Psychosophia: Journal of Psychology, Religion, and Humanity

77
i

Transcript of Psychosophia: Journal of Psychology, Religion, and Humanity

i

ii

Psychosophia: Journal of Psychology, Religion, and Humanity Vol. 3, No. 1 (June 2021), òPsychological Issues in the Muslim Communityó

Editor in Chief:

Oktarizal Drianus, M. Psi. (IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung,

Indonesia)

Managing Editor: Yandi Hafizallah, M.A

(IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung, Indonesia)

Editors:

Primalita Putri Distina, M.Psi., Psikolog (IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung,

Indonesia) Chitra Fraghini, M.Psi., Psikolog

(IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung, Indonesia)

Wahyu Kurniawan, M.Psi., Psikolog (IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung,

Indonesia) Zulkarnain, M.A

(IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung, Indonesia)

Widya Handini, B.Sc., M.Sc (College for Social and Political Sciences of Pahlawan 12,

Indonesia) Moh. Atikurrahman, M.A

(UIN Sunan Ampel Surabaya, Indonesia) Lailatul Badriyah, M.Psi.

(UIN Bengkulu, Indonesia) Astaman, M.A

(IAI Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas, Kalimantan Barat, Indonesia)

Sarah Afifah, M.Psi., Psikolog

(UIN Raden Fatah, Palembang, Indonesia)

Marketing, Production & Publishing Team: Siti Fatimah Silva Shetti

Mia Hanifah Siti Nuraisah

Peer-Reviewers:

Prof. Dr. Shukran Abdul Rahman

International Islamic University, Malaysia (IIUM)

Prof. Djamaludin Ancok, Ph.D

Universitas Gunadarma Jakarta, Indonesia

Prof. Drs. Subandi, M.A., Ph.D

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia

Carrie York Al-Karam, Ph.D

President of Alkaram Insitute, United Stated

Dr. Naiema Taliep, M.A

Violence, Injury and Peace Research Unit South African

Medical Research Council-University of South Africa (SAMRC-

UNISA), South Africa

Dr. H. Fuad Nashori, S.Psi., M.Ag., Psikolog

Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Indonesia

Dr. Agus Abdul Rahman, M.Psi., Psikolog

UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, Indonesia

Dra. Elli Nur Hayati, M.P.H., Ph.D., Psikolog

Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, Indonesia

Joevarian Hudiyana, M.Si

Universitas Indonesia, Indonesia

Dr. Wahyudi Setiawan, M.Pd.I

Universtias Muhammadiyah Ponorogo, Indonesia

Dr. Fitri Sukmawati, M.Psi., Psikolog

IAIN Pontianak, Indonesia

Dr. Muhamad Uyun, S.Psi., M.Psi.

UIN Raden Fatah Palembang, Indonesia

Dr. Irawan, M.S.I

IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung, Indonesia

Publisher:

Program Studi Psikologi Islam Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung, Indonesia

Jl. Petaling Raya, Km. 13, Kecamatan Mendo Barat Kabupaten Bangka Year: 2021

https://jurnal.lp2msasbabel.ac.id/index.php/psc © Psychosophia Research Center

iii

Table of Content

Psychosophia: Journal of Psychology, Religion, and Humanity

Vol. 3, No. 1 (June 2021), òPsychological Issues in the Muslim Communityó

In this June 2021 Edition (Vol. 3, No. 1), Psychosophia presents topics that are mostly related to the Muslim community. These publications include 1) Articles on the Happiness of Santri in Pesantren; 2) Articles that discuss the perception of caning as the application of Qonun Jinayah to the Muslim community in Aceh; 3) Another article is about burnout by gender. Articles that discuss academic stress include: 4) Articles on religiosity and self-efficacy toward academic stress in college students; Other articles: 5) It discusses cruel behavior towards animals.

Cover p. i Editorial and Reviewers p. ii Table of Content p. iii Foreword p. iv PERAN PENYESUAIAN DIRI SEBAGAI MEDIATOR DARI PENGARUH RELIGIUSITAS TERHADAP KEBAHAGIAAN SANTRI PONDOK PESANTREN Mutiara Subhiyah (Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta) Fuad Nashori (Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta) pp. 1-12 THE PERCEPTION OF SOCIETY ON JUDICIAL CANING AS THE FORM IMPLEMENTATION OF QANUN JINAYAH (PSYCHOLOGICAL PERSPECTIVE) Nurbaiti Nurbaiti (Universitas Syiah Kuala, Aceh) Haiyun Nisa (Universitas Syiah Kuala, Aceh) pp. 13-23 PENGARUH EFIKASI DIRI TERHADAP BURNOUT DAN PERBEDAANNYA BERDASARKAN GENDER: Studi Empiris pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Sarah Ulfa (Universitas Mercu Buana, Jakarta) Melani Aprianti (Universitas Mercu Buana, Jakarta) pp. 24-35 HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DAN EFIKASI DIRI DENGAN STRES AKADEMIK MAHASISWA FARMASI Vicky Rizki Amalia (Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta) Fuad Nashori (Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta) pp. 36-55 ARE CHILDHOOD CRUELTY TO ANIMALS INDICATES AS MENTAL DISORDER? Risa Juliadilla (Universitas Gajayana, Malang) Nia Anggri Noveni (Universitas Muhammadiyah Purwokerto) pp. 56-72

iv

Foreword

Psychosophia: Journal of Psychology, Religion, and Humanity Vol. 3, No. 1 (June 2021), òPsychological Issues in the Muslim Communityó

Mengawali edisi pertama di pertengahan tahun 2021 ini, Psychosophia: Journal of Psychology, Religion,

and Humanity menginsyafi satu hal bahwa memperbincangkan komunitas muslim hari ini, mau

tidak mau seperti sedang òmemperbincangkan diri sendirió. Objektifkah? tentu saja bukan seperti

itu cara melihatnya. Bagi kami, memperbincangkan diri sendiri merupakan sebuah penglihatan

yang introspektif. Ia melihat kepada diri sendiri apa yang salah di dalam. Sebuah sikap yang awas

dan mawas, seperti analisis diri pada tradisi psikoanalisa. Tugas òmelihat diri sendirió ini bukan

pekerjaan ringan. Dan, kami menyadari itu. Lantas, jika bukan kita sendiri yang berusaha

menengok apa yang terjadi dalam tubuh sosial kita, berharap kepada apakah?

Demi menjawab kepingan kecil dari pertanyaan di atas, maka lahirlah edisi ini. Dengan segala

pengakuan atas kelemahan kami, maka dibatasilah topik isu-isu psikologis�yang tentu saja tidak

semua isu dapat kami rangkul dalam edisi ini�yang berkutat pada: isu kebahagiaan, penerapan

hukum Islam di Aceh, stress akademik, dan perilaku jahat terhadap binatang. Cakupanya memang

belum luas, karena masih begitu banyak problema dan dinamika yang tidak habis-habisnya dalam

komunitas muslim Indonesia. Tapi, kami berjanji akan secara perlahan menjemput isu-isu tersebut

di setiap edisinya.

Akhirnya, meski kecil, di edisi ini kami ingin mencoba saling sapa, saling-jabat kata dengan

para penulis yang tanpanya kami bukan apa-apa, mitra bestari yang menelaah artikel dengan

penuh keseriusan untuk menikmati sebuah percakapan ilmiah. Dengan mereka kami saling

belajar demi diseminasi akademik yang berguna bagi siapa saja. Akhir kata, banyak sebenarnya

yang ingin kami sampaikan, namun keterbatasan ruang-ruang halaman dan spasi membuat kami

harus menyudahi pengantar ini. Harapan kami, semoga kita dapat berjumpa dalam perhelatan

ilmiah lainnya. Tentu saja, untuk kembali òberbincang-bincang tentang diri sendirió.

Bangka, Juni 2021 Editor in Chief

https://ejurnal.lp2msasbabel.ac.id/index.php/psc

Vol. 3, No. 1, June (2021)

ISSN (Online): 2721-2564

https://doi.org/10.32923/psc.v3i1.1622

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 1 of 12 © Psychosophia, 2021

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

Review Date ; March 28, 2021

Revision Date : May 14, 2021

Accepted Date : May 25, 2021

Publish Date : June 2, 2021

PERAN PENYESUAIAN DIRI SEBAGAI MEDIATOR DARI

PENGARUH RELIGIUSITAS TERHADAP KEBAHAGIAAN SANTRI

PONDOK PESANTREN

Mutiara Subhiyah

Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Indonesia

[email protected]

Fuad Nashori*

Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Indonesia

[email protected]

Abstract: This study aimed to examine self-adaptation role as mediator in the correlation of

religiosity and happiness. This study involves 204 new students from Islamic Boarding School X in

Bekasi, West Java, Indonesia. This study used Oxford Happiness Questionnaire (OHQ) scale as

developed by Hills and Argyle, Indonesian Psychological Measurement of Islamic Religiousness (I-

PMIR) developed by Abu-Raiya, et al and Student Adaptation to College Questionnaire (SACQ)

by Baker and Siryk. The data were analyzed by means of exploratory factor analysis and process

macro analysis using SPSS 20 software. The results of this study showed that religiosity positively

affecting self-adaptation and happiness, and self-adaptation mediated the effects of religiosity on

happiness. Thus, the hypothesis in this study was accepted.

Keywords; Happiness, Religiosity, Self-Adaptation, Islamic Boarding School

* Corresponding Author

Subhiyah & Nashori

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 2 of 12

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

PENDAHULUAN

Kebahagiaan merupakan salah satu

aspek yang penting pada kesehatan

mental pelajar, termasuk para santri.

Disebut penting karena pelajar yang

merasa bahagia menunjukkan performa

yang lebih baik di sekolah, jarang

menunjukkan masalah pada kesehatan

mental dan perilaku, serta memiliki

hubungan sosial yang lebih kuat

(Cleveland & Sink, 2018). Kebahagiaan

juga berperan penting dalam

meningkatkan produktivitas, performa

kerja, kesuksesan karir, juga kesehatan

(Roessler & Gloor, 2020).

Wawancara peneliti dengan

pengurus asrama di Pondok Pesantren X

di Bekasi Jawa Barat yang berinisial M dan

A, usia 20 dan 21 tahun, menunjukkan

bahwa pada tahun pertama tidak jarang

ditemukan santri-santri yang kerap

menangis dan menolak untuk mengikuti

kegiatan pondok. Ketika orang tua datang

menjenguk, mereka menangis memeluk

ibunya dan meminta untuk ikut pulang.

Pada kasus lain, santri di tahun pertama

ini melarikan diri dari asrama sebelum

kemudian diantar kembali oleh

orangtuanya. Perilaku santri ini tidak

hanya menimbulkan masalah pada

akademiknya, namun juga pada

hubungan sosial dengan teman-

temannya. Santri-santri ini kerap kali

menyendiri dan tidak mau diajak teman-

temannya untuk bermain atau ke kantin.

Ia selalu menangis di malam hari,

sehingga membuat kesal teman-

temannya, dan membuat repot pengurus

asrama karena mereka harus membujuk

santri ini setiap kali ada kegiatan agar ini

mau berpartisipasi.

Dari hasil wawancara peneliti

dengan salah satu santri yang berinisial H,

santri lelaki bersusia 12 tahun, didapatkan

bahwa semenjak masuk ke pondok

pesantren ia merasa sedih karena harus

berpisah dengan teman-teman di sekolah

dasarnya. Ia merasa kesulitan untuk

menjalin pertemanan baru dan merasa

takut santri-santri lain tidak akan

menyukainya. Hurlock (2002)

menyatakan bahwa salah satu faktor

paling penting pada kebahagiaan remaja

adalah penerimaan, baik penerimaan diri

sendiri maupun penerimaan atau

dukungan sosial. Santri lain bercerita

bahwa meskipun sudah berada di tahun

ketiga, ia seringkali merasa sedih dan

tidak bahagia. Ia selalu merindukan

keluarganya dan kamar tidurnya yang

nyaman. Ia mengikuti semua kegiatan

pondok yang wajib tanpa semangat, dan

menolak berpartisipasi pada kegiatan

yang tidak wajib seperti perlombaan,

ekstrakurikuler dan kegiatan bakti sosial.

Perilaku apatis ini, menurut Nettle

(Mundzir, 2014), adalah bentuk dari

ketidakbahagiaan seseorang.

Kebahagiaan seseorang dapat

dipengaruhi oleh beberapa hal di

antaranya adalah gender atau seks, usia,

pendidikan, kualitas pernikahan,

kepuasan pekerjaan, kesehatan, serta

agama atau religiusitas (Eddington &

Shuman, 2005). Seligman, Peterson, dan

Lyuborsmisky (Arif, 2018) membagi

faktor yang mempengaruhi kebahagiaan

seseorang menjadi tiga, yaitu faktor

genetik atau bawaan yang tidak bisa

diubah seperti kepribadian, watak dan

preferensi, faktor lingkungan yang

berkaitan dengan situasi kehidupan yang

berubah-ubah, dan faktor ketiga, yaitu

bagaimana individu merespon atau

menyesuaikan diri dengan

lingkungannya. Dalam penelitian ini,

Subhiyah & Nashori

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 3 of 12

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

peneliti mencoba mengkaji lebih dalam

bagaimana peran religiusitas

mempengaruhi kebahagiaan santri dan

peran penyesuaian diri sebagai mediator

di antara keduanya. Religiositas sendiri

menurut Ancok dan Suroso (1994) dapat

diartikan sebagai keyakinan, ritual,

perilaku sosial, pengalaman keagamaan,

dan pengetahuan yang terkait dengan

yang transenden yang terorganisasi dalam

agama tertentu, dalam penelitian ini

adalah agama Islam.

Wulff (Baroun, 2006) menyatakan

bahwa religiositas memiliki hubungan

yang positif dengan kepuasan hidup,

penyesuaian diri, kontrol diri, harga diri

(self-esteem), kebahagiaan, kesehatan fisik

dan mental, serta memiliki hubungan

yang negatif dengan kecemasan secara

umum, kecemasan akan kematian,

neurotisme, depresi, dan impulsifitas.

Penelitian-penelitian terdahulu telah

menemukan bahwa religiositas memiliki

hubungan yang signifikan dengan

kebahagiaan individu, di mana individu

yang religius mememiliki kesehatan

mental dan fisik, kepuasan hidup, gaya

hidup sehat dan kesejahteraan psikologis

yang lebih tinggi dibandingkan individu

non-religius (Mahudin, Noor, Dzulkifli, &

Janon, 2016; Abdel-Khalek, 2019; Graham

& Haidt, 2010). Hal ini dikarenakan

agama tidak hanya memenuhi kebutuhan

spiritual seseorang, tetapi juga kebutuhan

sosialnya (Graham & Haidt, 2010). Santri

dengan religiositas yang tinggi memiliki

kelapangdadaan dan kebermaknaan

hidup yang lebih tinggi, serta karakter

yang kuat seperti kebersyukuran,

kebaikan, dan kejujuran (Nashori, 2011).

Hal ini dikarenakan agama dapat

memberikan santri perasaan hidup yang

bermakna, sejahtera secara psikologis dan

hubungan sosial yang kuat (Hossain &

Rizvi, 2017).

Dalam penelitiannya, Rusman

(2019) menuliskan bahwa religiositas

dapat mempengaruhi kebahagiaan

seseorang tidak secara langsung

melainkan dimediasi oleh beberapa faktor

seperti kontrol diri, regulasi diri,

kepuasan hidup, dan kemampuan

individu untuk beradaptasi dengan

kejadian-kejadian dalam hidupnya.

Religiositas terbukti dapat

mempengaruhi kemampuan penyesuaian

dirinya (Nadzir & Wulandari, 2013;

Lesatari & Indrawati, 2017). Dalam

penelitian yang dilakukan oleh

Pritaningrum dan Hendriani pada santri

baru di pondok pesantren, di mana santri

baru ini ada yang sebelumnya sekolah di

Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan

Madrasah Tsnawiyah (MTs). Hasil

penelitian memperlihatkan bahwa santri

baru yang berasal dari SMP memiliki

kemampuan menyesuaikan diri yang

lebih rendah dibandingkan dengan santri

baru yang sebelumnya sekolah di MTs.

Hal ini dikarenakan santri baru lulusan

MTs mendapatkan pelajaran agama yang

lebih banyak dan beragam dibandingkan

dengan lulusan SMP. Selain itu santri dari

MTs juga lebih terbiasa dengan pelajaran-

pelajaran agama dari sekolah sebelumnya

sehingga ia tidak memiliki kesulitan

untuk mengikuti pelajaran di pondok.

Penelitian Qomariyah (2019)

menunjukkan bahwa santri yang

memiliki religiositas tinggi memiliki

kemampuan penyesuaian diri yang tinggi

pula. Hal ini terlihat dalam bentuk aktif

dalam kegiatan sekolah dan rajin

mengikuti kegiatan ibadah bersama-sama

seperti sholat berjamaah di masjid dan

mengaji bersama.

Subhiyah & Nashori

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 4 of 12

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

Menurut riset Rusman (2019),

pengaruh dari religiositas terhadap

kebahagiaan berjalan secara tidak

langsung, melainkan dimediasi oleh

kemampuan individu untuk beradaptasi

dengan kejadian-kejadian dalam

hidupnya. Penyesuaian diri berperan

sebagai mediator dalam pengaruh

religiositas terhadap kebahagiaan santri

secara langsung. Penelitian-penelitian

yang telah dilakukan menemukan bahwa

penyesuaian diri pada remaja dapat

mempengaruhi kebahagiaannya

(Bazradshan dkk, 2018). Kemampuan

menyesuaikan diri bagi santri merupakan

hal yang sangat penting. Hal ini

dikarenakan ia masuk ke lingkungan yang

tidak familiar, tanpa adanya orangtua

yang memenuhi segala kebutuhannya, di

mana ia dituntut untuk mandiri dan

bertanggung jawab terhadap dirinya,

akademiknya dan sosialnya. Santri juga

harus belajar menyesuaikan waktunya

dengan kegiatan pondok yang padat, di

mana ia hanya memiliki waktu terbatas

untuk memenuhi kebutuhan pribadi

seperti mandi, makan dan tidur (Rahma,

2016).

Santri di pondok pesantren

memiliki latar belakang yang berbeda,

baik daerah asal, bahasa, ekonomi, juga

usia (Pritaningrum & Hendriani, 2013).

Dalam lingkungan dengan tingkat

heterogenitas yang tinggi ini tidak jarang

santri merasa kesulitan menyesuaikan diri

karena takut tidak diterima oleh santri

lainnya, padahal penerimaan pada remaja

merupakan hal yang penting dalam

kebahagiaannya (Hurlock, 2002).

Seperti yang sudah disampaikan

sebelumnya bahwa tingkat religiositas

seseorang dapat mempengaruhi

kebahagiaan dirinya dengan penyesuaian

diri sebagai mediator. Religiositas dapat

mempengaruhi kemampuan

menyesuaikan diri santri yang pada

akhirnya dapat mempengaruhi

kebahagiaanya. Penjelasan tentang

hubungan antara variabel tersebut dapat

dilihat pada bagan di bawah ini:

Bagan 1. Desain Analisis Penelitian

Berdasarkan pandangan di atas,

maka hipotesis yang diajukan dalam

penelitian ini adalah penyesuaian diri

memiliki peran sebagai mediator dari

pengaruh religiositas terhadap

kebahagiaan santri. Hipotesis ini

menjelaskan bahwa religiositas tidak

secara langsung mempengaruhi

kebahagiaan, namun diperantai oleh

penyesuaian diri. Hipotesis itu dapat

dijabarkan sebagai berikut: Penyesuaian

diri memiliki peran sebagai mediator dari

pengaruh religiositas terhadap

kebahagiaan.

METODE PENELITIAN

Variabel dalam penelitian ini

adalah kualitas penyesuaian diri sebagai

variabel mediator, religiositas sebagai

variabel prediktor dan kebahagiaan

sebagai variabel kriteria.

Partisipan Penelitian

Partisipan penelitian dalam

penelitian ini adalah 203 orang santri kelas

VII Madrasah Tsanawiyah dan 47 orang

santri kelas IX Madrasah Aliyah yang

Subhiyah & Nashori

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 5 of 12

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

merupakan santri tahun pertama di

pondok pesantren Attaqwa Bekasi Jawa

Barat, berjenis kelamin laki-laki, dengan

rentang usia 12-13 tahun dan 15-16 tahun.

Data dalam penelitian ini berasal

dari data primer berupa kuesioner yang

diberikan kepada santri baru di Pondok

Pesantren Attaqwa Putera. Kuisioner

disebarkan kepada partisipan dengan

bantuan musyrif atau pengasuh asrama.

Dari 250 kuisioner yang disebar hanya 223

yang dikumpulkan kepada peneliti, dan

dari kuisioner yang berhasil dikumpulkan

beberapa kuisioner diisi tidak lengkap

oleh responden sehingga tidak peneliti

masukkan dalam analisis data. Total data

responden dalam penelitian ini adalah 204

orang.

Instrumen Pengukuran

Pengambilan data dalam penelitian

ini menggunakan tiga skala yang telah

dikembangkan oleh peneliti sebelumnya,

yaitu skala kebahagiaan, skala religiositas,

dan skala adaptasi siswa. Skala

kebahagiaan dalam penelitian ini

menggunakan Oxford Happiness

Questionnaire (OHQ) yang pertama kali

disusun oleh Argyle dan Crossland,

kemudian diperbaiki oleh Hills dan

Argyle pada tahun 2002 (Adeline, 2017).

Skala kebahagiaan ini mengacu pada

enam aspek kebahagiaan yang

dikembangkan oleh Argyle dan Crossland

(1987), yaitu life satisfaction, joy, self-esteem,

calm, control, dan efficacy. Skala

kebahagiaan ini terdiri atas 29 aitem,

dengan pembagian 18 aitem favourable dan

11 aitem unfavourable. Alat ini telah

diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia

oleh Rahmawati, Saragih dan Adeline

(2016) dan ditemukan tingkat reliabilitas

sebesar 0.83. Dari hasil analisis peneliti

pada skala ini ditemukan nilai KMO 0.731

dan nilai Bartlett sebesar 0.000 yang

membuatnya signifikan. Hasil analisis

faktor ditemukan bahwa koefisien

korelasi aitem total bergerak dari 0,403

hingga 0,644 dengan koefisien reliabilitas

�����1û�ü10,792 dan 0,669 (>0.5) pada faktor

1 dan 2 yang membuatnya reliabel,

sementara pada faktor ketiga didapatkan

nilai Alpha Cronbach sebesar 0,174 yang

membuat faktor ketiga ini tidak reliabel.

Religiositas subjek diukur dengan

menggunakan skala Indonesian-

Psychological Measurement of Islamic

Religiousness (I-PMIR) yang

dikembangkan oleh Salsabila, dkk (2019).

Skala ini merupakan adaptasi ke dalam

Bahasa Indonesia dari skala Psychological

Measure of Islamic Religiousness (PMIR)

karya Abu-Raiya dkk (2008). Skala I-PMIR

ini mengukur 5 aspek religiositas menurut

Abu-Raiya dkk, yaitu belief, practices,

ethical conduct - do, ethical conduct . �����ð1

dan Islamic universality. Aitem dalam skala

ini terdiri dari 41 aitem favourable dan 11

aitem unfavourable dengan total 52 aitem.

Pada adaptasi skala I-PMIR oleh Salsabila,

dkk (2019) ditemukan bahwa reliabilitas

alat ini adalah sebesar 0.929. Dari hasil

analisis peneliti pada skala ini ditemukan

nilai 0.890 dan nilai Bartlett sebesar 0.000

yang membuatnya signifikan. Hasil

analisis faktor ditemukan bahwa koefisien

korelasi aitem total bergerak dari 0,901-

0,972 dengan koefisien reliabilitas alpha

û�ü10,872 . 0,957 (>0.5) pada ketiga faktor

membuatnya reliabel.

Adaptasi diri dalam penelitian ini

diukur dengan menggunakan student

adaptation to college questionnaire (SACQ)

yang dikembangkan oleh Baker dan Siryk

(1989). Skala ini dimaksudkan untuk

mengukur kemampuan adaptasi

Subhiyah & Nashori

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 6 of 12

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

mahasiswa di universitas, namun

beberapa penelitian telah

menggunakannya pada siswa usia

sekolah menengah (Grama, 2018) dan

pada santri di pondok pesantren (Afidah,

2017). Skala SACQ ini mengukur empat

aspek penyesuaian diri pada siswa baru,

yaitu academic adjustment yang terdiri dari

motivation, application, performance, dan

academic environment; kemudian social

adjustment yang terdiri dari social

adjustment in general, other people, nostalgia,

dan social environment; personal emotional

adjustment yang terdiri dari psychological

dan physical; aspek terakhir yaitu goal

commitment institutional attachment yang

terdiri dari commitment in general, dan

commitment in this college. Skala

penyesuaian diri ini terdiri dari 67 aitem

dengan pembagian 35 aitem favourable dan

32 aitem unfavourable.

Peneliti melakukan adaptasi pada

alat ukur SACQ dikarenakan belum ada

yang melakukan uji validitas dari alat

ukur ini ke dalam bahasa Indonesia.

Peneliti melakukan adaptasi ke dalam

bahasa Indonesia dan disesuaikan dengan

lokasi pengambilan data. Skala yang

sudah diadaptasi kemudian

dikonsultasikan kepada 3 orang psikolog

alumni UII dan 2 orang psikolog yang

bekerja di pondok pesantren tempat

pengambilan data. Setelah dilakukan

validitas isi dan disetujui, peneliti

kemudian melakukan penyebaran skala

penelitian melalui kuisioner kepada santri

dengan bantuan pengurus asrama.

Pengujian validitas dan reliabilitas skala

ini dilakukan dengan menggunakan

teknik uji coba terpakai, artinya

instrument diuji dengan digunakan secara

langsung kepada partisipan untuk

mendapatkan data penelitian. Dari hasil

analisis penelitian pada skala ini

ditemukan nilai KMO pada skala

penyesuaian diri sebesar 0.748 dan nilai

Bartlett sebesar 0.000 yang membuatnya

signifikan. Hasil analisis faktor ditemukan

bahwa koefisien korelasi aitem total

bergerak dari 0,324 - 0,777 dengan

���������1������������1�����1û�ü10,673 . 0,915

(>0.5) pada ketiga faktor membuatnya

reliabel.

Metode Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini

menggunakan analisis PROCESS macro

oleh Preacher dan Hayes (Hayes dkk,

2011) dengan teknik bootstrapping yang

digunakan untuk mengambil keputusan

terkait ada atau tidaknya pengarung tidak

langsung dari variabel mediator salah satu

model (Hayes et al, 2011). Analisis ini

dilakukan menggunakan software SPSS

20 for windows dan PROCESS 3.5 for SPSS.

HASIL

Uji Hipotesis dalam penelitian ini

menggunakan teknik analisis bootstraping

yang digunakan untuk mengambil

keputusan terkait ada atau tidaknya

pengaruh tidak langsung dari variabel

mediator salah satu model (Hayes et al,

2011). Berikut adalah gambaran dinamika

hubungan ketika variabel dalam

penelitian ini.

Bagan 2. Dinamika Hubungan Variabel-Variabel

Penelitian

Subhiyah & Nashori

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 7 of 12

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

Bagan di atas menunjukkan

pengaruh langsung maupun tidak

langsung dari variabel religiositas dan

penyesuaian diri. Jalur A, yaitu pengaruh

langsung religisiutas (X) terhadap

penyesuaian diri (M) menunjukkan nilai

koefisien sebesar 0,5186 dengan nilai

signifikansi 0,000 atau p < 0,05. Berarti,

hubungan religiositas ke penyesuaian diri

memiliki pengaruh yang signifikan. Jalur

C menunjukkan pengaruh langsung

religiositas (X) terhadap kebahagiaan (Y)

mendapatkan koefisien sebesar 0,2164 dan

signikansi pada taraf 0,000 atau p < 0,05.

Hal ini menunjukkan bahwa religiositas

memiliki pengaruh langsung terhadap

kebahagiaan. Pada jalur B yaitu efek

langsung penyesuaian diri (M) terhadap

kebahagiaan (Y) memiliki koefisien

sebesar 0,1532 dan signifikansi sebesar

0,000 atau p < 0,05. Berarti, efek langsung

penyesuaian diri dapat mempengaruhi

kebahagiaan secara signifikan. Terakhir

�����1 ��1 �����������1 ��������1 �����1

langsung dari religiositas (X) terhadap

kebahagiaan (Y) dengan dimediasi

penyesuaian diri (M), didapatkan

koefisien sebesar 0,2164 dan signikansi

pada taraf 0,000 atau sig<0,05. Hal ini

menunjukkan bahwa religiositas memiliki

pengaruh tidak langsung terhadap

kebahagiaan dengan dimediasi

penyesuaian diri. Dengan kata lain,

penyesuaian diri memiliki peran sebagai

mediator dari pengaruh religiositas

terhadap kebahagiaan.

Selanjutnya peneliti melakukan uji

bootsrap untuk melihat apakah peran

penyesuaian diri sebagai mediator

merupakan mediasi penuh (full

mediation) atau mediasi parsial (partial

mediation). Mediasi parsial (partial

mediation) terjadi ketika pengaruh dari

religiositas terhadap kebahagiaan

menurun namun tidak sampai nol ketika

penyesuaian diri dihilangkan, sementara

mediasi sempurna (perfect mediation)

terjadi ketika variabel bebas tidak

menunjukkan pengaruh terhadap variabel

bebas ketika veriabel mediator dikontrol

(Baron & Kenny, 1986).

Hasil analisis bootstrap

menunjukkan bahwa nilai koefisien

indirect sebesar 0,0794 dari religiositas (X)

ke kebahagiaan (Y). Interval kepercayaan

(Confidence Interval / CI) dari hasil

bootstrap tertulis BootLLCI (lower level for

CI) = 0,0460 dan BootULCI (Upper level for

CI) = 0,0111. Hal ini menunjukkan bahwa

rentang BootLLCI dan BootULCI itu tidak

sampai nol (0). Begitu pula pada pengaruh

tidak langsung yang terstandar,

didapatkan nilai BootLLCI = 0,0955 dan

BootULCI = 0,228. Rentang dari BootLLCI

dan BootULCI juga tidak sampai nol (0).

Kedua hasil ini menunjukkan bahwa

peran mediator dari penyesuaian diri

adalah sebagai mediator parsial. Dengan

demikian penyesuaian diri memediasi

pengaruh religiositas terhadap

kebahagiaan secara parsial.

PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk

menguji apakah penyesuaian diri

memiliki peran sebagai mediator dalam

pengaruh religiositas terhadap

kebahagiaan santri di pondok pesantren.

Hasil penelitian ini menemukan bahwa

religiositas dapat mempengaruhi

kebahagiaan santri, penyesuaian diri

memiliki pengaruh terhadap kebahagiaan

santri, dan penyesuaian diri menjadi

mediator pengaruh religiositas terhadap

kebahagiaan santri.

Subhiyah & Nashori

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 8 of 12

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

Hasil penelitian ini mendukung

teori dan hasil-hasil penelitian bahwa

religiositas mempengaruhi kebahagiaan

secara langsung maupun melalui

mediator penyesuaian diri. Hasil

penelitian mendukung hasil riset Rusman

(2019) yang menyatakan pengaruh dari

religiositas terhadap kebahagiaan bisa

berjalan secara tidak langsung dengan

dimediasi oleh kemampuan individu

untuk beradaptasi dengan kejadian-

kejadian dalam hidupnya. Wulff (Baroun,

2006) menyatakan bahwa religiositas

memiliki hubungan yang positif dengan

kepuasan hidup, penyesuaian diri, kontrol

diri, self-esteem, kebahagiaan, kesehatan

fisik dan mental. Hasil analisis bootsrap

dari pengaruh tidak langsung religiositas

terhadap kebahagiaan menunjukkan

bahwa rentang nilai BootLLCI dan

BootULCI tidak sampai 0 sehingga dapat

diketahui bahwa penyesuaian diri

memediasi pengaruh religiositas terhadap

kebahagiaan secara parsial.

Hasil penelitian ini mendukung

hasil-hasil penelitian sebelumnya terkait

pengaruh religiositas terhadap

penyesuaian diri. Berbagai hasil penelitian

sebelumnya menunjukkan bahwa

pengaruh religiositas terhadap

penyesuaian diri bersifat signifikan. Hal

ini sejalan dengan penemuan-penemuan

sebelumnya (Lesatari & Indrawati, 2017;

Nadzir & Wulandari, 2013; Qomariyah,

2019). Lesatari dan Indrawati (2017)

mengatakan bahwa santri yang memiliki

religiositas yang tinggi akan memiliki

penyesuaian diri yang baik. Dengan

demikian hipotesis pertama penelitian ini

diterima.

Hasil penelitian ini juga

mendukung hasil-hasil penelitian

sebelumnya terkait religiositas memiliki

pengaruh langsung yang signifikan

terhadap kebahagiaan. Penemuan ini

memperkuat pernyataan Eddington dan

Shuman (2005) yang menyatakan bahwa

agama dapat mempengaruhi kebahagiaan

seseorang, dikarenakan agama dapat

memberikan perasaan memiliki makna

dan tujuan (Pollner, dalam Eddington &

Shuman, 2005) dan juga dapat memenuhi

kebutuhan sosial individu melalui

hubungan dan dukungan sosial dengan

orang-orang yang memiliki kepercayaan

yang sama (Gebauer, Sedikides, &

Neberich, 2012; Francis, Ziebertz, & Lewis,

2003). Dengan demikian hipotesis kedua

penelitian ini diterima.

Hasil penelitian ini juga

mendukung hasil-hasil temuan

sebelumnya terkait pengaruh

penyesuaian diri terhadap kebahagiaan.

Hasil-hasill penelitian sebelumnya yang

menyatakan bahwa penyesuaian diri

mempengaruhi kebahagiaan seseorang

(Bazradshan dkk, 2018). Dengan demikian

hipotesis penelitian ini diterima.

Kelemahan dalam penelitian ini

adalah nilai reliabilitas yang rendah pada

salah satu faktor dari skala kebahagiaan,

di mana pada faktor ketiga yang terdiri

dari 3 aitem hanya memiliki nilai alpha

Cronbach sebesar 0,387 (<0.5), yang

menunjukkan bahwa faktor ini tidak

reliabel. Menurut Pallant (2016), nilai

alpha Cronbach sangat sensitif dengan

jumlah aitem. Aitem yang sedikit (di

bawah 10) dapat menghasilkan nilai alpha

yang kecil, atau kurang dari 0.5. Apabila

nilai alpha lebih rendah dari 0.5, maka bisa

dilihat pada nilai mean inter-aitem

correlation (Pallant, 2016). Briggs dan

Cheek (Pallant, 2016) merekomendasikan

rentang inter-aitem correlation sebesar 0,2

. 0,4 untuk hasil yang optimal. Pada ketiga

Subhiyah & Nashori

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 9 of 12

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

aitem ini nilai rata-rata dari inter-aitem

correlation dengan rentang 0,096 . 0,2,84.

Nilai ini menunjukkan bahwa korelasi

antar aitem pada faktor ketiga

kebahagiaan ini rendah. Ketiga aitem ini

berasal dari aspek joy dan self control.

Adanya penggabungan variabel dalam

sebuah faktor dikarenakan adanya

sekumpulan variabel yang memiliki

hubungan kuat dalam satu faktor, dan

tidak memiliki korelasi dengan faktor lain

(Usman & Sobari, 2013). Dikarenakan

skala ini merupakan skala yang diadaptasi

dari bahasa asing, perbedaan budaya dan

bahasa dapat menjadi salah satu alasan

rendahnya reliabilitas pada faktor ini.

Dengan demikian peneliti selanjutnya

dapat menguji kembali alat ukur ini

dengan melakukan penyesuaian pada

aitem-aitem ini agar lebih dapat dipahami

oleh siswa di Indonesia.

PENUTUP

Kesimpulan

Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa penyesuaian diri memiliki peran

sebagai mediator dari pengaruh

religiositas terhadap kebahagiaan santri di

pondok pesantren. Religiositas juga

memiliki pengaruh langsung terhadap

penyesuaian diri dan kebahagiaan santri.

Artinya semakin tinggi religiositas yang

dimiliki oleh santri maka semakin baik

penyesuaian dirinya dan juga perasaan

bahagianya selama di pesantren. Dengan

demikian hipotesis penelitian diterima.

Hasil dari penelitian ini dapat

menjadi acuan bagi pihak pondok

pesantren untuk membantu santri baru

menyesuaikan diri dan meningkatkan

kebahagiaannya selama di pesantren,

dengan meningkatkan ibadahnya dan

kelekatannya dengan Allah.

Saran

Saran untuk peneliti selanjutnya

yaitu: (a) peneliti selanjutnya yang tertarik

dan ingin melakukan penelitian yang

sama perlu mempertimbangkan jumlah

aitem dari alat ukur yang digunakan,

karena jumlah aitem yang terlalu banyak

membuat partisipan jenuh dan tidak

bersemangat dalam menyelesaikan

kuisioner sepenuhnya; (b) peneliti

selanjutnya dapat memperluas jenis

partisipan dalam penelitian, seperti

gender juga usia, dikarenakan dalam

penelitian ini partisipan yang

digunakanan hanya dari santri laki-laki

maka hasil dari penelitian ini kurang

dapat dilakukan generalisasi; (c) peneliti

selanjutnya juga dapat membandingkan

antara siswa yang sekolah di pesantren

dan siswa yang tinggal di asrama namun

tidak sekolah di pesantren, untuk

membandingkan tingkat religiositas dari

keduanya.

Subhiyah & Nashori

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 10 of 12

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

DAFTAR REFERENSI

Abdel-Khalek, A. M. (2019). Religiousity and

Well-Being. Encyclopedia of Personality

and Individual Differences. Cham:

Springer. https://doi.org/10.1007/978-

3-319-28099-8_2335-1

Abu-Raiya, H., Pargament, K. I., Mahoney, A.,

& Stein, C. (2008). A Psychological

measure of islamic religiousness:

Development and evidence for

reliability and validity. The

International Journal for the Psychology of

Religion, 18, 291-315.

https://doi.org/10.1080/1050861080222

9270

Adeline, N. (2017). Adaptasi Alat Ukur

Oxford Happiness Questionnaire.

Skripsi. Medan: Universitas Sumatera

Utara.

Afidah, M. (2017). Pengaruh Self-Efficacy dan

Dukungan Sosial terhadap

Penyesuaian Diri Siswa Baru SMA NU

1 Model Di Pondok Pesantren

Tanwirul Qulub Sungelebak,

Karanggeneng Lamongan. Skripsi.

Malang: Univeristas Islam Negeri

Maulana Malik Ibrahim.

Ancok, D., & Suroso, F. A. (1994). Psikologi

Islami: Solusi Islam Atas Problem-

Problem Psikologi. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Argyle, M., & Crossland, J. (1987). The

dimensions of positive emotions.

British Journal of Social Psychology, 127-

137.

https://psycnet.apa.org/doi/10.1111/j.2

044-8309.1987.tb00773.x

Arif, I. S. (2018). Psikologi Positif: Pendekatan

Saintifik Menuju Kebahagiaan. Jakarta:

Pt Gramedia Pustaka. Baker, R. W., & Siryk, B. (1989). Student Adaptation

to College Questionnaire Manual. Los

Angeles: Western Psychological Services.

Baron, R. M., & Kenny, D. A. (1986). The

moderator-mediator variable

distinction in social psychological

research: Conceptual, strategic, and

statistical considerations. Journal of

Personality and Social Psychology, 1173-

1182.

https://doi.apa.org/doi/10.1037/0022-

3514.51.6.1173

Baroun, K. A. (2006). Relations among

religiosity, health, happiness, and

anxiety for Kuwaity adolescents.

Psychological Reports, 99, 717-722.

https://doi.org/10.2466/pr0.99.3.717-

722

Bazradshan, M. R., Abdi, A., Masmouei, B.,

Kavi, E., Abshorshori, N., Akbari, L., .

. . Zakeri, M. (2018). The relation of

social happiness and adjustment with

vadalistic behavior of the children and

young adults in the families under

supervision of welfare office. Journal of

Clinical and Diagnostic Research, 12 (8),

05-09.

https://doi.org/10.7860/Jcdr/2018/3518

4.11916

Cleveland, R. E., & Sink, C. A. (2018). Student

happiness, school climate, and school

improvement plans: Implications for

school counseling practice. Professional

School Counseling. 21 (1), 1-10.

https://doi.org/10.1177%2F2156759X18

761898

Eddington, N., & Shuman, R. (2005). Subjective

Well-Being (Happiness). San Diego:

Continuing Psychology Education.

https://www.texcpe.com/html/pdf/ca/

ca-happiness.pdf

Francis, L. J., Ziebertz, H.-G., & Lewis, C. A.

(2003). The relationship between

religion and happiness among

German students. Pastoral Psychology,

51 (4), 273-281. DOI:

10.1023/A:1022529231234

Gebauer, J. E., Sedikides, C., & Neberich, W.

(2012). Religiosity, social self-esteem,

and psychological adjustment: On the

cross-cultural specificity of the

psychological benefits of religiosity.

Psychological Sciece, 23 (2), 158-160.

Subhiyah & Nashori

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 11 of 12

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

https://doi.org/10.1177%2F0956797611

427045

Graham, J., & Haidt, J. (2010). Beyond belief:

Religions bind individual into moral

community. Personality and Social

Psyhology Review, 14 (1), 140-150.

https://doi.org/10.1177%2F1088868309

353415

Grama, B. (2018). The student adaptation to

college questionnaire (SACQ) for use

with Romanian students. Psihologia

Resurseor Umane Revista Asociatiei de

Psihologie Indusstriala si

Organizationala, 16 (1), 16-26.

https://psycnet.apa.org/doi/10.1037/t0

6525-000

Hayes, R; Sabapathy, K; Fidler, S (2011)

Universal Testing and Treatment as an

HIV Prevention Strategy: Research

Questions and Methods. Current HIV

research, 9 (6). pp. 429-45. ISSN 1570-

162X

Hossain, M. Z., & Rizvi, M. A. (2017).

Relationship between religious belief

and happiness in Oman: a statistical

analysis. Mental Health, Religion &

Culture, 781-790.

https://doi.org/10.1007/s10943-016-

0332-6

Hurlock, E. B. (2002). Psikologi Perkembangan:

Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang

Kehidupan. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Joodat, A. S., & Zarbakhsh, M. (2015).

Adaptation to college and

interpersonal forgiveness and the

happiness among the university

students. Practice in Clinical Psychology,

3 (4), 243-250.

http://applications.emro.who.int/ime

mrf/J_Pract_Clin_Psychol/J_Pract_Cli

n_Psychol_2015_3_4_243_250.pdf

Lesatari, D., & Indrawati, E. S. (2017).

Hubungan antara religiusitas dengan

penyesuaian diri pada siswa dan siswi

kelas VII Yayasan Pondok Pesantren

Futuhiyyah Mraggen Kabupaten

Demak. Jurnal Empati, 6 (04), 307-312.

https://ejournal3.undip.ac.id/index.ph

p/empati/article/download/20098/189

68

Mahudin, N. D., Noor, N. M., Dzulkifli, M. A.,

& Janon, N. S. (2016). Religiosity

among muslims: A scale development

and validation study. Makara Hubs-

Asia, 20 (2), 109-120.

https://doi.org/10.7454/mssh.v20i2.349

2

Mundzir, M. F. (2014). Religiusitas dan

Kebahagiaan Pada Santri Pondok

Pesantren.Skripsi. Yogyakarta:

Universitas Islam Negeri Sunan

Kalijaga.

Nadzir, A. I., & Wulandari, N. W. (2013).

Hubungan religiusitas dengan

penyeusaian diri siswa pondok

pesantren. Jurnal Psikologi Tabularasa, 8

(02), 698-707.

http://jurnal.unmer.ac.id/index.php/jp

t/article/view/213/84

Nashori, F. (2011). Kekuatan karakter santri.

Millah, 11 (1), 203-219.

https://journal.uii.ac.id/Millah/article/

view/5092/4501

Pallant, J. (2016). SPSS Surviving Manual: A

Step by Step Guide to Data Analysis

Using IBM SPSS (6th Edition). New

York: McGraw Hill Education.

Pritaningrum, M., & Hendriani, W. (2013).

Penyesuaian diri remaja yang tinggal

di Pondok Pesantren Modern Nurul

Izzah Gresik pada tahun pertama.

Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial,

02 (03), 141-150.

http://journal.unair.ac.id/filerPDF/jpks

417dbf33fb2full.pdf

Qomariyah, S. (2019). Hubungan Religiusitas

dengan Penyesuaian diri pada

satriwati di pondok pesantren

mahasiswi Al-Husna Jember. Skripsi.

Jember: Universitas Jember.

Rahma, A. (2016). Hubungan Antara

Penyesuaian Diri dengan Kemandian

belajar siswa kelas X SMA Exceller Al-

Subhiyah & Nashori

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 12 of 12

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

Yasini yang Tinggal di Pondok

Pesantren. Skripsi. Malang: Universitas

Islam Indonesia Maulana Malik

Ibrahim.

Rahmawati, W., Saragih, J. I., & Adeline, N.

(2016). Psychometric properties of

Indonesian version of the Oxford

Happiness Questionnaire. Advances in

Health Science Research, 5(1), 229-232.

Roessler, J., & Gloor, P. A. (2020).

Measuring happiness increases

happiness. Journal of Computational

Social Science, 1-25. DOI:

10.1007/s42001-020-00069-6

Rusman A. A. (2019). Relationship

Between Religiosity and

Happiness: The Mediationg Role of

Self Control, Self-Regulation, and

Life Satisfaction. Disertasi. Pulau

Penang: Universiti Sains Malaysia

Salsabila, D.F., Rofifah, R., Natanael, Y. &

Ramdani, Z. (2019). Uji Validitas

Konstruk Indonesian-

Psychological Measurement of

Islamic Religiousness (I-PMIR).

Jurnal Psikologi Islam dan Budaya,

2(2), 77-86.

Usman, H., & Sobari, N. (2013). Aplikasi Teknik

Multivariate. Jakarta: Rajawali Press

https://ejurnal.lp2msasbabel.ac.id/index.php/psc

Vol. 3, No. 1, June (2021)

ISSN (Online): 2721-2564

https://doi.org/10.32923/psc.v3i1.1698

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 13 of 11 © Psychosophia, 2021

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

Review Date ; April 21, 2021

Revision Date : May 21, 2021

Accepted Date : May 25, 2021

Publish Date : June 2, 2021

THE PERCEPTION OF SOCIETY ON JUDICIAL CANING

AS THE IMPLEMENTATION OF QANUN JINAYAH

(PSYCHOLOGICAL PERSPECTIVE)

Nurbaiti*

Department of Psychology, Syiah Kuala University, Indonesia

[email protected]

Haiyun Nisa

Department of Psychology, Syiah Kuala University, Indonesia

[email protected]

Abstract: The implementation of a rule and form of punishment to create a safe and prosperous

society will have an effect and impact on the fabric of society life. The implementation of judicial

caning stipulated in the Qanun Jinayah has gained diverse views from the society. The purpose of

this study was to determine how society's perceptions of the implementation on judicial caning. This

study used a qualitative method with observation and focus group techniques. A total of 31 people

from 3 (three) regions in Banda Aceh City were selected as research respondents using purposive

sampling techniques. The results point out that the perceptions that arise from the society are

influenced by knowledge and views on judicial caning and its implementation as well as the

psychosocial conditions of the society. The society does not quite understand the nature of Jinayah

law, the purpose of punishment, and the order as well as the law to be realized. On the other hand,

the society also considers that judicial caning can provide a deterrent effect and learning to the

society so that it does not violate on the Sharia law.

Keywords: Caning, Perception, Qanun Jinayah, Society

* Corresponding Author

Nurbaiti & Nisa

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 14 of 11

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

INTRODUCTION

The society of Aceh is known as

religious communities which make

Islamic Sharia as the basis and standard

for managing life in the various aspects.

All dimensions of society life are regulated

by Islamic Sharia law, it is due to the

implementation of religious life which is

realized in the form of Islamic Sharia is

carried out in a kaffah or comprehensively

(Abbas, 2011).

The Law on Aceh Government

requires regional regulations or Qanun in

the context of implementing Islamic

Sharia (Dinas Syariat Islam Aceh, 2015).

Qanun according to statutory regulations

is a kind of Regional Regulation (Perda)

which regulates the administration of

government and the society life of Aceh

(Pemerintahan Aceh, 2014). One of the

Qanun fields is related to the

administration of the society life in Aceh

includes Sharia legal material or criminal

law that was equipped in Aceh Qanun

Number 6 of 2014 concerning Jinayat Law

(Ulya, 2016).

Aceh Qanun Number 6 Year 2014

regulates the perpetrators of violations of

Islamic Sharia, acts or forms of violations

of Islamic Sharia (jarimah), and the threats

that can be imposed on the perpetrators of

�������1 û�������üï1 Jarimah includes

adultery, qadzaf, rape, sexual harassment,

khamar, maisir, khalwat, ikhtilath, liwath, and

musahaqah (Dinas Syariat Islam Aceh,

2015). Mahdi (2011) added that the form of

punishment for the perpetrators of jarimah

is imprisonment, fines and or judicial

caning.

The implementation of the Qanun

Jinayah raises the pros and cons in various

circles both academics, practitioners and

ordinary people especially related to the

process of implementing judicial caning

given to the violators of Islamic Sharia.

These problems have not only arisen in the

regions, but also at the national and even

international level. As the refusal of the

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR),

an institution that firmly creates resistance

with many writings contained in online

media.

The ICJR urges the Government of

Indonesia to immediately take evaluative

steps to eliminate all forms of corporate

criminality in its laws and regulations, and

declare that juridical caning is proven to

be useless (Institute for Criminal Justice

Reform, 2017).

Reports on the controversy of

judicial caning in Aceh were also

published in Voice of America (VOA)

Indonesia on May 24, 2017. The rejection

from the Amnesty International Director

for Southeast Asia and the Pacific, Josef

Benedict has condemned the punishment

and called it as the violation of

international human rights law. The

global society is encouraged to emphasize

Indonesia in order to create a safer

environment for the LGBT society before

the situation worsens, and it is stated that

no one should be punished for a

relationship of love (Mazrieva, 2017).

Based on preliminary studies

conducted by researcher, it is obtained

some information presented in the

interview excerpt as follows:

"For me, the punishment of judicial

caning will have a learning effect for

many parties, not only violators but

also others so as to prevent violations of

Islamic Sharia"

(Personal Interview), 11/15/2016,

R/35 Years).

Nurbaiti & Nisa

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 15 of 11

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

"In my opinion the good and bad short-

term deterrent effect, but, if the long

term will cause revenge. Generally, the

form is remorse but an effect on the

environment could be that he is very

isolated and not confident. " (Personal

interview, 14/11/11, G/23 Years).

The pro and con are shown by

those who support and those who lead to

the rejection of the implementation of

judicial caning as a form of the

implementation of the Law of Qanum

Jinayat in Aceh (Dinas Syariat Islam Aceh,

2015). The pro and con are stronger after

the enactment of Aceh's Governor

Regulation (Pergub) No. 5 of 2018

concerning the implementation of the

jinayat procedural law and contains the

rules for implementing judicial caning in

the Penitentiary.

The implementation of judicial

caning is expected to reduce violations of

the Islamic Shari'a in Aceh, but the

implementation of judicial caning has

caused different society reactions. This is

efffected by the individual's acceptance of

a stimulus or event, besides this

acceptance will further affect the

perception or assessment of individuals

and society. Perception is the process of

receiving stimuli (objects, qualities,

relationships between symptoms, and

events) which are then realized and

understood (Irwanto, 2002).

The diverse perceptions from the

society can be formed from knowledge

and expectation, and can be strengthened

by affection reactions (Blake, 2006). This

can be seen from the following interview:

"Yesterday, when I saw the

implementation in front of the crowd, I

was a little disappointed because there

was a reading of the curriculum vitae,

to the origin and name of the parents,

for the process, I agreed, but for the

systematic implementation, it needed

to be improved." (15 / 10/2018, M / 20

Years).

The diverse view and perception of

the society regarding judicial caning can

be caused by many parties do not yet

properly understanding about the nature

of jinayah law, the purpose of

punishment, and order as well as the

Shari'a that they want to realize by

enforcing jinayah law. In addition, there is

a lack of knowledge and information

about the process of implementing judicial

caning. The urgency of this study is to find

out the society's views on judicial caning

which can then formulate

recommendation to stakeholders

regarding the implementation of judicial

caning and reveal the phenomenon of

local wisdom in Aceh.

LITERATURE REVIEW

Perception

According to Goldstein (2013),

perception is the process of observer in

applying its knowledge to draw

conclusions about whether the object

through all that is seen, heard, felt,

smelled made by the mechanism of sense

organs. Perception as a series of processes

that begin with environmental stimulus

and end with perception, recognition, and

action, the whole process is dynamic and

constantly changing.

According to Goldstein (2013) there

are a series of processes that occur before

individuals produce interpretations and

react to what is captured by the senses.

The process consists of three main

components, namely:

Nurbaiti & Nisa

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 16 of 11

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

a. Stimulus: stimulus is what is in the

environment, what attracts individual

attention and what stimulates receptors

(cells that are sensitive to stimuli).

Everything that is in the environment

and has the potential to attract the

attention of individuals and it is

mentioned as the environmental

stimulus and when one of the stimulus

is the focus of individual attention, the

stimulus is called as attended stimulus.

b. Physiological Process: the stimulus that

becomes the focus of attention and then

transformed and transmitted to the

brain. One of the basic principles of

perception is everything that an

individual perceives is based on signals

in the nervous system.

c. Behavioral Response: individual

perceives a stimulus that is the object of

perception after being processed in the

brain. What is perceived by individuals

determines individual reactions and

actions to perceived stimulus.

Goldstein (2013) states that perception

is influenced by knowledge factors.

Goldstein further explains that

knowledge in the context of perception are

matters that are known by individuals in

connection with stimuli and it affects on

the perceptual situations. Perception is a

process that involves psychological and

physiological processes, therefore, it is

necessary to know on how knowledge,

memories, and expectations of individuals

related to the situation perceived.

Caning

Aceh is the only province in the

Unitary State of the Republic of Indonesia

(NKRI) which, under the special

autonomy law, has full authority to

implement the Islamic Sharia with the

establishment of a number of regional

regulations for the province known as

Qanun (Fikar & Mutiarin, 2014). Judicial

caning is one type of punishment

contained in Qanun Aceh Number 6 of

2014 concerning Jinayah Law. Judicial

caning referred to in the Jinayah Qanun is

a bat with a diameter of 0.75 cm to 1 (one)

centimeter, length of 1 (one) meter and it

does not have double or split ends

(Zainuddin, 2011). Whereas the judicial

caning in Arabic is called jald derived from

the word jalada (hitting on the skin or

hitting with a whip made of leather)

(Jabbar & Hanum, 2018).

The Perception of Society on Judicial

Caning

Perceptions that arise from the society

towards the implementation of judicial

caning are classified into two parts,

namely positive, it means that the

agreement on the implementation of

judicial caning and negative perceptions

that only see from the bad side of judicial

caning (Abubakar, 2012).

The implementation of Shari'a is seen

as having the potential to protect the

society of Aceh and facilitate its

integration into Indonesia's national

culture, including te particularly on the

experience of the rise of Islam (Feener,

2013).

Sanctions in the form of punishment

for learning and making people deterrent

from repeating their actions. The different

perceptions of the implementation of

judicial caning are certainly based on

perceptual factors that affect each

individual.

Judicial caning in Aceh is carried out

in the open, witnessed and exhibited to the

general public (Ablisar, 2014). The

Nurbaiti & Nisa

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 17 of 11

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

execution of judicial caning certainly

provides many distinctive views from the

public, both those who carry out judicial

caning, those subject to punishment, and

the audience. Judicial caning carried out in

accordance with Islamic Sharia is expected

to give a deterrent effect to the society and

only provide temporary physical pain, it

does not cause permanent injury,

especially on open body parts (Surbakti,

2010). The society perception of judicial

caning is determined by understanding

and knowledge of society in which it is

influenced by social and cultural

backgrounds that are formed through the

socialization process of values and norms

that develop (Ananda, 2016). The society

wants the implementation of Islamic

Sharia and the implementation of judicial

caning to continue in Aceh in the future.

However, some people are still unfamiliar

with the implementation of judicial caning

(Sumiadi & Faisal, 2008).

RESEARCH METHOD

This study used a qualitative-

phenomenological method with a

Psychophysical approach that explained

about how the relationship of stimulus

and behavioral response and how other

factors such as knowledge, memory, and

expectations of the situation effect on

perception (Goldstein, 2013). The

respondent consisted of 31 people from

generap public in the 3 areas of Banda

Aceh, they were selected with purposive

sampling technique. Characteristics of

research respondents, namely 1) Men /

Women, 2) Ages 20-55 years, 3) Minimum

education of high school graduates /

equivalent, 4) Working / Not Working, 5)

The society in the area of the judicial

caning is carried out. This research was

conducted in Gampong Rukoh, Gampong

Lamgugob and Gampong Lueng Bata. The

data collection was conducted by

observation and FGD techniques. Data

analysis was undertaken using an

interactive model that refers to the

theories of Miles and Huberman (1994),

consisting of the stages of data collection,

data reduction, data display, and

conclusion or verification.

RESULT

Knowledge assessment is carried

out prior to focus group discussions to

measure the level of society knowledge

related to judicial caning and the

implementation of the Qanun jinayah. The

societies from three (3) regions in Banda

Aceh City involved as research

respondents (a total of 31 people) have a

percentage of knowledge that can be seen

in Table 1.

Table 1

Level of Society Knowledge on Judicial

Caning

Regions The Percentage of

Society Knowledge

Gampong Lamgugob 57%

Gampong Rukoh 41%

Gampong Lueng Bata 26%

Mean 41%

Based on the knowledge

assessment from the three groups of

respondents, it indicates that the average

level of society knowledge of the three

regions is 41%. These results point out that

the public does not yet have sufficient

knowledge and comprehensive

understanding regarding the

implementation of judicial caning and

Qanun Jinayah.

Nurbaiti & Nisa

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 18 of 11

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

Table 2

Comparison between respondents The Component of

Perception

Respondent

Group I (LB)

Respondent

Group II (LG)

Respondent

Group III (RK)

Stimulus Never witness directly

the process of judicial

caning

Witness judicial caning

more than once

Witness judicial caning

directly

The lack of an

information about the

judicial caning. The

information gained is

merely from mass media

Know about the judicial

caning because they have

ever watched directly

Gain an information about

judicial caning directly

The lack of socialization

Obtain the socialization

from the government

Behavioral

Response

Discover about one type

of violation of Islamic

Sharia that can be

imposed to judicial

caning

Discover about the

implementation of judicial

caning and some types of

violations of Islamic

sharia which can be

imposed to judicial caning

Discover about the judicial

caning that imposed on

perpetrators of adultery

and khalwat

Feel a scare and sad so

that they do not witness

the judicial caning.

Feel sad and pity during

watching the judicial

caning.

The society is involved in

preventing violations of the

Islamic Sharia by the Team

Tamar..

The implementation of

judicial caning has not

been effective enough

because of several

shortcomings in its

implementation

Feel the execution

procedure is not optimal.

The lack of seriousness of

the executor in

implementing the judicial

caning policy

Not effective enough

because it is not in

accordance with religious

guidance and there are still

many shortcomings in the

implementation process.

Judicial caning received

by violators of Islamic

Sharia is not equal with

the mistakes that the

violators have carried

out

The punishment given to

the convicted person has

not been equal because it

is not in accordance with

Islamic provision

The punishment given to

the convicted person has

not been worth it

The benefits of judicial

caning is as a learning

Judicial caning is a lesson

for others. Judicial caning

has a better impact than

imprisonment

Judicial caning provides

education and learning as

well as benefits to other

societies in order to not

violate the Islamic Sharia

and not to embarrass the

convicted

Justice needs to be applied

in the presence of

evidence and thorough

investigation before the

execution of the

punishment

It is necessary to apply

justice and the

implementation of

punishment to all people

Nurbaiti & Nisa

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 19 of 11

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

The following results of group discussions

with society from three regions in Banda

Aceh, namely:

1. The process of judicial caning is very

influential in the development of

children who witness the execution of

judicial caning directly.

2. The clear rules must be enforced in the

process of judicial caning.

3. The deterrent effect and learning for

violators and others.

4. The convicted of judicial caning needs

a psychological rehabilitation.

5. Socialization from the party of the

Islamic Sharia implementation is still

lacking so that it causes a lack of

society knowledge related to the

provisions and the system of

implementing on judicial caning.

Knowledge is limited to general

information such as certain types of

violations of Islamic law.

6. The tendency of injustice and

consistency in the enforcement of

Islamic Law. It is expected to not

record and spread the process of

execution of judicial caning to social

media.

8. It is essential for having earlier

education from family that can

prevent violations of Islamic Sharia.

9. Control function with the TAMAR

Team as a supervisor and prevent

violations of Islamic Law.

10. Some people avoid watching the

judicial caning execution due to feel a

pity and compassion.

The results obtained are then

categorized into several themes / aspects

and analyzed from psychological reviews,

as in Table 3.

Table 3

Themes of Research Results (Psychological

Review)

Element Research Themes

Cognitive

Knowledge and understanding

about Judicial caning and Qanun

Jinayah

Justice and consistency in

enforcement of the punishment

The importance of psychological

rehabilitation for convicts who are

imposed to judicial caning

The impact of the judicial caning

process is witnessed directly by

children

Affection Society reactions and responses

Feel compassion for the convict

who is imposed to judicial caning

Conative The role of the society in

preventing violations of Islamic

Sharia

The function of the environment

control is to prevent violations of

Islamic Law

DISCUSSION

The implementation of judicial

������1�������1��1���1�¢������1��1������¢��1

behavior in Aceh. The lack of society

support for the implementation of Islamic

Sharia as a whole in all aspects of life

becomes a challenge (Muzakkir, Thaib,

Suhaidi, & Abdullah, 2017). Various

society perceptions of judicial caning are

��������1 �¢1 ������¢��1 ��� �����1 ���1

understanding of the enforcement of

Islamic Sharia with the implementation of

judicial caning as the form of applying

Qanun Jinayat. Knowledge is a learning

process and a reinforcing factor that

effects on individual behavior that can be

sourced from family, society and mass

media (Myers, 2012). This is in line with

information obtained from research

respondents that socialization regarding

the implementation of Islamic Sharia

Nurbaiti & Nisa

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 20 of 11

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

needs to be continuously carried out with

various alternative media, both directly

and through other media.

The implementation of Islamic law

requires the role of all parties. Ulya (2016)

argues that the government is responsible

for providing understanding to the

society. The family and the environment

also have an important role in the process

of delivering information related to the

implementation of Islamic Sharia,

especially about the judicial caning for

violators of the Qanun Jinayah. The family

is the beginning of Islamic Sharia

education so that children have an early

awareness that individuals have rules of

life (Sutrisno, 2016).

Muhammadin, Wicaksono, Sari,

and Ayutama (2019) argues that the

judicial caning is a persecution is

incorrect. Danial (2012) states that the

deterrent effect can provide a decrease in

the number of violators of Islamic Sharia

because the convict is regret for its actions

and feels ashamed of being publicly

punished). In addition, the purpose of

judicial caning is carried out openly in the

presence of the society in order to prevent

similar acts and as learning for the whole

societies (Safinah, 2016). Judicial caning

can affect the psychological condition of

the convicted person. This is a challenge

issue in the implementation of Sharia by

the government in Aceh (Taylor, 2015).

The process of returning to family and

society is also not yet integrated enough so

that convicts who violate the Shari'a may

feel excluded from their environment and

cannot return to be a normal life. The

process of recovery and rehabilitation has

not yet been carried out even though this

has been stated in the Qanun Jinayah. The

psychological condition when the violator

returns to the community, it needs to be

considered so that the convicted person

can be accepted in their environment

(Sutrisno, 2016).

CONCLUSION

The diverse view and perception of

the process of judicial caning for violators

of Islamic Sharia in Aceh in which it is

strongly effected by the people's

knowledge and understanding on the

Qanun Jinayah. The principle of fairness

and consistency in enforcing the rules also

affect the society's judgment. The variety

of view and perception of judicial caning

can affect society's behavior.

The various behaviors that often

emerge toward the judicial caning are

documenting the process of judicial

caning and spreading it through social

media; inviting the children to witness the

process of judicial caning; shouting/

blaspheming the violator who is punished

of judicial caning and various other

behaviors.

The mechanism in the process of

execution of judicial caning is important to

minimize the psychological impact,

especially for children. The deterrent

effect and shame provide learning process

to individuals and other societies in order

to not violate Islamic Sharia. Society care

and strengthening community capacity,

and the support and the role of the family

as the pioneer can prevent violation of

Islamic Sharia.

Some suggestions from the results

of this study are: 1) For further researchers

can conduct further research by adding

respondents from the society who have

been convicted of judicial caning and

expanding the research area. 2)

Recommendation to the government

Nurbaiti & Nisa

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 21 of 11

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

namely to carry out continuous

socialization of the implementation of

Islamic Sharia on the society. The

preparation of psycho-education modules

to the society related to preventive

programs, so as to minimize the number

of violations of Islamic Sharia.

Strengthening the capacity of

families and societies as a function of

social control. The need to enforce the

rules when the execution of judicial caning

in anticipating the involvement of

children. In addition, there is a need for

psychological rehabilitation mechanisms

for the convicted of judicial caning before

and after judicial caning.

Nurbaiti & Nisa

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 22 of 11

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

REFERENCES

Abbas, S. (2011). Dimensi pemikiran hukum

dalam implementasi Syariat Islam di

Aceh. Aceh: Dinas Syariat Islam

Aceh.

Ablisar, M. (2014). Relevansi hukuman

cambuk sebagai salah satu bentuk

pemidanaan dalam pembaharuan

hukum pidana. Jurnal Dinamika

Hukum, 14 (2), 278-289.

Abubakar, A. (2012). Kontroversi

hukuman cambuk. �����1�¢������, 14

(1), 65-95.

Ananda, R. R. (2016). Persepsi masyarakat

terhadap pelaksanaan hukum

cambuk di Kota Banda Aceh. Skripsi

(tidak diterbitkan). Fakultas FISIPOL

Universitas Syiah Kuala.

Blake, R., & Sekuler, R. (2006). Perception.

New York: McGraw Hill.

Danial. (2012). Qanun Jinayah Aceh dan

perlindungan HAM (kajian yuridis-

filosofis). Jurnal Kajian Hukum Islam,

6 (1), 85-98.

�����1�¢������1�����1����ï1ûXVW[üï1Hukum

jinayah dan hukum acara jinayah.

Banda Aceh: Naskah Aceh.

Feener, F. M. (2013). Social engineering

�������1 �������ñ1 �������1 �� 1 ���1

state-��������1 ��� �1 ��1

contemporary Aceh. Indonesia Law

Review, 3 (3), 285-310.

Fikar, M., & Mutiarin, D. (2014). Tata

kelola kebijakan Qanun Nomor 13

Tahun 2003 Tentang Maisir

(Perjudian) di kabupaten Gayo Lues

provinsi Aceh. Jurnal Ilmu

Pemerintahan dan Kebijakan Publik, 1

(3), 548-572.

Goldstein, E. B. (2013). Sensation and

perception (9th ed.). USA: Wadsworth

Cengage Learning.

Institute for Criminal Justice Reform.

(2017). Hukuman cambuk mencoreng

wajah hak asasi manusia di Indonesia.

Retrieved April 28, 2018, from

http://icjr.or.id/hukuman-cambuk-

mencoreng-wajah-hak-asasi-

manusia-di-indonesia/.

Irwanto. (2002). Psikologi umum (buku

panduan mahasiswa). Jakarta: PT.

Prehallindo.

Jabbar & Hanum, Z. (2018). Pengawasan

pelaksanaan uqubah cambuk.

Legitimasi, 7 (2), 265-283.

Mahdi. (2011). Sistem hukum penegakan

Qanun Jinayah di Aceh. Media

Syariah, 13 (2), 179-192.

Mazrieva, E. (2017). Kontroversi hukuman

cambuk di Aceh. VOA Indonesia.

Retrieved April 28, 2018, from

https://www.voaindonesia.com/a/ac

eh-hukum-cambuk-pasangan-gay-

/3867986.html.

Miles, M. B., & Huberman, A. M. (1994).

Qualitative data analysis: An expanded

sourcebook (2nd ed.). Thousand Oaks,

CA: Sage Publications.

Muhammadin, F. M., Wicaksono, D. A.,

Sari, A. C. F., & Ayutama, O. A.

(2019). Lashing in qanun Aceh and

the convention against torture: A

critical appraisal. Jurnal Media

Syariah, 7 (1), 11-24.

Muzakkir, Thaib, H., Suhaidi, & Abdullah,

Z. (2017). Implementation of law in

Aceh after application Qanun

Jinayah. International Journal of

Humanities and Social Science

Invention, 6 (9), 1-7.

Myers, D. G. (2012). Social psychology.

(Aliya Tusyani, Trans). Jakarta:

Salemba Humanika.

Pemerintahan Aceh. (2014). Indeks Hukum

Qanun. Retrieved April 28, 2018,

Nurbaiti & Nisa

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 23 of 11

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

from

https://www.acehprov.go.id/hukum

/category/2.html.

Peraturan Gubernur Aceh Nomor 5 Tahun

2018 Tentang Pelaksanaan Hukum

Acara Jinayat.

Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014

Tentang Hukum Jinayat. Dinas

Syariat Islam Aceh. Retrieved April

28, 2018, from

https://dsi.acehprov.go.id/wp-

content/uploads/2017/02/Qanun-

Aceh-Nomor-6-Tahun-2014-

Tentang-Hukum-Jinayat.pdf.

Safinah. (2016). Sanksi hukum terhadap

perbuatan liwath dengan anak di

bawah umur. Jurnal Petita, 2 (2): 192-

213.

Sumiadi & Faisal. (2008). Persepsi

masyarakat terhadap pemberlakuan

hukum cambuk di wilayah Kota

Lhokseumawe dalam rangka

penerapan Syariat Islam yang kaffah

di Nanggroe Aceh Darussalam.

Jurnal Suloh, 6 (2), 97-174.

Surbakti, N. (2010). Pidana cambuk dalam

perpektif keadilan hukum dan hak

asasi manusia di Provinsi Nanggroe

Aceh Darussalam. Jurnal Hukum, 3

(7), 456-474.

Sutrisno, I. H. (2016). Case study roles of

Islamic law in the perspective of

sociological the community Langsa.

Journal of Research in Humanities and

Social Science, 4 (9), 69-78.

Taylor, R. (2015). Syariah as heterotopia:

Responses from muslim women in

Aceh, Indonesia. Religions, 6 (2), 566-

593.

Ulya, Z. (2016). Dinamika penerapan

hukum jinayah sebagai wujud

������������1�¢������1�����1��1����ï1

Jurnal Rechtsvinding, 5 (1), 135-148.

Zainuddin, M. (2011). Problematika

hukuman cambuk di Aceh. Banda

Aceh: Dinas Syariat Islam Aceh.

https://ejurnal.lp2msasbabel.ac.id/index.php/psc

Vol. 3, No. 1, June (2021)

ISSN (Online): 2721-2564

https://doi.org/10.32923/psc.v3i1.1651

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 24 of 12 © Psychosophia, 2021

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

Review Date ; April 23, 2021

Revision Date : May 21, 2021

Accepted Date : May 25, 2021

Publish Date : June 3, 2021

PENGARUH EFIKASI DIRI TERHADAP BURNOUT

DAN PERBEDAANNYA BERDASARKAN GENDER (STUDI EMPIRIS PADA MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI)

Sarah Ulfa

Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Jakarta, Indonesia

[email protected]

Melani Aprianti*

Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Jakarta, Indonesia

[email protected]

Abstract: This study aims to provide empirical evidence about the effects of Self Efficacy on

Burnout. This study also wants to prove the difference level of Burnout based on Gender. The

research data is the primary data that are obtained through the distribution of questionnaires to the

respondents. The respondents were selected by using disproportionate stratified random sampling

method. This study uses a quantitative method with 212 respondents which are students of faculty

of psychology in X University Jakarta. Hypothesis testing using simple regression test and

independent sample T test. The results revealed that Self Efficacy have positive effect on Burnout.

Differences in burnout based on gender can not be proven through the results of this study.

Keywords: Self Efficacy, Burnout, Gender.

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk memberikan bukti empiris tentang pengaruh

Efikasi Diri terhadap Burnout. Penelitian ini juga ingin membuktikan perbedaan tingkat

Burnout berdasarkan gender. Data penelitian adalah data primer yang diperoleh melalui

penyebaran kuesioner kepada responden. Para responden dipilih dengan menggunakan

metode stratified random sampling tidak proporsional. Penelitian ini menggunakan

metode kuantitatif dengan 212 responden yang merupakan mahasiswa yang kuliah sambil

bekerja di fakultas Psikologi di Universitas X Jakarta. Pengujian hipotesis menggunakan

uji regresi sederhana dan uji T sampel independen. Hasil penelitian mengungkapkan

bahwa Efikasi Diri memiliki pengaruh terhadap Burnout. Perbedaan Burnout berdasarkan

jenis kelamin tidak dapat dibuktikan melalui hasil penelitian ini.

Kata kunci: Efikasi Diri, Burnout, Gender.

* Corresponding Author

Ulfa & Aprianti

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 25 of 12

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

PENDAHULUAN

Munculnya fenomena peningkatan

jumlah individu yang ingin melanjutkan

pendidikan ke jenjang perkuliahan

dikarenakan menyebarnya persepsi

dimasyarakat bahwa lulusan S1 pada

umumnya memiliki taraf yang lebih tinggi

dalam hal jenjang karir maupun ekonomi,

sehingga membuat tidak sedikit orang

yang ikut serta mengambil bangku

perkuliahan demi menghadapi situasi dan

perubahan yang muncul dalam hidupnya

(Nasa dan Sharma, 2014). Akan tetapi,

beberapa orang juga harus menjalani

kuliah sambil bekerja demi memenuhi

kebutuhannya.

Kondisi ini akan menghasilkan

tekanan berlebih yang membuat individu

sulit untuk melakukan perannya dengan

baik sebagai karyawan sekaligus

mahasiswa dalam satu waktu, sehingga

menimbulkan ketidakseimbangan akibat

terbatasnya sumber daya dan tanggung

jawab individu yang kian meningkat (Ilic,

Khamisa, Oldenburg dan Peltzer, 2015).

Pada situasi tertentu, saat kesulitan atau

penderitaan tidak dapat dihindari,

individu yang memiliki ketahanan diri

dapat mengatasi berbagai permasalahan

kehidupan dengan cara mereka ( Syaiful

dan Haztika, 2018). Sebaliknya, bila tidak

mengatasi, masalah yang membebani ini

beresiko menimbulkan Burnout.

Maslach and Leiter dalam

Wardani dan Firmansyah (2019)

menyebutkan bahwa burn out adalah

keadaan psikologis yang merupakan

respon akibat stress kronis yang

berkepanjangan. Burn out ditandai

dengan kelelahan yang ekstrim, merasa

sinis terhadap tugas, merasa tidak mampu

dan tidak berhasil. Hasil penelitian

Wardani dan Firmansyah (2019)

menunjukkan bahwa burnout dapat

membuat persepsi seseorang terhadap

keseimbangan hidup dan kerja berkurang.

Burnout dapat muncul dalam bentuk

kelelahan fisik, mental dan emosi yang

berat. Proses psikobiologis terlibat ketika

seseorang mengalami burn out yang

muncul dalam bentuk symptom fisik

seperti kehilangan fokus, keluhan nyeri

dan rentan terhadap sakit (Wardani dan

Firmansya, 2019).

Jackson dan Maslach dalam

Canadas, Fuente, Garcia, Luis dan Vargas

(2013) menggambarkan Burnout sebagai

hasil dari stres kronis yang berhubungan

dengan pekerjaan. Burnout terdiri atas tiga

komponen atau dimensi, yaitu emotional

exhaustion (kelelahan emosi),

depersonalization (depersonalisasi), dan

reduced personal accomplishment

(penurunan prestasi individu). Kelelahan

emosi mengacu pada beban fisik dan

emosional yang dihasilkan dari kondisi

pekerjaan individu.

Leiter, Maslach dan Schaufeli

(2009) menyatakan Burnout pada pekerja

muncul sebagai konsep penting pada

tahun 1970-an. Hal itu mengungkap

sesuatu yang sangat kritis tentang

pengalaman orang-orang dengan

pekerjaannya. Burnout telah menjadi

konsep yang nyata terjadi di antara

individu masa kini. Sejak awal, Burnout

telah mendapat pengakuan bersama

sebagai masalah sosial yang layak

mendapat perhatian lebih lanjut untuk

melakukan perbaikan. Karena pengakuan

ini telah menyebar ke berbagai negara lain

di luar Amerika, Burnout telah menjadi

fenomena global yang penting. Hal ini

telah menginspirasi peneliti untuk

melakukan penelitian lebih mendalam

tentang apa itu Burnout dan mengapa

Ulfa & Aprianti

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 26 of 12

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

Burnout bisa terjadi. Peneliti juga tertarik

untuk mencari tahu perbedaan Burnout

berdasarkan gender.

Burnout menurut Maslach,

Schaufeli dan Leiter (2009) merupakan

sindrom dari kelelahan emosional,

depersonalisasi, dan kurangnya

pencapaian personal yang terjadi akibat

jangka panjang dari stres dan emosi yang

akut pada individu. Pada dasarnya stres

merupakan hal yang tidak dapat

dihindari, akan tetapi stres yang

berlebihan dapat berakibat fatal hingga

menyebabkan penyakit yang beragam

seperti penyakit jantung, stroke, tekanan

darah tinggi, migrain, sakit maag, dan

ataupun ketidaknyamanan yang tidak

diinginkan lainnya (Jankome, Mangori

dan Ritacco, 2013). Pada mahasiswa yang

sambil bekerja, hal ini tentunya tidak bisa

dibiarkan berkepanjangan dan harus

segera di tangani karena dapat

menyebabkan individu kehilangan

semangat dan tidak produktif dalam

menyelesaikan tugas perkuliahan

maupun pekerjaannya. Individu

memerlukan strategi untuk

menanggulangi ataupun mengurangi

dampak stress tersebut. Dengan adanya

Efikasi Diri, memungkinkan individu

untuk mengelola stres dalam kehidupan

mereka.

Seorang karyawan sekaligus

mahasiswa sangat memerlukan

keyakinan akan Efikasi Diri karena dapat

memengaruhinya dalam menyelesaikan

berbagai permasalahan yang dihadapinya

dalam lingkungan kerja maupun

diperkuliahannya. Menurut Bandura

(1994), Efikasi Diri didefinisikan sebagai

keyakinan seseorang dengan kemampuan

yang dimilikinya untuk menghasilkan

tingkat kinerja tertentu sehingga

berpengaruh terhadap peristiwa yang

dapat mempengaruhi kehidupan mereka.

Efikasi diri menentukan bagaimana

seseorang merasakan, berpikir,

memotivasi diri dan berperilaku.

Keyakinan tersebut kemudian

menghasilkan efek beragam melalui

empat proses besar, yaitu proses kognitif,

motivasi, afektif dan seleksi.

Pada mahasiswa yang sambil

bekerja, hal ini tentunya tidak bisa

dibiarkan berkepanjangan dan harus

segera di tangani karena dapat

menyebabkan individu kehilangan

semangat dan tidak produktif dalam

menyelesaikan tugas perkuliahan

maupun pekerjaannya. Individu

memerlukan strategi untuk

menanggulangi ataupun mengurangi

dampak stress yang ditimbulkan dari

menjalani dua peran sekaligus. Dengan

adanya Efikasi Diri, memungkinkan

individu untuk mengelola stres dalam

kehidupan mereka.

Menurut Bandura (1994), Efikasi

Diri merupakan keyakinan seseorang

akan kemampuan yang dimilikinya untuk

menghasilkan tingkat kinerja tertentu

sehingga berpengaruh terhadap peristiwa

yang dapat mempengaruhi kehidupan

mereka. Seorang karyawan sekaligus

mahasiswa sangat memerlukan

keyakinan akan Efikasi Diri karena dapat

memengaruhinya dalam menyelesaikan

berbagai permasalahan yang dihadapinya

dalam lingkungan kerja maupun

diperkuliahannya. Efikasi Diri yang tinggi

dapat membantu karyawan sekaligus

mahasiswa dalam mengatasi berbagai

tekanan dan hambatan yang ditemui

ditempat kerja maupun diperkuliahan

sehingga dapat memperkecil stres bahkan

dapat mencegah timbulnya Burnout.

Ulfa & Aprianti

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 27 of 12

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

Peneliti tertarik untuk meneliti

kembali guna melihat pengaruh Efikasi

Diri terhadap Burnout pada karyawan

yang juga menjalani peran sebagai

mahasiswa, karena penelitian terdahulu

hanya meneliti subjek yang memiliki satu

peran saja, seperti dokter, perawat, guru,

dan lain lain. Peneliti juga ingin

memperdalam hasil penelitian dengan

melihat perbedaan bagaimana Burnout

pada laki laki dan perempuan. Jenis

kelamin (gender) merupakan

karakteristik yang berhubungan dengan

Burnout pada individu. Menurut Sihotang

dalam Lina dan Kusuma (2017), pada

dasarnya Burnout dapat dialami oleh

semua orang termasuk laki laki maupun

perempuan. Hal ini disebabkan karena

setiap orang tentunya mengalami tekanan

pada setiap aktivitas atau kegiatan

dikehidupan yang dijalaninya. Umumnya

laki laki lebih cenderung untuk

mengalami Burnout dibandingkan dengan

perempuan. Penyebabnya karena laki laki

lebih mengalami tekanan pada sesuatu hal

yang mutlak seperti keharusan bekerja

untuk menghidupi keluarga dan mencari

nafkah. Sedangkan pada perempuan tidak

terdapat tuntutan seperti yang dialami

oleh laki laki (Gibson dalam Lina dan

Kusuma, 2017). Oleh sebab itu perlunya

penelitian lebih lanjut yang menjelaskan

terkait Burnout pada perbedaan jenis

kelamin (gender).

Namun, penelitian sebelumnya

pada Burnout ditinjau dari gender

menunjukkan hasil yang berbeda-beda

seperti penelitian Lina dan Kusuma (2017)

yang menyatakan tidak ada perbedaan

Burnout antara laki laki dan perempuan.

Begitu juga hasil penelitian Larasati dan

Paramita (2012) yang menunjukkan tidak

terdapat perbedaan tingkat Burnout pada

guru perempuan dan laki-laki di SDN

inklusi. Sedangkan pada penelitian lain

menunjukkan hasil bahwa terdapat

perbedaan Burnout pada laki laki dan

perempuan, seperti pada penelitian

Jatmiko (2016) yang menyatakan bahwa

Burnout pada laki laki lebih tinggi

dibandingan pada perempuan. Dan

penelitian Heidari (2013) yang

menyatakan Burnout pada atlet

perempuan secara signifikan lebih tinggi

dari pada atlet laki-laki. Melihat

perbedaan hasil penelitian diatas,

membuat peneliti selain tertarik untuk

melihat dampak self effcicay terhadap

burn out dari individu yang memiliki dua

peran sekaligus yaitu sebagai mahasiswa

dan sebagai pekerja, peneliti juga tertarik

untuk mendalami lebih lanjut mengenai

perbedaan burnout pada pria dan wanita.

Burnout

Maslach dalam Sundari dan

Mubarak (2016) menyatakan Burnout

adalah hasil dari tekanan emosional yang

berulang dan konstan yang dilibatkan

dengan hubungan antar personal dalam

periode waktu tertentu. Leiter, Maslach

dan Schaufeli (2009) menjelaskan Burnout

sebagai sindrom kelelahan emosional,

depersonalisasi, dan berkurangnya

penghargaan terhadap diri sendiri. Hal ini

dapat terjadi diantara individu yang

bekerja dengan orang lain dengan

mengharuskannya terlibat pada situasi

emosional. Burnout berkembang sebagai

akibat dari stres kronis, ketika individu

merasa persyaratan pekerjaan dan

kemampuan yang dimilikinya tidak cocok

/ sesuai (Benight, Cieslak, Luszczynska,

Rogala, Shoji, dan Smoktunowicz, 2015).

Ulfa & Aprianti

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 28 of 12

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

Efikasi Diri

Efikasi Diri menurut Bandura

dalam Dewi (2017) merupakan

kemampuan individu dalam pengaturan

dirinya. Efikasi Diri digambarkan sebagai

kemampuan individu dalam

mengorganiasi serta implementasi dari

tindakan untuk mencapai tujuan tertentu.

Efikasi Diri adalah salah satu faktor yang

mempengaruhi cara seorang individu

berurusan dengan tekanan. Efikasi Diri

seseorang dalam menjalani kegiatan

tertentu dapat mempengaruhi tingkat

upaya dan kinerja pribadinya. Dengan

kata lain, Efikasi Diri memengaruhi

motivasi dan memperkuat keyakinannya.

Orang-orang dengan tingkat Efikasi Diri

yang tinggi cenderung lebih sukses ketika

menghadapi tantangan (Alidosti, dkk.,

2016). Menurut Bandura (1994), Efikasi

Diri terdiri atas tiga dimensi, yaitu

Tingkat (Level), Keluasan (Generality),

dan Kekuatan (Strength).

Metode Penelitian

Metode yang digunakan pada

penelitian ini yaitu metode kuantitatif.

Penelitian kuantitatif menurut Timotius

(2017) adalah penelitian yang dilakukan

demi mendapatkan fakta atau data untuk

digunakan sebagai kepastian dan

kecermatan jawaban pada pertanyaan

dalam penelitian dengan menggunakan

logika deduktif. Berdasarkan

permasalahan dan tujuan penelitian ini

menggunakan metode kuantitatif

bertujuan untuk menjelaskan pengaruh

antar variabel dan juga membuktikan

perbedaan tingkat Burnout berdasarkan

jenis kelamin melalui pengujian hipotesis.

Dalam penelitian ini menjelaskan ada

tidaknya pengaruh antara Efikasi Diri

dengan Burnout dan ada tidaknya

perbedaan Burnout antara mahasiswa dan

mahasiswi fakultas Psikologi Universitas

X yang kuliah sambil bekerja.

Participants

Populasi dalam penelitian ini

adalah seluruh Mahasiswa aktif Fakultas

Psikologi di Universitas X yang kuliah

sambil bekerja sejumlah 277 orang yang

terdiri dari 76 laki.laki dan 201

perempuan. Karena jumlah laki laki

terlalu sedikit bila dibandingkan dengan

jumlah perempuan. Sehingga sampel

yang digunakan dalam penelitian ini

berjumlah 76 mahasiswa dan 134

mahasiswi.

Tehnik Sampling

Teknik pengambilan sampel yang

digunakan pada penelitian ini adalah

disproportionate stratified random sampling

yang merupakan pengembangan dari

teknik Stratified Random Sampling. Teknik

ini digunakan untuk menentukan jumlah

sampel dengan populasi berstrata yang

dapat disesuaikan.

Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan Skala

Efikasi Diri yang dibuat oleh Khairunnisa

(2017) berdasarkan teori Albert Bandura

(1994) dengan dimensi Tingkat (Level),

Keluasan (Generality), dan Kekuatan

(Strength) yang berjumlah 18 item, dengan

reliabilitas sebesar 0,882 dan validitas

berkisar antara 0,338 sampai dengan

0,723. Dan Skala MBI . Maslach Burnout

Inventory yang dibuat oleh Rahmaputri

(2017) berdasarkan teori Maslach (1996)

dengan dimensi Emotional Exhaustion

(Kelelahan Emosi), Depersonalization

(Depersonalisasi), Dan Reduced Personal

Accomplishment (Penurunan Prestasi

Ulfa & Aprianti

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 29 of 12

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

Individu) yang terdiri dari 27 item.

Dengan reliabilitas sebesar 0,922 dan

validitas berkisar antara 0,357 sampai

dengan 0,755.

Variabel

Variabel bebas (Independent

Variable) dalam penelitian ini adalah

Efikasi Diri dan Variabel terikat

(Dependent Variable) dalam penelitian ini

adalah Burnout.

Definisi Konseptual Variabel Penelitian

Efikasi Diri didefinisikan sebagai

keyakinan seseorang dengan kemampuan

yang dimilikinya untuk menghasilkan

tingkat kinerja tertentu sehingga

berpengaruh terhadap peristiwa yang

dapat mempengaruhi kehidupan mereka

(Bandura 1994).

Burnout adalah sindrom kelelahan

emosional, depersonalisasi, dan

mengurangi pencapaian pribadi yang

dapat terjadi di antara individu yang

bekerja dengan orang dalam kapasitas

tertentu (Maslach, Schaufeli dan Leiter,

2009).

Definisi Operasional Variabel Penelitian

Efikasi Diri

Keyakinan diri mahasiswa fakultas

psikologi Universitas X yang kuliah

sambil bekerja dan mahasiswa mengenai

kemampuannya dalam menjalani dua

peran sekaligus yang dilihat dari skor

dimensi Tingkat (Level), Keluasan

(Generality) dan Kekuatan (Strength).

Burnout

Kondisi mahasiswa yang merasa

terperas habis dan kehilangan energi

psikis maupun fisik. Hal tersebut

disebabkan oleh situasi yang tidak sesuai

atau tidak mendukung dengan kebutuhan

dan harapan mahasiswa yaitu menjalani

dua peran sebagai mahasiswa sekaligus

karyawan. Pada umumnya, Burnout

cenderung diakibatkan oleh kelelahan

emosional, fisik dan mental yang intens

yang dilihat dari skor dimensi Kelelahan

Emosional (Emotional Exhaustion),

Depersonalisasi (Depersonalization) dan

Penurunan penghargaan terhadap diri

(Reduced Personal Accomplishment).

Analisa Data

Penelitian ini menggunakan teknik

analisis Regresi untuk melihat pengaruh

antar variabel dan Uji T untuk melihat

perbedaan tingkat Burnout berdasarkan

Gender. Teknik regresi linier sederhana

dan Uji independent sample T test.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Responden

Subjek pada penelitian merupakan

mahasiswa aktif fakultas Psikologi

Universitas X yang kuliah sambil bekerja

dengan jumlah 212 orang, dengan rincian

sebagai berikut :

Tabel. 1

Gambaran Umum Subyek Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Frequency Percent

Laki Laki 76 35.8

Perempuan 136 64.2

Total 212 100.0

Dari tabel diatas dapat dijelaskan

bahwa dari total 212 sampel yang diambil

peneliti pada mahasiswa aktif fakultas

Psikologi Universitas X, yaitu laki-laki

sejumlah 76 orang (35,8%) dan

perempuan sejumlah 136 orang (64,2%).

Uji Asumsi Klasik

Uji normalitas pada penelitian ini

dilakukan dengan menggunakan teknik

Kolmogorov Smirnov Test SPSS 20.0 for

Ulfa & Aprianti

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 30 of 12

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

windows. Data dikatakan normal apabila

memiliki nilai sigfikansi p > 0,05.

Berdasarkan hasil Kolmogorov Smirnov

diperoleh nilai p untuk skala Burnout

sebesar 0,478 (p > 0,05) yang berarti data

normal, dan nilai p untuk skala Efikasi

Diri sebesar 0,056 (p > 0,05) yang berarti

data normal.

Berdasarkan hasil uji linearitas

yang dilakukan pada 212 responden

memberikan nilai F sebesar 83,140 dan sig

yaitu 0,000 (p < 0,01) untuk variabel

Efikasi Diri dan Burnout. Hasil tersebut

menunjukkan bahwa data tersebut linier.

Perhitungan uji Glejser

menunjukkan hasil distribusi data tidak

membentuk pola apapun dan tersebar.

Serta nilai signifikansi variable Efikasi Diri

(0,628) memiliki nilai signifikansi nilai p >

0,05 sehingga dapat disimpulkan tidak

terjadi heterosedaktisitas.

Sedangkan, hasil dari 212

responden yang dianalisa, didapatkan

nilai levene statistic 1,336 dan nilai sig

0,140 (p) > 0,05 yang berarti data pada

penelitian ini berasal dari populasi yang

sama dan memiliki varians yang

homogen.

Uji Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban

sementara atas permasalahan penelitian

yang dirumuskan dan harus diuji

kebenarannya secara empirik. Pada

penelitian ini, pengujian hipotesis

dilakukan dengan menggunakan teknik

regresi linier sederhana untuk menguji

hipotesis pertama. Sedangkan untuk

menguji hipotesis kedua menggunakan

Uji independent sample T test. Penjelasan

tentang hasil uji hipotesis dalam

penelitian adalah sebagai berikut.

Uji Regresi

Pengujian hipotesis ini berdasarkan

uji statistik (Ho ditolak, jika t hitung > t

tabel) dan berdasarkan signifikansi (Ho

ditolak jika signifikansi < 0,05). Hasil t

hitung X (Efikasi Diri) terhadap Y

(Burnout) dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel. 2

Uji Regresi Model Unstandardized

Coefficients

Standardized

Coefficients

t Sig.

B Std. Error Beta

1 (Constant) 103.584 5.305 19.525 .000

TOTAL_SE -.905 .099 -.534 -9.149 .000

a. Dependent Variable: TOTAL_BO

Berdasarkan tabel di atas, nilai t

hitung untuk variabel Efikasi Diri adalah

sebesar -9,149 dengan menggunakan

ketentuan df (degree of freedom) = n-k,

maka df = 212-2= 210, (n adalah jumlah

responden penelitian dan k adalah jumlah

variabel penelitian) sehingga diperoleh

nilai t tabel = 1,652. Dari hasil

perbandingan t hitung -9,149 > t tabel

1,652, dapat disimpulkan bahwa H0

ditolak sementara H1 diterima.

Signifikansi pada uji t variabel Efikasi Diri

sebesar 0,000 < 0,05. Dengan demikian,

Efikasi Diri berpengaruh terhadap

Burnout.

Nilai koefisien regresi variable

Efikasi Diri adalah -0,905 artinya setiap

kenaikan nilai Efikasi Diri sebesar satu

satuan akan menyebabkan penurunan

nilai Burnout sebesar 0,905. Menurut

Nisfiannoor (2009), Koefisien bernilai

negatif menandakan adanya hubungan

tidak searah (terbalik) antara Efikasi Diri

terhadap Burnout yang artinya bila Efikasi

Diri naik maka Burnout turun atau

sebaliknya bila Efikasi Diri Turun maka

Burnout naik.

Ulfa & Aprianti

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 31 of 12

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

Tabel. 3

Model Summaryb Model R R

Square

Adjusted R

Square

Std. Error of

the Estimate

1 .534a .285 .282 7.995

a. Predictors: (Constant), TOTAL_SE

b. Dependent Variable: TOTAL_BO

Berdasarkan tabel di atas,

diperoleh nilai R Square (R2) sebesar

0,285. Nilai ini dapat diinterpretasikan

sebagai persentase pengaruh variabel

Efikasi Diri terhadap variabel Burnout

sebesar 28,5%, sedangkan 71,5% sisanya

dipengaruhi oleh faktor lain.

Tabel. 4

Uji Beda t-test for Equality of Means

Sig.

(2-tailed)

Mean

Difference

Std. Error

Difference

95%

Confidence

Interval of the

Difference

Lower

TOTAL_BO

Equal variances

assumed .782 -.375 1.354 -3.044

Equal variances

not assumed .782 -.375 1.357 -3.055

Berdasarkan data diatas, nilai Sig (2

tailed) atau p value sebesar 0,782 >0,05

maka H0 diterima dan H1 ditolak,

sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak

terdapat perbedaan Burnout antara

mahasiswa dan mahasiswi fakultas

Psikologi Universitas X yang kuliah

sambil bekerja.

PEMBAHASAN

Pengaruh Efikasi Diri terhadap Burnout

Maslach, Schaufeli dan Leiter

(2009) menyebutkan bahwa akibat jangka

panjang dari stres yang akut pada

individu menyebabkan terjadinya burn

out. Pada mahasiswa yang kuliah sambil

bekerja, hal ini juga dialami dan tentunya

dapat menyebabkan individu kehilangan

semangat dan tidak produktif dalam

menyelesaikan tugas perkuliahan

maupun pekerjaannya. Individu

memerlukan strategi untuk

menanggulangi ataupun mengurangi

dampak stress tersebut. Dengan adanya

Efikasi Diri, memungkinkan individu

untuk mengelola stres dalam kehidupan

mereka.

Hasil penelitian menunjukkan

bahwa Efikasi Diri berpengaruh terhadap

Burnout. Oleh karena itu, hasil penelitian

ini mendukung hipotesis yang

sebelumnya telah dikemukakan, yaitu

Efikasi Diri berpengaruh terhadap

Burnout pada mahasiswa fakultas

Psikologi di Universitas X. Pada penelitian

ini pengaruh Efikasi Diri terhadap

Burnout sebesar 0,285 menujukkan adanya

pengaruh antara Efikasi Diri terhadap

Burnout. Nilai t hitung -9,149 lebih besar

dari pada nilai t tabel 1,652 dan

signifikansi pada uji t variabel Efikasi Diri

sebesar 0,000 < 0,05. Dengan demikian, H0

ditolak dan H1diterima sehingga dapat

disimpulkan Efikasi Diri berpengaruh

terhadap Burnout sebesar 28,5% dan

korelasinya bersifat negatif. Nilai negatif

menandakan adanya hubungan negatif

antara Efikasi Diri (X) terhadap Burnout

(Y) yang artinya bila Efikasi Diri naik

maka Burnout turun atau sebaliknya bila

Efikasi Diri Turun maka Burnout naik.

Hal ini dapat terjadi karena Efikasi

Diri menentukan bagaimana seseorang

merasakan, berpikir, memotivasi diri dan

berperilaku sehingga dapat

mempengaruhi tingkat Burnout Individu.

Dengan adanya Efikasi Diri, membuat

individu menganggap tugas-tugas sulit

sebagai tantangan yang harus dikuasai

bukan sebagai ancaman yang harus

dihindari. Mereka menetapkan tujuan dan

memiliki komitmen yang kuat, serta

meningkatkan dan mempertahankan

upaya mereka dalam menghadapi

Ulfa & Aprianti

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 32 of 12

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

kegagalan. Mereka dapat pulih dengan

cepat setelah mengalami kegagalan atau

kemunduran karena menganggap

kegagalannya dikarenakan usaha yang

tidak mencukupi, atau pengetahuan dan

keterampilan mereka yang kurang

memadai. Pandangan seperti itulah yang

akhirnya menghasilkan pencapaian

pribadi, mengurangi stres dan

menurunkan kerentanan terhadap

depresi (Bandura dalam Dewi, 2017).

Efikasi Diri dapat membantu karyawan

sekaligus mahasiswa dalam mengatasi

berbagai tekanan dan hambatan yang

ditemui ditempat kerja maupun

diperkuliahan sehingga dapat

memperkecil stres bahkan dapat

mencegah timbulnya Burnout.

Perbedaan Burnout berdasarkan Gender

Hasil penelitian ini menunjukkan

tidak terdapat perbedaan Burnout antara

mahasiswa dan mahasiswi fakultas

Psikologi Universitas X yang berkuliah

sambil bekerja. Berdasarkan wawancara

yang dilakukan pada mahasiswa

reponden penelitian, ia mengatakan

bahwa kegiatan kuliah sangat menyita

waktu karena banyaknya tugas yang

diberikan dan membuat pekerjaan

kantornya terbengkalai sehingga Ia stress

dan merasa tidak sanggup untuk

mengerjakan semua itu pada waktu yang

bersamaan. Sedangkan berdasarkan

wawancara dengan mahasiswi responden

penelitian ini, disebutkan bahwa ia

merasa bahwa kegiatan kuliah sambil

bekerja yang Ia jalani sangat

menantangnya untuk mengatur waktu

antara dua kegiatan tersebut, dan

membuatnya semakin termotivasi karena

dapat kuliah dengan uang hasil kerjanya

sendiri. Menurut hasil wawancara dengan

beberapa mahasiswa dan mahasiswi

tersebut dapat disimpulkan bahwa

kondisi tertekan dan stres tidak

dipengaruhi oleh gender / jenis kelamin

seseorang.

Menurut Masclach dalam Dewi

(2017), Burnout juga dipengaruhi oleh

berbagai faktor lain seperti kepribadian

individu, kondisi lingkungan, dukungan

sosial dan lain lain sehingga tidak

sepenuhnya dipengaruhi oleh perbedaan

gender / jenis kelamin.

Hal ini sesuai dengan penelitian

yang dilakukan oleh Lina dan Kusuma

(2017) mengenai Pengaruh Role Stressor

terhadap Burnout dan perbedaan Burnout

Berdasarkan Gender. Hasil uji

independent sample t test menunjukkan

nilai sig (2- tailed) sebesar 0.339. Karena

nilai ini di atas 0,05 maka hasil penelitian

ini belum berhasil membuktikan adanya

perbedaan Burnout antara mahasiswa dan

mahasiswi. Dengan kata lain, penelitian

ini juga tidak menemukan adanya

perbedaan Burnout berdasarkan gender

karena burnout juga dipengaruhi oleh

berbagai faktor lain seperti kepribadian

individu, kondisi lingkungan, dukungan

sosial dan lain lain sehingga tidak

sepenuhnya dipengaruhi oleh perbedaan

gender / jenis kelamin.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil pembahaan

analisis data melalui pembuktian

hipotesis pada permasalahan yang

diangkat mengenai pengaruh Efikasi Diri

terhadap Burnout dan perbedaan Burnout

berdasarkan gender pada mahasiswa

Fakultas Psikologi Universits X, maka

kesimpulan dalam penelitian ini adalah:

1. Terdapat pengaruh Efikasi Diri

terhadap Burnout sebesar 0,285.

Ulfa & Aprianti

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 33 of 12

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

Sehingga dapat disimpulkan H0

ditolak dan H1 diterima. Efikasi Diri

berpengaruh terhadap Burnout sebesar

28,5% dan korelasinya bersifat negatif.

Nilai t hitung -9,149 lebih besar dari

pada nilai t tabel 1,652 dan signifikansi

pada uji t variabel Efikasi Diri sebesar

0,000 < 0,05.

2. Tidak terdapat perbedaan Burnout

antara mahasiswa dan mahasiswi

Fakultas Psikologi Universits X. H0

diterima dan H1 ditolak, dengan

perolehan nilai Sig (2 tailed) atau p

value yaitu sebesar 0,782 dengan nilai

probabilitas 0,05. Nilai Sig (2 tailed)

atau p value 0,782 lebih besar dari 0,05.

Pada penelitian selanjutnya agar

memperbanyak variasi subyek dari

jurusan lainnya sehingga dapat

memperkaya hasil penelitian. Serta

memberikan pelatihan untuk

meningkatkan Efikasi Diri mahasiswa

seperti pelatihan berpikir positif, motivasi

dan pelatihan lainnya. Dengan pelatihan-

pelatihan tersebut dapat membantu

mahasiswa untuk cenderung berfikir lebih

positif serta percaya akan kemampuannya

untuk menyelesaikan tugas dan

pekerjaannya.

Ulfa & Aprianti

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 34 of 12

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

DAFTAR PUSTAKA

Alidosti, M., Delaram, M., Dehgani, L., &

Moghadam, M. M. (2016). Relationship

Between Self-Efficacy and Burnout

Among Nurses in Behbahan City, Iran.

�������1Health Bull, 3(4), 1.5.

Bandura, A. (1994). Self-Efficacy. In V. S.

Ramachaudran (Ed.), Encyclopedia of

human behavior. New York: Academic

Press. (Reprinted in H. Friedman [Ed.],

Encyclopedia of Mental Health. San Diego:

Academic Press, 1998), 4, 71.81.

Benight, C., Cieslak, R., Luszczynska, A.,

Rogala, A., Shoji, K., & Smoktunowicz, E.

(2015). Associations between Job Burnout

and Self-Efficacy×: A Meta-analysis.

Anxiety, Stress, & Copingß: An International

Journal, 1.20.

Canadas, G. R., Fuente, E. I. D. la, Fuente, G.

A. C.-�ï1 ��ð1 ���Í�ð1 �ïð1 ����ð1 �ï1 �ïð1 í1

Vargas, C. (2013). Risk Factors and

Prevalence of Burnout Syndrome in the

Nursing Profession. International Journal

of Nursing Studies, G Model(NS-2415), 10.

Dewi, R. S. (2017). Pengaruh Pelatihan Efikasi

Diri sebagai Pendidik terhadap

Penurunan Burnout pada Guru di Sekolah

Inklusi. Naturalistic: Jurnal Kajian

Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran 1, 2,

155.167.

Heidari, S. (2013). Gender Differences in

Burnout in Individual Athletes. European

Journal of Experimental Biology, 3(3), 583.

588.

Ilic, D., Khamisa, N., Oldenburg, B., & Peltzer,

K. (2015). Work Related Stress, Burnout,

Job Satisfaction and General Health of

Nurses. International Journal of

Environmental Research and Public Health,

12, 652.666.

Jankome, P. K., & Ritacco, M. M. M. G. (2013).

The Impact of Stress and Burnout on

�����¢����1 �����������1 ��1 ���� ���1

Power Corporation. Interdisciplinary

Journal of Contemporary Research in

Business, 5(6), 795.824.

Jatmiko, R. B. (2016). Perbedaan tingkat

Burnout belajar siswa Laki-Laki dan

Perempuan Kelas VIII di SMP Negeri 3

Pedan. E-Journal Bimbingan dan Konseling,

2(5), 11.19.

Khairunnisa, Y. (2017). Hubungan antara Self

Efficacy dengan Prokrastinasi Akademik

pada Mahasiswa Universitas Mercu

Buana yang sedang Mengerjakan Tugas

Akhir (Skripsi tidak diterbitkan). Jakarta:

Universitas Mercu Buana.

Larasati, S., & Paramita, P. P. (2012). Tingkat

Burnout ditinjau dari Karakteristik

Demografis (Usia, Jenis Kelamin dan

Masa Kerja) Guru SDN Inklusi di

Surabaya. Jurnal Psikologi Pendidikan dan

Perkembangan, 1(2), 107.115.

Leiter, M. P., Maslach, C., & Schaufeli, W. B.

(2009). Burnout×: 35 Years of Research and

Practice. Career Development International,

14(3), 204.220.

Lina, & Kusuma, B. H. (2017). Pengaruh Role

Stressor Terhadap Burnout dan

Perbedaan Burnout Berdasarkan Gender×:

Studi Empiris pada Mahasiswa. Jurnal

Akuntansi Maranatha, 10(1), 62.71.

Nasa, G., & Sharma, P. H. L. (2014). Academic

Self-Efficacy: A Reliable Predictor of

Educational Performances. British Journal

of Education, 2(3), 57.64.

Nisfiannoor, M. (2009). Pendekatan

statististika Modern untuk Ilmu Sosial.

Jakarta: Salemba Humanika.

Rahmaputri, S. (2017). Hubungan antara Self-

Efficacy dengan Burnout pada Guru SLB

di Jakarta Selatan (Studi pada seluruh

Guru SLB yang bekerja di Jakarta Selatan)

(Skripsi tidak diterbitkan). Jakarta:

Universitas Mercu Buana.

Sundari, N., & Mubarak, A. (2016). Hubungan

Self Efficacy dalam Kemampuan

Mengatasi Hambatan Kerja dengan

Syndrome Burnout Pegawai Lending

Bank X Bandung. Prosiding Psikologi, 2(2),

471.476.

Syaiful, I. A. & Haztika, C. (2018). Pengaruh

Pelatihan berbasis Via (Values In Action)

Ulfa & Aprianti

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 35 of 12

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

terhadap Resiliensi Mahasiswa: Sebuah

Studi Awal Menggunakan Quasi

Eksperimen. Proceeding Seminar Nasional

& Temu Ilmiah Psikologi Positif, I, 133-142.

Timotius, K. H. (2017). Pengantar Metodologi

Penelitian : Pendekatan Manajemen

Pengetahuan untuk Perkembangan

Pengetahuan. Yogyakarta: Andi Offset, 7.

Wardani, L. M. I. & Firmansyah, R. (2019). The

work-life balance of blue-collar workers:

the role of employee engagement and

burnout. Jurnal Psikologi Ulayat, 6(2), 227-

241).

https://ejurnal.lp2msasbabel.ac.id/index.php/psc

Vol. 3, No. 1, June (2021)

ISSN (Online): 2721-2564

https://doi.org/10.32923/psc.v3i1.1702

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 36 of 20 © Psychosophia, 2021

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

Review Date ; April 24, 2021

Revision Date : May 19, 2021

Accepted Date : May 23, 2021

Publish Date : June 3, 2021

RELIGIUSITAS, EFIKASI DIRI, DAN STRES AKADEMIK

MAHASISWA FARMASI

Vicky Rizki Amalia*

Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Indonesia

[email protected]

H. Fuad Nashori

Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Indonesia

[email protected]

Abstract Academic stress can cause physical problems such as fatigue which can affect student learning processes and motivation.

To minimize academic stress, it is necessary to know the factors that influence academic stress in students. Several studies

have shown that the higher the level of religiosity and self-efficacy, the lower the level of academic stress. This study aimed

to observe the correlation of religiosity and self-efficacywith the academic stress among students at Pharmaceutical Major.

X[V1������1��������1��1�������¢1 ���1 ��������1��1 ���1�������1 ��1�����������1���1 ��1���¢������ï1���1����1����������1

method used in this study was the scale including the religiosity scale made by Nashori (2012), General Self-efficacyScale

has been adapted into Indonesia Language by Born, Schwarzer, and Jerussalem (1995), and Student Academic Stres Scale

adapted into Indonesia Language by Wulandari (2018). The data in this study were analyzed using the correlation of

product moment Pearson and doubled regression analysis used the SPSS 16.00 program for Windows. The results of this

study showed that religiosity and self-efficacywas negatively correlated with the academic stress of students at pharmacy

major. Religiosity and self-efficacyindividually and simultaneously had a contribution to 17,1% towards the academic

stress of pharmacy students.

Keywords: academic stress; pharmacy students; self-efficacy; and religiosity.

Abstrak Stres akademik dapat menyebabkan gangguan fisik berupa kelelahan yang dapat mempengaruhi proses dan motivasi

belajar mahasiswa. Untuk meminimalisasi stres akademik, perlu diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi stres

akademik pada mahasiswa. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat religiositas dan efikasi diri,

maka tingkat stres akademik semakin rendah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara religiositas

dan efikasi diri dengan stres akademik pada mahasiswa jurusan farmasi. Subjek dalam penelitian ini adalah 250

������� �1�����1�������1�������1��1�����������1���1��1���¢������ï1������1�����������1����1¢���1���������1�����1

penelitian ini adalah skala yang meliputi skala religiositas yang disusun Nashori (2012), General Self-efficacyScale yang

diadaptasi ke dalam bahasa indonesia oleh Born, Schwarzer, dan Jerussalem (1995), dan Student Academic Stres Scale

yang diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia oleh Wulandari (2018). Data dalam penelitian ini dianalisis dengan korelasi

product moment Pearson dan analisis regresi ganda menggunakan bantuan program SPSS 16.00 for Windows. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa religiositas dan efikasi diri berkorelasi negatif dengan stres akademik mahasiwa farmasi.

Religiositas dan efikasi diri secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama memiliki pengaruh terhadap stres akademik.

Religiositas dan efikasi diri secara bersama-sama memiliki sumbangan sebesar 17,1% terhadap stres akademik mahasiswa

farmasi.

Kata kunci: efikasi diri; mahasiswa farmasi; religiositas; dan stres akademik.

* Corresponding Author

Amalia & Nashori

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 37 of 20

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

PENDAHULUAN

Profesi apoteker adalah profesi

tenaga kesehatan yang melaksanakan

pharmaceutical care (pelayanan

kefarmasian) dan bertanggung jawab

dalam terapi obat untuk mencapai hasil

terapi yang diharapkan, yaitu untuk

meningkatkan kualitas hidup pasien

(Ardiningtyas, Marchaban, Kusnanto, &

Fudholi, 2017). Jenjang pendidikan yang

harus ditempuh untuk menjalani profesi

di bidang apoteker dapat dimulai dari

sekolah menengah kejuruan farmasi atau

program studi farmasi di perguruan

tinggi. Mahasiswa yang mengambil

program studi farmasi strata satu dibebani

sekitar 145 sks yang mencakup banyak

mata kuliah dan praktikum (Program

Studi Farmasi UII, 2017).

Menurut Rusdi (2015), beban mata

kuliah dan praktikum yang dijalani

mahasiswa farmasi dapat memicu

kejenuhan dan perasaan tertekan yang

disebut stres. Stres yang dialami oleh

mahasiswa pada umumnya, termasuk

mahasiswa farmasi, saat menjalani proses

perkuliahan dan praktikum disebut stres

akademik. Hal tersebut merujuk pada

pada hasil penelitian Sun dan Zoriah

(2015) yang menemukan bahwa sumber

stres secara umum yang dialami oleh

mahasiswa farmasi bersumber dari

kegiatan akademik.

Penelitian tentang tingkat stres

akademik program studi Farmasi di

�����������1���1�����1������1���������1

sebelumnya. Penelitian terdahulu yang

dilakukan oleh Wulandari (2018) meneliti

tentang tingkat stres akademik pada

mahasiswa kedokteran. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa mayoritas

mahasiswa kedokteran mengalami stres

akademik tinggi (22,72%) dan sangat

tinggi (20%). Kedokteran dan Farmasi

merupakan jurusan dengan bidang yang

sama, yaitu bidang medis, sehingga ada

kemungkinan mahasiswa jurusan Farmasi

��1�����������1 ���1 ����1���������1 �����1

akademik yang tinggi.

Fenomena tentang tingginya stres

akademik pada mahasiswa Jurusan

Farmasi dapat diketahui dari hasil

penelitian Zamroni (2015). Prevalensi

tingkat stres akademik mahasiswa di UIN

Malang 16,2% kategori tinggi, 70,5%

kategori sedang, dan 13,3% kategori

rendah. Kategori tinggi didominasi oleh

mahasiswa jurusan Pendidikan Agama

Islam (36,7%), Al-Ahwal Al-Syakhsiyah

(30%), Fisika (26,6%), Farmasi (23,3%), dan

Manajemen (23,3%). Dari data di atas,

diketahui bahwa salah satu jurusan yang

mendominasi tingkat stres akademik yang

tinggi adalah jurusan farmasi. Stres

akademik mahasiswa jurusan farmasi di

UIN Malang lebih tinggi dibandingkan

jurusan akuntansi, perbankan, bahasa dan

sastra inggris, pendidikan bahasa arab,

pendidikan MI, pendidikan dokter, kimia,

���1�����1������1�¢������ï1

Stres akademik adalah tekanan

yang disebabkan oleh persepsi subjektif

terhadap suatu kondisi akademik.

Tekanan yang muncul berwujud respon

negatif berupa reaksi fisik, perilaku,

pikiran, dan emosi negatif (Barseli & Ifdil,

2017). Stres akademik juga dapat diartikan

sebagai sebuah tekanan mental yang

berhubungan dengan perasaan-perasaan

frustrasi yang diantisipasi terkait dengan

kegagalan akademik atau bahkan

kesadaran akan kemungkinan kegagalan

tersebut. Hal tersebut terjadi karena

adanya harapan pendidikan dari orang

tua, guru, teman sebaya dan anggota

keluarga, tekanan dari orang tua untuk

Amalia & Nashori

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 38 of 20

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

prestasi akademik, sistem pendidikan dan

ujian, beban tugas dari dosen, dan lain-

lain (Sarita & Sonia, 2015).

Aspek-aspek stres akademik,

menurut Busari (2011), meliputi fisiologis,

perilaku, kognitif, dan afektif. Pertama

adalah aspek fisiologis yang ditandai

dengan pola-pola normal dari aktivitas

fisiologis yang terganggu. Gejala-gejala

yang muncul pada umumnya adalah sakit

kepala, konstipasi, nyeri pada otot,

menurunnya nafsu seks, cepat lelah dan

mual. Kedua adalah aspek perilaku,

perilaku yang muncul adalah

ketidaksabaran, hiperaktivitas, cepat

marah, terlalu agresif, menghindari

situasi yang sulit dan bekerja secara

berlebihan. Ketiga adalah aspek kognitif

yang ditandai dengan daya ingat

mengalami kebingungan dalam frekuensi

yang sering, munculnya pikiran negatif

yang konstan, ketidakmampuan

membuat keputusan, sulit untuk

menyelesaikan tugas, bersikap kaku dan

sulit untuk berkonsentrasi. Keempat

adalah aspek afektif yang ditandai dengan

munculnya perasaan khawatir, terancam,

sedih, tertekan, ingin menangis, dan

emosi yang meledak-ledak.

Stres akademik yang dialami

mahasiswa dapat menyebabkan berbagai

dampak negatif. Salah satu dampak yang

dapat muncul adalah berupa gangguan

kekebalan tubuh dan penyakit fisik yang

dapat membahayakan tubuh (Wade &

Tavris, 2007). Stres akademik yang

dirasakan mahasiswa juga dapat

menyebabkan kelelahan dan lemas

(Musabiq & Karimah, 2018). Kelelahan

yang dialami mahasiswa akibat stres

akademik dapat mempengaruhi proses

belajar (Stevani & Gumanti, 2018).

Dampak negatif lain yang dapat muncul

akibat stres akademik adalah kecanduan

smarthphone (Hamrat dkk, 2019). Stres

akademik juga mempengaruhi motivasi

belajar pada mahasiswa (Puspitha, Sari, &

Oktaria, 2018) dan dapat menyebabkan

terhambatnya kinerja dan pengambilan

keputusan (Sarita & Sonia, 2015).

Untuk meminimalisasi tingkat

stres akademik mahasiswa, perlu

diketahui faktor-faktor apa saja yang

mempengaruhi stres akademik mereka.

Menurut Santrock (2003), faktor-faktor

yang menyebabkan stres pada mahasiswa

dapat dikelompokkan menjadi faktor

personal dan faktor akademik. Faktor

personal yang dapat menyebabkan stres

pada mahasiswa adalah kondisi jauh dari

orang tua dan sanak saudara, ekonomi

atau finansial (pengelolaan keuangan dan

uang saku), masalah yang muncul saat

berinteraksi dengan teman dan

lingkungan baru, serta masalah-masalah

personal lainnya. Sedangkan faktor

akademik yang dapat menyebabkan stres

pada mahasiswa adalah perubahan gaya

belajar dari sekolah menengah ke

perguruan tinggi, tugas-tugas

perkuliahan, target pencapaian nilai,

prestasi akademik dan masalah-masalah

akademik lainnya (Legiran, Azis &

Bellinawati, 2015).

Selain itu, ada pendapat lain yang

mengungkap faktor-faktor yang

mempengaruhi stres akademik. Faktor-

faktor yang mempengaruhi stres

akademik pada mahasiswa adalah faktor

internal dan eksternal. Faktor internal

meliputi efikasi diri, hardiness, optimisme,

motivasi berprestasi, dan prokrastinasi

(Yusuf & Yusuf (2020), penyesuaian diri

(Erindana, Nashori, & Tasaufi, 2021), dan

tawakkal (Refri, Syafitri, Putri, & Nashori,

2021). Sedangkan faktor eksternal adalah

Amalia & Nashori

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 39 of 20

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

dukungan sosial orangtua (Yusuf &

Yusuf, 2021). Selain itu, menurut Bataineh

(2013), ada faktor lain yang

mempengaruhi stres akademik, yaitu

religiositas.

Menurut Ancok dan Suroso (2018),

religiositas adalah keyakinan individu

untuk melaksanakan aktivitas beragama

dan aktivitas lain yang didorong oleh

kekuatan supranatural. Religiositas juga

didefinisikan sebagai keyakinan yang

dimiliki individu untuk menaati aturan

agama yang dianut serta menerapkannya

dalam kehidupan sehari-hari dalam

be����1 �������1 ������1 û����1í1 �����¢��ð1

2020). Selain itu, menurut Zubairu dan

Sakariyau (2016), religiositas adalah

kekuatan komitmen seseorang terhadap

ajaran Islam atau kekuatan iman seorang

Muslim. Menurut Mahudin, Noor,

Dzulkifli, dan Janon (2016), religiositas

seseorang mencakup tiga tingkatan

agama, yaitu tindakan jasmani atau

aktivitas manusia (islam), pikiran atau

pemahaman tentang Tuhan (iman), dan

semangat atau aktualisasi kebajikan dan

kebaikan (ihsan).

Dimensi-dimensi religiositas

dalam konteks Islam, menurut Ancok dan

Suroso (2018), meliputi dimensi

keyakinan atau akidah islam, peribadatan

atau ibadah, pengamalan atau akhlak,

pengalaman atau ihsan, dan pengetahuan

agama. Pertama adalah keyakinan untuk

berpegang teguh terhadap sebuah

pandangan teologis tertentu dan

mengakui kebenaran doktrin tersebut.

Keyakinan tersebut dalam Islam disebut

akidah Islam. Akidah Islam dapat dilihat

dari seberapa besar tingkat keyakinan

atau keimanan seorang muslim terhadap

kebenaran agama Islam.

Kedua adalah ibadah atau praktik

agama berupa ritual untuk melaksanakan

keagamaan formal dan praktek-praktek

suci yang dilaksanakan oleh pemeluk

agama tertentu dan ketaatan dalam

melaksanakan ritual tersebut. Praktik

tersebut dalam agama Islam adalah

�¢������. Hal ini dapat dilihat dari tingkat

kepatuhan seorang muslim dalam

mengerjakan ibadah yang disyariatkan

dan dianjurkan oleh agama Islam.

Ketiga adalah pengamalan atau

akhlak. Tingkat pengamalan dapat dilihat

dari bagaimana seorang muslim

berperilaku yang dimotivasi oleh ajaran-

ajaran agama Islam.

Keempat adalah pengalaman atau

ihsan berupa pengalaman keagamaan,

perasaan-perasaan, persepsi-persepsi,

dan sensasi-sensasi yang dialami

seseorang atau orang beragama yang

melihat komunikasi dengan Tuhan

dengan otoritas transendental, misalnya

adalah perasaan dekat dengan Allah saat

beribadah.

Kelima adalah ilmu pengetahuan

agama. Ilmu pengetahuan agama

seseorang dapat dilihat dari pengetahuan

mengenai dasar-dasar keyakinan, kitab

suci, ritus-ritus, dan tradisi sebuah agama.

Ilmu pengetahuan tentang agama

Islam merupakan prasyarat bagi seorang

muslim sebelum melakukan dimensi

ibadah dan mengamalkan dimensi akhlak

dalam kehidupan sehari-hari. Ilmu agama

harus dipelajari terlebih dahulu untuk

mengetahui bagaimana melakukan

ibadah sesuai syariah Islam dan

berperilaku atau berakhlak sesuai ajaran

agama Islam (Ancok & Suroso, 2018).

Selanjutnya dimensi akidah, yaitu

keyakinan atau keimanan seorang muslim

terhadap kebenaran agama Islam.

Amalia & Nashori

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 40 of 20

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

Keimanan seorang individu kepada Allah

SWT berpengaruh terhadap koping

religius yang digunakan individu saat

menghadapi masalah hidup yang dialami,

seperti dijelaskan dalam ayat suci Al-

������ñ �ôæô öÌ ö̧ ;ô̈ Pß<�ðôà ôË� Iû ö��ò� ô®ô ö� ôÜ ôß�� ôìIç ö� ôí� Iö� ;î ôà I¼ß< ôí� ö® P� I¼ß= ö��ø�îõèô öÌô� P³< ôí�ýþ�

���1 �����-orang yang beriman,

jadikanlah sabar dan shalat sebagai

penolongmu, sesungguhnya Allah beserta

orang-�����1¢���1������ (Al-Baqarah: 153).

Berdasarkan ayat di atas dapat

dipahami bahwa orang yang beriman

menggunakan sholat dan sabar sebagai

koping religius dalam menghadapi

masalah hidup. Sholat merupakan bagian

dari dimensi ibadah (Ancok & Suroso,

2018) dan sabar merupakan bagian dari

dimensi akhlak (Sukino, 2018).

Sabar dan sholat khusyuk dapat

dijadikan oleh mahasiswa sebagai

penolong di saat mengalami masalah

hidup seperti stres akademik. Saat

mahasiswa sabar dalam menjalani beban

tugas akademik yang sulit dan sholat

dengan khusyuk untuk bertawakal

kepada Allah, dari segi dimensi

pengalaman, maka mahasiswa tersebut

akan merasa dekat dengan Allah SWT

(Ancok & Suroso, 2018) dan dapat

memohon pertolongan Allah agar dapat

menghadapi stres akademik yang dialami.

Hal tersebut didukung oleh hasil

penelitian dari Indria, Siregar, dan

Herawaty (2019) yang menyatakan bahwa

mahasiswa yang memiliki tingkat

kesabaran yang tinggi akan mengalami

stres akademik yang rendah. Lebih lanjut

dijelaskan oleh Rohmadani dan Setiyani

(2019) dalam penelitiannya menjelaskan

bahwa aktivitas religius seperti

melaksanakan sholat lima waktu tepat

waktu, sholat sunah, puasa sunah,

membaca Al-Quran, dan mengikuti

kegiatan keagamaan seperti pengajian,

dan kegiatan organisasi keislaman dapat

mengurangi tingkat stres yang dialami

oleh mahasiswa yang sedang menjalani

skripsi. Selanjutnya Husnar, Saniah, dan

Nashori (2017) dalam penelitiannya

menjelaskan bahwa tawakal berkorelasi

negatif dengan stres akademik pada

mahasiswa. Semakin tinggi tawakal pada

mahasiswa, maka semakin rendah stres

akademik yang dialami oleh mahasiswa.

Peran religiositas dalam

menurunkan stres akademik mahasiswa

adalah sebagai bagian dari koping dalam

menghadapi stres akademik. Individu

dapat menggunakan agama sebagai

proses pertahanan untuk mengurangi

tingkat stres akademik. Hal ini selaras

dengan penelitian Supradewi (2019) pada

mahasiswa Fakultas Psikologi Unissula

Semarang. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa terdapat hubungan negatif yang

signifikan antara koping religius dengan

stres mahasiswa. Semakin tinggi koping

religius, maka semakin rendah stres yang

dialami oleh mahasiswa. Begitu pula

sebaliknya. Semakin rendah koping

religius, maka semakin tinggi stres yang

dialami oleh mahasiswa. Selanjutnya,

hasil yang sama diketahui dari hasil

penelitian Bataineh (2013) pada

mahasiswa Fakultas Pendidikan di

Universitas King Saud. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa religiositas (nilai

religiositas, sholat, dan membaca Al-

������ü1 �����������1 ����������1 ������1

stres akademik pada mahasiswa.

Mahasiswa yang religius mampu

mengontrol stresor akademik selama

masa studi mereka di universitas. Selain

itu terdapat hasil penelitian Aftab, Naqvi,

Al-Karasneh, dan Ghori (2018) yang

Amalia & Nashori

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 41 of 20

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

menjelaskan bahwa aktivitas religius

memiliki efek positif dalam mengurangi

stres pada mahasiswa farmasi dan dapat

membantu dalam meningkatkan kinerja

akademik.

Faktor lain, selain religiositas, yang

ikut mempengaruhi stres akademik

adalah efikasi diri. Menurut Bandura

(2006), efikasi diri adalah keyakinan

individu terhadap kemampuan atau

kompetensinya atas kinerja tugas yang

diberikan. Efikasi diri juga didefinisikan

oleh Wade dan Tavris (2007) sebagai

keyakinan individu bahwa dirinya

mampu meraih hasil yang diinginkan,

seperti penguasaan suatu keterampilan

baru atau mencapai suatu tujuan.

Menurut Alwisol (2006), efikasi diri

adalah persepsi individu terhadap diri

sendiri mengenai seberapa bagus diri

individu untuk dapat berfungsi dalam

situasi tertentu. Efikasi diri berhubungan

dengan keyakinan bahwa diri memiliki

kemampuan untuk melakukan tindakan

yang diharapkan. Dalam konteks

akademik, efikasi diri adalah kepercayaan

siswa pada kemampuannya untuk

berhasil melakukan kegiatan akademik

pada tingkat yang diinginkan (Schunk,

1991).

Aspek-aspek dari efikasi diri,

menurut Bandura (1997), adalah level

(tingkatan), strength (kekuatan), dan

generality (generalitas). Aspek pertama

adalah Level (tingkatan). Level adalah

tingkat kesulitan dari suatu tugas atau

tuntutan yang diterima individu. Tingkat

kesulitan yang dirasakan antara individu

satu dan lainnya berbeda-beda. Hal

tersebut dapat dilihat dari keyakinan

maupun apa yang dirasakan individu

dalam menilai tingkat tugas yang

diberikan. Kedua adalah Strength

(kekuatan). Strength adalah tingkat

kepercayaan individu dalam

menyelesaikan tugas atau tuntutan yang

diterima. Kepercayaan tersebut dapat

diukur dari seberapa besar individu

memiliki kepercayaan terhadap kekuatan

dan kemampuan yang dimilikinya saat

menyelesaikan tugas. Ketiga adalah

Generality (Generalitas). Generality adalah

keyakinan individu untuk dapat menilai

kemampuan dirinya saat mengerjakan

suatu kegiatan dan fungsi tertentu. Hal

tersebut dapat dilihat dari modal

kemampuan yang ditunjukkan (perilaku,

kognitif, dan afektif), berbagai macam

aktifitas, dan dalam berbagai situasi

(Bandura, 1997).

Beberapa penelitian mendukung

kaitan antara efikasi diri dan stres

akademik. Penelitian Rusdi (2015)

menunjukkan bahwa efikasi diri

berkorelasi negatif dengan stres

mahasiswa farmasi. Semakin tinggi efikasi

diri maka semakin rendah tingkat stres

pada mahasiswa farmasi, begitu pula

sebaliknya. Selain itu, terdapat hasil

penelitian Wistarini dan Marheni (2019)

yang menunjukkan bahwa dukungan

sosial keluarga dan efikasi diri memiliki

peran dalam menurunkan tingkat stres

akademik mahasiswa baru fakultas

kedokteran. Lebih lanjut penelitian

Avianti dkk (2021) menemukan bahwa

semakin tinggi efikasi diri maka semakin

rendah tingkat stres akademik pada

mahasiswa kedokteran. Menurut

Arabzadeh dkk (2012), regulasi diri dapat

mengurangi stres akademik melalui self-

efficacy yang berperan sebagai variabel

mediator.

Berdasarkan hasil penelitian

Utami, Rufaidah, dan Nisa (2020)

diketahui bahwa self efficacy memberikan

Amalia & Nashori

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 42 of 20

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

pengaruh secara signifikan terhadap

tingkat stres akademik mahasiswa selama

masa pandemi Covid-19 periode April-

Mei 2020. Self efficacy berkorelasi negatif

dengan stres mahasiswa. Semakin tinggi

tingkat self efficacy pada mahasiswa, maka

stres akademik akan menurun.

Penelitian-penelitian tersebut

menunjukkan bahwa peran efikasi diri

dalam menurunkan stres akademik

adalah sebagai keyakinan yang dapat

mendorong mahasiswa untuk dapat

menyelesaikan tugas akademik dengan

baik. Mahasiswa yang yakin dan percaya

pada kekuatan (strength) atau

kemampuannya (generality) untuk

berhasil melakukan kegiatan akademik

dan yakin bahwa dirinya mampu

menyelesaikan sesulit apapun tugas yang

diberikan (level), maka akan mengalami

stres akademik yang rendah. Hal ini

didukung oleh penelitian Sim dan Moon

(2015) yang menemukan bahwa siswa

dengan tingkat self-efficacyakademik yang

tinggi mengalami lebih sedikit stres dan

lebih dapat menyesuaikan diri dengan

kehidupan kampus.

Penelitian-penelitian sebelumnya

menjelaskan bahwa religiositas dan

efikasi diri masing-masing memiliki

hubungan dan dapat memprediksi tingkat

stres akademik pada mahasiswa. Namun,

religiositas dan efikasi diri secara

bersama-sama juga memiliki hubungan

dan dapat memprediksi tingkat stres

akademik karena keduanya merupakan

faktor internal yang mempengaruhi stres

akademik pada mahasiswa.

Religiositas merupakan faktor

internal dari diri individu yang mengacu

pada keyakinan kepada Allah SWT.

Orang yang religius akan beriman kepada

Allah SWT. Ketika individu beriman

kepada Allah SWT, saat mengalami stres

akademik, individu tersebut akan

memasrahkan diri dengan cara beribadah

kepada Allah. Ibadah yang dilakukan

dapat menjadi koping religius untuk

menurunkan stres akademik ketika

dilakukan dengan khusyuk. Selanjutnya

adalah efikasi diri. Efikasi diri merupakan

faktor internal dari diri individu yang

mengacu pada keyakinan diri bahwa

individu tersebut mampu menyelesaikan

tugas akademik yang diberikan. Saat

individu yakin bahwa dirinya mampu

menyelesaikan tugas akademik yang

diberikan, maka individu tersebut akan

berusaha untuk mencapai keberhasilan

akademik, sehingga stres akademik yang

dialami akan rendah.

Penjelasan di atas menunjukkan

bahwa religiositas dan efikasi diri

merupakan faktor internal dari diri

individu yang secara bersama-sama dapat

menurunkan stres akademik. Hal ini

selaras dengan penelitian Ruhamal (2015)

yang menunjukkan bahwa religiositas

dan self efficacy secara bersama-sama

memiliki pengaruh terhadap stres pada

mahasiswa dengan sumbangan 35,3%,

dengan masing-masing sumbangan

sebesar 16,8% untuk variabel efikasi diri

dan 18,5% untuk variabel religiositas.

Namun penelitian sebelumnya belum ada

yang meneliti tentang hubungan antara

religiositas dan efikasi diri dengan stres

akademik pada mahasiswa farmasi.

Oleh karena itu, tujuan penelitian

ini adalah untuk mengetahui apakah

religiositas dan efikasi diri secara sendiri-

sendiri maupun bersama-sama memiliki

hubungan negatif dengan stres akademik

pada mahasiswa farmasi. Selanjutnya

dapat dirumuskan hipotesis dalam

penelitian ini adalah 1). Religiositas

Amalia & Nashori

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 43 of 20

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

memiliki hubungan negatif dengan stres

akademik; 2). Efikasi diri memiliki

hubungan negatif dengan stres akademik;

3). Religiositas dan efikasi diri secara

bersama-sama memiliki hubungan negatif

dengan stres akademik.

METODE

Metode dalam penelitian ini adalah

kuantitatif. Variabel dalam penelitian ini

terdapat tiga variabel, yaitu variabel

efikasi diri, religiositas, dan stres

akademik. Variabel stres akademik

sebagai variabel tergantung dan variabel

religiositas dan efikasi diri sebagai

variabel bebas.

Populasi dalam penelitian ini

adalah mahasiswa aktif yang berkuliah di

jurusan farmasi Universitas ���1 ��1

Yogyakarta. Kriteria subjek dalam

penelitian ini adalah 1). Beragama Islam;

2). Mahasiswa aktif; 3). Berjenis kelamin

perempuan dan laki-laki.

Pengambilan sampel dalam

penelitian ini menggunakan quota

sampling di mana teknik pengambilan

sampelnya diambil dari populasi yang

memiliki ciri-ciri tertentu dan dengan

jumlah kuota yang diinginkan.

Pengumpulan data akan dihentikan jika

telah memenuhi kuota sampel yang

diinginkan (Anshori & Iswati, 2017).

Dalam penelitian ini, yang menjadi

populasi adalah adalah 649 mahasiswa

�����1 �������1 �������1�����������1 ���1 ��1

Yogyakarta. Berdasarkan rumusan Krejcie

dan Morgan (1970), bila populasi

berjumlah 650, maka sampel minimalnya

adalah 242. Dalam penelitian ini jumlah

sampel dibulatkan menjadi 250

mahasiswa.

Metode pengumpulan data dalam

penelitian ini menggunakan tiga skala.

Alat ukur dalam penelitian ini

menggunakan skala Religiositas, General

Self-efficacy Scale, dan Student Academic

Stres Scale (SASS).

Religiositas adalah skor yang

diperoleh subjek penelitian setelah

mengisi Skala Religiositas. Religiositas

sendiri dapat diartikan keyakinan

individu untuk melaksanakan aktivitas

beragama dan aktivitas lain yang

didorong oleh kekuatan supranatural

(Ancok & Suroso, 2018). Dimensi-dimensi

religiositas, menurut Ancok dan Suroso

(2018), adalah akidah, ibadah, akhlak,

ihsan, dan ilmu agama.

Variabel religiositas dalam

penelitian ini akan diukur dengan skala

religiositas yang disusun oleh Nashori

(2012). Skala ini berjumlah 47 aitem,

terdiri dari dua bagian yaitu skala R-1

yang terdiri dari 26 aitem favorable & 6

unfavorable aitem dan skala R-2 yang

terdiri 15 aitem. Skala R-1 (yang

mengukur aspek akidah, ibadah, akhlak,

dan ihsan) menggunakan model skala

Likert dengan lima pilihan tanggapan.

Adapun alternatif jawaban dalam skala R-

1 adalah SS (Sangat Sesuai), S (Sesuai), R

(Ragu-ragu), TS (Tidak Sesuai), hingga

STS (Sangat Tidak Sesuai). Cara skoring

aitem favorable, jawaban SS diberi skor 5, S

diberi skor 4, R diberi skor 3, TS diberi

skor 2, dan STS diberi skor 1. Cara skoring

aitem unfavorable, jawaban SS diberi skor

1, S diberi skor 2, R diberi skor 3, TS diberi

skor 4, dan STS diberi skor 5.

Skala R-2 yang mengukur aspek

pengetahuan dirumuskan dalam bentuk

pertanyaan-pertanyan multiple choice.

Setiap pertanyaan diberi empat pilihan

jawaban, dengan satu jawaban yang

benar. Skor 1 diberikan jika jawaban benar

dan skor 0 diberikan jika jawaban salah.

Amalia & Nashori

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 44 of 20

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

Skor religiositas dalam penelitian ini

diukur dengan menggunakan dua skala.

Masing-masing skala mengukur aspek

dan cara skoring yang berbeda. Oleh

karena itu, cara menggabungkan skor dari

skala religiositas R1 dan R2 adalah dengan

merubah total skor masing-masing skala

menjadi Z score kemudian diubah menjadi

T score. Setelah mendapatkan nilai T score

pada masing-masing skala, skor kedua

skala dapat digabungkan untuk melihat

skor religiositas subjek pada penelitian ini.

Efikasi diri adalah adalah skor yang

diperoleh subjek penelitian setelah

mengisi skala General Self-efficacy Scale.

Efikasi sendiri dapat diartikan sebagai

keyakinan yang dimiliki individu

terhadap kemampuan atau

kompetensinya atas kinerja tugas yang

diberikan, keyakinan tersebut dapat

mempengaruhi individu untuk mencapai

suatu tujuan dan memenuhi tanggung

jawabnya (Bandura, 2006). Aspek-aspek

efikasi diri menurut Bandura (1997)

adalah level (tingkatan), strength

(kekuatan), dan generality (generalitas).

Variabel efikasi diri dalam

penelitian ini akan diukur dengan skala

General Self-efficacy Scale yang disusun

oleh Schwarzer dan Jerusalem (1995),

diadaptasi ke dalam bahasa indonesia

oleh Born, Schwarzer, dan Jerussalem

(Schwarzer & Jerusalem, 1995), dan

dimodifikasi oleh peneliti. Skala ini terdiri

dari 10 aitem favorable. Adapun alternatif

jawaban dalam skala ini terdiri dari Tidak

Setuju, Agak Setuju, Hampir Setuju, dan

Sangat Setuju untuk seluruh aitem.

Jawaban Sangat Setuju diberi skor 4,

Hampir Setuju diberi skor 3, Agak Setuju

diberi skor 2, dan Tidak Setuju diberi

skor1.

Selanjutnya adalah Stres

Akademik. Stres akademik adalah skor

yang diperoleh individu setelah mengisi

skala stres akademik. Stres akademik

sendiri dapat diartikan sebagai sebuah

tekanan yang diakibatkan oleh persepsi

subjektif terhadap suatu kondisi

akademik (Barseli & Ifdil, 2017). Aspek-

aspek stres akademik menurut Busari

(2014) terdiri dari Aspek Fisiologis, Aspek

Perilaku, Aspek Kognitif, dan Aspek

Afektif.

Variabel stres akademik dalam

penelitian ini akan diukur dengan skala

Student Academic Stres Scale (SASS) yang

disusun oleh Busari (2011) dan diadaptasi

ke dalam bahasa indonesia oleh

Wulandari (2018). Skala ini terdiri dari 49

aitem favorable menggunakan model skala

Likert, di mana terdapat lima altenatif

jawaban dengan memberi alternatif

jawaban di tengah untuk meminimalkan

kecenderungan subjek menjawab secara

netral. Adapun alternatif jawaban dalam

skala ini adalah Sangat Tidak Sesuai (STS),

Tidak Sesuai (TS), Kurang Sesuai (KS),

Sesuai (S), dan Sangat Sesuai (SS).

Jawaban SS diberi skor 5, S diberi skor 4,

KS diberi skor 3, TS diberi skor 2, dan STS

diberi skor 1.

Data dalam penelitian ini akan

dianalisis dengan analisis korelasi product

moment Pearson dan analisis regresi

ganda melalui bantuan program SPSS

16.00 for Windows.

HASIL

Uji hipotesis dilakukan dengan

menggunakan analisis korelasi product

moment Pearson untuk menguji hipotesis

pertama dan kedua serta menggunakan

analisis regresi ganda untuk menguji

hipotesis ketiga dalam penelitian ini. Hasil

Amalia & Nashori

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 45 of 20

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

uji hipotesis pertama menunjukkan

bahwa variabel religiositas memiliki

korelasi dengan stres akademik dengan

nilai korelasi r= -0,219 dan nilai

signifikansi p= 0,00 (p= < 0,05). Hal

tersebut menunjukkan bahwa terdapat

korelasi negatif yang signifikan antara

variabel religiositas dan stres akademik.

Semakin tinggi tingkat religiositas pada

mahasiswa farmasi, maka semakin rendah

tingkat stres akademik yang dialami oleh

mahasiswa farmasi. Begitu pula

sebaliknya, semakin rendah tingkat

religiositas pada mahasiswa farmasi,

maka semakin tinggi tingkat stres

akademik yang dialami oleh mahasiswa

farmasi.

Hasil uji hipotesis kedua

menunjukkan bahwa variabel efikasi diri

memiliki hubungan dengan stres

akademik dengan nilai korelasi r= -0,385

dan nilai signifikansi p= 0,00 (p= <0,05).

Hal tersebut menunjukkan bahwa

terdapat korelasi negatif yang signifikan

antara variabel efikasi diri dan stres

akademik. Semakin tinggi tingkat efikasi

diri pada mahasiswa farmasi, maka

semakin rendah tingkat stres akademik

yang dialami oleh mahasiswa farmasi.

Begitu pula sebaliknya, semakin rendah

tingkat efikasi diri pada mahasiswa

farmasi, maka semakin tinggi tingkat stres

akademik yang dialami oleh mahasiswa

farmasi.

Hasil uji hipotesis menggunakan

analisis regresi ganda mendukung

hipotesis ketiga dalam penelitian ini. Hasil

uji hipotesis ketiga menunjukkan bahwa

variabel religiositas dan efikasi diri dapat

memprediksi tingkat stres akademik

dengan nilai F= 25, 438 dan nilai

signifikansi p = 0,000 (p= <0,001). Variabel

religiositas dan efikasi diri terbukti secara

bersama-sama memiliki pengaruh

terhadap stres akademik dengan nilai

korelasi R= 0,413 dan koefisien

determinannya (R2) = 0, 171, yang artinya

variabel religiositas dan efikasi diri

terbukti secara bersama-sama

menyumbang sebesar 17,1% terhadap

stres akademik mahasiswa farmasi.

Variabel religiositas dan efikasi diri

secara sendiri-sendiri juga dapat

memprediksi tingkat stres akademik.

Hasil analisis menunjukkan nilai beta = -

,0357 dan nilai signifikansi p = 0,000. Hal

tersebut menunjukkan bahwa terdapat

pengaruh negatif secara signifikan antara

variabel efikasi diri dan stres akademik

dengan sumbangan sebesar 13,7%.

Selanjutnya untuk variabel religiositas,

hasil analisis menunjukkan nilai beta = -

,0153 dan nilai signifikansi p = 0,010. Hal

tersebut menunjukkan bahwa terdapat

pengaruh negatif secara signifikan antara

variabel religiositas dan stres akademik

dengan sumbangan sebesar 3,4%,

kemudian sisanya 82,9% disumbangkan

melalui faktor lain.

PEMBAHASAN

Hasil uji hipotesis pertama

mendukung penelitian sebelumnya yang

dilakukan oleh Bath (2015) yang

menunjukkan bahwa tingkat religiositas

berkorelasi negatif dengan stres akademik

pada mahasiswa. Dalam kata lain,

semakin tinggi tingkat religiositas

mahasiswa, maka semakin rendah tingkat

stres akademik yang dirasakan oleh

mahasiswa. Begitu pula sebaliknya,

semakin rendah tingkat religiositas pada

mahasiswa, maka semakin tinggi tingkat

stres akademik yang dialami oleh

mahasiswa. Selain itu, terdapat juga

penelitian lain terkait yang menjelaskan

Amalia & Nashori

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 46 of 20

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

hubungan antara religiositas dan stres.

Berdasarkan hasil penelitian Saputra

(2016), diketahui bahwa tingkat

religiositas berkorelasi positif dengan

manajemen stres pada siswa. Siswa yang

memiliki tingkat religiositas yang tinggi,

maka akan memiliki tingkat manajemen

stres yang tinggi pula.

Hemamalini, Ashok, dan Sasikala

(2018) dalam penelitiannya menemukan

bahwa faktor terpenting yang

menyebabkan mahasiswa mengalami

stres tinggi adalah faktor akademik. Stres

akademik yang dialami mahasiswa dapat

menyebabkan masalah psikologis berupa

penurunan motivasi, tidak dapat

menyelesaikan tugas, absen dari kelas dan

ujian, dan lain-lain. Oleh karena itu,

manajemen stres sangat penting dan perlu

ditingkatkan untuk mengurangi tingkat

stres akademik yang dialami oleh

mahasiswa. Manajemen stres dapat

ditingkatkan dengan meningkatkan

religiositas (Saputra, 2016). Religiositas

yang tinggi dapat membantu mahasiswa

dalam meningkatkan manajemen stres,

sehingga mahasiswa dapat mengatasi

stres akademik yang dialami.

Krageloh, Chai, Shepherd, dan

Billington (2012) menjelaskan bahwa

tingkat religiositas mempengaruhi

bagaimana cara individu mengatasi stres

yang dialami. Religiositas seseorang dapat

dilihat dari seberapa besar iman atau

keyakinan seorang muslim terhadap

ajaran agama islam, tingkat kepatuhan

dalam mengerjakan ibadah dan

berperilaku sesuai ajaran agama Islam,

pengalaman keagamaan, dan

pengetahuan agama yang dimiliki (Ancok

& Suroso, 2018). Menurut Pargament dkk

(1992), agama memiliki peran dalam

proses seorang individu untuk melakukan

koping agar dapat menghadapi peristiwa

yang membuat individu mengalami stres

dan dalam menghadapi masalah. Cara

yang dapat dilakukan mahasiswa agar

dapat mengatasi stres akademik yang

dialami adalah dengan cara ibadah sholat

dan membaca Al-������ï

Sholat memberikan manfaat

kepada individu seperti menyembuhkan

dari perasaan duka dan gelisah. Saat

mengerjakan ibadah sholat, individu

dapat memiliki perasaan tenang dan

dihilangkan dari rasa sedih dan gelisah,

karena saat sholat individu berserah diri

kepada Allah dan mengosongkan diri dari

kesibukan dan permasalahan hidup,

sehingga sholat merupakan terapi dalam

mengatasi stres (Firdaus, 2016). Hal ini

didukung oleh penelitian Purnomosidi

(2018) yang menemukan bahwa individu

yang melaksanakan sholat tahajjud

mampu mengelola dan mengendalikan

stres. Sholat tahajjud yang dikerjakan

secara rutin mampu membuat individu

mendapatkan kehidupan yang tenang,

ketentraman jiwa, dan kebahagiaan

hidup. Selain itu menurut Hasan (2012)

individu yang beribadah secara disiplin

dapat memperoleh ketenangan ketika

menghadapi stres akademik.

Membaca Al-������1 ����1 �����1

menurunkan tingkat stres akademik

karena memiliki efek relaksasi yang dapat

menenangkan. Saat menghadapi

permasalahan akademik seperti beban

tugas yang berat dan materi kuliah yang

sulit yang menyebabkan stres, maka

aktivitas membaca Al-������1 �����1

dijadikan koping religius. Hal ini

dibuktikan melalui penelitian eksperimen

yang dilakukan oleh Nugraheni, Mabruri,

dan Stanislaus (2018) yang menemukan

bahwa perlakuan berupa membaca Al-

Amalia & Nashori

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 47 of 20

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

Qur���1�������1�����1����������1�������1

stres akademik pada siswa.

Berdasarkan penjelasan di atas,

beberapa penelitian menunjukkan bahwa

aspek ibadah dalam religiositas banyak

diteliti dan dihubungkan dengan stres

akademik. Namun berdasarkan analisis

tambahan dalam penelitian ini, aspek-

aspek religiositas yaitu aspek akidah,

ibadah, ihsan tidak berkorelasi dengan

stres akademik pada mahasiswa farmasi.

Aspek akhlak dan ilmu berkorelasi negatif

secara signifikan terhadap stres akademik

pada mahasiswa farmasi. Hal ini dapat

dilihat dari nilai korelasi r = -0,219 dan

nilai signifikansi p = 0,018 (<0,05) yang

menunjukkan bahwa terdapat hubungan

negatif yang signifikan antara aspek

akhlak dengan stres akademik dan nilai

korelasi r= -0,173 dan nilai signifikansi p=

0,006 (<0,05) yang menunjukkan bahwa

terdapat hubungan negatif yang

signifikan antara aspek ilmu dengan stres

akademik. Selanjutnya dapat disimpulkan

bahwa aspek akhlak merupakan aspek

yang paling dominan dalam tingkat

religiositas mahasiswa Farmasi dan

semakin tinggi tingkat religiositas dilihat

dari aspek ilmu dan akhlak, maka

semakin rendah tingkat stres akademik

yang dialami mahasiswa Farmasi.

Ilmu pengetahuan tentang agama

Islam merupakan prasyarat bagi seorang

muslim sebelum mengamalkan dimensi

akhlak dalam kehidupan sehari-hari. Ilmu

agama harus dipelajari terlebih dahulu

untuk mengetahui bagaimana berperilaku

atau berakhlak sesuai ajaran agama Islam.

Ketika mahasiswa memiliki pengetahuan

agama tentang sabar yang merupakan

bagian dari akhlak seorang muslim, maka

mahasiswa tersebut dapat bersabar dalam

menjalani beban tugas akademik yang

sulit, kemudian memohon pertolongan

Allah agar dapat menghadapi stres

akademik yang dialami.

Memohon pertolongan Allah tidak

hanya sekedar berdoa dan memasrahkan

diri kepada Allah agar dapat dimudahkan

dalam menghadapi stresor akademik,

namun sebagai seorang muslim,

mahasiswa harus bertawakal kepada

Allah SWT. Tawakal adalah

memasrahkan diri kepada Allah sekaligus

berusaha dan menerima hasil apapun

yang diperoleh dari usaha tersebut. Jika

mahasiswa menerima apa adanya hasil

dari usaha yang telah dilakukan dalam

kegiatan akademik yang dijalani, maka

akan mengalami stres akademik yang

rendah (Husnar, Saniah, & Nashori, 2017).

Hasil uji hipotesis kedua

mendukung penelitian sebelumnya, yaitu

penelitian Siregar dan Putri (2019) serta

penelitian Sagita, Daharnis, dan Syahniar

(2017) yang menunjukkan bahwa terdapat

hubungan negatif yang signifikan antara

self efficacy dan stres akademik mahasiswa.

Dalam kata lain, semakin tinggi tingkat

stres akademik mahasiswa, maka semakin

rendah pula tingkat self efficacy

mahasiswa. Begitu pula sebaliknya,

semakin tinggi tingkat stres akademik

mahasiswa, maka semakin rendah pula

tingkat self efficacy mahasiswa. Selain itu

terdapat penelitian Putri dan Ariana

(2021) yang menemukan bahwa semakin

tinggi self-efficacy, maka akan semakin

rendah stres akademik pada mahasiswa

yang sedang melakukan pembelajaran

jarak jauh selama pandemi Covid-19.

Berdasarkan analisis tambahan

dalam penelitian ini, aspek-aspek efikasi

diri, yaitu level, strength, dan generality

berkorelasi negatif secara signifikan

terhadap stres akademik pada mahasiswa

Amalia & Nashori

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 48 of 20

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

farmasi. Hal ini dapat dilihat dari nilai

korelasi r= -0,400 dan nilai signifikansi p=

0,000 (<0,05) yang menunjukkan bahwa

terdapat hubungan negatif yang

signifikan antara aspek level dengan stres

akademik. Nilai korelasi r= -0,297 dan nilai

signifikansi p= 0,000 (<0,05) menunjukkan

bahwa terdapat hubungan negatif yang

signifikan antara aspek strength dengan

stres akademik. Nilai korelasi r= -0,269

dan nilai signifikansi p= 0,000 (<0,05)

menunjukkan bahwa terdapat hubungan

negatif yang signifikan antara aspek

generality dengan stres akademik.

Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa

aspek level merupakan aspek yang paling

dominan dalam tingkat efikasi diri

mahasiswa Farmasi dan semakin tinggi

tingkat efikasi diri dilihat dari aspek level,

strength, dan generality, maka semakin

rendah tingkat stres akademik yang

dialami mahasiswa Farmasi.

Efikasi diri akademik adalah

kepercayaan siswa pada kemampuannya

untuk berhasil melakukan kegiatan

akademik pada tingkat yang diinginkan

(Schunk, 1991). Saat mahasiswa yakin

bahwa dirinya mampu menyelesaikan

sesulit apapun tugas akademik yang

diberikan (level), kemudian yakin dan

percaya pada kekuatan (strength) dan

kemampuan (generality) yang dimilikinya

untuk berhasil menyelesaikan tugas

akademik, maka akan mengalami stres

akademik yang rendah. Mahasiswa yang

memiliki keyakinan bahwa dirinya

mampu menyelesaikan tugas akademik

yang diberikan, maka akan mengerahkan

kemampuannya (strength) dalam

memenuhi tuntutan akademik secara

optimal, sehingga stres akademik yang

dialamipun dapat menurun (Putra &

Ahmad, 2020).

Menurut Wistarini dan Marheni

(2019), efikasi diri berperan dalam

menurunkan tingkat stres akademik. Jika

mahasiswa yakin memiliki kemampuan

(generality) yang baik dalam menghadapi

dan menyelesaikan berbagai situasi dan

tugas akademik, membuat perencanaan

serta regulasi diri, dan belajar dengan

rajin ketika menghadapi ujian, maka akan

mengalami stres akademik yang rendah.

Hasil uji hipotesis ketiga dalam

penelitian ini mendukung penelitian

sebelumnya, yaitu penelitian yang

dilakukan oleh Ruhamal (2015) yang

menunjukkan bahwa religiositas dan self

efficacy secara bersama-sama memiliki

pengaruh terhadap stres pada mahasiswa

dengan sumbangan 35,3%, dengan

masing-masing sumbangan sebesar 16,8%

untuk variabel efikasi diri dan 18,5%

untuk variabel religiositas. Hal yang

berbeda antara hasil penelitian ini dan

penelitian sebelumnya adalah sumbangan

variabel efikasi diri lebih besar

dibandingkan religiositas pada penelitian

ini dan sebaliknya, hasil penelitian

Ruhamal (2015) menunjukkan bahwa

sumbangan variabel religiositas lebih

besar dari efikasi diri, kemudian sisanya

64,7% disumbangkan melalui faktor lain.

Faktor-faktor lain yang mempengaruhi

tingkat stres akademik mahasiswa adalah

dukungan sosial orangtua, motivasi

berprestasi, prokrastinasi akademik,

emotion focused coping, dukungan sosial,

regulasi emosi, dll.

Dukungan sosial orangtua dan

teman dapat membantu mahasiswa

dalam mengatasi stresor akademik selama

studinya. Saat mahasiswa merasa

didukung oleh orangtua dan teman, maka

mahasiswa tersebut akan mengalami lebih

sedikit stres akademik (Rayle & Chung,

Amalia & Nashori

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 49 of 20

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

2008). Hasil penelitian sebelumnya yang

dilakukan oleh Ernawati dan Rusmawati

(2015) membuktikan bahwa dukungan

sosial orangtua berkorelasi negatif dengan

tingkat stres akademik siswa. Semakin

tinggi dukungan sosial orangtua, maka

akan semakin rendah tingkat stres

akademik yang dialami oleh siswa. Begitu

pula sebaliknya, semakin rendah

dukungan sosial orangtua, maka akan

semakin tinggi tingkat stres akademik

yang dialami oleh siswa. Variabel

dukungan sosial orangtua memberikan

sumbangan pengaruh terhadap stres

akademik siswa sebesar 13,1%.

Motivasi berprestasi mahasiswa

dapat membantu mahasiswa dalam

mengatasi stres akademik yang dialami.

Mahasiswa yang yakin dan berusaha

keras agar dapat menyelesaikan tugas-

tugas kuliah dengan nilai yang

memuaskan, maka akan merasakan self

healing, sehingga dapat mengelola stres

akademik dengan baik (Mulya &

Indrawati, 2016). Berdasarkan penelitian

Sagita, Daharnis, dan Syahniar (2017)

ditemukan bahwa self efficacy, motivasi

berprestasi, dan prokrastinasi akademik

secara bersama-sama mempengaruhi

tingkat stres akademik sebesar 38%.

Menurut Refi (2019), individu yang

melakukan koping dengan cara

mengendalikan respon emosionalnya,

maka akan dapat mengurangi respon

emosional negatif terhadap stres,

sehingga dapat mengurangi tingkat stres

akademik yang dialami. Hasil penelitian

Refi (2019) menemukan bahwa emotion

focused coping dan dukungan sosial

memiliki pengaruh terhadap tingkat stres

akademik siswa. Variabel emotion focused

coping dan dukungan sosial secara

simultan mempengaruhi stres akademik

sebesar 32,6%, dengan masing-masing

sumbangan efektif sebesar 15,22% untuk

variabel emotion focused coping dan

17,39% untuk variabel dukungan sosial

terhadap stres akademik.

Regulasi emosi merupakan hal

yang penting dalam mengatasi stres. Saat

individu tidak mampu meregulasi

emosinya, maka akan menyebabkan

individu tersebut mengekspresikan emosi

yang tidak tepat, sehingga individu

tersebut mengalami kesulitan dalam

mengatasi stres (Wang & Saudino, 2011).

Hasil penelitian Kadi, Bahar, dan Sunarjo

(2020) menemukan bahwa regulasi emosi

berkorelasi negatif secara signifikan

terhadap stres akademik mahasiswa.

Semakin tinggi regulasi emosi pada

mahasiswa, maka semakin rendah stres

akademik yang dialami oleh mahasiswa,

begitu pula sebaliknya.

KESIMPULAN

Berdasarkan uji hipotesis yang

menggunakan analisis korelasi product

moment Pearson dan analisis regresi

ganda, dapat disimpulkan bahwa ketiga

hipotesis dalam penelitian ini diterima,

yaitu tingkat religiositas memiliki

hubungan negatif dengan tingkat stres

akademik mahasiwa farmasi, tingkat

efikasi diri mahasiwa farmasi memiliki

hubungan negatif dengan tingkat stres

akademik mahasiwa farmasi, dan tingkat

religiositas dan efikasi diri bersama-sama

memiliki pengaruh terhadap stres

akademik mahasiwa farmasi. Religiositas

dan efikasi diri secara bersama-sama

menyumbang sebesar 17,1% terhadap

stres akademik mahasiswa farmasi dan

82,9% disumbangkan melalui faktor lain.

Saran yang ingin disampaikan

ditujukan kepada subjek penelitian dan

Amalia & Nashori

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 50 of 20

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

peneliti selanjutnya. Pertama: Saran

kepada subjek penelitian. Subjek

penelitian ini diharapkan untuk

meningkatkan efikasi diri dan

religiositasnya agar dapat mengelola stres

akademik yang dialami selama menjalani

perkuliahan di jurusan Farmasi. Kedua:

Saran kepada peneliti selanjutnya. Peneliti

selanjutnya diharapkan untuk meneliti

faktor-faktor lain yang memberikan

sumbangan pengaruh lebih tinggi

terhadap stres akademik mahasiswa

farmasi. Peneliti selanjutnya juga dapat

meneliti tentang terapi atau intervensi

yang dapat meningkatkan religiositas

maupun efikasi diri pada mahasiswa

farmasi.

Amalia & Nashori

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 51 of 20

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

DAFTAR PUSTAKA

Aftab, M. T., Naqvi, A. A., Al-Karasneh, A. F.,

& Ghori, S. A. (2018). Impact of

Religiosity on Subjective Life

Satisfaction and Perceived Academic

Stress in Undergraduate Pharmacy

Students. Journal of Pharmacy & BioAllied

Sciences, 10, (4), 192-198. doi:

10.4103/JPBS.JPBS_65_18

����ð1�ï1�ï1�ï1í1�����¢��ð1 ï1ûXVXVüï1��������1

Religiusitas dan Komitmen terhadap

Kinerja Karyawan. Jurnal Iqtisaduna, 6(1),

57.

https://doi.org/10.24252/iqtisaduna.v6i1.

13793

Alwisol. (2006). Psikologi Kepribadian: Edisi

revisi. Malang: UMM Press.

Ancok, D. & Suroso. F. N. (2018). Psikologi

Islami: Solusi atas Problem-problem

Psikologi. Cetakan VIII. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Anshori, M. & Iswati, S. (2017). Metodologi

Penelitian Kuantitatif. Surabaya:

Airlangga University Press.

Arabzadeh, M., Nikdel, F., Kadivar, P.,

Kavosian, J., & Hashemi, K. (2012). The

Relationship of Self-Regulation and Self-

Efficacy with Academic Stress in

University Students. International

Journal of Education and Psychology in the

Community IJEPC, 2, (2), 102-113.

Diunduh dari:

http://www.marianjournals.com/files/IJ

EPC_articles/Vol_2_no_2_2012/Arabza

deh_et_al_2_2_2012.pdf

Ardiningtyas, B., Marchaban, Kusnanto, H., &

Fudholi, H. (2017). Gambaran

Pelaksanaan Praktek Kerja Profesi

Apoteker di Apotek di Daerah Istimewa

Yogyakarta. Jurnal Ilmiah Farmasi, 13, (1),

19-26.

https://doi.org/10.20885/jif.vol13.iss1.art

4

Avianti, D., Setiawati, O. R., Lutfianawati, D.,

& Putri, A. M. (2021). Hubungan Efikasi

Diri dengan Stres Akademik Pada

Mahasiswa Fakultas Kedokteran

Universitas Malahayati. Psyche: Jurnal

Psikologi Universitas Muhammadiyah

Lampung, 3, (1), 83-93. Diunduh dari:

http://journal.uml.ac.id/TIT/article/view

/283

Bandura, A. (1997). Self-efficacy: The Exercise of

Control. W.H Freeman and Company :

United States of America.

Bandura, A. (2006). Guide For Constructing Self-

efficacyScales. In F. Pajares & T. Urdan

(Eds.), Self-efficacyBeliefs Of Adolescents.

Greenwich: Information Age

Publishing.

Barseli, M. & Ifdil, I. (2017). Konsep Stres

Akademik Siswa. Jurnal Konseling dan

Pendidikan, 5 (3), 143-148.

https://doi.org/10.29210/119800

Bataineh, M. Z. (2013). Academic Stress

Among Undergraduate Students: The

Case of Education Faculty at King Saud

University. International Interdisciplinary

Journal of Education, 2, (1), 82-88.

doi:10.12816/0002919

Bath, S. A. (2015). Religious Orientation and

Academic Stress Among University

Students. International Journal of

Behavioral Research & Psychology, 3, (3),

85-89. doi: 10.19070/2332-3000-1500015

Busari, A. O. (2011). Validation of student

academic stress scale (SASS). European

Journal of Social Sciences, 21, (1), 94-105.

Erindana, F. U. N., Nashori, H. F., & Tasaufi,

M. N. F. (2021). Penyesuaian diri dan

stress akademik mahasiswa tahu

pertama. Motiva Jurnal Psikologi. Vol 4

(1), 11-18. Motiva Jurnal Psikologi, 4, (1),

11-18. Diunduh dari:

http://ejurnal.untag-

smd.ac.id/index.php/MV/article/viewFi

le/5303/5159

Firdaus. (2016). Spiritualitas Ibadah Sebagai

Jalan Menuju Kesehatan Mental yang

Hakiki. Al-Adyan, 11, (1), 1-22. Diunduh

Amalia & Nashori

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 52 of 20

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

dari:

http://ejournal.radenintan.ac.id/index.p

hp/alAdyan/article/download/1440/115

6

Franita, R. (2018). Mekanisme Good Corporate

Governance dan Nilai Perusahaan: Studi

untuk Perusahaan Telekomunikasi. Medan:

Lembaga Penelitian dan Penulisan

Ilmiah Aqli.

Hamrat, N., Hidayat, D. R., & Sumantri, M. S.

(2019). Dampak Stres Akademik dan

Cyberloafing terhadap kecanduan

Smartphone. Jurnal Educatio: Jurnal

Pendidikan Indonesia, 5, (1), 13-19.

doi:10.29210/120192324

Hasan, A. B. P. (2012). Disiplin Beribadah:

Alat Penenang Ketika Dukungan Sosial

Tidak Membantu Stres Akademik.

Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Humaniora,

1, (3), 136-143. Diunduh dari:

https://jurnal.uai.ac.id/index.php/SH/ar

ticle/download/63/65

Hemamalini, R., Ashok, V., & Sasikala, V.

(2018). A Study on Stress Management

and its Impact among Students.

International Journal of Academic Research

in Economics and Management Sciences,

7(3), 101.110. doi: 10.6007/IJAREMS/v7-

i3/4439

Husnar, A. Z., Saniah, S., & Nashori, F. (2017).

Harapan, Tawakal, dan Stres

Akademik. Psikohumaniora: Jurnal

Penelitian Psikologi, 2, (1), 94.105. doi:

http://dx.doi.org/10.21580/pjpp.v2i1.117

9

Indria, I., Siregar, J., & Herawaty, Y.

(2019). Hubungan antara Kesabaran dan

Stres Akademik pada Mahasiswa di

Pekanbaru. Jurnal An-Nafs, 13, (1), 21-34.

Diunduh dari:

https://journal.uir.ac.id/index.php/anna

fs/article/download/2728/1748

Kadi, A. R., Bahar, H., & Sunarjo, I. S. (2020).

Hubungan Antara Regulasi Emosi

dengan Stres Akademik Pada

Mahasiswa Fakultas Kedokteran

Universitas Halu Oleo. Jurnal

Sublimapsi, 1, (2), 1-10. Diunduh dari:

http://ojs.uho.ac.id/index.php/sublimap

si/article/view/12002/8437

Kazmier, J. K. (2004). ��������1���¢1��������ñ1

Statistik untuk Bisnis; Terjemahan oleh:

P.A. Lestari. Jakarta: Erlangga.

Krageloh, C. U. Chai, P. P. M., Shepherd, D. &

Billington, R. (2012). How Religious

Coping is Used Relative to Other

Coping Strategies Depends on the

������������1 Level of Religiosity and

Spirituality. J Relig Health, 51, 1137.1151.

doi:10.1007/s10943-010-9416-x

Krejcie, R. V. & Morgan, D. W. (1970).

Determining Sample Size For Research

Activities. Educational and Psychological

Measurement, 30, 607-610. doi:

https://doi.org/10.1177/00131644700300

0308

Legiran, Azis, M. Z., & Bellinawati, N. (2015).

Faktor Risiko Stres dan Perbedaannya

pada Mahasiswa Berbagai Angkatan di

Fakultas Kedokteran Universitas

Muhammadiyah Palembang. Jurnal

Kedokteran Dan Kesehatan, 2, (2), 197-202.

Diunduh dari:

https://ejournal.unsri.ac.id/index.php/jk

k/article/view/2556

Mahudin, N. D. M., Mohd Noor, N., Dzulkifli,

M. A., and Janon, N. S. (2016).

Religiosity among Muslims: A Scale

Development and Validation Study.

Makara Hubs-Asia, 20, (2), 109-120. doi:

10.7454/mssh.v20i2.3492

Mulya, H. A. & Indrawati, E. S. (2016).

Hubungan Antara Motivasi Berprestasi

dengan Stres Akademik Pada

Mahasiswa Tingkat Pertama Fakultas

Psikologi Universitas Diponegoro

Semarang. Jurnal Empati, 5, (2), 296-302.

Diunduh dari:

https://media.neliti.com/media/publicat

ions/62277-ID-hubungan-antara-

motivasi-berprestasi-den.pdf

Musabiq, S. A. & Karimah, I. (2018).

Gambaran Stress dan Dampaknya pada

Mahasiswa. Insight Jurnal Ilmiah

Amalia & Nashori

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 53 of 20

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

Psikologi, 20, (2), 74-80.

doi: 10.26486/psikologi.v20i2.240

Nugraheni, D., Mabruri, M. I., & Stanislaus, S.

(2018). Efektivitas Membaca Al-������1

Untuk Menurunkan Stres Akademik

Pada Siswa Kelas XI SMA Negeri 1

Kebumen. Intuisi Jurnal Psikologi Ilmiah,

10, (1), 59-71. Diunduh dari:

http://journal.unnes.ac.id/nju/index.ph

p/INTUISI

Pargament, K. I., Olsen, H., Reilly, B., Falgout,

K., Ensing, D. S., & Haitsma, K.V. (1992).

God Help Me (II): The Relationship of

Religious Orientations to Religious

Coping with Negative Life Events.

Journal for the Scientific Study of Religion,

31, (4), 504.513. doi:10.2307/1386859

Program Studi Farmasi UII. (2017).

Rekapitulasi Beban Studi Jenjang S1

Farmasi Universitas Islam Indonesia

Berdasarkan Kurikulum 2017.

https://sarjana.pharmacy.uii.ac.id/akad

emik/mata-kuliah/ (diakses pada

tanggal 20 oktober 2020)

Purnomosidi, F. (2018). Sholat Tahajjud

sebagai Manajemen Stres pada

Karyawan di Universitas Sahid

Surakarta. Psikoislamedia Jurnal Psikologi,

3, (1), 113-124. Diunduh dari:

https://jurnal.ar-

raniry.ac.id/index.php/Psikoislam/articl

e/download/5222/3399

Puspitha, F. C., Sari, M. I., & Oktaria, D. (2018).

Hubungan Stres Terhadap Motivasi

Belajar Mahasiswa Tingkat Pertama

Fakultas Kedokteran Universitas

Lampung. Jurnal Majority, 7, (3), 24-33.

Diunduh dari:

http://repository.lppm.unila.ac.id/12526

/1/Faras.pdf

Putra, A. H. & Ahmad, R. (2020). Improving

Academic Self efficacy in Reducing First

Year Student Academic Stress. Jurnal

Neo Konseling, 2, (2), 1-9. doi:

10.24036/00268kons2020

Putri, G. A. N. & Ariana, A. D. (2021).

Pengaruh Self-Efficacy terhadap Stres

Akademik Mahasiswa dalam

Pembelajaran Jarak Jauh Selama

Pandemi Covid-19. Buletin Riset

Psikologi dan Kesehatan Mental (BRPKM),

1, (1), 104-111. Diunduh dari: https://e-

journal.unair.ac.id/BRPKM/article/view

/24573/pdf

Rayle, A. & Chung, K. Y. (2007). Revisiting

First-Year College Students' Mattering:

Social Support, Academic Stress, and

the Mattering Experience. Journal of

College Student Retention: Research,

Theory and Practice, 9(1), 21.37.

doi:10.2190/X126-5606-4G36-8132

Refi. (2019). Hubungan antara emotion

focused coping dan dukungan sosial

������1�����1��������1��� �1���1���1

Yogyakarta. Prosiding Seminar Nasional

Magister Psikologi Universitas Ahmad

Dahlan, 263-272. Diunduh dari:

http://seminar.uad.ac.id/index.php/snm

puad/article/view/3432

Refri, F. M., Syafitri, N., Putri, S. A., &

Nashori, H. F. (2021). Tawakal and

Academic Stress on Students Following

Online Lectures: Tawakal dan Stres

Akademik Pada Mahasiswa yang

Mengikuti Kuliah Secara Daring.

Proceding of Inter-Islamic University

Conference on Psychology, 1, (1). Diunduh

dari:

https://www.researchgate.net/publicati

on/350061082_Tawakal_and_Academic

_Stress_on_Students_Following_Online

_Lectures_Tawakal_dan_Stres_Akade

mik_Pada_Mahasiswa_yang_Mengikut

i_Kuliah_Secara_Daring

Rohmadani, Z. V. & Setiyani, R. Y. (2019).

Aktivitas Religius untuk Menurunkan

Tingkat Stres Mahasiswa yang Sedang

Skripsi. Jurnal Psikologi Terapan dan

Pendidikan, 1, (2), 108-116. Diunduh dari:

http://journal.uad.ac.id/index.php/Psik

ologi/article/download/15135/7353

Ruhamal, I. (2015). Pengaruh Religiusitas dan

Self-efficacy Terhadap Stres Pada

Mahasiswa Psikologi UIN SUSKA Riau.

Amalia & Nashori

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 54 of 20

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

Skripsi. Tidak diterbitkan. Fakultas

Psikologi Universitas Islam Negeri

Sultan Syarif Kasim Riau Pekanbaru.

Rusdi, R. (2015). Hubungan Antara Efikasi

Diri dan Manajemen Waktu Terhadap

Stres Mahasiswa Farmasi Semester IV

Universitas Mulawarman. eJournal

Psikologi, 4 (1), 53-64. Diunduh dari:

ejournal.psikologi.fisip-unmul.ac.id

Sagita, D.D., Daharnis, & Syahniar. (2016).

Hubungan Self Efficacy, Motivasi

Berprestasi, Prokrastinasi Akademik

dan Stres Akademik Mahasiswa. Jurnal

Bikotetik, 1, (2), 37-72. doi:

http://dx.doi.org/10.26740/bikotetik.v1n

2.p43-52

Santrock, J. W. (2003). Adolescence:

Perkembangan Remaja Edisi Keenam.

Terjemahan Oleh: Shinto, B.A. & Saragih,

S. Jakarta: Erlangga.

Saputra, S.D. (2016). Pengaruh

Religiusitas Terhadap Manajemen Stres

Pada Siswa Kelas XII SMA Negeri 1

Kasihan. E-Journal Bimbingan dan

Konseling, 8, (5), 164-173. Diunduh dari:

http://journal.student.uny.ac.id/ojs/inde

x.php/fipbk/article/download/4317/398

7

Sarita & Sonia. (2015). Academic Stress among

Students: Role and Responsibilities of

Parents. International Journal of Applied

Research, 1(10), 385-388. doi: 151800998

Schunk, D. H. (1991). Self-efficacy and

Academic Motivation. Educational

Psychologist, 26, (3 & 4), 207-231.

Diunduh dari:

https://wss.apan.org/jko/mls/Learning

%20Content/schunk%20academic%20se

lf%20efficacy.pdf

Schwarzer, R. & Jerusalem, M. (1995). English

Version: General Self- Efficacy Scale.

Indonesian Adaptation by Aristi Born, Ralf

Schwarzer & Matthias Jerusalem, 1995.

http://userpage.fu-

berlin.de/~health/indonese.htm

Sim, H. S. & Moon, W. H. (2015). Relationships

between Self-Efficacy, Stress,

Depression and Adjustment of College

Students. Indian Journal of Science and

Technology, 8, (35), 1-4. doi:

10.17485/ijst/2015/v8i35/86802

Siregar, I. K. & Putri, S. R. (2019). Hubungan

Self-efficacy dan Stres Akademik

Mahasiswa. Consilium: Berkala Kajian

Konseling Dan Ilmu Keagamaan, 6, (2), 91-

95. doi:

http://dx.doi.org/10.37064/consilium.v6i

2.6386

Stevani & Gumanti, D. (2018). Analisis Faktor

Fisiologis dan Motivasi Belajar

Mempengaruhi Prestasi Belajar

Ekonomi Siswa SMA Negeri Kota

Padang. Journal of Economic and Economic

Education, 6, (2), 106-111. Diunduh dari

http://ejournal.stkip-pgri-

sumbar.ac.id/index.php/economica/arti

cle/view/2615

Sukino, S. (2018). Konsep Sabar dalam Al-

Quran dan Kontekstualisasinya dalam

Tujuan Hidup Manusia Melalui

Pendidikan. Jurnal Ruhama, 1,(1), 63-77.

Diunduh dari:

https://jurnal.umsb.ac.id/index.php/ruh

ama/article/download/822/733

Sun, S. H. & Zoriah, A. (2015). Assessing Stress

among Undergraduate Pharmacy

Students in University of Malaya. Indian

Journal of Pharmaceutical Education and

Research, 49, (2), 99-105. doi:

10.5530/ijper.49.2.4

Supradewi, R. (2019). Stres Mahasiswa

Ditinjau dari Koping Religius. Psycho

Idea, 17, (1), 9-22. doi:

10.30595/psychoidea.v17i1.2837

Utami, S., Rufaidah, A., & Nisa. A. (2020).

Kontribusi Self-efficacy terhadap Stres

Akademik Mahasiswa Selama Pandemi

Covid-19 Periode April-Mei 2020.

Teraputik Jurnal Bimbingan dan Konseling,

4, (1), 20-27. doi:

10.26539/teraputik.41294

Amalia & Nashori

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 55 of 20

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

Wade, C. & Tavris, C. (2007). Psikologi Edisi

Kesembilan Jilid 2. Jakarta: Penerbit

Erlangga.

Wang, M. & Saudino, K. J. (2011). Emotion

Regulation and Stress. J Adult Dev, 18,

(2), 95.103. doi: 10.1007/s10804-010-

9114-7

Wasiti, A. A. & Yoenanto, N. H. (2021).

Pengaruh Academic Self-efficacy

terhadap Academic Burnout Pada

Mahasiswa yang Sedang Mengerjakan

Skripsi. Buletin Riset Psikologi dan

Kesehatan Mental (BRPKM), 1, (1), 112-

119. Diunduh dari: https://e-

journal.unair.ac.id/BRPKM/article/view

/24380/pdf

Wistarini, N. N. I. P. & Marheni, A. (2019).

Peran Dukungan Sosial Keluarga dan

Efikasi Diri terhadap Stres Akademik

Mahasiswa Baru Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana Angkatan 2018.

Jurnal Psikologi Udayana Edisi Khusus

Psikologi Pendidikan, 164-173. Diunduh

dari:

https://ojs.unud.ac.id/index.php/psikol

ogi/article/view/52516/31032

Wulandari, D. (2018). Hubungan Antara

Regulasi Diri Dalam Belajar Dan Stres

Akademik Pada Mahasiswa

Kedokteran. Skripsi. Tidak diterbitkan.

Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial

Budaya Universitas Islam Indonesia.

Yusuf, N. M. & Yusuf, J. M. (2020). Faktor-

faktor yang Mempengaruhi Stres

Akademik. Psyche 165 Journal, 13, (2),

235-239. Diunduh dari:

http://lppm.upiyptk.ac.id/ojsupi/index.

php/PSIKOLOGI/article/download/136

3/328/

Zamroni, Z. (2015). Prevalensi Stres

Akademik Mahasiswa. Jurnal

Psikoislamika, 12 (2), 51-57.

doi: 10.18860/psi.v12i2.6404

Zubairu, U. M. & Sakariyau, O. B. (2016). The

Relationship between Religiosity and

Academic Performance amongst

Accounting Students. International

Journal of Evaluation and Research in

Education (IJERE), 5, (2), 165-173.

Diunduh dari:

https://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ11085

59.pdf

https://ejurnal.lp2msasbabel.ac.id/index.php/psc

Vol. 3, No. 1, June (2021)

ISSN (Online): 2721-2564

https://doi.org/10.32923/psc.v3i1.1748

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 56 of 17 © Psychosophia, 2021

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

Review Date ; May 17, 2021

Revision Date : June 18, 2021

Accepted Date : June 21, 2021

Publish Date : June 23, 2021

ARE CHILDHOOD CRUELTY TO ANIMALS INDICATES AS

MENTAL DISORDER?

Risa Juliadilla*

Program Studi Psikologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Budaya, Universitas Gajayana Malang

[email protected]

Nia Anggri Noveni

Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Purwokerto

Abstract: Animal Cruelty regularly happened during childhood that indicates beyond cruelty to humans.

Cruelty to animals distinguishes some steps: curiosity, exploration, imitates or even the aggressive act refers to

animal cruelty. The ignorance toward these aggressive acts led to Conduct Disorder or even Antisocial

Personality Disorder. Animal Cruelty reached an agreement as to the unethical act with intentional tortures,

unintentionally suffering causes death. Cruelty is done on purpose and with intentional time. This research aims

as a reference for animal cruelty in childhood by proposing some research summary in (1) Animal Cruelty

framework, (2) Animal Cruelty relation among child abuse and domestic violence; (3) Developmental Psychology

reference: Children aggressive acts toward animal; (4) animal cruelty and psychology disorder and (5) clinical

pathway childhood cruelty to animals. The research conducts a literature review by describing a theory,

discussion, and results from textbooks, articles, and journals. This article had synthesized 16 research articles

that have been identifying through an online database and manual search for selected research. The researcher

analyzed, compared the results taken from some literature, identifies the pros and cons, and proposing findings

and discussions. In conclusion, animal cruelty defines as a crucial marker for mental health that relates to

Conduct Disorder to Antisocial Personality Disorder. The role of adults is vital in minimizing children's acts

for committing animal cruelty by nurturing empathy. Humane education program is one of efforts to teach

empathy since early childhood.

Keywords: Animal Cruelty, Childhood, Conduct Disorder, Antisocial Personality Disorder

Abstrak: Kekejaman pada hewan sering muncul di masa kanak-kanak yang dapat mendahului

kekerasan pada manusia di kemudian hari. Perilaku kekejaman pada hewan terjadi bertahap mulai

dari rasa ingin tahu, eksplorasi, meniru perilaku, hingga perilaku agresif yang bertujuan menyakiti

hewan. Perilaku agresif pada hewan yang dibiarkan dapat membentuk anak mengalami Conduct

Disorder (CD) hingga Antisocial Personality Disorder (APD). Tujuan dari penelitian ini memberi tinjauan

tentang perilaku kekejaman pada hewan pada saat masa kanak dengan menawarkan ringkasan studi

tentang (1) konsep kekejaman pada hewan; (2) hubungan kekerasan hewan, kekerasan pada anak dan

kekerasan rumah tangga; (3) tinjauan developmental psychopathology : tindakan kekejaman anak pada

hewan; (4) kekejaman pada hewan dan gangguan psikologi; (5) jalur klinis tindak kekerasan anak-

anak pada hewan. Artikel ini disusun menggunakan kajian literatur yaitu uraian tentang suatu

teori, temuan dan bahan penelitian lain yang diperoleh melalui buku, artikel-artikel jurnal penelitian.

Ulasan ini mensintesis 16 artikel yang diidentifikasi melalui database online dan pencarian manual

pada studi yang ditentukan. Peneliti kemudian menganalisis, membandingkan hasil penelitian satu

dan lainnya, mencari kesamaan dan perbedaan serta meringkas dan membuat kesimpulan.

* Author Correspondence

Juliadilla & Noveni

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 57 of 17

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

Kesimpulan dari penelitian ini adalah tindakan kekejaman pada hewan merupakan suatu catatan

yang serius untuk kesehatan mental yaitu Conduct Disorder (CD) hingga Antisocial Personality Disorder

(APD). Pentingnya peran orang dewasa untuk menimalisir tindakan anak dalam melakukan

kekejaman terhadap hewan dengan mengembangkan sikap empati. Humane education merupakan

salah satu upaya untuk mengajarkan empati sejak dini.

Kata kunci: Kekerasan pada hewan, Masa Kanak, Gangguan Tingkah laku, Gangguan Kepribadian

antisosial

Juliadilla & Noveni

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 58 of 17

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

INTRODUCTION

The following acts that occurred at

childhood times define as the trigger of

future aggression to humans including

animal cruelty, enuresis, and firesetting.

When children does these acts at the same

time or combined acts led to future

aggressiveness. The predicted things in

adults are the emergence of cruel sexual

behavior, firesetting, committing crime, or

murder (Chan & Wong, 2019). According

to MacDonald Triad components, enuresis

displayed as the weak connection of the

aggressive and crime at present. Besides,

firesetting and cruelty to animals prove

correlation to cruelty and crime (Walters,

2016). As well as cruelty to animals has

comprehensive theoretical study

compared to enuresis, and firesetting

(Chan & Wong, 2019). The research

conducted by Walters (2016) to 496 male

with sex offenders shows the results that

cruelty to animals is classified as a sign of

callous and uncompassionate. Cruelty to

animals performs as an alert of

psychological risk factors for

developmental problems of children.

These actions indicate that the child needs

to get clinical treatment in purpose to

avoid the nurture of personality with

violence. Children who engage in animal

cruelty 3 times or more are likely to

commit more serious crimes including

murder, rape, robbery, assault,

harassment, threats, and abuse of drugs or

substances (Johnson, 2018).

Here are two stories for clear

relationship:

"From the initial investigation conducted by

the police, NF (15 years old), adolescents killer

5-year-old boy got some facts, one of them is

the perpetrator are often abuse animals. She

can torture a frog or lizard with a fork. Then

when she was upset, her cat thrown from the

second floor "(Wijana & Anggreini, 2020)

"DCL (6 years old) was found sobbing in the

hospital when he rushed to bring a dead chick

that struck as he was playing a bicycle. He took

the dying chick to nearby hospitals and gave all

the money to ask help from a nurse (Camelia,

2019)

The news above distinguishes two

different situations, the first is emphasizes

that animal cruelty prone as the practice

before committing a crime to human, and

the second one shows the empathy and

responsibility of children. Cultivating

empath for early childhood is a

fundamental basis of prosocial acts. One

idea to acknowledge children about the

lesson of an empath can determine by

human-animal interaction. Childhood

world associate with animals through

fable, animal doll, imitating the animal

sound and science. So that, learning

empathy helps by animals object is the

right decision.

Teaching for animal welfare to

children is an effort that can foster

empathy. The aim is to improve the

awareness to treat the animal with respect

and minimize the acts of animal cruelty. A

survey report was taken from students in

Greece, Italy, and Spain and came with the

fact that they had an understanding but

lack of knowledge on animal welfare.

Knowledge of animal welfare depicts the

way how we treat the animal. This issue

becomes the point of discussion

specifically in the Europe Union, and as a

result, they introduce the program

regarding animal welfare. Austria is an

example for those that apply for animal

Juliadilla & Noveni

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 59 of 17

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

welfare programs for their middle school

(Protopapadaki, 2016).

Children commit acts of violence

and cruelty as they as victims of what they

learn around them (Hensley, Tallichet, &

Dutkiewicz, 2012). Animal cruelty from

moderate to severe is widespread in our

society, but some people are still not fully

aware. In the beginning, children make

fun by pulling animal tails, chasing them

to make them afraid, neglecting them by

not providing sufficient food, or

imprisoning them in a narrow cage.

Animal cruelty defines as when children

are committing violence by hitting or

dismembering the animal. Adults are

unintentionally committing cruelty to

animals regularly at a light level that

children can imitate.

Cases of animal cruelty are

frequently committed by adults and

children. Garda Satwa Indonesia found

103 animal cruelty cases in 2015 that raise

per year. The phenomenon has been

spotted in the massive news of animal

cruelty cases. Garda Satwa Indonesia

found 103 cases of animal cruelty in 2015

and increase per year (Wellson & Gandha,

2015). The phenomenon has been spotted

in the massive news of animal cruelty

cases. Later, the perpetrator did not

hesitate to post on social media. Thus,

legal sanctions for perpetrators of animal

abuse cases remain weak and lack action.

At this point, the cycle of animal

violence remains to exist and

unfortunately children are indeed commit

cruelty to animals. In 1964, Margaret

Mead, a social scientist, said that

perpetrators of animal cruelty in

childhood potentially commit violence

and murder repeatedly if not got treated

up (Jegatheesan, Enders-Slegers,

Ormerod, & Boyden, 2020).

The role of parents and adults is

vital to respond to the animal cruelty

phenomenon. So that, the animal cruelty

concepts comprehend to get in-deep result

overview. The research aims to sketch up

summarize of animal cruelty in childhood

by preserving reviews relate to (1) The

concept of animal cruelty, (2) The relation

on animal cruelty, child abuse, and

domestic violence, (3) Developmental

Psychopathology overview, (4) Animal

Cruelty and Clinical Disorders, (5) clinical

pathway childhood cruelty to animals.

Methodology

The article uses the literature

review as a research methodology with

review literature, findings, and other

sources are taken from books, articles, and

journals. This article had synthesized 16

research articles that have been

identifying through an online database

and manual search for selected research.

In the beginning, the researcher collected

the literature by collecting data from

journals with a particular focus: cruelty

animals, Conduct Disorder (CD),

antisocial personality disorder (APD), and

Psychopath. The next step is the

researcher collecting, analyzing,

processing the data, and comparing the

results one to another, sythesizing, and

draw the conclusion.

Result and Discussion

Concepts of Animal Cruelty

In the beginning, describing the

concepts of animal cruelty requires

enormous effort since the dichotomy of

animals' existence is considered for daily

Juliadilla & Noveni

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 60 of 17

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

consumption, as the opposite, humans

urge to think about the animals' welfare.

The definition of cruelty to animals has

been established as unethical behavior

with intentional tortures, and

unintentionally suffering causes a death.

The behavior pattern is intentionally and

repeatedly (Gullone, 2012). Animals

cruelty, in the literature on human

aggression is horrendous than the

dimensions of hostility, for example,

burned alive and extreme torture. The

perpetrators' sight thinks animals as

livestock that bred, insult, and pests

(Gullone, 2012). On the other hand, some

people upgrade the status as companion

animals or pets where the owners will

regard them as family members and

provide care (Gullone, 2012).

Animal Cruelty to the high values

animal (i.e, a pet: dog) tends to connect

with cruelty to humans rather than cruelty

to low-value animals (i.e, cockroaches,

mouses, etc.). However, the perpetrators

that do the cruelty with purposes are

considered deviant behavior. Cruelty to

animals that are done purposely and

torturing to death is abnormal and

criminal that is socially and legally

unacceptable (Gullone, 2011). Animal

cruelty means omitting particulars

activities such as hunting, farming,

veterinary practice, animal farming,

animal testing, and animal worship. Those

activities are accepting by society and no

direction to pathology (Gullone, 2012).

Cruelty animal is not restricted only to

active acts: hitting, kicking, torturing but

also to passive ones: neglecting, by not

preserving sufficient food and drinks

(Levitt, Hoffer, & Loper, 2016). In short,

animal cruelty is culturally opposed and

deviance when it does in purposes,

painful and frequently.

Some researchers created an

inventory to precisely measures the

definition of animal cruelty, as one of

them is The Cruelty to Animals Inventory

(CAI) that developed by Dadds et al.,

(2004) . CAI adequate to concede of nine

aspects of the cruelty of children as

follows: severity (based on degree of

intentional pain and injury caused to an

animal), frequency (the number of

separate acts of cruelty), duration (period

of time over which the cruel acts

occurred), recency (the most recent acts),

diversity across and within categories

(number of animals abused from different

categories and the number of animals

harmed from any one category), sentience

(level of concern for the abused animal),

����������1û�������1��������1��1�������1���1

behavior), isolation (whether the cruelty

occurred alone or with other

children/adults), and empathy (the degree

��1���1�������1�������1���1���1�����1����üï

The animal cruelty motive of

childhood have various and complicated

reasons, and it is necessary to understand

the characteristics and situational

circumstances of the perpetrator. This way

is helpful to predict future violence that

might divert into violence to humans.

According to Ascione, there are three

types of the background of children and

adolescents to engage in the acts

underlying cruelty to animals (Hawkins,

Hawkins, & Williams, 2017):

1. Exploratory animal abuse. In

general, accidentally perform by

children with curiosity and lack of

knowledge, direction, and

Juliadilla & Noveni

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 61 of 17

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

supervision from adults and

environment.

2. In pathology, torturing animals

means a sign of the clinical

treatment needs causing by

psychological distress symptoms,

i.e. personality and behavior, or

other mental disorders. This

category is also done by children or

older.

3. Delinquent animal abuse is cruelty

to animals that reflect the pattern of

delinquent behavior and various

antisocial acts. Mostly found in

adolescents, that desired by

childhood experiences, peer effects,

imitating behavior, animal abuse

related to sexual satisfaction,

particular animal phobias, and

traumatic experiences.

One of the points to concern is the

existence of remorse. In short, when

children have not shown any remorse

after committing cruelty to an animal, that

is an indication that leads to

psychopathology.

The Connections of Animal Cruelty,

Child Abuse and Domestic Violence

Animal cruelty and cruelty to

humans had a strong bond, which that

phenomenon knew as linked. The

perpetrators found that also committed

cruelty to humans. (Jegatheesan et al.,

2020) describes behavior patterns when

adults commit violence linked to

childhood experiences, especially for

children who have a background of

cruelty to animals in childhood.

Unpleasant experiences in childhood or

the family role malfunctions are risk

factors of children to get behavioral

disorders. The emergence of cruelty to

animals might start when children were

imitating their parent's violent behavior,

by then unable to develop an attitude of

empathy, and that behavior was

absorbing from the surroundings. The role

of parents toward cruelty to animals was

dominant when parents show aggressive

behavior to a non-human, it is likely the

child imitates their parents act, including

cruelty to animals.

Animal cruelty is the result of

children learning experience by watching

the cruelty acts or experiences as the

victim of domestic violence (McEwen,

Moffitt, & Arseneault, 2014). The

patriarchal system dominated nurturing

violence in the community that commonly

happened to women also the pet who is

considered a family member. Patriarchy

was prone to displaying domination and

control to all family members. Domestic

violence is the most powerful is equal to

violence that contributes by the father in

the form of violence to wife and physical

punishment to family members (Gullone,

2011). The perpetrators are creating terror

for the partner and children. This makes a

related system regarding animal cruelty,

child abuse, and domestic violence

(Jegatheesan et al., 2020).

This violence comes as a chain of

violence when children were victims of

violence in the family or experiencing to

see violence against animals. Children

who had nurtured beyond this situation

are more likely to commit cruelty to

animals than children who do not

experience violence at all. Animal abuse

can perform as a transfer of aggression to

weaker objects. The transfer of

aggressiveness to animals can turn

defenseless to control and empowerment.

Someone can have a sense of control

Juliadilla & Noveni

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 62 of 17

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

through persecution and desired to repay

for feelings of weakness (Gullone, 2011).

This behavior is done to derive pleasure

from the disorder. Although few children

were experiencing violence in the family

face the same problems, some are

successful, able to adapt, and increase

resilience. Family is the first microsystem

for children. Family for children functions

as the initial foundation to shape

personality and character. When children

had nurtured by inappropriate it will

cause emotional and developmental

disorders. Inharmonious relations within

family members is one of the causes of

behavioral disorders in children.

Developmental Psychopathology: Acts

of child cruelty to animals

The act of animal cruelty in

childhood had assessed using

psychological theories of human

development. Hawkins & Williams, (2017)

explain that animal cruelty has an impact

on psychological development. The acts of

animal cruelty by children occurs

gradually. If not treated immediately,

animal cruelty can predict children's

behavior from adolescence to adulthood,

such as identifying antisocial personalities

or psychopaths. Factors that affect animal

cruelty include peer influence, imitation

behavior, mood, sexual satisfaction,

animal abuse, attachment to animals,

animal phobias, and experiencing abuses.

Hawkins et al., (2017) add the trigger for

children to do cruelty to animals during

childhood are violence during childhood

time, neglected children, bullying,

behavioral, personality, mental & health,

family dysfunction, sexual violence, lack

of empathy, weak coping strategies, and

problems with peers. When parents

scolding vigorously, it can lead to

aggressive behavior that motivates the

cruelty of animals. The children's acts to

demonstrate aggressive behavior with

cruelty to animals can develop further

imagination to its aggression and this

condition are even getting worse when the

ignoring environment, neglecting

children behavior or even becomes the

victim of bullying. Children's aggressive

behavior in the form of animal cruelty

may distract the growth of empathy that

resulted in an empathy deficit disorder.

Normative levels of empathy in childhood

can serve as a protective barrier against

aggressive behavior. Particularly, when

children feel from the perspective of

animals. When children can feel from an

animal perspective, it can affect the actions

when children treat animals.

McDonald et al., (2018) stated that

animal cruelty has been reproducing by

aggressive behavior when commiting

cruelty to animal. According to Hawkins

& Williams, (2017) it has explained that

childhood experiences related to

parenting patterns with neglecting their

children may trigger the children to

commit cruelty to animals that have

occurred by low-supervision, lack of

knowledge to treat animals properly.

Further observation is needed for

adolescence whether the experience of

committing cruelty to animals in

childhood can be a potential pattern for

juvenile delinquency to antisocial

behavior. In adolescents, acts of cruelty to

animals in most cases arise because of

peer-pressure as reinforcing the behavior

of adolescents, including being cruel to

animals. Besides, the problem of animal

Juliadilla & Noveni

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 63 of 17

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

cruelty by adolescence is related to

unpleasant childhood experiences.

Kellert and Felthous also suggest the

main backgrounds why humans,

especially children, engage in cruel

behavior to animals as follows (i) attempts

to control the animal (e.g., hitting a dog to

stop the barking), (ii) retaliation (i.e.,

cutting a cat's leg for having stolen food,

(iii) acted out of prejudice against a

particular species or race, (i.e., despising

dogs for being unclean), (iv) expressions

of aggression through animals (e.g.,

organizing dog fights) or, (v) acting on

motivation to increase one's

aggressiveness ( i.e., animals are purposes

to attract attention), (vi) to surprise people

for entertainment (observable harassment

of others), (vii) to retaliate against others

or as revenge (e.g., killing or injuring

unwanted neighbors), (viii) transfer of

aggression to animals, and (xi) non-

specific sadism a desire to cause suffering,

injury, or death but the absence of certain

feelings or hostility towards animals

(Chan & Wong, 2019).

Learning of Aggression to Cruelty of

Animals

Social learning theory by Bandura

explains when people learn about the how

and why they engage in any behavior,

including criminal and deviant behavior.

The process is similar when children see

adults in their inner circle (Hensley et al.,

2012). This theory can explain the

etymology of the environmental factors

that cause antisocial behavior and

aggression. In particular, the

environmental factors such as violence at

home, observing violence against animals

like how adults treat animals since our

acts connected to the learning process both

in the family and environment. Learning

for individuals occurs through a process

of observation and imitation. Learning has

defined as the ability to learn from the

social environment, especially when

children observing adults.

Bandura's research on adults who

treats bobo doll brutally then let the

children observing the behavior, the effect

is the children become more aggressive in

treating dolls. Bandura in Santrock, (2011)

explained that particular situation as the

aggression transference by imitating the

����������1 ��������ï1 ���������1 ���1 ��1

Bobo Doll describes the work of

phenomenon when children imitate the

adults by observing their behavior.

Bandura shows that the social learning

process begins with someone observing,

modeling, then imitating that taken from

the recent experiences of others, before the

child is confident and independent in

performing their behavior.

The human imitating behavior was

driving by imitating behavior from

surroundings like family, community, and

broader surroundings. The process of

imitating behavior began at 0-1 year.

Children at an early age (0-1 year) imitate

the adults' facial expressions and gestures.

Besides that two fundamental behavior,

children replicate simple behavior such as

kicking or hit with hands. Children can

observe and imitate the simple behavior

from their surroundings, such as family.

In particular, children imitated the adults'

behavior in kicking (hurt) animals.

The process of imitating behavior

at three years old children becomes

intricate. For three years old the process is

more detailed and not only observing the

behavior but also involving the cognition

steps. At this stage, children emerge from

Juliadilla & Noveni

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 64 of 17

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

their high sense of curiosity about the

things around them. Children with

intense curiosity encourage a sense of

exploration when getting positive

feedback from the inner circle like family.

The positive feedback that is given in

responding to children's curiosity

stimulates the children to get intimate

learning.

Children's cognitive development

emerges by imitating the violent acts

associated with a parenting style related to

emotion management. McEwen et al.,

(2014) said that children who commit

cruelty to animals indicate suffering abuse

from their parents. Although when

children mistreat the animals are not

necessarily intended to hurt or molest.

Lack of supervision and the neglecting

parenting style turns to negative behavior

by committing cruelty to animals. For

seven years old children, their actions and

emotions are affected by the response of

adults, so that the parents' responses is

crucial.

Maladaptive learning has been

discovered in parents with an indifferent

attitude towards children, parents being

permissive over their child's aggressive

behavior, the use of corporal punishment,

and authoritarian rule (Gullone, 2011).

The child's behavior in the animal cruelty

context generates a sense of interest and

desire to explore and no desire to hurt. At

this point, the children were learning to

see animal expressions and gestures

associated with children's behavior in the

following times. The way of treating

animals can be more aggressive as the

process of imitating adults. Adults

validation to the violence committed to

the animal is required, like when children

imitate behavior around them, such as

kicking an animal and their parents do not

provide any guidance to their acts, so

children might think that their behavior is

correct.

The Violence Graduation Hypothesis

The approach aims to predict that

individuals who commit cruelty to

animals in childhood expect to have more

severe cruelty acts to humans. Animal

cruelty means a cycle begins with a fight,

persecute, so animal cruelty is the most

brutal (Johnson, 2018). If the situation is

left untreated, it is likely to develop into an

uncompassionate and unemotional trait

setting up a dangerous generation.

Through cruelty to animals, children may

learn to enjoy feeling to suffer the objects

to do the same to a human. The

phenomenon involved several cases in

Indonesia, a teenager (NF) who murder a

toddler, when in her daily frequently

tortures and kills animals, such as frogs

and lizards that stabbed with a fork and

once she had thrown her cat when she was

upset.

Hensley, Tallichet, & Dutkiewicz,

(2012) carried out a study on 180 male

prisoners, found that 108 of 180 said they

had involved cruelty to animals in

childhood. The torture categories as

follow: bumping (n = 85, 82.5%), kicking (n

= 37, 35.9%), shooting (n = 34, 33%),

committing sexual harassment (n = 23, 22.3

%), drowned (n = 18, 17.5%) choked (n =

18, 17.5%) and burned (n = 16, 15.5%).

When they commit cruelty to animals

without any emotional feelings. When

some respondents did sexual abuse

animals, thus they tended not to jump out

of the closet. In contrast to previous

Juliadilla & Noveni

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 65 of 17

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

research by Hensley & Tallichet, (2005)

surveyed 261 prisoners found that one-

third of the sample committed cruelty to

animals for fun apart from that due to the

angry response that was vented on

animals. Prisoners who indulge in cruel

behavior on animals tend to do so when

alone, in contrast to inmates who act in

front of others to impress people and

imitate others.

The Deviance Generalization Hypothesis

Animal cruelty as a part of various

antisocial behavior can precede or track to

other types of behavior such as

misleading, stealing, property

destruction, robbery, sexual assault, and

other violence. This theory substance

states that if an individual performs

deviant behavior, it tends to commit other

deviations. Perpetrators of animal cruelty

usually have a record of drug and alcohol

abuse or have history of a family with

antisocial behavior (Chan & Wong, 2019).

Animal Cruelty and Psychological

Disorders

Conduct Disorder (CD)

The animal cruelty issue is yet on

the list of antisocial behavior symptoms in

childhood and adolescence released by

DSM in 1980. DSM-III-R first editions

launched in 1987 attach animal cruelty

issues as the symptoms of Conduct

Disorder (CD) and kept up to DSM-V. The

firsts pioneer was Tapia in 1971. His

research assessed the connection between

animal cruelty to mental illness and, some

researchers do similar research. Recently,

animal cruelty became the current topic in

DSM next edition, IV, IV-TR dan V, APA

1994, 2000, and 2013 (Ascione, McDonald,

Tedeschi, & Williams, 2018).

Animal abuse proves as clinical

diagnostics that the acts are a severe case

and requires assistance to defend the

children not to become a killer

(Jegatheesan et al., 2020). Cruelty to

animals is one of the criteria of Conduct

Disorder in DSM-V. Conduct Disorder

characterized by repeated and persistent

aggression and violations to other people

and animals. According to DSM-V

(American Psychiatric Association., 2013),

some other criteria are the destruction of

property, robbery, and theft, and severe

breaches of rules. The behavioral

disorders cause by not a single factor but

bio psychosocial. Some of the causes by

adverse parenting styles and intense

family conflict. Children who had exposed

to a chaotic family situation show unstable

emotions. And it might cause the children

to lack self-regulation so that they are less

experienced in coping with stress, moral

development, and empathy (Pradnyawati

& Ardjana, 2015).

Conduct Disorder diagnosis

attached with a clinical determinant,

Limited Prosocial Emotion (LPE) with an

improved dimension. The clinical

determinants used to identify Conduct

Disorder with callous or unemotional

characteristics. Children who are

diagnosed with both Conduct Disorder

and CU defines as the more aggressive

group. Conduct Disorder may occur at 5

to 6 years old but is more common in late

childhood or early adolescence. Conduct

Disorder in childhood can perform as a

psychological prediction for other

disorders such as delinquency, drug

abuse, dropping out of school, suicide,

and teenage crime. The frequency of

animal abuse mostly found at a mean age

of 6.5 y.o included fighting (6 y.o),

Juliadilla & Noveni

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 66 of 17

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

bullying (7 y.o), and assault (7.5 y.o). As

many as 25% of children with a diagnosis

of CD performed cruelty to animals.

Animal cruelty had grouped as a

destructive group (Gullone, 2011). Thus,

the statement supports the continuity

claim that CD can develop into Antisocial

Personality Disorder (APD) as adults.

Antisocial Personality Disorder (APD)

Antisocial Personal Disorder

correlates with CD since animal cruelty

simultaneously occurs with the

suppression behavior. Gleyzer et al.,

(2002) emphasized the antisocial

personality disorder diagnosis have a

considerable correlation with childhood

cruelty. Individuals with APD are likely to

have a record of animal cruelty behavior.

Animal Cruelty is part of the antisocial

behaviors associate with childhood CD,

becomes a diagnosis of APD.

Disrespecting and violating others are

part of APD patterns arise to adolescent

which fails to follow social norms, i.e:

performs fraud, aggressiveness,

irritability, irresponsibility, and no

remorse for unfavorable treatment. APD is

also deceitful, irresponsible, and

manipulative.

The similarity of pathological

personality traits Conduct Disorder with

Antisocial Personal Disorder based on

DSM-V (American Psychiatric

Association., 2013) is an empathy deficit

showing lack of sensitivity, lack of

feelings, understanding of the needs, and

understanding the suffering of others.

Furthermore, there are no regrets to others

after doing acts of aggression. Another

similarity is deceitfulness, for example,

deception or story fabrication. In general,

individuals with APD look usual or even

charming and pleasant. The individual

with APD can track his / her daily life into

calm and trustworthy to cover up his

falsehood (Hervey Cleckley, the mask of

sanity). This pattern is also known as

psychopathy, sociopathy, and social

personality disorder (American

Psychiatric Association., 2013).

Nowadays, society recognized APD with

the terms psychopath and sociopath.

Several cases of persecution and

murder are frequently associated with

psychopaths and sociopaths, but they

need to generate explores. Psychopaths

and sociopaths are closely related to the

diagnosis of APD (Johnson, 2019).

Psychopathy was conceptualized by

Cleckley and clarified by Hare. He

describes different perspectives regarding

psychopaths concepts when he thought

that both psychopaths and antisocial

personalities were distorted. Most people

with antisocial personality are not

psychopaths, whereas most psychopaths

meet the diagnostic criteria for antisocial

personality disorder (Hare & Neumann,

2009).

Clinical Pathway Childhood Cruelty

to Animals

Animal cruelty in childhood

originated from the curiosity to know and

appreciate animals. When adults do not

supervise and neglect their children, then

they might think that the acts are correct.

Animal cruelty discharge from trivial

things, such as abandoning pets, hitting,

and torturing that cause death.

Children that commit animal

cruelty implies to what they have seen

around like family or friends. Family is the

Juliadilla & Noveni

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 67 of 17

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

first child's eco-system. When a child

becomes a victim or sees violence at home,

within all the pressure and harsh physical

treatment, the child will also imitate the

aggressive behavior that has been seen or

felt. Children can perform displacement

on weaker objects such as pets and

animals around. The existence of animal

abuse turns somebody to feel powerful

and empowered. Animal cruelty is a

delicate subject and is a symptom of CD.

CD can precede or coincide with

other mental disorders, which is the focus

of developmental psychopathology. There

are two characteristics of behavior

disorders: internalizing behavior in the

form of social rejection, anxiety, and

depression while externalizing behavior is

aggressive (including in animals and

humans), violates hyperactivity rules

(Nunes, Faraco, Vieira, & Rubin ,2012).

DSM-V (American Psychiatric

Association., 2013) added identification of

CDs, called Limited Prosocial Emotions

(LPE) with a lack of remorse or guilt and

Callous-Unemotional (CU) traits because

LPE is a determinant for assessing the

behavior function of today's adolescents

and in the future. Longman, Hawes, &

Kohlhoff, (2015) emphasized through

meta-analysis research that CU is

representing behavioral problems.

Some CD causal factors had

developed during the prenatal period (i.e.,

abnormal fetal development and learning

outcomes from the environment.

Likewise, CU can be due to amygdala

dysfunction. CD individuals who have

CU have low neuropsychological

performance. They have difficulty

recognizing facial expressions of fear,

sadness, and pain that consider something

fun (Acquaviva, Ellul, & Benarous, 2018).

CU can be associated with a temperament

that can bring courage and beneath the

concept of psychopathy. However, this

study focuses more on CU as a result of

socialization and the learning process.

Children can absorb aggression from their

surroundings, like family. In general, they

are accustomed to seeing their father

making a pet as a control. Animals can be

used as a displacement to unleash anger

and used as a means of control to

compensate for weakness.

The presence of LPE predicts a

stable or even more severe path of

antisocial behavior that can continue into

adulthood. If not managed quickly and

appropriately, children with CD expand

to antisocial personality disorder in

adulthood (Pradnyawati & Ardjana,

2015). CD with Antisocial Personality

Disorder (APD) is often called Spectrum

Externalization. This spectrum includes

personality traits that are disinhibitors,

such as impulsivity and aggression

(Gullone, 2012). The callousness behavior

integrated with externalizing behavior

that turns to an antisocial personality.

One of the similar pathological

personality traits that underlie CD is

Callousness and Deceitfulness. Lack of

empathy accompanied by other

pathological personality traits:

manipulative, hostility, risk-taking,

impulsivity, and irresponsibility is the

focus. Aggression is more prepared and

instrumental (to achieve particular goals)

that in line with the violence graduation

theory that proves animal cruelty may

expand to aggressiveness to humans.

Cruelty behavior to animals can perform

as an experiment before committing to

humans. Aggressive behavior also

develops into antisocial behavior (The

Juliadilla & Noveni

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 68 of 17

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

deviance generalization hypothesis):

lying, stealing, robbery, sexual violence,

and others (Gullone, 2014). Many

researcher predict, antisocial and

uncompassionate is an indication of

psychopathic. However, further

investigation show, there is a gap between

sociopaths and psychopaths. That

psychopath is a genetic or biological

disorder, calmer, more preparation in

performance, whereas sociopath is a result

of environment or parenting that is more

impulsive.

Conclusion

Animal cruelty committed in

childhood is one of the characteristics of

Conduct Disorder (CD). Regardless the

child is diagnosed with CD or other

mental disorders, animal abuse clinically

should be in proper consideration. Animal

abuse cannot be investigated as the

particular marker that frequently

associated with domestic violence,

aggressive behavior, or bullying since

they are not the only factor to assess. All

environmental and personality

characteristics of animal cruelty

perpetrators have been investigating.

Some of the criminal acts

committed by children, teenagers, and

adults can probe to a childhood that

indicates to the cruelty of animal. Because

aggressive behavior in the form of cruelty

to children occurs gradually and relate to

bio psychosocial. The background of child

cruelty continuously growing starts with

exploring steps, imitating adult behavior,

and unleashing aggressiveness towards

animals. Children committing cruelty to

animals has a background by its nature

curiosity, imitating adult behavior,

parenting with neglect, domestic violence,

children violence, and peer influence.

Parents role are very important,

particularly for children when they

requires affirmation of their current

behavior.

History of CD is an early trigger for

antisocial behavior and APD. Research

conduct by Gleyzer et al.,( 2002) stated

that 48 participants (man) as defendant

criminal were diagnosed with Anti-Social

Personality Disorder (APD) has a record

of committing cruelty to animals in their

childhood. Cruelty to animals is taking

part of anti-social behavior that associate

to conduct disorder in childhood. Some

literature calls The Violent Personality to

refer to those who are involved in violence

in several areas, for example animal

cruelty, childhood victimization,

witnessing parental violence, lack of

empathy, antisocial traits, and permissive

parenting (Johnson, 2019). One of the

personality disorders associated with

aggression is APD.

Cruelty to animals is an indicator

that cannot underestimate, since the

negative effect on others. Children that

identical to innocent behavior harm if

infected by aggressive and callous

behavior. It can be concluded that

callousness becomes one factor that

triggers aggressiveness to animals that

might occur to humans. The deficit of

empathy has numerous contributions to

the development of cruel behavior in

animals. To sum up all the explanations,

one important thing to nurture since

childhood is empathy.

One effort to deal with the

phenomena is by stimulating empathy

since early childhood. Humane Education

Juliadilla & Noveni

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 69 of 17

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

program is one of way to end the cycle of

violence by nurture empathy (emotional

and cognitive) to humans through

teaching goodness to the animal

(Juliadilla, 2020). This program teaches

animal welfare as the primary concept.

Humane Education had applied in several

countries such as India, America, and

Japan (Juliadilla, Nurhasan, & Christia,

2020). Unfortunately, this program yet to

apply to the curriculum in Indonesia that

still prioritizes the academics issues

(Juliadilla, Pakaja, & Iksan, 2020). The

closest thing is Character Education.

Character education does not talk about

animal welfare, but it does represent

moral development in children. As one

characteristic that requires for adults is

empathy, prosocial, and prevent violence.

Juliadilla & Noveni

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 70 of 17

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

REFERENCES

Acquaviva, E., Ellul, P., & Benarous, X.

(2018). Developmental

Psychopathology. In Understanding

Uniqueness and Diversity in Child and

Adolescent Mental Health.

https://doi.org/10.1016/B978-0-12-

815310-9.00001-0

American Psychiatric Association. (2013).

Diagnostic and Statistical Manual of.

Mental Disorder Edition (DSM-V).

Washington: American Psychiatric

Publishing.

Ascione, F. R., McDonald, S. E., Tedeschi,

P., & Williams, J. H. (2018). The

relations among animal abuse,

psychological disorders, and crime:

Implications for forensic assessment.

Behavioral Sciences and the Law, 36(6),

717.729.

https://doi.org/10.1002/bsl.2370

Born, P. (2018). Regarding Animals: A

Perspective on the Importance of

Animals in Early Childhood

Environmental Education.

International Journal of Early Childhood

Environmental Education, 5(2), 46.57.

Camelia. (2019). Bawa Ayam yang

Ditabraknya ke Rumah Sakit, Aksi

Bocah Ini Tuai Pujian.

Chan, H. C. (Oliver), & Wong, R. W. Y.

(2019). Childhood and adolescent

animal cruelty and subsequent

interpersonal violence in adulthood:

A review of the literature. Aggression

and Violent Behavior, 48, 83.93.

https://doi.org/10.1016/j.avb.2019.08.

007

Dadds, M. R., Whiting, C., Bunn, P.,

Fraser, J. A., Charlson, J. H., & Pirola-

Merlo, A. (2004). Measurement of

Cruelty in Children: The Cruelty to

Animals Inventory. Journal of

Abnormal Child Psychology, 32(3), 321.

334.

Gleyzer, R., Felthous, A. R., & Holzer, C.

E. (2002). Animal Cruelty and

Psychiatric Disorders. The Journal of

the American Academy of Psychiatry and

the Law, 30(2), 257.265.

Gullone, E. (2011). Conceptualising

animal abuse with an antisocial

behaviour framework. Animals, 1(1),

144.160.

https://doi.org/10.3390/ani1010144

Gullone, E. (2012). Animal Cruelty,

Antisocial Behaviour, and

Aggression. In Animal Cruelty,

Antisocial Behaviour, and Aggression.

https://doi.org/10.1057/978113728454

9

Gullone, E. (2014). Conceptualising Animal

Abuse with an Antisocial Behaviour

Framework. (May).

https://doi.org/10.3390/ani1010144

Hare, R. D., & Neumann, C. S. (2009).

Psychopathy: assessment and

forensic implications. Canadian

Journal of Psychiatry. Revue Canadienne

de Psychiatrie, 93.124.

https://doi.org/10.1093/med/97801995

51637.003.0007

Hawkins, R. D., Hawkins, E. L., &

Williams, J. M. (2017). Psychological

Risk Factors for Childhood

Nonhuman Animal Cruelty. Society

and Animals, 25(3), 280.312.

https://doi.org/10.1163/15685306-

12341448

Hawkins, R. D., & Williams, J. M. (2017).

Childhood attachment to pets:

Associations between pet attachment,

attitudes to animals, compassion, and

humane behaviour. International

Juliadilla & Noveni

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 71 of 17

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

Journal of Environmental Research and

Public Health, 14(5), 1.15.

https://doi.org/10.3390/ijerph1405049

0

Hensley, C., & Tallichet, S. E. (2005).

Learning to be cruel?: Exploring the

onset and frequency of animal

cruelty. International Journal of

Offender Therapy and Comparative

Criminology, 49(1), 37.47.

https://doi.org/10.1177/0306624X0426

6680

Hensley, C., Tallichet, S. E., & Dutkiewicz,

E. L. (2012). Exploring the age of onset

and recurrence of childhood animal

cruelty: Can animal cruelty be

learned from witnessing others

commit it? International Journal of

Offender Therapy and Comparative

Criminology, 56(4), 614.626.

https://doi.org/10.1177/0306624X1140

5480

Jegatheesan, B., Enders-Slegers, M. J.,

Ormerod, E., & Boyden, P. (2020).

Understanding the link between

animal cruelty and family violence:

the bioecological systems model.

International Journal of Environmental

Research and Public Health, 17(9).

https://doi.org/10.3390/ijerph1709311

6

Johnson, S. A. (2018). Animal cruelty, pet

abuse & violence: the missed

dangerous connection. Foresic

Research & Criminology International

Journal, 6(5), 403.415.

https://doi.org/10.15406/frcij.2018.06.

00236

Johnson, S. A. (2019). Understanding the

violent personality: antisocial

personality disorder, psychopathy, &

sociopathy explored. Foresic Research

& Criminology International Journal,

7(2), 76.88.

https://doi.org/10.15406/frcij.2019.07.

00267

Juliadilla, R. (2020). Humane Education as

a Method of Empathy Character for

Children in School. WASKITA: Jurnal

Pendidikan Nilai Dan Pembangunan

Karakter, 4(2), 13.24.

https://doi.org/10.21776/ub.waskita.2

020.004.02.2

Juliadilla, R., Nurhasan, U., & Christia, D.

(2020). Pembelajaran Humane Education

di Kurikulum 2013 Menggunakan Media

Animasi.

Juliadilla, R., Pakaja, F., & Iksan, M. (2020).

Animal Education Berbasis Animasi

Sebagai Media Belajar Interaktif

Dengan Pendekatan Tematik

(Implementasi Pendidikan Karakter

Dalam Kurikulum 2013). Jurnal

Pengabdian Masyarakat (JPM17),

05(01), 20.30.

Kavanagh, P. S., Signal, T. D., & Taylor, N.

(2013). The Dark Triad and animal

cruelty: Dark personalities, dark

attitudes, and dark behaviors.

Personality and Individual Differences,

55(6), 666.670.

https://doi.org/10.1016/j.paid.2013.05.

019

Levitt, L., Hoffer, T. A., & Loper, A. B.

(2016). Criminal histories of a

subsample of animal cruelty

offenders. Aggression and Violent

Behavior, 30, 48.58.

https://doi.org/10.1016/j.avb.2016.05.

002

Longman, T., Hawes, D. J., & Kohlhoff, J.

(2016). Callous.Unemotional Traits

as Markers for Conduct Problem

Severity in Early Childhood: A Meta-

analysis. Child Psychiatry and Human

Development, 47(2), 326.334.

Juliadilla & Noveni

| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)

Page 72 of 17

PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity

https://doi.org/10.1007/s10578-015-

0564-9

McDonald, S. E., Cody, A. M., Booth, L. J.,

�����ð1 �ï1 �ïð1 ��������1 ����ð1 �ïð1

Williams, J. H., & Ascione, F. R.

(2018). Animal Cruelty among

Children in Violent Households:

����������1 �¡����������1 ��1 �����1

Behavior. Journal of Family Violence,

33(7), 469.480.

https://doi.org/10.1007/s10896-018-

9970-7

McEwen, F. S., Moffitt, T. E., & Arseneault,

L. (2014). Is childhood cruelty to

animals a marker for physical

maltreatment in a prospective cohort

study of children? Child Abuse and

Neglect, 38(3), 533.543.

https://doi.org/10.1016/j.chiabu.2013.

10.016

Nunes, S. A. N., Faraco, A. M. X., Vieira,

M. L., & Rubin, K. H. (2013).

Externalizing and internalizing

problems: Contributions of

attachment and parental practices.

Psicologia: Reflexao e Critica, 26(3), 617.

625. https://doi.org/10.1590/S0102-

79722013000300022

Pradnyawati, D., & Ardjana, I. G. A. E.

(2015). Gangguan Tingkah Laku Pada

Anak. Jurnal Ilmiah Kedokteran, 46(2),

119.125.

Protopapadaki, V. (2016). Study on

education and information activities on

animal welfare. 1.190. Retrieved from

www.irta.es

Rodrigo, C., Rajapakse, S., & Jayananda,

G. (2010). ���1 �1����������1 �1������ß: an

insight in to biology , classification and

current evidence on treatment. (July).

https://doi.org/10.1186/1744-859X-9-

31

Samuels, W. E., Meers, L. L., & Normando,

S. (2018). Improving Upper

���������¢1 ���������1 �����1

Attitudes and Prosocial Behaviors

through an In-class Humane

Education Program. Anthrozoos, 29(4),

597.610.

https://doi.org/10.1080/08927936.2016

.1228751

Santrock, J. . (2011). Life-Span Development

Perkembangan Masa Hidup (13th ed.; I.

Sallama, Novietha, Ed.). Jakarta:

Erlangga.

Walters, G. D. (2017). Animal cruelty and

firesetting as behavioral markers of

fearlessness and disinhibition:

putting two-������1 ��1 �����������1

triad to work. Journal of Forensic

Psychiatry and Psychology, 28(1), 10.

23.

https://doi.org/10.1080/14789949.2016

.1244856

Wellson, S., & Gandha, M. V. (2015). Pusat

Edukasi Tentang Hewan Peliharaan.

Jurnal Kajian Teknologi, 11(1), 28.42.

Retrieved from

http://journal.untar.ac.id/index.php/t

eknologi/article/download/617/505

Wijana, E. P. ., & Anggreini, S. . (2020).

ABG si Pembunuh Bocah 6 Tahun

Suka Siksa Hewan, Benarkah Ciri

Psikopat?.