RESPON PARADIGMATIK TRANSMODERNISME: Proyek Kritis atas Modernitas dan posmodernitas dalam...

24
1 RESPON PARADIGMATIK TRANSMODERNISME: Proyek Kritis atas Modernitas dan posmodernitas dalam Pembentukan Paradigma Ilmu Islam Oleh: Mohd. Arifullah ABSTRAK Respon paradigmatik terhadap bagunan paradigma modern dewasa ini menjadi rangkaian isi dari karya ini, yang mencoba memperlihatkan pergumulan modernitas dan postmodernitas, yang pada akhirnnya mesti dicarikan solusi alternatif. Sebuah solusi yang merupakan sintesa dari keduanya, dan Transmodernitas kemudian penulis angkat sebagai solusi alternatif yang mampu melewati ambang batas keduanya. Ia merupakan proyek kritis dan responsif terhadap unsur negatif kedua paradigma sekaligus proyek konsevasi unsur positif keduanya, melalui upaya mentransendensi modernitas dan menegasi kekacauan postmodernitas. Karya ini akhirnya ditutup dengan bahasan penyinambung tentang transmodernitas dalam perspektif Islam. Pendahuluan: Mengungkit Kesadaran Marginal Sebagai bangunan paradigma, transmodernisme lahir dari kesadaran tentang bahaya humanism modern yang berujung pada pembunuhan kemanusiaan. Marx Luyckx Ghisi dalam “Toward a Transmodern Transformation of Our Global Sciety: Eropean Challenges and Opportunities” mengungkapkan jika manusia modern meneruskan proyek industrialisasi, kapitalisme, dan strategi yang berbasis patriarki, maka dunia akan berujung pada bunuh diri kolektif, karena dampaknya yang berbahaya terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan kolektif ataupun kelestarian lingkungan. Beberapa budaya kreatif pinggiran dalam ke”bisu”annya telah menyuarakan perlawanan terhadap sistem yang

Transcript of RESPON PARADIGMATIK TRANSMODERNISME: Proyek Kritis atas Modernitas dan posmodernitas dalam...

1

RESPON PARADIGMATIK TRANSMODERNISME:Proyek Kritis atas Modernitas dan posmodernitas dalam

Pembentukan Paradigma Ilmu Islam

Oleh: Mohd. Arifullah

ABSTRAK

Respon paradigmatik terhadap bagunan paradigmamodern dewasa ini menjadi rangkaian isi dari karyaini, yang mencoba memperlihatkan pergumulanmodernitas dan postmodernitas, yang pada akhirnnyamesti dicarikan solusi alternatif. Sebuah solusiyang merupakan sintesa dari keduanya, danTransmodernitas kemudian penulis angkat sebagaisolusi alternatif yang mampu melewati ambang bataskeduanya. Ia merupakan proyek kritis dan responsifterhadap unsur negatif kedua paradigma sekaligusproyek konsevasi unsur positif keduanya, melaluiupaya mentransendensi modernitas dan menegasikekacauan postmodernitas. Karya ini akhirnyaditutup dengan bahasan penyinambung tentangtransmodernitas dalam perspektif Islam.

Pendahuluan: Mengungkit Kesadaran Marginal Sebagai bangunan paradigma, transmodernisme lahir

dari kesadaran tentang bahaya humanism modern yangberujung pada pembunuhan kemanusiaan. Marx Luyckx Ghisidalam “Toward a Transmodern Transformation of Our Global Sciety:Eropean Challenges and Opportunities” mengungkapkan jikamanusia modern meneruskan proyek industrialisasi,kapitalisme, dan strategi yang berbasis patriarki, makadunia akan berujung pada bunuh diri kolektif, karenadampaknya yang berbahaya terhadap prinsip-prinsipkemanusiaan kolektif ataupun kelestarian lingkungan.Beberapa budaya kreatif pinggiran dalam ke”bisu”annyatelah menyuarakan perlawanan terhadap sistem yang

1

merusak ini, namun ketiadaan kekuatan menyebabkanmereka terhenyak tanpa daya di sudut-sudut peradabanmodern. Sistem budaya marjinal yang berbasis padasistem mathernalistik ini, sangat berseberangan denganmodernisme, menghargai alam dan memiliki kepedulianterhadap komunitas sosial dalam hubungan kekerabatanyang kental.1

Transmodernisme karena itu lahir sebagai responterhadap berbagai fenomena modernitas yang dalamperkembangannya dewasa ini dikhawatirkan dapatmembayakan nilai-nilai kemanusiaan. Untuk itu,transmodernitas mencoba menetralisir bahaya tersebutdengan mengusung ide-ide kearifan lokal tradisonal yangperlu diangkat kembali ke permukaan publik setelahmelalui proses “empowering”, mengingatketidakmampuannya menyuarakan diri, karena kungkungandogmatis yang telah mengendap sekian lama. Dalam upayaini, transmodernisme banyak meminjam konsep-konseppemikiran khas kaum postmodernisme. Namun tidak semuapandangan postmodernisme diterima, postmodernisme tetapmembutuhkan proses kritisi lebih jauh.

Konteks pemikiran transmodernisme dapat diungkapkandalam kata sederhana sebagai modernitas yang mengakuitransendensi, dan postmodernisme tanpa kebuntuanataupun chaos. Transmodernisme pada dasarnya merupakanhasil dialektika yang cair dan integral antaratradisionalisme, modernisme, dan postmodernisme, yangpada saat yang bersamaan mencoba membangun sistemepistemologi yang berbasis namun pada saat yang samadapat melampaui ketiganya. Transmodernisme juga dapatdilihat sebagai sintesis antara masa lalu, masa kini,dan masa depan, yang diproyeksikan dalam kontekskekinian.

Karena itu, meminjam pendapat Ziauddin Sardar,transmodernisme pada dasarnya merupakan proyek yangdiarahkan untuk mengatasi krisis modernisme dantransmodernisme, dalam upaya mengurangi berbagai dampak

1Marx Luyckx Ghisi,“Toward a Transmodern Transformation ofOur Global Sciety: Eropean Challenges and Opportunities”,Journal ofFuture Studies, September 2010, No. 15 (1), 40.

1

modernitas dan kekacauan transmodernitas.2

Pertanyaannya kini adalah, dari mana proyektransmodernitas mesti dimulai? Bersandar pada jawabanSardar, kehati-hatian mutlak dibutuhkan, karenapertanyaan tidak muncul dalam ruang hampa (vacuum),namun tumbuh dalam sebuah framework dan kontekstertentu, yang sekaligus dapat mengarahkan pada jawabanpertanyaan. Untuk itu pertanyaan di atas mestiditempatkan dalam sebuah framework dan juga kontekstertentu, sehingga dapat memunculkan pertanyaan tentangberbagai masalah menyangkut realitas kehidupanmasyarakat kontemporer, seperti bagaimana menemukanprinsip-prinsip kebebasan yang memiliki sensitivitasterhadap komunitas minoritas dalam konteks pluralitasdan modernitas?3 Pertanyaan-pertanyaan ini hanya dapatdijawab dengan menelisik konteks modernitas danpostmodernitas secara kritis, untuk dapat memahamikonteks, mengambil kelebihan, menyadari kelemahaman,dan menemukan alternatif solusi.

Mentransendensi ModernitasBerbeda dengan pandangan umum yang mesinonimkan

antara modernitas (modernity) dan modernisme(modernism),4 terdapat kalangan yang membedakan

2Ziauddin Sardar, Islam, Postmodernism and Other Futures: A ZiauddinSardar Reader, edited by Sohail Inayatullah and Gail Boxwell(London: Pluto Press, 2003), 5.

3Lihat Ziauddin Sardar, “Transmodernity: Art Modernity andMulticulturalism, Where dis Multiculturalism Come From? ZiauddinSardar Unpicks its Orogins and Implications and Proposes anAlternative Model”, dalam Art Council England,Navigating DifferenceL CulturalDiversity and Audience Development, (tp: tt), 31. Bandingkan ZiauddinSardar, “Asking the Wrong Question can be Fatal”, dalam TheGuardian, London, 21 January, 2005, 27.

4Terma modern berasal dari bahasa Latin “modo” yang berarti“barusan”. Karena itu modern pada dasarnya telah ada sejak dahulukala, seperti dicontohkan oleh Richard Appignanessi dan kawan-kawan. Sekitar tahun 1127, Suger seorang kepala biarawanmerekonstruksi basilika Saint Denis di Paris. Gagasan arsitekturyang terlihat kemudian sulit untuk diklasifikasikan sebagai bagiandari arsitektur Yunani, Romawi, ataupun terpengaruh oleh keduanya.Sehingga Suger menyebut arsitektur yang tampak “baru” ini denganopus modernum (sebuah karya modern), karya arsitektur inilah yang

1

keduanya. Art Council England memahami Modernitas bukansebagai modernisme5 dalam pengertian sebuah gerakanseni di Eropa. Modernitas merupakan sebuah world viewyang tumbuh selama Renaissains dan Reformasi yangberakar pada gerakan pencerahan (Enlightenment) di Eropa.Modernitas tidak hanya berarti “here and now” di sinidan sekarang, namun juga merujuk pada sistem ideologi,sosial, dan bentuk budaya yang terejawantah dalamkehidupan masyarakat Barat. Modernitas memberikanpengaruh terhadap keseluruhan pandangan masyarakatBarat, termasuk pandangan mereka terhadap etnikminoritas,6

Sehingga modernitas pada dasarnya merupakan “westerncivilisation writ large” kitab suci peradaban Barat secaraumum. Ia mengacu pada bentuk kehidupan sosial ataupunorganisasi yang muncul di Eropa sejak abad ke 17 M.,

kemudian dikenal bergaya gothik. Merupakan istilah plesetan yangberarti “gaya barbar utara” atau Jerman, sebuah gaya yang dinilaibertentangan dengan gaya arsitektural yang ideal (klasik Yunani)hingga sesebut juga dengan antica e buona maniera moderna (gaya modernyang bagus namun kuno). Lihat Richard Appignanesi, Chris Garratt,Ziauddin sardar, and Patrick Curry, Postmodernism for Beginners(Cambridge: Icon Book, 1995), 6. Marx Luyckx Ghisi, “Toward aTransmodern Transformation of Our Global Sciety: EropeanChallenges and Opportunities”,Journal of Future Studies, September 2010,No. 15 (1), 40.

5Dalam beberapa pengertian, modernisme (modernism)diterjemahkan sebagai bentuk khusus hasil seni pada penghujungabad ke 19 di Eropa dan Amerika, yang dicirikan oleh estetika yangberdasarkan pada kedasaran terhadap kemampuan diri manusia (selfconsciousness), fragmen yang bergaya luwes, dan pemaparan yangmengundang tanda tanya, dan terkadang justeru kritis terhadapproses modernisasi. Sedangkan modernitas merupakan keseluruhanperiode yang merujuk pada era sejarah yang mencakup seluruhkualitas modernisme. Lihat Rita Fekki, The Gender of Modernity(Cambridge, Mass: Harvard, UP., 1995), 12-13. Artinya modernismemerujuk pada trend tertentu dalam seni, tulisan, kritik, danpemikiran filsafat yang sangat mempengaruhi perkembangan abad ke-20. Selain itu Peter L. Berger, juga mengungkapkan bahwa inti darimodernitas adalah “the conception of the naked self, beyond institutions and roles,as the ens realissimum of human being”. Lihat Peter L. Berger, dalam DavidKolb, The Critique of Pure Modernity (Chicago: University of ChicagoPress, 1986).

6Art Council England, Navigating Difference, 31.

1

yang kemudian mempengaruhi kehidupan masyarakat Eropaberikutnya, bahkan dunia secara global.7 Ia telahmembangun pengalaman dan problem historis dalamkomunitas masyarakat Barat khususnya hubungan antaramereka dengan dunia lain yang berdampak pada upayadominasi dan modernisasi dunia lain secara menyeluruhdalam berbagai bidang kehidupan. Kenyataan ini padaakhirnya membawa pandangan tentang objektivitas danuniversalitas yang dipaksakan, tanpa menyadari bahwatiap komunitas etnik, identitas budaya, kelompokkepercayaan, sebenarnya memiliki kemampuan tersendiriuntuk menghasilkan bentuk modernitasnya sendiriberdasarkan norma, sistem nilai, ataupun worldviewnyamasing-masing.8

Rosa Maria Rodriquez Magda menyebutkan jugamodernitas sebagai diskursus global (modernity as globaldiscourse), yaitu bangunan paradigma yang –dikatakan olehDon Jorge Gillermo-- dibingkai dalam pondasipencerahan, disemen oleh industrialisasi, dandidekorasi oleh kepercayaan tentang nilai universal danpeminggiran keimanan berdasarkan prinsip subjektivitas,akal sehat, dan sejarah.9 Ungkapan ini sesuai denganpandangan Habermas yang menilai modernitas padadasarnya dibangun dalam pengaruh diversitas yangtensional antara rasio sains, “moralitas” dan senimodern, dengan hakikat metafisika dan dogma agama. Dimana proses modernisasi berjalan seiring denganrevolusi industri, perkembangan sains, pertumbuhanpopulasi, kemajuan tekhnologi, perluasan pasar,kapitalisme dan berbagai bentuk penyokong modernitaslainnya. Hal ini menyebabkan modernitas terbentuk

7Lihat Antony Giddens, “The consequences of Modernity Polity”, Nurhadi(terj.), Konsequensi-konsequensi Modernitas (Yogyakarta: Kreasi Wacana,2005), 1.

8Art Council England, Navigating Difference, 33. Dalam kenyataaninilah kemudian modernisme banyak dikritisi oleh kalanganpostmodernisme ataupun penyokong transmodernisme.

9Rosa Maria Roriguez Magda, “Globalization as TransmodernTotally”, dalam Rosa Maria Roriguez Magda, Transmodernidad(Barcelona: Antrophos, 2004). Dapat pula diakses melaluihttp://transmodern-theory.blogspot.com/2008/12/globalization-as-transmodern-totality.html, 2.

1

dengan dinamis dan inovatif,10 namun memiliki cacat dibeberapa sisi.

Lebih jauh Marx Luyckx Ghisi menjelaskan, bahwamodernitas hidup dan dibesarkan dalam empat fenomenacacat yang ditengarai dapat berdampak buruk bagikemanusiaan dewasa ini,11 yaitu: intoleransi ekstrim,penghancuran jiwa, sakralitas sains, dominasi nilaipatriarchal. Keempat fenomena ini membutuhkan upayaserius untuk diatasi yaitu melalui proses transendensiyang diharapkan dapat menganulir dampak-dampak negatifyang akan ditimbulkan, dalam konteks transmodernitas.

Intoleransi Ekstrim, telah meyakinkan modernitasmenyatakan dirinya bersifat toleran dan universal,namun klaim kebenaran yang terkandung dalamepistemologinya menampilkan modernitas sebagai sistemyang sangat tidak toleran (extremely intolerant). Modernismeyang dominantelah membawa “kematian” bagi seluruhbudaya dan peradaban lainnya, yang diistilahkan sebagai“underddevelopedculture”, budaya yang secara ontologisdifahami dan ditempatkan dalam kelas inferior.

Dalam konteks inilah transmodernisme mencobamembenahi kekeliruan ini dengan mengedepankan bangunanepistemologi yang benar-benar berbeda atau bahkankontras dengan modernitas. Berbeda dengan modernitas,transmodernitas tidak memiliki ruang bagi sistempiramida kebenaran, kebenaran diibaratkan sebagai mejabundar kosong yang dapat diisi bersama oleh berbagaibudaya yang duduk mengelilinginya dalam kesetaraantanpa label superior-inferior, mayoritas-minoritas, danberbagai skala dominasi lainnya. Pria dan wanita adalahsederajat, urgensi kehidupan ditujukan untuk memeliharakehidupan bersama, berinti pada pencapaian “cahaya”ataupun “kegelapan”. Karena semakin dekat seseorangpada “cahaya”, semakin sulit ia mendefinisikan cahayatersebut, cahaya hanya dapat dialami. Selain itu tidakada satu pihakpun yang dapat mengontrol ataumendominasi kebenaran, yang pada sisi lain dapat pula

10Lihat Magda, http://transmodern-theory.blogspot.com/2008/12, 2.11Lihat Ghisi, Journal of Future Studies, 41.

1

berarti pengakhiran terhadap kepercayaan “dogmatik”keagamaan yang difahami secara kaku dan saklak.12

Selain itu, secara tidak terbantah, modernitastelah membawa kehancuran jiwa bagi peradaban Baratketika meneguhkan pendirian tidak ada yang eksiskecuali realitas rasional, hingga mengalienasi manusiadari tubuh, jiwa, intusi, perasaan, ataupunkreativitas. Modernitas juga telah meyakinkan manusiamodern tentang tiadanya kehidupan setelah mati(eskatologi).13

Pandangan di atas ditolak dalam transmodernitasyang mencoba mengembalikan manusia pada pengakuanterhadap keseluruhan dimensi kemanusiaan baikintelegensi, rasionalitas, perasaan, intuisi, tubuh,jiwa, cinta, hasrat, harapan, dan berbagai dorongankemanusiaan lainnya, sebagai bagian pengalamankemanusiaan yang mestinya dapat dialami manusia secaraalami. Karena itu, transmodernitas juga mengakui tidakadanya perselisihan antar peradaban (clash of civilizations)sebagaimana yang digagas oleh Samuel Huntington.14

Konflik hanya terjadi pada tiga arus interpretasipemikiran utama, yaitu antara kalangan tradisonal

12Rujuk dalam Ghisi, Journal of Future Studies, 41.13Lihat Ghisi, Journal of Future Studies, 41-42.14Lihat karya Samuel P. Huntington, “The Clash of

Civilizations?” dalam Foreign Affairs 72/3 (1993), 22-49, Untukpembanding yang kritis lihat karyaDale F. Eickelman, “MuslimPolitics: the Prospects for Democracy in Morth Africa and theMiddle East”, dalam John Entelis (ed), Islam, Democracy and the Statein North Africa (Bloomingthon, IN: Indiana University Press, 1997),35-38. Dalam kenyataannya tesis Huntington banyak dikritisi olehDale F. Eickelman, melalui tulisannya yang berjudul “Clash ofCulture? Intellectual, their publics, and Islam”, iamengungkapkan bahwa pertentangan budaya Barat dan Timur tidaklahberdasar, karena perbandingan antar kedua peradaban (tradisionaldan modern) tidak seimbang (arbitrer). Karena agama misalnya dapatmodern ataupun tradisional, sehingga perbandingan antaratradisional dan modern yang dilakukan Huntington sangat politis.Lihat Dale F. Eickelman, “Clash of Culture? Intellectual, theirpublics, and Islam”, dalam Stephane A. Dudoignon, Komatsu Hisao,and Kosugi Yasushi, Intellectuals in the Modern Islamic World: Transmission,Transformation, Communication (eds.) (USA and Canada: Routledge,2006), 294.

1

(premodern), modern, dan trasmodern, yang dapatditerjadi dalam sistem keagamaan, ideologi, ataupunsistem pemikiran apapun.15

Sakralitas sains tergambar ketika kalangan modernismengimani sains sebagai satu-satunya akses menujukebenaran yang sesungguhnya berdasarkanrasionalitasnya.16Keyakinan inilah yang kini tengahmengalami krisis kepercayaan, karena ketidakmampuansains dan tekhnologi menciptakan ketahanan dunia,17

bahkan banyak di antara temuan sains modern yang mulaiterbukti tidak benar, seperti yang terungkap dalampandangan fisika quantum yang dasar-dasarnya telahdiletakkan oleh fisikawan besar seperti AlbertEinstein (1879-1955), Max Planck (1858-1947), ErwinScrhoringer (1887-1961), Werner Karl Heisenberg,ataupun tokoh-tokoh fisika modern seperti StephenHawking. Pandangan quantum dalam banyak hal justerumempertegas kebenaran agama (Islam).18Sehingga sainskemudian disematkan dengan status kebenaran “palsu”yang disakralkan (quasi-divine).

15Perdebatan penafsiran kalangan trasionalis dan modernistampak cukup menonjol dalam wacana akademis, hal ini berbedadengan perdebatan kalangan transmodern yang cenderung kasat mata,karena sistem pemikiran dewasa ini begitu termodernkan hinggatidak mampu melihat kenyataan betapa sebagaian kalangan mencobamelakukan transformasi ke arah transmodern dengan upayameruntuhkan bangunan sistem tradisonal ataupun modern yangberbasis pada paradigma pathernalistik. Lihat Ghisi, Journal of FutureStudies, 42.

16Lihat kesimpulan Ilya Prigogine & Isabelle Stengers, OrderOut of Chaos: Man’s New Dialogue with Nature (New York: Bantam, 1984).

17Lihat Ghisi, Journal of Future Studies, 42.18Tentang dukungan fisika quantum dalam pembuktian kebenaran

agama dapat dibaca dalam beberapa karya seperti Karya MichelTalbot, Myticism and the New Phisics: Beyond Space-Time, Beyond God, to theUltimate Cosmic Conciousness (NewYork: Bantam Books Inc., 1981), telahditerjemah dalam bahasa Indonesia oleh Agung Prihantonro, Mistisismedan Fisika Baru (Yogyakarta: Psutaka Pelajar, 2002); Keith Ward, GodChance and Necessity (Oxford: OneWorld, 1996), karya ini telahditerjemah ke bahasa Indonesia oleh Larasmoyo (terj), Bandung:Mizan, 2002); Ian G. Barbour, When Science Meets Religion: Enemies,Strangers, or Parthners? (USA: HaperSanFrancisco, 2000), karya ini jugatelah diterjemah dalam bahasa Indonesia oleh ER. Muhammad (terj.),Juru Bicara Tuhan: Antara Sains dan Agama (Bandung: Mizan, 2002).

1

Pandangan fisika quantum telah melakukan perubahanbesar dalam memaknai metode sains yang hanya bertumpupada objektivitas eksperimen dalam pencarian kebenaranhukum alam. Dalam temuan fisika quantum kebenaran sainsdan fisika klasik tinggal realitas puitis, yang hanyadapat dibenarkan dalam pengecualian tertentu. Inilahakhir dari pendekatan sains modern.19

Berbeda dengan modernitas, transmodernitas telahmenyediakan konsepsi sains dan tekhnologi yang lebihkomplit. Sakralitas kebenaran sains tidak lagidipertahankan, manusia dibebaskan untuk menerima ataumenolak apa yang ditawarkan oleh sains, berdasarkanapakah temuan sains dan tekhnologi memiliki dampak padaketahanan masyarakat dunia secara global. Dengandemikian masyarakat diharapkan dapat merespon dan turutbertanggungjawab terhadap status kemanusiaanya sebagaikontrubusi positif dalam menegakkan kebaikan.Berdasarkan pandangan tersebut transmodernitasmengembangkan sebuah transformasi masyarakat globalsebagai berikut:20

19Lihat Ghisi, Journal of Future Studies, 42. Akhir dari modernitasjuga diakui oleh Fritjof Capra dalam karyanya The Turning Point: Science,Society and the Rising Culture (New York: Bantam Book, 1997). Karya initelah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, Titik Balik Peradaban: Sains,Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan (Yogyakarta: Yayasan BentangBudaya, 1999).

20Ghisi, Journal of Future Studies, 42-43.

Kesadaran terhadap Tumbuhan, Binatang, dan Alam Kosmos sebagai Satu Kesatuan

Masyarakat Egaliterian yang terhubung dengan Alam Kosmos

KeragamanBudaya, Agama, dan Pandangan Hidup lainnya

1

Bagan di atas menunjukkan bahwa transmodernitasbegitu toleran terhadap berbagai bentuk pluralitas yangsemuanya diakui kontribusinya dalam sistem bangunankebenaran.

Pada akhirnya, salah satu nilai yang dominan dalamtradisi modernitas Barat adalah adanya dominasi kontroldan penaklukan. Nilai ini telah menyebabkan krisismendalam terhadap kehidupan manusia modern, karenaberbagai bentuk tindakan dominasi dan penaklukan yangterjadi tidak lagi memikirkan masa depan alam yang akandiwariskan kepada generasi selanjutnya.21

***Melihat realitas dunia modern ini, Caroline

Merchant, ahli sejarah dari University of California,mengungkapkan dunia modern telah mengakibatkankerusakan alam atau the death of nature. Dalam karyatersebutMerchant lebih jauh mengungkapkan bahwa manusiamodern mesti melakukan kaji ulang terhadap formasipandangan dunia dan ilmu yang bias, yang mendukungdominasi atas wanita dan alam, dengan merumuskankembali konsep realitas sebagai mesin, sumbangan paraperintis ilmu modern seperti Francis Bacon, ReneDescartes, ataupun Issac Newton juga harus dievaluasikembali.22

Krisis modernitas juga digambarkan oleh BjörnWittrock dalam sebuah essainya yang berjudul “History,War, and the Trancendence of Modernity”. Menurutnya salah saturealitas dari modernitas yang terlupakan olehkebanyakan teoritisi modern23 adalah, kenyataan bahwa

21Ghisi, Journal of Future Studies, 43.22Carolyn Merchant, The Death of Nature (New York: Knopf, 1980),

xvii.23Salah satu teoritisi modern kawakan yang berani mengangkat

isu peperangan dalam karyanya antara lain Anthony Giddens. Ia

Pusat Kesadaran yang Kosong dan Dipenuhi oleh Cahaya

1

modernitas ditandai oleh meruaknya peperangan, sehinggamemunculkan kenyakinan akan akhir sejarah manusia.Peperangan/ kekerasan yang terjadi di berbagai penjurudunia dari Aghanistan hingga ke Kolombia, Srilangka,hingga Indonesia memperlihatkan realitas yang tidakterbantahkan, betapa modernitas menjadi momok kekerasandunia.24

Bagi Wittrock kekerasan modernitas telah dimulaisejak abad ke-17, adanya pertentangan antara agama,kekuasaan monarki, dan penyokong negara bangsa telahmenjadi realitas kekerasan yang tidak terbantahkandalam sejarah.25 Dewasa ini bentuk peperangan telahmenjadi sangat beragam, mulai perang kekuatan senjata,globalisasi yang berdampak pada kontrol proseskomunikasi, monopoli kekuasaan tekhnologi yangberdampak besar terhadap kerusakan alam, ataupunmonopoli sains yang berdampak pada peminggiran terhadapyang lain. Semua itu merupakan kenyataan modernitasyang perlu ditransendensi atau di atasi denganmengedepankan nilai-nilai kemanusiaan.26

Artinya realitas modern dewasa ini adalah kondisiyang dipenuhi oleh krisis, yang dikatakan oleh FritjofCapra sebagai gelombang berbalik yang dipenuhi olehkompleksitas krisis global yang serius danmultidimensional, menyentuh setiap aspek kehidupanmanusia, sosial, politik ekonomi, ekologi, intelektual,moral, dan spiritualitas. Krisis yang belum pernahterjadi sebelumnya dalam sejarah kemanusiaan.27 Krisisyang dapat menjerumuskan manusia pada kehancuran nilai-

mengungkapkan adanya kekerasan yang terjadi karena benturannegara-bangsa. Lihat Antony Giddens, the Nation-State and Violence(Cambridge: Polity Press, 1985).

24Björn Wittrock, “History, War, and the Trancendence of Modernity” dalamEuropean Journal of Social Theory, 4 (1) (London: Thousand Oaks, 2001),54.

25Tentang hal ini lihat karya Pierre Manent, an Intellectual Historyof Liberalism (NJ: Preinceton University Press, 1994). Bandingkanpula dengan karya Marshall Hodgson, Rethinking World History: Essays onEurope, Islam, and World History (Cambridge: Cambridge University Press,1998).

26Wittrock, European Journal of Social Theory, 64-68.27Capra, The Turning Point: Science, Society and the Rising Culture, 3.

1

nilai kemanusiaan, kemanusiaan itu sendiri, dan jugaalam kosmik, jika tidak segera dibenahi. Dalamtanggungjawab inilah transmodernitas dihadirkan dalamupaya mentransendensi modernisme.

Meluruskan Postmodernitas Seperti perbedaan istilah modernisme dan

modernitas, istilah postmodenisme (postmodernism)jugadapat dibedakan dari postmodernitas (postmodernity).Menurut Anthony Giddens Postmodernisme merupakangayaatau gerakan dalam sastra, seni, dan arsitektur, yangmemperhatikan aspek-aspek aesthetic reflection darimodernitas. Sementara postmodernitas dapat dimengertisebagai tatanan sosial yang berbeda dengan institusisosial modernitas. Tatanan sosial postmodernitasmerupakan transisi yang mengacu pada kondisiketidakpastian epistemologi, sejarah kemanusiaan yanghampa dari aspek teleologi, dan kesadaran ekologis yanglemah.28

Artinya postmodernitas muncul untuk mengatasikrisis modernitas, dengan mengusung teori-teori kritisterhadap konsepsi filosofis modernisme. Melalui proyekdekonstruksi terhadap asumsi kebenaran modernitas,postmodernitas menginginkan kebebasan intelektualitasdengan menekankan pada relativitas dan penghapusanabsolutisme, toleransi terhadap berbagai perbedaan,penolakan terhadap absolutisme rasionalitas, sains,bahkan kebenaran Ilahiyah. Proyek dekonstruksi inidiarahkan untuk merekonstruksi sistem pengetahuanmodern, untuk membangun kembali struktur dunia lewatide-ide baru seperti relativitas, subjektivitas, sertakesadaran akan ambiguitas dan adanya keterbatasaanbahasa dalam mengungkap kebenaran.29

28Giddens, “The consequences of Modernity Polity”, 60-61. 29Pandangan postmodernisme ini banyak dipengaruhi oleh

filsafat Nietzsche dan tokoh Poststrukturalis Prancis Desaussure,Jacques Derrida, serta Michael Foucault. Belinda Clayton,Rethinking Postmodern Maladies, Current Sociology, November, Vol.50(6), (London: Thousand Oaks, 2002), 840. Basis pemikiranpostmodernitas juga bersumber dari tokoh-tokoh seperti JeanBaudrillard, Habermas, dan Anthony Giddens. Merujuk pada pemikiran

1

Meminjam pemetaan Anthony Elliot, sebagai gerakanpemikiran, Postmodernisme dapat dilihat dalam tigabentuk: Pertama, radical postmodernism, lahir dalam teorisosial yang masih terpengaruh oleh modernisme, sepertiyang terdapat dalam pemikiran Baudrillard; Kedua, radicalmodernism, wacana ini melihat modernitas dapat menjadidaya tekan untuk melawan batas-batas institusinyasendiri, hal ini dapat dilihat dalam pemikiranHabermas, Bourdieu, ataupun Anthony Giddens, dan;Ketiga, strategic postmodernism, yang mencoba megembangkanalternatif masa depan sosial dengan memikirkan kembali(rethinking) dan menulis ulang modernitas, sepertiterlihat dalam karya Foucault, Lacan, ataupunDerrida.30

Intinya postmodernitas merupakan kritik terhadapmodernitas yang –menurut sardar-- telah berakhir padapenghujung abad ke 20.31 Pandangan-pandangan modernitastentang dominasi imperial Barat, budaya monolitikBarat, normalisasai peradaban Barat, dan semua bentukketerpusatan pada peradaban Barat, yang menghasilkanide tentang dominasi dan superioritas peradaban Baratyang global dan satu, nyata telah berakhir. Palingtidak dalam kasus kehidupan sosial yang dilihat Sardardi Malaysia, postmodernitas telah mengejawantahmenggantikan ide-ide modernisme yang diantaranya dalambentuk penghargaan terhadap pluralitas. Ekspresipenghargaan ini menurut Sardar muncul ketika komunitasmenghargai berbagai perbedaan identitas. Dalam kondisiinilah kemudian postmodernisme menjadi gelombang utamaperubahan masa depan yang pada saat yang sama merupakanarena pertarungan budaya masa depan. Di mana orang-orang non-Barat dapat dengan leluasa menegaskanke”aku”annya.32

tersebut postmodernitas menginginkan pupusnya dominasirasionalitas modern, dengan bertumpu pada nilai-nilai dan etikakomunitas, yang diharapkan dapat mereorganisasi kehidupankeseharian masyarakat dalam ideologi global, lewat dekonstruksiberbagai pandangan metafisika.

30Elliot, “The Ethical Antinomies of postmodernity”, Sociology, 337.31Sardar, Islam, Postmodernism and Other Futures, 122.

1

Di bidang keilmuan, postmodernisme juga kritisterhadap bangunan keilmuan modern, khususnyaepistemologi saintisme dan juga metanarasinya.33Worldviewnaturalistik ataupun materialistik sains modern yangberbasis pada epistemologi saintisme bagipostmodernisme merupakan bangunan epistemologi yanginkoheren, karena berdampak pada suatu metanarasi yangdigunakan untuk melihat seluruh realitas yangsebenarnya beragam dan juga berakibat padaetnosentrisme yang memarjinalkan suara-suara yanglain.34 Sementara metode empiris yang menjadipertamata sains modern dikatakan sebagai metode yanghanya berpihak pada indera dan mengabaikan kemungkinansumber pengetahuan lain.

Inti gerakan posmodernisme mencoba melakukanperubahan mendasar terhadap paradigma modernitasmenuju paradigma baru yang lebih toleran, yaitutransformasi paradigma dari modernisme kepostmodernisme, seperti yang diungkap oleh PaulVirilio.35 Perubahan paradigma itu dapat dringkassebagai berikut:36

32Sardar mencontohkan bagaimana bangsa Malaysia hidup dalamkeragaman budaya, yang terutama tampil dalam keragamann bentukbusana warga Malaysia. Sardar, Islam, Postmodernism and Other Futures,122. Hal ini kiranya juga terjadi di Indonesia.

33Jim Leffel, “Science and Postmodern Criticism”, The Scientific Review ofAlternatif Medicine, Vol. 4 (1) Spring/Summer, 2000, 51.

34Leffel, The Scientific Review of Alternatif Medicine,51.35Lihat John Armitage, “From Modernism to Hypermodernism and Beyond:

an Interview with Paul Virilio”, dalam Theory, Culture & Society, Vol. 16 (5-6)(London: SAGE dan New Delhi: Thousand Oaks, 1999), 241.

36Gambaran ini tidak terjadi secara absolut, namun dirangkaidalam pola binari yang cenderung membenturkan nyang satu denganyang lain. Dikutif dari karya Martin Irvine, Founding DierctorCommunication, Culture & Technology Progrma (CCT), Graduate Schoolof Art dan Science, Georgetown Universitty,

http://www19.homepage.villanova.edu/karyn.hollis/prof_academic/Courses/2043_pop/modernism_vs_postmodernism.htm

1

Perubahan paradigma di atas menyentuh berbagaibidang kehidupan baik arsitektur, politik, hinggaberbagai persoalan budaya yang akan berdampak padaperubahan sistem pengetahuan dan cara manusia melihatdan merespon. Walaupun demikian, postmodernismeternyata tidak sepenuhnya disetujui oleh berbagaikalangan. Pandangan postmodernisme dinilai dapatberujung pada kondisi chaos menjadi kritik yang ramaidiperdebatkan. Hal ini pula yang disadari oleh Sardar,ketika menunjukkan bahwa postmodernisme seperti halnyamodernisme telah mengalami krisis.37

Kritik terdalam bagi postmodernisme adalah kondisichaos yang terkandung di dalamnya. Nicos Mauzelismengungkapkan bahwa pendasaran kebenaran pada lokalitastertentu membawa kondisi tiadanya sistem kebenaran,

37Terlebih jika dihubungkan dengan pemahaman Islam sebagaiworldview, visi pembaruan dan keadilan sosial serta peradaban, danbudaya holistik. Sardar, Islam, Postmodernism and Other Futures, 6. BagiSardar –mengutif pandangan Beckingham-- Islam merupakan jalankeluar terbaik, ketika Islam dapat direinterptretasi sesuai dengantuntutan zaman, sehingga menghasilkan spirit perubahan. LihatSardar, Islam, Postmodernism and Other Futures, 6. Rujuk pula dalam C.E.Beckingham, “Islam and the Rejection of Nationalism”, Futures, 12 (3), Juni1980, 247-248.

MODERNISMEMeta NarasiGrand TheoryUnitySains dan TekhnologiIndividualitas dan Kesatuan IdentitasTerkontrolRealitasBudaya Dikotomismassifikasi budayaSebagai sebagai objek unik dan hasil kerja yang di authentikasi oleh Seniman.Centralized knowledgeBerbasis pada Perpusrakaan sebagai sistem pengetahuan tercetak.POSTMODERNISMENarasi Lokal Local theoryPluralityKeraguan pada Sains dan TekhnologiInterwoven dan Multi IdentitasHilangnya KontrolHyper realitasBudaya HibridaDemassifikasi budayaSeni sebagai daurulang budaya yang diautentifikasi oleh audience Distributed knowledgeBerbasis pada media web sebagai sistem informasi

1

karena teori yang diusung sulit diterjemahkan benaratau salah. Lebih pluuralitas paradigma yang mendasaripostmodernisme telah menghilangkan sekat batas disiplinkeilmuan hingga berujung pada kondisi yangmembingungkan.38

Selain itu metode dekonstruksi yang dikembangkanoleh Derrida,39 juga dinilai Brendan Sweetman memilikibeberapa kelemahan. Pertama, dekonstruksi akan sulitditerapkan dalam pembacaan teks, karena tidak semuateks membutuhkan upaya dekonstruksi, di mana terdapatteks yang terlepas dari kondisi sosial-historistertentu; kedua, pembacaan alternatif dimungkinkan namuntidak memiliki legitimasi, justeru hal itu hanya akanmemunculkan ambiguitas literer; ketiga, dekontruskimembawa pada kesalahan epistemologis dan jugarelativitas moral. Karena dekonstruksi dapat sajasalah; keempat, dekonstruksi mengandung kontradiksiketika mengungkapkan tidak ada satupun metode yangmemiliki legitimasi, sehingga semuanya dilakukan hanyaberdasarkan praduga, sehingga hal itu juga berlaku padametode dekonstuksi; dan akhirnya, menurut Sweetmandekontruksi pada dasarnya merupakan arogansiintelektualitas karena menganggap klaimnya yangbenar.40

38Bagi Mauzelis, segala bentuk dikotomi yang berdampak padadominasi sudah seharusnya dihilangkan, namun tidak harus ditolaksecara dramatis dan tanpa rasio. Lihat Nicos Mouzelis, “AfterPostmodernism: A Reply to Gregor McLennan”, in Sociology. Vol. 30 No. 1,Februari, 1996, 133-134.

39Derrida mengungkapkan tiap identitas bergantungeksistensinya pada sesuatu di luar dirinya, sehingga identitaskenyataannya tidak pernah benar-benar eksis, identitas dibangun didalam pikiran dan juga keterbatasan bahasa. Lihat Richard Kearney(ed.), Twentieth Century Continental Philosophy (London: Routledge: 1994),460-470.

40Bredan Sweetman, “Postmodernism, Derrida dan Difference: A Critique”, inInternational Philosophical Quarterly, Vol. xxxix, No. 1, 1999, 9-12. Halini terlihat ketika postmodernisme meluruskan sistem filosofi atauepistemologi yang bagi mereka merupakan prasyarat bagi perbaikaninstitusi dan praktik keseharian. Lihat Ziad al-Mwajeh, “Critique ofPostmodern Ethics of Alterity versus Embodied (Muslim) Others: Incompatibility,Diversion, or Corvergence”, A Dissertation, Indiana University ofPennsylvania, August 2005, 3.

1

Transformasi Modernitas, Postmodernitas keTransmodernitas

Respon kritis postmodernitas untuk menggantikanmodernitas ternyata tidak dilihat sebagai jalanterbaik bagi sebagian kalangan, paling tidakpostmodernitas dianggap hanya akan membawa kekacauan,karena tiadanya standar baku yang diusung. Paling tidakmuncul sebuah gelombang baru yang mencoba melewatiambang batas keduanya. Jika postmodernisme berupayameluluhlantakkan konsep-konsep modernisme sepertiadanya subyek yang sadar diri dan otonom, adanyarepresentasi istimewa tentang dunia, dan sejarah yanglinier,41maka muncul transmodernisme yang mencobamelewati ambang batas pertentangan modernisme danpostmodernisme.

Transmodernisme difahami oleh Zaiuddin Sardarsebagai pengenalan terhadap kondisi budaya yangmenghormati keberadaan pluralitas budaya yang dipahamisecara unik oleh tiap entitas budaya. Sebuah fahampluralitas yang tidak hanya beroperasi pada satu sistembudaya, namun juga pada masyarakat plural, dalam nuansaperbedaan etnis, ras, ataupun agama. Di mana tiapsistem budaya memiliki kebebasan untuk berbeda dariyang lain.42

Transmodernisme mencoba menerobos segala bentuksentralitas, hegemoni, dominasi budaya, ekonomi,politik dan juga keilmuan. Semua entitas budaya tidakdimatikan namun tetap diakui eksistensinya sebagaisistem kebudayaan yang berbeda dan memiliki akarnyasendiri, sistem yang muncul oleh respon dan perspektifpengalaman budaya masing-masing. Pengakuan ini padaakhirnya diharapkan dapat memunculkan apa yangdikatakan oleh E. Dussel sebagai a new age of world history,sebagai moment positif dari modernitas yang mendorongterjadinya dialog antar budaya (intercultural

41 Donny Gahral Adian, 2001, 95-97.42Ziauddin Sardar, Prosferity: A Transmodern Analysis,

http://www.google.com.

1

dialogue).43Sehingga pola budaya yang diharapkan dalamperspektif transmodernitas adalah sebagai berikut:44

Kesepahaman Budaya dalam Transmodernitas

Berbagai perubahan yang diinginkan dalamtransmodernitas menandakan sebuah pergeseran paradigma,kebenaran akan difahami dalam konstalasi filsafatPlatonik, untuk menggali esensi dari kebenaran, melaluiproses pemikiran induktif-deduktif, atau tepatnyasintesis-dialektik antara modernisme sebagai tesa, danpostmodernisme sebagai antitesa. Sehinggatransmodernitas merupakan kombinasi monumental antarasisi positif dari modernitas dan kekosonganpostmodernitas. Magda menggambarkan transformasiparadigma yang diinginkan dalam transmodernitas adalahsebagai berikut:45

43Enrique D. Duseel, “Transmodernity and Interculturality: An Interpretationfrom the Perspektive of Philosophy of Liberation”, in Transmodernity: Journal ofPeripheral Cultural Production of the Luso-Hispanic World, Vol. 1 (3), Spring2012, 41-44.

44Lihat Duseel, Transmodernity, 44.45Magda, Transmodernidad, 7.

ModernitasBudaya IslamBudaya CinaBudaya LainBudaya India

1

MODERNITAS POSTMODERNITAS TRANSMODERNITAS-Realitas-Ada-Homogen-Sentralitas-Temporalitas-Akal Sehat-Pengetahuan-Nasional-Global-Imperialisme-Satu Budaya-Hikayat-Hirarki-Inovasi-Ekonomi Industrial-Territori-Kota-Aktivitas-Publik-Usaha-Spirit-Atom-Sex-Maskulin-Budaya Elit-Verbal-Kerja-Narasi-Pers-Kemajauan/ Masa Depan

-Simulakra-Ketiadaan-Hiterogen-Penyebaran-Akhir Sejarah-Dekonstruksi-Meragukan Informasi-Postnasional-Lokal-Transetnikposkolonial-Multikultur-Game-Anarki-Sekuriti-Ekonomi Posrindustrial-Ekstra teritori-Suburbia-Kelelahan-Privat-Hedonisme-Tubuh-Quantum-Erotisme-Feminim-Budaya massa-Tulisan-Teks-Visual-Massmedia-Revivalis masa lalu

-Virtual-Telepresence-Diversitas-Network-Instantaneity-Pensee Unique-Antifundamentalisme-Transnasional-Glocal-Kosmopolitanisme-Transkultur-Strategi-Chaos Terintegrasi-Resiko Sosial-Ekonomi Baru-Transborder-Megapolis-Konektivitas-Keintiman-Individualism bersama-Cyborg-Bit-Cybersex-Trans seksual-Budaya Massa Biasa-Monitor-Hyperteks-Multimedia-Internet-Fantasi akhir

Artinya transmodernitas menginginkan adanyaperubahan paradigma dalam bentuk perubahan seluruhpandangan hidup, dari paradigma modernitas, kepostmodernitas dan diakhiri oleh transmodernitas. Halini sama halnya apa yang diinginkan oleh Aguste Comteketika menginginkan terciptanya paradigma positivismesebagai puncak peradaban manusia modern. Perbedaanya,transmodernitas meletakkan pandangannya pada pemahamanakan keterbukaan.

1

Penutup: Transmodernitas dam kemungkinanPengembanganNilai Islam

Berdasarkan beberapa tulisan yang umum beredardalam komunitas Islam, paradigma modernisme dan jugapostmodernisme banyak menuai kritik dalam pemikiranintelektual Islam. Modernisme dinilai sebagai paradigmayang tidak utuh karena semata-mata bersandar padapositivisme yang materialistik, sementarapostmodernisme dianggap sebagai biang kekacauan yangmeluluhlantakkan “kebenaran”, hingga tidak dapatdijadikan pegangan hidup. Lalu bagaimana dengantransmodernisme dalam sudut pandang intelektual Islam?

Sebagai paradigma yang baru diwacanakan dalamlingkup terbatas, Transmodernisme belum ditanggapisecara serius dalam luas oleh kalangan intelektualIslam. Namun mengacu pada pemikiran Ziauddin Sardar,Islam tampaknya memiliki keberpihakan padatrasmodernisme ketika berupaya menerobos segala bentuksentralitas, hegemoni, dominasi budaya, ekonomi,politik dan juga keilmuan. Artinya transmoderisme akanmembawa suatu budaya terbuka yang menghargai perbedaantanpa hegemoni, yang pada kelanjutannya juga akanberdampak pada penerimaan matra-matra keagamaan yangselama ini tidak dianggap dalam modernitas.Dengandemikian dapat disimpulkan bahwa dalam banyak hal Islamlebih kompatibel dengan paradigma transmodernisme.Terutamakarena pengakuannya terhadap pluralitas danbudaya lokal-tradisonal yang memungkinkan Islam dapatmengembangkan nilai-nilai universal-lokalnya dalamkehidupan keseharian, tanpa harus dikebiri oleh suatusistem hegemonik yang paksakan secara universal danseragam dalam berbagai bidang kehidupan.

Artinya dalam tradisi paradigma transmodernitasbesar harapan pupusnya hegemoni paradigma yang selamaini dipaksakan secara universal, sehingga berdampakpada penggerusan pandangan lokal yang dianggaptradisional, termasuk Islam, akan menghidupkann tradisiyang selama ini termarjinalkan dalam sistem kebenaranuniversal yang kaku. Dengan demikian tiap komunitas

1

akan mendapatkan haknya untuk hidup dalam percaturandunia global tanpa harus mengorbankan jati dirinyakarena desakan untuk meleburkan diri dalam sistemkebenaran tunggal-global yang dipaksakan sebagai satu-satunya standar kebenaran.

1

Daftar Pustaka

Appignanesi, Richard, Chris Garratt, Ziauddin sardar,and Patrick Curry, Postmodernism for Beginners,Cambridge: Icon Book, 1995.

Armitage, John, “From Modernism to Hypermodernism and Beyond:an Interview with Paul Virilio”, inTheory, Culture &Society, Vol. 16 (5-6), London: SAGE dan New Delhi:Thousand Oaks, 1999.

Barbour, Ian G., When Science Meets Religion: Enemies, Strangers,or Parthners?,USA: HaperSanFrancisco, 2000.

Beckingham, C.E., “Islam and the Rejection of Nationalism”,Futures, 12 (3), Juni 1980.

Capra, Fritjof,The Turning Point: Science, Society and the RisingCulture, New York: Bantam Book, 1997.

Clayton, Belinda, “Rethinking Postmodern Maladies”, CurrentSociology, November, Vol. 50(6), London: ThousandOaks, 2002.

Dudoignon, Stephane A., Komatsu Hisao, and KosugiYasushi, Intellectuals in the Modern Islamic World: Transmission,Transformation, Communication (eds.), USA and Canada:Routledge, 2006.

Duseel, Enrique D., “Transmodernity and Interculturality: AnInterpretation from the Perspektive of Philosophy of Liberation”,in Transmodernity: Journal of Peripheral CulturalProduction of the Luso-Hispanic World, Vol. 1 (3),Spring 2012.

Eickelman, Dale F., “Muslim Politics: the Prospects for Democracyin Morth Africa and the Middle East”, dalam John Entelis(ed), Islam, Democracy and the State in North Africa,Bloomingthon, IN: Indiana University Press, 1997.

Fekki, Rita, The Gender of Modernity, Cambridge, Mass:Harvard, UP., 1995.

Ghisi, Marx Luyckx, “Toward a Transmodern Transformation ofOur Global Sciety: Eropean Challenges and Opportunities”,Journal of Future Studies, September 2010, No. 15(1).

Giddens, Antony, “The consequences of Modernity Polity”,Nurhadi (terj.), Konsequensi-konsequensi Modernitas,Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005.

1

Giddens, Antony, the Nation-State and Violence, Cambridge:Polity Press, 1985.

Hodgson, Marshall, Rethinking World History: Essays on Europe,Islam, and World History, Cambridge: Cambridge UniversityPress, 1998.

http://www19.homepage.villanova.edu/karyn.hollis/prof_academic/Courses/2043_pop/modernism_vs_postmodernism.htm

Huntington, Samuel P., “The Clash of Civilizations?” inForeignAffairs 72/3, 1993.

Irvine, Martin, Founding Dierctor Communication,Culture & Technology Progrma (CCT), Graduate Schoolof Art dan Science, Georgetown Universitty,

Kearney, Richard (ed.), Twentieth Century ContinentalPhilosophy, London: Routledge: 1994.

Kolb, David Kolb, The Critique of Pure Modernity, Chicago:University of Chicago Press, 1986

Leffel, Jim, “Science and Postmodern Criticism”, The ScientificReview of Alternatif Medicine, Vol. 4 (1)Spring/Summer, 2000.

Magda, Rosa Maria Roriguez, Transmodernidad, Barcelona:Antrophos,2004.http://transmodern-theory.blogspot.com/2008/12/globalization-as-transmodern-totality.html,

Manent, Pierre, an Intellectual History of Liberalism, New Jersey:Preinceton University Press, 1994.

Merchant, Carolyn, The Death of Nature, New York: Knopf,1980.

Mouzelis, Nicos, “After Postmodernism: A Reply to GregorMcLennan”, in Sociology. Vol. 30 No. 1, Februari,1996.

Mwajeh, Ziad al-, “Critique of Postmodern Ethics of Alterity versusEmbodied (Muslim) Others: Incompatibility, Diversion, orCorvergence”, A Dissertation, Indiana University ofPennsylvania, August 2005, 3.

Prigogine, Ilya & Isabelle Stengers, Order Out of Chaos:Man’s New Dialogue with Nature, New York: Bantam, 1984.

Sardar, Ziauddin, “Transmodernity: Art Modernity andMulticulturalism, Where dis Multiculturalism Come From? ZiauddinSardar Unpicks its Orogins and Implications and Proposes an

1

Alternative Model”, dalam Art Council England,Navigating DifferenceL Cultural Diversity andAudience Development, tp: tt.

Sardar, Ziauddin, Islam, Postmodernism and Other Futures: AZiauddin Sardar Reader, edited by Sohail Inayatullahand Gail Boxwell, London: Pluto Press, 2003.

Sardar, Ziauddin, “Asking the Wrong Question can be Fatal”,dalam The Guardian, London, 21 January, 2005.

Sardar, Ziauddin, Prosferity: A Transmodern Analysis,http://www.google.com.

Sweetman, Bredan, “Postmodernism, Derrida dan Difference: ACritique”, inInternational Philosophical Quarterly,Vol. xxxix, No. 1, 1999.

Talbot, Michel, Myticism and the New Phisics: Beyond Space-Time,Beyond God, to the Ultimate Cosmic Conciousness, NewYork:Bantam Books Inc., 1981.

Ward, Keith, God Chance and Necessity,Oxford: OneWorld,1996.

Wittrock, Björn, “History, War, and the Trancendence ofModernity” inEuropean Journal of Social Theory, 4(1), London: Thousand Oaks, 2001.