UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SURABAYA NOVEMBER ...

98
LAPORAN AKHIR TAHUN PENELITIAN STRATEGIS NASIONAL Judul PENGGUNAAN PAKAN FUNGSIONAL IMMUNOSTIMULAN DAN PENURUN KOLESTEROL TELUR BERBASIS SERBUK DAUN SELIGI GUNA MENGATASI KENDALA KETERSEDIAAN PAKAN DAN TINGGINYA MORTALITAS PADA PUYUH Tahun ke 2 dari Rencana 3 tahun Dr. Ir. Wardah, MP., MM. NIDN. 0008076101 (Ketua Tim Peneliti) Dr. Ir. Tatang Sopandi, MP NIDN. 0004076302 (Anggota Tim Peneliti) Dr. Jola Rahmahani, Mkes., drh. NIDN. 0013075804 (Anggota Tim Peneliti) UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SURABAYA NOVEMBER, 2016

Transcript of UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SURABAYA NOVEMBER ...

LAPORAN AKHIR TAHUN

PENELITIAN STRATEGIS NASIONAL

Judul

PENGGUNAAN PAKAN FUNGSIONAL IMMUNOSTIMULAN DAN PENURUN KOLESTEROL TELUR BERBASIS SERBUK DAUN

SELIGI GUNA MENGATASI KENDALA KETERSEDIAAN PAKAN DAN TINGGINYA MORTALITAS PADA PUYUH

Tahun ke 2 dari Rencana 3 tahun

Dr. Ir. Wardah, MP., MM. NIDN. 0008076101 (Ketua Tim Peneliti) Dr. Ir. Tatang Sopandi, MP NIDN. 0004076302 (Anggota Tim Peneliti)

Dr. Jola Rahmahani, Mkes., drh. NIDN. 0013075804 (Anggota Tim Peneliti)

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SURABAYA

NOVEMBER, 2016

RINGKASAN

Tanaman dari genus Phyllanthus diketahui mampu berperan sebagai

immunostimulator dan immunomodulator serta mempunyai aktivitas sebagai

antihiperlipidemik dan antikolesterolemik pada ayam broiler. Penelitian ini bertujuan untuk

mengembangkan produksi pakan melalui penggunaan pakan komersial berbasis serbuk daun

seligi (Phyllanthus buxifolius) yang dapat menurunkan kolesterol pada telur dan

meningkatkan respon immun untuk mengatasi kendala ketersediaan pakan dan tingginya

mortalitas pada puyuh. Target khusus dalam penelitian tahun ke-2 adalah : (1) Menemukan

pakan dengan suplementasi serbuk daun seligi yang optimum dapat mempengaruhi efek

serologi melalui penentuan inhibisi haemogglutinasi titer (HA/HI titre), aspartat amino

transferase (AST) dan alanine amino transferase (ALT) pada puyuh, dan (2) Menemukan

pakan dengan suplemen serbuk daun seligi yang optimum dapat mempengaruhi efek

hematologi melalui penentuan laju sedimen eritrosit (ESR), hitungan total leukosit (TLC) dan

deferensial leukosit (DLC) pada puyuh.

Penelitian tahun ke-2 telah dilaksanakan selama 6 bulan meliputi pemeliharaan ternak

mulai umur 4 hari sampai dengan 105 hari. Telah dilakukan (1) analisis kimia dan kandungan

senyawa metabolik sekunder pakan yang disuplemen serbuk daun seligi dengan takaran: 0, 2,

4, 6 dan 8 % untuk mendeskripsikan kandungan kimia dan senyawa metabolik pakan, (2)

menguji respon antibody melalui uji serologi dan hematologi pada puyuh yang diberi pakan

komersial dan serbuk daun seligi dengan takaran yang berbeda, (3) menguji respon antibody

melalui uji serologi dan hematologi pada puyuh yang diberi pakan komersial dan serbuk daun

seligi dengan takaran yang berbeda, setelah ternak diinfeksi dengan virus ND velogenic pada

dosis 106 ml. Sebagai parameter pendukung, dilakukan pengukuran berat badan, konsumsi

pakan dan produksi telur.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan nutrisi dan senyawa

metabolik pakan komersial yang diberi suplemen serbuk daun seligi. Kadar protein kasar,

karbohidrat, pektin, hemiselulosa, selulosa, serta kadar flavonoid, tannin dan saponin lebih

tinggi pada pakan yang disuplementasi serbuk daun seligi. Bahkan terjadi peningkatan seiring

dengan penambahan serbuk daun seligi. Sedangkan kadar lemak kasar turun, hal ini

mengindikasikan bahwa penambahan serbuk daun seligi tidak hanya dapat mengurangi

deposisi lemak, tetapi dapat juga meningkatkan immunitas ternak.

Hasil uji serologi menunjukkan bahwa analisis HA/HI titer pada serum menunjukkan

adanya respon antibody pada puyuh yang diberi serbuk daun seligi pada umur 75 dan 90

hari.serta dilakukan vaksinasi ND secara rutin. Selanjutnya dilakukan tindakan uji tantang

(chellence test) dengan virus ND velogenic dosis 106 cc/ekor pada semua perlakuan selama 2

minggu (umur 90-105 hari). Hasil pemeriksaan Aspartate Transaminase (AST/SGOT)

menunjukkan bahwa kadar AST lebih rendah baik sebelum maupun sesudah chellence test

pada pemberian 2, 4. 6 dan 8% serbuk daun seligi. Tetapi kadar AST meningkat setelah

puyuh diuji tantang (chellence test) dengan virus ND dosis 106 cc/ekor. Hasil uji Alanine

Transaminase (ALT/SGPT) juga mengalami penurunan pada pemberian 2 dan 4% serbuk

daun seligi sebelum uji chellence, tetapi mengalami peningkatan kadar ALT setelah puyuh

mengalami chellence test. Hasil uji Alanine Transaminase (ALT) juga mengalami penurunan

pada pemberian 4% serbuk dan mengalami peningkatan setelah puyuh mengalami chellence

test pada umur 90-105 hari. Hasil uji hematologi juga menunjukkan bahwa pemberian 6%

serbuk daun seligi meningkatkan kadar eritrosit, tetapi menurun pada pemberian 8% serbuk.

Kadar leukosit dan trombosit relatif stabil pada pemberian 2, 4, 6 dan 8% serbuk, bahkan

setelah ternak mengalami chellence test, peningkatannya tidak besar.

iii

Hasil hitung basofil, neutrofil, limfosit dan monosit relatif lebih rendah pada pemberian

6% serbuk daun seligi, tetapi meningkat pada pemberian 8% serbuk. Demikian pula setelah

ternak mengalami chellence test secara umum kadarnya meningkat.

Hasil penimbangan berat badan menunjukkan bahwa pemberian 2, 4, 6 dan 8% serbuk

daun seligi menghasilkan berat badan lebih besar dan relatif stabil, demikian pula konsumsi

pakan sedikit naik dibandingkan dengan puyuh yang tidak diberi serbuk daun seligi. Tetapi

persentase produksi telur sedikit turun pada puyuh yang diberi serbuk daun seligi

dibandingkan dengan puyuh yang tidak diberi serbuk daun seligi. Persentase produksi telur

menurun seiring dengan penambahan suplemen serbuk daun seligi.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa suplemen serbuk daun seligi

dapat meningkakan kandungan nutrisi dan senyawa metabolik sekunder pada pakan

komersial puyuh, relatif tidak mempengaruhi berat badan, meningkatkan konsumsi pakan

tetapi sedikit menurunkan produksi telur. Secara umum pemberian serbuk daun seligi

meningkatkan respon antibody. Pemberian 4 dan 6% serbuk menurunkan AST (SGOT) dan

ALT (SGPT), tetapi meningkatkan hematologi pada puyuh. Dengan demikian disarankan

untuk menggunakan serbuk daun seligi sebagai suplemen puyuh karena meningkatkan nilai

nutrisi dan senyawa metabolik pakan. Pemberian 4-6% serbuk daun seligi sebagai suplemen

alami dapat meningkatkan kesehatan dan tidak mempengaruhi pencernaan puyuh.

Kata kunci : Serologi, hematologi, seligi, puyuh

iv

PRAKATA

Dengan mengucapkan puji syukur kepada Tuhan YME penelitian mengenai

Penggunaan Pakan Fungsional Immunostimulan dan Penurun Kolesterol Telur Berbasis

Serbuk Daun Seligi Guna Mengatasi Kendala Ketergantungan Pakan dan Tingginya

Mortalitas pada Puyuh tahun ke-2 telah selesai dilaksanakan. Pada kesempatan ini peneliti

mengucapkan terima kasih kepada :

1. Direktur Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan

Tinggi Departement Pendidikan Tinggi yang telah mendanai penelitian ini.

2. Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya yang selalu mendorong dan memberi

semangat kepada peneliti untuk menyelesaikan penelitian ini.

3. Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas 17

Agustus 1945 Surabaya yang telah membantu dan memberi pelayanan serta

pemantauan kepada peneliti.

4. Dekan Fakultas Ekonomi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya yang telah memberi

semangat dan melakukan pemantauan kepada peneliti.

5. Dekan Fakultas MIPA Univ. PGRI Adi Buana Surabaya yang telah memberikan

meminjaman fasilitas berupa kandang percobaan.

6. Kepala Laboratorium Virologi dan Immunologi, serta lab. Fisiologi FKH-Univ.

Airlangga, lab. Faal dan lab. Biomedik FK-UB, serta lab. Nutrisi dan Pakan Ternak

Fapet UB dan LPPT UGM yang telah memberi izin dan menyediakan fasilitas

penelitian sehingga peneltian ini dapat diselesaikan.

7. Rekan sejawat para peneliti yang telah berkoordinasi dan berkerjasama dengan baik.

Hasil penelitian ini tentu saja tidak dapat menyelesaikan dan menjawab semua

permasalahan dalam usaha penemuan bahan suplemen yang berasal dari tanaman obat.

Namun demikian hasil penelitian ini paling tidak dapat dijadikan informasi dasar dalam

penyediaan dan penganekaragaman bahan suplemen untuk ternak unggas sebagai pengganti

suplemen sintetis. Kami menyadari bahwa kekurangan akan selalu ada, oleh karena itu kritik

dan saran akan kami terima dengan lapang dada.

Surabaya, November 2016

Tim Peneliti.

v

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL .................................................................................................

i

HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................................

ii

RINGKASAN ...............................................................................................................

iii

PRAKATA ....................................................................................................................

v

DAFTAR ISI ................................................................................................................

vi

DAFTAR TABEL .........................................................................................................

vii

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................

viii

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................

x

BAB 1. PENDAHULUAN ...........................................................................................

1

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................

5

BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN .................................................

10

BAB 4. METODE PENELITIAN ...............................................................................

12

BAB 5. HASIL PENELITIAN DAN LUARAN YANG DICAPAI...........................

26

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................

40

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................

42

LAMPIRAN ..................................................................................................................

45

vi

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel Halaman

5.1.1. Efek Suplementasi Serbuk Daun Seligi pada pakan

komersial terhadap komposisi Kimia Pakan Puyuh

............................

26

5.1.2. Efek Suplementasi serbuk Daun Seligi pada pakan komersial

terhadap Keberadaan Golongan Senyawa Metabolik Sekunder

pada Pakan Puyuh

...........................

27

vii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Gambar Halaman

2.1 Tanaman seligi (Phyllanthus buxifolius) ............................. 8

3.1

Kerangka Operasional Penelitian

.

............................

14

5.2.

Hasil Analisis Senyawa Metabolik Sekunder Pakan

Komersial yang Disuplementasi Serbuk Daun Seligi

dengan Takaran yang Berbeda

.............................

27

5.3. Hasil Uji HA/HI titer terhadap sampel serum Puyuh ............................. 28

5.4.

Efek Serbuk Daun Seligi (P. buxifolius) terhadap Nilai

Aspartate transferase (AST/SGOT)

.............................

29

5.5. Efek Serbuk Daun Seligi (P. buxifolius) terhadap

Nilai Alanine transferase (ALT/SGPT)

.............................

30

5.6. Efek Serbuk Daun Seligi (P. buxifolius) terhadap

Jumlah Eritrosit darah Puyuh

.............................

31

5.7. Efek Serbuk Daun Seligi (P. buxifolius) terhadap

Jumlah Leukosit darah Puyuh

.............................

32

5.8. Efek Serbuk Daun Seligi (P. buxifolius) terhadap

Jumlah Trombosit darah Puyuh

.............................

32

5.9. Efek Serbuk Daun Seligi (P. buxifolius) terhadap

Persentase Eosinofil darah Puyuh

.............................

33

5.10. Efek Serbuk Daun Seligi (P. buxifolius) terhadap

Persentase Basofil darah Puyuh

.............................

34

5.11. Efek Serbuk Daun Seligi (P. buxifolius) terhadap

Persentase Neutrofil darah Puyuh

.............................

34

5.12. Efek Serbuk Daun Seligi (P. buxifolius) terhadap

Persentase Limfosit darah Puyuh

.............................

35

5.13. Efek Serbuk Daun Seligi (P. buxifolius) terhadap

Persentase Monosit darah Puyuh

.............................

35

5.14. Efek Serbuk Daun Seligi (P. buxifolius) terhadap Berat

Badan Puyuh

.............................

37

5.15. Efek Serbuk Daun Seligi (P. buxifolius) terhadap

Konsumsi Pakan Puyuh

.............................

37

5.16. Efek Serbuk Daun Seligi (P. buxifolius) terhadap

Produksi Telur Puyuh

.............................

38

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Lampiran Halaman

1 Hasil Analisis Statistik ........................................................... 46

2 Pelaksanaan Penelitian 63

3

Draft Artikel Jurnal Internasional

...........................................................

65

4 Cover dan Daftar Isi BUKU AJAR ........................................................... 78

5 Booklet Teknologi Tepat Guna

........................................................... 82

6 Sertifikat dan daftar isi Buku Panduan

Seminar

………………………………………

87

x

1

BAB 1. PENDAHULUAN

Newcastle disease (ND) merupakan salah satu penyakit infeksi utama yang

menyerang unggas dengan tingkat mortalitas dan morbiditas yang tinggi bahkan

mencapai 50-100% (Hashmi, 1999 dan Pedersen et al., 2004). Meskipun telah dilakukan

penerapan manajemen peternakan yang baik, program vaksinasi dan peningkatan higienis,

penyakit ND masih merupakan masalah kesehatan ternak yang secara ekonomis

merugikan industri peternakan terutama unggas (Hashmi, 1999).

Program vaksinasi telah dilaksanakan untuk menanggulangi penyakit ND dengan

berbagai jenis atau macam vaksin serta jadwal waktu vaksin. Namun demikian, kematian

ternak akibat virus ND masih terjadi. Bahkan telah dilaporkan bahwa kematian ayam

mencapai 40% akibat virus AI dan 60% akibat virus ND. Terdapat beberapa sebab

terjadinya kegagalan program vaksinasi dalam melindungi unggas terhadap serangan virus

ND. Pertama, vaksinasi gagal untuk memprovokasi terbentuknya antibody sampai tingkat

perlindungan akibat rendahnya antigen, penanganan vaksin yang tidak benas, kesalahan

prosedur vaksinasi. Kedua, virus ND menyerang ayam sebelum respon immune terbentuk.

Ketiga, adanya penurunan titre antibody yang cepat, sehingga level imunitas di bawah

tingkat perlindungan terhadap serangan virus ND. Selain itu, dikalangan peneliti pada saat

ini terjadi kekhawatiran terhadap peningkatan resistensi dari virus ND. Jeffrey (2003)

melaporkan bahwa telah terjadi serangan virus ND exotic pada peternakan ayam dengan

mortalitas lebih dari 90% di Souther California pada tahun 2002. Pada beberapa Negara

bagian di Amerika Serikat juga telah menemukan isolat virulensi dari virus ND (Pedersen

et al., 2004).

Puyuh seperti halnya ternak unggas pada umumnya mudah terpapar stres dan

serangan penyakit (Poultry Indonesia, 2012), bahkan paparan stres dan serangan penyakit

pada puyuh dapat menurunkan produksi telur sampai 80-100 % (Theranger.co.uk and

2

Dok. Medion, 2012). Stres yang sering dialami puyuh terjadi karena perubahan iklim atau

pergantian cuaca yang ekstrim, pindah kandang atau tempat pemeliharaan dan transportasi

jarak jauh. Stres pada puyuh biasanya bersifat immunosupressive atau menekan sistem

kekebalan tubuh. Saat stres, puyuh sangat rentan terinfeksi penyakit. Beberapa penyakit

viral yang sering menyerang puyuh adalah Newcastle disease (ND), Infectious bronchitis

(IB) dan Avian influenza (AI). Ketiga penyakit tersebut menunjukkan gejala klinis

maupun perubahan patologi anatomi relatif sama.

Secara alami terdapat sistem immun pada tubuh ternak yang bermanfaat dalam

pencegahan penyakit karena infeksi. Tetapi biasanya hanya bersifat immunosupressive

atau menekan sistem kekebalan tubuh sehingga pada saat stres, puyuh sangat rentan

terinfeksi penyakit sedangkan sistem immun alami yang terbentuk di dalam tubuh ternak

belum mencukupi, sehingga diperlukan adanya sistem immun dari luar tubuh yang aman

dikonsumsi ternak. Respon immun dalam tubuh ternak akan meningkat apabila terdapat

senyawa yang mempunyai aktivitas immunostimulan. Tanaman dari genus Phyllanthus

yang telah dikenal sebagai tanaman berkhasiat obat, diketahui dapat mempengaruhi fungsi

dan aktivitas sel immunokompeten, mampu berperan sebagai immunoterapi dan

diperkirakan melalui mekanisme immunostimulator.

Strategi alternatif untuk menanggulangi penyakit ND dapat dilakukan dengan

menggunakan komponen bahan alam sebagai immunomodulator dan sampai saat ini terus

dikembangkan. Perubahan respon immun individu dapat disebabkan immunostimulator

dan immunosupresif (Marin, 1996). Immunostimulasi pada unggas dapat menuntun

peningkatan produksi antibody serta peningkatan fagositosis oleh makrofag (Hashmi,

1999). Sistem immun pada tubuh secara alami bermanfaat dalam pencegahan penyakit

karena infeksi. Namun sistem immun alami yang terbentuk di dalam tubuh ternak belum

mencukupi, sehingga diperlukan adanya sistem immun dari luar tubuh yang aman

3

dikonsumsi ternak. Respon immun tubuh akan meningkat dengan pemberian senyawa

beraktivitas immunostimulan.

Tanaman dari genus Phyllanthus yang dikenal sebagai tanaman berkhasiat obat,

diketahui dapat mempengaruhi fungsi dan aktivitas sel immunokompeten, mampu

berperan sebagai immunoterapi dan diperkirakan melalui mekanisme immunostimulator.

Tanaman dari genus ini juga berpotensi sebagai antihiperlipidemik dan menurunkan

kolesterol darah (Adeneye, 2006; Obianime et al, 2008; dan Umbare et al, 2009). Daun

seligi (Phyllanthus buxifolius) diketahui mengandung flavonoid, polifenol, tanin, saponin,

alkaloid, kuinon dan steroid triterpenoid (Sopandi, 2005 dan Wardah et al., 2007). Daun

seligi diketahui dapat meningkatkan respon immun, terbukti meningkatnya ekspresi IL-1,

hasil hitung limfosit dan berat bursa fabricius, serta menurunkan jumlah sel yang

mengekspresi iNOS tanpa meningkatkan jumlah leukosit (TLC) ayam broiler (Wardah et

al, 2011). Daun seligi terbukti juga meningkatkan respon immune pada puyuh,

meningkatkan ekspresi IL-1, hasil hitung limfosit dan menurunkan jumlah sel yang

mengekspresi iNOS tanpa meningkatkan jumlah leukosit (TLC) pada puyuh (Wardah et

al., 2015).

Senyawa flavonoid mampu berperan sebagai antioksidan dalam tubuh ternak

(Gonzalez-Paramez et al, 2004). Terbukti, ekstrak etanol serbuk daun seligi mampu

menurunkan aspartat amino transferase (AST), laktat dehidrogenase (LDH), tidak

menyebabkan perubahan laju sedimentasi eritrosit (ESR) dan total leukosit (TLC), serta

menurunkan limfosit pada ayam broiler (Wardah et al, 2007). Pemberian 240 mg dan 320

mg ekstrak etanol daun seligi mampu menurunkan aspartat amino transferase, laktat

dehidrogenase dan limfosit darah, serta tidak menyebabkan perubahan laju sedimen

eritrosit dan total leukosit pada ayam broiler (Wardah et al, 2007). Serbuk daun seligi juga

berperan sebagai immunostimulan pada ayam broiler, terbukti adanya peningkatan

4

ekspresi IL-1, hasil hitung limfosit serta penurunan jumlah sel yang mengekpresi iNOS

tanpa peningkatan jumlah leukosit pada ayam broiler (Wardah et al, 2011). Demikian pula

pada puyuh, daun seligi terbukti meningkatkan ekspresi IL-1β, menurunkan ekspresi

iNOS, menurunkan kadar leukosit, meningkatkan kadar hemoglobin, eritrosit dan limfosit

serta tidak terdeteksi adanya monosit (Wardah et al., 2015).

Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tanaman dari genus ini juga

mampu berperan sebagai immunostimulator, seperti pada meniran (P. ninuri) mampu

menghambat virus hepatitis B (Maat, 1997). Demikian pula P. amarus juga mampu

berperan sebagai hepatoprotektor, antidiabetik dan antiinflamasi (Adeneye, 2006) serta

menurunkan kadar AST, ALT, alkaline, dan asam fosfatase (Obianime et al., 2008).

Namun demikian informasi ilmiah dan hasil penelitian mengenai penggunaan pakan

fungsional berbasis herbal dari serbuk daun seligi yang dapat mempengaruhi aktivitas

immunomodulator yang optimum sebagai antivirus pada puyuh yang terinfeksi virus

Newcasstle (ND) belum ada.

5

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

Penyakit Newcastle disease (ND) disebabkan oleh virus avian paramyxovirus

(APMV-1) genus Avulavirus dan family Paramyxoviridae (Alexander, 2001). Sejak

diketahui pada tahun 1926 di Jawa dan Newcastle, penyakit ini menyebar keseluruh dunia

dan menjadi permasalahan serius pada industri peternakan ayam baik ayam petelur

maupun pedaging (Omar et al., 2003). Walaupun telah dilakukan program vaksinasi dan

pembunuhan masal (deposisi), secara sporadispenyakit ini masih merupakan ancaman

bagi industri peternakan (Fauziah et al., 2001). Berdasarkan gejala klinis yang

menginfeksi ayam, strain virus ini dikelompokkan dalam lima kelompok yaitu : (1)

viscerotropic velogenic yang mempunyai patogenitas tinggi dengan gejala lesi dengan

gejala haemorhagi pada intestinal, (2) neurotropic velogenic, menyebabkan mortalitas

tinggi dengan gejala gangguan respirasi dan syaraf (nervous), (3) mesogenic,

menyebabkan mortalitas rendah dengan gejala gangguan respirasi dan syaraf ringan, (4)

lentogenic atau respiratory, dengan gejala ringan atau infeksi subklinis respirasi ringan,

dan (5) asymptomatic enteric, umumnya hanya infeksi subklinis enteric (Seal et al., 1998;

Aldous and Alexander, 2001).

Tanaman dari genus Phyllanthus telah dikenal sebagai tanaman obat untuk

beberapa jenis penyakit karena banyak mengandung berbagai komponen metabolit

sekunder yang berkhasiat obat (Zhang et al, 2000). Tanaman dari genus Phyllanthus juga

berpotensi sebagai antidiabetik dan antilipidemik karena dapat menurunkan akumulasi

lemak dalam sel dan jaringan daging (Adeneye et al, 2006), serta stres oksidatif dan

peradangan pada kandung kemih (Shen et al., 2008). P. amarus menunjukkan adanya efek

antidiare (Odetola dan Akojenu, 2000). Notka et al (2003) juga melaporkan bahwa P.

amarus dapat menghambat replikasi dan reverse transcriptase HIV-1. Phyllanthus ninuri

(meniran) mengandung terpenoid, flavonoid, benzonoid, alkaloid, steroid, tannin, saponin

6

dan vitamin C, ekstrak air P. ninuri dapat menghambat DNA polymerase dari virus

hepatitis B, virus hepatitis woodchuck (WHV) dan human immunodeficiency virus (HIV-

1-RT) (Malhortra dan Singh, 2006). Ekstrak dari tanaman ini dapat berperan sebagai

hepatoprotektif, antidiabetik, antihipertensif, analgesik, antiinflamasi, dan menunjukkan

adanya efek antimikroba (Adeneye et al, 2006). Pemberian secara oral serbuk tanaman

Phyllanthus amarus pada penderita hepatitis B kronis mampu menurunkan dan

menghilangkan HBsAG sampai 55-60% (Thyagaran et al., 1996). Tanaman ini juga

mempunyai potensi sebagai antidiabetik dan antilipidemik ( Adeneye et al., 2006).

Malhortra dan Singh (2006) juga melaporkan bahwa P. ninuri mengandung lignan,

terpene, flavonoid, lipid, benzonoid, alkaloid, steroid, alcan, tanin, saponin dan vitamin C.

Ji XH. et al (1993) melaporkan bahwa pengujian in vitro terhadap virus hepatitis B yang

dinfeksikan pada kultur sel human hepatoma cell line, ekstrak dari P. ninuri mampu

menurunkan titer HBsAg. Komponen utama dari ekstrak Phyllanthus yang berkhasiat

antiviral adalah flavonoid, tetapi tanin atau ellagitanin yang banyak terdapat dalam ekstrak

dapat menghambat aktivitas enzim polymerase DNA dari virus Epstein Barr (Liu et al,

1999). Menurut Saputra et al (2000) kemampuan tanaman P. ninuri dalam bekerja sebagai

immunoterapi diperkirakan melalui mekanisme immunostimulator sebagai (1)

meningkatkan sitotoksisitas sel NK sehingga banyaknya sel yang mengalami mutasi

segera di lisis, (2) meningkatkan sekresi TNF-a oleh subset Th1 sehingga lebih

meningkatkan ekspresi MHC kelas 1 dari sel yang mengekspresikan antigen tumor

sehingga mengoptimalkan kerja sitotoksisitas dari sel-T sitotoksik (CD8), dan (3)

meningkatkan antivitas monosit/makrofag sebagai sel fagosit dan sel penyaji antigen

(antigen presenting cell) yang diperkuat dengan menurunnya sekresi IL-10 oleh subset

Th2 (Saputra et al., 2000).

7

Beberapa hasil penelitian juga melaporkan bahwa tanaman dari genus Phyllanthus

menunjukkan aktivitas sebagai antivirus. Ekstrak Phyllanthus bekerja pada level seluler

sehingga menunjukkan aktivitas sebagai anti-hepatitis B (Jayaram et al., 1996). Ekstrak

Phyllanthus dapat menghambat transkripsi mRNA virus hepatitis B (HBV) dengan cara

menghambat enhancer-1dari factor transkripsi C/EBP (Ott et al., 1977). Di samping dapat

menghambat aktivitas enzim polymerase DNA, ekstrak Phyllanthus juga mampu

menghambat aktivitas enzim reverse transcriptase (RT) dari HIV-1 (Ogata et al., 1992).

Aktivitas hambatan enzim RT dibuktikan dengan menggunakan Maloney Murine

Leukemia RT (M-MulV-RT) dan reaksi yang terjadi diamati dengan 3HdTTP, ternyata

ekstrak air Phyllanthus memiliki hambatan lebih besar yaitu 81% dibandingkan dengan

ekstrak methanol sebesar 54% (Suthienkul et al., 1993).

Komponen ekstrak dari genus Phyllanthus yang diisolasi dari akar tanaman adalah

phyllanthostatin 6 yang dapat menghambat pertumbuhan kultur cell line P-388 (murine

lymphocytic leukemia) dan diperkirakan komponen tersebut berkhasiat sebagai anti-

neoplastik (Pettit et al., 1990). Ekstrak dari tanaman Phyllanthus amarus dapat berperan

sebagai hepatoprotektif, antidiabetik, antihipertensif, analgesik, antiinflamasi, dan

menunjukkan adanya efek antimikroba (Adeneye et al, 2006). Tanaman ini juga

menunjukkan adanya efek antidiare (Odetola dan Akojenu, 2000).

Tanaman dari genus Phyllanthus juga berpotensi sebagai antidiabetik dan

antilipidemik (Adeneye et al, 2006). Phyllanthus amarus berpotensi sebagai

antihiperlipidemik, pemberian 50-800mg/kgBB ekstrak metanol daun P. amarus

signifikan menurunkan kolesterol, AST, ALT, urea, asam urat, total protein, alkalin dan

asam fosfatase (Obianime et al, 2008). Pemberian 300-500 mg/kg BB ekstrak

hidroalkohol daun P. amarus juga signifikan menurunkan kadar kolesterol (Umbare et al,

2009). Ekstrak hidroalkohol dari daun P. amarus Schumach secara in-vivo berpotensi

8

sebagai antihiperlipidemi dan signifikan menurunkan kandungan kolesterol pada tikus

dengan dosis 300 dan 500 mg/kg berat badan (Umbare et al, 2009).

Ekstrak etanol daun seligi (Phyllanthus buxifolius) juga mampu menurunkan kadar

kolesterol darah dan meningkatkan limfosit darah ayam broiler dan puyuh (Wardah et al,

2007dan Wardah et al, 2015). Ekstrak air P. amarus dapat mengurangi konsentrasi

kolesterol total dan kolesterol LDL pada tikus albino (James et al., 2010) dan meningkat

pada tingkat cGMP yang digunakan sebagai stimulan seksual dan efek umpan balik pada

oksida nitrat sintase yang dapat menurunkan konsentrasi oksida nitrat dalam plasma

(Bankole et al., 2011). Ekstrak air dari buah P. emblica secara signifikan juga memiliki

efek antidiabetes dan hipotrigliseridemik (Qureshi et al., 2009). Konsumsi buah kering P.

emblica dapat menurunkan kolesterol total, trigliserida dan LDL (Ahmed et al., 2010).

Tanaman seligi (P. buxifolius) yang merupakan tanaman asli Indonesia bentuknya

perdu, tahunan dengan tinggi 1-1,5 m. Daun majemuk melingkar pada batang berbentuk

bulat telur dengan ujung runcing. Bunga tanaman ini tunggal terletak diketiak daun,

menggantung bertangkai pendek berwarna kuning dengan mahkota bunga berbentuk

tabung. Biji pipih bentuk ginjal berwarna coklat, sedangkan akar berwarna coklat

keputihan (Dalimarta, 2007).

Gambar 2.1. Tanaman seligi (Phyllanthus buxifolius)

9

Ekstrak daun seligi (P. buxifolius) mampu menurunkan aspartat amino transferase

(AST), laktat dehidrogenase (LDH), serta tidak menyebabkan perubahan laju sedimen

eritrosit (ESR) dan total leukosit (TLC), serta menurunkan limfosit darah ayam broiler.

Dengan demikian, daun seligi dapat menyehatkan hati dan jaringan hewan, tidak

menyebabkan infeksi dan inflamasi sehingga aman dikonsumsi Unggas (Wardah et al,

2007). Tanaman ini mampu menurunkan kadar kolesterol darah pada ayam broiler

(Wardah et al, 2007). Ekstrak etanol dari tanaman ini mengandung flavonoid, alkaloid,

saponin, tanin, dan steroid triterpenoid (Sopandi 2005 dan Wardah et al, 2007). Golongan

senyawa flavonoid, saponin, dan tanin mampu menghambat deferensiasi sel lemak,

sehingga maturasi sel lemak terhambat akibatnya sintesis leptin turun (Roth et al., 2008).

Seligi (P. buxifolius) mengandung saponin, flavonoid dan polifenol (Sopandi,

2005) serta alkaloid, tanin, kuinon, dan steroid triterpenoid (Wardah et al, 2007).

Pemberian ekstrak etanol daun seligi sebanyak 80-320 mg/kg BB/hari mampu

menurunkan aspartat amino transferase, laktat dehidrogenase, tidak menyebabkan

perubahan laju sedimen eritrosit, dan total leukosit, serta menurunkan limfosit darah ayam

broiler yang diinfeksi vaksin ND aktif (Wardah et al., 2007). Dengan demikian, daun

seligi dapat menyehatkan hati dan jaringan hewan, tidak menyebabkan infeksi dan

inflamasi sehingga aman dikonsumsi unggas (Wardah et al., 2007).

10

BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1 Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian pada Tahun II adalah untuk menemukan aktivitas

imunomodulator serbuk daun seligi (P. buxifolius) sebagai antivirus pada puyuh yang

terinfeksi virus Newcasstle disease (ND) sebagai challange test. Secara khusus, penelitian

pada Tahun II bertujuan :

(1) Menemukan pakan dengan suplementasi serbuk daun seligi yang optimum

dapat mempengaruhi efek serologi melalui penentuan inhibisi

haemogglutinasi titer (HA/HI titre), aspartat amino transferase (AST) dan

alanine amino transferase (ALT) pada puyuh.

(2) Menemukan pakan dengan suplemen serbuk daun seligi yang optimum dapat

mempengaruhi efek hematologi melalui penentuan laju sedimen eritrosit

(ESR), hitungan total leukosit (TLC) dan deferensial leukosit (DLC) pada

puyuh.

3.2 Manfaat Penelitian

Dalam rangka peningkatan aktivitas immunomodulator yang optimum sebagai

antivirus pada puyuh yang terinfeksi virus Newcasstle (ND), penggunaan feed supplement

berbasis herbal yang mengandung berbagai komponen metabolik sekunder merupakan

solusi alternatif yang patut dipertimbangkan untuk meningkatkan respon immun pada

ternak ungags khususnya puyuh (C. coturnic japonica). Penggunaan serbuk daun seligi (P.

buxifolius) sebagai feed supplement mengandung sejumlah komponen metabolik seperti

flavonoid, tannin dan saponin. Adanya komponen metabolik pada puyuh yang

mengkonsumsi serbuk daun seligi (P. buxifolius) diharapkan aktivitas immunomodulator

sebagai antivirus pada puyuh yang terinfeksi virus Newcasstle (ND) optimum sehingga

daya tahan tubuh ternak meningkat apabila terjadi serangan virus ND. Penggunaan

11

tanaman obat sebagai pelengkap pakan diharapkan lebih efektif dan aman dikonsumsi oleh

ternak serta terbebas dari residu bahan kimia. Peranan feed supplement alami ini juga

mempunyai kontribusi yang tinggi dalam rangka pengembangan Ilmu Kesehatan Ternak.

12

BAB 4. METODE PENELITIAN

Penelitian terdiri dari 2 metode, yaitu metode penelitian deskriptif analitik dan

eksperimental. Penelitian deskriptif difokuskan untuk menetapkan kandungan kimia dan

komponen metabolik sekunder pakan komersial yang disuplementasi serbuk daun seligi.

Penetapan kandungan kimia pakan yang disuplementasi serbuk daun seligi meliputi

protein kasar, lemak kasar, ADF, NDF, selulosa, hemiselulosa dan lignin telah dilakukan

di laboratorium nutrisi, Fakultas Peternakan UB. Penetapan senyawa metabolik pakan

terdiri dari flavonoid, tanin dan saponin dilakukan di laboratorium milik LPPT-UGM.

Penelitian eksperimental difokuskan untuk menguji aktivitas immunomodulator

serbuk daun seligi (P. buxifolius) sebagai antivirus pada puyuh yang terinfeksi virus

Newcasstle disease (ND) telah dilaksanakan di kandang percobaan milik fakultas MIPA

Univ. PGRI Adi Buana Surabaya selama 3 bulan, mulai bulan April sampai dengan awal

Agustus 2016. Sedangkan Uji Tantang (Chellenge test) dilakukan di kandang percobaan

milik FKH Univ. Airlangga, mulai 8-21 Agustus 2016. Untuk menemukan pakan dengan

suplementasi serbuk daun seligi yang optimum dapat mempengaruhi efek serologi dan

hematologi dilakukan di Laboratorium Immunologi dan Virology FKH Univ. Airlangga

dan laboratorium Faal Fak. Kedokteral Univ. Brawijaya. Efek serologi terdiri dari uji

penentuan inhibisi haemogglutinasi titer (HA/HI titre), aspartat amino transferase (AST)

dan laktat dehidrigenase (LDH), sedang efek hematologi terdiri dari uji penentuan laju

sedimen eritrosit (ESR), hitungan total leukosit (TLC) dan deferensial leukosit (DLC)

pada darah puyuh.

Penelitian eksperimental telah dilakukan menggunakan rancangan acak lengkap

(RAL) yang diulang 15 kali. Perlakuan penambahan serbuk daun seligi sebanyak 0%, 2%,

4%, 6% dan 8% per kg pakan komersial, apabila terdapat perbedaan diantara perlakuan

dilanjutkan dengan uji beda nyata jujur.

13

Sebanyak 75 ekor puyuh umur 4 hari ditempatkan dalam kandang kelompok secara

acak masing-masing berisi 15 ekor. Kandang sudah dilengkapi dengan tempat pakan,

tempat minum dan lampu penerangan. Puyuh percobaan berasal dari hasil penetasan

peternakan rakyat yang berlokasi di desa Kalipucung Kecamatan Sanankulon Kabupaten

Blitar. Puyuh diberi pakan jadi produksi pabrik pakan ternak. Untuk mengetahui kondisi

awal ternak, diambil secara acak sebanyak 5 ekor puyuh umur 4 hari dilakukan

pemeriksaan HA/HI titre menggunakan metode ELISA dengan cara dispet dibagian sayap

dan ditampung darahnya lalu dipisahkan serumnya. Pada umur 10 hari semua puyuh di

vaksin ND lasota yang dicampurkan pada air minum. Puyuh diberi pakan pellet yang

berasal dari campuran pakan komersial ditambah serbuk daun seligi dengan takaran 0, 2,

4, 6 dan 8% per kg pakan. Pakan perlakuan diberikan 3 kali sehari sesuai kebutuhan

sedangkan air minum diberikan secara ad libitum. Vaksinasi diulang pada umur 21 hari

melalui air minum, sedangkan pada umur 60 hari dilakukan vaksinasi ulang (booster) ND

lasota melalui injeksi intramuscular dengan dosis 2 cc/ekor. Pada umur 30, 60, 75 dan 90

hari juga dilakukan analisis HA/HI titre untuk mengetahui respon antibody setelah ternak

divaksin dan diberi perlakuan suplemen serbuk daun seligi. Analisis HA/HI titre dilakukan

di lab Immunologi dan Virologi FKH Univ. Airlangga. Sedangkan uji serologi dan

hematologi awal dilakukan pada umur 30 hari di lab. Faal FK-UB. Uji serologi dan

hematologi terdiri dari uji aspartat transaminase (AST) dan Alanin transaminase (ALT),

penentuan laju sedimen eritrosit (ESR), hitungan total leukosit (TLC) dan deferensial

leukosit (DLC) pada darah puyuh. Tahapan penelitian yang merupakan kerangka

operasional penelitian disajikan pada Gambar 4.1 berikut.

14

Gambar 4.1 Kerangka Operasional Penelitian

DESKRIPTIF

ANALITIK

Analisis kandungan kimia pakan

komersial ditambah serbuk daun

seligi 0, 2, 4, 6, 8 %

Diperoleh Hasil Analisis kimia pakan

komersial berupa :Bahan kering, abu,

kadar protein kasar, lemak kasar, serat

kasar, ADF dan NDF

EKSPERIMENTAL

(Pendahuluan)

Puyuh umur 4 hari dipelihara, diberi pakan komersial sesuai

kebutuhan dan diambil darahnya untuk analisis HA/HI titre untuk mengetahui kondisi awal ternak

Diperoleh HA/HI titre pada umur 4

hari sebagai parameter awal

Tahap Penelitian Proses Penelitian Hasil Penelitian Yang

Didapatkan

Analisis komponen metabolik sekunder pakan komersial yang

diberi serbuk daun seligi 0, 2, 4, 6, 8 %

Diperoleh kandungan senyawa

metabolik sekunder berupa

flavonoid, tannin, dan saponin

Puyuh umur 10-90 hari dipelihara, diberi pakan komersial dengan suplemen serbuk daun seligi (0%, 2%, 4%, 6% dan 8%) . Umur 10, 30 dan 60 hari dilakukan vaksinasi ND lasota. Umur 30 hari diambil 5 ekor setiap perlakuan diambil darahnya dan dianalisis serologi dan hematologi. Umur 30, 60, 75 dan 90 hari dilakukan analisis HA/HI titer untuk mengetahui respon antibodi ternak

1. Diperoleh hasil analisis serologi (AST dan ALT) serta hematologi (ESR, TLC dan DLC) puyuh yang berumur 4 minggu

2. Diperoleh kenaikan HA/HI titer yaitu terjadi kenaikan respon antibody pada puyuh umur 75 dan 90 hari

EKSPERIMENTAL

Umur 90-105 hari dilakukan uji tantang (Challence test) dengan virus ND dosis 10

6/cc/ekor pada

puyuh yang telah diberi pakan perlakuan serbuk daun seligi dan telah divaksin ND lasota. Dilakukan pengambilan darah pada umur 105 hari, dianalisis serologi dan hematologi

Diperoleh hasil analisis serologi (HA/HI

titer, AST dan LDH) dan hematologi

(ESR, TLC dan DLC) pada puyuh setelah

uji tantang (Challence test)

15

Pengambilan darah

Secara hati-hati bagian badan dan kaki puyuh dipegang sehingga tidak meronta.

Pengambilan darah pada 5 ekor dari setiap kelompok perlakuan puyuh dilakukan dengan

cara disembelih atau di spet pada bagian sayap. Sampel darah dari setiap puyuh

dikumpulkan dalam dua botol. Salah satu botol diisi dengan EDTA (2,5 mg/5 ml darah)

yang akan digunakan untuk uji hematologi yaitu ESR, TLC dan DLC. Sampel darah tanpa

antikoagulan disimpan selama 1-2 jam dan selanjutnya disentrifuge pada 2500 rpm selama

10 menit. Bagian sera dipisahkan dan dimasukkan dalam vial plastic steril untuk

selanjutnya disimpan pada suhu 20oC sampai akan digunakan.

Analisis Serologi

Uji inhibisi haemogglutinasi (HA/HI titre) dilakukan sesuai dengan yang

dijelaskan oleh Hashmi (1999). Sebanyak 8 ml darah puyuh sehat tanpa antikoagulan

disentrifuge pada 2000 rpm selama 10 menit. Supernatan diambil dengan pipet steril dan

dimasukkan ke dalam tabung yang berisi 5 ml normal saline. Tabung kemudian

disentrifuge pada 2000 rpm selama 10 menit, pekerjaan tersebut diulang sebanyak 3 kali

sehingga menjadi supernatant RBC. Pada vial vaksin virus ND dengan dosis 100

ditambahkan 1 ml normal saline . Selanjutnya sebanyak 50 µl normal saline dipipet ke

dalam 1-12 well plate dan ditambahkan 50 µl antigen pada setiap well dan dihomogenkan.

Setelah homogen ditambahkan 50 µl suspense RBC 1% dan dicampur. Well plate

diinkubasi pada suhu ruang dan dilakukan pengamatan setiap 10-15 menit. Dilusi virus

yang tinggi akan menyebabkan haemogglutinasi.

Penentuan haemogglutinasi titer (HA/HI titer) seperti yang dijelaskan oleh Alan et

al. (1978). Sebelum dilakukan pengujian sampel serum di thawing pada waterbath pada

suhu 560C selama 30 menit untuk menghancurkan agglutinin nonspesifik. Dengan

menggunakan multichanell dispenser, 50 ml normal saline didispensi pada 1-12 plete

16

mikrotitre dan ditambahkan sebanyak 50 µl sampel serum pada setiap plate dan dilakukan

pengenceran sebanyak 2 kali. Selanjutnya 50 ml antigen (vaksin) ditambahkan pada well

plate kecuali 1 plate dan ditambahkan 50 µl suspense RBC. Plate diinkubasi pada suhu

ruang selama 15-30 menit sampai pada bagian bawah terbentuk formasi. Aktivitas LDH

dianalisis melalui penentuan Analisis aspartate amino transerase (AST) dan Analisis

alanine amino transerase (ALT).

Analisis aspartate amino transerase (AST) dilakukan sesuai dengan diagnostic kit

catalogue No. E ASTR 100 (EnzyChrom Aspartate Transaminase Assay Kit 100 T).

Sebanyak 1000 μL Reagen A (L-aspartate dan NADH) dimasukkan ke dalam kuvet.

Sampel serum sebanyak 100 μL yang telah disentrifugasi, dimasukkan dalam kuvet dan

diinkubasi pada suhu 37°C selama satu menit. Selanjutnya reagen B (2-Oxaloglutarat dan

LDH) sebanyak 250μL ditambahkan, dicampur dan diinkubasi selama satu menit pada

suhu ruang. Hasilnya dibaca dengan spektrofotometer pada panjang gelombang (λ) 340

nm dan penurunan absorbansi setelah 3 menit.

Analisis alanine amino transerase (ALT) juga dilakukan sesuai dengan diagnostic

kit catalogue No. E ALTR 100 (EnzyChrom Alanine Transaminase Assay Kit 100 T).

Sebanyak 1000 μL Reagen A (L-alanin dan NADH) dimasukkan ke dalam kuvet. Sampel

serum sebanyak 100 μL yang telah disentrifugasi, dimasukkan dalam kuvet dan diinkubasi

pada suhu 37°C selama satu menit. Selanjutnya reagen B (2-Oxaloglutarat dan LDH)

sebanyak 250μL ditambahkan, dicampur dan diinkubasi selama satu menit pada suhu

ruang. Hasilnya dibaca dengan spektrofotometer pada panjang gelombang (λ) 340 nm dan

penurunan absorbansi setelah 3 menit.

17

Analisis Hematologi

Analisis laju sedimen eritrosit (ESR)

Prosedur analisis untuk laju sedimen eritrosit (ESR) adalah sebanyak 0,4 ml

larutan natrium sitrat 3,8% ditambahkan ke dalam 1,6 ml darah segar dan dicampur

sempurna. Campuran dimasukkan ke dalam tabung dan tabung westergen dibiarkan dalam

keadaan berdiri selama 1 jam, selanjutnya dibaca.

Analisis hitungan leukosit total (TLC) dilakukan dengan cara diambil darah

sebanyak 2 ml, kemudian ditampung dalam tabung reaksi yang telah diisi antikoagulan

EDTA dengan tujuan mencegah pembekuan darah. Tabung reaksi yang berisi darah

ditutup dengan parafinuntuk mencegahkontaminas. Darah yang dicampur dengan

antikoagulans EDTA dihisap dengan pipet hingga tanda 0,5 dan ujung pipet dibersihkan,

kemudian pipet diletakkan pada larutan pengencer leukosit (larutan Turk) dan diisi

perlahan-lahan hingga tanda angka11sehingga didapat konsentrasi menjadi 1:20. Pipet

yang berisi darah ini dikocok selama 3menit hingga tercampur homogen, setelah itu

sebanyak 2 atau 3 tetes larutan diteteskan dari pipet dibuang sebelum mengisi kamar

hitung. Setelah itu, larutan diteteskan kedalam kamar hitung dan dibiarkan selama1menit .

Dengan perbesaran rendah jumlah leukosit dihitung dalam 4 kotak sudut kamar hitung

darah. Rumus perhitungan yang dipakai adalah:

leukosit/cu.mm atau jumlah sel leukosit = Jumlah sel x200 (larutan1: 20x10)

4

dalam kotak sudut kamar hitung x 50= leukosit/cu.mm.

Penghitungan deferensial leukosit (DLC) dilakukan pemeriksaan dengan membuat

preparat ulas darah dan diwarnai dengan pewarnaan Giemsa 10% selama 30 menit.

Sampel darah di campur homogen sebelum diambil dengan pipet kapiler, kemudian satu

tetes kecil darah diletakkan dekat ujung gelas obyek posisi permukaan datar. Gelas

obyek yang kedua ditempatkan dengan ujung menyentuh permukaan gelas obyek pertama

18

sehingga membentuk sudut 30-45o. Gelas obyek kedua ditarik ke samping dan di biarkan

darah mengalir dengan daya kapiler sehingga mencapai luasan 2/3 gelas obyek pertama.

Gelas obyek kedua didorong dengan sudut yang sama sehingga membentuk lapisan

tipis.Preparat apus dibiarkan mengering diudara terbuka. Preparat apus darah difiksasi

dengan metil alkohol selama 3-5 menit, preparat diambil dan dibiarkan kering di udara.

Setelah kering preparat direndam dengan pewarna Giemsa yang baru selama 15-60

menit.Preparat dicuci dengan air berkali-kali dan dibiarkan mengering di rak.

Penghitungan persentase limfosit dilakukan perbesaran obyektif 100 x, klasifikasi

leukosit pada beberapa lapang pandang dan dihitung per100 leukosit.

Analisis kandungan kimia dan senyawa metabolik pakan

a. Pengambilan sampel daun seligi

Daun seligi yang digunakan dalam penelitian berasal dari kebun koleksi tanaman

milik pribadi dan milik masyarakat di desa Sumberingin Kec. Sanankulon, Blitar. Daun

seligi (P. buxifolius) yang digunakan diambil dari seluruh bagian daun, terpisah dari

tangkai dan biji lalu daun seligi dibersihkan dari kotoran, dikeringkan dalam ruang

tertutup selama 2-3 minggu dan di oven dengan suhu 50oC selama 3 jam, selanjutnya

digiling dan diayak lewat 20 mesh sampai diperoleh serbuk kering dengan kadar air rata-

rata10%. Serbuk daun seligi di simpan dalam wadah tertutup sampai akan digunakan.

Serbuk daun seligi (P. buxifolius) yang telah didapat, selanjutnya ditambahkan pada pakan

komersial untuk puyuh dengan perlakuan penambahan serbuk daun seligi sebanyak 0%,

2%, 4%, 6% dan 8%. Pakan yang telah diberi feed supplement serbuk daun seligi pada

setiap perlakuan, lalu dicampur merata dan digiling sampai berbentuk serbuk halus,

selanjutnya dilakukan analisis kandungan nutrisi maupun kandungan senyawa metabolik

sekunder.

19

b. Analisis proksimat dan senyawa metabolik sekunder pakan yang disuplemen

Serbuk daun seligi

Penentuan Kadar Protein (metode Macro-Kjeldahl modifikasi Tecator-FOSS)

Pada proses digesti, alat dinyalakan dan diatur setting suhu ke 420oC. Bahan

ditimbang sebanyak 1 gram dan dimasukkan dalam labu Kjeltec. Ditambahkan 15 ml

asam sulfat pekat dan 2 biji tablet Kjeldahl. Kran air aspirator dinyalakan atau digunakan

lemari asam dengan exhaust pump. Tabung Kjeltec dimasukkan ke dalam digestor.

Sampel didestruksi sampel selama 45–60 menit. Destruksi dinyatakan selesai jika sampel

berubah menjadi jernih dan asap putih tidak terbentuk lagi. Setelah destruksi berakhir,

angkat labu Kjeltec dari digestor dan biarkan dingin ( 15 menit).

Proses destilasi, labu Kjeltec diletakkan ke dalam alat distilasi otomatis, tombol

AUTO ditekan (telah disetting pemasukan aquadest 75 ml dan alkali - NaOH 40% - 25 ml,

serta steaming time 4 menit, sesuai standar Tecator). Sebanyak 25 ml asam borat 4%

(yang mengandung indikator methyl red dan brom cresol green dalam metanol) ditakar

sebagai penampung destilat dalam erlenmeyer. Dinaikkan posisi erlenmeyer hingga pipa

distilat tercelup dan berada di permukaan dasar erlenmeyer. Alat distilasi bekerja otomatis,

biarkan sampai proses selesai. Sampel dititrasi dengan HCl titrisol 0,2N sampai titik akhir

titrasi. HCl yang digunakan dicatat, nitrogen dan protein dihitung dengan rumus sebagai

berikut.

14,01 x (sampel – blanko) x 0,2

N (%) = 6,25 x -------------------------------------------

berat sampel x 10

Protein (%) = % N x factor konversi

Penentuan kadar lemak total metode Soxhlet modifikasi Tecator – Swedia

Sebanyak 1 gram sampel dibungkus dengan kertas saring masukkan dalam

extraction thimble (yang sudah ditimbang) dan pasang pada extraction unit. Kran

kondensor dibuka dan service unit disiapkan. Dituangkan solvent (petroleum benzen 80-

20

100oC) 75 ml ke dalam extration cup dan dicelupkan thimblenya (yang sudah berisi

sampel), condenser valve dibuka. Extraction mode knop diarahkan ke posisi boiling,

dibiarkan selama 25 menit. Lalu dipindahkan ke posisi rinsing selama 25 menit. condenser

valve ditutup dan nyalakan kipas pada service unit, biarkan selama 10 menit. Extraction

thimbles dikeluarkan dari extraction cup dan dimasukkan ke dalam oven pada suhu 105oC

selama 30 menit. Lalu dimasukkan ke dalam eksikator dan ditimbang sampel setelah

sampel dingin betul.

Penghitungan :

C - A

% kadar lemak = -------------- x 100%

B

Dimana : A = berat kertas saring + ikatan + sampel akhir

C = berat kertas saring + ikatan + sampel awal

B = berat sampel

Analisis Acid Detergent Fiber (ADF)

Analisis ADF dilakukan menggunakan metode AOAC (1990). Sebanyak 1 g

sampel dimasukan ke dalam 250 ml labu Erlenmeyer volume 250 ml dan ditambahkan

100 ml larutan asam deterjen yang dibuat dari 20 g asetilmetil amonium bromida yang

dilarutkan dalam 1 l H2SO4 1 N. Labu yang berisi campuran tersebut dipanaskan selama

2-6 menit. Setelah didinginkan campuran disaring dan bagian residu dicuci dengan

aquadest panas sebanyak 3 kali dan terakhir dicuci dengan larutan aseton. Residu

selanjutya ditempatkan dalam cawan dan dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC selama

3-4 jam dan ditimbang. Kadar ADF ditentukan dengan rumus :

Berat cawan + Residu ADF – Berat Cawan

ADF (%) = x 1000

Berat Sampel

Analisis Neutral Detergent Fiber (NDF)

Analisis NDF dilakukan menggunakan metode AOAC (1990). Sebanyak 1 g

sampel dimasukan ke dalam 250 ml labu Erlenmeyer volume 250 ml ditambahkan 1 g

21

natrium sulfat dan 100 ml larutan neutral deterjen yang dibuat dari campuran 18,6 g

EDTA dan 8,6 natrium tetraborat dalam 100 ml aquadest digunakan sebagai larutan 1.

Selanjutnya dibuat larutan 2 yang terdiri atas 30 ml natrium lauril sulfat dan 10 ml etoksi

etanol dan kedalam campuran tersebut ditambahkan 450 g natrium hidrogen fosfat dalam

100 ml aquadest. Kedua larutan (larutan 1 dan 2) dicampur homogen dipanaskan selama 1

jam. Setelah didinginkan campuran disaring dan residu dicuci 3 kali dengan aquadest.

Residu selanjutnya disimpan dalam cawan dan dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC

selama 3-4 jam dan ditimbang. Kadar NDF ditentukan dengan :

Berat cawan + Residu NDF – Berat Cawan

NDF (%) = x 100

Berat Sampel

Analisis Selulosa(Gopal dan Ranjhan, 1980)

Sebanyak 1 g sampel dimasukan ke dalam labu Erlenmeyer 150 ml ditambahkan

12,5 ml asam asetat glasial dan 1,5 ml asam pitrat. Labu yang berisi campuran tersebut

dipanaskan dalam penangas air selama 20 menit. Larutan selanjutnya disaring dalam

penyaring asbes dan residu yang diperoleh dicuci secara bertahap dengan air panas,

alkohol, bensen dan terakhir dicuci dengan alkohol. Sampel kemudian dipanaskan pada

suhu 100oC dan ditimbang sampai beratnya konstan. Sampel kering selanjutnya

dipanaskan dalam cawan pada suhu 550oC selama 30 menit dan ditimbang. Kadar

selulosa ditentukan dengan rumus

(Berat cawan + asbes + material sebelum pengabuan) –

(Berat Cawan + berat material setelah pengabuan)

Selulosa (%) = x 100

Berat Sampel Kering

Analisis Hemiselulosa(Gopal dan Ranjhan, 1980)

Sebanyak 1 g sampel kering tongkol jagung diekstraksi dengan 75 ml asam sulfat

8% dalam percolator dan dididihkan selama 1 jam. Campuran didinginkan, disaring dan

22

residu dikeringkan pada suhu 105oC sampai berat konstan. Kadar hemiselulosa ditentukan

dengan rumus :

Berat Residu sampel - Berat sampel setelah diekstraksi

Hemiselulosa (%) = x 100

Berat Sampel Kering

Analisis Lignin (Gopal dan Ranjhan, 1980)

Penentuan lignin ditentukan dari residu hasil ektraksi hemiselulosa. Cawan yang

berisi residu sampel yang telah diektraksi hemiselulosa disimpan dalam beaker glass yang

berisi 50 ml asam sulfat 72%.

Penentuan kadar pektin (AOAC, 2000)

Sebanyak 5 g sampel serbuk daun seligi diekstrak dengan 400 ml HCl 0,05N

selama 2 jam pada suhu 90oC lalu ditambahkan air yang hilang karena penguapan.

Selanjutnya didinginkan dan dipindahkan seluruh isinya ke dalam labu takar 500 ml,

ditepatkan sampai tanda batas dengan air. Dikocok merata dan disaring dengan kertas

Whatman no. 4 lalu filtrat dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Ekstraksi diulang dengan

cara memanaskan ekstrak campuran sebelum penyaringan atau dididihkan lagi dengan

penambahan HCl 0,01N sebanyak 10 ml dan dididihkan selama 30 menit, lalu disaring

dan endapan dicuci dengan air panas. Ditambahkan HCl 0,05N sebanyak 50 ml pada

residu, lalu dididihkan selama 10 menit dan disaring. Seluruh filtrat yang diperoleh

dikumpulkan, didinginkan dan ditepatkan sampai volume tertentu.

Pada penetapan sampel, sebanyak 100-200 ml alikuot dipipet dan ditambahkan

sebanyak 250 ml air, lalu dinetralkan dengan NaOH 1N dengan menggunakan

Phenolftalin sebagai indikator. Ditambahkan lagi 10 ml NaOH 1N sambil diaduk dan

dibiarkan semalam. Ditambahkan 50 ml asam asetat 1N, sesudah 5 menit ditambahkan 25

ml kalsium klorida 1N dan diaduk merata. Filtrat disaring dengan kertas saring yang sudah

dibasahi dengan air panas dan dikeringkan dalam oven 102oC didinginkan, lalu ditimbang

23

dan diulang sampai beratnya konstan. Selanjutnya endapan dicuci dengan air panas yang

hampir mendidih sampai bebas dari klorida. Kertas saring yang berisi endapan

dipindahkan ke dalam wadah timbang dan dikeringkan pada 100oC selama semalam, lalu

didinginkan dalam desikator dan ditimbang.

Perak kalsium pektat x volume filtrat

% Kalsium pektat : ----------------------------------------------------------------------------- x 100%

ml filtrat yang digunakan untuk penetapan x berat sampel (mg)

Penentuan kadar flavonoid, saponin dan tannin (metode Spektrofotometri UV-VIS).

Penentuan kadar flavonoid menggunakan metode pharmakope swiss VII (Morais

et al, 1999). Larutan HMT sebagai pereaksi yang akan digunakan adalah larutan 0,5% b/v

heksametilen-tetramin, larutan HCl 25%, larutan asam asetat glasial (larutan asam asetat

glasial 5% v/v dalam metanol), dan larutan AlCl3 (larutan 2%AlCl3 dalam larutan asam

asetat glasial). Sedangkan larutan induk adalah ekstrak yang setara dengan 200 mg serbuk

pakan dimasukkan ke dalam labu alas bulat, ditambah dengan 1 ml larutan HMT, 20 ml

aseton dan 2 ml larutan HCl, dihidrolisis dengan cara direfluks selama 30 menit.

Campuran hasil hidrolisis disaring dengan menggunakan kapas, filtrat dimasukkan ke

dalam labu ukur 100,0 ml. Residu direfluks kembali dengan 20 ml aseton selama 30

menit, disaring dan filtrat dicampur ke dalam labu ukur 100,0 ml. Campuran filtrat dalam

labu ukur ditambah dengan aseton sampai tepat 100,0 ml. Diambil 20,0 ml filtrat

dimasukkan ke dalam corong pisah, ditambah dengan 20 ml air dan diekstraksi kocok,

pertama dengan 15 ml etil asetat, kemudian 2 kali dengan 10 ml etil asetat. Fraksi etil

asetat dikumpulkan dan ditambah dengan etil asetat sampai tepat 50,0 ml dalam labu ukur.

Larutan blangko: Diambil 10,0 ml larutan induk, ditambah dengan larutan asam asetat

glasial sampai 25,0 ml dalam labu ukur. Larutan sampel diambil 10 ml larutan induk,

ditambah dengan 1 ml larutan AlCl3 32dan larutan asam asetat glasial sampai 25,0 ml

24

dalam labu ukur. Pengukuran dilakukan 30 menit setelah penambahan AlCl3 dengan

menggunakan spektrofotometer UV-vis pada panjang gelombang 425 nm.

Penetapan kadar saponin dengan Spektrofotometer UV-vis. Sebanyak 10 ml dari

masing-masing filtrat pada larutan percobaan Pada uji kuantitatif saponin dari Quillaja

bark, ekstrak etanol sampel pakan dengan konsentrasi 0,1 % dalam metanol ditotolkan di

atas pelat silika gel 60F254 dan dikembangkan dengan pelarut pengembang campuran n-

heksana-etil asetat (4:1) dalam chamber (Cammag 25267). Penampak noda adalah

anisaldehida asam sulfat (merah ungu) atau antimon klorida (merah muda) sebagai

saponin.

Penentuan kadar tannin metode folin ciocalteu dan spektrofotometri UV-VIS

(Morais et al, 1999). Pada pembuatan larutan sampel/larutan baku (asam galat), larutan

baku induk dibuat dengan cara menimbang sebanyak 10,0 mg asam galat, dilarutkan

dalam 100 ml aquadest dalam labu ukur 100,0 ml (100 ppm). Sedangkan Larutan baku

sampel dibuat dengan konsentrasi 1 ppm; 1,5 ppm; 2 ppm; 2,5 ppm; 3 ppm; 3,5 ppm; 4

ppm. Larutan standar dimasukkan ke dalam labu ukur 10,0 ml, ditambah dengan 500 (l

reagen FC digoyang selama 1 menit dan ditambah 2,0 ml Na2CO3 (15 % b/v), digoyang

selama 1 menit lalu ditambah dengan aquadest sampai garis tanda (10,0 ml). Setelah itu

dipindahkan kedalam tabung reaksi kecil dan ditutup dengan aluminium foil dan

diletakkan didalam penangas air 50oC selama 5 menit, lalu didinginkan dan diukur

absorbannya pada panjang gelombang maks. 756 nm. Setelah diukur absorbannya, dicari

persamaan regresi antara kadar (konsentrasi) dengan absorban, kemudian dihitung

koefisien korelasi (r) dan koefisien korelasi dari fungsi untuk mengevaluasi linieritas.

Dalam pembuatan larutan sampel, masing-masing sampel ditimbang sejumlah 50 mg.

Setelah diperoleh supernatan sampel, setiap supernatan diambil 75 l; tahap selanjutnya

sama dengan larutan standar diatas. Setelah diukur absorbannya dihitung kadar rata-rata.

25

Analisis Data

Data yang diperoleh dilakukan analisis statistika dengan analisis varian, apabila

terdapat perbedaan akan dilanjutkan dengan uji beda nyata jujur (BNJ) menurut petunjuk

Steel dan Torrie (1999) dengan bantuan SPSS 17 for Windows.

26

BAB 5. HASIL PENELITIAN DAN LUARAN YANG DICAPAI

5.1 Hasil Penelitian yang Dicapai

A. Efek Serbuk Daun Seligi (Phyllanthus buxifolius) terhadap Komposisi kimia

dan Senyawa metabolik sekunder pakan Puyuh

Komponen utama bahan organik pada serbuk daun seligi terdiri atas 11,566%

protein kasar, 18,834% lemak kasar, 14,991% serat kasar, 13,7% selulosa, 6,17%

hemiselulosa, dan 14,98% pektin. Sumber bahan organik lain dalam jumlah kecil adalah

0,11% lignin dan 0,23% silikat. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa serbuk daun

seligi positif mengandung komponen golongan senyawa flavonoid, saponin, polifenol

(tanin), alkaloid dan steroid triterpenoid. Kandungan senyawa polifenol (tanin) diperoleh

sebesar 0,9% dan golongan senyawa flavonoid sebesar 0,55% per 100 mg.

Tabel 5.1.1. Efek Suplementasi Serbuk Daun Seligi pada pakan komersial terhadap

komposisi Kimia Pakan Puyuh

No.

Komponen

Hasil Analisis pakan dengan penambahan

serbuk daun seligi*)

0% 2% 4% 6% 8%

1 Bahan kering 87,89 93,51 94,71 95,12 96,77

2 Abu 7,77 7,96 8,13 8,15 8,10

3 Protein kasar (%) 22,39 22,56 23,48 23,77 23,07

4 Lemak kasar (%) 7,61 7,44 7,39 7,29 7,25

5 Serat kasar (%) 4,07 4,45 4,51 4,61 5.09

6 NDF (%) 15,76 15,96 15,24 19,21 19,31

7 ADF (%) 6,33 7,60 7,29 7,37 7,17

8 Selulosa (%) 4,41 4,71 4,90 5,25 5,37

9 Hemiselulosa (%) 6,50 7,14 7.90 8,37 9,79

10 Lignin(%) 2,98 3,33 3,84 5,86 6,83

11 Pektin (%) 0,26 4,48 7,75 8,97 9,04

Keterangan : *) Berdasarkan berat kering (dry base)

Hasil analisis komposisi kimia pakan komersial yang disuplemen serbuk daun seligi

(Phyllanthus buxifolius) dengan takaran yang berbeda disajikan pada Tabel 5.1.1. Tabel 5.1.1

menunjukkan bahwa kadar protein kasar relatif lebih tinggi pada pakan yang disuplementasi

serbuk daun seligi. Sedangkan kadar lemak kasar sedikit lebih rendah, tetapi hemiselulosa

dan selulosa serta pektin lebih tinggi pada pakan yang disuplementasi serbuk daun seligi. Hal

ini mengindikasikan bahwa penambahan serbuk daun seligi mempengaruhi nutrisi pakan,

dapat meningkatkan protein dan menurunkan lemak pakan serta meningkatkan kandungan

27

serat kasar terutama pektin. Sedangkan hasil analisis kandungan senyawa metabolik sekunder

pada pakan juga mengalami peningkatan pada pakan yang disuplementasi serbuk daun seligi

seperti pada Tabel 5.1.2 dan Gambar 5.2.

Tabel 5.1.2. Efek Suplementasi Serbuk Daun Seligi pada pakan komersial terhadap

Kadar Senyawa Metabolik Sekunder Pakan Puyuh

No.

Komponen

Hasil Analisis pakan dengan penambahan

serbuk daun seligi*)

0% 2% 4% 6% 8%

1 Total Flavonoid Ekuivalen Rutin

(% b/b)

0,06 0,23 0,55 0,73 0,75

2 Tannin Total Ekuivalen Tannic Acid

(% b/b)

1,14 1,75 2,53 2,74 2,97

3 Saponin from Quillaja bark (% b/b) 2,05 3,42 4,45 5,56 5,75

Keterangan : *) : Menggunakan Spektrofotometer UV-vis

Gambar 5.2. Hasil Analisis Senyawa Metabolik Sekunder Pakan Komersial

yang Disuplementasi Serbuk Daun Seligi dengan Takaran yang

Berbeda

Berdasarkan gambar 5.2 tampak bahwa flavonoid, yannin dan saponin mengalami

peningkatan seiring dengan semakin banyaknya penambahan serbuk daun seligi pada

pakan komersial. Diantara ketiga jenis senyawa metabolik sekunder tersebut, saponin

paling banyak kandungannya disusul tannin dan flavonoid. Pemberian saponin, tannin dan

flavonoid pada pakan ternak tidak hanya dapat mengurangi deposisi lemak, tetapi dapat

juga meningkatkan immunitas pada ayam broiler (Dong et al, 2007). Pada kadar yang

rendah, saponin dapat meningkatkan transportasi zat nutrisi antar sel, tetapi pada kadar

yang tinggi dapat membunuh sel. Dengan demikian bioaktif tersebut dapat digunakan

0.06 0.23 0.55 0.73 0.75

1.14

1.75

2.53 2.74

2.97

2.05

3.42

4.45

5.56 5.75

0

1

2

3

4

5

6

7

0.000.501.001.502.002.503.003.504.004.505.005.506.006.507.00

Suplemen0%

Suplemen2%

Suplemen4%

Suplemen6%

Suplemen8%

Tannin (%)

Flavonoid (%)

Saponin (%)

28

sebagai suplemen pada pakan sebagai pengganti antibiotika, karena dapat memperbaiki

efesiensi penggunaan ransum dan mengurangi berbagai resiko atau resisten terhadap

antibiotika (Bintang, 2007).

B. Pemeriksaan Respon Antibody melalui pengamatan Haemogglutinasi (HI titer)

pada Serum Puyuh

Pemeriksaan HI titer dilakukan pada darah puyuh sebelum dipapar dengan serbuk

daun selgi. Hasil analisis HI titer pada serum puyuh berumur 4 hari sebelum diberi

perlakuan suplemen dan divaksin Newcasttle Disease (ND) menunjukkan bahwa tidak

terdapat respon antibody (HI titer negatif) pada puyuh. Demikian pula setelah puyuh

diberi suplemen serbuk daun seligi dan divaksin ND melalui oral (dicampur dengan air

minum) sesuai dosis, lalu dilakukan pemeriksaan pada umur 30 dan 60 hari juga belum

menunjukkan adanya kenaikan antibodi pada puyuh. Tetapi pada umur 75 dan 90 hari

(setelah diberi suplemen serbuk daun seligi selama 65 dan 80 hari) dan divaksin dengan

cara injeksi intramuscular, maka ternak menunjukkan kenaikan respon antibody dengan

hasil HA/HI titer positif pada puyuh yang diberi suplemen serbuk daun seligi. Hal ini juga

ditunjukkan oleh hasil analisis HI titer yang semakin meningkat, bila dibandingkan

dengan puyuh yang tidak diberi suplemen serbuk daun seligi terjadi kenaikan respon

antibody sangat kecil karena tindakan vaksinasi.

Gambar 5.3. Hasil Uji HA/HI titer terhadap sampel serum Puyuh

29

C. Efek Feed Supplement Serbuk Daun Seligi (Phyllanthus buxifolius) terhadap

Kondisi Serologi dan Hematologi Puyuh

Berdasarkan hasil analisis Aspartate Transaminase (AST) yang diketahui sebagai

serum glutamic oxaloasetic transaminase (SGOT) menunjukkan bahwa pemberian suplemen

serbuk daun seligi mempengaruhi kadar AST pada puyuh sebelum dan sesudah chellence

test. Kadar AST pada puyuh yang diberi serbuk daun seligi berbeda signifikan ((P<0,05)

dibandingkan dengan kadar AST pada puyuh yang tidak diberi serbuk daun seligi. Semakin

banyak pemberian suplemen serbuk daun seligi maka AST semakin rendah. Nilai AST puyuh

disajikan pada Gambar 5.4.

Gambar 5.4. Efek Serbuk Daun Seligi (P. buxifolius) terhadap

Nilai Aspartate transferase (AST/SGOT)

Alanine Transaminase (ALT) yang diketahui sebagai serum alanine aminotransferase

atau pyruvic transaminase (SGPT) juga menunjukkan adanya penurunan nilai ALT dengan

pemberian suplemen serbuk daun seligi pada puyuh sebelum dan sesudah chellence test.

Kadar ALT pada puyuh yang diberi serbuk daun seligi berbeda signifikan ((P<0,05)

dibandingkan dengan kadar ALT pada puyuh yang tidak diberi serbuk daun seligi. Semakin

banyak persentase pemberian suplemen maka ALT puyuh semakin turun. Penurunan AST

dan ALT terjadi karena pakan disuplementasi oleh serbuk daun seligi yang mengandung

319.88

115.75

60.82

54.17 57.14

330.95

261.21

181.7

112.78

77.78

11.07

145.46 120.87

58.61

20.64

0

50

100

150

200

250

300

350

0 2 4 6 8Nila

i Asp

arta

te T

ran

sfe

rase

(A

ST)

(U/L

)

Takaran Serbuk Daun Seligi dalam pakan (%)

Sebelum Chellence test (A) Sesudah Chellence test (B)

30

kadar metabolik sekunder dan protein. Semakin banyak penambahan serbuk daun seligi maka

AST dan ALT semakin turun. Di samping itu kandungan protein kasar pada pakan juga

semakin tinggi seiring dengan banyaknya suplemen serbuk daun seligi yang ditambahkan

pada pakan. Namun terjadi kenaikan kembali nilai ALT pada puyuh yang diberi 6 dan 8%

suplemen serbuk daun seligi menunjukkan pemberian 6 dan 8% suplemen tidak efektif dalam

menurunkan ALT (SGPT) serum puyuh. Nilai ALT puyuh disajikan pada Gambar 5.5.

Gambar 5.5. Efek Serbuk Daun Seligi (P. buxifolius) terhadap

Nilai Alanine transferase (ALT/SGPT)

Berdasarkan hasil uji hematologi pada puyuh umur 45 hari yang diberi suplemen

serbuk daun seligi menunjukkan bahwa pemberian suplemen serbuk daun seligi

mempengaruhi hasil uji hematologi pada puyuh. Semakin banyak pemberian suplemen

serbuk daun seligi, maka kadar eritrosit semakin tinggi tetapi pada pemberian 8% suplemen

serbuk daun seligi justru kadar eritrosit menurun. Eritrosit mengandung hemoglobin, selain

mengikat oksigen mengandung juga beberapa enzim antioksidan. Pada hasil pemeriksaan

menunjukkan bahwa hemoglobin juga mengalami peningkatan seiring bertanbah banyaknya

pemberian seligi. Eritrosit dan hemoglobin yang tinggi menunjukkan ternak dalam keadaan

baik. Sedangkan hasil hitung leukosit menunjukkan bahwa leukosit menunjukkan jumlah sel

301.91

129.13

22.11 67.47

64.03

434.32

150.5

117.27 127.64

200.18

132.4

21.37

95.16

60.17

136.15

0

50

100

150

200

250

300

350

400

450

500

0 2 4 6 8

Nila

i Ala

nin

e T

ran

sfe

rase

(A

LT)

(U/L

)

Takaran Serbuk Daun Seligi dalam pakan (%)

Sebelum Chellence test (A) Sesudah Chellence test (B)

31

darah putih, yang mana peningkatan sel darah putih menunjukkan adanya kondisi infeksi

pada tubuh ternak. Demikian pula pada perhitungan trombosit yang merupakan jumlah sel

darah berperan dalam proses pembekuan darah. Nilai trombosit yang tinggi pada tubuh

ternak menunjukkan adanya infeksi. Secara rinci hematologi puyuh disajikan pada 5.6,5.7

dan 5.8.

Gambar 5.6. Efek Serbuk Daun Seligi (P. buxifolius) terhadap

Jumlah Eritrosit darah Puyuh

Pada Gambar 5.6 menunjukkan bahwa jumlah eritrosit puyuh yang diberi serbuk

daun seligi berbeda signifikan (P<0.05) lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah eritrosit

puyuh yang tidak diberi serbuk daun seligi. Namun pemberian serbuk sebanyak 2 dan 4%

tidak berbeda signifikan (P>0.05) dengan pemberian 6% serbuk terhadap jumlah eritrosit

puyuh sebelum chellence test. Namun pemberian 4% berbeda signifikan (P<0.05) dengan

pemberian 6% serbuk terhadap jumlah eritrosit puyuh sesudah chellence test.

Pada Gambar 5.7 tampak bahwa jumlah leukosit puyuh yang diberi serbuk daun

seligi berbeda signifikan (P<0.05) dibandingkan dengan jumlah leukosit puyuh yang tidak

diberi serbuk daun seligi. Namun jumlah leukosit puyuh pada pemberian serbuk sebanyak

2% tidak berbeda signifikan (P>0.05) dengan pemberian 4% serbuk namun berbeda

signifikan (P<0.05) dengan 6% sebelum chellence test. Sedangkan setelah puyuh mengalami

2.7

3.29 3.22 3.27

2.34

1.51

3.26 3.04

2.82

2.21

1.18

0.61

0.18

0.45 0.13

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

0 2 4 6 8

Jum

lah

Eri

tro

sit

(Se

l/m

mx1

06 )

Takaran Serbuk Daun Seligi dalam pakan (%)

Sebelum Chellence test (A) Sesudah Chellence test (B) Selisih A dan B

32

chellence test, pemberian 2, 4 dan 6% berbeda signifikan (P<0.05) dengan pemberian 8%

serbuk.

Gambar 5.7. Efek Serbuk Daun Seligi (P. buxifolius) terhadap

Jumlah Leukosit darah Puyuh

Pada Gambar 5.8 tampak bahwa jumlah trombosit puyuh yang diberi serbuk daun

seligi berbeda signifikan (P<0.05) lebih rendah dibandingkan dengan jumlah trombosit

puyuh yang tidak diberi serbuk daun seligi. Pemberian 4 dan 6% serbuk trombosit puyuh

tidak berbeda signifikan ((P>0.05) baik sebelum maupun setelah chellence test.

Gambar 5.8. Efek Serbuk Daun Seligi (P. buxifolius) terhadap

Jumlah Trombosit darah Puyuh

22.34 19.62 17.62

12.31 9.43

38.73

24.52 23.66 23.85 21.22

16.39

4.9 6.04

11.54 11.79

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

0 2 4 6 8

Jum

lah

Le

uko

sit

(se

l/m

mx1

03 )

Takaran Serbuk Daun Seligi dalam pakan (%)

Sebelum Chellence test (A) Sesudah Chellence test (B) Selisih A dan B

29.8

16.4 12.6 13.2

11.4

32.6

18.2

13.6 14.2 14.6

2.8 1.8 1.4 1 3.2

0

5

10

15

20

25

30

35

0 2 4 6 8

Jum

lah

Tro

mb

osi

t (s

el/

mm

x10

6 )

Takaran Serbuk Daun Seligi dalam pakan (%)

Sebelum Chellence test (A) Sesudah Chellence test (B) Selisih A dan B

33

Berdasarkan hasil hitung jenis leukosit (DLC) pada darah puyuh menunjukkan

bahwa pemberian suplemen serbuk daun seligi mempengaruhi hasil uji jenis leukosit pada

puyuh. Pada Gambar 5.9 menunjukkan bahwa eosinophil, basofil, neutrofil, limfosit dan

monosit relatif lebih rendah dibandingkan dengan hasil hitung jenis leukosit (DLC) darah

puyuh yang tidak diberi suplemen serbuk daun seligi. Tetapi pemberian 8% suplemen

serbuk daun seligi dapat meningkatkan hasil hitung pada komponen yang sama. Secara rinci

hasil hitung jenis leukosit (DLC) puyuh disajikan pada Gambar 5.9, 5.10, 5.11 dan 5.12.

Gambar 5.9. Efek Serbuk Daun Seligi (P. buxifolius) terhadap

Persentase Eosinofil darah Puyuh

Pada Gambar 5.9 tampak bahwa persentase eosinofil puyuh yang diberi serbuk

daun seligi berbeda signifikan (P<0.05) lebih rendah dibandingkan dengan persentase

eosinofil puyuh yang tidak diberi serbuk daun seligi. Persentase eosinofil pada pemberian

2 dan 6% serbuk daun seligi berbeda signifikan (P<0.05) lebih rendah dibandingkan

dengan pemberian 4%. Sedangkan pemberian 2 dan 6% serbuk tidak berbeda signifikan

((P>0.05) baik sebelum maupun setelah chellence test.

Pada Gambar 5.10 menunjukkan bahwa persentase basofil puyuh yang diberi

serbuk daun seligi berbeda signifikan (P<0.05) lebih rendah dibandingkan dengan

persentase basofil puyuh yang tidak diberi serbuk daun seligi. Persentase basofil pada

0 0 0

0 0

17.6

5.6

8.6

5.8

2.4

17.6

5.6

8.6

5.8

2.4

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

20

0 2 4 6 8Pe

rsen

tase

Eo

sin

ofi

l (%

)

Takaran Serbuk Daun Seligi dalam pakan (%)

Sebelum Chellence test (A) Sesudah Chellence test (B) Selisih A dan B

34

pemberian 2% serbuk daun seligi berbeda signifikan (P<0.05) lebih rendah dibandingkan

dengan pemberian 4% serbuk. Sedangkan pemberian 6% serbuk tidak terdeteksi

persentase basofil puyuh setelah chellence test.

Gambar 5.10. Efek Serbuk Daun Seligi (P. buxifolius) terhadap

Persentase Basofil darah Puyuh

Pada Gambar 5.11 menunjukkan bahwa persentase neutrofil puyuh yang diberi

serbuk daun seligi berbeda signifikan (P<0.05) lebih rendah dibandingkan dengan

persentase neutrofil puyuh yang tidak diberi serbuk daun seligi. Persentase neutrofil pada

pemberian 2, 4 dan 6% serbuk daun seligi berbeda signifikan (P<0.05) dengan pemberian

8% serbuk. Sedangkan persentase neutrofil pada pemberian 4% serbuk tidak berbeda

signifikan (P>0.05) dengan pemberian 6% pada puyuh setelah chellence test.

Gambar 5.11. Efek Serbuk Daun Seligi (P. buxifolius) terhadap

Persentase Neutrofil darah Puyuh

3.6

0.04

0.8

0.18 0.22

1

0.6 0.4

0

1.2

2.6

0.56 0.4

0.18

0.98

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

4

0 2 4 6 8

Pe

rsen

tase

Bas

ofi

l (%

)

Takaran Serbuk Daun Seligi dalam pakan (%) Sebelum Chellence test (A) Sesudah Chellence test (B)

56

30.6 33

24.34

50.9

35.6

46.2

36 34.6

42

16.6 17.04

7.14 10.26

8.9

0

10

20

30

40

50

60

0 2 4 6 8

Pe

rsen

tase

Ne

utr

ofi

l (%

)

Takaran Serbuk Daun Seligi dalam pakan (%) Sebelum Chellence test (A) Sesudah Chellence test (B)

35

Pada Gambar 5.12 menunjukkan bahwa persentase limfosit puyuh yang diberi

serbuk daun seligi berbeda signifikan (P<0.05) lebih rendah dibandingkan dengan

persentase limfosit puyuh yang tidak diberi serbuk daun seligi. Persentase limfosit tidak

terdeteksi pada pemberian 6%. Tetapi persentase limfosit puyuh pada pemberian 6%

serbuk daun seligi tidak berbeda signifikan (P>0.05) dengan pemberian 8% serbuk setelah

chellence test.

Gambar 5.12. Efek Serbuk Daun Seligi (P. buxifolius) terhadap

Persentase Limfosit darah Puyuh

Gambar 5.13. Efek Serbuk Daun Seligi (P. buxifolius) terhadap

Persentase Monosit darah Puyuh

3.4

0.42 0.2

0.04 0.18

0.8

0.2

0.6 0.8 1

2.6

0.22 0.4

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

4

0 2 4 6 8

Pe

rsen

tase

Lim

fosi

t (%

)

Takaran Serbuk Daun Seligi dalam pakan (%)

Sebelum Chellence test (A) Sesudah Chellence test (B) Selisih A dan B

3.4

0.42 0.2 0.04 0.18

0.8

0.2

0.6

0.8 1

2.6

0.22 0.4

0.76 0.82

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

4

0 2 4 6 8

Pe

rsen

tase

Mo

no

sit

(%)

Takaran Serbuk Daun Seligi dalam pakan (%)

Sebelum Chellence test (A) Sesudah Chellence test (B) Selisih A dan B

36

Pada Gambar 5.13 menunjukkan bahwa persentase monosit puyuh yang diberi

serbuk daun seligi berbeda signifikan (P<0.05) lebih rendah dibandingkan dengan

persentase monosit puyuh yang tidak diberi serbuk daun seligi. Sebelum chellence test,

persentase monosit sangat kecil pada pemberian 6% serbuk. Tetapi persentase monosit

puyuh pada pemberian 6% serbuk daun seligi tidak berbeda signifikan (P>0.05) dengan

pemberian 8% serbuk setelah chellence test.

D. Efek Feed Supplement Serbuk Daun Seligi (Phyllanthus buxifolius) terhadap berat

badan, konsumsi pakan dan produksi telur

Berdasarkan hasil penimbangan berat badan menunjukkan bahwa pemberian

suplemen serbuk daun seligi tidak mempengaruhi berat badan puyuh. Berat badan puyuh

justru meningkat dengan adanya suplemen serbuk daun seligi pada puyuh umur 60 hari

(Gambar 5.14). Demikian pula pada konsumsi pakan, penambahan serbuk daun seligi dapat

mempengaruhi konsumsi pakan puyuh. Semakin banyak pemberian serbuk daun seligi maka

konsumsi pakan semakin tinggi. Namun demikian, peningkatan konsumsi dan berat badan

puyuh tidak mempengaruhi persentase produksi telur puyuh yang mengkonsumsi serbuk

daun seligi. Persentase produksi telur yang semakin rendah pada puyuh yang mengkonsumsi

pakan dengan suplementasi serbuk daun seligi kemungkinan karena kandungan serat yang

dikonsumsi oleh puyuh, semakin banyak serat dalam saluran pencernaan maka produksi telur

lebih rendah. Berat badan puyuh, konsumsi pakan dan produksi telur terdapat pada Gambar

5.14, 5.15 dan 5.16 berikut.

Pada Gambar 5.14 tampak bahwa bobot badan puyuh yang diberi serbuk daun

seligi berbeda signifikan (P<0.05) lebih besar dibandingkan dengan bobot badan puyuh

yang tidak diberi serbuk daun seligi. Bobot badan pada umur 60 hari dan diberi 2 dan 8%

serbuk daun seligi signifikan (P<0.05) lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian 4 dan

6% seligi. Tetapi pada umur 90 hari, bobot badan ternak menurun pada pemberian 4, 6

37

dan 8% seligi. Perlakuan 2% seligi menghasilkan bobot badan lebih stabil dibandingkan

perlakuan lain dampai umur 90 hari.

Gambar 5.14. Efek Serbuk Daun Seligi (P. buxifolius) terhadap

Berat Badan Puyuh

Gambar 5.15. Efek Serbuk Daun Seligi (P. buxifolius) terhadap

Konsumsi Pakan Puyuh

Pada Gambar 5.15 tampak bahwa terjadi peningkatan konsumsi pakan sampai

umur 90 hari. Konsumsi pakan umur 30 hari puyuh yang diberi serbuk daun seligi 2, 4

dan% tidak berbeda signifikan (P>0.05) dibandingkan dengan konsumsi pakan puyuh

yang tidak diberi serbuk daun seligi. Tetapi pada umur 60 hari, konsumsi pakan puyuh

yang diberi 6 dan 8% seligi signifikan (P<0.05) lebih tinggi dibandingkan dengan

120

119

121 120

119 120

126

124 124 125

122

125

120 120

118

114

116

118

120

122

124

126

128

0 2 4 6 8

Be

rat

Bad

an P

uyu

h (

gr)

Takaran Serbuk Daun Seligi dalam Pakan (%)

umur 30 hari umur 60 hari umur 90 hari

35 35 36 35 32

45 42 41 47 49

57 62 61

69 67

0

10

20

30

40

50

60

70

80

0 2 4 6 8Ko

nsu

msi

pak

an P

uyu

h (

gr)

Takaran Serbuk Daun Seligi dalam Pakan (%)

umur 30 hari umur 60 hari umur 90 hari

38

pemberian 0, 2 dan 4% seligi. Pemberian 6% seligi tampak puyuh mengkonsumsi pakan

paling efektif dibandingkan dengan perlakuan lain.

Gambar 5.16. Efek Serbuk Daun Seligi (P. buxifolius) terhadap

Produksi Telur Puyuh

Pada Gambar 5.16 tampak bahwa secara signifikan (P<0.05) produksi telur

menurun pada puyuh yang diberi serbuk daun seligi sampai umur 90 hari. Penurunan

produksi telur seiring dengan penambahan serbuk daun seligi. Namun demikian, pada

umur 90 hari produksi telur justru meningkat dibandingkan dengan produksi telur puyuh

umur 60 hari.

5.1. Luaran Penelitian

Luaran dalam penelitian ini terdiri dari :

1. Publikasi internasional dengan judul “Egg cholesterol levels and immunity of

Coturnix coturnix japonica by Phyllanthus buxifolius powder as commercial feed

supplement”. Artikel telah Terbit pada bulan Februari 2016 di Asian journal Of

Agricultural Research, Terindeks SCOPUS, SCIMAGO, CABI.

2. Draft Publikasi internasional dengan judul “Serology and Hematology of Quail (C.

coturnix japonica) Diet Phyllanthus buxifolius Leaf as Feed Supplement” (draft

0 0 0 0 0

100

89 89

75

56

100 96 92

81

65

0

20

40

60

80

100

120

0 2 4 6 8

Pro

du

ksi T

elu

r P

uyu

h (

%)

Takaran Serbuk Daun Seligi dalam Pakan (%)

umur 30 hari umur 60 hari umur 90 hari

39

terlampir). Artikel akan dikirim akhir bulan November 2016 pada jurnal

internasional Journal of Animal and Feed Science terindeks SCOPUS.

3. Buku Ajar “Teknologi Hasil Pertanian” ISBN : 978-602-4170-59-2. Telah terbit

pada bulan September 2016 oleh penerbit „Revka Petra Media.

4. Materi Teknologi Tepat Guna berupa Booklet : “Formulasi dan Pembuatan Pakan

Puyuh”. Telah diaplikasikan pada kelompok peternak puyuh Mitra “Mandiri” desa

Sumberingin, Kec. Sanankulon, Blitar pada tanggal 22 Septerber 2015.

5. Materi Teknologi Tepat Guna berupa Booklet : “Penyakit ND (Newcastle

Disease/Tetelo) dan Cara Pengendaliannya pada Puyuh” (materi terlampir). Materi

telah diaplikasikan pada kelompok peternak puyuh Mitra “Mandiri” desa

Sumberingin, Kec. Sanankulon, Blitar pada tanggal 15 Oktober 2016.

6. Seminar di Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya telah dilakukan pada bulan

Agustus 2015.

7. Seminar Nasional Biodiversitas VI yang diselenggarakan oleh Fakultas Sain dan

Teknologi Universitas Airlangga pada tanggal 3 September 2016 di Surabaya.

SSeP) DAN CARA PENGENDALIANNYA PA PUH (2016 ND (NEWCASTLE DISEASE/ PENGENDALIANNYA PADA PUYUH (2016

40

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan sampai dengan Tahun II dapat

disimpulkan bahwa :

1. Serbuk daun seligi yang digunakan sebagai suplemen pakan dapat meningkatkan

kandungan nutrisi dan senyawa metabolik sekunder pakan komersial puyuh.

2. Serbuk daun seligi yang digunakan sebagai suplemen pakan dapat mempengaruhi

kondisi serologi dan hematologi pada puyuh. Secara umum pemberian serbuk

daun seligi meningkatkan respon antibody, terbukti terjadinya peningkatan

haemagglutinasi titer (HA/HI titer), terjadi penurunan AST dan ALT pada puyuh.

Demikian pula setelah ternak diinfeksi dengan virus ND 106 ml velogenik

(chellence test) selama 2 minggu tidak menyebabkan kematian pada ternak puyuh

yang diberi serbuk daun seligi.

3. Secara umum pemberian 8% suplemen serbuk daun seligi dapat meningkatkan

respon antibody. Pemberian 4 dan 6% serbuk menurunkan AST (SGOT) dan ALT

(SGPT), tidak menyebabkan infeksi, kondisi hematologi dan hitung jenis leukosit

(DLC) serta jumlah leukosit (TLC) puyuh relatif tetap.

4. Serbuk daun seligi yang digunakan sebagai suplemen pakan juga dapat

meningkatkan berat badan dan konsumsi pakan, tetapi sedikit menurunkan

produksi telur.

41

7.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka disarankan untuk

menggunakan serbuk daun seligi sebagai feed supplement alami dengan takaran 4-6%

pada pakan, karena tidak mempengaruhi kesehatan dan pencernaan puyuh, bahkan dapat

meningkatkan nilai nutrisi pakan komersial puyuh dan respon antibody pada puyuh yang

diinfeksi virus ND velogenik.

42

DAFTAR PUSTAKA

Adeneye, A.A., O.O Amole, A.K. Adeneye. 2006. The hypoglycemic and

Hypocholesterolemic activities of the aqueous leaf and seed extract of

Phyllanthus amarus in mice. J. Fitoterapia. 77:511-514.

Ahmed, R., S.J. Moushumi, H. Ahmed, M. Ali, H. Reza, W.M. Haq, R. Jahan, and M.

Rahmatullah, 2010. A study of serum total cholesterol and triglyceride lowering

activities of P. Emblica L. (Euphorbiaceae) fruits in rats. Advances in Natural

and Applied Sci. 4(2): 168-170.

Alan, W.H., J.E. Lancaster and B. Toth. 1978. Newcastle Disease Vaccines. Food and

Agriculture Organization of the United Nations. Rome, Italy.

Aldous, E.W. and D.J. Alexander. 2001. Technical review : Detection and differentiation

of Newcastle disease virus (Avian paramyxovirus type I). Avian Pathol. 30: 117-

128.

Alexander, D.J. 2001. Newcastle disease-The Gordon Memorial Lecture. Br. Poult. Sci.

42:5-22.

Association of Offical Analytical Chemists (AOAC). 2000. Official Method of Analysis

of The Association of Analytical Chemists. 17th

Rev. Ed. Association of Official

Analytical Chemists. Washington DC.

Bankole, H.A., O.A. Magbagbeola, O.B. Adu, A.A. Fatai and B.A. James, 2011.

Biochemical effect of ethanolic extract of Phyllanthus amarus (Euphorbiaceae)

on plasma nitric oxide and penile cyclic guanosine monophosphate (cGMP) in

mature male guinea pigs. Asian J. of Biochemistry. 6 (3) : 291-299.

Close, W. and K.H. Menke. 1986. Manual Selected Tropics in Animal Nutrition. 2nd

Ed.

The Institute of Animal Nutrition. Universitas of Hohenhelm.

Dalimarta, S. 2007. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia.Trubus Agriwidya. Jakarta.

Daniells, S. 2007. Antioxidants may stop fat cells formation, say study.

Ensminger, M.E. 1980. Poultry Science. Printers and Publisher Inc. Danville. Illinois.

Fauziah, O., A.R. Omar, I. Patimah and I. Aini. 2001. Microscopic evaluating of

Newcastle disease virus (NDV) a killer in chicken but a possible live saver in

human. J. Elect Micro Soc Thailand. 16 : 272-275.

Harborne. JB. 1996. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Moderen Menganalisis

Tumbuhan. Cetakan D. Penerjemah K. Padmawinata dan I. Soediro. ITB.

Bandung.

Hashmi, K. 1999. Effect of Bio-immune on immunity against Newcastle disease and

biochemical parameters of broiler chickens. Nuclear Institute for Agriculture &

Biologi (NIAB). Falsalabad.

James, D.B., N. Elebo, A.M. Sanusi and L. Odoemene, 2010. Some biochemical effect of

intraperitoneal administration of P. amarus aqueous extracts on normaglycemic

albino rats. Asian J. of Med. Sci. 2(1):7-10.

Jayaram, S. and S.P. Thyagarajan. 1996. Inhibition of HbsAg secretion from Alexander

cell line by P. amarus. Indian J. Pathol Microbiol. 39 (3) : 211-215.

Jeffrey, D. 2003.Pigeons and Exotic Newcastle disease.

http://animalscience.ucdavis.edu/Avian/cplbackkissues.htm.

Ji XH, Qin JZ, Wang WY, Zhu ZY, Liu XT. 1993. Effect of extracts from

Phyllanthus urinaria on HBsAg production in OLC/PRF/5 cell line (Human

hepatoma cell line). Chung-Kao-Chung-Yao-Tsa-chih. 18(8):496-498.

Liu, KC, Lin MT, Lee SS, Chiou JF, Ren S, and Lien EJ. 1999. Antiviral tannins

Two Phyllanthus species. Planta med. 65(1):43-46.

Maat, S. 1997. Phyllanthus ninuri L sebagai imunostimulator pada mencit.

43

Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Airlangga.

Malhortra, S and AP. Singh. 2006. Hepatoprotective use of Phyllanthus ninuri. J.

Research Ayurveda. 4: 124-127.

Marin, MCP Villegas, J. Bennet and Seal. 1996. Virus characterization and Sequance of

fusion protein gene cleavage site of recent Newcastle disease virus field isolates.

Avian dis. 40 : 382-390. Morais, S.A.L., E.A. Nascimento, C.R.A.A. Queiroz, D. Pilo-Veloso and

M.G. Drumond, 1999. Studies on polyphenols and lignin of Astronium urundeuva wood. J. Braz. Chem. Soc. 10 : 447-452.

Notka, F, GR. Meier, and R Wagner. 2003. Inhibition of wild-type hman

Immunodeficiency virus and reverse transcriptase inhibitor-resistant variants

By Phyllanthus amarus. Antiviral res. 58(2):175-186.

Obianime, A.W., F.I. Uche. 2008. The phytochemical screening and the effects of

methanolic extract of Phyllanthus amarus leaf on the Biochemical parameters of

Male guinea pigs. J. Appl Sci. Environ. Manage. 12(4)73-77.

Odetola,A.A., S.M. Akkojenu. 2000. Antidiarrhoeal and gastrointestinal potentials of the

aqueous extracts of Phyllanthus amarus (Euphorbiaceae). Afri. J. Med. Sci.

29:119-122.

Ogata, T, Higuchi H, Mochida S, Matsumoto H, Kato A, Endo T, Kaji A, and Kaji H.

1992. HIV-1 reverse transcriptase inhibitor from Phyllanthus ninuri. AIDS Res

Hum Retroviruses. 8(11):1937-1944.

Omar, A.R.A. A. Ideris, A. M. Ali F. Othman, K. Yussof, J.M. Abdullah, H.S. M Wali, M.

Zawawi and N. Mayyappan. 2003. An overview on the development of

Newcastle disease virus as an anti-cancer therapy. Malasian J. of Madical Sci. 10

(1) :4-12.

Ott, M, Thyagarajan SP and Gupta S. 1997. Phyllanthus amarus suppreses

hepatitis-B virus by interrupting interactions between HBV enhancer-1

and cellular transcription factors. Eur J. Clin Invest. 27(11):908-915.

Pedersen, J.C., D.A. Senne, P.R. Woolcock, H. Kinde, D.J. King, M.G. Wise, B.

Panigrahy and B.S. Seal. 2004. Phylogenic relationship among virulent

Newcastle disease virus isolates from the 2002-2003 outbreak in California and

other recent outbreak in North America. J. Clin Microbiol. 42 (5) : 2329-2334.

Pettit, GR, DchaulfelbergerDE, Nieman RA, Difresne C, and Saenz-Renauld

JA.1990. Antineoplastic agents. 177. Isolation and structure of

phyllanthostatin6. J. Nat Prod. 53(6):1406-1413.

Qureshi, S.A., W. Asad and V. Sultana, 2009. The effect of Phyllanthus emblica

Linn on type-II diabetes, triglycerides and liver-specific enzyme. Pak. J.

Nutr., 8: 125-128.

Roth, J.D.,B.L. Roland, R.L. Cole, J.L. Trevaskis, C. Weyer, J.E. Kode, C.M. Anderson,

D.G Parkes, and A.D Baron. 2008. Leptin responsiveness restored by amylin

agonism in diet-induced obesity: evidence from nonclinical and clinical studies.

Proc. Natl. Acad. Sci. USA. 105 (20): 7257-7262.

Sainis, K.B., P.F. Sumariwalla, A. Goel, G.J. Chintalwar, A.T. Sipahimalani, dan A.

Banarji. 1997. Immunomodulatory properties of stem extract of Tinospora

cordifolia: cell targets and active principles, in Immuno-modulation (Uphadayay

SN, Ed). Narosa Publishing House. New Delhi, India.

Saputra, K., Soeprapto M., Soedoko R. 2000. Terapi biologi untuk kanker.

Airlangga Univ. Pres. Surabaya.

Schunack, W.K., K. Mayer, dan M. Haake. 1990. Senyawa Obat. Gadjah Mada Univ.

Press. Yogyakarta.

44

Seal, B.S.D., D.J. King, D.P. Locke, D.A. Senne and M.W. Jackwood. 1998. Phylogenetic

relationship among highly virulent Newcastle disease virus Isolates obtained

from exotic birds and poultry from 1989 to 1996. J. Clin. Microbial. 36 : 1141-

1145.

Shen, B., J. Yu, S. Wang, E.S. Chu, V.W. Wong, X. Zhou, G. Lin, J.J. Sung, and H.L.

Chan. 2008. Phyllanthus urinaria ameliorates the severity of nutritional

steatohepatitis both in vitro and in vivo. J. Hepatology. 47(2):473-83

Sopandi, T . 2005. Pengaruh ekstraks etanol dari Daun Seligi Terhadap gambaran

darah Kelinci. LPPM. UPB. Surabaya.

Steel RGD dan J.H. Torrie. 1996. Prinsip dan Prosedur Statistika, suatu pendekatan

biometric, PT.Gramedia Pustaka Utama.Jakarta.

Sudaryani. 2003. Konsep Beternak Burung Puyuh. http://health.kompas.com

read/2011/06/03/13385556/Telur.Puyuh.Si.Mungil.

Suthienkul O, Miyasaki O, Chulisiri M, Kositanont U, dan Oishi K. 1993.

Retriviral reverse transcriptase inhibitory activity in Thai herbs and

spices:screening with Maloney murine leukemia viral enzim. Southeast

Asian J. Trop Med Public Health. 24)4):751-755.

Umbare, R.P., G.S. Mate, D.V. Jawalkar, S.M. Patil, dan S.S. Dongare. 2009. Quality

evaluation of Phyllanthus amarus (Schumach) leaves extract for its

hypolipidemic activity. J. Biology and Medicine. Vol. 1 (4) : 28-33.

Wardah, T. Sopandi, dan Wurlina. 2007. Identifikasi Senyawa Aktif Ekstrak Etanol Daun

Seligi dan Pengaruhnya terhadap Gambaran Serologi dan Hematologi Ayam

Broiler yang Diinfeksi oleh Virus Newcastle. J. Obat Bahan Alam. Vol. 6 (2) :

88-95.

Wardah. 2011. Kapasitasi Serbuk Daun Seligi (P. buxifolius) sebagai Imunostimulan

Herbal Penurun Kolesterol Daging Ayam Broiler. Laporan Hasil Penelitian

Fundamental. Untag. Surabaya.

Wardah, T. Sopandi, E.B. Aksono H., and Kusriningrum. 2012. Reduction of Intracellular

Lipid Accumulation, Serum Leptin and Cholesterol Levels in Broiler Fed Diet

Supplemented with Powder Leaves of P. buxifolius. Asian Journal of Agric. Res.

6 (3) : 106-117.

Wardah, T. Sopandi dan J. Rahmahani. 2015. Penggunaan Pakan Fungsional

Immunostimulan dan Penurun Kolesterol Telur Berbasis Serbuk Daun Seligi

Guna Mengatasi Kendala Ketersediaan Pakan dan Tingginya Mortalitas pada

Puyuh. Laporan Hasil Penelitian Strategis Nasional Tahun I. Untag. Surabaya.

Wirahadikusumah, M. 1985. Biokimia. Metabolisme energi, Karbohidrat dan Lipid.

Penerbit ITB. Bandung.

Zhang, LZ, Guo, YJ., Tu, GZ, Guo WB and Miao, F. 2000. Studies on chemical

Constituents of Phyllanthus urinaria L. Zhongguo Zhong Yao Za Zhi.

25 (10) : 615-617.

45

LAMPIRAN

46

Lampiran 1. Hasil Analisis Statistik

AST

Descriptive Statistics

Dependent Variable:AST

umur Seligi Mean Std. Deviation N

45 0 3.30947E2 26.863291 5

2 2.61211E2 9.851532 5

4 1.81693E2 22.063433 5

6 1.12781E2 18.026287 5

8 7.77843E1 21.702482 5

Total 1.92883E2 97.040362 25

105 0 3.19876E2 52.943197 5

2 1.15750E2 8.430185 5

4 6.08238E1 19.741816 5

6 5.41680E1 10.699443 5

8 5.71436E1 14.054278 5

Total 1.21552E2 106.657297 25

Total 0 3.25412E2 40.006763 10

2 1.88481E2 77.150354 10

4 1.21258E2 66.691385 10

6 8.34744E1 33.905672 10

8 6.74639E1 20.382928 10

Total 1.57218E2 107.154646 50

3. umur * Seligi

Dependent Variable:AST

umur Seligi Mean Std. Error

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

45 0 330.947 10.656 309.411 352.483

2 261.211 10.656 239.675 282.747

4 181.693 10.656 160.157 203.229

6 112.781 10.656 91.245 134.317

8 77.784 10.656 56.248 99.320

105 0 319.876 10.656 298.340 341.412

2 115.750 10.656 94.214 137.286

4 60.824 10.656 39.288 82.360

6 54.168 10.656 32.632 75.704

8 57.144 10.656 35.608 78.680

47

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:AST

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 539914.913a 9 59990.546 105.669 .000

Intercept 1235872.241 1 1235872.241 2.177E3 .000

umur 63601.131 1 63601.131 112.029 .000

Seligi 440534.134 4 110133.533 193.992 .000

umur * Seligi 35779.648 4 8944.912 15.756 .000

Error 22708.876 40 567.722

Total 1798496.030 50

Corrected Total 562623.789 49

a. R Squared = .960 (Adjusted R Squared = .951)

Multiple Comparisons

AST Tukey HSD

(I) Seligi (J) Seligi Mean Difference (I-

J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

0 2 136.93070* 1.065572E1 .000 106.49699 167.36441

4 204.15300* 1.065572E1 .000 173.71929 234.58671

6 241.93710* 1.065572E1 .000 211.50339 272.37081

8 257.94757* 1.065572E1 .000 227.51386 288.38128

2 0 -136.93070* 1.065572E1 .000 -167.36441 -106.49699

4 67.22230* 1.065572E1 .000 36.78859 97.65601

6 105.00640* 1.065572E1 .000 74.57269 135.44011

8 121.01687* 1.065572E1 .000 90.58316 151.45058

4 0 -204.15300* 1.065572E1 .000 -234.58671 -173.71929

2 -67.22230* 1.065572E1 .000 -97.65601 -36.78859

6 37.78410* 1.065572E1 .009 7.35039 68.21781

8 53.79457* 1.065572E1 .000 23.36086 84.22828

6 0 -241.93710* 1.065572E1 .000 -272.37081 -211.50339

2 -105.00640* 1.065572E1 .000 -135.44011 -74.57269

4 -37.78410* 1.065572E1 .009 -68.21781 -7.35039

8 16.01047 1.065572E1 .567 -14.42324 46.44418

8 0 -257.94757* 1.065572E1 .000 -288.38128 -227.51386

2 -121.01687* 1.065572E1 .000 -151.45058 -90.58316

4 -53.79457* 1.065572E1 .000 -84.22828 -23.36086

6 -16.01047 1.065572E1 .567 -46.44418 14.42324

Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 567.722.

*. The mean difference is significant at the .05 level.

AST

Tukey HSD

Seligi N

Subset

1 2 3 4

8 10 6.74639E1

6 10 8.34744E1

4 10 1.21258E2

2 10 1.88481E2

0 10 3.25412E2

Sig. .567 1.000 1.000 1.000

eans for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 567.722.

48

ALT

Descriptive Statistics

Dependent Variable:ALT

umur Seligi Mean Std. Deviation N

45 0 3.01912E2 31.979367 5

2 1.50501E2 26.117530 5

4 1.17268E2 8.530879 5

6 6.74678E1 18.688520 5

8 6.40318E1 17.317007 5

Total 1.40236E2 91.076605 25

105 0 4.34315E2 195.587193 5

2 1.29134E2 46.491284 5

4 2.21050E1 7.886960 5

6 1.27637E2 124.034338 5

8 2.00183E2 40.078453 5

Total 1.82675E2 171.563213 25

Total 0 3.68114E2 149.419062 10

2 1.39818E2 37.291126 10

4 6.96867E1 50.750043 10

6 9.75524E1 89.433988 10

8 1.32108E2 77.436562 10

Total 1.61456E2 137.618683 50

Descriptive Statistics

Dependent Variable:ALT

Seligi Mean Std. Deviation N

0 3.68114E2 149.419062 10

2 1.39818E2 37.291126 10

4 6.96867E1 50.750043 10

6 9.75524E1 89.433988 10

8 1.32108E2 77.436562 10

Total 1.61456E2 137.618683 50

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:ALT

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 688424.136a 9 76491.571 12.771 .000

Intercept 1303396.184 1 1303396.184 217.612 .000

umur 22512.977 1 22512.977 3.759 .060

Seligi 565422.198 4 141355.549 23.600 .000

umur * Seligi 100488.961 4 25122.240 4.194 .006

Error 239582.056 40 5989.551

Total 2231402.375 50

Corrected Total 928006.191 49

a. R Squared = .742 (Adjusted R Squared = .684)

49

Multiple Comparisons

ALT

Tukey HSD

(I) Seligi (J) Seligi Mean Difference (I-

J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

0 2 228.29590* 4.014330E1 .000 114.23073 342.36107

4 298.42700* 4.014330E1 .000 184.36183 412.49217

6 270.56130* 4.014330E1 .000 156.49613 384.62647

8 236.00610* 4.014330E1 .000 121.94093 350.07127

2 0 -228.29590* 4.014330E1 .000 -342.36107 -114.23073

4 70.13110 4.014330E1 .417 -43.93407 184.19627

6 42.26540 4.014330E1 .829 -71.79977 156.33057

8 7.71020 4.014330E1 1.000 -106.35497 121.77537

4 0 -298.42700* 4.014330E1 .000 -412.49217 -184.36183

2 -70.13110 4.014330E1 .417 -184.19627 43.93407

6 -27.86570 4.014330E1 .957 -141.93087 86.19947

8 -62.42090 4.014330E1 .533 -176.48607 51.64427

6 0 -270.56130* 4.014330E1 .000 -384.62647 -156.49613

2 -42.26540 4.014330E1 .829 -156.33057 71.79977

4 27.86570 4.014330E1 .957 -86.19947 141.93087

8 -34.55520 4.014330E1 .910 -148.62037 79.50997

8 0 -236.00610* 4.014330E1 .000 -350.07127 -121.94093

2 -7.71020 4.014330E1 1.000 -121.77537 106.35497

4 62.42090 4.014330E1 .533 -51.64427 176.48607

6 34.55520 4.014330E1 .910 -79.50997 148.62037

Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 8057.422.

*. The mean difference is significant at the .05 level.

Homogeneous Subsets

ALT

Tukey HSD

Seligi N

Subset

1 2

4 10 6.96867E1

6 10 9.75524E1

8 10 1.32108E2

2 10 1.39818E2

0 10 3.68114E2

Sig. .417 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = 8057.422.

50

Eritrosit Descriptive Statistics

Dependent Variable:Eritrosit

Seligi umur Mean Std. Deviation N

0 45 2.6980 .29269 5

105 1.5140 .30072 5

Total 2.1060 .68386 10

2 45 3.2940 .16547 5

105 3.2640 .24775 5

Total 3.2790 .19925 10

4 45 3.0400 .29933 5

105 3.2200 .25328 5

Total 3.1300 .27809 10

6 45 3.2680 .20753 5

105 2.8160 .17387 5

Total 3.0420 .29888 10

8 45 2.3420 .26556 5

105 2.2120 .21159 5

Total 2.2770 .23650 10

Total 45 2.9284 .43574 25

105 2.6052 .71217 25

Total 2.7668 .60669 50

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Eritrosit

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 12.771a 5 2.554 21.350 .000

Intercept 382.759 1 382.759 3.199E3 .000

Seligi 11.466 4 2.866 23.959 .000

umur 1.306 1 1.306 10.914 .002

Error 5.264 44 .120

Total 400.794 50

Corrected Total 18.035 49

a. R Squared = .708 (Adjusted R Squared = .675)

Multiple Comparisons

Eritrosit

Tukey HSD

(I) Seligi (J) Seligi

Mean Difference (I-

J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

0 2 -1.1730* .15468 .000 -1.6129 -.7331

4 -1.0240* .15468 .000 -1.4639 -.5841

6 -.9360* .15468 .000 -1.3759 -.4961

8 -.1710 .15468 .803 -.6109 .2689

2 0 1.1730* .15468 .000 .7331 1.6129

4 .1490 .15468 .870 -.2909 .5889

6 .2370 .15468 .548 -.2029 .6769

8 1.0020* .15468 .000 .5621 1.4419

4 0 1.0240* .15468 .000 .5841 1.4639

2 -.1490 .15468 .870 -.5889 .2909

6 .0880 .15468 .979 -.3519 .5279

51

8 .8530* .15468 .000 .4131 1.2929

6 0 .9360* .15468 .000 .4961 1.3759

2 -.2370 .15468 .548 -.6769 .2029

4 -.0880 .15468 .979 -.5279 .3519

8 .7650* .15468 .000 .3251 1.2049

8 0 .1710 .15468 .803 -.2689 .6109

2 -1.0020* .15468 .000 -1.4419 -.5621

4 -.8530* .15468 .000 -1.2929 -.4131

6 -.7650* .15468 .000 -1.2049 -.3251

Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .120.

*. The mean difference is significant at the .05 level.

Homogeneous Subsets

Eritrosit

Tukey HSD

Seligi N

Subset

1 2

0 10 2.1060

8 10 2.2770

6 10 3.0420

4 10 3.1300

2 10 3.2790

Sig. .803 .548

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = .120.

Leukosit

Descriptive Statistics

Dependent Variable:Leukosit

Seligi umur Mean Std. Deviation N

0 45 23.6600 1.68196 5

105 19.6240 1.67113 5

Total 21.6420 2.65016 10

2 45 22.3400 2.40248 5

105 27.5220 2.94381 5

Total 24.9310 3.72506 10

4 45 19.7940 1.09054 5

105 28.7320 2.87098 5

Total 24.2630 5.13644 10

6 45 12.3072 6.95180 5

105 23.8480 2.19780 5

Total 18.0776 7.78608 10

8 45 9.4300 1.17735 5

105 21.2200 1.80000 5

Total 15.3250 6.37717 10

Total 45 17.5062 6.55627 25

105 24.1892 4.17671 25

Total 20.8477 6.40246 50

52

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Leukosit

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 1229.696a 5 245.939 13.893 .000

Intercept 21731.371 1 21731.371 1.228E3 .000

Seligi 671.422 4 167.855 9.482 .000

umur 558.274 1 558.274 31.537 .000

Error 778.888 44 17.702

Total 23739.956 50

Corrected Total 2008.585 49

a. R Squared = .612 (Adjusted R Squared = .568)

Multiple Comparisons

Leukosit Tukey HSD

(I) Seligi (J) Seligi

Mean Difference (I-

J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

0 2 -3.2890 1.88160 .416 -8.6405 2.0625

4 -2.6210 1.88160 .635 -7.9725 2.7305

6 3.5644 1.88160 .335 -1.7871 8.9159

8 6.3170* 1.88160 .013 .9655 11.6685

2 0 3.2890 1.88160 .416 -2.0625 8.6405

4 .6680 1.88160 .996 -4.6835 6.0195

6 6.8534* 1.88160 .006 1.5019 12.2049

8 9.6060* 1.88160 .000 4.2545 14.9575

4 0 2.6210 1.88160 .635 -2.7305 7.9725

2 -.6680 1.88160 .996 -6.0195 4.6835

6 6.1854* 1.88160 .016 .8339 11.5369

8 8.9380* 1.88160 .000 3.5865 14.2895

6 0 -3.5644 1.88160 .335 -8.9159 1.7871

2 -6.8534* 1.88160 .006 -12.2049 -1.5019

4 -6.1854* 1.88160 .016 -11.5369 -.8339

8 2.7526 1.88160 .591 -2.5989 8.1041

8 0 -6.3170* 1.88160 .013 -11.6685 -.9655

2 -9.6060* 1.88160 .000 -14.9575 -4.2545

4 -8.9380* 1.88160 .000 -14.2895 -3.5865

6 -2.7526 1.88160 .591 -8.1041 2.5989

Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = 17.702.

*. The mean difference is significant at the .05 level.

53

Homogeneous Subsets

Leukosit

Tukey HSD

Seligi N

Subset

1 2 3

8 10 15.3250

6 10 18.0776 18.0776

0 10 21.6420 21.6420

4 10 24.2630

2 10 24.9310

Sig. .591 .335 .416

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 17.702.

Trombosit

Descriptive Statistics

Dependent Variable:Trombosit

Seligi umur Mean Std. Deviation N

0 45 29.8000 3.27109 5

105 32.6000 2.50998 5

Total 31.2000 3.11983 10

2 45 12.6000 1.67332 5

105 13.6000 2.07364 5

Total 13.1000 1.85293 10

4 45 16.4000 4.56070 5

105 18.2000 4.02492 5

Total 17.3000 4.16467 10

6 45 13.2000 1.30384 5

105 14.2000 1.92354 5

Total 13.7000 1.63639 10

8 45 11.4000 2.07364 5

105 14.6000 1.34164 5

Total 13.0000 2.35702 10

Total 45 16.6800 7.37518 25

105 18.6400 7.66964 25

Total 17.6600 7.51219 50

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Trombosit

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 2464.540a 5 492.908 72.130 .000

Intercept 15593.780 1 15593.780 2.282E3 .000

Seligi 2416.520 4 604.130 88.405 .000

umur 48.020 1 48.020 7.027 .011

Error 300.680 44 6.834

Total 18359.000 50

Corrected Total 2765.220 49

a. R Squared = .891 (Adjusted R Squared = .879)

54

Multiple Comparisons

Trombosit Tukey HSD

(I) Seligi (J) Seligi

Mean Difference (I-

J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

0 2 18.1000* 1.16907 .000 14.7750 21.4250

4 13.9000* 1.16907 .000 10.5750 17.2250

6 17.5000* 1.16907 .000 14.1750 20.8250

8 18.2000* 1.16907 .000 14.8750 21.5250

2 0 -18.1000* 1.16907 .000 -21.4250 -14.7750

4 -4.2000* 1.16907 .007 -7.5250 -.8750

6 -.6000 1.16907 .986 -3.9250 2.7250

8 .1000 1.16907 1.000 -3.2250 3.4250

4 0 -13.9000* 1.16907 .000 -17.2250 -10.5750

2 4.2000* 1.16907 .007 .8750 7.5250

6 3.6000* 1.16907 .028 .2750 6.9250

8 4.3000* 1.16907 .005 .9750 7.6250

6 0 -17.5000* 1.16907 .000 -20.8250 -14.1750

2 .6000 1.16907 .986 -2.7250 3.9250

4 -3.6000* 1.16907 .028 -6.9250 -.2750

8 .7000 1.16907 .975 -2.6250 4.0250

8 0 -18.2000* 1.16907 .000 -21.5250 -14.8750

2 -.1000 1.16907 1.000 -3.4250 3.2250

4 -4.3000* 1.16907 .005 -7.6250 -.9750

6 -.7000 1.16907 .975 -4.0250 2.6250

Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = 6.834.

*. The mean difference is significant at the .05 level.

Homogeneous Subsets Trombosit

Tukey HSD

Seligi N

Subset

1 2 3

8 10 13.0000

2 10 13.1000

6 10 13.7000

4 10 17.3000

0 10 31.2000

Sig. .975 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = 6.834.

55

Eosinofil

Descriptive Statistics

Dependent Variable:Eosinofil

Seligi umur Mean Std. Deviation N

0 45 .0000 .00000 5

105 17.6000 1.94936 5

Total 8.8000 9.36661 10

2 45 .0000 .00000 5

105 5.6000 4.82701 5

Total 2.8000 4.36654 10

4 45 .0000 .00000 5

105 8.6000 5.85662 5

Total 4.3000 5.98238 10

6 45 .0000 .00000 5

105 5.8000 3.70135 5

Total 2.9000 3.92853 10

8 45 .0000 .00000 5

105 2.4000 2.60768 5

Total 1.2000 2.14994 10

Total 45 .0000 .00000 25

105 8.0000 6.45497 25

Total 4.0000 6.06092 50

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Eosinofil

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 1136.200a 5 227.240 15.063 .000

Intercept 800.000 1 800.000 53.028 .000

Seligi 336.200 4 84.050 5.571 .001

umur 800.000 1 800.000 53.028 .000

Error 663.800 44 15.086

Total 2600.000 50

Corrected Total 1800.000 49

a. R Squared = .631 (Adjusted R Squared = .589)

Multiple Comparisons

Eosinofil

Tukey HSD

(I) Seligi (J) Seligi

Mean Difference (I-

J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

0 2 6.0000* 1.73703 .010 1.0597 10.9403

4 4.5000 1.73703 .090 -.4403 9.4403

6 5.9000* 1.73703 .012 .9597 10.8403

8 7.6000* 1.73703 .001 2.6597 12.5403

2 0 -6.0000* 1.73703 .010 -10.9403 -1.0597

4 -1.5000 1.73703 .909 -6.4403 3.4403

6 -.1000 1.73703 1.000 -5.0403 4.8403

8 1.6000 1.73703 .887 -3.3403 6.5403

4 0 -4.5000 1.73703 .090 -9.4403 .4403

2 1.5000 1.73703 .909 -3.4403 6.4403

56

6 1.4000 1.73703 .927 -3.5403 6.3403

8 3.1000 1.73703 .395 -1.8403 8.0403

6 0 -5.9000* 1.73703 .012 -10.8403 -.9597

2 .1000 1.73703 1.000 -4.8403 5.0403

4 -1.4000 1.73703 .927 -6.3403 3.5403

8 1.7000 1.73703 .863 -3.2403 6.6403

8 0 -7.6000* 1.73703 .001 -12.5403 -2.6597

2 -1.6000 1.73703 .887 -6.5403 3.3403

4 -3.1000 1.73703 .395 -8.0403 1.8403

6 -1.7000 1.73703 .863 -6.6403 3.2403

Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 15.086.

*. The mean difference is significant at the .05 level.

Homogeneous Subsets

Eosinofil

Tukey HSD

Seligi N

Subset

1 2

8 10 1.2000

2 10 2.8000

6 10 2.9000

4 10 4.3000 4.3000

0 10 8.8000

Sig. .395 .090

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = 15.086.

Basofil

Descriptive Statistics

Dependent Variable:Basofil

Seligi umur Mean Std. Deviation N

0 45 .0000 .00000 5

105 .6000 1.34164 5

Total .3000 .94868 10

2 45 .0000 .00000 5

105 1.0000 1.41421 5

Total .5000 1.08012 10

4 45 .0000 .00000 5

105 .4000 .54772 5

Total .2000 .42164 10

6 45 .1800 .04472 5

105 .2000 .44721 5

Total .1900 .29981 10

8 45 .2200 .16432 5

105 1.2000 1.30384 5

Total .7100 1.01702 10

Total 45 .0800 .12247 25

105 .6800 1.06927 25

Total .3800 .81190 50

57

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Basofil

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 6.482a 5 1.296 2.209 .070

Intercept 7.220 1 7.220 12.305 .001

Seligi 1.982 4 .496 .844 .505

umur 4.500 1 4.500 7.669 .008

Error 25.818 44 .587

Total 39.520 50

Corrected Total 32.300 49

a. R Squared = .201 (Adjusted R Squared = .110)

Multiple Comparisons

Basofil

Tukey HSD

(I) Seligi (J) Seligi Mean Difference (I-

J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

0 2 -.2000 .34257 .977 -1.1743 .7743

4 .1000 .34257 .998 -.8743 1.0743

6 .1100 .34257 .998 -.8643 1.0843

8 -.4100 .34257 .753 -1.3843 .5643

2 0 .2000 .34257 .977 -.7743 1.1743

4 .3000 .34257 .904 -.6743 1.2743

6 .3100 .34257 .893 -.6643 1.2843

8 -.2100 .34257 .972 -1.1843 .7643

4 0 -.1000 .34257 .998 -1.0743 .8743

2 -.3000 .34257 .904 -1.2743 .6743

6 .0100 .34257 1.000 -.9643 .9843

8 -.5100 .34257 .575 -1.4843 .4643

6 0 -.1100 .34257 .998 -1.0843 .8643

2 -.3100 .34257 .893 -1.2843 .6643

4 -.0100 .34257 1.000 -.9843 .9643

8 -.5200 .34257 .557 -1.4943 .4543

8 0 .4100 .34257 .753 -.5643 1.3843

2 .2100 .34257 .972 -.7643 1.1843

4 .5100 .34257 .575 -.4643 1.4843

6 .5200 .34257 .557 -.4543 1.4943

Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = .587.

58

Homogeneous Subsets

Basofil

Tukey HSD

Seligi N

Subset

1

6 10 .1900

4 10 .2000

0 10 .3000

2 10 .5000

8 10 .7100

Sig. .557

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .587.

Neutrofil

Descriptive Statistics

Dependent Variable:Neutrofil

Seligi umur Mean Std. Deviation N

0 45 51.8000 6.14003 5

105 51.8000 6.14003 5

Total 51.8000 5.78888 10

2 45 29.0000 2.23607 5

105 29.0000 2.23607 5

Total 29.0000 2.10819 10

4 45 28.4000 10.13903 5

105 28.4000 10.13903 5

Total 28.4000 9.55917 10

6 45 24.3400 3.68348 5

105 24.3400 3.68348 5

Total 24.3400 3.47282 10

8 45 50.9000 4.10853 5

105 50.9000 4.10853 5

Total 50.9000 3.87356 10

Total 45 36.8880 13.31651 25

105 36.8880 13.31651 25

Total 36.8880 13.17993 50

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Neutrofil

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 7104.229a 5 1420.846 44.415 .000

Intercept 68036.227 1 68036.227 2.127E3 .000

Seligi 7104.229 4 1776.057 55.518 .000

umur .000 1 .000 .000 1.000

Error 1407.584 44 31.991

Total 76548.040 50

Corrected Total 8511.813 49

a. R Squared = .835 (Adjusted R Squared = .816)

59

Multiple Comparisons

Neutrofil

Tukey HSD

(I) Seligi (J) Seligi Mean Difference (I-

J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

0 2 22.8000* 2.52945 .000 15.6060 29.9940

4 23.4000* 2.52945 .000 16.2060 30.5940

6 27.4600* 2.52945 .000 20.2660 34.6540

8 .9000 2.52945 .996 -6.2940 8.0940

2 0 -22.8000* 2.52945 .000 -29.9940 -15.6060

4 .6000 2.52945 .999 -6.5940 7.7940

6 4.6600 2.52945 .363 -2.5340 11.8540

8 -21.9000* 2.52945 .000 -29.0940 -14.7060

4 0 -23.4000* 2.52945 .000 -30.5940 -16.2060

2 -.6000 2.52945 .999 -7.7940 6.5940

6 4.0600 2.52945 .502 -3.1340 11.2540

8 -22.5000* 2.52945 .000 -29.6940 -15.3060

6 0 -27.4600* 2.52945 .000 -34.6540 -20.2660

2 -4.6600 2.52945 .363 -11.8540 2.5340

4 -4.0600 2.52945 .502 -11.2540 3.1340

8 -26.5600* 2.52945 .000 -33.7540 -19.3660

8 0 -.9000 2.52945 .996 -8.0940 6.2940

2 21.9000* 2.52945 .000 14.7060 29.0940

4 22.5000* 2.52945 .000 15.3060 29.6940

6 26.5600* 2.52945 .000 19.3660 33.7540

Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 31.991.

*. The mean difference is significant at the .05 level.

Homogeneous Subsets

Neutrofil

Tukey HSD

Seligi N

Subset

1 2

6 10 24.3400

4 10 28.4000

2 10 29.0000

8 10 50.9000

0 10 51.8000

Sig. .363 .996

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = 31.991.

Limfosit

Descriptive Statistics

Dependent Variable:Limfosit

Seligi umur Mean Std. Deviation N

0 45 73.0000 13.41641 5

105 45.8000 6.61060 5

Total 59.4000 17.46234 10

2 45 48.6000 4.39318 5

105 45.8000 4.38178 5

60

Total 47.2000 4.39191 10

4 45 48.6000 1.24499 5

105 54.4000 4.39318 5

Total 51.5000 4.31406 10

6 45 63.2000 17.50543 5

105 56.2000 3.42053 5

Total 59.7000 12.45017 10

8 45 60.6200 10.35625 5

105 53.4000 3.64692 5

Total 57.0100 8.24977 10

Total 45 58.8040 13.87463 25

105 51.1200 6.19355 25

Total 54.9620 11.31986 50

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Limfosit

Source Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 1923.777a 5 384.755 3.887 .005

Intercept 151041.072 1 151041.072 1.526E3 .000

Seligi 1185.729 4 296.432 2.995 .029

umur 738.048 1 738.048 7.457 .009

Error 4355.041 44 98.978

Total 157319.890 50

Corrected Total 6278.818 49

a. R Squared = .306 (Adjusted R Squared = .228)

Multiple Comparisons

Limfosit

Tukey HSD

(I) Seligi (J) Seligi

Mean Difference (I-

J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

0 2 12.2000 4.44923 .064 -.4541 24.8541

4 7.9000 4.44923 .400 -4.7541 20.5541

6 -.3000 4.44923 1.000 -12.9541 12.3541

8 2.3900 4.44923 .983 -10.2641 15.0441

2 0 -12.2000 4.44923 .064 -24.8541 .4541

4 -4.3000 4.44923 .869 -16.9541 8.3541

6 -12.5000 4.44923 .054 -25.1541 .1541

8 -9.8100 4.44923 .197 -22.4641 2.8441

4 0 -7.9000 4.44923 .400 -20.5541 4.7541

2 4.3000 4.44923 .869 -8.3541 16.9541

6 -8.2000 4.44923 .363 -20.8541 4.4541

8 -5.5100 4.44923 .729 -18.1641 7.1441

6 0 .3000 4.44923 1.000 -12.3541 12.9541

2 12.5000 4.44923 .054 -.1541 25.1541

4 8.2000 4.44923 .363 -4.4541 20.8541

8 2.6900 4.44923 .974 -9.9641 15.3441

8 0 -2.3900 4.44923 .983 -15.0441 10.2641

2 9.8100 4.44923 .197 -2.8441 22.4641

4 5.5100 4.44923 .729 -7.1441 18.1641

6 -2.6900 4.44923 .974 -15.3441 9.9641

Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 98.978.

61

Limfosit

Tukey HSD

Seligi N

Subset

1

2 10 47.2000

4 10 51.5000

8 10 57.0100

0 10 59.4000

6 10 59.7000

Sig. .054

Means for groups in homogeneous subsets are

displayed.

Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 98.978.

Monosit Descriptive Statistics

Dependent Variable:Monosit

Seligi umur Mean Std. Deviation N

0 45 .0000 .00000 5

105 .8000 1.09545 5

Total .4000 .84327 10

2 45 .4200 .08367 5

105 .2000 .44721 5

Total .3100 .32472 10

4 45 .2000 .18708 5

105 .6000 .89443 5

Total .4000 .64464 10

6 45 .0400 .05477 5

105 .8000 .83666 5

Total .4200 .68767 10

8 45 .1800 .10954 5

105 1.0000 .70711 5

Total .5900 .64369 10

Total 45 .1680 .17963 25

105 .6800 .80208 25

Total .4240 .63070 50

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Monosit

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 3.694a 5 .739 2.058 .089

Intercept 8.989 1 8.989 25.037 .000

Seligi .417 4 .104 .291 .883

umur 3.277 1 3.277 9.127 .004

Error 15.797 44 .359

Total 28.480 50

Corrected Total 19.491 49

a. R Squared = .190 (Adjusted R Squared = .097)

62

Monosit

Tukey HSD

Seligi N

Subset

1

2 10 .3100

0 10 .4000

4 10 .4000

6 10 .4200

8 10 .5900

Sig. .833

Means for groups in homogeneous subsets are

displayed.

Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .359.

63

Lampiran 2. Pelaksanaan Penelitian

A. Proses pembuatan pellet pakan komersial puyuh yang diberi suplemen serbuk daun

seligi dengan takaran yang berbeda

daun seligi dan tangkai daun seligi tanpa tangkai daun seligi kering dan serbuk

pencampuran bahan dan serbuk pencampuran bahan secara manual penimbangan

dengan mesin

penyiapan mesin proses pelleting hasil pellet pakan

Sampel siap dianalisis

64

B. Penyiapan kandang, pemeliharaan puyuh dan produkdi telur

C. Proses vaksinasi pada puyuh

D. Pengambilan darah ternak untuk uji serologi dan hematologi

65

Lampiran 3. Draft Artikel Jurnal Internasional

ANTIBODY RESPONS AND IMMUNITY OF QUAIL (Coturnix coturnix japonica )

DIET Phyllanthus buxifolius LEAF AS FEED SUPPLEMENT

Wardah

1,4 , J. Rahmahani

2 and T. Sopandi

3

1

Departments of Development Economic, Faculty of Economic, 17 Agustus 1945 University, Surabaya,

Indonesia 2 Departments of Veterinary Microbiology, Faculty of Veterinary Medicine, Airlangga University, Indonesia

3 Departments of Biology, Faculty of Mathematical and Natural Science, PGRI Adi Buana University,

Surabaya, Indonesia 4 Corresponding Author : e-mail : [email protected]

_______________________________________________________________________

ABSTRACT.

KEY WORDS : Antibody, immunity, C. coturnix japonica and P.buxifolius,

Introduction

Newcastle disease (ND) is one of the major infectious disease affecting poultry with mortality and

morbidity rates are high even reach 50-100% (Hashmi, 1999 and Pedersen et al., 2004). Although

he has done a good farm management practices, vaccination programs and improved hygiene,

Newcastle disease is still a health problem that is economically harmful livestock breeding

industry, especially poultry (Hashmi, 1999). Vaccination programs have been implemented to

combat Newcastle disease with various types or kinds of vaccines and vaccine timetable.

Nevertheless, the death of cattle due to ND virus still occur. In fact it has been reported that 40%

of chicken deaths due to AI viruses and 60% due to the ND virus.

In Indonesia, the high mortality of quail due to the disease primarily Newcastle disease (ND) and

avian influenza (AI) viruses is a major problem faced quail breeders. Viral infection of the quail

also received attention because considered it as important carriers for ND virus (Lima et al., 2004).

Quails were found to acquire the natural infection with a velogenic strain of ND virus (CzirJac et

al., 2007; Lima et al., 2004; Sa'idu, 2004). Conventional control strategies in poultry based on

surveillance, stamping out, movement restriction and enforcement of biosecurity measures did not

prevent the virus spreading, particularly in developing countries (Abdelwahab and Hafez, 2012).

There are several causes of failures of vaccination programs in protecting poultry against ND virus

attacks. First, vaccination failed to provoke the formation of antibodies to the level of protection

due to low antigen, which is not benas vaccine handling, fault vaccination procedure. Second, the

ND virus affecting chickens before the immune response is formed. Third, the rapid decline in

antibody titre, so the immunity level below the level of protection against virus attacks ND. In

addition, among the investigators at the time this happened concerns about increased resistance of

the ND virus. Jeffrey (2003) reported that there had been attacks by exotic ND virus on chicken

66

farms with a mortality of more than 90% in Souther California in 2002. In some states in the

United States have also found the virulence of virus isolates ND (Pedersen et al., 2004 ).

Immunostimulation in poultry could lead an increase in antibody production as well as increased

phagocytosis by macrophages (Hashmi, 1999). The immune system in the body naturally helpful

in the prevention of disease caused by infection. But the immune system naturally formed in the

body of cattle are inadequate, necessitating their immune system from outside the body is safe to

eat cattle. The immune response of the body will be increased by administering compounds

immunostimulation move.

Herbal remedies, including traditional Chinese Medicine (TCM) have also been suggested as

alternatives (Wang et al., 2006) to prevent the virus spreading and infecting. Various polyphenols

are present and the antiviral activities have been attributed to plant medicinal (Hudson, 2009).

Phyllanthus buxifolius is a medicinal plant and has been widely used to treat various diseases by

Indonesian people and this plant leaf known contain flavonoid, polyphenol, saponin, alkaloids,

quionones, steroids and triterpenoids (Wardah et al., 2007). Provision of natural herb that have

potential antilipidemic effect. The use of natural feed supplements have the potential to lower

cholesterol, are easily available at low cost is expected to lowering cholesterol of egg and increase

the immune of poultry. Natural antioxidants have been to offer vast array of health effects

including lowering the cholesterol level (Nurhuda et al., 2012).

Phyllanthus genus contains many medicinal secondary metabolits (Zhang et al., 2000).

Phyllanthus known have functional and activity of immunocompetent cells, immunotherapy and

potentially as antihiperlipidemik and antikolesterolemik in blood (Adeneye, 2006; Obianime et al.,

2008; Umbare et al., 2009). P. buxifolius (family : Euphorbiaceae) is madicinal plant and has been

widely used to treat various types of deseases by Indonesia people. Phyllanthus buxifolius leaf

contain the flavonoids, polyphenols, tannins, saponins, alkaloids, quinones and steroid

triterpenoids, which can nourish the liver and tissues of animals, do not cause infection and

inflammation (inflammatory) that is safe for consumption poultry as well as lowering blood

cholesterol levels in broiler chickens (Wardah et al., 2007). This study aimed to examine the effect

P. buxifolius leaf powder in feed on increase serology, hematology and immunity in blood of C.

coturnix japonica.

Material and methods

Preparation of P. buxifolius

Locally farm-sourced P. buxifolius from Sumberingin, Sanankulon, Blitar, Indonesia, were air-

dried for 6 d, oven- dried at 50-60oC for 4 h and then grounded to approximately 2-mm diameter

particles using a mill. Powder of P. buxifolius leaf were added to commercial feed quail (0.0,

2.0, 4.0, 6.0 and 8.0% ), mixed and re-crumbling. The crumble of feed after adding powder P.

buxifolius leaf were chemicals analysis to determination of crude protein and fat, phosphorus, acid

67

detergent fiber (ADF), neutral detergent fiber (NDF), cellulose, hemicellulose, silica, pectin and

lignin and metabolic compound : flavonoids, tannins and saponins. The commercial basal diets

(Table 1) were supplemented with powder of P. buxifolius leaf at 0%, 2.0%, 4.0%, 6.0%, or 8.0%

for a total of 5 treatments.

Table 1. Chemical composition of basal fed diet supplemention powder of P. buxifolius leaf

base on dry weight

Component

Composition (%) of commercial basal fed diet plus

powder of P. buxifolius leaf

0 2 4 6 8

Crude protein 22,39 22,56 23,48 23,77 23,07

Crude fat 7,61 7,44 7,39 7,29 7,25

Carbohydrate 58,22 59,08 59,71 60,98 62,88

NDF 15,76 15,96 15,24 19,21 19,31

ADF 6,33 7,60 7,29 7,37 7,17

Hemicellulose 6,53 7,04 7.97 8,33 9,76

Cellulose 4,31 4,71 4,99 5,21 5,33

silica 0.24 0,19 0,18 0,20 0,30

Lignin 2,97 3,23 3,80 5,88 6,81

Pectine 0,398 3,98 7,95 8,67 8,91 Total Flavonoid Ekuivalen Rutin 0,06 0,23 0,55 0,73 0,75

Tannin Total Ekuivalen Tannic Acid 1,14 1,75 2,53 2,74 2,97

Saponin from Quillaja bark 2,05 3,42 4,45 5,56 5,75

Birds, housing and feeding

One hundred DOQ (Day Old Quail) obtained from locally breeder were acclimatized for 2 w in

collective bamboos cages and then selected 75 quails female which have same weight relatively,

randomized and transferred to individual cages (130 cm2 per head). At the age of 15 d, quail were

divided into 5 group and each group diet commercial feed mixed 0, 2, 4, 6 and 8% leaf powder P.

buxifolius. All quail reared at same condition, at temperature of 28 to 33 °C, the lighting regime

consisted of 16 h of light and 8 h of darkness, and ad libitum feeding and drinking and all quail

reared for 90 d.

0.06 0.23 0.55 0.73 0.75

1.14

1.75

2.53 2.74 2.97

2.05

3.42

4.45

5.56 5.75

0

1

2

3

4

5

6

7

0.000.501.001.502.002.503.003.504.004.505.005.506.006.507.00

Tannin (%)

Flavonoid (%)

Saponin (%)

68

Haemoagglutination of titre (HA/HI titre)

Haemogglutination inhibition test (HA / HI titre) carried out according to that described by

Hashmi (1999). A total of 8 ml blood of healthy quail without anticoagulant centrifuged at 2000

rpm for 10 minutes. Supernatant is taken with a sterile pipette and put into a tube containing 5 ml

of normal saline. Tubes then centrifuged at 2000 rpm for 10 minutes, the work is repeated 3 times

so that a supernatant of RBC. In the ND virus vaccine vial at a dose of 100 added 1 ml of normal

saline. Furthermore, 50 mL of normal saline is pipetted into the 1-12 well plate and added 50 mL

of antigen in each well and homogenized. After a homogeneous suspension was added 50 mL of

1% RBC and mixed. Well plate and incubated at room temperature is observed every 10-15

minutes. Dilution of the virus will cause haemogglutintion.

Haemogglutinaion titre determination described by Alan et al. (1978), prior to the tests, serum

samples in thawing in water bath at a temperature of 560C for 30 minutes to destroy non-specific

agglutinin. By using multichanell dispenser, 50 ml normal saline at 1-12 plete didispensi

mikrotitre and added 50 mL of serum samples on each plate and dilution 2 times. Furthermore, 50

ml of antigen (vaccine) was added to the well plate except the first plate and added 50 mL of RBC

suspense. Plate was incubated at room temperature for 15-30 minutes until the bottom is formed

formations.

Aspartate Transaminase (AST)

Analysis of amino transerase aspartate (AST) is done in accordance with the diagnostic kit catalog

No. E ASTR 100 (EnzyChrom Aspartate Transaminase Assay Kit 100 T). A total of 1000 mL of

Reagent A (L-aspartate and NADH) inserted into the cuvette. Serum samples of 100 mL which

was centrifuged, included in the cuvette and incubated at 37 ° C for one minute. Further reagent B

(2-Oxaloglutarat and LDH) as 250μL added, mixed and incubated for one minute at room

temperature. The results are read with a spectrophotometer at a wavelength (λ) of 340 nm and a

decrease in absorbance after 3 minutes.

Alanine Transaminase (ALT)

Analysis of transerase amino alanine (ALT) is also carried out in accordance with the diagnostic

kit catalog No. E ALTR 100 (Alanine transaminase EnzyChrom Assay Kit 100 T). A total of 1000

mL of Reagent A (L-alanine and NADH) inserted into the cuvette. Serum samples of 100 mL

which was centrifuged, included in the cuvette and incubated at 37 ° C for one minute. Further

reagent B (2-Oxaloglutarat and LDH) as 250μL added, mixed and incubated for one minute at

room temperature. The results are read with a spectrophotometer at a wavelength (λ) of 340 nm

and a decrease in absorbance after 3 minutes.

69

Leukocytes and Differential Leucocytes

Total leukocytes (TLC), the differential leukocytes (DLC), monocyte and lymphocyte of blood

quail was observed at the age of 45 and 90 d (before and after chellence test). Aseptically, 3 mL

blood was taken from vena brachiali, transfered to tube reaction containing EDTA and mixed.

The mixture (0.5 mL) taken by pippete and dilution with Turk solvent (10 mL). Blood shaken for

3 min until homogen, 2-3 drops of blood placed onto counting chamber and laydown for 1 min.

TLC was counted under microscope with magnificent 100x. DLC was observed using swab blood

preparate with Giemsa 10% stain for 30 min under microscope with magnification of 100 x.

Statistical analysis

All data were statistically analyzed using split plot base on a completely randomized design (CRD)

with five replications. Tukey‟s honestly significant difference multiple comparison tests were

used to segregate significantly different treatments using SPSS 17 software.

Results

Aspartate Amino Transferase (AST)

Supplement powder leaf of P. buxifolius to commercial feed quails significantly (P<0.05)

influenced on AST of blood quails (Fig. 2) at the age of quails 45 d (before chellence test) and

105 d (after chellence test). Aspartate amino transferase of blood at the age of quails 45 d before

chellence test which dieted commercial feed with supplementation 4.0 (60.82±1.42 U/L) and 6 %

(54.17±1.21 U/L) P. buxifolius powder significantly (P<0.05) lower than AST content of blood

quail which dieted commercial feed with supplemented 2.0, 8.0 and 0.0 % P. buxifolius powder.

AST content of blood quail which diet commercial feed with supplemented 6.0% P. buxifolius

powder significantly (P<0.05) lower than AST content of blood 4.0 % P. buxifolius powder.

After chellence test, significant (P<0.05) were observed AST content of bood quail diet

commercial feed with supplemented 2.0, 4.0, 6.0 and 8% P. buxifolius powder lower than 0.0%.

Significantly (P<0.05) lowest than AST content of blood quail dieted commercial feed with

supplemented 8.0 % P. buxifolius powder.

70

Figure 2. Effect fed supplementation P. buxifolius leaf powder to commercial feed on AST of blood quail

at the age 45(before chellence test) and 90 d (after chellence test). Values and error bars represent mean_SD

(n=5), ANOVA was followed by Tukey’s test a, b, c and d P<0.05 and *,**,***, and **** (P<0.05) within

respective groups, = 0%, =2%, = 4%, and = 8% supplemented P. buxifolius powder to

commercial feed.

Alanine Amino Transferase (ALT)

Supplement powder leaf of P. buxifolius to commercial feed quails significantly (P<0.05)

influenced on ALT of blood quails (Fig. 3) at the age of quails 45 (before chellence test) and 105 d

(after chellence test). Alanine amino transferase of blood at the age of quails 45 d before chellence

test which dieted commercial feed with supplementation 4.0% (22.105±1.42 U/L) the lowest of

any other treatment 0.0, 2.0, 4.0 and 8.0%. P. buxifolius powder 6.0 and 8.0% significantly

(P<0.05) lower than ALT content of blood quail which dieted commercial feed with

supplemented 2.0, and 0.0 % P. buxifolius powder.

After chellence test, ALT content of blood quail which diet commercial feed with supplemented

4.0 and 6.0% P. buxifolius powder significantly (P<0.05) lower than ALT content of blood 0.0,

2.0 and 8.0% P. buxifolius powder. Significantly (P<0.05) lowest ALT content of blood quail

dieted commercial feed with supplemented 4.0 % P. buxifolius powder.

319.876 330.947

115.75

261.211

60.824

181.693

54.168

112.781

57.144

77.7843

0.00

50.00

100.00

150.00

200.00

250.00

300.00

350.00

400.00

Before chellence test After chellence test

Tota

l Asp

arta

te A

min

o T

ran

sfer

ase

(A

ST)

(U/L

)

b a a

c

d

*

***

**

****

*****

71

Figure 3. Effect fed supplementation P. buxifolius leaf powder to commercial feed on ALT of blood quail

at the age 45(before chellence test) and 90 d (after chellence test). Values and error bars represent mean_SD

(n=5), ANOVA was followed by Tukey’s test a, b, c, d (P<0.05) and *,**,***, and **** (P<0.05) within

respective groups, = 0%, =2%, = 4%, and = 8% supplemented P. buxifolius powder to

commercial feed.

Leukocyte

Supplemented powder leaf of P. buxifolius to commercial feed quails significantly (P<0.05)

influenced on total leukocyte of blood quails (Fig 4) at the age of quails 45 (before chellence test)

and 105 d (after chellence test). Total leukocyte (TLC) of blood quail at the age 45 d and fed 0.0%

(119.19±3.77 cell x 103) 8.0% (97.1±2.77 cell x 10

3) significantly (P<0.05) upper than TLC at 2.0,

4.0 and 6.0% powder leaf of P. buxifolius, but no significant (P>0.05) different was observed

TLC between 6,0 and 8,0% powder leaf of P. buxifolius.

After chellence test, TLC of blood quail at the age 105 d and fed 8.0% (21.22±1.45 cell x 103)

significantly (P<0.05) lower than TLC at 2.0, 4.0 and 6.0% powder leaf of P. buxifolius. TLC at

2.0, 4.0, 6.0 and 8.0% powder leaf of P. buxifolius supplementation significantly (P<0.05) lower

than 0.0% powder leaf of P. buxifolius supplementation. TLC at 8.0% powder leaf of P.

buxifolius supplementation significantly (P<0.05) the lowest any other treatment powder leaf of

P. buxifolius.

301.912

434.315

129.134 150.501

22.105

117.268

67.468

127.637

64.032

200.183

0.00

50.00

100.00

150.00

200.00

250.00

300.00

350.00

400.00

450.00

500.00

Before chellence test After chellence test

Tota

l Ala

nin

e A

min

o T

ran

sfer

ase

(ALT

) (U

/L)

b b

a

c

d

* * **

***

*****

72

Figure 4. Effect fed supplementation P. buxifolius leaf powder to commercial feed on Total Leukocyte

blood serum quail at the age 45 d (before chellence test) and 90 d (after chellence test). Values and error bars

represent mean_SD (n=5), ANOVA was followed by Tukey’s test a, b, c, d (P<0.05) and, *,**,***,**** and

**** (P<0.05) within respective groups, = 0%, =2%, = 4%, and = 8% supplemented P.

buxifolius powder to commercial feed.

Trombocyte

Figure 5. Effect fed supplementation P. buxifolius leaf powder to commercial feed on Total Trombocyte

blood serum quail at the age 45 d (before chellence test) and 90 d (after chellence test). Values and error bars

represent mean_SD (n=5), ANOVA was followed by Tukey’s test a, b, c and d (P<0.05) and *,**,***,****

and **** (P<0.05) within respective groups, = 0%, =2%, = 4%, and = 8% supplemented P.

buxifolius powder to commercial feed

22.34

38.73

19.62

24.52

17.62

23.66

12.31

23.85

9.43

21.22

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

30.00

35.00

40.00

45.00

Before chellence test After chellence test

Tota

l Leu

cocy

te (

cell

x 1

03)

b a

a a

c * *** **

****

*****

29.8 32.6

16.4 18.2

12.6 13.6 13.2 14.2

11.4

14.6

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

30.00

35.00

40.00

45.00

Before chellence test After chellence test

Tota

l Tro

mb

ocy

te (

cell/

mm

x 1

06)

a b a

c

d

* ** *

***

*****

73

Lymphocyte

Supplemented powder leaf of P. buxifolius to commercial feed quails significantly (P<0.05)

influenced on lymphocyte of blood quails (Fig 8) at the age 45 and 105 d. Lymphocyte of blood

quail at the age 45 d and fed 2.0 (45.860±1.03%) and 4% (47.50±0.85%) significantly (P<0.05)

lower than lymphocyte at 8.0 (57.50±1.53), 6.0 (56.50±1.45%) and 0.0% (59.10±1.07%) powder

leaf of P. buxifolius, but no significant (P>0.05) different was observed TLC between 2,0 and

4,0% powder leaf of P. buxifolius. No significant (P>0.05) different was observed TLC between

8.0, 6.0 and 0.0% powder leaf of P. buxifolius supplementation.

Lymphocyte of blood quail at the age 75 d and fed 4.0% (68.50±0.78%) significantly (P<0.05)

lower than lymphocyte at 8.0 (75.30±1.99), 6.0 (74.30±1.45%), 2.0 (78.90±1.89%) and 0.0%

(85.80±2.33%) powder leaf of P. buxifolius. Lymphocyte of blood quail at fed 8.0 and 6.0%

significantly (P<0.05) lower than lymphocyte at 2.0 and 0.0% (85.80±2.33%) powder leaf of P.

buxifolius. Lymphocyte of blood quail at the fed 2.0% significantly (P<0.05) lower than

lymphocyte at 0.0% powder leaf of P. buxifolius.

Figure 6. Effect fed supplementation P. buxifolius leaf powder to commercial feed on lymphocyte of blood

serum quail at the age 45 and 75 d. Values and error bars represent mean_SD (n=5), ANOVA was followed

by Tukey’s test a, b, c and d (P<0.05) and *,**,***, and **** (P<0.05) within respective groups, = 0%,

=2%, = 4%, and = 8% supplemented P. buxifolius powder to commercial feed.

Monocyte

Supplemented powder leaf of P. buxifolius to commercial feed quails significantly (P<0.05)

influenced on monocyte of blood quails (Fig 9) at the age 45 and 75 d. No detection monocyte of

blood quail at the age 45 d and fed 4.0 and 6.0% powder leaf of P. buxifolius supplementation.

78.6 75.8

45.8 54.2

54.4

48.6

56.2 63.2

53.4

60.62

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

80.00

90.00

100.00

Before chellence test After chellence test

Tota

l Lym

focy

te (

%)

b b

b

a

c

*

***

**

****

***

74

Monocyte at fed 8.0% (0.10±0.0002%) significantly (P<0.05) lower than monocyte at 2.0

(0.30±0.001%) and 0.0% (0.40±0.001%). Monocyte of blood quail at fed 2.0% significantly

(P<0.05) lower than monocyte at 0.0% powder leaf of P. buxifolius. No detection monocyte of

blood quail at the age 75 d and fed 4.0 and 6.0% powder leaf of P. buxifolius supplementation.

Monocyte at fed 8.0% (0.30±0.002%) and 2.0% (0.30±0.001%) significantly (P<0.05) lower than

monocyte at 0.0% (0.50±0.002%) powder leaf of P. buxifolius, but no significant (P>0.05)

different was observed monocyte at 2.0% and 0.0% powder leaf of P. buxifolius supplementation.

Figure 7. Effect fed supplementation P. buxifolius leaf powder to commercial feed on monocyte of blood

serum quail at the age 45 and 75 d. Values and error bars represent mean_SD (n=5), ANOVA was followed

by Tukey’s test a, b and d P<0.05, *,** and *** (P<0.05) within respective groups, = 0%, =2%, =

4%, and = 8% supplemented P. buxifolius powder to commercial feed.

Discussion

This work indicated supplementation of leaf powder of P. buxifolius decrease fat and cholesterol

content of yolk egg quail. A decrease in egg yolk components were allegedly due to the activity of

secondary metabolites such as flavonoids, polyphenols, tannins, saponins, alkaloids, quinones and

steroid triterpenoids (Sopandi 2005 and Wardah et al., 2007) contained in the leaf of P. buxifolius.

Wardah et al (2011) reported P. buxifolius leaf also contain soluble fiber such as pectin, and high

protein. Flavonoids have the capacity as an antioxidant in the body of cattle (Gonzales-Paramas et

al., 2004) and suppressed the synthesis of fatty acids (Rodrigues et al., 2005). Flavonoids and

polyphenols also inhibit the enzyme activity of Glycerol 3-Phosphate Dehydrogenase (GPDH) in

adiposit (Hsu and Yen, 2007). The present of polyphenols and flavonoids in chicken diet

significantly reduced hyperlipidemia (Xia et al., 2010). Saponins are known to inhibit the

absorption of fat by the intestine and excreted through the feces (Dong et al., 2007). Tannins in the

digestive tract lining the walls of the small intestine so that digestion and absorption of fats do not

occur (Matsui et al., 2006) significantly reduce hyperlipidemia (Xia et al., 2010). P. buxifolius

3.4

0.8

0.2

0.42

0.2

0.6

0.04

0.8

0.18

1

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

Before chellence test After chellence test

Tota

l Leu

cocy

te (

cell

x 1

03)

b a

b b

d

*

***

** ***

***

75

leaf powder is also able to reduce the content of fat and cholesterol in meat broiler, giving 5% leaf

powder P. buxifolius on broiler for three weeks before harvest significantly reducing intracellular

fat, serum leptin and cholesterol levels (Wardah et al., 2012 ). Ethanol extract of powdered leaf P.

buxifolius of 240 and 320 mg fed daily to chickens was reported to reduce levels of fat and blood

cholesterol without causing infection and inflammation (Wardah et al., 2007). Powder leaf P.

buxifolius of 5% in broiler feed capable of lowering intracellular accumulation of lipid, serum

leptin levels, fat and cholesterol of meat and abdominal fat weight of broiler (Wardah et al., 2012).

The results showed that the supplementation of P. buxifolius leaf powder does not cause an

increase in the number of leukocytes in the quail. The number of leukocytes in quail were given 2,

4 and 6% leaf powder of P. buxifolius did not differ significantly (P> 0.05) and lower than the

number of leukocytes in quail by 8% powder. Provision of 8% powder of P. buxifolius has

increased the number of leukocytes, it is no indication that the quail were infected while not

increasing the number of leukocytes in quail were given 2, 4, and 6% supplements showed that

quail do not become infected. Conversely, an increase in the number of leukocytes in the organism

an indicator of infection in the body organism. This is consistent with the statement Vieira (2011)

that the increase in the total number laukosit or white blood cells occurs when an infection.

The number of lymphocytes in the organism related to immune defense mechanisms. An

increased number of lymphocytes in the body indicates that the organism occurs antibody

excessive defense reaction (Doxey and Nathan, 1989). Administration of 4 and 6% P. buxifolius

leaf powder significantly different (P<0.05) increase levels of quail blood lymphocytes compared

with other treatments. P. buxifolius leaf powder could be expected to stimulate the bone marrow,

lymph and lymph glands to produce lymphocytes, so the number of lymphocytes in quail

increased. However, the provision of 8% supplements can reduce levels of lymphocytes,

indicating that the administration of 8% is not effectively influence the increase of antibodies in

the animal body.

The results also showed that the percentage of monocytes in the blood quail were given 4

and 6% leaf powder supplements of P. buxifolius no detectable amounts of monocytes, these

results differ significantly (P> 0.05) with other treatments. A decrease in the percentage of

monocytes occurs because the immune response involving antibodies and macrophages in the

quail as a result of P. buxifolius leaf powder supplementation. Increased number of macrophages

in the network can cause a reduction in the number of monocytes in the blood circulation (Abbas

et al., 2012). Cute inflammation caused by infection and tissue damage may provoke monocytes in

the blood circulation moving in large numbers then headed to the damaged tissue. However, these

events can also cause monocytes in the blood circulation is reduced (Abbas et al., 2012).

Conclusions

76

Acknowledgements

The authors thank the Directorate General of Higher Education, Ministry of research and Higher

Education, Indonesia for funding support through its National Strategy Research competition

2016.

References

Abbas, A. K., A.H. Lichtman and Shiv Pillai. 2012. Cellular and Molecular Immunology. 7th Edition.

Elseiver. USA.

Abdelwhab, E.M and Hafez M. Hafez. 2012. Insight into Alternative Approaches for Control of Avian

Influenza in Poultry, with Emphasis on Highly Pathogenic H5N1. Viruses. 2012 Nov; 4(11): 3179–3208.

doi: 10.3390/v4113179.

Adeneye, A.A., O.O Amole, A.K. Adeneye. 2006. The hypoglycemic and Hypocholesterolemic activities of

the aqueous leaf and seed extract of Phyllanthus amarus in mice. J. Fitoterapia. 77:511-514.

Czirjak, G., Kobolkuti L., Cadar D., Ungvari A., Niculae M. and Bolfa P. (2007): An outbreak of the

Newcastle disease in Japanese qua-ils (Coutrnix couternix). Bulletin USAMV-CN, 64: (1/2): 589.

Dong, X.F., W.W. Gao, J.M. Tong, H.Q. Jai, R.N. Sa, and Q. Zhang. 2007. Effect of Polysavone (Alfalfa

Extract) on Abdominal Fat Deposition and Immunity in Broiler Chickens. J. Poultry Sci. 86:1955-1959.

Doxey, D. L. And M.B.F. Nathan. 1989. Manual of Laboratory Techniques, Wiley. UK.

Fernendez, I. B. V.C. Cruz and G.V. Polycarpo. 2011. Effect of Dietary Organic Selenium and Zinc on the

Internal Egg of Quail Eggs for Different Periods and Under Different Temperatures. Brazilian Journal of

Poultry Sci. 8 (1):35-41

Gonzales-Paramez, A.M., S. Esteban-Ruano, C. Santos-Buelga, S. Pascual-Teresa, and J.C. Rivas-Gonzalo.

2004. Flavanol and antioxidant activity in winery products. J. Agric. Food Chem. 52:234-238.

Hsu, C.L., and G.C Yen. 2007. Effect of flavonoids and phenolic acids on the inhibition of adipogenesis in

3T3-L1 adipocytes. J. Agric Food Chem. 55 (21):8404-8410.

Hudson, J.B. (2009). The use of herbal extracts in the control of influenza. Review. J of Med. Plants Res.

3(13):1189-1195. http://www.academicjournals.org.

Lima, F. S., Santin A., Paulillo A and Junior L. (2004): Evaluation of different programs of Newcastle

disease vaccination in Japanese quail (Couternix couternix). Int. J. poult. Sci., 3: 354-356.

Matsui, Y., H. Kumagai, dan H. Masuda. 2006. Antihypercholesterolemic activity of catechin-free saponin-

rich extract from green tea leaf. J. Food Sci. Technol. Res. 12:50-54.

Nurulhuda, M.H., A. Azlan, A. Ismail, Z. Amom and F.H. Shakirin, 2012. Cholesterol-lowering and

atherosclerosis inhibitory effect of sibu olive in cholesterol fed-rabbit. Asian J. Biochem.7:80-89.

Obianime, A.W., F.I. Uche. 2008. The phytochemical screening and the effects of methanolic extract of

Phyllanthus amarus leaf on the Biochemical parameters of Male guinea pigs. J. Appl Sci. Environ. Manage.

12(4)73-77.

Rodrigues, H.G., Y.S. Diniz, L.A. Faine, C.M. Galhardi and R.C. Burneiko. 2005. Antioxidant effect of

saponin : Potential action of a soybean flavonoid on glucose tolerance and risk factors for atherosclerosis.

Int. J. Food Sci. Nutr., 56: 79-85.

Sa'idu L.; Tekdek L. B., and Abdu P. A. (2004): Prevalence of New-castle disease antibodies in dome-stic

and semi-domestic birds in Zaria, Nigeria. Veterinarski Arhiv. 74 (4): 309- 317.

Umbare, R.P., G.S. Mate, D.V. Jawalkar, S.M. Patil, and S.S. Dongare. 2009. Quality evaluation of

Phyllanthus amarus (Schumach) leaf extract for its hypolipidemic activity. J. Biology and Medicine. Vol. 1

(4) : 28-33.

Wardah, T. Sopandi, and Wurlina. 2007. Identifikasi Senyawa Aktif Ekstrak Etanol Daun Seligi dan

Pengaruhnya terhadap Gambaran Serologi dan Hematologi Ayam Broiler yang Diinfeksi oleh Virus

Newcastle. J. Obat Bahan Alam. Vol. 6 (2) : 88-95.

Wang, H.K. 1998. Plant-derived anticancer agents currently in clinical use or clinical trials. Investig. Drugs.

J. 1:92-102.

Wang, M.Y., L. Chen, G.O. Clark, Y. Lee, R.D. Stevens, O.R. Ilkayeva, B.R. Wenner, J.R. Bain, M.J.

Charron, C.B. Newgard, and R.H. Unger. 2010. Leptin therapy in insulin-deficient type I diabetes. Proc.

Natl. Acad. Sci. USA. 107 (11) : 4813-4819.

Wardah. 2011. Kapasitasi Serbuk Daun Seligi (P. buxifolius) sebagai Imunostimulan Herbal Penurun

Kolesterol Daging Ayam Broiler. Laporan Hasil Penelitian Fundamental. Untag. Surabaya.

77

Wardah, T. Sopandi, E.B. Aksono H., and Kusriningrum. 2012. Reduction of Intracellular Lipid

Accumulation, Serum Leptin and Cholesterol Levels in Broiler Fed Diet Supplemented with Powder Leaf of

P. buxifolius. Asian Journal of Agric. Res. 6 (3) : 106-117.

Woodard, E. 2011. Effect of a Dietary Portofolio of Cholesterol-Lowering Foods Given at 2 Levels of

Intensity of Dietary Advice on Serum Lipids in Hyperlipidemia. Mercer University. JAMA. 306(8),

Xia, D., X. Wu, Q. Yang, J. Gong, and Y.Zhang. 2010. Anti-obesity and hypolipidemic effects of funsional

formula containing Prumus mume in mice fed high-fat diet. African J. Biotechnol. 9 (16) 2463-2467.

Zhang, LZ, Guo, YJ., Tu, GZ, Guo WB and Miao, F. 2000. Studies on chemical Constituents of

Phyllanthus urinaria L. Zhongguo Zhong Yao Za Zhi. 25(10):615-617.

78

Lampiran 4. Cover dan Daftar Isi BUKU AJAR ISBN : 978-602-4170-59-2

79

80

81

82

Lampiran 5. Booklet Teknologi Tepat Guna

PENYAKIT ND (NEWCASTLE DISEASE/TETELO) DAN CARA

PENGENDALIANNYA PADA PUYUH

Oleh :

Wardah, Jola Rahmahani, dan Tatang Sopandi

Tetelo merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus ND pada unggas (puyuh, ayam, bebek, kalkun dan burung lainnya). penyakit ini sangat berbahaya karena dapat menyababkan kematian dalam waktu singkat. Mortalitas akibat ND bisa mencapai 100%. Sering kita dengar ada puyuh/ ayam mati mendadak seluruhnya dalam 1 kandang. Salah satu penyebabnya adalah viru ND. Penyakit ND (tetelo) menyerang unggas dan burung. Puyuh, ayam ras, ayam kampung baik piaraan maupun yang liar sangat rentan, yang muda lebih rentan daripada yang dewasa dan mengakibatkan mortalitas (kematian) tinggi, sedangkan jenis kelamin tidak mempengaruhi kerentanan ini (Balai Penyuluhan Pertanian, 2010).

Penyakit tetelo/ND mudah menular dari satu puyuh ke puyuh lainnya, bahkan dapat menular antar unggas berbada jenis seperti dari ayam ke puyuh atau sebaliknya. Virus ini dapat menular melalui udara sejauh 5 KM, alat transportasi, peralatan kandang, petugas kandang, bahkan melalui karung makanan sekalipun. Penularannya juga sangat cepat. Keterlambatan atau kegagalan vaksinasi pada puyuh merupakan penyabab utama serangan ND Oleh karena itu, peternak harus mematuhi jadwal dan prosedur vaksinasi ND yang telah ditetapkan oleh petugas kesehatan ternak. Umumnya vaksinasi ND secara tetes mata dilakukan pada minggu pertama sampai minggu kedua umur anak puyuh (DOQ). Setelah itu juga dilakukan vaksinasi ulang melalui air minum. Program ini sangat penting dan harus diikuti oleh setiap peternak unggas sebagai tindakan preventif untuk menghindari kerugian.

83

Kerugian yang ditimbulkan oleh penyakit ND antara lain berupa kematian puyuh, penurunan produksi telur, gangguan pertumbuhan dan penurunan berat badan terutama pada ayam pedaging. Penyakit tetelo disebabkan oleh virus yang berukuran 100-250 nm, yang tersusun dari Asam Inti Ribonukleat (ARN) atau sering disebut Ribonucleic Acid (RNA), protein dan lemak. Virus ini termasuk dalam Famili Paramyxoviridae dengan genera Genus Pneumovirus atau Genus Paramyxovirus (PMV).

Ciri utama penyakit tetelo/ND ini antara lain: sesak nafas, ada bercak darah pada kotoran, bergerak melingkar dan jatuh, ngorok pada puyuh, dan lain-lain. pada puyuh yang telah mati akan terlihat bercak-bercak pendarahan pada tembolok, da nada peradangan pada saluran pernafasan. Hal ini dapat dilihat secara jelas bila puyuh yang telah mati tersebut dibedah, jika kita ragu dan kurang faham coba bawa puyuh tersebut pada petugas kesehatan ternak setempat untuk dilakukan diagnose yang akurat. Tetelo atau ND pada puyuh dan unggas lainnya dapat dicegah namun sulit

untuk diobati. Pencegahan paling utama adalah vaksinasi yang tepat.

Selain itu sanitasi lingkungan, kandang, peralatan dan petugas kandang

juga harus dilaksanakan seteliti mungkin. Pengapuran kandang dapat

dilakukan 2 minggu sebelum DOQ masuk, dan kandang disemprot dengan

formalin seminggu sebelum DOQ puyuh masuk dengan kadar 1 : 5000 liter,

atau 0,1 : 5 liter. Sanitasi juga dilakukan terhadap peralatan kandang,

setiap orang yang keluar atau masuk kandang harus dibersihkan dengan

disinfektan terutama alas kaki dan tangan. Pastikan bahwa anak puyuh

yang anda beli berasal dari perusahaan yang sudah bebas dari ND, untuk

itu jangan sembarangan dalam membeli bibit puyuh.

Jika ada puyuh dengan gejala ND maka sebaiknya segera di potong,

dagingnya dapat dikonsumsi dengan syarat harus dimasak hingga matang.

Sisa-sisa pemotongan harus dikubur jauh dari kandang dan ditaburi dengan

kapur. Puyuh yang sudah mati akibat tetelo harus dikubur, tidak boleh

dijadikan sebagai pakan ikan. Itu semua hanyalah sebagai tindakan

kewaspadaan dan upaya pengendalian hama penyakit unggas sebagai

salah satu sumbangsih dan tanggung jawap pengusaha ternak puyuh

terhadap kesehatan lingkungan.

84

PENULARAN

Penularan penyakit ND (tetelo) dari satu hewan ke hewan lainnya melalui kontak, dengan hewan sakit, skeresi, ekskresi dari hewan sakit serta juga bangkai penderita ND. Jalan penularan melalui alat pencernaan dan pernafasan, virus yang tercampur lendir atau virus yang ada dalam feses dan urine tahan dua bulan bahkan dalam keadaan kering tahan lebih lama lagi. Demikian pula virus yang mencemari litter dan perlengkapan kandang. Hal ini merupakan sumber penularan yang penting (Balai Penyuluhan Pertanian, 2010).

GEJALA KLINIS Gejala penyakit ini dapat diamati melalui gejala pernafasan seperti bersin-bersin, batuk, sukar bernafas, megap-megap dan ngorok; gejala syaraf berupa sayap terkulai, kaki lumpuh (jalan terseret), jalan mundur (sempoyongan) serta kepala dan leher terpuntir (torticoles) yang merupakan gejala khas penyakit ini. Kemudian gejala pencernaan meliputi diare berwarna hijau, jaringan sekitar mata dan leher bengkak, pada ayam petelur produksinya berhenti, kalau sudah sembuh kualitas telurnya jelek, warna abnormal, bentuk dan permukaannya abnormal dan putih telurnya encer. Hal ini disebabkan oleh karena organ reproduksinya tidak dapat normal kembali. Umumnya kematian anak ayam dan ayam muda lebih tinggi dibandingkan ayam tua.

85

DIAGNOSIS Untuk mengetahui unggas yang terinfeksi ND adalah dengan melacak keberadaan antibodi pada serumnya. Metode yang dipergunakan adalah metode Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dan Western Imunoblotting. Caranya sampel darah diambil dari unggas yang tidak pernah divaksinasi dengan vaksin ND. Sehingga, adanya antibodi ND pada sampel yang diperiksa menandakan bahwa unggas itu pernah terinfeksi virus ND bukan akibat vaksinasi. Darah diambil dari vena brachialis (vena di bagian sayap),menggunakan dispossible syringe 2,5 CC yang digunakan sekali pakai. Darah ditampung dalam sebuah tabung reaksi, didiamkan semalam pada lemari pendingin, kemudian serum dipisahkan dengan cara di centrifuge.

PENCEGAHAN Tindakan vaksinasi merupakan langkah yang tepat sebagai upaya pencegahan terhadap penyakit ND. Program vaksinasi yang secara umum diterapkan, yaitu

1. Pada infeksi lentogenik ayam pedaging, dicegah dengan pemberian vaksin aerosol atau tetes mata pada anak ayam umur sehari dengan menggunakan vaksin Hitchner B1 dan dilanjutkan dengan booster melalui air minum atau secara aerosol.

2. Pada infeksi lentogenik ayam pembibit dapat dicegah dengan pemberian vaksin Hitchner B1 secara aerosol atau tetes mata pada hari ke-10. Vaksinasi berikutnya dilakukan pada umur 24 hari dan 8 minggu dengan vaksin Hitchner B1 atau vaksin LaSota dalam air, diikuti dengan pemberian vaksin emulsi multivalen yang diinaktivasi dengan minyak pada umur 18 – 20 minggu. Vaksin multivalen ini dapat diberikan lagi pada umur 45 minggu, tergantung kepada titer antibodi kawanan ayam, resiko terjangkitnya penyakit dan faktorfaktor lain yang berhubungan dengan pemeliharaan.

Tindakan pencegahan selain vaksinasi adalah sanitasi. Hal-hal yang perlu diperhatikan, antara lain :

1. Sebelum kandang dipakai, kandang dibersihkan kemudian dilabur dengan kapur yang dibubuhi NaOH 2%. Desinfeksi kandang dilakukan secara fumigasi dengan menggunakan fumigant berupa formalin 1 – 2% dan KMnO4, dengan perbandingan 1 : 5000.

2. Liter diupayakan tetap kering, bersih dengan ventilasi yang baik.

Bebaskan kandang dari hewan-hewan vektor yang bisa memindahkan virus ND. Kandang diusahakan mendapat cukup sinar matahari.

3. Hindari penggunaan karung bekas (4) DOQ harus berasal dari perusahaan pembibit yang bebas dari ND (5) di pintupintu masuk disediakan tempat penghapus hamaan, baik untuk alat transportasi maupun orang. (6) memberikan pakan yang cukup kuantitas maupun kualitas.

86

PENGENDALIAN

Tindakan pengendalian untuk menekan penularan penyakit ND sangat

diperlukan. Tindakan-tindakan tersebut, antara lain meliputi:

1. Unggas yang mati karena ND harus dibakar atau dikubur.

2. Larangan mengeluarkan unggas, baik dalam keadaan mati atau hidup

bagi peternakan yang terkena wabah ND, kecuali untuk kepentingan

diagnosis.

3. Larangan menetaskan telur dari unggas penderita ND dan izin

menetaskan

telur harus dicabut selama masih ada wabah ND pada perusahaan

pembibitan.