Technology Guidance and Counselling: Implementation Theory in Practice, Development and Experience

14
Technology Guidance and Counselling: Implementation Theory in Practice, Development and Experience Eko Susanto, M.Pd., Kons. [email protected] Mobile: +62813 6914 9853 Muhammadiyah University Metro Yuni Novitasari, M.Pd. [email protected] Mobile: +62821 2198 4590 Muhammadiyah University Metro ABSTRACT: This article is a testimony of the results of practical experience and literacy studies on group counseling and group counseling. Since 1905 as the beginning of develop the group acknowledged that the approach is often effective to create an atmosphere that therapy can help people solve problems. Not only that certain groups are also often used for training and means of sharing information. The fact remains found in the field of school counselors who have difficulty in organizing group activities. This article attempts to answer the question (1) how carry out the theory into practice group, (2) develop a model of group activities, (3) the author's experience in the group activities, (4) technology in group activities. Hope the author after reading this article and follow the workshop, will appear enlightenment that can stimulate the school counselor carry out the group's activities in school. Keywords: group guidance, group counseling, theory, technology, implementation

Transcript of Technology Guidance and Counselling: Implementation Theory in Practice, Development and Experience

Technology Guidance and Counselling: Implementation Theory in Practice, Development and Experience

Eko Susanto, M.Pd., Kons. [email protected] Mobile: +62813 6914 9853

Muhammadiyah University Metro

Yuni Novitasari, M.Pd. [email protected]

Mobile: +62821 2198 4590 Muhammadiyah University Metro

ABSTRACT: This article is a testimony of the results of practical experience and literacy studies on group counseling and group counseling. Since 1905 as the beginning of develop the group acknowledged that the approach is often effective to create an atmosphere that therapy can help people solve problems. Not only that certain groups are also often used for training and means of sharing information. The fact remains found in the field of school counselors who have difficulty in organizing group activities. This article attempts to answer the question (1) how carry out the theory into practice group, (2) develop a model of group activities, (3) the author's experience in the group activities, (4) technology in group activities. Hope the author after reading this article and follow the workshop, will appear enlightenment that can stimulate the school counselor carry out the group's activities in school. Keywords: group guidance, group counseling, theory, technology, implementation

2

Teknologi Bimbingan dan Konseling Kelompok: Implementasi Teori dalam Praktik, Pengembangan dan Pengalaman

Eko Susanto, M.Pd.,Kons. [email protected]

HP : +62813 6914 9853 Universitas Muhammadiyah Metro

Yuni Novitasari, M.Pd. [email protected]

HP : +62821 2198 4590 Universitas Muhammadiyah Metro

ABSTRAK: Artikel ini merupakan sebuah testimoni dari hasil pengalaman praktik dan kajian literasi tentang bimbingan kelompok dan konseling kelompok. Sejak tahun 1905 sebagai awal berkembangnya diakui bahwa pendekatan kelompok sering kali efektif menciptakan suasana terapi yang dapat membantu individu menyelesaikan masalah. Tidak hanya itu kelompok-kelompok tertentu juga sering digunakan untuk pelatihan dan sarana saling berbagi informasi. Kenyataan dilapangan masih ditemukan konselor sekolah yang mengalami kendala dalam penyelenggaraan kegiatan kelompok. Artikel ini mencoba menjawab pertanyaan (1) bagaimana implementasi teori kelompok ke dalam praktik, (2) mengembangkan model kegiatan kelompok, (3) pengalaman penulis dalam kegiatan kelompok, (4) teknologi dalam kegiatan kelompok. Harapan penulis setelah membaca artikel ini dan mengikuti workshopnya, akan muncul pencerahan yang dapat menstimuli konselor sekolah dalam pelaksanaan kegiatan kelompok di sekolah. Kata kunci : bimbingan kelompok, konseling kelompok, teori, teknologi, implementasi

3

INTRODUCTION

Bimbingan dan Konseling adalah upaya sistematis, objektif, logis, dan berkelanjutan

serta terprogram yang dilakukan oleh konselor sekolah untuk memfasilitasi

perkembangan konseli untuk mencapai kemandirian dalam kehidupannya

(Permendikbud No 111 Tahun 2014). Bimbingan kelompok merupakan salah satu

strategi dari pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah. Bimbingan kelompok

lebih bersifat edukatif, preventif dan informatif yang disajikan dalam bentuk kelompok

kecil untuk mendiskusikan topik umum dan tidak rahasia. Bimbingan kelompok juga

dirancang sebagai sarana mengembangkan keterampilan atau perilaku baru yang lebih

efektif dan produktif (Depdiknas, 2008). Sejak tahun 1905 sebagai awal

berkembangnya diakui bahwa pendekatan kelompok sering kali efektif menciptakan

suasana terapi yang dapat membantu individu menyelesaikan masalah (Gladding,

2012). Tidak hanya itu kelompok-kelompok tertentu juga sering digunakan untuk

pelatihan dan sarana saling berbagi informasi. Keefektifan bimbingan kelompok sudah

banyak dibuktikan dalam berbagai kegiatan riset, misalnya penelitian Rosidah (2013)

yang membuktikan bahwa bimbingan kelompok dengan teknik permainan efektif

untuk meningkatkan penyesuaian diri individu. Dalam penelitian lain Suryani (2012)

menunjukkan bimbingan kelompok efektif untuk meningkatkan kemampuan siswa

mengelola stres sekolah.

Sedikit berbeda dengan konseling kelompok yang lebih bersifat terapiutik, kuratif,

responsif dan rahasia. Konseling kelompok juga dapat diberikan sebagai bantuan

untuk medukung konseli menghadapi kondisi-kondisi krisis. Konseling kelompok lebih

banyak menjangkau konseli dalam proses bantuannya, kegiatan ini lebih efektif jika

dibandingkan dengan kegiatan konseling individu. Depdiknas (2008) menjelaskan

Konseling kelompok ditujukan untuk membantu para siswa yang mengalami kesulitan,

mengalami hambatan dalam mencapai tugas-tugas perkembangannya. Dalam

prosesnya konseli dibantu untuk tahu sebab masalah, menemukan solusi dan

mengambil keputusan yang tepat bagi dirinya. Konseling kelompok pada prinsipnya

adalah kegiatan konseling individu yang diselenggarakan dalam suasana kelompok.

Adanya dukungan kelompok dapat mempermudah individu untuk menyelesaikan

masalahnya. Kohesifitas kelompok yang dibangun dipercaya mampu memberikan

dukungan psikologis yang mendalam bagi individu yang bermasalah.

Pada kenyataan dilapangan masih ditemukan konselor sekolah yang mengalami

kendala dalam penyelenggaraan kegiatan kelompok. Kendala yang dialami secara

4

umum dapat dibagi menjadi dua yaitu (1) kendala internal; terkait dengan

pengetahuan konselor, keterampilan, keyakinan, kepercayaan diri dan kemampuan

konselor, (2) kendala eksternal; baik yang sistemik terkait penerimaan sekolah terhadap

layanan bimbingan dan konseling, penjadwalan, waktu; atau yang bersifat struktural

bagi konselor yang memiliki posisi jabatan tertentu. Walaupun tidak semua konselor

sekolah terkendala dengan hal tersebut diatas, namun secara umum ini banyak

menjadi dilema yang dialami oleh konselor sekolah. Artikel ini tidak membahas

masalah ini lebih dalam, tetapi akan fokus menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut;

(1) bagaimana implementasi teori kelompok ke dalam praktik, (2) mengembangkan

model kegiatan kelompok, (3) pengalaman penulis dalam layanan kelompok, (4)

teknologi dalam kegiatan kelompok.

Menjawab pertanyaan pertama, bagaimana implementasi teori kelompok kedalam

praktik. Dimasyarakat profesi konseling masih saya dengar kata-kata pesimis terkait

dengan implementasi teori ke dalam praktik. Ungkapan “beginilah praktik tidak seperti

yang ada pada teori”, hal ini mengindikasikan seolah-olah teori sulit untuk

diimplementasikan. Jika demikian maka konselor sekolah yang mengatakan hal

tersebut telah bekerja dengan tidak menggunakan teori dalam praktiknya. Praktik yang

demikian justru membahayakan, jika didalam praktik tidak didasarkan pada suatu teori.

Dalam kehidupan sehari‑hari memang sering terjadi persepsi yang mengdikotomi

antara teori dengan praktik. Sangat memungkinkan sebuah teori untuk berbeda

dengan kenyataan, dan mungkin juga bertentangan. Oleh sebab itu banyak sekali –

riset-riset yang dilakukan hanya untuk sekedar menguji sebuah teori. Dalam ilmu

pengetahuan, teori berarti model atau kerangka pikiran yang menjelaskan fenomena

alami atau fenomena sosial tertentu. Teori dirumuskan, dikembangkan, dan dievaluasi

menurut metode ilmiah. Teori juga merupakan suatu hipotesis yang telah

terbukti kebenarannya. Manusia membangun teori untuk menjelaskan, meramalkan,

dan menguasai fenomena tertentu misalnya, benda-benda mati, kejadian-kejadian

di alam, tingkah laku manusia bahkan tingkah laku hewan (Wikipedia, 2014).

Dalam referensi lain menyebutkan teori merupakan seperangkat konsep‑konsep dan

prinsip‑prinsip yang menjelaskan, dan memprediksikan phenomena. Ada dua macam

teori, yaitu teori intuitif dan teori ilmiah. Teori intutif adalah teori yang dibangun

berdasarkan pengalaman praktis. Sedangkan teori ilmiah (teori formal) adalah teori

yang dibangun berdasarkan hasil‑hasil penelitian. Guru di sekolah lebih sering

menggunakan teori jenis yang pertama (Agustina, 2012). Dari beberapa definisi

5

tersebut dapat dipahami bahwa teori dapat dijadikan acuan didalam praktik, oleh

karena itu praktik yang dilakukan oleh konselor sekolah tidak boleh lepas dari teori

yang mendasari pelayanan bimbingan dan konseling. Menurut Suppes (dalam Bell,

1986) ada empat fungsi umum teori yakni: (1) berguna sebagai kerangka kerja untuk

melakukan penelitian; (2) memberikan suatu kerangka kerja bagi pengorganisasian

butir-butir informasi tertentu; (3) identifikasi kejadian yang komplek; (4) reorganisasi

pengalaman-pengalaman sebelumnya. Dari beberapa fungsi yang dijelaskan didalam

praktik sebuah teori berfungsi memberikan kerangka kerja yang menuntun proses

praktik yang dilakukan. Teori juga dibangun atas dasar pengalaman-pengalaman

dimasa lalu. Dalam konteks BK, teori secara akurat dapat mendeskripsikan, memahami,

menjelaskan hubungan-hubungan antar variabel dalam suatu fenomena, dan

kemudian memprediksi dan mengontrol (mengintervensi) fenomena lain atau di waktu

lain berkenaan dengan perilaku konselor dan konseli dalam suatu kegiatan bimbingan

dan konseling. Suatu teori, misalnya, mampu secara tepat menjelaskan apa yang

menyebabkan problem konseli, menyampaikan prediksi tentang respon dan perilaku

konseli, dan menawarkan suatu teknik yang relevan sebagai kontrol atau solusi

tertentu atas problem konseli tersebut, bahkan solusi bagi pertumbuhan dan

perkembangan konseli di masa depan (Adi Atmoko, 2010). Intinya dengan teori

konselor disekolah dapat melakukan tahapan proses bantuan dengan benar dan sudah

disertai rambu-rambu yang boleh dan tidak untuk dilakukan. Himbauan kepada

konselor sekolah untuk terus menambah ilmu yang dimiliki dengan membaca berbagai

sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Terus menambah ilmu pengetahuan,

pemahaman baru, paradigma baru, teori baru dan konsep-konsep baru terkait

bimbingan dan konseling. Pengembangan diri konselor melalui update informasi

menjadi pendukung untuk mewujudkan profesionalisme pelayanan bimbingan dan

konseling yang diberikan.

Menjawab pertanyaan kedua, mengembangkan model kegiatan kelompok. Dari banyak

kepustakaan, literasi asing tentang bimbingan dan konseling yang sering dipelajari

oleh konselor dan calon konselor di Indonesia. Dalam praktik masih banyak yang

merujuk pada teori psikologi barat seperti psikoanalisis, behaviorime dan humanisme.

Psikoanalisis memandang hakikat perilaku dan kepribadian manusia secara historikal

yang banyak ditentukan oleh hasil perkembangan di masa lalu. Perilaku manusia

terbentuk atas dorongan seksual dan agresifitas dengan motif dasarnya untuk mencari

kenikmatan dan ketidaksadaran. Aliran behaviorisme manusia tidak dipandang baik-

buruk perilaku terbentuk dari proses belajar dari lingkungan. Berbeda lagi dengan

6

aliran humanisme berpandangan bahwa manusia memiliki nilai-nilai pribadi, kesadaran,

potensi, tanggung jawab dan kebebasan untuk tumbuh dan berkembang secara

positif. Pandangan ini menekankan pada fungsi eksitensi diri dan optimistime.

Dalam menyikapi berbagai teori barat yang berkembang masuk ke Indonesia, harus

ada filterasi terhadap teori barat agar sesuai dan dapat diterapkan kedalam budaya

bangsa Indonesia. Gagasan ini sangat masuk akal, karena suatu teori dikembangkan

dengan menggunakan prinsip kerja deducto-hipotetico-verificatio yang tidak terlepas

dari kondisi lapangan tempat data dikumpulkan untuk keperluan bangunan teori

tersebut. Meskipun suatu teori mengklaim mampu mencakup semua hal secara

universal (etics), namun dalam proses penyusunan dan penerapannya tidak mungkin

terlepas dari aspek konteks (emics). Oleh karena itu pandangan teori barat (western

oriented) tidak selalu kongruen dalam mendeskripsikan dan memahami apa yang

terjadi dikonteks masyarakat timur. Dengan demikian, teori yang dikembangkan dalam

konteks barat sudah pasti berbeda dengan konteks timur khususnya Indonesia (Miller,

1993; Salim, 2006; Atmoko, 2010).

Pada kenyataannya yang terjadi dilapangan penggunaan teori barat didalam praktik

banyak dilakukan oleh konselor di sekolah. Bahkan dalam kegiatan PLPG instruktur

menggunakan modul yang mempraktikkan teori-teori barat dan diterapkan secara

ketat. Kegiatan praktik itu pun dijadikan salah satu sumber paling benar yang menjadi

dasar praktik konselor di sekolah. Sering muncul ucapan “kemarin dapat dari PLPG

begitu kata instrukturnya”, sangat menggelikan buat saya mendengar ucapan

demikian. Bagi calon konselor dikampus pun demikian mempelajari banyak teori barat

yang dijadikan dasar pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah. Sayangnya baik

konselor atau calon konselor sedikit sekali yang menyadari ketidakkongruenan yang

terjadi saat teori tersebut dipraktikan di sekolah. Atmoko (2010) menjelaskan Konseling

yang berakar dari budaya barat dalam praktiknya akan menggunakan konsep dan hasil

penelitian yang sangat mungkin tidak aplikabel untuk konteks sosio-budaya Indonesia.

Konsep dan cara mereka tidak relevan dalam menghadapi isu-isu konselor dan konseli

Indonesia. Untuk itu, kita perlu mulai mengkonsentrasikan pada kebutuhan untuk

mengkontekstualisasikan konseling, yang memberdayakan budaya yang lebih relevan

serta berakar pada sosio-budaya Indonesia.

Indigenisasi konseling dengan mencari akar budaya konseling barat dan

menyesuaikannya dalam seting budaya Indonesia, akan menghindarkan kita dari

jebakan posisi dua kutub, yakni, kutub posisi radikal ekstrim pada relativisme budaya

7

yang menghalangi perbandingan antar budaya, sedangkan di satu sisi yang lain adalah

yang memelihara dominasi intelektual barat, mainstream konseling, dengan sikap

skeptis dan prasangka buruk terhadap konseling indigenous Indonesia. Dengan

indigenisasi konseling, kita menjadi ilmuwan Indonesia yang memiliki pandangan dan

pemikiran positif terhadap nilai, pemikiran dan praktik lokal Indonesia yang berguna

bagi pengembangan konseling, memiliki pikiran kritis yang bernilai terhadap praktik

konseling barat maupun lokal, dan medorong kita untuk memelihara identitas budaya

lokal sejalan dengan gerakan untuk menjadi lebih integratif ke dalam framework yang

lebih luas, dan kita tidak membabi buta untuk menolak ide dari barat karena dianggap

asing dan buruk (Atmoko, 2010).

Dalam mengkonstruk pengetahuan yang dimiliki konselor tentu perlu diawali dengan

pemahaman teori yang kompleks. Praktik terbaik dapat dilakukan jika konselor

memiliki banyak pengetahuan yang dapat dijadikan dasar untuk memahami konseli

dan lingkungannya. Kegiatan bimbingan kelompok dan konseling kelompok sangat

erat berkaitan dengan dinamika kelompok yang berawal dari pertemuan antar individu

yang memiliki nilai, budaya dan lingkungan asal yang beragam. Dalam kondisi yang

demikian konselor harus mampu menginkulturasikan budaya dan nilai anggota

kelompok dalam diri konselor untuk memunculkan empati yang asli. Konselor juga

harus mampu menyatukan setiap individu dalam kegiatan kelompok dan membangun

kohesifitas diantara mereka. Hal ini bukan merupakan hal yang tidak mungkin

dilakukan oleh konselor, justru pengalaman praktik dan temuan dilapangan dapat

dijadikan dasar membangun teori intuitif. Bentuk laporan dari refleksi teori intuitif

kemudian dapat dijadikan informasi untuk membangun teori formal yang lebih teruji

secara empiris. Membangun model kegiatan kelompok pun demikian dapat diawali

dengan memasukan nilai budaya lokal kedalam praktik. Misalnya sebelum melakukan

kegiatan bimbingan kelompok atau konseling kelompok diawali dengan berdoa. Posisi

duduk yang tidak terlalu dekat antara anggota laki-laki dan perempuan, memasukan

nilai-nilai gotong royong, kebersamaan, toleransi, tenggang rasa, hormat dengan

orang tua dan nilai budaya Barat seperti disiplin tinggi, bekerja dengan perencanaan,

merupakan nilai-nilai yang perlu diadopsi (Asih Menanti, 2003).

Pada prinsipnya cara kerja konselor didalam praktik harus didasari pada pandangan

yang tepat terhadap konseli yang dibantu. Dengan begitu dapat meningkatkan

efektifitas layanan yang diberikan, tidak kaku dan terkesan formal. Misalnya

membangun suasana kekeluargaan sebagai bentuk penyesuaian terhadap teknik home

8

room dalam kegiatan bimbingan kelompok. Menggunakan sapaan yang sesuai disuatu

daerah mungkin dapat menggunakan sapaan “Ananda” tetapi didaerah lain mungkin

kurang cocok dan terkesan kaku dan formal. Pada kondisi kedaerahan yang kental

sangat memungkinkan menggunakan sapaan daerah yang lebih dirasa sopan dan

menunjukkan kedekatan hubungan. Penggunaan bahasa tunggal misalnya bahasa

Indonesia akan cocok pada kelompok yang bersifat heterogen. Tetapi untuk kelompok

homogen menggunakan dual bahasa akan lebih mudah diterima dan lebih berkesan.

Dengan begitu konselor sekolah tidak perlu takut untuk mencobakan sebuah model

yang dikonstruk sendiri ke dalam praktik, yang penting memiliki landasan berpikir

yang relevan. Jika terpaku pada satu model saja maka konselor akan cenderung

menyalahkan model lain yang berbeda. Praktik dengan memasukan nilai-nilai budaya

lokal cenderung memiliki tingkat penerimaan yang tinggi dari kelompok yang dibantu.

Pengalaman penulis dalam kegiatan kelompok menjawab pertanyaan ketiga. Dalam

praktik yang pernah saya dilakukan mendapati catatan berharga sebagai testimoni.

Walaupun catatan yang saya cenderung bersifat pragmatis kualitatif dan subjektif, akan

tetapi bisa menjadi informasi yang berguna bagi perbaikan praktik konselor di sekolah.

Saya memfokuskan catatan pada aspek waktu sesi, jumlah sesi, karakteristik kelompok,

teknik-teknik dalam kegiatan kelompok.

1. Terkait dengan waktu setiap sesi bimbingan kelompok dan konseling kelompok

Konselor sekolah bertanya berapa lama waktu yang ideal untuk digunakan dalam sesi

konseling kelompok atau bimbingan kelompok? Sebelum menjawab pertanyaan ini,

sebaiknya kita perlu memahami makna layanan profesional. Apakah layanan konseling

dan bimbingan dengan waktu lama dapat disebut profesional. Atau layanan yang

dilakukan dalam waktu singkat tidak layak disebut layanan profesional. Saya

analogikan dengan layanan yang dilakukan oleh seorang dokter. Saat kita datang ke

dokter untuk berobat kita disambut ramah dengan kata-kata sugesti untuk

mendamaikan pasien. Dipersilahkan duduk dan ditanya dengan ramah siapa yang

sakit, keluhan apa yang dirasakan, sakit dibagian mana, dan kronologi lain sebagai

bagian diagnosis. Kemudian dilakukan cek tekanan darah setelah selesai dipersilahkan

untuk berbaring di tempat tidur untuk diperiksa lebih lanjut dengan stetoskop. Setelah

selesai kita dipersilahkan menunggu resep yang dipersiapkan oleh dokter. Kemudian

kita bayar dan pulang, berapa lama waktu yang digunakan untuk melakukan semua

proses tersebut? Anggap saja kurang lebih 7 menit, apakah layanan yang dilakukan

oleh dokter tersebut adalah layanan profesional?

9

Saya menyimpulkan bahwa layanan profesional tidak selalu berbanding lurus dengan

waktu pemberian layanan. Pada prinsipnya layanan yang dilakukan baik itu dengan

waktu sebentar atau lama jika dilakukan dengan prinsip-prinsip keprofesian maka

dapat disebut sebagai layanan profesional. Eksistensi suatu profesi amat tergantung

pada pengakuan dan kepercayaan pengguna profesi (public trust), kepercayaan itu

muncul karena penyandang profesi itu (1) memiliki kompetensi dan keahlian yang

disiapkan melalui pendidikan dan latihan khusus, (2) ada perangkat aturan untuk

mengatur perilaku profesional dan melindungi kesejahteraan publik, (3) para anggota

profesi akan bekerja dan memberikan layanan dengan berpegang teguh kepada

standar profesi (Biggs & Blocher,1986). Dengan demikian penjelasan Biggs & Blocher

menguatkan bahwa layanan profesional adalah layanan yang didasari dengan tiga ciri

sebagaimana disebutkan. Dalam pelayanan bimbingan dan konseling konselor tetap

diakui memberikan layanan profesional, walaupun dilakukan dengan waktu yang relatif

singkat seperti layaknya dokter yang saya analogikan sebelumnya. Selama pelayanan

bantuan yang diberikan didasari kompetensi dan keahlian dari pendidikan khusus, ada

kode etik layanan, dan ada standar profesi yang dijalankan maka layanan itu layak

disebut sebagai layanan profesional.

Kaitannya dengan waktu ideal pelaksanaan sesi layanan konseling kelompok atau

bimbingan kelompok amat ditentukan oleh tiga hal. (1) Tingkat perkembangan

anggota kelompok untuk anggota kelompok dengan usia sekolah dasar ke bawah

sebaiknya kurang dari 30 menit untuk setiap sesinya. Mengapa demikian, pengalaman

dilapangan tingkat perhatian siswa sekolah dasar tidak bisa konstan dalam waktu lama.

Tentu hal ini terkait dengan masa perkembangan mereka. Pada beberapa referensi

asing pun demikian Missouri Comprehensive Guidance and Counseling Program

menetapkan waktu 30 menit untuk setiap sesi layanan kelompok untuk elementary

school. Untuk usia sekolah menengah keatas paling sebentar 30 menit dan paling lama

dapat disesuaikan dengan kondisi anggota dan kesepakatan dengan konselor.

2. Terkait dengan jumlah sesi untuk setiap kelompok

Pada umumnya referensi barat merekomendasikan 6 (enam) sampai dengan 8

(delapan) sesi untuk satu kelompok bimbingan. Namun demikian kita di Indonesia

menurut hemat saya tidak perlu terpaku pada patokan yang demikian. Pada

Permendikbud no 111 tahun 2014 tentang pelaksanaan layanan bimbingan dan

konseling di sekolah dasar dan menengah sudah merinci terkait ekuivalensi waktu

pelayanan yang patut dihargai. Walaupun K13 di moratorium akan tetapi

10

permendikbud tersebut tetap dapat dijadikan acuan didalam praktik. Tentunya proses

untuk menjadi sebuah permen sudah melewati proses analisis dan pertingan ahli

bimbingan dan konseling di Indonesia dengan memperhatikan kondisi konselor

sekolah di Indonesia. Dalam praktik saya selalu melakukan layanan konseling

kelompok dan bimbingan kelompok paling banyak 3 (tiga) sesi untuk satu kelompok.

dan yang paling banyak kurang dari 3 (tiga) sesi untuk setiap kelompoknya. Efektifitas

layanan itu selalu dikaitkan dengan efisiensi layanan yang dilakukan. Artinya sedikit

sesi yang dilakukan dapat menunjukkan efektifitas layanan yang diberikan. Namun

demikian pernyataan saya ini masih perlu diuji lebih lanjut. Bandingkan dengan

pengalaman Anda selama ini bagaimana. Saya pribadi selalu membatasi layanan

bimbingan kelompok atau konseling kelompok paling banyak 3 (tiga) sesi untuk setiap

kelompoknya. Saya yakin beriring waktu masalah yang dialami oleh konseli akan hilang

dengan sendirinya, maka perlu dilakukan stimuli untuk mendorong individu lepas dari

masalahnya. Melalui kegiatan kelompok masalah individu yang belum sempat

diselesaikan secara alami akan hilang sedikit-demi sedikit. Individu akan mengkontruks

informasi yang diperoleh pada sesi pertama untuk memecahkan masalah yang

dialaminya. Biasanya hal ini akan terlihat saat mereka bertanya lebih lanjut tentang

suatu masalah.

3. Terkait dengan karakteristik kelompok

Secara umum karakteristik kelompok dapat dibagi menjadi dua yakni kelompok

homogen dan kelompok heterogen. Kelompok homogen adalah kelompok yang

memiliki kesamaan ciri dari anggota kelompoknya misalnya kesamaan jenis kelamin,

agama, masalah yang dialami, kesukaan atau minat dan lain sebagainya. Sedangkan

kelompok heterogen adalah kelompok yang memiliki kompleksitas didalam

keanggotaannya misalnya berbeda jenis kelamin, agama, budaya, berbeda usia,

berbeda masalah, berbeda tingkat kelas dan lain sebagainya. Dilihat dari sifatnya

kelompok dapat dibedakan menjadi dua pula yakni kelompok tertutup dan kelompok

terbuka. Kelompok tertutup merupakan kelompok yang dalam keanggotaannya tidak

bisa ditambah, biasanya adalah kelompok konseling. Kelompok terbuka adalah

kelompok yang dalam keanggotaannya masih bisa menerima anggota baru, mungkin

sebagai model atau tamu, yang demikian biasanya adalah kelompok bimbingan.

Konselor harus pandai menempatkan seorang konseli pada kelompok yang tepat yang

dapat membantu konseli menyelesaikan masalahnya. Penempatan kelompok tentu

tidak terlepas dari hasil need assessment yang sudah dilakukan oleh konselor. Kadang

11

kala konselor dapat menempatkan seorang konseli secara intuitif berdasarkan

pengalaman dan kepekaan konselor terhadap kondisi yang terjadi, hal ini mungkin saja

dilakukan.

4. Terkait dengan teknik-teknik dalam kegiatan kelompok

Dalam kenyataan praktik konselor dituntut untuk menjadi pribadi yang menarik

dihadapan anggota kelompok. Menarik dalam berbagai aspek yang sangat ditentukan

oleh keadaan diri konselor itu sendiri. Mungkin saja ada konselor yang agak pendiam

atau kalem tetapi dipandang menarik dihadapan anggota kelompok. Bahkan bisa juga

konselor yang suka humor adalah salah satu aspek yang menarik bagi anggota

kelompok. Oleh itu setiap konselor perlu menggali sisi menarik yang ada dalam diri

mereka masing-masing. Latihan yang demikian dapat dilakukan dengan sebuah refleksi

dari setiap sisi kehidupan konselor. Selesai kegiatan kelompok lakukan refleksi sebagai

bagian menggali informasi tentang hal yang sudah dilakukan oleh konselor. Setelah

konselor memahami keinginan yang umumnya diharapkan oleh konseli dari diri

konselor, maka saat itulah konselor berpeluang menjadi pribadi yang menarik. Banyak

teknik-teknik konseling yang dapat digunakan dan dilakukan akan kegiatan kelompok

menjadi lebih menarik. Ketika kegiatan kelompok dirasa menarik oleh anggota

kelompok saat itu konselor dipandang menarik oleh anggota kelompok. Konselor

dapat berlatih menggunakan teknik permainan, home room, latihan, sosiodrama dan

inovasi teknik lain yang dikembangkan sendiri oleh konselor. Dalam pengalaman

praktik anggota kelompok umumnya lebih suka dengan konselor yang humoris dan

menampilkan hal-hal menarik yang tidak diperolehnya dari guru mata pelajaran.

Penampilan yang ekspresif dan cerita lucu sering saya gunakan untuk menarik

perhatian anggota kelompok. Saya juga sering menggunakan morfologi dengan

sebuah cerita untuk dapat memasuki wilayah penerimaan diri konseli.

Teknologi dalam kegiatan kelompok menjawab pertanyaan keempat. Mendengar kata

teknologi selalu dapat dipastikan yang terbesit dalam pikiran adalah sebuah alat

canggih dan komputerisasi. Padahal tidak selalu demikian, kata teknologi merujuk

pada sebuah alat atau cara yang dapat mempermudah seseorang melakukan

pekerjaan atau mencapai tujuan. Teknologi secara dikotomi dibagi menjadi teknologi

canggih dan teknologi sederhana. Teknologi juga tidak serta merta berbentuk benda

nyata, mungkin saja berbentuk sesuatu yang abstrak dan sistemik yang hanya dapat

dirasakan setelah semua proses dilalui. Misalnya dalam kajian teknologi pendidikan

erat kaitannya dengan upaya untuk mempermudah menyampaikan informasi

12

instruksional kepada siswa. Hal ini dapat dilakukan dengan merangcang model-model

pembelajaran yang menarik, itulah bentuk teknologi yang abstrak dan sistemik yang

saya maksudkan.

Model konseling dan teknik bimbingan dapat pula disebut sebagai teknologi yang

sifat abstrak dan sistemik. Perangkat elektronik yang digunakan dalam kegiatan klasikal

seperti LCD dan Laptop adalah teknologi yang bersifat kebendaan yang dapat di

sentuh. Satu lagi yang disebut teknologi sederhana adalah semua hal yang dibuat

secara konvensional untuk membantu mempermudah pekerjaan konselor. Misalnya

papan bimbingan adalah teknologi sederhana teknologi canggihnya adalah Blog atau

Website yang difungsikan sama dengan papan bimbingan. Kotak masalah adalah

teknologi sederhana, teknologi canggihnya adalah SMS atau inbox jejaring sosial yang

dimiliki oleh konselor sekolah.

METHODS

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif yang mengedepankan

makna dari suatu kejadian, kenyataan dan hubungan-hubungan yang unik didalam

praktik bimbingan dan konseling kelompok. Metode yang digunakan dalam penulisan

artikel ini adalah deskriptif. Interpretasi yang disajikan didasarkan pada kajian literasi,

pengalaman dan hasil refleksi praktik dilapangan.

RESULTS AND DISCUSSION

Hasil dari artikel ini memberikan catatan kepada konselor sekolah untuk dapat

memberikan pelayanan yang profesional. Khususnya dalam kegiatan bimbingan

kelompok dan konseling kelompok dapat mempertimbangkan empat hal terkait

dengan waktu sesi, jumlah sesi, karakteristik kelompok, teknik-teknik dalam kegiatan

kelompok. Sebagaimana sudah saya jelaskan sebelumnya konselor harus berani

memulai untuk mengumpulkan catatan pengalamannya. Kemudian mengkonstruk

pengalaman itu menjadi sebuah pendekatan baru yang menadaptasi budaya lokal.

Konselor perlu terus belajar untuk menjadi pribadi yang menarik dan menyenangkan.

Perkembangan teknologi disadari atau tidak telah memberi dampak pada lingkungan

kerja konselor. Sudah seharusnya konselor itu memahami fungsi dari teknologi itu agar

dapat meningkatkan profesionalitas konselor.

Implementasi penggunaan teknologi dalam layanan bimbingan dan konseling harus

memperhatikan fungsi dari teknologi itu sendiri. Pertama teknologi difungsikan

sebagai suplemen dalam layanan bimbingan dan konseling. Artinya teknologi

digunakan hanya sebagai tambahan dalam proses konseling, konseli diberi kebebasan

13

untuk menggunakannya atau tidak. Misalnya setelah proses konseling berakhir

konselor menawarkan untuk chatting di malam harinya, chatting disini berfungsi

sebagai tambahan dari proses konseling siang harinya, konseli boleh menerima boleh

juga tidak tawaran konselor tersebut. Kedua teknologi difungsikan sebagai komplemen

dalam layanan bimbingan dan konseling. Artinya teknologi digunakan sebagai

pelengkap proses bantuan yang diberikan oleh konselor dan memang sudah

direncanakan oleh konselor untuk menggunakan teknologi tersebut. Misalnya

penggunaan LCD dan Laptop dalam kegiatan kelompok untuk menampilkan gambar

atau video. Ketiga teknologi difungsikan sebagai subtitusi dalam layanan bimbingan

dan konseling. Dimana teknologi benar-benar menggantikan keberadaan konselor

dihadapan konseli. Misalnya proses konseling melalui internet dengan menggunakan

gadget atau laptop, teknologi disini menggantikan keberadaan konselor yang tidak

bisa bertatap muka langsung dengan konseli karena konselor sedang berada di luar

kota. Dengan demikian penggunaan teknologi tidak serta merta harus dilakukan, tetapi

dapat digunakan sesuai kebutuhan. Penggunaan teknologi juga perlu memperhatikan

fungsi dari teknologi itu sendiri, jangan sampai kelalaian menggunakan teknologi

menimbulkan masalah baru bagi konselor.

CONCLUSION

Kebermaknaan bantuan bagi konseli lebih utama dibandingkan dengan teknik dan

teknologi yang konselor gunakan dalam memberikan bantuan. Konselor adalah

manusia biasa yang memiliki kekurangan dan kelebihan. Konselor juga bisa memiliki

masalah, masalah itu sendiri adalah resiko yang harus ditanggung oleh setiap orang.

Masalah tidak mungkin dihilangkan menjadi nol mutlak, yang bisa dilakukan oleh

konselor adalah meminimalisir munculnya masalah itu dalam kehidupannya.

REFERENCES

Adi atmoko. (2010). Penerapan ICT dalam Pengembangan Keilmuan Bimbingan dan

Konseling Indonesia. Seminar Nasional Revitalisasi Keilmuan Bimbingan dan

Konseling DalamPendidikan. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia

Bell Gredler, E. Margaret.1991. Belajar dan Membelajarkan. Jakarta: CV. Rajawali

Biggs, Donald A. & Blocher H. (1986). The Cognitive Approach To Ethical

Counseling:Values in Counseling Ethic. New York: State University of New

York at Albany.

Depdiknas.2008. Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Bahan Belajar Mandiri

Musyawarah Kerja Pengawas Sekolah, Jakarta: Direktorat Jenderal

Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan.

14

Menanti, Asih. (2003). Konseling Indigenous (Indigenous Counseling). Konvensi

Nasional XIII Bimbingan dan Konseling. Bandung: Universitas Pendidikan

Indonesia.

Rosidah, Ainur. (2013). Efektivitas Teknik Permainan Dalam Bimbingan Kelompok

Untuk Meningkatkan Penyesuaian Diri Siswa : Studi Kuasi Eksperimen

Terhadap Siswa Kelas Vii Smp Negeri 29 Bandung Tahun Ajaran 2012/2013

(Thesis, Universitas Pendidikan Indonesia)

Suryani, Yani. (2012). Program Bimbingan Kelompok Untuk Meningkatkan

Kemampuan Siswa Mengelola Stres Sekolah : Studi Kuasi Eksperimen

Terhadap Siswa Kelas X Madrasah Aliyah 99 Persis Rancabango Tahun

Pelajaran 2011/2012 (Thesis, Universitas Pendidikan Indonesia)

Ismaya Dwi Agustina. (2014). Pengertian Teori. (Online).

http://ismayadwiagustina.wordpress.com/2012/11/26/pengertian-teori/.

Diakses 9 Desember 2014

Wikipedia. (2014). Teori. (Online). http://id.wikipedia.org/wiki/Teori. Diakses 9

Desember 2014