(THI 300803) Classical Realism/Realisme Klasik

19
Disusun oleh Iqbal Maulana Saputra Hendri Satrio Madinnatul Ulfa Nurjanah Rorien Novriana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2014 Classical Realism

Transcript of (THI 300803) Classical Realism/Realisme Klasik

Disusun oleh

Iqbal Maulana Saputra

Hendri Satrio

Madinnatul Ulfa Nurjanah

Rorien Novriana

Ilmu Hubungan Internasional

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2014

Classical Realism

A. What is Realism?

Realisme klasik, atau sering disebut juga dengan Realisme adalah salah satu cabang

dari teori Positivisme, yakni teori yang percaya bahwa Ilmu HI, termasuk ilmu-ilmu

sosial lainnya dapat disetarakan dengan ilmu alam. Maka, jika hendak menguji dengan

maksud ingin menilai suatu teori, tidak boleh bersifat a priori (hanya berdasarkan teori

tanpa analisis yang memadai) dan abstrak, melainkan harus bersifat empiris dan

pragmatis. Dengan kata lain, kita tidak boleh menilai dengan suatu prinsip abstrak yang

sudah ditentukan sebelumnya, atau menggunakan konsep yang tidak ada hubungannya

dengan realitas, melainkan harus membawa keteraturan dan arti pada semua fenomena.

Karena jika tidak demikian, maka teori akan tetap dianggap tidak masuk akal.1

Pokok permasalahan yang ditimbulkan oleh teori ini menyangkut hakikat dari politik.

Sejarah dari pemikiran politik modern adalah sebuah kisah perlombaan antara dua

golongan yang memiliki perbedaan konsepsi mengenai hakikat manusia, masyarakat, dan

politik. Golongan pertama percaya bahwa rasional politik dan moral politik yang berasal

dari prinsip-prinsip abstrak yang berlaku secara universal dapat dicapai saat itu juga.

Golongan ini juga percaya bahwa pendidikan, pembaharuan, dan penggunaan kekuatan

yang sporadis bisa memperbaiki kelemahan-kelemahan dalam tatanan sosial. Golongan

lain percaya bahwa jika dunia dilihat dari sudut pandang rasional dengan keadaannya

yang tidak sempurna, merupakan hasil dari sumber daya yang sudah inheren dari hakikat

manusia.untuk memperbaiki dunia, kita harus bekerja dengan sumber daya yang sudah

ada, dan tidak merusaknya.2

Realis menyadari bahwa keinginan manusia itu besar dan beragam, mereka

mengedepankan aspek keegosisan dan aspek dasar manusia lainnya untuk melakukan

diplomasi. Sebagaimana Machiavelli mengatakan jika dalam politik kita harus

berperilaku seolah-olah semua manusia adalah jahat dan mereka akan melakukan hal

jahat tersebut jika ada kesempatan. Pride, lust, dan the quest of glory merupakan salah

satu faktor yang menyebabkan terjadinya perang antarsesama. Sehingga dapat

disimpulkan akar dari konflik dan perang adalah dari sifat manusia.3

1 Hans J. Morghentau, Politics Among Nation, 6

thed., New York: McGraw Hill, 1985 hlm. 3-4

2 Ibid.

3 Ja k Do elly, Realis i “ ott Bur hill et all eds , Theories of I ter atio al Realtions, London: Palgrave

2005 hlm. 31

B. History

The Peloponnesian War (Perang Peloponnesian)

Dalam buku Thucydides yang berjudul The History of Peloponnesian War,

disebutkan bahwa Perang Peloponnesian terjadi antara Kerajaan Athena dengan Sparta

pada 431 SM. Perang antara Athena dan Sparta bermula dari sikap Sparta yang merasa

terancam karena Athena tengah mengembangkan kekuatan militernya, sehingga dalam

kasus ini menimbulkan security dilemma4. Ditambah lagi, imperialisme yang dilakukan

Athena terhadap Pulau Melos yang masih masuk kedalam kelompok Lakedaemon

semakin membuat keamanan Sparta terancam.

“The growth of the power of Athens, and the alarm which this inspired in

Lacedaemon, made war inevitable”5

Sebelum perang tersebut terjadi, gencatan senjata dilakukan antara Athena dan juga

Sparta pada tahun 421 SM. Akan tetapi, gencatan senjata yang dilakukan oleh keduanya

tidak menunjukkan hasil yang memuaskan, sehingga meletuslah kembali perang kedua

kerajaan tersebut pada tahun 431 SM dengan penyerangan yang diawali oleh Sparta

terhadap Athena. Kata kunci berupa power menjadi hal utama yang patut diperhatikan

dalam menganalisis peristiwa peperangan ini. Power yang ditunjukkan oleh Kerajaan

Athena dengan cara melakukan imperialisme dan juga mengembangkan kekuatan

militernya, hal itu memperlihatkan bahwa pengaruh realisme klasik sekiranya sudah

mulai berkembang sejak zaman Yunani kuno. Kekuatan yang mereka kembangkan

didasari atas satu kepentingan tertentu atau memiliki interest tertentu. Dalam hal ini,

dapat dipahami bahwa power memiliki kaitan yang erat dengan interest. Dengan kata

lain, setiap aktor negara akan selalu berusaha mencapai interest-nya termasuk dengan

cara menggunakan power yang dimiliki.

4Security dilemma adalah satu keadaan dimana terciptanya rasa tidak aman ketika suatu negara mengembangkan

kekuatan militernya dan dianggap mengancam keamanan negara yang lain. 5 Thucydides, The History of Peloponnesian War, Book 1

The Melians Dialogue

The Melians merupakan nama lain dari penduduk Pulau Melos yang terletak di

sebelah tenggara laut Aegean, dan tepatnya berada di sebelah timur dari Kerajaan Sparta.

Pulau Melos merupakan salah satu pulau yang menjadi target imperialisme Kerajaan

Athena. Imperialisme yang dilakukan oleh kerajaan Athena terhadap penduduk Melians di

dasari oleh beberapa hal. Salah satunya adalah karena kerajaan Athena ingin menambah

armada pasukan militernya dengan mengajak penduduk Melians untuk bergabung di

dalamnya. Akan tetapi, penduduk Melians menolak ajakan tersebut karena mereka

memiliki argumen yang menyatakan bahwa:

a) Mereka merupakan sebuah negara kota atau city state yang tidak memihak

kepada siapapun atau bersikap netral serta tidak memiliki musuh. Sehingga

Athena tidak berhak untuk menghancurkan mereka.

b) Melians beranggapan invasi yang dilakukan oleh Athena akan memberi

peringatan terhadap negara-negara kota lainnya di Yunani yang bersikap netral

dan akan membuat negara-negara kota tersebut memusuhi Athena.

c) Perang tidak akan membuat suatu pernyataan bahwa negara tersebut lemah dan

pengecut, melainkan masih ada cara lain selain berperang.

Akan tetapi, argumen yang disampaikan oleh Melians tidak dihiraukan oleh Athena,

sehingga Athena tetap menjalankan invasinya dan Melians pun takluk akan serangan

Athena.

Pericles’ Funeral Oration

Pericles, merupakan salah satu pemimpin Athena pada periode sekitar 461 – 429 SM6.

Pada masa kepemimpinannya, Pericles menjalankan satu perangkat konstitusi dalam

bernegara. Jika pandangan sebelumnya realisme sangat diperlihatkan di Athena, maka

pada masa kepemimpinan Pericles pandangan mengenai demokrasi mulai terlihat. Dengan

kata lain, sentuhan paham liberalisme mulai masuk ke Athena. Pada masa

kepemimpinannya, konstitusi dianggap Pericles dapat berperan penting dalam mengatur

kehidupan agar lebih baik.

Dalam pidatonya yang dilakukan pada upacara pemakaman korban peperangan antara

pasukan Athena dan Sparta, Pericles mengutarakan kebijakan politik dan juga program-

programnya mengenai upaya Athena agar dapat bertarung dalam peperangan dengan baik.

Pericles mengajak masyarakat Athena untuk konsentrasi dalam bidang kelautan, dengan

6 Thucydides, The History of Peloponnesian War, Pericles’ Funeral Oration

menguasai kelautan diharapkan menjadi satu kekuatan tersendiri ketika berhadapan

dengan Sparta.7 Pidato kedua yang disampaikan oleh Pericles lebih diarahkan kepada

upaya yang akan dilakukan pada akhir tahun pertama perang, yaitu dengan banyak

melakukan kerjasama dengan negara lain, terutama dalam bidang perdagangan. Secara

tidak langsung apa yang disampaikan oleh Pericles merupakan salah satu wujud

pemahaman akan liberalisme melalui konsep demokrasi, karena menurut Pericles, dengan

melakukan banyak kerjasama dan mampu mendominasi setiap bidang, kekuatan Athena

secara perlahan namun pasti akan semakin besar. Konstitusi seperti yang disampaikan oleh

Pericles, nantinya bukan hanya mampu mengatur kehidupan rakyatnya, tetapi juga dapat

melindungi pemimpin. Ditambah lagi dalam demokrasi, hal yang harus ada didalamnya

adalah masalah etika dan moral. Tanpa keduanya, demokrasi hanya akan menjadi alat

pemenuhan kepentingan sekelompok orang.

7 Thucydides, The History of Peloponnesian War, Pericles’ Funeral Oration

C. Classical Realism Perspective

Hobbes membuat tiga asumsi singkat mengenai realisme klasik, yaitu:8

1. Manusia adalah sederajat.

Hobbes mengatakan, the weakest has strength enough to kill the strongest, either by

secret machination or by confederacy with others. Dapat diartikan jika semua manusia

memiliki kesempatan yang sama dalam meraih semua mimpinya. Tapi kemudian

kelangkaan menyebabkan manusia memiliki keterbatasan dalam meraih semua hal, yang

kemudian hal inilah yang menyebabkan terjadinya permusuhan diantara mereka.

2. Mereka berinteraksi dalam anarki.

Sejak tidak ada pemerintahan tertinggi yang dapat menjamin keamanan satu dengan

yang lainnya, mereka semua berada dalam kondisi yang disebut dengan perang.

Kemudian muncul asumsi jika peperangan ini dapat dicegah dengan adanya kekuatan

yang mengimbangi kekuatan lainnya. Membangun pemerintahan internasional mungkin

dapat mengakhiri peperangan antar negara.

3. Mereka dikendalikan oleh kompetisi, ketidakberanian, dan kemenangan.

Dari asumsi dasar ini dapat disimpulkan jika aktor yang sama saling berinteraksi

dalam anarki yang dikendalikan oleh kompetisi, ketidakberanian, dan kemuliaan, konflik

kekerasan dapat diprediksi akan terjadi. Seperti kebanyakan realis lainnya, Hobbes

merasa ragu atau skeptis bahwa sifat dasar manusia dapar diubah. Tapi, kita dapat

menyetujui asumsi Hobbes tentang tekanan dalam kompetisi, ketidakberanian dan

kemuliaan mewakili sebuah pertimbangan yang serius.

Tapi kemudian anarki telah digantikan oleh peraturan politik secara hierarki.

Pemerintahan yang jahat dan kurang efisien pun dengan sungguh-sungguh menyediakan

keamanan untuk melindungi penduduk dan properti mereka. Hal ini dilakukan untuk

mengurangi tekanan untuk menggantikan pemerintahan yang alami (seharusnya) dengan

pemerintah internasional.9

E.H. Carr dalam bukunya membagi realisme ke dalam ranah pemikiran dan ranah

praktek. Ranah pemikiran realisme lebih menekankan pada penerimaan fakta dan analisis

atas sebab dan dampaknya. Sedangkan, ranah praktek realisme lebih memperhatikan

8 Ja k Do elly, Realis i “ ott Bur hill et all eds , Theories of I ter atio al Realtio s, London: Palgrave,

2005 hlm. 32 9 Ja k Do elly, Realis i “ ott Bur hill et all eds , Theories of I ter ational Realtions, London: Palgrave,

2005 hlm. 34

kekuatan alamiah maupun karakter alamiah yang membuat kebijaksanaan tertinggi di

pegang oleh dua kecenderungan tersebut.10

Sedangkan Gilpin (1986:305) mengemukakan bahwa terdapat dua penekanan

utama pada perspektif realis. Pertama, adanya pemaksaan politis yang didasari oleh

egoisme manusia. Kedua, yaitu tidak adanya pemerintahan internasional yang

menyebabkan anarki, sehingga kemudian membutuhkan keunggulan power dan

keamanan.11

Six Principles of Political Realism According to Morgenthau12

Asumsi dasar dari Thomas Hobbes ini kemudian dikembangkan oleh salah satu

tokoh realis yang terkenal yaitu Morgenthau. Dia kemudian mengembangkan menjadi

enam prinsip realis, yaitu:

1. Politik dikendalikan oleh hukum objektif yang berakar pada hakikat manusia.

Untuk memperbaiki masyarakat, terlebih dahulu haruslah memahami hukum

yang mengatur kehidupan masyarakat tersebut. Realisme percaya pada hukum

objektivitas politik, juga percaya terhadap kemungkinan untuk mengembangkan teori

rasional yang mencerminkan hukum objektif, meskipun hukum objektif tersebut bisa

dikatakan memihak/tidak seimbang.

Realisme juga percaya akan kemungkinan politik dalam membedakan antara

kebenaran yang memang benar secara rasional dan objektif, juga didukung oleh bukti

dan diperjelas dengan alasan, dan opini yang dinilai secara subjektif, tidak sama dengan

fakta, dan diperkuat oleh dugaan-dugaan serta hayalan/imajinasi belaka.

2. Konsep “kepentingan/interest” yang didefinisikan dan diperjuangkan melalui

kekuasaan/power.

Konsep kepentingan yang didefinisikan sebagai kekuasaan, memaksakan sebuah

disiplin intelektual kepada para pengamat untuk memasukkan tatanan rasional kedalam

pokok permasalahan politik, sehingga membuat pemahaman politik secara teoritis. Bagi

para aktor, konsep tersebut memberikan sebuah disiplin yang rasional dalam mengambil

tindakan dan menimbulkan kontinuitas yang mengejutkan terhadap kebijakan luar negeri

Amerika, Inggris dan Rusia (sebagai contoh) yang muncul secara jelas dan sebagai

kesatuan yang rasional. Jadi, pandangan Realis terhadap politik internasional akan

10

Scott Burchill, Andrew Linklater, Teori-teori Hubungan Internasional, Bandung: Nusamedia, 2009, hlm. 92 11

Ja k Do elly, Realis i “ ott Bur hill et all eds , Theories of I ter atio al Realtio s, Lo do : Palgra e, 2005 hlm. 30 12

Hans J. Morghentau, Politics Among Nation, 6th

ed., New York: McGraw Hill, 1985 hlm. 4-14

berhati-hati terhadap dua buah kesalahpahaman, yakni yang berkenaan dengan motif dan

preferensi ideologis.

Penting untuk kita ketahui jika kita ingin memahami politik luar negeri, yang

harus kita pahami bukan motif negarawan yang mempraktikan politik luar negeri

tersebut, melainkan harus memahami kemampuan intelektual negarawan tersebut dalam

memahami permasalahan-permasalahan politik luar negeri yang dihadapi, agar tindakan

yang dia (negarawan) ambil dalam menentukan politik luar negeri bisa berhasil.

Sudah menjadi kebiasaan jika politik luar negeri tidak selalu rasional, objektif,

dan tidak emosional. Unsur-unsur seperti kepribadian, dugaan, subjektivitas, dan semua

kelemahan intelektual pasti akan membelokkan arah politik luar negeri keluar dari

rasionalitas. Terlebih jika suatu negara menganut sistem demokrasi, maka negarawan

harus berjuang dalam mendapatkan dukungan dari rakyat untuk mendukung politik luar

negeri yang telah dibuatnya.

Perbedaan antara politik internasional yang sesungguhnya dengan teori rasional

bisa dianalogikan seperti foto hasil kamera dan foto hasil lukisan. Foto hasil kamera

dapat menunjukkan segala sesuatu bisa dilihat oleh mata, sedangkan foto hasil lukisan

tidak dapat menunjukkan segalanya yang dapat dilihat oleh mata. Hal ini menunjukkan

bahwa ada satu hal yang tidak bisa dilihat oleh mata dalam dunia politik internasional

yakni sifat alamiah manusia yang digambarkan oleh seseorang.

Realisme politik tidak hanya memuat unsur-unsur teoritis, tetapi juga unsur-unsur

normatif. Realis berasumsi bahwa realitas politik penuh dengan ketidakpastian dan

keadaan yang tidak masuk akal dan sistemik, serta berpengaruh terhadap pengambilan

kebijakan luar negeri. Realisme juga menganggap bahwa politik luar negeri yang

rasional merupakan politik luar negeri yang baik. Karena, hanya politik luar negeri yang

rasional-lah yang mampu memperkecil resiko dan meningkatkan keuntungan sebanyak

mungkin.

3. Kepentingan bersifat dinamis, objektif dan berlaku secara universal.

Corak kepentingan yang menentukan tindakan politik suatu negara dalam periode

tertentu, dapat dilihat dari konteks politik dan kebudayaan. Dalam konteks ini, sasaran

yang mungkin ingin diraih oleh setiap negara dalam politik luar negerinya dapat meliputi

seluruh rangkaian tujuan yang mungkin pernah menjadi tujuan yang harus dicapai oleh

negara lain, atau bahkan yang masih harus dicapai oleh negara lain.

Kepentingan itu sendiri bersifat dinamis, artinya kepentingan selalu bergerak

sesuai dengan keadaan politik internasional. Setiap negara memiliki kepentingan yang

berbeda-beda, tergantung dari sistem pemerintahan, dan motif yang mempengaruhi

negarawan dalam mengambil kebijakan luar negeri.

4. Realisme sadar akan signifikansi moral dari tindakan politik.

Realisme politik menyadari pentingnya moral dari tindakan politik bagi individu,

tetapi hal itu tidak dapat diimplementasikan kedalam tindakan-tindakan negara dalam

mengambil keputusan politik luar negeri. Ketika individu dapat berkata “Fiat justitia,

pereat mundus” (biarkan keadilan berlaku, sekalipun dunia binasa), lain halnya dengan

negara. Negara tidak berhak untuk berkata seperti itu, sekalipun atas nama mereka yang

berlindung terhadap negara tersebut. Lalu, realisme juga menganggap bahwa

kebijaksanaan (pertimbangan atas konsekuensi alternative tindakan politis) sebagai

kebaikan tertinggi dalam politik.

5. Prinsip moral universal harus dikesampingkan jika bertentangan dengan

national interest. Karena tujuan negara adalah survive dengan cara

memperjuangkan national interest.

Semua negara ingin menutupi kepentingan dan tindakan khusus mereka dalam

tujuan moral universal. Untuk mengetahui bahwa negara adalah subjek dari hukum moral

universal adalah suatu hal yang penting, sedangkan untuk mengetahui secara pasti mana

yang baik dan mana yang jahat dalam hubungan antar bangsa adalah hal lain.

Konsep kepentingan yang didefinisikan kedalam kekuasaan telah menyelamatkan

kita dari kebodohan politik itu sendiri. Jika kita bercermin terhadap negara lain sebagai

wujud politik yang mengejar kepentingan mereka masing-masing yang juga

didefinisikan dengan istilah kekuasaan, maka kita dapat memperlakukan semua itu

dengan adil. Dengan begitu, maka kita bisa berbuat adil dalam arti ganda, yakni, kita bisa

menilai bangsa-bangsa lain seperti halnya kita menilai bangsa kita sendiri, dan setelah

menilai dengan gaya ini, maka kita akan mampu menghormati kepentingan negara lain

selagi kita mampu menjaga dan mempromosikan kepentingan kita sendiri.

6. Perbedaan realisme politik dengan paradigma lain.

Kajian yang dilakukan oleh realism politik terbukti lebih nyata karena realisme

berusaha mengkaji apa yang benar-benar terjadi di dunia internasional. Kajian yang

dilakukan-pun mendalam dan menyeluruh. Namun, banyak dari asumsi-asumsi teori

realism politik yang disalahartikan dan disalahtafsirkan. Meski begitu, tidak ada yang

bisa menyangkal sikap intelektual dan moral kaum realis terhadap masalah yang bersifat

politis.

Kaum realis cenderung mempertahankan otonomi di bidang politik, namun tetap

mengakui eksistensi dan pentingnya pemikiran-pemikiran di bidang lain (selain politik).

Namun, hal itu harus ditempatkan sesuai dengan dunia dan fungsinya, karena realism

politik didasarkan pada hakikat manusia yang pluralistik dimana manusia itu sendiri

merupakan gabungan atas “economic man”, “political man”, “moral man”, “religious

man”, dan lain-lain. Seseorang yang hanya merupakan “political man” akan menjadi

hewan buas, karena ia sama sekali tidak memiliki kendala moral. Dengan mengakui

perbedaan-perbedaan dari hakikat manusia, kaum realis juga berpendapat supaya bisa

memahami salah satu sifat tersebut, maka kita harus memahaminya dengan caranya

sendiri. Missal saya ingin memahami “religious man” maka saya harus menjadi orang

religious dengan cara mengesampingkan hal duniawi. Maka menurut Morgenthau,

”political man” adalah sifat yang paling cocok untuk meneliti manusia dalam bidang

politik, karena menurutnya manusia hanya tertarik pada kekuasaan.

Dari beberapa asumsi yang sudah diberikan oleh tokoh-tokoh realisme diatas,

dapat ditarik kesimpulan, jika asumsi dasar realisme adalah:

- Pandangan pesimistis atas sifat dasar manusia.

- Keyakinan bahwa hubungan internasional pada dasarnya konfliktual dan bahwa

konflik internasional pada akhirnya diselesaikan melalui perang.

- Menjunjung tinggi nilai-nilai keamanan nasional dan kelangsungan hidup negara.

- Skeptisme dasar bahwa kemajuan dalam politik internasional bisa sama dengan

politik domestic

- Sifat alami manusia adalah egois.

- Negara adalah aktor utama. Jadi, hubungan internasional mempelajari bagaimana

negara berinteraksi dengan yang lainnya.

- Motivasi negara adalah kepentingan nasional. Dalam mencapai hal itu digunakan

kebijakan luar negeri.

- Kekuasaan (power) adalah kunci untuk memahami perilaku internasional dan motif

suatu negara.

D. The Concept of Power and Interest

Kaum utopia-liberal hendak menghilangkan kekuasaan sebagai pertimbangan negara

dalam sistem internasional. Carr percaya bahwa usaha negara dalam pemenuhan

kepentingan negaranya merupakan dorongan alami yang jikalau hal tersebut dihindari

dan tidak dilakukan oleh negara maka akan membahayakan negaranya sendiri. Pencarian

kepentingan nasional oleh negara dipahami oleh realis sebagai sebuah kekuatan

strategis.13

Kaum realist memberikan defenisi terkait kepentingan yakni sebagai bagian dari

bentuk kekuasaan. Kebanyakan kaum realis mempercayai keunggulan kepentingan diri

sendiri diatas prinsip moral, dan menganggap pertimbangan keadilan tidaklah tepat jika

hal tersebut tidak membahayakan pondasi yang merupakan dasar dari kebijakan luar

negri. Realis menganggap bahwa seruan akan keadilan bisa berguna untuk membenarkan

atau melindung alasan kebijakan demi memenuhi suatu kepentingan materi yang lebih

nyata.

Para realis klasik menganggap kekuasaan adalah sebagai satu – satunya sumber

kekuasaan. Selain itu mereka tidak ingin menyamakan antara kekuasaan dengan

pengaruh. Bagi mereka, pengaruh adalah hubungan psikologi dan seperti halnya semua

hubungan yang lainnya semua berdasarkan keeratan yang melebihi kepentingan sesaat.

Keadilan tentu mengambil peran nya dalam hal ini. Keadilan merupakan dasar dari suatu

hubungan dan pengertian atas sebuah komunitas dimana mereka bergantung pada

pengaruh dan keamanan.

Awalnya, Thucydides mengatakan bahwa sejarah menggambarkan suatu ketegangan

antara kepentingan dan keadilan serta bagaimana hal itu menjadi lebih tajam dalam

merespon akan desakan perang. Ia juga menyatakan bagaimana kepentingan dan

keadilan adalah dua hal yang tidak terpisahkan dan saling menyokong pada tingkat yang

lebih lanjut. Keadilan atau setidaknya percaya akan keadilan adalah pondasi utama bagi

sebuah komunitas. Pengertian tentang kepentingan diluar bahasa keadilan adalah sesuatu

yang tidak masuk akal dan akan merugikan diri mereka sendiri.14

Dalam chapter X (Of Power, Worth, Dignity, Honour and Worthiness), Hobbes

mengklasifikasikan power kedalam dua jenis: Natural Power dan Instrumental Power.

Natural Power berasal dari kemampuan badan atau fikiran. Natural Power juga

13

Scott Burchill, Andrew Linklater, Teori-teori Hubungan Internasional, Bandung: Nusamedia, 2009, hlm. 95 14

Ri hard Ned Le o , Classi al Realis , i Ti Du e et al eds , I ter atio al Relations Theory: Discipline

and Diversity, UK: Oxford University Press, 2012.

merupakan power yang secara alami ada dalam diri manusia, seperti kekuatan, akal, dan

lain-lain. Kemudian, Instrumental Power berasal dari kemampuan yang diperoleh dari

hasil usaha manusia, seperti popularitas seseorang yang meningkat seiring dengan proses

atau usaha yang dilakukan oleh orang tersebut.

Morgenthau sendiri mendefiniskan power sebagai pengendalian pikiran maupun

perilaku dari yang lainnya. Yang kemudian kapasitas power dibagi lagi menjadi:15

- Geography: Natural barriers, large amounts of buffer territory, etc.

- Natural Resources: Food self-sufficiency capacity, energy resources, military materiel

resources

- Industrial capacity: Enables military competitiveness, economic stability

- Population: Strength in numbers

- Military Preparedness (short term): Numbers, capabilities, training

- National Character/Morale: Resiliency, military ethos, patriotism, etc.

International politics is about the struggle for power. Ketika kita berbicara mengenai

power, maka yang dimaksud adalah kontrol seseorang atas pikiran tindakan orang lain.

Sebagai contoh, A memiliki kekuatan politik atas B, sejauh A mampu mengendalikan

tindakan B dengan cara mempengaruhi pikiran B.

Menurunnya nilai kekuatan politik

Menurunnya nilai kekuatan politik salah satunya disebabkan oleh “struggle for

power” (perebutan kekuasaan). Fenomena ini pertama kali muncul pada zaman

kolonialisasi. Pada zaman ini, para koloni berkompetisi untuk memperluas wilayah

kekuasaannya demi mencapai national interest masing-masing negara penjajah.16

Jeremy

Bentham17

percaya bahwa kompetisi dalam koloni tersebut adalah akar dari konflik

internasional

Lalu, bagaimana mengatasi hal tersebut?

- Marx dan pengikutnya percaya bahwa kapitalisme merupakan akar dari perpecahan

dan perang. Mereka mempertahankan paham yang mereka pegang bahwa sosialisme

internasional akan menciptakan kedamaian yang permanen.

- Memasuki abad ke-19, paham liberalisme mendominasi dunia internasional. Kaum

liberalis percaya bahwa kekuatan politik dan perang adalah sisa-sisa dari sistem

pemerintahan kuno. Mereka percaya bahwa kerukunan internasional dan perdamaian

abadi akan tercipta tanpa adanya kekuatan politik dan perang. Mereka yakin bahwa

15

Ha s J. Morge thau, Kekuata Nasio al , Politik A tar Ba gsa, edisi ke-6, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor

Indonesia, 2010, hlm. 135-181. 16

Hans J. Morgenthau, Politic Among Nations, 4th

ed., New York: McGraw Hill, 1966, hlm. 16. 17

Jeremy Bentham adalah salah seorang filsuf empirisme dalam bidang moral dan politik asal Inggris.

struggle for power dapat dihilangkan darim dunia internasional, yakni dengan

dibentuknya PBB, sehingga bisa menjadi tempat bagi kerjasama internasional.

- Namun kaum realis percaya bahwa adanya struggle for power di dunia internasional

tidak dapat disangkal. Karena, pada faktanya, dalam segala kondisi (baik dalam

bidang ekonomi, sosial, politik), negara-negara di dunia bertemu untuk

memperjuangkan power. Menurut kaca mata realis, dibentuknya PBB bukan untuk

dijadikan sebagai aktor dalam hubungan internasional, melainkan suatu alat untuk

menjaga stabilitas balance of power. Karena, menurut kaum realis, perdamaian hanya

akan tercapai jika ada balance of power.

E. Critic of Classical Realism

Terdapat dua kritik dari para ahli yang lain mengenai Realisme Klasik, yaitu: 18

1. Critics argue that many states are too weak and ill formed to sustain the inside-

outside distinction. Somalia dan Rwanda are only the latest in a long line of examples

where the inside looks more like the outside is supposed to be.

2. Critics argue that the state is now so penetrated by transnasional actors and forces

that the inside-outside distinction has become a meaningless blur.

Sedangkan Nicholas Spykman mengklaim bahwa pencarian dari kekuasaan bukanlah

hanya sekadar untuk nilai-nilai moral, tapi nilai moral yang digunakan untuk pencapaian

kekuasaan tersebut.19

Kritik lainnya diungkapkan oleh Juanita Elias dan Peter Stuch dalam buku “The

Basics International Realations”, yaitu:20

- Pertama, adanya isu tentang kekuasaan (power) dan kepentingan nasional (national

interest) yang menjadi tujuan dari negara. Kedua hal ini membuat pemahaman kita

tentang politik internasional menjadi sangat sederhana. Politik internasional dapat

dijelaskan dalam konteks lainnya seperti sejarah.

- Kedua, bahwa sifat dasar manusia adalah penyebab konflik. Dalam sejarah, jelas

dikatakan bahwa manusia mampu bertindak secara bar-bar dan egois. Bagaimanapun,

hal ini telah dibangun sejak dahulu dan menjadi sebuah kebiasaan. Tapi tentu saja

dengan akal dan pertimbangan, kita dapat memilih untuk lebih mengedepankan

kerjasama daripada konflik, perasaan daripada kekejaman. Mungkin hal yang sulit

untuk dipilih tapi jika dilakukan sungguh-sungguh tentu akan membuat perbedaan

pandangan tentang hubungan internasional.

- Ketiga, negara merupakan aktor utama. Pemahaman negara sebagai aktor utama

adalah sebagai alat untuk menjaga eksistensi dan untuk bertahan (survival).

Kedaulatan negara merupakan masa depan untuk kemodernan dan menjawab

berbagai masalah. Tapi kemudian timbul permasalahan apakah kedaulatan negara

dapat menjawab permasalahan seperti negara yang pecah, hak-hak kaum minoritas,

yang dimana politik dibutuhkan untuk menanggapi permasalahan kemanusiaan, krisis

18

Smith, Booth, and Zalweski; International Theory: Positivism and Beyond; Cambridge University Press, 1996

hlm. 52 19

Ja k Do elly, Realis i “ ott Bur hill et all eds , Theories of I ter atio al Realtio s, Lo do : Palgra e 2005 hlm. 52 20

Jua ita Elias a d Peter “ut h, :The Basi s I ter atio al Relatio s , Ne York: Routledge 2007 hl . 59-61

pengungsi dan kemiskinan global. Yang menjadi pertanyan selanjutnya adalah

apakah eksistensi kedaulatan negara dapat bertahan atau harus mengikuti aturan

regional yang membuat kedaulatan itu sendiri menjadi bias?

- Keempat, adanya subordinasi moral dalam politik. Yang menjadi masalah adalah kita

dapat mentolerir nilai-nilai moral dalam pemenuhan kepentingan. Hal ini

mengindikasi bahwa para pemimpin dapat melakukan hal yang bertentangan dengan

moral hanya untuk pemenuhan kebutuhan negaranya. Salah satu konsep dalam realis

ini tentu saja bertentangan dengan Universal Declaration 1948.

- Kelima, substansi dari hubungan internsional adalah tentang persaingan negara,

perang, dan agresi. Adalah benar jika hal tersebut adalah salah satu kunci dari

hubungan internasional. Tetapi masih ada aspek lainnya yang tentu perlu dikaji.

Perspektif realis mendukung sebuah hal yang salah jika fokus utama mempelajari

hubungan internasional adalah untuk mempelajari keamanan (security) saja. Padahal

banyak yang dapat dikembangankan seperti ekonomi internasional atau hukum

internasional

Realis mungkin tidak sepenuhnya dapat menjawab fenomena-fenomena dalam

hubungan internasional. Anarki, keegoisan, dan kemampuan untuk pendistribusian tidak

dapat menjelaskan pelbagai bidang dalam hubungan yang luas.

F. Case Study with Classical Realism Perspective

Kompas – Lembaga hak asasi manusia (HAM) Internasional, Amnesty International,

menuding Pemerintah Suriah melakukan pelanggaran berat HAM. Tudingan lembaga

itu, merujuk pada blokade dan pembiaran kelaparan terhadap warga Yarmouk.

Catatan lembaga itu menunjukan bahwa 200 warga Yarmouk mati kelaparan dan

terkena penyakit. Kira-kira, ada 200.000 warga Yarmouk kala itu. Blokade

berlangsung setahun silam dan makin ketat lantaran pemerintah suriah menempatkan

pasukan loyalis rezim presiden Bashar Al-Assad. Amnesty International mengatakan

dari 200 warga Yarmouk yang tewas itu 128 diantaranya mati kelaparan.

Republika – Amerika mulai mencari cara untuk mengintervensi Suriah. Disitu

Amerika membahas langkah-langkah untuk membantu oposisi Suriah yang moderat.

Pilihan bantuan yang akan diberikan adalah bantuan kemanusiaan, mendirikan zona

aman di wilayah Suriah mungkin melalui cara-cara militer.

Analisis:

Berdasarkan prinsip-prinsip Realis, intervensi yang dilakukan Amerika ke Suriah

adalah sesuatu yang tidak dapat dibenarkan. Pandangan ini dapat terlihat jika meninjau

dari asumsi dasar mengenai realis yakni :

1. Negara adalah aktor dan unit analisis utama dalam studi HI. Aktor-aktor non-negara

dipandang kurang penting dibandingkan negara. Dengan demikian, realisme bersifat

state-centric dan berfokus pada hubungan antar negara.

2. Negara adalah aktor yang tunggal (unitary) di mana seluruh perbedaan di dalam

negara dianggap sudah selesai dan negara memiliki satu suara resmi.

3. Negara adalah aktor yang rasional dalam artian mengejar tujuan-tujuannya dengan

mempertimbangkan berbagai alternatif yang ada dan kapabilitas yang dimilikinya.

4. Politik internasional dikarakteristik kan oleh pengejaran power dan power politics di

antara negara-negara sehingga isu keamanan (high politics) menempati prioritas

tertinggi dalam agenda negara.

Jika kita cermati kasus yang terjadi pada konflik di Suriah pada dasarnya adalah

konflik internal yang terjadi antara pemerintahan rezim Bashar al-assad melawan

pemberontak (oposisi). Dalam hal ini rezim al-assad dibantu oleh Rusia dan China.

Bahkan senjata pemusnah massal justru digunakan untuk menghabisi para pemberontak

yang notabane nya adalah rakyatnya sendiri.

Berangkat dari isu ini setidaknya ada beberapa hal yang menarik perhatian Amerika

untuk melakukan intervensi di Suriah. Pertama, karena adanya peran Rusia. Sudah

menjadi rahasia umum di dunia internasional bahwa Rusia adalah musuh bebuyutan dari

Amerika Serikat, menyadari akan peran Rusia dalam konflik Suriah maka Amerika ikut

melibatkan diri dengan membantu para pemberontak Suriah. Dalam hal ini jelas kita lihat

bahwa ada upaya untuk melakukan balance of power yang dilakukan AS. Dalam

perspektif realis melihat Rusia sebagai salah satu kekuatan terbesar di dunia maka perlu

dibendung agar tidak semena-mena menguasai dunia.

Faktor kedua yang menyebabkan intervensi Amerika adalah aksi menghabisi rakyat

yang dianggap pemberontak yang dilakuakan oleh rezim al-asad. Amerika menilai apa

yang telah dilakukan oleh rezim al-assad ini adalah suatu tindak kejahatan HAM yang luar

biasa. Inilah yang kemudian dikalangan liberalis dikenal dengan istilah humanitarian

intervention. Sejak berakhirnya perang dingin, dunia berubah dengan cepat. Dengan

kolapsnya Uni Soviet yang memainkan perang vital sepanjang 4 dekade perang dingin

berimplikasi luas terhadap tatanan politik dunia setelah itu. Ide kedaulatan absolut

dianggap tidak lagi relevan apabila peran negara sangat minim dalam melindungi

rakyatnya. Terlebih apabila keberadaan negara mengancam kelangsungan hidup

warganya.

Dalam perspektif realis, apa yang telah dilakukan oleh rezim al-assad dapat

dibenarkan karena untuk mempertahankan kekuasaanya. Hal ini didasarkan pada konsep 3

S yang diterapkan oleh realis, yakni Survival, Statism, Self help. Alasan Humanitarian

intervention juga tidak dapat dibenarkan dalam realis, karena mereka berkeyakinan bahwa

mereka dapat menyelesaikan konflik internalnya sendiri tanpa campur tangan asing.

Sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh Mearsheimer, Perang di Timur Tengah

sesungguhnya terjadi akibat paham idealisme: keinginan untuk menciptakan dunia yang

demokratis. Mearsheimer menggunakan istilah ‘Wilsonianism with teeth’. Wilsonian

adalah sebutan bagi pemikiran Woodrow Wilson, Presiden AS ke 28 yang pada tahun

1918 menyampaikan pidato monumentalnya “14 Points”. Wilson mengatakan, “Dunia

harus dibuat aman bagi demokrasi. Menarik jika dicermati lebih lanjut bahwa intervensi

Amerika juga dikarenakan penolakan Suriah terhadap sistem Demokrasi.

Padahal kaum realis lebih percaya bahwa kita hidup di dunia yang menyeimbangkan

(balancing world). Artinya, saat sebuah negara mengepalkan tinju di hadapan negara lain,

negara lain itu tidak akan mengangkat tangan dan menyerah begitu saja. Negara itu pasti

akan mencari jalan untuk mempertahankan diri sendiri; dia akan menyeimbangkan diri di

hadapan negara pengancam. Sehingga demokratisasi sebetulnya tidak perlu ditetapkan.

Kesimpulan

Dalam perspektif Realis menilai bahwa penyerangan AS ke suriah merupakan bentuk

intervensi karena adanya national interest yang diperjuangkan oleh Amerika, seperti

demokratisasi di Suriah, dalam kasus ini AS juga khawatir jika hegemoninya terancam

oleh Cina, karena seperti yang kita tahu Cina sudah mulai berada sejajar untuk menyaingi

amerika. Adanya keterlbatan Rusia juga menjadi faktor mengapa AS mengintervensi

Suriah.

Mereka bahkan menilai bahwa intervensi harus dilakukan karena alasan humanitarian

intervention, AS menganggap Suriah tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai pelindung

rakyat, dalam hal ini perlindungan HAM, seperti yang tertulis pada konsep RTP

(Responsibility to Protect) pada tahun 2001, diperkenalkan oleh International Cmmission

on Intervention and State Sovereignity) Pandangan-pandangan yang concern terhadap isu

HAM adalah pemahaman kalangan liberalis yang kita ketahui bertentangan dengan paham

Realis.

Sumber Referensi:

- Burchill, Scott and Andrew Linklater, Teori-teori Hubungan Internasional, Bandung:

Nusamedia, 2009.

- Donnely, Jack 2005 “Realism”, in Scott Burchill et all (eds), Theories of

International Relations, London: Palgrave.

- Elias, Juanita and Peter Sutch, The Basics: International Relations, New York:

Routledge, 2007.

- Lebow, Richard Ned 2012, “Classical Realism”, in Tim Dunne et al (eds),

International Relations Theory: Discipline and Diversity, UK: Oxford University

Press.

- Morgenthau, Hans J., Politics Among Nations, 6th

ed., New York: McGraw Hill,

1985.

- Morgenthau, Hans J., “Kekuatan Nasional”, Politik Antar Bangsa, edisi ke-6, Jakarta:

Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010.

- Smith, Booth, and Zalweski, International Theory: Positivism and Beyond;

Cambridge University Press, 1996

- Thucydides, “The Melian Dialogue”, History of The Peloponesian War,

Hardmondsworth: Penguin Classics, 1954.