Psychosophia: Journal of Psychology, Religion, and Humanity
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
3 -
download
0
Transcript of Psychosophia: Journal of Psychology, Religion, and Humanity
ii
Psychosophia: Journal of Psychology, Religion, and Humanity Vol. 3, No. 1 (June 2021), òPsychological Issues in the Muslim Communityó
Editor in Chief:
Oktarizal Drianus, M. Psi. (IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung,
Indonesia)
Managing Editor: Yandi Hafizallah, M.A
(IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung, Indonesia)
Editors:
Primalita Putri Distina, M.Psi., Psikolog (IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung,
Indonesia) Chitra Fraghini, M.Psi., Psikolog
(IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung, Indonesia)
Wahyu Kurniawan, M.Psi., Psikolog (IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung,
Indonesia) Zulkarnain, M.A
(IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung, Indonesia)
Widya Handini, B.Sc., M.Sc (College for Social and Political Sciences of Pahlawan 12,
Indonesia) Moh. Atikurrahman, M.A
(UIN Sunan Ampel Surabaya, Indonesia) Lailatul Badriyah, M.Psi.
(UIN Bengkulu, Indonesia) Astaman, M.A
(IAI Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas, Kalimantan Barat, Indonesia)
Sarah Afifah, M.Psi., Psikolog
(UIN Raden Fatah, Palembang, Indonesia)
Marketing, Production & Publishing Team: Siti Fatimah Silva Shetti
Mia Hanifah Siti Nuraisah
Peer-Reviewers:
Prof. Dr. Shukran Abdul Rahman
International Islamic University, Malaysia (IIUM)
Prof. Djamaludin Ancok, Ph.D
Universitas Gunadarma Jakarta, Indonesia
Prof. Drs. Subandi, M.A., Ph.D
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia
Carrie York Al-Karam, Ph.D
President of Alkaram Insitute, United Stated
Dr. Naiema Taliep, M.A
Violence, Injury and Peace Research Unit South African
Medical Research Council-University of South Africa (SAMRC-
UNISA), South Africa
Dr. H. Fuad Nashori, S.Psi., M.Ag., Psikolog
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Indonesia
Dr. Agus Abdul Rahman, M.Psi., Psikolog
UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, Indonesia
Dra. Elli Nur Hayati, M.P.H., Ph.D., Psikolog
Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, Indonesia
Joevarian Hudiyana, M.Si
Universitas Indonesia, Indonesia
Dr. Wahyudi Setiawan, M.Pd.I
Universtias Muhammadiyah Ponorogo, Indonesia
Dr. Fitri Sukmawati, M.Psi., Psikolog
IAIN Pontianak, Indonesia
Dr. Muhamad Uyun, S.Psi., M.Psi.
UIN Raden Fatah Palembang, Indonesia
Dr. Irawan, M.S.I
IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung, Indonesia
Publisher:
Program Studi Psikologi Islam Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung, Indonesia
Jl. Petaling Raya, Km. 13, Kecamatan Mendo Barat Kabupaten Bangka Year: 2021
https://jurnal.lp2msasbabel.ac.id/index.php/psc © Psychosophia Research Center
iii
Table of Content
Psychosophia: Journal of Psychology, Religion, and Humanity
Vol. 3, No. 1 (June 2021), òPsychological Issues in the Muslim Communityó
In this June 2021 Edition (Vol. 3, No. 1), Psychosophia presents topics that are mostly related to the Muslim community. These publications include 1) Articles on the Happiness of Santri in Pesantren; 2) Articles that discuss the perception of caning as the application of Qonun Jinayah to the Muslim community in Aceh; 3) Another article is about burnout by gender. Articles that discuss academic stress include: 4) Articles on religiosity and self-efficacy toward academic stress in college students; Other articles: 5) It discusses cruel behavior towards animals.
Cover p. i Editorial and Reviewers p. ii Table of Content p. iii Foreword p. iv PERAN PENYESUAIAN DIRI SEBAGAI MEDIATOR DARI PENGARUH RELIGIUSITAS TERHADAP KEBAHAGIAAN SANTRI PONDOK PESANTREN Mutiara Subhiyah (Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta) Fuad Nashori (Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta) pp. 1-12 THE PERCEPTION OF SOCIETY ON JUDICIAL CANING AS THE FORM IMPLEMENTATION OF QANUN JINAYAH (PSYCHOLOGICAL PERSPECTIVE) Nurbaiti Nurbaiti (Universitas Syiah Kuala, Aceh) Haiyun Nisa (Universitas Syiah Kuala, Aceh) pp. 13-23 PENGARUH EFIKASI DIRI TERHADAP BURNOUT DAN PERBEDAANNYA BERDASARKAN GENDER: Studi Empiris pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Sarah Ulfa (Universitas Mercu Buana, Jakarta) Melani Aprianti (Universitas Mercu Buana, Jakarta) pp. 24-35 HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DAN EFIKASI DIRI DENGAN STRES AKADEMIK MAHASISWA FARMASI Vicky Rizki Amalia (Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta) Fuad Nashori (Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta) pp. 36-55 ARE CHILDHOOD CRUELTY TO ANIMALS INDICATES AS MENTAL DISORDER? Risa Juliadilla (Universitas Gajayana, Malang) Nia Anggri Noveni (Universitas Muhammadiyah Purwokerto) pp. 56-72
iv
Foreword
Psychosophia: Journal of Psychology, Religion, and Humanity Vol. 3, No. 1 (June 2021), òPsychological Issues in the Muslim Communityó
Mengawali edisi pertama di pertengahan tahun 2021 ini, Psychosophia: Journal of Psychology, Religion,
and Humanity menginsyafi satu hal bahwa memperbincangkan komunitas muslim hari ini, mau
tidak mau seperti sedang òmemperbincangkan diri sendirió. Objektifkah? tentu saja bukan seperti
itu cara melihatnya. Bagi kami, memperbincangkan diri sendiri merupakan sebuah penglihatan
yang introspektif. Ia melihat kepada diri sendiri apa yang salah di dalam. Sebuah sikap yang awas
dan mawas, seperti analisis diri pada tradisi psikoanalisa. Tugas òmelihat diri sendirió ini bukan
pekerjaan ringan. Dan, kami menyadari itu. Lantas, jika bukan kita sendiri yang berusaha
menengok apa yang terjadi dalam tubuh sosial kita, berharap kepada apakah?
Demi menjawab kepingan kecil dari pertanyaan di atas, maka lahirlah edisi ini. Dengan segala
pengakuan atas kelemahan kami, maka dibatasilah topik isu-isu psikologis�yang tentu saja tidak
semua isu dapat kami rangkul dalam edisi ini�yang berkutat pada: isu kebahagiaan, penerapan
hukum Islam di Aceh, stress akademik, dan perilaku jahat terhadap binatang. Cakupanya memang
belum luas, karena masih begitu banyak problema dan dinamika yang tidak habis-habisnya dalam
komunitas muslim Indonesia. Tapi, kami berjanji akan secara perlahan menjemput isu-isu tersebut
di setiap edisinya.
Akhirnya, meski kecil, di edisi ini kami ingin mencoba saling sapa, saling-jabat kata dengan
para penulis yang tanpanya kami bukan apa-apa, mitra bestari yang menelaah artikel dengan
penuh keseriusan untuk menikmati sebuah percakapan ilmiah. Dengan mereka kami saling
belajar demi diseminasi akademik yang berguna bagi siapa saja. Akhir kata, banyak sebenarnya
yang ingin kami sampaikan, namun keterbatasan ruang-ruang halaman dan spasi membuat kami
harus menyudahi pengantar ini. Harapan kami, semoga kita dapat berjumpa dalam perhelatan
ilmiah lainnya. Tentu saja, untuk kembali òberbincang-bincang tentang diri sendirió.
Bangka, Juni 2021 Editor in Chief
https://ejurnal.lp2msasbabel.ac.id/index.php/psc
Vol. 3, No. 1, June (2021)
ISSN (Online): 2721-2564
https://doi.org/10.32923/psc.v3i1.1622
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 1 of 12 © Psychosophia, 2021
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
Review Date ; March 28, 2021
Revision Date : May 14, 2021
Accepted Date : May 25, 2021
Publish Date : June 2, 2021
PERAN PENYESUAIAN DIRI SEBAGAI MEDIATOR DARI
PENGARUH RELIGIUSITAS TERHADAP KEBAHAGIAAN SANTRI
PONDOK PESANTREN
Mutiara Subhiyah
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Indonesia
Fuad Nashori*
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Indonesia
Abstract: This study aimed to examine self-adaptation role as mediator in the correlation of
religiosity and happiness. This study involves 204 new students from Islamic Boarding School X in
Bekasi, West Java, Indonesia. This study used Oxford Happiness Questionnaire (OHQ) scale as
developed by Hills and Argyle, Indonesian Psychological Measurement of Islamic Religiousness (I-
PMIR) developed by Abu-Raiya, et al and Student Adaptation to College Questionnaire (SACQ)
by Baker and Siryk. The data were analyzed by means of exploratory factor analysis and process
macro analysis using SPSS 20 software. The results of this study showed that religiosity positively
affecting self-adaptation and happiness, and self-adaptation mediated the effects of religiosity on
happiness. Thus, the hypothesis in this study was accepted.
Keywords; Happiness, Religiosity, Self-Adaptation, Islamic Boarding School
* Corresponding Author
Subhiyah & Nashori
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 2 of 12
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
PENDAHULUAN
Kebahagiaan merupakan salah satu
aspek yang penting pada kesehatan
mental pelajar, termasuk para santri.
Disebut penting karena pelajar yang
merasa bahagia menunjukkan performa
yang lebih baik di sekolah, jarang
menunjukkan masalah pada kesehatan
mental dan perilaku, serta memiliki
hubungan sosial yang lebih kuat
(Cleveland & Sink, 2018). Kebahagiaan
juga berperan penting dalam
meningkatkan produktivitas, performa
kerja, kesuksesan karir, juga kesehatan
(Roessler & Gloor, 2020).
Wawancara peneliti dengan
pengurus asrama di Pondok Pesantren X
di Bekasi Jawa Barat yang berinisial M dan
A, usia 20 dan 21 tahun, menunjukkan
bahwa pada tahun pertama tidak jarang
ditemukan santri-santri yang kerap
menangis dan menolak untuk mengikuti
kegiatan pondok. Ketika orang tua datang
menjenguk, mereka menangis memeluk
ibunya dan meminta untuk ikut pulang.
Pada kasus lain, santri di tahun pertama
ini melarikan diri dari asrama sebelum
kemudian diantar kembali oleh
orangtuanya. Perilaku santri ini tidak
hanya menimbulkan masalah pada
akademiknya, namun juga pada
hubungan sosial dengan teman-
temannya. Santri-santri ini kerap kali
menyendiri dan tidak mau diajak teman-
temannya untuk bermain atau ke kantin.
Ia selalu menangis di malam hari,
sehingga membuat kesal teman-
temannya, dan membuat repot pengurus
asrama karena mereka harus membujuk
santri ini setiap kali ada kegiatan agar ini
mau berpartisipasi.
Dari hasil wawancara peneliti
dengan salah satu santri yang berinisial H,
santri lelaki bersusia 12 tahun, didapatkan
bahwa semenjak masuk ke pondok
pesantren ia merasa sedih karena harus
berpisah dengan teman-teman di sekolah
dasarnya. Ia merasa kesulitan untuk
menjalin pertemanan baru dan merasa
takut santri-santri lain tidak akan
menyukainya. Hurlock (2002)
menyatakan bahwa salah satu faktor
paling penting pada kebahagiaan remaja
adalah penerimaan, baik penerimaan diri
sendiri maupun penerimaan atau
dukungan sosial. Santri lain bercerita
bahwa meskipun sudah berada di tahun
ketiga, ia seringkali merasa sedih dan
tidak bahagia. Ia selalu merindukan
keluarganya dan kamar tidurnya yang
nyaman. Ia mengikuti semua kegiatan
pondok yang wajib tanpa semangat, dan
menolak berpartisipasi pada kegiatan
yang tidak wajib seperti perlombaan,
ekstrakurikuler dan kegiatan bakti sosial.
Perilaku apatis ini, menurut Nettle
(Mundzir, 2014), adalah bentuk dari
ketidakbahagiaan seseorang.
Kebahagiaan seseorang dapat
dipengaruhi oleh beberapa hal di
antaranya adalah gender atau seks, usia,
pendidikan, kualitas pernikahan,
kepuasan pekerjaan, kesehatan, serta
agama atau religiusitas (Eddington &
Shuman, 2005). Seligman, Peterson, dan
Lyuborsmisky (Arif, 2018) membagi
faktor yang mempengaruhi kebahagiaan
seseorang menjadi tiga, yaitu faktor
genetik atau bawaan yang tidak bisa
diubah seperti kepribadian, watak dan
preferensi, faktor lingkungan yang
berkaitan dengan situasi kehidupan yang
berubah-ubah, dan faktor ketiga, yaitu
bagaimana individu merespon atau
menyesuaikan diri dengan
lingkungannya. Dalam penelitian ini,
Subhiyah & Nashori
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 3 of 12
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
peneliti mencoba mengkaji lebih dalam
bagaimana peran religiusitas
mempengaruhi kebahagiaan santri dan
peran penyesuaian diri sebagai mediator
di antara keduanya. Religiositas sendiri
menurut Ancok dan Suroso (1994) dapat
diartikan sebagai keyakinan, ritual,
perilaku sosial, pengalaman keagamaan,
dan pengetahuan yang terkait dengan
yang transenden yang terorganisasi dalam
agama tertentu, dalam penelitian ini
adalah agama Islam.
Wulff (Baroun, 2006) menyatakan
bahwa religiositas memiliki hubungan
yang positif dengan kepuasan hidup,
penyesuaian diri, kontrol diri, harga diri
(self-esteem), kebahagiaan, kesehatan fisik
dan mental, serta memiliki hubungan
yang negatif dengan kecemasan secara
umum, kecemasan akan kematian,
neurotisme, depresi, dan impulsifitas.
Penelitian-penelitian terdahulu telah
menemukan bahwa religiositas memiliki
hubungan yang signifikan dengan
kebahagiaan individu, di mana individu
yang religius mememiliki kesehatan
mental dan fisik, kepuasan hidup, gaya
hidup sehat dan kesejahteraan psikologis
yang lebih tinggi dibandingkan individu
non-religius (Mahudin, Noor, Dzulkifli, &
Janon, 2016; Abdel-Khalek, 2019; Graham
& Haidt, 2010). Hal ini dikarenakan
agama tidak hanya memenuhi kebutuhan
spiritual seseorang, tetapi juga kebutuhan
sosialnya (Graham & Haidt, 2010). Santri
dengan religiositas yang tinggi memiliki
kelapangdadaan dan kebermaknaan
hidup yang lebih tinggi, serta karakter
yang kuat seperti kebersyukuran,
kebaikan, dan kejujuran (Nashori, 2011).
Hal ini dikarenakan agama dapat
memberikan santri perasaan hidup yang
bermakna, sejahtera secara psikologis dan
hubungan sosial yang kuat (Hossain &
Rizvi, 2017).
Dalam penelitiannya, Rusman
(2019) menuliskan bahwa religiositas
dapat mempengaruhi kebahagiaan
seseorang tidak secara langsung
melainkan dimediasi oleh beberapa faktor
seperti kontrol diri, regulasi diri,
kepuasan hidup, dan kemampuan
individu untuk beradaptasi dengan
kejadian-kejadian dalam hidupnya.
Religiositas terbukti dapat
mempengaruhi kemampuan penyesuaian
dirinya (Nadzir & Wulandari, 2013;
Lesatari & Indrawati, 2017). Dalam
penelitian yang dilakukan oleh
Pritaningrum dan Hendriani pada santri
baru di pondok pesantren, di mana santri
baru ini ada yang sebelumnya sekolah di
Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan
Madrasah Tsnawiyah (MTs). Hasil
penelitian memperlihatkan bahwa santri
baru yang berasal dari SMP memiliki
kemampuan menyesuaikan diri yang
lebih rendah dibandingkan dengan santri
baru yang sebelumnya sekolah di MTs.
Hal ini dikarenakan santri baru lulusan
MTs mendapatkan pelajaran agama yang
lebih banyak dan beragam dibandingkan
dengan lulusan SMP. Selain itu santri dari
MTs juga lebih terbiasa dengan pelajaran-
pelajaran agama dari sekolah sebelumnya
sehingga ia tidak memiliki kesulitan
untuk mengikuti pelajaran di pondok.
Penelitian Qomariyah (2019)
menunjukkan bahwa santri yang
memiliki religiositas tinggi memiliki
kemampuan penyesuaian diri yang tinggi
pula. Hal ini terlihat dalam bentuk aktif
dalam kegiatan sekolah dan rajin
mengikuti kegiatan ibadah bersama-sama
seperti sholat berjamaah di masjid dan
mengaji bersama.
Subhiyah & Nashori
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 4 of 12
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
Menurut riset Rusman (2019),
pengaruh dari religiositas terhadap
kebahagiaan berjalan secara tidak
langsung, melainkan dimediasi oleh
kemampuan individu untuk beradaptasi
dengan kejadian-kejadian dalam
hidupnya. Penyesuaian diri berperan
sebagai mediator dalam pengaruh
religiositas terhadap kebahagiaan santri
secara langsung. Penelitian-penelitian
yang telah dilakukan menemukan bahwa
penyesuaian diri pada remaja dapat
mempengaruhi kebahagiaannya
(Bazradshan dkk, 2018). Kemampuan
menyesuaikan diri bagi santri merupakan
hal yang sangat penting. Hal ini
dikarenakan ia masuk ke lingkungan yang
tidak familiar, tanpa adanya orangtua
yang memenuhi segala kebutuhannya, di
mana ia dituntut untuk mandiri dan
bertanggung jawab terhadap dirinya,
akademiknya dan sosialnya. Santri juga
harus belajar menyesuaikan waktunya
dengan kegiatan pondok yang padat, di
mana ia hanya memiliki waktu terbatas
untuk memenuhi kebutuhan pribadi
seperti mandi, makan dan tidur (Rahma,
2016).
Santri di pondok pesantren
memiliki latar belakang yang berbeda,
baik daerah asal, bahasa, ekonomi, juga
usia (Pritaningrum & Hendriani, 2013).
Dalam lingkungan dengan tingkat
heterogenitas yang tinggi ini tidak jarang
santri merasa kesulitan menyesuaikan diri
karena takut tidak diterima oleh santri
lainnya, padahal penerimaan pada remaja
merupakan hal yang penting dalam
kebahagiaannya (Hurlock, 2002).
Seperti yang sudah disampaikan
sebelumnya bahwa tingkat religiositas
seseorang dapat mempengaruhi
kebahagiaan dirinya dengan penyesuaian
diri sebagai mediator. Religiositas dapat
mempengaruhi kemampuan
menyesuaikan diri santri yang pada
akhirnya dapat mempengaruhi
kebahagiaanya. Penjelasan tentang
hubungan antara variabel tersebut dapat
dilihat pada bagan di bawah ini:
Bagan 1. Desain Analisis Penelitian
Berdasarkan pandangan di atas,
maka hipotesis yang diajukan dalam
penelitian ini adalah penyesuaian diri
memiliki peran sebagai mediator dari
pengaruh religiositas terhadap
kebahagiaan santri. Hipotesis ini
menjelaskan bahwa religiositas tidak
secara langsung mempengaruhi
kebahagiaan, namun diperantai oleh
penyesuaian diri. Hipotesis itu dapat
dijabarkan sebagai berikut: Penyesuaian
diri memiliki peran sebagai mediator dari
pengaruh religiositas terhadap
kebahagiaan.
METODE PENELITIAN
Variabel dalam penelitian ini
adalah kualitas penyesuaian diri sebagai
variabel mediator, religiositas sebagai
variabel prediktor dan kebahagiaan
sebagai variabel kriteria.
Partisipan Penelitian
Partisipan penelitian dalam
penelitian ini adalah 203 orang santri kelas
VII Madrasah Tsanawiyah dan 47 orang
santri kelas IX Madrasah Aliyah yang
Subhiyah & Nashori
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 5 of 12
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
merupakan santri tahun pertama di
pondok pesantren Attaqwa Bekasi Jawa
Barat, berjenis kelamin laki-laki, dengan
rentang usia 12-13 tahun dan 15-16 tahun.
Data dalam penelitian ini berasal
dari data primer berupa kuesioner yang
diberikan kepada santri baru di Pondok
Pesantren Attaqwa Putera. Kuisioner
disebarkan kepada partisipan dengan
bantuan musyrif atau pengasuh asrama.
Dari 250 kuisioner yang disebar hanya 223
yang dikumpulkan kepada peneliti, dan
dari kuisioner yang berhasil dikumpulkan
beberapa kuisioner diisi tidak lengkap
oleh responden sehingga tidak peneliti
masukkan dalam analisis data. Total data
responden dalam penelitian ini adalah 204
orang.
Instrumen Pengukuran
Pengambilan data dalam penelitian
ini menggunakan tiga skala yang telah
dikembangkan oleh peneliti sebelumnya,
yaitu skala kebahagiaan, skala religiositas,
dan skala adaptasi siswa. Skala
kebahagiaan dalam penelitian ini
menggunakan Oxford Happiness
Questionnaire (OHQ) yang pertama kali
disusun oleh Argyle dan Crossland,
kemudian diperbaiki oleh Hills dan
Argyle pada tahun 2002 (Adeline, 2017).
Skala kebahagiaan ini mengacu pada
enam aspek kebahagiaan yang
dikembangkan oleh Argyle dan Crossland
(1987), yaitu life satisfaction, joy, self-esteem,
calm, control, dan efficacy. Skala
kebahagiaan ini terdiri atas 29 aitem,
dengan pembagian 18 aitem favourable dan
11 aitem unfavourable. Alat ini telah
diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia
oleh Rahmawati, Saragih dan Adeline
(2016) dan ditemukan tingkat reliabilitas
sebesar 0.83. Dari hasil analisis peneliti
pada skala ini ditemukan nilai KMO 0.731
dan nilai Bartlett sebesar 0.000 yang
membuatnya signifikan. Hasil analisis
faktor ditemukan bahwa koefisien
korelasi aitem total bergerak dari 0,403
hingga 0,644 dengan koefisien reliabilitas
�����1û�ü10,792 dan 0,669 (>0.5) pada faktor
1 dan 2 yang membuatnya reliabel,
sementara pada faktor ketiga didapatkan
nilai Alpha Cronbach sebesar 0,174 yang
membuat faktor ketiga ini tidak reliabel.
Religiositas subjek diukur dengan
menggunakan skala Indonesian-
Psychological Measurement of Islamic
Religiousness (I-PMIR) yang
dikembangkan oleh Salsabila, dkk (2019).
Skala ini merupakan adaptasi ke dalam
Bahasa Indonesia dari skala Psychological
Measure of Islamic Religiousness (PMIR)
karya Abu-Raiya dkk (2008). Skala I-PMIR
ini mengukur 5 aspek religiositas menurut
Abu-Raiya dkk, yaitu belief, practices,
ethical conduct - do, ethical conduct . �����ð1
dan Islamic universality. Aitem dalam skala
ini terdiri dari 41 aitem favourable dan 11
aitem unfavourable dengan total 52 aitem.
Pada adaptasi skala I-PMIR oleh Salsabila,
dkk (2019) ditemukan bahwa reliabilitas
alat ini adalah sebesar 0.929. Dari hasil
analisis peneliti pada skala ini ditemukan
nilai 0.890 dan nilai Bartlett sebesar 0.000
yang membuatnya signifikan. Hasil
analisis faktor ditemukan bahwa koefisien
korelasi aitem total bergerak dari 0,901-
0,972 dengan koefisien reliabilitas alpha
û�ü10,872 . 0,957 (>0.5) pada ketiga faktor
membuatnya reliabel.
Adaptasi diri dalam penelitian ini
diukur dengan menggunakan student
adaptation to college questionnaire (SACQ)
yang dikembangkan oleh Baker dan Siryk
(1989). Skala ini dimaksudkan untuk
mengukur kemampuan adaptasi
Subhiyah & Nashori
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 6 of 12
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
mahasiswa di universitas, namun
beberapa penelitian telah
menggunakannya pada siswa usia
sekolah menengah (Grama, 2018) dan
pada santri di pondok pesantren (Afidah,
2017). Skala SACQ ini mengukur empat
aspek penyesuaian diri pada siswa baru,
yaitu academic adjustment yang terdiri dari
motivation, application, performance, dan
academic environment; kemudian social
adjustment yang terdiri dari social
adjustment in general, other people, nostalgia,
dan social environment; personal emotional
adjustment yang terdiri dari psychological
dan physical; aspek terakhir yaitu goal
commitment institutional attachment yang
terdiri dari commitment in general, dan
commitment in this college. Skala
penyesuaian diri ini terdiri dari 67 aitem
dengan pembagian 35 aitem favourable dan
32 aitem unfavourable.
Peneliti melakukan adaptasi pada
alat ukur SACQ dikarenakan belum ada
yang melakukan uji validitas dari alat
ukur ini ke dalam bahasa Indonesia.
Peneliti melakukan adaptasi ke dalam
bahasa Indonesia dan disesuaikan dengan
lokasi pengambilan data. Skala yang
sudah diadaptasi kemudian
dikonsultasikan kepada 3 orang psikolog
alumni UII dan 2 orang psikolog yang
bekerja di pondok pesantren tempat
pengambilan data. Setelah dilakukan
validitas isi dan disetujui, peneliti
kemudian melakukan penyebaran skala
penelitian melalui kuisioner kepada santri
dengan bantuan pengurus asrama.
Pengujian validitas dan reliabilitas skala
ini dilakukan dengan menggunakan
teknik uji coba terpakai, artinya
instrument diuji dengan digunakan secara
langsung kepada partisipan untuk
mendapatkan data penelitian. Dari hasil
analisis penelitian pada skala ini
ditemukan nilai KMO pada skala
penyesuaian diri sebesar 0.748 dan nilai
Bartlett sebesar 0.000 yang membuatnya
signifikan. Hasil analisis faktor ditemukan
bahwa koefisien korelasi aitem total
bergerak dari 0,324 - 0,777 dengan
���������1������������1�����1û�ü10,673 . 0,915
(>0.5) pada ketiga faktor membuatnya
reliabel.
Metode Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini
menggunakan analisis PROCESS macro
oleh Preacher dan Hayes (Hayes dkk,
2011) dengan teknik bootstrapping yang
digunakan untuk mengambil keputusan
terkait ada atau tidaknya pengarung tidak
langsung dari variabel mediator salah satu
model (Hayes et al, 2011). Analisis ini
dilakukan menggunakan software SPSS
20 for windows dan PROCESS 3.5 for SPSS.
HASIL
Uji Hipotesis dalam penelitian ini
menggunakan teknik analisis bootstraping
yang digunakan untuk mengambil
keputusan terkait ada atau tidaknya
pengaruh tidak langsung dari variabel
mediator salah satu model (Hayes et al,
2011). Berikut adalah gambaran dinamika
hubungan ketika variabel dalam
penelitian ini.
Bagan 2. Dinamika Hubungan Variabel-Variabel
Penelitian
Subhiyah & Nashori
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 7 of 12
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
Bagan di atas menunjukkan
pengaruh langsung maupun tidak
langsung dari variabel religiositas dan
penyesuaian diri. Jalur A, yaitu pengaruh
langsung religisiutas (X) terhadap
penyesuaian diri (M) menunjukkan nilai
koefisien sebesar 0,5186 dengan nilai
signifikansi 0,000 atau p < 0,05. Berarti,
hubungan religiositas ke penyesuaian diri
memiliki pengaruh yang signifikan. Jalur
C menunjukkan pengaruh langsung
religiositas (X) terhadap kebahagiaan (Y)
mendapatkan koefisien sebesar 0,2164 dan
signikansi pada taraf 0,000 atau p < 0,05.
Hal ini menunjukkan bahwa religiositas
memiliki pengaruh langsung terhadap
kebahagiaan. Pada jalur B yaitu efek
langsung penyesuaian diri (M) terhadap
kebahagiaan (Y) memiliki koefisien
sebesar 0,1532 dan signifikansi sebesar
0,000 atau p < 0,05. Berarti, efek langsung
penyesuaian diri dapat mempengaruhi
kebahagiaan secara signifikan. Terakhir
�����1 ��1 �����������1 ��������1 �����1
langsung dari religiositas (X) terhadap
kebahagiaan (Y) dengan dimediasi
penyesuaian diri (M), didapatkan
koefisien sebesar 0,2164 dan signikansi
pada taraf 0,000 atau sig<0,05. Hal ini
menunjukkan bahwa religiositas memiliki
pengaruh tidak langsung terhadap
kebahagiaan dengan dimediasi
penyesuaian diri. Dengan kata lain,
penyesuaian diri memiliki peran sebagai
mediator dari pengaruh religiositas
terhadap kebahagiaan.
Selanjutnya peneliti melakukan uji
bootsrap untuk melihat apakah peran
penyesuaian diri sebagai mediator
merupakan mediasi penuh (full
mediation) atau mediasi parsial (partial
mediation). Mediasi parsial (partial
mediation) terjadi ketika pengaruh dari
religiositas terhadap kebahagiaan
menurun namun tidak sampai nol ketika
penyesuaian diri dihilangkan, sementara
mediasi sempurna (perfect mediation)
terjadi ketika variabel bebas tidak
menunjukkan pengaruh terhadap variabel
bebas ketika veriabel mediator dikontrol
(Baron & Kenny, 1986).
Hasil analisis bootstrap
menunjukkan bahwa nilai koefisien
indirect sebesar 0,0794 dari religiositas (X)
ke kebahagiaan (Y). Interval kepercayaan
(Confidence Interval / CI) dari hasil
bootstrap tertulis BootLLCI (lower level for
CI) = 0,0460 dan BootULCI (Upper level for
CI) = 0,0111. Hal ini menunjukkan bahwa
rentang BootLLCI dan BootULCI itu tidak
sampai nol (0). Begitu pula pada pengaruh
tidak langsung yang terstandar,
didapatkan nilai BootLLCI = 0,0955 dan
BootULCI = 0,228. Rentang dari BootLLCI
dan BootULCI juga tidak sampai nol (0).
Kedua hasil ini menunjukkan bahwa
peran mediator dari penyesuaian diri
adalah sebagai mediator parsial. Dengan
demikian penyesuaian diri memediasi
pengaruh religiositas terhadap
kebahagiaan secara parsial.
PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk
menguji apakah penyesuaian diri
memiliki peran sebagai mediator dalam
pengaruh religiositas terhadap
kebahagiaan santri di pondok pesantren.
Hasil penelitian ini menemukan bahwa
religiositas dapat mempengaruhi
kebahagiaan santri, penyesuaian diri
memiliki pengaruh terhadap kebahagiaan
santri, dan penyesuaian diri menjadi
mediator pengaruh religiositas terhadap
kebahagiaan santri.
Subhiyah & Nashori
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 8 of 12
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
Hasil penelitian ini mendukung
teori dan hasil-hasil penelitian bahwa
religiositas mempengaruhi kebahagiaan
secara langsung maupun melalui
mediator penyesuaian diri. Hasil
penelitian mendukung hasil riset Rusman
(2019) yang menyatakan pengaruh dari
religiositas terhadap kebahagiaan bisa
berjalan secara tidak langsung dengan
dimediasi oleh kemampuan individu
untuk beradaptasi dengan kejadian-
kejadian dalam hidupnya. Wulff (Baroun,
2006) menyatakan bahwa religiositas
memiliki hubungan yang positif dengan
kepuasan hidup, penyesuaian diri, kontrol
diri, self-esteem, kebahagiaan, kesehatan
fisik dan mental. Hasil analisis bootsrap
dari pengaruh tidak langsung religiositas
terhadap kebahagiaan menunjukkan
bahwa rentang nilai BootLLCI dan
BootULCI tidak sampai 0 sehingga dapat
diketahui bahwa penyesuaian diri
memediasi pengaruh religiositas terhadap
kebahagiaan secara parsial.
Hasil penelitian ini mendukung
hasil-hasil penelitian sebelumnya terkait
pengaruh religiositas terhadap
penyesuaian diri. Berbagai hasil penelitian
sebelumnya menunjukkan bahwa
pengaruh religiositas terhadap
penyesuaian diri bersifat signifikan. Hal
ini sejalan dengan penemuan-penemuan
sebelumnya (Lesatari & Indrawati, 2017;
Nadzir & Wulandari, 2013; Qomariyah,
2019). Lesatari dan Indrawati (2017)
mengatakan bahwa santri yang memiliki
religiositas yang tinggi akan memiliki
penyesuaian diri yang baik. Dengan
demikian hipotesis pertama penelitian ini
diterima.
Hasil penelitian ini juga
mendukung hasil-hasil penelitian
sebelumnya terkait religiositas memiliki
pengaruh langsung yang signifikan
terhadap kebahagiaan. Penemuan ini
memperkuat pernyataan Eddington dan
Shuman (2005) yang menyatakan bahwa
agama dapat mempengaruhi kebahagiaan
seseorang, dikarenakan agama dapat
memberikan perasaan memiliki makna
dan tujuan (Pollner, dalam Eddington &
Shuman, 2005) dan juga dapat memenuhi
kebutuhan sosial individu melalui
hubungan dan dukungan sosial dengan
orang-orang yang memiliki kepercayaan
yang sama (Gebauer, Sedikides, &
Neberich, 2012; Francis, Ziebertz, & Lewis,
2003). Dengan demikian hipotesis kedua
penelitian ini diterima.
Hasil penelitian ini juga
mendukung hasil-hasil temuan
sebelumnya terkait pengaruh
penyesuaian diri terhadap kebahagiaan.
Hasil-hasill penelitian sebelumnya yang
menyatakan bahwa penyesuaian diri
mempengaruhi kebahagiaan seseorang
(Bazradshan dkk, 2018). Dengan demikian
hipotesis penelitian ini diterima.
Kelemahan dalam penelitian ini
adalah nilai reliabilitas yang rendah pada
salah satu faktor dari skala kebahagiaan,
di mana pada faktor ketiga yang terdiri
dari 3 aitem hanya memiliki nilai alpha
Cronbach sebesar 0,387 (<0.5), yang
menunjukkan bahwa faktor ini tidak
reliabel. Menurut Pallant (2016), nilai
alpha Cronbach sangat sensitif dengan
jumlah aitem. Aitem yang sedikit (di
bawah 10) dapat menghasilkan nilai alpha
yang kecil, atau kurang dari 0.5. Apabila
nilai alpha lebih rendah dari 0.5, maka bisa
dilihat pada nilai mean inter-aitem
correlation (Pallant, 2016). Briggs dan
Cheek (Pallant, 2016) merekomendasikan
rentang inter-aitem correlation sebesar 0,2
. 0,4 untuk hasil yang optimal. Pada ketiga
Subhiyah & Nashori
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 9 of 12
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
aitem ini nilai rata-rata dari inter-aitem
correlation dengan rentang 0,096 . 0,2,84.
Nilai ini menunjukkan bahwa korelasi
antar aitem pada faktor ketiga
kebahagiaan ini rendah. Ketiga aitem ini
berasal dari aspek joy dan self control.
Adanya penggabungan variabel dalam
sebuah faktor dikarenakan adanya
sekumpulan variabel yang memiliki
hubungan kuat dalam satu faktor, dan
tidak memiliki korelasi dengan faktor lain
(Usman & Sobari, 2013). Dikarenakan
skala ini merupakan skala yang diadaptasi
dari bahasa asing, perbedaan budaya dan
bahasa dapat menjadi salah satu alasan
rendahnya reliabilitas pada faktor ini.
Dengan demikian peneliti selanjutnya
dapat menguji kembali alat ukur ini
dengan melakukan penyesuaian pada
aitem-aitem ini agar lebih dapat dipahami
oleh siswa di Indonesia.
PENUTUP
Kesimpulan
Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa penyesuaian diri memiliki peran
sebagai mediator dari pengaruh
religiositas terhadap kebahagiaan santri di
pondok pesantren. Religiositas juga
memiliki pengaruh langsung terhadap
penyesuaian diri dan kebahagiaan santri.
Artinya semakin tinggi religiositas yang
dimiliki oleh santri maka semakin baik
penyesuaian dirinya dan juga perasaan
bahagianya selama di pesantren. Dengan
demikian hipotesis penelitian diterima.
Hasil dari penelitian ini dapat
menjadi acuan bagi pihak pondok
pesantren untuk membantu santri baru
menyesuaikan diri dan meningkatkan
kebahagiaannya selama di pesantren,
dengan meningkatkan ibadahnya dan
kelekatannya dengan Allah.
Saran
Saran untuk peneliti selanjutnya
yaitu: (a) peneliti selanjutnya yang tertarik
dan ingin melakukan penelitian yang
sama perlu mempertimbangkan jumlah
aitem dari alat ukur yang digunakan,
karena jumlah aitem yang terlalu banyak
membuat partisipan jenuh dan tidak
bersemangat dalam menyelesaikan
kuisioner sepenuhnya; (b) peneliti
selanjutnya dapat memperluas jenis
partisipan dalam penelitian, seperti
gender juga usia, dikarenakan dalam
penelitian ini partisipan yang
digunakanan hanya dari santri laki-laki
maka hasil dari penelitian ini kurang
dapat dilakukan generalisasi; (c) peneliti
selanjutnya juga dapat membandingkan
antara siswa yang sekolah di pesantren
dan siswa yang tinggal di asrama namun
tidak sekolah di pesantren, untuk
membandingkan tingkat religiositas dari
keduanya.
Subhiyah & Nashori
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 10 of 12
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
DAFTAR REFERENSI
Abdel-Khalek, A. M. (2019). Religiousity and
Well-Being. Encyclopedia of Personality
and Individual Differences. Cham:
Springer. https://doi.org/10.1007/978-
3-319-28099-8_2335-1
Abu-Raiya, H., Pargament, K. I., Mahoney, A.,
& Stein, C. (2008). A Psychological
measure of islamic religiousness:
Development and evidence for
reliability and validity. The
International Journal for the Psychology of
Religion, 18, 291-315.
https://doi.org/10.1080/1050861080222
9270
Adeline, N. (2017). Adaptasi Alat Ukur
Oxford Happiness Questionnaire.
Skripsi. Medan: Universitas Sumatera
Utara.
Afidah, M. (2017). Pengaruh Self-Efficacy dan
Dukungan Sosial terhadap
Penyesuaian Diri Siswa Baru SMA NU
1 Model Di Pondok Pesantren
Tanwirul Qulub Sungelebak,
Karanggeneng Lamongan. Skripsi.
Malang: Univeristas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim.
Ancok, D., & Suroso, F. A. (1994). Psikologi
Islami: Solusi Islam Atas Problem-
Problem Psikologi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Argyle, M., & Crossland, J. (1987). The
dimensions of positive emotions.
British Journal of Social Psychology, 127-
137.
https://psycnet.apa.org/doi/10.1111/j.2
044-8309.1987.tb00773.x
Arif, I. S. (2018). Psikologi Positif: Pendekatan
Saintifik Menuju Kebahagiaan. Jakarta:
Pt Gramedia Pustaka. Baker, R. W., & Siryk, B. (1989). Student Adaptation
to College Questionnaire Manual. Los
Angeles: Western Psychological Services.
Baron, R. M., & Kenny, D. A. (1986). The
moderator-mediator variable
distinction in social psychological
research: Conceptual, strategic, and
statistical considerations. Journal of
Personality and Social Psychology, 1173-
1182.
https://doi.apa.org/doi/10.1037/0022-
3514.51.6.1173
Baroun, K. A. (2006). Relations among
religiosity, health, happiness, and
anxiety for Kuwaity adolescents.
Psychological Reports, 99, 717-722.
https://doi.org/10.2466/pr0.99.3.717-
722
Bazradshan, M. R., Abdi, A., Masmouei, B.,
Kavi, E., Abshorshori, N., Akbari, L., .
. . Zakeri, M. (2018). The relation of
social happiness and adjustment with
vadalistic behavior of the children and
young adults in the families under
supervision of welfare office. Journal of
Clinical and Diagnostic Research, 12 (8),
05-09.
https://doi.org/10.7860/Jcdr/2018/3518
4.11916
Cleveland, R. E., & Sink, C. A. (2018). Student
happiness, school climate, and school
improvement plans: Implications for
school counseling practice. Professional
School Counseling. 21 (1), 1-10.
https://doi.org/10.1177%2F2156759X18
761898
Eddington, N., & Shuman, R. (2005). Subjective
Well-Being (Happiness). San Diego:
Continuing Psychology Education.
https://www.texcpe.com/html/pdf/ca/
ca-happiness.pdf
Francis, L. J., Ziebertz, H.-G., & Lewis, C. A.
(2003). The relationship between
religion and happiness among
German students. Pastoral Psychology,
51 (4), 273-281. DOI:
10.1023/A:1022529231234
Gebauer, J. E., Sedikides, C., & Neberich, W.
(2012). Religiosity, social self-esteem,
and psychological adjustment: On the
cross-cultural specificity of the
psychological benefits of religiosity.
Psychological Sciece, 23 (2), 158-160.
Subhiyah & Nashori
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 11 of 12
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
https://doi.org/10.1177%2F0956797611
427045
Graham, J., & Haidt, J. (2010). Beyond belief:
Religions bind individual into moral
community. Personality and Social
Psyhology Review, 14 (1), 140-150.
https://doi.org/10.1177%2F1088868309
353415
Grama, B. (2018). The student adaptation to
college questionnaire (SACQ) for use
with Romanian students. Psihologia
Resurseor Umane Revista Asociatiei de
Psihologie Indusstriala si
Organizationala, 16 (1), 16-26.
https://psycnet.apa.org/doi/10.1037/t0
6525-000
Hayes, R; Sabapathy, K; Fidler, S (2011)
Universal Testing and Treatment as an
HIV Prevention Strategy: Research
Questions and Methods. Current HIV
research, 9 (6). pp. 429-45. ISSN 1570-
162X
Hossain, M. Z., & Rizvi, M. A. (2017).
Relationship between religious belief
and happiness in Oman: a statistical
analysis. Mental Health, Religion &
Culture, 781-790.
https://doi.org/10.1007/s10943-016-
0332-6
Hurlock, E. B. (2002). Psikologi Perkembangan:
Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Joodat, A. S., & Zarbakhsh, M. (2015).
Adaptation to college and
interpersonal forgiveness and the
happiness among the university
students. Practice in Clinical Psychology,
3 (4), 243-250.
http://applications.emro.who.int/ime
mrf/J_Pract_Clin_Psychol/J_Pract_Cli
n_Psychol_2015_3_4_243_250.pdf
Lesatari, D., & Indrawati, E. S. (2017).
Hubungan antara religiusitas dengan
penyesuaian diri pada siswa dan siswi
kelas VII Yayasan Pondok Pesantren
Futuhiyyah Mraggen Kabupaten
Demak. Jurnal Empati, 6 (04), 307-312.
https://ejournal3.undip.ac.id/index.ph
p/empati/article/download/20098/189
68
Mahudin, N. D., Noor, N. M., Dzulkifli, M. A.,
& Janon, N. S. (2016). Religiosity
among muslims: A scale development
and validation study. Makara Hubs-
Asia, 20 (2), 109-120.
https://doi.org/10.7454/mssh.v20i2.349
2
Mundzir, M. F. (2014). Religiusitas dan
Kebahagiaan Pada Santri Pondok
Pesantren.Skripsi. Yogyakarta:
Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga.
Nadzir, A. I., & Wulandari, N. W. (2013).
Hubungan religiusitas dengan
penyeusaian diri siswa pondok
pesantren. Jurnal Psikologi Tabularasa, 8
(02), 698-707.
http://jurnal.unmer.ac.id/index.php/jp
t/article/view/213/84
Nashori, F. (2011). Kekuatan karakter santri.
Millah, 11 (1), 203-219.
https://journal.uii.ac.id/Millah/article/
view/5092/4501
Pallant, J. (2016). SPSS Surviving Manual: A
Step by Step Guide to Data Analysis
Using IBM SPSS (6th Edition). New
York: McGraw Hill Education.
Pritaningrum, M., & Hendriani, W. (2013).
Penyesuaian diri remaja yang tinggal
di Pondok Pesantren Modern Nurul
Izzah Gresik pada tahun pertama.
Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial,
02 (03), 141-150.
http://journal.unair.ac.id/filerPDF/jpks
417dbf33fb2full.pdf
Qomariyah, S. (2019). Hubungan Religiusitas
dengan Penyesuaian diri pada
satriwati di pondok pesantren
mahasiswi Al-Husna Jember. Skripsi.
Jember: Universitas Jember.
Rahma, A. (2016). Hubungan Antara
Penyesuaian Diri dengan Kemandian
belajar siswa kelas X SMA Exceller Al-
Subhiyah & Nashori
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 12 of 12
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
Yasini yang Tinggal di Pondok
Pesantren. Skripsi. Malang: Universitas
Islam Indonesia Maulana Malik
Ibrahim.
Rahmawati, W., Saragih, J. I., & Adeline, N.
(2016). Psychometric properties of
Indonesian version of the Oxford
Happiness Questionnaire. Advances in
Health Science Research, 5(1), 229-232.
Roessler, J., & Gloor, P. A. (2020).
Measuring happiness increases
happiness. Journal of Computational
Social Science, 1-25. DOI:
10.1007/s42001-020-00069-6
Rusman A. A. (2019). Relationship
Between Religiosity and
Happiness: The Mediationg Role of
Self Control, Self-Regulation, and
Life Satisfaction. Disertasi. Pulau
Penang: Universiti Sains Malaysia
Salsabila, D.F., Rofifah, R., Natanael, Y. &
Ramdani, Z. (2019). Uji Validitas
Konstruk Indonesian-
Psychological Measurement of
Islamic Religiousness (I-PMIR).
Jurnal Psikologi Islam dan Budaya,
2(2), 77-86.
Usman, H., & Sobari, N. (2013). Aplikasi Teknik
Multivariate. Jakarta: Rajawali Press
https://ejurnal.lp2msasbabel.ac.id/index.php/psc
Vol. 3, No. 1, June (2021)
ISSN (Online): 2721-2564
https://doi.org/10.32923/psc.v3i1.1698
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 13 of 11 © Psychosophia, 2021
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
Review Date ; April 21, 2021
Revision Date : May 21, 2021
Accepted Date : May 25, 2021
Publish Date : June 2, 2021
THE PERCEPTION OF SOCIETY ON JUDICIAL CANING
AS THE IMPLEMENTATION OF QANUN JINAYAH
(PSYCHOLOGICAL PERSPECTIVE)
Nurbaiti*
Department of Psychology, Syiah Kuala University, Indonesia
Haiyun Nisa
Department of Psychology, Syiah Kuala University, Indonesia
Abstract: The implementation of a rule and form of punishment to create a safe and prosperous
society will have an effect and impact on the fabric of society life. The implementation of judicial
caning stipulated in the Qanun Jinayah has gained diverse views from the society. The purpose of
this study was to determine how society's perceptions of the implementation on judicial caning. This
study used a qualitative method with observation and focus group techniques. A total of 31 people
from 3 (three) regions in Banda Aceh City were selected as research respondents using purposive
sampling techniques. The results point out that the perceptions that arise from the society are
influenced by knowledge and views on judicial caning and its implementation as well as the
psychosocial conditions of the society. The society does not quite understand the nature of Jinayah
law, the purpose of punishment, and the order as well as the law to be realized. On the other hand,
the society also considers that judicial caning can provide a deterrent effect and learning to the
society so that it does not violate on the Sharia law.
Keywords: Caning, Perception, Qanun Jinayah, Society
* Corresponding Author
Nurbaiti & Nisa
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 14 of 11
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
INTRODUCTION
The society of Aceh is known as
religious communities which make
Islamic Sharia as the basis and standard
for managing life in the various aspects.
All dimensions of society life are regulated
by Islamic Sharia law, it is due to the
implementation of religious life which is
realized in the form of Islamic Sharia is
carried out in a kaffah or comprehensively
(Abbas, 2011).
The Law on Aceh Government
requires regional regulations or Qanun in
the context of implementing Islamic
Sharia (Dinas Syariat Islam Aceh, 2015).
Qanun according to statutory regulations
is a kind of Regional Regulation (Perda)
which regulates the administration of
government and the society life of Aceh
(Pemerintahan Aceh, 2014). One of the
Qanun fields is related to the
administration of the society life in Aceh
includes Sharia legal material or criminal
law that was equipped in Aceh Qanun
Number 6 of 2014 concerning Jinayat Law
(Ulya, 2016).
Aceh Qanun Number 6 Year 2014
regulates the perpetrators of violations of
Islamic Sharia, acts or forms of violations
of Islamic Sharia (jarimah), and the threats
that can be imposed on the perpetrators of
�������1 û�������üï1 Jarimah includes
adultery, qadzaf, rape, sexual harassment,
khamar, maisir, khalwat, ikhtilath, liwath, and
musahaqah (Dinas Syariat Islam Aceh,
2015). Mahdi (2011) added that the form of
punishment for the perpetrators of jarimah
is imprisonment, fines and or judicial
caning.
The implementation of the Qanun
Jinayah raises the pros and cons in various
circles both academics, practitioners and
ordinary people especially related to the
process of implementing judicial caning
given to the violators of Islamic Sharia.
These problems have not only arisen in the
regions, but also at the national and even
international level. As the refusal of the
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR),
an institution that firmly creates resistance
with many writings contained in online
media.
The ICJR urges the Government of
Indonesia to immediately take evaluative
steps to eliminate all forms of corporate
criminality in its laws and regulations, and
declare that juridical caning is proven to
be useless (Institute for Criminal Justice
Reform, 2017).
Reports on the controversy of
judicial caning in Aceh were also
published in Voice of America (VOA)
Indonesia on May 24, 2017. The rejection
from the Amnesty International Director
for Southeast Asia and the Pacific, Josef
Benedict has condemned the punishment
and called it as the violation of
international human rights law. The
global society is encouraged to emphasize
Indonesia in order to create a safer
environment for the LGBT society before
the situation worsens, and it is stated that
no one should be punished for a
relationship of love (Mazrieva, 2017).
Based on preliminary studies
conducted by researcher, it is obtained
some information presented in the
interview excerpt as follows:
"For me, the punishment of judicial
caning will have a learning effect for
many parties, not only violators but
also others so as to prevent violations of
Islamic Sharia"
(Personal Interview), 11/15/2016,
R/35 Years).
Nurbaiti & Nisa
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 15 of 11
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
"In my opinion the good and bad short-
term deterrent effect, but, if the long
term will cause revenge. Generally, the
form is remorse but an effect on the
environment could be that he is very
isolated and not confident. " (Personal
interview, 14/11/11, G/23 Years).
The pro and con are shown by
those who support and those who lead to
the rejection of the implementation of
judicial caning as a form of the
implementation of the Law of Qanum
Jinayat in Aceh (Dinas Syariat Islam Aceh,
2015). The pro and con are stronger after
the enactment of Aceh's Governor
Regulation (Pergub) No. 5 of 2018
concerning the implementation of the
jinayat procedural law and contains the
rules for implementing judicial caning in
the Penitentiary.
The implementation of judicial
caning is expected to reduce violations of
the Islamic Shari'a in Aceh, but the
implementation of judicial caning has
caused different society reactions. This is
efffected by the individual's acceptance of
a stimulus or event, besides this
acceptance will further affect the
perception or assessment of individuals
and society. Perception is the process of
receiving stimuli (objects, qualities,
relationships between symptoms, and
events) which are then realized and
understood (Irwanto, 2002).
The diverse perceptions from the
society can be formed from knowledge
and expectation, and can be strengthened
by affection reactions (Blake, 2006). This
can be seen from the following interview:
"Yesterday, when I saw the
implementation in front of the crowd, I
was a little disappointed because there
was a reading of the curriculum vitae,
to the origin and name of the parents,
for the process, I agreed, but for the
systematic implementation, it needed
to be improved." (15 / 10/2018, M / 20
Years).
The diverse view and perception of
the society regarding judicial caning can
be caused by many parties do not yet
properly understanding about the nature
of jinayah law, the purpose of
punishment, and order as well as the
Shari'a that they want to realize by
enforcing jinayah law. In addition, there is
a lack of knowledge and information
about the process of implementing judicial
caning. The urgency of this study is to find
out the society's views on judicial caning
which can then formulate
recommendation to stakeholders
regarding the implementation of judicial
caning and reveal the phenomenon of
local wisdom in Aceh.
LITERATURE REVIEW
Perception
According to Goldstein (2013),
perception is the process of observer in
applying its knowledge to draw
conclusions about whether the object
through all that is seen, heard, felt,
smelled made by the mechanism of sense
organs. Perception as a series of processes
that begin with environmental stimulus
and end with perception, recognition, and
action, the whole process is dynamic and
constantly changing.
According to Goldstein (2013) there
are a series of processes that occur before
individuals produce interpretations and
react to what is captured by the senses.
The process consists of three main
components, namely:
Nurbaiti & Nisa
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 16 of 11
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
a. Stimulus: stimulus is what is in the
environment, what attracts individual
attention and what stimulates receptors
(cells that are sensitive to stimuli).
Everything that is in the environment
and has the potential to attract the
attention of individuals and it is
mentioned as the environmental
stimulus and when one of the stimulus
is the focus of individual attention, the
stimulus is called as attended stimulus.
b. Physiological Process: the stimulus that
becomes the focus of attention and then
transformed and transmitted to the
brain. One of the basic principles of
perception is everything that an
individual perceives is based on signals
in the nervous system.
c. Behavioral Response: individual
perceives a stimulus that is the object of
perception after being processed in the
brain. What is perceived by individuals
determines individual reactions and
actions to perceived stimulus.
Goldstein (2013) states that perception
is influenced by knowledge factors.
Goldstein further explains that
knowledge in the context of perception are
matters that are known by individuals in
connection with stimuli and it affects on
the perceptual situations. Perception is a
process that involves psychological and
physiological processes, therefore, it is
necessary to know on how knowledge,
memories, and expectations of individuals
related to the situation perceived.
Caning
Aceh is the only province in the
Unitary State of the Republic of Indonesia
(NKRI) which, under the special
autonomy law, has full authority to
implement the Islamic Sharia with the
establishment of a number of regional
regulations for the province known as
Qanun (Fikar & Mutiarin, 2014). Judicial
caning is one type of punishment
contained in Qanun Aceh Number 6 of
2014 concerning Jinayah Law. Judicial
caning referred to in the Jinayah Qanun is
a bat with a diameter of 0.75 cm to 1 (one)
centimeter, length of 1 (one) meter and it
does not have double or split ends
(Zainuddin, 2011). Whereas the judicial
caning in Arabic is called jald derived from
the word jalada (hitting on the skin or
hitting with a whip made of leather)
(Jabbar & Hanum, 2018).
The Perception of Society on Judicial
Caning
Perceptions that arise from the society
towards the implementation of judicial
caning are classified into two parts,
namely positive, it means that the
agreement on the implementation of
judicial caning and negative perceptions
that only see from the bad side of judicial
caning (Abubakar, 2012).
The implementation of Shari'a is seen
as having the potential to protect the
society of Aceh and facilitate its
integration into Indonesia's national
culture, including te particularly on the
experience of the rise of Islam (Feener,
2013).
Sanctions in the form of punishment
for learning and making people deterrent
from repeating their actions. The different
perceptions of the implementation of
judicial caning are certainly based on
perceptual factors that affect each
individual.
Judicial caning in Aceh is carried out
in the open, witnessed and exhibited to the
general public (Ablisar, 2014). The
Nurbaiti & Nisa
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 17 of 11
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
execution of judicial caning certainly
provides many distinctive views from the
public, both those who carry out judicial
caning, those subject to punishment, and
the audience. Judicial caning carried out in
accordance with Islamic Sharia is expected
to give a deterrent effect to the society and
only provide temporary physical pain, it
does not cause permanent injury,
especially on open body parts (Surbakti,
2010). The society perception of judicial
caning is determined by understanding
and knowledge of society in which it is
influenced by social and cultural
backgrounds that are formed through the
socialization process of values and norms
that develop (Ananda, 2016). The society
wants the implementation of Islamic
Sharia and the implementation of judicial
caning to continue in Aceh in the future.
However, some people are still unfamiliar
with the implementation of judicial caning
(Sumiadi & Faisal, 2008).
RESEARCH METHOD
This study used a qualitative-
phenomenological method with a
Psychophysical approach that explained
about how the relationship of stimulus
and behavioral response and how other
factors such as knowledge, memory, and
expectations of the situation effect on
perception (Goldstein, 2013). The
respondent consisted of 31 people from
generap public in the 3 areas of Banda
Aceh, they were selected with purposive
sampling technique. Characteristics of
research respondents, namely 1) Men /
Women, 2) Ages 20-55 years, 3) Minimum
education of high school graduates /
equivalent, 4) Working / Not Working, 5)
The society in the area of the judicial
caning is carried out. This research was
conducted in Gampong Rukoh, Gampong
Lamgugob and Gampong Lueng Bata. The
data collection was conducted by
observation and FGD techniques. Data
analysis was undertaken using an
interactive model that refers to the
theories of Miles and Huberman (1994),
consisting of the stages of data collection,
data reduction, data display, and
conclusion or verification.
RESULT
Knowledge assessment is carried
out prior to focus group discussions to
measure the level of society knowledge
related to judicial caning and the
implementation of the Qanun jinayah. The
societies from three (3) regions in Banda
Aceh City involved as research
respondents (a total of 31 people) have a
percentage of knowledge that can be seen
in Table 1.
Table 1
Level of Society Knowledge on Judicial
Caning
Regions The Percentage of
Society Knowledge
Gampong Lamgugob 57%
Gampong Rukoh 41%
Gampong Lueng Bata 26%
Mean 41%
Based on the knowledge
assessment from the three groups of
respondents, it indicates that the average
level of society knowledge of the three
regions is 41%. These results point out that
the public does not yet have sufficient
knowledge and comprehensive
understanding regarding the
implementation of judicial caning and
Qanun Jinayah.
Nurbaiti & Nisa
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 18 of 11
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
Table 2
Comparison between respondents The Component of
Perception
Respondent
Group I (LB)
Respondent
Group II (LG)
Respondent
Group III (RK)
Stimulus Never witness directly
the process of judicial
caning
Witness judicial caning
more than once
Witness judicial caning
directly
The lack of an
information about the
judicial caning. The
information gained is
merely from mass media
Know about the judicial
caning because they have
ever watched directly
Gain an information about
judicial caning directly
The lack of socialization
Obtain the socialization
from the government
Behavioral
Response
Discover about one type
of violation of Islamic
Sharia that can be
imposed to judicial
caning
Discover about the
implementation of judicial
caning and some types of
violations of Islamic
sharia which can be
imposed to judicial caning
Discover about the judicial
caning that imposed on
perpetrators of adultery
and khalwat
Feel a scare and sad so
that they do not witness
the judicial caning.
Feel sad and pity during
watching the judicial
caning.
The society is involved in
preventing violations of the
Islamic Sharia by the Team
Tamar..
The implementation of
judicial caning has not
been effective enough
because of several
shortcomings in its
implementation
Feel the execution
procedure is not optimal.
The lack of seriousness of
the executor in
implementing the judicial
caning policy
Not effective enough
because it is not in
accordance with religious
guidance and there are still
many shortcomings in the
implementation process.
Judicial caning received
by violators of Islamic
Sharia is not equal with
the mistakes that the
violators have carried
out
The punishment given to
the convicted person has
not been equal because it
is not in accordance with
Islamic provision
The punishment given to
the convicted person has
not been worth it
The benefits of judicial
caning is as a learning
Judicial caning is a lesson
for others. Judicial caning
has a better impact than
imprisonment
Judicial caning provides
education and learning as
well as benefits to other
societies in order to not
violate the Islamic Sharia
and not to embarrass the
convicted
Justice needs to be applied
in the presence of
evidence and thorough
investigation before the
execution of the
punishment
It is necessary to apply
justice and the
implementation of
punishment to all people
Nurbaiti & Nisa
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 19 of 11
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
The following results of group discussions
with society from three regions in Banda
Aceh, namely:
1. The process of judicial caning is very
influential in the development of
children who witness the execution of
judicial caning directly.
2. The clear rules must be enforced in the
process of judicial caning.
3. The deterrent effect and learning for
violators and others.
4. The convicted of judicial caning needs
a psychological rehabilitation.
5. Socialization from the party of the
Islamic Sharia implementation is still
lacking so that it causes a lack of
society knowledge related to the
provisions and the system of
implementing on judicial caning.
Knowledge is limited to general
information such as certain types of
violations of Islamic law.
6. The tendency of injustice and
consistency in the enforcement of
Islamic Law. It is expected to not
record and spread the process of
execution of judicial caning to social
media.
8. It is essential for having earlier
education from family that can
prevent violations of Islamic Sharia.
9. Control function with the TAMAR
Team as a supervisor and prevent
violations of Islamic Law.
10. Some people avoid watching the
judicial caning execution due to feel a
pity and compassion.
The results obtained are then
categorized into several themes / aspects
and analyzed from psychological reviews,
as in Table 3.
Table 3
Themes of Research Results (Psychological
Review)
Element Research Themes
Cognitive
Knowledge and understanding
about Judicial caning and Qanun
Jinayah
Justice and consistency in
enforcement of the punishment
The importance of psychological
rehabilitation for convicts who are
imposed to judicial caning
The impact of the judicial caning
process is witnessed directly by
children
Affection Society reactions and responses
Feel compassion for the convict
who is imposed to judicial caning
Conative The role of the society in
preventing violations of Islamic
Sharia
The function of the environment
control is to prevent violations of
Islamic Law
DISCUSSION
The implementation of judicial
������1�������1��1���1�¢������1��1������¢��1
behavior in Aceh. The lack of society
support for the implementation of Islamic
Sharia as a whole in all aspects of life
becomes a challenge (Muzakkir, Thaib,
Suhaidi, & Abdullah, 2017). Various
society perceptions of judicial caning are
��������1 �¢1 ������¢��1 ��� �����1 ���1
understanding of the enforcement of
Islamic Sharia with the implementation of
judicial caning as the form of applying
Qanun Jinayat. Knowledge is a learning
process and a reinforcing factor that
effects on individual behavior that can be
sourced from family, society and mass
media (Myers, 2012). This is in line with
information obtained from research
respondents that socialization regarding
the implementation of Islamic Sharia
Nurbaiti & Nisa
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 20 of 11
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
needs to be continuously carried out with
various alternative media, both directly
and through other media.
The implementation of Islamic law
requires the role of all parties. Ulya (2016)
argues that the government is responsible
for providing understanding to the
society. The family and the environment
also have an important role in the process
of delivering information related to the
implementation of Islamic Sharia,
especially about the judicial caning for
violators of the Qanun Jinayah. The family
is the beginning of Islamic Sharia
education so that children have an early
awareness that individuals have rules of
life (Sutrisno, 2016).
Muhammadin, Wicaksono, Sari,
and Ayutama (2019) argues that the
judicial caning is a persecution is
incorrect. Danial (2012) states that the
deterrent effect can provide a decrease in
the number of violators of Islamic Sharia
because the convict is regret for its actions
and feels ashamed of being publicly
punished). In addition, the purpose of
judicial caning is carried out openly in the
presence of the society in order to prevent
similar acts and as learning for the whole
societies (Safinah, 2016). Judicial caning
can affect the psychological condition of
the convicted person. This is a challenge
issue in the implementation of Sharia by
the government in Aceh (Taylor, 2015).
The process of returning to family and
society is also not yet integrated enough so
that convicts who violate the Shari'a may
feel excluded from their environment and
cannot return to be a normal life. The
process of recovery and rehabilitation has
not yet been carried out even though this
has been stated in the Qanun Jinayah. The
psychological condition when the violator
returns to the community, it needs to be
considered so that the convicted person
can be accepted in their environment
(Sutrisno, 2016).
CONCLUSION
The diverse view and perception of
the process of judicial caning for violators
of Islamic Sharia in Aceh in which it is
strongly effected by the people's
knowledge and understanding on the
Qanun Jinayah. The principle of fairness
and consistency in enforcing the rules also
affect the society's judgment. The variety
of view and perception of judicial caning
can affect society's behavior.
The various behaviors that often
emerge toward the judicial caning are
documenting the process of judicial
caning and spreading it through social
media; inviting the children to witness the
process of judicial caning; shouting/
blaspheming the violator who is punished
of judicial caning and various other
behaviors.
The mechanism in the process of
execution of judicial caning is important to
minimize the psychological impact,
especially for children. The deterrent
effect and shame provide learning process
to individuals and other societies in order
to not violate Islamic Sharia. Society care
and strengthening community capacity,
and the support and the role of the family
as the pioneer can prevent violation of
Islamic Sharia.
Some suggestions from the results
of this study are: 1) For further researchers
can conduct further research by adding
respondents from the society who have
been convicted of judicial caning and
expanding the research area. 2)
Recommendation to the government
Nurbaiti & Nisa
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 21 of 11
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
namely to carry out continuous
socialization of the implementation of
Islamic Sharia on the society. The
preparation of psycho-education modules
to the society related to preventive
programs, so as to minimize the number
of violations of Islamic Sharia.
Strengthening the capacity of
families and societies as a function of
social control. The need to enforce the
rules when the execution of judicial caning
in anticipating the involvement of
children. In addition, there is a need for
psychological rehabilitation mechanisms
for the convicted of judicial caning before
and after judicial caning.
Nurbaiti & Nisa
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 22 of 11
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
REFERENCES
Abbas, S. (2011). Dimensi pemikiran hukum
dalam implementasi Syariat Islam di
Aceh. Aceh: Dinas Syariat Islam
Aceh.
Ablisar, M. (2014). Relevansi hukuman
cambuk sebagai salah satu bentuk
pemidanaan dalam pembaharuan
hukum pidana. Jurnal Dinamika
Hukum, 14 (2), 278-289.
Abubakar, A. (2012). Kontroversi
hukuman cambuk. �����1�¢������, 14
(1), 65-95.
Ananda, R. R. (2016). Persepsi masyarakat
terhadap pelaksanaan hukum
cambuk di Kota Banda Aceh. Skripsi
(tidak diterbitkan). Fakultas FISIPOL
Universitas Syiah Kuala.
Blake, R., & Sekuler, R. (2006). Perception.
New York: McGraw Hill.
Danial. (2012). Qanun Jinayah Aceh dan
perlindungan HAM (kajian yuridis-
filosofis). Jurnal Kajian Hukum Islam,
6 (1), 85-98.
�����1�¢������1�����1����ï1ûXVW[üï1Hukum
jinayah dan hukum acara jinayah.
Banda Aceh: Naskah Aceh.
Feener, F. M. (2013). Social engineering
�������1 �������ñ1 �������1 �� 1 ���1
state-��������1 ��� �1 ��1
contemporary Aceh. Indonesia Law
Review, 3 (3), 285-310.
Fikar, M., & Mutiarin, D. (2014). Tata
kelola kebijakan Qanun Nomor 13
Tahun 2003 Tentang Maisir
(Perjudian) di kabupaten Gayo Lues
provinsi Aceh. Jurnal Ilmu
Pemerintahan dan Kebijakan Publik, 1
(3), 548-572.
Goldstein, E. B. (2013). Sensation and
perception (9th ed.). USA: Wadsworth
Cengage Learning.
Institute for Criminal Justice Reform.
(2017). Hukuman cambuk mencoreng
wajah hak asasi manusia di Indonesia.
Retrieved April 28, 2018, from
http://icjr.or.id/hukuman-cambuk-
mencoreng-wajah-hak-asasi-
manusia-di-indonesia/.
Irwanto. (2002). Psikologi umum (buku
panduan mahasiswa). Jakarta: PT.
Prehallindo.
Jabbar & Hanum, Z. (2018). Pengawasan
pelaksanaan uqubah cambuk.
Legitimasi, 7 (2), 265-283.
Mahdi. (2011). Sistem hukum penegakan
Qanun Jinayah di Aceh. Media
Syariah, 13 (2), 179-192.
Mazrieva, E. (2017). Kontroversi hukuman
cambuk di Aceh. VOA Indonesia.
Retrieved April 28, 2018, from
https://www.voaindonesia.com/a/ac
eh-hukum-cambuk-pasangan-gay-
/3867986.html.
Miles, M. B., & Huberman, A. M. (1994).
Qualitative data analysis: An expanded
sourcebook (2nd ed.). Thousand Oaks,
CA: Sage Publications.
Muhammadin, F. M., Wicaksono, D. A.,
Sari, A. C. F., & Ayutama, O. A.
(2019). Lashing in qanun Aceh and
the convention against torture: A
critical appraisal. Jurnal Media
Syariah, 7 (1), 11-24.
Muzakkir, Thaib, H., Suhaidi, & Abdullah,
Z. (2017). Implementation of law in
Aceh after application Qanun
Jinayah. International Journal of
Humanities and Social Science
Invention, 6 (9), 1-7.
Myers, D. G. (2012). Social psychology.
(Aliya Tusyani, Trans). Jakarta:
Salemba Humanika.
Pemerintahan Aceh. (2014). Indeks Hukum
Qanun. Retrieved April 28, 2018,
Nurbaiti & Nisa
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 23 of 11
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
from
https://www.acehprov.go.id/hukum
/category/2.html.
Peraturan Gubernur Aceh Nomor 5 Tahun
2018 Tentang Pelaksanaan Hukum
Acara Jinayat.
Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014
Tentang Hukum Jinayat. Dinas
Syariat Islam Aceh. Retrieved April
28, 2018, from
https://dsi.acehprov.go.id/wp-
content/uploads/2017/02/Qanun-
Aceh-Nomor-6-Tahun-2014-
Tentang-Hukum-Jinayat.pdf.
Safinah. (2016). Sanksi hukum terhadap
perbuatan liwath dengan anak di
bawah umur. Jurnal Petita, 2 (2): 192-
213.
Sumiadi & Faisal. (2008). Persepsi
masyarakat terhadap pemberlakuan
hukum cambuk di wilayah Kota
Lhokseumawe dalam rangka
penerapan Syariat Islam yang kaffah
di Nanggroe Aceh Darussalam.
Jurnal Suloh, 6 (2), 97-174.
Surbakti, N. (2010). Pidana cambuk dalam
perpektif keadilan hukum dan hak
asasi manusia di Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam. Jurnal Hukum, 3
(7), 456-474.
Sutrisno, I. H. (2016). Case study roles of
Islamic law in the perspective of
sociological the community Langsa.
Journal of Research in Humanities and
Social Science, 4 (9), 69-78.
Taylor, R. (2015). Syariah as heterotopia:
Responses from muslim women in
Aceh, Indonesia. Religions, 6 (2), 566-
593.
Ulya, Z. (2016). Dinamika penerapan
hukum jinayah sebagai wujud
������������1�¢������1�����1��1����ï1
Jurnal Rechtsvinding, 5 (1), 135-148.
Zainuddin, M. (2011). Problematika
hukuman cambuk di Aceh. Banda
Aceh: Dinas Syariat Islam Aceh.
https://ejurnal.lp2msasbabel.ac.id/index.php/psc
Vol. 3, No. 1, June (2021)
ISSN (Online): 2721-2564
https://doi.org/10.32923/psc.v3i1.1651
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 24 of 12 © Psychosophia, 2021
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
Review Date ; April 23, 2021
Revision Date : May 21, 2021
Accepted Date : May 25, 2021
Publish Date : June 3, 2021
PENGARUH EFIKASI DIRI TERHADAP BURNOUT
DAN PERBEDAANNYA BERDASARKAN GENDER (STUDI EMPIRIS PADA MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI)
Sarah Ulfa
Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Jakarta, Indonesia
Melani Aprianti*
Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Jakarta, Indonesia
Abstract: This study aims to provide empirical evidence about the effects of Self Efficacy on
Burnout. This study also wants to prove the difference level of Burnout based on Gender. The
research data is the primary data that are obtained through the distribution of questionnaires to the
respondents. The respondents were selected by using disproportionate stratified random sampling
method. This study uses a quantitative method with 212 respondents which are students of faculty
of psychology in X University Jakarta. Hypothesis testing using simple regression test and
independent sample T test. The results revealed that Self Efficacy have positive effect on Burnout.
Differences in burnout based on gender can not be proven through the results of this study.
Keywords: Self Efficacy, Burnout, Gender.
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk memberikan bukti empiris tentang pengaruh
Efikasi Diri terhadap Burnout. Penelitian ini juga ingin membuktikan perbedaan tingkat
Burnout berdasarkan gender. Data penelitian adalah data primer yang diperoleh melalui
penyebaran kuesioner kepada responden. Para responden dipilih dengan menggunakan
metode stratified random sampling tidak proporsional. Penelitian ini menggunakan
metode kuantitatif dengan 212 responden yang merupakan mahasiswa yang kuliah sambil
bekerja di fakultas Psikologi di Universitas X Jakarta. Pengujian hipotesis menggunakan
uji regresi sederhana dan uji T sampel independen. Hasil penelitian mengungkapkan
bahwa Efikasi Diri memiliki pengaruh terhadap Burnout. Perbedaan Burnout berdasarkan
jenis kelamin tidak dapat dibuktikan melalui hasil penelitian ini.
Kata kunci: Efikasi Diri, Burnout, Gender.
* Corresponding Author
Ulfa & Aprianti
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 25 of 12
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
PENDAHULUAN
Munculnya fenomena peningkatan
jumlah individu yang ingin melanjutkan
pendidikan ke jenjang perkuliahan
dikarenakan menyebarnya persepsi
dimasyarakat bahwa lulusan S1 pada
umumnya memiliki taraf yang lebih tinggi
dalam hal jenjang karir maupun ekonomi,
sehingga membuat tidak sedikit orang
yang ikut serta mengambil bangku
perkuliahan demi menghadapi situasi dan
perubahan yang muncul dalam hidupnya
(Nasa dan Sharma, 2014). Akan tetapi,
beberapa orang juga harus menjalani
kuliah sambil bekerja demi memenuhi
kebutuhannya.
Kondisi ini akan menghasilkan
tekanan berlebih yang membuat individu
sulit untuk melakukan perannya dengan
baik sebagai karyawan sekaligus
mahasiswa dalam satu waktu, sehingga
menimbulkan ketidakseimbangan akibat
terbatasnya sumber daya dan tanggung
jawab individu yang kian meningkat (Ilic,
Khamisa, Oldenburg dan Peltzer, 2015).
Pada situasi tertentu, saat kesulitan atau
penderitaan tidak dapat dihindari,
individu yang memiliki ketahanan diri
dapat mengatasi berbagai permasalahan
kehidupan dengan cara mereka ( Syaiful
dan Haztika, 2018). Sebaliknya, bila tidak
mengatasi, masalah yang membebani ini
beresiko menimbulkan Burnout.
Maslach and Leiter dalam
Wardani dan Firmansyah (2019)
menyebutkan bahwa burn out adalah
keadaan psikologis yang merupakan
respon akibat stress kronis yang
berkepanjangan. Burn out ditandai
dengan kelelahan yang ekstrim, merasa
sinis terhadap tugas, merasa tidak mampu
dan tidak berhasil. Hasil penelitian
Wardani dan Firmansyah (2019)
menunjukkan bahwa burnout dapat
membuat persepsi seseorang terhadap
keseimbangan hidup dan kerja berkurang.
Burnout dapat muncul dalam bentuk
kelelahan fisik, mental dan emosi yang
berat. Proses psikobiologis terlibat ketika
seseorang mengalami burn out yang
muncul dalam bentuk symptom fisik
seperti kehilangan fokus, keluhan nyeri
dan rentan terhadap sakit (Wardani dan
Firmansya, 2019).
Jackson dan Maslach dalam
Canadas, Fuente, Garcia, Luis dan Vargas
(2013) menggambarkan Burnout sebagai
hasil dari stres kronis yang berhubungan
dengan pekerjaan. Burnout terdiri atas tiga
komponen atau dimensi, yaitu emotional
exhaustion (kelelahan emosi),
depersonalization (depersonalisasi), dan
reduced personal accomplishment
(penurunan prestasi individu). Kelelahan
emosi mengacu pada beban fisik dan
emosional yang dihasilkan dari kondisi
pekerjaan individu.
Leiter, Maslach dan Schaufeli
(2009) menyatakan Burnout pada pekerja
muncul sebagai konsep penting pada
tahun 1970-an. Hal itu mengungkap
sesuatu yang sangat kritis tentang
pengalaman orang-orang dengan
pekerjaannya. Burnout telah menjadi
konsep yang nyata terjadi di antara
individu masa kini. Sejak awal, Burnout
telah mendapat pengakuan bersama
sebagai masalah sosial yang layak
mendapat perhatian lebih lanjut untuk
melakukan perbaikan. Karena pengakuan
ini telah menyebar ke berbagai negara lain
di luar Amerika, Burnout telah menjadi
fenomena global yang penting. Hal ini
telah menginspirasi peneliti untuk
melakukan penelitian lebih mendalam
tentang apa itu Burnout dan mengapa
Ulfa & Aprianti
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 26 of 12
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
Burnout bisa terjadi. Peneliti juga tertarik
untuk mencari tahu perbedaan Burnout
berdasarkan gender.
Burnout menurut Maslach,
Schaufeli dan Leiter (2009) merupakan
sindrom dari kelelahan emosional,
depersonalisasi, dan kurangnya
pencapaian personal yang terjadi akibat
jangka panjang dari stres dan emosi yang
akut pada individu. Pada dasarnya stres
merupakan hal yang tidak dapat
dihindari, akan tetapi stres yang
berlebihan dapat berakibat fatal hingga
menyebabkan penyakit yang beragam
seperti penyakit jantung, stroke, tekanan
darah tinggi, migrain, sakit maag, dan
ataupun ketidaknyamanan yang tidak
diinginkan lainnya (Jankome, Mangori
dan Ritacco, 2013). Pada mahasiswa yang
sambil bekerja, hal ini tentunya tidak bisa
dibiarkan berkepanjangan dan harus
segera di tangani karena dapat
menyebabkan individu kehilangan
semangat dan tidak produktif dalam
menyelesaikan tugas perkuliahan
maupun pekerjaannya. Individu
memerlukan strategi untuk
menanggulangi ataupun mengurangi
dampak stress tersebut. Dengan adanya
Efikasi Diri, memungkinkan individu
untuk mengelola stres dalam kehidupan
mereka.
Seorang karyawan sekaligus
mahasiswa sangat memerlukan
keyakinan akan Efikasi Diri karena dapat
memengaruhinya dalam menyelesaikan
berbagai permasalahan yang dihadapinya
dalam lingkungan kerja maupun
diperkuliahannya. Menurut Bandura
(1994), Efikasi Diri didefinisikan sebagai
keyakinan seseorang dengan kemampuan
yang dimilikinya untuk menghasilkan
tingkat kinerja tertentu sehingga
berpengaruh terhadap peristiwa yang
dapat mempengaruhi kehidupan mereka.
Efikasi diri menentukan bagaimana
seseorang merasakan, berpikir,
memotivasi diri dan berperilaku.
Keyakinan tersebut kemudian
menghasilkan efek beragam melalui
empat proses besar, yaitu proses kognitif,
motivasi, afektif dan seleksi.
Pada mahasiswa yang sambil
bekerja, hal ini tentunya tidak bisa
dibiarkan berkepanjangan dan harus
segera di tangani karena dapat
menyebabkan individu kehilangan
semangat dan tidak produktif dalam
menyelesaikan tugas perkuliahan
maupun pekerjaannya. Individu
memerlukan strategi untuk
menanggulangi ataupun mengurangi
dampak stress yang ditimbulkan dari
menjalani dua peran sekaligus. Dengan
adanya Efikasi Diri, memungkinkan
individu untuk mengelola stres dalam
kehidupan mereka.
Menurut Bandura (1994), Efikasi
Diri merupakan keyakinan seseorang
akan kemampuan yang dimilikinya untuk
menghasilkan tingkat kinerja tertentu
sehingga berpengaruh terhadap peristiwa
yang dapat mempengaruhi kehidupan
mereka. Seorang karyawan sekaligus
mahasiswa sangat memerlukan
keyakinan akan Efikasi Diri karena dapat
memengaruhinya dalam menyelesaikan
berbagai permasalahan yang dihadapinya
dalam lingkungan kerja maupun
diperkuliahannya. Efikasi Diri yang tinggi
dapat membantu karyawan sekaligus
mahasiswa dalam mengatasi berbagai
tekanan dan hambatan yang ditemui
ditempat kerja maupun diperkuliahan
sehingga dapat memperkecil stres bahkan
dapat mencegah timbulnya Burnout.
Ulfa & Aprianti
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 27 of 12
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
Peneliti tertarik untuk meneliti
kembali guna melihat pengaruh Efikasi
Diri terhadap Burnout pada karyawan
yang juga menjalani peran sebagai
mahasiswa, karena penelitian terdahulu
hanya meneliti subjek yang memiliki satu
peran saja, seperti dokter, perawat, guru,
dan lain lain. Peneliti juga ingin
memperdalam hasil penelitian dengan
melihat perbedaan bagaimana Burnout
pada laki laki dan perempuan. Jenis
kelamin (gender) merupakan
karakteristik yang berhubungan dengan
Burnout pada individu. Menurut Sihotang
dalam Lina dan Kusuma (2017), pada
dasarnya Burnout dapat dialami oleh
semua orang termasuk laki laki maupun
perempuan. Hal ini disebabkan karena
setiap orang tentunya mengalami tekanan
pada setiap aktivitas atau kegiatan
dikehidupan yang dijalaninya. Umumnya
laki laki lebih cenderung untuk
mengalami Burnout dibandingkan dengan
perempuan. Penyebabnya karena laki laki
lebih mengalami tekanan pada sesuatu hal
yang mutlak seperti keharusan bekerja
untuk menghidupi keluarga dan mencari
nafkah. Sedangkan pada perempuan tidak
terdapat tuntutan seperti yang dialami
oleh laki laki (Gibson dalam Lina dan
Kusuma, 2017). Oleh sebab itu perlunya
penelitian lebih lanjut yang menjelaskan
terkait Burnout pada perbedaan jenis
kelamin (gender).
Namun, penelitian sebelumnya
pada Burnout ditinjau dari gender
menunjukkan hasil yang berbeda-beda
seperti penelitian Lina dan Kusuma (2017)
yang menyatakan tidak ada perbedaan
Burnout antara laki laki dan perempuan.
Begitu juga hasil penelitian Larasati dan
Paramita (2012) yang menunjukkan tidak
terdapat perbedaan tingkat Burnout pada
guru perempuan dan laki-laki di SDN
inklusi. Sedangkan pada penelitian lain
menunjukkan hasil bahwa terdapat
perbedaan Burnout pada laki laki dan
perempuan, seperti pada penelitian
Jatmiko (2016) yang menyatakan bahwa
Burnout pada laki laki lebih tinggi
dibandingan pada perempuan. Dan
penelitian Heidari (2013) yang
menyatakan Burnout pada atlet
perempuan secara signifikan lebih tinggi
dari pada atlet laki-laki. Melihat
perbedaan hasil penelitian diatas,
membuat peneliti selain tertarik untuk
melihat dampak self effcicay terhadap
burn out dari individu yang memiliki dua
peran sekaligus yaitu sebagai mahasiswa
dan sebagai pekerja, peneliti juga tertarik
untuk mendalami lebih lanjut mengenai
perbedaan burnout pada pria dan wanita.
Burnout
Maslach dalam Sundari dan
Mubarak (2016) menyatakan Burnout
adalah hasil dari tekanan emosional yang
berulang dan konstan yang dilibatkan
dengan hubungan antar personal dalam
periode waktu tertentu. Leiter, Maslach
dan Schaufeli (2009) menjelaskan Burnout
sebagai sindrom kelelahan emosional,
depersonalisasi, dan berkurangnya
penghargaan terhadap diri sendiri. Hal ini
dapat terjadi diantara individu yang
bekerja dengan orang lain dengan
mengharuskannya terlibat pada situasi
emosional. Burnout berkembang sebagai
akibat dari stres kronis, ketika individu
merasa persyaratan pekerjaan dan
kemampuan yang dimilikinya tidak cocok
/ sesuai (Benight, Cieslak, Luszczynska,
Rogala, Shoji, dan Smoktunowicz, 2015).
Ulfa & Aprianti
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 28 of 12
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
Efikasi Diri
Efikasi Diri menurut Bandura
dalam Dewi (2017) merupakan
kemampuan individu dalam pengaturan
dirinya. Efikasi Diri digambarkan sebagai
kemampuan individu dalam
mengorganiasi serta implementasi dari
tindakan untuk mencapai tujuan tertentu.
Efikasi Diri adalah salah satu faktor yang
mempengaruhi cara seorang individu
berurusan dengan tekanan. Efikasi Diri
seseorang dalam menjalani kegiatan
tertentu dapat mempengaruhi tingkat
upaya dan kinerja pribadinya. Dengan
kata lain, Efikasi Diri memengaruhi
motivasi dan memperkuat keyakinannya.
Orang-orang dengan tingkat Efikasi Diri
yang tinggi cenderung lebih sukses ketika
menghadapi tantangan (Alidosti, dkk.,
2016). Menurut Bandura (1994), Efikasi
Diri terdiri atas tiga dimensi, yaitu
Tingkat (Level), Keluasan (Generality),
dan Kekuatan (Strength).
Metode Penelitian
Metode yang digunakan pada
penelitian ini yaitu metode kuantitatif.
Penelitian kuantitatif menurut Timotius
(2017) adalah penelitian yang dilakukan
demi mendapatkan fakta atau data untuk
digunakan sebagai kepastian dan
kecermatan jawaban pada pertanyaan
dalam penelitian dengan menggunakan
logika deduktif. Berdasarkan
permasalahan dan tujuan penelitian ini
menggunakan metode kuantitatif
bertujuan untuk menjelaskan pengaruh
antar variabel dan juga membuktikan
perbedaan tingkat Burnout berdasarkan
jenis kelamin melalui pengujian hipotesis.
Dalam penelitian ini menjelaskan ada
tidaknya pengaruh antara Efikasi Diri
dengan Burnout dan ada tidaknya
perbedaan Burnout antara mahasiswa dan
mahasiswi fakultas Psikologi Universitas
X yang kuliah sambil bekerja.
Participants
Populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh Mahasiswa aktif Fakultas
Psikologi di Universitas X yang kuliah
sambil bekerja sejumlah 277 orang yang
terdiri dari 76 laki.laki dan 201
perempuan. Karena jumlah laki laki
terlalu sedikit bila dibandingkan dengan
jumlah perempuan. Sehingga sampel
yang digunakan dalam penelitian ini
berjumlah 76 mahasiswa dan 134
mahasiswi.
Tehnik Sampling
Teknik pengambilan sampel yang
digunakan pada penelitian ini adalah
disproportionate stratified random sampling
yang merupakan pengembangan dari
teknik Stratified Random Sampling. Teknik
ini digunakan untuk menentukan jumlah
sampel dengan populasi berstrata yang
dapat disesuaikan.
Instrumen Penelitian
Penelitian ini menggunakan Skala
Efikasi Diri yang dibuat oleh Khairunnisa
(2017) berdasarkan teori Albert Bandura
(1994) dengan dimensi Tingkat (Level),
Keluasan (Generality), dan Kekuatan
(Strength) yang berjumlah 18 item, dengan
reliabilitas sebesar 0,882 dan validitas
berkisar antara 0,338 sampai dengan
0,723. Dan Skala MBI . Maslach Burnout
Inventory yang dibuat oleh Rahmaputri
(2017) berdasarkan teori Maslach (1996)
dengan dimensi Emotional Exhaustion
(Kelelahan Emosi), Depersonalization
(Depersonalisasi), Dan Reduced Personal
Accomplishment (Penurunan Prestasi
Ulfa & Aprianti
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 29 of 12
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
Individu) yang terdiri dari 27 item.
Dengan reliabilitas sebesar 0,922 dan
validitas berkisar antara 0,357 sampai
dengan 0,755.
Variabel
Variabel bebas (Independent
Variable) dalam penelitian ini adalah
Efikasi Diri dan Variabel terikat
(Dependent Variable) dalam penelitian ini
adalah Burnout.
Definisi Konseptual Variabel Penelitian
Efikasi Diri didefinisikan sebagai
keyakinan seseorang dengan kemampuan
yang dimilikinya untuk menghasilkan
tingkat kinerja tertentu sehingga
berpengaruh terhadap peristiwa yang
dapat mempengaruhi kehidupan mereka
(Bandura 1994).
Burnout adalah sindrom kelelahan
emosional, depersonalisasi, dan
mengurangi pencapaian pribadi yang
dapat terjadi di antara individu yang
bekerja dengan orang dalam kapasitas
tertentu (Maslach, Schaufeli dan Leiter,
2009).
Definisi Operasional Variabel Penelitian
Efikasi Diri
Keyakinan diri mahasiswa fakultas
psikologi Universitas X yang kuliah
sambil bekerja dan mahasiswa mengenai
kemampuannya dalam menjalani dua
peran sekaligus yang dilihat dari skor
dimensi Tingkat (Level), Keluasan
(Generality) dan Kekuatan (Strength).
Burnout
Kondisi mahasiswa yang merasa
terperas habis dan kehilangan energi
psikis maupun fisik. Hal tersebut
disebabkan oleh situasi yang tidak sesuai
atau tidak mendukung dengan kebutuhan
dan harapan mahasiswa yaitu menjalani
dua peran sebagai mahasiswa sekaligus
karyawan. Pada umumnya, Burnout
cenderung diakibatkan oleh kelelahan
emosional, fisik dan mental yang intens
yang dilihat dari skor dimensi Kelelahan
Emosional (Emotional Exhaustion),
Depersonalisasi (Depersonalization) dan
Penurunan penghargaan terhadap diri
(Reduced Personal Accomplishment).
Analisa Data
Penelitian ini menggunakan teknik
analisis Regresi untuk melihat pengaruh
antar variabel dan Uji T untuk melihat
perbedaan tingkat Burnout berdasarkan
Gender. Teknik regresi linier sederhana
dan Uji independent sample T test.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Responden
Subjek pada penelitian merupakan
mahasiswa aktif fakultas Psikologi
Universitas X yang kuliah sambil bekerja
dengan jumlah 212 orang, dengan rincian
sebagai berikut :
Tabel. 1
Gambaran Umum Subyek Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Frequency Percent
Laki Laki 76 35.8
Perempuan 136 64.2
Total 212 100.0
Dari tabel diatas dapat dijelaskan
bahwa dari total 212 sampel yang diambil
peneliti pada mahasiswa aktif fakultas
Psikologi Universitas X, yaitu laki-laki
sejumlah 76 orang (35,8%) dan
perempuan sejumlah 136 orang (64,2%).
Uji Asumsi Klasik
Uji normalitas pada penelitian ini
dilakukan dengan menggunakan teknik
Kolmogorov Smirnov Test SPSS 20.0 for
Ulfa & Aprianti
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 30 of 12
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
windows. Data dikatakan normal apabila
memiliki nilai sigfikansi p > 0,05.
Berdasarkan hasil Kolmogorov Smirnov
diperoleh nilai p untuk skala Burnout
sebesar 0,478 (p > 0,05) yang berarti data
normal, dan nilai p untuk skala Efikasi
Diri sebesar 0,056 (p > 0,05) yang berarti
data normal.
Berdasarkan hasil uji linearitas
yang dilakukan pada 212 responden
memberikan nilai F sebesar 83,140 dan sig
yaitu 0,000 (p < 0,01) untuk variabel
Efikasi Diri dan Burnout. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa data tersebut linier.
Perhitungan uji Glejser
menunjukkan hasil distribusi data tidak
membentuk pola apapun dan tersebar.
Serta nilai signifikansi variable Efikasi Diri
(0,628) memiliki nilai signifikansi nilai p >
0,05 sehingga dapat disimpulkan tidak
terjadi heterosedaktisitas.
Sedangkan, hasil dari 212
responden yang dianalisa, didapatkan
nilai levene statistic 1,336 dan nilai sig
0,140 (p) > 0,05 yang berarti data pada
penelitian ini berasal dari populasi yang
sama dan memiliki varians yang
homogen.
Uji Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban
sementara atas permasalahan penelitian
yang dirumuskan dan harus diuji
kebenarannya secara empirik. Pada
penelitian ini, pengujian hipotesis
dilakukan dengan menggunakan teknik
regresi linier sederhana untuk menguji
hipotesis pertama. Sedangkan untuk
menguji hipotesis kedua menggunakan
Uji independent sample T test. Penjelasan
tentang hasil uji hipotesis dalam
penelitian adalah sebagai berikut.
Uji Regresi
Pengujian hipotesis ini berdasarkan
uji statistik (Ho ditolak, jika t hitung > t
tabel) dan berdasarkan signifikansi (Ho
ditolak jika signifikansi < 0,05). Hasil t
hitung X (Efikasi Diri) terhadap Y
(Burnout) dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel. 2
Uji Regresi Model Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig.
B Std. Error Beta
1 (Constant) 103.584 5.305 19.525 .000
TOTAL_SE -.905 .099 -.534 -9.149 .000
a. Dependent Variable: TOTAL_BO
Berdasarkan tabel di atas, nilai t
hitung untuk variabel Efikasi Diri adalah
sebesar -9,149 dengan menggunakan
ketentuan df (degree of freedom) = n-k,
maka df = 212-2= 210, (n adalah jumlah
responden penelitian dan k adalah jumlah
variabel penelitian) sehingga diperoleh
nilai t tabel = 1,652. Dari hasil
perbandingan t hitung -9,149 > t tabel
1,652, dapat disimpulkan bahwa H0
ditolak sementara H1 diterima.
Signifikansi pada uji t variabel Efikasi Diri
sebesar 0,000 < 0,05. Dengan demikian,
Efikasi Diri berpengaruh terhadap
Burnout.
Nilai koefisien regresi variable
Efikasi Diri adalah -0,905 artinya setiap
kenaikan nilai Efikasi Diri sebesar satu
satuan akan menyebabkan penurunan
nilai Burnout sebesar 0,905. Menurut
Nisfiannoor (2009), Koefisien bernilai
negatif menandakan adanya hubungan
tidak searah (terbalik) antara Efikasi Diri
terhadap Burnout yang artinya bila Efikasi
Diri naik maka Burnout turun atau
sebaliknya bila Efikasi Diri Turun maka
Burnout naik.
Ulfa & Aprianti
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 31 of 12
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
Tabel. 3
Model Summaryb Model R R
Square
Adjusted R
Square
Std. Error of
the Estimate
1 .534a .285 .282 7.995
a. Predictors: (Constant), TOTAL_SE
b. Dependent Variable: TOTAL_BO
Berdasarkan tabel di atas,
diperoleh nilai R Square (R2) sebesar
0,285. Nilai ini dapat diinterpretasikan
sebagai persentase pengaruh variabel
Efikasi Diri terhadap variabel Burnout
sebesar 28,5%, sedangkan 71,5% sisanya
dipengaruhi oleh faktor lain.
Tabel. 4
Uji Beda t-test for Equality of Means
Sig.
(2-tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95%
Confidence
Interval of the
Difference
Lower
TOTAL_BO
Equal variances
assumed .782 -.375 1.354 -3.044
Equal variances
not assumed .782 -.375 1.357 -3.055
Berdasarkan data diatas, nilai Sig (2
tailed) atau p value sebesar 0,782 >0,05
maka H0 diterima dan H1 ditolak,
sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak
terdapat perbedaan Burnout antara
mahasiswa dan mahasiswi fakultas
Psikologi Universitas X yang kuliah
sambil bekerja.
PEMBAHASAN
Pengaruh Efikasi Diri terhadap Burnout
Maslach, Schaufeli dan Leiter
(2009) menyebutkan bahwa akibat jangka
panjang dari stres yang akut pada
individu menyebabkan terjadinya burn
out. Pada mahasiswa yang kuliah sambil
bekerja, hal ini juga dialami dan tentunya
dapat menyebabkan individu kehilangan
semangat dan tidak produktif dalam
menyelesaikan tugas perkuliahan
maupun pekerjaannya. Individu
memerlukan strategi untuk
menanggulangi ataupun mengurangi
dampak stress tersebut. Dengan adanya
Efikasi Diri, memungkinkan individu
untuk mengelola stres dalam kehidupan
mereka.
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa Efikasi Diri berpengaruh terhadap
Burnout. Oleh karena itu, hasil penelitian
ini mendukung hipotesis yang
sebelumnya telah dikemukakan, yaitu
Efikasi Diri berpengaruh terhadap
Burnout pada mahasiswa fakultas
Psikologi di Universitas X. Pada penelitian
ini pengaruh Efikasi Diri terhadap
Burnout sebesar 0,285 menujukkan adanya
pengaruh antara Efikasi Diri terhadap
Burnout. Nilai t hitung -9,149 lebih besar
dari pada nilai t tabel 1,652 dan
signifikansi pada uji t variabel Efikasi Diri
sebesar 0,000 < 0,05. Dengan demikian, H0
ditolak dan H1diterima sehingga dapat
disimpulkan Efikasi Diri berpengaruh
terhadap Burnout sebesar 28,5% dan
korelasinya bersifat negatif. Nilai negatif
menandakan adanya hubungan negatif
antara Efikasi Diri (X) terhadap Burnout
(Y) yang artinya bila Efikasi Diri naik
maka Burnout turun atau sebaliknya bila
Efikasi Diri Turun maka Burnout naik.
Hal ini dapat terjadi karena Efikasi
Diri menentukan bagaimana seseorang
merasakan, berpikir, memotivasi diri dan
berperilaku sehingga dapat
mempengaruhi tingkat Burnout Individu.
Dengan adanya Efikasi Diri, membuat
individu menganggap tugas-tugas sulit
sebagai tantangan yang harus dikuasai
bukan sebagai ancaman yang harus
dihindari. Mereka menetapkan tujuan dan
memiliki komitmen yang kuat, serta
meningkatkan dan mempertahankan
upaya mereka dalam menghadapi
Ulfa & Aprianti
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 32 of 12
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
kegagalan. Mereka dapat pulih dengan
cepat setelah mengalami kegagalan atau
kemunduran karena menganggap
kegagalannya dikarenakan usaha yang
tidak mencukupi, atau pengetahuan dan
keterampilan mereka yang kurang
memadai. Pandangan seperti itulah yang
akhirnya menghasilkan pencapaian
pribadi, mengurangi stres dan
menurunkan kerentanan terhadap
depresi (Bandura dalam Dewi, 2017).
Efikasi Diri dapat membantu karyawan
sekaligus mahasiswa dalam mengatasi
berbagai tekanan dan hambatan yang
ditemui ditempat kerja maupun
diperkuliahan sehingga dapat
memperkecil stres bahkan dapat
mencegah timbulnya Burnout.
Perbedaan Burnout berdasarkan Gender
Hasil penelitian ini menunjukkan
tidak terdapat perbedaan Burnout antara
mahasiswa dan mahasiswi fakultas
Psikologi Universitas X yang berkuliah
sambil bekerja. Berdasarkan wawancara
yang dilakukan pada mahasiswa
reponden penelitian, ia mengatakan
bahwa kegiatan kuliah sangat menyita
waktu karena banyaknya tugas yang
diberikan dan membuat pekerjaan
kantornya terbengkalai sehingga Ia stress
dan merasa tidak sanggup untuk
mengerjakan semua itu pada waktu yang
bersamaan. Sedangkan berdasarkan
wawancara dengan mahasiswi responden
penelitian ini, disebutkan bahwa ia
merasa bahwa kegiatan kuliah sambil
bekerja yang Ia jalani sangat
menantangnya untuk mengatur waktu
antara dua kegiatan tersebut, dan
membuatnya semakin termotivasi karena
dapat kuliah dengan uang hasil kerjanya
sendiri. Menurut hasil wawancara dengan
beberapa mahasiswa dan mahasiswi
tersebut dapat disimpulkan bahwa
kondisi tertekan dan stres tidak
dipengaruhi oleh gender / jenis kelamin
seseorang.
Menurut Masclach dalam Dewi
(2017), Burnout juga dipengaruhi oleh
berbagai faktor lain seperti kepribadian
individu, kondisi lingkungan, dukungan
sosial dan lain lain sehingga tidak
sepenuhnya dipengaruhi oleh perbedaan
gender / jenis kelamin.
Hal ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Lina dan Kusuma
(2017) mengenai Pengaruh Role Stressor
terhadap Burnout dan perbedaan Burnout
Berdasarkan Gender. Hasil uji
independent sample t test menunjukkan
nilai sig (2- tailed) sebesar 0.339. Karena
nilai ini di atas 0,05 maka hasil penelitian
ini belum berhasil membuktikan adanya
perbedaan Burnout antara mahasiswa dan
mahasiswi. Dengan kata lain, penelitian
ini juga tidak menemukan adanya
perbedaan Burnout berdasarkan gender
karena burnout juga dipengaruhi oleh
berbagai faktor lain seperti kepribadian
individu, kondisi lingkungan, dukungan
sosial dan lain lain sehingga tidak
sepenuhnya dipengaruhi oleh perbedaan
gender / jenis kelamin.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil pembahaan
analisis data melalui pembuktian
hipotesis pada permasalahan yang
diangkat mengenai pengaruh Efikasi Diri
terhadap Burnout dan perbedaan Burnout
berdasarkan gender pada mahasiswa
Fakultas Psikologi Universits X, maka
kesimpulan dalam penelitian ini adalah:
1. Terdapat pengaruh Efikasi Diri
terhadap Burnout sebesar 0,285.
Ulfa & Aprianti
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 33 of 12
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
Sehingga dapat disimpulkan H0
ditolak dan H1 diterima. Efikasi Diri
berpengaruh terhadap Burnout sebesar
28,5% dan korelasinya bersifat negatif.
Nilai t hitung -9,149 lebih besar dari
pada nilai t tabel 1,652 dan signifikansi
pada uji t variabel Efikasi Diri sebesar
0,000 < 0,05.
2. Tidak terdapat perbedaan Burnout
antara mahasiswa dan mahasiswi
Fakultas Psikologi Universits X. H0
diterima dan H1 ditolak, dengan
perolehan nilai Sig (2 tailed) atau p
value yaitu sebesar 0,782 dengan nilai
probabilitas 0,05. Nilai Sig (2 tailed)
atau p value 0,782 lebih besar dari 0,05.
Pada penelitian selanjutnya agar
memperbanyak variasi subyek dari
jurusan lainnya sehingga dapat
memperkaya hasil penelitian. Serta
memberikan pelatihan untuk
meningkatkan Efikasi Diri mahasiswa
seperti pelatihan berpikir positif, motivasi
dan pelatihan lainnya. Dengan pelatihan-
pelatihan tersebut dapat membantu
mahasiswa untuk cenderung berfikir lebih
positif serta percaya akan kemampuannya
untuk menyelesaikan tugas dan
pekerjaannya.
Ulfa & Aprianti
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 34 of 12
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
DAFTAR PUSTAKA
Alidosti, M., Delaram, M., Dehgani, L., &
Moghadam, M. M. (2016). Relationship
Between Self-Efficacy and Burnout
Among Nurses in Behbahan City, Iran.
�������1Health Bull, 3(4), 1.5.
Bandura, A. (1994). Self-Efficacy. In V. S.
Ramachaudran (Ed.), Encyclopedia of
human behavior. New York: Academic
Press. (Reprinted in H. Friedman [Ed.],
Encyclopedia of Mental Health. San Diego:
Academic Press, 1998), 4, 71.81.
Benight, C., Cieslak, R., Luszczynska, A.,
Rogala, A., Shoji, K., & Smoktunowicz, E.
(2015). Associations between Job Burnout
and Self-Efficacy×: A Meta-analysis.
Anxiety, Stress, & Copingß: An International
Journal, 1.20.
Canadas, G. R., Fuente, E. I. D. la, Fuente, G.
A. C.-�ï1 ��ð1 ���Í�ð1 �ïð1 ����ð1 �ï1 �ïð1 í1
Vargas, C. (2013). Risk Factors and
Prevalence of Burnout Syndrome in the
Nursing Profession. International Journal
of Nursing Studies, G Model(NS-2415), 10.
Dewi, R. S. (2017). Pengaruh Pelatihan Efikasi
Diri sebagai Pendidik terhadap
Penurunan Burnout pada Guru di Sekolah
Inklusi. Naturalistic: Jurnal Kajian
Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran 1, 2,
155.167.
Heidari, S. (2013). Gender Differences in
Burnout in Individual Athletes. European
Journal of Experimental Biology, 3(3), 583.
588.
Ilic, D., Khamisa, N., Oldenburg, B., & Peltzer,
K. (2015). Work Related Stress, Burnout,
Job Satisfaction and General Health of
Nurses. International Journal of
Environmental Research and Public Health,
12, 652.666.
Jankome, P. K., & Ritacco, M. M. M. G. (2013).
The Impact of Stress and Burnout on
�����¢����1 �����������1 ��1 ���� ���1
Power Corporation. Interdisciplinary
Journal of Contemporary Research in
Business, 5(6), 795.824.
Jatmiko, R. B. (2016). Perbedaan tingkat
Burnout belajar siswa Laki-Laki dan
Perempuan Kelas VIII di SMP Negeri 3
Pedan. E-Journal Bimbingan dan Konseling,
2(5), 11.19.
Khairunnisa, Y. (2017). Hubungan antara Self
Efficacy dengan Prokrastinasi Akademik
pada Mahasiswa Universitas Mercu
Buana yang sedang Mengerjakan Tugas
Akhir (Skripsi tidak diterbitkan). Jakarta:
Universitas Mercu Buana.
Larasati, S., & Paramita, P. P. (2012). Tingkat
Burnout ditinjau dari Karakteristik
Demografis (Usia, Jenis Kelamin dan
Masa Kerja) Guru SDN Inklusi di
Surabaya. Jurnal Psikologi Pendidikan dan
Perkembangan, 1(2), 107.115.
Leiter, M. P., Maslach, C., & Schaufeli, W. B.
(2009). Burnout×: 35 Years of Research and
Practice. Career Development International,
14(3), 204.220.
Lina, & Kusuma, B. H. (2017). Pengaruh Role
Stressor Terhadap Burnout dan
Perbedaan Burnout Berdasarkan Gender×:
Studi Empiris pada Mahasiswa. Jurnal
Akuntansi Maranatha, 10(1), 62.71.
Nasa, G., & Sharma, P. H. L. (2014). Academic
Self-Efficacy: A Reliable Predictor of
Educational Performances. British Journal
of Education, 2(3), 57.64.
Nisfiannoor, M. (2009). Pendekatan
statististika Modern untuk Ilmu Sosial.
Jakarta: Salemba Humanika.
Rahmaputri, S. (2017). Hubungan antara Self-
Efficacy dengan Burnout pada Guru SLB
di Jakarta Selatan (Studi pada seluruh
Guru SLB yang bekerja di Jakarta Selatan)
(Skripsi tidak diterbitkan). Jakarta:
Universitas Mercu Buana.
Sundari, N., & Mubarak, A. (2016). Hubungan
Self Efficacy dalam Kemampuan
Mengatasi Hambatan Kerja dengan
Syndrome Burnout Pegawai Lending
Bank X Bandung. Prosiding Psikologi, 2(2),
471.476.
Syaiful, I. A. & Haztika, C. (2018). Pengaruh
Pelatihan berbasis Via (Values In Action)
Ulfa & Aprianti
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 35 of 12
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
terhadap Resiliensi Mahasiswa: Sebuah
Studi Awal Menggunakan Quasi
Eksperimen. Proceeding Seminar Nasional
& Temu Ilmiah Psikologi Positif, I, 133-142.
Timotius, K. H. (2017). Pengantar Metodologi
Penelitian : Pendekatan Manajemen
Pengetahuan untuk Perkembangan
Pengetahuan. Yogyakarta: Andi Offset, 7.
Wardani, L. M. I. & Firmansyah, R. (2019). The
work-life balance of blue-collar workers:
the role of employee engagement and
burnout. Jurnal Psikologi Ulayat, 6(2), 227-
241).
https://ejurnal.lp2msasbabel.ac.id/index.php/psc
Vol. 3, No. 1, June (2021)
ISSN (Online): 2721-2564
https://doi.org/10.32923/psc.v3i1.1702
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 36 of 20 © Psychosophia, 2021
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
Review Date ; April 24, 2021
Revision Date : May 19, 2021
Accepted Date : May 23, 2021
Publish Date : June 3, 2021
RELIGIUSITAS, EFIKASI DIRI, DAN STRES AKADEMIK
MAHASISWA FARMASI
Vicky Rizki Amalia*
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Indonesia
H. Fuad Nashori
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Indonesia
Abstract Academic stress can cause physical problems such as fatigue which can affect student learning processes and motivation.
To minimize academic stress, it is necessary to know the factors that influence academic stress in students. Several studies
have shown that the higher the level of religiosity and self-efficacy, the lower the level of academic stress. This study aimed
to observe the correlation of religiosity and self-efficacywith the academic stress among students at Pharmaceutical Major.
X[V1������1��������1��1�������¢1 ���1 ��������1��1 ���1�������1 ��1�����������1���1 ��1���¢������ï1���1����1����������1
method used in this study was the scale including the religiosity scale made by Nashori (2012), General Self-efficacyScale
has been adapted into Indonesia Language by Born, Schwarzer, and Jerussalem (1995), and Student Academic Stres Scale
adapted into Indonesia Language by Wulandari (2018). The data in this study were analyzed using the correlation of
product moment Pearson and doubled regression analysis used the SPSS 16.00 program for Windows. The results of this
study showed that religiosity and self-efficacywas negatively correlated with the academic stress of students at pharmacy
major. Religiosity and self-efficacyindividually and simultaneously had a contribution to 17,1% towards the academic
stress of pharmacy students.
Keywords: academic stress; pharmacy students; self-efficacy; and religiosity.
Abstrak Stres akademik dapat menyebabkan gangguan fisik berupa kelelahan yang dapat mempengaruhi proses dan motivasi
belajar mahasiswa. Untuk meminimalisasi stres akademik, perlu diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi stres
akademik pada mahasiswa. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat religiositas dan efikasi diri,
maka tingkat stres akademik semakin rendah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara religiositas
dan efikasi diri dengan stres akademik pada mahasiswa jurusan farmasi. Subjek dalam penelitian ini adalah 250
������� �1�����1�������1�������1��1�����������1���1��1���¢������ï1������1�����������1����1¢���1���������1�����1
penelitian ini adalah skala yang meliputi skala religiositas yang disusun Nashori (2012), General Self-efficacyScale yang
diadaptasi ke dalam bahasa indonesia oleh Born, Schwarzer, dan Jerussalem (1995), dan Student Academic Stres Scale
yang diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia oleh Wulandari (2018). Data dalam penelitian ini dianalisis dengan korelasi
product moment Pearson dan analisis regresi ganda menggunakan bantuan program SPSS 16.00 for Windows. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa religiositas dan efikasi diri berkorelasi negatif dengan stres akademik mahasiwa farmasi.
Religiositas dan efikasi diri secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama memiliki pengaruh terhadap stres akademik.
Religiositas dan efikasi diri secara bersama-sama memiliki sumbangan sebesar 17,1% terhadap stres akademik mahasiswa
farmasi.
Kata kunci: efikasi diri; mahasiswa farmasi; religiositas; dan stres akademik.
* Corresponding Author
Amalia & Nashori
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 37 of 20
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
PENDAHULUAN
Profesi apoteker adalah profesi
tenaga kesehatan yang melaksanakan
pharmaceutical care (pelayanan
kefarmasian) dan bertanggung jawab
dalam terapi obat untuk mencapai hasil
terapi yang diharapkan, yaitu untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien
(Ardiningtyas, Marchaban, Kusnanto, &
Fudholi, 2017). Jenjang pendidikan yang
harus ditempuh untuk menjalani profesi
di bidang apoteker dapat dimulai dari
sekolah menengah kejuruan farmasi atau
program studi farmasi di perguruan
tinggi. Mahasiswa yang mengambil
program studi farmasi strata satu dibebani
sekitar 145 sks yang mencakup banyak
mata kuliah dan praktikum (Program
Studi Farmasi UII, 2017).
Menurut Rusdi (2015), beban mata
kuliah dan praktikum yang dijalani
mahasiswa farmasi dapat memicu
kejenuhan dan perasaan tertekan yang
disebut stres. Stres yang dialami oleh
mahasiswa pada umumnya, termasuk
mahasiswa farmasi, saat menjalani proses
perkuliahan dan praktikum disebut stres
akademik. Hal tersebut merujuk pada
pada hasil penelitian Sun dan Zoriah
(2015) yang menemukan bahwa sumber
stres secara umum yang dialami oleh
mahasiswa farmasi bersumber dari
kegiatan akademik.
Penelitian tentang tingkat stres
akademik program studi Farmasi di
�����������1���1�����1������1���������1
sebelumnya. Penelitian terdahulu yang
dilakukan oleh Wulandari (2018) meneliti
tentang tingkat stres akademik pada
mahasiswa kedokteran. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa mayoritas
mahasiswa kedokteran mengalami stres
akademik tinggi (22,72%) dan sangat
tinggi (20%). Kedokteran dan Farmasi
merupakan jurusan dengan bidang yang
sama, yaitu bidang medis, sehingga ada
kemungkinan mahasiswa jurusan Farmasi
��1�����������1 ���1 ����1���������1 �����1
akademik yang tinggi.
Fenomena tentang tingginya stres
akademik pada mahasiswa Jurusan
Farmasi dapat diketahui dari hasil
penelitian Zamroni (2015). Prevalensi
tingkat stres akademik mahasiswa di UIN
Malang 16,2% kategori tinggi, 70,5%
kategori sedang, dan 13,3% kategori
rendah. Kategori tinggi didominasi oleh
mahasiswa jurusan Pendidikan Agama
Islam (36,7%), Al-Ahwal Al-Syakhsiyah
(30%), Fisika (26,6%), Farmasi (23,3%), dan
Manajemen (23,3%). Dari data di atas,
diketahui bahwa salah satu jurusan yang
mendominasi tingkat stres akademik yang
tinggi adalah jurusan farmasi. Stres
akademik mahasiswa jurusan farmasi di
UIN Malang lebih tinggi dibandingkan
jurusan akuntansi, perbankan, bahasa dan
sastra inggris, pendidikan bahasa arab,
pendidikan MI, pendidikan dokter, kimia,
���1�����1������1�¢������ï1
Stres akademik adalah tekanan
yang disebabkan oleh persepsi subjektif
terhadap suatu kondisi akademik.
Tekanan yang muncul berwujud respon
negatif berupa reaksi fisik, perilaku,
pikiran, dan emosi negatif (Barseli & Ifdil,
2017). Stres akademik juga dapat diartikan
sebagai sebuah tekanan mental yang
berhubungan dengan perasaan-perasaan
frustrasi yang diantisipasi terkait dengan
kegagalan akademik atau bahkan
kesadaran akan kemungkinan kegagalan
tersebut. Hal tersebut terjadi karena
adanya harapan pendidikan dari orang
tua, guru, teman sebaya dan anggota
keluarga, tekanan dari orang tua untuk
Amalia & Nashori
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 38 of 20
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
prestasi akademik, sistem pendidikan dan
ujian, beban tugas dari dosen, dan lain-
lain (Sarita & Sonia, 2015).
Aspek-aspek stres akademik,
menurut Busari (2011), meliputi fisiologis,
perilaku, kognitif, dan afektif. Pertama
adalah aspek fisiologis yang ditandai
dengan pola-pola normal dari aktivitas
fisiologis yang terganggu. Gejala-gejala
yang muncul pada umumnya adalah sakit
kepala, konstipasi, nyeri pada otot,
menurunnya nafsu seks, cepat lelah dan
mual. Kedua adalah aspek perilaku,
perilaku yang muncul adalah
ketidaksabaran, hiperaktivitas, cepat
marah, terlalu agresif, menghindari
situasi yang sulit dan bekerja secara
berlebihan. Ketiga adalah aspek kognitif
yang ditandai dengan daya ingat
mengalami kebingungan dalam frekuensi
yang sering, munculnya pikiran negatif
yang konstan, ketidakmampuan
membuat keputusan, sulit untuk
menyelesaikan tugas, bersikap kaku dan
sulit untuk berkonsentrasi. Keempat
adalah aspek afektif yang ditandai dengan
munculnya perasaan khawatir, terancam,
sedih, tertekan, ingin menangis, dan
emosi yang meledak-ledak.
Stres akademik yang dialami
mahasiswa dapat menyebabkan berbagai
dampak negatif. Salah satu dampak yang
dapat muncul adalah berupa gangguan
kekebalan tubuh dan penyakit fisik yang
dapat membahayakan tubuh (Wade &
Tavris, 2007). Stres akademik yang
dirasakan mahasiswa juga dapat
menyebabkan kelelahan dan lemas
(Musabiq & Karimah, 2018). Kelelahan
yang dialami mahasiswa akibat stres
akademik dapat mempengaruhi proses
belajar (Stevani & Gumanti, 2018).
Dampak negatif lain yang dapat muncul
akibat stres akademik adalah kecanduan
smarthphone (Hamrat dkk, 2019). Stres
akademik juga mempengaruhi motivasi
belajar pada mahasiswa (Puspitha, Sari, &
Oktaria, 2018) dan dapat menyebabkan
terhambatnya kinerja dan pengambilan
keputusan (Sarita & Sonia, 2015).
Untuk meminimalisasi tingkat
stres akademik mahasiswa, perlu
diketahui faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi stres akademik mereka.
Menurut Santrock (2003), faktor-faktor
yang menyebabkan stres pada mahasiswa
dapat dikelompokkan menjadi faktor
personal dan faktor akademik. Faktor
personal yang dapat menyebabkan stres
pada mahasiswa adalah kondisi jauh dari
orang tua dan sanak saudara, ekonomi
atau finansial (pengelolaan keuangan dan
uang saku), masalah yang muncul saat
berinteraksi dengan teman dan
lingkungan baru, serta masalah-masalah
personal lainnya. Sedangkan faktor
akademik yang dapat menyebabkan stres
pada mahasiswa adalah perubahan gaya
belajar dari sekolah menengah ke
perguruan tinggi, tugas-tugas
perkuliahan, target pencapaian nilai,
prestasi akademik dan masalah-masalah
akademik lainnya (Legiran, Azis &
Bellinawati, 2015).
Selain itu, ada pendapat lain yang
mengungkap faktor-faktor yang
mempengaruhi stres akademik. Faktor-
faktor yang mempengaruhi stres
akademik pada mahasiswa adalah faktor
internal dan eksternal. Faktor internal
meliputi efikasi diri, hardiness, optimisme,
motivasi berprestasi, dan prokrastinasi
(Yusuf & Yusuf (2020), penyesuaian diri
(Erindana, Nashori, & Tasaufi, 2021), dan
tawakkal (Refri, Syafitri, Putri, & Nashori,
2021). Sedangkan faktor eksternal adalah
Amalia & Nashori
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 39 of 20
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
dukungan sosial orangtua (Yusuf &
Yusuf, 2021). Selain itu, menurut Bataineh
(2013), ada faktor lain yang
mempengaruhi stres akademik, yaitu
religiositas.
Menurut Ancok dan Suroso (2018),
religiositas adalah keyakinan individu
untuk melaksanakan aktivitas beragama
dan aktivitas lain yang didorong oleh
kekuatan supranatural. Religiositas juga
didefinisikan sebagai keyakinan yang
dimiliki individu untuk menaati aturan
agama yang dianut serta menerapkannya
dalam kehidupan sehari-hari dalam
be����1 �������1 ������1 û����1í1 �����¢��ð1
2020). Selain itu, menurut Zubairu dan
Sakariyau (2016), religiositas adalah
kekuatan komitmen seseorang terhadap
ajaran Islam atau kekuatan iman seorang
Muslim. Menurut Mahudin, Noor,
Dzulkifli, dan Janon (2016), religiositas
seseorang mencakup tiga tingkatan
agama, yaitu tindakan jasmani atau
aktivitas manusia (islam), pikiran atau
pemahaman tentang Tuhan (iman), dan
semangat atau aktualisasi kebajikan dan
kebaikan (ihsan).
Dimensi-dimensi religiositas
dalam konteks Islam, menurut Ancok dan
Suroso (2018), meliputi dimensi
keyakinan atau akidah islam, peribadatan
atau ibadah, pengamalan atau akhlak,
pengalaman atau ihsan, dan pengetahuan
agama. Pertama adalah keyakinan untuk
berpegang teguh terhadap sebuah
pandangan teologis tertentu dan
mengakui kebenaran doktrin tersebut.
Keyakinan tersebut dalam Islam disebut
akidah Islam. Akidah Islam dapat dilihat
dari seberapa besar tingkat keyakinan
atau keimanan seorang muslim terhadap
kebenaran agama Islam.
Kedua adalah ibadah atau praktik
agama berupa ritual untuk melaksanakan
keagamaan formal dan praktek-praktek
suci yang dilaksanakan oleh pemeluk
agama tertentu dan ketaatan dalam
melaksanakan ritual tersebut. Praktik
tersebut dalam agama Islam adalah
�¢������. Hal ini dapat dilihat dari tingkat
kepatuhan seorang muslim dalam
mengerjakan ibadah yang disyariatkan
dan dianjurkan oleh agama Islam.
Ketiga adalah pengamalan atau
akhlak. Tingkat pengamalan dapat dilihat
dari bagaimana seorang muslim
berperilaku yang dimotivasi oleh ajaran-
ajaran agama Islam.
Keempat adalah pengalaman atau
ihsan berupa pengalaman keagamaan,
perasaan-perasaan, persepsi-persepsi,
dan sensasi-sensasi yang dialami
seseorang atau orang beragama yang
melihat komunikasi dengan Tuhan
dengan otoritas transendental, misalnya
adalah perasaan dekat dengan Allah saat
beribadah.
Kelima adalah ilmu pengetahuan
agama. Ilmu pengetahuan agama
seseorang dapat dilihat dari pengetahuan
mengenai dasar-dasar keyakinan, kitab
suci, ritus-ritus, dan tradisi sebuah agama.
Ilmu pengetahuan tentang agama
Islam merupakan prasyarat bagi seorang
muslim sebelum melakukan dimensi
ibadah dan mengamalkan dimensi akhlak
dalam kehidupan sehari-hari. Ilmu agama
harus dipelajari terlebih dahulu untuk
mengetahui bagaimana melakukan
ibadah sesuai syariah Islam dan
berperilaku atau berakhlak sesuai ajaran
agama Islam (Ancok & Suroso, 2018).
Selanjutnya dimensi akidah, yaitu
keyakinan atau keimanan seorang muslim
terhadap kebenaran agama Islam.
Amalia & Nashori
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 40 of 20
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
Keimanan seorang individu kepada Allah
SWT berpengaruh terhadap koping
religius yang digunakan individu saat
menghadapi masalah hidup yang dialami,
seperti dijelaskan dalam ayat suci Al-
������ñ �ôæô öÌ ö̧ ;ô̈ Pß<�ðôà ôË� Iû ö��ò� ô®ô ö� ôÜ ôß�� ôìIç ö� ôí� Iö� ;î ôà I¼ß< ôí� ö® P� I¼ß= ö��ø�îõèô öÌô� P³< ôí�ýþ�
���1 �����-orang yang beriman,
jadikanlah sabar dan shalat sebagai
penolongmu, sesungguhnya Allah beserta
orang-�����1¢���1������ (Al-Baqarah: 153).
Berdasarkan ayat di atas dapat
dipahami bahwa orang yang beriman
menggunakan sholat dan sabar sebagai
koping religius dalam menghadapi
masalah hidup. Sholat merupakan bagian
dari dimensi ibadah (Ancok & Suroso,
2018) dan sabar merupakan bagian dari
dimensi akhlak (Sukino, 2018).
Sabar dan sholat khusyuk dapat
dijadikan oleh mahasiswa sebagai
penolong di saat mengalami masalah
hidup seperti stres akademik. Saat
mahasiswa sabar dalam menjalani beban
tugas akademik yang sulit dan sholat
dengan khusyuk untuk bertawakal
kepada Allah, dari segi dimensi
pengalaman, maka mahasiswa tersebut
akan merasa dekat dengan Allah SWT
(Ancok & Suroso, 2018) dan dapat
memohon pertolongan Allah agar dapat
menghadapi stres akademik yang dialami.
Hal tersebut didukung oleh hasil
penelitian dari Indria, Siregar, dan
Herawaty (2019) yang menyatakan bahwa
mahasiswa yang memiliki tingkat
kesabaran yang tinggi akan mengalami
stres akademik yang rendah. Lebih lanjut
dijelaskan oleh Rohmadani dan Setiyani
(2019) dalam penelitiannya menjelaskan
bahwa aktivitas religius seperti
melaksanakan sholat lima waktu tepat
waktu, sholat sunah, puasa sunah,
membaca Al-Quran, dan mengikuti
kegiatan keagamaan seperti pengajian,
dan kegiatan organisasi keislaman dapat
mengurangi tingkat stres yang dialami
oleh mahasiswa yang sedang menjalani
skripsi. Selanjutnya Husnar, Saniah, dan
Nashori (2017) dalam penelitiannya
menjelaskan bahwa tawakal berkorelasi
negatif dengan stres akademik pada
mahasiswa. Semakin tinggi tawakal pada
mahasiswa, maka semakin rendah stres
akademik yang dialami oleh mahasiswa.
Peran religiositas dalam
menurunkan stres akademik mahasiswa
adalah sebagai bagian dari koping dalam
menghadapi stres akademik. Individu
dapat menggunakan agama sebagai
proses pertahanan untuk mengurangi
tingkat stres akademik. Hal ini selaras
dengan penelitian Supradewi (2019) pada
mahasiswa Fakultas Psikologi Unissula
Semarang. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa terdapat hubungan negatif yang
signifikan antara koping religius dengan
stres mahasiswa. Semakin tinggi koping
religius, maka semakin rendah stres yang
dialami oleh mahasiswa. Begitu pula
sebaliknya. Semakin rendah koping
religius, maka semakin tinggi stres yang
dialami oleh mahasiswa. Selanjutnya,
hasil yang sama diketahui dari hasil
penelitian Bataineh (2013) pada
mahasiswa Fakultas Pendidikan di
Universitas King Saud. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa religiositas (nilai
religiositas, sholat, dan membaca Al-
������ü1 �����������1 ����������1 ������1
stres akademik pada mahasiswa.
Mahasiswa yang religius mampu
mengontrol stresor akademik selama
masa studi mereka di universitas. Selain
itu terdapat hasil penelitian Aftab, Naqvi,
Al-Karasneh, dan Ghori (2018) yang
Amalia & Nashori
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 41 of 20
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
menjelaskan bahwa aktivitas religius
memiliki efek positif dalam mengurangi
stres pada mahasiswa farmasi dan dapat
membantu dalam meningkatkan kinerja
akademik.
Faktor lain, selain religiositas, yang
ikut mempengaruhi stres akademik
adalah efikasi diri. Menurut Bandura
(2006), efikasi diri adalah keyakinan
individu terhadap kemampuan atau
kompetensinya atas kinerja tugas yang
diberikan. Efikasi diri juga didefinisikan
oleh Wade dan Tavris (2007) sebagai
keyakinan individu bahwa dirinya
mampu meraih hasil yang diinginkan,
seperti penguasaan suatu keterampilan
baru atau mencapai suatu tujuan.
Menurut Alwisol (2006), efikasi diri
adalah persepsi individu terhadap diri
sendiri mengenai seberapa bagus diri
individu untuk dapat berfungsi dalam
situasi tertentu. Efikasi diri berhubungan
dengan keyakinan bahwa diri memiliki
kemampuan untuk melakukan tindakan
yang diharapkan. Dalam konteks
akademik, efikasi diri adalah kepercayaan
siswa pada kemampuannya untuk
berhasil melakukan kegiatan akademik
pada tingkat yang diinginkan (Schunk,
1991).
Aspek-aspek dari efikasi diri,
menurut Bandura (1997), adalah level
(tingkatan), strength (kekuatan), dan
generality (generalitas). Aspek pertama
adalah Level (tingkatan). Level adalah
tingkat kesulitan dari suatu tugas atau
tuntutan yang diterima individu. Tingkat
kesulitan yang dirasakan antara individu
satu dan lainnya berbeda-beda. Hal
tersebut dapat dilihat dari keyakinan
maupun apa yang dirasakan individu
dalam menilai tingkat tugas yang
diberikan. Kedua adalah Strength
(kekuatan). Strength adalah tingkat
kepercayaan individu dalam
menyelesaikan tugas atau tuntutan yang
diterima. Kepercayaan tersebut dapat
diukur dari seberapa besar individu
memiliki kepercayaan terhadap kekuatan
dan kemampuan yang dimilikinya saat
menyelesaikan tugas. Ketiga adalah
Generality (Generalitas). Generality adalah
keyakinan individu untuk dapat menilai
kemampuan dirinya saat mengerjakan
suatu kegiatan dan fungsi tertentu. Hal
tersebut dapat dilihat dari modal
kemampuan yang ditunjukkan (perilaku,
kognitif, dan afektif), berbagai macam
aktifitas, dan dalam berbagai situasi
(Bandura, 1997).
Beberapa penelitian mendukung
kaitan antara efikasi diri dan stres
akademik. Penelitian Rusdi (2015)
menunjukkan bahwa efikasi diri
berkorelasi negatif dengan stres
mahasiswa farmasi. Semakin tinggi efikasi
diri maka semakin rendah tingkat stres
pada mahasiswa farmasi, begitu pula
sebaliknya. Selain itu, terdapat hasil
penelitian Wistarini dan Marheni (2019)
yang menunjukkan bahwa dukungan
sosial keluarga dan efikasi diri memiliki
peran dalam menurunkan tingkat stres
akademik mahasiswa baru fakultas
kedokteran. Lebih lanjut penelitian
Avianti dkk (2021) menemukan bahwa
semakin tinggi efikasi diri maka semakin
rendah tingkat stres akademik pada
mahasiswa kedokteran. Menurut
Arabzadeh dkk (2012), regulasi diri dapat
mengurangi stres akademik melalui self-
efficacy yang berperan sebagai variabel
mediator.
Berdasarkan hasil penelitian
Utami, Rufaidah, dan Nisa (2020)
diketahui bahwa self efficacy memberikan
Amalia & Nashori
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 42 of 20
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
pengaruh secara signifikan terhadap
tingkat stres akademik mahasiswa selama
masa pandemi Covid-19 periode April-
Mei 2020. Self efficacy berkorelasi negatif
dengan stres mahasiswa. Semakin tinggi
tingkat self efficacy pada mahasiswa, maka
stres akademik akan menurun.
Penelitian-penelitian tersebut
menunjukkan bahwa peran efikasi diri
dalam menurunkan stres akademik
adalah sebagai keyakinan yang dapat
mendorong mahasiswa untuk dapat
menyelesaikan tugas akademik dengan
baik. Mahasiswa yang yakin dan percaya
pada kekuatan (strength) atau
kemampuannya (generality) untuk
berhasil melakukan kegiatan akademik
dan yakin bahwa dirinya mampu
menyelesaikan sesulit apapun tugas yang
diberikan (level), maka akan mengalami
stres akademik yang rendah. Hal ini
didukung oleh penelitian Sim dan Moon
(2015) yang menemukan bahwa siswa
dengan tingkat self-efficacyakademik yang
tinggi mengalami lebih sedikit stres dan
lebih dapat menyesuaikan diri dengan
kehidupan kampus.
Penelitian-penelitian sebelumnya
menjelaskan bahwa religiositas dan
efikasi diri masing-masing memiliki
hubungan dan dapat memprediksi tingkat
stres akademik pada mahasiswa. Namun,
religiositas dan efikasi diri secara
bersama-sama juga memiliki hubungan
dan dapat memprediksi tingkat stres
akademik karena keduanya merupakan
faktor internal yang mempengaruhi stres
akademik pada mahasiswa.
Religiositas merupakan faktor
internal dari diri individu yang mengacu
pada keyakinan kepada Allah SWT.
Orang yang religius akan beriman kepada
Allah SWT. Ketika individu beriman
kepada Allah SWT, saat mengalami stres
akademik, individu tersebut akan
memasrahkan diri dengan cara beribadah
kepada Allah. Ibadah yang dilakukan
dapat menjadi koping religius untuk
menurunkan stres akademik ketika
dilakukan dengan khusyuk. Selanjutnya
adalah efikasi diri. Efikasi diri merupakan
faktor internal dari diri individu yang
mengacu pada keyakinan diri bahwa
individu tersebut mampu menyelesaikan
tugas akademik yang diberikan. Saat
individu yakin bahwa dirinya mampu
menyelesaikan tugas akademik yang
diberikan, maka individu tersebut akan
berusaha untuk mencapai keberhasilan
akademik, sehingga stres akademik yang
dialami akan rendah.
Penjelasan di atas menunjukkan
bahwa religiositas dan efikasi diri
merupakan faktor internal dari diri
individu yang secara bersama-sama dapat
menurunkan stres akademik. Hal ini
selaras dengan penelitian Ruhamal (2015)
yang menunjukkan bahwa religiositas
dan self efficacy secara bersama-sama
memiliki pengaruh terhadap stres pada
mahasiswa dengan sumbangan 35,3%,
dengan masing-masing sumbangan
sebesar 16,8% untuk variabel efikasi diri
dan 18,5% untuk variabel religiositas.
Namun penelitian sebelumnya belum ada
yang meneliti tentang hubungan antara
religiositas dan efikasi diri dengan stres
akademik pada mahasiswa farmasi.
Oleh karena itu, tujuan penelitian
ini adalah untuk mengetahui apakah
religiositas dan efikasi diri secara sendiri-
sendiri maupun bersama-sama memiliki
hubungan negatif dengan stres akademik
pada mahasiswa farmasi. Selanjutnya
dapat dirumuskan hipotesis dalam
penelitian ini adalah 1). Religiositas
Amalia & Nashori
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 43 of 20
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
memiliki hubungan negatif dengan stres
akademik; 2). Efikasi diri memiliki
hubungan negatif dengan stres akademik;
3). Religiositas dan efikasi diri secara
bersama-sama memiliki hubungan negatif
dengan stres akademik.
METODE
Metode dalam penelitian ini adalah
kuantitatif. Variabel dalam penelitian ini
terdapat tiga variabel, yaitu variabel
efikasi diri, religiositas, dan stres
akademik. Variabel stres akademik
sebagai variabel tergantung dan variabel
religiositas dan efikasi diri sebagai
variabel bebas.
Populasi dalam penelitian ini
adalah mahasiswa aktif yang berkuliah di
jurusan farmasi Universitas ���1 ��1
Yogyakarta. Kriteria subjek dalam
penelitian ini adalah 1). Beragama Islam;
2). Mahasiswa aktif; 3). Berjenis kelamin
perempuan dan laki-laki.
Pengambilan sampel dalam
penelitian ini menggunakan quota
sampling di mana teknik pengambilan
sampelnya diambil dari populasi yang
memiliki ciri-ciri tertentu dan dengan
jumlah kuota yang diinginkan.
Pengumpulan data akan dihentikan jika
telah memenuhi kuota sampel yang
diinginkan (Anshori & Iswati, 2017).
Dalam penelitian ini, yang menjadi
populasi adalah adalah 649 mahasiswa
�����1 �������1 �������1�����������1 ���1 ��1
Yogyakarta. Berdasarkan rumusan Krejcie
dan Morgan (1970), bila populasi
berjumlah 650, maka sampel minimalnya
adalah 242. Dalam penelitian ini jumlah
sampel dibulatkan menjadi 250
mahasiswa.
Metode pengumpulan data dalam
penelitian ini menggunakan tiga skala.
Alat ukur dalam penelitian ini
menggunakan skala Religiositas, General
Self-efficacy Scale, dan Student Academic
Stres Scale (SASS).
Religiositas adalah skor yang
diperoleh subjek penelitian setelah
mengisi Skala Religiositas. Religiositas
sendiri dapat diartikan keyakinan
individu untuk melaksanakan aktivitas
beragama dan aktivitas lain yang
didorong oleh kekuatan supranatural
(Ancok & Suroso, 2018). Dimensi-dimensi
religiositas, menurut Ancok dan Suroso
(2018), adalah akidah, ibadah, akhlak,
ihsan, dan ilmu agama.
Variabel religiositas dalam
penelitian ini akan diukur dengan skala
religiositas yang disusun oleh Nashori
(2012). Skala ini berjumlah 47 aitem,
terdiri dari dua bagian yaitu skala R-1
yang terdiri dari 26 aitem favorable & 6
unfavorable aitem dan skala R-2 yang
terdiri 15 aitem. Skala R-1 (yang
mengukur aspek akidah, ibadah, akhlak,
dan ihsan) menggunakan model skala
Likert dengan lima pilihan tanggapan.
Adapun alternatif jawaban dalam skala R-
1 adalah SS (Sangat Sesuai), S (Sesuai), R
(Ragu-ragu), TS (Tidak Sesuai), hingga
STS (Sangat Tidak Sesuai). Cara skoring
aitem favorable, jawaban SS diberi skor 5, S
diberi skor 4, R diberi skor 3, TS diberi
skor 2, dan STS diberi skor 1. Cara skoring
aitem unfavorable, jawaban SS diberi skor
1, S diberi skor 2, R diberi skor 3, TS diberi
skor 4, dan STS diberi skor 5.
Skala R-2 yang mengukur aspek
pengetahuan dirumuskan dalam bentuk
pertanyaan-pertanyan multiple choice.
Setiap pertanyaan diberi empat pilihan
jawaban, dengan satu jawaban yang
benar. Skor 1 diberikan jika jawaban benar
dan skor 0 diberikan jika jawaban salah.
Amalia & Nashori
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 44 of 20
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
Skor religiositas dalam penelitian ini
diukur dengan menggunakan dua skala.
Masing-masing skala mengukur aspek
dan cara skoring yang berbeda. Oleh
karena itu, cara menggabungkan skor dari
skala religiositas R1 dan R2 adalah dengan
merubah total skor masing-masing skala
menjadi Z score kemudian diubah menjadi
T score. Setelah mendapatkan nilai T score
pada masing-masing skala, skor kedua
skala dapat digabungkan untuk melihat
skor religiositas subjek pada penelitian ini.
Efikasi diri adalah adalah skor yang
diperoleh subjek penelitian setelah
mengisi skala General Self-efficacy Scale.
Efikasi sendiri dapat diartikan sebagai
keyakinan yang dimiliki individu
terhadap kemampuan atau
kompetensinya atas kinerja tugas yang
diberikan, keyakinan tersebut dapat
mempengaruhi individu untuk mencapai
suatu tujuan dan memenuhi tanggung
jawabnya (Bandura, 2006). Aspek-aspek
efikasi diri menurut Bandura (1997)
adalah level (tingkatan), strength
(kekuatan), dan generality (generalitas).
Variabel efikasi diri dalam
penelitian ini akan diukur dengan skala
General Self-efficacy Scale yang disusun
oleh Schwarzer dan Jerusalem (1995),
diadaptasi ke dalam bahasa indonesia
oleh Born, Schwarzer, dan Jerussalem
(Schwarzer & Jerusalem, 1995), dan
dimodifikasi oleh peneliti. Skala ini terdiri
dari 10 aitem favorable. Adapun alternatif
jawaban dalam skala ini terdiri dari Tidak
Setuju, Agak Setuju, Hampir Setuju, dan
Sangat Setuju untuk seluruh aitem.
Jawaban Sangat Setuju diberi skor 4,
Hampir Setuju diberi skor 3, Agak Setuju
diberi skor 2, dan Tidak Setuju diberi
skor1.
Selanjutnya adalah Stres
Akademik. Stres akademik adalah skor
yang diperoleh individu setelah mengisi
skala stres akademik. Stres akademik
sendiri dapat diartikan sebagai sebuah
tekanan yang diakibatkan oleh persepsi
subjektif terhadap suatu kondisi
akademik (Barseli & Ifdil, 2017). Aspek-
aspek stres akademik menurut Busari
(2014) terdiri dari Aspek Fisiologis, Aspek
Perilaku, Aspek Kognitif, dan Aspek
Afektif.
Variabel stres akademik dalam
penelitian ini akan diukur dengan skala
Student Academic Stres Scale (SASS) yang
disusun oleh Busari (2011) dan diadaptasi
ke dalam bahasa indonesia oleh
Wulandari (2018). Skala ini terdiri dari 49
aitem favorable menggunakan model skala
Likert, di mana terdapat lima altenatif
jawaban dengan memberi alternatif
jawaban di tengah untuk meminimalkan
kecenderungan subjek menjawab secara
netral. Adapun alternatif jawaban dalam
skala ini adalah Sangat Tidak Sesuai (STS),
Tidak Sesuai (TS), Kurang Sesuai (KS),
Sesuai (S), dan Sangat Sesuai (SS).
Jawaban SS diberi skor 5, S diberi skor 4,
KS diberi skor 3, TS diberi skor 2, dan STS
diberi skor 1.
Data dalam penelitian ini akan
dianalisis dengan analisis korelasi product
moment Pearson dan analisis regresi
ganda melalui bantuan program SPSS
16.00 for Windows.
HASIL
Uji hipotesis dilakukan dengan
menggunakan analisis korelasi product
moment Pearson untuk menguji hipotesis
pertama dan kedua serta menggunakan
analisis regresi ganda untuk menguji
hipotesis ketiga dalam penelitian ini. Hasil
Amalia & Nashori
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 45 of 20
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
uji hipotesis pertama menunjukkan
bahwa variabel religiositas memiliki
korelasi dengan stres akademik dengan
nilai korelasi r= -0,219 dan nilai
signifikansi p= 0,00 (p= < 0,05). Hal
tersebut menunjukkan bahwa terdapat
korelasi negatif yang signifikan antara
variabel religiositas dan stres akademik.
Semakin tinggi tingkat religiositas pada
mahasiswa farmasi, maka semakin rendah
tingkat stres akademik yang dialami oleh
mahasiswa farmasi. Begitu pula
sebaliknya, semakin rendah tingkat
religiositas pada mahasiswa farmasi,
maka semakin tinggi tingkat stres
akademik yang dialami oleh mahasiswa
farmasi.
Hasil uji hipotesis kedua
menunjukkan bahwa variabel efikasi diri
memiliki hubungan dengan stres
akademik dengan nilai korelasi r= -0,385
dan nilai signifikansi p= 0,00 (p= <0,05).
Hal tersebut menunjukkan bahwa
terdapat korelasi negatif yang signifikan
antara variabel efikasi diri dan stres
akademik. Semakin tinggi tingkat efikasi
diri pada mahasiswa farmasi, maka
semakin rendah tingkat stres akademik
yang dialami oleh mahasiswa farmasi.
Begitu pula sebaliknya, semakin rendah
tingkat efikasi diri pada mahasiswa
farmasi, maka semakin tinggi tingkat stres
akademik yang dialami oleh mahasiswa
farmasi.
Hasil uji hipotesis menggunakan
analisis regresi ganda mendukung
hipotesis ketiga dalam penelitian ini. Hasil
uji hipotesis ketiga menunjukkan bahwa
variabel religiositas dan efikasi diri dapat
memprediksi tingkat stres akademik
dengan nilai F= 25, 438 dan nilai
signifikansi p = 0,000 (p= <0,001). Variabel
religiositas dan efikasi diri terbukti secara
bersama-sama memiliki pengaruh
terhadap stres akademik dengan nilai
korelasi R= 0,413 dan koefisien
determinannya (R2) = 0, 171, yang artinya
variabel religiositas dan efikasi diri
terbukti secara bersama-sama
menyumbang sebesar 17,1% terhadap
stres akademik mahasiswa farmasi.
Variabel religiositas dan efikasi diri
secara sendiri-sendiri juga dapat
memprediksi tingkat stres akademik.
Hasil analisis menunjukkan nilai beta = -
,0357 dan nilai signifikansi p = 0,000. Hal
tersebut menunjukkan bahwa terdapat
pengaruh negatif secara signifikan antara
variabel efikasi diri dan stres akademik
dengan sumbangan sebesar 13,7%.
Selanjutnya untuk variabel religiositas,
hasil analisis menunjukkan nilai beta = -
,0153 dan nilai signifikansi p = 0,010. Hal
tersebut menunjukkan bahwa terdapat
pengaruh negatif secara signifikan antara
variabel religiositas dan stres akademik
dengan sumbangan sebesar 3,4%,
kemudian sisanya 82,9% disumbangkan
melalui faktor lain.
PEMBAHASAN
Hasil uji hipotesis pertama
mendukung penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Bath (2015) yang
menunjukkan bahwa tingkat religiositas
berkorelasi negatif dengan stres akademik
pada mahasiswa. Dalam kata lain,
semakin tinggi tingkat religiositas
mahasiswa, maka semakin rendah tingkat
stres akademik yang dirasakan oleh
mahasiswa. Begitu pula sebaliknya,
semakin rendah tingkat religiositas pada
mahasiswa, maka semakin tinggi tingkat
stres akademik yang dialami oleh
mahasiswa. Selain itu, terdapat juga
penelitian lain terkait yang menjelaskan
Amalia & Nashori
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 46 of 20
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
hubungan antara religiositas dan stres.
Berdasarkan hasil penelitian Saputra
(2016), diketahui bahwa tingkat
religiositas berkorelasi positif dengan
manajemen stres pada siswa. Siswa yang
memiliki tingkat religiositas yang tinggi,
maka akan memiliki tingkat manajemen
stres yang tinggi pula.
Hemamalini, Ashok, dan Sasikala
(2018) dalam penelitiannya menemukan
bahwa faktor terpenting yang
menyebabkan mahasiswa mengalami
stres tinggi adalah faktor akademik. Stres
akademik yang dialami mahasiswa dapat
menyebabkan masalah psikologis berupa
penurunan motivasi, tidak dapat
menyelesaikan tugas, absen dari kelas dan
ujian, dan lain-lain. Oleh karena itu,
manajemen stres sangat penting dan perlu
ditingkatkan untuk mengurangi tingkat
stres akademik yang dialami oleh
mahasiswa. Manajemen stres dapat
ditingkatkan dengan meningkatkan
religiositas (Saputra, 2016). Religiositas
yang tinggi dapat membantu mahasiswa
dalam meningkatkan manajemen stres,
sehingga mahasiswa dapat mengatasi
stres akademik yang dialami.
Krageloh, Chai, Shepherd, dan
Billington (2012) menjelaskan bahwa
tingkat religiositas mempengaruhi
bagaimana cara individu mengatasi stres
yang dialami. Religiositas seseorang dapat
dilihat dari seberapa besar iman atau
keyakinan seorang muslim terhadap
ajaran agama islam, tingkat kepatuhan
dalam mengerjakan ibadah dan
berperilaku sesuai ajaran agama Islam,
pengalaman keagamaan, dan
pengetahuan agama yang dimiliki (Ancok
& Suroso, 2018). Menurut Pargament dkk
(1992), agama memiliki peran dalam
proses seorang individu untuk melakukan
koping agar dapat menghadapi peristiwa
yang membuat individu mengalami stres
dan dalam menghadapi masalah. Cara
yang dapat dilakukan mahasiswa agar
dapat mengatasi stres akademik yang
dialami adalah dengan cara ibadah sholat
dan membaca Al-������ï
Sholat memberikan manfaat
kepada individu seperti menyembuhkan
dari perasaan duka dan gelisah. Saat
mengerjakan ibadah sholat, individu
dapat memiliki perasaan tenang dan
dihilangkan dari rasa sedih dan gelisah,
karena saat sholat individu berserah diri
kepada Allah dan mengosongkan diri dari
kesibukan dan permasalahan hidup,
sehingga sholat merupakan terapi dalam
mengatasi stres (Firdaus, 2016). Hal ini
didukung oleh penelitian Purnomosidi
(2018) yang menemukan bahwa individu
yang melaksanakan sholat tahajjud
mampu mengelola dan mengendalikan
stres. Sholat tahajjud yang dikerjakan
secara rutin mampu membuat individu
mendapatkan kehidupan yang tenang,
ketentraman jiwa, dan kebahagiaan
hidup. Selain itu menurut Hasan (2012)
individu yang beribadah secara disiplin
dapat memperoleh ketenangan ketika
menghadapi stres akademik.
Membaca Al-������1 ����1 �����1
menurunkan tingkat stres akademik
karena memiliki efek relaksasi yang dapat
menenangkan. Saat menghadapi
permasalahan akademik seperti beban
tugas yang berat dan materi kuliah yang
sulit yang menyebabkan stres, maka
aktivitas membaca Al-������1 �����1
dijadikan koping religius. Hal ini
dibuktikan melalui penelitian eksperimen
yang dilakukan oleh Nugraheni, Mabruri,
dan Stanislaus (2018) yang menemukan
bahwa perlakuan berupa membaca Al-
Amalia & Nashori
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 47 of 20
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
Qur���1�������1�����1����������1�������1
stres akademik pada siswa.
Berdasarkan penjelasan di atas,
beberapa penelitian menunjukkan bahwa
aspek ibadah dalam religiositas banyak
diteliti dan dihubungkan dengan stres
akademik. Namun berdasarkan analisis
tambahan dalam penelitian ini, aspek-
aspek religiositas yaitu aspek akidah,
ibadah, ihsan tidak berkorelasi dengan
stres akademik pada mahasiswa farmasi.
Aspek akhlak dan ilmu berkorelasi negatif
secara signifikan terhadap stres akademik
pada mahasiswa farmasi. Hal ini dapat
dilihat dari nilai korelasi r = -0,219 dan
nilai signifikansi p = 0,018 (<0,05) yang
menunjukkan bahwa terdapat hubungan
negatif yang signifikan antara aspek
akhlak dengan stres akademik dan nilai
korelasi r= -0,173 dan nilai signifikansi p=
0,006 (<0,05) yang menunjukkan bahwa
terdapat hubungan negatif yang
signifikan antara aspek ilmu dengan stres
akademik. Selanjutnya dapat disimpulkan
bahwa aspek akhlak merupakan aspek
yang paling dominan dalam tingkat
religiositas mahasiswa Farmasi dan
semakin tinggi tingkat religiositas dilihat
dari aspek ilmu dan akhlak, maka
semakin rendah tingkat stres akademik
yang dialami mahasiswa Farmasi.
Ilmu pengetahuan tentang agama
Islam merupakan prasyarat bagi seorang
muslim sebelum mengamalkan dimensi
akhlak dalam kehidupan sehari-hari. Ilmu
agama harus dipelajari terlebih dahulu
untuk mengetahui bagaimana berperilaku
atau berakhlak sesuai ajaran agama Islam.
Ketika mahasiswa memiliki pengetahuan
agama tentang sabar yang merupakan
bagian dari akhlak seorang muslim, maka
mahasiswa tersebut dapat bersabar dalam
menjalani beban tugas akademik yang
sulit, kemudian memohon pertolongan
Allah agar dapat menghadapi stres
akademik yang dialami.
Memohon pertolongan Allah tidak
hanya sekedar berdoa dan memasrahkan
diri kepada Allah agar dapat dimudahkan
dalam menghadapi stresor akademik,
namun sebagai seorang muslim,
mahasiswa harus bertawakal kepada
Allah SWT. Tawakal adalah
memasrahkan diri kepada Allah sekaligus
berusaha dan menerima hasil apapun
yang diperoleh dari usaha tersebut. Jika
mahasiswa menerima apa adanya hasil
dari usaha yang telah dilakukan dalam
kegiatan akademik yang dijalani, maka
akan mengalami stres akademik yang
rendah (Husnar, Saniah, & Nashori, 2017).
Hasil uji hipotesis kedua
mendukung penelitian sebelumnya, yaitu
penelitian Siregar dan Putri (2019) serta
penelitian Sagita, Daharnis, dan Syahniar
(2017) yang menunjukkan bahwa terdapat
hubungan negatif yang signifikan antara
self efficacy dan stres akademik mahasiswa.
Dalam kata lain, semakin tinggi tingkat
stres akademik mahasiswa, maka semakin
rendah pula tingkat self efficacy
mahasiswa. Begitu pula sebaliknya,
semakin tinggi tingkat stres akademik
mahasiswa, maka semakin rendah pula
tingkat self efficacy mahasiswa. Selain itu
terdapat penelitian Putri dan Ariana
(2021) yang menemukan bahwa semakin
tinggi self-efficacy, maka akan semakin
rendah stres akademik pada mahasiswa
yang sedang melakukan pembelajaran
jarak jauh selama pandemi Covid-19.
Berdasarkan analisis tambahan
dalam penelitian ini, aspek-aspek efikasi
diri, yaitu level, strength, dan generality
berkorelasi negatif secara signifikan
terhadap stres akademik pada mahasiswa
Amalia & Nashori
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 48 of 20
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
farmasi. Hal ini dapat dilihat dari nilai
korelasi r= -0,400 dan nilai signifikansi p=
0,000 (<0,05) yang menunjukkan bahwa
terdapat hubungan negatif yang
signifikan antara aspek level dengan stres
akademik. Nilai korelasi r= -0,297 dan nilai
signifikansi p= 0,000 (<0,05) menunjukkan
bahwa terdapat hubungan negatif yang
signifikan antara aspek strength dengan
stres akademik. Nilai korelasi r= -0,269
dan nilai signifikansi p= 0,000 (<0,05)
menunjukkan bahwa terdapat hubungan
negatif yang signifikan antara aspek
generality dengan stres akademik.
Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa
aspek level merupakan aspek yang paling
dominan dalam tingkat efikasi diri
mahasiswa Farmasi dan semakin tinggi
tingkat efikasi diri dilihat dari aspek level,
strength, dan generality, maka semakin
rendah tingkat stres akademik yang
dialami mahasiswa Farmasi.
Efikasi diri akademik adalah
kepercayaan siswa pada kemampuannya
untuk berhasil melakukan kegiatan
akademik pada tingkat yang diinginkan
(Schunk, 1991). Saat mahasiswa yakin
bahwa dirinya mampu menyelesaikan
sesulit apapun tugas akademik yang
diberikan (level), kemudian yakin dan
percaya pada kekuatan (strength) dan
kemampuan (generality) yang dimilikinya
untuk berhasil menyelesaikan tugas
akademik, maka akan mengalami stres
akademik yang rendah. Mahasiswa yang
memiliki keyakinan bahwa dirinya
mampu menyelesaikan tugas akademik
yang diberikan, maka akan mengerahkan
kemampuannya (strength) dalam
memenuhi tuntutan akademik secara
optimal, sehingga stres akademik yang
dialamipun dapat menurun (Putra &
Ahmad, 2020).
Menurut Wistarini dan Marheni
(2019), efikasi diri berperan dalam
menurunkan tingkat stres akademik. Jika
mahasiswa yakin memiliki kemampuan
(generality) yang baik dalam menghadapi
dan menyelesaikan berbagai situasi dan
tugas akademik, membuat perencanaan
serta regulasi diri, dan belajar dengan
rajin ketika menghadapi ujian, maka akan
mengalami stres akademik yang rendah.
Hasil uji hipotesis ketiga dalam
penelitian ini mendukung penelitian
sebelumnya, yaitu penelitian yang
dilakukan oleh Ruhamal (2015) yang
menunjukkan bahwa religiositas dan self
efficacy secara bersama-sama memiliki
pengaruh terhadap stres pada mahasiswa
dengan sumbangan 35,3%, dengan
masing-masing sumbangan sebesar 16,8%
untuk variabel efikasi diri dan 18,5%
untuk variabel religiositas. Hal yang
berbeda antara hasil penelitian ini dan
penelitian sebelumnya adalah sumbangan
variabel efikasi diri lebih besar
dibandingkan religiositas pada penelitian
ini dan sebaliknya, hasil penelitian
Ruhamal (2015) menunjukkan bahwa
sumbangan variabel religiositas lebih
besar dari efikasi diri, kemudian sisanya
64,7% disumbangkan melalui faktor lain.
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi
tingkat stres akademik mahasiswa adalah
dukungan sosial orangtua, motivasi
berprestasi, prokrastinasi akademik,
emotion focused coping, dukungan sosial,
regulasi emosi, dll.
Dukungan sosial orangtua dan
teman dapat membantu mahasiswa
dalam mengatasi stresor akademik selama
studinya. Saat mahasiswa merasa
didukung oleh orangtua dan teman, maka
mahasiswa tersebut akan mengalami lebih
sedikit stres akademik (Rayle & Chung,
Amalia & Nashori
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 49 of 20
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
2008). Hasil penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Ernawati dan Rusmawati
(2015) membuktikan bahwa dukungan
sosial orangtua berkorelasi negatif dengan
tingkat stres akademik siswa. Semakin
tinggi dukungan sosial orangtua, maka
akan semakin rendah tingkat stres
akademik yang dialami oleh siswa. Begitu
pula sebaliknya, semakin rendah
dukungan sosial orangtua, maka akan
semakin tinggi tingkat stres akademik
yang dialami oleh siswa. Variabel
dukungan sosial orangtua memberikan
sumbangan pengaruh terhadap stres
akademik siswa sebesar 13,1%.
Motivasi berprestasi mahasiswa
dapat membantu mahasiswa dalam
mengatasi stres akademik yang dialami.
Mahasiswa yang yakin dan berusaha
keras agar dapat menyelesaikan tugas-
tugas kuliah dengan nilai yang
memuaskan, maka akan merasakan self
healing, sehingga dapat mengelola stres
akademik dengan baik (Mulya &
Indrawati, 2016). Berdasarkan penelitian
Sagita, Daharnis, dan Syahniar (2017)
ditemukan bahwa self efficacy, motivasi
berprestasi, dan prokrastinasi akademik
secara bersama-sama mempengaruhi
tingkat stres akademik sebesar 38%.
Menurut Refi (2019), individu yang
melakukan koping dengan cara
mengendalikan respon emosionalnya,
maka akan dapat mengurangi respon
emosional negatif terhadap stres,
sehingga dapat mengurangi tingkat stres
akademik yang dialami. Hasil penelitian
Refi (2019) menemukan bahwa emotion
focused coping dan dukungan sosial
memiliki pengaruh terhadap tingkat stres
akademik siswa. Variabel emotion focused
coping dan dukungan sosial secara
simultan mempengaruhi stres akademik
sebesar 32,6%, dengan masing-masing
sumbangan efektif sebesar 15,22% untuk
variabel emotion focused coping dan
17,39% untuk variabel dukungan sosial
terhadap stres akademik.
Regulasi emosi merupakan hal
yang penting dalam mengatasi stres. Saat
individu tidak mampu meregulasi
emosinya, maka akan menyebabkan
individu tersebut mengekspresikan emosi
yang tidak tepat, sehingga individu
tersebut mengalami kesulitan dalam
mengatasi stres (Wang & Saudino, 2011).
Hasil penelitian Kadi, Bahar, dan Sunarjo
(2020) menemukan bahwa regulasi emosi
berkorelasi negatif secara signifikan
terhadap stres akademik mahasiswa.
Semakin tinggi regulasi emosi pada
mahasiswa, maka semakin rendah stres
akademik yang dialami oleh mahasiswa,
begitu pula sebaliknya.
KESIMPULAN
Berdasarkan uji hipotesis yang
menggunakan analisis korelasi product
moment Pearson dan analisis regresi
ganda, dapat disimpulkan bahwa ketiga
hipotesis dalam penelitian ini diterima,
yaitu tingkat religiositas memiliki
hubungan negatif dengan tingkat stres
akademik mahasiwa farmasi, tingkat
efikasi diri mahasiwa farmasi memiliki
hubungan negatif dengan tingkat stres
akademik mahasiwa farmasi, dan tingkat
religiositas dan efikasi diri bersama-sama
memiliki pengaruh terhadap stres
akademik mahasiwa farmasi. Religiositas
dan efikasi diri secara bersama-sama
menyumbang sebesar 17,1% terhadap
stres akademik mahasiswa farmasi dan
82,9% disumbangkan melalui faktor lain.
Saran yang ingin disampaikan
ditujukan kepada subjek penelitian dan
Amalia & Nashori
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 50 of 20
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
peneliti selanjutnya. Pertama: Saran
kepada subjek penelitian. Subjek
penelitian ini diharapkan untuk
meningkatkan efikasi diri dan
religiositasnya agar dapat mengelola stres
akademik yang dialami selama menjalani
perkuliahan di jurusan Farmasi. Kedua:
Saran kepada peneliti selanjutnya. Peneliti
selanjutnya diharapkan untuk meneliti
faktor-faktor lain yang memberikan
sumbangan pengaruh lebih tinggi
terhadap stres akademik mahasiswa
farmasi. Peneliti selanjutnya juga dapat
meneliti tentang terapi atau intervensi
yang dapat meningkatkan religiositas
maupun efikasi diri pada mahasiswa
farmasi.
Amalia & Nashori
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 51 of 20
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
DAFTAR PUSTAKA
Aftab, M. T., Naqvi, A. A., Al-Karasneh, A. F.,
& Ghori, S. A. (2018). Impact of
Religiosity on Subjective Life
Satisfaction and Perceived Academic
Stress in Undergraduate Pharmacy
Students. Journal of Pharmacy & BioAllied
Sciences, 10, (4), 192-198. doi:
10.4103/JPBS.JPBS_65_18
����ð1�ï1�ï1�ï1í1�����¢��ð1 ï1ûXVXVüï1��������1
Religiusitas dan Komitmen terhadap
Kinerja Karyawan. Jurnal Iqtisaduna, 6(1),
57.
https://doi.org/10.24252/iqtisaduna.v6i1.
13793
Alwisol. (2006). Psikologi Kepribadian: Edisi
revisi. Malang: UMM Press.
Ancok, D. & Suroso. F. N. (2018). Psikologi
Islami: Solusi atas Problem-problem
Psikologi. Cetakan VIII. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Anshori, M. & Iswati, S. (2017). Metodologi
Penelitian Kuantitatif. Surabaya:
Airlangga University Press.
Arabzadeh, M., Nikdel, F., Kadivar, P.,
Kavosian, J., & Hashemi, K. (2012). The
Relationship of Self-Regulation and Self-
Efficacy with Academic Stress in
University Students. International
Journal of Education and Psychology in the
Community IJEPC, 2, (2), 102-113.
Diunduh dari:
http://www.marianjournals.com/files/IJ
EPC_articles/Vol_2_no_2_2012/Arabza
deh_et_al_2_2_2012.pdf
Ardiningtyas, B., Marchaban, Kusnanto, H., &
Fudholi, H. (2017). Gambaran
Pelaksanaan Praktek Kerja Profesi
Apoteker di Apotek di Daerah Istimewa
Yogyakarta. Jurnal Ilmiah Farmasi, 13, (1),
19-26.
https://doi.org/10.20885/jif.vol13.iss1.art
4
Avianti, D., Setiawati, O. R., Lutfianawati, D.,
& Putri, A. M. (2021). Hubungan Efikasi
Diri dengan Stres Akademik Pada
Mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Malahayati. Psyche: Jurnal
Psikologi Universitas Muhammadiyah
Lampung, 3, (1), 83-93. Diunduh dari:
http://journal.uml.ac.id/TIT/article/view
/283
Bandura, A. (1997). Self-efficacy: The Exercise of
Control. W.H Freeman and Company :
United States of America.
Bandura, A. (2006). Guide For Constructing Self-
efficacyScales. In F. Pajares & T. Urdan
(Eds.), Self-efficacyBeliefs Of Adolescents.
Greenwich: Information Age
Publishing.
Barseli, M. & Ifdil, I. (2017). Konsep Stres
Akademik Siswa. Jurnal Konseling dan
Pendidikan, 5 (3), 143-148.
https://doi.org/10.29210/119800
Bataineh, M. Z. (2013). Academic Stress
Among Undergraduate Students: The
Case of Education Faculty at King Saud
University. International Interdisciplinary
Journal of Education, 2, (1), 82-88.
doi:10.12816/0002919
Bath, S. A. (2015). Religious Orientation and
Academic Stress Among University
Students. International Journal of
Behavioral Research & Psychology, 3, (3),
85-89. doi: 10.19070/2332-3000-1500015
Busari, A. O. (2011). Validation of student
academic stress scale (SASS). European
Journal of Social Sciences, 21, (1), 94-105.
Erindana, F. U. N., Nashori, H. F., & Tasaufi,
M. N. F. (2021). Penyesuaian diri dan
stress akademik mahasiswa tahu
pertama. Motiva Jurnal Psikologi. Vol 4
(1), 11-18. Motiva Jurnal Psikologi, 4, (1),
11-18. Diunduh dari:
http://ejurnal.untag-
smd.ac.id/index.php/MV/article/viewFi
le/5303/5159
Firdaus. (2016). Spiritualitas Ibadah Sebagai
Jalan Menuju Kesehatan Mental yang
Hakiki. Al-Adyan, 11, (1), 1-22. Diunduh
Amalia & Nashori
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 52 of 20
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
dari:
http://ejournal.radenintan.ac.id/index.p
hp/alAdyan/article/download/1440/115
6
Franita, R. (2018). Mekanisme Good Corporate
Governance dan Nilai Perusahaan: Studi
untuk Perusahaan Telekomunikasi. Medan:
Lembaga Penelitian dan Penulisan
Ilmiah Aqli.
Hamrat, N., Hidayat, D. R., & Sumantri, M. S.
(2019). Dampak Stres Akademik dan
Cyberloafing terhadap kecanduan
Smartphone. Jurnal Educatio: Jurnal
Pendidikan Indonesia, 5, (1), 13-19.
doi:10.29210/120192324
Hasan, A. B. P. (2012). Disiplin Beribadah:
Alat Penenang Ketika Dukungan Sosial
Tidak Membantu Stres Akademik.
Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Humaniora,
1, (3), 136-143. Diunduh dari:
https://jurnal.uai.ac.id/index.php/SH/ar
ticle/download/63/65
Hemamalini, R., Ashok, V., & Sasikala, V.
(2018). A Study on Stress Management
and its Impact among Students.
International Journal of Academic Research
in Economics and Management Sciences,
7(3), 101.110. doi: 10.6007/IJAREMS/v7-
i3/4439
Husnar, A. Z., Saniah, S., & Nashori, F. (2017).
Harapan, Tawakal, dan Stres
Akademik. Psikohumaniora: Jurnal
Penelitian Psikologi, 2, (1), 94.105. doi:
http://dx.doi.org/10.21580/pjpp.v2i1.117
9
Indria, I., Siregar, J., & Herawaty, Y.
(2019). Hubungan antara Kesabaran dan
Stres Akademik pada Mahasiswa di
Pekanbaru. Jurnal An-Nafs, 13, (1), 21-34.
Diunduh dari:
https://journal.uir.ac.id/index.php/anna
fs/article/download/2728/1748
Kadi, A. R., Bahar, H., & Sunarjo, I. S. (2020).
Hubungan Antara Regulasi Emosi
dengan Stres Akademik Pada
Mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Halu Oleo. Jurnal
Sublimapsi, 1, (2), 1-10. Diunduh dari:
http://ojs.uho.ac.id/index.php/sublimap
si/article/view/12002/8437
Kazmier, J. K. (2004). ��������1���¢1��������ñ1
Statistik untuk Bisnis; Terjemahan oleh:
P.A. Lestari. Jakarta: Erlangga.
Krageloh, C. U. Chai, P. P. M., Shepherd, D. &
Billington, R. (2012). How Religious
Coping is Used Relative to Other
Coping Strategies Depends on the
������������1 Level of Religiosity and
Spirituality. J Relig Health, 51, 1137.1151.
doi:10.1007/s10943-010-9416-x
Krejcie, R. V. & Morgan, D. W. (1970).
Determining Sample Size For Research
Activities. Educational and Psychological
Measurement, 30, 607-610. doi:
https://doi.org/10.1177/00131644700300
0308
Legiran, Azis, M. Z., & Bellinawati, N. (2015).
Faktor Risiko Stres dan Perbedaannya
pada Mahasiswa Berbagai Angkatan di
Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang. Jurnal
Kedokteran Dan Kesehatan, 2, (2), 197-202.
Diunduh dari:
https://ejournal.unsri.ac.id/index.php/jk
k/article/view/2556
Mahudin, N. D. M., Mohd Noor, N., Dzulkifli,
M. A., and Janon, N. S. (2016).
Religiosity among Muslims: A Scale
Development and Validation Study.
Makara Hubs-Asia, 20, (2), 109-120. doi:
10.7454/mssh.v20i2.3492
Mulya, H. A. & Indrawati, E. S. (2016).
Hubungan Antara Motivasi Berprestasi
dengan Stres Akademik Pada
Mahasiswa Tingkat Pertama Fakultas
Psikologi Universitas Diponegoro
Semarang. Jurnal Empati, 5, (2), 296-302.
Diunduh dari:
https://media.neliti.com/media/publicat
ions/62277-ID-hubungan-antara-
motivasi-berprestasi-den.pdf
Musabiq, S. A. & Karimah, I. (2018).
Gambaran Stress dan Dampaknya pada
Mahasiswa. Insight Jurnal Ilmiah
Amalia & Nashori
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 53 of 20
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
Psikologi, 20, (2), 74-80.
doi: 10.26486/psikologi.v20i2.240
Nugraheni, D., Mabruri, M. I., & Stanislaus, S.
(2018). Efektivitas Membaca Al-������1
Untuk Menurunkan Stres Akademik
Pada Siswa Kelas XI SMA Negeri 1
Kebumen. Intuisi Jurnal Psikologi Ilmiah,
10, (1), 59-71. Diunduh dari:
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.ph
p/INTUISI
Pargament, K. I., Olsen, H., Reilly, B., Falgout,
K., Ensing, D. S., & Haitsma, K.V. (1992).
God Help Me (II): The Relationship of
Religious Orientations to Religious
Coping with Negative Life Events.
Journal for the Scientific Study of Religion,
31, (4), 504.513. doi:10.2307/1386859
Program Studi Farmasi UII. (2017).
Rekapitulasi Beban Studi Jenjang S1
Farmasi Universitas Islam Indonesia
Berdasarkan Kurikulum 2017.
https://sarjana.pharmacy.uii.ac.id/akad
emik/mata-kuliah/ (diakses pada
tanggal 20 oktober 2020)
Purnomosidi, F. (2018). Sholat Tahajjud
sebagai Manajemen Stres pada
Karyawan di Universitas Sahid
Surakarta. Psikoislamedia Jurnal Psikologi,
3, (1), 113-124. Diunduh dari:
https://jurnal.ar-
raniry.ac.id/index.php/Psikoislam/articl
e/download/5222/3399
Puspitha, F. C., Sari, M. I., & Oktaria, D. (2018).
Hubungan Stres Terhadap Motivasi
Belajar Mahasiswa Tingkat Pertama
Fakultas Kedokteran Universitas
Lampung. Jurnal Majority, 7, (3), 24-33.
Diunduh dari:
http://repository.lppm.unila.ac.id/12526
/1/Faras.pdf
Putra, A. H. & Ahmad, R. (2020). Improving
Academic Self efficacy in Reducing First
Year Student Academic Stress. Jurnal
Neo Konseling, 2, (2), 1-9. doi:
10.24036/00268kons2020
Putri, G. A. N. & Ariana, A. D. (2021).
Pengaruh Self-Efficacy terhadap Stres
Akademik Mahasiswa dalam
Pembelajaran Jarak Jauh Selama
Pandemi Covid-19. Buletin Riset
Psikologi dan Kesehatan Mental (BRPKM),
1, (1), 104-111. Diunduh dari: https://e-
journal.unair.ac.id/BRPKM/article/view
/24573/pdf
Rayle, A. & Chung, K. Y. (2007). Revisiting
First-Year College Students' Mattering:
Social Support, Academic Stress, and
the Mattering Experience. Journal of
College Student Retention: Research,
Theory and Practice, 9(1), 21.37.
doi:10.2190/X126-5606-4G36-8132
Refi. (2019). Hubungan antara emotion
focused coping dan dukungan sosial
������1�����1��������1��� �1���1���1
Yogyakarta. Prosiding Seminar Nasional
Magister Psikologi Universitas Ahmad
Dahlan, 263-272. Diunduh dari:
http://seminar.uad.ac.id/index.php/snm
puad/article/view/3432
Refri, F. M., Syafitri, N., Putri, S. A., &
Nashori, H. F. (2021). Tawakal and
Academic Stress on Students Following
Online Lectures: Tawakal dan Stres
Akademik Pada Mahasiswa yang
Mengikuti Kuliah Secara Daring.
Proceding of Inter-Islamic University
Conference on Psychology, 1, (1). Diunduh
dari:
https://www.researchgate.net/publicati
on/350061082_Tawakal_and_Academic
_Stress_on_Students_Following_Online
_Lectures_Tawakal_dan_Stres_Akade
mik_Pada_Mahasiswa_yang_Mengikut
i_Kuliah_Secara_Daring
Rohmadani, Z. V. & Setiyani, R. Y. (2019).
Aktivitas Religius untuk Menurunkan
Tingkat Stres Mahasiswa yang Sedang
Skripsi. Jurnal Psikologi Terapan dan
Pendidikan, 1, (2), 108-116. Diunduh dari:
http://journal.uad.ac.id/index.php/Psik
ologi/article/download/15135/7353
Ruhamal, I. (2015). Pengaruh Religiusitas dan
Self-efficacy Terhadap Stres Pada
Mahasiswa Psikologi UIN SUSKA Riau.
Amalia & Nashori
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 54 of 20
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
Skripsi. Tidak diterbitkan. Fakultas
Psikologi Universitas Islam Negeri
Sultan Syarif Kasim Riau Pekanbaru.
Rusdi, R. (2015). Hubungan Antara Efikasi
Diri dan Manajemen Waktu Terhadap
Stres Mahasiswa Farmasi Semester IV
Universitas Mulawarman. eJournal
Psikologi, 4 (1), 53-64. Diunduh dari:
ejournal.psikologi.fisip-unmul.ac.id
Sagita, D.D., Daharnis, & Syahniar. (2016).
Hubungan Self Efficacy, Motivasi
Berprestasi, Prokrastinasi Akademik
dan Stres Akademik Mahasiswa. Jurnal
Bikotetik, 1, (2), 37-72. doi:
http://dx.doi.org/10.26740/bikotetik.v1n
2.p43-52
Santrock, J. W. (2003). Adolescence:
Perkembangan Remaja Edisi Keenam.
Terjemahan Oleh: Shinto, B.A. & Saragih,
S. Jakarta: Erlangga.
Saputra, S.D. (2016). Pengaruh
Religiusitas Terhadap Manajemen Stres
Pada Siswa Kelas XII SMA Negeri 1
Kasihan. E-Journal Bimbingan dan
Konseling, 8, (5), 164-173. Diunduh dari:
http://journal.student.uny.ac.id/ojs/inde
x.php/fipbk/article/download/4317/398
7
Sarita & Sonia. (2015). Academic Stress among
Students: Role and Responsibilities of
Parents. International Journal of Applied
Research, 1(10), 385-388. doi: 151800998
Schunk, D. H. (1991). Self-efficacy and
Academic Motivation. Educational
Psychologist, 26, (3 & 4), 207-231.
Diunduh dari:
https://wss.apan.org/jko/mls/Learning
%20Content/schunk%20academic%20se
lf%20efficacy.pdf
Schwarzer, R. & Jerusalem, M. (1995). English
Version: General Self- Efficacy Scale.
Indonesian Adaptation by Aristi Born, Ralf
Schwarzer & Matthias Jerusalem, 1995.
http://userpage.fu-
berlin.de/~health/indonese.htm
Sim, H. S. & Moon, W. H. (2015). Relationships
between Self-Efficacy, Stress,
Depression and Adjustment of College
Students. Indian Journal of Science and
Technology, 8, (35), 1-4. doi:
10.17485/ijst/2015/v8i35/86802
Siregar, I. K. & Putri, S. R. (2019). Hubungan
Self-efficacy dan Stres Akademik
Mahasiswa. Consilium: Berkala Kajian
Konseling Dan Ilmu Keagamaan, 6, (2), 91-
95. doi:
http://dx.doi.org/10.37064/consilium.v6i
2.6386
Stevani & Gumanti, D. (2018). Analisis Faktor
Fisiologis dan Motivasi Belajar
Mempengaruhi Prestasi Belajar
Ekonomi Siswa SMA Negeri Kota
Padang. Journal of Economic and Economic
Education, 6, (2), 106-111. Diunduh dari
http://ejournal.stkip-pgri-
sumbar.ac.id/index.php/economica/arti
cle/view/2615
Sukino, S. (2018). Konsep Sabar dalam Al-
Quran dan Kontekstualisasinya dalam
Tujuan Hidup Manusia Melalui
Pendidikan. Jurnal Ruhama, 1,(1), 63-77.
Diunduh dari:
https://jurnal.umsb.ac.id/index.php/ruh
ama/article/download/822/733
Sun, S. H. & Zoriah, A. (2015). Assessing Stress
among Undergraduate Pharmacy
Students in University of Malaya. Indian
Journal of Pharmaceutical Education and
Research, 49, (2), 99-105. doi:
10.5530/ijper.49.2.4
Supradewi, R. (2019). Stres Mahasiswa
Ditinjau dari Koping Religius. Psycho
Idea, 17, (1), 9-22. doi:
10.30595/psychoidea.v17i1.2837
Utami, S., Rufaidah, A., & Nisa. A. (2020).
Kontribusi Self-efficacy terhadap Stres
Akademik Mahasiswa Selama Pandemi
Covid-19 Periode April-Mei 2020.
Teraputik Jurnal Bimbingan dan Konseling,
4, (1), 20-27. doi:
10.26539/teraputik.41294
Amalia & Nashori
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 55 of 20
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
Wade, C. & Tavris, C. (2007). Psikologi Edisi
Kesembilan Jilid 2. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Wang, M. & Saudino, K. J. (2011). Emotion
Regulation and Stress. J Adult Dev, 18,
(2), 95.103. doi: 10.1007/s10804-010-
9114-7
Wasiti, A. A. & Yoenanto, N. H. (2021).
Pengaruh Academic Self-efficacy
terhadap Academic Burnout Pada
Mahasiswa yang Sedang Mengerjakan
Skripsi. Buletin Riset Psikologi dan
Kesehatan Mental (BRPKM), 1, (1), 112-
119. Diunduh dari: https://e-
journal.unair.ac.id/BRPKM/article/view
/24380/pdf
Wistarini, N. N. I. P. & Marheni, A. (2019).
Peran Dukungan Sosial Keluarga dan
Efikasi Diri terhadap Stres Akademik
Mahasiswa Baru Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana Angkatan 2018.
Jurnal Psikologi Udayana Edisi Khusus
Psikologi Pendidikan, 164-173. Diunduh
dari:
https://ojs.unud.ac.id/index.php/psikol
ogi/article/view/52516/31032
Wulandari, D. (2018). Hubungan Antara
Regulasi Diri Dalam Belajar Dan Stres
Akademik Pada Mahasiswa
Kedokteran. Skripsi. Tidak diterbitkan.
Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial
Budaya Universitas Islam Indonesia.
Yusuf, N. M. & Yusuf, J. M. (2020). Faktor-
faktor yang Mempengaruhi Stres
Akademik. Psyche 165 Journal, 13, (2),
235-239. Diunduh dari:
http://lppm.upiyptk.ac.id/ojsupi/index.
php/PSIKOLOGI/article/download/136
3/328/
Zamroni, Z. (2015). Prevalensi Stres
Akademik Mahasiswa. Jurnal
Psikoislamika, 12 (2), 51-57.
doi: 10.18860/psi.v12i2.6404
Zubairu, U. M. & Sakariyau, O. B. (2016). The
Relationship between Religiosity and
Academic Performance amongst
Accounting Students. International
Journal of Evaluation and Research in
Education (IJERE), 5, (2), 165-173.
Diunduh dari:
https://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ11085
59.pdf
https://ejurnal.lp2msasbabel.ac.id/index.php/psc
Vol. 3, No. 1, June (2021)
ISSN (Online): 2721-2564
https://doi.org/10.32923/psc.v3i1.1748
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 56 of 17 © Psychosophia, 2021
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
Review Date ; May 17, 2021
Revision Date : June 18, 2021
Accepted Date : June 21, 2021
Publish Date : June 23, 2021
ARE CHILDHOOD CRUELTY TO ANIMALS INDICATES AS
MENTAL DISORDER?
Risa Juliadilla*
Program Studi Psikologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Budaya, Universitas Gajayana Malang
Nia Anggri Noveni
Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Purwokerto
Abstract: Animal Cruelty regularly happened during childhood that indicates beyond cruelty to humans.
Cruelty to animals distinguishes some steps: curiosity, exploration, imitates or even the aggressive act refers to
animal cruelty. The ignorance toward these aggressive acts led to Conduct Disorder or even Antisocial
Personality Disorder. Animal Cruelty reached an agreement as to the unethical act with intentional tortures,
unintentionally suffering causes death. Cruelty is done on purpose and with intentional time. This research aims
as a reference for animal cruelty in childhood by proposing some research summary in (1) Animal Cruelty
framework, (2) Animal Cruelty relation among child abuse and domestic violence; (3) Developmental Psychology
reference: Children aggressive acts toward animal; (4) animal cruelty and psychology disorder and (5) clinical
pathway childhood cruelty to animals. The research conducts a literature review by describing a theory,
discussion, and results from textbooks, articles, and journals. This article had synthesized 16 research articles
that have been identifying through an online database and manual search for selected research. The researcher
analyzed, compared the results taken from some literature, identifies the pros and cons, and proposing findings
and discussions. In conclusion, animal cruelty defines as a crucial marker for mental health that relates to
Conduct Disorder to Antisocial Personality Disorder. The role of adults is vital in minimizing children's acts
for committing animal cruelty by nurturing empathy. Humane education program is one of efforts to teach
empathy since early childhood.
Keywords: Animal Cruelty, Childhood, Conduct Disorder, Antisocial Personality Disorder
Abstrak: Kekejaman pada hewan sering muncul di masa kanak-kanak yang dapat mendahului
kekerasan pada manusia di kemudian hari. Perilaku kekejaman pada hewan terjadi bertahap mulai
dari rasa ingin tahu, eksplorasi, meniru perilaku, hingga perilaku agresif yang bertujuan menyakiti
hewan. Perilaku agresif pada hewan yang dibiarkan dapat membentuk anak mengalami Conduct
Disorder (CD) hingga Antisocial Personality Disorder (APD). Tujuan dari penelitian ini memberi tinjauan
tentang perilaku kekejaman pada hewan pada saat masa kanak dengan menawarkan ringkasan studi
tentang (1) konsep kekejaman pada hewan; (2) hubungan kekerasan hewan, kekerasan pada anak dan
kekerasan rumah tangga; (3) tinjauan developmental psychopathology : tindakan kekejaman anak pada
hewan; (4) kekejaman pada hewan dan gangguan psikologi; (5) jalur klinis tindak kekerasan anak-
anak pada hewan. Artikel ini disusun menggunakan kajian literatur yaitu uraian tentang suatu
teori, temuan dan bahan penelitian lain yang diperoleh melalui buku, artikel-artikel jurnal penelitian.
Ulasan ini mensintesis 16 artikel yang diidentifikasi melalui database online dan pencarian manual
pada studi yang ditentukan. Peneliti kemudian menganalisis, membandingkan hasil penelitian satu
dan lainnya, mencari kesamaan dan perbedaan serta meringkas dan membuat kesimpulan.
* Author Correspondence
Juliadilla & Noveni
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 57 of 17
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
Kesimpulan dari penelitian ini adalah tindakan kekejaman pada hewan merupakan suatu catatan
yang serius untuk kesehatan mental yaitu Conduct Disorder (CD) hingga Antisocial Personality Disorder
(APD). Pentingnya peran orang dewasa untuk menimalisir tindakan anak dalam melakukan
kekejaman terhadap hewan dengan mengembangkan sikap empati. Humane education merupakan
salah satu upaya untuk mengajarkan empati sejak dini.
Kata kunci: Kekerasan pada hewan, Masa Kanak, Gangguan Tingkah laku, Gangguan Kepribadian
antisosial
Juliadilla & Noveni
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 58 of 17
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
INTRODUCTION
The following acts that occurred at
childhood times define as the trigger of
future aggression to humans including
animal cruelty, enuresis, and firesetting.
When children does these acts at the same
time or combined acts led to future
aggressiveness. The predicted things in
adults are the emergence of cruel sexual
behavior, firesetting, committing crime, or
murder (Chan & Wong, 2019). According
to MacDonald Triad components, enuresis
displayed as the weak connection of the
aggressive and crime at present. Besides,
firesetting and cruelty to animals prove
correlation to cruelty and crime (Walters,
2016). As well as cruelty to animals has
comprehensive theoretical study
compared to enuresis, and firesetting
(Chan & Wong, 2019). The research
conducted by Walters (2016) to 496 male
with sex offenders shows the results that
cruelty to animals is classified as a sign of
callous and uncompassionate. Cruelty to
animals performs as an alert of
psychological risk factors for
developmental problems of children.
These actions indicate that the child needs
to get clinical treatment in purpose to
avoid the nurture of personality with
violence. Children who engage in animal
cruelty 3 times or more are likely to
commit more serious crimes including
murder, rape, robbery, assault,
harassment, threats, and abuse of drugs or
substances (Johnson, 2018).
Here are two stories for clear
relationship:
"From the initial investigation conducted by
the police, NF (15 years old), adolescents killer
5-year-old boy got some facts, one of them is
the perpetrator are often abuse animals. She
can torture a frog or lizard with a fork. Then
when she was upset, her cat thrown from the
second floor "(Wijana & Anggreini, 2020)
"DCL (6 years old) was found sobbing in the
hospital when he rushed to bring a dead chick
that struck as he was playing a bicycle. He took
the dying chick to nearby hospitals and gave all
the money to ask help from a nurse (Camelia,
2019)
The news above distinguishes two
different situations, the first is emphasizes
that animal cruelty prone as the practice
before committing a crime to human, and
the second one shows the empathy and
responsibility of children. Cultivating
empath for early childhood is a
fundamental basis of prosocial acts. One
idea to acknowledge children about the
lesson of an empath can determine by
human-animal interaction. Childhood
world associate with animals through
fable, animal doll, imitating the animal
sound and science. So that, learning
empathy helps by animals object is the
right decision.
Teaching for animal welfare to
children is an effort that can foster
empathy. The aim is to improve the
awareness to treat the animal with respect
and minimize the acts of animal cruelty. A
survey report was taken from students in
Greece, Italy, and Spain and came with the
fact that they had an understanding but
lack of knowledge on animal welfare.
Knowledge of animal welfare depicts the
way how we treat the animal. This issue
becomes the point of discussion
specifically in the Europe Union, and as a
result, they introduce the program
regarding animal welfare. Austria is an
example for those that apply for animal
Juliadilla & Noveni
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 59 of 17
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
welfare programs for their middle school
(Protopapadaki, 2016).
Children commit acts of violence
and cruelty as they as victims of what they
learn around them (Hensley, Tallichet, &
Dutkiewicz, 2012). Animal cruelty from
moderate to severe is widespread in our
society, but some people are still not fully
aware. In the beginning, children make
fun by pulling animal tails, chasing them
to make them afraid, neglecting them by
not providing sufficient food, or
imprisoning them in a narrow cage.
Animal cruelty defines as when children
are committing violence by hitting or
dismembering the animal. Adults are
unintentionally committing cruelty to
animals regularly at a light level that
children can imitate.
Cases of animal cruelty are
frequently committed by adults and
children. Garda Satwa Indonesia found
103 animal cruelty cases in 2015 that raise
per year. The phenomenon has been
spotted in the massive news of animal
cruelty cases. Garda Satwa Indonesia
found 103 cases of animal cruelty in 2015
and increase per year (Wellson & Gandha,
2015). The phenomenon has been spotted
in the massive news of animal cruelty
cases. Later, the perpetrator did not
hesitate to post on social media. Thus,
legal sanctions for perpetrators of animal
abuse cases remain weak and lack action.
At this point, the cycle of animal
violence remains to exist and
unfortunately children are indeed commit
cruelty to animals. In 1964, Margaret
Mead, a social scientist, said that
perpetrators of animal cruelty in
childhood potentially commit violence
and murder repeatedly if not got treated
up (Jegatheesan, Enders-Slegers,
Ormerod, & Boyden, 2020).
The role of parents and adults is
vital to respond to the animal cruelty
phenomenon. So that, the animal cruelty
concepts comprehend to get in-deep result
overview. The research aims to sketch up
summarize of animal cruelty in childhood
by preserving reviews relate to (1) The
concept of animal cruelty, (2) The relation
on animal cruelty, child abuse, and
domestic violence, (3) Developmental
Psychopathology overview, (4) Animal
Cruelty and Clinical Disorders, (5) clinical
pathway childhood cruelty to animals.
Methodology
The article uses the literature
review as a research methodology with
review literature, findings, and other
sources are taken from books, articles, and
journals. This article had synthesized 16
research articles that have been
identifying through an online database
and manual search for selected research.
In the beginning, the researcher collected
the literature by collecting data from
journals with a particular focus: cruelty
animals, Conduct Disorder (CD),
antisocial personality disorder (APD), and
Psychopath. The next step is the
researcher collecting, analyzing,
processing the data, and comparing the
results one to another, sythesizing, and
draw the conclusion.
Result and Discussion
Concepts of Animal Cruelty
In the beginning, describing the
concepts of animal cruelty requires
enormous effort since the dichotomy of
animals' existence is considered for daily
Juliadilla & Noveni
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 60 of 17
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
consumption, as the opposite, humans
urge to think about the animals' welfare.
The definition of cruelty to animals has
been established as unethical behavior
with intentional tortures, and
unintentionally suffering causes a death.
The behavior pattern is intentionally and
repeatedly (Gullone, 2012). Animals
cruelty, in the literature on human
aggression is horrendous than the
dimensions of hostility, for example,
burned alive and extreme torture. The
perpetrators' sight thinks animals as
livestock that bred, insult, and pests
(Gullone, 2012). On the other hand, some
people upgrade the status as companion
animals or pets where the owners will
regard them as family members and
provide care (Gullone, 2012).
Animal Cruelty to the high values
animal (i.e, a pet: dog) tends to connect
with cruelty to humans rather than cruelty
to low-value animals (i.e, cockroaches,
mouses, etc.). However, the perpetrators
that do the cruelty with purposes are
considered deviant behavior. Cruelty to
animals that are done purposely and
torturing to death is abnormal and
criminal that is socially and legally
unacceptable (Gullone, 2011). Animal
cruelty means omitting particulars
activities such as hunting, farming,
veterinary practice, animal farming,
animal testing, and animal worship. Those
activities are accepting by society and no
direction to pathology (Gullone, 2012).
Cruelty animal is not restricted only to
active acts: hitting, kicking, torturing but
also to passive ones: neglecting, by not
preserving sufficient food and drinks
(Levitt, Hoffer, & Loper, 2016). In short,
animal cruelty is culturally opposed and
deviance when it does in purposes,
painful and frequently.
Some researchers created an
inventory to precisely measures the
definition of animal cruelty, as one of
them is The Cruelty to Animals Inventory
(CAI) that developed by Dadds et al.,
(2004) . CAI adequate to concede of nine
aspects of the cruelty of children as
follows: severity (based on degree of
intentional pain and injury caused to an
animal), frequency (the number of
separate acts of cruelty), duration (period
of time over which the cruel acts
occurred), recency (the most recent acts),
diversity across and within categories
(number of animals abused from different
categories and the number of animals
harmed from any one category), sentience
(level of concern for the abused animal),
����������1û�������1��������1��1�������1���1
behavior), isolation (whether the cruelty
occurred alone or with other
children/adults), and empathy (the degree
��1���1�������1�������1���1���1�����1����üï
The animal cruelty motive of
childhood have various and complicated
reasons, and it is necessary to understand
the characteristics and situational
circumstances of the perpetrator. This way
is helpful to predict future violence that
might divert into violence to humans.
According to Ascione, there are three
types of the background of children and
adolescents to engage in the acts
underlying cruelty to animals (Hawkins,
Hawkins, & Williams, 2017):
1. Exploratory animal abuse. In
general, accidentally perform by
children with curiosity and lack of
knowledge, direction, and
Juliadilla & Noveni
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 61 of 17
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
supervision from adults and
environment.
2. In pathology, torturing animals
means a sign of the clinical
treatment needs causing by
psychological distress symptoms,
i.e. personality and behavior, or
other mental disorders. This
category is also done by children or
older.
3. Delinquent animal abuse is cruelty
to animals that reflect the pattern of
delinquent behavior and various
antisocial acts. Mostly found in
adolescents, that desired by
childhood experiences, peer effects,
imitating behavior, animal abuse
related to sexual satisfaction,
particular animal phobias, and
traumatic experiences.
One of the points to concern is the
existence of remorse. In short, when
children have not shown any remorse
after committing cruelty to an animal, that
is an indication that leads to
psychopathology.
The Connections of Animal Cruelty,
Child Abuse and Domestic Violence
Animal cruelty and cruelty to
humans had a strong bond, which that
phenomenon knew as linked. The
perpetrators found that also committed
cruelty to humans. (Jegatheesan et al.,
2020) describes behavior patterns when
adults commit violence linked to
childhood experiences, especially for
children who have a background of
cruelty to animals in childhood.
Unpleasant experiences in childhood or
the family role malfunctions are risk
factors of children to get behavioral
disorders. The emergence of cruelty to
animals might start when children were
imitating their parent's violent behavior,
by then unable to develop an attitude of
empathy, and that behavior was
absorbing from the surroundings. The role
of parents toward cruelty to animals was
dominant when parents show aggressive
behavior to a non-human, it is likely the
child imitates their parents act, including
cruelty to animals.
Animal cruelty is the result of
children learning experience by watching
the cruelty acts or experiences as the
victim of domestic violence (McEwen,
Moffitt, & Arseneault, 2014). The
patriarchal system dominated nurturing
violence in the community that commonly
happened to women also the pet who is
considered a family member. Patriarchy
was prone to displaying domination and
control to all family members. Domestic
violence is the most powerful is equal to
violence that contributes by the father in
the form of violence to wife and physical
punishment to family members (Gullone,
2011). The perpetrators are creating terror
for the partner and children. This makes a
related system regarding animal cruelty,
child abuse, and domestic violence
(Jegatheesan et al., 2020).
This violence comes as a chain of
violence when children were victims of
violence in the family or experiencing to
see violence against animals. Children
who had nurtured beyond this situation
are more likely to commit cruelty to
animals than children who do not
experience violence at all. Animal abuse
can perform as a transfer of aggression to
weaker objects. The transfer of
aggressiveness to animals can turn
defenseless to control and empowerment.
Someone can have a sense of control
Juliadilla & Noveni
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 62 of 17
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
through persecution and desired to repay
for feelings of weakness (Gullone, 2011).
This behavior is done to derive pleasure
from the disorder. Although few children
were experiencing violence in the family
face the same problems, some are
successful, able to adapt, and increase
resilience. Family is the first microsystem
for children. Family for children functions
as the initial foundation to shape
personality and character. When children
had nurtured by inappropriate it will
cause emotional and developmental
disorders. Inharmonious relations within
family members is one of the causes of
behavioral disorders in children.
Developmental Psychopathology: Acts
of child cruelty to animals
The act of animal cruelty in
childhood had assessed using
psychological theories of human
development. Hawkins & Williams, (2017)
explain that animal cruelty has an impact
on psychological development. The acts of
animal cruelty by children occurs
gradually. If not treated immediately,
animal cruelty can predict children's
behavior from adolescence to adulthood,
such as identifying antisocial personalities
or psychopaths. Factors that affect animal
cruelty include peer influence, imitation
behavior, mood, sexual satisfaction,
animal abuse, attachment to animals,
animal phobias, and experiencing abuses.
Hawkins et al., (2017) add the trigger for
children to do cruelty to animals during
childhood are violence during childhood
time, neglected children, bullying,
behavioral, personality, mental & health,
family dysfunction, sexual violence, lack
of empathy, weak coping strategies, and
problems with peers. When parents
scolding vigorously, it can lead to
aggressive behavior that motivates the
cruelty of animals. The children's acts to
demonstrate aggressive behavior with
cruelty to animals can develop further
imagination to its aggression and this
condition are even getting worse when the
ignoring environment, neglecting
children behavior or even becomes the
victim of bullying. Children's aggressive
behavior in the form of animal cruelty
may distract the growth of empathy that
resulted in an empathy deficit disorder.
Normative levels of empathy in childhood
can serve as a protective barrier against
aggressive behavior. Particularly, when
children feel from the perspective of
animals. When children can feel from an
animal perspective, it can affect the actions
when children treat animals.
McDonald et al., (2018) stated that
animal cruelty has been reproducing by
aggressive behavior when commiting
cruelty to animal. According to Hawkins
& Williams, (2017) it has explained that
childhood experiences related to
parenting patterns with neglecting their
children may trigger the children to
commit cruelty to animals that have
occurred by low-supervision, lack of
knowledge to treat animals properly.
Further observation is needed for
adolescence whether the experience of
committing cruelty to animals in
childhood can be a potential pattern for
juvenile delinquency to antisocial
behavior. In adolescents, acts of cruelty to
animals in most cases arise because of
peer-pressure as reinforcing the behavior
of adolescents, including being cruel to
animals. Besides, the problem of animal
Juliadilla & Noveni
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 63 of 17
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
cruelty by adolescence is related to
unpleasant childhood experiences.
Kellert and Felthous also suggest the
main backgrounds why humans,
especially children, engage in cruel
behavior to animals as follows (i) attempts
to control the animal (e.g., hitting a dog to
stop the barking), (ii) retaliation (i.e.,
cutting a cat's leg for having stolen food,
(iii) acted out of prejudice against a
particular species or race, (i.e., despising
dogs for being unclean), (iv) expressions
of aggression through animals (e.g.,
organizing dog fights) or, (v) acting on
motivation to increase one's
aggressiveness ( i.e., animals are purposes
to attract attention), (vi) to surprise people
for entertainment (observable harassment
of others), (vii) to retaliate against others
or as revenge (e.g., killing or injuring
unwanted neighbors), (viii) transfer of
aggression to animals, and (xi) non-
specific sadism a desire to cause suffering,
injury, or death but the absence of certain
feelings or hostility towards animals
(Chan & Wong, 2019).
Learning of Aggression to Cruelty of
Animals
Social learning theory by Bandura
explains when people learn about the how
and why they engage in any behavior,
including criminal and deviant behavior.
The process is similar when children see
adults in their inner circle (Hensley et al.,
2012). This theory can explain the
etymology of the environmental factors
that cause antisocial behavior and
aggression. In particular, the
environmental factors such as violence at
home, observing violence against animals
like how adults treat animals since our
acts connected to the learning process both
in the family and environment. Learning
for individuals occurs through a process
of observation and imitation. Learning has
defined as the ability to learn from the
social environment, especially when
children observing adults.
Bandura's research on adults who
treats bobo doll brutally then let the
children observing the behavior, the effect
is the children become more aggressive in
treating dolls. Bandura in Santrock, (2011)
explained that particular situation as the
aggression transference by imitating the
����������1 ��������ï1 ���������1 ���1 ��1
Bobo Doll describes the work of
phenomenon when children imitate the
adults by observing their behavior.
Bandura shows that the social learning
process begins with someone observing,
modeling, then imitating that taken from
the recent experiences of others, before the
child is confident and independent in
performing their behavior.
The human imitating behavior was
driving by imitating behavior from
surroundings like family, community, and
broader surroundings. The process of
imitating behavior began at 0-1 year.
Children at an early age (0-1 year) imitate
the adults' facial expressions and gestures.
Besides that two fundamental behavior,
children replicate simple behavior such as
kicking or hit with hands. Children can
observe and imitate the simple behavior
from their surroundings, such as family.
In particular, children imitated the adults'
behavior in kicking (hurt) animals.
The process of imitating behavior
at three years old children becomes
intricate. For three years old the process is
more detailed and not only observing the
behavior but also involving the cognition
steps. At this stage, children emerge from
Juliadilla & Noveni
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 64 of 17
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
their high sense of curiosity about the
things around them. Children with
intense curiosity encourage a sense of
exploration when getting positive
feedback from the inner circle like family.
The positive feedback that is given in
responding to children's curiosity
stimulates the children to get intimate
learning.
Children's cognitive development
emerges by imitating the violent acts
associated with a parenting style related to
emotion management. McEwen et al.,
(2014) said that children who commit
cruelty to animals indicate suffering abuse
from their parents. Although when
children mistreat the animals are not
necessarily intended to hurt or molest.
Lack of supervision and the neglecting
parenting style turns to negative behavior
by committing cruelty to animals. For
seven years old children, their actions and
emotions are affected by the response of
adults, so that the parents' responses is
crucial.
Maladaptive learning has been
discovered in parents with an indifferent
attitude towards children, parents being
permissive over their child's aggressive
behavior, the use of corporal punishment,
and authoritarian rule (Gullone, 2011).
The child's behavior in the animal cruelty
context generates a sense of interest and
desire to explore and no desire to hurt. At
this point, the children were learning to
see animal expressions and gestures
associated with children's behavior in the
following times. The way of treating
animals can be more aggressive as the
process of imitating adults. Adults
validation to the violence committed to
the animal is required, like when children
imitate behavior around them, such as
kicking an animal and their parents do not
provide any guidance to their acts, so
children might think that their behavior is
correct.
The Violence Graduation Hypothesis
The approach aims to predict that
individuals who commit cruelty to
animals in childhood expect to have more
severe cruelty acts to humans. Animal
cruelty means a cycle begins with a fight,
persecute, so animal cruelty is the most
brutal (Johnson, 2018). If the situation is
left untreated, it is likely to develop into an
uncompassionate and unemotional trait
setting up a dangerous generation.
Through cruelty to animals, children may
learn to enjoy feeling to suffer the objects
to do the same to a human. The
phenomenon involved several cases in
Indonesia, a teenager (NF) who murder a
toddler, when in her daily frequently
tortures and kills animals, such as frogs
and lizards that stabbed with a fork and
once she had thrown her cat when she was
upset.
Hensley, Tallichet, & Dutkiewicz,
(2012) carried out a study on 180 male
prisoners, found that 108 of 180 said they
had involved cruelty to animals in
childhood. The torture categories as
follow: bumping (n = 85, 82.5%), kicking (n
= 37, 35.9%), shooting (n = 34, 33%),
committing sexual harassment (n = 23, 22.3
%), drowned (n = 18, 17.5%) choked (n =
18, 17.5%) and burned (n = 16, 15.5%).
When they commit cruelty to animals
without any emotional feelings. When
some respondents did sexual abuse
animals, thus they tended not to jump out
of the closet. In contrast to previous
Juliadilla & Noveni
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 65 of 17
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
research by Hensley & Tallichet, (2005)
surveyed 261 prisoners found that one-
third of the sample committed cruelty to
animals for fun apart from that due to the
angry response that was vented on
animals. Prisoners who indulge in cruel
behavior on animals tend to do so when
alone, in contrast to inmates who act in
front of others to impress people and
imitate others.
The Deviance Generalization Hypothesis
Animal cruelty as a part of various
antisocial behavior can precede or track to
other types of behavior such as
misleading, stealing, property
destruction, robbery, sexual assault, and
other violence. This theory substance
states that if an individual performs
deviant behavior, it tends to commit other
deviations. Perpetrators of animal cruelty
usually have a record of drug and alcohol
abuse or have history of a family with
antisocial behavior (Chan & Wong, 2019).
Animal Cruelty and Psychological
Disorders
Conduct Disorder (CD)
The animal cruelty issue is yet on
the list of antisocial behavior symptoms in
childhood and adolescence released by
DSM in 1980. DSM-III-R first editions
launched in 1987 attach animal cruelty
issues as the symptoms of Conduct
Disorder (CD) and kept up to DSM-V. The
firsts pioneer was Tapia in 1971. His
research assessed the connection between
animal cruelty to mental illness and, some
researchers do similar research. Recently,
animal cruelty became the current topic in
DSM next edition, IV, IV-TR dan V, APA
1994, 2000, and 2013 (Ascione, McDonald,
Tedeschi, & Williams, 2018).
Animal abuse proves as clinical
diagnostics that the acts are a severe case
and requires assistance to defend the
children not to become a killer
(Jegatheesan et al., 2020). Cruelty to
animals is one of the criteria of Conduct
Disorder in DSM-V. Conduct Disorder
characterized by repeated and persistent
aggression and violations to other people
and animals. According to DSM-V
(American Psychiatric Association., 2013),
some other criteria are the destruction of
property, robbery, and theft, and severe
breaches of rules. The behavioral
disorders cause by not a single factor but
bio psychosocial. Some of the causes by
adverse parenting styles and intense
family conflict. Children who had exposed
to a chaotic family situation show unstable
emotions. And it might cause the children
to lack self-regulation so that they are less
experienced in coping with stress, moral
development, and empathy (Pradnyawati
& Ardjana, 2015).
Conduct Disorder diagnosis
attached with a clinical determinant,
Limited Prosocial Emotion (LPE) with an
improved dimension. The clinical
determinants used to identify Conduct
Disorder with callous or unemotional
characteristics. Children who are
diagnosed with both Conduct Disorder
and CU defines as the more aggressive
group. Conduct Disorder may occur at 5
to 6 years old but is more common in late
childhood or early adolescence. Conduct
Disorder in childhood can perform as a
psychological prediction for other
disorders such as delinquency, drug
abuse, dropping out of school, suicide,
and teenage crime. The frequency of
animal abuse mostly found at a mean age
of 6.5 y.o included fighting (6 y.o),
Juliadilla & Noveni
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 66 of 17
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
bullying (7 y.o), and assault (7.5 y.o). As
many as 25% of children with a diagnosis
of CD performed cruelty to animals.
Animal cruelty had grouped as a
destructive group (Gullone, 2011). Thus,
the statement supports the continuity
claim that CD can develop into Antisocial
Personality Disorder (APD) as adults.
Antisocial Personality Disorder (APD)
Antisocial Personal Disorder
correlates with CD since animal cruelty
simultaneously occurs with the
suppression behavior. Gleyzer et al.,
(2002) emphasized the antisocial
personality disorder diagnosis have a
considerable correlation with childhood
cruelty. Individuals with APD are likely to
have a record of animal cruelty behavior.
Animal Cruelty is part of the antisocial
behaviors associate with childhood CD,
becomes a diagnosis of APD.
Disrespecting and violating others are
part of APD patterns arise to adolescent
which fails to follow social norms, i.e:
performs fraud, aggressiveness,
irritability, irresponsibility, and no
remorse for unfavorable treatment. APD is
also deceitful, irresponsible, and
manipulative.
The similarity of pathological
personality traits Conduct Disorder with
Antisocial Personal Disorder based on
DSM-V (American Psychiatric
Association., 2013) is an empathy deficit
showing lack of sensitivity, lack of
feelings, understanding of the needs, and
understanding the suffering of others.
Furthermore, there are no regrets to others
after doing acts of aggression. Another
similarity is deceitfulness, for example,
deception or story fabrication. In general,
individuals with APD look usual or even
charming and pleasant. The individual
with APD can track his / her daily life into
calm and trustworthy to cover up his
falsehood (Hervey Cleckley, the mask of
sanity). This pattern is also known as
psychopathy, sociopathy, and social
personality disorder (American
Psychiatric Association., 2013).
Nowadays, society recognized APD with
the terms psychopath and sociopath.
Several cases of persecution and
murder are frequently associated with
psychopaths and sociopaths, but they
need to generate explores. Psychopaths
and sociopaths are closely related to the
diagnosis of APD (Johnson, 2019).
Psychopathy was conceptualized by
Cleckley and clarified by Hare. He
describes different perspectives regarding
psychopaths concepts when he thought
that both psychopaths and antisocial
personalities were distorted. Most people
with antisocial personality are not
psychopaths, whereas most psychopaths
meet the diagnostic criteria for antisocial
personality disorder (Hare & Neumann,
2009).
Clinical Pathway Childhood Cruelty
to Animals
Animal cruelty in childhood
originated from the curiosity to know and
appreciate animals. When adults do not
supervise and neglect their children, then
they might think that the acts are correct.
Animal cruelty discharge from trivial
things, such as abandoning pets, hitting,
and torturing that cause death.
Children that commit animal
cruelty implies to what they have seen
around like family or friends. Family is the
Juliadilla & Noveni
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 67 of 17
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
first child's eco-system. When a child
becomes a victim or sees violence at home,
within all the pressure and harsh physical
treatment, the child will also imitate the
aggressive behavior that has been seen or
felt. Children can perform displacement
on weaker objects such as pets and
animals around. The existence of animal
abuse turns somebody to feel powerful
and empowered. Animal cruelty is a
delicate subject and is a symptom of CD.
CD can precede or coincide with
other mental disorders, which is the focus
of developmental psychopathology. There
are two characteristics of behavior
disorders: internalizing behavior in the
form of social rejection, anxiety, and
depression while externalizing behavior is
aggressive (including in animals and
humans), violates hyperactivity rules
(Nunes, Faraco, Vieira, & Rubin ,2012).
DSM-V (American Psychiatric
Association., 2013) added identification of
CDs, called Limited Prosocial Emotions
(LPE) with a lack of remorse or guilt and
Callous-Unemotional (CU) traits because
LPE is a determinant for assessing the
behavior function of today's adolescents
and in the future. Longman, Hawes, &
Kohlhoff, (2015) emphasized through
meta-analysis research that CU is
representing behavioral problems.
Some CD causal factors had
developed during the prenatal period (i.e.,
abnormal fetal development and learning
outcomes from the environment.
Likewise, CU can be due to amygdala
dysfunction. CD individuals who have
CU have low neuropsychological
performance. They have difficulty
recognizing facial expressions of fear,
sadness, and pain that consider something
fun (Acquaviva, Ellul, & Benarous, 2018).
CU can be associated with a temperament
that can bring courage and beneath the
concept of psychopathy. However, this
study focuses more on CU as a result of
socialization and the learning process.
Children can absorb aggression from their
surroundings, like family. In general, they
are accustomed to seeing their father
making a pet as a control. Animals can be
used as a displacement to unleash anger
and used as a means of control to
compensate for weakness.
The presence of LPE predicts a
stable or even more severe path of
antisocial behavior that can continue into
adulthood. If not managed quickly and
appropriately, children with CD expand
to antisocial personality disorder in
adulthood (Pradnyawati & Ardjana,
2015). CD with Antisocial Personality
Disorder (APD) is often called Spectrum
Externalization. This spectrum includes
personality traits that are disinhibitors,
such as impulsivity and aggression
(Gullone, 2012). The callousness behavior
integrated with externalizing behavior
that turns to an antisocial personality.
One of the similar pathological
personality traits that underlie CD is
Callousness and Deceitfulness. Lack of
empathy accompanied by other
pathological personality traits:
manipulative, hostility, risk-taking,
impulsivity, and irresponsibility is the
focus. Aggression is more prepared and
instrumental (to achieve particular goals)
that in line with the violence graduation
theory that proves animal cruelty may
expand to aggressiveness to humans.
Cruelty behavior to animals can perform
as an experiment before committing to
humans. Aggressive behavior also
develops into antisocial behavior (The
Juliadilla & Noveni
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 68 of 17
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
deviance generalization hypothesis):
lying, stealing, robbery, sexual violence,
and others (Gullone, 2014). Many
researcher predict, antisocial and
uncompassionate is an indication of
psychopathic. However, further
investigation show, there is a gap between
sociopaths and psychopaths. That
psychopath is a genetic or biological
disorder, calmer, more preparation in
performance, whereas sociopath is a result
of environment or parenting that is more
impulsive.
Conclusion
Animal cruelty committed in
childhood is one of the characteristics of
Conduct Disorder (CD). Regardless the
child is diagnosed with CD or other
mental disorders, animal abuse clinically
should be in proper consideration. Animal
abuse cannot be investigated as the
particular marker that frequently
associated with domestic violence,
aggressive behavior, or bullying since
they are not the only factor to assess. All
environmental and personality
characteristics of animal cruelty
perpetrators have been investigating.
Some of the criminal acts
committed by children, teenagers, and
adults can probe to a childhood that
indicates to the cruelty of animal. Because
aggressive behavior in the form of cruelty
to children occurs gradually and relate to
bio psychosocial. The background of child
cruelty continuously growing starts with
exploring steps, imitating adult behavior,
and unleashing aggressiveness towards
animals. Children committing cruelty to
animals has a background by its nature
curiosity, imitating adult behavior,
parenting with neglect, domestic violence,
children violence, and peer influence.
Parents role are very important,
particularly for children when they
requires affirmation of their current
behavior.
History of CD is an early trigger for
antisocial behavior and APD. Research
conduct by Gleyzer et al.,( 2002) stated
that 48 participants (man) as defendant
criminal were diagnosed with Anti-Social
Personality Disorder (APD) has a record
of committing cruelty to animals in their
childhood. Cruelty to animals is taking
part of anti-social behavior that associate
to conduct disorder in childhood. Some
literature calls The Violent Personality to
refer to those who are involved in violence
in several areas, for example animal
cruelty, childhood victimization,
witnessing parental violence, lack of
empathy, antisocial traits, and permissive
parenting (Johnson, 2019). One of the
personality disorders associated with
aggression is APD.
Cruelty to animals is an indicator
that cannot underestimate, since the
negative effect on others. Children that
identical to innocent behavior harm if
infected by aggressive and callous
behavior. It can be concluded that
callousness becomes one factor that
triggers aggressiveness to animals that
might occur to humans. The deficit of
empathy has numerous contributions to
the development of cruel behavior in
animals. To sum up all the explanations,
one important thing to nurture since
childhood is empathy.
One effort to deal with the
phenomena is by stimulating empathy
since early childhood. Humane Education
Juliadilla & Noveni
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 69 of 17
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
program is one of way to end the cycle of
violence by nurture empathy (emotional
and cognitive) to humans through
teaching goodness to the animal
(Juliadilla, 2020). This program teaches
animal welfare as the primary concept.
Humane Education had applied in several
countries such as India, America, and
Japan (Juliadilla, Nurhasan, & Christia,
2020). Unfortunately, this program yet to
apply to the curriculum in Indonesia that
still prioritizes the academics issues
(Juliadilla, Pakaja, & Iksan, 2020). The
closest thing is Character Education.
Character education does not talk about
animal welfare, but it does represent
moral development in children. As one
characteristic that requires for adults is
empathy, prosocial, and prevent violence.
Juliadilla & Noveni
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 70 of 17
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
REFERENCES
Acquaviva, E., Ellul, P., & Benarous, X.
(2018). Developmental
Psychopathology. In Understanding
Uniqueness and Diversity in Child and
Adolescent Mental Health.
https://doi.org/10.1016/B978-0-12-
815310-9.00001-0
American Psychiatric Association. (2013).
Diagnostic and Statistical Manual of.
Mental Disorder Edition (DSM-V).
Washington: American Psychiatric
Publishing.
Ascione, F. R., McDonald, S. E., Tedeschi,
P., & Williams, J. H. (2018). The
relations among animal abuse,
psychological disorders, and crime:
Implications for forensic assessment.
Behavioral Sciences and the Law, 36(6),
717.729.
https://doi.org/10.1002/bsl.2370
Born, P. (2018). Regarding Animals: A
Perspective on the Importance of
Animals in Early Childhood
Environmental Education.
International Journal of Early Childhood
Environmental Education, 5(2), 46.57.
Camelia. (2019). Bawa Ayam yang
Ditabraknya ke Rumah Sakit, Aksi
Bocah Ini Tuai Pujian.
Chan, H. C. (Oliver), & Wong, R. W. Y.
(2019). Childhood and adolescent
animal cruelty and subsequent
interpersonal violence in adulthood:
A review of the literature. Aggression
and Violent Behavior, 48, 83.93.
https://doi.org/10.1016/j.avb.2019.08.
007
Dadds, M. R., Whiting, C., Bunn, P.,
Fraser, J. A., Charlson, J. H., & Pirola-
Merlo, A. (2004). Measurement of
Cruelty in Children: The Cruelty to
Animals Inventory. Journal of
Abnormal Child Psychology, 32(3), 321.
334.
Gleyzer, R., Felthous, A. R., & Holzer, C.
E. (2002). Animal Cruelty and
Psychiatric Disorders. The Journal of
the American Academy of Psychiatry and
the Law, 30(2), 257.265.
Gullone, E. (2011). Conceptualising
animal abuse with an antisocial
behaviour framework. Animals, 1(1),
144.160.
https://doi.org/10.3390/ani1010144
Gullone, E. (2012). Animal Cruelty,
Antisocial Behaviour, and
Aggression. In Animal Cruelty,
Antisocial Behaviour, and Aggression.
https://doi.org/10.1057/978113728454
9
Gullone, E. (2014). Conceptualising Animal
Abuse with an Antisocial Behaviour
Framework. (May).
https://doi.org/10.3390/ani1010144
Hare, R. D., & Neumann, C. S. (2009).
Psychopathy: assessment and
forensic implications. Canadian
Journal of Psychiatry. Revue Canadienne
de Psychiatrie, 93.124.
https://doi.org/10.1093/med/97801995
51637.003.0007
Hawkins, R. D., Hawkins, E. L., &
Williams, J. M. (2017). Psychological
Risk Factors for Childhood
Nonhuman Animal Cruelty. Society
and Animals, 25(3), 280.312.
https://doi.org/10.1163/15685306-
12341448
Hawkins, R. D., & Williams, J. M. (2017).
Childhood attachment to pets:
Associations between pet attachment,
attitudes to animals, compassion, and
humane behaviour. International
Juliadilla & Noveni
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 71 of 17
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
Journal of Environmental Research and
Public Health, 14(5), 1.15.
https://doi.org/10.3390/ijerph1405049
0
Hensley, C., & Tallichet, S. E. (2005).
Learning to be cruel?: Exploring the
onset and frequency of animal
cruelty. International Journal of
Offender Therapy and Comparative
Criminology, 49(1), 37.47.
https://doi.org/10.1177/0306624X0426
6680
Hensley, C., Tallichet, S. E., & Dutkiewicz,
E. L. (2012). Exploring the age of onset
and recurrence of childhood animal
cruelty: Can animal cruelty be
learned from witnessing others
commit it? International Journal of
Offender Therapy and Comparative
Criminology, 56(4), 614.626.
https://doi.org/10.1177/0306624X1140
5480
Jegatheesan, B., Enders-Slegers, M. J.,
Ormerod, E., & Boyden, P. (2020).
Understanding the link between
animal cruelty and family violence:
the bioecological systems model.
International Journal of Environmental
Research and Public Health, 17(9).
https://doi.org/10.3390/ijerph1709311
6
Johnson, S. A. (2018). Animal cruelty, pet
abuse & violence: the missed
dangerous connection. Foresic
Research & Criminology International
Journal, 6(5), 403.415.
https://doi.org/10.15406/frcij.2018.06.
00236
Johnson, S. A. (2019). Understanding the
violent personality: antisocial
personality disorder, psychopathy, &
sociopathy explored. Foresic Research
& Criminology International Journal,
7(2), 76.88.
https://doi.org/10.15406/frcij.2019.07.
00267
Juliadilla, R. (2020). Humane Education as
a Method of Empathy Character for
Children in School. WASKITA: Jurnal
Pendidikan Nilai Dan Pembangunan
Karakter, 4(2), 13.24.
https://doi.org/10.21776/ub.waskita.2
020.004.02.2
Juliadilla, R., Nurhasan, U., & Christia, D.
(2020). Pembelajaran Humane Education
di Kurikulum 2013 Menggunakan Media
Animasi.
Juliadilla, R., Pakaja, F., & Iksan, M. (2020).
Animal Education Berbasis Animasi
Sebagai Media Belajar Interaktif
Dengan Pendekatan Tematik
(Implementasi Pendidikan Karakter
Dalam Kurikulum 2013). Jurnal
Pengabdian Masyarakat (JPM17),
05(01), 20.30.
Kavanagh, P. S., Signal, T. D., & Taylor, N.
(2013). The Dark Triad and animal
cruelty: Dark personalities, dark
attitudes, and dark behaviors.
Personality and Individual Differences,
55(6), 666.670.
https://doi.org/10.1016/j.paid.2013.05.
019
Levitt, L., Hoffer, T. A., & Loper, A. B.
(2016). Criminal histories of a
subsample of animal cruelty
offenders. Aggression and Violent
Behavior, 30, 48.58.
https://doi.org/10.1016/j.avb.2016.05.
002
Longman, T., Hawes, D. J., & Kohlhoff, J.
(2016). Callous.Unemotional Traits
as Markers for Conduct Problem
Severity in Early Childhood: A Meta-
analysis. Child Psychiatry and Human
Development, 47(2), 326.334.
Juliadilla & Noveni
| Psychosophia Vol. 3, No. 1 (2021)
Page 72 of 17
PSYCHOSOPHIA Journal of Psychology, Religion and Humanity
https://doi.org/10.1007/s10578-015-
0564-9
McDonald, S. E., Cody, A. M., Booth, L. J.,
�����ð1 �ï1 �ïð1 ��������1 ����ð1 �ïð1
Williams, J. H., & Ascione, F. R.
(2018). Animal Cruelty among
Children in Violent Households:
����������1 �¡����������1 ��1 �����1
Behavior. Journal of Family Violence,
33(7), 469.480.
https://doi.org/10.1007/s10896-018-
9970-7
McEwen, F. S., Moffitt, T. E., & Arseneault,
L. (2014). Is childhood cruelty to
animals a marker for physical
maltreatment in a prospective cohort
study of children? Child Abuse and
Neglect, 38(3), 533.543.
https://doi.org/10.1016/j.chiabu.2013.
10.016
Nunes, S. A. N., Faraco, A. M. X., Vieira,
M. L., & Rubin, K. H. (2013).
Externalizing and internalizing
problems: Contributions of
attachment and parental practices.
Psicologia: Reflexao e Critica, 26(3), 617.
625. https://doi.org/10.1590/S0102-
79722013000300022
Pradnyawati, D., & Ardjana, I. G. A. E.
(2015). Gangguan Tingkah Laku Pada
Anak. Jurnal Ilmiah Kedokteran, 46(2),
119.125.
Protopapadaki, V. (2016). Study on
education and information activities on
animal welfare. 1.190. Retrieved from
www.irta.es
Rodrigo, C., Rajapakse, S., & Jayananda,
G. (2010). ���1 �1����������1 �1������ß: an
insight in to biology , classification and
current evidence on treatment. (July).
https://doi.org/10.1186/1744-859X-9-
31
Samuels, W. E., Meers, L. L., & Normando,
S. (2018). Improving Upper
���������¢1 ���������1 �����1
Attitudes and Prosocial Behaviors
through an In-class Humane
Education Program. Anthrozoos, 29(4),
597.610.
https://doi.org/10.1080/08927936.2016
.1228751
Santrock, J. . (2011). Life-Span Development
Perkembangan Masa Hidup (13th ed.; I.
Sallama, Novietha, Ed.). Jakarta:
Erlangga.
Walters, G. D. (2017). Animal cruelty and
firesetting as behavioral markers of
fearlessness and disinhibition:
putting two-������1 ��1 �����������1
triad to work. Journal of Forensic
Psychiatry and Psychology, 28(1), 10.
23.
https://doi.org/10.1080/14789949.2016
.1244856
Wellson, S., & Gandha, M. V. (2015). Pusat
Edukasi Tentang Hewan Peliharaan.
Jurnal Kajian Teknologi, 11(1), 28.42.
Retrieved from
http://journal.untar.ac.id/index.php/t
eknologi/article/download/617/505
Wijana, E. P. ., & Anggreini, S. . (2020).
ABG si Pembunuh Bocah 6 Tahun
Suka Siksa Hewan, Benarkah Ciri
Psikopat?.