serviam journey 2
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of serviam journey 2
LAPORAN AGAMA
PELAYANAN KLINIK JIWA SEHAT
Disusun oleh :
Angela Maria Linata XI IPA 1 / 3
Ignatius Kevin Putra Pratama XI IPA 1 / 14
Jessica Grace Pratiwi Napitupulu XI IPA 1 / 15
Maria Nadia Putri XI IPA 1 / 19
Paskalis Glennardo XI IPA 1 / 24
Prisillia Brigitta XI IPA 1 / 26
Seldi Kurnia Trihardja XI IPA 1 / 28
SMA SANTA URSULA BSD
Jl. Letnan Sutopo Sektor 1.2, Bumi Serpong Damai,
Tangerang, Banten
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa karena berkat
rahmat kesehatan yang diberikan sampai saat ini. Kami juga
berterima kasih atas kasih penyertaan terhadap kami dan
keluarga kami atas setiap aktivitas kami, atas segala yang
Kau berikan kepada kami, Engkau tidak memberikannya semata-
mata namun agar dapat dibagikan pula terhadap sesama kami
yang membutuhkan sebagai bentuk cinta kasih-Mu dan
perpanjangan tanganmu di dunia ini.
Terima kasih pula karena kami masih diberi kesempatan
untuk melihat, membuka hati, serta peduli terhadap orang di
sekitar kami agar dapat melakukan sesuatu bagi mereka yang
membutuhkan khususnya terhadap orang yang mengalami gangguan
jiwa. Tujuan kami disini adalah menyalurkan kasih-Mu agar
semua orang tak terkecuali siapapun dapat merasakan kasih-
Mu.
Melalui kegiatan ini, kami mendapatkan banyak hal. Kami
berharap dengan dilakukannya pelayanan ini, kami semakin
dibukakan hati dan pikiran agar dapat lebih peduli dengan
sesama kami.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang
mendasar dalam laporan ini. Oleh karena itu, kami mengundang
pembaca agar dapat memberikan saran dan kritik yang dapat
membangun kami. Kritik dari pembaca sangat kami harapkan
untuk penyempurnaan laporan selanjutnya.
1
Tangerang, 23 Maret 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................1
DAFTAR ISI..............................................2
BAB I. PENDAHULUAN......................................4
1.1 Latar Belakang................................4
1.2 Tujuan Pelayanan..............................4
BAB II. DASAR PELAYANAN.................................5
2.1 Dasar Teori Pelayanan.........................5
2.2 Kitab Suci Pelayanan..........................7
2.3 Artikel yang Menjelaskan Bentuk Pelayanan.....7
BAB III. SERVIAM JOURNEY................................9
3.1 Proses Persiapan..............................9
2
3.1.1 Perencanaan..............................9
3.1.2 Tantangan / Hambatan....................10
3.1.3 Dukungan / Bantuan......................10
3.2 Proses Pelaksanaan...........................10
3.2.1 Deskripsi Tempat / Target...............10
3.2.2 Jurnal Pelayanan........................11
3.2.3 Tantangan...............................12
3.2.4 Dukungan................................12
BAB IV. REFLEKSI.......................................14
4.1 Refleksi Kelompok............................14
4.2 Refleksi Pribadi.............................15
4.2.1 Refleksi Angela Maria Linata............15
4.2.2 Refleksi Ignatius Kevin Putra Pratama...19
4.2.3 Refleksi Jessica Grace Pratiwi Napitupulu23
4.2.4 Refleksi Maria Nadia Putri..............28
4.2.5 Refleksi Paskalis Glennardo.............32
4.2.6 Refleksi Prisillia Brigitta.............35
4.2.7 Refleksi Seldi Kurnia Trihardja.........39
BAB V. KESIMPULAN......................................40
5.1 Kesimpulan...................................40
5.2 Kritik dan Saran Kelompok untuk Proyek Pelayanan
40
5.3 Kritik dan Saran Kelompok untuk Pembimbing...40
5.4 Lampiran.....................................42
5.4.1 Lampiran Dokumentasi....................42
5.4.2 Lampiran Laporan Keuangan...............48
3
Penyakit gangguan kejiwaan adalah penyakit dimana
seseorang mengalami gangguan untuk tidak dapat menyadari
perbuatannya. Biasanya seseorang yang mengalami ini akan
marah-marah sendiri, halusinasi, bicara sendiri, dan
semacamnya yang biasanya tidak dilakukan oleh manusia
pada umumnya. Penyakit ini dapat disebabkan oleh banyak
hal antara lain depresi, sakit, bahkan kecelakaan. Selain
itu banyak dari orang yang terkena gangguan kejiwaan ini
dikucilkan dari lingkungannya.
Oleh sebab itu, kami melakukan pelayanan di Klinik Jiwa
Sehat dengan latar belakang orang menganggap mereka
adalah seseorang yang gila dan kebanyakan dari kira
merasa jijik atau tidak mau dekat dengan mereka. Kami
merasa bahwa paradigma ini harus diluruskan, dengan
keadaan kita yang tidak mau berteman dengan mereka justru
membuat mereka merasa minder dan proses penyembuhan juga
semakin sulit. Dengan itu mereka dapat merasakan kasih
Allah yang nyata dalam diri mereka.
1.2 Tujuan Pelayanan
Tujuan pelayanan ini adalah :
1. Memenuhi nilai dalam tugas proyek pelajaran Agama.
2. Mengetahui kehidupan orang yang mengidap kelainan
jiwa.
3. Berbagi kebahagiaan akan cinta kasih Allah kepada
mereka.
4. Membantu pembimbing disana yang jumlahnya masih
kurang.
5
BAB II
DASAR PELAYANAN
2.1 Dasar Teori Pelayanan
Pelayanan berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) adalah sebagai berikut :
pelayanan /pe·la·yan·an/ n 1 perihal atau cara melayani: selama ini
tamu hotel itu tidak mendapat ~ yg semestinya; 2 usaha melayani
kebutuhan orang lain dengan memperoleh imbalan (uang);
jasa: yayasan itu bergerak dl pemberian ~ jual beli tanah; 3 kemudahan
yang diberikan sehubungan dengan jual beli barang atau jasa
Sedangkan, sosial berdasarkan Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah sebagai berikut :
sosial /so·si·al/ a 1 berkenaan dengan masyarakat: perlu adanya
komunikasi dalam usaha menunjang pembangunan ini; 2 suka
memperhatikan kepentingan umum (suka menolong, menderma, dan
sebagainya): ia sangat terkenal
Dari pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
pelayanan merupakan suatu kegiatan terorganisir yang
diberikan seseorang atau lembaga untuk memenuhi kebutuhan
orang lain. Pelayanan sosial dalam arti luas adalah
setiap pelayanan yang dimaksudkan untuk meningkatkan
kesejahteraan sosial manusia, sedangkan dalam arti sempit
ialah pelayanan yang diberikan kepada sebagian masyarakat
yang kurang atau tidak beruntung. Pelayanan sosial dalam
arti sempit disebut juga pelayanan kesejahteraan sosial
6
mencakup pertolongan dan perlindungan kepada golongan
yang tidak beruntung seperti pelayanan sosial bagi anak
yang terlantar, keluarga miskin, cacat, dan sebagainya.
(Dwi Heru Sukoco, 1991).
Selanjutnya, Alfred J. Khan memberikan pengertian
pelayanan sosial sebagai berikut :
“Pelayanan sosial terdiri dari program-program yang diadakan tanpa
mempertimbangkan kriteria pasar untuk menjamin suatu tingkatan
dasar dalam penyediaan fasilitas pemenuhan kebutuhan akan
kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan untuk meningkatkan
kehidupan masyarakat serta kemampuan perorangan untuk
pelaksanaan fungsi-fungsinya, untuk memperlancar kemampuan
menjangkau dan menggunakan pelayanan-pelayanan serta lembaga-
lembaga yang telah ada dan membantu warga masyarakat yang
mengalami kesulitan dan keterlantaran” (Soetarso, 1982)
Pelayanan sosial seharusnya dilakukan untuk memberikan
bantuan bagi orang lain (individu maupun masyarakat)
mengatasi masalah yang mereka miliki secara materi maupun
non materi. Namun, pelayanan sosial yang baik memerlukan
adanya keaktifan antara pemberi bantuan dan penerima.
Pemberi pelayanan harus memahami apa yang sebenarnya
dibutuhkan oleh penerima bantuan, dan memanfaatkan segala
yang ia milikki untuk memberikan bantuan, sehingga
bantuan yang diberikan menjadi efisien, yaitu sesuai
kebutuhan penerima bantuan dan tidak diluar kemampuan
pemberi bantuan.
Sedangkan, dasar dari pelayanan sosial dalam Gereja
merupakan semangat pelayanan Yesus sendiri. Barang siapa
menyatakan diri murid, ia wajib hidup sama seperti hidup
Kristus. Pelayanan merupakan perwujudan Iman Kristiani.
Ciri-ciri pelayanan gereja :
7
Bersikap sebagai pelayan : Yesus menyuruh para
murid-nya selalu bersikap "yang paling rendah dari
semua dan sebagai pelayan dari semua." (Markus
9:35). Yesus sendiri memberi teladan dan menerangkan
bahwa demikianlah kehendak Bapa. Menjadi pelayan
adalah sikap iman yang radikal.
Kesetiaan pada Kristus sebagai Tuhan dan Guru : Ciri
religius pelayanan gereja adalah menimba kekuatan
dari sari teladan Yesus Kristus.
Orientasi Pelayanan Gereja Pada Kaum Miskin : Dalam
usaha pelayanan kepada kaum miskin janganlah mereka
menjadi objek belas kasihan, yang pokok adalah
harkat, martabat dan harga diri, bukan kemajuan-
kemajuan dan bantuan spiritual/sosial yang hanya
sarana.
Kerendahan Hati : Kerendahan hati Gereja tidak boleh
berbangga diri, tetapi tetap melihat dirinya sebagai
"Hamba yang tak Berguna" (Luk 17:10)
Bentuk Pelayanan Gereja :
Bidang Kebudayaan : Gereja berusaha melestarikan
budaya asli yang bernilai.
Bidang Pendidikan : Gereja berusaha membangun
sekolah untuk pendidikan formal.
Bidang Kesejahteraan : Gereja berusaha mendirikan
lembaga-lembaga sosial ekonomi dan memperjuangkan
kesejahteraan rakyat kecil.
Bidang Kesehatan : Gereja mendirikan rumah sakit dan
poliklinik untuk meningkatkan kesehatan masyarakat.
Bidang Politik dan Hukum : Gereja dengan tugas
nabiah mengutamakan orientasi politik Hukum untuk
rakyat banyak.
Tokoh :
1. Bunda Teresa : Rasul Kaum Miskin
8
2. Uskup Helder Camara : Uskup Pelayan dan Pengabdi
Kaum Miskin
3. Romo Mangunwijaya Pr : Pejuang Kaum Miskin dan
Tersingkir
2.2 Kitab Suci Pelayanan
Matius 25 : 40
Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata
kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu
lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang
paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.
Markus 9 : 35
Lalu Yesus duduk dan memanggil kedua belas murid
itu. Kata-Nya kepada mereka: “Jika seseorang ingin
menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang
terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.”
Markus 10 : 43b-45
Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu,
hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa
ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu,
hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya. Karena
Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani,
melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-
Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.
Lukas 17 : 10
Demikian jugalah kamu. Apabila kamu telah melakukan
segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah
kamu berkata: “Kami adalah hamba-hamba yang tidak
berguna: kami hanya melakukan apa yang harus kami
lakukan.”
Yohanes 13 : 13-14
Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu
tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan. Jadi
jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan
9
dan Gurumu, maka kamu pun wajib saling membasuh
kaki.
2.3 Artikel yang Menjelaskan Bentuk Pelayanan
WKRI Memelihara Martabat Manusia
POS-KUPANG.COM, KUPANG -- Keberadaan Wanita Katolik Republik
Indonesia (WKRI) adalah suatu organisasi yang bertujuan
untuk memelihara martabat manusia. Martabat manusia pada
hakekatnya adalah pemberian Yang Maha Kuasa dan kita
diberikan tugas untuk menjaganya agar jangan terpuruk.
Hal ini ditegaskan Ketua WKRI Paroki Santa Familia Sikumana,
Maria Theresia Geme, seusai pelantikan WKRI Paroki Santa
Familia Sikumana di gereja tersebut, Minggu (22/2/2015). Ia
mengatakan, keberadaan WKRI harus mampu memalihara serta
menjunjung tinggi martabat manusia.
"Kami perlu mensinergikan antara potensi individu-individu
yang ada dengan potensi kelompok guna mengelolanya dalam
upaya memelihara martabat manusia. Sikap tutur kata
merupakan representasi dari martabat kita sebagai manusia.
Ke depan, sikap saling mengingatkan sangat penting. Jangan
sampai hati kita menjadi batu ketika terjadi penindasan di
samping kita," kata Theresia.
Ia mengatakan, WKRI melalui program yang akan dijalankan
harus senantiasa memperhatikan kebutuhan umat, terutama yang
ada dalam wilayah Paroki Santa Familia Sikumana. "Kepedulian
kita terhadap sesama merupakan suatu bentuk usaha memelihara
martabat manusia. Kita ada dua program yang nantinya harus
dijalankan. Yang pertama, program hasil kongres dan program
dari bidang-bidang yang dalam WKRI ini. Namun pastinya
setiap program selalu bertujuan untuk menunjukan sikap
kepudilian kita terhadap sesama yang berada di sekitar
kita," tegasnya.
Pastor Paroki Santa Familia Sikumana, Romo Agustinus Parera,
mengaku sangat senang dan bangga melihat WKRI bisa hadir
10
dalam parokinya. Ia mengatakan, ke depan, mereka akan terus
berkoordinasi dalam setiap kegiatan dalam pelayanan.
"Wadah ini harus melahirkan wanita-wanita yang mampu
menunjukan eksistensinya bagi masyarakat umum. Kita nantikan
program-program kerja dari WKRI ini dalam pelayanan kepada
masyrakat sebagai usaha memelihara martabat manusia,"
tegasnya.
Artikel diambil dari:
http://kupang.tribunnews.com/2015/02/23/wkri-memelihara-martabat-manusia
BAB III11
SERVIAM JOURNEY
3.1 Proses Persiapan
3.1.1 Perencanaan
Tugas pelayanan yang diberikan oleh Bapak Eron
awalnya membuat kita bingung untuk menentukan tempat
dan target yang ingin kita capai. Hal ini disebabkan
oleh tujuan kita yang ingin memberi pelayanan ke
komunitas yang sangat membutuhkan, kami tidak ingin
melakukan pelayanan ke tempat yang sudah sangat
sering mendapatkan bantuan atau sering dikunjungi.
Saat berdiskusi pertama kali ada banyak sekali ide
yang kita keluarkan, masing – masing dari kami
memberi 2 ide dan hal ini membuat banyak sekali ide
yang semakin mempersulit kami menentukan mana yang
akan kami pilih. Awalnya kita membuat ide yang benar
– benar out of the box seperti membantu keluarga yang
sedang sangat membutuhkan pertolongan seperti ada
anggota keluarga yang sakit, membutuhkan bantuan
biaya, dan sebagainya. Namun, hal ini susah untuk
terwujud karena susah bagi kami untuk menemukan
“target”. Kami lebih mendetailkan lagi tujuan kami,
dengan begitu kami memutuskan untuk mengunjungi
tempat – tempat yang memang sudah ada dan pasti.
Sehingga lebih mudah bagi kita untuk menentukan
“target”. Ada ide untuk mengunjungi rumah Anyo yang
berisikan anak-anak penyandang kanker, namun kami
berpikir itu sudah terlalu mainstream. Lalu kami
mencoba untuk berpikir kembali dan mempunyai ide
untuk mengajar anak – anak jalanan yang berada di
belakang sekolah Ora et Labora namun setelah
ditelusuri lebih lanjut, waktu untuk itu tidak sesuai
karena waktu mereka belajar adalah pada jam sekolah
namun sangat cepat, dimulai pukul 8 hingga pukul 11,
12
mungkin karena anak – anak ini harus membantu orang
tuanya di rumah. Sebetulnya jika kita bisa melayani
mereka itu akan sangat berarti karena banyak dari
mereka yang sudah berumur diatas 8 tahun namun belum
bisa membaca dengan lancar serta berhitung pun mereka
belum begitu lancar. Pada akhirnya kami memutuskan
untuk pergi ke Anak Langit namun setelah dicoba
hubungi, Anak Langit berkata bulan ini sudah sangat
penuh dan baru kosong pada April akhir. Sangat di
sayangkan karena waktu yang sudah mepet kami mencari
lebih lanjut dan berniat ke Klinik Jiwa Sehat,
Ciater. Akhirnya, kami berhasil membuat janji dengan
Mbak Wati, selaku pengurus di sana.
Satu minggu sebelum kita pergi ke Klinik Jiwa Sehat
kami sering mengadakan rapat – rapat kecil supaya
acara yang kita bawakan disana menjadi seru dan
menarik. Namun, tetap susah untuk menemukan titik
temu dari banyak pikiran kami, karena mungkin kami
yang belum pernah kesana beranggapan bahwa orang –
orang yang berada disana benar – benar stres dan akan
susah untuk diajak komunikasi serta diajak untuk
mengikuti acara. Pada hari H sepulang sekolah kami
semua sekelompok berkumpul di rumah Sisi untuk
menyiapkan segalanya. Awalnya kami berniat untuk
membuat nasi goreng untuk dibawa kesana namun karena
pertimbangan waktu kami tidak dapat memasak karena
kami membutuhkan banyak porsi untuk dibawa ke sana,
sehingga ksmi hanya membeli bakso untuk dibawa
kesana. Di rumah Sisi kami merundingkan kira – kira
lagu apa yang mereka kenal karena di kelompok kami
tidak ada orang yang bisa bermain gitar langsung saat
diminta.
3.1.2 Tantangan / Hambatan
13
Tantangan yang kami hadapi selama melakukan
persiapan pelayanan adalah pada saat kami ingin
menentukan tempat tujuan yang akan kami kunjungi,
serta menemukan waktu yang cocok antar anggota
kelompok dengan tempat pelayanan itu sendiri.
Sehingga, kami membutuhkan waktu kurang lebih dua
minggu hingga akhirnya menemukan tempat dan waktu yang
cocok.
Kami juga sempat ditolak oleh beberapa tempat yang
sudah kami hubungi, dengan alasan waktu yang kurang
pas atau sudah ada pelayanan yang dilakukan. Selain
itu, kami juga sempat kesulitan ketika memikirkan
kegiatan apa yang akan dilakukan di tempat pelayanan.
3.1.3 Dukungan / Bantuan
Dukungan yang kami dapatkan saat melakukan
persiapan pelayanan berasal dari anggota kelompok yang
memberikan ide berbagai macam tempat yang akan
dikunjungi. Kami juga mendapat dukungan berupa
informasi dari siswa lain yang sudah melakukan
pelayanan ke tempat ini sebelumnya. Sehingga, kami
sudah mempunyai gambaran kasar mengenai tempat
tersebut dan kegiatan apa yang mungkin untuk
dilakukan. Dari hal tersebut juga kami dapat dengan
mudah menghubungi pengurus disana.
3.2 Proses Pelaksanaan
3.2.1 Deskripsi Tempat / Target
Klinik Jiwa Sehat terletak di perumahan di Jalan
Edelweiss 3, Perumahan Ciater Permai. Bangunan ini
berupa rumah diujung jalan yang luasnya kira-kira 17 x
20 m. Rumah ini terdiri dari dua lantai. Lantai dasar
untuk pasien, administrasi, aula berkumpul, jemuran,
dan teras. Kira-kira terdapat 3 kamar untuk pasien.
14
Selain itu, ada dapur dan kamar mandi yang jauh dari
kata bersih. Kemudian di lantai dua, merupakan kamar
untuk para perawat atau pengurus yang ada disana.
Perempuan yang hanya terdiri dari lima orang dijadikan
satu kamar. Sedangkan,laki-laki dipisah menjadi dua
kamar. Setiap kamar memiliki televisi sebagai hiburan
untuk mereka. Namun, setiap kamar mereka tidak tidur
diatas tempat tidur. Melsinkan, mereka tidur diatas
matras.
3.2.2 Jurnal Pelayanan
Pada hari Jumat 20 Maret 2015, kelompok kami
bersiap untuk pergi bersama-sama ke tempat
rehabilitasi mental, narkoba, psikogeriatri Nur Asa
Merdeka di Perum Ciater Permai, Jalan Edelweiss 3 no.
3, Serpong, Tangerang Selatan. Sepulang sekolah, kami
berpencar terlebih dahulu untuk bersiap pergi ke
sana, Sisi, Angela, dan Nadia membeli bakso di pasar
modern untuk makan bersama di sana, Putra dan Glenn
kembali kerumah mereka untuk bersiap sedangkan Seldi
dan Jessica langsung pergi ke rumah Sisi, yang
merupakan tempat berkumpul kami. Setelah beberapa
saat, satu persatu mulai berdatangan dan pada
akhirnya lengkap sudah kelompok kami berkumpul di
rumah Sisi. Sambil menunggu waktu yang telah
dijanjikan untuk pergi kesana, yakni jam 16.00, kami
bermain-main dahulu dirumah Sisi. Tiba jam 16.00,
kami beranjak dari tempat kami dan mulai memasuki
mobil Nadia untuk pergi ke lokasi. Akan tetapi,
sebelum kami pergi ke lokasi, kami berhenti dahulu
untuk membeli bahan-bahan kegiatan kami. Waktu untuk
sampai ke tempat tujuan dari rumah Sisi adalah 30
menit.
Sesampainya dilokasi, kami turun dari mobil dan
masuk ke dalam tempat rehabilitasi itu dan segera
15
kami disambut oleh kak Januar, seorang perawat
disana, yang telah kami beritahukan bahwa kami akan
melakukan pelayanan. Sebelum benar-benar masuk ke
dalam, Kak Januar bertanya terlebih dahulu tentang
kegiatan apa saja yang akan kami adakan sehingga
kamipun menjelaskan bahwa kami akan bermain origami,
berbicara dengan pasien untuk mengenal mereka, dan
akan makan bakso pada penghujung acara. Kak Januar
mengiyakannya dan kami disuruh menandatangani form
pengunjung, setelah itu kami segera dipersilahkan
masuk. Saat kami mulai berjalan menuju ke dalam
rumah, para perawat dan pekerja disana mengumpulkan
semua pasien, berjumlah 18 laki-laki dan 5 perempuan,
ke suatu bagian rumah yang merupakan tempat
berkumpul. Disana kami memperkenalkan diri kami
masing-masing dan Kak Januar memperkenalkan para
pasien satu demi satu kepada kami. Selama ini
berlangsung bakso-bakso yang berada didalam mobil
Nadia dipindahkan ke dalam dapur milik tempat
rehabilitasi. Setelah saling berkenalan, Kak Januar
mempersilahkan kami untuk memulai acara dan
memberikan kami mic yang tersedia yang digunakan Kak
Januar. Dengan demikian, dimulailah acara pelayanan
kami dengan Putra sebagai mc kami. Kami mengeluarkan
origami yang telah kami bawa dan membagikannya kepada
pasien-pasien. Kami mengajarkan kepada pasien untuk
membuat hati dari origami dan para pasienpun banyak
yang terlihat tertarik dan melakukannya dengan baik,
tapi tentu ada yang terlihat tidak berminat dan
melakukannya dengan seadanya. Selama kami membuat
origami, ada perawat lain dan dokter yang ikut masuk
melakukan kegiatan kami. Setelah berhasil membuat
hati dari origami, kami berniat untuk bernyanyi
bersama agar muncul kedekatan antara kami dan para
pasien. Untungnya disana ternyata ada pasien yang
16
pandai bermain gitar dan saat kami ajak bernyanyi ada
satu dua orang yang sukarela bernyanyi. Lalu, karena
kegiatan kami sudah selesai kami berkata kepada Kak
Januar supaya kami dipersilahkan makan bersama dengan
para pasien. Makanan pun dipersiapkan dan sambil
menunggu, Kak Januar mengajak para pasien untuk maju
satu persatu dan mengenalkan diri lebih dalam. Pada
sesi ini para pasien ditanyakan beberapa pertanyaan
yang sama seperti mengapa mereka berada di tempat
rehabilitasi, dan apa pesan kepada kami. Setelah itu,
akhirnya makanan pun siap dan kami mulai makan
bersama dengan para pasien. Setelah makan, kami
meminta para perawat dan semua pasien untuk mengambil
foto bersama-sama dengan kami sebagai kenang-
kenangan. Setelah mengambil foto, selesailah
pelayanan kami dan kamipun berpamitan kepada semua
orang yang ada di sana dan masuk ke dalam mobil Nadia
kembali untuk kembali ke BSD.
3.2.3 Tantangan
Selama menjalani tugas pelayanan ini, kami mendapat
tantangan dalam hal menentuan tujuan pelayanan kami.
Pada awalnya kami kebingungan akan pergi kemana,
walaupun ide-ide bermunculan tak ada yang secara
resmi kami jadikan tujuan kami. Pada akhirnya karena
waktu menipis kami menentukan tempat rehabilitasi
mental, narkoba, psikogeriatri Nur Asa Merdeka
sebagai tujuan kami.
Tantangan juga muncul saat kami melakukan pelayanan
dilokasi. Karena kondisi pasien, kami kurang mengerti
apa yang sebaiknya kami lakukan sehingga pada awalnya
kami agak canggung membawakan acara, walaupun pada
akhirnya kami mulai terbiasa dan dapat dengan lebih
nyaman menerima para pasien.
17
3.2.4 Dukungan
Selama menjalankan tugas pelayanan ini, kami
mendapatkan dukungan dari keluarga kami masing-masing
karena kami semua telah diperbolehkan pergi
melaksanakan kegiatan ini. Selain itu transportasi
juga disediakan oleh keluarga Nadia dan supirnya
yang karenanya, kami dapat sampai ketempat tujuan
tepat waktu dan selamat. Orangtua kami juga telah
memberikan kami dukungan berupa uang yang kami
gunakan untuk membeli perlengkapan kegiatan
pelayanan.
Selain itu, kami juga didukung oleh para perawat,
pekerja, dan dokter di sana karena mereka membantu
kami mengatur para pasien dan membimbing kami dalam
melaksanakan kegiatan bersama dengan para pasien.
Mereka juga bersikap ramah kepada kami dan dengan
senang hati menjawab semua pertanyaan-pertanyaan
kami.
18
4.2 Refleksi Pribadi
4.2.1 Refleksi Angela Maria Linata
Proyek pelayanan agama ini terkadang membuat saya
frustasi. Saat pertama kali berunding terdapat banyak
sekali opsi yang dapat kami pilih namun ternyata sia-
sia. Sering juga terjadi rebut antara anak perempuan
dan laki-laki. Kami kadang berbeda pendapat memilih
lokasi ada yang sudah diambil, ada yang sudah bagus,
ada yang jauh, dan masuh banyak lain. Karena hingga
pada H-7 kami belum mendapatkan lokasi pelayanan,
pada Hari Rabu, 18 Maret 2015 kami merundingkan
dimana lokasi nya. Ada 3 opsi yaitu anak langit,
20
Panti Asuhan di Puspita loka dan Klinik Jiwa Sehat.
Awalnya kita sudah fix di panti asuhan namun ternyata
tidak mendapatkan kabar. Anak Langit ternyata harus
pelayanan selama 3 hari sedangkan waktu tidak cukup.
Saya pada saat itu sudah stress sampai-sampai
pelajaran berlangsung pun saya dan Sisi masih
membicarakan Pelayanan.
Akhirnya kami memutuskan untuk pelayanan di Klinik
JIWA SEHAT. Kami memutuskan untuk pergi hari Jumat,
20 Maret 2015. Pada hari H kami masih binggung akan
melakukan apasaja sehingga kami belum sempat membeli
barang untuk pelayanan. Setelah pulang sekolah, saya,
Sisi, dan Nadia membeli bakso untuk mereka karena
mereka sangat menyukai bakso. Menurut saya, kami
bukanlah sinterklas namun terlebih kami hanya memberi
sedikit kebahagiaandari kami karena uang yang kami
gunakan untuk membeli bakso dikumpulkan dari uang
masing-masing yang telah dikumpulkan. Pada saat itu
juga kami memutuskan untuk pelayanan disana adalah
membuat suatu bingkai besar yang kami hias bersama,
mengobrol-sharing, membantu, dan lain-lain. Bingkai
ini kami buat dengan kami mengajarkan origami
berbentuk hati lalu dijadikan bingkai serta kami akan
mengeprint foto bersama kami dengan ukuran besar dan
akan kami temple dan kami kirim ke klinik tersebut
sebagai kenang-kenangan. Saya dapat kabar bahwa salah
satu dari mereka ada yang terkena penyakit TBC
sehingga kami membeli masker untuk antisipasi.
Terdengar agak diskriminasi tetapi kami jujur takut.
Tapi saat sampai disana saya tidak memakainya karena
menurut saya itu adalah sebuah diskriminasi walau ada
teman yang juga pakai.
Sesampainya disana saya disambut oleh satu orang
lelaki berpakaian formal. Saya kira itu adalah salah
21
satu pasien namun ternyata itu adalah kakak
pembimbing dari sifatnya yang sedikit terlihat autis
yang membuat saya mengira ia adalah pasien. Sampai
sampai saya beranggapan bahwa mungkin pengurus disini
sudah lama sehingga dari sananya akan mengikuti sifat
pasien dari manusia normal menjadi agak tidak nomal.
Jujur awalnya saya takut masuk karena pikiran awal
saya mereka adalah orang sakit jiwa jadi saya taku
nanti saya terjadi apa-apa. Namun saat mau masuk kami
seperti takut sehingga salah satu dari mereka berkata
“ jangan takut kami gak akan ngapa-ngapain kok, kami
ga jahat”. Saat mendengar itu saya cukup kaget karena
ternyata mereka tahu kami takut yang saya pikirkan
adalah mereka tahu bahwa mereka memiliki kelainan.
Saat perkenalan saya cermati satu-persatu. Tak tahu
kenapa saya langsung klik dengan satu orang yaitu
Bapak Rudi. Ia dapat bermain gitar dengan baik saya
merasa ia sudah sembuh total namun ternyata ia
mengalami gangguan halusinasi suara. Setelah
perkenalan dan bernyanyi akhirnya kami membuat
origami. Tak cukup sulit mengajar mereka untuk
membuat origami mereka cukup terlatih dalam membuat
origami sehingga mereka lebih mudah diajar. Sehingga
saya tidak melihat lagi atau memikirkan bahwa mereka
adalah kelainan jiwa.
Saat masuk Kevin memperkenalkan diri terlebih
dahulu. Saya sambal melihat bahwa mengapa banyak
sekali laki-laki apakah karena laki-laki terlalu
banyak yang depresi? Dari mukanya sangat tak terlihat
adanya gangguan tapi kalau sangat diamati terlihat
perbedaannya namun yang membedakan kita dengan mereka
adalah jiwa namun kita tetap sama seperti mereka
manusia, saudara kita.
22
Bapak Rudi disela-sela membuat origami ternyata ia
main gitar sehingga memecahkan suasana yang terbilang
agak henning. Saya senang bisa mengajarkan mereka
origami. Saya mulai melihat mereka dengan bukan men-
judge mereka adalah orang sakit namun syaa menggangap
mereka adalah manusai normal namun tidak bisa
belajar. Setiap dari mereka sangat senang membuat
origami sehingga membuat saya senang juga. Bahkan ada
dr mereka yang membuat 2 origami. Sungguh luar biasa
namun saya masih takut untuk berdekatan dengan Tanu,
pasien gangguan jiwa dan TBC tersebut. Saya merasa
sedih melihat ia duduk di pojokan menghindari agar
penyakitnya tidak tertular. Saya tahu ini baik namun
terkadang saya kasihan melihat ia namun ia dapat
mengerjakan origami dengan sangat baik.
Setelah selesai membuat bingkai, saya sempat
bertanya dengan 2 pasien yaitu Ibu Sinta dan Sardi.
Saya bertanya mengapa mereka bisa sampai disini?
Keduanya menjawab sama pusing dan sakit. Saya merasa
mereka tidak tahu apa yang mereka alami. Mereka tak
mengenal siapa mereka. Saat saya Tanya betah atau
tidak, ibu Sinta sangat betah Karena disini ia merasa
lebih peraya diri dan dapat mengontrol diri dengan
baik namun Sardi, 22 tahun ia merasa sangat bosan
karena ia tidak dapat merasakan lingkungan luar
seperti layaknya orang biasa. Lalu saya bertanya
dengan kakak pembimbing disana untuk menanyakan
tentang klinik ini. Ternyata disini mereka sengaja
dimasukkan demi rehabilitasi mentak namun bedanya ada
keluarga yang hanya membayar namun tidak pernah
menjenguk seperti contoh Bapak Ahoy yang selama 7
bulan di rehab baru 1x keluarganya menjenguk. Namun
tak jarang juga ada keluarga yang senantiasa
menjenguk pasien seperti bapak Erwin yang selalu
dijenguk 1 minggu sekali. Saya merasa binggung
23
mengapa keluarga tidak pernah menjenguk? Apakah
mereka malu? Atau mereka tidak peduli?
Tiba saatnya sharing. Kami mendengar cerita setiap
dari mereka dan semua juga sama menjawab mereka
berada di klinik jiwa sehat karena sakit. Merka semua
masih perlu dibantu oleh Kak Januar sang Pembina
karena mungkin mereka lupa atau susah untuk
mnegutarakan. Namun akhirnya mereka menceritakan
spesifiknya. Ada yang masuk karena halusinasi suara
seperti Sardi dan Bapak Rudi (kakak beradik), adajuga
yang suka marah-marah, meemcahkan barang, sangat
malas,masalah keluarga, depresi, stress akibat cerai,
akibat putus cinta dan lain lain. Ketika saya
mendengar masalah ibu Mira yang bisa menguasai
beraneka macam Bahasa dan terpaksa pindah ke
Indonesia dari Taiwan akibat sakit dan cerai, saya
merasa sedih bahwa ia sakit dan ia juga harus
menerima kenyataan bahwa ia cerai, tetapi ia masih
saying kepada anak-anaknya dan menggangap foto
anaknya adalah benda yang sangat berharga
dibandingkan uang dan lainnya, saya merasa sedih
karena ia harus melewati masa yang sangat susah
dimana yang mengerti masalah nya hanya dia seorang.
Terkadang saya tidak pernah berpikir mengapa suaminya
harus menyurhnya ke Indonesia mengapa mereka tak
bersama pindah. Tapi saya benar benar sangat bangga
dengan ibu yang bisa berbahasa ini ia benar benar
lancar. Saat Bu Mira menjawab, Glenn bertanya yang
menurut saya tidak pantas namun ada seorang bapak
yang justru berkata “ itu pertanyaan yang bagus yang
dapat membangun” jadi saya biarkan saja. Mungkin
memang itu dapat membangun.
Lain ceritanya dengan bapak Asiong yang masuk
dikarenakan rehabilitasi narkoba. Menurut saya ia
24
tidak memiliki gangguan namun ia hanya berlebihan
sehingga tidak baik bagi dirinya sendri. Ia juga
berpesan agar kami semua jangan mengikuti ia karena
narkoba sangat menjerat dan begitu kejam. Jangan lah
kita hancur karena narkoba. Jadi sebenarnya bapak
asiong ini sadar secara mental.
Setelah sharing kami makan bersama bakso yang tadi
kami beli. Saya sangat senang mereka makan dengan
sangat lahap. Makan malam selesai, mereka diberi
obat. Mereka harus baris seperti memungut sembako dan
itu pun diberi jarak kerangkeng. Tempat tidur mereka
pun menurut saya kurang layak karena hanya berbatasan
Kasur tipis dengan lantai. Ternyata jika tidak ada
orang yang berkunjung, tempat ini hanya seperti rumah
biasa mereka beraktifitas sendiri-sendiri. Selain itu
saya baru sadar bahwa ada nenek yang tidak ikut
bersama kami. Ia ternyata terkena stroke tangan
sebelah kiri dan mengalami gangguan. Ia telah lumayan
lama masuk dan memang tidak terlalu gila namun
keluarga mereka taka da yang dapat mengurusinya
sehingga dimasukkan ke panti rehabilitasi.
Akhirnya kami pulang sekitar pukul 7.30 malam.
Yang saya bisa dapatkan disini sangat banyak. Mulai
dari saya sangat senang bahwa dikeluarga saya tidak
ada yang mengalami gangguan jiwa sehinga mereka tidak
perlu di rehabilitasi dan diasingkan dan saya masih
bisa bersama keluarga saya. Selain itu saya juga
sadar bahwa saya seharusnya tak bersikap menjauhi
Tanu yang terkena TBC. Saya tidak bisa bayangkan
bahwa saya seperti dia. Menggunakan masker, duduk
dipojok dan diasingkan. Saya pastinya akan merasa
sangat sedih dan mungkin akan merasa sangat tidak
berguna dan bahwa Tanu saja hamper mencoba bunuh
diri. Saya belajar dari sosok Tanu yang sangat kuat
25
dimana ia diasingkan dan ia masih sangat berusaha
untuk bisa sembuh dan saya benar benar waw melihat
kegigihan Tanu.
Saya juga belajar jangan menilai orang hanya dari
yang kita dengar sebelum kita membuktikannya. Saya
mengira bahwa mereka orang yang gila susah untuk
diajak bicara dan sepenuhnya gila sehingga agak sulit
untuk diajak berkomunikasi. Namun selama ini salah
mereka justru masih bisa diajak malah terkadang ia
lebbih pintar daripada kita seperti Ibu Mira yang
dapat berbicara banyak Bahasa malah saya yang tidak
mengalami gangguan tidak bisa. Saya merasa sangat
malu bahwa saya tidak bisa berbahasa dan saya ingin
belajar seperti Ibu Mira karena saya saja yang sembuh
tidak bisa.
Entah kapan mereka akan sembuh namun mereka semua
berusaha untuk sembuh. Saya mengerti mereka merasa
bosan disana karena mereka jarang diajak keluar.Saya
juga merasa kalau sampai ada keluarga saya yang
terkena penyakit ini saya akan coba untuk
mengurusnya sebisa saya dan jika terpaksa saya akan
terus berkunjung karena saya tak mau meninggalkan
mereka disana benar- benar diasingkan.
Tuhan masih berkerja dalam diri mereka. Walaupun
dalam kondisi gangguan kejiwaan, diasingkan , Tuhan
masih memberikan mereka kebahagiaan lewat orang-orang
yang berkunjung, pembimbing dimana mereka menjaga nya
untuk tumbuh dan bersama-sama melewati masa sulit
menuju kesembuhan mereka. Tuhan mampu dan saya
percaya bahwa entah mereka sembuh apa tidak, Tuhan
teteap menjaga mereka layaknya kita memberikan
kebahagian disela kehidupan mereka yang sangat sulit.
Saya jujur ingin kembali kesana jika ada waktu dan
membagi kebahagian bersama mereka kembali.
26
4.2.2 Refleksi Ignatius Kevin Putra Pratama
Dalam persiapan Melayani kami mempunyai banyak
usulan. Usulan dari saya adalah melakukan pelayanan
di penjara seperti memberi semangat baru untuk mereka
yang mungkin sudah putus asa dalam penjara. Namun
rencana ini di tolak oleh kelompok karena semua takut
untuk ke penjara, karna terkesan orang – orangnya
sangar dan jahat - jahat. Lalu saya pun memberi ide
lain seperti mengajarkan anak – anak jalanan, ide ini
di terima namun tidak dapat di realisasikan karna
waktu yang tidak pas dengan waktu sekelompok, waktu
untuk mengajar anak – anak jalanan adalah pagi setiap
hari sabtu.
Saat tau bahwa kelompok saya memutuskan untuk
pergi ke rumah sakit jiwa, saya awalnya merasa aneh,
karna saya berpikir bahwa di sana pasti sudah banyak
psikolog ataupun penyemangat yang selalu memotivasi
mereka. Namun Angela langsung membantah pemikiran
saya. Kata dia Clinic Jiwa Sehat sangat jauh dari
kata layak. Clinic Jiwa Sehat berada di Ciater.
Awalnya saya pikir ini berupa rumah sakit yang
lumayan bagus atau seperti apa. Namun setelah Angela
jelaskan ternyata clinic ini berupa rumah yang
berukuran 17 x 20 m satu lantai dan rumah itu diisi
oleh 23 orang. 18 pria dan 5 perempuan. Dengan kata
lain jika semua orang di rumah itu berdiri dan
berjalan hanya sekitar 14 m2 ruang gerak mereka.
Jumlah ini belum di kurangi toilet serta dapur dan
ruang praktik dokter. Hal ini sangat miris karna
27
hanya 4 perawat yang berjaga setiap shiftnya dan
seorang dokter. Sangat lelah pasti mereka. Kelelahan
ini membuat mereka pun tidak merawat para pasien
dengan penuh kasih sayang, melainkan dengan sedikit
bentakan dan marah serta mudah BT bila pasien susah
di atur.
Saat masa persiapan saya kurang ikut campur dalam
menentukan acara apa yang akan kita lakukan karna
saya punya pemikiran bahwa akan susah mengatur
mereka. Dan akhirnya apa yang sudah kita rencanakan
akhirnya terbuang sia – sia. Dan pemikiran kita ini
terbukti. Awalnya kita akan membuka acara dengan
bernyanyi terlebih dahulu namun hal ini tidak dapat
tercapai karena lagu yang mereka tahu adalah lagu –
lagu yang ngehits sebelum saya lahir. Jadi banyak
lagu belum saya tahu, dan saya bukan orang yang bisa
memainkan gitar saat langsung ada request seperti
teman sekelas saya Angel Chandra. Saya susah
menentukan chord dan pengetahuan chord saya yang
kurang. Akhirnya di sana ada bapak Rudi.
Setibanya di Clinik jiwa Sehat saya memperhatikan
keadaan Clinic Jiwa Sehat, saya merasa sangat sedih
karna melihat lingkungan tempatnya yang begitu kumuh
dan tempatnya sendiri terlihat seperti rumah yang
sudah sangat lama tidak di urus dan di rawat. Saat
masuk Clinic tersebut semakin miris lagi keadaanya.
Mungkin supaya perawatnya mudah melihat dan mengawasi
mereka semua namun keadaan kamar pasien tersebut
sangat tidak layak. Mereka seperti di perlakukan
sebagai binatang peliharaan dengan pintu kamar
berbentuk “kerangkeng” dan tempat tidur berupa matras
seperti yang kami gunakan untuk roll di sporthall.
Plafon atau langit – langit nya sudah coklat kusam
dengan banyak noda dan tembok rumah yang sudah kusam
28
pula. Dinding dalam yang terbuat dari dinding gypsum
sudah ada yang bolong – bolong kecil seperti dimakan
tikus atau lainnya.
Saat pertama kali menginjakkan kaki di lingkungan
tersebut semua sekelompok saya merasa takut untuk
menjejakkan kaki di situ. Semua menyuruh satu sama
lain untuk maju terlebih dahulu. Numun saat kita
masuk ke depan pintu gerbang Clinic jiwa Sehat saya
di sambut hangat oleh seorang pria yang wajahnya
mirip Bapak Oky. Awalnya saya kira ia pasien karna ia
mengenakan seragam seperti seragam pasien rumah sakit
jiwa di film – film. Perilaku awalnya pun
mencerminkan demikian dengan sedikit “cengangas –
cengenges” dan perilaku ala orang sakit jiwa. Saya
berpikir mungkin in idulunya pasien dan sekarang
sudah di percaya untuk mengurus serta mengajarkan
pasien lainnya karna ia sudah di katakan sembuh. Kami
mengisi formulir dll. Setelah kami cari tahu ternyata
pria ini bernama Bapak Januar ia adalah perawat
disini. Ia berkata bahwa semua perawat disini adalah
lulusan Keperawatan rata – rata D3 dan ada 2 yang S1.
Semua berjalan layaknya mau mengunjungi orang
sakit seperti di tanyai data – data, tujuan kesini,
apa yang akan di lakukan di dalam, dll. Namun semua
berubah saat kita mau masuk perawat menyuruh mereka
semua menjauh dari pintu seperti mengusir kucing,
dengan sedikit bentakan dan tegas ia menyuruh semua
pasien untuk menjauh dari pintu karna pintu mau di
buka. Cara – cara seperti ini memang terkadang
nadanya berubah – uah sehingga menciptakan kesan
marah, kesal, BT, tidak ada kasih sayang, mengancam,
dll.Saat saya di sana ada 3 kali terhitung oleh saya
ancaman yang di keluarkan oleh perawat di situ
seperti “ Hey bu mira jangan rebutan gelas ya… sekali
29
lagi nih konci melayang ya!” hal seperti ini mungkin
sudah sering pasien rasakan dan semakin membuatnya
takut sekaligus semakin mudah di atur oleh perawat.
Hal ini seharusnya tidak terjadi terhadap pasien.
Mengingat kembali mereka sakit, sehingga sudah pasti
mereka susah di atur, jika mereka mudah di atur maka
mereka pasti sehat – sehat saja.
Rencana awal yang sudah kita rencanakan adalah
membuka acara dengan bernyanyi namun setelah melihat
keadaannya kami berpikir kembali. Terjadi moment
dimana kita semua setelah memperkenalkan diri hanya
diam dan saling tatap-tatapan. Seperti bingung mau
ngapain. Namun karna teerus di pancing oleh Pak
Januar kita akhirnya terbiasa dan mulai berani
menjalin komunikasi dengan pasien. Kami memulai acara
dengan mengajari mereka membuat hati dari kertas
origami. Kemampuan menangkap pelajaran mereka beragam
seperti Pak Rudi yang dapat dengan sangat cepat
mengerti yang kita ajarkan dan dapat dengan terampil
dan rapih membuat lipatan. Namun seperti Ibu Yuni
sangat antusias saat pelajaran namun lipatannya
sangat tidak rapih dan tidak sesuai perintah. Saat
yang lain mengajari mereka membuat origami hati saya
membuatkan Ibu Yuni, yang saya anggap menyenangkan
dan aktif saat kita mengajar, mawar dari origami. Ia
sangat senang saat saya memberinya bunga. Saat Pak
Rudy melihat saya membawa masuk gitar ia langsung
meminjam gitar saya dan memainkan beberapa lagu. Ia
tampak sangat senang saat ia bernyanyi dan memainkan
gitar. Ia sangat mengilhami lantunan music yang ia
mainkan sendiri.
Setelah semua selesai membuat origami hati kita
memulai sesi sharing. Di saat inilah saya merasa
seperti mereka itu bukan orang yang layak untuk di
30
asingkan, di jauhkan, sehingga mereka miskin akan
kasih sayang. Namun mereka inilah orang – orang yang
di ciptakan oleh Tuhan untuk membuat saya, yang
diciptakannya sesempurna ini, belajar untuk bersyukur
akan apa yang telah di berikannya. Keluarga yang
harmonis dan tentram, semua masalah dan pertengkaran
hanya berlalu seperti air. Pikiran yang tidak terlalu
berat dan membuat saya stress. Saya bersyukur tuhan
memberi saya jiwa yang sehat agar dapat terus
berpikir secara rasional dan selalu ada sebab di
balik akibat.
Saya mengatakan selalu ada sebab di balik akibat
karna semua pasien di situ jika ditanya kenapa kok
bisa masuk sini mereka semua berkata pusing, bahkan
ada yang mengatakan karna sakit batuk. Pemikiran
tidak rasional inilah yang membuat mereka tidak bisa
menentukan sebab dan akibat mereka berada di situ.
Bahkan ada yang paling lama berada di situ pun tetap
belum tahu dan masih susah di atur karna ia tidak
tahu mengapa ia berada di situ. Hal inidapat
memperlama proses karna ia baru boleh keluar dan
melakukan rawat jalan jika ia minimal sudah berpikir
secara rasional, mau di atur, sudah tahu kenapa ia
berada di situ. dengan begitu pasien sudah di
perbolehkan untuk pulang dan melanjutkan terapi
dengan rawat jalan.
Saat sesi sharing banyak pesan yang saya dapat
dari mereka, seperti pesan dari seorang mantan
pecandu narkoba yang berkata bahwa kita harus sekolah
yang rajin karna orang tua kita sudah bekerja mati –
matian demi kita bersekolah, pergunakan waktu mu di
sekolah dengan benar, jangan coba – coba deh sama
narkoba. Karna sekali kamu nyoba langsung masa depan
kamu rusak. Jadi madesu. Katanya dengan terbatah –
31
batah. Memang pesan seperti ini sudah sering saya
dengar. Namun bila mendengar seorang mantan pecandu
narkoba yang mengatakan hal itu rasanya seperti hati
saya langsung terbentur dengan kencang, dan berkata
dalam hati bahwa orang yang berpikirannya tidak
serasional saya, bahkan ia bisa mengatakan hal
tersebut. Hal yang sampe sekarang masih sering saya
tentang. Saya mulai berpikir bahwa selama ini saya
sudah belajar dengan mati – matian sebanding dengan
orang tua kita yang bekerja mati – matian. Dan
jawabannya adalah belum. Saya masih sering malas –
malasan serta cepat bosan saat belajar. Hal ini
sangat tidak menunjukkkan jiwa daya juang saya. Saya
tidak mau mendorong diri saya melebihi limit saya
sendiri. Sering kali malah saya berada di bawah limit
saya atau yang sering saya sebut sebagai comfort zone
atau zona nyaman, zona dimana kita tidak kekurangan
dan tidak berlebih. Kedepannya saya ingin
meningkatkan jiwa daya juang saya dengan cara
menambah jam belajar saya yang awalnya belajar
mandiri saya hanya 1.5 jam jadi 2.5 jam sehingga
prestasi saya pun dapat meningkat dan hasil ini dapat
menyenangkan orang tua saya serta Tuhan
Saat sesi sharing pula ada yang mengatakan bahwa
keluarga itu tidak ada bandingannya dalam dunia ini.
Bahkan kamu punya rumah sebanyak satu pulau pun jika
itu di jual tidak dapat membeli keluarga. Keluarga
itu di bangun dengan cinta dan saling percaya,
keharmonisan, saling pengertian, bukan dengan uang
yang berlimpah. Hal ini pula yang membuat saya luluh.
Kara saya masih sangat sering mengedepankan
kepentingan teman – teman saya dari pada kepentingan
atau kemauan orang tau. Sering kali saya mendengar
dan membaca quotes sayangilah mereka sebelum semua
itu berubah menjadi sayangnya waktu itu saya gak
32
sayang sama mereka. Jika quotes ini sayabaca selalu
saya teringat dengan kedua orang tua saya. Sering
kali saya tidak mengerti yang di inginkan oleh mama
dan papa saya yang mengajak saya jalan – jalan
padahal saya lagi main. Saya di paksa pulang karna
mau jalan – jalan. Akhir – akhir ini saya membuat
peraturan sendiri kepada orang tua saya bahwa pada
hari sabtu setelah pulang sekolah saya benar – benar
bebas aturan, atas aturan apapun. Sehingga orang tua
tidak dapat melarang saya untuk main, dan peraturan
kedua adalah orang tua tidak boleh mengganggu gugat
waktu main saya. Peraturan ini saya buat karna waktu
itu saya benar – benar emosi karna senin sampai jumat
mereka membatasi waktu main saya dan hari sabtu
mereka mengajak saya pergi dari pulang sekolah hingga
malam hari. Pada hari minggunya mereka mulai lagi
membatasi waktu main saya yaitu jam 4 sudah harus
pulang karna harus belajar untuk hari senin. Hal ini
membuat saya sangat marah dan membuat saya menyumpah
papa saya dengan sumpah – sumpah yang kalau sekarang
saya ingat lagi hal itu dapat membuat saya menangis
karna takut yang saya sumpah itu benar – benar di
wujudkan oleh Tuhan. Untuk kedepannya saya harus
mulai berpikir dua kali saat orang tua mengajak saya
jalan – jalan mungkin mereka kangen dengan saya karna
hari senin sampai jumat yang biasanya papa berangkat
pagi pulang malam sehingga waktu saya ngobrol dan
bertemu tatap mata dengannya sangat jarang bahkan
nyaris tidak pernah, mungkin dalam 1 bulan hanya 3
kali kesempatan itu terjadi pada hari kerja.
Kedepannya pula saya ingin lebih memaafkan perbuatan
papa saya pada masa lalu yang terkadang membuat saya
marah padahal cuman dipancing dengan sedikit emosi
papa. Hal – hal pada masa lalu itu yang membuat saya
sangat emosional jika sudah berhubungan dengan papa,
33
maka dari itu saya sangat malas jika harus
berhubungan dengan papa, mengobrol, dll.
Setelah sesi sharing kami membagikan baso untuk
makan bersama namun saya tidak ikut makan karna saya
sedang pantang pada hari itu. Setelah itu kami pulang
dan menuju rumah masing – masing. Keesokan harinya
barulah kami membicarakan serta membagi tugas membuat
laporan.
Dalam kerja kelompok ini saya belajar bahwa jangan
mudah menyanggah ide seseorang karna belum tentu anda
bisa membuat ide sebagus ide dia. Hal ini saya
dapatkan saat kelompok saya malah kesulitan karna
semua satu kelompok saling sanggah saat seseorang
memberi ide. Selalu semua di sanggah. Kedepannya saya
akan belajar untuk lebih mengatur kata – kata saya,
dan berpikir dahulu sebelum berbicara karna
terkadang, hal yang menurut saya hanyalah sanggahan.
Namun di mata orang yang kita sanggah itu merasa saya
menghina. Jika itu terjadi di kehidupan saya
kedepannya hal ini akan sangat fatal akibatnya karena
tidak semua orang bisa menahan omongan pedas yang
saya keluarkan saat saya menyanggah.
Hal kedua yang saya pelajari adalah bekerja
bersama sama. Sering kali saya berpikir bahwa lebih
cepat membagi tugas namun di satu sisi saya malah
jadi tidak mengerti yang di kerjakan oleh teman saya
begitu pula sebaliknya. Namun apabila kita bekerja
bersama – sama kita semua jadi mengerti bersama –
sama, meskipun memang hasilnya akan jadi lebih lama.
Dan lebih susah menemukan pikiran yang sama.
Ketiga adalah bertindak dahulu sebelum berbicara.
Hal ini saya sadari saat saya belum mencoba apa – apa
tapi sudah memastikan banyak hal salah satunya adalah
saat memastikan rancangan acara yang kita buat pasti
34
tidak akan tercapai. Bila kita sudah berpikir begitu
terlebih dahulu maka benarlah yang terjadi. Mental
mendahului fisik.
4.2.3 Refleksi Jessica Grace Pratiwi Napitupulu
Saat pertama kali mendapatkan diberi tugas untuk
melakukan pelayanan sebagai penilaian proyek agama
oleh Pak Eron, saya merasa sangat tertarik dan
penasaran. Apalagi, saat Pak Eron mulai menceritakan
pengalaman-pengalaman pelayanan unik yang dilakukan
oleh kakak kelas di tahun-tahun sebelumnya.
Sebelumnya memang, saya juga pernah melakukan
pelayanan yang kurang lebih seperti ini. Saat itu,
saya melakukan pelayanan sebagai penilaian ujian
praktek kelas IX di panti asuhan. Dan saat itu, saya
benar-benar sangat terkesan akan pengalamannya dan
sangat ingin melakukan pelayanan semacam itu lagi di
kemudian hari. Ternyata, Pak Eron memberi kesempatan
untuk melakukan pelayanan seperti itu lagi, yang
cukup saya nanti-nanti sejak lama.
Awal mula saat pemilihan tempat tujuan pelayanan,
kelompok saya cukup bingung untuk memilih tempat itu.
Cukup lama kami mencoba mencari referensi tempat-
tempat yang memungkinkan untuk kami layani dan yang
terpenting, tempat yang MEMBUTUHKAN pelayanan dari
kami. Setelah lama kami mencari dan menghubungi
beberapa tempat, akhirnya kami pun memutuskan untuk
melakukan pelayanan di Panti Rehabilitasi dan Klinik
Jiwa Sehat daerah Ciater. Pihak dari klinik jiwanya
sendiri juga menyetujui dan kami langsung menentukan
kapan kami akan datang kesana.
Salah satu hal yang sedikit saya sesali dari grup
saya adalah lamanya proses pemilihan tempat tujuan
35
yang akan dilayani. Kami sebelumnya tidak begitu
aktif mencari referensi tempat atau berdiskusi
mengenai pelayanan agama ini. Begitu sudah mendekati
deadline, barulah kelompok saya aktif dan berusaha
mencari tahu tempat. Akibatnya, disaat kelompok lain
sudah melakukan pelayanan bahkan sudah dapat mulai
menyusun laporan, kelompok kami baru akan memulai
pelayanan. Sebenarnya memang, ketika Pak Eron memberi
tugas proyek agama ini, disaat yang hampir sama guru
dari mata pelajaran lain juga memberi tugas proyek
kepada kami. Akhirnya, konsentrasi terpecah dan kami
juga harus membagi waktu antara membahas proyek
pelayanan dan proyek pelajaran lain tersebut. Dari
sinilah saya belajar bagaimana mengorganisir suatu
tugas yang diberikan dengan baik serta tidak sibuk
mengerjakan tugas, apalagi tugas kelompok, saat sudah
akan menjelang deadline.
Saat kelompok saya akhirnya memutuskan untuk
melakukan pelayanan ke klinik jiwa tersebut, ada
perasaan tertarik sekaligus ragu untuk pergi ke sana.
Saya merasa sangat tertarik karena sebelumnya saya
tidak pernah punya pengalaman pergi dan masuk ke
sebuah panti rehabilitasi ataupun rumah sakit jiwa
sebelumnya. Di satu sisi, saya juga merasa sedikit
ragu, karena mendengar namanya saja kita pasti sudah
tahu, pasien di dalam rumah sakit jiwa ataupun panti
rehabilitasi pasti adalah orang yang memiliki
gangguan kejiwaan, yang berbeda cara pemikirannya
dengan orang-orang normal seperti kita. Berbagai
pikiran juga berkecamuk dalam pikiran saya. Bagaimana
bila nanti sulit diatur? Bagaimana kami membuat kegiatan yang asyik
bersama orang dewasa dan lebih tua dari kami? Bagaimana bila kami
nanti merasa awkward dengan mereka? Bagaimana bila tiba-tiba ada
salah satu pasien yang ‘kambuh’? Semua keraguan ini bahkan
36
terus terngiang hingga disaat saya dalam perjalanan
menuju ke klinik tersebut.
Sesampainya disana, saat baru saja memasuki
gerbang klinik itu, mata saya langsung tertuju kepada
beberapa orang pria yang sedang duduk di dekat tralis
pintu yang terkunci. Mereka hanya duduk disitu sambil
memandangi kami yang baru saja sampai. Tatapan mereka
yang tampak separuh penasaran separuh kosong,
ditambah ekspresi mereka yang datar, membuat saya
langsung tahu mereka adalah sebagian kecil dari
pasien klinik ini. Ketakutan kembali menyergap saya.
Namun meski merasa takut, saya tidak merasa ragu
untuk masuk ke dalam klinik karena masih ada teman-
teman yang bersama dengan saya dan juga para penjaga
klinik yang ikut menemani kegiatan kami.
Saat berkenalan dengan semua pasien klinik yang
ada di situ, pikiran saya kembali dipenuhi ketakutan
sekaligus keraguan. Sebenarnya, bila dilihat secara
keseluruhan, tak ada yang berbeda dari mereka selain
penampilan mereka yang cukup berantakan dan kotor,
ekspresi mereka yang datar dan tatapan beberapa
pasien yang terlihat kosong. Saya kembali berpikir,
ah, pasti kegiataannya nanti tidak bisa dibuat asyik, mereka pasti sulit
mengerti maksud pembicaraan kami. Namun ternyata, selama
kami berkegiatan membuat bingkai foto dari kertas
origami, mereka tidak seperti yang saya bayangkan.
Mereka cukup mengerti apa yang kami katakan. Mereka
mampu mengikuti seluruh tahap-tahap yang kami
ajarkan, meskipun memang mereka cukup lambat memahami
dan mengikutinya. Bila ada yang kesulitan mengikuti
tahapannya, mereka juga saling membantu mengajarkan
teman mereka meskipun kadang langkah yang mereka
ajarkan itu salah. Saya bisa melihat ada kerja sama
dan kepedulian antar sesama pasien disitu. Saat saya
37
juga mengajak berbicara beberapa pasien disana
seperti Om Rudy, Om Asiong, Tante Sinta dan Tante
Mira, mereka juga dapat merespon obrolan yang saya
ungkit. Hal ini benar-benar membanting saya. Dari
sini saya belajar untuk tidak berpikir negatif dahulu
pada orang sebelum berinteraksi langsung dengan
mereka. Saya seharusnya tidak menilai orang
berdasarkan penampilannya saja.
Setelah kami berorigami-ria bersama para om,
tante, dan kakak disana, kami melanjutkan kegiatan
dengan bernyanyi bersama. Salah seorang pasien, yaitu
Om Rudi, memainkan gitar untuk mengiringi lagu yang
akan dinyanyikan. Karena keterbatasan kemampuannya
dalam bermain gitar, kami juga menggunakan
instrumental dari youtube untuk mengiringi nyanyian.
Ada semangat yang terlihat dari beberapa pasien
disana yang menikmati sesi bernyanyi bersama itu.
Satu hal yang membuat saya terharu di saat sesi
bernyanyi itu, adalah ketika Tante Mira, salah
seorang pasien disitu, mendadak mengajukan diri untuk
bernyanyi lagu mandarin di depan dengan menggunakan
mic. Saya awalnya mengira ia ingin bernyanyi itu
untuk sekedar mengisi sesi atau untuk menghibur kami.
Namun ternyata, ia bernyanyi karena mengira kami akan
pulang sebentar lagi dan ia ingin memberi ucapan
terima kasih kepada kami bertujuh karena sudah datang
dan menghibur mereka. Ia mengaku merasa sangat
terhibur dan senang ditemani oleh kami. Ekspresi
wajahnya yang benar-benar tulus saat mengatakan hal
tersebut dan tatapannya yang seakan-akan sungguh
bahagia karena telah memiliki ‘teman’ selama kurang
lebih satu setengah jam itu, membuat saya sangat
terharu sekaligus ikut bahagia. Saya terharu dan
bahagia, karena ternyata pelayanan kami ke tempat ini
tidaklah sia-sia. Sebegitubutuhnya kah mereka akan teman
38
berbicara? Saya sadar, meskipun mungkin mereka adalah
orang yang tingkat kenormalannya berbeda dari orang
pada umumnya, namun jauh di lubuk hati mereka
sebenarnya sangat membutuhkan keluarga, teman ngobrol,
teman yang mau berbagi cerita dengan mereka.
Kegiatan kami pun berlanjut menuju sesi cerita.
Disini, para pasien maju ke bagian depan dan
bercerita mengapa mereka bisa masuk ke klinik ini.
Dari semua sesi, sesi inilah menurut saya yang paling
inti dan paling penting karena ada begitu banyak
nilai kehidupan yang bisa saya dapatkan dari kisah
dan pengalaman yang mereka bagikan. Ada beberapa
kisah mereka yang paling berkesan bagi saya. Salah
satu contoh kisah paling berkesan bagi saya adalah
kisah Tante Mira. Bagi saya, kisah hidupnya sangat
miris. Ia sebenarnya berasal dari keluarga, yang jika
dapat saya simpulkan, sebenarnya intelek dan berada.
Ia bahkan sempat tinggal di luar negeri cukup lama
seperti Taiwan dan Amerika. Sebelumnya di Indonesia,
ia sempat tinggal 15 tahun di Taiwan bersama suami
dan kedua anak lelakinya. Yang membuat saya benar-
benar terkejut adalah saat ia menceritakan mengapa
sekarang ia tidak bersama keluarga kecilnya itu.
Ternyata, sekitar empat tahun yang lalu, suaminya
menceraikannya karena tak sanggup mengurusi dan
membiayai pengobatan Tante Mira yang menurutnya
seperti beban. Ia juga dijauhkan dari anaknya, bahkan
Tante Mira langsung dipulangkan ke Indonesia. Jika
saya boleh menyimpulkan sendiri, saya rasa ia
mengalami gangguan kejiwaan seperti ini karena
perlakuan suaminya ini, apalagi setelah suaminya
menjauhkannya dari anak-anaknya. Ibu mana di dunia
ini yang mau dijaukan dari anak-anaknya? Meskipun
saya masihlah seorang anak, saya tetap tahu bagaimana
besarnya kasih sayang seorang ibu kepada anaknya.
39
Bagaimanapun, ibu adalah orang yang melahirkan,
membuat kita hadir di dunia ini. Tentu saja, ada
ikatan batin yang sangat kuat antara anak dan ibu.
Saya kembali merasa terharu saat Tante Mira
menunjukkan foto kedua anaknya (yang selalu dibawanya
kemana-mana) sambil mengatakan ‘Tidak apa-apa, saya
tahu sekarang mereka sudah dewasa. Mereka itu adalah
harta terbesar saya, harta saya yang paling berharga.
Ngga ada hal lain di dunia ini yang saya punya selain
mereka.’ Saya dapat melihat tatapan kesepian dari
matanya. Pantas saja, saat sesi bernyanyi tadi, ia
sangat terlihat bahagia karena kami datang dan
menemani mereka. Dari kisah Tante Mira ini saya
belajar beberapa nilai hidup ; kesetiaan – bagaimana
ketidaksetiaan suami Tante Mira untuk setia dalam
suka dan duka, mengayomi kehidupan Tante Mira,
seperti yang dikatakan dalam komitmen pernikahan
setiap orang ; kasih sayang orang tua – bagaimana
besar sayang orang tua itu kepada anak, meskipun
telah dijauhkan bermil-mil namun orangtua pasti akan
selalu teringat dan memikirkan anaknya ; ketabahan –
bagaimana Tante Mira mampu melanjutkan hidupnya
(meski dalam gangguan jiwa) setelah diperlakukan
tidak adil oleh suaminya seperti itu.
Kisah lain yang cukup membuat saya tergugah adalah
kisah dari Om Asiong. Om Asiong masuk ke pusat
rehabilitasi ini karena ia dahulu adalah salah satu
pecandu narkoba. Narkoba telah membuatnya menjadi
sering berhalusinasi dan merusak otaknya. Hal ini
membuatnya harus mengkonsumsi obat (lagi) untuk
membuatnya sedikit demi sedikit pulih dari kerusakan
sarafnya tersebut. Ketika mendengar ia bercerita,
saya tahu, ia benar-benar menyesal akan kesalahannya
di masa lalu, kesalahan yang menjerumuskannya ke
dalam jebakan hitam yang sangat terkenal di kalangan
40
anak muda itu. Saya juga tahu, betapa susahnya
berhenti mengkonsumsi sesuatu yang sudah menjadi
‘makanan sehari-hari’, dalam konteks Om Asiong ini
adalah obat-obatan terlarang (red:narkoba). Apalagi,
bila sudah menjadi pecandu narkoba. Untuk stop dari
narkoba, ada begitu banyak tantangan dan rasa sakit
yang harus ditahan. Namun, saya cukup kagum dengan
semangat Om Asiong dan komitmennya untuk berubah dan
berhenti dari kebiasaan buruk yang mampu memperpendek
umurnya itu. Ia bersedia berhenti sebagai pecandu
narkoba, dimasukkan dalam panti rehabilitasi, dan
menahan rasa sakit yang sering timbul karena berhenti
mengkonsumsi narkoba. Dari sini saya belajar untuk
mau berubah menjadi lebih baik, belajar dari
kegagalan. Bila saya mengalami suatu kesalahan dan
mungkin kesalahan itu cukup fatal dan mempermalukan
diri saya, saya tidak boleh menjadi minder dan
terlarut dalam kesalahan itu. Justru dari kesalahan
itu, saya harus belajar untuk berubah menjadi lebih
baik lagi dan belajar membangun komitmen untuk diri
sendiri agar tidak mengulang kesalahan di masa lalu.
Meskipun mungkin dalam perjalanan memperbaiki diri,
ada godaan untuk kembali dan rasa sakit yang
diakibatkan oleh kesalahan saya di masa lalu itu,
saya tidak boleh menyerah dan berhenti begitu saja.
Dari semua pengalaman kegiatan pelayanan yang saya
dan teman-teman kelompok lakukan hari itu, saya
benar-benar belajar banyak hal. Dari tempat itu, dari
interaksi dengan mereka, dan dari diri masing-masing
pasien klinik jiwa itu, ada sukacita dan pengalaman
emas yang bisa saya dapatkan. Bila disimpulkan pun,
sebenarnya saya bisa melihat ada cerminan diri Yesus
yang hadir dalam diri mereka kemarin. Bagaimana
mereka bisa saling bekerja sama, bisa tabah
menghadapi hidup (meski memang mereka bisa dibilang
41
tidak memiliki beban hidup karena tidak banyak
berpikir seperti orang normal pada umumnya),
menunjukkan kasih lewat tingkah laku dan kisah
mereka. Meski kami masih jauh lebih muda dari mereka,
namun mereka tak sedikitpun memperlakukan kami
layaknya anak kecil yang tak tau apa-apa. Mereka juga
mau berobat, mau belajar untuk menjadi lebih baik.
Mereka pun sabar dan rela-rela saja dijauhkan dari
keluarga, asal mereka bisa sembuh dan dapat berkumpul
bersama keluarga mereka lagi sebagai orang yang
normal. Saya belajar cukup banyak hal dari pelayanan
yang kurang lebih hampir tiga jam itu.
4.2.4 Refleksi Maria Nadia Putri
Pada saat diberi tugas pelayanan ini, awalnya saya
merasa sangat bersemangat, apalagi ketika saya tahu
bahwa proyek ini dilakukan dalam kelompok. Saya
begitu penasaran dengan apa rasanya melakukan
pelayanan dengan kelompok. Memang dulu saat SMP saya
sudah pernah melakukan pelayanan, tetapi saat itu
hanya membagi bingkisan atau makanan dan
menyumbangkan boneka sehingga pelayanan saat itu
belum mendalam. Bukan untuk meyombongkan diri, tetapi
selama ini saya juga telah melakukan pelayanan di
gereja yaitu dengan bermain organ. Namun, saya merasa
bahwa saya bisa melakukan pelayanan yang lebih dari
itu, hanya saja saya belum tahu kapan dan bagaimana
saya ingin melakukannya. Untungnya, datanglah
kesempatan ini dimana saya dapat melakukan pelayanan
dalam bentuk yang berbeda yaitu untuk melayani
sesama, khususnya sesama yang memang membutuhkan
bantuan.
42
Setelah diberi tugas pelayanan ini, kelompok saya
mulai mencari-cari tempat dimana akan dilakukannya
kegiatan. Saat itu, banyak sekali ide yang diutarakan
oleh anggota kelompok dan sangat sulit untuk
menentukan tempat yang mana yang akan kami kunjungi.
Saya juga membantu mencari dengan menanyakan orang
gereja tentang adakah tempat yang membutuhkan
pelayanan di dekat-dekat sini, tetapi mereka
memberikan jawaban seperti panti-panti yang sudah
dikunjungi oleh kelompok pelayanan yang lain, dan
saat itu kami menginginkan untuk mengunjungi tempat
yang belum pernah dilakukan pelayanan. Setelah
beberapa hari kami mendapatkan banyak ide tetapi
tidak terealisasikan. Hingga akhirnya, sekitar
seminggu sebelum deadline tugas ini dikumpulkan,
kelompok saya memutuskan untuk pergi ke Klinik Jiwa
Sehat yang terletak di Ciater. Dari hal ini, saya
dapat belajar bahwa untuk mencapai suatu keputusan
dalam kelompok dibutuhkan keaktifan setiap individu
dan dibutuhkan sikap terbuka serta dapat menerima
pendapat orang lain.
Sebelum melakukan pelayanan kesana, saya dan Sisi
mengunjungi lokasi terlebih dahulu untuk menanyakan
apakah kita boleh melakukan pelayanan disitu. Sampai
di lokasi, saya dan Sisi bertemu dengan Mbak Wati
yang merupakan salah satu pengurus disana dan membuat
janji dengannya. Akhirnya, kami berhasil membuat
janji untuk melakukan pelayanan pada hari Jumat, 20
Maret 2015, dan saya merasa sangat lega, tetapi juga
mulai ragu karena saya dan kelompok akan mendampingi
mereka yang mengalami gangguan jiwa. Hari-hari
menjelang Hari Jumat, kami mulai memikirkan kira-kira
kegiatan apa saja yang akan kita lakukan disana.
43
Datanglah harinya dimana saya dan kelompok akan
melakukan pelayanan di Klinik Jiwa Sehat. Dari pagi
hari hingga perjalanan menuju ke lokasi, saya merasa
bersemangat dan tidak ragu sama sekali. Setibanya di
lokasi, saya mulai merasa sedikit ragu begitu juga
dengan anggota kelompok lain yang terlihat dari wajah
mereka. Kemudian, kami bertemu dengan Mbak Wati. Ia
menyuruh kita untuk menunggu di luar sebentar dan ia
memanggil seseorang dari dalam rumah itu. Seorang
dengan pakaian biru keluar. Awalnya saya kira ia
adalah pasien di klinik itu dan saya sudah merasa
sangat takut untuk bertemu dengannya, ternyata ia
adalah pengurus, yang bisa dikatakan mirip Pak Oky.
Kami diminta untuk mengisi daftar tamu, yang saat itu
saya mulai melihat pasien yang ada di dalam klinik
dan saya merasa ragu dan takut untuk bertemu dengan
mereka. Tidak lama kemudian, kami diminta untuk masuk
ke dalam dan bertemu dengan para pasien. Awalnya,
kami semua belum ada yang berani masuk dan akhirnya
salah satu dari kami ada yang masuk terlebih dahulu
diikuti dengan yang lainnya. Saat masuk saya dan
anggota kelompok terus dipandangi oleh pasien-pasien
itu dan saya merasa begitu was-was dan tegang. Namun,
entah mengapa saat itu, saya justru memberikan
senyuman kepada mereka semua. Senyum ini membuat saya
menjadi lebih tenang dan meningkatkan kepercayaan
diri saya. Dari peristiwa ini saya baru secara sadar
merasakan betapa pentingnya untuk senyum yang bisa
membangun dan membantu kita.
Setelah masuk, pertama-tama dengan panduan Kak
Januar, yaitu pengurus yang mirip pak Oky tadi, kami
mulai memperkenalkan diri satu-satu dan diperkenalkan
kepada pasien yang ada disana. Banyak sekali pasien
yang ada disana mulai dari yang masih dapat dikatakan
muda hingga yang sudah berusia lanjut. Setelah itu,
44
kami diminta untuk melanjukan kegiatan apa yang akan
kami adakan. Saat itu, semua anggota kelompok saling
melirik dan bingung. Akhirnya, kami memutuskan untuk
melakukan origami, yaitu membuat bentuk hati, yang
akan dibuat menjadi bingkai foto. Saat membuat
origami, saya belum tahu bagaimana cara membuat
hatinya, dan yang tau hanyalah Sisi. Maka, dari sini
saya dapat belajar bahwa seharusnya kami
mempersiapkan dengan matang apa yang akan kami
lakukan untuk pelayanan. Lalu, saat itu, saya mulai
mengajarkan seorang pasien yang ada di dekat saya.
Saya lupa namanya, tetapi saya beranggapan bahwa
mereka semua adalah orang yang baik agar saya tidak
merasa takut sendiri. Pasien yang saya ajarkan itu
ternyata adalah pasien yang bisa dikatakan cukup
parah, dimana ia bergerakn dengan gerakan yang
lambat, melihat dengan tatapan yang tidak biasa, dan
berbicara dengan sulit dimengerti dan kecil suaranya.
Saya pun sedikit takut akan dia, tetapi saya tetap
berusaha untuk mengajarkan bagaimana membuat hati
itu. Tidak lama kemudian, saya bingung bagaimana
harus mengajarkan dia karena dia tidak bisa mengikuti
langkah dengan baik dan dia membuang kertasnya. Maka,
saya mulai mencari pasien lain yang membutuhkan
bantuan. Nah, disini saya merasa bersalah karena saya
meninggalkan pasien yang tadi begitu saja. Namun,
saya bingung apalagi yang dapat saya lakukan
untuknya. Pasien lain yang saya ajarkan ada yangdapat
mengikuti dengan cepat tetapi ada juga yang sangat
sulit untuk mengikuti langkahnya. Dari situ saya
belajar untuk bersabar dan mencoba untuk menikmati
dan melakukan apapun dengan semangat dan senyum. Saya
juga dapat belajar bagaimana cara berinteraksi dan
berkomunikasi dengan orang yang benar-benar belum
saya kenal.
45
Setelah itu, ada senggang waktu dimana saya dan
anggota kelompok yang lain bingung untuk melakukan
apa lagi. Untungnya, ada salah satu pasien bernama
Tante Mira yang ingin menyanyikan sebuah lagu atas
ucapan terima kasihnya karena saya dan kelompok telah
datang kesana untuk mendampingi mereka. Ia
menyanyikan lagu Xian Mimi (saya tidak tahu bagaimana
menulisnya) dengan semangat. Saat waktu senggang itu
saya dapat memperhatikan wajah dan sikap pasien yang
ada disana. Mengingat hal itu membuat saya sedih dan
memikirkan tentang keluarga mereka, sebenarnya dimana
keluarga mereka dan mengapa mereka bisa masuk ke
klinik ini. Setelah itu, ada pasien lain bernama
tante siapa yang saya lupa namanya dan ia juga
menyanyikan lagu dangdut. Dari peristiwa ini saya
dapat melihar bahwa ternyata mereka yang dikatakan
mengalami gangguan jiwa masih memiliki adanya
keceriaan dalam diri mereka. Itulah hal yang sangat
saya kagumi dari mereka.
Kemudian, diadakan sharing dari para pasien. Dari
banyak sharing yang diceritakan, yang saya ingat
adalah sharing dari Tante Mira. Katanya, ia memiliki
seorang suami dan dua orang anak yang tinggal di
Taiwan. Namun, sayangnya suaminya ini telah cerai
dengannya karena Tante Mira ini sering sakit-sakit
dan suaminya tidak sanggup menanggung biaya atau
apapun itu. Dari perceraian dan sakit yang
dideritanya, kemudian ia mengalami depresi. Namun,
saya sangat kagum dan terkejut begitu ia menceritakan
pengalamannya bahwa ia pernah bekerja di Taiwan dan
di negara lain dan menguasai banyak sekali bahasa,
seperti bahasa inggris, mandarin, teo chew, hokkyan,
dan masih banyak lagi. Kemudian. Ia juga
memperlihatkan yang katanya adalah barang paling
berharganya yaitu foto kedua anaknya. Hal ini sangat
46
menyentuh saya dan saya bisa membayangkan betapa
sulitnya seorang ibu berada jauh dari anak-anaknya.
Khusunya bagaimana kasih seorang ibu kepada anak-
anaknya. Tante Mira juga memberi pesan bahwa keluarga
adalah mereka yang sangat penting dan lebih berharga
dari apapun dalam hidup ini. Sharing yang lain juga
dilakukan, salah satunya oleh pasien bernama Om
Fadil. Saya tidak ingat sepenuhnya apa yang ia
katakan, tetapi ia memberikan pesan kepada kita bahwa
intinya kalau tidak salah jangan sampai menjadi
seperti dia dan kita harus menjadi lebih baik. Ada
pasien lain juga, yaitu Om Asiong yang merupakan
pecandu narkoba yang membagikan ceritanya, dan banyak
cerita-cerita lainnya yang begitu menyentuh.
Seusai sharing, kegiatan dilanjutkan dengan makan
bakso yang sebelumnya sudah kami beli. Setelah makan,
saya sempat bertanya kepada salah satu mbak pengurus
yang ada disana. Saya bertanya apakah pasien yang ada
disini masih memiliki keluarga. Kata mbak itu ada.
Bahkan ternyaa keluarga mereka sering berkunjung. Ada
yang setiap minggu sekali, ada yang sebulan sekali,
beberapa bulan sekali, tetapi adapula yang baru 7
bulan sekali. Melihat keadaan itu ternyata, saya
sadar bahwa apa yang dilakukan oleh keluarga mereka,
sebenarnya adalah untuk kepentingan mereka (pasien)
juga, dan nilai kepedulian dalam keluarga itu yang
juga dapat saya pelajari. Ternyata mereka juga tidak
boleh keluar dari rumah itu atau sangat jarang sekali
dan saya justru menyesal karena seharusnya kita bisa
mengadakan kegiatan di luar ruangan bila diijinkan.
Saya sangat bersyukur karena saya dapat bertemu
dengan para pasien di Klinik Jiwa Sehat itu. Saya
merasa telah mendapatkan teman baru yang baru saja
membuka hati saya. Padahal mereka adalah orang yang
47
dikatakan dengan ‘gangguan jiwa’, tetapi yang saya
lihat mereka hanyalah orang-orang yang dulunya
memiliki masalah besar, atau merasa tertekan, yang
akhirnya berujung pada tidak tahu mereka akan
melakukan apa berikutnya dan berujung pada stress,
bingung, atau depresi. Namun, mereka mencerminkan
kasih Allah dimana dalam duka ada suka dibaliknya.
Justru dari pengalaman buruk mereka yang sangat sulit
mereka alami, mereka mau mengorbankan kesakitan itu
dan membagikannya kepada orang lain agar orang lain
tidak melakukan hal yang salah juga. Mereka
mencerminkan Allah dimana mereka mau berkorban demi
sesamanya melalui pengalaman mereka agar kita dapat
hidup lebih baik, seperti Tuhan Yesus yang
mengorbankan dirinya untuk menebus dosa manusia.
Saya belajar banyak sekali dari pengalaman
beberapa jam di klinik itu. Selain dari hal-hal yang
telah saya sebutkan, pertama, saya belajar bagaimana
untuk mengkoordinasi suatu kelompok dengan cara yang
baik dan membagi waktu yang harus benar-benar
diperhatikan, dan nilai kerja sama. Saya sangat
senang ketika akhirnya kelompok dapat melakukan
pelayanan ini dengan sangat menyenangkan. Kedua, saya
belajar untuk menjadi berani dan jangan takut
terlebih dahulu sebelum mengetahui yang sebenarnya.
Maksudnya jangan berekspektasi yang aneh-aneh
terlebih dahulu. Awalnya, saya beranggapan bahwa
pasien di klinik jiwa itu adalah ornag yang
menyeramkan dan takut berbuat ulah yang aneh-aneh.
Namun, setelah saya mengenal mereka dan bagaimana
hidup mereka, saya menjadi sadar bahwa mereka
sebenarnya adalah orang yang baik-baik dan mau
membantu sesamanya dan untuk kedepannya saya menjadi
tahu bahwa tidak ada gunanya untuk takut. Ketiga,
saya bersyukur Karena telah diberi kesempatan untuk
48
bertemu dengan mereka dan saya juga bersyukur karena
saya telah diberikan keluarga yang peduli dan penuh
kasih sayang. Kemudian, dari pengalaman ini, saya
belajar untuk jangan pernah lupa akan Tuhan karena Ia
akan selalu memberikan segala sesuatu yang terbaik
untuk kita. Sebenarnya banyak hal yang ingin saya
ceitakan, tetapi entah mengapa selama ini saya sulit
untuk mengingat kembali kejadian yang sudah terjadi.
Saya juga cukup menyesal karena saya belum bisa
mengenal mereka semua, karena saya tahu bahwa
sebenarnya yang mereka butuhkan adalah seorang teman
ngobrol dan perhatian dari orang lain, dan saya masih
belum cukup percaya diri untuk mengajak mereka
bicara. Satu hal lagi yang saya pelajari adalah untuk
tidak patah semangat dan terus ceria. Seperti mereka
yang dulunya pernah stress atau depresi, tetapi
mereka tetap dapat membawa kebahagiaan untuk orang
lain dan mereka memiliki niat untuk berubah menjadi
seorang yang sembuh dari penyakitnya. Untuk
kedepannya, saya ingin menjadi lebih percaya diri,
tidak lupa akan Tuhan dan selalu bersyukur kepadanya,
dan untuk terus melakukan pelayanan untuk memuliakan
nama Tuhan.
4.2.5 Refleksi Paskalis Glennardo
Awal di beri tugas pelayanan oleh Pak Eron, kami
memliki empat opsi untuk dikunjungi yaitu Panti
Asuhan Tunas Mahardika, Panti Asuhan di Puspita Loka,
Bimbel Anak Langit dan yang terakhir Klinik Jiwa
Sehat. Pada hari selasa malam, satu minggu sebelum
pengumpulan tugas, saya mencoba menelepon keempat
opsi tersebut dan mencoba membuat janji untuk
melakukan pelayanan. Saat saya menelepon Panti Asuhan
49
di Puspita Loka ternyata telepon saya tidak diangkat,
Bimbel Anak Langit harus melakukan pelayanan sebanyak
3 kali dimana kami terkejar oleh waktu saat itu,
Tunas Mahardika hanya bsa dikunjungi pada weekend dan
bulan ini sudah full sehingga harus dikunjungi bulan
April, sehingga hanya menyisakan kami satu opsi yaitu
Klinik Jiwa Sehat. Saat saya telepon Klinik tersebut
yang mengangkat adalah Mbak Wati dan mengatakan harus
menanyakan kepada pemiliknya yaitu Ibu Irma, maka itu
saya telepon Ibu Irma namun ia mengatakan harus
menanyakan kepada administrasinya, saat saya telepon
administrasinya, tidak ada yang menjawab. Karena
kesal saya menyerah untuk mencoba membuat janji saat
itu. Besoknya Sisi dan Nadia berhasil mengunjungi
langsung Klinik Jiwa tersebut dan membuat janji di
hari Jumat. Maka berangkatlah kami melakukan
pelayanan di hari Jumat, 20 Maret 2015 ke klinik Jiwa
Sehat.
Sebelumnya Sisi mengusulkan untuk mengadakan acara
masak bersama, namun saya rasa sangat berbahaya untuk
membiarkan para pasien untuk memegang kompor dan
menyalakan api, maka niat tersebut kami urungkan.
Hingga akhirnya keputusan kami bulat untuk mengajari
mereka origami,bernyanyi dan makan bersama. Untuk
melatih otak dan saraf motorik mereka.
Pada hari Jumat, kami pergi bersama-sama ke Klinik
Jiwa tersebut. Sebelum sampai kami membeli peralatan-
peralatan yang diperlukan di toko Phi-Yo. Kami juga
terjebak macet di daerah sekitar Ciater, namun hal
tersebut tidak menghambat kedatangan kami di Klinik
Jiwa tersebut.
Saat sampai di Klinik Jiwa tersebut, perasaan yang
pertama saya jumpai adalah takut karena kita selama
ini mengenal orang gila sebagai orang dengan perangai
50
yang aneh, suka berteriak dan akan berbahaya bila
sedang kumat. Begitu saya masuk saya disambut oleh
Kak Januar yang merupakan penjaga d Klinik Jiwa
tersebut, ia menanyakan apa yang akan kami lakukan
dan segala hal teknis lainnya. Begitu semua beres,
kak Januar tersebut membimbing kami untuk masuk ke
dalam klinik Jiwa tersebut. Baru satu langkah
berjalan masuk, semua pemikiran saya tentang orang
gila menjadi berubah. Mereka sangat tenang dan
gembira melihat ada tamu yang datang.
Kami satu kelompok bersama kak Januar dan 22
pasien semuanya berkumpul di ruang yang cukup luas di
Klinik Jiwa tersebut. Yang pertama tentu
memperkenalkan diri, kami semua saling memperkenalkan
diri satu sama lain. Dari saat perkenalan saya bisa
melihat kalau mereka sama seperti kita. Ada yang
pendiam yaitu Ibu Mira, yang cerewet yaitu Ibu Yuli
dan ada yang suka bermain gitar yaitu Bapak Rudi.
Mereka semua ternyata memiliki pribadi yang sangat
unik masing-masing.
Kegiatan kita mulai dengan membuat kreasi hati
dari origami yang nantinya akan kita tempel pada
sebuah karton besar yang akan kita isi dengan foto
kita dan semua hati yang dibuat oleh kita, para
perawat maupun pasien. Dalam ruangan tersebut saya
dan kelompok saya berpencar untuk mengajari mereka
yang kesulitan. Saya yang duduk di sebelah seorang
pasien yang bernama Fadil, merasa sangat terkejut
dengan keantusiasannya dalam membuat origami. Di saat
yang lain baru membuat satu buah hati, dia sudah
dapat membuat dua buah hati. Saya yang bahkan sedang
kesulitan dalam membuat satu hati sangat kagum dengan
Bapak Fadil tersebut. Usai setiap orang paling tidak
membuat satu hati kami menempelkan semua hati
51
tersebut pada karton besar tersebut disertai dengan
nama-nama orang yang membuatnya.
Di saat suasana mulai sepi, Bapak Rudi meminjam
gitar yang dibawa Putra dan mulai memainkan gitarnya
sambil bernyanyi. Saat ia bernyanyi kami pun turut
ikut memeriahkan suasana dengan ikut bernyanyi
sehingga suasana kembali menjadi ramai. Mendengar
nyanyian Bapak Rudi, Ibu Mira yang tadinya sangat
pendiam juga ikut mau bernyanyi. Dia meminta saya
untuk memainkan instrumental lagu Tian Mi Mi yang
akan dibawakannya, karena saya tidak bisa memainkan
lagu tersebut maka saya mencarikan instrumental lagu
tersebut di YouTube, ia pun menyanyikan lagu Tian Mi
Mi tersebut dengan sangat lantang dan semangat. Lewat
dorongan dari Bapak Rudi dan Ibu Mira, Ibu Shinta
juga ingin menyanyi, kali ini lagu dangdut Alamat
Palsu. Saat itu Klinik Jiwa Sehat sangat dipenuhi
dengan alunan nada-nada yang spesial dari mereka.
Hari sudah malam, kami memutuskan untuk menutupnya
dengan makan bersama. Sambil menunggu bakso yang
Nadia dan Sisi beli dihangatkan. Kami mencoba mengisi
waktu dengan berfoto bersama dan berbagi cerita.
Mereka semua menceritakan mengapa mereka bisa
berakhir di Klinik Jiwa ini. Ada berbagai alasan
mereka bisa sampai di sini mulai dari halusinasi,
mendengar suara suara aneh dan rehabilitasi dari
narkotika. Namun banyak dari mereka belum begitu
sadar tentang apa yang menimpanya dan menganggap ia
hanya sakit batuk dan pusing. Saya juga sempat
bercanda dengan pasien yang bernama Fadil yang duduk
di sebelah saya.
Usai makan bakso bersama kami memutuskan untuk
pulang karena hari sudah larut. Mereka semua
mengantar kami hingga ke pintu depan.
52
Dari pelayanan kali ini ada banyak sekali nilai
hidup yang bisa saya petik. Yang pertama kali saya
lihat dari pasien adalah bagaimana mereka bisa tetap
ceria meskipun tinggal jauh dari keluarga dan
kerabat, namun mereka bisa merasa adanya keluarga
sendiri di Klinik Jiwa ini. Bapak Fadil mengatakan
bahwa kita harus belajar yang baik dan mencapai masa
depan yang sukses, Ibu Mira yang depresi karena
bercerai dengan suaminya mengatakan bahwa keluarga
adalah harta yang terpenting yang lebih besar dari
uang sebanyak apapun dan Bapak Asiong yang mengatakan
jangan sampai terjebak narkoba seperti dia. Saat
berbagi cerita tersebut lah saya menyadari adanya
diri Tuhan dalam mereka. Terlepas dalam kondisi
mereka, mereka tetap menghawatirkan kondisi orang
lain.
Diri Tuhan juga terlihat dalam diri perawat yang
ada di sana terutama Kak Januar. Bila dilihat
sepintas, sangat sulit sekali membedakan diri Kak
Januar dengan para pasien yang ada. Hal ini
dikarenakan ia tenggelam dalam kehidupan para pasien
di sana, ia sangat akrab dan bersahat dengan pasien-
pasien dalam Klinik Jiwa tersebut. Sangat mirip
seperti Yesus ataupun Bunda Teresa yang mau
mengorbankan dirinya untuk sesama.
4.2.6 Refleksi Prisillia Brigitta
Waktu itu ketika saya berusaha menghubungi
administrasi Jiwa Sehat untuk bertanya dan meminta
ijin untuk melakukan pelayanan di sana, telepon kami
53
tidak diangkat. Akhirnya, saya dan Nadia datang
langsung dan kebetulan bertemu dengan Mbak Wati,
salah seorang perawat disana. Mbak Wati menyetujui
keinginan kami untuk hadir dengan sangat antusias dan
memperbolehkan kami untuk datang kapanpun kami mau.
Dari Mbak Wati jugalah kami mendapat informasi bahwa
ada 23 orang pasien yang terdiri atas 18 laki-laki
dan 5 perempuan. Karena tidak bertanya lebih lanjut,
maka kami pulang dengan berjanji akan datang hari
Jumat, 20 Maret 2015.
Kami pun berusaha memikirkan kegiatan apa yang
akan kami lakukan disana. Pada awalnya saya
mengusulkan untuk membuat makanan ringan bersama,
namun ide tersebut diurungkan dengan pertimbangan
pada pukul 16.00 mereka baru selesai mandi sementara
kami baru akan memulai acara pada pukul 16.30, dan
rasanya tidak baik untuk bermain kotor-kotoran. Jadi
kami memilih untuk melakukan hal-hal seperti
kerajinan tangan, bernyanyi, dan bercerita/sharing
bersama. Teman-teman yang ternyata juga pernah
mengunjungi Klinik Jiwa Sehat ini juga mengusulkan
untuk membawakan makanan seperti nasi padang atau
bakso, serta menyarankan kami untuk mengajari mereka
mengajar origami untuk melatih otak mereka dan saraf
motorik mereka.
Pada hari kunjungan, kami mendapatkan banyak ide
baru, seperti membuat origami berbentuk hati, lalu
ditempelkan di sebuah karton besar yang nantinya akan
diisi dengan foto-foto yang kami ambil selama proses
pelayanan. Ide ini di latar belakangi seolah kami
ingin memberikan hati kami bagi mereka selama
melakukan pelayanan. Namun karena terlalu mendadak,
kami merasa terburu-buru dalam mempersiapkan alat dan
bahan, dan semuanya kami lakukan secara spontan. Maka
54
kamipun membeli bahan-bahan yang akan digunakan dan
juga makanan yaitu bakso. Uang yang kami gunakan
merupakan uang yang kami kumpulkan dari setiap
anggota kelompok.
Ketika tiba di sana, saya merasa gugup, namun
wajah Mbak Wati yang bersahabat seperti berusaha
menenangkan saya. Tak lama keluarlah seorang laki-
laki berpakaian biru dengan wajah mirip Pak Oky
menghampiri kami sambil berkata: “nama saya Januar,
adik-adik ini dari Santa Ursula ya? Hari ini mau
ngapain aja?” Pada saat saya mendengar kata-kata itu
sambil melihat wajahnya yang sedang terkekeh, saya
berpikir bahwa mungkinkah ini pasien yang sudah
senior, sehingga sudah bisa dipercaya untuk mengurus
administrasi klinik? Namun setelah masuk dan melihat
semua pasien berbaju bebas dan beberapa orang memakai
baju yang sama dengan Kak Januar, barulah saya
menyadari bahwa Kak Januar itu adalah perawatnya.
Saat itu saya berpikir, apakah kakak-kakak ini tidak
takut jika terlalu lama dekat dengan pasien-pasien
itu akan ikut tidak sehat akalnya, bahkan kami hampir
tidak bisa membedakan Kak Januar dengan pasien-
pasiennya. Saya merasa bahwa pengorbanan yang
dilakukan kakak-kakak ini sungguh besar. Tentunya
sangat sulit bagi mereka untuk mengatur para pasien
serta merawat mereka yang kadang-kadang bisa kumat.
Mereka juga tetap tabah dan senang dalam melakukan
pekerjaan mereka tanpa ada perasaan takut dan geli.
Ketika bertemu dengan pasien-pasien itu saya sempat
kaget karena tidak menyangka bahwa pasien tersebut
sudah dewasa semua, dan saya merasa membuat origami
akan menjadi hal yang terlalu kekanak-kanakan bagi
mereka.
55
Setelah berkenalan, seorang bapak bernama Rudi
meminjam gitar yang dibawa Putra. Rupanya bapak ini
menyukai seni dan memiliki suara yang bagus dalam
bernyanyi. Ia juga mengakui bahwa ia suka memainkan
gitar sejak kecil dan menyukainya. Usai berbasa-basi,
kami mulai membuat ‘bingkai foto’ tersebut. Karena
hanya saya yang tahu bagaimana membuat hati, maka
saya berada di tengah ruangan sementara teman-teman
yang lain menyebar untuk membantu om dan tante yang
kesulitan. Namun walaupun saya sudah sebisa mungkin
menjelaskan cara membuatnya sambil
mendemonstrasikannya, mereka tetap bingung dan
akhirnya mereka menghampiri kami untuk bertanya.
Teman-teman saya juga akhirnya menghampiri saya dan
menanyakan saya cara membuatnya. Akhirnya saya
memutuskan untuk mengajarkan mereka cara membuatnya
dulu agar mereka dapat mengajarkan pasien-pasien.
Tapi rupanya ada mis-komunikasi antara saya dan
Jessica sehingga semua pasien yang Jessica pegang
mengalami kesulitan. Saya akhirnya memutuskan untuk
membantu Jessica mengajar. Disana saya bertemu
beberapa orang yaitu Tante Mira, Tante Yuli, Tante
Tini, dan Om Sofan. Tante Yuli yang pembawaannya
sangat cerewet disbanding tante-tante lainnya disana,
sangat menyukai hasil dari origami tersebut, terlebih
setelah Putra memberikan Mawar Origami buatannya pada
Tante Yuli. Tante Tini yang sangat pendiam dan sudah
terlihat cukup tua masih terlihat bingung dan
bertanya terus, namun pekerjaannya cukup rapi. Tante
Mira, yang terlihat paling nyentrik (dengan baju
digulung lalu diberi manik-manik, dan celana pendek
sobek dibagian belakang), ternyata memilikki daya
kreativitas yang tinggi. Beliau juga mengatakan pada
saya, “ terimakasih ya, kamu sudah mau datang ke
sini. Ini tuh bagus banget loh, kalo diberdirikan
56
mirip kartu pos yang pop up itu yah, terimakasih
sekali ya sudah mengajarkan ini pada saya”. Mendengar
hal itu tentunya saya merasa sangat senang bahwa apa
yang saya usahakan tidak sia-sia dan terdengar bahwa
Tante Mira sangat senang dan mensyukuri kehadiran
saya saat itu. Om Sofan menurut saya mengalami
kesulitan yang cukup besar karena beliau terus
menerus bertanya bagaimana cara membuat hati
tersebut. Meskipun kesulitan, beliau tetap tidak
menyerah dan terus mencoba membuat hati sampai
berhasil walaupun dengan banyak bantuan. Saat itulah
saya merasa saya dituntut untuk melatih kesabaran
saya, karena kadang dengan adik sendiri saja saya
sering berkata “apa sih nanya terus ” atau “lama
banget sih”.
Usai menempelkan hasil-hasil karya mereka di
duplex, kami menyiapkan makanan, dan untuk mengisi
waktu, beberapa dari pasien bernyanyi. Om Rudi
bernyanyi lagu-lagu lama, Tante Mira bernyanyi lagu
mandarin, dan Tante Santi bernyanyi lagu Dangdut.
Lalu kami pun melanjutkan acara dengan sharing.
Banyak yang mau bercerita, bahkan saya merasa om dan
tante ini lebih bersemangat untuk sharing daripada
kita saat pendalaman iman di sekolah.
Mereka banyak bercerita tentang kenapa mereka bisa
sampai di Klinik Jiwa Sehat. Tante Mira, misalnya,
ternyata pernah tinggal di Amerika Serikat selama 2
tahun, dan di Taiwan selama 15 tahun. Beliau fasih
berbicara dalam Bahasa Inggris, K’ek, Hokkian,
Teochew, dan Mandarin. Karena sakit, beliau bercerai
dengan suaminya karena ia tak sanggup membiayai
pengobatan Tante Mira. Maka, Tante Mira pulang ke
Indonesia dan masuk ke Rumah Sakit Jiwa di Grogol dan
Salatiga sampai akhirnya pindah ke Klinik Jiwa Sehat.
57
Beliau selalu membawa foto anaknya di saku, dan
menganggap foto itulah satu-satunya harta bendanya.
Mendengar hal itu saya merasakan betapa besar kasih
ibu pada anaknya. Bahkan dalam keadaan jauh dari
anaknya karena anaknya tinggal di Taiwan dengan
suaminya, ia tetap memikirkan dan membanggakan putra-
putranya.
Lain ceritanya dengan Om Axiong yang datang karena
menggunakan Narkoba. Karena pengalamannya, Om Axiong
meminta kami semua untuk belajar dengan rajin dan
jauh-jauh dari Narkoba agar tidak berakhir seperti
dirinya yang memilikki masa depan yang suram. Beliau
juga dengan bangga menyatakan bahwa beliau sudah
terbebas dari narkoba beberapa tahun yang lalu.
Om Rudi yang pandai bernyanyi juga ikut bercerita.
Beliau masuk kesini karena sering berhalusinasi.
Ternyata, ia adalah kakak dari Kak Sardi yang masih
sangat muda, yaitu masih 23 tahun. Namun Kak Sardi
memilikki tingkat halusinasi yang lebih parah dari Om
Rudi. Dalam usia yang begitu muda, Kak Sardi harus
berada di rumah itu dan menjalani hidup yang berat,
sementara orang-orang muda lainnya mungkin baru lulus
kuliah, menikmati saat-saat mereka mendapatkan gaji
pertama mereka, bersosialisasi dengan banyak orang.
Saya menyadari bahwa hidup harus dihargai, terutama
masa muda ketika kita dapat melakukan apapun yang
kita inginkan karena banyak orang yang mungkin tidak
seberuntung kita seperti om, tante, dan kakak-kakak
disini. Kak Sardi juga selalu rajin sholat 5 waktu,
dan mensyukuri hidup yang ia milikki sekarang, yang
membuat saya sangat kagum dan malu karena dalam
kondisi seperti ini pun ia tetap mengingat Tuhan,
sedangkan saya hanya mengingat Tuhan saat saya
58
menginginkan sesuatu, seperti saat sebelum
mengerjakan ulangan untuk meraih nilai yang bagus.
Om Tanu yang menderita depresi juga bercerita
bahwa ia pernah mencoba meminum sabun untuk bunuh
diri. Ia juga kini menderita TBC namun sudah meminum
obat rutin. Selama acara, ia selalu memakai masker.
Namun dengan kondisinya sekarang ia tetap optimis
akan sembuh dan ingin mencari pasangan hidup.
Semua pasien disana memilikki kisah mereka masing-
masing seperti ada yang masuk karena bosan di rumah,
suka marah-marah sendiri, hilang ingatan, bahkan ada
yang mengira ia masuk karena sakit batuk, kepala
bocor, dan patah tulang. Hal ini menarik bagi saya,
bahwa dengan berbagai latar belakang, mereka bisa
tinggal bersama dengan rukun. Saya juga sangat senang
ketika mereka menceritakan kesulitan hidup dan masih
bisa memberikan saran, nasihat, dan doa bagi kami.
Dari pengalaman itu, saya dapat belajar banyak
hal, tak hanya dari pasien, namun juga dari para
perawat. Kesabaran mereka dan dedikasi mereka
terhadap pasien-pasien mengingatkan saya pada
perbuatan Yesus yang mau merawat, bersosialisasi
dengan orang-orang yang dianggap hina. Tidak semua
orang mau untuk merawat pasien dengan gangguan
kejiwaan, banyak perawat yang lebih memilih merawat
pasien di rumah sakit daripada merawat pasien-pasien
ini. Demikian juga sebagian besar dari kita yang
kadang merasa takut, bahkan jijik dengan mereka.
Dari pasien-pasien yang ada di sana, saya melihat
bahwa ada kasih Yesus yang bekerja dalam diri mereka.
Ada yang akhirnya bertobat dari pemakaian narkoba,
ada juga yang pernah mencoba bunuh diri, namun
diselamatkan Tuhan dan diberikan kesempatan kedua
untuk memperbaiki hidupnya. Mereka terus berjuang59
melawan penyakit mereka dengan memilikki satu
harapan, yaitu kesembuhan. Mereka juga selalu
bersyukur atas segala yang mereka milikki kini,
mereka bersatu tiap hari bersama-sama dan mendoakan
kesembuhan bagi teman-teman mereka, bahkan mereka
juga mendoakan dan mengharapkan hal-hal baik terjadi
pada kami yang mau hadir di sana. Semua pengalaman
yang sangat berharga bagi saya ini tentunya akan saya
kenang dan saya jadikan pelajaran bagi saya dalam
menjalani hidup, agar jika saya merasa lelah dan
sedih saya sadar bahwa ada orang yang memilikki
masalah dan jalan hidup yang lebih berat dari saya,
namun masih bisa tersenyum dan memperhatikan orang
lain.
4.2.7 Refleksi Seldi Kurnia Trihardja
Saya merasa senang telah melakukan pelayanan ke
tempat rehabilitasi mental, narkoba, psikogeriatri
Nur Asa Merdeka karena melalui kegiatan ini, saya
dapat melihat sisi lain dari kehidupan dan juga saya
menjadi lebih mengerti akan situasi dalam tempat
rehabilitasi. Ini karena menurut saya, situasi di
sana dan orang-orang disana sangat menarik. Pada
awalnya saat ditentukan bahwa kami akan pergi ke
klinik jiwa, saya penuh antisipasi akan apa yang akan
kami alami disana, saya sebelumnya belum punya
gambaran situasinya akan seperti apa, awalnya saya
kira akan sulit sekali melakukan aktivitas dengan
orang-orang yang agak terganggu mentalnya tersebut.
Namun, ternyata melalui dukungan dari perawat yang
ada disana acara dapat berlangsung dengan cukup baik.
Setelah melakukan pelayanan ini, saya merasa
60
beruntung karena tidak mengalami situsai yang sangat
buruk sehingga mentalnya terganggu, tapi disisi lain
saya juga merasa simpati akan mereka. Saat para
pasien kami ajak sharing, dengan bantuan perawatnya,
yang bernama Kak Januar, mereka mulai berbicara.
Semua pasien menjawab dengan berbeda-beda, dan
masing-masing saya rasa menjelaskan kondisi pasien
tersebut dengan baik. Melalui cerita-cerita tersebut
kami mendapati ada yang terganggu mentalnya karena
narkoba, ada yang karena masalah keluarga, adayang
pernah mencoba bunuh diri, mereka juga ada yang
mengalami halusinasi-halusinasi dan ada yang
mendengar suara-suara tidak benar yang mengganggu
hati, katanya orang tersebut, selain itu ada juga
yang secara tidak jelas marah-marah sendiri. Penyebab
dari semua hal-hal yang telah disebutkan diatas kami
kurang tahu penyebabnya karena kami tidak enak
bertanya sebab apa yang menyebabkan mereka begitu
jika bukan karena dari lahir atau narkoba, sudah
pasti merupaka hal yang sangat personal. Selain
mendengarkan cerita-cerita mereka, beberapa dari
pasien meberian pesan kepada kami, “Jangan pakai
narkoba, nanti jadi seperti saya” “belajar yang
rajin, jadilah orang yang berguna”, pesan-pesan
inilah yang menyentuh saya karena saya tidak
menyangka mereka akan memberikan nasehat kepada saya,
yang berarti mereka telah cukup sadar apa yang benar
untuk dilakukan. Saya juga terkejut saat banyak dari
mereka berpartisipasi aktif dalam kegiatan yang kami
siapkan yaitu membuat origami dan mereka ternyata
melakukannya dengan baik. Dalam kelompok saya rasa
walaupun saya kurang aktif saya dapat teap
berpartisipasi penuh dalam kegiatan. Dengan demikian
pelajaran/nilai utama yang saya ambil dari pelayanan
ini adalah bahwa hidup itu tidak selalu berjalan
61
lancar jadi syukurilah hidup, lakukan yang terbaik,
dan jangan menyerah, serta berserahlah dan percaya
bahwa Tuhan selalu beserta.
BAB V
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Dari kegiatan pelayanan ke Klinik “JIWA SEHAT” ini,
kami belajar bahwa melayani sesama itu tidak hanya
sekedar menjadi ‘santa klaus’, tak sekedar memberi dan
menyumbang makanan, obat-obatan, minuman, pakaian,
ataupun bahan pokok lainnya. Melayani sesama akan lebih
bermakna bila kita bisa mendalami hidup salah satu atau
lebih orang yang bisa kita contoh nilai hidupnya, dan
orang yang masih bisa bertahan di tengah hidupnya yang
serba kekurangan. Selain itu, dari pengalaman kami
melayani dan mendalami hidup para tante/om/kakak pasien
di klinik itu, kami juga bisa mempelajari banyak nilai
hidup, seperti kasih sayang, kesabaran, kesetiaan,
kepatuhan, kejujuran, kepedulian, keceriaan, dan kepekaan
terhadap sesama yang membutuhkan.
5.2 Kritik dan Saran Kelompok untuk Proyek Pelayanan
Meskipun pada akhirnya semua anggota kelompok
berpartisipasi baik dalam pelayanan maupun pembuatan
laporan, namun akan lebih baik hasilnya apabila
kelompok sudah mempersiapkan tujuan dan menentukan
kegiatan pelayanan dari jauh-jauh hari sehingga62
pelayanan tidak dilakukan mepet dengan deadline dan
lebih banyak pelayanan yang dapat dilakukan, tidak
hanya di satu tempat atau di satu hari saja.
Sebaiknya kegiatan pelayanan dilakukan lebih lama atau
lebih sering agar pelayanan yang dilakukan menjadi
lebih total dan anggota kelompok juga lebih mendalami
bagaimana hidup para pasien di klinik jiwa tersebut.
5.3 Kritik dan Saran Kelompok untuk Pembimbing
Pemberian tugas proyek pelayanan agama hampir bersamaan
dengan tugas proyek pelajaran lain, yaitu
Kewarganegaraan (Kwn), yang mengharuskan siswa untuk
menghabiskan waktu di luar juga. Sehingga, waktu untuk
pelayanan terbagi dengan waktu untuk mengerjakan proyek
Kwn. Menurut kami, akan lebih baik bila waktu pelayanan
tidak bersamaan dengan proyek pelajaran lain agar siswa
juga memiliki kesempatan untuk melakukan pelayanan
lebih lama dan lebih total serta fokus dengan pelayanan
masing-masing.
Sebaiknya setiap kelompok dalam satu angkatan ini
melakukan pelayanan ke tempat yang berbeda-beda.
Sehingga, masing-masing kelompok dapat merasakan
pelayanan yang berbeda-beda dan akan lebih banyak
tempat yang bisa mendapatkan kunjungan pelayanan.
63
Para pasien menceritakan pengalaman mereka (sharing)
Figura untuk foto yang telah kami buat bersama mereka
67
Para pasien mengantre untuk meminum obat mereka
Mengajarkan membuat origami
Foto anak - anak dari Tante Mira
68