PERISTIWA 24 SEPTEMBER 2011

23
1 Peristiwa 24 September 2011 Di Buton Utara (Menggeledah Struktur dan Sebab-sebab Kekerasan Massa) Nurlin 1 (P1900212002) Abstrak Tulisan ini mengkaji tentang aksi dan kekerasan masa yang pernah terjadi di Buton Utara tanggal 24 September 2011. Dalam peristiwa itu, 1 buah mobil pemadam kebakaran, kantor DPRD Kabupaten Buton Utara dan Kantor Bupati Buton Utara dibakar karena mejadi sasaran amukan masa. Landasan teori dalam tulisan ini adalah teori tindakan kolektif Michael Bader, struktural-fungsional Emile Durkheim, teori konflik Ralf Dahrendorf dan teori agensi-struktur Anthony Giddens. Metodologi yang digunakan dalam tulisan ini adalah metodologi kualitatif dengan menggunakan teknik pengumpulan data melalui pengamatan dan kajian kepustakaan. Hasil analisa menunjukkan bahwa kekerasan yang terjadi di Buton Utara tanggal 24 September 2011 merupakan gerakan massa yang dipersiapkan, tidak lahir secara spontan, melainkan berasal dari adanya ketimpangan sosial yang terpola akibat proses sosial-politik. Selain itu, disebabkan pula oleh adanya kerapuhan struktur non-materil (sifat yang dibatinkan) masyarakat Buton Utara. Kata kunci: Aksi Sosial, Massa, dan Tindakan Kolektif, 1 Penulis adalah mahasiswa Program Pascasarjana Jurusan Antropologi Universitas Hasanuddin

Transcript of PERISTIWA 24 SEPTEMBER 2011

1

Peristiwa 24 September 2011

Di Buton Utara (Menggeledah Struktur dan Sebab-sebab Kekerasan Massa)

Nurlin1

(P1900212002)

Abstrak

Tulisan ini mengkaji tentang aksi dan kekerasan masa yang pernah terjadi di

Buton Utara tanggal 24 September 2011. Dalam peristiwa itu, 1 buah mobil

pemadam kebakaran, kantor DPRD Kabupaten Buton Utara dan Kantor

Bupati Buton Utara dibakar karena mejadi sasaran amukan masa. Landasan

teori dalam tulisan ini adalah teori tindakan kolektif Michael Bader,

struktural-fungsional Emile Durkheim, teori konflik Ralf Dahrendorf dan

teori agensi-struktur Anthony Giddens. Metodologi yang digunakan dalam

tulisan ini adalah metodologi kualitatif dengan menggunakan teknik

pengumpulan data melalui pengamatan dan kajian kepustakaan. Hasil

analisa menunjukkan bahwa kekerasan yang terjadi di Buton Utara tanggal

24 September 2011 merupakan gerakan massa yang dipersiapkan, tidak lahir

secara spontan, melainkan berasal dari adanya ketimpangan sosial yang

terpola akibat proses sosial-politik. Selain itu, disebabkan pula oleh adanya

kerapuhan struktur non-materil (sifat yang dibatinkan) masyarakat Buton

Utara.

Kata kunci: Aksi Sosial, Massa, dan Tindakan Kolektif,

1 Penulis adalah mahasiswa Program Pascasarjana Jurusan Antropologi

Universitas Hasanuddin

2

“tak ada yang lebih menakutkan manusia dari pada persentuhan dengan yang tidak dikenal”

Elias Canetti. Masa adalah pertama salinan kabur orang besar,

Kedua pembangkangan melawan orang besar, Ketiga, alat orang besar. Frederich Nietzsche.

Pengantar

Suasana yang mencekam terlihat diwajah kelompok massa saat

mereka mengetahui adanya makhluk buas ciptaan Dr. Frankestein dalam

Film Van Helsing. Kerumunan masa itu terlihat berani namun sebenarnya

mereka datang atas ketakutan mereka terhadap ancaman-ancaman

eksistensi ajaran-ajaran yang mereka anut. Masa tanpa peri kemanusiaan

membakar kediaman penelitian sang doktor. Tindakan yang tidak

sewajarnya itu menjadi hal yang mesti dilakukan sebab gerombolan

massa itu tak lagi melihat Frankestein sebagai manusia melainkan sebagai

sesuatu “yang lain” yang pantas dihancurkan.

Pengaburan konsep manusia dalam benak kepala massa membuat

wajah massa terlihat buas dan menakutkan. Teriakan-teriakan yang keluar

dari kerumunan massa itu menggambarkan betapa marahnya mereka

terhadap apa yang mereka benci. Segera setelah objek kebencian itu

bersentuhan langsung dihadapan massa, luapan emosi yang tak

terkendali membuat objek dalam hitungan menit berada dalam

cengkeraman “tangan massa”. Objek tak lagi dinilai sebagai mana dirinya

yang normal, melainkan dicitrakan sebagai sesuatu yang lain dan

abnormal. Praktek-praktek konsolidasi dalam hal mengadvokasi dan

menggerakan massa sangat berjasa dalam proses pecitraan suatu objek

sebagai yang abnormal, mejadi yang tidak semestinya ada dan harus

dihilangkan. Pencitraan objek ini menciptakan penafsiran yang negatif

dalam tafsiran massa. Melalui tafsiran negatif ini, massa menemukan

3

alasan-alasan kemarahannya dan mereduksi citra objek kemarahan dalam

kebencian-kebencian yang tak dapat ditoleransi. Dengan demikian,

bukanlah hal yang mengherankan apabila kita melihat sekumpulan massa

memukuli maling yang tertangkap di pasar, tidaklah menghrankan jika

tindakan massa begitu kejam ketika mengusir pengikut sekte atau aliran

agama Ahmadyah yang diaggap sesat, juga betapa kejamnya pengusiran

para warga terhadap orang yang dituduh sebagai dukun santet. Mereka

yang citranya telah terdeformasi dipandang bukan sebagai manusia lagi,

melainkan sebagai sesuatu yang menjijikan dan tidak pantas ada.

Luapan kemarahan massa yang membabi buta terjadi di Kabupaten

Buton Utara tangga 24 September 2011. Dalam kejadian itu, tak butuh

waktu lama, dua kantor milik pemerintah yakni kantor DPRD dan kantor

Bupati Buton Utara, beserta mobil pemadam kebakaran ludes terbakar

oleh massa yang mengatas namakan diri sebagai Penyelamat Undang-

Undang. Betapa pemerintah telah terdeformasi sebagai sasaran

kemarahan dan amukan massa. Entah apa kesalahan pemerintah dapat

dilihat dari nama massa yang terorganisir itu sebagai Penyelamat

Undang-Undang. Tentunya nama itu mengandaikan citra yang ditafsirkan

oleh massa yang sedang mengamuk. Citra itu megandaikan pemerintah

sebagai oknum yang tidak mengindahkan amanah Undang-Undang

Nomor 17 Tentang Pembentukan Kabupaten Buton Utara.

Citra pemeritah yang terdeformasi melalui penafsiran dalam kepala

massa menjadikan pemerintah sebagai bukan pemerintah melainkan

sebagai oknum yang melanggar Undang-Undang yang harus dilawan.

Gambaran inilah yang membuat monster berkepala banyak itu sangat

agresif melakukan pengrusakan tanpa kendali nilai sebagai sesama

manusia atau tanpa rasa hormat lagi terhadap pemerintah. Namun

persoalan kemudian adalah benarkah kesalahan pemerintah hanya

4

terletak pada sisi tafsiran Undang-Undang? Adakah penyebab lain yang

turut memengaruhi ledakan massa yang sangat destruktif itu?

Tulisan ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Namun

penulis disini tidak bertujuan untuk membelah pemerintah, bukan pula

mencari kambing hitam, juga tidak memposisikan tulisan ini sebagai

naskah hukum atau naskah akademik pemecahan masalah. Tulisan ini

tidak lain adalah komentar akademik yang berupaya memahami dan

mengomentari sisi lain dari tindakan-tindakan masyarakat (tragedi 24

September) melalui kacamata teori-teori sosial.

Teori Struktural-Fungsionalisme dan Teori Konflik

Kedua teori ini dibahas bersama karena antara teori struktural-

fungsionalisme dan teori konflik tak dapat dipisahkan. Namun

bagaimanapun teori ini tidaklah berarti sama atau setara. Hanya saja teori

konflik merupakan pandangan lain atau antitesa dari teori strukturalisme-

fungsional. Kita akan mulai pembahasan mengenai teori Struktural-

Fungsional.

Struktural-fungsionalisme memandang masyarakat sebagai suatu

sebagai suatu sistem dari struktur-struktur sosial.2 Menurut Durkheim,

seorang individu terlahir dalam struktur yang telah mapan dan individu

tidak memiliki pilihan lain kecuali mengikuti struktur tersebut. Durkheim

bahkan berpandangan bahwa pikiran dan pengalaman sekali pun

diwariskan.3 Artinya seorang individu dalam menghadapi fakta-fakta

sosial tidak dapat melakukan pilihan sendiri selain dari apa yang telah

2 Achmad Fedyani Saifuddin, Antropologi Kontemporer; Suatu Pengantar Kritis

Mengenai Paradigma (Ed. I, Cet. II, Jakarta, Kencana:2006) hlm. 156 3 PIP Jonas, Pengantar Teori-Teori Sosial; Dari Teori Fungsionalisme Hingga Post-

modernisme (Cet. II, Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia: 2010) hlm. 45

5

disediakan oleh budaya itu sendiri. Nama, kebiasaan suatu masyarakat

untuk tunduk kepada yang lebih tua, memakai baju, melaksanakan tugas

sebagai mahasiswa dan sebagai dosen semuanya telah diatur oleh

kebudayaan sebagai struktur itu sendiri dimana individu berada di

dalamnya tanpa punya pilihan lain selain mengikuti struktur itu.

Sedangkan struktur itu menurut Durkheim diwariskan melalui sosialisasi.

Struktur yang diwariskan itu menurut Durkheim berfungsi untuk

menjaga keteraturan sosial. Termasuk organisasi-organisasi sosial seperti

keluarga ada untuk menjalankan fungsinya di dalam struktur. Untuk

menjelaskan hal ini, Durkheim menggunakan analogi organik yang

merupakan karya Herbert Spencer. Dalam tubuh mahluk hidup terdapat

organ-organ yang memiliki fungsi masing-masing yang tak dapat

dipisahkan. Seperti otak sangat bergantung pada jantung yang memompa

darah dan keseluruhan sistem organ yang menjadi sayarat hidup mahluk

hidup. Rusaknya salah satu organ ini akan menyebabkan organisme itu

sakit. Demikian juga dengan masyarakat, jika salah satu organisasi sosial

sakit, akan mempengaruhi stabilitas masyarakat.4

Berbeda dengan teori strukturalisme-fungsional, teori konflik

melihat struktur dan fungsi yang ada dalam masyarakat sebagai bentuk

ruang-ruang penindasan. Ralf Dahrendorf membedakan antara teori

Struktural-Fungsionalisme:5 jika kaum fungsionalis menekankan pada

ketertiban masyarakat, para teoritis konflik melihat pertikaian dan konflik

ada pada setiap titik di dalam sistem sosial. Bagi kaum fungsionalis (atau

setidaknya kaum fungsionalis awal) berargumen bahwa setiap unsur di

dalam mayarakat menyumbang bagi stabilitas; maka para teoritis konflik

melihat bahwa banyak unsur masyarakat merupakan penyumbang

4 Lihat PIP Jonas, Ibid hal. 52

5 George Ritzer, Teori-Teori Sosial; Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan

Terkahir Post-modernisme (Cet. I, Yogyakarta, Pustaka Pelajar: 2012) hlm. 450

6

disintegrasi dan perubahan. Kaum Struktural-fungsionalis memandang

bahwa masyarakat diikat secara informal oleh norma-norma, nilai-nilai,

dan moralitas bersama; para teoritis konflik melihat setiap ketertiban yang

ada di dalam masyarakat berasal dari pemaksaan sejumlah anggota

masyarakat oleh orang-orang yang berada di puncak dalam struktur.

Sementara kaum struktural-fungsionalis berfokus pada kohesi yang

diciptakan oleh nilai-nilai bersama masyarakat, para teoritis konflik

menekankan peran kekuasaan dalam memelihara tatanan di dalam

masyarakat.

Bagi penganut teori konflik, terdapat kesenjangan dalam struktur

sosial dimana ada kelompok yang diuntungkan oleh struktur dan

kelompok yang dirugikan oleh struktur. Mereka yang dirugikan

didominasi dengan sejumlah wacana dan otoritas kelompok yang

diuntungkan oleh struktur sosial yang berlaku. Selanjutnya Dahrendorf

mengatakan bahwa karena masyarakat itu berwajah dua (konflik dan

konsensus), maka masyarakat tidak bisa ada tanpa konflik dan konsensus

dan tidak bisa ada konflik jika tidak ada konsensus yang mendahuluinya.

Konsensus atau kesepakatan bersama yang diingkari dalam teori

konflik akan melahirkan konflik. Dengan demikian dalam kasus

kekerasan massa di Buton Utara berdasarkan pandangan teori konflik

dapat dikatakan bahwa peletakan ibu kota diluar amanah undang-undang

merupakan bentuk pengingkaran atas konsensus yang ditetapkan oleh

undang-undang. Tentunya pengingkaran ini dilakukan oleh kelompok

yang diuntungkan posisinya atau memiliki otoritas di dalam struktur

yakni pemerintah. Namun bagaimana kelompok yang dirugikan oleh

struktur ini menemukan artikulasi perlawanannya? Hal ini akan dibahas

didalam teori tindakan kolektif pada pembahasan selanjutnya.

7

Agensi dan Struktur (Teori Strukturasi)

Anthony Giddens adalah tokoh yang mempopulerkan teori

strukturasi. Jika Durkheim memandang struktur tak dapat berubah dan

ada sebelum manusia dilahirkan dan mempengaruhi seluruh tindakan

masyarakat, maka Giddens berpandangan lain. Menurut Giddens antara

struktur dan tindakan individu (Giddens menyebutnya sebagai Agensi)

keduanya tidak dapat dipisahkan: agensi tersirat didalam struktur dan

struktur tersirat dalam agensi.6 Artinya bahwa individu dapat bertindak

memengaruhi dan menciptakan struktur baru sekali pun pada sisi yang

lain (pada saat yang sama) agen dipengaruhi oleh struktur lama.

Giddens juga menjelaskan konsep kuasa dan agensi dalam teori

strukturasi. Bahwa tidak hanya struktur makro yang memiliki kuasa,

tetapi juga struktus mikro memiliki kuasa untuk mengubah struktur

makro. Giddens mengatakan bahwa adanya struktur yang membatasi

pilihan dalam bertindak tidak boleh diartikan dengan terputusnya

tindakan.7 Tidak memiliki pilihan bukan berarti seorang individu tidak

dapat bertindak. Individu dapat bertindak dengan kuasa kehendak yang

dimilikinya. Dalam pengertian ini, kuasa tidak diartikan sebagai

kepemilikan otoritas suatu kelompok masyarakat atau sejenis prilaku

khusus melainkan mencangkup seluruh tindakan, dan kekuasaan

bukanlah sumber daya. Sumber daya-sumber daya justru adalah sarana

untuk menjalankan kekuasaan sebagai unsur rutin instansiasi prilaku

dalam reproduksi sosial.8 Dengan demikian kekuasaan mencangkup

kontinuitas rutinisasi relasi kemandirian dan ketergantungan disepanjang

ruang dan waktu tindakan sosial. Semua bentuk ketergantungan memberi

6 George Ritzer, Ibid, hlm. 380

7 Anthony Giddens, Teori Strukturasi; Dasar-dasar Pembentukan Struktus Sosial

Masyarakat (Cet. I, Yogyakarta, Pustaka Pelajar: 2010) hlm. 23 8 Ibid, hlm. 25

8

sumber daya kepada bawahan untuk dapat memengaruhi atasannya.

Inilah yang disebut Giddens sebagai dialectic of control (dialektika kontrol).

Tak hanya atasan yang dapat mengontrol, namum mekanisme

ketergantungan atasan kepada bawahan dapat menjadi kuasa bawahan

untuk memengaruhi aktifitas atasan mereka. Dengan demikian apa yang

disampaikan oleh teori konflik: dalam struktur ada kelompok yang

diuntungkan karena mendapat otoritas dari struktur itu, melalui analisis

agensi Giddens, secara fungsional kelompok yang dirugikan dapat

memiliki otoritas terhadap kelompok yang berada di atas struktur.

Kekuasaan yang sama juga dimiliki oleh massa pembela Undang-

Undang ketika mereka melakukan tindakan kepada pemerintah. Sebagai

kelompok yang dirugikan oleh struktur akhirnya bertindak sebagai agensi

untuk merubah atau mereproduksi struktur yang baru (menstrukturasi)

dalam penetapan ibu kota kabupaten Buton Utara.

Konsep Massa dan Aksi Sosial

Menalar tentang aksi sosial dan kekerasan massa yang terjadi di

Buton Utara, saya menggunakan analisis Aksi Sosial menurut Sidney

Tarrow yang dianggap cukup relevan dengan tema yang dibicarakan.

Menurut Sidney Tarrow 9 terdapat beberapa syarat utama agar suatu

gerakan disebut sebagai Aksi Soail yakni: Pertama, suatu protes yang

dilakukan oleh massa dapat disebut sebagai gerakan bila didalamnya ada

aktor-aktor yang mengorganisasikan diri dan memobilisasi massa. Sebuah

organisasi atau lebih didalam sebuah aksi adalah salah satu tanda penting

bahwa protes itu memang terorganisir. Ini dimaksudkan untuk

9Idris Rahim, Identitas Etno Religius Dalam Pembentukan Provinsi Gorontalo,

Disertasi, Program Pasca Sarjana, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta: 2010, hlm. 33-34

9

membedakan dari suatu kumpulan massa dengan kerumunan massa

(crowd).

Kedua, pentingnya pemahaman mengenai gerakan yang terorganisir

disini adalah mengenai asumsi tentang eksistensi sang aktor sosial yang

mengelola segala bentuk ketidak puasan dan kekecewaan (grievances),

atau isu bersama, menjadi identitas dan solidaritas, bahkan ideologi. Ini

sangat penting karena sebuah gerakan butuh dukungan publik,

setidaknya kelompok-kelompok organisasi untuk bergabung dalam suatu

protes. Aktor-aktor yang bergerak untuk melawan selalu secara dinamis

merancang tindakan sedemikian rupa untuk menciptakan peluang politik

bagi mereka ketika berhadapan dengan lawan-lawannya.

Ketiga, ada lawan-lawan yang setidaknya merupakan bagian dari

kelompok yang terorganisir pula. Lawan itu dapat berasal dari Negara,

militer-militer atau pemerintah, penguasa, pengusaha besar atau

perusahaan-perusahaan, baik lawan–lawan pada tingkat sektoral maupun

nasional adalah bagian dari sebuah kekuatan yang tidak hanya memiliki

legitimasi menggunakan alat-alat represi. Ada represi dalam bentuk

sebuah produk keputusan kebijakan penguasa yang dipandang tidak

menguntungkan, tidak menciptakan partisipasi mereka sementara hal itu

berkaitan langsung dengan masa depan mereka.

Keempat, tindak protes selalu mencerminkan adanya sebuah siklus

proses perlawanan yang terorganisir (gagal maupun sukses) terhadap

kekuasaan selalu terjadi berulang-ulang.

Pandangan-pandangan Sidney Tarrow di atas memberikan batasan

pada konsep aksi sosial yang mungkin berbeda dengan aksi sosial yang

selama ini dipahami. Bahwa aksi sosial tidaklah sama dengan kerumunan

massa (crowd). Seperti kerumunan massa yang sedang antri di pertamina,

kerumunan massa yang sedang antri menunggu pembagian BLT dari

10

pemerintah, atau mereka yang sedang berada dipasar sentral, kerumunan

massa yang sedang mengejar seorang pencuri di pasar bukanlah

merupakan aksi sosial menurut pengertian Tarrow di atas. Mengingat

rumitya membedakan pengertian mengenai aksi sosial dan aksi massa

yang hampir sama dan luas maknanya, maka dalam tulisan ini perlu

diadakan pembatasan konsep. Dalam analisis Tarrow di atas, kita sudah

dapat menangkap maksud dari apa yang dimaksud dengan aksi sosial

yang penulis maksdukan dalam tulisan ini. Bahwa aksi sosial merupakan

gerakan protes yang terorganisir dan memenuhi sayarat-syarat yang telah

djelaskan di atas. Namun bukakah kerumunan massa (crowd) itu dapat

dikategorikan juga sebagai aksi sosial? Lalu apakah pengertian massa itu?

Kesenjangan konsep ini dapat diselesaikan oleh pengertian yang di

bahas oleh F.Budi Hardiman dalam karyanya yang berjudul: Massa, Teror

dan Trauma; Menggeledah Negativitas Masyarakat Kita. Hardiman

menjelaskan bahwa massa adalah konsentrasi manusia-manusia pada

suatu tempat, dan konsentrasi itu tidak lama bertahan.10 Pengertian ini

dapat dicontohkan seperti kerumunan massa yang sedang antri di

pertamina, kerumunan massa yang sedang antri menunggu pembagian

BLT dari pemerintah, atau mereka yang sedang berada dipasar sentral,

dll. Namun lebih dari itu, Hardiman menekankan ciri yang spesifik dari

suatu kerumunan yang disebut sebagai massa bahwa massa itu tidak

bergerak dalam bingkai-bingkai institusioal, melainkan mengacu pada

aksi-aksi kumpulan manusia yang melampaui batas-batas institusional.

Pengertian melampaui batas-batas institusional mengacu pada pengertian

bahwa sekumpulan manusia menjadi “massa”, jika mereka bertindak

mengabaikan norma-norma sosial yang berlaku dalam situasi sehari-hari.

“Massa” dalam arti ini selalu berkaitan dengan situasi khusus dengan

10 F. Budi Hardiman, Massa, Teror dan Trauma; Menggeledah Negativitas Masyarakat

Kita, (Cet. I, Yogyakarta, Penerbit Lamalera: 2011), hlm., 74

11

keadaan sosial yang abnormal. 11 Melalui pengertian ini, massa tidaklah

sama dengan aksi sosial yang memprotes kebijakan pemerintah, sebab

terikat dalam bingkai hukum dan situasi normal sehari-hari. Namun

begitu banyak orang terprovokasi untuk melakukan tidakan-tindakan

anarkhi, mereka berubah mejadi “massa”.12 Dengan demikian, dapatlah

diketahui perbedaan antara aksi sosial dan aksi massa. Dan dapat pula

kita menjawab pertanyaan bahwa sejak kapan aksi sosial Pembela

Undang-Undang dalam peristiwa 24 September di Buton Utara berubah

mejadi massa?

Teori Tindakan Kolektif

Aksi kekerasa massa tidaklah memadai jika harus dijelaskan melalui

teori prilaku ala Freudian, dan tidak pula memadai jika harus dijelaskan

semata-mata melalui pendirian strukturalis ala Marxis.13. Freud dan

Ortega bersama gurunya Le Bon mengandaikan kekerasan massa sebagi

produk psikis sementara teori-teori Marx menemukan akar-akar

kekerasan dalam ketimpagan-ketimpangan struktural yang tercipta dalam

masyarakat. Diperlukan sebuah teori yang tentunya tidak berada dalam

konfrontasi teoritis yang telah disebutkan, melainkan memadukannya.

Kekerasan massa dapat dikategorikan sebagai tindakan sadar, tidak

terbatas sebagai prilaku. Dalam hal ini, prilaku berkenaan dengan

spontanitas naluriah yang irasional, sementara tindakan menyangkut

kesadaran manusiawi.14

Kebanyakan massa yang mengamuk tidaklah berada dalam keadaan

yang tidak sadar, tidak dalam situasi hipnotis, melaikan dalam keadaan

11 Ibid, hlm., 75 12 Ibid 13 Untuk lebih jelasnya, baca F. Budi Hardiman, Ibid, hlm. 75-78 14 Ibid, hlm. 79

12

sadar dan bertujuan. Hanya saja massa terprovokasi oleh nilai tertentu

yang berhubungan dengan survival-nya. Dengan demikian analisis

terhadap kekerasan massa lebih dapat dijangkau melalui analisis tindakan

kolektif yang tidak parsial memahami sebab-sebab kekerasan massa yang

dihubungkan dengan gejolak mentalitas, atau meluluh disebabkan oleh

analisis ketimpangan struktur sosial.

Menurut Budi Hardiman, analisis teori tindakan kolektif yang

dimaksudkan adalah teori tindakan kolektif Veit Michael Bader. Melalui

teori ini lanjut Hardiman, kita dapat mejelaskan tesis bahwa kekerasan

massa berasal dari tangan manusia, namun dinamika perstiwa ini dapat

melampaui intensi-intensi para pelakunya, bahwa chaos bukanlah ledakan

spontan ressentiment, melainkan dipersiapkan melalui proses-proses

tindakan manusia. Chaos adalah bagian suatu proyek untuk mengubah

suatu tatanan yang tidak adil.15 Melalui teori ini pula, kita dapat

memahami aksi-aksi mahasiswa yang sedang memprotes keras kebijakan

pemerintah sering berakhir dengan kekacauan atau chaos. Demikian pula

aksi kekerasan massa yang terjadi di Buton Utara tidak lahir secara

spontan melainkan dipersiapkan, chaos yang terjadi merupakan proyek

untuk tujuan tertetentu yang hanya diketahui oleh para aktor kekerasan.

Teori tindakan mengkaji massa sebagai sesuatu yang dipersiapkan

oleh manusia. Bader menerangkan unsur-unsur yang mempengaruhi

terbentuknya massa. Menurutnya, sikap kolektif merupakan unsur pertama

dalam pembentukan massa.16 Sikap kolektif yang dimaksud misalnya

karaker agresif preman, sentimen-sentimen agama, rasistis, sentimen dan

polarisasi politk yang menurut Bader seperti dikutip Hardiman

15 Ibid, hlm. 74 16

Pengertian massa yang dimaksud sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya yakni kumpulan manusia yang melakukan tindakan diluar keadaan normal tanpa di batasi oleh batas-batas institusionalisasi.

13

merupakan struktur sosial yang dibatinkan.17 Eric Fromm menyatakan,

bahwa karakter pada manusia merupakan pengganti kebutuhan fisiologis

(dorongan organik; usaha mempertahankan diri) manusia yang kurang

berkembang. Hasrat manusia, seperti cinta, kelembutan hati, kebebasan,

tindakan destruktif, sadis, masokis, dan keinginan lebih lainnya adalah

instrumen untuk memenuhi kebutuhan eksistensialnya, yang berakar dari

kondisi eksistensi manusia tersebut.18 “Penghasut” massa memanfaatkan

kondisi eksistensi individual ini yang dipoles menjadi struktur kognitif

bersama melalui dominasi wacana sosio-politis, melalui penafsiran,

hasutan, oleh budaya, oleh trend, oleh media, hingga sikap-sikap itu

kemudian dibatinkan menjadi ciri khas suatu kelompok. Unsur kedua

pembentukan massa adalah terbentuknya identitas kolektif. Sikap kolektif

yang relatif homogen tanpa disadari membentuk identitas kolektif yang

didefinisikan oleh Bader sebagai “pemisahan dari yang lain”.19

Unsur ketiga pembentukan massa adalah terciptanya kepentingan

Kolektif. Ketegangan-ketegangan akan lebih muda tercipta dalam lapangan

pertarungan kepentingan. Ketika kepentingan kita dan mereka saling

berhadapan, rasa kekitaan suatu kelompok teritegrasi dalam tingkat

resistensi yang tinggi. Bader menjelaskan seperti yang dikutip oleh

Hardiman: “jika para individu mengorientasikan kepentingan-

kepentingan partikular mereka kepada kelompok, sehingga kepentingan-

kepentingan macam itu dapat dibedakan dari kepentingan-kepentingan

kelompok lain terbentuklah kepentingan kolektif.20 Perbedaan identitas dan

kepentingan kolektif ini akan menjadi sangat relevan dengan amukan

massa manakala perbedaan identitas dan kepentingan antara kita dan

17

Op cit, hlm. 91 18

Didik Saputra, Akar-Akar Kekerasan Suporter Sepak Bola (dikutip dalam http://29.wordpress.com, diposting pada tanggal 8 Januari 2011)

19 Op cit, hlm. 91

20 Ibid, hlm. 93

14

mereka terartikulasi secara jelas melalui penafsiran. Dengan demikian

unsur terpenting dari berkumpulnya massa adalah adanya kepemimpinan

dan organisasi. Melalui kepemimpinan dan organisasi, sikap, identitas,

kepentingan ditematisir dan ditafsirkan menjadi sebuah visi tindakan

kolektif. Segala keberatan-keberatan, ketidakpuasan-ketidakpuasan di

artikulasikan, ditematisir dan dikoordinasikan. Menurut Hardiman,

kepemimpinan dan organisasi yang merupakan inti dari gerakan sosial

membentuk suatu jaringan yang rumit. Juga dalam aksi massa yang

tampaknya tak terstruktur, orang dapat mengenali pembagian tugas

tertentu diantara para anggotanya: ada “kristal massa”, yaitu para pemicu

kekerasan massa, penghubung antara kelompok yang satu dengan

kelompok yang lain, informan-informan dan para pelaksana yang hanya

mengikuti perintah dari atas.21

Tahap terakhir yang mengantarkan massa ke ambang tindakan

destruktif adalah mobilisasi. Proses ini menurut Hardiman bukanlah

proses yang sederhana. Peralihan dari massa laten ke massa terbuka tidak

hanya menuntut upaya menyebarkan emosi, agitasi dan provokasi

ditengah-tengah orang banyak. Hal itu juga memerlukan strategi yang

cerdik, kalkulasi, risiko-risiko, pilihan-pilihan sarana dst. Untuk

melancarkan aksi bersama melawan tatanan normatif yang berlaku.22

Peristiwa 24 September di Buton Utara

Sekitar pukul 13.00 WITA, seperti diberitakan oleh beberapa media,

rombongan massa dari kecamatan Bonegunu dan kambowa yang

mengatas namakan Masyarakat Pembela Undang-Undang datang dengan

tiga unit mobil truk, satu unit mobil Dinas Perhubungan yang disandera

21 Ibid, hlm. 95-96 22

Ibid, hlm. 96

15

dalam perjalanan ke Ereke serta puluhan motor.23 Aksi ini merupakan

lanjutan dari aksi sosial yang pernah dilakukan beberapa hari sebelumnya

yang menuntut pemindahan pusat pemerintahan Kabupaten Buton Utara

dari Ereke ke Buranga sebagai ibu kota dan pusat pemerintahan sesuai

amanah Undang-Undang nomor 17 tahun 2007. Pada aksi massa

sebelumnya Jumat, 23 September 2011, ratusan warga Buranga bahkan

sempat menyandera Dirut RSUD Buton Utara dan membakar mobil Dinas

BKKBN Kabupaten Buton Utara. Aksi tersebut dilakukan dalam bentuk

sweeping yang berlangsung dijalan Ronta.

Kemarahan warga ini memuncak pada Sabtu, 24 September 2011.

Arak-arakan massa dalam tiga truk, satu mobil Dinas Perhubungan dan

ratusan motor menciptakan suasana yang menakutkan dan mengerikan.

Massa seperti halnya rombongan prajurit dalam perang-perang kerajaan

masa lampau yang dilengkapi dengan senjata tajam dan “tameng baja”.

Beberapa pekerja yang sedang membangun gedung di sekitar jalan

menuju kantor DPRD Buton Utara dikagetkan oleh tombak dan kengerian

yang muncul di wajah massa. Tak dapat menahan rasa takut, banyak

pekerja bangunan lari tunggang-langgang mencari tempat persembunyian

yang aman.

Suasana kembali mencekam ketika massa tanpa basa-basi membakar

kantor DPRD Butur. Kepulan asap terlihat di arah Kantor DPRD Buton

Utara. Satu mobil pemadam kebakaran yang datang untuk memadamkan

api juga dibakar oleh massa yang sedang mengamuk. Pihak keamanan,

massa yang pro pemerintah dan Satpol PP tak dapat berbuat apa-apa

karena jumlah mereka yang terbatas di banding dengan massa yang

sedang mengamuk. Massa kemudian bergerak menuju Bumi Sara Ea yang

23

Media Sultra-Sindikasi di http://sindikasi.inilah.com, (diakses pada Minggu, 25 September 2011 pukul 20:27 WIB)

16

merupakan pusat perkantoran pemerintah Kabupaten Buton Utara.

Sasarannya adalah kantor bupati Kabupaten Buton Utara. Disana massa

pembela Undang-Undang sebelumnya mendapatkan perlawanan dari

massa yang pro pemerintah, namun aksi pembakaran tidak dapat

dihentikan karena jumlah yang sedikit.

Kepulan asap menghiasi Kantor Bupati Buton Utara saat dilalap oleh

api yang dipicu oleh massa. Warga Ereke kemudian diresahkan oleh isu

pembakaran pasar sentral dan rumah jabatan bupati oleh massa pembela

Undang-Undang. Pasca pembakaran kantor bupati, massa pembela

Undang-Undang mendapat perlawanan yang sengit dari massa pro

pemerintah. Dua massa yang saling berhadap-hadapan itu saling serang

dengan busur, tombak dan batu akibatnya seorang warga terluka akibat

terkena busur. Namun akhirnya dapat dibubarkan oleh aparat kepolisian.

Aksi kekerasan dan saling serang ini mengandaikan dua

kepentingan kolektif berbeda. Antara kita dan mereka bertemu dalam

lapangan sosial yang banal. Massa pembela Undang-Undang

menyebarkan teror yang telah dipersiapkan dengan melancarkan strategi

chaos untuk menentang sistem yang berlaku, sementara massa pro

pemerintah teritegrasi dalam upaya perwujudan kepentingan yang

berbeda dan terlebih lagi adalah dorongan naluri bertahan ketika

mendapatkan serangan dari kelompok identitas berbeda. Bagaimana pun

juga, massa pro pemerintah bukanlah kelompok yang secara spontan

terbentuk tanpa memenuhi unsur-unsur pembentukan massa sepeti

analisis teori tindakan kolektif yakni adanya sikap kolektif, identitas

kolektif, kepentingan kolektif, organisasi dan kepemimpinan serta

mobilisasi massa.

Seperti kata Bader terdapat sikap yang dibatinkan dalam benak

kepala massa. Massa yang kelihatan spontan sekalipun sebenarnya

17

terpola oleh proses sosial-politik, keakraban, identitas, dll. yang telah lama

ada dan terbentuk diluar situasi formal dan bahkan tidak disadari.

Polarisasi dukungan dalam proses demokrasi misalnya, memberi peluang

untuk menciptakan identitas baru, kepentingan baru dan keakraban-

keakraban baru. Pola yang terbatinkan ini menjadi kategori-kategori yang

berpeluang menyulut gerakan massa yang terlihat spontan sekalipun.

Intinya tak ada spontanitas aksi massa, semuanya dipersiapkan oleh

proses-proses dan relasi-relasi sosial yang rumit. Massa juga tidak lepas

dari kepemimpinan dan mobilisasi. Dalam massa yang kelihatan spontan,

kepemimpinan terbentuk dari pengakuan sosial terhadap kapasitas

seseorang yang juga terbatinkan melalui proses sosial yang berlangsung

dalam ruang dan waktu, juga dapat terbentuk dari organisasi-organisasi

non formal seperti komunitas preman dan kelompok-kelompok pemuda.

Namun dalam massa yang terorganisir, massa bertindak dalam

pembagian tugas, strategi-strategi, kalkulasi-kalkulasi, ketundukan dan

risiko-risiko yang diperhitungkan sebelumnya secara cerdik.

Monster berkepala banyak itu bergerak tanpa kendali moral dan

norma-norma bukan karena mereka tidak memiliki nurani sebagai

manusia. Pikiran dan tindakan massa berada dalam prinsip kepatuhan

yang ditafsirkan dan dibatinkan. Seperti studi yang pernah dilakukan oleh

Hannah Arendt mengenai Adolf Eichmann dalam karyanya yang

berjudul: Eichmann in Jerusalem. Eichmann adalah kaki tangan Hitler yang

bertanggung jawab terhadap pemusnahan orang Yahudi. Pada dasarnya,

Eichmann adalah seorang warga negara dan birokrat yang baik, namun

dalam menjalankan kepatuhannya terhadap rezim Nazi ia melakukan

tindakan-tindakan di luar batas-batas moralitas dan norma-norma

kemanusiaan. Untuk memecahkan persoalan ini, kita dapat mempelajari

percobaan Stanley Milgram yakni the Milgram experiment. Dalam

18

percobaan itu Milgram menggunakan tiga orang untuk berperan dalam

instrumen penelitian. Seorang sebagai pemimpin eksperimen, seorang

orang berperan sebagai guru (posisi ini diganti-ganti) dan satu orang

berperan sebagai siswa.24

Peserta dari percobaan ini dicari melalui sebuah iklan di koran lokal

yang mengumumkan bahwa dibutuhkan orang untuk berpartisipasi

dalam sebuah studi tentang memori. Sebagai kompensasi, setiap peserta

menerima uang sebesar $ 4.50. Iklan tersebut juga menyebutkan profesi-

profesi apa saja yang diharapkan untuk berpartisipasi. Percobaan pun

berjalan setelah didapatkan total 40 partisipan. Setiap partisipan

mengambil undian yang tanpa mereka ketahui selalu bertuliskan "guru"

dan partisipan lainnya, yang sebenarnya adalah aktor, bertindak sebagai

"murid". Kemudian "guru" dan "murid" masuk ke ruangan yang berbeda.

Tugas dari guru adalah membacakan rangkaian soal dan murid

menjawabnya dengan menekan tombol pada mesin yang disediakan.

Apabila jawaban yang diberikan salah maka guru harus memberikan

tegangan listrik kepada murid. Tegangan listrik tersebut bertahap mulai

dari 15 volt hingga 450 volt dan diberikan label mulai dari "tegangan

rendah", "tegangan sedang" hingga "bahaya: tegangan listrik fatal"

sedangkan dua volt tertinggi bertuliskan "XXX". Ketika mencapai level 300

volt, murid akan mengetuk-ngetuk dinding memohon agar percobaan

dihentikan. Diatas 300 volt, murid akan diam dan menolak untuk

menjawab pertanyaan yang lalu oleh penguji akan dianggap sebagai

jawaban salah sehingga tegangang listrik harus diberikan. Sampai tingkat

tegangan listrik mana partisipan berhenti menjadi ukuran dari

kepatuhannya terhadap otoritas. Dari 40 orang yang menjadi peserta

24

F. Budi Hardiman, Op cit, hlm. 137

19

percobaan ini sebanyak 26 orang memberikan tegangan tingkat tertinggi

sementara 14 orang berhenti sebelum mencapai tingkat paling tinggi.25

Percobaan Milgram ini memberi penjelasan adanya kepatuhan

terhadap otoritas atau sistim yang sedang dijalankan. Demi menjalankan

prosedur eksperimen sang Professor, para peserta rela memberikan

kejutan listrik pada peserta lainnya (yang bertindak sebagai murid).

Demikianlah juga ketika Adolf Eichmann disidang pasca perang dunia II

karena kejahatannya sebagai seorang Nazi yang banyak membunuh orang

Yahudi, dalam kesaksiannya ia mengatakan: “saya hanya menjalankan

perintah atasan saya”.

Mobilisasi dalam aksi kekerasan massa itu dipermudah oleh adanya

ketundukan atau adanya otoritas yang menguasai alam kognitif massa.

Ketundukan seperti diperlihatkan oleh percobaan Milgram di atas terjadi

karena misanya adanya otoritas keilmuan Professor Stanley Milgram yang

terjewantahkan dalam prosedur penelitian, dan boleh jadi karena

ketundukan terhadap uang sebesar $ 4.50 yang dibayarkan pada peserta

eksperimen. Dalam aksi kekerasan, ketundukan karena otoritas uang

dapat saja terjadi yang membuat massa dapat diperintah atau disetir

seperti mesin. Tubuh memimesis kerja-kerja mesin.

Berdasarkan penjelasan di atas, menurut hemat penulis, tragedi

kekerasan massa pada 24 September di Buton Utara terjadi tidak hanya

disebabkan oleh adanya penafsiran Undang-Undang Nomor 17 tahun

2007 tentang Pembentukan Kabupaten Buton Utara. Dalam hal ini yang

dipersoalkan adalah masalah ibu kota. Sebagaimana analisa teori tindakan

kolektif, ada beberapa faktor potensial yang mendorong atau mentenagai

penafisran UU itu menjadi aksi kekerasan massa diataranya:

25

http://id.wikipedia.org/wiki/Percobaan_Milgram

20

Pertama, adanya sikap kolektif masyarakat Buton Utara yang

cenderung agresif dalam menanggapi problem-problem kehidupan. Hal

ini dapat dilihat setidaknya dalam kacamata sosial-budaya. Ada struktur

budaya kekerasan yang mewariskan dari masa lalu seperti ilmu kebal,

silat, keris pusaka dan beberapa mantra yang diyakini dapat digunakan

untuk berkelahi. Dalam hal ini, antara massa pro pemerintah dan

penyelamat undang-undang sama-sama mewarisi sikap agresif yang

terbatinkan itu.

Kedua, adanya identitas kolektif yang terbentuk berdasarkan proses

sosial-politik yang berlangsung di Buton Utara. Identitas sosial-budaya

ada dua macam: 1) identitas Ereke (Kecamatan Kulisusu) sebagai bekas

Barata Kulisusu yang memengaruhi struktur berpikir masyarakat untuk

cenderung mempertahankan kondisi yang telah ada (sebagai ibukota

Kabupaten Buton Utara), sementara Buranga mempertahankan identitas

mereka sebagai wilayah yang direstui Undang-Undang sebagai ibukota

Kabupaten Buton Utara. 2) identitas yang terbentuk kerena polarisasi

politik antara massa pendukung kandidat dalam proses demokrasi.

Identitas ini merupakan identitas baru yang terbentuk namun sangat

berpengaruh terhadap berlangsungnya proses politik di Buton Utara.

Identitas kedaerahan antara Ereke dan Buranga dapat saja terlebur oleh

adanya identitas baru ini. Individu sebagai agen melakukan tindakan

untuk keluar dari struktur. Artinya bahwa orang Ereke dapat saja terlibat

dalam Masyarakat Pembela Undang-Undang juga sebaliknya orang

Buranga dapat saja berada dalam massa yang pro pemerintah.

Ketiga, adanya kepentingan kolektif. Kepentingan ini diturunkan

dari perbedaan identitas. Sebab identitas itu memiliki pertalian dengan

kepentingan kelompok. Kepentingan kolektif juga dapat dilihat dari dua

hal dan dua sisi yang berhadap-hadapan berdasarkan identitas kolektif

21

yang disebutkan diatas. 1) kepentingan yang muncul karena adanya

identitas kedaerahan Ereke dan Buranga: a) Bagi Buranga mewakili

adanya ketimpangan-ketimpangan yang dirasakan oleh masyarakat

akibat proses pemerintahan yang sedang berlangsung termasuk

ketimpangan pembangunan yang belum merata, pelayanan publik yang

tidak efisien, dan keberatan terhadap adanya keberpihakan UU pada

mereka yang justru tidak direalisasikan oleh pemerintah daerah. dalam

teori strukturalisme-fungsional, Buranga merasa berada dalam struktur

yang dirugikan. Dalam hal ini misalnya masyarakat Buranga harus

membayar pajak layaknya penduduk yang berada di Ibukota Kabupaten.

b) Bagi Ereke yakni: adanya kepentingan akan pembangunan dan

pelayanan yang sudah terlanjur dinikmati, serta keadaan wilayah yang

cukup memadai membuat struktur kognitif mereka cenderung

membenarkan tidakan pemerintah yang menempatkan pusat

pemerintahan dan bahkan ibukota Kabupaten Buton Utara berada di

Ereke. Juga adanya ingatan sosial dimana Ereke adalah wilayah bekas

Barata Kulisusu yang dari dulu merupakan pusat pemerintahan. 2)

kepentingan yang muncul akibat adanya identitas dukungan politik

yakni: Bagi pendukung kandidat yang menang, akan cenderung

mempertahankan dan membela tindakan pemerintah, sedangkan

pendukung kandidat yang kalah akan cenderung menjadi kelompok

oposisi yang selalu berusaha mencari titik lemah pemeritah yang sedang

berkuasa. Pembangunan pusat pemerintahan di luar amanh UU

merupakan celah yang dapat dimanfaatkan pihak oposisi untuk

melancarkan serangan terhadap pemerintah. Dengan demikian dalam

sudut pandang ini, dapat dimaknai bahwa massa pembela UU melakukan

aksi pembakaran gedung di Ereke (chaos) merupakan salah satu strategi

oposisi untuk melawan kebijakan pemerintah dan massa pro pemerintah

juga segera terbentuk untuk mengadakan upaya perlawanan. Dari

22

penjelasan ini, jelaslah bahwa tak ada massa yang terbentuk secara

spontan, melainkan terbentuk dari akar-akar sosial-politik yang telah

terstruktur dan telah mengakar tanpa disadari (terbatinkan).

Keempat, adanya kepemimpinan dan organisasi. Kemarahan, akar-

akar identitas dan kepentingan yang tercipta dalam masyarakat akan

menjadi jelas arahnya bila ada aktor sosial yang mampu

mengartikulasikan keberatan-kebaratan itu dalam sebuah “visi” dan

strategi-strategi tindakan kolektif yang mungkin untuk dilakukan.

Disinilah fungsi kepemimpinan dan organisasi. Baik massa pro

pemerintah maupun massa pembela UU menjadi mungkin untuk

melakukan tindakan kolektif karena adanya faktor kepemimpinan dan

organisasi. Walau pun tak terbentuk secara formal, selalau ada “kristal

massa” yang betindak sebagai pemicu, pusat komando, dan lebih

tepatnya kita sebut pemimpin massa.

Kelima, adanya mobilisasi massa yang merupakan tahap terakhir

yang mengantarkan massa pada objek kemarahannya. Mobilisasi ini dapat

terjadi karena adanya kepatuhan kelompok massa terhadap visi

kelompoknya. Kepatuhan itu dapat saja tercipta karena setiap individu

dalam massa terikat oleh identitas dan kepentingan yang sama, dan

adanya otoritas kepemimpinan massa. Individu dalam massa dapat pula

mengalami kepatuhan karena adanya otoritas yang muncul melalui

mekanisme pembayaran sejumlah uang yang dapat diterima sebagai

imbalan.[]

23