Penerapan Aspek Hukum Lingkungan di Indonesia yang di Tinjau dari Aspek Hukum Perdata

27
I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pembangunan nasional yang telah dilaksanakan selama ini telah menunjukan kemajuan di berbagai bidang kehidupan masyarakat, meliputi bidang sosial, budaya dan kehidupan beragama, ekonomi, ilmu politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, politik, pertahanan dan keamanan, hukum dan aparatur, pembangunan wilayah dan tata ruang, penyediaan sarana dan prasarana, serta pengolahan Sumber Daya Alam (SDA) dan lingkungan hidup. Banyak kemajuan yang telah dicapai, tetapi disamping itu masih banyak pula tantangan atau masalah yang belum sepenuhnya terselesaikan. Tantangan atau masalah yang belum sepenuhnya terselesaikan, diantaranya adalah masalah pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan sebagai efek samping dari berjalannya proses perundangan. Pencemaran dan kerusakan lingkungan sebagai akibat dari proses pembangunan ini diprediksi akan terus berlanjut. Seperti yang dikatakan oleh Otto Soemrawoto “Masyarakat Indonesia mempunyai kepercayaan bahwa lingkungan hidup berlawanan dengan pembangunan. Mengingat kita masih melarat, pembangunan harus didahulukan dari lingkungan hidup, dalam pemerintahan pun lingkungan hanya menempati tempat yang marjinal”. [email protected]

Transcript of Penerapan Aspek Hukum Lingkungan di Indonesia yang di Tinjau dari Aspek Hukum Perdata

I. PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Pembangunan nasional yang telah dilaksanakan selama ini

telah menunjukan kemajuan di berbagai bidang kehidupan

masyarakat, meliputi bidang sosial, budaya dan

kehidupan beragama, ekonomi, ilmu politik, ilmu

pengetahuan dan teknologi, politik, pertahanan dan

keamanan, hukum dan aparatur, pembangunan wilayah dan

tata ruang, penyediaan sarana dan prasarana, serta

pengolahan Sumber Daya Alam (SDA) dan lingkungan hidup.

Banyak kemajuan yang telah dicapai, tetapi disamping

itu masih banyak pula tantangan atau masalah yang belum

sepenuhnya terselesaikan. Tantangan atau masalah yang

belum sepenuhnya terselesaikan, diantaranya adalah

masalah pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan

sebagai efek samping dari berjalannya proses

perundangan. Pencemaran dan kerusakan lingkungan

sebagai akibat dari proses pembangunan ini diprediksi

akan terus berlanjut. Seperti yang dikatakan oleh Otto

Soemrawoto “Masyarakat Indonesia mempunyai kepercayaan

bahwa lingkungan hidup berlawanan dengan pembangunan.

Mengingat kita masih melarat, pembangunan harus

didahulukan dari lingkungan hidup, dalam pemerintahan

pun lingkungan hanya menempati tempat yang marjinal”.

[email protected]

Berbagai kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan yang

menonjol sebagai efek samping dari proses pembangunan

adalah kerusakan sumber daya hutan akibat meningkatnya

praktik pembalakan liar dan penyelundupan kayu,

meluasnya kebakaran hutan dan lahan, meningkatnya

tuntutan lahan dan sumber daya hutan yang yang tidak

pada tempatnya, serta meningkatnya penambangan resmi

maupun tanpa izin. Pencemaran air, udara dan tanah

juga merupakan kasus-kasus pencemaran dan kerusakan

lingkungan yang menonjol sebagai akibat pesatnya

aktivitas pembangunan yang kurang mempertahankan aspek

kelestarian fungsi lingkungan hidup.

[email protected]

Persoalan pencemaran lingkungan dapat dilihat dari

berbagai aspek lingkungan yang merupakan sarana untuk

penyelesaiannya. Pencemaran kerusakan lingkungan dapat

diselesaikan melalui aspek medik, planalogis,

teknologis, teknik lingkungan, ekonomi dan hukum. Hukum

yang berfungsi sebagai sarana penyelesaian pencemaran

lingkungan adalah hukum lingkungan.

Persoalan lingkungan hidup pada dasarnya adalah

persoalan semua orang, dan sudah seyogyanya gerakan-

gerakan kesadaran yang coba dibangun untuk memulihkan

kondisi lingkungan ke arah yang lebih baik adalah satu

keharusan, dengan mengambil peran apapun yang bisa

dilakukan oleh semua pihak untuk melakukan perbaikan

terhadap kerusakan lingkungan hidup disekitarnya.

UUD 1945 yang pada pasal 1 secara jelas menyatakan

bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat. Jadi merupakan

wewenang rakyat untuk melakukan upaya-upaya

penyelamatan lingkungan hidup di Indonesia. Pasal 28H

ayat (1) yang menentukan “Setiap orang berhak hidup

sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan

mendapatkan lingkugnan hidup yang baik dan sehat serta

berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.

Hukum lingkungan adalah instrumentarium yuridis bagi

pengelolaan lingkungan. Prespektif hukum lingkungan,

[email protected]

penuntasan kasus-kasus pencemaran lingkungan mencakup 3

(tiga) bidang sekaligus, yaitu hukum lingkungan

administratif, hukum lingkunga keperdataan, hukum

lingkungan kepidanaan sebagai konsekuensi logis

kedudukan hukum lingkungan sebagai hukum fungsional.

I.2. Rumusan Masalah

Keberadaan limbah yang dihasilkan oleh pembangunan

dinilai dapat menimbulkan dampak buruk kelingkungan

sekitar. Oleh karena itu, limbah yang dihasilkan

didesak untuk menerapkan standardisasi pengolahan

limbah yang ramah lingkungan.

[email protected]

I.3. Tujuan

1. Memberikan informasi mengenai hukum lingkungan

perdata.

2. Memberikan informasi sanksi mengenai pencemaran yang

ditimbulkan dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang

ditinjau melalui aspek hukum lingkungan perdata.

I.4. Metode Penulisan

Pada pembuatan laporan Tugas Penerapan Aspek Hukum

Lingkungan di Indonesia yang di Tinjau dari Aspek Hukum

Perdata ini metode yang digunakan penulis adalah dengan

studi literatur.

[email protected]

II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Hukum Lingkungan

Hukum lingkungan menurut Lal Kurukulasuriya dan

Nicholas A. Robinson adalah “Seperangkat aturan

hukum yang memuat tentang pengendalian dampak manusia

terhadap bumi dan kesehatan publik”. Hukum lingkungan

adalah kategori hukum yang sifatnya luas yang mencakup

hukum yang secara khusus menunjuk persoalan-persoalan

lingkungan dan secara umum hukum yang secara langsung

menunjuk pada dampak atas persoalan-persoalan

lingkungan.

UNEP mendefinisikan hukum lingkungan adalah

“Seperangkat aturan hukum yang berisi unsur-unsur untuk

mengendalikan dampak manusia terhadap lingkungan. A.B.

Blomberg, A.A..J. de Gier dan J. Robbe memberikan

definisi hukum lingkungan sebagai berikut hukum

lingkungan secara umum dipahami sebagai hukum yang

melindungi kualitas lingkungan dan hukum konservasi

alam.

Siti Sundari Rangkuti menyatakan bahwa dari substansi

hukum yang merupakan materi hukum lingkungan, maka mata

kuliah hukum lingkungan digolongkan kedalam mata kuliah

hukum fungsional (Functionele Rechtsvakken), yaitu

[email protected]

mengandung terobosan antara berbagai disiplin hukum

klasik.

Substansi hukum lingkungan menimbulkan pembidangan

dalam hukum lingkungan administratif, hukum

lingkungan keperdataan, hukum lingkungan kepidanaan.

Hukum lingkungan internasional yang sudah

berkembang menjadi disiplin ilmu hukum tersendiri

dan hukum tata ruang. Dengan demikian, hukum

lingkungan tidak merupakan bagian hukum publik ataupun

bagian dari hukum privat, namun mencakup hukum publik

dan hukum prifat sekaligus.

Hukum lingkungan adalah hukum fungsional yang

mengandung aspek hukum publik dan aspek hukum privat.

Dalam kepustakaan hukum lingkungan dan ilmu lingkungan

dapat ditemukan berbagai pandangan para pakar hukum

lingkungan dan ilmu lingkungan mengenai pengertian

pencemaran lingkungan, namun dalam penelitian ini

pengertian pencemaran lingkungan mengacu kepada Pasal 1

ayat 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU

PPLH). Pasal 1 ayat 14 UU PPLH mendefinisikan

pencemaran lingkungan sebagai berikut “Pencemaran

lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya

makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke

dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga

[email protected]

melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah

ditetapkan”.

Pencemaran lingkungan menurut UU PPLH hanya meliputi

pencemaran lingkungan yang disebabkan karena kegiatan

manusia, tidak termasuk didalamnya pencemaran

lingkungan yang disebabkan oleh alam, misalnya bencana

tsunami di Nanggroe Aceh Darus Salam, meletusnya Gunung

Merapi di Yogyakarta dan hujan debu dari Gunung

Semeru di Jawa Timur. Pengertian kasus pencemaran

lingkungan dalam tulisan ini adalah terbatas pada kasus

pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan

manusia dan tidak mencakup di dalamnya mengenai

pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh faktor alam.

II.2. Sejarah Perkembangan Lingkungan

Masalah lingkungan dapat ditinjau dari aspek medik,

planologis teknologis, teknik lingkungan, ekonomi dan

hukum. Sebagaimana dikemukakan oleh Siti Sundari

Rangkut “Perkembangan hukum lingkungan tidak dipisahkan

dengan gerakan sedunia yang memberikan perhatian

besarnya tentang lingkungan hidup”.

Konfrensi PBB tentang lingkungan hidup, telah diadakan

di Stockholm pada Tahun 1972, Konferensi Stockholm

membahas masalah lingkungan dan jalan keluarnya, agar

pembangunan dapat terlaksana dengan memperhitungkan

[email protected]

daya dukung lingkungan (Eco-Development), dan kapasitas

lingkungan yang ada. Pada tahun 1983 PBB membentuk

komisi sedunia untuk lingkungan dan pembangunan yaitu

World Commission on Environment and Development (WCED).

PBB pada tahun 1992 menyelenggarakan konferensi

mengenai masalah lingkungan dan pembangunan The United

Nations Conference on Environment and Development (UNCED) atau

dikenal sebagai KTT Bumi (Earth Summit) di Rio de

Janeiro, Brasil pada tanggal 3-14 Juni Tahun 1992.

Indonesia pertama kali lingkungan hidup masuk dalam

GBHN tahun 1993 BAB III huruf B ayat (10) dengan Tap

MPR RI No.IV/MPR/1993 dan dijabarkan dalam REPELITA II

(1994-1997) dalam Buku III bab 27, tentang Pembinaan

Hukum Nasional.

Semakin maju perkembangan ilmu dan teknologi serta

peningkatan ekonomi dan modal, terutama penanaman modal

dalam negeri dan modal asing, melalui sektor kehutanan

dan pertambangan lahirnya UU No.1 Tahun 1967 tentang

Penanaman Modal dan UU No.6 Tahun 1967 tentang Penanamn

Modal Dalam Negeri. Ini sudah memuat pemikiran tentang

pengaturan lingkungan. Kemudian terjadi peristiwa

pencemaran lingkungan berupa minyak akibat kandasnya

kapal ”Showa Maru” di Selat Malaka.

Dari hal tersebut diselenggarakan lokakarya tentang

[email protected]

segi-segi hukum dari pengelolaan lingkungan hidup oleh

depertemen dan perguruan tinggi. Indonesia

meratifikasi Konvensi IMCO tentang Pencemaran Laut oleh

Minyak Bumi dari kapal, yang diimplemantasikan dengan

Keppres No.18 Tahun 1978 tentang Civil Liability Convention dan

Keppres No. 19 Tahun 1978 tentang Internasional Fund

Convention 1971. Pada tahun 1978 dibentuk kantor

menteri negara PPLH, salah tugas membuat RUU lingkungan

Hidup. Kemudian lahirnya UU No.4 Tahun 1982 tentang

Ketentuan-Ketentuan Pengeloan Lingkungan Hidup, diganti

UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan

Hidup dan diganti lagi UU No.32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

II.3. Hukum Lingkungan Keperdataan

Pengertian Hukum Perdata, berdasarkan pendapat para

ahli adalah "Rangkaian peraturan hukum yang mengatur

hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang

lain, antara subyek hukum yang satu dengan subyek yang

lain, dengan menitikberatkan pada kepentingan

perseorangan, dimana ketentuan dan peraturan dimaksud

dalam kpentingan untuk mengatur dan membatasi kehidupan

manusia atau dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan atau

kepentingan hidupnya."

Hukum lingkungan keperdataan bertujuan untuk memberikan

perlindungan hukum bagi korban pencemaran lingkungan

[email protected]

dengan cara mengajukan gugatan sengketa lingkungan di

peradilan umum untuk memperoleh ganti kerugian.

Penyelesaian sengketa lingkungan diartikan sebagai

gugatan ganti kerugian atas dasar perbuatan melawan

hukum di bidang hukum lingkungan keperdataan oleh

korban pencemaran lingkungan.

Ketentuan tentang mekanisme penyelesaian sengketa

lingkungan menurut UU PPLH diatur dalam Pasal 84 yang

menetapkan:

1. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat

ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan.

2. Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup

dilakukan secara sukarela oleh para pihak yang

bersengketa.

3. Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh

apabila upaya penyelesaian sengketa di luar

pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil

oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa

Menurut ketentuan Pasal 84 ayat (1) UU PPLH,

penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui

pengadilan atau di luar pengadilan yang dipilih

secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa.

Dengan ketentuan demikian para pihak diberi kebebasan

untuk memilih mekanisme penyelesaian sengketa

lingkungan baik melalui pengadilan atau melalui luar

[email protected]

pengadilan.

Dasar hukum gugatan sengketa lingkungan di peradilan

umum tertuang dalam Pasal 87 yang selangkapnya

menyatakan sebagai berikut:

1. Setiap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan

yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa

pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup

yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau

lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi

dan/atau melakukan tindakan tertentu

2. Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan,

pengubahan sifat dan bentuk usaha, dan/atau

kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar

hukum tidak melepaskan tanggungjawab hukum dan/atau

kewajiban badan usaha tersebut.

3. Pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa

terhadap setiap hari keterlambatan atas

pelaksanaan putusan pengadilan.

4. Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan

peraturan perundangundangan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 87 ayat (1) UU PPLH,

agar dapat diajukan gugatan lingkungan untuk

memperoleh ganti kerugian harus terpenuhi unsur-unsur

:

1. Setiap/penanggungjawab usaha/kegiatan

[email protected]

2. Melakukan perbuatan melanggar hukum

3. Berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan

4. Menimbulkan kerugian pada orang lain atau

lingkungan;

5. Penanggungjawab kegiatan dan/atau usaha membayar

ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu;

Dasar pengajuan gugatan lingkungan Gugatan Class Action

atau gugatan perwakilan kelompok adalah suatu tata cara

pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih yang

mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri mereka

sendiri dan sekaligus mewakili kelompok orang yang

jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau

dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok

dimaksud. Sementara itu yang dimaksud dengan Wakil

kelompok adalah satu orang atau lebih yang menderita

kerugian yang mengajukan gugatan dan sekaligus mewakili

kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya.

Class Action pada intinya adalah gugatan perdata (biasanya

terkait dengan permintaan injuntction atau ganti kerugian)

yang diajukan oleh sejumlah orang sebagai perwakilan

kelas (Class Repesentatif) mewakili kepentingan mereka,

sekaligus mewakili kepentingan ratusan atau ribuan

orang lainnya yang juga sebagai korban. Ratusan atau

ribuan orang yang diwakili tersebut diistilahkan

sebagai class members.

[email protected]

Class action bisa merupakan suatu metode bagi orang

perorangan yang mempunyai tuntutan sejenis untuk

bergabung bersama mengajukan tuntutan agar lebih

efisien, dan seseorang yang akan turut serta dalam

class action harus memberikan persetujuan kepada

perwakilan. Hal ini berarti bahwa kegunaan class action

secara mendasar antara lain adalah efisiensi perkara,

proses berperkara yang ekonomis, menghindari putusan

yang berulang-ulang yang dapat berisiko adanya putusan

inkonsistensi dalam perkara yang sama.

Setiap warga negara memiliki hak yang sama di hadapan

hukum dan berhak untuk membela hak-nya apabila ia

merasa dirugikan oleh pihak lain. Hal ini menjadi dasar

pemikiran diadakannya aturan gugatan perdata. Secara

umum model gugatan perdata ada dua macam yaitu :

1. Gugatan yang dilakukan di luar pengadilan dikenal

dengan sebutan nonlitigasi

2. Gugatan yang dilakukan melalui peradilan disebut

litigasi.

Gugatan perdata atas pelanggaran hubungan perdata dapat

dilakukan dengan dua cara :

1. Oleh orang yang bersangkutan atau ahli warisnya.

2. Sekelompok orang yang mempunyai kepentingan yang

sama (Class Action).

[email protected]

II.4. Kendala Pelaksanaan Hukum Lingkungan

Persoalan lingkungan hidup bagi negara berkembang

seperti Indonesia dilematis bagaikan buah simalakama.

Satu sisi terdapat tuntutan melaksanakan pembangunan

yang berdampak terhadap lingkungan, di sisi lain harus

melakukan upaya-upaya kelestarian lingkungan.

Solusinya, dalam melaksanakan pembangunan praktis

sekaligus meningkatkan mutu lingkungan.

Upaya memupuk disiplin lingkungan dalam artian menaati

aturan yang berlaku sebagai solusi dalam menangani

problem lingkungan yang kian marak. Pada prinsipnya,

setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian

lingkungan hidup, mencegah, dan menanggulangi

pencemaran serta perusakan lingkungan hidup.

Karena itu, setiap kegiatan yang berakibat pada

kerusakan lingkungan, seperti pencemaran lingkungan dan

pembuangan zat berbahaya (B3) melebihi ambang batas

baku mutu bisa dikategorikan sebagai perbuatan yang

bertentangan dengan hukum, sehingga dapat dikenai

sanksi, baik sanksi administrasi, perdata, maupun

pidana. Hingga kini problem lingkungan terus menjadi

isu yang selalu aktual dan belum tertanggulangi,

terlebih di era reformasi yang tak luput pula dari

tuntutan demokratisasi dan transparansi.

[email protected]

Dalam rangka mengantisipasi kian meluasnya dampak

kontraproduktif terhadap lingkungan, khususnya akibat

perkembangan dunia industri yang pesat, maka penegakan

hukum di bidang lingkungan hidup menjadi mutlak

diperlukan.

Selain itu upaya menegakkan hukum lingkungan dewasa ini

memang dihadapkan sejumlah kendala seperti:

1. Masih terdapat perbedaan persepsi antara aparatur

penegak hukum dalam memahami dan memaknai peraturan

perundang-undangan yang ada.

2. Biaya untuk menangani penyelesaian kasus lingkungan

hidup terbatas.

3. Membuktikan telah terjadi pencemaran atau perusakan

lingkungan bukanlah pekerjaan mudah.

Era reformasi dapat dipandang sebagai peluang yang

kondusif untuk mencapai keberhasilan dalam penegakan

hukum lingkungan. Kedepan, perlu exit strategy sebagai

solusi penting yang harus diambil oleh pemegang policy

dalam penyelamatan fungsi lingkungan hidup.

1. Mengintensifkan keterpaduan dan koordinasi

antarsektor terkait dalam pengelolaan sumber daya

alam dan lingkungan hidup.

2. Asanya sanksi yang memadai (enforceability) bagi

perusahaan yang membandel dalam pengelolaan limbah

sesuai dengan aturan yang berlaku. Jika ada indikasi

[email protected]

tindak pidana, aparat penegak hukum dapat menindak

tegas para pelaku/penanggung jawab kegiatan

usaha/industri yang nakal.

3. Adanya partisipasi publik, transparansi, dan

demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya alam dan

lingkungan hidup patut ditingkatkan.

Pengelolaan lingkungan hidup akan terkait tiga unsur,

yaitu pemerintah, pengusaha, dan masyarakat. Pada

gilirannya, dalam pengelolaan lingkungan hidup setiap

orang mempunyai hak yang sama untuk menikmati

lingkungan hidup yang baik dan sehat. Untuk itu, sudah

saatnya penegakan hukum bagi setiap usaha dan aktivitas

yang membebani lingkungan diintensifkan agar

kelestarian fungsi lingkungan hidup bisa terjaga dengan

baik.

Hakekat hukum lingkungan  secara sederhana adalah

seperangkat aturan yang mengatur tatanan lingkungan

dalam hal ini lingkungan hidup dimana lingkungan dapat

diartikan sebagai semua benda dan kondisi yang dapat

mempengaruhi kelangsungan hidup dan kesejahteraan

manusia dan makhluk hidup lainnya. Dalam

perkembangannya hukum lingkungan dapat dibedakan

menjadi 2 yaitu hukum lingkungan modern dan juga hukum

lingkungan klasik.

[email protected]

Bentuk penegakan hukum lingkungan yang digunakan di

Indonesia adalah yang pertama penegakan melalui

istrumen administratif yang apabila tidak mampu

menyelesaikan permasalahan dan juga tidak diindahkan

oleh pelaku pelanggara atau kejahatan lingkungan hidup

adalah penggunaan instrumen perdata dan pidana, yang

mana kedua instrument sanksi hukum ini biasa gunakan

secara pararel maupun berjalan sendiri sendiri.

Hukum lingkungan diperlukan dan dibutuhkan dalam rangka

menjaga supaya lingkungan dan sumber daya alam

dimanfaatkan sesuai dengan daya dukung atau kondisi

kemampuan lingkungan itu sendiri.

Kendala di dalam penegakan dan juga pengimplementasian

hukum lingkungan antara lain antara adalah perbedaan

persepsi antara aparatur penegak hukum dalam memahami

dan memaknai peraturan perundang-undangan yang ada,

biaya untuk menangani penyelesaian kasus lingkungan

hidup terbatas, membuktikan telah terjadi pencemaran

atau perusakan lingkungan bukanlah pekerjaan mudah, dan

yang terakhir adalah kurangnya partisipasi publik,

transparansi, dan demokratisasi dalam pengelolaan

sumber daya alam dan lingkungan hidup.

III. PEMBAHASAN

[email protected]

III.1. Contoh Kasus

Pada kesempatan kali ini penulis mengangkat kasus

tentang limbah cair industri tekstil kali citarum yang

penulis ambil dari harian Kompas Jumat, 26 April 2013

13:14 WIB dengan judul berita “DAS Citarum di Ambang

Malapetaka Lingkungan” berikut berita tersebut :

“Malapetaka lingkungan tengah berlangsung di Daerah Aliran Sungai

Citarum, Jawa Barat. Ratusan ribu warga yang tinggal di kawasan ini

menderita karena menjadi langganan banjir di musim hujan dan

kekurangan air di musim kemarau.

”Pada musim kemarau air yang kami gunakan adalah limbah beracun.

Sungai ini dijadikan tempat pembuangan limbah,” kata Deni Riswandani

dari Komunitas Elemen Lingkungan (Elingan), Kamis (25/4/2013), di

Bandung. Secara turun-temurun, ribuan warga tinggal di sentra industri

tekstil Majalaya, Kabupaten Bandung.

Bertahun-tahun hampir semua pabrik tekstil di Majalaya membuang

langsung limbah beracunnya ke Citarum. Padahal, sungai ini masih

dipakai untuk keperluan air minum bagi warga di hilir, termasuk 80

persen warga DKI Jakarta.

Sekitar 1.500 industri di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum

menyumbang 2.800 ton limbah setiap hari. Semua adalah limbah cair

kimia bahan berbahaya dan beracun (B3). Ditambah 10 ton sampah,

setiap hari masuk ke Waduk Saguling. Padahal, Saguling memiliki pusat

[email protected]

pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang tersambung dengan jaringan

interkoneksi Jawa-Bali. Limbah beracun sering kali merusak turbin PLTA.

Sampai kini Sungai Citarum masih tercemar. ”Kondisi ini berlangsung

lama dan dibiarkan merusak lingkungan dan kehidupan warga

sekitarnya,” ujar Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Jabar

Dadan Ramdan.

Susut 62.000 hektar

Komunitas Elingan, yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan,

mencatat dalam sembilan tahun ini lahan hutan di DAS Citarum

menyusut 86 persen, dari 72.000 hektar tahun 2000 menjadi 9.900 hektar

tahun 2009. Pada periode yang sama, luas kawasan permukiman di

sekitar DAS Citarum meningkat 115 persen dari 81.7000 hektar jadi

176.000 hektar.

Tahun 2012, lahan kritis mencapai 20 persen dari luas DAS Citarum

sekitar 718.000 hektar. Seluas 144.000 hektar di antaranya adalah lahan

rusak. Hingga saat ini setiap tahun ada 95 ton tanah per hektar terbawa

erosi ke DAS Citarum. Padahal, dalam kaidah lingkungan, tingkat erosi

yang ditoleransi hanya sekitar 15 ton per hektar per tahun.

Ketua Umum Badan Musyawarah Masyarakat Sunda Syarif Bastaman

menambahkan, beberapa ikan endemik telah punah dari Sungai

Citarum. (dmu)

Sumber : Kompas Cetak

[email protected]

Editor : yunan

III.2. Analisa Kasus

Aspek Hukum Perlindungan kawasan industri di Jawa Barat

dari “Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup

adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan

untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah

terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan

hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan,

pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan

hukum” (Pasal 1 ayat 2 UU 32 Tahun 2009).

Secara umum Pengelolaan secara terpadu menghendaki

adanya keberlanjutan (Sustainability) dalam pemanfaatan.

Sebagai kawasan yang dimanfaatkan untuk berbagai sektor

pembangunan, wilayah ini memiliki kompleksitas isu,

permasalahan, peluang dan tantangan.

Pencegahan pencemaran dari kawasan industri diatur dlm

UU 32 Tahun 2009 seperti terlihat dalam Pasal 20 ayat 3

UUPLH disebutkan :

Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke

media lingkungan hidup dengan persyaratan:

1. Memenuhi baku mutu lingkungan hidup;

2. Mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau

bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

[email protected]

Kasus pencemaran oleh kawasan industri di Jawa Barat

ini memang belum ada upaya hukum yang dilakukan. Hal

ini dikarenakan kurangnya peran pemerintah dalam hal

pengawasan serta belum adanya keberanian masyarakat

untuk mengangkat kasus ini, walupun mereka merasakan

dampak negatif dari pencemaran limbah tersebut.

Masyarakat ataupun LSM sebenarnya dapat mengajukan

upaya hukum dalam menyelesaikan kasus ini yaitu

penegakkan hukum lingkungan dalam kaitannya dengan

hukum perdata.

III.3. Sanksi Perdata

Ketentuan hukum penyelesaian perdata pada sengketa

lingkungan dalam UUPLH terdapat dalam pasal 87 ayat 1

“Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang

melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran

dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan

kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib

membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan

tertentu.”

1. Kesalahan Industri Tekstil di Sekitar Kali citarum

Kesalahan yang dilakukan oleh industri tekstil yang ada

disekitaran kali Citarum adalah tidak memberlakukannya

dan/atau menjalankan IPAL dengan baik dan benar. Air

limbah yang dihasilkan dibuang langsung kebadan sungai

tanpa melalui proses terlebih dahulu. Sampah padat

[email protected]

yang dihasilkan juga tidak dibuang ketempat pembuangan

akhir, melainkan langsung kedalam Waduk Saguling.

[email protected]

2. Kerugian Warga di Sekitar Kali Citarum

Limbah-limbah yang keluar dari industri-industri yang

ada tidak diolah terlebih dahulu, sehingga air limbah

yang terkategorikan sebagai zat-zat berbahaya dan

beracun (B3) mengalir bebas dialiran sungai yang biasa

dipakai oleh warga untuk keperluan sehari-sehari.

Limbah padat yang dihasilkan pun menyebabkan kerugian

untuk masyarakat sekitar terutama jika terjadi hujan

lebat. Jika hujan lebat terjadi dalam waktu yang lama

maka sampah yang menumpuk di Waduk Saguling akan

menyebabkan banjir.

Rakyat, dalam hal ini lebih banyak sebagai korban

terutama yang bersentuhan langsung dengan kawasan

dimana terjadi pencemaran yang dilakukan oleh pihak

pengusaha. Hal inilah yang dialami warga seputaran

kali Citarum. Kondisi seperti ini berlangsung lama dan

dibiarkan merusak lingkungan dan kehidupan warga

sekitar tanpa adanya tindak lanjut dari pemerintah.

3. Kaitannya dengan Hukum Perdata

Dalam kasus kali ini masyarakat sekitar kali Citarum

dapat melakukan gugatan diluar pengadilan atau gugatan

Class Action yaitu mengajukan sejumlah orang sebagai

perwakilan kelas (Class Repesentatif) untuk meminta ganti

rugi kepada industri-industri yang melakukan

[email protected]

pencemaran. Bentuk ganti rugi yang bisa diminta adalah

:

A. Memberikan sejumlah biaya atau pengobatan untuk

korban-korban yang menderita penyakit tertentu yang

diakibatkan oleh air limbah yang mengalir

diseputaran kali Citarum.

B. Memberikan fasilitas air bersih untuk keperluan

domestik.

C. Memperbaiki dan menggunakan Instalasai Pengolahan

Air Limbah (IPAL) dengan tepat dan semestinya.

D. Membuang limbah padat langsung ke Tempat Pembuangan

Akhir (TPA)

[email protected]

IV. PENUTUP

IV.1. Simpulan

1. Hukum yang berfungsi sebagai sarana penyelesaian

pencemaran lingkungan adalah hukum lingkungan.

2. Hukum lingkungan adalah kategori hukum yang sifatnya

luas yang mencakup hukum yang secara khusus menunjuk

persoalan-persoalan lingkungan.

3. Hukum lingkungan perdata adalah hukum yang mengatur

hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang

yang lain, atau antara subyek hukum yang satu dengan

subyek hukum yang lain, dengan menitikberatkan pada

kepentingan perseorangan, dimana ketentuan dan

peraturan dimaksud dalam kpentingan untuk mengatur

dan membatasi kehidupan manusia atau seseorang dalam

usaha untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan

hidupnya.

4. Pengelolaan lingkungan hidup akan terkait tiga

unsur, yaitu pemerintah, pengusaha, dan masyarakat.

5. Class action bisa merupakan suatu metode bagi orang

perorangan yang mempunyai tuntutan sejenis untuk

bergabung bersama mengajukan tuntutan agar lebih

efisien.

IV.2. Saran

[email protected]

1. Industri tekstil yang ada disekitar kali Citarum

haruslah menjalankan industrinya dengan tetap

memperhatikan keseimbangan lingkungan.

2. Perlu diadakannya sebuah Instalasi Pengolahan Air

Limbah (IPAL) pada setiap industri agar dapat

meminimalisasi buangan yang diduga berpotensi

mencemari lingkungan.

3. Penanganan limbah dengan end of pipe treatment pada

industri tekstil dirasa kurang tepat, hal ini

disebabkan karena penanganan dengan cara tersebut

hanya mengubah bentuk limbah dari suatu bentuk

kebentuk lainnya.

4. Industri tekstil haruslah benar-benar sadar akan

limbah yang dihasilkan dari pengolahannya sehingga

instalasi pengolahan limbahnya dapat dijalankan

dengan semestinya.

[email protected]