab Maliki, melakukan
kodifikasi selama tahun 1957-1958, yang menghasilkan Moudawana al-Ahwal
al-Shakhsiyah.26
Kemudian pada tahun 2004 Maroko kembali
mengamandemen peraturan perundang-undangan tentang hukum keluarganya.
25
Departemen Agama R.I., Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Departemen
Agama R.I.: Jakarta, 1997), h. 50. 26
A. Khumedi Ja‟far dkk, Hukum Keluarga Di Negara-Negara Muslim Modern,
(Lampung: Anugerah Utama Raharja, 2013), h. 93.
53
Ketentuan tentang pemeliharaan anak secara umum bersumber dari
prinsip-prinsip mazhab Maliki. Dalam fiqih Mazhab Maliki dinyatakan bahwa
jika seseorang mentalaq istrinya, pemeliharaan anak menjadi hak ibu, dengan
alasan seorang ibu lebih besar kasih sayangnya dan memahami kemaslahatan
dan kebutuhan anak daripada ayah. 27
Adapun ketentuan peraturan perundang-undangan tentang hadhanah
di dalam The Moroccan Family Code (Moudawana) diatur dalam pasal 163-
186 sebagai berikut:
Pasal 163
أف علىالحاضن, مصالحو. و بتػربي تو ـ القيا و يضر ه, قد ا مم الولد حفظ قدرالحضانة يػقوــ القيا و نػفسو, و جسمو في سلمتو و المحضوف لحفظ زمة الل الجراءات بكل المستطاع
مص ضياع خيف إذا الض رورة حالة في و , الش رعي الن ائب غي بة حالة في الحبمصالحو28المحضوف.
Artinya: Hak asuh anak melindungi anak dari bahaya dan
memastikan pendidikannya dan perlindungan terhadap kepentingannya.
Pemegang hak asuh harus mengambil semua tindakan yang diperlukan
untuk menjamin keamanan fisik dan psikologis anak tersebut dalam
pengasuhannya, mengelola kepentingannya dengan tidak adanya
pembimbing hukum, dan bila diperlukan pada saat kepentingan anak
tersebut berada dalam asuhannya terancam.
Hal ini sesuai dengan pendapat Mazhab Maliki yang mensyaratkan
tempat bagi anak haruslah aman dan lingkungannya kondusif. Orang yang
rumahnya jadi tempat perkumpulan orang-orang fasik tidak berhak mengurus
hadhanah anak, atau jika lingkungan rumahnya membahayakan.29
Kemudian diperjelas dengan pasal 169 sebagai berikut:
بشؤوفالمحضوففيالتأديبع الحاضنة,واجبالعناية ـ وال ولىالبأوالن ائبالش رعي إذارأىالقاضيمصلحةالمح عندحاضنتو,إل وففيضالتػ وجي ةالد راسي,ولكن وليػبػي تإل
27
M. Atho Muzhar, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, (Ciputat: Ciputat
Press, 2003), h. 91. 28
Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 18. Diakses
dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00 29
Wahbah Az-Zuhaili. ed, Fiqih Islam wa Adillatuhu Jilid 10, Penerjamah Abdul
Hayyie al-Kattani, dkk, (Gema Insani : Jakarta, 2011), h. 67.
54
ـ ,مراقػبةالمحضوففيالمتابػعةاليػومي ةلواجبتوال رال د راس ية.غيرذالك.وعلىالحاضنغيػ المحكمة إلى المر يػرفع الحاضن, و الش رعي الن ائب بػين الخلؼ حالة في وفقو للبت
30مصلحةالمحضوف.Artinya: Ayah atau wali hakim dan ibu pengasuh harus menjaga
kepentingan anak, termasuk pendidikan dan asuhannya; bagaimanapun,
pengasuh selalu menghabiskan malam di rumah pengasuh kecuali jika
hakim memutuskan sebaliknya. Jika pengasuhnya selain ibu, pengasuh itu
harus mengawasi dan menindaklanjuti setiap hari tentang pekerjaan rumah
anak tersebut. Jika terjadi perselisihan antara wali hukum dan pengasuh,
kasus tersebut diajukan ke pengadilan untuk diselesaikan sesuai dengan
kepentingan anak.
Pasal ini menjelaskan meskipun anak berada dalam kuasa asuh
salah satu orang tua maupun pengasuh, orang tua tetap berkewajiban untuk
memberikan hak pendidikan kepada anaknya. Lalu menjadi pengasuh di
Maroko haruslah bertanggung jawab dan jika terjadi perselisihan maka
diselesaikan di pengadilan.
Kemudian diperjelas lagi dalam pasal 173 sebagai berikut:
شروطالحاضن: الر شدالقانػونيلغيرالبػوين .1ستقامةوالمنة .2 العلىتػربي ةالمحضوفوصيانتوورعايتوديػنا .3 وخلقاوعلىالقدرة وصح ة
مراقػبةتمد رسوالمادتػين .4 في ها عليػ المنصوص الحالت في إل الحضانة طالبة زواج ـ عد
بػعده.175و174إلحاؽالض منو خيف الحاضن فيوضعيو ر تػغييػ وقع المجنػونش.إذا با رور
31سقطتحضانػتووانػتقلتإلىمنيليو.Artinya: Kriteria pengasuh:
1. Orang lain selain orang tua pasti sudah mencapai usia yang dibolehkan
dalam hukum;
2. Memiliki moral yang baik dan dapat dipercaya
30
Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 18. Diakses
dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00 31
Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 18. Diakses
dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00
55
3. Memiliki kemampuan untuk membesarkan anak, melindungi
kesehatannya dan memastikan moral mereka dan pendidikan agama
dan sekolah;
4. Petugas pemohon perempuan untuk hak asuh mungkin tidak akan
menikah kecuali dalam kasus yang diatur dalam Pasal 174 dan 175 di
bawah ini.
Jika terjadi perubahan dalam status pengasuh yang cenderung
menyebabkan kerugian bagi anak, hadhanah akan ditarik dan diberikan
kepada orang yang berhak berikutnya.
Pasal ini menjelaskan persyaratan secara rinci mengenai syarat-
syarat orang yang berhak mengasuh anak, agar pengasuh bukanlah orang
yang sembarangan, sebab anak yang belum mumayyiz rentan sekali
meniru kebaikan maupun keburukan orang-orang di sekitarnya, maka
diharapkan pengasuh haruslah orang yang baik dan bertanggungjawab dan
disyaratkan tidak menikah lagi untuk ibu pengasuh yang bukan ibu
kandungnya.
Pasal 164
32.الحضانةمنواجباتالبػوين,مادمتعلقةالز وجي ةقائمة Artinya: Hak asuh anak adalah kewajiban orangtua selama
pernikahannya masih berjalan.
Pasal 165
عمنيػعنيوآذالميػوجدبػينمستحق يالحضانةمنيػقبػلها,أووجدولمتػتػوفػ رفيوالش روط,رفتػراه من اختيار لتػقر ر المحكمة, إلى المر العامة النػ يابة أو آلى أقاربالمر من صالحا
لةلذلك. اختارتإحدىالمؤى 33المحضوفأوغيرىم,وإل Artinya: Jika di antara orang yang berhak dipercayakan dengan hak
asuh tidak ada yang menerimanya atau memenuhi kondisi yang
dipersyaratkan, pihak yang bersangkutan atau Kantor Kejaksaan dapat
meminta pengadilan untuk menunjuk siapa pun yang dianggap sesuai di
antara keluarga anak atau orang lain, atau memilih institusi yang ditunjuk
untuk tujuan ini.
32
Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 18. Diakses
dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00 33
Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 18. Diakses
dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00
56
Kedua pasal diatas menjelaskan bahwa pada dasarnya orang tua lebih
berhak karena secara fisik dan psikologis merekalah yang paling berhak
atas hak tersebut dan pemberian hadhanah pasca perceraian diberikan
kepada salah satu orang tua baik ayah ataupun ibu tapi apabila ada orang
lain yang ingin mengasuh anak tersebut maka pengadilan dapat
memutuskan kepada siapa hak asuh akan diberikan.
Penjelasan tentang orang-orang yang diberi hak asuh dipertegas
kembali dalam pasal 171 sebagai berikut:
بناءعلىمتخوؿالحضان أفتػقر ر ـ ,فإفتػعذ رذلك,فللمحكمة ال لـ للب,ثم للـ ,ثم اةعجعل,ملديػهامنقػرائنلصالحرعايةالمحضوف,إسنادالحضانةلحدالقاربالكثػرأىلي ة
34.تػوفيرسكنلئقللمحضوفمنواجباتالنػ فقة
Artinya: Hak asuh anak pertama-tama diberikan kepada ibu, lalu
kepada ayah, kemudian ke nenek ibu anak tersebut. Jika ini terbukti sulit,
pengadilan harus memutuskan, berdasarkan bukti di depan dan mengingat
apa yang akan melayani kepentingan anak tersebut, untuk memberikan hak
asuh kepada keluarga kerabat yang paling berkualitas, sambil menjamin
agar penginapan yang cocok bagi anak tersebut dari kewajiban hak asuh.
Hal yang paling menonjol dalam pasal ini adalah adanya pemberian
hak asuh kepada orang tua pasca perceraian yang lebih memprioritaskan
ibu yang memegang kendali baik dari sisi pengaturan kebutuhan anak
maupun keuangannya. Akan tetapi jika terjadi perselisihan maka
diselesaikan oleh pengadilan.
Pasal 166
الر شدالقانػونيللذكروالنػثىعلىحد سواء. الحضانةإلىبػلوغسن تستمر عشرةسنة,افيختارمنيحضنوبػعدانتهاءالعلقةالز وجي ة,يحق للمحضوفا لذيأتم الخامسة
منأبيوأوأم و. فيالماد ة المنصوصعليهم أقاربو حد أ اختيار يمكنو وجودىما, عدـ بػعده,171فيحالة
.شريطةأفليػتاعرضذلكمعمصلح تو,وأفيػوافقنائبوالش رعي الموافقة,يػرفعالمرإلىالقاضىلبػيتوفقمصلحةالقاصر .وفيحالةعدـ
35
34
Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 18. Diakses
dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00
57
Artinya: Pengasuhan dilakukan sampai anak laki-laki dan perempuan
mencapai usia yang diperbolehkan hukum. Setelah perkawinan orang
tuanya putus, anak yang berusia lima belas tahun berhak memilih ayah
atau ibu sebagai pemegang hak asuh. Seorang anak tanpa orang tua dapat
memilih salah satu saudara yang disebutkan dalam Pasal 171, asalkan
kepentingannya tidak terancam dan bahwa wali hakim tersebut setuju.
Dengan tidak adanya kesepakatan, kasus tersebut diajukan kepada hakim
untuk menyelesaikan masalah tersebut sesuai dengan kepentingan anak di
bawah umur.
Sementara itu, Mazhab Maliki dan Mazhab Hanafi berpendapat
tidak diberikan hak pilih kepada si anak, karena ia belum bisa menentukan
pilihan dengan akal sehatnya sehingga terkadang ia lebih memilih ikut
orang yang biasa bermain bersamanya.36
Namun diantara keduanya berbeda pendapat dalam
penyelesaiannya. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa bila si anak telah
dapat hidup mandiri, baik dalam berpakaian, makan, dan membersihkan
badannya, maka ayah lebih berhak atasnya. Mazhab Maliki berpendapat
bahwa ibu yang lebih berhak sampai selesai masa asuhnya.37
Jadi, berbeda dengan Indonesia yang menetapkan usia 12 tahun
anak boleh memilih salah satu dari kedua orang tuanya dalam Kompilasi
Hukum Islam pasal 105, Maroko menetapkan usia 15 tahun baru anak
boleh memilih antara kedua orangtuanya. Adapun jika kesepakatannya
bermasalah maka hakim yang menyelesaikannya.
Pasal 167
رأجرةالر ضاعةوالنػ ها,علىالمكل فبنػفقةالمحضوفوىيغيػ .فقةأجرةالحضانةومصارفيػ
ـ أجرةالحضانةفيحاؿ العلقةالز وجي ة,أوفيعد ةمنطلؽلتستحق ال 38رجعي.قياـ
35 Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 18. Diakses
dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00 36
Wahbah Az-Zuhaili. ed, Fiqih Islam wa Adillatuhu Jilid 10, Penerjamah Abdul
Hayyie al-Kattani, dkk, (Gema Insani : Jakarta, 2011), h. 80 37
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Prenada Media:
Jakarta, 2006), h. 331. 38
Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 18. Diakses
dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00
58
Artinya: Gaji dan biaya pengasuh anak harus ditutupi oleh
orang yang bertanggung jawab atas perawatan anak, dan terpisah
dari gaji menyusui dan dukungan anak. Tidak ada gaji pengasuh
karena ibunya saat hubungan pernikahan masih ada, atau selama
masa tunggu sah setelah penolakan ditolak.
Ibu tidak berhak atas upah hadhanah selama ia masih terikat dalam
hubungan pernikahan karena ia masih mempunyai nafkah sebagai istri.
Sementara itu perempuan selain ibunya si anak boleh menerima upah
hadhanah sejak ia menangani hadhanah-nya, seperti halnya penyapih
yang bekerja menyusui anak kecil dengan bayaran.
Pasal 168
رىما.تػعتبرتكالفسكنىالمحضوفمستقل ةفي تػقديرىاعنالنػ فقةوأجرةالحضانةوغيػلسكناىم,أوأفيػؤد يالمبػل غا لذيتػقديػره المحكمةيجبعلىالبأفيػهي ئلولدهمحل
ـا بػعده.191لماد ةلكرئو,مراعي ةفيذلكأحكابػعدتػنفيذالبللحكمالخاصبسكنىالمحضو ف.ليػفر غالمحضوفمنبػيتالز وجي ة,إل
فيذىذاالحكممنعلىالمحكمةأفتحد دفيحكمهاالجراءاتالكفيػلةبضمافاستمرارتػنػعليو. 39قػبلالبالمحكوـ
Artinya: Biaya akomodasi untuk anak harus diperbaiki secara terpisah
dari dukungan anak, gaji pengasuh dan biaya asuh lainnya. Sang ayah
harus menyediakan akomodasi untuk anak-anaknya atau membayar
sejumlah uang yang diperkirakan oleh pengadilan untuk pembayaran uang
sewa mereka, sesuai dengan ketentuan Pasal 191 di bawah ini. Anak-anak
mungkin tidak diusir dari rumah suami istri orang tua mereka sampai sang
ayah melaksanakan penghakiman atas akomodasi mereka. Pengadilan
harus menentukan tindakan dan prosedur yang akan menjamin eksekusi
putusan oleh ayah yang bersangkutan.
Peraturan ini juga merupakan pendapat dari Mazhab Maliki yang
menyebutkan bahwa nafkah dan tempat tinggal untuk pengasuh dan anak-
anak yang diasuh ditanggung oleh ayah mereka.40
39
Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 18. Diakses
dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00 40
Wahbah Az-Zuhaili. ed, Fiqih Islam wa Adillatuhu Jilid 10, Penerjamah Abdul
Hayyie al-Kattani, dkk, (Gema Insani, Jakarta, 2011), h. 74.
59
Jadi, walau anak diasuh bukan dengan orang tuanya, biaya
pengasuhan tetap harus ditanggung oleh kedua orang tuanya.
Pasal 170
ها.تػعودالحضانةلمستحق هاإذاارتػفععنوالعذر ال ذيمنػعومنػكافذلكفيمصلحةالمحضوف. 41يمكنللمحكمةأفتعيدالن ظرفيالحضانةإذا
Artinya: Hak asuh anak harus dikembalikan kepada orang yang
berhak atas hal itu apabila alasannya penarikan diri sudah tidak ada lagi
Pengadilan dapat mempertimbangkan kembali hak asuh bila ditujukan
untuk kepentingan anak.
Pasal ini berkaitan dengan pasal 173 yang sudah dijelaskan diatas
dimana jika terjadi perubahan dalam status pengasuh yang cenderung
menyebabkan kerugian bagi anak, hadhanah akan ditarik dan diberikan
kepada orang yang berhak berikutnya.
Bab II: Orang-orang yang diberi hak asuh dan urutan prioritasnya
Pasal 172
تػقري إنجاز في اجتماعي ة بمساعدة الستعانة يػوفػ رهللمحكمة, ما و الحاضن, سكن عن ر42.للمحضوفمنالحاجاتالض روري ةالمادي ةوالمعنوي ة
Artinya: Pengadilan dapat meminta bantuan seorang pekerja sosial
untuk menyiapkan laporan tentang rumah pengasuh dan sejauh mana hal
tersebut memenuhi kebutuhan material dan moral anak tersebut.
Pasal ini menyiratkan tentang keseriusan pemerintah Maroko dalam
pemenuhan hak-hak anak pasca perceraian.
Bab III: Ketentuan untuk Pemberian Hak asuh dan Penyebab
Penarikannya
Pasal 174
41
Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 18. Diakses
dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00 42
Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 18. Diakses
dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00
60
ين: فيالحالتػينالتيتػ ـ ,يسقطحضانػتػهاإل رال زواجالحاضنةغيػ
كافزوجهاقريػبامحرماأونائباشرعي اللمحضوف-1 إذا
كانتنائباشرعي اللمحضوف-2 43إذا
Artinya: Perkawinan seorang pengasuh wanita selain ibunya akan
mengakibatkan hilangnya hak asuhnya, kecuali dalam dua kasus berikut:
1. Jika suaminya berada dalam hubungan kekerabatan yang menghalangi
pernikahan, atau perwakilan hukum anak tersebut;
2. Jika dia adalah wali hakim anak.
Jadi, jika pengasuh wanita selain ibu kandungnya menikah lagi akan
mengakibatkan hak asuh kecuali jika suami adalah kerabat yang dapat
menghalangi pernikahan dan ia adalah wali hakim anak sehingga ia
memiliki tanggung jawab juga kepada anak. Kemudian penjelasan
mengenai pengaruh perkawinan pengasuh terhadap hadhanah diperjelas
dalam pasal 175 sebagai berikut:
ـ ,ليسقطحضانػتػهافيالحواؿالتية: زواجالحاضنةال
رالميػتجاوز-1 كافالمحضوفصغيػ سبعسنػوات,أويػلحقوضررمنفراقهاإذاـ -2 كانتبالمحضوفعل ةأوعاىةتجعلحضانػتومستػعصي ةعلىغيرال إذاكافزوجهاقريػبامحر ماأونائباشرعي اللمحضوف-3 إذاكانتنائباشرعي اللمحضوف.-4 إذا
قىنػفقة تػبػ و الحضانة, أجرة و المحضوف سكن تكاليف من يػعفيالب الحاضنة ـ ال زواج44المحضوفواجبةعلىالب.
Artinya: Perkawinan ibu pengasuh tidak akan mengakibatkan
hilangnya hak asuh anak tersebut dalam kasus berikut:
1. Jika anak belum mencapai usia tujuh tahun; atau jika pemisahan
semacam itu dapat merugikannya;
43
Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 18. Diakses
dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00 44
Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 18. Diakses
dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00
61
2. Jika anak menderita penyakit atau cacat yang membuat penahanannya
sulit dilakukan oleh orang lain selain ibunya;
3. Jika suaminya berada dalam hubungan kekerabatan yang menghalangi
pernikahan, atau anak itu perwakilan hukum;
4. Jika dia adalah perwakilan hukum anak tersebut.
Perkawinan ibu pengasuh harus membebaskan ayah dari pembayaran
biaya akomodasi anak dan gaji pengasuh, dan sang ayah tetap bertanggung
jawab atas pembayaran dukungan anak.45
Akan tetapi menurut Mazhab Maliki, jika wanita pengasuh menikah
lagi dan suaminya masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan anak
yang diasuh maka pernikahan wanita tersebut tidak menggugurkan
hadhanah secara mutlak. Adapun jika suaminya bukan termasuk kerabat,
dan selama suaminya meridhoi maka ia termasuk yang berhak
melaksanakan hadhanah.46
Pasal 174 dan 175 menjelaskan tentang larangan menikah bagi ibu
pengasuh selain ibu kandung kecuali beberapa pengecualian. Hal ini
mengkhawatirkan akan merugikan hak anak yang diasuh.
Pasal 176
لسباب 47.قاىرةسكوتمنلوالحق فيالحضانةمد ةسنةبػعدعلموبالبناءيسقطحضانػتوإل
Artinya: Diamnya orang yang memiliki hak untuk mengasuh selama
satu tahun setelah mengetahui pernikahan pengasuhnya dapat berakibat
hilangnya hak asuh anaknya kecuali karna alasan yang kuat.
Pasal ini menjelaskan bahwa orang-orang yang berhak mengasuh
setelah ibu dan ayahnya harus mengetahui jika ibu pengasuh sudah
menikah kembali karena akan berakibat hilangnya hak asuh.
45
Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 19. Diakses
dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00 46
Huzaemah Tahido Yanggo, FIqih Anak: Metode Islam dalam Mengasuh dan
Mendidik Anak serta Hukum-hukum yang Berkaitan dengan Aktivitas Anak, (Al-
Mawardi Prima: Jakarta, 2004), h. 129. 47
Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 18. Diakses
dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00
62
Hal ini sejalan dengan pendapat mazhab Maliki yang menyatakan
bahwa diamnya atau tidak meminta hak hadhanah itu menggugurkan
haknya sendiri.48
Pasal 177
المحضوفوالقاربوغ ـ الضرارال تييجبعلىالبوأ بكل العام ة رىم,إحظارالنػ يابة يػبإسقاط المطالبة ها فيػ بما حقوقو, على للحفاظ بواجبها لتػقوـ المحضوف لها يػتػعر ض
49الحضانة.
Artinya: Ayah dan ibu dari anak tersebut, serta kerabatnya dan pihak
ketiga lainnya, harus memberitahukan kepada Jaksa Penuntut Umum
tentang bahaya yang dialami oleh anak tersebut sehingga diperlukan
tindakan yang diperlukan untuk melindungi hak anak, termasuk penarikan
dari asuhan.50
Seperti yang sudah dijelaskan dalam pasal-pasal sebelumnya bahwa
meskipun hak asuh tidak dipegang oleh salah satu orang tua tapi tetap saja
kedua orang tua, kerabat dan pihak ketiga lainnya harus memperhatikan
hak anak sehingga anak tidak akan dalam kondisi bahaya.
Pasal 178
48
Wahbah Az-Zuhaili. ed, Fiqih Islam wa Adillatuhu Jilid 10, Penerjamah Abdul
Hayyie al-Kattani, dkk, (Gema Insani, Jakarta, 2011), h. 72. 49
Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 18. Diakses
dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00 50
Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 19. Diakses
dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00
63
منمكافلخرداخلالم للقامة أوالنائبالش رعي بانتقاؿالحاضنة غرب,لتسقطالحضانةأذاثػبتللمحكمةمايػوجبالس قوط,مراعاةلمصلحةالمهضوفوالظ روؼا لخاص ةبالبإل
. ,والمسافةا لتيتػفصلالمحضوفعننائبوالش رعي 51أوالن ائبشالش رعي
Artinya: Hak asuh anak tidak hilang jika pengasuh atau wali hukum
berpindah ke wilayah lain di dalam Maroko, kecuali jika ditetapkan untuk
pengadilan bahwa ada alasan untuk mencabutnya, dengan
mempertimbangkan kepentingan terbaik anak, kondisi khusus ayah atau
wali hukum, serta pemisahan yang memisahkan anak tersebut dari wali
hukumnya.
Jadi, perpindahan pengasuh atau wali hukum ke wilayah lain dalam
Maroko tidak menyebabkan hilangnya hak asuh jika kepentingan anak
tetap terpenuhi. Kecuali ada penetapan pengadilan untuk mencabutnya.
Pasal 179
للمحضوف,أفتضمنفييمكنللمحكمةبناءعلىطلبمنالنػ يابةالعامة,أوالن ائبال ش رعي وافقةقػرارإسنادالحضانة,أوفيقػرارلحق,منعالس فربالمحضوفإلىخارجالمغرب,دوفم
. الش رعي
صةمقر رالمنع,قصدات خاذالجراءاتال لزمةلضمافتػتػول ىالنػ يابةالعامةتػبليغالجهاتالمختتػنفيذذلك.
قاضى إلى اللجوء يمكن المغرب, خارج لمحضوف با الس فر على الموافقة رفض حالة فيالمستػعجلتإذفبذلك.
بػعدالت أكدمنالصفةالعرضي ةللس فر,ومنعودةالمحضوفل إلىيستجابلهذالطلب,إل 52المغرب.
Artinya: Pengadilan bisa atas permintaan pihak Jaksa Penuntut Umum
atau wali hukum anak termasuk dalam keputusan hak asuh atau keputusan
yang tertunda sebagai perintah pengadilan melarang bepergian dengan
51
Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 18. Diakses
dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00 52
Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 18. Diakses
dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00
64
anak di luar Maroko tanpa persetujuan terlebih dahulu dari wali
hukumnya.
Jaksa Penuntut Umum harus memberitahukan pihak yang berwenang
mengenai perintah tersebut sehingga mereka dapat mengambil semua
tindakan yang diperlukan untuk menjamin pelaksanaan keputusan ini.
Jika izin untuk bepergian ke luar Maroko dengan anak tidak diperoleh,
pengasuh dapat mengajukan petisi kepada hakim yang menangani kasus-
kasus yang cepat untuk mendapatkan izin tersebut.
Izin tidak boleh diberikan sampai hakim memastikan bahwa perjalanan
tersebut bersifat sementara dan bahwa anak tersebut akan dikembalikan ke
Maroko.
Meskipun pengasuh atau wali hukumnya tidak akan kehilangan hak
asuh jika pindah ke luar Maroko, akan tetapi orang tua selain pengasuh
atau bahkan kerabat dan pihak ketiga tidak bisa membawa anak ke luar
Maroko tanpa seizin pengasuh. Apabila tidak mendapat izin maka urusan
ini bisa diproses di pengadilan dan diputus oleh hakim.
Pasal 180
53لغيرالحاضنمنالبػوين,حق زيادةواستزارةالمحضوف.
Artinya: Orang tua yang bukan pengasuh berhak untuk mengunjungi
dan dikunjungi oleh anak tersebut.
Hal ini sesuai dengan pendapat Mazhab Maliki yang berpendapat
seorang ibu juga berhak untuk menjenguk anaknya apabila anak berada
dalam kuasa asuh ayahnya, waktu untuk menjenguk anak yang belum
sekolah adalah seminggu sekali akan tetapi apabila anak telah mencapai
usia sekolah maka ia boleh menjenguknya secara berkala.54
Jadi, anak tetap mendapatkan haknya sebagai anak dari kedua orang
tuanya meskipun sudah bercerai. Kemudian penjelasan mengenai
53
Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 18. Diakses
dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00 54
Wahbah Az-Zuhaili. ed, Fiqih Islam wa Adillatuhu Jilid 10, Penerjamah Abdul
Hayyie al-Kattani, dkk, (Gema Insani, Jakarta, 2011), h. 78.
65
kunjungan anak diperjelas dalam pasal 181, 182, 183, 184, 185 sebagai
berikut:
Pasal 181
فيينتػنظيمىذهالز يادةباتػ فاؽبػينهما,يػبػل غانوإلىالمحكمة,ا لذييسجلمضمونويمكنللبػو55مقر رإسنادالحضانة.
Artinya: Orang tua dapat mengatur kunjungan tersebut melalui
kesepakatan bersama, yang kemudian disampaikan ke pengadilan dan
persyaratannya dicatat dalam keputusan hak asuh.
Hal ini menyiratkan bahwa masalah kunjungan dan persyaratannya
pun sudah diatur dalam perundang-undangan Maroko sehingga hak anak
dapat terpenuhi meskipun terjadi perceraian.
Pasal 182
راتالز يارةو دالمحكمةفيقػرارإسنادالحضانة,فتػ اتػ فاؽالبػوين,تحد تضبطفيحالةعدـالوقتوالمكافبمايمنعقدرالمكافالتحاي لفيالتػنفيذ.
يكوفتػراعي و قضي ة, بكل الخاصة الملبسات و الطراؼ ظروؼ ذلك, كل في المحكمةللطعن. 56قػرارىاقابل
Artinya: Dalam hal orang tua tidak setuju, dalam keputusan
pengasuhannya, pengadilan harus menetapkan waktu kunjungan dan
tempat dengan ketepatan seperti untuk mencegah upaya yang
dimaksudkan untuk menggagalkan kunjungan tersebut. Dalam
penentuannya, pengadilan harus mempertimbangkan kondisi masing-
masing pihak dan keadaan spesifik yang berkaitan dengan setiap kasus,
dan keputusannya dapat terbuka untuk diajukan banding.
Jadi, di Maroko banding masalah hadhanah dapat diajukan jika orang
tua tidak setuju dalam keputusan pengasuhannya. Adapun penentuannya
ditentukan oleh kondisi masing-masing pihak.
Pasal 183
55
Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 18. Diakses
dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00 56
Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 18. Diakses
dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00
66
ائيضارااستجدتظروؼأصبحمعهاتػنظيمالز يارةالمقر رةباتػ فاؽالبػوينأوبالمقر رالقضإذا57.منظروؼبأحدال طرفػينأوبالمحضوف,أمكنطلبمراجعتووتػعديػلوبمايلئمماحدث
Artinya: Jika ada keadaan yang timbul yang karena waktu kunjungan,
seperti yang disetujui oleh kedua orang tua atau yang ditentukan oleh
keputusan pengadilan, yang merugikan orang atau anak, syarat kunjungan
dapat direvisi dan diubah untuk mempertimbangkan hal tersebut.
Jika ada yang dirugikan perihal kunjungan baik yang dirugikan itu
orang lain atau mungkin anak sendiri maka keputusannya bisa direvisi
untuk mempertimbangkan hal tersebut.
Pasal 184
تػراهمناسبامنإجراءات,بمافيذلكتػعديلنظاـالز يارة,وإسقاطحق تػت خذالمحكمةما58الحضانةفيحالةالخلؿأوالتحاي لفيتػنفيذالتػ فاؽأوالمقر رالمنظ مللز يارة.
Artinya: Pengadilan dapat mengambil tindakan yang dianggap perlu
dilakukan, termasuk modifikasi syarat kunjungan dan penarikan hak asuh,
jika terjadi pelanggaran atau penipuan dalam pelaksanaan kesepakatan
atau keputusan kunjungan.
Jadi, pelanggaran atau penipuan juga termasuk dalam syarat yang
menyebabkan perubahan perihal kunjungan dan penarikan hak asuh.
Pasal 185
ـإ ذاتػوف يأحدوالديالمحضوف,يحل محل وأبػواهفيحق الز يادةالمنظ مةبالحكا
.الس ابقة 59 Artinya: Jika salah satu dari orang tua anak tersebut meninggal, orang
tua almarhum berhak mengunjungi anak tersebut sesuai dengan
pengaturan kunjungan anak sebelumnya.
57
Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 18. Diakses
dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00 58
Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 18. Diakses
dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00 59
Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 18. Diakses
dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00
67
Termasuk jika salah satu orang tua meninggal dunia, ini juga
termasuk dalam hak anak untuk mengunjungi orang tuanya.
Pasal 186
60تػراعيالمحكمةمصلحةالمحضوففيتطبيقموادىذاالباب. Artinya: Pengadilan harus mempertimbangkan kepentingan anak saat
menerapkan ketentuan dalam Bagian ini.
Pada intinya, pasal 181-186 menjelaskan tentang hal-hal yang
berkaitan dengan kunjungan dimana jika terjadi perselisihan maka
diserahkan kepada pengadilan dan diputus oleh hakim dan tentunya harus
mempertimbangkan kepentingan anak saat membuat keputusannya.
60
Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, hal 18. Diakses
dari www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018 12.00
68
BAB IV
HADHANAH AKIBAT PERCERAIAN
DI NEGARA INDONESIA DAN MAROKO
A. Pengaturan Hadhanah Akibat Perceraian di Indonesia dan Maroko
Secara signifikan, terdapat 5 hal yang diatur dalam pengaturan hadhanah
akibat perceraian di Indonesia dan Maroko, diantaranya:
No Hal Indonesia Maroko
1 Kewajiban
Pengasuh
Anak
Diatur dalam UU No. 1
Tahun 1974 pasal 45
yang menjelaskan
tentang kewajiban
pengasuh untuk
memelihara dan
mendidik anak-anak
sebaik-baiknya
meskipun
perkawinannya putus.
Lalu dalam pasal 26
ayat 1 Undang-undang
Nomor 17 tahun 2016
tentang kewajiban dan
tanggung jawab
pengasuh termasuk
memberikan
pendidikan karakter
dan budi pekerti kepada
anak.
Diatur dalam pasal 163
dan 169 Moudawwana
bahwasanya seorang
pengasuh harus
menjamin keamanan
fisik, psikologis anak dan
menjaga kepentingan
anak termasuk
pendidikan dan
asuhannya.
2 Orang-
orang yang
Diatur dalam KHI pasal
156 tentang urutan
Diatur dalam pasal 164
dan 165 bahwasanya hak
69
diberi Hak
Asuh Anak
penerima hak asuh
anak yang belum
mumayyiz dan
ketentuan lainnya.
asuh anak adalah
kewajiban orangtua
selama pernikahanya
masih berjalan dan jika
tidak memenuhi syarat
maka pengadilan dapat
menunjuk siapapun dari
pihak keluarga, orang
lain atau bahkan
lembaga. Adapun
urutannya sudah diatur
dalam pasal 171.
3 Batas Usia
Anak
Diatur dalam KHI pasal
105 ayat a dan b
bahwasanya
pemeliharaan anak
yang belum mumayyiz
atau belum berusia 12
maka jatuh kepada
ibunya. Diatas itu maka
dibebaskan kepada
anak memilih ayah atau
ibunya. Dalam
penerapannya majlis
hakim dapat
menghubungkan
dengan Undang-undang
Perlindungan Anak dan
menafsirkan ketentuan
umur 12 tahun itu
karena ada kepentingan
Diatur dalam pasal 166
bahwasanya batas usia
anak boleh memilih
antara ayah dan ibunya
adalah pada usia 15
tahun.
70
anak yang
menghendaki lain maka
bisa ditetapkan kepada
pihak selain dari ibu.
Jadi yang dimaksud
dalam Undang-undang
bukan mengatur hak
ibu atau hak ayah,
tetapi mengatur tentang
kepentingan anak yang
terbaik.
4 Upah
Pengasuh
Dalam KHI pasal 104
ayat 1 dijelaskan
bahwasanya biaya
penyusuan dibebankan
kepada ayah. Dalam
penerapannya jika
terjadi kesepakatan
antara mantan suami
dan mantan istri maka
tidak menjadi masalah.
Diatur dalam pasal 167
bahwasanya upah
pengasuh ditutupi oleh
orang yang bertanggung
jawab atas perawatan
anak. Ibu tidak
mendapatkan upah
selama perkawinan masih
berjalan atau sedang
dalam masa iddah.
5 Biaya
Akomodasi
Anak
Diatur dalam UU No. 1
tahun 1974 pasal 41
ayat b bahwasanya
ayah berkewajiban
untuk membiayai
pemeliharaan dan
pendidikan anaknya,
jika terbukti tidak
mampu maka
Diatur dalam pasal 168
bahwa biaya akomodasi
untuk anak-anak
diperkirakan pengadilan
untuk pembayarannya
dan dilakukan oleh ayah.
71
pengadilan bisa
memutuskan istri untuk
ikut serta dalam
pembiayaannya.
B. Faktor-faktor yang Menyebabkan Adanya Persamaan dan Perbedaan
Hadhanah Akibat Perceraian di Negara Indonesia dan Maroko
Secara umum hadhanah akibat perceraian di Negara Indonesia dan
Maroko hampir mirip karena referensi utama dari hukum materiil khususnya
yang berkaitan dengan hal-hal yang berkaitan dengan hukum keluarga
bersumber dari hukum Islam. Akan tetapi Maroko lebih progresif dalam
peraturan perundang-undangannya karena masalah tentang hadhanah sudah
dibuat secara khusus dan terperinci babnya dalam Moudawana.
Adapun Negara Indonesia meskipun sudah ada peraturan perundang-
undangannya yang mengatur tentang hadhanah akan tetapi belum terperinci.
Adapun dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 tentang
hadhanah diatur dalam bab Hak dan Kewajiban antara Orang Tua dan Anak.
Lalu dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam bab Pemeliharaan Anak
akan tetapi tidak selengkap yang dituliskan dalam Moudawana.
Dalam Kompilasi Hukum Islam yang diatur hanyalah tentang batas
usia anak yang mampu berdiri sendiri, pengaturan tentang anak yang sah
secara Islam, biaya penyusuan anak dan kewajiban pengasuh. Sementara
dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2016 tentang perlindungan anak yang
mengatur berkaitan dengan hadhanah hanya terdapat dalam bab IV tentang
Kewajiban dan Tanggung Jawab Keluarga dan Orang Tua, bab VI tentang
Kuasa Asuh, bab VII tentang Perwalian dan bab VIII tentang Pengasuhan dan
Pengangkatan Anak.
Seperti yang sudah dibahas dalam bab-bab sebelumnya bahwasanya
Indonesia dan Maroko memiliki faktor-faktor yang menyebabkan persamaan
hadhanah di Negara Indonesia dan Maroko, diantaranya:
72
1. Hukum perkawinan di Maroko tidak jauh berbeda dengan hukum
perkawinan di negara-negara Islam lainnya, termasuk juga dengan
Indonesia. Regulasi terkait dengan perkawinan pun hampir sama
dengan Indonesia karena Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia
bercermin kepada Moudawwana al-Usrah di Maroko.
2. Di negara-negara Arab, terutama yang geografisnya berada di wilayah
Afrika Utara, selain Mesir, seperti Tunisia, Maroko, dan Aljazair,
kedudukan hukum Islam sebagai prinsip hukum, dan posisinya
sebagai sumber hukum ketiga setelah hukum Perancis dan hukum
Eropa lainnya. Di Indonesia posisi hukum Islam juga sebagai sumber
hukum positif selain hukum barat dan hukum adat.
Adapun Beberapa faktor yang menyebabkan perbedaan hadhanah
akibat perceraian di Negara Indonesia dan Maroko adalah:
1. Mazhab
Indonesia dan Maroko menganut mazhab yang berbeda.
Indonesia menganut mazhab Syafi’i sedangkan Maroko menganut
mazhab Maliki. Hal ini dapat dilihat salah satunya dalam pasal 105
ayat a dan b Kompilasi Hukum Islam dimana hadhanah dibawah
umur 12 tahun maka diserahkan kepada ibunya. Setelah umur 12, anak
dibebaskan untuk memilih antara ibu dan ayahnya. Penjelasan pasal
ini sejalan dengan pendapat mazhab Syafi’i yang menjelaskan bahwa
hadhanah lebih diutamakan kepada ibunya. 1
Lalu dalam pasal 173 Moudawana dijelaskan pengasuh harus
seseorang yang dewasa, memiliki karakter yang baik, dan bisa
menjaga kesehatan dan pendidikan moral anak. Hal ini tidak jauh
berbeda dengan pendapat mazhab Maliki yang menjelaskan tentang
keharusan pengasuh memiliki sifat seperti berakal sehat, bisa
1Huzaemah Tahido Yanggo, Fiqih Anak: Metode Islam dalam Mengasuh dan
Mendidik Anak serta Hukum-Hukum yang Berkaitan dengan Aktivitas Anak, (Jakarta:
Al-Mawardi Prima, 2004), h. 105.
73
dipercaya, suci diri, bukan pelaku maksiat, serta tidak mengabaikan
anak yang diasuhkan.2
2. Politik
Indonesia menganut sistem hukum Civil Law System yang
diwarisi dari pemerintah Kolonial Belanda, yang artinya peraturan
perundang-undangan tertulis sebagai rujukan utama bagi hakim
maupun aparatur negara untuk memutus dan menetapkan sesuatu
terkait hak dan kewajiban warga negara. Benar atau salahnya menjadi
bersifat tentatif, yakni benar atau salahnya sejauh peraturan tertulis
tersebut belum diganti ataupun dicabut.
Seperti halnya teori resepsi yang diungkapkan oleh Christian
Snouck Hurgronje (1857-1936), ia berpendapat bahwa yang berlaku
bagi orang Islam itu bukanlah hukum Islam tetapi hukum adat. Ke
dalam hukum adat itu, memang telah masuk pengaruh hukum Islam,
tetapi pengaruh itu baru mempunyai kekuatan hukum kalau telah
benar-benar diterima oleh hukum adat.
Lalu pada tahun 1974, dengan diundangkannya Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974, teori resepsi itu menemui ajalnya
“dihantam” kalimat,” Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Dengan perumusan pada pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan
tersebut, setiap perkawinan harus dilakukan menurut hukum agama.
Untuk orang Islam, misalnya, perkawinan seorang pria dengan
seorang wanita baru sah, kalau dilakukan menurut hukum perkawinan
Islam yang merupakan bagian dari agama Islam, tanpa syarat
istimewa teori resepsi “ kalau hukum Islam itu sudah diterima oleh
hukum adat
2 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Penerjamah Masykur A.B.,
dkk, (Jakarta: Lentera, 1996), h. 416.
74
Dalam konteks Maroko, kita mengetahui bahwa sebelum
tahun 1957, hukum perkawinan dan keluarga yang digunakan adalah
hukum Islam atau fikih. Namun semenjak negara itu memulai
melakukan kodifikasi hukum Islam di era tahun 1957- 1958, selain
hukum Islam yang menjadi bahan penyusunan kodifikasi hukum
keluarga tersebut, juga dipengaruhi oleh hukum barat, terutama dari
perancis. Maroko melakukan reformasi terhadap hukum keluarga.
Pertama dilakukan pada tahun 1957 yaitu amandemen hukum
keluarga dan terakhir tahun 2004 tentang perubahan hukum keluarga.
Reformasi ini menunjukkan bahwa hukum Islam sama seperti hukum
sipil dan common law yang dapat beradaptasi dengan kondisi sosial
dan ekonomi masyarakat yang berubah.3
3. Pergerakan Organisasi
Seperti yang sudah dibahas dalam bab 2 bahwasanya
pergerakan organisasi turut mempengaruhi hukum perkawinan di
Indonesia. Seperti halnya Ikatan Sarjana Wanita Indonesia (ISWI)
dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang mengajukan kembali
RUU tentang perkawinan kepada DPR RI untuk dibahas kembali dan
dilaksanakan sebagai uu yang diberlakukan untuk seuruh warga
negara Indonesia.
Lalu dalam konteks Maroko dengan permintaan dari The
Women‟s Action Union (UAF) agar raja segera merevisi Undang-
Undang Hukum Keluarga tetap berlandaskan hukum Islam akan
tetapi tetap sesuai dengan hak asasi manusia tuntutan modernitas.
3 Muhammad Maksum, Kedudukan syariah sebagai sumber Hukum positif: Kajian
Awal atas Hukum Perkawinan, Ekonomi Islam, dan Hukum Ketenagakerjaan di
Indonesia dan Maroko, Jurnal Hukum Islam Vol. 15, No. 2, Desember 2016, h. 288.
75
Di Maroko, hukum Islam tetap dapat diberlakukan setelah ada
perjanjian antara Perancis dan Maroko seputar privilej hukum Islam
dan sistem kerajaan Maroko.4
Keberhasilan gerakan Moudawana dalam melahirkan hukum
keluarga (al-Moudawana al-Usrah) yang adil dan setara ini tidak
bisa dilepaskan dari peran penting Raja Muhammad al-Malik as-
Sa'id sebagai pemilik otoritas tertinggi di bidang politik sebagai
pemimpin negara sekaligus otoritas tertinggi di bidang agama
sebagai pemimpin para Ulama di Maroko. Pada awalnya perlunya
revisi hukum keluarga untuk menjamin keadilan bagi laki-laki
sekaligus perempuan ini selalu dibahas di mana saja hingga ke
kerajaan. Setelah proses yang cukup lama akhirnya tuntutan
perubahan Hukum Keluarga tersebut mendapat sambutan yang
positif dari Raja dengan dibentuknya Komisi Khusus yang menelaah
draft usulan perubahan Hukum Keluarga dan selalu melibatkan
kalangan aktifis perempuan dalam setiap pembahasannya. Setelah
tiga tahun diproses oleh Komisi Khusus ini, akhirnya Raja
mengesahkan Revisi Hukum Keluarga (Moudawana al-Usrah) pada
2004.5
Moudawwana disajikan sebagai symbol nasional dan identitas
Islam. Pemerintah Maroko yang baru merdeka menempatkan norma
yang beragam dan berlaku selama berada dalam jajahan Prancis dan
Spanyol. Ketika berkaitan dengan hukum Islam, hukum adat Berber
4 Muhammad Maksum, Kedudukan syariah sebagai sumber Hukum positif: Kajian
Awal atas Hukum Perkawinan, Ekonomi Islam, dan Hukum Ketenagakerjaan di
Indonesia dan Maroko, Jurnal Hukum Islam Vol. 15, No. 2, Desember 2016, h. 286. 5 A. Khumedi Jafar, dkk, Hukum Keluarga di Negara-negara Muslim Modern,
(Anugrah Utama Raharja: Lampung, 2013), h. 99.
76
juga dipertimbangkan sebagai sumber hukum sebagai undang-
undang untuk semua muslim. 6
C. Unsur-Unsur Persamaan dan Perbedaan Mengenai Hadhanah Akibat
Perceraian di Indonesia dan Maroko.
1. Unsur-unsur Persamaan Mengenai Hadhanah Akibat Perceraian di
Indonesia dan Maroko
a. Kewajiban Pengasuh Anak
Dalam pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
dijelaskan bahwa orang tua berkewajiban untuk memelihara dan
mendidik anak-anaknya sebaik-baiknya meskipun perkawinan telah
putus. Hal ini semakin dipertegas dalam pasal 26 ayat 1 Undang-
Undang Nomor 17 tahun 2016 bahwa orang tua wajib
bertanggungjawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik, dan
melindungi anak serta menumbuhkembangkan anak sesuai minat dan
bakatnya lalu mencegah perkawinan pada usia anak dan terakhir
memberikan pendidikan karakter dan budi pekerti kepada anak.
Jadi, karena anak-anak memiliki hak-hak dasar. Hak untuk
dibina dan dikembangkan. Ketika seseorang sudah ditetapkan menjadi
pengasuh anak maka ia harus bisa memenuhi semua hak-hak anak.7
Selanjutnya dalam Moudawwana disebutkan dalam pasal 163
bahwa pengasuh harus menjamin keamanan fisik dan psikologis anak.
Lalu dipertegas lagi dalam pasal 169 bahwa pengasuh harus menjaga
kepentingan anak termasuk pendidikan dan asuhannya.
Kedua peraturan diatas tidak jauh berbeda dengan pendapat
Mazhab Syafi’i bawa hadhanah adalah mendidik orang yang tidak
6 Léon Buskens, Recent Debates on Family Law Reform in Morocco: Islamic Law
as Politics in an Emerging Public Sphere, Islamic Law and Society, Vol. 10, No. 1, Public
Debates on Family Law ReformParticipants, Positions, and Styles of Argumentation in
the 1990s (2003), h. 76. 7 Wawancara pribadi dengan Dr. H., Nasich Salam Suharto, Lc, Llm. Hakim di
Pengadilan Agama 1A Cibinong, Bogor, 10 Agustus 2018.
77
dapat mengurus dirinya sendiri dengan apa yang bermaslahat baginya
dan memeliharanya dari apa yang membahayakannya. Pendapat inipun
dekat dengan apa yang diyakini Mazhab Maliki.8 Tentunya seorang
pengasuh memiliki kewajiban untuk mendidik dan mengurus anak dari
segi fisik dan psikologis anak.
b. Upah Pengasuh
Dalam KHI pasal 104 ayat 1 dijelaskan bahwa biaya
penyusuan dibebankan kepada ayah, akan tetapi jika ayah meninggal
dunia maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang
berkewajiban memberikan nafkah kepada ayahnya atau walinya.
Hal ini sejalan dengan pendapat Mazhab Syafi’i bahwasanya
upah itu merupakan tanggung jawab ayahnya atau orang yang
berkewajiban memberi nafkah kepada ayah atau walinya.9
Menurut Dr. H., Nasich Salam Suharto, Lc, Llm. dilihat dulu
dari konteksnya. Akan tetapi jika terjadi kesepakatan antara mantan
suami dan mantan istri untuk memberikan upah kepada yang
ditetapkan menjadi pengasuh maka tidak menjadi masalah. Jika
pengasuhnya itu orang lain, dalam praktik pengadilan dia bukan
diminta tapi menawarkan diri. Jika ia menawarkan diri bagaimana
mungkin meminta untuk diupahkan. Jika salah seorang mengajukan
perkara permohonan hadhanah dan menaruh dalam klausulanya untuk
meminta upah maka majlis hakim akan berpikir serius tentang
8 Huzaemah Tahido Yanggo, FIqih Anak: Metode Islam dalam Mengasuh dan
Mendidik Anak serta Hukum-hukum yang Berkaitan dengan Aktivitas Anak, (Al-
Mawardi Prima: Jakarta, 2004), h. 101. 9 Muhammad Jawad Mughniyah, ed, Fiqih Lima Mazhab, Penerjemah Masykur,
dkk, (Lentera: Jakarta, 1996), h. 418.
78
ketulusan dari peminta hak asuh. Jadi masalahnya bukan boleh atau
tidak boleh tapi kembali lagi kepada kepentingan anak.10
Adapun dalam pasal 167 The Moroccan Family Code
(Moudawana) Of February 5, 2004 dijelaskan bahwa gaji dan biaya
pengasuh anak harus ditutupi oleh orang yang bertanggung jawab atas
perawatan anak, dan terpisah dari gaji menyusui dan dukungan anak.
Tidak ada gaji pengasuh karena ibunya saat hubungan pernikahan
masih ada, atau selama masa tunggu sah setelah penolakan ditolak.
c. Biaya Akomodasi Anak
Dalam UU No. 1 tahun 1974 pasal 41 ayat b dijelaskan
bahwasanya ayah berkewajiban untuk membiayai pemeliharaan dan
pendidikan anaknya, jika terbukti tidak mampu maka pengadilan bisa
memutuskan istri untuk ikut serta dalam pembiayaannya.
Adapun Maroko dalam pasal 168 The Moroccan Family Code
(Moudawana) Of February 5, 2004 dijelaskan bahwasanya biaya
akomodasi untuk anak harus diperbaiki secara terpisah dari dukungan
anak, gaji pengasuh dan biaya asuh lainnya. Sang ayah harus
menyediakan akomodasi untuk anak-anaknya atau membayar sejumlah
uang yang diperkirakan oleh pengadilan untuk pembayaran uang sewa
mereka. Anak-anak mungkin tidak diusir dari rumah suami istri orang
tua mereka sampai sang ayah melaksanakan penghakiman atas
akomodasi mereka. Pengadilan harus menentukan tindakan dan
prosedur yang akan menjamin eksekusi putusan oleh ayah yang
bersangkutan.
10
Wawancara pribadi dengan Dr. H., Nasich Salam Suharto, Lc, Llm. Hakim di
Pengadilan Agama 1A Cibinong, Bogor, 10 Agustus 2018.
79
2. Unsur-unsur Perbedaan Mengenai Hadhanah Akibat Perceraian
di Indonesia dan Maroko
a. Orang-orang yang Diberi Hak Asuh
Dalam KHI Pasal 156 ayat a dijelaskan bahwa urutan
penerima hak asuh bagi anak yang belum mumayyiz adalah sebagai
berikut:
a. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;
b. Ayah;
c. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
d. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
e. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari
ayah.
Lalu dalam penjelasan ayat b dan c disebutkan bahwa anak
yang sudah mumayyiz dibolehkan memilih salah satu dari kedua
orang tuanya dan jika kedua orang tuanya tidak memenuhi syarat
untuk menjadi pengasuh maka pengadilan bisa menunjuk kerabat yang
masih memiliki hak asuh untuk mengasuh anak.
Adapun dalam penerapannya secara normatif memang
peraturan telah mengatur sedemikian rupa tentang pengelolaan
hadhanah. Bahwa anak dibawah umur 12 atau belum mumayyiz hak
asuhnya jatuh kepada ibunya. Selebihnya maka diserahkan kepada
anaknya. Maksud peraturan ini adalah mengatur dalam kondisi
normal. Kondisi dimana tidak ada sesuatu yang menjadi konsideran
lain. Jadi, pengecualian bahwa anak dibawah umur 12 atau mumayyiz
boleh jatuh ke bapaknya, pertimbangannya adalah perlindungan anak.
Jadi perlindungan anak itu yang dikedepankan. Kata kunci dari
pengecualiannya adalah ketika anak menghendaki kepentingan lain.
Dalam hal ini majlis hakim dapat menghubungkan dengan Undang-
undang Perlindungan Anak dan menafsirkan ketentuan umur 12 tahun
itu karena ada kepentingan anak yang menghendaki lain maka bisa
ditetapkan kepada pihak selain dari ibu. Jadi yang dimaksud dalam
80
Undang-undang bukan mengatur hak ibu atau hak ayah, tetapi
mengatur tentang kepentingan anak yang terbaik.11
Lalu jika pengasuh itu bukan orang tua maka tetap
dimungkinkan karena semuanya bermuara kepada kepentingan anak.
Tinggal prosedurnya itu diatur dalam hukum acara. Secara normatif
memang sudah diatur urutannya, akan tetapi kembali lagi kata
kuncinya kembali kepada kepada kepentingan anak tinggal bagaimana
di pembuktiannya apakah hak orang tua dapat dikecualikan12
Maroko membolehkan hadhanah jatuh kepada orang lain
dalam moudawwana. Seperti yang dijelaskan dalam pasal 164 The
Moroccan Family Code (Moudawana) Of February 5, 2004
bahwasanya hadhanah adalah hak orang tua selama pernikahannya
masih berjalan. Lalu jika orang-orang yang seharusnya diberi hak asuh
tidak memenuhi syarat maka pengadilan dapat menunjuk siapapun
dari pihak keluarga atau orang lain atau bahkan lembaga lain yang
ditunjuk untuk kepentingan pengasuhan berdasarkan pasal 165 The
Moroccan Family Code (Moudawana) Of February 5, 2004.
Lalu mengenai urutan orang-orang yang diberi hak asuh pun
diatur dalam pasal 171 The Moroccan Family Code (Moudawana) Of
February 5, 2004 bahwasanya urutannya dimulai dari ibu, ayah, dan
nenek dari ibunya anak. Jika dalam praktiknya sulit dilakukan maka
pengadilan dapat memilih siapapun yang dibutuhkan berdasarkan
kepentingan anak.
b. Batas Usia Anak
Dalam KHI pasal 105 ayat a dan b dijelaskan bahwasanya
pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berusia 12 tahun
11
Wawancara pribadi dengan Dr. H., Nasich Salam Suharto, Lc, Llm. Hakim di
Pengadilan Agama 1A Cibinong, Bogor, 10 Agustus 2018. 12
Wawancara pribadi dengan Dr. H., Nasich Salam Suharto, Lc, Llm. Hakim di
Pengadilan Agama 1A Cibinong, Bogor, 10 Agustus 2018.
81
maka jatuh kepada ibunya. Diatas itu maka dibebaskan kepada anak
memilih ayah atau ibunya.
Berbeda dengan Maroko dalam pasal 166 The Moroccan
Family Code (Moudawana) Of February 5, 2004 bahwasanya batas
usia anak boleh memilih antara ayah dan ibunya adalah pada usia 15
tahun.
82
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian yang telah penulis paparkan pada bab-bab sebelumnya
maka sebagai akhir dari bagian penelitian ini penulis akan menarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Secara signifikan terdapat 5 hal yang diatur dalam hadhanah akibat
perceraian yaitu kewajiban pengasuh anak, orang-orang yang diberi hak
asuh, batas usia anak, upah pengasuh, dan biaya akomodasi anak.
Ketentuan-ketentuan tentang hadhanah pada dasarnya bermuara pada
kepentingan anak. Jadi selama kepentingan anak tidak terbentur maka
tidak menjadi masalah.
2. Hal-hal yang menyebabkan persamaan hadhanah di Indonesia dan
Maroko adalah karena KHI bercermin kepada Moudawwana dan hukum
Islam sama-sama menjadi sumber hukum positif di Indonesia dan
Maroko.
Adapun hal-hal yang menyebabkan perbedaan hadhanah di Indonesia dan
Maroko yaitu karena adanya perbedaan mazhab. Mazhab Maliki yang di
anut di Maroko menjadi faktor terpenting dalam pembentukan hukum
keluarganya, salah satu contohnya adalah yang terdapat dalam pasal 167
dan 168 The Moroccan Family Code (Moudawana) Of February 5, 2004
tentang upah pengasuh bahwasanya selain ibu maka pengasuh berhak
mendapatkan upah yang terpisah dari biaya menyusui, dukungan anak,
dan akomodasi anak. Hal ini sama persis dengan apa yang diungkapkan
mazhab Maliki. Mayoritas mazhab yang dipakai di Indonesia adalah
mazhab Syafi’i, hal ini memiliki pengaruh yang kuat dalam pembentukan
Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
Di antaranya pada pasal 156 KHI yang menyebutkan bahwa kedudukan
orang-orang yang berhak mengasuh anak setelah ibu adalah ayah dan
83
seterusnya hal ini sama seperti yang diungkapkan oleh Mazhab Syafi’i
yang meletakkan ayah pada posisi kedua setelah ibu dalam hal
pemeliharaan anak. Faktor politik pun sangat berpengaruh pada
pembentukan peraturan hukum keluarga di Indonesia dan Maroko. Dalam
konteks Maroko, kita mengetahui bahwa sebelum tahun 1957, hukum
perkawinan dan keluarga yang digunakan adalah hukum Islam atau fikih.
Namun semenjak negara itu memulai melakukan kodifikasi hukum Islam
di era tahun 1957- 1958, selain hukum Islam yang menjadi bahan
penyusunan kodifikasi hukum keluarga tersebut, juga dipengaruhi oleh
hukum barat, terutama dari Perancis. Maroko melakukan reformasi
terhadap hukum keluarga. Pertama dilakukan pada tahun 1957 yaitu
amandemen hukum keluarga dan terakhir tahun 2004 tentang perubahan
hukum keluarga. Reformasi ini menunjukkan bahwa hukum Islam sama
seperti hukum sipil dan common law yang dapat beradaptasi dengan
kondisi sosial dan ekonomi masyarakat yang berubah. Adapun di
Indonesia dengan Civil Law System-nya yang merupakan warisan dari
pemerintah kolonial Belanda dan teori resepsi yang diungkapkan oleh
Christian Snouck Hurgronje yang menjadi sangat berpengaruh dengan
Undang-Undang Perkawinan di Indonesia. Lalu selanjutnya adanya
pergerakan politik seperti halnya di Indonesia dengan adanya Ikatan
Sarjana Wanita Indonesia (ISWI) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
yang mengajukan kembali RUU tentang perkawinan kepada DPR RI
untuk dibahas kembali dan dilaksanakan sebagai uu yang diberlakukan
untuk seuruh warga negara Indonesia. Adapun Maroko dengan adanya
permintaan dari The Women‟s Action Union (UAF) agar raja segera
merevisi Undang-Undang Hukum Keluarga tetap berlandaskan hukum
Islam akan tetapi tetap sesuai dengan hak asasi manusia tuntutan
modernitas.
3. Persamaan hadhanah akibat perceraian antara Indonesia dan Maroko
diantaranya adalah mengenai kewajiban pengasuh anak, upah pengasuh,
dan biaya akomodasi anak.
84
Perbedaan hadhanah akibat perceraian antara Indonesia dan Maroko
secara umum adalah peraturan di Maroko lebih terperinci, sedangkan di
Indonesia peraturan tentang hadhanah belum seprogresif peraturan di
Maroko. Seperti tentang orang-orang yang diberi hak asuh dan batas usia
anak.
B. Saran-Saran
Sebagai catatan akhir maka penulis akan memberikan saran:
1. Aturan perkawinan khususnya hadhanah di Indonesia diharapkan bisa
menampung semua aspirasi berbagai pihak, khususnya penetapan
hadhanah haruslah berdasarkan kemaslahatan bagi anak.
2. Pengetahuan perbandingan hukum keluarga Islam ini sangat penting di
Indonesia karena seringkali kita memperdebatkan masalah yang di negara
lain sudah selesai. Contohnya di Indonesia tidak mengatur tentang biaya
akomodasi anak sedangkan di Maroko sudah ada peraturannya.
3. Agar Indonesia segera mengamandemen Undang-Undang Hukum
Keluarganya yang sejak tahun 1974 belum pernah diamandemen
sedangkan peraturan mengenai Hukum Keluarga di Maroko sudah
mengalami 3 kali amandemen. Agar peraturan hukum keluarga khususnya
hadhanah lebih sesuai dengan perkembangan zaman.
85
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Al-Jaziri, Abdurrohman, Al-Fiqh Ala-Madzahib Al-Arba‟ah, Darul Kutub Al
Ilmiyah: Lebanon, 2003.
Asy-Syarbayni al-Khotib, Syaikh Muhammad, Al-Bujairomi ali Khotib juz IV,
t.p., Beirut: 2007.
Az-Zuhaili, Wahbah, ed, Fiqih Islam wa Adillatuhu Jilid 10, Penerjamah Abdul
Hayyie al-Kattani, dkk, Gema Insani : Jakarta, 2011.
Az-Zuhaili, Wahbah, ed, Tafsir Al-Munir Jilid 14, Penerjamah Abdul Hayyie al-
Kattani, dkk, Gema Insani: Jakarta, 2014.
Brill, E.J, First Encylopedia of Islam, The Netherlands: tp, 1987.
Daud Ali, Mohammad, Hukum Islam dan Peradilan Agama, PT Raja Grafindo
Persada: Jakarta, 2002.
E. Campo, Juan, Encyclopedia of Islam, New York: Facts on File, 2009.
Encyclopedia Britannica, USA: The University of Chicago, tt.
Fajar, Mukti, dkk, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris,
Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2015.
Grolier Academic Encyclopedia, USA: Grolier International, 1983.
Ibn Mas’ud al-Kasani, Bakr, Badaai‟u as-Shonaa‟i fii tartiibi asy-Syarooi‟ juz IV,
t.p., Beirut, 1986.
Ibn Muhammad Lahim, Abdul Karim, Al-Muthlai‟ „ala daqoiqi zaadu al-
Mustaqni juz V, t.p.: Riyadh, t.th.
Ibn Muhammad Salam, Syaikh Muhammad, Lawami‟ ad-dururi fii hataki astari
al-Mukhtashor juz VIII, t.p., t.t., 2015.
Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang:
Bayumedia Publishing, 2008.
Ja‟far, Khumedi, dkk, Hukum Keluarga Di Negara-Negara Muslim Modern,
Lampung: Anugerah Utama Raharja, 2013.
Jawad Mughniyah, Muhammad, ed, Fiqih Lima Mazhab, Penerjemah Masykur,
dkk, Lentera: Jakarta, 1996.
Mahmood, Tahir, Personal Law in Islamic Countries, Academy of Law and
Religion: New Delhi, 1987.
Mahmud Marzuki, Peter, Penelitian Hukum, Jakarta: Prenadamedia Group, 2005.
86
Muzhar, M. Atho Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, Ciputat: Ciputat
Press, 2003.
Nasution, Khoirudin, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundang-
Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia,
Jakarta:INIS, 2002.
Rofiq, Ahmad, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Raja Grafindo
Persada:Jakarta, 2013.
Sabiq, Sayyid, Fiqh As-Sunnah Jilid 2, Beirut: Daarul Fikri, 1983.
Sopyan, Yayan, Islam Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam
Hukum Nasional, Wahana Semesta Intermedia: Jakarta, 2012.
Sumitro, Warkum, Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan Sosial
Politik di Indonesia, Bayumedia Publishing: Malang, 2005.
Syamsu Alam, Andi, dkk, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, Jakarta:
Prenada Media Group, 2008.
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Prenada Media:
Jakarta, 2006.
Tahido Yanggo, Huzaemah, FIqih Anak: Metode Islam dalam Mengasuh dan
Mendidik Anak serta Hukum-hukum yang Berkaitan dengan Aktivitas
Anak, Al-Mawardi Prima: Jakarta, 2004.
The New Book of Knowledge, USA: Grolier Incorporated, 1986.
The World Book Encyclopedia, USA: Field Entrepises Educational Corporation,
1966.
Zamzami, Mukhtar, “Pembaruan Hukum Keluarga Dalam Perspektif Politik
Hukum Islam di Indonesia”., Mimbar Hukum dan Peradilan. Jakarta: Pusat
Pengembangan Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHIMM), 2009)
Perundang-undangan
Departemen Agama R.I., Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta:
Departemen Agama R.I., 1997.
Undang-undang Dasar 1945, DAP Publsher: Jakarta, 2014.
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016, Bandung: Citra Umbara, 2017.
Undang-Undang Pokok Perkawinan, Bumi Aksara: Jakarta, 1989
Sumber Internet
87
https://www.maknaa.com/hukum/fiat-eksekusi diakses pada tanggal 25 September
2018.
http://syffzh2314.blogspot.com/2014/10/sistem-hukum-di- maroko.html diakses
pada tanggal 31 Juli 2018.
http://hasbagiilmu.blogspot.com/2015/08/sistem-politik-di-negara-negara-
islam.html diakses pada tanggal 1 Agustus 2018.
Moudawana al-Ahwal al-Shakhsiyah al-Jadidah fi al-Maghrib, Diakses dari
www.fmyv.es/ci/in/family/1.pdf pada 5 Mei 2018.
Jurnal
Chaare, Imane, Pro-Women Legal Reform in Morocco: Is Religion an Obstacle?
Proceedings of the German Development Economics Conference, Berlin
2011, No. 17.
Indra Tektona, Rahmadi, “Kepastian Hukum Terhadap Perlindungan Hak Anak
Korban Perceraian”, Muwâzâh, Volume. 4, Nomor. 1, Juli 2012.
M. Charrad, Mounira, Family Law Reforms In The Arab World:Tunisia And
Morocco, Good Practices in Family Policy Making:Family Policy
Development, Monitoring and Implementation: Lessons Learnt,
diselenggarakan sebagai bagian dari persiapan untuk ulang tahun kedua
puluh tahun internasioanal keluarga 2014
Malarangan, Hilal, “Pembaruan Hukum Islam Dalam Hukum Keluarga Di
Indonesia”, Jurnal Hunafa Vol. 5 No. 1, April 2008.
Marie Eisenberg, Ann, Law on the Books vs. Law in Action: Under-Enforcement
of Morocco's Reformed 2004 Family, Cornell Law Library Prize for
Exemplary Student Research Papers. Paper 1.
Nasiri, Perkawinan Di Maroko, Syaikhuna Volume 8 Nomor 1 Maret 2017.
Nasution, Khoiruddin, Perlindungan Terhadap Anak Dalam Hukum Keluarga
Islam Indonesia, Al-'Adalah Vol. XIII, No. 1, Juni 2016
Scott Prettitore, Paul, Family Law Reform, Gender Equality, and Underage
Marriage: A view from Morocco and Jordan, The Review of Faith &
International Affairs , volume 13, number 3 fall 2015.
Wahyuni, Sri, Pembaharuan Hukum Keluarga Islam Di Negara-negara Muslim,
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 2, 2013 M/1435 H
Hasil Penelitian
Wawancara pribadi dengan Dr. H., Nasich Salam Suharto, Lc, Llm. Hakim di
Pengadilan Agama 1A Cibinong, Bogor, 10 Agustus 2018.
HASIL WAWANCARA
Nama : Dr. H., Nasich Salam Suharto, Lc, Llm.
Jabatan : Hakim di Pengadilan Agama 1A Cibinong
S1 Mesir, S2 Sudan, S3 Sudan
1. Bagaimana pendapat bapak tentang hukum keluarga di Maroko?
Secara umum hampir mirip dengan Indonesia karena referensi utama dari
hukum materiil khususnya yang berkaitan dengan hal-hal yang berkaitan
dengan hukum keluarga bersumber dari hukum Islam.
2. Bagaimanakah penerapan hak asuh anak akibat perceraian di Indonesia ?
a. Yang berhak mengasuh anak setelah perceraian
1. Dalam KHI Pasal 105 dijelaskan bahwasanya hak asuh anak
dibawah umur 12 atau belum mumayyiz maka jatuh kepada
ibunya. Sedangkan diatas itu maka anak boleh memilih salah satu
dari kedua orang tua. Bagaimana dalam penerapannya? Apakah
ada pengecualian bahwa anak dibawah umur 12 atau belum
mumayyiz boleh jatuh ke bapaknya atau semacamnya?
Secara normative memang peraturan telah mengatur sedemikian
rupa tentang pengelolaan hak asuh anak. Bahwa anak dibawah
umur 12 atau belum mumayyiz hak asuhnya jatuh kepada ibunya.
Selebihnya maka diserahkan kepada anaknya. Maksud peraturan
ini adalah mengatur dalam kondisi normal. Kondisi dimana tidak
ada sesuatu yang menjadi konsideran lain. Jadi, pengecualian
bahwa anak dibawah umur 12 atau mumayyiz boleh jatuh ke
bapaknya, pertimbangannya adalah perlindungan anak. Jadi
perlindungan anak itu yang dikedepankan. Kata kunci dari
pengecualiannya adalah ketika anak menghendaki kepentingan
lain. Dalam hal ini majlis hakim dapat menghubungkan dengan
Undang-undang Perlindungan Anak dan menafsirkan ketentuan
umur 12 tahun itu karena ada kepentingan anak yang menghendaki
lain maka bisa ditetapkan kepada pihak selain dari ibu. Jadi yang
dimaksud dalam Undang-undang bukan mengatur hak ibu atau hak
ayah, tetapi mengatur tentang kepentingan anak yang terbaik.
2. Bolehkah jika pengasuh itu bukan orang tua?(jika keluarga,
bagaimana urutannya?) Bagaimana dengan yang tidak memiliki
ikatan keluarga?(kalau iya, apa syaratnya?) Bagaimana dengan
penerapannya?
Dimungkinkan karena semuanya bermuara kepada kepentingan
anak. Tinggal prosedurnya itu diatur dalam hukum acara. Secara
normative memang sudah diatur urutannya, akan tetapi kembali
lagi kata kuncinya kembali kepada kepada kepentingan anak
tinggal bagaimana di pembuktiannya apakah hak orang tua dapat
dikecualikan
b. Hak dan kewajiban pengasuh anak
Bagaimana dengan hak dan kewajiban pengasuh anak dalam
penerapannya?
Anak-anak memiliki hak-hak dasar. Hak untuk dibina dan
dikembangkan. Jadi, ketika seseorang sudah ditetapkan menjadi
pengasuh anak maka ia harus bisa memenuhi semua hak-hak anak.
c. Upah pengasuh
Apakah pengasuh mendapatkan upah meskipun ia ibu kandung atau
masih keluarga? Kenapa? (kalau iya apa persyaratannya?) dan
bagaimana penerapannya?
Dilihat dulu dari konteksnya. Akan tetapi jika terjadi kesepakatan
antara mantan suami dan mantan istri untuk memberikan upah kepada
yang ditetapkan menjadi pengasuh maka tidak menjadi masalah. Kalau
pengasuhnya itu orang lain, dalam praktik pengadilan dia bukan
diminta tapi menawarkan diri. Kalau ia menawarkan diri bagaimana
mungkin meminta untuk diupahkan. Karena jika salah seorang
mengajukan perkara permohonan hak asuh anak dan menaruh dalam
klausulanya untuk meminta upah maka majlis hakim akan berpikir
serius tentang ketulusan dari peminta hak asuh. Jadi masalahnya bukan
boleh atau tidak boleh tapi kembali lagi kepada kepentingan anak.
d. Syarat-syarat pengasuh
Dalam Undang-Undang Perkawinan secara tekstual sebenarnya saya
belum menemukan apa saja syarat-syarat seseorang untuk menjadi
pengasuh. Apa yang menjadi sudut pandang seorang hakim dalam
menentukan persyaratan apa saja yang harus dipenuhi untuk menjadi
pengasuh bagi anak? Dan bagaimana dalam penerapannya?
Secara singkat orang itu harus memiliki integritas dalam arti amanah
dan bertanggungjawab. Yang kedua dia memiliki kapasitas untuk
menjalankan tugasnya sebagai pengasuh seperti menjaga tumbuh
kembang anak, memberikan pendidikan, memastikan kepentingan
dasar anak tentang keyakinannya bisa diberikan
e. Hak-hak anak setelah terjadi perceraian
Apa yang membedakan hak-hak anak sebelum dan sesudah
perceraian? Dan bagaimana dalam penerapannya?
Hak-hak anak sebelum dan sesudah perceraian itu sama. Meskipun
secara factual kedua orang tuanya sudan bercerai, akan tetapi orang tua
yang menjadi pengasuh tidak boleh menghalang-halangi anak untuk
bertemu dan mendapatkan kasih saying dari orang tua yang tidak
memegang hak asuhnya.
f. Pengaruh perkawinan pengasuh terhadap hak asuh yang dipegangnya
Apakah perkawinan ayah/ibu pemegang hak asuh berpengaruh
terhadap hak asuh yang dipegangnya? Kalau iya, kenapa? Apakah ada
pengecualiannya? Bagaimana dalam penerapannya?
Secara aturan umum memang jika ibu menikah lagi maka dia akan
kehilangan hak asuhnya. Akan tetapi dalam kenyataannya bagaimana
jika ibu menikah lagi akan tetapi suami barunya menyatakan
mendukung dan ayah kandungnya sedang dalam kondisi moralitas
yang tidak baik?. Maka kembali lagi kepada kepentingan anak
menghendaki yang mana. Kita tidak bisa hanya mengacu dengan
Undang-undang tapi kita juga harus mempelajarinya lebih lanjut.
g. Alasan penyebab hilangnya hak asuh
Dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 49
dijelaskan bahwasanya salah seorang/kedua orang tua dapat dicabut
kekuasaannya dengan permintaan orang tua yang lainnya, keluarga
atau pejabat yang berwenang karena ia melalaikan kewajibannya dan
berprilaku buruk. Dalam penerapannya, adakah alasan lain yang dapat
menyebabkan hilangnya hak asuh? Dan kenapa?
Sebenarnya Undang-undang yang telah disebutkan itu sudah
mencakup semuanya. Ketika pemegang hak asuh anak mencederai
kepentingan dan membahayakan anak maka itu bisa menjadi alasan
pencabutan anak
h. Kunjungan anak
Apakah pengadilan turut serta mengatur tentang kunjungan anak antara
anak dan orang tua dan tidak mengasuh? Jika iya, hal-hal apa saja yang
hakim perhatikan dalam kunjungan anak? Dan bagaimana dan
penerapannya?
Dalam praktiknya detail tentang teknis hubungan orang tua yang
mengasuh dan tidak mengasuh diserahkan kepada kesepakatan kedua
belah pihak. Yang diatur dalam putusan adalah bahwa menghalang-
halangi pihak lain untuk memberikan kasih saying bisa menjadi alasan
untuk mencabut hak asuhnya.
Top Related