Pembelajaran biologi berbasis komputer dan internet
-
Upload
iaincirebon -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of Pembelajaran biologi berbasis komputer dan internet
DESAIN MODEL PEMBELAJARAN MULTIMEDIA
UTS
Mata kuliah: Pembelajaran Biologi Berbasis Komputer dan Internet
Dosen pengampu: Ipin Arifin, M. Pd
Disusun oleh
Nunik Nurlatipah (14111610038)
Biologi A/VI
KEMENTRIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH NURJATI CIREBON
2014
1. DESAIN PEMBELAJARAN
A. Model ADDIE
Model ADDIE adalah model yang mudah diterapkan di
mana proses yang digunakan bersifat sistematis dengan
kerangka kerja yang jelas menghasilkan produk yang
efektif, kreatif, dan efisien. Model ADDIE memiliki lima
langkah pembelajaran yaitu analyze, design, develop,
implement, dan evaluate. Model ADDIE adalah desain/model
pembelajaran yang dapat memfasilitasi siswa dalam
mengembangkan proses sains, bersifat kooperatif,
fleksibel, menyesuaikan dengan lingkungan belajar yang
berorientasikan pada struktur implementasi. Pandangan
dari teori konstruktivis tentang desain sistem pengajaran
sering dinyatakan melalui model pembelajaran ADDIE,
(Anonim, 2013:
http://mediafunia.blogspot.com/2013/01/model-pembe
lajaran -addie.html).
ADDIE muncul pada tahun 1990-an yang dikembangkan
oleh Reiser dan Mollenda.Salah satu fungsinya ADIDE yaitu
menjadi pedoman dalam membangun perangkat dan
infrastruktur program pelatihan yang efektif, dinamis dan
mendukung kinerja pelatihan itu sendiri. Pembelajaran
model addie merupakan pembelajaran yang efektif dan
efesien serta prosesnya bersifat interaktif, dimana hasil
evaluasi setiapa fase dapat membawa pengembangan
pembelajaran ke fase sebelumnya. Hasil akhir dari suatu
fase merupakan produk awal bagi fase berikutnya,
(Purwaji, 2012:
http://purwajismk1ktb.blogspot.com/2012/11/makalah-
desain-pembelajaran-model-addie.html).
Model pembelajaran ADDIE menganut teori model
desain sistem instruksional karena model ini merupakan
model yang bersifat sistematis. Menurut Gustafson &
Branch (dalam Akubulut, 2007), desain instruksional
merupakan sebuah sistem prosedur dalam program
pengembangan pendidikan dan pengajaran yang bersifat
konsisten dan reliabel. Definisi ringkas dari model
instruksional adalah cabang desain pembelajaran yang
menekankan pada teori dan praktek melalui pengembangan
prosedur yang sistematis. Rancangan instruksional dapat
ditunjukkan oleh beberapa prinsip antara lain:
kedisiplinan, termasuk psikologi pendidikan, ilmu
pengetahuan kognitif, teori sistem, komunikasi, filosofi,
antropologi, dan teori organisasi (Molenda, 2003).
Pembelajaran yang efektif dimulai dari perencanaan yang
efektif pula. Desain instruksional menyediakan proses
yang sistematis untuk merencanakan proses pembelajaran.
Sistem instruksional merupakan susunan sumber dan
prosedur dalam memajukan hasil belajar, (Anonim, 2013:
http://mediafunia. blogspot.com/2013/01/model-
pembelajaran-addie.html).
Metode pengajaran yang dilaksanakan dalam model
ADDIE meliputi melaksanakan studi kasus, diskusi
pemikiran kritis, pembelajaran berbasis masalah, proyek
laboratorium, inkuiri terbimbing. Banathy (dalam
Akubulut, 2007) menyatakan sistem pada model ADDIE
merupakan satu kesatuan yang terintegrasi dari setiap
elemen yang berinteraksi satu sama lain. Sistem memiliki:
(1) saling bergantung satu sama lain, artinya tidak ada
unsur-unsur yang terpisah dari sistem, (2) synergistic,
artinya semua unsur dapat memberikan hasil yang lebih
baik dibandingkan unsur tersebut berjalan sendiri-
sendiri, (3) dinamis, artinya sistem dapat berubah
mengikuti kondisi lingkungan, dan (4) cybernetic, artinya
unsur-unsur melakukan komunikasi secara efisien, (Anonim,
2013: http://mediafunia. blogspot.com/2013/01/model-
pembelajaran-addie.html).
Langkah-langkah Model ADDIE dalam pembelajaran
1. Langkah 1: Analisis (analysis)
Tahap analisis merupakan suatu proses
mendefinisikan apa yang akan dipelajari oleh peserta
belajar, yaitu melakukan needs assessment (analisis
kebutuhan), mengidentifikasi masalah (kebutuhan), dan
melakukan analisis tugas (task analysis). Oleh karena
itu, output yang akan kita hasilkan adalah berupa
karakteristik atau profile calon peserta belajar,
identifikasi kesenjangan, identifikasi kebutuhan dan
analisis tugas yang rinci didasarkan atas kebutuhan.
2. Langkah 2: Desain (Design)
Tahap ini dikenal juga dengan istilah membuat
rancangan (blue-print). Ibarat bangunan, maka sebelum
dibangun gambar rancang bangun (blue-print) diatas
kertas harus ada terlebih dahulu. Apa yang kita lakukan
dalam tahap desain ini? Pertama merumuskan tujuan
pembelajaran yang SMAR (spesifik, measurable,
applicable, dan realistic).Selanjutnya menyusun tes ,
dimana tes tersebut harus didasarkan pada tujuan
pembelajaran yag telah dirumuskan tadi. Kemudian
tentukanlah strategi pembelajaran yang tepat harusnya
seperti apa untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam hal
ini ada banyak pilihan kombinasi metode dan media yang
dapat kita pilih dan tentukan yang paling relevan.
Disamping itu, pertimbangkan pula sumber-sumber
pendukung lain, semisal sumber belajar yang relevan,
lingkungan belajar yang seperti apa seharusnya, dan
lain-lain. Semua itu tertuang dalam sautu dokumen
bernama blue-print yang jelas dan rinci.
3. Langkah 3: Pengembangan (Development)
Pengembangan adalah proses mewujudkan blue-print
alias desain tadi menjadi kenyataan. Artinya, jika
dalam desain diperlukan suatu software berupa
multimedia pembelajaran, maka multimedia tersebut harus
dikembangkan. Atau diperlukan modul cetak, maka modul
tersebut perlu dikembangkan. Begitu pula halnya dengan
lingkungan belajar lain yang akan mendukung proses
pembelajaran semuanya harus disiapkan dalam tahap ini.
Satu langkah penting dalam tahap pengembangan adalah
uji coba sebelum diimplementasikan. Tahap uji coba ini
memang merupakan bagian dari salah satu langkah ADDIE,
yaitu evaluasi. Lebih tepatnya evaluasi formatif,
karena hasilnya digunakan untuk memperbaiki sistem
pembelajaran yang sedang kita kembangkan.
4. Langkah 4: Implementasi (Implementation)
Implementasi adalah langkah nyata untuk menerapkan
sistem pembelajaran yang sedang kita buat. Artinya,
pada tahap ini semua yang telah dikembangkan diinstal
atau diset sedemikian rupa sesuai dengan peran atau
fungsinya agar bisa diimplementasikan. Misal, jika
memerlukan software tertentu maka software tersebut
harus sudah diinstal. Jika penataan lingkungan harus
tertentu, maka lingkungan atau seting tertentu tersebut
juga harus ditata. Barulah diimplementasikan sesuai
skenario atau desain awal.
5. Langkah 5: Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi adalah proses untuk melihat apakah sistem
pembelajaran yang sedang dibangun berhasil, sesuai
dengan harapan awal atau tidak. Sebenarnya tahap
evaluasi bisa terjadi pada setiap empat tahap di atas.
Evaluasi yang terjadi pada setiap empat tahap diatas
itu dinamakan evaluasi formatif, karena tujuannya untuk
kebutuhan revisi. Misal, pada tahap rancangan, mungkin
kita memerlukan salah satu bentuk evaluasi formatif
misalnya review ahli untuk memberikan input terhadap
rancangan yang sedang kita buat. Pada tahap
pengembangan, mungkin perlu uji coba dari produk yang
kita kembangkan atau mungkin perlu evaluasi kelompok
kecil dan lain-lain.
Dengan adanya model instruksional berdasarkan ADDIE
ini, jelas sangat membantu pengembangan material dan
program pelatihan yang tepat sasaran, efektif, maupun
dinamis. Aplikasi teori SDM maupun perilaku seperti social
learning, pembelajaran aktif (active learning), pembelajaran
jarak jauh (distance learning), paham konstruktif
(constructivism), aliran strength based (positive-based
management), aliran perilaku manusia (behaviourism), maupun
paham kognitif (cognitivism) akan sangat membantu
pengembangan material pelatihan bagi instruktur.
Dan bila diamati secara teliti ADDIE ini mempunyai
sifat pendekatan Teknologi Pendidikan, yaitu:
1. Pendekatan isomorfi, yaitu yang mengunakan berbagai
kajian atau bidang keilmuan kedalam suatu kebulatan
tersendiri
2. Pendekatan sistematik . yaitu cara yang berurutan dan
terarah dalam usaha memecahkan persoalan, yaitu
berawal dari analisis dan diakhiri dengan evaluasi
dan begitu seterusnya.
3. Pendekatan sinergistik, yaitu yang menjamin adanya
nilai tambah dari keseluruhan kegiatan dibanding
dengan bila kegiatan itu dijalankan sendiri- sendiri.
4. Sistemik, yaitu pengkajian secara menyeluruh (satu
kesatuan)
B. Model ASSURE
ASSURE model adalah salah satu petunjuk dan
perencanaan yang bisa membantu untuk bagaimana cara
merencanakan, mengidentifikasi, menentukan tujuan,
memilih metode dan bahan, serta evaluasi. Model assure
ini merupakan rujukan bagi pendidik dalam membelajarkan
peserta didik dalam pembelajaran yang direncanakan dan
disusun secara sistematis dengan mengintegrasikan
teknologi dan media sehingga pembelajaran menjadi lebih
efektif dan bermakna bagi peserta didik. Pembelajaran
dengan menggunakan ASSURE Model mempunyai beberapa
tahapan yang dapat membantu terwujudnya pembelajaran yang
efektif dan bermakan bagi peserta didik, (Amanah, 2011:
http://amanahtp.wordpress.com/2011/11/28/model-
pembelajaran-assure-menciptakan-pengalaman-belajar/).
Tahapan model ASSURE :
1. Analisis Siswa
Tahap pertama dalam perencanaan pembelajaran
adalah mengidentifikasi dan menganalisis karakteristik
siswa yang di asosiasikan dengan hasil belajar.
Informasi tersebut akan membimbing keputusan anda dalam
membuat desain pembelajaran. Hal yang perlu
dipertimbangkan selama analisis siswa termasuk:
a. Kerakteristik siswa
b. Kopetensi khusus (pengetahuan, kecakapan, dan
perilaku seputar topik)
c. Gaya belajar
2. Menetapkan Standar Dan Tujuan
Langkah berikutnya adalah menetapkan standar dan
tujuan belajar sekhusus mungkin. Dalam menentukan
tujuan, Smaldini (2007) menentukannya dengan
menggunakan rumusan ABCD (Audience, Behavioris,
Condition, dan Degree).
a. Audience. Karena tujuan belajar berfokus pada
pengetahuan dan apa yang bisa silakukan siswa setelah
mengikuti pelajaran, bukan apa yang dilakukan guru
untuk mengajar mereka.
b. Behavior/Prilaku. Inti tujuannya adalah pada
kemampuan baru yang akan dimiliki siswa setelah
pembelajaran.
c. Condition. Tujuan belajar harus meliputi kondisi
dimana kinerja yang akan dinilai. Dengan kata lain,
bahan atau peralatan apa yang akan digunakan dalam
mendemonstrasikan kemampuan sesuai dengan tujuan
pembelajaran. Dengan demikian, dapat menentukan
tujuan pembelajaran.
d. Degree. Persyaratan akhir yang disebut dalam
tujuan pembelajaran adalah bahwa hal itu menunjukan
standar dan kriteria kinerja yang dapat diterima dan
akan dinilai.
3. Memilih Strategi, Teknologi, Media, Dan Materi
Setelah menganalisis siswa dan menetapkan standar
serta tujuan belajar dapat memulai (persentasi,
pengetahuan, kemampuan, dan prilaku siswa) dan diakhiri
dengan tujuan belajar dalam pembelajaran. Langkah-
langkah dalam tahap ini adalah memilih strategi,
memilih teknologi dan media serta memodifikasi bahan
pelajaran.
4. Penggunaan Teknologi Dan Bahan
Langkah ini termasuk perencanaan guru untuk
menggunakan teknologi, media dan bahan untuk mencapai
tujuan pembelajaran. Untuk melakukan hal tersebut ikuti
langkah-langkah 5P berikut: preview (media dan bahan),
prepare (teknlogi media dan bahan), persiapan
lingkunagan, persiapan siswa, dan menyediakan
pengalaman belajar.
a. Menyiapkan Teknologi, Media, dan Bahan.
Sesanjutnya perlu dipersiapkan teknologi, media, dan
bahan-bahan yang akan mendukung kegiatan
pembelajaran. Langkah pertama adalah mengumpulkan
semua perlengkapan yang akan dibutuhkan. Menentukan
bahan-bahan apa yang akan dilakukan. Menyusun daftar
bahan-bahan dan peralatan yang diperlukan untuk
pelajaran dan garis besar urutan presentasi kegiatan.
Dan akhirnya, penting untuk berlatih menggunakan
sumber-sumber sebelum pelaksanaan kegiatan
pembelajaran.
b. Menyiapkan Lingkungan.
Belajar dimanapun dapat dilakukan: dalam ruangan
kelas, di laboraturiun, maupun di luar kelas.
Beberapa media memerlukan ruang gelap, sumber daya
yang nyaman, dan akses ke lampu. Semua peralatan
harus siap digunakan, semua murid dapat melihat dan
mendengar dengan baik, mengatur tempat duduk hingga
siswa dapat berinteraksi dengan baik.
c. Menyiapkan Pebejar/siswa
Persiapan yang tepat, dari sudut pandang
instruksional, mungkin mirip dengan salah satu dari
berikut ini.
1) Sebuah perkenalan memberikan tinjauan yang luas
terhadap isi pelajaran.
2) Sebuah alasan menceritakan bagaimana berhubungan
dengan topik yang sedang dipelajari.
3) Sebuah pernyataan yang memotivasi agar siswa
mengetahui tujuan pembelajaran.
4) Mengarahkan perhatian pada aspek-aspek khusus dari
pelajaran.
d. Menyediakan Pengalaman Belajar
Jika pengalaman belajar berpusat pada guru, itu akan
melibatkan presentasi, demonstrasi, drill dan
praktek, dan/atau tutorial.
5. Kebutuhan Partisipasi Siswa
Agar efektif pembelajaran mengharuskan adanya
keterlibatan mental aktif siswa. seharusnya ada
aktivitas yang mengikuti pengetahuan dan kecakapan
untuk menerima umpan balik pada kesesuaian dengan usaha
mereka sebelum dinilai secara formal. Secara praktis
siswa menilai dirinya dibantu oleh pembelajaran
komputer, internet atau kelompok belajar.
6. Evaluasi Dan Revisi
Setelah pelaksanaan pembelajaran, yang penting
dievaluasi adalah pengaruh pada belajar siswa.
penilaian itu seharusnya tidak hanya menguji tingkat
ketercapaian siswa pada tujuan pembelajaran, tetapi
juga menguji proses pembelajaran dan pengaruh
penggunaan teknologi dan media.
C. Model Kemp
Jerold E. Kemp berasal dari California State
University di Sanjose. Kemp mengembangkan model desain
instruksional yang paling awal bagi pendidikan. Model
Kemp memberikan bimbingan kepada para siswanya untuk
berpikir tentang masalah-masalah umum dan tujuan-tujuan
pembelajaran. Model ini juga mengarahkan para pengembang
desain instruksional untuk melihat karakteristik para
siswa serta menentukan tujuan-tujuan belajar yang tepat.
Langkah berikutnya adalah spesifikasi isi pelajaran dan
mengembangkan pretest dari tujuan-tujuan yang telah
ditetapkan. Selanjutnya adalah menetakan strategi dan
langkah-langkah dalam kegiatan belajar mengajar serta
sumber-sumber belajar yang akan digunakan. Selanjutnya,
materi/isi (content) kemudian dievaluasi atas dasar
tujuan-tujuan yang telah dirumuskan. Langkah berikutnya
adalah melakukan identifikasi dan revisi didasarkan atas
hasil-hasil evaluasi, (Anonim, 2012: http://hoedascorpio.
blogspot.com/2012/03/model-pembelajaran-kemp.html).
Langkah– langkah pengembangan desain pembelajaran
model Kemp, terdiri dari delapan langkah, yakni :
1.Menentukan tujuan instruksional umum (TIU) atau
kompetensi dasar, yaitu tujuan umum yang ingin di capai
dalam mengajarkan masing- masing pokok bahasan.
2.Membuat analisis tentang karakteristik siswa. Analisis
ini diperlukan antara lain untuk mengetahui apakah
latar belakang pendidikan dan sosial budaya siswa
memungkinkan untuk mengikuti program , serta langkah-
langkah apa yang perlu diambil.
3.Menentukan tujuan instruksional secara spesifik,
operasional, dan terukur (dalam KTSP adalah indikator).
Dengan demikian, siswa akan tahu apa yang harus
dikerjakan, bagaimana mengerjakannya, dan apa ukurannya
bahwa ia telah berhasil. Bagi guru, rumusan itu akan
berguan dalam menyusun tes kemampuan /keberhasilan dan
pemilihan materi/bahan belajar yang sesuai.
4.Menentukan materi/ bahan ajar yang sesuai dengan tujuan
instruksional khusus (indikator) yang telah dirumuskan.
Masalah yang sering kali dihadapi guru- guru adalah
begitu banyakknya materi pelajaran yang harus diajarkan
dengan waktu yang terbatas. Demikian juga, timbul
kesulitan dalam mengorganisasikan materi/ bahan ajar
yang akan disajikan kepada para siswa. Dalam hal ini
diperlukan ketepatan guru dalam memilih dan memilah
sumber belajar, materi, media,dan prosedur pembelajaran
yang akan digunakan.
5.Menetapkan penjajagan atau tes awal (preassesment). Ini
diperlukan untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan
awal siswa dalam memenuhi prasyarat belajar yang
dituntut untuk mengikuti program pembelajaran yang akan
dilaksanakan. Dengan demikian, guru dapat memilih
materi yang diperlukan tanpa harus menyajikan yang
tidak perlu, sehingga siswa tidak menjadi bosan.
6.Menentukan strategi belajar mengajar, media dan sumber
belajar. Kriteria umum untuk pemilihan strategi
pembelajaran yang sesuai dengan tujuan instruksional
khusus (indikator) tersebut adalah efisiensi,
keefektipan, ekonomis, kepraktisan, melalui suatu
analisis alternative.
7.Mengoordinasikan sarana penunjang yang diperlukan
meliputi biaya, fasilitas, peralatan, waktu, dan
tenaga.
8.Mengadakan evaluasi. Evaluasi ini sangat perlu untuk
mengontrol dan mengkaji keberhasilan program secara
keseluruhan, yaitu siswa, program pembelajaran, alat
evaluasi (tes), dan metode/strategi yang digunakan.
D. Model Peck & Hanafin
Model Hannafin dan Peck ialah model desain
pengajaran yang terdiri daripada tiga fase yaitu fase
Analisis keperluan, fase desain, dan fase pengembangan
dan implementasi (Hannafin & Peck 1988). Dalam model ini,
penilaian dan pengulangan perlu dijalankan dalam setiap
fase. Model ini adalah model desain pembelajaran
berorientasi produk. Gambar di bawah ini menunjukkan tiga
fase utama dalam model Hannafin dan Peck (1988),
(Afrizal, 2011: http://afrizaldaonk.
blogspot.com/2011/01/model-model-desain-
pembelajaran.html).
1. Fase pertama dari model Hannafin dan Peck adalah
analisis kebutuhan
Fase ini diperlukan untuk mengidentifikasi
kebutuhankebutuhan dalam mengembangkan suatu media
pembelajaran termasuklah di dalamnya tujuan dan
objektif media pembelajaran yang dibuat, pengetahuan
dan kemahiran yang diperlukan oleh kelompok sasaran,
peralatan dan keperluan media pembelajaran. Setelah
semua keperluan diidentifikasi Hannafin dan Peck (1988)
menekankan untuk menjalankan penilaian terhadap hasil
itu sebelum meneruskan pembangunan ke fase desain.
2. Fase yang kedua dari model Hannafin dan Peck adalah
fase desain.
Di dalam fase ini informasi dari fase analisis
dipindahkan ke dalam bentuk dokumen yang akan menjadi
tujuan pembuatan media pembelajaran. Hannafin dan Peck
(1988) menyatakan fase desain bertujuan untuk
mengidentifikasikan dan mendokumenkan kaedah yang
paling baik untuk mencapai tujuan pembuatan media
tersebut. Salah satu dokumen yang dihasilkan dalam fase
ini ialah dokumen story board yang mengikut urutan
aktivitas pengajaran berdasarkan keperluan pelajaran
dan objektif media pembelajaran seperti yang diperoleh
dalam fase analisis keperluan. Seperti halnya pada fase
pertama, penilaian perlu dijalankan dalam fase ini
sebelum dilanjutkan ke fase pengembangan dan
implementasi.
3. Fase ketiga dari model Hannafin dan Peck adalah fase
pengembangan dan implementasi.
Hannafin dan Peck (1988) mengatakan aktivitas yang
dilakukan pada fase ini ialah penghasilan diagram alur,
pengujian, serta penilaian formatif dan penilaian
sumatif. Dokumen story board akan dijadikan landasan
bagi pembuatan diagram alir yang dapat membantu proses
pembuatan media pembelajaran. Untuk menilai kelancaran
media yang dihasilkan seperti kesinambungan link,
penilaian dan pengujian dilaksanakan pada fase ini.
Hasil dari proses penilaian dan pengujian ini akan
digunakan dalam proses pengubahsuaian untuk mencapai
kualitas media yang dikehendaki. Model Hannafin dan
Peck (1988) menekankan proses penilaian dan pengulangan
harus mengikutsertakan proses-proses pengujian dan
penilaian media pembelajaran yang melibatkan ketiga
fase secara berkesinambungan. Lebih lanjut Hannafin dan
Peck (1988) menyebutkan dua jenis penilaian yaitu
penilaian formatif dan penilaian sumatif. Penilaian
formatif ialah penilaian yang dilakukan sepanjang
proses pengembangan media sedangkan penilaian.
2. KERANGKA DESAIN MULTIMEDIA
A. Pandangan Teori Behavioristik
Multimedia sebenarnya adalah suatu istilah generik
bagi suatu media yang menggabungkan berbagai macam media
baik untuk tujuan pembelajaran maupun bukan. Keragaman
media ini meliputi teks, audio, animasi, video, bahkan
simulasi. Media pembelajaran melibatkan pengguna dalam
aktivitas-aktivitas yang menuntut proses mental di dalam
pembelajaran. Dari perspektif ini aktivitas mental
spesifik yang dibutuhkan di dalam terjadinya pembelajaran
dapat dibangkitkan melalui manipulasi peristiwa-peristiwa
instruksional (instructional events) yang sistematis. Dengan
demikian multimedia pembelajaran adalah paket multimedia
interaktif di mana di dalamnya terdapat langkah-langkah
instruksional yang didisain untuk melibatkan pengguna
secara aktif di dalam proses pembelajaran, (giovani,
2012: http://ygiovanni.blogspot.com/2012/01/definisi-
multimedia.html).
Menurut teori behavioristik belajar adalah
perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman,
(Gage, Berliner, 1984: 252). Belajar merupakan akibat
adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin,
2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika
dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut
teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang
berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus
adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar,
sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar
terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut.
Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak
penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan
tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus
dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru
(stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon)
harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan
pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting
untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah
laku tersebut.
Hooper, 2008 (Gatot,2008) menyebutkan bahwa
multimedia sebagai media presentasi berbeda dari
multimedia sebagai media pembelajaran. Media presentasi
tidak menuntut pengguna berinteraktivitas secara aktif di
dalamnya; sekalipun ada interaktivitas maka
interaktivitas tersebut adalah interaktivitas yang samar
(covert). Media pembelajaran melibatkan pengguna dalam
aktivitas-aktivitas yang menuntut proses mental di dalam
pembelajaran. Dari perspektif ini aktivitas mental
spesifik yang dibutuhkan di dalam terjadinya pembelajaran
dapat dibangkitkan melalui manipulasi peristiwa-peristiwa
instruksional (instructional events) yang sistematis. Di
sini Hooper secara tegas menyatakan peran penting suatu
desain instruksional di dalam multimedia pembelajaran
(educational multimedia). Dengan demikian multimedia
pembelajaran adalah paket multimedia interaktif di mana
di dalamnya terdapat langkah-langkah instruksional yang
didisain untuk melibatkan pengguna secara aktif di dalam
proses pembelajaran.
Istilah yang spesifik bagi suatu paket pembelajaran
berbasis komputer adalah CAI (Computer Assisted
Instruction), CAL (Computer Assisted Learning) atau CBL
(Computer Based Learning). Paket-paket ini tidak secara
eksplisit mencantumkan multimedia di dalamnya. Jadi bisa
saja paket-paket tersebut memang merupakan multimedia
dalam arti luas (mengandung teks, audio, animasi, video,
bahkan simulasi) atau hanya terbatas mengandung beberapa
media seperti teks dan gambar saja. Apapun media yang
dikandungnya, ketiganya secara eksplisit menekankan
adanya instruksional yang didesain di dalamnya. Dengan
kata lain di dalam pengembangan CAI, CAL atau CBL suatu
desain instruksional menjadi kerangka yang mencirikan
paket-paket tersebut. Paket yang dirancang dengan
pendekatan behavioristik tentu berbeda dengan paket
dengan pendekatan kognitif. Sekalipun ketiganya memiliki
kesamaan tetapi dari nama yang dikandungnya ketiganya
memiliki arti yang berbeda.
Sangat penting bagi seorang pengembang multimedia
pembelajaran untuk mengetahui makna dari istilah-istilah
seperti CAI, CAL dan CBL. Pemahaman akan istilah-istilah
ini penting dalam menentukan paket mana yang akan
dikembangkan dan instruksi macam apa yang akan diberikan.
CAI, secara umum, bermakna instruksi pembelajaran dengan
bantuan komputer yang memiliki karakteristik yang khas :
menekankan belajar mandiri, interaktif, dan menyediakan
bimbingan (Steinberg, 1991). CAL memiliki arti dan
karakteristik yang senada dengan CAI (Rieber, 2000).
Sekalipun di sini CAI atau CAL menekankan belajar mandiri
hal ini tidak serta merta menunjukkan bahwa CAI atau CAL
merupakan suatu medium utama dalam pembelajaran.
Pada kenyataannya CAI atau CAL lebih banyak
berfungsi sebagai medium pengayaan (enrichment) bagi
medium utama, baik medium utama tersebut adalah guru yang
mengajar di depan kelas atau buku pelajaran utama yang
wajib dibaca oleh siswa. Sementara CBL , sesuai dengan
namanya, menunjukkan bahwa komputer dipakai sebagai
medium utama dalam memberikan pembelajaran. Pada CBL
sebagian besar kandungan dari pembelajaran (the bulk of
the content) memang disampaikan melalui medium komputer
(Rieber, ibid). CBL, misalnya, cocok diberikan pada kasus
pendidikan jarak jauh. Perbedaan arti dari CAI, CAL dan
CBL ini tentu saja mempengaruhi desain instruksional yang
dirancang bagi paket-paket tersebut.
B. Pandangan Teori Sibernetik
Teori belajar pemrosesan informasi/ sibernetik
merupakan teori belajar yang relatif baru dibandingkan
teori-teori belajar lainnya. Menurut teori sibernetik,
"belajar" adalah pemrosesan informasi. Teori ini lebih
mementingkan sistem informasi dari pesan atau materi yang
dipelajari. Bagaimana proses belajar berlangsung, sangat
ditentukan oleh sistem informasi dari pesan tersebut.
Oleh sebab itu, teori sibernetik berasumsi bahwa tidak
ada satu jenispun cara belajar yang ideal untuk segala
situasi. Sebab cara belajar sangat ditentukan oleh sistem
informasi. (Myta, 2013:
http://mitagustamiyosi.blogspot.com/2013/12/konsep-dan-
penerapan-teori-belajar.html).
Asumsi teori belajar sibernetik (Lusiana, 1992):
1. Antara stimulus dan respon terdapat suatu seri tahapan
pemrosesan informasi di mana pada masing-masing
tahapan dibutuhkan sejumlah waktu tertentu.
2. Stimulus yang diproses melalui tahapan-tahapan tadi
akan mengalami perubahan bentuk atau pun isinya.
3. Salah satu dari tahapan mempunyai kapasitas terbatas.
Komponen pemrosesan informasi dipilah berdasarkan
perbedaan fungsi, kapasitas, bentuk informasi, serta
proses terjadinya. Komponen tersebut adalah:
1. Sensory Receptor (SR)
Sensory Receptor (SR) merupakan sel tempat pertama
kali informasi diterima dari luar. Di dalam SR
informasi ditangkap dalam bentuk aslinya, bertahan
dalam waktu sangat singkat, dan informasi tadi mudah
terganggu atau berganti.
2. Working Memory (WM)
Working Memory (WM) diasumsikan mampu menangkap
informasi yang diberi perhatian oleh individu.
Karakteristik WM adalah memiliki kapasitas terbatas
(informasi hanya mampu bertahan kurang lebih 15 detik
tanpa pengulangan) dan informasi dapat disandi dalam
bentuk yang berbeda dari stimulus aslinya. Artinya
agar informasi dapat bertahan dalam WM, upayakan
jumlah informasi tidak melebihi kapasitas disamping
melakukan pengulangan.
3. Long Term Memory (LTM)
Long Term Memory (LTM) diasumsikan:
a. berisi semua pengetahuan yan telah dimiliki
individu,
b. mempunyai kapasitas tidak terbatas,
c. sekali informasi disimpan di dalam LTM ia tidak akan
pernah terhapus atau hilang.
Teori belajar pemrosesan informasi termasuk dalam
lingkup teori kognitif yang mengemukakan bahwa belajar
adalah proses internal yang tidak dapat diamati secara
langsung dan kemampuannya berubah pada situasi tertentu.
Desain pesan pembelajaran perlu adanya media untuk
menyajikan informasi. Kemampuan sensorik mengacu pada
jalur pemrosesan informasi yang dipakai untuk memproses
informasi yang diperoleh, seperti proses penerimaan
informasi visual atau auditorial. Misalnya media
audiovisual yang digunakan untuk menyampaikan materi
dirancang sebaik mungkin agar lebih mudah dipahami oleh
penerima informasi. Sebenarnya istilah desain pesan
mengacu pada proses manipulasi, atau rencana manipulasi
dari sebuah pola tanda yang memungkinkan untuk
mengkondisi pemerolehan informasi. Jadi, dalam
penyampaian informasi lewat multimedia instruksional baru
akan bermakna jika informasi yang diterima diseleksi
pada setiap penyimpanan, diorganisasikan ke dalam
representasi yang berhubungan, serta dikoneksikan dalam
tiap penyimpanan.
C. Pandangan Teori Classical Conditioning
Classic conditioning ( pengkondisian atau
persyaratan klasik) adalah proses yang ditemukan Pavlov
melalui percobaannya terhadap anjing, dimana perangsang
asli dan netral dipasangkan dengan stimulus bersyarat
secara berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi yang
diinginkan.Eksperimen-eksperimen yang dilakukan Pavlov
dan ahli lain tampaknya sangat terpengaruh pandangan
behaviorisme, dimana gejala-gejala kejiwaan seseorang
dilihat dari perilakunya. Hal ini sesuai dengan pendapat
Bakker bahwa yang paling sentral dalam hidup manusia
bukan hanya pikiran, peranan maupun bicara, melainkan
tingkah lakunya. Pikiran mengenai tugas atau rencana baru
akan mendapatkan arti yang benar jika ia berbuat sesuatu.
Teori classical conditioning adalah sebuah prosedur
penciptaan refleks baru dengan cara mendatangkan stimulus
sebelum terjadinya refleks tersebut. Dengan adanya
stimulus berupa hadiah (reward) yang diberikan kepada
peserta didik dapat menumbuhkan motivasi belajar siswa,
sehingga siswa lebih tertarik pada guru, artinya tidak
membenci atau bersikap acuh tak acuh , tertarik pada mata
pelajaran yang diajarkan, mempunyai antusias yang tinggi
serta mengendalikan perhatianya terutama pada guru,
selalu mengingat pelajaran dan mempelajarinya kembali,
dan selalu terkontrol oleh lingkungan. Contohnya
yaitu pada awal tatap muka antara guru dan murid dalam
kegiatan belajar mengajar, seorang guru menunjukkan sikap
yang ramah dan memberi pujian terhadap murid-muridnya,
sehingga para murid merasa terkesan dengan sikap yang
ditunjukkan gurunya.