The Local Adaptation Behavior in Forest Carbon Conservation Following the DA REDD+ Implementation in...

21
PERILAKU ADAPTASI KOMUNITAS LOKAL DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN PASCA DA REDD+ DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI KABUPATEN JEMBER Novita Rini Wardani, Sofyan Cholid 1. Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia 2. Dosen Prodi Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia E-mail : [email protected] Abstrak Penelitian ini membahas tentang perilaku adaptasi komunitas lokal di 3 (tiga) desa penyangga kawasan Taman Nasional Meru Betiri setelah kegiatan DA REDD+ yang difokuskan pada dampak perilaku adaptif dan aksi adaptasi. Pendekatan penelitian mempergunakan kualitatif dengan jenis deskriptif. Hasil menunjukkan bahwa adanya intervensi sosial pada Desa Curahnongko dan Andongrejo melalui program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh LSM lokal mampu meningkatkan perilaku adaptif dan aksi adaptasi komunitas lokal dalam upaya konservasi karbon hutan. Berbeda dengan Desa Wonoasri yang tidak mendapat intervensi sosial dari LSM lokal yang kegiatan pemberdayaan masyarakatnya tidak berjalan optimal. The Local Adaptation Behavior in Forest Carbon Conservation Following the DA REDD+ Implementation in Meru Betiri National Park District of Jember Abstract This research is to describe the local adaption behavior in 3 (three) villages buffering in Meru Betiri National Park following the DA REDD+ implementation which is concern on adaptive behavior impact and adaptation action. This research uses a qualitative approach with descriptive type. The result shows the effectiveness of social intervention by local NGO in Curahnongko and Andongrejo through the community development program can empower the adaptive behavior and local adaptation action to the forest carbon conservation. Different with Wonoasri which has no social intervention through the community development program from the local NGO not optimal implemented. Keywords : Adaptive Behaviour, Adaptation, DA REDD+, Conservation, Social Intervention A. Pendahuluan Globalisasi dan liberalisasi pasar telah menjadikan hutan sebagai komoditas strategis dalam investasi global yang membawa dampak pada meningkatnya laju deforestasi dan degradasi hutan tropis di Indonesia. Menurut Data World Resources Institute (WRI) pada tahun 2003 menunjukkan bahwa deforestasi berkontribusi sekitar 18% emisi global, 75% nya berada di negara berkembang, dan diperkirakan akan terus meningkat bila tidak ada intervensi kebijakan baik nasional maupun internasional (Masripatin, 2012). Hal ini berkaitan

Transcript of The Local Adaptation Behavior in Forest Carbon Conservation Following the DA REDD+ Implementation in...

PERILAKU ADAPTASI KOMUNITAS LOKAL

DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN PASCA DA REDD+

DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI

KABUPATEN JEMBER

Novita Rini Wardani, Sofyan Cholid

1. Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik, Universitas Indonesia

2. Dosen Prodi Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas

Indonesia

E-mail : [email protected]

Abstrak

Penelitian ini membahas tentang perilaku adaptasi komunitas lokal di 3 (tiga) desa penyangga kawasan

Taman Nasional Meru Betiri setelah kegiatan DA REDD+ yang difokuskan pada dampak perilaku adaptif dan

aksi adaptasi. Pendekatan penelitian mempergunakan kualitatif dengan jenis deskriptif. Hasil menunjukkan

bahwa adanya intervensi sosial pada Desa Curahnongko dan Andongrejo melalui program pemberdayaan

masyarakat yang dilakukan oleh LSM lokal mampu meningkatkan perilaku adaptif dan aksi adaptasi komunitas

lokal dalam upaya konservasi karbon hutan. Berbeda dengan Desa Wonoasri yang tidak mendapat intervensi

sosial dari LSM lokal yang kegiatan pemberdayaan masyarakatnya tidak berjalan optimal.

The Local Adaptation Behavior in Forest Carbon Conservation

Following the DA REDD+ Implementation in Meru Betiri National Park

District of Jember

Abstract

This research is to describe the local adaption behavior in 3 (three) villages buffering in Meru Betiri

National Park following the DA REDD+ implementation which is concern on adaptive behavior impact and

adaptation action. This research uses a qualitative approach with descriptive type. The result shows the

effectiveness of social intervention by local NGO in Curahnongko and Andongrejo through the community

development program can empower the adaptive behavior and local adaptation action to the forest carbon

conservation. Different with Wonoasri which has no social intervention through the community development

program from the local NGO not optimal implemented.

Keywords : Adaptive Behaviour, Adaptation, DA REDD+, Conservation, Social Intervention

A. Pendahuluan

Globalisasi dan liberalisasi pasar telah menjadikan hutan sebagai komoditas strategis

dalam investasi global yang membawa dampak pada meningkatnya laju deforestasi dan

degradasi hutan tropis di Indonesia. Menurut Data World Resources Institute (WRI) pada

tahun 2003 menunjukkan bahwa deforestasi berkontribusi sekitar 18% emisi global, 75% nya

berada di negara berkembang, dan diperkirakan akan terus meningkat bila tidak ada

intervensi kebijakan baik nasional maupun internasional (Masripatin, 2012). Hal ini berkaitan

2

erat dengan posisi negara Indonesia yang berada dalam tahap pertumbuhan ekonomi

(economic growth) yang cukup signifikan. Sehingga hutan menjadi salah satu sumberdaya

potensial yang dapat menjamin keberlangsungan perekonomian untuk terus maju, tumbuh

dan berkembang. Di sisi lain, keberadaan hutan memiliki peran penting terutama dalam

menjaga kestabilan iklim dunia. Sejumlah klaim menyebutkan bahwa terjadinya perubahan

iklim akibat pemanasan global, salah satunya dipicu oleh tingginya emisi CO2 akibat

deforestasi dan degradasi hutan.

Sebagai bentuk kepedulian pemerintah terhadap upaya mitigasi perubahan iklim global

dan pengurangan emisi CO2, pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor

61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Pengurangan Efek Gas Rumah Kaca. Salah

satu agenda pemerintah sebagai wujud kontribusi aktif dan komitmen untuk mengurangi

emisi karbon adalah dengan menunjuk kawasan Taman Nasional Meru Betiri (TNMB)

sebagai Pilot ProjectDemonstration Activity (DA) REDD+ khususnya untuk kawasan hutan

konservasi di Pulau Jawa. Kegiatan DA REDD+ menjadi komponen penting dalam

menciptakan sinergi antara pemerintah dengan masyarakat khususnya terkait dengan strategi

Readiness Phase di Indonesia.

Kegiatan DA REDD+ melalui “Konservasi Hutan Tropis untuk Pengurangan Emisi dari

Deforestasi dan Degradasi Hutan dan Peningkatan Stok Karbon” di TNMB merupakan

kegiatan potensial di wilayah Pulau Jawa. Sejak ditetapkannya status Meru Betiri sebagai

Kawasan Taman Nasional melalui diterbitkannya Keputusan Menteri Kehutanan

No.277/Kpts/DJ-V/1997 tanggal 23 Mei 1997, berarti bahwa pengelolaan kawasan Taman

Nasional Meru Betiri diarahkan pada fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan,

pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan, satwa beserta ekosistemnya serta

pemanfaatannya secara lestari. Namun, hal ini cenderung kontradiktif mengingat keberadaan

komunitas lokal yang telah lama mendiami wilayah desa penyangga dan menggantungkan

sebagian mata pencahariannya pada hasil hutan kayu dan non kayu.

Sebelum kegiatan DA REDD+ berlangsung Tahun 2010-2013, kajian analisis terhadap

kegiatan deforestasi dan degradasi hutan menjadi latar belakang yang mendasari kegiatan DA

REDD+. Laju deforestasi berdasarkan hasil analisis data penginderaan jauh Tahun 1997-2010

terhadap perubahan penggunaan lahan TNMB, menunjukkan laju deforestasi cukup rendah

dengan rata-rata per tahunnya mencapai 0,065%. Lain halnya dengan degradasi hutan yang

tinggi disebabkan oleh illegal logging masih saja sering terjadi khususnya di kawasan zona

rimba. Pelakunya adalah kelompok masyarakat yang tinggal disekitar desa penyangga

maupun di luar desa penyangga yang kurang memiliki kesadaran dan kepedulian rendah

terhadap kelestarian hutan.

3

Kegiatan DA REDD+ dikembangkan sebagai salah satu bentuk intervensi dalam upaya

perlindungan hutan TNMB sebagai kawasan konservasi, dimana dalam pelaksanaannya

melibatkan multistakeholder dengan harapan bahwa semakin beragamnya komponen

masyarakat yang terlibat, maka semakin besar efek positif yang akan diperoleh dari rangkaian

kegiatan DA REDD+ maka upaya mewujudkan kelestarian kawasan hutan TNMB dapat

berhasil dengan baik.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak DA REDD+ dalam upaya

meningkatkan kemampuan adaptif dan aksi adaptasi komunitas lokal. Hal ini berkaitan

dengan bagaimana perilaku komunitas lokal dalam beradaptasi membantu mewujudkan

terciptanya konservasi hutan dan pembangunan hutan berkelanjutan. Seperti yang telah

diketahui bahwa komunitas lokal desa penyangga dan kawasan hutan TNMB memiliki

hubungan yang erat terutama terkait dengan aspek ekonomi, sosial budaya serta lingkungan.

Kemampuan adaptif serta aksi adaptasi dari komunitas lokal desa penyangga dapat menjadi

acuan seberapa besar manfaat kegiatan DA REDD+ dapat membentuk perubahan perilaku

dalam pengelolaan hutan serta upaya apa yang menjadi solusi untuk mengurangi

kebergantungan kebutuhan dari hasil hutan serta mencegah kerusakan hutan.

Hutan dinilai sebagai salah satu komoditas stretegis dalam pembangunan ekonomi,

namun tidak dapat dilepaskan dari peran pembangunan sosial dimana pembangunan sosial

menjadi landasan dasar untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Ketahanan dan

ketangguhan komunitas lokal menjadi salah satu modal utamanya.

B. Tinjauan Teoritis

Kemampuan adaptif merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan kesadaran

individu maupun kelompok masyarakat dalam mengantisipasi perubahan iklim yang

diwujudkan dalam implementasi perubahan perilaku aksi adaptasi, dimana hal ini diperlukan

untuk mempersiapkan diri terhadap segala kemungkinan perubahan di masa mendatang

(Spearman & McGray, 2011). Kemampuan adaptif mengacu pada potensi untuk beradaptasi,

saat dan ketika diperlukan, serta tentu otomatis bertindak adaptasi, atau hasilnya (Smit dan

Wandel, 2006 dalam Ludi, dkk 2011). Kemampuan adaptif cenderung multidimensional dan

unsur-unsur yang membentuk kapasitas adaptasi pada individu tidak sepenuhnya disetujui.

Hal ini pada dasarnya berkaitan dengan apakah masyarakat mempergunakan alat yang tepat

dan lingkungan yang kondusif diperlukan untuk mendukung kelompok komunitas

beradaptasi dalam jangka panjang. Hal penting untuk diingat bahwa kemampuan adaptif

merupakan konteks yang spesifik dan cenderung bervariasi antara negara satu dengan negara

lainnya, masyarakat satu dengan masyarakat lainnya, antara kelompok-kelompok sosial dan

individu, yang terjadi dari waktu ke waktu (Smit dan Wandel, 2006 dalam Ludi dkk, 2011).

4

Gambar 1. Kerangka Local

Adaptive Capacity Sumber : ACCRA

Kemampuan adaptif kelompok komunitas akan

diidentifikasi lebih lanjut oleh peneliti dengan

menggunakan kerangka Local Adaptive Capacity (LAC)

yang dikembangkan oleh ACCRA (Africa Climate

Change Reilience Alliance). LAC difokuskan kepada

komunitas lokal dan dikembangkan untuk mengetahui

karaktersitik kemampuan adaptif kelompok komunitas

lokal setelah masa DA REDD+ di Taman Nasional Meru

Betiri. Identifikasi kemampuan adaptif komunitas lokal

menggunakan 5 (lima) komponen karaktersitik yang

berbeda tetapi sifatnya saling berkaitan satu dengan lainnya dan saling mempengaruhi.

Asset base Kemampuan masyarakat dalam merespon sebuah perubahan dipengaruhi oleh aset

yang dimiliki, serta bagaimana mengakses dan mengontrol semua aset yang ada (Daze

et al., 2009; Prowse dan Scott, 2008 dalam Graham, 2012). Aset yang dimaksud antara

lain terdiri dari natural capital, physical capital, financial capital, human capital, dan

sosial capital.

Knowledge and

Information

Pengetahuan yang memadai tentang ancaman di masa mendatang terkait perubahan

iklim, metode adaptasi dan ketersediaan dukungan untuk melakukan adaptasi akan

berkontribusi terhadap kemampuan adaptif masyarakat) (Jones et al., 2010 dalam

Graham, 2012)

Innovation Inovasi berkaitan erat dengan pengetahuan dan informasi tambahan yang diperoleh

individu untuk menganalisis bagaimana mengambil peluang atau menanggapi ancaman

dari perubahan iklim. Dimana inovasi juga juga terkait erat dengan aset dasar yang

mencerminkan kondisi ekonomi seseorang dalam mengambil resiko maupun

mengembangkan investasi dalam inovasi (Ludi et al, 2011 dalam Graham, 2012)

Institutionals

and

Entitlements

Peran lembaga dan kelembagaan sangat penting untuk mengatur dan mengakui

eksistensi masyarakat dalam perannya sebagai aktor utama yang mendukung

kemampuan adaptif masyarakat untuk menjaga hutan. partisipasi masyarakat dalam

proses pembuatan keputusan pada level komunitas dinilai penting karena terkait

dengan bagaimana sebuah lembaga memberdayakan atau tidak memberdayakan

individu maupun kelompok (Jones et al, 2010 dalam Graham, 2012)

Flexible and

Forward

Thinking,

Decision

making, and

Governance

Kemampuan sebuah sistem untuk mengantisipasi perubahan, menggabungkan

informasi yang relevan serta memadukan inisiatif dalam perencanaan di masa

mendatang dan mengatur tata kelolanya merupakan aspek penting dalam menentukan

kemampuan adaptif. Hal ini terutama berkaitan dengan peran pemerintah. Pemerintah

juga diharuskan untuk adaptif dalam pengimplementasian perencanaan pengurangan

dampak perubahan iklim yang diwujudkan dalam bentuk transparansi,

memprioritaskan kerjasama, dan menggunakan informasi yang relevan dalam proses

pengambilan kebijakan. Tata kelola dan pengambilan keputusan yang demikian

cenderung lebih responsif, dan dapat meningkatkan kemampuan beradaptasi untuk

mengatasi perubahan iklim dan menciptakan pembangunan hutan berkelanjutan (Jones

et al., 2010 dalam Graham, 2012)

Dalam melakukan aksi adaptasi diperlukan kemampuan adaptif yang turut menunjang

bagi pelaksanaan aksi adaptasi. Adaptasi sebagai sebuah bentuk penyesuaian dalam sistem

ekologi, sosial atau ekonomi untuk menanggapi perubahan yang tampak atau yang

diharapkan dalam rangsangan iklim serta efek dan dampak untuk mengurangi dampak negatif

dari perubahan atau mengambil keuntungan dari peluang baru (IPCC TAR, 2001). Adaptasi

5

merupakan penyesuaian perilaku dan karakteristik sistem yang akan meningkatkan

kemampuannya dalam menghadapi tekanan eksternal (Brooks, 2003 dalam Bappenas, 2012)

atau penyesuaian sistem alam atau manusia terhadap sebuah lingkungan baru atau sebuah

lingkungan yang berubah (IPCC TAR, 2001 dalam Bappenas, 2012). Keberhasilan praktik

adaptasi membutuhkan rangkaian proses yang panjang. Perilaku adaptasi individu maupun

kelompok tidak dapat tercipta secara instant dimana dibutuhkan peran kelembagaan,

kemampuan, dan keinginan untuk mewujudkan kemampuan adaptif dan upaya adaptasinya

berhasil (Adger et al, 2004 dalam Levine, Ludi, dan Jones, 2011).

C. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan di 3 (tiga) desa penyangga kawasan TNMB dalam wilayah

administratif Kabupaten Jember yang meliputi Desa Andongrejo, Desa Curahnongko dan

Desa Wonoasri. Metode penelitian yang digunakan deskriptif dengan pendekatan kualitatif.

Data yang diperoleh melalui penelitian kualitatif bersifat natural dan sifatnya dalam serta

peneliti dapat mempelajari dan turut larut dalam kondisi yang dialami oleh informan secara

alami apa adanya. Penentuan informan berdasarkan kriteria khusus yaitu memiliki

pengetahuan tentang gambaran kegiatan DA REDD+ serta informan terlibat langsung

maupun tidak langsung dalam kegiatan DA REDD+. Informan penelitian difokuskan pada

kelompok komunitas lokal yang terlibat langsung maupun tidak langsung yang terdiri dari

petani rehabilitasi dan kelompok wanita, aparatur desa, polisi hutan, LSM lokal, staf Balai

Taman Nasional Meru Betiri.

Teknik pengumpulan data dilakukan melalui beberapa langkah (1) Observasi, meliputi

observasi sistematik dan observasi berkerangka (Hadi, 1986); (2) Wawancara (indepth

interview), metode ini dilakukan dengan mengumpulkan data atau keterangan dari informan

yaitu orang yang memiliki keahlian atau pemahaman yang terbaik mengenai suatu hal yang

ingin diketahui (Silalahi, 2009). Dalam indepth interview terlebih dahulu ditentukan key

informan untuk mengidentifikasi informan yang tepat dengan menggunakan instrumen

pedoman wawancara yang berisi panduan pertanyaan. (3) Diskusi kelompok dilakukan secara

tidak formal untuk menggali informasi dari informan secara lebih mendalam. Diskusi

dilakukan dengan kelompok petani rehabilitasi.

D. Hasil Penelitian dan Pembahasan

1. Kemampuan Adaptif Komunitas Lokal Desa Penyangga Pasca DA REDD+

Kegiatan DA REDD+ merupakan salah satu bentuk intervensi komunitas yang

bertujuan untuk melindungi dan melestarikan hutan, meningkatkan stok karbon hutan serta

meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui upaya pengembangan masyarakat lokal.

6

Dengan adanya kegiatan DA REDD+ diharapkan masyarakat dapat meningkatkan

kemampuan adaptifnya. Sebagaimana UNDP (2005) dalam Lervina dan Tirpak (2006)

memaknai bahwa kemampuan adaptif merupakan tindakan awal aksi adaptasi yang dilakukan

oleh komunitas lokal, dimana dalam praktiknya dipergunakan sumberdaya secara efektif

dengan segenap pengetahuan dan informasi yang dimiliki serta teknologi yang mendukung.

Kegiatan DA REDD+ dianggap sebagai strategi pembangunan efektif untuk

mengurangi dampak perubahan iklim dimana didalamnya terdapat 3 tuntutan (triple wins)

yaitu menjaga emisi karbon hutan agar tetap rendah, membangun ketahanan komunitas lokal

terutama untuk menghadapi perubahan iklim dan mendorong pembangunan kehutanan yang

berkelanjutan dalam suatu rangkaian yang sejalan. Untuk mengetahui keefektifan tiga

tuntutan tersebut, selanjutnya dilakukan identifikasi karakteristik kemampuan adaptif

komunitas lokal melalui kerangka LAC (Local Adaptive Capacity) yang dikemukakan oleh

ACCRA (African Climate Change Resilience Alliance), sebagai berikut.

a. Asset Base (Aset Dasar)

1) Natural capital

Natural capital merupakan kekayaan sumber daya alam yang digunakan untuk

mencukupi kebutuhan sumberdaya untuk mendukung livelihood masyarakat (DFID, 1999

dalam Graham, 2012). Menurut Caravani dan Graham (2011) dalam Graham (2012),

menyebutkan bahwa, dengan mengintegrasikan penggunaan asset alam yang dimiliki oleh

masyarakat dalam desain REDD+, maka biaya peluang yang dikeluarkan oleh masyarakat

dapat diminimalisir, dan masyarakat juga akan bersedia berpartisipasi dalam REDD+.

TNMB merupakan kawasan konservasi sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan

Nomor : 277/Kpts-VI/1997 tanggal 23 Mei 1997, Kawasan Meru Betiri ditetapkan sebagai

Taman Nasional dimana hutan TNMB menjadi milik negara. Hak tenurial lahan hutan

menjadi penuh milik negara dan masyarakat tidak diperbolehkan melakukan kegiatan apapun

termasuk memanfaatkan segala sumberdaya hutan yang berupa kayu maupun non kayu. Sejak

penetapan itu hak tenurial komunitas lokal atas sumberdaya hutan menjadi terbatas. Sehingga

kemudian, terjadi perambahan besar-besaran sewaktu peralihan orde baru menuju reformasi.

Untuk mengatasi hal tersebut, kemudian aset berupa lahan rehabilitasi dibagikan pada

komunitas lokal desa penyangga dengan luasan perorangan berkisar 0,25 Ha. Hal ini menjadi

bagian dari upaya pemberian hak tenurial lahan hutan dimana komunitas lokal desa

penyangga diakui kewenangannya dan terlibat langsung dalam kegiatan rehabilitasi hutan,

serta boleh memanfaatkan, mengelola dan menggunakan sumberdaya yang ada di masing-

masing lahan rehabilitasi yang dimiliki kelompok petani rehabilitasi.

Dengan adanya pengakuan hak tenurial lahan terutama pada lahan rehabilitasi, maka

kegiatan deforestasi dan degradasi dapat diminimalisir. Hal ini sejalan dengan teori yang

7

dikemukakan oleh Caravani dan Graham (2011) dalam Graham (2012), jika akses terhadap

lahan terpenuhi, maka ketahanan komunitas lokal dalam upaya mendukung terciptanya hutan

yang lestari dapat terpenuhi seiring dengan kemampuan adaptif yang dimiliki oleh komunitas

lokal. Aset berupa lahan rehabilitasi menjadi jaminan (safeguards) bagi komunitas lokal

untuk meningkatkan kesejahteraannya sehingga kemampuan adaptif komunitas lokal dalam

menghadapi pasca DA REDD+ dapat terus terlaksana dan pembangunan hutan berkelanjutan

dapat terwujud secara berkesinambungan.

2) Human capital

Human capital diidentifikasi sebagai keterampilan, pengetahuan, kemampuan bekerja

dan kesehatan yang baik yang secara bersama mendukung masyarakat untuk mengejar

strategi penghidupan yang berbeda. Human capital yang dimiliki individu maupun kelompok

untuk menyadarkan perannya dalam peningkatan konservasi karbon hutan. Karaktersitik

human capital yang dimiliki oleh kelompok masyarakat di 3 desa wilayah penelitian

memiliki tingkatan human capital yang berbeda.

Desa Curahnongko, kelompok petani rehabilitasi memiliki human capital yang bagus

dalam kaitannya denan kesadaran yang dimiliki untuk berpartisipasi dalam upaya konservasi

hutan, tetapi hal ini tidak bisa digeneralisir pada semua individu kelompok tani. Hanya

individu kelompok tani yang aktif dan dekat dengan petugas saja yang memiliki kesadaran

tinggi untuk menjaga hutannya. Sedangkan pada kelompok wanita, human capital yang

dimiliki terkait dengan kesadaran dalam upaya konservasi hutan dimiliki oleh tokoh-tokoh

wanita, namun perannya dalam mengadvokasi kelompok wanita untuk berpartisipasi menjaga

kelestarian hutan masih rendah. Sedangkan di Desa Andongrejo, human capital yang bagus

dimiliki oleh kelompok wanita yaitu ibu-ibu pengelola budidaya jamu tradisional. Hal ini

dapat dilihat dari kemampuan dan pengetahuan kelompok wanita yang dimiliki tentang

ramuan tradisional untuk berbagai macam penyakit dengan memanfaatkan apotik hidup yang

merupakan kekayaan hayati TNMB. Kelompok wanita pengelola budidaya jamu tradisonal

menjadi andalan bagi Desa Andongrejo untuk menggiatkan dan mengajak kelompok wanita

lainnya dalam upaya konservasi karbon hutan. Hal ini tidak lain dari motivasi yang dimiliki

individu untuk lebih maju dan berkembang dalam upaya meningkatkan kapasitas pribadinya

serta dukungan dari pendampingan LSM KAIL yang berpengaruh dalam menjamin

keberlangsungan kegiatan budidaya jamu tradisional yang dilakukan oleh wanita. Warisan ini

dimiliki oleh kelompok wanita yang kemudian diupayakan disebarkan melalui tetangga,

rekan, maupun keluarganya. Keinginan untuk memajukan kelompok wanita dan upaya untuk

menjaga hutan khususnya di zona rehabilitasi sangat besar. Kemampuan adaptif kelompok

wanita sangat baik dengan keikutsertaannya peduli pada upaya pelestarian hutan dan

konservasi karbon dengan tetap menjaga tanaman pokok di lahan rehabilitasi.

8

Berbeda halnya dengan kelompok wanita yang ada di Desa Wonoasri. Kelompok

wanita tidak terlalu berperan aktif dalam mewujudkan kegiatan REDD+ khususnya di

TNMB. Hal ini dikarenakan, peran pendampingan hanya terfokus pada Desa Andongrejo dan

Curahnongko, yang digagas sebagai pilot project untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat

dalam implementasi kegiatan DA REDD+ serta kurangnya motivasi dari individu masing-

masing. Potensi human capital yang dimiliki masing-masing kelompok akan berpengaruh

pada kemampuan adaptif terutama dalam upaya konservasi karbon. Semakin banyak

pengetahun yang dimiliki kelompok tani, maka semakin terampil mereka dalam melakukan

inovasi-inovasi untuk mengelola lahan dan bersikap bijak pada pengelolaan hutan TNMB.

3) Social capital

Social capital digambarkan sebagai sumber daya sosial yang dimanfaatkan untuk

mendukung tujuan peningkatan livelihood masyarakat (DFID, 1999 dalam Graham,

2012). Dalam social capital bentuk hubungan antarindividu maupun antarkelompok yang

terjalin untuk saling menguatkan satu dengan lainnya. Hal ini menjadi modal utama untuk

meningkatkan partisipasi komunitas lokal serta meningkatkan kemampuan adaptifnya baik

yang dimiliki individu maupun komunitas dalam mendukung upaya konservasi karbon hutan.

Karaketeristik social capital kelompok masyarakat TNMB cenderung berbeda dimana hal ini

akan berpengaruh pada implementasi kegiatan khususnya yang terkait dengan upaya

pelestarian hutan.

Desa Curahnongko memiliki social capital yang bagus yang terjalin antarindividu

maupun antarkelompok, dimana terlihat bahwa peran seorang ketua kelompok petani

rehabilitasi sangat mempengaruhi anggota kelompok tani lainnya. Keaktifan dan keluwesan

ketua kelompok dalam melakukan pendekatan kepada warga serta merangkul warganya

menjadi kunci untuk menghidupkan peran kelompok dalam meningkatkan kemampuan

adaptifnya. Tingginya social capital dapat dilihat dari loyalitas individu untuk berkumpul

dalam acara-acara yang diselenggarakan formal maupun informal oleh ketua kelompok tani.

Social capital di kelompok ibu-ibu pengajian di Desa Curahnongko pada dasarnya memiliki

hubungan yang kuat. Intensitas dari pertemuan mingguan dan kekompakan ibu-ibu menjadi

salah satu sasaran untuk mendekati kelompok wanita dalam upaya peningkatkan kemampuan

adaptif yang salah satunya diinisiasi oleh LSM KAIL. Upaya melibatkan kelompok

pengajian didasari pada keinginan untuk menginternalisasi upaya konservasi dalam nilai-nilai

agama dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat sehingga hal ini tidak hanya dipahami

sebagai bentuk kegiatan saja tapi diharapkan dapat menjadi kemasan langkah ibadah dan

menanam kebaikan. Stigma yang ditanamkan adalah dengan upaya melestarikan hutan akan

memberi manfaat tidak hanya bagi manusia sendiri, tetapi bagi makhluk ciptaan Tuhan

lainnya seperti hewan tumbuhan juga menjadi bagian dari ladang amal. Menciptakan

9

kehidupan harmonis antara alam dengan manusia adalah menjadi peran utama manusia

sebagai khalifah di bumi.

Kelompok wanita pengelola budidaya jamu tradisional di Desa Andongrejo memiliki

gambaran social capital yang bagus. Hal ini terlihat dari keaktifan kelompok untuk

mengembangkan ramuan jamu yang berkhasiat mengobati berbagai jenis penyakit serta

keaktifannya dalam perkumpulan pengajian mingguan. Kelompok ini sudah terbentuk sejak

Tahun 1993 oleh LSM LATIN (Bogor). Kondisi social capital kelompok wanita di Desa

Andongrejo menjadi salah satu potensi dalam upaya melibatkan partisipasi masyarakat

khususnya kelompok wanita untuk turut serta meningkatkan konservasi karbon. Kesadaran

dan peran pentingnya kelompok wanita dalam menjaga hutan diharapkan dapat menjadi

kunci untuk bersama meningkatkan kepedulian terhadap hutan demi kelestarian hutan dan

terjaminnya kesejahteraan komunitas lokal.

Lain halnya dengan kondisi di Desa Wonoasri, dimana merupakan desa yang tidak

mendapat pendampingan langsung dari LSM. Namun peran social capital yang dimiliki

antarindividu maupun antarkelompok petani dalam upaya konservasi karbon hutan cukup

besar. Baik antarindividu maupun antarkelompok terjadi hubungan timbal balik untuk saling

mengingatkan. Hal ini juga didukung oleh peran aparatur desa yang juga turut aktif untuk

melakukan pendekatan kepada kelompok komunitas terkait dengan upaya-upaya apa yang

dapat mendukung terciptanya hutan lestari. Peran aparatur desa mendapat dukungan positif

dari kelompok komunitas lokal, sehingga hubungan sinergi keduanya dapat meningkatkan

kepedulian bersama dalam upaya konservasi karbon hutan.

4) Financial capital

Financial capital dipandang sebagai sumber daya keuangan yang digunakan

masyarakat untuk mengadopsi strategi mata pencaharian yang berbeda (DFID,1999

dalam Graham, 2012). Berkaitan dengan kondisi financial capital yang dimiliki oleh

komunitas lokal desa penyangga terkait dengan kemampuan yang dimiliki komunitas

untuk mengalihkan mata pencaharian alternatif untuk mengurangi interaksi dan

ketergantungan terhadap hasil hutan di kawasan TNMB. Dengan demikian,

kemampuan adaptif komunitas lokal dalam upaya konservasi karbon dapat terwujud

melalui strategi pengembangan mata pencaharian alternati f, dimana komunitas lokal

desa penyangga tidak selalu mengandalkan kehidupannya pada hasil hutan berupa

kayu saja melainkan dengan melakukan budidaya dari hasil hutan berupa non kayu

untuk diolah agar memberikan nilai tambah.

b. Knowledge and Information (Pengetahuan dan Informasi)

Menurut Frankhauser dan Tol (1997) dalam Graham (2012) mengemukakan bahwa

langkah bagaimana sebuah informasi dihasilkan, dikumpulkan, dianalisis dam disebarluaskan

10

akan menjadi penting dalam menentukan kemampuan adaptif kelompok masyarakat. Hal ini

jelas berkaitan erat dengan keberadaan lembaga-lembaga, dan masyarakat yang akan

membutuhkan sistem untuk mengoptimalkan generasi pengetahuan informal dan berbagi

serta terbaik memanfaatkan jenis pengetahuan yang lebih formal.

Pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat serta informasi yang didapat melalui

kegiatan DA REDD+, akan berpengaruh pada kemampuan adaptif komunitas lokal. Semakin

banyak pengetahun dan informasi yang diperoleh, serta pemahaman dari rangkaian kegiatan

dan tujuan DA REDD+, komunitas lokal dapat membangun kesadarannya serta memiliki

banyak pilihan untuk menentukan aksi adaptasi dalam upaya konservasi karbon hutan demi

menjamin kesejahteraan hidup masyarakat masa sekarang maupun di masa yang akan datang

tanpa merusak fungsi hutan.

Dalam proses transferability, akan diperoleh informasi dan pengetahuan yang dimiliki

komunitas lokal baik pada kelompok petani rehabilitasi maupun kelompok wanita.

Rekonstruksi pemahaman informan pada kedua kelompok terkait dengan REDD+ merupakan

salah satu upaya untuk mengidentifikasi kemampuan adaptif komunitas lokal pasca kegiatan

DA REDD+. Karakteristik kemampuan adaptif komunitas lokal cenderung berbeda

antarkelompok dan antardesa di wilayah penelitian. Kemampuan adaptif yang dimiliki

komunitas lokal untuk mengatasi perubahan ketika dan di saat dibutuhkan cenderung berbeda

antara tempat yang satu dengan lainnya maupun antarkomunitas satu dengan lainnya, serta

antarwaktu yang berbeda pula (Smit dan Wandel, 2006 dalam Ludi dkk, 2011).

Dalam komunitas lokal desa penyangga, istilah REDD+ bukan merupakan istilah yang

mudah dimengerti bagi komunitas lokal. REDD+ lebih dipahami sebagai salah satu upaya

pelestarian hutan khususnya di lahan rehabilitasi yang dilakukan dengan cara menjaga

tanaman pokok sebagai penghasil karbon. Kelompok komunitas lokal di Desa Andongrejo

dan Curahnongko lebih memahami mengenai konsep REDD+ yang diwujudkan dalam

sebagian perilaku upaya konservasi karbon hutan. Kesadaran dan kepedulian untuk

pelestarian hutan di Desa Curahnongko dan Andongrejo tidak dapat digeneralisir bahwa

masyarakat menyadari dan bertindak menghijaukan hutan. Masih terdapat kelompok

masyarakat yang tidak memiliki kesadaran penuh atas peran dan fungsi hutan. Tetapi

cenderung lebih mementingkan kegiatan ekonomi dan sibuk mensejahterakan pribadinya

dengan tindakan yang melanggar hukum.

Lain halnya dengan kelompok komunitas Desa Wonoasri, khususnya kelompok petani

rehabilitasi yang tidak mengikuti kegiatan DA REDD+ terlihat kurang memahami dan

familiar dengan istilah REDD+. REDD+ hanya dipahami oleh sebagian kelompok petani

rehabilitasi yang mengikuti kegiatan REDD+ dan petugas resort Wonoasri. Peran kelompok

petani sendiri tidak begitu besar untuk menyatakan bahwa mereka benar-benar melakukan

11

transferability tersebut kepada anggota kelompok tani lainnya. Namun uniknya adalah lahan

rehabilitasi yang dimiliki oleh petani di Desa Wonoasri memiliki tingkat kerapatan tanaman

yang lebih baik jika dibandingkan dengan dua desa lainnya. Hal ini dikarenakan kesadaran

komunitas lokal sendiri untuk ikut serta menjaga hutan di lahan rehabilitasi yang dimiliki

petani. Walaupun pengetahuan tidak diperoleh secara merata pada elemen kelompok

masyarakat, tingkat kesadaran dan kepeduliannya untuk menjaga hutan masih relatif bagus

jika dibandingkan dengan dua desa lainnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa proses

transferability terkait pengetahuan REDD+ tidak dapat berjalan optimal.

Tetapi nilai pentingnya adalah kesadaran individu maupun kelompok dalam upaya

konservasi karbon hutan cenderung baik. Hal ini berkorelasi dengan hubungan yang

terbentuk antara komunitas lokal dengan hutan tidak memiliki keterkaitan langsung, artinya

dalam hal ekonomi, komunitas lokal Desa Wonoasri tidak bergantung sepenuhnya pada

hutan, karena sebagian besar masyarakat lebih mengandalkan bekerja sebagai buruh

perkebunan yang banyak mengelilingi kawasan TNMB. Kegiatannya di lahan rehabilitasi

hanya sebagai sampingan saja. Tetapi kesadaran untuk tetap menjaga hutannya disadari

cukup baik.

Berdasarkan pengamatan yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa transferability akan

berpengaruh pada tingkat kesadaran dari pengetahuan yang diperoleh dimana akan

mempengaruhi kemampuan adaptif komunitas lokal sehingga dapat mempraktikkan upaya-

upaya konservasi karbon hutan.

c. Innovation (Inovasi)

Seperti pada teori Ludi (2011) dalam Graham (2012), menyebutkan bahwa inovasi

berkaitan erat dengan pengetahuan dan informasi tambahan yang diperoleh individu untuk

menganalisis bagaimana mengambil peluang atau menanggapi ancaman dari perubahan

iklim. Dimana inovasi juga terkait erat dengan aset dasar yang mencerminkan kondisi

ekonomi seseorang dalam mengambil resiko maupun mengembangkan investasi dalam

inovasi. Inovasi antarindividu maupun antarkelompok cenderung berbeda sesuai dengan

pengetahuan dan informasi yang diperoleh serta kesadaran yang dimiliki. Dalam hal ini

menggambarkan bahwa semakin banyak individu maupun kelompok terlibat dalam rangakain

kegiatan DA REDD+ semakin banyak informasi dan pengetahuan yang dimiliki sehingga

inovasinya akan semakin baik. Banyak hal baru yang akan dilakukan (inovasi) dalam upaya

mempraktikkan dan mengembangkan pengetahuan yang dimiliki sebagai bentuk wujud

kemampuan adaptif (Gambar 2).

12

Gambar 2. Hubungan keterkaitan komponen dalam membentuk kemampuan adaptif

Kemampuan sebuah sistem dalam mendukung praktik baru dan meningkatkan inovasi

menjadi kunci utama dalam menentukan karakteristik perilaku adaptif. Sistem yang dimaksud

adalah seluruh pihak yang terlibat dan bertanggungjawab dalam menciptakan keharmonisan

di alam, yaitu manusia (yang terdiri dari komunitas lokal maupun peran institusi).

Berdasarkan hasil temuan lapangan inovasi akan dikelompokkan menjadi 3 yaitu Pertama,

inovasi budidaya tanaman yang dilakukan oleh kelompok petani rehabilitasi dengan

menanam tanaman yang memiliki kandungan dan serapan karbon tinggi serta

menguntungkan dari segi ekonomis, dan tahan terhadap naungan yang teduh sehingga

pertumbuhannya tidak terganggu. Untuk mewujudkan inovasi tersebut, dilakukan dengan

metode MPTS (Multi Purpose Trees Species). Hal ini untuk mengakomodir kepentingan

masyarakat karena pada dasarnya masyarakat memiliki ketergantungan tinggi terhadap hasil

hutan.

Kedua, Inovasi untuk meningkatkan pendapatan melalui program pemberdayaan

masyarakat. Dalam hal ini beberapa kegiatan yang dilakukan yaitu dengan mengembangkan

tanaman empon-empon untuk budidaya pengelolaan jamu tradisional dengan sistem

agroforestry serta pembudidayaan jamur tiram. Hal ini menjadi upaya untuk memberikan

kontribusi alternatif peningkatan pendapatan ketika rapatan tegakan hutan semakin tinggi,

sehingga tercipta kreasi baru dari petani untuk menanam tanaman yang lain dan bernilai

ekonomis. Salah satu penerapannya dilakukan di Desa Andongrejo yang menyasar pada

kelompok wanita pengelola budidaya jamu tradisional.

Ketiga, Inovasi pengelolaan lahan rehabilitasi. Inovasi untuk meningkatkan motivasi

konservasi hutan diwujudkan melalui program PINTAR. Program PINTAR merupakan

bentuk apresiasi kepada petani rehabilitasi yang berhasil menjaga tanamannya di lahan

rehabilitasi sesuai dengan skema sistem pengkelasan lahan berdasarkan jumlah rapatan

tanaman pokok/tegakan yang ada. Program ini hanya diterapkan di Desa Curahnongko dan

Adaptive capacity

Asset base

Information &

Knowledge Innovation

Intervention Intervention

Opportunity

Threathness

13

Andongrejo dengan inisiasi LSM KAIL. Tujuan program PINTAR adalah untuk

meningkatkan dan membangun partisipasi masyarakat dalam upaya konservasi karbon hutan.

Dimana penerapannya diberlakukan pada petani yang memiliki lahan rehabilitasi dengan nilai

kelas lahan pada peringkat 5 dan 6 yang menggambarkan bahwa kerapatan tanaman di

rehabilitasi sudah mencapai antara 100 hingga 150 pohon. Petani tersebut kemudian akan

diberikan keringanan harga beli sembilan bahan pokok sebesar Rp 3.000,- di toko yang telah

disediakan, dengan maksimal jumlah pemotongan satu tahun sebesar Rp 150.000,- per orang.

Upaya pelibatan partisipasi masyarakat untuk menjaga kawasan hutan TNMB khususnya

yang berbatasan langsung dengan zona rimba pada lahan rehabilitasi juga diinisiasi oleh LSM

KAIL melalui pemetaan partisipatif. Pemetaan partisipatif ditujukan untuk meningkatkan

komitmen dan kesadaran komunitas lokal maupun kelompok petani rehabilitasi untuk

bertanggungjawab dalam konservasi karbon hutan dengan tidak melakukan perambahan.

Namun, kegiatan ini hanya mampu diimplementasikan pada kelompok petani rehabilitasi di

Desa Curahnongko karena keterbatasan pembiayaan program.

Menurut Smith et al (2003) dalam Graham (2011), kemampuan sebuah sistem dalam

mendukung praktik baru dan meningkatkan inovasi menjadi kunci utama dalam menentukan

karakteristik kapasitas adaptif. Hal ini tentunya dibutuhkan perubahan kondisi sosial dan

lingkungan serta praktik-praktik. Beberapa inovasi tersebut telah diwujukan oleh LSM KAIL

khususnya di kelompok komunitas Desa Andongrejo dan Curahnongko. Berpedoman pada

Teori Smith, melalui pengamatan yang dilakukan di Desa Curahnongko dan Andongrejo

dapat disimpulkan bahwa dukungan kelembagaan LSM cukup efektif untuk mengubah

perilaku adaptif kelompok masyarakat dalam upaya konservasi hutan. Intervensi LSM KAIL

dalam bidang pengembangan masyarakat lokal dapat meningkatkan inovasi dan motivasi

komunitas untuk meningkatan kondisi livelihoodnya. Hal yang terlihat adalah berkurangnya

ketergantungan kelompok komunitas lokal terhadap hasil hutan yang berupa kayu. Ditandai

dengan tumbuhnya kegiatan ekonomi lokal melalui pengelolaan hasil hutan non kayu sebagai

produk olahan inovatif.

Upaya LSM KAIL dalam melakukan inovasi yang menyentuh level mikro dianggap

sebagai cara efektif yang mampu menjadi solusi untuk menciptakan peluang dan respon

terhadap konservasi karbon hutan khususnya di Kawasan TNMB.

d. Institutions and Entitlements (Dukungan Kelembagaan dan Persamaan Hak)

Dukungan kelembagaan memiliki pengaruh penting dalam meningkatkan

kemamampuan adaptif sebagaimana dijelaskan dalam teori yang dikemukakan oleh Jones et

al (2010) dalam Graham (2012). Lembaga merupakan kontrol dari sistem regulasi dan

struktur organisasi yang ada, dimana lembaga tersebut dapat bersifat formal (lembaga

pemerintahan) maupun non formal (Lembaga Swadaya Masyarakat/LSM) (Ostrom, 2005

14

dalam Graham, 2012). Adaptabilitas dan fleksibilitas suatu lembaga akan mempengaruhi

peran komunitas dalam menentukan kapasitas adaptifnya. Kondisi ini tidak terlepas dari

eksistensi peran lembaga dalam mengatur dan menciptakan partisipasi kelompok masyarakat

dalam upaya perwujudan konservasi karbon di TNMB. Dukungan kelembagaan dalam hal ini

lebih menitikberatkan pada penguatan karena lembaga di tingkat lokal sudah terbentuk sejak

sebelum diselenggarakannya DA REDD+, sehingga dalam masa periode kegiatan DA

REDD+ eksistensi lembaga ini lebih diperkuat perannya khususnya di tingkat lokal dengan

meningkatkan partisipasi masyarakat.

Dukungan kelembagaan yang berasal dari kegiatan pendampingan LSM KAIL lebih

dipusatkan pada dua desa yaitu Desa Curahnongko dan Andongrejo. Melalui dukungan

kelembagaan pada kelompok petani rehabilitasi dan kelompok wanita, tingkat ketahanan

dalam membentuk kapasitas adaptif untuk upaya konservasi karbon dirasa memiliki potensi

besar dengan melibatkan partisipasi komunitas lokal. Dukungan pada kelompok petani

rehabilitasi dilakukan melalui pembentukan kelembagaan semi formal antar anggota

kelompok petani rehabilitasi serta beberapa usaha budidaya untuk mengurangi

kebergantungan kelompok petani rehabilitasi pada hasil hutan serta dapat meningkatkan

pendapatannya. Sedangkan pada kelompok wanita, upaya yang dilakukan yaitu melalui

budidaya pengelolaan jamu tradisional, dimana penguatan kelembagan menjadi salah satu

bekal untuk mewujudkan eksistensi kelompok wanita. Perannya begitu penting dalam

melakukan persuasif terhadap anggota kelompok wanita lainnya untuk kegiatan rehabilitasi

hutan. Hal ini dapat terlihat di Desa Andongrejo yang dilihat dari keaktifan dan eksistensi

kelompok wanita pengelola jamu tradisional. Sedangkan di Desa Curahnongko, penguatan

kelompok wanita pada kelembagaan semi formal yaitu perkumpulan ibu-ibu pengajian

menjadi andalan bagi upaya penyadaran kelompok wanita yang ditanamkan melalui elemen

agama dan budaya.

Peran pemerintah juga penting dalam upaya meningkatkan kemampuan adaptif

komunitas lokal. Hal ini dibuktikan dengan adanya upaya peningkatan kapasitas

kelembagaan misalnya SPKP (Sentra Penyuluhan Kehutanan Perdesaan), MMP (Masyarakat

Mitra Polhut), serta peran resort/polisi hutan. Pemerintah telah berupaya untuk melibatkan

masyarakat dalam upaya pengawasan dan perlindungan hutan dengan adanya MMP, sehingga

diharapkan partisipasi aktif kelompok komunitas dalam MMP menjadi bagian dari wujud

peningkatan kemampuan adaptif dari terselenggaranya kegiatan DA REDD+.

e. Flexible and Forward Thinking, Decision making, and Governance (Fleksibilitas dan

Orientasi Ke Depan, Pengambilan Keputusan, serta Tata Kelola Pemerintahan)

Menurut Jones et al (2010) dalam Graham (2012), kemampuan sebuah sistem untuk

mengantisipasi perubahan, menggabungkan informasi yang relevan serta memadukan inisiatif

15

dalam perencanaan di masa mendatang dan mengatur tata kelolanya merupakan aspek

penting dalam menentukan kemampuan adaptif. Hal ini terutama berkaitan dengan peran

pemerintah dan LSM lokal terkait. Dalam sebuah sistem yang bekerja diperlukan keterlibatan

secara bersama untuk menciptakan sebuah komponen utuh yang saling bekerjasama.

Pihak manajemen Balai TNMB telah berupaya melibatkan partisipasi komunitas dalam

upaya menjaga hutan melalui pembentukan Masyarakat Mitra Polhut (MMP). Setiap desa

penyangga dibentuk MMP yang anggotanya dipilih dari kelompok petani rehabilitasi yang

memiliki peran penting dalam struktur kelompok dan aktif dalam setiap kegiatan. Tata

kepemerintahan dengan struktur, mekanisme dan institusi-institusinya adalah kunci penentu

bagi kemampuan adaptif (Adger et al 2004;Brooks et al 2005 dalam Locatelli, dkk, 2009)

karena ia menentukan kerangka dimana adaptasi terjadi atau dimana adaptasi dibutuhkan

(Locatelli, dkk 2009).

Selain upaya perlindungan terhadap hak tenurial atas masyarakat desa penyangga,

diperlukan sistem hukum yang tegas terhadap sejumlah aksi illegal logging yang dinilai

cukup merugikan. Keberanian institusi pemerintah untuk menerapkan hukuman yang tegas

bagi pelaku illegal logging sangat menentukan bagi keberlangsungan kelestarian hutan

TNMB. Pada dasarnya kegiatan illegal logging tidak hanya merugikan bagi pihak pemerintah

saja, melainkan juga bagi komunitas desa penyangga sendiri dimana dampaknya akan

dirasakan ketika hutan semakin gundul berdampak pada bencana lokal yang tidak dapat

diprediksi datangnya.

2. Aksi Adaptasi Komunitas Lokal Desa Penyangga Pasca DA REDD+

Adaptasi merupakan penyesuaian perilaku dan karakteristik sistem yang akan

meningkatkan kemampuannya dalam menghadapi tekanan eksternal (Brooks, 2003 dalam

Bappenas, 2012) atau penyesuaian sistem alam atau manusia terhadap sebuah lingkungan

baru atau sebuah lingkungan yang berubah (IPCC TAR, 2001 dalam Bappenas, 2012). Proses

pembangunan aksi adaptasi diawali dengan pembangunan kemampuan adaptif melalui

intervensi sosial dimana tujuan intervensi adalah mencari cara bagaimana meningkatkan

kualitas dan ketersediaan kebutuhan sumberdaya untuk diadaptasi, atau bagaimana mengolah

kemampuan untuk menggunakan sumberdaya secara efektif.

Keterbatasan sumberdaya lahan menjadikan hutan sebagai tumpuan hidup bagi

komunitas lokal desa penyangga. Namun, mereka menyadari perannya sebaagi manusia,

tidak boleh melakukan ekploitasi yang berlebihan terhadap sumberdaya hutan. Komunitas

lokal desa penyangga merupakan ujung tombak sekaligus aktor kunci bagi upaya konservasi

hutan maupun semua keberlangsungan program kegiatan DA REDD+ di TNMB. Adaptasi

terhadap hutan akan sangat penting untuk mendorong upaya mengatur dan menjaga stok

16

karbon dalam jangka panjang, meskipun di banyak wilayah struktur dan fungsi hutan telah

berubah sejak lama (Noss, 2001 dalam Graham, 2011). Perubahan dapat dimimalisir dengan

melakukan adaptasi sebagai upaya mitigasi kerusakan hutan.

Dengan mengetahui pandangan masyarakat terhadap hutan TNMB dan pemahaman

yang tercipta atas konstruksi kegiatan DA REDD+ dapat menjadi kontiribusi penting bagi

upaya penerapan aksi adaptasi yang dilakukan setelah kegiatan DA REDD+ berlangsung.

Berdasarkan hasil analisis keterangan dari kelompok komunitas lokal desa penyangga,

keterkaitan hubungan yang terjalin antara komunitas lokal dengan hutan tergambarkan ke

dalam 5 konsep yaitu (1) Masyarakat bertanggungjawab atas upaya pelestarian hutan; (2)

Hutan sebagai sumber mata pencaharian; (3) Hutan sebagai alternatif mata pencaharian; (4)

Keterbatasan sumberdaya lahan di sekitar kawasan TNMB; dan (5) Hutan memiliki manfaat

bagi ekosistem lingkungan. Secara umum dapat dismpulkan bahwa keterkaitan hubungan

antara komunitas lokal desa penyangga dengan hutan TNMB bergantung pada kedekatan

lokasi geografis kawasan yang pada akhirnya akan juga berpengaruh pada tingkat adaptasi

dan tuntutan dalam menjalankan keberlangsungan kehidupannya.

Dalam mewujudkan ketercapaian tujuan dari adanya kegiatan DA REDD+ di kawasan

TNMB perlu dilakukan kajian terhadap aksi adaptasi yang telah dilakukan oleh kelompok

komunitas beserta stakeholder yang terkait langsung dengan eksistensi kawasan TNMB. Aksi

adaptasi perlu didukung oleh semua komponen komunitas lokal , baik individu, kelompok-

kelompok formal/informal, maupun pemerintah dimana dalam keberhasilannya diperlukan

waktu yang tidak singkat karena di dalamnya membutuhkan proses penyadaran dan

pemahaman atas sesuatu hal yang baru dan memerlukan pembiasaan. Peran aktif

kelembagaan baik pemerintah maupun non pemerintah, kemampuan serta keinginan seluruh

komponen untuk bekerjasama membangun sebuah aksi adaptasi dalam upaya konservasi

karbon hutan. Berikut berbagai aksi adaptasi yang dilakukan oleh kelompok komunitas lokal

desa penyangga TNMB.

a. Kelompok petani rehabilitasi

Kemampuan adaptif komunitas lokal untuk melakukan sejumlah inovasi terkait dengan

upaya pengurangan kebergantungan terhadap hutan yang dilakukan melalui pengelolaan

lahan rehabilitasi dimana dalam implementasinya melalui penanaman sejumlah tanaman

pokok yang memilki kandungan serapan karbon tinggi juga memiliki nilai ekonomis serta

tidak merusak ekosistem hutan. Aksi adaptasi kelompok petani rehabilitasi tidak terlepas dari

peran pemberdayaan yang dilakukan oleh LSM KAIL. Intervensi pemberdayaan masyarakat

dalam rangkaian kegiatan DA REDD+ dilakukan di 2 (dua) desa yaitu Desa Andongrejo dan

Desa Curahnongko. Kedua desa tersebut menjadi pilot project penerapan keberhasilan upaya

pengembangan masyarakat dalam pengelolaan hutan TNMB khususnya di lahan rehabilitasi.

17

Kelompok petani rehabilitasi turut serta dalam menjaga tanaman pokok/tegakan melalui

kesepakatan bersama untuk tidak melakukan penebangan serta melakukan penyulaman jika

terdapat tanamanpokok/tegakan yang roboh dan mati. Penyulaman tanaman di lahan

rehabilitasi menggunakan bibit swadaya mandiri maupun dengan bibit pemberian pihak Balai

TNMB.

Aksi adaptasi yang dilakukan kelompok komunitas lokal khususnya petani rehabilitasi

di Desa Andongrejo dan Curahnongko terbentuk berdasarkan binaan LSM. Hal ini sesuai

dengan teori yang dikemukakan oleh Levine, Ludi, dan Jones (2011), bahwa intervensi

dinilai membantu masyarakat maupun komunitas untuk beradaptasi kepada pola baru yang

terbentuk dari lingkungan alam, sosial ekonomi dan politik serta hubungan diantara ketiga

komponen tersebut.

Lain halnya dengan aksi adaptasi upaya konservasi karbon hutan di Desa Wonoasri

yang dilakukan tanpa pendampingan LSM. Kesadaran komunitas lokal menjadi bagian

penting dalam upaya rehabilitasi hutan. Tanpa pendampingan LSM, kelompok petani

rehabilitasi secara mandiri mampu melakukan aksi adaptasinya yang terwujud ke dalam

upaya menjaga tanaman pokok di masing-masing lahan rehabilitasi. Teori yang dikemukakan

oleh Levine, Ludi, dan Jones (2011), mengenai peran intervensi dalam keberhasilan aksi

adptasi tidak sepenuhnya dibenarkan dalam fenomena yang terjadi di Desa Wonoasri.

Sebelum adanya kegiatan DA REDD+, komunitas lokal Desa Wonoasri sudah memiliki

kesadaran untuk menjaga hutan dan lahan rehabilitasinya. Hal ini tidak lain karena, kesadaran

yang dimiliki serta rasa tanggungjawab yang tinggi terhadap komitmen yang telah disepakati

bersama antara pemerintah dengan kelompok petani rehabilitasi.

b. Kelompok wanita

Kelompok wanita memiliki peran dan kedudukan penting dalam mendukung

terciptanya aksi adaptasi, dimana keterlibatannya menjadi sangat diperhitungkan bila

dikaitkan dengan upaya pemberdayaan masyarakat. Di Desa Andongrejo, pelibatan kelompok

wanita lebih menyasar pada kegiatan yang berdampak langsung pada ekonomi, dimana

perannya cukup strategis dalam mendukung keberhasilan program rehabilitasi hutan TNMB.

Hubungan keterkaitan antara kondisi tanaman pokok/tegakan akan berpengaruh pada

tanaman yang hidup dibawah naungan. Jika hutan terganggu, maka kegiatan ekonominya

akan terganggung pula, sehingga secara tidak langsung kesadaran untuk mejaga hutan akan

terbentuk melalui aksi adaptasi dan upaya persuasif pada kelompok wanita lainnya untuk

turut menjaga tanaman pokok/tegakan yang ada di lahan rehabilitasi.

Sedangkan di Desa Curahnongko, internalisasi agama dan wujud pengetahuan menjadi

bekal utama dalam membentuk stigma upaya konservasi karbon hutan di kalangan kelompok

wanita. Agama menjadi dasar kuat bagi sebagian besar komunitas lokal di desa penyangga,

18

dimana karakteristik masyarakat Jember secara umum dipandang sebagai karakter

masyarakat yang agamis. Peran kelompok wanita di Desa Wonoasri berbeda dengan

gambaran di Desa Andongrejo dan Curahnongko. Peran kelompok wanita tidak nampak pada

Desa Wonoasri, dimana kelompok wanita cenderung pasif. Kelompok wanita tidak memiliki

pengaruh penting dalam sistem sosial yang berkembang di masyarakat. Selain itu, tidak

adanya peran pendampingan LSM lokal dalam upaya pemberdayaan wanita membuat

kepedulian kelompok wanita dalam upaya konservasi hutan tidak cukup menonjol.

c. Aparatur Desa

Dukungan aparatur desa akan mempengaruhi kemampuan (abilitiy) kelompok

masyarakat untuk melakukan aksi adaptasi nyata terhadap konservasi karbon hutan TNMB.

Sejumlah upaya telah dilakukan pihak pemerintah desa yang bekerjasama dengan Balai

TNMB, polisi hutan dan LSM lokal untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran

komunitas lokal pada upaya perlindungan hutan.

d. LSM KAIL

Dalam mendukung aksi adaptasi tidak terlepas dari peran dukungan pemerintah

maupun LSM lokal yang membantu meningkatkan kemampuan adaptif komunitas lokal

untuk melakukan aksi adaptasinya terutama untuk mendukung konservasi karbon hutan.

Sebelum adanya kegiatan DA REDD+ telah terbentuk kelembagaan sederhana yang terdiri

dari kelompok petani rehabilitasi dengan fokus kegiatannya yaitu pada upaya pelestarian

hutan kembali khususnya di lahan rehabilitasi. Namun, sejak berlangsungnya kegiatan DA

REDD+, dilakukan upaya peningkatan kapasitas kelembagaan dengan melibatkan peran aktif

petani rehabilitasi sebagai pelaku utama yang memiliki keterkaitan langsung dengan

keberadaan hutan TNMB dan kegiatan konservasi. Dukungan kelembagaan memiliki peran

penting dalam upaya aksi adaptasi yang dilakukan oleh komunitas lokal.

Levine, Ludi, dan Jones (2011) menyebutkan bahwa kondisi lingkungan yang

mendukung diperlukan untuk memastikan bahwa individu maupun kelompok komunitas

mampu membuat perubahan yang diperlukan untuk menanggapi perubahan iklim serta

perubahan lain yang mungkin ditimbulkan. Dengan diterapkannya pola pendampingan

pemberdayaan masyarakat di Desa Andongrejo dan Curahnongko, kelompok petani

rehabilitasi maupun kelompok wanita memliki ketahanan untuk menanggapi kebijakan dari

dari DA REDD+ dimana perolehan hak tenurial sudah diakui oleh pemerintah. Komunitas

lokal desa penyangga dilibatkan secara langsung dalam upaya konservasi karbon hutan

melalui pengakuan hak pengelolaan atas lahan rehabilitasi.

e. Polisi hutan/resort

Aksi adaptasi diwujudkan melalui kegiatan pengawasan dan perlindungan kawasan

hutan sesuai dengan tupoksinya. Resort bertanggungjawab dalam menjaga keamanan

19

kawasan hutan TNMB dengan upaya mendekatkan diri dengan masyarakat sebagai bagian

dari bentuk pendekatan partisipastif. Kemampuan resort untuk menjaga hutan tidak bisa

terlepas dari peran keterlibatan komunitas lokal. Kedua komponen ini pada dasarnya

memiliki sifat saling mendukung satu dengan lainnya. Sebagaimana Smith (2000)

mengemukakan bahwa adaptasi perlu didukung oleh semua komponen masyarakat, baik

individu, kelompok-kelompok, dan pemerintah. Kebersamaan untuk saling mendukung antar

komponen stakeholder dalam mewujudkan aksi adaptasi memiliki pengaruh yang besar.

f. Balai TNMB

Pemerintah khususnya Manajemen Balai TNMB, memiliki kekuatan penuh dalam

pengawasan dan pelaksanaan fungsi untuk meningkatkan aksi adaptasi komunitas lokal

dalam kegiatan konservasi karbon hutan serta meningkatkan stok karbon hutan sebagai

bagian dari salah satu tujuan dari terselenggaranya DA REDD+. Salah satunya dengan

melakukan pengaturan kelembagaan. Membangun kelembagaan di tingkat lokal komunitas

dapat menciptakan hubungan kedekatan antara pemerintah dengan komunitas lokal.

Keberhasilan pemerintah dalam mewujudkan pembangunan hutan yang berkelanjutan tidak

dapat terlepas dari aksi adaptasi seluruh komponen yang ada baik yang berkaitan langsung

dengan hutan maupun tidak langsung. Atribut dari kapasitas kepemerintahan dan individu,

organisasi atau komunitas untuk beradaptasi menentukan keberhasilan adaptasi terhadap

perubahan iklim (Pelling dan High 2005 dalam Locatelli 2009).

E. Kesimpulan

1. Kemampuan masyarakat dalam merespon sebuah perubahan adaptif dipengaruhi oleh aset

yang dimiliki, serta bagaimana mengakses dan mengontrol semua aset yang ada.

2. Aset dasar yang dimiliki kelompok komunitas lokal terdiri dari natural capital, human

capital, social capital dan financial capital.

3. Dukungan kelembagaan memiliki pengaruh penting dalam meningkatkan kemampuan

adaptif dimana peran lembaga sebagaikontrol dari sistem regulasi dan struktur organisasi

memberikan nilai positif bagi upaya pengembangan pemberdayaan masyarakat.

4. Langkah bagaimana sebuah informasi dihasilkan, dikumpulkan, dianalisis dam

disebarluaskan akan menjadi penting dalam menentukan kemampuan adaptaif kelompok

masyarakat.

5. Inovasi antar individu maupun kelompok cenderung berbeda sesuai dengan pengetahuan

dan informasi yang diperoleh. Dalam hal ini menggambarkan bahwa semakin banyak

seseorang maupun kelompok terlibat dalam rangakain kegiatan DA REDD+, maka

inovasinya akan lebih baik.

20

6. Kemampuan sebuah sistem untuk mengantisipasi perubahan, menggabungkan informasi

yang relevan serta memadukan inisiatif dalam perencanaan di masa mendatang dan

mengatur tata kelolanya merupakan aspek penting dalam menentukan kemampuan adaptif

komunitas lokal.

7. Kegiatan DA REDD+ menjadi salah satu bentuk intervensi sosial dalam proses

membangun aksi adaptasi melalui upaya peningkatan kapasitas kelembagaan dengan

meningkatkan peran aktif masyarakat.

F. Saran

Pelaksanaan kegiatan DA REDD+ di TNMB khususnya terkait dengan pemberdayaan

masyarakat pada komunitas lokal di 3 desa penyangga menunjukkan bahwa kemempuan

adaptifnya cenderung beragam. Intervensi melalui pendampingan LSM pada Desa

Andongrejo dan Curahnongko cenderung lebih efektif dalam menunjang keberhasilan

program DA REDD+ sebagai upaya konservasi karbon hutan dan meningkatkan

kesejahteraan masyarakat. Kegiatan pendampingan yang selama ini hanya terfokus pada dua

desa penyangga dari 12 total desa penyangga yang ada, terkesan timpang. Oleh karena itu,

dalam praktik selanjutnya diperlukan peran pendampingan LSM dalam upaya pemberdayaan

masyarakat. Hal ini secara tidak langsung akan berkorelasi pada karakter kemampuan adaptif

yang dimliki oleh komunitas lokal setempat dalam menanggapi DA REDD+. Gambaran ini

menjadi masukan bagi pihak Litbang Kehutanan sebagai Koordinator Project DA REDD+ di

Kawasan TNMB.

Daftar Pustaka

Arifanti, V. B., Bainnaura, A., & Ginoga, K. L. (2010). Landcover Change Analysis Using Remote Sensing and

GIS : Initial Phase of Measuring Carbon Sequestration for REDD+ in Meru Betiri National Park,

Indonesia. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kehutanan.

Balai Taman Nasional Meru Betiri. (2012). Buku Informasi Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat di Taman

Nasional Meru Betiri. Jember: Balai Taman Nasional Meru Betiri.

Bappenas. (2012). Buku 1 Strategi Pengarusutamaan Adaptasi ke Dalam Perencanaan Pembangunan Nasional

: Kerangka Integrasi . Jakarta: Kementerian Bappenas.

Graham, Kristy. (2012). REDD+ and Adaptation : Will REDD+ Contribute to Adaptive Capacity at The Local

Level. Overseas Development Institute.

Hadi, Sutrisno. (1986). Metode Observasi. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi, UGM.

Heriyanto, N M; Garsetiasih, R; Subiandono, Endro. (2006). Pemanfaatan Sumberdaya Hutan oleh Masyarakat

Lokal di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam

Volume III Nomor 2 , 297-308.

IPCC. (2001). Climate Change 2001 : Impacts, Adaptation and Vulnerability . Geneva: World Meteorological

Organisation.

Levina, E., & Tirpak, D. (2006). Adaptation to Climate Change : Key Terms. France: OECD.

Levine, Simon; Ludi, Eva; Lindsay Jones. 2011. Rethinking Support for Adaptive Capacity to Climate Change :

Role of Development Interventions. Ethiopia : ODI.

21

Locatelli, B., Kanninen, M., Brochaus, M., Colfer, C. P., Murdiyarso, D., & Santoso, H. (2009). Menghadapi

Masa Depan yang Tak Pasti : Bagaimana Hutan dan Manusia Beradaptasi terhadap Perubahan Iklim .

Bogor: CIFOR.

Ludi, E., Getnet, M., Wilson, K., Tesfaye, K., Shimelis, B., Levine , S., et al. (2011). Preparing for The Future?

Understanding the Influence of Development Interventions on Adaptive Capacity at Local Level in

Ethiopia. Addis Ababa: ACCRA.

Masripatin, N. (2012). Penanganan Penyebab Deforestasi dan Degradasi Hutan dalam Implementasi REDD+ :

Mandat Internasional dan Kepentingan Nasional. Identification of Deforestation and Forest Degradation

Drivers and Activities that Result in Reduced Emissions, Increased Removals, and Stabilization of Forest

Carbon Stocks (hal. 17). Ambon dan Banjarmasin: Pusat Standarisasi dan Lingkungan, Kemenhut dan

Forest Carbon Partnership Facility-World Bank.

Perpres Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca

Silalahi, Urban. (2009). Metode Penelitian Sosial. Bandung: Rafika Aditama.

Spearman, M., & McGray, H. (2011). Making Adaptation Count : Concepts and Options for Monitoring and

Evaluation of Climate Change Adaptation. Germany: GIZ.