Posisi dan Tantangan TIK dalam Kelembagaan Desa Era Baru

11
POSISI DAN TANTANGAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI DALAM KELEMBAGAAN DESA ERA BARU Unggul Sagena 1 ABSTRAK Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) telah memengaruhi banyak fungsi dan peran pemerintah. E-governance sebagai salah satu dampak dari TIK telah menyebabkan pemerintah melakukan berbagai upaya pemindahan pelayanan publik menjadi berbasis komputer juncto internet pada masa teknologi informasi dan komunikasi pasca millenium (komputerisasi daan internetisasi layanan). Adanya kontekstualisasi TIK di desa yang selama ini luput dalam kajian ketertinggalan bahwa desa-desa juga mengalami ketertinggalan informasi yang sangat besar dibandingkan kota sehingga pasar asimetrik tidak sempurna selalu terjadi. Celakanya, berbagai isu dan tantangan kontemporer dalam paradigma pembangunan kelembagaan pedesaan dengan determinasi teknologi yang sudah mulai memasuki pola dan sistem pemerintahan dan pengembangan masyarakat pedesaan memiliki banyak kelemahan. Cara pandang diskursus Foucaldian dalam relasi-kuasa, ketergantungan dan pasar, serta pendulum sejarah perkembangan kelembagaan desa menjadi bagian dari toolbox analisis dalam membahas “posisi” sebenarnya dari TIK dalam konsep transformasi ekonomi-kelembagaan masyarakat desa, serta arah dan tujuan dari “modernisasi” desa dan konsekuensi yang mungkin timbul sebagai dampak pilihan “strategi pengembangan” desa era otonomi daerah dan determinasi teknologi sebagai pendekatan kepemerintahan (governance) kepada elit desa. Pemanfaatan TIK dalam berbagai program transformasi sosial kelembagaan masyarakat desa oleh pemerintah, dilaksanakan misalnya melalui kebijakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang ingin mewujudkan “Masyarakat Indonesia Informatif”, kuatnya penetrasi Internet dan gerakan sosial “desa melek IT” yang berasal dari masyarakat desa (yang terdidik) itu sendiri dan juga yang diimplementasikan melalui UU No. 6 Tahun 2014 (lebih lanjut disebut UU Desa) yang memiliki konsekuensi kelembagaan-organisasional seperti badan usaha milik desa, kembalinya desa adat secara tekstual, serta wajibnya sistem informasi (komputerisasi) desa yang merealisasikan peran TIK untuk desa sebagai kebijakan pembangunan sebagaimana contoh di negara-negara berkembang lain. Selain itu, bahwa dalam posisi TIK terdapat sebuah ruang ideal (Elemen V) yang bisa diwujudkan ketika olah kewenangan dan kekuasaan (authority and power exercise) Kelembagaan TIK yang formal (Elemen I) bersatu bersama dengan syarat-syarat Infrastruktur TIK (Elemen II), SDM TIK (Elemen III), dan Keuangan (Bujet) TIK (Elemen IV). PENDAHULUAN : TIK DAN PEMBANGUNAN Tidak ada definisi yang universal mengenai konsep e-government (Halchin, 2004, p. 407). Dalam rangka memberikan gambaran mengenai bagaimana TIK dalam pemerintahan dan E- government maka beberapa definisi seperti utilisasi Internet dan web untuk memberikan informasi 1 Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor

Transcript of Posisi dan Tantangan TIK dalam Kelembagaan Desa Era Baru

POSISI DAN TANTANGAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI

DALAM KELEMBAGAAN DESA ERA BARU Unggul Sagena

1

ABSTRAK

Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) telah memengaruhi banyak

fungsi dan peran pemerintah. E-governance sebagai salah satu dampak dari TIK telah

menyebabkan pemerintah melakukan berbagai upaya pemindahan pelayanan publik menjadi

berbasis komputer juncto internet pada masa teknologi informasi dan komunikasi pasca millenium

(komputerisasi daan internetisasi layanan). Adanya kontekstualisasi TIK di desa yang selama ini

luput dalam kajian ketertinggalan bahwa desa-desa juga mengalami ketertinggalan informasi yang

sangat besar dibandingkan kota sehingga pasar asimetrik tidak sempurna selalu terjadi.

Celakanya, berbagai isu dan tantangan kontemporer dalam paradigma pembangunan kelembagaan

pedesaan dengan determinasi teknologi yang sudah mulai memasuki pola dan sistem pemerintahan

dan pengembangan masyarakat pedesaan memiliki banyak kelemahan.

Cara pandang diskursus Foucaldian dalam relasi-kuasa, ketergantungan dan pasar, serta

pendulum sejarah perkembangan kelembagaan desa menjadi bagian dari toolbox analisis dalam

membahas “posisi” sebenarnya dari TIK dalam konsep transformasi ekonomi-kelembagaan

masyarakat desa, serta arah dan tujuan dari “modernisasi” desa dan konsekuensi yang mungkin

timbul sebagai dampak pilihan “strategi pengembangan” desa era otonomi daerah dan

determinasi teknologi sebagai pendekatan kepemerintahan (governance) kepada elit desa.

Pemanfaatan TIK dalam berbagai program transformasi sosial kelembagaan masyarakat

desa oleh pemerintah, dilaksanakan misalnya melalui kebijakan Kementerian Komunikasi dan

Informatika (Kominfo) yang ingin mewujudkan “Masyarakat Indonesia Informatif”, kuatnya

penetrasi Internet dan gerakan sosial “desa melek IT” yang berasal dari masyarakat desa (yang

terdidik) itu sendiri dan juga yang diimplementasikan melalui UU No. 6 Tahun 2014 (lebih lanjut

disebut UU Desa) yang memiliki konsekuensi kelembagaan-organisasional seperti badan usaha

milik desa, kembalinya desa adat secara tekstual, serta wajibnya sistem informasi (komputerisasi)

desa yang merealisasikan peran TIK untuk desa sebagai kebijakan pembangunan sebagaimana

contoh di negara-negara berkembang lain. Selain itu, bahwa dalam posisi TIK terdapat sebuah ruang ideal (Elemen V) yang bisa

diwujudkan ketika olah kewenangan dan kekuasaan (authority and power exercise) Kelembagaan

TIK yang formal (Elemen I) bersatu bersama dengan syarat-syarat Infrastruktur TIK (Elemen II),

SDM TIK (Elemen III), dan Keuangan (Bujet) TIK (Elemen IV).

PENDAHULUAN : TIK DAN PEMBANGUNAN

Tidak ada definisi yang universal mengenai konsep e-government (Halchin, 2004, p. 407).

Dalam rangka memberikan gambaran mengenai bagaimana TIK dalam pemerintahan dan E-

government maka beberapa definisi seperti utilisasi Internet dan web untuk memberikan informasi

1 Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor

dan layanan pemerintahan kepada masyarakat (UN & ASPA, 2002, p. 1). Dapat pula ditambahkan

beberapa produk TIK lain yang digunakan seperti “database, networking, discussion support,

multimedia, automation, tracking and tracing, and personal identification technologies” (Jaeger,

2003, p. 323). Means dan Schneider (2000, p. 121) mendefinisikan e-government sebagai relasi

antara pemerintah, pelanggan mereka (bisnis, pemerintah lain, dan masyarakat), dan penyuplai

mereka (lagi, bisnis, pemerintah dan masyarakat) dengan menggunakan “cara” elektronik.

Dalam berbagai literatur misalnya Tapscott dan Caston (1993) juga berpendapat bahwa TIK

menyebabkan pergeseran paradigma (paradigm shift) dan memperkenalkan "the age of network

intelligence” pada aras bisnis, pemerintah dan individu. Paradigma “e-government” menekankan

membangun jaringan yang terkoordinasi, kerjasama eksternal dan layanan pelanggan (Ho, 2002).

Lebih lanjut, analisis Perez (2001) mengenai technological paradigm sebagai cara pandang inovatif

yang menjadi resep untuk memajukan perekonomian bangsa, dengan salah satunya merujuk kepada

studi Amsden (2001) misalnya yang melihat Taiwan, Korea dan Singapura sebagai raksasa ekonomi

baru Asia Timur yang bangkit (rise of the rest) serta berbagai karya yang menunjukkan bahwa

“yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin”2 untuk kemudian secara siklus akan

menuju sebuah “global sustainable golden age”3.

Namun, sudut pandang teknologisme ini ditelan sebagai sebuah etika “promethean” yang

menggung-agungkan teknologi bersama dengan kaidah sekularisasi, saintisme dan liberalisme

sebagai diskursus dunia barat yang menjadikan hal-hal tersebut sebagai pengaturan masyarakatnya.

Beberapa kritik terhadap modernisasi muncul utamanya oleh Foucault percaya rasionalitas moderen

lebih cenderung memaksa (koersif) dari pada membebaskan, kekuatan fokus pada pengontrolan

pikiran individu dibanding membuka pikiran mereka ke banyak kemungkinan (Peet & Hartwick,

2009)4. Escobar (2008) menggunakan kerangka pikir Foucaldian mengemukakan bahwa pemerintah

2 Misalnya beberapa karya Reinert yang menyinggung mengenai ketidakmerataan pembangunan ekonomi (uneven

economic development, kemiskinan yang “persisten” dan reorientasi peran pemerintah) seperti Reinert, Erik S.

(2009). “The Terrible Simplifiers: Common Origins of Financial Crises and Persistent Poverty in Economic Theory

and the new ‘1848 Moment’”, DESA Working Paper, No.88, Reinert, Erik S. (1999). "The Role of the State in

Economic Growth", Journal of Economic Studies, Vol. 26, 4/5, p. 268-326; Reinert, Erik S. The Other Canon.

Reconstructing the Theory of Uneven Economic Development. othercanon.org. Available at

www.othercanon.org/papers/index.html juga lihat perangkap kemiskinan Nurkse (misal dapat dilihat lebih

lengkap gagasan nurkse di Kattel, Rainer., Kregel, Jan A., and Reinert, Erik S. (2009). “Life and Works of Ragnar

Nurkse”. Tallinn: Tallinn University of Technology. Tersedia di

http://www.ttu.ee/public/s/sotsiaalteaduskond/Instituudid/avaliku_halduse/nurkse.pdf

3 Menurut Perez, terjadi siklus 5 revolusi teknologi selama 240 tahun, yaitu Revolusi Industru (1771), Masa Uap,

Batu Bara, Besi dan Rel Kereta (1829), Masa Baja dan Rekayasa Keteknikan Berat –listik, kimia, sipil, kelautan

(1875), Masa Mobil, Minyak, Petrokimia dan Produksi Masal (1908), Masa Teknologi Informasi dan Komunikasi

(1971) dan gelombang keenam akan terjadi selama 30-40 tahun kemudian yang akan didahului oleh bigbang di

masa deployment period yang diakhiri oleh krisis finansial pada setiap gelombang pembangunan (great surge of

development). Namun demikian, pada gelombang keenam yang segera datang ini diharapkan dengan kesadaran

semua pihak, maka akan terjadi new global positive-sum game dimana TIK universal bersama dengan green

growth dan full global development akan membuat “keberlanjutan” di “masa keemasan”. Lebih lanjut lihat Perez,

Carlota. (2001). “Technological Change and Opportunities for Development as a Moving Target”, Cepal Review 75,

pp 109-130 dan Perez, Carlota. (2002). Technological Revolutions and Financial Capital : The Dynamics of Bubbles

and Golden Ages, Celtenham : Edward Elgar

4 Dalam bukunya, Theories of Development, 2009, Peet & Hartwick memaparkan banyak ideologi pembangunan

yang dewasa ini yang bermazhab barat sehingga bias barat ini di-counter dengan berbagai alternative teori

pembangunan, bahkan terdapat suatu ide “post-development” yang merupakan antitesis dari ideologi

pembangunan yang ada dan reflexive development yang melihatnya sebagai “sintesis”. Lihat Jan Nederveen

Pieterse, My Paradigm or Yours? Alternative Development, Post-Development, Reflexive Development

desa (rejim pengaturan lokal) tidak lagi mempunyai kuasa dan wewenang (power dan authority)

karena telah terpengaruh (sadar maupun tak sadar) dalam logika pikir rasio agensi ekstra-lokal

(melalui berbagai korporasi yang masuk ke struktur ekonomi budaya desa). Sehingga terjadi

authority loss, dan globalisasi menunjukkan wajah aslinya sebagai sistem tata dunia baru. Ketidakpuasan terhadap paradigma pembangunan arus-utama (mainstream) dan

konvensional yang hanya memusatkan kepada pertumbuhan, modernisasi dan ekonomi neoklasik

ini juga mendapat kritik lain misalnya Korten (1990) yang meredefinisi bahwa pembangunan itu

seharusnya merupakan transformasi menuju justice (pemerataan), inclusiveness (inklusif) dan

sustainability (keberlanjutan) sehingga dalam konteks ini, pembangunan adalah sebuah transformasi

sosial (social transformation). Transformasi sendiri merupakan istilah yang berasal dari bahasa

inggris transformation dimana kata tranform menurut Neufebet dan Guralnik (1988) adalah suatu

perubahan, dan tranformation dapat diartikan sebagai proses perubahan. Transformasi dalam hal ini

tidak hanya mencakup perubahan pada bentuk luar, namun juga pada hakikat atau sifat dasar,

fungsi, dan struktur atau karakteristik perekonomian suatu masyarakat (Panadji & Hastuti, 2004).

Dalam perspektif pembangunan berkelanjutan (Van Dieren, 1995 dan Munasinghe, 1993),

transformasi tadi harus juga mengindahkan aspek partisipasi, keadilan sosial, dan pemeliharaan

daya dukung ekosistem setempat. Pembangunan yang semata-mata hanya mementingkan

pertumbuhan ekonomi, atau growth maniac (Chiras, 1985) menimbulkan ketimpangan dan ketidak

adilan bagi masyarakat bawah, juga berekses kepaada ketidakstabilan sosial politik yang tinggi, dan

ancaman kehancuran ekosistem. Hal ini akan mengancam keberlanjutan proses transformasi atau

pembangunan itu sendiri.

PEMBAHASAN

Pendulum Desa

Transformasi dalam konteks kelembagaan desa dapat dipaparkan melalui bergeraknya

pendulum sejarah desa dari waktu ke waktu. Pada masa kolonialisme, mungkin yang paling dikenal

adalah desa sebagai gemeente, ditandai dengan berlakunya Indische Staatsregelling. Status ini

berlaku hingga masa intelektual etis negeri Belanda yang berkeinginan untuk semakin

memandirikan desa sebagai institusi hukum, bukan hanya kesatuan komunal saja pada Islandsche

Gemeente-ordonanntie yang disambut gembira semua pihak. Bahkan klimaks kemandirian desa

melalui rancangan “desa ordonantie” tahun 1941 memberi keleluasaan desa berkembang sesuai

dengan kondisi dan potensinya sendiri. Sayang belum sempat dilaksanakan akibat adanya

penjajahan jepang. Pendulum ke arah sebaliknya, pernah juga terjadi sejak masa kemerdekaan. UU No. 5 Tahun

1974 menandai berkurangnya eksistensi desa dan dalam pelaksanaan selama orde baru yang rentan

K menjadikan desa sebagai tempat tinggal hampir 20 persen penduduk miskin di negara ini. Sejarah

lalu mencatat, dampak reformasi dan otonomi daerah bagi desa dapat dilihat pada UU No. 22

Tahun 1999 yang direvisi dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang sudah

memuat hal-ihwal desa dengan pelaksanaannya melalui PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa.

Dalam praktiknya, konsep ideal ini pun ternyata tidak berlangsung sesuai mandat. Terakhir, awal tahun 2014 telah terbit UU No. 6 Tahun 2014 tentang desa yang merupakan

aturan kelembagaan baru untuk desa yang mana dalam praktiknya, memerlukan banyak telaah kritis

dan masukan. Dalam UU ini banyak hal yang dapat didiskusikan, namun sebagaimana fokus awal

makalah ini, dibatasi pada arena diskursus kelembagaan terkait dengan determinasi teknologi, selain

berbagai program modernisasi desa lain yang diinisiasi pemerintah (pusat) melalui kebijakan

kementerian terkait (dalam hal ini Kominfo dan jajaran dinas dan kantor Pemerintah Daerah terkait

TIK, misal Dishubkominfo Kabupaten/Kota atau Kantor Kominfo Kabupaten/Kota)

Isu-Isu Kritikal Kelembagaan Pedesaan berbasis TIK

Ketimpangan desa-kota yang dipicu dari multidimensi masalah terkait manusia, spasial,

(relasi) kekuasaan menyebabkan ketertinggalan yang semakin menjadi dan menyebabkan fakta

nyata kemiskinan. Dari tiga dimensi yang disebutkan, kemiskinan (poverty) merupakan ukuran

nyata bagaimana melihat ketertinggalan (backwardness) yang diperlihatkan melalui rendahnya

angka-angka kecukupan sandang, pangan, papan sebagai parameter strukturalnya. Sedangkan

dimensi spasial erat kaitannya dengan bagaimana hubungan antar-wilayah yang direpresentasikan

dengan relasi yang asimetris dan menunjukkan ketergantungan wilayah desa dengan wilayah

perkotaan dalam suatu daerah dan arus sumber daya yang tak seimbang antar keduanya.

Penerapan TIK untuk desa, merupakan salah satu kebijakan yang final bagi Indonesia.

Terlepas dari berbagai isu dan kritik yang akan dibahas pada bagian selanjutnya. Hal ini didorong

oleh penerapan TIK untuk desa yang sudah terlebih dahulu dirintis di negara-negara (berkembang)

lain. Hal ini karena adanya kesepakatan dikalangan ahli (ekonomi) bahwa penerapan sains

teknologi dan inovasi (STI) merupakan aset dan daya dorong ekonomi bangsa. Pandangan serupa

diimplementasikan hingga level kewilayahan yang paling dasar, yaitu tingkat desa. Sagena (2014)

melihat adanya inspirasi “Keberhasilan” Malaysia dengan program internet masuk desa sejak tahun

2000 (lebih dari sepuluh tahun yang lalu) menjadi salah satu benchmark pemerintah maupun

kalangan civil society yang bergerak untuk “Desa Melek IT”. Proyek Pusat Internet Desa (PID) atau

Rural Internet Centre ini adalah salah satu program pemerintah Malaysia yang membangun basis

telecentre yg ada di sejak bulan April 2003 oleh Kementerian Tenaga, Air dan Komunikasi

Malaysia (KTAK). Terdapat 42 PID diseluruh negara dan disetiap PID dikelola oleh 2 orang yaitu

penyelia (supervisor) dan penolong penyelia (asisten supervisor). Di Kamboja, sebuah proyek

bernama “Village Internet Motoman” menjadikan belasan sekolah terkoneksi internet dengan lancar

antar-sekolah untuk diakses sebagai media pembelajaran. Menariknya, sekolah-sekolah di kawasan

Ratanakiri ini yang rata-rata rumah tangganya tak mempunyai satu telepon pun, sekolah dalam

jaringan mereka malah dapat berkomunikasi dengan media internet dengan mudah. Berdasarkan kondisi diatas, maka dapat disimpulkan isu pertama dalam TIK untuk desa

yaitu masalah tujuan. Memang, tujuan meng-TIK kan desa dengan sistem informasi dan internet

masuk desa didesain hanya sebatas pencapain target ala pemerintah, yaitu membangun kemudian

menyerahkan kepada daerah. Anggaran-isme dengan prestasi apabila “terserap habis” jarang sekali

memiliki rencana jangka panjang disertai pendampingan dan aktivitas lanjutan lainnya. Sampai

dengan Desember 2013, Kementerian Kominfo menurut laporan akhir tahun 2013 telah

membangun sebanyak 32.208 SSL untuk desa di wilayah non komersial yang dilayani akses

telekomunikasi atau dari sejumlah 33.184 desa (dari total 72.800 desa di Indonesia). Juga telah

dibangun sebanyak 1.857 Mobile-Pusat Layanan Internet Kecamatan (M-PLIK), sebanyak 5.956

Pembangunan Pusat Layanan Internet Kecamatan (PLIK) dan sebanyak 1.222 PLIK di pusat-pusat

atau sentra produktif. Namun demikian, beberapa studi evaluasi mengenai program-program ini menunjukkan

bahwa sejak awal determinasi teknologis sebagai sudut pandang mainstream developmentalism

yang dianut pemerintah dikhawatirkan mempunyai agenda global yang memelihara ketergantungan

desa terhadap kapitalisme global. Telah dan akan berlangsung lagi –jika pemaknaan otonomi desa

melalui UU Desa menilai investasi ke desa oleh perusahaaan multinasional sebagaimana yang saat

ini terjadi masih juga terjadi. Sebuah masa dimana “sistem pengetahuan barat” mendikte dengan

segala kecanggihan produk teknologinya semakin berperan dalam peminggiran masyarakat desa.

Jika 1 milyar uang desa dari UU desa ini berada di tangan (elit) desa maka tanpa pendampingan

yang tepat, perputarannya akan menjadi “easy come easy go” dan kedaulatan desa tetap tergerogoti

oleh sistem pengetahuan barat yang mendominasi (salah satunya modernisasi melalui produk TIK)

yang datang bersama dengan kekuatan kapital-global.5

Dalam paradigma pembangunan, pedesaan dengan demikian dikhawatirkan masuk kepada

lingkaran modernisme-kapitalisme yang diwujudkan dengan masuknya kekuatan korporasi dalam

rangka “membangun desa” namun justru kemudian menikmati ketergantungaan terhadap dunia luar

tersebut. Castells (2001) pernah mengemukakan adanya perangkap teori modernisasi yng

sebenarnya membuat konstruksi sistem sosial dunia dimana praktik ekspansi globalisme (traans-

nasionalism theory) menelantarkan sosio-kultural lokal. Darmawan (2007) menyebutkan fenomena

ini sebagai proses-proses pelucutan kedaulatan komunitas lokal untuk hidup mandiri. Apakah internet menjadi bagian dari skenario besar itu? Penetrasi pasar sebagai bagian dari

TNCs melalui internetisasi desa –komersialisasi peri kehidupan sosial budaya dengan lebih cepat

melalui budaya pop yang masuk melalui TIK (mulai dari derasnya konsumerisme produk teknologi

seperti telepon seluler –beserta jaringaan internet didalamnya untuk ber“sosial media”) sehingga

tergerusnya nilai-nilai lokal budaya yang akhirnya pendekatan deterministik teknologi ini

mengalami berbagai kritik6.

Sebagai salah satu faktor yang dianggap absen dalam penerapan TIK, bahwa moda

diseminasi dan sosialiasi TIK dilakukan “serampangan” bahkan tanpa kedua hal tersebut. Penduduk

desa terpapar pada dampak TIK (Internet, Smartphone, Tablet dll) secara langsung tanpa

pengaturan dan keteraturan baik dari otoritas kelembagaan lokal baik dalam bentuk formal legal

maupun nilai dan norma. Untuk itu, ide penguatan kelembagaan, yaitu upaya meningkatkan

kemampuan kelembagaan masyarakat dan aparat, agar proses alih informasi dan teknologi;

penyaluran dana dan investasi; proses produksi, distribusi, dan pemasaran; serta pengelolaan

pembangunan dapat harus terlembaga dengan baik sesuai kondisi dan kebutuhan lokal yang dapat

menunjang pencapaian sasaran. Pada pasal 82 dijelaskan mengenai keharusan adanya “Sistem Informasi Desa” dan

tanggungjawab pembangunannya di pundak kabupaten/kota. Pertanyaannya, apakah desa

memerlukan sistem TIK? Jika jawabannya tidak, dan paradigma yang dibangun adalah dampak

negatif TIK maka diperlukan penjembatan dan katalisator pengetahuan yang terdidik dan

“berahlak”. Disinilah peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal, Relawan dan organisasi

masyarakat madani (civil society) yang bergerak di dan bersala dari desa tertentu. Mereka inilah

yang perlu memastikan the right man with the right gun dan menjadi pendamping abadi dalam

setiap desa karena memang berasal dari desa tersebut. Memang, adanya kekhawatiran promethean ethics dengan pembangunan berbasis teknologi-

rekayasa sebagai kerangka pikir dan tujuan akhir pembangunan, memang masuk akal. Namun dapat

ditelaah lebih lanjut apakah “internetisasi pedesaan” ini benar-benar fenomena lain yang merupakan

sebuah usaha “keterkawalan TIK untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”, karena diinisiasi dan

dilakukan oleh komponen masyarakat sipil desa, digunakan oleh masyarakat desa, bukan top down

dan birokratis. Gerakan sosial ini merupakan respons untuk menjadikan TIK sebagai alat bantu

produktivitas, bukan penggerusan berbagai kohesi sosial kultural kemasyarakatan, namun diarahkan

5 Pendapat ini lebih jauh bisa dilihat pada Escobar, 1998. Konsep solusi sebagai penawar deteritorialisasi ini adalah

sebuah re-teritorialisasi (kembali berdaulat) sebagaimana Friedman (1999). Namun, UU Desa sendiri pada intinya

berusaha menjadi alat untuk re-teritorialisasi tersebut, sehingga kekhawatiran TIK menjadi “alat” modernisasi

yang “merusak” masih bisa diperdebatkan lebih lanjut.

6 Misalnya, Desa Informasi yang menjadi program Kominfo, mendapat evaluasi yang tajam dimana disebutkan

bahwa faktor Kelembagaan menjadi faktor penyebab kekurang berhasilan program ini, Faktor penyebabnya,

program itu dilaksanakan dengan determinisme teknologi dan cenderung mengabaikan diterminisme sosial

budaya. Aspek kelembagaan yang mestinya berperan dalam pengelolaan selanjutnya Desa Informasikurang

mendapat perhatian (Wahyono, B., 2001, Optimalisasi Program Desa Informasi Melalui Penguatan Kelembagaan,

Jurnal Penelitian IPTEK-KOM Volume 13, No. 2, Desember 2011

sesuai “fungsinya” yaitu alat komunikasi global, untuk kepentingan pendukung usaha peningkatan

kesejahteraan. Pun, bukan membuat petani, misalnya, me-negasi-kan ladang dan sawah, berpindah

kuadran pekerjaan karena sudah “pintar” internet, tetapi mampu menggunakannya sebagai alat

untuk perekonomian berbasis sumber daya alam. Dalam hal ini, pembangunan desa berbasis TIK ini –dengan didampingi oleh “sektor ketiga”

yaitu LSM lokal misalnya yayasan di desa, relawan TIK desa dan organisasi kemasyarakatan desa

lainnya, termasuk, nantinya perusahaan lokal desa (baik swasta maupun BUMD), maka

karakteristik TIK di dalam posisinya sebagai bagian yang menguatkan (bukan melemahkan) dari

ideologi empowerment dan pembangunan partisipatif, sustainability, serta pembangunan yang

“reflektif” (Darmawan, 2011) sebagai imbangan “lokalisme” dimana kita akhirnya dapat memilih-

memilah antara Lexus atau Pohon Zaitun7, masih bisa kita harapkan untuk ditemukan

8.

Masalah lain adalah kecenderungan organisasi bisnis TIK masuk desa dana relasi patron-

klien yang mungkin terjadi. Aplikasi TIK yang dikembangkan khusus untuk pedesaan, faktanya tak

banyak. Hal ini terkait dengan kondisi bahwa walaupun harga perangkat keras komputer cenderung

menurun namun biaya total kepemilikan (total cost of ownership) untuk aplikasi pedesaan tetap

relatif tinggi. Walaupun tersedia alternatif peranti lunak yang mendekati “gratis” seperti yang

berbasis Linux dan berkode sumber terbuka, kebutuhan sumberdaya manusia masih menjadi

kendala. Ketika membawa bendera perusahaan TIK di desa, pengembang dan pebisnis TIK harus

mencari alternatif aktivitas revenue generation untuk memeroleh keuntungan usaha (Rama Rao,

2004) Namun keberadaan UU Desa menjanjikan sebuah ladang bisnis bagi pelaku bisnis TIK.

Pengadaan infrastruktur TIK mulai dari komputer dan laptop, hingga peranti lunak dan koneksi

Internet menjadi terbuka. Hal ini terkait dengan arus dana yang akan masuk ke kas masing-masing

desa yang cukup besar. Hal ini memicu kekhawatiran akan adanya skema patron-klien yang

parasitis antara pemerintah desa dengan kalangan bisnis-swasta jika tidak diawasi oleh “sektor

ketiga”. Kembali lagi, peran relawan daan pegiat LSM menjadi katalisator gerakan sosial

masyarakat pedesaaan dalam berhadap-hadapan dengan teknologi. Isu berikutnya yang perlu dibahas adalah kapasitas SDM. Sebagai implikasi UU Desa,

terkait TIK ini maka diperlukan adanya pengembangan kapasitas (capacity building) dari perangkat

desa. Hal ini penting, sebab amanat dana bergulir yang jumlahnya hingga milyaran memerlukan

konsekuensi pengelolaaan keuangan yang akuntabel dan transparan. Artinya keahlian akuntansi-

ekonomi-sistem informasi dalam pengelolaan keuangan niscaya perlu dimiliki oleh aparat yang

bertugas. Kedua, amanat sistem informasi desa mengisyaratkan adanya infrastruktur TIK yang

tertanam dan menjadi bagian pelayanan rural e-governance. Alih-alih sampai kepada target menjadikan TIK (Internet) sebagai sarana penjembatan

pengembangan potensi (dan penjualan produk) desa lintas batas, Internet yang dikelola masih perlu

berjibaku untuk memberdayakan pegawai TIK desa, belum ke masyarakat desa itu sendiri.

Memang, penggunaan TIK pernah juga dilaksanakan untuk pemilihan kepala desa dengan cara e-

voting misalnya di beberapa desa secara bertahap Kabupaten Musi Rawas, Sumsel, Kabupaten

Boyolali, Jawa Tengah dan Kabupaten Jembrana, Bali. Hal ini dimungkinkan dengan fasilitas dari

BPPT dan panitia e-voting yang sudah disertifikasi terlebih dahulu. Jadi kembali lagi, faktor

kesiapan terkait infrastruktur dan SDM selalu diperlukan.

7 Friedman menulis buku The Lexus and Olive Tree (1999) yang memaparkan betapa globalisme menyeruak dan

mesti diimbangi dengan glokalisme, atau dalam bahasa populer saat ini, think globally, act locally. Ide besar di The

Lexus dan Pohon Zaitun ditemukan pada halaman 232 di mana Friedman menjelaskan bahwa: "jika Anda tidak

dapat melihat dunia, dan Anda tidak dapat melihat interaksi yang membentuk dunia, Anda pasti tidak bisa

menyusun strategi tentang dunia. "Dia menyatakan bahwa "Anda perlu strategi untuk bagaimana memilih

kemakmuran bagi negara atau perusahaan."

8 Kerangka hubungan kontekstualisasi posisi TIK dalam hal ini penulis paparkan pada bagian akhir analisis.

Penguatan kelembagaan ditujukan untuk meningkatkan kemampuan kelembagaan aparat

dan masyarakat di tingkat desa, serta peningkatan kemampuan aparat berserta masyarakat dalam

perencanaan, pelaksanaan pembangunan sampai dengan pemeliharaan prasarana dan sarana

perdesaan yang telah dibangun. Sehingga dapat meningkatkan kegiatan sosial ekonomi dan

pembentukan modal di perdesaan untuk selanjutnya memperluas kesempatan dan lapangan kerja di

perdesaan dengan bahan bakar amanat UU Desa (mengatur keuangan desa, gaji kepala desa dan

perangkat desa, badan usaha desa dan kegiatan berdimensi ekonomi lainnya). Peran relawan,

masyarakat –terutama yang telah terdidik dan pegiat LSM pemberdayaan masyarakat desa melek

TIK bersama komponen masyarakat desa menjadi modal sosial (social capital) yang diharapkan

meminimalisir biaya transaksi, inefisiensi dan diametrikal informasi. Hal lain yang terkait adalah isu aksesibilitas dan akseptabilitas. Ini erat kaitannya dengan

masyarakat desa sebagai pengguna akhir (end user) dalam setiap moda TIK di desa. Apakah dalam

kaitannya dengan e-rural governance dari pemerintah maupun pemanfaatan TIK untuk

pengembangan diri, potensi ekonomi, dan pasar tak terbatas dengan teknologi internet. Selain

infrastruktur yang perlu dibangun, akses publik untuk berbagai fasilitas TIK juga dibutuhkan

kematangan perencanaan. Hal ini terkait dengan dampak positif-negatif dari TIK (utamanya

internet) sehingga membutuhkan keteraturan dan pengaturan yang tepat. Bukan hanya dalam hal

siapa yang berhak mengakses, dimana tempat akses (apakah di balai desa, pusat internet desa, setiap

rumah dsj.) juga masalah akseptabilitas alias keterterimaan masyarakat. Perlu kajian lanjutan

mengenai “prioritas pembangunan pusat TIK” maupun studi akseptabilitas dan aksesibilitas

(penerimaan pengguna dan akses pengguna) masyarakat misalnya melalui TAM dan UTAUT9 dan

juga kajian sosiologis-psikologis terkait “technology and society”.

Akhir kata, dalam hal isu-isu kritis yang sempat dibahas dalam makalah singkat-terbatas

ini10

, termasuk beberapa pertanyaan mengenai posisi dan peran strategis TIK dalam transformasi

pedesaan misalnya, transformasi menuju kemana? Apa kondisi ideal yang akan dicapai di masa

depan. Apakah cukup hanya dengan TIK saja, dan jika perlu kita bisa berpikir ke belakang, apakah

memang masyarakat desa memerlukan TIK? Atau tidak? --yang tidak semua bisa terjawab,

tentunya, penulis ingin memberikan sebuah diagram keterkaitan antar sumberdaya TIK yang

diperlukan sebagai posisi ideal TIK dalam kajian sosial-transformatif pedesaan agar berfungsi

sesuai dengan harapan.

9 UTAUT atau Unified Theory of Acceptance and Use of Technology) adalah model yang dikemukakan oleh

Venkatesh, dkk (2003) yang mengembangkan model TAM (Technology Acceptance Model) sebagai model yang

digunakan untuk mengukur tingkat penerimaan pengguna (user acceptance) terhadap penerapan TIK. Lihat Davis

(1989)

10 Aturan dalam penulisan makalah UTS Gerakan Sosial dan Dinamika Masyarakat Pedesaan ini adalah maksimal 8

Halaman A4, Spasi 1 dan Font 12 Times New Roman. Saya berpendapat belum termasuk Referensi sehingga

maksimal 9 halaman.

Empat elemen dalam konteks TIK di pedesaan yang penulis rumuskan ini memang masih

debatable dan jauh dari sempurna. Namun penulis melihat bahwa dalam operasionalisasi fungsi

pemerintahan dan pelayanan publik berbasis-TIK untuk desa (e-rural governance) dan olah

kemanfaatan TIK untuk warga masyarakat desa, elemen I (Kelembagaan TIK) sekaligus merupakan

puncak piramida tatakelola TIK pedesaan. Ini erat kaitannya dengan berbagai peraturan baik

elemen III (SDM TIK) sangat penting. Ini terkait dengan pengetahuan dan keahlian (knowledge dan

skill) untuk kompetensi pelaku TIK pedesaan yang tak hanya pegawai desa terkait TIK (juga

administrasi keuangan dan perkantoran modern, juga helpdesk TIK dari swasta/PNS/LSM maupun

masyarakat desa sebagai pengguna akhir (end user) misalnya untuk internet dan layanan e-

government. Elemen II (Infrastruktur TIK). Elemen IV (Keuangan TIK) artinya unsur

penganggaran bagi pemerintah desa menjadi isu yang cukup penting. Dengan pengelolaan 1 milyar,

sudah sewajarnya ada investasi TIK oleh pemerintah. Selain pembelian perangkat lunak sistem

informasi misalnya, koneksi internet dan helpdesk TIK juga perlu direncanakan seperti apa dan

konsep PPP (Public Private Partnership) seperti apa yang bisa disinergikan dengan seimbang.

Elemen V sebagai tatakelola ideal dimana posisi TIK secara strategis kemudian dapat terjadi

kemanfaatan untuk transformasi sosial pedesaan.

KESIMPULAN

Telaah paradigma TIK dalam pengembangan pedesaan melalui proses transformasi

kelembagaan niscaya bukanlah panacea permasalahan desa. Pun bukan kebijakan yang one size fits

all. Namun, tak bisa dipungkiri TIK adalah fenomena yang semakin menggerus batas-batas wilayah

dan kedepannya konsep “nations without borders” dan “warga dunia” bisa terwujud melalui

gelombang TIK sebagai enabler11

. Pendulum kelembagaan desa bergerak hingga pada iklim otonomi daerah yang melahirkan

UU No 6 Tahun 2014 yang perlu diawasi secara bersama dan dikritisi pelaksanaannya. Terlepas

dari kritik berbagai paradigma pembangunan yang dipakai pemerintah (pusat) sebagai alat

pembangunan (pedesaaan) berdasarkan determinasi teknologisme dan mengesampingkan sosial

kultural, paradigma pembangunan pasti tetap ada dan secara epistemologis, ontologis dan aksiologis

akan memberikan sumbangsih kearifan “public policy” sehingga pendekatan pembangunan yang

tepat dapat dirasakan, misalnya sebagaiman yang dibahas pada makalah ini, yaitu TIK untuk

pembangunan (ICT 4 Development). Untuk itu diperlukan berbagai kelembagaan yang terus

menerus berevolusi untuk mencapai tahap pedesaan yang cope-in dengan kondisi yang khas dan

ideal dari pedesaan di Indonesia dengan injeksi TIK yang tepat.

Sebagaimana tersurat dalam UU Desa, pengelolaan e-rural governance dimulai dengan

adanya Sistem Informasi Pedesaan. Selain itu, inisiatif TIK di pedesaan dapat pula dilihat melalui

gerakan sosial internet untuk pedesaan misalnya gerakan desa membangun (GDM) beserta elemen

masyarakat, swasta dan juga civil society (LSM, Relawan TIK Desa, dll) bersama pemerintah(an)

desa yang pada akhirnya menemukan “posisi TIK” di dalam (transformasi) pedesaan. Kita pada akhirnya harus mampu menjadi penjembatan sekaligus penjaga dalam konteks

pemberdayaan masyarakat berbasis-TIK, bagaimana TIK untuk Pedesaaan mendapatkan ruang yang

pas dengan nilai-nilai dan norma pedesaan sehingga TIK dapat diwujudkan sebagai alat untuk

mencapai kesejahteraan masyarakat bukan sebaliknya. []

REFERENSI

Amsden, A. H. (2001) The Rise of “the Rest” : Challenges to the West from Late-Industrializing

Economies. New York : Oxford University Press

Castels, S. 2001. Studying Social Transformation. International Political Science Review, Vol. 22/1, pp. 13-32

Chiras, D.D. (1985) Environmental Science : A Framework For Decision Making. The Benjamin/Cumming Publising Cmpany, Inc. Menlo Park Davis, F.D. (1989). Perceived Usefulness, Perceived Easy of Use, and User Acceptance of

Information Technology. MIS Quarterly. (13:3), pp. 319-339

Darmawan, A.H. (2007). Otoritas Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam: Menatap Otonomi

Desa dalam Perspektif Sosiologi Pembangunan dan Ideologi Politik. Makalah pada

“Seminar dan Lokakarya Menuju Desa 2030” diselenggarakan PKSPL, PSP3IPB dan

P4W LPPM IPB, Bogor 9-110 Mei 2007

Darmawan, A.H. (2011). Pendekatan-Pendekatan Pembangunan Pedesaaan: Perspektif Klasik dan

Kontemporer. Pengembangan Makalah pada acara “Apresiasi Perecanaan Pembangunan

Pertanian Daerah bagi Tenaga Pemandu Teknologi Mendukung Prima Tani”, Bogor

11 Dalam kajian-pengalaman Friedman di buku The World is Flat : A Brief History of the Twenty-First Century (2005)

disebutkan terdapat 10 gelombang kekuatan yang “meratakan” dunia sehingga semua orang dimuka bumi

memungkinkan untuk berkompetisi secara global tanpa batas. Dari kesepuluh itu, hampir semuanya berkaitan

dengan TIK. Lihat juga karya Tapscott dan Williams, Wikinomics (2004) yang memaparkan hal-hal yang sama dan

lebih detil dari Friedman misalnya crowdsourcing, outsourcing, kolaborasi TIK yang meningkatkan produktivitas,

dst.

19-25 November 2006, dikembangkan lebih lanjut sebagai bahan ajar matakuliah Gerakan

Sosial dan Dinamika Masyarakat Pedesaan. SPD dan PWD. Escobar, A. (1998). Whose Knowledge, Whose Nature? Biodiversity, Conservation, and the Political Ecology of Social Movement. Journal of Political Ecology, Vol. 5, pp. 53-82 Friedman, J. (1999). Indigenous Struggle and the Discreet Charm of the Bourgeoise. Journal of

World System Research, Vol. 2 pp. 391-413.

Friedman, T. (2005) The World Is Flat: A Brief History of the Twenty-First Century. (Terj.) PT

DIAN RAKYAT Halchin, L. E. (2004). Electronic government: Government capability and terrorist resource.

Government Information Quarterly, 21, 406−419 Ho, T.K. (2002) Reinventing Local Governments and the E-Government Initiative, Public

Administration Review, 62, 4, 434-444 Jaeger, P. T. (2002) Constitutional principles and e-government: An opinion about possible effects

of Federalism and separation of powers on e-government policies. Government

Information Quarterly, 19, 357−368

Kattel, Rainer., Kregel, Jan A., and Reinert, Erik S. (2009) Life and Works of Ragnar Nurkse.

Tallinn: Tallinn University of Technology. Tersedia di

http://www.ttu.ee/public/s/sotsiaalteaduskond/Instituudid/avaliku_halduse/nurkse.pdf

Korten, D.C. (1990) Getting to the 21st Century : Voluntary Action & Global Agenda. West

Harvord, CT: Kumarian Press. Means, G., & Schneider, D. (2000). Meta-capitalism: The e-business revolution and the design of

21st century companies and markets. New York: John Wiley & Sons Inc.

Munasinghe, M.(1993). Environmental Economic and Sustainable Development. The World Bank. Washington, D.C.

Panadji, T. & Hastuti, E.L. (2004) Transformasi Sosio-Budaya dalam Pembangunan Pedesaan. Jurnal AKP. Vol 2 No. 1, Maret 2004, pp.77-92

Palanisamy, R. (2004). Issues and challenges in e-governance planning. Journal Electronic

Government. Vol 1 Number 3, 253-272

Peet, R. & Hartwick, E. (2009). Theories of development : contentions, arguments, alternatives, 2nd

Ed. London : Guilford Press

Perez, C. (2001). Technological Change and Opportunities for Development as a Moving Target.

Cepal Review 75, pp 109-130

Perez, C. (2002) Technological Revolutions and Financial Capital : The Dynamics of Bubbles and

Golden Ages, Celtenham : Edward Elgar Rama Rao, T.P. (2004). ICT and E-governance for Rural Development. Paper presented on

Symposium “Governance in Development: Issues, Challenges and Strategies” organized by

Institute of Rural Management, Anand, Gujarat, December, 2004

Reinert, Erik S. (2009). The Terrible Simplifiers: Common Origins of Financial Crises and

Persistent Poverty in Economic Theory and the new „1848 Moment‟. DESA Working

Paper, No.88

Reinert, E.S. (1999). "The Role of the State in Economic Growth", Journal of Economic Studies,

Vol. 26, 4/5, p. 268-326

Reinert, E. S. The Other Canon. Reconstructing the Theory of Uneven Economic Development.

othercanon.org. Available at www.othercanon.org/papers/index.html

Tapscott, D. & Williams A.D. (2008) Wikinomics: Kolaborasi Global Berbasis Web Bagi Bisnis

Masa Depan (Terj). Bhuana Ilmu Populer Tapscott, D. & Caston, A. (1993) Paradigm Shift: The New Promise of Information

Technology, McGraw-Hill: New York Sagena, U. (2014). Membangun dari desa : transformasi desa jaman baru. Dalam Saleh, D.Z. et.al.

Kaum Muda Bicara Indonesia. Forthcoming. United Nations, & American Society for Public Administration (ASPA). (2002). Benchmarking e-

government: A global perspective. New York, NY: U.N. Publications.

Van Dieren, W. (1995). Taking Nature Into Account: A Report of The Club of Rome Toward a Sustainable National Income. Copernicus, Springer-Verlag New York : Inc. New York Venkatesh, V., Morris, M., Davis., G., Davis, F. (2003). User Acceptance of Information

Technology: Toward Unified View. MIS Quarterly, (27), 3, pp. 425-478 Wahyono, B. (2001) Optimalisasi Program Desa Informasi Melalui Penguatan Kelembagaa., Jurnal

Penelitian IPTEK-KOM Volume 13, No. 2, Desember 2011