TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dasar Hukum PLTA/ PLTM

37
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dasar Hukum PLTA/ PLTM Banyak perusahaan swasta telah memulai usaha di bidang PLTA terutama di bidang mini hidro saat ini. Hal ini didorong terutama karena adanya Permen ESDM (Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral) No. 31 tahun 2009 di mana tertulis pada pasal 1 bahwa, “PT. PLN (Persero) wajib membeli tenaga listrik dari energi yang terbarukan skala kecil sampai menengah hingga 10 MW, dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN), milik swasta, koperasi ataupun swadaya masyarakat”. Energi terbarukan adalah energi yang berasal dari sumber daya yang tidak akan habis dan tidak terbatas, contohnya energi angin, matahari, tenaga air, sampah atau buangan dari hasil pertanian atau industri, sampah kota, dan sumber panas dari tumbuh– tumbuhan (dendro–thermal sources) atau panas bumi. 2.1.1 Kelebihan dan Kekurangan PLTA Asteriyadi dan Adikesuma (2007) menguraikan kelebihan dari PLTA adalah sebagai berikut: 1. Mengunakan sumber daya yang terbarukan (renewable energy) 2. Relatif tidak menimbulkan kerusakan lingkungan 3. Tidak memerlukan bahan bakar 4. Operasi dan perawatannya relatif lebih mudah 5. Pengembangan suatu PLTA dengan memanfaatkan aliran sungai akan memberikan manfaat atau keuntungan dari segi lainnya, seperti pariwisata, perikanan, persediaan air bersih/minum, irigasi, dan pengendalian banjir. 6. Turbin PLTA dapat dioperasikan atau dihentikan pengoperasiannya setiap saat. Hal yang tidak dapat dilakukan pada pembangkit lain karena akan mengakibatkan pemborosan dalam pemakaian bahan bakar. 8 Universitas Sumatera Utara

Transcript of TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dasar Hukum PLTA/ PLTM

8

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dasar Hukum PLTA/ PLTM

Banyak perusahaan swasta telah memulai usaha di bidang PLTA terutama di

bidang mini hidro saat ini. Hal ini didorong terutama karena adanya Permen ESDM

(Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral) No. 31 tahun 2009 di mana tertulis

pada pasal 1 bahwa, “PT. PLN (Persero) wajib membeli tenaga listrik dari energi

yang terbarukan skala kecil sampai menengah hingga 10 MW, dari Badan Usaha

Milik Negara (BUMN), milik swasta, koperasi ataupun swadaya masyarakat”. Energi

terbarukan adalah energi yang berasal dari sumber daya yang tidak akan habis dan

tidak terbatas, contohnya energi angin, matahari, tenaga air, sampah atau buangan

dari hasil pertanian atau industri, sampah kota, dan sumber panas dari tumbuh–

tumbuhan (dendro–thermal sources) atau panas bumi.

2.1.1 Kelebihan dan Kekurangan PLTA

Asteriyadi dan Adikesuma (2007) menguraikan kelebihan dari PLTA adalah

sebagai berikut:

1. Mengunakan sumber daya yang terbarukan (renewable energy)

2. Relatif tidak menimbulkan kerusakan lingkungan

3. Tidak memerlukan bahan bakar

4. Operasi dan perawatannya relatif lebih mudah

5. Pengembangan suatu PLTA dengan memanfaatkan aliran sungai akan

memberikan manfaat atau keuntungan dari segi lainnya, seperti pariwisata,

perikanan, persediaan air bersih/minum, irigasi, dan pengendalian banjir.

6. Turbin PLTA dapat dioperasikan atau dihentikan pengoperasiannya setiap

saat. Hal yang tidak dapat dilakukan pada pembangkit lain karena akan

mengakibatkan pemborosan dalam pemakaian bahan bakar.

8

Universitas Sumatera Utara

9

7. Dengan kemampuannya untuk melepaskan dan memikul beban, PLTA dapat

difungsikan sebagai cadangan yang dapat diandalkan pada sistem kelistrikan

terpadu antara PLTA, PLTU, PLTN, dan lain-lain.

8. Air yang digunakan tidak hilang, melainkan langsung dikembalikan ke sungai

asalnya, sehingga tidak mengganggu daerah hilir sungai.

Sedangkan kekurangan dari PLTA adalah:

1. Pembangunannya memerlukan dana yang cukup besar dan pengembalian

modal relatif lambat.

2. Persiapannya memerlukan waktu yang relatif lama.

3. PLTA sangat bergantung pada ketersediaan air sungai, sehingga harus tetap

menjaga daerah tangkapan air.

4. PLTA yang menggunakan waduk akan menenggelamkan lahan di sekitar

pembangunan waduk tersebut.

2.2 Klasifikasi PLTA

Pembagian PLTA dapat dikelompokkan menjadi berbagai jenis PLTA yaitu

sebagai berikut:

A. Pembagian Menurut Daya yang Dihasilkan

Menurut Mosonyi (1963) yang dikutip dari Asteriyadi dan Adikesuma (2007),

pembagian PLTA berdasarkan kapasitas pembangkit dibagi menjadi 4, yaitu PLTA

berukuran mikro dengan daya < 100 kW, PLTA dengan daya kapasitas listrik rendah

antara 100–1.000 kW, PLTA dengan daya kapasitas listrik menengah antara 1.000–

10.000 kW, dan PLTA dengan daya kapasitas listrik tinggi di atas 10.000 kW.

Menurut Harvey (1993), PLTA dibagi menjadi tiga, yaitu mikro hidro antara

0–300 kW, mini hidro antara 300-10.000 kW, dan PLTA dengan daya listrik diatas

10.000 kW.

B. Pembagian Menurut Cara Pengambilan Air

Jenis PLTA menurut cara pengambilan air yaitu:

Universitas Sumatera Utara

10

1. PLTA menggunakan run off river

Gambar 2.1: PLTA Parlilitan yang menggunakan sistem run off river dengan

kapasitas daya 10 MW

PLTA ini bersifat mengambil air dari sungai dalam debit tertentu dengan

menggunakan bendung (weir) dengan cara membelokkan air ke dalam intake.

Atau bisa dikatakan hanya meminjam air sungai dalam beberapa waktu untuk

dialirkan menuju turbin air (Gambar 2.1).

2. PLTA menggunakan tampungan

PLTA seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2.2 yang merupakan bendungan

PLTA Three Gorges di Cina menggunakan bendungan pada suatu sungai

hingga ketinggian tertentu yang kemudian mengalirkan air dari bawah

bendungan yang kemudian diteruskan ke power house untuk menghasilkan

listrik. PLTA jenis ini memiliki kelemahan dalam bidang sosial lingkungan,

yaitu adanya relokasi penduduk dalam skala besar dan menghilangkan

ekosistem yang ada pada daerah PLTA.

PLTA Three Gorges memiliki tinggi bendung 185 meter, lebar 2,09 km dan

membentuk tampungan sepanjang 595 km yang dapat menampung lebih dari

5 triliun galon air. PLTA Three Gorges dikerjakan selama 15 tahun dan

menghasilkan daya 20,3 GW.

Universitas Sumatera Utara

11

Gambar 2.2: PLTA Three Gorges di Cina yang menggunakan tampungan dengan

kapasitas daya 20,3 GW (Shalahuddin, 2010)

3. PLTA semi run off river

PLTA tipe ini hampir sama dengan sistem run off river tapi bedanya

menggunakan kolam tando harian (KTH) yang bertujuan untuk menyimpan

air pada saat tertentu. Kolam tando harian ini yang tidak dimiliki oleh PLTA

dengan sistem run off river. Sehingga kolam tando harian tersebut bisa

digunakan untuk menampung debit dua sungai sekaligus. Jadi misal pada

waktu malam hari dibutuhkan daya yang besar maka air yang tersedia bisa

untuk memutar turbin yang ada. Akan tetapi pada waktu siang hari dimana

rata–rata kebutuhan listrik lebih sedikit dibanding pada malam hari, maka

KTH ini digunakan untuk menampung debit air dalam jumlah cukup besar.

Contohnya PLTA Kracak yang berada di provinsi Jawa Barat (Gambar 2.3).

PLTA Kracak yang berkapasitas daya 18,9 MW (3 x 6,3 MW) dibangun oleh

Pemerintah Belanda pada tahun 1921 dan mulai beroperasi pada tahun 1926

dengan memanfaatkan dua aliran sungai yaitu Sungai Cianten dan Sungai

Cikuluwung. Kedua aliran sungai tersebut ditampung di suatu KTH yang

kemudian dialirkan menuju rumah turbin melalui pipa pesat.

Universitas Sumatera Utara

12

Gambar 2.3: PLTA Kracak yang menggunakan sistem semi run off river

dengan kapasitas daya 18,9 MW

4. PLTA danau

PLTA jenis ini menggunakan danau sebagai kolam tampungan dan sediment

trap. Sehingga dari hulu sungai bisa langsung digunakan sebagai penstock

menuju power house. Contoh kasus seperti PLTA Tangga yang menggunakan

Danau Toba sebagai tampungan air (Gambar 2.4).

Gambar 2.4: PLTA Tangga yang menggunakan Danau Toba sebagai kolam

tampungan

Universitas Sumatera Utara

13

C. Pembagian Menurut Tinggi Jatuhnya Air

Menurut Dandekar dan Sharma (1991), PLTA dibagi menurut perbedaan

tinggi jatuhnya dibagi atas PLTA dengan tekanan rendah < 15 meter, PLTA dengan

tekanan menengah 15–70 meter, PLTA dengan tekanan tinggi 70-250 meter, dan

PLTA dengan tekanan sangat tinggi > 250 meter.

D. Pembagian Menurut Topografi

Pembagian ini adalah menurut letak PLTA yang bersangkutan yaitu di daerah

lembah, daerah berbukit, dan daerah bergunung–gunung.

E. Pembagian Menurut Bangunan Hidraulik

Menurut Patty (1995), pengelompokan PLTA berdasarkan keadaan hidraulik

yang ditinjau dari aliran air yang digunakan untuk menggerakkan turbin. Berdasarkan

hal tersebut pengelompokan dapat dibagi atas PLTA yang menggunakan air sungai

atau air waduk, PLTA yang menggunakan pasang surut air laut, PLTA yang

menggunakan energi ombak, dan PLTA yang menggunakan air yang telah dipompa

ke suatu reservoar yang letaknya lebih tinggi.

F. Pembagian Menurut Distribusi Jaringan

Menurut Patty (1995), PLTA dapat dibagi menjadi PLTA yang bekerja sendiri

sehingga tidak dihubungkan dengan sentral–sentral listrik yang lain, dan PLTA yang

bekerja sama dengan sentral-sentral listrik yang lain dalam pemberian listrik kepada

para pemakai.

2.3 Potensi Tenaga Air di Indonesia

Potensi tenaga air di Indonesia secara teoritis menurut hasil studi yang

dilakukan pemerintah sekitar 77.854,8 MW yang tersebar di seluruh Indonesia (Tabel

2.1), terutama di lima pulau besar, dengan perincian sebagai berikut (Patty, 1995).

• Pulau Jawa: 5 % sebesar 4.421,6 MW,

• Pulau Sumatra: 20 % sebesar 15.803,5 MW,

• Pulau Kalimantan: 30 % sebesar 23.052,8 MW,

Universitas Sumatera Utara

14

• Pulau Sulawesi: 15 % sebesar 11.378,5 MW,

• Pulau Irian: 28 % sebesar 22.157,4 MW,

• Lain-lain: 2 %.

2.4. Infrastruktur Utama yang Ada di PLTM

Infrastruktur utama seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.5 merupakan

bagian terpenting dalam perencanaan PLTM dengan diperlukannya beberapa

parameter seperti debit banjir, debit andalan dan keadaan geologi tanah. Infrastruktur

utama suatu PLTM terdiri dari tiga bagian besar, yaitu:

Pekerjaan bendung (Weir )

Bangunan yang terdapat pada pekerjaan ini adalah bendung dan bangunan

sadap/ intake. Bendung digunakan sebagai pembelok aliran sungai juga untuk

menaikkan tinggi jatuh air. Sedangkan intake berfungsi sebagai pintu masuk

pengatur jumlah debit air yang masuk ke saluran air. Selain itu, juga berfungsi

sebagai pintu pertama untuk menghalangi sampah sedimen yang masuk.

Pekerjaan saluran air

Pada bagian saluran air terdapat bangunan penangkap pasir/ sand trap, saluran

penghantar/ waterway, bangunan penenang/ head pond, dan pipa pesat/

penstock. Biasanya dalam suatu pekerjaan bagian ini adalah yang paling

panjang dari yang lainnya. Pada bagian waterway, saluran yang didesain dapat

berupa saluran terbuka atau tertutup, tergantung pada topografi, desain dan

kebutuhan PLTM.

Pembangunan Power House

Power house atau rumah turbin merupakan bagian terakhir dari suatu PLTA.

Di bangunan ini terdapat turbin air, generator, panel-panel listrik dan saluran

pembuangan air/ tail race. Tail race berguna sebagai bangunan pembuang air

ke sungai asal yang berasal dari turbin. Selain power house, juga terdapat

bagian transmisi dan gardu induk yang letaknya terpisah dengan rumah turbin.

Universitas Sumatera Utara

15

15

Tabel 2.1: Potensi tenaga air di Indonesia

PLN WILAYAH

Beroperasi Tahap Pengembangan Studi Peta Perkiraan Jumlah Potensi

Jumlah PLTA

Kapasitas Terpasang

(MW)

Energi Setahun (GWh)

Jumlah PLTA

Kapasitas Terpasang

(MW)

Energi Setahun (GWh)

Jumlah PLTA

Kapasitas Terpasang

(MW)

Energi Setahun (GWh)

Kapasitas Terpasang

(MW)

Energi Setahun (GWh)

Jumlah PLTA

Kapasitas Terpasang

(MW)

Energi Setahun (GWh)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 1+4+7 2+5+8+10 3+6+9+11

I. Aceh 0 0 0 0 0 0 141 4980.2 25517.2 0 0 141 4980.2 25517.2 II. Sumatera Utara 3 286.2 1868 3 797.2 4913 107 2920.2 15998.7 0 0 113 4003.6 22779.7 III. Sumatera Barat, Riau 4 10.8 22.4 3 468 1821 97 3159.9 16569.2 0 0 104 3638.7 18412.6 IV. Sumatera Selatan, Jambi, Lampung, dan Bengkulu 2 1.4 6.2 3 57 193.5 103 3112.4 17661.3 0 0 108 3170.8 17861 V. Kalimantan Barat 0 0 0 1 30 235 84 5607.5 26240.9 0 0 85 5637.5 26475.9 VI. Kalimantan Tengah, Selatan, dan Timur 1 30 136 1 42 152 91 8314.3 44184.9 9029 44052 93 17415.3 88524.9

VII. Sulawesi Utara dan Tengah 3 14.7 59.1 1 16.6 90 57 2722.1 15474.2 1360 6983 61 4113.4 22606.3 VIII. Sulawesi Selatan dan Tenggara 3 166.7 687.5 2 262.7 1076.9 55 4843.7 23381.9 2001 10197 60 7274.1 35343.3

IX. Maluku 0 0 0 0 0 0 53 411.6 2162.8 0 0 53 411.6 2162.8 X. Irian Jaya 1 0.1 0.5 1 13.5 61 206 21915.8 130073.7 192 912 208 22121.4 131047.2 XI. Nusa Tenggara 3 0.3 1.4 0 0 0 120 620.4 3226.2 0 0 123 620.7 3227.6

XII. Jawa Timur 10 205.5 843.6 2 33.5 112.6 32 295.6 1552.9 0 0 44 534.6 2509.1

XIII. Jawa Tengah 8 41.7 168.7 6 445.4 1184.8 35 385.4 1916.9 0 0 49 872.5 3270.4

XIV. Jawa Barat 10 241.6 1135.4 4 1211.3 3355.5 57 1561.6 8525.5 0 0 71 3014.5 13016.4 TOTAL 48 999 4928.8 27 3377.2 13195.3 1238 60850.7 332486.3 12582 62144 1313 77808.9 412754.4

Sumber: Patty (1995)

Universitas Sumatera Utara

16

Gambar 2.5: Diagram uraian kerja PLTM

2.5 Analisa Hidrologi

Tujuan analisa hidrologi adalah mendapatkan debit maksimum sungai pada

lokasi pengukuran pada saat survei lapangan. Biasanya pengukuran debit dilakukan

dekat stasiun AWLR atau staff gauge di mana tinggi muka air sungai diamati dan

dicatat secara teratur. Staff gauge diperlukan untuk menghubungkan debit yang

diukur dengan suatu ketinggian yang diketahui sehingga data debit dapat dipakai

dalam analisa.

Adapun langkah-langkah dalam analisa hidrologi adalah:

1. Menentukan DAS beserta luasnya.

2. Menentukan luas pengaruh daerah stasiun-stasiun penakar hujan sungai.

AIR SUNGAI

BENDUNGAN / WEIR

PIPA PESAT/ PENSTOCK

SALURAN AIR / WATER WAY

HEADPOND / BAK PENENANG

TAIL RACE

RUMAH TURBIN MENGUBAH ENERGI POTENSIAL

MENJADI LISTRIK

DISTRIBUSI LEWAT GARDU PLN TERDEKAT

PENANGKAP PASIR/ SAND TRAP

Universitas Sumatera Utara

17

3. Menentukan curah hujan maksimum tiap tahunnya dari data curah hujan yang

ada.

4. Menganalisa curah hujan rencana dengan periode ulang T tahun.

5. Menghitung debit banjir rencana berdasarkan besarnya curah hujan rencana di

atas pada periode ulang T tahun.

2.5.1 Hujan Wilayah (Area Rainfall)

Data hujan yang diperoleh dari alat penakar hujan merupakan hujan yang

terjadi pada satu titik atau satu tempat saja. Mengingat hujan yang bervariasi terhadap

suatu lokasi penelitian, maka untuk kawasan yang luas satu alat penakar hujan

tidaklah cukup untuk menggambarkan curah hujan wilayah tersebut, oleh karena itu

di berbagai tempat pada daerah aliran sungai tersebut dipasang alat penakar hujan.

Beberapa metode untuk mendapatkan curah hujan rata–rata daerah adalah

dengan cara rata–rata aritmatik, cara poligon Thiessen dan cara Isohyet.

a. Cara rata-rata aljabar

Cara ini adalah yang paling sederhana yaitu dengan menghitung penjumlahan

curah hujan dari semua tempat pengukuran selama satu periode tertentu dan

membaginya dengan banyaknya tempat pengukuran seperti yang tergambar di

Gambar 2.6. Zulfikar (2007) menggunakan cara ini untuk menghitung curah

hujan DAS Meurebo di kabupaten Aceh Barat. Jika dirumuskan adalah

sebagai berikut:

nnR...3R2R1R

R

(2.1)

di mana, R = curah hujan rata-rata (mm), n...R1R = besar curah hujan pada

masing–masing stasiun (mm), dan n = banyaknya stasiun hujan. Gambar 2.6

menerangkan sketsa metode rata-rata aljabar.

Universitas Sumatera Utara

18

Gambar 2.6: Sketsa stasiun curah hujan cara rata-rata hitung

b. Cara poligon Thiessen

Cara poligon Thiessen memperhitungkan luas daerah yang mewakili dari stasiun-

stasiun hujan yang ada untuk digunakan sebagai faktor bobot dalam perhitungan

curah hujan rata-rata. Stasiun hujan yang digunakan minimal tiga stasiun hujan

yang berada di sekitar DAS dan tidak memperhitungkan topografi. Sutarto

(2008) menggunakan cara poligon Thiessen didasarkan pada kondisi daerah

pengaliran Sungai Bekasi yang berbukit-bukit dan pembagian batas poligonnya

tidak berubah, sehingga setiap stasiun hujan berada dalam garis poligon yang

mewakili daerah pengaruhnya. Sungai Bekasi yang melewati Kota Bekasi

memiliki tiga buah stasiun hujan di sekitar DAS. Gambar 2.7 menerangkan

sketsa untuk Poligon Thiessen.

n321

nn332211

A...AAARA...RARARA

R

ARA...RARARA nn332211

nn2211 WR...WRWRR

(2.2)

di mana, A= luas DAS (km2), R = curah hujan rata-rata (mm) dan R1 = curah

hujan masing-masing stasiun (mm), dan W1...Wn = faktor bobot masing-masing

stasiun yaitu persentase daerah pengaruh terhadap luas keseluruhan.

1

2

3 n

Luas DAS

Posisi stasiun hujan

Universitas Sumatera Utara

19

Gambar 2.7: Sketsa untuk cara poligon Thiessen

c. Cara Isohyet

Isohyet adalah garis lengkung yang merupakan harga curah hujan yang sama.

Umumnya sebuah garis lengkung menunjukkan angka yang bulat. Isohyet ini

diperoleh dengan cara interpolasi harga-harga curah hujan yang tercatat pada

penakar hujan lokal (Rnt). Gambar 2.8 menjelaskan pembagian daerah isohyet.

2

edX;2

dcX;2

cbX;2

baX 4321

(2.3)

di mana, X1 = nilai rerata antara dua garis isohyet.

Gambar 2.8: Pembagian daerah isohyet

1

2

3

Posisi stasiun hujan

Garis yang menghubungkan stasiun hujan

Garis titik berat

Luas DAS

Universitas Sumatera Utara

20

2.5.2 Uji Konsistensi Data Curah Hujan

Adanya perubahan atau pindah lokasi, penggantian alat serta penggantian

orang (pengamat) dapat menyebabkan data hujan tidak konsisten. Agar data hujan

menjadi konsisten diperlukan pengujian.

Pada dasarnya metode-metode pengujian tersebut merupakan perbandingan

data stasiun yang bersangkutan dengan data stasiun lain di sekitarnya. Bagi stasiun

yang terletak dengan meteorologi homogen, perubahan meteorologi tidak akan

menyebabkan perubahan kemiringan garis hubungan antara data stasiun tersebut

dengan data stasiun disekitarnya, karena stasiun-stasiun lainnya pun akan ikut

terpengaruh kondisi yang sama. Konsistensi data-data hujan bagi masing-masing

stasiun dasar (stasiun yang akan digunakan untuk menguji) harus diuji terlebih dahulu

dan yang menunjukkan catatan yang tidak konsisten tidak bisa digunakan dalam

penelitian.

Jika tidak ada stasiun yang bisa dijadikan stasiun dasar atau tidak terdapat

catatan historis mengenai perubahan data, maka analisa awal terhadap data adalah

menghapus data-data yang dianggap meragukan. Untuk memeriksa konsistensi data

hujan, bisa digunakan metode analisa kurva massa ganda (double mass curve

technique). Analisa kurva massa ganda dilakukan dengan cara membandingkan data

hujan tahunan kumulatif di suatu pos hujan tertentu dengan data hujan tahunan

kumulatif dari pos-pos terdekat. Analisa kurva massa ganda dapat dituliskan sebagai

berikut:

AXCX M

cMPP

(2.4)

di mana, PCX = data curah hujan tahunan yang terkoreksi pada tahun t di pos x, PX =

data awal hujan tahunan pada tahun t di pos x, MC = slope terkoreksi kurva, dan MA =

slope awal kurva.

2.5.3 Distribusi Frekuensi

Distribusi frekuensi yang dipakai harus dapat mewakili data histories yang

ada. Berdasarkan karakteristik data hujan, distribusi yang cocok dapat ditentukan.

Universitas Sumatera Utara

21

Jenis distribusi yang sering digunakan di Indonesia dengan persyaratannya adalah

sebagai berikut (Zulfikar, 2007).

Normal : Cs = 0 dan Ck = 3

Log Normal : Cs > 0, Cs 3 Cv

Gumbel Type I : Cs = 1,1396 dan Ck = 5,4002

Log Pearson Type III : tidak ada persyaratan

Cs = koefisien skewness, yang dapat dihitung sebagai :

3S2n1n

3n

1ixixn

sC

(2.5)

Ck = kurtosis, yang dapat dihitung sebagai :

4S3n2n1n

4n

1ixix2n

kC

(2.6) Cv = koefisien variation, yang dapat dihitung sebagai :

xS

vC (2.7)

di mana, x = rata-rata dan S = deviasi standar.

2.5.4 Analisa Frekuensi

Tujuan analisa frekuensi adalah memperkirakan besarnya hujan rencana

dengan periode ulang tertentu dari data hujan maksimum harian dengan

menggunakan distribusi frekuensi yang dipilih dari tahap sebelumnya (Sutarto, 2006)

Bila menggunakan distribusi Log Pearson Type III, persamaannya adalah

sebagai berikut:

logxSTKlogXTlogX (2.8)

di mana, XT = hujan rencana dengan periode ulang T tahun, Slogx = deviasi standar

hujan maksimum tahunan, dan KT = faktor frekuensi dari Log Pearson III, sebagai

fungsi dari koefisien Cs.

Universitas Sumatera Utara

22

2.5.5 Uji Kecocokan

Tiap distribusi akan memberikan hasil yang berbeda, karena itu diperlukan uji

kecocokan untuk menetukan distribusi mana yang memiliki deviasi terkecil dari data

yang ada. Terdapat dua metoda yang lazim digunakan yaitu Uji Chi-squared (c2) dan

Uji Kolmogorov-Smirnov.

A. Uji Chi-squared (2)

Statistik 2 dihitung dengan menggunakan persamaan berikut

k

1i iE

2iEiO2χ

(2.9)

knE

(2.10)

di mana, k = jumlah kelas interval data, Oi = frekuensi yang diamati dalam kelas

interval I, dan Ei = frekuensi yang diharapkan dalam kelas interval i.

Derajat kebebasan ditentukan dari

Dk = k - u – 1 (2.11)

di mana, u = 2 (distribusi normal). Bila nilai 2 hasil hitungan lebih kecil dari nilai

kritis 2 dalam Tabel 2.2, maka distribusi yang dipilih dapat digunakan.

Tabel 2.2: Nilai kritis Chi-squared

Dk Nilai

0.9 0.8 0.7 0.5 0.3 0.2 0.1 0.05 0.01 1 0.0158 0.0642 0.1480 0.4550 1.0740 1.6420 2.7060 3.8410 6.6350 2 0.2110 0.4460 0.7130 1.3860 2.4080 3.2190 4.6050 5.9910 9.2100 3 0.5840 1.0050 1.4240 2.3660 3.6550 4.6420 6.2510 7.8150 11.3450 4 1.0640 1.6490 2.1950 3.3570 4.8780 5.9890 7.7790 9.4880 13.2770 5 1.6100 2.3430 3.0000 4.3510 6.0640 7.2890 9.2360 11.0700 15.0860 6 2.2040 1.0700 3.8280 5.3480 7.2310 8.5590 10.6450 12.5920 16.8120 7 2.8330 3.8220 4.6710 6.3460 8.3830 9.8030 12.0170 14.0670 18.4750 8 3.2900 4.5940 5.5270 7.3440 9.5240 11.0300 13.3620 15.5070 20.0900 9 4.1680 5.3800 6.3930 8.3430 10.6560 12.2420 14.6840 16.9190 21.6660 10 6.1790 6.1790 7.2670 9.3420 11.7810 13.4420 15.9870 18.3070 23.2090

Universitas Sumatera Utara

23

B. Uji Kolmogorov-Smirnov

Uji Kolmogorov-Smirnov digunakan untuk menghindari masalah kehilangan

informasi data akibat pengelompokan data kedalam kelas interval. Uji ini juga

dikenal sebagai uji non parametris sebab tidak menggunakan fungsi distribusi

tertentu.

Data mula-mula disusun dari besar ke kecil atau sebaliknya. Kemudian

probabilitas tiap data dihitung dengan persamaan Weibull sebagai berikut:

1nmp

(2.12)

di mana, p = probabilitas (%), m = nomor urut data yang disusun, dan n = jumlah

total data. Nilai teoritis tiap probabilitas dihitung dengan menggunakan persamaan

yang sesuai dengan distribusinya. Dari kedua probabilitasnya, dicari nilai perbedaan

terbesar antara probabilitas yang diamati dan teoritis seperti dalam rumus berikut.

emperisteoritis PPmaximumΔ (2.13)

Bila perbedaan terbesar kurang dari nilai kritis seperti pada Tabel 2.3, maka

distribusi yang dipilih dapat digunakan.

Tabel 2.3: Nilai kritis uji Smirnov-Kolmogorov

N ∆

0.20 0.10 0.05 0.01 5 0.45 0.51 0.56 0.67

10 0.32 0.37 0.41 0.49 15 0.27 0.30 0.34 0.40 20 0.23 0.26 0.29 0.36 25 0.21 0.24 0.27 0.32 30 0.19 0.22 0.24 0.29 35 0.18 0.20 0.23 0.27 40 0.17 0.19 0.21 0.25 45 0.16 0.18 0.20 0.24 50 0.15 0.17 0.19 0.23

sumber: Soewarno (1995)

2.6 Debit Banjir

Banjir adalah terjadinya luapan air dari alur sungai. Banjir terjadi karena

volume air yang mengalir di sungai per satuan waktu melebihi kapasitas pengaliran

Universitas Sumatera Utara

24

alur sungai, sehingga menimbulkan luapan. Debit banjir adalah besarnya aliran

sungai yang diukur dalam satuan m3/ detik pada waktu banjir (Zulfikar, 2007). Debit

banjir rencana adalah debit yang dipakai untuk dasar perencanaan pengendalian

banjir, dan dinyatakan menurut kala ulang tertentu. Besarnya kala ulang ditentukan

dengan mempertimbangkan segi keamanan dengan resiko tertentu, serta kelayakan

baik ekonomis, teknis maupun lingkungan.

2.6.1 Metode Hidrograf Satuan

Hidrograf satuan adalah sebuah hidrograf aliran yang berlaku untuk suatu

lokasi pada sungai apabila terjadi hujan efektif sebesar satu satuan kedalaman hujan

selama satu satuan waktu. Analisa dimulai dengan cara melakukan analisis frekuensi

terhadap data curah hujan maksimum harian sehingga didapatkan besarnya curah

hujan dengan berbagai periode ulang. Besaran hujan tersebut kemudian dikurangi

dengan kehilangan akibat infiltrasi sehingga didapatkan hujan efektif. Hujan efektif

kemudian didistribusikan kedalam hujan jam-jaman berdasarkan pola hujan yang ada.

Sebuah hidrograf satuan dapat dibentuk berdasarkan karakteristik DAS. Hujan jam-

jaman kemudian dikalikan dengan hidrograf satuan untuk mendapatkan hidrograf

banjir rancangan.

Terdapat dua kelompok hidrograf satuan jika ditinjau dari data yang

dipergunakan dalam menurunkan hidrograf satuan yaitu:

1. Hidrograf satuan nyata.

2. Hidrograf satuan sintetis.

Hidrograf satuan nyata adalah hidrograf satuan yang diturunkan berdasarkan

data hujan dan data debit. Contoh metode yang dapat dipergunakan untuk

menurunkan hidrograf satuan nyata suatu DAS, di antaranya metode LK. Sherman

dan model Collins (Kamiana, 2011).

Jika tidak cukup tersedia data hujan dan data debit maka penurunan hidrograf

satuan suatu DAS dilakukan dengan cara sintetis yang kemudian disebut Hidrograf

Satuan Sintetis (HSS). Hidrograf satuan sintetis adalah hidrograf satuan yang

diturunkan berdasarkan data sungai DAS yang sama atau DAS yang berdekatan tetapi

Universitas Sumatera Utara

25

memiliki karakteristik yang sama. Terdapat beberapa model HSS, diantaranya HSS

Snyder, HSS Nakayasu, HSS SCS dan HSS Gama. Sutarto (2008) menggunakan cara

HSS Nakayasu dan HSS Snyder untuk perhitungan debit di Bekasi, Jawa Barat.

2.6.1.1 Hidrograf Satuan Sintetis Nakayasu

Nakayasu pada tahun 1950 telah menyelidiki hidrograf satuan (Gambar 2.9)

pada beberapa sungai di Jepang. Hasil penelitian dirumuskan dengan persamaan dan

tahapan perhitungan sebagai berikut:

a). Data yang ada untuk diproses R24 dalam mm, panjang sungai (L) dalam (km),

DAS (A) dalam km2.

b). Curah hujan efektif tiap jam (hourly of distribution of effective rainfall)

1. Rata-rata hujan dari awal hingga jam ke-T. 2/3

24

Tt

tR

Rt

(2.14)

di mana, Rt = rerata hujan dari awal sampai jam ke t dalam mm/jam, T =

waktu hujan sampai jam ke t, dan R24 = curah hujan maksimum dalam 24

jam.

2. Distribusi hujan pada jam ke-T.

RT = t.Rt – (t-1) . R (t-1) (2.15)

di mana, RT = intensitas curah hujan pada jam t dalam mm/jam, dan R (t-1)

= rerata curah hujan dari awal sampai jam ke (t-1).

3. Hujan efektif

Re = f . RT (2.16)

di mana, Re = curah hujan efektif sedangkan f = koefisien pengaliran

sungai. Nilai koefisien pengaliran dicantumkan dalam Tabel 2.4. Harga f

yang berbeda-beda umumnya disebabkan oleh topografi DAS dan

perbedaan penggunaan tanah.

Universitas Sumatera Utara

26

Tabel 2.4: Nilai koefisien limpasan/koefisien pengaliran

sumber: Takeda dan Sosrodarsono (2006)

c). Menentukan tp, t0,3 dan Qp

1. Waktu kelambatan (tg) , rumusnya:

tg = 0,4 + 0,058 . L ; untuk L > 15 km (2.17)

tg = 0,21 . L 0,7 ; untuk L < 15 km (2. 18)

2. Waktu puncak dan debit puncak hidrograf satuan sintetis dirumuskan:

tp = tg + 0,8 . Tr (2.19)

3. Waktu saat debit sama dengan 0,3 kali debit puncak:

t0,3 = α . tg (2.20)

4. Waktu puncak:

tp = tg + 0,8 . Tr (2.21)

5. Debit puncak hidrograf satuan sintetis dirumuskan sebagai berikut:

)0,3tp(0,3.t1

.0.A.R3,61

= pQ

(2.22)

di mana, tg = waktu kelambatan (jam), L = panjang sungai (km), t0,3 =

waktu saat debit sama dengan 0,3 kali debit puncak (jam), Α = koefisien

yang nilainya antara 1,5– 3,0, tp = waktu puncak (jam), Qp = debit puncak

(m3/detik), A = luas DAS (km2), Tr = durasi hujan (jam), dan R0 = satuan

kedalaman hujan (mm).

Universitas Sumatera Utara

27

Gambar 2.9: Kurva yang digunakan dalam HSS Nakayasu (Soemarto, 1996)

2.6.2 Metode Mean Annual Flood (MAF)

Menurut Suwarno (1995), perkiraan debit puncak banjir tahunan rata–rata,

berdasarkan ketersediaan data dari suatu DAS ditentukan dengan ketentuan:

1. Apabila tersedia data debit, minimal 10 tahun data runtut waktu, maka MAF

dihitung berdasarkan data serial debit puncak banjir tahunan.

2. Apabila tersedia data debit, kurang dari 10 tahun data runtut waktu, maka

MAF dihitung berdasarkan metode puncak banjir di atas ambang.

3. Apabila data DAS tersebut, belum tersedia data debit, maka MAF ditentukan

dengan persamaan regresi, berdasarkan data luas DAS , rata–rata tahunan dari

curah hujan terbesar dalam satu hari, kemiringan sungai dan indeks dari luas

genangan seperti luas danau, genangan air, dan waduk.

Dari nilai MAF tersebut, berdasarkan nilai faktor pembesar (GF), maka dapat

diperhitungkan debit puncak banjir terbesar yang dapat diharapkan dapat terjadi.

Apabila data serial debit puncak banjir kurang dari 20 tahun, maka untuk menentukan

MAF dari suatu DAS diperlukan minimal dua metode tergantung data yang tersedia.

Hal ini dimaksudkan untuk menentukan nilai MAF yang logis terhadap suatu DAS.

Kalau perlu dilakukan pengukuran dan pengecekan lapangan untuk menentukan luas

penampang sungai, kecepatan aliran, batas ketinggian aliran melimpah, frekuensi

Universitas Sumatera Utara

28

kejadiannya, dan informasi lainnya yang dapat menentukan ketelitian perhitungan

MAF. Perhitungan debit puncak banjir tahunan rata–rata (MAF) dapat dilakukan

dengan tiga metode, yaitu:

1. Serial data (data series)

Dalam penerapan metode serial data, untuk memperkirakan debit puncak

banjir tahunan rata–rata, dilaksanakan dengan mengumpulkan data debit

puncak banjir terbesar setiap satu tahun, dari data runtut waktu dari pos

pengukuran sungai suatu DAS, dimana penelitian dilaksanakan minimal 10

tahun data. Dalam satu tahun data, maka datanya harus lengkap tanpa periode

kosong terutama pada musim penghujan.

2. Peaks Over a Threshold series (POT)

Apabila pengamatan data debit kurang dari 10 tahun data, maka umumnya

kurang teliti untuk memperkirakan nilai MAF oleh karena itu disarankan

memperkirakan MAF dengan metode puncak banjir di atas ambang (POT).

Metode POT tidak disarankan digunakan apabila lama pengamatan data debit

kurang dari 2 tahun.Setiap tahun data dipilih puncak banjir sebanyak 2 sampai

5 buah. Data debit selama tahun pengamatan ditentukan nilai batas

ambangnya (qo) dan selanjutnya ditentukan nilai debit puncak banjir yang

lebih besar dari qo.

3. Persamaan regresi (Regression Equation)

Metode ini digunakan jika pada DAS atau sub DAS nya tidak terdapat pos

pengukuran atau data aliran sungai. Metode ini dapat digunakan untuk

disembarang tempat di pulau Jawa dan Sumatera dan tidak dianjurkan untuk

diterapkan untuk memperkirakan debit puncak banjir tahunan rata–rata pada

DAS atau sub DAS yang dominan terdiri dari daerah perkotaan.

Untuk memperkirakan besarnya debir puncak banjir yang diharapkan terjadi

pada tingkat peluang atau periode ulang tertentu, maka dapat mengalikan nilai MAF

dengan besarnya faktor pembesar yang merupakan fungsi dari besarnya periode ulang

Universitas Sumatera Utara

29

(T) dan luas DAS. Besarnya debit puncak banjir pada periode ulang tertentu dapat

dihitung dengan model matematik (Soewarno, 1995).

lnA)B(0,57720XX

(2.23)

m

1ioi )X(X

m1B

(2.24)

nmA

(2.25)

n

B1,1SX (2.26)

)X(C).(XT

(2.27)

1/22

X2

CTXT

X

SC

SXS

(2.28)

Sc = 0,16 (log T). (C) (2.29)

di mana, nilai XT = debit puncak banjir pada periode ulang ke T, C = faktor pembesar

(Tabel 2.5), X = debit puncak banjir tahunan rata-rata, SC = deviasi standar C, dan SX

= deviasi standar dari X . Langkah-langkah perhitungan bisa dilihat pada Gambar

2.10.

Tabel 2.5: Nilai faktor pembesar (C)

Periode Ulang (T)

Variasi Reduksi (Y)

LUAS DAS (km2)

< 180 300 600 900 1200 >1500

5 1,5 1,28 1,27 1,24 1,22 1,19 1,17 10 2,25 1,56 1,54 1,48 1,44 1,41 1,37 20 2,97 1,88 1,84 1,75 1,75 1,64 1,59 50 3,9 2,35 2,3 2,18 2,18 2,03 1,96 100 4,6 2,78 2,72 2,57 2,57 2,37 2,27

sumber: Soewarno (1995)

Universitas Sumatera Utara

30

Gambar 2.10: Diagram model MAF (Soewarno, 1995)

2.6.3 Metode Weduwen

Metode Weduwen dapat digunakan untuk menghitung debit maksimum

dengan luas DAS dibawah 100 km2 (Kamiana, 2011).

Q= α x β x I x A (2.30)

Universitas Sumatera Utara

31

7β.I

4,11α

(2.31)

A120

.A9t/1t120β

(2.32)

1,45t

67,65x240RnI

(2.33)

t = 0,25 x L x Q-0,25 x I-0,25 (2.34)

di mana, Q = debit banjir (m3/detik), α = koefisien pelimpasan air hujan/ run off, β =

koefisien reduksi luasan untuk curah hujan di DAS, I = intensitas hujan

(m3/detik/km2), dan A = luas daerah pengaliran (km2).

2.7 Evapotranspirasi

Evaporasi atau penguapan adalah suatu proses perubahan dari molekul air

dalam fisik cair ke fisik gas. Evaporasi terjadi apabila terdapat tekanan uap air antara

permukaan dan udara di atasnya. Transpirasi adalah suatu proses ketika air di dalam

tumbuhan dilimpahkan ke atmosfer dalam bentuk uap air. Pada saat transpirasi tanah

tempat tumbuhan berada juga mengalami kehilangan kelembaban akibat evaporasi.

Transpirasi terjadi jika tekanan uap air di dalam sel daun lebih tinggi dari pada

tekanan uap air di udara. Dalam istilah hidrologi, proses evaporasi + transpirasi =

evapotranspirasi.

Air di dalam tanah juga dapat naik ke udara melalui tumbuh–tumbuhan.

Peristiwa ini disebut evapotranspirasi. Banyaknya berbeda–beda, tergantung dari

kadar kelembaban tanah dan jenis tumbuh–tumbuhan. Umumnya banyaknya

transpirasi yang diperlukan untuk menghasilkan 1 gram bahan kering disebut laju

transpirasi dan dinyatakan dalam gram. Di daerah yang lembab, banyaknya adalah

kira–kira 200 sampai 600 gram dan untuk daerah kering kira–kira dua kali sebanyak

itu. Data–data yang diperlukan dalam perhitungan evaporasi/ evapotranspirasi adalah

data penyinaran matahari, temperatur udara, data kecepatan angin, data kelembaban

udara, dan data evaporasi.

Universitas Sumatera Utara

32

Pada penelitian ini digunakan metode Penman Modifikasi. Metode Penman

Modifikasi merupakan metode perhitungan evapotranspirasi yang cukup banyak

digunakan. Dibandingkan dengan metode lainnya cara ini relatif lebih mudah dengan

tingkat akurasi yang cukup. Metode Penman Modifikasi dalam perkembangannya

telah banyak mengalami modifikasi. Metode Penman Modifikasi digunakan Jailani

(2005) untuk menghitung evapotranspirasi di sungai Laay, Lampung Barat.

e = c x (W x Rn + (1 – W) x f(u) x (ea – ed)) (2.35)

di mana, e adalah evapotranspirasi potensial harian (mm/ hari), c = faktor koreksi

iklim, W = faktor bobot, Rn = radiasi netto (mm/ hari), f(u) = fungsi dari kecepatan

angin, ea = tekanan uap jenuh, dan ed = tekanan uap aktual.

2.8 Debit Andalan

Debit andalan adalah debit dengan periode ulang tertentu yang diperkirakan

akan melalui suatu sungai atau bangunan air. Periode ulang adalah waktu hipotetik

dimana suatu kejadian dengan nilai tertentu, debit rencana misalnya, akan disamai

atau dilampaui 1 kali dalam jangka waktu hipotetik tersebut. Hal ini tidak berarti

bahwa kejadian tersebut akan berulang secara teratur setiap periode ulang tertentu

(Kamiana, 2011). Prawirakusuma (2008) menggunakan metode NRECA dan Mock

pada penelitiannya untuk menghitung ketersediaan air sungai Cipunagara di Jawa

Barat. Pada penulisan ini, akan digunakan metode NRECA dan metode Mock.

2.8.1 Ketersediaan Air

Tujuan analisa ketersediaan air adalah untuk memperkirakan ketersediaan air

di sungai, yang diketahui sebagai dependable flow. Ketersediaan air biasanya

diperlukan dalam studi pendahuluan proyek-proyek yang akan memanfaatkan air dari

sungai. Analisa ketersediaan air memerlukan data debit harian atau bulanan dengan

panjang lebih dari 10 tahun. Untuk ketepatan yang lebih baik diperlukan data yang

lebih panjang. Data harus berupa data pengukuran pada stasiun AWLR di atau dekat

lokasi pengukuran. Namun data debit sangat jarang tersedia, dan juga lokasi AWLR

terletak jauh dari lokasi pengukuran, seperti yang terjadi dalam studi ini. Bila data

yang panjang tidak tersedia, maka bergantung kepada tersedianya data hujan, data

Universitas Sumatera Utara

33

debit dapat diperpanjang dengan suatu model yang menghubungkan hujan dan

limpasan (run off). Dalam study ini tidak terdapat AWLR di atau dekat lokasi

pengukuran. Dalam hal ini data debit yang telah diperpanjang dapat di transfer ke

lokasi sudi dengan menggunakan perbandingan DAS. Dengan demikian ketersediaan

air dapat diperkirakan.

2.8.2 Model NRECA

Banyak model hidrologi untuk mensimulasikan hujan-limpasan yang

tujuannya adalah untuk pengisian atau memperpanjang data debit, antara lain model

Tank, model Mock, model SSARR dan model NRECA. Model NRECA yang

dikembangkan oleh Norman H. Crawfort yang merupakan penyederhanaan dari

Stanford Watershed Model IV yang memiliki 34 parameter. Model ini juga

digunakan Rumere (2008) yang menghitung potensi sumber daya air di Danau

Sentani di Provinsi Papua. Model ini telah banyak diterapkan oleh Puslitbang

Pengairan pada berbagai daerah pengaliran di Indonesia, selain parameter model

relatif sedikit dan mudah dalam pelaksanaannya serta memberikan hasil yang cukup

handal. Secara umum persamaan dasar dari model ini dirumuskan sebagai berikut.

Q = P - E + S (2.36)

di mana, Q = limpasan (mm), P = hujan rata-rata DAS (mm), E = evapotranspirasi

aktual (mm), dan S = perubahan kandungan (simpanan) air dalam tanah (mm).

Persamaan keseimbangan air diatas merupakan dasar dari model NRECA

untuk suatu daerah aliran sungai pada setiap langkah waktu, dimana hujan, aktual

evapotranspirasi dan limpasan adalah volume yang masuk kedalam dan keluar pada

suatu DAS untuk setiap langkah waktu tertentu. Dalam model NRECA terdapat dua

tampungan yaitu simpanan kelengasan (moisture storage) dan simpanan air tanah

(groundwater storage). Simpanan kelengasan ditentukan oleh hujan dan actual

evapotranspirasi. Simpanan air tanah ditentukan oleh kelebihan kelengasan (excess

moisture). Secara skematis struktur dari model NRECA dapat dilihat pada Gambar

2.11.

Universitas Sumatera Utara

34

Gambar 2.11: Diagram model NRECA (Prawirakusuma, 2008)

2.8.2.1 Parameter Karakteristik DAS

Pada model NRECA ini ada tiga parameter yang menggambarkan karateristik

DAS yang besar pengaruhnya terhadap keluaran sistem, yaitu :

Nominal: indeks kapasitas kelengasan tanah (mm) dapat didekati dengan

persamaan :

NOMINAL = 100 + C × RA

di mana, C = 0,2 dan RA = hujan tahunan (mm). Nilai Nominal dapat

berkurang sampai 25 % pada DAS yang vegetasinya terbatas.

PSUB: persentase dari limpasan yang bergerak keluar dari DAS melalui

limpasan permukaan. PSUB merupakan parameter karakteristik lapisan tanah

pada kedalaman 0 ~ 2 m. Nilai PSUB berkisar 0,3 ~ 0,9 bergantung kepada

sifat lulus air tanah.

PSUB = 0,3, bila tanah bersifat kedap air

PSUB = 0,9, bila tanah bersifat lulus air

GWF: persentase dari tampungan air tanah yang mengalir ke sungai sebagai

aliran dasar. GWF merupakan parameter karakteristik lapisan tanah pada

kedalaman 2 ~ 10 m.

GWF = 0,2, bila tanah bersifat lulus air

GWF = 0,8, bila tanah bersifat kedap air

Simpanan kelengasan

Simpanan air tanah

Debit Total

EvapotranspirasiHujan

(nominal)

Excess Moisture

Lengas lebih(PSUB)

Imbuhan keair tanah

Aliran air tanah

Direct f low

(GWF)

Universitas Sumatera Utara

35

Selain ketiga parameter tersebut, ada dua parameter lagi yang pengaruhnya

kecil terhadap keluaran sistem (low effect parameter), yaitu :

SM stor : simpanan kelengasan tanah (soil moisture storage)

GW stor : simpanan air tanah (ground water storage)

2.8.2.2 Simpanan Kelengasan Tanah

Simpanan kelengasan tanah adalah cadangan air yang besarnya ditentukan

oleh selisih dari tampungan akhir dan tampungan awal. Besar tampungan ini

ditentukan oleh hujan, evapotranspirasi dan kelebihan kelengasan yang menjadi

limpasan langsung dan imbuhan air tanah. Simpanan kelengasan tanah bulanan

selanjutnya ditentukan dengan persamaan :

(2.37)

di mana, SMi = simpanan kelengasan tanah bulan ke 1, SMi-1 = simpanan kelengasan

tanah bulan ke i-1, SM0 = simpanan kelengasan awal yang ditentukan dengan cara

coba-coba, i = indeks 1, 2, 3,… dan Stori-1 = perubahan simpanan kelengasan bulan

ke i-1.

2.8.2.3 Simpanan Air Tanah (Ground Water Storage/GWstor)

Kelebihan kelengasan tanah yang masuk kedalam tanah dan mengalami

perkolasi akan masuk ke dalam tampungan air tanah, yang biasa disebut akuifer.

Akibat proses hidrologi sebelumnya, akuifer ini biasanya tidak kosong. Simpanan air

tanah dalam akuifer akibat proses hidrologi sebelumnya disebut tampungan awal air

tanah (begin storage groundwater). Sementara itu tampungan yang telah mendapat

air perkolasi disebut sebagai tampungan akhir air tanah (end storage groundwater).

Sementara itu tampungan awal bulan selanjutnya ditentukan dengan persamaan

berikut.

iGWFlowiESG1iBSG (2.38)

1iΔStor1iSMiSM

Universitas Sumatera Utara

36

di mana, BSGi+1 = tampungan awal bulan ke i+1, ESGi = tampungan akhir bulan ke

1, dan GW Flowi = aliran air tanah bulan ke i.

Dalam model ini tampungan akhir dihitung dengan persamaan sebagai berikut.

ESGi = BSGi + RECHi (2.39)

di mana, RECHi = kelebihan kelengasan tanah yang masuk ke dalam tanah pada

bulan ke i.

Urutan langkah perhitungan untuk limpasan bulanan adalah sebagai berikut.

a. Perhitungan hujan wilayah dan evapotranspirasi potensial standar di daerah

pengaliran (P dan ET0)

b. Menentukan parameter model : Nominal, PSUB, GWF dan nilai awal

tampungan kelengasan tanah (SMstor) dan tampungan air tanah (GWstor)

yang akan digunakan dalam proses kalibrasi

c. Perhitungan angka tampungan tiap bulan (storage ratio) : Sr = SMstor/

Nominal, dimana untuk bulan ke 1 Smstor = angka awal tampungan dan untuk

bulan selanjutnya adalah SMstor (i) = SMstor (i-1) + S(i-1), dimana S(i-1) =

perubahan tampungan pada bulan sebelumnya

d. Perhitungan angka perbandingan antara hujan dan evapotranspirasi potensial:

R = P/PET

e. Perhitungan evapotranspirasi aktual (AET), dengan menggunakan persamaan

sebagai berikut ini : AET = k1 × PET, dimana k1 = koefisien evapotranpirasi

yang bergantung kepada nilai R dan Sr, dengan persamaan regresi sebagai

berikut : k1 = P/PET (1 - 0,5 × Sr) + 0,5 × Sr, bila R < 1 dan Sr < 2 ; k1 = 1

bila P/PET ≥ 1 atau Sr ≥ 2

f. Menghitung ratio kelebihan kelengasan (extrat) :

x =(Sr - 1)/0.52 (2.40)

tanh ={exp (x) - exp(-x)} / {exp (x) + exp (-x)} (2.41)

Jika Sr ≤ 0 , maka extrat = 0

Jika Sr > 0 , maka extrat = 0.5 × ( 1 + tanh (x))

Universitas Sumatera Utara

37

g. Perhitungan kelebihan kelengasan (excm), perubahan tampungan (S) dan

perkolasi (rech) dengan rumus sebagai berikut :

excm = exrat ( P - AET) .(2.42)

S = P - AET - excm

rech = PSUB × excm

h. Perhitungan angka awal dan akhir tampungan air tanah (BSG dan ESG):

Untuk bulan ke-1 = BSG = GWSTOR

Untuk bulan berikutnya = BSG(n)= ESG(n-1) - GF(n-1)

ESG = rech + BSG

GF = limpasan air tanah

i. Perhitungan limpasan

Limpasan dibagi menjadi 2 bagian, yaitu limpasan langsung (DRF) dan

limpasan air tanah (GF) :

DRF = excm – rech (2.43)

GF = GWF × ESG (2.44)

Total limpasan tiap bulan adalah: Q = GF + DRF (mm).

2.8.2.4 Debit Andalan Berdasarkan Data Debit

Prosedur analisa debit andalan sangat dipengaruhi oleh ketersediaan data.

Apabila terdapat data debit dalam jumlah cukup panjang, maka analisa ketersediaan

air dapat dilakukan dengan melakukan analisa frekuensi terhadap data debit tersebut.

Untuk mendapatkan ketersediaan air di suatu stasiun diperlukan debit aliran

yang bersifat runtut waktu (time series), misalnya data debit harian sepanjang tahun

selama beberapa tahun. Data tersebut menjadi masukan utama dalam model simulasi

wilayah sungai, yang menggambarkan secara lengkap variabilitas data debit aliran.

Debit andalan dapat ditentukan dengan menggunakan kurva massa debit yang

dibentuk dengan menyusun data debit, dari debit maksimum sampai debit minimum.

Susunan data dapat dinyatakan dalam bentuk gambar kurva massa atau dalam bentuk

tabel. Pada kurva massa debit, ordinat adalah debit aliran sedang waktu (hari) atau

persentase waktu sebagai absis. Kurva menunjukkan besarnya debit disamai atau

Universitas Sumatera Utara

38

dilampaui untuk beberapa persen waktu yang diinginkan. Untuk bentuk tabel, data

debit harian diurutkan dari nilai terbesar sampai terkecil, persen keandalan diperoleh

dari nilai m/n yang dinyatakan dalam % di mana m adalah nomor urut dan n adalah

jumlah data. Kurva massa debit dapat juga digambarkan dengan menggunakan nilai

debit rerata dua mingguan atau rerata bulanan yang diperoeh dari debit harian runtut

waktu.

2.8.3 Metode F. J. Mock

Untuk mengetahui besarnya limpasan permukaan (surface run off) akibat

curah hujan andalan digunakan metode model F. J. Mock. Dari analisa model ini akan

diperoleh informasi besarnya aliran debit andalan pada setiap sumber air.

(Prawirakusuma, 2008)

Dasar asumsi dari analisa ketersediaan air dengan metode F. J. Mock yaitu

bahwa curah hujan yang jatuh pada watershed sebagian akan jatuh pada permukaan

tanah dan sebagian lagi akan mengalami evapotranspirasi. Surplus hujan terjadi bila

kelembaban tanah telah mencapai harga maksimum. Dari air surplus, sebagian akan

menjadi direct run off dan sebagian lagi akan meresap ke dalam tanah sebagai

infiltrasi. Dari air yang mengalami proses infiltrasi sebagian akan mengalir sebagai

aliran dasar (base flow) dan sebagian lagi akan mengubah tampungan air tanah

sehingga menaikkan penampungan air tanah. Selanjutnya air tanah yang mengalir

sebagai base flow akan bergabung dengan direct run off.

Parameter yang digunakan dalam metode F. J. Mock ini, antara lain:

Koefisien infiltrasi

Parameter ini ditentukan berdasarkan kondisi porositas dan kemiringan daerah

pengaliran. Lahan yang bersifat porous umumnya mempunyai koefisien yang

cenderung besar. Namun jika kemiringan tanahnya terjal dimana air tidak

sempat mengalami proses infiltrasi sampai perkolasi ke dalam tanah maka

koefisien infiltrasinya bernilai kecil. Nilai maksimum koefisien ini adalah 1.

Nilai ini bevariasi untuk setiap bulan. Untuk setiap jenis dan topografi yang

Universitas Sumatera Utara

39

sama, bulan kering mempunyai infiltrasi yang relative lebih besar dibanding

bulan basah.

Konstanta resesi aliran

Adalah proporsi dari air tanah bulan lalu yang masih ada bulan sekarang,

artinya tidak mengalir menuju stream flow. Nilai K cenderung besar pada

bulan dimana bulan sebelumnya merupakan bulan basah dan cenderung lebih

kecil apabila bulan sebelumnya merupakan bulan kering.

Faktor persentase (PF)

PF merupakan persentase hujan yang mengalami limpasan. Digunakan dalam

perhitungan storm run off pada perhitungan total run off. Storm run off hanya

dimasukkan ke dalam total run off, bila P < 200 mm/bulan. F. J. Mock

menyarankan besarnya nilai PF berkisar antara 5% sampai dengan 10%

namun tidak mencukupi kemungkinan nilai ini meningkat secara tidak

beraturan sampai harga 37,3%.

2.8.4 Kurva Durasi Debit

Debit andalan adalah besarnya aliran sungai maksimum yang akan digunakan

sebagai acuan untuk membangkitkan energi dan merencanakan bangunan-bangunan

utama. Penentuan besarnya debit andalan ini yang menggunakan data AWLR,

ditentukan menggunakan dua cara, yaitu metode resesi dan kurva durasi debit

(duration curve).

Metode resesi digunakan untuk melihat kecenderungan penurunan debit air

sungai, sehingga debit minimum bisa ditentukan. Untuk analisa debit sungai dengan

metode resesi ini digunakan model regresi eksponensial karena lebih dapat mewakili

penurunan debit yang terjadi.

Metode Kurva Durasi Debit merupakan penggambaran besarnya aliran

dengan kemungkinan kejadiannya. Kurva durasi juga menunjukkan karakteristik

aliran suatu sungai yang diperoleh dari rangkaian data pada periode yang panjang.

Untuk membentuk kurva durasi debit dapat digunakan 2 cara yaitu dengan

mengurutkan langsung dan dengan membuat kelas interval.

Universitas Sumatera Utara

40

2.9 Perhitungan Daya yang Dihasilkan

PLTM yang menghasilkan daya listrik bergantung sekali pada jumlah debit air

sungai yang digunakan serta tinggi jatuh air yang didapatkan. Dalam perhitungan

daya, nilai H dapat ditaksir dari peta topografi yang ada atau untuk secara lebih akurat

dapat diukur dengan alat ukur survei langsung ke lapangan. Alat ukur survei tersebut

dapat berupa Total Station atau GPS Geodetik. H adalah perbedaan muka air, yang

pada keadaan banjir muka airnya dapat lebih tinggi. Tetapi perbedaan tinggi dapat

diambil tidak berubah karena pada daerah yang lebih rendah muka air juga naik

(Patty, 1995).

Perbedaan tinggi dalam PLTA yang menggunakan run off river adalah selisih

dari tinggi bendung yang direncanakan dengan elevasi power house. Tinggi bendung

biasanya direncanakan dengan tinggi 2 hingga 3 meter dari permukaan air sungai.

Daya yang dihasilkan oleh turbin diperoleh dengan persamaan berikut:

Pt = g × H × Q × (2.45)

di mana, Pt = daya turbin (kW), g = percepatan gravitasi (m/detik2), H = jatuh efektif

(m), Q = debit (m3/detik), dan = efisiensi.

Daya keluaran turbin yang merupakan daya mekanik selanjutnya diubah

menjadi daya listrik oleh generator pada tegangan rendah. Pada perubahan tersebut

terjadi kehilangan daya sehingga generator juga memiliki efisiensi, yaitu g.

Tegangan yang keluar dari generator perlu diubah menjadi tegangan transmisi

melalui trafo. Perubahan tegangan ini juga terjadi kehilangan daya sehingga trafo

memiliki efisiensi juga, yaitu s.

Daya keluaran PLTM, Pp, dengan demikian menjadi:

Pp = t × g × s × Pt (2.46)

Efisiensi yang disebutkan di atas maksudnya adalah pemilihan tipe turbin dan

desain generator yang tepat, pemilihan manufaktur turbin dengan efisiensi yang lebih

tinggi, menambah jumlah unit pembangkit, pengoperasian pembangkit yang tepat,

dan perawatan peralatan. Umumnya nilai efisiensi yang digunakan adalah :

Efisiensi turbin : t = 93 %

Universitas Sumatera Utara

41

Efisiensi generator : g = 98 %

Energi yang dihasilkan selama waktu tertentu adalah penjumlahan terhadap tenaga

kali waktu:

E (kWh) = P (kW) × t (h) (2.47)

di mana, E = Energi yang dihasilkan (kWh), P = daya listrik (kW), dan t = waktu (h).

2.10 Optimisasi Skala Pembangkit

Optimisasi skala dimaksudkan untuk menentukan skala pembangkit yang

berupa besarnya kapasitas terpasang untuk tata letak yang telah ditentukan.

Optimisasi ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut.

1. Menyiapkan kurva durasi aliran (flow duration curve) untuk aliran di lokasi

PLTM. Dalam hal ini, kurva durasi debit diperoleh dari analisa hidrologi.

2. Melakukan desain awal untuk menentukan ukuran komponen-komponen

pembangkit untuk setiap tingkat kehandalan berdasarkan debit primer, tinggi

jatuh dan kehilangan tinggi jatuh, termasuk penentuan kapasitas terpasangnya.

3. Melakukan analisis perkiraan pembangkitan tenaga untuk setiap tingkat

kehandalan berdasarkan kurva durasi debit. Dalam hal ini dianggap PLTM

akan berfungsi sebagai penyedia beban dasar. Hasil yang diperoleh dari

analisa ini adalah jumlah energi yang dikeluarkan oleh pembangkit selama

rangkaian waktu tersebut.

4. Menghitung perkiraan biaya proyek untuk masing-masing tingkat kehandalah,

termasuk biaya engineering, administrasi, pajak pertambahan nilai dan

kontingensi.

5. Menghitung nilai indeks energi dalam US$/ KWh untuk setiap tingkat

kehandalan.

Tingkat kehandalan yang memiliki indeks energi terendah adalah tingkat

kehandalan yang paling optimum dan akan merupakan tingkat kehandalan yang

terpilih dan skalanya ditetapkan sebagai skala proyek.

Universitas Sumatera Utara

42

2.10.1 Perkiraan Biaya Komponen

Untuk keperluan optimisasi skala pembangkit, diperlukan perkiraan biaya

proyek untuk berbagai macam skala proyek. Perkiraan biaya pada tahap optimisasi

ini menggunakan formula biaya yang ditentukan berdasarkan data biaya komponen

pembangkit di seluruh dunia, yang diambil dari pekerjaan Hydropower Inventory,

yang berbasis pada tahun 1996, dengan beberapa penyesuaian seperlunya.

Biaya proyek yang dihasilkan berupa biaya yang masih awal dikarenakan

tidak memperhitungkan kondisi yang spesifik pada masing-masing komponen proyek

yang ditinjau, sehingga tidak dapat digunakan sebagai acuan biaya proyek yang riil.

Perkiraan biaya yang lebih teliti akan dilakukan pada tahap selanjutnya. Namun

demikian, perkiraan biaya ini sudah mencukupi apabila digunakan untuk

membandingkan alternatif skala pembangkit untuk memperoleh skala pembangkit

yang paling optimum. Untuk melakukan perkiraan biaya setiap komponen,

sebelumnya ditentukan ukuran masing-masing komponen tersebut. Berikut ini adalah

formula perkiraan biaya komponen proyek yang digunakan pada studi optimisasi ini.

a. Bendung

CDD = 350 × VDD0.95 (2.48)

di mana, CDD = biaya bendung pengambilan (US$) dan VDD = volume

beton (m3).

b. Intake

CIN = 100000 × (D × Qp/2)0.51 (2.49)

di mana, CIN = biaya intake termasuk kolam penangkap pasir (US$), D =

diameter terowongan (m) dan Qp = debit puncak (m3/ detik).

c. Saluran pembawa

COC = a × Bb (2.50)

di mana, COC = biaya saluran pembawa (US$), a, b = koefisien yang

ditentukan berdasarkan kemiringan tebing, kedalaman batuan dasar dan

banyaknya persilangan dengan sungai dan B = lebar saluran (m).

d. Kolam penenang

CST = 200,000 × Qt0.96 (2.51)

Universitas Sumatera Utara

43

di mana, CST = biaya kolam penenang (US$), Qt = debit maksimum(m3/s),

dan LT = panjang saluran hantar (m).

e. Pipa pesat

CSP = (0.0015 × DIAP2 × H2 × UCS + 0.05 × DIAP) × Lp × N (2.52)

di mana, CSP = biaya pipa pesat (US$), DIAP = diameter pipa pesat (m), H2 =

tekanan air (m), UCS = harga satuan baja (US$/ton) diambil sebesar US$

10,000 per ton, Lp = panjang pipa pesat (m), dan N = jumlah pipa pesat.

f. Bangunan sentral

CHP1 = 2,300 × [P/HEF1/2]0.71

CHP2 = 3,500 × [Qp × HEF2/3 × N1.2]0.85

(2.53)

(2.54)

di mana, CHP1 = biaya bangunan sentral (superstructures) (US$), CHP2 =

Biaya fondasi (substructures) termasuk peralatannya (US$), P = kapasitas

terpasang (kW), HEF = tinggi jatuh efektif (m), dan N = jumlah unit

pembangkit.

g. Peralatan mekanikal dan elektrikal

CPE = 2,200 × [P/HEF1/2]0.90 (2.55)

di mana, CPE = biaya peralatan mekanikal termasuk peralatan serandang

hubung (US$).

h. Bangunan sipil lain-lain

Biaya bangunan sipil lain-lain diambil suatu persentase yaitu 5% terhadap

keseluruhan biaya pekerjaan sipil yang ditentukan dengan rumus di atas.

i. Jalan akses

Biaya jalan akses dihitung dengan mengalikan panjang jalan akses dengan

harga satuan jalan per kilometer. Harga satuan jalan dalam hal ini diambil

sebesar US$ 125.000 per kilometer.

j. Jalur transmisi

Biaya jalur transmisi untuk tegangan 70 kV dengan double circuit diambil

sebesar US$ 25.000 per kilometer.

k. Gardu induk

Biaya gardu induk dengan tegangan 150 kV diambil sebesar US$ 100.000.

Universitas Sumatera Utara

44

l. Engineering dan administrasi

Biaya engineering dan administrasi diambil sebesar 12,5% terhadap seluruh

biaya langsung.

2.10.2 Dimensi Bangunan Utama

Dimensi bangunan utama, yaitu bendung, saluran hantar dan pipa pesat

diperkirakan berdasarkan formula yang diperoleh dari pekerjaan Hydropower

Inventory, perhitungan sendiri dan dari beberapa publikasi. Formula tersebut adalah

sebagai berikut.

Saluran terbuka trapesium dengan kemiringan lereng 1v : 1h

B = 1.13 × Q0.375

H = 0.90 × Q0.375

(2.56)

(2.57)

Saluran terbuka segiempat

B = 1.492 × Q0.375

H = 1.194 × Q0.375

(2.58)

(2.59)

di mana, B = lebar dasar (m), H = tinggi saluran (m), dan Q = debit andalan

(m3/ detik).

Pipa pesat permukaan

D = 0.560 × Q0.430 (2.60)

di mana, D = diameter pipa pesat (m).

2.10.2.1 Optimisasi Skala Pembangkit

Metode yang digunakan pada penelitian ini sudah digunakan pada beberapa

PLTM di Pulau Jawa. Debit banjir, debit andalan, elevasi rencana, dan panjang

saluran air merupakan data utama yang dibutuhkan pada metode ini. Dan output dari

metode ini adalah kapasitas daya yang dapat dihasilkan, modal investasi yang

dibutuhkan, dan tarif minimum listrik yang bisa diterapkan kepada pengguna listrik.

Optimisasi skala pembangkit dilakukan dengan melakukan simulasi terhadap tata

letak yang telah ditentukan, dengan berbagai tingkat kehandalan yaitu 50%, 60%,

70%, 80% dan 90%.

Universitas Sumatera Utara