PEMERINTAH KOTA SURABAYA PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR TAHUN TENTANG PAJAK DAERAH
BAB I - UNTAG SURABAYA REPOSITORY
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of BAB I - UNTAG SURABAYA REPOSITORY
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami perubahan yang sangat
dinamis pasca 4 (empat) kali perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) . Namun
demikian, salah satu yang masih dipertahankan sejak awal, adalah ketentuan
Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang menentukan, “Negara Indonesia adalah
Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.” Kata “Republik” perlu
digarisbawahi bahwa Indonesia mempunyai sistem ketatanegaraan yang
bercorak demokratis, di mana sistem pengisian kekuasaan tidak dilaksanakan
secara turun temurun sebagaimana berlaku dalam negara Monarki. Hal tersebut
juga disebutkan oleh Duguit sebagaimana dikutip oleh Moh. Kusnardi dan
Harmaily Ibrahim bahwa, “Republik dan Monarki dibedakan berdasarkan
bagaimana kepala negara diangkat. Jika kepala negara diangkat berdasarkan
hak waris atau keturunan, maka bentuk pemerintahan disebut monarkhi dan
pelaksana kekuasaan tersebut disebut Raja, sedangkan jika kepala negara
dipilih melalui suatu pemilihan umum untuk masa jabatan tertentu, maka sistem
negaranya disebut Republik dan kepala negaranya disebut Presiden”.1
Sistem Republik tersebut tidak dapat dilepaskan dari sistem demokrasi
yang menjadi dasar dari pelaksanaan pemilihan umum dalam pengisian jabatan
Presiden dan/atau Wakil Presiden. Oleh karena itu, Pasal 1 ayat (2) UUD 1945
menyatakan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar.” Ketentuan tersebut merupakan hasil perubahan ke-3
(tiga) pada tahun 2001, di mana sebelum perubahan tersebut, bunyi Pasal
tersebut adalah “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan
sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Berdasarkan ketentuan
tersebut (sebelum dan sesudah perubahan), maka terjadi pergeseran dari
supremasi parlemen (supremacy of parliament) kepada supremasi konstitusi
(supremacy of the constitution). Atas dasar hal tersebut, pelaksanaan sistem
kedaulatan rakyat (demokrasi) di Indonesia disebut dengan demokrasi
konstitusional (constitutional democracy).
Seiring dengan dianutnya sistem Republik dan sistem kedaulatan rakyat
(demokrasi) pada penyelenggaraan kehidupan bernegara di Indonesia. Menarik
1 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
Cet 5, Pusat Studi HTN dan CV. Sinar Bakti, Jakarta, 1983. h. 167
2
untuk ditelisik secara holistik mengenai sistem pemilihan Presiden sejak awal
kemerdekaan hingga masa reformasi. Pada masa awal kemerdekaan, setelah
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menetapkan Undang-Undang
Dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945, Soekarno yang menjadi ketua
PPKI pada waktu itu meminta untuk dilaksanakan pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden Republik Indonesia. Menurut Pasal III Aturan Peralihan
Undang-Undang Dasar 1945 menentukan, “Untuk pertama kali Presiden dan
Wakil Presiden dipilih oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia”. Untuk
itu, Soekarno memerintahkan Zimu Kyoku untuk membagikan kartu suara
kepada anggota PPKI. Namun demikian, sebelum kartu tersebut dibagikan,
anggota PPKI Otto Iskandardinata mengusulkan agar pemilihan Presiden
dilaksanakan secara aklamasi untuk mempersingkat waktu dan kemudian
memilih Soekarno untuk menjadi Presiden dan Moh. Hatta sebagai Wakil
Presiden. Sehingga, sejak tanggal 18 Agustus 1945, Soekarno dan Moh. Hatta
secara resmi menjabat sebagai Presiden dan Wakil Presiden Negara Republik
Indonesia.2
Selanjutnya, slogan politik “Demokrasi Terpimpin” yang dijalankan
Soekarno tidak berjalan mulus. Puncaknya pada peristiwa pengkhianatan 30
September 1965 atau yang lebih dikenal dengan peristiwa G 30 S/PKI yang
secara perlahan mengakhiri rezim Soekarno dan memunculkan Mayor Jenderal
(Mayjen) Soeharto sebagai pemimpin baru. Dengan dukungan kekuatan militer,
pada tanggal 3 Oktober 1965 Mayjen Soeharto yang saat itu menjabat sebagai
Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad)
mengumumkan dirinya sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan
Keamanan dan Ketertiban (Kobkamtib) sebagai satuan untuk memberantas
anggota PKI yang dianggap sebagai dalang peristiwa G 30 S/PKI.
Pada tanggal 11 Maret 1966 Presiden Soekarno menandatangani Surat
Perintah 11 Maret 1966 atau lebih dikenal dengan istilah “Supersemar”. Sesaat
setelah memperoleh Supersemar, Mayjen Soeharto selaku Panglima Kopkamtib
menggunakan Supersemar sebagai sumber hukum dan sekaligus sumber
legitimasi untuk membubarkan PKI dan menyatakan PKI sebagai partai
terlarang di wilayah hukum Negara Republik Indonesia. Selanjutnya,
Supersemar dikukuhkan melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara (TAP MPRS) Nomor IX/MPRS/1966 tentang Surat Perintah
Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik
2 PJ. Suwarno, Tata Negara Indonesia: Dari Sriwijaya Sampai Indonesia Modern,
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2009. h. 124-125
3
Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi / Mandataris Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara Republik Indonesia (Supersemar) dalam Sidang Umum
MPRS tanggal 20 Juni – 6 Juli 1966. Dengan berbekal Supersemar, Mayjen
Soeharto bertindak sebagai Presiden menurut Undang-Undang Dasar 1945,
yaitu sebagai Kepala Negara sekaligus sebagai pemegang kekuasaan atas
pemerintahan.3
Perilaku politik Soeharto yang otoriter dan berkuasa selama 32 (tiga
puluh dua) tahun membuat gejolak baru di masyarakat, terutama di kalangan
mahasiswa. Sehingga, puncaknya pada bulan Mei Tahun 1998, Soeharto
menyatakan mundur sebagai Presiden Republik Indonesia dan digantikan oleh
wakilnya BJ. Habibie. Seketika itu era Orde Baru digantikan dengan era
Reformasi. Pada tahun 1999 dilaksanakan Pemilihan Umum (Pemilu) pertama
di era Reformasi yang diikuti oleh 48 (empat puluh delapan) Partai Politik.
Selain membuka ruang bagi Partai Politik untuk menjadi peserta Pemilu,
jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari kalangan Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (ABRI) dikurangi 100 (seratus) orang pada tahun 1997
menjadi 75 (tujuh puluh lima) orang. Lembaga Pemilihan Umum yang
mulanya merupakan mesin pemenangan Pemilu bagi Partai Golonga Karya
(Golkar) bentukan Soeharto direstrukturisasi, sehingga berubah menjadi Komisi
Pemilihan Umum (KPU).
Berdasarkan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 (sebelum perubahan) Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) mempunyai kewenangan untuk memilih atau
mengangkat Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia atas nama rakyat
Indonesia. Kemudian, pada pemilihan Presiden tahun 1999 oleh MPR,
menjadikan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden dan Megawati
Soekarno Putri menduduki jabatan Wakil Presiden.
Sejak tahun 1999 sampai tahun 2002 di era Reformasi, dilaksanakan
perubahan (amandemen) sebanyak 4 (empat) kali terhadap UUD 1945.
Sehingga, pada perubahan ke 3 tahun 2001 disisipkanlah Pasal 6A UUD 1945
yang menjadi landasan konstitusional dari pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden secara langsung oleh rakyat. Pasangan Calon Presiden dan Wakil
Presiden diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta
pemilihan umum sebelum pelaksanaan Pemilihan Umum.
Pemilihan Presiden Dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat
tidak dapat dilepaskan dari asas Pemilu yang termaktub dalam Pasal 22E ayat
3 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Rajawali Press, Jakarta, 2007. h.
37
4
UUD 1945 yang menyatakan, “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali.” Ketentuan
tersebut menjadi prinsip dasar yang utama dalam pelaksanaan Pemilu secara
langsung oleh rakyat yang menurut Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 dilaksanakan
untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden, dan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Sebagai dasar pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
secara langsung oleh rakyat, dikeluarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Atas dasar
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tersebut, pada tahun 2004 dilaksanakan
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, dan menjadikan Susilo
Bambang Yudhoyono dan M. Jusuf Kalla sebagai pasangan Presiden dan Wakil
Presiden pertama yang dipilih melalui pemilihan langsung oleh rakyat.
Untuk menjamin pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
yang berkualitas, memenuhi derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan
dapat dipertanggungjawabkan, perlu dibentuk suatu Undang-undang tentang
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang sesuai dengan perkembangan
demokrasi dan dinamika masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Oleh karena itu perlu dilakukan penggantian terhadap Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden dengan Undang Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam Undang Undang Nomor 42 Tahun 2008 penyelenggaraan
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan dengan tujuan untuk memilih
Presiden dan Wakil Presiden yang memperoleh dukungan kuat dari rakyat,
sehingga mampu menjalankan fungsi kekuasaan pemerintahan Negara dalam
peraturan perundang-undangan harus menjadi derivasi dari nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila. Dengan demikian, menjadi mutlak hukumnya
untuk mengadopsi setiap sila dalam Pancasila sebagai prinsip yang terkandung
dalam setiap peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Dalam perkembangan selanjutnya, pada tanggal 16 Agustus 2017
diberlakukan Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum,
yang di dalamnya mengatur pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara
langsung oleh rakyat, pemilihan Anggota DPR RI, DPR Propinsi dan DPRD
Kota/Kabupaten serta Pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah, yang
mencabut Undang Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden
5
dan Wakil Presiden, Undang Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggaraan Pemilihan Umum, dan Undang Undang Nomor 8 Tahun 2012
tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD.
Namun demikian, jika mengacu pada teori “Stufenbau Des Recht” yang
dikemukakan oleh Hans Kelsen dan Hans Nawiasky. Rujukan utama dalam
sistem perundang-undangan adalah norma dasar atau fundamental negara
(staatfundamentals norm/grundnorm) yang di Indonesia dikenal dengan
Pancasila. Adapun norma dasar negara (staatfundamentals norm) merupakan
rujukan tertinggi yang menjadi dasar pembentukan suatu peraturan perundang-
undangan, baik Undang-Undang Dasar Negara (staatgrund gezets) maupun
peraturan di bawahnya. Staatsfundamentalnorm atau grundnorm yang
merupakan suatu cita hukum, memiliki fungsi regulatif dan fungsi konstitutif.
Cita hukum memiliki fungsi (1) regulatif adalah berfungsi sebagai tolok ukur
yaitu menguji apakah suatu hukum positif itu adil atau tidak. Adapun fungsi
konstitutif, yaitu menentukan bahwa tanpa suatu cita hukum, maka hukum akan
kehilangan maknanya sebagai suatu hukum. Sebagai suatu cita-cita hukum
Pancasila dapat memenuhi fungsi konstitutif maupun fungsi regulatif. Dengan
fungsi konstitutif Pancasila menentukan dasar suatu tata hukum yang memberi
arti dan makna bagi hukum itu sendiri. Demikian juga dengan fungsi regulatif
dari Pancasila menentukan apakah suatu hukum positif itu sebagai produk yang
adil atau tidak adil. Sebagai Staatsfundamentalnorm Pancasila merupakan
pangkal tolak derivasi (sumber penjabaran) dari tertib hukum Indonesia
termasuk UUD 1945.4
Hal tersebut, secara normatif ditegaskan dalam Pasal 2 Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan yang menentukan, “Pancasila adalah sumber dari segala sumber
hukum negara”. Ketentuan demikian memberikan implikasi bahwa, setiap
peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh negara harus mencerminkan
nilai-nilai Pancasila dalam setiap norma yang dituangkan di dalam peraturan
perundang-undangan. Artinya bahwa, norma yang termaktub dalam peraturan
perundang-undangan harus menjadi derivasi dari nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila. Dengan demikian, menjadi mutlak hukumnya untuk
mengadopsi setiap sila dalam Pancasila sebagai prinsip yang terkandung dalam
setiap peraturan perundang-undangan di Indonesia.
4 Kaelan, Aktualisasi Pancasila Dalam Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara,
Makalah Seminar Nasional, 5 Juni 2017, di Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, h. 3.
6
Adapun sila yang relevan dengan sistem pengisian jabatan Presiden dan
Wakil Presiden Republik Indonesia adalah sila ke IV yang berbunyi,
“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan”. Dengan demikian, praktis bahwa sistem
pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden harus dilaksanakan sesuai
dengan nilai-nilai yang terkandung dalam sila ke IV dari Pancasila tersebut.
Sebab, sila ke IV dari Pancasila itu harus menjadi rujukan utama, mengingat
kedudukan Pancasila sebagai norma dasar negara (staatfundamentals
norm/grundnorm) dan sekaligus menjadi sumber hukum yang mengikat
(binding sources of law) di dalam pembentukan peraturan perundang- undangan
di Indonesia. Oleh karena itu, sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di
Indonesia harus dilaksanakan berdasarkan nilai yang terkandung dalam sila ke
IV dari Pancasila. Perubahan mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil presiden
yang sebelumnya dilaksanakan oleh MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat
(demokrasi perwakilan) menjadi pemilihan secara langsung oleh rakyat
(demokrasi langsung) menimbulkan pertanyaan apakah pergeseran tersebut
sudah sesuai dengan nilai yang terkandung dalam sila ke IV Pancasila (konflik
norma). Mengingat perubahan mekanisme tersebut sama-sama menjadikan sila
ke IV Pancasila sebagai dasar dalam pengaturannya. Sementara praktik
ketatanegaraan yang sudah berjalan selama 59 tahun (1945- 2004) adalah
menggunakan sistem pemilihan presiden secara tidak langsung dan pemilihan
presiden baru dilaksanakan sejak tahun 2004.
Berdasarkan uraian di atas, menunjukkan bahwa rumusan Sila ke IV
Pancasila bersifat umum, abstrak dan bersifat multi-tafsir atau dapat ditafsirkan
berbeda-beda. Dalam bahasa sederhana dapat dikatakan bahwa rumusan Sila ke
IV bersifat ambiguitas atau kemenduaan arti atau berupa norma samar (vage
normen). Sehingga dipandang penting dan perlu diangkat judul penelitian
disertasi ; “Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia
Berdasarkan Prinsip Demorasi Pancasila”.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dirumuskan permasalahan
sebagai berikut:
(1) Apa makna Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan?
(2) Apakah sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia sesuai
dengan prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
7
dalam permusyawaratan/perwakilan?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan disertasi ini adalah :
a) Untuk menganalisis dan menemukan makna kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan;
b) Untuk menganalisis dan menemukan sistem pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden Indonesia yang sesuai dengan prinsip kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
1.4. Manfaat Penelitian
Dari hasil penulisan disertasi ini diharapkan diperoleh dua manfaat,
yakni manfaat teoritis dan manfaat praktis.
1.4.1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis penelitian ini tentu saja berkaitan dengan
pengembangan ilmu hukum, khususnya yang berhubungan dengan sistem
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia yang sesuai dengan prinsip
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan. Manfaat demikian, secara teoritis jelas
dicanangkan kepada studi komprehensif untuk membangun pemahaman
holistik mengenai sistem demokrasi Pancasila yang secara khusus
menyangkut sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia
berdasarkan prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan sebagai bagian dari perwujudan negara
demokrasi yang menerapkan corak kearifan lokal dari bangsa Indonesia itu
sendiri.
1.4.2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dalam penelitian ini, pada dasarnya bersangkut paut
dengan kegunaan hasil penelitian yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan
pengkajian hukum praktis, yang menurut D.H.M. Meuwissen meliputi
kegiatan: pembentukan hukum, penemuan hukum dan bantuan hukum.5
Temuan yang berasal dari pemikiran hukum yang bersumber dari hasil
penelitian ini diharapkan turut membantu peningkatan kapasitas (capacity-
5 Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Fundasi dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum
Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Disertasi, Universitas
Padjajaran, Bandung, 1996, h. 46.
8
building) pembaharuan hukum bidang sistem pemilihan umum khususnya
sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia berdasarkan prinsip
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan. Disamping itu, penelitian dan penulisan
disertasi ini diharapkan memberikan manfaat kepada:
a) Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia sebagai pimpinan
eksekutif;
b) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai pembentuk
undang-undang;
c) Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia;
d) Masyarakat sebagai pemegang keadaulatan rakyat di Indonesia.
1.5. Orisinalitas Penelitian
Dari hasil penelusuran kepustakaan ditemukan suatu judul
penelitian disertasi yang mendekati judul penelitian penulis yaitu,
“Eksistensi Pancasila Sebagai Tolok Ukur Dalam Pengujian Undang-
Undang Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 Di Mahkamah Konstitusi: Kajian Perspektif Filsafat
Hukum Dan Ketatanegaraan”, karya Ahmad Basarah, pada Program
Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,
Semarang, 2016.
Dengan mengajukan isu hukum utama : bagaimana kedudukan
Pancasila yang lahir tanggal 1 Juni 1945 sebagai sumber dari segala sumber
pembentukan hukum nasional maupun tolok ukur pengujian UU di MK?
Dalam hasil penelitian Ahmad Basarah dihasilkan tiga temuan:
Temuan pertama, bahwa keputusan Presiden Joko Widodo yang telah
menetapkan 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila sesuai
Keputusan Presiden ( Keppres) Nomor 24 Tahun 2016 menemukan
dasar pijakan argumentasinya yang kokoh.
Dasar pijakan historis dan yuridis yang dapat dike mukakan
adalah sebagai berikut: 1. BPUPK adalah suatu badan khusus yang
dibentuk dan disepakati oleh para Pendiri Negara untuk menyelidiki
persiapan kemerdekaan Indonesia. 2. Sidang BPUPK tanggal 29 Mei-1
Juni 1945 agendanya tunggal, yaitu khusus membahas tentang apa
dasar negara Indonesia jika merdeka kelak. 3. Soekarno adalah
Anggota resmi sidang BPUPK. 4. Soekarno, untuk pertama kalinya di
depan sidang BPUPK tanggal 1 Juni 1945 menyampaikan pandangan
9
dan gagasannya tentang lima prinsip atau dasar bagi Indonesia
merdeka yang disampaikan secara konsepsional, sistematis, solid dan
koheren dan diberikan nama Pancasila.Bahkan istilah Pancasila itu
sendiri hanya dapat kita temui dalam Pidato 1 Juni 1945 dan tidak kita
temukan dalam naskah UUD 1945 sebelum perubahan atau naskah
UUD 1945 setelah perubahan. 5. Pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945
tersebut telah diteri ma secara aklamasi oleh seluruh peserta sidang
BPUPKI.
Temuan kedua, Disertasi bahwa posisi dan kedudukan hukum Pancasila
bukanlah terletak di dalam Pembukaan UUD 1945, karena hal itu berarti
menempatkan posisi Pancasila bukan hanya sejajar dengan UUD tetapi justru
menjadi bagian dari UUD . Padahal, posisi dan kedudukan hukum Pancasila
adalah sebagai norma dasar (grundnorm) yang sifatnya meta legal dan berada
di atas UUD.
Dengan demikian, pandangan yang selama ini mengatakan bahwa Pancasila
lahir pada tanggal 18 Agustus 1945 karena Pancasila ditempatkan dalam
pembukaan UUD 1945 adalah pandangan yang tidak tepat.
Terdapat fakta Putusan MK Nomor 100/PUU -XI/2013 tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik yang pada intinya
MK menyatakan bahwa Pancasila sebagai dasar negara kedudukannya tidak
bisa disejajarkan dengan UUD 1945, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, yang oleh
Pasal 34 ayat (3b) huruf a UU Partai Politik disebut sebagai empat pilar
berbangsa dan bernegara. Temuan ketiga, Disertasi ini juga menyatakan tidak
ada mekanisme hukum apapun untuk dapat mengubah Pancasila, kecuali
melakukan revolusi dan membubarkan negara atau dengan cara makar
terhadap ideologi negara Pancasila. Lembaga MPR sebagai pembentuk
konstitusi ( constitution maker ) sekalipun, tidak dapat mengganti
Pancasila, karena kewenangan MPR menurut Pasal 3 ayat (1) UUD
1945 hanyalah "mengubah dan menetapkan UUD", sementara
kedudukan Pancasila berada di atas UUD.
Adapun rekomendasi dalam disertasi ini, diantaranya adalah
MK dalam menjalankan wewenangnya seharusnya tidak hanya
sebagai pengawal konstitusi ( the guardian of the constitution ),
melainkan MK seharusnya juga berfungsi sebagai pengawal ideologi
negara (the guardian of the ideology ), yakni Pancasila. Sebagai
konsekuensi kedudukan sebagai pengawal Ideologi negara maka dalam
mengadili suatu perkara pengujian undang -undang terhadap UUD
10
1945 MK selain mendasarkan pada pasal -pasal UUD 1945, seharusnya
juga mendasa rkan pada Pancasila sebagai tolok ukur.
Salah satu penelitian yang lain yang mendekati dengan pokok
penelitian penulis adalah disertasi dari Didik Suharyanto dengan judul
Pergantian Presiden Di Indonesia, dengan tiga isu hukum utama terkait
pemilihan Presiden di Indonesia. Ketiga isu hukum tersebut adalah: apakah
pergantian Presiden sesuai dengan paradigma berbangsa dan bernegara di
Indonesia? Bagaimana mekanisme pergantian Presiden di Indonesia? Dan apa
implikasi hukum pergantian Presiden di Indonesia?
Adapun hasil penelitiannya adalah paradigma kedaulatan rakyat berubah
menjadi kedaulatan negara dengan tujuan kekuasaan. Hal ini menyebabkan
pergantian Presiden tidak demokratis. Warganegara tidak dapat memilih
Presiden sesuai haknya, terjadi ketidakadilan hak-hak warganegara dalam
proses pergantian Presiden secara demokratis.
Mekanisme pergantian Presiden sistem demokrasi perwakilan berdasar
UUD 1945 tidak demokratis karena selalu menghasilkan calon tunggal. Dan
Mekanisme pergantian Presiden secara langsung juga tidak demokratis, karena
pencalonan dilakukan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
Pencalonan ini tidak terbuka sehingga calon Presiden dominan dari pengurus
partai politik.
Rekomendasi dari penelitian tersebut adalah agar Undang-Undang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dibuat sistematis secara tetap
dan tidak selalu dirubah menjelang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
No. Bentuk/Asal Judul Rumusan
Masalah
Temuan
1. Disertasi
Universitas
Diponegoro
Eksistensi Pancasila
Sebagai Tolok Ukur
Dalam Pengujian
Undang-Undang
Terhadap
Undang- Undang Dasar
Negara Republik
Indonesia Tahun
1945 Di
Mahkamah
Konstitusi:
Kajian Perspektif
Filsafat Hukum Dan Ketatanegaraan
Bagaimana
kedudukan
Pancasila yang
lahir tanggal 1
Juni 1945
sebagai sumber
dari segala
sumber
pembentukan
hokum
nasional
maupun tolok
ukur pengujian
UU di MK?
Bahwa keputusan
Presiden Joko Widodo
yang telah menetapkan 1
Juni 1945 sebagai Hari
Lahir Pancasila sesuai
Keputusan Presiden
(Keppres) Nomor 24
Tahun 2016 menemukan
dasar pijakan
argumentasinya yang
kokoh. bahwa posisi dan
kedudukan hukum
Pancasila bukanlah
terletak di dalam
Pembukaan UUD 1945,
11
karena hal itu berarti
menempatkan posisi Pancasila bukan hanya sejajar dengan UUD tetapi justru menjadi bagian dari UUD. tidak ada mekanisme hukum
apapun untuk dapat
mengubah Pancasila,
kecuali melakukan
revolusi dan
membubaran negara
atau dengan cara
makar terhadap
ideologi negara
Pancasila.
2. Disertasi
Universitas
Brawijaya
Pergantian
Presiden Di
Indonesia
1. Apakah
pergantian
Presiden
sesuai
dengan
paradigma
berbangsa dan bernegara di Indonesia?
2. Bagaimana
mekanisme
pergantian
Presiden di Indonesia?
3. Apa
implikasi
hukum
pergantian
Presiden di Indonesia?
1. Paradigma kedaulatan
rakyat berubah
menjadi kedaulatan
negara dengan tujuan
kekuasaan.
Hal
ini menyebabkan
pergantian Presiden
tidak demokratis.
Warganegara tidak
dapat memilih
Presiden sesuai
haknya, terjadi
ketidakadilan hak-hak
warganegara dalam
proses pergantian
Presiden secara
demokratis.
2. Mekanisme pergantian Presiden sistem demokrasi perwakilan berdasar UUD 1945 tidak demokratis karena selalu menghasilkan calon tunggal. Mekanisme pergantian Presiden secara langsung juga tidak demokratis, karena pencalonan dilakukan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
3. Pencalonan tidak
terbuka sehingga
calon Presiden
dominan dari
pengurus partai
politik.
Hal ini berbeda dengan penelitian penulis berjudul : “Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Berdasarkan Prinsip
Demokrasi Pancasila” dengan dua rumusana masalah : (1) Apa makna
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan? (2) Apakah sistem pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden Indonesia sesuai dengan prinsip kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan?
12
1.6. Landasan Teori dan Penjelasan Konsep
1.6.1. Landasan Teori
Landasan teori dan penjelasan konsep akan digunakan untuk
menganalisis rumusan masalah dalam disertasi ini. Menurut John J.O.I Ihalauw
teori adalah:
Sebuah sistem proposisi-proposisi atau sebuah rangkaian terpadu dari
proposisi-proposisi. Proposisi-proposisi adalah komponen pembentuk
teori. Namun proposisi itu harus terangkai, terkait satu dengan lainnya
sehingga menjadi satu totalitas sistem yang terpadu. Proposisi-
proposisi yang tidak terangkai tidak akan membentuk suatu teori,
melainkan hanya merupakan himpunan proposisi.6
Dengan demikian teori merupakan ide atau gagasan yang disusun
secara sistematis, dengan metode tertentu dalam satu kesatuan yang utuh
tentang suatu hal yang dapat digunakan untuk menjawab permasalahan yang
rumit, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Teori merupakan
salah satu instrumen bagi kalangan akademisi dan praktisi untuk memecahkan
persoalan yang dihadapinya. Oleh karena itu, terdapat berbagai teori dalam
kehidupan, misalnya teori sosial, teori ekonomi, teori politik, teori hukum dan
sebagainya.
Teori yang digunakan untuk menganalisis permasalahan dalam
disertasi ini adalah teori hukum. Menurut Juhaya S.Praja: “Teori hukum adalah
teori dalam bidang hukum yang berfungsi memberikan argumentasi yang
meyakinkan bahwa hal-hal yang dijelaskan itu adalah ilmiah, atau paling tidak
memberikan gambaran bahwa hal-hal yang dijelaskan itu memenuhi standar
teoritis.”7 Teori hukum merupakan gagasan-gagasan cemerlang secara
sistematis, dengan metoda tertentu yang dirangkai dalam satu kesatuan yang
utuh untuk memecahkan permasalahan yang rumit di bidang hukum, dan dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Adapun beberapa teori hukum yang dipakai sebagai pisau analisis yang
relevan dengan rumusan masalah yang hendak dibahas adalah sebagai berikut:
1.6.1.1. Teori Negara Hukum Pancasila
Teori Negara hokum yang dikemukakan di dalam kerangka teori ini
6 John J.O.I Ihalauw, Konstruksi Teori Komponen Konsep, Gramedia Widiasarana
Indonesia, Jakarta, 2008, h.108. 7 Juhaya S.Praja, Teori Hukum dan Aplikasinya, Pustaka Setia, Bandung, 2011,
h.53.
13
terdiri atas teori negara hukum yang bertumpu pada Rechtsstaat, The Rule of
Law, dan Negara Hukum Pancasila (NHP).
Teori Rechtsstaat diperkenalkan dari hasil pemikiran Immanuel
Kant dan Frederich Julius Stahl, kemudian dikembangkan di negara-negara
Eropa Kontinental. Teori Rechtsstaat dari Immanuel Kant, melahirkan
pemikiran tentang negara hukum formil atau lazim disebut
nachtwakersstaat. Dalam pengertian ini, negara menjamin kebebasan
individu sebagai anggota masyarakat, negara tidak diperkenankan
mencampuri urusan warga masyarakatnya, oleh karena itu teori Rechtsstaat
ini disebut sebagai negara hukum liberal.8 Teori Rechtsstaat dalam arti
formil ini menempatkan negara hanya sebagai penjaga ketertiban
masyarakat.
Teori Rechtsstaat, menurut Julius Stahl sebagaimana dikutip oleh
Miriam Budiardjo, memiliki unsur-unsur sebagai berikut : (a). diakuinya
hak- hak asasi warga negara; (b). adanya pemisahan atau pembagian
kekuasaan negara untuk menjamin hak-hak asasi manusia, yang biasa dikenal
sebagai Trias Politica; (c). pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan
(wetmatigheid van bestuur), dan (d). adanya peradilan administrasi dalam
perselisihan9.
Senada dengan pemikiran Stahl, D.H.M. Meuwissen sebagaimana
dikutip Philipus M. Hadjon mengemukakan, bahwa Undang Undang Dasar
atau konstitusi merupakan unsur yang harus ada dalam teori negara hukum,
sebab konstitusi merupakan jaminan perlindungan hak-hak dasar warga
negara. Adapun ciri-ciri Rechtsstaat selengkapnya sebagai berikut :
a. adanya Undang Undang Dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan-
ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dengan rakyat;
b. adanya pembagian kekuasaan negara, yang meliputi kekuasaan
pembuatan undang-undang yang ada di tangan parlemen, kekuasaan
kehakiman yang bebas yang tidak hanya menangani sengketa antara
individu rakyat tetapi juga antara penguasa dan rakyat, dan pemerintah
yang mendasarkan tindakannya atas undang-undang (wetmatig bestuur);
c. diakui dan dilindunginya hak kebebasan rakyat (vrijheidsrechten van de
burger).10
8 Padmo Wahyono, Konsep Yuridis Negara Hukum Indonesia, Makalah, UI Press,
Jakarta, l998, h. 2. 9 Frederick Julius Stahl, Constitutional Government and Democracy:Theory and
Practice in Europe and America, dalam Miriam Budihardjo, op.cit. h. 57-58. 10
D.H.M. Meuwissen dalam Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi
14
Scheltema, sebagaimana dikutip B. Arief Sidharta, merumuskan
unsur-unsur dan asas-asas negara hukum secara lebih lengkap meliputi lima
hal sebagai berikut:
(1) Pengakuan, penghormatan, dan perlindungan hak asasi manusia yang
berakar dalam penghormatan atas martabat manusia.
(2) Berlakunya asas kepastian hukum. Negara hukum bertujuan menjamin
bahwa kepastian hukum terwujud dalam masyarakat. Hukum bertujuan
mewujudkan kepastian hukum dan prediktabilitas yang tinggi, sehingga
dinamika kehidupan bersama dalam masyarakat bersifat “predictable”.
Asas-asas yang terkait dengan kepastian hukum itu adalah :
a. asas legalitas , konstitusionalitas, dan supremasi hukum ;
b. asas undang undang menetapkan berbagai perangkat peraturan
tentang cara pemerintah dan para pejabatnya melakukan tindakan
pemerintahan;
c. asas non-retroaktif, di mana perundang-undangan, sebelum
mengikat, harus terlebih dahulu diundangkan dan diumumkan secara
layak;
d. asas peradilan bebas, independen, impartial, obyektif, rasional, adil
dan manusiawi;
e. asas non-liquet, hakim tidak boleh menolak perkara, karena alasan
undang undang tidak ada atau tidak jelas;
f. hak asasi manusia harus dirumuskan dan dijamin perlindungannya
dalam Undang Undang Dasar atau Undang Undang.
(3) Berlakunya asas persamaan (similia similibus atau equality before the
law), bahwa dalam Negara hukum, pemerintah tidak boleh
mengistimewakan orang atau kelompok orang tertentu atau
mendiskriminasikan orang atau kelompok orang tertentu. Di dalam
prinsip ini terkandung makna : (a) adanya jaminan persamaan bagi
semua orang di hadapan hukum dan pemerintahan, dan (b) tersedianya
mekanisme untuk menuntut perlakuan yang sama bagi semua warga
Negara.
(4) Asas demokrasi, di mana setiap orang mempunyai hak dan kesempatan
yang sama untuk turut serta dalam pemerintahan atau untuk
memengaruhi tindakan-tindakan pemerintahan.
(5) Pemerintah dan pejabat mengemban amanat sebagai pelayan
Rakyat Indonesia, PT Bina Ilmu, 1987, h.76.
15
masyarakat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat sesuai
dengan tujuan negara yang bersangkutan. Dalam asas ini terkandung
hal-hal sebagai berikut : (a) asas-asas umum pemerintahan yang layak;
(b) syarat-syarat fundamental bagi keberadaan manusia yang
bermartabat dijamin dan dirumuskan dalam peraturan perundang-
undangan, khususnya dalam konstitusi; (c) pemerintah secara rasional
menata setiap tindakannya, memiliki tujuan yang jelas dan berhasil
guna (doelmatig). Artinya, pemerintahan diselenggarakan secara efektif
dan efisien.11
Philipus M. Hadjon mendasarkan pada pendapat S.W. Couwenberg,
mengemukakan sembilan ciri-ciri “Rechtsstaat” sebagai berikut :
(1) Pemisahan antara Negara dengan masyarakat sipil, pemisahan antara
kepentingan umum dan kepentingan perorangan, pemisahan antara
hukum publik dan hukum privat ;
(2) Pemisahan antara negara dan gereja;
(3) Adanya jaminan atas hak-hak kebebasan sipil ;
(4) Persamaan di hadapan undang undang ;
(5) Adanya konstitusi tertulis sebagai dasar kekuasaaan Negara dan dasar
sistem hukum ;
(6) Pemisahan kekuasaan berdasarkan “trias politica” dan sistem “checks
and balances”;
(7) Adanya asas legalitas;
(8) Ide tentang aparat pemerintahan dan kekuasaan kehakiman yang tidak
memihak dan netral ;
(9) Prinsip perlindungan hukum bagi rakyat terhadap penguasa oleh
peradilan yang bebas dan tidak memihak dan berbarengan dengan
prinsip-prinsip tersebut diletakkan prinsip tanggung-gugat Negara
secara yuridis; dan
(10) Prinsip pembagian kekuasaan, baik teritorial sifatnya maupun vertikal
(system federasi maupun desentralisasi).12
Jika teori negara hukum “Rechtsstaat” pada umumnya berkembang di
negara-negara Eropa Kontinental, sebaliknya teori negara hukum Rule of
11
B.Arief Sidharta, Kajian Kefilsafatan Tentang Negara Hukum, dalam Jentera
(Jurnal hukum), Rule of Law, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Jakarta, Edisi 3
Tahun II, November 2004, h. 124-125. 12
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu,
Surabaya, 1987, h. 75.
16
Law berkembang di negara-negara Anglo-Saxon. Seorang sarjana kenamaan
bernama Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dari “ Rule of Law”,
yaitu :
(1) Supremacy of Law.
(2) Equality before the law.
(3) The Constitution based on Individual Right.13
Unsur penting yang pertama dari Rule of Law adalah supremacy of
law atau supremasi hukum, di Inggris merupakan unsur mutlak yang tidak
dapat ditawar- tawar dari Rule of Law. Hal ini, merupakan unsur Rule of
Law yang diperjuangkan rakyat Inggris lebih dahulu, jika dibandingkan
dengan negara Barat lainnya. Negara Inggris yang mendasarkan pada prinsip
supremasi hukum, menjamin bahwa tidak seorangpun boleh dipenjara atau
ditahan tanpa adanya dasar hukum yang jelas dan pasti.
Unsur kedua dari Rule of Law adalah equality before the law atau
persamaan di hadapan hukum. Setiap warga negara, baik pejabat negara
maupun warga/individu harus tunduk pada hukum yang sama dan diadili
pada pengadilan yang sama. Dengan demikian di Inggris, tidak dikenal
pengadilan khusus bagi pejabat negara.
Unsur Ketiga dari Rule of Law adalah The Constitution based on
Individual Right. Artinya hak-hak individu dijamin dan dilindungi oleh
konstitusi. Konstitusi di sini tidak seperti pada umumnya konstitusi yang
terdapat di negara-negara lain berupa dokumen tertulis atau Undang Undang
Dasar, melainkan konstitusi di Inggris lebih menunjuk pada sejumlah
dokumen yang isinya bersifat fundamental yang dijadikan dasar oleh rakyat
Inggris dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegaranya.
Perlindungan konstitusional terhadap hak-hak warga negara telah
memberikan jaminan terhadap hak-hak dasar dan hak-hak asasi warga
negara, tanpa harus diperjuangkan melalui lembaga Peradilan Tata Usaha
Negara. Dari pendapat A.V. Diceydapat diketahui 3 (tiga) karakteristik
“Rule of law” yaitu adanya supremasi hukum (supremacy of law),
persamaan di hadapan hukum (equality before the law), dan adanya
perlindungan HAM dalam konstitusi (human right protection).
Selanjutnya akan dijelaskan mengenai Teori Negara Hukum
Pancasila . Bernard Arief Sidharta menyatakan bahwa cita hukum bangsa
13
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Konstitusi
Press, Jakarta, 2006, h. 148.
17
Indonesia berakar dalam Pancasila yang oleh para bapak pendiri Negara
Republik Indonesia ditetapkan sebagai landasan kefilsafatan dalam menata
kerangka dan struktur dasar organisasi negara sebagaimana dirumuskan
dalam UUD 1945. Pancasila adalah pandangan hidup bangsa Indonesia yang
mengungkapkan pandangan bangsa Indonesia tentang hubungan antara
manusia dan Tuhan, hubungan manusia dengan sesama manusia, serta
hubungan manusia dengan alam semesta yang berintikan keyakinan tentang
empat manusia individual di dalam masyarakat dan alam semesta.14
Sebagai suatu sistem filsafat, sila-sila dalam Pancasila merupakan
jalinan sila-sila yang menyatu dan utuh menyeluruh.Masing-masing sila
saling membatasi dan memperkaya makna dari masing-masing sila tersebut
dan kemudian memaparkannya sebagai satu keterkaitan, interkoneksi dan
satu keutuhan. Dengan demikian, tidaklah dibenarkan memandang manusia
Indonesia dari masing-masing sila secara parsial.15
Soediman Kartohadiprodjo sebagaimana dikutip oleh Widiada
menyatakan bahwa:
“... untukmengetahuidengan sebaiknya apa sesungguhnya yang
dinamakan filsafat Pancasila itu, kita harus mencoba menemukan
isinya. Sebagai filsafah, maka isi Pancasila itu adalah suatu
pemikiran yang bulat. Maka kalau kita hendak mengetahui apa yang
menjadi isi Pancasila, maka kita harus dapat menemukan pemikiran
bulat itu.Isi bulat ini tidak dapat kita ketemukan hanya dengan
memberi isi kepada masing-masing silanya saja, tetapi isi yang kita
berikan kepada masing-masing sila itu harus mempunyai hubungan
yang masuk akal (logis verband) antara satu dan lainnya, sehingga
dengan demikian lalu menjadi pemikiran yang bulat. Pemikiran
bulat belum lagi merupakan isi bulat filsafah Pancasila kalau belum
memenuhi syarat khusus, yaitu merupakan isi jiwa Bangsa
Indonesia.Maka karena itu, isi yang kita ketemukan itu harus kita
cek dengan “isi jiwa Bangsa Indonesia”.16
Berdasarkan atas pemikiran itu maka sampai pada isi bulat filsafah
Pancasila sebagai berikut:
14
I Ketut Adi Purnama, Transparansi Penyidikan Dalam Kerangka Sistem
Peradian Pidana Untuk Membangun Kepercayaan Masyarakat Terhadap Polri, Disertasi,
Universitas Katolik Parahyangan, 2011, h. 161. 15
Widiada, Kebijakan Legislasi Tentang Sifat Melawan Hukum Materiil Dalam
Tindak Pidana Korupsi, Disertasi, Universitas Katolik Parahyangan, 2008, h. 444. 16
Ibid., h. 145.
18
Bangsa Indonesia percaya adanya Tuhan dan Tuhan ini adalah
pencipta Alam Semesta dan seluruh isinya, termasuk manusia (Sila I
Ketuhanan Yang Maha Esa). Manusia ini diciptakan oleh Tuhan
sebagai satu umat (Sila II Perikemanusiaan), tetapi dalam kesatuan
umat manusia, ini terdapat di dalamnya perbedaan-
perbedaan.Disebabkan karena perbedaan iklim, keadaan tanah,
tempat kehidupannya, dan lain sebagainya. Maka terdapat perbedaan
jiwa kelompok manusia pada bagian yang satu di dunia ini dari
bagian yang lain, sehingga menimbulkan adanya bangsa-bangsa
(Sila III Kebangsaan). Umat manusia dan kebangsaan ini, menurut
Ir. Soekarno dalam “Lahirnya Pancasila”, adalah dalam keadaan:
“Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar
dalam nasionalisme: Nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau
tidak hidup dalam taman sarinya Internasionalisme”, yang
menunjukkan jiwa kekeluargaan. Manusia diciptakan Tuhan untuk
mencari jalan supaya dapat hidup bahagia (Sila V Kebahagiaan) dan
hidup bahagia ini harus dicapainya, tidak dengan jegal-jegalan
apalagi bunuh-membunuh, melainkan dengan jalan musyawarah
atau mufakat (Sila IV Musyawarah Mufakat).17
Para pendiri bangsa Indonesia dengan sangat cemerlang mampu
menyepakati pilihan yang pas tentang dasar negara sesuai dengan karakter
bangsa, sangat orisinal, menjadi sebuah negara modern yang berkarakter
religius, tidak sebagai negara sekuler juga tidak sebagai negara
agama.Rumusan konsepsinya benar-benar diorientasikan dan disesuaikan
dengan karakter bangsa. Mereka bukan hanya mampu menyingkirkan
pengaruh gagasan negara patrimonial, namun juga mampu meramu berbagai
pemikiran politik yang berkembang saat itu secara kreatif sesuai kebutuhan
masa depan modern anak bangsa.18
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa teori negara hukum yang
dianut dan diterapkan di Indonesia bukanlah teori negara hukum
sebagaimana teori rechtsstaat di negara-negara yang menganut sistem
hukum civil law ataupun teori the rule of law di negara-negara yang
menganut sitem hukum common law,melainkan menganut dan menerapkan
teori Negara Hukum yang sesuai dengan kondisi dan jiwa bangsa Indonesia
yakni Teori Negara Hukum Pancasila. Hal ini dikarenakan Teori Negara
Hukum Pancasila lahir bukan karena adanya perlawanan terhadap
17
Yopi Gunawan dan Kristian, Perkembangan Konsep Negara Hukum dan Negara
Hukum Pancasila, Refika Aditama, Bandung, 2015, h. 86. 18
Ibid., h. 86
19
absolutisme yang dilakukan oleh penguasa atau raja (sebagaimana latar
belakang munculnya ide rechtsstaat dan the rule of law), melainkan lahir
karena adanya keinginan bangsa Indonesia terbebas dan imperialisme dan
kolonialisme yang dilakukan oleh penjajah Belanda.
Hal serupa dikemukakan pula oleh Mahfud MD dalam bukunya
yang berjudul : “Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi”
bahwa Indonesia tidak menganut teori rechtsstaat ataupun teori the rule of
law, melainkan membentuk suatu teori negara hukum baru yaitu Negara
Hukum Pancasila yang merupakan kristalisasi pandangan dan falsafah hidup
yang syarat dengan nilai dan etika serta moral luhur bangsa Indonesia,
sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
dan tersirat di dalam pasal- pasal Undang- Undang Dasar 1945.19
Notonegoro sebagaimana dikutip oleh Bernard Arief Sidharta
memberikan pemahaman tentang Pancasila sebagai asas atau “guiding
principle” dalam bernegara di Indonesia.Sebagai asas negara, Pancasila
dapat dikatakan sebagai dasar-dasar Idiologi Negara.Secara yuridis,
Pancasila itu adalah pokok kaidah negara yang fundamental.20 Hal ini
terlihat dari pernyataan filsafati yang dikemukakan oleh Notonagoro dalam
bukunya yang berjudul :“Pancasila Secara IImiah Populer” yang
menyatakan bahwa:
Berbicara tentang Pancasila seharusnya kita mendudukkan diri
sebagai sesama warga bangsa, sesama saudara, putera ibu pertiwi
kita Indonesia.Hendaknya kita selalu ingat kepada kesamaan
kedudukan kodrat dan kesamaan sifat kodrat kita sekalian.Kita
dengan dilahirkan sebagai anak keturunan satu nenek moyang, kita
mempunyai kesatuan darah, kita dengan dilahirkan di atas bumi
Indonesia, kita mempunyai kesatuan tempat kelahiran dan tempat
tinggal. Kita mempunyai kesatuan sumber kehidupan, di mana kita
bersama-sama hidup, di mana kita bersama- sama mendapatkan
segala sesuatu yang kita perlukan buat kehidupan kita, di mana kita
saling bergaul dan bekerja sama, di mana kita telah mempunyai
nasib dan sejarah bersama, di mana setelah Proklamasi
Kemerdekaan kita mempunyai suatu tekad untuk menyusun suatu
hidup bersama dalam negara yang bersatu, merdeka, adil dan
19
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakan Konstitusi, Pustaka
LP3ES, Jakarta., h. 23. 20
B. Arief Sidharta, Revisi Pemikiran Prof. Soediman Kartohadiprodjo tentang
Pancasila Berkaitan dengan Pengembangan Sistem Hukum Nasional, Dies Natalis ke 51
Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2009, h. 20.
20
makmur, buat kita sendiri dan buat anak keturunan kita sampai akhir
zaman. Negara kita karena sifatnya mutlak monodualis
kemanusiaan, bukan negara liberal, bukan negara kekuasaan belaka
atau diktator dan bukan negara materialis. Negara kita adalah negara
yang terdiri atas perseorangan yang bersama-sama hidup, baik
dalam kelahiran maupun dalam kebatinan, yang kedua-duanya
mempunyai kebutuhan dan kepentingan perseorangan serta
kebutuhan dan kepentingan bersama, yang kedua-duanya
diselenggarakan tidak saling mengganggu, tetapi dalam kerja sama.
Negara kita adalah yang dinamakan negara hukum kebudayaan.21
Sjachran Basah dalam tulisannya yang berjudul : “Perlindungan
Hukum terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara” menyebutkan
bahwa:“.. negara hukum a quo itu merupakan negara kemakmuran
berdasarkan hukum yang dilandasi oleh Pancasila, baik sebagai dasar negara
maupun sebagai sumber dari segala sumber hukum dengan menolak
absolutisme dalam segala bentuknya”.22
Pemikiran yang demikian pada hakikatnya sudah lama dicita-
citakan, namun sampai dengan saat ini masih belum terealisasi dengan baik.
Hal ini terbukti sejak tahun 1963 telah dilakukan Seminar Hukum Nasional
di Semarang yang dimotori oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN)
Departemen Kehakiman dengan Ketua Umum Soesanto Tirtoprodjo dan
dihadiri antara lain oleh: Oemar Senoadji, Sudarto dan Roeslan Saleh dengan
maksud untuk mengumpulkan bahan- bahan ilmiah guna menyusun hukum
nasional Indonesia yang sesuai dengan cita- cita masyarakat yang adil
dan makmur berdasarkan Pancasila.23 Seminar ini berhasil melahirkan
konsep hukum nasional Indonesia yang menyebutkan:“Hukum Nasional
Indonesia haruslah satu atau jalin- menjalin dengan cita-cita masyarakat
yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila”.24
Selanjutnya, perlu dikemukakan pada bagian ini bahwa teori negara
21
Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer, Pantjuran Tujuh, Jakarta, 1975, h.
15- 22
Sjachran Basah, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap-Tindak Administrasi
Negara, Orasi Diucapkan pada Dies Natalis XXIX Universitas Padjadjaran pada Tanggal 24
September 1986, PT. Alumni, Bandung, 1992, h. 3. 23
Aang Achmad, Aspek Hukum Perdata dalam Penanggulangan Korupsi di
Indonesia (Tinjauan Hukum Pemberantasan Korupsi di Indonesia Berdasarkan Hukum
Pidana Positif dan Pemanfaatan Hukum Perdata terhadap Pengembalian Kerugian Negara
Hasil Korupsi dalam Kasus BLBI), Disertasi, Universitas Katolik Parahyangan, 2010., h. 283 24
Ibid. h. 283
21
hukum Pancasila merupakan konsep negara hukum yang prismatik. Mahfud
MD dalam. bukunya yang berjudul “Membangun Politik
Hukum,Menegakkan Konstitusi “ menyatakan bahwa disebut dengan
“konsep Prismatik” karena konsep negara hukum Pancasila merupakan
konsep negara hukum yang menggabungkan unsur- unsur yang terdapat
dalam berbagai konsep negara hukum the rule of law ataupun rechtsstaat
yang berbeda ke dalam satu konsep yang menyatu negara hukum Indonesia
yang implementasinya disesuaikan dengan tuntutan perkembangan
zaman.”25
Masih mengacu kepada pendapat Mahfud MD, bahwa Negara
Hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945 mengambil konsep prismatik.’26 atau konsep hukum integratif dari dua
konseptersebut sehingga “kepastian hukum” yang terdapat dalam rechtsstaat
dapat dipadukan dengan prinsip “keadilan” yang terdapat dalam the rule of
Law. Indonesia tidak memilih salah satunya, tetapi memasukkan unsur-
unsur yang baik dari keduanya.27 Dengan demikian, teori negara hukum
Indonesia yakni teori negara hukum Pancasila memiliki karakteristik
tersendiri yang membedakannya dengan teori negara hukum lain. Selain itu,
terkait dengan konsep prismatik ini , Kirdi Dipoyudo menyatakan bahwa:28
“Pancasila mempertemukan kedua pendapat dan keinginan itu.
Negara Pancasila bukanlah negara agama, juga bukan negara anti
agama, melainkan Negara Ketuhanan yang memelihara budi pekerti
kemanusiaanyang luhur dan memegang teguh cita-cita moral
rakyatyang luhur. Golongan Islam mula-mula kurang senang dengan
usul untuk membangun Indonesia merdeka atasdasar Pancasila.
Tetapi akhirnya menerimanya juga.Mereka menolak negara anti
agama, tetapi dapat menerima negara Pancasila yang Berketuhanan,
sedangkan golongan kebangsaan menolak Negara agama, tetapi
25
Moh. Mahfud, MD., Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi,
Rajawali Press, Jakarta, 2011, h.24-27 26
Hukum prismatik adalah hukum yang mengintegrasikan unsur-unsur pokok dan
penting yang terkandung di dalam berbagai hukum (sistem hukum) sehingga terbentuk suatu
hukum yang baru dan utuh. Bisa dilihat dalam: Soehino, Hukum Tata Negara: Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
Adalah Negara Hukum, Yokyakarta, 1985, h. 9 dan Fathurohman, Dian
AminudindanSirajuddin, Memahami Mahkamah Konstitusi Di Indonesia, BinaCipta,
Bandung, 2004, h. 5 27
Moh. Mahfud, MD., Op.Cit., him. 26. 28
Ibid. h. 18.
22
dapat menerima negara Ketuhanan”.
Masih berkaitan dengan teori negara hukum Pancasila, sebagai
pilihan hukum prismatik yang mengintegrasikan unsur-unsur yang
terkandung di dalam berbagai hukum (sistem hukum) sehingga terbentuk
suatu hukum yang baru dan utuh dan berkarakteristik dari negara hukum
Pancasila, Soehino menyatakan beberapa hal berikut ini:
1. Negara hukum Pancasila merupakan suatu negara kekeluargaan.
Dalam suatu negara kekeluargaan terdapat pengakuan terhadap hak- hak
individu (termasuk pula hak milik) atau hak asasi manusia namun tetap
mengutamakan kepentingan nasional (kepentingan bersama) di atas
kepentingan individu tersebut. Hal ini di satu sisi sejalan dengan nilai
sosial masyarakat Indonesia yang bersifat paguyuban, namun di sisi lain
juga sejalan dengan pergeseran masyarakat Indonesia ke arah masyarakat
modern yang bersifat patembayan. Hal ini sungguh jauh bertolak
belakang dengan konsep negara hukum Barat yang menekankan pada
kebebasan individu seluas-luasnya, sekaligus bertolak belakang dengan
konsep negara hukum sosialisme-komunisme yang menekankan pada
kepentingan komunal atau kepentingan bersama. Dalam negara hukum
Pancasila, diusahakan terciptanya suatu harmoni dan keseimbangan
antara kepentingan individu dan kepentingan nasional (masyarakat)
dengan memberikan pada negara kemungkinan untuk melakukan campur
tangan sepanjang diperlukan bagi terciptanya tata kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang sesuai dengan prinsip-
prinsip Pancasila. .
2. Negara hukum Pancasila merupakan negara hukum yang berkepastian dan
berkeadilan.
Dengan sifatnya yang prismatik maka konsep negara hukum Pancasila
dalam kegiatan berhukum, baik dalam proses pembentukan maupun
penegakannya dilakukan dengan memadukan unsur-unsur, baik yang
terkadung dalam konsep rechtsstaat maupun konsep the rule of law yakni
dengan memadukan antara prinsip kepastian hukum dengan prinsip
keadilan, sehingga terciptalah suatu prasyarat bahwa kepastian hukum
harus ditegakkan demi menegakkan keadilan dalam masyarakat sesuai
dengan prinsip-prinsip Pancasila. .
3. Negara hukum Pancasila merupakan religious nation state.
Dengan melihat pada hubungan antara negara dan agama, maka konsep
negara hukum Pancasila tidaklah menganut sekulerisme tetapi juga bukan
sebuah negara agama seperti dalam teokrasi dan dalam konsep
Nomokrasi Islam.Konsep negara hukum Pancasila adalah sebuah konsep
negara yang berketuhanan. Berketuhanan di sini dapat diartikan bahwa
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Indonesia wajib
23
didasarkan atas kepercayaan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan
begitu maka terbukalah suatu kebebasan bagi warga negara untuk
memeluk agama dan kepercayaan sesuai keyakinannya masing- masing.
Konsekuensi logis pilihan prismatik ini adalah ateisme dan juga
komunisme dilarang karena telah mengesampingkan kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa; .
4. Negara hukum Pancasila memadukan hukum sebagai alat perubahan
masyarakat dan hukum sebagai cermin budaya masyarakat.
Dengan memadukan kedua konsep ini, negara hukum Pancasila mencoba
untuk memelihara dan mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat (living law atau local wisdom) sekaligus pula melakukan
positivisasi terhadap living law atau local wisdom tersebut untuk
mendorong dan mengarahkan masyarakat pada kemajuan yang sesuai
dengan prinsip-prinsip Pancasila.29
.
Teori negara hukum Pancasila merupakan negara hukum yang
dikembangkan dan diterapkan di Indonesia. Singkatnya, teori negara hukum
Indonesia harus didasarkan pada sistem hukum Pancasila. Dengan perkataan
lain, dapat pula dikatakan bahwa teori negara hukum Indonesia memiliki ciri
khas yang terdapat pada falsafah bangsa dan negara Indonesia, yaitu falsafah
Pancasila. Oleh karenanya, teori negara hukum Pancasila juga bercirikan
atau berlandaskan kepada identitas dan karakteristik yang terdapat dalam
falsafah Pancasila, yaitu: Ketuhanan Yang Maha Esa, kekeluargaan, gotong
royong dan kerukunan. Di sisi lain, keberadaan Pancasila sebagai falsafah
kenegaraan atau cita negara (staatsidee) yang berfungsi sebagai filosofische
gronslag dan common platforms atau kalimatun sawa di antara warga
masyarakat dalam konteks kehidupan bernegara dalam kesepakatan pertama
penyangga konstitusionalisme menunjukkan hakikat Pancasila sebagai
ideologi terbuka.30
Konsekuensi Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah membuka
ruang untuk membentuk kesepakatan masyarakat guna mencapai cita-cita
dan nilai-nilai dasar yang terdapat dalam Pancasila itu sendiri.Kesepakatan
tersebut adalah kesepakatan kedua dan ketiga penyangga konstitusionalisme,
29
Soehino, Hukum Tata Negara : Negara Kesatuan Republik Indonesia
Berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 , Yogyakarta, 1985, h. 23-30. 30
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori dan Ilmu Hukum:
Pemikiran Menuju Masyarakat Yang Berkeadilan dan Bermartabat, PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2012, h. 367.
24
yaitu kesepakatan tentang negara hukum sebagai landasan pemerintahan
atau penyelenggaraan negara (the basis of government) dan kesepakatan
tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur- prosedur ketatanegaraan (the
form of institutions and procedures).31
Dengan demikian, Pancasila harus
dijadikan pokok dan sumber hukum dalam negara hukum Indonesia. Oleh
karena itu, konsep negara hukum Indonesia disebut sebagai konsep negara
hukum Pancasila karena semua penyelenggaraan negara dan prosedur-
prosedur ketatanegaraannya dilaksanakan berdasarkan Pancasila.
Hal ini secara tegas tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945, khususnya nilai-nilai yang terkandung dalam 5 (lima) sila
Pancasila yang terdapat pada alinea keempat yakni: “... membentuk
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila, melindungi segenap
bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Selain
itu, dapat pula dilihat bahwa tujuan yang hendak dicapai negara Indonesia
adalah terwujudnya masyarakat adil dan makmur, baik spiritual maupun
materiil berdasarkan Pancasila. Hal ini telah menyebabkan negara Indonesia
disebut juga sebagai negara hukum yang memiliki “Karakteristik Mandiri’.32
Lebih lanjut Mahfud MD berpendapat bahwa:
“Pancasila menjadi pemandu Politik Hukum nasional dalam
berbagai bidang. Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi landasan
Politik Hukum yang berbasis moral agama; sila “Kemanusiaan .yang
Adil dan Beradab” menjadi landasan Politik Hukum yang
menghargai dan melindungi hak-hak asasi manusia yang
nondiskriminatif; sila “Persatuan Indonesia” menjadi landasan
Politik Hukum untuk mempersatukan seluruh unsur bangsa dengan
berbagai ikatan primordialnya masing-masing; sila “Kerakyatan
yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/ Perwakilan” menjadi landasan Politik Hukum
yang meletakkan kekuasaan di bawah kekuasaan rakyat
(demokratis) dan sila “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia” menjadi landasan politik hukum dalam hidup
bermasyarakat yang berkeadilan sosial sehingga mereka yang lemah
secara sosial ekonomi tidak ditindas oleh mereka yang kuat secara
31
Ibid, h. 367 32
Rukmana Amanwinata, Pengaturan dan Batas Implementasi Kemerdekaan
Berserikat dan Berkumpul Dalam Pasal 28 UUD 1945, Bandung, Disertasi, Fakultas
Pascasarjana Universitas Padjajaran (UNPAD), 1996. h. 109
25
sewenang- wenang”.33
Apabila melihat asal kata yang membentuknya, Negara Hukum
Pancasila terdiri dari dua suku kata yakni “negara hukum” dan
“Pancasila”.Sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya, secara
sederhana “negara hukum” dapat diartikan sebagai segala aktivitas atau
perbuatan yang dilakukan harus berdasarkan hukum (peraturan perundang-
undangan) dan dapat dimintakan pertanggungjawaban berdasarkan hukum.
Sedangkan “Pancasila” berarti jiwa bangsa yang merupakan filosofische
grondslag dan common platforms sekaligus sebagai cita hukum (rechtsidee)
yang merupakan bintang pemandu dalam menjalankan seluruh kehidupan
bangsa Indonesia (baik di bidang hukum, politik, ekonomi, sosial budaya,
pertahanan dan keamanan maupun bidang- bidang lainnya) dan hal ini
dilakukan untuk mencapi tujuan nasional.
Menurut Yopi Gunawan dan Kristian bahwa negara hukum
berdasarkan Pancasila dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1. Negara kekeluargaan, adanya pengakuan atau perlindungan
terhadap hak asasi manusia dengan tetap mengutamakan
kepentingan nasional.
2. Negara hukum yang berkepastian dan berkeadilan.
3. Negara Indonesia merupakan religious nation state, kehidupan
berbangsa dan bernegara Indonesia didasarkan atas kepercayaan
kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.
4. Memadukan hukum sebagai alat perubahan masyarakat dan
hukum sebagai cermin budaya masyarakat.
5. Tujuan negara hukum Pancasila adalah mewujudkan tujuan
Negara (tujuan nasional), melindungi segenap bangsa Indonesia
dan tumpah darah Indonesia (nasionalis), memajukan
kesejahteraan umum, mencedaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan perdamaian dunia, berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial.34
Menurut M. Tahir Azhari, pada hakikatnya negara hukum Pancasila
mempunyai 8 (delapan) ciri pokok sebagai berikut:
1. Adanya hubungan yang erat antara agama dengan negara. .
2. Bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa.
3. Kebebasan beragama dalam arti positif.
4. Ateisme tidak dibenarkan dan komunisme dilarang.
33
Mahfud MD, Op Cit, h. 39. 34
Yopi Gunawan dan Kristian, Op.cit, h. 96.
26
5. Asas kekeluargaan dan kerukunan.
6. Sistem konstitusi.
7. Persamaan dalam hukum.
8. Peradilan yang bebas.35
Pada kesempatan lain, Bernard Arief Sidharta menyatakan dengan
jelas bahwa:
“Hukum juga harus bersifat kekeluargaan.Sebab, ketertiban yang
dikehendaki haruslah juga merupakan ketertiban dan keteraturan
yang bersuasana ketenteraman batin, kesenangan bergaul
antarsesama, keramahan dan kesejahteraan yang memungkinkan
terselenggaranya interaksi antarmanusia yang otentik. Mengingat
titik tolak dan tujuan penyelenggaraan ketertiban itu adalah
penghormatan atas martabatmanusia, maka tujuan hukum
berdasarkan Pancasila adalah pengayoman terhadap manusia (di
dalam kebersamaan dengan sesamanya) dalam arti baik pasif
maupun aktif. Dalam arti pasif, meliputi upaya mencegah tindakan
sewenang-wenang dan pelanggaran hak.Dalam arti aktif, meliputi
upaya menumbuhkan kondisi sosial yang manusiawi dan
mendorong manusia merealisasikan diri sepenuh mungkin.Tujuan
hukum itu meliputi juga pemeliharaan dan pengembangan budi
pekerti kemanusiaan dan cita-cita moral yang luhur berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Kesemuanya itu hanya mungkin ada
maknanya, jika secara fundamental“the sancity of life”, diakui,
dihormati dan dilindungi”36
Dengan demikian, tujuan yang ingin dicapai dari hukum Pancasila
menurut Bernard Arief Sidharta adalah untuk memberikan pengayoman
kepada manusia, yakni melindungi manusia secara pasif (negatif) dengan
mencegah tindakan sewenang-wenang dan secara aktif (positif) dengan
menciptakan kondisi kemasyarakatan yang manusiawi yang memungkinkan
proses kemasyarakatan berlangsung secara wajar sehingga secara adil setiap
manusia memperoleh kesempatan yang luas dan sama untuk
mengembangkan seluruh potensi kemanusiaan secara utuh.37
Masih berkaitan dengan negara hukum dan Pancasila, bagi Padmo
Wahyono, ciri penting dari negara hukum Indonesia adalah asas
kekeluargaan dan keadilan sosial.38 Philipus M. Hadjon menggambarkannya
35
M. Tahir Azhari, Negara Hukum Indonesia, Jakarta BUalan Bintang,1992, h. 69. 36
Bernard Arief Sidharta, Op.Cit., h. 6. 37
Ibid. h. 190 38
Pandangan Padmo Wahjono tersebut dikutip oleh Marjanne Termorshuizen-Artz,
27
dengan menggunakan istilah “kerukunan’’39 Sedangkan penggagas awalnya
yaituSoediman Kartohadiprodjo menggunakan perumusan “Pandangan
HidupPancasila” juga dapat disebut “Pandangan Hidup Kekeluargaan’’.40
Selengkapnya, Soediman Kartohadiprodjo menyatakan:"
“... filsafat Pancasila seperti yang dibawakan dengan lima intinya
yang terkenal itu, mengandung di dalamnya dan pula dalam lima
intinya tadi suatu penglihatan tentang tempat individu dalam
pergaulan hidup manusia. Dan ini yang kita namakan jiwa dari
individu menurut Pancasila, atau dengan singkat “jiwa Pancasila
ialah kekeluargaan”.Jiwa kekeluargaan ini mengandung arti bahwa
dalam kesatuan yang merupakan bentuk daripada keluarga itu
terdapat perbedaan-perbedaan dalam individu-individu yang
menjadi anggota- anggotanya. Tetapi, meskipun individu-individu
anggota keluarga tadi berbeda satu sama lain, berbeda dalam umur,
jenis kelamin dan juga dalam kepribadiannya tokh individu-individu
ini masing-masing baru merasa paling bahagia dalam kesatuan
keluarga. Keadaan ini membawa kita sampai pada penentuan intinya
jiwa kekeluargaan sebagai ‘kesatuan dalam Perbedaan; Perbedaan
dalam Kesatuan’”.41
Selanjutnya, masih mengutip pendapat dari Padmo Wahjono, beliau
merumuskan negara hukum Pancasila sebagai suatu kehidupan berkelompok
bangsa Indonesia, berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan didorong oleh
keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas dalam arti
merdeka, berdaulat, adil dan makmur, yang didasarkan pada hukum, baik
hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis sebagai wahana
untuk ketertiban dan kesejahteraan dengan fungsi pengayoman dalam arti
menegakkan demokrasi, peri kemanusiaan dan keadilan sosial.42
Lebih lanjut, Padmo Wahjono menjelaskan bahwa konsep negara
hukum Pancasila mengandung 5 (lima) unsur yaitu sebagai berikut:
1) Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum, yang
berarti kita menghendaki satu sistem hukum nasional yang
dibangun atas dasar wawasan kebangsaan, wawasan nusantara dan
wawasan bhineka tunggal ika.
The Concept Rule of Law, Lihat JENTERA, h. 107
39 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu,
Surabaya, 1987, h. 84 40
Widiada, Op.Cit., h. 448. 41
Ibid.h. 448. 42
Padmo Wahjono, Op.Cit, h. 87.
28
2) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah lembaga
tertinggi43 yang berwenang mengubah menetapkan Undang-
Undang Dasar yang melandasi segala peraturan perundang-
undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
bersama-sama dengan Presiden.
3) Pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi, yaitu suatu sistem
tertentu yang pasti dan yang jelas di mana hukum yang hendak
ditegakkan oleh negara dan yang membatasi kekuasaan penguasa
atau pemerintah agar pelaksanaannya teratur dan tidak simpang
siur harus merupakan satu tertib dan satu kesatuan tujuan.
4) Semua warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tiada kecualinya.
5) Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, artinya
terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah.44
Berkaitan dengan istilah kerukunan, Philipus M. Hadjon
menyatakan bahwa yang menjadi titik sentral Negara Indonesia adalah
keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas
kerukunan.Hal inilah yang membedakan antara konsep negara hukum
Pancasila dengan the rule of law maupun rechtsstaat.Yang mana dalam the
rule of law maupun rechtsstaat yang menjadi titik sentral adalah pengakuan
dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.45
Berdasarkan hal inilah Philipus M. Hadjon merumuskan
perkembangan unsur negara hukum Pancasila. Unsur-unsur yang dimaksud
yaitu sebagai berikut:
1) Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan
asas kerukunan.
2) Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-
kekuasaan negara.
3) Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan
43
Setelah diadakannya amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945,
kedudukan MPR saat ini tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara melainkan hanya
sebagai lembaga tinggi Negara sebagaimana halnya dengan Presiden, Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah
Konstitusi (MK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). 44
Padmo Wahijono, Op.Cit, h. 88 45
Philipus M. Hadjon, Op.Cit, him. 84-85.
29
merupakan sarana terakhir.
4) Keseimbangan antara hak dan kewajiban.46
Hal serupa dikemukakan pula oleh Abdoel Gani yang menyatakan
bahwa negara hukum Pancasila merupakan negara hukum yang
mengutamakan keadilan sosial, dari sudut konsep kenegaraannya, negara
hukum Pancasila mengutamakan dan menerima konsep negara integralistik,
dari sudut upaya kesejahteraannya, mengarah kepada terciptanya masyarakat
adil berkemakmuran dan makmur yang berkeadilan dan akhirnya dari sudut
pemikirankejiwaan dan moral, negara hukum Pancasila adalah negara yang
berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa serta menjunjung tinggi harkat dan
martabat manusia (Indonesia).47
Sebagaiman Pendapat Soepomo, negara hukum Pancasila berarti
bahwa: (a). Sistem kekeluargaan yaitu negara hukum Pancasila harus
dilandasi dan berpedoman kepada aliran pikiran kekeluargaan; (b). Negara
persatuan, yaitu adanya perlindungan yang meliputi segenap bangsa dan
rakyat Indonesia yang mengatasi segala golongan, mengatasi segala paham
golongan, mengatasi segala paham perseorangan; (c). Paham kedaulatan
rakyat yang berdasarkan kepada kerakyatan dan permusyawaratan
perwakilan, dan (d). Berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa
menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.48
Menurut hasil Simposium yang diselenggarakan Universitas
Indonesia, 7 Mei 1966 tentang Indonesia Negara Hukum, diperoleh rumusan
bahwa : (1) Negara Republik Indonesia dalah suatu negara hukum yang
berdasarkan Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara yang mencerminkan
jiwa bangsa Indonesia, harus menjiwai semua peraturan hukum dan
pelaksanaannya. Dalam Negara Indonesia di mana falsafah Pancasila begitu
meresap hingga negara kita dapat dinamakan negara Pancasila, asas
kekeluargaan merupakan titik tolak dari kehidupan kemasyarakatan.(2) ciri-
ciri khas bagi suatu negara hukum adalah : a) pengakuan dan perlindungan
hak-hak asasi, yang mengandung persamaan di bidang politik, hukum,
sosial, ekonomi, kultural dan pendidikan. b) peradilan yang bebas tidak
memihak, tidak dipengaruhi oeh sesuatu kekuasaan/kekuatan lain apapun.
46
Ibid. 47
Ibid. 48
Yusdiyanto, Makna Filosofis Nilai-Nilai Sila Ke-Empat Pancasila Dalam Sistem
Demokrasi Di Indonesia, FIAT JUSTISIA. Faculty of Law, Lampung University,
Bandarlampung, Lampung, Indonesia, Volume 10 Issue 2, April-June 2016, h. 264.
30
c)legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya.49
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik suatu definisi bahwa negara
hukum Pancasila adalah negara hukum yang memiliki karakteristik sebagai
berikut :
1. Negara Indonesia merupakan religious nation state, kehidupan
berbangsa dan bernegara Indonesia didasarkan atas kepercayaan
kepada Ketuhanan Yang Maha Esa;
2. Berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab.
3. Adanya keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat
berdasarkan asas kerukunan dan kekeluargaan;
4. Negara persatuan, yaitu adanya perlindungan yang meliputi segenap
bangsa dan rakyat Indonesia yang mengatasi segala golongan,
mengatasi segala paham golongan, mengatasi segala paham
perseorangan;
5. Paham kedaulatan rakyat yang berdasarkan kepada kerakyatan dan
permusyawaratan perwakilan;
6. Tujuan negara hukum Pancasila adalah mewujudkan tujuan Negara
(tujuan nasional), melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah
darah Indonesia (nasionalis), memajukan kesejahteraan umum,
mencedaskan kehidupan bangsa,dan ikut melaksanakan perdamaian
dunia, berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial.
7. Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan
merupakan sarana terakhir;
8. Legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya.
1.6.1.2. Teori Jenjang Norma
Norma adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi seseorang dalam
hubungannya dengan sesama ataupun dengan lingkungan. Istilah norma
berasal dari bahasa latin, atau kaidah dalam bahasa arab, dan sering juga
disebut dengan pedoman, patokan, atau aturan dalam bahasa Indonesia.
Dalam perkembangannya norma itu diartikan sebagai suatu ukuran atau
patokan bagi seseorang dalam bertindak atau bertingkah laku dalam
masyarakat. Jadi, inti suatu norma adalah segala aturan yang harus
49
I Dewa Gede Atmadja, dkk, Teori Konstitusi Dan Konsep Negara Hukum, Setara
Press, Malang, 2015, h. 158
31
dipatuhi.50
Menurut Hans Kelsen, norma hukum adalah aturan, pola atau
standar yang perlu diikuti. Kemudian dijelaskan lebih lanjut bahwa fungsi
norma hukum adalah:
a) Memerintah.
b) Melarang.
c) Menguasakan.
d) Membolehkan.
e) Menyimpang dari ketentuan.51
Didalam mengkhususkan pembicaraan atau pembahasan
mengenaikaidah-kaedah atau norma-norma hukum, maka perlu dipahami
secara lebih mendalam lagi teori “stufenbau” dari Kelsen. Menurut Kelsen,
maka tata kaidah hukum dari suatu negara, merupakan suatu sistemkaidah-
kaidah hukum yang hierarkhis yang dalam bentuknya yang sangat
sederhana.52
Menurut Adolf Merkl, suatu norma hukum itu ke atas, ia bersumber
dan menjadi sumber bagi norma hukum di bawahnya, sehingga suatu norma
hukum itu mempunyai masa berlaku (rechtskracht) yang relatif oleh karena
itu masa berlakunya suatu norma hukum itu tergantung pada norma hukum
yang berada diatasnya sehingga apabila norma hukum yang berada diatasnya
dicabut atau dihapus, maka norma-norma hukum yang berada dibawahnya
tercabut dan terhapus pula.53
Berdasarkan teori Adolf Merkl tersebut, dalam teori jenjang
normanya Hans Kelsen juga mengemukakan teorinya mengenai jenjang
norma hukum (stufentheori), dimana ia berpendapat bahwa norma hukum
itu berjenjang- jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan,
dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar
pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber
dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai
pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat
50
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan: Dasar-Dasar dan
Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 2006. h. 6 51
Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010. h.21 52
Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum, Opset Alumni, Bandung, 1979. h.
41 53
Maria Farida Indrati Soeprapto, Op.Cit. h. 25-26
32
hipotetis dan fiktif. Sehingga kaidah dasar di atas sering disebut dengan
“grundnorm” atau “ursprungnorm”.54
Menurut Kelsen, grundnorm pada umumnya adalah meta juridisch,
bukan produk badan pembuat undang-undang (de wetgeving), bukan bagian
dari peraturan perundang-undangan, namun merupakan sumber dari semua
sumber dari tatanan peraturan perundang-undangan yang berada
di bawahnya.55 Norma dasar yang merupakan norma tertinggi dalam sistem
norma tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi,
tetapi norma dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai
norma dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada di
bawahnya sehingga suatu norma dasar itu dikatakan pre-
supposed56
.Berdasarkan penjelasan tersebut, diketahuibahwa norma hukum
dalam suatu negara menurut Hans Kelsen adalah sebagai berikut:
1) Suatu tata kaidah hukum merupakan sistem kaidah-kaidah hukum
secara hierarkis.
2) Susunan kaidah hukum yang sangat disederhanakan dari tingkat
terbawah ke atas.
3) Sahnya kaidah-kaidah hukum dari golongan tingkat yang lebih rendah
tergantung atau ditentukan oleh kaidah-kaidah yang termasuk golongan
tingkat lebih tinggi.
Selanjutnya, dalam sudut pandang pembentukan norma hukum,
Benyamin Akzin mengemukakan bahwa pembentukan norma-norma hukum
publik itu berbeda dengan pembentukan norma-norma hukum privat, karena
apabila kita lihat struktur norma (Norm Structure), maka hukum publik itu
berada di atas hukum privat, sedangkanapabila dilihat dari struktur lembaga
(Institutional Structure), maka Publik Authoritis terletak di atas
population.57 Dalam hal pembentukannya, norma-norma hukum public
dibentuk oleh lembaga-lembaga negara (penguasa negara, wakil-wakil
rakyat) atau disebut juga suprastruktur sehingga dalam hal ini terlihat
jelas bahwa norma-norma hukum yang diciptakan oleh lembaga-lembaga
negara ini mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada norma-norma
54
Ni’matul Huda, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Rajawali Press,
Jakarta, 2008. h. 54 55
Ibid. 56
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi dan
Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta, 2010. h. 4 57
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan: Dasar-Dasar . . .,
Op.Cit. h. 26
33
hukum yang dibentuk oleh masyarakat atau disebut juga infrasturktur.58
Oleh karena norma-norma hukum publik dibentuk oleh lembaga-
lembaga negara, sebenarnya pembentukannya harus dilakukan secara
berhati- hati, sebab norma-norma hukum publik ini harus dapat memenuhi
kehendak serta keinginan masyarakat, jadi berbeda dengan pembentukannya
norma- norma hukum privat. Norma-norma hukum privat itu biasanya selalu
sesuai dengan kehendak/keinginan masyarakat, oleh karena hukum privat ini
dibentuk oleh masyarakat yang bersangkutan dengan perjanjian-perjanjian
atau transaksi-transaksi yang bersifat perdata, sehingga masyarakat dapat
merasakan sendiri apakah norma hukum itu sesuai atau tidak dengan
kehendak atau keinginan masyarakat.59
Hans Nawiasky berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis
dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara juga berkelompok-
kelompok. Hans Nawiasky mengelompokkan norma-norma hukum dalam
suatu negara itu menjadi empat kelompok besar yang terdiri atas:
(1) Kelompok I, Staatfundamentalnorm (norma fundamental negara).
(2) Kelompok II, Staatgrundgesetz (aturan dasar/pokok negara).
(3) Kelompok III, Formell Gezetz (undang-undang formal).
(4) Kelompok IV, Verodnung &Autonome Satzung (aturan pelaksana &
aturan otonom).60
Kelompok-kelompok norma hukum tersebut hampir selalu ada
dalam tata susunan norma hukum setiap warga negara walaupun mempunyai
istilah yang berbeda-beda ataupun jumlah norma hukum yang berbeda
dalam tiap kelompoknya. Norma hukum yang tertinggi merupakan
kelompok pertama adalah staatsfundamentalnorm. Istilah
staatsfundamentalnorm ini diterjemahkan oleh Notonagoro dalam pidatonya
pada Dies Natalis Universitas Airlangga yang pertama (10 November 1955)
dengan “pokok kaidah fundamental negara”61
, kemudian oleh Joeniarto,
dalam bukunya yang berjudul sejarah ketatanegaraan republik Indonesia,
disebut istilah “norma pertama”62
,Norma fundamental negara yang
merupakan norma tertinggi dalam suatu negara ini adalah norma yang tidak
dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi ditetapkan terlebih
58
Ibid. 59
Ibid. 60
Ibid. 61
Notonagoro, Pancasila Dasar Falsafah Negara, Bina Aksara, Jakarta, 1988. h. 27 62
Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1982. h. 6
34
dahulu oleh masyarakat dalam suatu negara dan merupakan suatu norma
yang menjadi tempat bergantungnya norma-norma hukum dibawahnya.
Dikatakan bahwa norma-norma yang tertinggi ini tidak dibentuk oleh
norma-norma yang lebih tinggi lagi karena kalau norma yang tertinggi itu
dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi, ia bukan merupakan norma yang
tertinggi.63
Staatsfundamentalnorm suatu negara merupakan landasan dasar
filosofi yang mengandung kaidah-kaidah dasar bagi pengaturan negara lebih
lanjut.64 Menurut Hans Nawiasky, istilah staatsfundamentalnorm ialah
norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau
undangundang dasar suatu negara (staatsverfassung), termasuk norma
pengubahnya. Hakikat hukum suatu staatsfundamentalnorm ialah syarat
bagi berlakunya suatu konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Ia ada terlebih
dahulu sebelum adanya konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Konstitusi
menurut Carl Schmitt merupakan keputusan atau konsensus bersama tentang
sifat dan bentuk suatu kesatuan politik (eine gesammtentscheidung uber art
und form einer politischen einheit), yang disepakati suatu negara.65
Dalam konteks Indonesia, istilah hukum di Indonesia sering
digunakan dalam kehidupan sehari-hari untuk menunjuk pada sistem norma
yang berlaku dan diberlakukan di Indonesia. Secara sistematik berarti hukum
dilihat sebagai suatu kesatuan, yang unsur-unsur, sub-sistem atau elemen-
elemennya saling berkaitan, saling pengaruh mempengaruhi, serta saling
memperkuat atau memperlemah antara satu dengan yang lainnya tidak dapat
dipisahkan.66
Sistem norma hukum yang berlaku di Indonesia sama halnya dengan
teori yang dikemukakan oleh Hans kelsen yaitu Stuffenbau Theory, secara
umum dapat dikelompokkan peraturan perundang-undangan dalam empat
tingkat yaitu:
1) Ketentuan yang memuat norma dasar
2) Ketentuan legislatif yang menjabarkan norma dasar
3) Ketentuan yang dibentuk oleh pemerintahan sebagai aturan
pelaksanaan; dan
4) Ketentuan organik untuk mengoperasionalkan secara rinci peraturan
63
Ni’matul Huda, Op.Cit. h.55 64
Ibid. 65
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan: Dasar-Dasar . . .,
Op. Cit. h. 27-28 66
Ilham Bisri, Sistem Hukum Indonesia, PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 2004.
h. 5
35
pemerintah.67
Merujuk pada pendapat tersebut, maka struktur hukum Indonesia
secara hierarkis adalah sebagai berikut:
1) Staatsfundamentalnorm : Pancasila (Pembukaan UUD 1945);
2) Staatsgrundgesetz : Batang Tubuh UUD 1945, TAP MPR, dan
Konvensi Ketatanegaraan;
3) Formell Gesetz : Undang-Undang;
4) Verordnung & Autonome Satzung : secara hierarkis mulai dari
Peraturan Pemerintah hingga Peraturan Kepala Desa.68
Selaras dengan Penjelasan di atas, Pasal 7 ayat (1) Undang-undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan menentukan Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan
terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Selanjutnya, ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang-undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
menyatakan: “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan
Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan,
lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang
atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
1.6.1.3. Teori Sumber Hukum
Dalam bahasa Inggris, sumber hukum itu disebut source of law.
Perkataan “sumber hukum” itu sebenarnya berbeda dari perkataan “dasar
67
Yuliandri, Op.Cit. h. 44-45 68
Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safaat, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006. h. 171
36
hukum”, “landasan hukum”, ataupun “payung hukum”. Dasar hukum
ataupun landasan hukum adalah legal basis atau legal ground, yaitu norma
hukum yang mendasari suatu tindakan atau perbuatan hukum tertentu
sehingga dapat dianggap sah atau dapat dibenarkan secara hukum.
Peter Mahmud Marzuki menyatakan the term of source of law has
many meaning. It can be perceived from historical, sociological,
philosophical, and jurisprudential point if view. It deals with the each
discipline perception on law69
.
Sudikno Martokusomo menyatakan bahwa terminologi sumber
hukum dapat digunakan dalam 5 (lima) arti yakni sebagai berikut:
1. sebagai asas hukum, sebagai sesuatu yang merupakan permulaan
hukum, misalnya kehendak Tuhan, akal manusia, jiwa bangsa dan
sebagainya.
2. menunjukkan hukum terdahulu yang memberi bahan pada hukum yang
sekarang berlaku, seperti hukum Prancis, hukum Romawi dan lain-lain.
3. sebagai sumber berlakunya, yang memberi kekuatan berlaku secara
formal kepada peraturan hukum (penguasa, masyarakat).
4. sebagai sumber darimana kita dapat mengenal hukum, misalnya
dokumen, undang-undang, lontar, batu tulis dan sebagainya.
5. sebagai sumber terjadinya hukum, sumber yang menimbulkan hukum.70
Van Apeldoorn membagi sumber hukum ke dalam: (a) sumber
hukum dalam arti materiil, dan (b) sumber hukum dalam arti formil. Sumber
hukum dalam arti materiil dapat bersumber dari sumber hukum historis
(sejarah kelembagaan hukum), sumber hukum sosiologis (faktor sosial yang
mempengaruhi isi hukum), dan sumber hukum filosofis (nilai keadilan dan
mengikatnya hukum). Adapun dalam arti formil, sumber hukum terkait
dengan tempat mencari dan menemukan hukumnya sesuatu.71
Bagir Manan juga menyatakan bahwa menyatakan sumber hukum
terdiri atas:
1. Sumber hukum materiil adalah sumber hukum yang menentukan
isi/substansi hukum, berupa hubungan sosial, kekuatan politik, situasi
sosial ekonomi, tradisi, penelitian ilmiah, pendapat umum,
perkembangan internasional, keadaan geografis dan sebagainya.
69
Peter Mahmud Marzuki, Introduction to Indonesian Law, Malang: Setara Press,
2011, h.35 70
Sudikno Martokusomo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty,
1996, h.69 71
L.J. Van Apeldoorn, Op.cit, h. 87-163
37
2. Sumber hukum formal adalah sumber hukum karena bentuknya,
menyebabkan berlaku umum, diketahui dan ditaati.72
Mochtar Kusumatmadja menyatakan bahwa sumber hukum materiil
merupakan sumber hukum yang digunakan untuk menjawab pertanyaan
“mengapa hukum itu mengikat” atau “apa (kekuatan) hukum hingga
mengikat dan dipatuhi oleh manusia (subyek hukum)”. Adapun sumber
hukum formil berkaitan dengan pertanyaan “Dimanakah kita dapatkan atau
temukan aturan- aturan hukum yang mengatur kehidupan kita”.73 Senada
dengan hal tersebut, Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim menyatakan
bahwa sumber hukum materiil merupakan sumber hukum yang menentukan
isi hukum. Sedangkan sumber hukum formil adalah sumber hukum yang
dikenal dari bentuknya.74
Akan tetapi, dalam pandangan Hans Kelsen dalam bukunya
“General Theory of Law and State”, istilah sumber hukum itu (sources of
law) dapat mengandung banyak pengertian, karena sifatnya yang figurative
and highly ambiguous. Pertama, yang lazimnya dipahami sebagai sources of
law ada 2 (dua) macam, yaitu custom dan statute. Oleh karena itu, sources of
law biasa dipahami sebagai a method of creating law,custom, and
legislation, yaitu customary and statutory creation of law. Kedua, sources of
law juga dapat dikaitkan dengan cara untuk menilai alasan atau the reason
for the validity of law. Semua norma yang lebih tinggi merupakan sumber
hukum bagi norma hukum yang lebih rendah. Oleh karena itu, pengertian
sumber hukum (sources of law) itu identik dengan hukum itu sendiri (the
source of law is always itself law). Ketiga, sources of law juga dipakai untuk
hal-hal yang bersifat non- juridis, seperti norma moral, etika, prinsip-prinsip
politik, ataupun pendapat para ahli, dan sebagainya yang dapat
mempengaruhi pembentukan suatu norma hukum, sehingga dapat pula
disebut sebagai sumber hukum atau the sources of the law.
Nilai dan norma agama dapat pula dikatakan menjadi sumber yang
penting bagi terbentuknya nilai dan norma etika dalam kehidupan
bermasyarakat, sementara nilai-nilai dan norma etika itu menjadi sumber
bagi proses terbentuknya norma hukum yang dikukuhkan atau dipositifkan
oleh kekuasaan negara. Dalam dinamika kehidupan bermasyarakat, ketiga
72
Bagir Manan, Konvensi Ketatanegaraan, Bandung: Armico, 1987, h.9 73
Muchtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Bandung:
Alumni, 2000, h. 54 74
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Op.cit, h.45
38
jenis nilai dan norma itu pada pokoknya sama-sama berfungsi sebagai
sarana pengendalian dan sekaligus sistem referensi mengenai perilaku ideal
dalam setiap tatanan sosial (social order). Sebab, jika ketiga jenis norma
tersebut saling menunjang, maka ketiga sistem referensi perilaku itu dapat
bekerja secara simultan dan saling mendukung. Akan tetapi, jika ketiganya
saling bersitegang atau saling bersaing satu sama lain, niscaya akan timbul
konflik antar norma yang justru tidak sehat bagi ketiga sistem norma itu
sendiri. Jika demikian, maka pada gilirannya fungsi ketiga jenis norma itu
dalam menuntun manusia ke arah perilaku ideal tidak akan bekerja dengan
efektif. Oleh karena itu, ketiganya harus dapat saling mengisi satu sama lain
secara sinergis. Norma etika dapat menjadi sumber nilai bagi norma hukum,
sementara norma agama dapat menjadi sumber bagi norma etika. Dalam
konteks ini, pengertian sumber dapat dikatakan sebagai tempat dari mana
sesuatu nilai atau norma berasal.
Berdasarkan penjelasan di atas, ketahui bahwa sumber hukum dalam
pengertiannya adalah “asalnya hukum” ialah berupa keputusan penguasa
yang berwenang untuk memberikan keputusan tersebut Artinya, keputusan
itu haruslah dari penguasa yang berwenang untuk itu. Sumber hukum dalam
arti sebagai asalnya hukum, membawa kepada suatu penyelidikan tentang
wewenang, untuk menyelidiki apakah suatu keputusan berasal dari penguasa
yang berwenang atau tidak. Keputusan penguasa yang berwenang dapat
berupa peraturan dapat pula berupa ketetapan. Selanjutnya, Sumber
hukum dalam pengertiannya sebagai “tempat” dikemukakannya peraturan-
peraturan hukum yang berlaku. Sumber hukum dalam pengertian ini
membawa hukum dalam penyelidikan tentang macam-macam, jenis-jenis
dan bentuk- bentuk dari peraturan dan ketetapan. Baik sumber hukum
tersebut undang-undang, kebiasaan/adat, traktat, yurusprudensi, atau doktrin
maupun peraturan-perturan hukum tersebut terdapat dalam UUD 1945,
ketetapan MPR, UU atau Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan
Peraturan Menteri.
Selain itu pengertian sumber hukum dalam pengertiannya sebagai
“hal- hal yang dapat atau seyogianya mempengaruhi kepada pengusa di
dalam menentukan hukumnya.” Misalnya keyakinan akan hukumnya, rasa
keadilan, perasaan akan hukumnya entah dari penguasa atau rakyatnya, dan
juga teori- teori, pendapat-pendapat dan ajaran-ajaran dari ilmu pengetahuan
hukum. Bagi ahli sejarah yang menjadi sumber hukum adalah:
39
1) Undang-undang serta sistem hukum yang tertulis dari suatu masa
misalnya abad ke-18.
2) Dokumen-dokumen surat-surat dan keterangan lain dari masa itu yang
memungkinkan untuk mengetahui hukum yang berlaku pada zaman itu.
Sedangkan bagi ahli filsafat yang menjadi sumber hukum adalah (1)
Apakah ukuran yang harus dipakai untuk menentukan sesuatu secara adil.
Sebab bukankah mencapai keadilan merupakan tujuan terakhir dari semua
orang yang berusaha membuat hukum. (2) Apakah sebab orang menaati
hukum.
Kemudian bagi ahli sosiologi dan antropologi budaya, yang menjadi
sumber hukum adalah masyarakat dengan segala lembaga sosial yang ada di
dalamnya. Apa yang dirasakan sebagai hukum oleh masyarakat dan
karenanya diberi sanksi bagi yang melanggarnya oleh penguasa masyarakat.
Sedangkan bagi ahli ekonomi yang menjadi sumber hukum adalah apa yang
tampak di lapangan ekonomi. misalnya sebelum pemerintah membuat
peraturan yang bertujuan membatasi persaingan di lapangan perdagangan,
maka ahli ekonomi harus mengetahui secara pasti hal-hal yang berhubungan
dengan persaingan dilapangan perdagangan itu.
Selanjutnya bagi ahli agama yang menjadi sumberhukum adalah
kitab suci serta dasar-dasar agamanya. Berikutya bagi ahli hukum, yang
menjadi sumber hukum adalah perasaan hukum yang telah tertuang dalam
suatu bentuk yang menyebabkan berlaku dan ditaati orang. Berdasarkan
uraian di atas dapat dipahami bahwa sumber hukum adalah segala sesuatu
yang menimbulkan aturan-aturan yang mengikat dan memaksa, sehingga
apabila aturan itu dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata
bagi pelanggarnya.
Sumber-sumber yang melahirkan hukum bisa digolongkan dalam
dua kategori besar yaitu sumber-sumber yang bersifat hukum dan yang
bersifat sosial. Yang pertama merupakan sumber-sumber yang diakui oleh
hukum sendiri sehingga sesara langsung bisa melahirkan atau menciptakan
hukum. Adapun yang kedua merupakan sumber yang tidak mendapatkan
pengakuan secara formal oleh hukum, sehingga tidak secara langsung
bisa diterima sebagai hukum75
. Apabila kita melihatnya secara demikian
maka yang kita jadikan tolak ukur adalah keabsahan secara hukum dari
75
Fitzgerald dalam Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bhakti,
Bandung, 2000. h. 53
40
substansi yang dihasilkan oleh sumber hukum adalah ipso jure. Yang
dengan sendirinya sah,sedang yang lain tidak dan dengan demikian hanya
bisa disebut sebagai sumber- sumber kesejahteraan saja. Dengan demikian,
maka sumber sosial ini dapat disebut sebagai sumber bahan dan kekuatannya
tidak otoritas melainkan hanya persuasive.76
Situasi yang dihadapi oleh sumber-sumber hukum sebagaimana
dikemukakan di atas tidak terlepas dari dari perkembangan masyarakat
sendiri. Hal demikian telah dibicarakan model dikotomi oleh H.L.A. Hart,
yaitu yang membagi masyarakat kedalam rezim tatanan primer dan
sekunder. Perbedaan ini melahirkan pernyataan tentang adanya masyarakat
dengan ciri-ciri sosial saja dan masyarakat dengan ciri-ciri hukum atau
masyarakat pra hukum dam maryarakat yang sudah mengenal hukum.
Perbedaan dalam sumber-sumber yang bersifat sosial dan hukum itu tentulah
berada pada tingkat perkembangan masyarakat yang sudah diketahui
perbedaan tajam antara yang social dan yang hukum dengan segala
perkaitannya. Dengan demikian pula perbedaan sumber- sumber yang
bersifat hukum dan social tentunya tidak berlaku dalam masyarakat pra
hukum tersebut.
Sementara itu, Allen mengunakan cara penjelasan yang berbeda,
sekalipun pada dasarnya sama saja dengan pembagian dalam dua
sumber tersebut di atas sumber- sumber hukum itu dikaitkannya dengan satu
pihak pada kehendak dari yang berkuasa , sedang yang lain pada vitalitas
dari masyarakat sendiri yang pertama bersifat atas bawah dan yang ke dua
bawah atas.77 Dari segi teori perbedaan Allen mencerminkan terjadinya
pertarungan antara dua kutub teori sesuai dengan pengakuan pola tersebut.
Kelompok atas bawah dipimpin oleh Austin yang menunjuk kekuasaan yang
berdaulat sebagai satu-satunya sumber hukum. Teori Austin yang didasarkan
pada konsep yang demikian itu mengembangkan ilmu hukum yang bersifat
rasionalitis dan arena konsepnya yang begitu jelas teori Austin kemudian
dikenal karena kesederhanaan dan konsistensinya.
Perbuatan hukum yang dilakukan secara sengaja oleh badan yang
berwenang untuk itu merupakan sumber yang bersifat hukum yang paling
utama. Kegiatan dari badan tersebut sebagai Perbuatan perundang-undangan
yang menghasilkan substansi yang tidak diragukan lagi kesalahannya yang
76
Ibid. h. 54 77
Allen dalam Zainal Asakin, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2013. h. 74
41
ipso jure. Tindakan yang dapat digolongkan kedalam kategori perundang-
undangan ini cukup bermacam, baik yang berupa penambahan tehadap
peraturan yang sudah ada maupun yang mengubahnya. Hukum yang
dihasilkan oleh proses seperti itu disebut sebagai hukum yang diundangkan
(enacted law, statute law) berhadapan dengan hukum yang tidak
diundangkan (unenacted law, common law). Suatu perundang-undangan
menghasilkan peraturan yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian merupakan
kebalikan dari sifat-sifat yang khusus dan terbatas.
2. Bersifat universal, ini diciptakan untuk menghadapi peristiwa-
peristiwa yang akan datang yang belum jelas bentuk kongkritnya. Oleh
karena itu ia tidak dapat dirumuskan untuk mengatasi peristiwa-
peristiwa tertentu saja.
3. Ia memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya
sendiri. Adalah lazim bagi suatu peraturan untuk mencantumkan
klausul yang memuat kemungkinan dilakukannya peninjauan
kembali.78
Dibandingkan dengan aturan kebiasaan maka perundang-undangan
memperlihatkan karakteristik, suatu norma bagi kegidupan sosial yang lebih
matang khususnya dalam hal kejelasan dan kepastiannya. Hal ini tidak
terlepas dari kaitannya dengan pertumbuhan negara itu sendiri. Aturan
kebiasaan bisa dikatakan mengurusi hubungan antara orang dengan orang
sedang perundang undangan antara orang dengan negara. Bentuk
perundang-undangan itu tidak akan muncul sebelum timbul pengertian
negara sebagai pengemban kekuasaan yang bersifat sentral dan tertinggi.
Beberapa kelebihan dari perundang- undangan dibandingkan dengan norma-
norma lain adalah pertama, Tingkat prediktibilitasnya yang besar. Hal ini
berhubungan denngan tingkat prospektif dari perundang-undangan yaitu
yang pengaturannya ditunjukkan ke masa depan dengan demikian
perundang-undangan dituntut senantiasa untuk memberi tahu secara pasti
terlebih dahulu hal-hal yang diharapkan untuk dilakukan atau tidak
dilakukan oleh anggota masyarakat. Asas- asas hukum seperti asas tidak
berlaku surut memberikan jaminan bahwa kelebihan yang demikian akan
dilaksanakan secara saksama. Kedua, Kecuali kepastian yang lebih
mengarah kepada bentuk formal diatas, perundang-undangan juga
78
Ibid. h. 76
42
memberikan kepastian mengenai nilai yang dipertaruhkan. Sekali suatu
peraturan dibuat, maka menjadi pasti pulalah nilai yang hendak dilindungi
oleh peraturan tersebut. Adapun beberapa kelemahan yang terkandung
dalam peraturan perundang- undangan adalah:
1. Kekakuannya. Kelemahan ini sebetulnya segera tampil sehubungan
dengan kehendak perundang-undangan untuk menampilkan kepastian.
Apabila kepastian itu hendak dipenuhi, maka ia harus membayarnya
dengan membuat rumusan-rumusan yang jelas, terperinci dan tegar
dengan resiko menjadi norma-norma yang kaku.
2. Keinginan perundang-undangan untuk menbuat perumusan- perumusan
yang bersifat umum mengandung resiko bahwa ia mengabaikan dan
dengan demikian memperkosa perbedaan- perbedaan atau ciri khusus
yang tidak dapat disamaratakan begitu saja. Terutama sekali dalam
suasana kehidupan modern yang cukup kompleks dan spesialistis ini
kita tidak muda membuat perampatan- perambatan (generatizations).79
Sebagai sumber hukum, perundang- undangan memiliki kelebihan
dan norma-norma sosial yang lain, karena ia dikaitkan dengan kekuasaan
yang tertinggi di suatu negara dan karenanya pula memiliki kekuasaan
memaksa yang besar sekali. Dengan demikian adalah muda bagi perundang-
undangan untuk menentukan ukuran-ukurannya sediri tanpa perlu
menghiraukan tuntutan-tuntutan dari bawah. Namun demikian ciri
demokratis masyarakat sekarang ini memberikan capnya sendiri terhadap
cara-cara pengundangan itu diciptakan, yaitu yang menghendaki masuknya
unsur-unsur sosial kedalam perundang-undangan. Menghadapi
perkembangan yang demikian itu tampaklah semakin kaburlah pemisahan
secara ketat antara konsep sumber hukum yang atas bawah dan bawah
atas tersebut. Apababila batas-batas itu sudah merasuki satu sama lain maka
menjadi penting pulalah untuk mendekati masalah perundang-undangan ini
secara sosial.
Keadaan dan susunan masyarakar modern yang mengenal pelapisan
yang makin tajam menambah sulitnya usaha untuk mengatasi
kecenderungan hukum atau perundang-undangan untuk memihak tersebut.
Dalam suasana kehidupan sosial itu mereka yang bisa bertindak efektif
adalah orang yang dapat mengontrol institusi-institusi ekonomi dan politik
dalam masyarakat. Oleh karena itu sulit untuk ditolak bahwa perundang-
undanan itu lebih menguntungkan pihak yang makmur.Yaitu mereka yang
79
Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Sinar Grafika, Jakarta, 2001. h. 43
43
lebih aktif melakukan kegiatan-kegiatan politik. Masyarakat yang
menjunjung liberalism dan ekonominya kapitalisme akan lebih
menampilkan karakteristik sosial yang demikian itu dari pada masyararakat
yang menekankan pada unsur kebersamaan dalam kehidupan sosial dan
politiknya. Didalam masyarakat yang disebut pertama, perundang-undangan
dilakukan untuk menndonrong kepentingan golongan yang satu diatas yang
lain. Dalam perundang-undangan itu tidak dapat menghindari terjadinya
kemajuan dalam pengutamaan kepentingan orang- orang tetentu sedang
golongan lain akan menjadi lebih sengsara.
Perkataan “sumber hukum” lebih menunjuk kepada pengertian
tempat dari mana asal-muasal suatu nilai atau norma tertentu berasal. Dalam
Pasal 1 Ketetapan MPR No. III/MPR/ 2000 ditentukan bahwa:
1) Sumber hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk penyusunan
peraturan perundang-undangan;
2) Sumber hukum terdiri atas sumber hukum tertulis dan sumber hukum
tidak tertulis.
Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 2 Undang Undang No 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan, disebutkan
bahwa pancasila merupakan sumber hukum Negara Kesatuan Republik
Indonesia sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat.
Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum
negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan”.
“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan menempatkan
Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar
filosofis negara, sehingga setiap materi muatan Peraturan Perundang-
undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila.80
Lebih lanjut beradasarkan Ketentuan Pasal 1 Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVIII/MPR/1998
tentang Pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
80
Penjelasan Pasal 2 Undang Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundangan-undangan
44
Indonesia Nomor II/MPR/1978 Tentang Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa) dan Penetapan Tentang
Penegasan Pancasila Sebagai dasar Negara ditegaskan bahwa : “Pancasila
sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus
dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara”.
1.6.1.4. Teori Hermeneutika Hukum
Banyak ragam metode penelitian filsafat maupun pengetahuan
ilmiah lainya, namun belum sepenuhnya mencukupi untuk menyingkap nilai
kebenaran dari realitas.81 Metode merupakan pondasi dan dasar penalaran
manusia. Setiap manusia berpikir secara khas, sebenarya sudah
menggunakan metode, hanya tingkatan kadar saja yang berbeda. Salah
satunya adalah metode hermeneutik, yaitu metode yang ditawarkan oleh
beberapa ilmuwan, untuk mencari kebenaran melalui penafsiran simbol yang
berupa teks atau benda konkret untuk dicari arti dan maknanya.
Hermeneutika secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu teori
atau filsafat tentang interpretasi makna.82
Kata hermeneutika itu sendiri
berasal dari bahasa Yunani dari kata kerja hermeneuin, yang berarti
“menafsirkan”, dan kata benda hermenia, “interpretasi”.83 Sedangkan
pengertian hermeneutik secara istilah adalah sebuah teori tentang operasi-
operasi pemahaman dalam hubungannya dengan teks.84 Jika asal kata
hermeneutika diruntut, maka kata tersebut merupakan derivasi dari kata
Hermes, seorang Dewa dalam mitologi Yunani yang bertugas
menyampaikan dan menjelaskan pesan (message) dari sang Dewa kepada
manusia. Menurut versi lain dikatakan bahwa Hermes adalah seorang
utusan yang memiliki tugas menyampaikan pesan Yupiter kepada manusia.
Tugas utama Hermes yang digambarkan sebagai seorang yang memiliki
kaki bersayap dan lebih dikenal dengan sebutan Mercurius adalah
menerjemahkan pesan-pesan dari gunung Olimpus ke dalam bahasa yang
dipergunakan oleh pendengarnya. Sejak saat itulah Hermes menjadi simbol
81
Sudarto, Metode Penelitian Filsafat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002. h.
83 82
Ahmala, Hermeneutik Transendental, IRCiSoD, Yogyakarta, 2003. h. 15 83
Hasan Sutanto, Hermeneutik Prinsip dan Metode Penafsiran Al-Kitab,
Departemen Literatur Saat, Magelang, 200. h. 1 84
Kris Budiman, Kosa Semiotika, LkiS, Yogyakarta, 1999. h. 45
45
seorang duta yang di bebani dengan misi tertentu.85
Secara teologis pesan Hermes ini bisa dinisbatkan sebagaimana
peran Nabi utusan Tuhan. Sayyed Hoseen Nashr memiliki hipotesis bahwa
Hermes tersebut tidak lain adalah Nabi Idris a.s., yang disebut dalam Al-
Quran, dan dikenal sebagai manusia pertama yang mengetahui tulisan,
teknologi tenun, kedokteran, astrologi dan lain-lain. Menurut riwayat yang
beredar di lingkungan pesantren, Nabi Idris adalah orang yang ahli di
bidang pertenunan (tukang tenun/memintal). Sedangkan di lingkungan
agama Yahudi Hermes dikenal sebagai Thoth, yang dalam mitologi mesir
dikenal dengan Nabi Musa.
Bagi Nabi Idris atau Hermes, persoalan krusial yang harus
diselesaikan adalah bagaimana menafsirkan pesan Tuhan yang berbicara
dengan bahasa “langit” dapat dipahami oleh manusia yang “berbahasa bumi”.
Dari sini makna metaforis dari profesi tukang tenun/memintal muncul, yaitu
merangkai kata Tuhan agar dapat ditangkap dan mudah dipahami oleh
manusia.
Dengan demikian kata hermeneutika yang diambil dari peran
Hermes adalah sebuah ilmu atau seni menginterpretasikan (the art of
interpretation) sebuah teks. Sebagai sebuah ilmu, hermeneutika harus
menggunakan cara-cara ilmiah dalam mencapai makna rasional dan dapat
diuji sebagai sebuah seni, ia harus menampilkan sesuatu yang baik dan
indah tentang sesuatu penafsiran.
Pengasosiasian hermeneutik dengan Hermes ini, secara sekilas
menunjukan adanya tiga unsur yang pada akhirnya menjadi variabel utama
dalam kegiatan manusia dalam memahami, yaitu:
a) Tanda, pesan atau teks yang menjadi sumber atau bahan dalam
penafsiran yang diasosiasikan dengan pesan yang dibawa Hermes.
b) Pranata atau penafsiran (Hermes).
c) Penyampaian pesan itu oleh sang perantara agar bisa dipahami dan
sampai kepada yang menerima.86
Secara lebih luas hermeneutika didefinisikan oleh Zygmunt Bauman
sebagai upaya menjelaskan dan menelusuri pesan dan pengertian dasar dari
sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang dan
85
E. Sumaryono, Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat, Kanisius, Yogyakarta,
1995. h. 24 86
Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-Tema Controversial, eLSAQ
Press, Yogyakarta, 2005. h. 4
46
kontradiktif yang menimbulkan kebingungan bagi pendengar atau pembaca.
Jika diruntut keberadaan hermeneutik dapat dilacak sampai
Yunani kuno. Pada waktu itu sudah ada diskursus hermeneutik
sebagaimana yang terdapat dalam tulisan Aristoteles yang bejudul peri
hermenian (the interpretation). Hemeneutik dalam perjalanannya,
sebagaimana dikemukakan oleh Richard E. Palmer. Palmer memberikan peta
hermeneutik sebagai berikut:
Pertama, hermeneutik sebagai teori penafsiran kitab suci.
Hermeneutik dalam bentuk ini membicarakan tentang tradisi gereja dimana
masyarakat Eropa mendiskusikan otensitas Bibel untuk mendapatkan
kejelasan maknanya, hermeneutik identik dengan prinsip interpretasi.
Kenyataan ini acap kali termanifestasikan sampai sekarang, terutama jika
dihubungkan dengan penafsiran kitab suci (exegesis of scripture) bentuk
hermeneutik semacam ini dikaji oleh J. C. Dannhauer’s. Kajian semacam ini
memiliki aneka macam bentuk dan melahirkan berbagai corak pemikiran
seperti yang dilakukan Martin Luther yang memberikan interpretasi dalam
Bibel melukis mistik, dogmatik, humanis, dan lain sebagainya.
Kedua, hermeneutik sebagai sebuah metode filologi. Dimulai
dengan munculnya rasionalisme dan hal-hal yang berhubungan dengannya,
perjalanan filologi klasik pada abad ke-18 mempunyai pengaruh pada
hermeneutik Bibel. Kenyataan ini menimbulkan metode kritik sejarah dalam
teologi. Kajian dalam bentuk semacam ini dimulai oleh Ernesti pada 1761 M.
sampai akhirnya corak ini dianggap sebagai metode penafsiran sekuler oleh
pihak gereja. Namun, sejak munculnya abad pencerahan di Eropa sampai
sekarang, metode Bibel tidak dapat dipisahkan dengan metode research
dalam filologi. Kehadiran bentuk ini mulai tampak pada abad ke-19 M yang
sering didiskusikan oleh filolog, Schleimacher, Frederich August Wolf, dan
Frederich Ast. Ia memberikan porsi yang sama dengan tafsir terhadap kitab
suci dan teks lainnya.87
Ketiga, hermeneutik sebagai ilmu pemahaman linguistik (science of
linguistic understanding). Schleimacher membedakan hermeneutik sebagai
science (ilmu) dan hermeneutik sebagai art (seni) dalam memahami. Bentuk
memahami dalam hermeneutik merupakan arti secara umum dalam
keilmuan hermeneutik dan hal ini masih digunakan sampai saat ini. Arti
tersebut merupakan asal dari hermeneutik. Oleh karena itu, dalam perspektif
87
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika Al-Qur’an Madzhab Yogya, Islamika,
Yogyakarta, 2003. h. 57
47
historis, hermeneutik patut dianggap sebagai pahlawan dalam penafsiran
Bibel serta filologi tradisional. Sebab dengan munculnya kedua bentuk
disiplin tersebut menandai adanya pemahaman secara linguistic (bahasa)
terhadap teks.
Keempat, hermeneutik sebagai tradisi ilmu kemanusiaan. Kerangka
hermeneutik dalam bentuk ini dimulai Wilhelm Dilthey.88
Ia berusaha
membawa hermeneutik dalam menafsirkan ilmu kemanusiaan, seperti
menginterpretasikan ekspresi kehidupan manusia. Dilthey memberi kritik
terhadap Kant terutama dalam pure reason-nya. Di akhir perkembangan
pemikiran Dilthey, mereka berusaha menginterpretasikan psikologi dalam
memahami dan menginterpretasikan.
Kelima, hermeneutik sebagai fenomena das sein dan pemahaman
eksistensialisnya yang dipengaruhi gurunya, Edmund Husserl dalam
perjalanannya bentuk hermeneutik filosofis ini dikembangkan oleh Gadamer
yang memberikan perhatian lebih terhadap hermeneutik dalam kaitannya
dengan filsafat. Ia tidak percaya dengan adanya metode tertentu dalam
mendapatkan hasil yang baik dalam menginterpretasikan teks.
Keenam, hermeneutik sebagai sistem penafsiran. Bentuk pemaknaan
hermeneutik merupakan suatu teori tentang seperangkat aturan yang
menentukan yaitu interpretasi (exsegesis) suatu bagian dari teks atau
sekumpulan tanda yang dianggap sebuah teks kajian tipe terakhir dari
hermeneutik ini dikemukakan oleh Paul Ricouer.Asumsi paling mendasar
dari hermeneutika ini sebenarnya sudah jelas, yaitu adanya pluralitas dalam
proses pemahaman manusia; pluralitas yang dimaksud sifatnya niscaya,
karena pluralitas tersebut bersumber dari keragaman konteks hidup
manusia.89
Sebenarnya, kesadaran akan pluralitas pemahaman yang disebabkan
oleh perbedaan konteks ini telah muncul sejak lama dalam tradisi intelektual
filosofis, misalnya dalam pembedaan antara nomena-fenomena dari
Immanuel Kant. Menurut Kant, ketika seseorang berinteraksi dengan
sesuatu dan kemudian memahaminya lalu menghasilkan sebuah
pengetahuan tentang sesuatu tersebut, tidak pernah seseorang itu mampu
memproduksi pengetahuan tentang sesuatu tersebut sebagai sesuatu yang
88
Hans George Gadamer, Kebenaran dan Metode Pengantar Filsafat
Hermeneutika, Terjemah oleh Ahmad Sahidah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004. h. 260 89
M. Mansur, Studi Al-Qur’an Kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metodologi
Tafsir, PT. Tiara Wacana, Yogyakarta, 2002. h. 104
48
otentik sebagaimana adanya namun pengetahuan yang dihasilkanya adalah
pengetahuan tentang sesuatu itu “menurut dia” atau “sebagaimana yang ia
tangkap” peristiwa yang sama, jika dipahami oleh yang berbeda. Sangat
mungkin hasil pemahamannya juga berbeda.90
Bahkan peristiwa yang sama
jika dihayati oleh orang yang sama dalam waktu yang berbeda, sangat
mungkin hasil penghayatanya juga berbeda. Peristiwa itu sendiri tidaklah
terjangkau karena selalu saja ketika disentuh dipahami orang, maka
peristiwa tersebut menjadi “peristiwa menurut yang menyentuh atau yang
memahaminya”.
Problema dasar yang diteliti hermeneutika adalah masalah
penafsiran teks secara umum, baik berupa teks historis maupun teks
keagamaan. Oleh karenanya, yang ingin dipecahkan merupakan persoalan
yang sedemikian banyak dan kompleks yang terjalin di sekitar watak dasar
teks dan hubunganya dengan al-turats disatu sisi, serta hubungan teks
dengan pengarangnya di sisi lain.91 Yang terpenting di antara sekian banyak
persoalan di atas adalah bahwa hermeneutika mengkonsentrasikan diri pada
hubungan mufassir (kritikus untuk kasus teks sastra) dengan teks. Kosentrasi
atas hubungan mufassir dengan teks ini merupakan titik pangkal dan
persoalan serius bagi filsafat hermeneutik. Dalam penilaian penulis,
hermeneutika merupakan sisi yang terabaikan sedemikian rupa dalam
berbagai studi sastra sejak Plato hingga era modern. Istilah hermeneutik
sebenarnya merupakan istilah klasik yang pertama kali digunakan dalam
wilayah studi teologis untuk menunjuk pada sebuah kaidah dan kriterium
yang harus diikuti mufassir untuk memahami teks-teks keagamaan (kitab
suci). Dengan pengertian semacam ini, hermeneutika berbeda dengan tafsir
yang didenotasi oleh istilah exsegesis dengan asumsi bahwa tafsir atau
(exsegesis) itu menunjuk penafsiran itu sendiri dengan detail-detail
aplikasinya, sementara hermeneutika mengacu pada teori penafsiran. Istilah
tertua yang menunjuk pada pengertian ini digunakan pada tahun 1654 dan
berkesinambungan hingga dewasa ini terutama di lingkungan Protestanism.
Apabila dikaitkan dengan proses interpretasi teks-teks, maka objek
hermeneutika dalam diskursus filsafat modern terkait dengan masalah-
90
Ali Harb, Kritik Kebenaran, Diterjemahkan dari Naqd Al-Haqiqah oleh
Sunarwoto Demo, LkiS, Yogyakarta, 2004. h. 37 91
Nashr Hamid Abu Zaid, Hermeneutika Inklusif, Terjemah oleh Muhammad
Mansur, LkiS, Yogyakarta, 2004. h. 3
49
masalah yang timbul di seputar apa yang dikenal sebagai “problem
hermeneutik”. Problem semacam ini timbul dengan sendirinya ketika
seseorang disodori teks yang masih asing dan berusaha ia pahami. Pada
kondisi demikian, terjadi kesenjangan pemahaman akibat perbedaan jarak,
waktu, dan kebudayaan yang melingkupi keduanya, menurut Bleicher,
“Problem hermeneutis muncul ketika seseorang berusaha memahami
ekspresi-ekspresi manusia yang bermakna dan pada bagaimana
menerjemahkan narasi-narasi yang bermakna subjektif tersebut menjadi
objektif, sementara dalam kenyatannya, ia dimediasi oleh subjektifitas
penafsir".92
Dalam pandangan Bleicher di atas, ada beberapa persoalan penting
yang perlu diperhatikan, petama terdapat bentuk-bentuk ekspresi manusia
yang bermakna. Ekspresi tersebut, menurut hemeneutika, biasanya tertuang
dalam teks, apa pun bentuknya, kedua ada upaya menafsirkan ekspresi yang
terdapat dalam teks yang masih subjektif kedalam bahasa yang lebih
objektif. Sehingga dapat dikomunikasikan dan dipahami orang lain. Ketiga,
proses penafsiran yang dilakukan oleh seorang penafsir senantiasa di
prasuposisi oleh prapaham atau cakrawala mengenai pemirsa (audiens)
dimana penafsiran tesebut ditujukan, artiya sebuah penafsiran senantiasa
terikat dengan persoalan “mengapa teks ditafsirkan untuk kepentingan apa
dan bagi siapa”.
Ketiga elemen hermeneutis yang dipostulatkan dari pernyataan
Bleicher di atas, jika diradikalkan ke dalam bentuk-bentuk struktural, akan
merujuk ke sebuah “struktur triadik” yang menyusun kegiatan penafsiran,
sebagaimana terefleksi juga dalam mitologi Yunani kuno mengenai, makna
proses interpretasi. Pertama tanda, pesan atau teks dari berbagai sumber;
kedua, seorang mediator yang berfungsi menerjemahkan tanda atau pesan
sehingga dapat dengan mudah dipahami, ketiga, audiens yang menjadi
tujuan sekaligus memprosuposisi penafsiran, ketiga unsur tersebut saling
berhubungan secara dialektis dan masing-masing memberi sumbangan bagi
proses pembentukan makna.
Unsur-unsur yang membentuk kegiatan interpretasi diatas pada
gilirannya merangsang dan memperluas penyelidikan terhadap unsur-unsur
utama dari ”problem hermeneutis” yang menjadi perhatian hermeneutika
modern sebagaimana disingung sebelumnya, jika dirinci lagi maka para
92
Ilham B. Saenong, Hermeneutik Pembebasan: Metodologi Tafsir Al-Qur’an
Menurut Hanafi, Teraju, Jakarta, 2002. h. 32
50
teoritus hermeneutik bergerak pada tiga wilayah penyelidikan; pertama asal
usul teks, kedua apa makna “memahami teks”, ketiga, bagaimana
pemahaman atau penafsiran dideterminasi oleh berbagai asumsi,
kepercayaan, dan cakrawala orang-orang yang menjadi tujuan penafsiran.93
Setiap saat manusia dihadapkan pilihan-pilihan dan setiap pilihan
menuntut keputusan dan keyakinan teologis seseorang akan mempunyai
dampak eksatologis, yang menyangkut konsep keselamatan di dunia dan
akhirat. Tentu saja urgensi penafsiran yang tepat adalah agar seseorang
bias mengambil keputusan yang tepat dalam berbagai aspek kehidupan yang
konkret.94
Oleh karena itu, hampir pada setiap tindakan pengambilan
keputusan, manusia dituntut melakukan pemahaman dan penafsiran atas
fenomena dan peristiwa yang terjadi ketika menyangkut soal keyakinan
agama. Jika orang bisa memilih dan mengenakan baju secara berganti-ganti
setiap saat, tidaklah demikian halnya dengan pilihan dan pemahaman agama.
Dari sudut pandang semiologi, dimanapun berada di kelilingi oleh
teks yang menyimpan pesan yang paling menyolok tentu papan iklan dan
tanda- tanda petunjuk jalan. Teks dalam pengertian ini hampir identik
dengan kata, ayat dalam bahasa Arab. Al-Qur'an yang berarti tanda (sign).
Kehadiran sebuah tanda (signfer) selalu mengasumsikan adanya objek yang
ditandai (signted). Fenomena mendung, milsanya berkorelasi dengan air,
entah air hujan yang diperkirakan akan turun atau gumpalan uap air di udara
yang datang dari laut akibat penguapan yang kemudian dinamakan
mendung.
Dunia manusia yang berperadaban sebagian besar merupakan dunia
makna-makna tentang kaidah moral dan pengetahuan, baik mengenai dunia
bersifat empiris maupun metafisis. Dunia makna ini kemudian diawetkan
dalam wadah berupa tradisi yang dikomunikasikan secara turun temurun
melalui bahasa lisan maupun tulisan. Bahkan Tuhan berkomunikasi pada
manusia melalui media bahasa, misalnya Al-Qur'an yang berbahasa Arab.95
Persoalan muncul, antara lain apa jaminan sebuah komunikasi
terhindar dari salah paham? bagaimana sebuah generasi yang hidup di
zaman dan tempat yang berbeda bisa menangkap gagasan secara benar dari
generasi terdahulu yang perjumpaanya hanya diwakili oleh sebuah teks atau
93
Ibid. h. 34 94
Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, Teraju, Jakarta, 2004. h. 3 95
Ibid. h. 15
51
karya tulis? lebih jauh lagi, benarkah pemahaman seorang muslim tentang
isi Al- Qur'an sudah persis sebagaimana yang dikehendaki oleh pengarang
(Tuhan). Bisakah mufassir menangkap gagasan Muhammad Rasulullah
melalui sepotong- sepotong kalimat yang terhimpun dalam kitab Hadis.
Persoalan- persoalan inilah yang dimaksud sebagai persoalan hermeneutik.
Secara teologis diyakini adanya perbedaan antara Al-Qur'an dan
kitab- kitab suci lain. Menurut keyakinan umat Islam, Al-Qur'an baik lafal
maupun makna adalah firman Allah yang didektekan jibril kepada
Muhammad.96 Keyakinan ini tentu tidak mudah diterima oleh pemeluk
agama lain. Di sini unsur keyakinan dan keimanan ikut berperan. Terlepas
apakah memang demikian halnya ataukah tidak, yang pasti Al-Qur'an
tertulis dalam bahasa Arab ataukah tidak, yang jelas Al-Qur'an tertulis
dalam bahasa Arab dan persoalan hermeneutik selalu muncul ketika teks
klasik dibaca dan dipelajari oleh generasi berikutnya yang hidup berselang
waktu dan tempat.97
Belum lagi mereka yang membaca Al-Qur'an melalui terjemahan,
Al- Qur'an selalu mengembara dan menjenguk murid-muridnya bukan juga
para lawan yang mengkritiknya – yang terbesar di seluruh pelosok bumi
sejak 15 abad yang lalu. Dengan kekuatan yang ada pada dirinya sendiri, Al-
Qur'an melayani setiap pertanyaan dan sanggahan pembacanya, yang datang
dari berbagai latar belakang kultur dan disiplin keilmuan.98
Mengingat bahasa manusia demikian banyak ragamnya, sedangkan
setiap bahasa mencerminkan pola kebudayaan tertentu, maka problem
terjemahan dan penafsiran merupakan problem pokok dalam hermeneutik.
Dengan begitu problem hermeneutik selalu berkaitan dengan proses
pemahaman, penafsiran dan penerjemahan atas sebuah pesan lisan atau
tulisan untuk selanjutnya disampaikan kepada masyarakat yang hidup dalam
dunia yang berbeda.99
Memang dapat dimaklumi bahwa Al-Qur'an secara empiris adalah
sebuah naskah teks, sebagai suatu kitab yang menggunakan secara
komunikasi bahasa. Namun demikian, hendaklah dipahami bahwa Al-Qur'an
berbeda dengan teks sastra ataupun teks-teks lainnya, kekhususan ini karena
96
Muhammad Nor Ichwan, Memasuki Dunia Al-Qur’an, Lubuk Raya, Semarang,
2001. h. 4-10 97
Muzauri, Hermeneutika Al-Qur’an, Islamika, Yogyakarta, 2003. h. 69 98
Komaruddin Hidayat, Op.Cit. h. 17 99
Ibid.
52
sifat hakikat bahasa yang terkandung di dalam Al-Qur'an yang memiliki
fungsi yang berbeda dengan fungsi bahasa lainnya dalam komunikasi antara
manusia lainnya. Perbedaan ini terletak pada hakikat makna, fungsi bahasa
Al-Qur'an yang khas, universal dan mengatasi ruang serta waktu. Oleh
karena itu, kajian semantik Al-Qur'an yang hanya mendasarkan pada kaidah
linguistik dalam menafsirkan makna yang dikandungnya akan banyak
mengalami kesulitan dan keterbatasan. Al-Qur'an bagaikan cermin atau
kamera foto yang sanggup memantulkan seribu satu wajah sesuai orang
yang datang untuk bercermin dan berdialog dengannya, dan makna bisa
berubah mengikuti perubahan. Konstelasi perhubungan antara manusia
dengan lingkupnya. Makna terus menerus digali atau diciptakan manusia
untuk kelangsungan hidupnya.100
Atau dengan ungkapan lain dapat
dikatakan mempunyai banyak lapisan makna, yang dapat dibaca berbeda-
beda oleh kepentingan yang berbeda sesuai dengan perkembangan zaman.
Seorang penulis teks menghasilkan makna yang pada awal tidak disadari
dan tidak dimaksudkannya. Dengan mendekonstruksi teks itu, makna-makna
tersebut muncul sendiri dapat ditemukan. Sedangkan menurut Haryatmaka,
bahwa salah satu kekuatan sastra ialah membantu pembaca untuk bercermin
dan menemukan kemanusiaannya tanpa harus merasa digurui. Bukan
memperkosa teks yang dilakukan oleh pembaca ketika ia menafsirkan
sebuah karya tetapi merupakan upaya untuk masuk di dalam lintasan makna
teks.101
Dengan demikian, pembaca tidak terjebak untuk mencari maksud
pengarang, namun hendak menyingkap makna teks itu sendiri, bahkan
mengutamakan reproduksi maksud pengarang, namun memproduksi makna.
Sehingga, sesungguhnya pemaknaan yang muncul dari Al- Qur'an juga
dipengaruhi oleh alam pikiran, kultur dan bahasa pihak pembacanya (the
world of readers). Setiap pembaca, disadari atau tidak, melakukan tindakan
hermeneutik atau penafsiran yang dianggap otentik dan cocok bagi
dirinya. Setiap orang, pada saat-saat tertentu, harus melakukan ijtihad untuk
dirinya, setiap orang adalah mujtahid bagi dirinya. Ketika membaca Al-
Qur'an dan terjemahannya, pembaca dihadapakan pada berlapis- lapis
penafsiran. Pemahaman yang diambil adalah produk dari proses dan mata
100
A. Sudiarto, Jaques Deridda Setahun Sesudah Kematiannya, Dalam Jurnal Basis
Edisi Khusus Derida, 2005. h. 6 101
Haryatmaka, Memecah Kesunyian Dunia Satu Dimensi, Jurnal Basis Edisi Ke 45
September-Oktober 2005. h. 15
53
rantai penafsiran yang panjang. Jika diurut penafsiran pertama dilakukan
oleh jibril yang kemudian dilakukan Muhammad saw.
Al-Qur'an sebagai sebuah teks tidak dapat dilepaskan dari konstruksi
situasi pada saat dibahasakan yang diwujudkan dalam susunan semiotika
Arab. Oleh sebab itu kalau dilihat dari susunan bahasanya sebenarnya sebagai
sebuah ungkapan makna substansi (ajaran) dari Allah tetapi dipergunakan
susunan bahasa yang dimengerti oleh masyarakat Arab yang bersifat relatif
dan sederhana sesuai dengan situasi pada saat itu.102
Perspektif ilmu hermeneutika sebagai ilmu interpretasi terhadap teks
suci Al-Qur'an berarti pula sebagai teori pemahaman terhadap wahyu dari
dataran perkataan sampai pada dataran dunia konkret (dari lafadz ke arah
kenyataan) atau dari logos sampai ke praksis. Proses penafsiran ilmiah yang
bergerak dari teks ke arah realitas sosial tidak dapat dilepaskan dari proses
berteologi seraya dibantu dengan ilmu / sains modern.
Begitu Muhammad Rasulullah wafat, proses penafsiran dan
penerjemahan atas teks Al-Qur'an dan Hadits berkembang terus hingga
sekarang. Karena bahasa dan kebudayaan tidak bisa dipisahkan maka
karya terjemahan dan penafsiran yang hanya terpaku pada gramatika bahasa
akan kehilangan banyak dimensinya yang sangat fundamental.103
Setiap teks lahir dalam sebuah wacana yang memiliki banyak
variabel, antara lain kondisi politis, ekonomis, psikologis, dan sebagainya.
Ketika wacana yang bersifat spontan dan dialogis dituliskan dalam teks, ada
variabel yang hilang, yang potensial melahirkan salah paham di kalangan
pembacanya. Atau setidaknya pengetahuan yang diperoleh melalui dialog
lisan akan berbeda dari pengetahuan yang didapat hanya melalui buku.
Gagasan yang ditemukan dalam sebuah buku tidak lagi disertai kehadiran
pembacanya dan juga tidak tahu suasana sosio-psikologis dari
pengarangnya.
Sebagaimana yang dibicarakan di muka, proses pemahaman,
penafsiran dan penerjemahan atas sebuah teks selalu mengasumsikan adanya
tiga subjek yang terlibat, yaitu: dunia pengarang, dunia teks dan dunia
pembaca. Persoalan menjadi rumit ketika jarak waktu, tempat dan
kebudayaan antara pembaca dan dua yang lain yaitu pengarang dan teks
demikian jauh. Teks-teks keagamaan yang lahir sekian abad yang lalu di
102
Chumaidi Suant Nomas, Wacana Teologi Islam Kontemporer, PT. Tiara
Wacana, Yogyakarta, 2000. h. 1 103
Komaruddin, Op.Cit. h. 19
54
dunia timur tengah, ketika hadir di tengah masyarakat Indonesia kontemporer
tentu saja merupakan sesuatu yang asing. Persoalan keterasingan inilah yang
menjadi persoalan hermeneutik sebagai sebuah teori interpretasi. Pera
hermeneutik adalah bagaimana menafsirkan teks klasik atau teks yang
asing sama sekali agar menjadi milik bersama yang hidup di zaman dan
tempat serta suasana kultural yang berbeda.104
Dalam tradisi hermeneutika modern menurut Komarudin Hidayat
dikenal tiga orang yang disebut sebagai “three master of prejudices” yaitu
Sigmund Freud, Karl Marx, dan Friedrich Nietzsche. Sikap “prejudice” atau
prasangka ini dimaknai secara positif agar tidak tergesa-gesa mengambil
kesimpulan. Sikap ini dialamatkan kepada setiap teks yang dijumpai, juga
ditujukan kepada pihak pembacanya sendiri. Menurut Freud bawah sadar
setiap pengarang, juga pembaca pasti turut berperan dalam memandang dan
menafsirkan realitas. Isi bawah sadar yang paling dominan, kata Freud
adalah dorongan dan ilusi-ilusi libido. Jika asumsi Freud ini diterapkan pada
hermeneutika Al-Quran, maka fenomena yang segera muncul adalah
bagaimana mesti memahami narasi Al-Quran yang bercorak samangat laki-
laki? Bukankah kultur Arab lebih dominan peran sosial laki-lakinya? Bagi
umat Islam, tentu saja hal itu semata menyangkut masalah metodologi
bukanya subtansi.105
Tetapi dengan pendekatan, Freudian, secara menyolok, ditemukan
indikasi-indikasi bahwa dorongan bawah sadar berupa libido tidak bisa
dielakkan dan ditempatkan pada posisi metodologis semata. Kalau saja Al-
Quran bukan firman Allah yang suci maka, dengan mudah para musfassir
mengatakan hal itu sebagai refleksi bawah sadar pengarangnya. Tetapi,
karena Al-Quran diyakini sebagai firman suci Allah yang terbebaskan dari
katagori gender, maka pemihakan naratif Al-Quran pada kaum laki-laki bisa
jadi mengungkapkan dimensi freudian masyarakat Arab kala itu. Jadi,
pemihakan ini tidak semata metodologis, tetapi juga subtansial karena juga
disapa oleh Al- Quran kala itu adalah masyarakat Arab yang didominasi oleh
laki-laki. Hal ini bisa dilihat pada kenyataan isyarat pada penggambaran Al-
Quran mengenai berita-berita kenikmatan surgawi yang dikaitkan dengan
kenikmatan seksual dan sensual dalam figur bidadari dan wanita cantik.
Selanjutnya, Karl Marx mengajak untuk mewaspadai kesadaran
104
Ibid. h. 26 105
Ibid. h. 27
55
pengarang dan pembaca yang mudah sekali dipengaruhi oleh situasi
ekonomi dan politik. Kelahiran jenis teks apa pun, termasuk teks keagamaan,
tidak luput dari pengaruh ekonomi dan politik, sebuah teks atau ceramah
keagamaan yang disampaikan ulama yang bersahabat dengan istana raja atau
presiden, yang dimanjakan oleh harta dan fasilitas politik pasti berbeda
ceramah atau karya tulis yang lahir dari ulama yang kritis terhadap istana.
Secara karikatural, doa yang dipanjatkan pada Tuhan dikala seorang
hidup berkecukupan tentu berbeda narasi dan semangatnya ketika
dipanjatkan saat dia jatuh miskin dan hidup menderita hal ini pernah terjadi
di masyarakat Eropa, para pendeta dan gereja telah bersekutu dengan
peguasa kerajaan. Fungsi agama telah diubah citranya menjadi alat
“meninabobokkan” dengan janji penyelamatan di atas kelaparan dan
penderitan massa.106
Asumsi ini juga bisa untuk menjelaskan perkembangan literatur
keislaman yang menonjol dari zaman ke zaman. Yaitu di abad tengah buku-
buku tentang hukum Islam cukup menonjol karena penguasa perlu untuk
mengendalikan perilaku politik, sosial, ekonomi, sebagai akibat
perkembangan dunia islam yang sangat mengesankan tetapi, karena setiap
kemegahan politik dan materi cenderung memancing korupsi dan konflik,
maka krisis moral yang terjadi dipusat kekuasaan telah melahirkan reaksi
para ulama puritan yang kemudian melahirakan karya tulis dengan semangat
jutisme dan oposisi.Demikianlah seterusnya ketika Islam berjumpa dengan
kekuatan Barat, retorika dan teks-teks keislaman yang muncul juga bergeser
arah dan gerak pendulumnya. Jadi meminjam analisis Marxian, dalam
memahami dan menafsirkan teks, asumsi-asumsi kepentingan politis-
ekonomis akan sangat besar pengaruhnya dan ini harus mampu secara kritis
mengambil jarak dan melakukan dekontruksi dalam rangka memperoleh
kebenaran objektif, lebih dari itu, menafsirkan sebuah teks sesungguhya
juga memproduksi ulang pikiran pengarangnya sendiri makanya, tidak
mengherankan kalau syarah yaitu komentar atas sebuah karya tulis jumlah
halamannya bisa melebihi jumlah halaman buku yang dikomentari. Begitu
juga gagasan berkembang kesana-kemari.
Kemudian Nietzshe, mengatakan bahwa pada setiap orang pada
dasarnya memiliki dorongan untuk mengguasai orang lain, dengan begitu
perlu waspada dalam memahami setiap teks dan jenis komunikasi apa pun
106
Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx: Materialisme Dialektis dan
Materialisme Historis, LkiS, Yogyakarta, 2004. h. 164
56
karena di dalamnya pasti terbesit maksud untuk mempenggaruhi dan
menundukan orang lain agar mengikuti pendapatnya. Seorang pengarang
atau pembicara ingin agar dirinya dikatakan hebat lalu diikuti serta dipuji
oleh orang banyak. Untuk membangun image itu, pengarang berusaha
menciptakan ungkapan dan metode untuk mempengaruhi dan menaklukan
masyarakat pembacanya, sehingga akan lebih peka terhadap makna dan
informasi yang mendukung ambisinya untuk berkuasa.
Mempertimbangkan asumsi dan peringatan yang dikemukaan Freud,
Marx, maupun Nietzsche, hermeneutika sebagai sebuah metodologi
penafsiran berusaha memperingatkan pembaca untuk bersikap “curiga”
kepada setiap teks agar faktor- faktor subjektif, baik pembaca maupun
pengarang.107
Subjektifitas tersebut misalnya bisa ditekan sekuat-kuatnya,
sehingga gambaran tentang sebuah kebenaran mutlak dan objektif, meskipun
kebenaran makna tekstualnya mudah diperoleh. analogi historis tidak selalu
menghasilkan gambaran yang jernih karena variabel yang terlibat adalah
subjek yang hidup. Bahkan, dalam menafsirkan sejarah, suasana kekinian
dan imajinasi masa depan sangat mewarnai benak sejarahwan. Oleh
karenanya, objektivitas historis kemudian menjadi kabur, yang ada adalah
sebuah intensi ke depan berdasarkan asumsi- asumsi dan sistem nilai yang
diwariskan oleh tradisi.
Selanjutnya dibahas mengenai hermeneutika hukum. Secara umum
objek kajian hermeneutika hukum itu sangat luas, tergantung dari sudut
mana melihatnya. Pertama, objek kajian hermeneutika hukum itu dapat
berupa teks, lontar, atau ayat/wahyu Tuhan yang tertuang dalam kitab-kitab
suci. Pendapat ini bisa dibenarkan, manakala kita memahami pengertian
hermeneutika itu sebagaimana direpresentasikan dalam teologi kristiani
melalui dewa Hermes, dalam terminologi agama Yahudi melalui dewa Toth,
dalam mitologi Mesir kuno melalui Nabi Musa, dan/atau dalam tradisi
pesantren/kalangan ummat Islam melalui Nabi Idris. Simbol penokohan
kepada para dewa dan Nabi tersebut, esensinya mereka semua itu berperan
sebagai perantara untuk menyampaikan sekaligus menafsirkan “pesan, ayat,
dan wahyu” Tuhan kepada ummat manusia.108
Kedua, objek kajian hermeneutika hukum dapat berupa teks hukum,
naskah-naskah hukum klasik, dokumen resmi negara, ayat-ayat al-ahkam
107
Komaruddin Hidayat, Op.Cit. h. 24 108
Bandingkan dengan Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang…, Op. cit., h. 94-
103; Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, Sheed & Ward, London, 1975, h. 289.
57
atau konstitusi sebuah negara. Sebab dokumen sejarah atau tatanan norma
dalam kehidupan bernegara itu tidak semuanya bisa dipahami oleh
rakyatnya. Dalam hal ini, diperlukan suatu lembaga resmi untuk
menafsirkannya. Lembaga resmi itu, bisa berupa sebuah lembaga negara,
komisi negara, badan hukum, atau individu yang diberi wewenang dan tugas
untuk itu (peran interpretatif). Ketiga, objek kajian hermeneutika hukum
dapat juga berupa peristiwa hukum atau pemikiran hukum. Sebab, peristiwa
hukum maupun hasil pemikiran/doktrin hukum itu dalam pengertian hukum
dapat dijadikan alat bukti ataupun sumber hukum. Sebagai contoh, doktrin
tentang negara hukum rechtsstaat atau rule of law (hasil
pemikiran/pendapat para ahli yang kompeten) itu merupakan sumber
hukum materiil dalam pengertian hukum tata negara.109
Dalam pengertian dan pembidangan kajian yang terurai seperti di
atas, objek kajian hermeneutika hukum menjadi lebih jelas dan terukur. Jika
disimpulkan maka objek kajian hermeneutika hukum itu berupa: teks
hukum, ayat-ayat al-ahkam, doktrin hukum, asas hukum, prinsip-prinsip
hukum, norma hukum (nasional dan internasional), maupun yurisprudensi
putusan peradilan dan keputusan masyarakat hukum adat juga termasuk
objek kajian Hermeneutika Hukum.
Salah satu fungsi dan tujuan mempelajari hermeneutika menurut
James Robinson adalah untuk “bringing the unclear into clarity”110
(memperjelas ‘sesuatu’ yang tidak jelas supaya lebih jelas). Sedangkan
menurut Leyh, tujuan dari pada “hermeneutika hukum” adalah untuk
menempatkan perdebatan kontemporer tentang interpretasi hukum di dalam
kerangka hermeneutika pada umumnya. Upaya mengkontekstualisasikan
teori hukum dengan cara ini serta mengasumsikan bahwa hermeneutika
memiliki korelasi pemikiran dengan ilmu hukum atau yurisprudensi.111
Secara epistemologis, hermeneutika hukum merupakan istilah yang
terbuka terhadap beberapa kemungkinan interpretasi. Ia tidak
mengisyaratkan beberapa konsep dogmatik atau hermeneutika tunggal,
walaupun pembaca akan menemukan konsep hermeneutika filosofis dari
Gadamer.
109
Bandingkan dengan Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang…, Op. cit., h. 94-
103; Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, Sheed & Ward, London, 1975, h. 289. 110
James M. Robinson, “Hermeneutic Since Barth” dalam “New Frontiers in
Theology”,dimuat dalam Gregory Leyh, Legal Hermeneutics: …, Ibid., h. 103. 111
Lihat dalam Gregory Leyh, Ibid., h. xi.
58
Hermeneutika filosofis (Gadamer) adalah sebuah usaha untuk
mengidentifikasi kondisi pemahaman manusia yang tidak dapat dikurangi
lagi. Tujuannya bukan untuk mengembangkan sekumpulan aturan atau
prosedur untuk interpretasi teks. Jadi sasarannya adalah filosofis yaitu untuk
mengidentifikasi “bukan apa yang kita lakukan atau apa yang wajib kita
lakukan (dalam interpretasi), tetapi pada apa yang terjadi pada kita di atas
dan di bawah keinginan dan tindakan kita.”Dengan demikian hermeneutika
filosofis mempunyai tugas ontologis, yaitu menggambarkan hubungan yang
tidak dapat dihindari antara teks dan pembaca, masa lalu dan sekarang, yang
memungkinkan untuk memahami kejadian yang pertama kali (genuin).
Terdapat juga dimensi demistifikasi terhadap hermeneutika hukum. Hukum
intinya adalah aktivitas pembentukan aturan (rule-governed). Kadang-
kadang dikatakan bahwa aturan formal dan doktrin hukum menyajikan
kepastian dan stabilitas yang dibutuhkan oleh masyarakat sipil.
Hermeneutika mencari cara untuk menggantikan pandangan hukum
formalistis ini, walaupun tidak secara total.112
1.6.2. Penjelasan Konsep
Menurut Masri Singarimbun: “konsep adalah generalisasi dari
sekelompok fenomena tertentu, sehingga dapat dipakai untuk menggambarkan
berbagai fenomena yang sama”.113 Senada dengan Masri juga dijelaskan oleh
John J.O.I Ihalauw yang mengemukakan: “Konsep ialah simbol yang
digunakan untuk memaknai fenomena tertentu. Apabila seseorang hendak
mengemukakan gagasan kepada orang lain maka ia harus menyampaikan
melalui bahasa, baik itu bahasa alamiah maupun bahasa buatan.”114
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa bonsep
merupakan pandangan umum yang digunakan untuk menjelaskan hal sejenis
yang disampaikan melalui bahasa verbal atau nonverbal. Untuk membahas
perumusan masalah dalam disertasi ini dikemukakan beberapa konsep yang
relevan, baik berdasarkan doktrin maupun tataran norma.
1.6.2.1 Konsep Demokrasi
Dalam Oxford English Dictionary: disebutkan bahwa “Demokrasi
adalah pemerintahan oleh rakyat, bentuk pemerintahannya terletak pada
112
Ibid., h. iv-vi. 113
Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi, Metode Penelitian Survai, LP3ES,
Jakarta, 1982, h.14. 114
John J.O.I Ihalauw,Op.Cit, h. 24-25.
59
kedaulatan rakyat secara menyeluruh dan dijalankan secara langsung oleh
rakyat atau oleh pejabat yang dipilih oleh rakyat”. Sedangkan secara
epistimologi, istilah demokrasi dapat dikemukakan oleh beberapa tokoh
yang tentu memiliki pandangan dan pemahaman yang berbeda diantara para
ahli, hal ini didasari pada sudut pandang masing-masing terhadap makna
demokrasi tersebut yang berbeda. H. L. Mencken115 menyebutkan
“Demokrasi adalah sebuah teori yang mana rakyat tahu apa yang mereka
butuhkan dan pantas dapatkan sangat berat. Sedangkan G. B. Shaw116
mengatakan bahwa “Demokrasi adalah pemilu pengganti” oleh pihak yang
tidak kompeten dimana banyak kesepakatan yang diselewengkan.
Dalam kaitan tersebut E. E. Schattschneider117
memberikan
pengertian terhadap “demokrasi adalah system politik yang kompetitif yang
dimana terdapat persaingan antara para pemimpin dan organisasi-organisasi
dalam menjabarkan alternatif-alternatif kebijakan publik sehingga publik
dapat turut berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Sedangkan
Robert Dahl menyebutkan :
Demokrasi memberikan kesempatan untuk 1) partisipasi secara efektif,
2) setara dalam hak suara, 3) menjalankan control akhir terhadap
agenda dan 4) melibatkan orang dewasa. Institusi-institusi politik
penting untuk mencapai tujuan-tujuan : 1) pejabat terpilih, 2) pemilu
yang bebas, adil dan rutin, 3) kebebasan berpendapat, 4) adanya sumber
informasi alternatif, 5) otonomi asosional, dan 6) kewarganegaraan
yang inklusif.118
Dari berbagai definsi-definisi tentang demokrasi di atas muncul
persepsi yang berbeda, ada yang berpandangan minor hingga ke pandangan
yang optimis. Namun demikian kata kunci dari pendefinisian demokrasi
tersebut menempatkan rakyat pada posisi yang penting dalam pengelolaan
pengambilan keputusan melalui partisipasi dan control sosial.
Pada gilirannya konsep demokrasi tersebut melahirkan dua
pendekatan yang lazim digunakan apabila hendak menjelaskan konsep
demokrasi, yaitu pendekatan klasik normatif yang juga dikenal dengan
115
James N. Danziger, Understanding The Political World: A Comparative
Introduction to Political Science, 4th Edition, Long Man, New York, 1988, h. 18
116 Ibid.
117 E.E Schattsneider, The Semisovereign People, Reinhart and Winston, New York,
1960, page. 56 118
Robert Dahl, , terjemah A Rahman Zainuddin, Perihal Demokrasi: Menjelajahi
Teori dan Praktek Secara Singkat, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001, h. 38
60
pendekatan substantif dan pendekatan empiril-minimalis atau juga dikenal
dengan pendekatan prosedural.119 Dalam ilmu politik dikenal dua macam
pemahaman tentang demokrasi; pemahaman secara normatif dan
pemahaman secara empirik. Untuk pemahaman yang terakhir ini disebut
juga sebagai procedural democracy.120
Pendekatan klasik normatif memahami demokrasi sebagai sumber
wewenang dan tujuan, sementara pendekatan empiris minimalis lebih
menekankan pada system politik yang dibangun. Pendekatan klasik normatif
lebih banyak membicarakan ide-ide dan model-model demokrasi secara
substantif dan umumnya mendefinisikan demokrasi dengan istilah-istilah
kehendak rakyat sebagai sumber alat untuk mencapai kebaikan bersama.121
Pendekatan empiris-minimalis dapat membatu memberikan titik
terang dalam menemukan dua perspektif yang umum digunakan dalam
memilih tipe- tipe demokrasi. Pertama, adalah perspektif yang merujuk pada
sebuah bentuk politik dimana warga masyarakat terlibat langsung dalam
pemerintahan dan dalam melahirkan peraturan. Kedua, perspektif yang
merujuk bagaimana mekanisme proses pengambilan keputusan itu
diselenggarakan.
Pada umumnya pendefinisian demokrasi diletakkan pada dasar
pemerintahan dari rakyat, bukannya dari para Aristokrat, kaum Monarki,
Birokrat, para ahli ataupun para pemimpin agama, oleh rakyat dan
untuk rakyat.122
Berbicara tentang demokrasi di Indonesia, diperlukan
persyaratan khusus. Persyaratan khusus tersebut adalah dilepaskannya
semacam bias dan etnosentrisme. Dan harus menghindarkan diri dari
etnosentrisme, karena hal itu membuat kita tidak mampu menatap diri
dengan objektif. Etnosentrisme membuat kita melihat segala hal apa yang
kita miliki sekarang ini adalah yang terbaik, sedangkan yang ada di tempat
lain adalah sebaliknya. Pernyataan- pernyataan yang sering kita dengar
seperti : “itu kan demokrasi liberal”, “itu kan demokrasi barat, kita punya
budaya demokrasi sendiri”, merupakan salah satu bentuk etnosentrisme.
Diskusi ilmiah tentang demokrasi harus menghindarkan diri dari sikap
119
Suryatno, Ibid, h. 37. 120
Afan Gaffar, Politik Indonesia; Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2004, h. 3. 121
Suyatno, Op.cit., h. 37. 122
Ibid., h. 33
61
seperti itu.123
Dalam perkembangannya tumbuhnya demokrasi di Indonesia tidak
terlepas dari gagasan-gagasan pendiri Republik Indonesia yang
menghendaki demokrasi sebagai pilihan untuk penyelenggaraan
pemerintahan. Baik Soekarno, Moh. Hatta, Agus Salim maupun Muhammad
Yamin gagasan- gagasannya tersebut dalam beberapa tulisan yang telah
dibuatnya.
Dalam rangka melaksanakan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen dan sekaligus koreksi terhadap demokrasi terpimpin,maka sejak
orde baru dikembangkan suatu demokrasi yang dinamakan Demokrasi
Pancasila.Demokrasi Pancasila hendak menggambarkan suatu demokrasi
yang dikehendaki Pancasila dan UUD 1945 dengan menjadikan prinsip
musyawarah-mufakat sebagai landasan utamanya. Di samping itu,
dalam Demokrasi Pancasila juga hendak dikembangkan beberapa macam
keseimbangan.124
Karl D. Jackson125 menyebutkan dengan menggunakan model
analisis yang digunakan oleh Riggs dalam mengamati Thailand,
menyebutkan Indonesia orde baru sebagai negara birokratik atau
Bureaucratic Polity. Dalam negara seperti ini, biasanya sekelompok elit
politik menguasai sepenuhnya pengambilan keputusan politik negara.
Sementara, masyarakat hanya dilibatkan dalam proses impelementasi
kebijakan.
Sementara Dwight King menyebutkan Indonesia Orde Baru sebagai
Bureaucratic Authoritarian with limited plurality. Dalam artian, birokrat-
baik sipil maupun militer memang sangat dominan, bahkan cenderung
otoritarian, tetapi warna pluralism tetap ada sekalipun terbatas. Yaitu dengan
mengorganisasikan kepentingan secara corporatist, seperti kepentingan
buruh, petani, guru dan lain sebagainya, yang disusun secara vertical, tidak
horizontal sebagaimana dikenal dalam demokrasi.126
Menurut Parulian Donald, ada dua manfaat yang sekaligus sebagai
tujuan atau sasaran langsung yang hendak dicapai dengan pelaksanaan
lembaga politik pemilu, yaitu pembentukan atau pemupukan kekuasaan
123
Affan Gafar, Op.cit, h. 2-3 124
Sri Soemantri, Op.cit, h. 5-6 125
Afan Gafar, Op.cit, h. 36 126
Ibid. h. 5
62
yang abash (otoritas) dan mencapai tingkat keterwakilan politik.127
Dari sudut pandang tujuan kedua manfaat tersebut merupakan tujuan
langsung yang berada dalam skala waktu relatif pendek. Hal ini
mengisyaratkan bahwa manfaatnya dirasakan segera setelah proses pemilu
berlangsung. Adapun tujuan tidak langsung dihasilkan dari keseluruhan
aktivitas dari semua pihak yang terlibat dalam proses pemilu, baik
kontestan, maupun para pelaksana dan pengawas dalam kurun waktu relatif
lama, yaitu pembudayaan politik dan pelembagaan politik.128 Dalam arti
lebih sederhana tujuan langsung berkaitan dengan hasil pemilu, sedangkan
tujuan tidak langsung berkenaan dengan proses pencapaian hasil tersebut.
Arbi Sanit129 menyimpulkan bahwa pemilu pada dasarnya memiliki empat
fungsi utama, yakni: 1) pembentukan legitimasi pengusaan dan pemerintah,
2) pembentukan perwakilan politik rakyat, 3) sirkulasi elite penguasa, dan 4)
pendidikan politik. Sebagai sarana pelaksanaan asas kedaulatan rakyat
berdasarkan Pancasila dalam Negara Republik Indonesia, maka pemilu
bertujuan antara lain:
1. Memungkinkan terjadinya peralihan pemerintahan secara aman dan
tertib;
2. Untuk melaksanakan kedaulatan rakyat;
3. Dalam rangka melakukan hak-hak asasi warga negara.130
Sesuai dengan apa yang dicantumkan dalam pembukaan dan Pasal 1
ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Indonesia menganut asas kedaulatan rakyat, yang dimaksudkan disini adalah
kedaulatan yang dipunyai oleh rakyat itu antara lain tercermin dilaksanakan
pemilu dalam waktu tertentu. Karenanya pemilu adalah dalam rangka
untuk memberi kesempatan kepada warga negara untuk melaksanakan
haknya dengan tujuan:
1. Untuk memilih wakil-wakilnya yang akan menjalankan kedaulatan yag
dipunyai;
2. Terbuka kemungkinan baginya untuk duduk dalam badan perwakilan
rakyat sebagai wakil yang dipercayakan oleh para pemilihnya.131
Ditinjau dari sudut kelompok warga negara yang tergabung dalam
127
Ibid. h. 5 128
Ibid. 129
Arbi Sanit, Partai, Pemilu dan Demokrasi, Pustaka Pelajar, Jakarta, 1997, h. 158. 130
Moh, Kusnardi dan Harmaily Ibrahum, Op.cit., h. 330. 131
Ibid., h. 332.
63
partai politik, pemilu sangat besar artinya bagi partai politik karena
bermanfaat:
(1) Untuk mengetahui seberapa besar sesungguhnya para pendukungnya;
(2) Jika menang, sebagai media untuk menjalankan programnya.
Dengan demikian, maka pada dasarnya pemilu sangat penting artinya bagi
warga negara, partai politik dan pemerintah, sebagai suatu perwujudan pesta
demokrasi dengan melibatkan seluruh rakyat yang telah mempunyai hak
untuk memilih dan dipilih. Bagi pemerintah yang dihasilkan dari pemilu
yang jujur, berarti pemerintah itu mendapat dukungan yang sebenarnya dari
rakyat, tetapi sebaliknya jika pemilu dilaksanakan tidak dengan jujur, maka
dukungan rakyat tersebut hanya bersifat semu.
1.6.2.2. Konsep Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam
Permusyaratan/Perwakilan
Sila ke-4 Pancasila menyebutkan “Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Berarti, yang
dikedapankan prinsip bermusyawarah untuk mufakat melalui wakil-
wakilnya dan badan-badan perwakilan dalam memperjuangkan mandat
rakyat.
“Kerakyatan” berasal dari kata “rakyat”, yaitu sekelompok manusia
yang berdiam dalam suatu wilayah Negara tertentu. Rakyat meliputi seluruh
manusia itu, tidak dibedakan oleh tugas (fungsi) dan profesi (jabatan).
Kerakyatan adalah asas yang baik serta tepat sekali jika dihubungkan
dengan maksud rakyat hidup dalam ikatan Negara.
Sila keempat pancasila mengadung beberapa ciri alam pemikiran
demokrasi di Indonesia. Dalam pokok pikiran ketiga dari Pembukaan
Undag- Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945,
disebutkan bahwa keadulatan itu berdasar atas “kerakyatan” dan
“permusyawaratan”. Dengan kata lain, demokrasi itu hendanknya
mengandung ciri : (1) kerakyatan (daulat rakyat), dan (2) permusyawaratan
(kekeluargaan).
Bila dicermati, arti dan makna Sila ke-4 sebagai berikut:
a) Hakikat sila ini adalah demokrasi, yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat.
b) Pemusyawaratan,yaitu membuat putusan secara bulat, dengan dilakukan
secara bersama melalui jalan kebikjasanaan.
c) Melaksanakan keputusan berdasarkan kejujuran. Keputusan secara bulat
sehingga membawa konsekuensi kejujuran bersama. Nilai identitas
64
adalah permusyawaratan.
d) Terkandung asas kerakyatan, yaitu rasa kecintaan terhadap rakyat,
memperjuangkan cita-cita rakyat, dan memiliki jiwa kerakyatan.
Asas musyawarah untuk mufakat, yaitu yang memperhatikan dan
menghargai aspirasi seluruh rakyat melalui forum permusyawaratan,
menghargai perbedaan, mengedepankan kepentingan rakyat, bangsa dan
negara.
Pernyataan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan adalah
pemimpin yang berakal sehat, rasional, cerdas, terampil, berhati-nurani, arif,
bijaksana, jujur, adil, dan seterusnya. Jadi, pemimpin yang hikmat-
kebijaksanaan itu mengarah pada pemimpin yang profesional (hikmat)
melalui tatanan dan tuntunan permusyawaratan/perwakilan. Tegasnya, sila
keempat merupakan sistem demokrasi-perwakilan yang dipimpin oleh
orang-orang yang profesional, berintergritas melalui sistem musyawarah
(government by discussion).) Maka dapat pahami, dasar pelaksanaannya
demokrasi Pancasila adalah:
a. Pada Ketuhanan Yang Maha Esa;
b. Menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia;
c. Berkedaulatan rakyat;
d. Didukung oleh kecerdasan warga negara;
e. Sistem pemisahan dan pembagian kekuasaan negara;
f. Menjamin otonomi daerah;
g. Demokrasi yang menerapkan prinsip rule of law;
h. Sistem peradilan yang merdeka, bebas dan tidak memihak;
i. Mengusahakan kesejahteraan rakyat; dan
j. Berkeadilan sosial.
Sedangkan fungsi demokrasi Pancasila adalah:
a) Menjamin adanya keikutsertaan rakyat dalam kehidupan bernegara
seperti: ikut mensukseskan Pemilu, ikut mensukseskan Pembangunan;
ikut duduk dalam penyelenggaraan negara.
b) Menjamin tetap tegaknya negara Republik Indonesia.
c) Menjamin tetap tegaknya negara kesatuan yang mempergunakan sistem
konstitusional.
d) Menjamin tetap tegaknya hukum yang bersumber pada Pancasila.
e) Menjamin adanya hubungan yang selaras, serasi dan seimbang antara
lembaga negara.
65
f) Menjamin adanya pemerintahan yang bertanggung jawab.
Sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan berpangkal dari Sila Ketuhanan Yang Maha
Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan
menjiwai sila Keadilan Sosial. Nilai filosofis adalah bahwa hakikat negara
sebagai makhluk individu dan makhluk sosial.
Secara garis besar nilai-nilai dalam Pancasila terbagi atas tiga hal, yakni:
a. Nilai Dasar, sila Pancasila memiliki sifat universal sehingga terkandung
cita-cita, tujuan, serta nilai-nilai yang baik dan benar.
b. Nilai Instrumental, yang berarti makna, kebijakan, strategi, dan sasaran,
serta lembaga pelaksanaannya.
c. Nilai Praktis,memiliki aspek mengenai cita-cita, pemikiran, serta nilai-
nilai yang dianggap memiliki norma yang jelas karena harus mampu
direalisasikan dalam kehidupan praktis.
Apabila diuraikan, nilai-nilai yang terkandung dalam demokrasi
Pancasila, adalah sebagai berikut:
a) Kebebasan yang disertai dengan tanggung jawab baik terhadap
masyarakat bangsa maupun kepada Tuhan yang Maha Esa.
b) Menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.
c) Setiap warga negara Indonesia memiliki kedudukan, hak dan kewajiban
yang sama.
d) Tidak Boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.
e) Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk
kepentingan bersama.
f) Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai
sebagai hasil musyawarah.
g) Mengakui perbedaan dan persamaan sebagai individu, kelompok, ras,
suku, agama.
h) Didalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama diatas
kepentingan pribadi atau golongan.
i) Memberikan kepercayaan kepada wakil-Wakil yang dipercayai untuk
melaksanakan permusyawaratan.
j) Mewujudkan keadilan dalam kehidupan sosial agar tercapainya tujuan
bersama.
Sikap positif akan nilai-nilai tersebut harus kita tanamkan dan
terapkan kepada semua warga negara. Jika tidak, niscaya kemiskinan
66
karakter semakin merajalela. Untuk itu, sebagai warga negara harus menjaga
dan menciptakan persatuan, kedamaian, dan kesejahteraan rakyat. Adapun
sikap-sikap positif tersebut adalah (1) Mencintai Tanah Air (nasionalisme);
(2) Menciptakan persatuan dan kesatuan; (3) Ikut serta dalam pelaksanaan
pembangunan; (4) Mempertahankan dan mengisi kemerdekaan; (5)
Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai
hasil musyawarah; (6) Mengeluarkan pendapat dan tidak boleh memaksakan
kehendak orang lain; (7) Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap
manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama;
(8) Memperoleh kesejahteraan yang dipimpin oleh perwalian.
Dari uraian konseptual di atas, dapat diketahui makna pernyataan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan adalah pemimpin yang berakal
sehat, rasional, cerdas, terampil, berhati-nurani, arif, bijaksana, jujur, adil,
dan seterusnya. Jadi, pemimpin yang hikmat-kebijaksanaan itu mengarah
pada pemimpin yang profesional (hikmat) melalui tatanan dan tuntunan
permusyawaratan/perwakilan. Tegasnya, sila keempat merupakan sistem
demokrasi-perwakilan yang dipimpin oleh orang-orang yang profesional,
berintergritas melalui sistem musyawarah (government by discussion).
1.7. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan kegiatan ilmiah yang berupaya untuk
memperoleh pemecahan terhadap suatu permasalahan yang berkaitan dengan
Sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia berdasarkan
prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan. Oleh karena itu, dibutuhkan metode penelitian
yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah melalui pengungkapan
kebenaran secara sistematis, analisis-konstruktif terhadap bahan yang
dikumpulkan dan diolah.132 Atas dasar inilah, maka di dalam penelitian ini
terdapat beberapa unsur dari kerangka metode penelitian tersebut.
1.7.1 Jenis Penelitian
Menurut Peter Mahmud Marzuki: “jenis setiap penelitian hukum selalu
normatif.”133 Selanjutnya, Suratman dan Philips Dillah menyatakan:
132
Philipus M. Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum, Makalah Metode Penelitian
Hukum Normatif, Universitas Airlangga, Surabaya, 1997. h. 20 133
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2009, h.35.
67
“Penelitian normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal atau penelitian
kepustakaan atau studi dokumen, karena ditujukan terhadap peraturan-
peraturan tertulis atau bahan-bahan hukum lain.”134 Senada dengan Suratman
dan Philips Dillah dijelaskan oleh Soetandyo Wignjosoebroto dalam Bambang
Sunggono: “Penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian normatif, yaitu
penelitian terhadap asas-asas hukum.”135
Menurut Bambang Sungguno dalam H. Zainuddin Ali:
bahwa penelitian doktrinal adalah hasil abstraksi yang diperoleh melalui
proses induksi dari norma-norma hukum positif yang berlaku. Penelitian
terhadap sistematika hukum yaitu penelitian terhadap peraturan
perundang-undangan tertentu atau hukum tertulis, untuk mengadakan
identifikasi terhadap pengertian pokok/dasar hak dan kewajiban,
peristiwa hukum, hubungan hukum dan obyek hukum. Penelitian
terhadap taraf sinkronisasi hukum meneliti sampai sejauh mana norma
hukum positif tertulis yang ada sinkron atau serasi satu sama lainnya,
baik secara vertikal atau horizontal. Penelitian secara vertikal adalah
didasarkan pada hierarki peraturan perundang- undangan yang berlaku,
sedangkan secara horizontal didasarkan pada penelitian terhadap
peraturan perundang-undangan yang sederajat. Penelitian perbandingan
hukum adalah penelitian dengan membandingkan undang-undang dari
satu negara dengan negara lain mengenai hal yang sama atau putusan
pengadilan satu negara dengan negara lain mengenai hal yang sama.
Penelitian sejarah hukum adalah upaya untuk mengidentifikasi terhadap
tahap-tahap perkembangan hukum atau peraturan perundang-undangan
yang berlaku.136
Penelitian ini merupakan penelitian normatif yang menitikberatkan pada taraf
harmonisasi atau sinkronisasi terkait sistem pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden berdasarkan prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan menurut peraturan
perundang-undangan antara lain, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
134
Suratman dan Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum, Alfabeta, Bandung,
2015, h.51. 135
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2010, h.184 136
Suratman dan Philips Dillah, Op.cit, h.25-30, 43-44.
68
Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor
182).
1.7.2. Pendekatan Masalah
Menurut Bahder Johan Nasution Penelitian normatif dapat
menggunakan beberapa pendekatan, yaitu:
a) Pendekatan undang-undang (statute approach) dan sebagian ilmuan hukum
menyebutnya dengan pendekatan yuridis, yaitu penelitian terhadap produk-
produk hukum.
b) Pendekatan historis (historical approach), yaitu penelitian atau pengkajian
terhadap perkembangan produk-produk hukum berdasarkan urutan-urutan
periodesasi atau kenyataan sejarah yang melatarbelakanginya.
c) Pendekatan konseptual (conceptual approach), yaitu penelitian terhadap
konsep-konsep hukum, seperti; sumber hukum, fungsi hukum, lembaga
hukum, dan sebagainya. Konsep hukum ini berada pada tiga ranah atau
tataran sesuai tingkatan ilmu hukum itu sendiri, yaitu: tataran ilmu hukum
dogmatik konsep hukumnya teknis yuridis, tataran teori hukum konsep
hukumnya konsep umum, tataran filsafat hukum konsep hukumnya konsep
dasar.
d) Pendekatan filosofis (philosophical approach), yaitu pendekatan bidang-
bidang yang menyangkut dengan objek kajian filsafat hukum yang meliputi:
1) Ontologi hukum, yaitu mengkaji hakikat hukum seperti hakikat
demokrasi, hubungan hukum dengan moral dan sebagainya.
2) Aksiologi hukum, yaitu mempelajari isi dari nilai seperti nilai
kebenaran, nilai keadilan, nilai kebebasan, dan sebagainya.
3) Epistemologi hukum, yaitu cara mendapatkan pengetahuan yang
benar tentang ilmu hukum.
4) Teologi hukum, yaitu menentukan isi dan tujuan hukum.
5) Ideologi hukum, yaitu pemahaman secara menyeluruh tentang
manusia dan masyarakat.
6) Logika hukum, yaitu mempelajari kaidah-kaidah berfikir secara
hukum dan argumentasi hukum.
7) Keilmuan hukum, yaitu merupakan meta teori bagi hukum.137
Selain itu Peter Mahmud Marzuki menambahkan dengan: “pendekatan
kasus (case approach), yaitu penelitian terhadap putusan pengadilan yang
137
Bahder Johan Nasution, Op.cit, h.92-93.
69
sudah berkekuatan hukum tetap.”138
Dalam penelitian disertasi ini digunakan 4 (empat) macam pendekatan
meliputi: (a) pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach)
terutama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
undang-undang tentang Pemilihan Umum; (b) pendekatan konseptual
(conceptual approach), yaitu mengkaji konsep-konsep hukum, sumber
hukum, fungsi hukum dan lembaga hukum tentang sistem pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden berdasarkan prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan; (c) pendekatan historis
(histrical approach) melalui beberapa naskah akademik dan naskah
pembahasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan undang-undang tentang Pemilihan Umum guna mengetahui ratio legis dan
sekaligus original intent dari peraturan perundang-undangan tersebut; (d)
pendekatan filosofis, yaitu mengkaji hakikat sistem pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden berdasarkan prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
1.7.3. Sumber Bahan Hukum
Menurut H. Zainuddin Ali: “Sumber bahan hukum dalam penelitian
normatif terdiri dari: bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan
hukum tersier.”139 Bahan hukum primer berasal dari peraturan perundang-
undangan sebagai berikut :
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
(2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik
Indonesia Nomor IX/MPRS/1966 tentang Surat Perintah Presiden/
Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Pemimpin
Besar Revolusi/ Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
Republik Indonesia ;
(3) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor :
II/MPR/1978 Tentang Pedoman Penghayatan Dan Pengamalan Pancasila
(Ekaprasetia Pancakarsa);
(4) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik IndonesiaNomor
XVIII/MPR/1998 tentangPencabutan KetetapanMajelis
138
Peter Mahmud Marzuki, Op.cit, h.119. 139
H.Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, h. 47-
57.
70
Permusyawaratan Rakyat Republik IndonesiaNomor II/MPR/1978
Tentang Pedoman Penghayatan danPengamalan Pancasila (Ekaprasetia
Pancakarsa) danPenetapan Tentang Penegasan Pancasila Sebagaidasar
Negara;
(5) Ketetapan MPR No. III/MPR/ 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata
Urutan Peraturan Perundang-undangan;
(6) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden;
(7) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden;
(8) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum;
(9) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
(10) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan;
(11) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum;
Bahan hukum sekunder pada penelitian ini berasal dari buku-buku teks,
disertasi hukum, dan jurnal hukum. Selanjutnya, H. Zainuddin Ali
menjelaskan: “Bahan hukum tersier berasal dari petunjuk atau penjelasan dari
bahan hukum primer atau bahan hukum sekunder melalui kamus umum bahasa
Indonesia, Black’s Law Dictionary, ensiklopedia, dan glossarium.”140 Bahan
hukum tersier pada penelitian ini terutama diperoleh melalui melalui kamus
umum bahasa Indonesia, dan kamus hukum Black Law’s Dictionary.
1.7.4. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum
Menurut Peter Mahmud Marzuki:
Dalam melakukan penelitian hukum, dilakukan langkah-langkah: (1)
mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminasi hal-hal yang tidak
relevan untuk menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan; (2)
pengumpulan bahan-bahan hukum dan sekiranya dipandang
mempunyai relevansi juga bahan-bahan nonhukum; (3) melakukan
telaah atas isu hukum yag diajukan berdasarkan bahan-bahan yang
telah dikumpulkan; (4) menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi
yang menjawab isu hukum; dan (5) memberikan presikripsi
140
H.Zainuddin Ali, Op.Cit, h. 47-57.
71
berdasarkan argumentasi yang telah dibangun di dalam kesimpulan.141
Teknik pengumpulan bahan hukum pada penelitian dilakukan dengan
cara mengumpulkan beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan prinsip
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, kemudian dibaca secara mendalam dan dicatat
pada kartu yang disediakan khusus untuk itu. Selanjutnya dilakukan
pengelompokan, pemilahan dan inventarisasi bahan-bahan hukum yang
diperoleh sesuai dengan masalah yang diteliti dan menyisihkan bahan-bahan
yang tidak relevan dengan masalah penelitian.
1.7.5. Analisis Bahan Hukum
Menurut Suratman dan Philips Dillah: “Setelah bahan hukum primer
dan sekunder dikumpulkan, selanjutnya dikategorisasikan, diklasifikasikan,
ditabulasikan dan diinterpretasikan serta kemudian dianalisis.142 Bahan hukum
dalam penelitian ini diolah dan dianalisis dengan menggunakan
metode penafsiran hukum, dan untuk mempertajam analisis bahan hukum,
penelitian ini mengedepankan penafsiran hukum, penalaran hukum dan
argumentasi hukum.
1.8. Pertanggungjawaban Sistematika
Pertanggungjawaban Sistematika terdiri dari 4 bab, yaitu sebagai
berikut:
Bab I merupakan bab pendahuluan yang menguraikan tentang latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
orisinalitas penelitian, landasan teori dan penjelasan konsep. Landasan teori
membahas tentang: teori negara hukum Pancasila, teori jenjang norma
(stufenbau des recht theory), teori sumber hukum (source of law theory), dan
teori hermeneutika hukum, sedangkan pada bagian penjelasan konsep
membahas tentang: konsep demokrasi, konsep pemilihan umum, dan konsep
permusyawaratan dan konsep perwakilan. Kemudian menguraikan metode
penelitian yang meliputi uraian tentang: jenis penelitian, pendekatan masalah,
sumber bahan hukum, teknik pengumpulan dan pengolahan bahan hukum,
analisis bahan hukum dan pertanggungjawaban sistematika.
141
Peter Mahmud Marzuki, Op.cit, h. 213 142
Suratman dan Philips Dillah, Op.cit, h. 107
72
Bab II membahas hasil penelitian tentang: Makna Kerakyatan Yang
Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan,
meliputi urian tentang : Sejarah Lahirnya Pancasila, Kedudukan Pancasila di
Indonesia, Hubungan Antara Nilai-nilai Pancasila dan Hukum, Pancasila
Sebagai Alternatif Penyelesaian Masalah Hukum di Indonesia, serta makna
KerakyatanYang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam
Permusyawaratan/Perwakilan.
Bab III, membahas hasil penelitian tentang: Sistem Pemilihan Presiden
Dan Wakil Presiden Berdasarkan Prinsip Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh
Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan meliputi uraian
tentang : Demokrasi Pancasila Sebagai Denyut Nadi Lembaga
Permusyaratan/Perwakilan Rakyat Indonesia, Negara Kesatuan Republik
Indonesia Sebagai Negara Kebangsaan Yang Berkerakyatan Yang Dipimpin
oleh Hikmat Kebijaksaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan, Dasar Filosofis
Demokrasi Perwakilan Dalam Perspektif Pancasila, Penguatan Institusi
Kedaulatan Rakyat Sebagai Implementasi Demokrasi Pancasila, Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden Saat Ini dan Pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden Republik Indonesia Berdasarkan Prinsip Kerakyatan Yang Dipimpin
Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan.
Bab IV, merupakan Penutup yang memuat kesimpulan dan saran
tentang Makna Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam
Permusyawaratan/Perwakilan dan Sistem Pemilihan Presiden Dan Wakil
Presiden Berdasarkan Prinsip Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat
Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan.