PEMBIAYAAN KESEHATAN - PPJK - Kemkes

102
KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA PEMBIAYAAN KESEHATAN SERI EKONOMI KESEHATAN BUKU II

Transcript of PEMBIAYAAN KESEHATAN - PPJK - Kemkes

KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA

PEMBIAYAANKESEHATAN

SE

RI E

KO

NO

MI K

ES

EH

ATA

NB

UK

U II

PEMBIAYAAN KESEHATAN

KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA

SERI EKONOMI KESEHATAN

BUKU II

Ery SetiawanEstro Dariatno Sihaloho

Fitriana YuliawatiGiovanni van Empel

Haerawati IdrisAdiatma YM Siregar

Penulis

PEMBIAYAAN KESEHATAN

KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA

SERI EKONOMI KESEHATAN

BUKU II

Ery SetiawanEstro Dariatno Sihaloho

Fitriana YuliawatiGiovanni van Empel

Haerawati IdrisAdiatma YM Siregar

ii PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA

Seri Ekonomi Kesehatan IIPembiayaan Kesehatan: Konsep dan Best Pratices

©2021 PPJK Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Penulisan buku ini dimungkinkan atas dukungan rakyat Amerika melalui United States Agency for International Development (USAID) yang diproduksi melalui kontrak Health Financing Activity USAID No. 72049719C00002. Materi yang disampaikan, baik berupa informasi narasi dan visualisasi infografik sepenuhnya menjadi tanggung jawab ThinkWell, dan tidak mencerminkan pandangan USAID atau Pemerintah Amerika Serikat.

Buku ini dapat diakses dari https://thinkwell.global/ dan http://ppjk.kemkes.go.id/ dan dapat disebarluaskan secara cuma-cuma kepada siapa saja yang membutuhkannya. PPJK Kementerian Kesehatan RI, United States Agency for International Development (USAID) (2021). Pembiayaan Kesehatan: Konsep dan Best Practices di Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Pengarah : dr. Kalsum Komaryani MPPM (Kepala PPJK Kementerian Kesehatan RI) Koordinator : Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, DrPH Chief of Party for the Indonesia Health Financing Activity (HFA)

Manager Program & : Ryan R. NugrahaPJ Penerbitan Buku

Penyelia Buku : Adiatma YM Siregar

Penulis : Ery Setiawan, Estro Dariatno Sihaloho, Fitriana Yuliawati, Giovanni van Empel, Haerawati Idris

Penyelaras Akhir : Sonta Frisca Manalu

Diterbitkan oleh: PPJK Kementerian Kesehatan Republik IndonesiaCetakan I, September 2021

Ukuran Buku : 21 x 29,6 cmTebal Buku : xvi, 83 hlm

Katalog Dalam Terbitan. Kementerian Kesehatan RI

368.42Ind Indonesia. Kementerian Kesehatan RI. Sekretariatp Jenderal Pembiayaan Kesehatan Concept and Best Practice : Seri ekonomi kesehatan Il.— Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. 2021 ISBN 978-623-301-246-1

1. Judul I. HEALTH CARE ECONOMICS AND ORGANIZATIONS II. HEALTHCARE FINANCING III. INSURANCE, HEALTH IV. HEALTH POLICY V. GOVERNMENT PROGRAMS

PPJK Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Jl. H.R. Rasuna Said Kav 4-9 Jakarta 12950 Indonesia Phone: (62-21) 5201587, 5201591 Email: [email protected]: http://www.depkes.go.id

Cetakan I, Februari 2022

iii

Tim Penyusun

Pengarah : dr. Kalsum Komaryani MPPM (Kepala PPJK Kementerian Kesehatan RI)

Koordinator : Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, DrPH Chief of Party for the Indonesia Health Financing Activity (HFA)

Manager Program & : dr. Ryan R. Nugraha, M.P.H.PJ Penerbitan Buku

Anggota :

Penyelia Buku : Dr. Adiatma Y.M Siregar, S.E., M. Econ. St.

Penulis : Ery Setiawan, S.K.M., M.E., A.A.A.K. Estro Dariatno Sihaloho, S.E., M.Si. Fitriana Yuliawati, S.K.M., M.Kes. dr. Giovanni van Empel, M.Sc. Dr. Haerawati Idris, S.K.M., M.Kes.

Penyelaras Akhir : Sonta Frisca Manalu

dr. Yuli Farianti, M.Epiddr. Ackhmad Afflazir, M.K.M.Nana Tristiana Indriasari, SE, Ak., M.M.Amalia Zulfah DHW, S.K.M., M.K.M.Andhika Nurwin Maulana, S.E., M.S.E.Mutia Astrini Pratiwi, M.P.A

iv PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA

vPEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA

Kata Pengantar

Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan (PPJK) Kementerian Kesehatan telah berkomitmen untuk membangun ekosistem pembiayaan dan jaminan kesehatan yang kuat dan berkelanjutan. Komitmen ini diwujudkan dalam bentuk inisiatif PPJK untuk secara ekstensif meningkatkan kapasitas akademisi

dan praktisi kesehatan dalam bidang pembiayaan kesehatan.

Beberapa upaya peningkatan kapasitas yang telah dilakukan, antara lain bimbingan rekapituliasi biaya program Kesehatan Masyarakat dengan menggunakan aplikasi SISCOBIKES, peningkatan kapasitas Penilaian Teknologi Kesehatan (PTK), dan tata kelola Casemix Based Groups (CBGs) kepada rumah sakit di seluruh Indonesia.

PPJK menyadari bahwa upaya peningkatan kapasitas dalam bidang pembiayaan dan jaminan kesehatan tersebut membutuhkan dukungan referensi dan sumber daya pengetahuan yang kuat, baik yang bersumber dari disiplin ilmu maupun praktik kebijakan ekonomi kesehatan. Pengetahuan ini berguna baik sebagai sumber inspirasi panduan dalam pengambilan kebijakan jaminan dan pembiayaan kesehatan.

Karena itulah PPJK menyambut baik dan memberikan apresiasi tinggi terhadap USAID-ThinkWell LLC yang telah memprakarsai Health Financing Activity (HFA). Melalui program Young Health Economists (YHE), HFA telah menghimpun tenaga-tenaga ahli muda dalam bidang ekonomi kesehatan dan mendorong mereka untuk memberikan kontribusi keilmuan dan pemikiran bagi peningkatan kualitas pembiayaan dan jaminan kesehatan. Saya berharap YHE dapat menjadi sebuah komunitas praktisi (community of practice) ekonomi kesehatan yang di masa depan dapat menjadi motor penggerak sistem kesehatan, serta hub bagi para ahli dalam mengembangkan tatanan sistem pembiayaan kesehatan.

Seri Ekonomi Kesehatan ini adalah salah satu produk penting YHE. Saya mengucapkan terima kasih atas kesediaan para tenaga ahli muda mencurahkan ilmu dan pengalaman mereka dalam buku ini; juga para koordinator penulisan yang telah membantu memastikan kualitas dan kesesuaian buku dengan konteks perkembangan sistem kesehatan Indonesia. Melalui berbagai telaah, analisis kasus, dan refleksi terhadap praktik-praktik pembiayaan kesehatan yang mereka bahas tuntas dalam buku ini, saya berharap buku dapat menjadi katalisator untuk mempercepat proses perbaikan jaminan dan pembiayaan kesehatan di Indonesia.

vi PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA

Penghargaan serupa juga saya sampaikan kepada Kementerian PPN/BAPPENAS, Kementerian Keuangan, BPJS Kesehatan, organisasi non-pemerintah seperti the World Bank, para akademisi, praktisi kebijakan ekonomi kesehatan baik di rumah sakit, Dinas Kesehatan dan pihak-pihak lain yang telah memberikan berbagai masukan bagi penyempurnaan buku ini. Saya berharap kolaborasi ini akan terus berlanjut sehingga mampu menghasilkan produk-produk pengetahuan yang berguna bagi peningkatan kualitas kebijakan, pelayanan, jaminan, dan pembiayaan kesehatan di Indonesia.

Jakarta, 2 Juni 2021

dr. Kalsum Komaryani MPPM.

Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan KesehatanKementerian Kesehatan RI

viiPEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA

Kata Pengantar

Di Indonesia dan negara-negara mitra lainnya di seluruh dunia, United States Agency for International Development (USAID) atau Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat bekerja untuk memobilisasi pendekatan seluruh masyarakat dalam mengoptimalkan sistem kesehatan untuk mencapai potensi

penuhnya. Kami menyadari perlunya visi bersama untuk memastikan kolaborasi yang efektif dalam lingkungan yang terus berkembang dan berubah. Dengan bekerja sama, kita dapat mempercepat kemajuan menuju sistem kesehatan yang lebih tangguh dan lebih mampu memajukan perawatan preventif, promotif, dan kuratif. Untuk mencapai tujuan yang ambisius tetapi realistis ini, USAID tetap berkomitmen untuk membantu Pemerintah Indonesia membangun dan memperkuat sistem kesehatan yang kuat dan berkelanjutan—khususnya dalam program prioritas seperti HIV, TB, dan kesehatan ibu dan bayi baru lahir.

Melalui USAID, Pemerintah Amerika Serikat berinvestasi untuk mengembangkan kekayaan sumber daya manusia Indonesia—termasuk pelajar dan profesional—agar lebih banyak lagi penduduk Indonesia yang dapat menikmati kesehatan yang lebih baik. Health Financing Activity (HFA) USAID memperkuat kemampuan para profesional Indonesia, termasuk pejabat pemerintah, untuk menggunakan fakta dan data dalam proses pembuatan kebijakan. Hal ini akan meningkatkan efisiensi pembiayaan dan pengeluaran domestik untuk kesehatan, meningkatkan mekanisme dan kapasitas belanja kesehatan strategis, serta mengoptimalkan manajemen tenaga kesehatan, yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas manajemen pembiayaan kesehatan masyarakat.

Elemen kunci dari kemitraan penting ini adalah program fellowship HFA USAID, yang dirancang untuk memperdalam kemampuan Young Health Economists (YHE) atau ekonom kesehatan muda generasi berikutnya di Indonesia melalui aktivitas akademis yang ketat. Program YHE membekali akademisi, praktisi, dan ekonom kesehatan yang sedang berkembang agar dapat menerapkan prinsip-prinsip kebijakan berbasis bukti dalam merencanakan, menganalisis, dan merancang kebijakan pembiayaan kesehatan dalam sistem kesehatan yang kompleks. Sejauh ini, 30 orang ekonom kesehatan muda yang luar biasa telah lulus dari program ini dan telah diterima di Indonesian Health Economics Association (InaHEA) atau Asosiasi Ekonomi Kesehatan Indonesia yang bergengsi.

Untuk mempertahankan dan melembagakan pertukaran pengetahuan dan pembelajaran yang difasilitasi oleh fellowship ini, HFA USAID dan 30 ekonom kesehatan muda tersebut mengembangkan enam buku referensi ekonomi kesehatan ini untuk mendefinisikan konsep ekonomi dan mengembangkan ide-ide transformatif untuk meningkatkan pembiayaan kesehatan di Indonesia.

viii PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA

Setiap buku membahas secara mendalam berbagai aspek ekonomi kesehatan yang berbeda, termasuk belanja kesehatan strategis, pembiayaan kesehatan, national health account, dan banyak lagi. Buku ini diterbitkan oleh Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, yang merupakan mitra USAID, dan tersedia bagi siapa saja yang membutuhkannya. Saya berharap buku-buku ini akan memberikan akses ke informasi yang komprehensif dan relevan tentang ekonomi kesehatan yang dibutuhkan oleh para pemimpin sistem kesehatan di Indonesia untuk terus memajukan dan memperkuat sistem kesehatan Indonesia. USAID berharap dapat melihat bagaimana informasi yang terkandung dalam buku-buku ini dapat meningkatkan pendanaan kesehatan dan kebijakan berbasis bukti.

Sebagai penutup, izinkan saya mewakili USAID untuk mengucapkan terima kasih kepada Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, para ekonom kesehatan muda, Bappenas, Kementerian Keuangan, BPJS Kesehatan, dan tim HFA USAID. Terima kasih atas kontribusi Anda dalam penerbitan buku-buku yang informatif dan inspiratif ini. Kami berharap kolaborasi dan publikasi ini dapat membawa perubahan nyata: kesehatan yang lebih baik untuk lebih banyak orang Indonesia.

Pamela Foster Director, Office of HealthUSAID/Indonesia

ixPEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA

Prakata

Kemajuan teknologi kesehatan, kompleksitas layanan kesehatan, serta tuntutan untuk menyediakan layanan kesehatan bagi seluruh penduduk mengharuskan adanya sinergi antara teknologi kedokteran dan kesehatan serta ketersediaan sumber daya di berbagai negara. Kondisi ini mendorong berkembangnya ilmu

ekonomi kesehatan dalam tiga dekade terakhir dan telah mendapat tempat yang luas di berbagai negara. Namun di Indonesia, ilmu ekonomi kesehatan berjalan relatif stagnan.

USAID melalui Health Financing Activity (HFA) bekerja sama dengan Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan (PPJK) membantu Pemerintah Indonesia untuk mengembangkan proses sustainable health financing melalui projek-projek pembiayaan kesehatan di tahun 2019-2024. Projek USAID mengidentifikasi kendala dalam sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia yaitu terbatasnya kapasitas dan jumlah orang yang memahami tentang ekonomi kesehatan.

Didorong oleh alasan tersebut, projek HFA dengan senang hati berterima kasih para penulis Young Health Economists (YHE), yaitu anak-anak muda yang disupervisi oleh health economists senior, yang telah menyelesaikan 6 buku ekonomi kesehatan.

Salah satu tema yang dibahas dalam buku ekonomi kesehatan tersebut adalah pembiayaan kesehatan. Tema ini dibahas karena, sebagaimana dituangkan dalam Rencana Strategis Kementerian Kesehatan 2020-2024, Pembiayaan Kesehatan merupakan fondasi penting dalam mencapai tatanan sistem kesehatan yang baik, yang pada akhirnya mempengaruhi pencapaian derajat kesehatan. Tema ini membahas secara mendalam konsep serta aplikasi pembiayaan kesehatan, metode serta siklus pembiayaan dan peruntukannya, serta kesetaraan dalam layanan kesehatan sebagai bagian dari capaian pembiayaan kesehatan dengan fokus pembahasan pada Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Buku ini diharapkan menjadi referensi bagi siapa saja yang ingin mengembangkan dan memperbaiki sistem kesehatan di Indonesia melalui disiplin ilmu ekonomi kesehatan. Kami berharap buku ini bermanfaat bagi perguruan tinggi, pemangku kebijakan dalam bidang kesehatan, dan berbagai pihak lain yang mempunyai interest dan kemauan mendalami ilmu ekonomi kesehatan.

Salam,

Hasbullah Thabrany Chief of Party for the Indonesia Health Financing Activity

x PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA

xiPEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA

Daftar Singkatan

ABC : Activity Based CostingAPBD : Anggaran Pendapatan Belanja DaerahAPBN : Anggaran Pendapatan Belanja NegaraAskes : Asuransi KesehatanBLT : Bantuan Langsung Tunai BOK : Bantuan Operasional KesehatanBPJS : Badan Penyelenggara Jaminan SosialBPJS-K : Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan CBGs : Case Based GroupsCDC : Centers for Disease Control and PreventionDAK : Dana Alokasi KhususDAU : Dana Alokasi Umum DBD : Demam Berdarah DengueDEA : Data Envelopment AnalysisDHA : District Health Account DJS : Dana Jaminan SosialDPP : Dokter Praktik PeroranganDRGs : Diagnosis Related GroupsDTD : Dana Transfer DaerahJamkesmas : Jaminan Kesehatan MasyarakatEPF : Employee Provident FundFKRTL : Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat LanjutFKTP : Fasilitas Kesehatan Tingkat PertamaHMO : Health Maintenance Organization GFATM : Global Fund for AIDS, Tuberculosis, and Malaria IDHS : Indonesian Demographic and Health Surveys IFLS : Indonesian Family Life Survey INA-CBGs : Indonesian Case Base Groups INA-DRGs : Indonesian Diagnosis Related Groups Jamkesda : Jaminan Kesehatan DaerahJamkesmas : Jaminan Sosial MasyarakatJamsostek : Jaminan Sosial Tenaga KerjaJKN : Jaminan Kesehatan NasionalK/L : Kementerian/LembagaKDK : Kebutuhan Dasar KesehatanKesling : Kesehatan LingkunganKLB : Kejadian Luar Biasa

xii PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA

MTEF : Medium Term Expenditure Framework NHI : National Health InsuranceNHSO : National Health Security OfficeOASDI : Old-Age, Survivors, and Disability InsuranceOASDHI : Old-age, Survivors, Disability, and Health InsuranceOECD : Organisation for Economic Co-operation and DevelopmentOOP : Out of PocketOOPPS : Out of Pocket PaymentsPAD : Pendapatan Asli Daerah PBI : Penerima Bantuan IuranPBPU : Pekerja Bukan Penerima UpahPCU : Primary Care UnitPDB : Produk Domestik BrutoPEN : Pemulihan Ekonomi NasionalPermenkes : Peraturan Menteri Kesehatan PFABC : Performance-Focused Activity Based CostingPFM : Public Financial ManagementPKH : Program Keluarga HarapanPNS : Pegawai Negeri Sipil Posyandu : Pos Pelayanan Terpadu PPACC : Patient Protection Affordable Care Act PPU : Pekerja Penerima UpahPromkes : Promosi KesehatanPuskesmas : Pusat Kesehatan MasyarakatRaskin : Beras MiskinRCCs : Ratio of Cost to ChargesRiskesdas : Riset Kesehatan Dasar RPJMN : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional SDGs : Sustainable Development GoalsSDM : Sumber Daya Manusia SIMK : Sistem Informasi Manajemen KesehatanSJSN : Sistem Jaminan Sosial NasionalSKN : Sistem Kesehatan Nasional SOSCO : Social Security OrganizationSPM : Standar Pelayanan Minimal Susenas : Survei Sosial Ekonomi NasionalTA : Tahun AnggaranTDABC : Time Driven Activity Based CostingTKDD : Transfer ke Daerah dan Dana DesaUC : Unit CostUHC : Universal Health Coverage/Cakupan Kesehatan SemestaUKM : Usaha Kesehatan Masyarakat UKP : Usaha Kesehatan Perorangan US-FDA : US Food and Drug AdministrationWHO : World Health Organization

xiiiPEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA

Daftar Isi

Kata Pengantar Kementerian Kesehatan RI vKata Pengantar USAID viiPrakata Health Finance Activity ixDaftar Singkatan xiDaftar Isi xiiiProlog xv

BAB 1 KONSEP PEMBIAYAAN KESEHATAN 11.1. Pengantar 11.2. Biaya Kesehatan 11.3. Pembiayaan Kesehatan 41.4. Mekanisme Pembiayaan Kesehatan di Indonesia 101.5. Penutup 13Daftar Pustaka 13

BAB 2 PROSES PEMBIAYAAN KESEHATAN 172.1. Pengantar 172.2. Perencanaan (Planning) 182.3. Perhitungan Kebutuhan Biaya (Costing) 212.4. Penganggaran (Budgeting) 232.5. Penutup 32Daftar Pustaka 32

BAB 3 KONSEP ASURANSI SEBAGAI BAGIAN PEMBIAYAAN KESEHATAN 353.1. Pengantar 353.2. Peran dan Posisi Skema Jaminan Kesehatan dalam Sistem Kesehatan 413.3. Penutup 47Daftar Pustaka 48

BAB 4 EKUITAS DALAM KESEHATAN 494.1. Pengantar 494.2. Latar Belakang 504.3. Konsep Ekuitas 514.4. Bukti Empiris 584.5. Penutup 61Daftar Pustaka 62

xiv PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA

BAB 5 KEBIJAKAN DAN POTRET PEMBIAYAAN KESEHATAN 655.1. Pengantar 655.2. Pembiayaan Kesehatan di Negara-Negara Lain 665.3. Pembiayaan Kesehatan di Indonesia 705.4. Pembiayaan Kesehatan Saat Pandemi COVID-19 765.5. Penutup 78Daftar Pustaka 78

Glosarium 81Tentang Penulis 83

xvPEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA

Health Finance Activity dan Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Kesehatan

Lanskap pembiayaan kesehatan Indonesia telah mengalami perubahan besar sejak dilaksanakannya Program Jaminan Kesehatan Nasional pada 2014, dari supply side financing menjadi demand side financing. Perubahan ini telah melahirkan perkembangan dan inovasi ekonomi kesehatan yang cukup pesat.

JKN telah memudahkan masyarakat mendapatkan akses terhadap layanan kesehatan tanpa harus takut dengan biaya yang mahal, atau dengan kata lain melindungi rumah tangga dari pengeluaran kesehatan besar yang dapat memiskinkan rumah tangga akibat penyakit katastropik. Berbagai instrumen pembiayaan kesehatan publik telah dikembangkan, termasuk alokasi sistem monitoring serta efisiensi pembiayaan kesehatan demi peningkatan layanan kesehatan berkelanjutan.

Kecepatan perubahan, inovasi, dan reformasi sistem kesehatan tersebut membutuhkan kapasitas yang mumpuni dari seluruh sumber daya kesehatan, terutama para tenaga kesehatan dan akademisi kesehatan, untuk terus-menerus mendorong dan mengembangkan perbaikan kebijakan pelayanan kesehatan.

Kapasitas kunci yang diperlukan antara lain melakukan advokasi pembiayaan, mendorong pemerintah daerah untuk mengaplikasikan sistem perencanaan dan penganggaran kesehatan yang lebih baik sehingga mampu meningkatkan kualitas program kesehatan masyarakat. Akademisi kesehatan yang ada di setiap perguruan tinggi sudah semestinya terlibat dalam proses advokasi perubahan ini dengan menjadikan dirinya sebagai pusat rujukan dalam teori serta praktik ekonomi kesehatan bagi pemerintah daerah.

Dalam rangka meningkatkan kapasitas sumber daya kesehatan itulah Program Health Finance Activity dirancang. Program ini merupakan kolaborasi United States Agency for International Development (USAID) dan Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan (PPJK) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Program ini akan berlangsung selama lima tahun dengan tujuan spesifik mengembangkan analisis atas evidence data dan fakta kesehatan untuk menyokong pembiayaan kesehatan yang tepat guna dan berkelanjutan.

Implementasi program ini digarap oleh ThinkWell sebagai lembaga pelaksana kegiatan, bekerja sama dengan Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Universitas Gadjah Mada, Results for Development (R4D), serta mitra pemerintah lainnya seperti Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).

Berbagai upaya peningkatan kapasitas yang sudah dilakukan USAID HFA dan PPJK Kementerian Kesehatan antara lain serial seminar, diskusi pertukaran pengalaman, dan

PROLOG

xvi PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA

pelatihan tentang berbagai topik ekonomi kesehatan yang melibatkan tenaga kesehatan dan akademisi kesehatan bagi dari lingkungan pemerintah dan nonpemerintah. Beberapa contoh kegiatan yang bisa disebut misalnya “Pelatihan “Pelatihan Jurnalistik bidang Ekonomi Kesehatan” dan “Pelatihan Analisis Sosioekonomi dan Kesehatan”.

Seri Ekonomi Kesehatan untuk Akademisi Muda

Salah satu perhatian HFA adalah konsolidasi dan peningkatan kapasitas ilmu ekonomi kesehatan di kalangan ahli dan akademisi muda. Untuk tujuan ini, HFA dan PPJK telah melaksanakan program The Young Health Economists, yang menghasilkan seri buku didaktik di bidang ekonomi kesehatan.

Seri Ekonomi Kesehatan terdiri dari enam buku, yaitu (1) Pengantar Ekonomi Kesehatan; (2) Pembiayaan Kesehatan: Konsep dan Praktik Terbaik di Indonesia; (3) Belanja Strategis Kesehatan: Konsep dan Praktik Terbaik di Indonesia; (4) Evaluasi Ekonomi dan Penilaian Teknologi Kesehatan: Konsep dan Praktik Terbaik di Indonesia; (5) Akun Kesehatan Nasional; dan (6) Manajemen Keuangan dan Akuntansi dalam Ekonomi Kesehatan.

Buku seri ini ditulis dengan niat besar mendorong dan memperkenalkan ilmu ekonomi kesehatan sebagai insight dan jalan keluar bagi pengembangan sistem kesehatan di Indonesia. Ekonomi kesehatan, yang pertama kali digaungkan oleh ekonom Kenneth Arrow pada 1963, pada akarnya mengobservasi interaksi antar-faktor determinan kesehatan dan fungsi sistem layanan kesehatan demi menghasilkan derajat kesehatan terbaik.

Buku seri ini diharapkan dapat menjadi sumber belajar dan referensi bagi akademisi dan praktisi kesehatan, serta para perencana kebijakan kesehatan baik di tingkat pusat maupun daerah, terutama mereka yang ingin melakukan penelitian atau mendesain program-program pelayanan kesehatan secara efisien dan tepat sasaran.

Metode Penyusunan Seri Ekonomi Kesehatan

Proses penyusunan Seri Ekonomi Kesehatan ini menempuh jalan panjang. Serial modul ini merupakan hasil dari rangkaian kegiatan peningkatan kapasitas, pelatihan, dan diskusi intensif banyak pihak yang diselenggarakan oleh Program HFA.

Seri EKonomi Kesehatan ditulis secara kolaboratif oleh para ekonom muda yang menjadi peserta kegiatan peningkatan kapasitas dengan latar belakang profesi yang beragam. Di dalam modul yang ditulisnya kita akan melihat bagaimana mereka memandang ekonomi kesehatan dari perspektif dan kepakarannya masing-masing.

Para penulis mengembangkan buku ini dengan bimbingan seorang penyelia pada setiap topik. Dalam waktu yang cukup lama, penulis dan penyelia ini bersama-sama mendalami dan mengembangkan setiap topik sehingga menghasilkan buku yang komplet seperti sekarang. Materi buku juga telah melewati proses review yang melibatkan beragam pemangku kebijakan di sektor kesehatan. Merekalah yang memberikan masukan terhadap konten buku dari sisi praktikal terhadap setiap topik pembahasan. Melalui proses ini, HFA USAID dan PPJK Kemenkes RI berharap buku ini memiliki kedalaman konten yang memadai, baik dari sisi teoretis maupun praktik pengelolaan pembiayaan kesehatan.

Buku Seri II yang tengah Anda baca ini berjudul Pembiayaan Kesehatan: Konsep dan Praktik Terbaik di Indonesia. Buku akan mengantarkan Anda untuk mendalami Konsep Pembiayaan Kesehatan, Proses Pembiayaan Kesehatan, Konsep Asuransi Sebagai Bagian Pembiayaan Kesehatan, Ekuitas dalam Kesehatan, dan Kebijakan dan Potret Pembiayaan Kesehatan.

1KONSEP PEMBIAYAAN KESEHATAN

BAB 1Konsep Pembiayaan KesehatanHaerawati Idris, Adiatma YM Siregar

Pembiayaan kesehatan merupakan salah satu komponen dalam suatu sistem kesehatan.

1.1. Pengantar

Bab ini membahas mengenai konsep dasar pembiayaan kesehatan. Kami akan mengawali dengan pengantar dan kemudian membahas mengenai biaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, dan diakhiri dengan penutup. Semua konsep dasar yang disajikan bertujuan membantu para pembaca memahami sistem pembiayaan kesehatan dan penerapannya di Indonesia. Hal ini diharapkan berguna bagi praktisi di lapangan dalam mengambil keputusan terkait pembiayaan kesehatan.

1.2. Biaya Kesehatan

Apa yang Anda pikirkan ketika mendengar kata “biaya kesehatan”? Mungkin sebagian orang menganggap biaya kesehatan adalah dana yang digunakan untuk masalah kesehatan, misalnya biaya yang dikeluarkan ketika sakit, membeli obat, atau membeli alat kesehatan. Jawaban tersebut tidak sepenuhnya salah, tetapi sesungguhnya hanya mencakup sebagian kecil biaya kesehatan. Ketika berbicara tentang biaya kesehatan, kita perlu melihat biaya dan pembiayaan kesehatan dalam perspektif suatu sistem. Pembiayaan kesehatan merupakan salah satu komponen dalam suatu sistem kesehatan.

2 PEMBIAYAAN KESEHATAN

Biaya kesehatan merupakan sejumlah dana yang perlu disiapkan dalam menyelenggarakan dan atau memanfaatkan pelayanan kesehatan untuk memenuhi kebutuhan individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat. Biaya kesehatan dibagi menjadi dua perspektif (Azwar, 1996): perspektif penyedia layanan kesehatan dan perspektif pengguna jasa.

Dari perspektif penyedia layanan kesehatan, biaya kesehatan merupakan sejumlah uang yang harus disiapkan dalam menyelenggarakan layanan kesehatan. Layanan kesehatan bisa dilaksanakan oleh pihak pemerintah dan swasta. Adapun dana yang disiapkan oleh penyedia layanan kesehatan berupa biaya investasi (investment cost) dan biaya operasional (operasional cost). Dana tersebut digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan.

Dari perspektif pengguna jasa, biaya kesehatan merupakan sejumlah dana yang harus disiapkan ketika menggunakan layanan kesehatan. Besaran dana yang digunakan oleh pemakai jasa pelayanan kesehatan berasal dari kantong pribadi individu (out of pocket).

Biaya kesehatan memiliki beragam jenis dan peruntukan. Hal ini disesuaikan dengan jenis dan kompleksitas pelayanan kesehatan yang dimanfaatkan. Secara umum, terdapat dua jenis biaya kesehatan (Azwar, 1996): biaya pelayanan kedokteran dan biaya pelayanan kesehatan masyarakat. Biaya pelayanan kedokteran adalah dana yang dikeluarkan untuk pengobatan dan pemulihan kesehatan pasien, sedangkan biaya pelayanan kesehatan masyarakat dibutuhkan dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan masyarakat. Biaya ini bertujuan mencegah penyakit, memelihara, dan meningkatkan kesehatan masyarakat.

Pengumpulan, penyediaan, dan pembelanjaan keuangan digunakan untuk pembiayaan Usaha Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Usaha Kesehatan Perorangan (UKP). Hal ini dilakukan dengan memobilisasi dana dari masyarakat, pemerintah, dan public-private mix. Pembiayaan bagi masyarakat miskin umumnya ditanggung oleh pemerintah, sedangkan pembiayaan untuk masyarakat mampu bersumber dari masyarakat itu sendiri melalui mekanisme jaminan kesehatan, baik secara wajib maupun sukarela (Gotama, 2010).

Biaya kesehatan dianggap baik jika memenuhi empat komponen: pertama, biaya kesehatan tersedia dalam jumlah yang cukup dan masyarakat dapat memanfaatkan layanan kesehatan dengan mudah. Kedua, penyebaran dana harus sesuai dengan kebutuhan. Ketiga, pemanfaatan dana harus diatur secara saksama. Keempat, pengelolaan biaya kesehatan hendaklah meningkatkan efektivitas dan efisiensi. Namun, pelaksanaan di lapangan tidaklah demikian. Masalah yang kontradiktif masih sering terjadi, dari jumlah dana yang masih terbatas, penyebaran atau alokasi dana yang tidak

Secara umum, terdapat dua jenis

biaya kesehatan: biaya pelayanan kedokteran dan biaya pelayanan

kesehatan masyarakat.

3KONSEP PEMBIAYAAN KESEHATAN

sesuai, pemanfaatan dana yang tidak tepat, pengelolaan dana yang belum baik, hingga biaya kesehatan yang terus meningkat.

Menurut Azwar (1996), masalah pembiayaan dapat diatasi dengan meningkatkan jumlah dana, memperbaiki alokasi dana, manajemen dana, dan mengendalikan biaya kesehatan. Masalah peningkatan biaya kesehatan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti tingkat inflasi, tingkat permintaan, kemajuan ilmu dan teknologi, perubahan pola penyakit, perubahan pola pelayanan kesehatan, perubahan pola hubungan dokter dengan pasien, mekanisme pengendalian biaya yang lemah, dan penyalahgunaan asuransi kesehatan (Setyawan, 2018).

Sistem kesehatan membutuhkan sumber daya keuangan untuk mencapai tujuan yang ditargetkan. Biaya utama sebagian besar sistem pelayanan kesehatan diserap oleh kebutuhan biaya sumber daya manusia, perawatan di rumah sakit, dan penyediaan obat-obatan. Di sebagian besar negara tropis, pelayanan kesehatan dibiayai oleh pengeluaran pemerintah, swasta (didominasi out of pocket), dan bantuan eksternal. Pembiayaan pelayanan kesehatan di negara berpenghasilan rendah dan menengah menjadi tantangan yang signifikan. Banyak negara berpenghasilan menengah ke atas di seluruh Amerika Latin, Afrika, dan Asia telah mampu menyediakan perlidungan kesehatan untuk sebagian besar dari populasi mereka. Mekanisme pembiayaan yang digunakan diharapkan mampu memastikan akses ke pelayanan kesehatan dan melindungi individu dari bencana utang ketika mengakses pelayanan kesehatan (Rhatigan Jr, 2020).

Menurut Azwar (1996), secara umum sumber biaya kesehatan dikelompokkan menjadi dua, yakni pertama, seluruh pembiayaan bersumber dari anggaran pemerintah. Negara yang menggunakan model ini menyediakan biaya kesehatan untuk masyarakat sepenuhnya. Pelayanan kesehatan diberikan oleh pemerintah secara cuma-cuma. Tidak ada campur tangan dari pelayanan kesehatan swasta.

Kedua, sebagian pembiayaan ditanggung oleh masyarakat. Beberapa negara mengajak peran serta masyarakat untuk ikut andil dalam pelayanan kesehatan, baik dalam penyelenggaraan upaya kesehatan maupun pemanfaatan layanan kesehatan. Pada kondisi ini, swasta pun ikut berperan dalam penyediaan layanan kesehatan sehingga masyarakat menggunakan pelayanan kesehatan dengan mengeluarkan dana sendiri.

Berikut empat sumber utama pembiayaan untuk sektor kesehatan (Kutzin, 2008; Mills & Gilson, 1988).1. Pembiayaan pemerintah untuk pelayanan kesehatan meliputi

pengeluaran kesehatan di semua tingkat pemerintah (pusat dan daerah), termasuk pengeluaran perusahaan publik.

Sistem kesehatan membutuhkan sumber daya keuangan untuk mencapai tujuan yang ditargetkan.

4 PEMBIAYAAN KESEHATAN

2. Pembiayaan swasta, dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung. Pembayaran langsung merupakan pembayaran pribadi yang dilakukan langsung kepada berbagai penyedia, termasuk praktik swasta, tabib tradisional, dan apoteker. Biaya pengguna untuk layanan yang disediakan pemerintah atau pelayanan kesehatan swasta yang berasal dari kantong sendiri dianggap sebagai pembiayaan kesehatan dari sumber swasta. Biaya yang sama, kontribusi, atau pra-pembayaran oleh anggota dalam skema pembiayaan masyarakat juga dianggap berasal dari sumber non-pemerintah.

Pembayaran tidak langsung merupakan pembayaran layanan kesehatan oleh pengusaha sebagai cakupan dan pembiayaan kesehatan oleh badan non-pemerintah lainnya, seperti pengumpulan dana amal.

3. Pembiayaan asuransi kesehatan. Ada tiga jenis asuransi utama, yaitu asuransi pemerintah atau sosial, asuransi swasta, dan asuransi berbasis pengusaha atau pekerja.

4. Pembiayaan sumber eksternal. Pembiayaan ini bersumber dari bantuan organisasi luar dalam membantu program kesehatan, seperti dari WHO, World bank, dan organisasi lain dalam membiayai program prioritas kesehatan suatu negara, seperti HIV, TB, Malaria, dan imunisasi. Selama lima belas tahun terakhir, pendanaan eksternal meningkat secara signifikan untuk kesehatan di negara-negara berpenghasilan rendah dengan beban penyakit yang tinggi. Bantuan pembangunan untuk kesehatan, biasa disebut bantuan asing, merupakan porsi yang signifikan dari pengeluaran kesehatan di negara-negara berpenghasilan rendah, rata-rata 40% dari total pengeluaran perawatan kesehatan (J. L. Dieleman et al., 2016).

1.3. Pembiayaan Kesehatan

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (2000), pembiayaan kesehatan mengacu pada fungsi sistem kesehatan yang berkaitan dengan pengumpulan, alokasi, dan mobilisasi dana untuk memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat, secara individu dan kolektif. Dalam sistem kesehatan, tujuan pembiayaan kesehatan adalah menyediakan pendanaan dan menetapkan insentif atau pembiayaan bagi penyedia layanan, serta memastikan semua individu memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan masyarakat secara efektif. Lebih lanjut lagi, WHO menjelaskan bahwa pembiayaan kesehatan mengacu pada bagaimana menggunakan sumber daya keuangan untuk memastikan bahwa sistem kesehatan dapat memenuhi kebutuhan kesehatan setiap orang secara kolektif & memadai (Organization, 2010).

Pembiayaan kesehatan menjadi suatu bagian yang sangat mendasar dari sistem kesehatan. Dengan dukungan pembiayaan kesehatan, sistem kesehatan akan mampu memelihara dan

Dalam sistem kesehatan, tujuan

pembiayaan kesehatan adalah

menyediakan pendanaan dan

menetapkan insentif atau

pembiayaan bagi penyedia layanan, serta memastikan

semua individu memiliki akses

terhadap pelayanan kesehatan

masyarakat secara efektif.

5KONSEP PEMBIAYAAN KESEHATAN

meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan manusia. Pada kondisi yang sangat ekstrem, ketidaktersediaan pendanaan kesehatan akan menyulitkan layanan kesehatan, pengobatan, pelaksanaan program, pencegahan, dan promosi kesehatan. Pembiayaan bukan hanya sekadar menghasilkan pendanaan, melainkan negara mampu memantau dan mengevaluasi pembiayaan untuk sistem kesehatan dengan menggunakan berbagai indikator. Pembiayaan kesehatan bukan hanya membahas cara meningkatkan dana pelayanan kesehatan, melainkan juga mencakup alokasi pendanaan yang ada.

Sumber pembiayaan kesehatan suatu negara dapat berasal dari pemerintah dan non-pemerintah yang akan digunakan secara luas untuk membiayai upaya kesehatan. Namun, sering kali terjadi persaingan alokasi pendanaan dalam suatu sistem. Cara pengalokasian dana tidak hanya dipengaruhi oleh cara layanan, tetapi juga penetapan prioritas dalam hukum ekonomi kesehatan (Tulchinsky & Varavikova, 2014). Pembiayaan kesehatan diharapkan mampu menyediakan sumber daya dan insentif untuk pelaksanaan sistem kesehatan. Selain itu, pembiayaan kesehatan menjadi penentu utama kinerja sistem kesehatan dalam hal pemerataan, efisiensi, dan outcome kesehatan (Schieber, Baeza, Kress, & Maier, 2006).

Berikut beberapa macam model pembiayaan kesehatan yang dapat diadopsi oleh beberapa negara (Setyawan, 2018):1. Pembiayaan secara langsung (direct payments by patients) Setiap individu mengeluarkan biaya secara langsung berdasarkan

tingkat penggunaan layanan kesehatan yang diterima. Model pembiayaan ini dapat mendorong penggunaan layanan kesehatan secara lebih hati-hati. Kondisi ini melahirkan kompetisi antara penyedia layanan kesehatan dalam menarik perhatian konsumen (free market). Walaupun hal ini tampak sehat, transaksi kesehatan menjadi tidak seimbang. Konsumen tidak mampu memahami dengan baik akan kebutuhan kesehatan dan masalah kesehatan yang dimiliki. Seluruhnya dikontrol oleh penyedia layanan kesehatan. Hal ini dapat menimbulkan inefisiensi dan pemakaian terapi secara berlebihan.

2. Pembayaran oleh pengguna (user payments) Pasien membayar layanan kesehatan secara langsung, baik

kepada pemerintah maupun swasta. Besaran dan mekanisme pembayaran telah diatur secara formal oleh penyedia layanan kesehatan dan pemerintah. Pada kondisi yang lebih kompleks, besaran biaya setiap kunjungan dapat berbeda-beda sesuai dengan jasa pelayanan kesehatan yang diberikan (misalnya untuk pelayanan kesehatan di fasilitas swasta). Besaran biaya per episode ketika sakit bersifat tetap atau flat rate.

3. Pembiayaan berbasis tabungan (saving-based) Pengeluaran biaya kesehatan individu didasarkan pada

tingkat penggunaannya. Individu memperoleh bantuan dalam

Sumber pembiayaan kesehatan suatu negara dapat berasal dari pemerintah dan non-pemerintah yang akan digunakan secara luas untuk membiayai upaya kesehatan.

6 PEMBIAYAAN KESEHATAN

pengumpulan dana dalam bentuk tabungan. Ketika dibutuhkan, individu tersebut dapat memakai dana tersebut. Model ini dapat meng-cover biaya pelayanan kesehatan yang bersifat primer dan lanjutan, tetapi individu akan mengalami kesulitan membiayai pelayanan yang bersifat kronis dan kompleks. Oleh sebab itu, perlu model pembiayaan lain untuk mendukung model ini dalam menanggung biaya kesehatan yang kompleks dan populasi yang lebih luas.

4. Pembiayaan informal Model ini tidak mengatur besaran, jenis, dan mekanisme

pembayaran. Besaran biaya disesuaikan dengan kesepakatan antara penyedia dan pengguna layanan kesehatan. Umumnya penyedia layanan kesehatan lebih dominan dalam pengaturannya. Selain uang, barang dapat digunakan sebagai alat tukar untuk memperoleh pelayanan kesehatan, misalnya dari penyedia layanan kesehatan mantri atau pengobatan tradisional. Model ini biasanya diadopsi oleh negara-negara berkembang yang belum memiliki sistem kesehatan yang mampu melindungi seluruh masyarakatnya.

5. Pembiayaan berbasis-asuransi (insurance-based) Dalam model ini individu tidak membiayai pelayanan kesehatan

secara langsung, tetapi terjadi pengalihan risiko kesakitan seseorang menjadi risiko kelompok. Selain itu, terjadi pembagian risiko biaya secara adil. Biaya pelayanan kesehatan disesuaikan dengan perhitungan dan akan ditanggung dari dana yang telah dikumpulkan bersama. Individu membayar premi dengan mekanisme pembayaran yang diatur oleh organisasi pengelola dana asuransi.

Selain kelima model tersebut, model pembiayaan kesehatan lainnya adalah model Out of Pocket (Pengeluaran dari Kantong Sendiri). Pengeluaran pada model ini berasal dari individu ketika ingin mengakses pelayanan kesehatan dan tidak didanai oleh program asuransi. Model pembiayaan ini diterapkan di sebagian besar negara yang berpenghasilan rendah (J. Dieleman, Campbell, & Chapin, 2017).

Hal ini akan memberatkan banyak segmen dari populasi yang tidak memiliki sumber pendapatan tunai dan memiliki sedikit tabungan. Biaya yang bersumber dari kantong sendiri sering menyebabkan keluarga jatuh miskin. Hal ini menjadi penghalang yang sulit diatasi untuk mengakses layanan perawatan kesehatan yang diperlukan. Negara-negara berpenghasilan tinggi cenderung lebih sedikit mengeluarkan biaya kesehatan dari kantong sendiri karena lebih banyak penduduk yang dilindungi oleh skema asuransi kesehatan prabayar (Rhatigan Jr, 2020).

Model pembiayaan kesehatan antar-negara berbeda. Penggunaan model pembiayaan kesehatan disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing. Model yang diadopsi diharapkan mampu

Model pembiayaan

kesehatan antar-negara berbeda,

disesuaikan dengan

kebutuhan masing-masing.

7KONSEP PEMBIAYAAN KESEHATAN

menciptakan akses, keadilan, dan efisiensi pelayanan kesehatan. Pembiayaan pelayanan kesehatan di negara-negara berpenghasilan menengah ke atas dan tinggi umumnya disediakan melalui asuransi kesehatan (sering kali berbasis lapangan pekerjaan atau serikat pekerja) atau pembiayaan pemerintah yang didanai oleh perpajakan umum.

Pendanaan pemerintah sangat terbatas di negara berpenghasilan rendah karena kurangnya basis pajak yang signifikan. Asuransi kesehatan sulit diterapkan di negara tersebut karena beban penyakit yang tinggi, pendapatan penduduk yang kurang, dan kesulitan menciptakan kumpulan risiko yang besar dan beragam (Mills, 2014). Hampir semua skema asuransi kesehatan yang diterapkan di negara ini memerlukan subsidi dari permerintah untuk menopang sistem mereka (Sachs, 2012).

Interaksi fungsi-fungsi pembiayaan kesehatan ditunjukkan pada Gambar 1.1. Pembiayaan kesehatan meliputi fungsi dasar pengumpulan pendapatan (revenue collection), pengumpulan sumber daya (pooling resources), dan pembayaran intervensi (purchase of interventions). (Gottret & Schieber, 2006; Rannan-Eliya, 2009):1. Pengumpulan pendapatan adalah bagaimana sistem kesehatan

mengumpulkan uang dari rumah tangga, bisnis, dan sumber eksternal.

2. Pengumpulan berkaitan dengan akumulasi dan pengelolaan pendapatan sehingga anggota kelompok berbagi risiko kesehatan secara kolektif. Hal ini akan melindungi anggota kelompok individu dari pengeluaran kesehatan yang besar dan tidak dapat diprediksi. Pembayaran di muka memungkinkan anggota untuk membayar biaya rata-rata di muka, membebaskan mereka dari ketidakpastian, dan memastikan kompensasi jika terjadi kerugian. Pengumpulan ini memungkinkan pembentukan asuransi dan redistribusi pengeluaran kesehatan antara individu berisiko (tinggi dan rendah) dan individu berpenghasilan (tinggi dan rendah).

3. Pembelian mengacu pada mekanisme yang digunakan untuk membeli layanan dari penyedia publik dan swasta.

Hampir semua skema asuransi kesehatan yang diterapkan di negara ini memerlukan subsidi dari permerintah untuk menopang sistem mereka.

Gambar 1.1. Hubungan Fungsi-Fungsi Pembiayaan Kesehatan

Diadopsi dari G. Schieber, Baeza, C., Kress, D., & Maier, M. (2006). Financing Health Systems in the 21st Century. Disease Control Priorities in Developing Countries, 225, 224.

8 PEMBIAYAAN KESEHATAN

Fungsi pembiayaan kesehatan di atas memiliki implikasi yang penting untuk mendukung kerja sistem kesehatan berupa:1. Jumlah dana yang tersedia (saat ini dan di masa depan) dan

tingkat layanan esensial dan perlindungan keuangan bagi populasi.

2. Keadilan (ekuitas).3. Efisiensi ekonomi dari upaya peningkatan pendapatan. 4. Tingkat pooling (subsidi risiko, asuransi) dan pembayaran di

muka (ekuitas subsidi)5. Jumlah dan jenis layanan yang dibeli dan dikomsumsi terhadap

dampak kesehatan dan biaya kesehatan (efektivitas biaya dan efisiensi alokasi layanan)

6. Efisiensi teknis dari produksi layanan (tujuannya adalah untuk menghasilkan setiap layanan dengan biaya rata-rata minimum)

7. Akses fisik dan finansial dan ke layanan oleh populasi (termasuk ekuitas akses dan manfaat)

Dalam hal kebijakan kesehatan di tingkat negara, ketujuh fungsi pembiayaan kesehatan di atas berguna untuk, pertama pengumpulan dana yang dapat meningkatkan pendapatan yang memadai dan berkelanjutan dengan cara yang adil dan efisien. Hal ini dilakukan dengan menyediakan kebutuhan individu akan paket dasar layanan esensial dan perlindungan keuangan terhadap bencana keuangan yang terjadi ketika individu sakit. Kedua, penggabungan risiko untuk mengelola pendapatan yang dikumpulkan dan menyatukan risiko kesehatan secara adil dan efisien. Ketiga, pembelian dapat memastikan pembelian layanan kesehatan secara efisien, baik alokasi maupun teknis.

Fungsi pembiayaan di atas diwujudkan dalam tiga model pembiayaan kesehatan sebagai berikut (Gottret & Schieber, 2006; Jaworzyľska, 2016): 1. National Health Service (NHS) Model Layanan Kesehatan Nasional juga sering disebut dengan

Model Beveridge. NHS dikenal pertama kali di Inggris pada 5 juli 1948. Model ini diperkenalkan oleh William Beveridge. Model ini ditandai dengan cakupan universal yang bersifat wajib dan pembiayaan yang bersumber dari pendapatan umum nasional dan kepemilikan nasional. Dalam sistem ini, perawatan kesehatan disediakan dan dibiayai oleh pemerintah melalui pembayaran pajak. Model ini menawarkan pelayanan gratis bagi seluruh populasi. Negara-negara yang menggunakan model Beveridge atau variasi di dalamnya di antara Inggris Raya, Spanyol, sebagian besar Skandinavia, dan Selandia Baru.

2. Asuransi sosial Model pembiayaan ini sering disebut dengan model Bismarck.

Model ini diperkenalkan oleh Kanselir Prusia Otto Von Bismarck.

Fungsi pembiayaan

kesehatan berguna untuk pengumpulan

dana yang dapat meningkatkan

pendapatan yang memadai dan berkelanjutan

dengan cara yang adil dan efisien.

9KONSEP PEMBIAYAAN KESEHATAN

Cakupan universal wajib berada di bawah sistem jaminan sosial. Kontribusi asuransi ini bersumber dari karyawan dan pemberi kerja. Model Bismarck meliputi struktur, pembiayaan, dan pemberian pelayanan kesehatan. Dalam hal ini, model Bismarck mewakili layanan yang tersedia bagi karyawan melalui cakupan asuransi kesehatan yang disponsori oleh majikan. Model Bismarck diadopsi oleh Jerman, Perancis, Belgia, Belanda, Jepang, Swiss, dan beberapa bagian di Amerika Latin.

3. Asuransi swasta Pembelian asuransi kesehatan swasta ini berbasis pada

perusahaan atau perorangan. Model asuransi kesehatan swasta dengan akses manfaat yang dikondisikan berdasarkan polis asuransi swasta. Dana yang dialokasikan untuk membiayai manfaat layanan kesehatan berasal dari premi asuransi swasta. Produsen layanan kesehatan adalah entitas swasta. Negara-negara Anggota Uni Eropa dan Amerika Serikat membangun sistem pembiayaan mereka berdasarkan model ini.

Bagaimana dengan mekanisme pembiayaan kesehatan? Menurut WHO, skema pembiayaan pelayanan kesehatan adalah komponen struktural dari sistem pembiayaan pelayanan kesehatan, yakni pengaturan pembiayaan sehingga seseorang mampu memperoleh pelayanan kesehatan. Skema pembiayaan pelayanan kesehatan termasuk pembayaran langsung oleh rumah tangga untuk layanan dan barang serta pengaturan pembiayaan oleh pihak ketiga (Organization, 2017a). Manfaat atau cakupan dibagi ke dalam cakupan luas dan cakupan ruang lingkup. Cakupan luas berarti kelompok populasi yang dicakup oleh bentuk sistem prapembayaran atau perlindungan sosial apa pun, sedangkan cakupan ruang lingkup mengacu pada jenis layanan kesehatan yang disediakan pada skema sistem prapembayaran atau skema perlindungan sosial. Hal tersebut secara detail dideskripsikan pada Tabel 1.1.

10 PEMBIAYAAN KESEHATAN

1.4. Mekanisme Pembiayaan Kesehatan di Indonesia

Berikut mekanisme pembiayaan kesehatan yang diterapkan di Indonesia (Myint et al., 2019): sumber utama pendapatan berasal dari pajak langsung, pajak tidak langsung, dan out of pocket (OOP). Metode pengumpulan pendapatan menggunakan sistem single pool. Jenis penyedia layanan kesehatan berasal dari penyedia publik dan swasta. Dalam hal pembelian, penyedia layanan untuk pelayanan kesehatan mengandalkan campuran penyedia publik dan swasta.

Cakupan pelayanan berupa layanan kesehatan esensial dan berbiaya tinggi atau pelayanan tersier. Luas cakupan mencakup sekitar 63% masyarakat melalui subsidi pemerintah dan/atau pembayaran di muka dan/atau skema pengelompokan risiko. Cakupan ini belum mencapai tingkat yang direkomendasikan WHO, yaitu lebih dari 90%. Paket layanan bersifat komprehensif, tetapi tergantung pada jenis asuransi yang dipilih oleh individu (perawatan tingkat pertama, kedua, dan ketiga)(Marzoeki, Tandon, Bi, & Pambudi, 2014).

Penyedia layanan di Indonesia membutuhkan akreditasi. Metode pembayaran penyedia menggunakan sistem kapitasi dan Diagnostic Related Group (DRG). Dana dikumpulkan ke satu tempat yang disebut asuransi kesehatan nasional (single pool). Meskipun pendapatan dimasukkan ke kumpulan tunggal, tarif

C. Y. Myint, Pavlova, M., Thein, K.-N.-N., & Groot, W.

(2019). A Systematic Review of The Health-Financing

Mechanisms in The Association of Southeast Asian Nations Countries

and The People’s Republic of China: Lessons for The Move Towards Universal

Health Coverage. PLoS One, 14(6), e0217278.

Tabel 1.1. Indikator untuk Menilai

Mekanisme Pembiayaan

Kesehatan Menurut

Framework McIntyre dan Kutzin (2016)

11KONSEP PEMBIAYAAN KESEHATAN

Sejak 2004, anggaran pemerintah untuk kesehatan telah meningkat secara signifikan.

premium bervariasi berdasarkan status pekerjaan di Indonesia. Sumber pendapatan asuransi kesehatan nasional terdiri dari kontribusi sosial dan subsidi pemerintah untuk orang miskin dan target spesifik (Myint et al., 2019).

Standar anggaran minimal suatu negara yang ditetapkan oleh WHO adalah sekitar 5%-6% dari total APBN. Tujuannya adalah agar mampu meningkatkan derajat kesehatan dengan dukungan pembiayaan kesehatan yang kuat. Idealnya suatu negara menganggarkan 15-20% dari APBN. Anggaran yang besar diharapkan mampu membiayai kebutuhan pelayanan kesehatan yang cukup mahal. Kesehatan menjadi investasi suatu negara untuk meningkatkan derajat kesehatan dan produktivitas masyarakatnya (Organization, 2014).

Sejak 2004, anggaran pemerintah untuk kesehatan telah meningkat secara signifikan. Hal ini terjadi karena kebijakan pembiayaan kesehatan pemerintah yang lebih fokus untuk mengurangi risiko keuangan dari pengeluaran perawatan kesehatan, khususnya untuk kelompok miskin. Peningkatan anggaran ini juga diamanatkan oleh UU Kesehatan, yang menetapkan bahwa alokasi anggaran pemerintah secara nasional setidaknya harus berjumlah 5% dari total anggaran pemerintah pusat (APBN); sementara untuk anggaran daerah (APBD) alokasi untuk kesehatan minimal berjumlah 10%. Berdasarkan persyaratan hukum itu, pemerintah telah menambah alokasi anggaran untuk perawatan kesehatan secara nasional hingga 5% dari total pemerintah anggaran pada 2016. Jumlahnya diperkirakan sekitar 109 Triliun Rupiah (Mahendradhata et al., 2017).

Sumber pendanaan kesehatan di Indonesia berasal dari APBN, APBD, dana swasta, out of pocket, hibah, dan donor dari perusahaan ataupun luar negeri. Sumber dana tersebut dialokasikan untuk membiayai program dan kegiatan di bidang kesehatan, baik bersifat fisik maupun nonfisik.

Gambar 1.2. merangkum aliran pembiayaan yang terjadi dalam sistem kesehatan Indonesia. Aliran dana pemerintah termasuk proses pengumpulan pendapatan dari rumah tangga, perusahaan swasta, dan sumber eksternal dan transfer ke daerah pemerintah dan fasilitas kesehatan. BPJS kesehatan merupakan administrator dari Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang mengumpulkan kontribusi dari pemerintah, perusahaan swasta, dan rumah tangga menjadi satu kumpulan nasional dan membeli layanan kesehatan dari penyedia publik dan swasta. Aliran dana pribadi meliputi pengeluaran Out of Pocket (OOP) dari rumah tangga, perusahaan di fasilitas publik dan swasta. Sejak lima tahun yang lalu, hanya sekitar satu persen dari total pengeluaran kesehatan berasal sumber eksternal (Pinto, Masaki, & Harimurti, 2016).

12 PEMBIAYAAN KESEHATAN

Dalam 20 tahun terakhir, reformasi di bidang pembiayaan kesehatan di Indonesia bergerak sangat dinamis, dari penargetan berbagai program menuju UHC. Upaya reformasi pembiayaan yang dilaksanakan pada akhir 1990-an bertujuan untuk memberikan perlindungan finansial bagi masyarakat miskin sebagai respons terhadap krisis ekonomi yang melanda Asia pada akhir 1998. Pada 2004 dibentuk skema asuransi kesehatan sosial. Pada 2008, skema tersebut ditingkatkan dan diperluas lebih jauh. Kemudian pada tahun 2011, skema perlindungan keuangan lainnya diperkenalkan secara khusus untuk mencapai Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals/MDGs). Akhirnya, sebuah langkah menuju Universal Health Coverage (UHC) dimulai pada tahun 2014 dengan implementasi Jaminan Kesehatan Nasional/JKN (Mahendradhata et al., 2017).

JKN adalah reformasi pembiayaan kesehatan yang berupaya mengatasi tiga pilar pembiayaan kesehatan, yakni pengumpulan pendapatan, penggabungan, dan pembelian. JKN berpotensi menciptakan momentum untuk bergerak menuju kebijakan dan strategi yang terkoordinasi untuk mencapai tujuan Sistem Kesehatan Nasional (SKN). JKN telah berupaya menciptakan distribusi yang adil dari beban sistem pendanaan. Negara perlu melanjutkan dan membuat penyesuaian yang diperlukan sehingga sistem kesehatan dapat berfungsi secara berkualitas, efisien dan adil. Pada saat yang sama menyediakan perlindungan finansial berkelanjutan kepada rakyat (Mahendradhata et al., 2017).

Sistem UHC berkembang pesat di Indonesia dan mencakup 203 juta orang. Kini Indonesia dikenal sebagai pengguna skema pembayar tunggal terbesar di dunia dan telah meningkatkan pemerataan kesehatan dan akses layanan. Kesuksesan di awal

Gambar 1.2. Aliran Pembiayaan

Kesehatan

Diadopsi dari Pinto, R., Masaki, E., & Harimurti,

P. (2016). Indonesia Health Financing System Assessment: Spend More,

Spend Right, Spend Better: World Bank.

13KONSEP PEMBIAYAAN KESEHATAN

memberikan tantangan lain, seperti munculnya kelompok “missing middle”. Istilah tersebut digunakan untuk menunjukkan sejumlah kecil orang yang terdaftar di UHC dengan kuintil kekayaan Q2-Q3 dibandingkan orang di kuintil lainnya, dan rendahnya cakupan UHC pada anak sejak lahir sampai usia 4 tahun (Agustina et al., 2018).

Pembiayaan publik sangat penting untuk membuat kemajuan menuju UHC. Komitmen kebijakan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) PBB menekankan bahwa setiap orang harus memiliki akses ke layanan kesehatan yang berkualitas dan penggunaan layanan ini mampu melindungi keuangan individu (Organization, 2017b). Dampak pada pengeluaran publik untuk kesehatan akan bergantung pada sejauh mana kebijakan fiskal dan prioritas kesehatan terjadi. Selama periode ini sangat penting untuk memastikan tingkat pembiayaan publik untuk mempertahankan cakupan layanan yang efektif dan perlindungan risiko keuangan terhadap UHC (Tandon, Cain, Kurowski, Dozol, & Postolovska, 2020).

1.5. Penutup

Secara luas, pembiayaan kesehatan dipandang mampu memberikan kontribusi bagi perkembangan sosial dan ekonomi suatu negara. Pembiayaan kesehatan yang optimal dan berkelanjutan sangat penting dalam pencapaian tujuan pembangunan kesehatan. Oleh karena itu, perencanaan dan pengelolaan pembiayaan kesehatan yang memadai akan membantu negara dalam memobilisasi sumber pembiayaan kesehatan, mengalokasikannya secara rasional, dan menggunakannya secara efektif serta efisien. Untuk mendorong tercapainya akses yang universal dibutuhkan kebijakan pembiayaan yang memperhatikan pemerataan dan membantu penduduk miskin.

Daftar Pustaka

Agustina, R., Dartanto, T., Sitompul, R., Susiloretni, K., Achadi, E., Taher, A., . . . Shankar, A. (2018). Universal Health Coverage in Indonesia: Concept, Progress, and Challenges. Lancet (London, England).

Azwar, A. (1996). Pengantar Administrasi Kesehatan, Sistem Kesehatan. Edisi Ketiga. Jakarta: PT Binarupa Aksara.

Dieleman, J., Campbell, M., & Chapin, A. (2017). And the Global Burden of Disease Health Financing Collaborator Network. Evolution and Patterns of Global Health Financing 1995-2014: Development Assistance for Health, and Government, Prepaid Private, and Out-Of-Pocket Health Spending in 184 Countries. The Lancet, 389(10083), 1981-2004.

Untuk mendorong tercapainya akses yang universal dibutuhkan kebijakan pembiayaan yang memperhatikan pemerataan dan membantu penduduk miskin.

14 PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA

Dieleman, J. L., Schneider, M. T., Haakenstad, A., Singh, L., Sadat, N., Birger, M., . . . Chapin, A. (2016). Development Assistance for Health: Past Trends, Associations, and the Future of International Financial Flows for Health. The Lancet, 387(10037), 2536-2544.

Gotama, D. P. I. (2010). Reformasi Jaminan Sosial Kesehatan (Isu-Isu Kesehatan & Jaminan Kesehatan). Jakarta: Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Depkes RI.

Gottret, P., & Schieber, G. (2006). Health Financing Revisited: A Practitioner’s Guide. The World Bank.

Jaworzyľska, M. (2016). A Comparative Analysis of the Health System Financing in Poland and Selected Countries. Economics and Sociology, 9(3), 41-51.

Kutzin, J. (2008). Health Financing Policy: A Guide for Decision-Makers. Health Financing Policy Paper. Copenhagen, WHO Regional Office for Europe, 24.

Mahendradhata, Y., Trisnantoro, L., Listyadewi, S., Soewondo, P., Marthias, T., Harimurti, P., & Prawira, J. (2017). The Republic of Indonesia Health System Review.

Marzoeki, P., Tandon, A., Bi, X., & Pambudi, E. S. (2014). Universal Health Coverage for Inclusive and Sustainable Development: Country Summary Report for Indonesia.

Mills, A. (2014). Health Care Systems in Low-And Middle-Income Countries. New England Journal of Medicine, 370(6), 552-557.

Mills, A., & Gilson, L. (1988). Health Economics for Developing Countries: A Survival Kit.

Myint, C.-Y., Pavlova, M., Thein, K.-N.-N., & Groot, W. (2019). A Systematic Review of The Health-Financing Mechanisms in The Association of Southeast Asian Nations Countries and The People’s Republic of China: Lessons for The Move Towards Universal Health Coverage. PLoS One, 14(6), e0217278.

Organization, W. H. (2000). The World Health Report 2000: Health Systems: Improving Performance. World Health Organization.

Organization, W. H. (2010). Monitoring the Building Blocks of Health Systems: A Handbook of Indicators and Their Measurement Strategies. World Health Organization.

15KONSEP PEMBIAYAAN KESEHATAN

Organization, W. H. (2014). WHO Global Health Expenditure Atlas. September 2014. WHO Global Health Expenditure Atlas. Switzerland2014.

Organization, W. H. (2017a). A System of Health Accounts 2011 Revised edition: OECD Publishing.

Organization, W. H. (2017b). World Bank. Tracking Universal Health Coverage: 2017 Global Monitoring Report. World Health Organization.

Pinto, R., Masaki, E., & Harimurti, P. (2016). Indonesia Health Financing System Assessment: Spend More, Spend Right, Spend Better: World Bank.

Rannan-Eliya, R. P. (2009). Strengthening Health Financing in Partner Developing Countries. Task Force on Global Action for Health System Strengthening, Editor (2009) Global Action For Health System Strengthening. Tokyo: Japan Center for International Exchange, 59-90.

Rhatigan Jr, J. J. (2020). Health Systems and Health Care Delivery Hunter’s Tropical Medicine and Emerging Infectious Diseases (pp. 214-218): Elsevier.

Sachs, J. D. (2012). Achieving Universal Health Coverage in Low-Income Settings. The Lancet, 380(9845), 944-947.

Schieber, G., Baeza, C., Kress, D., & Maier, M. (2006). Financing Health Systems in the 21st Century. Disease Control Priorities in Developing Countries, 225, 224.

Setyawan, F. E. B. (2018). Sistem Pembiayaan Kesehatan. Jurnal Berkala Ilmiah Kedokteran dan Kesehatan, 2(4).

Tandon, A., Cain, J., Kurowski, C., Dozol, A., & Postolovska, I. (2020). From Slippery Slopes to Steep Hills: Contrasting Landscapes of Economic Growth and Public Spending For Health. Social Science & medicine, 259, 113171.

Tulchinsky, T., & Varavikova, E. (2014). Chapter 11-Measuring costs: The Economics of Health. The New Public Health, 575-611.

16 PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA

17KONSEP PEMBIAYAAN KESEHATAN

BAB 2Proses Pembiayaan KesehatanEstro Dariatno Sihaloho, Adiatma YM Siregar

Konsensus umum menyatakan bahwa proses pembiayaan kesehatan tidak hanya bertujuan mencari dan mengumpulkan dana yang cukup, melainkan juga meliputi proses penganggaran dengan tepat.

2.1. Pengantar

Proses pembiayaan kesehatan merupakan hal yang mendasar untuk mencapai target indikator kesehatan dari tingkat kabupaten atau kota, provinsi, hingga nasional. Proses pembiayaan yang tidak tepat menyebabkan alokasi dana yang tidak tepat sasaran. Hal tersebut meminimalkan tenaga kesehatan yang akan diperkerjakan, obat-obatan yang tersedia, dan mengurangi promosi kesehatan (World Health Organization, 2008).

WHO menekankan bahwa proses pembiayaan kesehatan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Namun konsensus umum menyatakan bahwa proses pembiayaan kesehatan tidak hanya bertujuan mencari dan mengumpulkan dana yang cukup, melainkan juga meliputi proses penganggaran dengan tepat. Banyak pengambil kebijakan yang masih belum memahami proses pembiayaan kesehatan sehingga pembuatan kebijakan kesehatan, perencanaan, penetapan biaya hingga penganggaran dilaksanakan secara terpisah. Hal tersebut menyebakan ketidakselarasan (Rajan, et al., 2016).

Adapun proses pembiayaan kesehatan dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu perencanaan, perhitungan kebutuhan biaya, dan penganggaran (Gani 2002; Rajan et al, 2016) yang akan dibahas secara mendetail dalam bab ini.

18 PEMBIAYAAN KESEHATAN

Deskripsi masalah kesehatan

diidentifikasi dengan prinsip

dan metode epidemiologi

yang menghasilkan

besaran masalah kesehatan,

distribusi kelompok

masalah kesehatan, dan

kemungkinan sumber masalah

kesehatan.

2.2. Perencanaan (Planning)

Perencanaan merupakan awal proses pembiayaan kesehatan. Perencanaan yang baik dapat mengidentifikasi kegiatan yang akan dibiayai. Gani, et al. (2002) membagi perencanaan menjadi empat bagian, yaitu analisis situasi, penetapan tujuan, identifikasi kegiatan, dan penyusunan rencana operasional.

2.2.1 Analisis Situasi

Dari analisis situasi akan diperoleh deskripsi masalah kesehatan yang terjadi di dalam masyarakat, kinerja sistem pelayanan atau kesehatan hingga saat ini, faktor risiko lingkungan, dan faktor risiko perilaku (Gani, et al., 2002). Deskripsi masalah kesehatan diidentifikasi dengan prinsip dan metode epidemiologi yang menghasilkan besaran masalah kesehatan, distribusi kelompok masalah kesehatan, dan kemungkinan sumber masalah kesehatan. Untuk melakukan deskripsi masalah, pengambil kebijakan dapat menganalisis data primer yang dikumpulkan dengan survei atau data sekunder yang dikumpulkan dari laporan puskemas, laporan rumah sakit, laporan program, survei demografi dan kesehatan Indonesia, Survei Sosial Ekonomi Sosial (Susenas), dan lain-lain.

Kinerja atau sistem pelayanan dan program kesehatan disusun berupa tren output layanan kesehatan apakah sesuai dengan target yang ditentukan sebelumnya. Dalam menyusun kinerja pelayanan dan program kesehatan dapat juga dicari masalah dan tantangan yang ditemukan di lapangan. Hasil kinerja pelayanan saat ini akan menjadi sangat penting untuk merumuskan tujuan atau target output dalam proses perencanaan.

Analisis faktor risiko lingkungan bertujuan untuk mengetahui faktor lain yang meningkatkan masalah kesehatan, tetapi tidak berkaitan langsung dengan kejadian penyakit. Contohnya adalah nyamuk Aedes Aegypti merupakan sumber penyakit (yang berkaitan langsung dengan kejadian DBD), sedangkan curah hujan merupakan faktor yang secara tidak langsung berkaitan dengan kejadian DBD (Kosnayani and Hidayat, 2018). Analisis faktor risiko lingkungan dapat dilakukan dengan menggunakan hasil surveilans, laporan puskesmas, data yang diperoleh dari pemerintah daerah, survei khusus atau pengamatan staf Dinas Kesehatan (Dinkes) dan laporan masyarakat.

Analisis faktor risiko perilaku bertujuan untuk menganalisis faktor perilaku yang berkontribusi terhadap masalah kesehatan. Salah satu contoh adalah perilaku buang air besar sembarangan yang menimbulkan masalah kesehatan (Anggoro, 2017). Analisis faktor risiko perilaku dapat dilakukan menggunakan data Susenas, hasil survei khusus atau pengamatan staf, laporan masyarakat, dan laporan puskesmas.

19KONSEP PEMBIAYAAN KESEHATAN

Gambar 2.1. Pelaksanaan Program Kesehatan

Gani, et al. (2002). Modul Pelatihan Perencanaan dan Penganggaran Kesehatan Terpadu (P2KT). Jakarta: PT.Nisarindo Jaya Abadi.

Gani, et al. (2002) mendefinisikan penetapan tujuan program dibagi menjadi dua bagian, yaitu outcome atau hasil yang berkaitan dengan tujuan umum dan output atau target yang berkaitan dengan tujuan khusus. Tujuan umum berkaitan dengan perbaikan derajat kesehatan, sedangkan tujuan khusus merupakan pencapaian output yang berkaitan dengan perbaikan kinerja program. Contoh dari tujuan umum adalah KLB Polio tidak terjadi, sedangkan contoh dari tujuan khusus adalah jumlah balita yang berhasil diimunisasi sebesar 80%. Gambar 2.1 menggambarkan pelaksanaan suatu program kesehatan yang terdiri dari kegiatan, input, output, target, dan outcome.

Dalam menentukan tujuan program harus dipertimbangkan target atau tujuan yang menjadi komitmen nasional dan komitmen global. Contohnya Kementerian PPN/Bappenas menetapkan seluruh isu kesehatan dalam SDGs dalam satu outcome, yakni jaminan kehidupan yang sehat dan kesejahteraan bagi semua orang di segala usia. Output yang diusung untuk mewujudkan tujuan SDGs dibagi menjadi tiga pilar, yaitu paradigma sehat, pelayanan kesehatan, dan jaminan kesehatan nasional (Kementerian PPN/Bappenas n.d.). Output paradigma sehat dilakukan dengan mengedepankan konsep promotif dan preventif dalam pelayanan kesehatan serta menempatkan kesehatan sebagai input penting dari proses pembangunan. Output pelayanan kesehatan lebih ditekankan pada peningkatan akses dan mutu layanan. Output jaminan kesehatan nasional diperoleh dengan meningkatkan jaminan kesehatan kepada seluruh penduduk dan warga negara asing yang tinggal di Indonesia. Sementara itu, penentuan tujuan (target) khusus harus memiliki rumusan kuantitatif yang spesifik, sasaran penduduk yang jelas, sasaran lokasi yang jelas, dan waktu pencapaian yang jelas.

2.2.2. Penetapan Tujuan

20 PEMBIAYAAN KESEHATAN

Gambar 2.2. Pengidentifikasian

Kegiatan

Gambar 2.3. Rencana

Operasional

Gani, et al. (2002). Modul Pelatihan Perencanaan

dan Penganggaran Kesehatan Terpadu (P2KT).

Jakarta: PT.Nisarindo Jaya Abadi.

Gani, et al. (2002). Modul Pelatihan Perencanaan

dan Penganggaran Kesehatan Terpadu (P2KT).

Jakarta: PT.Nisarindo Jaya Abadi.

2.2.3. Identifikasi Kegiatan

Gani, et al. (2002) menyampaikan bahwa identifikasi kegiatan sangat penting karena erat kaitannya dengan perhitungan kebutuhan anggaran. Proses penyusunan kegiatan merujuk pada (1) rumusan tujuan (output program), (2) rumusan proses dan input program, (3) rumusan faktor risiko lingkungan, dan (4) rumusan faktor risiko perilaku. Kegiatan-kegiatan program disusun berdasarkan penyusunan anggaran berbasis kinerja. Kegiatan dapat dibagi menjadi kegiatan langsung dan kegiatan tidak langsung yang dideskripsikan melalui Gambar 2.2.

2.2.4. Penyusunan Rencana Operasional

Setelah identifikasi kegiatan selesai dilakukan, rencana operasional disusun yang terdiri dari (Gani, et al., 2002):

21KONSEP PEMBIAYAAN KESEHATAN

Perkiraan biaya dipergunakan untuk menganalisis efektivitas biaya, evaluasi ekonomi, dan menilai dampak dari sebuah program yang dilaksanakan lembaga milik pemerintah dan swasata dalam mencegah, mendeteksi, dan mengobati suatu penyakit.

Setelah proses analisis situasi hingga penyusunan rencana operasional selesai perlu diperiksa kembali apakah masih ada kegiatan yang dapat diintegrasikan menjadi satu sehingga tidak akan tumpang-tindih.

2.3. Perhitungan Kebutuhan Biaya (Costing)

Perhitungan kebutuhan biaya adalah suatu hal yang sangat penting dalam suatu layanan kesehatan saat ini. Perkiraan biaya dipergunakan untuk menganalisis efektivitas biaya, evaluasi ekonomi, dan menilai dampak dari sebuah program yang dilaksanakan lembaga milik pemerintah dan swasata dalam mencegah, mendeteksi, dan mengobati suatu penyakit (Lipscomb et al. 2009). Bahkan saat ini perhitungan kebutuhan biaya menjadi salah satu hal yang paling penting bagi lembaga kesehatan, misalnya rumah sakit (Carroll and Lord, 2016). Carroll dan Lord (2016) mengidentifikasi perhitungan kebutuhan biaya (costing) menjadi lima jenis yaitu:1. Traditional Costing merupakan metodologi akuntansi biaya

yang menghitung biaya keseluruhan pada sebuah program dengan tingkat persentase tertentu (Paulus, van Raak, and Keijzer 2002). Perhitungan dengan metode ini mudah, tetapi dikritisi karena diaggap gagal untuk menghitung biaya berbagai layanan dan tidak menunjukkan biaya yang akurat (Carroll and Lord, 2016)

2. Activity Based Costing (ABC) merupakan metodologi akuntasi biaya yang menghitung semua biaya kegiatan yang ada untuk mendukung terlaksananya sebuah program. Metode ini juga menghitung biaya tidak langsung yang berhubungan dalam pelaksaan sebuah program (Velmurugan, 2010). Pengunaan metode ini memberi pengambil kebijakan informasi yang lebih akurat. Keakuratan metode menjadi keunggulan dibandingkan pendekatan perhitungan biaya lain sehingga banyak digunakan dalam berbagai evaluasi biaya dan keuntungan (Namazi 2009).

3. Time Driven Activity Based Costing (TDABC) merupakan perhitungan biaya berdasarkan aktivitas yang mengatasi beberapa kekurangan dari metode Activity Based Costing (ABC). Metode TDABC berasumsi bahwa sebagian besar sumber daya, seperti tenaga kerja, peralatan, dan fasilitas, memiliki kapasitas yang dapat diukur dari sisi waktu (Namazi, 2009).

4. Performance-Focused Activity Based Costing (PFABC) merupakan iterasi ketiga dari metode ABC. Perhitungan dengan metode PFABC dapat menilai setiap kegiatan dengan berbagai cara, yaitu berdasarkan pemanfaatan waktu atau kualitas. Metode PFABC memiliki beberapa keuntungan, yaitu dapat mengidentifikasi kegiatan yang penting (Namazi, 2009).

5. Ratio of Cost to Charges (RCCs) merupakan penetapan biaya khusus untuk industri kesehatan. Rumah sakit yang berpartisipasi harus mengajukan laporan tahunan ke pusat layanan kesehatan.

22 PEMBIAYAAN KESEHATAN

Gambar 2.4. Activity and Input

Based Costing and Budgeting

Gani, et al. (2002). Modul Pelatihan Perencanaan

dan Penganggaran Kesehatan Terpadu (P2KT).

Jakarta: PT.Nisarindo Jaya Abadi.

Rumah sakit diberikan wewenang untuk memperkirakan seluruh biaya dari setiap departemen penghasil pendapatan dan memasangkannya semua total biaya tiap departemen untuk menghitung rasio tingkat biaya yang dikeluarkan rumah sakit terhadap harga yang dikenakan kepada pasien.

Sejalan dengan metode Activity Based Costing (ABC), Gani et all (2002) menyusun sebuah perhitungan biaya yang mengubah program-program ke dalam nilai moneter yang disebut sebagai Activity and Input Based Costing and Budgeting pada Gambar 2.4.

2.3.1. Micro-Costing

Selain lima metode perhitungan biaya yang diidentifikasi Carroll dan Lord (2016) terdapat metode perhitungan biaya yang disebut dengan Micro-Costing. Metode ini dilaksanakan dengan cara mengumpulkan data yang lebih terperinci tentang semua sumber daya yang digunakan dalam pelaksanaan suatu progam dan dapat menjadi salah satu bentuk evaluasi ekonomi dari program sebelumnya. Micro-costing memberikan hasil yang lebih tepat dan detail dibandingkan metode penetapan biaya sebelumnya yang biaya rata-ratanya relatif lebih besar dibandingkan data yang seharusnya (Frick, 2009).

Di dalam metode Micro-costing, seluruh komponen biaya dihitung berdasarkan persentase penggunaan setiap variabel dalam melaksanakan layanan. Hasil perhitungan bahkan dapat dibagi

23KONSEP PEMBIAYAAN KESEHATAN

Gambar 2.5. Langkah-Langkah Menghitung Biaya Program Kesehatan

Dimodifikasi dari Drummond, M.E., Sculpher, M.J., Torrance (2006), Siregar, Pitriyan dan Walters (2018)

menjadi dua bagian besar, yaitu perspektif dari penyedia layanan dan perspektif dari pengguna layanan (Siregar, Pitriyan, and Walters 2018). Dimodifikasi penelitian dari Drummond, M.E., Sculpher, M.J., Torrance (2006), Siregar, Pitriyan dan Walters (2018) berikut adalah langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk menghitung biaya program kesehatan (Gambar 2.5).

Gambar 2.5. menunjukkan perhitungan biaya dari perspektif penyedia layanan yang melibatkan biaya tenaga kerja, biaya peralatan, biaya pemeliharaan, dan biaya barang habis pakai, sedangkan perhitungan biaya dari perspektif pengguna layanan melibatkan biaya medis (misalnya biaya laboratorium dan obat-obatan) dan biaya nonmedis (misalnya biaya transportasi dan hilangnya produktivitas). Siregar, Pitriyan, dan Walters (2018) mengukur produktivitas yang hilang dengan menggunakan waktu kerja yang hilang ketika menggunakan layanan kesehatan (seperti waktu tunggu dan waktu layanan).

Waktu tunggu yang lama di fasilitas kesehatan berdampak buruk pada fisik, mental, dan keuangan pasien (Tsui and Fong 2018). Hal ini akan meningkatkan total biaya kesehatan, baik yang ditanggung penyedia layanan maupunpengguna layanan karena waktu sembuh semakin lama (Fielden et al, 2005). Setelah pemerintah memiliki semua rincian pembiayaan dari semua program yang ada, pemerintah dapat masuk ke tahap selanjutnya dalam proses pembiayaan kesehatan, yaitu penganggaran (budgeting)

2.4. Penganggaran (Budgeting)

Penganggaran sangat penting untuk mencapai tujuan utama seluruh perencanaan kesehatan baik level nasional maupun daerah. WHO (2016) mendefinisikan anggaran sebagai bagian dari APBN yang dialokasikan untuk sektor kesehatan yang melibatkan semua kementerian dan lembaga terkait. Anggaran kesehatan lebih dari sekadar anggaran sederhana yang menyajikan instrumen akuntansi

24 PEMBIAYAAN KESEHATAN

Untuk mendapatkan

output dan outcome yang

maksimal, penyusunan

anggaran kesehatan

haruslah berbasis kinerja atau

disebut dengan penyusunan

anggaran terpadu berbasis

kinerja.

yang memuat pendapatan dan pengeluaran, tetapi lebih dari itu karena memuat komitmen nyata negara untuk menyukseskan strategi kesehatan (Rajan et al, 2016). Byrne (2006) mendefinisikan pentingnya penganggaran dalam kesehatan sebagai berikut:1. Kontrol penggunaan keuangan yang dapat ditunjukkan dengan

kesesuaian antara perencanaan (planning) dan penggunaan anggaran sepanjang waktu berjalan.

2. Delegasi penggunaan keuangan yang akan meningkatkan kecepatan pengambilan keputusan pada tingkat jabatan organisasi dalam lembaga atau kementerian yang dapat menggunakan anggaran.

3. Terjemahan dari perencanan yang tepat yang ditunjukkan dengan distribusi alokasi dengan tepat dan produktivitas penggunaan alokasi.

2.4.1. Prinsip Penyusunan Anggaran

Untuk mendapatkan output dan outcome yang maksimal, penyusunan anggaran kesehatan haruslah berbasis kinerja atau disebut dengan penyusunan anggaran terpadu berbasis kinerja. Gani, et al. (2002) menyampaikan tujuh prinsip yang harus diperhatikan pada saat penyusunan anggaran berbasis kinerja, yaitu:1. Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota adalah penanggung

jawab utama dalam penyusunan anggaran untuk semua program (menyeluruh).

2. Penyusunan anggaran harus memperhitungkan kebutuhan biaya dari setiap program secara bottom up. Penyusunan anggaran bottom up dapat mengidentifikasi kebutuhan anggaran dari unit layanan kesehatan terkecil dalam sistem kesehatan (Bengoa, 2013).

3. Alokasi anggaran harus terpadu dan seimbang antara unit yang melaksanakan kegiatan langsung (pelayanan) dan unit yang melaksanakan kegiatan penunjang sesuai dengan bobot kegiatan masing-masing. Kegiatan langsung atau layanan kesehatan biasanya dilakukan oleh fasiltias kesehatan, seperti puskesmas dan rumah sakit, sedangkan kegiatan penunjang dilakukan oleh Dinas Kesehatan dalam bentuk pelatihan, koordinasi, atau pengawasan.

4. Alokasi anggaran harus terpadu dan seimbang yang seharusnya dibagi menjadi anggaran operasional, anggaran pemeliharaan, dan anggaran investasi. Investasi di dalam pelayanan kesehatan adalah hal yang sangat penting, tidak terkecuali pada fasilitas kesehatan puskesmas (Stenberg et al, 2019).

5. Sumber anggaran kesehatan dapat berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), dan masyarakat atau swasta.

6. Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), dan masyarakat atau swasta

25KONSEP PEMBIAYAAN KESEHATAN

WHO mendefinisikan anggaran menjadi lima komponen, yaitu Apa, Mengapa, Kapan, Siapa, dan Bagaimana.

memiliki karakteristik masing-masing.7. Penyusunan anggaran perlu memperhatikan kondisi adanya

mata anggaran yang dapat digunakan bersama antarprogram, seperti anggaran supervisi program. Integrasi antarprogram perlu dilakukan untuk mencegah ketumpangtindihan dan inefisiensi.

Dalam penyusunan anggaran, Gani, et al. (2002) menyampaikan beberapa masalah atau “penyakit” yang sering terjadi, yaitu: 1. Anggaran kesehatan yang terlalu kecil sehingga pembiayaan

program sangat minim.2. Realisasi anggaran yang terlambat karena proses turunnya

anggaran yang berasal dari pusat membutuhkan waktu dan proses administrasi yang lebih lama.

3. Sulitnya daerah melakukan konsolidasi anggaran yang berasal dari pusat.

4. Anggaran biaya operasional obat/bahan habis pakai yang minim. Hal ini menyebabkan kinerja pelayanan yang tidak optimal.

5. Biaya kegiatan penunjang dan administratif yang besar, seperti biaya pertemuan, perjalanan, dan kegiatan penunjang lainnya sehingga membuat fasilitas kesehatan, seperti puskesmas, sulit untuk melakukan pembiayaan.

6. Lemahnya kaitan antara anggaran dan kinerja yang ditunjukkan dengan masih banyak mata anggaran yang sulit dijelaskan hubungan logisnya dengan output program atau bahkan tidak terdapat output program.

7. Penyusunan anggaran yang cenderung untuk kuratif, sedangkan anggaran untuk preventif, seperti promosi kesehatan (promkes) dan kesehatan lingkungan (kesling) masih minim. Padahal preventif adalah hal penting dalam sistem kesehatan.

Terdapat empat hal yang harus diperhatikan dalam penyusunan anggaran, yaitu (1) pengganggaran menyeluruh untuk semua program, (2) kebutuhan anggaran ditetapkan secara bottom up, (3)terpadu dan seimbang antara unit penunjang dan unit layanan, dan (4) terpadu dan seimbang antara anggaran investasi dan operasional atau pemeliharaan. WHO mendefinisikan anggaran menjadi lima komponen, yaitu Apa, Mengapa, Kapan, Siapa, dan Bagaimana (Rajan et al, 2016). (Lihat Gambar 2.6)

Penganggaran yang terkait dengan proses penetapan alokasi sumber daya menghasilkan keluaran yang terbaik. Penganggaran menjadi sangat penting karena menjadi instrumen tertulis yang menunjukkan komitmen nyata sebuah negara atau daerah dalam mengimplementasikan kebijakan dan strategi kesehatan.

26 PEMBIAYAAN KESEHATAN

Gambar 2.6. Lima Komponen

Anggaran

World Health Organization. (2008). Health Systems

Financing.

2.4.2. Bentuk Sistem Penganggaran

Terdapat empat proses penganggaran yang diterapkan oleh berbagai negara di dunia, yaitu Public Financial Management, Medium Term Expenditure Framework, Line-Item Budgeting for Health, dan Performance Budgeting.

2.4.2.1. Public Financial Management (PFM)

PFM merujuk pada seperangkat hukum, aturan, sistem, dan proses yang digunakan oleh pemerintah suatu negara atau daerah untuk memobilisasi pendapatan, mengalokasikan dana publik, melakukan belanja, dan mempertanggungjawabkan penggunaan dana dengan hasil audit (Lawson, 2015). PFM terdiri dari enam bagian siklus yang dapat dilihat pada Gambar 2.7.

Pada praktiknya PFM berfokus pada proses pelaksanaan perencanaan dan penggunaan anggaran kesehatan yang kredibel. Proses pengawasan, seperti proses akuntansi, audit internal, dan audit eksternal, diperlukan untuk memastikan aliran dana digunakan secara efisien hingga menghasilkan output maksimal. Di beberapa negara, Praktik PFM mendapat dukungan dari berbagai donor di dunia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Afrika menggunakan data 1998-2007, terdapat beberapa negara yang mengalami perbaikan signifikan di institusi atau sistem penganggaran, seperti Burkina Faso, Tanzania, dan Zambia (Lawson 2001).

27KONSEP PEMBIAYAAN KESEHATAN

Gambar 2.7. Public Financial Management (PFM)

Gambar 2.8. Lima Kunci Tahapan Proses MTEF

Andrew Lawson. (2015). Public Financial Management. GSDRC Professional Development Reading Pack No. 6. Birmingham, UK: GSDRC, University of Birmingham.

D. Rajan, H. Barroy, and K. Stenberg. (2016). Strategizing National Health in the 21st Century: A Handbook. World Health Organization.

2.4.2.2. Medium Term Expenditure Framework (MTEF)

MTEF merupakan kerangka penganggaran jangka menengah yang bersifat komprehensif, dengan lembaga pemerintah yang dapat menghubungkan seluruh rencana pengeluaran dengan kebijakan prioritas dalam kerangka fiskal (terkait dengan kondisi ekonomi makro dan perkiraan pendapatan negara) yang biasanya disusun untuk tiga tahun (Rajan et al, 2016). Dalam kerangka ini, departemen diberikan tanggung jawab yang lebih besar untuk alokasi dan penggunaan dana dalam pencapaian ouput dan outcome. Penganggaran ini dapat membantu menghubungkan perkiraan pendapatan, alokasi sektoral dan prioritas kebijakan kesehatan yang lebih spesifik. Rajan (2016) membagi lima kunci tahapan dari proses MTEF pada Gambar 2.8.

28 PEMBIAYAAN KESEHATAN

Sebagian besar negara

di Eropa telah menggunakan

sistem MTEF dengan jangka

waktu yang berbeda, dari

dua hingga lima tahun.

Sebagian besar negara di Eropa telah menggunakan sistem MTEF dengan jangka waktu yang berbeda, dari dua hingga lima tahun. Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menunjukkan Lithuania menjadi negara dengan periode MTEF selama dua tahun. Bulgaria, Slovakia, Slovenia, Spanyol, dan beberapa negara lainnya memiliki periode MTEF selama tiga tahun, sedangkan Jerman, Austria, Belgia, Denmark dan beberapa negara lainnya memiliki masa empat tahun (Filc and Scartascini, 2010). Filc and Scartascini (2010) mencatat terdapat dua negara yang memiliki periode lima tahun dalam pelaksanaan MTEF, yaitu Irlandia dan Latvia.

2.4.2.3. Line-Item Budgeting for Health

Metode penganggaran ini telah digunakan sejak lama di berbagai negara dengan informasi anggaran yang diatur berdasarkan kategori biaya yang terdiri dari kategori staf, perlengkapan atau biaya operasional, dan peralatan atau barang modal (Rajan et al, 2016). Fasilitas kesehatan akan menerima jumlah anggaran tetap untuk periode tertentu untuk input tertentu (misalnya untuk staf dan obat-obatan).

Line-Item Budgeting menjadi cara lembaga legistlatif untuk melakukan pengawasan karena memiliki pos-pos yang spesifik, tetapi menjadi penghambat bagi fasilitas kesehatan untuk mengelola dana kesehatan secara fleksibel karena pengeluaran harus mengikuti garis anggaran yang sudah ditentukan secara ketat. Jenis penganggaran ini sering disebut dengan penganggaran tradisional. Walaupun memiliki banyak kelemahan, jenis penganggaran ini masih banyak digunakan karena dianggap mudah untuk dilaksanakan. Dari begitu banyak negara yang pernah menggunakan line item budgeting, Korea Selatan menjadi negara yang sukses mengubah line item budgeting menjadi programme budgeting.

2.4.2.4. Performance Budgeting

OECD (2008) mendefinisikan Performance Budgeting atau Penganggaran Berbasis Kinerja sebagai penganggaran yang menghubungkan dana yang dialokasikan dengan hasil yang terukur dan efisien. Di dalam pelaksanaan anggaran berbasis kinerja, para pemangku kepentingan harus menemukan implementasi yang paling sesuai dengan tata kelola dan struktur kelembagaan yang lebih luas. Pelaksanaan anggaran berbasis kinerja harus memiliki fleksibilitas dan fokus pada outcome, tidak hanya output. Di dalam pelaksanaannya, pemangku kepentingan tidak perlu memiliki terlalu banyak target. Target dapat dibatasi, tetapi banyak cara pengukuran keberhasilan target dapat digunakan. Perlunya pengukuran keberhasilan target juga perlu diiringi dengan peningkatan kualitas penyajian dan pelaporan informasi kinerja (OECD, 2008).

29KONSEP PEMBIAYAAN KESEHATAN

Gambar 2.9. Menyusun Anggaran Berbasis Kinerja

OECD. (2008). Policy Brief Performance Budgeting: A Users’ Guide. (March).

Gani, et al. (2002) menyampaikan dalam sektor kesehatan, anggaran berbasis kinerja ditunjukkan dengan adanya keseimbangan antara anggaran kegiatan pelayanan langsung dan kegiatan penunjang. Kedua-duanya perlu disusun berdasarkan kebutuhan dan output atau outcome yang jelas. Penelitian sebelumnya menunjukkan beberapa negara telah melakukan Penganggaran Berbasis Kinerja, seperti Australia, Kanada, Swedia, Belanda, Selandia Baru, Inggris, dan Amerika Serikat. Terdapat berbagai tantangan yang dihadapi dengan sangat baik oleh negara-negara tersebut untuk melaksanakan Penganggaran Berbasis Kinerja (Sterck and Scheers 2006). Berdasarkan penelitian yang dilakukan OECD (2008) langkah yang dapat dilakukan pemerintah dalam menyusun Penganggaran Berbasis Kinerja dapat dilihat pada Gambar 2.9.

2.4.3. Efisiensi dan Efektivitas

Kunci penting dalam penyusunan anggaran adalah efisiensi dan efektivitas. Efektivitas adalah pencapaian target atau outcome dari suatu kegiatan atau intervensi kesehatan sesuai dengan apa yang direncanakan. Sementara itu, efisiensi adalah kondisi yang paling ekonomis dari pelaksanaan suatu intervensi yang ditunjukkan dengan rasio input dan output pada intervensi (Enrique and Marta, 2020). Konsep efisiensi dan efektivitas dapat dibedakan melalui kerangka pemikiran yang disusun oleh Ulrike, Adriaan, Fabienne, (2008) pada Gambar 2.10.

30 PEMBIAYAAN KESEHATAN

Gambar 2.10. Membedakan

Konsep Efisiensi dan Efektivitas

Contoh Penggunaan

Input, Output, dan Outcome

Gambar 2.12. Contoh Proses

Perhitungan Efisiensi Alokatif

Ulrike, Adriaan, Fabienne (2008)

The Effectiveness and Efficiency of Public Spending.

Directorate General Economic and

Financial Affairs (DG ECFIN), European

Commission.

J., M. Akazili, Adjuik, S. Chatio, E. Kanyomse, A.

Hodgson, M. Aikins, and J. Gyapong.

(2008). “What Are the Technical

and Allocative Efficiencies of Public Health

Centres in Ghana?” Ghana Medical

Journal.

Estro Sihaloho and Adiatma Siregar.

(2019). The Analysis of Tuberculosis

Funds Efficiency on High Burden

Countries. Jurnal Ekonomi dan

Bisnis 22(1):45–62.

Pengukuran efisiensi dan efektivitas dapat dilakukan dengan menggunakan perhitungan model DEA/Data Envelopment Analysis (Lo Storto and Goncharuk, 2017). Ukuran dasar efisiensi dibedakan menjadi dua, yaitu efisiensi alokatif dan efisiensi teknis. Secara konsep, efisiensi alokatif mengacu pada penggunaan input yang bervariasi untuk menghasilkan kombinasi output yang berbeda, sedangkan efisiensi teknis berkaitan dengan pencapaian output maksimum dengan penggunaan biaya paling rendah (Akazili et al, 2008). Contoh penggunaan input, output, dan outcome di dalam pengukuran efisiensi dan efektivitas dapat dilihat pada Gambar 2.11.

Pada saat diolah menggunakan DEA, model 1 akan menghasilkan indeks efisiensi dari sistem layanan kesehatan, sedangkan model 2 akan menghasilkan indeks efektivitas dari layanan kesehatan. Orientasi pada model 1 adalah input dan output, sedangkan orientasi pada model 2 adalah ouput dan outcome. Model 1 juga disebut sebagai Efisiensi Teknis karena menggunakan perpaduan jenis input (moneter dan nonmoneter). Sementara itu, efisiensi alokatif biasanya menggunakan input berupa nilai moneter. Contoh proses perhitungan efisiensi alokatif (Sihaloho and Siregar, 2019) dapat dilihat pada Gambar 2.12.

31KONSEP PEMBIAYAAN KESEHATAN

Proses perencanaan dan penganggaran diatur oleh UU 17/2003, UU 1/2004, UU 15/2004,

dan UU 25/2004. Undang-undang tersebut menuliskan bagaimana daerah dan pusat memiliki peran yang sama penting dalam melakukan proses perencanaan hingga penganggaran.

Dengan sistem desentralisasi saat ini, pemerintah daerah tidak bisa menggantungkan proses perencanaan hingga penganggaran sepenuhnya pada pemerintah pusat. Pemerintah daerah tidak dapat hanya berpatokan pada data-data yang dimiliki oleh pemerintah pusat untuk melakukan analisis situasi. Pemerintah daerah harus berusaha memiliki data sendiri dan menganalisisnya dengan benar sehingga menghasilkan perencanaan hingga penganggaran yang tepat.

Berbagai jenis penganggaran telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Pada tahun 2003, metode penganggaran public finance

management, penganggaran berbasis kinerja, dan kerangka pengeluaran jangka menengah sudah mulai diperkenalkan kepada para pemangku kebijakan (Widodo, 2017). Pada tahun 2011, penerapan penganggaran berbasis kinerja dan kerangka pengeluaran jangka menengah untuk berbagai program dan kegiatan di kementerian atau lembaga. Hingga saat ini pemerintah Indonesia masih perlu meningkatkan kualitas penganggaran.

Penganggaran berbasis kinerja di laporan keuangan Kementerian dan lembaga masih bersifat administratif karena realisasi serapan anggaran belum dapat menunjukkan apakah realisasi anggaran sudah mencapai kinerja yang ditargetkan (Farhan, 2012). Pemerintah perlu melakukan perbaikan dan melakukan evaluasi agar anggaran berbasis kinerja tidak hanya dilakukan pada tahap penyusunan, tetapi hingga pada tahap pertanggungjawaban (Farhan, 2012).

Studi Kasus Indonesia

Untuk menghitung faktor lingkungan yang memiliki pengaruh paling besar terhadap skor efisiensi dapat digunakan metode analisis Tobit.

Selain pengaruh dari cara penggunaan input dan menghasilkan output yang maksimal, model 1 (skor efisiensi alokatif) juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan, misalkan perilaku masyarakat menggunakan tembakau dan jumlah dana pengendalian tembakau di suatu negara dapat berpengaruh terhadap skor efisiensi alokatif (Sihaloho and Siregar, 2019). Contoh lain faktor lingkungan adalah pengaruh perilaku buang sampah botol plastik sembarangan yang dapat menampung air menjadi faktor yang secara tidak langsung berkaitan dengan kejadian DBD. Untuk menghitung faktor lingkungan yang memiliki pengaruh paling besar terhadap skor efisiensi dapat digunakan metode analisis Tobit (Afonso and Fernandes, 2008).

32 PEMBIAYAAN KESEHATAN

Proses pembiayaan

kesehatan terdiri dari tiga tahap,

yaitu proses perencanaan,

proses perhitungan

biaya, dan proses penganggaran.

2.5. Penutup

Output dan outcome yang maksimal dari program kesehatan di Indonesia membutuhkan pelaksanaan proses pembiayaan kesehatan yang benar sehingga pembiayaan menjadi tepat sasaran. Hal tersebut akan mendorong pembiayaan yang besar untuk program yang penting dan mengurangi pembiayaan untuk program yang tidak efisien.

Proses pembiayaan kesehatan terdiri dari tiga tahap, yaitu proses perencanaan, proses perhitungan biaya, dan proses penganggaran. Setiap pemangku kepentingan di Indonesia wajib mengetahui ketiga proses tersebut secara baik dan benar.

Ketiganya memiliki peran yang sama penting sehingga pelaksanaannya harus memiliki kualitas yang maksimal. Sudah saatnya pelaksanaan semua program kesehatan dari level institusi kesehatan terendah hingga tertinggi mengacu pada efisiensi dan efektivitas sehingga berbagai permasalahan kesehatan di Indonesia lebih cepat diselesaikan.

Daftar Pustaka

Afonso, António and Sónia Fernandes. (2008). Assessing and Explaining the Relative Efficiency of Local Government. Journal of Socio-Economics 37(5):1946–79.

Akazili, J., M. Adjuik, S. Chatio, E. Kanyomse, A. Hodgson, M. Aikins, and J. Gyapong. (2008). “What Are the Technical and Allocative Efficiencies of Public Health Centres in Ghana?” Ghana Medical Journal.

Anggoro, Rena Ratri. (2017). Gambaran Perilaku Buang Air Besar Sembarangan Pada Masyarakat Desa Jatimulyo, Kabupaten Bojonegoro. Jurnal Penelitian Kesehatan 15(2):129–34.

Bengoa, Rafael. (2013). Transforming Health Care: An Approach to System-Wide Implementation. International Journal of Integrated Care.

Byrne, Michael. (2006). The Usefulness of Budgets in the Healthcare Sector. Irish Journal of Management.

Carroll, Nathan and Justin C. Lord. (2016). The Growing Importance of Cost Accounting for Hospitals. Journal of Health Care Finance.

Drummond, M.E., Sculpher, and M.J., Torrance, G. (2006). Methods for The Economic Evaluation of Health Care Programme. Journal of Epidemiology & Community Health.

33PROSES PEMBIAYAAN KESEHATAN

Enrique, Burches, and Burches Marta. (2020). Efficacy, Effectiveness and Efficiency in the Health Care: The Need for an Agreement to Clarify Its Meaning. International Archives of Public Health and Community Medicine.

Farhan, Yuna. (2012). Reformasi Penganggaran Di Indonesia. Sekretariat Nasional Forum Indonesia Untuk Transparasi Anggaran.

Fielden, Jann M., J. M. Cumming, J. G. Horne, P. A. Devane, A. Slack, and L. M. Gallagher. (2005). Waiting for Hip Arthroplasty: Economic Costs and Health Outcomes. Journal of Arthroplasty.

Filc, Gabriel and Carlos Scartascini. (2010). Is Latin America on the Right Track? An Analysis of Medium-Term Frameworks and the Budget Process.

Frick, Kevin D. (2009). Microcosting Quantity Data Collection Methods. Medical Care 47(7 Suppl 1):S76–81.

Gani, Ascobat. (2002). Modul Pelatihan Perencanaan dan Penganggaran Kesehatan Terpadu (P2KT). Jakarta: PT.Nisarindo Jaya Abadi.

Kementerian PPN/Bappenas. n.d. Kehidupan Sehat dan Sejahtera. Retrieved (http://sdgs.bappenas.go.id/tujuan-3/#).

Kosnayani, Ai Sri, and Asep Kurnia Hidayat. (2018). Hubungan antara Pola Curah Hujan dengan Kejadian DBD di Kota Tasikmalaya Tahun 2006-2015 (Kajian Jumlah Curah Hujan dan Hari Hujan).” Jurnal Siliwangi Seri Sains dan Teknologi 4(1).

Lawson, Andrew. (2001). Evaluation of Public Financial Management Reform. Burkina Faso, Ghana and Malawi 2010.

Lawson, Andrew. (2015). Public Financial Management. GSDRC Professional Development Reading Pack No. 6. Birmingham, UK: GSDRC, University of Birmingham.

Lipscomb, Joseph, K. Robin Yabroff, Martin L. Brown, William Lawrence, and Paul G. Barnett. (2009). Health Care Costing: Data, Methods, Current Applications. Medical Care.

Mandl, Ulrike, Adriaan Dierx, and Fabienne Ilzkovitz. (2008). The Effectiveness and Efficiency of Public Spending.

Namazi, Mohammad. (2009). Performance-Focused ABC: A Third Generation of Activity-Based Costing System. Cost Management.

34 PEMBIAYAAN KESEHATAN

OECD. (2008). Policy Brief Performance Budgeting: A Users’ Guide. (March).

Paulus, Aggie, Arno van Raak, and Femke Keijzer. (2002). ABC: The Pathway to Comparison of the Costs of Integrated Care. Public Money and Management.

Rajan, D., H. Barroy, and K. Stenberg. (2016). Strategizing National Health in the 21st Century: A Handbook. World Health Organization.

Sihaloho, Estro and Adiatma Siregar. (2019). The Analysis of Tuberculosis Funds Efficiency on High Burden Countries. Jurnal Ekonomi dan Bisnis 22(1):45–62.

Siregar, Adiatma Y. M., Pipit Pitriyan, and Dylan Walters. (2018). The Annual Cost of Not Breastfeeding in Indonesia: The Economic Burden of Treating Diarrhea and Respiratory Disease among Children (< 24mo) Due to Not Breastfeeding According to Recommendation. International Breastfeeding Journal 13(1):10.

Stenberg, Karin, Odd Hanssen, Melanie Bertram, Callum Brindley, Andreia Meshreky, … Tessa Tan-Torres Edejer. (2019). Guide Posts for Investment in Primary Health Care and Projected Resource Needs in 67 Low-Income and Middle-Income Countries: A Modelling Study. The Lancet Global Health.

Sterck, Miekatrien, and Bram Scheers. (2006). Trends in Performance Budgeting in Seven OECD Countries. Public Performance & Management Review.

Lo Storto, Corrado, and Anatoliy G. Goncharuk. (2017). Efficiency vs Effectiveness: A Benchmarking Study on European Healthcare Systems.” Economics and Sociology.

Tsui, Yee-man and Ben Y. F. Fong. 2018. “Waiting Time in Public Hospitals: Case Study of Total Joint Replacement in Hong Kong.” Public Administration and Policy: An Asia-Pacific Journal.

Velmurugan, Manivannan Senthil. (2010). The Success and Failure of Activity-Based Costing Systems. Journal of Performance Management.

Widodo, Teguh. (2017). Performance-Based Budgeting: Evidence from Indonesia.

World Health Organization. (2008). Health Systems Financing.

35KONSEP ASURANSI SEBAGAI BAGIAN PEMBIAYAAN KESEHATAN

BAB 3Konsep Asuransi Sebagai Bagian Pembiayaan KesehatanEry Setiawan, Adiatma YM Siregar

Asuransi kesehatan merupakan suatu instrumen sosial yang ditujukan untuk mengartikulasikan prinsip gotong royong atau solidaritas masyarakat dalam bidang pelayanan kesehatan.

3.1. Pengantar

Bab ini akan memberikan pemahaman skema asuransi yang terkait dengan pembiayaan kesehatan di Indonesia. Pembahasan akan diberikan secara runut, dari prinsip dasar asuransi kesehatan, manajemen risiko, hingga perbedaannya dengan skema asuransi komersial.

3.1.1. Prinsip Dasar Asuransi Kesehatan

Asuransi kesehatan merupakan suatu instrumen sosial yang ditujukan untuk mengartikulasikan prinsip gotong royong atau solidaritas masyarakat dalam bidang pelayanan kesehatan. Dalam analogi sederhana, masyarakat secara bersama-sama berkontribusi memberikan pertolongan semampunya untuk membantu anggota masyarakat yang sakit. Bentuk solidaritas sosial ini dalam terminologi modern sering kali disebut dengan asuransi dan yang akan dibahas lebih khusus adalah asuransi kesehatan. Secara umum terdapat beberapa prinsip dasar dalam skema asuransi dapat dilihat di Tabel 3.1.

36 PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA

Prinsip Asuransi Intisari

Utmost Good of Faith Kontrak asuransi harus disepakati oleh kedua belah pihak (asuransi dan peserta) yang didasarkan pada pemahaman dan kepercayaan yang sama.

Insurable Interest Orang yang diasuransikan mengalami beberapa kerugian finansial akibat kerusakan atau kejadian yang tertanggung.

Indemnity Skema asuransi bukan merupakan instrumen untuk spekulasi atau cari untung sehingga besaran benefit yang ditanggung tidak boleh lebih tinggi.

Subrogation Ketika asuradur memberikan penggantian penuh atas kerugian objek atau benda tertanggung, kepemilikan atas objek tersebut berpindah kepada asuradur (berlaku untuk asuransi kerugian—non-kesehatan)

Contribution Tingkat kontribusi yang adekuat atas kerugian yang ditanggungkan

Proximate Cause Ketika kerugian disebabkan oleh lebih dari satu penyebab, proksi atau penyebab terdekat harus dipertimbangkan untuk memutuskan pertanggungan oleh asuradur.

Loss Minimization Upaya dari tertanggung meminimalkan kerugian yang terjadi.

Secara prinsip konteks asuransi kesehatan berdasarkan sifat penyelenggaraannya dibagi menjadi dua jenis, yaitu asuransi kesehatan yang bersifat komersial dan sosial. Pada dasarnya asuransi kesehatan komersial bertujuan memberikan perlindungan kepada penduduk yang ditandai dengan hubungan transaksi yang bersifat sukarela, sebagaimana layaknya transaksi dagang. Sementara itu, asuransi kesehatan sosial bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada penduduk berdasarkan penegakan keadilan sosial sehingga kepesertaanya bersifat wajib.

Asuransi kesehatan sosial berkembang untuk mengatasi isu kegagalan pasar (market failure), dari sistem kesehatan yang secara umum dapat menjamin penduduk secara luas hingga harga atau kontribusi yang terjangkau. Bentuk asuransi kesehatan sosial telah hadir dalam beberapa dekade terakhir, antara lain Askes Pegawai Negeri Sipil, Asuransi Jasa Raharja, dan JPK Jamsostek. Pada dasarnya bentuk asuransi tersebut belum sepenuhnya menerapkan prinsip asuransi kesehatan sosial secara konsisten, misalnya dalam hal kepesertaan dan norma penentuan tingkat kontribusi.

Dalam implementasinya beberapa asuransi tersebut dapat memberikan penggantian biaya kesehatan dalam bentuk uang atau pelayanan kesehatan (in kind benefit). Karena tingginya moral hazard, asuransi kesehatan yang memberikan penggantian uang semakin terbatas. Pada kondisi tertentu pemberian jaminan dalam bentuk pelayanan sulit diterapkan. Dalam penyelenggaraan program JKN, isu-isu terkait dengan penetapan paket manfaat, penyedia layanan dan sebagainya cenderung dapat dikelola secara

Tabel 3.1. Prinsip-Prinsip Dasar Asuransi

Jeffrey W. Stempel. (2012). Principles of Insurance

Law: Fourth Edition. Carolina: Academic Press.

37KONSEP ASURANSI SEBAGAI BAGIAN PEMBIAYAAN KESEHATAN

lebih baik dengan adanya regulasi yang jelas. Meskipun asuransi komersial dan sosial memiliki beberapa perbedaan karakteristik umum, perhatian terkait manajemen risiko tetap menjadi isu yang sangat penting dalam penyelenggaraan skema asuransi.

3.1.2. Pemahaman Tentang Risiko

Dalam konteks penyelenggaraan skema asuransi kesehatan, pemahaman tentang risiko menjadi penting, terutama dalam mendefinisikan paket manfaat dan estimasi tingkat utilisasi atas pertanggungan yang terjadi. Istilah “risiko” digunakan dalam asuransi untuk kejadian-kejadian yang dapat diasuransikan yang sifatnya bukan spekulatif. Risiko ini disebut juga pure risk atau risiko murni (Thabrany, 2001). Secara prinsip terdapat beberapa karakteristik ideal atas risiko yang dapat diasuransikan seperti yang dijelaskan pada Tabel 3.2.

Karakteristik Risiko Intisari

Large Number of Exposure Units

Semakin tinggi pooling risiko yang ditanggung dalam suatu skema asuransi, akan semakin mudah diprediksi probabilitas dari kerugian yang akan terjadi dan tidak terlalu fluktuatif secara periodik.

Accidental and Unintentional Loss

Risiko yang dapat ditanggungkan adalah risiko murni atau yang tidak dispekulasi untuk tujuan mendapatkan keuntungan dari insiden yang terjadi atau ditanggungkan.

Determinable and Measurable Loss

Risiko kerugian yang ditanggungkan harus dapat dikuantifikasi pada besaran tertentu untuk memfasilitasi penyesuaian kerugian yang dapat ditanggungkan.

Dalam setiap langkah kehidupan risiko selalu ada. Skala risiko bisa kecil, seperti terjatuh akibat tersandung batu, ataupun besar, seperti kecelakaan lalu lintas yang dapat menyebabkan kematian atau kecacatan. Setiap orang mempunyai cara tersendiri agar terhindar dari berbagai risiko. Berdasarkan prinsip bahwa risiko adalah peluang (dapat terjadi dan tidak terjadi), terdapat empat kategori manajemen risiko sebagai berikut (Redja, et.al; Emmet, et.al. 2003).1. Menghindari risiko (risk avoidance): individu memilih untuk tidak

mengambil risiko atas kejadian atau bahaya yang akan menimpa dirinya. Contohnya agar terhindar dari risiko kecelakaan mobil, individu lebih memilih menggunakan moda transportasi lainnya, misalnya kereta daripada mengendarai mobil pribadi. Upaya yang lebih ekstrem adalah sama sekali tidak bepergian untuk mengeliminasi risiko kecelakaan.

2. Mengurangi risiko (risk reduction): individu tetap memilih untuk mengambil risiko karena tidak mungkin untuk mengeliminasi semua risiko. Namun, individu berusaha mengurangi terjadinya risiko atas insiden atau kerugian melalui berbagai upaya. Contohnya agar mengurangi risiko insiden kecelakaan mobil, individu akan berupaya mengemudi dengan kecepatan tertentu.

Tabel 3.2. Karakteristik Risiko yang Diasuransikan

George. E. Rejda and M. J. Mc.Namara. (2011). Principles of Risk Management and Insurance: Twentieth Edition. London: Pearson.

38 PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA

3. Memindahkan risiko (risk transfer): individu berusaha untuk memindahkan risikonya menjadi risiko kelompok, yaitu melalui skema asuransi. Ini berarti secara prinsip individu tetap mengambil risiko, tetapi mentransfer dari risikonya sendiri menjadi risiko kumpulan.

4. Mengambil risiko (risk taker): individu memilih untuk mengambil risiko tanpa modifikasi upaya ekstra untuk mengurangi risiko terjadinya insiden atau kerugian atas dirinya.

3.1.3. Perbedaan Asuransi Komersial dan Asuransi Sosial

Undang-Undang No 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian menyebutkan bahwa program asuransi sosial wajib diselenggarakan. Tujuannya adalah untuk memberikan perlindungan dasar bagi kesejahteraan masyarakat. Pasal 14 menyebutkan bahwa program asuransi sosial hanya dapat diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara (UU No. 2 Tahun 1992). Kepesertaan dalam skema asuransi sosial bersifat wajib sebagaimana terkait dengan karakteristik pelayanan kesehatan yang ditandai dengan ketidakpastian (uncertainty). Akses terhadap pelayanan kesehatan merupakan hak asasi setiap penduduk. Deklarasi PBB pada 1948 dengan jelas menyebutkan bahwa setiap penduduk berhak terhadap jaminan kesehatan di saat sakit. Secara praktik individu menyadari risiko terjadinya sakit, tetapi pada umumnya tidak mempunyai kemauan dan kemampuan yang memadai untuk mencukupi kebutuhan menutup risiko sakit yang akan terjadi di masa depan.

Orang-orang di usia produktif akan mengambil risiko (risk taker) terhadap masa depannya karena pengalaman menunjukkan mereka jarang menderita sakit. Risiko sakit pada 10-20 tahun mendatang dianggap terlalu jauh untuk diantisipasi. Mereka umumnya tidak akan membeli, secara sukarela dan sadar meskipun mereka mampu membeli. Sebaliknya, orang tua dan sebagian orang dengan penyakit kronis bersedia membeli asuransi karena mereka memiliki pengalaman membayar biaya pengobatan yang mahal. Namun, penghasilan mereka sudah jauh berkurang. Walaupun mereka memiliki penghasilan yang cukup, biaya pengobatan jauh lebih besar daripada penghasilan mereka.

Orang-orang dalam kelompok tersebut mau membeli asuransi. Namun jika hanya mereka yang mau membeli asuransi, perusahaan asuransi akan menarik premi yang sangat besar untuk menutupi biaya pengobatan yang tinggi. Perusahaan asuransi bahkan tidak bersedia menjamin orang-orang dengan risiko di atas rata-rata (substandar) sehingga kelompok berisiko tersebut tidak memiliki jaminan kesehatan. Kondisi tersebut kemudian yang mendasari pentingnya asuransi sosial

Asuransi sosial bertujuan menjamin semua orang memperoleh akses terhadap layanan kesehatan tanpa mempedulikan status ekonomi atau usia. Prinsip ini disebut sebagai keadilan sosial (social

Akses terhadap pelayanan kesehatan

merupakan hak asasi setiap

penduduk. Deklarasi PBB

pada tahun 1948 dengan jelas

menyebutkan bahwa setiap

penduduk berhak terhadap jaminan kesehatan di saat

sakit.

39KONSEP ASURANSI SEBAGAI BAGIAN PEMBIAYAAN KESEHATAN

equity/social justice) yang menjadi falsafah hidup semua orang di dunia. Asuransi sosial memiliki fungsi redistribusi hak dan kewajiban di berbagai kelompok masyarakat: kaya-miskin, sehat-sakit, muda-tua, risiko rendah-risiko tinggi, sebagai wujud hakikat peradaban manusia. Namun, tidak sedikit orang awam beranggapan bahwa skema asuransi sosial adalah suatu program asuransi yang hanya ditujukan untuk masyarakat miskin atau kurang mampu. Hal ini mungkin ditenggarai oleh persepsi terhadap Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesma) ataupun Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Faktanya, baik skema Jamkesmas maupun Jamkesda merupakan bentuk dari bantuan sosial, bukan asuransi sosial. Gambar 3.1 menjelaskan posisi asuransi sosial dalam kerangka jaminan sosial (social security).

Gambar 3.1. menunjukkan secara implisit bahwa meskipun penyelenggaraan program JKN menurut UU No. 40 Tahun 2004 berbasis pada penyelenggaraan Asuransi Sosial, di dalamnya juga

Gambar 3.1. Pilar Jaminan Sosial

Undang Undang No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial.

ada komponen bantuan sosial, yaitu pada cakupan kelompok penerima bantuan iuran. Salah satu perbedaan mendasar antara pilar bantuan sosial dan asuransi sosial adalah ada atau tidaknya kontribusi (iuran) dari peserta atau tertanggung dalam skema jaminan.

Dalam konteks bantuan sosial, tentu tertanggung atau penerima manfaat tidak memberikan kontribusi finansial terhadap program, lain halnya dengan peserta dalam pilar asuransi sosial. Dengan demikian, perlu dipahami bahwa peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dalam konteks program tidak berarti tidak membayar iuran atau gratis karena secara prinsip iurannya dibayarkan oleh pemerintah. Dengan demikian, peserta PBI juga berhak mendapat manfaat kebutuhan dasar yang sama dengan kelompok peserta

40 PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA

yang membayar iuran secara mandiri meskipun tanggung jawabnya untuk membayar iuran telah diwakili oleh negara.

Sementara itu, pilar ketiga atau jaminan yang sifatnya tambahan disediakan oleh penjamin atau asuradur swasta. Karena fungsinya sebagai jaminan tambahan, asuransi swasta umumnya menyediakan produk yang bersifat complementary terhadap manfaat dasar yang disediakan oleh program asuransi sosial. Dalam praktiknya memang akan ada manfaat yang dijamin, baik oleh program asuransi sosial maupun asuransi swasta. Oleh karena itu, konsep koordinasi manfaat (Coordination of Benefit) diterapkan untuk menjaga kesesuaian atas prinsip indemnity (rule of indemnity), yaitu besaran manfaat yang dibayarkan tidak boleh melebihi jumlah total kerugian yang dialami. Karena begitu kompleksnya karakteristik asuransi sosial dan komersial, Tabel 3.3. akan menjelaskan perbedaan utama dari kedua skema ini.

Asuransi

Aspek

Asuransi Sosial (Wajib)

Asuransi Komersial (Sukarela)

Sifat gotong royong antar-golongan

Tua-Muda, Kaya-Miskin, Sehat-Sakit

Sehat-Sakit

Seleksi Bias Tidak ada karena semua penduduk merupakan peserta

Adverse atau favorable tergantung keahlian asuradur dalam proses underwriting (identifikasi pre-existing condition)

Premi Not risk-related Biasanya proporsional (%) terhadap upah

Risk-related Biasanya dengan harga tertentu

Paket Sama untuk seluruh peserta

Bervariasi sesuai pilihan peserta

Keadilan/Equity Egaliter, sosial Liberter, individual Pilihan Bapel/Asuradur Biasanya tidak ada

atau terbatas Banyak

Pilihan Provider Umumnya sangat luas. Pada penerapan teknik managed care, pilihan terbatas

Pada model tradisional, umumnya sangat luas. Pada model managed care, pilihan terbatas.

Kemampuan Pengendalian Biaya

Sangat tinggi Sangat rendah

Kompetisi Bapel/Asuradur

Umumnya kecil/rendah

Umumnya tinggi

Respons Pelayanan Medis

Pemenuhan kebutuhan medis (medical needs)

Pemenuhan permintaan (demand)

Badan Penyelenggara Pemerintah atau quasi pemerintah Bersifat nirlaba

Bebas (pemerintah atau swasta) Bersifat pencari laba/nirlaba

Pembayaran fasilitas kesehatan

Bervariasi dari kapitasi sampai fee for service

Bervariasi dari kapitasi sampai fee for service

Tabel 3.3. Perbedaan

Asuransi Sosial dan Asuransi

Komersial

H. Thabrany. (2001) Asuransi Kesehatan di Indonesia. Depok:

Universitas Indonesia.

41KONSEP ASURANSI SEBAGAI BAGIAN PEMBIAYAAN KESEHATAN

Tabel 3.3. menekankan perbedaan mendasar atau prinsip antara asuransi sosial dan asuransi komersial. Sebagai contoh, asuransi komersial bekerja dengan berbasis pada minimalisasi risiko yang berimplikasi pada bagaimana mereka melakukan seleksi peserta dan penetapan besaran premi atau iuran, sementara asuransi sosial bekerja dengan berbasis pada pemenuhan hak asasi atas kebutuhan dasar kesehatan. Berdasarkan prinsip tersebut, semua penduduk merupakan target cakupan dalam program ini tanpa memandang risiko atau riwayat kesehatan sebelumnya sehingga terminologi seleksi bias tidak lagi valid dalam konteks asuransi sosial.

3.2. Peran dan Posisi Skema Jaminan Kesehatan dalam Sistem Kesehatan

Bab ini menekankan peran asuransi atau jaminan kesehatan terhadap skema pembiayaan kesehatan di Indonesia. Dengan demikian, subbab ini akan mengartikulasikan secara lebih rinci bagaimana kedudukan jaminan kesehatan, termasuk dampaknya, terhadap struktur sistem kesehatan dan perbaikan luaran kesehatan secara agregat.

3.2.1. Kedudukan Skema Jaminan Kesehatan dalam Sistem Kesehatan Nasional

Peninjauan kedudukan dan peran skema jaminan kesehatan dalam sistem kesehatan di Indonesia secara prinsip berangkat dari beberapa peraturan perundangan antara lain, Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Peraturan Presiden No 18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020-2024, serta Peraturan Presiden Nomor 72 tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional (SKN). (Lihat Gambar 3.2)

Semua penduduk merupakan target cakupan dalam program ini tanpa memandang risiko atau riwayat kesehatan sebelumnya sehingga terminologi seleksi bias tidak lagi valid dalam konteks asuransi sosial.

Gambar 3.2. Kedudukan Pembiayaan Kesehatan dalam Peraturan Perundangan

Undang Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2020 Tentang RPJMN 2020-2024.

Peraturan Presiden No. 72 Tahun 2012 Tentang Sistem Kesehatan Nasional.

42 PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA

Gambar 3.3. Peran Cakupan

Jaminan Kesehatan dalam

Pencapaian Target Pembangunan

Kesehatan

Undang Undang No. 40 Tahun 2004 Tentang

Sistem Jaminan Sosial.

UU Kesehatan secara tegas menjelaskan bahwa tujuan pembangunan kesehatan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat sebagai salah satu investasi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosisal dan ekonomi. Dalam mengejawantahkan tujuan tersebut dalam suatu strategi konkret, Perpres No. 18 Tahun 2020 tentang RPJMN merumuskan beberapa strategi, khususnya pada Strategi 3 tentang peningkatan Sumber Daya Manusia yang berkualitas dan berdaya saing.

Peraturan Presiden No. 72 Tahun 2012 Tentang Sistem Kesehatan Nasional secara prinsip berisi beberapa subsistem utama terkait dalam kerangka sistem kesehatan secara umum. Salah satunya adalah subsistem Pembiayaan Kesehatan. Pada subsistem ini termaktub demarkasi yang jelas antara fungsi pembiayaan untuk barang publik dan barang privat. Pembiayaan pelayanan kesehatan masyarakat yang merupakan barang publik menjadi tanggung jawab pemerintah, sedangkan pembiayaan pelayanan kesehatan perorangan bersifat privat, kecuali pembiayaan untuk masyarakat miskin dan tidak mampu menjadi tanggug jawab pemerintah.

Sejalan dengan Pilar Jaminan Sosial pada Gambar 3.1, pilar Asuransi Sosial bekerja dengan kontribusi iuran aktif dari masyarakat, sedangkan iuran masyarakat tidak mampu ditanggung atau dibayarkan oleh pemerintah. Hal ini secara tidak langsung menggambarkan kedudukan skema asuransi kesehatan dalam kerangka sistem kesehatan secara umum, terutama terkait dengan skema pembiayaan kesehatan. Di sisi lain, pembiayaan kesehatan yang bukan bersifat personal, seperti program fogging dan perbaikan sanitasi, menjadi bagian dari pembiayaan pemerintah, baik pada tingkat pusat maupun daerah.

Pasal 22 Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional menyebutkan bahwa paket manfaat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bersifat komprehensif dari layanan preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif, tetapi dalam konteks perorangan. Jadi, segala upaya kesehatan yang bersifat komunitas atau Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) secara prinsip bukan merupakan domain dari skema Asuransi Sosial, melainkan cakupan program pemerintah.

43KONSEP ASURANSI SEBAGAI BAGIAN PEMBIAYAAN KESEHATAN

Universal Health Coverage (UHC) merupakan parameter penting dalam sistem kesehatan, tetapi secara prinsip bukan merupakan tujuan akhir dari suatu pembangunan kesehatan. Seperti dideskripsikan pada Gambar 3.3, input dalam proses pembangunan kesehatan adalah beberapa komponen dalam Sistem Kesehatan Nasional dengan target yang dicapai adalah pemenuhan hak dasar kesehatan, peningkatan iuaran (outcome) kesehatan, perlindungan sosial dan finansial, serta peningkatan efisiensi. Peran cakupan jaminan dalam hal ini berfungsi sebagai katalisator atau pemercepat mesin sistem kesehatan yang terdiri dari beberapa subsistem utama yang dapat digerakkan dengan lebih efisien dan efektif.

WHO mendefinisikan bahwa Universal Health Coverage (UHC) adalah visi dengan semua orang dan komunitas memiliki akses terhadap layanan kesehatan yang berkualitas di mana pun dan kapan pun mereka membutuhkannya, tanpa mengalami kesulitan finansial. Hal ini termasuk spektrum utuh layanan kesehatan yang dibutuhkan sepanjang hidup dari promosi kesehatan hingga pencegahan, pengobatan, rehabilitasi, dan perawatan paliatif yang terbaik didasarkan pada sistem perawatan kesehatan primer yang kuat. Berdasarkan definisi tersebut secara implisit dinyatakan bahwa Universal Health Coverage mengandung komponen yang kompleks dalam menjamin akses layanan Kesehatan, tidak terbatas pada upaya kesehatan perorangan.

Gambar 3.4. menunjukkan dua fungsi utama dalam kerangka Universal Health Coverage. Pertama menjamin perlindungan sosial atas akses layanan kesehatan. Kedua menjamin aksesibilitas masyarakat terhadap layanan esensial yang aman, berkualitas, terjangkau, termasuk vaksin. Secara kelembagaan dalam konteks peraturan perundangan di Indonesia, fungsi untuk penjaminan perlindungan finansial (financial protection) tercakup dalam tugas pokok BPJS Kesehatan melalui implementasi program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Sementara itu, fungsi untuk menjamin akses terhadap layanan kesehatan, termasuk berbagai upaya untuk

Gambar 3.4. Pilar Universal Health Coverage (UHC).

WHO. (2016). Sustainable Development Goals (SDGs) Point 3.8 that Aims to Achieve Universal Health Coverage, Including Financial Risk Protection, Access to Quality Essential Health Care Services, and Access to Safe, Effective, Quality, and Affordable Essential Medicines and Vaccines for All. https://iris.wpro.who.int/handle/10665.1/12880

44 PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA

menurunkan risiko kesakitan (health risk reduction), merupakan bagian dari peran pokok pemerintah, baik pusat maupun daerah. Dengan demikian, prinsip Universal Health Coverage (UHC) tidak terbatas pada program JKN, tetapi juga jaminan untuk menurunkan risiko sakit yang merupakan domain dari pemerintah.

3.2.2. Kontribusi Program Jaminan Kesehatan Nasional Terhadap Perbaikan Indikator Kesehatan

Dalam rangka mengukur kontribusi Jaminan Kesehatan Nasional atau skema Asuransi Sosial terhadap indikator kesehatan, subbab ini akan menekankan telaah kasus yang terdiri dari lima dimensi utama, antara lain cakupan kepesertaan, pertumbuhan fasilitas kesehatan, akses peserta terhadap layanan kesehatan, konsumsi layanan kesehatan, dan pembiayaan.

3.2.2.1. Cakupan Kepesertaan

Dimensi kepesertaan merupakan proksi yang sering kali digunakan secara praktik untuk menilai seberapa komprehensif program jaminan kesehatan yang dikelola sudah menjangkau target sasaran, yaitu seluruh rakyat Indonesia.

Gambar 3.5. Tren Cakupan

Kepesertaan JKN 2014-2018

Dewan Jaminan Sosial Nasional. (2020). Statistik

JKN 2014-2018. Jakarta.

Buku Statistik JKN 2014-2018 menunjukkan bahwa secara umum terjadi peningkatan kepesertaan JKN di semua segmen. Secara spesifik, pertumbuhan segmen Penerima Bantuan Iuaran (PBI) APBD dan Pekerja Bukan Penerima Upah/PBPU (sektor informal) telah meningkat sekitar 240% dan 242% dari tahun 2014 hingga 2018, sedangkan keanggotaan Pekerja Penerima Upah/PPU (sektor formal) sekitar 105% untuk periode lima tahun (Statistik JKN 2014-2018, 2020).

45KONSEP ASURANSI SEBAGAI BAGIAN PEMBIAYAAN KESEHATAN

3.2.2.2. Fasilitas Kesehatan

Parameter kedua yang menjadi tolak ukur adalah bagaimana skema Jaminan atau Asuransi Kesehatan Sosial dapat mendorong pertumbuhan fasilitas kesehatan, baik pada tingkat layanan primer maupun rujukan (rumah sakit).

Gambar 3.6. menunjukkan bahwa fasilitas kesehatan swasta (Dokter Praktik Perorangan, Klinik Pratama, dan Rumah Sakit) secara umum meningkat secara konsisten selama lima tahun terakhir penyelenggaraan program JKN. Hal ini secara implisit menyiratkan peran penting sektor swasta dalam kerangka Sistem Kesehatan Nasional, khususnya konteks penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan. Pertumbuhan fasilitas kesehatan ini menjadi proksi penting yang perlu diperhatikan untuk menjamin bahwa permintaan layanan kesehatan dapat terbentuk karena kemampuan membayar (melalui skema pembiayaan JKN). Tanpa adanya ketersediaan sisi suplai, permintaan tidak akan mampu didorong.

3.2.2.3. Akses

Akses terhadap layanan kesehatan merupakan faktor yang penting dalam menilai fungsi negara untuk menjamin hak asasi kebutuhan dasar kesehatan.

Gambar 3.6. Tren Pertumbuhan Fasilitas Kesehatan Primer dan Rujukan 2014-2018

Dewan Jaminan Sosial Nasional. (2020). Statistik JKN 2014-2018. Jakarta.

Gambar 3.7. Tren Peningkatan Akses Layanan Kesehatan 2014-2018

Dewan Jaminan Sosial Nasional. (2020). Statistik JKN 2014-2018. Jakarta.

46 PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA

Gambar 3.7. secara keseluruhan menunjukkan terjadi peningkatan akses orang (peserta) yang signifikan untuk layanan kesehatan dari 2014 hingga 2018 di semua jenis layanan dan kelompok kepesertaan. Meskipun tampaknya total akses orang ke fasilitas kesehatan didominasi oleh mereka yang terdaftar di keanggotaan kelas 1, fakta menunjukkan bahwa peningkatan akses yang signifikan ditemukan di antara mereka yang berada di keanggotaan kelas ketiga, baik dalam kasus perawatan primer dan rumah sakit.

3.2.2.4. Konsumsi

Aspek lain yang menjadi tolak ukur seberapa tinggi pemanfaatan layanan kesehatan dari peserta Jaminan Kesehatan Nasional adalah angka konsumsi layanan dari tahun ke tahun pada setiap kelompok tingkat pendapatan atau regional.

Gambar 3.8. Tren Peningkatan

Konsumsi Layanan Kesehatan 2014-

2018

Dewan Jaminan Sosial Nasional. (2020). Statistik

JKN 2014-2018. Jakarta.

Jika dilihat sepintas, konsumsi total layanan kesehatan tampak dominan di Pulau Jawa dan beberapa provinsi dengan kapasitas fiskal yang lebih tinggi atau populasi padat. Namun jika ditinjau lebih detail, pertumbuhan konsumsi dari tahun ke tahun mengungkapkan fakta lain. Secara keseluruhan, keberadaan JKN telah berdampak pada peningkatan konsumsi perawatan rawat jalan primer lebih dari dua kali lipat di hampir seluruh provinsi di Indonesia dalam jangka waktu lima tahun. Lebih jauh lagi, tren peningkatan pemanfaatan di bagian Timur Indonesia (misalnya Papua dan Maluku) meningkat lebih dari sepuluh kali lipat dibandingkan status awal pada 2014.

3.2.2.5. Pembiayaan Kesehatan

Sebagaimana fungsi utama dari Universal Health Coverage dalam menciptakan perlindungan finansial bagi rakyat Indonesia, pengeluaran out of pocket dari pasien sering kali digunakan pada tingkat global sebagai komparasi sejauh mana skema jaminan sosial yang diselenggarakan mampu menurunkan pengeluaran mandiri dari masyarakat atas akses layanan Kesehatan.

47KONSEP ASURANSI SEBAGAI BAGIAN PEMBIAYAAN KESEHATAN

Gambar 3.9. secara prinsip menunjukkan bahwa share pembiayaan domestik khususnya BPJS Kesehatan dalam program Jaminan Kesehatan mengalami peningkatan yang konsisten dari tahun ke tahun selama lima tahun penyelenggaraan program JKN. Sebaliknya, pengeluaran mandiri masyarakat cenderung menurun cukup signifikan, yaitu sekitar 10% dalam lima tahun terakhir. Hal ini menjadi salah satu tolak ukur penting dalam mewujudkan fungsi Universal Health Coverage, terutama dalam menjamin perlindungan finansial masyarakat terhadap akses layanan Kesehatan.

3.3. Penutup

Secara umum Bab ini mengejawantahkan kaitan prinsip dasar asuransi sebagai salah satu instrumen dalam pembiayaan kesehatan, terutama dalam pembiayaan kesehatan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP). Hal ini secara lugas disampaikan pada Perpres No. 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional dengan pembiayaan pelayanan kesehatan masyarakat yang merupakan barang publik menjadi tanggung jawab pemerintah, sedangkan untuk pelayanan kesehatan perorangan pembiayaannya bersifat privat, kecuali pembiayaan untuk masyarakat miskin dan tidak mampu menjadi tanggug jawab pemerintah.

Dalam praktiknya mandat dari peraturan perundangan yang ada, termasuk UU No. 40 Tahun 2004 Tentang SJSN, UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, hingga Perpres No. 72 Tahun 2012 Tentang Sistem Kesehatan Nasional diterjemahkan melalui penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Semangat utama dalam implementasi program ini antara lain terkait dengan salah satu fungsi Universal Health Coverage (UHC), khususnya dalam menjamin perlindungan sosial masyarakat atas layanan kesehatan.

Gambar 3.9. Tren Pembiayaan Program Jaminan Kesehatan 2014-2018

National Health Account. (2018) Kementerian Kesehatan.

48 PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA

Peran program JKN dalam sistem kesehatan khususnya berfungsi sebagai salah satu instrumen pembiayaan kesehatan. Dalam bab ini ditinjau dari beberapa aspek penting, antara lain cakupan kepesertaan, fasilitas Kesehatan, akses, konsumsi, dan pembiayaan. Secara umum, penyelenggaraan program JKN selama lima tahun telah mendorong banyak reformasi positif terutama meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan kesehatan serta penurunan pengeluaran mandiri masyarakat saat mengakses layanan.

Daftar Pustaka

Dewan Jaminan Sosial Nasional. (2020). Buku Statistik JKN 2014-2018. Jakarta: author.

National Health Account. (2018) Kementerian Kesehatan.

Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2020 Tentang RPJMN 2020-2024.

Peraturan Presiden nomor 72 tahun 2012 Tentang Sistem Kesehatan Nasional.

Rejda, George. E., and M. J. Mc.Namara. (2011). Principles of Risk Management and Insurance: Twentieth Edition. London: Pearson

Stempel, Jeffrey W. (2012). Principles of Insurance Law, Fourth Edition. Carolina: Academic Press.

Thabrany, H. (2001). Asuransi Kesehatan di Indonesia. Depok: Universitas Indonesia.

Undang Undang No. 2 Tahun 1992 Tentang Asuransi.

Undang Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

Undang Undang No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial.

Vaughan, Emmett J., & Therese M. Vaughan. (2003). Fundamentals of Risk and Insurance. Pennsylvania: Wiley.

Peran program JKN dalam

sistem kesehatan khususnya

berfungsi sebagai salah

satu instrumen pembiayaan

kesehatan.

49EKUITAS DALAM KESEHATAN

Sebagai salah satu komponen dalam Sistem Kesehatan Nasional, JKN merupakan instrumen yang penting dalam menjamin kejadian bencana finansial ketika individu jatuh sakit.

BAB 4Ekuitas dalam KesehatanGiovanni van Empel

4.1. Pengantar

Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS-K) yang efektif per Januari 2014 memasuki usia pelaksanaan yang ketujuh tahun. Sebagai salah satu komponen dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN), JKN merupakan instrumen yang penting dalam menjamin kejadian bencana finansial (financial catastrophic) ketika individu jatuh sakit. Praktis, sejak ada JKN lebih dari 80% populasi Indonesia memiliki akses terhadap paket manfaat JKN. Perluasan skema JKN tidak lagi hanya melingkupi masyarakat yang diklasifikasikan sebagai masyarakat miskin dan segenap pekerja formal yang tergabung di pemerintahan dan swasta, tetapi juga mayoritas pekerja sektor informal (Wiseman et al, 2018).

Sebagai salah satu instrumen kebijakan yang menyasar sisi permintaan, JKN berusaha untuk mencapai tujuan terselenggaranya Sistem Kesehatan Nasional, yaitu meningkatkan status kesehatan masyarakat. Dengan menghilangkan halangan finansial (financial barrier), individu dapat mengakses dan menggunakan layanan masyarakat yang diberikan oleh pusat layanan kesehatan setempat. Namun demikian, status perkembangan tujuan SKN lainnya masih perlu banyak dikaji, misalnya dalam menjamin keadilan dalam kontribusi pembiayaan (Pisani, Kok, dan Nugroho, 2017).

50 PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA

Selain itu, komponen SKN tentu tidak hanya terbatas pada pembiayaan. Ada komponen tenaga kesehatan, suplai teknologi kesehatan, serta kualitas layanan yang perlu dilihat status perkembangannya dari lensa keadilan.

Bab ini akan bertujuan untuk memberikan snapshot terkait konsep ekuitas kesehatan (health equity), memaparkan konsep ekuitas, serta memberikan perkembangan kajian empiris mengenai isu ini di Indonesia. Beberapa bukti empiris akan mencakup faktor penawaran (provider) dan juga permintaan (pasien atau individu). Bab ini bukan bermaksud untuk menjadi referensi komprehensif , melainkan memberikan catatan kaki berisi referensi bagi pembaca yang tertarik untuk membaca isu ini lebih dalam.

Bab ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama akan membahas latar belakang dari isu ekuitas kesehatan. Bagian kedua akan membahas konsep ekuitas serta mendiskusikan beberapa isu mengenai konsep akses dan kebutuhan. Bagian ketiga akan memaparkan kajian empiris yang sudah dilakukan oleh peneliti.

4.2. Latar Belakang

Pertimbangan dunia untuk fokus pada isu ketimpangan merupakan proses alamiah saat ekspansi akses terhadap layanan kesehatan, melalui kebijakan UHC yang diimplementasikan di berbagai negara. Kebijakan UHC merupakan salah satu kemajuan terbesar yang dicapai oleh dunia melalui konsensus tingkat tinggi. Halangan finansial dalam mengakses layanan kesehatan praktis menjadi minimal, bahkan nol kalau kita lihat dari perspektif biaya langsung. Namun demikian, persoalan sistem kesehatan tidak hanya tantangan halangan finansial (Kutzin, 2013).

Dalam pembiayaan kesehatan, perluasan akses melalui kebijakan asuransi kesehatan publik bertujuan mendorong individu untuk menggunakan layanan kesehatan yang dibutuhkan (demand side policy). Namun, kepemilikan asuransi tidak otomatis membuat

Gambar 4.1. Kerangka Sistem Kesehatan WHO

(2007)

World Health Organization. (2000). The World Health

Report 2000: Health Systems. Improving

Performance. World Health Organization.

51EKUITAS DALAM KESEHATAN

pemiliknya menggunakan layanan yang tersedia, misalnya karena ada persoalan preferensi terhadap risiko.

Sekelompok masyarakat tertentu dapat saja berkeyakinan bahwa pergi ke puskesmas adalah hal berisiko dan tidak bermanfaat. Pada kasus lain, sekelompok masyarakat di suatu daerah perlu mengalokasikan waktu lima jam hanya untuk satu kali jalan berkunjung ke fasilitas kesehatan terdekat. Selain itu, para pekerja sektor informal dengan penghasilan harian menghadapi dilema untuk memutuskan apakah dia akan memeriksakan kesehatannya atau pergi bekerja untuk memenuhi kebutuhannya hari itu.

Adalah benar tersedianya asuransi kesehatan mengurangi kemungkinan untuk terjadinya bencana finansial (financial catastrophic) bagi pemiliknya saat jatuh sakit (Erlangga, Suhrcke, et al., 2019; Mills et al., 2012; Puteh & Almualm, 2017; Xu et al., 2007). Namun, sistem kesehatan tidak hanya bertujuan melindungi seseorang dari bencana finansial, melainkan juga bertujuan untuk pembangunan kesehatan (World Health Organization, 2000).

Variasi situasi yang terjadi di setiap negara, termasuk Indonesia, membuat tantangan sistem kesehatan tidak hanya bisa diselesaikan dengan kebijakan ekspansi akses layanan kesehatan melalui penyediaan asuransi kesehatan (Jacobs et al., 2012). Persoalan struktural, seperti keterjangkauan akses, kualitas layanan yang berbeda antar-fasilitas kesehatan di seluruh daerah, serta preferensi individual, menyebabkan persoalan ketimpangan kesehatan (health inequity).

Untuk memahami lebih mengenai ketimpangan dalam kesehatan, kita perlu membahas beberapa konsep penting yang melahirkan kajian ketimpangan dalam kesehatan. Konsep-konsep ini terkait erat dengan konteks, mengalami proses dialektika, lalu mendorong berbagai kajian empiris.

4.3. Konsep Ekuitas

Variasi definisi dari ekuitas dalam pelayanan kesehatan (equity in health care) telah banyak diusulkan. Pada saat awal konsep ekuitas diperbincangkan di kalangan ilmuwan, ekuitas merujuk pada kesamaan pengeluaran (kesehatan) per kapita (equality of expenditure per capita). Definisi ini menekankan formula alokasi dana yang digunakan oleh suatu negara. Namun, pengertian ini tidak memperhatikan konsep “kebutuhan” (Culyer & Wagstaff, 1993).

Definisi kedua adalah “distribusi atau alokasi (layanan kesehatan) berdasarkan kebutuhan”. Namun, pada awalnya definisi ini tidak menemukan konsensus terhadap apa yang dimaksud sebagai “kebutuhan”. Definisi ketiga adalah “kesetaraan dalam kesehatan” (equality of health) dan definisi keempat adalah “kesetaraan dalam

Sistem kesehatan tidak hanya bertujuan melindungi seseorang dari bencana finansial, melainkan juga bertujuan untuk pembangunan kesehatan.

52 PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA

Pembuat kebijakan

kesehatan di berbagai negara

di awal 1970 melihat perlunya

usaha untuk mengontrol

pengeluaran kesehatan.

akses”. Pertanyaan selanjutnya adalah apa yang dimaksud dengan akses.

4.3.1. Definisi Kebutuhan

Berdasarkan variasi definisi pada literatur, Culyer dan Wagstaff (1993) menyimpulkan definisi “kebutuhan” yang lebih tepat sebagai “Seluruh pengeluaran yang diperlukan untuk menghasilkan peningkatan kesehatan secara maksimal. Dengan kata lain, seluruh pengeluaran yang diperlukan untuk mengurangi kapasitas individu untuk menerima manfaat (dari layanan kesehatan) menjadi nol (tidak ada).”

Dalam beberapa dokumen kebijakan, perspektif yang dipilih adalah standar kebutuhan minimal. Pembuat kebijakan kesehatan di berbagai negara di awal 1970—saat munculnya konsep Managed Care—melihat perlunya usaha untuk mengontrol pengeluaran kesehatan. Perspektif ini secara implisit menilai bahwa masyarakat telah mendapat layanan kesehatan melebihi yang diperlukan.

Hal yang luput dari pandangan ini adalah bahwa kebutuhan perlu dilihat dari produksi output layanan kesehatan dan kepada siapa alokasi ini diberikan. Karena dalam konteks kebijakan publik secara umum, kebutuhan perlu dilihat sebagai preferensi keinginan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Definisi kebutuhan ini secara ekstensif dibahas oleh Norman Daniel, Profesor Filsafat Kesehatan di Universitas Harvard. Daniel (1985) berpandangan pendekatan dalam definisi kebutuhan layanan kesehatan perlu mempertimbangkan hal berikut:1. Layanan kesehatan bersifat khusus. Pandangan ini membedakan

layanan kesehatan dengan tujuan lainnya. Hal ini memungkinkan untuk melihat layanan kesehatan sebagai hal utama dalam usaha untuk mengembalikan kesetaraan peluang (fair equality of opportunity) dalam kegiatan produksi ekonomi, misalnya.

2. Fungsi unik dari spesies manusia. Layanan kesehatan diperlukan agar seseorang menjadi sehat. Tubuh sehat atau tanpa penyakit memungkinkan pelaksanaan fungsi-fungsi yang unik yang berkaitan dengan jati diri spesies manusia.

3. Kesetaraan dalam peluang (fair equality of opportunity). Hal ini merujuk pada bahwa meskipun masyarakat terdiri dari individu yang memiliki kebutuhan, preferensi, hingga kemampuan yang berbeda, setiap individu patut mendapatkan peluang yang sama untuk mendapatkan layanan kesehatan yang dibutuhkan.

Perdebatan mengenai definisi kebutuhan berimplikasi pada cara pandang filosofis terhadap kesehatan. Kritik dari perspektif ekonomi misalnya:1. Jurang tidak berujung. Jika tujuan kebijakan adalah

memaksimalkan status kesehatan, hal ini memungkinkan sekelompok pasien pada kondisi tertentu mendapatkan

53EKUITAS DALAM KESEHATAN

Secara praktis informasi mengenai kebutuhan didasarkan pada penggunaan data sebagai proksi untuk mengestimasi seberapa besar kebutuhan suatu negara atau daerah dalam mengalokasikan sumber dayanya.

berbagai macam input layanan kesehatan. Sebagian dari layanan kesehatan ini sayangnya tidak selalu berdampak pada peningkatan status kesehatan sehingga menyebabkan inefisiensi.

2. Kebutuhan perlu ditetapkan dengan mempertimbangkan biaya. Tujuan masyarakat untuk memperbaiki status kesehatan perlu mempertimbangkan biaya dan harga untuk memproduksi layanan kesehatan. Seperti jenis barang lainnya, kesehatan juga mengalami penurunan manfaat marginal. Ketika mempertimbangkan kemanfaatan dari setiap Rupiah yang dikeluarkan, masyarakat perlu menimbang hal lain yang dapat memberikan manfaat untuk kesehatan yang lebih besar dan mengalokasikan dananya untuk hal tersebut, misalnya penguatan edukasi untuk kesehatan (melalui kurikulum pendidikan).

3. Kebutuhan yang dianggap monoton. Ketika analisis kebutuhan didefinisikan dalam terminologi sumber daya yang dibutuhkan per kapita (needed health resources per capita), secara implisit ada asumsi yang tidak tepat yang mengatakan bahwa satu-satunya cara untuk meningkatkan status kesehatan adalah dengan meningkatkan layanan kesehatan (frekuensi dan intensitas). Padahal, ada hal-hal lain yang sebenarnya dapat dilakukan untuk meningkatkan kesehatan seseorang, misalnya dengan cara memperbaiki pola makan serta berolahraga secara rutin.

Secara praktis informasi mengenai kebutuhan didasarkan pada penggunaan data sebagai proksi untuk mengestimasi seberapa besar kebutuhan suatu negara atau daerah dalam mengalokasikan sumber dayanya. Proksi yang digunakan antara lain adalah indikator mortalitas, morbiditas, dan dalam kasus lain seperti status sosio-ekonomi individu. Pola penggunaan layanan kesehatan dapat dilihat secara retrospektif dari indikator tersebut. Perbedaan pola penggunaan layanan kesehatan karena status sosio-ekonomi misalnya dianggap sebagai sinyal terjadinya ketimpangan. Meskipun demikian, masih terjadi perdebatan apakah pola penggunaan layanan kesehatan dapat menangkap “kebutuhan” individu secara utuh.

Perbedaan cara pandang ini setidaknya menyimpulkan dua faktor yang penting dalam mendefinisikan kata “kebutuhan” (Oliver dan Mossialos, 2004). Pertama, status kesehatan seseorang sebelum mendapat layanan kesehatan. Ini merupakan pandangan yang umum diterima oleh praktisi medis. Kedua, kapasitas individu untuk mendapatkan manfaat dari layanan kesehatan. Dengan kata lain, jumlah sumber daya yang dibutuhkan untuk mendapatkan manfaat yang setinggi-tingginya yang mendefinisikan besar atau kecilnya kebutuhan seseorang. Pandangan ini lazim dianut oleh ekonom kesehatan.

Hal yang menarik adalah kedua pandangan ini selain sama pentingnya, juga dalam berbagai kesempatan dapat saling bergesekan. Contohnya, penderita penyakit terminal dengan

54 PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA

Definisi akses terhadap layanan

kesehatan secara hati-hati

didefinisikan sebagai

kemampuan untuk

mendapatkan paket layanan

kesehatan dengan kualitas

tertentu, dengan menimbang kemampuan

finansial individu serta memproses

informasi kesehatan.

kondisi buruk, seperti kanker pankreas stadium lanjut, bisa saja tidak menerima terapi efektif yang mampu memberikan manfaat, misalnya untuk memperpanjang usia. Kasus-kasus seperti ini menekankan pentingnya aspek ekuitas pada studi-studi evaluasi teknologi kesehatan. Hal ini kemudian membuat pengambilan keputusan dapat menentukan apakah teknologi kesehatan akan diadopsi atau tidak penting untuk dipertimbangkan.

4.3.2. Definisi Akses

Menurut Mooney (1983) dan Le Grand (2018), akses perlu dilihat dalam aspek biaya yang dikeluarkan individu ketika mendapatkan layanan kesehatan. Implikasi dari interpretasi ini adalah tidak semua orang mengeluarkan biaya yang sama. Sebagai contoh, kelompok berpenghasilan menengah ke bawah akan mengeluarkan biaya yang relatif lebih banyak dibandingkan kelompok yang berpenghasilan menengah ke atas.

Culyer dan Wagstaff (1993) menginterpretasikan akses dengan lebih sederhana sebagai “Kesetaraan dalam akses layanan kesehatan memerlukan kondisi dengan jumlah maksimal konsumsi layanan kesehatan yang sama untuk semua individ (Equal Access for Equal Need)”. Definisi akses terhadap layanan kesehatan secara hati-hati didefinisikan sebagai kemampuan untuk mendapatkan paket layanan kesehatan dengan kualitas tertentu, dengan menimbang kemampuan finansial individu.

Rentang paket serta standar layanan menuntut pengambil kebijakan untuk menilai akses secara utuh, baik level nasional (agregat) maupun regional atau daerah dengan karakteristik yang melekat padanya. Perbedaan akses antardaerah tidak terhindarkan dan menjadi penting untuk selalu melakukan penilaian dan evaluasi terhadap variasi akses (Jacobs et al., 2012).

4.3.2.1. Equity Versus Equality

Pertanyaannya apakah ekuitas (equity) sama dengan equality? Kedua konsep tersebut perlu dibedakan. Kesetaraan (equality) mengacu pada kuantitas yang dapat diukur secara objektif. Contoh dari equality adalah ketika dua ibu rumah tangga dengan usia yang sama, Wati dan Rumi, dirawat di suatu rumah sakit, mendapatkan layanan yang sama persis, dari pemeriksaan fisik, uji laboratorium, pemeriksaan penunjang, hingga tindakan lanjutan. Layanan kesehatan tersebut dapat diukur secara objektif dan tidak sedikit pun perbedaan dalam jumlahnya, misalnya kunjungan dokter dan frekuensi terapi.

Sebaliknya, ekuitas merujuk pada konsep normatif, yaitu kondisi tidak terdapatnya kesetaraan yang disebabkan oleh hal yang dapat dihindari. Secara konseptual, ekuitas tidak selalu berarti kesetaraan (equality). Ilustrasinya dapat dilihat pada Gambar 4.2.

55EKUITAS DALAM KESEHATAN

Interaction Institute for Social Change | Artist: Angus Maguire. https://interactioninstitute.org/illustrating-equality-vs-equity/

4.3.3. Vertical vs Horizontal Inequity

Variasi kondisi kesehatan antar-individu secara alamiah akan terjadi. Banyak kondisi menyebabkan suatu perbedaan. Namun, perlu diketahui apakah perbedaan status kesehatan terjadi karena faktor yang dapat dihindari (unwarranted variation) atau tidak dapat dihindari (warranted variation). Salah satu faktor yang tidak dapat dihindari adalah predisposisi genetik, misalnya kecenderungan seseorang untuk menderita diabetes. Faktor lainnya adalah responsif atau tidaknya seseorang terhadap terapi. Selain cenderung untuk menderita sakit, setiap individu memiliki kecenderungan yang berbeda dalam merespons terapi.

Faktor-faktor yang dianggap bisa dihindari adalah apabila intensitas pemberian terapi dalam satu episode rawat inap berbeda karena jenis kelamin, usia (pada konteks tertentu dapat menjadi faktor yang tidak dapat dihindari), etnis, pendapatan, status sosio-ekonomi, dan jenis asuransi. Jika terjadi perbedaan tersebut, hal ini disebut sebagai horizontal inequity. Horizontal equity1 mensyaratkan equal treatment of equal needs. Pelayanan harus sama terhadap mereka yang kebutuhannya sama.

Di sisi lain karena kebutuhan antarindividu bisa berbeda, misalnya tergantung pada keparahan penyakit, pelayanan sangat mungkin diberikan sesuai kebutuhan. Vertical inequity terjadi pada konteks ini, tetapi ketimpangan ini didasarkan oleh faktor-faktor yang dapat diterima (karena perbedaan kebutuhan).

1 Pembaca yang menginginkan bahasan yang lebih teknis dan menyeluruh serta ingin mendalami teknik analisis dengan data rumah tangga silakan merujuk ke O. O’Donnell, Van Doorslaer, E., Wagstaff, A., & Lindelow, M. (2007). Analyzing Health Equity Using Household Survey Data: A Guide to Techniques and Their Implementation. The World Bank.

Gambar 4.2. Ilustrasi Equality vs Equity

56 PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA

4.3.4. Faktor yang Berdampak pada Equal Access for Equal Need

Untuk itu, terdapat berbagai faktor yang memengaruhi akses terhadap layanan kesehatan. Faktor-faktor ini memiliki dampak berbeda kepada kelompok. Setidaknya secara garis besar, ada dua faktor yang dapat kita telusuri lebih lanjut.

Pertama, faktor penawaran, misalnya letak dan lokasi geografis setiap individu terhadap pusat layanan kesehatan. Tentu ada variasi jarak yang tidak sama dan perbedaan ini dapat diterima melalui berbagai pertimbangan. Karena dalam konteks layanan kesehatan, layanan spesialistik misalnya sulit dibayangkan dapat tersedia secara merata di seluruh area geografis (Mulyanto et al., 2018, 2019).

Kebijakan tersedianya layanan standar perlu dipastikan dalam norma minimal yang disepakati bersama. Untuk itu, beberapa hal ini perlu diperhatikan dalam alokasi sumber daya kesehatan. Pertama, distribusi terjadi berdasarkan ukuran populasi, input biaya, kebutuhan layanan kesehatan, dan distribusi kelompok sosio-ekonomi populasi di suatu daerah (Asante et al., 2016). Hal-hal tersebut penting untuk menjadi indikator tambahan, selain riwayat utilisasi layanan kesehatan di suatu daerah. Kedua, kebijakan afirmatif juga diperlukan untuk melakukan identifikasi daerah yang

Gambar 4.3. Kurva Konsentrasi

Hipotetikal

Asante, A., Price, J., Hayen, A., Jan, S., & Wiseman, V.

(2016). Equityin Health Care Financing in Low-

and Middle-Income Countries: A Systematic

Review of Evidence from Studies Using Benefit

and Financing Incidence Analyses. PloS One, 11(4),

e0152866.

57EKUITAS DALAM KESEHATAN

Faktor lainnya yang juga berpengaruh terhadap akses adalah informasi, pengetahuan, kepercayaan, budaya lokal, serta biaya tidak langsung, seperti biaya perjalanan.

relatif timpang, terutama dalam menyoal kapasitas yang terbatas di daerah yang dianggap tertinggal (Jacobs et al., 2012). Adanya kebijakan afirmatif penting untuk menjaga layanan kesehatan di daerah berjalan dengan baik.

Faktor kedua adalah permintaan (demand). Faktor utama yang dapat menghalangi akses layanan kesehatan adalah faktor finansial (Kim et al., 2017). Adanya biaya yang harus dikeluarkan secara mandiri (out of pocket) dalam bentuk biaya (co-payment/co-insurance/user charges) memiliki dampak disproporsional terhadap kelompok dengan pendapatan rendah (Wagstaff, Flores, Hsu, et al., 2018; Wagstaff, Flores, Smitz, et al., 2018; Wagstaff & van Doorslaer, 2000). Proporsi biaya yang harus dikeluarkan kelompok ini relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok berpendapatan tinggi meskipum secara absolut jumlah rupiah yang dikeluarkan sama.

Kelompok miskin cenderung menghindari pusat layanan kesehatan dan penggunaan layanan kesehatan oleh kelompok ini menjadi relatif lebih rendah. Ulasan sistematis yang dilakukan oleh Qin et al (2019) memperlihatkan dampak negatif iur biaya. Hampir semua negara dan konteks yang menerapkan iur biaya menunjukkan pola penurunan frekuensi penggunaan layanan kesehatan yang seragam.

Faktor lainnya yang juga berpengaruh terhadap akses adalah informasi, pengetahuan, kepercayaan, budaya lokal, serta biaya tidak langsung, seperti biaya perjalanan. Kelompok pekerja di sektor informal dengan penghasilan harian harus menimbang-nimbang untuk melakukan kunjungan ke rumah sakit atau puskesmas atau tidak. Karena ketika memilih berkunjung, ia harus merelakan pendapatannya hari itu.

Beberapa studi (Mtei et al., 2012; Wagstaff, 2012) menunjukkan hal tersebut meskipun biaya medis langsung sudah ditanggung oleh skema asuransi kesehatan sosial. Variasi dalam penggunaan layanan kesehatan hampir selalu ditemukan (Sharma et al., 2017), sehingga perlu diidentifikasi untuk memastikan variasi kesenjangan dalam penggunaan layanan kesehatan, misalnya karena pilihan sadar individu.

Sebagai ilustrasi, anak kembar dengan pengetahuan, usia, dan pendapatan yang identik bisa memiliki preferensi kesehatan yang berbeda. Contohnya sang kakak cenderung menghindari risiko dibandingkan sang adik sehingga sang kakak memilih untuk berkunjung ke rumah sakit untuk penyakit ringan (self limiting disease). Perbedaan intensitas penggunaan ini bukan disebabkan oleh faktor yang dapat dihindari.

Pembahasan konsep ekuitas secara natural akan mempertanyakan beberapa hal berikut: apakah yang dikhawatirkan secara konseptual terjadi; sejauh mana ketimpangan terjadi; dan apa saja yang membuat ketimpangan semakin tajam. Pemahaman bukti empiris penting

58 PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA

untuk mengetahui situasi terkini, hal yang dapat dilakukan, dan yang sebaiknya dihindari. Bukti empiris di bagian selanjutnya tidak mencakup seluruh artikel ilmiah dalam kajian ekuitas di Indonesia, tetapi hanya beberapa kajian pilihan dengan kualitas tinggi.

4.4. Bukti Empiris

Studi dampak JKN terhadap utilisasi dilakukan oleh Erlangga et.al (2019). Kebijakan JKN menghilangkan sebagian tantangan finansial bagi individu untuk mendapatkan akses layanan kesehatan. Studi yang dilakukan menggunakan data panel Indonesian Family Life Survey (IFLS) pada 2007 dan 2014. Kebijakan JKN menunjukkan peningkatan probabilitas utilisasi kesehatan pada kedua kelompok yang disubsidi pemerintah (Penerima Bantuan Iuran/PBI) dan kelompok sukarela (non-PBI) sebesar 1,8% dan 8,2% untuk layanan rawat inap. Kelompok sukarela mengalami peningkatan probabilitas menggunakan layanan kesehatan rawat jalan sebesar 7,9%. Meskipun JKN menghilangkan sebagian biaya, perbedaan probabilitas antara kedua kelompok ini menunjukkan kelompok subsidi yang cenderung miskin memiliki biaya tidak langsung yang lebih tinggi. Dengan demikian, potensi ketimpangan masih tetap ada. Namun, JKN menjamin individu dari kemungkinan pengeluaran biaya katastropik.

Gambar 4.4. Kemudahan Akses

ke Rumah Sakit Menurut Provinsi

Data Diolah dari Laporan RISKESDAS (2018)

59EKUITAS DALAM KESEHATAN

Salah satu penyebab stunting adalah faktor ekonomi, melalui media pola konsumsi di rumah tangga, faktor pendidikan, dan juga lingkungan tempat tinggal.

Studi Mulyanto et al (2019) juga melihat inequality dalam utilisasi layanan kesehatan. Berdasarkan data IFLS, studi ini juga melihat lebih spesifik faktor-faktor yang memengaruhi variasi penggunaan layanan kesehatan, dari layanan primer, layanan rawat jalan di tingkat sekunder (rumah sakit), layanan rawat inap, hingga layanan pencegahan penyakit kardiovaskular.

Hasil menunjukkan faktor pendidikan menjelaskan variasi penggunaan layanan kesehatan ini. Misalnya, perbedaan pendidikan menjelaskan penggunaan layanan rawat jalan di rumah sakit lebih besar dibandingkan dengan penggunaan layanan di tingkat primer. Dengan kata lain, semakin tinggi pendidikan seseorang semakin sering dia menggunakan layanan rawat jalan di rumah sakit.

4.4.1. Studi Morbiditas

Beberapa studi juga berusaha melihat pola socioeconomic inequalities dalam berbagai kondisi kesehatan. Salah satunya adalah studi yang dilakukan Rizal dan van Doorslaer (2019) yang bermaksud menilai dampak faktor ketidaksetaraan dalam kejadian stunting. Penyebab stunting adalah faktor ekonomi, media pola konsumsi di rumah tangga, faktor pendidikan, dan juga lingkungan tempat tinggal.

Dengan data IFLS, mereka menemukan prevalensi stunting berat (severe stunting) turun secara signifikan antara periode 2007 dan 2014, tetapi tidak untuk prevalensi stunting. Analisis yang dilakukan juga melihatkan faktor akses (diukur dengan imunisasi dan kelahiran di fasilitas kesehatan). Hal tersebut menjelaskan ketimpangan prevalensi stunting antara kelompok kaya dan miskin semakin kecil.

Hodge et al. (2014) menunjukkan penurunan angka kematian anak di bawah lima tahun dan juga neonatus di level nasional. Dengan data Indonesian Demographic and Health Surveys (IDHS), studi ini melihat tren penurunan inequality angka kematian anak di bawah lima tahun dan neonatus dari 1980 hingga 2011. Secara umum, penurunan ini terkonsentrasi di pulau Jawa dan Bali. Ketika membandingkannya dengan pulau non-Jawa/Bali, ketimpangan prevalensi ini justru membesar. Hal ini menunjukkan faktor penawaran patut diteliti lebih jauh.

Peran faktor penawaran dalam menjelaskan ketimpangan dapat dilihat dari studi Nababan et al (2018) dalam menindaklanjuti temuan Hodge et al (2014). Dengan data DHS dari 1991 hingga 2012, studi ini melihat tren penggunaan layanan kesehatan maternal di Indonesia. Kelahiran di pusat layanan kesehatan meningkat dari 22% pada 1986 menjadi 73% pada 2012. Namun, ketimpangan pengguna juga dapat terlihat. Probabilitas kelompok perempuan terkaya (diukur dari aset dan distribusi kuantil) untuk melahirkan di fasilitas kesehatan lima kali lebih tinggi dibandingkan kelompok

60 PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA

perempuan termiskin. Lebih lanjut, perempuan yang tinggal di perkotaan memiliki probabilitas tiga kali lebih tinggi untuk melahirkan di fasilitas kesehatan dibandingkan dengan kelompok perempuan termiskin. Penggunaan layanan kesehatan ini terkonsentrasi di pulau Jawa dan Bali.

4.4.2. Faktor Penawaran

Rokx et al (2010) menyebutkan investasi sektor kesehatan sejak 25 tahun terakhir relatif didominasi oleh sektor privat. Dari 1996 hingga 2007 relatif terjadi peningkatan jumlah dokter pada populasi secara umum dan juga jumlah Puskesmas, tetapi tanpa adanya tenaga dokter di fasilitas yang disebutkan terakhir. Hal ini karena dokter paling banyak terkonsentrasi di daerah perkotaan.

Gambar 4.5. Tren Jumlah

Puskesmas

Diolah dari Presentasi BPJS Kesehatan. (2018))

Studi Booth et al (2019) menunjukkan data Kementerian Kesehatan pada 2018. Jumlah Posyandu (per 1 juta populasi) secara absolut tidak memiliki banyak perbedaan, misalnya jumlah Posyandu di Papua sebanyak 874 dan di Jawa dan Bali sebanyak 746. Namun, Puskesmas di Jawa-Bali hanya berjumlah 24 per 1 juta populasi, sedangkan Papua memiliki 560 Puskesmas per 1 juta populasi. Rasio antara Puskesmas dan Posyandu di Papua dan Bali adalah 6,6:30,7. Nilai tersebut terlihat baik, tetapi ketika staf Puskesmas hendak melakukan supervisi Posyandu, jarak antar-Posyandu dengan waktu tempuh yang lama membuat proses supervisi tidak bisa berjalan dengan baik.

61EKUITAS DALAM KESEHATAN

Lebih lanjut, studi ini juga memperlihatkan dari 283.370 Posyandu di Indonesia, hanya 61% yang tergolong dapat memberikan layanan kepada masyarakat. Variasi cukup lebar juga ditemui, misalnya 99% Posyandu tergolong aktif, sementara hanya 8% Posyandu di Maluku yang tergolong aktif.

Bukti kajian empiris memperlihatkan ketimpangan kesehatan di Indonesia mulai berkembang dan memiliki arti yang semakin penting. Peran faktor supply dalam ketimpangan kesehatan masih terbatas, misalnya belum ada studi yang melihat variasi kualitas ketimpangan layanan kesehatan (secara objektif) . Selain itu, perlu juga untuk melihat lagi evolusi dari temuan beberapa tahun yang lalu. Untuk itu, kerja sama antara pembuat kebijakan dan akademisi diperlukan untuk terus meneliti hal tersebut di Indonesia.

4.5. Penutup

Bab ini membahas secara singkat mengenai ekuitas dalam kesehatan. Ketimpangan dalam kesehatan telah menjadi agenda global saat ini. Bukti-bukti empiris mulai memperlihatkan seberapa inklusif dan responsif sistem kesehatan di suatu negara. Dalam sudut pandang ilmu ekonomi, ketimpangan adalah potensi terhadap inefisiensi atau alokasi sumber daya yang tidak optimal. Ketimpangan juga mengindikasikan disparitas dari apa yang dibutuhkan dengan apa yang tersedia. Mengoreksinya membutuhkan perencanaan dan kebijakan yang baik dari semua elemen, tidak hanya mendapatkan titik optimal dalam alokasi sumber daya, tetapi juga berkenaan dengan aspek etis dari ketimpangan itu sendiri.

Gambar 4.6. Proporsi Puskesmas Terhadap Kecukupan SDM Kesehatan

Diolah dari Pusdatin Kementerian Kesehatan. (2017)

62 PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA

Daftar Pustaka

65KEBIJAKAN DAN POTRET PEMBIAYAAN KESEHATAN

BAB 5Kebijakan dan Potret Pembiayaan KesehatanFitriana Yuliawati

UHC memiliki paling tidak mencakup tiga dimensi, yaitu cakupan peserta, cakupan pelayanan, dan cakupan pembiayaan.

5.1. Pengantar

Kesehatan merupakan komponen penting untuk menentukan kesejahteraan masyarakat dalam suatu negara. Negara berkepentingan agar seluruh warga negaranya sehat (health for all). Hal tersebut membutuhkan kelembagaan untuk menuju Universal Health Coverage (UHC). UHC adalah suatu sistem kesehatan dengan setiap orang di dalam masyarakat memiliki akses yang adil dan merata terhadap pelayanan kesehatan, baik pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan biaya dapat dijangkau (Bhisma, 2010).

Sistem pembiayaan kesehatan yang tepat merupakan salah satu pendukung tercapainya UHC. UHC memiliki dua elemen utama, yaitu akses pelayanan kesehatan yang adil dan bermutu dan perlindungan risiko finansial. Sistem pembiayaan kesehatan dalam UHC dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu pembayaran tunggal (single payer), pembayaran ganda (two-tier/dual health care system), dan sistem mandat asuransi (WHO, 2005).

Pembiayaan kesehatan sungguh tidak bisa disepelekan. Jika tidak dilakukan dengan benar, hal tersebut bisa berdampak terhadap sektor industri dan sektor ekonomi. Salah satu contoh, di masa pemerintahan Bill Clinton, Amerika Serikat pernah mengalami kekeliuran dalam penghitungan pembiayaan kesehatan dalam

66 PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA

upaya mewujudkan Health Care Reform. Saat itu, pemerintah Amerika Serikat berupaya melakukan perbaikan terhadap tingginya biaya kesehatan yang berdampak pada anjloknya dunia industri. Industri mobil di Amerika kalah bersaing dengan Jepang karena harga per unitnya bisa mencapai dua kali lebih mahal daripada Jepang (Trisnantoro, 2014). Dengan demikian, kesehatan bukan hanya merupakan hak dari warga negara, melainkan investasi yang menentukan pertumbuhan perekonomian suatu negara.

5.2. Pembiayaan Kesehatan di Negara-Negara Lain

World Bank (2019) menyebutkan tiga pilar utama yang harus dikedepankan dalam pembiayaan Kesehatan, yaitu kecukupan (sufficiency), pengalokasian anggaran yang efisien dan efektif (efficiency and effectiveness), dan pembiayaan kesehatan yang keberlanjutan (sustainability). Sistem pembiayaan kesehatan sangat bervariasi di tiap negara. Hal ini bergantung pada bagaimana kemampuan pemerintah menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan dan asuransi kesehatan di negaranya.

Selain itu, perbedaan karakteristik penduduk, pendapatan negara, ekonomi, dan geografis juga menjadi faktor yang diperhitungkan bagi suatu negara dalam menentukan sistem pembiayaan kesehatan. Beberapa negara di dunia telah memiliki pengalaman tersendiri untuk mencapai UHC, misalnya Malaysia, Thailand, Taiwan, Jepang, Amerika Serikat, dan Inggris.

5.2.1. Malaysia

Malaysia memberikan peran yang lebih besar kepada sektor swasta dalam hal pelayanan kesehatan. Malaysia juga mulai mengembangkan bidang kesehatan sebagai daya tarik wisata/medical tourism (Chongsuvivatwong, Virasakdi, et al., 2011). Pemerintah Malaysia sudah mewajibkan tabungan hari tua bagi para pegawai sejak 1951. Warga juga dijamin oleh Employee Provident Fund (EPF), sedangkan Social Security Organization (SOSCO) menjamin warga yang mendapat kecelakaan kerja atau pensiunan yang cacat. (Purwoko, 2014).

Sistem pembiayaan kesehatannya terdiri dari kesehatan publik (promotif dan preventif) dan kesehatan privat (kuratif dan rehabilitatif). Sumber dana kesehatan publik berasal dari pajak, anggaran pendapatan negara, SOSCO, dan EPF. Sementara itu, dana kesehatan privat berasal dari iuran dari masyarakat. 1 RM per bulan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari dokter umum dan 5 RM untuk pelayanan dari dokter spesialis. Sistem pembiayaan kesehatan ini tidak termasuk untuk penyakit berat yang membutuhkan biaya pengobatan yang tinggi (katastropik). (Jaafar, Safurah Noh, et al., 2013).

Malaysia memberikan

peran yang lebih besar

kepada sektor swasta dalam hal pelayanan

kesehatan.

67KEBIJAKAN DAN POTRET PEMBIAYAAN KESEHATAN

Pajak untuk alat kesehatan dan obat-obatan dibebaskan untuk menekan biaya operasional pelayanan kesehatan. Praktik dokter dibatasi di satu tempat pada fasilitas pelayanan kesehatan baik milik pemerintah atau swasta, untuk menjaga mutu layanan. Meskipun demikian, pemerintah tetap menjamin pendapatan yang tinggi bagi dokter sebagai apresiasi bagi profesi medis. Klaim pembiayaan kesehatan di rumah sakit menggunakan sistem Global Budget (WHO, 2005).

5.2.2. Thailand

Thailand membutuhkan waktu hampir setengah dekade untuk mencapai UHC. Berbagai sistem pembiayaan telah diuji, berawal dari sistem out of pocket sampai dengan sistem pembiayaan prospektif (Indrayathi PA, 2016). Setelah kebijakan UHC diperkenalkan pada April 2002, perlindungan kesehatan sosial dibagi ke dalam tiga skema pembiayaan, yaitu Social Health Insurance for Formal Private Sector (sekitar 15%) untuk menjamin pegawai swasta, Civil Servant Medical Benefit Scheme (7%) untuk menjamin menjamin pegawai negeri beserta anggota keluargnya, dan UHC Scheme (sekitar 76%) melalui National Health Security Office/NSHO (Health Resource Survey, 2012).

NHSO merupakan lembaga independen yang mengelola “sistem 30 Baht”, yaitu sistem yang menjamin peserta mendapat pelayanan kesehatan komprehensif dengan membayar 30 Baht (Rp 7.000) per bulan. NHSO berada di bawah otoritas dari Minister of Public Health. NHSO akan mengeluarkan budget tahunan untuk kapitasi, HIV, penyakit metabolik, gagal ginjal, dan gangguan jiwa. Budget tahunan akan dibagikan untuk pasien rawat jalan dan rawat inap, kegiatan promotif dan preventif, vaksin, high-cost accident, diabetes, kegawatdaruratan, rehabilitasi untuk pasien cacat, pengobatan tradisional, mutu layanan dan preliminary assistance. Selain itu, NHSO juga menjalin kerja sama dengan pemerintah lokal (dengan sharing beban 20-50%) untuk upaya promotif dan preventif. (Adisasmito, 2008).

Thailand menerapkan sistem pelayanan kesehatan rujukan, dari Primary Care Unit (PCU) untuk upaya promotif-preventif, hingga jenjang berikutnya, yaitu rumah sakit distrik (rumah sakit sekunder dan tersier, serta rumah sakit pendidikan). Thailand juga mempunyai semacam balai pengobatan (health center) yang memberikan penugasan kepada SDM Kesehatan dan Non-kesehatan terlatih untuk memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas bagi masyarakat khususnya di pedesaan. Pada tahun 201 data menunjukkan bahwa kunjungan ke health center mencapai 54%, lebih tinggi dibanding tahun 2000 yang hanya mencapai 46,1%. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan kemudahan akses masyarakat terhadap layanan kesehatan. Thailand dinilai sudah tidak lagi memiliki masalah dalam hal akses layanan pada fasilitas kesehatan tingkat pertama sehingga lebih memprioritaskan di

Thailand menerapkan sistem pelayanan kesehatan rujukan, dari PCU untuk upaya promotif-preventif, hingga jenjang berikutnya, yaitu rumah sakit distrik (rumah sakit sekunder dan tersier, serta rumah sakit pendidikan).

68 PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA

layanan kesehatan tingkat lanjut (Indrayathi PA, 2016). Thailand mulai membangun pusat medis dengan spesialisasi tertentu, seperti kardiologi, onkologi, neurologi, neonatal, gastrointestinal, ortopedi, dan optometry. (Futuready, 2016).

5.2.3 Taiwan

Sejak tahun 1995, Taiwan memiliki asuransi sosial wajib (mandatory) yang disebut National Health Insurance (NHI). Asuransi sosial ini memiliki sistem pembayaran tunggal (single payer) yang dijalankan oleh pemerintah. Dana bersumber dari premi yang berbasis pajak gaji (payroll tax) dan anggaran pemerintah (Bhisma Murti, 2010; Jui-fen&Rachel Lu, 2014). Pendapatan lainnya berasal dari sumber lain, seperti denda atas tunggakan pembayaran premi, kontribusi lotre kesejahteraan masyarakat, dan cukai rokok (Jui-fen & Rachel Lu,2014). Sepuluh bulan setelah peluncuran NHI, 92,3% masyarakat Taiwan sudah terdaftar dalam program ini (Jui-fen & Rachel Lu, 2014). Administrator NHI bekerja sama dengan sebagian besar provider kesehatan milik pemerintah dan swasta sehingga masyarakat dengan mudah mendapatkan pelayanan kesehatan yang sama (Bisma Murti,2010).

Ketika ada warga yang tidak membayar premi tepat waktu, pemberitahuan akan sesegera mungkin dikirimkan. Taiwan memiliki warga yang cukup taat hukum sehingga tingkat kepatuhan sangat tinggi (Dr. Ching-chuan Yeh,2012).

5.2.4. Jepang

Sejak tahun 1927, Jepang sudah memulai jaminan kesehatan bagi para pekerja sektor swasta, tetapi manfaatnya masih kurang komprehensif (Fukawa, Tetsuo, 2002). Setelah Perang Dunia II, Jepang berupaya meningkatkan sistem kesehatan, termasuk asuransi kesehatannya. Pada tahun 1954 ditetapkan subsidi untuk asuransi kesehatan sebesar 1 Miliar Yen. Hal ini bertujuan untuk memenuhi UHC yang akhirnya tercapai pada tahun 1961. Sejak tahun 1973 penduduk lansia sudah tidak membayar iuran (Ikegami, Naoki, et al., 2004).

Pada tahun 1984 pemerintah mengeluarkan suatu kebijakan bahwa masyarakat wajib membayar seluruh pengobatan sebesar 10%. Kemudian pada tahun 1997 terjadi peningkatan sebesar 20% dan sejak tahun 2003 hingga kini terus terjadi peningkatan hingga 30%. Namun, peningkatan tersebut tidak berlaku untuk seluruh masyarakat. Cost-sharing asuransi kesehatan yang berlaku saat ini adalah: 1. Umur ≥75 tahun membayar 10%; 2. Umur 70-75 tahun membayar 20%; 3. Usia wajib belajar–70 tahun membayar 30 %; dan 4. Anak yang belum sekolah membayar 30% (Fukawa, Tetsuo, 2002).

Berbagai macam asuransi yang dikelola pemerintah di antaranya adalah National Health Insurance, Mutual Aid Insurance, dan

Sejak tahun 1995, Taiwan memiliki

asuransi sosial wajib (mandatory)

yang disebut National Health Insurance (NHI).

Setelah Perang Dunia II, Jepang

berupaya meningkatkan

sistem kesehatan, termasuk asuransi

kesehatannya.

69KEBIJAKAN DAN POTRET PEMBIAYAAN KESEHATAN

Advanced Eldery Medical Service System. Semua sistem asuransi memberlakukan pelayanan kesehatan yang sama. Harga perawatan medis berdasarkan rekomendasi The Central Social Insurance Medical Council yang ditentukan oleh pemerintah. Harga obat berdasarkan standar yang ditetapkan pemerintah. Jaminan kesehatan di Jepang tidak mengenal sistem rujukan sehingga peserta bebas memilih layanan kesehatan baik di klinik dokter maupun langsung ke rumah sakit (Pernando, Anggara, 2015).

5.2.5. Amerika Serikat

Asuransi Kesehatan di Amerika Serikat mengalami perkembangan yang cukup panjang. Dimulai dari 1798 pendirian US Marine Hospital Service sehingga para pelaut mendapatkan pelayanan kesehatan dengan pemotongan upah yang dilakukan setiap bulan. Pada 1847 berdiri suatu organisasi asuransi kesehatan pertama di Massachusetts-Boston, kemudian diikuti oleh pendirian organisasi asuransi kesehatan lainnya. Pada 1937 rumah sakit mulai membuka kegiatan asuransi kesehatan dengan mendirikan Blue Cross Assocation. Para dokter lalu kemudian mendirikan Blue Shield Association pada 1946.

Selanjutnya Medicare dan Medicaid OASDI (Old-Age, Survivors, and Disability Insurance) diundangkan pada 14 Agustus 1935 di Amerika Serikat. Medicare adalah sistem asuransi bagi usia lanjut, penderita cacat, dan penderita gagal ginjal yang dijalankan oleh Pemerintah Federal. Medicaid OASDI merupakan sistem asuransi bagi masyarakat miskin yang dijalankan oleh Pemerintah Federal dan Negara Bagian. Namun, banyak penduduk yang tidak terlindungi oleh kedua asuransi ini. Pada 1965 ditambahkan program OASDHI (Old-age, Survivors, Disability, and Health Insurance) (PT. Asuransi Kesehatan Indonesia,1997).

Karena timbul masalah pembiayaan kesehatan pada 1973 dan untuk meminimalkan penambahan conventional health insurance, Pemerintah Amerika Serikat membentuk Health Maintenance Organization (HMO) melalui undang-undang (Trisnantoro L, 2014). HMO adalah organisasi pelayanan kesehatan yang bersifat pre-paid (dibayar di muka), bertanggung jawab memberikan pelayanan kesehatan komprehensif (preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif) terhadap populasi tertentu yang telah terdaftar sebagai peserta dengan membayar sejumlah uang yang dihitung berdasarkan kapitasi atau per bulan per orang.

Pada 1970 diperkenalkan DRGs yang pertama kali diterapkan di rumah sakit Negara Bagian New Jersey. Pembayaran berdasarkan DRGs diberlakukan untuk Program Medicare pada 1983 dan Program Medicaid pada 1984 (Adisasmito, 2008).

Sistem kesehatan di Amerika Serikat menerapkan sistem asuransi komersial, artinya masyarakat berhak memilih untuk menggunakan

Sistem kesehatan di Amerika Serikat menerapkan sistem asuransi komersial, artinya masyarakat berhak memilih untuk menggunakan asuransi atau tidak.

70 PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA

asuransi atau tidak. Hal ini menyebabkan biaya operasional kesehatan di Amerika Serikat semakin besar, premi meningkat setiap tahun, mutu pelayanan kesehatan diragukan, dan unnecessary utilization meningkat. Tingginya biaya kesehatan berdampak pada produk domestik bruto di Amerika Serikat (Trisnantoro L, 2014).

Berdasarkan The US Censuss Beureau 2009 tercatat sebanyak 16,9% dari total populasi penduduk Amerika Serikat tidak memiliki asuransi kesehatan (Trisnantoro L, 2014). Hal ini memicu pelaksanaan reformasi dalam sektor kesehatan. Pada 2010 dibuat kebijakan melalui Patient Protection Affordable Care Act (PPACC). Reformasi kesehatan tersebut tetap memberi kesempatan kepada asuransi kesehatan dan pemberi pelayanan kesehatan swasta untuk beroperasi dengan regulasi yang lebih ketat dan subsidi pemerintah yang lebih besar yang diperuntukkan bagi warga miskin. (Bhisma, 2010).

5.2.6. Inggris

Inggris memperkenalkan asuransi kesehatan nasional sejak tahun 1911 dan saat ini telah mencapai UHC. Sistemnya dikenal dengan National Health Service (NHS), yaitu suatu sistem kesehatan yang dikelola oleh pemerintah dan sebagian besar dananya bersumber dari pajak umum (tax-funded). NHS memberikan hampir semua jenis pelayanan kesehatan secara gratis, kecuali pembayaran obat yang diresepkan (prescription drug), pengobatan gigi, dan mata.

NHS melakukan efisiensi biaya yang bertujuan untuk memperbaiki pelayanan kesehatan. Inggris juga memberi kesempatan bagi warganya untuk membeli pelayanan kesehatan tambahan melalui asuransi swasta. Ada beberapa faktor yang memengaruhi Inggris bertransisi menuju UHC. Pertama, tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi sehingga meningkatkan kemampuan warga negara untuk membayar premi. Kedua, pertumbuhan sektor formal sehingga memudahkan pengumpulan kontribusi (revenue collection). Faktor selanjutnya adalah ketersediaan tenaga terampil dalam pengelolaan sistem asuransi kesehatan nasional, kemampuan pengumpulan (pooling) dana dan integrasi berbagai skema asuransi kesehatan, serta efektivitas regulasi pemerintah (WHO, 2005).

5.3. Pembiayaan Kesehatan di Indonesia

Pasal 28 H ayat (1) UUD NKRI Tahun 1945 menyatakan bahwa setiap penduduk berhak atas pelayanan kesehatan dan negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan bagi seluruh warga negaranya. Setiap warga negara berhak untuk memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang bermutu dengan biaya yang terjangkau. Untuk mencapai kondisi tersebut, dibutuhkan sistem pembiayaan kesehatan yang tepat.

NHS memberikan hampir semua

jenis pelayanan kesehatan secara

gratis, kecuali pembayaran obat yang diresepkan, pengobatan gigi,

dan mata.

71KEBIJAKAN DAN POTRET PEMBIAYAAN KESEHATAN

Pembiayaan kesehatan di Indonesia bertujuan untuk menyediakan pembiayaan kesehatan yang berkesinambungan dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil, dan termanfaatkan untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan. UU Kesehatan mengatur mandatory spending, yaitu sumber pembiayaan kesehatan yang berasal dari pemerintah pusat minimal 5% APBN di luar gaji, dan yang bersumber dari pemerintah daerah, minimal 10% APBD di luar gaji.

Sejak 2016 Pemerintah Pusat sudah memenuhi mandatory spending di bidang kesehatan, sebesar 5% dari APBN. Namun, muncul beberapa permasalahan, di antaranya adalah definisi dan peruntukan anggaran kesehatan dalam UU Kesehatan terlalu luas. Contohnya adalah adanya pengaturan mengenai sumber pembiayaan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah “diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan publik” minimal 2/3 (dua pertiga) dari anggaran kesehatan dalam APBN dan APBD, terutama bagi penduduk miskin, kelompok lanjut usia, dan anak terlantar. Hal ini menimbulkan potensi multi-interpretasi dan ruang pengalokasian belanja kesehatan menjadi tidak sesuai dengan peruntukan yang seharusnya. Tantangan lainnya adalah kompleksitas dalam perencanaan dan penganggaran sehingga menimbulkan kesulitan menghubungkan kinerja anggaran dan pencapaian pembangunan kesehatan. Hal ini menyebabkan pengalokasian anggaran kesehatan menjadi kurang efisien. Sampai saat ini pun belum terdapat perangkat peraturan yang sifatnya operasional dan dapat digunakan sebagai panduan dalam pengalokasian dan pemanfaatan anggaran sesuai dengan amanah yang telah ditetapkan.

5.3.1. Perjalanan Indonesia Menuju UHC

Sejak krisis ekonomi pada 1998 Indonesia mencapai pertumbuhan ekonomi yang cukup kuat dengan ruang fiskal yang berkembang. Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita terus meningkat dari US$ 780 pada 2000 menjadi US$ 3847 pada 2017. Indonesia menjadi kekuatan ekonomi terbesar keempat di Asia Timur dan ekonomi terbesar ke-15 di dunia berdasarkan paritas daya beli (World Bank, 2018). Indonesia juga bertujuan menjadi salah satu 10 (sepuluh) ekonomi global terbesar pada tahun 2025 (OECD, 2012).

Secara demografis, terjadi pergeseran pada populasi usia kerja dan usia lanjut yang relatif meningkat terhadap populasi lainnya. Proyeksi demografi dan epidemiologi serta pertumbuhan ekonomi memproyeksikan meningkatnya permintaan untuk perawatan kesehatan di Indonesia. Perubahan tersebut juga memengaruhi sistem kesehatan di Indonesia (Mahendradhata, Yodi, et all, 2017). Jadi, diperlukan suatu reformasi, reorientasi, dan revitalisasi pada pelayanan kesehatan.

Reformasi kebijakan pembangunan kesehatan di Indonesia telah dilakukan melalui Sistem Kesehatan Nasional (SKN). Salah satunya

Sejak 2016 Pemerintah Pusat sudah memenuhi mandatory spending di bidang kesehatan, sebesar 5% dari APBN.

72 PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA

adalah perubahan subsistem upaya kesehatan dan pembiayaan kesehatan (Gotama Indra, et al., 2010). Pembiayaan kesehatan yang kuat, stabil, dan berkesinambungan sangat berpengaruh terhadap penyelenggaraan pelayanan kesehatan guna mencapai tujuan penting pembangunan kesehatan di suatu negara, yakni pemerataan dalam pelayanan kesehatan dan akses (equitable access to health care) serta pelayanan yang berkualitas (assured quality).

Sebagai bentuk reformasi kesehatan dan untuk mewujudkan jaminan kesehatan bagi seluruh penduduk (UHC) sesuai amanat UUD 1945, dibentuklah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS). Berdasarkan UU tersebut, pemerintah meluncurkan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada awal 2014 dengan target UHC tercapai dalam waktu lima tahun. Perubahan tersebut juga memengaruhi program asurasi sosial bagi keluarga miskin dalam program Jaminan Sosial Masyarakat (Jamkesmas) karena harus diintegrasikan ke dalam sistem JKN. (Lihat Gambar 5.1)

Model pembayaran biaya pelayanan kesehatan dibedakan menjadi dua sistem, yaitu sistem kapitasi dan Indonesia Case Base Groups (INA CBGs). Sistem kapitasi diterapkan dalam sistem pembayaran ke Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP). Sistem kapitasi ini pernah diterapkan dalam program Jamkesmas, tetapi terdapat beberapa regulasi yang menyulitkan penggunaan dana kapitasi ini digunakan sepenuhnya untuk peningkatan kualitas layanan kesehatan, seperti dana kapitasi harus disetor ke kas daerah dan menjadi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Berdasarkan pengalaman tersebut, dalam pelaksanaan JKN beberapa regulasi disesuaikan untuk mengatur pengelolaan dana kapitasi yang dibayarkan langsung oleh BPJS Kesehatan kepada bendahara melalui rekening dana kapitasi di puskesmas sesuai dengan jumlah peserta yang terdaftar.

Gambar 5.1. Kerangka

Operasional Peta Jalan Jaminan

Kesehatan

DJSN. (2012). Peta Jalan Menuju Jaminan

Kesehatan Nasional 2012-2019.

73KEBIJAKAN DAN POTRET PEMBIAYAAN KESEHATAN

Penerapan Model Pembayaran INA-CBGs dilakukan untuk Fasilitas Kesehatan Rujukan Tungkat Lanjutan (FKRTL). Pada pelaksanaan Jamkesmas, pembayaran klaim tahun 2009 sampai dengan akhir 2010 dilakukan berdasarkan INA-DRGs, sedangkan pada akhir 2010 sampai sekarang dilakukan dengan menggunakan INA-CBGs yang merupakan pengembangan dari sistem Indonesia Diagnosis Related Group (INA-DRGs).

5.3.2. Defisit Pembiayaan JKN

Memasuki tahun ketujuh program JKN telah mencakup 223,4 juta jiwa atau 83% dari jumlah penduduk di Indonesia. Pemanfaatan program JKN juga terus mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan program JKN telah menjadi bagian dari sistem kesehatan nasional yang dibutuhkan masyarakat. Peningkatan jumlah peserta diikuti dengan naiknya biaya pelayanan kesehatan yang menjadi beban program JKN. Tercatat bahwa sejak 2015-2019, terdapat kenaikan biaya pelayanan kesehatan sebesar 107%, terutama pada pelayanan kesehatan tingkat lanjutan. Namun demikian, kenaikan biaya pelayanan tidak diimbangi dengan kenaikan jumlah pendapatan iuran. Pendapatan iuran yang diterima oleh BPJS Kesehatan lebih kecil dibandingkan biaya pelayanan sehingga terjadi defisit pembiayaan mencapai 15,5 T pada 2019 (Lihat Gambar 5.2).

Pemerintah telah melakukan berbagai upaya penanggulangan defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan dengan mengendalikan sisi pengeluaran DJS Kesehatan serta melakukan koreksi terhadap sisi penerimaan DJS Kesehatan melalui penerbitan sejumlah kebijakan, di antaranya penyesuaian besaran iuran program JKN sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020. Selain koreksi besaran iuran, untuk memastikan sustainabilitas pendanaan program diterapkan juga beberapa kebijakan perbaikan fundamental program JKN sehingga kondisi defisit dapat dihindarkan pada kemudian hari.

Pembiayaan kesehatan juga merupakan bagian yang penting dalam implementasi JKN. Menurut Miller (2007) tujuan dari pembiayaan

Gambar 5.2. Laporan Aktivitas Keuangan DJS Kesehatan 2015-2019

DJSN. (2012). Peta Jalan Menuju Jaminan Kesehatan Nasional 2012-2019.

74 PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA

kesehatan adalah mendorong peningkatan mutu, mendorong layanan berorientasi pasien, mendorong efisiensi tidak memberikan reward terhadap provider yang melakukan overtreatment, undertreatment, serta adverse event, dan mendorong pelayanan tim. Dengan sistem pembiayaan yang tepat diharapkan tujuan tersebut dapat tercapai.

5.3.3. Menciptakan Ruang Fiskal Lain dalam Pembiayaan Kesehatan di Indonesia

Salah satu strategi keberlanjutan JKN adalah menciptakan sumber pendapatan yang baru. Hal ini perlu mendapatkan perhatian lebih. Reprioritas bidang kesehatan dan efisiensi keuangan negara akan sangat dibutuhkan agar dapat secara efektif membiayai pencapaian UHC di Indonesia. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa kesehatan yang lebih baik tidak harus menunggu perekonomian membaik.

Langkah-langkah untuk mengurangi beban penyakit, menciptakan anak-anak yang lebih sehat, dan meningkatkan harapan hidup akan dengan sendirinya berkontribusi terhadap ekonomi yang lebih baik (Bloom and Canning, 2005). Pertumbuhan ekonomi di negara dengan pendapatan rendah dan menengah dapat disebabkan oleh keluaran kesehatan yang lebih baik sehingga sebuah penelitian menyimpulkan bahwa investasi di bidang kesehatan menghasilkan 9-20 kali lipat keuntungan investasi (Jamison, et al., 2013).

Pemerintah harus melaksanakan UU Kesehatan terkait mandatory spending yang harus dialokasikan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Selain itu, pilihan lainnya dapat dipertimbangkan dalam rangka mewujudkan kapasitas fiskal untuk mencapai UHC di Indonesia. Meskipun sumber dominan pembiayaan untuk BPJS berasal dari Pemerintah Pusat, di masa datang pemerintah daerah dan swasta diharapkan terlibat dalam pembiayaan JKN sehingga membantu menutup iuran dari kelompok non-PBI di sektor informal.

Menciptakan ruang fiskal dengan melibatkan peran swasta perlu terus dilakukan (public private partnership). Misalnya, salah satu sumber ruang fiskal yang spesifik untuk kesehatan adalah pinjaman dan hibah dari organisasi internasional, seperti The Global Fund for AIDS, Tuberculosis, and Malaria (GFATM) dan Aliansi GAVI. Selain itu, perpajakan alkohol dan konsumsi rokok bisa dialokasikan menjadi pendapatan langsung untuk anggaran kesehatan. Meskipun demikian, tampaknya masih terdapat kendala politik untuk pajak tembakau walaupun penelitian menunjukkan bahwa kenaikan 10% harga rokok bisa menurunkan konsumsi 3,5-6,1 persen dan pendapatan pemerintah dapat meningkatkan sebesar 6,7-9% dari pajak rokok (Depkes, 2004).

Penelitian terbaru menunjukkan

bahwa kesehatan yang lebih baik

tidak harus menunggu

perekonomian membaik.

75KEBIJAKAN DAN POTRET PEMBIAYAAN KESEHATAN

Thailand adalah contoh negara yang telah berhasil mengimplementasikan pajak yang diperuntukkan secara langsung untuk dana kegiatan promosi kesehatan. Pada tahun 2001 Thailand melembagakan Yayasan Promosi Kesehatan Thailand (ThaiHealth). Estimasi aliran pendapatan tahunan sebesar US$ 50 Juta didapat dari dana yang berasal langsung dari 2% pajak tembakau dan konsumsi alkohol (WHO, 2005). Contoh pajak lainnya yang dialokasikan untuk menciptakan ruang fiskal untuk kesehatan dilakukan oleh Ghana dan Zimbabwe. Sebesar 2,5% dari PPN di Ghana digunakan untuk membantu pembayaran program asuransi kesehatan nasional. Zimbabwe menambah pungutan sebesar 3% atas penghasilan pribadi dan pajak perusahaan untuk membantu pembiayaan intervensi terkait AIDS.

5.3.4. Redefinisi KDK dan Kelas Standar dalam Program JKN

Perbaikan fundamental dalam program JKN terkait erat dengan pembenahan tata kelola program JKN, baik secara pengorganisasian penyelenggara program, penyediaan fasilitas kesehatan serta pemenuhan sarana prasarana, penerapan standar pelayanan kesehatan, standardisasi manfaat kelas rawat inap, maupun perbaikan rancangan manfaat program agar sesuai dengan Kebutuhan Dasar Kesehatan (KDK) peserta.

Dalam suatu sistem asuransi sosial, karena terbatasnya sumber pendanaan yang berasal dari pendapatan iuran peserta, perlu ada batasan terhadap biaya pelayanan kesehatan yang dapat ditanggung. UU SJSN mengamanatkan bahwa batasan manfaat yang ditanggung oleh program jaminan sosial kesehatan adalah pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk memenuhi KDK peserta.

Gambar 5.3. Laporan WHO tentang Epidemi Tembakau Global, 2008

World Health Organization. (2010). The World Health Report-Health Systems Financing: The Path to Universal Coverage. Available: http://www.who.int/whr/en/index.html.

76 PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA

Namun demikian, manfaat program JKN saat ini belum sepenuhnya sesuai dengan prinsip pemenuhan KDK. Dengan perkembangan situasi penyakit di Indonesia dan kondisi pendanaan program JKN, manfaat yang ada perlu ditinjau kembali dengan menerapkan prinsip pemenuhan KDK peserta. Kementerian Kesehatan dan DJSN memulai kajian terkait dengan KDK dan Kelas Standar di pertengahan 2020 dan segera menyusun strategi pelaksanaan.

Mengacu pada Perpres No. 72 Tahun 2012 Tentang Sistem Kesehatan Nasional, penentuan pelayanan kesehatan dasar merujuk pada kategori pelayanan kesehatan, yaitu pelayanan kesehatan masyarakat dan perorangan. Pelayanan dasar diatur dalam PP No. 2 Tahun 2018 Tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) dengan lingkup pelayanan yang telah diatur dalam Permenkes No. 4 Tahun 2019 tentang Standar Teknis Pemenuhan Mutu Pelayanan Dasar pada Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan yang memuat jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan Pemerintah Wajib yang berhak diperoleh setiap warga negara. Penerapan SPM bidang kesehatan tidak dapat terpisah dengan penyelenggaraan program JKN. Penekanan SPM bidang kesehatan berfokus pada pelayanan promotif dan preventif, sementara program JKN mendukung pelayanan promotif dan preventif serta menitikberatkan pelayanan kuratif dan rehabilitatif.

5.4. Pembiayaan Kesehatan saat Pandemi COVID-19

Keadaan menjadi semakin pelik karena ketika penulis menuliskan bab ini dunia tengah dilanda pandemik COVID-19, tak terkecuali Indonesia. Indonesia dan seluruh negara tengah berjuang melawan COVID-19. Tidak mudah bagi Indonesia untuk menghadapi pandemi ini. Jika dilihat dari grafik, angkanya terus meningkat dengan tajam. Positivity rate COVID-19 Indonesia terus mengalami peningkatan selama enam bulan terakhir, bahkan persentasenya mencapai tiga kali lipat daripada yang direkomendasikan WHO. Beberapa negara mengambil langkah cepat dengan memberikan suntikan stimulus ekonomi melawan penyebaran COVID-19, termasuk Indonesia.

Presiden Jokowi menambah alokasi belanja dan pembiayaan dalam APBN TA 2020 sebesar Rp686,20 Triliun untuk stimulus fiskal penanganan COVID-19. Dari total anggaran tersebut, sebanyak Rp598,65 Triliun merupakan biaya Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), dan Rp87,55 Triliun untuk bidang kesehatan yang terdistribusi ke beberapa K/L. Seluruh APBN difokuskan untuk mengurangi tekanan berat di kuartal II–III 2020. Diharapkan pada kuartal IV 2020 terjadi pemulihan atau pengurangan tekanan. Dengan demikian, masyarakat, dunia usaha, dan daerah bisa melakukan pemulihan kegiatan ekonominya setelah terkena dampak COVID-19. Namun sampai kuartal IV 2020, Indonesia justru dinyatakan resesi karena terjadi penurunan ekonomi secara negatif sampai dua kali berturut-

Penerapan SPM bidang kesehatan

tidak dapat terpisah dengan

penyelenggaraan program JKN.

77KEBIJAKAN DAN POTRET PEMBIAYAAN KESEHATAN

turut. Meskipun demikian, angka negatif tersebut mengalami perbaikan pada kuartal terkahir di tahun 2020.

Keputusan Menteri Keuangan No: 6/KM.7/2020 tentang Penyaluran Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik Bidang Kesehatan dan Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) dalam rangka pencegahan dan/atau Penanganan COVID-19 merekomendasikan daerah untuk menggunakan DAK Fisik dan Non-fisik untuk pencegahan dan/atau penanganan COVID-19 melalui revisi rencana kegiatan. Namun dalam hal lainnya, jika penanganan COVID-19 menggunakan DAK Fisik, ini akan menyebabkan perubahan pada rencana kegiatan yang telah disusun sebelumnya. Hal ini akan dapat berpotensi mengganggu kegiatan di bidang pelayanan kesehatan dasar, pelayanan kesehatan rujukan, dan penguatan intervensi stunting di daerah yang menjadi program Prioritas Nasional 2020.

Pemerintah merasa perlu segera mengambil kebijakan dan langkah luar biasa dalam rangka penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional. Fokusnya adalah pada belanja untuk kesehatan, Jaring Pengaman Sosial (Social Safety Net), dan pemulihan perekonomian, termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak, serta menjaga stabilitas sektor keuangan melalui PERPPU. Diperlukan penyesuaian besaran defisit anggaran yang melampaui 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Oleh karena itu, perlu relaksasi kebijakan defisit APBN di atas 3% untuk tiga tahun (pada 2020, 2021, dan 2022). Setelah itu kembali ke disiplin fiskal maksimal defisit 3% mulai 2023. Jumlah pinjaman yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan relaksasi defisit tersebut dibatasi maksimal 60% dari PDB. Dengan berlakunya PERPPU ini, besaran belanja wajib (mandatory spending) yang terdapat dalam berbagai undang-undang dapat disesuaikan oleh Pemerintah, antara lain: 1. Anggaran kesehatan sebesar 5% dari APBN di luar gaji, yang

diatur dalam UU Kesehatan;2. Anggaran untuk desa yang bersumber dari APBN sebesar 10%

dari dan di luar Dana Transfer Daerah (DTD) yang diatur dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa; dan

3. Besaran Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap Pendapatan Dalam Negeri Bersih sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah.

Pemerintah tetap melakukan upaya menjaga pengelolaan fiskal secara hati-hati melalui refocusing dan realokasi belanja untuk penanganan COVID-19, melakukan penghematan belanja (belanja K/L dan TKDD) tidak prioritas sesuai dengan perubahan kondisi pada 2020.

Pemerintah merasa perlu segera mengambil kebijakan dan langkah luar biasa dalam rangka penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional.

78 PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA

5.5. Penutup

Pandemi ini merupakan sesuatu yang tidak pasti (uncertainty), bersifat turbulensi, bahkan terlihat samar. Pandemi tidak hanya merusak derajat kesehatan bangsa, tetapi juga meluluhlantahkan tatanan ekonomi bangsa.

Stimulus anggaran penanganan COVID-19 yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan RI telah menghabiskan hampir setengah dari APBN TA 2020. Kondisi ini semakin membuktikan bahwa sistem ketahanan kesehatan Indonesia masih belum kuat. Berdasarkan hal tersebut, kemudian muncul suatu pertanyaan apakah sesungguhnya selama ini tidak terjadi reformasi dasar pada sektor kesehatan di Indonesia.

Reformasi kesehatan bertujuan untuk peningkatan efisiensi, peningkatan kualitas pelayanan kesehatan, pemerataan pelayanan kesehatan, serta mencari inovasi atau sumber pembiayaan baru dalam pelayanan kesehatan. Reformasi menyeluruh program jaminan kesehatan dirasakan krusial karena peraturan pelaksanaan yang berlaku masih bersifat parsial dan tumpang-tindih dan manfaat program yang belum optimal. Diharapkan upaya pemerintah dalam meredefinisi KDK dan Kelas Standar yang akan memulai perencanaan sarana dan prasarana pada 2021 dan akan diimplementasikan pada 2022 dapat memperkuat sistem kesehatan di Indonesia.

Daftar Pustaka

Agustina, Rina. (2019). Universal Health Coverage in Indonesia: Concept, Progress, and Challenges. The Lancet, 393(10166), pp. 75–102.

Adisasmito, Wiku. (2008). Kebijakan Standar Pelayanan Medik dan Diagnosis Related Group (DRG), Kelayakan Penerapannya di Indonesia. Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Bloom, D.E. and D. Canning. (2005). Health and Economic Growth: Reconciling the Micro and Macro Evidence. CDDRL Working Paper No. 42. Available: http://iis-db.stanford.edu/pubs/20924/BloomCanning_42.pdf Accessed 1 Agustus 2020.

Chongsuvivatwong, Virasakdi. (2011). Health and Health-Care Systems in Southeast Asia: Diversity and Transitions. The Lancet.

Darmawan, Ede Surya. (2009). Obama’s Health Reform. Available: http://staff.ui.ac.id/system/files/users/edesurya/material/obamashealthreform.pdf .

Reformasi menyeluruh

program jaminan kesehatan

dirasakan krusial karena peraturan

pelaksanaan yang berlaku masih bersifat parsial dan tumpang-

tindih dan manfaat program

yang belum optimal.

79KEBIJAKAN DAN POTRET PEMBIAYAAN KESEHATAN

Depkes. (2004). Fakta Tembakau Indonesia: Data Empiris untuk Strategi Nasional Penanggulangan Masalah Tembakau. Jakarta: Author.

Fukawa, Tetsuo. (2002). Public Health Insurance in Japan. Washington: World Bank Institute.

Gottret P, and Schieber G. (2006). Health Financing Revisited: A Practitioner’s Guide. Available: http://siteresources.worldbank.org/INTHSD/Resources/topics/HealthFinancing/HFRFull.pdf.

Global Burden of Disease Health Financing Collaborator Network. (2018). Trends in Future Health Financing and Coverage: Future Health Spending and Universal Health Coverage In 188 Countries. The Lancet 2018; 391: 1783–98

Gotama, Indra. (2010). Reformasi Jaminan Sosial Kesehatan (Isu-Isu Kesehatan & Jaminan Kesehatan). Jakarta: Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Depkes RI.

Ikegami, Naoki. (2004). Japan’s Health Care System: Containing Costs and Attempting Reform. Health Affairs.

Indrayathi PA. (2016). Bahan Ajar Pembiayaan Kesehatan di Berbagai Negara. Denpasar: Program Studi Kesehatan Masyarakat Udayana.

Jaafar, Safurah Noh. (2013). Malaysia Health System Review. Health System in Transation Vol 3 No1.

Jamison, Dean. (2013). Global Health 2035: A World Converging within A Generation. Available: https://www.thelancet.com/article/S0140-6736(13)62105-4/fulltext.

Maeda, Akiko. (2014). Universal Health Coverage for Inclusive and Sustainable Development: A Synthesis of 11 Country Case Studies. Washington D.C: World Bank Publications

Mahendradhata, Y., Trisnantoro, L., Listyadewi, S., Soewondo, P., Marthias, T., Harimurti, P., and Prawira, J. (2017). The Republic of Indonesia Health System Review. Health Systems in Transition Vol. 7 No. 1 2017.

Murti, Bhisma. (2010). Strategi untuk Mencapai Cakupan Universal Pelayanan Kesehatan di Indonesia. fk.uns.ac.id/index.php/download/file/36.

OECD. (2015). Health at a Glance 2015: OECD Indicators. Paris: OECD Publishing. Available: http://dx.doi.org/10.1787/health_glance-2015-en.

80 PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA

Pear, Robert. (2012). Health Law Critics Prepare to Battle over Insurance Exchange Subsidies. Available: http://www.nytimes.com/2012/07/08/.

PT. (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia. (1997). Program Jaminan Kesehatan Bagi Peserta Wajib. Jakarta. Available: http://repository.usu.ac.id/bitstream/ 123456789/31023/3/Chapter%20II.pdf.

Pernando, Anggara. (2015). Ini Beda Jaminan Kesehatan Nasional RI dan Jepang. Ampshare Article.

Purwoko, Bambang. (2014). Sistem Jaminan Sosial di Malaysia: Suatu Tata Kelola Penyelenggaraan Program yang Berbasis pada Pelembagaan yang Terpisah. E-Journal Widya Ekonomika. ISSN 2338-7807. Vol 1 No 1. 2014.

Rachel Lu, Jui-fen. (2014). Universal Health Coverage Assessment Taiwan. Available: http://gnhe.org/blog/wp-content/uploads/2015/05/GNHE-UHC-assessment_Taiwan-1.pdf.

Setyawan Budi. (2018). Health Financing System. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang. Vol 2 No 4.

Trisnantoro, Laksono. (2014). Universal Health Coverage and Medical Industry in 3 Southeast Asian Countries. Available: https://www.researchgate.net/publication/274896095.

Vicini, James; Stempel, Jonathan. (2012). US Top Court Upholds Healthcare Law in Obama Triumph. Available http://www.reuters.com/article/usa-healthcare-court-idUSL2E8HS4WG20120628.

World Health Organization. (2005). Achieving Universal Health Coverage: Developing the Health Financing System. Technical Brief for Policy-Makers. Number 1, 2005. World Health Organization, Department of Health Systems Financing, Health Financing Policy.

World Health Organization. (2010). The World Health Report-Health Systems Financing: The Path to Universal Coverage. Available: http://www.who.int/whr/en/index.html.

Yeh, Ching-chuan. Access and Cost: What the U.S. Health Care System Can Learn from Other Countries. Available: https://www.help.senate.gov/imo/media/doc/Yeh1.pdf.

81PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA

GLOSARIUM

Activity Based Costing : Metodologi akuntasi biaya yang menghitung semua biaya kegiatan yang ada untuk mendukung terlaksananya suatu program.

Akses : Kemampuan untuk mendapatkan paket layanan kesehatan dengan kualitas tertentu, dengan menimbang kemampuan finansial individu serta memproses informasi kesehatan.

Anggaran : Bagian dari APBN yang dialokasikan untuk sektor kesehatan yang melibatkan semua kementerian dan lembaga terkait.

Asuradur : Perusahaan asuransi jiwa yang memberikan pertanggungan dan mengadakan perjanjian tanggung-menanggung dengan pemegang polis.

Asuransi Kesehatan : Suatu instrumen sosial yang ditujukan untuk mengartikulasikan prinsip gotong royong atau solidaritas masyarakat dalam bidang pelayanan kesehatan.

Biaya Pelayanan Kedokteran

: Dana yang dikeluarkan untuk pengobatan dan pemulihan kesehatan pasien.

Biaya Kesehatan : Sejumlah dana yang perlu disiapkan dalam menyelenggarakan dan atau memanfaatkan pelayanan kesehatan untuk memenuhi kebutuhan individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat.

BPJS Kesehatan : Administrator dari Jaminan Kesehatan Nasional yang mengumpulkan kontribusi dari pemerintah, perusahaan swasta, dan rumah tangga menjadi satu kumpulan nasional dan membeli layanan kesehatan dari penyedia publik dan swasta.

Diagnostic Related : Cara pembayaran dengan biaya satuan per diagnosis.Efektif : Dapat memberi hasil; berhasil guna.Efektivitas : Pencapaian target atau outcome dari suatu kegiatan atau intervensi

kesehatan sesuai dengan apa yang direncanakan.Efisiensi : Kemampuan mencapai target dengan baik dan tepat dengan tidak

membuang waktu, tenaga, dan biaya.Ekuitas : Kondisi atau keadaan yang adil, tidak parsial, dan fair.Fee for Services : Metode pembayaran jasa ditetapkan setelah pelayanan kesehatan

yang diberikan.Flat Rate : Besaran biaya per episode ketika sakit bersifat tetap.Health Maintenance Organization

: Organisasi pelayanan kesehatan yang bersifat pre-paid (dibayar di muka), bertanggung jawab memberikan pelayanan kesehatan komprehensif (preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif) terhadap populasi tertentu yang telah terdaftar sebagai peserta dengan membayar sejumlah uang yang dihitung berdasarkan kapitasi atau per bulan per orang.

Inflasi : Kemerosotan nilai uang karena banyak dan cepatnya uang beredar sehingga menyebabkan kenaikan harga barang.

82 PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA

Jaminan Kesehatan Nasional

: Reformasi pembiayaan kesehatan yang berupaya mengatasi tiga pilar pembiayaan kesehatan, yakni pengumpulan pendapatan, penggabungan, dan pembelian.

Kapitasi : Sistem pembayaran di muka per bulan kepada FKTP berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan.

Kebutuhan : Seluruh pengeluaran yang diperlukan untuk menghasilkan peningkatan kesehatan secara maksimal.

Medicaid OASDI : Sistem asuransi bagi masyarakat miskin yang dijalankan oleh Pemerintah Federal dan Negara Bagian.

Medicare : Sistem asuransi bagi usia lanjut, penderita cacat, dan penderita gagal ginjal yang dijalankan oleh Pemerintah Federal.

Medium Term Expenditure Framework

: Kerangka penganggaran jangka menengah yang bersifat komprehensif, dengan lembaga pemerintah yang dapat menghubungkan seluruh rencana pengeluaran dengan kebijakan prioritas dalam kerangka fiskal (terkait dengan kondisi ekonomi makro dan perkiraan pendapatan negara) yang biasanya disusun untuk tiga tahun.

Missing Middle : Jumlah orang yang sedikit terdaftar di UHC dengan kuintil kekayaan Q2-Q3 dibandingkan orang di kuintil lainnya.

Out of Pocket : Besaran dana yang digunakan oleh pemakai jasa pelayanan kesehatan berasal dari kantong pribadi individu.

Pengeluaran Katastropik : Pengeluaran medis dari rumah tangga melebihi 10% dari total pengeluaran rumah tangga.

Pengumpulan Pendapatan : Fungsi yang merujuk pada bagaimana negara mengumpulkan dan memobilisasi dana.

Ratio of Cost to Charges : Penetapan biaya khusus untuk industri kesehatan.Skema Asuransi Sosial : Suatu program asuransi yang hanya ditujukan untuk masyarakat

miskin atau kurang mampu.Skema Pembiayaan Pelayanan Kesehatan

: Komponen struktural dari sistem pembiayaan pelayanan kesehatan, yakni pengaturan pembiayaan sehingga seseorang mampu memperoleh pelayanan kesehatan.

Time Driven Activity Based Costing

: Perhitungan biaya berdasarkan aktivitas yang mengatasi beberapa kelemahan pada metode Activity Based Costing (ABC).

Tobit : Model yang mengestimasi pengaruh faktor lingkungan terhadap skor efisiensi.

Traditional Costing : Metodologi akuntansi biaya yang menghitung biaya keseluruhan pada suatu program dengan tingkat persentase tertentu.

Universal Health Coverage : Sistem kesehatan yang memastikan setiap warga dalam populasi memiliki akses yang adil terhadap pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif bermutu dengan biaya terjangkau.

83PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA

Tentang Penulis

Ery Setiawan, S.K.M., M.E., A.A.A.K. Mendapatkan gelar kesarjanaan dari Fakultas Kesehatan Masyarakat, dan master di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia. Ery berpengalaman melakukan berbagai penelitian kesehatan, khususnya pada area evaluasi ekonomi kesehatan (cost of illness study, cost of treatment, HTA) penguatan sistem kesehatan dan advokasi pembiayaan kesehatan. Ery juga aktif mendukung Kementerian Kesehatan khususnya dalam hal perencanaan dan pembiayaan kesehatan untuk beberapa program prioritas seperti HIV, TB, dan malaria.

Fitriana Yuliawati, S.K.M., M. Kes. Tenaga Ahli Komisi IX DPR RI di bidang kesehatan dan analis di Bower Group Asia Indonesia. Fitriana berpengalaman melakukan riset, analisis kebijakan pemerintah, serta ahli merancang berbagai UU di bidang kesehatan. Fitriana pernah menjadi program manajer di beberapa Civil Society Organization yang bergerak di bidang sosial, humanitarian, dan kesehatan reproduksi.

Dr. Adiatma Y.M Siregar, S.E., M. Econ. St. Alumnus Universitas Padjadjaran Bandung, Queensland University, dan Radboud University ini kini mengajar dan menjadi peneliti di Center for Economics and Development Studies (CEDS), Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran. Latar belakang keilmuan Adiatma ialah ilmu ekonomi, dengan fokus ekonomi kesehatan. Adiatma mendalami analisis evaluasi ekonomi terkait isu HIV dan AIDS, pemberian ASI, dan kesehatan jiwa.

dr. Giovanni van Empel, M.Sc. Dosen di Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Mendapatkan gelar dokter dari UGM Yogyakarta, dan Master of Science in Health Economics dari University of York, UK. Giovanni meminati riset yang menggunakan mikroekonometrika terapan untuk memahami hubungan kausalitas di isu seputar faktor supply dalam layanan kesehatan. Saat ini tengah mendalami studi doktoral bidang Ekonomika Kesehatan di Centre for Health Economics, Monash University, Australia.

Estro Dariatno Sihaloho, S.E., M.Si. Dosen dan peneliti di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Padjadjaran. Mendapatkan gelar sarjana dan magister sains dari Jurusan Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran. Estro aktif melakukan berbagai penelitian di bidang Ekonomi Kesehatan pada Center for Economics and Development Studies (CEDS) Universitas Padjadjaran.

84 PEMBIAYAAN KESEHATAN: KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA

Dr. Haerawati Idris, S.K.M., M. Kes. Peneliti di Fakultas kesehatan Masyarakat, Universitas Sriwijaya. Mendapatkan gelar sarjana dan magister ilmu kesehatan masyarakat dari Universitas Hasanuddin, dan doktor di bidang ilmu kedokteran dan ksehatan dai UGM Yogyakarta. Minat penelitian di bidang manajemen kesehatan, ekonomi kesehatan, kebijakan kesehatan dan mutu layanan kesehatan. Editor in chief Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat. Haerawati juga terlibat dalam tim pendampingan perencanaan tata kelola kesehatan bekerjasama dengan Biro Perencanaan Kementerian Kesehatan RI.

SERI EKONOMI KESEHATAN

United States Agency forInternational Development (USAID)Jalan Medan Merdeka Selatan No. 3-5Jakarta Pusat 10110

Buku IPENGANTAR EKONOMI KESEHATAN

Kementerian Kesehatan Republik IndonesiaJalan H. R. Rasuna Said No. Kav 4-9Kuningan, Jakarta Selatan, 12950

Abdillah Ahsan, dkk.

Buku IIPEMBIAYAAN KESEHATAN:KONSEP DAN BEST PRACTICESDI INDONESIA

Adiatma YM Siregar, dkk.

Buku VAKUN KESEHATAN NASIONAL

Prastuti Soewondo, dkk.

Buku IVEVALUASI EKONOMI DAN PENILAIAN TEKNOLOGI KESEHATAN:KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIAAyunda Dewi Jayanti Jilan Putri, dkk.

Buku VIMANAJEMEN KEUANGAN DANAKUNTANSI DALAM EKONOMIKESEHATAN

Anedya Niedar, dkk.

Buku IIIBELANJA KESEHATAN STRATEGIS:KONSEP DAN BEST PRACTICESDI INDONESIA

Ackhmad Afflazir, dkk.

ISBN 978-623-301-246-1

PENGANTAREKONOMIKESEHATAN

SE

RI E

KO

NO

MI K

ES

EH

ATA

NB

UK

U I

BELANJA KESEHATAN STRATEGISKONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA

BU

KU

III

SE

RI E

KO

NO

MI K

ES

EH

ATA

N

EVALUASI EKONOMIDAN PENILAIAN TEKNOLOGI KESEHATANKONSEP DAN BEST PRACTICES TERBAIK DI INDONESIAS

ER

IAL

MO

DU

L E

KO

NO

MI K

ES

EH

ATA

NS

ER

I IV

AKUN KESEHATANNASIONALS

ER

IAL

MO

DU

L E

KO

NO

MI K

ES

EH

ATA

NB

UK

U V

MANAJEMEN KEUANGAN DAN AKUNTANSI DALAM EKONOMI KESEHATAN

SE

RIA

L M

OD

UL

EK

ON

OM

I KE

SE

HA

TAN

BU

KU

VI

KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA

PEMBIAYAANKESEHATAN

SE

RI E

KO

NO

MI K

ES

EH

ATA

NB

UK

U II