PROGRAM KELAS KARYAWAN Semester Genap – Tahun Akademik 2013/2014 Fakultas Ilmu Komunikasi –...
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
1 -
download
0
Transcript of PROGRAM KELAS KARYAWAN Semester Genap – Tahun Akademik 2013/2014 Fakultas Ilmu Komunikasi –...
PROGRAM KELAS KARYAWAN
Semester Genap – Tahun Akademik 2013/2014
Fakultas Ilmu Komunikasi – Marketing Communication & Advertising
M E T O D E K U A L I T A T I F
Dosen : Dr. Farid Hamid, S.Sos, M.Si
Pesan Dalam Tarian Kecak di BaliPenelitian Kualitatif
dengan Pendekatan Etnografi Skripsi
Penulis :
Octavia Riama 44311110063
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Komunikasi adalah “transmisi informasi, gagasan, emosi,
keterampilan, dengan menggunakan simbol-simbol, kata-kata,
gambar, figur, grafik, dan sebagainya. Tindakan atau proses
transmisi itulah yang biasanya disebut komunikasi”. (Berelson
dan Steiner, dalam Mulyana, 2002: 62). Sementara itu, pendapat
lain mengemukakan bahwa: Pesan merupakan seperangkat simbol
verbal atau nonverbal yang mewakili perasaan, nilai atau
gagasan. Pesan mempunyai tiga komponen, yaitu makna, simbol
yang digunakan untuk menyampaikan makna, dan bentuk organisasi
pesan. Simbol terpenting adalah kata-kata (bahasa), yang dapat
mempresentasikan objek (benda), gagasan, dan perasaan, baik
ucapan (percakapan, wawancara, diskusi, ceramah dan
sebagainya) ataupun tulisan (surat, esai, artikel, novel,
puisi, pamflet, dan sebagainya).
Kata-kata memungkinkan kita berbagi pikiran dengan orang lain.
Pesan juga dapat dirumuskan secara nonverbal, seperti melalui
tindakan atau isyarat anggota tubuh (acungan jempol, anggukan
kepala, senyuman, tatapan mata, dan sebagainya), juga melalui
musik, lukisan, patung, tarian. (Lasswell, dalam Mulyana,
2002: 63). Kita mempersepsi manusia tidak hanya lewat bahasa
verbalnya, bagaimana bahasanya (halus, kasar, intelektual, dan
sebagainya), namun juga melalui perilaku nonverbalnya.
Pentingnya pesan nonverbal ini, misalnya dilukiskan frase,
“bukan apa yang ia katakan, melainkan bagaimana ia
mengatakannya”.
Lewat perilaku nonverbalnya, kita dapat mengetahui suasana
emosional seseorang, apakah ia sedang bahagia, bingung, atau
sedih. Kesan awal kita pada seseorang sering didasarkan
perilaku nonverbalnya, yang mendorong untuk mengenalnya lebih
jauh. Secara sederhana, pesan nonverbal adalah semua isyarat
yang bukan kata-kata: Komunikasi nonverbal mencakup semua
rangsangan, (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting
komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan
lingkungan, mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau
penerima. Jadi, defenisi mencakup perilaku yang disengaja
ataupun tidak sebagai bagian dari peristiwa komunikasi secara
keseluruhan.
Kita mengirim banyak pesan nonverbal tanpa menyadari bahwa hal
tersebut bermakna bagi orang lain. (Samovar dan Porter, dalam
Mulyana, 2002: Beberapa subkultur tari dan musik menunjukkan
kekhasan perilaku nonverbal penari atau penyanyinya ketika
mereka sedang menari atau menyanyi. Bahasa tubuh penari yang
menarikan tari Bali sangat khas, sekhas bahasa tubuh penari
India ketika menarikan tari India. Bahasa tubuh penyanyi
dangdut banyak menggoyangkan pinggul. Sama halnya, dengan
pesan yang terkandung dalam tarian Kecak Bali, yakni dilihat
dari bahasa tubuhnya, mengisyaratkan bahwa tariannya memiliki
karakteristik yang gaib, tari Kecak diambil dari ritual tarian
sanghyang. Tari Kecak adalah Tarian Bali yang unik dan populer
bagi turis di pulau Dewata Bali .Tari dinyanyikan oleh para
penari tari kecak dianggap mirip dengan suara monyet, maka
turis mancanegara menyebut tari kecak Bali ini sebagai “Monkey
Dance”. Istilah nama kecak sendiri diduga berasal dari suara
tarian ini sendiri, yaitu kecak, kecak, cak, cak, cak,cak uhh.
Suara yang terdengar aneh tapi unik, harmonis irama bunyi ini
diucapkan sepanjang pertunjukan tari kecak Bali, dengan
diselingi ucapan dengan aksen tertentu dalam tarian kecak ini,
dimana ritme irama harmonis bunyi nyanyian para penari tari
kecak ini menimbulkan suasana magis. Pada Tari kecak, penari
kecak tidak menggunakan alat musik lain, tapi hanya
menggunakan kincringan yang berbunyi pada kaki para penari
kecak. Tari Kecak disebut juga sebagai tari "Cak" atau tari
api (Fire Dance) merupakan tari pertunjukan masal atau hiburan
dan cendrung sebagai sendratari yaitu seni drama dan tari
karena seluruhnya menggambarkan seni peran dari "Lakon
Pewayangan" seperti Rama Sinta dan tidak secara khusus
digunakan dalam ritual agama hindu seperti pemujaan, odalan
dan upacara lainnya.
Pada awalnya tari kecak merupakan suatu seni musik yang di
hasilkan dari perpaduan suara yang biasa mengiringi tarian
sahyang. Pada mulanya hanya dapat di pentaskan di pura, karena
Tarian Sahyang merupakan salah satu tarian sakral. Namun pada
tahun 1930an muncul seorang seniman bernama Wayan Limbak yang
bekerja sama dengan seorang pelukis dari Jerman yang bernama
Walter Spies yang mencoba mengembangkan tarian ini dengan
mengambil bagian dari cerita ramayana yang di dramatarikan
sebagai pengganti dari tarian sahyang dengan tujuan agar
tarian ini dapat dipentaskan di depan khalayak ramai. Bagian
cerita yang diambil dan di dramatarikan awalnya adalah ketika
Dewi Shinta di culik oleh Raja Rahwana. Tari kecak
di Bali mengalami terus mengalami perubahan dan perkembangan
sejak tahun 1970-an. Perkembangan yang bisa dilihat adalah
dari segi cerita dan pementasan. Dari segi cerita untuk
pementasan tidak hanya berpatokan pada satu bagian dari
Ramayana tapi juga bagian bagian cerita yang lain dari
Ramayana. Kemudian dari segi pementasan juga mulai mengalami
perkembangan tidak hanya ditemui di satu tempat seperti Desa
Bona,Gianyar namun juga desa-desa yang lain di Bali mulai
mengembangkan tari kecak sehingga di seluruh Bali terdapat
puluhan group kecak dimana anggotanya biasanya para anggota
banjar. Kegiatan kegiatan seperti festival tari Kecak juga
sering dilaksanakan di Bali baik oleh pemerintah atau pun oleh
sekolah seni yang ada di Bali. Serta dari jumlah penari
terbanyak yang pernah dipentaskan dalam tari kecak tercatat
pada tahun 1979 dimana melibatkan 500 orang penari. Pada saat
itu dipentaskan kecak dengan mengambil cerita dari
Mahabarata. Namun rekor ini dipecahkan oleh
Pemerintah Kabupaten Tabanan yang menyelenggarakan kecak
kolosal dengan 5000 penari pada tanggal 29 September 2006,
di Tanah.
Sebagai suatu pertunjukan tari kecak didukung oleh beberapa
factor yang sangat penting, Lebih lebih dalam pertunjukan
kecak ini menyajikan tarian sebagai pengantar cerita, tentu
musik sangat vital untuk mengiringi lenggak lenggok penari.
Namun dalam dalam Tari Kecak musik dihasilkan dari perpaduan
suara angota cak yang berjumlah sekitar 50 – 70 orang semuanya
akan membuat musik secara akapela, seorang akan bertindak
sebagai pemimpin yang memberika nada awal seorang lagi
bertindak sebagai penekan yang bertugas memberikan tekanan
nada tinggi atau rendah seorang bertindak sebagai penembang
solo, dan sorang lagi akan bertindak sebagai ki dalang yang
mengantarkan alur cerita. Penari dalam tari kecak dalam
gerakannya tidak mestinya mengikuti pakem pakem tari yang
diiringi oleh gamelan. Jadi dalam tari kecak ini gerak tubuh
penari lebih santai karena yang diutamakan adalah jalan cerita
dan perpaduan suara. Iring-iringan lagu atau musik yang
mengiringi tari Kecak selama berlangsung diambil dari ritual
tarian Sanghyang, yang tidak menggunakan alat musik. Akan
tetapi hanya menggunakan kincringan yang dikenakan pada kaki
penari yang memerankan tokoh-tokoh Ramayana.
Ciri khas tari kecak adalah harmonisasi suara dan gerak yang
ditampilkan puluhan penarinya dan semuanya itu dilakukan
bahkan tanpa adanya seseorang yang bertugas sebagai pemberi
komando. Tentu tidak mudah mengharmonisasikan suara dan gerak
sekian puluh orang untuk menjadi sebuah rangkaian tari
bernuansa magis tersebut. Inilah salah satu keunggulan Bali,
selain memiliki pesona keindahan alam yang menjadikannya
dinobatkan sebagai Pulau Dewata, Bali juga mampu mengolah dan
mengemas seni budayanya menjadi sebuah sajian atau atraksi
wisata yang menarik bagi wisatawan. Makna sebuah kesenian bisa
berubah sesuai dengan zamannya dan sesuai dengan orang yang
memaknainya. Pemaknaan itu juga akan sangat tergantung kepada
tujuan orang yang memberi makna itu. Demikian halnya dengan
Tarian Kecak. Maknanya berubah dari dahulu sebagai kepercayaan
gaib dan sekarang berubah menjadi seni dan panggung hiburan,
namun perubahan itu hanyalah menyangkut paham sesuai dengan
alam pikirannya masing-masing, sedangkan intinya sama.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan masalah sebagai
berikut: Bahwa pesan yang dikomunikasikan melalui tarian Kecak
Bali, ditujukan kepada manusia agar dapat bertingkah laku
setia, tidak tamak/serakah dan takwa kepada Tuhan. Pesan
tersebut bersifat nonverbal dan hanya dapat ditangkap dan
dimaknai melalui gerakan tari dan musiknya.
1.3. Identifikasi Masalah
Setelah melakukan penelitian awal, maka dapat diidentifikasi
beberapa masalah yang akan dijadikan dasar untuk mengetahui
lebih jauh mengenai pesan dalam tarian Kecak Bali sebagai
berikut:
1. Bagaimana tarian Kecak dimaknai sebagai suatu pesan yang
diungkapkan melalui gerak dan musik dalam konteks
kehidupan masyarakat Bali?
2. Bagaimana pesan moral itu disampaikan melalui tarian
Kecak?
1.4. Alasan Pemilihan Masalah
Masalah yang dipilih dalam penelitian ini, karena ketertarikan
penulis untuk mengupas lebih jauh mengenai pesan dalam tarian
Kecak. Selain itu, keunikan pesan dalam tarian Kecak merupakan
daya tarik bagi penulis untuk menelusuri lebih jauh lagi.
Pesan dalam tarian Kecak, ialah nonverbal, yakni
menginformasikan kepada manusia agar bertingkah laku setia,
tidak tamak/serakah dan takwa kepada Tuhan. Dengan kata lain,
tarian Kecak merupakan tokoh dalam cerita Rama yang memohon
kepada Dewata, yang diperankan oleh senimannya, kemudian
memberikan pesan moral di dalamnya.
1.5. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan menjelaskan hal-
hal sebagai berikut:
1. Makna pesan yang diungkapkan melalui gerak dan musik
dalam konteks kehidupan masyarakat Bali.
2. Pesan moral yang disampaikan melalui sosok Rama dalam
tarian Kecak.
1.6. Pembatasan Masalah dan Pengertian Istilah
Agar permasalahan yang diteliti tidak terlalu luas, maka
penulis membatasi masalah sesuai judul yang diketengahkan,
yakni permasalahan berkisar pada pesan dalam tarian Kecak
Bali. Pesan tersebut bersifat nonverbal, yang divisualisasikan
dalam bentuk tariannya dan mengandung nilai-nilai moral bagi
manusia untuk dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata
sehari-hari. Tarian Kecak menginformasikan kepada manusia agar
dapat berlaku sabar, bertingkah laku setia, tidak
tamak/serakah dan takwa kepada Tuhan. Pengertian istilah akan
dipaparkan sesuai judul yang diteliti penulis. Berikut adalah
pengertian istilah:
Pesan : Perintah, nasihat, permintaan, amanat yang harus
dilakukan atau disampaikan kepada orang lain.
Tari : Gerakan badan (tangan dan sebagainya) yang
berirama dan biasanya diiringi bunyi-bunyian (musik,
gamelan).
Kecak : Merupakan tari pertunjukan masal atau hiburan dan
cendrung sebagai sendratari yaitu seni drama dan tari
karena seluruhnya menggambarkan seni peran dari "Lakon
Pewayangan" seperti Rama Sita dan tidak secara khusus
digunakan dalam ritual agama hindu seperti pemujaan,
odalan dan upacara lainnya.
1.7. Kerangka Pikir
Sebagai pegangan dasar untuk mengetahui pesan yang disampaikan
dalam tarian Kecak, dan mengetahui hubungan teks dan
konteksnya, perlu disampaikan beberapa pandangan para ahli
mengenai komunikasi, semiotika, serta Kecak itu sendiri. Hal
ini penting mengingat pesan itu sendiri, khususnya dalam
Kecak, pada dasarnya adalah sesuatu yang dikomunikasikan lewat
tanda-tanda dan simbol-simbol.
Komunikasi ialah “ketika suatu sumber menyampaikan suatu
proses kepada penerima dengan niat yang disadari untuk
mempengaruhi perilaku penerima”. (Miller, 2002:62). Sementara
itu, pesan agar membangkitkan tanggapan yang kita kehendaki,
ialah: Pertama pesan harus dirancang dan disampaikan
sedemikian rupa, sehingga dapat menarik perhatian komunikan.
Kedua, pesan harus menggunakan lambang-lambang tertuju kepada
pengalaman yang sama antara komunikator dan komunikan,
sehingga secara bersamaan dimengerti. Ketiga, pesan harus
membangkitkan kebutuhan pribadi komunikan dan menyarankan
beberapa cara untuk memperoleh kebutuhan tersebut. Keempat,
pesan harus menyarankan suatu jalan untuk memperoleh kebutuhan
tadi yang layak bagi situasi kelompok dan komunikan berada
pada saat ia digerakkan untuk memberikan tanggapan yang
dikehendaki. (Scrhamm, 2003: 41-42). Adapun fungsi komunikasi
menurut Lasswell adalah sebagai berikut:
a. The surveillance of the environment (pengamatan
lingkungan)
b. The correlation of the parts of society in responding to
the environment (korelasi kelompok-kelompok dalam
masyarakat ketika menanggapi lingkungan)
c. The transmission of the social heritage from one
generations to the next (transmisi warisan sosial dari
generasi yang satu ke generasi yang lain) (2003:253254).
Sementara itu, komunikasi terdiri dari verbal dan nonverbal,
seperti yang dijelaskan sebagai berikut: Istilah nonverbal
biasanya digunakan untuk melukiskan semua peristiwa komunikasi
di luar kata-kata terucap dan tertulis. Pada saat yang sama
kita harus menyadari bahwa banyak peristiwa dan perilaku
nonverbal ini ditafsirkan melalui simbol-simbol verbal. Dalam
pengertian ini, peristiwa dan perilaku nonverbal itu tidak
sungguh-sungguh bersifat nonverbal. Ray L. Birdwhistell
mengemukakan 65 % dari komunikasi tatap muka adalah nonverbal,
sementara menurut Albert Mehrabian, 93 % dari semua makna
sosial dalam komunikasi tatap muka diperoleh dari isyarat-
isyarat noverbal.(Knapp, 2002: 312).
Setiap orang, dalam arti tertentu, membutuhkan sarana atau
media untuk berkomunikasi. Media ini terutama ada dalam
bentuk-bentuk simbolis sebagai pembawa maupun pelaksana makna
atau pesan yang akan dikomunikasikan. Makna atau pesan sesuai
dengan maksud pihak komunikator ditangkap oleh pihak lain.
Hanya, perlu diingat bahwa simbol-simbol komunikasi tersebut
adalah konstektual dalam suatu masyarakat dan kebudayaannya.
Memang ada sekian banyak definisi kebudayaan. Dari kemungkinan
lebih seratus macam definisi tentang kebudayaan, yang diajukan
ilmuwan Amerika “spesialis” Jawa, Clifford Geertz, barangkali
lebih relevan dalam kaitan dengan simbol-simbol komunikasi.
Dikatakan lebih lanjut mengenai simbol-simbol komunikasi
sebagai berikut : Kebudayaan adalah sebuah pola dari makna-
makna yang tertuang dalam simbol-simbol yang diwariskan
melalui sejarah.
Kebudayaan adalah sebuah sistem dari konsep-konsep yang
diwariskan dan diungkapkan dalam bentuk-bentuk simbolik
melalui manusia berkomunikasi, mengekalkan dan
memperkembangkan pengetahuan tentang kehidupan ini dan
bersikap terhadap kehidupan. (Geertz, dalam Susanto, 1992:57).
Titik sentral rumusan kebudayaan Geertz terletak pada simbol,
yakni manusia berkomunikasi lewat simbol. Di satu sisi, simbol
terbentuk melalui dinamisasi interaksi sosial, merupakan
realitas empiris, yang kemudian diwariskan secara historis,
bermuatan nilai-nilai. Di sisi lain simbol merupakan acuan
wawasan, memberi “petunjuk” warga budaya tertentu menjalani
hidup, media sekaligus pesan komunikasi dan representasi
realitas sosial.
Pesan komunikasi dinyatakan dengan tanda-tanda. Tanda-tanda
tersebut terdapat dalam semiotika, yakni ilmu atau metode
analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat
yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia
ini, di tengah-tengah manusia. Semiotika, atau dalam istilah
Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana
kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai
dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan
mengkomunikasikan (to communicate). “Memaknai berarti bahwa
objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal objek
objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi
sistem terstruktur dari tanda”. (Barthes, 1988:179: Kurniawan,
2001:53).
Salah satu kebutuhan pokok manusia adalah “kebutuhan
simbolisasi atau penggunaan lambang. Manusia memang satu-
satunya hewan yang menggunakan lambang, dan itulah yang
membedakan manusia dengan makhluk lainnya”. (Langer, 2002: 83-
84). “Keunggulan manusia atas makhluk lainnya adalah
keistemewaan mereka sebagai animal symbolicum ”. (Cassier,
2002:84). Lambang atau simbol adalah sesuatu yang digunakan
menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan sekelompok
orang. Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku
nonverbal, dan objek maknanya disepakati bersama, misalnya
memasang bendera di halaman rumah untuk menyatakan
penghormatan dan kecintaan kepada negara.
Lebih lanjut lagi dijelaskan mengenai simbol sebagai berikut:
Bahwa simbol tidak mewakili objeknya, tetapi wahana bagi
konsep tentang objek. Dalam bicara mengenai sesuatu, kita
bicara tentang konsep mengenai sesuatu itu, dan bukan sesuatu
itu sendiri; dan semuanya ini tentang konsep, bukan sesuatu
itu, simbol-simbol harus diartikan. Bilamana sebuah simbol
diungkapkan, maka muncullah makna. Lebih jauh lagi Langer
membedakan antara simbol diskursif dan presentatif.
Simbol diskursif digunakan dalam bahasa tulis dan lisan untuk
keperluan komunikasi dengan pihak lain. Jadi, simbol ini lebih
berupa penjelasan tentang sesuatu. Sedangkan simbol
presentasi, misalnya gambar, merupakan bahasa presentasi suatu
makna yang tak terkatakan dalam simbol diskursif. (Langer,
2006: 43). Jadi, simbol ini bersifat penggambaran. Tetapi,
simbol seni, menurut Langer, melampaui kedua jenis simbol di
atas. Simbol seni merupakan wilayah ketiga simbol. Seni adalah
fenomena sensoris yang mengandung makna implisit, misalnya
dalam ritus dan mitos, namun lebih bersifat besar dan umum.
Pelaksanaan upacara ataupun kesenian merupakan suatu simbol:
Simbol yang terdapat pada hal yang bersifat relegius merupakan
symbol konstitutif, di mana berbagai kelompok masyarakat
secara bersama melak- saksanakan kegiatan yang bersifat
relegius. Simbol konstitutif bentuk kongkritnya adalah berupa
kepercayaan dan dasar inti prilaku keagamaan, atau agama
dilihat sebagai sistem simbol dapat menghubungkan manusia
dengan beberapa pengalaman yang bersifat transendental,
merepresentasikan hakikat hal yang bersifat suci atau kudus
berisi kebaikan, kebenaran dan kekuatan. (Hadi, 1999:54).
Sedangkan pendapat lainnya memandang, bahwa simbol bukanlah
tanda semata. Tanda dan simbol adalah dua hal yang
pengertiannya dipisahkan. Simbol bila diartikan secara tepat,
tidak dapat dijabarkan menjadi tanda semata-mata. Tanda dan
simbol masing-masing terletak pada dua bidang pembahasan yang
berlainan: tanda adalah bagian dari dunia fisik; symbol adalah
bagian dari dunia-makna manusiawi. Tanda adalah “operator”,
simbol adalah “designator”. Tanda, bahkan pun bila dipahami
dan dipergunakan seperti itu, bagaimanapun merupakan sesuatu
yang fisik dan substansial; simbol hanya memiliki nilai
fungsional. (Cassier, 1987:48).
Sebagai simbol, kegiatan upacara mempunyai hubungan dua arah,
yakni hubungan yang bersifat horizontal dan vertikal, yang
dinyatakan seperti di bawah ini:
Perbuatan manusia selalu berdimensi dua (dwimatra). Satu
dimensi khusus dari perbuatan konkret satu dimensi yang
memprabayangkan latar belakang kekal. Dengan itu, setiap
perbuatan khusus bersifat simbolis; melambangkan kenyataan
yang mengatasinya. Nilai immanen mengarah ke nilai transenden.
Tanda lambang bukanlah sesuatu yang timbul di luar
perbuatan manusia. (Subagya, 1981:115).
Telah berabad-abad yang lampau, seni tari, baik yang
mengenakan alat ataupun tidak, dipergunakan mengiringi
upacara-upacara dari semua aspek penting kehidupan, dan tidak
kurang juga kematian. Alasan-alasan kuno yang dikemukakan oleh
Holt amat penting dipaparkan di sini, karena penjelasannya
berkaitan erat dengan tari upacara ( ritual dance ). Ia
menjelaskan bahwa Tari adalah satu benang-benang kesinambungan
yang paling kokoh pada kebudayaan Indonesia. Dengan aman kita
bisa menduga bahwa penduduk kepulauan Indonesia, seperti pada
kemanusiaan yang lain, selalu menari bila menemukan rahasia
gerak ritmis yang mencuat dari rangsangan, apakah dari
keinginan, ketakutan atau kegembiraan. ‘Magi’ yang melekat
pada tari adalah pembangkitannya akan vitalitas pada penari
dan penonton keduanya. Dilahirkan dari kesuburan serta
dilengkapi oleh keterampilan, tari dari masa yang teringatkan
telah memperkokoh kehidupan perseorangan serta masyarakat,
terutama aspek-aspek religiusnya. Di dunia yang belum beradab,
tari adalah sebuah jampi-jampi pembebasan seperti nyanyian dan
doa-doa. Selagi hidup ditegaskan kembali dengan kekuatan
tertentu diambang kematian, dan karena menghidupkan terus
kehidupan berarti kesuburan tak dapat dipisahkan dari ritus-
ritus kematian kuna, seperti halnya kebangkitan kembali dari
kematian dalam kepercayaan Kristiani. (Holt, 2000:124).
Beberapa pendapat tentang konteks pertunjukan tarian Kecak
dalam kehidupan masyarakat, baik pada masa lampau maupun pada
masa kini, dikemukakan oleh beberapa tokoh pemerhati tarian
Kecak, seperti di bawah ini:
Bahwa pertunjukan tarian Kecak berdasarkan m penampilannya
menurut tradisi ada empat fungsi, yaitu :
1. Tari sebagai upacara : fungsi tari sebagai sarana upacara
merupakan bagian dari tradisi yang ada dalam suatu
kehidupan masyarakat yang sifatnya turun temurun dari
generasi ke generasi berikutnya sampai masa kini yang
berfungsi sebagai ritual.
2. Tari sebagai sarana hiburan : salah satu bentuk
penciptaan tari ditujukan hanya untuk di tonton. Tari ini
memiliki tujuan hiburan pribadi lebih mementingkan
kenikmatan dalam menarikan
3. Tari sebagai sarana pertunjukkan : tari pertunjukkan
adalah bentuk momunikasi sehingga ada penyampai pesan dan
penerima pesan. Tari ini lebih mementingkan bentuk
estetika dari pada tujuannya. Tarian ini lebih digarap
sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat
4. Tari sebagai sarana pendidikan : tari yang digunakan
untuk sarana pendidikan dengan mengajarkan di sekolah –
sekolah formal.
1.8. Metode dan Teknik Penelitian
Berikut ini akan dipaparkan secara singkat pengertian atau
makna dari pendekatan kualitatif dan metode etnografi.
1.8.1. Penelitian Kualitatif
Penelitian kualitatif adalah: Penelitian yang bersifat empiris
(dapat diamati dengan pancaindera sesuai dengan kenyataan),
hanya saja pengamatan atas data bukanlah berdasarkan ukuran-
ukuran matematis yang terlebih dulu ditetapkan peneliti dan
harus dapat disepakati (direplikasi) oleh pengamatan lain,
melainkan berdasarkan ungkapan subjek penelitian, sebagaimana
yang dikehendaki dan dimaknai oleh subjek penelitian.
Pendekatan kualitatif menggunakan konsep kealamiahan
(kecermatan, kelengkapan, atau orisinalitas) data dan apa yang
sebenarnya terjadi di lapangan.
Pendekatan kualitatif terutama layak untuk menelaah sikap atau
perilaku dalam lingkungan yang agak artifisial, seperti dalam
survei atau eksperimen. Peneliti kualitatif lebih menekankan
proses dan makna ketimbang kuantitas, frekuensi atau
intensitas (yang secara matematis dapat diukur), meskipun
peneliti tidak mengharamkan statistik deskriptif dalam bentuk
distribusi frekuensi atau presentase untuk melengkapi analisis
datanya. (Mulyana, 2007:11).
1.8.2. Metode Etnografi
Etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan
termasuk di dalamnya kesenian. Menurut Spradley metode ini
ialah sebagai berikut:
Tujuan utama aktifitas ini adalah untuk memahami suatu
pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli, sebagaimana
dikemukakan oleh Bronislaw Malinowski, bahwa tujuan etnografi
adalah “memahami sudut pandang penduduk asli, hubungannya
dengan kehidupan, untuk mendapatkan pandangannya mengenai
dunianya”. Oleh karena itu, penelitian etnografi melibatkan
aktifitas belajar mengenai dunia orang yang telah belajar,
melihat, mendengar, berbicara, berpikir, dan bertindak dengan
cara yang berbeda. Jadi, etnografi tidak hanya mempelajari
masyarakat, tetapi lebih dari itu. Etnografi belajar dari
masyarakat. (Spradley, 2007: 4). Sementara itu, Spradley
mengemukakan langkah-langkah yang ditempuh dalam penelitian
etnografi meliputi hal-hal sebagai berikut:
Langkah I, yakni menetapkan informan, tujuannya:
1. Untuk mengidentifikasi beberapa karakteristik dan
informan yang baik.
2. Untuk menemukan informan yang sebaik mungkin dalam
mempelajari keterampilan wawancara dan melakukan
penelitian etnografi.
Langkah II, yakni mewawancarai informan, tujuannya:
1. Untuk mengidentifikasi unsur-unsur dasar dalam wawancara
etnografis.
2. Untuk memformulasikan dan menggunakan beberapa macam
penjelasan etnografis.
3. Untuk melakukan wawancara praktis.
Langkah III, yakni membuat catatan etnografis, tujuannya:
1. Untuk memahami sifat dasar catatan etnografis.
2. Untuk menyusun buku catatan penelitian lapangan.
3. Untuk melakukan kontak dengan seorang informan dan
melakukan wawancara pertama.
Langkah IV, yakni mengajukan pertanyaan deskriptif, tujuannya:
1. Untuk melaksanakan etnografis pertama.
2. Untuk memahami proses perkembangan hubungan dengan
informan.
3. Untuk mengumpulkan sampel dari percakapan informan dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan deskriptif.
Langkah V, yakni melakukan analisis wawancara etnografis,
tujuannya:
1. Untuk memahami sifat dasar analisis etnografis.
2. Untuk mempelajari bagaimana tercita dengan simbol-simbol
budaya.
3. Untuk memulai suatu analisis domain dengan melakukan
pencarian suatu domain pendahuluan.
Langkah VI, yakni membuat analisis domain, tujuannya:
1. Untuk memahami sifat dasar hubungan semantik serta peran
hubungan itu dalam pembuatan suatu analisis domain.
2. Untuk mengidentifikasi langkah-langkah dalam menjalankan
analisis domain.
3. Untuk melakukan analisis domain sistematis terhadap semua
data yang terkumpul sekarang.
4. Untuk memasukkan satu atau dua pertanyaan struktural ke
dalam wawancara etnografis.
Langkah VII, yakni mengajukan pertanyaan struktural,
tujuannya:
1. Untuk mengidentifikasi berbagai jenis pertanyaan
struktural.
2. Untuk mempelajari menggunakan pertanyaan struktural dalam
etnografi.
3. Untuk menguji domain-domain yang telah dihipotesiskan dan
menemukan istilah-istilah tercakup yang lain untuk
domain-domain itu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan
struktural.
Langkah VIII, yakni membuat analisis taksonomik, tujuannya:
1. Untuk memilih suatu fokus yang bersifat sementara untuk
membuat analisis mendalam.
2. Untuk memahami berbagai taksonomi rakyat dan bagaimana
taksonomi itu mengorganisir domain.
3. Untuk mempelajari bagaimana membuat analisis taksonomik.
4. Untuk membangun suatu taksonomi rakyat untuk satu domain
atau lebih dengan mengikuti langkah-langkah dalam
mengerjakan analisis taksonomik.
Langkah IX, yakni mengajukan pertanyaan kontras, tujuannya:
1. Untuk memahami prinsip-prinsip penemuan utama dalam studi
makna budaya.
2. Untuk mempelajari cara-cara untuk menemukan berbagai
kontras atau perbedaan diantara berbagai simbol budaya.
3. Untuk memformulasikan dan menggunakan berbagai pertanyaan
kontras.
Langkah X, yakni membuat analisis komponen, tujuannya:
1. Untuk memahami peran analisis komponen dalam studi sistem
makna budaya.
2. Untuk mengidentifikasi langkah-langkah dalam membuat
analisis komponen.
3. Untuk melakukan analisis komponen yang sistematik pada
satu rangkaian kontras atau lebih.
4. Untuk menggunakan pertanyaan kontras untuk membuktikan
dan melengkapi analisis komponen.
Langkah XI, yakni menemukan tema-tema budaya, tujuannya:
1. Untuk memahami sifat dasar tema-tema dalam sistem makna
budaya.
2. Untuk mengidentifikasi beberapa strategi membuat suatu
analisis tema
3. Untuk melaksanakan suatu analisis tema pada suasana
budaya yang sedang dipelajari.
Langkah XII, yakni menulis suatu etnografi, tujuannya:
1. Untuk memahami sifat dasar penulisan etnografis sebagai
bagian dari proses penerjemahan.
2. Untuk mengidentifikasi tahap-tahap yang berbeda dalam
penulisan etnografi.
3. Untuk mengidentifikasi langkah-langkah dalam melaksanakan
suatu etnografi.
4. Untuk menulis suatu etnografi. (Spradley, 2007:65-70).
1.8.3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan ialah:
1. Langkah pertama yang dilakukan, dengan mengumpulkan
berbagai sumber tertulis berupa buku, jurnal ilmiah, dokumen
pribadi, dokumen resmi, makalah dan sebagainya. Langkah ini
penting, mengingat banyaknya tulisan- tulisan yang mengandung
sudut pandang berbeda.
2. Langkah kedua, yakni pengamatan atau observasi. Artinya,
penulis melakukan pengamatan secara langsung terhadap
pertunjukan tarian Kecak. Selain itu, pengamatan juga
dilakukan melalui rekaman audio visual.
3. Langkah ketiga, ialah dengan melakukan wawancara.
Wawancara, seperti yang ditegaskan antara lain,
“mengkonstruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan,
organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian dan lain-
lain kebulatan, memverifikasi, mengubah dan memperluas
informasi yang diperoleh dari orang lain.” (Guba, dalam
Moleong, 1991:135).
Wawancara dilakukan dengan para tokoh tari.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Tari Kecak menggambarkan bahwa tari ini dijadikan
sebagai sarana untuk melatih kejiwaan seseorang, sehingga
menimbulkan kebersihan dalam bathin maupun fisik. Hal
tersebut, mengingatkan kita kepada orang-orang Budha yang
selalu bertapa atau bermeditasi di tempat-tempat yang jauh
dari keramaian. Misalnya, di gua-gua, orang Budha melakukan
hal tersebut sebagai sifat bawaan atau budaya yang
diciptakan secara turun temurun, dan aktifitas itu hingga
kini masih tetap ada. Bermeditasi seperti yang orang Budha
lakukan, pada dasarnya melatih kesabaran, pemusatan pikiran
atau konsentrasi terhadap suatu hal, berperang melawan hawa
nafsu, dan sebagainya. Hal tersebut, dimaknai sama oleh tari
topeng Panji yang melambangkan kehalusan dan kelemah
lembutan geraknya.
3. Pada penelitian terdahulu dengan judul skripsi : “(Makna
Simbol-Simbol Tarian Topeng Tumenggung Cirebon)”. Dengan
menggunakan pendekatan etnografi yang ditulis oleh Oon
Sujono (Program Studi Hubungan Masyarakat, 2010. Fikom
Unpad) menganilisis tentang Symbol dalam karakter Tari
Topeng Tumenggung Cirebon yang menggambarkan seorang
ponggawa (prajurit dengan kedudukan tinggi) kerajaan yang
siap siaga untuk melaksanakan tugas, Symbol dalam
koreografi Tari Topeng Tumenggung Cirebon ini yaitu
menggambarkan seorang manusia yang memiliki kedewasaan
yang diperlihatkan dengan gerakan-gerakan tari topeng
tumenggung daan Symbol kedok Tumenggung Cirebon
menggambarkan seorang sikap kedewasaan manusia yang
beribawa dan bertanggung jawab.
Pada penelitian penulis mengenai “Makna Simbol-simbol Tarian
Topeng Tumenggung Cirebon: yang menggunakan pendekatan
etnografi menjelaskan mengenai tanda-tanda fisik yang mengacu
pada objek penelitian yang ada dalam Tarian Topeng Tumenggung
Cirebon seperti karakteristik, busana gerakan tari, serta
atribut lainnya yang secara rinci.
Berbeda dengan fokus penelitian yang penulis
kerjakan, topeng Panji sebagai tari
meditasi, selalu mengarahkan pandangannya kepada hal yang
bernuansa olah jiwa atau kesehatan jiwa. Hal tersebut, persis
dengan yoga yang dianggap sebagai bagian dari kegiatan
olahraga, selain dari meditasi ala Budha. Yoga pun
menghilangkan gerakan atau aktifitasnya yang bersifat agresif.
Sementara itu, penulis meneliti topeng Panji dari aspek
pesannya, yakni bersifat nonverbal dan mengandung moral di
dalamnya. Bersifat nonverbal, karena dikomunikasikan tanpa
kata kata, yang ada ialah berupa gerakan-gerakan, warna dan
sifat-sifat topeng Panji sebagai bentuk karakteristiknya,
2.2. Matriks Penelitian
Judul Tujuan Hasil Perbeda
an
Persa
maan
Kritik
“Pertunjukan Tari Topeng Cirebon (Studi Kasus Tentang Upacara Mapag Sri di Desa Pangkalan Kecamatan weru Kabupaten Cirebon”. Yang ditulis oleh YoyohSiti Mariah (Program Studi Hubungan MasyarakatFikom Unpad 2008
Untuk mengetahui latar belakang, pelaksanaandan mitos pertunjukanTari TopengCirebon pada Upacara “mapag sri di desa Pangkalan
Latar belakang pertunjukan Tari Topeng Cirebon pada upacara “Mapag sri” merupakan ritual tahunan yang dilaksanakan setiap akan tiba musim menanam padi di desa pangkalan yang mengandungmitos bahwa dengan melaksanakan ritual
1). Metode Penelitian.2). Pembahasan Masalah.3). Judul Penelitian.1). Metode Penelitian.2). Pembahasan Masalah.3). Judul Penelitian.
1). Tema penelitian.2). Konsep penelitian.
1). Tema penelitian.2). Konsep penelitian.
Pada penelitian ini menitikberatkan pada Upacara Mapag sri, meskipun didalam ritual tersebut terdapat pertunjukkan Tari Topeng Cirebon yang merupakan tema dari penelitian ini. Oleh karena itu pembahasannya pun lebih cenderung mengupas masalah “mapag
upacara “Mapag Sriakan mendapat berkah dari arwahleluhur dan nenek moyang untuk kemajuan
sri”.
“Reprentasi Fase Kehidupan Manusia dalam TariTopeng Cirebon” yang ditulis oleh Tjahya Murni (Program studi Manajemen Komunikasi, 2008. Fikom Unpad).
Untuk mengetahui makna denotative dan konotatif dan mitos mengenai Representasi KehidupanManusia dalam Tarian Topeng Tumenggung Cirebon
Representasi pada tari topeng Cirebon tersebut merupakan fase kehidupan manusia dari awal hingga kehidupan akhir manusia. Pemunculanideology yang membentuk mitos bahwa kehidupan manusia adalah sebuah proses perjalananyang penuhwarna
1). Metode Penelitian.2). Pembahasan Masalah.3). Judul Penelitian.
1). Tema penelitian.2). Konsep penelitian.
Pada penelitian ini dalam pembahasannya meskipunmengupas masalah Tari TopengCirebon, namun kurang dapat dipahami khususnya bagi pembaca karena penjelasan dalam tiap bagian tariTopeng Cirebon kurang lengkap danterperinci.
“(Makna Simbol-
Untuk mengetahui
Sebagai hasil
Pada penelitian
Simbol Tarian Topeng TumenggungCirebon)”.Dengan menggunakan pendekatanetnografi yang ditulis oleh Oon Sujono (Program Studi Hubungan Masyarakat, 2010. Fikom Unpad
tanda yang digunakan dalam tarian topeng tumenggung Cirebon danuntuk mengetahui makna apa yang terkandung dalam tarian topeng tumenggung Cirebon.
kebudayaan, tari topeng meliputi aspek kehidupan manusia seperti kepribadian, kebijaksanaan, kepemimpinan, cinta bahkan angkara murka serta menggambarkan perjalananhidup manusia sejak dilahirkanhingga menginjak dewasa
ini mengupas mengenai symbol-simbol Tarian Topeng Tumenggung Cirebon, akan tetapipembahasannya kurang non fiksi.
2.3. Pesan dan Semiotika
2.3.1. Pengertian Pesan
Pesan merupakan bagian dari komunikasi. Jika komunikasi
merupakan proses penyampaian informasi, baik verbal maupun
nonverbal yang dilakukan oleh komunikator terhadap
komunikannya dan dimaknai secara bersama (melalui pengertian
antara keduanya), maka pesan adalah kata-kata atau seperangkat
simbol yang disampaikan untuk tujuan tertentu. “Pesan adalah
perintah, nasihat, permintaan, amanat yang harus dilakukan
atau disampaikan kepada orang lain.” (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 1989:677).
Menjelaskan tentang pesan, kita tidak dapat lepas dari
komunikasi. Sebagaimana yang telah dikemukakan dalam
penjelasan di atas, pesan merupakan bagian dari komunikasi,
yang berupa kata-kata, nasihat dan sebagainya. Oleh karena
itu, sebelum komunikasi terjadi dan didalamnya terdapat pesan
verbal atau nonverbal yang ingin disampaikan kepada pihak
lain, maka pernyataan lain perlulah disampaikan, karena
terdapat unsur-unsur interaksi sesama manusia: Cara yang baik
untuk menggambarkan komunikasi adalah dengan menjawab
pertanyaan-pertanyaan
who says what in which channel to whom with what effect atau
siapa mengatakan apa dengan saluran apa kepada siapa dengan
pengaruh bagaimana?.
Berdasarkan definisi Lasswell ini dapat diturunkan lima unsur
komunikasi yang saling bergantung satu sama lain, yaitu:
pertama, sumber (source), sering disebut juga pengirim
(sender), penyandi (encoder),komunikator (communicator),
pembicara (speaker) atau originator
Sumber adalah pihak yang berinisiatif atau mempunyai kebutuhan
untuk berkomunikasi. Sumber boleh jadi seorang individu,
kelompok, organisasi, perusahaan atau bahkan suatu negara.
Kebutuhannya bervariasi, mulai dari sekadar mengucapkan
“selamat pagi” untuk memelihara hubungan yang sudah dibangun,
menyampaikan informasi, menghibur, hingga kebutuhan untuk
mengubah ideologi, keyakinan agama dan perilaku pihak lain.
Untuk menyampaikan apa yang ada dalam hatinya (perasaan) atau
pikiran, sumber harus mengubah perasaan atau pikiran tersebut
ke dalam seperangkat simbol verbal dan/atau nonverbal yang
idealnya dipahami oleh penerima pesan. Proses inilah yang
disebut penyandian (encoding).
Pengalaman masa lalu, rujukan nilai, pengetahuan, persepsi,
pola pikir, dan perasaan sumber mempengaruhinya dalam
merumuskan pesan tersebut. Setiap orang dapat saja merasa
bahwa ia mencintai seseorang, namun komunikasi tidak terjadi
hingga orang yang Anda cintai itu menafsirkan rasa cinta
berdasarkan perilaku verbal dan/atau nonverbal.
Kedua, pesan, yaitu apa yang dikomunikasikan oleh sumber
kepada penerima.
Pesan merupakan seperangkat simbol verbal atau nonverbal yang
mewakili perasaan, nilai, gagasan atau maksud sumber tadi.
Pesan mempunyai tiga komponen: makna, simbol yang digunakan
untuk menyampaikan arti, dan bentuk atau organisasi pesan.
Simbol terpenting adalah kata-kata (bahasa), yang dapat
merepresentasikan objek (benda), gagasan, dan perasaan, baik
ucapan (percakapan, wawancara, diskusi, ceramah, dan
sebagainya) ataupun tulisan (surat, esai, artikel, novel,
puisi, pamplet, dan sebagainya). Kata-kata memungkinkan kita
berbagi pikiran dengan orang lain. Pesan juga dapat dirumuskan
secara nonverbal, seperti melalui tindakan atau isyarat
anggota tubuh (acungan jempol, anggukan kepala, senyuman,
tatapan mata, dan sebagainya), juga melalui musik, lukisan,
patung, tarian, dan sebagainya.
Ketiga, saluran atau media, yakni alat atau wahana yang
digunakan sumber untuk menyampaikan pesannya kepada
penerima...
Keempat , penerima (receiver), sering juga disebut sasaran
tujuan (destination), komunikate (communicate), penyandi balik
(decoder) atau khalayak (audience), pendengar (listener),
penafsir (interpreter), yakni orang yang menerima pesan dari
sumber. Berdasarkan pengalaman masa lalu, rujukan nilai,
pengetahuan, persepsi, pola pikir dan perasaan, penerima pesan
ini menerjemahkan atau menafsirkan seperangkat symbol verbal
dan nonverbal yang ia terima menjadi gagasan yang dapat
dipahami. Proses ini disebut penyandian balik ( decoding).
Kelima , efek, yaitu apa yang terjadi pada penerima setelah ia
menerima pesan tersebut, misalnya penambahan pengetahuan (dari
tidak tahu menjadi paham), terhibur, perubahan sikap (dari
tidak setuju menjadi setuju), perubahan keyakinan, dan
sebagainya. (Lasswell, dalam Mulyana, 2002:62-65).
Jika Laswell menjelaskan lima unsur komunikasi yang saling
bergantung satu sama lain, di antaranya, sumber, pesan,
saluran atau media, penerima, dan efek, maka pernyataan lain
mengemukakan suatu pesan yang efektif agar dapat ditanggapi
oleh komunikannya atau dengan istilah the condition of success
in communication , yang mengatakan bahwa:
Pertama, pesan harus dirancang dan disampaikan sedemikian
rupa, sehingga dapat menarik perhatian komunikan.
Kedua,pesan harus menggunakan lambang-lambang tertuju kepada
pengalaman yang sama antara komunikator dan komunikan,
sehingga sama-sama mengerti.
Ketiga, pesan harus membangkitkan kebutuhan pribadi komunikan
dan menyarankan beberapa cara untuk memperoleh kebutuhan
tersebut.
Keempat, pesan harus menyarankan suatu jalan untuk memperoleh
kebutuhan tadi yang layak bagi situasi kelompok, tentunya
komunikan berada pada saat ia digerakkan untuk memberikan
tanggapan yang dikehendaki. (Scrhamm, dalam Effendy, 2003:41-
42).
2.3.2. Pesan Sebagai Bentuk Semiotika
Semiotika dalam pembahasan ini digunakan sebagai alat bedah
untuk memudahkan peneliti mengupas teori-teori yang
diperlukan. “Tanda-tanda ( signs) adalah basis dari seluruh
komunikasi”. (Littlejohn, 1996:64). “Manusia dengan
perantaraan tanda-tanda, dapat melakukan komunikasi dengan
sesamanya. Banyak hal yang bisa dikomunikasikan di dunia ini.
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk
mengkaji tanda”. (Sobur, 2003:15). Sementara itu, menurut
pendapat lainnya, semiotika adalah:
Kata semiotika berasal dari kata Yunani
Semeion , yang berarti tanda. Maka, semiotika berarti ilmu
tanda. Semiotika adalah cabang ilmu yang berurusan dengan
pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi
penggunaan tanda. Ahli Stoa (Zeno) dan ahli-ahli skolastik
abad pertengahan (Augustinus, William van Ockham, Duns Scotus)
telah menekuni masalah-masalah yang berhubungan dengan
penggunaan tanda. (Zoest, 1993:1).
Semiotika berurusan dengan tanda seperti dikatakan bahwa
semiotika adalah “teori tentang tanda dan penandaan”. (Lechte,
2001:191). Lebih jelasnya lagi, “semiotika adalah suatu
disiplin yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi
dengan sarana signs ‘tanda-tanda’ dan berdasarkan pada sign
system (code) ‘sistem tanda’.” (Segers, 2004:4). Tanda sebagai
“suatu keterhubungan antara wahana ekspresi (expression plan)
dan isi (content plan)”. (Hjelmslev, dalam Christomy, 2001:7).
Pendapat lain menyebutnya sebagai “disicipline is simply the
analysis of signs or the study of the functioning of sign
systems” (ilmu analisis tanda atau studi tentang bagaimana
sistem penandaan berfungsi).”
(Cobley dan Jansz, 1999:4). Tanda selalu mempunyai tiga wajah,
yaitu, “tanda itu sendiri, aspek material (entah berupa suara,
huruf, bentuk, gambar, gerak) dari tanda yang berfungsi
menandakan atau yang dihasilkan oleh aspek material
( signifier), dan aspek mental atau konseptual yang ditunjuk
oleh aspek material (signified)”.
(Saussure, dalam Sunardi, 2004:41). Tanda yang ditimbulkan
oleh manusia dapat dibedakan atas yang bersifat verbal dan
nonverbal
”. (Petada, 2001:48). Tanda bersifat verbal adalah yang
digunakan sebagai alat komunikasi yang dihasilkan oleh alat
bicara, sedangkan nonverbal dapat berupa, tanda yang
menggunakan anggota badan atau bukan kata-kata. Selanjutnya,
dalam hal pengaplikasian semiotika pada tanda nonverbal, yang
terutama penting diperhatikan adalah pemahaman tentang bidang
nonverbal. Bidang nonverbal adalah suatu wilayah yang
menekankan pentingnya fenomena yang bersifat empiris, faktual,
atau konkret, tanpa ujaran-ujaran bahasa. Ini berarti, bidang
nonverbal berkaitan dengan benda konkret, nyata dan dapat
dibuktikan melalui indera manusia. (Budianto, 2001:15). Dalam
kategori semiotika, budaya sering diartikan sebagai komunikasi
atau signifikasi. Budaya pada intinya adalah system of
signification . Jika tujuan kajian semiotika adalah mencari
berfungsinya sistem tersebut, hal itu dilakukan karena
dinamika budaya dapat diamati. Dalam sistem tersebut, kita
melihat kemungkinan anggota-anggota masyarakat untuk memilih,
menggabungkan, dan mengungkapkan tanda-tanda yang sudah
tersedia. Dalam dinamika budaya terjadi tarik-menarik atau
hubungan dialektis antara sistem tanda-tanda yang ada (bahasa)
dan kebebasan orang untuk memakainya sesuai dengan kebutuhan
pribadi atau kelompok (wicara atau wacana).
2.4. Komunikasi Verbal
“Pesan verbal adalah semua jenis lambang yang menggunakan satu
kata atau lebih. Hampir semua rancangan wicara yang kita
sadari termasuk ke dalam kategori pesan verbal disengaja,
yaitu usaha-usaha yang dilakukan secara sadar untuk
berhubungan dengan orang lain secara lisan”. (Mulyana,
2002:237).
Lebih lanjut lagi, ia menjelaskan bahwa bahasa verbal adalah:
Sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasaan dan maksud
kita. Bahasa verbal menggunakan kata-kata yang
merepresentasikan berbagai aspek realitas individual kita.
Konsekuensinya, kata-kata adalah abstraksi realitas kita yang
tidak mampu menimbulkan reaksi yang merupakan totalitas objek
atau konsep yang diwakili kata-kata itu. (Mulyana, 2002:238).
Kita sering tidak menyadari pentingnya bahasa, karena
sepanjang hidup menggunakannya. Kita baru menyadari bahasa itu
penting ketika menemukan jalan buntu dalam menggunakannya.
Misalnya, ketika berupaya berkomunikasi dengan orang yang sama
sekali tidak memahami bahasa kita yang membuat frustasi,
ketika sulit menerjemahkan suatu kata, frase atau kalimat dari
suatu bahasa ke bahasa lain. Ketika kita harus menulis lamaran
pekerjaan atau diwawancarai dalam bahasa Inggris untuk
memperoleh pekerjaan yang baik.
Fungsi bahasa yang mendasar adalah untuk memberikan nama atau
menjuluki orang, objek dan peristiwa. Setiap orang mempunyai
nama untuk identifikasi sosial. Orang juga dapat memberikan
nama apa saja, objek-objek yang berlainan, termasuk perasaan
tertentu yang mereka alami. Penamaan adalah dimensi pertama
dan basis bahasa, dan pada awalnya itu dilakukan manusia
sesuka mereka, yang selalu menjadi konvensi. Menurut ahli
komunikasi lainnya, bahasa memiliki tiga fungsi:
Penamaan (naming atau labeling ), interaksi dan transmisi
informasi.
Penamaan atau penjulukan merujuk pada usaha untuk
mengidentifikasi objek, tindakan, atau orang dengan menyebut
namanya sehingga dapat dirujuk dalam komunikasi. Fungsi
interaksi menekankan berbagai gagasan dan emosi, yang dapat
megundang simpati dan pengertian atau kemarahan.
Melalui bahasa, informasi dapat disampaikan kepada orang lain.
Anda juga menerima informasi setiap hari, sejak bangun tidur
hingga tidur kembali, dari orang lain, baik secara langsung
maupun tidak (melalui media massa misalnya).
Fungsi bahasa inilah yang disebut transmisi. Keistimewaan
bahasa sebagai sarana transmisi informasi yang lintas waktu,
dengan menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan,
memungkinkan kesinambungan budaya dan tradisi kita. Tanpa
bahasa, tidak mungkin bertukar informasi dan menghadirkan
semua objek untuk kita rujuk dalam komunikasi. (Barker, dalam
Mulyana, 2002:243).
Agar komunikasi kita berhasil, setidaknya bahasa harus
memiliki tiga fungsi, yaitu:
Untuk mengenal dunia di sekitar kita, berhubungan dengan orang
lain, dan untuk menciptakan koherensi dalam kehidupan. Fungsi
pertama, yakni mengenal dunia di sekitar kita. Melalui bahasa
kita mempelajari apa saja yang menarik minat, mulai dari
sejarah suatu bangsa yang hidup pada masa lalu dan tidak
pernah diketahui, seperti bangsa Mesir Kuno atau Yunani. Kita
dapat berbagi pengalaman, bukan hanya peristiwa masa lalu yang
kita alami sendiri, tetapi juga pengetahuan tentang masa lalu
yang diperoleh melalui sumber kedua, seperti media cetak atau
elektronik. Kita juga menggunakan bahasa untuk memperoleh
dukungan atau persetujuan dari orang lain atas pengalaman atau
pendapat. Melalui bahasa pula anda memperkirakan apa yang akan
dikatakan atau dilakukan seorang kawan, seperti dalam kalimat
“kemarin kawan saya itu begitu marah kepada saya.
Sepertinya ia tidak ingin lagi berhubungan dengan saya”.
Meskipun gambaran kita mengenai masa depan tidak selalu
akurat, setidaknya bahasa memungkinkan kita memikirkan,
membicarakan, dan mengantisipasi masa depan, misalnya apa yang
akan terjadi terhadap manusia dan alam semesta berdasarkan
dugaan yang dikemukakan para ahli ilmu pengetahuan serta orang
bijak lainnya, juga atas wahyu Tuhan atau sabda nabi.
Fungsi kedua bahasa, yakni sebagai sarana untuk berhubungan
dengan orang lain. Melalui bahasa kita dapat mengendalikan
lingkungan, termasuk orang-orang di lingkungan sekitar.
Seorang kandidat dari sebuah partai politik dapat menyampaikan
gagasannya, namun sekaligus juga membujuk rakyat untuk memilih
partainya dan mempertimbangkan dirinya sebagai calon presiden
yang potensial. Kemampuan berkomunikasi dengan orang lain
bergantung tidak hanya pada bahasa yang sama, namun juga
pengalaman dan makna yang sama kita berikan kepada kata-kata.
Semakin jauh perbedaan antara bahasa yang kita gunakan dengan
mitra komunikasi kita, semakin sulit untuk mencapai saling
pengertian. Meskipun orang Indonesia dan Malaysia berbicara
bahasa Melayu, atau orang Amerika dan Inggris berbicara bahasa
Inggris, mereka belum tentu mencapai kesepahaman, karena
beberapa perbedaan yang ada dalam kedua bahasa tersebut.
Sedangkan fungsi ketiga memungkinkan kita untuk hidup lebih
teratur, saling memahami mengenai diri, kepercayaan-
kepercayaan, dan tujuan- tujuan. Kita tidak mungkin
menjelaskan semua itu dengan menyusun kata- kata secara acak,
melainkan berdasarkan aturan-aturan tertentu yang telah
disepakati bersama. Akan tetapi, kita sebenarnya tidak
selamanya dapat memenuhi ketiga fungsi bahasa tersebut, karena
meskipun bahasa merupakan sarana komunikasi dengan manusia
lain, sarana ini secara inheren mengandung kendala dan
keterbatasannya. (Book, dalam Mulyana, 2002:243).
Dalam bahasa atau komunikasi verbal, tentunya apa yang
seseorang katakan harus dipahami maknanya terlebih dahulu,
sehingga ia mengetahui maksud yang akan disampaikannya,
kemudian mengirimkannya kepada orang yang ditujukan.
Transfer atau kiriman informasi itu pun harus tepat kepada
orang yang dituju. Dengan kata lain, pihak komunikan yang
dituju memiliki kesamaan makna dalam menafsirkan pesan yang
disampaikan oleh komunikator, sehingga tidak terjadi
miscommunication dalam komunikasi verbal. Jangan sampai pesan
yang kita sampaikan tidak dimengerti oleh orang lain karena
perbedaan budaya, misalnya. Kesamaan makna pesan, dapat
diartikan sebagai suatu interaksi antara komunikator dan
komunikan yang memiliki bidang pengalaman yang sama, seperti,
berlatar belakang budaya dan bahasa yang sama. Artinya,
perbedaan budaya atau bahasa antara komunikator dengan
komunikan dapat mengaburkan arti pesan yang dimaksud. Atas
pernyataan itu, kita simak dalam penjelasan di bawah ini:
Pertama-tama yang akan dilakukan manakala diberi kesempatan
mengurus negara adalah membina bahasa. Sebab, apabila bahasa
tidak tepat, apa yang dikatakan bukan yang dimaksudkan. Jika
yang dikatakan bukan yang dimaksudkan, maka yang mestinya
dikerjakan, tidak dilakukan. Jikalau yang harus dilakukan
terus menerus tidak dilaksanakan, seni dan moral menjadi
mundur. Bila seni dan moral mundur, keadilan menjadi kabur ...
akibatnya rakyat menjadi bingung, kehilangan pegangan. (Kong
Hu Chu, dalam Effendy, 2002:33-34).
Pernyataan Kong Hu Chu di atas, menyarankan agar bahasa sudah
selayaknya diperhatikan secara sungguh-sungguh. Jangan asal
sembarangan berbicara atau berbahasa, karena dampaknya akan
buruk bagi yang melakukannya, dalam hal ini pihak komunikator.
Sebab, pihak komunikator merupakan individu ataupun kelompok
yang memulai pembicaraan atau membuka jalur komunikasi terbuka
dengan komunikan. Jika individu ataupun kelompok sebagai
komunikator tidak dapat menyampaikan pesan secara baik dan
dimengerti kepada komunikannya, maka dikhawatirkan ditafsirkan
berbeda dan berbuntut masalah baru, bahkan memungkinkan
pertengkaran atau peperangan, seperti pada contoh kasus yang
dijelaskan berikut ini:
Masalah bagaimana seharusnya ketepatan bahasa untuk
mengungkapkan suatu maksud tertentu, dijumpai ketika
berkecamuknya Perang Dunia II yang lalu. Ketika Jepang diminta
oleh sekutu (Amerika Serikat) agar menyerah menjawab dengan
menggunakan perkataan “mokusatsu”. Maksudnya adalah “tidak
memberikan komentar sampai keputusan
diambil ( with holding comment until a decision has been
made), tetapi kata “mokusatsu” oleh Kantor Berita Domei
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi “ignore” yang
berarti “tidak perduli”. Miskomunikasi inilah antara lain yang
menyebabkan Hirosima di bom atom dalam perang dunia tersebut.
(Effendy, 2003:34)
2.5. Komunikasi Nonverbal
Komunikasi nonverbal adalah “lambang yang bukan bahasa,
misalnya isyarat dengan anggota tubuh, antara lain kepala,
bibir, tangan dan jari”. (Effendy, 2003:35).
Kita mempersepsi manusia tidak hanya lewat bahasa verbalnya,
namun juga melalui perilaku nonverbalnya. Pentingnya pesan
nonverbal ini misalnya dilukiskan dengan frase, “Bukan apa
yang ia katakan, melainkan bagaimana ia mengatakannya”. Lewat
perilaku nonverbalnya, yang mendorong kita dapat mengetahui
suasana emosional seseorang, apakah ia sedang bahagia,
bingung, atau sedih. Kesan awal kita pada seseorang sering
didasarkan perilaku nonverbalnya, yang mendorong untuk
mengenal lebih jauh.
Sebagaimana kata-kata, kebanyakan isyarat nonverbal juga tidak
universal, melainkan terikat oleh budaya, jadi dipelajari,
bukan bawaan. Sedikit saja isyarat nonverbal yang merupakan
bawaan. Kita semua lahir dan mengetahui bagaimana tersenyum,
namun kebanyakan ahli sepakat bahwa di mana, kapan, dan kepada
siapa kita menunjukkan emosi ini dipelajari, dan karenanya
dipengaruhi oleh konteks dan budaya. Kita belajar menatap,
memberi isyarat, memakai parfum, menyentuh berbagai bagian
tubuh orang lain, dan bahkan kapan kita diam. Cara kita
bergerak dalam ruang ketika berkomunikasi dengan orang lain
didasarkan terutama pada respon fisik dan emosional terhadap
rangsangan lingkungan.
Sementara kebanyakan perilaku verbal kita bersifat eksplisit
dan diproses secara kognitif, perilaku nonverbal kita bersifat
spontan, ambigu, sering berlangsung cepat, dan diluar
kesadaran kendali kita.
Pendapat lain mengatakan:
Bahasa nonverbal adalah “bahasa diam” ( silent language ) dan
dimensi tersembunyi ( hidden dimension ) suatu budaya. Disebut
diam dan tersembunyi, karena pesan-pesan nonverbal tertanam
dalam konteks komunikasi. Bersama isyarat verbal dan isyarat
kontekstual, pesan nonverbal membantu kita menafsirkan seluruh
makna pengalaman komunikasi. (Hall, dalam Mulyana, 2002:309).
Sebagaimana budaya, subkultur pun sering memiliki bahasa
nonverbal yang khas. Dalam suatu budaya boleh jadi terdapat
variasi bahasa nonverbal, misalnya bahasa tubuh, bergantung
pada jenis kelamin, agama, usia, pekerjaan, pendidikan, kelas
sosial, tingkat ekonomi, lokasi geografis, dan sebagainya.
Komunkasi nonverbal pun dijelaskan lebih lanjut, bahwa:
Istilah nonverbal biasanya digunakan untuk melukiskan semua
peristiwa komunikasi di luar kata-kata terucap dan tertulis.
Pada saat yang sama kita harus menyadari bahwa banyak
peristiwa dan perilaku nonverbal ini ditafsirkan melalui
simbol-simbol verbal. Dalam pengertian ini, peristiwa dan
perilaku nonverbal itu tidak sungguh-sungguh bersifat
nonverbal. (Knapp, dalam Mulyana, 2002:312).
Adapun fungsi komunikasi nonverbal, seperti yang dikemukakan
sebagai berikut:
Pertama, repetisi, yaitu mengulang kembali gagasan yang sudah
disajikan secara verbal. Misalnya, setelah saya menjelaskan
penolakan, kemudian menggelengkan kepala berkali-kali.
Kedua, substitusi, menggantikan lambang-lambang verbal.
Misalnya, tanpa sepatah kata pun Anda berkata. Anda dapat
menunjukkan persetujuan dengan mengganguk-angguk.
Ketiga, kontradiksi, yaitu menolak pesan verbal atau
memberikan makna yang lain terhadap pesan verbal. Misalnya,
Anda memuji prestasi kawan dengan mencibirkan bibir, “Hebat,
kau memang hebat,”.
Keempat komplemen, yaitu melengkapi dan memperkaya makna pesan
nonverbal. Misalnya, air muka Anda menunjukkan tingkat
penderitaan yang tidak terungkap dengan kata-kata.
Kelima, aksentuasi, yakni menegaskan pesan verbal atau
menggarisbawahinya. Misalnya, Anda mengungkpkan betapa
jengkelnya dengan memukul mimbar. (Knapp, dalam Rakhmat,
2003:287).
Sementara itu kaitannya dengan komunikasi nonverbal, topeng
Panji Cirebon mengkomunikasikan kepada manusia melalui pesan
nonverbalnya. Dengan melihat jenis dan warna topeng Panji,
telah mengindikasikan bahwa di dalamnya terdapat pesan
nonverbal yang dapat ditafsirkan. Topeng Panji yang berwarna
putih polos dan gerakan tariannya yang halus, mengisyaratkan
kepada manusia, bahwa sesungguhnya perilaku yang dilakukan
harus selalu membawa kebaikan bagi semua orang dengan cara
penuh kelembutan dan kasih sayang. Hal tersebut dikemukakan
oleh salah satu ahli topeng Cirebon seperti di bawah ini:
Karakter dari topeng Panji adalah halus, kedok nya berwarna
putih tanpa hiasan, mata sipit, hidung condong ke bawah, mulut
tersenyum. Jenis gerakannya pelan, halus, ruang gerak kecil-
kecil, napas tertahan. Perkembangan jiwa gambaran bayi yang
baru lahir, manusia suci. Akhlak manusia baik, berbudi, halus
perasannya, kuat menahan hawa nafsu. (Masunah, et al.,
1999:17).
2.6. Topeng Cirebon Dalam Kehidupan Masyarakatnya
Sebelum menjelaskan lebih lanjut mengenai topeng Cirebon dalam
kehidupan masyarakatnya, terlebih dahulu akan dikemukakan
perihal topeng secara umum. Topeng sangat beragam jenisnya,
mulai dari topeng monyet, topeng dari Bali, topeng panji
Cirebon, dan sebagainya. Topeng merupakan perwujudan dari
kreatiftas manusia yang dibuat untuk tujuan tertentu.
Misalnya, topeng dibuat dalam rangka upacara ritual, sarana
hiburan, hingga penyebaran suatu paham yang ditujukan kepada
masyarakat tertentu. Hal tersebut, dikemukakan oleh ahli
topeng sebagai berikut:
Peradaban dunia telah menunjukkan bahwa topeng memiliki
perwujudan imajinasi, kreativitas, dan daya ekspresi spiritual
manusia yang tak terhingga. Ada topeng yang “polos” seperti
topeng Panji dari Cirebon, ada yang memuat berbagai simbol
seperti dari Srilangka, ada yang dekoratif seperti dari
Kalimantan, dan ada yang “ekspresif” seperti topeng Celuluk
dari Bali. (Endo, 2004:1).
Pernyataan di atas, mengenai makna topeng, dapat ditafsirkan
berbeda, karena latar belakang budaya dan bahasa. Orang
Indonesia pada umumnya, mengartikan kata topeng sebagai
penutup muka yang terbuat dari berbagai bahan, misalnya kayu,
kertas, fiber, dan sebagainya. Namun, kenyataannya di dalam
kehidupan masyarakat Cirebon, kata “topeng” itu berarti penari
atau pertunjukan topeng. Penutup muka yang dimaksud oleh
kebanyakan orang Indonesia pada umumnya, di Cirebon disebutnya
sebagai kedok. Itulah perbedaan bahasa dan latar belakang
budaya yang perlu dicermati, apalagi menyangkut kehidupan
masyarakat yang beraneka ragam.
Adapun gambaran umum tentang makna topeng adalah:
Suatu pertunjukan, yang menampilkan laki-laki dan sesekali
perempuan dengan mengenakan topeng (masker) di mukanya dan
sering juga berpakaian tertentu (penutup kepala khusus,
perhiasan dan sebagainya), seraya memerankan orang-orang
tertentu, kadang-kadang juga binatang. Dari bagian dalam
topeng itu terdapat sebuah tangkai dari kayu yang melengkung
sebagai alat untuk digigit oleh pemakainya, agar melekat kuat
pada mukanya. Keterangan Hazeu selanjutnya, bahwa topeng
membawakan lakon dari cerita Panji. Panji adalah peran utama
yang tampilnya mengenakan kopiah dari rambut (tekes), yang
dipergunakan pada pertunjukan-pertunjukan topeng. (Hazeu,
dalam Suryaatmadja, 1985:9).
Sementara gambaran lainnya tentang topeng yang terdapat di
Jawa Barat, ialah:
Berupa penampilan yang berselingan antara tari, nyanyi,
percakapan dan perkelahian (perang) yang mengarah kepada
jalannya cerita sejarah, sedangkan dalang menuturkan cuplikan
atau menyanyikan mengenai sejarah yang ditampilkan. Keterangan
di atas menunjukkan bahwa topeng di Jawa Barat pada saat itu
membawakan lakon. (Seriere, dalam Suryaatmadja, 1985:10).
Topeng, di Cirebon tersebar di berbagai daerah, seperti
Losari, Kalianyar, Palimanan, Gegesik dan Slangit. Dari
berbagai daerah topeng itu berada, masing- masing mempunyai
ciri khas dengan gaya yang berbeda pula. Namun, ada beberapa
kesamaannya di antaranya adalah tata cara penyajiannya. Dalam
penyajiannya topeng Cirebon mempunyai beberapa fungsi, yaitu
dipersembahkan dalam rangka hajatan dan upacara-upacara yang
bersifat ritual. Fungsi topeng seperti tersebut, mengacu pada
fungsi tari sebagai seni pertunjukan secara umum, baik itu
primernya maupun sekunder. Dalam hal ini, dikemukakan bahwa
seni pertunjukan memiliki tiga fungsi primer, yaitu sebagai
“(1) sarana ritual, (2) hiburan pribadi dan (3) presentasi
estetis”. (Soedarsosno, 1999:57).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai pendekatan kualitatif
dan perbedaannya dengan kuantitatif. Selain itu, akan
dijelaskan pula mengenai pengertian etnografi. Etnografi dalam
bab ini digunakan sebagai metode penelitian.
3.1. Penelitian Kualitatif
Penelitian kualitatif adalah: Penelitian yang bersifat empiris
(dapat diamati dengan pancaindera sesuai dengan kenyataan),
hanya saja pengamatan atas data bukanlah berdasarkan ukuran-
ukuran matematis yang terlebih dulu ditetapkan peneliti dan
harus dapat disepakati (direplikasi) oleh pengamatan lain,
melainkan berdasarkan ungkapan subjek penelitian, sebagaimana
yang dikehendaki dan dimaknai oleh subjek penelitian.
Pendekatan kualitatif menggunakan konsep kealamiahan
(kecermatan, kelengkapan, atau orisinalitas) data dan apa yang
sebenarnya terjadi di lapangan. Pendekatan kualitatif terutama
layak untuk menelaah sikap atau perilaku dalam lingkungan yang
agak artifisial, seperti dalam survei atau eksperimen.
Peneliti kualitatif lebih menekankan proses dan makna
ketimbang kuantitas, frekuensi atau intensitas (yang secara
matematis dapat diukur), meskipun peneliti tidak mengharamkan
statistik deskriptif dalam bentuk distribusi frekuensi atau
presentase untuk melengkapi analisis datanya. (Mulyana,
2007:11).
Metodologi penelitian kualitatif “sebagai prosedur penelitian
yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis
atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.”
(Bogdan dan Taylor, 1975:5). Menurut mereka, pendekatan ini
diarahkan pada latar individu tersebut secara holistik atau
utuh. Jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu
atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu
memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan.
Penelitian kualitatif adalah “tradisi tertentu dalam ilmu
pengetahuan social yang secara fundamental bergantung pada
pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan
dengan orang-orang tersebut melalui bahasa serta
peristilahannya”. (Kirk dan Miller, 1986:9). Sementara itu,
“analisis kualitatif menuntut “kemutlakan”. Dalam penelitian
kualitatif seorang peneliti harus mampu mengeksplanasi semua
bagian yang bisa dipercaya dari informasi yang diketahuinya
serta tidak akan menimbulkan kontradiksi dengan interpretasi
yang disajikannya”. (Soedarsono, 1997:27).
3.2. Perbedaan Penelitian Kualitatif dengan Kuantitatif
Perbedaan antara penelitian kualitatif dengan penelitan
kuantitatif telah banyak dikemukakan oleh para ahli. Untuk
penelitian kuantitatif digunakan istilah scientific paradigm
(paradigma ilmiah, penulis), sedangkan penelitian kualitatif
dinamakan naturalistic inquiry atau inkuiri alamiah”. (Guba
dan Lincoln, dalam Moleong, 1991:15).
Perbedaan antara penelitian kualitatif dengan kuantitatif juga
dipaparkan sebagai berikut:
Tahap ketika metode kuantitatif sangat dominan, yaitu sebelum
tahun 1940-an hingga akhir tahun 1970-an. Pada saat itu,
penelitian pendidikan dan ilmu sosial umumnya didominasi oleh
metode kuantitatif. “everything should and can be quantified”
menjadi pegangan para peneliti. Mereka yakin bahwa apapun
dapat didefinisikan akan dapat dihitung, dan bahwa penelitian
yang sahih secara ilmiah adalah yang memiliki tingkat
generalitas yang tinggi. (Supriadi, dalam Alwasilah, 2002:18-
19).
Pernyataan di atas, bahwa penelitian kuantitatif menjelaskan
segala sesuatunya akan dapat dihitung dengan angka-angka.
Berbeda dengan penelitian kualitatif, sulit digunakan, jika
seorang peneliti ingin mengetahui berapa persen penduduk kota
Bandung yang gemar terhadap tari Sunda, misalnya. “Dalam
penelitian kuantitatif, data yang dipergunakan sebagai bahan
penelitian sangat banyak dan analisisnya berdasarkan angka-
angka serta atas hubungan-hubungan sistematik dan statistik di
antara angka-angka tersebut”. (Soedarsono, 1997:27).
Penelitian kualitatif dengan kuantitatif, yakni “pada
dasarnya, baik teknik kuantitatif maupun teknik kualitatif
dapat digunakan bersama-sama. Namun, penekanannya diletakkan
pada teknik tertentu. Paradigma ilmiah memberi tekanan pada
teknik kuantitatif, sedangkan paradigma alamiah memberi
tekanan pada penggunaan teknik kualitatif”. (Moleong,
1991:16).
Selain itu, dikatakan perbedaan antara penelitian kualitatif
dengan penelitian kuantitatif ialah: Paradigma ilmiah
berpendirian reduksionis . Dalam hal ini mereka menyempitkan
penelitian pada fokus yang relatif kecil dengan jalan
membebankan kendala-kendala, baik pada kondisi anteseden pada
inkuiri (untuk keperluan mengontrol) maupun pada keluaran-
keluaran. Jadi, pencari-tahu-ilmiah mulai dengan menyusun
pertanyaan atau hipotesis, kemudian hanya mencari informasi
yang akan memberikan jawaban pada pertanyaan atau menguji
hipotesis-hipotesis itu. Pencari-tahu-alamiah mempunyai
pendirian ekspansionis . Mereka mencari perspektif yang akan
mengarahkan pada deskripsi dan pengertian fenomena sebagai
keseluruhan atau akhirnya dengan jalan menemukan sesuatu yang
mencerminkan kerumitan gejala-gejala itu. Mereka memasuki
lapangan, membangun dan melihat pembawaannya yang tampak dari
arah mana pun titik masuknya. Setiap langkah inkuiri
didasarkan atas sejumlah pengetahuan yang dikumpulkan sedikit
demi sedikit berdasarkan langkah-langkah sebelumnya. Jadi,
pencari-tahu- alamiah mengambil sikap tersruktur, terarah, dan
tunggal, sedangkan pencari-tahu-alamiah berpendirian terbuka,
menjajagi, dan kompleks. (Moleong, 1991:18).
3.3. Metode Etnografi
Penelitian ini menggunakan metode etnografi. Etnografi
merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan termasuk
di dalamnya kesenian pada masyarakat tertentu. Berikut ini
akan dipaparkan lebih lanjut mengenai etnografi:
Tujuan utama aktifitas ini adalah untuk memahami suatu
pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli, sebagaimana
dikemukakan oleh Bronislaw Malinowski, bahwa tujuan etnografi
adalah “memahami sudut pandang penduduk asli, hubungannya
dengan kehidupan, untuk mendapatkan pandangannya mengenai
dunianya”. Oleh karena itu, penelitian etnografi melibatkan
aktifitas belajar mengenai dunia orang yang telah belajar,
melihat, mendengar, berbicara, berpikir, dan bertindak dengan
cara yang berbeda. Jadi, etnografi tidak hanya mempelajari
masyarakat, tetapi lebih dari itu. Etnografi belajar dari
masyarakat. (Spradley, 2007: 4).
Dari pernyataan Spradley di atas, etnografi merupakan suatu
kegiatan yang berhubungan secara langsung dengan masyarakat.
Dalam kaitan dengan penelitian ini, peneliti terjun langsung
untuk berhubungan dengan masyarakat yang ditelitinya. Bahkan
tidak menutup kemungkinan, seorang peneliti menjadi bagian
dari masyarakat penduduk asli. Artinya, peneliti bisa saja
menginap di salah satu rumah penduduk asli untuk memahami
sudut pandang masyarakat tersebut. Peneliti etnografi harus
memiliki hubungan manusiawi yang kuat, karena ia akan
berhadapan dengan kebudayaan yang tidak dikenal sebelumnya.
Dengan kata lain, peneliti etnografi belajar dari kehidupan
masyarakat penduduk asli yang mempunyai kebudayaannya sendiri.
Peran aktif, itulah yang seharusnya dilakukan oleh seorang
peneliti etnografi. Selain itu, membina hubungan emosional
yang baik dengan masyarakat penduduk asli, merupakan salah
satu kunci keberhasilan dalam penelitian ini. Semakin dekat
hubungan peneliti dengan masyarakat aslinya, maka akan semakin
mempermudah dan memperlancar tujuan memahami sudut pandang
budaya mereka.
Adaptasi, itulah yang perlu diperhatikan oleh peneliti
etnografi atau etnografer . Jangan sampai, peneliti etnografi
tidak mau mengikuti kebiasaan atau tradisi masyarakat penduduk
asli. Jadi, etnografer di sini lebih mengikuti arus yang
mereka jalani (masyarakat penduduk asli) atau mengikuti
kebiasaan- kebiasaan mereka. Lebih lanjut dikemukakan bahwa:
Inti dari etnografi adalah upaya untuk memperhatikan makna-
makna tindakan dari kejadian yang menimpa orang yang ingin
kita pahami.
Beberapa makna tersebut terekspr esikan secara langsung dalam
bahasa; dan di antara makna yang diterima, banyak yang
disampaikan hanya secara tidak langsung melalui kata-kata dan
perbuatan. Sekalipun demikian, di dalam setiap masyarakat,
orang tetap menggunakan sistem makna yang kompleks ini untuk
mengatur tingkah laku mereka, untuk memahami diri mereka
sendiri dan orang lan, serta untuk memahami dunia tempat
mereka hidup. Sistem makna ini merupakan kebudayaan mereka:
dan etnografi selalu mengimplikasikan teori kebudayaan.
(Spradley, 2007:5).
Sementara itu, langkah-langkah yang ditempuh dalam penelitian
etnografi meliputi hal-hal sebagai berikut:
Langkah I, yakni menetapkan informan, tujuannya:
1. Untuk mengidentifikasi beberapa karakteristik dan informan
yang baik.
2. Untuk menemukan informan yang sebaik mungkin dalam
mempelajari keterampilan wawancara dan melakukan penelitian
etnografi.
Langkah II, yakni mewawancarai informan, tujuannya:
1. Untuk mengidentifikasi unsur-unsur dasar dalam wawancara
etnografis.
2. Untuk memformulasikan dan menggunakan beberapa macam
penjelasan etnografis.
3. Untuk melakukan wawancara praktis.
Langkah III, yakni membuat catatan etnografis, tujuannya:
1. Untuk memahami sifat dasar catatan etnografis.
2. Untuk menyusun buku catatan penelitian lapangan.
3. Untuk melakukan kontak dengan seorang informan dan
melakukan wawancara pertama.
Langkah IV, yakni mengajukan pertanyaan deskriptif, tujuannya:
1. Untuk melaksanakan etnografis pertama.
2. Untuk memahami proses perkembangan hubungan dengan
informan.
3. Untuk mengumpulkan sampel dari percakapan informan dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan deskriptif.
Langkah V, yakni melakukan analisis wawancara etnografis,
tujuannya:
1. Untuk memahami sifat dasar analisis etnografis.
2. Untuk mempelajari bagaimana tercita dengan simbol-simbol
budaya.
3. Untuk memulai suatu analisis domain dengan melakukan
pencarian suatu domain pendahuluan.
Langkah VI, yakni membuat analisis domain, tujuannya:
1. Untuk memahami sifat dasar hubungan semantik serta peran
hubungan itu dalam pembuatan suatu analisis domain.
2. Untuk mengidentifikasi langkah-langkah dalam menjalankan
analisis domain.
3. Untuk melakukan analisis domain sistematis terhadap semua
data yang terkumpul sekarang.
4. Untuk memasukkan satu atau dua pertanyaan struktural ke
dalam wawancara etnografis.
Langkah VII, yakni mengajukan pertanyaan struktural,
tujuannya:
1. Untuk mengidentifikasi berbagai jenis pertanyaan
struktural.
2. Untuk mempelajari menggunakan pertanyaan struktural dalam
etnografi.
3. Untuk menguji domain-domain yang telah dihipotesiskan dan
menemukan istilah-istilah tercakup yang lain untuk domain-
domain itu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan struktural.
Langkah VIII, yakni membuat analisis taksonomik, tujuannya:
1. Untuk memilih suatu fokus yang bersifat sementara untuk
membuat analisis mendalam.
2. Untuk memahami berbagai taksonomi rakyat dan bagaimana
taksonomi itu mengorganisir domain.
3. Untuk mempelajari bagaimana membuat analisis taksonomik.
4. Untuk membangun suatu taksonomi rakyat untuk satu domain
atau lebih dengan mengikuti langkah-langkah dalam mengerjakan
analisis taksonomik.
Langkah IX, yakni mengajukan pertanyaan kontras, tujuannya:
1. Untuk memahami prinsip-prinsip penemuan utama dalam studi
makna budaya.
2. Untuk mempelajari cara-cara untuk menemukan berbagai
kontras atau perbedaan diantara berbagai simbol budaya.
3. Untuk memformulasikan dan menggunakan berbagai pertanyaan
kontras.
Langkah X, yakni membuat analisis komponen, tujuannya:
1. Untuk memahami peran analisis komponen dalam studi sistem
makna budaya.
2. Untuk mengidentifikasi langkah-langkah dalam membuat
analisis komponen.
3. Untuk melakukan analisis komponen yang sistematik pada satu
rangkaian kontras atau lebih.
4. Untuk menggunakan pertanyaan kontras untuk membuktikan dan
melengkapi analisis komponen.
Langkah XI, yakni menemukan tema-tema budaya, tujuannya:
1. Untuk memahami sifat dasar tema-tema dalam sistem makna
budaya.
2. Untuk mengidentifikasi beberapa strategi membuat suatu
analisis tema.
3. Untuk melaksanakan suatu analisis tema pada suasana budaya
yang sedang dipelajari.
Langkah XII, yakni menulis suatu etnografi, tujuannya:
1. Untuk memahami sifat dasar penulisan etnografis sebagai
bagian dari proses penerjemahan.
2. Untuk mengidentifikasi tahap-tahap yang berbeda dalam
penulisan etnografi.
3. Untuk mengidentifikasi langkah-langkah dalam melaksanakan
suatu etnografi.
4. Untuk menulis suatu etnografi. (Spradley, 2007:65-70)