perancangan pembelajaran berbasis karakter

368

Transcript of perancangan pembelajaran berbasis karakter

Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter — 1

PERANCANGAN PEMBELAJARAN BERBASIS KARAKTER

2 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter — 3

PERANCANGAN PEMBELAJARAN BERBASIS KARAKTER

Prof. Dr. Dasim Budimansyah, M.Si.

4 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

PERANCANGAN PEMBELAJARAN BERBASIS KARAKTER

ISBN 978-602-99677-4-6

Penulis :Prof. Dr. Dasim Budimansyah, M.Si.

Editor :Dr. Nugraha Suharto, S.Sos., M.Pd.Iik Nurulpaik, S.Pd., M.Pd., MAP.

Penerbit:Widya Aksara PressJl. Sariwangi Indah I No. 4 Bandung 40559Telp. (022) 2019800E-mail : [email protected]

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002tentang Hak CiptaPasal 72:1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000 (lima milyar rupiah).

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter — 5

PRAKATA

Sejatinya pendidikan itu adalah proses mendewasakan anak didik menjadi insan yang paripurna, yakni bukan saja memiliki kematangan intelektual melainkan mereka yang memiliki sikap dan tingkah laku

yang baik. Sehingga tidak berlebihan jika dikatakan bahwa insan paripurna itu adalah mereka yang dapat melakukan kebajikan dengan nalar dan penuh keyakinan. Artinya, perbuatan baik yang dilakukannya itu lahir atas dasar pikiran yang jernih bukan sekedar basa-basi atau bahkan akibat ajakan dan bujuk rayu orang lain. Selanjutnya dalam hati sanubari yang paling dalam ada keyakinan yang sangat kuat bahwa perbuatannya itu memang merupakan sesuatu yang amat bernilai, tidak ada keraguan sedikitpun alih-alih hanya sekedar mengikuti kaprah umum.

Akan tetapi harapan itu tidak selamanya sesuai dengan fakta di lapangan. Proses pendidikan sering kali berubah menjadi pelatihan yang menitikberatkan pada pengembangan aspek kognitif ( taksnonomik rendah) dengan tujuan utamanya lulus ujian nasional. Sehingga proses pendidikan yang demikian itu belum cukup untuk mewujudkan sekolah menjadi sebuah ekosistem yang menumbuhkan semangat belajar otentik dan menyiptakan ekosistem pembelajaran yang menjadikan sekolah sebagai institusi karakter atau komunitas moral.

6 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Buku ini menyajikan suatu model pembelajaran karakter yang penulis kembangkan sejak lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Model ini mengadaptasi Project Citizen dari CCE (1999) yang berbasis model How We Think-nya John Dewey (1960). Pada mulanya model ini dikembangkan pada enam sekolah rintisan di kota Bandung dan sekitarnya pada tahun 1999. Selanjutnya dikembangkan Depdiknas pada sejumlah sekolah rintisan di sejumlah provinsi di Indonesia. Sejak 2015 melalui Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi model ini diperkaya oleh Scholarly Discipline Model dari Robert R. Newton (2000) penulis kembangkan sebagai model inovatif untuk mengembangkan sekolah sebagai institusi karakter di Jawa Barat.

Buku ini merupakan edisi revisi kedua, dari buku sebelumnya yang pertama kali terbit pada 2012 dan kedua pada 2018. Revisi dilakukan dengan mengubah-suaikan berbagai konsep yang kurang pas dan menambah dua bagian dari bab 8 dengan hasil kajian penguatan pendidikan karakter di sekolah dan di perguruan tinggi. Di samping itu pada bab-bab lainnya ditambah catatan pada Box yang berisi bahan pengayaan. Khusus pada bab tentang penilaian ditambahkan pula contoh alat penilaian untuk mengukur implementasi pendidikan karakter di sekolah.

Kehadiran buku ini kiranya dapat membantu para praktisi Pendidikan karakter di sekolah dan pergiuruan tinggi utamanya yang menjadi leading sector bagi pelaksanaan pendidikan karakter, dalam merancang pembelajaran yang mampu mengembangkan karakter siswa sebagai pembelajar otentik. Kepada semua pihak yang telah membantu penerbitan buku ini, penulis sampaikan terima kasih yang tidak terhingga. Semoga segala bantuan yang diberikan memperoleh pahala yang berlimpah dari Alah SWT. Akhirnya, tiada gading yang tak retak. Oleh karena itu kepada para pembaca mohon koreksi dan masukannya jika terdapat berbagai kekurangan dari naskah buku ini untuk perbaikan pada penerbitan berikutya. Selamat membaca dan sukses selalu dalam melaksanakan tugas pengabdian kita.

Bumi Siliwangi, 18 September 2020Penulis

Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter — 7

PRAKATA — 5 DAPTAR ISI — 7

BAB 1 DINAMIKA MASYARAKAT SEBAGAI KONTEKS PENDIDIKAN KARAKTER — 15Pendahuluan — 15Gejolak masyarakat pasca reformasi — 24Membangun karakter Ke-Indonesiaan — 31

BAB 2KONSEP KARAKTER, PENDIDIKAN KARAKTER, DAN PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA — 41Apa Karakter Itu? — 41Karakter Privat dan Publik — 51Karakter Bangsa — 54Apa dan Mengapa Pendidikan Karakter? — 58

DAFTAR ISI

8 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Historis — 59 Yuridis — 60 Sosiologis — 61 Pedagogis — 64Pendidikan Karakter dalam Konteks Makro — 66Pendidikan Karakter dalam Konteks Mikro — 68Pembangunan Karakter Bangsa — 70

BAB 3LANDASAN TEORETIK PENDIDIKAN KARAKTER — 75Etika Normatif — 75Pendidikan Nilai — 82

BAB 4PENDIDIKAN KARAKTER PADA SATUAN PENDIDIKAN — 101Kegiatan di Kelas — 102 Healtier food in school (Tim USA) — 103 Restore historic monuments (Tim India) — 104 Acces to clean water (Tim Senegal) — 105 School violence (Tim Jordan) — 106 Underage gambling (Tim Russia) — 107 Decrease taxation of silversmiths (Tim Indonesia) — 108 Inclusion of specials needs students (Tim Bosnia and Herzegovina) — 109 Establish a community constitution (Tim Colombia) — 110 Sketsa 1: Bulu Tangkis — 111 Sketsa 2: Hutan Hujan — 112 Sketsa 3: Perkembangan sejarah konflik antarumat tiga agama — 114 Sketsa 4: Persoalan Kemiskinan — 115 Sketsa 5: Polusi udara — 117

Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter — 9

Kegiatan di Luar Kelas — 118Kegiatan di Satuan Pendidikan — 120 Pramuka — 120 Paskibra — 122 Palang Merah Remaja — 123Kegiatan di Keluarga — 124Kegiatan di Masyarakat — 126 BAB 5PROSES PEMBELAJARAN BERBASIS KARAKTER — 131Model Dasar sebagai Sumber Adaptasi — 1 32Profil Dasar Model Pembelajaran — 137

BAB 6MENYELENGGARAKAN PROJECT CITIZEN — 143Langkah-langkah pelaksanaan model — 143 Langkah 1: Mengidentifikasi masalah — 143 Langkah 2: Memilih masalah untuk bahan kajian kelas — 154 Langkah 3: Mengumpulkan Informasi — 148 Aktifitas kelas mengidentifikasi sumber-sumber informasi — 158 Panduan untuk memperoleh dan mendokumentasikan informasi — 162 Pekerjaan Rumah Meneliti Masalah yang Muncul dalam

Masyarakat — 163 Langkah 4: Mengembangkan Portofolio Kelas — 168Tugas Kelompok Portofolio — 170Kriteria Penilaian Portofolio — 171Beberapa Petunjuk Bagi Kelompok Portofolio — 171Kelompok Portofolio Satu: Menjelaskan Masalah — 174Kelompok Portofolio Dua: Mengkaji Kebijakan Alternatif untuk Menangani Masalah — 176

10 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Kelompok Portofolio Tiga: Mengusulkan Kebijakan Alternatif untuk Menangani Masalah — 177Kelompok Portofolio Empat: Mengembangkan Rencana Kerja — 181

BAB 7PENILAIANPengertian — 207Teknik Penilaian — 208Tes — 208 Tes Perbuatan — 208 Tes Produk — 214 Tes Tertulis — 221Non Tes — 221 Skala Likert — 221 Skala Guttman — 222 Semantik Differensial — 223 Skala Thurstone — 223 Rating Scale — 224

BAB 8PURWAWACANA — 2371. PEMBELAJARAN AKTIF, KREATIF, EFEKTIF, DAN

MENYENANGKAN — 237Pendahuluan — 237Apa itu PAKEM? — 243Apa yang harus diperhatikan dalam melaksanakan PAKEM?—242Memahami sifat yang dimiliki anak — 242Mengenal anak secara perorangan — 242Memanfaatkan perilaku anak dalam pengorganisasian belajar—243Mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan kemam-puan memecahkan masalah — 243

Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter — 11

Mengembangkan ruang kelas sebagai lingkungan belajar yang menarik — 243 Memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar — 243 Memberikan umpan balik yang baik untuk meningkatkan kegiatan belajar — 244 Membedakan antara aktif fisik dan aktif mental — 244Bagaimana Pelaksanaan PAKEM? — 244Penutup — 246

2. MEMACU MUTU PROFESIONAL GURU — 247 Pendahuluan — 247 Kerangka Konseptual — 249

Sistem Keprofesian Guru — 249Kompetensi Pendidik dalam Perspektif — 255Ruang Lingkup Pengembangan Kompetensi Pendidik — 259

3. PENGUATAN KELEMBAGAAN KOMITE SEKOLAH — 260 Pendahuluan — 260 Eksistensi Komite Sekolah — 264 Tantangan Masa Depan — 266

4. PENGUATAN PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH — 270 Pendahuluan — 270 Kerangka Konseptual — 271 Praktik Pendidikan Karakter di Sekolah — 2745. MENUMBUHKAN KARAKTER BERBAGI PENGETAHUAN (KNOWLEDGE SHARING) MELALUI MATA KULIAH UMUM DI PERGURUAN TINGGI — 283 Pendahuluan — 283 Mata Kuliah Umum Mengemban Misi General Education — 284 Apa dan mengapa Blended Learning?— 289 Web Use Satisfaction — 300 DAFTAR PUSTAKA — 343

14 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter — 15

1.DINAMIKA MASYARAKAT

SEBAGAI KONTEKS PENDIDIKAN KARAKTER

PendahuluanKarakter itu menyentuh bagian yang terdalam dari hati manusia, bukan sekedar perilaku biasa apalagi hanya sekedar basa-basi. Jika seseorang dikatakan berkarakter baik (good character) ekspresi dari hatinya yang terdalam itu terwujud dalam sikap dan perilakunya yang baik pula, tidak mengada-ada apalagi dibuat-buat. Ketulusan hatinya itu terpancar secara nyata dari gerak-gerik, tutur kata, ekspresi wajah maupun bahasa tubuh lainnya. Ada satu kisah yang mengekspresikan seseorang yang berkarakter baik yang disajikan dalam sebuah film dokumenter pemenang penghargaan Perang Sipil di Amerika Serikat. Dalam film yang disutradarai oleh Ken Burns tersebut ada bagian yang paling menyentuh, yakni pembacaan surat yang ditulis oleh seorang tentara Union, Mayor Sullivan Ballou, kepada istrinya Sarah, seminggu sebelum kematiannya dalam Battle of Bull Run.

Dinamika Masyarakat Sebagai Konteks Pendidikan Karakter — 15

16 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Sarah istriku yang sangat tercinta,

Indikasinya sangat kuat bahwa kami akan bergerak maju dalam beberapa hari---mungkin besok. Kalau-kalau aku tidak dapat menulis surat lagi, aku tergerak untuk menulis beberapa kalimat tepat di hadapanmu ketika aku tidak berada di sisimu lagi.

Aku tidak merasa khawatir tentang, atau merasa kurang percaya diri dalam, penyebab yang di dalamnya aku terlibat, dan keberanianku tidaklah berkurang atau berhenti. Aku tahu betapa kuatnya Peradaban Amerika sekarang bertumpu pada kemenangan Pemerintah, dan betapa besarnya utang yang kami miliki terhadap mereka semua yang telah melewati darah dan penderitaan Revolusi. Dan aku berniat---sungguh berniat---untuk melupakan semua kebahagiaan dalam kehidupan ini demi membantu mempertahankan Pemerintah ini, dan untuk membayar hutang tersebut. ...

Sarah, cintaku padamu itu abadi...cintaku terhadap negara menghampiriku seperti angin yang kuat dan tanpa tertahan lagi ke dalam medan peperangan.

Kenangan akan masa-masa bahagia yang aku habiskan denganmu mendatangiku terus-menerus, dan aku merasa sangat bersyukur kepada Tuhan dan kepadamu karena aku telah menikmati masa-masa tersebut kian lama. .... Aku tahu aku tidak memiliki apapun selain beberapa klaim kecil atas takdir Tuhan, namun sesuatu berbisik kepadaku---mungkin bisikan itu merupakan doa yang dibawa Edgar kecilku, bahwa aku harus kembali kepada orang yang kucintai tanpa luka sedikit pun. Apabila aku tidak kembali, Sarah-ku sayang, jangan pernah melupakan betapa aku mencintaimu, dan ketika napas terakhirku keluar dari tubuhku, di medan perang, napas itu akan membisikan namamu.(Sumber: Lickona, 2012).

16 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter — 17

Dari kisah tersebut kita menyaksikan seorang yang rendah hati (humble), yang mencintai keluarga dan negaranya sekaligus. Seseorang yang penuh idealisme, melaksanakan kewajiban tanpa mengeluh, bekerja keras, gigih dan tanpa pamrih. Sosok berkarakter baik seperti itulah yang perlu diteladani, utamanya oleh generasi muda. Anak-anak adalah 25% dari populasi masyarakat, namun 100% masa depan. Oleh karena itu jika ingin memperbaiki kondisi masyarakat, hendaknya memperbanyak anak-anak dengan moralitas yang baik, yakni anak-anak yang bukan saja memiliki kecerdasan intelektual melainkan juga memiliki karakter yang baik. Caranya dapat dilakukan dengan memberikan teladan yang baik kepada mereka dalam kehidupan sehari-hari dan memberikan pendidikan karakter kepada mereka sejak dini.

PERANG SIPIL AMERIKA 1861-1865

Perang Sipil (Perang Saudara) Amerika adalah perang yang terjadi antara 1861 dan 1865 di Amerika Serikat (AS). Sekelompok negara bagian di bagian selatan ingin merdeka, sedangkan pemerintahan dan negara-negara bagian di utara ingin menjaga AS tetap utuh.

Perang Saudara Amerika adalah menjadi salah satu perang pertama yang menunjukkan perang industri persenjataan dalam sejarah manusia. Pembuatan rel kereta api, kapal-kapal uap, produksi senjata secara massal, dan berbagai macam alat militer lainnya dilakukan di man-mana. Perang Sipil ini menginspirasi praktik perang total yang dikembangkan oleh Sherman di Georgia dan Perang Parit di sekitar Petersburg dalam Perang Dunia I di Eropa (1914-1918).

Gb. 1.1 Perang Sipil antara Union dan Konfederasi 1861-1865

Dinamika Masyarakat Sebagai Konteks Pendidikan Karakter — 17

18 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Penyebab Perang Sipil

Di wilayah Amerika bagian Selatan, banyak orang yang menjadi budak yang dimiliki orang lain, dan sebagian besar pekerjaan di ladang dikerjakan oleh mereka. Di negara-negara bagian di utara telah memutuskan membuat hukum yang menyatakan tak seorang pun bisa memiliki/memperbudak orang lain.

Negara-negara utara itu disebut “negara bagian bebas” dan di selatan “negara bagian budak”. Selain itu, sebagian besar tanah milik AS di barat belum dibagi atas negara bagian. Tak seperti negara bagian, teritori itu tak membantu memutuskan siapa yang bakal jadi presiden dan teritori itu tak mengirim wakilnya ke Washington, District of Columbia (DC) untuk membuat hukum seluruh negeri.

Banyak orang kulit putih yang pindah ke sana dan tiap orang setuju bahwa suatu hari semua teritori itu harus disebut negara bagian. Di utara, orang ingin negara-negara bagian itu menjadi negara bebas. Di selatan, orang menginginkannya menjadi negara bagian budak. Abraham Lincoln berasal dari utara dan saat ia berpacu demi jabatan presiden, ia berkata bahwa semua negara bagian itu akan menjadi negara bagian bebas.

Para pemilik budak di selatan merasa takut oleh pandangan sejumlah orang yang mengatakan bahwa mereka yang memiliki budak merupakan suatu kejahatan. Namun banyak orang di selatan yang tinggal di kota kecil dan bekerja di pertanian, dan menginginkan kebijakan yang mendukung ekonominya. Mereka sering tak bisa setuju pada keputusan terbaik.

18 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter — 19

Saat Lincoln memenangkan pemilu dan menjadi presiden baru, banyak negara budak yang memisahkan diri dari AS dan membentuk negara baru, yakni Negara Konfederasi Amerika, yang beribukota di Richmond, Virginia.

Jalannya Perang

Terdapat 7 negara bagian yang merupakan anggota Konfederasi, yaitu South Carolina, Mississippi, Florida, Alabama, Georgia, Louisiana, dan Texas. Dalam perang saudara ini, Virginia, Arkansas, Tennessee, dan North Carolina menyusul untuk bergabung dalam Konfederasi. Untuk menghadapi peperangan, negara Konfederasi membentuk Tentara Konfederasi.

Ada dua daerah penting di mana perang itu terjadi-di wilayah barat dan di wilayah timur. Di wilayah timur, ada ibukota AS, Washington, DC dan ibukota Konfederasi di Richmond. Kedua kota itu hanya berjarak 90 mil. Di daerah ini, pemimpin militer Konfederasi ialah Robert E. Lee. Lee adalah jenderal yang jenius dan banyak memenangkan pertempuran, termasuk Pertempuran Bull Run pertama, dan Pertempuran Bull Run kedua dan berhasil menekan pasukan Union mundur, sampai akhirnya berhasil dihambat oleh pasukan Union dalam Pertempuran Antietam. Akan tetapi, Pertempuran Gettysburglah yang merupakan titik balik perang ini. Pertempuran Gettysburg banyak memakan korban jiwa, baik dari Union maupun Konfederasi, tetapi jumlah pasukan Konfederasi lebih sedikit jika dibandingkan pasukan Union, sehingga jelas kerugian berada di Konfederasi. Sejak perang ini, Konfederasi hampir tidak pernah lagi melancarkan serangan.

Di wilayah barat, daerah Sungai Mississipi pasukan Konfederasi banyak mengalami kekalahan. Pasukan Union yang dipimpin oleh Ulysses Grant (yang kemudian menjadi Presiden AS) banyak memenangkan pertempuran di sini. Pasukan Union menduduki hampir semua kota di sungai Mississippi, namun Konfederasi masih memegang Vicksburg. Pada 4 Juli 1863, Vicksburg akhirnya menyerah kepada Ulysses. Ini membagi wilayah Konfederasi menjadi dua bagian dan membuka jalan untuk menyerang jantung pertahanan Konfederasi.

Lincoln memutuskan bahwa Ulysses ialah jendral terbaiknya. Ia mengangkat Ulysses sebagai jenderal di bagian timur. Grant menyerang Lee kembali dalam Operasi Appomattox. Lee menyadari pasukannya telah kalah banyak dan ia akhirnya menyerah pada Grant pada 9 April 1985. Menyerahnya Lee menandai kehancuran negara Konfederasi.

Kemenangan untuk Union selain mengakhiri negara Konfederasi, juga mengakhiri praktik perbudakan di Amerika Serikat, dan memperkuat posisi

Dinamika Masyarakat Sebagai Konteks Pendidikan Karakter — 19

20 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

pemerintah federal. Permasalahan sosial, politik, ekonomi, dan rasial setelah peperangan berhasil dituntaskan pada tahun 1877. (Sumber: archive.kaskus.co.id)

Gb. 1.3 General Ulysses S. Grant

Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter — 21

Mengapa karakter perlu menjadi perhatian, terutama menanam-kannya pada generasi muda? Seorang filsuf Yunani Heraclitus mengatakan bahwa : “Karakter adalah takdir”. Karakter membentuk takdir seseorang. Takdir tersebut menjadi takdir seluruh masyarakat. “Dalam karakter warganegara,” kata Cicero, “terletak kesejahteraan bangsa”. Seorang bijak mengungkapkan: “Hati-hati dengan pikiran Anda, pikiran Anda menjadi kata-kata Anda. Hati-hati dengan kata-kata Anda, kata-kata Anda menjadi perbuatan Anda. Hati-hati dengan perbuatan Anda, perbuatan Anda menjadi kebiasaan Anda. Hati-hati dengan kebiasaan Anda, kebiasaan Anda menjadi karakter Anda. Hati-hati dengan karakter Anda, karakter Anda menjadi takdir Anda”. Ralp Waldo Emerson lebih dari satu abad yang lalu pada saat memberikan kuliah di Harvard University menegaskan bahwa karakter lebih tinggi dari kecerdasan. Dalam dunia yang sempurna, adalah karakter yang memungkinkan orang untuk bertahan hidup dan mengatasi kemalangan mereka. “Untuk melakukannya dengan baik”, kata Steven Covey, “Anda harus berbuat baik. Dan untuk berbuat baik, Anda harus terlebih dahulu menjadi orang baik” (Lickona, 2012).

Bagaimana kondisi masyarakat kita dewasa ini? Dewasa ini kita merasakan adanya kecenderungan globalisasi dan gerakan demokratisasi yang sungguh-sungguh berpengaruh terhadap kehidupan manusia di mana pun berada. Kita tidak dapat melarikan diri dari kenyataan bahwa pengaruh globalisasi dan proses demokratisasi sudah sangat nyata pada kehidupan masyarakat. Dalam konteks globalisasi seperti itu, tak pelak lagi perlu dikembangkan program pendidikan yang mampu mengakomodasikan semua kecenderungan dari proses globalisasi itu, termasuk program pembangunan bangsa dan pembangunan karakter di Indonesia.

Secara historis dan sosio-kultural pembangunan bangsa dan pembangunan karakter (nation and character building) merupakan komitmen nasional yang telah lama tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia. Kata-kata mutiara yang tertuang dalam berbagai dokumen sejarah politik dan ketatanegaraan, seperti dalam naskah Sumpah Pemuda, Proklamasi, Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, serta yang tercermin dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya dan lagu-lagu perjuangan lainnya merupakan bukti yang tak terbantahkan bahwa pembangunan bangsa

22 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

dan pembangunan karakter merupakan komitmen bangsa Indonesia yang harus diwujudkan sepanjang hayat.

Adalah Presiden Sukarno tokoh yang pertama kali melontarkan pentingnya masalah nation building ini dalam Pidato Kenegaraan tanggal 17 Agustus 1957. Presiden Sukarno melihat nation building sebagai fase kedua dalam revolusi Indonesia sesudah fase pertama yang dinamakan fase liberation, yaitu pembebasan Indonesia dari penjajah Belanda. Permasalahan ini dikedepankan sebagai tanggapan terhadap keadaan Indonesia pada saat itu yang ditandai oleh makin kuatnya kecenderungan mengutamakan kepentingan kelompok, golongan, suku, agama, daerah, dan partai di atas kepentingan negara dan bangsa, dan makin lunturnya idealisme (Sukarno,1965:301). Pentingnya character building disampaikan oleh Presiden Sukarno pada Pidato Kenegaraan tanggal 17 Agustus 1962. Ketika itu, character building dikaitkan dengan nation building dan perjuangan pembebasan Irian Barat dari penjajah Belanda (Sukarno, 1965:498).

Gb. 1.4 Presiden Soekarno, menggelorakan perlunya Nation and Character BuildingSumber: http://4.bp.blogspot.com/-9iS-Btv6tLE

Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter — 23

Di era ‘reformasi’, wacana pembangunan bangsa dan pembangunan karakter meletakkan pengakuan atas hak-hak warganegara sebagai isu sentral dalam masyarakat pluralis yang demokratis. Dengan kata lain, perjuangan dan pemerolehan hak sipil, hak asasi manusia dan keadilan sosial dan politik diyakini akan lebih mudah dicapai. Upaya itu diwujudkan, misalnya, melalui Amandemen UUD NRI Tahun 1945 dan keinginan untuk merestorasi Pancasila. Akan tetapi, setelah hampir sewindu, kelihatannya harapan ini tidak begitu tampak, terkecuali pada aspek kebebasan berekspresi dimana kesempatan yang tersedia memang jauh lebih luas (tidak terkekang) dibandingkan dengan kesempatan pada masa rezim otoriter. Di lain pihak, di era ‘transisi demokrasi’ bangsa Indonesia justru dihadapkan pada pelbagai fenomena yang mempengaruhi kewarganegaraannya, seperti nasionalisme ekonomi, etika sosial, pengaruh globalisasi dan kemajuan teknologi, degradasi lingkungan, lokalisme demokratis, dan multikulturalisme. Semua masalah yang disebut belakangan ini merupakan tantangan berat dalam revitalisasi cita sipil, khususnya melalui Pendidikan Kewarganegaraan (Kalidjernih, 2008:128).

Tantangan besar ke depan lainnya bagi bangsa Indonesia adalah menumbuhkan budaya dan kehidupan demokrasi (cultural democracy) pada berbagai komponen masyarakat, mulai dari elit politik, para birokrat dalam sistem pemerintahan, dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat, kaum intelektual, hingga masyarakat luas. Pembentukan struktur pemerintahan negara yang demokratis tanpa diimbangi dengan tumbuhnya kehidupan demokrasi akan menjurus pada lahirnya

Pentingnya character building disampaikan oleh Presiden Sukarno pada Pidato

Kenegaraan tanggal 17 Agustus 1962. Ketika itu, character building dikaitkan dengan nation building dan perjuangan pembebasan Irian Barat dari penjajah

Belanda (Sukarno, 1965:498).

24 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

kehidupan demokrasi yang semu (pseudo demokrasi) seperti yang pernah terjadi dalam sistem pemerintahan Indonesia pada periode-periode sebelumnya. Oleh karena itu, pembinaan pemahaman akan prinsip-prinsip serta cara hidup yang demokratis adalah salah satu tantangan mendasar bagi sistem pendidikan nasional dalam membentuk dan mengembangkan kehidupan negara dan masyarakat yang semakin demokratis menuju praktik demokrasi yang matang (maturation democracy).

Sistem pendidikan nasional sebagaimana digariskan dalam Pasal 31 UUD NRI Tahun 1945 beserta peraturan perundangan turunannya merupakan instrumen untuk mewujudkan komitmen nasional itu. Pada tataran kurikuler “pendidikan kewarganegaraan” baik substansi, proses pembelajaran, maupun efek sosio-kulturalnya sengaja dirancang dan diprogramkan untuk mewujudkan program-program pendidikan demokrasi yang bermuara pada pembentukan karakter bangsa Indonesia. Tujuan utamanya adalah untuk menumbuhkan karakter warga negara baik karakter privat, seperti tanggung jawab moral, disiplin diri dan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia dari setiap individu; maupun karakter publik, misalnya kepedulian sebagai warga negara, kesopanan, mengindahkan aturan main (rule of law), berpikir kritis, dan kemauan untuk mendengar, bernegosiasi dan berkompromi (Winataputra dan Budimansyah,2007:192).

Gejolak Masyarakat Pasca ReformasiMari kita sejenak melihat berbagai gejolak dalam masyarakat kita pada beberapa tahun terakhir ini yang sangat memprihatinkan kita semua. Pertama, munculnya karakter buruk yang ditandai kondisi kehidupan sosial budaya kita yang berubah sedemikian drastis dan fantastis. Bangsa yang sebelumnya dikenal penyabar, ramah, penuh sopan santun dan pandai berbasa-basi sekonyong-konyong menjadi pemarah, suka mencaci, pendendam, menganiaya sesama manusia di keramaian kota, pertikaian antarkampung dan suku dengan tingkat kekejaman yang sangat biadab. Bahkan yang lebih tragis, anak-anak kita yang masih duduk di bangku sekolah pun sudah dapat saling menyakiti di jalanan.

Kedua, dalam tiga dekade terakhir ini Indonesia tengah mengalami proses kehilangan, mulai dari kehilangan dalam aspek alam fisik, alam

Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter — 25

hayati, manusia, dan budaya. Dalam aspek alam fisik Indonesia telah kehilangan tanah subur kita. Tanah kritis di Indonesia pada tahun 2012 menurut laporan Badan Pusat Statistik seluas 27,3 juta hektar (BPS, 2013). Sejak tahun 2010 angkanya memang terus mengalami penurunan, akan tetapi tanah kritis seluas itu tetap menjadi keprihatinan bersama. Kita makin kehilangan hak guna tanah untuk perkebunan karena semakin banyaknya perusahaan asing yang bergerak di bidang perkebunan di Indonesia.

Dalam aspek alam hayati, kita telah kehilangan hutan tropis. Indonesia sekarang dikenal sebagai negara dengan laju deforestasi tertinggi di dunia. Kita juga kehilangan kekayaan alam yang berasal dari laut yang diambil secara ilegal oleh penjarah dari dalam maupun luar negeri. Dalam aspek manusia, Indonesia kehilangan daya saing. Dalam World Competitivness Scoreboard tahun 2013, Indonesia menempati peringkat 39 dari 60 negara dengan skor 61,805 berada satu tingkat di atas India (skor 59,888) dan satu tingkat di bawah Philipina (skor 63,146), namun jauh berada di bawah negara-negara ASEAN lainnya, seperti Thailand di peringkat 27 (skor 72,966), Malaysia di peringkat 15 (skor 83,145), dan Singapura di peringkat 5 (skor 89,857). Kita kehilangan niat untuk menaati hukum, bahkan menaati aturan yang paling sederhana yaitu aturan berlalu-lintas (Raka,2008:3). Dalam aspek budaya kita sudah kehilangan kecintaan terhadap kesenian tradisional sebagai warisan budaya adiluhung bangsa. Sebagian dari kita sudah kehilangan kejujuran dan rasa malu. Sudah sekian lamanya Indonesia mendapat predikat sebagai salah satu negara yang tingkat korupsinya sangat tinggi di dunia. Menurut hasil survey yang dilakukan di sejumlah negara di dunia pada 2016 skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia naik satu tingkat dari tahun 2015, yaitu 37 yang berada pada urutan ke-90 dari 177 negara. IPK memiliki rentang skor antara 0-100. Semakin tinggi skor IPK sebuah negara, semakin bersih negara tersebut dari korupsi. Celakanya predikat ini tidak membuat kita merasa malu dan korupsi nyatanya terus berlangsung dengan modus operandi yang berubah-ubah. Kita kehilangan rasa ke-Indonesiaan kita. Tampaknya kita makin menonjolkan kepentingan daerah dan golongan daripada kepentingan bangsa dan negara. Kita kehilangan cita-cita bersama (in-group feeling) sebagai bangsa. Tiada lagi “Indonesian Dream” yang mengikat kita bersama, yang lebih menonjol adalah cita-cita golongan untuk mengalahkan golongan lain.

26 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Gb. 1.5 Indonesian Dream: Negara yang Adil dan MakmurSumber: http://www.infobanknews.com/wp-content/uploads/cache

Indonesia sudah kehilangan banyak hal dan kehilangan ini bukan tidak mungkin masih dapat berlangsung. Jika demikian daftar kehilangan tentu akan semakin panjang. Pertanyaannya, mungkinkah ini tanda-tanda kita akan meluncur ke arah kehilangan segala-galanya sebagaimana tersirat dalam kata-kata bijak berikut ini:

You lose your wealth, you lose nothingYou lose your health, you lose somethingYou lose your character, you lose everythingTentu saja kita tidak berharap seperti itu. Kita tidak menghendaki

kehilangan karakter sebagai bangsa sehingga akan kehilangan segala-galanya. Oleh karena itu perlu mencermati dengan sungguh-sungguh apa sebenarnya yang menjadi sumber terjadinya berbagai gejolak tersebut. Situasi yang bergolak serupa ini dapat dijelaskan secara sosiologis karena ini memiliki kaitan dengan struktur sosial dan sistem budaya yang telah terbangun pada masa yang lalu. Mencoba membaca situasi reformasi ini terdapat beberapa gejala sosiologis fundamental yang menjadi sumber terjadinya berbagai gejolak dalam masyarakat kita saat ini.

Pertama, suatu kenyataan yang memprihatinkan bahwa setelah tumbangnya struktur kekuasaan “otokrasi” yang dimainkan Rezim Orde

Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter — 27

Baru ternyata bukan demokrasi yang kita peroleh melainkan oligarki dimana kekuasaan terpusat pada sekelompok kecil elit, sementara sebagian besar rakyat (demos) tetap jauh dari sumber-sumber kekuasaan (wewenang, uang, hukum, informasi, pendidikan, dan sebagainya). Beberapa fakta dapat dikemukakan sebagai berikut (Wirutomo, 2001:6).• Kekuasaan politik formal dikuasai oleh sekelompok orang partai

yang melalui Pemilu berhak “menguras” suara rakyat untuk memperoleh kursi di Parlemen. Melalui Parlemen kelompok ini berhak mengatasnamakan suara rakyat untuk melaksanakan agenda politik mereka sendiri yang sering kali berbeda dengan kepentingan nyata masyarakat.

• Kekuasaan kharismatik yang berakar dari tradisi, maupun agama terdapat pada beberapa orang yang mampu menggerakan loyalitas dan emosi rakyat yang bila perlu menjadi tumbal untuk tujuan yang bagi mereka sendiri tidak jelas.

• Kekuasaan hukum formal dikuasai oleh para praktisi dan penegak hukum yang dengan kepiawaiannya dan/atau wewenangnya bisa mengatur siapa salah siapa benar.

• Sebagian besar uang di negeri ini berada di tangan sekelompok kecil orang yang justru sedang terpojok secara politis. Kelompok ini bisa membeli “kebenaran” melalui lembaga hukum, demo, pembentukan opini publik melalui media massa, bahkan kursi di Parlemen. Perhatikan misalnya kasus-kasus suap di DPR yang melibatkan sejumlah anggotanya, sebagian besar karena terjerat oleh permainan para “pembeli kebenaran” melalui upaya rekayasa kebijakan dan regulasi-regulasi tertentu untuk meloloskan hasrat hewaninya.

• Sekelompok kecil elit daerah memiliki wewenang formal maupun informal untuk mengatasnamakan aspirasi daerah demi kepentingan mereka sendiri. Kelompok inilah yang sering menyuarakan isu separatisme, federalisme, otonomi luas, bahkan isu putra daerah.

• Kelompok aktivis vokal (vocal minority) yang sering melakukan aksi-aksi demo dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat banyak dengan cara-cara yang sering kali justru memuakkan rakyat kebanyakan (main hakim sendiri, melakukan tindak kekerasan, sweeping, membenturkan massa dengan aparat keamanan dan sebagainya).

28 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Tampaknya semua simbol-simbol yang dinilai ampuh untuk dapat memobilisasi rakyat digunakan oleh kelompok-kelompok kecil ini demi memaksakan kehendak mereka di era reformasi ini. Semua ini terjadi baik disadari maupun tidak oleh para elit yang memang sedang mengidap “myopia politik” yakni hanya berorientasi pada Pemilu bukan pada tujuan jangka panjang. Dengan demikian semua arah moral bangsa praktis dikuasai oleh kelompok kecil yang cenderung bersifat partisan dan primordial. Namun kita masih bisa berharap karena masih melihat adanya kelompok-kelompok dalam masyarakat yang menampilkan karakter yang baik, misalnya bersifat altruistik, nasionalis, inklusif, universalistik, dan sebagainya. Aspirasi ini sesungguhnya banyak didukung oleh masyarakat luas (silent majority), tetapi gerakan-gerakan sosial yang memperjuangkan nilai-nilai ini masih lemah dan sporadik. Mereka belum bergabung dalam jaringan yang solid dan mampu melakukan gebrakan besar yang berskala nasional, sehingga cenderung tenggelam oleh gerakan yang punya dana.

Kedua, sumber terjadinya berbagai gejolak dalam masyarakat kita saat ini adalah akibat munculnya kebencian sosial budaya terselubung (socio-cultural animosity). Gejala ini muncul dan semakin menjadi-jadi pasca runtuhnya rezim Orde Baru. Ketika rezim Orde Baru berhasil dilengserkan, pola konflik di Indonesia ternyata bukan hanya terjadi antara pendukung fanatik Orde Baru dengan pendukung Reformasi, tetapi justru meluas menjadi konflik antarsuku, antarumat beragama, kelas sosial, kampung, dan sebagainya. Sifatnya pun bukan vertikal antara kelas atas dengan kelas bawah tetapi justru lebih sering horizontal, antarsesama rakyat kecil, sehingga konflik yang terjadi bukan konflik yang korektif tetapi destruktif (bukan fungsional tetapi disfungsional), sehingga kita menjadi sebuah bangsa yang menghancurkan dirinya sendiri (self destroying nation).

You lose your wealth, you lose nothingYou lose your health, you lose something

You lose your character, you lose everything

Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter — 29

Gb. 1.6 Konflik antarsuku, antarumat beragama dan kelas sosial dapat menghancurkan negara dari dalam

Sumber: http://www.dw.de/image/0,,18020830_303,00.jpg

Ciri lain dari konflik yang terjadi di Indonesia adalah bukan hanya yang bersifat terbuka (manifest conflict) tetapi yang lebih berbahaya lagi adalah konflik yang tersembunyi (latent conflict) antara berbagai golongan. Socio-cultural animosity adalah suatu kebencian sosial budaya yang bersumber dari perbedaan ciri budaya dan perbedaan nasib yang diberikan oleh sejarah masa lalu, sehingga terkandung unsur keinginan balas dendam. Konflik terselubung ini bersifat laten karena terdapat mekanisme sosialisasi kebencian yang berlangsung di hampir seluruh pranata sosial di masyarakat (mulai dari keluarga, sekolah, kampung, tempat ibadah, media massa, organisasi massa, organisasi politik, dan sebagainya).

Tidak dapat dipungkiri bahwa kebencian sosial budaya terselubung ini sangat berhubungan dengan pluralitas negara-bangsa Indonesia. Contoh nyata hancurnya Yugoslavia akibat semakin menipisnya in-group feeling di antara etnis yang ada, sementara katup penyelamat (safety valve institution) untuk mengurai kebencian sosial budaya terselubung tidak bekerja efektif. Namun hal ini bukan faktor penentu, karena banyak

30 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

masyarakat plural yang lain bisa membangun platform budaya yang mampu menghasilkan kerukunan antaretnis pada derajat yang cukup mantap. Sebagai contoh masyarakat Malaysia dengan konsep pembangunan sosial budayanya telah berhasil menyiptakan civic culture sebagai kesepakatan budaya untuk membangun kerukunan antarkelompok rasial dan agama. Konflik politik sekeras apapun yang terjadi di Malaysia, tidak pernah mengusik kesepakatan ini (Wirutomo,2001:7). Berbeda halnya dengan yang terjadi di Indonesia bahwa setiap perbedaan pandangan politik selalu ditarik lagi kepada faktor perbedaan budaya yang paling mendasar (terutama agama). Inilah yang membuat persoalan politik tidak pernah mudah diselesaikan.

Pertanyaannya adalah mengapa hal demikian itu terjadi? Jika menengok pada proses integrasi bangsa Indonesia, persoalannya terletak pada kurangnya mengembangkan kesepakatan nilai secara alamiah dan partisipatif (integrasi normatif) dan lebih mengandalkan pendekatan kekuasaan (integrasi koersif). Atas dasar kenyataan demikian maka cita-cita reformasi untuk membangun Indonesia Baru harus dilakukan dengan cara membangun dari hasil perombakan terhadap keseluruhan tatanan kehidupan masa lalu. Inti dari cita-cita tersebut adalah sebuah masyarakat sipil demokratis yang memiliki karakter ke-Indonesiaan yang adaptif di era global.

Era globalisasi yang ditandai oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang amat pesat, terutama teknologi informasi dan komunikasi, telah mengubah dunia seakan-akan menjadi kampung dunia (global village). Dunia menjadi transparan tanpa mengenal batas negara. Kondisi yang demikian itu berdampak pada seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Di samping itu, dapat pula mempengaruhi pola pikir, pola sikap, dan pola tindak seluruh masyarakat Indonesia. Fenomena globalisasi telah menantang kekuatan penerapan unsur-unsur karakter bangsa. Kenichi Ohmae dalam bukunya yang berjudul Borderless World: Power and Strategy in the Interlinked Economy (1999) dan The End of Nation State: The Rise of Regional Economies (1996) mengatakan bahwa dalam perkembangan masyarakat global, batas-batas wilayah negara dalam arti geografis dan politik relatif masih tetap. Namun kehidupan dalam suatu negara tidak mungkin dapat membatasi kekuatan global yang berupa informasi, inovasi, dan industri yang membentuk peradaban modern.

Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter — 31

Gb. 1.7 Kenichi Ohmae: kekuatan suatu negara tidak mungkin dapat membatasi kekuatan global

Sumber: http://i.ytimg.com/vi/ZJOtTu16Scg/hqdefault.jpg

Membangun Karakter Ke-IndonesiaanPeradaban modern yang lahir dari ibu kandung globalisasi ternyata menimbulkan sejumlah persoalan dan kekecewaan. Erich Fromm (1997:24-30) menjelaskan perkembangan Eropa sebagai perkembangan peradaban modern. Tema sentral perkembangan peradaban modern ini menurut pendapatnya adalah timbulnya kebebasan (freedom), yang terjadi pada level individu maupun masyarakat. Pada level individu kebebasan itu diawali timbulnya self (diri) dalam proses individuation, ialah lepasnya tali-tali individu sejak terputusnya “tali ari-ari” sampai mulai timbulnya rasa keterpisahan antara bayi dan ibunya, dan pada umumnya pemisahan ‘aku’ dengan ‘engkau’. Ketidakterpisahan antara individu dan lingkungannya (atau adanya tali-tali tadi), memberikan kepada individu perasaan aman (security feeling), perasaan kebersatuan

32 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

(belongingness) dan perasaan bahwa ia mengakar (rooted) pada sesuatu. Diperolehnya kebebasan oleh individu itu berarti hilangnya ketiga tali-tali itu yang berganti dengan kekhawatiran (anxiety), ketidakberdayaan (powerless), kemenyendirian (aloneless), keterombang-ambingan (uprootedness), keraguan (doubt) yang kesemuanya itu bermuara pada sikap permusuhan (hostility). Siklus individuasi itu terjadi pada setiap individu, pada setiap saat, dan di setiap tempat.

Gb. 1.8 Kebebasan menjadi tidak bermakna tanpa ketergantunganSumber: http://4.bp.blogspot.com/-cFJrRYlfzYo

Perkembangan kepribadian pada level masyarakat juga menentukan proses individuation sepanjang sejarah, yang dalam masyarakat Barat merupakan hasil perjuangan, yang dapat disebut hasil perjuangan kebebasan. Seperti pada level individu, kebebasan ini juga berupa putusnya tali-tali terhadap segala macam kekuasaan: gereja, negara, dan eksploitasi ekonomi. Sebagaimana pada level individu, kebebasan atau putusnya tali-tali itu disertai pula dengan kegelisahan (anxiety), kehilangan kekuatan (powerless), kemenyendirian (aloneless), tidak

Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter — 33

mengakar (uprootedness), keragu-raguan (doubt), dan permusuhan (hostility).

Melalui proses kebebasan itu, Fromm melukiskan timbulnya sistem kapitalisme, yang terjadi pada abad ke-15 (abad pertengahan atau abad kegelapan) dan abad ke-16 (abad Reformasi Gereja atau timbulnya Protestanisme). Kapitalisme pada abad ke-15 mula-mula berkembang di Italia, yang antara lain disebabkan laut Merah menjadi jalur kegiatan perdagangan Eropa, dan dekatnya ke Dunia Timur (termasuk Arab/Islam), sehingga kebudayaan Timur dapat diboyong ke Eropa. Kapitalisme yang timbul adalah kapitalisme bangsawan. Perekonomian dilakukan di atas landasan etik yang kuat (persaudaraan) dan sedikit sekali persaingan. Akibatnya akumulasi kapital berjalan sangat lambat. Walaupun demikian dalam sistem perdagangan tersebut kapital telah berkedudukan sebagai majikan.

Gb.1.9 Erich Fromm, penulis buku Lari dari Kebebasan (Escape From Freedom)

Sumber: https://libcom.org/files/images/library/cover_68.jpg

Sejak abad ke-16, yakni tatkala Reformasi Gereja, kelas menengah menjadi mencuat ke atas sebagai akibat lecutan Luther dan Calvin, mereka mendambakan harta kekayaan (sebagai simbol keberhasilan). Ajaran mereka yang terpenting adalah kemandirian dan mengandalkan usaha sendiri dengan berjerih payah. Inilah segi positif dari kapitalisme

34 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

sebagaimana dilecut oleh Protestanisme, yang tema sentralnya adalah kebebasan. Namun segi negatifnya, sebagaimana diungkapkan di muka adalah terjadinya perasaan tidak aman (insecurity feeling), kegelisahan (anxiety), kehilangan kekuatan (powerless), dan sebagainya.

Dari analisis itu Fromm menyimpulkan bahwa disamping orang membutuhkan kebebasan (freedom), ia juga memerlukan ketergantungan (dependensi atau submissiveness). Akibat kebutuhan submissiveness itu tidak terpenuhi, maka kebebasan menjadi tidak bermakna lagi. Maka timbulah mekanisme untuk melarikan diri dari kebebasan atau escape from freedom berupa melukai diri sendiri (masochism), melukai orang lain (sadism), melenyapkan objek atau saingan (destructiveness), dan mengekor secara serempak (automaton) (Budimansyah,2004:27).

Demikianlah kapitalisme Barat dan masyarakat modern sebagai-mana diterangkan Fromm. Mereka memiliki karsa (will) yang kuat (seperti kemandirian, percaya diri, jerih payah), akan tetapi tercipta pula masyarakat yang goyah. Kegagalan itu ditimbulkan oleh tiadanya ketenangan batin (insecurity feeling) akibat melupakan nilai-nilai agama.

Gb. 1.10 Amitai Etzioni, menyiptakan masyarakat baru dengan spirit komunitarian

Sumber: http://www.john-adams.nl/wp-content/uploads/2014/04

Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter — 35

Kekecewaan akan peradaban modern telah menghasilkan suatu impian untuk menyiptakan suatu masyarakat baru dengan moralitas baru (lihat misalnya Giddens dalam “The Third Way” 1998, Etzioni dalam “The Spirit of Community” 1993, Robert Bellah dalam “The Good Society” 1992). Namun demikian, sampai akhir abad ke-20, sekalipun telah lahir berbagai organisasi warganegara yang sukarela dan mandiri (seperti LSM, organisasi massa, dan organisasi politik), peradaban manusia di dunia masih diwarnai berbagai kekejaman terhadap manusia dan lingkungannya. Ternyata kunci dari kesejahteraan manusia bukan semata-mata terletak pada terciptanya hubungan yang seimbang antara negara dan masyarakat, tetapi yang lebih mendasar adalah moralitas baru (baca: karakter baru) perlu dihembuskan kedalam sistem modern tersebut.

Suatu tuntutan moralitas baru misalnya telah diteriakan oleh Revolusi Prancis: “liberte, egalite, fraternite” (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan), tetapi sampai saat ini tampaknya hanya “kebebasan” yang diperoleh, sedangkan “persamaan” masih jauh tertinggal. Ini terutama disebabkan karena moral “persaudaraan” hampir tidak mengalami kemajuan yang berarti dalam peradaban modern ini. Rupa-rupanya hal yang sama terjadi dalam reformasi kita. Semua golongan mabuk kebebasan, sementara semangat persaudaraan sebagai bangsa semakin terpuruk dan akibatnya persamaan dan keadilan sulit untuk diwujudkan. Mengingat akan hal itu penulis berpendapat bahwa inti dari karakter ke-Indonesiaan yang masih harus kita bangun dalam masyarakat kita adalah “persaudaraan” sebagai sikap moral baru.

Tokoh lain Robert Bellah (1999), seorang sosiolog Amerika Serikat juga menekankan pentingnya kebangkitan moral baru yang mampu melandasi pranata sosial dan menghasilkan hubungan sosial yang lebih baik antara masyarakat dan negara maupun antarwarganegara sendiri. Ia mengatakan bahwa semua kejadian yang telah merendahkan martabat manusia adalah hasil dari pilihan-pilihan kita (social choices) yang kemudian kita bakukan dalam pranata sosial. Untuk merombaknya perlu dilakukan sesuatu pemilihan-pemilihan yang baru, ini membutuhkan suatu sistem nilai, karena semua pilihan memiliki landasan moral dan etika.

36 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Gb. 1.11 Robert Bellah, menekankan pentingnya kebangkitan moral baru

Sumber: http://s-usih.org/wp-content/uploads/2013/08/bellah.jpg

Menganalisis pranata-pranata sosial berarti mempertanyakan: “bagaimana kita seharusnya hidup?” dan “bagaimana kita berpikir tentang bagaimana kita hidup?”. Pranata-pranata sosial yang telah mengatur bagaimana kita hidup ternyata berjalan kurang baik atau tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya kita inginkan (ideal values). Jadi ideal values hanya tersimpan dalam khasanah budaya kita, tapi tidak

Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter — 37

secara efektif mengatur perilaku kita di dalam pranata sosial yang ada (Wirutomo,2001:17).

Kekecewaan terhadap peradaban modern juga diungkapkan oleh seorang sosiolog Amerika Serikat lainnya yang bernama Amitai Etzioni (1993) dengan memberi contoh masyarakat negaranya sendiri, Amerika Serikat. Masyarakat Amerika Serikat, menurut Etzioni, perlu mengembangkan nilai keakuannya (individualisme) yang telah berakar pada budaya mereka dengan nilai-nilai ke-kitaan yang bersifat komunitarian. Dengan kata lain harus adanya keseimbangan antara hak (yang berorientasi pada keakuan) dan kewajiban (yang berorientasi pada hak orang banyak). Pemikiran ini sangat relevan untuk mengoreksi fenomena yang terjadi pada masyarakat kita yang sejak masa penjajahan sampai masa Orde Baru selalu dilecehkan hak-haknya oleh pemerintah dan negara, dalam masa reformasi ini sekonyong-konyong mengidap gejala “strong sense of entitlement” yaitu cenderung menuntut hak (bila perlu secara paksa dan kekerasan) tetapi segan menerima kewajiban bagi kepentingan umum.

Etzioni menyadari terbentuknya masyarakat komunitarian hanya dapat terwujud melalui suatu gerakan sosial yang sistematis. Itulah sebabnya ia bersama kelompoknya mencanangkan kebulatan tekad gerakan “komunitarian” sebagai berikut:1. Kita harus mampu menyiptakan suatu moralitas baru yang tidak

mengganggu kehidupan pribadi orang (sikap anti puritanisme).2. Kita harus mempertahankan suatu “hukum dan keteraturan” tanpa

harus jatuh pada suatu “negara polisi” dengan merancang secara hati-hati kewenangan dan kekuasaan pemerintah.

3. Kita harus menyelamatkan kehidupan keluarga tanpa harus membatasi hak anggotanya secara diskriminatif (misalnya memaksakan peran domestik kepada perempuan).

4. Sekolah harus mampu memberikan pendidikan moral, tanpa mengindoktrinasi anak muda.

5. Kita harus memperkuat kehidupan komunitas tanpa menjadi orang fanatik dan saling bermusuhan terhadap komunitas lain.

6. Kita harus meningkatkan tanggung jawab sosial bukan sebagai suatu pembatasan hak-hak kita, tetapi justru sebagai perimbangan dari hak-hak yang kita peroleh. Semakin besar hak yang diterima, semakin besar pula kewajiban yang perlu ditanggung.

38 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

7. Perjuangan kepentingan pribadi harus diimbangi dengan komitmen pada komunitas, tanpa harus menjadi tumbal bagi kelompok. Oleh karena itu kerakusan individu yang tanpa batas harus diganti dengan “kepentingan pribadi” yang bermanfaat secara sosial dan memperoleh peluang yang disahkan oleh masyarakat.

8. Kewibawaan pemerintah harus dijaga tanpa menghilangkan kesempatan bagi semua warga menyampaikan pendapat dan kepentingannya.

Semua itu adalah inti dari sikap moral komunitarian yang ditawarkan oleh Etzioni, yakni kesepakatan manusia modern untuk menyiptakan moral baru, kehidupan sosial, dan keteraturan publik berdasarkan pada penguatan kembali nilai “kebersamaan”, tanpa adanya puritanisme dan penindasan. Semangat mengembangkan moral baru bagi peradaban modern yang telah mengalami kegagalan ini juga tampak dari pemikiran Giddens dalam “The Third Way” dimana ia memperjuangkan demokrasi sosial yang berintikan solidaritas, kesamaan dan keamanan serta peran aktif negara (Wirutomo,2001:19).

Konsep karakter ke-Indonesiaan yang penulis maksudkan dalam tulisan ini pada dasarnya mengacu pada sikap moral komunitarian yang bercorak kepribadian Indonesia yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila dan norma yang berlandaskan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Membangun karakter ke-Indonesiaan dengan demikian merupakan suatu proses memberikan posisi warganegara yang lebih mandiri terhadap negara, membina etos demokrasi yang bukan sekedar menekankan hak individual dan supremasi hukum, tetapi terutama menekankan pada pembenahan moral hubungan antarwarganegara itu sendiri, penanaman nilai kerukunan yang menghasilkan kepedulian terhadap semua warganegara dan nasib seluruh bangsa.

Menganalisis pranata-pranata sosial berarti mempertanyakan: “bagaimana kita seharusnya hidup?” dan “bagaimana kita berpikir tentang bagaimana kita hidup?”.

Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter — 39

Pendekatan profetik

Pendidikan Karakter dengan pendekatan profetik”, adalah menyelenggara-kan pendidikan keimanan, ketakwaan dan ahlak mulia dengan cara mendekatkan peserta didik pada tiga hal penting, yaitu mereka didekatkan pada kitab suci, tempat ibadah, dan para pemuka atau para tokohnya yang dihormati. Cara itu sebenarnya tidak sulit dilakukan dan bahkan lebih terukur keberhasilannya. Pendidikan Karakter dengan pendekatan profetik manakala dianggap memiliki titik rawan, atau sulit dijalankan, maka kesulitan itu justru berada pada sumberdaya manusianya, yaitu terletak pada pimpinan lembaga pendidikan, pendidik dan sejenis lainnya.

Pertama, mendekatkan para peserta didik pada kitab suci, kiranya tidak sulit dilakukan. Sebagai orang yang beragama, kiranya memang seharusnya memiliki kedekatan dengan kitab sucinya masing-masing. Wahyu di manapun selalu dipandang sebagai sumber kebenaran. Oleh karena itu, para pendidik seharusnya mengajarkannya dan tidak perlu menunggu kedatangannya, karena wahyu itu sebenarnya sudah lama datang, berupa kitab suci yang bisa didapatkan di mana-mana. Banyak orang tatkala mencari kebenaran, merasa masih perlu menunggu datangnya wahyu. Padahal sebenarnya, wahyu itu sendiri sudah disampaikan secara sempurna oleh Tuhan dalam rupa kitab suci agama masing-masing.

Sebagai negara yang berlandaskan Pancasila, yang mengakui berbagai agama, maka tugas pendidik adalah mendekatkan peserta didiknya pada kitab sucinya masing-masing. Mereka yang beragama Islam diperkenalkan dengan al-Qurán; yang beragama Kristen dengan Injil, dan seterusnya. Demikian pula yang beragama Hindu dengan kitab Weda. Anak yang selalu dekat pada kitab suci —Islam misalnya dekat dengan al-Qur’an— maka pikiran, hati dan jiwanya akan terjaga dari ajaran kitab suci yang dipercayai kebenarannya itu.

Kedua, mendekatkan para siswa pada tempat ibadah. Selama ini umat beragama telah melihat betapa pentingnya tempat ibadah sebagai wahana untuk membangun karakter, sehingga di mana-mana dibangun tempat ibadah. Sedemikian besar semangat masyarakat membangun sarana itu, sehingga memerlukan regulasi dari pemerintah. Sayangnya, semangat membangun tempat ibadah itu, tampaknya belum diikuti oleh kegiatan untuk memakmurkannya. Pada saat ini di sekolah-sekolah dan kampus-

40 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

kampus telah dilengkapi dengan tempat ibadah. Maka sebagai bagian dari pendidikan karakter, para guru yang seharusnya bertindak sebagai uswah hasanah atau teladan yang baik, pada saat waktunya beribadah, semestinya segera menuju tempat ibadah untuk mengajak sekaligus memberikan teladan kepada para anak didiknya. Inilah cara mendekatkan mereka pada tempat ibadah.

Ketiga, adalah mendekatkan para peserta didik kepada para ulama atau para ilmuwan yang ditokohkannya sehari-hari. Akhir-akhir ini ada pergeseran yang entah disadari atau tidak, bahwa para peserta didik yang seharusnya mengidolakan para ilmuwan, ulama, dan guru, tetapi ternyata justru mengidolakan pribadi lain yang tidak terlalu ada kaitannya dengan pendidikan. Para siswa lebih akrab dengan nama-nama artis favoritnya daripada para ilmuwan, dan bahkan guru atau pimpinan lembaga pendidikannya sendiri. Anak muda biasanya akan mengikuti perilaku siapa yang diidolakannya. Sehingga menjadi wajar, jika anak-anak bergaya penyanyi atau artis pada umumnya daripada berperilaku sebagaimana yang ditampakkan oleh pendidiknya sendiri (Budimansyah, dkk.2013).

Gb.1.12 Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat

Sumber: http://liadewiafista.files.wordpress.com/2014/04/hardiknas21.jpg

Konsep Karakter, Pendidikan Karakter, dan Pembangunan Karakter Bangsa — 41

Apa Karakter Itu?Masih ingatkah Anda terhadap keteladanan dari sekelompok anak muda Indonesia dalam Gerakan Indonesia Mengajar? Mereka yang mengikuti program tersebut terdiri atas 51 tenaga pengajar muda yang diberangkatkan ke daerah terpencil untuk mengajar di sekolah dasar selama satu tahun. Para sukarelawan tersebut adalah lulusan terbaik dari beberapa universitas di Indonesia yang lolos seleksi program Indonesia Mengajar di lima pulau terpencil untuk mengatasi masalah kekurangan guru. Para pengajar muda itu ditempatkan di daerah-daerah yang sulit dijangkau seperti di Bengkalis—Riau, Tulang Bawang Barat—Lampung, Paser—Kalimantan Timur, Majene—Sulawesi Barat, dan Halmahera Selatan—Maluku Utara. Di pulau Indung—Halmahera, misalnya, untuk menjangkau lokasi harus menggunakan perahu selama empat sampai lima jam dengan jadwal dua minggu sekali dan tidak ada sinyal telefon. Para pengajar muda angkatan pertama yang lolos seleksi tidak hanya mumpuni di bidang akademik, melainkan juga berprestasi di bidangnya masing-masing. Banyak diantara mereka yang telah bekerja di perusahaan-perusahaaan seperti Unilever, peneliti di Bank Indonesia, Bank Mandiri, P&G Singapura, dan peneliti Biologi ITB. Salah seorang diantaranya, Ayu Kartika Dewi yang sebelumnya bekerja di

2.KONSEP KARAKTER, PENDIDIKAN KARAKTER,

DAN PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA

42 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

P&G Singapura. Alumni Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga itu mengaku meninggalkan pekerjaannya untuk mengabdi mengajar di pulau terpencil. “Saya tidak ingin hidup saya kelak dicatat dalam buku harian saya hanya berisi sekolah, lulus, bekerja, menikah, dan seterusnya. Tidak ada yang berkesan. Saya ingin ada satu chapter dalam hidup saya bahwa saya pernah mengajar dan berbagi dengan mereka yang kurang beruntung di luar sana,” tuturnya.

Jika menyimak kisah di atas tampak bahwa dalam pribadi gadis belia itu sungguh bersemayam karakter yang baik dimana ia mengetahui bahwa mengabdikan diri untuk mengajar di daerah terpencil merupakan sesuatu yang baik, ia pun mau mengabdikan dirinya, dan nyata ia melakukannya. Dari kisah Ayu Kartika Dewi itu tampak bahwa ketiga substansi dan proses psikologis memahami makna kebajikan (knowing the good), memiliki hasrat atau keinginan untuk melakukan kebajikan (desiring the good) dan nyata-nyata melakukan kebajikan (doing the good) bermuara pada kehidupan dan kematangan moral individu yang berkarakter. Dengan kata lain, karakter diartikan sebagai nilai-nilai yang khas baik (tahu nilai kebaikan, mau berbuat baik, nyata berkehidupan baik, dan berdampak baik terhadap lingkungan) yang terpateri dalam diri dan terejawantahkan dalam perilaku (Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa, 2010). Hal ini pun sejalan dengan istilah karakter dalam bahasa Indonesia yang diterjemahkan dengan watak, adalah sifat-sifat hakiki seseorang atau suatu kelompok atau bangsa yang sangat menonjol sehingga dapat dikenali dalam berbagai situasi atau merupakan trade mark orang, kelompok, atau bangsa tersebut (Tilaar, 2008).

“Saya tidak ingin hidup saya kelak dicatat dalam buku harian saya hanya berisi sekolah, lulus, bekerja, menikah, dan seterusnya. Tidak

ada yang berkesan. Saya ingin ada satu chapter dalam hidup saya bahwa saya pernah

mengajar dan berbagi dengan mereka yang kurang beruntung di luar sana,”

(Ayu Kartika Dewi yang sebelumnya bekerja di P&G Singapura. Alumni Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga)

Konsep Karakter, Pendidikan Karakter, dan Pembangunan Karakter Bangsa — 43

Gb.2.1. “Ingin ada satu chapter dalam hidup kami bahwa kami pernah mengajar dan berbagi dengan mereka yang kurang beruntung”. Sumber: bawean.net

Gb.2.2 Karakter baik (good character) harus dilatih

dan dibudayakan. Sumber: shoviazahra.staff.fkip.uns.ac.id

44 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Para pemikir Eropa berpandangan bahwa karakter merupakan konsep yang paling inti dari etika (Suryadi, 2011). Kata karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti sebuah instrumen untuk menilai, mengesankan, memberikan tanda khusus, dan watak khusus (Oxford English Dictionary). Tanda khusus ini adalah yang membedakan dari yang lain sehingga dapat mengukir kesan khusus. Kata karakter juga sering ditukarpakaikan dengan kata kepribadian (personality), walaupun keduanya memiliki konotasi yang berlainan.

Para psikolog hampir tidak pernah menggunakan istilah karakter karena karakter dipandang lebih bersifat inner value dan lebih berkonotasi morality dibandingkan kepribadian. Kata personality sendiri diartikan sebagai kualitas atau kumpulan dari kualitas yang membuat seseorang menjadi berbeda dari yang lain, “quality or assemblage of qualities which makes a person what he is, as distinct from other person” (Kupperman, 1991). Karakter adalah sifat pribadi yang relatif stabil pada diri individu yang menjadi landasan bagi penampilan perilaku dalam standar nilai dan norma yang tinggi. Sifat pribadi maksudnya ciri-ciri yang ada di dalam pribadi seseorang yang terwujudkan dalam tingkah laku. Relatif stabil adalah suatu kondisi yang apabila telah terbentuk akan tidak mudah diubah.

Landasan berarti kekuatan yang pengaruhnya sangat besar/dominan dan menyeluruh terhadap hal-hal yang terkait langsung dengan kekuatan yang dimaksud. Adapun penampilan perilaku adalah aktivitas individu atau kelompok dalam bidang dan wilayah (setting) kehidupan (bidang kehidupan: ekonomi, kemasyarakatan, budaya/seni, agama, ilmu dan teknologi, hukum, politik, pertahanan dan keamanan, kehidupan global; wilayah kehidupan: pribadi, sosial, keluarga, pekerjaan, kewarganegaraan/ kebangsaan, internasional/antarbangsa).

Terakhir makna standar nilai/norma adalah kondisi yang mengacu pada kaidah-kaidah agama, ilmu dan teknologi, hukum, adat, dan kebiasaan, yang tercermin dalam perilaku sehari-hari. Dengan demikian hidup berkarakter adalah hidup yang dikehendaki, yakni yang menempuh jalan lurus mengikuti kaidah-kaidah nilai dan norma sesuai dengan fitrah manusia yang berorientasi kebenaran dan keluhuran (Prayitno dan Khaidir,2011).

Konsep Karakter, Pendidikan Karakter, dan Pembangunan Karakter Bangsa — 45

Terdapat beberapa konsep lain yang memiliki kemiripan makna dengan karakter, yaitu moral, etika, ahlak, dan budi pekerti. Antara karakter dan moral misalnya memiliki hubungan yang sangat erat, antara keduanya tidak dapat dipisahkan. Karakter merupakan sikap dan kebiasaan seseorang yang memungkinkan dan mempermudah tindakan moral (Corley & Minick, 2000). Dengan kata lain karakter merupakan kualitas moral seseorang. Jika seseorang mempunyai moral yang baik, maka akan memiliki karakter yang baik yang terwujud dalam sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Bertens (2004) menegaskan bahwa etika dan moral memiliki makna yang sama, namun berasal dari bahasa yang berbeda. Etika berasal dari kata bahasa Yunani “ethos” yang berarti kebiasaan, adat, watak, sikap, cara berpikir, sedangkan moral berasal dari bahasa Latin “mores” yang berarti kebiasan atau adat. Akhlak adalah istilah bahasa Arab yang asal katanya khuluk yang berarti perangai,

Gb.2.3 Akhir dari pendidikan adalah karakterSumber: dianeducationcenter.blogspot.com

46 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

tabiat, adat (Darajat,1990). Secara terminologi, pengertian ahlak banyak dikemukakan oleh para ahli, diantaranya:a. Ibnu Miskawaih (421 H-1030H): “Ahlak adalah kondisi jiwa seseorang

yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran (lebih dulu), dipikirkan, dan tanpa ditimbang-timbang”.

b. Al-Ghazali (1059 H – 1111 H): “Ahlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa dan daripadanya timbul perbuatan yang mudah tanpa memerlukan pertimbangan”.

c. Abu Bakar Jabir Al-Jazairy: “Ahlak adalah suatu bentuk kejiwaan yang tertanam dalam diri manusia, yang menimbulkan perbuatan baik dan buruk, terpuji dan tercela dengan cara disengaja”.

d. Ibrahim Anis: “Ahlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa dan daripadanya timbul perbuatan baik atau jelek tanpa memerlukan pertimbangan”.

Gb. 1.1 Ibnu Miskawaih Gb. 1.2 Al-Gazali

Sumber: http://lemessage.files.wordpress.com/2011/05/

Budi Pekerti mengandung beberapa pengertian, yaitu (1) alat batin yang merupakan panduan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk; (2) tabiat, ahlak, watak; (3) perbuatan baik; (4) daya upaya, ihtiar; dan (5) akal (Kamus Besar Bahasa Indonesia,2002). Berdasarkan adanya

Konsep Karakter, Pendidikan Karakter, dan Pembangunan Karakter Bangsa — 47

kesamaan makna tersebut maka tidaklah keliru jika dikatakan bahwa upaya menumbuhkan karakter sama artinya dengan usaha membina etika, moral, ahlak, maupun budi pekerti.

Bagaimana karakter individual itu bisa lahir? Karakter secara koheren memancar dari hasil olah pikir, olah hati, olah rasa dan karsa, serta olah raga yang mengandung nilai, kemampuan, kapasitas moral, dan ketegaran dalam menghadapi kesulitan dan tantangan. Olah pikir berkenaan dengan proses nalar guna mencari dan menggunakan pengetahuan secara kritis, kreatif, dan inovatif menghasilkan pribadi cerdas. Olah hati berkenaan dengan perasaan sikap dan keyakinan/keimanan menghasilkan pribadi yang jujur. Olah raga berkenaan dengan proses persepsi, kesiapan, peniruan, manipulasi, dan penciptaan aktivitas baru disertai sportivitas menghasilkan pribadi tangguh. Olah rasa dan karsa berkenaan dengan kemauan yang tercermin dalam kepedulian. Dengan demikian terdapat empat karakter utama dari seorang individu yakni cerdas, jujur, tangguh, dan peduli. Perhatikan skema di bawah ini.

Olah Pikir

Cerdas

Olah Hati

Jujur

Olah Rasa

Peduli

Olah Raga

Tangguh

Karakter BaikIstilah lain tentang karakter dikemukakan oleh Thomas Lickona (1992) dengan memakai konsep karakter baik. Konsep karakter baik (good character) dipopulerkan Thomas Lickona merujuk pada konsep yang dikemukakan oleh Aristoteles sebagai “...the life of right conduct—right conduct in relation to other persons and in relation to oneself” atau kehidupan berprilaku baik/penuh kebajikan, yakni berprilaku baik terhadap pihak lain (Tuhan Yang Maha Esa, manusia, dan alam semesta) dan terhadap

48 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

diri sendiri. Kehidupan yang penuh kebajikan (the virtues life) sendiri oleh Lickona (1992) dibagi ke dalam dua kategori, yakni kebajikan terhadap diri sendiri (self-oriented virtues) seperti pengendalian diri (self control) dan kesabaran (moderation); dan kebajikan terhadap orang lain (other-oriented virtues), seperti kesediaan berbagi (generousity) dan merasakan kebaikan (compassion). Lebih lanjut Lickona (2004) menegaskan adanya ten essential virtues (sepuluh kebajikan yang esensial).

1. Wisdom Good judgment; ability to make reasoned decisions. Knowing how to put the virtues in to practice. Discerning what’s important this life; ability to set priorities.

2. Justice Fairness (following the Golden Role) Respect for others Self-respect Responsibility Honesty Courtesy/Civily Tolerance (respect for freedom of conscience, legitimetly

exercised).3. Fortitude

Courage Resilience Patience Perseverance Endurance Self-confidence

4. Self-control Self-discipline Ability to manage one’s emotions and impulses Ability to delay gratification Ability to resist temptation

Konsep Karakter, Pendidikan Karakter, dan Pembangunan Karakter Bangsa — 49

Moderation Sexual self-control

5. Love Empathy Compassion Kindness Generosity Service Loyalty Patriotism Forgiveness

6. Positive Attitude Hope Enthusiasm Flexibility Sense of humor

7. Hard Works Initiative Diligence Goal Setting Resourcefulness

8. Integrity Adhering to moral principle Faithfulness to a correctly formed conscience Keeping one’s word Ethical consistency Being honest with oneself

9. Gratitude The habit of being thanksful; Appreciating one’s blessings Acknowledging one’s debt to others No complaining

50 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

10. Humility Kesadaran diri (Self-awareness) Willingness to admit mistakes and take responsibility for corecting

them The desire to become a better person

Gb.2.4 Kerendahan hati adalah karakter yang baik

Sumber: superindo.co.id

Budi Pekerti mengandung beberapa pengertian, yaitu (1) alat batin yang

merupakan panduan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk; (2)

tabiat, ahlak, watak; (3) perbuatan baik; (4) daya upaya, ihtiar; dan (5) akal (Kamus Besar Bahasa Indonesia,2002).

Konsep Karakter, Pendidikan Karakter, dan Pembangunan Karakter Bangsa — 51

Character Count Coalition (A Project of The Joseph Institute of Ethic) menegaskan The Six Pillars of Character, yakni (1) Trustworthiness, bentuk karakter yang membuat seseorang menjadi: memiliki integritas, jujur, dan loyal; (2) Fairness, bentuk karakter yang membuat seseorang memiliki pemikiran terbuka serta tidak suka memanfaatkan orang lain; (3) Caring, bentuk karakter yang membuat seseorang memiliki sikap peduli dan perhatian terhadap orang lain maupun pada kondisi lingkungan masyarakat sekitar; (4) Respect, bentuk karakter yang membuat seseorang selalu menghargai dan menghormati orang lain; (5) Citizenship, bentuk karakter yang membuat seseorang memiliki kesadaran hukum dan sikap peduli pada lingkungan alam; (6) Responsibility, bentuk karakter yang membuat seseorang bertanggung jawab, disiplin, dan selalu melakukan sesuatu dengan sebaik mungkin.

Karakter Privat dan PublikKonsep lain yang kerap kita temukan adalah karakater privat dan karakter publik. Konsep ini diperkenalkan oleh Margaret Branson (1998) pada saat menguraikan komponen dasar ketiga dari kompetensi kewarganegaraan yakni watak kewarganegaraan (civic disposition) yang mengisyaratkan pada karakter privat maupun publik yang penting bagi pemeliharaan dan pengembangan demokrasi konstitusional. Karakter privat seperti tanggung jawab moral, disiplin diri dan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia dari setiap individu adalah wajib. Karakter publik seperti kepedulian sebagai warga negara, kesopanan, mengindahkan aturan main (rule of the game), berpikir kritis, dan kemauan untuk mendengar, bernegosiasi dan berkompromi merupakan karakter yang sangat diperlukan agar demokrasi berjalan sukses. Secara singkat karakter privat dan publik itu dapat diidentifikasikan sebagai berikut.a. Menjadi anggota masyarakat yang independen.

Karakter ini meliputi kesadaran secara pribadi untuk bertanggung jawab sesuai ketentuan, bukan karena keterpaksaan atau pengawasan dari luar menerima tanggung jawab akan konsekuensi dari tindakan yang diperbuat dan memenuhi kewajiban moral dan legal sebagai anggota masyarakat demokratis.

b. Memenuhi tanggung jawab personal kewargaanegaraan di bidang ekonomi dan politik.

52 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Tanggung jawab ini meliputi memelihara/menjaga diri, memberi nafkah dan merawat keluarga, mengasuh dan mendidik anak. Termasuk pula mengikuti informasi tentang isu-isu publik, menggunakan hak pilih dalam pemilu, membayar pajak, menjadi saksi di pengadilan, kegiatan pelayanan masyarakat, melakukan tugas kepemimpinan sesuai bakat masing-masing.

c. Menghormati harkat dan martabat kemanusiaan tiap individu.Menghormati orang lain berarti mendengarkan pendapat mereka, bersikap sopan, menghargai hak-hak dan kepentingan-kepentingan sesama warganegara, dan mengikuti aturan musyawarah mufakat dan prinsip mayoritas namun tetap menghargai hak-hak minoritas untuk berbeda pendapat.

d. Berpartisipasi dalam urusan-urusan kewarganegaraan secara efektif dan bijaksana.Karakter ini merupakan bentuk sadar informasi sebelum menentukan pilihan atau berpartisipasi dalam debat publik, terlibat dalam diskusi yang santun dan serius, serta memegang kendali dalam kepemimpinan bila diperlukan. Juga membuat evaluasi tentang kapan saatnya kepentingan pribadi seseorang sebagai warganegara harus dikesampingkan demi memenuhi kepentingan publik dan mengevaluasi kapan seseorang karena kewajibannya atau prinsip-prinsip konstitusional diharuskan menolak tuntutan-tuntutan kewarganegaraan tertentu.

e. Mengembangkan berfungsinya demokrasi konstitusional secara sehat.Karakter ini meliputi sadar informasi dan kepekaan terhadap urusan-urusan publik, melakukan penelaahan terhadap nilai-nilai dan prinsip-prinsip konstitusional, memonitor keputusan para pemimpin politik dan lembaga-lembaga publik pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip tadi serta mengambil langkah-langkah yang diperlukan bila ada kekurangannya. Karakter ini mengarahkan warganegara agar bekerja dengan cara-cara yang damai dan legal dalam rangka mengubah undang-undang yang dianggap tidak adil dan tidak bjaksana. Pentingnya karakter privat dan publik umumnya luput dari

perhatian, padahal keberadaannya demikian strategis. Karakter privat

Konsep Karakter, Pendidikan Karakter, dan Pembangunan Karakter Bangsa — 53

dan publik yang mendasari demokrasi, dalam jangka panjang, mungkin lebih merupakan dampak dari pengetahuan atau kecakapan yang dikuasai warganegara. Hakim Learned Hand dalam pidatonya di New York pada tahun 1994 mengungkapkan pentingnya watak kewarganegaraan (baca: karakter) dalam kata-kata yang sekarang menjadi amat populer:

Liberty lies in the hearts of men and women; when it dies there, no constitution, no law, no court can save it; no constitution, no law, no court can even do much to help it. While it lies there, it needs no constitution, no law, no court to save it (Branson, 1998).

Kata-kata bijak Learned Hand itu sungguh tepat jika dikontekstualkan pada kehidupan kita dalam berbangsa dan bernegara. Kebebasan sejatinya memang terletak pada hati manusia, baik pria maupun wanita. Bila ia sirna maka tak ada konstitusi, hukum, dan pengadilan yang dapat menyelamatkannya. Bahkan konstitusi, hukum, dan pengadilan tak dapat berbuat apa-apa. Namun bila ia masih di sana, maka tak diperlukan lagi konstitusi, hukum, dan pengadilan untuk menjaganya. Dalam konteks ini hati adalah nurani yang sering kali disatupadukan menjadi hati nurani yang tiada lain adalah karakter pribadi dari setiap warganegara.

Gb.2.5 Hidup damai tanpa pertumpahan darah itu indahSumber: selasarpenatalenta.wordpress.com

54 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Karakter BangsaMenurut disiplin psikologi dan antropologi tidak dikenal istilah karakter bangsa, yang ada adalah karakter manusia Indonesia. Namun jika memperhatikan konsep karakter sosial dari Eric Fromm kita dapat mengambil analogi bahwa karakter bangsa itu ada. Karakter sosial dipopulerkan oleh Eric Fromm yang mengacu kepada struktur karakter atau perilaku umum yang dimiliki suatu kelas sosial atau suatu masyarakat, yang menjadi syarat-syarat dan harapan-harapan agar orang-orang dapat berfungsi dan beradaptasi dalam masyarakat tersebut. Sekalipun setiap individu mempunyai karakter pribadi mereka memiliki elemen-elemen kepribadian tertentu yang sama-sama diharapkan sama. Menurut Fromm, suatu ‘komunitas’ memerlukan sikap-sikap yang harus ditaati para anggotanya agar komunitas itu dapat berfungsi dengan baik dan agar para anggotanya dapat mencapai kemakmuran (Kalidjernih,2010b).

Gb.2.6 Menghormat bendera negara adalah perilaku kolektif kebangsaan

Sumber: rundempatsembilan.blogspot.com

Konsep Karakter, Pendidikan Karakter, dan Pembangunan Karakter Bangsa — 55

Jika demikian bagaimana kemunculan karakter bangsa itu? Karakter bangsa Indonesia akan muncul pada saat seluruh komponen bangsa menyatakan perlunya memiliki perilaku kolektif kebangsaan yang unik-baik yang tercermin dalam kesadaran, pemahaman, rasa, karsa, dan perilaku berbangsa dan bernegara dari hasil olah pikir, olah hati, olah rasa dan karsa, serta olah raga seseorang atau sekelompok orang bangsa Indonesia. Karakter bangsa Indonesia akan menentukan perilaku kolektif kebangsaan Indonesia yang unik-baik yang tercermin dalam kesadaran, pemahaman, rasa, dan karsa, dan perilaku berbanngsa dan bernegara Indonesia yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila, norma UUD 1945, keberagaman dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika, dan komitmen terhadap NKRI.

Proses pembentukan karakter bangsa dimulai dari penetapan karakter pribadi yang sama-sama diharapkan sama berakumulasi menjadi karakter masyarakat dan pada akhirnya menjadi karakter bangsa. Untuk kemajuan negara RI diperlukan karakter bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, berbudi luhur, toleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi iptek yang semuanya dijiwai iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan Pancasila. Tampak bahwa karakter bangsa Indonesia adalah karakter yang berlandaskan Pancasila yang memuat elemen kepribadian yang sama-sama diharapkan sama sebagai jadi diri bangsa. Berikut adalah karakter bangsa Indonesia yang dijiwai kelima sila Pancasila secara utuh dan komprehensif (Desain Induk Pembangunan Karakter Bangsa 2010-2025; Uchrowi, 2013).1. Bangsa yang Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa adalah bentuk kesadaran dan

perilaku iman dan takwa serta akhlak mulia sebagai karakteristik pribadi bangsa Indonesia. Karakter Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa tercermin antara lain hormat dan bekerjasama antara pemeluk agama dan penganut kepercayaan; saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu; tidak memaksakan agama dan kepercayaanya kepada orang lain.

Inti dari karakter sila pertama ini adalah keyakinan, sedangkan moralitasnya adalah bertakwa, dengan indikator-indikatornya adalah sebagai berikut.

56 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

a. Beriman (yakin, jujur, berani).b. Bersyukur (gembira, syukur, berterima kasih).c. Bertawakal (ikhlas, berdoa, selaras).

2. Bangsa yang Menjunjung Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Sikap dan perilaku menjunjung tinggi kemanusiaan yang adil

dan beradab diwujudkan dalam perilaku hormat-menghormati antarwarga negara sebagai karakteristik pribadi bangsa Indonesia. Karakter kemanusiaan seseorang tercermin antara lain dalam pengakuan atas persamaan derajat, hak, dan kewajiban; saling mencintai; tenggang rasa; tidak semena-mena terhadap orang lain; gemar melakukan kegiatan kemanusiaan; menjunjung tinggi nilai kemanusiaan; berani membela kebenaran dan keadilan; merasakan dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia serta mengembangkan sikap hormat-menghormati.

Inti dari karakter sila kedua ini adalah kesadaran, sedangkan moralitasnya adalah berkasih sayang, dengan indikator-indikatornya adalah sebagai berikut.a. Bersahabat (ramah, rukun, peduli).b. Berdaya (berwawasan, bervisi, kompeten).c. Berbagi (memberi, menolong, mencintai).

3. Bangsa yang Mengedepankan Persatuan dan Kesatuan Bangsa. Komitmen dan sikap yang selalu mengutamakan persatuan dan

kesatuan Indonesia di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan merupakan karakteristik pribadi bangsa Indonesia. Karakter kebangsaan seseorang tercermin dalam sikap menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan, dan keselamatan bangsa di atas kepentingan pribadi atau golongan; rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara; bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia serta menjunjung tinggi bahasa Indonesia; memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.

Inti dari karakter sila ketiga ini adalah sikap, sedangkan moralitasnya adalah bersatu, dengan indikator-indikatornya adalah sebagai berikut.a. Berbhineka (berbaur, bergaul, cinta budaya).

Konsep Karakter, Pendidikan Karakter, dan Pembangunan Karakter Bangsa — 57

b. Berdisiplin (rajin-tertib, taat hukum, berencana).c. Bertanggung jawab (kerja keras, amanah, tuntas).

4. Bangsa yang Demokratis dan Menjunjung Tinggi Hukum dan Hak Asasi Manusia

Sikap dan perilaku demokratis yang dilandasi nilai dan semangat kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan merupakan karakteristik pribadi warga negara Indonesia.Karakter kerakyatan seseorang tercermin dalam perilaku yang mengutamakan kepentingan masyarakat dan negara; tidak memaksakan kehendak kepada orang lain; mengutamakan musyawarah untuk mufakat dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama; beritikad baik dan bertanggung jawab dalam melaksanakan keputusan bersama; menggunakan akal sehat dan nurani luhur dalam melakukan musyawarah; berani mengambil keputusan yang secara moral dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.

Inti dari karakter sila keempat ini adalah tindakan, sedangkan moralitasnya adalah gotong royong, dengan indikator-indikatornya adalah sebagai berikut.a. Bermusyawarah (silaturahim, komunikatif, asertif).b. Berdemokrasi (merdeka, berpartisipasi, moderat).c. Bersinergi (bekerjasama, menghargai, win-win solution).

5. Bangsa yang Mengedepankan Keadilan dan Kesejahteraan Komitmen dan sikap untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan

merupakan karakteristik pribadi bangsa Indonesia. Karakter keadilan sosial seseorang tercermin antara lain dalam perbuatan yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan; sikap adil; menjaga keharmonisan antara hak dan kewajiban; hormat terhadap hak-hak orang lain; suka menolong orang lain; menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain; tidak boros; tidak bergaya hidup mewah; suka bekerja keras; menghargai karya orang lain.

Inti dari karakter sila kelima ini adalah hasil, sedangkan moralitasnya adalah berkesejahteraan, dengan indikator-indikatornya adalah sebagai berikut.

58 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

a. Berkemakmuran (berwirausaha, kreatif inovatif, berhijrah-mendunia).

b. Berkeadilan (benar, menjunjung hak, seimbang).c. Bermanfaat (sehat jasmani-rohani, cerdas, mandiri).

Apa dan Mengapa Pendidikan Karakter?Dari berbagai pengertian karakter yang telah diungkapkan pada uraian terdahulu terdapat komonalitas (kesamaan umum) bahwa karakter itu berisi berbagai kebajikan (virtues). Berbagai kebajikan itu tidak serta merta menjadi pola perilaku sehari-hari melainkan harus dipahami, dicita-citakan, dan dilaksanakan. Maka diperlukan adanya program pendidikan karakter sebagai usaha membangun kesadaran melakukan berbagai kebajikan untuk menciptakan dunia yang lebih baik. Hal demikian sejalan dengan pemikiran Lickona (2004) bahwa “character education is the deliberate efforts to develop the virtues that enable us to lead fulfilling lives and build a better world”. Menurut Hill (2005) karakter menentukan pikiran pribadi seseorang dan tindakan yang dilakukannya. Karakter yang baik adalah motivasi batin untuk melakukan apa yang benar, sesuai dengan standar tertinggi perilaku, dalam setiap situasi. Dengan demikian pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan berperilaku yang membantu individu untuk hidup dan bekerja bersama sebagai keluarga, masyarakat, dan warganegara serta membantu mereka untuk membuat keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Gb.2.7 Pembudayaan hidup berkarakter di sekolahSumber: serba-serbi-infodik.blogspot.com

58 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Konsep Karakter, Pendidikan Karakter, dan Pembangunan Karakter Bangsa — 59

Dalam pengertian yang lebih luas pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan moral, pendidikan budi pekerti, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati (Martadi,2010). Pendidikan karakter memiliki empat prinsip dasar sebagai berikut (Koesoema,2006). Pertama, keteraturan setiap tindakan dan diukur berdasarkan hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan. Kedua, koherensi yang memberikan keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Ketiga, otonomi. Dalam hal ini seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat melalui penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain. Keempat, ketegughan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Kesetiaan merupakan dassar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.

Mengapa perlu melakukan pendidikan karakter? Bagi Indonesia sekurang-kurangnya memiliki empat alasan utama, yakni historis, yuridis, sosiologis, dan pedagogis.

HistorisAlasan historis perlunya pendidikan karakter terkait dengan proses perjalanan sejarah perjuangan bangsa sejak perlawanan yang bersifat kedaerahan, kebangkitan nasional, revolusi fisik merebut kemerdekaan, hingga mempertahankan kemerdekaan. Pada setiap periode perlawanan tersebut terdapat etos perjuangan yang patut diteladani, seperti jiwa sepi ing pamrih rame ing gawe. Mentalitas tersebut dimanifestasikan oleh perjuangan yang tanpa pamrih, tidak mengharapkan imbalan jasa, yang penting Indonesia terbebas dari kaum penjajah yang telah menghisap darah Ibu Pertiwi. Berholopis kuntul baris, rawe-rawe rantas malang-malang putung adalah mentalitas bekerja sama yang kokoh antara rakyat dan pemimpin, antara sesama rakyat, maupun antara sesama pemimpin sehingga daya juang waktu itu sangat dahsyat. Ingat “bambu runcing” berani berhadapan (face to face) dengan tank baja; “ketepel” berani

60 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

menghalau pesawat tempur; “bedil dorlok” sanggup melumpuhkan senapan otomatis. Kalau bukan karena daya juang yang sangat dahsyat, sepertinya mustahil para pejuang dengan bambu runcing sanggup melumpuhkan pasukan altileri musuh.

Generasi sekarang berada sudah semakin jauh dari sumbu perjuangan tersebut. Oleh karena itu jika etos perjuangan itu tidak diajarkan, maka generasi muda kita

tidak akan mewarisi karakter pejuang itu. Bagaimana jadinya Indonesia jika generasi mudanya yang nota bene sebagai pewaris masa depan menjadi generasi yang lemah, tidak berkarakter tangguh. Dalam konteks demikianlah pendidikan karakter diperlukan untuk mewariskan etos perjuangan bangsa.

YuridisAlasan yuridis adalah alasan berdasarkan undang-undang. Misalnya menurut Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang 2005-2025 ditegaskan bahwa visi Pembangunan Nasional adalah “...terwujudnya karakter bangsa yang tangguh, kompetitif, berahlak mulia, dan bermoral berdasarkan Pancasila, yang dicirikan dengan watak dan perilaku manusia dan masyarakat Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, dan beorientasi ipteks. Selanjutnya dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan serta membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Gb.2.8 Bung Tomo membakar semangat arek-arek Suroboyo dalam mempertahankan kemerdekaan melawan kaum penjajahSumber: https://i.ytimg.com/vi/aEvPBfM7OSQ/0.jpg

Konsep Karakter, Pendidikan Karakter, dan Pembangunan Karakter Bangsa — 61

Jika memperhatikan visi pembangunan nasional “..terwujudnya karakter bangsa yang tangguh...” tentu saja program pendidikan karkter mutlak perlu dilakukan, jika tidak mustahil karakter bangsa yang tangguh akan terwujud. Demikian pula halnya dengan fungsi pendidikan nasional “...membentuk watak dan peradaban bangsa....” serta sepuluh tujuan pendidikan nasional: beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab mengindikasikan perlunya pendidikan karakter untuk mewujudkannya.

SosiologisAlasan sosiologis adalah alasan yang timbul dari adanya kenyataan di masyarakat seperti merebaknya berbagai perilaku buruk yang sangat jauh dari kehidupan berkarakter yang melanda Indonesia. Kondisi demikian mendorong Pemerintah untuk melakukan penguatan kembali proses pendidikan hingga menyentuh aspek pengembangan karakter, utamanya di persekolahan dan perguruan tinggi. Sebenarnya, diperlukannya pendidikan yang menyentuh aspek pengembangan karakter tidak saja

Gb. 2.9 Naskah Komprehensip Perubahan UUDNRI 1945Sumber: https://www.google.co.id/url?sa

62 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

dirasakan bangsa Indonesia yang memang masih sedang berbenah diri menuju masyarakat berkeadaban, namun negara maju sekalipun seperi Amerika Serikat merasakan hal yang sama. Kebutuhan dimaksud lebih didorong oleh adanya kenyataan semakin menurunnya moralitas warganegara terutama sejak memasuki era global satu dekade terakhir ini. Seperti yang dikemukan oleh Lickona (1992) di Amerika dirasakan telah terjadinya penurunan kualitas moralitas di kalangan pemuda termasuk pada kaum terdidik. Dari hasil berbagai survey dilaporkan sebagai berikut. Sekitar 41% mengendarai mobil dalam keadaan mabuk atau dalam pengaruh narkoba; 33% menipu teman baiknya mengenai hal yang penting; 38% berbohong dalam melaporkan pajak pendapatan; 45 % termasuk di dalamnya 49% suami dan 44 % istri berselingkuh.

Data tersebut melukiskan bahwa dalam masyarakat Barat, yang secara ekonomi termasuk masyarakat modern berbasis industri, terdapat berbagai persoalan moral yang dirasakan perlu mendapat perhatian pendidikan kewarganegaraan sebagai leading sector pendidikan karakter. Secara lebih rinci masalah moralitas yang tampak dalam masyarakat Barat adalah sebagai berikut.• Vandalime dan kekerasan (Vandalism and violence).• Mencuri (Stealing).• Menyontek (Cheating).• Tidak hormat pada pejabat publik (Disrespect for authority).• Kekejaman terhadap teman sebaya (Peer cruelty).• Menyerang keyakinan orang lain yang berbeda (Bigotry).• Bicara kasar/tak pantas (Bad language).• Perkosaan dan pelecehan seksual (Sexual precosity and abuse).• Bertambahnya orientasi pada diri sendiri dan menurunnya tanggung

jawab sebagai warganegara (increasing sel-centeredness and declining civic responsibility).

• Perilaku merusak diri sendiri (Self-destructive behavior).

Konsep Karakter, Pendidikan Karakter, dan Pembangunan Karakter Bangsa — 63

Vandalisme

Vandalisme adalah penghancuran yang disengaja atau pengrusakan barang-barang milik orang lain. Tindakan umum vandalisme termasuk pada dinding, pagar, pintu, jendala, mobil, kotak surat, dan lain-lain. Vandalisme merupakan kejahatan dengan berbagai hukuman, mulai dari hukuman denda dan hukuman kurungan (Pasal 489 KUHP)

Gb. 2.10 Vandalisme adalah perbuatan melawan hukum, stop sekarang juga!

Sumber: http://sd.keepcalm-o-matic.co.uk/i/keep-calm-and-stop-vandalism-2.png

Konsep Karakter, Pendidikan Karakter, dan Pembangunan Karakter Bangsa — 63

64 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

PedagogisAlasan pedagogis adalah alasan perlunya pendidikan karakter dilakukan untuk mendidik warganegara. Secara psikopedagogis anak adalah sesorang warganegara hipotetik. Artinya, warganegara yang belum jadi yang masih harus dididik menjadi seseorang yang sadar akan kewajiban dan hak-haknya sebagai insan Tuhan, insan sosial, dan insan politik. Dengan demikian hidup berkarakter itu tidak lahir dengan sendirinya, melainkan harus dibina melalui proses pendidikan.

Dalam konteks demikianlah pendidikan karakater itu diperlukan untuk membina peserta didik agar hidup berkarakter, yakni kehidupan yang menempuh jalan lurus mengikuti kaidah-kaidah nilai dan norma sesuai dengan fitrah manusia yang berorientasi kebenaran dan keluhuran. Ada tiga tujuan pendidikan karakter, yakni pribadi yang berkarakter, sekolah atau kampus yang berkarakter, dan masyarakat yang berkarakter (Lickona,2004). Ketiga tujuan tersebut perlu dicapai dan diwujudkan secara terintegrasi.

Pencapaian tujuan yang satu dipengaruhi dan mempengaruhi tujuan yang lain. Pribadi berkarakter misalnya dapat dihasilkan oleh sekolah atau perguruan tinggi yang berkarakter. Sekolah atau perguruan tinggi yang berkarakter juga akan menjadi cahaya bagi masyarakat sekitarnya. Sebaliknya kehidupan masyarakat yang berkarakter akan menjadi lahan subur bagi pembentukan sekolah dan kampus berkarakter, termasuk bagi tumbuh kembangnya pribadi-pribadi berkarakter.

Gb. 3.2 Anak adalah warganegara hipotetik yang masih harus dididik menjadi dewasaSumber: http://www.google.com/url?sa=i&rct=j&q=&esrc=s&source

Konsep Karakter, Pendidikan Karakter, dan Pembangunan Karakter Bangsa — 65

PELAJAR HARUS MEMILIKI KEMAMPUAN BERDAYA SAING LUAR NEGERI

TRIBUNNEWS.COM, AMBON - Seiring perkembangan era globalisasi, seorang pelajar atau siswa tidak hanya mampu daya saing di dalam negeri namun harus hingga luar negeri. Saat ini membentuk manusia Indonesia yang berkualitas dan memiliki daya saing global yang menjadi tantangan tersendiri bagi dunia pendidikan Indonesia.

“Perlu siswa yang kreatif, mandiri, cerdas, percaya diri, memiliki kemampuan komunikasi yang baik, serta memiliki jiwa kepemimpinan menjadi syarat agar dapat berkompetisi dengan masyarakat asing dalam menghadapi arus globalisasi,” kata penangung jawab Program Be A Star PKPU Human Initiative Maluku, Abdul Rifai Pulu di Ambon, Sabtu (11/2/2017).

Dikatakannya, pembentukkan karakter-karakter yang diinginkan tersebut harus dilakukan sedini mungkin dan sangat mungkin dilakukan oleh pelaku pendidikan. Muhamad Ikbal Hulihulis, Kepala Cabang PKPU Human Initiative Maluku menyatakan, program Be A Star dimaksudkan memberikan bantuan kepada anak-anak Indonesia untuk dibina sehingga menjadi manusia yang unggul dan siap bersaing dengan masyarakat global. Program Beasiswa Akselerasi Pintar (Be A Star) merupakan program yang segmentasinya adalah pelajar SD sampai SMA berupa pembinaan karakter, dan pemberian bantuan pendidikan.

“Program dilakukan selama lima bulan, target kami program ini dapat membantu para siswa-siswi yatim dan dhuafa yang akan mengikuti ujian nasional,” katanya.

Gb. 2.11 Pendidikan karakter membekali pelajar untuk memiliki daya saingSumber: http://cdn2.tstatic.net/tribunnews/

Konsep Karakter, Pendidikan Karakter, dan Pembangunan Karakter Bangsa — 65

66 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Pendidikan Karakter dalam Konteks MakroMenyadari betapa perlunya diselenggarakan secara komprehensif, pengembangan karakter hendaknya meliputi konteks makro dan mikro. Konteks makro bersifat nasional yang mencakup keseluruhan konteks perencanaan dan ilmpementasi pengembangan karakter yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan pendidikan nasional sebagaimana diilustrasikan pada gambar berikut.

Gambar 2.12 Konteks Makro Pengembangan KarakterSumber: Grand Disain Pembangunan Karakter Bangsa (2010)

Secara makro pengembangan karakter dapat dibagi dalam tiga tahap, yakni perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi hasil. Pada tahap perencanaan dikembangkan perangkat karakter yang digali, dikristalisasikan, dan dirumuskan dengan menggunakan berbagai sumber, antara lain pertimbangan: (1) filosofis - Agama, Pancasila, UUD 1945, dan UU N0.20 Tahun 2003 beserta ketentuan perundang-undangan turunannya; (2) pertimbangan teoretis - teori tentang otak (brain theories), psikologis (cognitive development theories, learning theories, theories of personality) pendidikan (theories of instruction, educational management, curriculum theories), nilai dan moral (axiology, moral development theories), dan sosial-kultural (school culture, civic culture); dan (3) pertimbangan

Konsep Karakter, Pendidikan Karakter, dan Pembangunan Karakter Bangsa — 67

empiris berupa pengalaman dan praktek terbaik (best practices) dari antara lain tokoh-tokoh, satuan pendidikan unggulan, pesanren, kelompok kultural, dan lain-lain.

Pada tahap implementasi dikembangkan pengalaman belajar (learning experiences) dan proses pembelajaran yang bermuara pada pembentukan karakter dalam diri individu peserta didik. Proses ini dilaksanakan melalui proses pembudayaan dan pemberdayaan sebagaimana digariskan sebagai salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional. Proses ini berlangsung dalam tiga pilar pendidikan yakni dalam satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat. Dalam masing-masing pilar pendidikan akan ada dua jenis pengalaman belajar (learning experiences) yang dibangun melalui dua pendekatan yakni intervensi dan habituasi. Dalam intervensi dikembangkan suasana interaksi belajar dan pembelajaran yang sengaja dirancang untuk mencapai tujuan pembentukan karakter dengan menerapkan kegiatan yang terstruktur (structured learning experiences). Agar proses pembelajaran tersebut berhasil guna peran guru sebagai sosok anutan (role model) sangat penting dan menentukan. Sementara itu dalam habituasi diciptakan situasi dan kondisi (persistent-life situation), dan penguatan (reinforcement) yang memungkinkan peserta didik pada satuan pendidikannya, di rumahnya, di lingkungan masyarakatnya membiasakan diri berperilaku sesuai nilai dan menjadi karakter yang telah diinternalisasi dan dipersonalisai dari dan melalui proses intervensi. Proses pembudayaan dan pemberdayaan yang mencakup pemberian contoh, pembelajaran, pembiasaan, dan penguatan harus dikembangkan secara sistemik, holistik, dan dinamis.

Dalam konteks makro kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia pelaksanaan pendidikan karakter merupakan komitmen seluruh sektor kehidupan, bukan hanya sektor pendidikan nasional. Keterlibatan aktif dari sektor-sektor pemerintahan lainnya, khususnya sektor keagamaan, kesejahteraan, pemerintahan, komunikasi dan informasi, kesehatan, hukum dan hak azasi manusia, serta pemuda dan olah raga.

Pada tahap evaluasi hasil, dilakukan asesmen program untuk perbaikan berkelanjutan yang sengaja dirancang dan dilaksanakan untuk menditeksi aktualisasi karakter dalam diri peserta didik sebagai indikator bahwa proses pembudayaan dan pemberdayaan karakter itu berhasil dengan baik.

68 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Pendidikan Karakter dalam Konteks MikroPada konteks mikro pengembangan karakter berlangsung dalam konteks suatu satuan pendidikan atau satuan pendidikan secara holistik (the whole school reform). Satuan pendidikan sebagai leading sector, berupaya memanfaatkan dan memberdayakan semua lingkungan belajar yang ada untuk menginisiasi, memperbaiki, menguatkan, dan menyempurnakan secara terus menerus proses pendidikan karakter di satuan pendidikan. Program pengembangan karakter pada latar mikro dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 2.13 Konteks Mikro Pengembangan KarakterSumber: Grand Disain Pembangunan Karakter Bangsa (2010)

Secara mikro pengembangan nilai/karakter dapat dibagi dalam empat pilar, yakni kegiatan belajar-mengajar di kelas, kegiatan keseharian dalam bentuk budaya satuan pendidikan (school culture); kegiatan ko-kurikuler dan/atau ekstra kurikuler, serta kegiatan keseharian di rumah, dan di masyarakat.

Konsep Karakter, Pendidikan Karakter, dan Pembangunan Karakter Bangsa — 69

Dalam kegiatan belajar-mengajar di kelas pengembangan nilai/karakter dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan terintegrasi dalam semua mata pelajaran (embeded approach). Khusus, untuk mata pelajaran Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan, karena memang misinya adalah mengembangkan nilai dan sikap maka pengembangan nilai/karakter harus menjadi fokus utama yang dapat menggunakan berbagai strategi/metode pendidikan nilai (value/character education). Untuk kedua mata pelajaran tersebut nilai/karakter dikembangkan sebagai dampak pembelajaran (instructional effects) dan juga dampak pengiring (nurturant effects). Sementara itu untuk mata pelajaran lainnya, yang secara formal memiliki misi utama selain pengembangan nilai/karakter, wajib dikembangkan kegiatan yang memiliki dampak pengiring (nurturant effects) berkembangnya nilai/karakter dalam diri peserta didik.

Dalam lingkungan satuan pendidikan dikondisikan agar lingkungan fisik dan sosial-kultural satuan pendidikan memungkinkan para peserta didik bersama dengan warga satuan pendidikan lainnya terbiasa membangun kegiatan keseharian di satuan pendidikan yang mencerminkan perwujudan nilai/karakter.

Dalam kegiatan ko-kurikuler, yakni kegiatan belajar di luar kelas yang terkait langsung pada suatu materi dari suatu mata pelajaran, atau kegiatan ekstra kurikuler, yakni kegiatan satuan pendidikan yang bersifat umum dan tidak terkait langsung pada suatu mata pelajaran, seperti kegiatan Dokter Kecil, Palang Merah Remaja, Pecinta Alam, dan sebagainya, perlu dikembangkan proses pembiasaan dan penguatan (reinforcement) dalam rangka pengembangan nilai/karakter.

Di lingkungan keluarga dan masyarakat diupayakan agar terjadi proses penguatan dari orang tua/wali serta tokoh-tokoh masyarakat terhadap prilaku berkarakter mulia yang dikembangkan di satuan pendidikan menjadi kegiatan keseharian di rumah dan di lingkungan masyarakat masing-masing.

Konteks mikro pengembangan nilai/karakter merupakan latar utama yang harus difasilitasi bersama oleh Pemerintah Daerah dan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Dengan demikian terjadi proses sinkronisasi antara pengembangan nilai/karakter secara psiko-pedagogis di kelas dan di lingkungan satuan pendidikan, secara sosio-pedagogis di lingkungan satuan pendidikan dan masyarakat, dan

70 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

pengembangan nilai/karakter secara sosial-kultural nasional. Untuk itu satuan pendidikan perlu difasilitasi untuk dapat mengembangkan budaya satuan pendidikan (school culture). Pengembangan budaya satuan pendidikan ini perlu menjadi bagian integral dari pengembangan satuan pendidikan sebagai entitas otonom seperti dikonsepsikan dalam Managemen Berbasis Sekolah (MBS). Dengan demikian setiap satuan pendidikan secara bertahap dan sistemik ditumbuhkembangkan menjadi satuan pendidikan-satuan pendidikan yang dinamis dan maju (self-renewal schools) (Purkey & Novak: 1990)

Dalam konteks masyarakat secara nasional, kerja sama lintas sektoral sangat penting dalam mendukung keseluruhan proses pendidikan karakter sebagai suatu gerakan nasional. Sektor-sektor yang perlu terlibat antara lain sektor pendidikan; agama; pemerintahan; budaya dan pariwisata; kesehatan; hukum dan hak azasi manusia; pemuda dan olah raga; peranan wanita; komunikasi dan informasi.

Pembangunan Karakter BangsaPada uraian terdahulu telah disinggung bahwa karakter bangsa merupakan kualitas perilaku kolektif kebangsaan yang unik-baik yang tercermin dalam kesadaran, pemahaman, rasa, karsa, dan perilaku berbangsa dan bernegara dari hasil olah pikir, olah hati, olah rasa dan karsa, serta olah raga seseorang atau sekelompok orang bangsa Indonesia. Seperti halnya karakter pribadi, karakter bangsa tidak lahir dengan sendirinya, melainkan harus dilakukan melalui kebijakan nasional pembangunan karakter bangsa secara kolektif dan sistemik. Pembangunan karakter bangsa dalam hal ini dimaknai sebagai “...upaya kolektif-sistemik suatu negara kebangsaan untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sesuai dengan dasar dan ideologi, konstitusi, haluan negara, serta potensi kolektifnya dalam konteks kehidupan nasional, regional, dan global yang berkeadaban untuk membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, patriotik, dinamis, berbudaya, dan berorientasi ipteks berdasarkan Pancasila dan dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa” (Kebijakan Nasional Pembangunan Karakater Bangsa,2010).

Konsep Karakter, Pendidikan Karakter, dan Pembangunan Karakter Bangsa — 71

Paradigma berpikir pembangunan karakter bangsa diawali oleh adanya berbagai permasalahan bangsa dan negara yang terjadi, utamanya pada dekade terakhir ini. Permasalahan-permasalahan tersebut misalnya terjadinya disorientasi dan belum dihayatinya nilai-nilai Pancasila dan yang diperparah oleh adanya keterbatasan perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai Pancasila. Disamping itu ditengarai telah bergesernya nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dan memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa merupakan persoalan yang juga sangat merisaukan. Terakhir adalah adanya ancaman disintegrasi bangsa dan melemahnya kemandirian bangsa merupakan persoalan lain yang menyebabkan perlunya Rencana Aksi Nasional (RAN) Pembangunan Karakter Bangsa yang melingkupi bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam), Kesejahteraan Rakyat (Kesra), dan bidang Perekonomian. Dengan memperhatikan lingkungan Strategis: global, regional, nasional dan Konsensus Nasional: Pancasila, UUD 1945,

Gb.2.14 Kita bisa membangun karakter bangsa melalui kebersamaanSumber: okkypratama.wordpress.com

72 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI maka dipilihlah lima strategi pokok, yakni sosialisasi/penyadaran, pendidikan, pemberdayaan, pembudayaan, dan kerjasama. Pada akhirnya RAN Pembangunan Karakter Bangsa itu harus menghasilkan bangsa yang berkarakter, yakni tangguh, kompetitif, berahlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, patriotik, dinamis, berbudaya dan berorientasi ipteks berdasarkan Pancasila dan dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga akan mewujudkan bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Secara skematik RAN Pembangunan Karakter Bangsa tersebut digambarkan sebagai berikut.

Gb. 2.15 Alur Pikir Pembangunan Karakter BangsaSumber: Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat

Republik Indonesia (2010)

Berdasarkan sifat kompleksitasnya itu, Pembangunan Karakter Bangsa meliputi tujuh ranah sebagai berikut (Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa, 2010).a. Lingkup Keluarga, “...merupakan wahana pembelajaran dan

pembiasaan karakter yang dilakukan oleh orang tua dan orang dewasa lain dalam keluarga terhadap anak sebagai anggota keluarga

Konsep Karakter, Pendidikan Karakter, dan Pembangunan Karakter Bangsa — 73

sehingga diharapkan dapat terwujud keluarga berkarakter mulia yang tercermin dalam perilaku keseharian”.

b. Lingkup Satuan Pendidikan, “...merupakan wahana pembinaan dan pengembangan karakter yang dilakukan dengan menggunakan (a) pendekatan terintegrasi dalam semua mata pelajaran, (b) pengembangan budaya satuan pendidikan, (c) pelaksanaan kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler, serta (d) pembiasaan perilaku dalam kehidupan di lingkungan satuan pendidikan. Pembangunan karakter melalui satuan pendidikan dilakukan mulai dari pendidikan usia dini sampai perguruan tinggi”.

c. Lingkup Pemerintahan, “...merupakan wahana pembangunan karakter bangsa melalui keteladanan penyelenggaraan negara, elit pemerintah, dan elit politik. Unsur pemeritah merupakan komponen yang sangat penting dalam proses pembentukan karakter bangsa karena aparatur negara sebagai penyelenggara pemerintahan merupakan pengambil dan pelaksana kebijakan yang ikut menentukan berhasilnya pembanguan karakter pada tataran infomal, formal, dan nonformal. Pemerintahlah yang mengeluarkan berbagai kebijakan”.

d. Lingkup Masyarakat Sipil, “...merupakan wahana pembinaan dan pengembangan karakter melalui keteladanan tokoh dan pemimpin masyarakat serta berbagai kelompok masyarakat yang tergabung dalam organisasi sosial kemasyarakatan sehingga nilai-nilai karakter dapat diinternalisasi menjadi perilaku dan budaya dalam kehidupan sehari-hari”.

e. Lingkup Masyarakat Politik, “...merupakan wahana yang melibatkan warganegara dalam penyaluran aspirasi dalam politik. Masyarakat politik merupakan suara representatif dari segenap elit politik dan simpatisannya. Masyarakat politik memiliki nilai strategis dalam pembangunan karakter bangsa karena semua partai politik memiliki dasar yang mengarah pada terwujudnya upaya demokratisasi yang bermartabat”.

f. Lingkup Dunia Usaha dan Industri, “...merupakan wahana interaksi para pelaku sektor riil yang menopang bidang perekonomian nasional. Kemandirian perekonomian nasional sangat bergantung pada kekuatan karakter para pelaku usaha dan industri yang diantaranya

74 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

dicerminkan oleh menguatnya daya saing, meningkatnya lapangan kerja, dan kebanggaan terhadap produk bangsa sendiri”.

g. Lingkup Media Massa, “...merupakan sebuah fungsi dan sistem yang memberi pengaruh sangat signifikan terhadap publik, khususnya terkait dengan peembentukan nilai-nilai kehidupan, sikap, perilaku, dan kepribadian atau jati diri bangsa. Media massa, baik elektronik maupun cetak memiliki fungsi edukatif ataupun nonedukatif bergantung dari muatan pesan informasi yang disampaikannya”.

Sumber: https://www.kompasiana.com

RAN Pembangunan Karakter Bangsa itu harus menghasilkan

bangsa yang berkarakter, yakni tangguh, kompetitif, berahlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong

royong, patriotik, dinamis, berbudaya dan berorientasi ipteks berdasarkan Pancasila dan

dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga akan mewujudkan bangsa yang merdeka,

bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Landasan Teoretik Pendidikan Karakter — 75

Etika NormatifPentingnya pembinaan karakter bukan karena kaprah umum (common sense), melainkan didukung oleh berbagai pemikiran teoretik yang dikemukakan para ahli sejak lama. Karakter sejak zaman Yunani Kuno telah dikenal sebagai bagian inheren dari etika normatif dalam tiga istilah pokok, yakni etika keutamaan (virtues ethics), etika kewajiban (deontological ethics) dan etika konsekuensi (consequentialism ethics) atau sering juga dijuluki etika kegunaan (utilitarianism ethics). Dalam pandangan para filosof Yunani Kuno, hakikat seorang manusia itu ditentukan oleh karakter moralnya. Karakter-karakter moral ini berhubungan erat dengan standar-standar perilaku yang dapat atau tidak dapat diterima dalam interaksi sosial. Beberapa contoh dapat dikemukakan sebagai berikut.a. Plato (427 – 347 SM) dalam dialog-dialognya menyatakan bahwa

karakter pada dasarnya berhubungan dengan bagaimana individu seharusnya bertindak dan kualitas-kualitas keutamaan (virtues) apa yang diperlukan dalam masyarakat. Melalui karyanya yang terkenal Republic, Plato mempertanyakan hakikat keadilan. Dalam karyanya yang berjudul Laches, dia mempertanyakan sifat keberanian.

3.LANDASAN TEORITIK

PENDIDIKAN KARAKTER

76 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Gb.3.1 PlatoSumber: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/

b. Aristoteles (384 – 322 SM) dalam karyanya yang termashyur, Nicomachean Ethics, meyakini bahwa kualitas-kualitas utama atau keutamaan mengacu kepada hal dan tindakan yang baik (aretē). Karakter yang baik berbasis kepada harga-diri dan rasa percaya diri.

Aristoteles menganggap bahwa nilai-nilai terbaik yang akan dikembangkan adalah yang dipelajari dari tindakan-tindakan heroik. Aristoteles membedakan, sekaligus mengaitkan, antara keutamaan yang bertalian dengan intelektual atau pengetahuan dan keutamaan yang bersifat praktikal yang mengacu kepada karakter, seperti terekspresikan pada kutipan berikut.

Keunggulan (karakter), oleh karena itu, merupakan suatu perwatakan dalam pengambilan keputusan-keputusan, yang bergantung kepada intermediasi yang relatif yang kita miliki, yang ditentukan oleh kewajiban rasional dimana orang yang bijaksana akan menentukannya. Dan ia merupakan intermediasi antara sifat-sifat buruk, yang satu melibatkan kelebihan, yang lain melibatkan kekurangan; dan juga karena suatu rangkaian sifat buruk adalah berkekurangan, yang lain berkelebihan dalam kaitan kepada apa yang dibutuhkan dalam kesukaan-kesukaan dan tindakan-tindakan, namun keunggulan menemukan dan memilih di antaranya. (Nicomachean Ethics II.7) (Kalidjernih, 2010a).

Landasan Teoretik Pendidikan Karakter — 77

Gb.3.2 AristotelesSumber: https://lh5.googleusercontent.com/

Bila etika keutamaan (virtue ethics) menekankan karakter moral melalui pembangunan moral yang baik, etika kewajiban atau etika deontologikal mengasumsikan bahwa orang-orang akan bertindak secara moral bila mengikuti aturan-aturan yang benar atau baik. Jadi, setiap individu memiliki kewajiban untuk mengidentifikasi aturan-aturan. Salah satu aturan emas (golden rule) etika deontologikal yang terkenal sejak zaman dahulu kala, yang sering diasosiasikan dengan salah satu kata mutiara Konfusius (551 – 479 SM), adalah ‘Lakukanlah terhadap orang lain seperti yang engkau harap akan diperlakukan’ (‘Do unto others as you would be done by’). Akan tetapi, berbeda sedikit dari etika keutamaan, etika deontologikal berpandangan bahwa dalam kehidupan terdapat pelbagai pilihan, tetapi beberapa pilihan tidak dapat dijustifikasi konsekuensinya. Sejumlah pilihan adalah secara moral terlarang. Oleh karena itu, pilihan yang dianggap benar harus sesuai dengan norma yang dapat dipatuhi seseorang. Penekanan etika ini sebenarnya kepada motif-motif dan intensi-intensi dan mengasumsikan bahwa manusia seharusnya memiliki martabat inheren dan persamaan setiap makluk rasional (Kalidjernih 2010b).

Salah satu filosof besar yang gagasannya dianggap merepresentasikan etika kewajiban (deontologikal) adalah Immanuel Kant (1724-1804). Dalam pandangan Kant, hukum penalaran menentukan keharusan kategorikal (categorical imperatives). Yang terpenting adalah kewajiban memperlakukan orang lain sebagai suatu tujuan akhir, bukan sebagai alat. Oleh karena itu, dia melihat kebebasan lebih dari sekadar ketiadaan kendala eksternal

78 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

terhadap individu. Kebebasan berbasis kepada moralitas dan rasionalitas. Setiap manusia, setiap orang memiliki kapasitas moral untuk membuat pilihan.

Gb.3.3 Immanuel KantSumber: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/en/thumb/

Etika konsekuensialisme berakar dari pemikiran John Stuart Mill (1806-1873), Jeremy Bentham 1784-1832) dan James Mill (1773-1836). Pemikiran mendasar yang merepresentasikan gagasan mazhab ini adalah pernyataan John Stuart Mill yang terkenal, yakni bahwa keputusan yang secara moral benar adalah keputusan yang menghasilkan kebaikan terbesar bagi jumlah terbesar (the greatest good for the greatest number). Mill menjulukinya sebagai prinsip utilitas atau manfaat. Teori ini memberikan penekanan kepada konsekuensi dan hasil. Teori ini mendorong tindakan yang memberikan manfaat daripada mudarat kepada lebih banyak orang (Kalidjernih 2010b).

Dalam pandangan Kant, hukum penalaran menentukan keharusan kategorikal (categorical imperatives). Yang

terpenting adalah kewajiban memperlakukan orang lain sebagai suatu tujuan akhir, bukan sebagai alat.

Landasan Teoretik Pendidikan Karakter — 79

Gb.3.4 John Stuart MillSumber: http://covers.audiobooks.com/

Dari uraian dia atas, kita dapat menyimpulkan ekplanasi etika normatif, bahwa karakter itu stabil sehingga ia kokoh dan terpadu dalam segala situasi. Ibarat sebuah pohon yang kuat dengan akar menghujam ke perut bumi, moralitas keutamaan seseorang dalam pandangan etika normatif adalah tidak mudah diombang-ambing oleh angin, tidak mudah lapuk oleh hujan dan lekang oleh teriknya panas matahari dan bahkan dapat tumbuh subur, mekar berbunga dan ranum berbuah.

Ekplanasi etika normatif bukan tanpa kritik setidak-tidaknya sejak akhir tahun 60-an banyak ditinjau ulang melalui kegiatan riset, utamanya oleh para ahli psikologi sosial. Dalam kajian para psikolog sosial ini, kualitas-kualitas moral tidak selalu kokoh sehingga tidak dapat dianggap terpadu, melainkan bergantung kepada situasi. Kualitas-kualitas moral yang stabil dapat dianggap konsisten, tetapi tidak sama dengan kokoh. Misalnya Walter Mischel (1973), dalam karyanya yang berjudul Personality and Assessment, menunjukkan bahwa pelbagai kajian tidak menyokong asumsi dasar teori kepribadian yang berbasis kepada etika keutamaan. Menurut Mischel, perilaku seseorang tidak berkaitan erat dengan kualitas-kualitas secara konsisten dalam keanekaragaman situasi dan pemaknaan yang berbeda. Dalam bertindak, kualitas-kualitas utama pada individu tidak independen terhadap situasi. Seseorang yang kelihatannya biasa-biasa saja serta-merta menjadi begitu heroik tatkala

80 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

memimpin penyelamatan korban Bom Bali I. Ia adalah seorang pegawai Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Bali. Ketika peristiwa yang amat mengerikan itu terjadi ia sedang berada di rumahnya yang tidak jauh dari lokasi kejadian. Demi memenuhi rasa ingin tahu apa gerangan yang terjadi, maka ia bergegas mengayuh sepedanya ke arah lokasi ledakan yang amat dahsyat itu. Ia tidak menyangka sedikitpun bahwa ledakan itu berasal dari bom bunuh diri kawanan teroris. Pada saat melihat demikian banyak korban bergelimpangan dan merintih kesakitan bahkan tidak sedikit yang meregang nyawa maka bersama masyarakat lainnya ia melakukan evakuasi korban selamat. Dengan menggunakan alat seadanya ia berhasil mengevakuasi sejumlah korban hidup menjauh dari tempat kejadian dan mengirimkannya ke rumah-rumah sakit terdekat. Ia bekerja semalaman tanpa mengenal lelah. Situasilah yang membuat dirinya menjadi semacam ‘hero’, yakni situasi yang meminta uluran tangan kesatria sejati.

Gb.3.5 Jiwa penolong lahir karena profesi dan situasiSumber: http://ariesnarescue.files.wordpress.com/

Landasan Teoretik Pendidikan Karakter — 81

Lain lagi cerita yang menimpa seorang narapidana yang divonis 1 tahun penjara karena kedapatan membongkar apotik pada tengah malam buta. Pada sidang pengadilan terungkap bahwa ia sebenarnya bukan penjahat karena perbuatannya mencuri obat di apotik itu karena terpaksa. Ceritanya bermula dari anaknya yang semata wayang masuk rumah sakit karena menderita tumor otak sedang ia sendiri tidak memiliki cukup uang untuk biaya berobat anaknya itu karena pekerjaannya hanyalah pengayuh becak. Walaupun ia sudah memeras otak demikian rupa tatkala dokter memintanya menebus obat ke apotik malam itu juga untuk menyelamatkan nyawa anaknya, tetap saja pemecahan tidak didapat karena harga obat yang kelewat mahal sedangkan uang yang dimilikinya kelewat sedikit. Demi menyelamatkan nyawa anaknya itulah ia nekat membongkar apotik yang baru saja tutup. Ia sebenarnya kepala keluarga dan sekaligus sebagai ayah yang amat baik, walaupun belum mampu membahagiakan keluarganya namun ia tidak pernah sekalipun memberi makan anak istrinya itu dengan harta yang haram. Namun situasi yang memaksanya berbuat nekat, membongkar apotik untuk memperoleh obat buat kesembuhan buah hatinya.

Dari dua kasus tersebut tampak bahwa karakter tidak konsisten melintas keanekaragaman situasi. Pemikiran awam cenderung mengasum-sikan terdapat suatu korespondensi antara karakter agen tindakan sehingga mengabaikan situasi-situasi yang khas dalam persepsi si agen. Akan tetapi, melalui pelbagai penelitian, John Doris (2002) menunjukkan bahwa terdapat sesuatu yang di luar kontrol agen tindakan. Hal yang di luar kontrol si agen tindakan sering disebut ‘keberuntungan moral’ (moral luck). Kokoh atau tidaknya kualitas-kualitas keutamaan seseorang yang berkaitan dengan situasi tertentu (situation-specific) dapat dilihat dari situasi yang dihadapinya (Kalidjernih, 2010). Sebagai contoh, dari suatu pengujian pada saat berkendaraan melintasi persimpangan yang diatur oleh anggota masyarakat mitra polisi (‘Pa Ogah’), moral keutamaan itu dapat dinilai. Orang yang dapat menemukan uang recehan pada laci atau di atas dashboard lebih cenderung memberi uang kepada pa Ogah. Yang tidak mendapati uang recehan baik pada laci maupun tempat lainnya cenderung tidak memberi uang.

Walaupun eksplanasi paham etika situasional demikian meyakinkan namun kritik situasionalis terhadap tradisionalis (paham etika normatif) mendapat tantangan dari beberapa pakar beberapa tahun terakhir. Mereka

82 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

menganggap terdapat kasus-kasus yang tidak menguatkan asumsi paham etika situasional. Untuk itu, dalam kajian pendidikan moral atau pendidikan karakter, kedua pandangan tersebut sebaiknya diakomodasi secara cerdas karena keduanya dapat memberikan eksplanasi yang bermanfaat.

Pendidikan Nilai Secara konseptual pendidikan nilai merupakan bagian tak terpisahkan dari proses pendidikan secara keseluruhan, karena pada dasarnya tujuan akhir dari pendidikan sebagaimana tersurat dalam UU 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas (Pasal 3) adalah “untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.” Pendidikan nilai secara substantif melekat dalam semua dimensi tujuan tersebut yang memusatkan perhatian pada nilai akidah keagamaan, nilai sosial keberagaman, nilai kesehatan jasmani dan ruhani, nilai keilmuan, nilai kreativitas, nilai kemandirian, dan nilai demokratis dan bertanggung jawab.

Berkaitan dengan konsep dasar pendidikan nilai, Hermann (1972) secara teoretik mengemukakan bahwa “…value is neither taught nor cought, it is learned”, yang artinya bahwa substansi nilai tidaklah semata-mata ditangkap dan diajarkan tetapi lebih jauh, nilai dicerna dalam arti ditangkap, diinternalisasi, dan dibakukan sebagai bagian yang melekat dalam kualitas pribadi seseorang melalui proses belajar. Yang perlu diingat adalah bahwa kenyataan menunjukkan bahwa proses belajar tidaklah terjadi dalam ruang bebas-budaya tetapi dalam masyarakat yang syarat-budaya karena kita hidup dalam kehidupan masyarakat yang berkebudayaan. Oleh karena itu memang betul bahwa proses pendidikan pada dasarnya merupakan proses pembudayaan atau enkulturasi untuk menghasilkan manusia yang berkeadaban, termasuk di dalamnya yang berbudaya.

Dalam latar praksis sesungguhnya proses pendidikan nilai sudah berlangsung dalam kehidupan masyarakat dalam berbagai bentuk tradisi. Tradisi ini dapat dilihat dari petatah-petitih adat, tradisi lisan turun temurun seperti dongeng, nasihat, simbol-simbol, kesenian daerah seperti

Landasan Teoretik Pendidikan Karakter — 83

“kakawihan” di tatar Pasundan dan “berbalas pantun” di tatar Melayu, “Macapat” di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan sebagainya. Walaupun demikian patut dicatat bahwa dengan begitu pesatnya perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, seperti siaran radio dan televisi dari berbagai saluran dengan jam tayang yang panjang dan jaringan internet yang menyuguhkan aneka ragam informasi secara global, saat ini unsur-unsur tradisional tersebut terasa mulai terpinggirkan dan malah terkalahkan. Contohnya tradisi dongeng dan sejenisnya yang dulu biasa dilakukan oleh orang tua terhadap anak atau cucunya semakin lama semakin tergeser oleh film kartun atau sinetron dalam media massa tersebut. Di situlah pendidikan nilai menghadapi tantangan konseptual, instrumental, dan operasional.

Gb. 3.6 Kebiasaan antri tidak berebutan, perlu ditanamkan melalui pendidikan karakter

Sumber: http://stat.ks.kidsklik.com/statics/files/

Kesenian sebagai salah satu unsur kebudayaan (Koentjaraningrat: 1978) pada dasarnya merupakan produk budaya masyarakat yang melukiskan penghayatan tentang nilai yang berkembang dalam lingkungan masyarakat pada masing-masing jamannya. Berkaitan dengan

84 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

nilai-nilai dalam masyarakat, dewasa ini telah mulai dikembangkan proses “indiginasi”, yakni pemanfaatan kebudayaan daerah untuk pembelajaran mata pelajaran lain dengan tujuan untuk mendekatkan pelajaran itu dengan lingkungan sekitar siswa, agar hasil belajar lebih bermakna sebagai wahana pengembangan watak individu sebagai warganegara. Misalnya legenda dari seluruh penjuru tanah air seperti Malin Kundang dari Sumatra Barat, dan Sangkuriang dari Jawa Barat, digunakan sebagai stimulus dalam pembahasan suatu konsep nilai atau moral surga ada di telapak kaki ibu. Dalam konteks pendidikan karakter, pendidikan nilai mencakup substansi dan proses pengembangan nilai berdasarkan hasil olah hati (jujur), olah pikir (cerdas), olah raga (tangguh), dan olah rasa dan karsa (peduli) yang sengaja dikemas untuk melahirkan invidu sebagai warganegara yang cerdas dan baik (smart and good citizen) yang berkarakter.

Legenda Malin Kundang

Diceritakan, Malin Kundang hidup dalam keluarga yang tidak kaya, tetapi hidup dalam kasih sayang seorang ibu. Hal itu membuat si kecil Malin Kundang hidup berbahagia dan menikmati pendidikan keluarga dari ibunya.

Suatu ketika, Malin berlayar. Setelah bertahun-tahun berlalu, Malin Kundang meraih kesuksesan sebagai menantu dari seorang saudagar kaya, sehingga dia menjadi saudagar kaya pula. Pada saat berlabuh di kota asalnya, Malin dalam keadaan galau atas kegelimangan kesuksesan dan kekayaannya, sehingga dia sulit untuk menerima keberadaan sang bunda yang demikian sederhananya.

Malin Kundang akhirnya tidak mengakui ibunya dan sang bunda kecewa. Kemudian, ibu Malin berdoa agar Allah dapat mengingatkan anaknya tentang kasih ibunya. Allah pun memberikan hukuman kepada Malin Kundang dan menjadikannya sebuah patung batu. Itu menjadi peringatan kepada putra/putri Minang untuk senantiasa mengasihi ibu yang telah berkorban membesarkan dan mendidik mereka menjadi manusia-manusia yang berhasil. (Sumber: BeritaSatu.com).

84 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Landasan Teoretik Pendidikan Karakter — 85

Dalam pengertian generik, konsep dan proses pendidikan merupakan proses yang sengaja dirancang dan dilakukan untuk mengembangkan potensi individu dalam interaksi dengan lingkungannya sehingga menjadi dewasa dan dapat mengarungi kehidupan dengan baik, dalam arti selamat di dunia dan di akhirat. Oleh karena itu tepat sekali dikatakan bahwa pada dasarnya pendidikan mempunyai dua tujuan besar yakni mengembangkan individu dan masyarakat yang “smart and good” (Lickona, 1992). Konsepsi tujuan tersebut mengandung arti bahwa tujuan pendidikan tidak lain adalah mengembangkan individu dan masyarakat agar cerdas (smart) dan baik (good). Secara elaboratif dimensi tujuan ini oleh Bloom, et.al (1956) dirinci menjadi tujuan pengembangan kognitif, afektif, dan psikomotorik, yakni pengembangan pengetahuan dan pengertian, nilai dan sikap, dan keterampilan psikomotorik.

TAKSONOMI BLOOM (Revisi)

Dimensi Pengetahuan

1. Pengetahuan faktual

a. Pengetahuan tentang terminologi.

b. Pengetahuan tentang bagian detail dan unsur-unsur.

2. Pengetahuan Konseptual

a. Pengetahuan tentang klasifikasi dan kategori.

b. Pengetahuan tentang prinsip dan generalisasi.

c. Pengetahuan tentang teori, model, dan struktur.

3. Pengetahuan Prosedural

a. Pengetahuan tentang ketrampilan khusus yang berhubungan dengan

satu bidang tertentu dan pengetahuan algoritma.

b. Pengetahuan tentang teknik dan metode.

c. Pengetahuan tentang kriteria penggunaan suatu prosedur.

4. Pengetahuan Metakognitif

a. Pengetahuan strategik.

b. Pengetahuan tentang operasi kognitif.

c. Pengetahuan tentang diri sendiri.

Landasan Teoretik Pendidikan Karakter — 85

86 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Dimensi Proses Kognitif

C.1. Mengingat (Remember)

1.1. Mengenali (recognizing)

1.2. Mengingat (recalling)

C.2. Memahami (Understand)

1.3. Menafsirkan (interpreting)

1.4. Memberi contoh (exampliying)

1.5. Meringkas (summarizing)

1.6. Menarik inferensi (inferring)

1.7. Membandingkan (compairing)

1.8. Menjelaskan (explaining)

C.3. Mengaplikasikan (Apply)

1.9. Menjalankan (executing)

1.10. Mengimplementasikan (implementing)

C.4. Menganalisis (Analyze)

1.11. Menguraikan (diffrentiating)

1.12. Mengorganisir (organizing)

1.13. Menemukan makna tersirat (attributing)

C.5. Evaluasi (Evaluate)

1.14. Memeriksa (checking)

1.15. Mengritik (critiquing)

C.6. Membuat (Create)

1.16. Merumuskan (generating)

1.17. Merencanakan (planning)

1.18. (Memproduksi (producing)

(Sumber: Anderson, L.W. & Krathwohl, D.R.: 2001)

Landasan Teoretik Pendidikan Karakter — 87

Dalam konteks pendidikan nasional Indonesia telah ditegaskan dalam UU No. 20 Tahun 2003, bahwa pendidikan adalah ”…usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasan belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Pasal 1 butir 1). Lebih lanjut dikemukakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Pasal 3).

Namun demikian perlu ditekankan bahwa aspek cerdas dan baik itu seyogyanya dipandang sebagai suatu keutuhan, seperti dua sisi dari satu mata uang. Hal itu tercermin dari konsep kecerdasan pada saat ini, dimana kecerdasan tidak semata-mata berkenaan dengan aspek nalar atau intelektualitas atau kognitif tetapi melingkupi segala potensi individu. Sebagaimana kini kita kenal dalam konsepsi kecerdasan intelektual, kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, kecerdasan sosial, dan kecerdasan kinestetik. Dalam konteks konsepsi tersebut maka konsep cerdas dan baik seyogyanya diartikan cerdas intelektual, spiritual, emosional, sosial, dan kinestetik. Namun demikian pengembangannya tidaklah mungkin dapat dilakukan hanya melalui suatu program pendidikan. Di dalam konteks pemikiran Taksonomi Bloom pengembangan nilai dan sikap termasuk dalam kategori afektif, yang secara khusus berisikan unsur perasaan dan sikap (values and attitudes). Proses pendidikan yang memusatkan perhatian pada pengembangan nilai dan sikap ini di dunia Barat dikenal dengan “value education, affective education, moral education, character education” (Winataputra:2001). Di Indonesia wacana pendidikan nilai tersebut secara kurikuler terintegrasi antara lain dalam pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan bahasa dan seni.

88 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Gb. 3.7 Nilai strategis membina karakter pada anak usia diniSumber: http://img.carapedia.com/

Khusus mengenai pendidikan nilai dalam UU No. 20 Tahun 2003 secara khusus tidak menyebutkan, namun secara implisit, antara lain tercakup dalam muatan pendidikan kewarganegaraan, yang secara substantif dan pedagogis mempunyai misi mengembangkan peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan rasa cinta tanah air (Penjelasan Pasal 37). Hal itu juga ditopang oleh rumusan landasan kurikulum, yang secara eksplisit perlu memperhatikan persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan, perkembangan ilmu pengetahuan teknologi dan seni, keragaman potensi daerah dan lingkungan dan peningkatan potensi, kecerdasan dan minat peserta didik.

Secara teoretik, Lickona (1992) memperkenalkan istilah-istilah “values education, moral education, education for virtues” sebagai program dan proses pendidikan yang tujuannya selain mengembangkan pikiran, atau menurut Bloom untuk mengembangkan nilai dan sikap. Lickona (1992) mengutif kata-kata Theodore Roosevelt (mantan Presiden USA) dan Bill Honing (Superintendent of Public Instruction, California) untuk memberi landasan pentingnya pendidikan nilai di Amerika Serikat. Menurut Roosevelt, “Mendidik orang pikirannya dan bukan moralnya, sama dengan mendidikkan keburukan kepada masyarakat”. Adapun

Landasan Teoretik Pendidikan Karakter — 89

Honing mengatakan bahwa “Bandul telah berayun kembali dari ide romantika yang memandang bahwa semua nilai kemasyarakatan adalah ancaman. Tetapi para pendidik telah lama mengikuti masa kegilaan itu, yang pada akhirnya berujung pada peserta didik ethically illiterate”. Dua kutipan tersebut memberikan landasan bahwa pendidik di dunia Barat mempunyai keyakinan bahwa pendidikan nilai, etika, moral sangat penting sebagai salah satu wahana sosiopedagogis dalam menjamin kelangsungan hidup masyarakat, bangsa, dan negara.

Tampaknya hal tersebut juga dipicu oleh kenyataan meningkatnya permasalahan moral dalam masyarakat yang merentang dari sikap rakus dan tidak jujur sampai pada aneka kriminalitas dan perilaku merusak diri sendiri seperti narkoba dan bunuh diri. Seperti dikemukakan oleh Lickona (1992) kini semua negara bagian Amerika Serikat dan semua unsur dalam masyarakat, publik dan privat sepakat dan mendorong agar dunia persekolahan mengambil peran yang aktif dalam pendidikan nilai khususnya pendidikan nilai moral. Dengan harapan para peserta didik menjadi melek etika, dan mampu berperilaku baik di dalam masyarakat. Dalam konteks itu dunia pendidikan diharapkan mampu mewujudkan tujuan utama pendidikan mengembangkan individu yang “cerdas dan baik”.

Sebagaimana dikemukakan oleh Lickona (1992) para pemikir dan pembangun demokrasi, yang merupakan paradigma kehidupan di dunia Barat, berpandangan bahwa pendidikan moral merupakan aspek yang esensial bagi perkembangan dan berhasilnya kehidupan demokrasi. Alasannya adalah bahwa demokrasi pada dasarnya merupakan suatu sistem pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Artinya rakyatlah yang harus bertanggung jawab untuk menjamin tumbuh dan berkembangnya masyarakat yang bebas dan adil. Oleh karena itu setiap individu warganegara seyogyanya mengerti dan memiliki komitmen terhadap fondasi moral demokrasi yakni menghormati hak orang lain, mematuhi hukum yang berlaku, partisipasi dalam kehidupan masyarakat, dan peduli terhadap perlunya kebaikan bagi umum.

Bertolak dari pemikiran tersebut sejak dini sekolah diharapkan mampu mengambil peran yang aktif dalam merancang dan melaksanakan pendidikan nilai moral yang bersumber dari kebajikan dan keadaban demokrasi. Dengan kata lain pendidikan nilai dalam dunia Barat adalah pendidikan nilai yang bertolak dari dan bermuara pada nilai-nilai sosial-

90 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

kultural demokrasi, sedangkan nilai yang bersumber dari agama bukanlah tanggungjawab negara, karena memang dunia Barat yang sekuler dengan tegas memisahkan urusan agama sebagai urusan pribadi, bukan urusan publik. Pendidikan nilai di dunia Barat secara konseptual berlandaskan pada teori perkembangan moral Piaget dan Kohlberg. Kedua teori perkembangan moral tersebut secara singkat dapat diintisarikan berikut ini (Winataputra,1988).

Jean Piaget pada masa hidupnya pernah menjadi Wakil Direktur “Institute of Educational Science” dan sebagai Guru Besar (Profesor) Psikologi Eksperimental pada University of Geneva. Ia dengan tekun melakukan penelitian mengenai perkembangan struktur kognitif (cognitive structure) anak dan kajian moral (moral judgement) anak selama 40 tahun. Penelitiannya itu didasarkan pada sikap verbal anak (children verbal attitudes) terhadap berbagai aturan permainan, perilaku sehari-hari, mencuri, dan berbohong. Dari hasil studinya itu ia mengidentifikasi bahwa ada dua tingkat perkembangan moral pada anak usia antara

6-12 tahun yakni heteronomi dan autonomi. Pada tingkatan heteronomi segala aturan oleh anak dipandang sebagai hal yang datang dari luar jadi bersifat eksternal dan dianggap sakral karena aturan itu merupakan hasil pemikiran orang dewasa, sedangkan pada tingkatan autonomi anak mulai menyadari adanya kebebasan untuk tidak sepenuhnya menerima aturan itu sebagai hal yang datang dari luar dirinya. Pada tingkatan ini anak menunjukkan kemampuan untuk mengkritisi aturan dan memilih aturan yang tepat atas dasar kesepakatan dan kerjasama dengan lingkungannya.

Gb. 3.8 Jean Piaget

Landasan Teoretik Pendidikan Karakter — 91

Penelitiannya itu bertolak dari postulat atau asumsi dasar “moralita berada dalam suatu sistem aturan, oleh karena itu hakikat moralita seyogyanya dilihat dari sudut bagaimana individu menyadari kebutuhannya akan aturan itu”. Untuk itu ia meneliti bagaimana anak menyadari adanya aturan dan bagaimana ia menerapkan aturan itu dalam suatu permainan. Sifat heteronomi anak disebabkan oleh faktor kematangan struktur kognitif yang ditandai sifat egosentrisme dan hubungan interaktif dengan orang dewasa dimana anak merasa kurang berkuasa dibanding orang dewasa. Adapun sifat autonomi dipengaruhi oleh kematangan struktur kognitif yang ditandai oleh kemampuan mengkaji aturan secara kritis dan menerapkannya secara selektif yang muncul dari sikap resiprositas dan kerjasama.

Secara teoretik nilai moral berkembang secara psikologis dalam diri individu mengikuti perkembangan usia dan konteks sosial. Dalam kaitannya dengan usia, Piaget merumuskan perkembangan kesadaran dan pelaksanaan aturan sebagai berikut. Piaget membagi beberapa tahapan dalam dua domain yakni kesadaran mengenai aturan dan pelaksanaan aturan.a. Tahapan pada domain Kesadaran mengenai Aturan:

• Usia 0-2 tahun: Aturan dirasakan sebagai hal yang tidak bersifat memaksa

• Usia 2-8 tahun: Aturan disikapi bersifat sakral dan diterima tanpa pemikiran

• Usia 8-12 tahun : Aturan diterima sebagai hasil kesepakatanb. Tahapan pada domain Pelaksanaan Aturan:

• Usia 0-2 tahun : Aturan dilakukan hanya bersifat motorik saja• Usia 2-6 tahun :Aturan dilakukan dengan orientasi diri sendiri• Usia 6-10 tahun: Aturan dilakukan sesuai kesepakatan• Usia 10-12 tahun:Aturan dilakukan karena sudah dihimpun

Bertolak dari teorinya itu Piaget menyimpulkan bahwa pendidikan di sekolah seyogyanya menitikberatkan pada pengembangan kemampuan mengambil keputusan (decision making skills) dan memecahkan masalah (problem solving) dan membina perkembangan moral dengan cara menuntut para peserta didik untuk mengembangkan aturan berdasarkan keadilan/ kepatutan (fairness). Dengan kata lain pendidikan nilai berdasarkan teori Piaget adalah pendidikan nilai moral atau nilai etis yang

92 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

dikembangkan berdasarkan pendekatan psikologi perkembangan moral kognitif. Disitulah pendidikan nilai dititikberatkan pada pengembangan perilaku moral yang dilandasi oleh penalaran moral yang dicapai dalam konteks kehidupan masyarakat.

Di lain pihak, Lawrence Kohlberg, seorang Amerika yang bekerja sebagai Guru Besar (Profesor) dalam bidang Pendidikan dan Psikologi Sosial pada Harvard University, sejak tahun 1969 selama 18 tahun ia mengadakan penelitian tentang perkembangan moral berlandaskan teori perkembangan kognitif Piaget. Ia mengajukan postulat atau anggapan dasar bahwa anak membangun cara berpikir melalui pengalaman termasuk pengertian konsep moral seperti keadilan, hak, persamaan, dan kesejahteraan manusia. Penelitian yang dilakukannya memusatkan perhatian pada kelompok usia di atas usia yang diteliti oleh Piaget.

Gb.3.9 Lawrence KohlbergSumber: http://t3.gstatic.com/

Dari penelitiannya itu Kohlberg merumuskan adanya tiga tingkat (level) yang terdiri atas enam tahap (stage) perkembangan moral seperti berikut.

Tingakt I: Prakonvensional (Preconventional)

Tahap 1: Orientasi hukuman dan kepatuhan (Apapun yang mendapat pujian atau dihadiahi adalah baik, dan apapun yang dikenai hukuman adalah buruk)

Landasan Teoretik Pendidikan Karakter — 93

Tahap 2: Orientasi instrumental nisbi ( Berbuat baik apabila orang lain berbuat baik padanya, dan yang baik itu adalah bila satu sama lain berbuat hal yang sama)

Tingkat II: Konvensional (Conventional)

Tahap 3: Orientasi kesepakatan timbal balik ( Sesuatu dipandang baik untuk memenuhi anggapan orang lain atau baik karena disepakati)

Tahap 4: Orientasi hukum dan ketertiban ( Sesuatu yang baik itu adalah yang diatur oleh hukum dalam masyarakat dan dikerjakan sebagai pemenuhan kewajiban sesuai dengan norma hukum tersebut)

Tingkat III: Poskonvensional (Postconventional)

Tahap 5: Orientasi kontrak sosial legalistik (Sesuatu dianggap baik bila sesuai dengan kesepakatan umum dan diterima oleh masyarakat sebagai kebenaran konsensual)

Tahap 6: Orientasi prinsip etika universal (Sesuatu dianggap baik bila telah menjadi prinsip etika yang bersifat universal dari mana norma dan aturan dijabarkan)

Dengan teorinya itu Kohlberg (SMDE-Website, 2002) menolak konsepsi pendidikan nilai/karakter tradisional yang berpijak pada pemikiran bahwa ada seperangkat kebajikan/keadaban (bag of virtues) seperti kejujuran, budi baik, kesabaran, ketegaran yang menjadi landasan perilaku moral. Oleh karena itu ditegaskannya bahwa tugas guru adalah membelajarkan kebajikan itu melalui percontohan dan komunikasi langsung, keyakinan serta memfasilitasi peserta didik untuk melaksanakan kebajikan itu dengan memberinya penguatan. Konsepsi dan pendekatan tradisional pendidikan nilai ini dinilai tidak memberi prinsip yang memandu untuk mendefinisikan kebajikan mana yang sungguh berharga untuk diikuti. Dalam kenyataannya para guru pada akhirnya berujung pada proses penanaman nilai yang tergantung pada kepercayaan sosial, kultural dan personal. Untuk mengatasi hal tersebut Kohlberg mengajukan pendekatan pendidikan nilai dengan menggunakan pendekatan klarifikasi nilai (value clarification approach). Pendekatan ini bertolak dari asumsi bahwa tidak ada jawaban benar satu-satunya terhadap suatu dilema moral tetapi di situ ada nilai yang dipegang sebagai dasar berpikir dan berbuat. Dengan kata lain

94 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

pendekatan pendidikan nilai yang ditawarkan oleh Kohlberg sama dengan yang ditawarkan Piaget dalam hal fokusnya terhadap perilaku moral yang dilandasi oleh penalaran moral, namun berbeda dalam hal titik berat pembelajarannya dimana Piaget menitikberatkan pada pengembangan kemampuan mengambil keputusan dan memecahkan masalah, sedangkan Kohlberg menitikberatkan pada pemilihan nilai yang dipegang terkait dengan alternatif pemecahan terhadap suatu dilemma moral melalui proses klarifikasi bernalar.

Kedua teori perkembangan moral ini memiliki visi dan misi yang sama dan sampai dengan saat ini menjadi landasan dan kerangka berpikir pendidikan nilai di dunia Barat yang dengan jelas menitikberatkan pada peranan pikiran manusia dalam mengendalikan perilaku moralnya. Tampak jelas di situ bahwa pendidikan nilai atas dasar teori Piaget dan Kohlberg tersebut sangat kental dengan pendidikan nilai yang bersifat sekuler tidak mempertimbangan bahwa di dunia ini ada nilai religius yang melandasi kehidupan individu dan masyarakat yang tidak bisa sepenuhnya didekati secara rasional.

Gb. 3.10 Allah menciptakan jagat raya dengan segala isinya: manusia harus memakmurkannya

Sumber: http://ronymedia.files.wordpress.com/

Landasan Teoretik Pendidikan Karakter — 95

MENINGKATKAN KESADARAN LINGKUNGAN MELALUI PENDEKATAN KLARIFIKASI NILAI

Bumi terus berubah bergerak menuju kondisi yang mengkhawatirkan

Semua penduduk bumi perlu mengambil waktu untuk berperan aktif menjaga kondisi bumi tempat hidup, tempat berpijak, tempat sumber udara untuk bernafas, tempat mencari sumber penghidupan dan kehidupan supaya bumi ini menjadi tempat hunian yang sehat, aman dan nyaman bagi semua makhluk hidup. Bumi hanya satu seharusnya tidak ada alasan untuk menunda kepedulian dan kesadaran kita untuk menjaga kelestariannya, agar generasi di masa depan masih dapat hidup nyaman di bumi ciptaan Allah Yang Maha Esa ini dengan sehat dalam lingkungan yang bersih dan nyaman. Bumi terus berubah bergerak menuju kondisi yang mengkhawatirkan dengan derajat ketidakteraturan (entropi) yang semakin meningkat karena berbagai aktivitas manusia. Kerusakan alam tidak dapat dihindari, hanya upaya untuk memperlambat yang dapat kita lakukan. Situasi ini semakin buruk karena kurangnya pengetahuan akan dampak penggunaan bahan kimia dalam kehidupan sehari-hari terhadap kesehatan diri dan lingkungan yang diiringi juga dengan sikap dan perilaku yang juga mengabaikan kesehatan, keselamatan diri dan kelestarian lingkungan.

Semua negara tanpa kecuali harus mengambil peran aktif untuk mencoba menumbuhkan kesadaran warga untuk mengurangi pencemaran lingkungan melalui pendidikan nilai lingkungan. Banyak pertemuan baik dalam skala nasional, regional dan internasioanal dilakukan oleh pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, negara-negara, dan lembaga internasional, tujuan umumnya adalah untuk menciptakan pola-pola baru perilaku pada individu, kelompok, dan masyarakat secara keseluruhan terhadap lingkungan, yang meliputi pengetahuan, sikap, kesadaran, keterampilan, dan partisipasi yang pro terhadap kelestarian lingkungan. Isu lingkungan saat ini telah menjadi isu sentral dalam kehidupan di abad ke-21. Lingkungan yang bersih, indah, nyaman dan sehat bukan lagi sebagai kebutuhan wisata untuk tujuan menikmati keindahan alam, tetapi sudah menjadi kebutuhan utama semua orang. Kondisi lingkungan sudah mulai mengancam keberlangsungan kehidupan di planet ini. Saat ini lingkungan telah menjadi agenda utama untuk kepentingan ekonomi dan politik. Kesadaran

Landasan Teoretik Pendidikan Karakter — 95

96 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

lingkungan perlu dimiliki oleh semua orang, karena itu adalah nilai universal yang harus dilakukan oleh semua orang tanpa kecuali.

Kesadaran lingkungan

Hasil penelitian pendahuluan pada mahasiswa yang sudah mengikuti perkuliahan topik Kimia Organik pada mata kuliah Kimia Dasar 2, ditemukan bahwa mahasiswa calon guru kimia pada program studi pendidikan kimia belum memiliki kesadaran lingkungan yang memadai. Kepada mahasiswa calon guru kimia perlu dikembangkan kesadaran lingkungan karena umumnya bahan pencemar lingkungan bersumber dari bahan-bahan kimia baik senyawa kimia padat, gas maupun cair. Hasil survei Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia, (KLH, 2013, hlm. 53) yang dilaporkan dalam Laporan Indeks Perilaku Peduli Lingkungan (IPPL) tahun 2013 ditemukan bahwa hanya 2,5% dari responden yang mendapatkan informasi tentang lingkungan melalui pembelajaran di sekolah. Ini dapat dimaknai bahwa sekolah belum berperan dalam mengembangkan kesadaran lingkungan atau dengan kata lain sekolah belum menjadi pusat untuk menumbuhkan dan mengembangkan karakter peduli lingkungan. Hasil riset Karpudewan, et.al (2012, hlm.117) dan Aminrad, et.al (2013, hlm.1150) bahwa di Asia Tenggara, seperti Indonesia dan Malaysia kesadaran lingkungan yang dimiliki warganya masih rendah, dan ada kesenjangan kesadaran lingkungan yang tinggi diantara warga negara. United States Agency for International Development (USAID) dalam laporan kerjasama dengan Fondation for Environmental Security & Sustainability (FESS) yang dilaksanakan pada beberapa negara berkembang di Asia Tenggara juga menyatakan bahwa “kesadaran untuk menjaga lingkungan belum menjadi prioritas di negara berkembang”.

Oleh karena itu, lembaga pendidikan harus merespon temuan ini, sangat dibutuhkan peran lembaga pendidikan untuk pro aktif menjadi agen yang dapat berperan dalam mengubah mindset masyarakat untuk sadar lingkungan. Kesadaran lingkungan perlu dikembangkan melalui pembelajaran yang terintegrasi dengan pendidikan nilai lingkungan.

96 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Landasan Teoretik Pendidikan Karakter — 97

Meskipun kerusakan lingkungan tidak bisa dihindari, tetapi dapat diperlambat. Upaya untuk menghambat perlu dilakukan melalui pendidikan yaitu dengan cara menumbuhkan kesadaran pentingnya menjaga kelestarian lingkungan, mengubah kebiasaan yang kurang atau belum baik menjadi kebiasaan baru yang lebih baik, lebih peduli dan berpihak pada kelestarian lingkungan. Hal itu dapat ditempuh melalui integrasi pendidikan nilai yang dapat menumbuhkan karakter sadar lingkungan melalui pembelajaran.

Pendidikan Karakter

Untuk mengubah pengetahuan, sikap dan perilaku menjadi lebih baik dapat dilakukan dengan pendidikan karakter yang menanamkan nilai-nilai kesadaran lingkungan. Pendidikan karakter tidak memerlukan mata pelajaran khusus, tetapi dikembangkan melalui mata pelajaran yang ada. Semua pendidik memiliki tanggung jawab untuk menjadi agen peduli lingkungan, semua guru perlu mengaitkan pelajarannya dengan pendidikan lingkungan (Budimansyah, 2012, hlm. 66; Musfah, 2012 hlm.12; dan Duran & Dela Vega, 2004, hlm. 2).

Dengan pertimbangan banyak sekali materi perkuliahan Kimia Organik yang berpotensi menjadi bahan pencemar lingkungan, maka perlu kiranya sejak awal dilakukan upaya untuk menumbuhkan kesadaran lingkungan dari mahasiswa. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dipersiapkan model perkuliahan yang memuat nilai-nilai karakter yang mampu meningkatkan kesadaran lingkungan. Mahasiswa calon guru, kelak setelah pendidikan di perguruan tinggi selesai mereka akan menjadi guru. Guru seharusnya menjadi teladan (role model) bagi peserta didiknya. Keteladan itu ditunjukkan oleh guru dalam aktivitas sehari-hari yang dapat ditiru oleh murid-muridnya (Lumpkin, 2008, hlm. 49). Keteladanan bukan pelajaran yang diajarkan, tetapi dikembangkan dengan latihan. Suri teladan diperlukan untuk membentuk moral karakter. Keteladan hanya dapat diperoleh dari pribadi-pribadi yang mewakili watak terpuji. Dalam konteks yang kita bicarakan ini, karakter baik yang ingin dibentuk pada mahasiswa calon guru adalah karakter sadar lingkungan dengan cara mengembangkan pengetahuan, sikap dan perilaku yang pro lingkungan pada mahasiswa melalui pembelajaran bermuatan nilai. Mahasiswa calon guru kimia, perlu dibangunkan kesadarannya tentang lingkungan dengan mengajarkan nilai manfaat (utility values) dari konsep kimia yang dipelajari (moral knowing), menumbuhkan sikap (moral feeling) dan melatih perilaku moral yang baik (moral acting) melalui kegiatan pembelajaran agar menjadi guru yang membawa suri teladan bagi anak didiknya dalam menjaga lingkungan. Sesuai dengan pandangan Lickona, karakter yang baik

Landasan Teoretik Pendidikan Karakter — 97

98 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

dikembangkan melalui moral knowing, moral feeling dan moral acting (Lickona, 2012, hlm. 89-98). Guru adalah kurikulum bagi pembentukan karakter peserta didik. Penegakan karakter sebuah generasi akan sia-sia tanpa keteladanan dari guru (Musfah, 2012, hlm. 13).

Sains tidak bebas nilai

Materi sains (kimia termasuk di dalamnya) mengandung muatan nilai-nilai, setidaknya satu konsep mengandung minimal tiga nilai di dalamnya. Sains tidak bebas nilai. Pengungkapan nilai dalam muatan sains memerlukan keahlian, tugas pendidiklah untuk mengungkapkan nilai yang terkandung dalam sains (kimia) agar peserta didik menjadi individu yang madani (Yudianto, 2005, hlm. 52). Strategi pendidikan nilai perlu diterapkan dalam pembelajaran semua bidang studi. Dalam integrasi nilai melalui kegiatan pembelajaran ini, diadopsi model pembelajaran klarifikasi nilai-Value Clarification Technique (VCT). Model ini bertujuan untuk mengurangi tingkat ambiguitas moral mahasiswa serta mengembangkan sistem nilai yang konsisten yang harus dipilih melalui proses penilaian berdasarkan proses berpikir mahasiswa atas pengetahuan moralnya. Pendekatan ini beranggapan bahwa melalui proses penilaian mahasiswa akan merasakan dan bisa menjernihkan perasaan dan nilainya sendiri untuk kemudian memutuskan kesadaran mana yang akan dipilih berdasarkan pertimbangan nilai yang telah dimilikinya (Winecoff, 1985, hlm. 88 ).

Klarifikasi nilai-Value Clarification Technique (VCT) efektif untuk menumbuhkan nilai kesadaran lingkungan (Ogunbiyi & Ajiboye, 2009, hlm. 300). VCT yang dikombinasikan dengan pembelajaran aktif, efektif untuk pencapaian aspek kognitif dan efektif juga untuk menanamkan nilai-nilai pada peserta didik.

98 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Landasan Teoretik Pendidikan Karakter — 99

Dengan model VCT yang ditawarkan ini anak-anak diberi kebebasan untuk memilih nilai-nilai moralnya sendiri (Adisusilo, 2012, hlm. 141; Rai, 2014: 29). Model VCT ini dianggap sebagai model pendidikan karakter yang amat demokratis (tidak melihat kedewasaan psikologis peserta didik), tidak menggiring peserta didik ke arah nilai khusus tertentu, membebaskan peserta didik untuk memilih nilai-nilainya sendiri, memilih sendiri apa yang dirasakan baik dan benar (Rai, 2014: 30). VCT dikembangkan oleh Raths, Harmin dan Simon dari nilai-nilai teori Kirschenbaum, Harmin dan Simon. Klarifikasi nilai terdiri dari tujuh sub proses yang dikelompokkan menjadi tiga kategori. Tiga kategori yang dimaksud adalah choosing, prizing dan acting, dan tujuh sub-proses yaitu, memilih (choosing), secara (1) bebas, (2) dari alternatif, (3) setelah pertimbangan bijaksana dari konsekuensi dari setiap alternatif; kemudian menjunjung pilihan (prizing), dengan (4) menghargai, merasa bahagia dengan pilihan, (5) bersedia untuk menegaskan pilihan publik; dan bertindak (action), (6) melakukan sesuatu dengan pilihan, (7) berulang kali, dalam beberapa pola hidup (Kirschenbaum, 2000, hlm, 5; Rath. et.all.1966, hlm. 28-30).

VCT merupakan strategi yang dirancang bagi peserta didik untuk menganalisis nilai-nilai bagi mereka sendiri diantara nilai-nilai yang mungkin tersedia, untuk membuat pilihan sadar yang bebas diantara alternatif-alternatif nilai. Ia mengatakan bahwa ada banyak variabel yang mempengaruhi efektivitas dari setiap metode dan setiap strategi, sehingga setiap metode dan strategi memiliki kelebihan dan kekurangannya, demikian juga dengan VCT. Efektivitas VCT dapat dipengaruhi oleh: ukuran kelas, nilai yang ditangani subjek, latar belakang guru, usia pelajar dan pengaturan kelas. Oleh karenanya pendidik lingkungan juga perlu memilih kombinasi strategi belajar lainnya yang dikombinasikan dengan strategi pendidikan nilai agar perkembangan kognitif, penalaran moral, serta orientasi emosional dan spiritualnya dapat berkembang dengan baik (Caduto, 2005, hlm.3). Oleh karenanya dalam penelitian ini, untuk pencapaian aspek koginitf (nilai intelektual) dari konsep Kimia Organik diaplikasikan dengan model pembelajaran problem based learning (PBL) dan project based learning (PjBL) dan untuk pengembangan nilai melalui model pembelajaran VCT.

Landasan Teoretik Pendidikan Karakter — 99

100 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Dialog peserta didik dengan pendidik

Dalam penerapannya VCT mengedepankan dialog antara peserta didik dengan pendidik. Elemen-elemen dasar dalam dialog kelas adalah “clarifying response”. Clarifying response ini harus diciptakan dalam suasana yang tidak mengancam, bebas intimidasi, setiap peserta didik didorong berpartisipasi sehingga akan muncul berbagai tanggapan, jawaban-jawaban itu tidak ada yang mutlak benar, tidak diperkenankan mempermasalahkan komentar, komentar-komentar diterima sebagai refleksi sudut pandang atau perasaan peserta didik saja. Sasaran clarifying response adalah: membantu peserta didik untuk berpikir secara jelas mengenai komentar-komentar yang baru saja dibuatnya dan meletakkan tanggung jawab pada seluruh peserta didik untuk memutuskan sendiri apakah mereka setuju atau tidak setuju terhadap komentar-komentar itu (Hakam (2008a, hlm. 131).

Merujuk pada kesadaran hukum, indikator dari kesadaran menurut Kutschincky (1973) dalam Soekanto, (1982, hlm.159) adalah: (1) Pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum (law awareness), (2) Pengetahuan tentang isi peraturan-peraturan hukum (law acquaintance), (3) Sikap terhadap peraturan-peraturan hukum (legal attitude), dan (4) Pola-pola perikelakuan hukum (legal behavior). Dalam hal ini kesadaran lingkungan menggunakan tiga indikator yaitu pengetahuan, sikap dan perilaku. Hal ini bersesuaian juga dengan taksonomi belajar Benjamin S. Bloom, dimana Bloom mengkategorikan hasil belajar dalam tiga aspek (ranah), yaitu yaitu ranah pengetahuan (kognitif), ranah sikap (afektif) dan ranah ketrampilan motorik-perilaku (psikomotor). Seseorang dikatakan berhasil belajar apabila ketiga aspek itu telah mengalami perubahan. Perubahan terjadi sebagai akibat dari proses pembelajaran yang dialami oleh peserta didik. Untuk mengukur keberhasilan belajar, informasi yang paling penting yang harus dilihat adalah pencapaian pengetahuan, sikap dan perilaku (Tawil & Liliasari, 2014. hlm.4). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa seseorang yang berhasil sadar atau kesadarannya telah muncul apabila pengetahuan, sikap dan ketrampilannya sudah mencapai hasil yang diharapkan. Pengukuran kesadaran lingkungan menggunakan alat ukur Instrumen Pengukur Kesadaran Lingkungan (IPKL) memodifikasi instrumen sejenis yang dikembangkan oleh Aziz, dkk. (2013, hlm. 1). (Sumber: Sulastri & Budimansyah, 2016)

100 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan — 101

Meminjam terminologi yang dipergunakan David Kerr (1999), pada saat menjelaskan isi dan modus Citizenship Education, maka proses pembelajaran pendidikan karakter hendaknya

dilakukan secara inklusif pada pembelajaran semua mata pembelajaran di kelas, luar kelas, satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat. Pengembangan proses pembelajaran yang demikian dimaksudkan untuk menghindarkan pendidikan karakter dari sifat yang eksklusif dimana upaya pembinaan karakter hanya dilakukan oleh mata pelajaran tertentu sementara pelajaran maupun program pendidikan lain di sekolah maupun luar sekolah termasuk di keluarga dan masyarakat tidak menyentuhnya sama sekali.

Pada uraian berikut ini penulis akan menyajikan bagaimana pembelajaran berbasis karakter dalam kegiatan kelas, yakni yang diintegrasikan pada semua mata pelajaran baik yang ditujukan untuk melahirkan dampak instruksional dan pengiring maupun hanya untuk menumbuhkan dampak pengiring. Selanjutnya akan dirancang juga kegiatan pembelajaran di luar kelas yang didisain sebagai program ko-kurikuler dari setiap mata pelajaran sebagai upaya pembiasaan berkarakater baik. Disamping itu disajikan juga perancangan pembelajaran yang diprogramkan oleh satuan pendidikan, misalnya melalui berbagai

4.PENDIDIKAN KARAKTER

PADA SATUAN PENDIDIKAN

102 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

kegiatan ekstrakurikuler dan program-program sekolah lainnya yang berbasis pembinaan karakter. Terakhir dicontohkan juga bagaimana perancangan pembelajaran berbasis karakter yang harus berlangsung pada lingkungan keluarga dan masyarakat melalui model pendidikan interventif antara sekolah dan keluarga maupun antara sekolah dan masyarakat.

Kegiatan di kelasDi kelas dapat dilakukan dalam pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) maupun pelajaran lain. Khusus bagi PKn yang secara teoretik dirancang sebagai subjek pembelajaran yang memuat dimensi-dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik yang bersifat konfluen atau saling berpenetrasi dan terintegrasi dalam konteks substansi ide, nilai, konsep, dan moral hendaknya melahirkan dua dampak sekaligus, yakni dampak instruksional maupun dampak pengiring. Dampak instruksional adalah pengaruh langsung dari proses belajar dan pembelajaran yang biasanya dirumuskan dalam tujuan pembelajaran. Misalnya setelah peserta didik mempelajari topik demokrasi mereka dapat (1) mengidentifikasi dasar-dasar demokrasi (foundation of democracy) secara universal yang dapat diterima semua negara di dunia (ranah kognitif); (2) membedakan praktik demokrasi di berbagai negara berdasarkan latar belakang sejarah, ideologi, dan tujuan nasional masing-masing (ranah kognitif); (3) meyakini keunggulan sistem pemerintahan demokrasi dibandingkan dengan sistem pemerintahan otoritarianisme maupun sistem pemerintahan komunisme (ranah afektif); (4) menerapkan pola hidup demokratis dalam proses pengambilan keputusan (ranah psikomotor).

Khusus bagi PKn yang secara teoretik dirancang sebagai subjek pembelajaran yang memuat dimensi-dimensi

kognitif, afektif, dan psikomotorik yang bersifat konfluen atau saling berpenetrasi dan terintegrasi dalam konteks

substansi ide, nilai, konsep, dan moral hendaknya melahirkan dua dampak sekaligus, yakni dampak

instruksional maupun dampak pengiring.

Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan — 103

Gb.4.1 Berkebun hortikultura: memuliakan lingkungan sambil belajar bisnisSumber: http://sman1sutojayan.sch.id/

Dampak pengiring adalah pengaruh ikutan setelah peserta didik melakoni pengalaman belajar tertentu, seperti misalnya menjadi lebih peka terhadap masalah yang ada di lingkungannya, menjadi lebih toleran terhadap pandangan yang beragam, lebih kreatif, dan inovatif. Dampak pengiring akan lahir jika dan hanya jika peserta didik memiliki pengalaman belajar (learning experience) optimal yang mampu merangsang seluruh potensi kognitif, afektif, dan psikomotor. Atas dasar pandangan demikian maka proses pembelajaran konvensional yang memposisikan peserta didik laksana botol kosong yang harus diisi ilmu pengetahauan dan pendidik bertindak sebagai satu-satunya sumber belajar, serta belajar hanya dibatasi oleh dinding kelas, tidak memberikan cukup pengalaman belajar. Pada konteks perlunya melahirkan dampak pengiring itulah kita mendambakan lahirnya model pembelajaraan inovatif dengan memanfaatkan berbagai sumber belajar yang ada di kelas dan di luar kelas. Untuk keperluan contoh, kita ambil pengalaman para siswa kelas PKn (Civic Education) yang sedang belajar dengan Model Project Citizen dan hasilnya ditampilkan dalam Show-Case Internasional Project Citizen di Washington DC berikut ini (selengkapnya dalam Film The World We Want).

Healtier food in school (Tim USA)Para siswa sekolah menengah dari kota Vancouver, USA ini menyadari adanya masalah berkenaan dengan makanan yang tidak sehat yang

104 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

mereka konsumsi sehari-hari, termasuk yang terdapat di kantin sekolah. Mereka berasumsi bahwa makanan yang tidak sehat seperti itulah yang mengakibatkan semakin banyaknya orang Amerika yang mengalami kegemukan (obesitas). Bukan hanya itu mereka pun mengkhawatirkan bahwa karena kebanyakan mengkonsumsi makanan yang mereka namakan Junk Food tersebut berbagai penyakit mematikan pun kerapkali muncul, seperti penyakit jantung koroner dan kanker. Selanjutnya mereka membentuk tim peneliti untuk melakukan survei guna memperoleh jawaban untuk memecahkan masalah tersebut. Mula-mula tim peneliti melakukan wawancara dengan ahli gizi sekolah untuk memperoleh jawaban bagaimana menyiapkan makanan sehat di sekolah, bukan Junk Food. Untuk memperoleh dukungan dari masyarakat, tim peneliti pun melakukan wawancara dengan sejumlah anggota masyarakat dari berbagai kalangan. Hasilnya sungguh menggembirakan, hampir sebagian besar anggota masyarakat menyetujui gagasan untuk melarang kantin sekolah menyajikan Junk Food. Selanjutnya diadakan kunjungan terhadap pejabat dinas pendidikan setempat untuk memberikan dorongan agar mengeluarkan kebijakan publik yang mengikat sekolah agar menyajikan makanan sehat bukan Junk Food. Proyek belajar ini sangat menarik karena memberikan pengalaman belajar lanngsung kepada para siswa. Dampak pengiring dari proses pembelajaran ini adalah melatih kepekaan siswa terhadap persoalan-persoalan yang terdapat di lingkungannya dan melatih keterampilan berpartisipasi.

Restore historic monuments (Tim India)Para siswa dari India menyajikan proyek belajarnya dengan topik memperbaiki monumen bersejarah. Di kota tempat mereka tinggal, New Delhi terdapat sejumlah monumen bersejarah yang terlantar, tidak terawat dan sepertinya tidak ada pihak yang bertanggung jawab memeliharanya. Mereka kemudian mengunjungi sejumlah pejabat setempat yang diperkirakan memiliki kaitan dengan keberadaan monumen tersebut untuk meminta perhatiannya agar melakukan langkah-langkah untuk memperbaikinya. Namun jawaban tidak memuaskan tim peneliti, semuanya serba klise dan saling lempar tanggung jawab. Para pejabat daerah mengatakan bahwa tugas merawat dan memperbaiki monumen bersejarah berada di tangan pemerintah pusat. Selanjutnya tim melakukan

Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan — 105

wawancara dengan anggota masyarakat untuk memperoleh tanggapan tentang perlunya mencari solusi untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Umumnya mereka sependapat bahwa pemerintah mesti bertanggung jawab terhadap keberadaan monumen bersejarah tidak boleh menterlantarkannya. Para siswa justru memeberikan pemahaman lain bahwa dalam menghadapi persoalan seperti itu anggota masyarakat tidak boleh tinggal diam, harus bahu-membahu bersama pemerintah untuk memperbaiki monumen bersejarah yang terlantar itu. Selanjutnya tim melakukan kegiatan pembinaan pada anak-anak sekolah dasar untuk mencintai monumen bersejarah di daerahnya melalui lomba menggambar dengan objek monumen bersejarah. Melalui kegiatan ini para siswa belajar bagaimana menjadi bagian dari solusi bukan bagian dari persoalan. Sosok generasi muda yang demikianlah yang dapat menatap masa depan lebih optimis.

Acces to clean water (Tim Senegal)Tim siswa dari sebuah desa kecil Ross Bethio, Senegal ini mengajukan masalah kesulitan memperoleh air bersih. Mereka menyaksikan keadaan dimana masyarakat mengambil air untuk keperluan hidup sehari-hari dari sebuah kubangan air yang jaraknya sekitar 26 kilometer dari desa mereka. Disamping jaraknya yang jauh, sumber air itupun tidak sehat karena terkontaminasi oleh sampah dan kotoran hewan. Akibatnya banyak anggota masyarakat yang terjangkit berbagai penyakit, seperti kolera, kudis, dan penyakit kulit lainnya. Para siswa menyadari bahwa persoalan tersebut perlu dipecahkan dan selanjutnya mereka melakukan survai untuk mencari solusi terbaik. Pertama-tama tim peneliti berkunjung pada tokoh agama setempat untuk memperoleh dukungan. Selanjutnya mereka berkunjung kepada otoritas setempat untuk menanyakan apa yang telah dan akan dilakukan pemerintah untuk menanggulangi masalah tersebut. Para siswa memperoleh informasi bahwa pemerintah telah mulai membangun tower air untuk menyuplai air ke Ross Bethio, namun proyek tersebut terbengkalai dan tak kunjung selesai walaupun sudah berlangsung bertahun-tahun lamanya dengan alasan tidak cukup dana. Untuk memberi tekanan kepada pemerintah setempat agar serius menyelesaikan pembangunan tower air, tim mengorganisasikan sebuah demontrasi damai yang diikuti seluruh siswa pada sekolah mereka menuju kantor otoritas Ress Bethio. Dengan kegigihan yang luar biasa

106 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

dalam meyakinkan pemerintah bahwa solusi terbaik untuk memperoleh akses air bersih adalah penyelesian pembangunan tower air, akhirnya otoritas setempat memulai lagi mengerjakan proyek tersebut. Dari kegiatan ini para siswa memperoleh pengalaman belajar bahwa dengan kegigihan dan kerja keraslah sesuatu dapat diraih.

Gb. 4.2 Dalam International Showcase Project Citizen di Washington DC tim Senegal meraih penghargaan sebagai tim terbaik

Sumber: http://www.civiced.org/iEvents/photos /IPCSawards/highres/senegal.JPG

School Violence (Tim Jordan)Para siswa sekolah menengah di kota Al Karak, Jordan mengangkat topik untuk proyek belajar mereka adalah kekerasan di sekolah. Para siswa mengamati bahwa di daerahnya sering kali terjadi peristiwa tersebut, utamanya di sekolah dasar baik yang dilakukan oleh guru maupun oleh temannya di sekolah. Pertama-tama mereka melakukan survei ke sekolah-sekolah untuk memperoleh keterangan sekitar ada atau tidak adanya kekerasan di sekolah melalui serangkaian wawancara mendalam dengan para siswa. Selanjutnya tim menyebarkan angket kepada orang tua siswa untuk menjaring data mengenai kasus kekerasan di sekolah yang menimpa anak-anak mereka. Hasilnya sangat mengejutkan bahwa banyak dari orang tua kerapkali mendapatkan anak-anak mereka yang

Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan — 107

masih duduk di bangku sekolah dasar memperoleh perlakuan yang tidak semestinya dari gurunya terutama pada saat mereka diberi hukuman. Tim peneliti pun melakukan wawancara kepada anggota masyarakat untuk menggali pandangan masyarakat mengenai solusi apa yang dapat dipilih untuk memanggulangi kekerasan di sekolah tersebut. Dari kegiatan ini para siswa memperoleh keyakinan bahwa dalam memberikan hukuman perlu dipilih yang sifatnya mendidik (edukatif), tidak menggunakan hukuman fisik maupun nonfisik yang dapat menyaiki badan maupun jiwa anak. Disamping itu mereka pun belajar bagaimana memberi rasa empati kepada penderitaan orang lain. Siswa yang memperoleh hukuman fisik maupun nonfisik yang tidak mendidik akan mengalami luka hati maupun luka badan yang serius. Oleh karena itu dengan berempati mereka akan lebih memiliki kepekaan untuk memperlakukan orang lain lebih baik dan lebih manusiawi.

Underage gambling (Tim Russia)Tim Russia berasal dari kota Samara, Russia bagian selatan. Mereka mengangkat tema perjudian di bawah umur yang cukup meresahkan setelah dibangunnya sebuah Casino di kota tersebut. Para pelajar sekolah menengah dan bahkan sekolah dasar mulai banyak yang keranjingan permainan judi mesin yang terdapat di Casino tersebut. Di luar jam sekolah banyak diantara siswa menghabiskan waktunya untuk bermain judi terutama selepas mereka pulang sekolah. Para orang tua umumnya tidak mengetahui perilaku anak-anaknya yang menyukai permainan judi mesin. Keadaan ini sangat membahayakan kelangsungan pendidikan anak bahkan yang lebih tragis lagi dapat membahayakan masa depan muda-mudi bangsa Russia sendiri. Langkah awal team melakukan observasi dan wawancara di lokasi Casino yang melibatkan sejumlah pengunjung baik yang berjudi maupun yang hanya melihat-lihat saja. Berdasarkan temuan awal diperoleh keterangan bahwa anak-anak dibawah umur sudah banyak yang ketagihan berjudi. Mereka amenghabiskan uang jajan bahkan uang sekolah untuk berjudi. Banyak dari pejudi cilik itu sudah malas sekolah, mereka lebih banyak ‘nongkrong’ di Casino. Selanjutnya team melakukan wawancara dengan sejumlah orang tua untuk menyampaikan kekhawatiran mengenai merebaknya perjudian dibawah umur. Untuk memperoleh solusi terbaik mereka mewawancari Profesor Petrovic, guru besar Sosiologi. Atas masukan dari Profesor Vetrovic team

108 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

menyusun selebaraan yang isinya menjelaskan tentang bahaya perjudian di bawah umur dan menghimbau orang tua utuk mengawasi anak-anaknya agar tidak pergi ke Casino. Tim juga beraudiensi dengan wali kota untuk mendesak agar mengeluarkan kebijakan publik melarang perjudian dibawah umur. Dari kegiatan itu para siswa belajar menempa diri sebagai warganegara yang cerdas dan peduli terhadap persoalan yang terjadi di lingkungannya.

Decrease taxation of silversmiths (Tim Indonesia)

Gb. 4.3 Tim Indonesia berfose pada saat menerima piagam penghargaan dari Direktur Project Citizen Internasional

Sumber: Sumber: http://www.civiced.org/iEvents/photos/IPCSawards/indonesia.jpg

Tim Indonesia yang berasal dari SMP swasta di Yogyakarta tertarik terhadap masalah semakin menurunnya produktivitas pengrajin perak di Kotagede Yogyakarta. Usaha mereka bukannya meningkat, namun semakin hari semakin menurun dan tentu saja kehidupan para pengrajin juga bertambah terpuruk. Para siswa selanjutnya membentuk tim peneliti untuk melakukan survei ke lokasi para pengrajin. Mereka dengan tidak mengenal lelah terus menggali informasi berkenaan dengan masalah yang dihadapi tersebut. Setiap pengrajin dimintai tanggapannya tentang mengapa produktivitas mereka semakin menurun dan kegiatan usaha

Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan — 109

bertambah tidak menggairahkan. Informasi juga diperoleh dari ketua kelompok pengrajin. Dari semua informasi yang mereka berikan dapatlah ditangkap esensinya bahwa faktor Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10% lah yang menjadi faktor utama menurunnya produksi perak Kotagede. Di negara tetangga para pengusaha ekonomi rakyat, termasuk pengrajin perak tidak dikenakan pajak pertambahan nilai sehingga mereka dapat mematok harga yang lebih bersaing dibandingkan dengan produk perak Indonesia. Akibatnya produktivitas pengrajin perak Kotagede semakin hari semakin menurun dan banyak yang berpindah profesi menjadi TKI di Malaysia. Untuk menemukan solusi atas persoalan ini tim mengadakan audiensi dengan DPRD setempat dan berbagai tokoh terkait. Dari pengalaman belajar ini para siswa memperoleh pelajaran tentang kewirausahaan dan kemandirian yang amat berharga sebagai bekal hidup kelak sebagai warganegara dewasa.

Inclusion of specials needs students (Tim Bosnia and Herzegovina)Tim dari Bosnia dan Herzegovina berasal dari sekolah menengah di kota Brcko. Mereka mengangkat persoalan mengenai perlunya melayani siswa yang berkebutuhan khusus dapat bersekolah di sekolah biasa. Persoalan ini muncul karena dari adanya kenyataan bahwa para siswa yang berkebutuhan khusus, yang jumlahnya meningkat tajam pasca perang saudara tahun 1998, tidak memperoleh kesempatan berkembang secara optimal pada sekolah-sekolah luar biasa baik karena jumlahnya yang tidak memadai maupun karena sifatnya yang eksklusif sehingga mereka sulit beradaptasi secara normal. Kesulitan muncul karena negaranya belum mempunyai aturan mengenai pendidikan inklusi, padahal pada sekolah mereka telah dirintis dan memperlihatkan pengaruh yang signifikan. Untuk melaksanakan tujuan ini para siswa membuat petisi kepada pemerintah akan perlunya aturan tentang pendidikan inklusi. Agar memperoleh dukungan masyarakat mereka menggalang tanda tangan dari anggota masyarakat secara sukarela. Selanjutnya para siswa mengajukan petisi tersebut kepada pemerintah daerah setempat dengan cara mendatangi langsung kantor wali kota. Dari kegiatan ini para siswa belajar mengambil tanggung jawab sosial kemasyarakatan sebagai satu bentuk kompetensi kewarganegaraan demokratis.

110 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Establish a community constitution (Tim Colombia)Para siswa dari sekolah menengah di kota Alejandria, Colombia ini memilih persoalan seputar traumatik yang berkepanjangan akibat kekerasan bersenjata pada 1998/1999. Dampak dari peristiwa kekerasan tersebut hingga saat ini membekas pada hati sanubari sebagian besar warga masyarakat, terutama pada anak-anak yang ditinggal orang tuanya karena terbunuh dalam peristiwa tersebut. Di tengah-tengah masyarakat masih terdapat rasa curiga-mencurigai dari beberapa kelompok yang dahulu pernah bertikai. Oleh karena itu para siswa mempunyai gagasan untuk menyusun semacam konstitusi masyarakat setempat yang dipahami dan dilaksanakan bersama sebagai pedoman tingkah laku seluruh anggota masyarakat. Gagasan ini pertama-tama disampaikan kepada para tokoh masyarakat kota, baik yang berasal dari kalangan pemerintahan maupun tokoh-tokoh informal. Pada umumnya para tokoh itu menyambut baik gagasan para siswa dan mendorong mereka untuk merumuskan konstitusi sesederhana mungkin dan yang hanya mengatur hubungan antarkelompok masyarakat yang bebeda. Setelah para siswa berhasil merumuskannya maka dilakukanlah sosialisasi kepada berbagai lapisan masyarakat. Dari kegiatan ini para siswa belajar mengasah sikap inovatif dan kreatifitasnya sebagai suatu upaya mempersiapkan diri sebagai warganegara dewasa.

Pelajaran lain selain PKn tidak dapat lepas dari tanggung jawab untuk mengembangkan karakter siswa walaupun hanya sebatas melahirkan dampak pengiring. Rasionelnya adalah bukan semata-mata karena pendidikan karakter harus diselenggarakan secara inklusif namun daripada itu dan yang lebih bersifat inheren adalah karena alasan tanggung jawab keilmuan. Menurut pandangan filsafat ilmu, pada setiap disiplin melekat tiga unsur penting, yakni ontologi yang berkenaan dengan objek kajian; epostimologi yang berkaitan dengan metodologi atau cara-cara ilmu yang bersangkutan dikembangkan; dan aksiologi menyangkut manfaat ilmu itu sendiri bagi kehidupan. Sehingga amat logislah jika setiap pelajaran memiliki peran mengembangkan karakter peserta didik sebagai pengejawantahan unsur aksiologi. Berikut disajikan sejumlah contoh proses pembelajaran (di luar mata pelajaran PKn) yang memiliki dampak pengiring bagi upaya pengembangan karakter.

Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan — 111

Sketsa 1: Bulu TangkisContoh pertama ini berasal dari kelas XII di sebuah SMA di Indonesia yang sedang belajar Pendidikan Jasmani dan Olah Raga Kesehatan. Para siswa sedang mempelajari permainan bulu tangkis yang merupakan salah satu cabang olah raga favorit di Indonesia. Dalam skenario pembelajaran yang telah disiapkan topik tersebut akan dikaitkan dengan momentum peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional (2008). Guru memulai pelajaran dengan menjelaskan teori-teori permainan bulu tangkis hingga pada jenis alat yang digunakan dan ukuran lapang. Selanjutnya para siswa diajak turun ke lapangan untuk mempraktikan semua teknik pukulan: service, fore hand, back hand, drop short, smash, lob, pukulan silang, dan sebagainya. Para siswa amat menikmati pelajaran tersebut dan tidak terasa dua jam pelajaran itu hampir saja berlalu.

Sebelum pelajaran berakhir para siswa terlebih dahulu diajak melakukan refleksi. Guru memulai merefleksi kegiatan belajar dengan mengajak para siswa mengenang masa kejayaan buku tangkis Indonesia, seraya berkata “beberapa belas tahun silam bulu tangkis pernah mengangkat nama Indonesia di pentas dunia. Ketika Rudy Hartono menjurai All England selama delapan kali mata dunia tertuju pada Indonesia. Tatkala lagu kebangsaan Indonesia Raya diperdengarkan dan Merah Putih dikibarkan ribuan pasang mata yang berada di All England Arena dan berjuta lagi yang menyaksikan pada layar kaca televisi, semuanya tertegun kagum akan prestasi Indonesia. Ketika Susi Susanti dan Alan Budi Kusumah mengawinkan medali mas olimpiade berratus juta pasang mata menyaksikannya dengan detak kagum luar biasa, Indonesia menorehkan tinta mas prestasi di pentas dunia. Namun sekarang kubu bulu tangkis kita sedang mengalami kemunduran dan sepi prestasi. Dalam momentum peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional ini mari kita bangkit”, demikian guru olah raga itu menegaskan dengan nada suara yang amat bersemangat.

Ia mengakhiri refleksinya dengan membacakan sebuah puisi yang berjudul BANGKIT yang sempat dipopulerkan oleh aktor senior, Deddy Mizwar.

112 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

BANGKIT

Bangkit itu susah, susah melihat orang susah, senang melihat orang senangBangkit itu takut, takut korupsi, takut mengambil yang bukan haknyaBangkit itu mencuri, mencuri perhatian dunia dengan prestasiBangkit itu marah, marah ketika martabat bangsa diinjakBangkit itu malu, malu menjadi benalu dan meminta-mintaBangkit itu tidak ada, tidak ada kata menyerahBangkit itu aku, INDONESIAKU

Gb.4.4 Alan Budikusumah dan Susi SusantiSumber: http://i.okezone.com/content/

Sketsa 2: Hutan HujanContoh kedua berasal dari satu kelas siswa umur 13 tahun yang sedang belajar geografi di Kanada. Para siswa geografi tersebut sedang mempelajari hutan hujan dunia dan telah mengetahui bahwa hutan hujan memainkan peranan penting dalam mengatur iklim dunia dan hutan tersebut memiliki banyak flora dan fauna yang barharga dan unik. Mereka juga mengetahui bahwa hutan hujan ditebang dengan jumlah besar. Dengan rasa percaya diri mereka cepat menarik kesimpulan bahwa ini adalah satu tindakan yang egois dan tidak dipikirkan akibatnya. Apa yang para siswa tersebut tidak pikirkan adalah bahwa orang-orang yang menebang hutan

Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan — 113

hujan melakukannya bukan karena mereka gila atau egois, tetapi karena sering mereka memiliki sedikit pilihan. Kemiskinan, kebutuhan akan tanah, pola-pola perdagangan internasional, dan pembangunan ekonomi memaksa semuanya dipergunakan untuk meningkatkan tekanan pada hutan hujan. Guru para siswa tersebut menjelaskan bahwa Kanada telah merusak sebagian besar hutannya sendiri, dan memang terus dilakukan, dan memberi kesan bahwa standar hidup yang dimiliki orang Kanada dikaitkan dengan kerusakan hutan hujan di negara-negara lain. Karena para siswa menyerap informasi ini dan memikirkannya, guru tersebut juga menyatakan bahwa mungkin orang-orang Kanada dan yang lainnya harus membayar pajak hutan hujan, katakanlah pada kopi, produk-produk kayu impor, dan daging sapi yang murah yang tumbuh di padang rumput hutan hujan yang dikosongkan untuk restoran siap saji agar hutan hujan terlindungi. Ini menyebabkan diskusi siswa jadi lebih jauh. Para siswa tidak memecahkan masalah yang ada, tetapi mereka telah didorong untuk memikirkan dari beberapa tantangan yang mereka hadapi sebagai warga negara, dan melakukannya dengan cara-cara yang pantas untuk usia dan tingkat kematangan mereka.

Gb. 4.5 Hutan hujan tropis Indonesia perlu dijaga kelestariannyaSumber: http://geographyeducation.files.wordpress.com/

114 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Contoh sehari—hari ini menggambarkan bagaimana nilai-nilai karakter dapat dimasukkan ke dalam kelas. Para siswa tersebut dibimbing untuk memikirkan masa sekarang dalam konteks masa lalu dan masa yang akan datang, memikirkan bagaimana keseharian mereka, kehidupan pribadi yang berhubungan dengan masalah yang jauh lebih besar; dan bagaimana kehidupan mereka di Kanada, bermil-mil jauhnya dari hutan hujan, tidak sedikit yang masih melibatkan mereka dalam masalah dunia tersebut.

Sketsa 3: Perkembangan sejarah konflik antarumat tiga agamaContoh ketiga berasal dari pelajaran yang diberikan oleh seorang guru sejarah dunia di Asia. Tidak lama sebelum memulai bagian tentang perkembangan sejarah agama Yahudi, Nasrani, dan Islam, pembunuhan Perdana Menteri Israel Rabin terjadi. Guru tersebut membawa masuk laporan surat kabar dan klip berita TV, dengan menggunakan kesiapan dari peristiwa, artikel dan berita untuk membuat konteks untuk memahami perasaan yang mendasari konflik diantara dan di dalam agama-agama ini. Secara normal, hal tersebut akan menjadi satu tantangan yang besar untuk mengajarkan tentang agama-agama ini pada satu kelas siswa yang berumur dua puluh lima, dimana hanya 10 persen atau kurang yang memiliki pengetahuan pribadi tentang agama Nasrani, Yahudi, dan Islam dan dimana mayoritas siswanya tidak memeluk agama yang ada. Tetapi, dengan membubuhkan pelajaran tiga agama tersebut pada peristiwa dan orang yang sebenarnya dalam berita, keabstrakan dan jauhnya pelajaran tersebut sangatlah dikurangi. Peristiwa baru-baru ini memberikan satu katalisator untuk penelitian dan diskusi siswa tentang ketiga agama tersebut. Setelah memberikan tinjauan pada peristiwa-peristiwa yang melingkungi pembunuhan tersebut dan peran pokok dari kota Yarusalem (yaitu arti sejarah dan agamanya), guru tersebut memperkenalkan sumber sejarah dari ketiga agama tersebut dan mendorong pra siswa untuk menggali persamaan dan perbedaan diantaranya. Guru tersebut kemudian meminta para siswa untuk berspekulasi tentang implikasi dari pembunuhan tersebut untuk peristiwa-peristiwa yang akan datang di Timur Tengah, kemungkinan resolusi damainya, dan implikasi global dengan tidak memilih resolusi damai untuk mengatasi konflik.

Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan — 115

Dalam contoh ini, guru tersebut menggunakan peristiwa yang baru-baru terjadi untuk memberikan konteks untuk pertimbangan dan pemikiran siswa yang berarti tentang konflik yang sangat berakar dalam sejarah. Faktanya bahwa pembunuhnya dalam hal ini adalah yang seagama dengan Rabin, Yahudi, hanya menambah intensitas debat. Pada khususnya, peristiwa yang baru-baru terjadi memberikan satu kesempatan untuk pengembangan kecerdasan partisipatoris, karena para siswa tersebut terdorong untuk menggali sistem kepercayaan/etika dan membandingkannya dengan yang mereka miliki, seperti terdorong secara rohaniah melintasi waktu dan ruang.

Sketsa 4: Persoalan KemiskinanContoh keempat berasal dari kelas Bahasa Inggris SMP dengan siswa berumur 10 dan 11 tahun yang sedang belajar tentang persoalan kemiskinan. Gurunya dalam skenario ini merencanakan serangkaian kegiatan antar cabang ilmu pengetahuan selama setahun untuk membantu anak-anak mempelajari kemiskinan di negara-negara berkembang, seperti di masyarakat mereka sendiri. Di dalam kelas, para siswa tersebut bagaimana kemiskinan ditangani di masa lalu dan sekarang—melalui kesukarelaan warga negara, kelompok-kelompok warga negara dan gereja dan program-program pemerintah. Sebagai satu kegiatan kelas, para siswa tersebut membuat collages (susunan benda-benda dan potongan-potongan kertas dan sebagainya yang ditempelkan pada bidang datar dan merupakan satu kesatuan karya seni) yang menggambarkan kondisi dimana anak-anak di seluruh dunia tinggal. Para siswa tersebut kemudian menyajikan collages mereka di malam orang tua untuk mengangkat kesadaran dan menambah keprihatinan atas apa yang anak-anak butuhkan. Sepanjang tahun, para siswa tersebut juga ikut serta dalam berbagai proyek yang berorientasi pada pelayanan. Di musim gugur, para siswa mengumpulkan barang-barang dari kaleng dan barang-barang yang tahan lama dari para siswa dan guru di sekolah mereka sendiri, mengumpulkan ‘paket perduli’ mereka dan mendistribusikannya di tempat penampungan tuna wisma lokal dan kepada keluarga yang membutuhkan. Selama bulan-bulan musim dingin, para siswa bergantian menyajikan sup dan sandwich (roti lapis) pada para manula.

116 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Gb.4.6 Membantu kaum papa bentuk karakter peduli sesamaSumber: http://ramadan.okezone.com/

Para siswa juga meneliti persoalan kemiskinan di seluruh dunia dengan melakukan penelitian mereka sendiri dan membuat satu ‘indeks kualitas hidup’ yang menggambarkan kondisi kehidupan menurut daerah geografis utama. Setelah selesai, kelas memilih satu daerah tertentu, Afrika, untuk penelitian lebih lanjut. Dalam satu usaha untuk menyumbang kebutuhan anak-anak Afrika yang telah dipelajari, para siswa tersebut mencari buku-buku bekas yang masih bagus di rumah dan komunitas mereka untuk mendukung prakarsa buku untuk Afrika yang telah mereka pelajari dari penelitian mereka sendiri. Pemikiran pribadi tentang masalah kemiskinan dicatat oleh para siswa di buku catatan mereka sendiri. Dengan cara ini, para siswa tersebut mampu memproses pikiran dan perasaan mereka yang berkenaan dengan apa yang mereka pelajari melalui kegiatan-kegiatan yang mereka ikuti. Gurunya juga mengadakan tanya-jawab tiap kegiatan melalui diskusi-diskusi kelompok kecil dan besar.

Sepanjang penelitian selama setahun ini, para siswa menjadi sadar dan membantu yang lain untuk sadar akan kemiskinan. Siswa-siswa tersebut menghasilkan satu etika keprihatinan dan tanggung jawab sosial pribadi dan menangani stereotip-stereotip yang berhubungan dengan kemiskinan, mengetahui bahwa orang-orang dalam masyarakat mereka sendiri seperti di negara-negara lain memiliki kebutuhan yang serius.

Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan — 117

Tambahan lagi, para siswa tersebut belajar berinteraksi dan bekerja sama dengan orang-orang dengan berbagai usia dan latar belakang sosial ekonomi yang berbeda.

Sketsa 5: Polusi udaraContoh kelima diambil dari pelajaran penelitian sosial yang diajarkan di dalam satu unit yang berjudul Persoalan-persoalan Sekarang. Dalam unit ini, satu kelas pelajar Asia meneliti topik lingkungan melalui penggunaan teknologi dan instruksi berdasarkan pengalaman. Untuk mengajukan masalah mutu lingkungan, dengan satu penekanan tertentu pada polusi udara, gurunya mempergunakan bencana ekologi yang disebabkan oleh kebakaran pada bulan Agustus-September 1997 yang terjadi di Asia Tenggara. Sebab dan akibat polusi udara dipelajari dengan cara antara cabang ilmu pengetahuan melalui penggunaan dokumen-dokumen global para siswa dan guru mendapat kembali terutama dari internet. Internet juga digunakan untuk menghubungkan para siswa ke kelas-kelas di negara-negara yang paling dicemari oleh bencana polusi udara: Malaysia, Singapura, dan Indonesia.

Gb.4.7 Menyelamatkan bumi tanggung jawab bersamaSumber: http://www.biskom.web.id/

118 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Melalui internet, para siswa mengadakan dialog tentang peristiwa ekologi pada waktu yang sedang berlangsung, bertukar informasi dan opini. Setelah membicarakan lintas batas geografi dan budaya, para siswa mengetahui bagaimana indeks polusi udara lokal mereka terbentuk, mendengarkan pembicaraan dari seorang guru ilmu pengetahuan alam mengenai masalah-masalah pengukuran, dan mengadakan perjalanan baik ke agen perlindungan lingkungan maupun ke salah satu stasiun pengukuran lokal mereka. Setelah mengadakan penelitian sendiri dalam berbagai keadaan yang diadakan oleh organisasi pemerintah dan non-pemerintah mengenai masalah tersebut, para siswa memainkan peran satu pertemuan para pembuat kebijakan yang berusaha mengatasi krisis ekologi tersebut. Kemudian mereka menulis di kertas posisi mereka sendiri tentang bagaimana masalah-masalah polusi udara seharusnya ditangani dan mempresentasikan catatan mereka pada komunitas lokal mereka.

Kegiatan di Luar KelasPembinaan karakter siswa tidak hanya dilakukan di dalam kelas ketika pelajaran berlangsung, melainkan harus dilanjutkan di luar kelas melalui kegiatan pembiasaan hidup berkarakter. Program inklusi yang dilakukan semua mata pelajaran di kelas tampaknya perlu dilanjutkan hingga di luar kelas dengan cara melakukan pembagian tanggung jawab pembinaan perilaku untuk setiap mata pelajaran. Beberapa contoh berikut dapat dijadikan sekedar model pembagian tanggung jawab dimaksud.a. Guru PKn berkonsentrasi untuk membina siswa agar berperilaku

tertib pada saat mengikuti upacara bendera. Tindakan nyata yang perlu dilakukan adalah memberikan pemahaman makna upacara bendera, mengawasi pada saat pelaksanaannya, hingga berpartisipasi dalam melatih petugas upacara bendera.

b. Guru Pendidikan Agama berkonsentrasi untuk membina siswa agar taat melaksanakan ibadat di sekolah. Tindakan nyata yang perlu dilakukan adalah menjadi teladan dalam menjalankan ibadat di sekolah, menyiptakan suasana kondusif bagi pelaksanaan ibadat di sekolah, dan sebagainya.

c. Guru Biologi berkonsentrasi untuk membina siswa agar memiliki kesadaran lingkungan, seperti tidak membuang sampah semba-

Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan — 119

rangan; tidak mencoreti bangku, dinding sekolah, dan dinding WC; tidak mengganggu tanaman, bunga, dan pohon. Tindakan nyata yang dapat dilakukan adalah mempelopori pembuatan taman sekolah dimana setiap kelas memiliki taman binaannya masing-masing; mengawasi kebersihan kelas dan lingkungan; dan sebagainya.

d. Guru Fisika berkonsentrasi terhadap upaya pengembangan daya kreatifitas siswa. Tindakan nyata yang haraus dilakukan adalah mengubah gaya mengajarnya yang deduktif pada gaya mengajar yang induktif. Kreatifitas akan muncul mengikuti gaya induktif dimana para siswa dibiasakan memecahkan suatu persoalan dari data yang disajikan bukan sebaliknya pembelajaran diawali dari menghafal hukum atau dalil.

e. Guru Sosiologi berkonsentrasi untuk membina siswa agar pandai bergaul dan beradaptasi di sekolah. Tindakan nyata yang perlu dilakukan adalah mengawasi pergaulan siswa di sekolah, utamanya kelompok-kelompok teman sebaya jangan sampai muncul geng-geng yang destruktif seperti geng motor yang kerap kali berbuat onar di masyarakat.

f. Guru Ekonomi berkonsentrasi terhadap upaya pembinaan siswa agar menjadi insan yang jujur dan memiliki jiwa kewirausahaan. Tindakan nyata yang perlu dilakukan adalah menggagas berdirinya Kantin Kejujuran dan kegiatan-kegiatan lain yang dapat memupuk jiwa kewirausahaan.

g. Guru Pendidikan Jasmani dan Olah Raga Kesehatan berkonsentrasi untuk membina siswa agar memiliki kepeduliaan terhadap kebersihan dan kesehatan diri dan lingkungannya. Tindakan nyata yang perlu dilakukan seperti menggagas perlombaan usaha kesehatan sekolah, kompetisi olah raga kesehatan, dan sebagainya.

h. Guru Matematika berkonsentrasi untuk membina siswa agar memiliki kekonsistenan penalaran logis-matematis, berbahasa yang tidak ambigo—istilah, ungkapan, definisi, pernyataan. Tindakan nyata yang perlu dilakukan adalah membuat terobosan-terobosan program tentang keberguaan matematika di luar matematika—dapat dipakai untuk kebutuhan ilmu dan pengetahuan lain.

i. Guru bahasa Indonesia berkonsentrasi terhadap upaya membina siswa agar mahir berbahasa Indonesia baku, berbahasa santun,

120 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

dan sebagainya. Tindakan nyata yang dapat dilakukan seperti menyelenggarakan bulan bahasa yang diisi dengan berbagai perlombaan berbahasa yang baik.

j. Guru kesenian berkonsentrasi membina aspek estetika melalui kegiatan berkesenian. Tindakan nyata yang dapat dilakukan seperti menyelenggarakan pentas seni, pameran seni lukis, dan berbagai kegiatan apresiasi seni lainnya.

Kegiatan di Satuan PendidikanBerbagai kegiatan pada level satuan pendidikan hendaknya tidak steril terhadap pembinan karakter siswa, misalnya ekstrakurikuler, bazar sekolah, bakti sosial, karyawisata ke tempat-tempat yang dapat mengembangkan semangat kebangsaan dan cinta tanah air. Bagi PKn sendiri misalnya, ekstrakurikuler itu dapat dijadikan wahana sosio-paedagogis untuk mendapatkan hands-on experience. Dari kegiatan ini diharapkan ada kontribusi signifikan untuk menyeimbangkan penguasaan teori dan praktik pembiasaan perilaku berkarakter. Selain itu kegiatan ekstrakurikuler dimaksudkan untuk lebih memantapkan pembentukan kepribadian peserta didik dan sarana untuk mengaitkan pengetahuan yang diperoleh dalam program kurikuler dengan keadaan dan kebutuhan lingkungan.

Berikut disajikan tiga jenis ekstrakurikuler (ekskul) di sekolah yang amat erat kaitannya dengan upaya pengembangan karakter bangsa.

PramukaPada masa lalu ekskul Pramuka demikian semarak berkembang di setiap sekolah di seluruh pelosok tanah air. Dari sejumlah kegiatan yang dimahiri dalam ekskul Pramuka dapat menjadi sarana untuk pemerolehan sejumlah karakter, misalnya dalam konteks kehidupan demokratis dan sadar hukum sebagai berikut.

Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan — 121

Tabel 4.1 Pengembangan karakter warganegara demokratis dan sadar hukum

melalui Pramuka

No Kegiatan Karakter yang DikembangkanWarganegara Demokratis

Sadar Hukum

1 Mempelajari sejarah kepanduan

Menonjolkan nalar dan akal sehat

Kesadaran untuk menaati kaidah hidup

2 Perkemahan Kerjasama dan mengutamakan kepentingan bersama

Patuh pada aturan setempat, termasuk kebiasaan-kebiasaan setempat.

3 Perlombaan (games)

Semangat berkompetisi yang sehat

Menaati aturan main, sikap kesatria, dan sportif

4 Mempelajari tertib berlalu-lintas

Menjaga keselamatan diri dan orang lain

Santun berlalu lintas dan berkendaraan di jalan raya

5 Penjelajahan dan hidup di alam bebas

Meningkatkan kemandirian sekaligus merapatkan persatua, kesaatuan, dan kerjasama tim

Membina disiplin pribadi dan kelompok

6 Hiking Meningkatkan solidaritas dan kebersamaan

Taat asas, disiplin, dan mampu mengendalikan diri

7 Pemilihan pratama

Melakukan musyawarah untuk mufakat, semangat kekeluargaan

Secara moral bertanggung jawab melaksanakan hasil musyawarah

8 Latihan kepemimpinan

Mengasah kemampuan manajerial

Menanamkan kejujuran dan tanggung jawab

Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan — 121

122 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Gb.4.8 Pramuka dapat membentuk karakter mandiriSumber: http://2.bp.blogspot.com/

PaskibraEkskul yang prkembangannya sangat pesat ini, utamanya pada jenjang sekolah menengah atas dan sekolah menengah kejuruan, keberadaannya sangat penting bagi peningkatan pemerolehan dampak pengiring pembelajaran PKn terutama dalam pembinaan semangat nasionalisme dan patriotisme. Berikut disajikan beberapa contoh karakter yang dapat dikembangkan melalui ekskul Pasukan Pengibar Bendera (Paskibra).

Tabel 4.2 Pengembangan karakter warganegara yang memiliki semangat

nasionalisme dan patriotisme melalui Paskibra

No Kegiatan Karakter yang DikembangkanSemangat Nasionalisme Semangat Patriotisme

1 Pengetahuan organisasi

Kebanggaan sebagai bangsa Indonesia

Rela berkorban untuk kejayaan negara-bangsa Indonesia

2 Tata Upacara Bendera (TUB)

Mengutamakan kepentingan bersama

Menghormati jasa para pahlawan bangsa

3 Pearaturan Baris Berbaris (PBB)

Dapat bekerjasama dalam tim

Disiplin dan tahan uji

4 Perlombaan (games)

Menggalang persatuan dan kesatuan

Pantang menyerah

Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan — 123

Gb. 4.9 Pasukan pengibar bendera pusaka (Paskibraka)Sumber: http://www.manadopost.co.id/

Palang Merah RemajaPalang Merah Remaja (PMR) merupakan ekskul yang berusaha membina karakter peserta didik agar memiliki jiwa rela berkorban dan kesetiakawanan. Oleh karena itu keberadaannya sangat signifikan dan dapat menjadi wahana sosio-paedagogis PKn. Berikut disajikan beberapa karakter peserta didik yang dapat dikembangkan melalui ekskul PMR.

Gb. 4.10 Palang Merah Remaja membina karakter peduli sesamaSumber: http://4.bp.blogspot.com/

124 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Tabel 4.3 Pengembangan karakter warganegara yang memiliki jiwa rela

berkorban dan kesetiakawanan sosial melalui PMR

No Kegiatan Karakter yang DikembangkanJiwa Rela Berkorban Kesetiakawanan Sosial

1 Pemahaman janji dan prinsip PMR

Mengembangkan rasa ketulusan dalam bekerja

Mengembangkan sikap tepo seliro atau tenggang rasa

2 Latihan penanggulangan bencana

Melatih semangat gemar membantu orang lain yang kesusahan (altruisme)

Melatih semangat kebersamaan, tidak egois

3 Bakti sosial Gemar membantu orang lain yang kesusahan (altruistik)

Mengutamakan kepentingan umum

4 Perlombaan (games)

Memupuk semangat berbagi dengan sesama

Memupuk solidaritas

Kegiatan di KeluargaPendidikan keluarga tidak dapat dijangkau oleh guru maupun sekolah sebab merupakan otoritas masing-masing keluarga, namun dapat diintervensi melalui pengembangan pedidikan interventif antara sekolah dan keluarga. Dalam pengertian sempit pendidikan interventif adalah pendidikan untuk beragama dalam arti yang sebenarnya yang dilakukan pada lingkungan pendidikan informal, meliputi pemantapan keyakinan (aqidah), melaksanakan peribadatan baik ritual maupun pemahaman kaidah (ibadah) serta pelaksanaan dan implementasi dari pemahaman arti ibadah yang berbentuk pelaksanaan perbuatan terhadap lingkungannya (muamalah). Jika kita definisikan secara luas pendidikan interventif merupakan pendidikan untuk membina karakter yang dilakukan pada lingkungan keluarga dan masyarakat sebagai kelanjutan dari pembinaan pada satuan pendidikan (sekolah, madrasah, perguruan tinggi, satuan pendidikan nonformal, media massa, dan sebagainya).

Bagaimana pendidikan interventif antara sekolah dan keluarga dilaksanakan? Hakikat pendidikan interventif antara sekolah dan keluarga adalah adanya dinamika proses hubungan sekolah (khususnya guru) dengan keluarga dalam kerangka membina karakter peserta

Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan — 125

didik. Misalnya seorang guru PKn sedang membina karakter ‘peduli’ di sekolah akan menemui kesulitan untuk berhasil jika proses yang terjadi di keluarga tidak kondusif atau bahkan menegasi pembinaan di sekolah. Contohnya seseorang anak kita sebut saja misalnya Si Fulan hidup dalam lingkungan keluarga modern-sekular. Orang tuanya super sibuk sehingga kepeduliannya satu-sama lain di lingkungan keluarga amat kurang. Orang tuanya sering kali pulang setelah si Fulan tertidur di malam hari dan mereka sering kali berangkat kerja sebelum Si Fulan bangun di pagi hari. Pada kesempatan lain Si Fulan justru hidup berhari-hari hanya ditemani pembantunya karena ayahnya maupun ibunya mendapatkan tugas luar kota dan bahkan tugas luar negeri.

Menyadari kondisi demikian guru PKn memberikan tugas terstruktur kepada Si Fulan berupa sejumlah pertanyaan yang harus dikerjakan bersama orang tuanya. Pertanyaan tersebut misalnya (1) berapa kali dalam seminggu kalian menceritakan pengalaman belajar di sekolah kepada ibu di rumah?; (2) berapa kali kepada ayahmu? (3) berapa kali dalam seminggu ibu kalian menemani mengerjakan PR di malam hari?; (4) bagaimana dengan ayah kalian?; dan sebagainya. Jenis pertanyaan yang dikembangkan sengaja digunakan untuk mengintervensi proses pendidikan yang tidak kondusif di keluarga. Targetnya adalah ayah dan ibu Si Fulan yang amat kurang kepeduliannya terhadap anaknya sendiri. Dengan rangsangan pertanyaan tersebut diharapkan akan terjadi dialog dalam batin orang tua Si Fulan tentang hak anaknya untuk diperhatikan dan tentang kewajibannya untuk memperhatikan anaknya itu. Dari perspektif pendidikan jika seseorang diberi rangsangan positif secara berkala dan berkesinambungan, maka lambat laun ia akan meresspon secara positif pula. Dapat Anda bayangkan bagaimana jadinya jika guru tidak mengintervensi proses pendidikan yang buruk di lingkungan keluarga. Tentu saja upaya guru ibarat menabur pasir di gurun Sahara tidak akan terasa dampaknya.

Langeveld mengemukakan bahwa pendidikan berlangsung dari lahir sampai dewasa yakni sampai seorang anak dapat berdiri sendiri, dapat menentukan mana yang baik dan buruk, serta dapat memilih jalan hidupnya sendiri. Sejumlah ahli pendidikan mengidentifikasi ciri-ciri kedewasaan itu diantaranya adalah memiliki kemantapan emosi, kemampuan beradaptasi dengan lingkungan makin mantap, sanggup memenuhi hak dan kewajiban kelompok sepenuhnya, menyadari

126 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

kekurangan diri yang harus ditingkatkan untuk menyempurnakannya, telah mencapai internalisasi perbuatan moral yakni kemampuan menghayati dan mengamalkan nilai moral dan nilai sosial. Karena demikian beratnya tugas mendidik anak itu mencapai kedewasaan, maka tiada jalan lain kecuali secara sinergi harus dilaksanakan oleh satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat.

Kegiatan di MasyarakatProses pendidikan yang berlangsung di masyarakat modern yang paling menonjol adalah melalui media massa. Pengaruh media massa begitu penting bagi kehidupan, termasuk terhadap dunia pendidikan. Berbagai persoalan pendidikan tidak dapat semuanya diselesaiakan oleh sistem pendidikan pada satuan pendidikan, melainkan perlu menyertakan sistem media massa. Perhatikanlah bagaimana masyarakat kita dewasa ini lebih tersihir oleh infotainment yang ditayangkan televisi daripada pengaruh para guru. Perhatikan pula bagaimana anak lebih menyukai bermain game atau membuka situs pertemanan di internet dibandingkan dengan membaca buku. Fenomena itu menunjukkan bahwa media massa begitu berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat modern, ketimbang pengaruh pendidikan yang berlangsung pada satuan-satuan pendidikan.

Jika demikian bagaimana sikap terhadap media massa, apakah harus kita musuhi? Memusuhi media massa sudah tidak zamannya lagi karena ia pun memiliki sisi yang positif. Media massa memang merupakan pisau bermata dua. Mata yang satu sangat tajam dan dapat memberikan pengaruh buruk bagi penggunanya. Maka, jika menggunakan mata ini akan menyebabkan seseorang bertindak kontraproduktif. Namun, mata sebelahnya terasa begitu lembut dan menyenangkan. Oleh karena itu jika menggunakan media massa dari sisi ini masyarakat akan menjadi bertambah produktif, meningkatkan harkat dan martabat, bahkan dapat mengembangkan karakater.

Bagaimana cara guru memandu para siswa agar mampu memilih media massa dari sisi yang lembut dan menyenangkan? Guru dapat menggunakan pendidikan interventif antara sekolah dan media massa. Intinya adalah bahwa media massa tidak dapat lagi dijauhkan dari kehidupan modern, maka satu-satunya cara guru hendaknya mengintervensi media massa agar menjadi sumber belajar yang

Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan — 127

produktif. Kita ambil contoh ‘Sinetron Cinta Fitri’ yang ratingnya sangat tinggi, sehingga terus dibikin serialnya hingga bertahun-tahun. Padahal tayangan tersebut memiliki sisi buruk yaitu berlarut-larutnya tokoh baik (Fitri) dirundung duka dan nestapa, sedangkan tokoh jahat (Miska) terus-menerus memperoleh berbagai kemujuran. Mengapa hal ini buruk? Albert Bandura pernah melakukan eksperimen terhadap dua kelompok siswa dimana kepada kelompok pertama selalu disajikan tayangan film yang pada setiap akhir episodenya ‘hero’ selalu tidak mujur, seperti disiksa, dimasukan kedalam penjara, keluarganya diterlantarkan, dan sebagainya. Pada kelompok kedua disajikan tayangan yang berbeda dimana ‘hero’ pada setiap akhir episode selalu mujur, mendapatkan penghormatan, disegani orang banyak, dan keluarganya pun hidup sejahtera. Pada akhir eksperimen kedua akelompok siswa itu dites daya kreativitasnya. Hasilnya kelompok pertama amat rendah daya kreativitasnya, sebaliknya kelompok kedua sangat tinggi. Jadi tayangan seperti itu perlu diintervensi guru agar tidak menimbulkan dampak buruk bagi karakter peserta didik. Misalnya guru secara sengaja ingin menangkal pengaruh buruk dari sinetron tadi dengan memberikan tugas terstruktur yang berisi pertanyaan-pertanyaan berikut: (1) Coba kalian saksikan sinetron Cinta Fitri nanti malam dan jelaskan mengapa Miska disebut tokoh antagonis?; (2) layakah dia selalu memperoleh keberuntungan padahal perilakunya sangat buruk?; (3) sebaliknya Fitri sebagai sosok orang baik selalu dirundung duka nestapa, dicelakai oleh Miska secara terus-menerus, apakah ia pantas memperoleh perlakuan tersebut?’ (3) bagaimana akhir cerita sinetron tersebut jika kalian sendiri yang menjadi sutradaranya? Pancingan pertanyaan tersebut diharapkan mampu menggetarkan aspek afektual peserta didik untuk mampu memilih dan memilah pengaruh terpaan media massa, tidak mudah terkena pengaruh buruk.

Berikut ini disajikan uraian tentang sepuluh kebajikan esensial.

128 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

SEPULUH KEBAJIKAN ESENSIAL

1. Kebijaksanaan• Penilaian yang baik; kemampuan untuk mengambil keputusan yang

masuk akal• Memahami cara mempraktikan kebajikan• Membedakan apa yang penting dalam kehidupan; kemampuan untuk

mnentukan prioritas2. Keadilan

• Kewajaran• Menghormati orang lain• Menghormati diri sendiri• Tanggung jawab• Kejujuran• Sopan santun• Toleransi

3. Ketabahan• Keberanian• Kelenturan• Kesabaran• Ketekunan• Daya tahan• Keyakinan diri

4. Kendali diri• Disiplin diri• Kemampuan untuk

mengelola emosi• Kemampuan untuk menahan

atau menunda kepuasan• Kemampuan untuk melawan

godaan• Moderasi• Kendali diri seksual

5. Kasih sayang• Empati• Rasa kasihan• Kebaikan hati

128 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan — 129

• Kedermawanan• Pelayanan• Loyalitas• Patriotisme• Kemampuan untuk

mengampuni6. Sikap positif

• Harapan• Antusiasme• Fleksibilitas• Rasa humor

7. Kerja keras• Inisiatif• Kerajinan• Penentuan sasaran• Kepanjangan daya akal

8. Integritas• Kelekatan terhadap prinsip

moral• Keyakinan terhadap hati

nurani

• Kemampuan mengingat perkataan

• Konsistensi etika• Menjadi jujur dengan diri

sendiri9. Berterima kasih

• Kebiasaan untuk bersyukur• Mengapresiasi bantuan orang

lain• Mengakui utang budi• Tidak mengeluh

10. Kerendahan hati• Kesadaran diri• Kemampuan mengakui

kesalahan dan bertanggung jawab

• Hasrat untuk menjadi orang yang lebih baik. (Sumber: Lickona, 2012).

Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan — 129

130 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Proses Pembelajaran Berbasis Karakter — 131

Karakter merupakan ranah nilai dan moral sehingga cara membelajarkannya memerlukan upaya pembelajaran yang berbasis pengembangan ranah afektif. Dalam konteks ini Hermann

(1972) secara teoretik mengemukakan bahwa “…value is neither taught nor cought, it is learned”, yang artinya bahwa substansi nilai tidaklah semata-mata ditangkap dan diajarkan tetapi lebih jauh, nilai dicerna dalam arti ditangkap, diinternalisasi, dan dibakukan sebagai bagian yang melekat dalam kualitas pribadi seseorang melalui proses belajar.

Dalam hal ini tampak bahwa proses belajar yang dimaksud adalah yang mampu mentransformasikan nilai (transform of value) bukan sekedar menyampaikan pengetahuan (transfer of knowledge). Oleh karena itu perlu mengembangkan model adaftif agar dapat menyelenggarakan proses pembelajaran berbasis karakter. Dalam buku ini penulis memilih Project Citizen sebagai salah satu model yang potensial untuk menyelenggarakan pembelajaran berbasis karakter yang diyakini akan mampu mentransformasikan nilai kepada peserta didik.

5.PROSES PEMBELAJARAN

BERBASIS KARAKTER

132 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Gb. 5.1 Pelatihan Project Citizen bagi para guru di University of Asia and The PacificSumber: http://pcced.org.ph/wp-content/uploads/2011/10/pc1.png

Model Dasar sebagai Sumber AdaptasiModel yang dapat dijadikan sumber adaptasi adalah Program “We the

People … Project Citizen”. Program ini dirancang untuk mengembangkan minat dan kemampuan peserta didik untuk berpartisipasi secara nalar dan penuh tanggung jawab dalam pemerintahan lokal dan nasional. Dampak dan efektivitas program ini, telah dikemukakan dari hasil “assessment” tim di bawah pimpinan Kenneth W. Tolo (1998). Asesment “Project Citizen” di sekolah menengah (Middle School) tersebut didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut (Tolo. et.all. 1998:xv).a. Dalam bentuknya yang paling ideal, “Civic Education” berupaya un-

tuk melibatkan para peserta didik dalam kegiatan masyarakatnya dengan cara mengajarkan keterampilan yang diperlukan guna ber-partisipasi secara efektif.

b. Dalam sistem demokrasi konstitusional, partisipasi warganegara ini sangatlah penting.

c. Pendidikan kewargnegaraan yang efektif yang mengajar warganeg-ara bagaimana berpartisipasi dan memberikan kontribusi terhadap perubahan dalam masyarakat sangatlah kritis bagi kelangsungan komitmen partisipasi warganegara lebih lanjut.

Proses Pembelajaran Berbasis Karakter — 133

d. Usia remaja merupakan saat yang krusial dalam pengembangan per-an dan tanggungjawab warganegara. Pada usia inilah peserta didik menemukan identitas dirinya dan perannya dalam masyarakat seki-tarnya dan masyarakat dalam arti keseluruhan.

e. Dalam kenyataannya, sedikit sekali upaya yang dilakukan untuk mengembangkan kewarganegaraan pada usia ini.Pengembangkan Program “We the People … Project Citizen” dimulai

tahun 1995-1996 yang melibatkan 460 guru di 45 negara bagian di Amerika Serikat yang mencakup 1.000 kelas dengan 28.000 peserta didik. Paket pembelajaran ini dikembangkan atas dasar pendekatan “Reflective Inquiry” yang secara generik memiliki langkah-langkah belajar sebagai berikut. (1) Identifikasi masalah kebijakan publik yang ada dalam masyarakat; (2) Pemilihan masalah sebagai fokus kajian kelas;(3) Pengumpulan informasi terkait masalah yang menjadi fokus kajian

kelas; (4) Pengembangkan sebuah portfolio kelas; dan (5) Kajian reflektif atas pengalaman belajar yang dilakukan (CCE:1998a).

.

Gb. 5.2 Portofolio adalah himpunan hasil kerja kelompok dalam rangka pemecahan masalah

Sumber: http://www.classroomlaw.org/

134 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Titik berat dari paket pembelajaran ini adalah perlibatan peserta didik dalam keseluruhan proses, dan dengan proses itu peserta didik difasilitasi untuk mendapatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan” (CCE,1998). Dalam pelaksanaannya paket pembelajaran “We the People…Project Citizen” ini dikemas dalam suatu skenario atau prosedur dan rambu-rambu pembelajaran yang mecakup 6 (enam) langkah, (CCE,1998b),sebgai berikut.

(1) Mengidentifikasi masalah kebijakan publik yang ada dalam masyarakat. Pada langkah ini kelas difasilitasi untuk dapat mengidentifikasi berbagai ma-salah yang ada di lingkungan masyarakat dengan melalui pengamatan, interviu, dan studi dokumentasi yang dilakukan secara kelompok.

(2) Memilih masalah sebagai fokus kajian kelas. Pada langkah ini, ke-las difasilitasi untuk mengkaji berbagai masalah itu dan kemu-dian memilih satu masalah yang paling layak untuk dipecahkan.

(3) Mengumpulkan informasi terkait masalah yang menjadi fokus kajian kelas. Pada langkah ini kelas difasilitasi untuk mengumpulkan informasi yang diperlukan dalam rangka pemecahan masalah tersebut dari berbagai sumber informasi yang relevan dan tersedia, seperti per-pustakaan, meda massa, kalangan profesional dan ahli, pejabat pemer-intah, organisasi non pemerintah, dan tokoh serta anggota masyarakat.

(4) Mengembangkan suatu portfolio kelas. Pada langkah ini, kelas mengembangkan portofolio berupa himpunan hasil kerja kelom-pok dalam rangka pemecahan masalah tersebut dan menyaji-kannya secara keseluruhan dalam bentuk panel pameran yang dapat dilihat bersama, yang melukiskan saling keterkaitan ma-salah, alternatif kebijakan, dukungan atas alternatif kebijakan, dan rencana tindakan untuk melaksanakan kebijakan tersebut.

(5) Menyajikan portfolio kelas dalam suatu simulasi dengar pendapat. Pada lang-kah ini, keseluruhan portofolio yang telah dikembangkan kemudian disajikan dan dipamerkan kepada civitas akademika dan masyarakat.

(6) Malakukan kajian reflektif atas pengalaman belajar yang dilakukan. Pada langkah terakhir, kembali ke kelas untuk melakukan re-fleksi atau pengendapan dan perenungan mengenai hasil belajar yang dicapai melalui seluruh kegiatan tersebut.

Proses Pembelajaran Berbasis Karakter — 135

Sebagai rambu-rambu dalam kegiatan refleksi tersebut diajukan berbagai pertanyaan reflektif sebagai berikut.

a. “What did I personally learn about public policy from working with my classmates?

b. What did we learn as a class about public policy by developing our portfolio?c. What skills did I learn or improve upon in this project?d. What skills did we learn or improve upon in this project?e. What are the advantages of working as a team?f. What are the disadvantages of working as a team?g. What did I do well?h. What did we do well?i. How can I improve my problem-solving skills?j. How can we improve our problem-solving skills?k. What would we want to do differently, if we were to develop another portfolio

on another public policy issue?” (CCE,1998b)

Paket pembelajaran ini, karena memang sifatnya yang generik dan universal, telah diadopsi diberbagai negara di luar Amerika Serikat seperti Bosnia dan Herzegovina, Brazil, Croatia, Czech Republic, Dominican Republic, Hungary, Israel, Kazakstan, Latvia, Lithuania, Mexico, Northern Ireland and the Republic of Ireland, Poland, Romania, Russia, Slovakia. Di masing-masing negara yang mengadopsi paket pembelajaran ini, paket belajar yang dikembangkan oleh Center for Civic Education (CCE) diterjemanhkan ke dalam bahasa nasionalnya masing-masing dengan adaptasi sebagian dari isinya sesuai dengan konteks masing-masing negara tersebut. Seperti dilaporkan oleh masing-masing anggota delegasi negara tersebut dalam “Summer International Seminar On Civic Education Program di Palermo, Italia, June 17-22, 1999”, paket tersebut ternyata bisa diterapkan dan mendapat sambutan yang luas baik dari dunia persekolahan maupun pemerintah masing-masing negara, dan pada masing-masing negara tersebut kini siap memasuki tahap diseminasi yang lebih luas lagi. Fenomena tersebut dapat dipahami karena memang sifat generik dari paket “We the People… Project Citizen” yang pada dasarnya dikembangkan dari model pendekatan berfikir kritis atau reflektif sebagaimana dirintis oleh John Dewey (1900) dengan paradigma “How We Think”-nya atau model “Reflective Inquiry”-nya Barr, et.al.(1978).

136 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Dampak pembelajaran ternyata bukan saja peserta didik menjadi lebih peka dan tanggap terhadap masalah kebijakan publik tetapi lebih jauh temuan proyek belajar peserta didik itu benar-benar diadopsi oleh pemerintah setempat sebagai bagian dari kebijakan publik di daerahnya. Hal ini terjadi di banyak negara seperti di beberapa negara bagian di USA, beberapa kota di Italia, Bosnia, Rusia, Nigeria, Mongolia, Croatia, Polandia, Ceko, Ukraina, Macedonia, Mesir, Turki, Irlandia, Canada, Slovenia, Rumania, Jerman, Philippina, Kazkastan, dan beberapa negara “emerging democracies” lainnya (CIVITAS:2000). Dengan demikian, para guru dan peserta didik dapat melakukan refleksi atas manfaat nilai dan prinsip demokrasi dalam kehidupan di sekolah yang diintegrasikan dengan kehidupan di dalam masyarakatnya. Di situlah kelas pendidikan demokrasi benar-benar dikembangkan sebagai laboratorium demokrasi yang tidak dibatasi oleh empat dinding ruangan kelas. Untuk Indonesia, model tersebut telah diadaptasi yang diujicobakan oleh Center for Indonesian Civic Education (CICED) bekerjasama dengan Kanwil Depdiknas Jawa Barat dan Pusbangkurrandik. Uji coba dilakukan di enam SLTP Negeri di sekitar Bandung, Jawa Barat dan berlangsung selama satu caturwulan mulai bulan Agustus s/d Nopember 2000. Kemudian secara nasional dirintis penerapannya oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah melalui Proyek Pendidikan Kewarganegaraan dan Budi Pekerti di 70 SMP dan 30 SMA yang tersebar di 15 propinsi tahun 2001-2002, dan melalui program kerjasama Depdiknas dengan Center for Civic Education Indonesia (CCEI) diujicobakan pada 250 SMP yang tersebar di 12 propinsi pada tahun 2002. Dalam kurun waktu 4 (empat) tahun berikutnya, (2003-2006) kegiatan rintisan menjangkau 64 kabupaten/kota dengan cakupan 512 SD, 512 SMP, dan 512 SMA. Dengan demikian dalam kurun waktu 6 (enam) tahun, (2001-2006) rintisan telah menjangkau 1.786 sekolah (SD, SMP dan SMA). Pada jenjang perguruan tinggi model ini mulai diujicobakan tahun 2010 pada perkuliahan Pendidikan Kewarganegaraan di Universitas Pendidikan Indonesia dan pada sejumlah mata kuliah pada Departemen Pendidikan Kewarganegaraan dan pada perkuliahan Belajar dan Pembelajaran Sosiologi pada Program Studi Pendidikan Sosiologi Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial; pada Program Magister Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran; STKIP Pasundan Cimahi; STIKES Bhakti Kencana Bandung; dan Poltekes Kemenkes RI Tasikmalaya. Pada

Proses Pembelajaran Berbasis Karakter — 137

saat bersamaan, di lingkungan masyarakat sekolah dan masyarakat yang lebih luas seyogyanya, juga dikondisikan untuk menjadi “spiral global classroom” (CICED,1999a). Dengan demikian, kesenjangan yang melahirkan kontroversi atau paradoksal antara yang dipelajari di sekolah dengan yang sungguh-sungguh terjadi dalam kehidupan masyarakat secara sistematis dapat diminimumkan. Hal inilah yang ingin dijembatani oleh model Project Citizen.

Gb. 5.3 Pelatihan guru untuk memahiri Project Citizen di IndonesiaSumber: http://www.cce-indonesia.org/

Profil Dasar Model PembelajaranProject Citizen adalah model generik dan mendasar yang dapat

dimuati materi yang relevan di masing-masing negara. Sebagai model dipilih topik generik “Public Policy” (Kebijakan Publik), yang memang berlaku di negara manapun. Misi dari model ini adalah mendidik para peserta didik agar mampu untuk menganalisis berbagai dimensi kebijakan publik, kemudian dengan kapasitasnya sebagai “young citizen” atau warganegara muda mencoba memberi masukan terhadap kebijakan publik di lingkungannya. Hasil yang diharapkan adalah kualitas warganegara yang “cerdas, kreatif, partisipatif, prospektif, dan bertanggung jawab”.

138 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Model Project Citizen memiliki karakteristik substantif dan psiko-pedagogis sebagai berikut. Bergerak dalam konteks substantif dan sosio-kultural kebijakan

publik sebagai salah satu koridor demokrasi yang berfungsi sebagai wahana interaksi warganegara dengan negara dalam melaksanakan hak, kewajiban, dan tanggung jawabnya sebagai warganegara Indonesia yang cerdas, partisipatif dan bertanggung jawab, yang secara kurikuler dan pedagogis merupakan misi utama pendidikan kewarganegaraan.

Menerapkan model “portfolio-based learning” atau “model belajar yang berbasis pengalaman utuh peserta didik” dan “portfolio-assissted assessment” atau “penilaian berbantuan hasil belajar utuh peserta didik” yang dirancang dalam disain pembelajaran yang memadukan secara sinergis model-model “problem solving (pemecahan masalah), social inquiry (penelitian sosial), social involvement (perlibatan sosial), cooperative learning (belajar bersama), simulated hearing (simulasi dengar pendapat), deep-dialogue and critical thinking (dialog mendalam dan berpikir kritis), value clarification (klarifikasi nilai), dan democratic teaching (pembelajaran demokratis)”. Dengan demikian model ini potensial menghasilkan “powerful learning” atau belajar yang berbobot dan bermakna yang secara pedagogis bercirikan prinsip “meaningful (bermakna), integrative (terpadu), value-based (berbasis nilai), challenging (menantang), activating (mengaktipkan), and joyfull (menyenangkan)”.

Kerangka operasional pedagogis dasar yang digunakan adalah modifikasi langkah strategi pemecahan masalah dengan langkah-langkah: Identifikasi Masalah, Pemilihan Masalah, Pengumpulan Data, Pembuatan Portofolio, Show Case, dan Refleksi. Kemasan Portofolionya mencakup Panel Tampilan dan File Dokumentasi dikemas dengan menggunakan sistimatika Identifikasi dan Pemilihan Masalah, Alternatif Kebijakan, Usulan Kebijakan, dan Rencana Tindakan. Sementara itu kegiatan Show Case didesain sebagai forum dengan pendapat (simulated public hearing).Fokus perhatian dari model ini adalah pengembangan”civic

konowledge (pengetahuan kewarganegaraan), civic dispossitions (karakter kewarganegaraan), civic skills (keterampilan kewarganegaraan), civic confidence (kepercayaan diri kewarganegaraan), civic commitment

Proses Pembelajaran Berbasis Karakter — 139

(komitmen kewarganegaraan), civic competence (kompetensi kewargane-garaan)” yang bermuara pada berkembangnya “well-informed, reasoned, and responsible decision making (kemampuan mengambil keputusan berwawasan, bernalar, dan bertanggung jawab)”.

Strategi instruksional yang digunakan dalam model ini, pada dasarnya bertolak dari strategi “inquiry learning, discovery learning, problem solving learning, research-oriented learning (belajar melalui penelitian, penyingkapan, pemecahan masalah)” yang dikemas dalam model “Project” ala John Dewey. Dalam hal ini ditetapkan langkah-langkah sebagaimana telah dijelaskan di atas. Di dalam setiap langkah, para siswa dan mahasiswa belajar secara mandiri dalam kelompok kecil dengan fasilitasi dari guru/dosen dan menggunakan aneka ragam sumber belajar di kampus dan di luar sekolah/kampus (manusia, bahan tertulis, bahan terrekam, bahan tersiar, alam sekitar, artifak, situs sejarah, dan lain-lain). Di situlah berbagai keterampilan dikembangkan seperti: membaca, mendengar pendapat orang lain, mencatat, bertanya, menjelaskan, memilih, merumuskan, menimbang, mengkaji, merancang perwajahan, menyepakati, memilih pimpinan, membagi tugas, menarik perhatian, dan berargumentasi.

Gb.5.4 Showcse adalah kegiatan simulasi dengar pendapat umumSumber: http://ackerman.education.purdue.edu/

140 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Hasil belajar utuh terekam dalam portofolio, yakni tampilan visual dan audio yang disusun secara sistematis yang melukiskan proses berfikir yang didukung oleh seluruh data yang relevan, yang secara utuh melukiskan pengalaman belajar yang terpadu (integrated learning experiences) yang dialami oleh siswa/mahasiswa dalam kelas sebagai suatu kesatuan. Portofolio terbagi dalam dua bagian yakni “Portofolio tampilan”, dan “Portofolio dokumentasi”. Portofolio tampilan (lihat gambar) berbentuk fanel empat muka berlipat yang secara berurutan menyajikan:1. Rangkuman permasalahan yang dikaji2. Berbagai kebijakan alternatif untuk memecahkan masalah3. Usulan kebijakan untuk memecahkan masalah4. Pengembangan rencana tindakan

Portofolio dokumentasi (lihat gambar) dikemas dalam Map Ordner atau sejenisnya yang disusun secara sistematis mengikuti urutan Portofolio Tampilan.

Portofolio Tampilan dan Dokumentasi selanjutnya disajikan dalam suatu simulasi “Public Hearing” atau dengar pendapat yang menghadirkan pejabat setempat yang terkait dengan masalah portofolio tersebut. Acara dengar pendapat dapat dilakukan di masing-masing kelas atau dalam suatu acara “Show Case” atau “Gelar Kemampuan” bersama dalam suatu acara, misalnya pembagian rapor.

Bila dikehendaki arena “show case” tersebut dapat pula dijadikan arena “contest” atau kompetisi untuk memilih kelas portofolio terbaik untuk selanjutnya dikirim ke dalam “Show case and contest” antar program studi dalam lingkungan fakultas atau bahkan universitas atau antarsekolah, atau bahkan untuk acara regional propinsi atau nasional. Tujuan semua itu antara lain untuk saling berbagi ide dan pengalaman belajar antar “young citizens” yang secara psiko-sosial dan sosio-kultural pada gilirannya kelak akan dapat menumbuhkembangkan “karakter bangsa” dalam konteks “harmony in diversity”atau keserasian dalam keberagaman.

Setelah acara dengar pendapat, guru/dosen memfasilitasi kegiatan “refleksi” yang bertujuan untuk secara individual dan bersamasama merenungkan dan mengendapkan dampak perjalanan panjang proses belajar bagi perkembangan pribadi siswa/mahasiswa sebagai

Proses Pembelajaran Berbasis Karakter — 141

warganegara. Ajaklah mereka untuk menjawab pertanyaan “What have I learned most and best? (Apa yang telah saya pelajari?) ” What should I do as a citizen then?”(Apa yang seyogyanya saya lakukan sebagai warganegara dewasa kelak?) . Demikian pula bagi guru/dosen bertanyalah “What have I contributed to the development of Indonesian character in students as young citizens?”(Apa yang telah saya sumbangkan untuk meengembangkan karakter bangsa dalam diri siswa/mahasiswa sebagai warganegara muda?)

Kebijakan Alternatif

Portolpolio Dokumentasi

Permasalahan

Gb. 5.5 Portofolio Tayangan dan DokumentasiSumber: http://4.bp.blogspot.com/

142 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

PILAR PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA

Menurut Michael Josephson (Profesor Emeritus UCLA, USA)1. Trustworthiness (kejujuran, keterpercayaan, integritas,

dan loyalitas).2. Respect (rasa hormat).3. Responsibility (bertanggung jawab).4. Fairness (adil).5. Caring (rasa peduli dan kasih sayang).6. Citizenship (rasa nasionalisme dan cinta tanah air).

Menurut Perspektif Islam1. Tauhidulloh (beriman kepada Allah).2. Al-ihtimam Li-masholihil-umam (kemaslahatan).3. Al’iffah wal-Hayaa (kehormatan diri).4. Hubbul ‘amal wal-wathan (etos kerja dan cinta

tanah air).5. Iitsaarus-salaam wal-mas-uuliyyatul ‘aammah

(menebar rasa damai dan kepedulian).6. Asshidqu wal-amaanah (jujur dan bertanggung

jawab).7. Al-Hikmatu wal’adaalah (adil dan biujaksana).8. Assyajaa’ah wal-istiqomah (berani, tegas, dan

konsisten).9. Ruhul Jihad wal-Ikhlas Limardhaatillaah (gigih dan

berjiwa ikhlas menggapai ridha Allah). (Sumber: Al-Aydarus, 2013).

Menyelenggarakan Project Citizen — 143

Langkah-langkah pelaksanaan modelStrategi instruksional yang digunakan dalam model ini, pada dasarnya bertolak dari strategi “inquiry learning, discovery learning, problem solving learning, research-oriented learning (belajar melalui penelitian, penyingkapan, pemecahan masalah)” yang dikemas dalam model “Project” ala John Dewey. Dalam hal ini ditetapkan langkah-langkah sebagai berikut.

Langkah 1: Mengidentifikasi masalah Belajar itu bukan hanya berisi kegiatan menghapal konsep maupun data dan fakta, melainkan mengasah kemampuan untuk memecahkan masalah (problem solving). Oleh karena itu bahan pelajaran bukan saja berupa seonggok fakta, data, konsep, maupun teori melainkan berbagai masalah sosial yang ada di masyarakat. Untuk keperluan latihan, penulis akan mengambil contoh dari masalah-masalah yang berkaitan dengan berbagai mata pelajaran di sekolah, yakni berbagai masalah yang terjadi di masyarakat yang memperlihatkan cara hidup yang tidak berkarakter. Contohnya masalah perilaku yang buruk dalam berlalu lintas, membuang sampah sembarangan, tidak menyintai lingkungan, perilaku tidak sopan,

6.MENYELENGGARAKAN

PROJECT CITIZEN

144 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

tidak suka bekerja keras, perilaku tidak konsisten, menyalahgunakan wewenang, dan sebagainya.

Selanjutnya para siswa diminta untuk memilih masalah yang perlu dipecahkan karena jika tidak sama halnya dengan membiarkan sesuatu yang merusak karakater pribadi maupun bangsa. Tentu saja masalah yang dipilih harus relevan dengan topik mata pelajaran yang sedang dipelajari.

Setelah membaca daftar contoh masalah itu para siswa akan dapat: Menceritakan kepada teman-temannya di kelas apa yang sudah

diketahuinya berkaitan dengan masalah-masalah tersebut, atau apa yang sudah mereka dengar dari pembicaraan orang-orang tentang masalah-masalah itu.

Mewawancarai orang tua dan tetangga untuk mencatat apa yang mereka ketahui tentang masalah-masalah tersebut, dan bagaimana sikap mereka dalam menghadapi masalah-masalah tersebut.Tujuan tahap ini adalah untuk berbagi informasi yang sudah

diketahui para siswa, oleh teman-temannya, dan oleh orang lain berkaitan dengan permasalahan tersebut. Dengan demikian kelas akan memperoleh informasi yang cukup yang dapat digunakan untuk memilih satu masalah yang tepat, dari beberapa permasalahan yang ada, sebagai bahan kajian kelas.

Diskusi Kelas : Berbagi informasi tentang masalah yang ditemukan dalam masyarakat

Untuk melakukan kegiatan ini seluruh anggota kelas hendaknya: (1) Membaca dan mendiskusikan masalah-masalah yang ada dalam

masyarakat yang dapat dilihat dalam daftar contoh masalah.(2) Buat kelompok yang terdiri atas dua sampai tiga orang. Masing-

masing kelompok akan mendiskusikan satu masalah saja yang berbeda satu sama lain. Kemudian masing-masing kelompok harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang disediakan pada Format Identifikasi dan Analisis Masalah.

(3) Diskusikan jawaban dari masing-masing kelompok dengan seluruh anggota kelas.

(4) Simpanlah hasil-hasil jawaban tersebut untuk dapat digunakan dalam pengembangan portofolio kelas nanti.

Menyelenggarakan Project Citizen — 145

Berikut ini adalah contoh-contoh masalah yang muncul yang merupakan realitas kehidupan di masyarakat.

No Lingkup Masalah

Sikap dan Perilaku Tidak Berkarakter

1 Perilaku yang tidak bijak

Membuat keputusan yang buruk, misalnya kebijakan atasan merugikan bawahan.

Membuat keputusan yang tidak rasional, sehingga membuat orang-orang sulit memahaminya.

Mengetahui makna kebajikan namun dalam praktik tidak melakukannya.

Tidak mampu menentukan skala prioritas.Tidak melakukan sesuatu yang penting dalam

hidupnya, hanya bersenang-senang memenuhi hasrat hewaninya semata-mata.

2 Ketidakadilan Tidak mengikuti aturan main (tidak fair).Tidak menghargai orang lain, misalnya tatkala

nara sumber menyampaikan makalah para audien malah ngobrol, menelpon atau menerima telepon.

Tidak menghargai dirinya sendiri, misalnya seorang yang terpelajar malah tidak suka membaca buku.

Tidak bertanggung jawab, misalnya melalaikan tugas pokoknya, dan melempar tanggung jawab pada pihak lain.

Tidak jujur, seperti berkata bohong, memanipulasi fakta/data, dan menyontek waktu ujian.

Tidak memiliki sopan santun, misalnya berkata kasar, berpenampilan seronok, dan porno aksi.

3 Tidak ulet Tidak teguh hati, misalnya mudah terpengaruh oleh orang lain, mudah goyah, dan tidak konsisten.

Kaku, tidak fleksibel.Tidak sabaran, seperti mudah mengeluh, cepat

marah, dan berperilaku sembrono.Mudah menyerah, misalnya baru sekali gagal

sudah mengalami frustrasi.Kurang memiliki daya tahan, misalnya cepat

lelah, mengantuk, menguap, tidak gesit, dan tidak cekatan.

Kepercayaan diri yang rendah, seperti peragu, tidak mandiri, dan tidak inovatif.

146 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

4 Tidak mampu mengendalian diri

Tidak disiplin, misalnya bangun kesiangan, terlambat masuk kelas, dan terlambat menyerahkan tugas pekerjaan rumah.

Tidak mampu mengendalikan emosi dan gerak hati, misalnya bersedih berkepanjangan, menangis histeris, dan meronta-ronta ibarat kemasukan makhluk halus.

Tidak mampu menunda kesenangan, misalnya asyik menonton televisi pada saat pekan ulangan, bermain sehari penuh pada saat orang tua tergolek sakit.

Tidak mampu melawan godaan, misalnya mencoba-coba merokok, minum-minuman keras, menyontek, dan bolos sekolah.

Bersikap dan berperilaku berlebihan, misalnya dalam berpakaian, berbicara, dan berbelanja.

5 Tidak memiliki rasa cinta

Tidak berempati kepada orang lain, misalnya hidup bergelimang harta tetapi amat kikir, tidak pernah menyantuni fakir miskin dan menyayangi anak yatim.

Tidak memiliki rasa belaskasihan, misalnya suka akan kekerasan, menyiksa anak kecil, melakukan kekerasan dalam keluarga, dan menterlantarkan anak buah.

Berhati buruk, misalnya mencelakai orang lain, memfitnah, dan berniat jahat kepada orang lain.

Kikir, tidak murah hati.Tidak suka memberikan pertolongan kepada orang

lain.Tidak memiliki loyalitas atau kesetiaan kepada

orang lain, negara, dan bangsa.Tidak memiliki jiwa patriotisme, misalnya tidak

bangga sebagai bangsa Indonesia, tidak memiliki hasrat dan kesiapan untuk membela negara dan bangsa dari ancaman musuh, tidak menghargai jasa-jasa para pahlawan, dan tidak serius dalam mengikuti upacara bendera.

Pendendam, tidak memiliki jiwa pemaaf.

Menyelenggarakan Project Citizen — 147

6 Bersikap negatif

Tidak memiliki harapan, hidup selalu mengeluh, protes, pesimis, selalu mencurigai orang lain.

Tidak antusias dalam bekerja, bekerja seadanya atau dalam bahasa Inggris disebut slow but sure, lambat asal selamat.

Tidak fleksibel dalam sikap maupun tindakan, seperti misalnya tampak kaku dalam bersikap maupun bertindak, otoriter, dan biasanya suka main hakim sendiri dan ingin menang sendiri.

Tidak memiliki rasa humor, tampak amat serius, tidak bisa bercanda, dan bersikap amat formal.

7 Tidak suka bekerja keras

Tidak memiliki inisiatif, selalu menunggu perintah, tidak ada gairah untuk melakukan inovasia, dan biasanya tergantung sepenuhnya pada orang lain.

Malas, lamban, tidak gesit dan cekatan, cepat menyerah jika tertimpa kesulitan hidup.

Tidak pandai menetapkan tujuan hidup, biasanya hidup terombangn-ambing tidak jelas arah melangkah, amat mudah dipengaruhi orang lain.

Tidak berdaya, sedikit akal, sedikit upaya, berjalan gontai, tidak bergegas dalam mengerjakan seuatu pekerjaan.

8 Tidak memiliki integritas pribadi

Tidak mematuhi prinsip-prinsip moral, misalnya hidup urakan, tidak konsisten, tidak memiliki standar baku dalam bertindak, tidak handal, sering berganti pandangan dalam waktu yang sangat singkat, sehingga terkesan sebagai orang yang tidak dapat dipegang janjinya.

Tidak mampu menggunakan kata hatinya.Tidak mampu mengontrol kata-katanya, misalnya

dalam bicara selalu ‘nglantur’, kotor, tidak sopan, dan cenderung menyakiti.

Tidak beretika, menghalalkan segala cara, rakus, dan serakah.

Tidak jujur, penuh tipu daya, tidak dapat dipercaya.

148 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

9 Tidak pandai berterima kasih

Tidak pandai brterima kasih, misalnya tipikal orang yang sangat sulit mengucapkan terima kasih atas jasa orang lain, sekalipun mengucapkan terima kasih tidak dibarengi oleh raut wajah yang sungguh-sungguh, sepertinya ucapan itu hanya basa-basi belaka. Sebaliknya orang-orang yang demikian itu sangat sulit menyebutkan kata maaf atas segala hal yang membuat orang lain terganggu oleh perbuatannya.

Sulit mengapresiasi keberhasilan atau prestasi orang lain, misalnya hanya menyebutkan lumayan, cukup, atau kata-kata lainnya dan amat sulit menyebut bagus (good). Padahal dalam bahasa Inggris menyebut bagus saja (good) itu belum seberapa, karena di atasnya ada very good, exelence, bahkan di Australia orang memberi pujian tertinggi dengan menyebut welldone. Bentuk pujian dengan memberi tepuk tangan pun sangat kikir, berbeda misalnya orang-orang di negara maju dalam memberikan apresiasi itu dengan tepuk tangan yang sangat panjang (big hand).

Terlampau banyak mengeluh, mengadu, dan menuntut hak (bila perlu secara paksa dan kekerasan) tetapi segan menerima kewajiban bagi kepentingan umum (strong sense of entitlement).

10 Tinggi hati Sombong dan angkuh, tidak terlampau mempedulikan keberadaan orang lain.

Sulit mengakui kesalahan, alih-alih meminta maaf atas segala kesalahannya itu.

Tidak memiliki hasrat atau keinginan untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Pemanfaatan kepentingan pribadi tidak diimbangi dengan komitmen pada komunitas.

Pekerjaan RumahAgar para siswa dapat memahami masalah lebih mendalam lagi, maka mereka diberi tugas pekerjaan rumah disamping untuk membantu mempelajari lebih banyak masalah yang ada dalam masyarakat. Pekerjaan rumah itu berupa tiga tugas yang akan dijelaskan di bawah ini. Para siswa juga bisa mempelajari kebijakan-kebijakan publik apa yang sudah dibuat untuk menangani masalah-masalah tersebut. Gunakanlah format yang telah disediakan untuk mencatat semua informasi yang dikumpulkan. Simpanlah semua informasi yang telah diperoleh sebagai

Menyelenggarakan Project Citizen — 149

bahan dokumentasi. Dokumentasi informasi itu akan berguna sekali sebagai bahan pembuatan portofolio kelas. Tugas-tugas pekerjaan rumah itu antara lain:a. Tugas wawancara. Setiap siswa memilih satu masalah yang telah

mereka pelajari sebagaimana yang terdapat pada daftar contoh masalah di atas. Mereka juga dapat memilih masalah lain di luar daftar contoh masalah. Para siswa ditugasi untuk mendiskusikan masalah yang mereka pilih dengan keluarganya, temannya, tetangganya, atau siapa saja yang dianggap bisa diajak berdiskusi. Catatlah apa yang telah mereka ketahui tentang masalah itu, serta bagaimana perasaan mereka dalam menghadapi masalah itu. Gunakanlah Format Wawancara untuk mencatat semua informasi yang diperoleh.

b. Tugas Menggunakan Media Cetak. Siswa diberi tugas membaca surat kabar atau media cetak lainnya yang membahas masalah yang sedang diteliti. Carilah informasi tentang kebijakan yang dibuat pemerintah dalam menangani masalah itu. Bawalah artikel-artikel yang mereka temukan ke kampus. Bagikan bahan-bahan itu kepada guru dan siswa lain. Gunakanlah format Sumber Informasi Media Cetak.

c. Tugas Menggunakan Radio/TV. Para siswa juga diminta menonton TV dan mendengar radio untuk mendapatkan informasi mengenai masalah yang sedang mereka teliti, serta kebijakan apa yang dibuat untuk menanganinya. Bawalah informasi yang mereka dapatkan ke kampus dan bagikanlah kepada guru dan teman-teman sekelas. Gunakanlah Format Observasi Radio/TV.

Gb.6.1 Langkah awal melaksanakan Project Citizen adalah mengindentifikasi masalah dalam kelompok kecil di kelas

Sumber: http://ekalestari359.blog.com/files/2010/07/06032010449-small.jpg

150 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

FORMAT IDENTIFIKASI MASALAH DAN ANALISIS MASALAH

Nama anggota kelompok : ....................................................Tanggal : ....................................................Masalah : ....................................................

1. Apakah masalah tersebut di atas adalah masalah yang dianggap penting oleh kelompok mahasiswa sendiri juga oleh masyarakat? Mengapa demikian?

........................................................................................................................

2. Tingkat atau lembaga pemerintah manakah yang bertanggung jawab untuk menangani masalah tersebut ?

........................................................................................................................

3. Kebijakan apakah, jika belum ada, yang harus diambil oleh pemerimtah untuk menangani masalah tersebut ?

........................................................................................................................

Jika memang kebijakan untuk menangani permasalahan itu sudah dibuat, jawablah pertanyaan berikut ini!a. Apakah keuntungan dan kerugian dibuatnya kebijakan tersebut?b. Adakah kemungkinan kebijakan itu dapat diperbaharui? Bagaimana

caranya?c. Apakah kebijakan tersebut perlu diganti ? Mengapa ?

4. Untuk memperoleh lebih banyak lagi informasi tentang masalah ini sumber apa lagi yang dapat dipergunakan ? Langkah-langkah apa yang dapat dilakukan oleh masing-masing anggota kelompok ?

........................................................................................................................

5. Adakah masalah lain dalam masyarakat yang dianggap penting untuk dijadikan bahan kajian kelas ? Masalah apakah itu ?

Menyelenggarakan Project Citizen — 151

FORMAT WAWANCARA

Nama pewawancara : ....................................................Masalah : ....................................................

1. Nama yang diwawancarai : ............................................................................. (Misalnyan tokoh masyarakat, orang tua murid, pejabat pemerintah,

pengusaha, dosen perguruan tinggi, dan lain-lain). Catatan: Jika yang diwawancarai tidak mau dicatat namanya, hormatilah keinginan itu. Pewawancara cukup menuliskan pekjerjaannya saja.

2. Jelaskan masalah yang sedang diteliti kepada orang yang diwawancarai. Kemudian ajukan pertanyaan berikut. Catatlah jawaban yang diberikan.a. Apakah Bapak/Ibu menganggap masalah ini penting? Mengapa? ..........................................................................................................b. Apakah menurut Bapak/Ibu masalah ini juga dianggap penting

oleh warga masyarakat yang lain Mengapa ? ...................................................................................................c. Kebijakan apakah, jikabelum ada, yang harus dibuat untuk

menangani masalah ini ? ..........................................................................................................

3. Jika memang kebijakan untuk menangani masalah itu sudah dibuat, tanyakanlah persoalan-persoalan berikut ini:a. Apakah keuntungan dari kebijakan tersebut ? ..........................................................................................................b. Apakah kerugian dari kebijakan tersebut ? ..........................................................................................................c. Adakah kemungkinan kebijakan itu dapat diperbaharui ?

Bagaimana caranya ? ..........................................................................................................d. Apakah kebijakan itu perlu diganti ? Mengapa ? ..........................................................................................................e. Apakah dalam masyarakat ditemukan adanya perbedaan-

perbedaan pendapat berkenaan dengan dibuatnya kebijakan tersebut ? Apa sajakah silang pendapat tersebut ?

..........................................................................................................f. Di mana dapat memperoleh lebih banyak informasi untuk

memahami masalah ini ? ..........................................................................................................

152 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

FORMAT SUMBER INFORMASI MEDIA CETAK

Nama pengobservasi : ....................................................Tanggal : ....................................................Masalah : ....................................................Nama/tanggal penerbitan : ....................................................Topik artikel/berita : ....................................................

1. Apakah langkah-langkah yang diambil (yang ditulis dalam artikel/berita) untuk menangani masalah yang sedang diteliti ?

.................................................................................................................. ..................................................................................................................

2. Apakah langkah-langkah pokok yang ditulis dalam artikel/berita itu ?

.................................................................................................................. ..................................................................................................................

3. Menurut artikel/berita itu, dari kebijakan yang sudah ada, kebijakan manakah yang harus digunakan untuk menangani masalah tersebut?

.................................................................................................................. ..................................................................................................................

4. Jika memang kebijakan untuk menangani masalah itu sudah dibuat, tanyakanlah persoalan-persoalan berikut ini:a. Apakah keuntungan dari kebijakan tersebut ? ........................................................................................................... ...........................................................................................................b. Apakah kerugian dari kebijakan tersebut ? ........................................................................................................... ...........................................................................................................c. Adakah kemungkinan kebijakan itu dapat diperbaharui?

Bagaimana caranya ? ........................................................................................................... ...........................................................................................................d. Apakah kebijakan itu perlu diganti ? Mengapa ? ............................................................................................................ ............................................................................................................

Menyelenggarakan Project Citizen — 153

FORMAT OBSERVASI RADIO/TELEVISI/INTERNET

Nama pengobservasi : ....................................................Nama Radio/TV : ....................................................Tanggal : ....................................................Waktu : ....................................................Masalah : ....................................................

1. Tuliskan nama sumber informasi. (Informasi bisa diperoleh dari program berita televisi atau radio, rekaman berbagai kejaian, dokumentasi, talk-show, dialog interaktif, atau program lain yang berkaitan dengan masalah yang sedang diteliti).

……………………………………………………………………………2. Menurut sumber informasi tersebut, apakah masalah yang sedang

diteliti itu dianggap sebagai masalah yang penting ? Mengapa ? ……………………………………………………………………………3. Menurut sumber informasi tersebut, kebijakan apakah yang harus

digunakan untuk menangani masalah tersebut ? …………………………………………………………………………… Jika memang kebijakan untuk menangani masalah itu sudah dibuat,

jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini berdasarkan informasi yang diperoleh.

a. Apakah keuntungan dari kebijakan tersebut ?...........................................................................................................

b. Apakah kerugian dari kebijakan tersebut ?............................................................................................................

c. Adakah kemungkinan kebijakan itu dapat diperbaharui ? Bagaimana caranya ?............................................................................................................

d. Apakah kebijakan itu perlu diganti ? Mengapa ?............................................................................................................

e. Apakah dalam masyarakat ditemukan adanya perbedaan pendapat berkenaan dengan dibuatnya kebijakan tersebut ? Apa sajakah silang pendapat tersebut ? ............................................................................................................

154 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Kegiatan pada langkah pertama ini memberikan banyak pengalaman belajar kepada para siswa, di antaranya mengasah kepekaan terhadap persoalan di lingkungannya. Hal ini tumbuh berkat belajar berbasis pemecahan masalah (problem solving). Pada saat para siswa diperkenalkan pada sejumlah persoalan yang terkait dengan bahan pelajaran akan menyadarkan mereka bahwa belajar sesungguhnya harus sampai pada adanya upaya untuk menyelesaikan persoalan kehidupan, bukan menghafalkan seonggok fakta dan data. Pengalaman belajar lain yang tumbuh adalah meningkatnya rasa ingin tahun (curiosity). Hal ini terjadi pada saat para siswa mencari data dan informasi yang mendukung pentingnya masalah dijadikan bahan kajian kelas. Mereka melakukan wawancara terhadap sejumlah nara sumber, mencari informasi dari berita dan artikel surat kabar, menyaksikan siaran radio, televisi, dan bahkan mencari informasi dari internet. Proses inilah yang mengasah rasa ingin tahu mereka untuk menegaskan bahwa masalah yang mereka ajukan itu penting berdasarkan fakta dan data lapangan, tidak atas dasar akal sehat (common sense) belaka.

Langkah 2: Memilih masalah untuk bahan kajian kelasKelas hendaknya mendiskusikan semua informasi yang telah didapat berkenaan dengan daftar masalah yang ditemukan dalam masyarakat. Jika para siswa telah memiliki informasi yang cukup, gunakanlah itu untuk memilih masalah yang hendak dipilih sebagai bahan kajian kelas. Tujuan tahap ini adalah agar kelas dapat memilih satu masalah sebagai bahan kajian kelas. Dengan demikian kelas memiliki satu masalah yang merupakan pilihan bersama untuk dijadikan bahan kajian kelas.

Bagaimana cara mengetahui apakah kelas sudah memiliki cukup informasi untuk memilih masalah atau belum? Gunakanlah langkah-langkah berikut untuk membantu siswa memilih satu masalah khusus sebagai bahan kajian kelas.a. Apabila kelas sudah menganggap bahwa informasi yang dikumpulkan

sudah cukup untuk digunakan dalam mengambil keputusan, maka pemilihan masalah yang akan menjadi bahan kajian kelas dapat dilakukan. Keputusan dapat diambil melalui musyawarah kelas. Jika cara musyawarah belum berhasil mencapai kata sepakat, keputusan dapat diambil dengan suara terbanyak (voting).

Menyelenggarakan Project Citizen — 155

b. Wakil setiap kelompok kecil yang sudah ditugasi untuk mempertimbangan dan membahas satu masalah diminta untuk menjelaskan pentingnya masalah. Kegiatan ini dijadikan ajang untuk mempromosikan agar masalah dipilih oleh kelas.

c. Guru memimpin musyawarah agar kelas dapat memilih satu masalah sebagai bahan kajian kelas. Namun jika proses musyawarah tidak kunjung menghasilkan keputusan, misalnya karena masing-masing kelompok kecil bersikukuh untuk mengangkat masalah pilihannya masing-masing, keputusan dapat diambil melalui suara terbanyak (voting).Proses pengambilan putusan melalui suara terbanyak dapat

dilakukan dua tahap. Tahap pertama setiap siswa memilih tiga masalah yang mereka anggap paling penting untuk dijadikan bahan kajian kelas. Tahap ini dapat dilakukan dengan cara pemilihan terbuka, misalnya setiap siswa memberi tanda tally pada daaftar masalah yang sudah ditulis pada papan tulis di depan kelas. Tahap kedua setiap siswa diminta memilih satu masalah yang dinilai paling penting untuk dijadikan bahan kajian kelas dari tiga pilihan yang tersedia. Pemilihan tahap kedua dapat dilakukan secara tertutup, misalnya setiap siswa menuliskan pilihannya pada secarik kertas kemudian dilipat dan diberikan kepada guru. Agar memberikan pengalaman lebih bagi siswa dalam penyelenggaraan pemilihan, guru dapat saja membentuk semacam panitia, misalnya ada yang ditunjuk sebagai ketua, sekretaris, dan seorang saksi untuk keperluan penghitungan suara nanti.

Kita akan membuat contoh untuk lebih memahami langkah kedua ini. Misalnya pada langkah awal pembelajaran kelas telah dibagi kedalam sepuluh kelompok kecil. Sehingga setelah kelompok kecil itu bekerja menimbang-nimbang dan memilih masalah, maka akan terkumpul sepuluh masalah yang disampaikan pada forum kelas. Selanjutnya dibuatlah daftar masalah di papan tulis seperti contoh berikut.

Daftar masalah yang diusulkan kelas yang berkenaan dengan sikap dan perilaku yang tidak berkarakter.(1) Perilaku yang tidak bijak.(2) Ketidakadilan.(3) Tidak ulet.(4) Tidak mampu mengendalikan diri.

156 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

(5) Tidak memiliki rasa cinta.(6) Bersikap negatif.(7) Tidak suka bekerja keras.(8) Tidak memiliki integritas pribadi.(9) Tidak pandai berterima kasih.10. Tinggi hati.

Pada pemilihan tahap pertama diperoleh tiga besar masalah yang paling diminati para siswa, yakni (1) Tidak pandai berterima kasih; (2) Tidak memiliki rasa cinta; dan (3) Ketidakadilan. Perhatikanlah contoh hasil pemilihan tahap pertama yang menghasilkan tiga besar masalah yang paling diminati para siswa berikut ini.

No Masalah yang Diusulkan Jumlah Pemilih1 Perilaku yang tidak bijak. 62 Ketidakadilan. 153 Tidak ulet. 94 Tidak mampu mengendalikan diri. 65 Tidak memiliki rasa cinta. 186 Bersikap negatif. 67 Tidak suka bekerja keras. 128 Tidak memiliki integritas pribadi. 129 Tidak pandai berterima kasih. 3310 Tinggi hati. 3

Jumlah Suara 120

Pemilihan tahap pertama berhasil memilih tiga masalah yang dinilai paling penting oleh para siswa, yakni (1) Tidak pandai berterima kasih memperoleh 11 suara; (2) Tidak memiliki rasa cinta memperoleh 6 suara dan (3) Ketidakadilan memperoleh 5 suara. Sehubungan kelas harus menetapkan hanya satu masalah untuk bahan kajian kelas, maka harus dilakukan pemilihan tahap kedua. Untuk memberi penekanan pada asas rahasia, maka pada pemilihan tahap kedua itu dilakukan secara tertutup dimana setiap siswa hanya memiliki satu suara (one man one vote) dan suara diberikan dengan cara menuliskan masalah yang dipilih pada surat

Menyelenggarakan Project Citizen — 157

suara yang sudah disiapkan. Agar kegiatan pemilihan ini meriah dan memberikan pengalaman belajar pada para siswa, sebelum pemilihan berlangsung harus diadakan kampanye untuk mempromosikan masing-masing masalah. Juru kampanye dipilih dari kelompok pendukung masing-masing masalah. Setelah seluruh juru kampanye selesai mempromosikan masalahnya masing-masing, maka pemilihan tahap kedua pun dapat dimulai. Selanjutnya apabila seluruh peseta didik telah selesai memberikan suaranya, panitia pemungutan suara dapat mengumpulkan surat suara, memeriksa jumlahnya dan melakukan perhitungan. Hasilnya seperti yang dicontohkan berikut ini.

No Masalah yang Diusulkan Jumlah Pemilih1 Tidak pandai berterima kasih. 162 Tidak memiliki rasa cinta. 103 Ketidakadilan 134. Abstain 1

Jumlah siswa 40

Berdasarkan contoh di atas, pemilihan tahap kedua berhasil memilih satu masalah sebagai bahan kajian kelas, yakni bagaimana upaya menanggulangi kebiasaan masyarakat yang tidak pandai berterima kasih, yang memperoleh suara terbanyak. Selanjutnya panitia menetapkan masalah tersebut sebagai bahan kajian kelas. Tentu saja semua peserta anggota kelas harus mendukung keputusan ini walaupun pada mulanya mempunyai pilhan yang lain.

Kegiatan pada langkah kedua ini banyak memberikan pengalaman belajar kepada para siswa, misalnya mereka dibiasakan untuk membuat keputusan secara nalar dan penuh keyakinan. Keputusan tidak diambil ‘sembrono’ berdasarkan perasaan atau mengikuti kaprah umum. Pengalaman belajar demikian diperoleh setelah para siswa diajak untuk memutuskan pilihan berdasarkan pertimbangan yang sangat matang, penuh dengan pertimbangan dari berbagai segi. Misalnya, untuk memperoleh pilihan terbaik dari sepuluh alternatif pertama-tama dipilih terlebih dahulu tiga terbaik. Selanjutnya dari tiga terbaik dipilih satu yang terbaik setelah memperhatikan penjelasan-penjelasan secara

158 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

rasional. Cara berpikir demikian akan mengurangi risiko salah pilih karena dilakukan secara gegabah. Pengalaman belajar lainnya yang dipelajari pada kegiatan tahap dua ini adalah sikap tanggung jawab untuk melaksanakan keputusan bersama. Sikap ini lahir setelah para siswa secara sungguh-sungguh melaksanakan proses pemilihan yang menghasilkan satu keputusan. Siapa yang harus melaksanakan keputusan ini adalah seluruh anggota kelas, bukan hanya kelompok pengusul.

Langkah 3: Mengumpulkan data dan informasiJika telah menentukan masalah yang akan menjadi bahan kajian kelas, maka para siswa harus bisa memutuskan tempat-tempat atau sumber-sumber informasi untuk memperoleh data dan informasi. Dalam pencarian itu, nantinya mereka akan menemukan bahwa sumber informasi yang satu mungkin lebih baik dari yang lainnya. Misalnya kalau pilihan masalah adalah kebiasaan masyarakat yang tidak pandai berterima kasih, mereka akan menemukan bahwa seseorang dan/atau sekelompok orang ternyata memiliki informasi yang lebih baik dari yang lainnya. Tujuan tahap ini adalah agar kelas dapat memperoleh data dan informasi yang akurat dan komprehensif untuk memahami masalah yang menjadi kajian kelas.

Aktifitas kelas mengidentifikasi sumber-sumber informasiSebelum terjun ke lapangan terlebih dahulu kelas harus mengidentifikasi sumber-sumber informasi apa saja yang dapat dikunjungi. Berikut ini adalah daftar sejumlah sumber informasi yang dapat dikunjungi. Baca dan diskusikanlah daftar tersebut. Tentukan sumber-sumber manakah yang akan dihubungi, kemudian bentuklah beberapa tim peneliti. Setiap tim peneliti harus mengumpulkan informasi dari beberapa sumber baik dari sumber-sumber yang ada dalam daftar maupun sumber-sumber lainnya. Format yang akan digunakan untuk mengumpulkan dan mencatat informasi tersebut tertera pada halaman-halaman di bawah nanti. Rujuklah contoh-contoh sumber informasi dan bagaimana cara mengontak mereka. Mintalah surat pengantar dari sekolah untuk mengunjungi sumber-sumber informasi tersebut.

Dalam mengumpulkan informasi, tim peneliti dapat dibantu beberapa orang sukarelawan, misalnya orang tua siswa atau alumni.

Menyelenggarakan Project Citizen — 159

Namun mereka hendaknya tidak boleh mengerjakan tugas-tugas yang harus dikerjakan siswa. Catat dan simpanlah semua informasi yang dikumpulkan untuk dapat digunakan lagi dalam pengembangan portofolio kelas. Para siswa boleh juga mengundang beberapa nara sumber ke kelas/sekolah. Mereka dapat memberikan informasi tentang apa yang telah mereka ketahui berkaitan dengan masalah yang sedang dipelajari.

Contoh - contoh sumber informasi1. Perpustakaan. Perpustakaaan perguruan tinggi, umum, dan

perpustakaan daerah menyediakan buku-buku yang membahas masalah sosial, politik, dan sebagainya. Disamping itu mungkin juga memiliki koleksi jurnal, surat kabar dan publikasi lainnya yang memuat informasi tentang masalah yang sedang diteliti tersebut. Kalau ingin memfotokopi informasi tersebut, tanyalah pada pctugas apakah bisa memfotokopinya di luar perpustakaan atau apakah perpustakaan tersebut menyediakan mesin fotokopi sendiri.

Gb. 6.2 Di perpustakaan tersimpan beragam informasi yang diperlukan

Sumber: http://citraratnap.files.wordpress.com /2010/04/img_1777.jpg

160 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

2. Kantor Penerbit Surat Kabar. Para siswa dapat menghubungi kantor-kantor surat kabar. Di sana para wartawan surat kabar bertugas mengumpulkan informasi tentang masalah-masalah yang muncul dalam masyarakat, termasuk masalah yang sedang dikaji oleh kelas, serta mencari informasi tentang sikap pemerintah dalam menangani masalah tersebut. Kantor-kantor surat kabar dan para wartawan mungkin dapat memberikan kliping tentang masalah yang sedang dipelajari itu. Tanyalah apakah mereka menyediakan foto-foto yang dapat dibeli dengan harga yang relatif murah.

3. Biro Kliping. Di beberapa tempat terutama di kota besar terdapat kelompok kreatif yang bekerja mengumpulkan informasi dari berbagai surat kabar dalam bentuk kliping. Informasi yang dihimpun sudah diklasifikasikan berdasarkan jenis-jenis persoalan. Oleh karena itu tim dapat mengunjunginya untuk memperoleh informasi yang diperlukan. Biasanya kliping yang sudah dibuat mereka harus kita beli. Maka pilihlah beberapa artikel atau berita yang relevan saja untuk memecahkan masalah yang menjadi bahan kajian kelas.

4. Profesor dan pakar di perguruan tinggi. Profesor dan pakar di perguruan tinggi yang berkaitan dengan masalah yang sedang diteliti dapat dijadikan sumber informasi. Para siswa bisa mencari alamat mereka dari buku telepon. Atau dapat menghubungi perguruan tinggi yang bersangkutan untuk mendapat bantuan dari para ahli, seperti ahli ilmu politik, hukum tata negara, pendidikan kewargaanegaraan, sosiologi, antropologi, psikologi sosial, dan sebagainya. Tim peneliti juga boleh juga menghubungi guru-guru lain yang ada di sekolahnya atau tetangga sekolah yang diperkirakan memahami persoalan yang sedang dibahas.

Dalam mengumpulkan informasi, tim peneliti dapat dibantu beberapa orang sukarelawan, misalnya orang tua siswa

atau alumni. Namun mereka hendaknya tidak boleh mengerjakan tugas-tugas yang harus

dikerjakan siswa.

Menyelenggarakan Project Citizen — 161

Gb. 6.3 Project Citizen di Cina mendorong para siswa belajar memecahkan masalahSumber: http://in.asiancancer.com/img/article/2011/1/10/6.jpg

5. Kepolisian. Kepolisian memiliki peran menjaga ketertiban masyarakat. Oleh karena itu mereka mempunyai banyak pengalaman dalam menangani persoalan-persoalan yang terkait dengan masalah yang sedang dikaji oleh kelas. Misalnya dalam menangani demonstrasi yang menjurus anarkis yang mengakibatkan kerusakan berbagai sarana umum bahkan menimbulkan huru-hara yang besar. Disamping itu polisi pun sering kali menangani kasus pertikaian anataretnik, antarkelompok masyarakat, dan bahkan antarumat beragama yang mengindikasikan lunturnya semangat kebangsaan. Galilah informasi dari mereka bagaimana upaya terbaik untuk mencegah kasus serupa terulang kembali.

6. Organisasi Masyarakat. Organisasi masyarakat di Indonesia cukup banyak yang dapat kita temukan. Contohnya adalah organisasi PKK untuk ibu rumah tangga, atau KNPI yaitu organisasi pemuda, organisasi keagamaan, dan sebagainya. Kunjungilah organisasi-organisasi masyarakat yang terkait dengan masalah yang sedang dikaji oleh kelas untuk memperoleh informasi sebab-sebab masalah tersebut muncul dan upaya menanggulanginya.

7. Kantor Legislatif dan Pemerintah Daerah. Wakil rakyat yang duduk dalam lembaga legislatif dan kantor pemerintahan baik

162 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

pusat maupun daerah adalah pejabat yang bertanggung jawab mengidentifikasi masalah yang ada dalam masyarakat. Mereka juga berkewajiban untuk membuat kebijakan publik untuk menangani masalah yang telah diidentifikasi. Biasanya di kantor tersebut akan ada petugas yang bertanggung jawab membantu siapa saja dalam memperoleh informasi tentang masalah-masalah dalam masyarakat. Mintalah bantuan pada guru, orangtua siswa, atau sukarelawan untuk mengetahui bagaimana cara menghubungi mereka.

8. Lembaga Swadaya Masyarakat. Orang-orang yang bekerja pada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga dapat membantu memberikan informasi bagi kajian masalah kelas. Mereka sangat memahami berbagai masalah yang ada di masyarakat dan bereperan aktif dalam usaha menanggulanginya, termasuk persoalan yang menjadi bahan kajian kelas.

9. Jaringan Informasi Elektronik. Informasi tentang apa, mengapa, dan bagaimana kebiasaan masyarakat yang tidak pandai berterima kasih, juga dapat ditemukan melalui internet. Apabila sekolah tidak mempunyai akses terhadap pelayanan ini, para siswa dapat pergi ke warnet (Warung Internet) yang menyediakan jasa penyewaan pemakaian Internet.

Panduan untuk memperoleh dan mendokumentasikan informasiNara sumber yang akan dijadikan sumber informasi biasanya merupakan orang-orang yang sangat sibuk. Ikutilah langkah-langkah berikut ini agar aktivitas tim peneliti tidak menganggu pekerjaan mereka di kantor.a. Kunjungi perpustakaan, kantor-kantor pemerintah/swasta, dan

tempat-tempat yang dianggap tepat untuk mendapatkan informasi tentang masalah yang dikaji oleh kelas secara perorangan atau 2 orang dalam satu kelompok. Gunakan Format Dokumentasti dan Informasi dari Kantor Penerbitan.

b. Dapatkan informasi melalui telepon. Agar tidak terjadi pengulangan pertanyaan, tugas menelpon ini hanya boleh dilakukan oleh satu orang saja. Oleh karena itu, harus diingat bahwa tim peneliti yang bertugas mencari informasi melalui telepon harus dapat mencatat secara jelas semua informasi yang diperoleh selama wawancara

Menyelenggarakan Project Citizen — 163

telepon. Gunakan Format Dokumentasi Informasi dari Surat-menyurat atau Wawancara Telepon.

c. Surat boleh ditulis oleh satu orang atau lebih tim peneliti. Surat tersebut ditujukan kepada masing-masing kantor atau perorangan dengan tujuan untuk meminta beberapa informasi yang diperlukan. Tim peneliti juga boleh menggunakan alamat rumahnya.

Pekerjaan Rumah Meneliti Masalah yang Muncul dalam MasyarakatSetelah memutuskan sumber-sumber informasi yang akan digunakan, kelas akan dibagi dalam beberapa kelompok peneliti. Masing-masing kelompok peneliti bertanggung jawab untuk mengumpulkan informasi dari sumber yang beragam. Apabila terpilih menjadi anggota tim peneliti yang bertugas untuk menghubungi salah satu sumber informasi, mulailah dengan memperkenalkan diri sendiri. Kemudian jelaskan tujuan atau alasan mengapa tim peneliti menghubunginya. Gunakan panduan berikut ini untuk memperkenalkan diri baik dalam surat menyurat atau tatap muka langsung. Gunakan Format Dokumentasi Informasi dari Surat-menyurat atau Wawancara Telepon.

Gb. 6.4 Selepas sekolah dapat mengadakan kerja kelompok untuk memahami masalah yang akan dipilih untuk bahan kajian kelas

Sumber: http://erviaudina.files.wordpress.com/2010/07/sii-allay-annay05403.jpg

164 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

PANDUAN MEMPERKENALKAN DIRI SENDIRI

Nama saya : ....................................................................................Saya sekolah di : ....................................................................................Kelas : ....................................................................................Guru saya : ....................................................................................

Masalah yang sedang dikaji adalah kebiasaan masyarakat yang tidak pandai berterima kasih. (Gambarkan masalah secara singkat). Saya bertanggung jawab untuk mencari informasi yang berkaitan dengan masalah tersebut untuk disampaikan di kelas). Kami sedang mempelajari permasalahan yang ada di tempat kami dan bagaimana pemerintah menangani permasalahan itu. Kami juga mempelajari cara-cara apa sajakah yang dapat ditempuh oleh masing-masing warganegara untuk dapat ikut berpartisipasi dalam menyelesaikan permasalahan tersebut.

• Apakah sekarang saya boleh mengajukan sejumlah pertanyaan? • Kalau tidak bisa kapankah saya bisa menghubungi Bapak /Ibu

kembali?• Adakah orang lain lagi yang harus saya hubungi? • Apakah Bapak/Ibu mempunyai informasi tertulis tentang

masalah tersebut untuk diberikan kepada saya? (Jika wawancara ini dilakukan melalui telepon, tim peneliti dapat membuat janji kapan informasi tertulis itu akan diambil).

Gb. 6.5 Melakukan wawancara dengan nara sumberSumber: http://mediacenter.malangkota.go.id/

Menyelenggarakan Project Citizen — 165

DOKUMENTASI INFORMASI DARI KANTOR PENERBITAN

Nama-nama anggota tim peneliti____________________ Tanggal_____________________ Nama perpustakaan, kantor, perwakilan, atau warnet yang dikunjungi_____________________________________Masalah yang sedang diteliti kebiasaan masyarakat yang tidak pandai berterima kasih.

1. Sumber informasi :a. Nama Penerbit_____________________________b. Nama Pengarang ___________________________ c. Tanggal Penerbitan____________________________

2. Tanyakanlah pertanyaan-pertanyaan berikut. (Catatlah informasi yang diterima).

a. Seberapa seriuskah masalah ini dalam masyarakat?b. Seberapa luaskah penyebaran masalah ini dalam masyarakat?c. Manakah hal-hal berikut ini yang Bapak/Ibu anggap benar?

Tidak ada Undang-Undang atau kebijakan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah ini. Ya____ Tidak ____

Undang-Undang atau kebijakan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalali ini tidak cukup memadai. Ya____ Tidak ___

Undang-Undang yang digunakan untuk memecahkan masalah ini sudah cukup memadai tetapi tidak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Ya____ Tidak __

d. Tingkat dan lembaga pemerintah manakah yang bertanggungjawab untuk menangani masalah itu? Apa yang mereka lakukan untuk menangani masalah itu?

e. Apakah dalam masyarakat ditemukan adanya perbedaan-perbedaan pendapat berkenaan dengan dibuatnya kebijakan tersebut? Sebutkan beberapa silang pendapat tersebut?

f. Suara mayoritas siapakah (mdividu, kelompok, atau organisasi) yang banyak mengungkapkan pendapatnya berkenaan dengan masalah ini? Mengapa mereka tertarik dengan masalah ini? Langkah-langkah apakah yang telah mereka ambil? Apakah keuntungan dan kerugian dari pengambilan langkah-langkah tersebut di atas?

166 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

g. Bagaimana cara saya dan teman-teman sekelas saya dapat mcmperoleh informasi-informasi mengenai langkah-langkah yang telah mereka ambil?

FORMAT DOKUMENTASI INFORMASI DARI SURAT-MENYURAT ATAU WAWANCARA TELEPON

Nama anggota tim peneliti__________________________Tanggal________________ Masalah yang sedang diteliti kebiasaan masyarakat yang tidak pandai berterima kasih.Sumber informasi ________________________________1. Tulislah nama pemberi informasi. Jika diperbolehkan tulislah juga

gelar dan nama kelompok atau organisasinya.a. Nama _____________________b. Gelar _____________________ c. Nama kelompok/organisasi __________________d. Alamat kelompok/organisasi_________________ e. Nomor telepon yang bisa dihubungi __________

2. Perkenalkanlah dirimu (ikuti panduan memperkenalkan diri) kemudian mintalah informasi yang berhubungan dengan permasalahan yang sedang dikaji.a. Seberapa seriuskah masalah ini dalam masyarakat?b. Seberapa luaskah penyebaran masalah ini dalam masyarakat?c. Mengapa masalah ini harus ditangani pemerintah?

d. Haruskah warga masyarakat juga ikut bertanggungjawab dalam menangani masalah ini? Mengapa?

e. Manakah hal-hal berikur ini yang Bapak/Ibu anggap benar?Tidak ada Undang-undang atau kebijakan yang dapat

digunakan untuk memecahkan masalah ini. Ya________ Tidak_______

Undang-Undang atau kebijakan yang dapat digunakan untuk memccahkan masalah ini tidak cukup memadai. Ya____ Tidak ____

Undang-Undang yang digunakan untuk memecahkan masalah ini sudah cukup memadai tetapi tidak dlilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Ya____ Tidak ____

Menyelenggarakan Project Citizen — 167

a. Tingkat dan lembaga pemerintah manakah vang bcrtanggungjawab untuk menangani masalah itu? Apa yang mereka lakukan untuk menangani masalah ini?

b. Apakah dalam masvarakat ditemukan perbedaan-perbedaan pendapat berkenaan dengan dibuatnya kebijakan tersebut? Sebutkan beberapa silang pendapat tersebut?

c. Suara mayoritas siapakah (individu, kelompok, atau organisasi) yang banyak mcngungkapkan pendapatnya berkenaan dengan masalah ini?Mengapa mereka tertarik dengan masalah ini?Langkah-langkah apakah yang telah mereka ambil?Apakah keuntungan dan kerugian dari pengambilan langkah-

langkah tersebut di atas?Bagaimana cara mereka mempengaruhi pemerintah dalam

pengambilan langkah-langkah pemecahan masalah ini?d. Jika kelas nantinya dapat mengembangkan sebuah kebijakan untuk

menangani masalah ini, apakah saran Bapak/Ibu agar kami dapat mempengaruhi pemerintah supaya bersedia menerima usulan kami?

Kegiatan pada langkah tiga memberikan banyak pengalaman belajar kepada para siswa diantaranya adalah membiasakan untuk mengambil keputusan dengan dukungan data dan informasi yang akurat. Pengalaman ini diperoleh para siswa tatkala mereka mengumpulkan data dan informasi dari berbagai sumber untuk menjawab berbagai persoalan yang menjadi bahan kajian kelas. Kemampuan ini penting dimiliki warganegara yang berkarakter, sebab akan fatal akibatnya jika keputusan diambil hanya berdasarkan perasaan atau bahkan berdasarkan pertimbangan yang tidak rasional. Hal lain yang diperoleh dari proses belajar pada langkah ketiga ini adalah kemampuan berkomunikasi. Sebagian dari sumber-sumber informasi berupa nara sumber, baik perorangan maupun kelompok. Maka, semakin intensif berhubungan dengan nara sumber akan semakin pandailah para siswa dalam berkomunikasi. Kemampuan berkomunikasi merupakan salah satu soft skill yang penting sebagai faktor kesuksesan hidup kita. Patrick S. O’Brien dalam bukunya Making College Count, Soft Skill mengkategorikan 7 area yang disebut Winning Characteristics, yaitu, communication skills, organizational skills, leadership, logic, effort, group skills, dan ethics. Kemampuan nonteknis yang tidak terlihat wujudnya (intangible) namun sangat diperlukan itu, disebut soft skill.

168 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Persaingan dalam dunia kerja dewasa ini semakin ketat, dan pada umumnya para pengguna jasa (Stakeholders) menginginkan pekerjanya selain memiliki kemampuan kognitif (indeks prestasi akademik (IPK) yang tinggi juga memilikii soft skills yang dibutuhkan, seperti motivasi yang tinggi, kemampuan beradaptasi dengan perubahan, kompetensi interpersonal, dan orientasi nilai yang menunjukkan kinerja yang efektif. Fenomena ini sesuai dengan hasil penelitian NACE (National Association of Colleges and Employers) pada tahun 2005 yang menyebutkan bahwa pada umumnya pengguna tenaga kerja membutuhkan keahlian kerja berupa 82% soft skills dan 18% hard skills. Survei sebelumnya yang dilakukan lembaga yang sama (NACE, 2002) kepada 457 pemimpin, tentang 20 kualitas penting seorang juara hasilnya berturut-turut memiliki: (1) kemampuan komunikasi, (2) kejujuran/integritas, (3) kemampuan bekerja sama, (4) kemampuan interpersonal, (5) beretika, (6) motivasi/inisiatif, (7) kemampuan beradaptasi, (8) daya analitik, (9) kemampuan komputer, (10) kemampuan berorganisasi, (11) berorientasi pada detail, (12) kepemimpinan, (13) kepercayaan diri, (14) ramah, (15) sopan, (16) bijaksana, (17) indeks prestasi (IPK >= 3,00), (18) kreatif, (19) humoris, dan (20) kemampuan berwirausaha. Dari urutan kualitas penting seorang juara tadi tampak bahwa IPK yang kerap dinilai sebagai bukti kehebatan mahasiswa, dalam indikator orang sukses tersebut ternyata menempati posisi hampir buncit, yaitu nomor 17. Nomor-nomor yang menempati peringkat atas, malah umumnya hanya menjadai syarat basa-basi dalam iklan lowongan kerja. Padahal, kualitas seperti itu benar-benar serius dibutuhkan bagi seorang juara. Berbagai kecakapan lunak (soft skills) seperti itu yang mestinya disosialisasikan kepada para siswa baik dalam proses sosialisasi formal maupun informal yang berlangsung di bangku kuliah maupun dalam berbagai kegiatan kesiswaan inta maupun ekstra kampus.

Langkah 4: Mengembangkan portofolio kelasUntuk memasuki tahap ini tim peneliti harus sudah menyelesaikan penelitiannya. Dalam tahap ini mulailah mengembangkan portofolio kelas. Kelas akan dibagi dalam empat kelompok. Masing-masing kelompok akan bertanggung jawab untuk mengembangkan satu bagian dari portofolio kelas. Bahan-bahan yang dimasukkan dalam

Menyelenggarakan Project Citizen — 169

portofolio hendaknya mencakup dokumentasi-dokumentasi yang telah dikumpulkan dalam tahap penelitian. Dokumentasi ini harus mencakup bahan-bahan atau karya-karya seni yang ditulis asli oleh para siswa.

Tujuan tahap ini adalah agar para siswa dapat menyusun portofolio kelas, baik portofolio bagian tayangan maupun portofolio bagian dokumentasi berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari kegiatan penelitian.

Spesifikasi PortofolioKarya dari keempat kelompok ini akan ditampilkan dalam sebuah portofolio kelas. Portofolio tersebut akan terbagi dalam dua bagian: bagian tayangan dan bagian dokumentasi.

1. Bagian Tayangan Pada bagian ini, karya masing-masing dari keempat kelompok

hendaknya ditempatkan pada satu panel terpisah dari keempat tayangan panel lainnya. Bagian tayangan ini hendaknya terdiri atas empat lembaran papan poster atau papan busa, atau yang sejenis. Masing-masing panel tersebut ukurannya tidak lebih dari 90cm x 80cm. Tayangan ini hendaknya dibuat sedemikian rupa sehingga dapat diletakkan di atas meja. Bahan-bahan yang ditayangkan dapat meliput pernyataan-pernyataan tertulis, daftar sumber-sumber informasi, peta,grafis, foto-foto, karya seni yang asli, dan sebagainya. Perhatikanlah gambar berikut ini!

Gb. 6.6 Kegiatan menyusun portofolio bagian tayanganSumber: http://71.4.178.78/showcase/assets/abby_julissa.jpg

170 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

2. Bagian Dokumentasi Masing-masing dari keempat kelompok harus memilih bahan-bahan

yang telah dikumpulkan. Bahan-bahan itu merupakan bahan-bahan yang terdokumentasi paling baik yang juga digunakan sebagai pembuktian penelitian yang telah dilakukan. Bahan-bahan yang dimasukkan pada bagian dokumentasi ini harus mewakili hasil penelitian-penelitian terpenting yang pernah dilakukan. Tidak semua hasil penelitian harus diikutsertakan. Bahan-bahan ini harus dimasukkan pada sebuah map (binder) bermata dua yang tidak lebih tebal dari 5cm. Gunakanlah warna yang berbeda untuk memisahkan keempat bagian yang berbeda tersebut. Masing-masing bagian harus memiliki daftar isi.

Tugas Kelompok PortofolioBerikut ini adalah tugas-tugas yang harus dilakukan oleh masing-masing kelompok portofolio. Masing-masing kelompok hendaknya memilih bahan-bahan yang dikumpulkan oleh tim peneliti terutama bahan-bahan yang sangat membantu tim peneliti dalam menyelesaikan tugas-tugas mereka. (Petunjuk lebih rinci untuk setiap kelompok tertera pada uraian tentang: Beberapa Petunjuk Bagi Kelompok Portofolio)a. Kelompok Portofolio Satu: Menjelaskan Masalah. Kelompok ini

bertanggung jawab untuk menjelaskan pilihan masalah yang telah dikaji. Kelompok ini juga harus menjelaskan beberapa hal yang meliputi alasan mengapa masalah kebiasaan masyarakat yang tidak pandai berterima kasih adalah masalah yang penting, mengapa badan pemerintahan tertentu atau pemerintahan tingkat tertentu harus menangani masalah tersebut.

b. Kelompok Portofolio Dua: Menilai Kebijakan Alternatif yang Disarankan untuk Memecahkan Masalah. Kelompok ini bertanggung jawab untuk menjelaskan kebijakan-kebijakan yang sudah ada dan/atau menjelaskan kebijakan-kebijakan alternatif yang dibuat untuk memecahkan masalah kebiasaan masyarakat yang tidak pandai berterima kasih.

c. Kelompok Portofolio Tiga: Mengembangkan Kebijakan Publik Kelas. Kelompok ini bertanggung jawab untuk mengembangkan dan menerangkan dengan tepat atas suatu kebijakan tertentu yang

Menyelenggarakan Project Citizen — 171

disepakati dan didukung oleh seluruh kelas untuk memecahkan masalah kebiasaan masyarakat yang tidak pandai berterima kasih.

d. Kelompok Portofolio Empat: Mengembangkan suatu Rencana Tindakan agar Pemerintah Bersedia Menerima Kebijakan Kelas. Kelompok ini bertanggung jawab untuk mengembangkan suatu rencana tindakan yang menunjukan bagaimana cara warganegara dapat mempengaruhi pemerintah untuk menerima kebijakan yang didukung oleh kelas.

Kriteria Penilaian PortofolioPada uraian di bawah nanti para siswa akan menemukan Checklist Kriteria Portofolio yang akan membantu mengembangkan portofolio terbaik. Gunakanlah checklist ini sebagai panduan pada saat mengembangkan portofolio kelas. Selain beberapa kriteria yang tertera dalam Checklist Kriteria Portofolio, para siswa juga dapat memperkirakan efek atau pengaruh apakah yang mungkin ditimbulkan dalam melihat keseluruhan portofolio kelas. Mereka juga pasti ingin agar portofolionya menunjukkan suatu pemecahan masalah yang kreatif dan orisinal. Berhati-hatilah dalam menyajikan informasi-informasi yang diperoleh.

Jika portofolio kelas diikutsertakan dalam suatu kompetisi dengan kelas-kelas yang lain, maka para juri akan menilai portofolio kelas berdasarkan Checklist Kriteria Portofolio yang telah dipelajari. Para juri akan memberikan dua bagian penilaian secara terpisah yaitu penilaian atas masing-masing bagian portofolio dan penilaian portofolio secara keseluruhan.

Beberapa Petunjuk Bagi Kelompok PortofolioBeberapa petunjuk di bawah ini memuat cakupan tugas-tugas kelompok secara lebih terperinci. Meskipun masing-masing kelompok sudah memiliki tugas-tugasnya sendiri, tetapi komunikasi antarkelompok harus tetap dijalin untuk saling berbagi ide dan informasi. Masing-masing kelompok harus selalu menginformasikan kemajuan kegiatan portofolio mereka kepada teman-teman sekelas. Kerjasama antar kelompok juga harus dilakukan sehingga kelas dapat menghasilkan portofolio terbaiknya.

172 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Masing-masing kelompok hendaknya bekerjasama dalam memutuskan hal-hal yang berkaitan dengan bahan-bahan apa saja yang akan dimasukkan dalam Bagian Tayangan dan Bagian Dokumentasi portofolio. Kerjasama ini selain akan menghindarkan terjadinya penayangan informasi yang sama lebih dari satu kali, juga akan menjamin ketepatan tayangan dan bukti-bukti penelitian yang telah dilakukan.

CHECKLIST KRITERIA PORTOFOLIO

Kriteria bagi tiap-tiap bagian portofolio:KelengkapanApakah masing-masing bagian telah mencakup bahan-bahan

yang diuraikan di muka menurut tugas masing-masing kelompok portofolio 1-4?

Apakah bahan-bahan yang sudah dimasukkan melebihi dari yang diperlukan?

KejelasanApakah portofoiio tersusun dengan rapi?Apakah portofoiio tertulis dengan jelas dengan menggunakan

Bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai EYD (Ejaan Yang Disempurnakan)?

Apakah hal-hal pokok dan argumen-argumen yang dimasukkan adalah hal-hal dan argumen-argumen yang mudah dipahami?

InformasiApakah informasi akurat?Apakah informasi sudah mencakup fakta utama dan konsep-

konsep penting? Apakah informasi-informasi yang dimasukkan adalah informasi penting yang dapat mempermudah memahami topik portofolio?

Hal-hal yang mendukungApakah para siswa telah memberikan contoh-contoh yang dapat

memperjelas atau mendukung hal-hal utama?

Menyelenggarakan Project Citizen — 173

GrafisApakah grafis yang ditayangkan berkaitan erat dengan isi bagian

yang ditampilkan? Apakah grafis cukup memberikan informasi? Apakah masing-masing grafis telah memiliki judul? Apakah grafis dapat membantu orang lain memahami tayangan portofoio kelas?

DokumentasiApakah para siswa telah mendokumentasikan hal-hal terpenting

pada bagian portofolio?Apakah kelas telah menggunakan sumber-sumber yang tepat,

terpercaya dan variatif ?Pada saat mengutip atau menyadur pernyataan dari nara sumber,

apakah selalu menghargai mereka?Apakah bagian portofolio dokumentasi berkaitan erat dengan

bagian portofolio tayangan?Apakah para siswa telah memilih sumber informasi yang terbaik

dan terpenting?KonstitusionalitasApakah Format Landasan Konstitusional telah dimasukkan?Apakah para siswa telah menjelaskan mengapa kebijakan yang

diusulkan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945?

Kriteria keseluruhan portofolioPersuasifApakah portofolio kelas dapat memberikan bukti yang cukup

bahwa masalah yang dipilih sebagai bahan kajian kelas itu adalah masalah yang penting?

Apakah kebijakan yang diusulkan sudah mengarah langsung pada pokok permasalahan?

Apakah portofolio kelas dapat memberikan penjelasan tentang bagaimana cara kelas mendapatkan dukungan publik atas kebijakan yang telah diusulkan?

KegunaanApakah usulan kebijakan kelas itu praktis dan realistis?Apakah rencana kerja kelas untuk memperoleh dukungan bagi

usulan kebijakan sudah bersifat realistis?

174 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

KoordinasiApakah tiap-tiap bagian dari keempat bagian portofolio tayangan

saling berkaitan satu sama lain tanpa adanya pengulangan informasi?

Apakah Bagian Dokumentasi portofolio kelas dapat memberikan bukti-bukti yang mendukung Portofolio Bagian Tayangan?

RefleksiApakah Bagian Refleksi dan Evaluasi pengembangan portofolio

kelas dapat menunjukkan bahwa para siswa telah merenungkan semua pengalaman yang didapat?

Apakah para siswa telah menuliskan semua yang telah dipelajarinya dari pengalaman pembuatan portofolio kelas?

KELOMPOK PORTOFOLIO SATUMenjelaskan Masalah

Kelompok ini bertanggung jawab untuk menjelaskan permasalahan yang tercantum pada tampilan pertama dalam Bagian Tayangan dan Bagian Dokumentasi portofolio kelas.Bagian Tayangan Portofolio : Bagian satuBagian ini hendaknya mencakup hal-hal berikut:1. Rangkuman masalah secara tertulis. Tinjau ulang bahan-bahan

yang telah dikumpulkan oleh tim peneliti. Jelaskanlah masalah yang telah dikaji tersebut dalam dua halaman ketikan berspasi rangkap. Rangkumlah apa yang telah siswa pelajari sesuai dengan pertanyaan-pertanyaan berikut:a. Seberapa seriuskah masalah tersebut dalam masyarakat?b. Seberapa luaskah penyebaran masalah tersebut di negara kita? c. Mengapa masalah ini harus ditangani oleh pemerintah? Haruskah

warga masyarakat lain juga ikut bertanggung jawab untuk menangani masalah tersebut? Mengapa?

d. Manakah dari hal-hal berikut ini yang dianggap benar?

Menyelenggarakan Project Citizen — 175

• Tidak ada undang-undang yang dapat digunakan untuk menangani masalah itu.

• Undang-undang untuk menangani masalah ini tidak cukup memadai.

• Undang-undang untuk menangani masalah ini sudah cukup memadai namun tidak diselenggarakan dengan baik.

e. Adakah perbedaan pendapat yang terjadi dalam masyarakat berkaitan dengan masalah tersebut? Sebutkan!

f. Siapakah (individu, kelompok atau organisasi) yang memerhatikan masalah tersebut?

• Mengapa mereka tertarik dengan masalah tersebut?• Langkah-langkah apakah yang mereka ambil?• Apakah keuntungan dan kerugian dari pengambilan langkah-

langkah tersebut?• Bagaimana cara mereka mempengaruhi pemerintah agar

menerima pandangan mereka?g. Pada tingkat dan/atau lembaga pemerintahan manakah yang

bertanggung jawab menangani masalah tersebut? Apa yang mereka lakukan untuk menangani masalah tersebut?

2. Presentasi masalah dengan grafis. Penyajian ini dapat meliputi peta, grafis, foto-foto, kartun-kartun politik, topik-topik utama surat kabar, tabel statistik, dan ilustrasi lainnya. Ilustrasi tersebut dapat diambil dari media cetak atau merupakan buatan sendiri. Setiap ilustrasi hendaknya diberi judul.

3. Identifikasi Sumber Informasi. Ketiklah sumber-sumber informasi yang telah digunakan sebanyak satu halaman berspasi rangkap.

Bagian DokumentasiPortofolio: Bagian satuPada bagian pertama dalam map dokumentasi portofolio kelas, masukkanlah semua informasi terbaik dan terpenting yang telah dikumpulkan dan digunakan dalam pengujian dan penelitian masalah. Misalnya, para siswa dapat memasukkan bahan-bahan penting dari :

• kliping surat kabar dan majalah,

176 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

• laporan tertulis dari wawancara dengan anggota masyarakat,• laporan tertulis dari ulasan radio dan televisi tentang masalah

tersebut,• keterangan-keterangan dari organisasi kemasyarakatan,

organisasi pemerintahan atau swasta,• kutipan-kutipan dari lembaga publikasi pemerintahan.

Isi dari Bagian Dokumentasi terdiri atas halaman judul untuk masing-masing laporan dan dokumentasi, bahan-bahan dokumentasi dan laporan itu sendiri, dan satu halaman rangkuman (abstraksi) dokumentasi baik yang diambil dari bahan dokumentasi itu sendiri maupun dokumentasi yang ditulis oleh kelompok. Rincilah keseluruhan bahan-bahan dokumentasi maupun laporan-laporan tersebut dalam Daftar Isi bagian kesatu ini.

KELOMPOK PORTOFOLIO DUAMengkaji Kebijakan Alternatif untuk Menangani Masalah

Kelompok ini bertanggung jawab untuk menjelaskan masalah dan memberikan penilaian atas kebijakan yang digunakan saat ini atau kebijakan yang sedang/telah disusun untuk menangani masalah yang menjadi kajian kelas. Temuan kelompok akan disajikan pada-tampilan kedua dalam Bagian Tayangan dan Bagian Dokumentasi portofolio kelas.Bagian tayangan portofolio: Bagian duaBagian ini hendaknya mencakup hal- hal berikut:1. Rangkuman tertulis tentang kebijakan alternatif. Pilih dua atau tiga

kebijakan yang diusulkan secara perorangan atau kelompok (atau siswa juga dapat memasukkan kebijakan-kebijakan yang sudah ada saat ini). Untuk setiap kebijakan yang dipilih, ketiklah rangkuman dari jawaban pertanyaan-pertanyan berikut ini dalam dua spasi. a. Kebijakan apa sajakah yang diusulkan secara perorangan atau

kelompok? b. Apakah keuntungan atau kerugian dari kebijakan tersebut?

2. Presentasi grafis kebijakan. Penyajian ini dapat berupa peta, grafik, foto-foto, lukisan, gambar, kartun politik, topik-topik utama surat

Menyelenggarakan Project Citizen — 177

kabar, tabel statistik, dan ilustrasi lainnya yang berkaitan dengan kebijakan yang diusulkan. Ilustrasi-ilustrasi dapat diambil dari media cetak atau dapat juga merupakan hasil buatan siswa sendiri. Berilah judul pada setiap ilustrasi.

3. Identifikasi Sumber informasi. Tuliskanlah berbagai sumber informasi yang telah digunakan untuk mengumpulkan informasi.

Bagian Dokumentasi Portofolio: Bagian duaMasukkan informasi terbaik yang telah dikumpulkan dan digunakan dalam pengujian dan penilaian kebijakan-kebijakan yang ada saat ini, serta kebijakan-kebijakan alternatif yang digunakan untuk menangani masalah yang akan menjadi kajian kelas pada bagian kedua map dokumentasi. Misalnya, para siswa dapat memasukkan pilihan dokumentasi dari:

• kliping surat kabar dan majalah;• laporan tertulis dari wawancara dengan anggota masyarakat;• laporan tertulis dari ulasan radio dan televisi tentang masalah tersebut• keterangan dari pemerintah, organisasi kemasyarakatan, organisasi

pemerintahan / swasta;• kutipan-kutipan dari lembaga publikasi pemerintahan.

Isi dari Bagian Dokumentasi terdiri atas halaman judul untuk masing-masing laporan dan dokumentasi, bahan-bahan dokumentasi dan laporan itu sendiri, dan satu halaman rangkuman (abstraksi) dokumentasi baik yang diambil dari bahan dokumentasi itu sendiri maupun dokumentasi yang ditulis oleh kelompok. Rincilah keseluruhan bahan-bahan dokumentasi maupun laporan-laporan tersebut dalam Daftar Isi bagian kedua ini.

KELOMPOK PORTOFOLIO TIGAMengusulkan Kebijakan Alternatif untuk Menangani Masalah

Kelompok ini bertanggung jawab untuk mengusulkan kebijakan publik yang dapat digunakan untuk menangani masalah yang menjadi

178 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

kajian kelas. Kebijakan yang dipilih haruslah merupakan kebijakan yang nantinya dapat disetujui oleh mayoritas anggota kelas. Kebijakan tersebut harus pula menjadi kebijakan yang tidak bertentangan dengan UUD 1945. Format Landasan Konstitusional dapat digunakan untuk membantu siswa meyakinkan orang lain bahwa kebijakan yang diusulkan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Kalau kebijakan alternatif sudah memenuhi persyaratan di atas, maka kelas dapat memilih untuk:

• mendukung salah satu kebijakan alternatif yang telah diidentifikasi oleh kelompok portofolio dua,

• memodifikasi salah satu kebijakan, atau• mengembangkan kebijakan kelompok sendiri.

Bagian Tayangan Portofolio: Bagian 3Bagian ini hendaknya mencakup hal-hal berikut:1. Penjelasan dan jastifikasi tertulis atas kebijakan yang diusulkan.

Kelompok ini hendaknya menjelaskan alasan memilih dan mendukung kebijakan untuk ditayangkan dalam portofolio kelas. Dalam dua halaman yang diketik dua spasi, deskripsikanlah:a. kebijakan yang diyakini akan dapat menangani masalah;b. keuntungan dan kerugian dari kebijakan tersebut;c. menurut kelas, mengapa kebijakan tersebut tidak bertentangan

dengan UUD 1945. Gunakan Format Landasan Konstitusional untuk mencatat jawaban atas pertanyaan di atas. Lengkapilah format tesebut dan sertakanlah dalam Bagian Dokumentasi portofolio. Para siswa harus bekerja sama dengan seluruh anggota kelas dalam usaha melengkapi bagian dokumentasi portofolio ini.

d. badan dan tingkat pemerintahan manakah yang harus bertanggung jawab untuk menyelenggarakan kebijakan yang diajukan? Mengapa?

2. Presentasi grafis kebijakan yang diusulkan. Penyajian ini dapat berupa peta, grafik, foto-foto, lukisan, gambar, kartun politik, topik-topik utama surat kabar, tabel statistik, dan ilustrasi lainnya yang berkaitan dengan kebijakan yang diusulkan untuk digunakan dalam memecahkan permasalahan yang menjadi bahan kajian kelas. Ilustrasi

Menyelenggarakan Project Citizen — 179

dapat diambil dari media cetak atau bisa juga ilustrasi hasil karya siswa sendiri. Setiap ilustrasi hendaknya diberi judul.

3. Identifikasi sumber informasi. Ketiklah sumber-sumber informasi yang telah digunakan untuk mengumpulkan informasi.

Bagian dokumentasi Portofolio: Bagian 3Dalam bagian tiga ini, masukkanlah bahan-bahan yang merupakan informasi terbaik yang telah siswa kumpulkan dan digunakan baik dalam pengujian dan penilaian kebijakan yang sudah ada maupun dalam pengujian dan penilaian kebijakan alternatif lainnya yang akan digunakan untuk menangani masalah kajian kelas. Pilihan bahan dokumentasi bisa dipilih dari:

• kliping surat kabar dan majalah;• laporan tertulis dari wawancara dengan anggota masyarakat;• laporan tertulis dari ulasan radio dan televisi tentang masalah

tersebut;• keterangan dari pemerintah, organisasi kemasyarakatan,

organisasi pemerintahan/swasta;• kutipan-kutipan publikasi pemerintahan.

Isi dari Bagian Dokumentasi terdiri atas halaman judul untuk masing-masing laporan dan dokumentasi, bahan-bahan dokumentasi dan laporan itu sendiri, dan satu halaman rangkuman (abstrak) dokumentasi baik yang diambil dari bahan dokumentasi itu sendiri maupun dokumentasi yang ditulis oleh kelompok. Rincilah keseluruhan bahan-bahan dokumentasi maupun laporan-laporan tersebut dalam Daftar Isi bagian ketiga ini.

Format Landasan KonstitusionalUUD 1945 dan perundangan-undangan lainnya memuat hal-hal yang berkenaan dengan tanggung jawab pemerintah dalam melindungi warganya. Kapan pun kita menyarankan pemerintah agar dapat menerima kebijakan atau membuat undang-undang/peraturan perundang-undangan yang kita usulkan yang digunakan dalam memecahkan suatu masalah, namun tidak boleh menyarankan pemerintahan untuk membuat kebijakan yang bertentangan dengan UUD 1945 dan perundangan-undangan lainnya. Setiap warganegara memiliki hak dan tanggung

180 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

jawab untuk mengawasi apakah kebijakan dan UU yang berlaku telah bertentangan dengan batas-batas konstitusional pemerintahan atau tidak.Cheklist di bawah ini menguraikan beberapa batasan penting yang ditetapkan oleh negara untuk melindungi hak-hak warganegara. Gunakan cheklist tersebut pada saat siswa mengembangkan sebuah kebijakan. Para siswa harus yakin bahwa kebijakan yang diusulkan tidak bertentangan dengan batas-batas yang ditetapkan konstitusi.

Seluruh anggota kelas harus memperhatikan/mempertimbangkan Format Landasan Konstitusional ini. Hasil pertimbangan ini harus dimasukkan pada bagian ketiga dalam Bagian Dokumentasi portofolio kelas.

Checklist1. Pemerintah tidak diperkenankan melakukan perbuatan yang

melanggar hak-hak asasi manusia. Kebijakan yang diusulkan (bertentangan/tidak bertentangan) dengan batasan kekuasaan pemerintah. Jelaskan alasannya.

2. Pemerintah tidak diperkenankan dengan tidak adil dan tidak jujur, membatasi hak seseorang untuk mengungkapkan pandapatnya baik lisan maupun tulisan, atau dengan cara-cara lainnya. Kebijakan yang diusulkan (bertentangan/tidak bertentangan) dengan batasan kekuasaan pemerintah. Jelaskan alasannya.

3. Pemerintah tidak diperkenankan mencabut kehidupan, kebebasan, atau harta milik seseorang tanpa melalui pengadilan yang adil dan jujur. Kebijakan yang diusulkan (bertentangan/ tidak bertentangan) dengan batasan kekuasaan pemerintah. Jelaskan alasannya.

4. Pemenntah tidak diperkenankan membuat aturan hukum yang tidak rasional dan bersifat diskriminatif, serta mengelompokkannya berdasarkan ras, agama, dan etnis tertentu. Kebijakan yang diusulkan (bertentangan/ tidak bertentangan) dengan batasan kekuasaan pemerintah. Jelaskan alasannya.

Menyelenggarakan Project Citizen — 181

KELOMPOK PORTOFOLIO EMPATMengembangkan Rencana Kerja

Kelompok ini bertanggung jawab untuk mengembangkan sebuah rencana kerja (antion plan). Rencana ini harus mencakup langkah-langkah yang mungkin dapat diambil sebagai cara untuk membuat pemerintah menerima dan melaksanakan kebijakan yang diusulkan. Seluruh anggota kelas harus terlibat dalam mengembangkan rencana kerja ini. Meskipun demikian, tanggung jawab untuk memberikan penjelasan atas rencana kerja beserta bagian dokumentasinya tetap dilaksanakan oleh kelompok ernpat ini.

Gb. 6.7 Kelompok portofolio empat menyajikan action plan (rencana tindakan)

Sumber: http://kidsconsortium.files.wordpress.com/2011/05/dontworry.jpg

Bagian Tayangan Portofolio: Bagian 4Bagian ini hendaknya mencakup hal-hal sebagai berikut:1. Penjelasan tertulis tentang bagaimana cara kelas mengajak

masyarakat baik perorangan maupun kelompok untuk mendukung rencana kerja yang diusulkan. Ketiklah gambaran pokok-pokok rencana kerja itu dalam satu halaman berspasi rangkap. Para siswa harus yakin bahwa kelas telah:

182 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

a. Mengidentifikasi orang-orang atau kelompok-kelompok yang cukup berpengaruh dalam masyarakat yang mungkin bersedia memberikan dukungan atas kebijakan yang diusulkan. Gambarkan secara singkat bagaimana cara siswa memperoleh dukungan mereka.

b. Mengidentifikasi kelompok-kelompok masyarakat yang mungkin menentang kebijakan yang telah diusulkan. Jelaskan bagaimana cara meyakinkan mereka agar bersedia memberikan dukungannya.

2. Penjelasan tertulis tentang bagaimana cara kelas mendapatkan dukungan dari pemerintah atas kebijakan yang diusulkan. Ketiklah dalam satu halaman berspasi rangkap mengenai gambaran pokok-pokok rencana kelas. Para siswa harus yakin bahwa mereka telah melakukan hal-hal berikut. a. Mengidentifikasi pejabat dan/atau badan-badan pemerintah

yang cukup berpengaruh yang mungkin bersedia mendukung kebijakan yang diusulkan. Gambarkan secara singkat bagaimana cara memperoleh dukungan mereka.

b. Mengidentifikasi pejabat-pejabat dan/atau badan-badan pemerintahan yang mungkin akan menentang kebijakan yang diusulkan. Jelaskan bagaimana cara meyakinkan mereka agar bersedia memberikan dukungannya.

3. Presentasi grafis rencana kerja. Penyajian ini dapat berupa peta, grafik, foto-foto, gambar, kartun politik, topik-topik utama surat kabar, dan ilustrasi lainnya dari berbagai sumber atau yang merupakan hasil karya siswa sendiri. Tiap-tiap ilustrasi harus diberi judul.

4. Identifikasi sumber informasi. Ketiklah dalam satu atau dua halaman berspasi rangkap yang berisi identifikasi sumber-sumber informasi yang digunakan dalam mengumpulkan informasi.

Bagian Dokumentasi Portofolio: Bagian 4Masukkan informasi-informasi terbaik yang telah dikumpulkan dan telah digunakan dalam pengembangan rencana kerja dalam tampilan keempat pada map dokumentasi portofolio kelas. Beberapa pilihan dokumentasi misalnya dari:

Menyelenggarakan Project Citizen — 183

• pernyataan-pernyataan perseorangan atau kelompok-kelompok yang cukup berpengaruh;

• pernyataan-pernyataan dari para pejabat pemerintahan yang berpengaruh;

• kliping surat kabar atau majalah;• laporan tertulis dari wawancara dengan anggota masyarakat;• laporan tertulis dari ulasan radio dan televisi tentang masalah

tersebut;• keterangan dari pemerintah, organisasi kemasyarakatan, organisasi

pemerintahan/ swasta;• kutipan-kutipan publikasi pemerintahan.

Isi dari Bagian Dokumentasi terdiri atas halaman judul untuk masing-masing laporan dan dokumentasi, bahan-bahan dokumentasi dan laporan itu sendiri, dan satu halaman rangkuman (abstraksi) dokumentasi baik yang diambil dari bahan dokumentasi itu sendiri maupun dokumentasi yang ditulis oleh kelompok. Rincilah keseluruhan bahan-bahan dokumentasi maupun laporan-laporan tersebut dalam Daftar Isi bagian ke empat ini.

Kegiatan pada langkah keempat memberikan banyak pengalaman belajar kepada para siswa di antaranya dan yang paling menonjol adalah mengasah kemampuan bekerja dalam tim. Pengalaman belajar ini diperoleh pada saat mereka mengembangkan portofolio kelas. Portofolio kelas harus dibuat oleh satu tim kerja yang solid yang dipimpin oleh ketua kelas, dibantu oleh ketua kelompok masing-masing (empat bagian portofolio, berarti empat ketua kelompok) dan juru penghubung. Juru penghubung bertugas menghubungkan jalan pikiran antarkelompok agar terdapat benang merah yang jelas antara masalah yang diangkat oleh kelompok portofolio satu dengan kebijakan-kebijakan alternatif untuk menangani masalah yang dikerjakan kelompok portofolio dua dengan kabijakan publik kelas yang dikerjakan kelompok portofolio tiga dan denan rencana kerja (action plan) yang disiapkan kelompok portofolio empat. Tanpa adanya kemampuan bekerja dalam tim, portofolio kelas tidak akan memiliki keutuhan dan keterpaduan. Kemampuan bekerja dalam tim ini juga merupakan suatu kecakapan yang diperlukan oleh warganegara yang berkarakter.

184 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Langkah 5: Menyajikan portofolio (Show Case)Jika portofolio kelas sudah selesai, para siswa dapat menyajikan hasil pekerjaannya dihadapan hadirin. Presentasi itu atau yang dikenal pula dengan sebutan showcase dapat dilakukan di hadapan dua sampai tiga orang juri yang mewakili sekolah dan masyarakat. Dengan kegiatan ini para siswa akan dibekali dengan pengalaman belajar bagaimana cara mempresentasikan ide-ide dan pemikiran kepada orang lain, serta bagaimana cara meyakinkan mereka terhadap langkah-langkah yang siswa ambil.

Empat tujuan dasar kegiatan presentasi portofolio (showcase) ini antara lain adalah sebagai berikut.1. Memberikan informasi kepada para hadirin tentang pentingnya

masalah yang diidentifikasi itu bagi masyarakat.2. Menjelaskan dan memberikan penilaian atas kebijakan alternatif

kepada para hadirin, dengan tujuan agar mereka dapat memahami keutungan dan kerugian dari masing-masing kebijakan alternatif tersebut.

3. Mendiskusikan dengan para hadirin bahwa pilihan kebijakan yang telah dipilih adalah kebijakan yang “paling baik”untuk menangani permasalahan tersebut. Selain itu para siswa juga harus bisa “membuat suatu argumen yang rasional” untuk mendukung pemikiran mereka. Diskusi ini juga bertujuan untuk meyakinkan para hadirin bahwa menurut pemikiran dan dukungan kelas, kebijakan yang telah dipilih tidak bertentangan dengan konstitusi.

4. Menunjukkan bagaimana cara kelas dapat memperoleh dukungan dari masyarakat, lembaga legislatif dan eksekutif, lembaga pemerintahan/swasta lainnya atas kebijakan pilihan kelas.

Tanpa adanya kemampuan bekerja dalam tim, portofolio kelas tidak akan memiliki keutuhan dan

keterpaduan. Kemampuan bekerja dalam tim ini juga merupakan suatu kecakapan yang diperlukan

oleh warganegara yang berkarakter.

Menyelenggarakan Project Citizen — 185

Gb. 6.8 Presentasi siswa dalam kegiatan ShowcaseSumber: http://triblocal.com/evanston/files/cache/96543_1.jpg/ 460_345_resize.jpg

Masing-masing tujuan tersebut mewakili keempat kelompok yang bertanggung jawab atas masing-masing Bagian Tayangan dan masing-masing Bagian Dokumentasi portofolio kelas. Selama presentasi, masing-masing kelompok akan bertanggung jawab untuk mencapai tujuan yang tepat. Gunakanlah panduan di bawah ini.

Presentasi AwalPresentasi awal akan berlangsung pada empat menit pertama. Pada empat menit pertama ini kelompok portofolio kelas akan mempresentasikan informasi-informasi penting dari masing-masing bagian portofolio.1. Informasi yang disampaikan hendaknya sesuai dengan yang

tercantum pada Bagian Tayangan dan Bagian Dokumentasi. Para siswa tidak boleh menyampaikan informasi dengan cara membaca kata per kata yang tertulis dalam kedua bagian tersebut.

2. Gunakanlah grafis yang ada dalam portofolio untuk membantu menjelaskan dan menekankan suatu pokok pikiran.

3. Hanya bahan-bahan yang dimasukkan dalam portofoliolah yang dapat digunakan dalam presentasi lisan. Para siswa tidak boleh menggunakan bahan-bahan tambahan lainnya seperti video tape, slide, komputer, Over Head Projector (OHP), atau poster-poster.

186 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Gb. 6.9 Showcase dalam kegiatan Project Citizen di CinaSumber: http://www.civiced.org/enews/issue1/ articleImages/China.jpg

Forum Tanya JawabEnam menit berikutnya akan menjadi forum tanya-jawab dimana dewan juri akan mengajukan beberapa pertanyaan berdasarkan presentasi dan tampilan portofolio kelas. Kemungkinan para juri akan meminta untuk:1. Menjelaskan lebih jauh atau mengklarifikasi pokok-pokok utama

yang telah siswa kerjakan.2. Memberikan contoh-contoh yang jelas tentang pokok-pokok utama

yang telah siswa selesaikan.3. Mempertahankan beberapa pernyataan dan/atau langkah yang telah

siswa ambil.4. Menjawab pertanyaan-pertanyaan sehubungan dengan apa yang

telah siswa pelajari dari pengalaman membuat portofolio kelas. Masalah-masalah apa yang telah siswa hadapi? Hal-hal terpenting apakah yang siswa pelajari dalam melakukan penelitian masalah kemasyarakatan?

Persiapan PresentasiPara siswa boleh meminta bantuan orang tua atau anggota masyarakat lainnya yang memiliki pengalaman dalam membuat presentasi bagi masyarakat umum supaya dapat melatih bagaimana cara melakukan presentasi kelompok. Akan sangat membantu jika para siswa bisa

Menyelenggarakan Project Citizen — 187

meminta bantuan dari pejabat pemerintahan setempat misalnya ketua RT/RW, anggota-anggota organisasi kemasyarakatan misalnya ibu-ibu PKK, Karang Taruna, atau anggota LSM lain yang memiliki program kegiatan kewarganegaraan.

PanduanLibatkanlah semua anggota kelompok agar ikut serta berpartisipasi baik pada saat presentasi awal maupun pada saat forum tanya-jawab. Presentasi ini tidak boleh didominasi oleh satu atau dua orang siswa saja, melainkan, haruslah memperlihatkan hasil belajar bersama yang telah dilakukan ketika mempersiapkan portofolio kelas.

Jangan membacakan portofolio kelas di hadapan para juri, melainkan cobalah untuk memilih informasi dan argumen yang penting-penting saja, dan sajikanlah portofolio kelas dalam bentuk dialog. Para siswa hanya boleh menggunakan catatan kecil pada saat melakukan presentasi awal, sedangkan pada saat berlangsungnya forum tanya-jawab catatan kecil apapun tidak boleh dipergunakan.

Jika presentasi awal kurang dari empat menit, maka sisa waktu akan ditambahkan dalam forum Tanya jawab. Masing-masing kelompok disediakan waktu sepuluh menit untuk mempresentasikan portofolio kelas. Selama presentasi para maahasiswa tidak boleh menggunakan bahan-bahan lain selain bahan-bahan yang telah dimasukkan kedalam portofolio kelas.

Kriteria PenilaianJika kelas diikutsertakan dalam suatu kompetisi dimana siswa dituntut untuk melakukan presentasi, maka presentasi itu akan dinilai oleh dewan juri. Guru pembimbing akan menjelaskan kriteria apa yang akan digunakan dewan juri dalam menilai presentasi portofolio kelas.

188 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Gb. 6.10 Showcase melatih kemampuan berargumentasi di hadapan forumSumber: http://www.civnet.org/wp-content/uploads/noticias/imagenes/PC_

International-66.jpg

Pada langkah kelima ini para siswa belajar mengkomunikasikan gagasan kepada orang lain dan belajar meyakinkan orang lain untuk menerima gagasan-gagasan tersebut. Kegiatan ini memerlukan kemampuan berkomunikasi tingkat tinggi, karena bukan saja harus menguasai substansi secara komprehensif namun juga harus memahami psikologi massa, teknik-teknik persuasi, kemampuan marketing, dan lain-lain. Disamping itu bagi siswa yang memiliki potensi kecerdasan linguistik, ajang show case ini merupakan pengalaman berharga untuk mengasah bakat dan kemampuannya.

Langkah 6: Merefleksi pengalaman belajarMerefleksikan pengalaman belajar atas segala sesuatu selalu merupakan hal yang baik. Refleksi pengalaman belajar ini merupakan salah satu cara untuk belajar, untuk menghindari agar jangan sampai melakukan suatu kesalahan, dan untuk meningkatkan kemampuan yang sudah siswa miliki.

Untuk memasuki tahap ini para siswa harus sudah menyelesaikan portofolio kelas. Sebagai bagian tambahan, para siswa dapat memasukkan Bagian Refleksi atau Evaluasi ini dalam Map Bagian Dokumentasi. Bagian Refleksi ini hendaknya menggambarkan secara singkat tentang:

Menyelenggarakan Project Citizen — 189

Apa yang telah dipelajari oleh seorang siswa dan oleh teman sekelasnya? Bagaimana caranya?

Cara apa yang akan siswa pakai jika mereka nantinya akan mengembangkan portofolio yang lain? Masih sama dengan cara yang telah mereka pakai atau akan berbeda?Refleksi pengalaman ini hendaklah merupakan hasil kerja sama

antara teman-teman sekelas sama seperti kerjasama antara mereka yang telah dilakukan selama membuat portofolio kelas. Disamping itu para siswa juga harus merefleksikan pengalaman belajarnya baik sebagai seorang pribadi maupun sebagai salah satu anggota kelas. Guru-guru dan para sukarelawan yang telah membantu para siswa mengembangkan portofolio, akan membantu juga dalam merefleksikan pengalaman para siswa selama melaksanakan kegiatan portofolio ini. Akan lebih baik lagi jika bagian refleksi pengalaman belajar ini dibuat seusai presentasi portofolio di hadapan teman-teman sekelas guru-guru, dewan juri, pegawai pemerintahan, dan anggota masyarakat lainnya.

KesimpulanJangan berhenti sampai di sini. Para siswa harus terus melanjutkan mengembangkan ketrampilan dalam mempengaruhi pemerintah dalam membuat kebijakan publik. Ketrampilan ini penting sekali karena kemungkinan besar para siswa akan menggunakannya setelah dewasa. Yang perlu diingat adalah bahwa setiap kebijakan akan memerlukan revisi, dan setiap waktu akan bermunculanlah masalah-masalah baru yang ada dalam masyarakat yang tentunya akan memerlukan kebijakan baru. Membantu membuat kebijakan publik dan ikut mengambil langkah-langkah yang diperlukan merupakan tanggung jawab warganegara seumur hidup dalam pemerintahan yang berdaulat.

PanduanPara siswa boleh menggunakan panduan di bawah ini untuk mereflcksikan pengalaman belajar.1. Apa yang bisa saya pelajari dari hasil kebijakan publik yang saya

buat bersama teman-teman sekelas?

190 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

2. Apa yang dapat kami (sekelas) pelajari dari kebijakan publik yang kami kembangkan dalam sebuah portofolio?

3. Kctrampilan apa yang dapat saya pelajari dan saya tingkatkan melalui kegiatan portofolio ini?

4. Ketrampilan apa yang dapat kami pelajari dan kami tingkatkan melalui kegiatan portofolio ini?

5. Apa keuntungan melakukan suatu kegiatan bersama-sama dalam satu tim?

6. Kegiatan apa yang telah saya laksanakan dengan baik?7. Kegiatan apa yang telah kami laksanakan dengan baik?8. Bagaimana cara saya untuk meningkatkan ketrampilan memecahkan

suatu permasalahan (problem solving ?9. Bagaimana cara kami (sekelas) untuk meningkatkan ketrampilan

memecahkan suatu permasalahan (problem solving ?10. Cara apa yang akan kami (sekelas) pakai jika nantinya kami akan

mengembangkan portofolio mengenai kebijakan publik yang lain? Masih sama dengan cara yang pernah dipakai atau akan berbeda?

Gb. 6.11 Portofolio kelas yang siap ditampilkan dalam kegiatan showcaseSumber: http://media.ginorthwest.org/

Menyelenggarakan Project Citizen — 191

Pada Box 6.1 disajikan satu contoh aktivitas masyarakat sebagai warganegara yang aktif (active citizen), yakni dapat memanfaatkan lahan kosong di daerah perkotaan. Kegiatan mereka dikenal sebagai program pertanian kota (urban farming), yakni memanfaatkan lahan kosong pada lingkungan tempat tinggal mereka untuk bertanam sayuran dan tanaman obat. Kegiatan mereka sedikit banyak menyelesaikan masalah lingkungan perkotaan.

Gb. 6.11a Penilaian Portofolio kelasSumber: http://indrakusumawardani.blogspot.co.id

192 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Box 6.1:BANDUNG BERKEBUN

Pembentukan komunitas Bandung Berkebun berawal dari keberadaan komunitas dengan lingkup yang lebih luas, yaitu komunitas Indonesia Berkebun. Kehadiran Indonesia Berkebun telah ada sejak 2011 atas ide Wali Kota Bandung (Ridwan Kamil) yang melihat banyak lahan tidak produktif di kota-kota di Indonesia. Ridwan Kamil mengajak beberapa rekannya seperti Sigit Kusumawijaya, Yasha Chatab, Beriozka Anita, Shafiq Pontoh, Milly Ratudian, Angga Tirta, Kenny Lonita, Syahnaz dan Putri Oktarina untuk mendirikan komunitas bernama Jakarta Berkebun (Indonesia Berkebun, 2015). Pendirian komunitas Jakarta Berkebun pada 2011 inilah yang kemudian menjadi inspirasi bagi munculnya komunitas serupa di berbagai kota, termasuk di kota Bandung. Berawal dari kota Jakarta dan Bandung, jejaring Indonesia Berkebun telah ada di 30 kota dan 9 kampus di seluruh Indonesia (Indonesia Berkebun, 2015).

Bandung Berkebun muncul sebagai bagian dari kehadiran Jakarta Berkebun pada tahun 2011. Awal pembentukan komunitas ini tak dapat dilepaskan dari sosok Ridwan Kamil yang memang banyak terjun di komunitas-komunitas sosial di kota Bandung. Anggota komunitas pada awal pendirian hanya berkisar sepuluh orang yang terbagi-bagi menjadi beberapa koordinator. Hasil wawancara dengan Lina menyebutkan bahwa bentuk kepengurusan sejak awal memang mengambil bentuk berbeda dengan tidak adanya pembagian jabatan sebagaimana dalam komunitas atau organisasi. Dalam menjalankan setiap program, komunitas ini lebih memilih pembagian kerja yang terdiri atas koordinator-koordinator bagian.

Gb.6.12 Indonesia BerkebunSumber: https://nururbintari.files.wordpress.com/

192 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Menyelenggarakan Project Citizen — 193

Bandung Berkebun memulai tanam perdana di satu kebun sederhana di daerah Sukamulya pada 21 Mei 2011. Tanam perdana ini sekaligus menjadi awal kehadiran komunitas ini kepada masyarakat kota Bandung. Pada tanam perdana ini mereka mengajak masyarakat sekitar Sukamulya terutama para siswa untuk mencoba berkebun di kota. Keikutsertaan lembaga pendidikan secara langsung dalam kegiatan ini kemudian menginspirasi pembentukan program school urban farming. Dalam dokumen FAQ BdgBerkebun, 2014) disebutkan sekolah-sekolah yang pernah bekerja sama dengan Bandung Berkebun diantaranya TK Bintang Ceria, TK Irhamna, SD Semi Palar, SD Pardomuan, SD IT Rabbani, dan SDN Raya Barat. Dari Kebun Sukamulya, Bandung Berkebun memiliki beberapa kebun sendiri atau home base yaitu di Sekolah Alam Bandung dan Kebun Tubagus Ismail yang berdekatan dengan Rumah Sakit Ginjal dan Asrama Pocut Baren. Selama menjalankan kegiatan berkebun, komunitas ini membuat instalasi berkebun dari barang-barang bekas, pembuatan kompos, hingga panen raya yang bisa diikuti oleh masyarakat umum.

Komunitas Bandung Berkebun sebagaimana Indonesia Berkebun fokus pada upaya mengajak masyarakat guna menjalani hidup sehat. Dengan prinsip back to nature dan grow your own food, komunitas ini meluncurkan program urban farming. Prinsip berkebun yang sederhana ini tertuang ke dalam aktivitas menanam tanaman yang biasa dikonsumsi sehari-hari seperti sayuran dan buah (Indonesia Berkebun, 2015). Pendekatan yang sederhana, mudah dipahami, terbuka buat kalangan siapapun (inklusif), dan sosialisasi kegiatan yang memanfaatkan berbagai jejaring sosial serta aktivitas masyarakat kota Bandung membuat komunitas ini dengan mudah dikenal oleh masyarakat luas.

Komunitas Bandung Berkebun memiliki tujuan utama yaitu memanfaatkan lahan-lahan terbengkalai di Kota Bandung untuk menjadi lahan-lahan yang lebih produktif. Dengan kegiatan berkebun yang rutin dilaksanakan setiap akhir pekan bertujuan mengenalkan kepada masyarakat kota Bandung gaya hidup sehat melalui aktivitas yang menyenangkan, mudah dilakukan, aman, dan bermanfaat. Manfaat dari kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan selalu bermuara tidak hanya bagi diri peserta, tetapi juga bagi warga dan lingkungan kota Bandung (FAQ BdgBerkebun, 2014).

Menyelenggarakan Project Citizen — 193

194 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Gb.6.13. Bergotong-royong wujud kesukarelaanSumber: http://img.bandungnewsphoto.com/

Sasaran kegiatan-kegiatan Bandung Berkebun ialah masyarakat kota Bandung. Komunitas ini bercita-cita mengajak warga se-Bandung untuk bersama-sama melaksanakan aktivitas berkebun di lingkungan terdekat, yakni rumah dan kelurahan masing-masing. Semua kegiatan terfokus pada upaya mengajak sebanyak-banyaknya warga kota Bandung untuk berkebun. Dalam praktiknya, kegiatan komunitas ini selalu diikuti oleh beragam kalangan baik dari lintas usia, ekonomi, bidang keilmuan, agama, ras, dan asal daerah. Komunitas ini menjadi rumah bagi beraneka ragam warga Bandung yang heterogen dengan kepedulian yang sama, yakni menciptakan lingkungan kota Bandung yang lebih hijau dan sehat (FAQ BdgBerkebun, 2014).

Program

Semenjak tahun 2011 Bandung Berkebun telah menyelenggarakan berbagai kegiatan di level lokal maupun internasional. Beberapa program tersebut diantaranya ialah:

1. Urban Farming Installation (UF-I)

Merupakan bentuk solusi penanaman kreatif pada lahan terbatas, sempit, dan sulit untuk ditanam secara konvensional. Bandung Berkebun mencoba menginspirasi khalayak umum bahwa berkebun itu mudah dan dapat dilakukan di mana saja.

194 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Menyelenggarakan Project Citizen — 195

2. School Urban Farming (S-UF)

Gerakan edukasi berkebun kepada kalangan pelajar baik melalui kegiatan workshop (My School Goes Farming, SMACreatiFarming), pemanfaatan lahan tidak produktif di lingkungan sekolah (BdgBerkebun Goes to School), atau di kebun laboratorium sekolah (Eksplorasi Kebun BdgBerkebun).

3. Kampung Urban Farming (K-UF)

Satu upaya berkebun kreatif di pemukiman padat dengan mengubah lahan tidak produktif menjadi produktif. Kampung Urban Farming tercatat pernah digelar di RW 04 Tamansari, RW 08 Babakan Siliwangi, RW 03 Kelurahan Merdeka, dan daerah Cigadung.

4. Campus Urban Farming

Pemanfaatan lahan tidak produktif menjadi produktif di area kampus melalui berkebun. Universitas Pasundan, Telkom University, Polban, UPI, dan Universitas Padjadjaran menjadi bagian dari program Campus Urban Farming.

5. Unused Land

Usaha pemanfaatan lahan terbengkalai menjadi lahan yang dapat dimanfaatkan dari segi ekonomi, edukasi, dan ekologi.

6. Merchandise

Upaya mempopulerkan kegiatan berkebun dengan cara memfasilitasi perlengkapan dan peralatan berkebun yang didesain dengan menarik. Merchandise yang pernah dibuat diantaranya gardening toolkit, yaitu tas berisi benih sayur, sekop, alat semprot, sampai pupuk organik. Ada juga “1 m2 Soup” yang berupa kotak berukuran 1x1 meter untuk menanam berbagai jenis sayuran.

7. Street UrbanFfarming

Berkebun di pinggir jalan raya kota Bandung. Kegiatan ini pernah dilaksanakan di sepanjang Jalan Tamansari dan Siliwangi.

8. Office Urban Farming

Upaya Bandung Berkebun menginisiasi kegiatan berkebun di perkantoran. (FAQ BdgBerkebun, 2014).

Bandung Berkebun membuka program belajar urban farming dengan meluncurkan program Akademi Agen Berkebun. Program ini dimaksudkan bagi siapapun yang ingin mengubah lahan tidak produktif di daerahnya menjadi lebih produktif dengan bergabung menjadi agen berkebun. Setiap orang dapat mengembangkan daerahnya dengan ide kreatif masing-masing. Untuk menjadi

Menyelenggarakan Project Citizen — 195

196 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Agen Berkebun, warga dapat mengikuti “Akademi Agen Berkebun” dan ikut langsung berdiskusi dan berbagi ilmu dengan para agen untuk mengembangkan kegiatan berkebun di lingkungannya masing-masing. Program ini bertujuan agar peserta belajar berkebun melalui pengalaman langsung mulai dari pengolahan tanah, perawatan, hingga panen (FAQ BdgBerkebun, 2014).

Pendanaan

Dari hasil wawacara dengan Ari, sumber pendanaan komunitas Bandung Berkebun dalam menjalankan berbagai program berasal dari swadaya anggota sebagai sumber pendanaan utama. Meskipun dalam praktiknya ada juga bantuan dari sponsor tetapi selama ini mereka selalu mampu mengatasi persoalan dana dengan ide-ide kreatif yang menarik minat donator untuk turut memberi donasi. Dengan kemandirian pendanaan yang berasal dari swadaya anggota, komunitas ini dapat terus menjaga independensi guna menjalankan program-program pro lingkungan di kota Bandung. Contoh menarik ialah kepemilikan lahan-lahan yang pernah digunakan sebagai kebun atau base camp mereka. Kebun Sukamulya, Sekolah Alam Bandung, dan Kebun Tubagus Ismail bukan dari proses jual beli lahan. Semua kebun tersebut berasal dari anggota komunitas atau donator yang bersimpati dengan ide mengajak warga kota Bandung melakukan gerakan penghijauan.

Sosialisasi

Bandung Berkebun dalam mensosialisasikan ide dan program-programnya sebagaimana komunitas Indonesia Berkebun menggunakan berbagai saluran informasi. Saluran-saluran informasi yang digunakan didasari pemikiran bahwa jalan terbaik yang perlu digunakan agar ide dan program sampai kepada masyarakat Kota Bandung ialah dengan media publik. Saluran media sosial paling sering digunakan yaitu Facebook, Twitter, Instagram, website, blog, YouTube, televisi dan radio guna menyebarluaskan program-program mereka (Indonesia Berkebun, 2015). Sehingga selama ini mayoritas anggota dan peserta dalam kegiatan mereka berasal dari kalangan pengguna informasi elektronik. Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan masyarakat kota Bandung memperoleh informasi seputar Bandung Berkebun dari kegiatan langsung yang mereka adakan seperti Street Urban Farming dan dari pameran-pameran yang diikuti Bandung Berkebun

196 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Menyelenggarakan Project Citizen — 197

Konsep urban farming di kota Bandung jika ditinjau dari segi potensi dan hasil produksi masih belum optimal dan tertinggal dengan perkembangan beberapa negara lain. Setiawan & Rami (2014) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa program seperti ini yang dijalankan di beberapa kota di Indonesia masih berciri model pertanian konvensional meskipun mulai muncul variasi model-model pertanian alternatif. Program serupa di Kota San Francisco (Amerika Serikat) bahkan telah memiliki 24 kebun urban farming dan peternakan. Hal ini karena kota San Francisco menerapkan strategi zonasi atau pemetaan wilayah-wilayah untuk program tersebut. Tipe-tipe program ini yang diterapkan di kota San Francisco meliputi berkebun di rumah, kebun-kebun di persekolahan, pembuatan komunitas berkebun (community gardens), pameran hasil produksi, penyelenggaraan pasar urban farming, dan pembuatan rooftop garden (SPUR Report, 2012). Taylor & Lovell (2014) menjelaskan program ini di Amerika Serikat dimanfaatkan bagi penguatan ketahanan pangan. Di kota Havana, produksi dari program ini bahkan telah memberi sumbangan bagi peningkatan GDP (Gross Domestic Product) bagi negara Kuba sebesar 80% atau tertinggi di kawasan Amerika Latin (FAO, 2014). Kondisi ini berbeda dengan hasil kebun-kebun di kota Bandung yang masih terbatas pada pemanfaatan pada level domestik, yaitu untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga para pegiatnya. Potret produksi di kota San Francisco dan Havana dapat menjadi inspirasi untuk mengembangkan program Urban Farming di kota Bandung dan di kota-kota lainnya di Indonesia.

Gb. 6.14. Bandung Berkebun masih dominan dengan tanaman sayuranSumber: http://img.bandungnewsphoto.com/

Menyelenggarakan Project Citizen — 197

198 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Bentuk program urban farming di kota Bandung dan beberapa kota lain di Indonesia lebih memiliki kemiripan dengan India dan Kenya. India menjalankan program ini dalam bentuk pertanian kota menggunakan teknik bertani tradisional jenis pertanian vertikal (Widyawati, 2013). Gallaher, dkk. (2013) menyebut program ini di Kenya lebih memilih jenis tanaman kangkung dan lobak Swiss yang ditanam di dalam karung yang diisi tanah sehingga disebut sack garden. Urban farming yang diterapkan komunitas Bandung Berkebun selain menggunakan cara bertanam konvensional seperti di Kebun Tubagus Ismail juga teknik pertanian vertikal sebagaimana di India. Teknik ini sudah diterapkan di kampung-kampung binaan seperti di kampung Baladewa dan kampung Kacapiring. Jenis tanaman juga memiliki kesamaan dengan program pertanian kota di Kenya karena masih didominasi oleh sayuran yang dapat dimanfaatkan secara langsung bagi kebutuhan keluarga.

Konsep urban farming pada komunitas Bandung Berkebun sebagai upaya penghijauan kota merupakan bentuk penerapan keadaban lingkungan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan dari Isty yang menyebutkan bahwa program ini ingin menunjukkan kedudukan manusia sebagai satu entisitas yang tak dapat dipisahkan dari alam. Cara pandang ini sesuai dengan New Enviromental Paradigm (NEP) atau paradigma yang melihat manusia merupakan satu spesies di antara banyak spesies yang saling bergantung dalam ekosistem. Dari konsep ini, alam dipandang tidak hanya sebagai pemuas kebutuhan manusia, tetapi manusia merupakan bagian dari alam yang mengantungkan keberlanjutan kehidupannya juga dari alam (Susilo, 2014). Penghijauan wilayah perkotaan dalam program ini menjadi alternatif model NEP karena para pegiat tidak hanya melihat wilayah kota sebagai tempat hunian tetapi juga sumber kehidupan. Kota sebagai tempat penghidupan artinya kota perlu dirawat dan dijaga agar daya dukung lingkungan bagi kehidupan di dalamnya dapat terus tersedia. Kesejahteraan masyarakat yang menjadi salah satu tujuan program ini juga bukan dimaknai dari sudut pandang eksploitasi ekonomi terhadap alam. Program ini justru melihat alam layak mendapatkan bagian untuk dipedulikan yakni dengan dilestarikan guna mendukung kehidupan manusia. Kepedulian pegiat urban farming dalam mengelola kelestarian lingkungan di perkotaan menunjukkan adanya pertimbangan dan kepedulian moral ekologi atau biosentrisme. Keraf (2010, hlm. 66-74) menyebut kewajiban moral tersebut jika ditilik menurut perspektif biosentrisme telah memenuhi empat persyaratan, yaitu (a) tidak merusak alam; (b) tidak mengekang atau menghambat pertumbuhan organisme tertentu; (c) tidak menyiksa binatang; dan (d) berupaya mengembalikan kelestarian alam.

198 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Menyelenggarakan Project Citizen — 199

Program tersebut dalam ketiga konsep makronya adalah bangunan sistem yang antara komponen biotik (manusia, tumbuhan, dan binatang) dengan komponen abiotik (air, udara, tanah, dan sebagainya) saling bergantung sedemikian rupa. Kesadaran ini bisa berasal dari pemahaman bahwa antarkomponen di alam saling berkorelasi dan bergantung sebab lingkungan fisik yang diciptakan manusia dalam bentuk gedung-gedung di perkotaan tidak dapat mendukung kehidupan tanpa adanya faktor lingkungan hidup (Susilo, 2013).

Pelaksanaan program urban farming di berbagai negara telah memanfaatkan perkembangan teknologi di bidang pertanian. Beberapa contoh pelaksanaan program ini di berbagai negara seperti Jepang dan Malaysia yang menerapkan The Office Garden, A-Go-Gro Technologie di Singapura, dan vertical garden di Kanada menunjukkan pengaruh teknologi bagi pelaksanaan program ini (Widyawati, 2013). Pemanfaatan teknologi tersebut perlu diarahkan untuk memberikan sebesar-besarnya kemaslahatan bagi manusia melalui penciptaan keadilan ekologis (Comte dalam Darmawan, 2015). Lautenschlager & Smith (2017) menjelaskan bahwa kehadiran program berkebun semacam ini membawa dampak perkembangan intelektualitas bagi penciptaan keadilan ekologis berupa pengaruh positif yaitu perilaku peduli lingkungan, keterampilan sosial, dan pengetahuan bahan pangan. Hal ini dapat diempirisasikan oleh kondisi jumlah lahan di berbagai negara yang mengalami penurunan akibat perluasan wilayah kota dan industrialisasi. Oleh sebab itu, ketika manusia dihadapkan pada keterbatasan lahan pertanian maka sedapat mungkin manusia menggunakan anugerah daya pikirnya untuk merumuskan solusi atas persoalan tersebut. Dalam konteks ini, program urban farming telah dipilih sebagai bagian dari resolusi penyediaan bahan pangan dengan memanfaatkan perkembangan intelektual manusia berupa teknologi. Perkembangan intelektualitas ini terlihat dari beragamnya gagasan selama pelaksanaan program ini di komunitas Bandung Berkebun untuk mengembangkan pertanian di perkotaan. Program-program pendukung seperti school urban farming, street urban farming, rooftop garden, hidroponik, aquaponik, dan vertical garden yang diaplikasikan ke dalam program ini memperlihatkan kemampuan anggotanya untuk mengkolaborasikan pengetahuan dan keterampilannya bagi keberhasilan program tersebut.

Menyelenggarakan Project Citizen — 199

200 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Gb. 6.15. Bentuk kreatifitas menyiasati terbatasnya lahan pertanianSumber: http://img.bandungnewsphoto.com/

Pengembangan jiwa voluntir

Motivasi para pegiat yang ada dalam komunitas Bandung Berkebun dalam menjalankan program urban farming memperlihatkan nilai kesukarelaan (voluntarism). Nilai kesukarelaan ini dapat dipahami sebagai pemberian bantuan tanpa mengharapkan imbalan (Haski & Leventhal, 2009, hlm. 272). Dalam konteks pelaksanaan kegiatan bertani di kota, para pegiat telah mencanangkan urban farming bukan sebagai kegiatan untuk mengumpulkan materi (nonprofitable). Artinya, ekspresi kecintaan kepada kota Bandung sebagaimana diungkapkan oleh beberapa informan menunjukkan bahwa mereka tidak digerakkan oleh motivasi keuntungan finansial tetapi memiliki nilai kesukarelaan dalam menjalankan program ini. Program ini justru mendekatkan nilai voluntarisme dengan pemahaman gerakan kedermawanan (filantropi) karena bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak publik yaitu ketersediaan lingkungan hidup yang layak dan sehat. Sebagai gerakan voluntarisme, program ini dapat didefinisikan menurut aspek-aspek yang dikemukakan oleh Mussen (1980, hlm. 360) sebagai berikut:

200 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Menyelenggarakan Project Citizen — 201

a. Sharing (berbagi), yaitu kesediaan para pegiat untuk memahami kebutuhan warga kota Bandung atas ketersediaan ruang terbuka hijau yang perlu diperjuangkan dalam pengelolaan wilayah di kota.

b. Cooperating (kerja sama), yaitu kesediaan para pegiat untuk menjalin kerja sama demi mencapai tujuan bersama. Komunitas Bandung Berkebun menjalin kerja sama dengan beragam komunitas sosial lain di Kota Bandung, warga di kampung-kampung binaan, dan dengan Pemerintah Kota Bandung melalui Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan yang mewujudkan urban farming menjadi program baru bernama Bandung Kampung Urban Farming (BKUF).

c. Helping (menolong), yaitu pegiat yang terdiri atas anggota komunitas dan warga tampak berupaya saling berbagi baik tentang pengetahuan (sharing of knowledge), penyediaan tanaman, dan atas keberhasilan menjalin hubungan dengan Dispertapa dalam program BKUF maka menguatkan ikatan tolong-menolong di antara mereka.

d. Donating (memberi dan menyumbang), yaitu nampak dari pemberian pelatihan dan bibit tanaman kepada masyarakat secara luas dalam kegiatan berkebun di Kebun Tubagus Ismail, Campus Urban Farming, dan Street Urban Farming. Kreatifitas komunitas Bandung Berkebun mencari sumber-sumber pendanaan dari kerja sama dengan pihak ketiga (sponsorship) ditindaklanjuti dengan memberikkan sumbangan kepada siapa saja yang ingin praktik berkebun di rumahnya.

e. Honesty (kejujuran), yaitu program-program yang ada dalam naungan Bandung Berkebun dapat diikuti oleh kelompok masyarakat manapun dan dari umur berapapun. Kegiatan-kegiatan yang terbuka bagi publik dan dapat disaksikan secara langsung di Kebun Tubagus Ismail maupun di kedua kampung binaan.

Gerakan urban farming yang dilatarbelakangi oleh empati terhadap kondisi lingkungan kota Bandung bisa merupakan nilai awal bagi perkembangan nilai voluntarisme. Empati tersebut lantas diderivasi dalam kegiatan pro lingkungan yang memanfaatkan lahan-lahan terbengkalai dan pemukiman penduduk yang padat, kumuh, dan tidak tertata dengan baik menjadi gerakan perubahan landskap wilayah. Hal ini karena perilaku prososial yang membawa tindakan voluntarisme mensyaratkan adanya sikap altruisme atau kesediaan menolong orang lain tanpa pamrih, kemurahan hati, persahabatan, kerja sama, penyelamatan, berbagi, dan pengorbanan yang dilakukan komunitas Bandung Berkebun kepada kotanya (Brigham, 1991, hlm. 277).

Menyelenggarakan Project Citizen — 201

202 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Gb. 6.16. Panen raya sebagai hasil dari jerih payah bersamaSumber: http://img.bandungnewsphoto.com/

Pelembagaan nilai-nilai kepedulian ekologis

Durkheim (dalam Darmawan, 2015) menggambarkan masyarakat kota termasuk kelompok sosial yang telah mengalami deferensiasi dan spesialisasi pembagian kerja yang diatur dalam suatu sistem sosial. Durkheim juga menjelaskan bahwa kondisi tersebut menunjukkan bahwa kehidupan manusia modern membutuhkan institusi-institusi yang mewadahi norma dan tata nilai dalam masyarakat (Calhoun, 2002). Gerakan bertani di kota yang hanya dilakukan oleh orang per orang tidak dapat menjadi gerakan masif yang berimplikasi secara politik dan sosial jika tidak terjadi pelembagaan nilai-nilai kepedulian ekologis. Dari kondisi tersebut, pelembagaan nilai-nilai peduli lingkungan memerlukan satu gerakan yang terstruktur, sistematis, punya dukungan politik, seperti dalam program urban farming. Pelembagaan tersebut juga dapat diarahkan pada pengembangan tata kelola pemerintahan yang pro lingkungan (environmental governance) yang dapat diawali dari internalisasi nilai lewat sub-sistem sosial seperti pendidikan dan politik. Darmawan (2015) menjelaskan wadah-wadah sosial bagi warga negara melalui komunitas berkebun membantu pelembagaan nilai-nilai peduli lingkungan kepada masyarakat atau yang disebut sebagai environmental-institusional process. Program yang dijalankan komunitas Bandung Berkebun merupakan pelembagaan

202 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Menyelenggarakan Project Citizen — 203

nilai peduli lingkungan yang memiliki keanggotaan, program-program kerja terukur, penerimaan oleh masyarakat, dan dukungan politik yang terlihat dari keberhasilan mereka mendapatkan dukungan dari Pemerintah Kota Bandung. Hal tersebut mampu mewujudkan program ini ke seluruh wilayah kota Bandung.

Operasionalisasi tindakan penyelamatan lingkungan

Darmawan (2015) menjelaskan pandangan Webber bahwa persoalan lingkungan perlu diatasi lewat penggunaan kemajuan akal manusia guna mencari solusi ke dalam aksi-aksi rasional atau yang disebut rational ecological action. Aksi rasional di bidang lingkungan dapat terlihat dari pelaksanaan urban farming di berbagai kota di dunia yang termasuk dalam upaya perebutan pengaruh dalam pengelolaan sumber daya ekonomi di ranah publik. Hal ini karena program tersebut dilatarbelakangi oleh keprihatinan pembangunan kota yang terus-menerus didominasi kalangan pemilik modal dalam bentuk pembangunan perumahan dan industri yang kebanyakan mengorbankan daya dukung lingkungan. Oleh sebab itu, program ini termasuk ke dalam operasionalisasi dari rasionalisasi tindakan penyelamatan lingkungan yang dapat dilakukan oleh masyarakat kota (urban) guna menjaga kelestarian ekologi di wilayah mereka. Karl Marx (dalam Darmawan, 2015) memaparkan konteks perkembangan gerakan kepedulian lingkungan dapat menjadi mediator bagi pengelolaan lingkungan yang seringkali diabaikan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dalam perebutan lahan di kota. Darmawan menyebut aksi rasional di bidang lingkungan sebagai upaya perebutan wacana dan pengaruh pengelolaan sumber daya ekonomi di ranah publik. Perebutan wacana tersebut berisi pertentangan antarpengetahuan (knowledge struggle) untuk membentuk kebenaran (truth) yang dibawa oleh masing-masing individu atau kelompok (Foucault, 1998). Program ini telah ikut dalam pertentangan ide dan tindakan melalui realisasi gagasan tentang keberimbangan antara kegiatan industrialisasi dengan kepentingan publik, yaitu hak atas lingkungan hidup yang lestari. Wujud peran program ini adalah pembangunan di kota Bandung saat ini sudah mulai memperhatikan ketersediaan ruang terbuka hijau, pembuangan limbah yang tepat, dan pemanfaatan lahan mati guna mendukung pasokan logistik di bidang pangan. Kampung-kampung binaan yang dibentuk atas kerja sama Dispertapa dan komunitas Bandung Berkebun telah berhasil mengoreksi cara pandang bahwa pembangunan di kota tidak memerlukan peran serta masyarakat dan terlebih lagi tidak memperhatikan dampak ekologisnya.

Menyelenggarakan Project Citizen — 203

204 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Gb. 6.17. Tidak benar pembangunan kota tidak memerlukan peran serta masyarakat

Sumber: http://img.bandungnewsphoto.com/

Ketidakadilan ekologis dan perang wacana

Masyarakat modern memiliki cara pandang pembangunan yang saling berbeda yang berimplikasi pada kerusakan lingkungan. Kedua cara pandang tersebut yaitu pembangunan berkelanjutan maupun keberlanjutan ekologi yang menjadi dua alternatif model pembangunan yang perlu dipilih oleh suatu negara. Krisis yang terjadi diakibatkan karena aspek pembangunan ekonomi lebih diprioritaskan dengan tidak mengindahkan aspek pelestarian sosial-budaya dan aspek pelestarian lingkungan (Keraf, 2010). Ketidakadilan ekologis dalam pembangunan memicu perebutan pengaruh antara kelompok pro pembangunan ekonomi dan pro kelestarian ekologi. Perebutan pengaruh tersebut semakin intens di ranah publik sehingga oleh Foucault dianggap sebagai perang wacana yang hebat atau battlefield of knowledge (Darmawan, 2015). Pada tingkat praktik, dua model pembangunan tersebut menjadi inisiatif bagi gerakan-gerakan pelestarian lingkungan ke dalam gerakan sosial bagi perubahan kondisi ekologis melalui perebutan wacana di masyarakat. Dalam keseluruhan program urban farming, upaya-upaya merebut wacana publik telah diaplikasikan lewat pemberian pengetahuan tentang dampak kerusakan lingkungan dan manfaat dari program tersebut. Para warga binaan saat ini sepenuhnya sadar bahwa

204 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Menyelenggarakan Project Citizen — 205

mereka memerlukan kondisi lingkungan yang sehat sebagaimana di masa lampau. Pernyataan tersebut sesuai dengan hasil wawancara kepada kedua komunitas BKUF di kampung Baladewa dan kampung Kacapiring yang menyebut program ini membawa perubahan ekologis di wilayahnya. Hal ini belum termasuk gagasan-gagasan berkebun di tengah kota Bandung yang terus berkembang di setiap rumah warga sebagai kegiatan mandiri. Meskipun tidak dapat disimpulkan bahwa pengaruh tersebut berasal dari kerja-kerja relawan urban farming dalam komunitas Bandung Berkebun, namun setidaknya telah ada gambaran bahwa kepedulian warga terhadap lingkungan kota berawal dari keterlibatan mereka menjaga kelestarian lingkungan di sekitarnya.

Mills memaparkan persoalan ekologis dapat membawa dampak yang merambat pada perluasan penderitaan semua pihak, gangguan kesehatan, biodiversity-loss, hingga delegitimasi struktur kekuasaan (Darmawan, 2015). Darmawan juga menjelaskan bahwa kondisi tersebut membutuhkan penyelesaian masalah menggunakan pendekatan-pendekatan pengetahuan yang tidak hanya diselesaikan lewat jalur struktural namun juga nonstruktural melalui upaya-upaya yang dilakukan oleh perorangan maupun kelompok sosial. Dalam hal ini, program urban farming menjadi bagian dalam intervensi nonstruktual bagi penyelesaian masalah-masalah ekologis. Intervensi yang dilakukan oleh komunitas Bandung Berkebun dengan program ini yaitu pembuatan kelompok sosial yang mengkampanyekan gerakan-gerakan kepedulian lingkungan kepada masyarakat luas. Di satu sisi, komunitas ini melakukan gerakan pengembalian lingkungan menjadi lebih bersih dan hijau dan di sisi lain mengajak kelompok sosial dan masyarakat umum lainnya guna turut peduli terhadap kondisi ekologi di kota Bandung. Pola pendekatan persuasif dengan pemberian wawasan ekologis mampu membawa penyegaran berpikir bagi masyarakat bahwa problem-problem ekologis dan sosial dapat diselesaikan secara bersama-sama melalui program ini.

Keadaban kewarganegaraan (civic virtue)

Dari analisis berdasar teori sosial hijau di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa keadaban terhadap lingkungan dapat diwujudkan melalui program urban farming. Keadaban kewarganegaraan dipandang sebagai sikap warga negara yang mampu menempatkan diri sebagai individu, memiliki jiwa kesukarelaan, dan memiliki kemampuan dalam merespon apa yang terjadi di lingkungan sekitarnya (Weisband, 2009). Chambel & Alcover (2011) menjelaskan bahwa pribadi yang memiliki keadaban memberikan rasa aman dan nyaman sebagai warga negara

Menyelenggarakan Project Citizen — 205

206 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

di berbagai lingkungan yang melingkupinya. Keadaban kewarganegaraan (civic virtue) ini memerlukan dasar intelektualitas yang teroperasionalisaskan ke dalam tindakan-tindakan rasional bagi upaya-upaya pelestarian lingkungan. Hal tersebut tergambar dari pemaknaan urban farming dalam komunitas Bandung Berkebun yang menjadi dasar bagi pembinaan keadaban kewarganegaraan di bidang lingkungan. Keadaban yang dianggap sebagai kesempurnaan dari karakter seseorang (good person) tersebut dibuktikan lewat peran-peran sosial dalam jangka panjang bagi persoalan degradasi lingkungan melalui serangkaian tindakan pelestarian ekologi (Dagger, 1997). Keadaban ini sangat jelas terlihat dari pemaknaan program ini sebagai ekspresi kecintaan anggota komunitas Bandung Berkebun kepada kotanya. Ekspresi kecintaan kepada kota Bandung tidak dapat diwujudkan jika para pegiat tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang program ini. Oleh sebab itu, dalam komunitas Bandung Berkebun tidak hanya kegiatan berkebun tetapi dilengkapi dengan edukasi berupa program Bandung Belajar Berkebun (BBB) dan Ngariung Bandung Berkebun (NBB).

Pengetahuan dan keterampilan selama BBB dan NBB kemudian dikolaborasi-kan dengan semangat gotong royong berbagai elemen masyarakat. Kolaborasi atau udunan dalam urban farming inilah kunci kesuksesan kegiatan tersebut. Gotong-royong dalam program ini mengembangkan nilai-nilai kebaikan dan nilai-nilai demokrasi sebagai contoh dan teladan yang baik bagi sesama. Hal tersebut menunjukkan bahwa keadaban warga negara telah nampak dari nilai-nilai demokrasi warga negara yang bertanggung jawab dengan mengutamakan kepentingan bersama (Nelson, 2002). Kemampuan membangun integrasi sosial di masyarakat perkotaan yang memiliki kecenderungan individualis menjadi bagian dari keadaban kewarganegaraan. Keadaban warga negara semakin nampak melalui penggunaan pengetahuan berdasarkan bidang keahlian masing-masing, membangun partisipasi sosial, dan mengajak warga negara untuk menunjukkan tanggung jawab (responsibility) bagi lingkungan kota Bandung. Dapat disimpulkan bahwa keadaban kewarganegaraan di bidang lingkungan dalam program Bandung Berkebun karena program ini dapat membangun intelektualitas, keterampilan, dan kecerdasan afektif pegiatnya. Oleh sebab itu, keberlangsungan penjagaan ekologi sangat ditentukan oleh seberapa jauh warga menunjukkan rasa memiliki yang dibuktikan dalam tanggung jawab berpartisipasi dalam gerakan pro lingkungan (Sumber: Prasetyo & Budimansyah, 2016).

206 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

PENILAIAN — 207

PengertianIstilah penilaian (assessment) dalam pendidikan merupakan proses pengumpulan, dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik. Kegiatan mengumpulkan informasi sebagai bukti untuk dijadikan dasar menetapkan terjadinya perubahan dan derajat perubahan yang telah dicapai sebagai hasil belajar peserta didik. Keputusan penilaian seperti lulus atau tidak lulus, telah mencapai standar penguasaan minimal kompetensi atau belum, dinyatakan dalam bentuk yang bersifat kualitatif, seperti baik sekali, baik, cukup, kurang, dan kurang sekali. Sebagai keputusan (judgement) dalam penilaian harus didukung oleh bukti-bukti sebagai data yang cukup yang menunjukkan pencapaian hasil belajar peserta didik yang diperoleh melalui tahap pengukuran. Tampak jelas adanya hubungan yang sangat erat antara penilaian dan pengukuran dalam pendidikan. Penilaian tanpa melalui proses pengukuran akan sangat subjektif dan sulit dipertanggungjawabkan.

Secara umum penilaian hasil belajar bertujuan untuk (a) mengetahui tingkat pencapaian kompetensi peserta didik; (b) mengukur pertumbuhan dan perkembangan kemampuan peserta didik; (c) mendiagnosis kesulitan belajar peserta didik; (d) mengetahui hasil pembelajaran; (e) mengetahui pencapaian kurikulum; (f) mendorong peserta didik untuk belajar; dan

7.P E N I L A I A N

208 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

(g) mendorong pendidik agar memiliki kemampuan mengajar lebih baik. Untuk melaksanakan penilaian dipilih sejumlah teknik tertentu. Apa

yang dimaksud denan teknik penilaian? Teknik penilaian adalah cara-cara atau prosedur yang ditempuh guna memperoleh informasi yang berupa bukti-bukti sebagai data yang digunakan untuk mengadakan penilaian. Teknik tes umumnya digunakan untuk menilai kemampuan peserta didik yang mencakup pengetahuan dan ketrampilan, bakat dan intelegensi peserta didik. Teknik non-test digunakan, antara lain, untuk menilai aspek afektif (sikap). Dalam konteks perkuliahan Pendidikan Kewarganegaraan untuk membangun karakter bangsa dengan model Project Citizen akan dilakukan melalui dua teknik penilaian, yakni tes dan non tes. Teknik tes yang digunakan adalah tes perbuatan, tes produk, dan tes tertulis. Adapun teknik non tes akan menggunakan skala Likert, Guttman, Thurstone, Semantic Differential, dan Rating Scale.

Penilaian juga dapat dilakukan terhadap program sekolah dalam melaksanakan pendidikan karakter. Penilaian tersebut dapat dilakukan terhadap pemahaman kepala sekolah terhadap kebijakan pendidikan karakter dan/atau program-program yang sudah dilaksanakan di sekolah.

Teknik PenilaianTes1. Tes Perbuatan Tes ini dilakukan pada saat para siswa melakukan gelar kasus

(Showcase) dengan menggunakan instrumen penilaian sebagai berikut.

Instrumen Penilaian Penyajian Lisan: Kelompok Portofolio SatuMenjelaskan Masalah

Untuk setiap kriteria, berilah skor kepada kelompok potofolio satu dengan skala 1—5, dimana 5 adalah skor tertinggi dan 1 adalah skor terendah. 1 = rendah; 2 = cukup; 3 = rata-rata; 4 = di atas rata-rata; 5 = istimewa.

PENILAIAN — 209

No KRITERIA SKOR CATATAN1 SIGNIFIKANSI

Seberapa besar tingkat kebermaknaan informasi yang dipilih siswa berkaitan dengan bagian portofolionya yang akan disajikan?

2 PEMAHAMAN Seberapa baik tingkat pemahaman

siswa terhadap hakikat dan ruang lingkup masalah?

3 ARGUMENTASI Seberapa baik alasan yang diberikan

siswa bahwa masalah yang dipilihnya signifikan?

4 RESPONSIF Seberapa besar tingkat kesesuaian

jawaban siswa dengan pertanyaan yang diajukan oleh juri?

5 KERJA SAMA KELOMPOK Seberapa besar kontribusi para anggota

kelompok terhadap penyajian? Adakah bukti tanggung jawab

bersama? Apakah para penyaji menghargai

pendapat para siswa lainnya?

JUMLAH

Instrumen Penilaian Penyajian Lisan: Kelompok Portofolio DuaMengkaji Kebijakan-kebijakan Alternatif Untuk Mengatasi Masalah

Untuk setiap kriteria, berilah skor kepada kelompok potofolio dua dengan skala 1—5, dimana 5 adalah skor tertinggi dan 1 adalah skor terendah. 1 = rendah; 2 = cukup; 3 = rata-rata; 4 = di atas rata-rata; 5 = istimewa.

210 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

No KRITERIA SKOR CATATAN1 SIGNIFIKANSI

Seberapa besar tingkat kebermaknaan informasi yang dipilih siswa berkaitan dengan bagian portofolionya yang akan disajikan?

2 PEMAHAMAN Seberapa baik tingkat pemahaman

siswa terhadap kebijakan-kebijakan alternatif yang mereka identifikasi?

3 ARGUMENTASI Seberapa baik siswa menjelaskan

keuntungan-keuntungan dan kerugian-kerugian dari setiap kebijakan yang disajikan?

Seberapa baik mereka mendukung penjelasanpenjelasannya dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan juri?

4 RESPONSIF Seberapa besar tingkat kesesuaian

jawaban siswa dengan pertanyaan yang diajukan oleh juri?

KERJA SAMA KELOMPOK

Seberapa besar kontribusi para anggota kelompok terhadap penyajian?

Adakah bukti tanggung jawab bersama?

Apakah para penyaji menghargai pendapat para siswa lainnya?

JUMLAH

Instrumen Penilaian Penyajian Lisan: Kelompok Portofolio TigaMenjelaskan Masalah

Untuk setiap kriteria, berilah skor kepada kelompok potofolio tiga dengan skala 1—5, dimana 5 adalah skor tertinggi dan 1 adalah skor terendah. 1 = rendah; 2 = cukup; 3 = rata-rata; 4 = di atas rata-rata; 5 = istimewa.

PENILAIAN — 211

No KRITERIA SKOR CATATAN1 SIGNIFIKANSI

Seberapa besar tingkat kebermaknaan informasi yang dipilih siswa berkaitan dengan bagian portofolionya yang akan disajikan?

2 PEMAHAMAN Seberapa baik tingkat pemahaman

siswa terhadap keuntungan-keuntungan dan kerugian-kerugian dari kebijakan publik yang mereka usulkan?

3 ARGUMENTASI Seberapa baik siswa memberikan

alasan bahwa kebijakan yang diusulkan itu merupakan suatu pendekatan rasional?

4 RESPONSIF Seberapa besar tingkat kesesuaian

jawaban siswa dengan pertanyaan yang diajukan oleh juri?

5 KERJA SAMA KELOMPOK Seberapa besar kontribusi para anggota

kelompok terhadap penyajian? Adakah bukti tanggung jawab

bersama? Apakah para penyaji menghargai

pendapat para siswa lainnya?JUMLAH

Instrumen Penilaian Penyajian Lisan: Kelompok Portofolio EmpatMenjelaskan Masalah

Untuk setiap kriteria, berilah skor kepada kelompok potofolio empat dengan skala 1—5, dimana 5 adalah skor tertinggi dan 1 adalah skor terendah. 1 = rendah; 2 = cukup; 3 = rata-rata; 4 = di atas rata-rata; 5 = istimewa.

212 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

No KRITERIA SKOR CATATAN1 SIGNIFIKANSI

Seberapa besar tingkat kebermaknaan informasi yang dipilih siswa berkaitan dengan bagian portofolionya yang akan disajikan?

2 PEMAHAMAN Seberapa baik tingkat pemahaman

siswa terhadap langkah-langkah yang diperlukan agar kebijakan yang diusulkan dapat diterima oleh pemerintah?

3 ARGUMENTASI Seberapa baik siswa memberikan

alasan bahwa rencana tindakannya itu rasional?

Seeberapa baik mereka menunjukkan bahwa mereka dapat memperoleh dukungan dan mengatasi tantangan dalam masyarakatnya, lembaga pemerintah dan lembaga alegislatif terhadap rencana tindakannya?

Memadaiakah mereka mempertahankan pendapatnya pada saat bertanya jawab dengan juri?

4 RESPONSIF Seberapa besar tingkat kesesuaian

jawaban siswa dengan pertanyaan yang diajukan oleh juri?

5 KERJA SAMA KELOMPOK Seberapa besar kontribusi para anggota

kelompok terhadap penyajian? Adakah bukti tanggung jawab

bersama? Apakah para penyaji menghargai

pendapat para siswa lainnya?JUMLAH

PENILAIAN — 213

Instrumen Penilaian Penyajian Lisan: Keseluruhan

Untuk setiap kriteria, berilah skor kepada bagian penyajian potofolio keseluruhan dengan skala 1—5, dimana 5 adalah skor tertinggi dan 1 adalah skor terendah. 1 = rendah; 2 = cukup; 3 = rata-rata; 4 = di atas rata-rata; 5 = istimewa.

No KRITERIA SKOR CATATAN1 PERSUASIF

Keseluruhan penyajian menimbulkan daya tarik terhadap kebijakan publik yang diusulkan oleh kelas.

2 KEGUNAAN Kebijakan yang diusulkan bersfat

realistis. Pendekatan-pendekatan untuk

memperoleh dukungan adalah realistis. Mempertimbangkan hambatan-

hambatan nyata.3 KOORDINASI

Masing-masing penampilan: Berhubungan dengan yang lain. Masing-masing penyajian dibangun dan

dikembangnkan atas dasar penyajian sebelumnya.

4 REFLEKSI Menunjukkan terjadinya refleksi. Menunjukkan terjadinya aproses belajar.

JUMLAH

214 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

2. Tes Produk Produk yang dihasilkan para siswa sebagai hasil proyek belajar

adalah portofolio hasil belajar, yang terdiri atas portofolio tayangan dan portofolio dokumen. Penilaian terhadap portofolio siswa menggunakan instrumen berikut.

Gb. 7.1 Presentasi dalam showcaseadalah salah satu bentuk tes perbuatan

Sumber: http://pcced.org.ph/wp-content/uploads/2011/01/DSC_0076.jpg

PENILAIAN — 215

Lembar Penilaian Portofolio: Panel SatuMenjelaskan Masalah

Untuk setiap kriteria, berilah skor kepada bagian portofolio dengan skala 1—5, dimana 5 adalah skor tertinggi dan 1 adalah skor terendah.1 = rendah; 2 = cukup; 3 = rata-rata; 4 = di atas rata-rata; 5 = istimewa

No KRITERIA SKOR CATATAN1 KELENGKAPAN

Memuat deskripsi tentang: Tingkat keseriusan dan ketersebaran masalah

di masyarakat, negara, dan bangsa. Siapa yang bertanggung jawab untuk

menangani masalah. Memadai tidaknya kebijakan publik saat ini

untuk mengatasi masalah. Ketidaksepakatan dalam masyarakat, jika

ada, tentang masalah. Individu dan kelompok utama yang berpihak

pada masalah dan analisis posisinya.2 KEJELASAN

Tersusun dengan baik. Tertulis dengan baik. Mudah dipahami.

3 INFORMASI Akurat. Cukup memadai. Penting.

4 DUKUNGAN Memuat contoh untuk hal-hal utama. Memuat alasan yang baik.

5 DATA GRAFIS Berkaitan dengan isi tiap bagian. Diberi judul dengan tepat. Memberikan informasi. Meningkatkan pemahaman.

216 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

6 BAGIAN DOKUMENTASI Cukup memadai. Dapat dipercaya. Berkaitan dengan tayangan. Selektif.JUMLAH

Lembar Penilaian Portofolio: Panel DuaMenjelaskan Masalah

Untuk setiap kriteria, berilah skor kepada bagian portofolio dengan skala 1—5, dimana 5 adalah skor tertinggi dan 1 adalah skor terendah.1 = rendah; 2 = cukup; 3 = rata-rata; 4 = di atas rata-rata; 5 = istimewa

No KRITERIA SKOR CATATAN1 KELENGKAPAN

Deskripsi tentang kebijakan alternatif yang meliputi:

Keuntungan Kerugian Pendukung Penentang

2 KEJELASAN Tersusun dengan baik. Tertulis dengan baik. Mudah dipahami.

3 INFORMASI Akurat. Cukup memadai. Penting.

4 DUKUNGAN Memuat contoh untuk hal-hal utama. Memuat alasan yang baik.

PENILAIAN — 217

5 DATA GRAFIS Berkaitan dengan isi tiap bagian. Diberi judul dengan tepat. Memberikan informasi. Meningkatkan pemahaman.

6 BAGIAN DOKUMENTASI Cukup memadai. Dapat dipercaya. Berkaitan dengan tayangan. Selektif.JUMLAH

Lembar Penilaian Portofolio: Panel TigaMenjelaskan Masalah

Untuk setiap kriteria, berilah skor kepada bagian portofolio dengan skala 1—5, dimana 5 adalah skor tertinggi dan 1 adalah skor terendah.1 = rendah; 2 = cukup; 3 = rata-rata; 4 = di atas rata-rata; 5 = istimewa

No KRITERIA SKOR CATATAN1 KELENGKAPAN

Memuat deskripsi tentang: Kebijakan yang dianjurkan oleh kelas Keuntungan dan kerugiannya Argumentasi kekonstitusionalan Lembaga pemerintah mana yang

seharusnya melaksanakan kebijakan yang diusulkan dan mengapa

2 KEJELASAN Tersusun dengan baik. Tertulis dengan baik. Mudah dipahami.

3 INFORMASI Akurat. Cukup memadai. Penting.

218 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

4 DUKUNGAN Memuat contoh untuk hal-hal utama. Memuat alasan yang baik.

5 DATA GRAFIS Berkaitan dengan isi tiap bagian. Diberi judul dengan tepat. Memberikan informasi. Meningkatkan pemahaman.

6 BAGIAN DOKUMENTASI Cukup memadai. Dapat dipercaya. Berkaitan dengan tayangan. Selektif. JUMLAH

Lembar Penilaian Portofolio: Panel EmpatMenjelaskan Masalah

Untuk setiap kriteria, berilah skor kepada bagian portofolio dengan skala 1—5, dimana 5 adalah skor tertinggi dan 1 adalah skor terendah.1 = rendah; 2 = cukup; 3 = rata-rata; 4 = di atas rata-rata; 5 = istimewa

No KRITERIA SKOR CATATAN1 KELENGKAPAN

Memuat deskripsi tentang: Para pendukung di masyarakat Para penentang di masyarakat Para pendukung di pemerintah Para penentang di pemerintah Penjelasan tentang bagaimana masing-

masing individu dapat diyakinkan untuk mendukung kebijakan

2 KEJELASAN Tersusun dengan baik. Tertulis dengan baik. Mudah dipahami.

PENILAIAN — 219

3 INFORMASI Akurat. Cukup memadai. Penting.

4 DUKUNGAN Memuat contoh untuk hal-hal utama. Memuat alasan yang baik.

5 DATA GRAFIS Berkaitan dengan isi tiap bagian. Diberi judul dengan tepat. Memberikan informasi. Meningkatkan pemahaman.

6 BAGIAN DOKUMENTASI Cukup memadai. Dapat dipercaya. Berkaitan dengan tayangan. Selektif. JUMLAH

Lembar Penilaian Portofolio KeseluruhanMenjelaskan Masalah

Untuk setiap kriteria, berilah skor kepada bagian portofolio dengan skala 1—5, dimana 5 adalah skor tertinggi dan 1 adalah skor terendah.1 = rendah; 2 = cukup; 3 = rata-rata; 4 = di atas rata-rata; 5 = istimewa

No KRITERIA SKOR CATATAN1 PERSUASIF

Memberikan alasan yang meyakinkan bahwa:

Masalah yang dikaji adalah penting Kebijakan yang diusulkan mengarah

pada masalah Kebijakan yang diusulkan adalah

konstitusional

220 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

2 KEGUNAAN Kebijakan yang diusulkan bersifat

realistis Pendekatan-pendekatan untuk

memeperoleh dukungan adalah realistis Mempertimbangkan hambatan-

hambatan nyata3 KOORDINASI

Bagian-bagian portofolio: Berkaitan dengan yang lain. Menghindari pengulangan informasi.

4 DUKUNGAN Memuat contoh untuk hal-hal utama. Memuat alasan yang baik.

5 REFLEKSI Menunjukkan terjadinya refleksi Menunjukkan terjadinya proses belajar JUMLAH

PENILAIAN — 221

Gb. 7.2 Portofolio kelas adalah salah satu bentuk tes produkSumber: http://highlygiftedmagnet.com/

3. Tes Tertulis Tes tertulis utamanya digunakan untuk mengukur penguasaan aspek

kognitif mulai dari jenjang pengetahuan (kemampuan mengingat), pemahaman (kemampuan menangkap arti dari sesuatu), penerapan (kemampuan menerapkan dalam suatu situasi yang baru), analisis (kemampuan menguraikan sesuatu), sintesis (kemampuan menggabungkan berbagai faktor), maupun evaluasi (kemampuan menilai sesuatu). Tes tertulis untuk mengukur aspek kognitif dapat digunakan tes essay (uraian) maupun tes objektif. Tes uraian dapat dibedakan kedalam bentuk uraian objektif (BUO) dan bentuk uraian non objektif (BUNO). Tes objektif yang banyak dikenal diantaranya pilihan ganda, menjodohkan, benar-salah, jawaban singkat, dan melengkapi.

Non Tes1. Skala Likert Skala Likert dapat digunakan untuk mengukur sikap, pendapat,

dan persepsi seseorang terhadap objek atau fenomena tertentu.

222 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Skala Likert memiliki 2 bentuk pernyataan, yaitu pernyataan positif dan negatif. Pernyataan positif diberi skor 5,4,3,2, dan 1; sedangkan bentuk pernyataan negatif diberi skor 1,2,3,4 dan 5. Bentuk jawaban skala Likert terdiri atas sangat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak setuju, dan sangat tidak setuju.

Contoh:

No PERNYATAAN SS S RR TS STS1 Banyaknya kasus penyimpangan pajak

yang dilakukan oknum tertentu tidak boleh menyurutkan kesadaran kita untuk membayar pajak dengan benar dan jujur.

2 Untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat tidak perlu melibatkan anggota masyarakat sebab negara telah memiliki tentara dan polisi.

3 Perilaku buruk dalam berlalu lintas sebagian anggota masyarakat kita tidak boleh dibiarkan sebab akan merusak citra Indonesia di mata dunia sebagai bangsa yang tidak berkeadaban.

4 Kecintaan kepada tanah air Indonesia tidak boleh luntur oleh hujan dan lekang oleh panas di mana pun dan sampai kapan pun Indonesia adalah tumpah darah.

5 Pahlawan hanya muncul pada saat perang kemerdekaan, pada saat sekarang di era pembangunan nasional dirasakan tidak relevan lagi.

Keterangan: SS = Sangat Setuju; S = Setuju; RR = ragu-ragu; TS = Tidak Setuju; STS = Sangat Tidak Setuju

2. Skala Guttman Skala Guttman yaitu skala yang menginginkan jawaban tegas seperti

jawaban benar-salah, ya-tidak, pernah – tidak pernah. Untuk jawaban positif seperti setuju, benar, pernah dan semacamnya diberi skor 1; sedangkan untuk jawaban negatif seperti tidak setuju, salah, tidak, tidak pernah, dan semacamnya diberi skor 0.

PENILAIAN — 223

Contoh:

No PERNYATAAN YA TIDAK1 Melaksanakan ibadah agama atas dasar

keimanan dan tanpa paksaan siapa pun. 2 Menghormati orang tua melebihi rasa hormat

kepada orang lain.3 Gemar membaca melebihi kegemaran menonton

film maupun mendengarkan musik.4 Tidak memilih-milih teman untuk berkawan.5 Menghormati dosen layaknya menghormati

orang tua sendiri.

3. Semantik Defferensial Skala defferensial yaitu skala untuk mengukur sikap dan lainnya,

tetapi bentuknya bukan pilihan ganda atau checklist tetapi tersusun dalam satu garis kontinum. Sebagai contoh skala semantik defferensial mengukur gaya kepemimpinan seorang pimpinan.

Contoh: Gaya Kepemimpinan

Demokrasi 7 6 5 4 3 2 1 OtoriterBertanggung jawab 7 6 5 4 3 2 1 Tidak bertanggung

jawabMemberi Kepercayaan 7 6 5 4 3 2 1 MendominasiMenghargai bawahan 7 6 5 4 3 2 1 Tidak menghargai

bawahanKeputusan diambil bersama

7 6 5 4 3 2 1 Keputusan diambil sendiri

4. Skala Thurstone Skala Thurstone merupakan skala yang disusun dengan memilih

butir yang berbentuk skala interval. Setiap skor memiliki kunci skor dan jika diurut kunci skor menghasilkan nilai yang berjarak sama.

Contoh:

224 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

No PERNYATAAN SKALA1 Kemampuan mengendalikan diri. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 112 Kemampuan beradaptasi dengan

lingkungan baru.1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

3 Samanya perkataan, perasaan, dan perbuatan.

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

4 Berpikir jernih, berhati mulia, berperilaku setia.

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

5. Rating Scale Dalam rating scale data kuantitatif ditafsirkan dalam pengertian

kualitatif. Dalam skala rating scale, responsden tidak akan menjawab salah satu dari jawaban kualitatif, tetapi menjawab salah satu jawaban kuantitatif yang disediakan.

Contoh:

No PERNYATAAN INTERVAL JAWABAN1 Keputusan diambil bersama. 5 4 3 2 12 Belajar keras untuk berhasil lulus dalam

ujian nasional.5 4 3 2 1

3 Mencintai tanah air sebagai tanah tumpah darah.

5 4 3 2 1

4 Menggunakan produksi dalam negeri. 5 4 3 2 1

Penilaian Program SekolahBerikut adalah contoh alat penilaian untuk mengetahui program pendidikan karakter di sekolah. Sumber data diambil dari kepala sekolah. Mengapa kepala sekola? Kepala sekolah memiliki peranan penting dalam mewujudkan pendidikan yang berkualitas. Ia adalah katalisator bagi tumbuhnya budaya mutu sehingga tidak berlebihan bila kepala sekolah dinyatakan sebagai kunci sukses kemajuan sekolah. Kepemimpinan kepala sekolah yang efektif dapat mengendalikan, mendukung, memelihara, dan terus mendorong tumbuhnya komitmen semua personil sekolah untuk bersama-sama mengupayakan layanan pendidikan yang bermutu secara

PENILAIAN — 225

sadar dan bermartabat. Mari kita perhatikan salah satu hasil penelitian tentang pentingnya faktor kepala sekolah dalam pelaksanaan program pendidikan karakter di sekolah. Dalam implementasi pendidikan karakter pada jenjang pendidikan dasar di kota Bandung ditemukan masih adanya sejumlah karakteristik kepala sekolah yang belum kondusif bagi penciptaan ekosistem moral pendidikan, dimana kesemuanya itu berujung pada kurangnya kapasitasnya dalam mewujudkan sekolah sebagai institusi karakter (Budimansyah, Prihatin & Agustin, 2015). maknanya adalah kapasitas kepala sekolah belum cukup untuk membangun sekolah menjadi sebuah ekosistem yang menumbuhkan semangat belajar otentik dan menyiptakan ekosistem pembelajaran yang menjadikan sekolah sebagai institusi karakter (Budimansyah, 2012) atau komunitas moral (Koesoema, 2016).

Jika dirunut pada akar persoalannya, ternyata belum cukupnya kapasitas kepala sekolah untuk mewujudkan sekolah sebagai institusi karakter akibat faktor eksternal, yakni masih terus berlangsungnya berbagai inkonsistensi kebijakan pemerintah, sedangkan kepala sekolah berada pada posisi yang harus melaksanakan kebijakan tersebut. Pertama, di satu pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) telah mencabut fungsi Ujian Nasional (UN) sebagai syarat kelulusan, tetapi tetap mempertahankannya sebagai syarat masuk ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Artinya, kebijakan ini tetap memposisikan UN sebagai high-stakes testing sehingga potensi kecurangan dan manipulasi nilai tetap akan terjadi. Akibatnya, pembelajaran akan berubah menjadi drilling dan sibuk melatih siswa mengerjakan soal begitu kisi-kisis UN dikeluarkan pemerintah. Dalam keadaan seperti itu pembelajaran akan kehilangan ruhnya, kering, dan sangat teknikal.

Kedua, pada satu sisi guru diberi kewenangan melakukan penilaian otentik pada rapor siswa, tetapi di lain pihak nilai rapor, dalam hal ini untuk jenjang sekolah menengah atas (SMA), dipergunakan sebagai syarat kualifikasi jalur masuk perguruan tinggi negeri (PTN) tanpa tes yang kuotanya sangat besar, yaitu 50 persen atau bahkan lebih. Akibatnya terjadilah konflik kepentingan (conflict of interest), yakni banyak sekolah yang menginflasi nilai rapor agar siswa dapat masuk PTN tanpa tes. Logikanya sangatlah jelas, bahwa tidak akan ada sekolah yang tidak bangga jika anak didiknya diterima di PTN, utamanya yang bereputasi baik.

226 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Praktik menginflasi nilai juga terus terjadi karena adanya kebijakan kriteria ketuntasan minimal (KKM). Dalam praktiknya di lapangan pemahaman KKM telah jauh melenceng dari maksud semula. KKM saat ini dipahami sebagai nilai minimal pada rapor dan ditentukan oleh sekolah. Akibatnya, banyak sekolah -- terutama sekolah negeri -- berlomba-lomba meninggikan KKM-nya. Sekolah yang menentukan KKM untuk mata pelajaran tertentu 7, maka nilai dalam rapor siswa paling rendah adalah 7. Oleh karena nilai rapor dipergunakan sebagai syarat masuk PTN untuk jalur undangan, banyak sekolah berlomba-lomba menaikan nilai KKM hingga tidak rasional. Bahkan, ada sekolah yang menetapkan nilai KKM sampai 9 sehingga nilai rapor siswa untuk mata pelajaran yang bersangkutan minimal 9 (Koesoema, 2016).

Praktik penetapan KKM yang sudah di luar nalar tersebut diperparah lagi oleh adanya aturan bahwa, agar siswa dapat mengikuti UN, semua mata pelajaran harus sudah tuntas. Artinya, siswa tidak akan dapat terverifikasi sebagai peserta UN bila masih ada nilai pada rapornya yang dibawah KKM yang ditentukan oleh sekolah. Karena itu, mau tidak mau, semua guru akan memberikan nilai minimal KKM bagi siswa kelas akhir agar dapat mengikuti UN. Artinya, kalau nilai KKM-nya 9, guru akan tutup mata memberikan nilai 9 dalam rapor meskipun faktanya kemampuan siswa tersebut jauh di bawah nilai 9.

Paradoks yang menyertai kebijakan KKM adalah manakala siswa dalam kenyataan sehari-hari kemampuannya di bawah KKM. Dalam keadaan seperti ini, yakni melayani para siswa yang kemampuannya belum mencapai nilai KKM, pemerintah menganjurkan kebijakan remidial. Remidial sejatinya sangat baik karena merupakan kegiatan memberikan pengayaan pada materi yang kurang. Namun, faktanya, guru sekedar memberi penugasan-penugasan atau pekerjaan ulang soal-soal ulangan yang pernah diberikan guru. Kebijakan remidial, dengan demikian kontra produktif, karena faktanya para siswa justru menjadi semakin malas, karena jika saja memperoleh nilai di bawah KKM pada akhirnya mereka akan diselamatkan melalui mekanisme remidial. Namun, akhirnya guru harus memberi nilai minimal KKM, karena jika tidak demikian, siswa tersebut tidak boleh mengikuti UN. Dalam konteks inilah kepala sekolah harus mampu mengolah kebijakan pemerintah untuk menghasilkan kebajikan, bukan sekedar formalitas belaka yang ujung-ujungnya kontra produktif terhadap upaya pendidikan karakter

PENILAIAN — 227

di sekolah atau bahkan menegasi hasil-hasil pembinaan karakter yang selama ini sudah dilakukan.

Beberapa temuan di negara lain ihwal sentralnya posisi kepala sekolah bagi upaya perbaikan mutu sekolah terekam dari beberapa hasil studi berikut. Studi terhadap kepemimpinan kepala sekolah di Sekolah Indonesia Kuala Lumpur (SIKL) periode 2009-2012 melihat pengaruhnya terhadap keberhasilan pendidikan di sekolah. Diperoleh simpulan bahwa model kepemimpinan kepala SIKL adalah membangun kedekatan dengan para siswa dan senantiasa membina mereka menjadi anak-anak yang baik berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Model kepemimpinan seperti ini menjadi katalis keberhasilan SIKL. Refleksi dari pengalaman ini adalah bahwa kepemimpinan seperti itu mampu memicu dua praktik inti lainnya di SIKL, yakni pengembangan SDM dan disain ulang organisasi (Fitriati, Romdana & Rosyidi, 2014).

Studi lain menemukan bahwa peran kepala sekolah sebagai pemimpin instruksional memiliki efek langsung pada peningkatan proses pembelajar. Kepemimpinan instruksional adalah istilah yang komprehensif meliputi kegiatan pengembangan profesional guru dan semua orang yang dikonseptualisasikan dan dikembangkan dimensinya berdasarkan pengalamannya, kebutuhan, dan tujuannya, serta berbagai indeks perilaku yang telah ditentukan untuk itu. Temuan hasil dari studi ini yang luas tentang perilaku kepala sekolah menunjukkan berbagai dimensi dan indeks perilaku kepemimpinan instruksional kepala sekolah berpengaruh terhadap pencapaian sekolah dalam berbagai aspeknya (Abdollahi, Ghoorrehjili & Karimi, 2013).

Banyak kepala sekolah yang ditemukan di China (misalnya Cravens, Liu & Grogan, 2012) dilatih sebagai administrator daripada pemimpin. Kepala sekolah harus berurusan dengan kontradiksi yang melekat dalam tindakan real time. Dengan habitus mengikuti arahan dari pejabat Pemerintah dan memfokuskan energi mereka pada administrasi sehari-hari, beberapa kepala sekolah mungkin kurang dari segi pengetahuan dan kemampuan untuk berpikir di luar kotak sehingga untuk mengembangkan strategi jangka panjang untuk pengembangan profesional guru dan sekolah tidak berjalan optimal. Namun, hal ini juga kemungkinan bahwa kepala sekolah tidak memiliki ruang untuk mempraktikan kepemimpinan. Retorika kebijakan akuntabilitas terhadap hierarki yang relatif tidak berubah dalam bidang pendidikan di sekolah menjadi penyumbat untuk reformasi pendidikan (Ng & Pun, 2013)

228 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Kementerian Pendidikan Iran melakukan upaya ekstensif untuk meningkatkan inovasi di sekolah-sekolah sehingga struktur staf, perencanaan, manajemen, dan penjadwalan kapasitas sekolah yang lebih baik sesuai dengan tujuan tersebut dilakukan dengan amat serius. Salah satu determinan penting untuk upaya tersebut adalah kepala sekolah yang inovatif (Esfahani & Pour, 2012). Demikian pula studi di Penang Malaysia menemukan bahwa untuk meningkatkan kinerja guru diperlukan adanya kesadaran untuk kerja kolektif di sekolah. Guru tidak berkinerja baik pada saat mereka bekerja dalam isolasi, tidak ada tindakan kolektif dan penciptaan model operasi bersama untuk resolusi mereka. Dalam konteks ini kepala sekolah harus berperan menyiptakan kerja kolektif guru di sekolah (Ngang & See, 2013).

Pengembangan profesional kepala sekolah tidak hanya penting untuk agenda reformasi tetapi juga keprihatinan nasional dan bagian dari rencana strategis Departemen Pendidikan Thailand untuk menjadikan sekolah sebagai masyarakat pembelajar. Dalam konteks ini kepala sekolah harus menjadi agen perubahan. Jika kepala sekolah benar-benar menjadi agen perubahan, mereka harus berkomitmen untuk sekolah sebagai masyarakat pembelajar (Mullen & Hutinger, 2008). Namun, hal ini tidak mungkin terjadi dengan proses top-down yang sederhana. Studi di Thailand ini menemukan bahwa perasaan berada di lingkungan yang mendukung adalah dasar partisipasi dan komitmen dari para pelaku pendidikan. Dalam lingkungan yang mendukung, kepala sekolah akan secara aktif berpartisipasi dalam pengembangan profesi mereka sendiri (Kanokorn, Pongtorn & Ngang, 2014).

Seorang kepala sekolah memerlukan keterampilan kepemimpinan yang tepat untuk membawa sekolah, staf dan siswa mencapai prestasi yang tinggi, dan untuk menjaga efektivitas sekolah. Hasil penelitian di Malaysia yang menggunakan analisis logistik menunjukkan bahwa keterampilan kepemimpinan kepala sekolah secara bermakna dikaitkan dengan masa kerja sebagai kepala sekolah dan kualifikasi akademik. Temuan ini menunjukkan bahwa pelatihan formal diperlukan untuk kepala sekolah sebelum mengasumsikan posisi mereka. Temuan ini konsisten dengan temuan Chen (2003). Hasil Chen menunjukkan bahwa latar belakang pendidikan secara bermakna dikaitkan dengan kompetensi kepemimpinan. Temuan ini juga kompatibel dengan temuan Karakose (2008) bahwa masa kerja dan pengalaman dua faktor perilaku budaya

PENILAIAN — 229

kepemimpinan kepala sekolah. Temuan ini dapat dimengerti dan masuk akal sebagai pelaku Malaysia yang ditunjuk berdasarkan senioritas dan latar belakang pendidikan (Piaw, Hee, Ismail & Ying, 2014).

Studi di Selangor Malaysia menemukan peran penting dari para kepala sekolah dalam adopsi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dan memberikan kontribusi untuk membuat keputusan tentang kebutuhan perkembangan masa depan, Oleh karena itu, para pembuat kebijakan harus merancang program pengembangan profesional kepala sekolah, seperti studi kepemimpinan, mengajarkan komponen kepemimpinan transformasional; pengaruh ideal, motivasi inspirasional, stimulasi intelektual dan pengembangan kapasitas individu untuk administrator masa depan (Arokiasamy, Abdullah & Ismail, 2015).

Studi yang dilakukan di Turki ihwal kepala sekolah adalah model mental dari kepala sekolah tentang kepemimpinan. Hasil penelitian mengungkapkan konsep kepemimpinan yang paling dominan adalah “mengarahkan”, “mengelola” dan “mempengaruhi”. Karakteristik perilaku pemimpin yang dinilai paling tinggi adalah fitur “inovatif”, ciri-ciri kepribadian yang dinilai paling tinggi adalah fitur “kejujuran”, keterampilan yang dinilai paling tinggi “kemampuan komunikasi” , dan sifat fisik yang dinilai paling tinggi adalah “karismatik”. Gambaran yang berhubungan dengan kepemimpinan tersebut mensyaratkan bahwa kepala harus diposisikan di depan para pengikutnya untuk memimpin mereka. (Kara & Eturk, 2015).

Sekolah-sekolah di Singapura memiliki reputasi tinggi dalam prestasi berdasarkan erbagai survei internasional, seperti TIMSS, PIRLS dan PISA, dalam sepuluh tahun terakhir. Namun, di tengah-tengah keberhasilan prestasi akademik sekolah-sekolah tersebut dibebani persoalan nonakademik, yakni disiplin yang buruk, moral yang rendah di antara staf dan siswa. Beberapa sekolah telah mencapai perubahan yang luar biasa. Bagaimana sekolah tersebut berhasil membelokan (turnaround) keadaan? Berdasarkan pengalaman Singapura, proses tersebut tidak pernah mudah. Kepala sekolah sebagai sopir membutuhkan keberanian moral, keyakinan dan kompetensi untuk melakukan pekerjaan turnaround. Pada akhirnya ia harus membuat tugas yang tampaknya mustahil menjadi kenyataan melalui kerja sama dengan semua pemangku kepentingan di sekolah (Ong, 2015).

230 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Hal yang diyakini sangat penting dilakukan sekolah adalah mengembangkan kapasitas dan meningkatkan kemampuan belajar siswa. Dalam rangka mengembangkan kapasitas dan mempertahankannya, adalah salah satu peran administratif yang harus dijalankan kepala sekolah. Dalam konteks ini kepala sekolah memiliki peran yang signifikan membangun komunitas belajar profesional (Balyer, Karatas, & Alci, 2015). Studi yang dilakukan di Teheran, Iran menunjukkan bahwa kepuasan kerja pendidik dan tenaga kependidikan lainnya akan meningkat jika gaya kepemimpinan kepala sekolah menjadi lebih partisipatif (Abdullah, DeWitt & Alias, 2013)

Penelitian kontemporer tentang dampak globalisasi dan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) terhadap peran kepemimpinan pendidikan telah menunjukkan bahwa kepala sekolah mengalami perubahan dramatis dalam pekerjaan mereka. Departemen Pendidikan Malaysia berencana untuk mengubah semua sekolah menjadi sekolah-sekolah yang cerdas. Dalam konteks ini kepala sekolah berperan signifikan dalam mengubah sekolah mereka masing-masing menjadi sekolah-sekolah yang cerdas. (Ibrahim and Al-Taneji, 2013). Kepala sekolah adalah faktor kunci dalam pelaksanaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di sekolah-sekolah (Arokiasamy, 2014). Terahir studi yang dilakukan di Portugis menemukan bahwa kepemimpinan sekolah, terutama kepala sekolah, berpengaruh terhadap keberhasilan siswa di sekolah (Pina, Cobral and Alves, 2015).

Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa kepala sekolah dengan kapasitasnya yang memadai sangat penting untuk suksesnya pelaksanaan program pendidikan karakter di sekolah. Maka dari itu kepala sekolah merupakan sumber data penting untuk menilai tingkat keberhasilan program pendidikan karakter di sekolahnya itu. Berikut disajikan instrumen pengumpul data yang diberikan kepada kepala sekolah untuk memperoleh sejumlah informasi perihal pemahamannya terhadap kebijakan nasional pembangunan karakter bangsa, strategi implementasi pendidikan karakter pada satuan pendidikan, dan rancangan aksi pengembangan sekolah sebagai institusi karakter.

Tiga instrumen pengumpul data yang sudah disebutkan di atas disusun dalam bentuk kuesioner tertutup. Artinya, untuk mengisinya tinggal memberikan tanda ceklis (V) pada pilihan jawaban yang sesuai dengan keadaan anda yang sebenarnya, kecuali pada bagian akhir dari

PENILAIAN — 231

kuesioner ketiga responden diminta menambahkan hal-hal penting jika diperlukan.

IDENTITAS RESPONDEN

1. Jenis Kelamin: [ L ] / [ P] ..... (beri tanda silang yang sesuai)2. Usia: ........ tahun3. Status sebagai kepala sekolah: [Kepala SD] / [Kepala SMP] / [Kepala

SMA] / [Kepala SMK]. (beri tanda silang yang sesuai)4. Lamanya menjadi kepala sekolah sejak pertama kali diangkat: ......

tahun5. Lamanya bertugas sebagai guru sebelum diangkat menjadi kepala

sekolah: ...... tahun

232 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

I. KEBIJAKAN NASIONAL PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA

Berikut disajikan sejumlah pernyataan tentang kebijakan nasional pembangunan karakter bangsa. Anda diminta mengukur pemahaman Anda sendiri terhadap beberapa aspek yang terkandung di dalamnya. Berilah tanda ceklis (v) pada kolom angka [1] jika Anda sangat tidak memahami aspek tersebut. Jika Anda sangat memahami aspek tersebut bubuhkanlah ceklis pada kolom angka [5]. Dengan demikian semakin menuju kolom angka [1] berarti semakin tidak memahami aspek tersebut. Sebaliknya semakin menuju kolom angka [5] berarti semakin memahami aspek tersebut.

No PernyataanPemahaman Anda

1 2 3 4 5A. Pendidikan karakter dalam konteks makro1 Dalam aspek perencanaan pembangunan

karakter bangsa dilakukan proses pengembangan perangkat karakter yang digali, dikristalisasikan, dan dirumuskan dengan menggunakan pertimbangan filosofis-agama. Sejauhmana pemahaman Anda tentang hal ini?

2. Pancasila digunakan sebagai sumber untuk menggali, mengkritalisasikan, dan merumuskan perangkat karakter. Sejauhmana pemahaman Anda tentang hal ini?

3. UUD 1945 juga digunakan sebagai sumber untuk menggali, mengkritalisasikan, dan merumuskan perangkat karakter. Sejauhmana pemahaman Anda tentang hal ini?

4. Demikian halnya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan peraturan perundang-undangan turunannya digunakan sebagai sumber untuk menggali, mengkritalisasikan, dan merumuskan perangkat karakter. Sejauhmana pemahaman Anda tentang hal ini?

5. Implementasi pembangunan karakter bangsa dikembangkan melalaui proses pembudayaan dan pemberdayaan. Sejauhmana pemahaman Anda tentang hal ini?

PENILAIAN — 233

6. Proses pembudayaan dan pemberdayaan karakter bangsa dilakukan pada tiga lingkungan pendidikan, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Sejauhmana pemahaman Anda tentang hal ini?

7. Pemerintah melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan nasional pembangunan karakter bangsa melalui asesmen program untuk perbaikan berkelanjutan. Sejauhmana pemahaman Anda tentang hal ini?

8. Evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan nasional pembangunan karakter bangsa juga dilakukan untuk mendeteksi aktualisasi karakter dalam diri peserta didik. Sejauhmana pemahaman Anda tentang hal ini?

B. Pendidikan karakter dalam konteks mikro9. Implementasi pendidikan karakter pada satuan

pendidikan diintegrasikan pada setiap mata pelajaran dalam proses pembelajaran di kelas. Sejauhmana pemahaman Anda tentang hal ini?

10. Mekanisme pengintegrasian pendidikan karakter dalam proses pembelajaran di kelas disesuaikan dengan karakteristik dan tujuan kurikuler mata pelajaran bersangkutan. Sejauhmana pemahaman Anda tentang hal ini?

11. Implementasi pendidikan karakter perlu dilakukan juga dalam kegiatan keseharian dalam bentuk budaya satuan pendidikan (school culture). Sejauhmana pemahaman Anda tentang hal ini?

12. Kegiatan ko- dan ekstrakurikuler yang diselenggarakan sekolah merupakan wahana pendidikan karakter. Sejauhmana pemahaman Anda tentang hal ini?

13. Kegiatan keseharian di rumah berpengaruh terhadap keberhasilan pendidikan karakter. Sejauhmana Anda memahami strategi yang dapat dilakukan agar sekolah dapat bekerjasama dengan orang tua siswa dalam proses pendidikan karakter.

14. Kegiatan keseharian di masyarakat berpengaruh terhadap keberhasilan pendidikan karakter. Sejauhmana Anda memahami strategi yang dapat dilakukan agar sekolah dapat bekerjasama dengan masyarakat dalam proses pendidikan karakter.

234 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

II. STRATEGI IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER PADA SATUAN PENDIDIKAN

Berikut disajikan sejumlah pernyataan tentang strategi implementasi pendidikan katrakter pada satuan pendidikan. Anda diminta untuk merefleksikan pengalaman implementasi yang berlangsung di sekolah tempat Anda bertugas dan rencana pengembangan ke depan yang sudah disusun atau yang masih dalam perencanaan. Berilah tanda ceklis (v) pada kolom angka [1] jika Anda sangat tidak puas terhadap implementasi dan perencanaan program ke depan tersebut. Jika Anda merasa sangat puas bubuhkanlah ceklis pada kolom angka [5]. Dengan demikian semakin menuju kolom angka [1] berarti Anda semakin tidak puas terhadap implementasi dan perencanaan program pendidikan karakter ke depan di sekolah Anda tersebut. Sebaliknya semakin menuju kolom angka [5] berarti Anda semakin merasa puas terhadap implementasi dan perencanaan program pendidikan karakter ke depan di sekolah Anda itu.

No PernyataanKepuasan Anda

1 2 3 4 5A. Refleksi terhadap pelaksanaan pendidikan

karakter di sekolah tempat Anda bertugas1 Sejauhmana kepuasan Anda terhadap pelaksanaan

pendidikan karakter yang diintegrasikan pada mata pelajaran secara umum dalam proses pembelajaran di kelas?

2. Sejauhmana kepuasan Anda terhadap pelaksanaan pendidikan karakter yang dibawakan oleh mata pelajaran Agama dalam proses pembelajaran di kelas?

3. Sejauhmana kepuasan Anda terhadap pelaksanaan pendidikan karakter yang dibawakan oleh mata pelajaran PPKn dalam proses pembelajaran di kelas?

4. Sejauhmana kepuasan Anda terhadap pelaksanaan pendidikan karakter yang dibawakan oleh mata pelajaran Bahasa Indonesia dalam proses pembelajaran di kelas?

5. Sejauhmana kepuasan Anda terhadap pelaksanaan pendidikan karakter melalui pembiasaan perilaku dalam budaya sekolah?

PENILAIAN — 235

6. Sejauhmana kepuasan Anda terhadap pelaksanaan pendidikan karakter melalui kegiatan ko dan ekstra kurikuler di sekolah?

7. Sejauhmana kepuasan Anda terhadap kerjasama dengan orang tua dalam pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah?

8. Sejauhmana kepuasan Anda terhadap kerjasama dengan masyarakat dalam pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah?

B. Pengembangan pendidikan karakter ke depan di sekolah tempat Anda bertugas

9. Sejauhmana kepuasan Anda terhadap rencana yang sudah disusun/atau yang masih dalam proses perencanaan untuk mengintegrasikan pendidikan karakter pada mata pelajaran secara umum dalam proses pembelajaran di kelas?

10. Sejauhmana kepuasan Anda terhadap rencana yang sudah disusun/atau yang masih dalam proses perencanaan untuk merevitalisasi pembelajaran Pendidikan Agama agar dapat dijadikan penghela program pendidikan karakter di sekolah?

11. Sejauhmana kepuasan Anda terhadap rencana yang sudah disusun/atau yang masih dalam proses perencanaan untuk merevitalisasi pembelajaran PPKn agar dapat dijadikan penghela program pendidikan karakter di sekolah?

12. Sejauhmana kepuasan Anda terhadap rencana yang sudah disusun/atau yang masih dalam proses perencanaan untuk merevitalisasi pembelajaran Bahasa Indonesia agar dapat dijadikan penghela program pendidikan karakter di sekolah?

13. Sejauhmana kepuasan Anda terhadap rencana yang sudah disusun/atau yang masih dalam proses perencanaan untuk meningkatkan kerjasama dengan orang tua siswa dalam pendidikan karakter di sekolah?

14. Sejauhmana kepuasan Anda terhadap rencana yang sudah disusun/atau yang masih dalam proses perencanaan untuk meningkatkan kerjasama dengan masyarakat dalam pendidikan karakter di sekolah?

236 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

III. RANCANGAN AKSI PENGEMBANGAN SEKOLAH SEBAGAI INSTITUSI KARAKTER

Berikut disajikan sejumlah pernyataan tentang rancangan aksi pengembangan sekolah sebagai institusi karakter. Anda diminta untuk menilai kesiapan sekolah Anda untuk melaksanakan aksi tersebut. Berilah tanda ceklis (v) pada kolom angka [1] jika Anda menilai sekolah Anda sangat tidak siap untuk melaksanakan aksi tersebut. Jika Anda menilai sekolah Anda sangat siap bubuhkanlah ceklis pada kolom angka [5]. Dengan demikian semakin menuju kolom angka [1] berarti sekolah Anda semakin tidak siap untuk melaksanakan aksi pengembangan sekolah sebagai institusi karakter. Sebaliknya semakin menuju kolom angka [5] berarti sekolah Anda semakin siap untuk melaksanakan aksi tersebut.

No PernyataanKesiapan

Sekolah Anda1 2 3 4 5

A. Aksi mengembangkan karakter cerdas.1 Gerakan anti mendrilling soal ujian sekolah/nasional.2. Gerakan anti menetapkan kriteria ketuntasan

minimal (KKM) di luar batas nalar.3. Gerakan anti remidial yang hanya sekedar

memberikan penugasan atau pekerjaan ulang soal-soal ulangan yang pernah diberikan guru.

4. Gerakan anti menginflasi nilai rapor.B. Aksi mengembangkan karakter peduli.5. Grakan anti bulliying.6. Gerakan peduli sesama.7. Gerakan peduli lingkungan alam.C. Aksi mengembangkan karakter jujur.8. Gerakan anti menyontek.9. Gerakan anti menipu/melakukan perkeliruan

membayar uang jajan di kantin sekolah.D. Aksi mengembangkan karakter tangguh.10. Gerakan senam kesegaran jasmani (SKJ).11. Gerakan lintas alam.

PURWAWACANA — 237

Pendahuluan

Praktik pembelajaran di sekolah sejatinya mengemban misi nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia melalui koridor pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Konfigurasi

atau kerangka sistemik pembelajaran dibangun atas dasar paradigma sebagai berikut. Pertama, mata-mata pelajaran secara kurikuler dirancang sebagai subjek pembelajaran yang bertujuan untuk mengembangkan potensi individu agar menjadi warga negara Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Kedua, seluruh mata pelajaran secara teoretik dirancang sebagai subjek pembelajaran yang memuat dimensi-dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik yang bersifat konfluen atau saling berpenetrasi dan terintegrasi dalam konteks substansi ide, nilai, konsep, moral, dan karakter warganegara Indonesia yang demokratis dan bertanggung jawab. Ketiga, semua mata pelajaran secara programatik dirancang sebagai subjek pembelajaran yang menekankan pada isi yang mengusung nilai-nilai (content embedding values) dan pengalaman belajar (learning experiences) dalam bentuk berbagai perilaku yang perlu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dan merupakan tuntunan

1PEMBELAJARAN AKTIF, KREATIF, EFEKTIF, DAN MENYENANGKAN

8.PURWAWACANA

238 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

hidup bagi warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagai penjabaran lebih lanjut dari ide, nilai, konsep, moral, dan karakter warganegara Indonesia yang demokratis dan bertanggung jawab.

Namun, berdasarkan berbagai temuan (Suryadi & Budimansyah, 2003; 2009) pembelajaran pada berbagai jenis dan jenjang pendidikan, mengindikasikan adanya berbagai kendala dan keterbatasan. Kendala dan keterbatasan tersebut adalah: (1) masukan instrumental (instrumental input) terutama yang berkaitan dengan kualitas guru serta keterbatasan fasilitas dan sumber belajar, dan (2) masukan lingkungan (environmental input) terutama yang berkaitan dengan kondisi dan situasi kehidupan politik negara yang kurang demokratis (pada masa sebelum reformasi) dan justru kebablasan (pada era setelah reformasi). Dengan demikian, pelaksanaan pembelajaran di sekolah tidak mengarah pada misi sebagaimana seharusnya. Beberapa indikasi empirik yang menunjukkan salah arah tersebut antara lain adalah sebagai berikut.

Pertama, proses pembelajaran dan penilaian lebih menekankan pada dampak instruksional (instructional effects) yang terbatas pada penguasaan materi (content mastery) atau dengan kata lain hanya menekankan pada dimensi kognitifnya saja. Adapun pengembangan dimensi-dimensi lainnya (afektif dan psikomotorik) dan pemerolehan dampak pengiring (nurturant effects) sebagai “hidden curriculum” belum mendapat perhatian sebagaimana mestinya. Kedua, pengelolaan kelas belum mampu menciptakan suasana kondusif dan produktif untuk memberikan pengalaman belajar kepada siswa/mahasiswa melalui perlibatannya secara proaktif dan interaktif baik dalam proses pembelajaran di kelas maupun di luar kelas (intra dan ekstra kurikuler) sehingga berakibat pada miskinnya pengalaman belajar yang bermakna (meaningful learning) untuk mengembangkan kehidupan dan perilaku siswa. Ketiga, pelaksanaan kegiatan ekstra-kurikuler sebagai wahana sisio-pedagogis untuk mendapatkan “hands-on experience” juga belum memberikan kontribusi yang signifikan untuk menyeimbangkan antara penguasaan teori dan praktik pembiasaan perilaku dan keterampilan dalam berkehidupan yang demokratis dan sadar hukum.

Indikasi-indikasi tersebut melukiskan begitu banyaknya kendala kurikuler dan sosial-kultural bagi setiap pelajaran untuk menghasilkan suatu totalitas hasil belajar yang mencerminkan pencapaian secara

PURWAWACANA — 239

komprehensif (menyeluruh) dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik yang koheren dan konfluen. Hasil belajar yang belum mencapai keseluruhan dimensi secara optimal seperti digagaskan itu berarti menunjukkan bahwa tujuan kurikuler belum dapat dicapai sepenuhnya.

Menyadari hal tersebut di atas, berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan antara lain adalah sebagai berikut.a. Penyelenggaraan pelatihan secara berkala untuk meningkatkan

kualitas kemampuan mengajar guru. Namun pelatihan tersebut masih perlu terus ditingkatkan kualitasnya agar mampu menunjukkan hasil yang optimal;

b. Penataan kembali materi setiap mata pelajaran agar lebih sesuai dengan tuntutan kebutuhan bagi kehidupan masyarakat yang demokratis. Namun, upaya penataan tersebut dirasakan belum menghasilkan perubahan yang signifikan dalam pembelajaran seperti yang diharapkan;

c. Perubahan sistem belajar di persekolahan, dari catur wulan ke semester, dan di perguruan tinggi menjadi sistem kredit semester (SKS), yang diyakini akan lebih memungkinkan guru untuk dapat merancang alokasi waktu dan strategi pembelajaran secara fleksibel dalam rangka upaya peningkatan kualitas pembelajarannya, belum memperlihatkan hasil yang memadai.Kendala eksternal lainnya yaitu pendidikan di Indonesia dihadapkan

pada berbagai persoalan dan situasi global yang berkembang cepat setiap waktu baik yang bermuatan positif maupun yang bermuatan negatif atau bertentangan dengan kepribadian bangsa Indonesia. Ketidakmampuan bangsa Indonesia dalam merancang program pendidikan yang mengakomodasikan kecenderungan dan persoalan global tersebut berarti akan menghilangkan kesempatan untuk mengejar ketertinggalan untuk secara bertahap dapat mensejajarkan dirinya dengan bangsa-bangsa yang sudah maju dalam bidang pendidikannya.

Di lain pihak terdapat pula beberapa permasalahan kurikuler yang mendasar dan menjadi penghambat dalam peningkatan kualitas pembelajaran adalah sebagai berikut.a. Penggunaan alokasi waktu yang tercantum dalam Struktur Kurikulum

Pendidikan dijabarkan secara kaku dan konvensional sebagai jam

240 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

pelajaran tatap muka terjadwal sehingga kegiatan pembelajaran dengan cara tatap muka di kelas menjadi sangat dominan. Hal itu mengakibatkan guru tidak dapat berimprovisasi secara kreatif untuk melakukan aktivitas lainnya selain dari pembelajaran rutin tatap muka yang terjadwal dengan ketat.

b. Pelaksanaan pembelajaran yang lebih didominasi oleh kegiatan peningkatan dimensi kognitif mengakibatkan porsi peningkatan dimensi lainnya menjadi terbengkalai. Di samping itu, pelaksanaan pembelajaran diperparah lagi dengan keterbatasan fasilitas media pembelajaran.

c. Pembelajaran yang terlalu menekankan pada dimensi kognitif itu berimplikasi pada penilaian yang juga menekankan pada penguasaan kemampuan kognitif saja sehingga mengakibatkan guru harus selalu mengejar target pencapaian materi.Berdasarkan hal-hal tersebut di atas perlu dilakukan perbaikan

sistem pembelajaran sehingga setiap mata pelajaran dapat diberdayakan menjadi “subjek pembelajaran yang kuat” (powerful learning area) yang secara kurikuler ditandai oleh pengalaman belajar secara kontekstual dengan ciri-ciri: bermakna (meaningful), terintegrasi (integrated), berbasis nilai (value-based), menantang (challenging), dan mengaktifkan (activating). Melalui pengalaman belajar semacam itulah para siswa difasilitasi untuk dapat membangun pengetahuan, sikap, dan keterampilan dalam koridor psiko-pedagogis-konstruktif. Salah satu model yang potensial adalah Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM). Pada bagian ini akan diuraikan ihwal PAKEM mulai dari pengertiannya, hal-hal yang harus diperhatikan untuk menyelenggarakan PAKEM, dan bagaimana PAKEM dilaksanakan.

Apa itu PAKEM?PAKEM adalah singkatan dari Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan. Aktif dimaksudkan bahwa dalam proses pembelajaran guru harus menciptakan suasana sedemikian rupa sehingga siswa aktif bertanya, mempertanyakan, dan mengemukakan gagasan. Belajar memang merupakan suatu proses aktif dari si pembelajar dalam membangun pengetahuannya, bukan proses pasif yang hanya menerima kucuran ceramah guru tentang pengetahuan. Sehingga, jika pembelajaran

PURWAWACANA — 241

tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk berperan aktif, maka pembelajaran tersebut bertentangan dengan hakikat belajar. Peran aktif dari siswa sangat penting dalam rangka pembentukan generasi yang kreatif, yang mampu menghasilkan sesuatu untuk kepentingan dirinya dan orang lain. Kreatif juga dimaksudkan agar guru menciptakan kegiatan belajar yang beragam sehingga memenuhi berbagai tingkat kemampuan siswa. Menyenangkan adalah suasana belajar-mengajar yang menyenangkan sehingga siswa memusatkan perhatiannya secara penuh pada belajar sehingga waktu curah perhatiannya tinggi. Menurut hasil penelitian, tingginya waktu curah terbukti meningkatkan hasil belajar. Keadaan aktif dan menyenangkan tidaklah cukup jika proses pembelajaran tidak efektif, yaitu tidak menghasilkan apa yang harus dikuasai siswa setelah proses pembelajaran berlangsung, sebab pembelajaran memiliki sejumlah tujuan pembelajaran yang harus dicapai. Jika pembelajaran hanya aktif dan menyenangkan tetapi tidak efektif, maka pembelajaran tersebut tak ubahnya seperti bermain biasa.

Secara garis besar, gambaran PAKEM adalah sebagai berikut:• Siswa terlibat dalam berbagai kegiatan yang mengembangkan

pemahaman dan kemampuan mereka dengan penekanan pada belajar melalui berbuat.

• Guru menggunakan berbagai alat bantu dan cara membangkitkan semangat, termasuk menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar untuk menjadikan pembelajaran menarik, menyenangkan, dan cocok bagi siswa.

• Guru mengatur kelas dengan memajang buku-buku dan bahan belajar yang lebih menarik dan menyediakan ‘pojok baca’

• Guru menerapkan cara mengajar yang lebih kooperatif dan interaktif, termasuk cara belajar kelompok.

• Guru mendorong siswa untuk menemukan caranya sendiri dalam pemecahan suatu masalah, untuk mengungkapkan gagasannya, dan melibatkam siswa dalam menciptakan lingkungan sekolahnya.

242 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Apa yang harus diperhatikan dalam melaksanakan PAKEM?

Memahami sifat yang dimiliki anakPada dasarnya anak memiliki sifat: rasa ingin tahu dan berimajinasi. Anak desa, anak kota, anak orang kaya, anak orang miskin, anak Indonesia, atau anak bukan Indonesia – selama mereka normal – terlahir memiliki kedua sifat itu. Kedua sifat tersebut merupakan modal dasar bagi berkembangnya sikap/berpikir kritis dan kreatif. Kegiatan pembelajaran merupakan salah satu lahan yang harus kita olah sehingga subur bagi berkembangnya kedua sifat, anugerah Tuhan, tersebut. Suasana pembelajaran dimana guru memuji anak karena hasil karyanya, guru mengajukan pertanyaan yang menantang, dan guru yang mendorong anak untuk melakukan percobaan, misalnya, merupakan pembelajaran yang subur seperti yang dimaksud.

Mengenal anak secara peroranganPara siswa berasal dari lingkungan keluarga yang bervariasi dan memiliki kemampuan yang berbeda. Dalam PAKEM (Pembelajaran Aktif, Menyenangkan, dan Efektif) perbedaan individual perlu diperhatikan dan harus tercermin dalam kegiatan pembelajaran. Semua anak dalam kelas tidak selalu mengerjakan kegiatan yang sama, melainkan berbeda sesuai dengan kecepatan belajarnya. Anak-anak yang memiliki kemampuan lebih dapat dimanfaatkan untuk membantu temannya yang lemah (tutor sebaya). Dengan mengenal kemampuan anak, kita dapat membantunya bila mendapat kesulitan sehingga belajar anak tersebut menjadi optimal.Memanfaatkan perilaku anak dalam pengorganisasian belajarSebagai makhluk sosial, anak sejak kecil secara alami bermain berpasangan atau berkelompok dalam bermain. Perilaku ini dapat dimanfaatkan dalam pengorganisasian belajar. Dalam melakukan tugas atau membahas sesuatu, anak dapat bekerja berpasangan atau dalam kelompok. Berdasarkan pengalaman, anak akan menyelesaikan tugas dengan baik bila mereka duduk berkelompok. Duduk seperti ini memudahkan mereka untuk berinteraksi dan bertukar pikiran. Namun demikian, anak perlu juga menyelesaikan tugas secara perorangan agar bakat individunya berkembang.

PURWAWACANA — 243

Mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan kemampuan memecahkan masalahPada dasarnya hidup ini adalah memecahkan masalah. Hal ini memerlukan kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Kritis untuk menganalisis masalah; dan kreatif untuk melahirkan alternatif pemecahan masalah. Kedua jenis berpikir tersebut, kritis dan kreatif, berasal dari rasa ingin tahu dan imajinasi yang keduanya ada pada diri anak sejak lahir. Oleh karena itu, tugas guru adalah mengembangkannya, antara lain dengan sering-sering memberikan tugas atau mengajukan pertanyaan yang terbuka. Pertanyaan yang dimulai dengan kata-kata “Apa yang terjadi jika …” lebih baik daripada yang dimulai dengan kata-kata “Apa, berapa, kapan”, yang umumnya tertutup (jawaban betul hanya satu).

Mengembangkan ruang kelas sebagai lingkungan belajar yang menarikRuang kelas yang menarik merupakan hal yang sangat disarankan dalam PAKEM. Hasil pekerjaan siswa sebaiknya dipajangkan untuk memenuhi ruang kelas seperti itu. Selain itu, hasil pekerjaan yang dipajangkan diharapkan memotivasi siswa untuk bekerja lebih baik dan menimbulkan inspirasi bagi siswa lain. Yang dipajangkan dapat berupa hasil kerja perorangan, berpasangan, atau kelompok. Pajangan dapat berupa gambar, peta, diagram, model, benda asli, puisi, karangan, dan sebagainya. Ruang kelas yang penuh dengan pajangan hasil pekerjaan siswa, dan ditata dengan baik, dapat membantu guru dalam PEMBELAJARAN karena dapat dijadikan rujukan ketika membahas suatu masalah.

Memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajarLingkungan (fisik, sosial, atau budaya) merupakan sumber yang sangat kaya untuk bahan belajar anak. Lingkungan dapat berperan sebagai media belajar, tetapi juga sebagai objek kajian (sumber belajar). Penggunaan lingkungan sebagai sumber belajar sering membuat anak merasa senang dalam belajar. Belajar dengan menggunakan lingkungan tidak selalu harus keluar kelas. Bahan dari lingkungan dapat dibawa ke ruang kelas untuk menghemat biaya dan waktu. Pemanfaatan lingkungan dapat mengembangkan sejumlah keterampilan seperti mengamati (dengan

244 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

seluruh indera), mencatat, merumuskan pertanyaan, berhipotesis, mengklasifikasi, membuat tulisan, dan membuat gambar/diagram.

Memberikan umpan balik yang baik untuk meningkatkan kegiatan belajarMutu hasil belajar akan meningkat bila terjadi interaksi dalam belajar. Pemberian umpan balik dari guru kepada siswa merupakan salah satu bentuk interaksi antara guru dan siswa. Umpan balik hendaknya lebih mengungkap kekuatan daripada kelemahan siswa. Selain itu, cara memberikan umpan balik pun harus secara santun. Hal ini dimaksudkan agar siswa lebih percaya diri dalam menghadapi tugas-tugas belajar selanjutnya. Guru harus konsisten memeriksa hasil pekerjaan siswa dan memberikan komentar dan catatan. Catatan guru berkaitan dengan pekerjaan siswa lebih bermakna bagi pengembangan diri siswa daripada hanya sekedar angka.

Membedakan antara aktif fisik dan aktif mentalBanyak guru yang sudah merasa puas bila menyaksikan para siswa kelihatan sibuk bekerja dan bergerak. Apalagi jika bangku dan meja diatur berkelompok serta siswa duduk saling berhadapan. Keadaan tersebut bukanlah ciri yang sebenarnya dari PAKEM. Aktif mental lebih diinginkan daripada aktif fisik. Sering bertanya, mempertanyakan gagasan orang lain, dan mengungkapkan gagasan merupakan tanda-tanda aktif mental. Syarat berkembangnya aktif mental adalah tumbuhnya perasaan tidak takut: takut ditertawakan, takut disepelekan, atau takut dimarahi jika salah. Oleh karena itu, guru hendaknya menghilangkan penyebab rasa takut tersebut, baik yang datang dari guru itu sendiri maupun dari temannya. Berkembangnya rasa takut sangat bertentangan dengan ‘PAKE Menyenangkan.’

Bagaimana Pelaksanaan PAKEM?Gambaran PAKEM diperlihatkan dengan berbagai kegiatan yang terjadi selama PEMBELAJARAN. Pada saat yang sama, gambaran tersebut menunjukkan kemampuan yang perlu dikuasai guru untuk menciptakan keadaan tersebut. Berikut tabel beberapa contoh kegiatan pembelajaran dan kemampuan guru:

PURWAWACANA — 245

Tabel 8.1Kegiatan Pembelajaran dan Kemampuan Guru

Kemampuan Guru Pembelajaran1. Guru merancang dan

mengelola PEMBELAJA-RAN yang mendorong siswa untuk berperan aktif dalam pembelaja-ran.

Guru melaksanakan pembelajaran dalam ke-giatan yang beragam, misalnya:

• Percobaan

• Diskusi kelompok

• Memecahkan masalah

• Mencari informasi

• Menulis laporan/cerita/puisi

• Berkunjung keluar kelas2. Guru menggunakan alat

bantu dan sumber bela-jar yang beragam.

Sesuai mata pelajaran, guru menggunakan, misal:

• Alat yang tersedia atau yang dibuat sendiri

• Gambar

• Studi kasus

• Nara sumber

• Lingkungan3. Guru memberi kesempa-

tan kepada siswa untuk mengembangkan kete-rampilan.

Siswa:

• Melakukan percobaan, pengamatan, atau wawancara

• Mengumpulkan data/jawaban dan men-golahnya sendiri

• Menarik kesimpulan

• Memecahkan masalah, mencari rumus sendiri

• Menulis laporan/hasil karya lain dengan kata-kata sendiri

246 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

4. Guru memberi kesempa-tan kepada siswa untuk mengungkapkan gaga-sannya sendiri secara lisan atau tulisan.

Melalui:

• Diskusi

• Lebih banyak pertanyaan terbuka

• Hasil karya yang merupakan pemikiran anak sendiri

5. Guru menyesuaikan ba-han dan kegiatan belajar dengan kemampuan siswa.

• Siswa dikelompokkan sesuai dengan ke-mampuan (untuk kegiatan tertentu)

• Bahan pelajaran disesuaikan dengan ke-mampuan kelompok tersebut.

• Tugas perbaikan atau pengayaan diberi-kan

6. Guru mengaitkan PEM-BELAJARAN dengan pengalaman siswa sehari-hari.

• Siswa menceritakan atau memanfaatkan pengalamannya sendiri.

• Siswa menerapkan hal yang dipelajari dalam kegiatan sehari-hari

7. Menilai PEMBELAJA-RAN dan kemajuan belajar siswa secara terus menerus.

• Guru memantau kerja siswa

• Guru memberikan umpan balik

PenutupGuru profesional disyaratkan menguasai empat kompetensi utama, yakni kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial. Yang terkait dengan kemampuan menyelenggarakan pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan adalah kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional. Untuk meningkatkan kompetensi para guru, pemerintah telah menyelenggarakan berbagai program nasional, misalnya melalui program sertifikasi guru. Hingga saat ini sebagian guru telah dinyatakan lulus sertifikasi, sehingga diyakini telah memiliki empat kompetensi utama. Artinya, mereka akan memiliki kemampuan menyelenggarakan PAKEM. Namun, pada kenyataannya masih banyak sekolah yang belum menyelenggarakan PAKEM dengan berbagai alasan dan kendala. Oleh karena itu komite sekolah harus mendorong para guru untuk menyelenggarakan PAKEM dengan baik dan ikut menanggulangi berbagai kendala yang menghambat pelaksanaannya.

PURWAWACANA — 247

2MEMACU MUTU PROFESIONAL GURU

PendahuluanHampir empat dasawarsa terakhir, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) terus melakukan inovasi dan perubahan dalam berbagai komponen sistem pendidikan nasional untuk meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan. Telah ditemukan dalam berbagai studi baik di Indonesia maupun di berbagai negara, bahwa komponen paling penting dalam peningkatan mutu pendidikan adalah pendidik. Lahirnya Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang “Guru dan Dosen” dan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang “Standar Nasional Pendidikan”, merupakan kebijakan pemerintah dalam rangka melakukan restukturisasi dan perbaikan mutu pendidik di Indonesia.

Berkaitan dengan pentingnya faktor guru dalam peningkatan mutu pendidikan Kim (2007) mengemukakan mutu profesional guru merupakan faktor yang paling inti dalam memacu peningkatan mutu pendidikan. Selanjutnya dikemukakan oleh Kim bahwa ”the quality of education can not exceed the quality of teachers”1. Michael G. Fullan (Sudrajat: 2008) mengemukakan bahwa “educational change depends on what teachers do and think”. Kedua pendapat itu menunjukkan bahwa pelaksanaan inovasi dan pembaharuan sistem pendidikan sangat bergantung pada peran pendidik. Jika Kim mengatakan “kualitas pendidikan tidak dapat melebihi kualitas guru” maka program peningkatan mutu guru pada hakekatnya harus lebih prioritas dibandingkan dengan program peningkatan mutu lainnya. Inovasi dan pembaharuan pendidikan baru akan terjadi manakala guru telah dapat berfikir dan berbuat sesuatu atas dasar kompetensi profesi yang dimilikinya.

Jika merupakan faktor yang paling inti dalam memacu kualitas pendidikan, maka peningkatan kualitas profesi guru adalah keniscayaan. Pendidik yang profesional memiliki seperangkat kompetensi yang dipersyaratkan untuk menopang tugas dan fungsinya sebagai pendidik.

1 Kim, E (2007) Educationan Policy and Reforms in Korea., Korean Educational Devel-opment Institute.

248 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Pendidik profesional tidak sekedar menguasai bidang ilmu, bahan ajar, dan metode, tapi juga harus mampu memotivasi peserta didik, memiliki kecakapan yang tinggi dan berwawasan luas. Sehubungan dengan itu, kompetensi guru ini telah dipersyaratkan oleh PP 19 tahun 2005 pasal 28 ayat (3) yang meliputi: kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial.

Sebelum diberlakukan UU No. 14/2005, telah ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia (2004) bahwa guru adalah sebuah profesi, sama dengan profesi lain seperti dokter atau akuntan. Berdasarkan PP No. 19/2005, untuk menjadi guru yang profesional, seseorang harus memenuhi baik kualifikasi maupun kompetensi sebagai sebuah profesi. Persyaratan kualifikasi seorang guru adalah sarjana, sedangkan persyaratan kompetensinya ditetapkan melalui Standar Kompetensi. Pendidik yang profesional mampu mengelola belajar siswa secara efektif hingga mencapai minimal standar kualifikasi yang telah ditetapkan. Pendidik yang profesional juga adalah mereka yang inovatif, kreatif, dan mampu melahirkan gagasan-gagasan segar untuk mendorong belajar siswa secara optimal. Sistem keprofesian guru ini menuntut kepada setiap guru untuk mewujudkan kapasitas, perilaku, dan karya-karya profesional untuk memacu lebih cepat lagi peningkatan mutu pendidikan. Untuk mewujudkan guru sebagai profesi ini Menteri Pendidikan Nasional menetapkan Permendiknas Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi bagi Guru Dalam Jabatan untuk mengatur kompetensi yang harus dimilikinya.

Guru yang memenuhi kompetensi yang dipersyaratkan adalah mereka yang profesional dan dibuktikan dengan sertifikat profesi yang diberikan. Sertifikasi memberikan jaminan terhadap kinerja dan kompetensi pendidik dalam melakukan pekerjaan mendidik dan mengajar secara profesional pula. Tanpa sertifikasi, banyak orang yang “merasa” mampu menjadi guru tanpa melalui pendidikan dan memenuhi kompetensi yang dipersyaratkan. Anggapan bahwa pekerjaan mengajar dapat dilakukan oleh siapa saja asal memiliki bekal kemampuan materi yang diajarkan perlu diluruskan. Mengajar pada hakekatnya tidak sekadar transformasi pengetahuan tetapi lebih dari itu. Mengajar adalah pekerjaan yang memiliki misi perubahan perilaku peserta didik sehingga berbagai kompetensi pedagogis juga merupakan suatu keahlian profesional.

PURWAWACANA — 249

Tujuan sertifikasi bukan semata-mata meningkatkan kesejahteraan guru tetapi yang terutama adalah meningkatkan kompetensi mereka. Sertifikasi bukanlah sebuah “hadiah” bagi guru untuk memperoleh pendapatan yang lebih besar, tetapi merupakan sebuah pengakuan atas profesi mereka. Pengakuan tersebut harus dibuktikan atau berkorelasi searah dengan kompetensi profesinya. Sertifikat yang dimiliki oleh guru merupakan simbol dari kapasitas, perilaku dan karya-karya profesinya. Jika sertifikasi telah berfungsi sedemikian, maka semakin banyak guru yang bersertifikat, semakin cepat pula mutu pendidikan akan meningkat secara terukur. Indikator keberhasilan dalam serifikasi itu dapat diukur baik dari unsur pendidik maupun siswa itu sendiri. Dari unsur pendidik, indikatornya adalah sikap, tindakan dan perilaku produktif dan kreatif yang tampak dalam proses pembelajaran yang diciptakannya. Mereka juga mempunyai kompetensi dan kecakapan dalam mengelola kegiatan belajar siswa sebanyak mungkin sehingga pada gilirannya akan dapat meningkatkan kualitas belajar siswa sebagai ukuran akhir (ultimate measure) dari mutu pendidikan.

Kerangka KonseptualSistem Keprofesian GuruSertifikasi, menurut definisi yang dirumuskan dalam Ketentuan Umum Pasal 1 Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dan dosen, sebagai sebagai bukti formal pengakuan yang dibeikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional. Dasar hukum pelaksanaan sertifikasi guru didasarkan pada amanah Pasal 42 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mempersyaratkan bahwa pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pasal 8 UU No 14 tahun 2005 yang mengamanatkan bahwa guru harus memiliki kualifikasi akademik minimal D4/S1 dan kompetensi sebagai agen pembelajaran. Hal ini ditegaskan kembali dalam Pasal 28 ayat (1) sampai (5) Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

250 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Kompetensi yang dimiliki oleh guru sebagai agen pembelajaran (learning agent) meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi prfesional, dan kompetensi sosial. Kualifikasi pendidikan minimum diperoleh melalui jenjang sarjana pendidikan tinggi, dan sertifikat kompetensi pendidik diperoleh setelah memenuhi syarat pencapaian standar kompetensi guru yang diukur melalui lulus ujian sertifikasi. Uraian standar kompetensi yang harus dimiliki guru dijabarkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru yang meliputi Guru TK/RA, Guru SD/MI, Guru SMP/MTs, Guru SMA/MA dan Guru SMK/MAK. Sedangkan pelaksanaan uji sertifikasi diatur dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan. Misi penting di balik program sertifikasi guru adalah peningkatan mutu dan daya saing pendidikan nasional. UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menetapkan kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi sebagai suatu kesatuan upaya pemberdayaan guru. Oleh karena itu program sertifikasi dan pendidikan profesi guru harus dibingkai oleh perspektif tentang mutu dan daya saing pendidikan.

Program sertifikasi seharusnya tidak dipandang sekadar legalisasi (credential) untuk memperoleh tunjangan profesi, tetapi lebih sebagai upaya meningkatkan kompetensi guru dalam rangka peningkatan mutu pendidikan nasional. Guru sebagai salah satu komponen penting dalam sistem pendidikan nasional harus mendapat perhatian utama dan sangat serius. Bangsa Indonesia perlu banyak belajar dari Jepang yang menjadikan guru sebagai perhatian utama. Setelah Jepang hancur akibat bom tentara Sekutu, pada tahun 1945, yang difikirkan pertama adalah nasib guru yang masih hidup dan selanjutnya Jepang menyusun program besar dalam mencetak guru-guru yang berkualitas.

Kompetensi guru diyakini tidak secara otomatis menjadi baik dengan hanya menaikkan remunerasi. Oleh sebab itu, diperlukan upaya membangkitkan motivasi dan kinerja guru secara terencana, terarah, dan berkesinambungan dalam bentuk pembinaan keprofesian. Dengan sistem yang terpercaya, guru yang mengikuti proses sertifikasi seharusnya secara otomatis dapat memenuhi persyaratan tersebut, dan mereka yang dinyatakan lulus adalah yang telah memenuhi bahkan melampuai syarat keprofesian yang ditetapkan. Bagi guru yang belum mengikuti

PURWAWACANA — 251

sertifikasi karena belum memenuhi persyaratan, tentu akan berusaha meningkatkan diri, dan Pemerintah wajib untuk memfasilitasi guru terutama peningkatan kualifikasi akademik guru yang belum memenuhi ketentuan.

Kinerja guru, selain ditentukan oleh kualifikasi minimum pendidikan dan kompetensi yang sesuai dengan standar, juga ditentukan oleh kesejahteraan yang memadai sebagai sumber motivasi untuk guru dalam melakukan tugas keprofesiannya. Kesungguhan seorang guru dalam melaksanakan tugas keprofesian akan sangat menentukan terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan nasional. Selain berfungsi sebagai pengelola kegiatan pembelajaran siswa, guru berfungsi sebagai pembimbing kegiatan belajar peserta didik dan sekaligus sebagai teladan bagi peserta didiknya untuk belajar secara optimal baik di dalam maupun di luar lingkungan sekolah.

Jaminan kesejahteraan akan mendorong guru untuk lebih terkonsentrasi kepada tugas-tugasnya serta mereka akan memberikan perhatian lebih terhadap proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran. Guru seyogyanya tidak memikirkan lagi keharusan mencari penghasilan tambahan dari pekerjaan lain yang pada akhirnya berdampak negatif terhadap kinerja. Guru tidak siap mengajar, metode dan media pembelajaran membosankan, tidak respek pada kondisi siswa, merupakan sebagian kecil contoh perilaku guru yang tidak memprioritaskan tugas mengajar.

Guru di Jepang, misalnya, mempunyai tingkat kesejahteraan yang baik. Setelah diberlakukan sertifikasi guru, seorang guru di Negara Matahari ini mendapat penghasilan yang relatif besar. seorang guru dapat menabung senilai uang Indonesia Rp8 juta setiap bulan (tahun 2000 lalu). Asumsinya, kalau menabung saja Rp 8 juta setiap bulan, berarti gaji para guru akan jauh lebih besar dari itu sehingga hidup mereka sejahtera.

Sertifikasi guru akan berdampak terhadap peningkatan kinerja guru dan pada gilirannya akan berdampak pada peningkatan mutu pendidikan nasional apabila sertifikasi dapat dilakukan secara efektif dan obyektif. Artinya sertifikat profesi guru hanya diberikan kepada guru yang telah memenuhi standar kualifikasi akademik dan benar-benar telah memiliki standar kompetensi dan hal ini hanya akan terwujud apabila program sertifikasi dilakukan secara efektif dan obyektif.

252 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Sertifikasi guru merupakan program prestisius pemerintah karena membutuhkan anggaran sangat besar baik dalam proses dan terutama setelah proses sertifikasi. Hal ini dapat dipahami karena dibutuhkan dana besar untuk membayar tunjangan profesi sebanyak 2,7 juta orang guru yang ditargetkan untuk disertifikasi. Untuk sertifikasi guru pada APBN 2006 disediakan anggaran sebesar 35,8 miliar untuk mensertifikasi 20.000 guru, sedangkan pada APBN 2007 disediakan anggaran sebesar 380,9 miliar untuk mensertifikasi 190.450 guru (www.depdiknas.go.id diakses 9 Pebruari 2007). Pelaksanaan sertifikasi akan mendahulukan 20.000 guru yang berasal dari kuota tahun 2006 yaitu 14.000 guru Sekolah Dasar (SD) dan 6.000 guru Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Anggaran dana pemerintah sangat terbatas yang dialokasikan untuk sektor pendidikan, kurang lebih hanya 10% saja. Tentu prosentase tersebut akan tersedot untuk membayar tunjangan guru. Sebagai gambaran, apabila dirata-ratakan satu kali gaji pokok Rp 1.500.000,00, untuk dua juta guru diperlukan dana Rp 3 triliun per bulan, atau sebesar Rp 36 triliun per tahunnya. Itu baru tunjangan profesi yang satu kali gaji. Kalau gaji guru beserta tunjangan fungsionalnya Rp 2.000.000,00, diperlukan dana Rp 4 triliun per bulan, sehingga per tahun mencapai Rp 48 triliun. Apabila dijumlah, gaji guru ditambah tunjangan fungsional dan tunjangan profesi, dibutuhkan dana Rp 84 triliun. Itu baru gaji guru PNS, belum mencakup gaji dosen PNS, guru swasta, serta dosen swasta yang lolos sertifikasi. Sedangkan yang namanya anggaran pendidikan bukan hanya gaji dan tunjangan, melainkan banyak kebutuhan pos pendidikan lain yang membutuhkan perhatian serius pemerintah. Seperti projek pembuatan sekolah baru, rehabilitasi sekolah yang rusak, penyediaan peralatan dan perlengkapan sekolah, penyediaan bahan dan sumber belajar, maupun sektor-sektor lain yang memerlukan dana besar. Kalau hal ini terjadi, untuk anggaran pendidikan diperlukan dana Rp 160 - Rp 200 triliun. Tentu sangat berat karena sudah melebihi beban APBN. Padahal, pemerintah punya utang luar negeri yang cukup besar. Belum lagi pos anggaran departemen lain yang juga perlu dana besar.

Menyadari bahwa proram sertifikasi guru membutuhkan biaya besar, maka program ini harus penuh makna dan sesuai dengan tujuan semula. Pelaksanaannya harus dikawal ketat dan pasca sertifikasi guru-guru tetap dievaluasi. Namun, adakah jaminan bahwa sertifikasi akan meningkatkan kualitas kompetensi guru? Ada beberapa hal yang perlu

PURWAWACANA — 253

untuk dikaji secara mendalam untuk memberikan jaminan bahwa sertifikasi akan meningkatkan kualitas kompetensi guru.

Sertifikasi merupakan sarana atau instrumen untuk mencapai suatu tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Seperti yang telah dikemukakan di atas, perlu ada kesadaran dan pemahaman dari semua fihak bahwa sertifikasi adalah sarana untuk menuju kualitas. Sertikasi bukan tujuan itu sendiri. Kesadaran dan pemahaman ini akan melahirkan aktivitas yang benar, bahwa apapun yang dilakukan adalah untuk mencapai kualitas. Kalau seorang guru kembali masuk kampus untuk kualifikasi, maka belajar kembali ini untuk mendapatkan tambahan ilmu pengetahuan dan ketrampilan, sehingga mendapatkan ijazah S-1. Ijazah S-1 bukan tujuan yang harus dicapai dengan segala cara, termasuk cara yang tidak benar melainkan konsekuensi dari telah belajar dan telah mendapatkan tambahan ilmu dan ketrampilan baru. Demikian pula kalau guru mengikuti uji sertifikasi, tujuan utama bukan untuk mendapatkan tunjangan profesi, melainkan untuk dapat menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah memiliki kompetensi sebagaimana disyaratkan dalam standard kemampuan guru. Tunjangan profesi adalah konsekuensi logis yang menyertai adanya kemampuan yang dimaksud. Dengan menyadari hal ini maka guru tidak akan mencari jalan lain guna memperoleh sertifikat profesi kecuali mempersiapkan diri dengan belajar yang benar untuk menghadapi uji sertifikasi.

Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian penguasaan kompetensinya. Guru harus harus lebih dinamis dan kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran siswa. Guru di masa mendatang tidak lagi menjadi satu-satunya orang yang paling well informed (berpengetahuan paling luas) terhadap berbagai informasi dan pengetahuan yang sedang berkembang dan berinteraksi dengan manusia di jagat raya ini. Di masa depan, guru bukan satu-satunya orang yang lebih pandai di tengah-tengah siswanya (http://www.psb-psma.org). Jika guru tidak memahami mekanisme dan pola penyebaran informasi yang demikian cepat, ia akan terpuruk secara profesional. Kalau hal ini terjadi, ia akan kehilangan kepercayaan baik dari siswa, orang tua maupun masyarakat. Untuk menghadapi tantangan profesionalitas tersebut, guru perlu berfikir secara antisipatif dan proaktif. Artinya, guru

254 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

harus melakukan pembaruan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya secara terus menerus.

Disamping itu, guru masa depan harus paham penelitian guna mendukung terhadap efektivitas pembelajaran yang dilaksanakannya, sehingga dengan dukungan hasil penelitian guru tidak terjebak pada praktek pembelajaran yang menurut asumsi mereka sudah efektif, namum kenyataannya justru mematikan kreativitas para siswanya. Begitu juga, dengan dukungan hasil penelitian yang mutakhir memungkinkan guru untuk melakukan pembelajaran yang bervariasi dari tahun ke tahun, disesuaikan dengan konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang berlangsung.

Guru yang profesional dipersyaratkan memiliki: pertama, dasar ilmu yang kuat sebagai pengejawantahan terhadap masyarakat teknologi dan masyarakat ilmu pengetahuan di abad 21. Kedua, penguasaan kiat-kiat profesi berdasarkan riset dan paktis pendidikan yaitu ilmu pendidikan sebagai ilmu praktis bukan hanya merupakan konsep-konsep belaka. Pendidikan merupakan proses yang terjadi di lapangan dan bersifat ilmiah, serta riset pendidikan hendaknya diarahkan pada paktis pendidikan masyarakat Indonesia.

Terakhir pengembangan kemampuan profesional berkesinambungan. Profesi guru merupakan profesi yang berkembang terus menerus dan berkesinambungan antara LPTK dengan praktek pendidikan. Sertifikasi pendidik secara umum mengacu pada National Commision on Educatinal Services (NCES), disebutkan“Certification is a procedure whereby the state evaluates and reviews a teacher candidate’s credentials and provides him or her a license to teach.” Amerika memberlakukan uji sertifikasi terhadap guru melalui badan independent yang disebut The American Association of Colleges for Teacher Education (AACTE). Pendidik harus mengikuti tes untuk menjadi pendidik bersertifikasi dan diakui kelayakannya pada bidang mereka.

Di Korea, lulusan program pendidikan guru tidak perlu menempuh ujian untuk memperoleh sertifikasi. Pendidik dipilih berdasarkan hasil ujian tahunan yang diselenggarakan oleh provinsi atau kantor pendidikan metropolitan yang meliputi empat komponen yaitu pedagogy, penguasaan materi pelajaran dan penulisan essay, tes praktek, dan interview (Kane, 2007).

PURWAWACANA — 255

Di Victoria Australia, sertifikasi pendidik disebut dengan teacher registration, di dalamnya terdiri dari dua tahapan. Calon peserta harus memenuhi persyaratan agar bisa mengikuti tahapan provisional registration, yaitu: (1) graduate (4 years at university level/S1), or 3 years undergraduate and 1 year postgraduate), (2) Qualification, (3) Criminal Record Check, (4) Reference, dan (5) IELTS 7.0

Selama dua tahun pendidik di tahapan pertama mempersiapkan diri menuju tahap kedua full registration. Agar bisa lulus peserta harus menguasai delapan komponen yang dikelompokkan menjadi tiga elemen, yaitu: professional knowledge, professional practices, dan professional engagement (Victorian Institute of Teaching, 2007). Setelah lima tahun, setiap pendidik berkewajiban registrasi ulang guna memperbaharui lisensi mengajar. Manakala memenuhi persyaratan, pendidik memperoleh hak perpanjangan sertifikat pendidik, tetapi bila tidak memenuhi persyaratan hak mengajar dicabut.

Kompetensi Pendidik dalam PerspektifLouise Moqvist (2003) dalam Sudrajat, (2008) mengemukakan bahwa “competency has been defined in the light of actual circumstances relating to the individual and work. Dalam Trainning Agency, Len Holmes (1992) menyebutkan: ” A competence is a description of something which a person who works in a given occupational area should be able to do. It is a description of an action, behaviour or outcome which a person should be able to demonstrate.” Mengacu kepada Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 pasal 1, kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesiannya.

National Board for Profesional Teaching Skill (2002) telah membuat rumusan standar kompetensi bagi guru di Amerika Serikat. Rumusan tersebut selanjutnya digunakan sebagai dasar bagi guru untuk memperoleh sertifikat profesi guru. Rumusan standar kompetensi guru dikenal dengan What Teachers Should Know and Be Able to Do, didalamnya terdiri dari lima proposisi utama, sebagai berikut.

a. Teachers are Committed to Students and Their performanceb. Teachers Know the Subjects They Teach and How to Teach Those Subjects

to Students

256 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

c. Teachers are Responsible for Managing and Monitoring Student Learning d. Teachers Think Systematically About Their Practice and Learn from

Experience e. Teachers are Members of Learning Communities

Seorang pendidik dipersyaratkan untuk memiliki seperangkat kompetensi yang menunjang pelaksanaan tugas-tugasnya. Dimensi kompetensi pendidik yang secara tegas disebutkan dalam pasal 28 Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan mencakup 4 komponen yaitu: kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Kompetensi Guru tersebut bersifat menyeluruh dan merupakan satu kesatuan yang satu sama lain saling berhubungan dan saling mendukung. Kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial memang tidak secara langsung berhubungan dengan perannya sebagai pendidik, tetapi turut memberikan kontribusi dalam pembentukan karakter seorang pendidik. Sedangkan kompetensi pedagogik dan profesional terkait dengan kemampuan prasyarat yang secara langsung dibutuhkan sebagai pendidik, yaitu kemampuan-kemampuan yang akan menjamin tugas-tugas dalam mengajar, mendidik, melatih siswa berlangsung lancar.

Domain kompetensi personal berkaitan dengan pengelolaan diri sendiri, berisikan kapabilitas kesadaran pribadi dan kapabilitas pengelolaan diri. Domain kompetensi sosial bertautan dengan mengelola hubungan, berisikan kapabilitas kesadaran social dan kapabilitas pengelolaan hubungan. Menurut pandangan Peter Drucker (dalam Crowther, 2009:36), penguasaan dan penerapan kompetensi tersebut memungkinkan setiap pendidik mewujudkan profesi mereka sebagai “leading class in post-industrial societies.”

Crowther (2009:35) mengutip pendapat Goleman, Boyatzis, dan McKee membuat formula kompetensi pendidik, di dalamnya berisi dua domain kecerdasan emosional, empat kompetensi, dan dua belas kapabilitas. Konsep yang disusun Goleman dapat dilihat dalam gambar di bawah ini.

Kompetensi pedagogik merupakan kemampuan dalam pengelolaan peserta didik. Kompetensi pedagogik mempunyai tiga dimensi yang dikenal dengan sebutan 3-DP (Three Dimensional Pedagogy) yaitu sebagai berikut.

PURWAWACANA — 257

a. Personal pedagogy: the “gift,” talents, values, and specialized expertise that shape and define the work of teachers as individual profesionals.

b. Schoolwide pedagogy: a school’s agreed approach to teaching and/or learning, derived from consideration of the school’s vision, the particular values and needs of students, and analysis of the most successful practices of teachers.

c. Authoritative pedagogy: established theories and rationales for outstanding teaching, learning, and assessment. (Crowther, 2009:37)Kompetensi pedagogi diakui sebagai faktor esensial kesuksesan

sekolah. Kolaborasi ketiga dimensi di atas disebut Crowther dengan istilah Excellence Pedagogy. Konsep ini dimaknai lebih dari sekedar konstruksi individu; kemampuan ini memberikan dampak terhadap prestasi siswa secara efektif manakala dipahami dan dipraktekkan sebagai kombinasi individu dan adanya pembagian pemahaman, bakat, dan strategi. Implikasinya, profesi pendidik abad 21, untuk mencapai hasil belajar siswa secara memuaskan dibutuhkan sinergi antar dimensi dalam diri pendidik dan disesuaikan dengan daya dukung dan kondisi sekolah. Dalam pandangan Crowther (2009:37), hubungan antara kualitas kelas, penerapan Schoolwide pedagogy dan kepemimpinan pendidik menjadi faktor penentu kesuksesan keluaran sekolah.

Kompetensi pedagogik, sebagaimana tertuang dalam Salinan Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 meliputi: (a) Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, spiritual, sosial, kultural, emosional, dan intelektual, (b) Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran mendidik, (c) Mengembangkan kurikulum terkait dengan mata pelajaran yang diampu, (d) Menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik, (e) Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan pembelajaran, (f) Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki, (g) Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik, (h) Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar, (i) Melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran, (j) Memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran.

258 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Gb. 8.1 Goleman’s El Domains, Competencies, and Capabilities.

Profesional secara esensial memiliki tiga dimensi pokok yaitu keilmuan dan pengetahuan (science and knowledge), keahlian (skills), dan organisasi kesejawatan (organisation of profession). Kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam. Guru profesional memiliki dan mengembangkan kemampuan dalam tiga pilar profesional diatas. Pendidik profesional mampu menguasai materi pembelajaran secara luas dan mendalam serta memgembangkan materi tersebut dengan konsep keterkaitan secara universal dan menerapkan konsep–konsep keilmuan, metode pengajaran yang koheren dengan materi ajar secara mendalam dan berkualitas. Disamping itu pendidik juga mengeksplorasi konsep dan metode keilmuan, melakukan penilitian dan kajian-kajian kritis untuk memperdalam pengetahuan tentang materi ajar sehingga menemukan hal-hal baru dalam proses pembelajaran.

Kemampuan guru melaksanakan tugas profesi keguruannya dalam proses belajar mengajar merupakan salah satu bentuk kompetensi profesional. Kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional

PURWAWACANA — 259

berkaitan langsung dengan proses pembelajaran yang diselenggarakan setiap pendidik, namun begitu kompetensi kepribadian dan sosial turut memberikan kontibusi terhadap excellent character building (pembentukan karakter unggul) seorang pendidik.

Ruang Lingkup Pengembangan Kompetensi PendidikKompetensi pendidik adalah kecakapan yang bersifat dinamis, berkembang melalui proses belajar dan interaksi dengan berbagai lingkungan dalam komunitas professional. Kompetensi guru dikembangkan dalam 4 cakupan wilayah (gurupembaharu.com,2009), yang meliputi: Pengembangan kompetensi pendidik dapat dilakukan melalui berbagai forum dan media yang merupakan manifestasi learning communities. Partisipasi aktif di dalamnya memberi peluang luas bagi setiap pendidik untuk mewujudkan diri sebagai learning persons dalam konteks longlife learning. Dengan cara demikian pendidik dapat selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan diseminasi penemuan dalam pembelajaran, sehingga kompetensi pendidik juga berkembang.

260 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

3PENGUATAN KELEMBAGAAN KOMITE SEKOLAH:

Eksistensi dan Tantangan dalam Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan

PendahuluanPerwujudan dari Ideologi Negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD-1945) adalah Negara kebangsaan, Negara demokratis, Negara kesejahteraan, Negara yang menjunjung tinggi HAM, dan Negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada saat proklamasi kemerdekaan, wujud Negara Pancasila tersebut barulah merupakan cita-cita, karena itu setiap penyelenggara pemerintahan/negara perlu berusaha mengemban misi “mencerdaskan kehidupan bangsa” yang maknanya adalah melakukan transformasi budaya tradisional menuju budaya modern, budaya feodal menuju budaya demokratis, dan sejenisnya. Makna kecerdasan itu adalah masyarakat dan bangsa dengan kehidupan yang maju. Sejumlah Negara yang kini menjadi Negara maju, terutama yang memiliki filosofi kenegaraan yang tertuang dalam konstitusinya dan yang mantap kehidupan politiknya adalah Negara yang sejak kemerdekaannya telah menempatkan pendidikan sebagai fondasi bagi pembangunan Negara.

Para Pendiri Republik telah merumuskan UUD 1945 dan menetapkan kewajiban pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, sebagaimana telah tertuang dalam UUD-1945 Pasal 31 ayat (2) sebelum amandemen, dan menjadi Pasal 31 ayat (3) setelah amandemen. Masalahnya, pada era Orde Baru telah berkembang sebuah paradigma yang pada hakekatnya bertentangan dengan ideologi Pancasila dan Negara kesejahteraan. UUSPN No. 2/1089 telah menetapkan bahwa penyelenggaraan pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat dan orangtua. Sejak saat itu, mengikuti pendidikan dari SD sampai Pendidikan Tinggi harus membayar uang sekolah yang dikenal dengan sebutan Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP), sumbangan Badan Pembantu Penyelenggaraan Pendidikan (BP3), atau sebutan lainnya. Kenyataan ini telah mendorong MPR RI (1999-

PURWAWACANA — 261

2004) melakukan amandemen pasal 31, untuk memperjelas makna yang tersirat pada pasal 31 UUD 1945 sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 1.

Amanat Pasal 31 mengenai kewajiban pemerintah untuk membiayai pendidikan dasar (ayat 2), kewajiban negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN serta APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional (ayat 4), dan kewajiban pemerintah memajukan IPTEK (ayat5), pada hakekatnya semua ayat itu bertujuan untuk mewujudkan Indonesia sebagai Negara kesejahteraan. Di dalam Negara kesejahteraan, Negara mendanai sektor-sektor: (1) Pendidikan; (2) Kesehatan; (3) Pertahanan Negara; (4) Administerasi Negara; dan (5) Infrastruktur dasar, sedangkan sektor-sektor sisanya adalah sumber pendapatan Negara. Karena itu di Eropa, terutama Jerman, Swedia dan Finlandia, pendidikan dari SD hingga program Doktor tidak dipungut biaya (Sudijarto, 2013).

Tabel 8.2Bunyi Pasal 31 UUD 1945,

Sebelum dan Sesudah Amandemen 2002

Sebelum Amandemen

Sesudah Amandemen

1. Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.

2. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang.

1. Setiap warga negara berhak mendapat pendidi-kan.

2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidi-kan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

3. Pemerintah mengusahakan dan menyeleng-garakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan ke-hidupan bangsa, yang diatur dengan Undang-Undang.

4. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

5. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

262 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Sebagai Negara kesejahteraan berdasarkan Pancasila, dan sesuai amanat pasal 31 UUD 1945, Pemerintah berkewajiban membiayai penyelenggaraan pendidikan nasional, khususnya pendidikan dasar. Yang cukup memprihatinkan adalah bahwa walaupun amandemen 2002 telah memperjelas maksud pasal 31, namun penyelenggara Negara dan Pemerintahan di Era Reformasi justru meneruskan paradigma Orde Baru, lihat rumusan pasal-pasal UUSPN No. 20/2003 pada Table 2. Ketentuan tersebut menunjukkan betapa UUSPN No. 20/2003 dalam pembiayaan pendidikan bertentangan dengan ketentuan pasal 31 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945.

Tabel 8.3Sebagian Pasal-Pasal UUSPN N0.20/2003 Tidak Selaras

dengan Amanat UUD 1945

Pasal, Ayat Bunyi Ketentuan Pasal 34 (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya

wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar, tanpa memungut biaya.

Pasal 34 (3) Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.

Pasal 46 (1) “Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Masyarakat”

Pasal 6 (2) Setiap warga Negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan”

Pasal 7 (2) Orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya”

Pasal 12 (2) Setiap peserta didik berkewajiban: ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku” dan

Pasal 49 (3) Dana pendidikan dari pemerintah dan pemerintah daerah untuk satuan pendidikan diberikan dalam bentuk hibah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Ketentuan UUD 1945 menunjukkan betapa tingginya komitmen Indonesia untuk melaksanakan deklarasi HAM,1 khususnya berkaitan

1 United Nation Declaration of Human Right-UDHR (1948) lebih memperjelas ketentuan UUD 1945 pasal 31 ayat (1) (sebelum amandemen)”Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran” (tanpa aturan bebas biaya) dengan pasal 28 UDHR “education should be free and compulsory at least at the basic educ ation level.” Namun komitmen Indonesia mulai tampak lebih jelas sejak amandemen UUD 1945 pada tahun 2002.

PURWAWACANA — 263

dengan prinsip pendidikan dasar wajib (compulsory) dan bebas biaya (free). Namun, hingga sekarang penyelenggaraan pendidikan dasar di Indonesia tidak dibiayai negara, tetapi diberikan bantuan (BOS) dan beasiswa miskin. UUSPN yang mengatur tidak dibiayainya penyelenggaraan pendidikan dasar sepenuhnya oleh Negara, tidak hanya bertentangan dengan pasal 31 ayat (2) UUD 1945, tetapi juga dengan ideologi Negara Pancasila.

Diyakini bahwa tingginya loyalitas warga bangsa terhadap negara bangsanya antara lain ditentukan oleh kepedulian Pemerintah suatu negara kepada warga negaranya. Dalam kaitan dengan penyelenggaraan pendidikan nasional hampir seluruh negara Eropa (Jerman, Perancis, Belanda, seluruh negara Skandinavia), pendidikan dari SD hingga Universitas dibiayai sepenuhnya oleh Pemerintah (Pusat dan distrik). Karena itu sudah sepatutnya jika setiap warga negaranya merasakan kehadiran Negara yang membuat mereka dapat menjadi tenaga ahli (profesional), teknisi andal dan lainnya karena dibiayai negara. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika, misalnya, kaum pekerja Jerman bersedia diperpanjang jam kerja dan dikurangi penghasilannya demi perbaikan ekonomi Jerman2 pada awal abad ke-21. Adalah juga sangat wajar jika seorang Presiden Jerman Von Weisaker (1980-an) atas dasar himbauannya, dengan mudah dalam satu hari, Jerman dapat menghimpun dana untuk membantu kelaparan di Ethiopia sebanyak 150 juta US dolar.

Di Amerika Serikat walaupun mulai pertengahan tahun 1980-an untuk memasuki Universitas Negeri sudah mulai membayar, wajib belajar 12 tahun tetap dibiayai sepenuhnya oleh Pemerintah (Federal, Negara Bagian, dan distrik), dan Pemerintah Federal tetap menyediakan dana 100 milyar US dollar untuk beasiswa bagi mahasiswa dari keluarga berpenghasilan rendah3. Pada tahun 2008,4 misalnya, besaran subsidi yang dikeluarkan US Departement of Education untuk perguruan tinggi, hanya 7,7% untuk institusi PT dan sisanya sebesar 92,3% adalah untuk subsidi biaya program: student grants (58,2%), student loans (32,1%), dan administrasi (2%). Model pembiayaan seperti ini merupakan salah satu 2 Germany’s Surprising Economy” dalam majalah The Economist, August 20, 2005,

page 9.3 “The Brains Business”, a Survey of Higher Education, dalam majalah The Economist,

Sept., 10th – 16th 20054 Chris Edwards and Neal McCluskey (2009) “Higher Education Subsidies. In the US” C ato In-

stitute ,1000 Massachusetts Avenue N.W.Washington D.C. 20001-5403. http://www.downsizinggovernment.org/ education/higher-education-subsidies

264 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

faktor yang menentukan rasa kebangsaan, kebanggaan dan loyalitas dari warga suatu bangsa terhadap Negara-bangsanya. Begitu tingginya kebanggaan sebagai Bangsa Amerika, universitas-universitas negeri yang sebagian besar mendanai dirinya dan hanya sebagian kecil memperoleh subsidi pemerintah Federal, mereka tetap menamakan dirinya public university. Karena itulah kita dapat menyaksikan betapa bersatunya rakyat Amerika Serikat pada saat-saat mereka menghadapi krisis, baik Perang Dunia II, September 11, Huricane Katrina, dan sebagainya.

Sebagai Negara kesejahteraan dan Negara kebangsaan Indonesia seharusnya dapat berbuat lebih baik dari, atau setiak-tidaknya sama dengan, apa yang dilakukan Amerika Serikat terhadap rakyatnya. Namun yang menjadi persoalan adalah apakah dalam konteks pemenuhan tanggung jawab pembiayaan pendidikan dasar oleh Negara menutup peluang masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam pendidikan? Dengan demikian bagaimana prospek komite sekolah maupun dewan pendidikan ke depan?

Eksistensi Komite SekolahSejak awal tahun 2001, telah bergulir suatu pergeseran paradigma sistem pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi. Hal ini ditengarai oleh lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 Jo. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sesuai dengan paradigma ini, seluruh komponen sistem pemerintahan harus menyesuaikan diri dengan keadaan dan tuntutan yang berkembang dalam masyarakat. Prinsip-prinsip perubahan paradigmatik tersebut juga berlaku pada semua bidang termasuk dalam pengelolaan pendidikan nasional. Sistem pendidikan dituntut untuk melaksanakan rekonseptualisasi dan restrukturisasi secara menyeluruh sehingga dapat menjawab tantangan desentralisasi pemerintahan di bidang pendidikan seperti yang diatur dalam UU tentang Pemerintahan Daerah tersebut di atas (Suryadi dan Budimansyah, 2003; 2009; Sidi, 2001).

Sebagai sistem yang diselenggarakan di luar mekanisme pemerintahan, desentralisasi pendidikan tidak dilakukan melalui penyerahan wewenang pemerintah pusat ke pemerintah daerah, tetapi penyerahan wewenang kepada setiap satuan pendidikan itu sendiri. Dengan demikian, selain konsep desentralisasi pemerintahan di bidang pendidikan, terdapat pula konsep desentralisasi dan otonomi pendidikan

PURWAWACANA — 265

yang menekankan pada wewenang dan otoritas yang dimiliki oleh setiap satuan pendidikan. Konsep ini berkembang di lingkungan Kemdikbud, sebagai salah satu sektor teknis, yang dalam pelaksanaannya memerlukan Undang-Undang sektor tersendiri. Di bidang pendidikan, sekarang kita telah memiliki undang-undang (UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang lebih berorientasi desentralisasi pendidikan sebagai pengganti UU No. 2/1989 yang masih berasas sentralistik (Suryadi dan Budimansyah, 2003; 2009; Suyanto dan Djihad, 2000).

Desentralisasi pendidikan nasional dilaksanakan atas dasar pemikiran bahwa masyarakat di daerah merupakan fondasi yang kuat dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia. Pengertiannya adalah, “bahwa masyarakat daerah-lah yang paling mengetahui permasalahan dan kebutuhan mereka sendiri” dan mereka itulah yang harus berperan lebih besar sebagai penentu kebijakan operasional, penanggung jawab, serta pelaksana terdepan dari pengelolaan sistem pendidikan nasional. Sesuai dengan konsep desentralisasi pendidikan, masyarakat dianggap sebagai pihak yang paling menentukan terhadap pelaksanaan dan penyelenggaraan sistem pendidikan, khususnya sistem pendidikan dasar dan menengah di setiap daerah. Masyarakat adalah sumber inspirasi dan sasaran yang harus dicapai dari sistem pendidikan di daerah. Masyarakat juga merupakan sumber dana bagi penyelenggaraan pendidikan di setiap daerah, di luar biaya yang diperoleh dari sumber-sumber anggaran pemerintah. Dengan demikian, masyarakat adalah stake-holder dari sistem pendidikan dasar dan menengah, atau pihak yang paling menentukan terhadap sistem dan proses pendidikan.

Namun, masyarakat itu kenyataannya sangat kompleks dan tidak miliki batas yang jelas, sehingga sulit menentukan masyarakat yang mana sebagai stake holder di bidang pendidikan. Salah satu cara memfungsikan masyarakat sebagai stake-holder tersebut adalah dengan menggunakan prinsip perwakilan, yaitu memilih sejumlah kecil dari seluruh anggota masyarakat untuk melaksanakan fungsi-fungsi kontrol, pemberi masukan, pemberi dukungan, serta fungsi mediator antara masyarakat dengan lembaga-lembaga pendidikan. Fungsi-fungsi tersebut dilakukan Dewan Pendidikan di tingkat nasional/propinsi/kabupaten/kota dan Komite Sekolah pada tingkat satuan pendidikan.

266 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Sampai sekarang Kemdikbud telah melakukan fasilitasi pembentukkan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah di seluruh tanah air. Pembentukan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah tersebut yang pada mulanya diatur oleh Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 044/U/2002, (sekarang diatur dalam PP No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan). Dalam Pasal 192 Ayat (2) ditegaskan bahwa Dewan pendidikan berfungsi dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Mengenai fungsi komite sekolah ditegaskan dalam Pasal 196 Ayat (1) bahwa Komite sekolah/madrasah berfungsi dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan.

Berdasarkan berbagai pemikiran dan aturan main sebagaimana diuraikan di atas, tampak bahwa keberadaan Komite Sekolah sebagai pelaksanaan fungsi stakeholder pada satuan pendidikan tetap eksis untuk menjalankan fungsi memberi pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pelayanan pendidikan pada satuan pendidikan.

Tantangan KedepanWalaupun banyak kemajuan yang telah dicapai, namun pembangunan pendidikan nasional masih menghadapi tantangan yang cukup besar, dalam mewujudkan keunggulan bangsa dalam era persaingan global. Pada tahun 2015 UNDP merilis laporan Human Development Index (HDI) untuk 188 negera dengan nilai rata-rata HDI sebesar 0,702 (pada skala 0 sampai 1). Sebagian besar negara-negara di dunia menunjukkan peningkatan HDI, namun peningkatannya tidak merata. Wilayah yang masih menunjukkan HDI relatif rendah adalah Afrika sub-Sahara (0,502) dan Asia Selatan (0,588), sedangkan yang tertinggi yaitu Amerika Latin dan Karibia (0, 740), diikuti oleh Eropa dan Asia Tengah ( (0,738). Negara kita sendiri menempati peringkat ke-110 dari 188 negara pada tahun 2014. Posisi tersebut menempatkan Indonesia pada kelompok menengah. Skor nilai HDI Indonesia sebesar 0,684, atau masih di bawah rata-rata dunia

PURWAWACANA — 267

sebesar 0,702. Peringkat dan nilai HDI Indonesia masih di bawah rata-rata dunia dan di bawah empat negara di wilayah ASEAN (Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand) (UNDP, 2015).

Rendahnya peringkat HDI ini ditentukan oleh dua indikator pendidikan, yaitu rendahnya angka melek aksara, dan rata-rata lama belajar (RLS) penduduk usia 16 tahu ke atas adalah 7,8 tahun, dan RLS penduduk usia 25 tahun ke atas adalah 5,8 tahun. Dalam Global Competitive Index (GCI)5 peringkat Indonesia cukup baik, yaitu ke-41 dari 138 negara (2016) dengan kontribusi dari komponen perluasan pendidikan dasar yang cukup besar. [Sepuluh besar negara di dunia yang paling kuat daya saingnya adalah: (1) Switzerland, (2) Singapore, (3) United States, (4) Netherlands, (5) Germany, (6) Sweden, (7) United Kingdom, (8) Japan, (9) Hongkong SAR, dan (10) Finland]. Namun demikian, mutu pendidikan tinggi belum memberikan andil yang berarti terhadap daya saing global Indonesia, terutama kaitan dengan kesiapan teknologi dan innovasi yang masih rendah. Untuk memacu daya saing global tersebut, Indonesia memerlukan landasan kebijakan yang relevan untuk mendorong pembangunan pendidikan yang bermutu dan dapat merespon tantangan globalisasi. Dalam konteks dan kondisi demikian maka diperlukan ketentuan hukum yang secara optimal dapat dijadikan pedoman bagi peningkatan kapasitas dan kualitas pendidikan secara nasional.

Persoalannya, secara yuridis, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) telah mendesak untuk dilakukan perubahan. Ada beberapa argumentasi dasar sebagai berikut. Pertama, tidak sedikit dijumpai ketidak-harmonisan yang cukup signifikan antara ketentuan UUSPN dengan cita-cita para pendiri Republik sebagaimana dituangkan dalam amanat UUD 1945. Para tahun 2002 MPR telah melakukan amandemen UUD 1945 dengan maksud untuk lebih menegaskan kembali dengan memerinci dan menjelaskan kembali amanat pasal 31 sehingga lebih jelas dan memiliki kesesuaian dengan legislasi internasional deklarasi HAM, khususnya yang berkaitan dengan pendidikan dasar ‘free & compulsory basic education’.

5 GCI dikeluarkan oleh the World Economic Forum yang dikeluarkan setiap tahun atas dasar pengukuran tiga komponen daya saing, yaitu basic requirement, efficiency en-hancer, dan innovation yang dijabarkan menjadi 10 pilar persaingan.

268 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Kedua, secara substansial yuridis, beberapa kondisi dari pasal-pasal UUSPN telah mengalami perubahan baik melalui Putusan Mahkamah Konstitusi maupun undang-undang lain, seperti: ketentuan Badan Hukum Pendidikan, pengertian alokasi anggaran pendidikan 20 persen, rintisan sekolah bertaraf internasional, dan Ujian Nasional. Beberapa penyesuaian ketentuan UUSPN juga diperlukan dalam kaitan dengan pendidik dan tenaga kependidikan serta perguruan tinggi sehubungan dengan berlakunya UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen, dan UU No. 12/2012 tentang Perguruan Tinggi.

Ketiga, telah berkembang berbagai dinamika dalam masyarakat yang menuntut perubahan mendasar UUSPN No. 20/2003 sebagai legislasi nasional, seperti pelaksanaan Ujian Nasional (UN), implementasi otonomi dan desentralisasi pendidikan pasca UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, implementasi UU. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah, PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Pusat-Daerah, dan banyak lagi perkembangan akhir-akhir ini yang menuntut penyesuaian UUSPN. Di samping itu, tidak sedikit pula konsep kebijakan pendidikan nasional yang melandasi ketentuan UUSPN yang tertinggal (obsolete) relatif terhadap zaman yang berubah, seperti: konsep pendanaan pendidikan dasar, konsep beasiswa miskin, konsep muatan lokal, konsep sekolah menengah kejuruan, dan sejenisnya.

Permasalahan tersebut kemudian telah mendorong Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) untuk mengusulkan beberapa perubahan penting dalam UUSPN. Dalam RUU Perubahan atas UUSPN No.20 Tahun 2003 ditegaskan kembali adanya empat peran dewan pendidikan maupun komite sekolah, yakni sebagai lembaga pemberi pertimbangan, bantuan, melakukan pengawasan, dan mediator. Terkait peran tersebut, komite sekolah ditantang untuk mereaktualisasi perannya untuk mengawal penyelenggaraan pendidikan bermutu pada tingkat satuan pendidikan. Yang terkait kedalam peran pemberi pertimbangan (advisory), komite berikut: (a) mempelopori dilaksanakan penjaminan mutu (quality assurance) sekolah misalnya mengenai isu-isu mutakhir dapat melakukan hal-hal sebagai sekolah; (b) diintegrasikannya pendidikan karakter pada semua mata pelajaran, program pembiasaan, dan pengembangan diri. Program komite sekolah yang terkait dengan pelaksanaan peran pemberi dukungan (supporting) misalnya

PURWAWACANA — 269

berkenaan dengan penggalangan dana masyarakat sebagai berikut: (a) menyelenggarakan malam amal (charity night) bagi para alumni dan/atau kalangan dunia usaha dan industri peduli pendidikan; (b) merintis program perusahaan membantu sekolah (one corporate one school) ; (c) menyelenggarakan program satu hari bersama orang tua siswa di sekolah (parent day). Komite sekolah dalam konteks ini harus pandai menggalang dana masyarakat bukan dana dari orang tua siswa. Ibarat pepatah bahwa komite sekolah itu “harus pandai berburu harimau di hutan belantara, bukan berburu harimau di hutan lindung atau bahkan di kebun binatang”. Dalam kaitannya dengan amanat konstitusi bahwa pendidikan dasar free and compulsory, sebagaimana akan ditegaskan dalam RUU Perubahan atas UUSPN No.20 Tahun 2003, pelaksanaan peran melakukan pengawasan (controlling) dari komite sekolah perlu diarahkan pada hal-hal sebagai berikut: (a) memastikan bahwa pendidikan dasar bebas biaya karena sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah (bukan dalam bentuk BOS), sedangkan masyarakat dalam hal ini dapat ikut serta; (b) memastikan bahwa sekolah melakukan penjaminan mutu secara berkelanjutan pada semua aspek; (c) memastikan bahwa sekolah merupakan wahana yang sangat efektif untuk membina karakter. Pelaksanaan peran komite sekolah sebagai mediator sekolah dan masyarakat utamanya orang tua siswa di antaranya adalah sebagai berikut: (a) memperlancar komunikasi antara orang tua dan sekolah perihal kondisi dan kemajuan anak di sekolah; (b) menjadi mediator jika terjadi perselisihan antara orang tua dengan pihak sekolah di lain pihak dan dengan pihak-pihak lainnya.

270 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

4. PENGUATAN PENDIDIKAN KARAKTER DI

SEKOLAH

Pendahuluan

Sejak perluasan sekolah dasar hampir selesai pada akhir 1980-an,

Indonesia terus menghadapi masalah kualitas guru, seperti yang

ditunjukkan oleh skor rata-rata yang sangat rendah (44,5%), pada Uji

Kompetensi Guru Nasional (Rosjidi, 2014; Jalal et al, 2009 ). Hal ini

merupakan isyarat awal untuk menunjukkan ketidakmampuan guru

dalam meningkatkan pembelajaran siswa, utamanya pada jenjang sekolah

dasar. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah menetapkan kebijakan

nasional tentang pemberian sertifikasi. Untuk menjadi seorang guru

harus memenuhi tingkat kualifikasi akademik minimum dan memenuhi

standar kompetensi yang diperlukan. Guru didorong untuk menjadi

inovatif dalam mengajar untuk menghasilkan tingkat prestasi siswa yang

lebih tinggi (Suryadi & Budimansyah, 2009). Hingga tahun 2016,

Indonesia telah mensertifikasi lebih dari 1,7 juta guru, atau 75% dari

seluruh tenaga pengajar (Suryadi & Budimansyah, 2016). Namun,

sekalipun sertifikasi guru sudah dilakukan dalam skala besar, sedikit

bukti yang menunjukkan terjadinya peningkatan dalam pembelajaran

siswa, termasuk dalam menyelenggarakan penguatan pendidikan

karakter. Program sertifikasi guru tidak menawarkan jaminan untuk

menciptakan guru berkinerja tinggi. Yang lebih strategis dilakukan justru

program pelatihan guru dalam jabatan (in-servive training) sebagai bagian

integral dari program sertifikasi guru (Suryadi, Rosjidi & Budimansyah,

2017).

Meskipun menggunakan banyak istilah yang berbeda misalnya

Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan

Agama, atau Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan - Indonesia

telah relatif lama mengimplementasikan pendidikan karakter di

sekolah. Ini ditantang oleh apa yang Lickona (1993 ) amati di Amerika

Serikat lebih dari dua dekade lalu, tren yang meresahkan dalam karakter

pemuda. Pemerintah Indonesia mulai memperhatikan masalah yang

sama sepuluh tahun yang lalu ketika Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan meluncurkan reformasi pendidikan karakter untuk

dimasukkan dalam kurikulum sekolah (Kemdikbud, 2013). Setelah

PURWAWACANA 271

dimplementasikan sepuluh tahun, program pertama kali direvisi melalui

edisi kedua Panduan Pendidikan Karakter yang diterbitkan pada 2017

(MOEC, 2017). Program ini bertujuan untuk mengelola pembentukan

karakter siswa Indonesia, melalui semua aspek kegiatan sekolah intra, ko

dan ekstra kurikuler.

Namun, reformasi ini tidak memungkinkan sekolah untuk berubah

menuju tujuan yang diharapkan yakni tumbuhnya iklim pendidikan

karakter. Karena perilaku guru dalam proses pembelajaran tetap tidak

berubah secara signifikan karena reformasi lebih didorong oleh proses

pendidikan akademik daripada pendidikan berbasis nilai (Budimansyah,

Suharto & Nurulpaik, 2019a). Di antara penyebabnya adalah manajemen

dan kepemimpinan sekolah tetap tidak tersentuh secara signifikan

melalui reformasi. Kepala sekolah juga tidak dipersiapkan dengan baik

untuk mengelola pendidikan karakter dengan cara menciptakan iklim

sekolah yang kondusif untuk mempelajari nilai-nilai karakter.

Kerangka Konseptual

Di Amerika Serikat, pendidikan karakter di sekolah telah dimasukkan

dalam kurikulum sekolah sejak tahun 1970-an dan beralasan sejak

maraknya kasus-kasus remaja yang berperilaku buruk. Didasarkan pada

karya Lickona & Davidson (2005) bahwa program pendidikan karakter

menekankan program pemulihkan perilaku bijak dan berbagi moralitas

dasar yang penting untuk kehidupan yang berkeadaban. Untuk bertahan

hidup di Amerika, orang dewasa harus mempromosikan moralitas ini

dengan mengajar kaum muda, secara langsung dan secara tidak langsung

nilai-nilai seperti penghormatan, tanggung jawab, kepercayaan, keadilan,

kepedulian, dan kebajikan kewarganegaraan (civic virtues). Minat yang

tumbuh dalam pendidikan karakter selama dekade terakhir telah

semakin diakui; peran yang dimiliki karakter tertentu (seperti ketahanan,

peraturan, dan keterampilan emosional dan sosial) dapat berperan dalam

memampukan anak-anak dan remaja untuk mencapai atribut positif

dalam mendukung pengembangan (pribadi) siswa untuk menjadi warga

yang baik dan individu yang paripurna (Smith, Marshall & Tanner,

2017).

Untuk reformasi baru perlu diperkenalkan di sekolah, dua faktor

berikut yang sangat penting untuk penguatan pendidikan karakter.

272 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Faktor pertama adalah kepemimpinan sekolah, dan factor kedua adalah

persepsi dan keyakinan guru yang positif terhadap program penguatan

pendidikan karakter.

Kepemimpinan Sekolah

Pandangan yang lebih luas tentang inisiatif manajemen sekolah di dalam

benak para pemimpin sekolah adalah signifikan untuk mempengaruhi

keyakinan dan perbuatan guru untuk pendidikan karakter yang sukses di

sekolah Indonesia (Milson & Mehlig, 2002). Pendidikan karakter harus

tertanam di sekolah sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari tujuan

sekolah yang menyeluruh, dan bukannya sesuatu yang berdiri sendiri

sebagai pelajaran atau kegiatan (Asmendri, 2014; Smith, Marshall &

Tanner, 2017). Walaupun demikian, pendidikan karakter di sekolah tidak

bisa lepas dari perspektif penalaran moral, seperti untuk

mengembangkan kemampuan siswa untuk melakukan penalaran, nilai-

nilai mana yang lebih baik daripada yang lain (Power, Higgins &

Kohlberg, 1989). Pikiran ini diperlukan tetapi tidak cukup untuk

menumbuhkan karakter yang baik jika meremehkan peran yang

dimainkan oleh sekolah sebagai institusi moral (Lickona, 1993, hlm. 7);

dan “... orang bisa sangat pintar tentang hal-hal yang benar dan salah,

namun, dan pada kenyataannya masih memilih yang salah. Pendidikan

moral yang semata-mata menekankan aspek kepintaran (intelektual)

merindukan sisi emosional yang berfungsi sebagai jembatan antara

penghakiman dan tindakan ” (Lickona, 1993, hlm. 313).

Berdasarkan studi kasus Walker, David & Kelly (2017) diperoleh

temuan bahwa pendekatan untuk menciptakan etos sekolah yang positif

dan lingkungan belajar yang dianggap dapat membantu

mengembangkan karakter anak muda perlu menjadi kebijakan penting

untuk penguatan pendidikan karakter. Banyak dari pendekatan ini yang

terus dilakukan untuk penguatan pendidikan karakter di sekolah untuk

menangkal dampak buruk dari terus meningkatnya masalah-masalah

sosial (Hayes, Lewis, & Robinson, 2011). Pendidikan karakter yang

sukses harus bisa menciptakan kepercayaan bersama yang akan

memberikan dasar untuk nilai-nilai yang kuat dan prestasi akademik dan

mempersiapkan kaum muda untuk masa depan (Walker, David & Kelly,

2017).

PURWAWACANA 273

Untuk membuat program pendidikan karakter yang sukses, ada

kebutuhan untuk perbaikan iklim sekolah serta lingkungan sosial dan

fisik yang menguntungkan dalam meningkatkan hasil akademik siswa

dan mengurangi perilaku negatif remaja (Battistni, 2003). Ini konsisten

dengan argumen Lickona & Davidson (2005; p. 15) bahwa: “... pendidikan

karakter harus menjadi upaya yang disengaja di sekolah untuk

mengembangkan kebajikan yang memungkinkan siswa untuk menjalani

kehidupan yang memuaskan dan membangun dunia yang lebih baik. ”Ini

berarti kepemimpinan sekolah yang efektif sangat penting agar

pendidikan karakter dapat berkembang dengan baik.

Leithwood dan Riehl juga berpendapat bahwa peluang yang

diperlukan dalam reformasi pendidikan sangat kecil kecuali para

pemimpin daerah dan sekolah setuju dengan tujuannya dan menghargai

apa yang diminta agar organisasi itu bekerja. Para pemimpin daerah dan

sekolah memainkan peran yang sangat penting dalam membantu para

guru menyadari bagaimana reformasi yang digerakkan oleh pemeringtah

pusat dimanifestasikan ke dalam upaya pengembangan sekolah

(Leithwood, et al, 2004).

Bagi Robinson (2010) "secara keseluruhan (langsung dan tidak

langsung) efek kepemimpinan sekolah terhadap efektivitas pengajaran

sekitar seperempat dari total efek sekolah. "Banyak temuan berbeda

tentang peran para pemimpin sekolah dalam melaksanakan reformasi

seraya ia menegaskan: “... bukti empiris yang tersedia dalam kasus ini

tidak sepenuhnya konsisten". Namun, Day, et al (2000) berpendapat:"

temuan penelitian dari beragam negara dan konteks sekolah yang

berbeda telah mengungkapkan dampak kepemimpinan yang kuat

terhadap proses pada efektivitas sekolah. "Untuk keberhasilan

pencapaian reformasi pendidikan, kepemimpinan yang berpusat pada

pembelajaran adalah satu-satunya jalan untuk memasuki masa depan

” (Leithwood, 1992 ). Meskipun efek dari kepemimpinan yang sukses

jauh lebih besar pada sekolah-sekolah yang lebih banyak mengalami

kesulitan, banyak faktor lain dapat berkontribusi, tetapi tetap saja

kepemimpinan adalah katalisator yang amat penting ” (Leithwood, et al,

2004).

Peran kepemimpinan sekolah sangat penting untuk dimainkan

dalam program penguatan pendidikan karakter yang diprogramkan

secara nasional (Kemdikbud, 2017). Kepala sekolah harus bisa membantu

274 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

para guru mempraktikkan reformasi yang dilakukan di sekolah

mereka. Peran pertama kepemimpinan sekolah yang dimainkan adalah

memperkuat keyakinan dan persepsi guru sebagai hal yang sangat

mendasar untuk pendidikan karakter.

Keyakinan dan Persepsi Guru

Argumen penalaran moral yang diperkenalkan oleh Kohlberg (Lickona,

2004) merupakan satu langkah penting yang diperlukan untuk mendidik

karakter siswa; ihwal untuk menjadi guru yang memadai harus memiliki

kepercayaan dan merasakan bahwa menanamkan nilai-nilai moral

tertentu pada siswa harus melibatkan mereka dalam satu paket kegiatan

yang disengaja dan terprogram di sekolah (Suryadi & Budimansyah,

2016 ). Menggunakan sebuah studi kasus tematik, Alexander (2016 )

menemukan bahwa guru tidak hanya harus percaya bahwa pendidikan

karakter itu penting dan harus diajarkan, namun juga harus disengaja (by

designed) bukan sedapatnya saja (by chance).

Kepala sekolah harus memahami bahwa guru mampu menjadi

ujung tombak inisiatif sekolah untuk mengembangkan karakter

siswa (Milson & Mehlig, 2002). Dengan demikian guru perlu persiapan

secara memadai agar inisiatif menjadi efektif dan pemimpinan sekolah

harus mengambil peran yang lebih besar dalam pelaksanaan inisiatif

ini (Alexander, 2016; Milson & Mehlig, 2002). Berdasarkan

studinya, Alexander (2016) mengemukakan bahwa inisiatif penguatan

pendidikan karakter di sekolah diperlukan dan harus didasarkan pada

pengalaman dan persepsi para praktisi, seperti kepala sekolah dan guru

untuk mengimplementasikan inisiatif tersebut. Satu-satunya kendala

menunjuk pada sekolah, mengadopsi program pendidikan karakter

kurang dalam persiapan (Milson dan Mehlig, 2002). Bahkan, masih

terdapat kesenjangan dalam keyakinan guru tentang pendidikan karakter

di sekolah, khususnya pada persepsi dan inisiatif guru (Alexander,

2016 ). Budimansyah, Suharto dan Nurulpaik (2019b ) juga melihat

kesenjangan tersebut dengan mengamati keyakinan dan persepsi guru

sekolah menengah. Mereka menemukan bahwa para guru Pendidikan

Pancasila dan Kewarganegaraan memiliki lebih banyak inisiatif daripada

guru mata pelajaran lainnya karena mereka memiliki wawasan yang

cukup tentang pendidikan karakter baik hasil dari pendidikan prajabatan

(pre-service training) maupun pendidikan dalam jabatan (in-service

PURWAWACANA 275

training).

Fullan menegaskan bahwa “perubahan praktik pendidikan

tergantung pada apa yang guru lakukan dan pikirkan; ini sesederhana itu

... guru memiliki kendali atas ruang kelas mereka dan mereka akan

terbimbing oleh keyakinan dan pengalaman mereka sebelumnya”

(Fullan, 1993; p. 117). Jika kita sepakat seperti itu bahwa pendidikan

karakter itu penting dan keyakinan serta persepsi guru itu juga

merupakan sesuatu hal yang penting, maka penting untuk menganalisis

apa yang harus guru persepsikan tentang inisiatif pendidikan karakter di

sekolah dalam konteks dan jenis sekolah tertentu (Alexander, 2016). Maka

perlu dipikirkan bahwa: "apa pun pengetahuan dan kepercayaan yang

dimiliki oleh para peneliti atau pembuat kebijakan tentang pendidikan

tidak menjamin para guru untuk meningkatkan praktik mengajar mereka

kecuali mereka memiliki persepsi dan keyakinan yang sama ” (Suryadi &

Budimansyah, 2016).

Penelitian ini mengasumsikan bahwa pembelajaran yang berhasil di

sekolah sangat ditentukan oleh pandangan yang lebih luas dari para guru

untuk berpikir, bertindak dan berperilaku sambil memperkenalkan siswa

pada masalah di sekolah maupun di luar lingkungan sekolah (Attrad et

al., 2010 ; Maclellan & Soden, 2004). Hal yang sama berlaku dalam

program pendidikan yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai

positif pada anak muda (Budimansyah, Suharto & Nurulpaik,

2018 ). Budimansyah, Suharto & Nurulpaik (2019) mengamati, di

beberapa sekolah di Indonesia, guru pendidikan kewarganegaraan

membutuhkan dukungan manajerial dari para pemimpin sekolah untuk

menciptakan kegiatan sekolah yang disengaja di dalam dan di luar

kegiatan pengajaran di kelas; ini bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai

dalam karakter siswa. Di antara dukungan penting yang diperlukan bagi

para guru adalah untuk menciptakan dan menyelenggarakan

pembelajaran proyek atau project citizen (Budimansyah, Suharto &

Nurulpaik, 2018).

Praktik Pendidikan Karakter di Sekolah

Sekolah adalah wahana untuk menciptakan lingkungan yang kondusif

untuk memfasilitasi para guru memperluas wawasan dan keyakinan

mereka untuk menerapkan pendidikan karakter yang sukses. Di

276 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Indonesia, semua guru berkewajiban untuk mengambil bagian dalam

menyelenggarakan pendidikan karakter pada masing-masing mata

pelajaran (MOEC, 2017). Namun, pendidikan karakter tidak dengan

sendirinya menjadi subjek, namun diselenggarakan secara terintegrasi

pada subjek pembelajaran dan program sekolah (Smith, Marshall &

Tanner, 2017). Pendidikan karakter yang sukses akan diatur oleh semua

guru dan kepala sekolah. Mereka harus memiliki persepsi, keyakinan,

dan praktik yang baik serta kepemimpinan manajerial dan instruksional

yang dirancang dengan baik di sekolah.

Beberapa sekolah menciptakan pelatihan dalam jabatan bagi guru

untuk memperkenalkan pembelajaran inovatif. Tabel 1 menunjukkan,

sebagian besar sekolah (60,2%) sering melakukannya, sementara beberapa

yang lain secara teratur (35,14%) menerapkan program pelatihan,

meskipun hanya 56% dari guru berpartisipasi penuh dalam program

tersebut. (Tabel 2). Beberapa program pelatihan diperkenalkan sebagai

sesuatu yang baru (48,15%) dan inovatif (56,51%) dalam pendidikan

karakter. Salah satu diantaranya adalah adalah model 'Project Citizen' di

mana beberapa guru pendidikan kewarganegaraan dilatih oleh peneliti

menggunakan model yang diadaptasi dari model Center for Civic

Education, Calabasas California USA (Budimansyah, 2012). Sekolah

diminta untuk membuat sistem insentif atau penghargaan untuk

membantu para guru meningkatkan metode pengajaran mereka di kelas

masing-masing dari waktu ke waktu.

Tabel 1: Profil Sekolah Penyelenggara Pendidikan Karakter

N

o. Profil Sekolah

Respons Kepala

Sekolah (%)

N

No

ne

Freque

ntly

Regul

arly

1 Implement in-service training for

teachers in school

4.4

2 60.2 35.14

40

7

2 Using reward for teachers‟ attempts new

teaching approaches

35.

63 48.16 15.48

40

4

PURWAWACANA 277

3 Using reward for teacher's innovation in

teaching approaches

27.

03 56.51 14.25

39

8

4 Using reward for teacher's quality of

teaching & learning

27.

52 54.55 15.72

39

8

5 Support for improvement of teacher

credential

60.

44 38.08 17.94

47

4

Sepertiga dari sekolah tetap ragu-ragu, dan sisanya (70,3%) sering

disediakan beberapa bentuk penghargaan, termasuk 15% yang telah

menetapkan sistem penghargaan untuk mendorong upaya guru untuk

menerapkan beberapa pendekatan pengajaran yang inovatif. Tabel 2

menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil (46,9%) dari guru merasa

bahwa insentifnya ada dan mulai diberlakukan. Tantangan kepala

sekolah adalah bagaimana membuat guru terlibat dalam diskusi

berkelanjutan di sekolah untuk berbagi ide dan praktik terbaik, karena

hanya 51,9% di antaranya yang terlibat. Sebagian besar (92%),

melaporkan partisipasi mereka dalam seminar dan lokakarya di sekolah.

Penelitian ini menganalisis pengaruh kepemimpinan manajerial dan

instruksional kepala sekolah pada keyakinan, persepsi, dan praktik guru

sebagai kriteria pengukuran pertama (Robinson, 2010), sebagai

ditunjukkan pada Tabel 2. Variabel kriteria lain adalah praktik yang baik

dalam pendidikan karakter sebagai fungsi dari variabel yang sama dan

hasilnya ditunjukkan pada Tabel 3. Masing-masing variabel kepala

sekolah dan guru yang dimasukkan dalam masing-masing model

dihipotesiskan sebagai prediktor yang mempengaruhi salah satu variabel

kriteria yang diukur.

Tolok Ukur Pertama: Persepsi dan Praktik Guru dalam Pendidikan

Karakter

Tabel 2 menunjukkan seberapa penting semua model

memperhitungkan varians yang diprediksi kriteria pertama (R 2 = 0,981;

p = 0,001); variabel pertama yang sangat mempengaruhi adalah harapan

orang tua yang memberikan tekanan kepada sekolah untuk

meningkatkan pendidikan karakter (β = 0,67; p = 0,001). Ini berarti bahwa

semakin kuat tekanan dari orang tua ke sekolah, akan semakin baik

278 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

upaya kepala sekolah dan guru untuk memperkuat pendidikan karakter.

Variabel kuat lainnya adalah praktik terbaik guru dalam pendidikan

karakter di sekolah (β = 0,44, p = 0,001). Untuk meningkatkan fungsi

sekolah sebagai karakter institusi karakter (Suryadi & Budimansyah,

2016; Alexander, 2016), kepala sekolah harus melakukan “rock their boat

“, antara dua faktor pendorong, yaitu tekanan orangtua dan motivasi

guru untuk mengajar.

Tabel 2: Pengaruh Profil Sekolah pada Keyakinan Guru yang Kondusif

bagi Pendidikan Karakter (R 2 = 0,981; p = 0,001)

Regression Model

Unstandar

d-ized

Coeff.

Standar

d-ized

Coeff t Sig

.

B S.E. Beta

Constant -6.90 2.28

-

3.02

0.0

1

Being a science teacher -1.01 0.28 -0.14 -

3.59

0.0

3

Being a social studies teacher -0.65 0.29 -0.09 -

2.22

0.0

4

Parent's expectation in character

education 3.28 0.23 0.67

14.5

5

0.0

0

Proud of being part of the school as a

teacher 2.47 0.34 0.44 7.21

0.0

0

School's plan in in-service teacher

training 5.26 0.26 0.97

19.9

7

0.0

0

Participate in continues discussion in

school 2.09 0.26 0.36 7.94

0.0

0

Participate in seminar/workshop in

school -1.42 0.42 -0.13

-

3.39

0.0

3

Happiness for being part of school as a

teacher 2.47 0.34 0.44 7.21

0.0

0

PURWAWACANA 279

Reward for a teacher to innovate in

teaching 0.98 0.18 0.25 5.56

0.0

0

Punishment for the less performing

teachers -0.95 0.12 -0.31

-

7.95

0.0

0

Criterion Variable: Teachers’ Perception of Teaching Chared

Rencana kepala sekolah untuk pelatihan guru dalam jabatan

memiliki pengaruh yang paling kuat terhadap variabel tolok ukur

pertama (β = 0,97, p = 0,001), keyakinan dan persepsi guru dalam

pendidikan karakter. Pengaruh kuat dari pelatihan guru ditentukan oleh

sejauh mana pelatihan dirancang dengan cara diskusi terus menerus dan

berbagi ide dan praktik terbaik di antara guru di sekolah (β = 0,36, p =

0,001). Efek dari pelatihan guru di sekolah tentang tolok ukur kedua,

praktik yang baik dalam pendidikan karakter, adalah konsisten dengan

jumlah hari guru berpartisipasi dalam pelatihan di sekolah yang

menjelaskan untuk bagian varian yang signifikan. Ini ditunjukkan pada

Tabel 3 bahwa efek ini kecil tetapi signifikan pada patokan kedua (R2 =

0,01; p = 0,043). Namun, berpartisipasi dalam seminar atau lokakarya

yang berlangsung di sekolah-sekolah berdampak negatif terhadap tolok

ukur pertama (β = -0,13; p = 0,004) karena jenis pengembangan

profesional ini pada kenyataannya terlalu formal, tidak fokus, dan jarang

terjadi.

Tolok Ukur Kedua: praktik yang baik dalam pendidikan karakter

Model kedua juga menyumbang sangat kuat pada varian prediksi tolok

ukur variable kedua (R 2 = 0,96; p = 0,001). Tabel 3 menunjukkan bahwa

patokan ini kecil tetapi secara signifikan dicatat oleh profil dua guru:

tingkat sekolah (R 2 = 0,05; p = 0,039) dan kredensial guru (R 2 = 0,08; p

=0,024). Ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan guru dan

semakin tinggi jenjang sekolah dimana mereka mengajar, semakin baik

mereka melakukan praktik pendidikan karakter.

280 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Tabel 3: Faktor Penentu Praktik yang Baik dalam Pendidikan Karakter

seperti yang Dipikirkan oleh Guru di Sekolah (R 2 = 0,93; p = 0,001)

Model R R2

Adj

ust-

ed

R2

S.E.

of

the

Esti

mate

Change

Statistics

R2C

ha.

F-

Ch

a.

Sig

. F

Being a civic education teacher ,6

08a

0,

37 0,34 2,190 0,37

14,

06

0,0

01

Reward for improved T&L

process

,7

96b

0,

63 0,60 1,707 0,26

16,

52

0,0

00

Teacher‟s credential level ,8

43c

0,

71 0,67 1,549 0,08

5,9

2

0,0

24

Reward for innovation in

teaching

,8

73d

0,

76 0,72 1,436 0,05

4,6

1

0,0

44

School level ,9

00e

0,

81 0,76 1,319 0,05

4,8

8

0,0

39

Class size ,9

29f

0,

86 0,82 1,146 0,05

7,4

9

0,0

31

Feedback from principals ,9

67g

0,

94 0,91 0,806 0,07

20,

41

0,0

19

N of days teacher participates in

prof. development

,9

80i

0,

96 0,94 0,665 0,01

4,8

4

0,0

43

Criterion: Student Centered Learning Exercised by Teacher

Pelatihan in-service di sekolah adalah nomor satu, tetapi sistem

insentif atau umpan balik di sekolah adalah variabel penting lainnya

untuk mempengaruhi tolok ukur kedua, praktik yang baik dalam

pendidikan karakter. Tabel 3 menunjukkan bahwa penghargaan pada

guru atas inovasi mereka dalam mengajar (R 2 = 0,05; p = 0,044), dan

penghargaan atas peningkatan proses pengajaran sepanjang waktu (R 2 =

0,26; p = 0,001) penting untuk membuat para guru mengajar lebih

baik. Secara konsisten, seperti dilaporkan oleh kepala sekolah (Tabel 2)

PURWAWACANA 281

keyakinan dan persepsi guru terpengaruh positif sejauh mana mereka

mendukung sistem insentif (β = 0,25; p = 0,001). Sebaliknya, hukuman

untuk guru yang berkinerja buruk memengaruhi tolok ukur pertama (β =

-0,31; p = 0,001) karena hal ini secara positif diperhitungkan sejauh mana

kepala sekolah sering memberi umpan balik kepada guru untuk praktik

mengajar mereka yang baik dalam mengajar karakter (R2 = 0,07; p =

0,019).

Akhirnya, guru Pendidikan Kewarganegaraan adalah salah satu

yang mempengaruhi praktik baik dalam mengajar karakter (R 2 = 0,37; p

= 0,001); guru sains (β = -0,14; p = 0,03) dan guru IPS (β = -0,09, p = 0,04)

secara negatif dikaitkan dengan tolok ukur (lihat Tabel 2). Temuan ini

realistis karena guru Pendidikan Kewarganegaraan memiliki lebih

banyak pengalaman daripada yang lain dalam mengajar siswa tentang

hak dan kewajiban sebagai warga negara Indonesia pada semua jenjang

sekolah (Budimansyah, 2012).

Kesimpulan

Kajian ini menemukan bahwa guru Pendidikan Kewarganegaraan telah

memiliki beberapa pengalaman di dalam praktik dan keterlibatan dalam

kegiatan pengembangan profesionalisme pada pendidikan karakter, lebih

dari mereka yang mengajar mata pelajaran lain. Program pelatihan guru

dalam jabatan di sekolah memberikan efek terkuat pada persepsi guru

(Suryadi, Rosyidi & Budimansyah, 2017); secara konsisten jumlah hari

dimana guru terlibat dalam pengembangan profesional juga berpengaruh

penting. Namun, efek dari program pelatihan berbasis sekolah hanya

berkategori perlu saja. Agar mencukupi, perlu mempertimbangkan

variabel efek sekolah lainnya. Temuan menunjukkan bahwa guru akan

merasakan dan berlatih lebih baik dalam mengajar karakter jika mereka

diberi kesempatan untuk bekerja bersama, misalnya, melalui diskusi

berkelanjutan, berbagi ide dan praktik terbaik, dan melakukan

pembelajaran berbasis proyek bersama di sekolah (Budiansyah, Suharto &

Nurulpaik, 2019). Beberapa variabel manajemen sekolah telah

memberikan efek yang kuat, seperti pemberian insentif dari kepala

sekolah, penghargaan, dan umpan balik berkelanjutan. Hal ini akan

memberi efek lebih kuat jika insentif, penghargaan dan umpan balik

terintegrasi dan tertanam dalam sistem manajemen sekolah (Asmendri,

2014).

282 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Akhirnya, sebagai pemimpin, kepala sekolah harus melakukan

strategi „rock their boats‟ 'antara dua faktor pendorong, yakni tekanan

orang tua dan motivasi guru. Secara eksternal, tekanan orang tua yang

kuat terhadap sekolah telah mendorong sekolah untuk menyiapkan

sumber daya pendidikan dan membuat iklim sekolah kondusif untuk

pembelajaran (Attard, Loio, Geven & Santa, 2010). Secara internal, kepala

sekolah diwajibkan untuk mengembangkan dan mengimplementasikan

program pelatihan berbasis sekolah sebagai lembaga otonom. Ini adalah

upaya lokal yang dikembangkan dari kebijakan nasional. Pengembangan

profesionalisme guru secara berkelanjutan adalah tugas yang sangat

penting bagi kepala sekolah; guru di sekolah membutuhkan dukungan

untuk belajar, berdiskusi, dan berbagi praktik terbaik mereka secara terus

menerus (Walker, David & Kelly, 2017). Ini harus diperkuat melalui

upaya sistem kebijakan dalam bentuk insentif, hadiah, dan mekanisme

umpan balik bagi guru untuk mempertahankan keyakinan, motivasi, dan

praktik pendidikan karakter di sekolah (Suryadi Rosyidi, &

Budimansyah, 2017).

PURWAWACANA 283

5. MENUMBUHKAN KARAKTER BERBAGI

PENGETAHUAN (KNOWLEDGE SHARING)

MELALUI MATA KULIAH UMUM DI

PERGURUAN TINGGI

Pendahuluan

Mata Kuliah Umum (MKU) merupakan kelompok mata kuliah yang

mengemban misi nasional mencerdaskan kehidupan bangsa melalui

koridor “value-based education” yang perlu diwujudkan warganegara

menjadi insan religius, bermoral Pancasila, dan cinta tanah air Indonesia

(Winataputra & Budimansyah, 2014). Merujuk pada pemikiran tersebut

maka MKU merupakan subjek pembelajaran yang sangat relevan bagi

mahasiswa calon guru agar pada saatnya mereka menjadi guru dapat

menyelenggarakan proses pembelajaran yang berbasis nilai moral

Pancasila apapun mata pelajaran yang diampunya (Tjalla, 2019).

Namun, sejak diimplementasikan pada jenjang pendidikan tinggi

MKU menghadapi kendala kekurangan jumlah dosen, mutunya yang

belum merata dan perkuliahan masih didominasi pendekatan yang

berpusat pada dosen, sehingga mahasiswa menjadi pasif. Dengan

demikian, pelaksanaan MKU tidak mengarah pada misi sebagaimana

seharusnya (Budimansyah, 2017; Nurdin, 2017). Inilah isu strategis dalam

penyelenggaraan MKU di perguruan tinggi (PT) Indonesia, termasuk

pada LPTK yakni kekurangan jumlah dosen, mutunya belum merata, dan

perkuliahan belum behasil membina mahasiswa melek informasi dan

pengetahuan (Scott, 2015).

Menjawab permasalahan tersebut penelitian ini mengembangkan

sistem blended learning (BL). BL yang menjadi tren internasional pada

jenjang pendidikan tinggi (Pima, Odetayo, Iqbal, & Sedoyeka, 2018)

merupakan sistem pembelajaran yang banyak diminati dan efektif untuk

memadukan perkuliahan tatap muka dengan sistem pembelajaran yang

berbasis e-learning (Bujdosó, Novac & Szimkovics, 2017; Vollmar, Mayer,

Ostermann, 2010; Watson, 2008). Sistem ini akan tetap dapat

memanfaatkan keunggulan perkuliahan tatap muka untuk

mengembangkan komunikasi insani antarmahasiswa, dosen, dan

lingkungan sosial lainnya Boelens, DeWever & Voet, 2017). Bersamaan

dengan itu dapat pula memanfaatkan keunggulan sistem pembelajaran

284 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

berbasis e-learning (Henrie, Bodily, Manwaring & Graham, 2015) untuk

memberikan akses belajar yang sangat luas sehingga dapat menyiasati

keterbatasan jumlah dosen pada PT multi kampus dengan banyak kelas

(Henrie, Bodily, Manwaring & Graham, 2015). BL menjadi pendekatan

yang menguntungkan karena beragamnya peluang pembelajaran yang

diciptakan (Diep, Zhu, Cocquyt, De Greef, Vo & Vanwing, 2019). Oleh

karena itu melalui BL MKU akan dapat diberdayakan menjadi lebih

bermakna, terintegrasi, berbasis nilai, menantang, dan mengaktifkan

(Law, Geng & Li, 2019).

Pengunaan sistem BL dengan demikian merupakan jalan tengah

untuk menutupi kelemahan sistem belajar “tatap muka” yang kurang

memandirikan peserta didik (López-Pérez, Pérez-López &

RodríguezAriza, 2011), sekaligus menutupi kelemahan sistem belajar

“online penuh” yang kurang mengembangkan interaksi sosial (Boelens,

DeWever & Voet, 2017). Inilah keunggulan sistem BL yang menjadi

luaran penelitian ini untuk pembelajaran MKU pada LPTK. Melalui

pengalaman belajar yang mengkombinasikan sistem “tatap muka” dan

“online” secara seimbang mahasiswa calon guru didorong untuk dapat

membangun pengetahuannya yang luas, membina sikap, dan mengasah

ketrampilan yang bermakna bagi profesinya kelak (Hilliard, 2015).

Penelitian ini bertujuan (1) Menghasilkan rekomendasi dan

Prototipe BL MKU Pendidikan Pancasila (PP) dan Pendidikan

Kewarganegaraan (PKN; (2) Menghasilkan rekomendasi dan Produk BL

MKU PP dan PKN; (3) Menghasilkan Bussiness Plan BL MKU PP dan

PKN. Adapun urgensi penelitian adalah bahwa BL efektif untuk

menanggulangi kekurangan jumlah dosen MKU yang bermutu. Sistem

ini juga diyakini dapat menutupi kelemahan sistem belajar “tatap muka”

yang kurang memandirikan mahasiswa, sekaligus menutupi kelemahan

sistem belajar “online penuh” yang kurang mengembangkan interaksi

sosial.

Mata Kuliah Umum Mengemban Misi General Education

Dalam wacana pendidikan istilah pendidikan umum (general education)

sering dipertukarkan dengan pendidikan liberal (liberal arts) karena

fungsinya hampir sama, yaitu menyiapkan individu sebagai pribadi

utuh, bukannya menyiapkan tenaga vokasional. Perbedaannya,

PURWAWACANA 285

pendidikan liberal terfokus pada mata pelajaran sebagai warisan tradisi

(klasik) dan lebih mengembangkan aspek intelektual. Pendidikan umum

lebih berfokus pada pengembangan pribadi dalam skala yang lebih luas

tidak sekadar aspek intelektual, tetapi semua aspek, yaitu intelektual,

emosi, sosial, dan moral peserta didik. Dalam konteks ini Mata Kuliah

Umum lebih terwadahi oleh pendidikan umum daripada oleh

pendidikan liberal (Newton, 2000).

Beberapa orang melihat sejumlah kelemahan dalam pendidikan

liberal, antara lain, sebagai berikut. (1) Orientasi yang berlebihan

terhadap teks klasik menutup pintu bagi pengetahuan terkini yang

merupakan buah dari kemajuan ilmu dan teknologi terbaru yang sulit

dihindari; (2) Orientasi pada pengembangan intelektual bisa

mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan seutuhnya, seiring dengan

perkembangan masyarakat yang semakin kompleks; (3) Spesialisasi yang

berlebihan seperti tampak pada mata-mata pelajaran bisa berarti reduksi

terhadap kemanusiaan secara keseluruhan. Spesialisasi itu

mempersempit diri sementara tantangan hidup semakin mengglobal,

kompleks, dan interdisipliner (Gless & Smith (Eds.),1992.

Dalam konteks Amerika Serikat (AS) ada sejumlah hal yang

melatarbelakangi munculnya pendidikan umum sebagai berikut

(Lowenstein, 2015). Pertama, bagi mayoritas mahasiswa dan orangtua

masuk perguruan tinggi (PT) adalah untuk mendapatkan gelar yang

berguna untuk mendapatkan pekerjaan. Banyak yang masuk PT dengan

tujuan yang spesifik misalnya menjadi dokter, insinyur, akuntan, atau

pebisnis. Alasan atau sikap pragmatik atau utilitarian approach demikian

itu diperkuat oleh permintaan perusahaan akan lulusan yang memiliki

keterampilan spesifik dan praktis. Mahasiswa dan PT dengan sendirinya

pasti merespon postif terhadap tuntutan pasar ini, dan PT pasti

mengubah-suai kurikulum demi tuntunan pasar itu.

Kedua, pertumbuhan penduduk, industrualisasi, dan

perkembangan teknologi komunikasi menuntut adanya profesi-profesi

baru. Maka lahirlah masifikasi pendidikan tinggi, yakni upaya

menyediakan kesempatan bagi sebanyak mungkin lulusan. Fenomena ini

menghendaki metode penyampaian pendidikan massal yang lebih

menekankan transmisi pengetahuan dan penyiapan bagi karier

profesional yang jauh lebih penting daripada pembentukan karakter.

Pendangkalan karakter inilah yang dihujat oleh Allan Bloom dalam

286 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

bukunya The Closing of the American Mind dalam Levine & Barder (2014),

dan yang menantang sejumlah ahli mengembangkan model pendidikan

karakter untuk anak muda, misalnya Teaching Respect and

Responsibility (Lickona, 2004), Sekolah Karakter (Megawangi, 2017), dan

Proyek Belajar Karakter (Budimansyah, 2018).

Ketiga, PT di AS berada pada persimpangan jalan, apakah mau

merespon tantangan pragmatik yakni tunduk pada kekuatan pasar kerja,

atau mempertahankan pendidikan umum untuk menyiapkan warga

negara yang baik dan berguna yang mampu belajar sepanjang hayat.

Karena tuntutan pasar yang semakin dahsyat, tampaknya studi

humaniora kurang diminati mahasiswa. Di AS kini tercatat hanya 13%

mahasiswa S-1 yang memilih jurusan (major) humaniora, 7% memilih

sains, dan 15% memilih ilmu-ilmu sosial. Ini menunjukkan bahwa bagi

generasi muda sekarang ini studi humaniora kurang relevan. Mereka

lebih memilih jurusan bisnis, akuntansi, dan rekayasa (Duderstadt, 2000).

Dari pembahasan ini kita meyakini perlunya redefinisi pendidikan

umum untuk abad ke-21 sekarang.

Bila pada ranah filsafat pendidikan ada tarik-menarik antara

kekuatan Pendidikan umum (general education) dengan kekuatan

profesional (specialization), maka pada tataran kelembagaan ada tarik-

menarik antara unit pengelola MKU atau core curriculum dengan

kelompok bidang studi atau jurusan (departmen). Harus diingat bahwa

nilai-nilai dan keterampilan yang diajarkan lewat MKU memperluas

wawasan dan membantu mahasiswa untuk berfungsi maksimal dalam

masyarakat. Namun, banyak mahasiswa melihat MKU ini sebagai

tambahan yang menganggu bidang studi pilihannya. Studi yang

dilakukan oleh The Carnegie Foundation for the Advancement of Teaching

(1987) menyimpulkan bahwa MKU ditawarkan oleh hampir 95%

program S-1 di AS dan mahasiswa memilihnya. Walau begitu, MKU itu

dipersepsi sebagai the neglected stepchild of the undergraduate experience

(Egan, 2015). Mata kuliah yang lazim diwajibkan adalah bahasa Inggris,

filsafat, peradaban Barat, dunia ketiga, dan pendidikan internasional, dan

semakin banyak yang memilih literasi komputer, matematika, dan seni.

Namun hampir 60% PT mewajibkan bahasa Inggris, matematika, dan

seni. Peran pendidikan umum adalah sebagai jembatan penghubung

berbagai disiplin ilmu, dan MKU harus menghubungkan kurikulum

dengan kehidupan nyata. Pendekatan yang ditempuh adalah the

PURWAWACANA 287

integrated core sebagai berikut. By the integrated core we mean a program of

general education that introduces students not only to essential knowledge, but

also to connections across the disciplines, and, in the end, to the application of

knowledge to life beyond the campus. The integrated core concerns itself with the

universal experiences that are common to all people, with those shared activities

without which human relationships are diminished and the quality of life reduced

(Boyer dalam Bowler, Donovan & Hanneman (Bowler, Donovan &

Hanneman, 2003).

Berikut adalah elaborasi dan aplikasi dari kutipan di atas dalam

konteks Indonesia: Pertama, MKU membekali mahasiswa pengetahuan

dasar, yakni pengetahuan yang berguna bagi disiplin apapun juga.

Pengetahuan dasar seperti menulis, matematik, sains; berpikir kritis,

belajar yang terintegrasi dan teraplikasi; dan etika, kerja sama,

kebhinekaan, dan belajar sepanjang hayat akan sangat berguna bagi

bidang atau spesialisasi apapun. Kedua, MKU membantu mahasiswa

memahami keterkaitan antara satu ilmu dengan ilmu lainnya. Mahasiswa

jurusan sastra misalnya akan lebih arif, komprehensif, dan kritis melihat

sastra setelah ia mendapatkan pencerahan dari dosen Pendidikan Agama

Islam ketika menjelaskan tradisi sastra, khususnya puisi, bangsa Arab

jahiliyyah saat Islam diturunkan kepada Nabi Muhammad. Dengan kata

lain, MKU mestinya menjadi solusi untuk mengatasi sempitnya

spesialisasi (bidang studi). Ketiga, MKU mengajari mahasiswa

bagaimana mengaplikasikan ilmu yang diperoleh di bangku kuliah

dalam kehidupan nyata sehari-hari di dalam dan di luar kampus setelah

wisuda. Mata kuliah KKN (Kuliah Kerja Nyata) bila didesain dengan

baik akan membantu mahasiswa memahami aplikasi ilmu pengetahuan

dalam kehidupan sehari-hari. Keempat, MKU berkaitaan dengan

pengalaman manusia secara universal, sehingga pengalaman ini akan

meningkatkan saling memahami dan menghargai sesama manusia. Nilai-

nilai kemanusiaan terkikis ketika manusia tidak memahami dirinya

sendiri. Pendidikan umum mendidik manusia untuk memahami dirinya

sendiri, lalu memahami orang lain selain dirinya.

Diana G. Oblinger dan Anne-Lee Verville dalam What Business

Wants from Higher Education (1998) membuat senarai sifat-sifat

perorangan yang dikehendaki oleh para manajer perusahaan. Sikap-sikap

ini sangat universal (berlaku umum, makanya disebut general education),

diperlukan pada segala bidang kehidupan oleh siapapun dengan

288 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

spesialisasi apa pun. Banyak alumni sadar setelah mereka bekerja di

perusahaan, bahwa sifat-sifat demikian itu buah hasil dari pendidikan

umum.

1. Knowledge both real and potential (actual expertise and the ability to

acquire knowledge.

2. Willingness and ability to learn and continue learning throughout life.

3. Flexibility and adaptability to respond to change, to anticipate change and

to lead change.

4. Self–management skills, such as self-discipline, ability to deal with stress,

prioritization, planning and an ability to juggle several things at once.

5. Self-motivation, ranging from being a self-starter to seeing things through

a conclusion, including such characteristics as resilience, tenacity and

determination.

6. Positive self-image, including self-confidence, self-awareness, self-belief,

self- sufficiency, self-direction, and self-promotion.

7. Ability to communicate, formally and informally, with a wide range of

people.

8. Ability to relate to and feel comfortable with people at all levels in the

organization as well as those outside the organization, and to be able to

make and maintain relationships as circumstances change.

9. Ability to work effectively in teams—often more than one team at once—

and to be able to readjust roles from one project situation to another in an

ever-shifting work environment.

Sembilan kompetensi di atas merupakan Jampe Hirup (Sunda:

jampi-jampi kehidupan) yang bersifat umum, yakni berguna bagi siapa

saja. Semua itu esensi kemanusiaan bukan substansi formal (mata-mata

kuliah program studi yang dikenal dalam kurikulum PT). Dosen

departemen/program studi (bukan pengajar MKU) sebenarnya dapat

mengajarkan semua itu dengan menyisipkannya dalam perkuliahan.

Akan tetapi fakta menunjukkan bahwa mereka itu pada umumnya

terpenjara oleh spesialisasinya, dan cenderung ber-a priori bahwa MKU

itu kurang bermanfaat. MKU yang benar sejatinya harus dilandasi filsafat

pendidikan yang lurus, jadi harus ditangani oleh tim dosen secara

profesional, yakni oleh mereka yang memiliki wawasan luas, bukan

“gerombolan kuda dengan tutup mata”. Dalam konteks inilah arti

pentingnya penggunaan sistem blended lerning dalam pembelajaran MKU

PURWAWACANA 289

di LPTK agar dosen yang sedikit (namun bermutu) dapat mengajar

banyak mahasiswa calon guru dengan beragam layanan instruksional

yang cocok untuk pengembangkan kecakapan abad ke-21 (Scott, 2015).

Apa dan mengapa Blended Learning?

Blended Learning (BL) adalah sistem pembelajaran yang memadukan

perkuliahan tatap muka (face to face) dengan sistem pembelajaran yang

berbasis e-learning baik secara offline maupun online (Vollmar, Mayer &

Ostermann, 2010; Porter, Graham, Spring & Welch, 2014; Watson, 2008).

Sistem ini dapat dikatakan sebagai pembaruan karena penyampaian

materi dapat dilakukan di dalam kelas dan online (Clement, Vandeputa

&, Osaera, 2016). Kombinasi pembelajaran ini dapat dilakukan secara

baik antara pembelajaran tatap muka dimana pengajar dan pebelajar

dapat bertatap muka dan bertemu langsung dan pembelajaran melalui

media online yang bisa diakses kapan pun dan di mana pun (Diep, Zhu,

Cocquyt, De Greef, Vo & Vanwing, 2019). Blended learning menjadi siasat

atas persoalan terbatasnya waktu belajar akibat kekurangan tenaga

pengajar misalnya dan mudahnya pebelajar merasa cepat bosan dalam

proses pembelajaran konvensional, disamping merupakan tuntutan

perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin luas

dan masif (Clement, Vandeputa &, Osaera, 2016).

BL dikembangkan karena kelemahan-kelemahan yang muncul pada

pembelajaran tatap muka (face-to- face) dan e-learning jika digunakan

secara terpisah. Oleh karenanya motivasi penggunaan model ini adalah

untuk memanfaatkan keunggulan keduanya dan sekaligus menghindari

kelemahannya (Boelens, DeWever & Voet, 2017). BL juga terbukti lebh

efektif dalam memingkatkan prestasi belajar. Dalam hal pencapaian hasil

belajar, kondisi kelas BL melebihi kondisi kelas pembelajaran

konvensional, yaitu sekitar sepertiga dari standar deviasi (g + = 0,334, k =

117, p <0,001) (Bernard, Borokhovski, Schmid, Tamim & Abrami, 2014).

Sejumlah pakar lain berdasarkan hasil penelitiannya melaporkan

bahwa sistem BL amat relevan dengan karakteristik pendekatan dan

metodologi pendidikan masa depan (Guo, 2019; Cai, Yang, Gong,

MacLeod & Zhu, 2019; Jong, 2019). Pertama, aktivitas belajar di ruang

kelas mengalami pembalikan (flipped classroom). Dengan fasilitas e-

learning, peserta didik bisa memiliki lebih banyak kesempatan belajar

290 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

pada aneka tempat dan waktu bahkan bisa belajar jarak jauh. Moda

belajar ini menurut sejumlah penelitian terbukti dapat digunkan untuk

meningkatkan proses pemerolehan pengetahuan baru (Simonova, 2019).

Aktivitas belajar tatap muka di ruang kelas bisa kebalikan dari

pendekatan pembelajaran konvensional. Aspek-aspek teoretis yang

biasanya disampaikan di ruang kelas bisa dipelajari di luar kelas, dosen

dapat memantau kemajuan aktivitas online mereka untuk dianalisis

kegagalan atau keberhasilan mahasiswa dalam mencapai tujuan belajar

(Schwarzenberg, Navon & Pérez-Sanagustín, 2019). Sebaliknya aspek-

aspek praktis yang biasanya menjadi pekerjaan rumah justru dikerjakan

di ruang kelas secara interaktif. Ruang kelas menjadi wahana

mendiskusikan hal-hal yang belum jelas, juga menjadi ajang kerja

kelompok untuk mengaitkan hal-hal yang teoretis ke dalam praktik.

Perpaduan aktivitas online dan pembahasan secara interaktif di ruang

kelas akan berdampak pada peroleh pengetahuan yang mendalam bagi

para mahasiswa (Rizvi, Rienties, Rogaten & Kizilcec, 2019).

Kedua, pembelajaran mengalami personalisasi (personalizing

learning) dimana pebelajar akan belajar sesuai dengan kapasitas dirinya.

Mereka yang memiliki kecakapan di atas rata-rata pada subjek-subjek

tertentu akan ditantang dengan tugas dan pertanyaan yang lebih berat.

Adapun yang mengalami kesulitan belajar akan mendapatkan

kesempatan lebih banyak sehingga bisa mencapai level yang

dikehendaki. Pendidik akan dapat mengenali secara lebih jelas, siapa-

siapa yang memerlukan bantuan dan dalam bidang apa. Dengan begitu

peserta didik mendapatkan penguatan (reinforcement) secara positif, yang

bisa mengatasi kehilangan kepercayaan diri yang selanjutnya akan

tumbuh sikap belajar, mengubah perilaku belajar dan akhirnya

meningkatkan kasil belajar (Hui, Li, Qian & Kwok, 2019).

Ketiga, meskipun setiap subjek pembelajaran mengarah pada tujuan

yang sama akan tetapi pebelajar dapat memodifikasi proses belajarnya

dengan alat-alat pembelajaran yang dirasa cocok dengannya. Dengan

demikian pebelajar akan belajar dengan beragam peralatan, program,

dan teknik sesuai dengan preferensinya (free choice). Oleh karena itu

pebelajar seyogianya disertakan dalam penyusunan kurikulum dan para

pendidik hendaknya lebih berperan sebagai mentor pendamping,

pengarah, pendorong, dan penghubung peserta didik dengan dunia luar.

Dalam konsep Alamary, Sheard & Carbone [45] para pebelajar

PURWAWACANA 291

seyogianya disertakan dalam menyusun pendekatan yang tepat bagi

mereka.

Keempat, mengikuti kecenderungan pilihan karier pekerjaan di era

baru, yang tidak terlalu terikat (freelance), peserta didik hari ini harus

diadaptasikan pada praktik pembelajaran dan pekerjaan berbasis proyek

(project based learning). Mereka harus belajar menerapkan ketrampilannya

dalam ragam situasi, seperti ketrampilan memecahkan masalah,

berkolaborasi, dan pengaturan waktu sebagai modal dasar untuk

dikembangkan pada karier mereka di masyarakat.

Kelima, kurikulum seyogianya memberikan lebih banyak ruang

bagi peserta didik untuk menjalani pemagangan, proyek kolaborasi, dan

mentoring. Oleh karena itu pembelajaran harus melakukan perluasan

pengalaman lapangan (field experience) bagi peserta didik untuk meraih

ketrampilan dalam dunia nyata sesuai dengan preferensinya.

Untuk menyempurnakan kelima karakteristik pendekatan dan

metodologi pendidikan masa depan, system BL dapat digunakan untuk

mengasah kemampuan literasi peserta didik, yakni menumbuhkan minat

baca, tradisi menulis dan menutur (Alammary, Sheard & Carbone, 2014).

Terasahnya daya interpretasi, daya baca, daya tulis, dan daya menutur

peserta didik akan menjadi landasan pengembangan kreativitas (Adha,

Budimansyah & Sapriya , 2019).

Berdasarkan pandangan pakar sebagaimana diuraikan di muka

dapat disarikan bahwa penggunaan system BL dalam perkuliahan MKU

memiliki beberapa keunggulan sebagai berikut. (1) mahasiswa dapat

dengan leluasa mempelajari materi pelajaran secara mandiri dengan

memanfaatkan materi yang tersedia secara online; (2) mahasiswa juga

tetap dapat berkomunikasi dan berdiskusi dengan dosen dan mahasiswa

lainnya baik di ruang kelas pada saat pembelajaran tatap muka maupun

dalam forum diskusi online; (3) kegiatan Pembelajaran online yang

dilakukan peserta didik di luar jam tatap muka dapat dikelola dan

dikontrol dengan baik oleh dosen; (4) dosen dapat menambahkan materi

pengayaan melalui fasilitas internet; (5) dosen dapat menyiapkan Rencana

Pembelajaran Semester (RPS) maupun tugas-tugas sebelum pembelajaran;

(6) dosen juga dapat menyelenggarakan kuis, memberikan balikan, dan

memanfaatkan hasil tes dengan efektif; (7) sementara mahasiswa dapat

saling menyampaikan dan menerima pengetahuan secara online

(knowledge sharing). Demikianlah tinjauan pustaka mendudukperkarakan

292 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

sistem BL sebagai moda pembelajaran yang sangat menjanjikan.

Self-Efficacy (SE)

Deskripsi tentang variabel Self-Efficacy (SE) akan dijelaskan berdasarkan

10 aspek yang dioperasionalkan, yakni: 1)Mengupload rangkuman dari

bahan bacaan, 2) Mengupload video tugas perkuliahan, 3) Mengupload

video tugas perkuliahan pada youtube untuk berbagi pengetahuan, 4)

Mengupload video tugas perkuliahan pada youtube membuktikan

kemampuan diri, 5) Mengupload video tugas perkuliahan pada youtube

menunjukkan prestasi di kelas, 6) Mengupload video tugas perkuliahan

pada youtube menunjukkan prestise, 7) Berbagi pengetahuan kepada

teman-teman tidak cukup dilakukan dalam diskusi kelas, 8) Berbagi

pengetahuan melalu Webinar lebih menarik, 9) Berbagi pengetahuan

melalui video pada youtube dapat menjangkau sasaran lebih luas, dan

10) Berbagi pengetahuan melalui video pada youtube sangat menarik

dan menyenangkan.

Berdasarkan data yang terkumpul dari 146 mahasiswa yang

dijadikan responden menunjukkan bahwa, terdapat 5 aspek yang sering

dilakukan dan 5 aspek lainnya kadang-kadang dilakukan oleh para

mahasiswa. Untuk lebih jelasnya mengenai gambaran dari ke sepuluh

aspek tersebut dapat dilihat pada tabel 3.1 berikut ini.

Tabel 3.1

Deskripsi Variabel Self-Efficacy (SE)

Aspek Variabel Self-Efficacy

(SE) N Minimum Maximum Mean

Std.

Deviation

1. Mengupload rangkuman

dari bahan bacaan pada

spada.upi.edu sangat baik

untuk berbagi pengetahuan

kepada orang lain.

146 1 5 4,16 ,855

PURWAWACANA 293

2. Mengupload video tugas

perkuliahan pada

spada.upi.edu sangat baik

untuk berbagi pengetahuan

kepada orang lain.

146 2 5 4,19 ,782

3. Mengupload video tugas

perkuliahan pada youtube

sangat baik untuk berbagi

pengetahuan kepada orang

lain.

146 1 5 4,27 ,881

4. Mengupload video tugas

perkuliahan pada youtube

membuktikan dan

menunjukkan diri saya

kepada teman-teman.

146 1 5 3,76 ,985

5. Mengupload video tugas

perkuliahan pada youtube

menunjukkan prestasi saya

di kelas.

146 1 5 3,35 ,987

6. Mengupload video tugas

perkuliahan pada youtube

menunjukkan prestise saya

di antara teman-teman.

146 1 5 3,34 ,992

7. Berbagi pengetahuan

kepada teman-teman tidak

cukup dilakukan dalam

diskusi kelas.

146 1 5 4,08 ,943

8. Berbagi pengetahuan

melalu Webinar lebih

menarik.

146 1 5 3,68 ,908

9. Berbagi pengetahuan

melalui video pada youtube

dapat menjangkau sasaran

lebih luas.

146 3 5 4,23 ,768

294 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

10. Berbagi pengetahuan

melalui video pada youtube

sangat menarik dan

menyenangkan.

146 1 5 3,93 ,852

Penjelasan tabel 3.1 di atas, secara rinci terkait dengan 10 aspek yang

dikaji dapat dikemukan berikut ini.

Pertama, kondisi para mahasiswa dalam mengupload rangkuman

dari bahan bacaan pada spada.upi.edu sangat baik untuk berbagi

pengetahuan kepada orang lain, memperoleh mean = 4,16. Artinya, rata –

rata para mahasiswa sering bahkan selalu melakukan aktivitas tersebut.

Secara rinci mengenai aspek ini dapat dilihat pada lampiran 2, tabel 1

dimana terdapat 117 mahasiswa dari 146 mahasiswa yang menyatakan,

sering sebanyak 39,73% dan selalu sebanyak 40,41%. Secara visual

kondisi aspek ini dapat dilihat pada pie chart 3.1.

Pie Chart 3.1

Mengupload rangkuman dari bahan bacaan

kedua, Mengupload video tugas perkuliahan pada spada.upi.edu sangat

baik untuk berbagi pengetahuan kepada orang lain, memperoleh mean =

4,19. Artinya, rata – rata para mahasiswa sering bahkan selalu melakukan

aktivitas tersebut. Secara rinci mengenai aspek ini dapat dilihat pada

lampiran 2, tabel 2 dimana terdapat 121 mahasiswa dari 146 mahasiswa

yang menyatakan, sering sebanyak 43,84% dan selalu sebanyak 39,04%.

Secara visual kondisi aspek ini dapat dilihat pada pie chart 3.2.

PURWAWACANA 295

Pie Chart 3.2

Mengupload video tugas perkuliahan pada spada.upi.edu

Ketiga, Mengupload video tugas perkuliahan pada youtube sangat baik

untuk berbagi pengetahuan kepada orang lain, memperoleh mean = 4,27.

Artinya, rata – rata para mahasiswa sering bahkan selalu melakukan

aktivitas tersebut. Secara rinci mengenai aspek ini dapat dilihat pada

lampiran 2, tabel 2 dimana terdapat 118 mahasiswa dari 146 mahasiswa

yang menyatakan, sering sebanyak 30,82% dan selalu sebanyak 50,00%.

Secara visual kondisi aspek ini dapat dilihat pada pie chart 3.3.

Pie Chart 3.3

Mengupload video tugas perkuliahan pada youtube

Keempat, mengupload video tugas perkuliahan pada youtube

membuktikan dan menunjukkan diri saya kepada teman-teman,

memperoleh mean = 4,76. Artinya, rata – rata para mahasiswa sering

296 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

bahkan selalu melakukan aktivitas tersebut. Secara rinci mengenai aspek

ini dapat dilihat pada lampiran 2, tabel 2 dimana terdapat 91 mahasiswa

dari 146 mahasiswa yang menyatakan, sering sebanyak 37,67% dan selalu

sebanyak 24,66%. Secara visual kondisi aspek ini dapat dilihat pada pie

chart 3.4.

Pie Chart 3.4

Mengupload video tugas perkuliahan pada youtube untuk

membuktikan dan menunjukkan Kemampuan diri

Kelima, mengupload video tugas perkuliahan pada youtube

menunjukkan prestasi saya di kelas, memperoleh mean = 3,35. Artinya,

rata – rata para mahasiswa sering bahkan selalu melakukan aktivitas

tersebut. Secara rinci mengenai aspek ini dapat dilihat pada lampiran 2,

tabel 2 dimana terdapat 66 mahasiswa dari 146 mahasiswa yang

menyatakan, sering sebanyak 34,93% dan selalu sebanyak 10,27%. Secara

visual kondisi aspek ini dapat dilihat pada pie chart 3.5.

PURWAWACANA 297

Pie Chart 3.5

Mengupload video tugas perkuliahan pada youtube

menunjukkan prestasi di kelas

Keenam, mengupload video tugas perkuliahan pada youtube

menunjukkan prestise saya di antara teman-teman, memperoleh mean =

3,34. Artinya, rata – rata para mahasiswa sering bahkan selalu melakukan

aktivitas tersebut. Secara rinci mengenai aspek ini dapat dilihat pada

lampiran 2, tabel 2 dimana terdapat 61 mahasiswa dari 146 mahasiswa

yang menyatakan, sering sebanyak 29,45% dan selalu sebanyak 12,33%.

Secara visual kondisi aspek ini dapat dilihat pada pie chart 3.6.

Pie Chart 3.6

Mengupload video tugas perkuliahan

pada youtube menunjukkan prestise

298 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Ketujuh, berbagi pengetahuan kepada teman-teman tidak cukup

dilakukan dalam diskusi kelas, memperoleh mean = 4,08. Artinya, rata

– rata para mahasiswa sering bahkan selalu melakukan aktivitas

tersebut. Secara rinci mengenai aspek ini dapat dilihat pada lampiran 2,

tabel 2 dimana terdapat 109 mahasiswa dari 146 mahasiswa yang

menyatakan, sering sebanyak 34,93% dan selalu sebanyak 39,73%.

Secara visual kondisi aspek ini dapat dilihat pada pie chart 3.7.

Pie Chart 3.7

Berbagi pengetahuan kepada teman-teman

Kedelapan, berbagi pengetahuan melalu Webinar lebih menarik,

memperoleh mean = 3,68. Artinya, rata – rata para mahasiswa sering

bahkan selalu melakukan aktivitas tersebut. Secara rinci mengenai aspek

ini dapat dilihat pada lampiran 2, tabel 2 dimana terdapat 79 mahasiswa

dari 146 mahasiswa yang menyatakan, sering sebanyak 32,19% dan selalu

sebanyak 21,92%. Secara visual kondisi aspek ini dapat dilihat pada pie

chart 3.8.

PURWAWACANA 299

Pie Chart 3.8

Berbagi pengetahuan melalu Webinar lebih menarik

Kesembilan, berbagi pengetahuan melalui video pada youtube dapat

menjangkau sasaran lebih luas, memperoleh mean = 4,23. Artinya, rata –

rata para mahasiswa sering bahkan selalu melakukan aktivitas tersebut.

Secara rinci mengenai aspek ini dapat dilihat pada lampiran 2, tabel 2

dimana terdapat 116 mahasiswa dari 146 mahasiswa yang menyatakan,

sering sebanyak 36,30% dan selalu sebanyak 43,15%. Secara visual

kondisi aspek ini dapat dilihat pada pie chart 3.9.

Pie Chart 3.9

Berbagi pengetahuan melalui video pada youtube

dapat menjangkau sasaran lebih luas.

300 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Kesepuluh, berbagi pengetahuan melalui video pada youtube sangat

menarik dan menyenangkan, memperoleh mean = 3,93. Artinya, rata –

rata para mahasiswa sering bahkan selalu melakukan aktivitas tersebut.

Secara rinci mengenai aspek ini dapat dilihat pada lampiran 2, tabel 2

dimana terdapat 101 mahasiswa dari 146 mahasiswa yang menyatakan,

sering sebanyak 41,10% dan selalu sebanyak 28,08%. Secara visual

kondisi aspek ini dapat dilihat pada pie chart 3.10.

Pie Chart 3.10

Berbagi pengetahuan melalui video pada youtube

sangat menarik dan menyenangkan.

Web Use Satisfaction

Deskripsi tentang variabel Web Use Satisfaction (WUS) akan dijelaskan

berdasarkan 10 aspek yang dioperasionalkan, yakni:

1. Kemampuan dalam mengikuti perkuliahan MKU Pendidikan

Kewarganegaraan dan/atau MKU Pendidikian Pancasila dengan

sistem pembelajaran Blended Learning.

2. Hambatan belajar dalam target pencapaian hasil belajar

perkuliahan MKU Pendidikan Kewarganegaraan dan/atau MKU

Penduidikan Pancasila.

PURWAWACANA 301

3. Tugas-tugas perkuliahan MKU Pendidikan Kewarganegaraan

dan/atau MKU Pendidikan Pancasila yang menggunakan sistem

pembelajaran Blended Learning merupakan suatu tantangan bukan

hambatan untuk meraih prestasi belajar yang tinggi.

4. Potensi belajar yang memadai untuk mengikuti pembelajaran MKU

Pendidikan Kewarganegaraan dan/atau MKU Pendidikan

Pancasila dengan sistem pembelajaran Blended Learning

menggunakan model Flipped Classroom dimana kegiatan belajar

dibagi tiga.

5. Semangat juang dan tidak mudah menyerah ketika mengalami

hambatan dalam menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan MKU

Pendidikan Kewarganegaraan dan/atau MKU Pendidikan

Pancasila.

6. Komitmen untuk menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan MKU

Pendidikan Kewarganegaraan dan/atau MKU Pendidikan

Pancasila.

7. Kemampuan menyikapi situasi dan kondisi yang beragam dalam

perkuliahan MKU Pendidikan Kewarganegaraan dan/atau MKU

Pendidikan Pancasila dengan sikap positif.

8. Mengikuti perkuliahan MKU Pendidikan Kewarganegaraan

dan/atau MKU Pendidikan Pancasila dengan baik karena

menggunakan pengalaman pribadi ataupun pengalaman orang lain

ketika berhasil menanggulangi hambatan belajar.

9. Menampilkan sikap yang menunjukkan keyakinan diri pada

seluruh proses pekerjaan merupakan tipikal pribadi saya dalam

mengikuti perkuliahan MKU Pendidikan Kewarganegaraan

dan/atau MKU Pendidikan Pancasila.

10. Kinerja dalam perkuliahan MKU Pendidikan Kewarganegaraan

dan/atau MKU Pendidikan Pancasila dapat memperoleh nilai

maksimal.

Berdasarkan data yang terkumpul dari 146 mahasiswa yang dijadikan

responden menunjukkan bahwa, terdapat 8 aspek memiliki

kategori sangat baik dan 2 aspek lainnya baik. Untuk lebih jelasnya

mengenai gambaran dari ke sepuluh aspek tersebut dapat dilihat

pada tabel 3.2 berikut ini.

302 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Tabel 3.2

Deskripsi Variabel Web Use Satisfaction (WUS)

N Minimum Maximum Mean

Std.

Deviation

1. Saya yakin

dengan kemampuan

yang ada pada diri

saya akan berhasil

dalam mengikuti

perkuliahan MKU

Pendidikan

Kewarganegaraan

dan/atau MKU

Pendidikian

Pancasila dengan

sistem pembelajaran

Blended Learning.

146 3 5 4,17 ,678

2. Hambatan belajar

yang saya temui

dapat diatasi

dengan baik

sehingga tidak

mengganggu target

pencapaian hasil

belajar perkuliahan

MKU Pendidikan

Kewarganegaraan

dan/atau MKU

Penduidikan

Pancasila.

146 1 5 3,90 ,746

PURWAWACANA 303

3. Bagi saya tugas-

tugas perkuliahan

MKU Pendidikan

Kewarganegaraan

dan/atau MKU

Pendidikan

Pancasila yang

menggunakan

sistem pembelajaran

Blended Learning

merupakan suatu

tantangan bukan

hambatan untuk

meraih prestasi

belajar yang tinggi.

146 1 5 4,10 ,794

4. Saya memiliki

potensi belajar yang

memadai untuk

mengikuti

pembelajaran MKU

Pendidikan

Kewarganegaraan

dan/atau MKU

Pendidikan

Pancasila dengan

sistem pembelajaran

Blended Learning

menggunakan

model Flipped

Classroom dimana

kegiatan belajar

dibagi tiga

146 2 5 3,99 ,743

304 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

5. Saya memiliki

semangat juang dan

tidak mudah

menyerah ketika

mengalami

hambatan dalam

menyelesaikan

tugas-tugas

perkuliahan MKU

Pendidikan

Kewarganegaraan

dan/atau MKU

Pendidikan

Pancasila.

146 3 5 4,21 ,742

6. Komitmen saya

untuk

menyelesaikan

tugas-tugas

perkuliahan MKU

Pendidikan

Kewarganegaraan

dan/atau MKU

Pendidikan

Pancasila sangat

tinggi.

146 3 5 4,18 ,724

7. Saya mampu

menyikapi situasi

dan kondisi yang

beragam dalam

perkuliahan MKU

Pendidikan

Kewarganegaraan

dan/atau MKU

Pendidikan

Pancasila dengan

sikap positif.

146 3 5 4,27 ,657

PURWAWACANA 305

8. Saya dapat

mengikuti

perkuliahan MKU

Pendidikan

Kewarganegaraan

dan/atau MKU

Pendidikan

Pancasila dengan

baik karena

menggunakan

pengalaman pribadi

ataupun

pengalaman orang

lain ketika berhasil

menanggulangi

hambatan belajar.

146 3 5 4,16 ,702

9. Menampilkan

sikap yang

menunjukkan

keyakinan diri pada

seluruh proses

pekerjaan

merupakan tipikal

pribadi saya dalam

mengikuti

perkuliahan MKU

Pendidikan

Kewarganegaraan

dan/atau MKU

Pendidikan

Pancasila.

146 3 5 4,03 ,704

306 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

10. Saya amat yakin

kinerja saya dalam

perkuliahan MKU

Pendidikan

Kewarganegaraan

dan/atau MKU

Pendidikan

Pancasila dapat

memperoleh nilai

maksimal.

146 3 5 4,21 ,716

Penjelasan tabel 3.2 di atas, secara rinci terkait dengan 10 aspek yang

dikaji dapat dikemukan dari jawaban mahasiswa terhadap pernyataan

yang diajukan berikut ini.

Pertama, Saya yakin dengan kemampuan yang ada pada diri saya akan

berhasil dalam mengikuti perkuliahan MKU Pendidikan

Kewarganegaraan dan/atau MKU Pendidikian Pancasila dengan sistem

pembelajaran Blended Learning, memperoleh mean = 4,17. Artinya, rata –

rata para mahasiswa setuju bahkan sangat setuju terhadap aktivitas

tersebut. Secara rinci mengenai aspek ini dapat dilihat pada lampiran 2,

tabel 11 dimana terdapat 123 mahasiswa dari 146 mahasiswa yang

menyatakan, setuju sebanyak 51,37% dan sangat setuju sebanyak 32,88%.

Secara visual kondisi aspek ini dapat dilihat pada pie chart 3.11.

Pie Chart 3.11

Saya yakin dengan kemampuan yang ada pada diri saya akan berhasil

dalam mengikuti perkuliahan MKU Pendidikan Kewarganegaraan

dan/atau MKU Pendidikian Pancasila dengan sistem pembelajaran

Blended Learning

PURWAWACANA 307

Kedua, hambatan belajar yang saya temui dapat diatasi dengan baik

sehingga tidak mengganggu target pencapaian hasil belajar perkuliahan

MKU Pendidikan Kewarganegaraan dan/atau MKU Penduidikan

Pancasila, memperoleh mean = 3,90. Artinya, rata – rata para mahasiswa

setuju bahkan sangat setuju terhadap aktivitas tersebut. Secara rinci

mengenai aspek ini dapat dilihat pada lampiran 2, tabel 12 dimana

terdapat 105 mahasiswa dari 146 mahasiswa yang menyatakan, setuju

sebanyak 51,37% dan sangat setuju sebanyak 20,55%. Secara visual

kondisi aspek ini dapat dilihat pada pie chart 3.12.

Pie Chart 3.12

Hambatan belajar yang saya temui dapat diatasi dengan baik sehingga

tidak mengganggu target pencapaian hasil belajar perkuliahan MKU

Pendidikan Kewarganegaraan dan/atau MKU Penduidikan Pancasila

Ketiga, bagi saya tugas-tugas perkuliahan MKU Pendidikan

Kewarganegaraan dan/atau MKU Pendidikan Pancasila yang

menggunakan sistem pembelajaran Blended Learning merupakan suatu

tantangan bukan hambatan untuk meraih prestasi belajar yang tinggi,

memperoleh mean = 4,10. Artinya, rata – rata para mahasiswa setuju

bahkan sangat setuju terhadap aktivitas tersebut. Secara rinci mengenai

aspek ini dapat dilihat pada lampiran 2, tabel 13 dimana terdapat 112

mahasiswa dari 146 mahasiswa yang menyatakan, setuju sebanyak

41,78% dan sangat setuju sebanyak 34,93%. Secara visual kondisi aspek

ini dapat dilihat pada pie chart 3.13.

308 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Pie Chart 3.13

Bagi saya tugas-tugas perkuliahan MKU Pendidikan Kewarganegaraan

dan/atau MKU Pendidikan Pancasila yang menggunakan sistem

pembelajaran Blended Learning merupakan suatu tantangan bukan

hambatan untuk meraih prestasi belajar yang tinggi

Keempat, saya memiliki potensi belajar yang memadai untuk mengikuti

pembelajaran MKU Pendidikan Kewarganegaraan dan/atau MKU

Pendidikan Pancasila dengan sistem pembelajaran Blended Learning

menggunakan model Flipped Classroom dimana kegiatan belajar dibagi

tiga, memperoleh mean = 4,21. Artinya, rata – rata para mahasiswa setuju

bahkan sangat setuju terhadap aktivitas tersebut. Secara rinci mengenai

aspek ini dapat dilihat pada lampiran 2, tabel 14 dimana terdapat 118

mahasiswa dari 146 mahasiswa yang menyatakan, setuju sebanyak

47,26% dan sangat setuju sebanyak 26,03%. Secara visual kondisi aspek

ini dapat dilihat pada pie chart 3.14.

PURWAWACANA 309

Pie Chart 3.14

Saya memiliki potensi belajar yang memadai untuk mengikuti

pembelajaran MKU Pendidikan Kewarganegaraan dan/atau MKU

Pendidikan Pancasila dengan sistem pembelajaran Blended Learning

menggunakan model Flipped Classroom dimana kegiatan belajar

dibagi tiga

Kelima, saya memiliki semangat juang dan tidak mudah menyerah ketika

mengalami hambatan dalam menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan

MKU Pendidikan Kewarganegaraan dan/atau MKU Pendidikan

Pancasila, memperoleh mean = 4,21. Artinya, rata – rata para mahasiswa

setuju bahkan sangat setuju terhadap aktivitas tersebut. Secara rinci

mengenai aspek ini dapat dilihat pada lampiran 2, tabel 15 dimana

terdapat 118 mahasiswa dari 146 mahasiswa yang menyatakan, setuju

sebanyak 41,10% dan sangat setuju sebanyak 39,73%. Secara visual

kondisi aspek ini dapat dilihat pada pie chart 3.15.

310 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Pie Chart 3.15

Saya memiliki semangat juang dan tidak mudah menyerah ketika

mengalami hambatan dalam menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan

MKU Pendidikan Kewarganegaraan dan/atau MKU Pendidikan

Pancasila

Keenam, komitmen saya untuk menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan

MKU Pendidikan Kewarganegaraan dan/atau MKU Pendidikan

Pancasila sangat tinggi, memperoleh mean = 4,18. Artinya, rata – rata para

mahasiswa setuju bahkan sangat setuju terhadap aktivitas tersebut. Secara

rinci mengenai aspek ini dapat dilihat pada lampiran 2, tabel 16 dimana

terdapat 119 mahasiswa dari 146 mahasiswa yang menyatakan, setuju

sebanyak 44,52% dan sangat setuju sebanyak 36,99%. Secara visual

kondisi aspek ini dapat dilihat pada pie chart 3.16.

PURWAWACANA 311

Pie Chart 3.16

Komitmen saya untuk menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan MKU

Pendidikan Kewarganegaraan dan/atau MKU Pendidikan Pancasila

sangat tinggi.

Ketujuh, saya mampu menyikapi situasi dan kondisi yang beragam dalam

perkuliahan MKU Pendidikan Kewarganegaraan dan/atau MKU

Pendidikan Pancasila dengan sikap positif, memperoleh mean = 4,27.

Artinya, rata – rata para mahasiswa setuju bahkan sangat setuju terhadap

aktivitas tersebut. Secara rinci mengenai aspek ini dapat dilihat pada

lampiran 2, tabel 17 dimana terdapat 129 mahasiswa dari 146 mahasiswa

yang menyatakan, setuju sebanyak 50,00% dan sangat setuju sebanyak

38,36%. Secara visual kondisi aspek ini dapat dilihat pada pie chart 3.17.

312 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Pie Chart 3.17

Saya mampu menyikapi situasi dan kondisi yang beragam dalam

perkuliahan MKU Pendidikan Kewarganegaraan dan/atau MKU

Pendidikan Pancasila dengan sikap positif.

Kedelapan, saya dapat mengikuti perkuliahan MKU Pendidikan

Kewarganegaraan dan/atau MKU Pendidikan Pancasila dengan baik

karena menggunakan pengalaman pribadi ataupun pengalaman orang

lain ketika berhasil menanggulangi hambatan belajar, memperoleh mean

= 4,16. Artinya, rata – rata para mahasiswa setuju bahkan sangat setuju

terhadap aktivitas tersebut. Secara rinci mengenai aspek ini dapat dilihat

pada lampiran 2, tabel 18 dimana terdapat 120 mahasiswa dari 146

mahasiswa yang menyatakan, setuju sebanyak 48,63% dan sangat setuju

sebanyak 33,56%. Secara visual kondisi aspek ini dapat dilihat pada pie

chart 3.18.

.

PURWAWACANA 313

Pie Chart 3.18

Saya dapat mengikuti perkuliahan MKU Pendidikan Kewarganegaraan

dan/atau MKU Pendidikan Pancasila dengan baik karena

menggunakan pengalaman pribadi ataupun pengalaman orang lain

ketika berhasil menanggulangi hambatan belajar.

Kesembilan, menampilkan sikap yang menunjukkan keyakinan diri pada

seluruh proses pekerjaan merupakan tipikal pribadi saya dalam

mengikuti perkuliahan MKU Pendidikan Kewarganegaraan dan/atau

MKU Pendidikan Pancasila, memperoleh mean = 4,03. Artinya, rata – rata

para mahasiswa setuju bahkan sangat setuju terhadap aktivitas tersebut.

Secara rinci mengenai aspek ini dapat dilihat pada lampiran 2, tabel 19

dimana terdapat 112 mahasiswa dari 146 mahasiswa yang menyatakan,

setuju sebanyak 50,68% dan sangat setuju sebanyak 26,03%. Secara visual

kondisi aspek ini dapat dilihat pada pie chart 3.19

314 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Pie Chart 3.19

Menampilkan sikap yang menunjukkan keyakinan diri pada seluruh

proses pekerjaan merupakan tipikal pribadi saya dalam mengikuti

perkuliahan MKU Pendidikan Kewarganegaraan dan/atau MKU

Pendidikan Pancasila

Kesepuluh, saya amat yakin kinerja saya dalam perkuliahan MKU

Pendidikan Kewarganegaraan dan/atau MKU Pendidikan Pancasila

dapat memperoleh nilai maksimal, memperoleh mean = 4,21. Artinya, rata

– rata para mahasiswa setuju bahkan sangat setuju terhadap aktivitas

tersebut. Secara rinci mengenai aspek ini dapat dilihat pada lampiran 2,

tabel 20 dimana terdapat 121 mahasiswa dari 146 mahasiswa yang

menyatakan, setuju sebanyak 44,52% dan sangat setuju sebanyak 38,36%.

Secara visual kondisi aspek ini dapat dilihat pada pie chart 3.20.

PURWAWACANA 315

Pie Chart 3.20

Saya amat yakin kinerja saya dalam perkuliahan MKU Pendidikan

Kewarganegaraan dan/atau MKU Pendidikan Pancasila dapat

memperoleh nilai maksimal

User Acceptance

Deskripsi tentang variabel User Acceptance (UA) akan dijelaskan

berdasarkan 10 aspek yang dioperasionalkan, yakni:

1. Tampilan http://spada.upi.edu sangat menarik dan user friendly

2. Saya dapat login ke spada.upi.edu dengan mudah

3. Saya dapat dengan mudah melakukan self enrollment untuk

masuk kedalam matakuliah daring di spada.upi.edu

4. Saya dapat mengakses bahan ajar yang bervariatif dan

menyenangkan di laman spada.upi.edu

5. Saya dapat berbagi pengetahuan dengan mudah melalui forum

diskusi yang tersedia

6. Saya dapat mengerjakan tugas dengan mudah melalui tugas-tugas

yang tersedia

7. Saya dapat mengerjakan soal latihan, kuis dan tes lainnya di laman

spada.upi.edu

8. Saya dapat mengikuti perkuliahan daring darimana saja dan kapan

saja melalui laman spada.upi.edu

316 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

9. Saya dapat memonitor kemajuan belajar saya melalui menu Grade

hasil dari penilaian tugas, forum diskusi, kuis atau ujian lainnya

10. Adanya feedback dari dosen dalam fitur di spada.upi.edu untuk

forum diskusi, tugas dan lainnya sangat memotivasi saya dalam

mengikuti pembelajaran daring.

Berdasarkan data yang terkumpul dari 146 mahasiswa yang dijadikan

responden menunjukkan bahwa, semua aspek memiliki kategori baik.

Untuk lebih jelasnya mengenai gambaran dari ke sepuluh aspek tersebut

dapat dilihat pada tabel 3.3 berikut ini.

Tabel 3.3

Deskripsi Variabel Knowledge Sharing (KSI)

N Minimum Maximum Mean

Std.

Deviation

1. Tampilan

http://spada.upi.edu

sangat menarik dan

user friendly

146 1 5 4,15 ,866

2. Saya dapat login

ke spada.upi.edu

dengan mudah

146 2 5 4,50 ,736

3. Saya dapat dengan

mudah melakukan

self enrollment untuk

masuk kedalam

matakuliah daring di

spada.upi.edu

146 1 5 4,17 ,905

PURWAWACANA 317

4. Saya dapat

mengakses bahan

ajar yang bervariatif

dan menyenangkan

di laman

spada.upi.edu

146 2 5 4,28 ,759

5. Saya dapat berbagi

pengetahuan dengan

mudah melalui

forum diskusi yang

tersedia

146 1 5 4,21 ,838

6. Saya dapat

mengerjakan tugas

dengan mudah

melalui tugas-tugas

yang tersedia

146 1 5 4,16 ,811

7. Saya dapat

mengerjakan soal

latihan, kuis dan tes

lainnya di laman

spada.upi.edu

146 3 5 4,45 ,665

8. Saya dapat

mengikuti

perkuliahan daring

darimana saja dan

kapan saja melalui

laman spada.upi.edu

146 2 5 4,46 ,735

9. Saya dapat

memonitor kemajuan

belajar saya melalui

menu Grade hasil

dari penilaian tugas,

forum diskusi, kuis

atau ujian lainnya

146 2 5 4,36 ,778

318 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

10. Adanya feedback

dari dosen dalam

fitur di

spada.upi.edu untuk

forum diskusi, tugas

dan lainnya sangat

memotivasi saya

dalam mengikuti

pembelajaran daring.

146 3 5 4,42 ,722

Penjelasan tabel 3.3 di atas, secara rinci terkait dengan 10 aspek yang

dikaji dapat dikemukan dari jawaban mahasiswa terhadap pernyataan

yang diajukan berikut ini.

Pertama, tampilan http://spada.upi.edu sangat menarik dan user

friendly, memperoleh mean = 4,15. Artinya, rata – rata para mahasiswa

setuju bahkan sangat setuju terhadap aktivitas tersebut. Secara rinci

mengenai aspek ini dapat dilihat pada lampiran 2, tabel 21 dimana

terdapat 119 mahasiswa dari 146 mahasiswa yang menyatakan, setuju

sebanyak 42,47% dan sangat setuju sebanyak 39,04%. Secara visual

kondisi aspek ini dapat dilihat pada pie chart 3.21.

Pie Chart 3.21

1Tampilan http://spada.upi.edu sangat menarik dan user friendly

PURWAWACANA 319

Kedua, saya dapat login ke spada.upi.edu dengan mudah, memperoleh

mean = 4,50. Artinya, rata – rata para mahasiswa setuju bahkan sangat

setuju terhadap aktivitas tersebut. Secara rinci mengenai aspek ini dapat

dilihat pada lampiran 2, tabel 22 dimana terdapat 131 mahasiswa dari 146

mahasiswa yang menyatakan, setuju sebanyak 27,40% dan sangat setuju

sebanyak 62,33%. Secara visual kondisi aspek ini dapat dilihat pada pie

chart 3.22.

Pie Chart 3.22

Saya dapat login ke spada.upi.edu dengan mudah

Ketiga, saya dapat dengan mudah melakukan self enrollment untuk

masuk kedalam matakuliah daring di spada.upi.edu, memperoleh mean =

4,17. Artinya, rata – rata para mahasiswa setuju bahkan sangat setuju

terhadap aktivitas tersebut. Secara rinci mengenai aspek ini dapat dilihat

pada lampiran 2, tabel 23 dimana terdapat 115 mahasiswa dari 146

mahasiswa yang menyatakan, setuju sebanyak 34,93% dan sangat setuju

sebanyak 43,84%. Secara visual kondisi aspek ini dapat dilihat pada pie

chart 3.23.

320 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Pie Chart 3.23

Saya dapat dengan mudah melakukan self enrollment untuk masuk

kedalam matakuliah daring di spada.upi.edu

Keempat, saya dapat mengakses bahan ajar yang bervariatif dan

menyenangkan di laman spada.upi.edu, memperoleh mean = 4,28.

Artinya, rata – rata para mahasiswa setuju bahkan sangat setuju terhadap

aktivitas tersebut. Secara rinci mengenai aspek ini dapat dilihat pada

lampiran 2, tabel 24 dimana terdapat 125 mahasiswa dari 146 mahasiswa

yang menyatakan, setuju sebanyak 41,10% dan sangat setuju sebanyak

44,52%. Secara visual kondisi aspek ini dapat dilihat pada pie chart 3.24.

Pie Chart 3.24

Saya dapat mengakses bahan ajar yang bervariatif dan

menyenangkan di laman spada.upi.edu

PURWAWACANA 321

Kelima, saya dapat berbagi pengetahuan dengan mudah melalui forum

diskusi yang tersedia, memperoleh mean = 4,21. Artinya, rata – rata para

mahasiswa setuju bahkan sangat setuju terhadap aktivitas tersebut. Secara

rinci mengenai aspek ini dapat dilihat pada lampiran 2, tabel 25 dimana

terdapat 118 mahasiswa dari 146 mahasiswa yang menyatakan, setuju

sebanyak 37,67% dan sangat setuju sebanyak 43,15%. Secara visual

kondisi aspek ini dapat dilihat pada pie chart 3.25.

Pie Chart 3.25

Saya dapat berbagi pengetahuan dengan mudah melalui forum diskusi

yang tersedia

Keenam, saya dapat mengerjakan tugas dengan mudah melalui tugas-

tugas yang tersedia, memperoleh mean = 4,16. Artinya, rata – rata para

mahasiswa setuju bahkan sangat setuju terhadap aktivitas tersebut. Secara

rinci mengenai aspek ini dapat dilihat pada lampiran 2, tabel 26 dimana

terdapat 115 mahasiswa dari 146 mahasiswa yang menyatakan, setuju

sebanyak 39,73% dan sangat setuju sebanyak 39,04%. Secara visual

kondisi aspek ini dapat dilihat pada pie chart 3.26.

322 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Pie Chart 3.26

Saya dapat mengerjakan tugas dengan mudah melalui tugas-tugas yang

tersedia

Ketujuh, saya dapat mengerjakan soal latihan, kuis dan tes lainnya di

laman spada.upi.edu, memperoleh mean = 4,45. Artinya, rata – rata para

mahasiswa setuju bahkan sangat setuju terhadap aktivitas tersebut. Secara

rinci mengenai aspek ini dapat dilihat pada lampiran 2, tabel 27 dimana

terdapat 132 mahasiswa dari 146 mahasiswa yang menyatakan, setuju

sebanyak 36,30% dan sangat setuju sebanyak 54,11%. Secara visual

kondisi aspek ini dapat dilihat pada pie chart 3.27.

Pie Chart 3.27

Saya dapat mengerjakan soal latihan, kuis dan tes lainnya di laman

spada.upi.edu

PURWAWACANA 323

Kedelapan, saya dapat mengikuti perkuliahan daring darimana saja dan

kapan saja melalui laman spada.upi.edu, memperoleh mean = 4,46.

Artinya, rata – rata para mahasiswa setuju bahkan sangat setuju terhadap

aktivitas tersebut. Secara rinci mengenai aspek ini dapat dilihat pada

lampiran 2, tabel 28 dimana terdapat 131 mahasiswa dari 146 mahasiswa

yang menyatakan, setuju sebanyak 31,51% dan sangat setuju sebanyak

58,22%. Secara visual kondisi aspek ini dapat dilihat pada pie chart 3.28.

Pie Chart 3.28

Saya dapat mengikuti perkuliahan daring darimana saja

dan kapan saja melalui laman spada.upi.edu

Kesembilan, saya dapat memonitor kemajuan belajar saya melalui menu

Grade hasil dari penilaian tugas, forum diskusi, kuis atau ujian lainnya,

memperoleh mean = 4,36. Artinya, rata – rata para mahasiswa setuju

bahkan sangat setuju terhadap aktivitas tersebut. Secara rinci mengenai

aspek ini dapat dilihat pada lampiran 2, tabel 29 dimana terdapat 125

mahasiswa dari 146 mahasiswa yang menyatakan, setuju sebanyak

32,88% dan sangat setuju sebanyak 52,74%. Secara visual kondisi aspek

ini dapat dilihat pada pie chart 3.29.

324 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Pie Chart 3.29

Saya dapat memonitor kemajuan belajar saya melalui menu Grade

hasil dari penilaian tugas, forum diskusi, kuis atau ujian lainnya

Kesepuluh, adanya feedback dari dosen dalam fitur di spada.upi.edu

untuk forum diskusi, tugas dan lainnya sangat memotivasi saya dalam

mengikuti pembelajaran daring, memperoleh mean = 4,42. Artinya, rata –

rata para mahasiswa setuju bahkan sangat setuju terhadap aktivitas

tersebut. Secara rinci mengenai aspek ini dapat dilihat pada lampiran 2,

tabel 30 dimana terdapat 126 mahasiswa dari 146 mahasiswa yang

menyatakan, setuju sebanyak 30,82% dan sangat setuju sebanyak 55,48%.

Secara visual kondisi aspek ini dapat dilihat pada pie chart 3.30.

Pie Chart 3.30

Adanya feedback dari dosen dalam fitur di spada.upi.edu untuk forum

diskusi, tugas dan lainnya sangat memotivasi saya dalam mengikuti

pembelajaran daring.

PURWAWACANA 325

Knowledge Sharing

Deskripsi tentang variabel Knowledge Sharing (KS) akan dijelaskan

berdasarkan 3 aspek yang dioperasionalkan, yakni: 1) Mengirim

rangkuman dari bahan bacaan daring, 2) Mengirim Wise

Voice/vlog/presentasi video, dan 3) Mengirim Jawaban UTS berupa

vlog/presentasi video.

Berdasarkan data yang terkumpul dari 146 mahasiswa yang

dijadikan responden menunjukkan bahwa, 2 aspek memiliki kategori

baik bahkan sangat baik, sedangkan 1 aspek lainnya memiliki kategori

cukup baik.. Untuk lebih jelasnya mengenai gambaran dari ketiga aspek

tersebut dapat dilihat pada tabel 3.4 berikut ini.

Tabel 3.4

Deskripsi Variabel Knowledge Sharing (KS)

N Minimum Maximum Mean

Std.

Deviation

1. Mengirim

rangkuman dari

bahan bacaan daring

146 32 85 55,55 9,214

2. Mengirim Wise

Voice/vlog/presentasi

video

146 25 84 69,30 10,441

3. Mengirim Jawaban

UTS berupa

vlog/presentasi video

146 50 96 86,38 8,330

Penjelasan tabel 3.4 di atas, secara rinci terkait dengan 3 aspek yang dikaji

dapat dikemukan berikut ini.

Pertama, mengirim rangkuman dari bahan bacaan daring,

memperoleh mean = 55,55. Artinya, rata – rata para mahasiswa untuk

aktifitas ini termasuk pada kategori cukup baik. Secara rinci mengenai

aspek ini dapat dilihat pada lampiran 2, tabel 31 dimana terdapat 119

atau 81,5% mahasiswa dari 146 mahasiswa memiliki skor antara 41

sampai 60 Secara visual kondisi aspek ini dapat dilihat pada Bar Chart

3.1.

326 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Bar Chart 3.1

Mengirim rangkuman dari bahan bacaan daring

Kedua, mengirim Wise Voice/vlog/presentasi video, memperoleh mean =

69,30. Artinya, rata – rata para mahasiswa untuk aktifitas ini termasuk

pada kategori baik bahkan sangat baik. Secara rinci mengenai aspek ini

dapat dilihat pada lampiran 2, tabel 32 dimana terdapat 138 mahasiswa

dari 146 mahasiswa memiliki skor antara 61 sampai 100, yakni: 71,2%

termasuk pada kategori baik dan 23,3% termasuk pada kategori sangat

baik. Secara visual kondisi aspek ini dapat dilihat pada Bar Chart 3.2.

PURWAWACANA 327

Bar Chart 3.2

Mengirim Wise Voice/vlog/presentasi video

Ketiga, mengirim Jawaban UTS berupa vlog/presentasi video,

memperoleh mean = 86,38. Artinya, rata – rata para mahasiswa untuk

aktifitas ini termasuk pada kategori baik bahkan sangat baik. Secara rinci

mengenai aspek ini dapat dilihat pada lampiran 2, tabel 33 dimana

terdapat 143 mahasiswa dari 146 mahasiswa memiliki skor antara 61

sampai 100, yakni: 26% termasuk pada kategori baik dan 71,9% termasuk

pada kategori sangat baik. Secara visual kondisi aspek ini dapat dilihat

pada Bar Chart 3.3.

328 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Bar Chart 3.3

Mengirim Jawaban UTS berupa vlog/presentasi video

Pengujian Asumsi

Pengujian Distribusi Data

Pengujian untuk distribusi data, digunakan Uji statistik Kolmogorov

Smirnov kriteria pengujian sebagai berikut: Jika nilai Asymp.sig < ɑ (ɑ =

0,05), maka data berdistribusi tidak normal dan Jika nilai Asymp.sig ≥ ɑ

(ɑ = 0,05), maka data berdistribusi normal

Tabel 3.5

Uji Normalitas Data

Sub Struktur Kolmogorov-Smirnova

Statistic df Sig.

Unstandardized Residual Sub Struktur 1 ,046 146 ,200*

Unstandardized Residual Sub Struktur 2 ,084 146 ,054

Unstandardized Residual Sub Struktur 3 ,101 146 ,051

PURWAWACANA 329

Dari tabel tersebut di atas menunjukkan bahwa, nilai signifikansi

unstandardized residual pada pengujian Kolmogorov Smirnov untuk

substruktur 1 sebesar 0,200, sub struktur 2 sebesar 0,054 dan sub struktur

3 sebesar 0,051, semuanya memiliki nilai signifikansi > 0.05, maka dapat

dikatakan data berdistribusi normal.

Pengujian Heteroskedastisitas

Pengujian Heteroskedastisitas dalam penelitian ini, menggunakan

diagram scatterplot. Hasilnya, dapat dilihat berikut ini.

Scaterplot 3.1

Heteroskedastisitas

Berdasarkan Gambar di atas menunjukkan bahwa, tidak ada pola

yang jelas serta titik-titik menyebar pada sumbu Y, maka dapat

dikatakan, model tidak terdapat heterokedastisitas atau variansi dari

residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain sama atau konstan

(homoskedastisitas).

Pengaruh Self-Efficacy dan Web Use Satisfaction melalui Knowledge

Sharing Intention terhadap Knowledge Sharing

Hasil penelitian dan pengolahan data tentang pengaruh Self-Efficacy dan

Web Use Satisfaction melalui Knowledge Sharing Intention terhadap

Knowledge Sharing dapat dikemukakan sebagai berikut ini.

Dari data yang terkumpul, secara deskriptif variabel penelitian yang

dikaji, hasilnya dapat dilihat pada tabel 3.6.

330 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Tabel 3.6

Deskripsi Statistik Variabel Penelitian

N Minimum Maximum Mean

Std.

Deviation

Knowledge Sharing 146 112 251 212,23 25,721

Knowledge Sharing

Intention 146 28 50 43,15 5,828

Web Use

Satisfaction 146 27 50 41,28 5,840

Self-Efficacy 146 20 50 40,08 5,877

Valid N (listwise) 146

Berdasarkan pada tabel di atas, menunjukkan bahwa, dari 146 mahasiswa

yang dijadikan responden, untuk kondisi variabel:

1. Knowledge Sharing (KS) memperoleh nilai mean = 212,23 Artinya,

mengacu pada kategori: 1) 0,00 - 60,00 : tidak baik; 2) 60.01 – 120,00:

kurang baik; 3) 120,01 – 180,00: cukup baik; 4) 180,01 – 240,00: Baik;

dan 5) 240,01 – 300,00: Sangat baik, maka rata-rata Knowledge

Sharing (KS) termasuk pada kategori “baik”

2. User Acceptance (UA) memperoleh nilai mean = 43,15. Artinya,

mengacu pada kategori: 1) 0,00 - 10,00 : tidak baik; 2) 10.01 – 20,00:

kurang baik; 3) 20,01 – 30,00: cukup baik; 4) 30,01 – 40,00: Baik; dan

5) 40,01 – 50,00: Sangat baik, maka rata-rata User Acceptance (UA)

termasuk pada kategori “sangat baik”

3. Web Use Satisfaction (WUS) memperoleh nilai mean = 41,28. Artinya,

mengacu pada kategori: 1) 0,00 - 10,00 : tidak baik; 2) 10.01 – 20,00:

kurang baik; 3) 20,01 – 30,00: cukup baik; 4) 30,01 – 40,00: Baik; dan

5) 40,01 – 50,00: Sangat baik, maka rata-rata Web Use Satisfaction

(WUS) termasuk pada kategori “sangat baik”

4. Self-Efficacy (SE) memperoleh nilai mean = 40,08. Artinya, mengacu

pada kategori: 1) 0,00 - 10,00 : tidak baik; 2) 10.01 – 20,00: kurang

baik; 3) 20,01 – 30,00: cukup baik; 4) 30,01 – 40,00: Baik; dan 5) 40,01

PURWAWACANA 331

– 50,00: Sangat baik, maka rata-rata Self-Efficacy (SE) termasuk pada

kategori “sangat baik”

Selanjutnya, setelah mendapat gambaran kondisi masing-masing

variabel dilakukan pengujian hipotesis penelitian. Pengujian ini, dibagi

ke dalam 3 sub-struktur, yakni:

1. Pengaruh Self-Efficacy dan Web Use Satisfaction terhadap User

Acceptance. Hipotesis yang diajukan adalah:

Hipotesis 1:

H0: Tidak terdapat pengaruh langsung secara signifikan Self-Efficacy

terhadap User Acceptance. Jika nilai Sig. > 0,05

H1: Terdapat pengaruh langsung secara signifikan Self-Efficacy terhadap

User vAcceptance. Jika nilai Sig. < 0,05

Hipotesis 2:

H0: Tidak terdapat pengaruh langsung secara signifikan Web Use

Satisfaction terhadap User Acceptance. Jika nilai Sig. > 0,05

H1: Terdapat pengaruh langsung secara signifikan Web Use Satisfaction

terhadap User Acceptance. Jika nilai Sig. < 0,05

2. Pengaruh Self-Efficacy dan Web Use Satisfaction terhadap Knowledge

Sharing. Hipotesis yang diajukan adalah:

Hipotesis 3:

H0: Tidak terdapat pengaruh langsung secara signifikan Self-Efficacy

terhadap Knowledge Sharing. Jika nilai Sig. > 0,05

H1: Terdapat pengaruh langsung secara signifikan Self-Efficacy terhadap

Knowledge Sharing. Jika nilai Sig. < 0,05

Hipotesis 4:

H0: Tidak terdapat pengaruh langsung secara signifikan Web Use

Satisfaction terhadap Knowledge Sharing. Jika nilai Sig. > 0,05

H1: Terdapat pengaruh langsung secara signifikan Web Use Satisfaction

terhadap Knowledge Sharing. Jika nilai Sig. < 0,05

3. Pengaruh User Acceptance terhadap Knowledge Sharing. Hipotesis

yang diajukan adalah:

Hipotesis 5:

332 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

H0: Tidak terdapat pengaruh langsung secara signifikan User cceptance

terhadap Knowledge Sharing. Jika nilai Sig. > 0,05

H1: Terdapat pengaruh langsung secara signifikan User Accepgtance

terhadap Knowledge Sharing. Jika nilai Sig. < 0,05

Berdasarkan hipotesis penelitian tersebut dan setelah prasyarat analisis ,

selanjutnya dilakukan pengujian dengan menggunakan software SPSS

versi 21. Hasilnya dapat dijelaskan berikut ini.

Hasil pengujian hipotesis pada sub-struktur 1 menunjukan bahwa,

diperoleh nilai R square = 0,675 sehingga diperoleh koefisien determinasi

67,5%. Artinya, naik turunnya variabel Use Acceptance, 67,5% ditentukan

oleh variabel Self-Efficacy dan Web Use Satisfaction. (lihat tabel 4.7)

Tabel 4.7

Hasil Uji Variabel Secara Simultanb

Mode

l R

R

Squar

e

Adjuste

d R

Square

Std.

Error of

the

Estimat

e

Change Statistics

R

Square

Chang

e

F

Chang

e

df

1 df2

Sig. F

Chang

e

1 ,822a

,675 ,670 3,7948 ,675 148,500 2 14

3 ,000

a. Predictors: (Constant), Self-Efficacy, Web Use Satisfaction

b. Dependent Variable: User Acceptance

Adapun pengujian model dilakukan dengan analisis varian (ANOVA)

yang ditujukan mendapatkan syarat apakah pengujian model ini dapat

dilakukan atau tidak. Hasilnya dapat dilihat pada: Tabel 4.8

Tabel 4.8

ANOVAa

Model

Sum of

Squares Df

Mean

Square F Sig.

1 Regression 4276,955 2 2138,478 148,500 ,000b

PURWAWACANA 333

Residual 2059,272 143 14,401

Total 6336,227 145

a. Dependent Variable: User Acceptance

b. Predictors: (Constant), Self-Efficacy, Web Use Satisfaction

Dari tabel tersebut menunjukkan bahwa, diperoleh nilai Sig. = 0,000.

Artinya, model sub-struktur 1 dapat dilakukan. Dan hasilnya, dapat

dilihat pada: Tabel 3.9

Tabel 3.9

Koefisien Jalur Sub-Struktur 1a

Model

Unstandardized

Coefficients

Standardized

Coefficients

T Sig. B

Std.

Error Beta

1 (Constant) 3,728 1,840 2,026 ,045

Web Use

Satisfaction ,373 ,062 ,404 6,016 ,000

Self-Efficacy ,517 ,072 ,485 7,217 ,000

a. Dependent Variable: Knowledge Sharing Intention

Pada tabel 3.9 diperoleh gambaran bahwa, variabel Self-Efficacy dan Web

Use Satisfaction memperoleh nilai Sig. = 0,000. Artinya, Self-Efficacy

dengan koefisien = 0,404 dan Web Use Satisfaction dengan koefisien =

0,485 berpengaruh langsung terhadap User Acceptance.

Sedangkan untuk pengujian jalur sub-struktur 2 dapat dijelaskan

hasilnya sebagai berikut:

Hasil pengujian hipotesis pada sub-struktur 2 menunjukan bahwa,

diperoleh nilai R square = 0,098 sehingga diperoleh koefisien determinasi

9,8%. Artinya, naik turunnya variabel Knowledge Sharing, 9,8% ditentukan

oleh variabel Self-Efficacy, Web Use Satisfaction dan User Acceptance, (lihat

tabel 3.10)

334 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Tabel 3.10

Model Summaryd

Mode

l R

R

Squar

e

Adjuste

d R

Square

Std.

Error of

the

Estimat

e

Change Statistics

R

Square

Chang

e

F

Chang

e

df

1 df2

Sig. F

Chang

e

1 ,313a ,098 ,079 24,689 ,098 5,124 3

14

2 ,002

2 ,307b

,094 ,082 24,649 -,003 ,533 1 14

2 ,467

3 ,304c ,092 ,086 24,593 -,002 ,342 1

14

3 ,560

a. Predictors: (Constant), Self-Efficacy, Web Use Satisfaction, User

Acceptance

b. Predictors: (Constant), Web Use Satisfaction, User Acceptance

c. Predictors: (Constant), Web Use Satisfaction

d. Dependent Variable: Knowledge Sharing

Adapun pengujian model dilakukan dengan analisis varian (ANOVA)

yang ditujukan mendapatkan syarat apakah pengujian model sub-

struktur 2 ini dapat dilakukan atau tidak. Hasilnya dapat dilihat pada:

Tabel 3.11

Tabel 3.11

ANOVAa

Model

Sum of

Squares Df

Mean

Square F Sig.

1 Regression 9369,484 3 3123,161 5,124 ,002b

Residual 86558,057 142 609,564

PURWAWACANA 335

Total 95927,541 145

2 Regression 9044,690 2 4522,345 7,443 ,001c

Residual 86882,851 143 607,572

Total 95927,541 145

3 Regression 8837,028 1 8837,028 14,612 ,000d

Residual 87090,513 144 604,795

Total 95927,541 145

a. Dependent Variable: Knowledge Sharing

b. Predictors: (Constant), Self-Efficacy, Web Use Satisfaction, Usder

Acceptance

c. Predictors: (Constant), Web Use Satisfaction, User Acceptance

d. Predictors: (Constant), Web Use Satisfaction

Dari tabel tersebut menunjukkan bahwa, diperoleh nilai Sig. < 0,05.

Artinya, model sub-struktur 2 dapat dilakukan. Dan hasilnya, dapat

dilihat pada: Tabel 3.12.

Tabel 3.12

Koefisien Jalur Sub-Struktur2a

Model

Unstandardized

Coefficients

Standardized

Coefficients

T Sig. B

Std.

Error Beta

1 (Constant) 179,112 12,144 14,749 ,000

User Acceptance ,477 ,544 ,123 ,877 ,382

Web Use

Satisfaction 1,005 ,452 ,280 2,223 ,028

Self-Efficacy -,397 ,544 -,096 -,730 ,467

2 (Constant) 175,028 10,762 16,264 ,000

Usde Acceptance ,272 ,465 ,070 ,585 ,560

336 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Web Use

Satisfaction ,904 ,430 ,251 2,103 ,037

3 (Constant) 178,382 9,085 19,635 ,000

Web Use

Satisfaction 1,091 ,285 ,304 3,823 ,000

a. Dependent Variable: Knowledge Sharing

Pada tabel 3.12 diperoleh gambaran bahwa, variabel Web Use Satisfaction

memperoleh nilai Sig. = 0,000. Artinya, Web Use Satisfaction dengan

koefisien = 0,304 berpengaruh langsung terhadap Knowledge Sharing.

Dan untuk pengujian jalur sub-struktur 3 dapat dijelaskan hasilnya

berikut ini.

Hasil pengujian hipotesis pada sub-struktur 2 menunjukan bahwa,

diperoleh nilai R square = 0,066 sehingga diperoleh koefisien determinasi

6,6%. Artinya, naik turunnya variabel Knowledge Sharing, 6,6% ditentukan

oleh variabel Knowledge Sharing Intention, (lihat tabel 3.13)

Tabel 3.13

Model Summary

Model R R Square

Adjusted R

Square

Std. Error of

the Estimate

1 ,257a ,066 ,060 24,940

a. Predictors: (Constant), Knowledge Sharing Intention

Adapun pengujian model dilakukan dengan analisis varian (ANOVA)

yang ditujukan mendapatkan syarat apakah pengujian model sub-

struktur 3 ini dapat dilakukan atau tidak. Hasilnya dapat dilihat pada:

Tabel 3.14.

PURWAWACANA 337

Tabel 3.14

ANOVAa

Model

Sum of

Squares Df

Mean

Square F Sig.

1 Regression 6356,892 1 6356,892 10,220 ,002b

Residual 89570,649 144 622,018

Total 95927,541 145

a. Dependent Variable: Knowledge Sharing

b. Predictors: (Constant), User Acceptance

Dari tabel tersebut menunjukkan bahwa, diperoleh nilai Sig. < 0,05.

Artinya, model sub-struktur 3 dapat dilakukan. Dan hasilnya, dapat

dilihat pada: Tabel 3.15.

Tabel 3.15

Koefisien Jalur Sub-Struktur 3a

Model

Unstandardized

Coefficients

Standardized

Coefficients

T Sig. B

Std.

Error Beta

1 (Constant) 178,456 10,763 16,580 ,000

User Acceptance 1,002 ,313 ,257 3,197 ,002

a. Dependent Variable: Knowledge Sharing

Pada tabel 3.15 diperoleh gambaran bahwa, variabel User Acceptance

memperoleh nilai Sig. = 0,002. Artinya, User Acceptance dengan koefisien

= 0,257 berpengaruh langsung terhadap Knowledge Sharing.

Berdasarkan pada hasil pengujian yang telah dilakukan, maka secara

keseluruhan pengaruh Self-Efficacy dan Web Use Satisfaction melalui User

Acceptance terhadap Knowledge Sharing dapat digambarkan sebagai

berikut:

338 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Gambar 4.1

Hasil Pengujian pengaruh Self-Efficacy dan Web Use Satisfaction

melalui

User Acceptance terhadap Knowledge Sharing

Kesimpulan

Kondisi Self-Efficacy (SE) mahasiswa dalam melaksanakan perkuliahan

online termasuk pada kategori sangat baik. Dengan kata lain,

pengetahuan dan pengalaman mahasiswa telah mendasari kemampuan

mereka dalam menjalankan tuntutan tugas perkuliahan yang harus

diselesaikan. Namun demikian terdapat beberapa aspek yang masih

perlu mendapat perhatian terkait dengan Self-Efficacy (SE) mahasiswa,

yakni:

Mengupload video tugas perkuliahan pada youtube membuktikan

kemampuan diri;

Mengupload video tugas perkuliahan pada youtube menunjukkan

prestasi di kelas;

Mengupload video tugas perkuliahan pada youtube menunjukkan

prestise;

Berbagi pengetahuan melalui Webinar lebih menarik,

Berbagi pengetahuan melalui video pada youtube sangat menarik

dan menyenangkan.

Dalam meningkatkan efikasi diri guna mendukung proses

pembelajaran online, seperti: kemampuan mengupload video sebagai

SE

WUS

UA KS 0,485

0,404

0,304

0,257

PURWAWACANA 339

salah satu elemen penting, perlu dibangkitkan keyakinan dan

kepercayaan diri para mahasiswa agar mampu mengikuti perkuliahan

dengan baik termasuk dalam menyelesaikan tugas perkuliahan melalui

media video pada youtube. Kemampuan mengupload video dapat

membuktikan kemampuan diri; prestasi di kelas, prestise. Disamping itu,

kemampuan mengupload video pada youtube atau Webinar perlu terus

dikembangkan agar para mahasiswa mampu menampilkan karya yang

lebih menarik dan menyenangkan yang juga dapat dijadikan wahana

berbagi pengetahuan.

Pentingnya meningkatkan efikasi diri dalam permbelajaran online

sejalan dengan konsep efikasi bahwa efikasi memegang peran yang

sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, seseorang akan mampu

menggunakan potensi dirinya secara optimal apabila efikasi diri

mendukungnya. Salah satu aspek kehidupan yang dipengaruhi oleh

efikasi diri adalah prestasi. Pajares dan Miller (1994) menguji pendapat

Bandura yang menyatakan bahwa efikasi diri merupakan variabel yang

paling berperan untuk memprediksi prestasi mahasiswa [52].

Aspek lainnya yang perlu mendapat perhatian dalam proses

pembelajaran online sebagai media Knowledge Sharing adalah kondisi Web

Use Satisfaction (WUS). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, Web Use

Satisfaction (WUS) para mahasiswa termasuk pada kategori “sangat baik”.

Artinya, hal ini menjadi sebuah potensi positif dalam meningkatkan

kualitas akademik.

Optimalisasi potensi positif dipertahankan dengan lebih

memperhatikan pada aspek:

Hambatan belajar, belum semua mahasiswa dapat mengatasi

hambatan belajar secara maksimal sehingga tidak mengganggu

target pencapaian hasil belajar perkuliahan MKU Pendidikan

Kewarganegaraan dan/atau MKU Penduidikan Pancasila.

Blended Learning, meskipun para mahasiswa memiliki potensi

belajar yang memadai untuk mengikuti pembelajaran MKU

Pendidikan Kewarganegaraan dan/atau MKU Pendidikan

Pancasila dengan sistem pembelajaran Blended Learning, namun

masih ada mahasiswa yang merasa Blended Learning belum dapat

dijalankan secara maksimal.

340 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Blended learning memberikan kesempatan yang terbaik untuk belajar dari

kelas transisi ke e-learning. Blended Learning melibatkan kelas (atau tatap

muka) dan belajar online. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam

menerapkan model Blended Learning diantaranya: 1) Kesulitan membuat

konten e-learning yang menarik, 2) Mempunyai masalah kapasitas dosen

dan ruangan, 3) Mahasiswa yang waktunya terbatas (karyawan), 4)

Literasi Teknologi Dosen dan Mahasiswa cukup, 5) Mahasiswa & Dosen

Punya koneksi internet yang reliable, dan 6) Biaya penyelengaraan

perkuliahan [53].

Dari pejelasan tentang model Blended learning dan kondisi yang

perlu mendapat perhatian adalah adanya hambatan belajar yang bisa jadi

timbul karena konten e-learning, kapasistas dosen dan ruangan serta

literasi teknologi dosen dan mahasiswa.

Disamping kedua variabel yang telah dibahas di atas, satu variabel

berikutnya yang menarik untuk diperhatikan adalah, Kondisi variabel

User Accepance (UA) yang memiliki kategori “sangat baik”. Varibel ini

juga, menjadi salah satu variabel yang potensi positif dalam

meningkatkan kualitas akademik dengan pembelajaran online. Pada

variabel User Acceptance (UA), dari 10 aspek yang dikaji terdapat 3 aspek

yang memiliki skor terendah dibandingkan dengan aspek lainnya, yakni

aspek: 1) Tampilan http://spada.upi.edu dan user friendly, 2)

Kemudahan melakukan self enrollment untuk masuk kedalam

matakuliah daring di spada.upi.edu, dan 3) Kemudahan mengerjakan

tugas melalui tugas-tugas yang tersedia. Ketiga aspek ini, meskipun telah

menjadi aspek yang potensial positif dalam pembelajaran online, namun

kelangsungan aspek ini perlu dipertahakan bahkan ditingkatkan melalui

dukungan fasilitas yang optimal.

Berkaitan dengan fasilitas, karena User Acceptance (UA) berkaitan

dengan mempertahakan proses pembelajaran online, maka setiap

fakultas diisyaratkan memilliki kelas atau ruang yang dilengkapi dengan

komponen yang harus disediakan sebelum melakukan komunikasi

daring yang terbagi ke dalam 3 kelompok, yaitu:

Perangkat keras (hardware) seperti komputer, headset, microphone,

serta perangkat pendukung koneksi Internet.

Komponen perangkat lunak (software) seperti program atau aplikasi

yang dapat digunakan dalam komunikasi daring seperti Google+,

PURWAWACANA 341

Hangouts, FaceTime, Skype, video call, chat , SMS, facebook, e-

mail, forum, rekaman simulasi visual, aplikasi World Wide Web

atau blog, dan lain sebagainya.

Komponen perangkat nalar (brainware) dimana perangkat ini

adalah manusia yang melakukan komunikasi daring tersebut.

Muara dari kajian ini adalah variabel Knowledge Sharing (KS).

Kondisi Knowledge Sharing (KS) termasuk pada kategori “baik”.

Dibandingkan dengan variabel lainnya, Kondisi Knowledge Sharing (KS)

memerlukan perhatian serius, karena berkaitan dengan akhir dari proses

pembelajaran online. Aspek yang dioperasionalkan dalam variabel

Knowledge Sharing (KS) terdiri dari: 1) Mengirim rangkuman dari bahan

bacaan daring, 2) Mengirim Wise Voice/vlog/presentasi video, dan 3)

Mengirim Jawaban UTS berupa vlog/presentasi video.

Ketiga aspek ini, dapat dikatakan sebagai proses penilaian atau

evaluasi terhadap pembelajaran online yang telah dijalankan. Secara

ideal, mutu pencatatan dan evaluasi kemajuan mahasiswa dalam

pembelajaran online dapat dilakukan melalui prosedur: 1) Sistem

penilaian dituliskan dan diinformasikan dengan jelas. 2) Kompetensi atau

capaian belajar dituliskan dengan jelas pada setiap awal kegiatan

pembelajaran. 3) Penilaian dilakukan dalam berbagai bentuk sesuai

dengan prinsip materi yang diberikan. 4) Penilaian diberikan dalam

beberapa tahapan selama proses belajar; dan 5) Setiap faktor yang tertera

dalam sistem penilaian dilampirkan dalam laporan akhir penilaian.

Pembahasan tentang bagaimana pengaruh antara variabel-variabel

eksogen terhadap endogen merupakan bagian yang akan

menggambarkan bagaimana alur yang pembelajaran online. Berdasarkan

pada hasil analisis yang telah dilakukan, terjadi pengaruh Self-Efficacy

dan Web Use Satisfaction melalui User Acceptance terhadap Knowledge

Sharing. Dan Variabel Self-Efficacy (SE) berpengaruh tidak langsung

terhadap variabel Knowledge Sharing (KS) atau variabel Self-Efficacy (SE)

berpengaruh terhadap Knowledge Sharing (KS) melalui variabel User

Acceptance (UA).

Kondisi ini menunjukkan bahwa, Self-Efficacy yang merupakan

visual dari kemampuan para mahasiswa dalam mengikuti pembelajaran

online dan Web Use Satisfaction yang berhubungan dengan penerapan

342 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

model Blended learning sebagai metode perkuliahan yang secara langsung

mempengaruhi User Acceptance yang dipandang sebagai sebuah proses

yang harus didukung secara maksimal oleh fasilitas pembelajaran online

dalam rangka mewujudkan Knowledge Sharing sebagai muara dari sistem

pembelajaran online.

Merujuk pada gambaran tersebut, maka untuk mewujudkan mutu

akademik melalui pembelajaran online perlu dilengkapi sistem

penjaminan mutu (Quality Assurance). Quality Assurance adalah proses

yang pro-aktif yaitu melakukan penekanan terhadap perencanaan,

dokumentasi dan penentuan panduan kualitas pada awal proyek

dimulai untuk memahami persyaratan dan standar kualitas yang

diharapkan. Setelah semua persyaratan dan standar kualitas yang

diinginkan tersebut di-identifikasikan, maka diperlukan pengembangan

perencanaan untuk memenuhi persyaratan dan standar kualitas yang

diinginkan tersebut. Dengan demikian, maka pembelajaran Blended

Learning perlu dilengkapi dengan standar mutu yang dijalankan dan

terdokumentasikan dengan baik.

PURWAWACANA 343

DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, M. (1999). Islam dan Masyarakat Madani, Kompas: 27 Februari 1999

Abdollahi,B.A.,Ghroorehjili, S., and Karimi, M. (2013). The study of indigenous dimensions of the principals‟ instructional leadership role in Iranian elementary schools based on grounded theory.Social and Behavioral Sciences, 89 (2013) 817 – 820.

Abdullah, N.A.W., DeWitt, D. and Alias, N. (2013). School Improvement Efforts and Challenges: A case Study of a Principal Utilizing Information Communication Technology. Social and Behavioral Sciences 103(2013): 791-800.

Abdurrahman, M.(1999) Peran Masyarakat Akademis sebagai Bagian Masyarakat Madani, Kompas: 29 April 1999

Adha, M.M., Budimansyah, D. & Sapriya (2019). Emerging volunteerism for Indonesian millennial generation: Volunteer participation and responsibility, Journal of Human Behavior in the Social Environment, Vol 29(3).

Adisusilo, S., J.R. (2012). Pembelajaran Nilai Karakter, Kontruktivisme dan VCT Sebagai Inovasi Pendekatan Pembelajaran. Jakarta: PT. Rajafindo Persada.

Ahmad, I. (2004a). Civic Education in Pakistan: A Critical Analysis. Human Resource Development Network: ILUME, Januari-Maret, hlm. 12-13.

Ahmad, I. (2004b). Islam, Democracy and Citizenship Education: An Examination of the Social Studies Curriculum in Pakistan. Current Issues in Comparative Education, Vol. 7 No. 1, hlm. 39-49.

Ahmed, S. J. (2001). Schools, Syllabuses, and Human Rights: An Evaluation of Pakistan‟s Education Policy. Asia Pacific Human Rights Information Center. Human Rights Education in Asian Schools, Vol. IV, Osaka: Asia Pacific Human Rights Information Center. pp. 69-76.

Akbar, S. (2000). Prinsip-Prinsip dan Vektor-Vektor Percepatan Proses Internalisasi Nilai Kewirausahaan (Studi pada Pendidikan Visi Pondok Pesantren Daarut -Tauhid Bandung). Bandung: PPS UPI (Disertasi)

344 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Alammary, A., Sheard, J., & Carbone, A. (2014). Blended learning in higher education: Three different design approaches. Australasian Journal of Educational Technology, 30(4). https://doi.org/10.14742/ajet.693

Alexander, A.A. (2016). Teacher Perceptions of the Effectiveness of Character Building Initiatives at an Expeditionary Learning Outward Bound High School". CUNY Academic, Accessed in 17 October 2019: Works.https://academicworks.cuny.edu/gc_etds/1623.

Allen, J.(1960). The Role of Ninth Grade Civics in Citizenship Education. The High School Journal, 44,3: 106-111.

Aminrad, Z., Zakariya, S.Z.S., Hadi, A.S. and Sakari, M. (2013). Relationship Between Awareness, Knowledge And Attitudes Toward Environmental Education Among Seccondary School Student In Malaysia. World Applied Science Journal, 22(9), 1326-1333.

An, Y. (2004). Curriculum Materials Reviews. Journal of Moral Education, Vol. 33, No. 4, December 2004: 625-629.

Anderson, L. W., and Krathwohl, D. R. (Eds.). (2001). A Taxonomy For Learning, Teaching, And Assessing: A Revision Of Bloom’s Taxonomy Of Educational Objectives. New York: Longman.

Arokiasamy, A.R.A., Abdullah, A.G.K. and Ismail, A. (2015). Correlation between cultural perceptions, leadership style and ICT usage by school principals in Malaysia. Social and Behavioral Sciences 176 (2015) 319 – 332.

Arokiasamy, A.R.A., Abdullah, A.G.K. and Ismail, A. (2015). Correlation between cultural perceptions, leadership style and ICT usage by school principals in Malaysia. Social and Behavioral Sciences, 176 (2015) 319 – 332.

Asmendri (2014). The Roles of School Principal in the Implementation of Character Education at Boarding School. Department of Islamic Studies, STAIN Batusangkar, Indonesia. DOI: http://dx.doi.org/10.15548/jt.v21i2.87.

Attard, A., Loio, E.L., Geven, K., & Santa, R. (2010). Student centered learning: An insight into theory and practice. Education and Culture. editor: Angele Attard., Bucharest. European Commission.

Bellah, R. (1999). The Good Society. New York: Vintage Books.

Bennett, W. J. (1986) Education for Democracy in Rauner, M. Civic Education

PURWAWACANA 345

: An Annotated Bibliography. CIVNET

Bernadette, L. D. (2000). Islam, Democracy and Social Studies Education: A Quest for Possibilities. Disertasi Ph.D., Department of Secondary Education University of Alberta, Canada.

Bernard, R. M., Borokhovski, E., Schmid, R. F., Tamim, R. M., & Abrami, P. C. (2014). A meta-analysis of blended learning and technology use in higher education: From the general to the applied. Journal of Computing in Higher Education, 26(1), 87–122. https://doi.org/10.1007/s12528-013-9077-3.

Bertens, K. (1999). Masyarakat Madani dan Prinsip Subsidiaritas. Suara Pembaharuan. 17 Juli 1999

Bertens, K. (2004). Etika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Beyer, L. E. (1988). Can Schools Further Democratic Practices in Rauner, M. Civic Education: An Annotated Bibliography, CIVNET

Bloom, A. (1987). Closing of the American Mind. New York: Simon and Schuster.

Bloom, B.S. (1956). Taxonomy of Educational Objectives, Handbook I: Cognitive Domain, New York: David McKay Company, Inc.

Boelens, R., DeWever, B. & Voet, M. (2017). Four key challenges to the design of blended learning: A systematic literature review, Educational research review, DOI: https://doi.org/10.1016/j.edurev.2017.06.001

Boelens, R., DeWever, B. & Voet, M. (2017). Four key challenges to the design of blended learning: A systematic literature review, Educational research review, DOI: https://doi.org/10.1016/j.edurev.2017.06.001

Boelens, R., DeWever, B. & Voet, M. (2017). Four key challenges to the design of blended learning: A systematic literature review, Educational research review, DOI: https://doi.org/10.1016/j.edurev.2017.06.001

Boggs, D. L. (1991). Civic Education : An Adult Education Imperative, in Rauner, M. Civic Education : An Annotated Bibliography. CIVNET

Bowler, S., Donovan, T. & Hanneman, R. (2003). Art for Democracy‟s Sake? Group membership and political engagement in Rurope, The Journal of Politics, 63(3), pp. 902-915.

Brameld, T. (1965). Education as Power. USA : Holt, Rivehart and Winston, Inc.

Branson, M. S. (1999). Making the Case for Civic Education : Where We Stand at the End of the 20th Centure. Washington, DC: CCE

346 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Branson, M.S. (1998). The Role of Civic Education. A Fortcoming Education Policy Task Force Position Paper From the Communitarian Network.

Brigham, J. (1991). Social psychology. New York: Harper Colling Publisher Inc.

Budiansyah, D., Suharto, N. & Nurulpaik, I. (2019) Character Learning Project to Develop New Literacy in 21st Century, Bandung: Gapura Press.

Budimansyah, D. (2002). Model Pembelajaran dan Penilaian Berbasis Portofolio. Bandung: PT Genesindo.

Budimansyah, D. (2004). Membangkitkan Karsa Umat. Bandung: Penerbit Genesindo Pustaka Utama.

Budimansyah, D. (2007). Pendidikan Demokrasi Sebagai Konteks Civic Education di Negara-negara Berkembang. Acta Civicus, Vol.1 No.1, hlm.11-26.

Budimansyah, D. (2008). Revitalisasi Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Melalui Praktik Belajar Kewarganegaraan (Project Citizen). Acta Civicus, Vol.1 No.2, hlm.179-198.

Budimansyah, D. (2010). Penguatan Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Membangun Karakter Bangsa, bandung: Widya Aksara Press.

Budimansyah, D. (2012). Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter, Bandung: Widya Aksara Press.

Budimansyah, D. (2012). Perancangan Pembelajatran Berbasis Karakter [Character Based Learning Design], Bandung: Widya Aksara Press.

Budimansyah, D. (2017). Potret Penyelenggaraan Mata Kuliah Wajib Umum di Perguruan Tinggi, Penelitian Penugasan, Bandung: Sekolah Pascasarjana UPI.

Budimansyah, D. (2018). Proyek Belajar Karakter: Model Penguatan Pendidikan Karakter di Sekolah, Bandung: Widya Aksara Press.

Budimansyah, D. (eds). (2006). Pendidikan Nilai-Moral dalam Dimensi Pendidikan Kewarganegaraan, Bandung: Laboratorium PKn UPI.

Budimansyah, D., dkk (2013). Naskah Akademik Rancangan Perubahan UUSPN Nomor 20/2003. Jakarta: Komite III DPD RI.

Budimansyah, D., Prihatin, E. dan Agustin, M. (2015). Pemetaan Karakteristik dan Kinerja Kepemimpinan Kepala Sekolah (Cross Sectional Survey di Indonesia). Laporan hasil Penelitian Unggulan Perguruan

PURWAWACANA 347

Tinggi.

Budimansyah, D., Suharto, N., dan Nurulpaik, I. (2016). Pemetaan Karakteristik dan Kinerja Kepemimponan Kepala Sekolah ((Peningkatan Kapasitas Kepala Sekolah Untuk Pengembangan Sekolah Sebagai Institusi Karakter). Laporan hasil Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi.

Budimansyah, D., Yadi R., dan Nandang R. (2010). Model Pendidikan Karakter Di Perguruan Tinggi: Penguatan PKN, Layanan Bimbingan Konseling dan KKN Tematik di Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Bujdosó, G., Novac, O.C. & Szimkovics, T. (2017). Developing cognitive processes for improving inventive thinking in system development using a collaborative virtual reality system, 8th IEEE International Conference on Cognitive Infocommunications (CogInfoCom), pp.79-84.

Caduto, M. J. (1985). A Guide on Environmental Values Education. Paris: UNESCO.

Cai, J., Yang, H. H., Gong, D., MacLeod, J., & Zhu, S. (2019). Understanding the continued use of flipped classroom instruction: A personal beliefs model in Chinese higher education. Journal of Computing in Higher Education, 31(1), 137–155. https://doi.org/10.1007/s12528-018-9196-y

Cai, J., Yang, H. H., Gong, D., MacLeod, J., & Zhu, S. (2019). Understanding the continued use of flipped classroom instruction: A personal beliefs model in Chinese higher education. Journal of Computing in Higher Education, 31(1), 137–155. https://doi.org/10.1007/s12528-018-9196-y

Calhoun, C. J. (2002). Classical sociological theory. Wiley-Blackwell.

CCE (1999). We the People : Teacher’s Guide. Calabasas : CCE

Chen, I. J. (2003). Leadership competencies of vocational high school principals in Taiwan. ASPA Conference paper. ASPA online. Retrieved from http://www.aspa.asn.au/content/view/109/43/

Chen, I.Y.L., Chen, N.-S., & Kinshuk (2009) : Examining the Factors Influencing Participants‟ Knowledge Sharing Behavior in Virtual Learning Communities, Educational Technology & Society, 12 (1), 134–148.

Cheng,Y.C.(1999). Curriculum and Pedagogy in the New Century: Globalization, Localization and Individualization for Multiples Intelligences. Bangkok: UNESCO-ACEID

Choi Tse, T.K. (2000). Deformed Citizenship: a critique of the junior

348 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

secondary Economic and Public Affairs syllabus and textbooks in Hong Kong. Pedagogy, Culture and Society, Volum

CICED (1999a) .The Development of Concept and Content of Civic Education for Indonesian School : Workshop Report. Bandung : CICED

Clement, M., Vandeputa, L. &, Osaera, T. (2016). Blended learning design: a shared experience, Procedia - Social and Behavioral Sciences 228 ( 2016 ) 582 – 586

Cogan, J.J. dan Derricott,R. (1998). Citizenship for the 21st Century; An International Perspective on Education. London: Kogan Page.

Corley, M.C. and Minick, P. (2002). Moral Distress and Moral Comfort, Bioethics Forum 18(1/2), 7-14.

Cravens, X. C., Liu, U., and Grogan, M. (2012). Understanding the Chinese superintendency in the context of quality-oriented

education. Comparative Education Review. 56(2), 270-290.

Creemers, B., Peters, T., and Reynolds, D. 1989. School effectiveness and school improvement. Lisse, The Netherland: Swets & Zeitlinger.

Crowther , F. (2009). Developing Teacher Leaders Second Edition; How Teacher Leadership Enhances School Success. California: Corwin Press dan National Association Of Secondary School Principal.

Culla,A.S.(1999). Masyarakat Madani: Pemikiran, Teori, dan Relevansinya dengan Cita-cita Reformasi. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada

Daniel K. Korir. 2014. “The Impact of School Environment and Peer Influences on Students.” International Journal of Humanities and Social Science Vol. 4, No. 5 (1).

Darajat, Z. (1990). Kesehatan Mental. Jakarta: Haji Masagung.

Desain Induk Pendidikan Karakter Bangsa 2010-2025.

Dewey, J. (2004). Democracy And Education, An Introduction To The Philosophy Of Education. Delhi:Aakar Book.

Diep, A.Ng., Zhu, C., Cocquyt, C., De Greef, M., Vo, M.H. & Vanwing, T. (2019). Adult learners‟ needs in online and blended learning, Australian Journal of Adult Learning 59(2), 224-253.

Diep, A.Ng., Zhu, C., Cocquyt, C., De Greef, M., Vo, M.H. & Vanwing, T. (2019). Adult learners‟ needs in online and blended learning, Australian Journal of Adult Learning 59(2), 224-253.

Doris, J.M. (2002). Lack of Character Personality and Behavior, New York:

PURWAWACANA 349

Cambridge University Press.

Duderstadt, J.J. (2000). A University for the 21st Century. Ann Arbor: The Michigan University Press.

Duran, Y. and de la Vega, P. (2004). Assessment Of Gnetic Variation And Species Relationship In A Collection Of Lens Using RAPD and ISSR. Span J Agri Res 4: 538-544.

Dwey, J. (1960). How We Think, Boston: DC Heath.

Education for Democratic Citizenship Project-EDC (2000). Sites of Citizenship. Strasbourg: Council of Europe.

Egan, K. (2015). Academic Advising in Individualized Major Programs: promoting Three I‟s of General Education, The Journal of General Education, 64(2), pp.75-89. DOI:https://doi.org/10.1353/jpe.2015.0015.

Erdem, M. & Kibar, P.N. (2014). Students' Opinions On Facebook Supported Blended Learning Environment, Computer Education And Instructional Technology, 13(1), 1990206.

Esfahani, A.N. and Pour, M.S. (2013). Effects of entrepreneurial Characteristic of public and private Tehran school principals on evaluation of innovativeness. Social and Behavioral Sciences. 93 (2013) 1736 – 1743

Esposito,J.L. dan Voll, J.O. (1999). Demokrasi di Negara-Negara Islam: Problem dan Propspek. Bandung: Mizan

Estvant, F. J. (1968). Social Studies in Changing World : Curriculum and Instrustion. New York : Harcout, Brace and World

Etzioni, A. (1993). The Spirit of Community: The Reinvention of American Society. New York: Simon and Schuster.

Fitriati, R.,Romdana, R. and Rosyidi, U. (2014). The Practice of the School Principal‟s Leadership in Sekolah Indonesia Kuala Lumpur (SIKL): The Study of Leadership Styles and Techniques with Cognitive Mapping Approach. Social and Behavioral Sciences. 115 (2014) 258 – 268.

Fromm, E. (1997). Lari Dari Kebebasan, penerjemah Khamdani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Gallaher, C. M., et al. (2013). Urban agriculture, social capital, and food

security in the Kibera slums of Nairobi, Kenya. Agric Hum Values,

30, 389–404.

350 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Gandal, M. and Finn, Jr. C. E. (1992). Freedom Papers : Teaching Democracy, USA : United States Information Agency

Giddens, A. (1998). The Third Way: The Renewal of Social Democracy. London: Polity Press.

Glaser, E. M. (1985) Critical Thinking : Educating for Responsible Citizenship in a Democracy in Rauner, M. Civic Education : An Annotated Bibliography, CIVNET

Gless, D. & Smith, B.H. (Eds.)1992. The Politics of Liberal Education. North Carolina: Duke University Press.

Glewwe, P. et.al. (2003). Teacher Incentives. Poverty Action Lab Paper No.

11 April 2003

Guo, J. (2019). The use of an extended flipped classroom model in improving students‟ learning in an undergraduate course. Journal of Computing in Higher Education, 31(2), 362–390. https://doi.org/10.1007/s12528-019-09224-z

Guo, J. (2019). The use of an extended flipped classroom model in improving students‟ learning in an undergraduate course. Journal of Computing in Higher Education, 31(2), 362–390. https://doi.org/10.1007/s12528-019-09224-z

Gutman, A. (1990). Democratic Education in Difficult Times. in Rauner, M. Civic Education : An Annotated Bibliography,CIVNET

Hadari Nawawi. 1993. Pendidikan dalam Islam. [Education in Islam]. Surabaya, Al-Ikhlas,

Hakam, K.A. (2008). Pendidikan Nilai. Bandung: Valuing Press

Hartoonian, H. M. (1992). The Social Studies and Project 2061 : An Opportunities for Harmony. dalam The Social Studies, 83; 4; 160-163

Hasan, M. I. 2002. Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Hasan, S. (2001), Let the People Prevail! The Authoritarian System of Education in Pakistan. Asia Pacific Human Rights Information Center, Human Rights Education in Asian Schools, Vol. IV, Osaka: Asia Pacific Human Rights Information Center. pp. 77-84.

Haski-Leventhal, D. (2009). Altruism and volunteerism: The perceptions of altruism in four disciplines and their impact on the study of voluntarism. Journal for the Theory of Social Behavior, 29: 271–299. DOI: 10.1111/j.1468-5914.2009.00405.x

PURWAWACANA 351

Henrie, C., Bodily, R., Manwaring, K. & Graham, C. (2015). Clement, M., Vandeputa, L. &, Osaera, T. (2016). Blended learning design: a shared experience, Procedia - Social and Behavioral Sciences 228 ( 2016 ) 582 – 586

Henrie, C., Bodily, R., Manwaring, K. & Graham, C. (2015). Exploring Intensive Longitudinal Measures of Student Engagement in Blended Learning. International Review of Research in Open and Distributed Learning, 16(3), 131–155. https://doi.org/10.19173/irrodl.v16i3.2015

Herman R.G. dan Piccone, T.J. (2002). Defending Democracy: A Global Survey of Foreign Policy Trends 1992-2002. New York: Democracy Coalition Project.

Hermann (1972). Value Theory (Axiology), Journal of Value Inquiry, 6(3): 163-184.

Hill, T. (2005). Making Character First: Building Culture of Character in Any Organization. NY: McGraw Hill.

Hilliard, A.T. (2015). Global Blended Learning Practices For Teaching And Learning, Leadership And Professional Development, Journal of International Education Research 11(3), 179-188.

Hoadley, U. and Ensor, P. (2009). Teachers‟ Social Class, Professional Dispositions and Pedagogic Practice, Teaching and Teacher Education 25, (2009) 876–886

Houston, R. J. (1976). Competency-Based Teacher Education. New York : Mac Millan

Hui, Y. K., Li, C., Qian, S., & Kwok, L. F. (2019). Learning engagement via promoting situational interest in a blended learning environment. Journal of Computing in Higher Education, 31(2), 408–425. https://doi.org/10.1007/s12528-019-09216-z

Husamah, Y. & Pantiwati (2014). Cooperative learning STAD-PjBL: Motivation, thinking skills, and learning outcomes in Biology Students International Journal of Education Learning & Development (IJELD) 2 (1), 77-9

Ibrahim, A.S. and Al-Taneji, S. (2013). Principal Leadership Style, School Performance, and Principal Effectiveness in Dubai School. International Journal of Research Studies in Education 2(1): 41-54.

Indonesia Berkebun. (2015). Urban farming ala indonesia berkebun. Jakarta: PT AgroMedia Pustaka.

352 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Jong, M. S.-Y. (2019). To flip or not to flip: Social science faculty members‟ concerns about flipping the classroom. Journal of Computing in Higher Education, 31(2), 391–407. https://doi.org/10.1007/s12528-019-09217-y

Jong, M. S.-Y. (2019). To flip or not to flip: Social science faculty members‟ concerns about flipping the classroom. Journal of Computing in Higher Education, 31(2), 391–407. https://doi.org/10.1007/s12528-019-09217-y

Kalidjernih, F.K. (2008). Cita Sipil Indonesia Pasca-Kolonial: Masalah Lama, Tantangan Baru. Acta Civicus, Vol.1 No.2, hlm.127-146.

Kalidjernih, F.K. (2010a). Puspa Ragam Isu dan Konsep Kewarganegaraan. Bandung: Widya Aksara Press.

Kalidjernih, F.K. (2010b). Kosmopolitanisme: Implikasi terhadap Kewarganegaraan. dalam Acta Civicus Volum 3 Nomor 1.

Kane, J.. (2007). Teacher Education and Professional Development in Korea dalam ―Dinamic Korea‖ Education Policies and Reform. [online]. Tersedia: globalizationand education. ed.uiuc.edu/.../ GSEB/.../South%20 Korea2007.pdf. [28 Desember 2009].

Kanokorn, S., Pongtorn, P. & Ngang, T.K. (2014). Collaborative Action Professional Development of School Principals. Social and Behavioral Sciences. 116 (2014) 77 – 81.

Kara, S.B.K & Erturk, A. (2015). Mental models of the school principals on “leadership”. Social and Behavioral Sciences. 174 (2015) 2145 – 2152.

Karakose, T. (2008). The perceptions of primary school teachers on principal cultural leadership behaviors. Educational Sciences: Theory

& Practice. 8 (2), 23-35.

Karpudewan, M., Zurida Hj. I., dan Norita M. (2011), Green Chemistry: Educating Prospective Science Teachers in Education for Sustainable Development at School of Educational Studies, USM. Journal of Social Sciences. 7 (1): 42-50.

Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa 2010.

Kemenkokersra RI (2010). Grand Disain Pembangunan Karakter Bangsa 2010.

Kennedy, B. (1995). Creating and Disseminating Law in a Democratic Society. USA : United States Information Agency

Keraf, A. S. (2010). Etika lingkungan hidup. Jakarta: Kompas.

Kerr, D.(1999). Citizenship Education: an International Comparison. London:

PURWAWACANA 353

National Foundation for Educational Research-NFER

Kim, E. (2007). Educationan Policy and Reforms in Korea., Korean Educational Development Institute

Kirschenbaum, H. (2000). From Values Clarification to Character Education: A Personal Journey. Journal of Humanistic Counseling, Education & Development, 39(1), 4-20. Retrieved from EBSCOhost.

Koentjaraningrat (1978). Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.

Koesoema, D.A. (2006). Pendidikan Karakter. Harian Kompas, 3 Februari.

Koesoema, D.A. (2016). Ekosistem Moral Pendidikan. KOMPAS, edisi 8/1/2016.

Kompas (1999). Masyarakat Madani Makin Sulit Diwujudkan. KOMPAS. 23 Maret 1999

Kuntoro, Sodik A. (1997). Menelusuri Perkembangan Pendidikan Nasional di Indonesia: Peran Pendidikan Bagi Integritas Bangsa. pidato Pengukuhan Guru Besar, IKIP Yogyakarta.

Kupperman, J.J. (1991). Character. New York: Oxford University Press.

Kwai, L.T. (2004). Confucianism and Democracy in the Civic Education Guidelines in Hong Kong. Thesis, Master of Education, The University of Hong Kong.

Lautenschlager, L. & Smith, C. (2007). Beliefs, knowledge, and values

held by inner-city youth about gardening, nutrition, and cooking.

Agriculture and Human Values, 24, 245–258.

Law , K.M.Y, Geng, S. & , Li, T. (2019). Student enrollment, motivation and learning performance in a blended learning environment: The mediating effects of social, teaching, and cognitive presence, Computers and Education 136, 1-12, https://doi.org/10.1016/j.compedu.2019.02.021

Lee W. (2006). Tensions and Contentions in the Development of Citizenship Curriculum in Asian Countries. Keynote Address presented at the CITIZED International Conference Oriel College, Oxford, 25-27 July.

Lee, W. (1999). Controversies of Civic Education in Political Transition. dalam Torney-Purta, J., Schwille, J. dan Amadeo, J., Civic Education Across Countries: Twenty-four National Case Studies from the IEA Civic

354 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Education Project. Amsterdam: International Association for the Evaluation of Educational Achievement, pp. 313-340.

Lee, W. (1999). Qualities of Citizenship for the New Century: Perceptions of Asian Educational Leaders. Bangkok :UNESCO-ACEID

Levine, D.J. & Barder, A.D. (2014). The closing of American mins: „American School International Relations and the state of grand thory, European Journal of International Relations, 20(4), pp. 863-888.

Li Ping, Z.M., Lin Bin dan Zhang Hongjuan, (2004). Deyu as moral education in modern China: ideological functions and transformations. Journal of Moral Education,” Vol. 33, No. 4, December, pp. 449-460

Lickona, T. (1992). Educating for Character : How our Schools can Teach Respect and Responsibility. New York : Bantam Books

Lickona, T. (2004). Character Matters: How to Help Our Children Develop Good Judgment, Integrity, and Other Essential Virtues. New York: Simon & Schusters, Inc.

Lickona, T. (2004). Education for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility, alih Bahasa: Juma Abdu Mamuango, Jakarta: Bumi Aksara.

Lickona, T. (2012). Educating for Character, Mendidik untuk membentuk Karakter Bagaimana Sekolah dapat Memberikan Pendidikan tentang Sikap Hormat dan Tanggung Jawa., (alih Bahasa: Juma Abdu Wamaungo), Jakarta: Bumi Aksara.

Livo, N. J. 2003. Bringing Out Their Best:Values Education and Character Development Through Traditional Tales. USA:Libraries Unlimited, Teacher Ideas Press, A Division Of Greenwood Publishing Group, Inc, Westport,

López-Pérez, M.V., Pérez-López, M.C., dan RodríguezAriza L. (2011). Blended Learning in Higher Education: Students‟ Perceptions and Their Relation to Outcomes, Computers & Education, 56, 818–826.

Loram, A., et al. (2011). Urban domestic gardens: The effects of human

interventions on garden composition. Environmental Management,

48, 808–824.

Lowenstein, M. (2015). General Education, Advising, and Integrative Learning, The Journal of General Education, 64(2), pp.117-130. DOI: hyyps://doi.org.10.1353/jpe/2015.0010.

PURWAWACANA 355

Lumpkin, A. (2008). Teacher As Role Model Teaching Character and Moral Virtues. Journal of Physical Education, Recreation And Dance (JOPERD), 79(2), 45-49.

Martadi (2010). Grand Design Pendidikan Karakter. Makalah pada Saresehan Nasional Pendidikan Karakter 2010. Koordinator Kopertis Wilayah XI Kalimantan.

Marzano, R. J., Pickering, D. MC Tighe, J. (1994). Assessing Student Outcomes : Performance Assessment ussing the Dimensions of Learning Model. Alexandra Association for Supervision and Curriculum Development

McCarney, P. L. (2012). City indicators on climate change implications for

governance. Environment and Urbanization ASIA, 3 (1), 1–39.

McClain, L. C. (2001). The domain of civic virtue in a good society:

families, schools, and sex equality. Fordham Law Review, 69 (5),

1617-1666.

Megawangi, R. (2017). Semua Berakar Pada Karakter, Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI.

Mhozya, C.M. (2007). The Extent To Which Incentive Influence Primary School Teachers And Job Satisfaction In Botswana. The Social Science 2 Medwell Journal (4), 2007 pp. 412-418

Mischel, W. (1973). Toward a cognitive social learning reconceptualization of personality. Psychological Review, 80(4), 252-283. http://dx.doi.org/10.1037/h0035002

MOEC (2017). Strengthening Character Education: Concept and Guide. Jakarta, Center for Policy Analysis, Secretariate General of the Ministry of of Education and Culture Indonesia. Accessed in 20 October 2019.

Mullen, C., and Hutinger, J.L. (2008). The principal‟s role in fostering collaborative learning communities through faculty study group

development. Theory into practice, 47(4), 276-285.

Musfah, J. (2012). Pendidikan Holistik: Pendekatan Lintas Perspektif. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.

Mussen (1980). Essential of child development & personality. New York: Harper & Row Publisher Inc. Alih Bahasa: Budiyanto, G. & Gayatri, A. Jakarta: Arca.

NACE (2013). Colledge to career: Projected Job Openings in Occupations

356 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

that Typically Require in Bachelor‟s Degree. Occupatinla Outlook Quarterly, Summer 2013.

Nagra, V. (2010). Environmental education awareness among school

teachers. Enviromentalist, 30, 153-162.

Nelson, S. J. (2002). College presidents: Voices of civic virtue and the

common good of democracy. The Journal of Leadership Studies, 8

(3), 11-28.

Newton, R.R. (2000). Tensions And Models In General Education Planning, The Journal Of General Education, Vol. 49, No. 3, 2000, pp. 165-181.

Newton, R.R. (2000). Tensions And Models In General Education Planning. The Journal Of General Education, 49(3), 166-181.

Ng, S. and Pun, S. (2013). How school principals position themselves in times of education reform in China. Social and Behavioral Sciences, 89 (2013) 54 – 58.

Ngang, T.K. and See, L.P. (2013). Principal support on teacher collective work in Chinese private secondary schools. Social and Behavioral Sciences, 97 (2013) 299 – 306.

Nurdin, E.S. (2017). Civic Education policies: Their effect on university students‟ spirit of nationalism and patriotism, Citizenship, Social and Economics Education 2017, Vol. 16(1) 69–82

Oblinger, D.G. & Verville, A.L. (1998). What Business Wants from Higher Education. (http://www.schev.edu/wumedia/manning.html.

Ogunbiyi, J.O., and Josiah O. A. (2009). Pre-Service Teachers‟ Knowledge of and Attitudes to Some Environmental Education Concepts Using Value Education Strategies, Anthropologist, 11(4): 293-301.

Ohmae, K. (1996). The End of Nation State: The Rise of Regional Economies. London: Harper Collins.

Ohmae, K. (1999). Borderless World: Power and Strategy In The Interlinked Economy. London: Harper Collins.

Okvat, H. A. and Zautra, A. J. (2011). Community gardening: A

parsimonious path to individual, community, and environmental

resilience. Am J Community Psychol, 47, 374–387.

Oliva, P. F. (1988) Developing The Curriculum. Boston : Georgia Southern

PURWAWACANA 357

College

Ong, C.H. (2015). Challenges and Processes in School Turnaround A Singapore Secondary School Principal‟s Perspective. Social and Behavioral Sciences, 186 (2015) 169 – 173.

Ornstein, N. (1992) The Role of the Legislature in a Democracy. San Fransisco : United States Information Agency

Orrill, R. (1997) Education and Democracy : Re-imagining Libeeral Learning in America. USA : The College Board

Osei, George M. 2006. Teachers In Ghana: Issues Of Training, Remuneration And Effectiveness. International Journal of Educational Development 26 (2006). Pp. 38–51

Otsu, Kazuko. (1998). Japan. In Cogan J.J. and Ray Derricott (ed). Citizenship Education for the 21st Century: An International Perspective on Education. London: Kogan Page.

Piaget, Jean. 1972. Science of Education and the Psychology of the Child, Viking Press, New York.

Piaw, C.Y., Hee, T.F., Ismail, N.R., & Ying, L.H. (2014). Factors of leadership skills of secondary school principals. Social and Behavioral Sciences. 116 (2014) 5125 – 5129.

Pima, J.M., Odetayo, M., Iqbal, R., Sedoyeka, E. (2018). A Thematical Review of Blended Learning in Higher Education, International Journal of Mobile and Blended Learning, 10(1), 11. DOI: 10.4018/IJMBL.2018010101

Pina, R., Cobral, I. and Alves, J.M. (2015). Principal‟s Leadership On Student‟s Outcomes. Social and Behavioral Sciences 197(2015):949-954.

Porter, W.W., Graham, C.R., Spring, K.A. & Welch, K.R. (2014). Blended learning in higher education: Institutional adoption and implementation, Computers & Education 75, 185-195. https://doi.org/10.1016/j.compedu.2014.02.011

Prasetyo, W.H. dan Budimansyah, D. (20016). Pengembangan Kebajikan Kewarganegaraan Melalui Program Bandung Berkebun. Tesis Universitas Pendidikan Indonesia.

Prayitno dan Khaidir, A. (2011). Pendidikan Karakter-Cerdas: Pemikiran Alternatif Melalui Metode Klasikal dan Non-Klasikal, dalam Budimansyah dan Komalasari (ed) Pendidikan Karakter: Nilai Inti Bagi Upaya Pembinaan Kepribadian Banngsa. Bandung: Widya Aksara Press bekerjasama dengan Lab PKn UPI.

358 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Purkey, W.W. and Novak, J.M. (1990). Invitation Education, NC: The International.

Qi Wanxue and Tang Hanwei, T. (2004). The social and cultural background of contemporary moral education in China. Journal of Moral Education, Vol. 33, No. 4, December, pp. 465-480

Rai, R. (2014). Comparative Effectiveness of Value Clarification and Role Playing Value Development Models for Selected Values for Primary School Students, IOSR Journal Of Humanities And Social Science (IOSR-JHSS), 19(1), 28-34.Diakses di: www.iosrjournals.org

Raka, I.I.D.G. (2008). Pembangunan Karakter dan Pembangunan Bangsa: Menengok Kembali Peran Perguruan Tinggi. Bandung: Majelis Guru Besar ITB.

Raths, L.E., Merrill H., and Sidney, B.S. (1966). Values and Teaching: Working With Values on The Classroom. Charles E. Merrill Books, Inc. Columbus.

Rizvi, S., Rienties, B., Rogaten, J., & Kizilcec, R. F. (2019). Investigating variation in learning processes in a FutureLearn MOOC. Journal of Computing in Higher Education. https://doi.org/10.1007/s12528-019-09231-0

Robinson, V. M. J. (2010). From instructional leadership to leadership capabilities: Empirical findings and methodological challenges. Leadership and Policy in Schools, 9(1), 1-26. doi: 10.1080/15700760903026748

Rockler, M. J. (1988) Innovative Teaching Strategies : Games, Simulations, Creative Exercises Future Studies. Scottdale : Gorsuch Scarisbrick, Publishers

Rogers, V., Roberts, A. D. and Weinland, T. P. (1988). Teaching Social Studies : Portraits from the Classroom. Washington : National Council for the Social Studies

Ross D.P. (1972). Recent Trends In Social Learning Theory. Academic Press New York And London

Rustika, I.M. (2012). Efikasi diri:Tinjauan Teori Albert Bandura. Buletin Psikologi. Tersedia pada: https://jurnal.ugm.ac.id/buletinpsikologi/article/view/11945

Sabatini, C. A., Bevis, G. G. and Finkel, S. E. (1998). The Impact of Civic Education Programs on Political Participation and Democratic Attitudes

Sanusi, A. (1998c) Pendidikan Alternatif : Menyentuh Azas Dasar Persoalan

PURWAWACANA 359

Pendidikan dan Kemasyarakatan, Bandung : PT Grafindo Media Pratama

Schwarzenberg, P., Navon, J., & Pérez-Sanagustín, M. (2019). Models to provide guidance in flipped classes using online activity. Journal of Computing in Higher Education. https://doi.org/10.1007/s12528-019-09233-y

Scott, C.L. (2015). The Futures of Learning 1: Why must learning content and methods change in the 21st century? UNESCO Education Research and Foresight, Paris. [ERF Working Papers Series, No. 13].

Scott, C.L. (2015). The Futures of Learning 2: What kind of learning for the 21st century? UNESCO Education Research and Foresight, Paris. [ERF Working Papers Series, No. 14].

Simonova, I. (2019). Blended approach to learning and practising English grammar with technical and foreign language university students: Comparative study. Journal of Computing in Higher Education, 31(2), 249–272. https://doi.org/10.1007/s12528-019-09219-w

Simpson, C. (1993). The Value of Patriotism. New York: Rosen.

Smith, N., Marshall, L. & Tanner, E. (2017) Developing character skills in schools: Summary report, August 2017. NatCen Social Research & the National Children‟s Bureau Research and Policy Team. Government Social Research. file:///C:/Users/user/AppData/Local/Temp/pace02.pdf.

Soedijarto (1993) Memantapkan Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia

Soedijarto (2013). Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Memajukan Kebudayaan Nasional Melalui Diselenggarakannya Satu Sistem Pendidikan Nasional Sebagai Misi Penyelenggaraan Pemerintahan Negara Indonesia. Jakarta: Kertas Kerja Komite III DPD RI.

Soekamto, T., Wardani, I. G. A. K., and Winataputra, U. S. (1993). Prinsip Belajar dan Pembelajaran, Jakarta : Dep. P & K

Soekarno (1965). Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid II. Jakarta: Panitia Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi.

Soepardo, dkk. (1960). Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia (Civics), Jakarta: Departemen PP Dan K.

Sudrajat, A. (2008). Peran Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Kompetensi Guru. Available on : http: www.psb-psma.org/ content/blog/peran kepala sekolah dalam meningkatkan kompetensi guru (accessed 12 November 2008)

360 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Sukarno (1965). Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid Kedua, Jakarta: Panitya Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi.

Sulastri (2016). Model Pendidikan Karakter Pada Perkuliahan Kimia Dasar dengan Model Pembelajaran Klarifikasi Nilai Untuk Meningkatkan Kesadaran Lingkungan (Studi Pengembangan Pada Mahasiswa Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Unsyiah Banda Aceh), Disertasi Doktoral Universitas Pendidikan Indonesia.

Sulastri dan Budimansyah, D. (2016). Pendidikan Karakter Pada Perkuliahan Kimia Dasar dengan Model Pembelajaran Klarifikasi Nilai. Antologi Disertasi SPs UPI.

Sullivan, E. V. (1975). Moral Learning : Some Findings, Issues and Questions, New York : Paulist Press

Suprayogo, I. (2013). Pendidikan Karakter Melalui Pendekatan Profetik, Jakarta: Kertas Kerja Komite III DPD RI.

Suryadi, A. & Budimansyah, D. (2016) Advance School Leadership, Progress Teaching Approach and Boost Learning. In The New Educational Review, 45 (3) November 2016. DOI: 10.15804/tner.2016.45.3.06 ISBN 0972 – 93870.

Suryadi, A. (2011). Pendidikan Karakter Bangsa: Pendekatan Jitu Menuju Sukses Pembangunan Pendidikan Nasional, dalam Budimansyah dan Komalasari (ed) Pendidikan Karakter: Nilai Inti Bagi Upaya Pembinaan Kepribadian Banngsa, Bandung: Widya Aksara Press bekerjasama dengan Lab PKn UPI.

Suryadi, A. dan Budimansyah, D (2002). Pendidikan Nasional Menuju Masyarakat Indonesia Baru, Bandung: Penerbit Genesindo.

Suryadi, A. dan Budimansyah, D (2013). Analisis Isu dan Permasalahan Kebijakan Pendidikan: Tinjauan Perspektif Ketentuan UUSPN, Jakarta: Kertas Kerja Komite III DPD RI.

Suryadi, A. dan Budimansyah, D. (2009). Paradigma Pembangunan Pendidikan Nasional, Bandung: Widya Aksara Press.

Suryadi, A. dan Budimansyah, D.(2009). Paradigma Pembangunan Nasional: Teori dan Aplikasi, Bandung: Widya Aksara Press.

Suryadi, A. dan Budimansyah,D. (2003). Pendidikan Nasional Menuju Masyarakat Indonesia Baru, Bandung: PT Genesindo.

Suryadi, A., Rosyidi, U. & Budimansyah, D. (2017). Does Teaching Licensure Boost Student's Learning? Indonesia's Answer. The Educational Review. Vol 49(3), 2017.

PURWAWACANA 361

Suryohadiprojo, S. (1999). Bentuk Pemerintah yang Profesional dan Demokratis, Republika: 11 November 1999

Taba,H., Durkin,M.C., Fraenkel,J.R., and McNaughton,A.H. (1971). A Teacher’s Handbook of Elementary Social Studies: An Inductive Approach, Reading: Addison-Wesley

Thomas, C. and Parson, K.A. 2010. “School Climate and Student Outcomes”. Journal of Cross Disciplinary Perspectives in Education. Vol. 3, No 1.Page 34 - 39

Tilaar, H.A.R. (2008). Manajemen Pendidikan Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Tjalla, A. (2019). Penguatan Pembelajaran Nilai Moral Pancasila, Jakarta: Pusat Kurikulum dan Pembelajaran Balitbang Kemdikbud.

Uchrowi, Z. (2013). Karakter Pancasila: Membangun Pribadi dan Bangsa Bermartabat. Jakarta: PT Balai Pustaka.

UNDP (2015). Human Development Report: Work for human development.

Vollmar, H.C., Mayer, H., Ostermann, T. (2010). Knowledge transfer for the management of dementia: a cluster-randomised trial of blended learning in general practice. Implementation Sci 5, 1 (2010). https://doi.org/10.1186/1748-5908-5-1

Vollmar, H.C., Mayer, H., Ostermann, T. et al. (2010). Knowledge transfer for the management of dementia: a cluster-randomised trial of blended learning in general practice. Implementation Sci 5, 1 (2010). https://doi.org/10.1186/1748-5908-5-1

Vont,T.S., Metcalf,K.K., and Patrik,J.J. (2000). Project Citizen and the Civic Development of Adolescent Students in Indiana, Latvia, and Lithuania, Bloomington: ERIC

Walker, M., David, S. & Kelly, K. (2017). Leading Character Education in Schools: Case Study Report. The National Foundation for Educational Research, The Mere, Upton Park, Slough, Berkshire SL1 2DQ www.nfer.ac.uk. ISBN 978-1-911039-56-3 (NFER ref. PACE) file:///C:/Users/user/AppData/Local/Temp/pace02.pdf

Watson, J. (2008). Blending Learning: The Convergence of Online and Face-to-Face Education, Vienna: North American Council for Online Learning.

Watson, J. (2008). Blending Learning: The Convergence of Online and Face-to-Face Education, Vienna: North American Council for Online Learning.

362 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Weisband, E. (2009). The virtues of virtue: Social capital, network

governance, and corporate social responsibility. American

Behavioral Scientist, 52 (6), 905-918.

Welton,D.A. dan Mallan,J.T. (1988). Children and Their World: Strategies for Teaching Social Studies, Boston: Houghton Mifflin Co

Widyawati, N. (2013). Urban farming : Gaya bertani spesifik kota. Yogyakarta: ANDI OFFSET.

Winataputra, U.S. & Budimansyah, D. (2014). Pendidikan Kewarganegaraan dalam Perspektif Internasional, Bandung: Widya Aksara Press.

Winataputra, U.S. (2001). Jatidiri Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai Whana Pendidikan Demokrasi, (Disertasi), Bandung: Program Pascasarjana UPI.

Winataputra, U.S. dan Budimansyah, D. (2007). Civic Education: Konteks, Landasan, Bahan Ajar, dan Kultur Kelas, Bandung: Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan SPs UPI.

Winataputra,U.S., (1988). A Pilot Study of The Implementation of The SMA PMP Curriculum in Bandung Area, Sydney: Macquarie University (MA.Thesis)

Winecoff, H.L., dan Bufford, C. (1985). Toward Improved Instruction: A Curriculum development Handbook for International Schools. AISA.

Wirutomo, P. (2001). Membangun Masyarakat Adab, Naskah Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar tetap dalam Bidang Sosiologi Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.

Xiaoman, Z. dan Cilin, L. (2004). Teacher training for moral education in China. Journal of Moral Education, Vol. 33, No. 4, December 2004, pp. 481-494

Zhan, W. and Wujie, N. (2004). The moral education curriculum for junior high schools in 21st century China. Journal of Moral Education, Vol. 33, No. 4, December, pp. 511-532.

Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter — 363

PENULIS

Penulis adalah Guru Besar bidang Sosiologi Kewarganegaraan Universitas Pendidikan Indonesia. Pendidikan jenjang S1 diselesaikan di IKIP Bandung (1987) dalam bidang Pendidikan

Kewarganegaraan. Jenjang S2 diselesaikan di Universitas Padjadjaran (1994) dalam bidang Sosiologi dan Antropologi. Jenjang S3 diselesaikan di Universitas Padjadjaran (2001) dalam bidang Sosiologi. Pelatihan luar negeri yang pernah diikuti (1) Australia Awards Felloship On Qality Assurance on Higher Education di Flinders University, Australia (2014); (2) Australian Leadership Awards Fellowship on Inclusive Education di Flinders University, Australia (2011); (3) Advanced Study and Training Program On Pedagogy and Chinese Teaching Materials di Beijing Language and Cultural University, China (2011).

Pernah menjadi Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (2006-2010); Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan Umum (General Education) Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (2010-2014). Sejak 2015 menjadi Deputy Director Australian Studies Centre Universitas Pendidikan Indonesia; anggota Dewan Riset Daerah (DRD) Provinsi Jawa Barat (2015-2017). Buku-buku karya penulis yang sudah terbit diantaranya: (1) Teori Sosial dan Kewarganegaraan, Widya Aksara Press, 2016; (2) Modul Inklusi

364 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

Kesadaran Pajak, Ditjen Pajak Kemenkeu RI, 2015; (3) Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi, Ditjen Dikti Kemdikbud, 2014; (4) Refleksi Pembangunan Karakter Bangsa: Ditinjau dari Perspektif Pendidikan, Islam, Nilai, Analisis Kebijakan, 4 Pilar Kebangsaan, dan Praktik di Sekolah (Editor), Widya Aksara Press, 2013; (5) UPI Rumah Kita: Panduan Pendidikan Karakter bagi Mahasiswa (Anggota Tim Penulis), UPI Press, 2013; (6) Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter, Widya Aksara Press, 2012; (7) Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Perspektif Internasional, Widya Aksara Press, 2012; (8) Pendidikan Karakter: Nilai Inti Bagi Upaya Pembinaan Kepribadian Bangsa (Editor), Widya Asara Press, 2012; (9) Penguatan Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Membangun Karakter Bangsa, Widya Aksara Press, 2012; (10) Membangun Karakter Bangsa di Tengah Arus Globalisasi dan Gerakan Demokratisasi: Merevitalisasi Peran Pendidikan Kewarganegaraan, bab dalam Prosiding, 2012; (11) Model Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi: Pengalaman Universitas Pendidikan Indonesia, UPI Press, 2011; (12) Masyarakat Kampung Naga: Antara Tradisi dan Perubahan, 2010; (13) Paradigma Pembangunan Pendidikan Nasional: Konsep, Teori, dan Aplikasi, Widya Aksara Press, 2009; (14) Inovasi Pembelajaran Project Citizen, UPI Press, 2008.

Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter 365

Profile Editor

Iik Nurulpaik, S.Pd., M.Pd., MAP, Pendidikan

Sarjana dan Magister dalam bidang Administrasi

Pendidikan (Kebijakan dan Perencanaan

Pendidikan) di tempuh Universitas Pendidikan

Indonesia. Magister kedua dalam bidang

Administrasi Publik (Kebijakan Publik) ditempuh

di STIA LAN-RI, Bandung. Pada tahun 2014, atas

dukungan program the New Colombo Plan

memperoleh Australia Awards Fellowship dari pemerintah Australia

mengikuti Short Course di Flinders University Australia, dalam bidang

Kepemimpinan dan Kebijakan Pendidikan, Sistem Pendidikan Tinggi,

Pendidikan Guru, Sistem Pendidikan Australia, Pendidikan

Internasional. Beberapa universitas/lembaga riset yang pernah

dikunjungi untuk studi banding antara lain Universitas Adelaide,

Universitas Melbourne, Universitas New-South Wales, Australia Centre for

Education Research (ACER) di Melbourne-Australia, Australia Vocational

Education Centre di Adelaide - Australia, juga Parlement Australia.

Mengikuti forum internasional di beberapa unversitas di ASEAN,

Universitas Pendidikan Sultan Idris (UPSI) di Malayasia, University

Kebangsaan Malayasia (UKM), University of Malaya (UM), Chulolangkorn

University (Thailand). Keminatan akademik/keilmuan: Kebijakan

Pendidikan, Pendidikan dan Pembangunan, Evaluasi Program

Pendidikan, Komparasi Sistem Pendidikan, Ilmu Politik, Administrasi

Publik, Pemerintahan, Kepemimpinan, Manajemen, Sejarah,

Kebudayaan, Filsafat, Kearifan Lokal. Terlibat aktif dalam program

penelitian dan pengabdian masyarakat, mengikuti berbagai seminar

pendidikan, diskusi politik-pemerintahan-kebangsaan. Untuk menjalin

komunikasi dapat dihubungi di WA: 081321635538, Email:

[email protected] atau [email protected].

366 — Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter

NUGRAHA SUHARTO adalah staf pengajar (Dosen) pada Departemen Administrasi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia. Lahir di Bandung pada tanggal 18 Juni 1967. Riwayat Pendidikan; Tahun 1980 menyelesaikan SD di SD Negeri Pelesiran Bandung; Tahun 1983 menyelesaikan SMP di SMP Negeri 15 Bandung; Tahun 1986 menyelesaikan SMA di SMA Negeri 8 Bandung; Tahun 1993 menyelesaikan Sarjana (S1) pada jurusan

Sosiologi FISIP Universitas Hasanuddin Di Makasar; Tahun 2000 menyelesaikan Magister Pendidikan (S2) di Pascasarjana UPI di Bandung; Dan menyelesaikan Program Doktor (S3) bidang Administrasi Pendidikan pada Tahun 2011 pada Sekolah Pascasarjana UPI di Bandung. Pengalaman lain yang pernah diikuti sesuai dengan bidang keahlian diantaranya pernah dilibatkan dalam kegiatan: 1) Analisis Kebijakan Pengembangan Model DESA CERDA di Propinsi Jawa Barat; Juni-2007-April 2008. 2) Evaluasi dan Strategi Pembiayaan Pendidikan Kota Bandung; Juni – Oktober 2007. 4) Penyusunan Master Plan Pendidikan Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat Tahun 2008-2025; Juni – November 2007. 5) Analisis Kebijakan Pemensiunan dan Pemberhentian PNSD Pemda Provinsi Jawa Barat; Oktober – November 2007. 5) Analisis kebijakan Penyusunan Grand Design Penataan PNSD Pemda Provinsi Jawa Barat; Mei – Juni 2007. 6) Analisis Biaya Satuan Pendidikan di Madrasah; April – Desember 2005. 7) Penelitian Efektivitas Guru Bantu Kabupaten Bekasi; Agustus 2006. 8) Pendidikan Dasar Satu Atap di Jawa Barat September 2005. 9) Evaluasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di Jawa Barat; Juli-Agustus 2005. 10) Research Data Kegiatan MGMP di Propinsi Jawa Timur; September 2004. 11) Penyusunan soal Tes Kompetensi Kepala Sekolah SLB Tingkat Nasional; Agustus 2004. 12) Penysusunan soal Tes Kompetensi Guru SMP Tingkat Nasional; Juli 2004. 13) Studi Implementasi Penuntasan Wajib Belajar 9 Tahun di Jawa Barat; Juli-Agustus 2003. 14) Anggota Satuan Audit (SAI) – UPI ; Tahun 2011 – 2018. 15) Tutor pada Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD)-Universitas Terbuka; Tahun 2006 sampai sekarang. 16) Tutor pada Program Pasca Sarjana Universitas Terbuka; Tahun 2016 sampai sekarang.