I’JAZ ‘ILMY AL-QUR’ÂN DALAM PENGGUNAAN
KATA SAMA’ DAN BASHAR
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh
Anzah Muhimatul Iliyya
NIM: 11140340000262
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H / 2019 M
ii
ABSTRAK
ANZAH MUHIMATUL ILIYYA
I’jaz ‘Ilmy Al-Qur’ân Dalam Penggunaan Kata Sama’ dan Bashar
I’jaz ‘ilmy merupakan salah satu kemukjizatan al-Qur’ân dalam segi
ilmu pengetahuan, yang muncul pada masa kebangkitan ilmu dan
sains di kalangan umat Islam. Islam sangat memotifasi umatnya
untuk selalu mengembangkan pengetahuan. Bahkan ilmu
pengetahuan dianggap sebagai sesuatu yang utama. Rujukan yang
paling menakjubkan dan fakta paling penting mengenai hal ini adalah
ayat-ayat al-Qur’ân yang turun paling awal, dan yang mendorong
manusia untuk mencari serta menjunjung tinggi pengetahuan itu.
Al-Qur’ân kerap kali menyebutkan kata sama’ dan bashar secara
bersamaan di dalam satu ayat, namun yang sering didahulukan adalah
kata sama’.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif yaitu
dengan mencari dan mengumpulkan data-data tentang objek
penelitan berupa kata sama’ dan bashar.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, ditemukan beberapa poin
simpulan, salah satunya adalah bahwa kata sama’ dan bashar dalam
al-Qur’ân disebutkan sebanyak tiga puluh empat kali, walaupun
dalam beberapa ayat didahulukan kata bashar, tetapi tidak mengubah
kekonsistenan al-Qur’ân dalam segi balaghah dan kandungannya.
Dan tentunya, kekonsistenan al-Qur’ân dalam penyebutan kata sama’
yang didahulukan, membuktikan bahwa fenomena yang terjadi di
alam semesta ini benar, indra pendengaran khususnya pada manusia,
memang sangat berperan penting mulai dari awal kita dilahirkan ke
dunia sampai kita berakhir di dunia.
Kata Kunci : Mukjizat, al-Qur’ân, I’jaz ‘Ilmy, Ilmiah, Fenomena
iv
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرمحن الرحمي
Syukur alhamdulillah penulis ucapkan pada kehadirat Allah Swt.,
yang telah mencurahkan nikmat-Nya yang tak terhingga, yang tak
dapat penulis sebutkan satu persatu, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “I’JAZ ‘ILMY AL-QUR’ÂN
DALAM PENGGUNAAN KATA SAMA’ DAN BASHAR” ini.
Sholawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada baginda
Rasulullah saw., beserta keluarga, sahabat serta pengikut-
pengikutnya sampai di Yaumul Qiyâmah. Penulis menyadari
sepenuhnya bahwa tanpa bantuan, bimbingan, dan dorongan dari
berbagai pihak, penulisan skripsi ini tidak dapat terselesaikan. Untuk
itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih
yang setulus-tulusnya kepada:
1. Allah Swt., yang atas izin-Nya penulis diberikan kesehatan
sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
2. Ibu Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., MA,
selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA, selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Dr. M. Ikhsan Tanggok, M. Si, selaku Wakil Dekan
Bidang Akademik Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, sebagai perantara yang atas izin-Nya
mempertemukan saya dengan jalur beasiswa dari Chinkung (China)
sehingga saya mendapatkan beasiswa kuliah selama delapan
semester.
v
5. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M. Ag, selaku Ketua Program Studi
Ilmu al-Qur’an dan Tafsir.
6. Ibu Dra. Banun Binaningrum, M.Pd, selaku Sekretaris Program
Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir.
7. Bapak Dr. Ahsin Sakho M. Asyrofuddin, MA selaku dosen
penasehat akademik sekaligus pembimbing skripsi yang dengan
kesabarannya berkenan memberikan petunjuk dan bimbingan kepada
penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
8. Segenap jajaran dosen dan civitas academica Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu tanpa mengurangi rasa
hormat, khususnya program studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir yang
ikhlas, tulus dan sabar untuk mendidik kami agar menjadi manusia
yang berakhlak mulia dan berintelektual.
9. Kedua orang tuaku tercinta (Abi Kholil Anshor dan Umi
Nurfaizah) yang tak pernah henti berjuang menyekolahkan anak-
anaknya meskipun selalu mendapat ujian-ujian yang sangat
menyulitkan. Doa yang selalu terlantun di setiap malammu adalah
pemeran terpenting dalam segala keberhasilanku. Seribu terimakasih
mungkin tak cukup untuk membalas jasamu. Semoga dengan skripsi
ini dapat menjadi sebuah kebanggaanmu terhadap anakmu.
10. Teman-teman seperjuangan pada program Ilmu al-Qur’an dan
Tafsir angkatan 2014 khususnya Laili Fitriani, teman-teman di
KAHFI BBC Motivator School serta teman-teman PSM UIN Jakarta
yang selalu mendoakan, terimakasih atas segala waktu dan usaha
untuk menemaniku dalam perjuangan skripsi yang telah kita lewati
bersama ini.
vi
11. Saudara-saudaraku yang selalu giat memotivasi penulis dan
menghibur penulis ketika menemui jalan susah dalam penulisan
skripsi ini.
12. Dan tak lupa pihak-pihak terkait yang lain yang tak sempat untuk
disebutkan di sini.
Teriring doa, semoga segala kebaikan semua pihak yang membantu
penulis dalam penulisan skripsi ini diterima di sisi Allah Swt., dan
mendapat pahala yang dilipatgandakan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun selalu
diharapkan demi kebaikan dan kesempurnaan skripsi ini. Semoga
skripsi ini dapat bermanfaat. Amin.
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI
1. Padanan Aksara
Berikut ini adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara
latin yang digunakan dalam skripsi ini1:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
b Be ب
t Te ت
ts Te dan Es ث
j Je ج
ẖ Ha dengan garis di bawah ح
kh Ka dan Ha خ
d De د
dz De dan Zet ذ
r Er ر
z Zet ز
s Es س
sy Es dan Ye ش
ş Es dengan garis di bawah ص
ḏ De dengan garis di bawah ض
ṯ Te dengan garis di bawah ط
ẕ Zet dengan garis di bawah ظ
1 Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan
Disertasi) Uin Syarif Hidayatullah Jakarta (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah,
2017), h. 31-32
viii
عKoma terbalik di atas hadap
kanan
gh Ge dan Ha غ
f Ef ف
q Ki ق
k Ka ك
l El ل
m Em م
n En ن
w We و
h Ha ھ
Apostrof ׳ ء
y Ye ي
2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk
vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut2:
Tanda Vokal
Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A Fatẖah ـ
I Kasrah ـ
U Ḏammah ـ
2 Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan
Disertasi) Uin Syarif Hidayatullah Jakarta (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah,
2017), h. 33
ix
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah
sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal
Latin
Keterangan
A A dan I ي ـ
I A dan U و ـ
3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu3:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal
Latin
Keterangan
â a dengan topi di atas ـا
î i dengan topi di atas ـي
û u dengan topi di atas ـو
3 Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan
Disertasi) Uin Syarif Hidayatullah Jakarta (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah,
2017), h. 33
x
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ………………………………
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI …………………
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI …………...
ABSTRAK …………………………………………………
KATA PENGANTAR …………………………………….
TRANSLITERASI ………………………………………..
DAFTAR ISI ……………………………………………… vv
ii
iv
vii
x
BAB I PENDAHULUAN ……………………………. 1
A. Latar Belakang Masalah ………………….. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah …… 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………….. 10
D. Metodologi Penelitian .…………………… 10
E. Tinjauan Pustaka …………………………. 12
F. Sistematika Penulisan ……………………..
16
BAB II I’JAZ AL-QUR’ÂN …………………………… 18
A. I’jaz ‘Ilmy al-Qur’ân ………………………
1. Pengertian I’jaz al-Qur’ân …………….
2. Macam-macam I’jaz al-Qur’ân .……....
3. Sisi Kemukjizatan al-Qur’ân ………….
4. Substansi I’jaz ‘Ilmy al-Qur’ân ………..
5. Kedudukan ‘Ilmy dan al-Qur’ân .………
18
18
21
22
26
31
BAB III KAJIAN KATA SAMA’ DAN BASHAR …..
A. Penciptaan Indra Manusia ………………
B. Kata Sama’: Pendengaran …………….
34
34
37
xi
1. Proses Pendengaran ……….………..
2. Fungsi Pendengaran ………………
3. Penyebutan Kata Sama’ dalam al-
Qur’ân ……………………………..
C. Kata Bashar: Penglihatan ……………..
1. Proses Penglihatan ………………….
2. Fungsi Penglihatan …………………
3. Penyebutan Kata Bashar dalam al-
Qur’ân ………………………………
D. Klasifikasi Kata Sama’ dan Bashar
1. Berdasarkan Bentuk Kata ………….
2. Berdasakan Subyek Obyek …………
37
38
40
40
40
41
43
46
47
48
BAB IV ANALISIS KAJIAN KATA SAMA’ DAN
BASHAR ………………………………………..
50
A. Sama’ Bashar dalam Subyek Manusia ……..
B. Kategori Kata Sama’ dan Bashar …………
1. Sama’ dan Bashar Mufrad …………….
2. Sama’ Mufrad dan Bashar Jamak ……...
C. Fenomena Kata Sama’ dan Bashar ………..
D. Tafsiran al-Qur’ân Pada Kata Sama’ dan
Bashar ………………………………………
50
51
51
51
52
63
BAB V PENUTUP ……………………………………. 70
A. Kesimpulan ………………………………… 70
B. Kritik dan Saran ……………………………
71
DAFTAR PUSTAKA …………………………………….. 72
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’ân adalah firman Allah yang mukjizat, yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dalam bahasa Arab, yang
tertulis dalam mushaf, yang dibacanya terhitung sebagai ibadah,
yang di riwayatkan secara mutawatir, yang dimulai dengan surat al-
Fâtihah dan diakhiri dengan surat al-Nâs.1 Alquran adalah mukjizat
yang tak pernah habis untuk dikaji.
Al-Qur’ân secara harfiah berarti “bacaan sempurna”
merupakan suatu nama pilihan Allah yang sungguh tepat, karena
tiada satu bacaan pun sejak manusia2 mengenal tulis-baca lima ribu
tahun yang lalu yang dapat menandingi al-Qur’ân al-Karim, bacaan
sempurna dan mulia.3
Al-Qur’ân al-Karim akan senantiasa berbicara kepada intelek
(akal) manusia serta menerangi bagian-bagian yang masih gelap di
alam semesta ini. Selain itu, kitab suci ini menampakkan hakikat-
hakikat ilmiah yang masih belum diketahui manusia. Hal ini dimak-
sudkan agar orang-orang yang berakal dapat menyaksikan ayat-ayat
(tanda-tanda kekuasaan) Allah Swt. dengan itu, penyaksian ter-
hadap ayat-ayat-Nya akan menjadi faktor pendorong mereka
beriman kepada-Nya.
1 Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir jilid 1 (juz 1-2), terjemahan Abdul
Hayyie al Kattani, dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2013), h. 1 2 M. Quraish Shihab, Sejarah dan ‘Ulum al-Qur’ân, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1999), h. 113 3 M. Quraish Shihab, WAWASAN AL-QURAN: Tafsir Tematik atas Pel-
bagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan Pustaka, 1996), h. 3
2
Al-Qur’ân merupakan petunjuk, rahmat, dan cahaya bagi umat
manusia di setiap zaman dan tempat. Sebab, tidak ada satupun
hakikat (teori) ilmiah atau fenomena alam yang tidak disebutkan
dalam Alquran sejak lebih dari empat belas abad silam. Semua itu
telah dibacakan kepada umat manusia, dan manusia pun selalu
membacanya dari generasi ke generasi, di setiap zaman dan tem-
pat.4
Keistimewaan Alquran yaitu tidaklah mungkin Alquran ini
dibuat oleh selain Allah; tetapi Alquran itu membenarkan kitab-
kitab sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah
ditetapkannya. Tidak ada keraguan didalamnya, (diturunkan) dari
Tuhan Semesta Alam.5
Alquran mempunyai dua fungsi utama, yaitu sebagai sumber
ajaran dan bukti kebenaran Muhammad saw. sebagai sumber ajaran,
Alquran memberikan berbagai norma keagamaan sebagi petunjuk
bagi kehidupan umat manusia untuk mencapai kebahagiaan di dunia
dan di akhirat yang merupakan akhir dari perjalanan hidup mereka.
Karena sifatnya memberikah arah, norma-norma tersebut kemudian
dinamai syari’ah yang berarti jalan lurus.6
Dalam ‘Ulum al-Qur’ân, kajian pembuktian keotentikan
Alquran disebut sebagai mukjizat Alquran atau i’jaz al-Qur’ân.
Banyak aspek kemukjizatan Alquran yang menjadi sumber decak
kekaguman, diantaranya kemukjizatan ilmiah (al-i’jaz al-’ilmy)
4 Abu Akbar Achmad, PUSTAKA PENGETAHUAN AL-QURAN, jilid 6
Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: PT Rehal Publika, 2007), h. 48 5 Amin Sumawijaya, Biarkan Al-Qur’ân Menjawab, (Jakarta: Penerbit
Zaman, 2013), h. 31 6 Quraish Shihab, Ahmad Sukarja, Badri Yatim, dkk, Sejarah dan
‘Ulumul Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013), h. 104
3
Alquran. Istilah al-I’jaz al-’ilmy (kemukjizatan ilmiah) Alquran
mengandung makna bahwa sumber ajaran agama tersebut telah
mengabarkan kepada kita tentang fakta-fakta ilmiah yang kelak
ditemukan dan dibuktikan oleh eksperimen sains umat manusia,
yang mungkin belum dapat dicapai atau diketahui dengan sarana
kehidupan yang ada pada zaman Rasulullah saw.
Orientalis H.A.R. Gibb pernah menulis bahwa: “Tidak ada
seorangpun dalam seribu lima ratus tahun ini telah memainkan
‘alat’ bernada nyaring yang demikian mampu dan berani, dan
demikian luas getaran jiwa yang diakibatkannya, seperti yang
dibaca Muhammad (Alquran).” Demikian terpadu dalam Alquran
keindahan bahasa, ketelitian dan keseimbangannya dengan
kedalaman makna, kekayaan dan kebenarannya serta kemudahan
pemahaman dan kehebatan kesan yang ditimbulkannya.7
Berdasarkan kisah-kisah yang diangkat Alquran, al-Suyûthî
membagi mukjizat para nabi dan rasul pada dua kelompok besar,
yakni mukjizat hissiyyah (dapat ditangkap pancaindra), dan
‘aqliyyah (hanya dapat ditangkap nalar manusia). Mukjizat
hissiyyah diperkenalkan oleh nabi yang berhadapan dengan umat
terdahulu, seperti Nabi Musa dengan tongkatnya yang dapat
berubah menjadi ular untuk membungkam para penyihir8 karena
tingkat kemampuan akal serta minimnya kekuatan pandangan nalar
Bani Israil pada waktu Musa diutus kepada mereka.9 Mukjizat-
mukjizat itu hanya dapat diperlihatkan kepada umat tertentu dan
7 M. Quraish Shihab, WAWASAN AL-QURAN: Tafsir Tematik atas
Pelbagai Persoalan Umat, h. 5 8 Ahmad Izzan, ‘Ulum al-Qur`an: Telaah Tektualitas dan Kontektual-
itas Al-Qur’ân, (Bandung: Tafakkur, 2009), h. 140 9 Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, al-Itqân fī ‘Ulûm al-Qur`ân, jilid 2 cet. III,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), h. 252
4
masa tertentu10. Berbeda dengan para nabi dan rasul terdahulu,
Muhammad diutus untuk seluruh umat manusia hingga akhir
zaman. Karena itu mukjizat beliau bersifat ‘aqliyyah karena mereka
mempunyai tingkat kecerdasan yang tinggi dan kemampuan kognisi
yang sempurna.11
Manusia seperti halnya makhluk yang lain, berada dalam
pemeliharaan Allah sejak kelahiran hingga kematiannya. Setiap
makhluk dibimbing oleh suatu sistem khusus menuju suatu tujuan
yang telah ditentukan. Semua perbuatan buruk yang dilakukan
manusia ternyata bersumber dari manusianya sendiri yang mempu-
nyai akal dan kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang
buruk akibat egoisme, kerakusan dan hawa nafsu. Oleh karena itu,
Allah Swt. mengajarkan perintah-perintah-Nya kepada hamba-
hamba pilihan melalui wahyu dan menugaskan mereka untuk
menindaklanjuti perintah-perintah itu kepada umat manusia,
mengajak mereka untuk mengikuti dengan mengembankan rasa
takut, dorongan dan ancaman.12
Dalam al-Qur’ân ditemukan banyak ayat yang membicarakan
berbagai macam ilmu. Manusia dan alam adalah sumber ilmu in-
drawi dan rasional. Tuhan juga adalah sumber ilmu melalui wahyu
dan ilham-Nya. Al-Qur’ân, di samping mengandung pengetahuan
tentang aqidah (keyakinan atau kepercayaan), ibadah (aktivitas
hubungan vertikal), mu’amalah (aktivitas hubungan horizontal),
termasuk ekonomi, akhlak, sejarah, geografi, kesehatan, matematika
10
Muhammad Bakr Ismâ’îl, Dirâsât fī ‘Ulûm al-Qur`ân, (Kairo: Dar
al-Manar, 1991), h. 395 11
Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur`ân, h. 252 12
Sayyid Muhammad Husain Thabathabā’ī, Inilah Islam, terjemahan
dari Islamic Teaching: an Oveview, oleh Ahsin Muhammad, (Jakarta: Pustaka
Hidayah, 1992), h. 62-63
5
dan lain sebagainya, juga membicarakan tentang eksistensi akal dan
indra, sebagai media atau sumber yang dapat dimanfaatkan untuk
memperoleh dan mengembangkan ilmu. Dalam pandangan Islam,
akal mempunyai pengertian tersendiri dan berbeda dari pengertian
umumnya, akal bukanlah otak, melainkan daya berpikir yang ada
dalam jiwa manusia. Akal dalam Islam, adalah pertalian antara
pikiran, perasaan, dan kemauan.
Selain akal, indra juga merupakan instrumen penting bagi
manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Namun
antara satu indra dengan indra yang lainnya terdapat perbedaan,
ditinjau dari sisi mana yang terpenting bagi manusia dalam in-
teraksinya. Ketika salah satu alat indra hilang, maka terdapat dua
kemungkinan. Pertama, pengaruhnya selain terkait dengan fungsi
indra yang hilang tersebut, juga mempunyai pengaruh terhadap
fungsi indra yang lainnya. Yang kedua, pengaruhnya hanya terkait
dengan fungsi indra yang hilang tersebut dan tidak berpengaruh ter-
hadap fungsi indra yang lainnya.
Pancaindra manusia, sebagaimana yang kita ketahui meliputi
lima indra (al-hawas al-khams), yaitu, penglihatan, pendengaran,
penciuman, peraba dan perasa. Untuk masing-masing indra terdapat
sel-sel indra khusus yang bertanggungjawab untuk mengantarkan
pengaruh yang datang dari luar tubuh ke pusat syarat yang terdapat
di otak melalui sel-sel perantara, sehingga pengaruh yang datang itu
bisa cepat direspon.
Kelima indra yang dimiliki manusia ini harus bekerja secara
padu dalam menjalankan fungsinya masing-masing sehingga
manfaat dari pancaindra ini bisa dicapai secara sempurna. Dan jika
6
salah satu dari kelima indra ini kehilangan fungsinya, maka kesem-
purnaan indra ini tidak dapat dicapai.
Ciri yang menandakan bahwa suatu alat indra tidak bisa ber-
fungsi secara sempurna, dapat diketahui secara langsung dengan
memerhatikan tingkat kecepatan respon yang diberikan otak atas
pengaruh yang sampai kepadanya. Kelambatan respon ini, terka-
dang bisa membawa akibat yang bisa membahayakan manusia.
Berkenaan dengan pancaindra ini, dalam beberapa ayat al-
Quran, Allah berfirman:
ههتك ل تعلمون شيــئا و جعل لـك ن بطون ام اخرجك م والله مع والبصه الس
والفئدة لعلك تشكرون
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan
tidak mengetahui sesuatu apapun, dan Dia memberi kamu pen-
dengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur” (QS. al-
Nahl [16]: 78)
ئك كن عنه ول تقف ما لـيس لـك به مع والبص والفؤاد ك اوله ن الس ل ا ع
ئول مس
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui.
Karena sesungguhnya pendengaran dan penglihatan dan hati
semuanya itu akan di minta pertanggung jawabannya“ (QS. al-Isrâ
[17]: 36 )
ا تشكرون يل م مع والبصار والفئدة قل ي انشا لـك الس وهو ال
“Dan Dialah yang menciptakan bagi kamu sekalian, pendengaran,
penglihatan dan hati. Tetapi sedikit sekali kamu bersyukur” (QS.
al-Mu’minûn [23]: 78)
7
Dari ayat-ayat di atas, dapat kita pahami bahwa Tuhan mem-
berikan manusia alat untuk melihat (al-bashar), alat untuk
mendengar (al-sama’), alat untuk merasa (al-zauq), dan lain-lain
untuk memahami dan menyadari sesuatu. Dalam ayat diatas
Alquran juga menyatakan urutan penciptaan indra manusia sejak
dalam kandungan. Berikut ini hanya sebagian kecil dari
kemukjizatan al-Qur’ân dalam penggunaan kata sama’ dan bashar
berdasarkan ayat-ayat diatas:
1. Kata sama’ dan bashar bersamaan dalam satu ayat dan lebih
sering disebutkan sama’ dahulu
2. Kata sama’ disebutkan dalam bentuk tunggal, sedangkan bashar
jamak
3. Indra pendengaran lebih dahulu diciptakan dibandingkan indra
penglihatan dalam tafsiran ayat al-Qur’ân
4. Indra pendengaran (sama’) adalah yang pertama kali aktif da-
lam organ tubuh (sehingga bayi baru lahir diazankan atau ketika
di dalam perut sudah ada rangsangan)
5. Indra pendengaran adalah indra yang terakhir kali aktif (sehing-
ga Islam mengajarkan ketika sakaratul maut di talqin)
6. Indra pendengaran akan tetap aktif meskipun tidur (kecuali da-
lam kisah Ashabul Kahfi di dalam surat al-Kahfi ayat 26)
7. Ayat al-Qur’ân yang menggunakan kata sama’ dan bashar
secara bersamaan menanyakan tentang pertanggung jawaban,
peringatan untuk orang kafir, munafik dan fasik.
Hal ini tentunya sangat menarik dan menakjubkan mengingat
tidak adanya pengetahuan mengenai embriologi pada saat Alquran
diturunkan, dan dengan tegas dinyatakan bahwa urutan penciptaan
pertama adalah pendengaran, kemudian penglihatan, berikutnya
8
adalah hati. Munculnya fenomena pada pendengaran dan
penglihatan dalam Alquran sangat menarik untuk dikaji dan diteliti.
Di dalam kaidah ilmu tafsir, jika Allah dalam Alquran menyebut
beberapa hal dengan urut, maka seperti urutan itu pula kejadian dan
fakta yang sesungguhnya.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Al-Qur’ân adalah mukjizat nyata bagi seluruh manusia.
Berbagai macam kemukjizatan dalam ayat-ayat Alquran telah
disebutkan secara tersirat di dalam teks Alquran dan tersurat dalam
keajaiban fenomena alam semesta sebagai pembuktiannya.
Al-Qur’ân menggunakan kata bashar “penglihatan”
بأصار/بصر) dan derivasinya secara umum sebanyak 148 kali13. Dan (الأ
penulis melacak kata sama’/pendengaran (ع dan derivasinya (السمأ
secara umum di dalam Alquran sebanyak 164 kali, selalu
disebutkan dalam bentuk tunggal.
Di antara pelacakan di atas, penulis hanya membatasi
penelitian dari banyaknya kemukjizatan Alquran secara khusus
dalam ayat-ayat yang menyebutkan kata pendengaran (ع dan (السمأ
penglihatan (بصر / بأصار beserta derivasinya secara bersamaan (الأ
dalam satu ayat al-Qur’ân, yang disebutkan sebanyak 34 kali yaitu
13
Lilik Ummi Kaltsum, Laporan Hasil Penelitian: Sistem Episte-
mologi Qurani (Analisa atas Konsistensi Al-Qur’ân dalam Penggunaan Kata
Ra’a, Nazhara dan Bashar), (Jakarta: LP2M UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2015), h. 63
9
dalam QS. al-Baqarah [2]: 7, 20, QS. al-Nisâ [4]: 58, 134, QS. al-
An’âm [7]: 46, QS. al-‘Arâf [7]: 179, 195, 198, QS. Yûnus [10]: 31,
QS. Hûd [11]: 20, 24, QS. al-Naḥl [16]: 78, 108, QS. al-Isrâ’ [17]:
36, QS. al-Kahfi [18]: 26, QS. Maryam [19]: 38, 42, QS. al-Hajj
[22]: 26, 61, 75, QS. al-Mu’minûn [23]: 78, QS. Luqmân [31]: 28,
QS. al-Sajdah [32]: 9, 12, QS. Ghâfir [40]: 20, 56, QS. Fuṣṣilat
[41]: 20, 22, QS. asy-Syûra [42]: 11, 23, QS. al-Jâtsiyah [45]: 23,
QS. al-Aḥqâf [46]: 26, QS. al-Mujâdilah [58]: 1, QS. al-Mulk [67]:
23, QS. al-Insân [76]: 2.
Namun kali ini, penulis fokus pada kata sama’ dan bashar
yang berada dalam satu ayat bersamaan tanpa derivasinya yang
terdapat pada enam belas ayat yaitu QS. al-Baqarah [2]: 7, 20, QS.
al-An’âm [7]: 46, QS. Yûnus [10]: 31, QS. Hûd [11]: 20, QS. al-
Naḥl [16]: 78, 108, QS. al-Isrâ’ [17]: 36, QS. Maryam [19]: 38, QS.
al-Mu’minûn [23]: 78, QS. al-Sajdah [32]: 9, QS. Fuṣṣilat [41]: 20,
22, QS. al-Jâtsiyah [45]: 23, QS. al-Aḥqâf [46]: 26, QS. al-Mulk
[67]: 23.
Dalam hal ini fokus penulis hanya pada QS. al-Naḥl [16]: 78,
QS. al-Isrâ’ [17]: 36, al-Sajdah [32]: 9, dan al-Jâtsiyah [45]: 23,
yang menitikberatkan pada i’jaz ‘ilmy dalam penggunaan kata
sama’ dan bashar di dalam Alquran berdasarkan ayat diatas.
2. Perumusan Masalah
Dengan demikian, berdasarkan latar belakang masalah di atas,
permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini yaitu:
1. Apa I’jaz ‘Ilmy al-Qur’ân yang terdapat dalam kata sama’ dan
bashar?
10
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Semua penelitian pasti mempunyai tujuan tertentu. Dalam
penelitian ini penulis mempunyai tujuan sebagai berikut:
a. Untuk membuktikan adanya i’jaz ‘ilmy dalam Alquran.
b. Untuk membuktikan bahwa Alquran adalah sumber
ilmu pengetahuan khususnya yaitu ilmu sains.
c. Untuk menemukan cara Alquran mengkonstruk sistem
makna dari kata sama’ dan bashar yang berdiri secara
bersamaan dalam Alquran.
d. Untuk mengetahui adanya fenomena Alquran dengan
kemukjizatan ilmiah.
e. Sebagai kontribusi ilmiah dalam memperkaya khazanah
kepustakaan ilmu pengetahuan Islam.
f. Sebagai tugas akhir, guna memperoleh gelar Sarjana
(S1) dalam bidang Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir di
Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan
wawasan baru untuk para peneliti Alquran terkait tentang adanya
kemukjizatan dalam Alquran mengenai keilmuwan (‘ilmy).
D. Metodologi Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini langkah penelitian yang
digunakan penulis adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
11
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan
metode pengumpulan data menggunakan library research14
melalui pendekatan analisis isi (content analysis)15 yang
bersandar pada analisa kebahasaan. Adapun metode yang
digunakan adalah metode tafsir maudhu’i yaitu menghimpun
seluruh ayat Alquran yang memiliki tujuan dan tema yang
sama16 dan biasa disebut dengan tafsir tematik.
2. Teknik Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data dalam penelitian ini, penulis
menggunakan sumber data primer dan sumber data sekunder.
Sebagai data primer, tentunya penulis merujuk langsung pada
al-Qur’ân, selain itu merujuk pada kitab-kitab tafsir
diantaranya kitab Madâkhil I’jaz al-Qur’ân karya Mahmud
Muhammad Syakir, kitab Tafsir al-Munir karya Wahbah al-
Zuhaili dan kitab al-Itqân fi ‘Ulum al-Qur’ân karya Jalâl al-
Dîn al-Suyûthi. Sedangkan data sekunder adalah data-data
yang dicari dari sumber-sumber kepustakaan berupa buku-
buku, majalah, artikel, dan lain-lain.
Adapun data utama dalam penelitian ini adalah kosakata
yang digunakan dalam Alquran. Sedangkan teknik pengelolaan
data dalam penelitian adalah sebagai berikut: Pertama, memilih
kosakata yang menyebutkan kata sama’ dan bashar; Kedua,
mengumpulkan ayat yang menggunakan kosakata-kosakata
14
Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis
(Jakarta: Rineka Cipta, 1993), h. 10. 15
Content analysis atau kajian isi adalah metodologi penelitian yang
memanfaatkan seperangkat prosedur untuk menarik kesimpulan yang sahih
dari sebuah buku atau dokumen. Lihat: Robert Philip Weber, Basic Content
Analysis, (Beverly Hills: Sage Publications, 1885), h.9 16
Abdul Hayy al-Farmawi, Al-Bidayah Fi Al-Tafsir Al-Maudhu’i,
(Mesir: Dirasat Manhajiyyah Maudhu’iyyah, 1997), h. 41
12
tersebut beserta derivasinya; Ketiga, mengkaji mengenai i’jaz
al-Qur’ân pada kata sama’ dan bashar; Keempat, mengkaji
proses dan istilah kata sama’ dan bashar kemudian
mengkategorisasikan kosakata-kosakata berdasarkan bentuk
kata dan subyek-obyek; Kelima, menafsirkan ayat yang
bertumpuh pada kata sama’ dan bashar yang berdiri secara
bersamaan dalam satu ayat serta menganalisis kata sama’ dan
bashar berdasarkan fenomena yang terjadi di alam semesta ini.
3. Teknik Penulisan
Secara teknis penulisan skripsi ini berdasarkan pada buku
“Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skirpsi, Tesis, dan
Disertasi) UIN Syarif Hidayataullah Jakarta 2017.”
E. Tinjauan Pustaka
I’jaz ‘ilmy merupakan bagian dari pembahasan mukjizat
Alquran, dalam kajian Alquran banyak disajikan dalam bentuk
kitab, buku atau bahkan karya ilmiah. Untuk menghindari
terjadinya kesamaan dalam pembahasan dengan penelitian yang
lain, penulis menelusuri kajian-kajian yang pernah dilakukan atau
memiliki kesamaan. Selanjutnya penelitian tersebut akan dijadikan
sumber acuan dengan dalih menghindari penggunaan metodologi
yang sama, sehingga diharapkan penelitian ini tidak terkesan plagiat
atas penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Setelah
melakukan penelusuran pustaka yang berkaitan penelitian akade-
mis, peneliti tidak menemukan kajian ini dalam bentuk skripsi.
Namun penulis menemukan riset sejenis diantaranya, adalah:
1. Pipin Armita dengan judul tesis Relevansi Kalimat Sama’, Ba-
shar, dan Fuad dalam al-Qur’ân dengan Neurosains (Kajian
13
I’jaz ‘Ilmy Al-Qur’ân).17 Tesis ini membuktikan bahwa Alquran
merupakan sumber dari segala ilmu, khususnya dalam ilmu
Neurosains, dengan pembuktian pada kalimat Sama’, Bashar,
dan Fuad dalam ayat-ayat Alquran.
2. Buku Terjemahan Abu Akbar Achmad dengan judul Pustaka
Pengetahuan Alquran jilid 6 (Ilmu Pengetahuan).18 Buku ini
merupakan terjemahan dari kitab asli yang berjudul Manhaj al-
Qur’ân al-Karim Fi Islah al-Mujtama’, Qasas al-‘Ilm Fi al-
Qur’ân. Dalam buku ini, tepatnya pada jilid 6 mengenai ilmu
pengetahuan membahas tentang keistimewaan pendengaran dan
penglihatan.
3. Buku Nadiah Thayyarah dengan judul Buku Pintar Sains dalam
Al-Quran. Dalam sub bab pada buku ini membahas tentang
mukjizat ilmiah pendengaran, penglihatan dan hati.19
4. Artikel Mahfudz Siddiq dengan judul Konfigurasi Kata Sam’,
Bashar, dan Fu’ad dalam Alquran menurut Tinjauan Ilm Al-
Ma’aniy dalam Jurnal LiNGUA. Dalam tulisan jurnalnya
mengatakan bahwa gaya bahasa Alquran memiliki pola dan
konfigurasi tersendiri yang tidak dapat ditiru meskipun hanya
satu surat saja, baik itu dalam aspek balaghah, keunggulan dan
ketepatan diksi, keindahan dalam ekspresi, yang memadukan
17
Pipin Armita, Relevansi Kalimat Sama’, Bashar, dan Fuad dalam
Alquran dengan Neurosains (Kajian I’jaz ‘ilmy Al-Quran), (Tesis, UIN Sultan
Syarif Kasim Riau, 2015) 18
Abu Akbar Achmad, PUSTAKA PENGETAHUAN AL-QURAN, ji-
lid 6 Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: PT Rehal Republika, 2007) 19
Nadiah Thayyarah, Buku Pintar Sains dalam Al-Quran, (Jakarta:
Zaman, 2013), h. 263
14
antara kejernihan kata dan kefasihannya, kekuatan kata dan ke-
jernihannya, serta kehangatan iman dan gejolak retorikanya.20
5. Artikel dengan judul I’jâz Al-Qur’ân: Menelusuri Bukti Ke-
otentikan Al-Qur’an oleh Sulaiman Ibrahim dari IAIN Sultan
Amai Gorontalo, dalam jurnal Farabi. Dalam sub bab mengenai
i'jâz al-Qur’ân pada aspek isyarat-isyarat ilmiahnya dikatakan
bahwa kemukjizatan ilmiah al-Qur’ân bukanlah terletak pada
cakupannya saja akan teori-teori ilmiah, maka Allah Swt. telah
memberikan pendengaran, penglihatan dan hati kepada manusia
agar dipergunakan untuk merenung, memikirkan dan memper-
hatikan apa-apa yang ada di luar dirinya secara ilmiah.21
6. Artikel dengan judul Kecerdasan Anak dalam Perspektif
Alquran oleh Tamrin dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Palu, dalam Jurnal Rausyan Fikr. Dalam sub bab mengenai da-
sar kecerdasan intelektual anak, menjelaskan bahwa antara al-
sama’ dan al-Bashar adalah dua hal yang sangat penting namun
sangat sederhana bahkan terabaikan oleh sebagian manusia.22
7. Artikel dengan judul Petunjuk Alquran Tentang Belajar dan
Pembelajaran oleh Munirah dari UIN Alauddin Makassar, da-
lam jurnal Lentera Pendidikan. Dalam awal pembahasan
dikatakan bahwa dalam proses belajar dan pembelajaran di-
tuntut adanya usaha yang maksimal dan memfungsikan segala
komponen berupa alat-alat potensial yang ada pada diri manu-
sia, berdasarkan surat al-Nahl ayat 78 adanya tiga komponen
20
Mahfudz Siddiq, Konfigurasi Kata Sam’, Bashar, dan Fu’ad dalam
Alquran menurut Tinjauan Ilm Al-Ma’aniy dalam Jurnal LiNGUA, Vol. 5, No.
1, Juni 2010, h. 9 21
Sulaiman Ibrahim, I’jâz Al-Qur’ân: Menelusuri Bukti Keotentikan
Al-Qur’an, Jurnal Farabi, Vol. 12 No. 1 Juni 2015, h. 43 22
Tamrin, Kecerdasan Anak dalam Perspektif Alquran, Jurnal
Rausyan Fikr, Vol. 14 No. 2 Desember 2018, h. 345
15
yang terlibat dalam teori pembelajaran, yaitu: al-sam’a, al-
bashar dan al-fu’ad.23
8. Artikel dengan judul Metode Ilmu Menurut Perspektif Al-
Qur’an oleh Indo Santalia dari UIN Alauddin Makassar, dalam
jurnal Tafsere. Sama seperti artikel sebelumnya dalam
penelitiannya menemukan bahwa menurut Alquran, ada tiga
komponen yang terlibat dalam proses penemuan ilmu penge-
tahuan, yaitu; al-sama, al-bashar dan fu’ad. Ketiga komponen
ini, merupakan alat potensial yang dimiliki manusia untuk
memperoleh pengetahuan.24
9. Artikel dengan judul Interpreting Some Features of Sama’
Verses Using Data Extraction of Quran Ontology oleh Mu-
hammad Widus Sempo, Rosalina Abdul Salam, Robiatul Ad-
awiyah Mohd dan Wan Nur Rahini Aznie Binti Zainuddin dari
Islamic Science Institute (ISI), dalam International Journal of
Humanities and Social Science Invention. Membahas tentang
kata sama’ (mendengar) dengan konsep Ontologi.25
10. Artikel dengan judul Optimalisasi Penggunaan Abshar dalam
Belajar dan Pembelajaran oleh Hilmi dari UIN Ar-Raniry Ban-
da Aceh. Dalam tahapan penggunaan sumber daya dalam bela-
jar dan pembelajaran, yang merupakan alat atau sumber daya
yang pertama berfungsi adalah sama’ (pendengaran). Lalu dari
23
Munirah, Petunjuk Alquran Tentang Belajar dan Pembelajaran,
Jurnal Lentera Pendidikan, Vol. 19 No. 1 Juni 2016, h. 45 24
Indo Santalia, Metode Ilmu Menurut Perspektif Al-Qur’an , Jurnal
Tafsere, Vol. 1 No. 1 2013, h. 65 25
Muhammad Widus Sempo, dkk, Interpreting Some Features of
Sama’ Verses Using Data Extraction of Quran Ontology, International
Journal of Humanities and Social Science Invention, Vol. 5 No. 6 Juni 2016, h.
42
16
apa yang di dengar seseorang berusaha untuk berbicara. Selan-
jutnya mulai menggunakan mata baik untuk membaca maupun
menulis. Adapun sumber daya yang paling tinggi adalah af’idah
yaitu mata hati.26
Dari beberapa penelitian sebelumnya, secara khusus penelitian
yang membahas I’jaz ‘ilmy dalam kata Sama’ dan Bashar dalam al-
Qur’ân belum banyak dilakukan. Maka, penulis merasa penting un-
tuk melakukan penelitian ini.
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penulis dalam menulis skripsi ini, maka
penulis menyusun dengan sistematika sebagai berikut:
Bab pertama, membahas pendahuluan yang mencakup latar
belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, metodologi penelitian, sistematika penulisan,
bab ini ditujukan untuk memberikan gambaran keseluruhan
permasalahan yang akan dibahas secara merinci di bab selanjutnya.
Bab kedua, membahas I’jaz al-Qur’ân. Karena dalam
penelitian ini adalah menekankan bahasan tentang kemukjizatan
atau keajaiban Alquran untuk dapat membuktikannya, maka mutlak
penting dan perlu peneliti terlebih dahulu mengenal tentang i’jaz al-
Qur’ân khususnya i’jaz ‘ilmy.
Bab ketiga, Kajian Kata Sama’ dan Bashar. Pada bab ini
adalah lanjutan dari bab sebelumnya, yaitu membahas penciptaan
indra manusia, proses, fungsi serta klasfikasinya pada kata sama’
dan bashar dalam Alquran. Klasifikasi kata sama’ dan bashar
26
Hilmi, Optimalisasi Penggunaan Abshar dalam Belajar dan
Pembelajaran, Jurnal Lantanida, Vol. 3 No. 2 2015, h. 151
17
dengan menelurusi kata sama’ dan bashar berdasarkan bentuk kata
dan kategori kata sama’ dan bashar berdasarkan subyek obyek.
Bab keempat, Analisis Kajian Kata Sama’ dan Bashar.
Pembahasannya terdiri dari, kategori kata sama’ dan bashar
berdasarkan mufrad jamak, fenomena dan tafsiran Alquran. Oleh
peneliti sekaligus menjadikan objek judul dalam penelitian. Maka,
pentingnya adalah untuk pembuktian kemukjizatan Alquran dalam
kata sama’ dan bashar dengan fenomena-fenomena yang terjadi
sebagai bukti adanya kemukjizatan ilmiah.
Bab kelima, merupakan penutup yang berisi kesimpulan yang
ditarik dari bab-bab sebelumnya. Kesimpulan adalah; jawaban
peneliti atas pertanyaan penelitian pada rumusan masalah yang
menjadi dan dilanjutkan dengan kritik serta saran-saran.
18
BAB II
I’JAZ AL-QUR’ÂN
A. I’jaz al-Qur’ân
1. Pengertian I’jaz al-Qur’ân
Secara bahasa i’jaz/ از عجإ merupakan derivasi (bentuk masdar)
dari a’jaza/ زجعجأ bermakna al-faut/ وإلفج ت ; meninggalkan atau as-
sabq/ ق بإلس ج ; mendahului. Ketika dikatakan: a’jazani fulan ay
fatani/ ف نزجعجإج جفج يأ ن لج نات bermakna seseorang meninggalkan atau
mendahului saya. Sedangkan al-mu’jizah ۃزججعم لإج berarti; إتزججعم ۃ دجإحوج
إل إلس م يلجعجاءيجبن م لج salah satu dari mukjizat para Nabi a.s.1
Sedangkan ‘ajaza/ ج زجعج , ج ج ۔ زجعج يعجضجز اجعجوجه فجإز عج ۔ز جعي memiliki arti ف
yang sama dengan da’ufa/ ع ضج فج atau bermakna lemah.2
Kata Mukjizat sudah menjadi bagian dari khazanah bahasa
Indonesia. Sedangkan dalam bahasa Arab sendiri digunakan istilah
i’jaz al-Qur’ân atau mu’jizat al-Qur’ân. Dilihat dari sudut
kebahasaan, kata mu’jizat merupakan salah satu bentuk ubahan dari
lafal i’jaz yang bermakna melemahkan. Dan i’jaz al-Qur’ân
1 Ibn Manzhûr, Lisân al-‘Arab, jilid 31, Tahqiq: Abdullah Ali al-Kabir
dkk. (Kairo: Dar al-Ma’arif, tt), h. 2818 2 al-Khalîl bin Ahmad al-Farâhidi, Kitab al-‘Ain Murattab ‘ala Huruf al-
Mu’jam, jilid 3, Tahqiq: Abdul al-Hamîd Handâwi, (Beirut: Dar al-Kutub al-
’Ilmiyyah, 1424 H/2003 M), h. 101
19
bermakna pengokohan Alquran sebagai sesuatu yang mampu
melemahkan berbagai tantangan untuk penciptaan karya sejenis.3
Perkataan i’jaz diambil dari kata kerja ajaza-i’jaz yang berarti
melemahkan atau menjadikan tidak mampu. Pengertian ini sesuai
dengan firman Allah swt dalam surat al-Mâidah ayat 31 yang
berbunyi:
ج إجعج ى يلجته وج يج قجالج إجخيه ۃج وءج إريسج ي وج جهكجيفج ي إلجرضلي ف ث ي بحج إب غ رج إلله فجبجـعجثج زت
دميجإجنإجك ونج إلنه منج فجاجصبجحج إجخ ۃج وءج سج إريج إبفجا وج إإلغ رج ذج هه مثلج
Artinya: "Kemudian Allah mengutus seekor burung gagak
menggali tanah untuk diperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana
dia seharusnya menguburkan mayat saudaranya. (Qabil) berkata,
Oh, celaka aku! Mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung
gagak ini sehingga aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?
Maka, jadilah dia termasuk orang yang menyesal."
Menurut Mannâ’ Khalîl al-Qaththân mendefinisikan dengan hal
serupa yaitu ‘Amrun khâriqun lil’addah maqrûnun bit tahaddiy
salimun anil mu’âradhah’ yaitu suatu kejadian yang keluar dari
kebiasaan, disertai dengan unsur tantangan, dan tidak dapat
ditandingi. Dan i’jaz bermaksud, “Memperlihatkan kebenaran Nabi
saw. atas pengakuan kerasulannya, dengan cara membuktikan
kelemahan orang Arab dan generasi sesudahnya untuk menandingi
kemukjizatan al-Qur’ân”. Pelakunya (yang melemahkan) dinamakan
mu’jiz dan apabila ia mampu melemahkan pihak lain dengan setara
3 M. Quraish Shihab, Ahmad Sukarja, Badri Yatim, dkk, Sejarah dan
Ulumul Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013), h. 106
20
sehingga mampu mengalahkan lawan, ia dinamakan sebagai
mukjizat.4
Maka mukjizat diartikan sebagai suatu perkara yang berada di
luar jangkauan kebiasaan, dan di luar sebab-sebab yang diketahui
oleh manusia. Dan mukjizat itu melumpuhkan kemampuan yang
pernah dilihat oleh manusia pada tahun-tahun sebelumnya.
Dalam hal ini mukjizat didefinisikan oleh para pakar agama
Islam sebagai suatu hal atau peristiwa luar biasa yang terjadi melalui
seseorang yang mengaku nabi, sebagai bukti kenabiannya, sebagai
tantangan bagi orang yang ragu, untuk melakukan atau mendatangkan
hal serupa, tetapi tidak melayani tantangan itu. Namun begitu
merumuskan bahwa mukjizat itu merupakan suatu kejadian yang
keluar dari kebiasaan, disertai dengan unsur tantangan, dan tidak akan
dapat ditandingi.5 Para pakar ulama sepakat menyatakan adanya i’jaz
al-Qur’ân yang diartikan sebagai “Ilmu yang membahas tentang
keistimewaan Alquran yang menjadikan manusia tidak mampu
menandinginya”. Para pakar juga sepakat menegaskan bahwa tujuan
i’jaz bukan untuk melemahkan, tetapi untuk
membuktikan/menampakkan ketidakmampuan siapapun menyusun
kalimat-kalimat semacam satu surah dari Alquran. Itu guna
menyakinkan bahwa Alquran adalah fiman-firman Allah.6 Untuk
memahami definisi i’jaz al-Qur’ân dengan lebih jelas, menerangkan
bahwa i’jaz al-Qur’ân adalah ilmu Alquran yang membahas kekuatan
4 Manna’ Khalil al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qurân, (Kairo:
Maktabah Wahbah, tt), h. 258-260 5 Abdal Razak Nawfal, al-I’jaz al-‘Adadi li Alquran al-Karim, (Kairo: Dar
al-Kitab al-‘Arabi, 1987), h. 85. 6 Issa J. Boullata, Al-Qur’ân yang Menakjubkan, (Tangerang: Lentera
Hati, 2008), h. 1
21
susunan lafaz dan kandungan Alquran, sehingga dapat mengalahkan
ahli-ahli bahasa Arab, dan ahli-ahli lainnya.
2. Macam-macam I’jaz al-Qur’ân
Dr. Abd. Rozzaq Naufal, membagi i’jaz al-Qurân menjadi
empat macam, yaitu:
a. al-I`jaz al-Balaghy, yaitu kemukjizatan segi sastra balaghah-
nya, yang muncul pada masa peningkatan mutu sastra Arab.
Menurut Al-Khaţţabiy, kemukjizatan yang dimiliki al-Qur’ân
adalah balaghah-nya, maksudnya, dengan uslub dan gaya
bahasa yang demikian itulah Alquran bisa mencakup
kefasihan lafal, keindahan susunan, dan keindahan makna.
b. al-I`jaz al-Tashri`iy, yaitu kemukjizatan dalam segi
pensyariatan hukum-hukum ajarannya, yang muncul pada
masa penetapan hukum hukum syariat Islam. al-I`jaz al-
Tashri`iy merupakan kemukjizatan pada aspek syariat yang
terkandung dalam Alquran, bahwa setiap ketentuan, aturan
dan ketetapan dalam Alquran mengandung hikmah,
kebenaran, dan kemaslahatan bagi makhluk. Dalam sejarah
kehidupannya, manusia telah banyak mengenal berbagai
macam doktrin, pandangan hidup, sistem dan perundang-
undangan yang bertujuan membangun hakikat kebahagiaan
individu di dalam masyarakat. Namun tidak satupun darinya
yang dapat mencapai seperti yang dicapai Alquran dalam
kemukjizatan tashri’iy-nya.7
7 Manna’ Khalil al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qurân, h. 345
22
c. al-I’jaz al-Ilmy, yaitu kemukjizatan dalam segi ilmu
pengetahuan, yang muncul pada masa kebangkitan ilmu dan
sains di kalangan umat Islam.
d. al-I’jaz al-Adadi, yaitu kemukjizatan segi kuantiti atau
matematis/statistik, yang muncul pada abad ilmu pengetahuan
dan teknologi canggih.8
3. Sisi Kemukjizatan al-Qur’ân
Mukjizat merupakan perkara luar biasa yang dibuktikan dengan
tantangan dan selamat dari tandingan.9 Dari definisi tersebut, maka
sesuatu dapat dikatakan mukjizat apabila memiliki beberapa unsur
yaitu: (1) sesuatu atau peristiwa yang luar biasa; (2) terjadi atau
dipaparkan oleh seseorang yang mengaku Nabi; (3) mengandung
tantangan terhadap yang meragukan kenabian; (4) tantangan tersebut
tidak mampu atau gagal dilayani. Jika salah satu unsur penyusun
tersebut tidak terpenuhi, maka dipastikan bahwa sesuatu tersebut
tidak dikatakan sebagai mukjizat.10
Al-Qurthûby memberikan lima syarat unsur-unsur mukjizat, yaitu :11
1. Tidak ada yang mampu kecuali Allah Swt.
2. Kejadian ini diluar kebiasaan yang ada
3. Pembawa mukjizat mengaku sebagai utusan Allah Swt.
4. Bukti kerasulan dengan membawa mukjizat tersebut
8 Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), h. 271
9 Jalâl al-Dîn al-Suyûthi, al-Itqân fi ‘Ulum al-Qur’ân, jilid 4, (Beirut:
Maktabah al-‘Ashriyyah, 1979), h. 3 10
M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’ân: Ditinjau dari Aspek
Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Ghaib, (Bandung: Mizan, 2003),
cet. Ke-8, h. 23-25 11
M. Shalahuddin Hamid, Study ULUMUL QURAN, (Jakarta: PT
Intimedia Ciptanusantara, 2002), h. 170
23
5. Tidak ada yang dapat menandinginya atau menentangnya
Muhammad Ali al-Shabuni dalam kitabnya al-Tibyân
menyebutkan sisi kemukjizatan Alquran sebagai berikut:12
1) Susunannya yang indah, berbeda dengan susunan yang ada
dalam bahasa orang-orang Arab
2) Terdapat uslub yang unik yang berbeda dengan semua uslub-
uslub bahasa Arab
3) Ia mengandung sifat mungkin dan membuka peluang bagi
seorang makhluk untuk mendatangkan yang sejenisnya
4) Bentuk undang-undang yang detail lagi sempurna melebihi
setiap undang-undang buatan manusia
5) Menggambarkan hal-hal yang gaib yang tidak bisa diketahui
kecuali dengan wahyu
6) Tidak bertentangan dengan pengetahuan-pengetahuan umum
yang dipastikan kebenarannya
7) Menepati janji yang ada dalam Alquran
8) Mengandung prinsip-prinsip ilmu pengetahuan didalamnya
9) Berpengaruh kepada semua pengikut dan musuhnya
Akan tetapi Quraish Shihab berpendapat bahwa pada garis
besarnya mukjizat Alquran itu tampak dalam tiga hal pokok.
Pertama, susunan redaksinya yang mencapai puncak tertinggi dan
sastra bahasa Arab. Kedua, kandungan ilmu pengetahuan dan
12
M. Ali al-Shabuni, Al-Tibyân fi’Ulum Al-Qur’ân, (Beirut: Dar al Fikr,
1985), h. 105
24
berbagai disiplin ilmuyang diisyaratkannya. Ketiga, ramalan-ramalan
yang diungkapkan, yang sebagian telah terbukti kebenarannya.13
Kemudian pengaruh al-Jahzih14
, para pemikir muslim lain dan
para sastrawan muslim yang kukuh menyatakan kefashihan dan
ketinggian bahasa Alquran menjadikan kata i’jaz semakin terikat
dengan susunan balaghy (retorik) Alquran yang tak tertandingi.
Hanya saja sebagian mereka ada yang mengatakan bahwa gagasan
i’jaz seharusnya tidak dipahami dengan pemahaman sesempit itu. Al-
Jahzih memasukan gagasan sharfah15
kedalam diskusi-diskusi yang
terjadi antar ulama. Namun gagasan ini hanya diterima oleh sebagian
kecil ulama, diantaranya Hisyam al-Fuwathi (wafat 218 H/ 833 M)
dan ar-Rummani (wafat 386 H/ 996 M). Sementara kebanyakan para
pemikir muslim menolaknya dan tetap berpegang pada gagasan
keunggulan struktur Qurani sebagai sisi i’jaz yang penting.16
Selanjutnya ar-Rummani,17
pengarang kitab an-Nukat fi i’jaz al-
Qur’ân, salah satu karya ilmiah pertama yang menggunakan kata i’jaz
dalam judulnya. Dalam bukunya membahas pembuktian keunikan
balaghah al-Qur’ân dan mengupas topik-topik lain yang
berhubungan dnegan hal itu. Beliau berpandangan bahwa i’jaz
memiliki tujuh segi, yaitu: (1) tidak tertandinginya Alquran, meski
13
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’ân; Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1998), h. 62 lihat pula M.
Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’ân, h. 212-214 14
Yaitu pujangga dan ahli bahasa muslim klasik, penganut Mu’tazilah (w. 255
H/869 M) 15
Sharfah diambil dari kata (sharfa) yang berarti ‘memalingkan’ dalam arti
Allah Swt. Memalingkan manusia dari upaya membuat semacam Alquran, sehingga
seandainya tidak dipalingkan maka manusia akan mampu. Dengan kata lain,
kemukjizatan Alquran lahir dari faktor eksternal bukan dari Alquran itu sendiri. Lihat
pada M. Quraish Shihab, Kemukjizatan al-Qur’ân, (Bandung: Mizan, 1998), h. 155 16
Issa J. Boullata, Al-Qur’ân yang Menakjubkan, h. 6 17
Yaitu ahli bahasa muslim klasik, penganut Mu’tazilah (w. 386 H/ 996 M)
25
banyak faktor yang mendorong untuk itu; (2) tantangan Alquran yang
berlaku umum; (3) ash-Sharfah, yakni Allah memalingkan manusia
dari menandingi Alquran; (4) balaghah al-Qur’ân yaitu kefasihan dan
pengaruh estetiknya yang efektif; (5) terdapat informasi-informsi dan
berita-berita yang benar tentang kejadian-kejadian di masa
mendatang; (6) watak Alquran yang menyalahi kebiasaan, bukan
puisi bukan pula prosa; (7) pembandingan Alquran dengan segala
mukjizat yang pernah dikenal oleh agama-agama lain.18
Pada tahun 1964, Abdul Karim al-Khathib menerbitkan
bukunya yaitu I’jaz al-Qur’ân. Dia mengemukakan pemikiran baru
yang disebutnya sebagai konsep baru tentang i’jaz yaitu bahwa i’jaz
memiliki empat sisi. Pertama, kebenaran mutlak; Alquran yang
mengupas hakikat-hakikat kosmos, agama, dan dunia, lalu
menyampaikannya kepada manusia dengan kebenaran mutlak. Kedua,
kedudukan yang tinggi; Alquran berbicara dengan bahasa orang yang
memiliki kekuasaan absolut yang mengawasi segala sesuatu dan
menentukan segala sesuatu, sehingga tidak ada yang bisa
menghalanginya. Ketiga, penampilan yang bagus yaitu nazhm
(struktur) yang diperbincangkan oleh sebagian besar ulama. Yakni
gaya bahasa Alquran yang menyampaikan gagasan cemerlang dengan
bentuk yang paling indah dan sempurna. Keempat, nuansa ruhaniah
yang menghiasi al-Qur’ân al-Karim. Dalam hal ini Alquran adalah
wadah perintah Allah yang merupakan salah satu ruh-Nya yang
berbungkus tutur.19
18
Issa J. Boullata, Al-Qur’ân yang Menakjubkan, h. 8 19
Issa J. Boullata, Al-Qur’ân yang Menakjubkan, h. 21
26
4. Substansi I’jaz ‘Ilmy al-Qur’ân
Hasan Zaini menjelaskan bahwa i’jaz (mukjizat) itu
penekanannya adalah kepada kelemahan orang untuk mendatangkan
yang sepertinya, tetapi tujuannya bukanlah semata-mata untuk
melemahkan. Melainkan juga untuk menampakkan kebenaran kitab
itu sendiri dan kebenaran Rasul pembawanya. Hal ini sudah
dimaklumi oleh setiap orang yang berakal, karena memang sejak
dahulu sampai sekarang dan bahkan yang akan datang tidak ada
seorang pun yang sanggup menandinginya,20
sebagaimana berulang-
ulang dijelaskan oleh Allah Swt. dalam surat al-Isrâ’ ayat 88, yang
artinya : “Katakannlah: ‘Sesungguhnya jika manusia dan jin
berkumpul untuk membuat yang serupa dengan Dia, sekalipun
sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain’.”
Kata “al-‘Ilmy” adalah al-Mukhtashshu bil ‘Ilmy, artinya
mengenai/berdasarkan ilmu pengetahuan.21
Hasan Zaini menjelaskan
bahwa yang dimaksud dengan I’jaz ‘Ilmy al-Qur’ân adalah :
“Pemberitaan al-Qur’ân al-Karim menurut hakikat, lalu dikuatkan
oleh tajribi (eksperimen) yang baik yang menetapkan bahwa manusia
tidak mungkin mendapatkannya dengan perantara manusia pada
masa Rasulullah saw.”
Dengan demikian, yang dimaksud dengan “I’jaz ‘Ilmy al-
Qur’ân” adalah pemberitaan Alquran sebagai kitab suci tentang
hakikat sesuatu yang dapat dibuktikan oleh ilmu eksperimental yang
pada saat itu belum tercapai oleh manusia karena keterbatasan sarana.
Hal ini merupakan bukti yang menjelaskan kebenaran Nabi
20
Hasan Zaini, Raudatul Hasanah, Ulumul Qur’an, (Batusangkar: STAIN
Batusangkar Press, 2010), cet ke-1, h. 186 21
A.W Munawwir, Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia Terlengkap,
(Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), cet ke-14, h. 966
27
Muhammad saw. sebagai seorang Rasul tentang apa yang
diwahyukan Allah Swt. Dengan menampakkan kelemahan orang-
orang kafir Quraisy untuk menghadapi mukjizatnya yang abadi,22
yaitu al-Qur’ânul Karim.
Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. yaitu :
Yang artinya: “al-Qur’ân ini tidak lain hanya peringatan bagi
semesta alam. Dan sesungguhnya kamu akan mengetahui
(kebenaran ) berita al-Qur’ân setelah beberapa waktu lagi.” (QS.
Shâd: 87-88).
Yang artinya: “Untuk setiap berita (yang dibawa oleh rasul-rasul)
ada (waktu) terjadinya dan kelak kamu akan mengetahui.” (QS. al-
An’âm: 67).
Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa Allah menghendaki serta
menjadikan setiap berita dalam waktu tertentu akan menjadi nyata.
Kebenaran berita-berita Alquran ada yang terlaksana di dunia seperti
kebenaran janji Allah Swt. kepada orang-orang mukmin bahwa
mereka akan menang dalam peperangan dengan kaum musyrikin, dan
ada yang terlaksana di akhirat seperti kebenaran janji Allah tentang
balasan atau perhitungan yang akan dilaksanakan kepada manusia.
Menurut Syaikh Abdul Majid al-Zandani salah satu ulama
terkemuka di Yaman, dan salah satu pendiri Yayasan I’jazul ‘Ilmiah
Lil-Qur’ân wa as-Sunnah bi Makkah Mukaromah mengatakan: I’jaz
‘Ilmy adalah mengungkap makna-makna yang terkandung di dalam
Alquran, dalam pandangan ilmiah dan melalui proses percobaan pada
ilmu-ilmu alam, dan hal ini belum ada di zaman Rasulullah saw.23
22
Hasan Zaini, Raudatul Hasanah, Ulumul Qur’an, h. 186 23
Nadir Darwis Muhammad, ‘Ijizal Ilmiah lil- Qur’an wa Sunnah wa
Shilatuhu bi Manhaj Dakwah al-Islamiah, (Kairo: Maktabah al-Iman, 2011 M/1432
H), h. 64
28
Dr. Zaglul an-Najjar mengatakan al-‘Ijâzul al-‘Ilmy (Mukjizat
Ilmiah) adalah: menunjukan isyarat tentang hakikat kauniah dan
keagungan-Nya yang mana pemahaman penemuan ini belum sampai
pada zaman dahulu dan baru diungkap setelah proses baru sekarang
ini setelah abad yang lalu, dan tidak mungkin membayangkan tentang
kemuliaan dan keagungan penciptaan ini selain penciptaan Allah
Swt., dan juga sebagai bukti kebenaran mukjizat Nabi Muhammad
saw. sebagai nabi akhir zaman.24
Seiring dengan penemuan-penemuan sains modern, dan
kemunduran kaum muslimin pada level pengaruh ilmu pengetahuan
dan peradaban. Meskipun sebenarnya perhatian terhadap aspek ini
sudah dimulai sejak abad pertengahan. Tepatnya Fakhruddin ar-Razi
(w. 606 H) dalam karyanya Mafatihul Ghaib sudah banyak membahas
aspek ini. Namun demikian, sepanjang sejarahnya kajian pada aspek
ini tidak begitu mendapat perhatian besar bahkan cenderung terjadi
ikhtilaf para ulama apakah Alquran benar-benar mengandung aspek
i’jaz ‘ilmy. Para cendekiawan yang mengkaji aspek ini memiliki
tujuan dasar untuk membuktikan kebenaran Islam dan Alquran, serta
membangkitkan ‘izzah (kebanggaan) kaum muslimin dengan
agamanya. Derasnya kajian pada bidang ini menimbulkan persoalan
secara ilmiah, karena definisi, rambu- rambu dan koridornya belum
begitu banyak dibahas sehingga belum begitu jelas. Para peneliti dan
cendekiawan justru lebih banyak berkutat pada upaya pencocokan
antara penemuan sains modern dengan ayat-ayat Alquran, meskipun
secara tafsiriah belum tentu ayat tersebut memaksudkan demikian.
Hal yang sering luput dalam banyak kajian tentang i’jaz ‘ilmy adalah
24
Zaglul an-Najjar, al-Ardu fil-Qur’ân al-Karim, (Beirut: Maktabah al-
Ma’rifah, 1426 H), h. 69
29
hubungan antara tafsir ilmi dengan i’jaz ‘ilmy (kemukjizatan ilmiah).
Padahal mestinya i’jaz ‘ilmy tidak mungkin berdiri sendiri tanpa tafsir
ilmi, karena pembuktian suatu penemuan modern bahwa ia
diisyaratkan atau dibunyikan oleh Alquran, dimana hal ini merupakan
concern dari i’jaz ‘ilmy haruslah dibangun di atas tafsir/penjelasan
dan pemahaman akan makna ayat yang benar, sehingga betul-betul
ada korelasi antara makna yang di maksud oleh ayat dengan
penemuan sains modern yang sedang dibuktikan tersebut. Penekanan
pada hal ini cukup penting, karena nash al-Qur’ân pada dasarnya
bersifat final, sedangkan penemuan sains modern boleh jadi belum
final dan masih mungkin terkoreksi. Secara kritis, pengaitan antara
istilah tafsir dan i’jaz dengan istilah ilmi (sains) juga tak luput dari
problem. Karena istilah tersebut baik tafsir ilmi maupun i’jaz ‘ilmy
menggambarkan pengaruh dikotomi antara ilmu sains dengan non
sains. Karenanya para cendekiawan tafsir yang melakukan studi kritis
terhadap istilah ini menambahkan istilah Tafsir Ilmi Tajribi (Tafsir
Ilmiah Terapan) yang bermakna bahwa yang dimaksud adalah
pendekatan penafsiran Alquran berdasar ilmu-ilmu sains terapan.
Ketika hasil dari Tafsir Ilmi Tajribi tersebut digunakan untuk
membuktikan kebenaran risalah Muhammad saw., maka saat itu
menjadi I’jaz ‘Ilmy Tajribi (kemukjizatan Alquran dalam aspek sains
terapan), inti dari kajian I’jaz ‘Ilmy Tajribi adalah keyakinan bahwa
Alquran mengandung isyarat-isyarat dan pembicaraan tentang alam
dan ilmu pengetahuan, yang secara realitas baru terbukti jauh setelah
Alquran diturunkan, dan belum diketahui pada masa Nabi saw.
I’jaz ‘ilmy menitikberatkan pada kenyataan-kenyataan empiris
yang telah menjadi ilmu pasti yang kebenarannya telah mencapai
seratus persen untuk dijadikan sebagai penopang kebenaran al-
30
Qur’ân mengingat fungsinya sebagai mukjizat. Adapun tafsir ilmi
merupakan ijtihad seorang penafsir yang mencoba memahami dan
menggali makna ayat dengan metode ilmiah kontemporer. Tujuan
dalam tafsir ilmi adalah untuk menambah keimanan, namun ‘ijaz
‘ilmy lebih mengedepankan tantangan kepada para ilmuwan untuk
membuktikan kebenaran ayat-ayat kauniyah yang dikandungnya dan
ketika telah terbukti benar, maka para ilmuwan, akan mengakui
bahwa Alquran sejak turun empat belas abad yang lalu telah
membawa berita apalagi ia diturunkan kepada seorang Nabi yang
ummiy (buta huruf) sehingga sangat mustahil bagi seorang Nabi yang
ummiy untuk mencari informasi dengan ke-ummiy-annya itu.
Menurut pendapat Yûsuf al-Qardhâwy hakikat i’jaz ‘ilmy dalam
Alquran sebenarnya hanyalah kemukjizatan secara retoris, dimana
tidak ada pertentangan ayat Alquran yang telah turun beberapa abad
yang lalu, dengan berbagai penemuan sains kontemporer, bahkan
sebahagian telah dinyatakan Alquran secara global. Sekiranya
Alquran itu merupakan kitab yang dikarang manusia dan disusun oleh
akal mereka, tentulah ungkapan-ungkapannya tidak mampu meliputi
segala zaman yang berbeda-beda mengikuti perkembangan manusia.
Karena itu pijakan kita dalam menetapkan i’jaz ‘ilmy ini mestilah
terhadap masalah-masalah yang sudah jelas dan baku, dan tidak
mengundang keraguan dan kesangsian.
Para ulama berbeda pendapat tentang macam-macam mukjizat
al-Quran. Fazlur Rahman menyebut sekitar dua puluh tujuh macam
ilmu pengetahuan yang diisyaratkan dalam Alquran25
dan Darwis
25
Fazlur Rahman, Al-Qur’ân dan Ilmu Pengetahuan, Terjemahan M.
Arifin, (Jakarta: Bina Aksara, 1980), h. 101
31
Hude menyebutkan tiga puluh macam ilmu pengetahuan yang
terdapat dalam Alquran.26
Bentuk i’jaz al-Qur’ân dalam bidang ilmu pengetahuan (i’jaz
‘ilmy), yaitu: 27
1. Mendorong untuk mendalami ilmu pengetahuan dan melakukan
penelitian yang terus menerus untuk mengungkap rahasia-rahasia
alam semesta
2. Alquran mengandung isyarat-isyarat ilmiah yang kebenarannya
bersifat pasti tentang rahasia-rahasia alam semesta dan dalam
berbagai bidang ilmu pengetahuan
3. Keserasian antara kandungan ayat-ayat Alquran dengan teori-teori
ilmiah yang senantiasa berubah sesuai perkembangan ilmu
pengetahuan
4. Menjadikan ilmu pengetahuan sebagai salah satu jalan menuju
keimanan kepada Allah Swt.
5. Kedudukan ‘Ilmy (pengetahuan) dan al-Qur’ân
Alquran pada dasarnya merupakan kitab suci yang memberikan
petunjuk bagi umat manusia. I’jaz al-Qur’ân dari sisi ilmu
pengetahuan bukan karena ia memuat banyak teori-teori ilmiah yang
berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman, layaknya buah
karya manusia dari suatu penelitian dan studi. Tetapi, karena Alquran
mendorong untuk berpikir dan melakukan penelitian dalam berbagai
bidang dengan memberikan petunjuk-petunjuk ilmiah. Sehingga
manusia dapat memahami serta membuka jalan untuk menyikap
26
Drawis Hude, dkk, Cakrawala Ilmu dalam Al-Qur’ân, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2002), Cet. 1, h. 112 27
Ibrahim Eldeeb, Be A Living Quran “Petunjuk Praktis Penerapan Ayat-
ayat al-Qur’ân dalam Kehidupan Sehari-hari”, (Jakarta: Lentera Hati, 2009), h. 61
32
rahasia alam semesta. Alquran memberikan perhatian yang sangat
besar sekali terhadap ilmu pengetahuan karena hal ini dapat
mengantarkan manusia untuk mengenal Allah Swt.28
Chaerudji Abdul Chalik menjelaskan, diantara kemukjizatan
Alquran adalah terdapatnya beberapa ayat yang sesuai atau sejalan
dengan ilmu pengetahuan yang telah dikemukakan oleh ilmuan-
ilmuan di zaman modern sekarang ini. Hal ini menunjukkan bahwa
Alquran itu benar wahyu dari Allah dan bukan ciptaan Nabi
Muhammad saw. yang diduga oleh kaum orentalis selama ini.29
Alquran sebagai petunjuk dalam kehidupan umat sangat
menekankan kepentingan ilmu pengetahuan. Alquran memberikan
pertanyaan yang merupakan ujian kepada masyarakat, sebagaimana
firman-Nya:
Yang artinya: “Beginilah kamu, kamu ini (sewajarnya) bantah
membantah tentang hal yang kamu ketahui, Maka kenapa kamu
bantah membantah tentang hal yang tidak kamu ketahui? Allah
mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Ali-‘Imran: 66)
Hasan Zaini menjelaskan, ayat di atas merupakan kritikan
terhadap umat yang berbicara atau membantah sesuatu persoalan
tanpa adanya data objektif lagi ilmiah yang berkaitan dengan
persoalan tersebut. Ayat-ayat semacam inilah yang kemudian
membentuk iklim baru dalam masyarakat yang dapat mendorong
kemajuan ilmu pengetahuan.30
M. Quraish Shihab menyebutkan “Mewujudkan iklim ilmu
pengetahuan jauh lebih penting dari pada menemuan teori ilmiah,
28
Ibrahim Eldeeb, Be A Living Quran “Petunjuk Praktis Penerapan Ayat-
ayat Alquran dalam Kehidupan Sehari-hari”, h. 59 29
Hasan Zaini, Raudatul Hasanah, Ulumul Qur’an, h. 189 30
Hasan Zaini, Raudatul Hasanah, Ulumul Qur’an, h. 44
33
karena tanpa wujudnya iklim ilmu pengetahuan, para ahli yang
menemukan teori tersebut akan mengalami nasib seperti Galileo yang
menjadi korban dari hasil penemuannya”.31
Alquran juga telah mendorong manusia seluruhnya untuk
mempergunakan akal pikirannya serta menambah ilmu
pengetahuannya sebanyak-banyaknya dengan benar. Kemudian juga
menjadikan observasi atas alam semesta sebagai alat untuk percaya
kepada setiap penemuan baru atau teori ilmiah, sehingga mereka
dapat mencarikan dalilnya dalam Alquran untuk dibenarkan atau
dibantahnya.32
Dengan demikian, kemukjizatan Alquran bukan
terletak dalam cakupan teori-teori ilmiah, tetapi memotivasi manusia
untuk selalu berfikir menggunakan nalar.33
Hasan Zaini berkesimpulan bahwa ilmu pengetahuan hanya
melihat dan menilik, bukan menetapkan. Ia melukiskan fakta-fakta,
objek-objek dan fenomena-fenomena yang delihat dengan mata
seorang ilmuan yang secara kodrat mempunyai sifat pelupa dan
keliru, sehingga apa yang dikatakan oleh ilmuan sebagai suatu yang
benar (kebenaran ilmiah) sebenarnya hanya merupakan suatu hal
yang relatif dan mengandung arti yang sangat terbatas.34
Sehingga dapat dikatakan bahwa kedudukan Alquran adalah
sebagai isyarat hadirnya ilmu pengetahuan sedangkan ilmu
pengetahuan (‘ilmy) sebagai bukti kesempuranaanya Alquran.
31
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’ân; Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat, h. 44 32
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’ân; Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat, h. 44 33
Hasan Zaini, Raudatul Hasanah, Ulumul Qur’an, h. 190 34
Hasan Zaini, Raudatul Hasanah, Ulumul Qur’an, h. 190
34
BAB III
KAJIAN KATA SAMA’ DAN BASHARA
A. Penciptaan Indra Manusia
Penciptaan bagi manusia merupakan tanggung jawab moral.
Dalam setiap upaya penciptaan selalu terkandung tujuan. Penciptaan
yang mempunyai tujuan-tujuan yang bertentangan dengan moralitas
atau kemanusiaan pada hakikatnya merupakan upaya penghancuran.
Penghancuran terhadap eksistensi manusia. Sebaliknya, penciptaan
yang didasarkan moralitas dan untuk tujuan kemanusiaan, pada
hakikatnya adalah upaya peneguhan. Peneguhan eksistensi manusia.
Eksistensi manusia makin teguh oleh aktivitas penciptanya.1
Penciptaan manusia di muka bumi ini mempunyai misi yang
jelas dan pasti. Ada tiga misi yang bersifat given yang diemban
manusia, yaitu misi utama untuk beribadah (terdapat pada surat al-
Zâriyât ayat 56), misi fungsional sebagai khalifah (terdapat pada surat
al-Baqarah ayat 30), dan misi operasional untuk memakmurkan bumi
(terdapat pada surat Hûd ayat 61).2
Alquran menyatakan bahwa penciptaan manusia bermula dari
sesuatu yang sudah diketahui. Sebagimana firman-Nya:3
ا يعلمون لكا ما م م انا خلقنه
1 Hakim Muda Harahap, RAHASIA AL-QURAN: Menguak Alam
Semesta, Manusia, Malaikat, dan Keruntuhan Alam, (Depok: Darul Hikmah,
2007), h. 103 2 Tafsir Ilmi: Penciptaan Manusia dalam Perspektif Alquran dan Sains,
(Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2010), h. 2 3 Hakim Muda Harahap, RAHASIA AL-QURAN: Menguak Alam
Semesta, Manusia, Malaikat, dan Keruntuhan Alam, h. 105
35
"Tidak mungkin! Sesungguhnya Kami menciptakan mereka dari apa
yang mereka ketahui." (QS. Al-Ma’ârij [70]: 39)
Dan dalam tahap pembentukan manusia dimulai dari: 4
1. Tanah (turab) disebutkan dalam Alquran sebanyak tujuh belas
kali;
2. Setetes air mani (nutfah) sebanyak dua belas kali;
3. Segumpal darah (‘alaq) sebanyak enam kali;
4. Segumpal daging (mudghah) sebanyak tiga kali;
5. Tulang belulang (azam) sebanyak lima belas kali
6. Daging (lahm) sebanyak dua belas kali
Tahapan ini disebut tahap embrio, atau ilmu yang membahasnya
adalah ilmu embriologi. Embriologi adalah cabang ilmu yang
mempelajari perkembangan embrio dalam rahim.
‘Alaqah merupakan bentuk pra-embrionik yang terjadi setelah
percampuran sperma dan ovarium. Moore5 dan az-Zindani
6
mengemukakan penjelasan yang cukup bagus tentang ‘alaqah.
‘Alaqah kata keduanya dalam bahasa Arab berarti lintah (leech),
suatu suspensi atau segumpal darah. ‘Alaqah terbentuk sekitar dua
puluh empat sampai dua puluh lima hari sejak pembuahan.7 Embrio
4 Caner Taslaman, MIRACLE OF THE QURAN: KEAJAIBAN
ALQURAN MENGUNGKAP PENEMUAN-PENEMUAN ILMIAH MODERN,
terjemahan Ary Nilandari, (Bandung: Mizan, 2011), h. 364 5 Seorang guru besar Departemen Anatomi dan Biologi Sel Universitas
Toronto, dengan nama lengkap Prof. DR. Keith L. Moore Msc, PhD, FIAC,
FSRM. Pernah menjabat sebagai presiden AACA (American Association of
Clinical Anatomi) tahun 1989-1991 6 Pendiri Commission on Scientific Signs in the Qur’an and Sunnah
tahun 1980, dengan nama lengkap Abdul Majid az-Zindani 7 Tafsir Ilmi: Penciptaan Manusia dalam Perspektif Alquran dan Sains,
h. 87
36
berubah bentuk dari tahapan ‘alaqah ke permulaan tahapan mudgah
pada hari ke dua puluh empat atau dua puluh enam. Waktunya relatif
lebih cepat dibandingkan perubahan dari nutfah ke ‘alaqah.8 Pada
minggu ke tujuh bentuk manusia makin nyata dengan bermulanya
pembentukan kerangka. Masa ini sekitar hari ke empat puluh hingga
empat puluh lima adalah garis batas yang membedakan masa mudgah
dan bentuk manusia. Sabda Nabi saw. dalam riwayat Muslim bahwa
setelah janin melewati hari ke empat puluh dua Allah menurunkan
malaikat kepadanya yang akan membentuknya menjadi manusia;
membuat telinga, mata, kulit, otot, dan tulang.9
Indra manusia yang pertamakali berkembang dalam embriologi
adalah pendengaran. Janin dapat mendengar setelah berumur dua
puluh empat minggu. Selanjutnya, indra penglihatan akan
berkembang dan pada umur dua puluh delapan minggu retina akan
mulai peka terhadap cahaya.10
Prof. Marshall Johnson adalah salah satu ilmuwan terkemuka di
Amerika Serikat dan merupakan kepala departemen Anatomi,
Direktur Intitute Daniel di Universitas Thomas Jefferson Philadelpia,
Amerika Serikat. Ia diminta untuk berkomentar pada ayat-ayat
Alquran yang menyangkut masalah embriologi di dalam ayat Alquran
tidak mungkin ada secara kebetulan. Ia mengatakan mungkin
Muhammad menggunakan mikroskop canggih. Namun perlu di ingat
bahwa Alquran diturunkan 1.400 tahun lalu dan mikroskop
8 Tafsir Ilmi: Penciptaan Manusia dalam Perspektif Alquran dan Sains,
h. 88 9 Tafsir Ilmi: Penciptaan Manusia dalam Perspektif Alquran dan Sains,
h. 90 10
Zakir Naik, Miracles of Al-Qur’ân & as-Sunnah, terjemahan Dani
Ristanto, (Solo: Aqwam, 2015), h. 68
37
ditemukan seabad setelah era Nabi Muhammad. Kemudian ia
mengakui bahwa ada campur tangan Tuhan ketika Muhammad
membaca Alquran sebab mikroskop yang ditemukan pertamakali
tidak dapat memperbesar lebih dari sepuluh kali dan tidak bisa
menunjukkan gambar yang jelas.11
B. Kata Sama’: Pendengaran
1. Proses Pendengaran
Pendengaran merupakan indra mekanoreseptor. Proses
mendengar tentunya tidak lepas dari organ pendengaran manusia
yakni telinga. Hal ini karena telinga memberikan respon terhadap
getaran mekanik gelombang suara yang terdapat di udara.12
Pada dasarnya proses bekerjanya indra pendengaran dalam
sekejap saja, seseorang mampu membedakan sejumlah suara lewat
proses indrawi yang pelik dan berlangsung terus menerus sepanjang
alat pendengarannya berfungsi. Dalam hal ini, Allah Swt.
menciptakan telinga bagian luar (daun telinga) yang berfungsi
menampung dan mengumpulkan sejumlah gelombang suara dengan
cara sedemikian rupa, sehingga memungkinkan pemiliknya (manusia)
dapat mendengar suara-suara atau bunyi-bunyian yang berasal dari
segala arah.13
Perlu kita ketahui bahwa suara-suara bisa sampai ke telinga
bagian dalam biasanya melalui dua jalur, yaitu:
11
Zakir Naik, Miracles of Al-Qur’ân & as-Sunnah, terjemahan Dani
Ristanto, h. 66 12
Lili Irawati, Fisika Medik Proses Pendengaran, (Fisika Kedokteran
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas: Majalah Kedokteran Andalas, 2012),
No. 2, Vol. 36 Juli-Desember, h. 157 13
Abu Akbar Achmad, PUSTAKA PENGETAHUAN AL-QURAN, jilid
6 Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: PT Rehal Republika, 2007), h. 67
38
1) Jalur pertama: melalui telinga luar lalu masuk ke bagian tengah.
Pada manusia normal keduanya penuh dengan udara.
2) Jalur kedua: melalui tulang-tulang tengkorak kepala. Getaran-
getaran suara menjalar ke jalur pertama dengan bantuan udara dan
berpindah melalui jalur kedua dengan bantuan tulang-tulang
tengkorak. Tulang ini termasuk penghantar yang baik bagi suara.
Telinga bagian luar janin berisi selaput dan cairan, tetapi cairan itu
menjadi penghantar yang baik bagi suara.14
Saat kita berenang, walaupun posisi kepala kita masuk kedalam
air tetapi kita masih bisa mendengar suara dengan baik. Dari
peristiwa itulah kita bisa mengetahui bahwa janin bisa mendengar
suara-suara yang sampai ke telinga bagian dalamnya, baik melalui
jalur tulang tengkorak maupun melalui jalur telinga luar.
2. Fungsi Pendengaran
Dengan mendengar, manusia mampu membedakan berbagai
jenis suara. Begitulah Allah menjadikan sesuatu yang tiada sia-sia di
dalamnya. Alquran diturunkan untuk menjadi jalan bagi menusia
supaya memahami ayat-ayat-Nya, baik yang tersurat maupun yang
tersirat di alam semesta ini sehingga setiap kemajuan yang diperoleh
menjadikan mereka sadar akan kebenaran firman-Nya. Pendengaran
merupakan indra yang memiliki fungsi untuk merekam segala suara-
suara yang berada di sekitar kita, selain itu fungsi pendengaran
adalah:
a. Sebagai sarana media pembelajaran atau disebut ‘Audio’
Yaitu jenis media yang digunakan dalam proses pembelajaran
dengan melibatkan indra pendengaran. Seorang peserta didik
14
Nadiah Thayyarah, Buku Pintar Sains dalam Al-Qur’ân, (Jakarta:
Zaman, 2013), h. 266
39
harus mampu mengoptimalkan secara penuh agar keterampilan
mendengarnya mampu menghasilkan sebuah kompetensi di
antaranya yaitu, mengingat (intelegensi), mendeskripsikan dan
mengevaluasi apa saja yang telah didengarnya di dalam waktu
yang telah ditentukan. Pada potensi indra ini aspek yang
didominasi pada hasilnya adalah aspek kognitif. Karena
pendengaran lebih mengutamakan pada kuatnya intelegensi
seseorang.15
b. Sebagai pembangun emosi
Apa yang didengar oleh manusia selalu saja sama tidak dapat
menimbulkan sebuah perbedaan. Maka pendengaran merupakan
perangkat yang lebih bisa menyatukan persepsi dari seseorang
mengenai pemahaman suatu perkara dibandingkan dengan
penglihatan. Pendengaran berfungsi sebagai pembangun emosi,
contohnya kita dapat menikmati radio yang tanpa gambar
dibandingkan televisi tanpa suara (hanya gambar).
Kemudian nada suara seseorang akan berubah seiring dengan
emosi yang sedang dialaminya. Seseorang yang sedang marah,
nada suaranya pasti akan terdengar meninggi. Demikian juga
seseorang yang sedang bahagia, ia akan berbicara dengan lepas
dan lancar.16
15
Azhar Arsyad dan Asfah Rahman, Media Pembelajaran, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2010), h. 152 16
Abdul Syukur, Beragam Cara Terapi: Gangguan Emosi Sehari-hari,
(Yogyakarta: DIVA Press, 2011), h. 51
40
3. Penyebutan Kata Sama’ dalam al-Qur’ân
Kata Sama’ berasal dari kata as-Sam’u اع ع ج اس yang berarti س
pendengaran, telinga.17
Dan Alquran menyebutkan kata
sama’/pendengaran ( beserta derivasinya di dalam Alquran (السمع
sebanyak 164 kali dan selalu disebutkan dalam bentuk tunggal.
Namun di beberapa ayat pada lafal sama' bermakna jamak sekalipun
lafalnya mufrad.
Indra pendengaran tentunya merupakan salah satu mukjizat
Allah Swt. yang berhubungan dengan penciptaan makhluk. Dalam hal
ini, dapat dipastikan, tak seorangpun ahli Bahasa Arab yang
menyangkal fakta bahwa kata sama’ (pendengaran), dalam bentuk
mufrad (tunggal), selalu diungkapkan bagian paling depan (lebih
dahulu disebutkan dibandingkan indra yang lain) dalam ayat-ayat
Alquran yang menyinggung soal nilai pancaindra yang telah
dikaruniakan Allah Swt. kepada manusia. Ini bermakna, indra
pendengaran memiliki nilai dan peran lebih besar ketimbang indra
lainnya.18
C. Kata Bashar: Penglihatan
1. Proses Penglihatan
Mata merupakan alat indra yang terdapat pada manusia yang
secara konstan menyesuaikan pada jumlah cahaya yang masuk,
memusatkan perhatian pada objek yang dekat dan jauh serta
17
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Mahmud Yunus Wa
Dzurriyah, 2010), h. 179 18
Abu Akbar Achmad, PUSTAKA PENGETAHUAN AL-QURAN, jilid 6
Ilmu Pengetahuan, h. 63
41
menghasilkan gambaran yang kontinu dan segera dihantarkan pada
otak. Secara singkat mekanisme melihat adalah :19
1) Cahaya masuk ke dalam mata melalui pupil.
2) Lensa mata kemudian memfokuskan cahaya sehingga
bayangan benda yang dimaksud jatuh tepat di retina mata.
3) Kemudian ujung saraf penglihatan di retina menyampaikan
bayangan benda tersebut ke otak.
4) Otak kemudian memproses bayangan benda tersebut
sehingga kita dapat melihat benda tersebut.
2. Fungsi Penglihatan
Indra penglihatan adalah daya yang terdapat di saraf dalam yang
berfungsi mempersepsi obyek yang memantul di dalam membran
yang berasal dari cermin fisik yang memiliki warna yang menyebar
pada benda-benda yang bercahaya hingga ke permukaan benda-benda
yang licin.20
Indra penglihatan harus diarahkan kepada obyek nyata (lahir)
yang diperintahkan Islam, bukan kepada hal-hal yang dilarang.
Penataan indra seperti ini membawa implikasi penting dalam belajar,
berupa penerapan sumber informasi yang baik.21 Penglihatan
merupakan salah satu indra yang memiliki fungsi untuk merekam
segala sesuatu yang tampak wujud dihadapan kita. Selain itu, fungsi
penglihatan adalah:
19
Syaifuddin, Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan, (Jakarta:
Buku Kedokteran EGC, 2006), h. 327 20
Syabuddin Gade, Esei-Esei Pemikiran Pendidikan (al-Ghazali, az-
Zurnuji, al-Abrasyi dan asy-Syaibani), (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2008), h. 14 21
Syabuddin Gade, Esei-Esei Pemikiran Pendidikan (al-Ghazali, az-
Zurnuji, al-Abrasyi dan asy-Syaibani), h. 18
42
a. Sebagai sarana media pembelajaran atau disebut ‘Visual’
Yaitu jenis media yang digunakan mengandalkan indra
penglihatan. Pendengaran memiliki peran aktif dalam merekam
segala materi yang telah disampaikan oleh seorang pendidik.
Untuk itu kondisi terjaga sangat menentukan fungsi optimal kerja
mata dalam menangkap materi yang obyeknya bersifat
bentuk/wujud. Dalam contohnya obyek yang berbentuk/wujud
adalah berupa gambar-gambar, tulisan huruf-huruf ataupun
angka-angka, dan macam jenis lainnya yang memiliki bentuk
yang dapat dijangkau oleh pandangan mata. Dari pengamatan
tersebut memunculkan berbagai pengetahuan yang akan di olah
oleh akal agar mampu menjadi sebuah pengetahuan. Pengetahuan
yang dihasilkan di sini mendominasi pada aspek psikomotorik,
seorang peserta didik dari hasil pengamatan tersebut mampu
memiliki keterampilan mendeskripsikan, menirukan,
mendemonstrasikan, gerakan skill, membentuk bakat dan masih
banyak lagi yang lainnya. Di samping aspek psikomotor juga
dapat membentuk aspek kognitif, yang dapat membantu dalam
mengembangkan intelegensi seorang peserta didik.22
b. Sebagai pembangun emosi
Semua emosi yang dialami manusia akan diekspresikan melalui
raut wajah. Hanya dengan melihat wajah seseorang, kita bisa
dengan tepat menebak emosi yang sedang dialami oleh orang lain
tersebut. Kita paham wajah orang yang sedang marah, sedih,
bahagia, takut atau terkejut. Dalam hal ini, wajah saat marah dan
22
Anwar al Bâz, al Tafsîr al Tarbawî li al Qur an al Karîm, (Beirut:
Muasasah al-Risalah, 2007), h. 208
43
sedih pastilah berbeda.23 Emosi yang kuat juga dapat
menyebabkan menangis.
3. Penyebutan Kata Bashar dalam al-Qur’ân
Kata bashar dalam bahasa Arab ا –يبص –بص –يبص –بص بص
بصارة – yaitu melihat/mengerti, sedangkan kata abshar merupakan
bentuk jamak dari kata بص ج ابصار yaitu penglihatan.24
Alquran
menggunakan kata bashar “penglihatan” ( /بص ر dan (ال بص ار
derivasinya sebanyak 148 kali.25
Proses penglihatan memungkinkan seseorang menikmati dan
menyaksikan suasana kehidupan yang berlangsung di sekitar,
bukanlah tergolong sederhana yang hanya bergantung pada kesehatan
mata. Allah Swt. berfirman :
ن ين ا ل ن ع للهع ي
Artinya: "Bukankah Kami telah menjadikan untuknya sepasang
mata." (QS. al-Balad [90]: 8)
Dalam ayat ini, Allah Swt. sebenarnya ingin menekankan
bahwa penglihatan itu sendiri dapat menjadi saksi sekaligus hujjah
(bukti yang akan memberatkan) bagi manusia. Demikian pula ketika
Allah Swt. ingin menjadikan orang mukmin dan muslim sebagai ayat
(tanda kekuasaan)-Nya yang berkaitan dengan keberadaan mata yang
merupakan indra penglihatan ini. Dalam surat al-Anfâl dikatakan,
23
Abdul Syukur, Beragam Cara Terapi: Gangguan Emosi Sehari-hari, h.
51 24
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, h. 66 25
Lilik Ummi Kaltsum, Laporan Hasil Penelitian: Sistem Epistemologi
Qurani (Analisa atas Konsistensi Al-Qur’ân dalam Penggunaan Kata Ra’a,
Nazhara dan Bashara), (Jakarta: LP2M UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015), h.
63
44
bahwa pada peperangan Badar, orang-orang kafir menyaksikan
pasukan Muslim hanya berjumlah sedikit. Itu dimaksudkan-Nya agar
orang-orang kafir itu terus maju dan terjun ke medan peperangan.
Allah Swt. berfirman : “…dan kamu ditampakkan-Nya berjumlah
sedikit pada penglihatan mata mereka”.
Kemudian ketika peperangan sedang bergejolak, tiba-tiba terjadi
sebuah mukjizat agung. Saat itu orang-orang kafir menyaksikan,
jumlah kaum muslimin seakan-akan bertambah dua kali lipat dari
sebelumnya. Allah Swt. berfirman :
ى كف واخره ية ف فئتي التقتا فئة تقاتل ف سبيل الل ه م رأي قد كن لـك اه ثلي ارونم م رة ي
ول البصار ة ل ل لعب اشاء انا ف ذه د بنصه من ي يؤي العي والل ه
Artinya : "Sungguh, telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan
yang berhadap-hadapan. Satu golongan berperang di jalan Allah dan
yang lain (golongan) kafir yang melihat dengan mata kepala, bahwa
mereka (golongan muslim) dua kali lipat mereka. Allah menguatkan
dengan pertolongan-Nya bagi siapa yang Dia kehendaki. Sungguh,
pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang
mempunyai penglihatan (mata hati)". (QS. Ali-Imran [3]: 13)
Kata al-‘ain (mata kepala) dan al-abshar (mata hati) bisa
memiliki pengertian yang sama jika di tinjau dari makna harfiahnya.
Akan tetapi al-abshar memiliki makna yang lebih luas, yakni proses
penglihatan manusia yang telah mencapai kesempurnaan sehingga
menyebabkannya mampu melihat dengan hatinya. Dalam hal ini
seseorang akan cenderung melihat sebuah isyarat kebajikan dengan
menggunakan mata hatinya, setelah dengan mata fisik (zhahir) nya.
45
Dalam persoalan qisas (balasan), Allah Swt. juga menggunakan
istilah al-‘ain dengan sangat jelas pada surat al-Mâidah ayat 45, yang
berbunyi:
م فيا انا النافس بلنافس نا وكتبنا علي ذن والس ذن بل والعي بلعي والنف بلنف وال
ك بما انز ام ي ومن ل ق به فهو كفاارة لا ن والجروح قصاص فمن تصدا بلس ل الل ه
لمون فاولهئك ه الظ ه
Artinya : "Kami telah menetapkan bagi mereka di dalamnya (Taurat)
bahwa nyawa (dibalas) dengan nyawa, mata dengan mata, hidung
dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-
luka (pun) ada qisasnya (balasan yang sama). Barang siapa
melepaskan (hak qisas)nya, maka itu (menjadi) penebus dosa
baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang zalim."
Pada ayat tersebut Allah Swt. menyampaikan kepada Nabi, dengan
maksud agar beliau menaruh perhatian pada orang-orang yang
menginginkan keridhaan Allah Swt. semata, memurnikan niatnya
dalam mempelajari Alquran, dan mau mendengar nasihat-nasihat
Rasulullah. Allah Swt. menggunakan kata al-‘ain dalam konteks
menaruh perhatian atau memperhatikan sejumlah hakikat melalui
penglihatan. Allah Swt. berfirman :
"Katakanlah, Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal
(di gua); milik-Nya semua yang tersembunyi di langit dan di bumi.
Alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah tajam pendengaran-
Nya; tidak ada seorang pelindung pun bagi mereka selain Dia, dan
Dia tidak mengambil seorang pun menjadi sekutu-Nya dalam
menetapkan keputusan." (al-Kahfi [18]: 26), tentu saja Allah
menganugerahkan manusia pancaindra seperti pendengaran dan
46
penglihatan, dengan maksud agar manusia dapat mengetahui dan
mengenali tanda-tanda kekuasaan Allah Swt.26
D. Klasifikasi Kata Sama’ dan Bashar
Pelacakan bentuk kata mengacu kepada gramatikal bahasa
Arab. Kalimat dalam bahasa Arab terdiri dari tiga yaitu yaitu fi’il, ism
dan huruf. 27
Penelitian ini hanya akan membahas fi’il dan ism. Fi’il
adalah bentuk kata kerja yang memiliki waktu tertentu. Fi’il madhi
adalah kata kerja yang menunjukkan bahwa pekerjaan tersebut telah
dilaksanakan pada masa lampau (past: bahasa Inggris), fi’il mudhari’
adalah kata kerja yang menunjukkan masa sekarang atau masa yang
akan datang. Sedangkan fi’il amr adalah kata kerja yang
menunjukkan perintah.28
Dengan demikian fungsi utama penggunaan
kata kerja adalah menunjukkan bahwa pekerjaan tersebut memiliki
waktu tertentu atau sebuah pekerjaan yang memerlukan kontinuitas
atau perlu pembaharuan (tajaddud).
Ism adalah kata yang menunjukkan benda dan tidak terikat
dengan waktu tertentu.29
Dari tiga belas macam ism, penelitian ini
hanya membahas satu macam yaitu al-maushuf wa al-shifat. Ada
tujuh macam sifat yaitu ism fa’il, ism maf’ul, ism shifat musyabbihah,
ism tafdhil, ism masdar, ism jamid dan ism mansub (yang
dinisbahkan). Dari ketujuh ini hanya akan dipergunakan untuk
penelusuran sama’ dan bashar hanya tiga macam yaitu pertama ism
masdar adalah kata kerja yang dibendakan (gerund: Bahasa Inggris);
26
Abu Akbar Achmad, PUSTAKA PENGETAHUAN AL-QURAN, jilid 6
Ilmu Pengetahuan, h. 80 27
Musthafa Ghalayaini, Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, (Beirut: al-
Maktabah al-‘Asyriyyah, 1409), h. 9-10 28
Musthafa Ghalayaini, Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, h. 33 29
Musthafa Ghalayaini, Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, h. 97-98
47
kedua, ism fa’il adalah bentuk kata yang menujukkan pelaku
pekerjaan dan ketiga ism maf’ul adalah bentuk kata yang
menunjukkan sasaran atau obyek pekerjaan. Salah satu fungsi
pemakaian ism dalam kalimat adalah menetapnya suatu pekerjaan
(tsubut). Pelacakan bentuk diperlukan untuk memperoleh data bentuk
kata yang paling sering dipakai oleh al-Qur’ân. Banyaknya
pengulangan bentuk kata dapat memberikan indikator makna dari
ayat-ayat tersebut. Di samping penggunaan bentuk kata, penelusuran
dilanjutkan pada pencarian subyek dan obyek. Yang dimaksud
subyek dan obyek dalam pelacakan ini bukan sebatas pada kedudukan
fa’il dan maf’ul dalam gramatikal Bahasa Arab, akan tetapi mencakup
juga susunan kalimatnya yang tidak terdiri dari fi’il-fa’il-maf’ul
(predikat-subyek-obyek). Tujuan dari penelusuran subyek-obyek dari
kedua kata tersebut akan memberikan data siapa saja yang menjadi
pelaku dari kedua kata tersebut. Demikian juga obyek atau sasaran
subyek dari kedua kata tersebut. Penulis fokus pada kata sama’ dan
bashar yang berada dalam satu ayat bersamaan tanpa derivasinya dan
ditemukan pada 16 ayat.
1. Berdasarkan Bentuk Kata
Sama’ dan Bashar dalam Bentuk Kata
NO BENTUK KATA SURAT : AYAT JUMLAH
1. Fi’il Madhi - -
Mudhari Hûd [11]: 20 1
Amr Maryam [19]: 38 1
2. Ism Fa’il - -
Masdar al-Baqarah [2]: 7
al-Baqarah [2]: 20
14
48
al-An’âm [6]: 46
Yûnus [10]: 31
al-Nahl [16]: 78
al-Nahl [16]: 108
al-Isrâ’ [17]: 36
al-Mu’minûn [23]: 78
al-Sajdah [32]: 9
Fuṣṣilat [41]: 20
Fuṣṣilat [41]: 22
al-Jâtsiyah [45]: 23
al-Ahqaf [46]: 26
al-Mulk [67]: 23
Dari tabel di atas menunjukan bahwa Alquran menggunakan
kata sama’ dan bashar dalam bentuk kata pada fi’il (kata kerja) yaitu
fi’il mudhari 1 kali dan fi’il amr 1 kali, sedangkan pada kata ism (kata
benda) yaitu ism masdar sebanyak 14 kali.
2. Berdasarkan Subjek Objek
Sama’ dan Bashar dalam Bentuk Subjek dan Objek
NO SUBJEK SURAT : AYAT
(Makiyyah/Madaniyah) OBJEK
1. Manusia al-An’âm [6]: 46 (Makiyyah)
Yûnus [10]: 31 (Makiyyah)
al-Nahl [16]: 78 (Makiyyah)
al-Isrâ’ [17]: 36 (Makiyyah)
Fuṣṣilat [41]: 20 (Makiyyah)
Fuṣṣilat [41]: 22 (Makiyyah)
Tanda-tanda
Kekuasaan
Allah
2. Orang-orang al-Baqarah [2]: 7 (Madaniyah) Kebenaran
49
3.
Kafir
Para
Pendusta
al-Mu’minûn [23]: 78
(Makiyyah)
al-Mulk [67]: 23 (Makiyyah)
al-Baqarah [2]: 20 (Madaniyah)
al-Nahl [16]: 108 (Makiyyah)
al-Sajdah [32]: 12 (Makiyyah)
al-Jâtsiyah [45]: 23 (Makiyyah)
al-Ahqaf [46]: 26 (Makiyyah)
Azab dari
Perbuatan
4. Orang-orang
Zalim
Hûd [11]: 20 (Makiyyah)
Maryam [19]: 38 (Makiyyah)
Kebenaran
Dari tabel di atas, terdapat enam belas ayat yang termasuk
dalam Makkiyah dan dua ayatnya termasuk Madaniyah yaitu pada
surat al-Baqarah ayat 7 dan 20.
Enam belas ayat tersebut membahas tentang berbagai macam
manusia yang diberikan oleh Allah dengan banyak indra, khususnya
indra pendengaran dan penglihatan. Penciptaan indra merupakan
bentuk kekuasaan Allah, namun Allah juga memberitakan bahwa
semua indra tersebut memiliki tanggungjawab secara individu.
50
BAB IV
ANALISIS KAJIAN KATA SAMA’ DAN BASHAR
Dalam bab ini akan diuraikan secara detail hasil analisa kata
sama’ dan bashar. Kedua kata yang bersamaan dalam satu ayat ini
akan ditelusuri satu per satu ayat. Masing-masing ayat akan
dikategorikan dalam subyek manusia yaitu dalam bentuk mufrad dan
bentuk jamak. Selain itu akan diuraikan fenomena dan juga tafsiran
ayatnya. Penelusuran kata sama’ dan bashar dalam bentuk mufrad
(tunggal) dan jamak membuktikan adanya kekonsistenan Alquran.
Selain itu, fenomena yang diuraikan akan membuktikan bahwa
Alquran adalam sumber dari isyarat ilmu di dunia ini. Penelusuran
melalui tafsiran ayat juga akan mencantumkan penjelasan asbab al-
nuzul (sebab turunnya ayat tersebut) serta tema yang di maksud dari
ayat tersebut.
A. Sama’ Bashar dalam Subyek Manusia
Dalam penelitian yang saya telusuri, pada kata sama’ dan bashar
yang berada dalam satu ayat bersamaan tanpa derivasinya terdapat di
enam belas ayat yaitu pada surat al-Baqarah ayat 7 yang ditujukan
pada golongan orang-orang kafir dan pada ayat 20 ditujukan pada
golongan orang-orang munafik. Kemudian surat al-An’âm ayat 46,
surat Yûnus ayat 31 ditujukan pada seluruh manusia sebagai tanda
kesempurnaan ilmu Allah dan bukti kekuasaan-Nya. Dalam surat
Hûd ayat 20 dan surat Maryam ayat 38 ditujukan pada orang-orang
zalim tentang adanya kebenaran wahyu. Kemudian pada surat al-
Naḥl ayat 78 ditujukan pada seluruh manusia sebagai hikmah dari
kejadian alam semesta dan pada ayat 108 ditujukan pada seluruh
manusia terutama orang-orang yang jauh dari hidayah Allah. Pada
51
surat al-Isrâ’ ayat 36 membahas tanda kekuasaan Allah atas
pertanggungjawaban setiap manusia. Kemudian pada surat al-
Mu’minûn ayat 78 ditujukan pada orang-orang kafir yang ingkar.
Surat al-Sajdah ayat 9 membahas tentang proses kejadian manusia
dan kebangkitan di hari akhir. Pada surat Fuṣṣilat ayat 20 dan ayat 22
membahas tanda-tanda kekuasaan Allah tentang seluruh anggota
tubuh manusia yang akan menjadi saksi di akhirat. Pada surat al-
Jâtsiyah ayat 23 ditujukan pada para pendusta menyindir tentang
tidak ada yang dapat memberikan petunjuk kepada penyembah hawa
nafsu, surat al-Aḥqâf ayat 26 ditujukan pada para pendusta
membahas tentang kehancuran kaum ‘Ad yaitu azab dari
perbuatannya. Selanjutnya surat al-Mulk ayat 23 membahas tentang
ancaman Allah pada orang-orang kafir. Dan pada enam belas ayat
tersebut bersubyek manusia.
B. Kategori Kata Sama’ dan Bashar
Sama’ dan Bashar Bentuk Mufrad
No Surat Bentuk Sama’ Bentuk Bashar
1. Hud [11]: 20 مع ون Mufrad الس Mufrad يبصر
2. al-Isra' [17]: 36 مع الس Mufrad ارن الب ص Mufrad و
3. Maryam [19]: 38 ع Mufrad ا سر ا بصر Mufrad و
4. al-Jatsiyah [45]:
23 ه عر ره Mufrad س Murfad ب ص
Berdasarkan hasil peneliti kata sama’ bashar yang bersamaan
dalam satu ayat dari enam belas ayat yang penulis temukan terdapat
empat kata sama’ dan bashar dalam bentuk mufrad/tunggal.
52
Sama’ Mufrad Bashar Jamak
No Surat Bentuk Sama’ Bentuk Bashar
1. al-Baqarah
[2]: 7 هرم عر Mufrad س ع لى و هر ارر ا بص Jamak
2. al-Baqarah
[2]: 20 هرم معر Mufrad برس هر ارر ا بص Jamak و
3. al-An'am [6]:
46 ك ع ك Mufrad س ار ا بص Jamak و
4. Yunus [10]:
31 مع ار Mufrad الس ال بص Jamak و
5. al-Nahl [16]:
78 مع Mufrad الس ال بصى Jamak و
6. al-Nahl [16]:
108 هرم عر س Mufrad و هر ارر ا بص Jamak و
7. al-Mu'minun
[23]: 78 مع ار Mufrad الس ال بص Jamak و
8. al-Sajdah
[32]: 9 مع ار Mufrad الس ال بص Jamak و
9. Fussilat [41]:
20 عهم اره Mufrad س ا بص Jamak و
10. Fussilat [41]:
22 Jamak وملمامبصماركم Mufrad سمعكم
11. al-Ahqaf [46]:
26 عهم اره Mufrad س ا بص ل Jamak و
12. al-Mulk [67]:
23 مع ار Mufrad الس ال بص Jamak و
Berdasarkan hasil peneliti kata sama’ bashar yang bersamaan
dalam satu ayat dari enam belas ayat yang penulis temukan terdapat
dua belas kata sama’ dalam bentuk mufrad dan bashar dalam bentuk
jamak.
C. Fenomena Kata Sama’ dan Bashar
1. Fenomena Kata Sama’ dalam al-Qur’ân
a. Keistimewaan indra pendengaran dibandingkan indra lainnya
53
Alquran menyebutkan kata sama’ (pendengaran) lebih dulu
ketimbang indra-indra lainnya yang terdapat pada tubuh manusia.
Kemudian manusia mampu menikmati dua jenis keindahan: lantunan
ayat-ayat suci Alquran dan berbagai suara atau bunyi-bunyian yang
mengalun di alam semesta seperti kicauan burung, gemercik air,
gemerisik dedaunan, alunan musik, dan sebagainya. Allah Swt.
berfirman,
Yang artinya: “Inilah ciptaan Allah, maka perlihatkanlah olehmu
kepadaku apa yang telah diciptakan oleh (sesembahanmu) selain
Allah. Sebenarnya orang-orang yang zalim itu berada di salam
kesesatan yang nyata.” (QS. Luqmân: 11)
Keberadaan pancaindra merupakan satu hal yang masih diselimuti
berbagai misteri dan rahasia, yang baru berhasil terungkap setelah
ilmu pengetahuan mengalami perkembangan dan kemajuan teramat
pesat, sehingga memungkinkan manusia menggali dan memahaminya
lebih jauh. Dengan kata lain, dengan bantuan ilmu pengetahuan, rasio
(akal pikiran) manusia akhirnya mampu mengungkap berbagai rahasia
di balik kekalnya ayat-ayat yang dibawa dan disampaikan Nabi
Muhammad saw., yang merupakan mukjizat abadi sepanjang masa.1
Seiring perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan yang
terbilang sangat pesat, kalangan ilmuwan berhasil membuktikan
bahwa indra pendengaran sangat penting dan dibutuhkan seseorang
untuk dapat berbicara. Mereka juga berhasil mengungkapkan fakta
bahwa proses pendengaran sangat erat kaitannya dengan seluruh
fungsi pancaindra. Dalam hal ini, telah diungkap dan dibuktikan
1 Abu Akbar Achmad, PUSTAKA PENGETAHUAN AL-QURAN, jilid 6
Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: PT Rehal Republika, 2007), h. 64
54
dalam ilmu pengetahuan modern pada paruh akhir abad ke dua puluh,
bahwa manusia yang tidak dapat mendengar (tuli) niscaya akan
kehilangan kemampuannya untuk bercakap-cakap.2
Berkat suara atau bunyi-bunyian yang dicerap pendengarannya,
manusia dapat mengetahui hal-hal yag ada disekitarnya (dalam radius
atau jarak tertentu) untuk kemudian di simpan dalam ingatannya.
Darinya, manusia pun dapat mengenali kembali hal yang sama dari
suara atau bunyinya di kemudian hari, yang pada gilirannya
memungkinkan dikenalinya pula ciri-ciri lainnya, baik yang berkenaan
dengan kondisi atau bentuk fisik, aroma, atau sebagainya. Selain itu,
penelitian dan bukti-bukti ilmiah modern, mengungkap fakta yang tak
terbantahkan bahwa manusia memiliki intonasi (tingkatan nada) suara
yang khas yang berbeda-beda satu sama lain.
Manusia akan mampu mendengar suara yang sampai ketelinganya
dari berbagai arah dan ketinggian. Berarti pendengaran bekerja 360
derajat. Sedangkan penglihatan tidak akan mampu beroperasi pada
kondisi tersebut, hanya 180 derajat pada posisi horizontal dan 145
pada posisi vertikal. Gelombang cahaya bagi penglihatan selalu berada
pada garis lurus, jika terhalang maka tidak akan mampu bekerja, Akan
tetapi gelombang suara akan berjalan di semua arah dan melewati
seluruh sisi yang dilewatinya. Gelombang cahaya juga mampu
berjalan di dalam benda cair dan menyampaikannya kepada manusia
melalui dinding.3
Dalam dimensi lain, kondisi awal peradaban manusia
(masyarakat), Alquran ketika menyebutkan perbedaan kondisi
2 Abu Akbar Achmad, PUSTAKA PENGETAHUAN AL-QURAN, jilid 6
Ilmu Pengetahuan, h. 65 3 Yusuf Ahmad, Ensiklopedi Keajaiban Ilmiah al-Qur’ân, (Jakarta:
Taushia, 2009), Cet. 1, h. 344
55
pendengaran akan lebih banyak dibandingkan dengan kondisi
penglihatan. Di gurun sahara kepekaan pandangan sangat kurang di
bandingkan dengan kepekaan pendengaran. Pada masa tersebut
masyarakat lebih mengedepankan pendengaran (audio) di banding
penglihatan (visual), bahkan ayat Alquran pun melalui proses
pendengaran dan dihafalkan dan pada masa itu masyarakat tersebut
dalam hal keilmuan seperti syair dan puisi lebih banyak dihafalkan.4
Dalam ilmu embriologi terbukti bahwa awal penciptaan
pendengaran terjadi sebelum diciptakannya penglihatan. Penciptaan
indra pendengaran dimulai pada minggu ketiga kehamilan, sedangkan
penciptaan indra penglihatan terjadi pada minggu keempat. Fungsi
pendengaran juga dimulai sebelum fungsi penglihatan. Telinga bagian
dalam janin akan sempurna dan mampu mendengar pada bulan
kelima, sedangkan mata baru terbuka dan lapisannya yang sensitif
terhadap cahaya tidak berkembang kecuali pada bulan ketujuh.
Sampai saat itu saraf penglihatan tidak akan sempurna untuk
membawa sinyal-sinyal cahaya dengan cukup, dan mata tidak akan
bisa melihat karena ia tenggelam dalam tiga kegelapan (dalam rahim).
Janin akan mendengar suara-suara gerakan usus dan jantung ibunya.
Fenomena ini bisa direkam dengan alat-alat perekam laboratorium. Ini
merupakan bukti ilmiah yang membuktikan bahwa janin dapat
mendnegar suara-suara di fase dini usianya.5
b. Indra yang pertama dan terakhir kali aktif
Pendengaran merupakan indra utama manusia tatkala dirinya
masih berupa janin. Lebih dari itu, indra ini merupakan yang pertama
kali mencapai tahap kesempurnaan manakala seseorang masih berada
4 Yusuf Ahmad, Ensiklopedi Keajaiban Ilmiah al-Qur’ân, h. 356
5 Nadiah Thayyarah, Buku Pintar Sains dalam Al-Qur’ân, (Jakarta:
Zaman, 2013), h. 265
56
dalam perut ibunya. Pada tahap terakhir perkembangannya dalam
Rahim, sang janin mampu mendengar suara-suara dari dunia luar.6
Pendengaran merupakan indra yang pertama kali aktif sehingga
ketika di dalam perut sudah ada rangsangan sang ibu memberikan
stimulasi pada bayi, yang dimulai sejak dalam kandungan. Edukasi
mengenai bagaimana memberi stimulasi pada bayi sangat dibutuhkan
untuk kecerdasan anak.7 Salah satunya dengan mendengarkan musik.
Dalam musik terkandung komposisi not balok secara kompleks dan
harmonis, yang secara psikologis merupakan jembatan otak kiri dan
otak kanan, yang output-nya berupa peningkatan daya
tangkap/konsentrasi. Ternyata Alquran pun demikian, malah lebih
baik. Ketika diperdengarkan dengan tepat dan benar, dalam artian
sesuai tajwid dan makhraj, Alquran mampu merangsang saraf-saraf
otak pada anak. Kita semua tahu, neuron pada otak bayi yang baru
lahir itu umumnya seperti ‘disket kosong siap pakai’. Artinya, siap
dianyam menjadi jalinan akal melalui masukan berbagai fenomena
dari kehidupannya. Kemudian akan terciptalah sirkuit dengan
wawasan tertentu. Istilah populernya ‘intelektual’. Sedangkan
anyaman tersebut akan semakin mudah terbentuk pada waktu dini.
Neuron8 yang telah teranyam di antaranya untuk mengatur faktor yang
menunjang kehidupan dasar seperti detak jantung dan bernapas.
6 Abu Akbar Achmad, PUSTAKA PENGETAHUAN AL-QURAN, jilid 6
Ilmu Pengetahuan, h. 69 7 Risqi Dewi Aisyah, dkk, Jurnal IbM HARMONI KECERDASAN
UNTUK JANIN MELALUI IBU HAMIL, (Universitas Muhammadiyah Semarang,
2017), h. 5 8 Neuron atau sel saraf merupakan satuan kerja utama dari sistem saraf
yang berfungsi menghantarkan impuls listrik yang terbentuk akibat adanya suatu
stimulus (rangsangan). Lihat di https://id.m.wikipedia.org/wiki/Sel_saraf pada
pukul 15.40 WIB, 16-01-2019
57
Sementara neuron lain menanti untuk dianyam, sehingga bisa
membantu anak menerjemahkan dan bereaksi terhadap dunia luar.9
Dalam Islam pula diajarkan ketika bayi sudah lahir, maka
diazankan pada bagian telinganya, sebagaimana hadis Nabi saw.
Diriwayatkan dari Abi Rafi’ Maula Rasulillah saw. ra.,
ته ل و ي بنع لحر ير الحس اذنر يفر صلهللاعليهوسملا ذن هللار سول أيتر :ر قا ل
م ال ةرفا طر الص نمةبر هللاع ضر (وغريهاموالرتمذيداودابورواه) . ر
Bahwa dia melihat Rasulullah saw. mengazankan dengan azan
salat di telinganya Husain bin Ali, ketika telah dilahirkan oleh
Fatimah. Riwayat Abu Dawud, al-Turmudzi, dan rawi lainnya.
Menurut kebiasaan umat Islam, dianjurkan azan di telinga
kanannya dan iqamah di telinga kirinya, dan telah diriwayatkan dalam
Kitab Ibnu Sinniy dari Husein bin ‘Ali, bahwa Nabi saw. bersabda :
ممولود لمه وملمدم ممن اذنيهي في يمانيفمأمذنم ب الصي ام تمضره لم اليسرىم اذنيهي في ومامقاممم اليمىنم
“Barang siapa yang anaknya lahir dan diadzankan di telinga
kanannya dan diiqamahkan di telingan kirinya, maka tidak akan
dapat diganggu oleh Ummushshibyaan (setan yang diberi tugas
menggoda anak yang baru lahir)”.
Ternyata indra pendengaran juga merupakan indra yang terakhir
kali aktif sehingga Islam mengajarkan ketika manusia sakaratulmaut10
9 Risqi Dewi Aisyah, dkk, Jurnal IbM HARMONI KECERDASAN
UNTUK JANIN MELALUI IBU HAMIL, h. 5
58
dianjurkan untuk di talqin, yang artinya diajari, diingatkan, serta
dituntun mengucapkan kalimat-kalimat thayyibah.
Sebagaimana Rasulullah saw. dalam salah satu sabdanya:
للالملمقينوامموتىكمبيقمولي الهمايل Tuntunlah oleh kamu orang yang hampir mati itu dengan bacaan “Laa
ilaaha Illallaah” (tiada Tuhan selain Allah).
c. Akan tetap aktif meskipun tidur (kecuali dalam kisah Ashabul
Kahfi)
Dalam surat al-Kahfi ayat 20 dijelaskan bahwa para sahabat pun
terbuai dalam tidur panjang selama 309 tahun. Sementara itu, ayat
(tanda kekuasaan) Allah Swt. yang terdapat pada makhluk-makhluk-
Nya akan selalu didukung ayat-ayat ilmu pengetahuan. Diantaranya
adalah ayat yang berkaitan dengan masalah pendengaran dalam surat
al-Kahfi ayat 10-11, mereka para pemuda bukan menemui kematian,
melainkan hanya tertidur nyenyak selama beberapa tahun sehingga
dapat beristirahat secara total. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa
telinga adalah penghubung antara manusia dengan dunia luar.
pendengaran tidak membutuhkan cahaya, berbeda dengan mata yang
membutuhkan cahaya. Dalam kondisi gelap pun pendengaran masih
bisa bekerja.
Abu Abdurrahman bin Tayyib mengemukakan tentang ayat ini.
Tidur itu ada beberapa macam, yaitu: Tidur ringan; hal ini tidak
mencegah pendengaran, oleh sebab itu jika seorang sedang tidur
ringan dia masih masih sempat bisa mendengar suara di sekitarnya.
10
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu keadaan saat menjelang
kematian (ajal) tiba.
59
Tidur nyenyak; tidur seperti ini sudah tidak lagi bisa mendengar
suara apapun juga. Oleh karena itu Allah mengatakan “fadhorobnâ
‘alâ ‘âdzanihim” Kami tutup telinga-telinga mereka hingga tidak
bisa mendengar.11
Pada abad ke dua puluh, ilmu pengetahuan modern membuktikan
bahwa seluruh pancaindra tidak akan berfungsi ketika manusia sedang
tidur. Hanya saja dalam keadaan itu, indra pendengaran yang pusat
sarafnya terdapat di otak akan selalu siap (lebih dahulu) bekerja dan
merespon suara dari luar tubuh. Oleh Karena itu lebih mudah
membangunkan seseorang dari tidur lelapnya lewat indra
pendengaran, seperti dengan menciptakan suara-suara tertentu atau
membunyiakn lonceng/alarm.12
Dan telinga pulalah yang merupakan
alat pendengar panggilan penyeru pada hari kiamat kelak ketika
terompet dibunyikan.
1. Fenomena Kata Bashara dalam al-Qur’ân
a. Keajaiban Struktur Mata
Bentuk indra penglihatan (mata) manusia secara keseluruhan
hampir menyerupai sebuah (bola) bulatan kecil dengan lingkaran
berwarna gelap di tengahnya. Lingkaran itu dikelilingi dinding
berwarna putih yang tampak kosong, namun sebenarnya mengandung
unsur-unsur tertentu dan terdiri dari tiga lapisan.
Pertama, lapisan luar yang disebut sklera dan berfungsi untuk
melindungi mata.
Kedua, lapisan tengah yang merupakan sumber nutrisi (gizi) bagi sel-
sel yang terdapat dalam bola mata.
11
Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, TAFSIR AL-KAHFI, (Jakarta:
Pustaka as-Sunnah, 2005), h. 43 12
Abu Akbar Achmad, PUSTAKA PENGETAHUAN AL-QURAN, jilid
6 Ilmu Pengetahuan, h. 73
60
Ketiga, lapisan dalam; pada lapisan ini terdapat sebuah jaringan yang
berfungsi menangkal pancaran gelombang cahaya.
Adapun seluruh bidang permukaan dari lingkaran berwarna
gelapnya (yang memungkinkan manusia dapat melihat) dilapisi
dengan kornea (selaput bening). Tugas utama selaput ini adalah
mengizinkan masuknya cahaya ke dalam mata. Di belakang lapisan
kornea, terdapat sebuah lingkaran kecil berbentuk pipih. Lingkaran
lebih kecil yang merupakan bagian dari lingkran mata berwarna gelap
dan letaknya persis di tengah-tengah itu umumnya dikenal dengan
sebutan iris atau selaput pelangi. Selaput inlah yang menghasilkan
berbagai warna mata yang indah.
Pada selaput ini terdapat sejumlah zat warna yang akan
menciptakan warna mata. Kalau jumlah sel-sel itu sedikit, maka warna
matanya agak cerah, seperti biru atau hijau. Tetapi jika jumlahnya
banyak, warna mata akan terkesan lebih gelap seperti coklat atau
hitam. Pada selaput pelangi ini terdapat sebuah lubang, yang disebut
dengan pupil, yang akan dilewati cahaya yang masuk ke mata. Fungsi
dari pupil adalah mengontrol cahaya yang di butuhkan mata. Dalam
hal ini, ia akan membesar dan mengecil sesuai jumlah cahaya yang
masuk. Dalam prosesnya, cahaya yang masuk kedalam mata akan
melewati sebuah lensa jernih, lalu jatuh ke selaput jala (retina) setelah
sebelumnya menerobos cairan jernih (vitreous humor) yang berfungsi
menjaga bentuk mata tetap bulat. Cahaya yang terjaring selpaut jala
ini akan dibentuk menjadi sebuah gambar yang jelas, yang kemudian
diubah menjadi serangkaian sinyal yang dikirim ke otak. Mekanisme
(proses) pengubahan gambar menjadi serangkaian sinyal ini dimulai
dari bagian pucuk serabut urat saraf penyerap yang terdapat di
permukaan selaput jala. Urat saraf inilah yang mengirimkan sinyal-
61
sinyal gambar berbagai benda ke pusat jaringan saraf (penglihatan)
yang terdapat di bagian otak belakang. Adapun cara masuknya nutrisi
makanan kedalam mata yang merupakan kreasi Tuhan semesta alam.
Dalam hal ini, Allah memberikan pada mata sebuah jaringan
pembuluh darah yang begitu manakjubkan dan terletak di lapisan
bagian tengah. Jaringan pembuluh darah inilah yang membawa nutrisi
makanan ke seluruh bagian mata. Darah pembuluh-pembuluh darah
ini akan muncul sejumlah cairan yanga menghasilkan asupan nutrisi
bagi kornea dan lensa mata, sekaligus menjaga agar tekanan dalam
mata selalu berada pada ambang batas normal.13
Ditinjau dari segi fungsinya, fungsi penglihatan terbagi menjadi
dua jenis, yang keduanya menjadi dasar bagi proses penglihatan pada
diri manusia. Para ilmuwan mengistilahkan keduanya dengan:
1. Penglihatan terfokus, yaitu melihat berbagai hal secara terperinci,
termasuk aneka jenis warna ketika ada cahaya (baik yang berasal
dari matahari ataupun lainnya)
2. Penglihatan parsial, yaitu penglihatan yang dilakukan saat
terpancar cahaya yang lemah atau benda dalam kondisi gelap
gulita. Penglihatan ini berfungsi untuk membedakan gerakan
berbagai jenis benda.
Dengan memperhatikan selaput jala (retina mata), seseorang akan
menemukan ayat-ayat Allah yang bertebaran di alam ini. Segala
sesuatu di alam ini, seperti warna, keindahan, dan gerakannya akan
berhadapan dengan selaput berukuran sangat tipis yang menempati
posisi paling ujung dan jaringan saraf optik atau penglihatan (saraf
kedua dari deretan saraf yang terdapat di otak). Saraf optik ini
13
Abu Akbar Achmad, PUSTAKA PENGETAHUAN AL-QURAN, jilid 6
Ilmu Pengetahuan, h. 83
62
berfungsi membawa gambar mulai bagian ujung, hingga ke pusat
penglihatan yang terletak di bagian belakang otak. Bagian-bagian
pucuk saraf optik yang menjadi salah satu syarat penting agar gambar
yang masuk ke dalam tetap jernih, tidak terpengaruhi banyaknya
jumlah lapisan yang terdapat di dalamnya. Berkat kemajuan pesat
yang terjadi di dunia kedokteran. Para ilmuwan akhirnya mengetahui
bahwa bagian-bagian pucuk saraf optik ini tidak memiliki bentuk yang
sama. Kemudian, mereka pun mengetahui bahwa perbedaan bentuk
diakibatkan oleh adanya perbedaan tugas. Meskipun tampak
sederhana, pada hakikatnya perbedaan itu terbilang sangat rumit.
Para ilmuwan melakukan penelitian dan menemukan bahwa
bagian-bagian pucuk saraf optik yang membentuk selaput jala atau
retina itu sendiri dari dua jenis: salah satunya berbentuk kerucut atau
corong, dan yang lainnya berbentuk tongkat. Kemudian dibagian
pucuk saraf ini, menemukan sebuah zat berwarna merah yang menjadi
pemicu utama dimulainya proses penglihatan, berupa pengambilan
gambar dari berbagai benda atau objek secara terperinci. Proses
pembentukan gambar dimulai dari seberkas cahaya yang jatuh
kedalam retina atau selaput jala, lalu memasuki zat pewarna mata.
Kemudian terbentuklah sejumlah sinyal listrik yang dikirimkan ke
serabut-serabut saraf optik, dan masuk ke dalam sel-sel optik pusat
yang terletak dalam otak. Setelah itu, sebuah gambar akhirnya pun
dikenali.14
14
Abu Akbar Achmad, PUSTAKA PENGETAHUAN AL-QURAN, jilid 6
Ilmu Pengetahuan, h. 85
63
D. Tafsiran al-Qur’ân pada Kata Sama’ Bashar
Dalam hal ini penulis hanya akan menjelaskan penafsiran 4 ayat
dari 16 ayat yang diteliti, yaitu pada surat al-Jâtsiyah [45]: 23, al-
Naḥl [16]: 78, al-Isrâ’ [17]: 36, dan al-Sajdah [32]: 9.
1) Surat al-Jâtsiyah ayat 23
ع لى ع ل ج هو ق لبر هو عر س ع لى ت خ و مل عر ع لى اللى ل ا ض ٮهو وى لىه هه ار ات ذ نر م يت ء ا ف ر
ب عدر ن مر يهر در ني ة ف م و شى رهغر كرون ب ص ت ذ ا ف ال ر اللى
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa
nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat
berdasarkan ilmu-Nya, dan Allah telah mengunci mati
pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas
penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk
sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu
tidak mengambil pelajaran?.” (QS. al-Jâtsiyah [45]: 23)
Penjelasan ayat:15
Kemudian Allah Swt. berfirman, “Maka pernahkah kamu
melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
tuhannya”. Yakni sesungguhnya dia hanya diperintahkan oleh
hawa nafsunya. Maka apa saja yang dipandang baik oleh hawa
nafsunya, dia kerjakan; dan apa saja yang dipandang buruk oleh
hawa nafsunya, dia tinggalkan. Ayat ini dapat juga dijadikan
sebagai dalil untuk membantah golongan Mu'tazilah yang
menjadikan nilai buruk dan baik berdasarkan kriteria rasio
mereka. Menurut apa yang diriwayatkan dari Malik sehubungan
15
Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir
Ibnu Katsir, jilid 4, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), h. 316
64
dengan tafsir ayat ini, orang tersebut tidak sekali-kali menyukai
sesuatu melainkan dia mengabdinya.
Firman Allah Swt. “Dan Allah membiarkannya sesat
berdasarkan ilmu-Nya”. Makna ayat ini mengandung dua takwil.
Pertama ialah Allah menyesatkan orang tersebut karena Allah
mengetahui bahwa dia berhak untuk memperoleh kesesatan.
Kedua ialah Allah menjadikannya sesat sesudah sampai
kepadanya pengetahuan dan sesudah hujah ditegakkan
terhadapnya. Pendapat yang kedua mengharuskan adanya
pendapat yang pertama, tetapi tidak kebalikannya. “Dan Allah
telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan
tutupan pada penglihatannya?” karenanya dia tidak dapat
mendengar apa yang bermanfaat bagi dirinya dan tidak
memahami sesuatu yang dapat dijadikannya sebagai petunjuk,
dan tidak dapat melihat bukti yang jelas yang dapat dijadikan
sebagai penerang hatinya. Karena itulah disebutkan dalam firman
berikutnya:
“Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah
(membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil
pelajaran?”. Semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-
Nya:
طغيمانييمي معممهونم رهمفي فمالهمادييملمهوميمذم الل ممنيضليلي
“Barang siapa yang Allah sesatkan, maka baginya tak ada orang
yang akan memberi petunjuk. Dan Allah membiarkan mereka
terombang-ambing dalam kesesatan”. (QS. al-A'râf [7]: 186)
2) Surat al-Nahl ayat 78
65
ال بصى و مع الس ك ـ ل ع ل ج يــئاو ش ت عل مون ل هىترك ام بطونر ن مر ك ج ا خر اللى و
ت شكرون لك ل ع ة ال فئرد و
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam
keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberimu
pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu
bersyukur." (QS. al-Nahl [16]: 78)
Penjelasan ayat:
Allah menuturkan beberapa bukti kuasa-Nya serta anugerah-
Nya kepada para hamba-Nya seperti pada potongan ayat
هىترك ام بطونر ن مر ك ج ا خر اللى Allah mengeluarkan manusia dari و
perut ibunya dalam keadaaan tidak mengetahui apa-apa. Manusia
diciptakan pada awal fase penciptaan dalam keadaan tidak
mengetahui apa-apa, kemudian Allah membekalinya dengan ilmu
dan pengetahuan. Allah Swt. pun menganugerahinya dengan akal
pikiran yang bisa memahami berbagai hal, membedakan antara
yang baik dan yang buruk, mampu memilih yang bermanfaat dan
yang tidak. Allah Swt. menyediakan untuknya kunci-kunci
pengetahuan berupa pendengaran yang dapa mendengar dan
memahami suara. Juga penglihatan yang bisa melihat berbagai
hal, serta hati yang bisa memahami berbagai hal.
Pada potongan ayat ini ت شكرون لك agar kalian mensyukuri ل ع
nikmat-nikmat Allah, dengan cara menggunkan setiap anggota
tubuh sesuai dengan tujuan penciptaannya. Juga supaya manusia
66
bisa beribadah menyembah Allah dan mentaati segala perintah-
Nya tanpa alasan.
Hal ini sebagaimana keterangan hadis qudsi dalam shahih
bukhari dari Abu Hurairah r.a. dari Rasulullah saw. bersabda:
“Sesungguhnya Allah Swt. berfirman, ‘Barangsiapa memusuhi
seorang kekasih-Ku, sungguh aku umumkan perang terhadapnya
(sungguh berarti ia mengumumkan perang dengan-Ku). Seorang
hamba-Ku tidak mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu
yang lebih aku cintai dari apa yang aku fardhukan dan wajib atas
dirinya. Seoranghamba-Ku terus senaniasa mendekatkan diri
kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku
mencintainya, dan jika Aku telah mencintainya, maka Aku
menjadi ‘pendengarannya’ yang ia gunakan untuk
mendengarkan, menjadi ‘penglihatannya’ yang ia gunakan untuk
melihat, menjadi ‘tangannya’ yang ia gunakan untuk memungut,
dan menjadi ‘kakinya’ yang ia gunakan untuk berjalan.16
Dan
sungguh jika ia memohon kepada-Ku, tentu Aku perkenankan,
dan jika ia memohon perlindungan kepada-Ku, tentu Aku
lindungi dia. Dan Aku tidak ‘ragu-ragu’ terhadap sesuatu yang
Aku perbuat seperti ‘keragu-raguan-Ku’ untuk mencabut jiwa
(nyawa) hamba-Ku yang mukmin, ia tidak menyukai kematian,
dan Aku tidak ingin menyakitinya, namun kematian adalah hal
yang pasti baginya.
3) Surat al-Isrâ’ ayat 36
16
Ini adalah ungkapan majaz atau metafora tentang pertolongan dan
keridhaan Allah Swt, kepada dirinya.
67
نه ع ن ك ئرك اولى ك اد الفؤ و الب ص و مع الس ن ار مل برهعر ك لـ يس ـ ال ت قفم ل و
ئول س م
"Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu
ketahui. Karena pendengaran, penglihatan, dan hati nurani,
semua itu akan diminta pertanggung jawabannya." (QS. al-Isrâ’
[17]: 36)
Penjelasan ayat:17
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas
yang mengatakan bahwa makna la taqfu ialah la taqul (janganlah
kamu mengatakan). Menurut Al-Aufi, janganlah kamu menuduh
seseorang dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuan bagimu
tentangnya. Muhammad ibnul Hanafiyah mengatakan, makna
yang dimaksud ialah kesaksian palsu. Qatadah mengatakan
bahwa makna yang dimaksud ialah janganlah kamu mengatakan
bahwa kamu melihatnya, padahal kamu tidak melihatnya; atau
kamu katakan bahwa kamu mendengarnya, padahal kamu tidak
mendengarnya; atau kamu katakan bahwa kamu mengetahuinya,
padahal kamu tidak mengetahui. Karena sesungguhnya Allah
kelak akan meminta pertanggungjawaban darimu tentang hal
tersebut secara keseluruhan.
Kesimpulan pendapat mereka dapat dikatakan bahwa Allah Swt.
melarang mengatakan sesuatu tanpa pengetahuan, bahkan
melarang pula mengatakan sesuatu berdasarkan zan (dugaan)
yang bersumber dari sangkaan dan ilusi.
17
Abdullah bin Muhammad bin Abdurahman, Lubaabut Tafsiir Min Ibni
Katsiir, jilid 5, h. 164
68
Dalam ayat lain disebutkan oleh firman-Nya:
“Jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian
prasangka itu adalah dosa”. (al-Hujurat: 12)
Di dalam hadis disebutkan seperti berikut:
نفمإي ومالظن؛ إيياكم" "المدييثي أكذب الظن Jauhilah oleh kalian prasangka. Karena sesungguhnya
prasangka itu adalah pembicaraan yang paling dusta.
Firman Allah Swt.: “Semuanya itu”. Maksudnya semua
anggota tubuh, antara lain pendengaran, penglihatan, dan hati.
“Akan dimintai pertanggungjawabannya”. Seseorang hamba
akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang dilakukan
oleh anggota-anggota tubuhnya itu pada hari kiamat, dan semua
anggota tubuhnya akan ditanyai tentang apa yang dilakukan oleh
pemiliknya.
4) Surat al-Sajdah ayat 9
ا ق لريالم ة ال فــئرد و ار ال بص و مع ل كالس ع ل ج هو وحر نر مر يهر فر ن ف خ ٮهو وى ثس
ت شكرون
“Kemudian Dia menyempurnakannya dan meniupkan kedalam
ruh-nya serta Dia menjadikan bagi kamu pendengaran,
penglihatan, dan hati. Namun sedikit sekali kamu bersyukur.”
(QS. al-Sajdah [32]: 9)
Penjelasan ayat:
69
Pada ayat sebelumnya telah dijelaskan mengenai penciptaan
manusia yang berasal dari tanah, dan manusia berketurunan dari
nutfah yang keluar dari sulbi laki-laki dan tulang iga perempuan.
Firman Allah, “Kemudian Dia menyempurnakannya” yakni
menyempurnakan Adam setelah Dia membuatnya dari tanah. Dia
menciptakanya dengan sempurna dan kokoh. “Meniupkan
kedalam ruh-nya serta Dia menjadikan bagi kamu pendengaran,
penglihatan, dan hati”, yakni berupa akal. “Namun sedikit sekali
kamu bersyukur”, atas potensi yang dikaruniakan Allah Swt.
kepada kita dan yang benar bersyukur adalah mempergunakannya
untuk menaati Allah Swt.18
Penulis mengambil empat ayat diatas sebagai contoh dari
adanya I’jaz ‘Ilmy al-Qur’ân yang terdapat dalam kata sama’ dan
bashar. Pada surat al-Jâtsiyah ayat 23 dan surat al-Isrâ’ ayat 36
menjelaskan tentang pertanggung jawaban setiap manusia yang
akan dimintai pertanggung jawabannya secara individu di akhirat,
sehingga kata sama’ dan bashar pada ayat ini berbentuk mufrad.
Kemudian pada surat al-Naḥl ayat 78 dan surat al-Sajdah ayat 9
menjelaskan mengenai embriologi tentang urutan penciptaan
indra manusia saat lahir di dunia sehingga pada ayat ini kata
sama’ berbentuk mufrad dan bashar berbentuk jamak.
18
Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir
Ibnu Katsir, jilid 3, h. 812
70
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Semua indra itu merupakan kesempurnaan yang lengkap dalam
diri seorang manusia dengan potensi, tingkatan, dan bobotnya
masing-masing. Bagi orang kebanyakan, indra hanya diangap sebagai
pelengkap manusia yang hidup. Akan tetapi, mereka tidak dapat
memahami secara lebih spesifik bahwa kelimanya memiliki fungsi
fitrah ketuhanan yang besar.
I’jaz ‘Ilmy al-Qur’ân yang terdapat dalam kata sama’ dan
bashar yaitu dalam ayat al-Qur’ân, mayoritas menyebutkan kata
sama’ (pendengaran) disebutkan lebih dahulu dibandingkan kata
bashar (penglihatan). Pendengaran meskipun ia berdiri dalam satu
posisi, dia bisa mendengar banyak suara. Inilah kenapa ia disebut
tunggal oleh Allah. Berbeda dengan penglihatan, ia bisa melihat
banyak hal dengan banyak posisi. Hal ini menunjukan bahwa kita
diingatkan sebagai manusia seharusnya mengutamakan pendengaran
dahulu dibandingkan penglihatan, sebab masih banyak manusia yang
hanya menggunakan penglihatan fisiknya saja, dan melupakan
adanya mata batin. Selain itu terdapat fenomena pada indra
pendengaran yang merupakan indra pertama dan terakhir kali aktif.
Pendengaran merupakan indra yang pertama kali aktif sehingga
ketika di dalam perut sudah ada rangsangan sang ibu memberikan
stimulasi pada bayi, yang dimulai sejak dalam kandungan dan
pendengaran merupakan indra yang terakhir kali aktif sehingga Islam
mengajarkan ketika manusia sakaratulmaut.
71
Memang alam lahir lebih cenderung kepada godaan hawa nafsu
yang selalu menggoda manusia dan mengantarkan hamba-hamba
Allah yang lalai kepada kebinasaan. Sedangkan alam batin selalu
memberi arah kepada kebaikan, pendidikan dan peringatan dan
mendekatkan hamba-hamba Allah kepada kemuliaan, dan manusia
kebanyakan mudah tertipu oleh penglihatan lahiriah dan mengira
itulah penglihatan yang benar.
Selanjutnya setelah penulis teliti I’jaz ‘Ilmy al-Qur’ân pada
kata sama’ dan bashar yang berbentuk mufrad selalu membahas
tentang pertanggungjawaban manusia secara inividu di akhirat nanti.
Dan pada kata sama’ berbentuk mufrad dan bashar berbentuk jamak
membahas tentang adanya tanda-tanda kekuasaan Allah yang ada di
dunia.
B. Kritik dan Saran
Seharusnya setiap manusia mampu menggunakan
akal/pikirannya dengan benar dan memandang dunia ini dengan mata
batinnya agar ia tidak tertipu oleh duniawi. Orang yang memandang
dunia ini dengan mata batinnya adalah orang yang memahami arah
yang akan ditempuhnya. Ia tahu mana yang lebih bermanfaat baginya
dalam pandangan dunianya, sehingga ia memilih dan menyaring
pandangannya terhadap dunia. Dunia adalah medan permainan antara
yang hak dan yang batil. Sehingga ia lebih banyak memberi
pertimbangan dan peringatan sebelum bertindak.
72
DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman, Abdullah bin Muhammad bin. Lubaabut Tafsiir Min
Ibni Katsiir. jilid 5. Terjemah M. Abdul Ghoffar. Bogor:
Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2003.
Achmad, Abu Akbar. PUSTAKA PENGETAHUAN AL-QURAN. Jilid
6 Ilmu Pengetahuan. Jakarta: PT Rehal Republika. 2007.
Ahmad, Yusuf. Ensiklopedi Keajaiban Ilmiah al-Qur’an. Jakarta:
Taushia. 2009.
Arsyad, Azhar, Asfah Rahman. Media Pembelajaran. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada. 2010.
Arikunto, Suharsini. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis.
Jakarta: Rineka Cipta. 1993.
Armita, Pipin. Relevansi Kalimat Sama’, Bashar, dan Fuad dalam
Al-Quran dengan Neurosains (Kajian I’jaz ‘ilmy Al-Quran).
Tesis, UIN Sultan Syarif Kasim Riau. 2015.
al Bâz, Anwar. Al-Tafsîr al-Tarbawî li al-Qur’an al-Karîm. Beirut:
Muasasah al-Risalah. 2007.
Boullata, Issa J. Al-Qur’an yang Menakjubkan. Tangerang: Lentera
Hati. 2008.
Djalal, Abdul. Ulumul Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu. 2000.
Eldeeb, Ibrahim. Be A Living Quran “Petunjuk Praktis Penerapan
Ayat-ayat Al-Quran dalam Kehidupan Sehari-hari”. Jakarta:
Lentera Hati. 2009.
al-Farâhidi, al-Khalîl bin Ahmad. Kitab al-‘Ain Murattab ‘ala Huruf
al-Mu’jam. Jilid 3. Tahqiq: Abd al-Hamîd Handâwi. Beirut:
Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah. 1424 H/2003 M.
al-Farmawi, Abdul Hayy. Al-Bidayah Fi Al-Tafsir Al-Maudhu’i.
Mesir: Dirasat Manhajiyyah Maudhu’iyyah. 1997.
Gade, Syabuddin. Esei-Esei Pemikiran Pendidikan (al-Ghazali, az-
Zurnuji, al-Abrasyi dan asy-Syaibani). Banda Aceh: Ar-
Raniry Press. 2008.
73
Ghalayaini, Musthafa. Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah. Beirut: al-
Maktabah al-‘Asyriyyah. 1409.
Hamid, M. Shalahuddin. Study ULUMUL QURAN. Jakarta: PT
Intimedia Ciptanusantara. 2002.
Harahap, Hakim Muda. RAHASIA AL-QURAN: Menguak Alam
Semesta, Manusia, Malaikat, dan Keruntuhan Alam. Depok:
Darul Hikmah. 2007.
Hude, Drawis. dkk. Cakrawala Ilmu dalam Al-Qur’ân. Jakarta:
Pustaka Firdaus. 2002.
Ismâ’îl, Muhammad Bakr. Dirâsât fī ‘Ulûm al-Qur`ân. Kairo: Dar al-
Manar. 1991.
Izzan, Ahmad. Ulum al-Qur`an: Telaah Tektualitas dan
Kontektualitas Al-Qur’an. Bandung: Tafakkur. 2009.
Kaltsum, Lilik Ummi. Sistem Epistemologi Qur’ani [Analisa
Konsistensi Al-Qur’an dalam Penggunaan Kata Ra’a,
Nadzhara dan Bashara]. Jakarta: Pusat Penelitian dan
Penerbitan [PUSLITPEN] LP2M UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. 2015.
Manzhûr, Ibn. Lisân al-‘Arab. Jilid 31. Tahqiq: Abdullah Ali al-
Kabir dkk. Kairo: Dâr al-Ma’arif. tt.
Muhammad, Nadir Darwis. ‘Ijizal Ilmiah lil- Qur’an wa Sunnah wa
Shilatuhu bi Manhaj Dakwah al-Islamiah. Kairo: Maktabah
al-Iman. 2011 M/1432 H.
Munawwir, A.W. Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia Terlengkap.
Surabaya: Pustaka Progresif. 1997.
an-Najjar, Zaglul. al-Ardu fil-Qur’ân al-Karim, Beirut: Maktabah al-
Ma’rifah. 1426 H.
Naik, Zakir. Miracles of Al-Qur’an & as-Sunnah. Terjemahan Dani
Ristanto. Solo: Aqwam. 2015.
Nawfal, Abdal Razak. al-I’jaz al-‘Adadi li al-Quran al-Karim. Kairo:
Dar al-Kitab al-‘Arabi. 1987.
74
al-Qaththan, Manna’ Khalil. Mabahits fi ‘Ulum al-Quran. Kairo:
Maktabah Wahbah. tt.
Rahman, Fazlur. Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan. Terjemahan M.
Arifin. Jakarta: Bina Aksara. 1980.
ar-Rifa’i, Muhammad Nasib. Kemudahan dari Allah: Ringkasan
Tafsir Ibnu Katsir. Jilid 3. Jakarta: Gema Insani Press. 1999.
. Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Jilid 4.
Jakarta: Gema Insani Press. 2000.
al-Shabuni, M. Ali. Al-Tibyân fī’Ulum Al-Qur’an. Beirut: Dar al
Fikr. 1985.
Shihab, Quraish, Ahmad Sukarja, Badri Yatim, dkk. Sejarah dan
‘Ulumul Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2013.
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran
Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan,
1998.
. Mukjizat al-Qur’an: Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat
Ilmiah, dan Pemberitaan Ghaib. Bandung: Mizan. 2003.
. Sejarah dan ‘Ulum al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1999.
. WAWASAN AL-QURAN: Tafsir Tematik atas Pelbagai
Persoalan Umat. Bandung: Mizan Pustaka. 1996.
Sumawijaya, Amin. Biarkan Al-Qur’an Menjawab. Jakarta: Penerbit
Zaman. 2013.
al-Suyûthi, Jalâl al-Dîn. al-Itqân fī ‘Ulûm al-Qur`ân. Jilid 2 cet. III.
Beirut: Dār al-Kutub al-’Ilmiyyah. 1995.
al-Suyûthi, Jalâl al-Dîn. al-Itqân fi ‘Ulum al-Qur’ân. Jilid 4. Beirut:
Maktabah al-‘Ashriyyah. 1979.
Syaifuddin, Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC. 2006.
Syukur, Abdul. Beragam Cara Terapi: Gangguan Emosi Sehari-hari.
Yogyakarta: DIVA Press. 2011.
75
Taslaman, Caner. MIRACLE OF THE QURAN: KEAJAIBAN AL-
QURAN MENGUNGKAP PENEMUAN-PENEMUAN
ILMIAH MODERN. Terjemahan Ary Nilandari. Bandung:
Mizan. 2011.
Thabathabâ’î, Sayyid Muhammad Husain. Inilah Islam. Terjemahan
dari Islamic Teaching: an Oveview, oleh Ahsin Muhammad.
Jakarta: Pustaka Hidayah. 1992.
Thayyarah, Nadiah. Buku Pintar Sains dalam Al-Quran. Jakarta:
Zaman. 2013.
al-‘Utsaimin, Muhammad bin Shalih. TAFSIR AL-KAHFI. Jakarta:
Pustaka as-Sunnah. 2005.
Weber, Robert Philip. Basic Content Analysis. Beverly Hills: Sage
Publications. 1885.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab Indonesia. Jakarta: Mahmud Yunus
Wa Dzurriyah. 2010.
Zaini, Hasan. Raudatul Hasanah. Ulumul Qur’an. Batusangkar:
STAIN Batusangkar Press. 2010.
az-Zuhaili, Wahbah. Tafsir Al-Munir jilid 1 (juz 1-2) Terjemahan
Abdul Hayyie al Kattani, dkk. Jakarta: Gema Insani. 2013.
Tafsir Ilmi: Penciptaan Manusia dalam Perspektif al-Quran dan
Sains. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an. 2010.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Sel_saraf
Jurnal-jurnal
Aisyah, Risqi Dewi dkk. KECERDASAN UNTUK JANIN MELALUI
IBU HAMIL. Jurnal IbM HARMONI. Universitas
Muhammadiyah Semarang. 2017.
Hilmi. Optimalisasi Penggunaan Abshar dalam Belajar dan
Pembelajaran. Jurnal Lantanida. Vol. 3 No. 2. 2015.
76
Ibrahim, Sulaiman. I’jâz Al-Qur’ân: Menelusuri Bukti Keotentikan
Al-Qur’an. Jurnal Farabi. Vol. 12 No. 1. Juni. 2015.
Munirah, Petunjuk Alquran Tentang Belajar dan Pembelajaran,
Jurnal Lentera Pendidikan. Vol. 19. No. 1. Juni. 2016.
Santalia, Indo. Metode Ilmu Menurut Perspektif Al-Qur’an. Jurnal
Tafsere. Vol. 1 No. 1. 2013.
Sempo, Muhammad Widus dkk. Interpreting Some Features of Sama’
Verses Using Data Extraction of Quran Ontology.
International Journal of Humanities and Social Science
Invention. Vol. 5 No. 6. Juni. 2016.
Siddiq, Mahfudz. Konfigurasi Kata Sam’, Bashar, dan Fu’ad dalam
Al-Quran menurut Tinjauan Ilm Al-Ma’aniy. Jurnal LiNGUA.
Vol. 5. 2010.
Tamrin. Kecerdasan Anak dalam Perspektif Alquran. Jurnal Rausyan
Fikr. Vol. 14 No. 2. Desember. 2018.
Majalah
Lili Irawati. Fisika Medik Proses Pendengaran. Fisika Kedokteran
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas: Majalah
Kedokteran Andalas. No. 2. Vol. 36. Juli-Desember. 2012.
Top Related