BAB I - UNTAG SURABAYA REPOSITORY

72
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami perubahan yang sangat dinamis pasca 4 (empat) kali perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) . Namun demikian, salah satu yang masih dipertahankan sejak awal, adalah ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang menentukan, “Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.” Kata “Republik” perlu digarisbawahi bahwa Indonesia mempunyai sistem ketatanegaraan yang bercorak demokratis, di mana sistem pengisian kekuasaan tidak dilaksanakan secara turun temurun sebagaimana berlaku dalam negara Monarki. Hal tersebut juga disebutkan oleh Duguit sebagaimana dikutip oleh Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim bahwa, “Republik dan Monarki dibedakan berdasarkan bagaimana kepala negara diangkat. Jika kepala negara diangkat berdasarkan hak waris atau keturunan, maka bentuk pemerintahan disebut monarkhi dan pelaksana kekuasaan tersebut disebut Raja, sedangkan jika kepala negara dipilih melalui suatu pemilihan umum untuk masa jabatan tertentu, maka sistem negaranya disebut Republik dan kepala negaranya disebut Presiden”. 1 Sistem Republik tersebut tidak dapat dilepaskan dari sistem demokrasi yang menjadi dasar dari pelaksanaan pemilihan umum dalam pengisian jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Oleh karena itu, Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Ketentuan tersebut merupakan hasil perubahan ke-3 (tiga) pada tahun 2001, di mana sebelum perubahan tersebut, bunyi Pasal tersebut adalah “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Berdasarkan ketentuan tersebut (sebelum dan sesudah perubahan), maka terjadi pergeseran dari supremasi parlemen (supremacy of parliament) kepada supremasi konstitusi (supremacy of the constitution). Atas dasar hal tersebut, pelaksanaan sistem kedaulatan rakyat (demokrasi) di Indonesia disebut dengan demokrasi konstitusional (constitutional democracy). Seiring dengan dianutnya sistem Republik dan sistem kedaulatan rakyat (demokrasi) pada penyelenggaraan kehidupan bernegara di Indonesia. Menarik 1 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet 5, Pusat Studi HTN dan CV. Sinar Bakti, Jakarta, 1983. h. 167

Transcript of BAB I - UNTAG SURABAYA REPOSITORY

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami perubahan yang sangat

dinamis pasca 4 (empat) kali perubahan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) . Namun

demikian, salah satu yang masih dipertahankan sejak awal, adalah ketentuan

Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang menentukan, “Negara Indonesia adalah

Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.” Kata “Republik” perlu

digarisbawahi bahwa Indonesia mempunyai sistem ketatanegaraan yang

bercorak demokratis, di mana sistem pengisian kekuasaan tidak dilaksanakan

secara turun temurun sebagaimana berlaku dalam negara Monarki. Hal tersebut

juga disebutkan oleh Duguit sebagaimana dikutip oleh Moh. Kusnardi dan

Harmaily Ibrahim bahwa, “Republik dan Monarki dibedakan berdasarkan

bagaimana kepala negara diangkat. Jika kepala negara diangkat berdasarkan

hak waris atau keturunan, maka bentuk pemerintahan disebut monarkhi dan

pelaksana kekuasaan tersebut disebut Raja, sedangkan jika kepala negara

dipilih melalui suatu pemilihan umum untuk masa jabatan tertentu, maka sistem

negaranya disebut Republik dan kepala negaranya disebut Presiden”.1

Sistem Republik tersebut tidak dapat dilepaskan dari sistem demokrasi

yang menjadi dasar dari pelaksanaan pemilihan umum dalam pengisian jabatan

Presiden dan/atau Wakil Presiden. Oleh karena itu, Pasal 1 ayat (2) UUD 1945

menyatakan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut

Undang-Undang Dasar.” Ketentuan tersebut merupakan hasil perubahan ke-3

(tiga) pada tahun 2001, di mana sebelum perubahan tersebut, bunyi Pasal

tersebut adalah “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan

sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Berdasarkan ketentuan

tersebut (sebelum dan sesudah perubahan), maka terjadi pergeseran dari

supremasi parlemen (supremacy of parliament) kepada supremasi konstitusi

(supremacy of the constitution). Atas dasar hal tersebut, pelaksanaan sistem

kedaulatan rakyat (demokrasi) di Indonesia disebut dengan demokrasi

konstitusional (constitutional democracy).

Seiring dengan dianutnya sistem Republik dan sistem kedaulatan rakyat

(demokrasi) pada penyelenggaraan kehidupan bernegara di Indonesia. Menarik

1 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,

Cet 5, Pusat Studi HTN dan CV. Sinar Bakti, Jakarta, 1983. h. 167

2

untuk ditelisik secara holistik mengenai sistem pemilihan Presiden sejak awal

kemerdekaan hingga masa reformasi. Pada masa awal kemerdekaan, setelah

Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menetapkan Undang-Undang

Dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945, Soekarno yang menjadi ketua

PPKI pada waktu itu meminta untuk dilaksanakan pemilihan Presiden dan

Wakil Presiden Republik Indonesia. Menurut Pasal III Aturan Peralihan

Undang-Undang Dasar 1945 menentukan, “Untuk pertama kali Presiden dan

Wakil Presiden dipilih oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia”. Untuk

itu, Soekarno memerintahkan Zimu Kyoku untuk membagikan kartu suara

kepada anggota PPKI. Namun demikian, sebelum kartu tersebut dibagikan,

anggota PPKI Otto Iskandardinata mengusulkan agar pemilihan Presiden

dilaksanakan secara aklamasi untuk mempersingkat waktu dan kemudian

memilih Soekarno untuk menjadi Presiden dan Moh. Hatta sebagai Wakil

Presiden. Sehingga, sejak tanggal 18 Agustus 1945, Soekarno dan Moh. Hatta

secara resmi menjabat sebagai Presiden dan Wakil Presiden Negara Republik

Indonesia.2

Selanjutnya, slogan politik “Demokrasi Terpimpin” yang dijalankan

Soekarno tidak berjalan mulus. Puncaknya pada peristiwa pengkhianatan 30

September 1965 atau yang lebih dikenal dengan peristiwa G 30 S/PKI yang

secara perlahan mengakhiri rezim Soekarno dan memunculkan Mayor Jenderal

(Mayjen) Soeharto sebagai pemimpin baru. Dengan dukungan kekuatan militer,

pada tanggal 3 Oktober 1965 Mayjen Soeharto yang saat itu menjabat sebagai

Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad)

mengumumkan dirinya sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan

Keamanan dan Ketertiban (Kobkamtib) sebagai satuan untuk memberantas

anggota PKI yang dianggap sebagai dalang peristiwa G 30 S/PKI.

Pada tanggal 11 Maret 1966 Presiden Soekarno menandatangani Surat

Perintah 11 Maret 1966 atau lebih dikenal dengan istilah “Supersemar”. Sesaat

setelah memperoleh Supersemar, Mayjen Soeharto selaku Panglima Kopkamtib

menggunakan Supersemar sebagai sumber hukum dan sekaligus sumber

legitimasi untuk membubarkan PKI dan menyatakan PKI sebagai partai

terlarang di wilayah hukum Negara Republik Indonesia. Selanjutnya,

Supersemar dikukuhkan melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

Sementara (TAP MPRS) Nomor IX/MPRS/1966 tentang Surat Perintah

Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik

2 PJ. Suwarno, Tata Negara Indonesia: Dari Sriwijaya Sampai Indonesia Modern,

Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2009. h. 124-125

3

Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi / Mandataris Majelis Permusyawaratan

Rakyat Sementara Republik Indonesia (Supersemar) dalam Sidang Umum

MPRS tanggal 20 Juni – 6 Juli 1966. Dengan berbekal Supersemar, Mayjen

Soeharto bertindak sebagai Presiden menurut Undang-Undang Dasar 1945,

yaitu sebagai Kepala Negara sekaligus sebagai pemegang kekuasaan atas

pemerintahan.3

Perilaku politik Soeharto yang otoriter dan berkuasa selama 32 (tiga

puluh dua) tahun membuat gejolak baru di masyarakat, terutama di kalangan

mahasiswa. Sehingga, puncaknya pada bulan Mei Tahun 1998, Soeharto

menyatakan mundur sebagai Presiden Republik Indonesia dan digantikan oleh

wakilnya BJ. Habibie. Seketika itu era Orde Baru digantikan dengan era

Reformasi. Pada tahun 1999 dilaksanakan Pemilihan Umum (Pemilu) pertama

di era Reformasi yang diikuti oleh 48 (empat puluh delapan) Partai Politik.

Selain membuka ruang bagi Partai Politik untuk menjadi peserta Pemilu,

jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari kalangan Angkatan Bersenjata

Republik Indonesia (ABRI) dikurangi 100 (seratus) orang pada tahun 1997

menjadi 75 (tujuh puluh lima) orang. Lembaga Pemilihan Umum yang

mulanya merupakan mesin pemenangan Pemilu bagi Partai Golonga Karya

(Golkar) bentukan Soeharto direstrukturisasi, sehingga berubah menjadi Komisi

Pemilihan Umum (KPU).

Berdasarkan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 (sebelum perubahan) Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR) mempunyai kewenangan untuk memilih atau

mengangkat Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia atas nama rakyat

Indonesia. Kemudian, pada pemilihan Presiden tahun 1999 oleh MPR,

menjadikan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden dan Megawati

Soekarno Putri menduduki jabatan Wakil Presiden.

Sejak tahun 1999 sampai tahun 2002 di era Reformasi, dilaksanakan

perubahan (amandemen) sebanyak 4 (empat) kali terhadap UUD 1945.

Sehingga, pada perubahan ke 3 tahun 2001 disisipkanlah Pasal 6A UUD 1945

yang menjadi landasan konstitusional dari pemilihan Presiden dan Wakil

Presiden secara langsung oleh rakyat. Pasangan Calon Presiden dan Wakil

Presiden diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta

pemilihan umum sebelum pelaksanaan Pemilihan Umum.

Pemilihan Presiden Dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat

tidak dapat dilepaskan dari asas Pemilu yang termaktub dalam Pasal 22E ayat

3 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Rajawali Press, Jakarta, 2007. h.

37

4

UUD 1945 yang menyatakan, “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung,

umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali.” Ketentuan

tersebut menjadi prinsip dasar yang utama dalam pelaksanaan Pemilu secara

langsung oleh rakyat yang menurut Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 dilaksanakan

untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), anggota Dewan

Perwakilan Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden, dan anggota Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Sebagai dasar pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden

secara langsung oleh rakyat, dikeluarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Atas dasar

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tersebut, pada tahun 2004 dilaksanakan

pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, dan menjadikan Susilo

Bambang Yudhoyono dan M. Jusuf Kalla sebagai pasangan Presiden dan Wakil

Presiden pertama yang dipilih melalui pemilihan langsung oleh rakyat.

Untuk menjamin pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden

yang berkualitas, memenuhi derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan

dapat dipertanggungjawabkan, perlu dibentuk suatu Undang-undang tentang

Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang sesuai dengan perkembangan

demokrasi dan dinamika masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara. Oleh karena itu perlu dilakukan penggantian terhadap Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil

Presiden dengan Undang Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan

Umum Presiden dan Wakil Presiden.

Dalam Undang Undang Nomor 42 Tahun 2008 penyelenggaraan

Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan dengan tujuan untuk memilih

Presiden dan Wakil Presiden yang memperoleh dukungan kuat dari rakyat,

sehingga mampu menjalankan fungsi kekuasaan pemerintahan Negara dalam

peraturan perundang-undangan harus menjadi derivasi dari nilai-nilai yang

terkandung dalam Pancasila. Dengan demikian, menjadi mutlak hukumnya

untuk mengadopsi setiap sila dalam Pancasila sebagai prinsip yang terkandung

dalam setiap peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Dalam perkembangan selanjutnya, pada tanggal 16 Agustus 2017

diberlakukan Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum,

yang di dalamnya mengatur pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara

langsung oleh rakyat, pemilihan Anggota DPR RI, DPR Propinsi dan DPRD

Kota/Kabupaten serta Pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah, yang

mencabut Undang Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden

5

dan Wakil Presiden, Undang Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang

Penyelenggaraan Pemilihan Umum, dan Undang Undang Nomor 8 Tahun 2012

tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD.

Namun demikian, jika mengacu pada teori “Stufenbau Des Recht” yang

dikemukakan oleh Hans Kelsen dan Hans Nawiasky. Rujukan utama dalam

sistem perundang-undangan adalah norma dasar atau fundamental negara

(staatfundamentals norm/grundnorm) yang di Indonesia dikenal dengan

Pancasila. Adapun norma dasar negara (staatfundamentals norm) merupakan

rujukan tertinggi yang menjadi dasar pembentukan suatu peraturan perundang-

undangan, baik Undang-Undang Dasar Negara (staatgrund gezets) maupun

peraturan di bawahnya. Staatsfundamentalnorm atau grundnorm yang

merupakan suatu cita hukum, memiliki fungsi regulatif dan fungsi konstitutif.

Cita hukum memiliki fungsi (1) regulatif adalah berfungsi sebagai tolok ukur

yaitu menguji apakah suatu hukum positif itu adil atau tidak. Adapun fungsi

konstitutif, yaitu menentukan bahwa tanpa suatu cita hukum, maka hukum akan

kehilangan maknanya sebagai suatu hukum. Sebagai suatu cita-cita hukum

Pancasila dapat memenuhi fungsi konstitutif maupun fungsi regulatif. Dengan

fungsi konstitutif Pancasila menentukan dasar suatu tata hukum yang memberi

arti dan makna bagi hukum itu sendiri. Demikian juga dengan fungsi regulatif

dari Pancasila menentukan apakah suatu hukum positif itu sebagai produk yang

adil atau tidak adil. Sebagai Staatsfundamentalnorm Pancasila merupakan

pangkal tolak derivasi (sumber penjabaran) dari tertib hukum Indonesia

termasuk UUD 1945.4

Hal tersebut, secara normatif ditegaskan dalam Pasal 2 Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan yang menentukan, “Pancasila adalah sumber dari segala sumber

hukum negara”. Ketentuan demikian memberikan implikasi bahwa, setiap

peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh negara harus mencerminkan

nilai-nilai Pancasila dalam setiap norma yang dituangkan di dalam peraturan

perundang-undangan. Artinya bahwa, norma yang termaktub dalam peraturan

perundang-undangan harus menjadi derivasi dari nilai-nilai yang terkandung

dalam Pancasila. Dengan demikian, menjadi mutlak hukumnya untuk

mengadopsi setiap sila dalam Pancasila sebagai prinsip yang terkandung dalam

setiap peraturan perundang-undangan di Indonesia.

4 Kaelan, Aktualisasi Pancasila Dalam Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara,

Makalah Seminar Nasional, 5 Juni 2017, di Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, h. 3.

6

Adapun sila yang relevan dengan sistem pengisian jabatan Presiden dan

Wakil Presiden Republik Indonesia adalah sila ke IV yang berbunyi,

“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan”. Dengan demikian, praktis bahwa sistem

pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden harus dilaksanakan sesuai

dengan nilai-nilai yang terkandung dalam sila ke IV dari Pancasila tersebut.

Sebab, sila ke IV dari Pancasila itu harus menjadi rujukan utama, mengingat

kedudukan Pancasila sebagai norma dasar negara (staatfundamentals

norm/grundnorm) dan sekaligus menjadi sumber hukum yang mengikat

(binding sources of law) di dalam pembentukan peraturan perundang- undangan

di Indonesia. Oleh karena itu, sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di

Indonesia harus dilaksanakan berdasarkan nilai yang terkandung dalam sila ke

IV dari Pancasila. Perubahan mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil presiden

yang sebelumnya dilaksanakan oleh MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat

(demokrasi perwakilan) menjadi pemilihan secara langsung oleh rakyat

(demokrasi langsung) menimbulkan pertanyaan apakah pergeseran tersebut

sudah sesuai dengan nilai yang terkandung dalam sila ke IV Pancasila (konflik

norma). Mengingat perubahan mekanisme tersebut sama-sama menjadikan sila

ke IV Pancasila sebagai dasar dalam pengaturannya. Sementara praktik

ketatanegaraan yang sudah berjalan selama 59 tahun (1945- 2004) adalah

menggunakan sistem pemilihan presiden secara tidak langsung dan pemilihan

presiden baru dilaksanakan sejak tahun 2004.

Berdasarkan uraian di atas, menunjukkan bahwa rumusan Sila ke IV

Pancasila bersifat umum, abstrak dan bersifat multi-tafsir atau dapat ditafsirkan

berbeda-beda. Dalam bahasa sederhana dapat dikatakan bahwa rumusan Sila ke

IV bersifat ambiguitas atau kemenduaan arti atau berupa norma samar (vage

normen). Sehingga dipandang penting dan perlu diangkat judul penelitian

disertasi ; “Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia

Berdasarkan Prinsip Demorasi Pancasila”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dirumuskan permasalahan

sebagai berikut:

(1) Apa makna Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan?

(2) Apakah sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia sesuai

dengan prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan

7

dalam permusyawaratan/perwakilan?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan disertasi ini adalah :

a) Untuk menganalisis dan menemukan makna kerakyatan yang dipimpin

oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan;

b) Untuk menganalisis dan menemukan sistem pemilihan Presiden dan Wakil

Presiden Indonesia yang sesuai dengan prinsip kerakyatan yang dipimpin

oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.

1.4. Manfaat Penelitian

Dari hasil penulisan disertasi ini diharapkan diperoleh dua manfaat,

yakni manfaat teoritis dan manfaat praktis.

1.4.1. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis penelitian ini tentu saja berkaitan dengan

pengembangan ilmu hukum, khususnya yang berhubungan dengan sistem

pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia yang sesuai dengan prinsip

kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan. Manfaat demikian, secara teoritis jelas

dicanangkan kepada studi komprehensif untuk membangun pemahaman

holistik mengenai sistem demokrasi Pancasila yang secara khusus

menyangkut sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia

berdasarkan prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan

dalam permusyawaratan/perwakilan sebagai bagian dari perwujudan negara

demokrasi yang menerapkan corak kearifan lokal dari bangsa Indonesia itu

sendiri.

1.4.2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis dalam penelitian ini, pada dasarnya bersangkut paut

dengan kegunaan hasil penelitian yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan

pengkajian hukum praktis, yang menurut D.H.M. Meuwissen meliputi

kegiatan: pembentukan hukum, penemuan hukum dan bantuan hukum.5

Temuan yang berasal dari pemikiran hukum yang bersumber dari hasil

penelitian ini diharapkan turut membantu peningkatan kapasitas (capacity-

5 Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Fundasi dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum

Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Disertasi, Universitas

Padjajaran, Bandung, 1996, h. 46.

8

building) pembaharuan hukum bidang sistem pemilihan umum khususnya

sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia berdasarkan prinsip

kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan. Disamping itu, penelitian dan penulisan

disertasi ini diharapkan memberikan manfaat kepada:

a) Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia sebagai pimpinan

eksekutif;

b) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai pembentuk

undang-undang;

c) Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia;

d) Masyarakat sebagai pemegang keadaulatan rakyat di Indonesia.

1.5. Orisinalitas Penelitian

Dari hasil penelusuran kepustakaan ditemukan suatu judul

penelitian disertasi yang mendekati judul penelitian penulis yaitu,

“Eksistensi Pancasila Sebagai Tolok Ukur Dalam Pengujian Undang-

Undang Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 Di Mahkamah Konstitusi: Kajian Perspektif Filsafat

Hukum Dan Ketatanegaraan”, karya Ahmad Basarah, pada Program

Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,

Semarang, 2016.

Dengan mengajukan isu hukum utama : bagaimana kedudukan

Pancasila yang lahir tanggal 1 Juni 1945 sebagai sumber dari segala sumber

pembentukan hukum nasional maupun tolok ukur pengujian UU di MK?

Dalam hasil penelitian Ahmad Basarah dihasilkan tiga temuan:

Temuan pertama, bahwa keputusan Presiden Joko Widodo yang telah

menetapkan 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila sesuai

Keputusan Presiden ( Keppres) Nomor 24 Tahun 2016 menemukan

dasar pijakan argumentasinya yang kokoh.

Dasar pijakan historis dan yuridis yang dapat dike mukakan

adalah sebagai berikut: 1. BPUPK adalah suatu badan khusus yang

dibentuk dan disepakati oleh para Pendiri Negara untuk menyelidiki

persiapan kemerdekaan Indonesia. 2. Sidang BPUPK tanggal 29 Mei-1

Juni 1945 agendanya tunggal, yaitu khusus membahas tentang apa

dasar negara Indonesia jika merdeka kelak. 3. Soekarno adalah

Anggota resmi sidang BPUPK. 4. Soekarno, untuk pertama kalinya di

depan sidang BPUPK tanggal 1 Juni 1945 menyampaikan pandangan

9

dan gagasannya tentang lima prinsip atau dasar bagi Indonesia

merdeka yang disampaikan secara konsepsional, sistematis, solid dan

koheren dan diberikan nama Pancasila.Bahkan istilah Pancasila itu

sendiri hanya dapat kita temui dalam Pidato 1 Juni 1945 dan tidak kita

temukan dalam naskah UUD 1945 sebelum perubahan atau naskah

UUD 1945 setelah perubahan. 5. Pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945

tersebut telah diteri ma secara aklamasi oleh seluruh peserta sidang

BPUPKI.

Temuan kedua, Disertasi bahwa posisi dan kedudukan hukum Pancasila

bukanlah terletak di dalam Pembukaan UUD 1945, karena hal itu berarti

menempatkan posisi Pancasila bukan hanya sejajar dengan UUD tetapi justru

menjadi bagian dari UUD . Padahal, posisi dan kedudukan hukum Pancasila

adalah sebagai norma dasar (grundnorm) yang sifatnya meta legal dan berada

di atas UUD.

Dengan demikian, pandangan yang selama ini mengatakan bahwa Pancasila

lahir pada tanggal 18 Agustus 1945 karena Pancasila ditempatkan dalam

pembukaan UUD 1945 adalah pandangan yang tidak tepat.

Terdapat fakta Putusan MK Nomor 100/PUU -XI/2013 tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik yang pada intinya

MK menyatakan bahwa Pancasila sebagai dasar negara kedudukannya tidak

bisa disejajarkan dengan UUD 1945, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, yang oleh

Pasal 34 ayat (3b) huruf a UU Partai Politik disebut sebagai empat pilar

berbangsa dan bernegara. Temuan ketiga, Disertasi ini juga menyatakan tidak

ada mekanisme hukum apapun untuk dapat mengubah Pancasila, kecuali

melakukan revolusi dan membubarkan negara atau dengan cara makar

terhadap ideologi negara Pancasila. Lembaga MPR sebagai pembentuk

konstitusi ( constitution maker ) sekalipun, tidak dapat mengganti

Pancasila, karena kewenangan MPR menurut Pasal 3 ayat (1) UUD

1945 hanyalah "mengubah dan menetapkan UUD", sementara

kedudukan Pancasila berada di atas UUD.

Adapun rekomendasi dalam disertasi ini, diantaranya adalah

MK dalam menjalankan wewenangnya seharusnya tidak hanya

sebagai pengawal konstitusi ( the guardian of the constitution ),

melainkan MK seharusnya juga berfungsi sebagai pengawal ideologi

negara (the guardian of the ideology ), yakni Pancasila. Sebagai

konsekuensi kedudukan sebagai pengawal Ideologi negara maka dalam

mengadili suatu perkara pengujian undang -undang terhadap UUD

10

1945 MK selain mendasarkan pada pasal -pasal UUD 1945, seharusnya

juga mendasa rkan pada Pancasila sebagai tolok ukur.

Salah satu penelitian yang lain yang mendekati dengan pokok

penelitian penulis adalah disertasi dari Didik Suharyanto dengan judul

Pergantian Presiden Di Indonesia, dengan tiga isu hukum utama terkait

pemilihan Presiden di Indonesia. Ketiga isu hukum tersebut adalah: apakah

pergantian Presiden sesuai dengan paradigma berbangsa dan bernegara di

Indonesia? Bagaimana mekanisme pergantian Presiden di Indonesia? Dan apa

implikasi hukum pergantian Presiden di Indonesia?

Adapun hasil penelitiannya adalah paradigma kedaulatan rakyat berubah

menjadi kedaulatan negara dengan tujuan kekuasaan. Hal ini menyebabkan

pergantian Presiden tidak demokratis. Warganegara tidak dapat memilih

Presiden sesuai haknya, terjadi ketidakadilan hak-hak warganegara dalam

proses pergantian Presiden secara demokratis.

Mekanisme pergantian Presiden sistem demokrasi perwakilan berdasar

UUD 1945 tidak demokratis karena selalu menghasilkan calon tunggal. Dan

Mekanisme pergantian Presiden secara langsung juga tidak demokratis, karena

pencalonan dilakukan oleh partai politik atau gabungan partai politik.

Pencalonan ini tidak terbuka sehingga calon Presiden dominan dari pengurus

partai politik.

Rekomendasi dari penelitian tersebut adalah agar Undang-Undang

Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dibuat sistematis secara tetap

dan tidak selalu dirubah menjelang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.

No. Bentuk/Asal Judul Rumusan

Masalah

Temuan

1. Disertasi

Universitas

Diponegoro

Eksistensi Pancasila

Sebagai Tolok Ukur

Dalam Pengujian

Undang-Undang

Terhadap

Undang- Undang Dasar

Negara Republik

Indonesia Tahun

1945 Di

Mahkamah

Konstitusi:

Kajian Perspektif

Filsafat Hukum Dan Ketatanegaraan

Bagaimana

kedudukan

Pancasila yang

lahir tanggal 1

Juni 1945

sebagai sumber

dari segala

sumber

pembentukan

hokum

nasional

maupun tolok

ukur pengujian

UU di MK?

Bahwa keputusan

Presiden Joko Widodo

yang telah menetapkan 1

Juni 1945 sebagai Hari

Lahir Pancasila sesuai

Keputusan Presiden

(Keppres) Nomor 24

Tahun 2016 menemukan

dasar pijakan

argumentasinya yang

kokoh. bahwa posisi dan

kedudukan hukum

Pancasila bukanlah

terletak di dalam

Pembukaan UUD 1945,

11

karena hal itu berarti

menempatkan posisi Pancasila bukan hanya sejajar dengan UUD tetapi justru menjadi bagian dari UUD. tidak ada mekanisme hukum

apapun untuk dapat

mengubah Pancasila,

kecuali melakukan

revolusi dan

membubaran negara

atau dengan cara

makar terhadap

ideologi negara

Pancasila.

2. Disertasi

Universitas

Brawijaya

Pergantian

Presiden Di

Indonesia

1. Apakah

pergantian

Presiden

sesuai

dengan

paradigma

berbangsa dan bernegara di Indonesia?

2. Bagaimana

mekanisme

pergantian

Presiden di Indonesia?

3. Apa

implikasi

hukum

pergantian

Presiden di Indonesia?

1. Paradigma kedaulatan

rakyat berubah

menjadi kedaulatan

negara dengan tujuan

kekuasaan.

Hal

ini menyebabkan

pergantian Presiden

tidak demokratis.

Warganegara tidak

dapat memilih

Presiden sesuai

haknya, terjadi

ketidakadilan hak-hak

warganegara dalam

proses pergantian

Presiden secara

demokratis.

2. Mekanisme pergantian Presiden sistem demokrasi perwakilan berdasar UUD 1945 tidak demokratis karena selalu menghasilkan calon tunggal. Mekanisme pergantian Presiden secara langsung juga tidak demokratis, karena pencalonan dilakukan oleh partai politik atau gabungan partai politik.

3. Pencalonan tidak

terbuka sehingga

calon Presiden

dominan dari

pengurus partai

politik.

Hal ini berbeda dengan penelitian penulis berjudul : “Pemilihan

Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Berdasarkan Prinsip

Demokrasi Pancasila” dengan dua rumusana masalah : (1) Apa makna

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan? (2) Apakah sistem pemilihan Presiden dan

Wakil Presiden Indonesia sesuai dengan prinsip kerakyatan yang dipimpin

oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan?

12

1.6. Landasan Teori dan Penjelasan Konsep

1.6.1. Landasan Teori

Landasan teori dan penjelasan konsep akan digunakan untuk

menganalisis rumusan masalah dalam disertasi ini. Menurut John J.O.I Ihalauw

teori adalah:

Sebuah sistem proposisi-proposisi atau sebuah rangkaian terpadu dari

proposisi-proposisi. Proposisi-proposisi adalah komponen pembentuk

teori. Namun proposisi itu harus terangkai, terkait satu dengan lainnya

sehingga menjadi satu totalitas sistem yang terpadu. Proposisi-

proposisi yang tidak terangkai tidak akan membentuk suatu teori,

melainkan hanya merupakan himpunan proposisi.6

Dengan demikian teori merupakan ide atau gagasan yang disusun

secara sistematis, dengan metode tertentu dalam satu kesatuan yang utuh

tentang suatu hal yang dapat digunakan untuk menjawab permasalahan yang

rumit, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Teori merupakan

salah satu instrumen bagi kalangan akademisi dan praktisi untuk memecahkan

persoalan yang dihadapinya. Oleh karena itu, terdapat berbagai teori dalam

kehidupan, misalnya teori sosial, teori ekonomi, teori politik, teori hukum dan

sebagainya.

Teori yang digunakan untuk menganalisis permasalahan dalam

disertasi ini adalah teori hukum. Menurut Juhaya S.Praja: “Teori hukum adalah

teori dalam bidang hukum yang berfungsi memberikan argumentasi yang

meyakinkan bahwa hal-hal yang dijelaskan itu adalah ilmiah, atau paling tidak

memberikan gambaran bahwa hal-hal yang dijelaskan itu memenuhi standar

teoritis.”7 Teori hukum merupakan gagasan-gagasan cemerlang secara

sistematis, dengan metoda tertentu yang dirangkai dalam satu kesatuan yang

utuh untuk memecahkan permasalahan yang rumit di bidang hukum, dan dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Adapun beberapa teori hukum yang dipakai sebagai pisau analisis yang

relevan dengan rumusan masalah yang hendak dibahas adalah sebagai berikut:

1.6.1.1. Teori Negara Hukum Pancasila

Teori Negara hokum yang dikemukakan di dalam kerangka teori ini

6 John J.O.I Ihalauw, Konstruksi Teori Komponen Konsep, Gramedia Widiasarana

Indonesia, Jakarta, 2008, h.108. 7 Juhaya S.Praja, Teori Hukum dan Aplikasinya, Pustaka Setia, Bandung, 2011,

h.53.

13

terdiri atas teori negara hukum yang bertumpu pada Rechtsstaat, The Rule of

Law, dan Negara Hukum Pancasila (NHP).

Teori Rechtsstaat diperkenalkan dari hasil pemikiran Immanuel

Kant dan Frederich Julius Stahl, kemudian dikembangkan di negara-negara

Eropa Kontinental. Teori Rechtsstaat dari Immanuel Kant, melahirkan

pemikiran tentang negara hukum formil atau lazim disebut

nachtwakersstaat. Dalam pengertian ini, negara menjamin kebebasan

individu sebagai anggota masyarakat, negara tidak diperkenankan

mencampuri urusan warga masyarakatnya, oleh karena itu teori Rechtsstaat

ini disebut sebagai negara hukum liberal.8 Teori Rechtsstaat dalam arti

formil ini menempatkan negara hanya sebagai penjaga ketertiban

masyarakat.

Teori Rechtsstaat, menurut Julius Stahl sebagaimana dikutip oleh

Miriam Budiardjo, memiliki unsur-unsur sebagai berikut : (a). diakuinya

hak- hak asasi warga negara; (b). adanya pemisahan atau pembagian

kekuasaan negara untuk menjamin hak-hak asasi manusia, yang biasa dikenal

sebagai Trias Politica; (c). pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan

(wetmatigheid van bestuur), dan (d). adanya peradilan administrasi dalam

perselisihan9.

Senada dengan pemikiran Stahl, D.H.M. Meuwissen sebagaimana

dikutip Philipus M. Hadjon mengemukakan, bahwa Undang Undang Dasar

atau konstitusi merupakan unsur yang harus ada dalam teori negara hukum,

sebab konstitusi merupakan jaminan perlindungan hak-hak dasar warga

negara. Adapun ciri-ciri Rechtsstaat selengkapnya sebagai berikut :

a. adanya Undang Undang Dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan-

ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dengan rakyat;

b. adanya pembagian kekuasaan negara, yang meliputi kekuasaan

pembuatan undang-undang yang ada di tangan parlemen, kekuasaan

kehakiman yang bebas yang tidak hanya menangani sengketa antara

individu rakyat tetapi juga antara penguasa dan rakyat, dan pemerintah

yang mendasarkan tindakannya atas undang-undang (wetmatig bestuur);

c. diakui dan dilindunginya hak kebebasan rakyat (vrijheidsrechten van de

burger).10

8 Padmo Wahyono, Konsep Yuridis Negara Hukum Indonesia, Makalah, UI Press,

Jakarta, l998, h. 2. 9 Frederick Julius Stahl, Constitutional Government and Democracy:Theory and

Practice in Europe and America, dalam Miriam Budihardjo, op.cit. h. 57-58. 10

D.H.M. Meuwissen dalam Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi

14

Scheltema, sebagaimana dikutip B. Arief Sidharta, merumuskan

unsur-unsur dan asas-asas negara hukum secara lebih lengkap meliputi lima

hal sebagai berikut:

(1) Pengakuan, penghormatan, dan perlindungan hak asasi manusia yang

berakar dalam penghormatan atas martabat manusia.

(2) Berlakunya asas kepastian hukum. Negara hukum bertujuan menjamin

bahwa kepastian hukum terwujud dalam masyarakat. Hukum bertujuan

mewujudkan kepastian hukum dan prediktabilitas yang tinggi, sehingga

dinamika kehidupan bersama dalam masyarakat bersifat “predictable”.

Asas-asas yang terkait dengan kepastian hukum itu adalah :

a. asas legalitas , konstitusionalitas, dan supremasi hukum ;

b. asas undang undang menetapkan berbagai perangkat peraturan

tentang cara pemerintah dan para pejabatnya melakukan tindakan

pemerintahan;

c. asas non-retroaktif, di mana perundang-undangan, sebelum

mengikat, harus terlebih dahulu diundangkan dan diumumkan secara

layak;

d. asas peradilan bebas, independen, impartial, obyektif, rasional, adil

dan manusiawi;

e. asas non-liquet, hakim tidak boleh menolak perkara, karena alasan

undang undang tidak ada atau tidak jelas;

f. hak asasi manusia harus dirumuskan dan dijamin perlindungannya

dalam Undang Undang Dasar atau Undang Undang.

(3) Berlakunya asas persamaan (similia similibus atau equality before the

law), bahwa dalam Negara hukum, pemerintah tidak boleh

mengistimewakan orang atau kelompok orang tertentu atau

mendiskriminasikan orang atau kelompok orang tertentu. Di dalam

prinsip ini terkandung makna : (a) adanya jaminan persamaan bagi

semua orang di hadapan hukum dan pemerintahan, dan (b) tersedianya

mekanisme untuk menuntut perlakuan yang sama bagi semua warga

Negara.

(4) Asas demokrasi, di mana setiap orang mempunyai hak dan kesempatan

yang sama untuk turut serta dalam pemerintahan atau untuk

memengaruhi tindakan-tindakan pemerintahan.

(5) Pemerintah dan pejabat mengemban amanat sebagai pelayan

Rakyat Indonesia, PT Bina Ilmu, 1987, h.76.

15

masyarakat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat sesuai

dengan tujuan negara yang bersangkutan. Dalam asas ini terkandung

hal-hal sebagai berikut : (a) asas-asas umum pemerintahan yang layak;

(b) syarat-syarat fundamental bagi keberadaan manusia yang

bermartabat dijamin dan dirumuskan dalam peraturan perundang-

undangan, khususnya dalam konstitusi; (c) pemerintah secara rasional

menata setiap tindakannya, memiliki tujuan yang jelas dan berhasil

guna (doelmatig). Artinya, pemerintahan diselenggarakan secara efektif

dan efisien.11

Philipus M. Hadjon mendasarkan pada pendapat S.W. Couwenberg,

mengemukakan sembilan ciri-ciri “Rechtsstaat” sebagai berikut :

(1) Pemisahan antara Negara dengan masyarakat sipil, pemisahan antara

kepentingan umum dan kepentingan perorangan, pemisahan antara

hukum publik dan hukum privat ;

(2) Pemisahan antara negara dan gereja;

(3) Adanya jaminan atas hak-hak kebebasan sipil ;

(4) Persamaan di hadapan undang undang ;

(5) Adanya konstitusi tertulis sebagai dasar kekuasaaan Negara dan dasar

sistem hukum ;

(6) Pemisahan kekuasaan berdasarkan “trias politica” dan sistem “checks

and balances”;

(7) Adanya asas legalitas;

(8) Ide tentang aparat pemerintahan dan kekuasaan kehakiman yang tidak

memihak dan netral ;

(9) Prinsip perlindungan hukum bagi rakyat terhadap penguasa oleh

peradilan yang bebas dan tidak memihak dan berbarengan dengan

prinsip-prinsip tersebut diletakkan prinsip tanggung-gugat Negara

secara yuridis; dan

(10) Prinsip pembagian kekuasaan, baik teritorial sifatnya maupun vertikal

(system federasi maupun desentralisasi).12

Jika teori negara hukum “Rechtsstaat” pada umumnya berkembang di

negara-negara Eropa Kontinental, sebaliknya teori negara hukum Rule of

11

B.Arief Sidharta, Kajian Kefilsafatan Tentang Negara Hukum, dalam Jentera

(Jurnal hukum), Rule of Law, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Jakarta, Edisi 3

Tahun II, November 2004, h. 124-125. 12

Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu,

Surabaya, 1987, h. 75.

16

Law berkembang di negara-negara Anglo-Saxon. Seorang sarjana kenamaan

bernama Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dari “ Rule of Law”,

yaitu :

(1) Supremacy of Law.

(2) Equality before the law.

(3) The Constitution based on Individual Right.13

Unsur penting yang pertama dari Rule of Law adalah supremacy of

law atau supremasi hukum, di Inggris merupakan unsur mutlak yang tidak

dapat ditawar- tawar dari Rule of Law. Hal ini, merupakan unsur Rule of

Law yang diperjuangkan rakyat Inggris lebih dahulu, jika dibandingkan

dengan negara Barat lainnya. Negara Inggris yang mendasarkan pada prinsip

supremasi hukum, menjamin bahwa tidak seorangpun boleh dipenjara atau

ditahan tanpa adanya dasar hukum yang jelas dan pasti.

Unsur kedua dari Rule of Law adalah equality before the law atau

persamaan di hadapan hukum. Setiap warga negara, baik pejabat negara

maupun warga/individu harus tunduk pada hukum yang sama dan diadili

pada pengadilan yang sama. Dengan demikian di Inggris, tidak dikenal

pengadilan khusus bagi pejabat negara.

Unsur Ketiga dari Rule of Law adalah The Constitution based on

Individual Right. Artinya hak-hak individu dijamin dan dilindungi oleh

konstitusi. Konstitusi di sini tidak seperti pada umumnya konstitusi yang

terdapat di negara-negara lain berupa dokumen tertulis atau Undang Undang

Dasar, melainkan konstitusi di Inggris lebih menunjuk pada sejumlah

dokumen yang isinya bersifat fundamental yang dijadikan dasar oleh rakyat

Inggris dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegaranya.

Perlindungan konstitusional terhadap hak-hak warga negara telah

memberikan jaminan terhadap hak-hak dasar dan hak-hak asasi warga

negara, tanpa harus diperjuangkan melalui lembaga Peradilan Tata Usaha

Negara. Dari pendapat A.V. Diceydapat diketahui 3 (tiga) karakteristik

“Rule of law” yaitu adanya supremasi hukum (supremacy of law),

persamaan di hadapan hukum (equality before the law), dan adanya

perlindungan HAM dalam konstitusi (human right protection).

Selanjutnya akan dijelaskan mengenai Teori Negara Hukum

Pancasila . Bernard Arief Sidharta menyatakan bahwa cita hukum bangsa

13

Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Konstitusi

Press, Jakarta, 2006, h. 148.

17

Indonesia berakar dalam Pancasila yang oleh para bapak pendiri Negara

Republik Indonesia ditetapkan sebagai landasan kefilsafatan dalam menata

kerangka dan struktur dasar organisasi negara sebagaimana dirumuskan

dalam UUD 1945. Pancasila adalah pandangan hidup bangsa Indonesia yang

mengungkapkan pandangan bangsa Indonesia tentang hubungan antara

manusia dan Tuhan, hubungan manusia dengan sesama manusia, serta

hubungan manusia dengan alam semesta yang berintikan keyakinan tentang

empat manusia individual di dalam masyarakat dan alam semesta.14

Sebagai suatu sistem filsafat, sila-sila dalam Pancasila merupakan

jalinan sila-sila yang menyatu dan utuh menyeluruh.Masing-masing sila

saling membatasi dan memperkaya makna dari masing-masing sila tersebut

dan kemudian memaparkannya sebagai satu keterkaitan, interkoneksi dan

satu keutuhan. Dengan demikian, tidaklah dibenarkan memandang manusia

Indonesia dari masing-masing sila secara parsial.15

Soediman Kartohadiprodjo sebagaimana dikutip oleh Widiada

menyatakan bahwa:

“... untukmengetahuidengan sebaiknya apa sesungguhnya yang

dinamakan filsafat Pancasila itu, kita harus mencoba menemukan

isinya. Sebagai filsafah, maka isi Pancasila itu adalah suatu

pemikiran yang bulat. Maka kalau kita hendak mengetahui apa yang

menjadi isi Pancasila, maka kita harus dapat menemukan pemikiran

bulat itu.Isi bulat ini tidak dapat kita ketemukan hanya dengan

memberi isi kepada masing-masing silanya saja, tetapi isi yang kita

berikan kepada masing-masing sila itu harus mempunyai hubungan

yang masuk akal (logis verband) antara satu dan lainnya, sehingga

dengan demikian lalu menjadi pemikiran yang bulat. Pemikiran

bulat belum lagi merupakan isi bulat filsafah Pancasila kalau belum

memenuhi syarat khusus, yaitu merupakan isi jiwa Bangsa

Indonesia.Maka karena itu, isi yang kita ketemukan itu harus kita

cek dengan “isi jiwa Bangsa Indonesia”.16

Berdasarkan atas pemikiran itu maka sampai pada isi bulat filsafah

Pancasila sebagai berikut:

14

I Ketut Adi Purnama, Transparansi Penyidikan Dalam Kerangka Sistem

Peradian Pidana Untuk Membangun Kepercayaan Masyarakat Terhadap Polri, Disertasi,

Universitas Katolik Parahyangan, 2011, h. 161. 15

Widiada, Kebijakan Legislasi Tentang Sifat Melawan Hukum Materiil Dalam

Tindak Pidana Korupsi, Disertasi, Universitas Katolik Parahyangan, 2008, h. 444. 16

Ibid., h. 145.

18

Bangsa Indonesia percaya adanya Tuhan dan Tuhan ini adalah

pencipta Alam Semesta dan seluruh isinya, termasuk manusia (Sila I

Ketuhanan Yang Maha Esa). Manusia ini diciptakan oleh Tuhan

sebagai satu umat (Sila II Perikemanusiaan), tetapi dalam kesatuan

umat manusia, ini terdapat di dalamnya perbedaan-

perbedaan.Disebabkan karena perbedaan iklim, keadaan tanah,

tempat kehidupannya, dan lain sebagainya. Maka terdapat perbedaan

jiwa kelompok manusia pada bagian yang satu di dunia ini dari

bagian yang lain, sehingga menimbulkan adanya bangsa-bangsa

(Sila III Kebangsaan). Umat manusia dan kebangsaan ini, menurut

Ir. Soekarno dalam “Lahirnya Pancasila”, adalah dalam keadaan:

“Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar

dalam nasionalisme: Nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau

tidak hidup dalam taman sarinya Internasionalisme”, yang

menunjukkan jiwa kekeluargaan. Manusia diciptakan Tuhan untuk

mencari jalan supaya dapat hidup bahagia (Sila V Kebahagiaan) dan

hidup bahagia ini harus dicapainya, tidak dengan jegal-jegalan

apalagi bunuh-membunuh, melainkan dengan jalan musyawarah

atau mufakat (Sila IV Musyawarah Mufakat).17

Para pendiri bangsa Indonesia dengan sangat cemerlang mampu

menyepakati pilihan yang pas tentang dasar negara sesuai dengan karakter

bangsa, sangat orisinal, menjadi sebuah negara modern yang berkarakter

religius, tidak sebagai negara sekuler juga tidak sebagai negara

agama.Rumusan konsepsinya benar-benar diorientasikan dan disesuaikan

dengan karakter bangsa. Mereka bukan hanya mampu menyingkirkan

pengaruh gagasan negara patrimonial, namun juga mampu meramu berbagai

pemikiran politik yang berkembang saat itu secara kreatif sesuai kebutuhan

masa depan modern anak bangsa.18

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa teori negara hukum yang

dianut dan diterapkan di Indonesia bukanlah teori negara hukum

sebagaimana teori rechtsstaat di negara-negara yang menganut sistem

hukum civil law ataupun teori the rule of law di negara-negara yang

menganut sitem hukum common law,melainkan menganut dan menerapkan

teori Negara Hukum yang sesuai dengan kondisi dan jiwa bangsa Indonesia

yakni Teori Negara Hukum Pancasila. Hal ini dikarenakan Teori Negara

Hukum Pancasila lahir bukan karena adanya perlawanan terhadap

17

Yopi Gunawan dan Kristian, Perkembangan Konsep Negara Hukum dan Negara

Hukum Pancasila, Refika Aditama, Bandung, 2015, h. 86. 18

Ibid., h. 86

19

absolutisme yang dilakukan oleh penguasa atau raja (sebagaimana latar

belakang munculnya ide rechtsstaat dan the rule of law), melainkan lahir

karena adanya keinginan bangsa Indonesia terbebas dan imperialisme dan

kolonialisme yang dilakukan oleh penjajah Belanda.

Hal serupa dikemukakan pula oleh Mahfud MD dalam bukunya

yang berjudul : “Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi”

bahwa Indonesia tidak menganut teori rechtsstaat ataupun teori the rule of

law, melainkan membentuk suatu teori negara hukum baru yaitu Negara

Hukum Pancasila yang merupakan kristalisasi pandangan dan falsafah hidup

yang syarat dengan nilai dan etika serta moral luhur bangsa Indonesia,

sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945

dan tersirat di dalam pasal- pasal Undang- Undang Dasar 1945.19

Notonegoro sebagaimana dikutip oleh Bernard Arief Sidharta

memberikan pemahaman tentang Pancasila sebagai asas atau “guiding

principle” dalam bernegara di Indonesia.Sebagai asas negara, Pancasila

dapat dikatakan sebagai dasar-dasar Idiologi Negara.Secara yuridis,

Pancasila itu adalah pokok kaidah negara yang fundamental.20 Hal ini

terlihat dari pernyataan filsafati yang dikemukakan oleh Notonagoro dalam

bukunya yang berjudul :“Pancasila Secara IImiah Populer” yang

menyatakan bahwa:

Berbicara tentang Pancasila seharusnya kita mendudukkan diri

sebagai sesama warga bangsa, sesama saudara, putera ibu pertiwi

kita Indonesia.Hendaknya kita selalu ingat kepada kesamaan

kedudukan kodrat dan kesamaan sifat kodrat kita sekalian.Kita

dengan dilahirkan sebagai anak keturunan satu nenek moyang, kita

mempunyai kesatuan darah, kita dengan dilahirkan di atas bumi

Indonesia, kita mempunyai kesatuan tempat kelahiran dan tempat

tinggal. Kita mempunyai kesatuan sumber kehidupan, di mana kita

bersama-sama hidup, di mana kita bersama- sama mendapatkan

segala sesuatu yang kita perlukan buat kehidupan kita, di mana kita

saling bergaul dan bekerja sama, di mana kita telah mempunyai

nasib dan sejarah bersama, di mana setelah Proklamasi

Kemerdekaan kita mempunyai suatu tekad untuk menyusun suatu

hidup bersama dalam negara yang bersatu, merdeka, adil dan

19

Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakan Konstitusi, Pustaka

LP3ES, Jakarta., h. 23. 20

B. Arief Sidharta, Revisi Pemikiran Prof. Soediman Kartohadiprodjo tentang

Pancasila Berkaitan dengan Pengembangan Sistem Hukum Nasional, Dies Natalis ke 51

Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2009, h. 20.

20

makmur, buat kita sendiri dan buat anak keturunan kita sampai akhir

zaman. Negara kita karena sifatnya mutlak monodualis

kemanusiaan, bukan negara liberal, bukan negara kekuasaan belaka

atau diktator dan bukan negara materialis. Negara kita adalah negara

yang terdiri atas perseorangan yang bersama-sama hidup, baik

dalam kelahiran maupun dalam kebatinan, yang kedua-duanya

mempunyai kebutuhan dan kepentingan perseorangan serta

kebutuhan dan kepentingan bersama, yang kedua-duanya

diselenggarakan tidak saling mengganggu, tetapi dalam kerja sama.

Negara kita adalah yang dinamakan negara hukum kebudayaan.21

Sjachran Basah dalam tulisannya yang berjudul : “Perlindungan

Hukum terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara” menyebutkan

bahwa:“.. negara hukum a quo itu merupakan negara kemakmuran

berdasarkan hukum yang dilandasi oleh Pancasila, baik sebagai dasar negara

maupun sebagai sumber dari segala sumber hukum dengan menolak

absolutisme dalam segala bentuknya”.22

Pemikiran yang demikian pada hakikatnya sudah lama dicita-

citakan, namun sampai dengan saat ini masih belum terealisasi dengan baik.

Hal ini terbukti sejak tahun 1963 telah dilakukan Seminar Hukum Nasional

di Semarang yang dimotori oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN)

Departemen Kehakiman dengan Ketua Umum Soesanto Tirtoprodjo dan

dihadiri antara lain oleh: Oemar Senoadji, Sudarto dan Roeslan Saleh dengan

maksud untuk mengumpulkan bahan- bahan ilmiah guna menyusun hukum

nasional Indonesia yang sesuai dengan cita- cita masyarakat yang adil

dan makmur berdasarkan Pancasila.23 Seminar ini berhasil melahirkan

konsep hukum nasional Indonesia yang menyebutkan:“Hukum Nasional

Indonesia haruslah satu atau jalin- menjalin dengan cita-cita masyarakat

yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila”.24

Selanjutnya, perlu dikemukakan pada bagian ini bahwa teori negara

21

Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer, Pantjuran Tujuh, Jakarta, 1975, h.

15- 22

Sjachran Basah, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap-Tindak Administrasi

Negara, Orasi Diucapkan pada Dies Natalis XXIX Universitas Padjadjaran pada Tanggal 24

September 1986, PT. Alumni, Bandung, 1992, h. 3. 23

Aang Achmad, Aspek Hukum Perdata dalam Penanggulangan Korupsi di

Indonesia (Tinjauan Hukum Pemberantasan Korupsi di Indonesia Berdasarkan Hukum

Pidana Positif dan Pemanfaatan Hukum Perdata terhadap Pengembalian Kerugian Negara

Hasil Korupsi dalam Kasus BLBI), Disertasi, Universitas Katolik Parahyangan, 2010., h. 283 24

Ibid. h. 283

21

hukum Pancasila merupakan konsep negara hukum yang prismatik. Mahfud

MD dalam. bukunya yang berjudul “Membangun Politik

Hukum,Menegakkan Konstitusi “ menyatakan bahwa disebut dengan

“konsep Prismatik” karena konsep negara hukum Pancasila merupakan

konsep negara hukum yang menggabungkan unsur- unsur yang terdapat

dalam berbagai konsep negara hukum the rule of law ataupun rechtsstaat

yang berbeda ke dalam satu konsep yang menyatu negara hukum Indonesia

yang implementasinya disesuaikan dengan tuntutan perkembangan

zaman.”25

Masih mengacu kepada pendapat Mahfud MD, bahwa Negara

Hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

1945 mengambil konsep prismatik.’26 atau konsep hukum integratif dari dua

konseptersebut sehingga “kepastian hukum” yang terdapat dalam rechtsstaat

dapat dipadukan dengan prinsip “keadilan” yang terdapat dalam the rule of

Law. Indonesia tidak memilih salah satunya, tetapi memasukkan unsur-

unsur yang baik dari keduanya.27 Dengan demikian, teori negara hukum

Indonesia yakni teori negara hukum Pancasila memiliki karakteristik

tersendiri yang membedakannya dengan teori negara hukum lain. Selain itu,

terkait dengan konsep prismatik ini , Kirdi Dipoyudo menyatakan bahwa:28

“Pancasila mempertemukan kedua pendapat dan keinginan itu.

Negara Pancasila bukanlah negara agama, juga bukan negara anti

agama, melainkan Negara Ketuhanan yang memelihara budi pekerti

kemanusiaanyang luhur dan memegang teguh cita-cita moral

rakyatyang luhur. Golongan Islam mula-mula kurang senang dengan

usul untuk membangun Indonesia merdeka atasdasar Pancasila.

Tetapi akhirnya menerimanya juga.Mereka menolak negara anti

agama, tetapi dapat menerima negara Pancasila yang Berketuhanan,

sedangkan golongan kebangsaan menolak Negara agama, tetapi

25

Moh. Mahfud, MD., Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi,

Rajawali Press, Jakarta, 2011, h.24-27 26

Hukum prismatik adalah hukum yang mengintegrasikan unsur-unsur pokok dan

penting yang terkandung di dalam berbagai hukum (sistem hukum) sehingga terbentuk suatu

hukum yang baru dan utuh. Bisa dilihat dalam: Soehino, Hukum Tata Negara: Negara

Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945

Adalah Negara Hukum, Yokyakarta, 1985, h. 9 dan Fathurohman, Dian

AminudindanSirajuddin, Memahami Mahkamah Konstitusi Di Indonesia, BinaCipta,

Bandung, 2004, h. 5 27

Moh. Mahfud, MD., Op.Cit., him. 26. 28

Ibid. h. 18.

22

dapat menerima negara Ketuhanan”.

Masih berkaitan dengan teori negara hukum Pancasila, sebagai

pilihan hukum prismatik yang mengintegrasikan unsur-unsur yang

terkandung di dalam berbagai hukum (sistem hukum) sehingga terbentuk

suatu hukum yang baru dan utuh dan berkarakteristik dari negara hukum

Pancasila, Soehino menyatakan beberapa hal berikut ini:

1. Negara hukum Pancasila merupakan suatu negara kekeluargaan.

Dalam suatu negara kekeluargaan terdapat pengakuan terhadap hak- hak

individu (termasuk pula hak milik) atau hak asasi manusia namun tetap

mengutamakan kepentingan nasional (kepentingan bersama) di atas

kepentingan individu tersebut. Hal ini di satu sisi sejalan dengan nilai

sosial masyarakat Indonesia yang bersifat paguyuban, namun di sisi lain

juga sejalan dengan pergeseran masyarakat Indonesia ke arah masyarakat

modern yang bersifat patembayan. Hal ini sungguh jauh bertolak

belakang dengan konsep negara hukum Barat yang menekankan pada

kebebasan individu seluas-luasnya, sekaligus bertolak belakang dengan

konsep negara hukum sosialisme-komunisme yang menekankan pada

kepentingan komunal atau kepentingan bersama. Dalam negara hukum

Pancasila, diusahakan terciptanya suatu harmoni dan keseimbangan

antara kepentingan individu dan kepentingan nasional (masyarakat)

dengan memberikan pada negara kemungkinan untuk melakukan campur

tangan sepanjang diperlukan bagi terciptanya tata kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang sesuai dengan prinsip-

prinsip Pancasila. .

2. Negara hukum Pancasila merupakan negara hukum yang berkepastian dan

berkeadilan.

Dengan sifatnya yang prismatik maka konsep negara hukum Pancasila

dalam kegiatan berhukum, baik dalam proses pembentukan maupun

penegakannya dilakukan dengan memadukan unsur-unsur, baik yang

terkadung dalam konsep rechtsstaat maupun konsep the rule of law yakni

dengan memadukan antara prinsip kepastian hukum dengan prinsip

keadilan, sehingga terciptalah suatu prasyarat bahwa kepastian hukum

harus ditegakkan demi menegakkan keadilan dalam masyarakat sesuai

dengan prinsip-prinsip Pancasila. .

3. Negara hukum Pancasila merupakan religious nation state.

Dengan melihat pada hubungan antara negara dan agama, maka konsep

negara hukum Pancasila tidaklah menganut sekulerisme tetapi juga bukan

sebuah negara agama seperti dalam teokrasi dan dalam konsep

Nomokrasi Islam.Konsep negara hukum Pancasila adalah sebuah konsep

negara yang berketuhanan. Berketuhanan di sini dapat diartikan bahwa

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Indonesia wajib

23

didasarkan atas kepercayaan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan

begitu maka terbukalah suatu kebebasan bagi warga negara untuk

memeluk agama dan kepercayaan sesuai keyakinannya masing- masing.

Konsekuensi logis pilihan prismatik ini adalah ateisme dan juga

komunisme dilarang karena telah mengesampingkan kepercayaan

terhadap Tuhan Yang Maha Esa; .

4. Negara hukum Pancasila memadukan hukum sebagai alat perubahan

masyarakat dan hukum sebagai cermin budaya masyarakat.

Dengan memadukan kedua konsep ini, negara hukum Pancasila mencoba

untuk memelihara dan mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam

masyarakat (living law atau local wisdom) sekaligus pula melakukan

positivisasi terhadap living law atau local wisdom tersebut untuk

mendorong dan mengarahkan masyarakat pada kemajuan yang sesuai

dengan prinsip-prinsip Pancasila.29

.

Teori negara hukum Pancasila merupakan negara hukum yang

dikembangkan dan diterapkan di Indonesia. Singkatnya, teori negara hukum

Indonesia harus didasarkan pada sistem hukum Pancasila. Dengan perkataan

lain, dapat pula dikatakan bahwa teori negara hukum Indonesia memiliki ciri

khas yang terdapat pada falsafah bangsa dan negara Indonesia, yaitu falsafah

Pancasila. Oleh karenanya, teori negara hukum Pancasila juga bercirikan

atau berlandaskan kepada identitas dan karakteristik yang terdapat dalam

falsafah Pancasila, yaitu: Ketuhanan Yang Maha Esa, kekeluargaan, gotong

royong dan kerukunan. Di sisi lain, keberadaan Pancasila sebagai falsafah

kenegaraan atau cita negara (staatsidee) yang berfungsi sebagai filosofische

gronslag dan common platforms atau kalimatun sawa di antara warga

masyarakat dalam konteks kehidupan bernegara dalam kesepakatan pertama

penyangga konstitusionalisme menunjukkan hakikat Pancasila sebagai

ideologi terbuka.30

Konsekuensi Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah membuka

ruang untuk membentuk kesepakatan masyarakat guna mencapai cita-cita

dan nilai-nilai dasar yang terdapat dalam Pancasila itu sendiri.Kesepakatan

tersebut adalah kesepakatan kedua dan ketiga penyangga konstitusionalisme,

29

Soehino, Hukum Tata Negara : Negara Kesatuan Republik Indonesia

Berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 , Yogyakarta, 1985, h. 23-30. 30

Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori dan Ilmu Hukum:

Pemikiran Menuju Masyarakat Yang Berkeadilan dan Bermartabat, PT. RajaGrafindo

Persada, Jakarta, 2012, h. 367.

24

yaitu kesepakatan tentang negara hukum sebagai landasan pemerintahan

atau penyelenggaraan negara (the basis of government) dan kesepakatan

tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur- prosedur ketatanegaraan (the

form of institutions and procedures).31

Dengan demikian, Pancasila harus

dijadikan pokok dan sumber hukum dalam negara hukum Indonesia. Oleh

karena itu, konsep negara hukum Indonesia disebut sebagai konsep negara

hukum Pancasila karena semua penyelenggaraan negara dan prosedur-

prosedur ketatanegaraannya dilaksanakan berdasarkan Pancasila.

Hal ini secara tegas tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang

Dasar 1945, khususnya nilai-nilai yang terkandung dalam 5 (lima) sila

Pancasila yang terdapat pada alinea keempat yakni: “... membentuk

masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila, melindungi segenap

bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan

umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Selain

itu, dapat pula dilihat bahwa tujuan yang hendak dicapai negara Indonesia

adalah terwujudnya masyarakat adil dan makmur, baik spiritual maupun

materiil berdasarkan Pancasila. Hal ini telah menyebabkan negara Indonesia

disebut juga sebagai negara hukum yang memiliki “Karakteristik Mandiri’.32

Lebih lanjut Mahfud MD berpendapat bahwa:

“Pancasila menjadi pemandu Politik Hukum nasional dalam

berbagai bidang. Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi landasan

Politik Hukum yang berbasis moral agama; sila “Kemanusiaan .yang

Adil dan Beradab” menjadi landasan Politik Hukum yang

menghargai dan melindungi hak-hak asasi manusia yang

nondiskriminatif; sila “Persatuan Indonesia” menjadi landasan

Politik Hukum untuk mempersatukan seluruh unsur bangsa dengan

berbagai ikatan primordialnya masing-masing; sila “Kerakyatan

yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam

Permusyawaratan/ Perwakilan” menjadi landasan Politik Hukum

yang meletakkan kekuasaan di bawah kekuasaan rakyat

(demokratis) dan sila “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat

Indonesia” menjadi landasan politik hukum dalam hidup

bermasyarakat yang berkeadilan sosial sehingga mereka yang lemah

secara sosial ekonomi tidak ditindas oleh mereka yang kuat secara

31

Ibid, h. 367 32

Rukmana Amanwinata, Pengaturan dan Batas Implementasi Kemerdekaan

Berserikat dan Berkumpul Dalam Pasal 28 UUD 1945, Bandung, Disertasi, Fakultas

Pascasarjana Universitas Padjajaran (UNPAD), 1996. h. 109

25

sewenang- wenang”.33

Apabila melihat asal kata yang membentuknya, Negara Hukum

Pancasila terdiri dari dua suku kata yakni “negara hukum” dan

“Pancasila”.Sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya, secara

sederhana “negara hukum” dapat diartikan sebagai segala aktivitas atau

perbuatan yang dilakukan harus berdasarkan hukum (peraturan perundang-

undangan) dan dapat dimintakan pertanggungjawaban berdasarkan hukum.

Sedangkan “Pancasila” berarti jiwa bangsa yang merupakan filosofische

grondslag dan common platforms sekaligus sebagai cita hukum (rechtsidee)

yang merupakan bintang pemandu dalam menjalankan seluruh kehidupan

bangsa Indonesia (baik di bidang hukum, politik, ekonomi, sosial budaya,

pertahanan dan keamanan maupun bidang- bidang lainnya) dan hal ini

dilakukan untuk mencapi tujuan nasional.

Menurut Yopi Gunawan dan Kristian bahwa negara hukum

berdasarkan Pancasila dengan ciri-ciri sebagai berikut:

1. Negara kekeluargaan, adanya pengakuan atau perlindungan

terhadap hak asasi manusia dengan tetap mengutamakan

kepentingan nasional.

2. Negara hukum yang berkepastian dan berkeadilan.

3. Negara Indonesia merupakan religious nation state, kehidupan

berbangsa dan bernegara Indonesia didasarkan atas kepercayaan

kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.

4. Memadukan hukum sebagai alat perubahan masyarakat dan

hukum sebagai cermin budaya masyarakat.

5. Tujuan negara hukum Pancasila adalah mewujudkan tujuan

Negara (tujuan nasional), melindungi segenap bangsa Indonesia

dan tumpah darah Indonesia (nasionalis), memajukan

kesejahteraan umum, mencedaskan kehidupan bangsa, dan ikut

melaksanakan perdamaian dunia, berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi dan keadilan sosial.34

Menurut M. Tahir Azhari, pada hakikatnya negara hukum Pancasila

mempunyai 8 (delapan) ciri pokok sebagai berikut:

1. Adanya hubungan yang erat antara agama dengan negara. .

2. Bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa.

3. Kebebasan beragama dalam arti positif.

4. Ateisme tidak dibenarkan dan komunisme dilarang.

33

Mahfud MD, Op Cit, h. 39. 34

Yopi Gunawan dan Kristian, Op.cit, h. 96.

26

5. Asas kekeluargaan dan kerukunan.

6. Sistem konstitusi.

7. Persamaan dalam hukum.

8. Peradilan yang bebas.35

Pada kesempatan lain, Bernard Arief Sidharta menyatakan dengan

jelas bahwa:

“Hukum juga harus bersifat kekeluargaan.Sebab, ketertiban yang

dikehendaki haruslah juga merupakan ketertiban dan keteraturan

yang bersuasana ketenteraman batin, kesenangan bergaul

antarsesama, keramahan dan kesejahteraan yang memungkinkan

terselenggaranya interaksi antarmanusia yang otentik. Mengingat

titik tolak dan tujuan penyelenggaraan ketertiban itu adalah

penghormatan atas martabatmanusia, maka tujuan hukum

berdasarkan Pancasila adalah pengayoman terhadap manusia (di

dalam kebersamaan dengan sesamanya) dalam arti baik pasif

maupun aktif. Dalam arti pasif, meliputi upaya mencegah tindakan

sewenang-wenang dan pelanggaran hak.Dalam arti aktif, meliputi

upaya menumbuhkan kondisi sosial yang manusiawi dan

mendorong manusia merealisasikan diri sepenuh mungkin.Tujuan

hukum itu meliputi juga pemeliharaan dan pengembangan budi

pekerti kemanusiaan dan cita-cita moral yang luhur berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa. Kesemuanya itu hanya mungkin ada

maknanya, jika secara fundamental“the sancity of life”, diakui,

dihormati dan dilindungi”36

Dengan demikian, tujuan yang ingin dicapai dari hukum Pancasila

menurut Bernard Arief Sidharta adalah untuk memberikan pengayoman

kepada manusia, yakni melindungi manusia secara pasif (negatif) dengan

mencegah tindakan sewenang-wenang dan secara aktif (positif) dengan

menciptakan kondisi kemasyarakatan yang manusiawi yang memungkinkan

proses kemasyarakatan berlangsung secara wajar sehingga secara adil setiap

manusia memperoleh kesempatan yang luas dan sama untuk

mengembangkan seluruh potensi kemanusiaan secara utuh.37

Masih berkaitan dengan negara hukum dan Pancasila, bagi Padmo

Wahyono, ciri penting dari negara hukum Indonesia adalah asas

kekeluargaan dan keadilan sosial.38 Philipus M. Hadjon menggambarkannya

35

M. Tahir Azhari, Negara Hukum Indonesia, Jakarta BUalan Bintang,1992, h. 69. 36

Bernard Arief Sidharta, Op.Cit., h. 6. 37

Ibid. h. 190 38

Pandangan Padmo Wahjono tersebut dikutip oleh Marjanne Termorshuizen-Artz,

27

dengan menggunakan istilah “kerukunan’’39 Sedangkan penggagas awalnya

yaituSoediman Kartohadiprodjo menggunakan perumusan “Pandangan

HidupPancasila” juga dapat disebut “Pandangan Hidup Kekeluargaan’’.40

Selengkapnya, Soediman Kartohadiprodjo menyatakan:"

“... filsafat Pancasila seperti yang dibawakan dengan lima intinya

yang terkenal itu, mengandung di dalamnya dan pula dalam lima

intinya tadi suatu penglihatan tentang tempat individu dalam

pergaulan hidup manusia. Dan ini yang kita namakan jiwa dari

individu menurut Pancasila, atau dengan singkat “jiwa Pancasila

ialah kekeluargaan”.Jiwa kekeluargaan ini mengandung arti bahwa

dalam kesatuan yang merupakan bentuk daripada keluarga itu

terdapat perbedaan-perbedaan dalam individu-individu yang

menjadi anggota- anggotanya. Tetapi, meskipun individu-individu

anggota keluarga tadi berbeda satu sama lain, berbeda dalam umur,

jenis kelamin dan juga dalam kepribadiannya tokh individu-individu

ini masing-masing baru merasa paling bahagia dalam kesatuan

keluarga. Keadaan ini membawa kita sampai pada penentuan intinya

jiwa kekeluargaan sebagai ‘kesatuan dalam Perbedaan; Perbedaan

dalam Kesatuan’”.41

Selanjutnya, masih mengutip pendapat dari Padmo Wahjono, beliau

merumuskan negara hukum Pancasila sebagai suatu kehidupan berkelompok

bangsa Indonesia, berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan didorong oleh

keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas dalam arti

merdeka, berdaulat, adil dan makmur, yang didasarkan pada hukum, baik

hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis sebagai wahana

untuk ketertiban dan kesejahteraan dengan fungsi pengayoman dalam arti

menegakkan demokrasi, peri kemanusiaan dan keadilan sosial.42

Lebih lanjut, Padmo Wahjono menjelaskan bahwa konsep negara

hukum Pancasila mengandung 5 (lima) unsur yaitu sebagai berikut:

1) Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum, yang

berarti kita menghendaki satu sistem hukum nasional yang

dibangun atas dasar wawasan kebangsaan, wawasan nusantara dan

wawasan bhineka tunggal ika.

The Concept Rule of Law, Lihat JENTERA, h. 107

39 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu,

Surabaya, 1987, h. 84 40

Widiada, Op.Cit., h. 448. 41

Ibid.h. 448. 42

Padmo Wahjono, Op.Cit, h. 87.

28

2) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah lembaga

tertinggi43 yang berwenang mengubah menetapkan Undang-

Undang Dasar yang melandasi segala peraturan perundang-

undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

bersama-sama dengan Presiden.

3) Pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi, yaitu suatu sistem

tertentu yang pasti dan yang jelas di mana hukum yang hendak

ditegakkan oleh negara dan yang membatasi kekuasaan penguasa

atau pemerintah agar pelaksanaannya teratur dan tidak simpang

siur harus merupakan satu tertib dan satu kesatuan tujuan.

4) Semua warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan

pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu

dengan tiada kecualinya.

5) Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, artinya

terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah.44

Berkaitan dengan istilah kerukunan, Philipus M. Hadjon

menyatakan bahwa yang menjadi titik sentral Negara Indonesia adalah

keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas

kerukunan.Hal inilah yang membedakan antara konsep negara hukum

Pancasila dengan the rule of law maupun rechtsstaat.Yang mana dalam the

rule of law maupun rechtsstaat yang menjadi titik sentral adalah pengakuan

dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.45

Berdasarkan hal inilah Philipus M. Hadjon merumuskan

perkembangan unsur negara hukum Pancasila. Unsur-unsur yang dimaksud

yaitu sebagai berikut:

1) Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan

asas kerukunan.

2) Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-

kekuasaan negara.

3) Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan

43

Setelah diadakannya amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945,

kedudukan MPR saat ini tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara melainkan hanya

sebagai lembaga tinggi Negara sebagaimana halnya dengan Presiden, Dewan Perwakilan

Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah

Konstitusi (MK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). 44

Padmo Wahijono, Op.Cit, h. 88 45

Philipus M. Hadjon, Op.Cit, him. 84-85.

29

merupakan sarana terakhir.

4) Keseimbangan antara hak dan kewajiban.46

Hal serupa dikemukakan pula oleh Abdoel Gani yang menyatakan

bahwa negara hukum Pancasila merupakan negara hukum yang

mengutamakan keadilan sosial, dari sudut konsep kenegaraannya, negara

hukum Pancasila mengutamakan dan menerima konsep negara integralistik,

dari sudut upaya kesejahteraannya, mengarah kepada terciptanya masyarakat

adil berkemakmuran dan makmur yang berkeadilan dan akhirnya dari sudut

pemikirankejiwaan dan moral, negara hukum Pancasila adalah negara yang

berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa serta menjunjung tinggi harkat dan

martabat manusia (Indonesia).47

Sebagaiman Pendapat Soepomo, negara hukum Pancasila berarti

bahwa: (a). Sistem kekeluargaan yaitu negara hukum Pancasila harus

dilandasi dan berpedoman kepada aliran pikiran kekeluargaan; (b). Negara

persatuan, yaitu adanya perlindungan yang meliputi segenap bangsa dan

rakyat Indonesia yang mengatasi segala golongan, mengatasi segala paham

golongan, mengatasi segala paham perseorangan; (c). Paham kedaulatan

rakyat yang berdasarkan kepada kerakyatan dan permusyawaratan

perwakilan, dan (d). Berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa

menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.48

Menurut hasil Simposium yang diselenggarakan Universitas

Indonesia, 7 Mei 1966 tentang Indonesia Negara Hukum, diperoleh rumusan

bahwa : (1) Negara Republik Indonesia dalah suatu negara hukum yang

berdasarkan Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara yang mencerminkan

jiwa bangsa Indonesia, harus menjiwai semua peraturan hukum dan

pelaksanaannya. Dalam Negara Indonesia di mana falsafah Pancasila begitu

meresap hingga negara kita dapat dinamakan negara Pancasila, asas

kekeluargaan merupakan titik tolak dari kehidupan kemasyarakatan.(2) ciri-

ciri khas bagi suatu negara hukum adalah : a) pengakuan dan perlindungan

hak-hak asasi, yang mengandung persamaan di bidang politik, hukum,

sosial, ekonomi, kultural dan pendidikan. b) peradilan yang bebas tidak

memihak, tidak dipengaruhi oeh sesuatu kekuasaan/kekuatan lain apapun.

46

Ibid. 47

Ibid. 48

Yusdiyanto, Makna Filosofis Nilai-Nilai Sila Ke-Empat Pancasila Dalam Sistem

Demokrasi Di Indonesia, FIAT JUSTISIA. Faculty of Law, Lampung University,

Bandarlampung, Lampung, Indonesia, Volume 10 Issue 2, April-June 2016, h. 264.

30

c)legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya.49

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik suatu definisi bahwa negara

hukum Pancasila adalah negara hukum yang memiliki karakteristik sebagai

berikut :

1. Negara Indonesia merupakan religious nation state, kehidupan

berbangsa dan bernegara Indonesia didasarkan atas kepercayaan

kepada Ketuhanan Yang Maha Esa;

2. Berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab.

3. Adanya keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat

berdasarkan asas kerukunan dan kekeluargaan;

4. Negara persatuan, yaitu adanya perlindungan yang meliputi segenap

bangsa dan rakyat Indonesia yang mengatasi segala golongan,

mengatasi segala paham golongan, mengatasi segala paham

perseorangan;

5. Paham kedaulatan rakyat yang berdasarkan kepada kerakyatan dan

permusyawaratan perwakilan;

6. Tujuan negara hukum Pancasila adalah mewujudkan tujuan Negara

(tujuan nasional), melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah

darah Indonesia (nasionalis), memajukan kesejahteraan umum,

mencedaskan kehidupan bangsa,dan ikut melaksanakan perdamaian

dunia, berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan

sosial.

7. Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan

merupakan sarana terakhir;

8. Legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya.

1.6.1.2. Teori Jenjang Norma

Norma adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi seseorang dalam

hubungannya dengan sesama ataupun dengan lingkungan. Istilah norma

berasal dari bahasa latin, atau kaidah dalam bahasa arab, dan sering juga

disebut dengan pedoman, patokan, atau aturan dalam bahasa Indonesia.

Dalam perkembangannya norma itu diartikan sebagai suatu ukuran atau

patokan bagi seseorang dalam bertindak atau bertingkah laku dalam

masyarakat. Jadi, inti suatu norma adalah segala aturan yang harus

49

I Dewa Gede Atmadja, dkk, Teori Konstitusi Dan Konsep Negara Hukum, Setara

Press, Malang, 2015, h. 158

31

dipatuhi.50

Menurut Hans Kelsen, norma hukum adalah aturan, pola atau

standar yang perlu diikuti. Kemudian dijelaskan lebih lanjut bahwa fungsi

norma hukum adalah:

a) Memerintah.

b) Melarang.

c) Menguasakan.

d) Membolehkan.

e) Menyimpang dari ketentuan.51

Didalam mengkhususkan pembicaraan atau pembahasan

mengenaikaidah-kaedah atau norma-norma hukum, maka perlu dipahami

secara lebih mendalam lagi teori “stufenbau” dari Kelsen. Menurut Kelsen,

maka tata kaidah hukum dari suatu negara, merupakan suatu sistemkaidah-

kaidah hukum yang hierarkhis yang dalam bentuknya yang sangat

sederhana.52

Menurut Adolf Merkl, suatu norma hukum itu ke atas, ia bersumber

dan menjadi sumber bagi norma hukum di bawahnya, sehingga suatu norma

hukum itu mempunyai masa berlaku (rechtskracht) yang relatif oleh karena

itu masa berlakunya suatu norma hukum itu tergantung pada norma hukum

yang berada diatasnya sehingga apabila norma hukum yang berada diatasnya

dicabut atau dihapus, maka norma-norma hukum yang berada dibawahnya

tercabut dan terhapus pula.53

Berdasarkan teori Adolf Merkl tersebut, dalam teori jenjang

normanya Hans Kelsen juga mengemukakan teorinya mengenai jenjang

norma hukum (stufentheori), dimana ia berpendapat bahwa norma hukum

itu berjenjang- jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan,

dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar

pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber

dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai

pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat

50

Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan: Dasar-Dasar dan

Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 2006. h. 6 51

Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik,

PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010. h.21 52

Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum, Opset Alumni, Bandung, 1979. h.

41 53

Maria Farida Indrati Soeprapto, Op.Cit. h. 25-26

32

hipotetis dan fiktif. Sehingga kaidah dasar di atas sering disebut dengan

“grundnorm” atau “ursprungnorm”.54

Menurut Kelsen, grundnorm pada umumnya adalah meta juridisch,

bukan produk badan pembuat undang-undang (de wetgeving), bukan bagian

dari peraturan perundang-undangan, namun merupakan sumber dari semua

sumber dari tatanan peraturan perundang-undangan yang berada

di bawahnya.55 Norma dasar yang merupakan norma tertinggi dalam sistem

norma tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi,

tetapi norma dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai

norma dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada di

bawahnya sehingga suatu norma dasar itu dikatakan pre-

supposed56

.Berdasarkan penjelasan tersebut, diketahuibahwa norma hukum

dalam suatu negara menurut Hans Kelsen adalah sebagai berikut:

1) Suatu tata kaidah hukum merupakan sistem kaidah-kaidah hukum

secara hierarkis.

2) Susunan kaidah hukum yang sangat disederhanakan dari tingkat

terbawah ke atas.

3) Sahnya kaidah-kaidah hukum dari golongan tingkat yang lebih rendah

tergantung atau ditentukan oleh kaidah-kaidah yang termasuk golongan

tingkat lebih tinggi.

Selanjutnya, dalam sudut pandang pembentukan norma hukum,

Benyamin Akzin mengemukakan bahwa pembentukan norma-norma hukum

publik itu berbeda dengan pembentukan norma-norma hukum privat, karena

apabila kita lihat struktur norma (Norm Structure), maka hukum publik itu

berada di atas hukum privat, sedangkanapabila dilihat dari struktur lembaga

(Institutional Structure), maka Publik Authoritis terletak di atas

population.57 Dalam hal pembentukannya, norma-norma hukum public

dibentuk oleh lembaga-lembaga negara (penguasa negara, wakil-wakil

rakyat) atau disebut juga suprastruktur sehingga dalam hal ini terlihat

jelas bahwa norma-norma hukum yang diciptakan oleh lembaga-lembaga

negara ini mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada norma-norma

54

Ni’matul Huda, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Rajawali Press,

Jakarta, 2008. h. 54 55

Ibid. 56

Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi dan

Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta, 2010. h. 4 57

Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan: Dasar-Dasar . . .,

Op.Cit. h. 26

33

hukum yang dibentuk oleh masyarakat atau disebut juga infrasturktur.58

Oleh karena norma-norma hukum publik dibentuk oleh lembaga-

lembaga negara, sebenarnya pembentukannya harus dilakukan secara

berhati- hati, sebab norma-norma hukum publik ini harus dapat memenuhi

kehendak serta keinginan masyarakat, jadi berbeda dengan pembentukannya

norma- norma hukum privat. Norma-norma hukum privat itu biasanya selalu

sesuai dengan kehendak/keinginan masyarakat, oleh karena hukum privat ini

dibentuk oleh masyarakat yang bersangkutan dengan perjanjian-perjanjian

atau transaksi-transaksi yang bersifat perdata, sehingga masyarakat dapat

merasakan sendiri apakah norma hukum itu sesuai atau tidak dengan

kehendak atau keinginan masyarakat.59

Hans Nawiasky berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis

dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara juga berkelompok-

kelompok. Hans Nawiasky mengelompokkan norma-norma hukum dalam

suatu negara itu menjadi empat kelompok besar yang terdiri atas:

(1) Kelompok I, Staatfundamentalnorm (norma fundamental negara).

(2) Kelompok II, Staatgrundgesetz (aturan dasar/pokok negara).

(3) Kelompok III, Formell Gezetz (undang-undang formal).

(4) Kelompok IV, Verodnung &Autonome Satzung (aturan pelaksana &

aturan otonom).60

Kelompok-kelompok norma hukum tersebut hampir selalu ada

dalam tata susunan norma hukum setiap warga negara walaupun mempunyai

istilah yang berbeda-beda ataupun jumlah norma hukum yang berbeda

dalam tiap kelompoknya. Norma hukum yang tertinggi merupakan

kelompok pertama adalah staatsfundamentalnorm. Istilah

staatsfundamentalnorm ini diterjemahkan oleh Notonagoro dalam pidatonya

pada Dies Natalis Universitas Airlangga yang pertama (10 November 1955)

dengan “pokok kaidah fundamental negara”61

, kemudian oleh Joeniarto,

dalam bukunya yang berjudul sejarah ketatanegaraan republik Indonesia,

disebut istilah “norma pertama”62

,Norma fundamental negara yang

merupakan norma tertinggi dalam suatu negara ini adalah norma yang tidak

dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi ditetapkan terlebih

58

Ibid. 59

Ibid. 60

Ibid. 61

Notonagoro, Pancasila Dasar Falsafah Negara, Bina Aksara, Jakarta, 1988. h. 27 62

Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1982. h. 6

34

dahulu oleh masyarakat dalam suatu negara dan merupakan suatu norma

yang menjadi tempat bergantungnya norma-norma hukum dibawahnya.

Dikatakan bahwa norma-norma yang tertinggi ini tidak dibentuk oleh

norma-norma yang lebih tinggi lagi karena kalau norma yang tertinggi itu

dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi, ia bukan merupakan norma yang

tertinggi.63

Staatsfundamentalnorm suatu negara merupakan landasan dasar

filosofi yang mengandung kaidah-kaidah dasar bagi pengaturan negara lebih

lanjut.64 Menurut Hans Nawiasky, istilah staatsfundamentalnorm ialah

norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau

undangundang dasar suatu negara (staatsverfassung), termasuk norma

pengubahnya. Hakikat hukum suatu staatsfundamentalnorm ialah syarat

bagi berlakunya suatu konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Ia ada terlebih

dahulu sebelum adanya konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Konstitusi

menurut Carl Schmitt merupakan keputusan atau konsensus bersama tentang

sifat dan bentuk suatu kesatuan politik (eine gesammtentscheidung uber art

und form einer politischen einheit), yang disepakati suatu negara.65

Dalam konteks Indonesia, istilah hukum di Indonesia sering

digunakan dalam kehidupan sehari-hari untuk menunjuk pada sistem norma

yang berlaku dan diberlakukan di Indonesia. Secara sistematik berarti hukum

dilihat sebagai suatu kesatuan, yang unsur-unsur, sub-sistem atau elemen-

elemennya saling berkaitan, saling pengaruh mempengaruhi, serta saling

memperkuat atau memperlemah antara satu dengan yang lainnya tidak dapat

dipisahkan.66

Sistem norma hukum yang berlaku di Indonesia sama halnya dengan

teori yang dikemukakan oleh Hans kelsen yaitu Stuffenbau Theory, secara

umum dapat dikelompokkan peraturan perundang-undangan dalam empat

tingkat yaitu:

1) Ketentuan yang memuat norma dasar

2) Ketentuan legislatif yang menjabarkan norma dasar

3) Ketentuan yang dibentuk oleh pemerintahan sebagai aturan

pelaksanaan; dan

4) Ketentuan organik untuk mengoperasionalkan secara rinci peraturan

63

Ni’matul Huda, Op.Cit. h.55 64

Ibid. 65

Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan: Dasar-Dasar . . .,

Op. Cit. h. 27-28 66

Ilham Bisri, Sistem Hukum Indonesia, PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 2004.

h. 5

35

pemerintah.67

Merujuk pada pendapat tersebut, maka struktur hukum Indonesia

secara hierarkis adalah sebagai berikut:

1) Staatsfundamentalnorm : Pancasila (Pembukaan UUD 1945);

2) Staatsgrundgesetz : Batang Tubuh UUD 1945, TAP MPR, dan

Konvensi Ketatanegaraan;

3) Formell Gesetz : Undang-Undang;

4) Verordnung & Autonome Satzung : secara hierarkis mulai dari

Peraturan Pemerintah hingga Peraturan Kepala Desa.68

Selaras dengan Penjelasan di atas, Pasal 7 ayat (1) Undang-undang

Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan menentukan Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan

terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Selanjutnya, ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang-undang Nomor 12

Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

menyatakan: “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan

Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan,

lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang

atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

1.6.1.3. Teori Sumber Hukum

Dalam bahasa Inggris, sumber hukum itu disebut source of law.

Perkataan “sumber hukum” itu sebenarnya berbeda dari perkataan “dasar

67

Yuliandri, Op.Cit. h. 44-45 68

Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safaat, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum,

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006. h. 171

36

hukum”, “landasan hukum”, ataupun “payung hukum”. Dasar hukum

ataupun landasan hukum adalah legal basis atau legal ground, yaitu norma

hukum yang mendasari suatu tindakan atau perbuatan hukum tertentu

sehingga dapat dianggap sah atau dapat dibenarkan secara hukum.

Peter Mahmud Marzuki menyatakan the term of source of law has

many meaning. It can be perceived from historical, sociological,

philosophical, and jurisprudential point if view. It deals with the each

discipline perception on law69

.

Sudikno Martokusomo menyatakan bahwa terminologi sumber

hukum dapat digunakan dalam 5 (lima) arti yakni sebagai berikut:

1. sebagai asas hukum, sebagai sesuatu yang merupakan permulaan

hukum, misalnya kehendak Tuhan, akal manusia, jiwa bangsa dan

sebagainya.

2. menunjukkan hukum terdahulu yang memberi bahan pada hukum yang

sekarang berlaku, seperti hukum Prancis, hukum Romawi dan lain-lain.

3. sebagai sumber berlakunya, yang memberi kekuatan berlaku secara

formal kepada peraturan hukum (penguasa, masyarakat).

4. sebagai sumber darimana kita dapat mengenal hukum, misalnya

dokumen, undang-undang, lontar, batu tulis dan sebagainya.

5. sebagai sumber terjadinya hukum, sumber yang menimbulkan hukum.70

Van Apeldoorn membagi sumber hukum ke dalam: (a) sumber

hukum dalam arti materiil, dan (b) sumber hukum dalam arti formil. Sumber

hukum dalam arti materiil dapat bersumber dari sumber hukum historis

(sejarah kelembagaan hukum), sumber hukum sosiologis (faktor sosial yang

mempengaruhi isi hukum), dan sumber hukum filosofis (nilai keadilan dan

mengikatnya hukum). Adapun dalam arti formil, sumber hukum terkait

dengan tempat mencari dan menemukan hukumnya sesuatu.71

Bagir Manan juga menyatakan bahwa menyatakan sumber hukum

terdiri atas:

1. Sumber hukum materiil adalah sumber hukum yang menentukan

isi/substansi hukum, berupa hubungan sosial, kekuatan politik, situasi

sosial ekonomi, tradisi, penelitian ilmiah, pendapat umum,

perkembangan internasional, keadaan geografis dan sebagainya.

69

Peter Mahmud Marzuki, Introduction to Indonesian Law, Malang: Setara Press,

2011, h.35 70

Sudikno Martokusomo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty,

1996, h.69 71

L.J. Van Apeldoorn, Op.cit, h. 87-163

37

2. Sumber hukum formal adalah sumber hukum karena bentuknya,

menyebabkan berlaku umum, diketahui dan ditaati.72

Mochtar Kusumatmadja menyatakan bahwa sumber hukum materiil

merupakan sumber hukum yang digunakan untuk menjawab pertanyaan

“mengapa hukum itu mengikat” atau “apa (kekuatan) hukum hingga

mengikat dan dipatuhi oleh manusia (subyek hukum)”. Adapun sumber

hukum formil berkaitan dengan pertanyaan “Dimanakah kita dapatkan atau

temukan aturan- aturan hukum yang mengatur kehidupan kita”.73 Senada

dengan hal tersebut, Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim menyatakan

bahwa sumber hukum materiil merupakan sumber hukum yang menentukan

isi hukum. Sedangkan sumber hukum formil adalah sumber hukum yang

dikenal dari bentuknya.74

Akan tetapi, dalam pandangan Hans Kelsen dalam bukunya

“General Theory of Law and State”, istilah sumber hukum itu (sources of

law) dapat mengandung banyak pengertian, karena sifatnya yang figurative

and highly ambiguous. Pertama, yang lazimnya dipahami sebagai sources of

law ada 2 (dua) macam, yaitu custom dan statute. Oleh karena itu, sources of

law biasa dipahami sebagai a method of creating law,custom, and

legislation, yaitu customary and statutory creation of law. Kedua, sources of

law juga dapat dikaitkan dengan cara untuk menilai alasan atau the reason

for the validity of law. Semua norma yang lebih tinggi merupakan sumber

hukum bagi norma hukum yang lebih rendah. Oleh karena itu, pengertian

sumber hukum (sources of law) itu identik dengan hukum itu sendiri (the

source of law is always itself law). Ketiga, sources of law juga dipakai untuk

hal-hal yang bersifat non- juridis, seperti norma moral, etika, prinsip-prinsip

politik, ataupun pendapat para ahli, dan sebagainya yang dapat

mempengaruhi pembentukan suatu norma hukum, sehingga dapat pula

disebut sebagai sumber hukum atau the sources of the law.

Nilai dan norma agama dapat pula dikatakan menjadi sumber yang

penting bagi terbentuknya nilai dan norma etika dalam kehidupan

bermasyarakat, sementara nilai-nilai dan norma etika itu menjadi sumber

bagi proses terbentuknya norma hukum yang dikukuhkan atau dipositifkan

oleh kekuasaan negara. Dalam dinamika kehidupan bermasyarakat, ketiga

72

Bagir Manan, Konvensi Ketatanegaraan, Bandung: Armico, 1987, h.9 73

Muchtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Bandung:

Alumni, 2000, h. 54 74

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Op.cit, h.45

38

jenis nilai dan norma itu pada pokoknya sama-sama berfungsi sebagai

sarana pengendalian dan sekaligus sistem referensi mengenai perilaku ideal

dalam setiap tatanan sosial (social order). Sebab, jika ketiga jenis norma

tersebut saling menunjang, maka ketiga sistem referensi perilaku itu dapat

bekerja secara simultan dan saling mendukung. Akan tetapi, jika ketiganya

saling bersitegang atau saling bersaing satu sama lain, niscaya akan timbul

konflik antar norma yang justru tidak sehat bagi ketiga sistem norma itu

sendiri. Jika demikian, maka pada gilirannya fungsi ketiga jenis norma itu

dalam menuntun manusia ke arah perilaku ideal tidak akan bekerja dengan

efektif. Oleh karena itu, ketiganya harus dapat saling mengisi satu sama lain

secara sinergis. Norma etika dapat menjadi sumber nilai bagi norma hukum,

sementara norma agama dapat menjadi sumber bagi norma etika. Dalam

konteks ini, pengertian sumber dapat dikatakan sebagai tempat dari mana

sesuatu nilai atau norma berasal.

Berdasarkan penjelasan di atas, ketahui bahwa sumber hukum dalam

pengertiannya adalah “asalnya hukum” ialah berupa keputusan penguasa

yang berwenang untuk memberikan keputusan tersebut Artinya, keputusan

itu haruslah dari penguasa yang berwenang untuk itu. Sumber hukum dalam

arti sebagai asalnya hukum, membawa kepada suatu penyelidikan tentang

wewenang, untuk menyelidiki apakah suatu keputusan berasal dari penguasa

yang berwenang atau tidak. Keputusan penguasa yang berwenang dapat

berupa peraturan dapat pula berupa ketetapan. Selanjutnya, Sumber

hukum dalam pengertiannya sebagai “tempat” dikemukakannya peraturan-

peraturan hukum yang berlaku. Sumber hukum dalam pengertian ini

membawa hukum dalam penyelidikan tentang macam-macam, jenis-jenis

dan bentuk- bentuk dari peraturan dan ketetapan. Baik sumber hukum

tersebut undang-undang, kebiasaan/adat, traktat, yurusprudensi, atau doktrin

maupun peraturan-perturan hukum tersebut terdapat dalam UUD 1945,

ketetapan MPR, UU atau Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan

Peraturan Menteri.

Selain itu pengertian sumber hukum dalam pengertiannya sebagai

“hal- hal yang dapat atau seyogianya mempengaruhi kepada pengusa di

dalam menentukan hukumnya.” Misalnya keyakinan akan hukumnya, rasa

keadilan, perasaan akan hukumnya entah dari penguasa atau rakyatnya, dan

juga teori- teori, pendapat-pendapat dan ajaran-ajaran dari ilmu pengetahuan

hukum. Bagi ahli sejarah yang menjadi sumber hukum adalah:

39

1) Undang-undang serta sistem hukum yang tertulis dari suatu masa

misalnya abad ke-18.

2) Dokumen-dokumen surat-surat dan keterangan lain dari masa itu yang

memungkinkan untuk mengetahui hukum yang berlaku pada zaman itu.

Sedangkan bagi ahli filsafat yang menjadi sumber hukum adalah (1)

Apakah ukuran yang harus dipakai untuk menentukan sesuatu secara adil.

Sebab bukankah mencapai keadilan merupakan tujuan terakhir dari semua

orang yang berusaha membuat hukum. (2) Apakah sebab orang menaati

hukum.

Kemudian bagi ahli sosiologi dan antropologi budaya, yang menjadi

sumber hukum adalah masyarakat dengan segala lembaga sosial yang ada di

dalamnya. Apa yang dirasakan sebagai hukum oleh masyarakat dan

karenanya diberi sanksi bagi yang melanggarnya oleh penguasa masyarakat.

Sedangkan bagi ahli ekonomi yang menjadi sumber hukum adalah apa yang

tampak di lapangan ekonomi. misalnya sebelum pemerintah membuat

peraturan yang bertujuan membatasi persaingan di lapangan perdagangan,

maka ahli ekonomi harus mengetahui secara pasti hal-hal yang berhubungan

dengan persaingan dilapangan perdagangan itu.

Selanjutnya bagi ahli agama yang menjadi sumberhukum adalah

kitab suci serta dasar-dasar agamanya. Berikutya bagi ahli hukum, yang

menjadi sumber hukum adalah perasaan hukum yang telah tertuang dalam

suatu bentuk yang menyebabkan berlaku dan ditaati orang. Berdasarkan

uraian di atas dapat dipahami bahwa sumber hukum adalah segala sesuatu

yang menimbulkan aturan-aturan yang mengikat dan memaksa, sehingga

apabila aturan itu dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata

bagi pelanggarnya.

Sumber-sumber yang melahirkan hukum bisa digolongkan dalam

dua kategori besar yaitu sumber-sumber yang bersifat hukum dan yang

bersifat sosial. Yang pertama merupakan sumber-sumber yang diakui oleh

hukum sendiri sehingga sesara langsung bisa melahirkan atau menciptakan

hukum. Adapun yang kedua merupakan sumber yang tidak mendapatkan

pengakuan secara formal oleh hukum, sehingga tidak secara langsung

bisa diterima sebagai hukum75

. Apabila kita melihatnya secara demikian

maka yang kita jadikan tolak ukur adalah keabsahan secara hukum dari

75

Fitzgerald dalam Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bhakti,

Bandung, 2000. h. 53

40

substansi yang dihasilkan oleh sumber hukum adalah ipso jure. Yang

dengan sendirinya sah,sedang yang lain tidak dan dengan demikian hanya

bisa disebut sebagai sumber- sumber kesejahteraan saja. Dengan demikian,

maka sumber sosial ini dapat disebut sebagai sumber bahan dan kekuatannya

tidak otoritas melainkan hanya persuasive.76

Situasi yang dihadapi oleh sumber-sumber hukum sebagaimana

dikemukakan di atas tidak terlepas dari dari perkembangan masyarakat

sendiri. Hal demikian telah dibicarakan model dikotomi oleh H.L.A. Hart,

yaitu yang membagi masyarakat kedalam rezim tatanan primer dan

sekunder. Perbedaan ini melahirkan pernyataan tentang adanya masyarakat

dengan ciri-ciri sosial saja dan masyarakat dengan ciri-ciri hukum atau

masyarakat pra hukum dam maryarakat yang sudah mengenal hukum.

Perbedaan dalam sumber-sumber yang bersifat sosial dan hukum itu tentulah

berada pada tingkat perkembangan masyarakat yang sudah diketahui

perbedaan tajam antara yang social dan yang hukum dengan segala

perkaitannya. Dengan demikian pula perbedaan sumber- sumber yang

bersifat hukum dan social tentunya tidak berlaku dalam masyarakat pra

hukum tersebut.

Sementara itu, Allen mengunakan cara penjelasan yang berbeda,

sekalipun pada dasarnya sama saja dengan pembagian dalam dua

sumber tersebut di atas sumber- sumber hukum itu dikaitkannya dengan satu

pihak pada kehendak dari yang berkuasa , sedang yang lain pada vitalitas

dari masyarakat sendiri yang pertama bersifat atas bawah dan yang ke dua

bawah atas.77 Dari segi teori perbedaan Allen mencerminkan terjadinya

pertarungan antara dua kutub teori sesuai dengan pengakuan pola tersebut.

Kelompok atas bawah dipimpin oleh Austin yang menunjuk kekuasaan yang

berdaulat sebagai satu-satunya sumber hukum. Teori Austin yang didasarkan

pada konsep yang demikian itu mengembangkan ilmu hukum yang bersifat

rasionalitis dan arena konsepnya yang begitu jelas teori Austin kemudian

dikenal karena kesederhanaan dan konsistensinya.

Perbuatan hukum yang dilakukan secara sengaja oleh badan yang

berwenang untuk itu merupakan sumber yang bersifat hukum yang paling

utama. Kegiatan dari badan tersebut sebagai Perbuatan perundang-undangan

yang menghasilkan substansi yang tidak diragukan lagi kesalahannya yang

76

Ibid. h. 54 77

Allen dalam Zainal Asakin, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Raja Grafindo Persada,

Jakarta, 2013. h. 74

41

ipso jure. Tindakan yang dapat digolongkan kedalam kategori perundang-

undangan ini cukup bermacam, baik yang berupa penambahan tehadap

peraturan yang sudah ada maupun yang mengubahnya. Hukum yang

dihasilkan oleh proses seperti itu disebut sebagai hukum yang diundangkan

(enacted law, statute law) berhadapan dengan hukum yang tidak

diundangkan (unenacted law, common law). Suatu perundang-undangan

menghasilkan peraturan yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian merupakan

kebalikan dari sifat-sifat yang khusus dan terbatas.

2. Bersifat universal, ini diciptakan untuk menghadapi peristiwa-

peristiwa yang akan datang yang belum jelas bentuk kongkritnya. Oleh

karena itu ia tidak dapat dirumuskan untuk mengatasi peristiwa-

peristiwa tertentu saja.

3. Ia memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya

sendiri. Adalah lazim bagi suatu peraturan untuk mencantumkan

klausul yang memuat kemungkinan dilakukannya peninjauan

kembali.78

Dibandingkan dengan aturan kebiasaan maka perundang-undangan

memperlihatkan karakteristik, suatu norma bagi kegidupan sosial yang lebih

matang khususnya dalam hal kejelasan dan kepastiannya. Hal ini tidak

terlepas dari kaitannya dengan pertumbuhan negara itu sendiri. Aturan

kebiasaan bisa dikatakan mengurusi hubungan antara orang dengan orang

sedang perundang undangan antara orang dengan negara. Bentuk

perundang-undangan itu tidak akan muncul sebelum timbul pengertian

negara sebagai pengemban kekuasaan yang bersifat sentral dan tertinggi.

Beberapa kelebihan dari perundang- undangan dibandingkan dengan norma-

norma lain adalah pertama, Tingkat prediktibilitasnya yang besar. Hal ini

berhubungan denngan tingkat prospektif dari perundang-undangan yaitu

yang pengaturannya ditunjukkan ke masa depan dengan demikian

perundang-undangan dituntut senantiasa untuk memberi tahu secara pasti

terlebih dahulu hal-hal yang diharapkan untuk dilakukan atau tidak

dilakukan oleh anggota masyarakat. Asas- asas hukum seperti asas tidak

berlaku surut memberikan jaminan bahwa kelebihan yang demikian akan

dilaksanakan secara saksama. Kedua, Kecuali kepastian yang lebih

mengarah kepada bentuk formal diatas, perundang-undangan juga

78

Ibid. h. 76

42

memberikan kepastian mengenai nilai yang dipertaruhkan. Sekali suatu

peraturan dibuat, maka menjadi pasti pulalah nilai yang hendak dilindungi

oleh peraturan tersebut. Adapun beberapa kelemahan yang terkandung

dalam peraturan perundang- undangan adalah:

1. Kekakuannya. Kelemahan ini sebetulnya segera tampil sehubungan

dengan kehendak perundang-undangan untuk menampilkan kepastian.

Apabila kepastian itu hendak dipenuhi, maka ia harus membayarnya

dengan membuat rumusan-rumusan yang jelas, terperinci dan tegar

dengan resiko menjadi norma-norma yang kaku.

2. Keinginan perundang-undangan untuk menbuat perumusan- perumusan

yang bersifat umum mengandung resiko bahwa ia mengabaikan dan

dengan demikian memperkosa perbedaan- perbedaan atau ciri khusus

yang tidak dapat disamaratakan begitu saja. Terutama sekali dalam

suasana kehidupan modern yang cukup kompleks dan spesialistis ini

kita tidak muda membuat perampatan- perambatan (generatizations).79

Sebagai sumber hukum, perundang- undangan memiliki kelebihan

dan norma-norma sosial yang lain, karena ia dikaitkan dengan kekuasaan

yang tertinggi di suatu negara dan karenanya pula memiliki kekuasaan

memaksa yang besar sekali. Dengan demikian adalah muda bagi perundang-

undangan untuk menentukan ukuran-ukurannya sediri tanpa perlu

menghiraukan tuntutan-tuntutan dari bawah. Namun demikian ciri

demokratis masyarakat sekarang ini memberikan capnya sendiri terhadap

cara-cara pengundangan itu diciptakan, yaitu yang menghendaki masuknya

unsur-unsur sosial kedalam perundang-undangan. Menghadapi

perkembangan yang demikian itu tampaklah semakin kaburlah pemisahan

secara ketat antara konsep sumber hukum yang atas bawah dan bawah

atas tersebut. Apababila batas-batas itu sudah merasuki satu sama lain maka

menjadi penting pulalah untuk mendekati masalah perundang-undangan ini

secara sosial.

Keadaan dan susunan masyarakar modern yang mengenal pelapisan

yang makin tajam menambah sulitnya usaha untuk mengatasi

kecenderungan hukum atau perundang-undangan untuk memihak tersebut.

Dalam suasana kehidupan sosial itu mereka yang bisa bertindak efektif

adalah orang yang dapat mengontrol institusi-institusi ekonomi dan politik

dalam masyarakat. Oleh karena itu sulit untuk ditolak bahwa perundang-

undanan itu lebih menguntungkan pihak yang makmur.Yaitu mereka yang

79

Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Sinar Grafika, Jakarta, 2001. h. 43

43

lebih aktif melakukan kegiatan-kegiatan politik. Masyarakat yang

menjunjung liberalism dan ekonominya kapitalisme akan lebih

menampilkan karakteristik sosial yang demikian itu dari pada masyararakat

yang menekankan pada unsur kebersamaan dalam kehidupan sosial dan

politiknya. Didalam masyarakat yang disebut pertama, perundang-undangan

dilakukan untuk menndonrong kepentingan golongan yang satu diatas yang

lain. Dalam perundang-undangan itu tidak dapat menghindari terjadinya

kemajuan dalam pengutamaan kepentingan orang- orang tetentu sedang

golongan lain akan menjadi lebih sengsara.

Perkataan “sumber hukum” lebih menunjuk kepada pengertian

tempat dari mana asal-muasal suatu nilai atau norma tertentu berasal. Dalam

Pasal 1 Ketetapan MPR No. III/MPR/ 2000 ditentukan bahwa:

1) Sumber hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk penyusunan

peraturan perundang-undangan;

2) Sumber hukum terdiri atas sumber hukum tertulis dan sumber hukum

tidak tertulis.

Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 2 Undang Undang No 12 Tahun

2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan, disebutkan

bahwa pancasila merupakan sumber hukum Negara Kesatuan Republik

Indonesia sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat.

Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum

negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu

Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,

Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat

kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan”.

“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan menempatkan

Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar

filosofis negara, sehingga setiap materi muatan Peraturan Perundang-

undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung

dalam Pancasila.80

Lebih lanjut beradasarkan Ketentuan Pasal 1 Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVIII/MPR/1998

tentang Pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik

80

Penjelasan Pasal 2 Undang Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundangan-undangan

44

Indonesia Nomor II/MPR/1978 Tentang Pedoman Penghayatan dan

Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa) dan Penetapan Tentang

Penegasan Pancasila Sebagai dasar Negara ditegaskan bahwa : “Pancasila

sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945

adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus

dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara”.

1.6.1.4. Teori Hermeneutika Hukum

Banyak ragam metode penelitian filsafat maupun pengetahuan

ilmiah lainya, namun belum sepenuhnya mencukupi untuk menyingkap nilai

kebenaran dari realitas.81 Metode merupakan pondasi dan dasar penalaran

manusia. Setiap manusia berpikir secara khas, sebenarya sudah

menggunakan metode, hanya tingkatan kadar saja yang berbeda. Salah

satunya adalah metode hermeneutik, yaitu metode yang ditawarkan oleh

beberapa ilmuwan, untuk mencari kebenaran melalui penafsiran simbol yang

berupa teks atau benda konkret untuk dicari arti dan maknanya.

Hermeneutika secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu teori

atau filsafat tentang interpretasi makna.82

Kata hermeneutika itu sendiri

berasal dari bahasa Yunani dari kata kerja hermeneuin, yang berarti

“menafsirkan”, dan kata benda hermenia, “interpretasi”.83 Sedangkan

pengertian hermeneutik secara istilah adalah sebuah teori tentang operasi-

operasi pemahaman dalam hubungannya dengan teks.84 Jika asal kata

hermeneutika diruntut, maka kata tersebut merupakan derivasi dari kata

Hermes, seorang Dewa dalam mitologi Yunani yang bertugas

menyampaikan dan menjelaskan pesan (message) dari sang Dewa kepada

manusia. Menurut versi lain dikatakan bahwa Hermes adalah seorang

utusan yang memiliki tugas menyampaikan pesan Yupiter kepada manusia.

Tugas utama Hermes yang digambarkan sebagai seorang yang memiliki

kaki bersayap dan lebih dikenal dengan sebutan Mercurius adalah

menerjemahkan pesan-pesan dari gunung Olimpus ke dalam bahasa yang

dipergunakan oleh pendengarnya. Sejak saat itulah Hermes menjadi simbol

81

Sudarto, Metode Penelitian Filsafat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002. h.

83 82

Ahmala, Hermeneutik Transendental, IRCiSoD, Yogyakarta, 2003. h. 15 83

Hasan Sutanto, Hermeneutik Prinsip dan Metode Penafsiran Al-Kitab,

Departemen Literatur Saat, Magelang, 200. h. 1 84

Kris Budiman, Kosa Semiotika, LkiS, Yogyakarta, 1999. h. 45

45

seorang duta yang di bebani dengan misi tertentu.85

Secara teologis pesan Hermes ini bisa dinisbatkan sebagaimana

peran Nabi utusan Tuhan. Sayyed Hoseen Nashr memiliki hipotesis bahwa

Hermes tersebut tidak lain adalah Nabi Idris a.s., yang disebut dalam Al-

Quran, dan dikenal sebagai manusia pertama yang mengetahui tulisan,

teknologi tenun, kedokteran, astrologi dan lain-lain. Menurut riwayat yang

beredar di lingkungan pesantren, Nabi Idris adalah orang yang ahli di

bidang pertenunan (tukang tenun/memintal). Sedangkan di lingkungan

agama Yahudi Hermes dikenal sebagai Thoth, yang dalam mitologi mesir

dikenal dengan Nabi Musa.

Bagi Nabi Idris atau Hermes, persoalan krusial yang harus

diselesaikan adalah bagaimana menafsirkan pesan Tuhan yang berbicara

dengan bahasa “langit” dapat dipahami oleh manusia yang “berbahasa bumi”.

Dari sini makna metaforis dari profesi tukang tenun/memintal muncul, yaitu

merangkai kata Tuhan agar dapat ditangkap dan mudah dipahami oleh

manusia.

Dengan demikian kata hermeneutika yang diambil dari peran

Hermes adalah sebuah ilmu atau seni menginterpretasikan (the art of

interpretation) sebuah teks. Sebagai sebuah ilmu, hermeneutika harus

menggunakan cara-cara ilmiah dalam mencapai makna rasional dan dapat

diuji sebagai sebuah seni, ia harus menampilkan sesuatu yang baik dan

indah tentang sesuatu penafsiran.

Pengasosiasian hermeneutik dengan Hermes ini, secara sekilas

menunjukan adanya tiga unsur yang pada akhirnya menjadi variabel utama

dalam kegiatan manusia dalam memahami, yaitu:

a) Tanda, pesan atau teks yang menjadi sumber atau bahan dalam

penafsiran yang diasosiasikan dengan pesan yang dibawa Hermes.

b) Pranata atau penafsiran (Hermes).

c) Penyampaian pesan itu oleh sang perantara agar bisa dipahami dan

sampai kepada yang menerima.86

Secara lebih luas hermeneutika didefinisikan oleh Zygmunt Bauman

sebagai upaya menjelaskan dan menelusuri pesan dan pengertian dasar dari

sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang dan

85

E. Sumaryono, Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat, Kanisius, Yogyakarta,

1995. h. 24 86

Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-Tema Controversial, eLSAQ

Press, Yogyakarta, 2005. h. 4

46

kontradiktif yang menimbulkan kebingungan bagi pendengar atau pembaca.

Jika diruntut keberadaan hermeneutik dapat dilacak sampai

Yunani kuno. Pada waktu itu sudah ada diskursus hermeneutik

sebagaimana yang terdapat dalam tulisan Aristoteles yang bejudul peri

hermenian (the interpretation). Hemeneutik dalam perjalanannya,

sebagaimana dikemukakan oleh Richard E. Palmer. Palmer memberikan peta

hermeneutik sebagai berikut:

Pertama, hermeneutik sebagai teori penafsiran kitab suci.

Hermeneutik dalam bentuk ini membicarakan tentang tradisi gereja dimana

masyarakat Eropa mendiskusikan otensitas Bibel untuk mendapatkan

kejelasan maknanya, hermeneutik identik dengan prinsip interpretasi.

Kenyataan ini acap kali termanifestasikan sampai sekarang, terutama jika

dihubungkan dengan penafsiran kitab suci (exegesis of scripture) bentuk

hermeneutik semacam ini dikaji oleh J. C. Dannhauer’s. Kajian semacam ini

memiliki aneka macam bentuk dan melahirkan berbagai corak pemikiran

seperti yang dilakukan Martin Luther yang memberikan interpretasi dalam

Bibel melukis mistik, dogmatik, humanis, dan lain sebagainya.

Kedua, hermeneutik sebagai sebuah metode filologi. Dimulai

dengan munculnya rasionalisme dan hal-hal yang berhubungan dengannya,

perjalanan filologi klasik pada abad ke-18 mempunyai pengaruh pada

hermeneutik Bibel. Kenyataan ini menimbulkan metode kritik sejarah dalam

teologi. Kajian dalam bentuk semacam ini dimulai oleh Ernesti pada 1761 M.

sampai akhirnya corak ini dianggap sebagai metode penafsiran sekuler oleh

pihak gereja. Namun, sejak munculnya abad pencerahan di Eropa sampai

sekarang, metode Bibel tidak dapat dipisahkan dengan metode research

dalam filologi. Kehadiran bentuk ini mulai tampak pada abad ke-19 M yang

sering didiskusikan oleh filolog, Schleimacher, Frederich August Wolf, dan

Frederich Ast. Ia memberikan porsi yang sama dengan tafsir terhadap kitab

suci dan teks lainnya.87

Ketiga, hermeneutik sebagai ilmu pemahaman linguistik (science of

linguistic understanding). Schleimacher membedakan hermeneutik sebagai

science (ilmu) dan hermeneutik sebagai art (seni) dalam memahami. Bentuk

memahami dalam hermeneutik merupakan arti secara umum dalam

keilmuan hermeneutik dan hal ini masih digunakan sampai saat ini. Arti

tersebut merupakan asal dari hermeneutik. Oleh karena itu, dalam perspektif

87

Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika Al-Qur’an Madzhab Yogya, Islamika,

Yogyakarta, 2003. h. 57

47

historis, hermeneutik patut dianggap sebagai pahlawan dalam penafsiran

Bibel serta filologi tradisional. Sebab dengan munculnya kedua bentuk

disiplin tersebut menandai adanya pemahaman secara linguistic (bahasa)

terhadap teks.

Keempat, hermeneutik sebagai tradisi ilmu kemanusiaan. Kerangka

hermeneutik dalam bentuk ini dimulai Wilhelm Dilthey.88

Ia berusaha

membawa hermeneutik dalam menafsirkan ilmu kemanusiaan, seperti

menginterpretasikan ekspresi kehidupan manusia. Dilthey memberi kritik

terhadap Kant terutama dalam pure reason-nya. Di akhir perkembangan

pemikiran Dilthey, mereka berusaha menginterpretasikan psikologi dalam

memahami dan menginterpretasikan.

Kelima, hermeneutik sebagai fenomena das sein dan pemahaman

eksistensialisnya yang dipengaruhi gurunya, Edmund Husserl dalam

perjalanannya bentuk hermeneutik filosofis ini dikembangkan oleh Gadamer

yang memberikan perhatian lebih terhadap hermeneutik dalam kaitannya

dengan filsafat. Ia tidak percaya dengan adanya metode tertentu dalam

mendapatkan hasil yang baik dalam menginterpretasikan teks.

Keenam, hermeneutik sebagai sistem penafsiran. Bentuk pemaknaan

hermeneutik merupakan suatu teori tentang seperangkat aturan yang

menentukan yaitu interpretasi (exsegesis) suatu bagian dari teks atau

sekumpulan tanda yang dianggap sebuah teks kajian tipe terakhir dari

hermeneutik ini dikemukakan oleh Paul Ricouer.Asumsi paling mendasar

dari hermeneutika ini sebenarnya sudah jelas, yaitu adanya pluralitas dalam

proses pemahaman manusia; pluralitas yang dimaksud sifatnya niscaya,

karena pluralitas tersebut bersumber dari keragaman konteks hidup

manusia.89

Sebenarnya, kesadaran akan pluralitas pemahaman yang disebabkan

oleh perbedaan konteks ini telah muncul sejak lama dalam tradisi intelektual

filosofis, misalnya dalam pembedaan antara nomena-fenomena dari

Immanuel Kant. Menurut Kant, ketika seseorang berinteraksi dengan

sesuatu dan kemudian memahaminya lalu menghasilkan sebuah

pengetahuan tentang sesuatu tersebut, tidak pernah seseorang itu mampu

memproduksi pengetahuan tentang sesuatu tersebut sebagai sesuatu yang

88

Hans George Gadamer, Kebenaran dan Metode Pengantar Filsafat

Hermeneutika, Terjemah oleh Ahmad Sahidah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004. h. 260 89

M. Mansur, Studi Al-Qur’an Kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metodologi

Tafsir, PT. Tiara Wacana, Yogyakarta, 2002. h. 104

48

otentik sebagaimana adanya namun pengetahuan yang dihasilkanya adalah

pengetahuan tentang sesuatu itu “menurut dia” atau “sebagaimana yang ia

tangkap” peristiwa yang sama, jika dipahami oleh yang berbeda. Sangat

mungkin hasil pemahamannya juga berbeda.90

Bahkan peristiwa yang sama

jika dihayati oleh orang yang sama dalam waktu yang berbeda, sangat

mungkin hasil penghayatanya juga berbeda. Peristiwa itu sendiri tidaklah

terjangkau karena selalu saja ketika disentuh dipahami orang, maka

peristiwa tersebut menjadi “peristiwa menurut yang menyentuh atau yang

memahaminya”.

Problema dasar yang diteliti hermeneutika adalah masalah

penafsiran teks secara umum, baik berupa teks historis maupun teks

keagamaan. Oleh karenanya, yang ingin dipecahkan merupakan persoalan

yang sedemikian banyak dan kompleks yang terjalin di sekitar watak dasar

teks dan hubunganya dengan al-turats disatu sisi, serta hubungan teks

dengan pengarangnya di sisi lain.91 Yang terpenting di antara sekian banyak

persoalan di atas adalah bahwa hermeneutika mengkonsentrasikan diri pada

hubungan mufassir (kritikus untuk kasus teks sastra) dengan teks. Kosentrasi

atas hubungan mufassir dengan teks ini merupakan titik pangkal dan

persoalan serius bagi filsafat hermeneutik. Dalam penilaian penulis,

hermeneutika merupakan sisi yang terabaikan sedemikian rupa dalam

berbagai studi sastra sejak Plato hingga era modern. Istilah hermeneutik

sebenarnya merupakan istilah klasik yang pertama kali digunakan dalam

wilayah studi teologis untuk menunjuk pada sebuah kaidah dan kriterium

yang harus diikuti mufassir untuk memahami teks-teks keagamaan (kitab

suci). Dengan pengertian semacam ini, hermeneutika berbeda dengan tafsir

yang didenotasi oleh istilah exsegesis dengan asumsi bahwa tafsir atau

(exsegesis) itu menunjuk penafsiran itu sendiri dengan detail-detail

aplikasinya, sementara hermeneutika mengacu pada teori penafsiran. Istilah

tertua yang menunjuk pada pengertian ini digunakan pada tahun 1654 dan

berkesinambungan hingga dewasa ini terutama di lingkungan Protestanism.

Apabila dikaitkan dengan proses interpretasi teks-teks, maka objek

hermeneutika dalam diskursus filsafat modern terkait dengan masalah-

90

Ali Harb, Kritik Kebenaran, Diterjemahkan dari Naqd Al-Haqiqah oleh

Sunarwoto Demo, LkiS, Yogyakarta, 2004. h. 37 91

Nashr Hamid Abu Zaid, Hermeneutika Inklusif, Terjemah oleh Muhammad

Mansur, LkiS, Yogyakarta, 2004. h. 3

49

masalah yang timbul di seputar apa yang dikenal sebagai “problem

hermeneutik”. Problem semacam ini timbul dengan sendirinya ketika

seseorang disodori teks yang masih asing dan berusaha ia pahami. Pada

kondisi demikian, terjadi kesenjangan pemahaman akibat perbedaan jarak,

waktu, dan kebudayaan yang melingkupi keduanya, menurut Bleicher,

“Problem hermeneutis muncul ketika seseorang berusaha memahami

ekspresi-ekspresi manusia yang bermakna dan pada bagaimana

menerjemahkan narasi-narasi yang bermakna subjektif tersebut menjadi

objektif, sementara dalam kenyatannya, ia dimediasi oleh subjektifitas

penafsir".92

Dalam pandangan Bleicher di atas, ada beberapa persoalan penting

yang perlu diperhatikan, petama terdapat bentuk-bentuk ekspresi manusia

yang bermakna. Ekspresi tersebut, menurut hemeneutika, biasanya tertuang

dalam teks, apa pun bentuknya, kedua ada upaya menafsirkan ekspresi yang

terdapat dalam teks yang masih subjektif kedalam bahasa yang lebih

objektif. Sehingga dapat dikomunikasikan dan dipahami orang lain. Ketiga,

proses penafsiran yang dilakukan oleh seorang penafsir senantiasa di

prasuposisi oleh prapaham atau cakrawala mengenai pemirsa (audiens)

dimana penafsiran tesebut ditujukan, artiya sebuah penafsiran senantiasa

terikat dengan persoalan “mengapa teks ditafsirkan untuk kepentingan apa

dan bagi siapa”.

Ketiga elemen hermeneutis yang dipostulatkan dari pernyataan

Bleicher di atas, jika diradikalkan ke dalam bentuk-bentuk struktural, akan

merujuk ke sebuah “struktur triadik” yang menyusun kegiatan penafsiran,

sebagaimana terefleksi juga dalam mitologi Yunani kuno mengenai, makna

proses interpretasi. Pertama tanda, pesan atau teks dari berbagai sumber;

kedua, seorang mediator yang berfungsi menerjemahkan tanda atau pesan

sehingga dapat dengan mudah dipahami, ketiga, audiens yang menjadi

tujuan sekaligus memprosuposisi penafsiran, ketiga unsur tersebut saling

berhubungan secara dialektis dan masing-masing memberi sumbangan bagi

proses pembentukan makna.

Unsur-unsur yang membentuk kegiatan interpretasi diatas pada

gilirannya merangsang dan memperluas penyelidikan terhadap unsur-unsur

utama dari ”problem hermeneutis” yang menjadi perhatian hermeneutika

modern sebagaimana disingung sebelumnya, jika dirinci lagi maka para

92

Ilham B. Saenong, Hermeneutik Pembebasan: Metodologi Tafsir Al-Qur’an

Menurut Hanafi, Teraju, Jakarta, 2002. h. 32

50

teoritus hermeneutik bergerak pada tiga wilayah penyelidikan; pertama asal

usul teks, kedua apa makna “memahami teks”, ketiga, bagaimana

pemahaman atau penafsiran dideterminasi oleh berbagai asumsi,

kepercayaan, dan cakrawala orang-orang yang menjadi tujuan penafsiran.93

Setiap saat manusia dihadapkan pilihan-pilihan dan setiap pilihan

menuntut keputusan dan keyakinan teologis seseorang akan mempunyai

dampak eksatologis, yang menyangkut konsep keselamatan di dunia dan

akhirat. Tentu saja urgensi penafsiran yang tepat adalah agar seseorang

bias mengambil keputusan yang tepat dalam berbagai aspek kehidupan yang

konkret.94

Oleh karena itu, hampir pada setiap tindakan pengambilan

keputusan, manusia dituntut melakukan pemahaman dan penafsiran atas

fenomena dan peristiwa yang terjadi ketika menyangkut soal keyakinan

agama. Jika orang bisa memilih dan mengenakan baju secara berganti-ganti

setiap saat, tidaklah demikian halnya dengan pilihan dan pemahaman agama.

Dari sudut pandang semiologi, dimanapun berada di kelilingi oleh

teks yang menyimpan pesan yang paling menyolok tentu papan iklan dan

tanda- tanda petunjuk jalan. Teks dalam pengertian ini hampir identik

dengan kata, ayat dalam bahasa Arab. Al-Qur'an yang berarti tanda (sign).

Kehadiran sebuah tanda (signfer) selalu mengasumsikan adanya objek yang

ditandai (signted). Fenomena mendung, milsanya berkorelasi dengan air,

entah air hujan yang diperkirakan akan turun atau gumpalan uap air di udara

yang datang dari laut akibat penguapan yang kemudian dinamakan

mendung.

Dunia manusia yang berperadaban sebagian besar merupakan dunia

makna-makna tentang kaidah moral dan pengetahuan, baik mengenai dunia

bersifat empiris maupun metafisis. Dunia makna ini kemudian diawetkan

dalam wadah berupa tradisi yang dikomunikasikan secara turun temurun

melalui bahasa lisan maupun tulisan. Bahkan Tuhan berkomunikasi pada

manusia melalui media bahasa, misalnya Al-Qur'an yang berbahasa Arab.95

Persoalan muncul, antara lain apa jaminan sebuah komunikasi

terhindar dari salah paham? bagaimana sebuah generasi yang hidup di

zaman dan tempat yang berbeda bisa menangkap gagasan secara benar dari

generasi terdahulu yang perjumpaanya hanya diwakili oleh sebuah teks atau

93

Ibid. h. 34 94

Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, Teraju, Jakarta, 2004. h. 3 95

Ibid. h. 15

51

karya tulis? lebih jauh lagi, benarkah pemahaman seorang muslim tentang

isi Al- Qur'an sudah persis sebagaimana yang dikehendaki oleh pengarang

(Tuhan). Bisakah mufassir menangkap gagasan Muhammad Rasulullah

melalui sepotong- sepotong kalimat yang terhimpun dalam kitab Hadis.

Persoalan- persoalan inilah yang dimaksud sebagai persoalan hermeneutik.

Secara teologis diyakini adanya perbedaan antara Al-Qur'an dan

kitab- kitab suci lain. Menurut keyakinan umat Islam, Al-Qur'an baik lafal

maupun makna adalah firman Allah yang didektekan jibril kepada

Muhammad.96 Keyakinan ini tentu tidak mudah diterima oleh pemeluk

agama lain. Di sini unsur keyakinan dan keimanan ikut berperan. Terlepas

apakah memang demikian halnya ataukah tidak, yang pasti Al-Qur'an

tertulis dalam bahasa Arab ataukah tidak, yang jelas Al-Qur'an tertulis

dalam bahasa Arab dan persoalan hermeneutik selalu muncul ketika teks

klasik dibaca dan dipelajari oleh generasi berikutnya yang hidup berselang

waktu dan tempat.97

Belum lagi mereka yang membaca Al-Qur'an melalui terjemahan,

Al- Qur'an selalu mengembara dan menjenguk murid-muridnya bukan juga

para lawan yang mengkritiknya – yang terbesar di seluruh pelosok bumi

sejak 15 abad yang lalu. Dengan kekuatan yang ada pada dirinya sendiri, Al-

Qur'an melayani setiap pertanyaan dan sanggahan pembacanya, yang datang

dari berbagai latar belakang kultur dan disiplin keilmuan.98

Mengingat bahasa manusia demikian banyak ragamnya, sedangkan

setiap bahasa mencerminkan pola kebudayaan tertentu, maka problem

terjemahan dan penafsiran merupakan problem pokok dalam hermeneutik.

Dengan begitu problem hermeneutik selalu berkaitan dengan proses

pemahaman, penafsiran dan penerjemahan atas sebuah pesan lisan atau

tulisan untuk selanjutnya disampaikan kepada masyarakat yang hidup dalam

dunia yang berbeda.99

Memang dapat dimaklumi bahwa Al-Qur'an secara empiris adalah

sebuah naskah teks, sebagai suatu kitab yang menggunakan secara

komunikasi bahasa. Namun demikian, hendaklah dipahami bahwa Al-Qur'an

berbeda dengan teks sastra ataupun teks-teks lainnya, kekhususan ini karena

96

Muhammad Nor Ichwan, Memasuki Dunia Al-Qur’an, Lubuk Raya, Semarang,

2001. h. 4-10 97

Muzauri, Hermeneutika Al-Qur’an, Islamika, Yogyakarta, 2003. h. 69 98

Komaruddin Hidayat, Op.Cit. h. 17 99

Ibid.

52

sifat hakikat bahasa yang terkandung di dalam Al-Qur'an yang memiliki

fungsi yang berbeda dengan fungsi bahasa lainnya dalam komunikasi antara

manusia lainnya. Perbedaan ini terletak pada hakikat makna, fungsi bahasa

Al-Qur'an yang khas, universal dan mengatasi ruang serta waktu. Oleh

karena itu, kajian semantik Al-Qur'an yang hanya mendasarkan pada kaidah

linguistik dalam menafsirkan makna yang dikandungnya akan banyak

mengalami kesulitan dan keterbatasan. Al-Qur'an bagaikan cermin atau

kamera foto yang sanggup memantulkan seribu satu wajah sesuai orang

yang datang untuk bercermin dan berdialog dengannya, dan makna bisa

berubah mengikuti perubahan. Konstelasi perhubungan antara manusia

dengan lingkupnya. Makna terus menerus digali atau diciptakan manusia

untuk kelangsungan hidupnya.100

Atau dengan ungkapan lain dapat

dikatakan mempunyai banyak lapisan makna, yang dapat dibaca berbeda-

beda oleh kepentingan yang berbeda sesuai dengan perkembangan zaman.

Seorang penulis teks menghasilkan makna yang pada awal tidak disadari

dan tidak dimaksudkannya. Dengan mendekonstruksi teks itu, makna-makna

tersebut muncul sendiri dapat ditemukan. Sedangkan menurut Haryatmaka,

bahwa salah satu kekuatan sastra ialah membantu pembaca untuk bercermin

dan menemukan kemanusiaannya tanpa harus merasa digurui. Bukan

memperkosa teks yang dilakukan oleh pembaca ketika ia menafsirkan

sebuah karya tetapi merupakan upaya untuk masuk di dalam lintasan makna

teks.101

Dengan demikian, pembaca tidak terjebak untuk mencari maksud

pengarang, namun hendak menyingkap makna teks itu sendiri, bahkan

mengutamakan reproduksi maksud pengarang, namun memproduksi makna.

Sehingga, sesungguhnya pemaknaan yang muncul dari Al- Qur'an juga

dipengaruhi oleh alam pikiran, kultur dan bahasa pihak pembacanya (the

world of readers). Setiap pembaca, disadari atau tidak, melakukan tindakan

hermeneutik atau penafsiran yang dianggap otentik dan cocok bagi

dirinya. Setiap orang, pada saat-saat tertentu, harus melakukan ijtihad untuk

dirinya, setiap orang adalah mujtahid bagi dirinya. Ketika membaca Al-

Qur'an dan terjemahannya, pembaca dihadapakan pada berlapis- lapis

penafsiran. Pemahaman yang diambil adalah produk dari proses dan mata

100

A. Sudiarto, Jaques Deridda Setahun Sesudah Kematiannya, Dalam Jurnal Basis

Edisi Khusus Derida, 2005. h. 6 101

Haryatmaka, Memecah Kesunyian Dunia Satu Dimensi, Jurnal Basis Edisi Ke 45

September-Oktober 2005. h. 15

53

rantai penafsiran yang panjang. Jika diurut penafsiran pertama dilakukan

oleh jibril yang kemudian dilakukan Muhammad saw.

Al-Qur'an sebagai sebuah teks tidak dapat dilepaskan dari konstruksi

situasi pada saat dibahasakan yang diwujudkan dalam susunan semiotika

Arab. Oleh sebab itu kalau dilihat dari susunan bahasanya sebenarnya sebagai

sebuah ungkapan makna substansi (ajaran) dari Allah tetapi dipergunakan

susunan bahasa yang dimengerti oleh masyarakat Arab yang bersifat relatif

dan sederhana sesuai dengan situasi pada saat itu.102

Perspektif ilmu hermeneutika sebagai ilmu interpretasi terhadap teks

suci Al-Qur'an berarti pula sebagai teori pemahaman terhadap wahyu dari

dataran perkataan sampai pada dataran dunia konkret (dari lafadz ke arah

kenyataan) atau dari logos sampai ke praksis. Proses penafsiran ilmiah yang

bergerak dari teks ke arah realitas sosial tidak dapat dilepaskan dari proses

berteologi seraya dibantu dengan ilmu / sains modern.

Begitu Muhammad Rasulullah wafat, proses penafsiran dan

penerjemahan atas teks Al-Qur'an dan Hadits berkembang terus hingga

sekarang. Karena bahasa dan kebudayaan tidak bisa dipisahkan maka

karya terjemahan dan penafsiran yang hanya terpaku pada gramatika bahasa

akan kehilangan banyak dimensinya yang sangat fundamental.103

Setiap teks lahir dalam sebuah wacana yang memiliki banyak

variabel, antara lain kondisi politis, ekonomis, psikologis, dan sebagainya.

Ketika wacana yang bersifat spontan dan dialogis dituliskan dalam teks, ada

variabel yang hilang, yang potensial melahirkan salah paham di kalangan

pembacanya. Atau setidaknya pengetahuan yang diperoleh melalui dialog

lisan akan berbeda dari pengetahuan yang didapat hanya melalui buku.

Gagasan yang ditemukan dalam sebuah buku tidak lagi disertai kehadiran

pembacanya dan juga tidak tahu suasana sosio-psikologis dari

pengarangnya.

Sebagaimana yang dibicarakan di muka, proses pemahaman,

penafsiran dan penerjemahan atas sebuah teks selalu mengasumsikan adanya

tiga subjek yang terlibat, yaitu: dunia pengarang, dunia teks dan dunia

pembaca. Persoalan menjadi rumit ketika jarak waktu, tempat dan

kebudayaan antara pembaca dan dua yang lain yaitu pengarang dan teks

demikian jauh. Teks-teks keagamaan yang lahir sekian abad yang lalu di

102

Chumaidi Suant Nomas, Wacana Teologi Islam Kontemporer, PT. Tiara

Wacana, Yogyakarta, 2000. h. 1 103

Komaruddin, Op.Cit. h. 19

54

dunia timur tengah, ketika hadir di tengah masyarakat Indonesia kontemporer

tentu saja merupakan sesuatu yang asing. Persoalan keterasingan inilah yang

menjadi persoalan hermeneutik sebagai sebuah teori interpretasi. Pera

hermeneutik adalah bagaimana menafsirkan teks klasik atau teks yang

asing sama sekali agar menjadi milik bersama yang hidup di zaman dan

tempat serta suasana kultural yang berbeda.104

Dalam tradisi hermeneutika modern menurut Komarudin Hidayat

dikenal tiga orang yang disebut sebagai “three master of prejudices” yaitu

Sigmund Freud, Karl Marx, dan Friedrich Nietzsche. Sikap “prejudice” atau

prasangka ini dimaknai secara positif agar tidak tergesa-gesa mengambil

kesimpulan. Sikap ini dialamatkan kepada setiap teks yang dijumpai, juga

ditujukan kepada pihak pembacanya sendiri. Menurut Freud bawah sadar

setiap pengarang, juga pembaca pasti turut berperan dalam memandang dan

menafsirkan realitas. Isi bawah sadar yang paling dominan, kata Freud

adalah dorongan dan ilusi-ilusi libido. Jika asumsi Freud ini diterapkan pada

hermeneutika Al-Quran, maka fenomena yang segera muncul adalah

bagaimana mesti memahami narasi Al-Quran yang bercorak samangat laki-

laki? Bukankah kultur Arab lebih dominan peran sosial laki-lakinya? Bagi

umat Islam, tentu saja hal itu semata menyangkut masalah metodologi

bukanya subtansi.105

Tetapi dengan pendekatan, Freudian, secara menyolok, ditemukan

indikasi-indikasi bahwa dorongan bawah sadar berupa libido tidak bisa

dielakkan dan ditempatkan pada posisi metodologis semata. Kalau saja Al-

Quran bukan firman Allah yang suci maka, dengan mudah para musfassir

mengatakan hal itu sebagai refleksi bawah sadar pengarangnya. Tetapi,

karena Al-Quran diyakini sebagai firman suci Allah yang terbebaskan dari

katagori gender, maka pemihakan naratif Al-Quran pada kaum laki-laki bisa

jadi mengungkapkan dimensi freudian masyarakat Arab kala itu. Jadi,

pemihakan ini tidak semata metodologis, tetapi juga subtansial karena juga

disapa oleh Al- Quran kala itu adalah masyarakat Arab yang didominasi oleh

laki-laki. Hal ini bisa dilihat pada kenyataan isyarat pada penggambaran Al-

Quran mengenai berita-berita kenikmatan surgawi yang dikaitkan dengan

kenikmatan seksual dan sensual dalam figur bidadari dan wanita cantik.

Selanjutnya, Karl Marx mengajak untuk mewaspadai kesadaran

104

Ibid. h. 26 105

Ibid. h. 27

55

pengarang dan pembaca yang mudah sekali dipengaruhi oleh situasi

ekonomi dan politik. Kelahiran jenis teks apa pun, termasuk teks keagamaan,

tidak luput dari pengaruh ekonomi dan politik, sebuah teks atau ceramah

keagamaan yang disampaikan ulama yang bersahabat dengan istana raja atau

presiden, yang dimanjakan oleh harta dan fasilitas politik pasti berbeda

ceramah atau karya tulis yang lahir dari ulama yang kritis terhadap istana.

Secara karikatural, doa yang dipanjatkan pada Tuhan dikala seorang

hidup berkecukupan tentu berbeda narasi dan semangatnya ketika

dipanjatkan saat dia jatuh miskin dan hidup menderita hal ini pernah terjadi

di masyarakat Eropa, para pendeta dan gereja telah bersekutu dengan

peguasa kerajaan. Fungsi agama telah diubah citranya menjadi alat

“meninabobokkan” dengan janji penyelamatan di atas kelaparan dan

penderitan massa.106

Asumsi ini juga bisa untuk menjelaskan perkembangan literatur

keislaman yang menonjol dari zaman ke zaman. Yaitu di abad tengah buku-

buku tentang hukum Islam cukup menonjol karena penguasa perlu untuk

mengendalikan perilaku politik, sosial, ekonomi, sebagai akibat

perkembangan dunia islam yang sangat mengesankan tetapi, karena setiap

kemegahan politik dan materi cenderung memancing korupsi dan konflik,

maka krisis moral yang terjadi dipusat kekuasaan telah melahirkan reaksi

para ulama puritan yang kemudian melahirakan karya tulis dengan semangat

jutisme dan oposisi.Demikianlah seterusnya ketika Islam berjumpa dengan

kekuatan Barat, retorika dan teks-teks keislaman yang muncul juga bergeser

arah dan gerak pendulumnya. Jadi meminjam analisis Marxian, dalam

memahami dan menafsirkan teks, asumsi-asumsi kepentingan politis-

ekonomis akan sangat besar pengaruhnya dan ini harus mampu secara kritis

mengambil jarak dan melakukan dekontruksi dalam rangka memperoleh

kebenaran objektif, lebih dari itu, menafsirkan sebuah teks sesungguhya

juga memproduksi ulang pikiran pengarangnya sendiri makanya, tidak

mengherankan kalau syarah yaitu komentar atas sebuah karya tulis jumlah

halamannya bisa melebihi jumlah halaman buku yang dikomentari. Begitu

juga gagasan berkembang kesana-kemari.

Kemudian Nietzshe, mengatakan bahwa pada setiap orang pada

dasarnya memiliki dorongan untuk mengguasai orang lain, dengan begitu

perlu waspada dalam memahami setiap teks dan jenis komunikasi apa pun

106

Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx: Materialisme Dialektis dan

Materialisme Historis, LkiS, Yogyakarta, 2004. h. 164

56

karena di dalamnya pasti terbesit maksud untuk mempenggaruhi dan

menundukan orang lain agar mengikuti pendapatnya. Seorang pengarang

atau pembicara ingin agar dirinya dikatakan hebat lalu diikuti serta dipuji

oleh orang banyak. Untuk membangun image itu, pengarang berusaha

menciptakan ungkapan dan metode untuk mempengaruhi dan menaklukan

masyarakat pembacanya, sehingga akan lebih peka terhadap makna dan

informasi yang mendukung ambisinya untuk berkuasa.

Mempertimbangkan asumsi dan peringatan yang dikemukaan Freud,

Marx, maupun Nietzsche, hermeneutika sebagai sebuah metodologi

penafsiran berusaha memperingatkan pembaca untuk bersikap “curiga”

kepada setiap teks agar faktor- faktor subjektif, baik pembaca maupun

pengarang.107

Subjektifitas tersebut misalnya bisa ditekan sekuat-kuatnya,

sehingga gambaran tentang sebuah kebenaran mutlak dan objektif, meskipun

kebenaran makna tekstualnya mudah diperoleh. analogi historis tidak selalu

menghasilkan gambaran yang jernih karena variabel yang terlibat adalah

subjek yang hidup. Bahkan, dalam menafsirkan sejarah, suasana kekinian

dan imajinasi masa depan sangat mewarnai benak sejarahwan. Oleh

karenanya, objektivitas historis kemudian menjadi kabur, yang ada adalah

sebuah intensi ke depan berdasarkan asumsi- asumsi dan sistem nilai yang

diwariskan oleh tradisi.

Selanjutnya dibahas mengenai hermeneutika hukum. Secara umum

objek kajian hermeneutika hukum itu sangat luas, tergantung dari sudut

mana melihatnya. Pertama, objek kajian hermeneutika hukum itu dapat

berupa teks, lontar, atau ayat/wahyu Tuhan yang tertuang dalam kitab-kitab

suci. Pendapat ini bisa dibenarkan, manakala kita memahami pengertian

hermeneutika itu sebagaimana direpresentasikan dalam teologi kristiani

melalui dewa Hermes, dalam terminologi agama Yahudi melalui dewa Toth,

dalam mitologi Mesir kuno melalui Nabi Musa, dan/atau dalam tradisi

pesantren/kalangan ummat Islam melalui Nabi Idris. Simbol penokohan

kepada para dewa dan Nabi tersebut, esensinya mereka semua itu berperan

sebagai perantara untuk menyampaikan sekaligus menafsirkan “pesan, ayat,

dan wahyu” Tuhan kepada ummat manusia.108

Kedua, objek kajian hermeneutika hukum dapat berupa teks hukum,

naskah-naskah hukum klasik, dokumen resmi negara, ayat-ayat al-ahkam

107

Komaruddin Hidayat, Op.Cit. h. 24 108

Bandingkan dengan Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang…, Op. cit., h. 94-

103; Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, Sheed & Ward, London, 1975, h. 289.

57

atau konstitusi sebuah negara. Sebab dokumen sejarah atau tatanan norma

dalam kehidupan bernegara itu tidak semuanya bisa dipahami oleh

rakyatnya. Dalam hal ini, diperlukan suatu lembaga resmi untuk

menafsirkannya. Lembaga resmi itu, bisa berupa sebuah lembaga negara,

komisi negara, badan hukum, atau individu yang diberi wewenang dan tugas

untuk itu (peran interpretatif). Ketiga, objek kajian hermeneutika hukum

dapat juga berupa peristiwa hukum atau pemikiran hukum. Sebab, peristiwa

hukum maupun hasil pemikiran/doktrin hukum itu dalam pengertian hukum

dapat dijadikan alat bukti ataupun sumber hukum. Sebagai contoh, doktrin

tentang negara hukum rechtsstaat atau rule of law (hasil

pemikiran/pendapat para ahli yang kompeten) itu merupakan sumber

hukum materiil dalam pengertian hukum tata negara.109

Dalam pengertian dan pembidangan kajian yang terurai seperti di

atas, objek kajian hermeneutika hukum menjadi lebih jelas dan terukur. Jika

disimpulkan maka objek kajian hermeneutika hukum itu berupa: teks

hukum, ayat-ayat al-ahkam, doktrin hukum, asas hukum, prinsip-prinsip

hukum, norma hukum (nasional dan internasional), maupun yurisprudensi

putusan peradilan dan keputusan masyarakat hukum adat juga termasuk

objek kajian Hermeneutika Hukum.

Salah satu fungsi dan tujuan mempelajari hermeneutika menurut

James Robinson adalah untuk “bringing the unclear into clarity”110

(memperjelas ‘sesuatu’ yang tidak jelas supaya lebih jelas). Sedangkan

menurut Leyh, tujuan dari pada “hermeneutika hukum” adalah untuk

menempatkan perdebatan kontemporer tentang interpretasi hukum di dalam

kerangka hermeneutika pada umumnya. Upaya mengkontekstualisasikan

teori hukum dengan cara ini serta mengasumsikan bahwa hermeneutika

memiliki korelasi pemikiran dengan ilmu hukum atau yurisprudensi.111

Secara epistemologis, hermeneutika hukum merupakan istilah yang

terbuka terhadap beberapa kemungkinan interpretasi. Ia tidak

mengisyaratkan beberapa konsep dogmatik atau hermeneutika tunggal,

walaupun pembaca akan menemukan konsep hermeneutika filosofis dari

Gadamer.

109

Bandingkan dengan Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang…, Op. cit., h. 94-

103; Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, Sheed & Ward, London, 1975, h. 289. 110

James M. Robinson, “Hermeneutic Since Barth” dalam “New Frontiers in

Theology”,dimuat dalam Gregory Leyh, Legal Hermeneutics: …, Ibid., h. 103. 111

Lihat dalam Gregory Leyh, Ibid., h. xi.

58

Hermeneutika filosofis (Gadamer) adalah sebuah usaha untuk

mengidentifikasi kondisi pemahaman manusia yang tidak dapat dikurangi

lagi. Tujuannya bukan untuk mengembangkan sekumpulan aturan atau

prosedur untuk interpretasi teks. Jadi sasarannya adalah filosofis yaitu untuk

mengidentifikasi “bukan apa yang kita lakukan atau apa yang wajib kita

lakukan (dalam interpretasi), tetapi pada apa yang terjadi pada kita di atas

dan di bawah keinginan dan tindakan kita.”Dengan demikian hermeneutika

filosofis mempunyai tugas ontologis, yaitu menggambarkan hubungan yang

tidak dapat dihindari antara teks dan pembaca, masa lalu dan sekarang, yang

memungkinkan untuk memahami kejadian yang pertama kali (genuin).

Terdapat juga dimensi demistifikasi terhadap hermeneutika hukum. Hukum

intinya adalah aktivitas pembentukan aturan (rule-governed). Kadang-

kadang dikatakan bahwa aturan formal dan doktrin hukum menyajikan

kepastian dan stabilitas yang dibutuhkan oleh masyarakat sipil.

Hermeneutika mencari cara untuk menggantikan pandangan hukum

formalistis ini, walaupun tidak secara total.112

1.6.2. Penjelasan Konsep

Menurut Masri Singarimbun: “konsep adalah generalisasi dari

sekelompok fenomena tertentu, sehingga dapat dipakai untuk menggambarkan

berbagai fenomena yang sama”.113 Senada dengan Masri juga dijelaskan oleh

John J.O.I Ihalauw yang mengemukakan: “Konsep ialah simbol yang

digunakan untuk memaknai fenomena tertentu. Apabila seseorang hendak

mengemukakan gagasan kepada orang lain maka ia harus menyampaikan

melalui bahasa, baik itu bahasa alamiah maupun bahasa buatan.”114

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa bonsep

merupakan pandangan umum yang digunakan untuk menjelaskan hal sejenis

yang disampaikan melalui bahasa verbal atau nonverbal. Untuk membahas

perumusan masalah dalam disertasi ini dikemukakan beberapa konsep yang

relevan, baik berdasarkan doktrin maupun tataran norma.

1.6.2.1 Konsep Demokrasi

Dalam Oxford English Dictionary: disebutkan bahwa “Demokrasi

adalah pemerintahan oleh rakyat, bentuk pemerintahannya terletak pada

112

Ibid., h. iv-vi. 113

Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi, Metode Penelitian Survai, LP3ES,

Jakarta, 1982, h.14. 114

John J.O.I Ihalauw,Op.Cit, h. 24-25.

59

kedaulatan rakyat secara menyeluruh dan dijalankan secara langsung oleh

rakyat atau oleh pejabat yang dipilih oleh rakyat”. Sedangkan secara

epistimologi, istilah demokrasi dapat dikemukakan oleh beberapa tokoh

yang tentu memiliki pandangan dan pemahaman yang berbeda diantara para

ahli, hal ini didasari pada sudut pandang masing-masing terhadap makna

demokrasi tersebut yang berbeda. H. L. Mencken115 menyebutkan

“Demokrasi adalah sebuah teori yang mana rakyat tahu apa yang mereka

butuhkan dan pantas dapatkan sangat berat. Sedangkan G. B. Shaw116

mengatakan bahwa “Demokrasi adalah pemilu pengganti” oleh pihak yang

tidak kompeten dimana banyak kesepakatan yang diselewengkan.

Dalam kaitan tersebut E. E. Schattschneider117

memberikan

pengertian terhadap “demokrasi adalah system politik yang kompetitif yang

dimana terdapat persaingan antara para pemimpin dan organisasi-organisasi

dalam menjabarkan alternatif-alternatif kebijakan publik sehingga publik

dapat turut berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Sedangkan

Robert Dahl menyebutkan :

Demokrasi memberikan kesempatan untuk 1) partisipasi secara efektif,

2) setara dalam hak suara, 3) menjalankan control akhir terhadap

agenda dan 4) melibatkan orang dewasa. Institusi-institusi politik

penting untuk mencapai tujuan-tujuan : 1) pejabat terpilih, 2) pemilu

yang bebas, adil dan rutin, 3) kebebasan berpendapat, 4) adanya sumber

informasi alternatif, 5) otonomi asosional, dan 6) kewarganegaraan

yang inklusif.118

Dari berbagai definsi-definisi tentang demokrasi di atas muncul

persepsi yang berbeda, ada yang berpandangan minor hingga ke pandangan

yang optimis. Namun demikian kata kunci dari pendefinisian demokrasi

tersebut menempatkan rakyat pada posisi yang penting dalam pengelolaan

pengambilan keputusan melalui partisipasi dan control sosial.

Pada gilirannya konsep demokrasi tersebut melahirkan dua

pendekatan yang lazim digunakan apabila hendak menjelaskan konsep

demokrasi, yaitu pendekatan klasik normatif yang juga dikenal dengan

115

James N. Danziger, Understanding The Political World: A Comparative

Introduction to Political Science, 4th Edition, Long Man, New York, 1988, h. 18

116 Ibid.

117 E.E Schattsneider, The Semisovereign People, Reinhart and Winston, New York,

1960, page. 56 118

Robert Dahl, , terjemah A Rahman Zainuddin, Perihal Demokrasi: Menjelajahi

Teori dan Praktek Secara Singkat, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001, h. 38

60

pendekatan substantif dan pendekatan empiril-minimalis atau juga dikenal

dengan pendekatan prosedural.119 Dalam ilmu politik dikenal dua macam

pemahaman tentang demokrasi; pemahaman secara normatif dan

pemahaman secara empirik. Untuk pemahaman yang terakhir ini disebut

juga sebagai procedural democracy.120

Pendekatan klasik normatif memahami demokrasi sebagai sumber

wewenang dan tujuan, sementara pendekatan empiris minimalis lebih

menekankan pada system politik yang dibangun. Pendekatan klasik normatif

lebih banyak membicarakan ide-ide dan model-model demokrasi secara

substantif dan umumnya mendefinisikan demokrasi dengan istilah-istilah

kehendak rakyat sebagai sumber alat untuk mencapai kebaikan bersama.121

Pendekatan empiris-minimalis dapat membatu memberikan titik

terang dalam menemukan dua perspektif yang umum digunakan dalam

memilih tipe- tipe demokrasi. Pertama, adalah perspektif yang merujuk pada

sebuah bentuk politik dimana warga masyarakat terlibat langsung dalam

pemerintahan dan dalam melahirkan peraturan. Kedua, perspektif yang

merujuk bagaimana mekanisme proses pengambilan keputusan itu

diselenggarakan.

Pada umumnya pendefinisian demokrasi diletakkan pada dasar

pemerintahan dari rakyat, bukannya dari para Aristokrat, kaum Monarki,

Birokrat, para ahli ataupun para pemimpin agama, oleh rakyat dan

untuk rakyat.122

Berbicara tentang demokrasi di Indonesia, diperlukan

persyaratan khusus. Persyaratan khusus tersebut adalah dilepaskannya

semacam bias dan etnosentrisme. Dan harus menghindarkan diri dari

etnosentrisme, karena hal itu membuat kita tidak mampu menatap diri

dengan objektif. Etnosentrisme membuat kita melihat segala hal apa yang

kita miliki sekarang ini adalah yang terbaik, sedangkan yang ada di tempat

lain adalah sebaliknya. Pernyataan- pernyataan yang sering kita dengar

seperti : “itu kan demokrasi liberal”, “itu kan demokrasi barat, kita punya

budaya demokrasi sendiri”, merupakan salah satu bentuk etnosentrisme.

Diskusi ilmiah tentang demokrasi harus menghindarkan diri dari sikap

119

Suryatno, Ibid, h. 37. 120

Afan Gaffar, Politik Indonesia; Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar,

Yogyakarta, 2004, h. 3. 121

Suyatno, Op.cit., h. 37. 122

Ibid., h. 33

61

seperti itu.123

Dalam perkembangannya tumbuhnya demokrasi di Indonesia tidak

terlepas dari gagasan-gagasan pendiri Republik Indonesia yang

menghendaki demokrasi sebagai pilihan untuk penyelenggaraan

pemerintahan. Baik Soekarno, Moh. Hatta, Agus Salim maupun Muhammad

Yamin gagasan- gagasannya tersebut dalam beberapa tulisan yang telah

dibuatnya.

Dalam rangka melaksanakan UUD 1945 secara murni dan

konsekuen dan sekaligus koreksi terhadap demokrasi terpimpin,maka sejak

orde baru dikembangkan suatu demokrasi yang dinamakan Demokrasi

Pancasila.Demokrasi Pancasila hendak menggambarkan suatu demokrasi

yang dikehendaki Pancasila dan UUD 1945 dengan menjadikan prinsip

musyawarah-mufakat sebagai landasan utamanya. Di samping itu,

dalam Demokrasi Pancasila juga hendak dikembangkan beberapa macam

keseimbangan.124

Karl D. Jackson125 menyebutkan dengan menggunakan model

analisis yang digunakan oleh Riggs dalam mengamati Thailand,

menyebutkan Indonesia orde baru sebagai negara birokratik atau

Bureaucratic Polity. Dalam negara seperti ini, biasanya sekelompok elit

politik menguasai sepenuhnya pengambilan keputusan politik negara.

Sementara, masyarakat hanya dilibatkan dalam proses impelementasi

kebijakan.

Sementara Dwight King menyebutkan Indonesia Orde Baru sebagai

Bureaucratic Authoritarian with limited plurality. Dalam artian, birokrat-

baik sipil maupun militer memang sangat dominan, bahkan cenderung

otoritarian, tetapi warna pluralism tetap ada sekalipun terbatas. Yaitu dengan

mengorganisasikan kepentingan secara corporatist, seperti kepentingan

buruh, petani, guru dan lain sebagainya, yang disusun secara vertical, tidak

horizontal sebagaimana dikenal dalam demokrasi.126

Menurut Parulian Donald, ada dua manfaat yang sekaligus sebagai

tujuan atau sasaran langsung yang hendak dicapai dengan pelaksanaan

lembaga politik pemilu, yaitu pembentukan atau pemupukan kekuasaan

123

Affan Gafar, Op.cit, h. 2-3 124

Sri Soemantri, Op.cit, h. 5-6 125

Afan Gafar, Op.cit, h. 36 126

Ibid. h. 5

62

yang abash (otoritas) dan mencapai tingkat keterwakilan politik.127

Dari sudut pandang tujuan kedua manfaat tersebut merupakan tujuan

langsung yang berada dalam skala waktu relatif pendek. Hal ini

mengisyaratkan bahwa manfaatnya dirasakan segera setelah proses pemilu

berlangsung. Adapun tujuan tidak langsung dihasilkan dari keseluruhan

aktivitas dari semua pihak yang terlibat dalam proses pemilu, baik

kontestan, maupun para pelaksana dan pengawas dalam kurun waktu relatif

lama, yaitu pembudayaan politik dan pelembagaan politik.128 Dalam arti

lebih sederhana tujuan langsung berkaitan dengan hasil pemilu, sedangkan

tujuan tidak langsung berkenaan dengan proses pencapaian hasil tersebut.

Arbi Sanit129 menyimpulkan bahwa pemilu pada dasarnya memiliki empat

fungsi utama, yakni: 1) pembentukan legitimasi pengusaan dan pemerintah,

2) pembentukan perwakilan politik rakyat, 3) sirkulasi elite penguasa, dan 4)

pendidikan politik. Sebagai sarana pelaksanaan asas kedaulatan rakyat

berdasarkan Pancasila dalam Negara Republik Indonesia, maka pemilu

bertujuan antara lain:

1. Memungkinkan terjadinya peralihan pemerintahan secara aman dan

tertib;

2. Untuk melaksanakan kedaulatan rakyat;

3. Dalam rangka melakukan hak-hak asasi warga negara.130

Sesuai dengan apa yang dicantumkan dalam pembukaan dan Pasal 1

ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

Indonesia menganut asas kedaulatan rakyat, yang dimaksudkan disini adalah

kedaulatan yang dipunyai oleh rakyat itu antara lain tercermin dilaksanakan

pemilu dalam waktu tertentu. Karenanya pemilu adalah dalam rangka

untuk memberi kesempatan kepada warga negara untuk melaksanakan

haknya dengan tujuan:

1. Untuk memilih wakil-wakilnya yang akan menjalankan kedaulatan yag

dipunyai;

2. Terbuka kemungkinan baginya untuk duduk dalam badan perwakilan

rakyat sebagai wakil yang dipercayakan oleh para pemilihnya.131

Ditinjau dari sudut kelompok warga negara yang tergabung dalam

127

Ibid. h. 5 128

Ibid. 129

Arbi Sanit, Partai, Pemilu dan Demokrasi, Pustaka Pelajar, Jakarta, 1997, h. 158. 130

Moh, Kusnardi dan Harmaily Ibrahum, Op.cit., h. 330. 131

Ibid., h. 332.

63

partai politik, pemilu sangat besar artinya bagi partai politik karena

bermanfaat:

(1) Untuk mengetahui seberapa besar sesungguhnya para pendukungnya;

(2) Jika menang, sebagai media untuk menjalankan programnya.

Dengan demikian, maka pada dasarnya pemilu sangat penting artinya bagi

warga negara, partai politik dan pemerintah, sebagai suatu perwujudan pesta

demokrasi dengan melibatkan seluruh rakyat yang telah mempunyai hak

untuk memilih dan dipilih. Bagi pemerintah yang dihasilkan dari pemilu

yang jujur, berarti pemerintah itu mendapat dukungan yang sebenarnya dari

rakyat, tetapi sebaliknya jika pemilu dilaksanakan tidak dengan jujur, maka

dukungan rakyat tersebut hanya bersifat semu.

1.6.2.2. Konsep Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam

Permusyaratan/Perwakilan

Sila ke-4 Pancasila menyebutkan “Kerakyatan yang dipimpin oleh

hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Berarti, yang

dikedapankan prinsip bermusyawarah untuk mufakat melalui wakil-

wakilnya dan badan-badan perwakilan dalam memperjuangkan mandat

rakyat.

“Kerakyatan” berasal dari kata “rakyat”, yaitu sekelompok manusia

yang berdiam dalam suatu wilayah Negara tertentu. Rakyat meliputi seluruh

manusia itu, tidak dibedakan oleh tugas (fungsi) dan profesi (jabatan).

Kerakyatan adalah asas yang baik serta tepat sekali jika dihubungkan

dengan maksud rakyat hidup dalam ikatan Negara.

Sila keempat pancasila mengadung beberapa ciri alam pemikiran

demokrasi di Indonesia. Dalam pokok pikiran ketiga dari Pembukaan

Undag- Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945,

disebutkan bahwa keadulatan itu berdasar atas “kerakyatan” dan

“permusyawaratan”. Dengan kata lain, demokrasi itu hendanknya

mengandung ciri : (1) kerakyatan (daulat rakyat), dan (2) permusyawaratan

(kekeluargaan).

Bila dicermati, arti dan makna Sila ke-4 sebagai berikut:

a) Hakikat sila ini adalah demokrasi, yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh

rakyat, dan untuk rakyat.

b) Pemusyawaratan,yaitu membuat putusan secara bulat, dengan dilakukan

secara bersama melalui jalan kebikjasanaan.

c) Melaksanakan keputusan berdasarkan kejujuran. Keputusan secara bulat

sehingga membawa konsekuensi kejujuran bersama. Nilai identitas

64

adalah permusyawaratan.

d) Terkandung asas kerakyatan, yaitu rasa kecintaan terhadap rakyat,

memperjuangkan cita-cita rakyat, dan memiliki jiwa kerakyatan.

Asas musyawarah untuk mufakat, yaitu yang memperhatikan dan

menghargai aspirasi seluruh rakyat melalui forum permusyawaratan,

menghargai perbedaan, mengedepankan kepentingan rakyat, bangsa dan

negara.

Pernyataan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan adalah

pemimpin yang berakal sehat, rasional, cerdas, terampil, berhati-nurani, arif,

bijaksana, jujur, adil, dan seterusnya. Jadi, pemimpin yang hikmat-

kebijaksanaan itu mengarah pada pemimpin yang profesional (hikmat)

melalui tatanan dan tuntunan permusyawaratan/perwakilan. Tegasnya, sila

keempat merupakan sistem demokrasi-perwakilan yang dipimpin oleh

orang-orang yang profesional, berintergritas melalui sistem musyawarah

(government by discussion).) Maka dapat pahami, dasar pelaksanaannya

demokrasi Pancasila adalah:

a. Pada Ketuhanan Yang Maha Esa;

b. Menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia;

c. Berkedaulatan rakyat;

d. Didukung oleh kecerdasan warga negara;

e. Sistem pemisahan dan pembagian kekuasaan negara;

f. Menjamin otonomi daerah;

g. Demokrasi yang menerapkan prinsip rule of law;

h. Sistem peradilan yang merdeka, bebas dan tidak memihak;

i. Mengusahakan kesejahteraan rakyat; dan

j. Berkeadilan sosial.

Sedangkan fungsi demokrasi Pancasila adalah:

a) Menjamin adanya keikutsertaan rakyat dalam kehidupan bernegara

seperti: ikut mensukseskan Pemilu, ikut mensukseskan Pembangunan;

ikut duduk dalam penyelenggaraan negara.

b) Menjamin tetap tegaknya negara Republik Indonesia.

c) Menjamin tetap tegaknya negara kesatuan yang mempergunakan sistem

konstitusional.

d) Menjamin tetap tegaknya hukum yang bersumber pada Pancasila.

e) Menjamin adanya hubungan yang selaras, serasi dan seimbang antara

lembaga negara.

65

f) Menjamin adanya pemerintahan yang bertanggung jawab.

Sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan berpangkal dari Sila Ketuhanan Yang Maha

Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan

menjiwai sila Keadilan Sosial. Nilai filosofis adalah bahwa hakikat negara

sebagai makhluk individu dan makhluk sosial.

Secara garis besar nilai-nilai dalam Pancasila terbagi atas tiga hal, yakni:

a. Nilai Dasar, sila Pancasila memiliki sifat universal sehingga terkandung

cita-cita, tujuan, serta nilai-nilai yang baik dan benar.

b. Nilai Instrumental, yang berarti makna, kebijakan, strategi, dan sasaran,

serta lembaga pelaksanaannya.

c. Nilai Praktis,memiliki aspek mengenai cita-cita, pemikiran, serta nilai-

nilai yang dianggap memiliki norma yang jelas karena harus mampu

direalisasikan dalam kehidupan praktis.

Apabila diuraikan, nilai-nilai yang terkandung dalam demokrasi

Pancasila, adalah sebagai berikut:

a) Kebebasan yang disertai dengan tanggung jawab baik terhadap

masyarakat bangsa maupun kepada Tuhan yang Maha Esa.

b) Menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.

c) Setiap warga negara Indonesia memiliki kedudukan, hak dan kewajiban

yang sama.

d) Tidak Boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.

e) Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk

kepentingan bersama.

f) Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai

sebagai hasil musyawarah.

g) Mengakui perbedaan dan persamaan sebagai individu, kelompok, ras,

suku, agama.

h) Didalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama diatas

kepentingan pribadi atau golongan.

i) Memberikan kepercayaan kepada wakil-Wakil yang dipercayai untuk

melaksanakan permusyawaratan.

j) Mewujudkan keadilan dalam kehidupan sosial agar tercapainya tujuan

bersama.

Sikap positif akan nilai-nilai tersebut harus kita tanamkan dan

terapkan kepada semua warga negara. Jika tidak, niscaya kemiskinan

66

karakter semakin merajalela. Untuk itu, sebagai warga negara harus menjaga

dan menciptakan persatuan, kedamaian, dan kesejahteraan rakyat. Adapun

sikap-sikap positif tersebut adalah (1) Mencintai Tanah Air (nasionalisme);

(2) Menciptakan persatuan dan kesatuan; (3) Ikut serta dalam pelaksanaan

pembangunan; (4) Mempertahankan dan mengisi kemerdekaan; (5)

Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai

hasil musyawarah; (6) Mengeluarkan pendapat dan tidak boleh memaksakan

kehendak orang lain; (7) Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap

manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama;

(8) Memperoleh kesejahteraan yang dipimpin oleh perwalian.

Dari uraian konseptual di atas, dapat diketahui makna pernyataan

yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan adalah pemimpin yang berakal

sehat, rasional, cerdas, terampil, berhati-nurani, arif, bijaksana, jujur, adil,

dan seterusnya. Jadi, pemimpin yang hikmat-kebijaksanaan itu mengarah

pada pemimpin yang profesional (hikmat) melalui tatanan dan tuntunan

permusyawaratan/perwakilan. Tegasnya, sila keempat merupakan sistem

demokrasi-perwakilan yang dipimpin oleh orang-orang yang profesional,

berintergritas melalui sistem musyawarah (government by discussion).

1.7. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan kegiatan ilmiah yang berupaya untuk

memperoleh pemecahan terhadap suatu permasalahan yang berkaitan dengan

Sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia berdasarkan

prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan. Oleh karena itu, dibutuhkan metode penelitian

yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah melalui pengungkapan

kebenaran secara sistematis, analisis-konstruktif terhadap bahan yang

dikumpulkan dan diolah.132 Atas dasar inilah, maka di dalam penelitian ini

terdapat beberapa unsur dari kerangka metode penelitian tersebut.

1.7.1 Jenis Penelitian

Menurut Peter Mahmud Marzuki: “jenis setiap penelitian hukum selalu

normatif.”133 Selanjutnya, Suratman dan Philips Dillah menyatakan:

132

Philipus M. Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum, Makalah Metode Penelitian

Hukum Normatif, Universitas Airlangga, Surabaya, 1997. h. 20 133

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2009, h.35.

67

“Penelitian normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal atau penelitian

kepustakaan atau studi dokumen, karena ditujukan terhadap peraturan-

peraturan tertulis atau bahan-bahan hukum lain.”134 Senada dengan Suratman

dan Philips Dillah dijelaskan oleh Soetandyo Wignjosoebroto dalam Bambang

Sunggono: “Penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian normatif, yaitu

penelitian terhadap asas-asas hukum.”135

Menurut Bambang Sungguno dalam H. Zainuddin Ali:

bahwa penelitian doktrinal adalah hasil abstraksi yang diperoleh melalui

proses induksi dari norma-norma hukum positif yang berlaku. Penelitian

terhadap sistematika hukum yaitu penelitian terhadap peraturan

perundang-undangan tertentu atau hukum tertulis, untuk mengadakan

identifikasi terhadap pengertian pokok/dasar hak dan kewajiban,

peristiwa hukum, hubungan hukum dan obyek hukum. Penelitian

terhadap taraf sinkronisasi hukum meneliti sampai sejauh mana norma

hukum positif tertulis yang ada sinkron atau serasi satu sama lainnya,

baik secara vertikal atau horizontal. Penelitian secara vertikal adalah

didasarkan pada hierarki peraturan perundang- undangan yang berlaku,

sedangkan secara horizontal didasarkan pada penelitian terhadap

peraturan perundang-undangan yang sederajat. Penelitian perbandingan

hukum adalah penelitian dengan membandingkan undang-undang dari

satu negara dengan negara lain mengenai hal yang sama atau putusan

pengadilan satu negara dengan negara lain mengenai hal yang sama.

Penelitian sejarah hukum adalah upaya untuk mengidentifikasi terhadap

tahap-tahap perkembangan hukum atau peraturan perundang-undangan

yang berlaku.136

Penelitian ini merupakan penelitian normatif yang menitikberatkan pada taraf

harmonisasi atau sinkronisasi terkait sistem pemilihan Presiden dan Wakil

Presiden berdasarkan prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat

kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan menurut peraturan

perundang-undangan antara lain, Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 dan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang

134

Suratman dan Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum, Alfabeta, Bandung,

2015, h.51. 135

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, RajaGrafindo Persada,

Jakarta, 2010, h.184 136

Suratman dan Philips Dillah, Op.cit, h.25-30, 43-44.

68

Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor

182).

1.7.2. Pendekatan Masalah

Menurut Bahder Johan Nasution Penelitian normatif dapat

menggunakan beberapa pendekatan, yaitu:

a) Pendekatan undang-undang (statute approach) dan sebagian ilmuan hukum

menyebutnya dengan pendekatan yuridis, yaitu penelitian terhadap produk-

produk hukum.

b) Pendekatan historis (historical approach), yaitu penelitian atau pengkajian

terhadap perkembangan produk-produk hukum berdasarkan urutan-urutan

periodesasi atau kenyataan sejarah yang melatarbelakanginya.

c) Pendekatan konseptual (conceptual approach), yaitu penelitian terhadap

konsep-konsep hukum, seperti; sumber hukum, fungsi hukum, lembaga

hukum, dan sebagainya. Konsep hukum ini berada pada tiga ranah atau

tataran sesuai tingkatan ilmu hukum itu sendiri, yaitu: tataran ilmu hukum

dogmatik konsep hukumnya teknis yuridis, tataran teori hukum konsep

hukumnya konsep umum, tataran filsafat hukum konsep hukumnya konsep

dasar.

d) Pendekatan filosofis (philosophical approach), yaitu pendekatan bidang-

bidang yang menyangkut dengan objek kajian filsafat hukum yang meliputi:

1) Ontologi hukum, yaitu mengkaji hakikat hukum seperti hakikat

demokrasi, hubungan hukum dengan moral dan sebagainya.

2) Aksiologi hukum, yaitu mempelajari isi dari nilai seperti nilai

kebenaran, nilai keadilan, nilai kebebasan, dan sebagainya.

3) Epistemologi hukum, yaitu cara mendapatkan pengetahuan yang

benar tentang ilmu hukum.

4) Teologi hukum, yaitu menentukan isi dan tujuan hukum.

5) Ideologi hukum, yaitu pemahaman secara menyeluruh tentang

manusia dan masyarakat.

6) Logika hukum, yaitu mempelajari kaidah-kaidah berfikir secara

hukum dan argumentasi hukum.

7) Keilmuan hukum, yaitu merupakan meta teori bagi hukum.137

Selain itu Peter Mahmud Marzuki menambahkan dengan: “pendekatan

kasus (case approach), yaitu penelitian terhadap putusan pengadilan yang

137

Bahder Johan Nasution, Op.cit, h.92-93.

69

sudah berkekuatan hukum tetap.”138

Dalam penelitian disertasi ini digunakan 4 (empat) macam pendekatan

meliputi: (a) pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach)

terutama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan

undang-undang tentang Pemilihan Umum; (b) pendekatan konseptual

(conceptual approach), yaitu mengkaji konsep-konsep hukum, sumber

hukum, fungsi hukum dan lembaga hukum tentang sistem pemilihan Presiden

dan Wakil Presiden berdasarkan prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat

kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan; (c) pendekatan historis

(histrical approach) melalui beberapa naskah akademik dan naskah

pembahasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

dan undang-undang tentang Pemilihan Umum guna mengetahui ratio legis dan

sekaligus original intent dari peraturan perundang-undangan tersebut; (d)

pendekatan filosofis, yaitu mengkaji hakikat sistem pemilihan Presiden dan

Wakil Presiden berdasarkan prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat

kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.

1.7.3. Sumber Bahan Hukum

Menurut H. Zainuddin Ali: “Sumber bahan hukum dalam penelitian

normatif terdiri dari: bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan

hukum tersier.”139 Bahan hukum primer berasal dari peraturan perundang-

undangan sebagai berikut :

(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

(2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik

Indonesia Nomor IX/MPRS/1966 tentang Surat Perintah Presiden/

Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Pemimpin

Besar Revolusi/ Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara

Republik Indonesia ;

(3) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor :

II/MPR/1978 Tentang Pedoman Penghayatan Dan Pengamalan Pancasila

(Ekaprasetia Pancakarsa);

(4) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik IndonesiaNomor

XVIII/MPR/1998 tentangPencabutan KetetapanMajelis

138

Peter Mahmud Marzuki, Op.cit, h.119. 139

H.Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, h. 47-

57.

70

Permusyawaratan Rakyat Republik IndonesiaNomor II/MPR/1978

Tentang Pedoman Penghayatan danPengamalan Pancasila (Ekaprasetia

Pancakarsa) danPenetapan Tentang Penegasan Pancasila Sebagaidasar

Negara;

(5) Ketetapan MPR No. III/MPR/ 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata

Urutan Peraturan Perundang-undangan;

(6) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum

Presiden dan Wakil Presiden;

(7) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum

Presiden dan Wakil Presiden;

(8) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara

Pemilihan Umum;

(9) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

(10) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan;

(11) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum;

Bahan hukum sekunder pada penelitian ini berasal dari buku-buku teks,

disertasi hukum, dan jurnal hukum. Selanjutnya, H. Zainuddin Ali

menjelaskan: “Bahan hukum tersier berasal dari petunjuk atau penjelasan dari

bahan hukum primer atau bahan hukum sekunder melalui kamus umum bahasa

Indonesia, Black’s Law Dictionary, ensiklopedia, dan glossarium.”140 Bahan

hukum tersier pada penelitian ini terutama diperoleh melalui melalui kamus

umum bahasa Indonesia, dan kamus hukum Black Law’s Dictionary.

1.7.4. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum

Menurut Peter Mahmud Marzuki:

Dalam melakukan penelitian hukum, dilakukan langkah-langkah: (1)

mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminasi hal-hal yang tidak

relevan untuk menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan; (2)

pengumpulan bahan-bahan hukum dan sekiranya dipandang

mempunyai relevansi juga bahan-bahan nonhukum; (3) melakukan

telaah atas isu hukum yag diajukan berdasarkan bahan-bahan yang

telah dikumpulkan; (4) menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi

yang menjawab isu hukum; dan (5) memberikan presikripsi

140

H.Zainuddin Ali, Op.Cit, h. 47-57.

71

berdasarkan argumentasi yang telah dibangun di dalam kesimpulan.141

Teknik pengumpulan bahan hukum pada penelitian dilakukan dengan

cara mengumpulkan beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait

dengan sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan prinsip

kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan, kemudian dibaca secara mendalam dan dicatat

pada kartu yang disediakan khusus untuk itu. Selanjutnya dilakukan

pengelompokan, pemilahan dan inventarisasi bahan-bahan hukum yang

diperoleh sesuai dengan masalah yang diteliti dan menyisihkan bahan-bahan

yang tidak relevan dengan masalah penelitian.

1.7.5. Analisis Bahan Hukum

Menurut Suratman dan Philips Dillah: “Setelah bahan hukum primer

dan sekunder dikumpulkan, selanjutnya dikategorisasikan, diklasifikasikan,

ditabulasikan dan diinterpretasikan serta kemudian dianalisis.142 Bahan hukum

dalam penelitian ini diolah dan dianalisis dengan menggunakan

metode penafsiran hukum, dan untuk mempertajam analisis bahan hukum,

penelitian ini mengedepankan penafsiran hukum, penalaran hukum dan

argumentasi hukum.

1.8. Pertanggungjawaban Sistematika

Pertanggungjawaban Sistematika terdiri dari 4 bab, yaitu sebagai

berikut:

Bab I merupakan bab pendahuluan yang menguraikan tentang latar

belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

orisinalitas penelitian, landasan teori dan penjelasan konsep. Landasan teori

membahas tentang: teori negara hukum Pancasila, teori jenjang norma

(stufenbau des recht theory), teori sumber hukum (source of law theory), dan

teori hermeneutika hukum, sedangkan pada bagian penjelasan konsep

membahas tentang: konsep demokrasi, konsep pemilihan umum, dan konsep

permusyawaratan dan konsep perwakilan. Kemudian menguraikan metode

penelitian yang meliputi uraian tentang: jenis penelitian, pendekatan masalah,

sumber bahan hukum, teknik pengumpulan dan pengolahan bahan hukum,

analisis bahan hukum dan pertanggungjawaban sistematika.

141

Peter Mahmud Marzuki, Op.cit, h. 213 142

Suratman dan Philips Dillah, Op.cit, h. 107

72

Bab II membahas hasil penelitian tentang: Makna Kerakyatan Yang

Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan,

meliputi urian tentang : Sejarah Lahirnya Pancasila, Kedudukan Pancasila di

Indonesia, Hubungan Antara Nilai-nilai Pancasila dan Hukum, Pancasila

Sebagai Alternatif Penyelesaian Masalah Hukum di Indonesia, serta makna

KerakyatanYang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam

Permusyawaratan/Perwakilan.

Bab III, membahas hasil penelitian tentang: Sistem Pemilihan Presiden

Dan Wakil Presiden Berdasarkan Prinsip Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh

Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan meliputi uraian

tentang : Demokrasi Pancasila Sebagai Denyut Nadi Lembaga

Permusyaratan/Perwakilan Rakyat Indonesia, Negara Kesatuan Republik

Indonesia Sebagai Negara Kebangsaan Yang Berkerakyatan Yang Dipimpin

oleh Hikmat Kebijaksaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan, Dasar Filosofis

Demokrasi Perwakilan Dalam Perspektif Pancasila, Penguatan Institusi

Kedaulatan Rakyat Sebagai Implementasi Demokrasi Pancasila, Pemilihan

Presiden dan Wakil Presiden Saat Ini dan Pemilihan Presiden dan Wakil

Presiden Republik Indonesia Berdasarkan Prinsip Kerakyatan Yang Dipimpin

Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan.

Bab IV, merupakan Penutup yang memuat kesimpulan dan saran

tentang Makna Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam

Permusyawaratan/Perwakilan dan Sistem Pemilihan Presiden Dan Wakil

Presiden Berdasarkan Prinsip Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat

Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan.