PENGGUNAAN KONSENTRASI PUPUK CAIR AZOLA (Azolla pinnata) TERHADAP KEPADATAN POPULASI DAN KANDUNGAN...

35
PENGGUNAAN KONSENTRASI PUPUK CAIR AZOLA (Azolla pinnata) TERHADAP KEPADATAN POPULASI DAN KANDUNGAN PROTEIN Skeletonema costatum USULAN PENELITIAN Diajukan sebagai Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Program Studi Budidaya Perairan Oleh IMAM PRATAMA 09930001

Transcript of PENGGUNAAN KONSENTRASI PUPUK CAIR AZOLA (Azolla pinnata) TERHADAP KEPADATAN POPULASI DAN KANDUNGAN...

PENGGUNAAN KONSENTRASI PUPUK CAIR AZOLA (Azolla pinnata)

TERHADAP KEPADATAN POPULASI DAN KANDUNGAN PROTEIN

Skeletonema costatum

USULAN PENELITIAN

Diajukan sebagai Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana

Strata Satu (S1)

Program Studi Budidaya Perairan

Oleh

IMAM PRATAMA09930001

JURUSAN PERIKANAN

FAKULTAS PERTANIAN PETERNAKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2013

PENGGUNAAN KONSENTRASI PUPUK CAIR AZOLA (Azolla pinnata)

TERHADAP KEPADATAN POPULASI DAN KANDUNGAN PROTEIN

Skeletonema costatum

Oleh :

IMAM PRATAMA09930001

Diajukan Sebagai Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana

Strata Satu (S1) Program Studi Budidaya Perairan

Menyetujui

Pembimbing Utama Tanggal :

Dr.Ir. David Hermawan, MPNIP : 19640526 19931003

Pembimbing Pendamping Tanggal :

Sri Samsundari Drh., MMNIP : 110.8903.0100

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ketersediaan pakan alami sangat dibutuhkan terutama

pada usaha pembenihan udang dan ikan. Pakan alami

merupakan salah satu faktor yang penting sebagai dasar

pemenuhan gizi pada saat awal kehidupan larva kopepoda,

larva moluska, larva udang, dan larva ikan. Salah satu

jenis plankton sebagai pakan larva adalah jenis skeletonema

costatum, karena memiliki syarat yang dibutuhkan larva

karena mudah dicerna, berukuran kecil, nutrisi tinggi,

mudah dibudidayakan dan cepat berkembang biak. Kandungan

nutrisi skeletonema costatum mengandung protein 30,55 % dan

lemak 1,55 %, serat 2,09 %, abu 44,37 %, dan kadar air

8,41 % (BBPBAP Jepara, 2004).

Azolla pinnata adalah jenis tumbuhan paku air yang

mengapung, banyak terdapat diperairan yang menggenang

terutama di sawah-sawah dan dikolam. Para petani ikan

mengenal dengan sebutan “mata lele”. Keistimewaan azolla

pinnata adalah dapat hidup bersimbosis dengan anabaena

azollae yang dapat memfiksasi Nitrogen (N2) dari udara.

Saat ini pemanfaatan azolla pinnata sudah mulai banyak

digunakan mengingat ketersediaannya relatif banyak

terdapat pada areal pesawahan di Indonesia. Salah satunya

1

adalah digunakan sebagai pupuk organik pada bidang

pertanian. Azolla pinnata memiliki berbagai unsur hara

antara lain N (1,96-5,30%), P (0,16- 1,59%), K (0,31-

5,97%) , Si (0,16-3,35%), Ca (0,31-5,97%), Fe (0,04-

0,59%), Mg (0,22-0,66%), S (0,22-0,73%), Na (0,16-1,31%),

Cl ( 0,62-0,90%), Al (0,04-0,59%), Co (0,264 ppm), Zn

(26-989 ppm), Mn (66 – 2944 ppm) (Batan, 2006).

Penggunaan pupuk dalam media kultur skeletonema

costatum sangat penting untuk mendapatkan nilai

produktivitas kultur yang tinggi serta kualitas biomassa

yang baik. Skeletonema costatum dapat memanfaatkan zat hara

lebih cepat dari diatom lainnya dalam penyerapan

nutrient. Dalam mengkultur skeletonema costatum pertumbuhan

sangat dipengaruhi oleh nutrisi yang ada di lingkungan

tempat hidupnya, oleh karena itu diperlukan pupuk dimedia

kultur untuk menunjang ketersediaan unsur hara baik makro

maupun mikro. Salah satu unsur hara makro yang sangat

menunjang dalam pertumbuhan Skeletonema costatum adalah

ketersediaan unsur Nitrogen (N). Nitrogen yang umumnya

dibutuhkan untuk media kultur yaitu dalam bentuk senyawa

nitrat yang banyak didapat dalam kandungan pupuk diatom,

namun yang menjadi masalah akhir-akhir ini adalah harga

pupuk diatom yang mahal. Pupuk diatom adalah pupuk yang

digunakan untuk kultur mikroalga yang terbuat dari bahan

2

kimia PA (Pro Analis) dosis pemakaian 1 ml pupuk / 1 L

volume kultur (BBAP Situbondo, 2010). Kebutuhan unsur

hara untuk pertumbuhan skeletonema costatum adalah N (14

mg/L) ,P (2,4 mg/L), Si (3,2 mg/L) (Krichnavaruk et al.,

2007).

Dari analisa kandungan kimia azolla pinnata memiliki

potensi untuk dapat diaplikasikan dalam pengganti pupuk

diatom dalam kultur skeletonema costatum, sehingga

diperlukan penelitian tentang Penggunaan Konsentrasi

Pupuk Cair Azola (azolla pinnata) Terhadap Kepadatan Populasi

dan Kandungan Protein Skeletonema costatum.

1.2 Perumusan Masalah

1. Apakah pemberian konsentrasi pupuk cair Azola (azolla

pinnata) berpengaruh terhadap kepadatan populasi dan

kandungan protein Skeletonema costatum ?

2. Dosis berapakah konsentrasi maksimal pupuk cair

Azola (Azolla pinnata) pada kultur Skeletonema costatum ?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui pengaruh pemberian konsentrasi pupuk cair

Azola (azolla pinnata) terhadap pertumbuhan populasi dan

kandungan protein Skeletonema costatum.

2. Mengetahui dosis konsentrasi pupuk cair Azola (azolla

pinnata) yang maksimal pada pertumbuhan Skeletonema

costatum.

3

1.3 Manfaat

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan salah

satu solusi dalam kultur Skeletonema costatum yaitu

pengganti pupuk diatom dengan pupuk cair Azola (azolla

pinnata) sebagai salah satu pupuk alternatif, selain itu

untuk memberikan informasi penggunaan dosis yang maksimal

pada pertumbuhan Skeletonema costatum, sehingga dapat

diaplikasikan oleh para pembudidaya untuk memenuhi

ketersediaan pakan alami.

1.4 Hipotesa

H0 : Diduga pemberian konsentrasi pupuk cair Azola

(azolla pinnata) tidak berpengaruh terhadap

kepadatan populasi dan kandungan protein

Skeletonema costatum.

H1 : Diduga pemberian konsentrasi pupuk cair

Azola (azolla pinnata) berpengaruh terhadap

kepadatan populasi dan kandungan nutrisi

Skeletonema costatum.

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Biologi Skeletonema costatum

2.1.1 Klasifikasi dan morfologi Skeletonema costatum

Skeletonema costatum merupakan organisme uniseluler

yang termasuk dalam phytoplankton jenis diatom. Menurut

(Edhy et al., 2003) klasifikasi Skeletonema costatum adalah

sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : Bacillariophyta

Class : Bacillariophyceae

Ordo : Centrales

Family : Skeletonemoidae

Genus : Skeletonema

Spesies : Skeletonema costatum

5

Gambar 1 : Skeletonema costatum (Sumber :

(www.flickr.com/photos/29287337@N02 /4438239))

Skeletonema costatum merupakan mikroalga bersel

tunggal, dengan ukuran sel berkisar antara 4-15 μm. Alga

ini dapat membentuk untaian rantai yang terdiri dari

epiteka pada bagian atas dan hipoteka pada bagian bawah,

serta pada setiap sel dipenuhi oleh sitoplasma

(Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995). Dinding sel

Skeletonema costatum mempunyai frustula yang dapat

menghasilkan skeletal external yang berbentuk silindris

(cembung) dan mempunyai duri-duri yang berfungsi sebagai

penghubung antar frustula yang satu dengan frustula yang

lainnya sehingga membentuk filamen. Skeletonema costatum

merupakan diatom yang bersifat euritermal yaitu mampu

tumbuh pada kisaran suhu 3–300 C dan temperatur optimal

6

adalah 25-270 (Tjahjo et al., 2002). Daerah penyebarannya

meliputi daerah tropis dan subtropis, terdapatnya mulai

dari pantai sampai lautan, sebagai meroplankton dan

benthos. Perkembangbiakan diatom Skeletonema costatum hanya

dapat terjadi secara aseksual.

2.1.2 Habitat

Habitat Skeletonema costatum adalah hidup di air laut

yang mempunyai intensitas cahaya kurang dari 500-12000

lux, Jika intensitas cahaya kurang dari 500 lux

Skeletonema costatum tidak dapat tumbuh, sedangkan kisaran

salinitas tumbuh kembangnya adalah 25-29 ppt. Suhu untuk

pertumbuhan 20-34 0C, sedangkan suhu optimalnya adalah

25-27 0C. Sementara itu derajat keasaman media hidupnya

berkisar 7,5-8 (Edhy et al., 2003).

2.1.3 Reproduksi

Reproduksi adalah suatu proses biologis, dimana

Skeletonema costatum berkembang membentuk individu baru.

Reproduksi merupakan cara dasar Skeletonema costatum

mempertahankan diri. Reproduksi Skeletonema costatum dapat

terjadi secara aseksual maupun seksual (Isnansetyo dan

Kurniastuty, 1995). Silikat (Si) adalah unsur hara

penting dalam proses reproduksi Skeletonema costatum yang

berfungsi sebagai bahan pembentuk dinding sel (frustule)

7

yang baru. Cara reproduksi Skeletonema costatum sama dengan

jenis diatom lainnya, dimana satu sel induk yang membelah

akan menghasilkan dua sel anak.

2.1.4 Fase pertumbuhan Skeletonema costatum

Pertumbuhan adalah penambahan jumlah atau ukuran

yang telah ada yang bergantung terhadap factor luar.

Terdapat 4 fase dalam pertumbuhan mikroalga yaitu fase lag

(istirahat), fase logaritmik (pertumbuhan eksponensial),

fase stasioner (pertumbuhan stabil), dan fase deklinasi

(kematian). Berikut adalah fase perkembangan miroalga

menurut (Edhy et al., 2003).

1. Fase lag merupakan fase ketika populasi mikroalga tidak

mengalami perubahan, tetapi ukuran sel pada fase ini

meningkat. Fotosintesis masih aktif berlangsung dan

organisme mengalami metabolisme tetapi belum terjadi

pembelahan sel sehingga kepadatannya belum meningkat.

Dalam perairan tambak kondisi air masih bening atau

remang-remang dengan transparansi >80 cm.

2. Fase logaritmik diawali dengan pembelahan sel dengan

laju pertumbuhan yang terus menerus, pertumbuhan pada

fase ini mencapai maksimal. Dalam perairan tambak

ditandai dengan air yang mulai berwarna sampai warna

pekat dengan transparansi 60-30 cm bahkan dapat <30 cm.

8

3. Fase stasioner merupakan fase dengan pertumbuhan yang

mulai mengalami penurunan dibandingkan fase logaritmik.

Pada fase ini, laju reproduksi atau pembelahan sel sama

dengan laju kematian dalam arti penambahan dan

pengurangan plankton relatif sama sehingga kepadatan

plankton cenderung tetap. Dalam perairan tambak fase ini

memperlihatkan warna yang cenderung stabil dan sebaiknya

dipertahankan supaya tidak terjadi droping plankton.

4. Fase deklinasi merupakan fase ketika terjadi penurunan

jumlah atau kepadatan mikroalga. Pada fase ini laju

kematian lebih cepat dibandingkan laju reproduksi. Laju

kematian mikroalga dipengaruhi oleh ketersediaan nutrien,

cahaya, temperatur, dan umur mikroalga itu sendiri. Dalam

perairan tambak kematian mikroalga ditandai dengan

meningkatnya transparansi, adanya perubahan warna, serta

9

terdapat busa.

Gambar 2 : Fase pertumbuhan mikroalga (Sumber: Edhy et

al.,2003;Triswanto,2012)

2.1.5 Metode Kultur Skeletonema costatum

Metode kultur murni jenis diatom adalah monospesies

plankton yang dikultur dalam ruangan terkontrol untuk

sediaan kultur massal (Suriadnyani et al., 2007). Alat dan

bahan yang diperlukan dalam kultur murni diatom adalah

ruangan dingin (AC), lampu TL sebagai sumber cahaya dan

energi, aerator, selang aerasi, pipa kaca aerasi, labu

gelas dan enlemeyer berbagai ukuran serta beberapa macam

pupuk pro analisis. Air media harus bersih dari bahan –

bahan toksik dan bebas kotoran sedimen. Untuk

meningkatkan kelangsungan hidup, sterilisasi yang ketat

10

dan menjaga kondisi yang aseptis sangat diperlukan

diperlukan. Kontrol suhu air, salinitas, pH, optimalisasi

stok kepadatan, dan gizi seimbang juga sangat penting

(Cordova, 2006).

Cara kultur Skeletonema costatum dimulai dari air laut

yang sudah steril dengan kadar garam sekitar 28 permil

dimasukkan ke dalam botol kultur atau elenmeyer.

Selanjutnya media kultur dipupuk dengan pupuk cair

sebanyak 1 ml/L. Aerasi diberikan dan ditunggu beberapa

saat agar pupuk tercampur secara merata terlebih dahulu

sebelum bibit dimasukkan Menurut Isnansetyo dan

Kurniastuty (1995) untuk kultur laboratorium dapat

menggunakan pupuk Diatom ditambahkan dengan silikat

(Na2SiO3) sebanyak 5 mg/L atau dengan menggunakan pupuk

dengan komposisi KNO3 : 80 - 100 mg/L, NaH2PO4 : 10 -15

mg/L, Na2SiO3 : 10 – 15 mg/L, FeCl3 : 5 – 10 mg/L, EDTA :

5 – 10 mg/ L.

2.2 Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan Skeletonema

costatum

Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan Skeletonema

costatum adalah faktor kimia, fisika dan biologi. Untuk

mendapatkan hasil kultur Skeletonema costatum yang

berkualitas baik, maka diperlukan beberapa faktor yang

dapat mendukung keberhasilan lingkungan kultur tersebut.

11

Faktor-faktor yang mendukung tersebut diantaranya adalah

faktor biologis, kimia, fisika, dan keberhasilan

lingkungan kultur (Mudjiman, 2004). Faktor biologis

meliputi penyediaan bibit yang bermutu dan jumlah yang

mencukupi. Faktor fisika yang mempengaruhi antara lain

suhu, salinitas, pH, dan intensitas cahaya. Faktor kimia

adalah unsur hara dalam media pemeliharaan harus sesuai

dengan kebutuhan jenis plankton yang akan dikultur.

Selain faktor tersebut diatas ada faktor lain yang perlu

diperhatikan yaitu kebersihan dari alat-alat kultur agar

tidak terkontaminasi dengan organisme lain yang akan

mengganggu pertumbuhan.

Suhu berperan dalam pengatur proses metabolisme

organisme dalam perairan. Suhu mempengaruhu suatu stadium

daur hidup organisme dan merupakan faktor pembatas

penyebaran suatu spesies. Dalam mempertahankan

kelangsungan hidup dan reproduksi secara ekologis

perubahan suhu menyebabkan perbedaan komposisi dan

kelimpahan Skeletonema costatum (Suriawiria, 1985).

Salinitas merupakan salah satu faktor lingkungan

yang mempengaruhi tekanan osmotik antara protoplasma sel

organik dengan lingkungannya. Kadar garam yang berubah-

ubah dalam air dapat menimbulkan hambatan untuk

12

mengkultur. Skeletonema costatum tumbuh optimal pada

salinitas 25-29 ppt (Djarijah, 1995).

Pertumbuhan Skeletonema costatum sangat tergantung pada

intensitas lamanya penyinaran dan panjang gelombang

cahaya yang mengenai sel-sel tanaman selama fotosintesis.

Biasanya, dalam ruang kultur intensitas cahaya berkisar

antara 500-5000 lux. Keadaan gelap dan terang juga harus

dikontrol. Kultur penyediaan bibit, intensitas cahaya

yang diberikan berkisar antara 500-1000 lux, biasnya 12

jam dalam keadaan terang dan 12 jam dalam keadaan gelap.

Kultur massal diruang terbuka, intensitas cahaya lebih

baik diberikan dibawah 10.000 lux (Isnansetyo dan

Kurniastuty, 1995).

2.3 Unsur makro dan mikro nutrient

2.3.1 Unsur makro nutrient

Mikroalga membutuhkan berbagai unsur pertumbuhannya,

baik unsur hara makro dan unsur hara mikro. Unsur hara

makro (macro nutrient) diperlukan mikroalga dalam jumlah

besar, diantaranya nitrogen (N), fosfor (P), silikon

(Si), karbon (C), hidrogen (H), kalium (K), magnesium

(Mg), dan sulfur (S) (Nontji, 2006). Unsur N, P, dan S

berfungsi untuk pembentukan protein. Nitrogen yang

dibutuhkan untuk media kultur dapat diperoleh dari

13

substansi berikut : KNO3,NaNO3, NH4Cl, (NH2)2CO (urea),

dan lain-lain (BBLL 2002).

Unsur fosfor sangat dibutuhkan dalam proses

protoplasma dan inti sel. Fosfor merupakan bahan dasar

pembentuk asam nukleat, enzim, dan vitamin. Fosfor juga

membutuhkan untuk pembentukan pospolipida dan

nukleoprotien. Fosfor untuk media kultur dapat diperoleh

dari KH2PO4, NaHPO4, Ca3PO4 (TSP).

Unsur K berfungsi dalam metabolisme karbohidrat dan

sebagai kofaktor untuk beberapa koenzim. Pembentukan

klorofil dan sebagai komponen esensialnya dipengaruhi

oleh unsur besi (Fe), magnesium (Mg), dan nitrogen (N).

Unsur Si dan Ca adalah bahan untuk pembentukan dinding

sel atau cangkang. Silika merupakan salah satu unsur

nutrien yang sangat penting, khususnya untuk alga jenis

diatom. Dinding sel diatom yang melindungi unit-unit

struktural di dalam sel tersusun atas polimer -polimer

silika. Unsur kalsium juga berperan dalam penyelarasan

dan pengaturan aktivitas protoplasma dan kandungan pH di

dalam sel. Vitamin B12 digunakan untuk memacu pertumbuhan

melalui rangsangan fotosintetik (Isnansetyo &

Kurniastuty, 1995).

2.3.2 Unsur mikro nutrient

14

Unsur hara mikro (micro nutrient) adalah unsur hara yang

diperlukan dalam jumlah sedikit, akan tetapi peranannya

sangat penting dalam pertumbuhan kultur mikroalga. Beberapa

unsur hara mikro yang digunakan dalam kultur mikroalga

adalah trace element, besi (Fe), mangan (Mn), tembaga (Cu),

seng (Zn), boron (B), molibdenum (Mo), vanadium (V), dan

kobalt (Co) . Mn dan Zn diperlukan untuk fotosintesis,

unsur Mo, Bo, dan Co untuk metabolisme nutrien, serta

unsure Mn, B, Cu untuk fungsi metabolik lainnya (Nontji,

2006).

2.4 Biologi Azolla pinnata

2.4.1 Klasifikasi dan morfologi azolla pinnata

Di Indonesia, azola dikenal dengan nama Mata lele,

sedangkan nama lokal azola adalah mata lele (Jawa), kayu

apu dadak, kakarewoan atau kayambang (Sunda). Keberadaan

azola secara alami memang melimpah, namun belum banyak

dimanfaatkan (Marhadi, 2009). Klasifikasi Tumbuhan azolla

adalah sebagai berikut :

Divisi : Pteridophyta

Kelas : Leptosporangiopsida (heterosporous)

Ordo : Salviniales

Famili : Azollaceae

Genus : Azolla

Spesies : Azolla pinnata

15

Gambar 3 : Tumbuhan azola (azolla pinnata). (Sumber : (http://idtools.org))

Istilah Azolla berasal dari bahasa latin, yaitu azo

yang berarti kering dan ollyo yang berarti mati. Tumbuhan

ini akan mati apabila dalam keadaan kering. Azola

merupakan tumbuhan jenis paku-pakuan air yang hidupnya

mengambang diatas permukaan air. Berukuran kecil, lunak,

bercabang-cabang tidak beraturan. Helaian daunnya tumpang

tindih, tersusun saling menutup. Setiap daun terdiri dari

dua helaian, yaitu : helaian atas dan helaian bawah.

Helaian atas berupa daun tebal, dan berada di atas air.

Berwarna hijau karena mengandung klorofil yang berguna

dalam asimilasi. Di dalamnya terdapat ruangan-ruangan

yang berisi koloni Annabaena azollae. Helaian bawah, tipis

dan pucat, karena tidak secara langsung mendapat sinar

16

matahari. Azola tidak mempunyai batang, karena batangnya

berupa rimpang (rhizome), dan rimpang tersebut tumbuh

daun. Azola yang tua bercabang-cabang terdapat akar yang

menempel tersusun rapih seperti rambut yang lebat, dan

tumbuh lurus, serta tidak bercabang, masuk ke dalam air

(Sunarto, 2009).

2.4.2 Habitat azola (azolla pinnata)

Tumbuhan azola merupakan tumbuhan air yang dapat

ditemukan dari dataran rendah sampai ketinggian 2200 m

dpl. Azola banyak terdapat di perairan tenang seperti

danau, kolam, rawa dan persawahan. Tumbuhan azola

tersebar luas di daerah persawahan padi, tumbuh pada

permukaan air, cepat dapat menutup permukaan air, namun

tidak mengganggu pertumbuhan padi. Apabila air surut akan

menempel pada tanah yang lembab, namun perkembangannya

kurang baik (Djojosuwito, 2000). Selama ini azola

merupakan gulma air pada danau, rawa dan kolam ikan

karena dalam waktu 3–4 hari dapat memperbanyak diri

menjadi dua kali lipat dari berat segarnya, sehingga

permukaan kolam dengan waktu singkat tertutup dengan

azola. Spesies yang banyak di Indonesia terutama di pulau

Jawa adalah A. pinnata, dan biasa tumbuh bersama-sama padi

(Sunarto, 2009).

17

2.4.3 Perkembangbiakan azola (azolla pinnata)

Azola tumbuh cepat, produksinya tinggi dan

tersedia sepanjang tahun sehingga potensial sebagai bahan

pakan, yang dapat diberikan segar maupun dalam bentuk

kering. Azola dapat berkembang biak dengan beberapa cara

yaitu secara vegetatif dan secara generatif. Pada

perbanyakan secara vegetatif, cabang-cabang sisi

memisahkan diri dari cabang utama atau batang induk,

diikuti oleh pembentukan lapisan penutup luka akibat

pemisahan. Selanjutnya cabang-cabang sisi yang memisah

tumbuh menjadi tumbuhan dewasa yang bisa membentuk

cabang-cabang baru. Perbanyakan secara vegetatif ini

sangat cepat dengan waktu ganda (doubling time) biomasa

sekitar 4-5 hari. Dari tumbuhan yang memisahkan diri ini

sampai menjadi Azolla, memerlukan waktu 10-15 hari. Azola

dengan bantuan simbiosisnya Annabaena azollae dapat

berkembang menjadi 20 ton/ha dari penebaran 0,5 ton/ha

selama 2 minggu (Djojosuwito, 2000).

18

2.4.4 Kandungan Unsur Hara Azolla pinnata

Azolla pinnata banyak digunakan para petani untuk

dijadikan sebagai pupuk untuk tanaman karena mengandung

banyak unsure hara yang tinggi yang banyak dibutuhkan

oleh tumbuhan, berikut adalah kandungan azolla pinnata :

Tabel 1: Kandungan Unsur hara Azolla pinnata.

No Jenis Unsur

Hara

Kode Unsur

Hara

Persentase Unsur Hara

1 Nitrogen N 1.96-5.30 (%)

2 Posfor P 0.16-1.59 (%)

3 Kalium K 0.31-5.97 (%)

4 Kalsium Ca 0.45-1.70 (%)

5 Magnesium Mg 0.22-0.66 (%)

6 Sulfur S 0.22-0.73 (%)

7 Silika Si 0.16-3.35 (%)

8 Natrium Na 0.16-1.31 (%)

9 Khlor Cl 0.62-0.90 (%)

10 Besi Fe 0.04-0.59 (%)

11 Mangan Mn 66 – 2944 (ppm)

12 Kobalt Co 0.264 (ppm)

13 Seng Zn 26 – 989 (ppm)

(Sumber : www.batan.go.id)

19

BAB III

MATERI DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan

Oktober - November tahun 2013 di Laboratorium Pakan Alami

Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo, Jawa Timur.

3.2 Materi & Alat

3.2.1 Materi

1. Kultur mikroalga : Kultur mikroalga dalam penelitian

ini adalah pupuk cair azola (azolla pinnata), sedangkan

untuk mensterilisasi media dan ruangan menggunakan

alkohol, air tawar, air laut, khlorin, dan natrium

thiosulfat

2. Bahan pembuatan pupuk cair azolla pinnata : Azolla

(tepung), aquades

3.2.2 Alat

Alat-alat penelitian yang digunakan dalam penelitian

ini adalah Toples 10L, aerator, selang aerator, gelas

ukur, pipet tetes, pipet volume, autoclave,

haemocytometer, handtally counter, timbangan digital,

gelas ukur, erlenmeyer, blender, kertas saring, sarung

tangan dan masker, thermometer, pH meter dan amoniak

test, refraktometer.

20

3.3 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode eksperimen. Menurut (Hanafiah, 2010), metode

eksperimen adalah suatu alat penelitian yang digunakan

untuk menyelidiki sesuatu yang belum diketahui atau untuk

menguji suatu teori atau hipotesis yang diajukan. Metode

eksperimen dilakukan untuk menguji kepadatan populasi dan

kandungan protein Skeletonema costatum yang menggunakan pupuk

cair Azolla pinnata. Teknik pengambilan data dilakukan dengan

cara observasi langsung yaitu dengan mengadakan

pengamatan secara langsung terhadap gejala-gejala subjek

yang diteliti.

3.4 Batasan Variabel

1. Skeletonema costatum : Skeletonema costatum merupakan salah

satu jenis phytoplankton dari kelompok diatom yang sering

digunakan sebagai pakan larva kopepoda, larva moluska,

larva udang, dan larva ikan (Myrna et al., 2012).

2. Azolla pinnata : Jenis tumbuhan paku air yang

mengapung banyak terdapat di perairan yang tergenang

terutama di sawah-sawah dan di kolam, Mempunyai

permukaan daun yang lunak mudah berkembang dengan

cepat dan hidup bersimbosis dengan Anabaena azollae

yang dapat memfiksasi Nitrogen (N2) dari udara

(Wahyudi R, 2012).

21

3. Pupuk cair : Pupuk yang berbentuk

cairan, dibuat dengan cara melarutkan kotoran ternak,

daun jenis kacang-kacangan dan rumput jenis tertentu

didalam air.

4. Kepadatan Populasi : Hubungan antara jumlah

individu dan satuan luas atau volume ruang yang

ditempati pada waktu tertentu (Iskandar, 2011).

5. Kandungan Protein : Kandungan senyawa polipeptida

yang dihasilkan dari polimerisasi asam-asam amino

(Anshory, 2003).

3.5 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah

Rancangan Acak Lengkap (RAL) dimana semua dikondisikan

sama kecuali perlakuan (Kusriningrum, 2008). Model linier

Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang digunakan yaitu :

Keterangan :

Yij : Nilai pengamatan pada perlakuan ke-i,

ulangan ke –ij

μ : Nilai rata – rata

αi : Pengaruh perlakuan ke-i (merupakan

selisih nilai tengah

22

Yij : μ + αi +Σij

perlakuan ke –i dengan nilai

tengah umum)

Σij : Pengaruh acak (pengujian yang timbul

secara acak yang

dialami oleh perlakuan ke-i pada

pengamatan ke –ij)

Penelitian ini menggunakan 5 Perlakuan dan 3 ulangan.

Perlakuan tersebut adalah sebagai berikut :

Perlakuan A = Pemberian pupuk cair azola (Azolla pinnata)

konsentrasi 4 ml/L

Perlakuan B = Pemberian pupuk cair azola (Azolla pinnata)

konsentrasi 8 ml/L

Perlakuan C = Pemberian pupuk cair azola (Azolla pinnata)

konsentrasi 12 ml/L

Perlakuan D = Pemberian pupuk cair azola (Azolla pinnata)

konsentrasi 16 ml/L

Perlakuan E = Pemberian pupuk cair azola (Azolla pinnata)

konsentrasi 20 ml/L

Denah percobaan dapat dilihat pada gambar berikut :

:

23

E3 A3 D3

D1 E3 C1

B1

C2

A1C3 B3 A2

B2

E1

D2

3.6 Prosedur Penelitian

3.6.1 Sterilisasi Alat dan Bahan

Tahap awal kultur dalam penelitian ini adalah proses

sterilisasi yang merupakan suatu proses untuk menjaga

kondisi aseptik dengan cara menghilangkan atau membunuh

organisme. Sterilisasi dilakukan dengan membersihkan alat

serta bahan yang akan digunakan untuk isolasi maupun

kultur mikroalga dari mikroorganisme ataupun bahan kimia

yang dapat mengganggu pertumbuhan mikroalga. Sterilisasi

dalam kultur fitoplankton skala laboratorium terdiri atas

sterilisasi ruang, peralatan dan bahan penelitian serta

sterilisasi laboran.

Sterilisasi ruang dilakukan dengan cara menyiapkan

ruang dan rak yang akan digunakan sebagai laboratorium

kultivasi. Ruangan dibersihkan dari debu dan kotoran

lainnya dengan cara menyapu, mengelap, dan mengepel

ruangan, termasuk rak kultivasi hingga bersih dengan

menggunakan larutan klorin 1%. Ruangan yang sudah bersih

dan kering disemprot alkohol 70% menggunakan sprayer.

Air laut yang akan digunakan untuk kultur

disterilisasi menggunakan larutan khlorin. Air laut

terlebih dahulu disaring dengan kapas yang diletakkan

dalam corong air, kemudian disterilkan dengan khlorin 60

24

ppm selama 24 jam dan diberi aerasi. Pada proses

sterilisasi selanjutnya ditambahkan natrium tiosulfat 20

ppm untuk menghilangkan kandungan klorin pada air laut

tersebut. Air laut yang sudah steril disimpan dalam wadah

steril dan tertutup rapat. Sebelum digunakan sebagai

media kultivasi, air laut diaerasi selama 24 jam.

Peralatan kultur yang disterilisasi meliputi

peralatan gelas, peralatan plastik, selang dan wadah

kultur. Peralatan kultur yang akan digunakan dicuci

dengan sabun cuci sampai bersih kemudian dibilas air

tawar dan dikeringkan. Peralatan yang terbuat dari kaca

tahan panas harus ditutup dengan kapas dan kasa, kemudian

dibungkus dengan aluminium foil dan menggunakan autoclave

pada suhu 121oC selama 15 menit. Sterilisasi peralatan

yang tidak tahan panas dan berukuran besar dapat

dilakukan dengan melakukan perendaman menggunakan larutan

klorin dengan konsentrasi 40 ppm. Sterilisasi laboran

dilakukan dengan menyemprotkan alkohol 70% pada kedua

tangan untuk menghindari kontaminasi pada mikroalga

ketika laboran berinteraksi dengan kultivan.

3.6.2 Persiapan pupuk Diatom

Pupuk yang digunakan sebagai kontrol adalah pupuk

diatom yang didapatkan dari BBAP Situbondo. Komposisi

pupuk diatom adalah Na2EDTA 45 g, NaH2PO4.H2O 20 g,

25

FeCl3.6H2O 1,5 g, H3BO3 33,6 g, MnCl2 0,36 g, NaNO3 100 g,

trace metal solution 1 ml, vitamin 1 ml, dan akuades 1000 ml.

Larutan pupuk yang telah siap disimpan dalam wadah yang

tidak tembus cahaya. Larutan pupuk ini kemudian

disterilkan dengan menggunakan autoclave.

3.6.3 Persiapan pupuk Cair Azola (azolla Pinnata)

Azolla pinnata yang akan digunakan sebagai pupuk cair

untuk penelitian diperoleh dari Unit Pengelola Budidaya

Air Tawar (UPBAT) Kepanjen. Kemudian dibilas dengan air

bersih untuk menghilangkan kotoran yang menempel dan

dikeringkan dengan sistem outdoor dibawah panas terik

matahari selama 4 hari.

Pembuatan pupuk khususnya pupuk cair dapat dilakukan

dengan perbandingan 1:4 (500 gr Azolla pinnata dilarutkan

dalam 2 liter akuades) dengan lama perendaman 3-4 minggu

(Taufik, 2011). Azolla pinnata yang telah kering kemudian

diblender hingga menjadi serbuk, dan selanjutnya

dilarutkan dalam akuades dengan perbandingan 1:4 yaitu

350 gram Azolla pinnata yang telah digiling dengan 1,4 liter

akuades kemudian dilakukan proses perendaman secara

anaerob selama 4 minggu dan dilakukan pengocokan setiap

hari.

26

Setelah perendaman selama 4 minggu, Azolla pinnata yang

sudah direndam diperas agar cairan di dalamnya dapat

keluar dan ditempatkan pada wadah gelas kaca steril dan

tertutup agar terhindar dari kontaminasi. Setelah itu

dilakukan analisis nitrogen, fosfor dan silikat. Sebelum

digunakan dalam kultur, pupuk harus disaring dengan

secara berulang untuk dapat memisahkan cairan dan endapan

Azolla pinnata yang tersisa.

3.6.4 Lingkungan dan Media Kultur Skeletonema costatum

Lingkungan kultur Skeletonema costatum yang diharapkan

dalam penelitian ini adalah suhu 25-27 0C , salinitas

25-29 ppt, pH 7,5 – 8 , dan intensitas cahaya ± 2000 lux

yaitu dengan meletakan lampu TL 40 watt ±10 cm diatas

permukaan media kultur dengan photoperiod 24 jam terang :

0 jam gelap yang merupakan waktu penyinaran optimal bagi

kultur fitoplankton (Lavens and Sorgelouss, 1996).

3.6.5 Penebaran Bibit Skeletonema costatum

Skeletonema costatum murni diperoleh dari Balai

Budidaya Air Payau Situbondo. Media kultur yang digunakan

dalam penelitian adalah air laut sebanyak 1 L yang

dimasukkan dalam toples kaca kemudian ditambahkan larutan

pupuk azola (Azolla pinnata). Selanjutnya, media kultur

diberi aerasi dan siap dimasukkan bibit Skeletonema costatum,

sebanyak 1 ml pada tiap perlakuan dengan kepadatan 1 x

27

105 sel/mL (Michiel, 2010). Penghitungan jumlah bibit

Skeletonema costatum. yang diperlukan untuk kultur, dapat

menggunakan rumus (Taw, 1990):

V1 = N2 x V2N1

Dimana

V1 = Volume Skeletonema costatum penebaran awal (ml)V2 = Volume air media (ml)N1 = Jumlah Skeletonema costatumN2 = Jumlah Skeletonema costatum yang dikehendaki (Sel/ml)

3.6.6 Penghitungan Kepadatan Populasi Skeletonema costatum

Pengamatan pertumbuhan Skeletonema costatum. dilakukan

setiap hari selama 5 hari setelah penebaran awal hal ini

untuk mengetahui tingkat pertumbuhan kepadatan populasi

Skeletonema costatum. Pengamatan dilakukan sebanyak 1 kali

dalam waktu 24 jam dan dimulai pada hari ke - 0 hingga

hari ke - 5. Penghitungan kepadatan populasi Skeletonema

costatum, menggunakan rumus perhitungan big block (Isnansetyo

dan Kurniastuty, 1995) .

JS = N x 104.

Keterangan:JS = Kepadatan Skeletonema costatum. (sel/ ml)N = Jumlah sel fitoplankton pada kotak besar104 = Volume kotak besar haemocytometer

3.6.7 Analisa Proksimat (Analisa Kandungan Protein)

28

Analisa proksimat dalam penelitian bertujuan untuk

mengetahui kandungan nutrisi dari skeletonema costatum yaitu

karbohidrat, lemak dan protein. Kandungan nutrisi pada

Skeletonema costatum yang dibudidayakan dengan pupuk diatom

adalah protein 30,55 %, lemak 1,55 %, serat 2,09 %, abu

44,37 %, dan kadar air 8,41 % (BBPBAP Jepara, 2004).

3.7 Parameter yang diukur

3.7.1 Parameter Utama

Parameter utama dalam penelitian adalah kepadatan

populasi Skeletonema costatum dan kandungan protein.

Perhitungan kepadatan populasi Skeletonema costatum

dilakukan setiap hari sampai tingkat kepadatan populasi

menurun selama 5 hari. Kepadatan populasi dihitung dengan

menggunakan haemocytometer. Sedangkan untuk pengukuran

kandungan protein dilakukan dengan analisa proximat untuk

mengetahui karbohidrat, lemak dan protein pada Skeletonema

costatum. Parameter utama digunakan untuk mencari populasi

maksimum selama pemeliharaan dan jumlah kandungan nutrisi

Skeletonema costatum setelah dikultur dengan pupuk cair azola

(azolla pinnata).

3.7.2 Parameter Penunjang

29

Parameter penunjang dalam penelitian adalah

pengukuran kualitas air yaitu suhu, pH, salinitas dan

amoniak. Penghitungan terhadap suhu, pH, salinitas

dilakukan setiap hari pada pagi hari agar kondisi

lingkungan pemeliharaan terkontrol. Pengukuran suhu

menggunakan termometer, pengukuran pH menggunakan pH

paper, dan pengukuran salinitas menggunakan

refraktometer. Amoniak diukur dengan menggunakan test kit

pada akhir kultur.

3.8 Analisa Data

Data yang diperoleh dianalisa secara deskriptif

kemudian dibandingkan dengan teori yang sudah ada dan

fakta yang ada. Metode deskriptif merupakan metode yang

bertujuan untuk memaparkan secara sistematis, faktual dan

akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat dari populasi

tertentu, data dikumpulkan sesuai dengan tujuan dan

secara rasional kesimpulan diambil dari data-data yang

terkumpul (Surakhmad, 1994).

30

DAFTAR PUSTAKA

Cordova, A.I.C, A.L. Gonzalez, F. Ascencio , E.C.Jacinto, and C.J.C Martinez. 2006. Effects OfChloramphenicol, Erythromycin, And Furazolidone OnGrowth Of Isochrysis galbana and Chaetoceros gracilis.Aquaculture 260. 145–150.

Djarijah, A. S. 1995. Pakan Ikan Alami. PenerbitKanasius. Yogyakarta. hal. 36-38.

Djojosuwito, S. 2000. Azolla Pertanian Oganik danMultiguna. Penerbit Kanisius. Jakarta.

Edhy et al,. 2003; Triswanto. 2012. Biologi, Morfologi danHabitat Diatom. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Isnansetyo, A. dan Kurniastuty. 1995. Teknik KulturPhytoplankton dan Zooplankton. Penerbit Kanasius.Yogyakarta.

Krichnavaruk, S., S. Powtongsook, P. Pavasant. 2007.Enhanced productivity of Chaetoceros calcitrans in airliftPhotobioreactors. Bioresource Technology 98 . 2123–2130. 8 p.

Kusriningrum, R. 2008. Perancangan Percobaan. UniversitasAirlangga. Surabaya. hal. 43-51.

Lavens, P and P. Sorgeloos. 1996. Manual on TheProduction and Use of Live Food for Aquaculture. FAOFisheries Technical Paper. No. 361. Rome. 295p.

Michiel, H. A. Michels, M.H.A., A. J. Van der Goot., N.HNorsker., and R. H. Wijffels. 2010 .Effects of shearstress on the microalgae Chaetoceros muelleri. BioprocessBiosyst Eng 33:921–927

Pengelolaan Budidaya Ikan Jepara (diterjemahkan oleh BMarto Sudarrno dan Wulani)

31

Suriadnyani, N.N., N.L.T. Aryani, K. Mastantra danSaifuddin. 2007. Kultur Massal Diatom Sebagai SediaanPakan Alami Pada Pembenihan Udang Windu (Penaeusmonodon). Bul. Tek. Lit Akuakultur Vol. 6. No. 1. 4hal.

Suriawiria, U. 1985. Pengantar Mikrobiologi Umum.Angkasa. Bandung. 224 hal.Taw, 1990. Petunjuk Pemeliharaan Kultur Murni dan MassalMikro Alga. Proyek

32