Penerapan Aspek Hukum Lingkungan di Indonesia yang di Tinjau dari Aspek Hukum Perdata
-
Upload
malahayati -
Category
Documents
-
view
7 -
download
0
Transcript of Penerapan Aspek Hukum Lingkungan di Indonesia yang di Tinjau dari Aspek Hukum Perdata
I. PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Pembangunan nasional yang telah dilaksanakan selama ini
telah menunjukan kemajuan di berbagai bidang kehidupan
masyarakat, meliputi bidang sosial, budaya dan
kehidupan beragama, ekonomi, ilmu politik, ilmu
pengetahuan dan teknologi, politik, pertahanan dan
keamanan, hukum dan aparatur, pembangunan wilayah dan
tata ruang, penyediaan sarana dan prasarana, serta
pengolahan Sumber Daya Alam (SDA) dan lingkungan hidup.
Banyak kemajuan yang telah dicapai, tetapi disamping
itu masih banyak pula tantangan atau masalah yang belum
sepenuhnya terselesaikan. Tantangan atau masalah yang
belum sepenuhnya terselesaikan, diantaranya adalah
masalah pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
sebagai efek samping dari berjalannya proses
perundangan. Pencemaran dan kerusakan lingkungan
sebagai akibat dari proses pembangunan ini diprediksi
akan terus berlanjut. Seperti yang dikatakan oleh Otto
Soemrawoto “Masyarakat Indonesia mempunyai kepercayaan
bahwa lingkungan hidup berlawanan dengan pembangunan.
Mengingat kita masih melarat, pembangunan harus
didahulukan dari lingkungan hidup, dalam pemerintahan
pun lingkungan hanya menempati tempat yang marjinal”.
Berbagai kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan yang
menonjol sebagai efek samping dari proses pembangunan
adalah kerusakan sumber daya hutan akibat meningkatnya
praktik pembalakan liar dan penyelundupan kayu,
meluasnya kebakaran hutan dan lahan, meningkatnya
tuntutan lahan dan sumber daya hutan yang yang tidak
pada tempatnya, serta meningkatnya penambangan resmi
maupun tanpa izin. Pencemaran air, udara dan tanah
juga merupakan kasus-kasus pencemaran dan kerusakan
lingkungan yang menonjol sebagai akibat pesatnya
aktivitas pembangunan yang kurang mempertahankan aspek
kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Persoalan pencemaran lingkungan dapat dilihat dari
berbagai aspek lingkungan yang merupakan sarana untuk
penyelesaiannya. Pencemaran kerusakan lingkungan dapat
diselesaikan melalui aspek medik, planalogis,
teknologis, teknik lingkungan, ekonomi dan hukum. Hukum
yang berfungsi sebagai sarana penyelesaian pencemaran
lingkungan adalah hukum lingkungan.
Persoalan lingkungan hidup pada dasarnya adalah
persoalan semua orang, dan sudah seyogyanya gerakan-
gerakan kesadaran yang coba dibangun untuk memulihkan
kondisi lingkungan ke arah yang lebih baik adalah satu
keharusan, dengan mengambil peran apapun yang bisa
dilakukan oleh semua pihak untuk melakukan perbaikan
terhadap kerusakan lingkungan hidup disekitarnya.
UUD 1945 yang pada pasal 1 secara jelas menyatakan
bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat. Jadi merupakan
wewenang rakyat untuk melakukan upaya-upaya
penyelamatan lingkungan hidup di Indonesia. Pasal 28H
ayat (1) yang menentukan “Setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkugnan hidup yang baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Hukum lingkungan adalah instrumentarium yuridis bagi
pengelolaan lingkungan. Prespektif hukum lingkungan,
penuntasan kasus-kasus pencemaran lingkungan mencakup 3
(tiga) bidang sekaligus, yaitu hukum lingkungan
administratif, hukum lingkunga keperdataan, hukum
lingkungan kepidanaan sebagai konsekuensi logis
kedudukan hukum lingkungan sebagai hukum fungsional.
I.2. Rumusan Masalah
Keberadaan limbah yang dihasilkan oleh pembangunan
dinilai dapat menimbulkan dampak buruk kelingkungan
sekitar. Oleh karena itu, limbah yang dihasilkan
didesak untuk menerapkan standardisasi pengolahan
limbah yang ramah lingkungan.
I.3. Tujuan
1. Memberikan informasi mengenai hukum lingkungan
perdata.
2. Memberikan informasi sanksi mengenai pencemaran yang
ditimbulkan dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang
ditinjau melalui aspek hukum lingkungan perdata.
I.4. Metode Penulisan
Pada pembuatan laporan Tugas Penerapan Aspek Hukum
Lingkungan di Indonesia yang di Tinjau dari Aspek Hukum
Perdata ini metode yang digunakan penulis adalah dengan
studi literatur.
II. TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Hukum Lingkungan
Hukum lingkungan menurut Lal Kurukulasuriya dan
Nicholas A. Robinson adalah “Seperangkat aturan
hukum yang memuat tentang pengendalian dampak manusia
terhadap bumi dan kesehatan publik”. Hukum lingkungan
adalah kategori hukum yang sifatnya luas yang mencakup
hukum yang secara khusus menunjuk persoalan-persoalan
lingkungan dan secara umum hukum yang secara langsung
menunjuk pada dampak atas persoalan-persoalan
lingkungan.
UNEP mendefinisikan hukum lingkungan adalah
“Seperangkat aturan hukum yang berisi unsur-unsur untuk
mengendalikan dampak manusia terhadap lingkungan. A.B.
Blomberg, A.A..J. de Gier dan J. Robbe memberikan
definisi hukum lingkungan sebagai berikut hukum
lingkungan secara umum dipahami sebagai hukum yang
melindungi kualitas lingkungan dan hukum konservasi
alam.
Siti Sundari Rangkuti menyatakan bahwa dari substansi
hukum yang merupakan materi hukum lingkungan, maka mata
kuliah hukum lingkungan digolongkan kedalam mata kuliah
hukum fungsional (Functionele Rechtsvakken), yaitu
mengandung terobosan antara berbagai disiplin hukum
klasik.
Substansi hukum lingkungan menimbulkan pembidangan
dalam hukum lingkungan administratif, hukum
lingkungan keperdataan, hukum lingkungan kepidanaan.
Hukum lingkungan internasional yang sudah
berkembang menjadi disiplin ilmu hukum tersendiri
dan hukum tata ruang. Dengan demikian, hukum
lingkungan tidak merupakan bagian hukum publik ataupun
bagian dari hukum privat, namun mencakup hukum publik
dan hukum prifat sekaligus.
Hukum lingkungan adalah hukum fungsional yang
mengandung aspek hukum publik dan aspek hukum privat.
Dalam kepustakaan hukum lingkungan dan ilmu lingkungan
dapat ditemukan berbagai pandangan para pakar hukum
lingkungan dan ilmu lingkungan mengenai pengertian
pencemaran lingkungan, namun dalam penelitian ini
pengertian pencemaran lingkungan mengacu kepada Pasal 1
ayat 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU
PPLH). Pasal 1 ayat 14 UU PPLH mendefinisikan
pencemaran lingkungan sebagai berikut “Pencemaran
lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya
makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke
dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga
melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah
ditetapkan”.
Pencemaran lingkungan menurut UU PPLH hanya meliputi
pencemaran lingkungan yang disebabkan karena kegiatan
manusia, tidak termasuk didalamnya pencemaran
lingkungan yang disebabkan oleh alam, misalnya bencana
tsunami di Nanggroe Aceh Darus Salam, meletusnya Gunung
Merapi di Yogyakarta dan hujan debu dari Gunung
Semeru di Jawa Timur. Pengertian kasus pencemaran
lingkungan dalam tulisan ini adalah terbatas pada kasus
pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan
manusia dan tidak mencakup di dalamnya mengenai
pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh faktor alam.
II.2. Sejarah Perkembangan Lingkungan
Masalah lingkungan dapat ditinjau dari aspek medik,
planologis teknologis, teknik lingkungan, ekonomi dan
hukum. Sebagaimana dikemukakan oleh Siti Sundari
Rangkut “Perkembangan hukum lingkungan tidak dipisahkan
dengan gerakan sedunia yang memberikan perhatian
besarnya tentang lingkungan hidup”.
Konfrensi PBB tentang lingkungan hidup, telah diadakan
di Stockholm pada Tahun 1972, Konferensi Stockholm
membahas masalah lingkungan dan jalan keluarnya, agar
pembangunan dapat terlaksana dengan memperhitungkan
daya dukung lingkungan (Eco-Development), dan kapasitas
lingkungan yang ada. Pada tahun 1983 PBB membentuk
komisi sedunia untuk lingkungan dan pembangunan yaitu
World Commission on Environment and Development (WCED).
PBB pada tahun 1992 menyelenggarakan konferensi
mengenai masalah lingkungan dan pembangunan The United
Nations Conference on Environment and Development (UNCED) atau
dikenal sebagai KTT Bumi (Earth Summit) di Rio de
Janeiro, Brasil pada tanggal 3-14 Juni Tahun 1992.
Indonesia pertama kali lingkungan hidup masuk dalam
GBHN tahun 1993 BAB III huruf B ayat (10) dengan Tap
MPR RI No.IV/MPR/1993 dan dijabarkan dalam REPELITA II
(1994-1997) dalam Buku III bab 27, tentang Pembinaan
Hukum Nasional.
Semakin maju perkembangan ilmu dan teknologi serta
peningkatan ekonomi dan modal, terutama penanaman modal
dalam negeri dan modal asing, melalui sektor kehutanan
dan pertambangan lahirnya UU No.1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal dan UU No.6 Tahun 1967 tentang Penanamn
Modal Dalam Negeri. Ini sudah memuat pemikiran tentang
pengaturan lingkungan. Kemudian terjadi peristiwa
pencemaran lingkungan berupa minyak akibat kandasnya
kapal ”Showa Maru” di Selat Malaka.
Dari hal tersebut diselenggarakan lokakarya tentang
segi-segi hukum dari pengelolaan lingkungan hidup oleh
depertemen dan perguruan tinggi. Indonesia
meratifikasi Konvensi IMCO tentang Pencemaran Laut oleh
Minyak Bumi dari kapal, yang diimplemantasikan dengan
Keppres No.18 Tahun 1978 tentang Civil Liability Convention dan
Keppres No. 19 Tahun 1978 tentang Internasional Fund
Convention 1971. Pada tahun 1978 dibentuk kantor
menteri negara PPLH, salah tugas membuat RUU lingkungan
Hidup. Kemudian lahirnya UU No.4 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pengeloan Lingkungan Hidup, diganti
UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup dan diganti lagi UU No.32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
II.3. Hukum Lingkungan Keperdataan
Pengertian Hukum Perdata, berdasarkan pendapat para
ahli adalah "Rangkaian peraturan hukum yang mengatur
hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang
lain, antara subyek hukum yang satu dengan subyek yang
lain, dengan menitikberatkan pada kepentingan
perseorangan, dimana ketentuan dan peraturan dimaksud
dalam kpentingan untuk mengatur dan membatasi kehidupan
manusia atau dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan atau
kepentingan hidupnya."
Hukum lingkungan keperdataan bertujuan untuk memberikan
perlindungan hukum bagi korban pencemaran lingkungan
dengan cara mengajukan gugatan sengketa lingkungan di
peradilan umum untuk memperoleh ganti kerugian.
Penyelesaian sengketa lingkungan diartikan sebagai
gugatan ganti kerugian atas dasar perbuatan melawan
hukum di bidang hukum lingkungan keperdataan oleh
korban pencemaran lingkungan.
Ketentuan tentang mekanisme penyelesaian sengketa
lingkungan menurut UU PPLH diatur dalam Pasal 84 yang
menetapkan:
1. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat
ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan.
2. Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup
dilakukan secara sukarela oleh para pihak yang
bersengketa.
3. Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh
apabila upaya penyelesaian sengketa di luar
pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil
oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa
Menurut ketentuan Pasal 84 ayat (1) UU PPLH,
penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui
pengadilan atau di luar pengadilan yang dipilih
secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa.
Dengan ketentuan demikian para pihak diberi kebebasan
untuk memilih mekanisme penyelesaian sengketa
lingkungan baik melalui pengadilan atau melalui luar
pengadilan.
Dasar hukum gugatan sengketa lingkungan di peradilan
umum tertuang dalam Pasal 87 yang selangkapnya
menyatakan sebagai berikut:
1. Setiap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan
yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup
yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau
lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi
dan/atau melakukan tindakan tertentu
2. Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan,
pengubahan sifat dan bentuk usaha, dan/atau
kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar
hukum tidak melepaskan tanggungjawab hukum dan/atau
kewajiban badan usaha tersebut.
3. Pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa
terhadap setiap hari keterlambatan atas
pelaksanaan putusan pengadilan.
4. Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan
peraturan perundangundangan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 87 ayat (1) UU PPLH,
agar dapat diajukan gugatan lingkungan untuk
memperoleh ganti kerugian harus terpenuhi unsur-unsur
:
1. Setiap/penanggungjawab usaha/kegiatan
2. Melakukan perbuatan melanggar hukum
3. Berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
4. Menimbulkan kerugian pada orang lain atau
lingkungan;
5. Penanggungjawab kegiatan dan/atau usaha membayar
ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu;
Dasar pengajuan gugatan lingkungan Gugatan Class Action
atau gugatan perwakilan kelompok adalah suatu tata cara
pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih yang
mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri mereka
sendiri dan sekaligus mewakili kelompok orang yang
jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau
dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok
dimaksud. Sementara itu yang dimaksud dengan Wakil
kelompok adalah satu orang atau lebih yang menderita
kerugian yang mengajukan gugatan dan sekaligus mewakili
kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya.
Class Action pada intinya adalah gugatan perdata (biasanya
terkait dengan permintaan injuntction atau ganti kerugian)
yang diajukan oleh sejumlah orang sebagai perwakilan
kelas (Class Repesentatif) mewakili kepentingan mereka,
sekaligus mewakili kepentingan ratusan atau ribuan
orang lainnya yang juga sebagai korban. Ratusan atau
ribuan orang yang diwakili tersebut diistilahkan
sebagai class members.
Class action bisa merupakan suatu metode bagi orang
perorangan yang mempunyai tuntutan sejenis untuk
bergabung bersama mengajukan tuntutan agar lebih
efisien, dan seseorang yang akan turut serta dalam
class action harus memberikan persetujuan kepada
perwakilan. Hal ini berarti bahwa kegunaan class action
secara mendasar antara lain adalah efisiensi perkara,
proses berperkara yang ekonomis, menghindari putusan
yang berulang-ulang yang dapat berisiko adanya putusan
inkonsistensi dalam perkara yang sama.
Setiap warga negara memiliki hak yang sama di hadapan
hukum dan berhak untuk membela hak-nya apabila ia
merasa dirugikan oleh pihak lain. Hal ini menjadi dasar
pemikiran diadakannya aturan gugatan perdata. Secara
umum model gugatan perdata ada dua macam yaitu :
1. Gugatan yang dilakukan di luar pengadilan dikenal
dengan sebutan nonlitigasi
2. Gugatan yang dilakukan melalui peradilan disebut
litigasi.
Gugatan perdata atas pelanggaran hubungan perdata dapat
dilakukan dengan dua cara :
1. Oleh orang yang bersangkutan atau ahli warisnya.
2. Sekelompok orang yang mempunyai kepentingan yang
sama (Class Action).
II.4. Kendala Pelaksanaan Hukum Lingkungan
Persoalan lingkungan hidup bagi negara berkembang
seperti Indonesia dilematis bagaikan buah simalakama.
Satu sisi terdapat tuntutan melaksanakan pembangunan
yang berdampak terhadap lingkungan, di sisi lain harus
melakukan upaya-upaya kelestarian lingkungan.
Solusinya, dalam melaksanakan pembangunan praktis
sekaligus meningkatkan mutu lingkungan.
Upaya memupuk disiplin lingkungan dalam artian menaati
aturan yang berlaku sebagai solusi dalam menangani
problem lingkungan yang kian marak. Pada prinsipnya,
setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian
lingkungan hidup, mencegah, dan menanggulangi
pencemaran serta perusakan lingkungan hidup.
Karena itu, setiap kegiatan yang berakibat pada
kerusakan lingkungan, seperti pencemaran lingkungan dan
pembuangan zat berbahaya (B3) melebihi ambang batas
baku mutu bisa dikategorikan sebagai perbuatan yang
bertentangan dengan hukum, sehingga dapat dikenai
sanksi, baik sanksi administrasi, perdata, maupun
pidana. Hingga kini problem lingkungan terus menjadi
isu yang selalu aktual dan belum tertanggulangi,
terlebih di era reformasi yang tak luput pula dari
tuntutan demokratisasi dan transparansi.
Dalam rangka mengantisipasi kian meluasnya dampak
kontraproduktif terhadap lingkungan, khususnya akibat
perkembangan dunia industri yang pesat, maka penegakan
hukum di bidang lingkungan hidup menjadi mutlak
diperlukan.
Selain itu upaya menegakkan hukum lingkungan dewasa ini
memang dihadapkan sejumlah kendala seperti:
1. Masih terdapat perbedaan persepsi antara aparatur
penegak hukum dalam memahami dan memaknai peraturan
perundang-undangan yang ada.
2. Biaya untuk menangani penyelesaian kasus lingkungan
hidup terbatas.
3. Membuktikan telah terjadi pencemaran atau perusakan
lingkungan bukanlah pekerjaan mudah.
Era reformasi dapat dipandang sebagai peluang yang
kondusif untuk mencapai keberhasilan dalam penegakan
hukum lingkungan. Kedepan, perlu exit strategy sebagai
solusi penting yang harus diambil oleh pemegang policy
dalam penyelamatan fungsi lingkungan hidup.
1. Mengintensifkan keterpaduan dan koordinasi
antarsektor terkait dalam pengelolaan sumber daya
alam dan lingkungan hidup.
2. Asanya sanksi yang memadai (enforceability) bagi
perusahaan yang membandel dalam pengelolaan limbah
sesuai dengan aturan yang berlaku. Jika ada indikasi
tindak pidana, aparat penegak hukum dapat menindak
tegas para pelaku/penanggung jawab kegiatan
usaha/industri yang nakal.
3. Adanya partisipasi publik, transparansi, dan
demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan hidup patut ditingkatkan.
Pengelolaan lingkungan hidup akan terkait tiga unsur,
yaitu pemerintah, pengusaha, dan masyarakat. Pada
gilirannya, dalam pengelolaan lingkungan hidup setiap
orang mempunyai hak yang sama untuk menikmati
lingkungan hidup yang baik dan sehat. Untuk itu, sudah
saatnya penegakan hukum bagi setiap usaha dan aktivitas
yang membebani lingkungan diintensifkan agar
kelestarian fungsi lingkungan hidup bisa terjaga dengan
baik.
Hakekat hukum lingkungan secara sederhana adalah
seperangkat aturan yang mengatur tatanan lingkungan
dalam hal ini lingkungan hidup dimana lingkungan dapat
diartikan sebagai semua benda dan kondisi yang dapat
mempengaruhi kelangsungan hidup dan kesejahteraan
manusia dan makhluk hidup lainnya. Dalam
perkembangannya hukum lingkungan dapat dibedakan
menjadi 2 yaitu hukum lingkungan modern dan juga hukum
lingkungan klasik.
Bentuk penegakan hukum lingkungan yang digunakan di
Indonesia adalah yang pertama penegakan melalui
istrumen administratif yang apabila tidak mampu
menyelesaikan permasalahan dan juga tidak diindahkan
oleh pelaku pelanggara atau kejahatan lingkungan hidup
adalah penggunaan instrumen perdata dan pidana, yang
mana kedua instrument sanksi hukum ini biasa gunakan
secara pararel maupun berjalan sendiri sendiri.
Hukum lingkungan diperlukan dan dibutuhkan dalam rangka
menjaga supaya lingkungan dan sumber daya alam
dimanfaatkan sesuai dengan daya dukung atau kondisi
kemampuan lingkungan itu sendiri.
Kendala di dalam penegakan dan juga pengimplementasian
hukum lingkungan antara lain antara adalah perbedaan
persepsi antara aparatur penegak hukum dalam memahami
dan memaknai peraturan perundang-undangan yang ada,
biaya untuk menangani penyelesaian kasus lingkungan
hidup terbatas, membuktikan telah terjadi pencemaran
atau perusakan lingkungan bukanlah pekerjaan mudah, dan
yang terakhir adalah kurangnya partisipasi publik,
transparansi, dan demokratisasi dalam pengelolaan
sumber daya alam dan lingkungan hidup.
III. PEMBAHASAN
III.1. Contoh Kasus
Pada kesempatan kali ini penulis mengangkat kasus
tentang limbah cair industri tekstil kali citarum yang
penulis ambil dari harian Kompas Jumat, 26 April 2013
13:14 WIB dengan judul berita “DAS Citarum di Ambang
Malapetaka Lingkungan” berikut berita tersebut :
“Malapetaka lingkungan tengah berlangsung di Daerah Aliran Sungai
Citarum, Jawa Barat. Ratusan ribu warga yang tinggal di kawasan ini
menderita karena menjadi langganan banjir di musim hujan dan
kekurangan air di musim kemarau.
”Pada musim kemarau air yang kami gunakan adalah limbah beracun.
Sungai ini dijadikan tempat pembuangan limbah,” kata Deni Riswandani
dari Komunitas Elemen Lingkungan (Elingan), Kamis (25/4/2013), di
Bandung. Secara turun-temurun, ribuan warga tinggal di sentra industri
tekstil Majalaya, Kabupaten Bandung.
Bertahun-tahun hampir semua pabrik tekstil di Majalaya membuang
langsung limbah beracunnya ke Citarum. Padahal, sungai ini masih
dipakai untuk keperluan air minum bagi warga di hilir, termasuk 80
persen warga DKI Jakarta.
Sekitar 1.500 industri di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum
menyumbang 2.800 ton limbah setiap hari. Semua adalah limbah cair
kimia bahan berbahaya dan beracun (B3). Ditambah 10 ton sampah,
setiap hari masuk ke Waduk Saguling. Padahal, Saguling memiliki pusat
pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang tersambung dengan jaringan
interkoneksi Jawa-Bali. Limbah beracun sering kali merusak turbin PLTA.
Sampai kini Sungai Citarum masih tercemar. ”Kondisi ini berlangsung
lama dan dibiarkan merusak lingkungan dan kehidupan warga
sekitarnya,” ujar Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Jabar
Dadan Ramdan.
Susut 62.000 hektar
Komunitas Elingan, yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan,
mencatat dalam sembilan tahun ini lahan hutan di DAS Citarum
menyusut 86 persen, dari 72.000 hektar tahun 2000 menjadi 9.900 hektar
tahun 2009. Pada periode yang sama, luas kawasan permukiman di
sekitar DAS Citarum meningkat 115 persen dari 81.7000 hektar jadi
176.000 hektar.
Tahun 2012, lahan kritis mencapai 20 persen dari luas DAS Citarum
sekitar 718.000 hektar. Seluas 144.000 hektar di antaranya adalah lahan
rusak. Hingga saat ini setiap tahun ada 95 ton tanah per hektar terbawa
erosi ke DAS Citarum. Padahal, dalam kaidah lingkungan, tingkat erosi
yang ditoleransi hanya sekitar 15 ton per hektar per tahun.
Ketua Umum Badan Musyawarah Masyarakat Sunda Syarif Bastaman
menambahkan, beberapa ikan endemik telah punah dari Sungai
Citarum. (dmu)
Sumber : Kompas Cetak
Editor : yunan
III.2. Analisa Kasus
Aspek Hukum Perlindungan kawasan industri di Jawa Barat
dari “Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan
untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah
terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan,
pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan
hukum” (Pasal 1 ayat 2 UU 32 Tahun 2009).
Secara umum Pengelolaan secara terpadu menghendaki
adanya keberlanjutan (Sustainability) dalam pemanfaatan.
Sebagai kawasan yang dimanfaatkan untuk berbagai sektor
pembangunan, wilayah ini memiliki kompleksitas isu,
permasalahan, peluang dan tantangan.
Pencegahan pencemaran dari kawasan industri diatur dlm
UU 32 Tahun 2009 seperti terlihat dalam Pasal 20 ayat 3
UUPLH disebutkan :
Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke
media lingkungan hidup dengan persyaratan:
1. Memenuhi baku mutu lingkungan hidup;
2. Mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Kasus pencemaran oleh kawasan industri di Jawa Barat
ini memang belum ada upaya hukum yang dilakukan. Hal
ini dikarenakan kurangnya peran pemerintah dalam hal
pengawasan serta belum adanya keberanian masyarakat
untuk mengangkat kasus ini, walupun mereka merasakan
dampak negatif dari pencemaran limbah tersebut.
Masyarakat ataupun LSM sebenarnya dapat mengajukan
upaya hukum dalam menyelesaikan kasus ini yaitu
penegakkan hukum lingkungan dalam kaitannya dengan
hukum perdata.
III.3. Sanksi Perdata
Ketentuan hukum penyelesaian perdata pada sengketa
lingkungan dalam UUPLH terdapat dalam pasal 87 ayat 1
“Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang
melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan
kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib
membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan
tertentu.”
1. Kesalahan Industri Tekstil di Sekitar Kali citarum
Kesalahan yang dilakukan oleh industri tekstil yang ada
disekitaran kali Citarum adalah tidak memberlakukannya
dan/atau menjalankan IPAL dengan baik dan benar. Air
limbah yang dihasilkan dibuang langsung kebadan sungai
tanpa melalui proses terlebih dahulu. Sampah padat
yang dihasilkan juga tidak dibuang ketempat pembuangan
akhir, melainkan langsung kedalam Waduk Saguling.
2. Kerugian Warga di Sekitar Kali Citarum
Limbah-limbah yang keluar dari industri-industri yang
ada tidak diolah terlebih dahulu, sehingga air limbah
yang terkategorikan sebagai zat-zat berbahaya dan
beracun (B3) mengalir bebas dialiran sungai yang biasa
dipakai oleh warga untuk keperluan sehari-sehari.
Limbah padat yang dihasilkan pun menyebabkan kerugian
untuk masyarakat sekitar terutama jika terjadi hujan
lebat. Jika hujan lebat terjadi dalam waktu yang lama
maka sampah yang menumpuk di Waduk Saguling akan
menyebabkan banjir.
Rakyat, dalam hal ini lebih banyak sebagai korban
terutama yang bersentuhan langsung dengan kawasan
dimana terjadi pencemaran yang dilakukan oleh pihak
pengusaha. Hal inilah yang dialami warga seputaran
kali Citarum. Kondisi seperti ini berlangsung lama dan
dibiarkan merusak lingkungan dan kehidupan warga
sekitar tanpa adanya tindak lanjut dari pemerintah.
3. Kaitannya dengan Hukum Perdata
Dalam kasus kali ini masyarakat sekitar kali Citarum
dapat melakukan gugatan diluar pengadilan atau gugatan
Class Action yaitu mengajukan sejumlah orang sebagai
perwakilan kelas (Class Repesentatif) untuk meminta ganti
rugi kepada industri-industri yang melakukan
pencemaran. Bentuk ganti rugi yang bisa diminta adalah
:
A. Memberikan sejumlah biaya atau pengobatan untuk
korban-korban yang menderita penyakit tertentu yang
diakibatkan oleh air limbah yang mengalir
diseputaran kali Citarum.
B. Memberikan fasilitas air bersih untuk keperluan
domestik.
C. Memperbaiki dan menggunakan Instalasai Pengolahan
Air Limbah (IPAL) dengan tepat dan semestinya.
D. Membuang limbah padat langsung ke Tempat Pembuangan
Akhir (TPA)
IV. PENUTUP
IV.1. Simpulan
1. Hukum yang berfungsi sebagai sarana penyelesaian
pencemaran lingkungan adalah hukum lingkungan.
2. Hukum lingkungan adalah kategori hukum yang sifatnya
luas yang mencakup hukum yang secara khusus menunjuk
persoalan-persoalan lingkungan.
3. Hukum lingkungan perdata adalah hukum yang mengatur
hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang
yang lain, atau antara subyek hukum yang satu dengan
subyek hukum yang lain, dengan menitikberatkan pada
kepentingan perseorangan, dimana ketentuan dan
peraturan dimaksud dalam kpentingan untuk mengatur
dan membatasi kehidupan manusia atau seseorang dalam
usaha untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan
hidupnya.
4. Pengelolaan lingkungan hidup akan terkait tiga
unsur, yaitu pemerintah, pengusaha, dan masyarakat.
5. Class action bisa merupakan suatu metode bagi orang
perorangan yang mempunyai tuntutan sejenis untuk
bergabung bersama mengajukan tuntutan agar lebih
efisien.
IV.2. Saran
1. Industri tekstil yang ada disekitar kali Citarum
haruslah menjalankan industrinya dengan tetap
memperhatikan keseimbangan lingkungan.
2. Perlu diadakannya sebuah Instalasi Pengolahan Air
Limbah (IPAL) pada setiap industri agar dapat
meminimalisasi buangan yang diduga berpotensi
mencemari lingkungan.
3. Penanganan limbah dengan end of pipe treatment pada
industri tekstil dirasa kurang tepat, hal ini
disebabkan karena penanganan dengan cara tersebut
hanya mengubah bentuk limbah dari suatu bentuk
kebentuk lainnya.
4. Industri tekstil haruslah benar-benar sadar akan
limbah yang dihasilkan dari pengolahannya sehingga
instalasi pengolahan limbahnya dapat dijalankan
dengan semestinya.