Perekonomian Indonesia Tahun 2006

54
PEREKONOMIAN INDONESIA Analisis Perekonomian Indonesia Tahun 2006 ( Dosen Pengampu H.Ahmad Slamet ) Disusun Oleh: 1. Noviana Dewi (7311412019) 2. Nanda Bella Fidanty.S (7311412020) 3. Riyana Anjasari (7311412021) 4. Agristyan Dwi Yoga (7311412022) 5. Anggi Indrawan (7311412023) 6. Korina (7311412024) Kelompok VI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

Transcript of Perekonomian Indonesia Tahun 2006

PEREKONOMIAN INDONESIA

Analisis Perekonomian Indonesia Tahun 2006

( Dosen Pengampu H.Ahmad Slamet )

Disusun Oleh:

1. Noviana Dewi (7311412019)

2. Nanda Bella Fidanty.S (7311412020)

3. Riyana Anjasari (7311412021)

4. Agristyan Dwi Yoga (7311412022)

5. Anggi Indrawan (7311412023)

6. Korina (7311412024)

Kelompok VI

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

FAKULTAS EKONOMI

2014

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Keyakinan akan membaiknya perekonomian Indonesia ditahun

2006 didasarkan atas semakin membaiknya perekonomian dunia. Hal

tersebut diperkuat dengan semakin kokohnya perekonomian Amerika

Serikat, Kawasan Eropa, pulihnya perekonomian Jepang dan

bangkitnya perekonomian negara-negara Asia. Selain itu,

menurunnya harga minyak dunia dan stabilnya pasokan minyak dari

negara anggota OPEC membuat perekonomian Indonesia semakin

stabil. Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) dunia pada tahun 2006

juga diperkirakan tumbuh sebesar 4,9%, lebih tinggi dari

pertumbuhan tahun 2005 yang mencapai 4,8%. Ekspansi ekonomi di

beberapa kawasan dunia tidak terlepas pula dari dukungan Bank-

bank Sentral dalam menjaga tingkat suku bunga sehingga tetap

akomodatif dan dapat meredam inflasi.

Diawal tahun 2006, stabilitas makroekonomi relatif terjaga

sebagaimana tercermin beberapa indikator moneter seperti tingkat

inflasi IHK yang terkendali dan nilai tukar yang menguat. Kondisi

ini masih sesuai dengan perkiraan Bank Indonesia pada awal tahun.

Inflasi IHK pada bulan Januari 2006 relatif terkendali dan

tercatat sebesar 1,36% (m-t-m). Secara tahunan inflasi IHK

tersebut mengalami sedikit penurunan menjadi sekitar 17,03% (y-o-

y) dari 17,11% (y-o-y) di bulan sebelumnya.

Sehubungan dengan kondisi makroekonomi tersebut, Bank

Indonesia melalui Rapat Dewan Gubernur (RDG) memutuskan untuk

tetap melanjutkan kebijakan moneter cenderung ketat (tight

biased) dengan mempertahankan BI Rate pada tingkat12,75%.

Keputusan mempertahankan kebijakan moneter yang cenderung ketat

tersebut ditempuh setelah mempertimbangkan perkembangan terkini

dan prospek ekonomi moneter ke depan serta memperhatikan upaya

pencapaian sasaran inflasi jangka menengah panjang dan guna

memelihara momentum pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.

Fenomena ekonomi diatas merupakan beberapa fenomena yang

terjadi di awal tahun 2006. Namun untuk lebih memahami dan

mendalami fenomena di tahun 2006 maka perlu adanya suatu kajian

yang lebih spesifik dan serius sehingga output yang dihasilkan

dapat bermanfaat bagi pembaca. Berdasarkan latarbelakang itulah

penulis mengangkat judul “Analisis Perekonomian Tahun 2006”

BAB II

ANALISIS

1. Tinjauan umum perekonomian Indonesia tahun 2006

Tahun 2006 merupakan tahun kestabilan makroekonomi yang

menandai keberhasilan perekonomian Indonesia melewati berbagai

tekanan yang cukup berat. Memasuki awal 2006, kondisi

perekonomian masih sangat dipengaruhi oleh dampak kenaikan harga

bahan bakar minyak (BBM) dan tingginya suku bunga sebagai

konsekuensi dari penyesuaian kebijakan fiskal dan moneter yang

ditempuh untuk mengatasi guncangan ketidakstabilan makroekonomi

selama 2005.

Dalam perkembangannya sampai akhir paro pertama 2006, wajah

perekonomian di sektor riil belum menampakkan gambaran yang

menggembirakan, tetapi kondisi makroekonomi menunjukkan

perkembangan yang semakin baik. Perbaikan kondisi makroekonomi

juga diperkuat kinerja eksternal ekonomi Indonesia yang semakin

mantap. Neraca perdagangan mencatat surplus yang lebih besar

ditopang kinerja ekspor yang tumbuh pesat, sementara impor

melambat akibat belum pulihnya permintaan domestik.

Dengan kebijakan moneter yang secara konsisten diarahkan

untuk mencapai sasaran inflasi, disertai terjaganya

pasokan/distribusi barang dan minimalnya kebijakan administered

prices, tekanan inflasi semakin reda. Tingkat inflasi indeks

harga konsumen (IHK) yang pada awal 2006 sangat tinggi mencapai

17,03%(yoy)1 secara berangsur menurun menjadi 6,60%(yoy) pada

akhir 2006. Demikian pula inflasi inti menurun dari 9,68%(yoy)

menjadi 6,03%(yoy) selama 2006 ditunjang perbaikan ekspektasi

inflasi, terjaganya kestabilan nilai tukar rupiah, serta

terkendalinya kesenjangan permintaan dan penawaran agregat

(output gap).

Inflasi dan suku bunga yang berangsur menurun, sejak awal

paro kedua 2006 momentum pertumbuhan ekonomi setahap demi setahap

mulai memperlihatkan kekuatannya. Permintaan domestik mulai

meningkat, khususnya konsumsi, yang didukung perbaikan daya beli

riil masyarakat dan percepatan realisasi anggaran Pemerintah.

Dengan perkembangan tersebut di atas, perekonomian tumbuh dalam

tren membaik sehingga untuk keseluruhan 2006 pertumbuhannya

mencapai 5,5% (yoy), sedikit lebih rendah daripada tahun

sebelumnya.

Bagi Bank Indonesia, memulihkan dan menjaga kestabilan

makroekonomi menjadi prioritas kebijakan moneter pada awal 2006

sebagai prasyarat dan pijakan dalam menapaki jalan menuju

pemulihan ekonomi selanjutnya. Kenaikan harga BBM pada Oktober

2005 telah mendorong tingginya inflasi inti akibat menguatnya

ekspektasi inflasi terutama melalui second round effect pada

kenaikan biaya-biaya, seperti transportasi dan upah, maupun

kenaikan harga di tingkat produsen dan konsumen.

Respons kebijakan Bank Indonesia terhadap nilai tukar rupiah

tetap diletakkan dalam kerangka untuk menjaga kestabilan

makroekonomi dengan memberikan ruang agar nilai tukar secara

fleksibel bergerak menyesuaikan keseimbangan fundamentalnya.

Sementara itu, untuk memperkuat dukungan sector perbankan bagi

peningkatan kegiatan ekonomi, kebijakan di bidang perbankan

diarahkan untuk lebih meningkatkan fungsi intermediasi dengan

tetap mempercepat proses konsolidasi perbankan. Di pihak lain,

sejumlah kebijakan stimulus dari sisi

fiskal ditempuh untuk mengurangi beban kehidupan ekonomi

masyarakat yang semakin berat terutama pada paro pertama 2006

akibat naiknya harga-harga.

Untuk mengatasi berbagai permasalahan dalam menciptakan

iklim investasi yang kondusif, memperkuat infrastruktur, dan

meningkatkan daya dukung sector keuangan, Pemerintah menempuh

kebijakan mikrostruktural yang diletakkan dalam tiga pilar. Pilar

pertama berisikan reformasi kelembagaan yang diharapkan dapat

menjawab persepsi tentang ketidakpastian iklim investasi di

Indonesia. Pilar kedua terkait dengan kebijakan dalam bidang

infrastruktur, termasuk upaya menggelar Infrastructure Summit II

pada November 2006. Pilar ketiga merupakan paket kebijakan sektor

keuangan (PKSK) yang ditempuh Pemerintah bersama-sama dengan Bank

Indonesia untuk mengembangkan infrastruktur keuangan,

meningkatkan akses pembiayaan, dan memperkuat struktur keuangan.

Meskipun berbagai langkah kebijakan yang telah diambil

selama 2006 mampu mempertahankan kestabilan makroekonomi dan

memperkuat momentum pertumbuhan, kondisi perekonomian masih

menyimpan sejumlah permasalahan mendasar untuk mampu tumbuh lebih

tinggi dan berkualitas. Masih lemahnya iklim investasi, rendahnya

daya dukung infrastruktur, dan persoalan inefisiensi birokrasi

masih menjadi bagian permasalahan yang bersemayam dalam risiko-

risiko mikro yang memengaruhi persepsi pelaku ekonomi terhadap

kondisi dunia usaha di Indonesia.

Bagi Bank Indonesia, belum terselesaikannya berbagai

permasalahan mikrostruktural menimbulkan komplikasi dalam

pelaksanaan kebijakan moneter. Berbagai kendala di sektor riil

menyebabkan penyerapan dana dari sektor keuangan terbatas

sehingga menimbulkan ekses likuiditas yang berlanjut. Akibat

lainnya adalah keleluasaan Bank Indonesia untuk melonggarkan

kebijakan moneter dalam upaya memberikan dukungan bagi

pertumbuhan ekonomi menjadi terhambat.

Beberapa hambatan yang dihadapi adalah, pertama, dengan

melambatnya pertumbuhan investasi, ruang bagi dorongan tekanan

inflasi ke depan semakin terbuka karena kesenjangan output terus

menyempit seiring dengan pertumbuhan PDB potensial yang lebih

lambat dibandingkan dengan pertumbuhan PDB aktualnya. Kedua,

pelonggaran kebijakan moneter direspons lebih cepat melalui jalur

harga aset di pasar finansial, tetapi diikuti penurunan suku

bunga kredit secara terbatas. Ketiga, kebijakan moneter yang

terlalu longgar dapat mendorong pemanasan ekonomi yang terlalu

cepat dan mengganggu keseimbangan eksternal. Keempat, masih

rendahnya penanaman modal dalam bentuk FDI dan membesarnya modal-

modal portofolio global dalam struktur lalu lintas modal

mengharuskan Bank Indonesia senantiasa menjaga suatu margin suku

bunga untuk mencegah pembalikan modal yang mendadak dalam skala

besar.

Secara umum di tengah menurunnya daya beli masyarakat

pascakenaikan harga BBM pada Oktober 2005, terjaganya kestabilan

makroekonomi telah membuka ruang bagi perekonomian untuk tumbuh

mencapai 5,5%(yoy) meskipun sedikit lebih rendah daripada tahun

sebelumnya sebesar 5,7%(yoy). Langkah-langkah kebijakan

makroekonomi untuk memberikan dorongan terhadap pertumbuhan

ekonomi juga berkontribusi positif meskipun masih menghadapi

beberapa hambatan pada sisi mikro.

Untuk keseluruhan 2006, konsumsi total tumbuh lebih rendah

daripada tahun sebelumnya. Rendahnya pertumbuhan tersebut

disebabkan melambatnya pertumbuhan konsumsi swasta meskipun

konsumsi Pemerintah tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan tahun

sebelumnya. Menurunnya daya serap pasar, naiknya biaya produksi,

dan terbatasnya pembiayaan untuk tujuan investasi fisik

mengakibatkan pertumbuhan investasi selama 2006 merosot tajam.

Dari sisi pembiayaan, potensi sumber pembiayaan investasi

cukup tinggi, tetapi belum secara optimal dimanfaatkan terutama

oleh sektor swasta untuk pembiayaan investasi fisik. Tingginya

potensi sumber pembiayaan tercermin dari peningkatan rasio

tabungan terhadap PDB (saving rate) dari 23,7% pada 2005 menjadi

26,6% pada 2006. Di tengah permintaan domestik yang tumbuh

melambat, kinerja ekspor tetap tumbuh tinggi. Ekspor barang dan

jasa tumbuh mencapai 9,2%(yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan

pertumbuhan impor yang mencapai 7,6%(yoy). Selama 2006, net

ekspor memberikan sumbangan positif sebesar 1,4% terhadap

pertumbuhan PDB, lebih baik dari 1,1% pada 2005.

Pertumbuhan sektor industri pengolahan sama dengan

pertumbuhan tahun sebelumnya meskipun dengan pertumbuhan

triwulanannya yang cenderung meningkat. Pada 2006 sektor industri

pengolahan dengan pangsa terbesar dalam struktur pertumbuhan PDB

tumbuh 4,6%(yoy) atau sama dengan pertumbuhan yang dicapai tahun

sebelumnya. Pada 2006, neraca transaksi berjalan mengalami

surplus yang semakin besar dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Peningkatan surplus neraca transaksi berjalan yang cukup besar

itu disebabkan meningkatnya ekspor yang tumbuh 18,1%(yoy), dan

melambatnya impor (c&f) yang hanya tumbuh 5,1%(yoy). Sepanjang

2006, sebagian besar komoditas ekspor unggulan Indonesia

merupakan komoditas berbasis sumber daya alam dan menyumbang

sekitar 30% dari total ekspor.

Membaiknya kinerja NPI secara keseluruhan telah menjadi

penopang bagi terciptanya kestabilan nilai tukar rupiah selama

2006. Perkembangan rupiah sepanjang 2006 mencapai rata-rata

Rp9.166 per dolar, menguat 5,9% dari rata-rata tahun sebelumnya

Rp9.713 per dolar. Bahkan, secara point-to-point, rupiah menguat

8,4% dari Rp9.831 per dolar pada awal tahun dan ditutup pada

level Rp8.995 per dolar pada akhir 2006.

Bagi Bank Indonesia, tahun 2006 merupakan tahun penuh

tantangan terutama dalam meraih kembali dan memantapkan

kestabilan makroekonomi dan pada saat bersamaan mencari ruang

untuk memulihkan kegiatan ekonomi agar perekonomian nasional

dapat kembali pada arah pertumbuhan ekonomi yang tinggi,

berkualitas, dan berkelanjutan. Implementasi kebijakan moneter

selama 2006 juga didukung oleh penguatan aspek kelembagaan dalam

penerapan inflation targeting framework (ITF). Aspek kelembagaan

itu mencakup upaya perbaikan kualitas proses perumusan kebijakan

serta penguatan strategi komunikasi dan diseminasi kebijakan

untuk membentuk ekspektasi inflasi dan mengelola persepsi pelaku

ekonomi terhadap prospek perekonomian.

Secara umum arah kebijakan moneter 2006 ditandai oleh

kebijakan moneter ketat, yang selanjutnya sejak Mei 2006 bergerak

menuju pelonggaran secara berhati-hati (cautious easing).

Langkah-langkah kebijakan moneter yang ditempuh Bank Indonesia

selama 2006 juga diperkuat dengan melakukan koordinasi dengan

Pemerintah. Kendati demikian, di tengah keberhasilan Bank

Indonesia dalam menjaga kestabilan makroekonomi, pelaksanaan

kebijakan moneter dalam kenyataannya menghadapi berbagai

tantangan.

Melemahnya kegiatan ekonomi di tengah belum membaiknya

persepsi terhadap kondisi dunia usaha menyebabkan permintaan dan

penawaran terhadap kredit menurun. Kebijakan perbankan selama

2006 diletakkan dalam suatu kerangka kerja yang utuh dan

sistematis melalui Pakjan dan Pakto 2006. Melalui Pakjan 2006,

Bank Indonesia menerbitkan beberapa ketentuan, termasuk di

antaranya perubahan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005

tentang penilaian kualitas aktiva bank umum.

Keberadaan infrastruktur sistem pembayaran yang andal sangat

diperlukan agar mampu mendukung pelaksanaan kebijakan moneter

secara efektif dan efisien. Hal ini mengingat efektivitas dari

respons pelaku ekonomi terhadap langkah kebijakan moneter juga

ditentukan oleh saluran penyelesaian settlement yang efisien.

Peningkatan infrastruktur sistem pembayaran selama 2006

difokuskan pada peningkatan jasa layanan transfer dana, baik pada

sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement (BIRTGS) maupun

Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI).

Selain itu, Bank Indonesia melakukan suatu rangkaian kajian

untuk mendorong peningkatan penggunaan instrumen pembayaran

nontunai oleh masyarakat (less cash society). Kebijakan Bank

Indonesia dalam pengedaran uang selama 2006 yang mengarah pada

upaya memenuhi ketersediaan uang kartal di seluruh wilayah

dilakukan melalui perubahan pola distribusi uang ke seluruh

Kantor Bank Indonesia (KBI).

Dengan memerhatikan dinamika dan seluruh permasalahan yang

melingkupi perekonomian pada 2006, terlihat bahwa meraih dan

mempertahankan kestabilan makroekonomi sangat penting sebagai

landasan bagi perekonomian untuk tumbuh. Oleh karena itu, tanpa

pembenahan mendasar terhadap persoalan-persoalan mikrostruktutal

sampai menyentuh ke akar masalah, perekonomian dapat tetap

tumbuh, tetapi arah pertumbuhannya akan menjauh dari pola

pertumbuhan ideal sehingga semakin tidak mampu menjawab

tantangan-tantangan ke depan.

2. Sistem Pembayaran Nasional

Geliat perekonomian Indonesia selama 2006 mendorong

peningkatan kebutuhan uang kartal di berbagai wilayah hingga

mencapai 11,9%, atau lebih tinggi dari tahun sebelumnya yang

mencapai 7,5%. Uang kartal yang diedarkan (UYD) selama 2006

secara rata-rata tumbuh sebesar 14,6% atau lebih tinggi dari 2005

yang mencapai 13,2%. Kendati demikian, Bank Indonesia mampu

memenuhi kenaikan kebutuhan uang kartal masyarakat tersebut

dengan tetap menjaga kecukupan uang kas pada tingkat yang aman.

Kebutuhan uang kartal untuk kegiatan transaksi selama 2006

meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Uang kartal yang

diedarkan (UYD) selama 2006 secara rata-rata tumbuh sebesar 14,6%

atau lebih tinggi dari 2005 yang mencapai 13,2%. Selain didorong

oleh ekonomi yang masih tumbuh positif, peningkatan kebutuhan

uang kartal yang diedarkan (UYD) juga dipengaruhi oleh kebijakan

fiskal berupa percepatan realisasi anggaran, penyaluran bantuan

langsung tunai (BLT), dan kenaikan gaji PNS. Berdasarkan

jenisnya, jumlah uang kertas (UK) dan uang logam (UL) yang

diedarkan pada 2006 menunjukkan kenaikan. Adapun pangsa UK yang

diedarkan meningkat dari 98,2% menjadi 98,4%, sedangkan pangsa UL

menurun dari 1,8% menjadi 1,6%.

Dalam perkembangan aliran uang keluar (outflow) dan aliran

uang masuk (inflow), kebijakan yang dilakukan Bank Indonesia

untuk menerapkan penyetoran uang dari bank yang kondisinya tidak

layak edar pada 2006 mendorong efisiensi pengelolaan uang kartal

di Bank Indonesia. Selain itu, hal tersebut mengindikasikan

membaiknya manajemen pengelolaan uang kartal oleh perbankan.

Jumlah outflow selama 2006 meningkat hingga Rp338,1 triliun, atau

naik 2,4% dari 2005. Namun, laju pertumbuhan tahunan outflow 2006

tersebut jauh lebih rendah dari pertumbuhan 2005 yang mencapai

14,7%. Sebaliknya, jumlah inflow menunjukkan penurunan yaitu

mencapai Rp305,1 triliun atau turun sebesar 3,0% dibandingkan

inflow 2005. Pelambatan laju pertumbuhan outflow serta penurunan

inflow selama 2006 tersebut terjadi sejalan dengan diterapkannya

kebijakan uji coba setoran dan bayaran oleh perbankan.

Aktivitas pembayaran nontunai selama 2006 menunjukkan

peningkatan. Nilai keseluruhan transaksi pembayaran nontunai

mencapai Rp31.552 triliun atau meningkat 14% dari tahun

sebelumnya. Sementara itu total transaksi BI-RTGS sepanjang 2006

menunjukkan peningkatan baik secara nominal (nilai) maupun

aktivitas (volume). Nominal transaksi BI-RTGS mencapai Rp29.102

triliun atau meningkat 44% dari tahun sebelumnya. Sementara itu,

volume transaksi yang dilakukan selama 2006 mencapai 6,9 juta

atau meningkat 16,6%.

Adapun aktivitas transaksi pembayaran nontunai melalui

sistem kliring selama 2006 mengalami penurunan dibanding tahun

sebelumnya Dibandingkan dengan 2005, nominal transaksi kliring

menunjukkan penurunan sebesar 10,5%, dari Rp1.347 triliun pada

2005 menjadi Rp1.206 triliun, sementara untuk volume menurun

sebesar 4,9% dari 78,1 juta transaksi di 2005 menjadi 74,2 juta

transaksi.

Dalam menyikapi permasalahan berkaitan sistem pembayaran

nasional ada beberapa kebijakan yang ditempuh selama 2006 yang

merupakan kelanjutan dari kebijakan tahun-tahun sebelumnya yang

diarahkan untuk (1) memenuhi ketersediaan uang kartal baik dalam

jumlah maupun pecahan yang sesuai, (2) meningkatkan kualitas

pelayanan kas, dan (3) melakukan tindakan penanggulangan

meluasnya peredaran uang palsu. Selain itu, guna mendukung

kebijakan di masa mendatang, Bank Indonesia juga senantiasa

meningkatkan kualitas kajian dan penelitian di bidang sistem

pembayaran tunai.

3. Nilai Tukar Rupiah

Pada triwulan I-2006, nilai tukar rupiah menguat secara

signifikan meskipun disertai dengan meningkatnya volatilitas

rupiah. Secara rata-rata nilai tukar rupiah dalam triwulan ini

mencapai Rp9.299/ USD atau terapresiasi 6,9% dibanding rata-rata

triwulan sebelumnya. Sedangkan secara point-to-point Rupiah

ditutup pada level Rp 9.060/USD atau terdepresiasi 7,8%.

Penguatan Rupiah yang cukup signifikan tersebut disebabkan oleh

faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang menjadi

penyebab utama penguatan Rupiah tersebut adalah terkait dengan

faktor fundamental yaitu besarnya surplus dalam neraca pembayaran

yang disebabkan oleh menurunnya permintaan impor sebagai dampak

melambatnya permintaan domestik dan tingginya aliran masuk

portofolio asing.. Sementara dari sisi eksternal, penguatan

tersebut sejalan dengan pergerakan beberapa mata uang regional,

bahkan dengan skala penguatan yang tertinggi.

Di tengah menurunnya sisi permintaan valas, pasokan valas

justru terus mengalir dengan cukup pesat. Tingginya pasokan valas

terutama masih bersumber dari aliran masuk modal asing seiring

dengan penurunan premi resiko investasi di Indonesia, seperti

tercermin pada penurunan premi swap untuk seluruh tenor dan

selisih penghasilan antara Global Bond RI-14 dan US T-Notes yang

berjangka waktu sama.

Pada triwulan II-2006, nilai tukar rupiah bergerak dinamis

dengan adanya pembalikan tren dari menguat menjadi melemah.

Adapun secara rata-rata, nilai tukar rupiah menguat dibanding

triwulan sebelumnya disertai dengan menurunnya volatilitas. Rata-

rata nilai tukar rupiah pada triwulan ini menguat sekitar 2%

menjadi Rp 9.111/USD dari Rp 9.299/USD pada triwulan I-2006.

Sementara itu secara bulanan, tren penguatan rupiah yang terjadi

sejak akhir 2005 masih berlanjut pada paro pertama triwulan ini,

dan mencapai level terkuat di Rp 8.722/USD. Akan tetapi, pada

pertengahan Mei rupiah melemah cukup signifikan dan sempat

mencapai level Rp 9.400-an. Pelemahan rupiah lebih disebabkan

oleh faktor eksternal terkait dengan ekspektasi berlanjutnya

kebijakan moneter ketat di AS, sementara kondisi fundamental

ekonomi masih tidak banyak berubah. Perubahan ekspektasi tersebut

telah mengakibatkan terjadinya penyesuaian investasi global

terutama di Negara emerging markets sehingga menimbulkan tekanan

depresiatif pada mata uang lainnya. Walaupun demikian, level ini

masih lebih rendah dari triwulan I 2006 yang mencapai 196 bps.

Pada triwulan III-2006 nilai tukar rupiah bergerak stabil

didukung oleh perkembangan neraca pembayaran yang membaik. Secara

rata-rata, nilai tukar rupiah triwulan III-2006 mencapai Rp 9.124

per dolar AS atau sedikit melemah dibandingkan triwulan

sebelumnya sebesar Rp 9.115 per dolar AS. Faktor domestik yang

mendukung stabilitas rupiah, antara lain membaiknya indikator

makroekonomi, menariknya imbal hasil penanaman instrumen rupiah,

dan menurunnya indikator risiko investasi. Beberapa indikator

makroekonomi selama triwulan III-2006 yang mengalami perbaikan

antara lain PDB, inflasi, dankinerja ekspor. Sementara itu hasil

investasi rupiah kembali menurun sepanjang triwulan ini, namun

masih tetap menarik dibandingkan kawasan regional. Dari sisi

risiko investasi, faktor risiko dalam negeri membaik tercermin

pada peningkatan rating Indonesia, penurunan premi swap, dan

stabilnya yield spread.

Adapun faktor eksternal yang mendukung stabilitas rupiah

antara lain adalah keputusan Bank Sentral Amerika yang

mempertahankan suku bunga kebijakannya (Fed Funds Rate).

Terjaganya perkembangan rupiah ditopang oleh membaiknya kondisi

makroekonomi domestik. Beberapa indikator ekonomi yaitu ekspor,

PDB, serta inflasi, terus membaik sehingga turut menopang

stabilitas nilai tukar rupiah.

Pada triwulan IV-2006 nilai tukar rupiah bergerak lebih

stabil dengan kecenderungan menguat dibandingkan dengan triwulan

sebelumnya. Pergerakan rupiah yang lebih stabil tercermin pada

volatilitas yang menurun menjadi 0,46% dari sebesar 0,85%. Secara

point to point, rupiah bergerak menguat dari Rp 9.225/USD pada

akhir triwulan III-2006 menjadi Rp 8.995/ USD pada akhir triwulan

IV-2006. Secara rata-rata triwulanan, nilai tukar rupiah sedikit

melemah menjadi Rp 9,132/USD dari triwulan sebelumnya yang

mencapai Rp 9,125/USD.

Terjaganya stabilitas rupiah ditopang oleh membaiknya

kondisi makroekonomi domestik dan berkurangnya tekanan dari

eksternal. Beberapa indikator makroekonomi selama triwulan IV-

2006 menunjukkan perbaikan, terutama inflasi. Disamping itu, daya

tarik investasi rupiah juga relatif terjaga dengan membaiknya

indikator risiko ditengah tren penurunan imbal hasil investasi

rupiah. Di sisi eksternal, kebijakan Bank Sentral Amerika (The

Fed) mempertahankan suku bunga dan tren penurunan harga minyak

mengurangi tekanan terhadap rupiah.

Secara keseluruhan, perkembangan nilai tukar rupiah

sepanjang 2006 membaik dibanding 2005 di mana rupiah cenderung

menguat terhadap USD dan disertai dengan pergerakan yang lebih

stabil. Selama triwulan IV-2006, aliran masuk dana investasi

asing menambah pasokan di pasar valas perbankan domestik. Di

pihak lain, ekses permintaan valas domestik juga mengalami

sedikit peningkatan dari triwulan sebelumnya. Meningkatnya ekses

permintaan valas domestik disebabkan oleh meningkatnya permintaan

valas dari korporasi. Dengan perkembangan tersebut, pasar valas

domestik secara keseluruhan masih mengalami ekses permintaan.

Namun demikian, secara kumulatif jumlah ekses permintaan jauh

menurun disbanding triwulan sebelumnya.

4. Neraca Pembayaran

Membaiknya perekonomian global dibanding perkiraan semula di

tengah-tengah tingginya harga minyak dunia yang rata-rata

mencapai USD60 per barrel (ICP) telah mendorong kinerja ekspor

baik migas maupun nonmigas. Kenaikan kinerja ekspor nonmigas

tersebut disisi lain tidak diikuti oleh peningkatan impor

nonmigas, yang dalam periode yang sama tumbuh negatif 2,0%,

terutama berasal dari impor bahan baku dan barang modal.

Penurunan komponen utama impor tersebut dikhawatirkan dapat

mempengaruhi kinerja ekspor nonmigas pada periode mendatang.

Perbaikan ekonomi domestik dan meningkatnya kepercayaan

investor luar negeri terhadap ekonomi Indonesia telah mendorong

masuknya modal asing jangka pendek berupa portofolio investasi.

Perbedaan suku bunga juga menjadi faktor pendorong investor luar

negeri menanamkan modalnya dengan membeli surat-surat berharga

domestik seperti SBI, SUN maupun surat berharga saham melalui

pasar bursa. Namun demikian, pesatnya aliran modal masuk ke

Indonesia tersebut belum mampu menggerakkan sektor riil, terlihat

dari lemahnya daya beli masyarakat yang tercermin dari rendahnya

kinerja impor nonmigas yang pada gilirannya kurang mendorong

pertumbuhan ekonomi yang hanya tumbuh sebesar 4,6%.

Surplus transaksi berjalan tersebut diharapkan masih

berlangsung di triwulan berikutnya, namun seiring dengan

perkiraan meningkatnya kegiatan ekonomi yang disertai dengan

kenaikan permintaan domestik di paruh kedua 2006, pertumbuhan

impor diperkirakan lebih cepat sehingga transaksi berjalan

diperkirakan defisit pada periode tersebut walaupun secara

keseluruhan tahun 2006 diperkirakan masih mencatat surplus USD1,9

miliar (0,6% PDB).

Meskipun sempat terjadi aliran dana keluar berjangka pendek

yang cukup signifikan, terutama dari pelepasan kepemilikan SBI

dan saham oleh asing pada awal Mei dan Juni 2006, cadangan devisa

tetap stabil selama periode laporan karena kecukupan likuiditas

di pasar terjaga akibat adanya aliran dana masuk dari investasi

modal jangka pendek dan penerimaan devisa hasil ekspor.

Kestabilan tersebut juga ditopang oleh surplus NPI selama Tw II-

2006 sebesar USD3,4 miliar karena peningkatan kinerja transaksi

berjalan hingga mencapai surplus USD1,9 miliar.

Nilai surplus di transaksi berjalan tersebut dapat menutup

défisit tipis di transaksi modal dan keuangan sebesar USD0,9

miliar yang utamanya terjadi karena pengaruh faktor ekstenal

sebagai respon pasar global dari masih berlanjutnya pengetatan

ekonomi AS akibat meningkatnya suku bunga the Fed. Surplus

transaksi berjalan selama tw II-2006 terutama didorong oleh

meningkatnya surplus neraca perdagangan karena masih tingginya

harga minyak dunia dan harga beberapa komoditi primer dunia yang

menyebabkan meningkatnya pertumbuhan ekspor nonmigas sebesar

15,5% (y.o.y).

Namun demikian, meningkatnya kinerja neraca perdagangan

tersebut tidak disertai dengan meningkatnya impor nonmigas yang

selama periode laporan bahkan mengalami pertumbuhan negatif 7,3%

(y.o.y). Penurunan tersebut terutama disumbang dari impor bahan

baku dan barang modal yang secara total memiliki share tinggi

sekitar 90%. Namun demikian, mengingat pertumbuhan ekspor

nonmigas lebih banyak didorong oleh sektor pertanian dan

pertambangan, maka secara jangka pendek kinerja ekspor nonmigas

diprakirakan masíh akan tetap tinggi. Di sisi transaksi modal dan

keuangan, derasnya aliran masuk modal jangka pendek masih cukup

signikan dibandingkan aliran jangka panjang dalam bentuk FDI yang

cenderung melambat

Ekonomi dunia yang tumbuh lebih baik dari perkiraan semula

telah mendorong kenaikan permintaan dunia dan memicu kenaikan

harga komoditi di pasar internasional sehingga berdampak positif

bagi perekonomian Indonesia, khususnya kinerja ekspor. Dampak

kenaikan harga BBM di dalam negeri pada Oktober 2005 masih terasa

sampai dengan tw III 2006 sehingga memperlemah tingkat konsumsi

dan investasi. Kondisi tersebut membawa dampak pada rendahnya

impor nonmigas yang hanya tumbuh 2,1% (y.o.y) pada tw III dan

diprakirakan hanya tumbuh 4,0% untuk keseluruhan tahun 2006.

Pasar keuangan internasional yang likuid serta tingkat suku

bunga di dalam negeri yang menarik menjadi pendorong derasnya

aliran masuk modal jangka pendek, khususnya dalam bentuk

pembelian surat-surat utang pemerintah dan saham-saham perusahaan

domestik oleh investor asing. Secara keseluruhan, NPI selama tiga

triwulan pertama tahun 2006 mengalami kenaikan surplus yang cukup

tajam sehingga mendorong pemerintah dan Bank Indonesia untuk

mempercepat pelunasan utang ke IMF pada bulan Oktober 2006.

Kinerja NPI yang terus membaik sampai dengan akhir tw IV

mendorong NPI keseluruhan tahun 2006 mencapai surplus sebesar

USD15,0 miliar, tertinggi sepanjang sejarah. Surplus yang tinggi

tersebut didukung oleh masih berlanjutnya kenaikan pertumbuhan

ekonomi dunia, khususnya di negara-negara emerging seperti Cina

dan India, kenaikan harga komoditi dunia yang lebih tinggi dari

prakiraan semula, dan tingginya likuiditas pasar keuangan

internasional. Perkembangan tersebut telah mendongkrak kinerja

ekspor 2006 hingga menembus level USD100 miliar. Laju kenaikan

nilai ekspor migas tidak setajam kenaikan harga minyak karena

volume ekspor cenderung turun terkait dengan produksi minyak yang

menurun dan pengalihan sebagian produksi gas dari yang semula

untuk ekspor menjadi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam

negeri.

Kinerja ekspor yang menguat di tengah impor yang melemah

mengakibatkan neraca perdagangan meningkat tajam mencapai USD29,7

miliar, lebih tinggi daripada level rata-ratanya setelah krisis

keuangan 1997/1998 sebesar USD22 miliar. Dalam periode yang sama,

likuiditas global yang melimpah mendorong masuknya aliran dana ke

Negara emerging, khususnya di kawasan Asia. Perbedaan tingkat

suku bunga, stabilitas ekonomi, serta nilai tukar yang cenderung

menguat dan relatif stabil telah memberikan pengaruh positif bagi

masuknya aliran dana, khususnya investasi portofolio.

Di tengah berlanjutnya penurunan suku bunga SBI, investasi

portofolio dalam bentuk saham meningkat secara signifikan

sehingga mendorong IHSG mencapai level tertinggi dalam sejarah

sebesar 1.800 pada akhir tahun. Namun, besarnya aliran dana

jangka pendek tersebut juga meningkatkan kerentanan NPI terhadap

risiko perubahan sentimen pasar. Sementara itu, aliran dana

jangka panjang berupa FDI masih tumbuh terbatas dikarenakan

perbaikan iklim investasi yang masih bergerak lambat, realisasi

infrastruktur summit I dan II yang masih dalam

proses, sedangkan investor baru masih menunjukkan sikap ”wait &

see”. Kinerja NPI yang membaik mendorong peningkatan cadangan

devisa dan memungkinkan percepatan pelunasan pembayaran utang IMF

sebesar USD7,6 miliar.

Secara keseluruhan cadangan devisa meningkat dari USD34,7

miliar pada 2005 menjadi USD42,6 miliar pada 2006. Cadangan

devisa tersebut mampu membiayai 4,5 bulan impor dan pembayaran

ULN pemerintah.

5. Keuangan pemerintah

Kebijakan fiskal yang tetap menyeimbangkan upaya mendukung

pertumbuhan ekonomi dan menjaga prospek kesinambungan fiskal

masih berlanjut pada 2006. Kebijakan fiskal 2006 secara umum

berada dalam arah ekspansif sehingga berkontribusi positif

menahan perlambatan pertumbuhan ekonomi lebih jauh akibat dampak

penurunan daya beli masyarakat pasca kenaikan harga BBM pada

Oktober 2005. Beberapa tantangan yang dihadapi kebijakan fiscal

2006 tidak terlepas dari perkembangan perekonomian global dan

domestik yang kurang menguntungkan serta upaya untuk mendukung

pemulihan daya beli masyarakat.

Pencapaian defisit APBN 2006 sebesar 1,0% dari PDB

menunjukkan komitmen Pemerintah dalam meningkatkan kontribusinya

pada sektor riil. Di sisi penerimaan, optimalisasi peningkatan

penerimaan tetap ditempuh sehingga pendapatan negara dan hibah

meningkat menjadi 19,1% dari PDB pada 2006 dibandingkan 18,1%

pada 2005. Peran kuat kebijakan fiskal dalam mendukungpertumbuhan

ekonomi juga dipengaruhi dampak positif berbagai perbaikan dalam

tata kelola keuangan negara. Setahun setelah reformasi keuangan

negara yang dimulai pada 2005, proses penyusunan dokumen anggaran

telah lebih baik sehingga meningkatkan kinerja APBN 2006.

Pendapatan Negara dan Hibah meningkat didukung perkembangan

penerimaan nonpajak. Kinerja pendapatan negara dan hibah tahun

2006 membaik dibandingkan tahun sebelumnya. Pertumbuhan

pendapatan negara dan hibah meningkat dari sekitar 23% pada 2005

menjadi 29% pada 2006 dengan peningkatan terbesar pada Penerimaan

negara Bukan Pajak (PNBP) sekitar 55%, sedangkan Penerimaan Pajak

meningkat sekitar 18%.

Peningkatan penerimaan bukan pajak selama 2006 didukung oleh

meningkatnya harga minyak mentah dan carry over penerimaan dari

tahun anggaran sebelumnya. Peningkatan PNBP yang cukup besar pada

2006 didorong kenaikan pada PNBP Migas, bagian laba BUMN dan PNBP

Lainnya. Harga minyak mentah yang meningkat dari US$51,8 per

barel pada 2005 menjadi US$63,8 per barel pada 2006 menyebabkan

meningkatnya penerimaan SDA Migas di tengah penguatan rupiah dari

Rp9705 per dolar pada 2005 menjadi Rp9063 per dolar pada 2006.

Perkembangan beberapa indikator makroekonomi yang menyimpang

dari yang diasumsikan berdampak pada realisasi pendapatan negara

yang di bawah target. Realisasi pendapatan negara 2006 mencapai

97% dari APBNP 2006 terutama karena perkembangan yang terjadi

pada penerimaan pajak dan PNBP SDA Migas. Penerimaan pajak

mencapai 96,2% dari APBNP 2006, lebih rendah dari perkembangan

lima tahun terakhir yang rata-rata dapat mencapai 99% dari APBNP.

Peningkatan belanja negara 2006 diwarnai oleh upaya

peningkatan stimulus fiskal dan pemulihan daya beli masyarakat.

Pada 2006 peningkatan belanja Negara mencapai 32%, lebih tinggi

dari peningkatan pada 2005 yang mencapai 19%. Dengan peningkatan

tersebut, belanja negara mencapai 20,1% dari PDB, terdiri dari

belanja Pemerintah Pusat sebesar 13,3% dari PDB dan belanja untuk

Daerah sebesar 6,8% dari PDB. Walaupun demikian, struktur belanja

negara yang relatif tidak berubah berdampak pada terbatasnya

stimulus fiskal.

Sumber utama pembiayaan realisasi defisit APBNP 2006 berasal

dari dalam negeri dan konsolidasi di sisi pembiayaan defisit

anggaran masih diarahkan untuk optimalisasi pembiayaan anggaran

dan memperbaiki pengelolaan utang. Strategi di sisi pembiayaan

defisit memungkinkan terus berlanjutnya penurunan rasio stok

utang Pemerintah terhadap PDB. Lancarnya pemenuhan sasaran

pembiayaan dengan menggunakan surat utang ƒdi tengah kondisi

ekses likuiditas di pasar keuanganƒ, semakin memperkuat persepsi

positif investor atas kemampuan Pemerintah dalam mengelola

keuangan negara. Pengelolaan utang negara pada 2006 juga

dilakukan melalui program Lelang Penukaran Surat Utang Negara

(debt switching) dalam jumlah yang cukup signifikan.

Dengan tetap menjaga kesinambungan fiskal, Pemerintah masih

mampu memberikan stimulus untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Dari total realisasi belanja negara sebesar 20,1% dari PDB,

sebagian besar dalam bentuk konsumsi (sekitar 40%), disusul oleh

transfer (sekitar 34%) dan investasi (23%). Peningkatan

kontribusi fiskal terutama terjadi pada paro kedua 2006 khususnya

dalam bentuk investasi Pemerintah. Perbaikan dalam tata kelola

keuangan Negara berdampak pada meningkatnya kontribusi Pemerintah

pada sektor riil.

Dampak moneter dari kegiatan sektor fiscal meningkat pada

paro kedua 2006. Perkembangan kegiatan Pemerintah menyebabkan

dampak belanja Pemerintah dalam rupiah terhadap uang beredar juga

baru meningkat pada paro kedua 2006. Besarnya ekspansi rupiah

menyebabkan Pemerintah harus menggunakan SAL di Bank Indonesia

karena neto penerimaan dalam valuta asing tidak mencukupi.

6. Perkembangan inflasi

Pada triwulan I-2006, laju inflasi IHK tercatat sebesar

15,74%(y-o-y) atau 1,98%(q-t-q), lebih rendah dari proyeksi

semula. t-q). Tekanan inflasi pada triwulan ini terutama

disebabkan oleh meningkatnya inflasi volatile foods sebesar

19,42%(y-o-y) atau 5,68%(q-t-q) karena gangguan pasokan dan

distribusi barang dan jasa maupu kebijakan Pemerintah untuk

menaikkan harga beras (pada bulan-bulan awal triwulan I-2006).

Untuk selanjutnya, perkembangan inflasi IHK pada pada triwulan II

hingga triwulan IV- 2006 pada umumnya relative stabil bahkan

mengalami penurunan. Hal tersebut disebabkan oleh faktor non-

fundamental, yaitu karena minimalnya dampak inflasi administered

prices dan rendahnya inflasi volatile foods. Minimalnya inflasi

administered prices disebabkan oleh tidak adanya penyesuaian

harga komoditas bersifat strategis yang ditetapkan pemerintah.

Inflasi administered pada tahun 2006 cenderung mengalami

penurunan yang tajam. Nilai inflasi administered pada triwulan I

yakni 31,07% (y-o-y) dan hingga pada triwulan III mencapai nilai

28,6% (y-o-y). Penurunan inflasi administered terutama

dissebabkan kenaikan tarif PAM, kenaikan harga minyak tanah

ditingkat eceran dan kenaikan Harga Jual Eceran (HJE) rokok. Akan

tetapi, pada triwulan IV Inflasi administered sedikit meningkat

dibanding triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 0,22% (q-t-

q).

Inflasi volatile food sepanjang triwulan I-2006 mencapai

5,68%(q-t-q) atau 19,42%(y-o-y), lebih tinggi dibandingkan

triwulan yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 2,23%(q-t-q)

atau 9,56%(y-o-y). Tingginya inflasi volatile food pada triwulan

ini antara lain didorong oleh kenaikkan harga pembelian beras

(HPB) sebesar 28% pada Januari 2006 oleh Pemerintah. Pada

triwulan II-2006, inflasi volatile food mengalami penurunan yang

disebabkan oleh masih terasanya dampak musim panen sampai dengan

pertengahan triwulan laporan. Inflasi volatile foods pada

triwulan III dan IV secara triwulanan, tercatat terus mengalami

peningkatan. Hal tersebut disebabkan pola musiman inflasi

volatile foods dan didorong oleh kenaikan harga komoditas beras

yang cukup tinggi. Peningkatan harga beras tersebut antara lain

disebabkan oleh terbatasnya pasokan terkait dengan mundurnya masa

tanam, tidak ada lagi penyaluran beras raskin sejak bulan

Oktober, perayaan hari keagamaan dan tahun baru, serta adanya

aksi spekulasi pedagang untuk mengantisipasi musim paceklik dan

rencana kenaikan HPP beras pada awal 2007.

Inflasi inti pada triwulan I-2006 relatif stabil meskipun

masih pada level yang tinggi, yakni mencapai 1,63%(q-t-q) atau

9,64%(y-o-y). Menurunnya inflasi inti tersebut terkait dengan

masih relatif minimalnya tekanan dari kesenjangan permintaan dan

penawaran (output gap). Indikasi tersebut ditunjukkan oleh

perkembangan pertumbuhan M1 riil sebagai cerminan daya beli

masyarakat mengalami penurunan. Inflasi inti secara tahunan (y-o-

y) pada triwulan II hingga triwulan IV juga masih dalam keadaan

stabil bahkan mengalami penurunan. Hal tersebut terkait dengan

perkembangan ekspektasi inflasi masyarakat yang cenderung membaik

untuk jangka pendek dan menguatnya nilai tukar. Dari sisi

eksternal, meskipun terdapat sedikit kenaikan harga komoditas

internasional (khususnya harga emas dan gula) pada triwulan

laporan mengalami peningkatan namun tidak menimbulkan tekanan

inflasi mengingat nilai tukar rupiah cenderung menguat. Sementara

itu, tekanan kesenjangan output (output gap) masih minimal

sehubungan dengan belum pulihnya daya beli masyarakat sehingga

permintaan agregat belum kuat di tengah terjaganya pasokan.

7. Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2007

Kondisi makroekonomi yang stabil, yang dibawa dari tahun

2006 akan menjadi bekal utama bagi pencapaian tingkat pertumbuhan

yang lebih tinggi ditahun 2007. Pertumbuhan ekonomi 2007

diperkirakan dapat mencapai 6,0% dalam kisaran 5,7% - 6,3%. Pada

semester I-2007, peningkatan pertumbuhan ekonomi sebagian besar

akan bersumber dari konsumsi ditambah sedikit dengan yang berasal

dari investasi swasta. Peningkatan konsumsi tersebut diperkirakan

akan didorong oleh berlanjutnya perbaikan daya beli masyarakat

karena adanya kenaikan gaji PNS, peningkatan UMR di semester awal

2007 dan inflasi yang terkendali pada laju yang rendah.

Pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan semakin kuat pada semester

II-2007 sejalan dengan perkiraan peningkatan signifikan pada

investasi swasta dan belanja modal pemerintah.

Di sisi eksternal, kegiatan ekspor diperkirakan masih tumbuh

tinggi meskipun cenderung melambat akibat pertumbuhan ekonomi

dunia yang tidak sekuat tahun 2006. Beberapa komoditas yang

diperkirakan dapat memberikan sumbangan terbesar antara lain

adalah tekstil, peralatan listrik, produk kimia dan peralatan

mesin dan komoditi-komoditi yang berbasis sumber daya alam.

Sementara itu, kegiatan impor barang dan jasa diperkirakan akan

meningkat sejalan dengan peningkatan permintaan domestik.

Dengan perkembangan itu, neraca pembayaran 2007 diperkirakan

masih akan mencatat surplus, meskipun tidak sebesar surplus pada

tahun 2006. Penurunan surplus neraca pembayaran ini antara lain

disebabkan peningkatan permintaan impor sejalan peningkatan

kegiatan ekonomi. Sementara dari neraca transaksi modal, aliran

modal asing berupa FDI diperkirakan akan meningkat terutama pada

semester II-2007. Peningkatan FDI tersebut dipicu oleh iklim

investasi yang diperkirakan akan membaik dan tingkat risiko mikro

yang menurun. Dengan perkiraan neraca pembayaran seperti itu,

cadangan devisa tahun 2007 diperkirakan mencapai sekitar US$47

miliar. Surplus neraca pembayaran, peningkatan cadangan devisa,

dan keyakinan pasar terhadap konsistensi kebijakan makroekonomi

akan mendukung nilai tukar rupiah 2007 yang secara umum

diperkirakan bergerak sesuai dengan keseimbangan eksternalnya.

Peningkatan kegiatan ekonomi di 2007 tersebut diperkirakan

tidak memberikan tekanan inflasi IHK yang berlebihan, yaitu masih

dalam kisaran sasaran 6+1%. Perkiraan tersebut inflasi IHK 2007

juga didukung oleh ekspektasi inflasi pelaku pasar yang masih

terjaga dan tidak adanya rencana untuk meningkatkan harga

kelompok barang yang harganya diatur Pemerintah. Di samping itu,

tekanan inflasi kelompok bahan makanan juga diperkirakan tetap

rendah sejalan dengan komitmen pemerintah dalam menjaga

kelancaran pasokan makanan khususnya barang-barang kebutuhan

pokok.

Dari sisi moneter, Bank Indonesia akan menetapkan Penurunan

BI Rate sebesar 50 bps dari 10,75 % menjadi 10,25% . Keputusan

tersebut diambil setelah melakukan evaluasi kondisi makroekonomi

terkini, mencermati hasil berbagai survei, dan memandang prospek

ekonomi moneter ke depan, termasuk upaya pencapaian sasaran

inflasi ke depan, yaitu 6±1% untuk tahun 2007.

Guna mendorong bergeraknya sektor riil, Bank Indonesia

secara khusus juga mengeluarkan beberapa ketentuan dibidang

perbankan di tahun 2007. Langkah tersebut antara lain adalah,

bekerja sama dengan Pemerintah untuk melakukan revitalisasi peran

bank-bank BUMN, memfasilitasi proses merger secara lebih

decisive, dan mengeluarkan kebijakan yang melonggarkan Aturan

Kredit. Bank Indonesia akan mengubah Ketentuan Mengenai Tata Cara

Penilaian Kolektibilitas Kredit dan Penyesuaian berapa ketentuan

yang terkait dengan Prinsip-Prinsip Kehati-hatian Perbankan.

8. Perbankan dan Lembaga Keuangan Lainnya

Dari sisi perbankan, kinerja perbankan sampai akhir Januari

2006 mengalami sedikit penurunan namun secara umum tetap baik

karena masih pada level yang dapat ditoleransi dan perbankan

masih dapat mengatasi risiko usaha yang dihadapinya. Walaupun

mengalami penurunan sebagaimana telah diperkirakan sebelumnya

sebagai factor musiman di awal tahun (January effect), pangsa

kredit kepada UMKM pada Januari 2006 justru meningkat dari 51%

menjadi 51,9%.

Sampai dengan bulan Mei kinerja perbankan nasional semakin

baik. Dari berbagai indikator yang ada menunjukkan perkembangan

tersebut seperti jumlah kredit yang terus meningkat dan

menurunnya resiko kredit bermasalah. Pada akhir April 2006 total

kredit yang disalurkan tercatat sebesar Rp 733,4 triliun,

meningkat sebesar Rp 10,7 triliun dibanding bulan sebelumnya.

Jumlah peningkatan ini merupakan yang terbesar selama setengah

tahun terakhir. Hal ini pada gilirannya mendorong loan to deposit

ratio (LDR) untuk meningkat menjadi 52.7% dibandingkan dengan

52.3% pada bulan sebelumnya. Sementara itu, kualitas kredit yang

disalurkan juga membaik. Hal ini tercermin dari menurunnya rasio

kredit bermasalah (non performing loan/NPL) dari 9,4% (gross)

pada bulan Maret 2006 menjadi 9,2% pada bulan April 2006. Dengan

demikian, peningkatan jumlah kredit yang cukup besar serta

peningkatan LDR yang diiringi dengan penurunan NPL (gross)

menunjukkan bahwa kinerja perbankan nasional semakin membaik.

Secara umum, kondisi industri perbankan menunjukkan

pertumbuhan, seperti tercermin pada pertumbuhan total aset yang

didukung pertumbuhan aktiva produktif, termasuk kredit.

Pertumbuhan kredit hingga Oktober 2006 telah meningkat sebesar Rp

66 triliun, atau tumbuh 9% (ytd). Sementara itu, di tengah

kecenderungan suku bunga kredit yang bergerak turun, dalam bulan

Oktober, total aset industri perbankan meningkat menjadi

Rp1.605,2 triliun di mana aktiva produktif industry bertambah

sebesar Rp 16,5 triliun (1,1%) yang didanai oleh peningkatan dana

pihak ketiga sebesar Rp 28,2 triliun (2,3%). Adapun rasio kredit

bermasalah (non performing loan/NPL) tercatat sebesar 8,8%

(gross) dan 4,9% (net) pada Oktober 2006.

9. Perbankan syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya

Tahun 2006 merupakan tahun yang penuh dinamika bagi industri

perbankan syariah. Kondisi perekonomian yang pada awal 2006 masih

sangat kuat dipengaruhi oleh dampak lanjutan kenaikan BBM tahun

2005, yang ditandai dengan tingginya inflasi dan suku bunga,

kenaikan biaya produksi serta melemahnya daya beli masyarakat,

menciptakan iklim yang kurang kondusif pada dunia usaha termasuk

perbankan syariah. Namun sejalan dengan kestabilan makro yang

semakin meningkat, pada semester kedua 2006 ekspansi perekonomian

secara lebih luas mulai terlihat, sehingga kinerja industri

perbankan syariah kembali menemukan momentumnya, ditandai dengan

pertumbuhan volume usaha yang tinggi.

Kebijakan perbankan syariah tahun 2006 difokuskan pada enam

aspek yang meliputi kepatuhan pada prinsip syariah, pemenuhan

aspek kehati-hatian, pengembangan efisiensi operasi dan daya

asing, kestabilan sistem dan kemanfaatan bagi perekonomian,

peningkatan kompetensi dan profesionalisme sumberdaya insani,

serta optimalisasi fungsi sosial bank syariah dalam memfasilitasi

sektor voluntary sosial dengan upaya pemberdayaan ekonomi rakyat.

Dalam rangka melengkapi panduan penerapan akad keuangan

syariah, telah dilakukan kajian standard akad bank syariah :

hilawah, kafalah, rahn dan sharf. sebagai upaya meningkatkan

pemenuhan aspek kehati-hatian dalam kegiatan usaha perbankan

syariah, dalam tahun 2006 dilakukan penyempurnaan ketentuan

kehati-hatian berdasarkan karakteristik operasional bank syariah,

diantaranya ketentuan kualitas aktiva disamping melakukan

pengembangan sistem penilaian tingkat kesehatan perbankan

syariah. Dalam rangka optimalisasi fungsi sosial bank syariah

Bank Indonesia bekerjasama dengan Badan Amil Zakat Nasional

(BAZNAS) dan seluruh perbankan syariah juga terus mengembangkan

Program Perbankan Syariah Peduli Umat (PSPU) terutama dalam

membantu para korban bencana alam. Di bidang perizinan, pada 2006

telah diterbitkan izin operasi kepada 1 Unit Usaha Syariah dan 13

BPRS serta 64 kantor cabang dan kantor dibawah kantor cabang.

Selain itu Bank Indonesia juga memberikan izin terhadap 26 calon

pemegang saham baru, pengurus dan anggota dewan pengawas syariah

serta terhadap 21 produk baru bank syariah.

Selama tahun 2006 industri perbankan syariah mengalami

peningkatan volume usaha sebesar Rp5,8 triliun sehingga pada

akhir periode laporan mencapai Rp26,7 triliun. Peningkatan

tersebut memperbesar pangsa aset perbankan syariah terhadap total

aset perbankan nasional dari 1,4% pada akhir tahun 2005 menjadi

1,6% pada akhir 2006.

Seiring perkembangan kinerja bank umum dan unit usaha

syariah, kinerja Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) juga

memperlihatkan peningkatan. Sepanjang tahun 2006, volume usaha

BPRS mengalami ekspansi sebesar Rp0,3 triliun (49,8%) sehingga

memperbesar pangsa BPRS dalam industri BPR nasional menjadi 3,8%.

Sepanjang 2006, asuransi syariah juga memperlihatkan perkembangan

yang cukup pesat. Sebanyak 16 perusahaan baru yang menawarkan

asuransi syariah beroperasi pada tahun laporan sehingga jumlah

penyedia jasa asuransi syariah mencapai 46 perusahaan.

Sejalan dengan membaiknya prospek industri, pertumbuhan

volume usaha perbankan syariah pada tahun 2007 diperkirakan akan

lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan pada tahun 2006.

10. Keadaan makro ekonomi Indonesia

Keadaan ekonomi nasional tahun 2006 diwarnai oleh paradoks.

Yaitu dimana membaiknya indikator makro tidak berkorelasi dengan

membaiknya keadaan ekonomi masyarakat. Walaupun fenomena seperti

itu tidaklah sama sekali baru, sebagaimana terungkap dari

studi Ninasapti Triaswati (2005). Akan tetapi harus menjadi

perhatian serius semua pihak, khususnya dalam menggerakan ekonomi

di tahun depan, karena senyatanya membaiknya ea rah ekonomi makro

sebagai tolok ukur keberhasilan pembangunan ekonomi harus

beriringan dengan meningkatnya kesempatan kerja dan berkurangnya

kemiskinan.     

Pertumbuhan ekonomi tahun 2006 diperkirakan mencapai 5,8

persen yang sudah direvisi dari proyeksi semula 6,2 persen.

Walaupun angka pertumbuhan  masih di bawah 6 persen, tapi bisa

membuat kita lebih optimis di  tahun mendatang. Selain

pertumbuhan ekonomi yang ea rah baik, tingkat inflasi terlihat

membaik pula, tahun ini diperkirakan 7 persen. Pada tahun ini,

sampai dengan Juli tingkat inflasi sebesar 3,29 persen, dengan

tingkat inflasi tertinggi terjadi pada Januari sebesar 1,36

persen, yang merupakan dampak ikutan (carry over) dari tahun 2005.

Namun sebagaimana diulas dalam pengantar, membaiknya ea rah

makro ekonomi tidak otomatis menyelesaikan persoalan ekonomi yang

terkait dengan persoalan kemanusiaan yang mendasar yakni masalah

kemiskinan dan pengangguran.   Angka kemiskinan yang ditargetkan

menurun seperti tersebut dalam tujuan MDG’s justru pada tahun

terakhir ini menunjukkan peningkatan yang cukup mengkhawatirkan

yaitu dari 16 persen menjadi 17,75 persen. Memang ada penjelasan

bahwa meningkatnya angka kemiskinan dan pengangguran selama

setahun terakhir ini bersifat situasional karena dipicu oleh

adanya lonjakan inflasi akhir 2005 dan awal 2006.  Inflasi 2005

mencapai 17 persen dipicu oleh kenaikan harga BBM yang

dimaksudkan untuk memperkuat struktur keuangan ea ra.   Di awal

tahun 2006, inflasi itu terpicu oleh kenaikan harga bahan

pangan.   Data menunjukkan bahwa sumbangan Garis Kemiskinan

Makanan terhadap Garis Kemiskinan sebesar 74,99 persen.  Ini

berarti bahwa gejolak peningkatan harga komoditas makanan akan

berdampak sangat nyata terhadap peningkatan jumlah penduduk

miskin.

Berdasarkan laporan BPS bulan September 2006, jumlah

penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2006 sebesar 39,05

juta (17,75 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada

Februari 2005 yang berjumlah 35,10 juta (15,97persen), berarti

jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 3,95 juta. Malahan bila

patokan Bank Dunia dijadikan sandaran dalam menentukan kelompok

miskin, yakni $ 2 per kapita per hari, maka dipastikan 110 juta

jiwa berada di kelompok miskin.

Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi 5,8 persen diperkirakan

penyerapan tenaga kerja memang akan sedikit lebih baik, sekira

1,7 Juta Orang. Namun demikian kondisi ini akan masih tetap

dibayangi oleh peningkatan pengangguran antara 300 ribu hingga

400 ribu Orang angkatan kerja baru. Masalah lain yang harus

dihadapi dalam mengatasi angka pengangguran di tahun 2006 ini

adalah, pertama fakta  lebih sekitar 50% dari total angkatan

kerja nasional kita menggantungkan nasibnya  bekerja di ea ra

pertanian, sementara penyempitan lahan pertanian terus terjadi

untuk berbagai keperluan, baik untuk pemukiman ataupun ea

rah. Kedua,  sekitar 80% angkatan kerja kita hanya mengenyam

pendidikan formal tertinggi tamatan sekolah dasar (SD), hal ini

berimplikasi pada kemampuan yang dimiliki (unskill). Ketiga, selain

masalah kesempatan kerja baru yang sulit dibuka kita pun  harus

menyelamatkan pekerja yang kehilangan pekerjaannya baik

disebabkan oleh PHK maupun oleh bencana alam.  Kebijakan

pemerintah yang meningkatkan anggaran belanja ea ra patut

dihargai. Meskipun dengan konsekuensi meningkatkan ea rah ea ra,

kebijakan ini memfokuskan pada ea ra-sektor yang padat karya,

dengan demikian diharapkan dapat mengurangi pertambahan

pengangguran.

Pertumbuhan ekonomi juga belum ditopang ea ra riil yang

bersifat menyerap banyak tenaga kerja. Untuk tahun 2006, ea ra

pertambangan dan penggalian hanya tumbuh 1,59 persen, ea ra

pertanian 2,49 persen, dan ea rah pengolahan 4,63 persen, jauh di

bawah ea ra-sektor lainnya yang tumbuh dengan rata-rata 6,9

persen. Tidak bergeraknya ea ra riil menjadi catatan penting

tahun ini. Mandegnya sektor riil menjadi penyebab angka

pengangguran sulit ditahan pada tahun ini.

Saat ini harapan pemerintah dengan

memperbaiki stimulusinvestasi swasta belum menghasilkan dampak

positip yang optimal.Nilai realisasi PMA Januari hingga Juni 2006

misalnya baru mencapaiRp.34 Triliun. Angka Rp.34 Triliun jelas

belum menunjukan perbaikan investasi sebagaimana yang diinginkan

oleh pemerintah. Dibandingkan dengan realisasi PMA periode yang

sama tahun lalu, angka realisasi PMA Rp.34 Triliun hanya

mengalami peningkatan 4,77%. Kondisi ini sekali lagi

menggambarkan bahwa investor asing belum me-respons positif

keingginan pemerintah agar PMA mampu berlari dengan kecepatan

tinggi.

Sektor riil berskala mikro, kecil, dan menegah, terutama

yang berbentuk koperasi (selanjutnya disebut UMKMK) ini memiliki

tantangan yang lebih rumit. Persoalan UMKMK bukan  sekadar

persoalan iklim investasi, melainkan juga masalah permodalan,

keterkaitan dengan ea ra pasar, hingga persoalan teknologi dan

SDM. Padahal UMKMK memiliki kesempatan lebih langsung untuk

menciptakan lapangan kerja dan mengatasi kemiskinan dibanding

usaha-usaha padat modal. Jumlah usaha kecil dan rumah tangga

mencapai 99,8 persen, sedangkan kemampuan menyerap tenaga kerja

dari usaha kecil hingga menengah mencapai 99,4 persen dari

angkatan kerja. Pada tahun 2005, UMKMK yang tersebar luas di

seluruh daerah menyerap sebanyak 77,7 juta tenaga kerja, dan

dalam pembentukan produk ea rah bruto (PDB) menyumbang sekitar

54,2 persen.

Aspek permodalan merupakan salah satu penghambat terbesar

pengembangan UMKMK. Secara umum perbankan enggan melayani  UMKMK

karena memerlukan pekerjaan yang lebih banyak untuk dapat

menyalurkan dana yang sama dibanding pada usaha berskala besar.

Untuk mengatasi ketimpangan itu, kebijakan Bank Indonesia untuk

menerapkan ea ra insentif dan disinsentif lebih tegas agar fungsi

intermediasi perbankan dapat berjalan perlu didukung.

11. Perkembangan moneter

Perkembangan kebijakan suku bunga khususnya di AS, Eropa dan

Jepang masih menjadi ea ra yang berpengaruh cukup besar terhadap

perkembangan pasar keuangan dunia sepanjang triwulan I 2006,

disamping isu-isu seputar fundamental ekonomi global dan

perkembangan harga minyak dunia. Pelaku pasar saham nampaknya

lebih memperhatikan isu-isu fundamental ekonomi dan perkembangan

harga minyak, sementara isu perkembangan tingkat suku bunga lebih

dominan dalam mewarnai perkembangan di pasar obligasi.

Pasar valas dunia sepanjang triwulan I 2006 ditandai dengan

kecenderungan melemahnya nilai tukar dolar AS terhadap beberapa

mata uang dunia lainnya seperti euro dan yen. Sepanjang triwulan

I 2006, indeks Morgan Stanley Capital (MSCI) global masih

menunjukkan kenaikan, demikian juga halnya indeks harga saham di

pasar saham Amerika Serikat, Eropa, Jepang dan kawasan Asia

lainnya, serta pasar saham emerging market. P ada pasar obligasi,

ea rah kenaikan tingkat suku bunga ea ra lebih dominan

pengaruhnya terhadap turunnya minat investor di pasar ini. Untuk

pasar obligasi Indonesia, sepanjang triwulan I 2006 secara umum

pasar obligasi korporasi Indonesia masih sangat menarik bagi

investor. Namun demikian, terkendala oleh sikap menunggu

perkembangan tingkat suku bunga dan hasil audit laporan keuangan

tahun 2005, penerbitan obligasi korporasi di Indonesia sepanjang

triwulan I 2006 relatif terbatas. Sementara itu, ea rah terhadap

outlook perekonomian Indonesia pada 2006 menjadi salah satu ea

rah positif yang mendorong peningkatan harga obligasi korporasi

di Indonesia sepanjang triwulan laporan, meskipun harga obligasi

sempat tertekan menjelang berakhirnya triwulan I 2006. Memasuki

bulan Maret 2006, harga obligasi perbankan Indonesia mengalami

peningkatan dipicu oleh kemungkinan peningkatan rating Indonesia

dan penguatan Rupiah. Kemudian pada periode akhir Maret 2006

harga obligasi perbankan Indonesia cenderung menurun.

Memasuki triwulan II 2006, perlambatan mewarnai perkembangan

pasar keuangan baik pasar valas, saham maupun obligasi, sementara

untuk pasar komoditas terlihat adanya kecenderungan peningkatan.

Perkembangan pasar valuta asing sepanjang triwulan II 2006

ditandai dengan cenderung melemahnya dolar AS terhadap sebagian

besar mata uang dunia, khususnya mata uang utama (major

currencies) seperti Euro dan Yen.

Kondisi yang kurang menggembirakan juga terjadi di bursa

saham dunia, dimana perkembangan bursa sepanjang triwulan II 2006

secara umum cenderung melambat. Tekanan juga dihadapi oleh pasar

obligasi global di sepanjang triwulan II 2006 dan diperkirakan

akan terus berlanjut di triwulan III 2006.

Kondisi berbeda terjadi di pasar komoditas, dimana sepanjang

triwulan II 2006 terlihat adanya kecenderungan perbaikan

komoditas dunia. Hal ini tercermin dari terjadinya trend

peningkatan harga komoditas dunia. Peningkatan harga tersebut

terjadi pada ea ra seluruh ea ra migas dan non migas, seperti ea

ra ea ra, pertambangan, dan pertanian.

Triwulan III 2006 ditandai dengan perkembangan pasar

keuangan internasional yang secara umum mengalami perbaikan

khususnya di pasar saham dan obligasi, sementara untuk pasar

valuta asing dan komoditas cenderung mixed. Sepanjang triwulan

ini, ea ra seluruh pasar saham utama dunia (kecuali pasar saham

AS) mencatat terjadinya kenaikan indeks harga saham dibandingkan

dengan triwulan sebelumnya. Negara-negara emerging market

khususnya di kawasan Asia pada triwulan ini mengalami perbaikan

signifikan, demikian juga dengan pasar saham eropa dan Jepang.

Kenaikan permintaan di China dan India merupakan salah satu era

utama pendorong peningkatan harga saham di kawasan emerging dan

Asia tersebut. Sementara di kawasan eropa, isu-isu akuisisi masih

mendominasi perdagangan di pasar saham.

Pada triwulan ini harga komoditas minyak cenderung turun,

namun tidak demikian halnya dengan komoditas non-minyak.

Melanjutkan trend pada triwulan sebelumnya, harga komoditas

non-minyak masih menunjukkan kecenderungan meningkat di sepanjang

triwulan ini. Pasar valuta asing di sepanjang triwulan ini

ditandai dengan penguatan Dolar AS terhadap beberapa mata uang

utama dunia (Yen dan Euro) sebagai dampak masih lebarnya spread

suku bunga AS dengan Jepang dan kawasan euro. Sementara itu, pada

triwulan ini Dolar AS cenderung melemah terhadap beberapa mata

uang ea ra Asia (diluar Jepang) seperti Thai Baht, Peso Philipina

dan Rupiah yang terutama didorong oleh ea ra-faktor ea rah ea ra-

negara tersebut. Pasar obligasi global juga menunjukkan

perkembangan yang menggembirakan di sepanjang triwulan ini.

12. Perekonomian Dunia dan Kerjasama Internasional

Perkembangan ekonomi dunia selama 2006 semakin baik,

ditandai dengan kuatnya pertumbuhan ekonomi baik pada kelompok ea

ra maju maupun ea ra berkembang. Pertumbuhan tahunan ekonomi

dunia mencapai sekitar 5,1% (Tabel 11.1), sehingga menambah

panjang periode ekspansi perekonomian yang dalam tiga tahun

terakhir berada di atas tren jangka panjangnya. Secara umum,

penguatan ekonomi dunia pada 2006 terjadi baik pada kelompok ea

ra berkembang maupun ea ra maju. Perekonomian kelompok Negara

maju tumbuh 3,1%, sementara kelompok Negara berkembang tumbuh

tinggi mencapai 7,3%.

Selama 2006, perkembangan ekonomi di Negara maju, khususnya

AS, Eropa, dan Jepang, cukup tinggi. Seiring dengan menguatnya

pertumbuhan dan tingginya harga komoditas di pasar internasional,

tekanan inflasi dunia pada 2006 juga cenderung meningkat. Inflasi

tahunan kelompok ea ra maju dan berkembang masingmasing mencapai

2,6% dan 5,2%. Untuk meredam tekanan inflasi, sebagian besar bank

sentral melakukan kebijakan moneter cenderung ketat. Selama 2006,

Federal Reserve AS tercatat telah menaikkan suku bunga empat

kali, European Central Bank (ECB) tercatat telah meningkatkan

suku bunga sebanyak lima kali, sementara, Bank of Japan (BOJ)

untuk pertama kalinya menaikkan suku bunganya.

Perekonomian AS pada 2006 tumbuh lebih tinggi dibandingkan

tahun sebelumnya, didukung oleh pengeluaran konsumsi swasta,

investasi nonbangunan, dan net ekspor. Pada 2006, perekonomian AS

tumbuh 3,4%, lebih tinggi dari tahun sebelumnya sebesar 3,2% .

Konsumsi swasta, dengan pangsa sekitar 70%, tumbuh cukup kuat

sehingga mampu mengimbangi penurunan pada investasi bangunan.

Secara keseluruhan tekanan inflasi AS sepanjang 2006 cukup

tinggi. Inflasi IHK AS sempat mencapai 4,30% pada Juni 2006 dan

tetap tinggi hingga Agustus 2006. Perkembangan kinerja keuangan

Pemerintah AS ea rah membaik. Pada tahun ea ra yang berakhir 30

September 2006, ea rah ea ra turun menjadi $248 miliar (1,9% dari

PDB) dari $319 miliar pada tahun ea ra 2005.

Perekonomian kawasan Euro pada 2006 terus menunjukkan

penguatan setelah melambat pada akhir 2005. Penguatan ekonomi

didukung semakin meningkatnya konsumsi swasta dan pengeluaran

investasi terutama pada paro pertama 2006. Secara keseluruhan,

pertumbuhan ekonomi selama 2006 mencapai 2,4% , tertinggi dalam

beberapa tahun terakhir. Sejalan dengan ekspansi perekonomian dan

peningkatan harga komoditas internasional, tekanan inflasi

cenderung meningkat dan disertai ea rah transaksi berjalan yang

membesar. Laju inflasi kawasan Euro sejak Januari hingga Agustus

2006 terus berada di atas convergen criteria sebesar 2,00%.

Dalam 2006, perekonomian Jepang menunjukkan kinerja yang

semakin baik. Akselerasi pertumbuhan ekonomi yang terjadi sejak

2005 terus berlanjut ke 2006 dengan pertumbuhan mencapai 2,2% .

Seiring dengan mulai menguatnya pertumbuhan ekonomi, harga-harga

mulai menunjukkan kecenderungan meningkat. Pada 2006, inflasi IHK

dan inti masing-masing tercatat sebesar 0,30% dan 0,10%. Kuatnya

pertumbuhan ekonomi dunia juga berdampak terhadap kinerja

eksternal Jepang. Surplus neraca transaksi berjalan pada 2006

mencapai ‡19,8 triliun ($167 miliar), terutama ditopang�

melonjaknya pendapatan dari luar negeri yang mencapai ‡13,7

triliun.

Perkembangan ekonominegara-negara di kawasan Amerika Latin

cenderung membaik. Pada 2006 rata-rata pertumbuhan ekonomi di

kawasan ini z mencapai 4,8% atau lebih tinggi dari pertumbuhan

tahun sebelumnya yang mencapai 4,3%. Secara umum, laju inflasi di

kawasan Amerika Latin cenderung menurun dan berada pada tingkat

yang cukup moderat, sehingga mendorong sebagian besar bank

sentral di kawasan ini untuk menurunkan suku bunga. Inflasi

tahunan 2006 tercatat sebesar 5,60% atau menurun dari 6,30% pada

2005. Penurunan inflasi terutama terjadi di Brazil, Argentina,

dan Chili, sedangkan kenaikan inflasi terjadi di Meksiko. Dua ea

ra penganut inflation targeting, yaitu Brazil dan Chili, berhasil

menekan tingkat inflasinya cukup rendah.

Pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Pasifik di luar Jepang

masih cukup kuat. Meskipun harga minyak dunia selama 2006 terus

bergerak naik, perkembangan ekonomi ea ra-negara di Asia secara

umum tetap tumbuh tinggi dengan tingkat inflasi yang cukup

moderat. Kelompok ea ra ea rah maju (newly industrialized Asian

economies) seperti Korea Selatan, Hongkong, Taiwan, dan Singapura

tumbuh 4,9% atau lebih tinggi dari 2005. Sementara untuk negara

berkembang masih tumbuh tinggi sekitar 8,7%.

Pada 2006, perkembangan dua kekuatan baru ekonomi Asia,

yaitu Cina dan India, masih mencatat kinerja ekonomi yang mantap.

Pertumbuhan ekonomi Cina yang mencapai 10,0% didukung oleh

peningkatan investasi dan ekspor. Pesatnya pertumbuhan ekonomi ea

ra tersebut menarik minat investasi asing langsung (FDI).

Sejumlah bank sentral masih menempuh kebijakan moneter ketat,

meskipun perkembangan inflasi untuk kawasan Asia Pasifik di luar

Jepang secara umum masih cukup terkendali. Pada 2006, kebijakan

suku bunga ketat antara lain ditempuh Reserve Bank of Australia

(RBA), Bank of Korea (BoK), Bank Negara Malaysia (BNM), dan Bank

of Thailand (BoT).

Selama 2006 dinamika perkembangan di pasar keuangan global

ditopang oleh masih besarnya tingkat likuiditas. Likuiditas

global yang besar kembali mengalir ke ea ra-negara emerging

markets terutama dalam bentuk penanaman equity. Arus modal ke

emerging markets secara keseluruhan pada 2006 masih tinggi,

mencapai $502 miliar. Dengan tingkat likuiditas global yang masih

tinggi, suku bunga acuan jangka panjang masih didorong untuk

bergerak pada level yang rendah dan kebijakan moneter ketat lebih

berpengaruh pada kenaikan suku bunga jangka pendek. Suku bunga

Libor-JPY 1 bulan meningkat dari sekitar 0,10% menjadi sekitar

0,50%, sejalan dengan kebijakan moneter BoJ yang meningkatkan

suku bunga 0,25% pada Juli 2006. Sementara itu, proses

penyesuaian terhadap ketidakseimbangan global ditandai dengan

melemahnya dolar terhadap ea ra seluruh mata uang, terutama mata

uang ea ra Asia yang menikmati surplus besar dengan AS.

Perkembangan pasar komoditas selama 2006 ditandai dengan

meningkatnya harga komoditas baik migas maupun nonmigas.

Kecenderungan kenaikan harga minyak sejak 2004 mencapai puncaknya

di level $77 per barel pada pertengahan 2006. Naiknya harga migas

yang ditransmisikan kedalam biaya input bagi komoditas lainnya

dan tingginya permintaan dunia juga mendorong kenaikan harga

komoditas nonmigas. Selama 2006 kenaikan harga

nonmigas mencapai 28,4%.

Perkembangan perekonomian global yang semakin dinamis

senantiasa menuntut terselenggaranya kerjasama ekonomi dan

keuangan antar ea ra yang semakin erat. Kerjasama keuangan

regional sepanjang 2006 masih dalam kerangka mendukung proses

integrasi ekonomi dan keuangan Asia. Melanjutkan berbagai upaya

yang telah ditempuh pada tahun-tahun sebelumnya, dalam rangka

meningkatkan efektifitas Chiang Mai Initiative (CMI)9Ω, khususnya

jejaring Bilateral Swap Arrangement (BSA), maka pada Mei 2006 di

Hyderabad, India, forum ASEAN+3 (ASEAN + Cina, Jepang, Korea

Selatan) telah mencapai kesepakatan untuk menerima hasil review

CMI tahap kedua, melengkapi kesepakatan Istanbul (2005).

Sebagai langkah awal ea rah pembentukan multilateral

financial arrangement, pada 2006 telah dibentuk task force yang

akan menyusun dan melakukan tahap-tahap persiapan proses

multilateralisasi BSA menjadi bentuk multilateral financial

arrangement.

BAB III

SIMPULAN

Tahun 2006 adalah tahun dengan berbagai catatan

keberhasilan, namun juga sarat dengan berbagai tantangan yang

menjadikan kita menjadi semakin matang di dalam mengelola

perekonomian. Tingkat inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) di

bulan Januari 2006 masih sangat tinggi mencapai 17,06% (yoy).

Suku bunga BI Rate sebagai acuan suku bunga pasar, masih harus

terus dipertahankan pada tingkat yang cukup tinggi sebesar 12,75%

hingga memasuki bulan Mei 2006. Optimisme pelaku ekonomi terhadap

prospek perekonomian mengalami penurunan yang cukup drastis.

Sementara itu, kondisi sistem keuangan pun mengalami

kegamangan sejalan dengan kekhawatiran akan terjadinya pembalikan

arus modal akibat harga minyak dunia yang masih terus bergerak

naik, diiringi pula dengan kenaikan tingkat suku bunga global.

Beruntung sequel ketidakstabilan makroekonomi tersebut tidak

berlangsung lama. Setelah secara menyeluruh melakukan evaluasi

terhadap situasi dan prakiraan ekonomi yang menunjukkan besarnya

keyakinan Bank Indonesia akan tercapainya sasaran inflasi, sejak

bulan Mei 2006, Bank Indonesia mulai menurunkan BI Rate.

Di bidang perbankan, permasalahan terhambatnya fungsi

intermediasi masih tetap membayangi kinerja industri secara

keseluruhan. Mencermati pentingnya dukungan sektor perbankan bagi

peningkatan kegiatan ekonomi, selama tahun 2006 kebijakan yang

ditempuh Bank Indonesia kembali diarahkan untuk lebih memberikan

ruang gerak bagi perbankan di dalam menjalankan fungsi

intermediasi, tanpa harus mengorbankan stabilitas sistem keuangan

yang telah dicapai. Secara umum, berbagai indikator kinerja

keuangan dan operasional industri perbankan mengalami peningkatan

cukup signifikan, seperti tercermin pada pertumbuhan total asset

yang didukung pertumbuhan aktiva produktif, termasuk kredit.

Pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun 2006 tercatat sebesar 5,5%

(yoy). Mempertimbangkan besarnya tantangan yang ada di tahun

2006, bagaimanapun juga, pencapaian ini patut kita syukuri. Bank

Indonesia memperkirakan apabila pembenahan yang mendasar terhadap

permasalahanpermasalahan mikro struktural yang ada dapat

dikurangi, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia akan dapat tumbuh

lebih tinggi dari tahun 2006, dalam kisaran 5,7%-6,3%.