NOMOR ISBN : 978-979-587-897-1

331
NOMOR ISBN : 978-979-587-897-1

Transcript of NOMOR ISBN : 978-979-587-897-1

NOMOR ISBN : 978-979-587-897-1

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL

KESEHATAN MASYARAKAT

SRIWIJAYA

© FKM UNSRI 2020

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Copyright @ 2020 by FKM Universitas Sriwijaya

NOMOR ISBN : 978-979-587-897-1

EDITOR :

Yeni, S.K.M., M.KM.

Indah Purnama Sari, S.KM.M.K.M

Inoy Trisnaini, SKM., M.KL

Amrina Rosyada, S.K.M., M.PH

Prosiding ini dipublikasikan oleh:

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya

Kampus FKM Unsri Indralaya, Jl. Raya Palembang-Prabumulih KM.32

Indralaya, Ogan Ilir, Sumatera Selatan, 30662

Hotline : +62711580068

Fax : +62711580089

Penerbit : Unsri Press

Universitas Sriwijaya Kampus Palembang

Jln. Srijaya Negara, Bukit Besar Palembang 30139

Tlp. 0711360969/085366741970

Email : [email protected]/[email protected]

SUSUNAN PANITIA SEMINAR

PROCIDING SEMINAR NASIONAL

KESEHATAN MASYARAKAT SRIWIJAYA

Palembang, 13-14 Oktober 2020

SUSUNAN PANITIA

Pelindung : Prof. Dr. Ir. H. Anis Saggaff, MSCE

Penasehat Iwan Stia Budi, S.K.M., M.Kes

Penanggung Jawab : Dr. Misnaniarti, S.KM, M.KM

Pengarah : 1. Asmaripa Ainy, S.Si., M.Kes

2. Dr. Yuanita Windusari, S.Si., M.Si.

3. Dr. Nur Alam Fajar, S.Sos., M.Kes

Ketua : Feranita Utama, S.K.M., M.Kes

Wakil Ketua : Yustini Ardillah, S.K.M., M.P.H

Seksi Kesekterariatan dan

Registrasi

: 1. Dwi Septiawati, S.K.M., M.K.M (Koordinator)

2. Drs. H. Fathul Hartama, M.Si

3. Dwi Siti Aisyah, S.Sos

4. Abileo, A.MAK

Seksi Humas : 1. Widya Lionita, S.K.M., M.P.H (Koordinator)

2. Desheila Andarini, S.K.M., M.Sc

3. Devi Laila. S.Pd

Seksi Acara : 1. Dini Arista Putri, S.Si., M.P.H (Koordinator)

2. Rahmatillah Razak, S.K.M., M.Epid

3. Ditia Fitria Arinda, S. Gz., M.P.H

Seksi Ilmiah & Publikasi : 1. Yeni, S.K.M., M.KM. (Koordinator)

2. Amrina Rosyada, S.K.M., M.PH

3. Indah Purnama Sari, S.K.M., M.K.M

4. Inoy Trisnaini, S.KM, M.K.L

5. Ima Fransiska, S. Sos

Seksi Acara Bagian Panel : 1. Fenny Etrawati, S.KM., M.KM. (Koordinator)

2. Dian Safriantini, S.K.M., M.P.H

Seksi Acara Bagian Perlombaan : 1. Anggun Budiastuti, S.K.M., M.Epid (Koordinator)

2. Indah Yuliana, S.Si., M.Si.

Seksi Dokumentasi dan Publikasi : 1. Mona Lestari, S.K.M., M.K.K.K

2. Desri Maulina Sari, S.Gz., M.Epid

3. Dedi Kurniadi, S.Pd

4. Amin Ibrahim, A.Md

Akomodasi dan Perlengkapan

1. Hamin, S.E. (Koordinator)

2. Rachman Kamaludin

3. Sunyoto, S.E

4. Ismail

Seksi Konsumsi : 1. Kurnila Yulia Hirti, S.E. (Koordinator)

2. Muslimaini, S.E

3. Siti Amaliah, S.E

Dekan,

Dr. Misnaniarti, S.KM., M.KM

NIP. 197606092002122001

i Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, sang Pengatur Alam Semesta, yang telah melimpahkan

kasih-Nya sehingga Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya dapat

menyelenggarakan Seminar Nasional Fakultas Kesehatan Masyarakat 2020 dengan

tema “Peluang dan Tantangan Epidemiologi Dalam Ketahanan dan Kesehatan Global

di Era Pandemi Covid-19”. Seminar ini diselenggarakan pada tanggal 13-14 Oktober

2020.

Seminar ini bertujuan sebagai wadah bertukar pikiran antara para akademisi, praktisi,

peneliti, dan pemangku kebijakan tentang bagaimana peluang dan tantangan epidemiologi

dalam ketahanan dan kesehatan global di era pandemi covid-19 sehingga diharapkan dapat

meningkatkan pemahaman mahasiswa tentang peluang dan tantangan yang akan dihadapi

terhadap permasalahan kesehatan dalam masa pandemic covid-19. Selain itu, kegiatan ini

juga menjadi penyalur bakat dan kreativitas mahasiswa melalui lomba poster, karya ilmiah,

dan video.

Atas nama panitia penyelenggara, saya dengan senang hati menyambut anda semua

di seminar nasional ini. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh narasumber

yang telah meluangkan waktunya untuk berbagi ilmu di seminar ini. Besar harapan kami

untuk tetap terus menjalin silahturahmi dengan para akademisi, praktisi, peneliti, dan

pemangku kebijakan yang ada di seluruh wilayah Indonesia. Akhir kata, semoga kegiatan

ini dapat terus berlanjut dan dapat bermanfaat untuk kita semua.

Palembang, 13 Oktober 2020

Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sriwijaya

Dr. Misnaniarti, S.KM., M.KM

NIP. 197606092002122001

ii Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah swt, Tuhan semesta alam, karena dengan rahmat dan

karuniaNyalah kegiatan Seminar Nasional dan Calls for Paper dengan tema: “Peluang dan

Tantangan Epidemiologi dalam Ketahanan dan Kesehatan Global di Era Pandemi Covid

19” dapat terselenggara dengan baik dan prodising ini dapat diterbitkan. Covid 19 telah

banyak memberikan dampak pada Negara kita, bukan hanya sektor kesehatan tetapi

banyak sektor lainnya juga terdampak Pandemi Covid 19 ini. Tema ini dipilih sebagai

salah satu sumbangsih dari dunia pendidikan menyikapi kondisi yang ada pada saat ini.

Beberapa topik dalam prosiding ini meliputi Administrasi Kebijakan Kesehatan,

Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Kesehatan Lingkungan, Promosi Kesehatan, Gizi

Masyarakat dan Ilmu Gizi, Biostatistik, Epidemiologi dan Covid 19. Prosiding ini

merupakan salah satu alternatif bagi akademisi maupun praktisi melakukan diseminasi

hasil penelitian dan pemikiran mereka terhadap permasalahan kesehatan yang ada pada

saat ini, sehingga hasil penelitian dan pemikiran dapat diketahui dan bermanfaat untuk

banyak pihak.

Kegiatan seminar nasional ini telah diselenggarakan pada tanggal 13 dan 14 Oktober

2020. Peserta kegiatan seminar dan pemakalah tidak hanya berasal dari beberapa

perguruan tinggi di Indonesia tetapi juga diikuti oleh beberapa institusi seperti

Balitbangkes baik pusat maupun daerah dan beberapa puskesmas di Indonesia.

Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada Pimpinan Universitas Sriwijaya,

terutama Pimpinan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Peserta Seminar, Pemakalah, dan

segenap Panitia yang telah menyukseskan acara ini. Semoga Allah swt membalas dengan

kebaikan semua usaha yang telah kita lakukan. Wassalamu’alaikum wr.wb.

Indralaya, 23 Oktober 2020

Ketua Panitia

Feranita Utama, S.KM., M.Kes.

NIP. 198808092018032002

iii Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020

SUSUNAN ACARA SEMINAR NASIONAL

PELUANG DAN TANTANGAN EPIDEMIOLOGI DALAM

KETAHANAN DAN KESEHATAN GLOBAL DIERA PANDEMI

COVID -19

FAKULTAS KESEHATAN

MASYARAKAT

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

Waktu (Jam) Judul Kegiatan Penyelenggara

Hari 1 ( 13 Oktober 2020)

08.00-08.30 Registrasi dan administrasi peserta seminar

Panitia Registrasi melalui online

08.30-09.00 Pembukaan Mc: Ridho fathoni

Menyanyikan lagu Indonesia raya panitia

Kata sambutan ketua panitia Feranita Utama,S.KM.,M.Kes

Kata Sambutan Dekan Fakultas Kesehatan

Masyarakat

Dr. Misnaniarti, S.KM, M.KM

Pembacaan Doa Fachri Reza

09.00-09.05 Penyampaian Materi dan Diskusi Moderator: Rico Januar Sitorus,S.KM.,M.Kes

09.05-09.50

Situasi kesehatan Global dan

Defriman Djafri,S.KM.,M.KM.,Ph.D pencegahan peningkatan

masalah kesehatan

masyarakat

09.50-10.35

Strategi perbagikan kesehatan

Dr. Yodi Mahendradhata,M.Sc.,Ph.D Global di Era Pandemi

COVID-19

10.35-10.40

Ice breaking

Panitia

10.40-11.25

Tantangan dan Peluang

Najmah Usman,S.KM.,M.PH.,Ph.D Epidemiologi dalam

menghadapai isu kesehatan

Global

iv Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020

11.25-12.00 Diskusi Moderator: : Rico Januar

Sitorus,S.KM.,M.Kes

12.00-12.05 Penutup Mc: Ridho fathoni

13.00- 16.00 Pengumuman lomba

Lomba poster

Lomba essay

Lomba video

Lomba pidato bahasa inggris

Panitia

Hari II (14 Oktober 2020)

08.00-08.30 Registrasi dan administrasi peserta

seminar

Panitia Registrasi melalui online

08.30-11.55 Parallel session

Moderator

Dr.Rostika Flora,S.Kep.,M.Kes

Moderator

Dr.rer.med.Hamzah Hasyim,S.KM.,M.KM

Moderator

Dr.Nur Alam Fajar,S.Sos.,M.Kes

Moderator

Dr.Novrikasari,S.KM.,M.Kes

Moderator

dr. Rizma Adlia Syakurah,MARS

Moderator Dr. Yuanita Windusari,S.Si.,M.Si

ROOM 1

Gizi dan Epidemiologi

ROOM 2

Kesehatan Lingkungan

ROOM 3

(Administrasi kebijakan kesehatan/

Promosi Kesehatan)

ROOM 4

(Kesehatan dan Keselamatan Kerja)

ROOM 5

(Covid -19)

ROOM 6 (Gabungan)

11.55-12.00 Penutup Panitia

v Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020

KATA PENGANTAR

KATA PENGANTAR SUSUNAN KEGIATAN SEMINAR NASIONAL

DAFTAR ISI

i

ii

iii

v

1. Pengaruh Pemberian MP-Asi Dini dengan Kejadian Stunting Pada Balita 24-59 Bulan di

Indonesia (Analisis Data Ifls 5)

Meike Rahyuni, Amrina Rosyada

2. Toluene Exposure Management for Printing Machine Operators in Offset Printing

Companies

Widya Haris Saraswati, Mona Lestari, Novrikasari, Dini Arista Putri, Anita

Camelia

3. Perbandingan Sanitasi Sekolah Dasar Berdasarkan Akreditasi Sekolah: Studi Kualitatif

Russy Rakhmalia, Yustini Ardillah

4. Penilaian Risiko Pajanan Pestisida dengan Pendekatan Hira (Hazard Identification And

Risk Assesment) Pada Petani Pengguna Pestisida

Rina Purwandari, Sidiq Purwoko, Ina Kusrini

5. Prediksi Berat Lahir Rendah Melalui Tren Konsentrasi Nitrogen Dioksida di Udara

Ambien Kota Palembang

Dwi Septiawati, Imelda G. Purba, Ani Nidia Listianti

6. Gejala Klinis Penyakit Covid-19 Pada Bayi dan Anak : Studi Literatur

Komalasari, Ade Tyas Mayasari,

Elsa Fitri Ana

7. Gambaran Penerapan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat Pada Stakeholder di Wilayah

Kerja Puskesmas Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara Tahun 2019

Mayumi Nitami, Decy Situngkir

8. Istribusi Balita Third Hand Smoke di Kota Palembang

Amrina Rosyada, Dini Arista Putri, Nurmalia Ermi

9. Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku 3M (Menggunakan Masker, Menjaga Jarak, dan

Mencuci Tangan Dengan Sabun) Masyarakat Indonesia Di Masa Pandemi Covid-19

Heny Lestary, Cahyorini, Khadijah Azhar, Sugiharti

10. Evaluasi Pemeriksaan dan Pengujian K3 pressure vessel oleh Ahli K3 Pesawat Uap dan

Bejana Tekanan Berdasarkan Permenaker No. 37 Tahun 2016 di Provinsi Kepulauan

Bangka Belitung pada tahun 2018 dan 2019

Maududi Farabi, Mila Tejamaya

11. Peran Cakupan Imunisasi Dasar Lengkap Pada Pencegahan Kematian Akibat Covid-19

di Indonesia

Siti Masitoh, Teti Tejayanti, Sugiharti, Heny Lestary, Helena Ullyartha

Pangaribuan

12. Keselamatan dan Kesehatan Kerjapada Proses Pemotongan Batu Padas di Workshop

Sari Yasa Kota Denpasar

I Gusti Agung Haryawan, Komang Angga Prihastini, Ni Putu Diana Swandewi

13. Evaluasi Kinerja Kader Posyandu Bayi dan Balita di Wilayah Kerja Puskesmas

Banguntapan II Bantul

Rosikhah Al-Maris, Pamulatsih Dwi Oktavianti

14. Identifikasi Kejadian Hipertensi dan Obesitas Sentral Pada Pra Lansia

Yeni, Fenny Etrawati,

Feranita Utama

15. Implementasi Model Arima (Autoregressive Integrated Moving Average) Guna

Peramalan Kasus Demam Berdarah Dengue di Kota Semarang

Roro Kushartanti, Maulina Latifah

16. Studi Penerapan Keselamatan Dan Kesehatan Kerja (K3) Di Rumah Sakit Umum

Daerah Prambanan (Rumah Sakit Tipe C) Kabupaten Sleman Daerah Istimewa

Yogyakarta

Haidar Prawira, Ariyanto Nugroho, Theresia Puspitawati

17. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) di Praktik Mandiri Bidan pada Pertolongan

1

11

24

34

46

55

61

68

74

87

105

115

119

135

142

147

155

vi Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020

Persalinan

Sugiharti, Heny Lestary, Eva Laelasari

18. Kontribusi Kesehatan Lingkungan dan Perilaku Masyarakat Terhadap Masalah Penyakit

Infeksi Pernapasan

Ika Dharmayanti, Dwi Hapsari Tjandrarini,Olwin Nainggolan, Zahra

19. Prevalensi Penyakit Jantung Pada Usia Produktif Menjadi Ancaman Terhadap Kualitas

Bonus Demografi di Indonesia: Tinjauan Literatur

Basuki Rachmat, Khadijah Azhar

20. Studi Kohort : Analisis Ketahanan Hidup Pasien Hemodialisis Dengan Komorbid

Hipertensi Di Rumah Sakit Abdoel Moeleok, Lampung

Nurhalina Sari, Nova Muhani, Dias Dumaika, Aprizal Hendardi

21. Pemanfaatan Hasil Studi Kohor Faktor Risiko Penyakit Tidak Menular (FRPTM) di

Kota Bogor 2011—2019

Sulistyowati Tuminah, Woro Riyadina, Sudikno, Dewi Kristanti

22. Peran Gejala Depresi Terhadap Kejadian Penyakit Tidak Menular pada Populasi Umum

Tahun 2007-2014

Rofingatul Mubasyiroh, Tri Wuriastuti

23. Perilaku Masyarakat Tentang Pencegahan Demam Berdarah Dengue di Daerah Endemis

dan Non Endemis Kota Pekanbaru

Tyagita Widya Sari, Martha Saptariza Yuliea, Novita Meqimiana Siregar,

Raudhatul Muttaqin

24. Determinan Pemilihan Alat Kontrasepsi di Puskesmas Makrayu Palembang

Farina Eka Agustine, Dian Safriantini

25. Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan (PMT-P) Pada Balita Gizi Kurang Ditinjau

Dari Teori Perilaku Terencana (TPB)

Ersa Yolanda, Fatmalina Febry

26. Profil Tahapan Anemia Defisiensi Besi Pada Anak Sekolah Dasar Di Daerah Pedesaan:

Studi Cross Sectional Di Kecamatan Tuah Negeri Kabupaten Musi Rawas

Rostika Flora, Mohammad Zulkarnain, Nur Alam Fajar, Achmad Fickry Faisa ,

Indah Yuliana, Nurlaili, Ikhsan, Samwilson Slamet, Risnawati Tanjung, Aguscik

27. Analisis Faktor Risiko Kejadian Katarak di Indonesia

Bima Andika Persada, Feranita Utama

28. Analisis Kesiapsiagaan Masyarakat Terhadap Kebakaran di Kelurahan Tuan Kentang

Kecamatan Jakabaring Palembang 2019

Ade Pratama, Novrikasari

29. Deteksi Resiko Anemia dan Pendidikan Gizi Prakonsepsi Pada Calon Pengantin Wanita

di Kabupaten Oki Sumatera Selatan

Ditia Fitri Arinda, Rostika Flora, Widya Lionita

30. Korelasi Frekuensi Senam Hamil Dengan Lama Persalinan Kala II Di Rumah Sakit

Umum YK Madira Palembang Tahun 2020

Erma Puspita Sari, Rini Gustina Sari

31. Perubahan Kesadaran Kesehatan Akibat Pandemik Covid-19 Pada Mahasiswa di

Sumatera Selatan

Windi Indah Fajar Ningsih, Fatmalina Febry,

Indah Purnama Sari, Ditia Fitri

Arinda

32. Manajemen Pelayanan Kesehatan Pada Ibu Hamil Dimasa Pandemi Covid-19 : Tinjauan

Literatur Terkini

Ade Tyas Mayasari, Elsa Fitri Ana, Komalasari, Dessy Nur Safitri

33. Determinan Keluhan Mata pada Pekerja di Depot Pasir Kota Palembang

Dini Arista Putri, Amrina Rosyada,

Desri Maulina Sari

164

172

185

193

210

222

229

238

245

251

261

271

279

287

299

312

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 1

PENGARUH PEMBERIAN MP-ASI DINI DENGAN KEJADIAN STUNTING

PADA BALITA 24-59 BULAN DI INDONESIA

(ANALISIS DATA IFLS 5)

Meike Rahyuni,

1 Amrina Rosyada,

2*

1Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya

2Bagian Epidemiologi dan Biostatistik Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya

1,2Jl. Palembang Prabumulih KM.32, Indralaya Utara Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan

*Corresponding email: [email protected]

EFFECT OF COMPLEMENTARY FEEDING ON EARLY BREASTFEEDING WITH

INCIDENCE OF STUNTING IN INFANTS 24-59 MONTHS IN INDONESIA (DATA

ANALYSIS OF IFLS 5)

ABSTRACT

Stunting is a condition that describes a history of malnutrition accompanied by stunted growth due to long-

term malnutrition. The impact of stunting, namely low endurance, reduced intelligence. This study aims to

see the effect of early complementary breastfeeding with the incidence of stunting in infants 24-59 months in

Indonesia. This study used a cross sectional study design. This study used secondary data, namely IFLS in

2014. The sample of this study was 1006 toddlers who were the last children in the 2014 IFLS survey. The

sampling method used was multistage random sampling. Data analysis using a complex sample. Bivariate

analysis with chi-square test and multivariate analysis with multiple logistic regression. The prevalence of

stunting among infants 24-59 months in Indonesia is 43.8%. The results of bivariate analysis showed that

there was a significant relationship between early complementary breastfeeding and the incidence of stunting

(p-value = <0.0001). The results of multivariate analysis showed that the effect of early complementary

breastfeeding showed that the adjusted PR value was 1.873 (95% CI 1.529-2.293) controlled by variables of

infant birth weight, maternal height and immunization status. Early complementary feeding has a major

effect on the incidence of stunting in infants 24-59 months in Indonesia after being controlled by variables of

birth weight, maternal height and immunization status. Suggestions for cross-sectoral collaboration to deal

with problems with nutritional status, conduct early detection activities by measuring children's height

routinely, which can be carried out in posyandu activities, need support for mothers to keep trying to provide

exclusivity until the baby is 6 months old.

Keywords: Toddlers, early complementary breastfeeding, stunting

ABSTRAK

Stunting merupakan keadaan yang menggambarkan riwayat kekurangan gizi disertai dengan terhambatnya

pertumbuhan karena malnutrisi yang terjadi dalam jangka waktu lama. Dampak dari stunting yaitu

rendahnya daya tahan tubuh, menurunkan kecerdasan.Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh

pemberian MP-ASI dini dengan kejadian stunting pada balita 24-59 bulan di Indonesia. Penelitian ini

menggunakan desain penelitian cross sectional. Penelitian ini menggunakan data sekunder yaitu IFLS tahun

2014. Sampel penelitian ini adalah balita yang merupakan anak terakhir dalam survei IFLS tahun 2014

sebanyak 1006 balita. Metode pengambilan sampel dengan menggunakan multistage random sampling.

Analisis data menggunakan complex sampel. Analisis bivariat dengan uji chi-square dan analisis multivariat

dengan regresi logistik berganda. Prevalensi kejadian stunting pada balita 24-59 bulan di Indonesia sebesar

43,8%. Hasil analisis bivariat diperoleh terdapat hubungan yang bermakna antara pemberian MP-ASI dini

dengan kejadian stunting (p-value = <0,0001). Hasil analisis multivariat menunjukkan besar pengaruh

pemberian MP-ASI dini yang terlihat nilai adjusted PR yaitu sebesar 1,873 (95% CI 1,529-2,293) dikontrol

dengan variabel berat badan lahir bayi, tinggi badan ibu dan status imunisasi. Pemberian MP-ASI dini

memiliki pengaruh besar terhadap kejadian stunting pada balita 24-59 bulan di Indonesia setelah dikontrol

dengan variabel berat badan bayi lahir, tinggi badan ibu dan status imunisasi. Saran penelitian adanya kerja

sama lintas sector untuk menangani permasalahan status gizi, melakukan kegiatan deteksi dini dengan cara

mengukur tinggi badan anak secara rutin yang dapat dilakukan pada kegiatan posyandu perlu adanya

dukungan kepada ibu agar tetap berusaha memberikan esklusif hingga bayi berusia 6 bulan.

Kata Kunci : Balita, MP-ASI dini, Stunting

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 2

PENDAHULUAN

Di Negara berkembang seperti Indonesia angka kematian bayi dan anak masih tinggi terjadi.

Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor salah satu nya status gizi kurang yang terjadi pada

anak. Status gizi buruk pada bayi dan anak dapat menimbulkan terhambatnya pertumbuhan fisik

mental maupun kemampuan berfikir pada anak sehingga berdampak pada menurunnya

produktivitas kerja dan kualitas sumber daya manusia. Keadaan gizi kurang merupakan keadaan

gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dari makanan sehari-hari dan

terjadi dalam waktu lama.(1)

Status gizi kurang merupakan proses kurang nya supan makanan

dimana kebutuhan zat gizi normal tidak terpenuhi. Kekurangan gizi kronis berdampak pada

pertumbahan anak yang tidak optimal, apabila hal ini berlangsung lama dapat mengakibatkan

kejadian stunting pada anak.(2)

Stunting merupakan suatu keadaan yang menggambarkan riwayat kekurangan gizi yang

disertai dengan terhambatnya pertumbuhan karena malnutrisi yang terjadi dalam jangka waktu

yang lama. Meskipun terjadinya kurang gizi pada saat masa kehamilan dan pada awal kelahiran

bayi, kejadian stunting baru bisa dilihat pada saat umur anak tersebut 2 tahun.(3)

Berdasarkan riset kesehatan dasar tahun 2013 Prevalensi stunting di Indonesia cukup tinggi

yaitu 37,2% yang terdiri dari 18% anak sangat pendek dan 19,2% anak pendek. Prevalensi stunting

di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan Negara lain di Asia Tenggara, seperti di Negara

Myanmar dengan prevalensi stunting sebesar 35%, Negara Vietnam prevalensi stunting sebesar

23% dan di Negara Thailand sebesar 16% kondisi stunting di di Indonesia menduduki peringkat ke

lima dunia.(4)

Kekurangan gizi dapat mengakibatkan gagalnya pertumbuhan fisik seseorang serta

gangguan berkembangnya kecerdasan, menurunya sisitem kekebalan tubuh, serta tingginya

kesakitan dan kematian. Tingkat konsumsi seseorang dapat mempengaruhi status gizi oaring

tersebut. Jika seseorang dapat memenuhi dan memperoleh zat gizi dengan baik dan dapat

digunakan secara efisien maka pertumbuhan fisik, kecerdasan, dapat berkerja lebih optimal. Status

gizi lebih dapat menimbulkan hal yang berbahaya pada tubuh karena tubuh memperoleh zat gizi

dalam jumlah berlebihan.(5)

Stunting dapat menghambat perkembangan fisik dan mental anak, dimana berkaitan dengan

meningkatnya risiko kematian dan kesakitan serta menghambat kemampuan pertumbuhan motorik

dan mental, produktivitas, penurunan intelektual, dan peningkatan risiko penyakit degeneratif di

masa mendatang.(6)

Bayi berusia 0-6 bulan hanya memerlukan Air Susu Ibu (ASI) saja sebagai

nutrisi utama. Setelah 6 bulan, bayi baru dapat diberikan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI).

MP-ASI diberikan atau mulai di perkenalkan pada bayi ketika umur balita diatas 6 bulan.(7)

Selain

berfungsi untuk mengenalkan jenis makan baru pada anak, MP-ASI juga dapat mencukupi

kebutuhan nutrisi bayi yang tidak dipenuhi oleh ASI saja, serta dapat membentuk daya tahan tubuh

dan perkembangan sistem imunologis anak terhadap makanan dan minuman.(8)

WHO

merekomendasikan pemberian ASI ekslusif 6 bulan pertama kehidupan dan dilanjutkan dengan

pengenalan MP-ASI akan tetapi ASI tetap dilanjutkan sampai usia 2 tahun.(9)

Balita dikatakan MP-ASI dini apabila balita tersebut diberikan makanan atau minuman selain

ASI sebelum balita berusia 6 bulan. Menurut Riskesdas (2010)(10)

proporsi pemberian MP-ASI dini

di Indonesia dapat dilihat berdasarkan ASI Parsial dan ASI predominan. Persentase pemberian ASI

parsial sebesar 83,2%. Sedangkan persentase pemberian ASI predominan sebesar 1,5%. Menurut

penelitian Teshome anak yang diberi MP-ASI dini berisiko untuk mengalami kejadian stunting.

Berdasarkan penelitian Rahayu (2011)(11)

menyatakan bahwa pemberian MP-ASI dini bisa

menyebabkan risiko stunting karena bayi belum memiliki saluran pencernaan sempurna sehingga

lebih mudah terkena penyakit infeksi seperti diare dan ISPA. Oleh karena itu, berdasarkan uraian

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 3

latar belakang diatas maka perlu dilakukannya penelitian untuk mengetahui Pengaruh Pemberian

MP-ASI Dini Dengan Kejadian Stunting Pada Balita 24-59 Bulan Di Indonesia (Analisis Data

IFLS 5).

METODE

Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional. Populasi penelitian ini adalah

seluruh responden yang berada di 13 Provinsi di Indonesia yang berhasil ditemui saat pencacahan

dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi penelitian. Jumlah sampel dalam penelitian sebanyak

1.006 responden. Variabel dependen dalam penenlitian ini adalan kejadian stunting. sedangkan

variabel independen dalam penelitian ini adalah pemberian MP-ASI Dini. Variabel confounding

meliputi ASI eksklusif, status imunisasi, berat badan lahir, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, jenis

kelamin balita, penyakit infeksi, status ekonomi keluarga, tinggi badan ibu, wilayah tempat tinggal

dan ketersediaan air bersih. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik

multistage random sampling dengan kriteria inklusi yaitu balita usia 24-59 bulan dan ibu balita

yang merupakan responden IFLS tahun 2014 dan kriteria eksklusi meliputi adanya missing data,

ibu balita yang menjawab tidak tahu dan data responden yang tidak singkron. Analisis data

dilakukan secara univariat, analisis bivariat dengan menggunakan ujichi-square dan analisis

multivariat menggunakan uji regresi logistik ganda dengan model faktor risiko.

HASIL PENELITIAN 1. Analisis Univariat

Analisis uni variat dilakukan untuk mengetahui distribusifrekuensi respondenberdasarkan

variabel independen utama, variabel dependen dan variabel confounding.

Tabel 1.

Distribusi Frekuensi Variabel yang Mempengaruhi Kejadian Stunting pada Balita 24-59

Bulan di Indonesia

Variabel Total Responden

n %

Variabel Dependen

Kejadian Stunting Stunting 440 43,8

Normal 566 56,2

Variabel Independen Utama

Pemberian MP-ASI Dini MP-ASI Dini 785 78

Tidak MP-ASI Dini 221 22

Variabel Confounding

Pemberian MP-ASI Dini MP-ASI Dini 785 78

Tidak MP-ASI Dini 221 22

Riwayat ASI Eksklusif

Tidak ASI Eksklusif 785 78 ASI Eksklusif 221 22

Status Imunisasi

Tidak Imunisasi 464 46,1 Imunisasi Tidak Lengkap 103 10,3

Imunisasi Lengkap 439 43,6

Riwayat BBLR

BBLR 82 8.2 Tidak BBLR 924 91.8

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 4

Variabel Total Responden n %

Jenis Kelamin Laki-laki 531 52,8

Perempuan 475 47,2

Riwayat Penyakit Infeksi (Diare dan

ISPA)

Pernah 294 29,2

Tidak Pernah 712 70,8

Tinggi Badan Ibu

Pendek (<150cm) 356 35,6 Normal (≥ 150 cm) 648 64,4

Pendidikan Ibu

Rendah 217 21,6

Menengah 651 64,7 Tinggi 138 13,7

Pekerjaan Ibu

Tidak Bekerja 492 48,9

Bekerja 514 51,1

Status Ekonomi

Rendah 545 54,2

Tinggi 461 45,8

Wilayah Tempat Tinggal Pedesaan 459 45,7

Perkotaan 547 54,3

Ketersediaan Air Bersih

Tidak Tersedia 11 1,1 Tersedia 995 98,9

Berdasarkan tabel1 hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Distribusi kejadian stunting pada

balita 24-59 bulan dimana 43,8% balita mengalami stunting (-3SD s/d <-2SD). Mayoritas balita

dengan MP-ASI dini (78%) dengan jumlah 785 balita. Sebanyak 78% balita memiliki riwayat tidak

ASI eksklusif. Sebagian besar balita dengan status imunisasi yang tidak imunisasi(46,1%).

Mayoritas balita dengan riwayat tidak BBLR (91,8%). Mayoritas anak balita pada penelitian ini

adalah balita berjenis kelamin laki-laki (52,8%). Sebagian besar kelompok balita tidak memiliki

riwayat penyakit infeksi (70,8%). Mayoritas proporsi kelompok ibu dengan tinggi badan normal (≥

150 cm) (64,4%). Pendidikan ibu balita yang paling dominan pada penelitian ini termasuk dalam

kategori menengah (SMP, SMA dan Sederajat) dengan frekuensi sebanyak 651 ibu. Proporsi status

bekerja mayoritas pada kelompok ibu yang bekerja (51,1%). Mayoritas keluarga memiliki status

ekonomi keluarga yang rendah (54,2%). Sebagian besar wilayah tempat tinggal keluarga adalah di

wilayah perkotaan (54,3%) keluarga balita. Mayoritas proporsi keluarga yang memiliki air bersih

(98,9%).

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara masing-masing variabel

independen (variabel independen utama dan variabel perancu) dengan kejadian stunting.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 5

Tabel 2. Hubungan Antara Variabel Indepeden Utama dan Variabel Perancu dengan

Kejadian Stunting

Variabel

Kejadian Stunting

p-value PR

95%CI Stunting Normal

n % n %

Pemberian MP-ASI Dini MP-ASI Dini 368 46,8 417 53,2

<0,0001 1,427

(1,262-1,613) Tidak MP-ASI Dini 73 32,8 148 67,2

Riwayat ASI Eksklusif

Tidak ASI Eksklusif 368 46,8 417 53,2 <0,0001

1,427

(1,262-1,613) ASI Eksklusif 73 32,8 148 67,2 Status Imunisasi

Tidak Imunisasi 237 51,2 226 48,8 <0,0001 2,091

(1,797-2,434)

Imunisasi Tidak Lengkap 56 54,4 47 45,6 <0,0001 2,375

(1,956-2,883) Imunisasi Lengkap 147 33,4 292 66,6

Berat Badan Lahir

BBLR 45 54,6 37 45,4 0,002

1.275

(1,116-1,457) Normal 395 42,8 528 57,2

Pendidikan Ibu

Rendah 102 46,9 115 53,1 0,007 1,404

(1,100-1,792)

Menengah 285 43,8 366 56,2 0,043 1,236

(1,007-1,518)

Tinggi 53 38,6 84 61,4

Pekerjaan Ibu

Tidak Bekerja 224 45,5 268 54,5 0,042

1,082

(1,003-1,167) Bekerja 216 42,1 298 57,9

Jenis Kelamin Balita

Laki-laki 242 45,6 289 54,4 0,036

1,096 (1,006-1,193) Perempuan 198 41,6 277 58,4

Status Ekonomi Keluarga

Rendah 250 46 294 54 0,013

1,117 (1,024-1,218) Tinggi 190 41,1 271 58,9

Tinggi Badan Ibu

Pendek 189 52,8 169 47,2 <0,0001

1,362

(1,247-1,488) Normal 251 38,8 397 61,2

Riwayat Penyakit Infeksi

Pernah 131 44,5 163 55,5 0,633

1,025

(0,927-1,133) Tidak Pernah 309 43,4 403 56,6

Wilayah Tempat Tinggal

Pedesaan 205 44,6 255 55,4 0,402

1,035

(0,955-1,121) Perkotaan 235 43,1 311 56,9

Ketersediaan Air Bersih

Tidak Tersedia 4 33,8 7 66,2 0,090

0,770

(0,554-1,071) Tersedia 436 43,9 559 56,1

*Signifikan :p-value < 0,05

Berdasarkan tabel 2 hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa terdapat 9 variabel yang

kurang dari nilaialpha(0,05) dan terdapat 3 variabel yang lebih dari alpha(0,05). Sehingga dapat di

simpulkan ada hubungan antara variabel pemberian MP-ASI dini, ASI eksklusif, status imunisasi,

berat badan lahir, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, jenis kelamin balita, status ekonomi keluarga, dan

tingggi badan ibu dengan kejadian stunting. Tidak terdapat hubungan antara variabel riwayat

penyakit infeksi, wilayah tempat tinggal dan ketersediaan air bersih dengan kejadian stunting. Hasil

analisis statistik diatas menunjukkan nilai PR variabel independen utama sebesar 1,427. Angka

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 6

tersebut menunjukkan bahwa obesitas merupakan faktor risiko kejadian stunting dengan 95% CI

berkisar antara 1.262 sampai dengan 1,613. Begitu juga dengan variabel-variabel lain yang hampir

menunjukkan hasil serupa. Variabel ASI eksklusif, status imunisasi, berat badan lahir, pendidikan

ibu, pekerjaan ibu, jenis kelamin balita, status ekonomi keluarga, tinggi badan ibu, riwayat penyakit

infeksi, wilayah tempat tinggal menunjukkan adanya risiko untuk mengalami kejadian stunting,

dengan masing-masing PR 1,427;2,091;1,275;1,404;1,236;1,082;1,096;1,117;1,362;1,025;1,035.

Variabel ketersediaan air bersih justru menunjukkan hasil protektif dengan PR = 0,770.

3. Analisis Multivariat

Hasil analisis multivariat memaparkan hasil hubungan antara pemberian MP-ASI dini

dengan kejadian stunting setelah dikontrol dengan variabel confounding.

Tabel 3. Final Model Analisis Multivariat Hubungan Antara Pemberian MP-ASI Dini

Dengan Kejadian Stunting

Variabel p-value Adjusted PR 95% CI

Lower Upper

MP-ASI Dini <0,0001 1,873 1,529 2,293

BBLR 0,030 1,466 1,038 2,069 Tinggi Badan Ibu <0,0001 1,723 1,444 2,055

Status imunisasi

Tidak Imunisasi <0,0001 2,187 1,862 2,568

Imunisasi Tidak Lengkap <0,0001 2,424 1,997 2,941 Imunisasi Lengkap(reff)

*Signifikan :p-value < 0,05

Berdasarkan tabel 3 hasil analisis diatas, diketahui bahwa terdapat hubungan antara pemberian MP-

ASI dini dengan kejadian stunting setelah dikontrol dengan variabel berat badan lahir, tinggi badan

ibu, dan status imunisasi PR 1,873;95% CI = 1,529-2,293.

PEMBAHASAN

Status gizi masa lampau di gambarkan dengan Indeks antropometri TB/U. Jika anak

tersebut pendek,artinya ada indikasi rendahnya kualitas dan kuantitas asupan makanan dalam

rentan waktu yang relatif lama. Rendahnya TB/U pada anak pada anak yang lebih tua (di atas 3

tahun) merefleksikan kegagalan pertumbuhan (stunted), sedangkan lebih muda (di bawah 2-3

tahun) di negara berkembang juga merefleksikan kegagalan proses pertumbuhan selanjutnya

(stunting). Hal yang perlu diperhatikan adalah gangguan pertumbuhan dimulai sejak bayi yang

dipengaruhi oleh kondisi spesifik yang bervariasi antar populasi. Anak dengan pertumbuhan

pendek pertumbuhannya sulit untuk dikejar namun jika anak-anak tersebut dapat diberikan asupan

makanan yang baik serta lingkungan tersebut dapat memgolah sanitasi lingkungan dengan bersih

maka akan terjadi perubahan pertumbuhan ada anak-anak tersebut.(12)

Berdasarkan data WHO dalam Kemenkes RI (2016)(13)

diperkirakan sebanyak 162 juta anak

didunia mengalami masalah stunting pada tahun 2012, di Asia anak pendek hidup sebanyak 56%

dan 36% di Afrika bagian Timur dan Selatan. Kejadian stunting pada balita lebih banyak terjadi di

Negara berkembang dengan prevalensi kejadian sebesar 30% (UNICEF, 2009)(14)

. Dibandingkan

dengan beberapa Negara tetangga, prevalensi balita pendek di Indonesia masih tinggi yaitu

sebanyak 7,5 juta balita dibandingkan dengan Myanmar (35%), Vietnam (23%), Malaysia (17%),

Thailand (16%), dan singapura (4%) (UNSD, 2014)(4)

. Hasil Riskesdas tahun 2013 bahwa

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 7

prevalensi kejadian stunting sebesar 37,2% dan terjadi peningkatan dari tahun 2010 sebesar

1,6%.(15)

Hasil analisis univariat menunjukkan bahwa proporsi anak balia yang mengalami stunting

yaitu sebanyak 43,8% dengan jumlah 440 balita dari 1.006 balita. Sedangkan balita yang memiliki

status gizi normal sebesar 56,2% dengan jumlah 566 balita dari 1.006 balita yang masuk kedalam

penelitian. Hasil penelitian ini mengatakan terdapat hubungan antara pemberian MP-ASI dini

dengan kejadian stunting setelah dikontrol dengan variabel berat badan lahir, tinggi badan ibu dan

status imunisasi. Hasil tersebut diperkuat oleh penelitian Hendra (2018), dimana anak yang

diberikan MP-ASI dini 6,5(95%CI 1,8-22,9) kali lebih berisiko untuk mengalami gangguan

pertumbuhan dibandingkan anak yang diberikan MP-ASI tepat waktu.(16)

Sejalan dengan hal

tersebut, penelitian Nova (2018), menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara variabel

pemberian MP-ASI dengan kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di puskesmas Lubuk

Buaya.(17)

Penelitian ini sesuai dengan teori Depkes (2005), yang mengatakan bahwa terganggunya

pertumbuhan pada awal masa kehidupan bayi antara lain disebabkan karena kekurangan gizi sejak

bayi. Dalam pemberian makanan pada bayi harus memperhatikan frekuensi pemberian, ketepatan

waktu pemberian, jumlah bahan makanan dan cara pembuatannya. Adanya kebiasaan pemberian

makanan bayi yang tidak tepat antara lain yaitu pemberian makanan yang terlalu dini, makanan

yang diberikan tidak cukup dan frekuensi yang kurang.(18)

Makanan pendamping ASI (MP-ASI)

memiliki peranan penting dalam memenuhi dan melengkapi kebutuhan zat-zat gizi anak usia 6-24

bulan karena ASI sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan gizi untuk mencapai tumbuh kembang

yang optimal. Pengetahuan ibu yang rendah tentang pemberian MP-ASI dan pemberian MP-ASI

yang dilakukan secara tidak tepat dan benar dapat menyebabkan masalah gizi sepertigangguan

pertumbuhan dan perkembangan serta gizi kurang.(19)

Menurut Lestari (2014), anak yang diberikan MP-ASI dini memiliki risiko menjadi stunting

6.54 kali dibandingkan dengan anak yang diberikan MP-ASI sesuai dengan umur seharusnya.

Penelitian ini menujukkan bahwa terdapat hubungan antara kegagalan ASI eksklusif dengan

pemberian MP-ASI dini. Ibu yang tidak memberikan ASI secara eksklusif biasanya memberikan

makanan lain sebagai pengganti ASI. MP-ASI yang biasa diberikan berupa pisang, bubur saring,

susu formula, dan biskuit. Berdasarkan kematangan fisiologis dan kebutuhan gizi, pemberian

makanan selain ASI kepada bayi sebelum usia 6 bulan akan menyebakan penyakit diare, alergi dan

penyakit lainnya. Hal ini disebabkan karena saluran pencernaan bayi belum siap untuk mencerna

makanan selain ASI.(20)

Berat badan lahir dibagi menjadi dua kategori yaitu normal jika berat badan lahir ≥2500

gram dan berat badan lahir rendah (BBLR) jika berat badan lahir <2500 gram (kemenkes, 2010).

Berdasarkan hasil analisis univariat pada penelitian ini menunjukkan bahwa dari 1.006 balita,

sebagian besar balita tidak memilikik riwayat BBLR dengan frekuensi sebesar 924 balita atau

setara dengan 91,8%. Hasil bivariat menunjukkan bahwa proporsi balita dengan riwayat BBLR

yaitu sebanyak 54,6% yang mengalami stunting, sedangkan balita dengan riwayat tidak BBLR

sebesar 42,8% yang mengalami stunting. Hasil analisis multivariat terlihat bahwa terdapat

hubungan yang signifikan antara berat badan bayi lahir terhadap kejadian stunting pada balita

dengan p-value sebesar 0,030 dengan adjusted PR 1,466 (95% CI 1,038-2,069), artinya balita

dengan riwayat BBLR berpeluang lebih besar 1,466 kali untuk mengalami stunting dibandingkan

balita dengan berat badan lahir normal. Hasil penelitian ini diperkuat oleh penelitian Supriyanto

(2017), dimana anak yang memiliki riwayat BBLR berisiko 6,16 kali lebih besar (95% CI 3,007-

12,656) untuk mengalami stunting dibandingkan dengan anak yang tidak memiliki riwayat

BBLR.(21)

Sejalan dengan hal tersebut, penelitian Oktarina (2013), menunjukkan bahwa anak

dengan BBLR berpeluang 1,31 kali (95% CI 1,02-1,68) kali lebih besar dibandingkan dengan anak

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 8

yang memiliki berat badan lahir normal.(22)

Arifin (2015), menjelaskan bahwa anak dengan riwayat

BBLR jika diiringi dengan konsumsi makanan yang tidak adekuat dan pelayanan kesehatan yang

tidak layak maka akan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan dan menghasilkan anak stunting.

Selain itu, bayi yang lahir dengan berat badan rendah biasanya akan diberikan susu formula

tambahan khusus bayi dengan berat badan lahir rendah. Sehingga hal tersebut dapat membuat

gagalnya pemberian ASI eksklusif kepada bayi.(23

)

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Nadiyah (2014), tinggi badan ibu yang <150

cm berisiko 1,768 kali (95% CI 1,205-2,594) lebih besar untuk melahirkan anak stunting.(6)

hal

tersebut tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Rahayu (2015), bahwa tidak terdapat

pengaruh inggi badan ibu terhadap kejadian stunting.(11

) Berdasarkan penelitian tersebut

menunjukkan bahwa kejadian stunting pada balita disebabkan melalui genotif pendek yang

diturunkan oleh ibunya (Aisyah, 2015)(24

). Menurut Direktur Gizi Masyarakat Kemenkes RI bahwa

masalah stunting tidak hanya disebabkan oleh kurangnya gizi dari seorang anak, masalah genetik

juga dapat menyebabkan stunting, dimana genetik menyumbangkan faktor risiko sebesar 26%.

Tampilan fenotip yang muncul tergantung pada ekspresi genetik manusia, serta merupakan faktor

yang diturunkan kepada anak yang berkaitan dengan kejadian stunting (Kusuma, 2013)(25

). Namun,

apabila sifat pendek orang tua disebabkan oleh masalah gizi maupun patalogis maka sifat pendek

tersebut tidak diturukan pada anaknya.

Hasil ini menunjukkan bahwa anak dengan status tidak imunisasi lebih berisiko 2,187

mengalami stunting dibandingkan dengan anak dengan status imunisasi lengkap. Selanjutnya, anak

dengan status imunisasi tidak lengkap berpeluang 2,424 kali lebih besar untuk mengalami stunting

dibandingkan dengan anak yang status imunisasi lengkap. Penelitian sebelumnya mengemukakan

hasil yang serupa yaitu balita yang tidak mendapatkan imunisasi lengkap berisiko 3,5 kali

mengalami stunting dibandingkan dengan anak balita yang mendapatkan imunisasi lengkap

(Hendra, 2013).(26

) Imuniasi erat kaitannya dengan peningkatan daya tahan tubuh dan resistensi

terhadap penyakit. Namun, anak dengan imunisasi dasar lengkap jika tidak diimbangi secara

maksimal dengan faktor lain seperti asupan makanan yang baik maka akan tetap mengganggu

kekebalan dan ketahanan tubuh, hal tersebut akan meningkatkan kerentanan anak untuk mengalami

stunting. Selain itu, kualitas vaksin juga merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi

manfaat serta efektivitas pemberian imunisasi (Hayyudini, 2017).(27

)

KESIMPULAN DAN SARAN

Prevalensi kejadian stunting pada balita 24-59 bulan di Indonesia dalam penelitian ini adalah

sebesar 43,8%. Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa terdapat 9 variabel yang berhubungan

secara signifikan dan terdapat 3 variabel yang tidak memiliki hubungan atau tidak signifikan.

Sehingga dapat di simpulkan terdapat hubungan yang signifikan antara variabel pemberian MP-

ASI dini, ASI eksklusif, status imunisasi, berat badan lahir, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, jenis

kelamin balita, status ekonomi keluarga, dan tingggi badan ibu dengan kejadian stunting. Tidak

terdapat hubungan antara variabel riwayat penyakit infeksi, wilayah tempat tinggal dan

ketersediaan air bersih dengan kejadian stunting. Berdasarkan hasil analisis multivariat, diketahui

bahwa terdapat hubungan antara pemberian MP-ASI dini dengan kejadian stunting setelah

dikontrol dengan variabel berat badan lahir, tinggi badan ibu, dan status imunisasi.

Saran untuk penelitian ini ialah adanya kerjasama lintas sektor menagani masalah gizi

masyarakat, kepada tenaga kesehatan lebih memberi dukungan kepada orang tua agar terus tetap

memberikan ASI eksklusif hingga bayi barusia 6 bulan, adanya kerja sama orang tua untuk

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 9

memperhatikan status gizi anak, serta melakukan deteksi dini dengan mengukur tinggi badan anak

secara rutin agar pertumbuhan kembang anak dapat diapantau.

DAFTAR PUSTAKA

1. Purwandini K. Pengaruh Pemberian Mikronutrient Sprinkle Terhadap Perkembangan

Motorik Anak Stunting Usia 12-36 Bulan. J Nutr Coll. 2013;2:147–63.

2. Kartikawati. Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Stunted Growth Pada Anak Balita di

Wilayah Kerja Puskesmas Arjasa Kabupaten Jember. Univesitas Jember; 2012.

3. Millenium challenge account-indonesia. Stunting dan masa depan indonesia [Internet].

2014. Available from: http://mca-indonesia.go.id/wp-

content/uploads/2015/01/Backgrounder-Stunting-ID.pdf.

4. UNSD. Nutrition Assessment For 2010 New Project Design [Internet]. 5 Januari 2019.

2014. Available from: www.indonesia.usaid.gov

5. Emalia., Fatmalina F. AR. Hubungan Asupan Gizi, Pengetahuan dan Stimulasi ibu dengan

Tumbuh Kembang Anak Prasekolah TK Handayani dan TK Teratai 26 Ilir Kecamatan Bukit

Kecil Palembang 2014. J Ilmu Kesehat Masy. 2015;Vol. 6. No.

6. Nadiyah N dan M. Faktor Risiko Stunting pada Anak Usia 0-23 Bulan di Provinsi Bali,

Jawa Barat, dan Nusa Tenggara Timur. J Gizi dan Pangan. 2014;9.

7. Departemen Kesehatan RI. Pola Makan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI). Jakarta; 2009.

8. Kementerian Kesehatan RI. Pusat Data Dan Informasi Situasi dan Analisis ASI Eksklusif.

Jakarta; 2017.

9. WHO (World Health Organization). Feeding And Nutrition of Infants and Young Children.

2014.

10. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian

Kesehatan. Jakarta; 2010.

11. Rahayu Atika dkk. Riwayat Berat Badan Lahir dengan Kejadian Stunting pada Anak Usia

Bawah Dua Tahun. J Kesehat Masy Nas. 2015;20.

12. Destriatania S. Analisis Praktik Menyusui, Penyakit infeksi dan Faktor Sosiodemografi

Terhadap Pertumbuhan Linear Anak Usia 12-60 Bulan di Kecamatan Indralaya Kabupaten

Ogan Ilir. J Ilmu Kesehat Masy. 2013;Vol. 4. No.

13. Kementerian Kesehatan RI. Pusat Data Dan Informasi Situasi Balita Pendek. Jakarta; 2016.

14. UNICEF. TRACKING Progress on Child and Maternal Nutrition a Survival and

Development Priority [Internet]. www.unicef.org/publications. 2009. Available from:

www.unicef.org/publications

15. Riset kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian

Kesehatan RI. Jakarta; 2013.

16. Hendra AAR. Pemberian ASI dan MP-ASI Terhadap Pertumbuhan Bayi 6-24 Bulan. J

Kedokt Syiah Kuala. 2018;17 No.1.

17. Nova M dan OA. Hubungan Berat Badan, ASI Eksklusif, MP-ASI Dan Asupan Energi

dengan stunting pada Balita Usia 24-59 Bulan di Puskesmas Lubuk Buaya. J Kesehat

Perintis. 2018;5 No. 1.

18. Departemen Kesehatan RI. Petunjuk Pelaksanaan Peningkatan ASI Eksklusif bagi Petugas

Puskesmas. Jakarta; 2005.

19. Nurmaliani, R., Fatmalina F. RM. Gambaran Tingkat Pengetahuan Ibu dan Pemberian

Makanan Pendamping ASI pada Anak Usia 6-24 Bulan di Kelurahan Kuto Batu Kota

Palembang. J Ilmu Kesehat Masy. 2010;Vol.1. No.

20. Lestari, w., Margawati A. Faktor risiko stunting pada anak umur 6-24 bulan di kecamatan

penanggalan kota subussalam provinsi aceh. J Gizi Indones. 2014;3 No.1:37-45.

21. Supriyanto, Y., Paramashanti, B.A., & Astiti D. Berat Badan Lahir Rendah Berhubungan

Dengan Kejadian Stuntingpada Anak Usia 6-23 Bulan. J Gizi Dan Diet Indones. 2017;Vol.5

No.1:23–30.

22. Oktarina, Z dan Sudiarti T. Risk Factor of Stunting Among Toddlers (24-59) at Sumatera.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 10

Nutr Food J. 2013;Vol.8 No.3:175–80.

23. Arifin dan H. Analisis Sebaran Dan Faktor Risiko Stunting Pada Balita Di Kabupaten

Purwakarta. 2012;Vol.2 No.3.

24. Aisyah S. Perkembangan Dan Konsep Dasar Pengembangan Anak Usia Dini. Jakarta:

Universitas Terbuka; 2010.

25. Kusuma K dan N. Faktor Risiko Kejadian Stunting pada Anak Usia 2-3 Tahun (Studi di

Kecamatan Semarang Timur). Diponegoro University; 2013.

26. Hendra A MA dan HA. Kajian Stunting pada Anak Balita ditinjau dari Pemberian ASI

Eksklusif, MP-ASI, Status Imunisasi, dan Karakteristik Keluarga di Kota Banda Aceh. J

Kesehat Ilm Nasuwakes. 2013;Vol.6. No.:169–84.

27. Hayyudini, D dan Dharmawan Y. Hubungan Karakteristik Ibu, Pola Asuh dan Pemberian

Imunisasi Dasar Terhadap Status Gizi Anak Usia 12-24 Bulan (Studi di Wilayah Kerja

Puskesmas Kedungmundu Kota Semarang Tahun 2017). J Kesehat Masy. 2017;Vol.5

No.4:788–800.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 11

TOLUENE EXPOSURE MANAGEMENT FOR PRINTING MACHINE

OPERATORS IN OFFSET PRINTING COMPANIES

Widya Haris Saraswati

1, Mona Lestari

2*, Novrikasari

3, Dini Arista Putri

4, Anita Camelia

5

1Students of the Faculty of Public Health, Sriwijaya University

2,3,5Section of Occupational Health and Safety, Faculty of Public Health, Sriwijaya University

4Section of Environmental Health, Faculty of Public Health, Sriwijaya University

Jl. Palembang Prabumulih KM 32, Indralaya, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan Corresponding email: [email protected]

ABSTRACT

Printing ink that were comonly usef in offset priinting company contains organic pigments. The organic

pigments are made from aromatic hydrocarbons such as benzene its derivatives. In short term, exposure to

organic solvents can cause dizziness, nausea, and sleepiness. This study purpose is to analyze the

management toluene exposure in printing company towards the printing machine operators. The method of

this study is qualitative description. To check the data validity test uses data triangulation techniques. The

total research informants numbered nine people consisting of seven printing machine operators as key

informants and two managers as ordinary informants. The results this research obtained show that seven

printing machine operators still do not understand the risks of toluene exposure in their work place, the lack

of supervision from the printing manager and the absence of regulations or sanctions regarding the use of

self protection gear play parts to why the printing press operators still do not fully understand the benefit of

wearing masks or other personal protective equipment while working. In conclusion, 7 out of 9 informants

experienced symptoms of being exposed to toluene due to lack of knowledge of toluene exposure which cause

lack of personal protective equipment uses. The lack of regulations regarding the use of protective gear also

play part in this. To fix the lack of control of personal protective equipment regulation in offset printing

company, managers are required to make regulation of personal protection in printing work place and

provide the appropriate personal protective equipment.

Keywords: Offset print ink, personal protective equipment (PPE), toluene

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 12

INTRODUCTION

Printing is an industry that uses technology to produce printed products. The copies of the

printing industry results can be in the form of words or pictures printed on paper, cloth, and other

media. Every day, billions of printed product are produced, including books, calendars,

newspapers, posters, invitations, and other materials.1 Printing uses large amounts of flammable

organic solvents and uses combustible materials such as paper, cloth, plastic when working.

The work process in printing is generally divided into four steps, namely: pre-press, make-

ready, press, and post-press. A pre-press operation is a process that transfers print design data to a

printing machine.2 This operation involves chemical and physical processes such as exposure to

ultraviolet (UV) light, photoengraving or laser printing, development, and further processing.

Make-ready is a print preparation process where the printing machine is adjusted with the printing

process that will be done. The Press step is the printing process. Finally, post-press is a finishing

process such as binding, pasting, and so on. Printing uses large amounts of flammable solvents and

uses combustible materials such as paper, cloth, plastic when working. Pigments are dyes that are

insoluble, have larger grains, are more resistant to light, heat, and chemicals. Pigments are

commonly used in offset inks such as gaseous inorganic pigments and soot. Pigments derived from

natural dyes are dyes that are naturally present in plant and animal tissues.3

Exposure to organic solvents can be through inhalation, oral, and contact. Long-term health

effects that can be caused due to exposure to benzene and its derivatives are damage to internal

organs such as the liver, kidneys and lungs, and so on. Organic solvents can also cause damage to

the central nervous system with effects such as drowsiness, impaired body coordination, decreased

focus of mind and vision. Organic solvents (thinners) consist of various types of organic substances

such as aromatic hydrocarbons such as benzene and its derivatives, aliphatic hydrocarbons (for

example n-hexane), chlorinated aliphatic hydrocarbons (for example chloroform, CCl4), alcohols,

or glucose and ether.4 Time-weighted Average Threshold Value (NAV) of chemicals in the air of

the workplace, with a number of working hours of 8 hours per day or 40 hours per week, states that

benzene is included in the group. A2 (category of carcinogenic chemicals for humans) has TLV of

10 ppm or 32 mg/m3 of benzene in the air.

5

Exposure to organic solvents within the scope of work in printing can cause dizziness,

nausea, and irritation, and long-term exposure can lead to cirrhosis (decreased liver function),

decreased kidney function, and nervous disorders.4 In a study conducted by Fatmawati, as many as

58.5% of printing operators in the Rappocini District of Makassar City who did not use personal

protective equipment (PPE) while working had dermatitis disorders.6

The purpose of this study was to analyze the self-protection management of printing machine

operators against exposure to toluene in the Palembang city offset printing press. Other factors that

can influence self-protective behavior by printing workers can be analyzed using Lawrence Green's

theory, namely predisposing factors (knowledge, perceptions, motivation, attitudes), enabling

factors (supporting facilities), and reinforcing factors (policy, supervision, regulations).7

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 13

METHOD

This research use descriptive qualitative method with in-depth interviews as a method of data

collection. The data validity test used data triangulation technique. This study used a qualitative

research design. Information obtained is usually in the form of words or text. Data in the form of

words or text is then analyzed. The results of the analysis can be in the form of a description or

description or it can be in the form of themes. From these data, interpretation is made to capture the

deepest meaning. After that, a personal reflection (self-reflection) is made and describes it with

other scientific studies previously made. The final results of the qualitative research are written in

the form of a written report. The report is somewhat flexible because there are no standard

provisions on the structure and form of the qualitative research report.

Informants in this qualitative research are divided into two; key informants and supporting

informants. The main criteria for key informants are people who are willing to share concepts and

knowledge with researchers and can communicate with researchers. Researcher data collection

starts with key informants to get a complete and comprehensive picture of the problem being

observed.8

The research was carried out in two offset printers in Palembang City, namely; X

Printing Company and Y Printing Company. The key information in this study is divided into two;

7 printing machine operators as key informants and 2 managers as supporting informants. The

informants are willing to share concepts and knowledge with researchers and can communicate

with researchers through in-depth interviews, which supported by observation check-lists and

documentations in form of photos, recording, and library study sources.

RESULT 1. Source of Toluene Exposure

The main sources of toluene exposure at X Printing Company and Y Printing Company are

derived from inks and solvents used as ink thinners. The source of benzene vapor in printing came

from ink droplets in the open roll cylinder of the printing machine, printed products, ink spills, and

a funnel for inserting ink into the funnel or jerry can.9 The source of toluene orr any other benzene

derivatives exposure is identified by looking at the presence of toluene in the ink or solvent

ingredients. The ink material ingredients can be seen from the ink patents.

X Printing Company using KONICA ink which produced by Konica Minolta, a company

that focuses on the printing industry. On patent filed behalf of the company Konica Minolta, fwith

patent code USOO7604.343B2. Konica Minolta company uses benzyl methacrylate, benzyl

acrylate, fluorobenzyl group, and other methozybenzyl group groups as solvent components of the

ink. Benzyl is a group of compounds with the formula C6H5CH2-, which is made from toluene

(C6H5-CH3), which is a benzene derivative compound.10

Meanwhile, Y Printing Company uses

Syner-G EX inks produced by the Sun Chemical company, which is a company that focuses on

producing inks and ink pigments. The patent filed by the Sun Chemical company entitled Energy

Curable Lithographic Inks Containing Lactic Acid Resins which was released in 2014 states that

the ink produced by Sun Chemical uses toluene, a derivative of the benzene group of compounds,

as a solvent.

Exposure to toluene within 30 to 60 minutes and below 200 ppm can cause acute symptoms

such as dizziness, nausea, drowsiness, tremors, and various respiratory symptoms such as nasal

discharge and tightness. breath. Acute effects on the upper respiratory system caused by exposure

to toluene generally appear 6 hours after exposure. In high doses such as 200 to 500 ppm, toluene

can cause loss of balance, loss of appetite, and memory loss.11

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 14

Table 1. Symptoms of Acute Toluene Exposure to Printing Machine Operators at Work

No. Name Symptoms

Headache Nausea Tremor Sleepiness Others

1. Hr - - - - -

2. Rp - - - - Shortness of

breath

3. Bm - - - - Often feel thirsty

while working

4. Fd √ - - - Coughing

5. Fth √ √ - - -

6. Fhr √ - - - Shortness of

breath

7. Ea √ √ - - -

8. Ftm √ - - - -

9. Ahm √ - - - Shortness of

breath

Table 2. Number of Informants Experiencing Acute Symptoms of Toluene Exposure

No. Type of informant Amount Number of Informants Experiencing Acute

Symptoms of Toluene Exposure

1. Key Informants 7 5

2. Supporting Informants 2 2

Total 9 7

The results of interviews at X Printing Company and Y Printing Company, show that as

many as 5 out of 7 key informants who work in the printing press room feel symptoms of dizziness,

nausea, and shortness of breath while working. Meanwhile, two managers who oversee the print

work process do not work in the machine work process but also feel dizzy because the manager's

workplace placed near the printing machine room. The total number of informants who felt acute

symptoms of exposure to toluene was 7 out of a total of 9 informants. Apart from symptoms of low

levels of toluene exposure such as dizziness, nausea, and tremors, 3 out of 9 informants also

admitted to experiencing shortness of breath while working. The attitudes observed by the

researchers were the regularity of printing machine operators in wearing PPE during 8 hours of

work and the correct way to use PPE.

2. Knowledge

Based on in-depth interviews with 9 informants, of the 7 printing machine operators as key

informants interviewed, one printing machine operator considered that wearing a mask or other

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 15

PPE while working in the printing room was not important because it could interfere with his work.

Printing machine operators who thought that the use of masks or other PPE was not important came

from Y Printing Company.

This is inversely proportional to the results of observations by researchers where all key

informants from Y Printing Company wore masks while working for seven days even though the

use of masks was only a few hours in the morning. Meanwhile, not all key informants from X

Printing Company wore masks during the seven-day observation. This is also inversely

proportional to where all the key informants from X Printing Company consider wearing masks to

be important, but two out of four key informants never wore masks during the seven days of

observation and claimed to have never worn masks from the start of work.

3. Attitudes of Workers in Wearing PPE at Work

The attitudes observed by the researchers were the regularity of printing machine operators

in wearing PPE during 8 hours of work and the correct way to use PPE. Data obtained from

observations for seven days at X Printing Company and Y Printing Company.

Table 3. Observations on the use of PPE for the printing machine operators from X Printing

Company

No. Attitudes observed Days

1 2 3 4 5 6 7

1. Using mask while working √ - - √ - √ √

2. Wearing industrial apron while working - - - - - - -

3. Wearing industrial gloves while working - - - - - - -

4. Wearing boots while working - - - - - - -

5. Using mask properly √ - - √ - √ √

6. Wearing industrial apron properly - - - - - - -

7. Wearing infustrial gloves properly - - - - - - -

8. Wearing boots properly - - - - - - -

Of the four key informants from X Printing Company, two key informants were never seen

wearing masks or other PPE while working. In addition, for seven days, there were three days

where the printing machine operator did not wear a mask at all. Printing machine operators only

wear masks when the smell of the printing press is strong due to heavy ink usage. The smell of ink

is strongest when black colored ink is used to color the blocking part (the part with pure colors, not

mixed with other colors) of the banner.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 16

Table 4. Observations on the use of PPE for the printing machine operators from Y Printing

Company

Nu. Attitudes observed Days

1 2 3 4 5 6 7

1. Using mask while working √ √ √ √ √ √ √

2. Wearing industrial apron while working - - - - - - -

3. Wearing industrial gloves while working - - - - - - -

4. Wearing boots while working - - - - - - -

5. Using mask properly √ √ √ √ √ √ √

6. Wearing industrial apron properly - - - - - - -

7. Wearing infustrial gloves properly - - - - - - -

8. Wearing boots properly - - - - - - -

Based on the results of observations made by researchers for seven days, the printing

machine operator of X Printing Company did not wear a mask every day but the printing machine

operator of Y Printing Company wore a mask every day in the seven days of observation. Apart

from masks, X and Y Printing Company did not provide any other PPE. No printing machine

operators wears a mask or other PPE for 8 hours of work. Almost all printing machine operators no

longer wear masks after 11 o'clock because of the hot afternoon temperatures in work place.

4. Availability of PPE at the Printing

Based on observations for 7 days, X and Y Printing Company provided masks for

employees, especially printing machine operators. X Printing Company provides one motorcycle

mask for each worker and Y Printing Company provides surgical masks every day. Apart from

masks, the printer never gives other PPE to printing machine operators such as gloves, aprons and

shoes.

5. Applicable Regulations in Printing Regarding the Use of PPE

Based on in-depth interviews with 9 informants, X and Y Printing Company do not have

permanent written regulations regarding the use of PPE in the print room. The two print managers

have reminded operators to wear masks while working but no one operator wears masks regularly.

6. Manager's Supervision of the Use of PPE in the Printing

Based on the results of observations for 7 days and in-depth interviews, one way to ensure

that printing machine operators wear masks while working is by monitoring the print manager.

Even with managers present every day at the printing press, workers still don't wear masks

regularly because of this. This is supported by the absence of permanent written regulations from

the printing director regarding the use of masks or PPE while working in the print room. Thus,

supervision still cannot be optimized in the printing press because there are no fixed regulations.

Especially for Y Printing Company, supervision from superiors and managers is much lax because

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 17

the print room has CCTV so that managers and superiors don't feel the need to directly supervise

employees' work.

DISCUSSION 1. Exposure to Toluene in Printing

According to Faisal, benzene and its derivatives are included in volatile organic compound

pollutants, which means they are hydrocarbon bond chain compounds.12

In printing, exposure to

benzene is primary air pollution because printing has a direct source of that exposure, such as paint

and oil. Benzene which is a carcinogenic compound has negative effects when inhaled directly. The

impact of benzene exposure can be acute, such as dizziness, nausea, and tremors.13

Whereas in the

long term, exposure to benzene and its derivatives can cause aplastic anemia where benzene can

damage the function of the spinal cord, liver, and kidneys.14

As a volatile compound, the upper

respiratory organs such as the nose, larynx, and throat are the first organs to be affected by long-

term exposure to toluene. In the long term, exposure to toluene can result in decreased function of

the upper respiratory tract consisting of the nose, throat, and larynx, and damage the nerves

associated with the sense of smell. In addition to decreased olfactory and lung function, long-term

exposure to toluene can result in decreased nerve function causing drowsiness, tremors, nystagmus

(involuntary eye movements), hearing loss, and vision problems. Apart from the lungs and nerves,

long-term exposure to benzene and its derivatives is also speculated to cause liver and kidney

disorders.15

The results of interviews with informants from X and Y Printing Company showed that

almost all informants, both printing machine operators and managers, stated that they had

experienced mild symptoms of exposure to benzene or toluene while working. Symptoms of low or

acute exposure to toluene include dizziness, nausea, and tremors, as well as upper respiratory

system disorders such as shortness of breath or nasal discharge.

The number of informants who experienced mild or acute symptoms caused by exposure to

toluene was 7 out of a total of 9 informants. Some workers claim that they no longer feel dizzy

after getting used to the smell of ink and solvents, but working hours and workplaces, and

unchanging sources of exposure indicate that workers remain exposed to while working in a print

shop. Two managers who oversee the print work process do not participate in the work, in the

machine work process but also feel dizzy because the manager's workplace is near the machine

room.

The symptoms of dizziness and nausea felt by employees of X and Y Printing Company are

in line with the research of Febriantika which examined the impact of benzene exposure on printing

employees in Makassar. The results of research by Febriantika show that at low levels, exposure to

benzene can cause dizziness and drowsiness, fast heartbeats (tremors), headaches, and loss of

balance.16

This is also in accordance with the Benzene Guidelines which states that the acute effects

of exposure to benzene and its derivatives are dizziness, headaches, drowsiness, tremors, and loss

of consciousness. The effects of benzene exposure can increase when benzene is mixed with

alcohol which can increase the level of toxicity also states that there are no standardized guidelines

for dealing with benzene exposure through the air.13

According to the Agency for Toxic Substances

and Disease Registry11

, the acute symptoms of exposure to toluene through breathing are headache,

dizziness, and drowsiness. Exposure to toluene through the skin can cause irritation, it also applies

to the eyes and can cause poisoning if swallowed. There is no standardized medical treatment to

treat toluene poisoning. To overcome the acute effects of toluene exposure such as dizziness,

nausea, and drowsiness, it can be overcome by staying away from the source of exposure and

breathing clean air until the acute symptoms disappear.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 18

2. Knowledge

In Festinger's Dissonance Theory, an individual always tries to balance himself to behave in

accordance with the knowledge he has. Dissonance (imbalance) occurs because of a conflict within

an individual who tries to adjust himself to the knowledge he gets in the environment he is in. In

other words, the mismatch of a person's actions with the environment he is in is caused by

inadequate knowledge or environment so that a person has difficulty adapting.

The mismatch of a person's behavior in an environment or system can be corrected by

providing knowledge that is appropriate to the environment and the individual's job is located. In

other words, the knowledge provided to printing machine operators must be appropriate to field

conditions where exposure to benzene causes workers to wear PPE.

The results of interviews with printing machine operators as key informants at X and Y

Printing Company show that all printing machine operators understand their work as print machine

operators but not all printing machine operators know and understand the risk of toluene exposure

and the importance of wearing PPE to minimize exposure risks.

In accordance with the theory of Dissonance Festinger, all key informants understand their

duties as printing machine operators because they can explain their duties as printing machine

operators, but not all operators know the risks of exposure to benzene or know that wearing PPE

while working is important. All printing machine operators also know basic PPE such as masks and

their functions. However, two out of seven printing machine operators interviewed never wore

masks or other PPE at work because they felt wearing masks at work was unnecessary and could

interfere with work in the printing room. This is because two out of seven printing machine

operators do not understand the dangers of exposure to toluene while working in a printer even

though they understand the function of masks. This incident shows dissonance in Festinger's theory

that the printer operator's lack of knowledge of exposure to toluene in the print room has resulted in

printing machine operators not using personal protective equipment in an environment or situation

that requires the use of personal protective equipment.

This is in line with Hidalgo's A research, which examines the dissonance that occurs in-

market consumers towards organic food products, showing that market consumers do not buy

organic food products even though they are able to buy organic food ingredients and already know

the benefits of these organic food products. This phenomenon occurs due to a lack of consumer

understanding of the positive impact of organic foodstuffs on the environment and health. Hidalgo

concluded that knowledge is one of the main keys that can cross this dissonance. By providing

education about the benefits of organic food ingredients, this dissonance can be overcome.17

Likewise, the research of Jamitko which shows that the level of knowledge shows a significant

relationship with the use of PPE in PT Wika Beton Boyoali construction workers.18

Meanwhile, the lack of knowledge of the print manager or director can also cause dissonance

in which managers or employers do not make any regulations for wearing PPE and do not provide

adequate knowledge to printing employees about the dangers of benzene exposure and the

importance of wearing PPE. This is in accordance with PERMENAKERTRANS Regulation No.

08/MEN/VII/2010 Article 5, which states that entrepreneurs or managers are obliged to announce

in writing and put up signs regarding the mandatory use of PPE in the workplace. Employers and

managers are also required to equip employees who work in printing companies with knowledge of

the dangers of chemical exposure and the importance of wearing PPE.19

3. Attitudes of Workers in Wearing PPE

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 19

The attitude of workers in wearing PPE was measured through in-depth interviews and

observations for a week. Based on the results of in-depth interviews with seven key informants,

two of the seven key informants never wore masks at all and the other five wore masks at certain

times, namely when they were sick and when the smell of ink was very strong. In addition, there

are no printing machine operators who wear masks regularly because they feel uncomfortable and

hot when wearing masks, operators also find it difficult to communicate while working while

wearing masks, and some printing machine operators say they do not know how to wear the correct

surgical mask because not sure which side of the mask is outside inside when wearing it. This

result is not in accordance with the research of Maesaroh & Nurtjahjanti which shows that there is

a positive relationship between attitudes and the use of PPE, this positive relationship can result in

more frequent use of PPE.20

Likewise with Prasetyo's research which shows that there is a positive

attitude towards the majority of PT. Pura Barutama Kudus with the use of PPE and resulting in

compliance with the use of PPE.21

From the discrepancies of the observation results with previous

research, it can be concluded that there is no significant relationship between attitudes and the use

of PPE in X and Y Printing Company.

Changing the attitude of employees of X and Y Printing Company can be through Behavior

Change Strategies by WHO, behavior change can occur through; natural change, planned change,

and willingness to change. Meanwhile, to change the attitude or behavior itself can be done in three

ways; use force (enforcement), rule of law and law, and education.22

Enforcement can change behavior through bullying, but change may not last long because

individuals who must change must realize the benefits of changing their own behavior. Using

regulations and laws can be used by making written regulations regarding PPE at X and Y Printing

Company which are used as references. The last way to change someone's behavior is through

effective education with the discussion method. The existence of discussions between managers

and printing workers or between workers about the risks of benzene exposure and the use of PPE

can change the behavior of workers in wearing PPE while working. To realize this, workers and

managers as well as employers must create a good working atmosphere and work relations so that

discussions about the use of PPE at work can run well. At the same time, to support education as a

method of changing attitudes, it is also important to establish legal regulations so that they can

become the basis for strengthening attitude change with education.

4. Regulations for the Use of PPE in the Workplace

In Siregar's research, shows that the majority of respondents who are printing employees do

not use PPE This is due to the discomfort of the PPE used, and the absence of a system or

procedure in the printing industry that requires workers to use PPE while working.23

This

phenomenon is almost the same as the results of in-depth interviews with X printing machine

operators and printing machine operators Y Printing Company, where operators claim to be

uncomfortable when wearing masks while working and the absence of definite rules or regulations

regarding the use of PPE in printing causing supervision and procedures wearing PPE is loose.

The director and manager of X and Y Printing Company do not have a fixed regulation

regarding the use of PPE in printing. In accordance with the PERMENAKERTRANS Regulation

No. 08/MEN/VII/2010 Article 5, entrepreneurs or managers of a company are required to announce

in writing and put up signs regarding the mandatory use of PPE in the workplace.19

The application of PPE is the last risk control step that can be taken based on the risk

management hierarchy by the Health and Safety Executive by the Health and Safety Executive.

Before taking the step of providing PPE, X Printing Company has provided administrative

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 20

management steps where the printing company provides sterile milk to minimize the impact of

exposure to toluene. Although sterile milk has been shown to minimize the effects of poisoning,

there are no studies that can confirm that sterile milk can reduce the effects of benzene exposure

and its derivatives. X Printing Company also does not comply with the Medical Guidelines for

Toluene by the Agency for Toxic Substances and Disease Registry which states that there is no

specific medical treatment to treat exposure to toluene or toluene poisoning.11

If X and Y Printing Company apply a regulation regarding the use of PPE in the workplace,

then the entrepreneur or manager is obliged to announce in writing to all employees. Implementing

regulations and also providing knowledge about the risks of chemical hazards, especially exposure

to benzene in printing, can change the behavior of workers to comply with wearing PPE while

working.

5. Availability of PPE

X and Y Printing Company have provided masks for printing machine operators and other

employees. This is in accordance with PERMENAKERTRANS Regulation Number

08/MEN/VII/2010 article 2 which states: 'employers are obliged to provide PPE for

workers/laborers in providing PPE such as gloves, aprons, and shoes, as well as other types of

masks or respirators for workers. Provision of gloves, aprons, and shoes is important because

printing workers, especially printing machine operators, are at risk of being exposed to ink and

alcohol through the skin.19

However, during the 7-day observation conducted by the researcher, it

was shown that the frequency of using PPE was still very low at X and Y Printing Company even

though PPE masks were provided. This shows that there is no significant relationship between the

availability of PPE and compliance with the use of PPE. The results of this observation are

consistent with Soendoro's research, in the results of Soendoro's research, compliance with the use

of PPE in printing does not have a strong correlation with the availability of PPE.24

This is due to

several reasons such as the discomfort of PPE and the lack of PPE alternatives provided, which are

also in line with the results of in-depth interviews at X and Y Printing Company where employees

do not wear PPE due to the discomfort of PPE.

The types of masks provided for X Printing Company employees are cloth masks and the

types of masks provided for Y Printing Company employees are surgical masks. The reason why X

Printing Company provides motorcycle masks for its employees is that the availability of surgical

masks in pharmacies can be limited at any time.

Rules for wearing masks according to WHO, disposable masks such as surgical masks are

used only once before being thrown away. Meanwhile, the effectiveness of cloth masks has not

been proven to protect the wearer from exposure to viruses, bacteria, or chemicals. Surgical masks,

also known as surgical masks, do not have the perfect ability to cover the nose and mouth because

they have gaps on all four sides of the mask when worn. Wearing a procedure mask is not the right

step to reduce the risk of exposure to dust and chemical gases because procedure masks are not

certified as good respirators by the National for Occupational Safety and Health (NIOSH) and the

European Committee for Standardization (ECS).25

In order to reduce the risk impact of benzene exposure, employees of X and Y Printing

Company need a tight-fitting respirator that can cover half the face. An example of a respirator that

is easily available and used is the N95 respirator. In addition to masks, X and Y Printing Company

need to provide protective equipment for feet, hands, and body in accordance with the regulations

of the Minister of Manpower and Transmigration of the Republic of Indonesia Regulation of the

Minister of Manpower and Transmigration of the Republic of Indonesia Number

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 21

Per.08/MEN/VII/2010 concerning Personal protective equipment. The recommended foot, hand

and body protection can be in the form of footwear or shoes, gloves and aprons to prevent skin

contact with solvents and inks while working. Foot protection, gloves, and aprons are needed

because ink and solvent contact with the skin can cause irritation and allergies, even blistering if

exposed to too long and frequently as research by Agbenorku, on the occupational risks of workers

in a printing press in Ghana, India, shows that dermatitis and several other skin diseases are among

the main diseases suffered by workers in printing due to contact with inks, solvents, and some other

chemicals while working.26

6. Supervision from Managers or Entrepreneurs

Based on the results of observations during the week conducted by researchers, the

supervision while working in a printing shop is still lacking because entrepreneurs do not have

regulations and do not apply regulations regarding the use of PPE. This is also supported by the

lack of supervision from managers. Employers are also rarely shown directly by employees in the

print room. For X Printing Company, it is lax to supervise busy owners or managers, while for X

Printing Company, it is lax to supervise because the printer has CCTV for employees to work with.

Managers who are in the printing press more often remind printing machine operators to wear PPE,

but the implementation of PPE usage is still not optimal because printing machine operators feel

hot and uncomfortable when wearing masks. The absence of regulations resulting in no sanctions

or sanctions for those who do not wear PPE while working. The results of this study are not in

accordance with the research of Jatmiko et al which states that there is a significant relationship

between supervision and the use of PPE on construction workers. The results of research by Lobis

& Ariyanto also show that there is a significant influence between the supervision and use of PPE

at PT Jamu Air Mancur Palu, this result is not consistent with the results of observations at X and Y

Printing Company which even though the manager has destroyed the work process at printing, did

not show an increase in the frequency of using PPE.27

Control or supervising is a function in functional management that must be carried out by

every leader of all units/work units for the implementation of work or employees who carry out in

accordance with their respective main duties. Thus, supervision by leaders, especially those who

have built-in control, is a managerial activity carried out with the intention of avoiding

irregularities in carrying out work. A deviation or error occurs or not during work performance

depending on the ability and skill level of the employee. Employees who always receive direction

or guidance from their superiors tend to make fewer mistakes or deviations than employees who do

not receive guidance from their superiors.

CONCLUSION

Based on the results of interviews with informants, as many as 7 informants experienced

mild symptoms of exposure to toluene such as nausea and dizziness, which correspond to acute

symptoms caused by exposure to benzene and its derivatives. The main source of exposure to

toluene is inks which contain synthetic dyes derived from aromatic hydrocarbons such as benzene

and toluene which are benzene derivatives. The knowledge of printing machine operators and

offset printing managers in the city of Palembang regarding the impact of toluene exposure and the

use of PPE is still lacking, and with supervision and no permanent regulations on the use of PPE,

the application of the use of PPE in offset printing within 8 working hours per day is still lacking.

To improve this condition, Manager and Director of X and Y Printing Company must provides

knowledge about the dangers of toluene exposure in printing and the function along the benefit of

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 22

using PPE to printing employees, especially printing machine operators. In addition, the printing

company must provides N95 respirators or other standard respirators as well as other PPE such as

aprons, shoes and gloves for the employees' PPE in the printing shop.

REFERENCES

1. Sumarna DP, Naiem MF, Russeng SS. Determinan Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)

Pada Karyawan Percetakan Di Kota Makassar. 2013;1–15.

2. Department HOS and HBL. Chemical Safety in Printing Industry. 2017;

3. Muchtar H, Anova IT, Yeni G. Pengaruh Kecepatan Pengadukan Dan Kehalusan Gambir

Serta Variasi Komposisi Terhadap Beberapa Sifat Fisika Dalam Pembuatan Tinta Cetak.

2015;131–9.

4. Setiyono. Teknologi Pengelolaan Limbah Industri Percetakan. 2002;5.

5. SNI. Kategori Bahan Kimia Karsinogenik untuk Manusia. 2005;

6. Fatmawati NS, Hermana J, Slamet A, Lingkungan T, Teknik F, Teknologi I, et al. Optimasi

Kinerja Instalasi Pengolahan Air Limbah Industri Penyamakan Kulit Magetan. 2016;5(2).

7. Notoatmodjo S. Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan. 2003;

8. Heryana A. Informan dan Pemilihan Informan dalam Penelitian Kualitatif.

2018;(December).

9. Novick RM, Keenan JJ, Gross SA, Paustenbach DJ. An Analysis of Historical Exposures of

Pressmen to Airborne Benzene ( 1938 – 2006 ). 2013;57(6):705–16.

10. Ishikawa W, Hachioji. Actinic Ray Curable Composition, Actinic Ray Curable Ink, Image

Formation Method Employing It, And Ink-Jet Recordingapparatus. 2009;2(12).

11. Agency for Toxic Substances and Disease Registry. Medical Management Guidelines for

Toluene. 2014;

12. Faisal HD, Susanto AD. Peran Masker/Respirator dalam Pencegahan Dampak Kesehatan

Paru Akibat Polusi Udara. 2017;3(1).

13. WHO. Exposure To Benzene : A Major Public Health Concern. 2010;

14. Nikmah WI, D YH. Hubungan Antara Paparan Benzena Dengan Profil Darah Pada Pekerja

Di Industri. 2016;4:213–20.

15. Australian Centre for Human Health Risk Assessment. Enviroment Health Risk

Assessment. 2012;

16. Febriantika D, Sulistiyani, Budiyono. Analisis Risisko Kesehatan Pajanan Benzena Di

Industri Percetakan X Kota Semarang. 2017. 2017;5.

17. Hidalgo-baz M, Martos-partal M, González-benito Ó. Attitudes vs . Purchase Behaviors as

Experienced Dissonance : The Roles of Knowledge and Consumer Orientations in Organic

Market. 2017;8(February):1–8.

18. Jatmiko F, Setiyawan H, Atmojo TB. Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Dan

Pengawasan Terhadap Perilaku Pemakaian Apd Pada Pekerja. 2017;2(1).

19. PERMENAKERTRANS. Peraturan No. 08/MEN/VII/2010 pasal 2.

20. Maesaroh S, Nurtjahjanti H. Hubungan Antara Sikap Terhadap Alat Pelindung Diri (APD)

Dengan Komitmen Organisasi Pada Karyawan Bagian Ohs Pt. Coca-Cola Bottling

Indonesia Semarang Plant. 2013;

21. Prasetyo E. Pengaruh Pengetahuan , Sikap , Dan Ketersediaan Alat Pelindung Diri ( Apd )

Terhadap Kepatuhan Dalam Menggunakan Apd Di Unit Coating Pt . Pura Barutama Kudus.

2015;

22. WHO. Guidelines for Developing Behavioural Change Interventions in the Context of

Avian Influenza. 20068;

23. Siregar AF, Ashar T, Nurmaini. Paparan benzena di udara ambien dan kadar trans- trans

muconic acid urin pada pekerja industri percetakan di kota Medan. 2019;35(3):107–12.

24. Soendoro A. Hubungan Pengetahuan, Sikap, Ketersediaan APD Dengan Kepatuhan

Pemakaian APD Pekerja Bagian Weaving PT Iskandar Indah Printing Textile. 2016;

25. Kartikasari D, Nurjazuli, Rahardjo M. Analisis Risiko Kesehatan Pajanan Benzene Pada

Pekerja Di Bagian Laboratorium Industri Pengolahan Minyak Bumi. 2016;4:892–9.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 23

26. Agbenorku P, Agbenorku M. A Prospective Study of Diseases Associated With Workers in

the Printing Industry in a City of Ghana A Prospective Study of Diseases Associated With

Workers in the Printing Industry in a City of Ghana. 2012;(June 2014).

27. Lobis YB, Ariyanto D. Pengaruh Pengawasan Terhadap Kepatuhan Penggunaan Alat

Pelindung Diri Di Pt Jamu Air Mancur Palur. 2020;8(1):31–5.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 24

PERBANDINGAN SANITASI SEKOLAH DASAR BERDASARKAN AKREDITASI

SEKOLAH: STUDI KUALITATIF

Russy Rakhmalia, Yustini Ardillah*

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya *Corresponding Email: [email protected]

COMPARISON OF ELEMENTARY SCHOOL SANITATION: A QUALITATIVE STUDY

ABSTRACT

Sanitation is a basic need that must be met in public places such as schools. Every school should have

sanitation standards that must be met. The aim of this study was to compare school sanitation based on

school accreditation.This study compared two schools based on school accreditation, two schools were

recruited to be the subjects in this study with a total of 11 informants consisting of principals, teachers and

students from each school. The data analysis used is content analysis. Triangulation of sources, methods and

data was carried out to test the validity. Schools that have good accrditation meet the criteria for school

sanitation with good scores School sanitation should be a priority for all schools regardless of the value of

accreditation

Keyword: School Sanitation, Qualitative, Accreditation

ABSTRAK

Sanitasi merupakan kebutuhan dasar yang harus terpenuhi di tempat – tempat umum seperti sekolah. Setiap

sekolah seharusnya mempunyai standar sanitasi yang wajib dipenuhi. Tujuan penelitian ini adalah untuk

membandingkan sanitasi sekolah berdasarkan akreditasi sekolah. Penelitian ini membandingkan dua sekolah

berdasarkan akreditasi sekolah, dua sekolah direkrut untuk menjadi subjek dalam penelian ini dengan total 11

informan yang terdiri dari, kepala sekolah, guru dan siswa dari masing – masing sekolah. Analisis data yang

digunakan adalah content analysis. Triangulasi sumber, metode dan data dilakukan untuk menguji validitas.

Sekolah yang memiliki akrditasi yang baik memenuhi kriteria sanitasi sekolah dengan nilai yang baik.

Sanitasi sekolah seharusnya menjadi prioritas bagi seluruh sekolah tanpa membedakan nilai akreditasi

Kata Kunci: Sanitasi Sekolah, Kulaitatif, Akreditasi

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 25

PENDAHULUAN

Sanitasi Sekolah menjadi bagian penting dalam pencapaian SDGs, semua sekolah di

Indonesia ditargetkan mencapai indikator SDGs di tahun 2030.1 Sanitasi Sekolah yang dimaksud

meliputi penyediaan air bersih, jamban, sarana saluran pembuangan air limbah (SPAL), dan sarana

pembuangan sampah yang harus dimiliki sekolah sesuai peraturan pemerintah.2 Jenjang Sekolah

Dasar (SD) merupakan jenjang pendidikan dengan kondisi sanitasi sekolah yang terburuk

dibandingkan dengan jenjang pendidikan lainnya, dengan memiliki indeks sanitasi sekolah sebesar

53,75%.3

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Santi and al Bahiij 4 menemukan bahwa Banyak

sekolah dasar yang tidak memenuhi syarat, dari konstruksi bangunan, jamban, air bersih,

pengelolaan sampah, dan saluran pembuangan air limbah (SPAL). Penelitian lainnya juga

menemukan bahwa mengatakan 80% sekolah dasar di Surabaya Barat kondisi fisik sekolahnya

tidak sesuai, 60% toilet sekolah dasar Surabaya Barat dan 73% toilet SD Surabaya Utara tidak

memisahkan toilet antara laki-laki dan perempuan. Tempat sampah yang tidak dilengkapi dengan

tutup sebesar 47% di sekolah dasar Surabaya Barat sedangkan di sekolah dasar Surabaya Utara

sebesar 50%.5

Ketidaklayakan sanitasi akan menjadi resiko untuk berkembangnya penyakit menular.6

Sementara Sekolah dasar merupakan tempat – tempat umum yang interaksi intensif anak – anak

pada lingkungan terjadi.7 Akreditasi Sekolah menjadi pilihan bagi masyarakat untuk mendaftarkan

anak – anak mereka pada sekolah tertentu, sehingga menjadi nilai jula bagi sebuah sekolah.

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan Kelayakan sanitasi berdasarkan akreditasi yang

dimiliki.

METODE

Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif observasional dengan pendekatan

kualitatif. Sampel penelitian ini adalah SD Negeri 222 dengan akreditasi B dan SD Negeri 234

dengan akreditasi A. Informan penelitian ini berjumlah 11 orang, terdiri dari 5 orang informan

kunci dan 6 orang informan biasa. Teknik sampling yang digunakan adalah non probability

sampling yaitu purposive sampling. pengumpulan data menggnakan data primer yaitu dilakukan

dengan cara wawancara mendalam, observasi, lembar checklist dan dokumentasi.

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini mengenai fasilitas sanitasi lingkungan ini terdiri dari sarana sumber air bersih,

sarana jamban, sarana saluran pembuangan air limbah (SPAL), sarana tempat pembuangan sampah

dan sumber pembiayaan.

Sarana Sumber Air Bersih

Hasil observasi dengan lembar checklist terhadap sarana sumber air bersih dapat dilihat pada

Tabel 1.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 26

Tabel 1. Hasil Observasi Sarana Sumber Air Bersih

Komponen yang dinilai SDN 222 SDN 234

MS TMS MS TMS

Tersedia sumber air bersih √ - √ -

Jenis sumber air bersih:

PDAM

Sumur gali

Sumur pompa tangan

Lain-lain

-

-

Memiliki jarak >10 meter dari septic tank atau sumber pencemar √ - √ -

Kondisi fisik air: Tidak berbau

-

√ -

Tidak berasa √ - √ -

Tidak berwarna √ - √ -

Air bersih selalu ada/tersedia - √ √ -

Kecukupan sumber air bersih - √ √ -

Dari hasil penelitian sarana sumber air bersih yang telah ditetapkan Kepmenkes No. 1429

Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Kesehatan Lingkungan Sekolah, kedua sekolah

tersedia sumber air bersih dengan jenis sumber air bersih yaitu berasal dari air PDAM. Lokasi

sumber air bersih telah memenuhi syarat yaitu berlokasi dengan jarak >10 meter dari sumber

pencemar. Untuk kualitas sumber air bersih dari kondisi fisiknya telah memenuhi syarat yaitu tidak

berbau, tidak berasa dan tidak berwarna. Selanjutnya mengenai tersedia (kontinuitas) dan

kecukupan (kuantitas) sumber air bersih hanya ada 1 sekolah yang memenuhi syarat yaitu SD

Negeri 234 Palembang.

Sarana Jamban

Hasil observasi dengan lembar checklist terhadap sarana jamban dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Sarana Jamban

Komponen yang dinilai SD N 222 SD N 234

MS TMS MS TMS

Tersedia jamban √ - √ -

Jenis jamban:

Jamban leher angsa cemplung

Jamban cemplung

Jamban gantung

Lain-lain

-

-

Tersedia jamban terpisah antara laki-laki dan perempuan √ - √ -

Tersedia jamban yang cukup (1 jamban/25 siswi dan 1 jamban/40 siswa) atau (1 jamban/50 siswi dan 1 jamban/60

siswa)

- √ - √

Tersedia air bersih di setiap jamban - √ √ -

Memiliki dinding, lantai dan atap pelindung yang kuat √ - √ -

Cukup penerangan √ - √ -

Terdapat ventilasi √ - √ - Jarak jamban dengan sumber air bersih >10meter √ - √ -

Ada septic tank √ - √ -

Jarak septic tank dengan sumber air bersih >10meter √ - √ -

Septic tank memiliki saluran tertutup √ - √ - Tidak ada jentik nyamuk dalam bak penampung air √ - √ -

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 27

Tidak ada lalat atau kecoa dalam jamban √ - √ - Tidak ada genangan air di lantai √ - √ -

Tidak berbau √ - √ -

Perlengkapan pada jamban:

Gayung

Gantungan pakaian

Sabun

Alat pembersih

√ √

Dari hasil observasi yang dilakukan, sarana jamban yang memenuhi syarat berdasarkan

Kepmenkes No. 1429 Tahun 2006 pada SD Negeri 222 Palembang dan SD Negeri 234 Palembang

yaitu jenis jamban leher angsa dengan terpisahnya jamban untuk laki- laki dan perempuan,

memiliki dinding, lantai dan atap pelindung yang kuat, cukup penerangan, terdapat ventilasi, jarak

jamban dengan sumber air bersih >10meter, ada septic tank, tidak ada jentik nyamuk dalam bak

penampung air, tidak ada lalat atau kecoa dalam jamban, tidak ada genangan air di lantai,

perlengkapan yang ada di dalam jamban gayung dan alat pembersih.

Sarana Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL)

Hasil observasi dengan lembar checklist terhadap sarana Saluran Pembuangan Air Limbah

(SPAL) dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Sarana Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL)

Komponen yang dinilai SD N 222 SD N 234

MS TMS MS TMS

Tersedia SPAL √ - √ -

Jenis SPAL: SPAL tertutup

SPAL tidak tertutup

-

- √

Saluran terpisah dengan saluran penuntasan air hujan - √ √

Bebas dari sarang nyamuk dan tikus - √ - √

Tidak menimbulkan bau - √ √ -

SPAL kedap air √ - √ -

SPAL mengalir dengan lancar - √ √ -

Dari hasil tabel di atas diketahui bahwa sarana SPAL pada SD Negeri 222 Palembang yang

memenuhi syarat yaitu tersedia SPAL dan kedap air. Sedangkan sarana SPAL pada SD Negeri 234

Palembang yang memenuhi syarat yaitu tersedia SPAL, saluran terpisah dengan saluran penuntasan

air hujan, tidak menimbulkan bau, kedap air dan mengalir dengan lancar.

Sarana Tempat Pembuangan Sampah

Hasil observasi dengan lembar checklist terhadap sarana jamban dapat dilihat pada Tabel 4.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 28

Tabel 4.Sarana Tempat Pembuangan Sampah

Komponen yang dinilai SD N 222 SD N 234

MS TMS MS TMS

Tersedia tempat sampah √ - √ -

Dibersihkan setiap 24 jam sekali √ - √ -

Tempat sampah tidak bocor √ - √ -

Tempat sampah mudah dibersihkan √ - √ - Tempat sampah tertutup √ - √ -

Tempat sampah sesuai jenis √ - √ -

Tempat penampungan sampah sementara berjarak >10 meter dari ruang

kelas - √ - √

Pemisahan sampah organik dan anorganik √ - √ -

Sampah diangkut petugas √ - √ -

Pengolahan sampah:

Landfill

Composting

Dumping

Recycling

Salvaging

Lain-lain

-

-

- -

-

-

-

-

-

Dari hasil tabel di atas diketahui bahwa sarana tempat pembuangan sampah pada SD Negeri

222 Palembang dan SD Negeri 234 Palembang yang memenuhi syarat yaitu tersedia tempat

sampah, dibersihkan setiap 24 jam sekali, tempat sampah tidak bocor, mudah dibersihkan, tertutup,

sampah sesuai jenis, tempat penampungan sampah sementara berjarak >10 meter dari ruang kelas,

pemisahan sampah organik dan anorganik, dan sampah diangkut petugas. Pengolahan sampah pada

SD Negeri 222 Palembang hanya dumping sedangkan Pengolahan sampah pada SD Negeri 234

Palembang yaitu dumping dan recycling.

Pembiayaan

Dilakukannya wawancara kepada informan kunci terkait sumber pembiayaan mengenai

fasilitas sanitasi lingkungan pada SD Negeri 222 Palembang dan SD Negeri 234 Palembang. Dari

hasil wawancara yang dilakukan diketahui bahwa sumber pembiayaan pada kedua sekolah yaitu

berasal dari Pemerintah berupa dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang didapatkan setiap

triwulan atau 1 kali setiap 3 bulannya.

Pembagian dana BOS untuk barang dan jasa di digunakan untuk memberikan gaji kepada

petugas kebersihan sekolah, membayar sarana sumber air bersih yaitu air PDAM, untuk

memberikan gaji kepada petugas Dinas Kebersihan Kota yang mengangkut sampah dari sekolah,

sedangkan dana untuk membeli keperluan peralatan seperti sikat, tempat pembuangan sampah

berupa kotak sampah, dan juga untuk pemeliharaan fasilitas sarana sanitasi tersebut tidak bisa

dipastikan berapa jumlah dana yang dibutuhkan, dikarenakan pergantian peralatan dilakukan jika

peralatan sebelumnya mengalami kerusakan.

PEMBAHASAN Sarana Sumber Air Bersih

Dari hasil penelitian, SD Negeri 222 Palembang dan SD Negeri 234 Palembang sudah

memiliki sarana sumber air bersih. Kedua sekolah memiliki jenis sumber air bersih yaitu air

PDAM. Semua kegiatan yang dilakukan di lingkungan sekolah menggunakan air PDAM. Kondisi

air bersih secara fisik yang disediakan dan lokasi sumber air bersih berjarak >10 meter dengan

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 29

sumber pencemar atau septic tank semuanya sudah memenuhi syarat. Air yang digunakan tidak

berwarna, tidak berasa dan juga tidak berbau.

Sumber air bersih harus berjarak minimal 10 meter dari septic tank. Hal ini agar tidak terjadi

pencemaran oleh tinja yang berada di septic tank. Tinja merupakan media penularan kecacingan

selain tanah. Apabila jarak antara sumber air bersih dan septic tank tersebut kurang dari 10 meter

maka risiko pencemaran telur cacing melalui tinja pada air jauh lebih besar.8

Air bersih pada SD Negeri 222 Palembang tidak selalu tersedia dan kecukupan jumlah air

tersebut belum memenuhi syarat untuk keperluan warga sekolah setiap harinya. Penelitian

Shrestha, Sharma 9 mengatakan, penyediaan air bersih hendaknya memperhatikan sumber, kualitas

dan kuantitasnya. Sumber air bersih merupakan pemasok air bersih oleh karena itu perlu dan harus

diupayakan menjaga keberadaan dan keberlanjutannya. Sedangkan kualitas merupakan hal yang

penting bagi kesehatan dan kuantitas penting bagi pencukupan jumlah pasokan air bersih.

Kepmenkes No. 1429 Tahun 2006 mengatur bahwa sumber air bersih di skeolah harus tersedia

dalam jumlah yang cukup untuk setiap harinya. Kualitas air yang disediakan juga harus memenuhi

syarat dan jarak antara sumber air bersih dengan sumber pencemar atau septic tank >10 meter.

Sarana Jamban

Dari hasil penelitian diketahui semua jamban yang ada di SD Negeri 222 Palembang dan SD

Negeri 234 Palembang berupa jamban leher angsa. Diketahui juga bahwa jamban di SD Negeri 222

Palembang tersedia sebanyak 9 unit. Hanya 5 jamban saja yang berfungsi. 5 jamban tersebut yaitu

1 jamban guru, 2 jamban siswa dan 2 jamban siswi dengan jumlah siswa 337 anak dan siswi 300

anak. Dari segi ketersediaan jamban, baik itu berdasarkan Kepmenkes No. 1429/MENKES/SK/XII,

jumlah jamban tersebut belum cukup untuk memenuhi rasio yang ditetapkan oleh menteri

kesehatan yaitu 1:40 untuk siswa, dan 1:25 untuk siswi maupun Permendiknas RI No. 24 Tahun

2007 yaitu dengan rasio 1:60 untuk siswa dan 1:50 untuk siswi.

Selanjutnya, jumlah jamban yang dimiliki SD Negeri 234 Palembang yaitu 11 jamban,

dimana 2 untuk guru, 1 untuk kepala sekolah, 4 untuk siswa dan 4 untuk siswi, dengan jumlah

siswa 438 anak dan siswi 405 anak. Dari segi ketersediaan jamban, baik itu berdasarkan

Kepmenkes No. 1429/MENKES/SK/XII, jumlah jamban tersebut belum cukup untuk memenuhi

rasio yang ditetapkan oleh menteri kesehatan yaitu 1:40 untuk siswa, dan 1:25 untuk siswi maupun

Permendiknas RI No. 24 Tahun 2007 yaitu dengan rasio 1:60 untuk siswa dan 1:50 untuk siswi.

Semua jamban di kedua sekolah dalam kondisi memiliki dinding, lantai dan atap pelindung

yang kuat, cukup penerangan, terdapat ventilasi di setiap jamban, lokasi jamban >10 meter dengan

sumber air bersih, tersedia septic tank dalam keadaan tertutup, dan jarak septic tank >10 meter

dengan sumber air bersih, tidak ada jentik nyamuk dalam bak penampung air, tidak terdapat lalat

atau kecoa dalam jamban, tidak ada genangan air dilantai dan tidak berbau.

Perlengkapan di dalam jamban yang dimiliki SD Negeri 222 Palembang yaitu gayung dan

alat pembersih sedangkan perlengkapan di dalam jamban yang dimiliki SD Negeri 234 Palembang

yaitu gayung, gantungan pakaian dan alat pembersih. Kedua sekolah tidak memilik sabun di dalam

jamban tersebut. Yang belum tersedia dengan baik adalah ketersediaan sabun untuk setiap jamban.

Ketersediaan air bersih dalam jamban di SD Negeri 222 Palembang masih kurang baik, hal ini

karena ditemukannya saat dilakukan observasi ke lapangan terdapat bak-bak penampungan air

dalam jamban yang tidak terisi atau kosong.

Ketersediaan air bersih yang memenuhi syarat di lingkungan sekolah sangatlah penting

sebagai salah satu upaya pencegahan infeksi kecacingan pada murid di sekolah. Penularan cacing

dapat terjadi melalui air dan makanan yang terkontaminasi oleh telur dan larva cacing.10

Penggunaan jamban yang tidak memenuhi syarat menyebabkan kontaminasi bakteri akibat tinja

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 30

yang tidak di proses dengan benar yang mengakibatkan tinja mencemari lingkungan dan bakteri

dalam kandungan tinja masuk ke tubuh manusia dan menyebabkan beberapa penyakit.11

Sarana Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL)

Dari hasil penelitian yang dilakukan pada SD Negeri 222 Palembang dan SD Negeri 234

Palembang diketahui bahwa kedua sekolah telah memiliki SPAL berupa selokan yang terletak di

dalam dan di luar sekolah. SPAL yang ada pada kedua sekolah dapat dikatakan masih dalam

kondisi yang kurang baik. Hal ini dapat dilihat dari SPAL yang belum dilengkapi penutup. Kondisi

SPAL kedap air. SPAL kedua sekolah tidak terbebas dari sarang nyamuk dan tikus. SPAL di SD

Negeri 234 Palembang, keadaan SPAL tidak menimbulkan bau dan juga mengalir dengan lancar.

Sedangkan SPAL di SD Negeri 222 Palembang dalam keadaan baud an juga tidak mengalir dengan

lancar. Hal ini disebabkan karena terjadi penyumbatan saluran oleh sampah disebabkan petugas

kebersihan sekolah yang tidak melakukan pembersihan secara rutin ataupun apabila terjadi

penyumbatan saluran sehingga pembuangan air limbah tiak terganggu. Sampah-sampah yang ada

di dalam SPAL dikarenakan warga sekolah itu sendiri ataupun karena pedagang yang membuang

sampah ke dalam saluran. Sampah ini juga disebabkan karena tidak ada penutup saluran. SPAL

pada SD Negeri 222 Palembang juga tidak terpisah dengan penuntasan air hujan, jadi air limbah

dan air hujan berada dalam saluran yang sama.

Persyaratan yang diatur dalam Kepmenkes No. 1429 Tahun 2006 menyatakan SPAL pada

sekolah harus terpisah dengan saluran penuntasan air hujan, terbuat dari bahan kedap air dan

tertutup dengan kisi yang terbuat dari logam, keberadaan SPAL tidak mencemari lingkungan dan

airnya mengalir dengan lancar. Pembuangan air limbah yang tidak dikelola dengan baik dan

memenuhi syarat kesehatan dapat dijadikan sebagai salah satu tempat perindukan vektor penyakit

sehingga menjadi sumber penularan berbagai penyakit, saluran pembuangan air limbah yang

terbuka juga dapat menimbulkan bau serta menjadi sarana perkembangbiakkan vektor penyebar

penyakit seperti tikus. Limbah-limbah yang tidak dikelola akan mencemari lingkungan, dan itu

tentu saja akan menimbulkan akibat yang buruk bagi lingkungan cepat atau lambat serta dapat

menggangu kesehatan siswa.12

Sarana Tempat Pembuangan Sampah

Dari hasil penelitian kedua sekolah sudah memiliki tempat pembuangan sampah berupa

kotak sampah yang tersedia di setiap depan ruang kelas. Kotak sampah tersebut dibersihkan setiap

24 jam sekali sama petugas kebersihan di sekolah. Lokasi kotak sampah di kedua sekolah belum

memenuhi syarat yaitu >10 meter dari ruang kelas. Lokasi kotak sampah berada tepat di depan

ataupun di pintu masuk ke dalam ruang kelas.

Kotak sampah di SD Negeri 222 Palembang hanya mempunyai 1 kotak sampah yang

memenuhi syarat, yaitu terletak di depan ruang guru. Sedangkan kotak sampah yang ada di depan

ruang kelas semuanya tidak memenuhi syarat. Kondisi tempat sampah itu sendiri tidak memiliki

tutup, tempat sampahnya dalam keadaan bocor, tidak ada pemisahan organik dan anorganik,

semuanya dimasukkan dalam satu tempat kotak sampah yang sama. Keadaan kotak sampah yang

bocor tersebut menjadikannya sampah berserakan di depan ruang kelas. Kesadaran dalam hal

perawatan kotak sampah dan membersihkan sampah untuk SD Negeri 222 Palembang masih sangat

kurang. Tidak dilakukannya pergantian terhadap kotak sampah yang telah rusak.

Sarana pembuangan sampah di sekolah sangatlah penting untuk menampung sampah-

sampah agar tidak berserakan. Sampah yang berserakan dapat menjadi tempat berkembangbiaknya

bibit penyakit untuk siswa yang ada di sekolah. Oleh karena itu, diperlukannya tempat

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 31

penampungan sampah untuk setiap ruang kelas yang dilengkapi dengan tutup agar aroma yang

tidak sedap dari sampah tidak menganggu kenyamanan belajar siswa.13

Keadaan kondisi tempat sampah di SD Negeri 222 Palembang sangat berbeda sekali dengan

kondisi tempat sampah yang ada pada SD Negeri 234 Palembang. Kondisi kotak sampah di SD

Negeri 234 Palembang seara keseluruhan sudah cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari tersedianya

tempat sampah yang sudah berdasarkan jenis sampahnya. Terdapat 3 jenis kotak sampah di sekolah

tersebut, yaitu sampah oragnik, sampah anorganik dan sampah B3. Kondisi tempat sampahnya

dalam keadaan tertutup, tidak bocor, mudah untuk dibersihkan. Dilakukannya pemilahan sampah

seperti botol plastik untuk dibuat prakarya sedangkan untuk sampah lainnya dibuang untuk

diangkut sama petugas Dinas Kebersihan Kota. Dilakukannya pemilahan sampah botol plastik

untuk dijadikan sebuah prakarya dengan tujuan untuk mengurangi sampah plastik dengn cara

memanfaatkannya kembali. Upaya pengelolaan sampah yang telah dilakukan SD Negeri 222

Palembang dan SD Negeri 234 Palembang hanya sebatas pewadahan dan pengumpulan, sementara

untuk pengangkutan dan pembuangan akhir dilakukan oleh Dinas Kebersihan Kota.

UU No. 18 Tahun 2008 menyatakan bahwa setiap orang dalam pengelolaan sampah wajib

mengurangi dan menangani sampah dengan cara yang berawawasan lingkungan. Pengurangan

sampah ini melikputi kegiatan pembatasan timbulan sampah, pendauran sampah, dan pemanfaatan

kembali sampah. Sementara itu untuk kegiatan penanganan sampah meliputi pemilahan,

pengumpulan, pengangkutan, pengolahan dan pemrosesan akhir sampah. Dalam Kepmenkes No.

1429/MENKES/SK/XII diatur bahwa pada setiap ruangan kelas harus tersedia tempat sampah yang

dilengkapi dengan tutup. Setiap sekolah juga harus memiliki tempat pembuangan sampah

sementara. Adapun syarat tempat sampah dan tempat pembuangan sampah sementara yang baik

adalah terbuat dari bahan yang kedap air, mudah dibersihkan, dan tertutup. Lokasi tempat

pembuangan sampah sementara juga harus mudah dijangkau oleh petugas pengangkut sampah dan

berada pada minimal 10 meter dari ruangan kelas.

Sumber Pembiayaan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di dua sekolah yaitu SD Negeri 222 Palembang dan

SD Negeri 234 Palembang, diketahui bahwa sumber pembiayaan yang didapatkan yaitu berasal

dari pemerintah berupa dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Dana tersebut didapatkan setiap

triwulan atau 1 kali untuk setiap 3 bulannya dengan total yaitu 4 (empat) kali pencairan dana yang

didapatkan di kedua sekolah tersebut.

Dalam perealisasiannya baik itu SD Negeri 222 Palembang dan SD Negeri 234 Palembang

digunakan untuk menggaji petugas kebersihkan sekolah, membayar petugas Dinas Kebersihan

Kota, untuk membayar pembiayaan sumber air yang berasal dari air PDAM, dan untuk membeli

peralatan terkait fasilitas sanitasi lingkungan di sekolah seperti alat sikat jamban/wc, cairan

pembersih untuk jamban, perlengkapan di dalam jamban berupa sabun, dan juga pembeliaan

tempat pembuangan sampah berupa kotak sampah untuk setiap kelasnya. Akan tetapi dalam

perealisasiannya, baik itu SD Negeri 222 Palembang ataupun SD Negeri 234 Palembang tidak

melakukan pergantian terhadap peralatan secara rutin, peralatan hanya dilakukan pergantian jika

terjadi kerusakan terhadap peralatan tersebut.

Dana BOS didapatkan sekolah untuk meningkatkan kualitas sekolahnya dalam hal perawatan

dan pemeliharaan fasilitas sarana dan prasarana yang ada di sekolah. Biaya pendidikan merupakan

salah satu faktor penting dalam mendukung proses pembelajaran di sekolah guna memberikan

fasilitas baik itu sarana dan prasarana yang memadai. Hal ini seharusnya dilakukan dengan cara

melakukan pergantian peralatan secara rutin, sehingga peralatan contohnya seperti kotak sampah

yang ada di setiap ruang kelas selalu dalam kondisi yang baik atau layak pakai.15

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 32

PP No. 48 Tahun 2008 tentang pendanaan pendidikan yaitu sumber pembiayaan berasal dari

Pemerintah, Pemda dan masyarakat. Dana BOS yang didapatkan sekolah masuk kedalam kategori

sumber pembiayaan yang didapatkan dari pemerintah. Maka dari itu dalam perealisasiann dana

tersebut telah diatur oleh pemerintah sehingga sekolah tidak boleh melanggar melanggar aturan

yang telah ditentukan.

Penelitian Ebni (2015) mengenai implementasi kebijakan dana BOS di SD Kabupaten

Gunung Kidul, mengatakan penggunaan dana BOS yang pada kedua sekolah yaitu SDN RejoSari

dan SDIT Al-I‘Tisham masih kurang baik. Hal ini dikarenakan pihak sekolah melakukan

pemungutan uang kepada warga sekolah dikarenakan dana BOS yang didapatkan tidak mencukupi

untuk keperluan sekolah.

KESIMPULAN DAN SARAN

Sarana sumber air bersih secara keseluruhan sudah cukup baik, dengan dilihatnya pada SD

Negeri 234 Palembang telah memenuhi syarat berdasarkan Kepmenkes No. 1429 Tahun 2006,

sedangkan untuk SD Negeri 222 Palembang terdapat komponen yang belum memenuhi syarat

yaitu mengenai ketersdiaan dan kecukupan air bersih. Sarana jamban sudah cukup baik dengan

dilihatnya kedua sekolah telah memiliki jamban. Namun terdapat komponen penilaian yang belum

memenuhi syarat yaitu, jumlah jambannya masih belum memenuhi, untuk perlengkapan seperti

sabun yang tidak tersedia di setiap jamban, dan tidak tersedia gantungan pakaian pada jamban SD

Negeri 222 Palembang. Sarana SPAL pada SD Negeri 222 Palembang belum cukup baik, hal ini

diihat dari banyaknya sampah berserakan di pinggir SPAL dan terdapat juga sampah di dalam

SPAL tersebut. Sarana jamban pada SD Negeri 234 Palembang jauh lebih baik dibandingkan

dengan SD Negeri 222 Palembang. banyak komponen penilaian yang belum memenuhi syarat dari

hal kondisi fisik tempat pembuangan sampah dan cara pengolahan sampah tersebut. Perealisasian

sumber pembiayaan berupa dana BOS pada SD Negeri 234 Palembang jauh lebih baik

dibandngkan SD Negeri 222 Palembang, hal ini dapat dilihat dari jumlah petugas kebersihan hanya

satu orang dan fasilitas sarana sanitasi yang ada di sekolah masih banyak yang belum memenuhi

syarat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Dickin S, Bisung E, Savadogo K. Sanitation and the commons: The role of collective action in

sanitation use. Geoforum. 2017;86:118-26.

2. Ngwenya BN, Thakadu OT, Phaladze NA, Bolaane B. Access to water and sanitation facilities

in primary schools: A neglected educational crisis in Ngamiland district in Botswana. Physics

and Chemistry of the Earth, Parts A/B/C. 2018;105:231-8.

3. UNICEF. Sanitation: UNICEF; 2017 [cited 2017 September, 23].

4. Santi AUP, al Bahiij A. Kondisi Sanitasi Di Tiga Sekolah Dasar Negeri Di Daerah Tangerang

Selatan. Jurnal Holistika. 2018;2(1).

5. Widyatmoko S. Pengelolaan Dana BAntuan Operasional Sekolah (BOS) Di SD N Kemasan I

Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta; 2017.

6. Ardillah Y, Sari IP, Windusari Y, editors. Association of Environmental Residential

Sanitation Factors to Communicable Disease Risk Among Musi Side-River Household in

Palembang, Indonesia: A Study of Slum Area. 2nd Sriwijaya International Conference of

Public Health (SICPH 2019); 2020: Atlantis Press.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 33

7. Thakadu OT, Ngwenya BN, Phaladze NA, Bolaane B. Sanitation and hygiene practices

among primary school learners in Ngamiland district, Botswana. Physics and Chemistry of the

Earth, Parts A/B/C. 2018;105:224-30.

8. Waluyo BH, Syarif A, Wahyunto AT, Sukiono, Dano A. Pedoman Pengembangan Sanitasi

Sekolah Dasar. In: Dasar DPS, editor. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan;

2018.

9. Shrestha A, Sharma S, Gerold J, Erismann S, Sagar S, Koju R, et al. Water Quality,

Sanitation, and Hygiene Conditions in Schools and Households in Dolakha and Ramechhap

Districts, Nepal: Results from A Cross-Sectional Survey. International journal of

environmental research and public health. 2017;14(1).

10. Karon AJ, Cronin AA, Cronk R, Hendrawan R. Improving water, sanitation, and hygiene in

schools in Indonesia: A cross-sectional assessment on sustaining infrastructural and

behavioral interventions. International Journal of Hygiene and Environmental Health.

2017;220(3):539-50.

11. Jewkes RK, O'Connor BH. Crisis in our schools: survey of sanitation facilities in schools in

Bloomsbury health district. BMJ : British Medical Journal. 1990;301(6760):1085.

12. Fanucchi MV. Drinking Water and Sanitation. In: Quah SR, editor. International

Encyclopedia of Public Health (Second Edition). Oxford: Academic Press; 2017. p. 350-60.

13. Caruso BA, Freeman MC, Garn JV, Dreibelbis R, Saboori S, Muga R, et al. Assessing the

impact of a school-based latrine cleaning and handwashing program on pupil absence in

Nyanza Province, Kenya: a cluster-randomized trial. Tropical medicine & international health

: TM & IH. 2014;19(10):1185-97.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 34

PENILAIAN RISIKO PAJANAN PESTISIDA DENGAN PENDEKATAN HIRA

(HAZARD IDENTIFICATION AND RISK ASSESMENT) PADA PETANI

PENGGUNA PESTISIDA

Rina Purwandari*, Sidiq Purwoko , Ina Kusrini

Balai Penelit ian dan Pengembangan Kesehatan Magelang, Badan Penelit ian dan

Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI

Desa Kapling Jayan, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Indonesia

*Corresponding email: [email protected]

PESTICIDE EXPOSURE RISK ASSESSMENT USING HIRA (HAZARD

IDENTIFICATION AND RISK ASSESSMENT) APPROACH TO FARMERS WHO USE

PESTICIDES

ABSTRACT

Environmental quality can be degraded by pesticides that used excessively. Pesticides are used by farmers to

control pests, weeds and diseases. The uncontrolled use of pesticides results in an imbalance of the

ecosystem due to the broad spectrum of killing power. On the other hand, pesticides have potential risks that

can reduce the health quality of farmers, consumers of farm products and the surrounding environment.

Management and risk control are needed so that the benefits of using pesticides can be obtained while the

risks that are harmful can be recognized. The research method was observation and interviews with a cross-

sectional research design. Data collection was carried out by observation and interviews with 109 farmers.

The risk assessment will be calculated by combining the level of opportunity and severity of the process

stages carried out using the HIRA (Hazard Identification And Risk Assessment) method. Based on the results

of this metod, there are two combinations of risks, low risk and medium risk. Moderate risk is acquired from

potential hazards of pesticide spray / fog and potential hazards of downwind spraying. Meanwhile, this is

low risk. All stages of the pesticide use process carried out a risk assessment where there is no potential risk

which has a high risk category (RT), medium risk (RS) is obtained in almost all potential hazards that exist in

the spraying process, and low risk (RS) is in the potential danger of the process of storing pesticides and

washing of pesticide spraying equipment.

Keywords: Environmental health, exposure, pesticides, risk assessment

ABSTRAK

Kualitas lingkungan dapat menurun dengan penggunaan pestisda yang berlebihan. Pestisida digunakan petani

untuk mengendalikan hama, gulma, dan peyakit. Penggunaan pestisida yang tidak terkendali mengakibatkan

ketidakseimbangan ekosistem karena daya bunuh (spketrum) yang luas. Pada sisi lain, pestisida memiliki

potensi risiko yang dapat menurunkan kualitas kesehatan petani, konsumen hasil tanaman dan lingkungan di

sekitarnya. Pengelolaan dan pengendalian risiko dibutuhkan agar nilai manfaat dari penggunaan pestisida

dapat tetap diperoleh sedangkan risiko yang merugikan dapat dikenali. Metode penelitian adalah observasi

dan wawancara dengan desain penelitian cross sectional. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan

wawancara pada 109 petani. Penilaian risiko akan dihitung dengan mengombinasikan tingkat peluang dan

tingkat keparahan dari tahapan proses yang dilakukan menggunakan metode HIRA (Hazard Identification

And Risk Assesment). Berdasarkan hasil penilaian risiko pajanan pestisida dengan pendektan metode HIRA

didapat dua kombinasi risiko yaitu risiko rendah dan risiko sedang. Risiko Sedang didapat pada potensi

bahaya buih/kabut semprotan pestisida dan potensi bahaya penyemprotan berlawanan arah angin. Sedangkan

selebihnya adalah risiko rendah. Semua tahapan proses penggunaan pestisida yang dilakukan penilaian risiko

tidak terdapat potensi risiko yang memiliki kategori risiko tinggi (RT), risiko sedang (RS) didapat pada

hampir seluruh potensi bahaya yang ada pada proses penyemprotan, dan risiko rendah (RS) terdapat pada

potensi bahaya dari proses penyimpanan pestisida dan pencucian peralatan penyemprotan pestisida.

Kata Kunci : Kesehatan Lingkungan, pajanan , pestisida , penilaian risiko

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 35

PENDAHULUAN

Terdapat ribuan pekerja dalam bidang pertanian yang terpapar bahan aktif pestisida setiap

tahun. World Health Organization (WHO) menyatakan dalam rilisnya sekitar 1 –- 5 juta kasus

keracunan pestisida pada pekerja di bidang pertanian dengan tingkat korban jiwa mencapai 220

ribu dan sekitar 80 persen keracunan tersebut terdapat di negara-negara berkembang setiap

tahunnya. Pada beberapa kasus, keracunan tersebut banyak ditemui pada tahapan mencampur dan

menyemprotkan pestisida oleh pekerja sektor pertanian. Industri pertanian tercatat sebagai

konsumen pestisida terbesar, sekitar 66 persen penggunaan pestisida di dunia antara tahun 2008-

2012 didominasi oleh pertanian.1.

Pestisida didefinisikan secara umum sebagai bahan kimia beracun yang dimanfaatkan untuk

mengendalikan hama dan jasad pengganggu yang merugikan manusia. Di Indonesia pestisida telah

cukup lama digunakan di bidang kesehatan lingkungan (bidang pemukiman dan rumah tangga) dan

utamanya adalah bidang pertanian.2 Teknologi tepat guna dalam program intensifikasi pertanian

diterapkan untuk meningkatkan produksi dalam. Pemanfaatan agrokimia, integrasi sektor pertanian

dengan berbagai bahan kimia dalam hal pengendalian hama maupun pemupukan tanaman

diperkenalkan secara masif menggantikan teknologi sebelumnya. Untuk meningkatkan hasil

produksi, petani dapat menggunakan 6-7 jenis pestisida insektisida dan fungisida sistemik dalam

satu kali masa tanam. Padahal, bahan pangan yang masih mengandung insektisida ini akan

termakan oleh manusia dan tentunya dapat menimbulkan efek dan berbahaya terhadap kesehatan

manusia3. Penggunaan pestisida yang di luar kontrol dan tidak terkendali dapat berakibat buruk

pada kesehatan petani itu sendiri dan lingkungan pada umumnya karena penggunaannya yang

begitu masif. Berbagai penelitian terkait dampak pestisida banyak sekali dilakukan, berbagai hasil

penelitian menunjukkan prevelensi keracunan tingkat sedang hingga berat disebabkan pekerjaan

pada sektor pertanian yakni antara 8,5 persen hingga persen.4

Beberapa kasus keracunan pestisida di sektor pertanian yang pernah dipublikasikan

diantaranya terjadi di Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang. Pada penelitian tersebut,

diketahui bahwa 14,3 persen petani sayuran yang diambil darahnya memiliki kadar kolinesterase

yang tidak normal 5. Penurunan kadar kholineterase dalam darah dapat menjadi indikasi adanya

residu pestisida dalam tubuh. Penelitian yang dilakukan oleh Purwandari menemukan indikasi

keracunan pada 7,3 persen petani sayuran di Kabupaten Karanganyar 6. Hasil analisis dari

penelitian lain yang dilakukan di Desa Cihanjuang Kecamatan Parongpong Kabupaten Bandung

menunjukkan terdapat residu pestisida yang melampaui batas dari kadar yang diizinkan pada empat

sampel tanaman brokoli 7. Di Jawa Timur terdapat peningkatan angka keracunan pestisida sebesar

21 persen pada tahun 2009 setelah sebelum di tahun 2007 sekitar 12 persen 8.

Kementerian Pertanian merilis laporan peningkatan kebutuhan penggunaaan pestisida di

sektor pertanian dengan jumlah paling banyak adalah pestisida jenis insektisida 2. Laporan tersebut

menunjukkan ketergantungan petani di Indonesia terhadap penggunaan pestisida masih tinggi.

Penggunaan pestisida dapat membantu produktivitas komoditi pertanian, namun di sisi lain

penggunaan yang berlebihan dan tidak tepat justru dapat membahayakan kesehatan pekerja sektor

pertanian dan konsumen serta dapat berdampak pada pencemaran lingkungan 9. Bahan aktif

pestisida dapat digolongkan sebagai potensi bahan kimia apabila dilihat potensi dampak dan risiko

yang di timbulkannya, yang dalam ilmu kesehatan lingkungan masuk ke dalam katagori bahaya

lingkungan. Interaksi antara agen-agen lingkungan dengan manusia yang memiliki potensi

merugikan manusia disebut sebagai potensi bahaya lingkungan. Agen-agen tersebut dapat

diklasifikasikan sebagai bahaya fisik (radiasi energi, gelombang elektromagnetik, pencemaran

udara), bahaya biologi (organisme patogen, virus, bakteri) dan bahaya kimia (zat-zat toksik atau

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 36

beracun), perilaku hidup tidak sehat, dan faktor non fisik lingkungan 10

. Hasil penelitian Runia di

Ngablak, Magelang menunjukkan sebanyak 96,15 persen petani di sana mengalami keracunan

akibat penggunaan pestisida11

, sedangkan pada penelitian Gusti diketahui bahwa gejala neurotoksik

yang ditemukan pada responden dengan alat pelindung diri tidak lengkap lebih besar daripada

gejala neurotoksik (gangguan fungsi saraf) yang muncul pada responden dengan alat pelindung diri

lengkap12

.

Pestisida merupakan senyawa toksik yang dapat memicu efek karsinogenik maupun

nonkarsinogenik, tergantung jenis dan bahan pestisida13

. Potensi kerugian dari penggunaan

pestisida memunculkan pertanyaan seberapa besar risiko yang ditimbulkan oleh pestisida terhadap

kesehatan dan lingkungan, serta bagaimana risiko tersebut dapat dikelola dan dapat dikendalikan.

Pengelolaan dan pengendalian risiko dibutuhkan agar nilai manfaat dari penggunaan pestisida dapat

tetap diperoleh sedangkan risiko yang merugikan dapat dikenali. Tindak lanjut dari hasil tersebut

adalah meminimalkan risiko untuk kesehatan manusia dan lingkungan sekitarnya. Pengenalan

bahaya penggunaan pestisida yang berlebihan, diidentifikasi secara runtut dengan metode tertentu

agar tujuan pengenalan risiko tercapai. Tahapan selanjutnya adalah membuat mekanisme

pencegahan dan pengelolaan atas potensi bahaya yang teridentifikasi agar risiko yang berpotensi

muncul dapat diminimalkan atau bahkan dicegah kemunculannya.

Hazard Identification and Risk Assesment atau biasa disingkat sebagai HIRA adalah sebuah

metode identifikasi potensi bahaya dan penilaian risiko yang dipakai untuk melihat tingkat risiko

dari sebuah kegiatan 14

. HIRA digunakan dengan cara mengkuantifikasi potensi bahaya dengan

tingkat keparahan dari risiko yang berpotensi muncul dengan Peluang munculnya bahaya dalam

setiap tahapan dalam sebuah proses. Proses identifikasi yang dilakukan adalah mengenali seluruh

situasi atau kejadian yang di pandang berpotensi menimbulkan risiko. HIRA bertujuan memetakan

tingkat risiko yang berpotensi muncul dan menyajikannya dalam peringkat risiko. Peringkat risiko

yang tersaji dapat menjadi bahan pertimbangan kebijakan atau tindakan dalam upaya

mengendalikan risiko dan mencegah kerugian yang dapat muncul bila sewaktu-waktu risiko

tersebut muncul. HIRA akan menghasilkan peringkat risiko dari seluruh tahapan yang di nilai

dalam tiga tingkatan yaitu risiko tinggi, risiko sedang dan risiko rendah.

Metode HIRA digunakan dalam studi kasus yang dilakukan oleh Kurniawati, yang berhasil

mengelompokkan enam sumber bahaya dari 34 jenis temuan bahaya dalam produksi springbed.

Hasil penilaian risiko menunjukkan terdapat empat persen bahaya dalam katagori ekstrim, 81

persen bahaya dalam katagori risiko tinggi, dan 15 persen bahaya dalam katagori risiko sedang15

.

Identifikasi bahaya, penilaian, dan pengendalian risiko keselamatan dan kesehatan kerja di bagian

produksi hasil penelitian Puspitasari menunjukkan sumber bahaya kerja berasal dari faktor

pekerjaan pada manusia, peralatan atau mesin, dan lingkungan. Penurunan atau penghilangan risiko

di tempat kerja dapat menekan risiko kecelakaan dan penyakit seminimal mungkin16

. Identifikasi

bahaya, penilaian, dan pengendalian risiko keselamatan dan kesehatan kerja dapat dilakukan di

setiap aktivitas lingkungan kerja yang memiliki potensi bahaya17

. Salah satu bagian penting dalam

penilaian risiko adalah penilaian pajanan. Pemajanan yaitu proses yang menyebabkan organisme

melakukan kontak dengan bahaya lingkungan dalam bentuk risk agent, sebagai jembatan

penghubung ―bahaya‖ dan ―risiko‖. Penggunaan pestisida sebagai bahan kimia diharapkan dapat

dikenali dan dikendalikan bahaya dan risikonya18

.

Mayoritas penduduk Kecamatan Ngargoyoso Kabupaten Karanganyar bekerja di sektor

pertanian. Data dari kelurahan menunjukkan bahwa sebanyak 79,77 persen penduduknya memiliki

mata pencaharian sebagai petani maupun buruh tani (BPS Kab Karanganyar, 2013). Informasi lain

yang diperoleh adalah 80 persen petani di Kabupaten Karanganyar merupakan pengguna pestisida

dengan metode penyemprotan (spraying) 19. Penggunaan pestisida dengan metode penyemprotan

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 37

adalah metode yang rentan terhadap risiko terpajan bahan aktif pestisida melalui aliran intake

inhalasi atau masuknya bahan pajanan ke dalam tubuh melalui saluran pernapasan, sehingga teknik

aplikasi yang benar dapat mencegah timbulnya risiko kesehatan pada penyemprot 20

. Apabila

mengingat penggunaan pestisida di Kecamatan Ngargoyoso Kabupaten Karanganyar yang masif

dalam beberapa tahun kebelakang, maka penting sekali untuk dapat melakukan penilaian risiko

aktivitas penyemprotan pestisida pada petani yang terpapar pestisida. Tujuan umum dari penilaian

risiko aktivitas penyemprotan adalah untuk mengetahui tahapan paling berisiko dalam proses

aktivitas tersebut.

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkatan risiko yaitu risiko

tinggi, risiko sedang, dan risiko rendah pada aktivitas penggunaan pestisida dalam setiap tahapan

proses pertanian di Kecamatan Ngargoyo Kabupaten Karanganyar. Manfaat dari penelitian ini

adalah diketahui tingkat risiko dari aktivitas penyemprotan pestisida baik itu tingkatan risiko

tinggi, risiko sedang dan risiko rendah di Kecamatan Ngargoyoso Kabupaten Karanganyar. Setelah

tingkatan risiko diketahui, upaya pencegahan dan minimalisir risiko yang berpotensi merugikan

kesehatan dan lingkungan dapat dilakukan dengan lebih sistematis dan terstruktur.

METODE

Metode penelitian ini diawali dengan melakukan observasi lapangan yaitu dengan

melakukan pengamatan aktivitas penyemprotan pestisida oleh petani. Pengamatan dilakukan pada

pencampuran pestisida, proses memasukkan ke tangki, penyemprotan, pencucian tangki dan

perlakuan kemasan bekas pestisida. Selain pengamatan, dilakukan juga proses wawancara dengan

petani penyemprot yang melakukan tahapan kerja tersebut. Wawancara dilakukan untuk menggali

lebih jauh potensi bahaya dalam pelaksanaan proses tersebut. Desain penelitian ini adalah

observasional secara potong lintang (cross sectional) yaitu observasi yang dilakukan secara

serentak pada individu-individu dari populasi tunggal pada satu saat atau periode. Jenis penelitian

adalah penelitian semi kuantitatif yaitu hasil pengamatan dilakukan diolah dengan

memperhitungkan tingkat keparahan dan tingkat frekuensi pajanan pestisida dengan menggunakan

metode HIRA (Hazard Identification And Risk Assesment). Penelitian dilakukan di Kecamatan

Ngargoyoso Kabupaten Karanganyar Provinsi Jawa Tengah pada periode Maret 2016 sampai

dengan Agustus 2016.

Populasi adalah semua petani di wilayah Kabupaten Karanganyar. Berdasarkan sensus

pertanian tahun 2013 diketahui jumlah petani di kabupaten Karanganyar sebanyak 104.847 petani,

sedangkan untuk wilayah kecamatan Ngargoyoso sebanyak 6.301 orang 21

. Sampel dalam

penelitian ini adalah kelompok petani berjenis kelamin laki-laki dalam rentang umur 20-70 tahun di

Kecamatan Ngargoyoso Kabupaten Karanganyar. Pengambilan sampel dilakuan dengan rumus

penentuan jumlah sampel dari Taro Yamame dan Slovin dalam Ridwan dan Akdon yaitu apabila

populasi sudah diketahui 22

. Sampel yang ditentukan dari perhitungan berjumlah 98 petani, dengan

asumsi batas kesalahan yang diterima adalah 10% maka jumlah sampel yang diambil adalah 110.

Namun satu responden dinyatakan gagal sehingga jumlah sampel menjadi 109 sampel.

Kriteria inklusi yang ditetapkan untuk sampel adalah dapat berkomunikasi dengan baik,

pekerja atau buruh tani lebih dari satu tahun terakhir, menggunakan pestisida paling lama dua

minggu sebelum penelitian, dan bertempat tinggal di Kabupaten Karanganyar lebih dari lima tahun.

Kriteria eksklusi sampel adalah menderita sakit kronis, sedang menjalani pengobatan, dan

berencana pindah selama rentang waktu penelitian. Data umur, status gizi, tingkat pendidikan,

gambaran penggunaan pestisida petani serta tingkat pengetahuan mengenai alat pelindung diri

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 38

didapat dari kuisioner. Status gizi di peroleh pengukuran data antropometri meliputi berat badan

dan tinggi badan 23

.

Penilaian risiko akan dihitung dengan mengombinasikan tingkat peluang dan tingkat

keparahan dari tahapan proses yang dilakukan. Pengertian dari tingkat peluang dijelaskan dalam

tabel 1 di bawah ini:

Tabel 1. Tingkat Peluang

Tingkatan Kriteria Penjelasan

5 Most Likely (sering) Terjadi hampir pada semua keadaan

4 Likely (sering) sangat mungkin terjadi pada semua keadaan

3 Conseivable (cukup sering) Dapat terjadi sewaktu-waktu

2 Remote (agak sering) Mungkin terjadi sewaktu-waktu 1 Inconseivable (Jarang sekali) Hanya dapat terjadi pada keadaan tertentu

Sumber : Standard AS/NZS 4360

Tingkat peluang didefinisikan oleh Standard AS/NZS 4360 sebagai kemungkinan atau

likelihood yang diberi rentang dari suatu risiko yang jarang terjadi sampai risiko yang sering terjadi

setiap saat. Frekuensinya dapat diambil secara kualitatif melalui wawancara dengan petani

pengguna pestisida terkait 24

.

Tingkat keparahan dikategorikan antara kejadian yang tidak menimbulkan keracunan atau

cidera sampai pada tingkatan kejadian yang dapat berdampak pada kematian atau kerugian yang

sangat besar atau memiliki dampak yang panjang sampai terhentinya kegiatan pokok, dapat juga di

definisikan dengan kejadian yang berpotensi menimbulkan kerugian finansial kecil hingga kerugian

yang besar. Penentuan tingkatan keparahan tersebut di dapat dengan pendekatan kualitatif melalui

wawancara dengan petani pengguna. Secara lebih terperinci, penjelasan tingkat keparahan ditulis

dalam tabel 2 berikut:

Tabel 2. Tingkat Keparahan

Level Kriteria Penjelasan

5 Catastrophic Berdampak pada kematian, kerugian sangat besar dan berdampak panjang sampai terhentinya kegiatan pokok

4 Major Keracunan Berat,kerugian besar, berpotensi menjadi penyakit serius

3 Moderate Keracunan sedang, perlu penanganan medis, kerugian finansial besar

2 Minor Keracunan ringan, kerugian finansial kecil 1 Insignificant Tidak terjadi keracunan, kerugian finansial kecil

Sumber : Standard AS/NZS 4360 dan Material Safety Data Sheet

Tahapan analisis diawali dengan identifikasi terhadap potensi bahaya terkait penggunaan

pestisida berdasarkan pengamatan di lapangan, alur proses penggunaan pestisida, aktivitas yang

dilakukan terkait penggunaan pestisida, dan kegiatan lain di area pertanian yang didapat dari petani

penggarap dan pemilik sawah. Data yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk menentukan

tingkat keparahan dan peluang kejadian, kedua data tersebut dikombinasikan dalam matriks risiko

untuk mengetahui tingkat risiko dari setiap tahapan. Hasil dari kombinasi tersebut akan

menunjukkan tingkat risiko dengan kategori risiko rendah, risiko menengah dan risiko tinggi

seperti yang dapat dijelaskan dalam tabel 3.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 39

Tabel 3. Matriks Risiko

Peluang Keparahan

1 2 3 4 5

5 5 10 15 20 25

4 4 8 12 16 20

3 3 6 9 12 15

2 2 4 6 8 10

1 1 2 3 4 5

Sumber : Standard AS/NZS 4360

Dengan kategori risiko sebagai berikut :

1. Risiko Rendah (RR); Warna hijau; Skor 1-5

2. Risiko Sedang (RS); Warna kuning; Skor 6-14

3. Risiko Tinggi (RT); Warna merah; skor 15-25

Skor yang didapat adalah perkalian atau kombinasi antara tingkat peluang dengan tingkat

keparahan dari setiap potensi bahaya yang diidentifikasi.

HASIL PENELITIAN

Dalam penelitian ini, gambaran umum kondisi responden di Kecamatan Ngargoyoso

Kabupaten Karanganyar menunjukkan bahwa petani di Ngargoyoso masih berada pada usia

produktif.

Tabel 4. Gambaran Umum kondisi Responden

Variabel n % Rerata

Usia Kelompok usia 20-30 tahun 5 4.59

45,2 tahun

Rentang usia 31-40 tahun 30 27.52

Rentang usia 41-50 tahun 44 40.37

Rentang usia 51-60 tahun 24 22.02

Rentang usia 61-70 tahun 6 5.5

Tingkat Penidikan Petani

Tidak Sekolah 6 5.5

Tamat SD 51 46.8

Tamat SMP 30 27.5

Tamat SMA 19 17.4

Tamat D3 2 1.8

Tamat S1 1 0.9

Status Gizi

Kurus : 17.0 - 18.4 5 4.59

Normal : 18.5 - 25.0 87 79.82

Gemuk : 25.1 - 27.0 17 15.59

Dari 109 petani yang diwawancarai, 93 persen responden menjawab telah bekerja sebagai

petani selama lebih dari lima tahun. Petani yang bekerja paling lama waktunya adalah 40 tahun,

dengan rata-rata masa kerja petani adalah 17 tahun. Hasil wawancara menunjukkan bahwa mereka

sudah menjalankan profesi sebagai petani sejak usia sekolah. Hal itu didukung dengan pendidikan

para petani yang sebagian besar tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dari

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 40

SMA. Pada Tabel. 4 diketahui bahwa sebagian besar petani hanya bersekolah sampai pendidikan

dasar, yaitu sebanyak 46,8 persen. Petani yang melanjutkan pendidikan sampai perguruan tinggi

hanya sebesar 0,9 persen 25

.

Riwayat dan karakteristik petani dalam hal penggunaan pestisida pada saat melakukan

kegiatan pertanian ditunjukkan pada Tabel. 5. Dari data yang ditunjukkan dalam Tabel 5 diketahui

sebanyak 92,6 persen petani melakukan penyemprotan 1-5 kali seminggu. Kegiatan penyemprotan

dengan pestisida dilakukan pada pagi hari. Selama menyemprot, kebanyakan petani mengenakan

alat pelindung diri (APD) berupa jaket, topi, sepatu, dan masker. Arah penyemprotan sesuai dengan

arah angin. Pakaian yang dipakai ketika menyemprot merupakan baju khusus yang langsung

diganti setelah kegiatan pertanian selesai.

Tabel 5. Karakteristik Petani Berdasarkan Penggunaan Pestisida

Variabel n % Rerata

Lama menggunakan pestisida < 10 tahun 31 28.44

17.91 11-20 tahun 51 46.79

21-30 tahun 14 12.84

31-40 tahun 13 11.93

Waktu penyemprotan

Pagi Hari 109 100

Siang Hari 0 0

Sore Hari 0 0

Arah Penyemprotan

Sesuai arah angin 94 86.24

Berlawanan dengan arah angin 1 0.92

Tidak tentu 1 12.84

Penilaian risiko dengan pendekatan HIRA (Hazard Identification And Risk Assesment)

ditunjukkan dalam Tabel 6. Proses penilaian risiko diawali oleh proses identifikasi bahaya atau

hazard yang ada di sekitar petani pengguna pestisida. Proses identifikasi didasarkan atas proses

atau alur kegiatan yang dilakukan petani dalam berinteraksi dengan pestisida, alur tersebut terbagi

menjadi 6 proses yaitu penakaran pestisida, pencampuran pestisida, penyemprotan pestisida,

penyimpanan pestisida, pencucian peralatan penyemprotan, dan pembuangan kemasan pestisida.

Selanjutnya proses identifikasi dilakukan dengan menginventarisasi potensi bahaya yang mungkin

muncul. Bahaya tersebut dikatagorikan sebagai bahaya lingkungan. Interaksi antara agen-agen

lingkungan dengan manusia yang memiliki potensi merugikan manusia di sebut potensi bahaya

lingkungan, agen-agen tersebut dapat diklasifikasikan sebagai bahaya fisik (radiasi energi,

gelombang elektromagnetik, pencemaran udara), bahaya biologi (organisme patogen, virus,

bakteri) dan bahaya kimia (zat-zat toksik atau beracun), perilaku hidup tidak sehat dan faktor non

fisik lingkungan 10

.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 41

Tabel 6. Hasil Penilaian Risiko

Proses Potensi

bahaya/Hazard Potensi Risiko/penyakit Peluang keparahan Grade Hasil

Penakaran Pestisida Bahan aktif pestisida Terhirup 2 2 4 Risiko Rendah

Tangan Kontak

dengan Bahan aktif

pestisida

Absorbsi bahan kimia

melalui kulit 2 2 4 Risiko Rendah

Pencampuran

Pestisida Bahan aktif pestisida

Iritasi pada kulit karena

kontak langsung 2 2 4 Risiko Rendah

Absorbsi bahan kimia

melalui kulit 2 2 4 Risiko Rendah

Terhirup 2 2 4 Risiko Rendah

Konsentrasi pestisida

melebihi dosis yang dianjurkan

Risiko keracunan 2 2 4 Risiko Rendah

Penyemprotan Kabut/buih

semprotan Pestisida Terhirup 3 3 9 Risiko Sedang

Iritasi pada mata 3 3 9 Risiko Sedang

Keracunan Pestisida 3 3 9 Risiko Sedang

Penyemprotan

berlawanan arah

angin

Terhirup 2 4 8 Risiko Sedang

Iritasi pada mata 2 4 8 Risiko Sedang

Iritasi pada kulit 2 4 8 Risiko Sedang

Absorbsi bahan kimia

melalui kulit 2 4 8 Risiko Sedang

Penyimpanan Pestisida

Penutup tidak rapat mudah tumpah

Terhirup 1 2 2 Risiko Rendah

Iritasi pada kulit 1 2 2 Risiko Rendah

Absorbsi bahan kimia melalui kulit

1 2 2 Risiko Rendah

Pencucian peralatan semprot

Sisa pestisida Terhirup 1 2 2 Risiko Rendah

Iritasi pada kulit 1 2 2 Risiko Rendah

Absorbsi bahan kimia melalui kulit

1 2 2 Risiko Rendah

Pembuangan

kemasan pestisida

Mencemari

lingkungan masuk kedalam tubuh 3 3 9 Risiko Sedang

Dari tabel 6 diketahui hasil bahaya yang telah teridentifikasi yang akan ditelusur potensi

risiko yang mungkin muncul dan berpotensi merugikan kesehatan petani dan lingkungan. Potensi

risiko diperoleh dari studi literatur seperti buku, lembar data keselamatan bahan kimia, wawancara

dengan petani dan informasi lainnya yang dapat dijadikan dasar penentuan risiko tersebut. Dari

proses identifikasi bahaya tersebut didapat 10 potensi bahaya. Dari 10 potensi bahaya ditemukan 20

potensi risiko yang dapat membahayakan kesehatan petani dan lingkungan.

Selanjutnya 20 potensi risiko tersebut akan uraikan tingkatannya kedalam level tingkat

bahaya dan tingkat keparahan sesuai dengan tabel 1 tentang tingkat peluang dan tabel 2 tentang

tingkat keparahan. Data tingkat peluang dan tingkat keparahan tersebut akan diperingkatkan

berdasarkan panduan dari standard yang dipublikasikan oleh Australians New Zealand Standard

tentang pengelolaan risiko dalam berbagai kondisi. Data yang telah berperingkat tadi, selanjutnya

dikombinasi dengan menggunakan matriks risiko. Dari hasil kombinasi tersebut setiap potensi

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 42

risiko yang telah terukur akan di kelompokkan atau dimasukkan kedalam kategori risiko rendah,

risiko sedang dan risiko tinggi.

Skor yang didapat adalah perkalian atau kombinasi antara tingkat peluang dengan tingkat

keparahan dari setiap potensi bahaya yang diidentifikasi. Dari hasil identifikasi didapat bahwa

potensi bahaya penyemprotan berlawanan arah angin dengan potensi risiko buih pestisida terhirup,

iritasi pada kulit, iritasi pada mata dan absorbsinya bahan pestisida ke kulit memiliki risiko tinggi

karena memiliki skor 16, sedangkan potensi bahaya penutupan tutup kemasan pestisida yang tidak

rapat dan pencucian peralatan semprot memiliki risiko rendah dikarenakan skor yang didapat

adalah 2.

PEMBAHASAN

Penilaian risiko yang dilakukan pada 6 tahapan proses penggunaan pestisida oleh petani di

Kecamatan Ngargoyoso menghasilkan 20 potensi risiko yang bila tidak dikendalikan dengan baik

berpotensi mengganggu kesehatan petani tersebut , ke-6 proses tersebut dapat dijelaskan sebagai

berikut :

a) Proses Penakaran Pestisida

Penakaran adalah tahapan awal dalam proses penyemprotan pestisida, pestisida dalam

kemasan akan ditakar sesuai ketentuan takaran dalam kemasan untuk selanjutnya di campur

dengan pelarut air pada tahapan berikutnya. Pada proses ini dibutuhkan konsentrasi oleh petani

sebagai penakar, karena bahaya ceceran bahan aktif pestisida dapat saja mengenai kulit dan bau

pestisida tersebut terhirup oleh petani. Pada proses ini potensi bahaya yang teridentifikasi adalah

keluarnya bahan aktif pestisida dari kemasan sehingga memungkinkan bahan tersebut uapnya

terhirup oleh petani, selain itu tangan sebagai media penakar sangat berisiko untuk terpapar

bahan aktif tersebut. Dalam proses ini dari pengamatan dan wawancara dengan petani didapat

tingkat peluang adalah 2 karena kondisi tersebut dapat terjadi namun jarang terjadi sedangkan

tingkat keparahan ada pada tingkatan 2 mengingat volume yang memapar sangatlah sedikit.

Dalam perhitungan kombinasi untuk proses penakaran pestisida memiliki 2 potensi risiko yaitu

terhirup dan absorsi bahan kimia pada kulit dengan tingkat risiko yaitu risiko rendah (RR)

dengan skor 4.

b) Proses Pencampuran Pestisida

Pada proses pencampuran pestisida teridentifikasi 2 potensi bahaya yaitu bahan aktif

pestisida dan pencampuran bahan aktif yang melebihi dosis yang dianjurkan. Untuk potensi

bahaya bahan aktif pestisida didapat 3 potensi risiko yang dapat membahayakan kesehatan yaitu

kontak langsung kulit dengan bahan aktif pestisida yang dapat menimbulkan iritasi kulit dan

terabsorbsinya bahan aktif pestisida tersebut melalui kulit serta terhirupnya uap bahan aktif

tersebut. Pada potensi bahaya aktif pestisida tersebut ketiga potensi risiko tersebut memiliki

tingkat peluang 2 dan tingkat keparahan 2 sehingga bila dikombinasi dalam matriks risiko di

dapat skor 4 atau masuk kedalam kategori risiko rendah (RR). Sedangkan untuk potensi bahaya

konsentrasi pestisida melebihi dosis didapat potensi risiko keracunan pestisida, keracunan dapat

terjadi bila pada dosis yang diberikan melebihi aturan dalam kemasan. Potensi risiko keracunan

tersebut dinilai memiliki tingkat peluang 2 dan tingkat keparahan 2 sehingga bila di kombinasi

dalam matriks risiko didapat skor 4 atau masuk ke dalam kategori risiko rendah (RR).

c) Proses Penyemprotan

Proses penyemprotan adalah proses paling kritis dalam semua tahapan proses, karena dalam

proses ini didapat 3 potensi bahaya yaitu kabut/buit semprotan pestisida, dan potensi bahaya

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 43

penyemprotan yang berlawanan arah angin. Untuk potensi bahaya buih semprotan pestisida

potensi risiko yang terdata adalah risiko terhirupnya buih tersebut, iritasi mata karena terkontak

buih pestisida yang disemprot dan potensi risiko keracunan karena bahan aktif pestisida yang

disemprotkan sangat berpotensi terserap tubuh dalam volume yang cukup dan dalam waktu yang

singkat. Pada potensi bahaya buih semprotan terdapat 3 potensi risiko yang tercatat, potensi

risiko tersebut adalah terhirup, iritasi pada mata dan potensi risiko keracunan pestisida, pada

aktivitas penyemprotan ini didapatkan tingkat peluang adalah 3 dan tingkat keparahan 3

sehingga pada kombinasi matriks risiko didapat skor risiko 9 yang dapat diartikan masuk ke

kategori risiko sedang (RS). Tingkat peluang mendapat skor 3 mengingat waktu pemajanan

dalam aktivitas yang relatif lama dibanding proses-proses lainnya bergantung pada luas lahan

yang disemprotkan, sedangkan tingkat keparahan mendapat skor 3, lebih dikarenakan waktu

penyemprotan yang lama dapat berpotensi meningkatkan volume bahan aktif pestisida yang

terserap ke tubuh.

Potensi bahaya penyemprotan berlawanan arah angin terdapat 4 potensi risiko yaitu terhirup,

terabsorbsi ke kulit, iritasi kulit dan iritasi mata. Pada kondisi ini walau penyemprotan

berlawanan arah angin tidak sering terjadi tapi dapat terjadi sewaktu-waktu dengan alasan

kurang fokusnya petani, terlupa melihat arah angin dan keteledoran lainnya untuk itu kondisi

tersebut memiliki tingkat peluang 2, sedangkan bila terjadi kondisi ini dapat berakibat sangat

fatal, karena kesalahan tersebut dapat meningkatkan terserapnya zat racun pestisida ke dalam

tubuh sehingga skor yang didapat adalah 4. Bila dikombinasikan kedalam matriks risiko ketiga

potensi bahaya tersebut mendapat skor 8 atau masuk ke dalam kategori risiko sedang (RS).

d) Penyimpanan Pestisida

Penyimpanan pestisida adalah proses yang dilakukan setelah proses penyemprotan, pada

proses ini potensi bahayanya adalah kekurangrapatan menutup penutup pestisida sehingga

memunculkan potensi risiko terhirup, iritasi kulit dan terserapnya bahan aktif pestisida melalui

kulit. Dari hasil pengamatan dan wawancara kondisi tersebut sangat jarang terjadi walau dapat

terjadi sewaktu-waktu untuk itu tingkat peluang kondisi tersebut adalah 1, namun demikian

bilapun terjadi tingkat keparahan yang didapat tidak terlalu tingga dikarenakan waktu terpapar

yang tidak lama, oleh karena hal tersebut skor yang didapat untuk tingkat keparahan adalah 2.

Bila dikombinasikan kedalam matriks risiko skor didapat adalah 4 dan masuk ke kategori risiko

rendah (RR).

e) Pencucian perlatan semprot

Dari hasil wawancara proses pencucian peralatan semprot sangat jarang dilakukan, rata-rata

pencucian tidak mengenal periode, sekedar mengikuti kebutuhan pencucian saja, selain hal

tersebut, pencucian biasanya dilakukan pada aliran irigasi saat aliran tersebut deras. Kondisi

tersebut membuat penilaia tingkat peluang ada di skor 1 dan tingkat keparahannya adalah 2,

sehingga bila di kombinasikan dalam matriks risiko didapat skor 2 atau masuk di kategori risiko

rendah (RR).

f) Pembuangan Kemasan Pestisida

Proses pembuangan kemasan pestisia adalah proses akhir pada penggunaan pestisida, proses

ini bergantung pada banyak tidaknya penggunaan pestisida oleh petani. Pada proses ini belum

pahamnya petani akan berbedanya perlakuan pembuangan kemasan bekas pestisida dengan

kemasan produk lainnya membuat beberapa petani melakukan proses pembuangan kemasan di

samakan dengan pembuangan limbah rumah tangga lainnya, kondisi tersebut tentunya sangat

berisiko mencemari lingkungan di sekitar lokasi pembuangan. Pada proses ini mengingat cukup

seringnya pola pembuangan kemasan bekas pestisida ke lokasi pembuangan domestik untuk

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 44

tingkat peluang dinilai pada skor 3, sedangkan tingkat keparahannya juga di nilai 3 mengingat

bila kondisi tersebut masih sering terjadi akan semakin mencemari lingkungan di sekitarnya.

Kombinasi matrik risiko pada proses ini adalah 9 atau masuk ke kategori risiko sedang (RS).

KESIMPULAN DAN SARAN

Proses penilaian risiko pada petani penggunaan pestisida didapat beberapa kesimpulan

sebagai berikut :

1) Pada proses penggunaan pestisida di kecamatan Ngargoyoso Kabupaten Karanganyar ini,

semua tahapan proses yang dilakukan penilaian risiko tidak terdapat potensi risiko yang

memiliki kategori risiko tinggi (RT), walau demikian perlu di lakukan pengawasan rutin

kepada petani terkait penggunaan pestisida mengingat potensi bahaya yang ditimbulkannya.

2) Risiko sedang (RS) didapat pada hampir seluruh potensi bahaya yang ada pada proses

penyemprotan, skor yang di dapat antara 8 sampai dengan 9, kondisi tersebut tentunya

membutuhkan perhatian lebih untuk di komunikasikan kepada petani agar potensi risiko yang

dapat muncul seperti terhirupnya uap pestisida, iritasi kulit dan mata akibat terkontak langsung

dan masuknya bahan kimia berbahaya yang berasal dari pestisida dapat dikendalikan atau

bahkan dicegah kemungkinan munculnya.

3) Potensi risiko yang dinilai sebagai risiko rendah (RS) terdapat pada potensi bahaya pada proses

penyimpanan pestisida dan pencucian peralatan penyemprotan pestisida. Kondisi tersebut

didapat karena pada proses tersebut, tingkat peluangnya kecil mengingat kondisi tersebut

jarang terjadi, walau tingkat keparahan yang didapat adalah sedang.

DAFTAR PUSTAKA

1. EPA. Pesticides Industry Sales and Usage. United Statyes Environ Prot Agency.

2017;(November):24.

2. Direktorat Pupuk Dan Pestisida. Pestisida Pertanian dan Kehutanan 2016. Jakarta:

Kementan RI; 2016.

3. Hartini E. Kontaminasi residu pestisida dalam buah melon (studi kasus pada petani di

kecamatan Penawangan). J Kesehat Masy. 2014;10(1):96–102.

4. Achmadi UF. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Kompas. 2005;12.

5. Samosir K, Setiani O. Hubungan Pajanan Pestisida dengan Gangguan Keseimbangan Tubuh

Petani Hortikultura di Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang. J Kesehat Lingkung

Indones. 2017;16(2):63–9.

6. Purwandari R, Musoddaq MA, Fuada N. Profil Petani Sayur di Kabupaten Karanganyar

Berdasarkan Kadar Kholinesterase dan Fungsi Tiroidnya. J Ekol Kesehat. 2017;237–46.

7. Amilia E, Joy B, Sunardi D. Residu Pestisida pada Tanaman Hortikultura (Studi Kasus di

Desa Cihanjuang Rahayu Kecamatan Parongpong Kabupaten Bandung Barat). J Agrik.

2016;27(1):2329.

8. Pawitra A. Pemakaian Pestisida Kimia Terhadap Enzim Choliterase dan Residu Pestisida

Dalam Tanah. UNAIR; 2011.

9. Yuantari M. Analisis Risiko Pejanan Pestisida Terhadap Kesehatan Petani. J Kesehat Masy.

2015;10:239–45.

10. Rahman A. Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan. In 2007.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 45

11. Runia YA. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Keracunan Pestisida Organofosfat,

Karbamat dan Kejadian Anemia pada Petani Hortikultura di Desa Tejosari Kecamatan

Ngablak Kabupaten Magelang. Universitas Diponegoro; 2008.

12. Gusti A. Faktor Yang Berhubungan Dengan Gejala Neurotoksik Akibat Paparan Pestisida

Pada Petani Sayuran Di Kenagarian Alahan Panjang Kabupaten Solok. J Kesehat Lingkung

Indones. 2017;16(1):17.

13. Maksuk. Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan terhadap Paparan Pestisida di Kawasan

Pertanian. Pros Semin Nas Lahan Suboptimal 2014. 2014;(September):714–9.

14. Ramli S. Pedoman Praktis Manajemen Risiko dalam Perspektif K3 OHS Risk Management.

Jakarta Dian Rakyat. 2010;

15. Kurniawati E, Sugiono, Yuniarti R. Analisis Potensi Kecelakaan Kerja pada Departemen

Produksi Sprigbed dengan Metode Hazard Identification and Risk Assessment (HIRA)

(Studi Kasus : PT. Malindo Intitama Raya, Malang, Jawa Timur). J Rekayasa dan Manaj

Sist Ind. 2014;2(1):11–23.

16. Puspitasari N. Hazard Identifikasi dan Risk Assesment dalam Upaya Mengurangi Tingkat

Risiko di Bagian Produksi PT. Bina Guna Kimia Ungaran Semarang. Surakarta; 2010.

17. Prasetyo EH, Suroto, Kurniawan B. Analisis HIRA (Hazard Identification and Risk

Assessment) pada Instansi X di Semarang. J Kesehat Masy. 2018;6(5):519–28.

18. Djafri D. Prinsip Dan Metode Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan. J Kesehat Masy

Andalas. 2014;8(2):100.

19. Muhlisin A, Mahasiswa SS, FIK UMS Jln Yani Tromol Post KA, Muhlisin Dosen Jurusan

Keperawatan FIK UMS Jln Ahmad Yani Tromol Pos Pabelan Kartasura AI. Tingkat

Pengetahuan Bahaya Pestisida Dan Kebiasaan Pemakaian Alat Pelindung Diri Dilihat Dari

Munculnya Tanda Gejala Keracunan Pada Kelompok Tani Di Karanganyar. Tingkat

Pengetah Bahaya Pestisida. :154–64.

20. Hortikultura PP dan P. Teknik Penyemprotan Pestisida. Bogor; 2014.

21. BPS Kab.Karanganyar. Hasil Sensus Pertanian 2013 Kabupaten karanganyar. Karanganyar;

2013.

22. Riduwan A. Rumus dan data dalam analisis statistik. 1st ed. Bandung: Alfabeta; 2013.

23. Harahap H, Widodo Y, Mulyati S. Determining cut-off points of body mass index for

obesity. Persagi. 2005;1–12.

24. Australian NZS. Risk Management Standards 4360. 4360 Australian; 2004.

25. Purwandari R, Musoddaq MA, Khimayah, Nur‘aini N. Hubungan Residu Pestisida terhadap

Fungsi Tiroid Petani di Kabupaten Karanganyar. Kabupaten Magelang; 2016.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 46

PREDIKSI BERAT LAHIR RENDAH MELALUI TREN KONSENTRASI

NITROGEN DIOKSIDA DI UDARA AMBIEN KOTA PALEMBANG

Dwi Septiawati

1*, Imelda G. Purba

2, Ani Nidia Listianti

2

1,2Bagian Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya

3Alumni Bagian K3KL Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya

Jl. Raya Palembang - Prabumulih Km. 32 Indralaya, OI, Sumatera Selatan 30662, Indonesia *Corresponding Email: [email protected]

PREDICTION OF LOW BIRTH WEIGHT THROUGH TREND OF NITROGEN DIOXIDE

CONCENTRATION IN AMBIENT AIR OF PALEMBANG CITY

ABSTRACT

This study aims to predict the occurrence of LBW by analyzing the relationship of LBW incidence trends with

the trend of NO2 concentration in the ambient air. This is ecological study design at 7 sub districts which

have measurement point of air quality 2012 until 2015. Aggregate data will be analyzed spatially and

predicted 1 year later. Prevalence of LBW for 2012-2015 in sequence is 1.9% of 14842 live births, 2.1% of

14443, 1.3% of 14838, and 1.1% of 14746. The average concentration of NO2 in ambient air 2012-2015 is

170.13 μg/m3/hr, 195.37 μg/m

3/hr, 216.97 μg/m

3/hr, and 430.23 μg/m

3/hr. The prediction of the occurrence of

BBLR in 2016 by analyzing the relationship of NO2 concentration trend in ambient air with the trend of

BBLR occurrence of Palembang City cannot be done because there is no relationship between the two

variables.

Keywords: Air Quality, Ecological Studies, LBW Prevalence, NO2 Concentration

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan memprediksi kejadian BBLR dengan cara menganalisi hubungan trend kejadian

BBLR dengan trend konsentrasi NO2 di udara ambien Kota Palembang secara geographical information

system. Studi ekologi ini dilakukan di 7 kecamatan yang terdapat titik pengukuran kualitas udara tahun 2012

sampai 2015. Data agregat akan dianalisis secara spasial dan diprediksi 1 tahun selanjutnya. Studi ini

menunjukkan prevalensi BBLR Tahun 2012-2015 adalah 1.9% dari 14842 kelahiran hidup, 2.1% dari 14443,

1.3% dari 14838, dan 1.1% dari 14746. Rata-rata kadar konsentrasi NO2 di udara ambien Tahun 2012-2015

adalah 170.13 µg/m3/jam, 195.37 µg/m

3/jam, 216.97 µg/m

3/jam, dan 430.23 µg/m

3/jam. Prediksi kejadian

BBLR tahun 2016 dengan cara menganalisi hubungan trend konsentrasi NO2 di udara ambient dengan trend

kejadian BBLR Kota Palembang, tidak dapat dilakukan karena tidak adanya hubungan diantara kedua

variabel tersebut.

Kata Kunci : Konsentrasi NO2, Kualitas Udara, Prevalensi BBLR, Studi Ekologi.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 47

PENDAHULUAN

Peningkatan pencemaran udara sejalan dengan meningkatnya penyakit akut dan kronis.

Berdasarkan 10 penyebab kematian dunia pada tahun 2011, penyakit akibat paparan polusi udara

beberapa diantaranya, seperti Infeksi Saluran Pernafasan dibawah (3,2 juta kasus), PPOK / PPOK

(3 juta kasus), Trakea bronkus & kanker paru-paru (1,5 juta kasus), dan kelahiran prematur (1,2

juta kasus).1 Pada 2013, UNICEF melaporkan 2,9 juta bayi di seluruh dunia meninggal dalam bulan

pertama kehidupan. Salah satu penyebabnya adalah riwayat berat badan lahir rendah yang tidak

segera mendapat penanganan serius.2 Berat Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi yang lahir dengan

berat kurang dari 2500 gram tanpa memandang usia kehamilan.3

Prevalensi BBLR di dunia sekitar 20,6 juta (15,5%) pada tahun 2011 dan 15,2% pada tahun

2012. Dari total kasus BBLR, 95,6% kasus berada di negara berkembang.3 Di Indonesia, menurut

hasil Riskesdas, prevalensi bayi berat lahir rendah (BBLR) menurun dari 11,5% pada 2007 menjadi

11,1% pada 2010 dan menjadi 10,2% pada 2013.4,5

Prevalensi BBLR di Provinsi Sumatera Selatan

9,3%.5 Kota Palembang, berdasarkan laporan program anak, jumlah kematian bayi tahun 2012

sebanyak 97 kematian bayi dari 29.451 kelahiran hidup dengan penyebab kematian antara lain

asfiksia, BBLR, kelainan kongenital, pneumonia , dan penyebab lainnya.6 Dari 29.235 kelahiran

hidup, terdapat 319 (1,13%) kasus BBLR.7

Sejumlah penelitian telah menemukan bukti yang mendukung hipotesis bahwa polusi udara

dapat meningkatkan risiko gangguan pertumbuhan janin.8,9

NO2 menjadi salah satu variabel minat

dalam beberapa penelitian untuk melihat pengaruhnya terhadap hasil kelahiran.10,11,12,13,14,15

Penelitian ini merupakan penelitian sebagai bentuk perlindungan berdasarkan bukti akademis dari

suatu dampak pencemaran udara dan diharapkan dapat memberikan rekomendasi kepada pihak

terkait untuk melakukan pengelolaan sanitasi lingkungan sebagai bentuk upaya preventif terhadap

kejadian atau kejadian terkait kesehatan lingkungan. gangguan.

METODE

Penelitian ini dilakukan untuk merepresentasikan kondisi lingkungan (konsentrasi NO2 di

udara ambien) dan dampaknya terhadap kesehatan (kasus BBLR) di Kota Palembang. Dalam studi

ini, studi ekologi digunakan untuk menganalisis dugaan korelasi antara variabel bebas (konsentrasi

NO2 di udara ambien) dengan variabel terikat (kasus BBLR) dengan menggunakan data agregat

berdasarkan batas wilayah geografis. Semua kelahiran hidup dengan berat badan lahir rendah (˂

2.500 gram) di setiap kecamatan per tahun menjadi unit yang akan diteliti. Data konsentrasi NO2 di

udara ambien merupakan data agregat per tahun, yang selanjutnya akan dianalisis secara statistik,

spasial, dan diproyeksikan atau diprediksi dalam 1 tahun ke depan. Perbandingan geografis

berdasarkan konsentrasi pajanan NO2 di udara ambien dan prevalensi kasus BBLR di Kota

Palembang dibuat berdasarkan wilayah geografis (kecamatan) yang menjadi titik tolak ukur

kualitas udara di Kota Palembang. Variasi prevalensi BBLR di setiap kecamatan akan

berkontribusi pada hipotesis penyebab yang mendasari dan menunjukkan kemungkinan korelasi

dampak pencemaran udara oleh NO2.

Populasi penelitian dalam penelitian ini adalah semua kelahiran hidup di Kota Palembang

Sumatera Selatan Tahun 2015. Sampel penelitian ini adalah data agregat tentang kualitas udara

khususnya konsentrasi NO2 tahun 2012 sampai 2015 di Kota Palembang yang akan diperoleh dari

pengukuran udara. Kualitas Kota Palembang menurut Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota

Palembang dan data kasus BBLR di Kota Palembang Tahun 2012-2015 diperoleh dari laporan

kesehatan Dinas Kesehatan Kota Palembang. Kedua data tersebut akan divisualisasikan secara

geografis pada pemetaan dengan Sistem Informasi Geografis menggunakan shapefile Kota

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 48

Palembang berdasarkan wilayah kecamatan yang akan diperoleh dari Badan Perencanaan

Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Palembang dengan juga menggabungkan koordinat lokasi

titik pengambilan sampel Pengukuran kualitas udara Kota Palembang menurut tahun pengukuran

menggunakan data primer hasil pengukuran GPS.

HASIL PENELITIAN

Jumlah kelahiran hidup di Kota Palembang dari tahun 2012 hingga 2015 sangat dinamis,

meningkat pada tahun 2013, menurun selama 2 tahun berikutnya (2014-2015) (Tabel 1). Kasus

BBLR di Kota Palembang, dari tahun 2012 meningkat pada tahun 2013, namun terus menurun

hingga tahun 2015 (Tabel 1). Grafik 1 menjelaskan bahwa Kecamatan Seberang Ulu 1 merupakan

kabupaten dengan jumlah rata-rata kasus BBLR tertinggi dibandingkan lokasi penelitian lain di

Kota Palembang selama tahun 2012-2015. Kecamatan Kertapati merupakan kabupaten dengan

jumlah rata-rata kasus BBLR terendah. Kecamatan Seberang Ulu 1, Ilir Timur 1, dan Kemuning

mengalami peningkatan rata-rata jumlah kasus BBLR pada Tahun 2015 dan Kabupaten Ilir Barat 1

mengalami peningkatan rata-rata jumlah kasus BBLR pada tahun 2015.

Tabel 1.Distribusi Frekuensi Kelahiran Hidup dan Kasus BBLR di Lokasi PenelitianKota

Palembang Tahun 2012-2015

Kecamatan Lahir Hidup BBLR

2012 2013 2014 2015 2012 2013 2014 2015

Σ % Σ % Σ % Σ %

Seberang Ulu I 3390 3339 3501 3429 53 1.56 96 2.88 49 1.40 43 1.25

Kertapati 1674 1506 1534 1589 27 1.61 27 1.79 7 0.46 4 0.25

Ilir Barat I 2473 2530 2518 2539 59 2.39 51 2.02 35 1.39 48 1.89

Ilir Timur I 958 988 983 974 18 1.88 40 4.05 27 2.75 17 1.75

Kemuning 1566 1537 1643 1586 21 1.34 24 1.56 21 1.28 14 0.88

Ilir Timur II 3001 2820 2798 2801 64 2.13 38 1.35 28 1.00 9 0.32

Kalidoni 1780 1723 1861 1828 46 2.58 39 2.26 27 1.45 26 1.42

TOTAL 14842 14443 14838 14746 288 1.9 315 2.1 194 1.3 161 1.1

Rata-rata konsentrasi NO2 di udara ambien Kota Palembang dari tahun 2012 hingga 2015

berkisar antara 71,55 μg /m3/jam hingga 656,7 μg /m

3/jam. Pada tahun 2015 terdapat empat

kecamatan dengan rata-rata konsentrasi NO2 di atas Baku Mutu Lingkungan pencemar NO2 di

udara ambien, yaitu Seberang Ulu 1, Kertapati, Ilir Barat 1, dan Ilir Timur 1 (Grafik 1). Apabila

penjumlahan setiap hasil pengukuran dalam periode pengukuran tahunan adalah maka konsentrasi

rata-rata NO2 sejak tahun 2012 terus mengalami peningkatan dari rata-rata konsentrasi tersebut

setiap tahunnya. Kecamatan yang mengalami penurunan konsentrasi rata-rata pada tahun 2014

dibandingkan tahun sebelumnya (2013) adalah Kecamatan Seberang Ulu 1 dan Kalidoni (Grafik 1).

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 49

Analisis spasial konsentrasi NO2 di udara ambien dan kejadian BBLR digunakan untuk

menyelidiki dan mengeksplorasi data dari perspektif spasial. Pola hubungan konsentrasi NO2 di

udara ambien dengan kejadian BBLR di Kota Palembang secara regional dapat dilihat melalui

analisis peta tematik hasil overlay konsentrasi NO2 di udara ambien dengan prevalensi kejadian

BBLR. Data konsentrasi NO2 di area pengukuran dan data kejadian BBLR yang terkumpul

dianalisis menggunakan GIS (Geographic Information System) menggunakan software Arcview.

Analisis spasial dalam penelitian ini menggunakan peta dasar Kota Palembang. Konsentrasi NO2

pada tahun 2012, 2013, 2014, dan 2015 di kecamatan lokasi penelitian divisualisasikan dengan

degradasi warna menggunakan rentang nilai konsentrasi NO2. Jumlah kelas dan rentang kategori

kelas yang diwakili oleh degradasi warna didasarkan pada Kep-107/KABAPEDAL/11/1997

tentang Pedoman Teknis Penghitungan dan Pelaporan serta Informasi Indeks Polusi Udara Standar.

Grafik 1

Tren Konsentrasi NO2 di Udara Ambien di Lokasi Penelitian

Kota Palembang Tahun 2012-2015

Visualisasi kejadian BBLR di Kota Palembang dari tahun 2012 hingga 2015 akan

ditampilkan pada Gambar 2. Kasus tersebar di peta tematik berdasarkan wilayah administratif yang

dapat menggambarkan sebaran kasus. Kasus diilustrasikan dengan simbol titik hitam (t) dan titik

putih (○) pada peta. Intinya tidak mewakili letak perkara di wilayah administrasi kecamatan tetapi

mewakili jumlah perkara di wilayah administrasi. Simbol titik hitam (●) mewakili jumlah kasus

BBLR sebanyak 5 kasus, sedangkan titik putih (○) mewakili 1 kasus BBLR.

0,00

100,00

200,00

300,00

400,00

500,00

600,00

700,00

2012 2013 2014 2015

Ko

nse

ntr

asi N

O2

(µg/

m3/j

am)

Tahun

Seberang Ulu I

Kertapati

Ilir Barat I

Ilir Timur I

Kemuning

Ilir Timur II

Kalidoni

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 50

Gambar 1

Prediksi Konsentrasi NO2 di Udara Ambien Kota Palembang Tahun 2016

Tahun 2012 Tahun 2013

Tahun 2015 Tahun 2014

Prediksi Tahun 2016

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 51

Gambar 2

Prediksi Kasus BBLR di Kota Palembang Tahun 2016

Tahun 2012 Tahun 2013

Tahun 2015 Tahun 2014

Prediksi Tahun 2016

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 52

Pada tahun 2012 kasus BBLR Palembang secara umum masih rendah yaitu 1,9% dari 14.442

kelahiran. Dari 7 kecamatan yang diamati, kasus BBLR terbanyak berada di Kecamatan Ilir Timur

II dengan 64 kasus dari 3001 kelahiran hidup, namun prevalensi tertinggi kasus BBLR berada di

Kecamatan Kalidoni sebesar 2,58% dari 1.780 kelahiran hidup. Pada tahun 2013 kasus BBLR

meningkat 27 kasus dan prevalensinya meningkat menjadi 2,1% dari 1.4443 kelahiran hidup pada

tahun 2013 di Kota Palembang. Pada tahun 2013 terdapat 4 kabupaten yang mengalami

peningkatan prevalensi kejadian BBLR (Seberang Ulu I, Kertapati, Ilir Timur I dan Kemuning)

dengan Kabupaten Ilir Timur I menjadi prevalensi tertinggi kasus BBLR. Pada tahun 2014 jumlah

kasus dan prevalensi kejadian BBLR menurun hampir 50%. Distrik Ilir Timur I tetap menjadi

kecamatan dengan prevalensi kasus BBLR tertinggi. Kecamatan Seberang Ulu I merupakan kasus

BBLR tertinggi pada tahun 2014. Setahun terakhir pengamatan (Tahun 2015), kasus BBLR juga

mengalami penurunan meskipun tidak terlalu signifikan. Namun demikian, Kabupaten Ilir Barat I

menjadi satu-satunya kecamatan yang mengalami jumlah kasus BBLR dibandingkan tahun-tahun

sebelumnya. Prevalensi tertinggi kasus BBLR pada Tahun 2015 juga terjadi di Kabupaten Ilir Barat

I.

PEMBAHASAN

Pada tahun 2012, kualitas udara Kota Palembang secara umum dikategorikan tidak sehat

karena konsentrasi NO2 di udara ambien berkisar antara 100-199 μg/m3/jam dengan konsentrasi

maksimum 179,45 μg/m3/jam di Kecamatan Kertapati dan konsentrasi minimum. yaitu 153,75

μg/m3/jam di Kecamatan Ilir Timur II. Terdapat 2 kecamatan yang mengalami peningkatan status

kategori kualitas udara pada tahun 2013 dibandingkan tahun 2012. Kecamatan Ilir Barat I dan Ilir

Timur II yang mengalami peningkatan status kualitas udara menjadi sangat tidak sehat dengan nilai

konsentrasi NO2 di udara ambien adalah antara 200-299 μg/m3/jam. Kecamatan lainnya masih

berstatus kualitas udara tidak sehat dengan nilai konsentrasi NO2 di udara ambien berkisar antara

100-199 μg/m3/jam. Pada tahun 2014, 4 kecamatan mengalami peningkatan kualitas udara ambien.

Kecamatan Ilir Barat I menjadi kecamatan yang dalam 3 tahun terus mengalami status kualitas

udara ambien (penurunan kualitas udara) yang pada tahun 2013 berstatus sangat tidak sehat, pada

tahun 2014 statusnya menjadi berbahaya dimana nilai konsentrasi NO2 di udara ambien adalah ≥

300 μg/m3/jam. 3 Kecamatan lainnya (Kemuning, Ilir Timur 1 dan Kertapati) mengalami

peningkatan status dari tidak sehat menjadi sangat tidak sehat dengan kisaran nilai konsentrasi

antara 200-299 μg/m3/jam. Pada tahun pengamatan terakhir yaitu Tahun 2015, hampir semua

kabupaten yang diamati mengalami peningkatan kualitas udara menjadi berbahaya dengan nilai

konsentrasi NO2 di udara ambien ≥ 300 μg/m3/jam. Hanya 1 kecamatan (Kalidoni) dari 7

kecamatan yang diamati masih berstatus kualitas udara tidak sehat dengan nilai konsentrasi NO2 di

udara ambien berkisar antara 200-299 μg/m3/jam.

Berdasarkan hasil analisis spasial dapat disimpulkan bahwa konsentrasi NO2 di kota

Palembang secara umum dan di 7 kecamatan lokasi penelitian khususnya terus meningkat setiap

tahunnya (Gambar 1). Peningkatan tersebut terjadi seiring dengan peningkatan aktivitas lalu lintas

dan aktivitas pembangunan fisik yang terjadi di Kota Palembang. Aktivitas lalu lintas, terutama

emisi kendaraan bermotor dan asap alat berat serta proses pembakaran yang tidak sempurna selama

konstruksi menjadi sumber emisi gas NO2 ke udara ambien. Peningkatan gas NO2 ini tentunya

berimplikasi pada efek kesehatan akibat paparan NO2. Salah satu dampak tersehat yang telah

diteliti secara ekstensif terkait dengan paparan NO2 di udara ambien pada ibu hamil selama

kehamilan adalah kejadian Berat Badan Lahir Rendah (BBLR).

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 53

Berdasarkan hasil analisis spasial dapat disimpulkan bahwa meskipun mengalami

peningkatan jumlah kasus dan prevalensi kejadian BBLR, namun secara umum terdapat

kecenderungan penurunan kasus dan prevalensi BBLR di Kota Palembang di umum dan di 7

kabupaten yang diamati secara khusus (Gambar 2). Langkah selanjutnya adalah melakukan analisis

spasial kecenderungan konsentrasi NO2 di udara ambien terhadap kecenderungan kejadian BBLR

Kota Palembang dengan cara overlay peta konsentrasi NO2 ke peta kasus BBLR. Dari hasil analisis

spasial kecenderungan konsentrasi NO2 di udara ambien terhadap kecenderungan terjadinya BBLR

Kota Palembang. Konsentrasi NO2 di udara ambien kemudian dilapisi dengan penyebaran kasus

BBLR di Kota Palembang 2012. Tahun 2013 menunjukkan hubungan yang signifikan antara

konsentrasi NO2 di udara ambien dengan kejadian BBLR di Kota Palembang pada tahun 2013. Hal

ini terlihat dari arah hubungan paralel dimana konsentrasi NO2 pada tahun 2013 secara umum

meningkat dan diikuti dengan peningkatan kasus dan prevalensi kejadian BBLR. Hasil analisis

spasial tahun 2014 menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara konsentrasi

NO2 di udara ambien dengan kejadian BBLR. Hal ini terlihat dari gambaran konsentrasi NO2 yang

terus meningkat namun tidak terjadi pada kasus dan prevalensi BBLR. Pada tahun 2014 terjadi

penurunan kasus dan prevalensi kejadian BBLR di Kota Palembang. Hal yang sama juga terlihat

dari hasil analisis spasial tahun 2015. Berdasarkan hasil analisis spasial secara umum dapat

disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara konsentrasi NO2 di udara

ambien dengan kejadian BBLR di Kota Palembang. Hal ini dikarenakan konsentrasi NO2 yang

terus meningkat tidak diikuti dengan kasus BBLR. Kasus dan prevalensi BBLR di Kota Palembang

selama periode observasi cenderung menurun.

Prediksi kasus BBLR pada tahun 2016 dengan mengaitkannya dengan trend konsentrasi NO2

di udara ambien tidak dapat dilakukan karena tidak ada hubungan yang signifikan yang diperoleh

dari hasil analisis spasial. Prediksi tetap dilakukan namun terhadap masing-masing variabel yaitu

trend konsentrasi NO2 di udara ambien Kota Palembang dan trend kasus BBLR di Kota Palembang

tahun 2016. Prediksi dilakukan dengan asumsi keadaan minimal sama dengan 1 tahun sebelumnya

dan tanpa upaya perbaikan atau peningkatan kualitas. Jika dari tahun 2015 tidak dilakukan upaya

penyehatan lingkungan maka dapat diprediksi trend konsentrasi NO2 seperti pada Gambar 1.

Prediksi kasus BBLR di Kota Palembang tahun 2016 dilakukan dengan asumsi keadaan minimal

sama dengan 1 tahun sebelumnya dan tanpa adanya upaya perbaikan atau peningkatan kualitas.

secara signifikan (Gambar 2).

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil analisis spasial atau pemetaan jumlah kejadian BBLR di Kota Palembang

dari tahun 2012-2015 dapat diketahui bahwa terdapat tren penurunan jumlah kasus dan prevalensi

kejadian BBLR. Konsentrasi NO2 di udara tahun 2012-2015 di Kota Palembang menunjukkan

adanya kecenderungan peningkatan konsentrasi NO2 di udara ambien. Tidak ada hubungan yang

signifikan antara kecenderungan konsentrasi NO2 di udara ambien dengan kecenderungan kejadian

BBLR Kota Palembang. Prediksi kejadian BBLR tahun 2016 tidak dapat dilakukan dengan

menganalisis hubungan trend konsentrasi NO2 di udara ambien dengan trend kejadian BBLR Kota

Palembang karena tidak ada hubungan antara kedua variabel tersebut. Prediksi tetap dilakukan

tetapi untuk masing-masing variabel secara individual dengan mempelajari trend masing-masing

variabel.

Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian, maka peneliti memberikan beberapa saran yang

bertujuan untuk mengurangi konsentrasi NO2 di udara ambien maupun menurunkan risiko kejadian

BBLR seperti; Manajemen transportasi, Manajemen lingkungan, Merancang kegiatan peningkatan

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 54

kesadaran masyarakat terhadap lingkungan dan pencemaran udara, Upaya penyehatan lingkungan,

khususnya penyehatan udara oleh sektor kesehatan (Dinas Kesehatan Kota Palembang, BTKL PPM

Palembang dan Puskesmas), dan Tindakan atau upaya perlindungan dari dampak polutan udara

ambien yang dapat dilakukan oleh ibu hamil di Kota Palembang.

DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. (2013). The Top 10 Causes of Death: The 10 Leading Causes of Death in the World,

2000 and 2011

2. IGME, U. I.-A. G. o. C. M. E. U. (2014). Levels and Trends in Child Mortality; Report 2013

New York: UNICEF.

3. WHO. (2011). WHO Guidelines on Preventing Early Pregnancy and Poor Reproductive

Outcomes Among Adolescents in Developing Countries. Geneva, Switzerland: World Health

Organization.

4. Litbangkes. (2007). Riset Nasional Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Jakarta: Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia.

5. Litbangkes. (2013). Riset Nasional Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta: Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia.

6. Dinkes. (2014). Profil Kesehatan Kota Palembang 2014. Palembang: Dinas Kesehatan Kota

Palembang.

7. Dinkes. (2015). Profil Kesehatan Kota Palembang 2014. Palembang: Dinas Kesehatan Kota

Palembang.

8. Bell, e. a. (2007 ). Ambient Air Pollution and Low Birth Weight in Connecticut and

Massachuset. Environmental Health Perspectives, 115, 1118-1124.

9. Brauer, e. a. (2008). A Cohort Study of Traffic Related Air Pollution Impacts on Birth

Outcomes. Environmental Health Perspectives(116), 680-686.

10. Abusalah, A., Gavana, M., Haidich, A.-B., Smyrnakis, E., Papadakis, N., Papanikolaou, A., &

Benos, A. (2011). Low Birth Weight and Prenatal Exposure to Indoor Pollution from Tobacco

Smoke and Wood Fuel Smoke: A Matched Case–Control Study in Gaza Strip. Maternal

Children Health Journal, 16, 1718–1727. doi: DOI 10.1007/s10995-011-0851-4

11. Ballester F, E. M., Iniguez C, Llop S, Ramon R, Esplugues A (2010). Air Pollution Exposure

during Pregnancy and Reduced Birth Size: A Prospective Birth Cohort Study in Valencia,

Spain. Environmental Health Perspective, 9(6).

12. Fitria, L., Wulandari, R. A., Hermawati, E., & Susanna, D. (2008). Kualitas udara dalam ruang

perpustakaan universitas ‖x‖ ditinjau dari kualitas biologi, fisik, dan kimiawi. Makara,

kesehatan, 12( 2 ), 76-82.

13. Llop S, e. a. (2010). Preterm Birth and Exposure to Air Pollutants during Pregnancy. Environ

Res.

14. Salam MT, e. a. (2005). Birth Outcomes and Prenatal Exposure to Ozone, Carbon Monoxide,

and Particulate Matter: Results from the Children's Health Study. Environmental Health

Perspective(113), 1638–1644.

15. Siddiqui, A. R., Gold, E. B., Yang, X., Lee, K., Brown, K. H., & Bhutta, Z. A. (2008). Prenatal

Exposure to Wood Fuel Smoke and Low Birth Weight. Environmental Health Perspectives,

4(116).

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 55

GEJALA KLINIS PENYAKIT COVID-19 PADA BAYI DAN ANAK : STUDI

LITERATUR

Komalasari,

1* Ade Tyas Mayasari,

2 Elsa Fitri Ana

3

1,2,3Midwifery Department, Health Faculty, Universitas Aisyah Pringsewu, Lampung

Jl. A. Yani No. 1A Tambahrejo Kecamatan Gadingrejo Kabupaten Pringsewu, Lampung

*Corresponding email: [email protected]

ABSTRACT

World Health Organization (WHO) has declared the status of Covid-19 as a global pandemic on March 11,

2020 in Geneva, Switzerland. This epidemic affects all of age groups. However, many information on this age

group is not yet available. Therefore, we need to have informations about clear symptoms in the clinical

symptoms of infants and children Covid-19 virus infection. This study aims to discuss articles that have been

published regarding the clinical symptoms of Covid-19 virus infection in infants and children. There are 7

articles taken in this research. Articles taken from February to September 2020. The results of the 7 articles

will be analyzed and discussed regarding clinical symptoms in infants and children. A total of 2,205 babies

and children were sampled in this study. More than 90% of the clinical symptoms of Covid-19 infection in

infants and children are asymptomatic, mild, moderate to severe. The spread of Covid-19 occurs due to

direct contact with adults who are infected with Covid-19 and have a history of travel to epidemic areas.

Infants and children have milder clinical symptoms of Covid-19 infection than adults.

Keyword: Clinical characteristics, Covid-19, infant, Children

ABSTRAK

World Health Organization (WHO) telah menetapkan status Covid-19 sebagai pandemi global pada tanggal

11 Maret 2020 di Jenewa, Swiss. Wabah ini menyerang seluruh kelompok usia. Namun, informasi pada

kelompok usia anak masih sedikit. Oleh karena itu, perlu adanya informasi mengenai karakteristik yang jelas

tentang gejala klinis infeksi virus Covid-19 pada bayi dan anak. Penelitian ini bertujuan untuk membahas

artikel-artikel yang telah terbit mengenai gejala klinis infeksi virus Covid-19 pada bayi dan anak. Terdapat 7

artikel yang diambil dalam penelitian ini. Artikel diambil dari bulan Februari sampai September Tahun 2020.

Hasil penelitian dari 7 artikel tersebut akan dianalisis dan dibahas mengenai gejala klinis pada bayi dan anak.

Sebanyak 2.205 bayi dan anak menjadi sampel dalam penelitian ini. Lebih dari 90% gejala klinis infeksi

Covid-19 pada bayi dan anak bersifat asimtomatik, ringan, sedang sampai berat. Penyebaran penyakit Covid-

19 terjadi akibat kontak langsung dengan orang dewasa yang terinfeksi Covid-19 dan memiliki riwayat

perjalanan ke daerah epidemi. Bayi dan anak memiliki gejala klinis infeksi Covid-19 relatif ringan

dibandingkan dengan orang dewasa.

Kata kunci: Gejala klinis, infeksi virus, Covid-19, bayi, anak.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 56

PENDAHULUAN

Penyakit Covid-19 pertama kali muncul di China pada akhir Desember Tahun 2019. World

Health Organization (WHO) telah menyatakan bahwa Covid-19 sebagai pandemi global darurat

kesehatan.1,2,3,4

Data bulan April Tahun 2020 menyebutkan 1,7 juta orang telah terinfeksi virus

Covid-19 dan setidaknya 18.433 orang telah meninggal karena virus ini.5

Penyakit Covid-19

disebabkan oleh Corona virus yang merupakan virus RNA dari family Coronaviridae dan subfamily

Coronavirinae. Virus ini menyebabkan sindrom pernapasan akut yang mirip dengan gejala

penyakit SARS-CoV sehingga dinamakan Coronavirus 2 (SARS-CoV-2).6,7

Penyakit Covid-19 menimbulkan gejala klinis ringan sampai berat. Gejalanya meliputi batuk

kering, demam tinggi, nyeri dada, lemah, lesu, nyeri otot dan diare. Semua kelompok usia telah

terinfeksi penyakit ini, termasuk bayi dan anak.8,9,10

Penyakit ini akan menimbulkan gejala yang

lebih ringan pada kelompok usia anak dibandingkan pada kelompok usia orang dewasa. Gejala

yang timbul tidak spesifik pada kelompok neonatus dan bayi. Presentasi Covid-19 pada kelompok

usia anak bersifat asimtomatik hingga gangguan pernapasan yang parah.11

Oleh karena itu, perlu

adanya karakteristik yang jelas mengenai gejala klinis Covid-19 pada bayi dan anak yang termasuk

dalam kelompok usia rentan.

METODE Desain Studi

Penelitian ini disusun berdasarkan sumber pustaka dengan cara mengumpulkan data dari

artikel jurnal, terkait tema dan masalah yang dianalisis.

Pencarian Artikel yang relevan

Pencarian dilakukan menggunakan kata kunci dalam bahasa inggris. Pencarian artikel

dilakukan pada bulan September Tahun 2020 dengan menggunakan kata kunci ―Clinical

characteristics, Covid-19, neonatal, infant, newborn, children, SARS-CoV-2‖.

Seleksi Kriteria Inklusi dan eksklusi

Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah artikel yang diterbitkan sebagai studi kasus,

laporan kasus dan studi observasi mulai 1 Februari 2020 sampai 30 September 2020, Sedangkan

kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah artikel yang berupa review jurnal. Terdapat 7 artikel

yang sesuai dengan tema dan diambil dalam penelitian ini.

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini menganalisis tujuh artikel jurnal. Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak

2.205 bayi dan anak dengan infeksi Covid-19 yang berusia 0 – 16 tahun. Sampel dalam penelitian

diambil dari tiga Negara yaitu 2.186 (99,1%) dari China, 18 (0,8%) dari Amerika Serikat dan 1

(0,1%) dari Iran. Sebagian besar sampel memiliki jenis kelamin laki-laki sebanyak 1.254 anak

(56,9%) dan perempuan 951 anak (43,1%). Secara statistik tidak ada perbedaan yang signifikan

dalam jumlah pasien antara laki-laki dan perempuan. Waktu rata-rata mulai dari tumbulnya gejala

sampai penetapan diagnosis Covid-19 adalah 2 hari (kisaran 0 – 42 hari). Sebagian besar kasus

didiagnosis pada minggu pertama. Bayi dan anak ini diduga tertular melalui persalinan dari ibu

dengan Covid-19 sebanyak 6 bayi (0,3%) dan kontak langsung dengan anggota keluarga yang

memiliki riwayat pergi ke daerah epidemik Covid-19 sebanyak 2.199 anak (997%).14,15,16,17,18,19,20

Tingkat keparahan penyakit Covid-19 pada bayi dan anak ditentukan berdasarkan gejala

klinis, hasil laboratorium, rontgen dada sehingga dapat dikategorikan dalam lima kriteria

diagnostik berikut ini: 1) Asimtomatik yaitu tanpa gejala dan tanda klinis apapun serta hasil

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 57

rontgen dada normal, tetapi hasil tes RT-PCR (Reverse-Transcriptase Polymerase Chain

Reaction) positif. 2) Ringan yaitu adanya gejala saluran pernapasan atas seperti hidung tersumbat,

sakit tenggorokan dan demam, kelelahan, mialgia, flu, batuk, hasil rontgen dada normal serta tes

RT-PCR positif untuk SARS-CoV-2). 3) Sedang yaitu disertai pneumonia, gejala seperti demam,

batuk, kelelahan, sakit kepala, mialgia, hasil CT scan dada menunjukkan lesi paru dan tes RT-PCR

positif untuk SARS-CoV-2. 4) Berat yaitu gejala awal pernapasan seperti batuk, demam bisa

disertai diare. Berlangsung sekitar 1 minggu disertai sesak napas hingga sianosis sentral. 5) Kritis

yaitu kondisi pernapasan yang cepat berkembang menjadi ARDS (Acute Respiratory Distress

Syndrom) atau sindrom gangguan pernapasan akut ditandai dengan apas cepat (≥70 napas per menit

untuk bayi berusia <1 tahun; ≥50 napas per menit untuk anak usia> 1 tahun), gagal napas dan

mungkin juga mengalami syok, ensefalopati, gagal jantung, disfungsi koagulasi dan cedera ginjal

akut, kehilangan kesadaran, kejang hingga koma.12, 13, 14

Berdasarkan tujuh artikel penelitian, dari 2.205 sampel terdapat pembagian kriteria

diagnostik pada bayi dan anak. Kriteria asimtomatik berjumlah 2.026 anak (92%), ringan 159 anak

(7,2%) dan sedang 20 anak (0,8%). Dilaporkan seorang anak laki-laki berusia 14 tahun meninggal

karena Covid-19, tetapi tidak ada informasi yang diberikan mengenai riwayat penyakit mendasar

dari kematiannya. 14,15,16,17,18,19,20

Dari semua artikel dijelaskan bahwa usia bayi dan anak memiliki

gejala lebih ringan dibandingkan dengan gejala pada usia dewasa dan penyebab pastinya belum

diketahui. Tetapi, penyakit mendasar atau bawaan serta penyerta menjadi dugaan kuat keparahan

penyakit Covid-19 ini. Sehingga, hal ini menunjukkan bahwa angka kematian pada bayi dan anak

sangat rendah akibat Covid-19.

Tabel 1.Karakteristik Bayi dan Anak dengan Covid-19

Studi Jenis

Kelamin Jumlah sampel

Kasus Onset Kriteria diagnostik

Gejala klinis Jenis penelitian

Keluaran

Dong et al (2020)

China

Laki-laki 56,6%

Perempuan

44,4%

2.134 Berada di daerah epidemik

Covid-19

2 hari (antara

0-42

hari)

Asimtomatik 4,4%; Ringan

50,9%, sedang

38,8%

Demam, kelelahan,

gangguan

pernapasan

Studi kohort Sembuh: 2.142

Meninggal: 1

Qiu et al (2019)

China

Laki-laki 63,9%

Perempuan

36,1%

36 Kontak dengan keluarga dengan

Covid-19

14 hari Ringan 47,2%; sedang 52,8&

Batuk kering, gangguan

pernapasan ,

diare, muntah,

demam, sakit kepala, sakit

tenggorokan

Studi kohort Sembuh: 36

Aghdam et

al (2020) Iran

Laki-laki

100%

1 Lahir dari ibu

dengan Covid-19

15 hari Ringan 100% Demam, lesu,

gangguan pernapasan

Laporan

kasus

Sembuh: 1

Zhang et al

(2020)

China

Laki-laki

75%

perempuan 25%

4 Lahir dari ibu

dengan Covid-

19

28 hari Asimtomatik

25%; ringan

50%; sedang 25%

Demam,

gangguan

pernapasan, batuk

Studi

retrospektif

Sembuh: 4

Mithal et al

(2020)

Amerika Serikat

Laki-

laki38,9%

Perempuan 61,1%

18 Berada di

daerah epidemik

Covid-19

1 – 90

hari

Asimtomatik

10%

Ringan 90%

Demam, batuk,

diare, muntah,

flu, gangguan pernapasan,

rewel, tidak

napsu makan menurun

Laporan

kasus

Sembuh: 18

Wang et al

(2019)

China

Laki-laki

100%

1 Lahir dari ibu

dengan Covid-

19

36 jam Asimtomatik

100%

Asimtomatik Laporan

kasus

Sembuh: 1

Ji et al

(2020)

China

Laki-laki

100%

2 Kontak dengan

keluarga dari

daerah epidemik

Covid-19

1 hari Ringan 100% Demam, batuk Studi

retrospektif

Sembuh: 1

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 58

PEMBAHASAN

Penelitian ini menganalisis tujuh artikel jurnal mengenai gejala klinis Covid-19 pada bayi

dan anak. Gejala klinis Covid-19 pada bayi dan anak sebagian besar asimtomatik dan sisanya

hanya timbul gejala ringan sampai sedang. Tidak adanya gejala atau asimtomatik menyebabkan

penyakit Covid-19 susah untuk terdiagnosis sehingga hanya sekitar 86% dari penyakit Covid-19 di

China dapat terdiagnosis lebih awal.21

Hal ini menimbulkan kekhawatiran orang tua pada bayi dan

anaknya yang asimtomatik dan ternyata positif Covid-19, sehingga bisa menularkan penyakit ini

kepada orang dewasa disekitarnya. Menurut penelitian, kelompok usia bayi dan anak

mengakibatkan 2% kenaikan kasus Covid-19 di China, 1,2% di Italia dan 5% di Amerika

Serikat.22,23,24

Menurut penelitian, penyebab tingkat keparahan Covid-19 sangat dipengaruhi oleh penyakit

penyerta atau bawaan dari host itu sendiri. Adanya penyakit penyerta seperti diabetes, hipertensi,

penyakit pernapasan akut dan penyakit jantung merupakan risiko meningkatnya keparahan Covid-

19 pada orang dewasa. Sebanyak 67,2% orang yang meninggal karena Covid-19 diketahui

memiliki penyakit penyerta.25

Dalam penelitian ini, tidak ditemukan laporan atas penyakit penyerta

pada bayi dan anak yang bisa meningkatkan keparahan penyakit Covid-19. Gejala klinis pada bayi

dan anak yang dilaporkan adalah demam, batuk, kelelahan, gangguan pernapasan dan gangguan

pencernaan. Gejala klinis yang paling umum adalah demam dan batuk.

Gold standar untuk pemeriksaan Covid-19 saat ini adalah dengan pemeriksaan RT-PCR dari

RNA (Ribonucleic Acid) dari virus Covid-19. Sehingga, gejala klinis dan riwayat paparan dari

orang atau daerah epidemik Covid-19 memiliki nilai yang tinggi dalam penentuan diagnostik

Covid-19 pada bayi dan anak. Hasil pemeriksaan CT scan dada pada bayi dan anak tidak dapat

mendeteksi secara pasti tingkat keparahan penyakit ini.26,27

Penularan Covid-19 pada bayi dan anak terjadi karena persalinan dari ibu dengan Covid-19

dan kontak langsung dengan anggota keluarga yang terinfeksi Covid-19.28,29

Umumnya penyakit ini

terdiagnosis setelah 2 hari pada bayi dan anak yang terpapar Covid-19 dari orang dewasa. Tidak

ada penelitian yang menyebutkan adanya perbedaan jenis kelamin pada bayi dan anak dengan jenis

kelamin laki-laki dan perempuan.14,30

Selain itu, penularan intrauterin vertikal dari ibu hamil ke

bayi baru lahir belum pernah dilaporkan. Menurut penelitian, sampel diambil dari darah tali pusat

dan plasenta ibu hamil dengan COVID-19 dan memiliki hasil negative Covid-19. Satu penelitian

melaporkan bahwa 30 bayi baru lahir dari ibu yang terinfeksi COVID-19 memiliki hasil tes negatif.

Dijelaskan pula bahwa semua bayi dengan ibu positif Covid-19 akan dilahirkan dengan cara

operasi Caesar.31,32

Hasil penelitian saat ini tetap menyarankan ibu dengan Covid-19 untuk tetap

menyusui bayinya. Hal ini diakibatkan karena masih kurangnya penelitian tentang keberadaan virus

Covid-19 pada ASI.

KESIMPULAN DAN SARAN

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyakit Covid-19 pada bayi dan anak sebagian

besar bersifat asimtomatik dan ringan. Gejala klinis yang umum ditemui adalah demam dan batuk.

Sedikitnya penyakit Covid-19 yang berkembang menjadi berat disebabkan karena pada bayi dan

anak tidak ditemukan penyakit penyerta seperti pada orang dewasa. Sebaiknya orang tua lebih

memperhatikan kondisi kesehatan bayi dan anak dengan atau tanpa gejala klinis Covid-19. Hal ini

dilakukan jika bayi dan anak atau anggota keluarga lainnya terpapar atau telah berkunjung ke aerah

epidemik Covid-19.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 59

DAFTAR PUSTAKA

1. MacIntyre CR. Global spread of COVID-19 and pandemic potential. Global Biosecurity.

2020;1(3). 2. Yee J, Unger L, Zadravecz F, Cariello P, Seibert A, Johnson MA, et al. Novel coronavirus

2019 (COVID-19): Emergence and implications for emergency care. Journal of the American

College of Emergency Physicians Open. 2020.1-7. 3. Cucinotta D, Vanelli M. WHO Declares COVID-19 a Pandemic. Acta bio-medica: Atenei

Parmensis. 2020;91(1):157-160. 4. Sohrabi C, Alsafi Z, O‘Neill N, Khan M, Kerwan A, Al-Jabir A, et al. World Health

Organization declares global emergency: A review of the 2019 novel coronavirus (COVID19).

International Journal of Surgery. 2020; 76:71-76.

5. Shalish W, Lakshminrusimha S, Manzoni P, Keszler M, Guilherme M. Sant‘Anna. Covid-19

and Neonatal Respiratory Care: Current Evidence and Practical Approach. American Journal of

Perinatology. 2020. DOI https://doi.org/ 10.1055/s-0040-1710522.

6. Zhu N, Zhang D, Wang W, Li X, Yang B, Song J, et al. A novel coronavirus from patients with

pneumonia in China, 2019. New England Journal of Medicine. 2020; 382:727-733.

7. Hui DS, I Azhar E, Madani TA, Ntoumi F, Kock R, Dar O, et al. The continuing 2019-nCoV

epidemic threat of novel coronaviruses to global health–The latest 2019 novel coronavirus

outbreak in Wuhan, China. International Journal of Infectious Diseases. 2020;91:264-266.

8. Lipsitch M, Swerdlow DL, Finelli L. Defining the epidemiology of Covid-19–studies needed.

New England Journal of Medicine. 2020; 382:1194-1196.

9. Zhou F, Yu T, Du R, Fan G, Liu Y, Liu Z, et al. Clinical course and risk factors for mortality

of adult inpatients with COVID-19 in Wuhan, China: a retrospective cohort study. The Lancet.

2020;395(10229): 1054-1062.

10. Wu Z, McGoogan JM. Characteristics of and important lessons from the coronavirus disease

2019 (COVID-19) outbreak in China: summary of a report of 72 314 cases from the Chinese

Center for Disease Control and Prevention. JAMA. 2020;323(13):1239–1242.

11. Lu Q, Shi Y. Coronavirus disease (COVID-19) and neonate: what neonatologist needs to know.

J Med Virol. 2020. DOI: 10.1002/jmv.25740

12. Dong Y, Mo Xi, Hu Yabin, Qi Xin, Jiang Fang, Jiang Z, Shilu Tong. Epidemiological

Characteristics of 2134 Pediatrics Patients With 2019 Coronavirus Disease in China. American

Academi of Pediatrics. 2020.

13. Zhou D, Zhang P, Bao C, Zhang Y, Zhu N. Emerging Understanding of Etiology and

Epidemiology of the Novel Coronavirus (COVID-19) infection in Wuhan, China. Preprints

2020, 2020020283.

14. Dong Y, Mo X, Hu Y, Qi X, Jiang F, Jiang Z, et al. Epidemiological characteristics of 2143

pediatric patients with 2019 coronavirus disease in China. Pediatrics. 2020.

15. Qiu H, Wu J, Hong L, Luo Y, Song Q, Chen D. Clinical and Epidemiological Features of 36

Children with coronavirus Disease 2019 (Covid-19) in Zheajiang, China: an observational

cohort study. Lancet Infect Dis 2020;20: 689-96

16. Aghdam KM, Jafari N, Eftekhari K. Novel Coronavirus in a 15-Day-Old neonate with clinical

sign of sepsis, a case report. Society for Scandinavian Journal of Infectious Diseases. 2020;

VOL 0, No. ), 1-3.

17. Zhang Z-J, Yu X-J, Fu T, et al. Novel Coronavirus Infection in Newborn Babies Under 28

Days in China. Eur Respir J 2020; in press.

18. Mithal LB, Machut KZ, Muller WJ, Kociolek LK. Sars-Cov-2 Infection in Infant Less than 90

Days Old. The journal of pediatrics 2020;224:150-2.

19. Wang S, Guo L, Chen L, Liu W, Cao Y, Zhang J, et al. A Case Report of Neonatal Covid-19

Infection in China. Oxford University Press for the Infectious Diseases Society of America.

2020

20. Ji NL, Chao S, Wang YJ, Li XJ, Mu XD, Lin MG, et al. Clinical Feature of Pediatric Patients

with Covid-19: a report of two family cluster cases. World Journal of Pediatrics. 2020.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 60

21. Liu W, Tao Z-W, Lei W, Ming-Li Y, Kui L, Ling Z, et al. Analysis of factors associated with

disease outcomes in hospitalized patients with 2019 novel coronavirus disease. Chinese

Medical Journal. 2020.

22. Jung H, Kim J, Jeong S. Factors affected with posttraumatic stress in nurses involved in direct

care for Middle East respiratory syndrome patients. Health and Social Welfare Review.

2016;26(4):488-507.

23. Liu Z, Han B, Jiang R, Huang Y, Ma C, Wen J, et al. Mental Health Status of Doctors and

Nurses During COVID-19 Epidemic in China. Available at SSRN 3551329. 2020.

24. Li Z, Ge J, Yang M, Feng J, Qiao M, Jiang R, et al. Vicarious traumatization in the general

public, members, and nonmembers of medical teams aiding in COVID-19 control. Brain,

Behavior, and Immunity. 2020

25. Maunder RG, Lancee WJ, Balderson KE, Bennett JP, Borgundvaag B, Evans S, et al. Long-

term psychological and occupational effects of providing hospital healthcare during SARS

outbreak. Emerging infectious diseases. 2006;12(12):1924.

26. Park JY, Han MS, Park KU, Kim JY, Choi EH. First pediatric case of coronavirus disease 2019

in Korea. Journal of Korean Medical Science. 2020; 23;35(11):e124

27. Liu K, Chen Y, Lin R, et al. Clinical features of COVID‐19 in elderly patients: a comparison

with young and middle‐aged patients. J Infect. 2020;80(6):e14‐e18. 10.1016/j.jinf.2020.03.005

28. Cui Y, Tian M, Huang D, Wang X, Huang Y, Fan L, et al. A 55-Day-Old Female Infant

infected with COVID 19: pre senting with pneumonia, liver injury, and heart damage. The

Journal of infectious diseases. 2020; jiaa113.

29. Ji L-N, Chao S, Wang Y-J, Li X-J, Mu X-D, Lin M-G, et al. Clinical features of pediatric

patients with COVID-19: a report of two family cluster cases. World Journal of Pediatrics.

2020:1-4

30. Xing Y-H, Ni W, Wu Q, Li W-J, Li G-J, Wang W-D, et al. Prolonged Viral Shedding in Feces

of Pediatric Patients with Coronavirus Disease 2019. Journal of Microbiology, Immunology

and Infection. 2020.

31. Liu W, Tao Z-W, Lei W, Ming-Li Y, Kui L, Ling Z, et al. Analysis of factors associated with

disease outcomes in hospitalized patients with 2019 novel coronavirus disease. Chinese

Medical Journal. 2020. 41. Huang L, rong Liu H. Emotional responses and coping strategies of

nurses and nursing college students during COVID-19 outbreak. medRxiv.

2020.03.05.20031898.

32. Kim Y. Nurses‘ experiences of care for patients with Middle East respiratory syndrome-

coronavirus in South Korea. American journal of infection control. 2018;46(7):781-787.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 61

GAMBARAN PENERAPAN SANITASI TOTAL BERBASIS MASYARAKAT

PADA STAKEHOLDER DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KECAMATAN

PENJARINGAN JAKARTA UTARA TAHUN 2019

Mayumi Nitami,

1* Decy Situngkir,

2

1Dosen Program Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Esa Unggul

2 Program Studi Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Esa Unggul

*Corresponding email: [email protected],

DESCRIPTION OF THE IMPLEMENTATION OF COMMUNITY BASED TOTAL

SANITATION (CBTS) AT STAKEHOLDERS IN THE WORKING AREA OF PUSKESMAS,

KECAMATAN PENJARINGAN, NORTH JAKARTA IN 2019

ABSTRACT

Long-term, this research wants to know the profile of community-based total sanitation conditions, create

learning modules on community-based total sanitation (CBTS), and provide recommendations for improving

community-based total sanitation conditions among stakeholders so that it can improve health status in all

working areas of the Puskesmas, Penjaringan District, North Jakarta. Specific targets to be achieved in this

study are to identify the profile of a community-based total sanitation program, knowing the form of CBTS

implementation for each stakeholder in accordance with their respective roles and responsibilities. The

method that will be used to achieve long-term goals is to use qualitative study analysts. The first stage is to

know the description of community-based total sanitation in the work area of the Puskesmas, Penjaringan

District, North Jakarta by using interview guidelines and document review and observing community-based

total sanitation conditions and the second stage of this research is knowing the form of application of CBTS

for each stakeholder according to their respective roles and responsibilities -Each. The results in this study

are that there are still many CBTS targets that have not been achieved and there is still a lack of stakeholder

participation in achieving the desired targets. The networking community still needs motivation and support

from various parties in creating a good sanitation area, so it needs support from various relevant

stakeholders, especially community apparatus themselves to be more focused and more focused on running

CBTS.

Keyword: CBTS, Stakeholder, sanitation, programme

ABSTRAK

Jangka panjang penelitian ini ingin mengetahui profil kondisi sanitasi total berbasis masyarakat, membuat

modul pembelajaran mengenai sanitasi total berbasis masyarakat (STBM), serta memberikan rekomendasi

dalam meningkatan kondisi sanitasi total berbasis masyarakat dikalangan stakeholder sehingga dapat

meningkatkan derajat kesehatan di seluruh wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara.

Target Khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mengidentifikasi profil program sanitasi

total berbasis masyarakat, mengetahui bentuk penerapan STBM setiap stakeholder sesuai dengan peran dan

tanggungjawabnya masing-masing. Metode yang akan di pakai Untuk Mencapai Tujuan Jangka Panjanng

menggunakan analisStudi Kualitatif. Tahap Pertama adalah mengetahui gambaran sanitasi total berbasis

masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara dengan menggunakan

pedoman wawancara dan telaah dokumenserta mengobservasi kondisi sanitasi total berbasis masyarakat dan

Tahap Kedua dari penelitian ini adalah mengetahui bentuk penerapan STBM setiap stakeholder sesuai

dengan peran dan tanggungjawabnya masing-masing. Hasil dalam penelitian ini adalah masih banyak target

STBM yang belum tercapai dan masih kurang keikutsertaan stakeholder dalam mencapai target yang

diinginkan. Masyarakat penjaringan masih membutuhkan motovasi dan dukungan dari berbagai pihak dalam

menciptakan daerah sanitasi yang baik, sehingga perlunya dukungan dari berbagai pemangku kepentingan

terkait, khususnya perangkat masyarakat sendiri untuk lebih dan fokus dalam menjalakan STBM.

Kata Kunci: STBM, Stakeholder, sanitasi, program

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 62

PENDAHULUAN

Pembangunan kesehatan memiliki tujuan meningkatkan kesadaran, kemauan, dan

kemampuan hidup sehat setiap orang dalam mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang

setinggi-tingginya, sebagai investasi pembangunan sumber daya manusia produktif baik secara

sosial maupun ekonomis (Kemenkes, 2015). Salah satu permasalahan yang mendominasi dalam

pembanganan kesehatan adalah masalah sanitasi. Banyak tantangan yang dilami oleh Indonesia

dalam meningkatkan sanitasi antara lain tantang sosial, tantangan budaya dan perilaku masyarakat

yang masih terbiasa membuang air besar di sembarangan tempat, khususnya ke badan air dan

dimana mereka juga menggunakan air tersebut untuk mencuci, mandi dan kebutuhan lainnya

(Achmadi, 2008). Pemerintah harus terus berusaha mengatasi masalah sanitasi, terutama pada

penggunaan jamban sehat.

Program STBM memeliki strategi khusus meliputi tiga komponen yang saling mendukung

satu sama lainnya (Kar & Chamber, 2008). Pada tahun 2008 Kemkes RI mengeluarkan Kepmenkes

RI nomor 852/Menkes/SK/IX/2008 tentang Strategi Nasional lalu diperkuat dengan Permenkes RI

no.3 Tahun 2014 tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat. STBM adalah pendekatan dalam

merubah perilaku hygiene dan sanitasi metode pemberdayaan masyarakat dengan cara pemicuan.

Stakeholder merupakan pemangku kepentingan banyak orang yang dijelaskan oleh para ahli

sebagai kelompok atau individu yang mampu mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh sesuatu

untuk pencapaian tujuan tertentu (Wahyudi, 2008)

Prinsip dari pelaksanaan STBM adalah meningkatkan fasilitas sanitasi dasar dengan pokok

kegiatan menggali potensi dari masyarakat untuk membangun sarana sanitasi sendiri baik individu

mapun gotong royong dan mengembangkan solidaritas sosial. Kemenkes RI no.852/2008

menyebutkan peran dan tanggung jawab pemangku kepentingan memiliki peran dan tanggung

jawab dalam mempersiapkan masyarakat di tingkat kecamatan, pemerintah kecamatan berperan

dan bertanggung jawab dalam berkoordinasi serta memberi dukungan bagi kader pemicu STBM

dengan bekerja sama Badan Pemerintah yang lain.

Harapan pemerintah dengan pemicuan mampu merubah perilaku masyarakat untuk

memperbaiki kondisi sanitasi lingkungan dilingkungan mereka, sehingga mampu mencapai target

Open Defecation Free (ODF) pada suatu wilayah (Kemenkes RI,2012). Suatu desa menjadi ODF

atau Bebas BABs jika 100% penduduka desa tersebut mempunyai akses BAB di jamban sehat dan

tidak membuang sembarangan. Menurut sekretaris STBM Nasional, capaian ODF di Indonesia

secara nasional hingga tahun 2014 baru 44,17% dari semua daerah yang melaksanakan STBM ke

masyarakat (Kemenkes RI, 2014). Wilayah kerja puskesmas kecamatan penjaringan, jakarta utara

memiliki 6 Puskesmas kelurahan, dimana dari 6 Puskesmas tersebut baru 1 Puskesmas kelurahan

yang mencapai indikator 100% dengan status deklarasi. Hal ini menyebabkan peneliti ingin

mengetahui seperti apa bentuk implementasi program STBM dan peran Stakeholder STBM dalam

menjalankan program STBM ke masyarakat.

Penelitian ini memiliki tujuan yang nantinya akan dapat bermanfaat bagi pengembangan dan

peningkatan kualiatas hidup masyarakat yang memiliki derajat kesehatan yang tinggi. Agar dapat

mengetahui permasalahan STBM dan kemudian akan dihubungkan terhadap permasalahan

program STBM yang dilaksanakan. Agar dapat meningkatkan keberhasilan program STBM di

Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara 2019.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 63

METODE

Penelitian ini akan dilaksanakan wilayah kerja Puskesmas Penjaringan, Jakarta Utara.

Variabel penelitian ini adalah Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) dan Peran Stakeholder.

Metode penelitian ini menggunakan studi kualitatif. Jenis penelitian ini merupakan penelitian

kualitatif yang bersifat observasional, menggunakan desain studi cross sectional. Teknik

pengumpulan data menggunakan total sampling dimana responden penelitian ini adalah seluruh

stakeholder yang terlibat dalam program STBM di wilayah kerja Puskesmas Penjaringan, Jakarta

Utara.

HASIL

Hasil penilitian ini mendapatkan gambaran pelaksanaan sanitasi total berbasis masyarakat

(STBM) bahwa dari 5 pilar STBM masih banyak yang belum terselesaikan, terutama untuk

menciptakan Stop BABs masih sangat sulit dilakukan, terkait dengan fasilitas, sarana dan prasaran

serta dukungan-dukungan dari beberapa pihak masih sangat minim sekali.

Hal ini dibuktikan dengan hasil wawancara mendalam kepada pihak puskesmas yang pemegang

program STBM:

―masih sangat sulit untuk mencapai target STBM, soalnya wilayah sini kan juga

kemampuan finansialny kurang, trus sarana prasarana juga masih belum mendukung. apalagi

masyarakatnya, hmmm... susah banget buat diberdayakan, mereka fikir ini kerjanya kita, bukan

mereka... gtu...‖

berdasarkan tokoh masyarakat kecamatan penjaringan:

―masyarakat disini tuh.. agak susah diajak buat gotong royong gtu... mereka tau

sebenarnya manfaatnya buat mereka, tapi karna harus mengeluarkan biaya mereka jadi malas

gtu, yaa soalnya kan mereka itu rata-rata penghasilannya kecil, cukup buat makan saja, anak-

anak aja banyak yang gak sekolah....‖

berdasarkan masyarakat:

― yaaa gimana yaa mba... kita sih maunya pemerintah ngerti gitu sama keadaan kita, yaa

kalau pun mau sum-sum kita yaaaa... Cuma sanggup berapa, kadang kami juga pengen mba

bisa lebih sehat, tapi keadaan mba...‖

Hal ini sangat mempengaruhi pencapaian target dari STBM itu sendiri. Keaktifan dari

stakeholder yang harusnya berperan, masih jarang terlaksana dalam memberdayakan masyarakat

secara langsung turun ke masyarakat, mereka hanya melaksanakan perencanaan dan evaluasi tanpa

ikut serta turun ke lapangan untuk mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut.

Menurut masyarakat:

―ada sih mba... kadang yang ikut pak RT, karang taruna, terus kayaknya ada dari

pemerintahan gitu yang ikut, kadang juga ada beberapa warga yang diundang... disana kita

rapat, rapatnya yaaa... bahasnya tentang masalah-masalah kesehatan yang ada di wilayah sini,

terus mau diapain biar baik lagi..., tapi udah gtu ajaa... klo ke tempat kita mah jarang, paling

keliling doang, ga ada rembuk-rembukan gitu...‖

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 64

Menurut Petugas Puskesmas:

―sulitnya waktu untuk mengumpulkan menjadi salah satu kendala dari stakeholder untuk

bertemu, dan mereka juga kadang diwakilkan oleh orang lain juga, jadinya yaaa susah... jadi

yang udah-udah tu inisiatif puskesmas dan kerjasama dengan warga yang emang beneran

peduli, jadi ada beberapa warga yang mau..‖

Selain itu juga, ada beberapa dari stakeholder yang tidak mengetahui dan kurang mengerti

dengan perannya sebagai salah satu pemangku kepentingan terkait STBM ini, sehingga untuk

merencanakan dan melaksanakan program menjadi lebih sulit. Menurut merekan lebih baik

program dilakukan per lingkup kecil, sehingga lebih fokus dan efektif.

Berikut hasil wawncara dengan Pak RT dari RT 2:

―.......saya gatau mba saya harus ngapain, ikut-ikut rapat aja, tapi ga ada pembagian tugas,

soalnya kan yang datang banyak,.............. harusnya mungkin bisa lebih baik jika dilingkup kecil

rapatnya, biar pokus gitu ke orang-orangnya...‖

Jadi, pelaksanaan STBM dan Peran stakeholder di wilayah kerja puskesmas Penjaringan

masih banyak kendala yang harus diselesaikan, terutama pada pemahaman masyarakat terkait

pelaksanaan STBM yang ada dimasyarakat. 5 Pilar STBM yang dilaksnakan di kecamtan

Penjaringan, hanya Pengelolaan air minum dan makanan yang baik, selebihnya masih banyak pilar

yang belum diatasi, dilihat dari hasil observasi wilayah tersebut sangat sulit untuk mencapai kelima

pilar tersebut.

Selain itu bentuk motivasi yang ada dalam pelaksanaan STBM di Penjaringan hanya pada

hasil saja, tidak berdasarkan proses Karen kurangnya pemahaman dan pendekatan yang dilakukan

kepada masyarakat, sehingga sebagian masyarakat pun tidak terlalu peduli ada atau tidaknya

STBM diwilayah mereka.

Masyarakat:

―….. ya itu tadi mba, saya karna ndak ada duitnya, saya ga bis apa-apa gtu, kalau emang mau

dilakukan perbaikan sarana disini yaaa ayaook aja.. paling bantu tenaga, kalo biaya ga

sanggup..‖

Tokoh Masyarakat:

―…..sebenarnya minat mereka ada mba, mereka ingin sehat, gamau juga hidup kayak gini

dilingkungan kumuh, tapi yaaa itu balik lagi, mereka dari awal udah mikir biaya, jadinya

yaudahlah gini aja juga udah cukup….. banyak yang seperti itu…..‖

Pelaksanaan STBM di wilayah kerja Puskesmas penjaringan masih belum efektif, hal ini

dapat terlihat masih belum deklarasi dibeberapa wilayah terkait stop BABs. Hal ini berkaitan

dengan jarak instalasi pembuangan tinja yang belum memenuhi syarat mulai dari jarak, jenis

pembuangan namun yg paling sulit adalah jarak dari sumber air. Kondisi lingkungan dengan

jumlah hunian padat, sempit, dan kumuh di wilayah seperti RW 12 dan 13 Penjaringan tidak

memungkinkan warga membangun tangki septik dengan jarak minimal 10 m dari sumur gali.

Begitu juga dengan pilar lainnya, dilihat berdasarkan hasil observasi yang melihat kondisi

lingkungan yang sangat sulit untuk dilakukannya STBM khususnya wilayah pesisir pantai.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 65

PEMBAHASAN

Pelaksanaan STBM diwilayah ini masih kurang peranan dari stakeholder yang ada.

Stakeholder yang harusnya bisa memotivasi masyarakat untuk meningkatkan kesdaran, justru

sangat kesulitan dalam melaksanakan peran dan tanggung jawab tersebut,karena kurangnya

pemahaman mereka terkait tugas yang harus dikerjakan. Edukasi atau pendidikan kesehatan

dianggap sebagai komponen promosi kesehatan (Dee Leeuw, 1989). Edukasi dalam suatu kegiatan

bertujuan meningkatkan pengetahuan, mengubah sikap, dan mengarahkan perilaku yang diinginkan

oleh kegiatan tersebut (Heri D.J Maulana, 2007). Berdasarkan teori tersebut maka perlu dilakukan

pendidikan kesehatan untuk masyarakat agar mudah mengajak masyarakat untuk berpartisipasi

dalam menyelesaikan masalah sanitasi yang berada di lingkungan, membangun kapasitas

kelompok, kesadaran dan meningkatkan kebutuhan mereka akan STBM ini, serta opsional

teknologi yang bisa digunakan dalam melengkapi fasilitas STBM yang dibutuhkan. Hal ini

diperlukan pendampingan kepada masyarakat untuk memotivasi, menurut Pane (2009) dari hasil

penelitiannya kegiatan pendampingan program yang kurang baik pasca pemicuan dilakukan dapat

menyebabkan masyarakat kembali berperilaku buruk karna tidak adanya monitoring. Berdasarkan

penelitian terkait, untuk meningkatkan kesadaran dari masyarakat dilakukan pemantauan dan

monitoring berkala setiap 1 dan 2 minggu sekali setiap bulannya, yang dipantau adalah komitmen

masyarakat (Sitra,dkk, 2019).

Pelaksanaan STBM pokok kegiatannya terdiri dari advokasi, pengembangan kapasitas

lembaga dan peningkatan kemitraan antar stakeholder. Pokok kegiatan ini harusnya direncakan

dengan baik, ditetapkan berdasarkan keputusan bersama, dan dipecahkan secara bersama, sesuai

dengan metodenya kegiatan yang berbasis masyarakat. Sehingga masyarakat sendiri yang

menganalisis masalahnya, mencari solusinya, merencanakan kegiatannya hingga monitoring dan

evaluasi. Berdasarkan penelitian Fatonah (2016), factor yang mempengaruhi rendahnya partisipasi

dalam pelaksanaan STBM adalah secara internal stakeholder yang wajib ikut terlibat dalam

program STBM ini adalah seperti pemerintah daerah, perangkat desa dan fasilitator (petugas

kesehatan). Jadi, untuk meningkatkan keefektifitasan pelaksanaan STBM harus terlibat stakeholder

terkait, untuk meyakinkan kepada masyarakat akan pentingnya kesadaran dalam pelaksanaan

STBM ini. Begitu juga yang dijelaskan dalam Pedoman Pelaksanaan Teknis STBM (2012) bahwa

keterlibatan pemangku kepentingan harus mendukung upaya pemerintah berupa pembiayaan,

advokasi dan bantuan teknis. Advokasi merupakan upaya yang sangat diperlukan untuk

mengingatkan dan mendesak negara dan pemerintah untuk berperilaku konsisten dan

bertanggungjawab dalam melindungi dan mensejahterakan warganya. Hal ini berarti para pelaksana

advokasi tanggung jawab untuk ikut berperanserta menjalankan fungsi pemerintahan dan negara

(zulyadi, 2014).

Kemitraan yang dimaksud dalam program STBM adalah salah satu upaya untuk mendukung

penyelenggaraan STBM, seperti melakukan koordinasi lintas sektor dan lintas program, jejaring

kerja, dan kemitraan dengan para pamangku kepentingan (Kemenkes RI, 2014). Kondisi Jakarta

yang sangat padat, dan masih banyak terdapat wilayah-wilayah slum area menyebabkan pemikiran

pesimis untuk melakukan pendekatan STBM oleh mitra setempat untuk melaksanakan kegiatan ini

kepada masyarakat. Kenyataannya, STBM yang dibentuk dari masyarakat merupakan kunci sukses

dalam gerakan ini. Selain itu, jumlah sanitarian yang masih belum mencukupi untuk wilayah

Penjaringan juga menjadi hambatan, oleh karena itu kesenjangan ini perlu diatasi dengan

peningkagtan mitra yang mampu membantu dan berkomitmen untuk hal ini. Strategi pemicuan

harus dilakukan secara individu, namun untuk konteks pemukiman padat Jakarta, strategi pemicu

juga bisa dilakukan pada kelompok.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 66

Hal ini dibuktikan selama proses verifikasi dan deklarasi STBM, kesulitan yang sering

ditumui adalah melibatkan unit terkecil wilayah dalam sistem monitoring seperti desa/kelurahan.

Startegi ini mempermudah pengelolaan STBM pada unit terkecil wilayah di tingkat RT/RW dalam

mengimplementasikan program di perkotaan.

Perlu adanya pemantauan khusus yang terencana dan sistematis sebagai bentuk kepedulian

pemerintah, karena pemantauan sangat berperan penting dalam pelaksanaan suatu program,

menurut Supriyanto dan Damayanti (2007) pemantauan mampu menjadi kegiatan evaluasi formatif

pada tahap pelaksanaan program untuk mengubah atau memperbaiki program. Evaluasi dapat

dilaksanakan jika ada dokumentasi lengkap dan rutin, sehingga dapat melihat perkembangan

program, hal ini dapat dilakukan dengan adanya pencatatan dan pelaporan. Sesuai dengan teori

pencatatan memiliki manfaat dalam memberi informasi tentang keadaan masalah, memberikan

bukti dari suatu kegiatan, menjadi bahan proses belajar dan penelitian, serta sebagai

pertanggungjawaban untuk bahan pembuatan laporan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi,

bukti hukum, alat komunikasi dalam menceritakan hasil kegiatan yang telah dilaksanakan

(Mubarak, 2012).

KESIMPULAN DAN SARAN

Strategi dalam upaya meningkatkan indicator STBM ini masih perlu kerja keras bersama

dalam melibatkan stakeholder dengan masyarakat, memberikan motivasi yang dapat memicu dan

meningkatkan kesadaran untuk melaksanakan STBM ini. Adapun saran yang bias

direkomendasikan adalah menyusun ulang strategi pencapaian program secara bersama dengan

melibatkan masyarakat secara optimal.

DAFTAR PUSTAKA

1. Achmadi, Umar F. 2008. Horison Baru, Kesehatan Masyarakat Di Indonesia. Jakarta:

Rineka Cipta.

2. Adisasmito, W, 2008, Sistem Kesehatan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

3. Boalemo Gorontalo, Tesis, Universitas Diponegoro.

4. Bryan, dkk, 1987.Manajemen Pembangunan Untuk Negara Berkembang. LP3ES:Jakarta

5. Chandra, B, 2007. Pengantar kesehatan lingkungan.Kedokteran EGC: Jakarta

6. Deak, A., 2008, Taking community-led total sanitation to scale: movement,

7. Dee Leeuw. (1989). The same revolution : Health Promotion backgrounds, scope,

prospects. Assen / Maastrich: van Gorcum.

8. Ditjen PP dan PL, 2013, Road Map Percepatan Program STBM 2013-2015,

9. Heri D.J Maulana. (2007). Promosi Kesehatan . Jakarta: Kedokteran EGC.

10. Kar, K dan R.Chambers. 2008. Handbook on Community-Led total Sanitation. Plan UK:

London

11. Kementerian Kesehatan RI. 2014. Permenkes RI No. 3 Tahun 2014 tentang Sanitasi Total

Berbasis Masyarakat. Jakarta

12. KemenKes, 2008. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.

852/Menkes/SK/IX/2008 Strategi nasional sanitasi total berbasis masyarakat. Jakarta:

Kemenkes RI.

13. Kementerian Kesehatan. 2015. Permenkes No. 33 Th 2015 Penyusunan Perencanaan

Kebutuhan SDM Kesehatan.Jakarta: Kemenkes RI

14. Kementerian Kesehatan. 2012. Pedoman Pelaksanaan Teknis STBM.Jakarta:Kemenkes RI

15. Millenium Challenge Account-Indonesia.2015. Pedoman Pelaksanaan Sanitasi Total

Berbasis Masyarakat. Jakarta: MCA-Indonesia

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 67

16. Mubarak, N. C. (2007). Promosi Kesehatan : Sebuah Pengantar Proses Belajar Mengajar

Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Graha Ilmu.

17. Pane, E, 2009. Pengaruh Perilaku Keluarga Terhadap Penggunaan Jamban. Jurnal

kesehatan Masyarakat Nasional. Hal. 229

18. Rosensweig, Fred dan Derko Kopitopoulos, 2010. Building the Capacity of Local

Goverment to Scale Up Community-Led Total Sanitation and Sanitation Marketing in

Rural Areas. World Bank: Water Sanitastion Program

19. Supriyanto, S, Damayanti, NA. 2007. Perencanaan dan Evaluasi. Airlangga University

Press. Surabaya

20. Surotinojo, Ibrahim, 2009. Partisipasi Masyarakat dalam Program Sanitasi oleh Masyarakat

(Sanimas) di Desa Bajo Kecamatan Tilamuta Kabupaten Boalemo Gorontalo, Tesis,

Universitas Diponegoro.

21. Wahyudi, Isa, dan Busyra Azheri, 2008. Corporate Social Responsibility: Prinsip,

Pengaturan dan Implementasi. Malang: In-Trans Publishing.

22. WHO/UNICEF, 2015. Progress on sanitation and drinking – water. WHO: Geneva

23. Zahrina, A. F., Suryadi, & Suwondo. (2015). Implementasi Program Gerakan Sanitasi

Total Berbasis Masyarakat dalam Pengendalian Lingkungan. Jurnal Administrasi Publik,

3(11), 1832-1836.

24. Zastrow, Charles. 2008. Introducion to Social Work and Socia Welfare. Empowering

People. Thomson Peolpe. Thomson Books, Belmont-US.

25. Zulyadi, T. (2014). Advokasi Sosial. Jurnal Al-Bayan, 21(30), 63-66.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 68

DISTRIBUSI BALITA THIRD HAND SMOKE DI KOTA PALEMBANG

Amrina Rosyada,

1* Dini Arista Putri,

2 Nurmalia Ermi

3

1,3Bagian Epidemiologi dan Biostatistik Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya

2Bagian Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya

Jl. Palembang Prabumulih KM.32, Indralaya Utara Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan

Corresponding email : [email protected]

DISTRIBUTION OF THIRD HAND SMOKE CHILDREN IN PALEMBANG

ABSTRACT

Third hand smoke is a term used for people who are exposed to cigarette smoke residues that stick to items

around the former smoking area. In toddlers, third hand smoke can endanger their health because toddlers

have lower body resistance. In the long term, toddlers with third hand smoke can experience serious health

problems and even cancer. Public knowledge regarding third hand smoke is still very low. The purpose of

this study was to determine the proportion of toddlers with third hand smoke in Palembang. This study used

a cross sectional research design. The research sample was under five in the city of Palembang who had

father who smoked as many as 180 children. The sampling method using cluster random sampling. Data

analysis using univariate analysis. Based on the results of the analysis, 31.1% of children under five were in

the third hand smoke category where the father smoked in the house or did not prevent exposure to cigarette

residues after smoking. It is necessary to do public health intervention and promotion in order to prevent the

high number of children under five third hand smoke.

Keywords : Toodler, Third Hand Smoke, Smoker Father

ABSTRAK

Third hand smoke merupakan istilah yang digunakan untuk orang yang terpapar residu asap rokok yang

menempel pada barang-barang disekitar bekas tempat merokok. Pada balita, third hand smoke dapat

membahayakan kesehatan mereka karena balita memiliki daya tahan tubuh yang lebih rendah. Dalam jangka

panjang, balita third hand smoke dapat mengalami gangguan kesehatan berat bahkan kanker. Pengetahuan

masyarakat terkait thir hand smoke masih sangat rendah. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui proporsi

balita third hand smoke di kota Palembang. Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional.

Sampel penelitian yaitu balita di kota Palembang yang memiliki ayah perokok sebanyak 180 balita. Metode

pengambilan sampel dengan menggunakan cluster random sampling. Analisis data menggunakan analisis

univariat. Berdasarkan hasil analisis, 31.1% balita terkategori third hand smoke dimana ayah merokok di

dalam rumah atau tidak melakukan pencegahan paparan residu rokok setiap selesai merokok. Perlu dilakukan

intervensi dan promosi kesehatan terhadap masyarakat guna pencegahan tingginya angka balita third hand

smoke.

Kata Kunci : Balita, Third hand smoke, Ayah Perokok

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 69

PENDAHULUAN

Berdasarkan laporan WHO tahun 2017, tercatat Indonesia merupakan Negara dengan jumlah

perokok terbesar di dunia dimana tercatat 76% pria diatas 15 tahun adalah perokok1. Data Riset

Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilakukan Kementerian Kesehatan menunjukkan peningkatan

prevalensi perokok pada tahun 2007, 2010, dan 2013 berturut-turut meningkat dari 34,2%; 34,7%

dan akhirnya 36,3%. Terdapat 92 juta orang perokok pasif yang terdiri dari 43 juta di antaranya

anak-anak 11,4 juta dari anak-anak ini masih berusia balita.2

Fakta berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa bahaya rokok tidak hanya dialami

bagi perokok saja namun juga orang-orang disekitar perokok yang disebut perokok pasif. Asap

sampingan yang diterima perokok pasif diketahui jauh lebih tinggi kadar senyawa kimianya

dibandingkan asap utama yang diterima perokok sendiri.3 Penelitian Aditama menyebutkan bahwa

seorang perokok pasif yang berada dalam ruangan yang penuh asap rokok selama satu jam saja

akan mengisap nitrosamin sama banyaknya dengan merokok 35 batang rokok.4

Orang tua saat ini sudah banyak mengetahui bahwa rokok berbahaya bagi anak khususnya

anak balita. Anak-anak berpotensi besar terkena paparan dampak buruk rokok dikarenakan anak-

anak memiliki massa tubuh yang lebih kecil, bernafas lebih cepat, dan memiliki ketahanan tubuh

yang lebih rendah dibandingkan dewasa.5 Namun, tidak banyak orang tua mengetahui bahwa tidak

hanya asap rokok yang berbahaya bagi anak namun residu dari asaprokok yang menempel pada

baju, badan, dan perabotan di sekitar tempat merokok apabila dijangkau oleh anak dapat terhirup

dan membahayakan kesehatannya. Fakta ini disebut dengan third hand smoke.6–8

Dampak jangka panjang pada anak, paparan residu asap rokok ini dapat menimbulkan

penyakit berbahaya seperti kanker, gangguan jantung, gangguan pada paru, bahkan diabetes

mellitus di usia dewasa.8–10

Dalam mempersiapkan generasi masa depan yang sehat dan berkualitas,

pencegahan paparan asap rokok maupun residu asap rokok perlu digalakkan dalam keluarga. Oleh

karena itu pada penelitian ini akan diidentifikasi besaran balita third hand smoke di kota Palembang

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian dengan desain studi cross-sectional. Populasi penelitian

yaitu seluruh anak balita di Kota Palembang yang memiliki ayah perokok. Penelitian di lakukan di

Kota Palembang selama Juli-September 2020. Metode pengambilan sampel menggunakan cluster

sampling terpilih 4 kecamatan dari 17 kecamatan di Kota Palembang. Berdasarkan perhitungan

sampel beda dua proporsi dan mempertimbangkan deff maka sampel penelitian ini berjumlah 180

balita. Indikator third hand smoke adalah jika balita mempunyai ayah perokok, ayah merokok di

dalam rumah, atau ayah tidak melakukan pencegahan paparan residu rokok dengan tidak berganti

baju, mencuci muka, mencuci tangan dan mandi setiap selesai merokok sebelum menggendong

atau bermain dengan anak. Analisisi data menggunakan analisis univariat untuk melihat distribusi

balita third hand smoke di kota Palembang

HASIL PENELITIAN

Penelitian dilakukan pada 4 kecamatan di kota Palembang sebagai cluster terpilih sebanyak

180 responden. Berikut hasil penelitian:

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 70

Tabel 1. Sikap Ayah terhadap Third Hand Smoke

Variabel Frekuensi Persentase

Sikap Ayah

1. Kurang Baik

2. Baik

89

91

49.4%

50.6%

Total 180 100.0%

Berdasarkan data diatas diketahui bahwa sebagai besar ayah memiliki sikap baik terhadap third

hand smoke (50.6%) seperti menghindari merokok di dalam rumah, tidak memeluk anak setelah

selesai merokok dan berganti baju serta mandi setelah merokok.

Tabel 2. Sosial Ekonomi Keluarga

Variabel Frekuensi Persentase

Sosial Ekonomi

1. Rendah

2. Tinggi

77

103

42.8%

57.2%

Total 180 100.0%

Sebagian besar responden memiliki sosial ekonomi tinggi (57.2%) yang artinya sebagian besar

responden memiliki pendidikan minimal sekolah menengah atas dan pendapatan diatas UMR Kota

Palembang

Tabel 3. Status Perokok Ayah

Variabel Frekuensi Persentase

Status Perokok

1. Berat

2. Ringan

137

43

76.1%

23.9%

Total 180 100.0%

Sebagian besar responden termasuk golongan perokok berat yaitu merokok lebih dari atau sama

dengan 12 batang rokok per hari

Tabel 4. Jenis Kelamin Balita

Variabel Frekuensi Persentase

Jenis Kelamin

1. Laki-laki

2. Perempuan

127

53

70.6%

29.4%

Total 180 100.0%

Sebagian besar anak balita yang dijadikan sasaran penelitian berjenis kelamin laki-laki (70.6%)

Tabel 5. Umur Balita

Variabel Mean Median SD Min-Max

Umur 24.3 18 17.6 1-60

Rata-rata responden anak berusia 24 bulan atau 2 tahun dengan minimal 1 bulan dan maksimal 60

bulan atau setara dengan 5 tahun

Tabel 6. Status Third Hand Smoke Balita

Variabel Frekuensi Persentase

Third Hand Smoke

1. THS

2. Tidak THS

56

124

31.1%

68.9%

Total 180 100.0%

Berdasarkan hasil penelitian terhadap kebiasaan ayah, diketahui sebanyak 31.1 % anak terindikasi

third hand smoke melalui indikator ayah merokok di dalam rumah, ayah tidak berganti baju,

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 71

mencuci tangan, mencuci muka, atau mandi setelah merokok serta ayah memiliki kebiasaan

menggendong dan mencium anak setelah selesai merokok

Tabel 7. Pertanyaan Sikap Ayah terhadap Third Hand Smoke

Variabel Frekuensi Persentase

Saya berganti baju setelah selesai merokok

1. Sangat tidak setuju

2. Tidak setuju

3. Setuju

4. Sangat Setuju

9

31

57

83

5.0

17.2

31.7

46.1 Saya selalu mencuci tangan setelah selesai merokok

1. Sangat tidak setuju

2. Tidak setuju

3. Setuju 4. Sangat setuju

6

30

29 115

3.3

16.7

16.1 63.9

Saya sering merokok di dalam rumah

1. Setuju

2. Tidak Setuju 3. Sangat tidak setuju

67

52 61

37.7

28.9 33.9

Saya merokok di kamar mandi

1. Sangat setuju

2. Setuju 3. Tidak setuju

4. Sangat tidak setuju

35

62 48

35

19.4

34.4 26.7

19.4

Saya merokok di dalam mobil

1. Sangat setuju 2. Setuju

3. Tidak setuju

4. Sangat tidak setuju

21 52

71

36

11.7 28.9

39.4

20.0

Saya menghindari menggendong bayi setelah merokok 1. Sangat tidak setuju

2. Tidak setuju

3. Setuju

4. Sangat setuju

105

67

1

7

58.3

37.2

0.6

3.9 Saya mandi setelah selesai merokok

1. Tidak setuju

2. Setuju

3. Sangat setuju

44

91

45

24.4

50.6

25.0

Saya langsung mandi dan berganti baju sepulang kerja sebelum

menemui anak

1. Sangat tidak setuju

2. Tidak setuju 3. Setuju

4. Sangat setuju

7

35 51

87

3.9

19.4 28.3

48.3

Saya langsung memeluk atau mencium anak sepulang kerja

1. Sangat setuju 2. Setuju

3. Tidak setuju

4. Sangat tidak setuju

8 29

197

36

4.4 16.1

59.4

20.0

Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa masih 37.7% ayah yang merokok di dalam rumah

dan 95,5% ayah masih menganggap tidak masalah menggendong bayi langsung setelah selesai

merokok. Hal ini mengindikasikan pengetahuan yang rendah dari masyarakat terhadap dampak

residu rokok yang tertinggal di baju dan perabotan rumah terhadap kesehatan anak.

PEMBAHASAN

Saat ini kesadaran masyarakat tentang bahaya asap rokok terhadap kesehatan balita dan anak

sudah mulai meningkat. Banyak keluarga muda sudah mulai menjauhkan anaknya dari asap rokok

baik dari orang lain maupun asap rokok dari anggota keluarga sendiri. Namun, masyarakat masih

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 72

belum banyak yang mengetahui bahwa tidak hanya asap rokok langsung yang berbahaya namun

residu atau sisa asap rokok yang menempel pada perabotan rumah seperti sofa, gorden, karpet serta

residu yang menempel pada baju, rambut dan muka setelah selesai merokok juga berbahaya.

Residu rokok juga dapat bertahan sangat lama di dalam ruangan walaupun jendela rumah sudah

dibuka dan dibersihkan.

Residu asap rokok masih berbahaya walaupun sudah tidak ada perokok di ruangan tersebut.

Berdasarkan penelitian, diketahui bahwa residu zat nikotin yang dihasilkan perokok dapat

membentuk zat karsinogen yang disebut nitrosamine. Zat ini berpotensi menimbulkan kanker

apabila terpapar dalam waktu yang lama. Residu rokok akan menempel dalam waktu yang lama

pada baju, handphone, perabot rumah tangga, lantai, peralatan makan dan apabila tersentuh,

terhirup dan termakan dapat menyebabkan perubahan genetik, kanker, dan gangguan kesehatan

lainnya. 11–13

Third hand smoke adalah penghirup residu nikotin dan bahan kimia yang dihasilkan oleh

perokok. Seseorang dapat terpapar residu ini dengan menyentuh dan menghirup area bekas tempat

merokok walaupun sudah tidak ada perokok di ruangan tersebut. Residu ini akan bercampur

dengan polusi udara lain dan membentuk zat pemicu kanker yang bisa membahayakan orang yang

tidak merokok terutama anak- anak. Residu dari asap rokok akan menempel pada baju, furniture,

dinding, lantai, karpet, mobil walaupun asap rokok sudah hilang. Untuk menghilangkan residu ini

barang-barang harus sering dicuci dan dibersihkan. Residu asap rokok tidak dapat dihilangkan

dengan hanya membuka jendela dan menggunakan kipas angin. 6,7,13

Anak-anak berpotensi besar

terkena paparan dampak buruk rokok dikarenakan anak-anak memiliki massa tubuh yang lebih

kecil, bernafas lebih cepat, dan memiliki ketahanan tubuh yang lebih rendah dibandingkan

dewasa).5

Berdasarpakn hasil penelitian diketahui 31.1% balita termasuk third hand smoke. Angka ini

cukup tinggi dan dapat berkembang menjadi angka lebih besar. Sehingga tindakan pencegahan

perlu dilakukan untuk menghentikan paparan serta mencegah yang tidak terpapar. Edukasi terhadap

orang tua terutama ayah merupakan aspek penting untuk menekan angka balita third hand smoke.

Dari hasil pengamatan dilapangan para ayah sangat mengetahui dampak rokok terhadap anak dan

berupaya menjauhkannya namun rata-rata para ayah tidak mengetahui jika residu rokok juga

berbahaya untuk anak.

KESIMPULAN DAN SARAN

Sebanyak 70.6% responden anak berjenis kelamin laki laki dengan rentang umur 1-60 bulan.

57.2% keluarga memiliki status sosial ekonomi tinggi, 50.6% ayah memiliki sikap pencegahan

yang baik terhadap paparan rokok, 76.1% balita memiliki ayah dengan status perokok berat.

Sebanyak 31.1% anak termasuk dalam kateogri third hand smoke dimana indikatornya adalah ayah

merokok di dalam rumah dan ayah tidak melakukan pencegahan setiap selesai merokok seperti

mandi, berganti baju dan mencuci muka serta tangan. Perlu dilakukan promosi kesehatan kepada

para ayah dan ibu yang memiliki balita mengenai konsep third hand smoke, bahaya dan cara

menghindarinya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Liputan 6. WHO: Rokok ‗Bunuh‘ 10 Orang Per Menit - Global Liputan6.com.

Liputan6.com, https://www.liputan6.com/global/read/3544429/who-rokok-bunuh-10-orang-

per-menit (2019, accessed 24 December 2019).

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 73

2. Detik Health. Terpapar Residu Asap Rokok Ayahnya, Bayi Ini Meninggal Kena Pneumonia.

Detik Health, https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-2534413/terpapar-residu-asap-

rokok-ayahnya-bayi-ini-meninggal-kena-pneumonia (2014, accessed 24 December 2019).

3. Sharon, Natalie, Jian, et al. Nicotinic agonists stimulate acetylcholine release from mouse

interpeduncular nucleus: a function mediated by a different nAChR than dopamine release

from striatum. J Neurochem 2001; 77: 258–268.

4. Aditama T. Rokok dan Kesehatan. Jakarta: Universitas Indonesia, 1992.

5. World Health Organization. Second-hand smoke. 2014.

6. Jacob P, Benowitz NL, Destaillats H, et al. Thirdhand smoke: New evidence, challenges,

and future directions. Chem Res Toxicol 2017; 30: 270–294.

7. Matt GE, Quintana PJE, Zakarian JM, et al. When smokers quit: Exposure to nicotine and

carcinogens persists from thirdhand smoke pollution. Tob Control 2017; 26: 548–556.

8. Roberts C, Wagler G, Carr MM. Environmental Tobacco Smoke: Public Perception of

Risks of Exposing Children to Second- and Third-Hand Tobacco Smoke. J Pediatr Heal

Care 2017; 31: e7–e13.

9. Halsted C, Pew A. Third-Hand Smoke. National Center For Health Research,

http://www.center4research.org/third-hand-smoke/ (2019, accessed 24 December 2019).

10. Matt GE, Quintana PJE, Hoh E, et al. A Casino goes smoke free: A longitudinal study of

secondhand and thirdhand smoke pollution and exposure. Tob Control 2018; 27: 643–649.

11. Acuff L, Fristoe K, Hamblen J, et al. Third-Hand Smoke: Old Smoke, New Concerns.

Journal of Community Health 2016; 41: 680–687.

12. Bahl V, Jacob P, Havel C, et al. Thirdhand cigarette smoke: Factors affecting exposure and

remediation. PLoS One; 9. Epub ahead of print 6 October 2014. DOI:

10.1371/journal.pone.0108258.

13. Matt GE, Quintana PJE, Zakarian JM, et al. When smokers move out and non-smokers

move in: residential thirdhand smoke pollution and exposure. Tob Control 2011; 20: e1–e1.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 74

PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PERILAKU 3M (MENGGUNAKAN MASKER,

MENJAGA JARAK, DAN MENCUCI TANGAN DENGAN SABUN)

MASYARAKAT INDONESIA DI MASA PANDEMI COVID-19

Heny Lestary

*, Cahyorini, Khadijah Azhar, Sugiharti

Peneliti Puslitbang Upaya Kesehatan Masyarakat, Badan Litbangkes, Kemenkes RI Jakarta

Jl. Percetakan Negara No. 29 Jakarta Pusat

Corresponding email : [email protected]

KNOWLEDGE, ATTITUDE, AND BEHAVIOR OF 3M (USING A MASK, MAINTAINING

DISTANCE, AND WASHING HANDS WITH SOAP) INDONESIAN COMMUNITY IN THE

TIME OF THE COVID-19 PANDEMIC

ABSTRACT

The first COVID-19 cases were discovered in Indonesia on March 2, 2020. As of September 12, 2020, the

Ministry of Health recorded 214,746 confirmed cases, with 8,650 deaths, spread across 489 districts/cities in

Indonesia. The central and local governments have launched the 3M program as a means of preventing

COVID-19.The research objective was to determine the knowledge, attitudes and behavior of 3M (using

masks, maintaining distance, and washing hands with soap) in Indonesia in the face of The COVID-19

pandemic.The cross-sectional research method used a structured questionnaire sent online via whatsapp at

the end of April 2020. Respondents came from 34 provinces with the total of 1,807 with at least 15 years of

age. The proportion of knowledge about the wrong use of masks was 8.9%, the obligatory attitude to use

masks did not occur in 0.8% of respondents, the behavior of always used masks was 94.7%, where the lowest

behavior was for male respondents (92.3%), 15 – 25 years (91.2%), and junior high school education

(75.9%). Correct knowledge of maintaining distance was 92.8%, disagrement with maintaining distance is

1.6% and behavior of always maintaining distance 68.5%, where the lowest behavior was in male

respondents (63.8%), 36 – 45 years (56.5%), higher education (66.1%). The correct knowledge of washing

hands with soap was 94.9%, the right attitude was 99.6%, and the behavior of respondents who always wash

their hands with soap was 74.2%, where the lowest behavior was male respondents (69.0%), 15 – 25 years

(70.3%), junior high school education (51.7%). It was that 3M’s knowledge, attitudes, and behavior have not

been carried out thoroughly and consistently during The COVID-19 Pandemic. It is necessary to increase

3M’s knowledge, attitudes, and behavior by further promoting national and regional campaigns, presenting

agents of change, and other health promotion efforts so that the public will increase their awareness to

protect themselves, their families, and the environment.

Keywords: COVID-19, masks, maintaining distance, washing hands with soap.

ABSTRAK

Kasus COVID-19 pertama kali ditemukan di Indonesia pada tanggal 2 Maret 2020. Hingga tanggal 12

September 2020, Kementerian Kesehatan mencatat 214.746 kasus konfirmasi, dengan 8.650 kasus

meninggal, yang tersebar di 489 kabupaten/kota di Indonesia. Pemerintah pusat dan daerah mencanangkan

program 3M sebagai cara pencegahan COVID-19. Tujuan penelitian untuk mengetahui pengetahuan, sikap,

dan perilaku 3M (menggunakan masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan dengan sabun) masyarakat

Indonesia dalam menghadapi pandemi COVID-19. Penelitian potong lintang menggunakan kuesioner

terstruktur yang dikirimkan secara daring melalui jejaring whatsapp pada akhir April 2020. Responden

berasal dari 34 provinsi berjumlah 1.807 berusia minimal 15 tahun. Didapatkan proporsi pengetahuan salah

penggunaan masker adalah 8,9%, sikap wajib menggunakan masker tidak terjadi pada 0,8% responden,

perilaku selalu menggunakan masker 94,7%, dimana perilaku terendah pada responden laki-laki (92,3%), 15-

25 tahun (91,2%), dan pendidikan SMP (75,9%). Pengetahuan benar tentang menjaga jarak 92,8%, sikap

tidak setuju menjaga jarak 1,6%, dan perilaku selalu menjaga jarak 68,5%, dimana perilaku terendah pada

responden laki-laki (63,8%), 36-45 tahun (56,5%), pendidikan perguruan tinggi (66,1%). Pengetahuan benar

cuci tangan pakai sabun 94,9%, sikap benar 99,6%, dan perilaku responden yang selalu cuci tangan pakai

sabun 74,2%, dimana perilaku terendah pada responden laki-laki (69,0%), 15-25 tahun (70,3%),

berpendidikan SMP (51,7%).

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 75

Pengetahuan, sikap, dan perilaku 3M belum terlaksana secara menyeluruh dan konsisten saat Pandemi

COVID-19. Perlu dilakukan peningkatan pengetahuan, sikap, dan perilaku 3M dengan lebih menggalakkan

kampanye baik tingkat nasional maupun daerah, menghadirkan agen perubahan, dan upaya promosi

kesehatan lainnya agar masyarakat meningkat kewaspadaannya untuk menjaga diri, keluarga, dan

lingkungannya.

Kata Kunci: COVID-19, masker, jaga jarak, CTPS

PENDAHULUAN

Pada tanggal 11 Maret 2020 World Health Organization (WHO) telah menyatakan bahwa

Corona virus disease -19 (COVID-19) sebagai pandemi karena telah menginfeksi 121.564 orang di

118 negara termasuk Indonesia. Penyebab penyakit ini adalah coronavirus yang merupakan

penyebab zoonosis yang pertama kali ditemukan di Wuhan China pada akhir tahun 2019 (1). Pada

tanggal 17 Maret 2020 Presiden Republik Indonesia telah menyatakan tanggap darurat di

Indonesia, yaitu dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus

Tugas Percepatan Penanganan Corona yang diketuai oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan

Bencana (2).

Peningkatan kasus COVID-19 baik di dunia maupun di Indonesia semakin hari semakin

mengkhawatirkan. Jumlah kasus COVID-19 di dunia per tanggal 7 Oktober 2020 adalah

36.080.088, dengan kasus kematian 1.055.236, dan kasus sembuh sebanyak 27.169.706. Sedangkan

untuk kasus COVID-19 di Indonesia, pada tanggal yang sama, jumlah kasus positif adalah 315.714,

kasus kematian 11.472, dan kasus sembuh 240.291 kasus (3).

COVID-19 bukan hanya memberikan dampak bagi kesehatan masyarakat saja, namun juga

memberikan dampak bagi perekonomian, pariwisata, pendidikan, dan aspek kehidupan masyarakat

lainnya. Tidak beraktivitasnya masyarakat dapat menyebabkan sektor ekonomi memburuk,

meningkatnya angka pengangguran, inflasi, meningkatnya angka putus sekolah, dan sebagainya.

Tenaga kesehatan, lanjut usia, anak – anak, dan ibu hamil juga merupakan kelompok rentan yang

akan terdampak dari pandemi COVID-19. Pelaku usaha kecil dan menengah juga termasuk

kelompok masyarakat yang mendapatkan pukulan yang paling terdampak dalam kehidupannya di

tengah Pandemi COVID-19 (4–7).

Pandemi COVID-19 dapat dikendalikan penyebarannya melalui berbagai upaya kesehatan

masyarakat, termasuk merubah perilaku masyarakat agar dapat mematuhi protokol kesehatan yang

sudah disosialisasikan oleh WHO maupun Pemerintah Indonesia. Perubahan atau adopsi perilaku

baru adalah suatu proses yang kompleks dan memerlukan waktu yang relatif lama. Secara teori,

perubahan perilaku atau seseorang dapat menerima atau mengadopsi perilaku baru dalam

kehidupannya melalui 3 tahap, yaitu pengetahuan, sikap, dan tindakan (8).

Penggunaan masker pada masyarakat dapat memberikan dampak yang menguntungkan

dalam mengurangi jumlah kasus dan kematian, dampak ini secara alami meningkat dengan

efektivitas penggunaan masker. Meskipun masih banyak ketidakpastian seputar keefektifan

sebenarnya dari masker wajah , terutama jika mempertimbangkan perbedaan jenis masker, tingkat

kepatuhan, dan pola perilaku manusia. Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa masker dapat

memberikan perlindungan dan penahanan untuk virus pernapasan. Penggunaan masker wajah

dalam mengurangi penyebaran penyakit pandemi seperti COVID-19, yang merupakan salah satu

dari banyak strategi yang diterapkan secara bersamaan, termasuk social distancing, pembatasan

perjalanan, dan isolasi diri. Bahkan selama tindakan lock down di mana orang jarang meninggalkan

rumah mereka, banyak yang masih menghadapi pengaturan keluar rumah (misalnya melakukan

pekerjaan penting, perjalanan ke supermarket) meskipun lebih jarang. Penggunaan masker wajah

bisa menjadi komponen yang sangat penting mengurangi penularan setelah tindakan jarak sosial

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 76

dilonggarkan. Mempersiapkan pasokan masker wajah yang memadai untuk masa transisi seperti itu

dapat membantu mencegah puncak kedua (9).

Jarak sosial dengan menjaga jarak 1,5 m antar manusia, dapat mencegah penyebaran

sebagian besar penyakit infeksi saluran pernapasan. Jarak sosial adalah salah satu tindakan paling

efektif untuk mengurangi penyebaran virus, yang ditularkan melalui tetesan udara. Tetesan yang

dihasilkan oleh batuk, bersin atau berbicara memiliki jarak transmisi tertentu. Dengan menjaga

jarak, kita bisa mengurangi penyebaran virus. Memakai masker, sering mencuci tangan dan

mendisinfeksi dengan alkohol juga membantu mencegah penyebaran virus dari satu orang ke

orang lain. Dari pengalaman di China dengan pneumonia korona baru, bahwa jarak sosial adalah

tindakan yang paling efektif saat ini (10).

Sering mencuci tangan dengan sabun selama setidaknya 20 detik sangat disarankan sebagai

salah satu langkah preventif terhadap infeksi COVID-19. Namun, mengubah budaya mencuci

tangan di negara tertentu maupun secara global adalah tugas yang sulit, dengan mempertimbangkan

stabilitas perbedaan lintas budaya. Budaya mencuci tangan adalah prediktor yang sangat baik untuk

besarnya penyebaran COVID-19. Dari hasil analisis regresi terdapat korelasi yang kuat antara

budaya mencuci tangan dan besarnya wabah di berbagai negara. Secara spesifik, lokasi

masyarakatnya tidak memiliki kebiasaan mencuci tangan secara otomatis cenderung memiliki

eksposur yang jauh lebih tinggi terhadap COVID-19 (11). Dari delapan studi yang memenuhi

syarat melaporkan bahwa mencuci tangan menurunkan risiko infeksi pernapasan, mulai dari 6%

hingga 44% (nilai gabungan 24% (95% CI 6-40%). Mencuci tangan berhubungan dengan

rendahnya infeksi saluran pernapasan (12).

Dengan semakin meningkatnya penyebaran kasus COVID-19, dan telah terujinya efektivitas

menggunakan masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan dengan sabun, dalam upaya mencegah

semakin meluasnya penularan, maka diperlukan penelitian yang dapat melihat proporsi

pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat dalam melakukan tindakan 3 M. Tujuan penelitian ini

adalah untuk mengetahui bagaimana pengetahuan, sikap, dan perilaku 3 M ( memakai masker,

menjaga jarak, dan mencuci tangan dengan sabun) masyarakat di Indonesia pada masa pandemi

COVID-19.

METODE

Metoda yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional (potong lintang), dimana

variabel dependen dan independen diukur secara bersamaan dalam satu waktu tertentu, dan

menggunakan kerangka teori dari Lawrence Green tentang perilaku kesehatan (13). Populasi

adalah seluruh masyarakat Indonesia yang berdomisili di 34 provinsi. Sampel adalah masyarakat

Indonesia yang berdomisili di 34 provinsi, berusia minimal 15 tahun, dapat mengakses whatsapp,

dan bersedia berpartisipasi dalam survei daring yang tautannya disebarkan melalui jejaring

whatsapp (14).

Penghitungan jumlah sampel menggunakan rumus besar sampel estimasi proporsi seperti

di bawah ini :

dimana :

P=Estimasi proposi (50%)

d=simpangan mutlak (2,5%)

z=nilai z pada derajat kepercayaan 1-a/2 (5%3,84)

N= 1.537 ditambah 10% = 1.700. Sehingga jumlah sampel minimal adalah 1.700 orang responden.

2

2

2/1 )1(

d

PPzn

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 77

Sebelum dilakukan ujicoba kuesioner dan pengumpulan data, dilakukan kaji etik terlebih

dahulu dengan mengirimkan protokol penelitian kepada Komisi Etik Penelitian Kesehatan, Badan

Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Selanjutnya mendapatkan Persetujuan Etik (Ethical

Approval) dengan Nomor LB.02.01/2/KE.320/2020 pada tanggal 23 April 2020 (15).

Pengumpulan data secara daring dilakukan dengan menyebarkan kuesioner yang dibuat

dengan menggunakan Google Forms dan tautannya (link) disebarkan melalui jejaring whatsapp.

Responden melakukan pengisian sendiri selama 6 – 10 menit, kemudian dikirimkan. Setelah data

terkumpul, kemudian dilakukan proses manajemen dan analisis data. Hanya dalam waktu 2 (dua)

hari sejak disebarkan, yaitu pada tanggal 30 April – 1 Mei 2020, sudah mendapatkan jumlah

sampel minimal yang dibutuhkan.

Kemudian dilakukan cleaning dan editing untuk menghindari nomor telepon yang sama, data

isian yang tidak lengkap, dan sebagainya. Data yang dikumpulkan dipastikan tidak mengandung

informasi sensitif responden, melainkan hanya menggunakan ID responden, provinsi, jenis

kelamin, umur, pendidikan, dan pekerjaan (14).

HASIL PENELITIAN

Karakteristik Responden

Gambaran sebaran responden dan karakteristiknya disajikan pada tabel 1 dan tabel 2. Setelah

dilakukan proses cleaning dan editing, berhasil didapatkan 1.807 responden yang berasal dari 34

provinsi.

Tabel 1. Distribusi Responden Menurut Provinsi dan Regional (N = 1.807) No Regional/Provinsi Jumlah Responden Persentase (%)

Regional Sumatera 443 24,5

1 Aceh 24 1,3

2 Sumatera Utara 34 1,9 3 Sumatera Barat 12 0,7

4 Riau 85 4,7

5 Kepulauan Riau 17 0,9

6 Jambi 23 1,3 7 Bengkulu 32 1,8

8 Sumatera Selatan 91 5,0

9 Bangka Belitung 10 0,6

10 Lampung 115 6,4

Regional Jawa – Bali 980 54,2

11 Banten 71 3,9

12 Jawa Barat 398 22,0

13 DKI Jakarta 187 10,3 14 Jawa Tengah 196 10,8

15 DI Yogyakarta 60 3,3

16 Jawa Timur 61 3,4

17 Bali 7 0,4

Regional Indonesia Bagian Timur 384 21,3

18 Nusa Tenggara Barat 8 0,4

19 Nusa Tenggara Timur 48 2,7

20 Kalimantan Utara 5 0,3 21 Kalimantan Barat 38 2,1

22 Kalimantan Tengah 5 0,3

23 Kalimantan Selatan 28 1,5

24 Kalimantan Timur 20 1,1 25 Gorontalo 14 0,8

26 Sulawesi Utara 23 1,3

27 Sulawesi Barat 16 0,9

28 Sulawesi Tengah 35 1,9 29 Sulawesi Selatan 59 3,3

30 Sulawesi Tenggara 51 2,8

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 78

31 Maluku Utara 3 0,2

32 Maluku 9 0,5

33 Papua Barat 4 0,2 34 Papua 18 1,0

Total 1.807 100

Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa sebaran responden pada 3 (tiga) provinsi dengan partisipasi

responden tertinggi adalah Provinsi Jawa Barat (22,0%), Jawa Tengah (10,8%), dan DKI Jakarta

(10,3%) , sedangkan 3 (tiga) provinsi dengan partisipasi terendah adalah Papua Barat (0,2%),

Maluku Utara (0,2%), dan Kalimantan Utara (0,3%). Namun jika dibagi ke dalam regional, maka

partisipasi masyarakat di Regional Jawa – Bali persentasenya hampir sama dengan persentase

kumulatif Regional Sumatera dan Regional Indonesia Bagian Timur, yaitu 54,2% berbanding

24,5% dan 21,3%.

Tabel 2

Karakteristik Responden (N = 1.807)

Karakteristik n %

Jenis Kelamin

Laki – laki 583 32,3

Perempuan 1.224 67,7

Kelompok umur

15 15 – 25 tahun 468 25,9

26 – 35 tahun 599 33,1

36 – 45 tahun 395 21,9 46 – 55 tahun 249 13,8

56 – 65 tahun 71 3,9

>65 tahun 25 1,4

Pendidikan

Tidak sekolah 1 0,1

SD 8 0,4

SMP 29 1,6

SMA 345 19,1 Diploma/PT 1.424 78,8

Pekerjaan

Tidak bekerja 181 10,1

PNS/TNI/Polri 585 32,4 Karyawan Swasta/Buruh/Nelayan/Petani 523 28,9

Ibu Rumah Tangga 177 9,8

Pelajar/Mahasiswa 313 17,3

Lainnya 28 1,5

Berdasarkan tabel 2 di atas diketahui bahwa sebagian besar responden berjenis kelamin

perempuan (67,7%), kelompok umur 26 – 35 tahun (33,1%), berpendidikan diploma atau pun

perguruan tinggi (78,8%), dan pekerjaan sebagai PNS/ASN/TNI/Polri (32,4%). Pada penelitian ini

didapatkan juga responden dengan kelompok usia 56 – 65 tahun (3,9%) dan usia lebih dari 65

tahun (1,4%), sedangkan mayoritas responden berada pada kisaran umur produktif. Responden

yang tidak sekolah hanya ada 1 orang saja (0,1%).

Pengetahuan

Pada tabel 3 di bawah ini disajikan pengetahuan responden tentang menggunakan masker,

menjaga jarak, dan mencuci tangan pakai sabun dapat mencegah penyebaran COVID-19 serta

melindungi diri dan keluarga dari bahaya COVID-19.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 79

Tabel 3. Distribusi Pengetahuan Responden tentang 3M di Masa Pandemi COVID-19 di

Indonesia (N = 1.807) Variabel Pengetahuan Pengetahuan Benar Pengetahuan Salah

n % n %

Memakai masker 1.647 91,1 160 8,9 Menjaga jarak 1.677 92,8 130 7,2

Mencuci tangan dengan sabun 1.715 94,9 92 5,1

Pengetahuan benar adalah bahwa memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan

dapat melindungi diri, keluarga, dan lingkungan sekitarnya dari bahaya penyebaran kasus COVID-

19. Pada tabel 3 diketahui bahwa pengetahuan benar paling tinggi persentasenya pada mencuci

tangan dengan sabun (94,9%), kemudian menjaga jarak (92,8%), dan terakhir adalah memakai

masker (91,1%).

Masih terdapat 8,9% responden yang belum memahami bahwa memakai masker dapat

mencegah tertular COVID-19. Demikian juga untuk himbauan di rumah saja dan menjaga jarak

masih belum dipahami oleh 7,2% responden, dan mencuci tangan dengan sabun dapat menghindari

penularan COVID-19 juga masih belum diketahui oleh 5,1% responden.

Sikap

Proporsi sikap responden terkait dengan 3M adalah dikatakan setuju jika responden sepakat

bahwa setiap keluar rumah wajib menggunakan masker, setuju untuk lebih banyak melakukan

aktivitas di dalam rumah saja untuk menjaga jarak fisik dan sosial, dan sepakat dengan adanya

himbauan untuk selalu mencuci tangan dengan sabun sesering mungkin.

Tabel 4. Distribusi Sikap Responden tentang 3M di Masa Pandemi COVID-19 di Indonesia

(N= 1.807) Variabel Sikap Sikap Setuju Sikap Tidak setuju

n % n %

Wajib memakai masker jika keluar rumah 1.792 99,2 15 0,8

Himbauan selalu di rumah saja 1.778 98,4 29 1,6

Himbauan selalu mencuci tangan dengan

sabun sesering mungkin

1.800 99,6 7 0,4

Pada tabel 4 dapat dilihat bahwa sikap tidak setuju responden atas adanya himbauan 3M

hanya di bawah 2% untuk ketiga item cara pencegahan penularan COVID-19. Sebanyak 99,6%

responden setuju bahwa harus mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir sesering mungkin,

99,2% setuju untuk wajib memakai masker jika beraktivitas di luar rumah, dan sebanyak 98,4%

responden setuju atas adanya himbauan untuk selalu berada di dalam rumah saja untuk menjaga

jarak fisik agar tidak berada dalam kerumunan.

Perilaku

Distribusi perilaku responden dapat dilihat pada tabel 5 di bawah ini. Sama halnya dengan

item pengetahuan dan sikap, maka perilaku juga melihat ketiga item pencegahan penularan

COVID-19.

Tabel 5.Distribusi Perilaku Responden tentang 3M di Masa Pandemi COVID-19 di Indonesia

(N=1.807) Variabel Perilaku Ya Perilaku Tidak

n % n %

Selalu memakai masker 1.711 94,7 96 5,3 Selalu beraktivitas di rumah 1.238 68,5 569 31,5

Selalu mencuci tangan dengan

sabun dan air mengalir selama 20

detik

1.341 74,2 466 25,8

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 80

Pada tabel 5 disajikan tentang perilaku responden terkait dengan memakai masker, menjaga

jarak/beraktivitas di rumah, dan mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir selama 20 detik.

Berbeda halnya dengan pengetahuan dan sikap, persentase perilaku 3M responden lebih rendah.

Perilaku terendah adalah selalu menjaga jarak atau beraktivitas di dalam rumah saja (68,5%),

selanjutnya adalah perilaku selalu mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir selama 20 detik

(74,2%). Selain itu juga masih ada 5,3% responden yang tidak selalu memakai masker setiap

beraktivitas di luar rumah.

Tabel 6. Persentase Pengetahuan Salah, Sikap Tidak Setuju, dan Perilaku Tidak Melakukan

3M di Masa Pandemi COVID-19 di Indonesia Menurut Karakteristik Responden (N = 1.807)

Karakteristik Pengetahuan Salah (%) Sikap Tidak Setuju (%) Perilaku Tidak Melakukan (%)

Responden Masker Jaga

jarak

CTPS Masker Jaga

jarak

CTPS Masker Jaga

jarak

CTPS

Jenis Kelamin

Laki – laki 10,8 10,3 7,7 1,9 3,1 0,9 7,7 36,1 31,1

Perempuan 7,9 5,7 3,8 0,3 0,9 0,2 4,2 29,3 23,3

Kelompok umur

16 15 – 25 tahun 13,9 8,3 4,3 1,3 1,5 0,2 8,7 20,8 29,7

26 – 35 tahun 7,5 7,0 4,8 0,7 2,5 0,5 4,8 33,4 26,1 36 – 45 tahun 6,1 7,6 5,6 0,8 1,3 0,0 3,8 43,5 24,1

46 – 55 tahun 6,4 4,4 4,0 0,4 0,8 0,8 2,4 34,1 21,7

56 – 65 tahun 9,9 5,6 11,3 1,4 0,0 0,0 7,0 18,3 26,8

>65 tahun 12,0 16,0 12,0 0,0 0,0 4,0 0,0 8,0 12,0

Pendidikan

Tidak sekolah* 0,0 100 100 0,0 100 0,0 0,0 100 0,0

SD 25,0 12,5 12,5 0,0 0,0 37,5 12,5 25,0 37,5

SMP 27,6 20,7 10,3 0,0 3,4 48,2 24,1 20,7 48,2

SMA 11,3 8,4 5,5 1,7 2,0 30,2 9,0 22,4 30,2

Diploma/PT 7,8 6,5 4,8 0,7 1,4 24,3 4,0 33,9 24,3

Pekerjaan

Tidak bekerja 5,0 9,4 5,5 0,0 1,7 0,6 7,2 21,5 23,8 PNS/TNI/Polri 6,3 6,2 3,8 0,5 0,9 0,3 3,4 41,1 24,4

Swasta/Buruh/Nelayan/Petani 9,6 7,6 5,5 1,0 2,1 0,4 4,6 41,5 26,2

Ibu Rumah Tangga 7,3 5,6 6,2 0,6 2,8 0,0 4,0 17,0 23,2 Pelajar/Mahasiswa 15,0 8,0 5,4 1,9 1,6 0,3 10,2 11,8 31,6

Lainnya 14,3 7,1 10,7 0,0 0,0 3,6 0,0 21,5 10,7

Ket :* jumlah responden yang tidak sekolah hanya 1 orang saja

Pada tabel 5 di atas dapat dilihat bahwa pengetahuan salah tentang manfaat masker dapat

mencegah COVID-19 tertinggi terjadi pada laki – laki (10,8%), berusia 15 – 25 tahun (13,9%),

berpendidikan SMP (27,6%), dan pelajar/mahasiswa (15,0%). Sedangkan untuk sikap yang tidak

setuju bahwa mencuci tangan dengan sabun dapat mencegah penularan COVID-19 lebih besar

terjadi di responden laki – laki (0,9%), berusia lebih dari 65 tahun (4,0%), berpendidikan SMP

(48,2%), dan pekerjaan lainnya (3,6%).

Perilaku responden yang tidak selalu menggunakan masker saat keluar rumah banyak terjadi

pada laki – laki (7,7%), berusia 15 – 25 tahun (8,7%), berpendidikan SMP (24,1%), dan pekerjaan

sebagai pelajar/mahasiswa (10,2%). Sedangkan dari 31,5% responden yang tidak menjaga jarak,

persentase tertinggi terjadi pada responden laki – laki (36,1%), berusia 36 – 45 tahun (43,5%),

berpendidikan Diploma/Perguruan Tinggi (33,9%), pekerjaan Pegawai

Swasta/Buruh/Nelayan/Petani (41,5%). Perilaku tidak selalu (hanya kadang – kadang, jarang, atau

bahkan tidak pernah) cuci tangan pakai sabun selama minimal 20 detik banyak terjadi pada

responden laki – laki (31,1%), berusia 15 – 25 tahun (29,7%), berpendidikan SMP (48,2%),

pekerjaan sebagai pelajar/mahasiswa (31,6%).

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 81

PEMBAHASAN Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini merupakan survei daring dengan menyebar kuesioner melalui media sosial.

Cara ini paling mudah, murah, dan cepat, apalagi di saat pandemi seperti ini, dimana kontak fisik

harus sangat diminimalisir. Survei daring dengan menggunakan Google Forms merupakan salah

satu cara yang cepat, real time, aman, mudah digunakan, dan data yang masuk juga bisa langsung

dianalisis (16). Namun kelemahan dari survei daring ini adalah responden tidak bisa diprobing

maupun diklarifikasi.

Pada saat penelitian dilakukan, kampanye jaga jarak 1 – 2 meter belum dilakukan oleh

pemerintah, melainkan baru himbauan untuk tetap berada di dalam rumah saja, beraktivitas

bekerja/sekolah/ibadah dan sebagainya di dalam rumah, sehingga perilaku untuk selalu beraktivitas

di dalam rumah diasumsikan sebagai perilaku menjaga jarak dan menghindari kerumunan.

Karakteristik Responden

Penyebaran kuesioner melalui jejaring whatsapp, sehingga tidak bisa dikontrol distribusi

sebaran sampelnya, hal ini menyebabkan distribusi sampel dari ke-34 provinsi tidak merata dan

tidak proporsional dalam hal karakteristik wilayah dan individu. Secara karakteristik individu,

sebaran sampel lebih dominan kepada responden dengan pendidikan tinggi (78,8%), hal ini

mungkin terjadi karena sebaran di whatsapp group yang memang terkumpul pada karaktertisk

tertentu. Untuk jenis kelamin, juga lebih banyak responden perempuan (67,7%) yang berpartisipasi

dibandingkan dengan responden laki – laki (23,3%), sedangkan untuk karakteristik umur dan

pekerjaan cenderung tidak ada karakteristik tertentu yang mendominasi.

Hal ini serupa dengan hasil survei daring Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 yang

mendapatkan responden terbesar berdomisili di Pulau Jawa (58,48%). Jumlah responden

perempuan lebih tinggi daripada responden laki – laki dan responden dengan persentase tertinggi

pendidikannya adalah mereka yang perguruan tinggi (71,0%) (17) .

Pengetahuan

Menurut teori Green, pengetahuan adalah domain penting untuk terbentuknya tindakan dan

penerimaan perilaku baru yang bersifat long lasting. Sebaliknya, apabila perilaku itu tidak disadari

oleh pengetahuan dan kesadaran akan tidak berlangsung lama, karena orang yang sudah tahu

(awareness) terhadap suatu hal belum tentu dia akan berperilaku yang benar sebelum yang

bersangkutan melakukan beberapa tahap sampai pada akhirnya dia mengadopsi hal tersebut dengan

tepat (13).

Hasil penelitian Brienen, et al. pada tahun 2010 menunjukkan bahwa penggunaan masker

wajah pada tingkat populasi dapat menunda pandemi influenza, menurunkan tingkat serangan

infeksi, dan dapat mengurangi penularan untuk menahan pandemi. Efek penggunaan masker

diilustrasikan oleh tiga contoh berikut : 1)Penggunaan masker tidak hanya melindungi individu

yang sehat tetapi juga mengurangi penularan dari pembawa yang bergejala dan tanpa gejala,

sehingga mengurangi jumlah dan efektivitas sumber penularan dalam populasi; 2)Mengenakan

masker dapat meningkatkan kesadaran akan risiko infeksi dan pentingnya perilaku pencegahan

tambahan seperti lebih sering mencuci tangan atau menghindari kontak fisik dan menghindari

tempat umum yang ramai. Masker wajah juga dapat mengurangi penularan kontak dengan

mencegah pemakainya menyentuh mulut atau hidung dengan tangan atau benda lain yang

berpotensi terkontaminasi virus; 3) Penggunaan masker hampir menjadi satu-satunya cara untuk

mencegah penularan aerosol, yang dapat menyebabkan kasus influenza yang paling parah. Namun,

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 82

di sisi lain, penggunaan masker wajah dapat menimbulkan rasa aman yang salah dengan

mengurangi tindakan kebersihan diri. Penggunaan masker wajah di seluruh populasi bisa menjadi

strategi yang berharga untuk menunda atau menahan pandemi influenza, atau setidaknya

menurunkan tingkat serangan infeksi (18). Hal ini selaras dengan penelitian ini, yaitu pengetahuan

responden tentang memakai masker dan cuci tangan dengan sabun relatif sudah baik (di atas 95%),

namun pengetahuan penggunaan masker dan cuci tangan pakai sabun dapat mencegah penyebaran

infeksi COVID-19 paling rendah berada pada kelompok usia lanjut usia, dan juga responden yang

berpendidikan rendah (SD – SMP).

Himbauan yang dikeluarkan pemerintah untuk mencegah penyebaran virus COVID-19 ini

adalah dengan melakukan social distancing atau pembatasan sosial, dimana dianjurkan untuk

mengurangi aktivitas di luar rumah sehingga diharapkan bekerja, belajar, dan beribadah dilakukan

dari rumah. Diharapkan dengan melakukan hal ini maka penyebaran virus tidak akan meluas.

Pengetahuan responden mengenai anjuran bahwa dengan di rumah saja dapat mencegah penularan

COVID-19 sudah sangat baik dimana terdapat 92,8% responden menjawab benar.

Di Indonesia, pemerintah daerah juga telah melakukan beberapa kebijakan social distancing

seperti meliburkan sekolah dan menutup tempat-tempat wisata, mengimbau perusahaan-perusahaan

untuk menerapkan bekerja dari rumah (work from home), meniadakan kegiatan-kegiatan massal di

tempat ibadah, hingga membatasi waktu operasional transportasi umum. Meski membatasi

pergerakan orang-orang tidak langsung menghentikan pandemi, tapi cara ini diyakini dapat

mengurangi angka penularan COVID-19, mencegah infeksi virus pada mereka yang masih sehat

sehingga memberikan waktu bagi para petugas medis untuk menyembuhkan pasien positif.

Secara umum diketahui bahwa tingkat pengetahuan masyarakat tentang mencuci tangan

pakai sabun (ctps) sudah baik. persentase pengetahuan ctps yang benar secara persentase lebih

tinggi pada perempuan daripada laki-laki (96 % vs 92%). Ditinjau dari rutinitas melakukan

aktivitas ctps responden perempuan juga lebih tinggi proporsinya daripada laki-laki. Namun, bila

dilihat dari latar belakang pendidikan, responden yang berpendidikan SMP lebih sedikit melakukan

ctps dengan air mengalir selama minimal 20 detik.

Sikap

Cuci tangan pakai sabun adalah salah satu tindakan sanitasi sehingga tidak mengherankan

bahwa proporsi penduduk yang menggunakan fasilitas cuci tangan dengan sabun dan air on

premises adalah salah satu dari indikator SDG yaitu indikator 6.2.1b (19). Namun pada

kenyataannya praktek ctps tidak serta merta dilakukan oleh semua orang. Penelitian yang dilakukan

oleh Wolf, et al 2019 menginformasikan bahwa satu dari empat orang di dunia tidak memiliki

akses fasilitas cuci tangan dengan sabun dan air on premises di tahun 2015. Pada periode yang

sama, praktek ctps hanya sekitar 26% pada kegiatan yang berpotensi kontak dengan fecal. Di

wilayah yang akses fasilitas ctps bagus, praktek ctps dilakukan oleh 51% penduduk dan di wilayah

dengan akses yang terbatas, praktek ctps hanya dilakukan oleh 22% penduduk setelah kegiatan

yang berpotensi kontak dengan fecal (20).

Ada sejumlah faktor psikologis yang secara halus membuat seseorang enggan mencuci

tangan, yaitu cara berfikir hingga tingkat optimisme delusi/bias optimisme, kebutuhan untuk

merasa ‗normal‘ dan perasaan jijik yang dimiliki. Adanya optimisme delusi atau bias optimisme

menyebabkan seseorang merasa percaya diri dengan menganggap hal-hal buruk akan lebih kecil

kemungkinannya untuk dialami. Sebuah studi menunjukkan bahwa kaum perempuan jauh lebih

rajin mencuci tangan dibanding kaum lelaki. Tren ini berlanjut hingga dari suatu jejak pendapat

diketahui sebanyak 65% perempuan mencuci tangan rutin sedangkan laki-laki hanya 52%. Selain

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 83

itu perilaku kepatuhan mencuci tangan lebih dominan dilakukan pada orang yang memiliki sifat

telaten dan memiliki rasa jijik, sehingga efektif untuk membuat orang melakukan ctps (21).

Saat pandemi ini sangat dianjurkan untuk mengintensifkan kegiatan ctps. Virus Sars-CoV2

sebagai penyebab COVID-19 menyebar melalui droplet dan transmisi kontak, yaitu adanya kontak

antara tangan dengan penderita atau objek maupun permukaan yang terkontaminasi, selanjutnya

masuk ke mulut ataupun mata. Waktu yang krusial untuk melakukan cuci tangan antara lain setelah

batuk/bersin, merawat pasien, sebelum, selama dan setelah menyiapkan makanan, sebelum makan,

setelah dari toilet, ketika tangan terlihat kotor dan setelah membersihkan kotoran hewan. Durasi

mencuci tangan yang dianjurkan oleh WHO adalah 20-30 detik bila menggunakan larutan berbasis

alcohol, dan bila menggunakan air dan sabun minimal 40-60 detik (22).

Selaras dengan penelitian di atas, maka pada penelitian ini hampir semua (99,6%) responden

menyatakan sikap setuju mengenai adanya himbauan pemerintah untuk selalu mencuci tangan

pakai sabun dan air mengalir sesering mungkin. Hanya 0,4% responden yang menyatakan sikap

tidak setuju untuk ctps. Mereka yang berusia > 65 tahun, berpendidikan SMP, dan berpekerjaan

lainnya merupakan kelompok responden dengan persentase tertinggi untuk bersikap tidak setuju

bahwa ctps dapat mencegah penularan COVID-19.

Perilaku

Pemakaian masker secara universal oleh publik adalah kebijakan penting untuk mengurangi

penularan COVID-19, terutama ketika negara-negara selesai dari lock down. Kita perlu mengurangi

bicara, dan mereka yang memiliki gejala batuk dan bersin harus mengisolasi diri. Kondisi normal

baru ini perlu dilanjutkan sampai ada perawatan farmakologis yang aman dan efektif serta vaksin

melawan COVID-19. Masker memberikan perlindungan yang lebih baik bila dikombinasikan

dengan tindakan perlindungan lainnya termasuk sering mencuci tangan dengan sabun dan air

mengalir, tidak menyentuh wajah, etika pernapasan, solidaritas sosial, dan jarak fisik (23).

Perilaku terendah selalu menjaga jarak/melaksanakan himbauan di rumah saja terdapat pada

kelompok responden laki-laki (63,8%), 36-45 tahun (56,5%), pendidikan perguruan tinggi (66,1%).

Hal ini dapat disebabkan karena kelompok-kelompok ini merupakan kelompok usia produktif. Di

masa pandemi ini banyak terjadi ketidakpastian karena hal yang baru. Ketidakpastian kapan

penyebaran virus ini akan berakhr, keharusan mengisolasi diri, menggunakan masker,

meningkatkan imunitas diri, dan lain-lain. Kondisi ini mempengaruhi tingkat imunitas dan

kejiwaan masyarakat. BPS menyatakan bahwa 69,43% respondennya menyatakan sangat khawatir

atau khawatir terkait kesehatan dirinya saat harus beraktivitas di luar rumah (17).

Pemberlakuan social atau physical distancing juga diikuti dengan kebijakan bekerja dan

bersekolah dari rumah. Menurut BPS (2020) persentase responden yang selalu WFH (work from

home) sejak ditetapkan adalah mereka yang berpendidikan perguruan tinggi. Hal ini berbanding

terbalik dengan hasil penelitian ini dimana persentase selalu di rumah saja pada kelompok

pendidikan terakhir dengan persentase paling rendah yaitu perguruan tinggi (66,1%) (17). Hal ini

mungkin terjadi karena jenjang pekerjaan pendidikan ini kemungkinan sudah berada pada level

manajemen yang perlu ada di kantor atau jenis pekerjaan yang mengharuskan berada di lapangan

atau kantor.

Aktivitas mencuci tangan merupakan salah satu upaya pencegahan penyakit karena dengan

membersihkan tangan menggunakan air dan sabun maka dapat memutuskan mata rantai kuman

yang sering melekat di tangan dan berpindah ketika adanya kontak langsung maupun tidak

langsung. Kuman tersebut berupa bakteri, virus dan parasit yang bersumber dari kotoran

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 84

hewan/manusia, cairan tubuh, ataupun makanan dan minuman yang sudah tercemar sebelumnya

ketika dikonsumsi.

Beberapa studi membuktikan manfaat dari ctps dalam mencegah penyakit infeksi, seperti

diare, infeksi saluran pernafasan, pneumonia, dan lain-lain. Penelitian yang dilakukan oleh Luby

tahun 2011 menggunakan analisis multivariat diperoleh adanya asosiasi antara praktek cuci tangan

ibu dengan rendahnya kasus diare anak dan infeksi pernafasan. Selain itu penelitian yang lain

menunjukkan bahwa cuci tangan dengan sabun non antiseptic jauh lebih efektif menghilangkan

kuman di tangan daripada cuci tangan dengan air saja (24). Terkait dengan pandemi COVID-19 ini,

studi yang dilakukan di Inggris pada tahun 2007 menyatakan bahwa mencuci tangan dengan sabun

secara teratur dengan disertai penggunaan masker, sarung tangan dan pelindung, bisa jadi lebih

efektif dalam mencegah penyebaran virus ISPA seperti flu dan SARS (25).

Pencegahan penyebaran COVID-19 melalui praktek perilaku aman dan sehat merupakan hal

penting. Penyediaan air yang aman, sanitasi dan kondisi yang higienis merupakah hal-hal yang

mendasar untuk melindungi selama adanya Kejadian Luar Biasa (KLB), termasuk pandemi

COVID-19. Kebersihan tangan yang tepat merupakan pertahanan pertama dalam melawan

transmisi penyakit ini dan telah dibuktikan sebagai cara yang paling efektif, murah dan mudah

dalam menjaga kesehatan dari ancaman infeksi. Oleh sebab itu, penting sekali menjamin

ketersediaan fasilitas cuci tangan yaitu air bersih dan sabun, di tempat-tempat strategis misalnya

sekolah, area publik, pasar, tempat kerja, dan fasilitas kesehatan.

Gerakan sosialisasi 3M di masa Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) gencar dilakukan oleh

Pemerintah baik tingkat Pusat maupun Daerah. Gerakan 3M tersebut meliputi memakai masker,

mencuci tangan dan menjaga jarak sebagai upaya pencegahan memutus mata rantai penularan

COVID-19. Kampanye 3M digalakkan oleh Pemerintah melalui berbagai media baik cetak maupun

elektronik (26).

Pemerintah melalui Satuan Tugas (Satgas) COVID-19 Nasional menyatakan bahwa semakin

banyak menjaga jarak, memakai masker dengan benar, dan sering mencuci tangan dengan sabun,

maka pandemi ini akan semakin cepat berlalu. Dalam menghadapi AKB, masyarakat harus

memahami bahwa dalam melakukan segala aktivitas tidak sama seperti kehidupan normal saat

sebelum pandemi. Masyarakat dihimbau hanya keluar rumah jika memang benar – benar perlu,

terutama bagi yang berisiko tinggi, termasuk para lanjut usia dan memiliki riwayat penyakit

jantung, hipertensi, diabetes, dan paru (27). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pengetahuan

lansia tentang 3 M merupakan yang paling rendah persentasenya diantara kelompok umur lainnya,

tetapi tidak demikian untuk sikap dan perilakunya.

Pemerintah pada tanggal 7 Agustus 2020 mengeluarkan revisi SKB 4 Menteri (Mendiknas,

Menkes, Menag, dan Mendagri) mengenai Penyesuaian Kebijakan Pembelajaran di Masa Pandemi

COVID-19, yang menyatakan bahwa untuk mengantisipasi konsekuensi negatif dan isu

pembelajaran jarak jauh, pemerintah mengimplementasikan dua kebijakan baru, yaitu perluasan

pembelajaran tatap muka untuk zona kuning dan kurikulum darurat dalam kondisi khusus.

Pelaksanaan pembelajaran tatap muka diperbolehkan untuk semua jenjang yang berada pada zona

hijau dan zona kuning (28). Dengan adanya kebijakan ini, harus disikapi dengan hati – hati, karena

menurut hasil temuan penelitian ini menyatakan bahwa perilaku tidak menggunakan masker dan

tidak cuci tangan pakai sabun paling banyak terjadi pada responden usia sekolah dan pekerjaan

pelajar/mahasiswa. Sosialisasi baik di tingkat sekolah/kampus maupun lingkungan sekitar harus

lebih gencar lagi dilakukan agar para pelajar dan mahasiswa lebih disiplin melakukan upaya 3M.

Penegakan hukum yang dilakukan oleh Pemerintah, TNI, Polri, dan Satpol PP guna menekan

penyebaran COVID-19 membutuhkan modal cukup besar, demikian juga halnya dengan pengadaan

vaksin yang tengah diupayakan Pemerintah. Vaksin yang paling murah adalah Iman, Aman, dan

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 85

Imun; yaitu dengan percaya bahwa pandemi ini terjadi atas izin Tuhan Yang Maha Esa, Aman

dengan menerapkan perilaku 3M, dan Imun dengan mengkonsumi vitamin, berolahraga, konsumsi

makanan sehat, dan istirahat yang cukup (29).

KESIMPULAN DAN SARAN

Kampanye 3M saat ini semakin digencarkan oleh Pemerintah, karena menjadi cara utama

dan paling mudah dan murah dalam pencegahan penyebaran COVID-19 secara lebih meluas,

selama vaksin dan obat yang tepat belum ditemukan. Namun dari hasil penelitian ini diketahui

bahwa pengetahuan dan sikap masyarakat Indonesia terkait 3M (memakai masker, menjaga jarak,

dan mencuci tangan dengan sabun) relatif sudah cukup baik, namun tidak diiringi dengan

perilakunya. Masih ada sekitar 1 dari 3 – 4 masyarakat Indonesia yang belum berperilaku selalu

menjaga jarak/beraktivitas di dalam rumah saja dan mencuci tangan pakai sabun.

Saran dari penelitian ini adalah perlu dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan

pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat Indonesia dengan mengupayakan kegiatan promotif

dan preventif yang melibatkan lintas program dan lintas sektor dengan menggunakan budaya lokal

sehingga lebih mudah dipahami oleh masyarakat, menghadirkan agen perubahan perlaku, dan

promosi kesehatan lainnya agar masyarakat Indonesia dapat meningkat kewaspadaannya untuk

menjaga diri, keluarga, dan lingkungannya.

DAFTAR PUSTAKA

1. CNN. WHO Umumkan Virus Corona Sebagai Pandemi [Internet]. Jakarta; 2020 [cited 2020

Mar 15]. Available from: https://www.cnnindonesia.com/internasional/20200312000124-

134-482676/who-umumkan-virus-corona-sebagai-pandemi

2. BNPB. Pedoman Penanganan Cepat Medis dan Kesehatan Masyarakat COVID-19 di

Indonesia. Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19. Jakarta; 2020.

3. Worldometer. COVID-19 Coronavirus Pandemic [Internet]. 2020 [cited 2020 Oct 7].

Available from: https://www.worldometers.info/coronavirus

4. Hanoatubum S. Dampak COVID-19 Terhadap Perekonomian Indonesia. EduPsyCouns.

2020;2(1).

5. Purwanto A, Pramono R, Asbari M, Santoso PB, Mayesti L. Studi Eksploratif Dampak

Pandemi COVID-19 Terhadap Proses Pembelajaran Online di Sekolah Dasar.

EduPsyCouns. 2020;2(1).

6. Pradana AA, Casman C, Nur‘aini N. Pengaruh Kebijakan Social Distancing pada Wabah

COVID-19 terhadap Kelompok Rentan di Indonesia. J Kebijak Kesehat Indones JKKI

[Internet]. 2020;9(2):61–7. Available from: https://jurnal.ugm.ac.id/jkki/article/view/55575

7. Thaha AF. Dampak Covid-19 Terhadap UMKM di Indonesia. J Brand. 2020;2(1):147–53.

8. Notoatmodjo S. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta; 2007.

9. Worby CJ, Chang HH. Face mask use in the general population and optimal resource

allocation during the COVID-19 pandemic. Nat Commun. 2020;11(1).

10. Qian M, Jiang J. COVID-19 and social distancing. J Public Heal. 2020;(Mikulska 2019).

11. Pogrebna G, Kharlamov AA. The Impact of Cross-Cultural Differences in Handwashing

Patterns on the COVID-19 Outbreak Magnitude. Res Gate [Internet]. 2020;(March):10.

Available from: https://www.researchgate.net/publication/340050986%0AThe

12. Rabie T, Curtis V. Handwashing and risk of respiratory infections: A quantitative

systematic review. Trop Med Int Heal. 2006;11(3):258–67.

13. Green L, Kreuter MW. Health Program Planning : An Educational and Ecological

Approach. 4th ed. New York: McGraw-Hill; 2005.

14. Cahyorini, Dkk. Laporan Penelitian Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Hidup Sehat

Masyarakat Dalam Menghadapi Pandemi COVID-19 di Indonesia. Jakarta: Badan

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 86

Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kemenkes RI; 2020.

15. KEPK-BPPK. Persetujuan Etik untuk Penelitian PSP Hidup Sehat Masyarakat dalam

Menghadapi Pandemi COVID-19 di Indonesia, No. LB.02.01/2/KE.320/2020 tanggal 23

April 2020. 2020.

16. Sudaryo Y, Sofiati NA, Medidjati A, Hadiana A. Metode Penelitian Survei Online dengan

Google Forms. Risanto E, editor. Yogyakarta: ANDI; 2019.

17. Badan Pusat Statistik. Hasil Survei Sosial Demografi Dampak COVID-19 Tahun 2020.

Jakarta: BPS RI; 2020.

18. Brienen NCJ, Timen A, Wallinga J, Steenbergen JE Van, Teunis PFM. The Effect of Mask

Use on the Spread of Influenza During a Pandemic. 2010;30(8):1210–8.

19. Kementerian PPN/Bappenas. Ringkasan Metadata Indikator TPB/SDGs Indonesia. 2017.

20. Wolf J, Johnston R, Freeman MC, Ram PK, Slaymaker T, Laurenz E, et al. Handwashing

with soap after potential faecal contact: Global, regional and country estimates. Int J

Epidemiol. 2019;48(4):1204–18.

21. Burton M, Cobb E, Donachie P, Judah G, Curtis V. The Effect of Handwashing with Water

or Soap on Bacterial Contamination of Hands. Int J Environ Res Public Health. 2011;8:97–

104.

22. WHO. Who Save Lives : Clean Your Hands in the Context of Covid-19. 2020;(May):19–20.

Available from: https://www.who.int/infection-prevention/campaigns/clean-

hands/en/%0Ahttps://www.who.int/infection-prevention/campaigns/clean-

hands/WHO_HH-Community-Campaign_finalv3.pdf?ua=1

23. Liu C, Diab R, Naveed H, Leung V. Universal public mask wear during COVID-19

pandemic: Rationale, design and acceptability. Respirology. 2020;25(8):895–7.

24. Luby SP, Halder AK, Huda TMN, Unicomb L, Johnston RB. Using child health outcomes

to identify effective measures of handwashing. Am J Trop Med Hyg. 2011;85(5):882–92.

25. Suryani SI, Sodik MA. Perilaku Cuci Tangan Pakai Sabun. Jakarta: Pusdatin Kemenkes RI;

2018.

26. Suaramerdeka.com. Pemerintah Gencar Kampanye 3M, Apa Isinya? [Internet]. 2020 [cited

2020 Sep 1]. Available from: https://www.suaramerdeka.com/news/nasional/237900-

pemerintah-gencar-kampanye-3m-apa-isinya

27. BNPB. Ketahui: Adaptasi Kebiasaan Baru [Internet]. 2020 [cited 2020 Jul 1]. Available

from: https://covid19.go.id/edukasi/apa-yang-harus-kamu-ketahui-tentang-covid-

19/adaptasi-kebiasaan-baru

28. BNPB, Kemendiknas, Kemenkes, Kemenag, Kemendagri. Penyesuaian Kebijakan

Pembelajaran di Masa Pandemi COVID-19 [Internet]. Jakarta: Satgas COVID-19 Nasional;

2020. Available from: https://covid19.go.id/

29. BNPB. Perubahan Perilaku Jadi Kunci Pencegahan COVID-19 [Internet]. 2020 [cited 2020

Oct 7]. Available from: https://covid19.go.id/p/berita/perubahan-perilaku-jadi-kunci-

pencegahan-covid-19

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 87

EVALUASI PEMERIKSAAN DAN PENGUJIAN K3 PRESSURE VESSEL OLEH

AHLI K3 PESAWAT UAP DAN BEJANA TEKANAN BERDASARKAN

PERMENAKER NO. 37 TAHUN 2016 DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA

BELIT UNG PADA TAHUN 2018 DAN 2019

Maududi Farabi, SKM,

1 Mila Tejamaya, S.Si., MOHS., Ph.D.,

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

Corresponding email: [email protected]

EVALUATION OF PRESSURE VESSEL INSPECTION BY OHS EXPERT BASED ON

THE REGULATION OF THE MINISTER OF R.I. MANPOWER NO. 37 OF 2016 IN

BANGKA BELITUNG ISLANDS PROVINCE YEAR OF 2018 AND 2019

ABSTRACT

The usage of pressure vessels has recently increase in various business sectors. Even though the use of

pressure about many benefits, also creates multiple Occupational Safety and Health (OHS) potential

hazards, including: high levels of pressure which have the potential to cause leakage, explosion, fire and

work accidents. All types of pressure vessel usage must undergo OHS inspection before hand in accordance

with the applicable provisions and standards. If the implementation of pressure vessel OHS inspections were

to be of low quality, this may increase the risk of blasting and other work accidents. The purpose of writing

this publication is to analyze OHS requirements from the pressure vessel OHS inspection reports by OHS

experts (AK3) pressure vessel specialist (PUBT) that has not yet met to the Regulation of the Minister of

Manpower (Permenaker) R.I. No. 37 of 2016. This research uses a qualitative observational analytic study

report approach. The method of sampling of this study is performed by the total population, that is all the

results of the inspection and testing of pressure vessels by the PUBT Specialist AK3 in the Bangka Belitung

Islands Province Employment Agency, amounting to 40 reports in 2018 and 50 reports in 2019. The results

of the study indicates that there were some test examinations and pressure vessel OHS inspections report

made by AK3 PUBT specialists which have not fulfilled the requirements, including administrative

inspection, incomplete technical drawings, calibration of test equipment, implementation of non-destructive

testing, compaction testing, implementation of safety testing (safety devices), as well as incomplete

calculations for the strength of construction. Coaching, monitoring, and a more stringtent evaluation process

and media are needed to ensure that pressure vessel OHS inspection by AK3 PUBT has met to the

Regulation and standard.

Keywords: pressure vessel, OHS inspection, the Regulation of R.I. MinisterManpower No. 37 of 2016

ABSTRAK

Penggunaan bejana tekanan atau pressure vessel semakin meningkat di berbagai sektor usaha. Di samping

manfaat yang besar, pemakaian Bejana Tekanan mengandung potensi bahaya Keselamatan dan Kesehatan

Kerja (K3), diantaranya: tekanan yang tinggi yang berpotensi menyebabkan kejadian kebocoran, peledakan,

kebakaran dan kecelakaan kerja. Setiap penggunaan pressure vessel harus dilakukan pemeriksaan dan

pengujian (riksa uji) K3 sesuai dengan ketentuan dan standar yang berlaku. Rendahnya kualitas pelaksanaan

Riksa Uji K3 pressure vessel di tempat kerja dapat mempertinggi risiko peledakan dan kecelakaan kerja

lainnya. Tujuan dari penulisan publikasi ini untuk menganalisa syarat-syarat K3 apa saja dari laporan riksa

uji K3 pressure vessel oleh Ahli K3 (AK3) spesialis pesawat uap bejana tekanan (PUBT) yang belum

memenuhi Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) R.I. No. 37 Tahun 2016. Jenis penelitian ini

adalah deskriptif analitik kualitatif dengan membandingkan pemeriksaan dan pengujian K3 pressure vessel

yang dilakukan oleh AK3 spesialis PUBT di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2018 dan tahun

2019 dengan Permenaker R.I. No. 37 Tahun 2016. Penelitian ini menggunakan data sekunder seluruh hasil

pemeriksaan dan pengujian AK3 spesialis PUBT tahun 2018 dan 2019 sebanyak 90 laporan. Hasil penelitian

didapatkan masih ada kegiatan riksa uji dan pembuatan laporan riksa uji K3 pressure vessel oleh AK3

spesialis PUBT yang belum memenuhi persyaratan antara lain tidak dilakukannya pemeriksaan administrasi,

ketidaklengkapan gambar teknis, pelaksanaan kalibrasi peralatan uji, pelaksanaan pengujian tidak merusak

(Non Destructive Test), pelaksanaan pengujian pemadatan, pelaksanaan pengujian alat-alat pengaman (safety

devices), serta ketidaklengkapan perhitungan ulang kekuatan konstruksi. Pembinaan, pengawasan, media

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 88

dan proses evaluasi yang lebih ketat sangat dibutuhkan untuk menjamin pelaksanaan riksa uji K3

pressure vessel telah memenuhi persyaratan sebagaimana peraturan dan standar yang berlaku.

Kata Kunci: Bejana tekanan, riksa uji k3, permenaker 37 tahun 2016

PENDAHULUAN

Bejana tekanan adalah bejana selain pesawat uap yang di dalamnya terdapat tekanan dan

dipakai untuk menampung gas, udara, campuran gas, atau campuran udara baik dikempa menjadi

cair dalam keadaan larut maupun beku.1 Contoh bejana tekanan antara lain: air receiver tank,

bejana transport, bejana penyimpanan bahan bakar gas untuk kendaraan, botol baja oksigen, botol

baja acetylene, botol hydrogen, botol LPG, dan sebagainya. Penggunaan bejana tekanan atau

pressure vessel semakin meningkat di berbagai sektor usaha. Di samping manfaat yang besar,

pemakaian bejana tekanan mengandung potensi bahaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3),

diantaranya: tekanan yang tinggi yang berpotensi menyebabkan kejadian kebocoran, peledakan,

kebakaran dan kecelakaan kerja.

Pemerintah telah mengatur K3 pressure vessel di Indonesia melalui Peraturan Menteri

Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2016 tentang Keselamatan dan Kesehatan

Kerja Bejana Tekanan. Risiko K3 penggunaan bejana tekanan antara lain dapat disebabkan oleh

ketidaklengkapan serta tidak berfungsinya alat pengaman (safety devices) pada bejana tekanan,

penggunaan tekanan kerja melebihi tekanan maksimum yang diizinkan, kualitas bahan menurun,

cacat pada sambungan pengelasan, dan operator atau teknisi bejana tekanan yang tidak dibekali

dengan kompetensi K3.

Setiap pemakaian pressure vessel harus dilakukan pemeriksaan dan pengujian (riksa uji)

K3. Riksa uji K3 pressure vessel terdiri dari riksa uji K3 pertama, berkala (sekurang-kurangnya

setiap 2 tahun sekali), dan riksa uji K3 khusus (setekah perbaikan atau kecelakaan kerja) sesuai

dengan ketentuan dan standar yang berlaku. Rendahnya kualitas pelaksanaan riksa uji K3 pressure

vessel di tempat kerja serta rendahnya jaminan keamanan penggunaaan pressure vessel di tempat

kerja sehingga mempertinggi risiko peledakan dan kecelakaan kerja lainnya.

METODE

Jenis penelitian ini adalah deskriptif analitik yang bersifat kualitatif yang dilakukan pada

Bulan Maret sampai dengan Mei 2020. Penelitian ini membandingkan antara laporan pemeriksaan

dan pengujian K3 pressure vessel yang dilakukan oleh AK3 sepesialis PUBT di wilayah kerja

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2018 dan tahun 2019 dengan Peraturan Menteri

Ketenagakerjaan Republik Indonesia (Permenaker) Nomor 37 Tahun 2016.

Penelitian ini menggunakan data sekunder dengan unit analisis seluruh hasil pemeriksaan

dan pengujian K3 pressure vessel yang dilaporkan pada tahun 2018 dan tahun 2019 sebanyak 90

Laporan. Kelengkapan dari laporan akan dibandingkan dengan persyaratan yang terdapat dalam

Permenaker No. 37 Tahun 2016 tentang K3 Bejana Tekanan dan Tangki Timbun, yang meliputi:

(1) pemeriksaan administrasi, (2) berita acara pemeriksaan dan pengujian K3, (3) data umum, (4)

gambar teknis kontruksi, (5) dokumen kalibrasi peralatan riksa uji K3, (6) pengujian tidak merusak

(Non Destructive Test), (7) pengujian kekerasan pelat, (8) pengukuran ketebalan pelat, (9) hasil

pengujian pemadatan, (10) pemeriksaan dan pengujian alat-alat pengamanan (safety devices), (11)

perhitungan ulang kekuatan konstruksi, dan (12) Surat Keterangan bejana tekanan. Kelengkapan

dari laporan pemeriksaan dan pengujian K3 pressure vessel akan dianalisis secara kualitatif.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 89

HASIL PENELITIAN

Pemeriksaan dan pengujian merupakan kegiatan mengamati, menganalisis,

membandingkan, menghitung, mengukur, pengetesan kemampuan operasi, bahan, dan konstruksi

pressure vessel untuk memastikan terpenuhinya ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau

standar yang berlaku. Pemeriksaan dan pengujian meliputi: riksa uji pertama, riksa uji berkala,

riksa uji khusus, dan riksa uji ulang. Riksa uji pertama dilakukan pada tahap perencanaan; tahap

pembuatan; saat sebelum digunakan atau belum pernah dilakukan pemeriksaan dan/atau pengujian;

dan saat pemasangan, perubahan, atau modifikasi. Pemeriksaan berkala dilakukan sekurang-

kurangnya sekali dalam 2 (dua) tahun dan pengujian dilakukan sekurang-kurangnya sekali 5 (lima)

tahun. Pemeriksaan dan pengujian khusus dilakukan setelah terjadinya kecelakaan kerja,

kebakaran, atau peledakan. Pemeriksaan dan pengujian ulang dilakukan apabila hasil pemeriksaan

dan pengujian sebelumnya terdapat keraguan.

Secara umum, pemeriksaan dan pengujian K3 pressure vessel terdiri dari beberapa tahap:

1. Pemeriksaan dokumen, gambar teknis dan administrasi;

2. Pemeriksaan persyaratan dan pengujian kelaikan K3 komponen pressure vessel;

3. Pengukuran dimensi pressure vessel;

4. Pengujian Tidak Merusak (Non Destructive Test);

5. Percobaan padat (Hydrostatic Test);

6. Perhitungan ulang kekuatan konstruksi;

Pemeriksaan dan pengujian K3 pressure vessel secara rinci meliputi:

1. Pemeriksaan dokumen, gambar teknis dan administrasi:

a. Gambar konstruksi/instalasi;

b. Sertifikat bahan dan keterangan lain;

c. Perhitungan kekuatan desain konstruksi (design calculation);

d. Catatan data pembuatan (manufacturing data record);

e. Cara kerja pressure vessel untuk bejana proses;

f. Lisensi K3 Teknisi Bejana Tekanan serta sertifikat dan buku kerja juru las;

g. Safety Data Sheet (SDS) bahan yang diisikan;

h. Register pressure vessel;

i. Riwayat perawatan pressure vessel;

j. Riwayat perbaikan pressure vessel;

k. Riwayat modifikasi pressure vessel;

l. Pemenuhan syarat-syarat K3 pada Laporan pemeriksaan dan pengujian K3 sebelumnya;

m. Data umum;

n. Data Teknik;

1) Shell / badan

2) Head / tutup

3) Pipa-pipa / channel

4) Instalasi pipa

2. Pemeriksaan persyaratan dan kelaikan K3 komponen pressure vessel, meliputi:

a. Pemeriksaan persyaratan dan kelaikan bagian utama pressure vessel, yang terdiri dari:

1) Shell/ badan

2) Head/tutup ujung

3) Jacket/selubung

4) Pipa-pipa/channel

5) Nozzle/nosel

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 90

b. Pemeriksaan persyaratan dan pengujian kelaikan safety devices pressure vessel, yang

terdiri dari:

6) Manometer (pasal 19 dan pasal 22 ayat (1));

7) Strip Merah pada tekanan kerja tertinggi manometer (pasal 22 ayat (4));

8) Pengukur Temperature (formulir 2)

9) Keran Coba (pasal 22 ayat (5));

10) Tingkap pengaman atau alat pengaman sejenis (pasal 16 ayat (1));

11) Pelat Pengaman (pasal 16 ayat (5));

12) Pipa pembuang (pasal 16 ayat (6) dan ayat (7));

13) Tanda pengenal Bejana Tekanan (nameplate / slug letter) (pasal 9 ayat (1));

14) Katup Penutup (pasal 14 ayat (1), (2), dan (4));

15) Kap Pelindung (pasal 7);

16) Ulir Penghubung (pasal 14 ayat (3));

17) Pengaman mur paking (pasal 14 ayat (5));

18) Pelindung katup (pasal 15 ayat (1));

19) Ruang bebas antara dinding bagian dalam dengan bagian katup penutup > 3 mm

(pasal 15 ayat (2));

20) Lubang pelindung katup (pasal 15 ayat (3);

21) Mur-mur penutup atau sumbat penutup berulir, untuk Lubang penutup katup (pasal

15 ayat (4));

22) Massa Kerenik (porous mass) (pasal 13 ayat (1));

23) Alat untuk menentukan berat gas yang diisikan (pasal 17 ayat (1));

24) Alat pembuang gas (pasal 17 ayat (3));

25) Alat anti guling (pasal 18 ayat (1) dan ayat (2));

26) Regulator penurun tekanan (pasal 19);

27) Warna (pasal 21);

28) Register Bejana Tekanan (pasal 10);

29) Label Bejana Penyimpanan Gas (lampiran);

c. Pemeriksaan persyaratan dan kelaikan support pressure vessel;

d. Pemeriksaan persyaratan dan kelaikan Instalasi Pipa pressure vessel;

e. Penimbangan berat (untuk pressure vessel dengan volume sampai dengan 60 liter)

3. Pengukuran Dimensi pressure vessel, yang terdiri atas:

a. Shell/ badan

b. Head/tutup ujung

c. Pipa-pipa/channel

d. Instalasi Pipa

e. Nozzle/nosel

4. Pengujian tidak merusak / Non Destructive Test (NDT), terdiri dari: pemeriksaan dan

pengujian kualitas las-lasan, pengujian nilai kekerasan pelat (hardness test), dan pengukuran

ketebalan pelat (wall thickness test). Kesemuanya dilakukan pada komponen:

a. Shell / badan

b. Head / tutup

c. Pipa-pipa/channel

d. Nozzle/nosel

e. Instalasi Pipa

5. Percobaan padat (hydrostatic test)

6. Perhitungan ulang kekuatan konstruksi (re-calculation pressure vessel);

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 91

Rekapitulasi kegiatan pemeriksaan dan pengujian K3 pressure vessel berdasarkan Surat

Keputusan Penunjukan (SKP) AK3 PUBT di Perusahaan Jasa Keselamatan dan Kesehatan Kerja

(PJK3) dan berdasarkan jenis pemeriksaan pada Tahun 2019 dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1.

Rekapitulasi Pemeriksaan dan Pengujian K3 Pressure Vessel oleh AK3 PUBT Berdasarkan

Jenis Pemeriksaan di Provinsi Bangka Belitung Tahun 2019

No. SKP AK3

PUBT

Jumlah kegiatan riksa uji K3 pressure vessel

Ket Pertama

Berkala Khusus Ulang Perencanaan Pembuatan Sebelum

digunakan

Pemasangan /

perubahan

1 PJK3 PT. A 3 40

2 PJK3 PT. B 3

3 PJK3 PT. C 2

4 PJK3 PT. D 1 5 PJK3 PT. E 1

Total 4 46

Rekapitulasi kegiatan pemeriksaan dan pengujian K3 pressure vessel berdasarkan Surat

Keputusan Penunjukan (SKP) AK3 PUBT di Perusahaan Jasa Keselamatan dan Kesehatan Kerja

(PJK3) dan berdasarkan jenis pemeriksaan pada Tahun 2018 dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.

Rekapitulasi Pemeriksaan dan Pengujian K3 Pressure Vessel oleh AK3 PUBT

Berdasarkan Jenis Pemeriksaan di Provinsi Bangka Belitung Tahun 2018

No. SKP AK3

PUBT

Jumlah kegiatan riksa uji K3 pressure vessel

Ket Pertama

Berkala Khusus Ulang Perencanaan Pembuatan Sebelum

digunakan

Pemasangan /

perubahan

1 PJK3 PT. A 1 24

2 PJK3 PT. B 7 3 PJK3 PT. C 4

4 PJK3 PT. D 3

5 PJK3 PT. E 1

Total 1 39

Dari tabel 1 dan 2 di atas, jumlah kegiatan pemeriksaan dan pengujian K3 pressure vessel

berdasarkan jenis pemeriksaan didominasi oleh pemeriksaan dan pengujian K3 berkala yaitu

sejumlah 46 kegiatan pada tahun 2019 dan 39 kegiatan pada tahun 2018. Sedangkan pemeriksaan

dan pengujian K3 pertama pada tahap sebelum digunakan 4 kegiatan pada tahun 2019 dan 1

kegiatan pada tahun 2018.

Rekapitulasi kegiatan pemeriksaan dan pengujian K3 pressure vessel berdasarkan Surat

Keputusan Penunjukan (SKP) AK3 PUBT di Perusahaan Jasa Keselamatan dan Kesehatan Kerja

(PJK3) dan berdasarkan jenis pressure vessel pada Tahun 2018 dan tahun 2019 dapat dilihat pada

tabel berikut:

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 92

Tabel 3.

Rekapitulasi Pemeriksaan dan Pengujian K3 Pressure Vessel oleh AK3 PUBT

Berdasarkan Jenis Pressure Vessel di Provinsi Bangka Belitung Tahun 2019

No. SKP AK3

PUBT

Jumlah kegiatan riksa uji K3 pressure vessel

2018 2019

Air Receiver

Tank

Bejana Transport

Bejana Proses

Botol Baja

Botol LPG

Air Receiver

Tank

Bejana Transpo

rt

Bejana

Proses

Botol Baja

Botol LPG

1 PJK3 PT. A 25 43

2 PJK3 PT. B 7 3

3 PJK3 PT. C 4 2

4 PJK3 PT. D 3 1 5 PJK3 PT. E 1 1

Total 39 1 49 1

Dari tabel 3 di atas, jumlah kegiatan pemeriksaan dan pengujian K3 pressure vessel

berdasarkan jenis pressure vessel didominasi oleh pemeriksaan dan pengujian K3 jenis air receiver

tank yaitu sejumlah 49 unit pada tahun 2019 dan 39 unit pada tahun 2018. Sedangkan pemeriksaan

dan pengujian K3 jenis LPG 1 kegiatan pada tahun 2019 dan 1 kegiatan pada tahun 2018.

Rekapitulasi pemenuhan persyaratan pemeriksaan dan pengujian K3 pressure vessel

berdasarkan Permenaker No. 37 Tahun 2016, dari kegiatan pemeriksaan dan pengujian AK3 bidang

PUBT yang dilaporkan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada tahun 2018 dan tahun 2019

dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.

Rekapitulasi Pemenuhan Syarat Pemeriksaan dan Pengujian K3 Pressure Vessel oleh AK3

PUBT Berdasarkan Permenaker No. 37 Tahun 2016 di Provinsi Bangka Belitung Tahun 2019

No Syarat Riksa Uji

Pemenuhan dari total kegiatan Riksa Uji*

Catatan AK3 A

n =68

AK3 B

n = 10

AK3 C

n = 6

AK3 D

n = 4

AK3 E

n = 2

1 Pemeriksaan dokumen,

gambar teknis dan

administrasi;

a. Gambar konstruksi/instalasi; 50% 0% 0% 100% 0%

Kaidah gambar

teknik

b. Sertifikat bahan dan keterangan lain;

50% 50% 50% 50% 50% Keabsahan

c. Perhitungan kekuatan desain

konstruksi (design

calculation);

0% 0% 0% 0% 0%

d. Catatan data pembuatan

(manufacturing data record); 0% 0% 0% 0% 0%

e. Cara kerja untuk bejana

proses; NA** NA NA NA NA

Tidak ada Laporan

untuk Bejana Proses

f. Lisensi K3 Teknisi Bejana

Tekanan dan juru las; 75% 0% 50% 100% 100%

Penyebutan Lisensi

K3 Bejana Tekan

g. Safety Data Sheet (SDS) bahan yang diisikan; 0% NA NA 0% 0%

Beberapa jenis media isi hanya

udara

h. Register bejana tekanan; 0% 0% 0% 0% 0%

i. Riwayat perawatan bejana tekanan;

0% 0% 0% 0% 0%

j. Riwayat perbaikan bejana

tekanan; 0% 0% 0% 0% 0%

k. Riwayat modifikasi bejana tekanan;

0% 0% 0% 0% 0%

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 93

l. Pemenuhan syarat-syarat K3 pada Laporan pemeriksaan

dan pengujian K3

sebelumnya;

100% 100% 100% 100% 100% Cross check tindak lanjut dan bukti di

lapangan

m. Data umum; 100% 100% 100% 100% 100% Kelengkapan Data n. Data Teknik;

1) shell / badan 100% 100% 100% 100% 100% Kelengkapan Data

2) head / tutup 100% 100% 100% 100% 100% Kelengkapan Data

3) Pipa-pipa/channel 0% 0% 0% 0% NA 4) Instalasi pipa 0% 0% 0% 0% NA

2 Pemeriksaan persyaratan dan

kelaikan K3 komponen

pressure vessel, meliputi:

a Bagian utama pressure vessel,

yang terdiri dari:

a. Shell/ badan 100% 100% 100% 100% 100% Tatacara riksa

b. Head/tutup ujung 100% 100% 100% 100% 100% Tatacara riksa c. Jacket/selubung 100% 100% 100% 100% 100% Tatacara riksa

d. Pipa-pipa/channel 0% 0% 0% 0% 0%

e. Nozzle/nosel 0% 0% 0% 0% 0%

b Pemeriksaan persyaratan dan

pengujian kelaikan Safety

devices pressure vessel, yang

terdiri dari:

Manometer (pasal 19 dan pasal

22 ayat (1)); 100% 100% 100% 100% 100% Tatacara riksa uji

Strip merah pada tekanan kerja

tertinggi manometer (pasal 22 ayat (4));

100% 100% 100% 100% 100%

Kesesuaian dengan

Maximum Allowable Working

Pressure (MAWP)

Pengukur temperature (formulir

2); 100% 0% 0% 100% 0%

Keran Coba (pasal 22 ayat (5)); 0% 0% 0% 0% 0%

Tingkap pengaman atau alat

pengaman sejenis (pasal 16 ayat

(1));

100% 100% 100% 100% 100% Tatacara riksa uji

Pelat pengaman (pasal 16 ayat

(5)); NA NA NA NA NA Not Applicable

Pipa pembuang (pasal 16 ayat

(6) dan ayat (7)); 0% 0% 0% 0% 0%

Tanda pengenal Bejana Tekanan

(nameplate / slug letter) (pasal 9

ayat (1));

100% 100% 100% 100% 100% tindak lanjut

Katup penutup (pasal 14 ayat (1), (2), dan (4));

0% 0% 0% 0% 0%

Kap pelindung (pasal 7); NA NA NA NA NA Not Applicable

Ulir penghubung (pasal 14 ayat

(3)); NA NA NA NA NA Not Applicable

Pengaman mur paking (pasal 14

ayat (5)); NA NA NA NA NA Not Applicable

Pelindung katup (pasal 15 ayat

(1)); NA NA NA NA NA Not Applicable

Ruang bebas antara dinding

bagian dalam dengan bagian

katup penutup > 3 mm (pasal 15

ayat (2));

NA NA NA NA NA Not Applicable

Lubang pelindung katup (pasal

15 ayat (3); NA NA NA NA NA Not Applicable

Mur-mur penutup atau sumbat penutup berulir, untuk Lubang

penutup katup (pasal 15 ayat

(4));

NA NA NA NA NA Not Applicable

Massa kerenik (Porous Mass) (pasal 13 ayat (1));

NA NA NA NA NA Not Applicable

Alat untuk menentukan berat gas NA NA NA NA NA Not Applicable

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 94

yang diisikan (pasal 17 ayat (1));

Alat pembuang gas (pasal 17

ayat (3)); NA NA NA NA 0%

Alat anti guling (pasal 18 ayat

(1) dan ayat (2)); 100% 0% 0% 0% 0%

Regulator penurun tekanan

(pasal 19); NA NA NA NA NA Not Applicable

Warna (pasal 21); 0% 0% 0% 0% 0%

Register bejana tekanan (pasal 10);

0% 0% 0% 0% 0%

Label bejana penyimpanan gas

(Lampiran); 0% 0% 0% 0% 0%

c Pemeriksaan persyaratan dan

kelaikan Support Pressure

vessel;

100% 100% 100% 100% 100% Tatacara riksa uji

d Pemeriksaan persyaratan dan

kelaikan Instalasi Pipa Pressure vessel;

100% 100% 100% 100% 100% Tatacara riksa uji

e Penimbangan berat (untuk

pressure vessel dengan volume

sampai dengan 60 liter);

NA NA NA NA 100% Tatacara

penimbangan

3 Pengukuran Dimensi Pressure

vessel, yang terdiri atas:

a. Shell/ badan 100% 100% 100% 100% 100% Tatacara riksa

b. Head/tutup ujung 100% 100% 100% 100% 100% Tatacara riksa c. Pipa-pipa/channel 0% 0% 0% 0% 0%

d. Instalasi Pipa 0% 0% 0% 0% 0%

e. Nozzle/nosel 0% 0% 0% 0% 0%

4 Pengujian tidak merusak /

Non Destructive Test (NDT),

terdiri dari: Pemeriksaan dan

pengujian Kualitas Las-lasan, Pengujian Kekerasan Pelat

(Hardness Test), dan

Pengukuran Ketebalan Pelat

(Wall Thickness Test) pada komponen:

a. Shell / badan 50% 0% 33% 50% 0% Jenis NDT

b. Head / tutup 50% 0% 33% 50% 0%

c. Pipa-pipa/channel 0% 0% 0% 0% 0% d. Nozzle/nosel 0% 0% 0% 0% 0%

e. Instalasi Pipa 0% 0% 0% 0% 0%

5 Percobaan padat (hydrostatic

test) 50% 0% 33% 50% 100% Tekanan uji

6 Perhitungan ulang kekuatan

konstruksi (re-calculation

Pressure vessel) 75% 0% 100% 50% 100%

Kesesuaian

formula dan standar

perhitungan

* % pemenuhan dihitung berdasarkan total kegiatan riksa uji K3 pressure vessel yang dilakukan

oleh AK3

** NA: Not Applicable

Seluruh laporan telah dilengkapi dengan Surat Keputusan Penunjukan (SKP) AK3 PUBT

dan SKP Perusahaan Jasa Keselamatan dan Kesehatan Kerja (PJK3) bidang pemeriksaan dan

pengujian teknik PUBT dari Kementerian Ketenagakerjaan R.I. dan masih dalam masa berlaku.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 95

Berdasarkan tabel 4 di atas, diketahui syarat-syarat pemeriksaan dan pengujian K3

pressure vessel yang telah memenuhi Permenaker No. 37 Tahun 2016 dengan tingkat pemenuhan

100% antara lain:

1. Pemeriksaan Data Umum;

2. Pemeriksaan Data Teknik;

a. Shell / badan

b. Head / tutup

3. Pemeriksaan persyaratan dan kelaikan K3:

a. Shell / badan

b. Head / tutup

c. Selubung / jacket

4. Pemeriksaan persyaratan dan pengujian kelaikan safety devices

a. Manometer (pasal 19 dan pasal 22 ayat (1));

b. Strip merah pada tekanan kerja tertinggi manometer (pasal 22 ayat (4));

c. Tingkap pengaman atau alat pengaman sejenis (pasal 16 ayat (1));

d. Tanda pengenal Bejana Tekanan (nameplate / slug letter) (pasal 9 ayat (1));

5. Pemeriksaan persyaratan dan kelaikan support;

6. Pemeriksaan persyaratan dan kelaikan instalasi pipa;

7. Penimbangan berat (untuk pressure vessel dengan volume sampai dengan 60 liter);

8. Pengukuran dimensi

a. Shell / badan

b. Head / tutup

9. SKP AK3 PUBT dari Kemenaker R.I. dan masih dalam masa berlaku

10. SPK PJK3 bidang pemeriksaan dan pengujian teknik PUBT dari Kemenaker R.I. dan

masih dalam masa berlaku

Syarat-syarat pemeriksaan dan pengujian K3 pressure vessel yang sebagian telah

memenuhi Permenaker No. 37 Tahun 2016 antara lain:

1. Pemeriksaan gambar konstruksi / instalasi, tingkat pemenuhan: 58%, yang belum

memenuhi: 42%

2. Pemeriksaan sertifikat bahan dan keterangan lainnya, tingkat pemenuhan: 50%, yang

belum memenuhi: 50%

3. Pemeriksaan lisensi K3 teknisi dan juru las, tingkat pemenuhan: 33%, yang belum

memenuhi: 67%.

4. Pemeriksaan persyaratan dan pengujian kelaikan safety devices:

a. Pengukur temperature, tingkat pemenuhan: 20%, yang belum memenuhi: 80%

b. Alat anti guling, tingkat pemenuhan: 62%, yang belum memenuhi: 38%

5. Pengujian tidak merusak / Non Destructive Test (NDT):

a. Badan / shell, tingkat pemenuhan: 58%, yang belum memenuhi: 42%

b. Tutup / head, tingkat pemenuhan: 58%, yang belum memenuhi: 42%

6. Percobaan pemadatan (hydrostatic test), tingkat pemenuhan: 56%, yang belum memenuhi:

44%

7. Perhitungan ulang kekuatan konstruksi (re-calculation), tingkat pemenuhan: 32%, yang

belum memenuhi: 68%

Syarat-syarat pemeriksaan dan pengujian K3 pressure vessel yang belum memenuhi

Permenaker No. 37 Tahun 2016 antara lain:

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 96

1. Perhitungan kekuatan desain konstruksi (design calculation);

2. Register pressure vessel;

3. Riwayat perawatan pressure vessel;

4. Riwayat perbaikan (termasuk pergantian spare part) pressure vessel; dan

5. Riwayat modifikasi pressure vessel;

6. Pemenuhan syarat-syarat K3 pada Laporan pemeriksaan dan pengujian K3 sebelumnya;

7. Pemeriksaan Data Teknik;

a. Pipa-pipa / channel

b. Instalasi pipa

8. Pemeriksaan persyaratan dan kelaikan K3:

a. Pipa-pipa / channel

b. Nosel / nozzle

9. Pemeriksaan persyaratan dan pengujian kelaikan safety devices

a. Keran coba

b. Pipa pembuangan

c. Katup penutup

d. Alat pembuang gas

e. Pewarnaan

f. Register pressure vessel

g. Label

10. Pengukuran dimensi

a. Pipa-pipa / channel

b. Instalasi pipa

c. Nosel / nozzle

11. Pengujian tidak merusak / Non Destructive Test (NDT):

a. Pipa-pipa / channel

b. Nosel / nozzle

c. Instalasi pipa

PEMBAHASAN

Data umum berisikan informasi tentang pemilik, alamat, pemakai, lokasi unit, nama

operator, jenis bejana, pabrik pembuat, merk/type, tahun pembuatan, nomor seri, tekanan kerja

maksimum yang diperbolehkan (Maximum Allowable Working Pressure / MAWP), kapasitas,

media yang digunakan, temperature kerja, standar yang dipakai, digunakan untuk, tanggal

pemeriksaan dan pengujian, lokasi pemeriksaan dan pengujian. Pemilik pressure vessel seringkali

berbeda dengan pemakai, sebagai contoh air receiver tank untuk nitrogen yang dipinjamkan dan

dipasok dari luar daerah untuk disewa oleh pemakai (konsumen). Contoh lainnya: adalah botol

LPG yang merupakan milik PT. Pertamina direparasi oleh perusahaan repair LPG untuk

selanjutnya disalurkan kembali kepada agen pengisi LPG dan masyarakat. Lokasi unit diisikan

keterangan di unit serta perusahaan mana pressure vessel tersebut ditempatkan dan digunakan.

Nama operator diisikan tentang identitas seluruh tenaga kerja yang sehari-hari mengoperasikan,

mengisi, membersikan, melakukan perawatan serta perbaikan terhadap pressure vessel pada

seluruh shift kerja. Selanjutnya pada bagian ini juga dimasukan keterangan tentang pekerja yang

telah dilengkapi dengan seritifikasi K3 teknisi bejana tekanan dari Kemenaker R.I. dan tenaga kerja

yang belum dilengkapi dengan sertifikat. Pada bagian jenis bejana tekanan dituliskan mengenai

jenis pressure vessel yang diriksa uji yang antara lain terdiri dari: Air Receiver Tank, bejana

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 97

transport, bejana proses, botol baja, botol LPG, dan sebagainya. Pabrik pembuat diisikan data

mengenai perusahaan yang membuat pressure vessel. Begitu juga pada maisng-masing bagian

merk/type, tahun pembuatan dan nomor seri. Merk pada produsen tertentu biasanya memiliki type-

type yang berbeda-beda. Begitu juga dengan nomor seri, digunakan untuk membedakan identitas

antar produk yang satu dengan yang lainnya untuk merk dan type yang sama. Untuk itu, nomor seri

setiap produk akan berbeda dengan produk lainnya, walaupun perusahaan pembuat, merk, dan

typenya sama.2

Tekanan kerja maksimum yang diperbolehkan (Maximum Allowable Working Pressure /

MAWP) adalah tekanan internal dimana bagian terlemah dari bejana tekan dibebani hingga batas

kemampuannya. Tekanan operasi atau tekanan kerja (working pressure) adalah tekanan yang

diperlukan untuk proses produksi, yang dilayani oleh suatu bejana tekan yang dioperasikan pada

tekanan tersebut. Tekanan desain adalah tekanan yang digunakan untuk mendesain suatu bejana

tekan, biasanya memiliki beda tekanan sekitar 10% atau 30 psi dengan tekanan kerja. 3

Tekanan

kerja maksimum yang diperbolehkan (Maximum Allowable Working Pressure / MAWP) untuk

suatu pressure vessel dapat dilihat dari spesifikasi peralatan dan riwayat laporan pemeriksaan

pengujian K3 sebelumya. Tekanan kerja maksimum yang diperbolehkan (Maximum Allowable

Working Pressure / MAWP) ditentukan oleh pemakai, diawasi oleh AK3 spesialis PUBT, dan

ditetapkan oleh Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan Spesialis K3 PUBT yang ada di instansi

ketenagakerjaan setempat dengan memperhatikan tekanan desain. Tekanan kerja maksimum yang

diperbolehkan (Maximum Allowable Working Pressure / MAWP) ditetapkan maksimum 96% dari

desain pressure. Sisa 4% digunakan sebagai safety range untuk fungsi / kerja alat pengaman (safety

devices) berupa tingkap pengaman / safety valve / Pressure Safety Valve (PSV). Apabila safety

devices tingkap pengaman tidak bekerja, maka tenaga kerja yang mengoperasikan bejana tekanan

harus sigap mengangkat tuas safety valve atau mengentikan pressure.4

Penggunaan satuan yang digunakan pada dokumen pabrik pembuat maupun spesifikasi

peralatan dan riwayat laporan pemeriksaan pengujian K3 sebelumya perlu diperhatikan. Satuan

tekanan yang sering digunakan di lapangan adalah bar, sedangkan dalam Permenaker Nomor 37

Tahun 2016 mengunakan satuan kg/cm2. Satuan internasional untuk tekanan adalah pascal atau

newton per meter persegi (N/m2). 1 bar = 1,02 kg/cm

2 = 100.000 pascal.

5 Pekerja seringkali

menganggap sama antara bar dan kg/cm2. Hal ini tentunya akan menimbulkan potensi bahaya

bilamana terdapat kesalahan pembacaan nilai satuan dari safety devices pada pressure vessel.

‗Kapasitas‘ pressure vessel diisikan informasi tentang daya tampung atau volume dari

pressure vessel dalam satuan liter. Apabila tidak terdapat pada spesifikasi peralatan, maka AK3

PUBT harus menghitung berapa volume dari pressure vessel berdasarkan dari hasil pengukuran

dimensi. ‗Media yang digunakan‘, dituliskan informasi tentang jenis bahan atau gas yang

dimasukan dalam pressure vessel. Hal ini penting untuk mengetahui karakteristik bahan, sifat

kimia, sifat fisika, jenis potensi bahaya, penentuan tindakan pengamanan terhadap pressure vessel.

‗Temperatur kerja‘ dituliskan informasi tentang suhu kerja normal atau suhu kerja rata-rata pada

keadaan normal dari operasional pressure vessel. Hal ini digunakan sebagai acuan untuk

menentukan temperature kerja aman pada pressure vessel berdasarkan spesifikasi dari pabrik

pembuat, peraturan, dan standar. ‗Standar yang digunakan‘, diisikan informasi tentang standar yang

digunakan oleh pabrik pembuat dan pemakai pressure vessel dalam design pembuatan dan

pengamanan pressure vessel, antara lain: American Society of Mechanical Enginer (ASME) Code

VIII, British Standard (BS), Japanese Industrial Standard (JIS) B 8265, Standar Nasional

Indonesia (SNI) 1452:2011 tentang Tabung Baja LPG, American Petrolium Institute (API) 510

(Pressure Vessel Inspection Codes)6 dan sebagainya. Kolom ‗digunakan untuk‘, diisi informasi

tentang penggunaan pressure vessel di tempat kerja digunakan untuk keperluan apa. Sedangkan

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 98

untuk kolom ‗tanggal pemeriksaan dan pengujian‘, ‗lokasi pemeriksaan dan pengujian‘, diisikan

informasi tentang tanggal pelaksanaan dan lokasi dimana pemeriksaan dan pengujian K3 pressure

vessel dilakukan.

Data teknik terdiri dari data teknik untuk bagian shell / badan, bagian head / tutup, pipa-

pipa/channel, dan Instalasi pipa. Bagian shell / badan pressure vessel baik itu head kiri atau head

kanan, ataupun head atas dan head bawah, data teknik yang harus diisikan terdiri dari jumlah

roundshell, cara penyambungan, material/bahan, diameter dalam (inside diameter), ketebalan,

panjang badan, jenis penguat, jumlah penguat, dan ukuran/dimensi penguat. Bagian head / tutup

pressure vessel, data teknik yang diisikan terdiri dari jenis/bentuk, jari-jari lengkungan (R), jari-jari

lekukan (r), kemiringan, ketebalan, material/bahan. Bagian pipa-pipa (channel), data teknik yang

harus diisikan adalah jenis/bentuk, dimensi untuk diameter, ketebalan, panjang, jumlah, material,

dan cara pemasangan. Bagian instalasi pipa, data teknik yang harus diisikan adalah diameter,

ketebalan, jenis katup, jumlah. Data teknik dapat diperoleh dari data di lapangan. Data teknik

sangat bermanfaat untuk acuan pada tahapan pemeriksaan dan pengujian K3 pressure vessel

berikutnya, seperti pada tahap Non Destructive Test (NDT), acuan pengukuran dimensi dan acuan

perbandingan dalam melakukan perhitungan kekuatan konstruksi. Tanpa data teknik yang cukup,

maka dapat menghambat pelaksanaan pemeriksaan dan pengujian K3 pressure vessel berikutnya.

Bahan adalah benda yang dengan sifat-sifatnya yang khas dimanfaatkan dalam bangunan,

mesin, peralatan atau produk. Bahan terdiri dari: logam, bahan campuran, dan bukan logam.

Terkait dengan material / bahan, berdasarkan pasal 8 Permenaker No. 37 tahun 2016, dijelaskan

bahwa: bahan dan konstruksi Bejana Tekanan harus cukup kuat. Paduan logam (metal alloys)

dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu paduan besi (Ferrous) dan paduan bukan besi

(Nonferrous). Ferrous (logam ferro) terdiri dari steel dan cast iron. Paduan besi adalah paduan yang

unsur utamanya adalah besi termasuk baja dan besi cor. Sedangkan paduan bukan besi adalah

paduan selain besi.7 Besi yang kimiawi murni (Ferrum, Fe) tidak cocok sebagai bahan, karena

terlalu lunak. Besi yang dapat diolah secara teknis selalu merupakan suatu paduan antara besi (Fe)

dengan zat arang (C) dan unsur-unsur lainnya. Ukuran yang menentukan untuk kekerasan,

kekuatan, dan keuletan ialah tinggi kadar zat arang yang selalu ada di dalam besi.8 Material baja

merupakan perpaduan antara besi dengan karbon yang komposisinya bervariasi, tergantung jenis

material baja, dengan kisaran antara 0,1% sampai dengan 1,5%. Fungsi unsur karbon dalam baja

adalah sebagai komponen pengeras yang mencegah pergeseran kisi kristal dari atom besi. Selain

karbon, unsur paduan lain yang terdapat dalam material baja antara lain: mangan (Mn) berfungsi

untuk meningkatkan kekuatan dan kekerasan pada material baja serta untuk menurunkan laju

pendinginan sehingga material baja lebih tahan lama terhadap abrasi, silikon (Si) berfungsi untuk

meningkatkan elastisitas material baja, kromium (Cr) berfungsi untuk meningkatkan ketahanan

material baja terhadap korosi serta untuk meningkatkan kekerasan baja kuat tarik dan ketahanan

terhadap abrasi, vanadium (V) berfungsi untuk menaikkan kekuatan tarik dan batas mulur. Material

baja memiliki komposisi kandungan logam yang bervariasi sehingga muncul beberapa istilah untuk

membedakan jenis material baja yang ada.9 Kegunaan baja sangat bergantung pada sifat-sifat baja

yang sangat bervariasi yang diperoleh dari pemaduan dan penerapan proses perlakuan panas. Sifat

mekanik dari baja sangat tergantung pada struktur mikronya, sedangkan struktur mikro sangat

mudah dirubah melalui proses pelakukan panas.10

Sebaiknya pressure vessel menggunakan

material jenis baja karbon rendah. Material yang banyak digunakan untuk pembuatan bejana tekan

adalah SA-516 Gr 70.11

Identitas dari jenis material dapat diketahui dari sertifikat bahan (mill certificate). Sertifikat

bahan dan keterangan lain yang dilaporkan harus disertai dengan cap yang sah dari third party dan

pemasok material. Untuk itu, setiap pelat atau pipa pressure vessel harus dilengkapi dengan

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 99

sertifikat bahan. Pada sertifikat bahan tersebut pada umumnya tertera dimensi, breaking strength,

yield point (batas mulur), regangan dan komposisi kimia. Jika pelat atau pipa pada pressure vessel

tidak dilengkapi dengan sertifikat bahan, maka harus diujikan ke laboratorium pengujian logam

yang diakui Direktur Jenderal Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3 Kementerian

Ketenagakerjaan R.I..12

Pemeriksaan persyaratan dan kelaikan K3 pada bagian shell, head, dan jacket antara lain

menilai kondisi fisik dari masing-masing bagian tersebut apakah ada kerusakan, cacat, dan korosi.

Begitu juga untuk bagian pipa-pipa dan instalasi pipa, perlu diperhatikan kedudukan pipa, dimensi

ukuran sebagaimana gambar rencana, gerakan-gerakan akibat pengembangan dan atau pengerutan

akibat temperature, dan tegangan-tegangan yang mungkin terjadi akibat pengelasan atau pemuaian

akibat panas pada pipa dan beban-beban yang ditanggung pipa.13

Pengetesan yang dilakukan pada

pipa antara lain kekuatan, kebocoran, ketelitian dan kesempurnaan dalam pengelasan pipa. Hal-hal

yang perlu diperhatikan dalam pengetesan pipa antara lain, (1) mechanical equipment, yaitu pump,

compressor, LPG loading arm dipisahkan dari pengetesan dengan memasang blind flanges, (2)

untuk alat-alat instrument (rupture discs, relief valve, flow nozzles, dan lain-lain) dilakukan

pengetesan terpisah, dan selama pengetesan pipa dapat dipisahkan dengan menggunakan block

valve, (3) control globe valve juga dipisahkan dari pengetesan pipa dengan cara menggunakan

spool sementara yaitu setelah menutup dengan blind flange pada bagian depan dan belakang dari

globe valve, sehingga pengetesan akan melalui spool atau bypass sebagai penghubung aliran dari

bahan untuk pengetesan. Pneumatic test menggunakan udara atau gas nitrogen yang disuplai dari

kompresor. Tekanan awal yang diberikan adalah 1,5 kg/cm2 dan dipertahankan dalam jangka

waktu tertentu untuk mendapatkan strain yang sama pada pipa. Semua sambungan dapat diperiksa

dari kebocoran dengan menggunakan cairan yang dapat berbusa. Tekanan ditambah secara

bertahap sebesar ± 10% dari tekanan terakhir hingga mencapai pressure test yang dipersyaratkan

dan dipertahankan dalam jangka waktu tertentu.14

Korosi pada logam secara umum timbul sebagai hasil reaksi elektrokimia yang diakibatkan

oleh adanya elektrolit-elektrolit yang bersentuhan dengan permukaan logam. Elektrolit tersebut

biasanya berbentuk larutan garam asam atau alkali. Berdasarkan hal ini, maka type korosi yang

terjadi dinamakan type korosi basah. Sedangkan type korosi yang dihasilkan dari reaksi kimia

antara logam dan cairan atau gas yang bukan elektrolit diklasifikasi sebagai type korosi kering.15

Pressure vessel yang mengalami aging, lebih berisiko terhadap semua jenis kerusakan, maka perlu

dilakukan jenis analisa kelayakan tertentu untuk memastikan kemampuan dan kelayakan alat

tersebut.16

Teknik dan prosedur pengelasan yang tidak baik menimbulkan cacat pada las yang

menyebabkan diskontinuitas dalam las. Cacat yang umumnya dijumpai adalah: peleburan tidak

sempurna, penetrasi kampuh yang tidak memadai, porositas, peleburan berlebihan, masuknya terak,

dan retak-retak. Welding Inspection adalah kegiatan inspeksi yang mengkhususkan pada

pengendalian dan pemastian mutu sambungan las berdasarkan spesifikasi yang telah ditentukan.

Inspeksi las menitikberatkan pada aspek keselamatan personil, struktural dan operasional yang

berkaitan dengan pengelasan. Inspektor las berwenang untuk mereview WPS (spesifikasi prosedur

las atau SPL) dan PGR (rekaman kualifikasi prosedur atau RKP) untuk meyakinkan bahwa WPS

tersebut mewakili pekerjaan las dari pembuatan, perakitan, atau perbaikan dari pressure vessel, dan

apakah PQR yang dilampirkan benar-benar mendukung WPS tadi.17

Kualitas hasil pengesalan

ditentukan oleh beberapa faktor antara lain: teknik pengelasan, bahan logam yang disambung,

pengaruh panas, serta jenis kampuh yang tepat.18

Risk Based Inspection (RBI) merupakan sebuah

metode untuk merencanakan pemeriksaan peralatan statis yang berdasarkan risiko yang dimiliki

oleh suatu peralatan produksi. Kegiatan inspeksi, pengamatan, dan pemeriksaan diperlukan untuk

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 100

memastikan kesiapan kondisi operasi. Hal ini adalah untuk memastikan keselamatan kerja,

produktivitas, dan keuntungan operasi.19

Dalam merancang bejana tekan, tahap awal yang dilakukan adalah mendefinisikan fungsi

dari bejana tekan tersebut dan juga kapasitas operasi bejana tekan. Fungsi dan kapasitas akan

menentukan dimensi awal dari bejana tekan, ditambah dengan tekanan kerjanya, akan dapat

menentukan tebal pelat minimal yang akan digunakan untuk konstruksi bejana tekan. Ketebalan

pelat bejana tekan di pasaran adalah 3 inch pada bagian shell dan head. Bagian-bagian kritis dari

bejana tekan seperti nozzle, dan persambungan antara shell dan head perlu mendapatkan perhatian

khusus, agar konsentrasi tegangan dan diskontinuitas tegangan yang terjadi tidak mengakibatkan

kegagalan pada struktur.20

Pemeriksaan dan pengujian K3 oleh AK3 spesialis PUBT yang ada di Perusahaan Jasa

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (PJK3), maka baik AK3 spesialis PUBT maupun PJK3 harus

dilengkapi dengan Surat Keputusan Penunjukan (PJK3) dari Kementerian Ketenagakerjaan R.I. dan

harus masih dalam masa berlaku. SKP PJK3 yang dimaksud adalah SPK PJK3 untuk jasa

pemeriksaan dan pengujian teknik bidang Pesawat Uap dan Bejana Tekanan (PUBT).21

Uji Tanpa Merusak (Non Destructive Test / NDT) adalah sarana penunjang yang sangat

diandalkan oleh kegiatan pengendalian dan pemastian mutu las sebagai sarana untuk mendapatkan

data dari ukuran/dimensi objek inspeksi maupun jenis jenis, bentuk, dan lokasi non konformasi

yang terdapat pada sambungan las. Adapun jenis-jenis NDT adalah sebagai berikut: Dye/liquid

penetration, Magnetic particle, Radiografi, Ultrasonic, Eddy current, Electro magnetic sorting,

Neutron radiografi, Optical dan acoustic holografi, Acoustic emission, Microwave inspection,

Hardness test, Leaktest, Spark test, Chemical spot check.22

Pengujian Tidak Merusak (Non Destructive Test) yang dilakukan pada beberapa AK3, hanya

terbatas pada pengukuran ketebalan pelat (wall thikness test), sedangkan untuk pengujian las-lasan

dan pengukuran kekerasan pelat (hardness test) masih jarang dilakukan. Selain itu, laporan

kalibrasi alat ukur masih jarang dilakukan. Non Destructive Test (NDT) merupakan sarana

penunjang yang sangat diandalkan dalam kegiatan pengendalian dan pemastian mutu, untuk

mengungkapkan jenis-jenis non konformasi (cacat) pada benda objek inspeksi. setelah cacat (non

konformasi) tersebut diketahui cacat tersebut dapat diperbaiki, sehingga menghasilkan permukaan

benda objek inspeksi yang bebas cacat, sekaligus mencegah terjadinya perkembangan cacat

tersebut menjadi penyebab kerusakan yang lebih serius. Secara umum, NDT terdiri dari beberapa

metode, antara lain: Dye Penetrant Test (DPT), Magnetic Particle Test (MPT), Ultrasonic Test

(UT), ataupun Radiography Test (RT).

Pengujian Hardness test digunakan untuk mengetahui nilai kekerasan pelat. Kekerasan

merupakan ukuran ketahanan material terhadap deformasi plastis terlokalisasi. Pengujian kekerasan

merupakan teknik untuk mengetahui sifat mekanik dari suatu material yang paling sering

digunakan, dengan alasan (1) sederhana dan relative murah, tidak memerlukan persiapan specimen

yang khusus dan alatnya relatif murah, serta (2) sifat mekanik lain-seperti kekuatan tarik- dapat

diperkirakan dari nilai kekerasan.Terdapat berbagai metode pengujian kekerasan, seperti Brinell,

Vickers, dan Rockwell. Pada metode pengujian kekerasan, umumnya digunakan indentor kecil

(berbentuk bola atau pyramid) yang ditekan ke permukaan bahan dengan mengontrol besar beban

dan laju pembebanan. 23

Nilai Hardness test digunakan untuk menentukan kuat Tarik material yang

merupakan bagian dari perhitungan ulang kekuatan konstruksi (recalculation) dibandingkan

dengan dengan tekanan kerja dan ketebalan pelat (hasil wall thickness) secara aktual.

Beberapa catatan untuk persyaratan riksa uji yang telah dilaporkan antara lain adalah

pemenuhan kaidah dan persyaratan dalam pembuatan gambar teknis untuk gambar

konstruksi/gambar instalasi, diantaranya: pencantuman skala, border huruf dan angka,

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 101

pencantuman legend, detail dimensi/ukuran, detail material, dan detail las-lasan. Lisensi K3

Teknisi Bejana Tekanan merupakan nomenklatur baru terkait dengan kewenangan petugas yang

berkaitan dengan operasional dan perawatan pressure vessel. Selain itu, juru las yang melakukan

pekerjaan pengelasan pada pressure vessel harus dilengkapi dengan sertifikat kualifikasi juru las di

tempat kerja dan buku kerja untuk melihat aktivitas welding dalam 6 (enam) bulan terakhir.24

Keterangan mengenai Riwayat perawatan, perbaikan, dan modifikasi pressure vessel harus

dijelaskan dalam bentuk Berita Acara Pengambilan Keterangan kepada Pengurus tempat kerja.

Riwayat ini sangat berguna dalam mengetahui maintenance dan perubahan yang telah dilakukan

terhadap bejana tekanan. Pemenuhan syarat-syarat K3 yang menjadi catatan pada Laporan

pemeriksaan dan pengujian K3 sebelumnya harus dapat dipastikan bahwa telah dipenuhi secara

baik. Bila perlu dilengkapi dengan bukti fisik, dokumentasi hasil tindak lanjut cross check di

lapangan. Data umum dan Data Teknik yang disampaikan agar dapat selengkap mungkin,

sekurang-kurangnya sebagaimana data yang tercantum pada Formulir 2 Lampiran Permenaker No.

37 Tahun 2016.

Pemeriksaan pada bagian utama Pressure vessel, baru terbatas pada bagian shell/badan,

head/tutup ujung, dan jacket/selubung. Laporan mengenai pemeriksaan pada bagian pipa-pipa dan

Nozzle-nozzle masih belum dilakukan. Padahal potensi peledakan juga dapat terjadi pada

sambungan pipa-pipa dan las-lasan pada nozzle. Pemeriksaan persyaratan dan pengujian kelaikan

Safety devices (alat pengaman) Pressure vessel masih terbatas pada bagian manometer/pressure

gauge, strip merah pada tekanan tertinggi manometer, tingkap pengaman atau alat pengaman

sejenis, tanda pengenal pressure vessel. Safety devices Pressure vessel untuk bagian lainnya

seperti: Pengukur Temperatur, Keran Coba, Pipa Pembuang, Katup Penutup, Alat anti guling,

regulator penurun tekanan, pewarnaan pressure vessel, register bejana tekanan, dan Label belum

menjadi bagian dari kegiatan pemeriksaan dan pengujian. Alat Pengaman adalah alat perlengkapan

yang dipasang secara permanen pada bejana tekanan atau tangki timbun agar aman digunakan.

Tingkap Pengaman / Safety Valve berfungsi untuk mengeluarkan tekanan berlebih dari dalam

pressure vessel secara otomatis apabila tekanan di dalam pressure vessel telah melebihi tekanan

maksimum yang diizinkan. Manometer berfungsi untuk menunjukan tingginya tekanan di dalam

Pressure vessel. Flens Coba berfungsi untuk tempat dudukan manometer uji guna mengetahui

apakah tekanan yang ditunjukan oleh manometer dari pressure vessel masih sama dengan tekanan

yang ditunjukan pada manometer uji.25

Pemeriksaan persyaratan dan kelaikan pada bagian support pressure vessel hanya terbatas

pada pemeriksaan visual. Perhitungan teknis kekuatan pondasi, kekuatan pengait angkat, dan

pengujian corrosive pada pressure vessel sangat penting dilakukan terkait pertanggungjawaban

kelaikan secara ilmiah. Begitu juga untuk instalasi pipa yang terhubung pada bagian pressure

vessel. Penggunaan Air Receiver Tank pada Compressor seringkali dimodifikasi dengan instalasi

pipa dan bejana tambahan yang berfungsi sebagai penampung sementara dan selanjutnya menjadi

alat untuk membagikan media isi ke bagian-bagian yang dibutuhkan lainnya. Modifikasi instalasi

pipa dan bejana tambahan ini seringkali merupakan produk tambahan di luar produksi dari

pabrikan (dibuat sendiri atau melalui kontraktor lokal). Dengan Tekanan kerja yang sama dengan

Air Receiver Tank dari Compressor tentunya bagian instalasi pipa dan bejana tambahan ini menjadi

bagian yang krusial untuk potensi peledakan karena penggunaan pressure vessel. Penimbangan

berat untuk botol LPG, telah dilakukan dengan ketentuan tidak boleh lebih besar atau lebih kecil

5% (lima persen) dari berat semula. Pengukuran dimensi Pressure vessel, juga masih terbatas pada

bagian shell/badan dan head/tutup ujung, saja. Pengukuran dimensi pada bagian pipa-pipa dan

Nozzle-nozzle masih belum dilakukan.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 102

Catatan pada percobaan padat adalah tekanan uji yang belum sesuai dengan maksimum

allowable working pressure (MAWP). Berdasarkan Permenaker No. 37 Tahun 2016, tekanan uji

untuk percobaan padat sebesar 1,5 kali dari tekanan kerja. Perhitungan ulang kekuatan konstruksi

masih belum maksimal karena tidak dilakukannya pengujian tidak merusak secara lengkap

terutama untuk pengukuran ketebalan pelat dan pengukuran nilai kekerasan material secara actual

setelah beberapa watktu pemakaian. Selain itu, masih terdapat ketidaksesesuaian penggunaan

rumus/formula dari standar perhitungan yang digunakan. Kategori failures pada pressure vessels

antara lain: (1) Material – penggunaan material yang tidak tepat, cacat pada material, (2) Design –

data design yang tidak akurat, metode design yang tidak tepat, pemeriksaan design yang tidak

tepat, (3) Pabrikasi – Quality Control yang buruk, prosedur pembuatan yang tidak standar,

meliputi: pengelasan, heat treatment, metode pembentukan, (4) Pemeliharaan – pemakai, operator,

teknisi.26

KESIMPULAN DAN SARAN

Syarat-syarat pemeriksaan dan pengujian K3 pressure vessel yang sebagian telah

memenuhi Permenaker No. 37 Tahun 2016 antara lain: (1) Pemeriksaan gambar konstruksi /

instalasi, (2) Pemeriksaan sertifikat bahan dan keterangan lainnya, (3) Pemeriksaan Hasil penelitian

didapatkan syarat-syarat pemeriksaan dan pengujian K3 pressure vessel yang telah memenuhi

Permenaker No. 37 Tahun 2016 antara lain: (1) Pemeriksaan Data Umum, (2) Pemeriksaan Data

Teknik untuk bagian Shell / badan dan Head / tutup, (3) Pemeriksaan persyaratan dan kelaikan K3

untuk bagian Shell / badan, Head / tutup, dan Selubung / jacket (4) Pemeriksaan persyaratan dan

pengujian kelaikan safety devices: Manometer, Strip merah pada tekanan kerja tertinggi

manometer, Tingkap pengaman atau alat pengaman sejenis dan Tanda pengenal Bejana Tekanan

(nameplate / slug letter), (5) Pemeriksaan persyaratan dan kelaikan support, (6) Pemeriksaan

persyaratan dan kelaikan instalasi pipa, (7) Penimbangan berat (untuk pressure vessel dengan

volume sampai dengan 60 liter), (8) Pengukuran dimensi untuk bagian Shell / badan dan Head /

tutup, (9) SKP AK3 PUBT dari Kemenaker R.I. dan masih dalam masa berlaku, (10) SPK PJK3

bidang pemeriksaan dan pengujian teknik PUBT dari Kemenaker R.I. dan masih dalam masa

berlaku.lisensi K3 teknisi dan juru las, (4) Pemeriksaan persyaratan dan pengujian kelaikan safety

devices: Pengukur temperature dan alat anti guling, (5) Pengujian tidak merusak / Non Destructive

Test (NDT), untuk bagian Shell / badan dan Head / tutup, (6) Percobaan pemadatan (hydrostatic

test), (7) Perhitungan ulang kekuatan konstruksi (re-calculation).

Syarat-syarat pemeriksaan dan pengujian K3 pressure vessel yang belum memenuhi

Permenaker No. 37 Tahun 2016 antara lain: (1) Perhitungan kekuatan desain konstruksi (design

calculation); (2) Register pressure vessel; (3) Riwayat perawatan pressure vessel; (4) Riwayat

perbaikan (termasuk pergantian spare part) pressure vessel; (5) Riwayat modifikasi pressure

vessel; (6) Pemenuhan syarat-syarat K3 pada Laporan pemeriksaan dan pengujian K3 sebelumnya;

(7) Pemeriksaan data teknik untuk bagian pipa-pipa / channel dan Instalasi pipa; (8) Pemeriksaan

persyaratan dan kelaikan K3, untuk bagian Pipa-pipa / channel dan Nosel / nozzle; (9) Pemeriksaan

persyaratan dan pengujian kelaikan safety devices: keran coba, pipa pembuangan, katup penutup,

alat pembuang gas, pewarnaan, register pressure vessel, dan label; (9) Pengukuran dimensi untuk

bagian: pipa-pipa / channel, instalasi pipa, dan nosel / nozzle; (10) Pengujian tidak merusak / Non

Destructive Test (NDT), untuk bagian: pipa-pipa / channel, nosel / nozzle, dan Instalasi pipa.

Pembinaan, pengawasan, media dan proses evaluasi yang lebih ketat sangat dibutuhkan untuk

menjamin pelaksanaan riksa uji K3 pressure vessel telah memenuhi persyaratan sebagaimana

peraturan dan standar yang berlaku.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 103

DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Ketenagakerjaan R.I., Peraturan Menteri Ketenagakerjaan R.I. Nomor 37

Tahun 2016 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Bejana Tekanan dan Tangki Timbun,

Jakarta. 2016.

2. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I.,

Administrasi Teknis Pengawasan Bejana Tekanan. Modul Diklat Pengawas Spesialis

Pesawat Uap dan Bejana Tekan. Jakarta: 2014.

3. Widharto, Sri, Inspeksi Teknik Buku 2. Jakarta: Pradnya Paramita, 2009.

4. ASME Boiler and Pressure vessel Committee on Pressure vessels, An International Code

VIII Rules for Construction of Pressure vessels Division 1. New York: The American

Society of Mechanical Engineers, 2015.

5. Djokosetyardjo, Ketel Uap. Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2006.

6. Shishesaz, Mohammad Reza, et. al. Comparison of API 510 pressure vessels inspection

planning with API 581 risk-based inspection planning approaches. Elsevier, International

Journal of Pressure Vessels and Piping 111-112 (2013) 202 - 208.

http://dx.doi.org/10.1016/j.ijpvp.2013.07.007

7. Hadi, Syamsul, Teknologi Bahan. Yogyakarta: Penerbit Andi, 2016.

8. Schonmetz, Ing. Alois, dan Karl Gruber, Pengetahuan Bahan dalam Pengerjaan Logam.

Bandung: Penerbit Angkasa, 2013.

9. Ferdiana, Maria Dwi, Pengenalan Dasar dan Manajemen Material Baja. Yogyakarta: TAKA

Publisher, 2014.

10. Anrinal, Metalurgi Fisik. Yogyakarta: Penerbit Andi, 2013.

11. Djamaludin, Pengaruh Parameter Las terhadap Sifat Mekanik Sambungan Las pada

Pabrikasi Bejana Tekan untuk Industri Minyak dan Gas Bumi. Depok: Universitas Indonesia,

2015.

12. Sumaryanto, Ketel Uap Pipa Air Tinjauan dari Sisi Safety di Pabrik Pengolahan Kelapa

Sawit. Mojokerto: Sepilar Publishing House, 2017.

13. Widharto, Sri, Buku Pedoman Ahli Pemasang Pipa. Jakarta: Pradnya Paramita, 1997.

14. Raswari, Teknologi dan Perencanaan Sistem Perpipaan. Jakarta: Penerbit Universitas

Indonesia, 2010.

15. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I.,

Korosi dan Pencegahannya. Modul Diklat Pengawas Spesialis Pesawat Uap dan Bejana

Tekan. Jakarta: 2014.

16. Prasetio, Agung Yudhi, Studi Kelayakan Operasi pada Jenis Bejana Tekan yang telah

mengalami Aging dengan Menggunakan Standar API 579/ASME FFS-1 dan Simulasi

Software PV-Elite. Depok: Universitas Indonesia, 2016.

17. Widharto, Sri, Inspeksi Teknik Buku 1. Jakarta: Pradnya Paramita, 2009.

18. Daryanto, Teknik Las. Bandung: Alfabeta, 2013.

19. Abadi, Kurniawan, Prediksi Sisa Umur Bejana Tekan Absorber, Separator dan Filter pada

Fasilitas Pra-Pemrosesan Gas. Depok: Universitas Indonesia, 2016.

20. Satrijo, Djoeli dan Syarief Afif Habsya, Perancangan dan Analisa Tegangan pada Bejana

Tekan Horizontal dengan Metode Elemen Hingga. Rotasi Jurnal Teknik Mesin Undip – Vol.

14, No. 3, Juli 2012, p. 32 – 40.

21. Kementerian Tenaga Kerja R.I., Peraturan Menteri Tenaga Kerja R.I. Nomor

PER.04/MEN/1995 tentang Perusahaan Jasa Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Jakarta:

1995.

22. Widharto, Sri, Welding Inspection. Jakarta: Mitra Wacana Media. 2013.

23. Sofyan, Bondan T., Pengantar Material Teknik. Jakarta: Salemba Teknika, 2010.

24. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I., Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan

Transmigrasi R.I. Nomor Per.02/MEN/1982 tentang Kwalifikasi Juru Las di Tempat Kerja,

Jakarta. 1982.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 104

25. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I.,

Alat-Alat Pengamanan pada Bejana Tekanan. Modul Diklat Pengawas Spesialis Pesawat

Uap dan Bejana Tekan. Jakarta: 2014.

26. Moss, Dennis, Pressure Vessel Design Manual: Illustrated procedures for solving major

pressure design problems. Thrid Edition. UK: Elsevier, 2004.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 105

PERAN CAKUPAN IMUNISASI DASAR LENGKAP PADA PENCEGAHAN

KEMATIAN AKIBAT COVID-19 DI INDONESIA

Siti Masitoh

*, Teti Tejayanti, Sugiharti, Heny Lestary, Helena Ullyartha

Pangaribuan Puslitbang Upaya Kesehatan Masyarakat, Badan Litbang Kesehatan, Kementerian Kesehatan

Jl. Percetakan Negara no.29, Johar Baru, Jakarta Pusat

Corresponding email : [email protected]

THE ROLE OF COMPLETE BASIC IMMUNIZATION COVERAGE IN

PREVENTION OF CASE FATALITY RATE OF COVID-19 IN INDONESIA

ABSTRACT

COVID-19 cases continue to rise in Indonesia, hitting 200,000 cases with a fatality rate about 4 %, which is

higher than the global figure (3.2 %) and the second highest in Southeast Asia. The mortality rate for

COVID-19 varies across the provinces, therefore important to examine the causes of these differences.

Immunization is one of the most beneficial and cost-effective strategies to prevent disease. Vaccines activate

the body's own immune system to protect a person from subsequent infection or disease. The purpose of this

research is to determine how immunization contributes to Case fatality rate (CFR) of COVID-10 at sub-

national level. This cross-sectional study uses secondary data, including COVID-19 National data by

provincial, Basic Health Study 2018, SIRS online of Ministry of Health data, and The Central Bureau of

Statistics data. The unit analysis is the provincial level with a total sample of 170 samples. Cumulative cases

collected from April to August and analyze reviewed on a monthly basis. The dependent variable is CFR the

provincial level and the independent variable is the proportion of complete basic immunization and will be

regulated by population density, proportion of elderly people, poor behavior, environmental status (access to

water, sanitation and hygiene), nutritional status, non-communicable disease status and health service

facilities.The study was conducted using a 95% CI multivariate linear regression analysis. The findings

indicate that complete basic immunization is associated with a reduction in the mortality rate of COVID-19

at province leve. If the 10 per cent increase in immunization coverage is correlated with a 0.6 per cent

reduction in mortality or 6 deaths out of 1,000 confirmed positive cases. Understanding the effect of basic

immunization on the mortality rate of COVID-19, the national program needs to scale-up the fully-

immunized child campaign to achieve high immunization coverage as part of preventive action.

Keywords: CFR, complete basic immunization , COVID-19, risk faktor

ABSTRAK

Kasus COVID-19 di Indonesia terus meningkat bahkan mencapai lebih dari 200.000 kasus dengan tingkat

kematian sekitar 3,6% dimana angka ini lebih tinggi dari angka global (2,9%) dan menempati urutan kedua

kasus tertinggi di Asia Tenggara. Tingkat kematian COVID-19 antar provinsi beragam sehingga perlu dilihat

faktor apa yang menyebabkan perbedaan tersebut. Imunisasi adalah salah satu strategi yang paling

menguntungkan dan hemat biaya untuk mencegah penyakit. Imunisasi mengaktifkan sistem kekebalan tubuh

untuk melindungi seseorang dari infeksi atau penyakit berikutnya. Studi ini bertujuan untuk melihat peran

imunisasi terhadap kematian COVID-19 provinsi di Indonesia. Penelitian ini menggunakan desain cross

sectional menggunakan data sekunder yaitu data laporan kasus COVID-19 provinsi Kementerian Kesehatan,

Riset Kesehatan Dasar 2018, SIRS online imunisasi dasar lengkap, dan data BPS. Unit analisis yang

digunakan adalah provinsi dengan jumlah sampel 170 sampel. Kasus kumulatif dikumpulkan dari April

hingga Agustus dan ditinjau setiap bulan.Variabel dependen adalah case fatality rate provinsi, dan variabel

independen proporsi imunisasi dasar lengkap dan akan dikontrol dengan kepadatan penduduk, kemiskinan,

proporsi lansia, proporsi perilaku buruk, status lingkungan (air layak), status gizi, penyakit tidak menular dan

fasilitas pelayanan kesehatan. Analisis dilakukan menggunakan analisis multivariat regresi linear berganda

dengan 95% CI. Hasil menunjukkan bahwa imunisasi lengkap berasosiasi dengan penurunan angka kematian

COVID-19 di provinsi. Setiap kenaikan 10% cakupan proporsi imunisasi diasosiasikan dengan penurunan

angka kematian sebesar 0,6% atau 6 kematian dari 1000 kasus konfirmasi positif.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 106

Melihat pentingnya peran imunisasi lengkap terhadap angka kematian COVID-19, perlu program nasional

kampanye imunisasi lengkap pada anak untuk mencapai cakupan imunisasi yang tinggi sebagai tindakan

pencegahan.

Kata kunci : CFR, imunisasi dasar lengkap, COVID-19, faktor risiko

PENDAHULUAN

Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) telah menjadi pandemi dunia sejak 11 Maret 2020.

Peningkatan jumlah kasus terjadi cukup cepat, dan menyebar ke berbagai negara dalam waktu

singkat termasuk Indonesia. Indonesia melaporkan kasus pertama pada tanggal 2 Maret 2020.

Kasus meningkat dan menyebar dengan cepat di seluruh wilayah Indonesia. Indonesia menempati

urutan kedua negara di ASEAN dengan jumlah kasus konfirmasi terbanyak.1 Sampai dengan

tanggal 7 Oktober 2020 Gugus Tugas Percepatan COVID-19 melaporkan 315.714 kasus konfirmasi

COVID-19 dengan 11.472 kasus meninggal dan 240.291 kasus sembuh. Kematian akibat COVID-

19 di Indonesia termasuk tinggi (CFR 3,6%) bahkan melebihi angka kematian global (CFR 2,9%).1

Namun kasus COVID-19 baik jumlah kasus positif maupun angka kematian bervariasi antar

provinsi di Indonesia. Sebagai contoh provinsi dengan kasus terbanyak adalah DKI Jakarta

mencapai 82.190 kasus (26,0%), dan terendah Kepulauan Bangka Belitung 438 kasus (0,1%).2

Studi menyebutkan lokasi geografis dapat mempengaruhi variasi tingkat keparahan COVID-

19 karena dipengaruhi oleh usia individu dan faktor virus yang dimodifikasi oleh kepadatan

populasi, lingkungan, suhu udara sekitar, dan kelembapan. Selain variasi geografis yang

mempengaruhi penyebaran dan keparahan COVID-19, ada faktor lain seperti usia lanjut,

komorbiditas, dan faktor imunitas.3,4

Prevalensi dan angka kematian COVID-19 juga terlihat

berbeda antara negara-negara di Eropa Barat dan Eropa Timur. Ada banyak faktor geografis, sosial,

dan biologis seperti suhu, kelembaban, harapan hidup, pendapatan rata-rata, norma sosial, dan latar

belakang etnis, yang berpotensi dapat menjelaskan keragaman kasus COVID-19 antar negara.5

Indonesia dengan 34 provinsi tentu memiliki kondisi kesehatan masyarakat dan kondisi lingkungan

yang berbeda-beda. Status kesehatan masyarakat yang kurang baik akan lebih rentan terhadap

kasus penyakit menular. Oleh karena itu, perlu juga untuk menilai faktor-faktor yang berkontribusi

terhadap perbedaan kasus COVID-19 antar provinsi di Indonesia.

Salah satu program kesehatan yang mungkin berperan dalam meningkatkan imunitas suatu

kelompok masyarakat adalah imunisasi. Imunisasi merupakan upaya kesehatan masyarakat paling

efektif dan efisien dalam mencegah beberapa penyakit berbahaya. Sejarah telah mencatat besarnya

peranan imunisasi dalam menyelamatkan masyarakat dunia dari kesakitan, kecacatan bahkan

kematian akibat penyakit-penyakit seperti Cacar, Polio, Tuberkulosis, Hepatitis B yang dapat

berakibat pada kanker hati, Difteri, Campak, Rubela dan Sindrom Kecacatan Bawaan Akibat

Rubela (Congenital Rubella Syndrom/CRS), Tetanus pada ibu hamil dan bayi baru lahir,

Pneumonia (radang paru), Meningitis (radang selaput otak), hingga Kanker Serviks yang

disebabkan oleh infeksi Human Papilloma Virus.6 Berbagai studi menyebutkan salah satu imunisasi

yang mungkin berkontribusi pada morbiditas dan mortalitas COVID-19 adalah imunisasi bacille

Calmette-Guérin (BCG). Negara dengan kebijakan vaksinasi universal BCG memiliki tingkat

kematian yang jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan negara yang tidak menerapkan BCG

pada anak-anak.7 Cakupan imunisasi antar provinsi di Indonesia juga bervariasi mulai dari yang

terendah Aceh (19,5%) sampai yang tertinggi bali (92,1%). Hal ini menjadi salah satu dasar

dilakukan studi ini untuk melihat peran imunisasi pada pencegahan kematian akibat COVID-19 di

Indonesia dengan membandingkan kondisi antar provinsi.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 107

METODE

Penelitian ini menggunakan desain cross sectional menggunakan data sekunder yaitu data

laporan kasus COVID-19 provinsi Kementerian Kesehatan, Riset Kesehatan Dasar 2018, SIRS

online Ditjen Yankes Kemenkes, dan data BPS. Studi ini merupakan bagian dari kajan ―Faktor-

faktor yang Berisiko terhadap Morbiditas dan Mortalitas Kasus COVID-19 di Wilayah Padat

Penduduk di Indonesia‖ yang telah mendapatkan persetujuan etik dari Komisi Etik Badan

Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Nomor LB.02.03/I/2767/2020.8

Unit analisis pada penelitian ini adalah provinsi dengan jumlah sampel 170. Jumlah sampel

menjadi lima kali lipat dari jumlah provinsi di Indonesia karena mengambil data kasus COVID-19

dari lima periode waktu yaitu April, Mei, Juni, Juli dan Agustus 2020. Variabel dependen yang

kami pakai adalah case fatality rate yang dihitung dari kasus kematian COVID-19 dibagi dengan

kasus konfirmasi positif. Data kasus COVID-19 diperoleh dari data laporan kasus Kementerian

Kesehatan yang bisa didowload melalui website https://infeksiemerging.kemkes.go.id.1 Variabel

independen utama adalah proporsi cakupan imunisasi lengkap yang diperoleh dari data Riset

Kesehatan Dasar 20189 yang dikontrol oleh variabel lain yaitu kepadatan penduduk, kemiskinan,

proporsi lansia, , status lingkungan (air layak), status gizi, proporsi perilaku buruk, penyakit tidak

menular dan fasilitas pelayanan kesehatan. Variabel proporsi kemiskinan, dan status lingkungan

yang dilihat dengan proporsi air layak diperoleh dari BPS data dan informasi kemiskinan

kabupaten/kota 2019.10

Data Kepadatan penduduk dan proporsi lansia diperoleh dari data SUPAS

2015, dalam analisis kepadatan penduduk dibagi dalam 2 kategori yaitu padat penduduk jika di atas

nilai median dan tidak padat penduduk jika di bawah nilai median sedangkan data lansia dalam

bentuk proporsi. Provinsi juga dibedakan menjadi dua yaitu Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa.

Variabel status gizi, perilaku buruk dan penyakit tidak menular diperoleh dari data Riset Kesehatan

Dasar 2018.9 Status gizi dilihat dari 4 variabel yaitu status gizi lebih pada balita, status gizi buruk

pada balita, status gizi lebih dan obesitas pada dewasa (umur>18 tahun) dalam bentuk proporsi.

Variabel perilaku buruk merupakan komposit dari empat indikator yaitu aktifitas fisik kurang,

merokok, tidak konsumsi buah dan sayur, dan tidak melakukan cuci tangan yang benar dimana

masing-masing indikator sudah dikategorikan menjadi 1 jika proporsi ≥ median, dan 0 jika proporsi

< median. Provinsi dikategorikan memiliki perilaku buruk jika ada satu atau lebih dari indikator

tersebut bernilai 1. Penyakit tidak menular dinilai dari empat variabel yaitu hipertensi, diabetes,

jantung dan kanker dalam bentuk proporsi. Fasilitas pelayanan kesehatan dinilai dari dua variabel

yaitu variabel ratio tempat tidur dan ratio ventilator yang diperoleh dari data Sistem Informasi

Rumah Sakit Online (SIRS Online). Data dibagi menjadi dua kategori yaitu mencukupi dan tidak

mencukupi.

Analisis data dilakukan dalam beberapa tahap yaitu analisis univariat, bivariat dan

multivariat. Analisis univariat dilakukan untuk melihat deskripsi sampel, bivariat dilakukan dengan

uji T-test dan regresi linear untuk melihat korelasi dan analisis multivariat dilakukan dengan regresi

linear berganda dengan metode backward dengan tingkat kepercayaan 95%. Data dianalisis secara

kuantitatif menggunakan aplikasi statistik SPSS versi 20.

HASIL PENELITIAN

Rata-rata angka kematian akibat COVID-19 di provinsi di Indoensia adalah 4,32%. Artinya

ada 4 dari 100 orang yang terinfeksi COVID-19 yang meninggal. Namun, tingkat kematian di

provinsi cukup beragam ada yang belum ada sama sekali kematian dan kematian tertinggi 27,91%.

Rata-rata cakupan imunisasi dasar lengkap sudah lebih dari 50%, dan rata-rata proporsi kemiskinan

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 108

di provinsi sekitar 10%. Rata-rata proporsi lansi sekitar 7,54%, air layak 66,86%, BB lebih pada

dewasa 13,65%, obesitas 21,70%, gizi buruk pada balita 4,44%, gizi lebih pada balita 3,26%.

Untuk penyakit tidak menular hipertensi menempati urutan pertama dengan 31,07%, kemudian

penyakit jantung sebesar 14,38%, diabetes 13,76% dan kanker 1,75%. Tabel 3 menyajikan

gambaran karakteristik provinsi dari data kategorik. Kepadatan penduduk terbagi merata antara

yang padat penduduk dan yang tidak padat penduduk. Sebagian besar provinsi (88,2%) tergolong

memiliki perilaku masyarakat yang buruk. Jika dilihat dari indikator fasilitas pelayanan Kesehatan,

sebagian besar provinsi sudah memiliki kecukupan ventilator (81,8%) dan kecukupan ratio tempat

tidur (73,5%).

Tabel 1. Gambaran Karakteristik Provinsi

Variabel Mean Median Min-max

CFR 4,32% 3,82% 0 – 27,91% Imunisasi lengkap 56,18% 57,60% 19,5% - 92,1%

Kemiskinan 10,63% 8,76% 3,47% - 27,53%

Lansia 7,54% 7,25% 3,20% - 13,80%

Air layak 66,86% 63,34% 33,95% - 85,51% BB lebih pada dewasa 13,65% 13,35% 8,8% - 16,3%

Obesitas dewasa 21,70% 21,05% 10,3% - 30,2%

Gizi buruk pada balita 4,44% 4,45% 2,0% - 7,4%

Gizi lebih pada balita 3,26% 3% 1,1% - 7,4% Hipertensi 31.07% 29,83% 22,22% - 44,13%

Diabetes 13,76% 13,0% 6% - 26%

Jantung 14,38% 14,50% 7% - 22% kanker 1,76% 1,56% 0,85% - 4,86%

Tabel 2. Gambaran Karakteristik Provinsi (2)

Variabel n %

Kepadatan Penduduk

Padat 85 50%

Kurang padat 85 50%

Perilaku

Buruk 150 88,2

Baik 20 11,8 Ventilator

Kurang 31 18,2

Cukup 139 81,8

Ratio tempat tidur Kurang 45 26,5

Cukup 125 73,5

Total 170 100,0

Tabel 3 dan 4 menyajikan faktor-faktor yang berhubungan dengan angka kematian akibat

COVID-19 dengan analisis bivariat regresi liniear dan T-test. Variabel yang berhubungan dengan

angka kematian COVID-19 yaitu kemiskinan, proporsi lansia, obesitas pada dewasa, diabetes,

kepadatan penduduk, perilaku, dan ventilator.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 109

Tabel 3. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Angka Kematian Akibat COVID-19

(analisis regresi liniear)

Variabel R R2 Koef p-value

Imunisasi lengkap 0,054 0,003 -0,011 0,481 Kemiskinan 0,173 0,030 -0,104 0,024*

Lansia 0,185 0,034 0,273 0,016*

Air layak 0,048 0,002 -0,015 0,535

BB lebih pada dewasa 0,125 0,016 0,327 0,105 Obesitas dewasa 0,162 0,026 0,130 0,035*

Gizi buruk pada balita 0,136 0,019 -0,306 0,077

Gizi lebih pada balita 0,079 0,006 0,215 0,308

Hipertensi 0,084 0,007 0,060 0,278 Diabetes 0,196 0,038 0,134 0,010*

Jantung 0,091 0,008 0,089 0,238

kanker 0,063 0,004 0,311 0,412

Tabel 4. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Angka Kematian Akibat COVId-19

(analisis t-test)

Variabel n mean T-test p-value

Kepadatan Penduduk

- Padat penduduk 85 5,4278 4,507 0,001*

- Tidak padat 85 3,2148

Perilaku - Buruk 150 4,6149 5,150 0,001*

- Baik 20 2,1194

Ventilator

- Cukup 139 4,5853 -2,181 0,031* - Tidak cukup 31 3,1374

Rasio Tempat Tidur

- Cukup 125 4,3676 -0,297 0,767

- Tidak cukup 45 4,1928

Tabel 5. Model Akhir Analisis Multivariat Faktor yang Mempengaruhi Kematian

Akibat COVID-19 di Indonesia

Variabel Exp

(B)

95% CI t p-

value

Konstanta -0,314 -4,585 – 3,958 -0,145 0,885

Imunisasi lengkap -0,060 -0,091 - -0,028 -3,769 0,001

Kepadatan penduduk 2,536 1,419 – 3,652 4,483 0,001 Lansia 0,500 0,204 – 0,796 3,338 0,001

Perilaku 2,839 1,402 – 4,277 3,900 0,001 Air layak -0,094 -0,142 – -0,046 -3,847 0,001

Obesitas dewasa 0,198 0,059 – 0,336 2,820 0,005

Gizi lebih pada balita 0,509 0,055 – 0,963 2,216 0,028

Ratio tempat tidur 1,156 -0,081 – 2,394 1,845 0,067

Nilai Adjusted R2 = 30%

Model akhir analisis multivariat faktor yang mempengaruhi kematian akibat COVID-19 di

Indonesia disajikan pada table 5. Hasil menunjukkan bahwa imunisasi lengkap berasosiasi dengan

penurunan angka kematian COVID-19 di provinsi. Setiap kenaikan 10% cakupan proporsi

imunisasi diasosiasikan dengan penurunan angka kematian sebesar 0,6% atau 6 kematian dari 1000

kasus konfirmasi positif. Hasil ini sudah dikontrol oleh variabel lain yaitu kepadatan penduduk,

proporsi lansia, perilaku, proporsi air layak, proporsi obesitas pada dewasa, proporsi gizi lebih pada

balita dan ratio tempat tidur. Provinsi yang padat penduduk memiliki asosiasi terhadap peningkatan

angka kematian COVID-19 sebesar 2,5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan provinsi yang tidak

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 110

padat penduduk. Setiap kenaikan 10% proporsi lansia dalam suatu provinsi diasosiasikan dengan

peningkatan angka kematian COVID-19 sebesar 5% atau 5 dari 100 kasus konfirmasi positif.

Provinsi yang tergolong perilaku masyarakatnya buruk (komposit dari tidak cuci tangan pakai

sabun, kurang aktivitas fisik, merokok dan tidak konsumsi buah dan sayur) memiliki risiko

peningkatan angka kematian akibat COVID-19 2,8 kali lebih tinggi dibandingkan provinsi yang

perilaku masyarakatnya baik. Setiap kenaikan 10% proporsi air layak di suatu provinsi

diasosiasikan dengan penurunan angka kematian akibat COVID-19 sebesar 0,94% atau 94

kematian dari 1000 kasus konfirmasi positif. Setiap kenaikan 10% kasus obesitas pada dewasa di

suatu provinsi diasosiasikan dengan peningkatan angka kematian akibat COVID-19 sebesar 1,98%

atau sekitar 2 kematian per 100 kasus konfirmasi positif. Setiap kenaikan 10% kasus gizi lebih pada

balita di suatu provinsi diasosiasikan dengan peningkatan angka kematian akibat COVID-19

sebesar 5,09% atau sekitar 5 kematian per 100 kasus konfirmasi positif dan provinsi yang

kekurangan tempat tidur memiliki risiko 1,15 kali lebih tinggi memiliki angka kematian COVID-

19.

PEMBAHASAN

Angka kematian COVID-19 dalam studi ini sebesar 4,32% jika dibandingkan dengan data

per 6 Oktober 2020 angka ini lebih tinggi dari angka kematian secara global (3,0%) dan angka

nasional (3,7%).11

Studi ini mengambil data kasus terakhir pada tanggal 28 Agustus 2020 artinya

sudah lebih dari sebulan dari data sekarang, dalam kurun waktu satu bulan kasus terus bertambah

dan jumlah pemeriksaan PCR juga terus ditingkatkan. Hal ini berpengaruh terhadap angka CFR/

angka kematian akibat COVID-19.

Studi ini memiliki beberapa keterbatasan. Data yang digunakan dalam studi ini merupakan

data sekunder dari Riset Kesehatan Dasar, data laporan kasus COVID-19, data BPS dan data SIRS

online dimana variabel yang ada menyesuaikan dengan ketersediaan data yang ada. Data yang

dianalisis berbeda waktu antara variabel dependen dengan independen. Variabel dependen

diperoleh tahun 2020 sedangkan variabel independen diperoleh tahun 2018 dan 2019. Data yang

diperoleh juga merupakan data crossectional sehingga tidak bisa memberikan gambaran sebab

akibat. Selain itu angka kematian akibat COVID-19 dengan CFR (case fatality rate) banyak

dipengaruhi oleh variabel fasilitas pelayanan kesehatan (facility based) namun karena keterbatasan

data, kami hanya memasukkan variabel ratio tempat tidur terhadap jumlah penduduk dan ratio

ventilator saja yang mungkin masih kurang untuk bisa menggambarkan kemampuan fasilitas

pelayanan kesehatan dalam menangani COVID-19. Namun penelitian ini juga memiliki kelebihan

karena penelitian yang berbasis komunitas dengan melihat status kesehatan secara komunitas masih

jarang dilakukan terutama yang berkaitan dengan COVID-19 sehingga studi ini bisa menjadi

masukan dan tambahan pengetahuan untuk COVID-19 terutama untuk kasus di Indonesia.

Hasil studi ini menunjukkan bahwa imunisasi lengkap berperan dalam menurunkan angka

kematian COVID-19 di provinsi. Setiap kenaikan cakupan proporsi imunisasi sebesar 10% dapat

menurunkan angka kematian sebesar 0,6% atau 6 kematian dari 1000 kasus konfirmasi positif

setelah dikontrol oleh variabel lain yaitu kepadatan penduduk, proporsi lansia, perilaku, proporsi

air layak, proporsi obesitas pada dewasa, proporsi gizi lebih pada balita dan ratio tempat tidur.

Berbagai studi menyebutkan, salah satu vaksin yang dianggap berpengaruh terhadap morbiditas

dan mortalitas COVID-19 adalah vaksin bacille Calmette-Guérin (BCG). Vaksin BCG adalah

strain hidup yang dilemahkan yang berasal dari isolat Mycobacterium bovis yang digunakan secara

luas di seluruh dunia sebagai vaksin untuk Tuberkulosis (TB), dengan banyak negara, termasuk

Jepang dan Cina yang memiliki kebijakan vaksinasi BCG universal pada bayi baru lahir. Negara

lain seperti Spanyol, Prancis, dan Swiss, telah menghentikan kebijakan vaksin universal mereka

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 111

karena risiko yang relatif rendah penyakit TB sedangkan negara-negara seperti Amerika Serikat,

Italia, dan Belanda, belum mengadopsi kebijakan vaksin universal karena alasan serupa.12

Vaksin

BCG di Indonesia termasuk dalam vaksin dasar wajib bagi bayi baru lahir sejak tahun 1999, akibat

tingginya risiko TBC.

Virus coronavirus 2 (SARS-CoV-2) adalah virus dengan struktur RNA sense positif beruntai

tunggal, dan vaksin BCG telah terbukti mengurangi keparahan infeksi oleh virus lain dengan

struktur yang sama dalam uji coba terkontrol.7 Vaksin BCG dapat memicu perubahan metabolik

dan epigenetik yang dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh secara luas untuk melawan

infeksi dengan cara memicu suatu bentuk memori kekebalan ―non-spesifik‖, yang disebut

kekebalan terlatih. Kekebalan terlatih dapat digunakan sebagai senjata jika terjadi infeksi

berikutnya.7,3

BCG memiliki efek menguntungkan pada kekebalan terhadap berbagai infeksi terkait

paru-paru seperti tuberkulosis dan berbagai infeksi saluran pernapasan terutama akibat pneumonia

dan sepsis.13,3,7,14,15

Namun, kemungkinan efek perlindungan BCG mungkin tidak secara langsung

terkait dengan tindakan pada COVID-19 tetapi pada infeksi atau sepsis yang terjadi bersamaan.

Selain itu, ditemukan bahwa vaksinasi BCG berkorelasi dengan penurunan jumlah infeksi COVID-

19 yang dilaporkan di suatu negara yang menunjukkan bahwa BCG mungkin memberikan

perlindungan khusus terhadap COVID-19.12

Oleh karena itu, sementara vaksin khusus virus

COVID-19 sedang dikembangkan, terdapat cukup data untuk mendukung evaluasi vaksinasi BCG

sebagai cara untuk meningkatkan kekebalan tubuh dan menjadikan vaksin BCG sebagai kandidat

yang menjanjikan untuk melawan COVID-19.15

Hasil studi ini sejalan dengan hasil studi awal sebelumnya dengan unit analisis negara bahwa

negara dengan kebijakan universal vaksinasi BCG memiliki tingkat kematian yang jauh lebih

rendah jika dibandingkan dengan negara yang tidak menerapkan BCG pada anak-anak.7 Vaksinasi

BCG tampaknya mengurangi kematian secara signifikan terkait COVID-19. Semakin awal suatu

negara menetapkan kebijakan vaksinasi BCG, semakin kuat pengurangan jumlah kematian per juta

penduduk, konsisten dengan gagasan bahwa melindungi populasi lansia mungkin penting dalam

mengurangi kematian.12

Secara khusus, tingkat pertumbuhan kasus COVID-19 jauh lebih lambat di

negara-negara dengan vaksinasi BCG yang diwajibkan, dibandingkan dengan negara-negara tanpa

vaksinasi BCG.13

Seperti kasus di Jepang dan negara lain termasuk Cina, Korea, India, dan Rusia

yang memiliki vaksin BCG wajib untuk anak untuk melawan tuberkulosis. Negara-negara ini

sejauh ini memiliki tingkat kematian per kapita yang relatif rendah dari COVID-19 dibandingkan

dengan negara-negara yang tidak memiliki vaksin BCG wajib (AS, Spanyol, Prancis, Italia,

Belanda). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa cakupan vaksin BCG pada anak muda

menunjukkan efek perlindungan terhadap penyebaran COVID-19 lokal di Jepang. Namun,

kemungkinan relevansi vaksinasi BCG bayi dengan mortalitas tinggi di antara pasien lansia dengan

COVID-19 masih perlu diteliti.16

Variabel lain sebagai variabel kontrol yang berperan terhadap angka kematian akibat

COVID-19 adalah faktor perilaku. Pada studi ini perilaku merupakan komposit dari empat variabel

yaitu tidak mencuci tangan dengan sabun, tidak melakukan aktifitas fisik, merokok dan tidak

mengonsumsi buah dan sayur. Perilaku dikatakan buruk jika ada ada salah satu atau lebih dari

komponen perilaku tersebut bernilai buruk karena satu sama lain dari komponen perilaku tersebut

saling berkaitan. Sering mencuci tangan dengan sabun selama setidaknya 20 detik sangat

disarankan sebagai salah satu langkah preventif terhadap COVID-19. Hasil analisis regresi data

kebiasaan mencuci tangan dari 63 negara menunjukkan terdapat korelasi yang kuat antara budaya

mencuci tangan dan besarnya wabah di berbagai negara. Secara spesifik, negara yang

masyarakatnya tidak memiliki kebiasaan mencuci tangan cenderung memiliki eksposur yang jauh

lebih tinggi terhadap COVID-19.17

Aktifitas fisik juga penting untuk dilihat karena aktifitas fisik

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 112

dapat menurunkan stress sehingga dapat menjaga kesehatan mental yang secara tidak langsung juga

dapat meningkatkan kekebalan tubuh.18

Perilaku merokok juga penting untuk dimasukkan dalam

komponen perilaku. Sebuah studi sistematik review menyebutkan merokok dapat meningkatkan

tingkat keparahan COVID-19. Di antara pasien COVID-19 yang masih merokok memiliki risiko

keparahan 1,8 kali lebih tinggi dibandingkan yang tidak merokok, dan pasien yang memiliki

riwayat merokok sebelumnya memiliki risiko keparahan 1,31 kali lebih tinggi. 19

Selain itu, untuk

meningkatkan imunitas sebagai senjata untuk melawan infeksi kita juga perlu memperhatikan

konsumsi makanan. Oleh karena itu perilaku tidak mengonsumsi buah dan sayur juga kami

masukkan dalam komponen perilaku. Untuk membangun sistem imun diperlukan vitamin dan

minera. Sebagian besar vitamin dan seluruh mineral tidak dapat disintesa oleh tubuh sehingga harus

diperoleh dari makanan terutama buah, sayur dan pangan hewani. Untuk memenuhi kebutuhan

vitamin dan mineral ini maka diperlukan konsumsi makanan yang seimbang dan beragam.18

Dalam analisis ini ketersediaan air layak juga berperan terhadap angka kematian akibat

COVID-19. Setiap kenaikan 10% proporsi air layak di suatu provinsi akan menurunkan angka

kematian akibat COVID-19 sebesar 0,94% atau 94 kematian dari 1000 kasus konfirmasi positif.

Penyediaan air bersih, sanitasi, dan kondisi higienis sangat penting untuk melindungi kesehatan

masyarakat dari semua wabah penyakit menular, termasuk wabah COVID-19. Memastikan praktik

WASH (Water, Sanitation, and Hygiene) dan pengelolaan limbah yang baik dan diterapkan secara

konsisten di komunitas, rumah, sekolah, pasar, dan fasilitas pelayanan kesehatan akan semakin

membantu mencegah penularan virus COVID-19 dari manusia ke manusia.20

Selama pandemic seperti saat ini, kekurangan air bersih untuk minum dan sarana higienis

yang layak telah menjadi perhatian dunia. Negara – negara di Afrika dan Asia Selatan, dengan

sekitar 85% penduduk dunia, menghadapi tantangan yang menakutkan untuk mengakses air bersih,

terutama untuk daerah daerah kumuh, pinggiran kota, dan kamp pengungsian. Negara maju seperti

Amerika dan Eropa juga mengalami krisis air, sehingga banyak rumah tangga di sana memilih

membeli air kemasan sebagai kebutuhan air minumnya. Bahkan di negara terkaya di dunia, AS,

setidaknya masih ada sekitar dua juta orang yang tidak memiliki akses ke air ledeng 21

. Kebutuhan

air bersih sebelum dan setelah pandemi pasti berbeda. Pandemi menjadikan masyarakat lebih

memperhatikan kebersihan sehingga sering mencuci tangan dengan sabun sebagai salah satu upaya

untuk menekan penularan COVID-19. Oleh karena itu, peran ketersediaan air bersih menjadi salah

satu yang penting untuk diperhatikan dalam masa pandemi ini.

Status gizi juga berpengaruh terhadap kematian akibat COVID-19 terutama obesitas pada

dewasa dan gizi lebih pada balita. Setiap kenaikan 10% kasus obesitas pada dewasa di suatu

provinsi dapat meningkatkan angka kematian akibat COVID-19 sebesar 1,98% atau sekitar 2

kematian per 100 kasus konfirmasi positif. Setiap kenaikan 10% kasus gizi lebih pada balita di

suatu provinsi dapat meningkatkan angka kematian akibat COVID-19 sebesar 5,09% atau sekitar 5

kematian per 100 kasus konfirmasi positif. Obesitas berhubungan dengan respon imunitas yang

buruk dan akan berpengaruh pada pasien yang menderita penyakit pernapasan.22

Studi sebelumnya

menunjukkan bahwa kenaikan berat badan yang berlebihan ≥18 kg dapat meningkatkan risiko

mengalami pneumonia.23,24

Obesitas juga dapat mengganggu fungsi paru-paru. Pasien dengan

obesitas menggunakan oksigen dengan persentase yang lebih banyak untuk bernafas, yang

berakibat pada pengurangan kapasitas residu fungsional dan volume ekspirasi.25,26

. Kelainan

ventilasi-perfusi berikutnya dapat menurunkan cadangan ventilasi dan menyebabkan gagal

pernapasan.27,28

Selain itu, sub-analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa laki-laki dengan IMT ≥28

memiliki peluang peningkatan keparahan menjadi 4,4 kali lipat lebih tinggi, dengan hampir

setengah dari pasien laki-laki obesitas mengalami pneumonia berat. 22

. Penelitian lain menemukan

pasien dengan obesitas berat (IMT> 40 memiliki OR 2,8 dengan 95% CI 1,4-5,9 ) sedangkan IMT>

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 113

45 (OR, 4,2; 95% CI, 1,9-9,4) berisiko lebih tinggi untuk mengalami komplikasi dan kematian

akibat COVID-19.29

Jumlah kasus COVID-19 terus meningkat bahkan bisa mencapai 2000 kasus per hari akhir-

akhir ini. Lonjakan ini membuat daya tampung rumah sakit rujukan semakin tidak ideal seperti

contohnya di Jakarta dimana tempat tidur ruang isolasi yang terpakai sudah mencapai 69 persen

dan ruang perawatan intensif atau ICU 77 persen. Bila mengacu data Organisasi Kesehatan Dunia

atau WHO, maksimal keterpakaian tempat tidur di RS hanya 60 persen artinya seperti kasus di

Jakarta saja sudah melebihi kapasitas yang seharusnya.30

Hal ini tentu saja akan mempengaruhi

angka kematian COVID-19. Hasil penelitian ini menunjukkan kekurangan tempat tidur memiliki

risiko 1,15 kali lebih tinggi terhadap angka kematian COVID-19.

KESIMPULAN DAN SARAN

Imunisasi Dasar Lengkap memiliki asosiasi terhadap penurunan angka kematian

akibat COVID-19. Oleh karena itu, pemerintah perlu meningkatkan cakupan imunisasi

lengkap sebagai salah satu upaya menekan angka kematian COVID-19 atau memberikan

imunisasi tambahan untuk populasi berisiko seperti balita dan lansia.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan. Situasi Penyakit Infeksi Emerging [Internet]. 2020. Available from:

https://infeksiemerging.kemkes.go.id/downloads/?dl_cat=5#.X3fp5WgzY2w

2. Gugus Tugas Percepatan COVID-19. Data COVID-19 Per 7 Oktober 2020 [Internet].

www.covid19.go.id. 2020. Available from: https://covid19.go.id/peta-sebaran

3. Raghab Mohapatra P, Mishra B, Behera B. BCG vaccination induced protection from COVID-

19. Indian J Tuberc [Internet]. 2020;9438884288(xxxx):8–13. Available from:

https://doi.org/10.1016/j.ijtb.2020.08.004

4. Kang SJ, Jung SI. Age-Related Morbidity and Mortality among Patients with COVID-19.

Infect Chemother. 2020;52(2):154–64.

5. Sala G, Miyakawa T. Association of BCG vaccination policy with prevalence and mortality of

COVID-19. medRxiv [Internet]. 2020;2020.03.30.20048165. Available from:

https://doi.org/10.1101/2020.03.30.20048165%0Ahttp://medrxiv.org/lookup/doi/10.1101/2020

.03.30.20048165

6. Kementerian Kesehatan. Petunjuk Teknis Pelayanan Imunisasi pada Masa Pandemi COVID-

19. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2020.

7. Curtis N, Sparrow A, Ghebreyesus TA, Netea MG. Considering BCG vaccination to reduce

the impact of COVID-19. Lancet [Internet]. 2020;395(10236):1545–6. Available from:

http://dx.doi.org/10.1016/S0140-6736(20)31025-4

8. Tejayanti T. Laporan Kajian Faktor-faktor yang Berisiko terhadap Morbiditas dan Mortalitas

Kasus COVID-19 di Wilayah Padat Penduduk di Indonesia (unpublished). Jakarta; 2020.

9. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar

(Riskesdas) Indonesia tahun 2018. Riset Kesehatan Dasar 2018. Jakarta: Lembaga Penerbit

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; 2018. p. 182–3.

10. Badan Pusat Statistik. Data dan Informasi Kemiskinan Kabupaten/Kota 2019 [Internet].

Jakarta: CV. Nario Sari; 2019. Available from: https://www.m-

culture.go.th/mculture_th/download/king9/Glossary_about_HM_King_Bhumibol_Adulyadej‘s

_Funeral.pdf

11. Kementerian Kesehatan. Situasi Terkini Perkembangan Novel Coronavirus (COVID-19)

[Internet]. Kementerian Kesehatan. Jakarta; 2020. Available from:

https://covid19.kemkes.go.id/download/Situasi_Terkini_050520.pdf

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 114

12. Miller A, Reandelar MJ, Fasciglione K, Roumenova V, Li Y, Otazu GH. Correlation between

universal BCG vaccination policy and reduced morbidity and mortality for COVID-19: an

epidemiological study. J Chem Inf Model. 2019;53(9):1689–99.

13. Berg MK, Yu Q, Salvador CE, Melani I, Kitayama S. Mandated Bacillus Calmette-Guérin

(BCG) vaccination predicts flattened curves for the spread of COVID-19. J Chem Inf Model.

2019;53(9):1689–99.

14. Komine-Aizawa S, Yamazaki T, Yamazaki T, Hattori SI, Miyamoto Y, Yamamoto N, et al.

Influence of advanced age on Mycobacterium bovis BCG vaccination in guinea pigs

aerogenically infected with Mycobacterium tuberculosis. Clin Vaccine Immunol.

2010;17(10):1500–6.

15. Hegarty PK, Kamat AM, Zafirakis H, Dinardo A. BCG vaccination may be protective against

Covid-19. ResearchGate [Internet]. 2020;(March). Available from:

https://www.researchgate.net/publication/340224580 BCG

16. Kinoshita M, Tanaka M. Impact of routine infant BCG vaccination in young generation on

prevention of local COVID-19 spread in Japan: BCG vaccination prevent COVID-19 spread. J

Infect. 2020;(xxxx).

17. Pogrebna G, Kharlamov AA. The Impact of Cross-Cultural Differences in Handwashing

Patterns on the COVID-19 Outbreak Magnitude. Res Gate [Internet]. 2020;(March):10.

Available from: https://www.researchgate.net/publication/340050986%0AThe

18. Siswanto, Budisetyawati, Ernawati F. Peran Beberapa Zat Gizi Mikro Dalam Sistem Imunitas.

Gizi Indones. 2014;36(1):57–64.

19. Reddy RK, Charles WN, Sklavounos A, Dutt A, Seed PT, Khajuria A. The effect of smoking

on COVID-19 severity: A systematic review and meta-analysis. J Med Virol. 2020;

20. World Health Organization (WHO), (UNICEF) UNCF. Water, sanitation, hygiene and waste

management for the COVID-19 virus. World Heal Organ. 2020;1(March):1–9.

21. Tortajada C, Biswas AK. COVID-19 heightens water problems around the world. Water Int.

2020;45(5):441–2.

22. Qingxian C, Fengjuan C, Fang L, Xiaohui L, Tao W, Qikai W, et al. Obesity and COVID-19

Severity in a Designated Hospital in Shenzhen, China. SSRN Electron J.

2020;(202002073000001).

23. Morgan OW, Bramley A, Fowlkes A, Freedman DS, Taylor TH, Gargiullo P, et al. Morbid

obesity as a risk factor for hospitalization and death due to 2009 pandemic influenza A(H1N1)

disease. PLoS One. 2010;5(3):1–6.

24. Louie JK, Acosta M, Samuel MC, Schechter R, Vugia DJ, Harriman K, et al. A novel risk

factor for a novel virus: Obesity and 2009 pandemic influenza a (H1N1). Clin Infect Dis.

2011;52(3):301–12.

25. Baik I, Curhan GC, Rimm EB, Bendich A, Willett WC, Fawzi WW. A prospective study of

age and lifestyle factors in relation to community-acquired pneumonia in US men and women.

Arch Intern Med. 2000;160(20):3082–8.

26. Peters U, Dixon AE. The effect of obesity on lung function Ubong. Expert Rev Respir MEd.

2018;12(9):755–67.

27. Bahammam AS, Al-Jawder SE. Managing acute respiratory decompensation in the morbidly

obese. Respirology. 2012;17(5):759–71.

28. Zammit C, Liddicoat H, Moonsie I, Makker H. Obesity and respiratory diseases. Am J Clin

Hypn. 2011;53(4):335–43.

29. Louie JK, Acosta M, Samuel MC, Schechter R, Vugia DJ, Harriman K, et al. A novel risk

factor for a novel virus: Obesity and 2009 pandemic influenza a (H1N1). Clin Infect Dis.

2011;52(3):301–12.

30. Triyasni. INFOGRAFIS: Kapasitas Rumah Sakit COVID-19 Jakarta Hampir Penuh. Liputan 6

[Internet]. 2020; Available from: https://www.liputan6.com/news/read/4345460/infografis-

kapasitas-rumah-sakit-covid-19-jakarta-hampir-penuh

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 115

KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJAPADA PROSES PEMOTONGAN

BATU PADAS DI WORKSHOP SARI YASA KOTA DENPASAR

I Gusti Agung Haryawan¹

*, Komang Angga Prihastini², Ni Putu Diana Swandewi³

¹˒²Dosen Program Studi K3 Universitas Bali Internasional

³Mahasiswa Program Studi K3 Universitas Bali internasional

Jl. Seroja Gang Jeruk No. 9 Kelurahan Tonja Denpasar Bali 80239

Coresponding Email : [email protected]

OCCUPATIONAL SAFETY AND HEALTH IN THE PROCESS OF CUTTING PADAS

STONES AT THE SARI YASA WORKSHOP DENPASAR CITY

ABSTRACT

The rapid development of housing and building has recently had an impact on the workforce working in this

sector. Workers are required to have skills in accordance with their fields, including workers supplying stone

padas. When working in a standing position, the worker is always in wet condition due to the splashes used

to reduce dust when the rock is cut. These working conditions cause discomfort, fatigue, musculoskeletal

disorders and increased workload due to unnatural or ergonomic work environments and non-physiological

work attitudes.Therefore, it is necessary to do ergonomic-oriented work methods so that workers can work

productively in a comfortable, safe, healthy and efficient way. This research is experimental research by

using the same subject design (treatment by subject design) which is done in Workshop Sari Karya Denpasar

City. Three samples with multiple repetitions, the results showed a significant difference (p <0.05). In the

mean before the average treatment of stone stone cutting heart rate 63,666 ± 1,89 dpm, mean and

musculoskeletal complaint 32,466 ± 0,915, mean of fatigue 82,200 ± 1,897 and productivity average 458,333

± 14,840. After the average treatment of rock hard rock cutting rate 64,046 ± 2,12 dpm, mean of

musculoskeletal complaint 57,800 ± 5,634, mean of fatigue 66,266 ± 0,961. The ergonomic-oriented method

occupational safety and health decreased workload by 3.347%, musculoskeletal complaints by 25.33%,

fatigue 15.934%. shows that ergonomically oriented work methods occupational safety and health can

reduce workload, musculoskeletal complaints, fatigue.

Keywords: K3, working methods, stone cutters padas

ABSTRAK

Pesatnya pembangunan perumahan dan gedung belakangan ini yang berimbas pada tenaga kerja yang bekerja

di sektor konstruksi. Pekerja dituntut memiliki keterampilan sesuai dengan bidangnya, termasuk pekerja

pengadaan bahan batu padas. Pada saat bekerja dengan sikap berdiri, pekerja selalu dalam kondisi basah

akibat percikan air yang digunakan untuk mengurangi debu saat batu padas dipotong. Kondisi kerja ini

menimbulkan ketidaknyamanan, kelelahan, gangguan muskuloskeletal dan beban kerja yang semakin

meningkat karena lingkungan kerja yang tidak alami atau tidak ergonomis serta sikap kerja yang tidak

fisiologis. Untuk itu perlu dilakukan metode kerja yang mengacu pada keselamatan dan kesehatan kerja

sehingga pekerja dapat bekerja produktif dengan aman, nyaman, sehat dan efisien. Penelitian ini adalah

penelitian eksperimental dengan menggunakan rancangan sama subjek (treatment by subject design) yang

dilakukan di Workshop Sari Karya Kota Denpasar. Dari tiga sampel, hasil penelitian menunjukkan adanya

perbedaan bermakna (p<0,05). Pada sebelum perlakuan rerata denyut nadi kerja pemotong batu padas 63,666

± 1,89 dpm, rerata dan keluhan muskuloskeletal 32,466 ± 0,915, rerata kelelahan 82,200 ± 1,897. Sesudah

perlakuan rerata denyut nadi kerja pemotong batu padas 64.046 ± 2,12 dpm, rerata keluhan muskuloskeletal

57,800 ± 5,634, rerata kelelahan

66,266 ± 0,961. Metode berorientasi keselamatan dan kesehatan kerja menurunkan beban kerja sebesar

3,347%, keluhan muskuloskeletal sebesar 25,33%, kelelahan 15,934%. Menunjukkan bahwa metode kerja

berorientasi keselamatan dan kesehatan kerja dapat menurunkan beban kerja, keluhan muskuloskeletal dan

kelelahan.

Kata Kunci: K3, metode kerja , pemotong batu padas

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 116

PENDAHULUAN

Perkembangan pembangunan perumahan dan gedung perkantoran membawa tren bentuk dan

gaya dari desain bangunan. Penggunaan material dalam rancangan bangunan berpengaruh terhadap

hasil desain seorang desainer atau arsitek serta selera dari pemilik bangunan tersebut. Material-

material yang digunakan saat ini memang beragam jenis dan bentuknya, seperti: batu andesit, batu

basal, batu candi, batu padas, batu granit, batu palimanan dan batu paras jogya. Material-material

ini berasal dari berbagai daerah kota di Indonesia serta karakternya pun berbeda-beda. Penggunaan

material batu ini sebelum di aplikasikan ke bangunan atau yang lainnya melalui proses pemotongan

untuk mendapat ukuran yang standar.¹

Saat melakukan pekerjaan memotong batu padas, para pekerja mengambil posisi berdiri

menghadap mesin potong, kedua tangan memegang batu padas dengan ukuran 40x20x15 cm

dengan berat ± 5 kg. Batu padas akan didorong mendekati mesin potong dengan mata pisau yang

besar. Kondisi pekerja selama melakukan pekerjaannya dengan kondisi basah karena mesin potong

ini dilengkapi dengan slang air yang membasahi batu padas tersebut, dengan maksud meredam

debu yang dikeluarkan saat pemotongan batu padas tersebut. Pekerja hanya memakai pelindung

plastik untuk bagian tubuh di bawah pinggang dan tanpa alas kaki. Tingkat kebisingannya yang

ditimbulkan dari mesin potong ini 96 dBA selama 8 jam kerja sehingga sangat mengganggu

pendengaran. Ketidaknyamanan itu disebabkan oleh tingkat kelelahan, keluhan muskuloskeletal,

beban kerja.

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, menunjukkan pekerja bekerja dengan sikap kerja

yang tidak fisiologis yang meliputi bekerja berdiri dengan tidak memakai alas kaki, tidak memakai

afron atau pelindung badan secara keseluruhan serta kondisi lingkungan yang menimbulkan

kebisingan akibat dari suara mesin potong batu padas, sehingga mengakibatkan pekerja merasa ada

gangguan pendengaran, jari-jari tangan dan kaki lembab serta tubuh merasa kedinginan.

Hasil studi pendahuluan pada keluhan muskuloskeletal terhadap pekerja pemotong batu

padas, mengalami keluhan pada bahu kiri dan kanan (73%), pada lengan atas kiri dan kanan

(75%), pada betis kiri dan kanan (60%) dan pada tangan (75%). Untuk rerata denyut nadi kerjanya

adalah 103,42 ± 5,58 denyut permenit, dan hal ini termasuk beban kerja sedang.² Bekerja dengan

sikap berdiri dalam waktu relatif lama dengan kondisi kerja dengan tingkat kebisingan dan dingin/

lembab akan cepat menimbulkan rasa lelah. Posisi tubuh yang salah atau tidak fisiologis apalagi di

dalam sikap paksa jelas mengurangi produktivitas seseorang.³

Tuntutan tugas, kondisi lingkungan, dan organisasi kerja yang kurang proposional dapat

menimbulkan gangguan kesehatan, kelelahan, penurunan kewaspadaan, peningkatan angka

kecelakaan kerja dan pada akhirnya menyebabkan terjadinya penurunan efesiensi dan produktivitas

kerja.4 Penelitian ini diharapkan mampu memperbaiki stasiun kerja yang mengacu pada konsep

ergonomi dan K3 yang meliputi pertimbangan teknis, kesehatan, keamanan, efektivitas dan

efisiensi. Sehingga dapat mengurangi kelelahan, keluhan muskuloskeletal, beban kerja.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental, dengan menggunakan rancangan sama

subjek (treatment by subject design).5 Rancangan sama subjek adalah rancangan serial, dimana

semua sampel mengalami perlakuan 1 dan juga perlakuan 2 dalam periode waktu yang berbeda.

Perlakuan 1 bekerja dengan keadaan seperti adanya, perlakuan 2 bekerja dengan intervensi

penggunaan afron seluruh tubuh, penggunaan sepatu boat dan menutup mesin pemotong batu

padas. Rancangan ini, selang antara periode waktu diperlukan washing out, untuk menghilangkan

efek perlakuan pertama terhadap perlakuan berikutnya.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 117

HASIL PENELITIAN

Tempat penelitian ini di Workshop Sari Karya yang berlokasi di daerah Denpasar dengan

sampel sebanyak 3 orang yang dalam pengambilan data diulang sebanyak 5 kali karena

keterbatasan pekerja dan stasiun kerja.

Tabel 1. Deskripsi Karakteristik Subjek Penelitian (n=3)

Variabel Rerata SB

Umur (th) 46,00 3,00

Berat badan (kg) 70,00 2,00

Tinggi badan (cm) 171,66 3,51

Berdasarkan tabel di atas rerata umur pemotong batu padas pada saat penelitian dilakukan

adalah 46,00 ± 3,00 tahun, dengan rerata berat badan 70,00 ± 2,00 kg, rerata tinggi badan 171,66 ±

3,51 cm. Dari umur, berat badan dan tinggi badan termasuk dalam kategori normal sedangkan

pengalaman kerja subjek termasuk dalam kategori berpengalaman atau cukup lama bekerja.

Tabel 2. Uji Perbedaan Skor Denyut Nadi (n=3)

Variabel Periode I Periode II Nilai

T Nilai

P n Rerata SB Rerata SB

Denyut nadi istirahat 3 63,66 1,89 64,04 2,12 -0,804 0,421 Denyut nadi kerja 3 123,87 3,01 115,37 2,68 -3,408 0,001

Nadi kerja 3 56,49 0,63 53,14 1,90 -3,409 0,001

Berdasarkan tabel di atas rerata denyut nadi kerja subjek pada sebelum perlakuan adalah

63,666 ± 1,89 dpm termasuk kategori beban kerja sedang. Rerata denyut nadi kerja subjek

penelitian pada sesudah perlakuan adalah 64,046 ± 2,12 dpm yang termasuk ke dalam kategori

kerja sedang. Nadi kerja pada stasiun kerja sebelum perlakuan reratanya 56,493 ± 0,632 dpm dan

pada stasiun kerja sesudah perlakuan 53,146 ± 1,908 dpm. Sehingga terjadi penurunan beban kerja

sebesar 3,347%.

Tabel 3. Uji Perbedaan Efek Sebelum dan Sesudah Perlakuan Beda Skor

Kelelahan (n=3)

Variabel Periode I Periode II

Nilai

T

Nilai

P Rerata SB Rerata SB

Kelelahan sebelum bekerja 41,26 0,96 41,06 0,703 -0,500 0,617 Kelelahan sesudah bekerja 82,20 1,89 66,26 0,96 -3,419 0,001

Selisih 40,93 2,34 25,20 1,47 17,753 0,000

Berdasarkan table di atas rerata skor kelelahan sebelum perlakuan adalah 41,266 ± 0,961

sebelum bekerja dan 41,066 ± 0,703 sesudah bekerja. Pada uji t-paired sesudah perlakuan

didapatkan skor kelelahan dengan rerata 82,200 ± 1,897 sebelum bekerja dan 66,266 ± 0,961

sesudah bekerja. Data rerata beda skor kelelahan sebelum perlakuan adalah 40,933 ± 2,344 dan

25,200 ± 1,473 setelah perlakuan. Hasil uji efek perbedaan skor sebelum dan sesudah kerja

sebelum perlakuan dengan sebelum kerja dan sesudah kerja sesudah perlakuan menggunakan uji

Wilcoxon menunjukkan p = 0,005 yang artinya berbeda secara signifikan antara sebelum dan

sesudah perlakuan. Sehingga terjadi penurunan kelelahan sebesar 15,934%.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 118

Tabel 4. Uji Perbedaan Efek Sebelum dan Sesudah Perlakuan Beda Skor Keluhan

Muskuloskeletal (n=3)

Variabel Periode I Periode II

Nilai

T Nilai P Rerata SB Rerata SB

Kelelahan sebelum bekerja 34,07 0,961 32,46 0,915 -3,448 0,001

Kelelahan sesudah bekerja 76,33 2,468 57,800 5,634 -3,424 0,001 Selisih 42,266 3,034 25,333 6,043 -3,415 0,001

Berdasarkan table di atas perbedaan rerata keluhan muskuloskeletal pada sikap kerja

sebelum perlakuan sebesar 34,066 ± 20,961 sebelum bekerja, dan rerata sebesar 32,466 ± 0,915

sesudah bekerja, sedangkan sesudah perlakuan didapat rerata 32,466 ± 0,915 sebelum bekerja dan

rerata 57,800 ± 5,634 sesudah bekerja. Sehingga terjadi penurunan keluhan subjektif sebesar

25,334% dan berbeda bermakna (p < 0,05).

PEMBAHASAN

Hasil analisis terhadap 3 orang pekerja pemotong batu padas menunjukkan bahwa rerata

umur subjek 46,00 ± 3,00 tahun, dengan rentangan umur subjek yang telah ditetapkan, yaitu antara

35 − 55 tahun. Berkaitan dengan umur bahwa kapasitas fisik seseorang berbanding langsung

sampai batas tertentu dengan umur, dan mencapai puncaknya pada umur 25 tahun.³

Beban kerja diukur berdasarkan denyut nadi pekerja melalui selisih denyut nadi kerja dan

denyut nadi istirahat. Sebelum dilakukan analisis efek perlakuan perlu dilakukan uji normalitas

terhadap data denyut nadi tersebut. Hasil uji Kolmogorov-Smirnov menunjukkan bahwa denyut

nadi kerja tidak berdistribusi normal. Kondisi awal sebelum bekerja baik pada sebelum perlakuan

dan sesudah perlakuan dapat dikatakan tidak berbeda bermakna, namun terdapat perbedaan setelah

perlakuan baik pada denyut nadi kerja maupun nadi kerja.

KESIMPULAN DAN SARAN

Metode kerja berorientasi k3 meningkatkan kinerja dilihat dari penurunan beban kerja

3,347%, meningkatkan kinerja dilihat dari penurunan keluhan muskuloskeletal sebesar 25,33%,

meningkatkan kinerja dilihat dari penurunan kelelahan sebesar 15,934%.

Saran dari penelitian ini adalah para pekerja hendaknya dalam bekerja selalu memperhatikan

metode kerja K3 untuk menciptakan kondisi yang aman, nyaman dan sehat, serta para pengusaha

untuk memperhatikan para pekerja pada lingkungan kerja, sikap kerja dn alat kerjanya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Solehuddin, 2009. Kreasi Unik Batu Alam, Jakarta. 2. Grandjean, E. Kroemer 2000. Fitting the Task To The Man. A Textbook of Occupational

Of Ergonomics. 4 Th Ed. London : Taylor & Francis.

3. Manuaba, A. 1998. Dengan Desain yang Aman Mencegah Kecelakaan dan Cedera. Bunga

Rampai Ergonomi: Vol I. Program Pascasarjana Ergonomi-Fisiologi Kerja, Universitas

Udayana, Denpasar.

4. Manuaba, A. 2000. Ergonomi Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Editor : Sritomo

Wignyosubroto dan Stefanus Eko Wiranto. Prosiding Seminar Nasional Ergonomi 2000 di

Surabaya. Guna Widya.

5. Hadi, S. 1995. Metodologi Reasearch Jilid IV. Yogyakarta: Penerbit Andi Offset

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 119

EVALUASI KINERJA KADER POSYANDU BAYI DAN BALITA DI

WILAYAH KERJA PUSKESMAS BANGUNTAPAN II BANTUL

Rosikhah Al-Maris,1 Pamulatsih Dwi Oktavianti

2

1Departemen Keperawatan Anak, STIKES Al Islam Yogyakarta

2Dosen STIKES Al Islam Yogyakarta

Jl. Bantul Dukuh MJ 1/1221, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta

Coresponding Email : [email protected]

PERFORMACE EVALUATION OF POSYANDU CADRE FOR INFANTS AND

CHILDREN IN THE WORKING AREA OF PUSKESMAS BANGUNTAPAN II

BANTUL

ABSTRACT

Posyandu is one of the Community-Based Health Efforts (UKBM) which is the spearhead of community-

based management of infant and toddler health problems. The success of Posyandu cannot be separated from

the performance of competent Posyandu cadres. If the cadres 'performance is not optimal, it will result in

poor nutritional status and monitoring of toddlers' growth and development, as well as infant and toddler

health problems that cannot be detected early. Monitoring the growth status of children under five years in

Bantul district in 2015, 195 children were identified as experiencing less growth with the largest number

from the target area of the Puskesmas Banguntapan II Bantul. The purpose of this study was to evaluate the

performance of Infant and Toddler Posyandu cadres in the Puskesmas Banguntapan II Bantul. This research

type is quantitative descriptive with cross sectional technique. The research instrument is a questionnaire

sheet containing closed and open questions according to the material in the Curriculum Guidelines and

Posyandu Cadre Training Modules made by the Ministry of Health, plus online individual discussions.

Respondents in this study were 47 cadres who were representatives of 47 Posyandu for Infant and Toddlers

in the Puskesmas Banguntapan II Bantul. The results showed the evaluation of the performance of the Infant

and Toddler Posyandu cadres based on 7 sub-categories, namely: 1) Basic knowledge with a mean of 92.5%

(very good) performance, 2) a cadre's task with a mean of 19.1% (less), 3 ) Target’s health problems with

mean performance achievement of 61,65% (good enough), 4) Ability to move the community with Mean

performance achievement of 60.65% (good enough), 5) Implementation of five steps with Mean performance

achievement of 68.7% (quite good ), 6) Health Education with Mean 76.6% (good) performance, 7)

Recording and Reporting with Mean 77.3% (Good) performance. Based on the results of the study it can be

concluded that the performance of Posyandu cadres for infants and toddlers at the Puskesmas Banguntapan

II Bantul average is 65.21% or quite good.

Keywords: Posyandu cadres, evaluate the performance of Infant and Toddler Posyandu cadres, infant and

toddler

ABSTRAK

Posyandu merupakan salah satu Upaya Kesehatan Bersumber daya Masyarakat (UKBM) yang menjadi ujung

tombak penatalaksanaan persoalan kesehatan bayi dan balita yang berbasis masyarakat. Keberhasilan

Posyandu tidak bisa lepas dari kinerja kader Posyandu yang kompeten. Apabila kinerja kader kurang optimal,

maka berakibat status gizi dan pemantauan tumbuh kembang balita tidak terlaksana dengan baik, sekaligus

masalah kesehatan bayi dan balita tidak bisa terdeteksi secara dini. Pemantauan status pertumbuhan balita di

kabupaten Bantul tahun 2015 terdapat 195 balita teridentifikasi mengalami pertumbuhan yang kurang dengan

angka terbesar dari wilayah binaan Puskesmas Banguntapan II Bantul. Tujuan penelitian ini adalah untuk

mengevaluasi kinerja kader Posyandu Bayi dan Balita di wilayah kerja Puskesmas Banguntapan II Bantul.

Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif dengan teknik cross sectional. Instrumen

penelitian ini adalah lembar kuesioner yang berisi pertanyaan tertutup dan terbuka sesuai dengan materi

dalam Pedoman Kurikulum dan Modul Pelatihan Kader Posyandu yang dibuat oleh Kemenkes, serta

ditambah dengan diskusi perorangan secara daring. Responden pada penelitian ini berjumlah 47 kader yang

merupakan perwakilan dari 47 Posyandu Bayi dan Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Banguntapan II

Bantul. Hasil penelitian menunjukkan evaluasi Kinerja kader Posyandu Bayi dan Balita berdasarkan 7 sub

yaitu: 1) Pengetahuan dasar dengan Mean capaian kinerja 92,5% (sangat baik), 2) Tugas kader dengan Mean

capaian kinerja 19,1% (kurang), 3) Masalah kesehatan sasaran dengan Mean capaian kinerja 61,65% (cukup

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 120

baik), 4) Kemampuan menggerakkan masyarakat dengan Mean capaian kinerja 60,65% (cukup baik), 5)

Pelaksanaan lima langkah dengan Mean capaian kinerja 68,7% (cukup baik), 6) Penyuluhan dengan Mean

capaian kinerja 76,6% (baik), 7) Pencatatan dan Pelaporan dengan Mean capaian kinerja 77,3% (Baik).

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Kinerja kader Posyandu bayi dan balita di Puskesmas

Banguntapan II Bantul secara rata-rata mendapatkan nilai 65,21% atau dikatakan cukup baik.

Kata Kunci: kader posyandu, evaluasi kinerja kader posyandu, bayi dan balita

PENDAHULUAN

Kurang gizi pada anak merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama di Negara

berkembang, termasuk Indonesia. Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) tingginya angka

malnutrisi dan gangguan tumbuh kembang pada bayi dan balita pada periode 6-18 bulan

kehidupannya di berbagai Negara tentunya menjadi perhatian dunia, begitupun yang terjadi di

Indonesia. Menurut Data Riskesdas (2018), proporsi gizi buruk dan gizi kurang di Indonesia tahun

2018 mencapai angka 17,7%, sedangkan proporsi status gizi sangat pendek dan pendek pada

BADUTA berada di angka 29,9%.1 Faktor-faktor yang berperan pada meningkatnya angka gizi

buruk dan kegagalan tumbuh kembang adalah ketidakmampuan mencukupi kebutuhan gizi,

kurangnya stimulasi, kekurangan yodium, dan anemia defisiensi besi.2

Arah kebijakan pembangunan kesehatan yang tertuang dalam rencana Pembangunan Jangka

Menengah (RPJMN) tahun 2010-2014 menitikberatkan pada pendekatan upaya preventif, promotif,

dan pemberdayaan masyarakat dalam bidang kesehatan. Strategi pelayanan kesehatan dasar

masyarakat dengan fokus pada ibu dan anak dapat dilakukan pada posyandu, karena posyandu

merupakan wadah peran serta masyarakat untuk menyampaikan dan memperoleh pelayanan

kesehatan dasarnya.3 Pemanfaatan sarana pelayanan kesehatan primer seperti Puskesmas

merupakan salah satu pendekatan untuk mengatasi persoalan kesehatan anak yang berbasis

masyarakat.4

Pos pelayanan terpadu (posyandu) adalah salah satu Upaya Kesehatan Bersumber

Daya Masyarakat (UKBM) yang dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, untuk dan bersama

masyarakat. Pelayanan kesehatan dasar di Posyandu adalah layanan kesehatan yang mencakup

sekurang-kurangnya 5 kegiatan, yaitu Kesehatan Ibu dan Anak, Keluarga Berencana, Imunisasi,

Gizi dan Penanggulangan Diare. 5

Terdapat beberapa faktor yang bisa mendukung suksesnya pelaksanaan posyandu, salah

satunya adalah kader. Peranan kader sangat penting karena kader bertanggungjawab dalam

pelaksanaan program posyandu, bila kader tidak aktif maka pelaksanaan posyandu juga akan

menjadi tidak lancar dan akibatnya status gizi balita tidak dapat dideteksi secara dini dengan jelas.6

Hal ini secara langsung akan mempengaruhi tingkat keberhasilan program posyandu khususnya

dalam memantau tumbuh kembang balita. Selain itu, melalui para kader para ibu bayi dan balita

akan mendapatkan informasi kesehatan lebih cepat. 7 Namun, keberadaan kader relatif labil karena

partisipasinya bersifat sukarela, sehingga tidak ada jaminan bahwa para kader akan tetap

menjalankan fungsinya dengan baik.8

Selain itu, kurang berfungsinya Posyandu antara lain

disebabkan karena rendahnya kemampuan kader dan pembinaan yang masih belum optimal yang

kemudian mengakibatkan rendahnya minat masyarakat berpartisipasi dalam posyandu.9

Pada tahun 2015, di Bantul tingkat partisipasi masyarakat dalam penimbangan di Posyandu

sebesar 80,61%, sehingga dapat disimpulkan bahwa masih ada balita yang tidak dibawa ke

posyandu dan tidak mendapat imunisasi sesuai waktunya. Pemantauan status pertumbuhan balita di

kabupaten Bantul tahun 2015 terdapat 195 balita teridentifikasi mengalami pertumbuhan yang

kurang dengan angka terbesar dari wilayah binaan Puskesmas Banguntapan II sejumlah 7% dan

2,4% memiliki berat badan di bawah garis merah (BGM).10

Berdasarkan fakta-fakta ini,

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 121

memunculkan pertanyaan apakah kader posyandu anak wilayah binaan Puskesmas Banguntapan II

Bantul sudah melakukan kinerja sebagaimana mestinya? Sehingga perlu dilakukannya evaluasi

untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik melakukan evaluasi terhadap kinerja kader

posyandu anak di wilayah kerja Puskesmas Banguntapan II Bantul.

METODE

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan jenis non eksperimental dan

metode pengambilan data cross sectional survey. Model ini bertujuan untuk mengetahui evaluasi

kinerja kader Posyandu bayi dan balita di lingkup kerja Puskesmas Banguntapan II Bantul yang

terdiri dari 47 posyandu dan dilaksanakan pada bulan Agustus 2020. Instrumen penelitian yang

digunakan adalah data primer yang diambil dengan menggunakan kuesioner sesuai Buku

Kurikulum dan Modul Pelatihan Kader Posyandu Kementerian Kesehatan Republik Indonesia yang

telah divalidasi.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kader Posyandu bayi dan balita di lingkup kerja

Puskesmas Banguntapan II Bantul sejumlah 47 kader. Cara pengambilan sampel dilakukan dengan

menggunakan teknik purposive sampling, yaitu setiap Posyandu dipilih satu orang kader untuk

menjadi rsponden sehingga didapatkan besaran sebanyak 47 kader Posyandu yang mewakili setiap

Posyandu dan memenuhi kriteria inklusi penelitian.

Kriteria Inklusi penelitian antara lain: 1) pernah mendapatkan pelatihan kader posyandu; 2)

memiliki masa kerja minimal 6 bulan dan, 3) bersedia menjadi responden. Sedangkan kriteria

eksklusi penelitian ini adalah: 1) sedang melaksanakan tugas diluar kota, 2) tidak bersedia

diwawancarai.

Rencana awal pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah melalui

kuesioner dan FGD. Namun karena terkendala dengan Pandemi Covid 19, peneliti melakukan

beberapa penyesuaian, diantaranya: 1). Penelitian yang awalnya direncanakan tatap muka namun

akhirnya dilakukan secara daring melalui google form, 2) Penguatan data yang menurut asumsi

peneliti dibutuhkan dalam beberapa poin pertanyaan untuk evaluasi kinerja Kader, yang awalnya

direncanakan didapatkan melalui FGD, akhirnya dilakukan dengan penambahan pertanyaan

terbuka dalam kuesioner serta wawancara singkat via telpon kepada respoden.

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Banguntapan II Bantul dengan besaran sampel 47

kader Posyandu. Pengumpulan data dilakukan secara daring serentak pada hari Minggu, 16

Agustus 2020.

1. Karakteristik Responden Penelitian

Analisis univariat mendeskripsikan distribusi frekuensi untuk semua variabel penelitian

yang terdiri dari usia, pendidikan terakhir, status perkawinan, pekerjaan kader, dan lama menjadi

kader.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 122

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Variabel Penelitian Evaluasi Kinerja Kader Posyandu

Bayi dan Balita di Puskesmas Banguntapan II Bantul

Karakteristik

Responden

N Persentase

Usia Kader 1. 30-40 tahun

2. 40-50 tahun

3. 50-60 tahun

4. >60 tahun

12

18

13

4

25,6%

38,2%

27,7%

8,5% Pendidikan terakhir

1. Lulus SD

2. Lulus SMP

3. Lulus SMA 4. Lulus D3/S1/S2

0

12

25 10

0

25,5%

53,2% 21,3%

Pekerjaan Kader

1. Ibu Rumah Tangga

2. PNS 3. Swasta

40

7 0

85,1%

14,9% 0

Lama menjadi Kader Posyandu

1. 0-5 tahun

2. 5-10 tahun 3. >10 tahun

10

5 32

21,3%

10,6% 68,1%

Sumber: Data Primer, 2020

Tabel 1 menunjukkan bahwa kader Posyandu bayi dan balita pada lingkup kerja Puskesmas

Banguntapan II Bantul didominasi oleh usia 40-50 tahun (38,2%). Serta pendidikan kader rata-rata

adalah lulusan SMA(53,2%) dengan masa kerja lebih dari 10 tahun (68,1%). Kader juga

didominasi oleh ibu tumah tangga (85,1%).

2. Evaluasi Kinerja Kader Posyandu Bayi dan Balita

Tabel 2. Pengetahuan Dasar Posyandu

Pertanyaan Jawaban

benar

Jawaban

salah

Prosentase

capaian

1. Apakah kepanjangan dari Posyandu 44 3 93,6%

2. Sebutkan urutan pelaksanaan kegiatan Posyandu 38 9 80,8%

3. Siapakah sasaran dalam kegiatan Posyandu 39 8 82,9%

4. Di bawah ini yang merupakan kegiatan pelayanan Posyandu bayi dan balita adalah

47 0 100%

5. Apakah kepanjangan dari BGM 45 2 95,7%

6. Apakah yang dimaksud dengan istilah 2T pada

KMS

45 2 95,7%

7. Apakah imunisasi yang diberikan saat pertama kali

bayi lahir

41 6 87,2%

8. Kapankah pemberian imunisasi campak yang pertama

43 4 91,4%

9. ASI eksklusif diberikan sampai bayi berusia 46 1 97,8%

10. ASI yang pertama kali keluar pada saat bayi lahir dinamakan

46 1 97,8%

11. Salah satu program gizi adalah pemberian vitamin

A. Pada bulan apakah pemberian vitamin A pada balita

47 0 100%

12. Vitamin A dengan dosis 100.000 IU (warna biru)

diberikan pada balita yang berumur

41 6 87,2%

Mean capaian kinerja 92,5%

Sumber: Data Primer, 2020

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 123

Tabel 2 menunjukkan hasil penilaian terhadap kader yang berkaitan dengan pengetahuan

dasar Posyandu. Berdasarkan hasil penelitian diketahui evaluasi terhadap pengetahuan dasar

Posyandu kader mendapatkan nilai rata-rata 92,5 % (Sangat baik).

Tabel 3.Tugas Kader dalam Penyelenggaraan Posyandu

Pertanyaan Jawaban

lengkap

Jawaban tidak

lengkap

Prosentase

capaian

1. Di bawah ini, mana sajakah tugas kader Posyandu

yang anda lakukan sebelum hari buka Posyandu?

7 40 14,9%

2. Di bawah ini, mana sajakah tugas kader Posyandu yang anda lakukan saat hari buka Posyandu?

9 38 19,1%

3. Di bawah ini, mana sajakah tugas kader Posyandu

yang anda lakukan setelah hari buka Posyandu?

11 36 23,4%

Mean capaian kinerja 19,1%

Sumber: Data Primer, 2020

Tabel 3 menunjukkan hasil penilaian kinerja kader terhadap pelaksanaan tugas sebelum, saat,

dan sesudah pelaksanaan kegiatan Posyandu. Berdasarkan hasil penelitian diketahui nilai rata-rata

19,1 % (Kurang).

Tabel 4. Masalah Kesehatan Pada Sasaran

Sumber: Data Primer, 2020

Tabel 4 menunjukkan hasil penilaian terhadap kader yang berkaitan dengan masalah

kesehatan pada sasaran, yaitu bayi dan balita. Berdasarkan hasil penelitian diketahui evaluasi

kinerja kader terhadap masalah kesehatan pada sasaran mendapatkan nilai rata-rata 61,65 %

(Cukup baik).

Tabel 5. Kemampuan Kader Menggerakkan Masyarakat

Pertanyaan Jawaban

Pernah/

Benar/ Jumlah kasus

Jawaban

Tidak Pernah/

Salah/ Jumlah kasus

Prosentase

capaian

1. Apakah selama menjadi kader Posyandu anda pernah menemukan kasus stunting di wilayah kerja anda?

10 (21,3%)

37 (78,7%)

-

2. Sebaga kader, apakah kegiatan yang anda lakukan saat

menemukan kasus dicurigai stunting pada bayi dan

balita?

27 20 57,4%

3. Selama menjadi kader Posyandu di wilayah kerja anda,

berapa banyak kasus Diare yang anda temukan pada

bayi dan balita dalam satu tahun

0-5 kasus

(87,2%)

5-10 kasus

(12,8%)

-

4. Sebagai kader, apakah kegiatan yang sudah anda

lakukan saat menemukan kasus Diare pada bayi dan

balita?

31 16 65,9%

Mean capaian kinerja 61,65%

Pertanyaan Jawaban

Pernah/ Benar

Jawaban

Tidak Pernah/ Salah

Prosentase

capaian

1. 1. Apakah anda pernah melakukan kunjungan rumah? 47 0

100%

2. Bagaimanakah cara yang anda lakukan ketika ada

keluarga yang sering tidak menghadiri Posyandu?

10 37 21,3%

Mean capaian kinerja 60,65 %

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 124

Tabel 5 menunjukkan hasil penilaian kinerja kader dalam menggerakkan masyarakat.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui nilai rata-rata kinerja kader dalam menggerakkan

masyarakat adalah 60,65 % (Cukup baik).

Tabel 6.Pelaksanaan Lima langkah Kegiatan Posyandu

Pertanyaan Jawaban

Benar/ Pernah

Jawaban

Salah/ Tidak pernah

Prosentase

capaian

3. 1. Kegiatan apakah yang dilakukan pada meja nomor 3 dalam Posyandu

40 7

85,1 %

3. Kegiatan penyuluhan saat Posyandu, dilakukan pada

meja nomor?

40 7 85,1 %

4. Selema menjadi kader Posyandu, di meja mana saja anda pernah bertugas?

17 30 36,1 %

Mean capaian kinerja 68,7 %

Sumber: Data Primer, 2020

Tabel 6 menunjukkan hasil penilaian kinerja kader dalam pelaksanaan lima langkah kegiatan

pada Posyandu. Berdasarkan hasil penelitian diketahui nilai rata-rata kinerja kader adalah 68,7 %

(Cukup baik).

Tabel 7. Penyuluhan pada Kegiatan Posyandu

Pertanyaan Jawaban

Pernah/

Benar

Jawaban Tidak Pernah/

Salah

Prosentase capaian

1. 1. Apakah anda pernah memberikan penyuluhan pada meja

No.4?

36 11 76,6 %

Mean capaian kinerja 76,6 %

Sumber: Data Primer, 2020

Tabel 7 menunjukkan hasil penilaian kinerja kader dalam pelaksanaan penyuluhan saat

kegiatan Posyandu. Berdasarkan hasil penelitian diketahui nilai rata-rata kinerja kader adalah 76,6

% (Baik).

Berdasarkan pertanyaan terbuka dalam kuesioner yang berbunyi, ―Apa sajakah topik

penyuluhan yang sudah pernah anda sampaikan saat pelaksanaan Posyandu bayi dan balita?‖ dari

36 responden yang menyatakan pernah memberikan penyuluhan, terdapat beberapa jawaban

diantaranya:

―Asi eksklusif, Pemberian MPASI, Stunting, Gizi seimbang‖ (14 responden)

―Asi ekslusif, Pemberian MPASI, Gizi seimbang‖ (6 responden)

―Stunting‖ (4 responden)

―Asi ekslusif, stunting, stunting, Gizi seimbang‖ (2 responden)

―Gizi seimbang‖ (2 responden)

―Pemberian MPASI‖ (2 responden)

―Asi ekslusif, Gizi seimbang, TB pada anak‖ (1 responden)

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 125

―Asi ekslusif, Pemberian MPASI, stunting‖ (1 responden)

―Asi ekslusif, stunting‖ (1 responden)

―Asi ekslusif, Gizi seimbang‖ (1 responden)

―Pemberian MPASI, stunting‖ (1 responden)

―Asi eksklusif‖ (1 responden)

Berdasarkan pertanyaan terbuka dalam kuesioner yang berbunyi, ―Apa sajakah media yang

pernah anda gunakan dalam memberikan penyuluhan?‖ dari 36 responden yang menyatakan pernah

memberikan penyuluhan, terdapat beberapa jawaban diantaranya:

―Buku‖ (14 responden)

―Poster dan buku‖ (8 responden)

―Leaflet dan buku‖ (5 responden)

―Leaflet, poster, dan buku‖ (4 responden)

―Poster, buku, dan papan‖ (3 responden)

―Hanya lisan‖ (1 responden)

―Poster, buku, dan artikel yang dibagikan di grup Whatsapp paguyuban‖ (1

responden)

Tabel 8. Pencatatan dan Pelaporan Posyandu

Pertanyaan Jawaban Pernah/

Benar

Jawaban Tidak Pernah/

Salah

Prosentase capaian

2. 1. Apakah anda pernah mendengar tentang SIP (Sistem

Informasi Posyandu) ?

38 9 80,9 %

2.Apakah yang dimaksud dengan SIP? 34 13 72,3 %

3. Apakah anda pernah menjalankan SIP di Posyandu? 37 10 78,7 %

Mean capaian kinerja 77,3 %

Sumber: Data Primer, 2020

Tabel 8 menunjukkan hasil penilaian kinerja kader dalam pencatatan dan pelaporan saat

kegiatan Posyandu. Berdasarkan hasil penelitian diketahui nilai rata-rata kinerja kader adalah 77,3

% (Baik).

Berdasarkan Pertanyaan terbuka dalam kuesioner yang berbunyi, ―Apakah kendala yang

kader hadapi saat melaksanakan SIP?‖ terdapat beberapa jawaban diantaranya,

―Sering berganti formatnya‖

―Keterbatasan waktu dan SDM‖

―Belum tahu tentang SIP/belum maksimal pengetahuan yang didapatkan/masih

membutuhkan bimbingan dari pihak puskesmas‖

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 126

―Balita yang menangis/balita yang diasuh baby sitter yang kesulitan memberikan

data tumbuh kembang anak‖

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Kinerja kader Posyandu bayi dan

balita di Puskesmas Banguntapan II Bantul secara rata-rata mendapatkan Mean: 65,21 atau

dikatakan cukup baik.

PEMBAHASAN

Gambaran data demografi responden dalam penelitian ini meliputi usia, pendidikan

terakhir, pekerjaan, dan lama menjadi kader Posyandu bayi dan balita. Teridentifikasinya rentang

usia kader Posyandu bayi dan balita di wilayah kerja Puskesmas Banguntapan II Bantul yang

didominasi oleh usia 40-50 tahun (38,2%) sesuai dengan Havighurts Develompental Theory yang

menyebukan bahwa usia tersebut masuk kedalam kategori usia produktif yang menitikberatkan

pada tanggungjawab kemasyarakatan. Sehingga, pada usia tersebut seseorang lebih banyak

memilih berperan aktif terhadap kegiatan sosial kemasyarakatan.11

Teori ini juga didukung oleh

teori perkembangan dari Ericson yang menyatakan bahwa pada usia tersebut perkembangan

manusia berada pada fase Generativity vs self absorption. Pada tahap ini salah satu tugas

perkembangan yang ditargetkan adalah terjadinya keseimbangan antara generativitas dan stagnansi

guna mendapatkan nilai positif yaitu kepedulian terhadap masyarakat dan orang lain.12

Hasil data kuesioner menunjukkan 78,7% responden berpendidikan menengah (lulusan

SMP/SMA), dan 21,3% responden berpendidikan tinggi (lulusan D3/S1/S2). Tingkat pendidikan

merupakan salah satu dari karakteristik demografi yang disebutkan oleh Schermerhorn JR dalam

buku Organizational Behaviour sebagai salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kinerja

seseorang.13

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerjaan kader mayoritas adalah sebagai Ibu rumah

tangga (85,1%) dan PNS (14,9%). Berdasarkan hasil dari penelitian Etnografi tentang Posyandu

dan Ibu rumah tangga, dikatakan bahwa Posyandu meletakkan kaum perempuan, khususnya ibu

rumah tangga, sebagai ujung tombak untuk meujudkan masyarakat yang sehat, baik dari segi fisik

maupun perilaku sehari-hari. Para ibu rumah tangga tersebut tidak hanya sebagai sasaran program-

program kesehatan, tetapi juga sebagai orang yang menjalan program, yang selanjutnya disebut

Kader Posyandu.14

Dari variabel lama menjadi Kader Posyandu, sebanyak 68,1% responden sudah menjadi

kader lebih dari 10 tahun, 21,3% selama 0-5 tahun, dan 10,6% menjadi kader selama 5-10 tahun.

Koordinator Posyandu di Banguntapan mengatakan bahwa untuk mencari pengganti kader yang

sudah berusia lanjut dan menjabat lama dengan kader yang lebih muda sulit dilakukan karena calon

kader usia muda cenderung sibuk dengan pekerjaannya dan tidak mau menjadi kader dengan alasan

insentif yang tidak ada.15

Namun, menurut Simanjuntak (2012) tidak ada hubungan masa

kerja/lama menjadi kader dengan kinerja seorang kader. Hal tersebut dikuatkan dengan pernyataan

Kepala Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta yang mengatakan bahwa usia yang sudah lanjut dan

lama menjabat sebagai kader bukan menjadi persoalan karena penyuluhan dan pelatihan dari

puskesmas dan dinas rutin dilakukan kepada para kader, sehingga diharapkan tidak mengganggu

kinerja kader Posyandu.15

Pada hasil evaluasi kinerja Kader Posyandu bayi dan balita di wilayah kerja Puskesmas

Banguntapan II Bantul, yang terdiri dari tujuh tolak ukur berdasarkan buku Kurikulum dan Modul

Pelatihan Kader Posyandu yang dibuat oleh Kementerian Kesehatan RI, yaitu: 1) Pengetahuan

dasar Posyandu, 2) Tugas Kader dalam penyelenggaraan Posyandu, 3) Masalah kesehatan pada

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 127

sasaran, 4) Kemampuan Kader menggerakkan masyarakat, 5) Pelaksanaan lima langkah kegiatan

Posyandu, 6) Penyuluhan pada kegiatan Posyandu, 7) Pencatatan dan pelaporan Posyandu.17

Pengetahuan dasar Posyandu

Berdasarkan hasil dari penelitian, pengetahuan dasar Posyandu pada Kader Posyandu bayi

dan balita di wilayah kerja Puskesmas Banguntapan II Bantul mendapatkan nilai rata-rata 92,5%

(sangat baik). Pengetahuan dasar terhadap pengelolaan Posyandu menjadi salah satu tolak ukur

baik tidaknya kinerja Kader. Aktif tidaknya kinerja kader salah satunya dipengaruhi oleh

pengetahuan terhadap pengelolaan Posyandu.18

Berdasarkan 12 pertanyaan tentang pengetahuan dasar pengelolaan Posyandu, prosentase

jawaban benar tertinggi ada pada pertanyaan-pertanyaan mengenai program gizi, diantaranya: 1)

Jadwal pemberian vitamin A, yaitu dari 47 responden 100% mampu menjawab dengan benar, 2)

Pemberian ASI ekslusif dan kolostrum, yaitu dari 47 responden terdapat 4 responden (97,8%)

mampu menjawab dengan benar. Hal ini menjadi indikator bahwa pengetahuan dasar Kader

Posyandu Bayi dan Balita di wilayah kerja Puskesmas Banguntapan II Bantul sudah sangat baik.

Pelayanan gizi adalah salah satu kegiatan Posyandu yang selalu dilakukan setiap bulan sekali.

Pelayanan gizi di Posyandu dilakukan oleh kader yang bentuk pelayanannya meliputi penimbangan

berat badan, pengisian KMS, deteksi dini gangguan pertumbuhan, penyuluhan gizi, pemberian

PMT, pemberian vitamin A dan pemberian sirup besi (Fe).19,20

Tugas Kader dalam penyelenggaraan Posyandu

Dalam penyelenggaraan Posyandu terdapat tiga tahapan, yaitu sebelum hari buka

Posyandu, saat hari buka Posyandu, dan setelah hari buka Posyandu. Berdasarkan hasil penelitian

yang disajikam pada Tabel 3, penilaian kinerja Kader dalam penyelenggaraan Posyandu

mendapatkan nilai rata-rata 19,1 % (Kurang). Tugas Kader sebelum hari buka Posyandu atau

disebut juga tugas pada H-Posyandu adalah tugas-tugas persiapan yang dilakukan oleh Kader agar

kegiatan pada hari buka Posyandu berjalan dengan baik. Tugas-tugas pada H-1 Posyandu terdiri

dari: a) Melakukan persiapan penyelengaraan kegiatan Posyandu, b) Menyebarluaskan informasi

tentang hari buka Posyandu melalui pertemuan warga setempat atau surat edaran, c) Melakukan

pembagian tugas antar Kader, meliputi Kader yang menangani pendaftaran, penimbangan,

pencatatan, penyuluhan, pemberian makanan tambahan, serta pelayanan yang dapat dilakukan oleh

Kader, d) Kader melakukan koordinasi dengan petugas kesehatan atau petugas lainnya, e)

Menyiapkan bahan pemberian makanan tambahan (PMT) serta penyuluhan sesuai dengan

permasalahan yang ada dan dihadapi oleh para orangtua bayi dan balita wilayah binaan, f)

Menyiapkan buku-buku catatan kegiatan Posyandu.17

Berdasarkan hasil penelitian, dari 47

responden hanya 7 responden yang menjalankan tugas H-1 Posyandu secara lengkap (14,9%), 15

responden tidak memilih opsi pendekatan tokoh masyarakat baik formal maupun informal dan

menghubungi pokja Posyandu (koordinasi dengan petugas lain), dan 6 responden lainnya tidak

memilih opsi menyiapkan PMT sebagai kegiatan yang mereka lakukan pada H-1 Posyandu.

Berdasarkan hasil penelitian juga diketahui bahwa ada 1 responden yang pada H-1 Posyandu hanya

pernah melakukan tugas Kader berupa menyiapkan sarana dan prasarana di tempat Posyandu.

Berdasarkan temuan data tersebut, perlu diberikan rekomendasi agar dilakukan pelatihan ulang

untuk memaparkan secara lengkap tugas kader H-1 Posyandu.

Tugas Kader pada hari buka Posyandu atau disebut juga pada H Posyandu adalah berupa

tugas-tugas untuk melaksanakan pelayanan 5 kegiatan yang terdiri dari: a) Melakukan pendaftaran,

meliputi pendaftaran balita, ibu hamil, ibu nifas, ibu menyusui dan sasaran lainnya, b) Pelayanan

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 128

kesehatan pada anak Posyandu diantaranya: penimbangan berat badan, pengukuran tinggi badan,

pengukuran lingkar kepala anak, deteksi perkembangan anak, pemantauan status imunisasi anak,

pemantauan terhadap tindakan orangtua tentang pola asuh, pemantauan permasalahan bayi dan

balita, c) Membimbing orangtua melakukan pencatatan terhadap berbagai hasil pengukuran dan

pemantauan kondisi bayi dan balita, d) Melakukan penyuluhan, e) Menyampaikan penghargaan

kepada orang tua yang telah datang ke Posyandu dan minta mereka untuk kembali pada hari

Posyandu berikutnya.17

Berdasarkan hasil penelitian, dari 47 responden hanya 9 responden (19,1%)

yang menjalankan tugas H Posyandu secara lengkap. Tugas pada H Posyandu yang paling banyak

terlewat dan belum dilaksanakan adalah: Pemberian penyuluhan atau konseling, pemberian oralit,

tablet zat besi dan vitamin A, pencatatan kegiatan Posyandu, dan pemberian rujukan.

Tugas sesudah hari buka Posyandu atau disebut juga tugas pada H+ Posyandu, yaitu berupa

tugas-tugas setelah hari Posyandu, yang terdiri dari: a) Melakukan kunjungan rumah pada balita

yang tidak hadir pada hari buka Posyandu, pada anak yang kurang gizi dll, b) Memotivasi

masyarakat untk memanfaatkan pekarangan dalam rangka meningkatkan gizi keluarga, menanam

obat keluarga, membuat tempat bermain anak yang nyaman. Selain itu, memberikan penyuluhan

agar mewujudkan rumah sehat, bebas jentik, kotoran, sampah, asap rokok dll, c) Melakukan

pertemuan dengan tokoh masyarakat, pimpinan wilayah untuk menyampaikan atau

menginformasikan hasil kegiatan Posyandu, d) Membuat laporan SIP dan melaporkan pada

Posyandu.17

Berdasarkan hasil penelitian, dari 47 responden hanya 11 responden (23,4%) yang

menjalankan tugas H+1 Posyandu secara lengkap. Tugas H+1 yang paling banyak terlewat adalah

diskusi kelompok dan pelaksanaan kunjungan rumah pada ibu bayi dan balita yang tidak hadir

dalam kegiatan Posyandu.

Penilaian Masalah kesehatan pada sasaran

Masalah kesehatan pada bayi dan balita seperti yang disebutkan dalam Buku Pedoman

Kader terdiri dari: Balita kurang gizi, diare, kerdil, lumpuh (polio), batuk, tetanus, campak, sakit

kulit, saki gigi dll.17

Dalam penelitian ini, peneliti mengangkat dua masalah yaitu stunting dan

diare. Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau tinggi badan yang

kurang jika dibandingkan dengan umur. Balita stunting termasuk masalah gizi kronik yang

disebabkan oleh banyak faktor seperti kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada

bayi, dan kurangnya asupan gizi pada bayi.21

Rata-rata prevalensi balita stunting di regional Asia

Tenggara tahun 2017, Indonesia menempati peringkat 3 tertinggi setelah Timor Leste dan India.22

Berdasarkan hasil penelitian diketahui evaluasi kinerja kader terhadap masalah kesehatan pada

sasaran mendapatkan nilai rata-rata 61,65 % (Cukup baik). Dari 47 responden yang berasal dari 47

posyandu berbeda di wilayah kerja Puskesmas Banguntapan II Bantul, 10 responden (21,3%)

menjawab pernah menemukan kasus stunting di wilayah kerjanya. Berdasarkan pertanyaan

kuesioner selanjutnya, 27 responden (57,4%) mampu memberikan jawaban yang benar mengenai

tatalaksana yang bisa kader Posyandu lakukan saat menemukan kasus stunting di wilayah kerjanya.

Berdasarkan hasil penilaian kuesioner, 20 responden lainnya cenderung hanya memilih jawaban

melaporkan atau memberikan rujukan kepada puskesmas ketika menemui kasus stunting. Padahal,

masih ada tatalaksana lain yang bisa dilakukan sebagai seorang kader seperti: pembinaan dalam

pemberian makanan bergizi seimbang, penyuluhan pentingnya ASI ekslusif, dan melakukan

penyuluhan menu dan saat memulai MPASI yang tepat.

Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Negara berkembang

seperti di Indonesia.23

Bila dilihat dari kelompok umur diare tersebar di semua kelompok umur

dengan prevalensi tertinggi pada anak balita usia 1-4 tahun yaitu 16,7%. Prevalensi diare juga lebih

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 129

tinggi di pedesaan dibandingkan perkotaan yaitu 10% dibanding 7,4%. Dari 47 responden,

sejumlah 41 responden (87,2%) menjawab menemukan kasus diare pada wilayah kerjanya

sebanyak 0-5 kasus dalam satu tahun, sedangkan 6 responden (12,8%) melaporkan temuan 5-10

kasus diare dalam kurun waktu satu tahun. Berdasarkan pertanyaan kuesioner selanjutnya, 31

responden (65,9%) mampu memberikan jawaban yang benar mengenai tatalaksana yang bisa kader

Posyandu lakukan saat menemukan kasus diare di wilayah kerjanya. Berdasarkan hasil penilaian

kuesioner, 16 responden lainnya masih beranggapan bahwa tatalaksana yang bisa dilakukan saat

menemukan kasus diare hanya dengan memberikan rujukan ke puskesmas, lalu ada responden yang

hanya menganjurkan pemberian ASI lebih sering dan banyak pada bayi dan balita. Berdasarkan

hasil penelitian diketahui evaluasi kinerja kader terhadap masalah kesehatan pada sasaran

mendapatkan nilai rata-rata 61,65 % (Sedang).

Kemampuan Kader menggerakkan masyarakat

Salah satu kegiatan rutin yang dilakukan kader sebelum hari buka Posyandu adalah

menggerakkan masyarakat kemudian kunjungan rumah yang dilakukan setelah hari buka

Posyandu.17

Peran kader dalam penyelenggaraan Posyandu sangat besar karena selain sebagai

pemberi informasi kesehatan kepada masyarakat juga sebagai penggerak masyarakat untuk datang

ke Posyandu dan melaksanakan perilaku hidup bersih dan sehat.24

Berdasarkan hasil penelitian

diketahui nilai rata-rata kinerja kader dalam menggerakkan masyarakat adalah 60,65 % (Cukup

baik). Dari 47 responden, diperoleh data bahwa 100% kader menjawab pernah melakukan

kunjungan rumah. Kunjungan rumah adalah salah satu kegiatan kader Posyandu yang bertujuan

untuk melakukan pendekatan kepada masyarakat tentang kegiatan di Posyandu dan manfaatnya.17

Pada pertanyaan selanjutnya tentang cara yang dilakukan kader ketika menghadapi

persoalan keberadaan keluarga yang sering tidak menghadiri kegiatan Posyandu, dari 47 responden

hanya 10 responden (21,3%) yang menjawab sesuai dengan buku pedoman kader. 22 (46,8%)

responden lainnya tidak melakukan pendekatan kepada tokoh masyarakat sebagai upaya

menggerakkan keaktifan masyarakat dalam mengikuti Posyandu. Dalam sebuah penelitian tentang

Hubungan Peran Petugas Kesehatan, Tokoh Masyarakat dan Partisipasi Masyarakat dalam

Pelaksanaan Posyandu, ditemukan hasil bahwa faktor yang paling dominan mempengaruhi

pasrtisipasi masyarakat adalah peran tokoh masyarakat. Sehingga diharapkan petugas kesehatan

dalam hal ini adalah kader, dapat melakukan diskusi rutin dengan tokoh masyarakat untuk

meningkatkan peran tokoh masyarakat.25

Pelaksanaan lima langkah kegiatan Posyandu

Kegiatan rutin Posyandu diselenggarakan dan digerakkan oleh kader Posyandu dengan

bimbingan teknis dari Puskesmas dan sektor terkait. Pada saat penyelenggaraan Posyandu, minimal

jumlah Kader adalah lima orang. Jumlah ini sesuai dengan jumlah lima langkah yang dilaksanakan

oleh Posyandu. Rincian kegiatan lima langkah di Posyandu diantaranya: 1) Pendaftaran, 2)

Penimbangan, 3) Pengisian KMS, 4) Penyuluhan, 5) Pelayanan kesehatan.17

Berdasarkan hasil

penelitian, diketahui nilai rata-rata kinerja kader dalam pelaksanaan lima langkah kegiatan

Posyandu adalah 68,7 % (Cukup baik). Berdasarkan hasil penelitian, dari 47 responden terdapat 17

responden (36,1%) yang pernah menjalankan meja 1,2,3 dan 4 selama menjadi kader, sedangkan 30

responden lainnya baru menjalankan 2 hingga 3 meja. Sebagai seorang kader Posyandu yang sudah

mendapatkan pelatihan, diharapkan kader mampu menjalankan seluruh meja agar mendapatkan

pengalaman pada masing-masing meja.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 130

Penyuluhan pada kegiatan Posyandu

Penyuluhan merupakan penyampaian pesan dari satu orang atau kelompok kepada satu

orang atau kelompok lain mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan suatu program. Salah satu

pelatihan yang dilakukan pada setiap kader adalah membekali para Kader Posyandu agar dapat

memberikan penyuluhan dalam kegiatan Posyandu maupun di luar kegiatan Posyandu. Selain itu,

diharapkan kader Posyandu mampu menggunakan pesan, memilih metode dan media penyuluhan

yang tepat guna dan tepat sasaran sehingga pesan yang disampaikan kepada masyarakat dapat

diterima dan dimengerti.17

Berdasarkan hasil penelitian diketahui nilai rata-rata kinerja kader dalam

melaksanakan penyuluhan adalah 76,6 % (Baik).

Dari 47 responden, terdapat 11 responden (23,4%) yang belum pernah memberikan

penyuluhan pada meja 4. Padahal, kader diharapkan berperan aktif dan mampu menjadi pendorong,

motivator dan penyuluh masyarakat. Kader diharapkan dapat menjembatani antara petugas/ahli

kesehatan dengan masyarakat serta membantu masyarakat mengidentifikasi dan

menghadapi/menjawab kebutuhan kesehatan mereka sendiri.26

Terdapatnya 11 responden yang

menyatakan belum pernah memberikan penyuluhan tentu bisa menjadi rekomendasi pada

rancangan program pelatihan kader selanjutnya agar lebih ditekankan kembali tentang peran

penyuluhan kesehatan yang diharapkan dari kader Posyandu bayi dan balita, sekaligus pelatihan

tentang cara berkomunikasi efektif guna meningkatkan kepercayaan diri kader untuk tampil

memberikan penyuluhan pada sasaran.

Pertanyaan selanjutnya adalah tentang pemilihan media yang digunakan kader dalam

pelaksanaan Posyandu. Dari 36 responden yang pernah memberikan penyuluhan, 14 responden

(38,8%) hanya menggunakan buku, lalu 8 responden (22,2%) menggunakan poster dan buku, dan 5

responden (13,8%) menggunakan leaflet dan buku. Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan

bahwa media yang paling banyak digunakan dalam penyuluhan kader adalah buku. Media

penyuluhan adalah alat bantu dalam melakukan penyuluhan agar proses belajar dalam penyuluhan

menjadi lebih menarik serta mudah dilaksanakan. Berbagai bentuk media ini antara lain adalah:

buku, lembar balik, kartu konseling, poster, booklet, brosur, lembar simulasi, lembar kasus, komik

dll.17

Indikator keberhasilan dalam pemilihan media penyuluhan adalah penyaji nyaman dalam

menyampaikan materi dan audiens bisa memahami materi yang disampaikan. Dalam menggunakan

media, ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu media harus mudah dimengerti oleh masyarakat

dan idea tau gagasan yang terkandung di dalamnya harus dapat diterima oleh sasaran.27

Pencatatan dan pelaporan Posyandu

Hasil penelitian menunjukkan penilaian kinerja kader dalam pencatatan dan pelaporan saat

kegiatan Posyandu mendapatkan nilai rata-rata 77,3 % (Baik). Ketersediaan data dan informasi

yang akurat diperlukan sebagai dasar untuk menyusun perencanaan dalam upaya pengembangan

Posyandu. Dengan demikian para kader dipandang perlu untuk dibekali dengan pengetahuan dan

kemampuan yang memadai tentang pencatatan dan pelaporan kegiatan di Posyandu dengan

menggunakan Sistem Informasi Posyandu (SIP).17

Berdasarkan hasil penelitian, 38 responden

(80,9%) pernah mendengar tentang SIP dengan 34 responden (72,3%) mengetahui definisi dari

SIP. Terdapat 37 responden (78,7%) yang pernah menjalankan SIP sebagai rangkaian pelaksanaan

Posyandu, dan 10 responden lainnya menjawab belum pernah. Berdasarkan wawancara singkat,

responden mengeluhkan beberapa kendala dalam menjalankan SIP, diantaranya: format yang sering

berubah, keterbatasan waktu dan SDM, sudah lupa cara penggunaannya, meminta untuk

didampingi lagi oleh petugas dan lain sebagainya.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 131

Dalam rangka mendukung peran Posyandu dalam memantau kesehatan ibu dan anak, maka

dibuat SIP. Di dalam SIP terdapat format pengisian catatan ibu hamil, kelahiran, kematian bayi,

dan kematian ibu hamil, melahirkan atau nifas, format pengisian register bayi dan balita, format

pengisian WUS-PUS, format pengisian data Posyandu, dan data hasil Posyandu.28

Sehingga proses

pencatatan dan pelaporan Posyandu akan memberikan kontribusi yang besar dalam pemantauan

kesehatan sasaran, dalam hal ini adalah ibu, bayi dan balita. Pada evaluasi kinerja pencatatan dan

pelaporan kader Posyandu bayi dan balita di wilayah kerja Puskesmas Banguntapan II Bantul yang

mendapatkan nilai rata-rata 77,3% (baik) masih harus ditingkatkan melihat hasil penelitian yang

menunjukkan masih ada 13 responden yang belum mengetahui SIP dan 10 responden yang belum

pernah menjalankan SIP.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa Kinerja kader

Posyandu bayi dan balita di Puskesmas Banguntapan II Bantul secara rata-rata dikatakan cukup

baik. Berdasarkan tujuh tolak ukur penilaian kinerja kader Posyandu, yang terdiri dari:

1. Pengetahuan dasar pengelolaan Posyandu dikatakan sangat baik, hal ini terbukti dengan kader

yang mampu menjawab dengan benar sub pertanyaan mengenai pengetahuan dasar pengelolaan

Posyandu. Kader bayi dan balita di wilayah kerja Puskesmas Banguntapan II Bantul secara

optimal juga telah mengetahui pengetahuan-pengetahuan dasar terkait persoalan gizi pada bayi

dan balita.

2. Tugas kader dalam penyelenggaraan Posyandu dikatakan kurang karena masih banyak tugas

kader pada H-Posyandu, H Posyandu, dan H+Posyandu yang belum dijalankan oleh kader,

diantaranya: pendekatan pada tokoh masyarakat, menghubungi pokja Posyandu, menyiapkan

PMT, pemberian penyuluhan, pencatatan kegiatan Posyandu, diskusi kelompok, dan

pelaksanaan kunjungan rumah.

3. Penilaian masalah kesehatan pada sasaran dikatakan cukup baik, namun pada masalah kesehatan

seperti stunting dan diare kader belum mampu menyebutkan semua tatalaksana yang bisa

diedukasikan pada sasaran. Pada kasus stunting, kader hanya memilih tatalaksana melaporkan

atau memberikan rujukan kepada puskesmas ketika menemui kasus stunting. Padahal, masih ada

tatalaksana lain yang bisa dilakukan sebagai seorang kader seperti: pembinaan dalam pemberian

makanan bergizi seimbang, penyuluhan pentingnya ASI ekslusif, dan melakukan penyuluhan

menu dan saat memulai MPASI yang tepat. Pada diare, kader juga masih beranggapan bahwa

tatalaksana yang bisa dilakukan saat menemukan kasus hanya dengan memberikan rujukan ke

puskesmas, lalu ada responden yang hanya menganjurkan pemberian ASI lebih sering dan

banyak pada bayi dan balita.

4. Kemampuan menggerakkan masyarakat dikatakan cukup baik karena berdasarkan hasil

penelitian, semua kader pernah melakukan kunjungan rumah. Namun, terdapat temuan bahwa

kader belum melakukan pendekatan kepada tokoh masyarakat sebagai upaya menggerakkan

keaktifan masyarakat.

5. Pelaksanaan lima langkah kegiatan di Posyandu dikatakan cukup baik karena kader sudah

mengetahui prinsip pelaksanaan lima langkah atau lima meja dalam Posyandu. Namun, terdapat

temuan bahwa hanya 17 responden yang pernah menjalankan keseluruhan meja 1,2,3, dan 4;

sedangkan lainnya cenderung absen pada meja no.4 (penyuluhan).

6. Evaluasi kinerja penyuluhan kader dikatakan baik, dibuktikan dengan sudah mampunya kader

melaksanakan penyuluhan dan memilih media penyuluhan yang tepat. Namun, terdapat temuan

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 132

bahwa masih ada kader yang belum pernah melakukan penyuluhan selama menjadi kader

Posyandu.

7. Pencatatan dan Pelaporan dikatakan baik terbukti dengan sudah baiknya pemahaman kader

terhadap SIP dan sudah menjalankan sistem tersebut di Posyandu masing-masing. Namun,

masih ada kader yang membutuhkan pembinaan dan pelatihan ulang terhadap penggunaan SIP

karena mengaku belum paham dan sudah lupa.

Saran

Terdapat beberapa saran yang bisa direkomendasikan berdasarkan temuan hasil penelitian,

diantaranya adalah:

1. Pengetahuan dasar pengelolaan Posyandu pada kader Posyandu anak dan balita di wilayah kerja

Puskesmas Banguntapan Bantul yang dinilai sangat baik perlu untuk dipertahankan. Upgrade

pengetahuan dan skill pengelolaan Posyandu juga tetap harus rutin diadakan melalui pembinaan,

pelatihan, dan penyuluhan oleh Puskesmas.

2. Evaluasi tugas kader dalam penyelenggaraan Posyandu dinilai masih kurang dan perlu untuk

ditingkatkan.. Dalam penyelenggaraan Posyandu, tugas kader yang terdiri dari H-Posyandu, H

Posyandu, dan H+Posyandu yang sesuai dengan pedoman sekiranya perlu untuk disampaikan

kembali pada saat pertemuan rutin bersama kader.

3. Evaluasi tugas kader dalam menilai masalah kesehatan pada sasaran dikatakan cukup baik dan

masih bisa untuk ditingkatkan. Diharapkan kader Posyandu bayi dan balita dapat mendapatkan

penyuluhan mengenai masalah-masalah kesehatan yang sering terjadi pada sasaran beserta

tatalaksana awal yang dapat kader sampaikan pada sasaran sesuai dengan kompetensinya.

Bagaimanapun, kader adalah kelompok yang paling dekat dari masyarakat yang mampu

memberikan, meneruskan, dan melaporkan informasi terkait masalah kesehatan sasaran.

4. Kemampuan menggerakkan masyarakat pada kader dinilai cukup baik, namun harus bisa

ditingkatkan. Kader perlu untuk diarahkan agar mampu menggerakkan masyarakat dengan

berbagai pendekatan, baik langsung maupun tidak langsung. Usaha menggerakkan masyarakat

agar lebih aktif ikut serta dalam Posyandu secara tidak langsung adalah dengan melakukan

pendekatan pada tokoh masyarakat.

5. Evaluasi pelaksanaan lima langkah kegiatan di Posyandu mendapatkan penilaian cukup baik.

Dalam upaya membuat kemampuan kader merata dalam penguasaan meja 1,2,3, dan 4 maka

perlu dibuat jadwal perputaran jaga meja untuk semua kader yang bertugas.

6. Evaluasi penyuluhan kader di wilayah kerja Puskesmas Banguntapan II Bantul dikatakan baik,

namun berdasarkan temuan penelitian masih ada kader yang belum pernah melakukan

penyuluhan saat Posyandu. Direkomendasikan selanjutnya saat pelatihan kader agar lebih

ditekankan kembali tentang peran penyuluhan kesehatan yang diharapkan dari kader Posyandu

bayi dan balita, sekaligus pelatihan tentang cara berkomunikasi efektif guna meningkatkan

kepercayaan diri kader untuk tampil memberikan penyuluhan pada sasaran. Upgrade informasi

terkini terkait topik-topik kesehatan yang sedang terkini juga penting untuk rutin dilaksanakan

agar bisa menjadi bahan penyuluhan kader kepada masyarakat. Selain itu, pelatihan

pemanfaatan dan pencarian media penyuluhan juga bisa dilakukan.

7. Evaluasi pencatatan dan pelaporan kader Posyandu dinilai baik dan masih berpotensi untuk terus

ditingkatkan. Praktek pelaksanaan SIP masih membutuhkan pembinaan dan pelatihan dari

Puskesmas setempat agar kader bisa semakin memahami SIP dan mampu mempraktekkannya.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 133

DAFTAR PUSTAKA

1. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Kementerian Kesehatan RI tahun 2018.

2. WHO fact sheet No.178, updated September 2013. Children: reducing mortality. Diunduh

dari

3. Kemenkes RI. 2018. Petunjuk Teknis Pelaksanaan Posyandu. Kementerian Kesehatan RI:

Jakarta.

4. Kementerian Kesehatan. 2011. Pedoman umum pengelolaan Posyandu. Kementerian

Kesehatan

5. Kemenkes RI. 2015. Infodatin pusat data dan informasi kementerian kesehatan RI. Jakarta:

Pusat Data dan Informasi.

6. Ismarawanti. 2010. Kader Posyandu: Peranan dan Tantangan Pemberdayaan dalam Usaha

Peningkatan Gizi Anak di Indonesia. http://download.portalgaruda.org/article. Diakses pada

tanggal 19 Maret 2020.

7. Andira, R.A., z.Abdullah, dan D. Sidik. 2012. Faktor-faktor yang berhubungan dengan

kinerja kader posyandu di Kec. Bontobahari kabupaten Bulukumba. Jurnal ilmu kesehatan

masyarakat. Unhas Makassar.

8. Wisnuwardani. 2012. Insentif Uang Tunai dan Peningkatan Kinerja Kader Posyandu,

Universitas Mulawarman, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Volume 7 No 1 Agustus

2012.

9. Legi, N.N., Rumagit, F., Montol, A.B., & Lule, R. 2015. Faktor yang berhubungan dengan

keaktifan kader posyandu di wilayah kerja Puskesmas Ranotana Weru. Jurnal GIZIDO, 7(2),

429-436.

10. Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Bantul. 2015. Profil Kesehatan Kabupaten Bantul.

11. Havighurst, Robert, J. 1953. Human Development and Aging Fifth Edition. New York: Mc

Graw Hill.

12. Erikson, Erick. H. 1989. Identitas dan Siklus Hidup Manusia. Bunga Rampai Penerjemah:

Agis Cremers. Jakarta: PT Gramedia.

13. French R. Organizational behaviour. Wiley;2011. 689 p

14. Wicaksono, Arif Muchammad. 2017. Ibuisme Masa Kini: Suatu Etnografi tentang Posyandu

dan Ibu Rumah Tangga. Umbara: Indonesian Journal of Anthropology, Volume 1 (2)

Desember 2016.

15. Solopos: Kaderisasi Posyandu di Jogja Macet.

https://www.google.com/amp/s/m.solopos.com/kaderisasi-posyandu-di-jogja-macet-

329250/amp. Diakses pada 02 Oktober 2020.

16. Simanjuntak M. Karakteristik Sosial Demografi dan Faktor Pendorong Peningkatan Kinerja

Kader Posyandu. JWEM (Jurnal Wira Ekon Mikroskil). 2012;2 (1):49-58.

17. Kemenkes RI. 2012. Kurikulum dan Modul Pelatihan Kader Posyandu. Kementerian

Kesehatan RI: Jakarta

18. Rahayu, S.P. 2017. Hubungan Tingkat Pengetahuan Kader Tentang Pengukuran

Antropometri Dengan Ketrampilan Dalam Melakukan Pengukuran Pertumbuhan Balita di

Posyandu Kelurahan Karangasem Kecamaan Laweyan. Skripsi: Program studi S1

Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.

19. Hara, M. K., Adhi, K.T., & Pangkahila, A. 2014. Pengetahuan Kader dan Perilaku Asupan

Nutrisi Berhubungan dengan Perubahan Status Gizi Balita , Puskesmas Kawangu, Sumba

Timur. Public Health and Preventive Medicine Archive, 2(1), 33.

20. Mulat, T.C. 2017. Peran Kader Posyandu Terhadap Upaya Peningkatan Status Gizi Balita (3-

5) Tahun Di Wilayah Kerja Puskesmas Batua Kota Makassar. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi

Husada, 5(1), 9-24.

21. Kementerian Kesehatan. 2018. Situasi Balita Pendek (Stunting) di Indonesia. Buletin Jendela

Pusat Data dan Informasi: Semester 1, 2018. ISSN 2088-270 X.

22. WHO. 2018. Child Stunting Data Visualizations Dashboard.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 134

23. Kementerian Kesehatan. 2011. Situasi Diare di Indonesia. Buletin Jendela Pusat Data dan

Informasi: Triulan II, 2011. ISSN 2088-270 X.

24. Husniyawati, Y.R., & Wulandari, R.D. 2016. Analisis Motivasi Terhadap Kinerja Kader

Posyandu Berdasarkan Teori Victor Vroom. Jurnal Administrasi Kesehatan Indonesia,

02(03), 232-241.

25. Yuliantina, Dini., Mursyid, Abidillah. Hubungan Peran Petugas Kesehatan, Tokoh

Masyarakat dan Partisipasi Masyarakat (D/S) dalam Pelaksanaan Posyandu di Kabupaten

Pandeglang Propinsi Banten. Tesis: S2 Kesehatan Masyarakat UGM.

http://etd.repository.ugm.ac.id/home/detail_pencarian/53255

26. Iswarawanti, Nastiti Dwi. 2010. Kader Posyandu: Peranan dan Tantangan Pemberdayaannya

dalam Usaha Peningkatan Gizi Anak di Indonesia. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan,

13(04),169-173.

27. Departemen Kesehatan RI. 2008. Pusat promosi kesehatan, panduan penyuluhan komunikasi

perubahan perilaku, untuk KIBBLA, Jakarta.

28. Nugroho. 2010. Hubungan antara pengetahuan dan motivasi kader Posyandu dengan

keaktifan kader Posyandu di Desa Dukuh Tengah Kecamatan Brebes.

http://jurnal.unimus.ac.id/index.php/FIKkeS/article/view/221

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 135

IDENTIFIKASI KEJADIAN HIPERTENSI DAN OBESITAS SENTRAL PADA

PRA LANSIA

Yeni,

1 Fenny Etrawati,

2 Feranita Utama

3

1Bagian Biostatistik dan Sistem Informasi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Sriwijaya 2Bagian Promosi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya

3Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya

Jl. Palembang Prabumulih KM. 32, Indralaya Indah Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan

Corresponding Email : [email protected]

IDENTIFICATION OF HYPERTENSION EVENTS AND CENTRAL OBESITY IN

PRESENTS

ABSTRACT

At this time there has been an increase in the prevalence of non-communicable diseases in Indonesia,

including cancer, stroke, chronic kidney disease and hypertension. In Ogan Ilir Regency, it is known that the

prevalence of hypertension based on the measurement of blood pressure reached 31.72%. This study aims to

identify the incidence of central hypertension and obesity in pre-elderly in Indralaya Utara District, Ogan

Ilir Regency. The research design was cross sectional. The sample inclusion criteria were residents but in

Ogan Ilir who were 45 to 59 years old. The sample size used in this study was 150 people. The data analysis

used was univariate analysis to see the frequency distribution of respondent characteristics, hypertension

and central obesity. The results showed that the percentage of hypertension in pre-elderly was 34% and the

incidence of central obesity was 73.3%. Men in pre-elderly have more hypertension, while more women

suffer from central obesity. The importance of increasing education about the risk factors for hypertension

and central obesity to the pre-elderly age group.

Keywords: Hypertension, central obesity, pre elderly

ABSTRAK

Pada saat ini telah terjadi peningkatan prevalensi kejadian penyakit tidak menular di Indonesia meliputi

kanker, stroke, penyakit ginjal kronis dan hipertensi. Di Kabupaten Ogan Ilir diketahui bahwa prevalensi

hipertensi berdasarkan hasil pengukuran terhadap tekanan darah mencapai 31,72%. Penelitian ini bertujuan

untuk mengidentifikasi kejadian hipertensi dan obesitas sentral pada pra lansia di Kecamatan Indralaya Utara

Kabupaten Ogan Ilir. Desain penelitian ini adalah cross sectional. Kriteria inklusi sampel adalah penduduk

tetapi di Ogan Ilir yang berusia 45 sampai 59 tahun. Besar sampel yang digunakan pada penelitian ini

sebanyak 150 orang. Analisis data yang digunakan adalah analisa univariat untuk melihat distribusi frekunesi

karakteristik responden, hipertensi dan obesitas sentral. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase

kejadian hipertensi pada pra lansia sebesar 34% dan kejadian obesitas sentral sebesar 73,3%. Laki-laki pada

usia pra lansia lebih banyak menderita hipertensi sedangkan perempuan lebih banyak yang menderita

obesitas sentral. Pentingnya meningkatkan edukasi mengenai faktor risiko hipertensi dan obesitas sentral

kepada kelompok usia pra lansia.

Kata Kunci: Hipertensi, obesitas sentral, pra lansia

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 136

PENDAHULUAN

Beberapa prevalensi penyakit tidak menular di Indonesia mengalami peningkatan

berdasarkan hasil Riskesdas 2018 yaitu kanker, stroke, penyakit ginjal kronis, diabetes melitus, dan

hipertensi..1 Hipertensi disebut sebagai ―the silent killer‖ karena dampaknya yang mengakibatkan

tingkat morbiditas dengan penanganan serius dan mortilitas yang cukup tinggi.2 Case fatalitiy rate

(CFR) penyakit hipertensi di Indonesia mencapai 6,8% menjadikannya sebagai penyebab kematian

ketiga terbanyak di Indonesia pada semua kelompok umur.3

Menurut data Riskesdas 2018, persentase hipertensi di Indonesia berdasarkan hasil

pengukuran tekanan darah mencapai 34,1%.1 Prevalensi kejadian hipertensi meningkat seiring

meningkatnya usia seseorang. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa persentase hipertensi pada

kelompok umur 18 – 40 tahun sebesar 35,2% dan meningkat pada kelompok usia >40 tahun

mencapai 93,1%.4 Prevalensi hipertensi di Provinsi Sumatera Selatan pada kelompok umur pra

lansia telah melebihi angka kejadian hipertensi secara nasional yaitu 40,91% pada kelompok umur

45 tahun sampai 54 tahun dan sebesar 54,08% pada kelompok umur 55 tahun sampai 64 tahun.

Sedangkan di Kabupaten Ogan Ilir diketahui bahwa prevalensi hipertensi berdasarkan hasil

pengukuran terhadap tekanan darah mencapai 31,72%.5

Faktor risiko hipertensi terdiri dari faktor penyebab yang dapat dimodifikasi (diet, obesitas,

merokok, dan penyakit DM) dan faktor penyebab yang tidak dapat dimodifikasi (usia, ras, jenis

kelamin dan genetik).2

Konsumsi tembakau dan alkohol, kelebihan berat badan dan obesitas sentral

juga memiliki hubungan dengan kejadian hipertensi.6 Penyakit kardiovaskuler seperti hipertensi

dan diabetes adalah penyakit utama yang disebabkan oleh obesitas.7 Hasil penelitian terdahulu

menunjukkan bahwa seseorang dengan usia pra lansia yang memiliki obesitas sentral akan berisiko

2,53 kali lebih besar mengalami kejadian hipertensi dibandingkan seorang pra lansia yang tidak

memiliki obesitas sentral.8 Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kejadian obesitas sentral

dan hipertensi pada kelompok pra lansia di Kecamatan Indralaya Utara Kabupaten Ogan Ilir.

METODE

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah analitik secara kuantitatif. Desain

penelitian yang digunakan adalah desain penelitian cross sectional. Lokasi penelitian adalah di

kecamatan Indralaya Utara yaitu desa Tanjung Pering, desa Tanjung Baru dan kelurahan

Timbangan. Sampel penelitian ini adalah semua penduduk kelompok usia pra lansia (usia 45

sampai 59 tahun) dan berdomisili tetap di wilayah Kabupaten Ogan Ilir. Kriteria eksklusi sampel

adalah responden sedang minum obat hipertensi atau sedang hamil. Besar sampel yang digunakan

pada penelitian ini sebanyak 150 orang pra lansia. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini

adalah purposive sampling.

Variabel yang diteliti adalah umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, hipertensi

dan obesitas sentral. Variabel hipertensi diukur melalui pengukuran tekanan darah sistolik dan

diastolik responden. Responden dinyatakan hipertensi apabila hasil pengukuran tekanan darah

sistolik ≥140 mmhg dan tekanan darah diastolik ≥90 mmhg. Sedangkan variabel obesitas sentral

diperoleh melalui pengukuran terhadap lingkar perut responden. Responden laki-laki dikategorikan

mengalami obesitas sentral apabila hasil pengukuran lingkar perut ≥ 90 cm sedangkan responden

perempuan dikategorikan mengalami obesitas sentral jika memiliki lingkar perut ≥ 80 cm. Analisa

data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisa univariat (deskriptif) dengan penyajian data

menggunakan tabel.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 137

HASIL PENELITIAN

Distribusi frekuensi karakteristik responden dan hasil pengukuran terhadap tekanan darah

kelompok pra lansia (usia 45 sampai 59 tahun) dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik responden (n= 150)

Variabel Total Responden

n %

Variabel Kategorik

Jenis kelamin

Laki-laki 47 31,3

Perempuan 103 68,7

Tingkat pendidikan

Tidak sekolah 16 10,7

SD 72 48 SMP 30 20

SMA 27 18

Perguruan tinggi 5 3,3

Pekerjaan

Tidak bekerja 47 31,3

Petani 35 23,3 Pedagang 30 20

Buruh 10 6,7

PNS 2 1,3

Pegawai swasta 10 6,7 Lainnya 16 10,7

Variabel numerik

Umur

Mean 51,45 Standar deviasi 5,239

Minimum 42

Maksimum 59

Tekanan darah sistolik

Mean 134,42

Standar deviasi 23,171 Minimum 90

Maksimum 200

Tekanan darah diastolik

Mean 89,77

Standar deviasi 13,752

Minimum 60 Maksimum 130

Berdasarkan Tabel 1 diatas, hampir dua per tiga total responden (68,7%) adalah laki-laki.

Mayoritas responden berpendidikan Sekolah dasar (SD) sebanyak 48%, dan mayoritas tidak

bekerja sebanyak 31,3%. Rata-rata responden berusia 51,45 tahun dengan standar deviasi 5,239,

rata-rata memiliki tekanan darah sistolik sebesar 134,42 mmhg dengan standar deviasi 23,171 dan

rata-rata memiliki tekanan darah diastolik sebesar 89,77 dengan standar deviasi 13,752.

Tabel 2. Kejadian hipertensi dan obesitas sentral pada pra lansia

Variabel Total Responden

n %

Variabel

Hipertensi

Ya 51 34

Tidak 99 66

Obesitas Sentral

Ya 110 73,3

Tidak 40 26,7

Total 150 100

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 138

Berdasarkan Tabel 2, hampir sepertiga total responden (34%) mengalami hipertensi.

Berdasarkan status obesitas diketahui bahwa mayoritas responden mengalami obesitas sentral

(73,3%).

Tabel 3. Distribusi frekuensi kejadian hipertensi dan obesitas sentral berdasarkan

karakteristik pra lansia

Variabel Hipertensi Obesitas sentral

Ya Tidak Ya Tidak

n % n % n % n %

Jenis kelamin

Laki-laki 24 51,1 23 48,9 30 63,8 17 36,2

Perempuan 27 26,2 76 73,8 80 77,7 23 22,3

Tingkat

pendidikan

Tidak sekolah 6 37,5 10 62,5 12 75 4 25

SD 22 30,6 50 69,4 52 72,2 20 27,8 SMP 8 26,7 22 73,3 21 70 9 30

SMA 11 40,7 16 59,3 21 77,8 6 22,2

Perguruan tinggi 4 80 1 20 4 80 1 20

Pekerjaan

Tidak bekerja 10 21,3 37 78,7 35 74,5 12 25,5

Petani 15 42,9 20 57,1 22 62,9 13 37,1 Pedagang 8 26,7 22 73,3 25 83,3 5 16,7

Buruh 3 30 7 70 7 70 3 30

PNS 1 50 1 50 2 100 0 0

Pegawai swasta 6 60 4 40 6 60 4 40 Lainnya 8 50 8 50 13 81,3 3 18,8

Total 51 34 99 66 110 73,3 40 26,7

Berdasarkan Tabel 3, mayoritas responden mengalami hipertensi adalah laki-laki (51,1%)

dan mayoritas responden yang mengalami obesitas sentral adalah perempuan (77,7%). Berdasarkan

tingkat pendidikan diperoleh hasil bahwa mayoritas kejadian hipertensi dan obesitas sentral terjadi

pada kelompok pra lansia yang berpendidikan perguruan tinggi (80%). Berdasarkan pekerjaan

diketahui bahwa mayoritas hipertensi terjadi pada kelompok pra lansia yang bekerja sebagai

pegawai swasta (60%) sedangkan kejadian obesitas sentral mayoritas terjadi pada kelompok pra

lansia yang bekerja sebagai PNS (100%).

PEMBAHASAN Hipertensi

Sepertiga dari total responden diketahui mengalami hipertensi (tabel 2). Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa rata-rata tekanan darah sistolik pada responden sebesar 134,42 mmhg dan

rata-rata tekanan dara diastolik sebesar 89,77 mmhg (tabel 1). Mayoritas hipertensi yang terjadi

saat ini sebanyak 90% adalah hipertensi esensial (hipertensi primer) yaitu kejadian hipertensi yang

tidak diketahui penyebabnya.9

Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa sebanyak 46%

dari penderita hipertensi tidak mengetahui jika mereka mengalami hipertensi.10

Berdasarkan jenis kelamin diketahui bahwa mayoritas laki-laki mengalami hipertensi (tabel

2). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa kelompok pra

lansia laki-laki lebih berisiko mengalami hipertensi dibandingkan perempuan.11

Perempuan lebih

terhindar dari hipertensi dibanding laki-laki karena adanya hormon estrogen pada perempuan.

Hormon estrogen pada perempuan berfungsi dalam meningkatkan kadar high density lipoprotein

(HDL) yang mempengaruhi proses asteroklerosis. Namun pada saat perempuan telah mengalami

menopause maka risiko hipertensi akan meningkat dibandingkan laki-laki.12

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 139

Mayoritas responden yang berpendidikan perguruan tinggi mengalami hipertensi dan hanya

seperempat dari total responden yang berpendidikan SMP menglami hipertensi (tabel 2). Hasil

penelitian ini berbanding terbalik dengan penelitan sebelumnya dima risiko hipertensi akan

semakin meningkat pada tingkat pendidikan yang rendah.13,14

Pendidikan rendah memiliki

kemungkinan seseorang mengalami hipertensi yang disebabkan kurangnya informasi atau

pengetahuan yang menimbulkan perilaku dan pola hidup yang tidak sehat seperti tidak tahu nya

tentang bahaya, serta pencegahan dalam terjadinya hipertensi.15

Responden dengan pendidikan

tinggi biasanya memiliki pekerjaan tertentu dan hal ini cenderung mempengaruhi aktifitas fisik

mereka. Oleh karena itu, seseorang dengan tingkat pendidikan yang tinggi dapat berisiko lebih

besar mengelami hipertensi karena rendahnya aktifitas fisik mereka meskipun pengetahuan

mengenai hipertensi cukup baik dibanding responden yang berpendidikan rendah.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas responden yang bekerja sebagai pegawai

swasta mengalami hipertensi (tabel 3). Pekerjaan merupakan salah satu faktor risiko terjadinya

hipertensi.10

Hal ini dikarenakan pekerjaan berkaitan dengan tingkat stress seseorang.16

Beban kerja

sebagai pegawai swasta cenderung menimbulkan tingkat stress kerja yang tinggi dikarenakan

tingginya tuntutan dan target dari pekerjaan. Sehingga seseorang yang bekerja sebagai pegawasi

swasta berpeluang menderita hipertensi lebih besar dibanding pekerjaan lain meskpiun aktifitas

fisik mereka cukup baik. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa stress terutama stress

psikososial merupakan faktor risiko terjadinya hipertensi.17

Obesitas sentral

Dua pertiga dari total responden mengalami obesitas sentral (tabel 2). Sebagian besar orang

dengan usia lanjut mengalami obesitas yang mendorong berbagai masalah penyakit degeneratif

seperti penyakit jantung koroner, hipertensi, diabetes melitus, batu empedu, gout (rematik), ginjal,

sirosis hati dan kanker.18

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian obesitas sentral lebih

banyak terjadi pada perempuan dibanding laki-laki (tabel 3). Hasil penelitian ini mendukung

penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa obesitas sentral cenderung lebih banyak pada

perempuan dibandingkan laki-laki.19

Pada wanita, berat badan dipengaruhi oleh beberapa kejadian

seperti kehamilan, kontrasepsi oral dan menopause. Berat badan dan perubahan distribusi lemak

terjadi setelah menopause. Penurunan sekresi estrogen dan progesteron mengubah sel lemak secara

biologis sehingga terjadi peningkatan deposisi lemak sentral.20

Hasil analisis diperoleh bahwa persentase obesitas sentral paling banyak terjadi pada

responden pra lansia yang berpendidikan perguruan tinggi (tabel 3). Hasil penelitian ini

mendukung penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna secara

statistik antara tingkat pendidikan dan obesitas sentral.21

Semakin tinggi tingkat pendidikan

responden maka semakin tinggi persentase kejadian hipertensi (tabel3). Seseorang dengan tingkat

pendidikan tinggi cenderung memiliki status bekerja. Beberapa pekerjaan berisiko adanya aktifitas

fisik yang rendah sehingga mendorong terjadinya obesitas pada mereka.

Berdasakan pekerjaan diketahui bahwa kejadian obesitas sentral mayoritas terjadi pada

pegawai negeri sipil (tabel 3). Hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang

menyatakan ada hubungan antara pekerjaan dan obesitas sentral.22

Sebuah penelitian pada aparatur

sipil negara menunjukkan bahwa faktor yang berhubungan dengan obesitas sentral adalah asupan

serat, asupan lemak dan aktifitas fisik ringan.23

Seseorang yang bekerja sebagai karyawan

perkantoran berpeluang memiliki aktifitas fisik ringan dan pada akhirnya berujung kepada

terjadinya obesitas sentral. Hal ini dikarenakan selama bekerja mereka cenderung lebih banyak

duduk dan kurang gerak. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa seorang pekerja dengan

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 140

aktifias ringan lebih berisiko mengalami obesitas sentral dibandingkan seorang pekerja dengan

aktivitas fisik yang sedang maupun pekerja dengan aktifitas yang berat.24

KESIMPULAN DAN SARAN

Laki-laki pada usia pra lansia lebih banyak menderita hipertensi sedangkan perempuan lebih

banyak yang menderita obesitas sentral. Tingkat pendidikan yang tinggi, status pekerjaan yang

berkaitan dengan aktifitas fisik yang rendah serta tingkat stress yang tinggi dapat meningkatkan

peluang mengalami hipertensi dan obesitas sentral.

Saran dari penelitian ini adalah pentingnya meningkatkan edukasi mengenai faktor risiko

hipertensi dan obesitas sentral kepada kelompok usia pra lansia terutama mereka yang masih aktif

bekerja dengan jenis pekerjaan yang berisiko aktifitas fisik rendah dan tingkat stress yang tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan RI. Hasil Utama Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018. Jakarta;

2018.

2. Nuraini B. Risk factors of hypertension. J Major [Internet]. 2015;4(5):10–9. Available from:

http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/download/602/606

3. WHO. Hypertension [Internet]. 2015. Available from:

http://www.who.int/topics/hypertension/en/

4. Widjaya N, Anwar F, Laura Sabrina R, Rizki Puspadewi R, Wijayanti E. Hubungan Usia

Dengan Kejadian Hipertensi di Kecamatan Kresek dan Tegal Angus, Kabupaten Tangerang.

Yars Med J. 2019;26(3):131.

5. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Laporan Provinsi Sumatera Selatan

Riskesdas 2018. Jakarta; 2019.

6. Singh S, Shankar R, Singh GP. Prevalence and Associated Risk Factors of Hypertension: A

Cross-Sectional Study in Urban Varanasi. Int J Hypertens. 2017;2017.

7. Jiang SZ, Lu W, Zong XF, Ruan HY, Liu Y. Obesity and hypertension (Review). Exp Ther

Med. 2016;12.

8. Kartika J, Purwaningsih E. Hubungan Obesitas pada Pra Lansia dengan Kejadian Hipertensi

di Kecamatan Senen Jakarta Pusat Tahun 2017-2018. J Kedokt dan Kesehat. 2020;16(1):35.

9. Gunawan L. Hipertensi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius; 2007.

10. Widiana IMR, Ani LS. Prevalensi dan karakteristik hipertensi pada pralansia dan lansia di

Dusun Tengah, Desa Ulakan, Kecamatan Manggis. E-JURNAL Med. 2017;6(8).

11. Amanda D, Martini S. HUBUNGAN KARAKTERISTIK DAN OBESITAS SENTRAL

DENGAN KEJADIAN HIPERTENSI. J Berk Epidemiol. 2018;6(1).

12. Alifariki LO dkk. Epidemiologi Hipertensi. Penerbit LeutikaPrio; 2019. 21 p.

13. Kharisyanti F, Farapti. STATUS SOSIAL EKONOMI DAN KEJADIAN HIPERTENSI.

Media Kesehat Masy Indones. 2017;13(3).

14. Tiziana Di Chiara, Alessandra Scaglione, Salvatore Corrao CA, Pinto A, Scaglione R.

Association Between Low Education and Higher Global Cardiovascular Risk. J Clin

Hypertens. 2015;17(5).

15. Maulidina F, Harmani N, Suraya I. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian

Hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Jati Luhur Bekasi Tahun 2018. ARKESMAS.

2019;4(1).

16. Ikhwan M, PH1 I, Hermanto. Hubungan Faktor Pemicu Hipertensi Dengan Kejadian

Hipertensi. J Kesehat. 2017;10(2).

17. Istiana M, Yeni. The Effect of Psychosocial Stress on the Incidence of Hypertension in

Rural and Urban Communities. Media Kesehat Masy Indones. 2019;15(4).

18. Maryam RS, Ekasari MF, Rosidawati, Jubaedi A, Batubara I. Mengenal usia lanjut dan

perawatannya. Jakarta: Salemba medika; 2008.

19. Pramono DSHLA, Yunir E, Subekti I. Obesity and central obesity in Indonesia: evidence

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 141

from a national health survey. Med J Indones. 2018;

20. Hastuti P. Genetika Obesitas. Yigayakarta: Gadjah Mada University Press; 2019.

21. Puspitasari N. Faktor Kejadian Obesitas Sentral Pada Usia Dewasa. HIGEIA J PUBLIC

Heal Res Dev. 2018;2(2).

22. Sugianti E, Hardinsyah, Afriansyah N. FAKTOR RISIKO OBESITAS SENTRAL PADA

ORANG DEWASA DI DKI JAKARTA: Analisis Lanjut Data RISKESDAS 2007. Gizi

Indonesa. 2009;32(2):103–16.

23. Masri E, Nova M, Sari RK. Faktor Risiko Obesitas Sentral Pada Aparatur Sipil Negara

(Asn) Di Kota Padang. Sci J Farm dan Kesehat. 2019;9(1):53.

24. Sonya Rosa, Lolita Riamawati. Hubungan Asupan Kalsium, Air, dan Aktivitas Fisik dengan

Kejadian Obesitas Sentral pada Pekerja Bagian Perkantoran . Amerta Nutr. 2019;3(1):33–9.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 142

IMPLEMENTASI MODEL ARIMA (AUTOREGRESSIVE INTEGRATED MOVING

AVERAGE) GUNA PERAMALAN KASUS DEMAM BERDARAH DENGUE

DI KOTA SEMARANG

Roro Kushartanti,

1 Maulina Latifah,

2

1Program Studi Kesehatan Masyarakat STIKES HAKLI Semarang

2Program Studi Kesehatan Lingkungan STIKES HAKLI Semarang

Jl. Dr Ismangil No. 27 Bongsari Semarang Barat Kota Semarang Jawa Tengah 50148

Corresponding email : [email protected]

IMPLEMENTATION OF THE ARIMA (AUTOREGRESSIVE INTEGRATED MOVING

AVERAGE) MODEL USING FORECASTING CASE OF Dengue Hemorrhagic Fever

IN THE SEMARANG CITY

ABSTRACT

Forecasting is an activity of predicting something what will happen in the future with a relatively long time,

with calculation analysis techniques carried out with quantitative and qualitative approaches. ARIMA is a

time series forecasting method that does not require a specific data pattern. This aims study is to analyze the

forecasting DHF cases in the Semarang City especially in the Rowosari Community Health Centre working

area. Data used with monthly data of DHF cases in 2016, 2017, and 2019 as many as 36 datas. This

research is a non-reactive (unobstructive) research which doesn’t require a response from the research

subject and the researcher haven’t interact with the research subject. The best ARIMA model for forecasting

is a model that have requirement for parameter significance, white noise and has smallest MAPE (Mean

Absolute Percentage Error) value. The results is show that the best model for predicting the number of

dengue cases in Rowosari Community Health Centre is : ARIMA model (1,1,1) with a MAPE value of

61.37% and significance coefficient 0.009. ARIMA model (1,1,1) is suitable and feasible to be used for

predicting dengue cases. The data period used can be more coherent, as well as data processing and

analysis, apart from using SPSS 23, it can also be done using the help of several other software, such as

Minitab and Eviews.

Keywords : Forecasting, ARIMA, Dengue Hemmorhagic Fever

ABSTRAK

Peramalan merupakan aktivitas memprediksi atau memperkirakan apa yang akan terjadi di masa yang akan

datang dengan waktu yang relatif lama, dengan teknik analisa perhitungan yang dilakukan dengan

pendekatan kuantitatif maupun kualitatif. ARIMA merupakan salah satu metode peramalan time series yang

tidak mensyaratkan adanya suatu pola data tertentu. Tekait hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk

menganalisis peramalan kasus DBD Kota Semarang secara khusus di wilayah kerja Puskesmas Rowosari.

Data yang digunakan yaitu data bulanan kasus DBD di wilayah kerja Puskesmas Rowosari tahun 2016, 2017,

dan 2019 sebanyak 36 data. Penelitian ini merupakan penelitian non-reaktif (unobstructive) yang tidak

memerlukan respon dari subyek penelitian serta peneliti tidak melakukan interaksi terhadap subyek

penelitian. Model ARIMA terbaik untuk peramalan adalah model yang memenuhi syarat signifikasi

parameter, white noise dan memiliki nilai MAPE (Mean Absolute Percentage Error) yang terkecil. Hasil

analisis menunjukkan model terbaik untuk peramalan jumlah kasus DBD di wilayah kerja Puskesmas

Rowosari Kota Semarang adalah model ARIMA (1,0,0) dengan nilai MAPE 43,98% serta koefisien

signifikansi sebesar 0,353. Dengan demikian model ARIMA (1,0,0) cocok dan layak digunakan untuk

peramalan kasus DBD di wilayah kerja Puskesmas Rowosari Kota Semarang. Saran yang dapat disampaikan

yaitu periode data yang digunakan dapat lebih banyak dan runtut, serta pengolahan dan analisis data selain

menggunakan bantuan software SPSS 23 juga dapat dilakukan dengan menggunakan bantuan beberapa

software lainnya yaitu Minitab dan Eviews.

Kata Kunci: Peramalan, ARIMA, Demam Berdarah Dengue

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 143

PENDAHULUAN

ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average) merupakan salah satu model

peramalan yang secara penuh mengabaikan variabel independen, merupakan analisis dan

peramalan data runtun waktu (time series). ARIMA dapat digunakan untuk peramalan jangka

pendek, menengah, dan panjang, namun lebih tepat digunakan untuk peramalan jangka pendek.

Model ini terdiri dari tiga langkah dasar yaitu tahap identifikasi, tahap penaksiran dan pengujian,

dan penaksiran diagnostik. ARIMA merupakan penggabungan antara model AR (Autoregressive), I

(Integrated), dan MA (Moving Average).1

Model ARIMA secara umum ditulis dengan (p,d,q) yang berarti model ARIMA terdiri dari

derajat AR (p), derajat pembeda d dan derajat MA (q). Selain memiliki fungsi peramalan secara

kuantitatif berdasarkan deret waktu, juga dapat menggambarkan perkembangan suatu kegiatan atau

kondisi tertentu.2

Kondisi yang digambarkan bersifat umum, yaitu dapat diaplikasikan pada

berbagai fenomena berbeda seiring berjalannya waktu termasuk dalam bidang kesehatan

masyarakat. Salah satu masalah kesehatan masyarakat yang patut menjadi perhatian adalah Demam

Berdarah Dengue.

Penyakit DBD di Kota Semarang merupakan penyakit endemis dan sering menyebabkan

Kejadian Luar Biasa (KLB). Case Fatality Rate (CFR) DBD di Kota Semarang adalah 1,72%

(standar <1%). Urutan Incidence Rate (IR) dari mulai yang terbesar di adalah Kelurahan

Tembalang, Srondol Kulon, Karangrejo, Sampangan, Lamper Lor, Mijen, Brumbungan, Jomblang,

Karangsari, dan Meteseh.3

Melihat perkembangan kasus DBD di Kota Semarang, serta fakta bahwa

Puskesmas Rowosari yang wilayah kerjanya meliputi daerah endemis DBD, belum pernah

dilakukan peramalan kasus DBD. Oleh sebab itu, perlu suatu metode peramalan untuk meramalkan

jumlah kasus DBD pada tahun yang akan datang sebagai langkah preventif untuk mencegah

terjadinya peningkatan kasus DBD. Data pengamatan jumlah kasus DBD dapat dilihat sebagai data

time series. Data tersebut dapat disajikan melalui model ARIMA.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan model terbaik peramalan ARIMA serta

menganalisis hasil peramalan kasus DBD di wilayah kerja Puskesmas Rowosari.

METODE

Penelitian ini merupakan desain studi non-reaktif (unobstructive), yaitu peneliti tidak

melakukan intervensi dan tidak memerlukan respon dari subyek penelitian.4

Data penelitian

menggunakan data sekunder yang merupakan data bulanan jumlah kasus DBD yang tercatat dan

dilaporkan di wilayah kerja Puskesmas Rowosari tahun 2016, tahun 2017, dan tahun 2019. Data

tersebut dianalisis menggunakan model ARIMA guna mendapatkan suatu model untuk

meramalkan jumlah kasus penyakit DBD di masa yang akan datang.

Langkah-langkah analisis data terdiri dari tahap identifikasi model meliputi pemeriksaan

stasioneritas data dan identifikasi model sementara; penaksiran parameter dan pengujian diagnosis

meliputi uji kenormalan residual; uji white noise dan uji signifikansi parameter; serta tahap

penerapan meliputi penerapan hasil peramalan dan evaluasi.5

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 144

Gambar 1. Kerangka Kerja Penelitian

HASIL PENELITIAN

Berikut ini merupakan plot data jumlah kasus penyakit DBD di Puskesmas Rowosari Kota

Semarang tahun 2016, tahun 2017, dan tahun 2019.

Gambar 2. Plot ACF dan PACF dan 36 Data Jumlah Kasus Penyakit DBD di Wilayah Kerja

Puskesmas Rowosari yang Telah Stasioner

Plot data Gambar 2 menunjukkan bahwa pada plot ACF terdapat lag yang signifikan yaitu

pada lag 1 dan lag 2, begitu juga pada plot PACF terdapat lag yang signifikan yaitu pada lag 1 dan

2. Pola ACF dan PACF yang signifikan artinya bahwa data telah stasioner dan dapat ditentukan

model-model tentatif ARIMA.

Tabel. 1 Peramalan data masing-masing model

Bulan (p,d,q)

(1,0,0)

(p,d,q)

(0,0,1)

(p,d,q)

(1,1,1)

Data Peramalan Data Peramalan Data Peramalan

Januari 0 3,38 0 3,38 0 3,38

Februari 4 3,35 4 3,36 4 3,36

Maret 5 3,33 5 3,33 5 3,33 April 3 3,31 3 3,31 3 3,31

Mei 4 3,28 4 3,28 4 3,28

Juni 2 3,26 2 3,26 2 3,26

Juli 2 3,23 2 3,23 2 3,23 Agustus 1 3,21 1 3,21 1 3,21

September 6 3,18 6 0 6 0

Oktober 4 3,16 4 0 4 0

November 6 3,13 6 0 6 0 Desember 4 3,11 4 0 4 0

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 145

Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa masing-masing model memiliki hasil prediksi yang

hampir sama. Dari masing-masing model terdapat beberapa nilai yang hampir mendekati nilai data

observasi, namun terdapat pula perbedaan nilai yang cukup jauh dengan data observasi, sehingga

diperlukan perhitungan selanjutnya untuk mencari model yang paling efisien.

Penentuan model yang paling efisien dilakukan dengan cara mencari dahulu nilai kesalahan

untuk masing-masing model, sehingga dapat ditentukan model mana yang paling baik.

Tabel. 2 Validasi Kebaikan Model

ARIMA

(p,d,q)

Estimasi

Parameter

Nilai-p MAPE Nilai-p

LJung

Box

(1,0,0) 0,353 <0,001 43,98% 0,270

(0,0,1) 0,248 0,014 45,04% 0,018

(1,1,1) 0,106 0,001 61,57% 0,496

Berdasarkan Tabel 2 maka diperoleh model terbaik dengan memenuhi prinsip signifikansi

parameter mendekati 1, kesalahan minimum (nilai MAPE terkecil) dan syarat white noise (nilai-p>

0,05) yaitu model ARIMA (1,0,0).

PEMBAHASAN

Hasil dari penelitian ini yaitu menentukan model ARIMA mana yang lebih cocok untuk

digunakan pada data jumlah kasus penyakit DBD. Dari model yang sudah didapatkan, merupakan

data mentah yang dijadikan sebagai input untuk masing-masing model untuk kemudian data

prediksi tersebut dibandingkan dengan data observasi dengan melakukan uji kebaikan untuk

melihat model mana yang lebih cocok, dan hasilnya merupakan data olahan hasil peramalan jumlah

kasus di masa yang akan datang.6

Hasil uji kebaikan pada masing-masing model memiliki nilai R-square yang mendekati 1

(<1), hal ini menunjukkan model time series dapat menjelaskan variabel jumlah kasus penyakit

DBD secara signifikan dengan melibatkan observasi masa lalu.7

Hal ini sesuai dengan hasil

penelitian lain tentang peramalan jumlah penderita DBD di Kabupaten Jombang Jawa Timur

dengan pendekatan fungsi transfer single input menyatakan bahwa terdapat kesamaan trend hasil

peramalan dengan data aktual sebanyak 75% yaitu dikatakan signifikan atau valid.8

Nilai MAPE (Mean Absolute Percentage Error) atau ukuran kesalahan relatif yang terdapat

pada hasil analisis merupakan angka persentase kesalahan hasil pendugaan/peramalan terhadap

hasil aktual selama periode waktu tertentu.9 Nilai MAPE pada model ARIMA (0,0,1) sebesar

45,04%. Semakin kecil nilai MAPE maka semakin kecil kesalahan hasil pendugaan. Hasil suatu

metode pendugaan mempunyai kemampuan peramalan sangat baik jika nilai MAPE <10% dan

mempunyai kemampuan pendugaan baik jika nilai MAPE 10-20%. Residual pada model ini sudah

bersifat acak. Hal ini dibuktikan dengan indikator Box L-Jung statistik yang memiliki nilai-p >0,05.

Hasil analisis peramalan mengenai jumlah kasus DBD di wilayah kerja Puskesmas Rowosari

Kota Semarang menyatakan bahwa jumlah kasus berkisar 3-4 kasus tiap bulan, dan akan menurun

di bulan September. Hasil ini dimungkinkan karena pada bulan September sudah memasuki musim

kemarau, dan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kebersihan

sehingga populasi vektor nyamuk Aedes aegypti mulai berkurang.10

Metode Peramalan dengan menggunakan model ARIMA dapat diaplikasikan bagi

Puskesmas guna mencegah terjadinya kenaikan insidensi atau Kejadian Luar Biasa terutama

penyakit menular yang disebabkan oleh vektor.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 146

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian, untuk data prediksi jumlah kasus penyakit DBD dengan

menggunakan model time series ARIMA berdasarkan nilai R-square dan nilai MAPE, model yang

paling baik adalah model (1,0,0). ARIMA memiliki perfomansi yang baik untuk memprediksi

jumlah suatu masalah di masa yang akan datang dengan durasi waktu jangka pendek, sebagai

langkah preventif mencegah penyakit DBD.

Saran bagi Puskesmas Rowosari Kota Semarang dan Dinas Kesehatan Kota Semarang

diharapkan bisa menerapkan metode peramalan atau memberikan pelatihan khusus kepada staf

yang terkait untuk bisa mengetahui prediksi jumlah kasus penyakit DBD di masyarakat guna

mencegah peningkatan insidensi penyakit DBD terutama di musim penghujan dan mencegah

terjadinya KLB (Kejadian Luar Biasa).

Bagi penelitian selanjutnya diharapkan dapat mencoba metode ARIMA dengan

menggunakan software lain selain SPSS dan mengkombinasikan dengan variabel lain yang

mendukung agar tingkat keakuratan hasil peramalan menjadi lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Makridakis spyros. 2013. Metode dan Aplikasi Peramalan. Jakarta : Erlangga.

2. Ali baroroh. 2013. Analisis Multivariat dan Time Series dengan SPSS 21, edisi I. Jakarta : PT

Elex Media Komputindo.

3. Dinas Kesehatan Kota Semarang. 2017. Profil Kesehatan Kota Semarang Tahun 2017.

Semarang : Dinas Kesehatan Kota Semarang.

4. Burhan bungin. 2013. Penelitian Kualitatif. Jakarta : Kencana Perdana Media Grup.

5. R Martinez, 2017. Geographic Information System for Dengue Prevention and Control.

Scientific Working Group. Report on Dengue. 1-5 October 2016. Geneva, Switzerland,

Copyright World Health Organization on behalf of the Special Programme for Research and

Training in Tropical Disease. Diakses di :

http://www.who.int/tdr/publications/publications/swg_dengue_2.htm tanggal 15 Maret 2019.

6. F. N Hadiansyah. 2017. Prediksi Harga Cabai dengan Pemodelan Time Series ARIMA. Ind

Journal on Computing. Vol.2, Issue I, Maret 2017. Pp 71-78.

7. A. Colin, et al. 1995. An R Squared measured of goodness of fit for some common non linear

regressing models.

8. Soediono, Tito D. 2019. Peramalan Jumlah Penderita Demam Berdarah Dengue di Kabupaten

Jombang Jawa Timur Dengan Pendekatan Fungsi Transfer Single Input. Jurnal Matematika,

Statistika, dan Komputasi. Vol.15, No 2, 10-19. http://journal.unhas.ac.id/index.php/jmsk

9. Willmatt J Cort dan Matsuura kenji. 2015. Advantages of the Mean Absolute Error (MAE)

Over the Root Mean Square Error (RMSE) in Assessing Average Model Performance.

Department of Geography. University of Daleware. Newyork, USA.

10. Ika Milasari. 2018. Peramalan Jumlah Penderita Demam Berdarah Menggunakan Model

ARIMA Musiman (Studi Kasus di RSUD Kabupaten Sidoharjo. Skripsi. Jurusan Matematika,

Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Malang : Malang.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 147

STUDI PENERAPAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (K3)

DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PRAMBANAN

(RUMAH SAKIT TIPE C) KABUPATEN SLEMAN

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Haidar Prawira

1, Ariyanto Nugroho

2, Theresia Puspitawati

3

1Rumah Sakit Umum Daerah Pesawaran Lampung

2,3 Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Respati Yogyakarta

Corresponding email : [email protected], [email protected]

OCCUPATIONAL SAFETY AND HEALTH IMPLEMENTATION STUDY

AT PRAMBANAN REGIONAL GENERAL HOSPITAL

(C TYPE C HOSPITAL) SLEMAN DISTRICT, YOGYAKARTA

ABSTRACT

Hospital is health care institution that provide individual holistic health services: inpatient, outpatient and

emergency service. Type C hospital is hospital that held 24 hours a day continously so the risk of accident is

very high. Occupational Health and Safety (K3KRS) is an effort to create a safe, healthy, hazard -free

workplace and environment pollution, so as to reduce and or be free froom occupational disease and workd

accident hospital. To know how to implement occupational safety and health (K3) at Prambanan Regional

General Hospital (Type C Hospital) Sleman District, Yogyakarta. It was qualitative research with a case

study approach and conducted at Prambanan Regional Hospital Sleman DIstrict, Yogyakarta. involved 6

informants, 2 as key informants and 4 as triangulation informants. Purposive sampling technique sampling.

Prambanan Hospital already has commitment and formation of K3RS . Program units include employee

health care, safety and security, hazardous materials, disaster preparedness, fire safety, medical equipment,

utility systems and staff education. In the implementation of the K3RS team communicates to all workers and

involves each work unit, but there are some obstacles namely lack of human resources, there are evaluation

meetings but not yet carried out regularly, there are still workers who are less aware of the importance of

K3. Prambanan Hospital has been to implement the program of K3 standards in the workplace implemented

by the K3RS team starting from commitment, program plan, implementation and evaluation. The problem

that arises is the lack of human resources, there are evaluation meetings but it has not been carried out

regularly, there are still workers who are unaware of the importance of K3

Keywords: K3 i, K3RS, SMK3RS, Implementation

ABSTRAK

Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan

secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Rumah sakit tipe C

merupakan salah satu rumah sakit yang diselenggarakan 24 jam sehari secara terus menerus sehingga resiko

terjadinya kecelakaan sangat tinggi. Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Rumah Sakit (K3RS) merupakan

suatu upaya dalam menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari bahaya serta pencemaran

lingkungan, sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari Penyakit Akibat Kerja dan Kecelakaan Kerja di

rumah sakit. Mengetahui bagaimana penerapan Keselamatan Dan Kesehatan Kerja (K3) di Rumah Sakit

Umum Daerah Prambanan (Rumah Sakit Tipe C) Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Penelitian dilakukan di Rumah

Sakit Umum Daerah Prambanan Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta melibatkan 6 informan, 2

sebagai informan kunci dan 4 sebagai informan triangulasi. Teknik sampling purposive sampling. RSUD

Prambanan sudah memiliki komitmen dan pembentukan tim K3RS berdasarkan kebijakan NOMOR:

445/088/A/RSUD Prambanan/2015 yang ditandatangani oleh direktur. Unit program yang dimiliki antara lain

pemeliharaan kesehatan karyawan, keselamatan dan keamanan, bahan berbahaya, kesiapsiagaan menghadapi

bencana, pengamanan kebakaran, peralatan medis, sistem utiliti dan pendidikan staf. Dalam pelaksanaan tim

K3RS mengkomunikasikan keseluruh pekerja dan melibatkan setiap unit kerja, namun terdapat beberapa

kendala yaitu kurangnya SDM, ada rapat evaluasi namun belum terlaksana dengan rutin, masih terdapat

pekerja yang kurang sadar pentingnya K3. RSUD Prambanan sudah melaksanakan program penerapan

standar K3 di tempat kerja yang dilaksanakan oleh tim K3RS mulai dari komitmen, rencana program,

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 148

pelasanaan dan evaluasi. Kendala yang muncul yaitu kurangnya SDM, ada rapat evaluasi namun belum

terlaksana dengan rutin, masih terdapat pekerja yang kurang sadar pentingnya K3

Kata Kunci: Penerapan K3, K3RS, SMK3R

PENDAHULUAN

Satu pekerja di dunia meninggal setiap 15 detik karena kecelakaan kerja dan 160 pekerja

mengalami sakit akibat kerja. Kerugian akibat kecelakaan kerja mencapai 4% dari GDP (Gross

Domestic Product) suatu negara. Artinya dalam skala industri, kecelakaan dan penyakit akibat

kerja menimbulkan kerugian 4% dari biaya produksi berupa pemborosan terselubung (hidden cost)

yang dapat mengurangi produktivitas yang pada akhirnya dapat mempengaruhi daya saing suatu

Negara 1

(Ramli, 2013) . Kecelakaan kerja juga mengakibatkan dampak sosial yang besar, yaitu

menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat, khususnya mereka yang menjadi korban kecelakaan

dan keluarganya. Oleh karena itu, gerakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) menjadi

prioritas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan Kecelakaan kerja di

wilayah Jateng-DIY hingga Mei 2016 mencapai 13.386 kasus, , 222 mengakibatkan kecacatan, dan

225 kematian2 . Kasus kecelakaan kerja di DIY per Februari 2017 sebanyak 383 yang secara

prosentase meningkat 85% dibandingkan tahun sebelumnya terjadi 206 kasus menurut data dari

BPJS Ketenagakerjaan DIY3.

Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Rumah Sakit (K3RS) merupakan suatu upaya dalam

menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari bahaya serta pencemaran lingkungan,

sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakaan

Kerja (KK) di rumah sakit. Rumah sakit dituntut untuk melaksanakan upaya K3 yang dilaksanakan

secara terintegrasi dan menyeluruh sehingga risiko terjadinya penyakit akibat kerja (PAK) dan

kecelakaan akibat kerja (KAK) di rumah sakit dapat dihindari. Sejalan dengan Permenkes No. 66

tahun 2016 disebutkan bahwa setiap rumah sakit wajib menyelenggarakan K3RS yang terdiri dari

membentuk dan mengembangkan SMK3 RS serta menerapkan standar K3RS. Penelitian ini

bertujuan yntuk melihat penerapan Keselamatan Dan Kesehatan Kerja (K3) di Rumah Sakit

Umum Daerah Prambanan (Rumah Sakit Tipe C) Kabupaten Sleman Daerah Istimewa

Yogyakarta4.

METODE

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Informan

penelitian meliputi Ahli K3/Tim K3 (ketua dan sekretaris) Rumah Sakit Umum Daerah Prambanan

Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta, petugas pelayanan medis (perawat dan analis

kesehatan) serta petugas pelayanan non medis (petugas tata usaha dan praktikan) . Teknik sampling

purposive sampling

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Manajemen Risiko Keamanan dan Keselamatan Kondisi Darurat dan Bencana

di RSUD Prambanan

a. Manajemen risiko

Manajemen risiko telah dilakukan mulai dari menentukan konteks, kemudian

mengidentifikasi risiko bersama dengan yang bertanggung jawab di setiap unit, kemudian

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 149

menentukan mana yang harus dikendalikan terlebih dahulu, setelah itu dikomunikasikan kepada

seluruh pekerja melalui rapat atau pertemuan- pertemuan yang melibatkan setiap unit dari rumah

sakit.

Edukasi untuk manajemen risiko di K3 sosialisasikan melalui in house training semua

sudah dilakukan, pokoknya semua yang mengakibatkan munculnya mengakibatkan

suatu kecelakaan kerja semuanyakan suruh melaporkan. Nah cuman kan ada contoh-

contoh seperti ya bagaimana untuk bekerja yang aman, seperti itu..‖ (IT1)

b. Keselamatan dan keamanan

Hasil wawancara dengan informan kunci keselamatan dan keamanan telah dilaksanakan

melalui upaya- upaya pengendalian yang telah disediakan untuk untuk meminimalisir potensi yang

muncul agar memberikan rasa aman dan nyaman kepada para pekerja maupun pengunjung selama

beraktifitas di lingkungan RSUD Prambanan.

―.. banyak program, contoh... yang sering rawan di rumah sakit pasiennya bayi .... kita

ada satpam juga ada monitoring CCTV nya, itu mungkin keselamatan untuk pencurian

ya, meskipun puncuri itu lebih tahu celahnya cuman kita punya untuk antisipasinya..‖

(IT2)

Lokasi, teknis bangunan rumah sakit sesuai dengan fungsi, kenyamanan dan kemudahan

dalam pemberian pelayanan serta pelindungan semua orang serta prasarana rumah sakit harus

memenuhi standar pelayanan, keamanan, serta keselamatan dan kesehatan kerja penyelanggara

rumah sakit 5.

―..dengan pemasangan tanda- tanda misalnya ada tanda larangan- larangan misalnya

lantai licin seperti itu, terus e ada penyiapan dan pemantauan fasilitas keamanan pasien

ada neskol, trali, hendrail, misal yang ada di bangsal- bangsal itu itu lho mas apa untuk

pegangan pasien itu lho..‖ (IK2)

c. Pencegahan dan Pengendalian Kebakaran

Pencegahan kebakaran adalah upaya yang dilakuka untuk mencegah terjadinya kebakaran

sedangkan pengendalian kebakaran merupakan upaya yang dilakukan untuk memadamkan api

pada saat terjadi kebakaran dan setelahnya.

―sudah ada di beberapa tempat itu sudah ada terdapat alat kebakaran, itu yang gas itu ya,

terus di ruang- ruang perawat dan bangsal itu tersedia helm, itu helm itu terbagai menjadi

beberapa warna..‖ (IT3)

d. Kesiapsiagaan menghadapi kondisi darurat atau bencana

Untuk kesiapsiagaan menghadapi kondisi darurat dan bencana di RSUD prambanan sudah

dibentuk tim HDP (Hospital Disaster Plan)yang dibuat berdasarkan surat keputusan yang

ditandatangani oleh direktur RSUD Prambanan. Tim ini bertugas mengidentifikasi risiko

terjadinya bahaya bencana dari luar maupun dari dalam rumah sakit.

..ada smoke detector jadi ada detektor asap nggeh disetiap ruang seperti aula, di

ruang P2SPK nggeh jadi nanti ketika ada asap kebakaran itu udah ada bunyi alarm jadi

semua alrm itu denger ternyata ada asap nanti mereka sudah siap siaga. Disitu kita niku

mas, memasang tanda awas bencana kebakaran, terus ada larangan dilarang merokok juga..‖

(IK2)

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 150

Penanggulangan bencana adalah upaya berkelanjutan untuk mengurangi dampak bencana

terhadap manusia dan harta benda. Upaya penanggulangan bencana secara garis besar meliputi,

kesiapsiagaan terutama institusi termasuk pelayanan kesehatan untuk melakukan tindakan dan cara-

cara menghadapi bencana dan penanggulangannya5.

―..Kalau bencana internal rumah sakit apa yang muncul dis itu yang dimungkinkan bisa

muncul apa kebakaran apakah ledakan, apakah keracunan, apakah dari ledakan kompor dari

ledakan dari gas atau apa itu ada, ada semacam apa identifikasi. Kemudian juga ada kalau

eksternal itu apa saja itu juga apa gempa bumi, atau longsor, atau gunung merapi itu juga ada

kita indentifikasi, kemudian kalau yang ada di internal ya apa yang paling kumingkinan besar

ada ya itu kita minimalisir, nah itu juga ada semacam apa simulasi juga kalau diinternalkan

juga bagaimana mengidentifikasi apa mengantisipasi apa dan sebagainya, tapi kalau kita

menghadapi eksternal bagaimana kita menggerakan tenaga kita..‖ (IK1)

RSUD Prambanan memiliki upaya- upaya dalam menghadapi bencana dan

penanggulangannya, dengan tujuan meminimalkan dampak terjadinya kejadian akibat kondisi

darurat dan bencana. RSUD Prambanan juga menyiapkan tim tanggap darurat bencana, menyusun

standar prosedur operasional tanggap darurat bencana dan melakukan simulasi- simulasi mengenai

tanggap darurat bencana.

2. Pelayanan Pemeriksaan Kesehatan Pekerja di RSUD Prambanan

Pemeriksaan kesehatan dilakukan mulai dari calon menjadi pekerja sampai saat bekerja.

Pemeriksaan kesehatan pekerja rutin tahunan baru saja dilakukan pada bulan Juli untuk yang tahun

2018. Pemeriksaan kesehatan yang ditujukan kepada SDM rumah sakit yaitu dengan tujuan

peningkatan dan pemeliharaan derajat kesehatan fisik, mental dan sosial yang setinggi- tingginya

bagi pegawai di semua jenis pekerjaan, pencegahan terhadap gangguan kesehatan pekerja yang

disebabkan oleh kondisi pekerjaan, perlindungan bagi pekerja. Informan kunci juga menyatakan

bahwa terdapat pemeriksaan khusus pada pekerja serta pemberian imunisasi4.

Standar pelayanan kesehatan kerja di rumah sakit perlu dilakukan dengan melakukan

pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja, melakukan pemeriksaan berkala bagi pekerja di rumah

sakit, pemeriksaan khusus dilakukan kepada SDM rumah sakit yang terdapat dugaan- dugaan

tertentu mengenai gangguan- gangguan kesehatan perlu dilakukan pemeriksaan khusus sesuai

dengan kebutuhan. Pemeriksaan kesehatan khusus diadakan pula apabila keluhan- keluhan diantara

SDM rumah sakit, atau atas pengamatan dari organi pelaksanan K3RS 5.

RSUD Prambanan memiliki program pemeriksaan kesehatan kepada pekerja dmulai dari

pemeriksaan kesehatan sebelum diterima menjadi pekerja atau karyawan di RSUD Prambanan,

pemeriksaan kesehatan rutin tahunan dan pemeriksaan lanjut untuk yang terdiagnosa memiliki

penyakit tertentu. Namun, program ini memiliki kekurangan yakni belum memiliki program

pemeriksaan kesehatan pasca bekerja untuk karyawan yang telah pensiun.

3. Pengelolaan Sarana Prasarana dan Limbah

a. Pengelolaan Prasarana RSUD Prambanan

RSUD Prambanan mengupayakan ketersediaan prasarana sebagai penunjang seperti air,

listrik, jaringan komunikasi, gas medis dan lain- lain agar dapat tetap dapat digunakan selama 24

jam dengan pemberian upaya alternatif jika terdapat kendala pada sumber utama.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 151

..kita selain mengadakan apa namanya mm.. subtitusinya kalau itu gagal jadi kalau ada

listrik ya ada gensetnya, kalau ada air sumur ya ada air PDAMnya, ..Kalau untuk gas medis

ya untuk upaya kita mungkin dulu pasien dikit kita pakai tabung karena kita pelayanan dari

manual kita tingkatkan menjadi sentral..‖ (IT2)

RSUD Prambanan merupakan rumah sakit tipe C Menurut Permenkes Nomor 56 tahun 2014

rumah sakit tipe C menyediakan pelayanan darurat yang artinya disenggarakan 24 jam sehari secara

terus menerus sehingga harus ada pula prasarana nonklinik yang dapat selalu berfungsi untuk

menunjang keberlangsungan pelayanan yang mendasar yaitu perawatan yang aman7. Pengelolaan

prasarana di rumah sakit sudah memiliki prasarana penunjang yang terolah. Menurut Permenkes

Nomor 66 tahun 2016 mengenai pengelolaan prasarana rumah sakit atau sistem utilitas memiliki

sasaran seperti air bersih dan listrik tersedia selama 24 jam, rumah sakit mengidentifikasi area dan

layanan yang memiliki kontaminasi atau gangguan listrik dan air, penyediaan sumber- sumber

alternatif dalam keadaan darurat. Tata udara, gas medis, sistim kunci, sistim perpipaan limbah

berfungsi dengan ketentuan4..

Kegiatan dalam pengelolaan prasarana mulai dari invetarisasi dan melibatkan pihak ke tiga

jika terdapat perbaikan yang tidak mampu dikerjakan oleh petugas. Kendala dalam pengelolaan

prasarana yaitu kurangnya sumbaya manusia dalam pengelolaan prasarana.

b. Pengelolaan Peralatan Medis

Pengelolaan peralatan medis, terdapat pemeliharaan rutin yang dilakukan IPSRS maupun

pihak ke tiga dalam hal perbaikan. Kalibrasi juga dilakukan untuk kepentingan ketepatan

penghitungan ataupun yang lain mengenai alat medis.

―..pemeliharaanya itu juga di IPSRS. Nanti ya kita di IGD kita hanya

menyimpan di tempat yang disediakan, kalau ada kerusakan nanti kita telfon

bagian yang bersangkutan, seperti itu‖ (IT1)

Peralatan medis merupakan sarana pelayanan di rumah sakit dalam meberikan tindakan

kepada pasien baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengelolaan peralatan medis dari

aspek keselamatan dan kesehatan kerja adalah upaya memastikan sistem peralatan medis aman

dan dapat melindungi bagi sumber daya manusia rumah sakit, pasein maupun pengunjung4.

c. Pengelolaan Bahan berbahaya dan Beracun (B3)

Prinsip dasar pencegahan dan pengendalian B3 yaitu dimulai dari identifikasi semua B3 dan

instalasi yang akan ditangani untuk mengenal ciri- ciri dan karakteristik, sumber informasi

didapatkan dari MSDS, setelah itu evaluasi, pengendalian sebagai alternatif, seperti melakukan

administrasi, pemasangan label7. Untuk mengurangi risiko karena penangan bahan berbahaya

yaitu salah satunya dengan upaya subtitusi atau mengganti penggunaan bahan berbahaya dengan

bahan yang kurang berbahaya.

―..kita kumpulkan kan kita ada anu ya tempat sampah yang kita pilahkan sampah medis,

sampah- pah non medis. Sampah medis kita anukan sendiri dengan plastik warna kalau gak

salah kuning atau apa itu, kemudian dari itu kita tutup kita kumpulkan kita simpan di TPS,

setelah di TPS itu kita bekerja sama dengan pihak ketiga karena untuk pemusnahan sampah

mediskan harus ada tata cara sendiri..‖ (IK1)

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 152

Limbah medis atau sampah medis rumah sakit termasuk kedalam kategori limbah berbahaya

dan beracun yang sangat penting untuk dikelola secara benar. Sebagian limbah medis termasuk

kedalam kategori limbah berbahaya dan beracun sebagian lagi termasuk kedalam kategori infeksius

6.

Penanganan keadaan darutan bahan berbahaya dan beracun (B3) yaitu dengan melakukan

pelatihan dan simulasi tumpahan bahan berbahaya dan beracun (B3), menerapkan prosedur untuk

mengelola tumpahan dan paparan bahan berbahaya dan beracun (B3) serta menerapkan mekanisme

pelaporan dan penyelidikan (Investigasi) untuk tumpahan dan paparan bahan berbahaya dan

beracun (B3)4.

4. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah sakit (SMK3RS)

RSUD Prambanan sudah memilki komitmen mengenai K3 ditunjukan dengan pembentukan

tim K3 di RSUD Prambanan yang sudah di tanda tangani oleh Direktur RSUD Pambanan.

Perencanaan program dibuat kemudian baru di komunikasikan kepada seluruh karyawan yang ada

di RSUD Prambanan, kemudian dalam pelakasanaan program berproses dan dilakukan monitoring

untuk perbaikan kedepanya. Evaluasi pelaksanaan dalam bentuk rapat tim K3 belum dilaksanakan

dengan rutin, rapat evaluasi dilaksanakan jika hanya temuan- temuan permasalahan dalam

pelaksanaan.

SMK3 harus ada di rumah sakit karena rumah sakit memiliki potensi bahaya yang besar

seperti, penyebaran penyakit, bahan- bahan kimia yang berbahaya, kecelakaan akibat kerja dan

lain- lain. Menururt Peraturan Pemerintah Nomor 50 tahun 2012 tentang penerapan SMK3, setiap

tempat kerja wajib menerapkan SMK3 di perusahaan yang mempekerjakan lebih dari atau sama

dengan 100 orang atau mempunyai potensi bahaya yang tinggi9. Pengupayaan komunikasi yang

telah dilaksanakan dari tim K3 melalui in house training,

untuk melaksanakan pelaksanakan dengan maksimal memiliki hambatan ―iya. untuk

menjalankan K3 ini ya kendalanya sebenarnya e.. kesadaran dari kita si, jadi kita

misalnya memprogramkan kita jadi kadang ada yang belum tahu, jadi sudah kita

sarankan menggunakan ini, mrnggunakan alat proteksi diri dan sebagainya, kadang kala

ada yang merasa itu belum e.. belum ada yang merasa gak perlu itu sebagainya..‖ (IK1)

Kendala yang terjadi adalah kesadaran karyawan yang merasa tidak perlu dalam penggunaan

alat yang berfungsi melindungi diri dalam melaksanakan pekerja, kemudian masih terdapat

karyawan yang belum memahami mengenai K3 walaupun sudah disampaikan melalui in house

training ataupun rapat, masih terdapat karyawan yang kurang menyadari penting nya K3 dalam

kerja ataupun kurangnya pemhaman mengenai kebijakan ataupun komitmen yang telah diterapkan

di rumah sakit.

Rumah sakit merupakan tempat kerja yaang memilki dampak negatif terhadap timbulnya

penyakit dan kecelakaan akibat kerja 4. Oleh sebab itu rumah sakit perlu melaksanakan prosedur 1)

embuat kebijkan tertulis dari pemimpin rumah sakit; 2) menyediakan organisasi K3RS; 3)

melakukan sosialisasi K3RS pada seluruh jajaran ; 4) membudayakan perilaku K3; 4)

meningkatkan SDM yang profesional dalam bidang K3 di masing- masing unit; 5) meningkatkan

sistem informasi analisis.

RSUD Prambanan sudah memiliki komitmen melaksanakan sistem manajemen

keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit (SMK3RS) yang ditunjukkan dengan kebijakan

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 153

dan pembentukan tim penanggu jawab K3, pembuatan program, pelaksanaan program, evaluasi dan

peningkatan program.. Evaluasi dilakukan dalam rapat pembahasan, namun belum ada rapat rutin

yang dilakukan untuk melakukan penentuan peningkatan program.

KESIMPULAN

RSUD Prambanan sudah memilki komitmen terhadap K3 melalui kebijakan dan

pembentukan tim penanggung jawab K3, memiliki program K3, pelaksaan program K3 yang terus

di monitoring dan perbaikan. Penerapan manajemen risiko yang ada di RSUD Prambanan

dilakukan bersama- sama untuk mengidentifikasi risiko bahaya dan melakukan pemantauan,

perbaikan secara berkala.

Pemeriksaan kesehatan pekerja yang telah dilaksanakan yaitu mulai dari pemeriksaan

kesehatan sebelum diterima menjadi pekerja, pemeriksaan kesehatan rutin tahunan, imunisasi, dan

pemeriksaan lanjutan untuk pekerja yang terdiagnosis penyakit tertentu. Pemeriksaan pasca bekerja

untuk pekerja yang sudah pensiun belum terlaksana di RSUD Prambanan.

Pengelolaan bahan berbahaya dan beracun (B3) telah terlaksana sesuai standar dengan

melibatkan pihak terkait untuk melakukan identifikasi, menyiakan dan memiliki MSDS, pembuatan

tandar prosedur operasional (SPO) dan penanganan keadaan darurat B3.

Kegiatan dalam pengelolaan prasarana mulai dari invetarisasi dan melibatkan pihak ketiga

jika terdapat perbaikan yang tidak mampu dikerjakan oleh petugas. Pengecekan dan pengaktifan

sumber alternatif termasuk dalam program, Kendala dalam pengelolaan prasarana yaitu kurangnya

sumbaya manusia dalam pengelolaan prasarana.

Pemeliharaan peralatan medis seperti sterilisasi dilaksanakan oleh pekerja yang bersangkutan

seperti perawat, bidan, analis. Sedangkan yang bersifat detail seperti pengecekan dan perbaikan

dilaksanakan oleh karyawan pada bagian teknisi yaitu Instalasi Pemeliharaan Sarana dan Prasarana

Rumah Sakit (IPSRS).

Tim K3 sudah melakukan penyusunan pedoman tanggap darurat bencana, membentuk tim

tanggap darurat bencana, menyusun standar prosedur operasional tanggap darurat bencana dan

melakukan simulasi- simulasi mengenai tanggap darurat bencana

ETIKA PENELITIAN

Penelitian ini telah mendapat persetujuan ethical clearence dari komisi etik UNRIYO

khususnya Program Studi S-1 Kesehatan Masyarakat dengan No. 174.1/UNRIYO/PL/VII/2018

DAFTAR PUSTAKA

1. Ramli, S. Pedoman Praktis Manajemen Risiko dalam Perspektiff K3 OHS Risk Management.

Jakarta: Dian Rakyat 2013

2. Iswahyudi.(2016). .Kecelakaan Kerja Tinggi, 21 RS kembangkan Trauma Center.

http://jateng.metrotvnews.com, diperoleh pada 08 Desember 2017

3. Kementerian Kesehatan Reublik Indonesi. (2016). Permenkes Nomor 66 Tahun2016 Tentang

Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Rumah Sakit. Jakarta: Menteri Kesehatan

4. BPJS Ketenagakerjaan Indonesia. (2016). Internet. Jumlah Kecelakaan Kerja Di Indonesia

Masih Tinggi. http://www.bpjsketenagakerjaan.go.id/berita/ 5769/jumlah-kecelakaan-di-

Indonesiamasih-tinggi.html, diperoleh pada 08 Desember 2017

5. Wiarto. Tanggap Darurat Bencana Alam. Surakarta: Gosyen Publising 2017

6. Sucipto. Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Yogyakarta: Gosyen Publishing 2014

7. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2014). Permenkes Nomor 56 Tahun 2014

Tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit. Jakarta: Menteri Kesehatan

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 154

8. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2010). Keputusan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor:1087/MENKES/SK/VIII/2010 Tentang Standar Keselamatan Kerja di

Rumah Sakit. Jakarta: Menteri Kesehatan

9. Republik Indonesia. (2012). Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2012 Tentang Sistem

Menejemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: Kementrian Sekretariatan Republik

Indonesia

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 155

PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI (APD) DI PRAKTIK MANDIRI BIDAN

PADA PERTOLONGAN PERSALINAN

Sugiharti, Heny Lestary, Eva Laelasari Pusat Penelitian dan Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat, Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan

Jl. Percetakan Negara No. 29, Jakarta Pusat, DKI Jakarta

Corresponding email : [email protected]

THE USE OF PERSONAL PROTECTIVE EQUIPMENT (PPE) AMONG INDEPENDENT

MIDWIVERY PRACTICE IN ASSISTING CHILDBIRTH

ABSTRACT

Childbirth is an activity carried out by midwives who are at high risk of being infected with HIV and

hepatitis viruses due to exposure to various patient body fluids, such as blood and amniotic fluid. The use of

personal protective equipment (PPE) can protect the skin and mucous membranes from the risk of exposure

to blood, body fluids, secretions, excreta, non-intact skin and mucous membranes from patient to midwives

and vice versa. This study aimed to describe the use of personal protective equipment among independent

midwifery practice in assisting childbirth. The research design was cross sectional with quantitative and

qualitative methods. The sample of the study was 38 midwives who had worked for at least 3 years in the

midwife's independent practice who became the research analysis unit. Meanwhile, for qualitative in-depth

interviews were conducted with midwives and program officers at the health office. Quantitative results

showed that the PPE used by midwives according to midwives in assisting childbirth were aprons (100%),

gloves (92.1%) and masks (63.2%), and only 18,4% of midwives use PPE in assisting childbirth. It also

found from the qualitative results the reason of not using PPE such as goggles and boots. Most of midwives

experiencing vision disturbance when using googles and difficulty of walking because of wearing heavy and

slippery boots. The PPE most often used by midviwes in assisting childbirth is an apron, gloves and

masks, and most midwives do not use PPE completely to help deliveries. While the reasons for not

using PPE, most of the midwives stated that the use of protective glasses disturbed their eyesight

and that the use of boots was quite heavy and slippery.

Key words : Personal Protective Equipment, midwife, childbirth

ABSTRAK

Persalinan merupakan kegiatan yang dilakukan oleh bidan berisiko tinggi terinfeksi virus HIV dan hepatitis

karena berhubungan dengan cairan tubuh pasien seperti darah dan air ketuban. Penggunaan Alat Pelindung

Diri (APD) dapat melindungi kulit dan membran mukosa dari risiko terpajan darah, cairan tubuh, sekret,

ekskreta, kulit yang tidak utuh dan selaput lendir dari pasien ke tenaga kesehatan dan sebaliknya. Penelitian

ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pemanfaatan alat pelindung diri di praktik mandiri bidan dalam

menolong persalinan. Disain penelitian adalah potong lintang, dengan metode kuantitatif dan kualitatif.

Sampel penelitian adalah 38 orang bidan yang sudah bekerja minimal 3 tahun di praktik mandiri bidan yang

menjadi unit analisis penelitian. Sedangkan untuk kualitatif dilakukan wawancara mendalam dengan bidan,

dan penanggungjawab program di Dinas Kesehatan.Dari hasil kuantitatif menunjukkan bahwa APD yang

digunakan oleh bidan menurut jawaban bidan dalam menolong persalinan adalah apron (100%), sarung

tangan (92,1%) dan masker (63,2%), serta hanya 18,4% bidan yang menggunakan APD secara lengkap

dalam menolong persalinan. Hasil kualitatif didapatkan alasan tidak menggunakan APD, yaitu sebagian besar

bidan menyatakan penggunaan kacamata pelindung mengganggu penglihatan dan penggunaan sepatu boots

berat dan licin. APD yang paling sering digunakan oleh bidan dalam menolong persalinan adalah apron,

sarung tangan dan masker, dan sebagian besar bidan tidak menggunakan APD secara lengkap dalam

menolong persalinan. Sedangkan alasan tidak menggunakan APD, sebagian besar bidan menyatakan bahwa

penggunaan kacamata pelindung mengganggu penglihatan dan penggunaan sepatu boots cukup berat dan

licin.

Kata kunci : Alat Pelindung Diri, bidan, persalinan

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 156

PENDAHULUAN

Kebidanan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan bidan dalam memberikan

pelayanan kebidanan kepada perempuan selama masa sebelum hamil, masa kehamilan, persalinan,

pasca persalinan, masa nifas, bayi baru lahir, bayi, balita, dan anak prasekolah, termasuk kesehatan

reproduksi perempuan dan keluarga berencana sesuai dengan tugas dan wewenangnya1 Persalinan

merupakan kegiatan yang dilakukan oleh bidan, berisiko tinggi terinfeksi virus HIV dan hepatitis

karena berhubungan dengan cairan tubuh pasien seperti darah dan air ketuban2. Risiko penularan

biasanya terjadi karena kecelakaan akibat tertusuk jarum suntik bekas pakai secara tidak sengaja,

pisau bedah, darah atau cairan lain pasien yang terkena luka terbuka tenaga kesehatan 3.

Pencegahan dan pengendalian infeksi di fasilitas pelayanan kesehatan bertujuan untuk

melindungi pasien, tenaga kesehatan, pengunjung yang menerima pelayanan kesehatan serta

masyarakat dalam lingkungannya dengan cara memutus siklus penularan penyakit infeksi melalui

kewaspadaan standar. Kewaspadaan standar adalah kewaspadaan yang diterapkan secara rutin

dalam perawatan seluruh pasien di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, baik yang

telah didiagnosis, diduga terinfeksi atau kolonisasi. Alat Pelindung Diri adalah salah satu

komponen utama dari 11 komponen utama yang harus dilaksanakan dan dipatuhi dalam

kewaspadaan standar 4.

Berdasarkan Permenkes RI No 27 Tahun 2017 tentang Pedoman Pencegahan dan

Pengendalian Infeksi (PPI) di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, alat pelindung diri adalah pakaian

khusus atau peralatan yang di pakai petugas untuk memproteksi diri dari bahaya fisik, kimia,

biologi/bahan infeksius. APD terdiri dari sarung tangan, masker/Respirator Partikulat, pelindung

mata (goggle), perisai/pelindung wajah, kap penutup kepala, gaun pelindung/apron, sandal/sepatu

tertutup (Sepatu Boot). Di dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 28 Tahun 2017 Tentang Izin

dan Penyelenggaraan Praktik Bidan, menyebutkan daftar peralatan praktik bidan yang harus

tersedia antara lain adalah apron atau celemek, kacamata pelindung, sepatu boots, tutup kepala,

sarung tangan, dan masker5. Penggunaan Alat pelindung Diri (APD) dapat melindungi kulit dan

membran mukosa dari resiko pajanan darah, cairan tubuh, sekret, ekskreta, kulit yang tidak utuh

dan selaput lendir dari pasien ke petugas dan sebaliknya 4. APD adalah suatu alat yang mempunyai

kemampuan untuk melindungi seseorang yang fungsinya mengisolasi sebagian atau seluruh tubuh

dari potensi bahaya di tempat kerja 6.

Sebanyak 35 juta petugas kesehatan di seluruh dunia setiap tahun diperkirakan 3 juta petugas

kesehatan terinfeksi penyakit melalui darah, dengan rincian 2 juta terinfeksi Hepatitis B, 900.000

terinfeksi Hepatitis C dan 170.000 terinfeksi HIV. Di negara berkembang lebih dari 90% petugas

kesehatan terinfeksi penyakit 7. Hasil penelitian di Puskesmas Tasikmalaya (2008), sebanyak 31%

perawat tertusuk jarum suntik, 18% perawat tergores pecahan ampul/vial obat dan 51% perawat

terkena cipratan darah/cairan tubuh pasien 8. Sedangkan hasil penelitian Djauhari di Kabupaten

Mojokerto 52,7% bidan desa mengalami luka tusuk jarum suntik 9.

Penelitian Supiana, dkk (2015) di RS PKU Muhamadyah Yogyakarta menunjukkan bahwa

pelaksanaan penggunaan APD di ruang bersalin dan nifas masih belum terlaksana dengan baik 10

.

Sedangkan hasil penelitian Yuliana, dkk (2016) di Kabupaten Bondowoso, bidan menggunakan

APD secara lengkap pada kala I hanya 2,8%, pada kala II dan kala III hanya 11,1% dan semua

bidan tidak menggunakan APD secara lengkap pada kala IV 11

.

Bidan merupakan tenaga kesehatan yang paling berperan (87,8%) dalam memberikan

pelayanan kesehatan ibu hamil dan fasilitas kesehatan yang paling banyak dimanfaatkan ibu hamil

adalah praktik bidan 52,5%. Berdasarkan permasalahan tersebut, pada tahun 2016 dilakukan

penelitian dengan tujuan untuk mengetahui gambaran penggunaan alat pelindung diri di Praktik

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 157

Mandiri Bidan dalam menolong persalinan di Jawa Barat dan Kalimantan Timur. Hal ini penting

untuk mengantisipasi meningkatnya risiko tertularnya bidan pada saat menolong persalinan ibu

yang terinfeksi virus hepatitis ataupun HIV-AIDS, terutama di wilayah Jawa Barat dan Kalimantan

Timur yang merupakan provinsi dengan proporsi pemanfaatan bidan dalam pemeriksaan kehamilan

dan persalinan paling tinggi 12

.

METODE

Penelitian dilakukan pada tahun 2016, dengan lokasi penelitian dilakukan di kabupaten

terpilih di Jawa Barat dan Kalimantan Timur. Disain penelitian adalah cross sectional, dengan

metode kuantitatif dan kualitatif. Populasi penelitian ini adalah Praktik Mandiri Bidan (PMB) di

kabupaten/kota terpilih dan ibu yang pernah menjadi pasien persalinan di PMB yang menjadi unit

analisis penelitian tersebut.

Sampel adalah PMB yang dipilih berdasarkan lama beroperasi, yaitu minimal selama 3 tahun

dengan berdasarkan jumlah sampel minimal, yaitu 38 bidan. Pengambilan sampel dilakukan

dengan cara sampling purposive. Untuk kuantitatif dilakukan wawancara terstruktur dengan

menggunakan kuesioner sedangkan untuk kualitatif dilakukan wawancara mendalam dengan bidan,

dan penanggungjawab program di Dinas Kesehatan.

HASIL PENELITIAN Hasil Kuantitatif

Hasil yang disajikan pada penelitian ini dibagi menjadi hasil kuantitatif dan kualitatif. Hasil

kuantitatif ditampilkan pada tabel 1 sampai dengan tabel 4 seperti di bawah ini. Sedangkan hasil

kualitatif disajikan dalam bentuk kutipan hasil wawancara mendalam dengan para informan.

Tabel 1. Penggunaan Alat Pelindung Diri Bidan Pada Pertolongan Persalinan

Jenis APD N Ya %

Apron 38 38 100,0

Sarung tangan 38 35 92,1

Sepatu boots 38 24 63,2

Masker 38 24 63,2 Kacamata pelindung 38 11 28,9

Tutup kepala 38 7 18,4

Tabel 1 di atas menunjukkan APD yang digunakan oleh bidan pada saat menolong

persalinan. Penggunaan APD yang paling banyak digunakan bidan pada saat menolong persalinan

adalah apron (100%) dan yang paling sedikit digunakan adalah tutup kepala (18,4%). Bidan yang

menggunakan kacamata pelindung juga masih sedikit (28,9%), demikian juga untuk sepatu boots

dan masker (masing – masing hanya 63,2%).

Tabel 2. Penggunaan Alat Pelindung Diri Yang Lengkap Pada Bidan Dalam Pertolongan

Persalinan

Kelengkapan APD N Ya %

Lengkap 38 7 18,4

Tidak Lengkap 38 31 81,6

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 158

Tabel 2 menunjukkan penggunaan APD yang lengkap pada bidan dalam menolong

persalinan. Penggunaan APD yang lengkap dalam hal ini adalah bidan menggunakan semua APD

dalam menolong persalinan. Dari 38 bidan, hanya 7 bidan saja yang lengkap menggunakan APD

dalam menolong persalinan (18,4%).

Tabel 3. Penggunaan Alat Pelindung Diri Yang Lengkap Pada Bidan Dalam Pertolongan

Persalinan Berdasarkan Karakteristik Bidan

Karakteristik

Kelengkapan APD

Ya Tidak

n % n %

Umur

≥ 35 tahun 7 21,2 26 78,8

< 35 tahun 0 0,0 5 100,0 Pendidikan

D4 Kebidanan 2 18,2 9 81,8

D3 Kebidanan 5 18,5 11 81,5

Lama Bekerja ≥10 Tahun 6 18,8 26 81,2

< 10 Tahun 1 16,7 5 83,3

Pada tabel 3 dapat dilihat bahwa karakteristik bidan baik umur, pendidikan dan lama bekerja

mayoritas tidak menggunakan APD secara lengkap. Pada bidan yang berumur ≥ 35 tahun ataupun

bidan < 35 tahun keduanya tidak menggunakan APD secara lengkap (78,8% vs 100%). Secara

pendidikan, baik bidan yang berpendidikan D4 kebidanan ataupun D3 kebidanan, mayoritas tidak

menggunakan APD yang lengkap (81,8% vs 81,5%). Demikian juga halnya dengan lama bekerja,

baik bidan yang sudah bekerja ≥ 10 tahun maupun < 10 tahun, mayoritas sama – sama tidak

menggunakan APD yang lengkap (81,2% vs 83,3%).

Tabel 4. Ketersediaan Alat Pelindung Diri Di Ruang Persalinan Pada Praktik Mandiri

Bidan

Jenis APD N Tersedia %

Apron 38 35 92,1

Sarung tangan 38 37 97,4

Sepatu boots 38 24 63,2 Masker 38 31 81,6

Kacamata pelindung 38 26 68,4

Tutup kepala 38 14 36,8

Pada tabel 4 dapat dilihat ketersediaan APD menurut jawaban bidan, yang terdapat di ruang

persalinan Praktik Mandiri Bidan yang menjadi sampel penelitian. APD yang paling banyak

tersedia menurut jawaban bidan adalah sarung tangan dari 38 bidan yang menjawab tersedia ada 35

bidan (97,4%), dan yang paling sedikit tersedia adalah tutup kepala dari 38 bidan yang menjawab

tersedia ada 14 bidan (36,8%). Secara berturut-turut, ketersediaan APD di ruang persalinan Praktik

Mandiri Bidan yang menjadi sampel adalah sebagai berikut : apron (92,1%), masker (81,6%),

kacamata pelindung (68,4%), dan sepatu boots (63,2%).

Hasil Kualitatif

Selain melakukan pengumpulan data kuantitatif terhadap responden bidan, juga dilakukan

pengumpulan data kualitatif terhadap responden bidan, ketua Ikatan Bidan Indonesia (IBI) dan

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 159

Penanggungjawab program Dinas Kesehatan Kabupaten. Berikut adalah gambaran penggunaan

APD di Praktik Mandiri Bidan.

Berdasarkan hasil kualitatif, untuk penggunaan APD sebagian besar bidan pada saat

menolong persalinan tidak menggunakan lengkap. Di Provinsi Kalimantan Timur dalam menolong

persalinan sebagian besar bidan menggunakan apron, sarung tangan dan masker. Sedangkan di

Provinsi Jawa Barat sebagian besar bidan juga menggunakan apron, sarung tangan dan masker.

Sebagian besar bidan jarang menggunakan tutup kepala, kacamata pelindung dan sepatu boots.

―Apron dan sarung tangan selalu dipakai di ruang bersalin.‖ (Bidan di Kabupaten Kutai

Kartanegara)

―Tiba-tiba dateng sudah bukaan lengkap, kita harus jaga diri. cuci tangan dulu, sarung

tangan lalu pake celemek.‖(Bidan di Kota Samarinda)

―Kalo sudah pembukaan lengkap, kita harus sehati-hati mungkin, semua cairan semua pake

sarung tangan. Kalo pembukaan lengkap pastinya apron, masker dan sarung tangan. Ke

asisten kasih tahu bahwa darah itu semua infeksi.‖(Bidan di Kota Bandung)

Adapun kendala dalam penggunaan APD beberapa bidan mengatakan bahwa sepatu boots

jika digunakan berat dan licin. Untuk kacamata beberapa bidan mengatakan penggunaan kacamata

ketika menolong persalinan mengganggu penglihatan karena kacamata sering turun dan buram.

Beberapa bidan juga mengatakan tidak sempat menggunakan APD lengkap karena pasien sudah

akan melahirkan, yang bisa digunakan hanya sarung tangan.

―Kendala kalo tiba-tiba sudah pembukaan lengkap bingung, biasanya sarung tangan. Yang

kendala tidak dipake kacamata google tidak jelas karena mata sudah plus. Boots juga berat

dan licin. Topi juga jarang. Yang sering dipakai celemek, sarung tangan.‖(Bidan di

Kabupaten Kutai Kartanegara)

―Kalo kacamata dan sepatu gak dipake, sepatu gak enak dipake biasanya pake sendal

tertutup yang agak ringan. Kacamata gak terbiasa karena ngga nyaman. Yang sering dipake

celemek, masker dan sarung tangan.‖(Bidan di Kabupaten Karawang)

Berdasarkan hasil kualitatif Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota mengenai monitoring dan

evaluasi khusus Pengendalian Pencegahan Infeksi di PMB yang di dalamnya termasuk ketersediaan

APD, sebagian besar mengatakan belum ada secara khusus. Kunjungan ke PMB hanya dilakukan

oleh seksi regulasi dinas kesehatan kabupaten/kota untuk penerbitan Surat Ijin Praktek Bidan

(SIPB). Pengawasan pun dilakukan jika ada laporan dari Badan Lingkungan Hidup (BLH) atau

masyarakat mengenai pengelolaan limbah rumah sakit atau klinik mandiri termasuk PMB.

―Belum ada monev khusus, kecuali kunjungan untuk penerbitan atau memperpanjang SIPB‖

(Dinas Kesehatan Kota Bandung)

―Belum ada monev khusus ke PMB. Pengawasan saja dari Dinkes berdasarkan laporan dari

BLH atau masyarakat mengenai pengelolaan limbah RS dan praktik nakes‖ (Dinas

Kesehatan Kota Samarinda)

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 160

PEMBAHASAN

Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan dilakukan dengan

menerapkan kewaspadaan standar. Alat Pelindung Diri adalah salah satu komponen utama dalam

kewaspadaan standar. Pengawasan ketersediaan APD menjadi sangat penting, karena penggunaan

APD untuk mencegah terjadinya transmisi silang dari pasien ke tenaga kesehatan atau sebaliknya.

Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) dapat melindungi kulit dan membran mukosa dari

resiko pajanan darah, cairan tubuh, sekret, ekskreta, kulit yang tidak utuh dan selaput lendir dari

pasien ke petugas dan sebaliknya 4. Dalam hal penggunaan APD sebagian besar bidan baik di

Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Jawa Barat tidak menggunakan APD secara lengkap. Hal

ini sesuai dengan penelitian Supiana (2015) bahwa kepatuhan penggunaan APD di ruang bersalin

rendah 10

. Hal ini tidak sesuai dengan Permenkes No 27 tahun 2017, bahwa penerapan

kewaspadaan standar dimana di dalamnya terdapat 11 komponen utama salah satunya adalah

penggunaan APD, komponen utama tersebut semuanya harus dilaksanakan dan dipatuhi. Dalam

melaksanakan Pengendalian dan Pencegahan Infeksi (PPI), Rumah Sakit, Puskesmas, Klinik,

Praktik Mandiri wajib menerapkan seluruh program PPI. Dimana salah satu kegiatan PPI yang

harus dilaksanakan adalah kewaspadaan standar 4.

Dari hasil kuantitatif dan kualitatif APD yang paling sering digunakan adalah apron, sarung

tangan dan masker. Hal ini sesuai dengan penelitian Musthafa (2016) bahwa APD yang paling

banyak digunakan petugas kesehatan ketika menolong persalinan adalah sarung tangan (96,8%),

masker (83,9%) dan apron (64,5%) 13

. Sarung tangan adalah APD yang paling sering digunakan

oleh petugas kesehatan. Menurut Departemen Kesehatan RI (2010) sarung tangan wajib digunakan

petugas kesehatan pada saat melakukan tindakan yang kontak atau diperkirakan akan terjadi kontak

dengan darah, cairan tubuh, sekret, eksreta, kulit yang tidak utuh, selaput lendir pasien dan benda

yang terkontaminasi 14

.

Meskipun pedoman pengendalian dan pencegahan infeksi telah diatur, namun penerapan

oleh tenaga kesehatan masih dirasa kurang, salah satu penyebabnya adalah kurangnya pemahaman

mengenai kewaspadaan universal. Dari hasil penelitian terhadap perawat di salah satu RS di

Kalimantan Selatan menunjukkan hasil bahwa sebanyak 66,7% responden mempunyai pemahaman

yang kurang terhadap penatalaksanaan kewaspadaan universal dan sebanyak 85% responden

memberlakukan kewaspadaan universal hanya diperuntukkan bagi pasien yang menderita

HIV/AIDS 15

. Pemahaman bagi tenaga kesehatan, khususnya bidan perlu ditingkatkan melalui

sosialisasi maupun pelatihan untuk mencegah terjadinya penularan infeksi penyakit.

Sebagian besar responden penelitian ini juga menyatakan tidak nyaman dalam penggunaan

APD bila harus digunakan secara lengkap. Demikian juga dengan penelitian Yuliana (2016), bahwa

bidan merasa kurang nyaman dalam penggunaan APD secara lengkap pada saat menolong

persalinan. Hal ini dikarenakan bidan merasa tidak nyaman dan malas, serta mengganggap

pemakaian APD mengganggu dan tidak leluasa bergerak yaitu salah satunya sepatu boot 11

.

Menurut Shofia (2016), sebagian bidan di tempat praktik bidan menyatakan bahwa kurang nyaman

dalam penggunaan APD, takut pasien tersinggung dan keterbatasan waktu dalam memakai APD

merupakan alasan bidan tidak menggunakan APD 19

. Berdasarkan hasil penelitian Musthafa (2016),

petugas kesehatan merasa kacamata/glasses tidak dianggap perlu saat akan menolong persalinan,

karena dengan menggunakan kacamata/glasses hanya akan membuat pandangan menjadi kabur.

Sedangkan untuk sepatu boot, sebagian besar petugas kesehatan menggunakan sandal karet selama

menolong persalinan. Menurut petugas kesehatan sepatu boots tidak nyaman dan sulit pada saat

berjalan 13

. Demikian juga dengan penelitian Istiqamah (2019), bahwa bidan dalam pertolongan

persalinan lebih nyaman menggunakan kacamata plus atau minus biasa dan lebih nyaman

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 161

menggunakan sandal jepit dan sandal karet biasa. Sementara untuk penutup kepala sebagian besar

bidan hanya menggunakan jilbab pada saat menolong persalinan16

Alasan ketidaknyaman dalam menggunakan APD selama melakukan kontak dengan pasien

berdeda-beda bagi setiap bidan. Dengan menggali lebih lanjut penyebab ketidaknyamanan tersebut,

diharapkan APD yang dipersyaratkan bagi bidan bisa lebih nyaman digunakan demi keselamatan

bidan. Sebuah penelitian di Jepang mengenai pemilihan sarung tangan dan keluhan dermatitis yang

melibatkan 835 responden bidan, memberikan hasil berikut: sebanyak 30% responden

menggunakan sarung tangan hanya ketika kontak dengan pasien yang mempunyai penyakit infeksi,

41% responden dilaporkan menderita penyakit dermatitis yang diakibatkan oleh pekerjaan, 26%

responden menderita dermatitis akibat menggunakan sarung tangan, dan 2% responden

terdiagnosis alergi terhadap lateks 17

.

Berdasarkan Permenakertrans No.PER.08/MEN/VII/2010 tentang Alat Pelindung Diri

bahwa pengusaha wajib menyediakan APD bagi pekerja di tempat kerja. Pekerja dan orang lain

yang memasuki tempat berisiko, wajib memakai atau menggunakan APD sesuai dengan potensi

bahaya dan risiko. Ketersediaan APD di tempat kerja harus menjadi perhatian managemen

perusahaan dan pekerja untuk mendorong terjadinya perubahan sikap pekerja. Semua fasilitas alat

pelindung diri yang diwajibkan terhadap tenaga perawat dan bidan. Alat pelindung diri harus

tersedia sesuai dengan faktor risiko bahaya yang ada di tempat kerja 18

. Dari hasil penelitian ini

terlihat bahwa ketersediaan APD di ruang bersalin tidak 100% tersedia lengkap. Hal ini sesuai

dengan penelitian Yuliana (2016) dan Nurhayati SA (2016) bahwa responden yang ketersediaan

APD lengkap cenderung cenderung menggunakan APD. Faktor ketersediaan merupakan faktor

yang memfasilitasi bidan untuk selalu menggunakan APD secara lengkap dan kondisi baik pada

saat proses persalinan normal. Hal ini dikarenakan dengan ketersediaan APD secara lengkap, bidan

dapat menggunakan APD secara lengkap saat menolong persalinan normal 11, 19

.

Dari hasil penelitian mengenai kepatuhan perawat dan bidan terhadap kewaspadaan standar

di Nigeria, diperoleh hasil bahwa faktor personal (53,7%) dan faktor institusi (81,6%) ditemukan

mempengaruhi praktik tindakan kewaspadaan standar. Selain itu diperoleh hubungan signifikan

antara tindakan kewaspadaan standar dengan ketersediaan APD. SOP dan kebijakan yang dibuat

harus menjawab kebutuhan tenaga kesehatan untuk mematuhi tindakan kewaspadaan standar,

terlepas dari pengetahuan mereka tentang bahaya infeksi, sehingga baik manajemen ataupun

institusi terkait harus melakukan setidaknya monitoring terhadap ketersediaan APD 20

.

Dari hasil kualitatif, belum ada pengawasan atau monitoring oleh Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota di PMB mengenai PPI yang termasuk di dalamnya adalah APD sebagai komponen

utama kewaspadaan standar. Kunjungan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota hanya dilakukan untuk

penerbitan Surat Ijin Praktek Bidan. Dari hasil penelitian Supiana (2015) diketahui bahwa

monitoring mempengaruhi kebijakan penggunaan APD oleh dokter dan bidan di ruang bersalin dan

nifas. Demikian juga dengan evaluasi penggunaan APD memiliki hubungan yang signifikan

dengan pelaksanaan kebijakan penggunaan APD, terlihat bahwa kurangnya umpan balik supervisi

secara langsung, dalam arti sebagian tidak menerima umpan balik yang menjadi dasar untuk

koreksi kesalahan mereka 10

. Dari hasil penelitian Catu (2019) menyatakan bahwa ada hubungan

yang signifikan antara peraturan dengan penggunaan APD dimana responden yang mengatakan

adanya peraturan memiliki peluang 0,250 kali lebih tinggi untuk patuh menggunakan APD

dibanding dengan responden yang mengatakan tidak ada peraturan 21

. World Health Organization

(WHO) 2008 menyatakan bahwa peningkatan penerapan kewaspadaan standar akan menurunkan

risiko transmisi dengan meningkatkan lingkungan kerja yang aman dan sesuai dengan langkah

yang dianjurkan. Dibutuhkan kebijakan dukungan pimpinan untuk pengadaan sarana, pelatihan

untuk petugas kesehatan, dan penyuluhan untuk pasien serta pengunjung 22

.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 162

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil kuantitatif, APD yang paling sering digunakan oleh bidan dalam

menolong persalinan adalah apron, sarung tangan dan masker, serta sebagian besar bidan tidak

menggunakan APD secara lengkap. Sedangkan dari hasil kualitatif didapatkan bahwa alasan tidak

menggunakan APD, sebagian besar bidan menyatakan bahwa penggunaan kacamata pelindung

mengganggu penglihatan dan penggunaan sepatu boots cukup berat dan licin.

Saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah bahwa diperlukan upaya

monitoring dan evaluasi secara rutin oleh pemerintah daerah, maupun organisasi profesi (Ikatan

Bidan Indonesia) untuk meningkatkan pengawasan kegiatan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi

(PPI) di Praktik Mandiri Bidan. Dan diperlukan adanya inovasi dalam model APD yang nyaman

dan aman digunakan bidan dalam menolong persalinan.

KETERBATASAN PENELITIAN

Hasil penelitian ini tidak menggambarkan wilayah karena jumlah sampel dalam penelitian

ini sangat terbatas.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kementrian Kesehatan RI. Kepmenkes No.HK.01.07/MENKES/320/2020 Tentang Standar

Profesi Bidan. Kementerian Kesehatan RI 2020 hal. 55.

2. Spiritia. Infeksi Nosokomial dan Kewaspadaan Universal. 2006.

3. Yayasan Spiritia. Profilaksis Pasca Pajanan. Yayasan Spiritia. 2014;

4. Kementerian Kesehatan RI. Permenkes Nomo 27 Tahun 2017 tentang Pedoman Pencegahan

dan Pengendalian Infeksi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Nomor 27 Tahun 2017 2017.

5. Kementerian Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan RI No.28 Tahun 2017, Tentang Izin

dan Penyelenggaraan Praktik Bidan. Kementerian Kesehatan RI 2017 hal. 9–15.

6. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia. Permenakertrans

No.PER.08/MEN/VII/2010 tentang Alat Pelindung Diri. PER.08/MEN/VII/2010 2010.

7. WHO. Health Care Worker Safety. 2003.

8. Kusman I. Laporan Akhir Penelitian Peneliti Muda Universitas Padjajaran : Hubungan

Pengetahuan, Sikap Dan Pelaksanaan Prosedur Kewaspadaan Universal Perawat Dalam

Pencegahan Penularan HIV-AIDS Di Puskesmas Tasikmalaya. Bandung; 2008.

9. Djauhari B. Faktor Yang Berhubungan Dengan Luka Tusuk Jarum Suntik Pada Bidan Desa Di

Kabupaten Mojokerto Tahun 2015. Universitas Airlangga; 2015.

10. Supiana N, Supriyatiningsih, Rosa EM. Pelaksanaan Kebijakan dan Penilaian Penggunaan

APD (Alat pelindung Diri) Oleh Dokter dan Bidan di Ruang Bersalin dan Nifas RSU PKU

Muhammadiyah Yogyakarta Unit I tahun 2014/2015. J UMY. 2015;4(1).

11. Yuliana SV, Hartanti RI, Prasetyowati I. Faktor yang Berhubungan dengan Penggunaan Alat

Pelindung Diri secara Lengkap pada Bidan ( Studi di Wilayah Kerja Kabupaten Bondowoso ) (

Determinant of Complete Personal Protective Equipment Using for Midwives ( study in Work

Region of Bondowoso District. e-Jurnal Pustaka Kesehat. 2016;4(2):337–44.

12. Kementerian Kesehatan RI. Riskesdas 2013 Dalam Angka. Jakarta: Badan Litbang Kesehatan;

2013.

13. Musthafa WU, Darmawati. Pemakaian APD Pada Proses Pertolongan Persalinan Di Ruang

Bersalin Rumah Sakit Kota Banda Aceh. J Ilm Mhs Fak Keperawatan. 2016;1(1):1–6.

14. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Pelaksanaan Kewaspadaan Universal di Pelayanan

Kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2010.

15. Noviana N. Universal Precaution: Pemahaman Tenaga Kesehatan Terhadap Pencegahan

HIV/AIDS. J Kesehat Reproduksi. 2017;8(2):143–51.

16. Istiqamah, Dwi Rahmawati. Pencegahan Infeksi Pada Pertolongan Persalinan Di Praktik

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 163

Mandiri Bidan Kota Banjarmasin. Proceeding Sari Mulia Univ Midwifery Natl Semin

[Internet]. 2019;135–47. Tersedia pada:

https://ocs.unism.ac.id/index.php/PROBID/article/view/35/45

17. Sasaki M, Kanda K. Glove Selection as Personal Protective Equipment and Occupational

Dermatitis among Japanese Midwives. J Occup Health. 2006;48:35–43.

18. Zubaidah T, Arifin, Jaya YA. Pemakaian Alat Pelindung Diri Pada Tenaga Perawat dan Bidan

Di Rumah Sakit Pelita Insani. J Kesehat Lingkung. 2015;12(2):291–8.

19. Nurhayati SA, Setyaningrum R, Fadillah NA. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan

Penggunaan Alat Pelindung Diri Pada Bidan Saat Melakukan Pertolongan Persalinan Normal. J

Publ Kesehat Masy Indones [Internet]. 2016;3(1):13–9. Tersedia pada:

https://ppjp.ulm.ac.id/journal/index.php/JPKMI/article/viewFile/2731/2380

20. Foluso O, Makuochi IS. Nurses and Midwives Compliance with Standard Precautions in

Olabisi Onabanjo University Teaching Hospital , Sagamu Ogun State. Iternational J Prev Med

Res. 2015;1(4):193–200.

21. Nurdiani CU, Krianto T. Kepatuhan penggunaan alat pelindung diri (apd) di laboratorium pada

mahasiswa prodi diploma analis kesehatan universitas mh thamrin. J Ilm Kesehat [Internet].

2019;11(September):88–93. Tersedia pada:

http://journal.thamrin.ac.id/index.php/jikmht/article/view/72/71

22. WHO. Penerapan Kewaspadaan Standar di fasilitas pelayanan kesehatan. 2008.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 164

KONTRIBUSI KESEHATAN LINGKUNGAN DAN PERILAKU MASYARAKAT

TERHADAP MASALAH PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN

Ika Dharmayanti*,

Dwi Hapsari Tjandrarini,Olwin Nainggolan, Zahra

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan

Jl. Percetakan Negara No.29 Jakarta Pusat

Corresponding email: [email protected]

THE CONTRIBUTION OF ENVIRONMENTAL HEALTH AND COMMUNITY

BEHAVIOR TO RESPIRATORY DISEASES

ABSTRACT

Respiratory disease can infect people of all ages. These diseases are spread through saliva or secretion

droplets released by the patient when sneezing or coughing and through contaminated objects or surfaces.

Pneumonia is a lower respiratory tract infection, while COVID-19 can infect both the upper and lower

respiratory tracts. This study aims to determine the risk factors for the progression of pneumonia and

COVID-19, so it can calculate the fluctuation of diseases. The analysis used data from the Ministry of

Health, the COVID-19 Taskforce, the Central Bureau of Statistics, and the Ministry of Environment and

Forestry. The statistical test used was linear regression to determine the effect of behavioral and

environmental factors on pneumonia and COVID-19. The results show that livable houses, not doing

handwashing properly, and a combination of risky behavior, which is cigarette and alcohol consumption,

contributed 60% of the incidence of pneumonia. In COVID-19, 62% of the contributing factors are ex-

smokers who suffer from non-communicable diseases and the air quality index. This research shows that

healthy living behavior and environmental health are significant to reduce respiratory infections. Therefore

it is recommended to prioritizing behavior change and maintaining environmental health. Behavioral

changes that can be done are to have a healthy lifestyle such as frequent hand washing, not smoking, and

consuming alcohol, the importance of wearing masks when outside the home to minimize the exposure of

toxic substances in the air. The availability of livable houses is also necessary for the prevention of

respiratory diseases.

Keywords: Pneumonia, COVID-19, behavior, environmental health

ABSTRAK

Penyakit infeksi saluran pernapasan sering dialami oleh semua kelompok usia. Penyakit ini dapat menular

melalui percikan air liur atau droplet yang dikeluarkan penderita saat bersin atau batuk dan dari benda atau

permukaan yang sudah terkontaminasi. Penumonia merupakan penyakit infeksi saluran pernapasan bawah,

sedangkan COVID-19 dapat menyerang saluran pernapasan atas dan bawah. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui faktor yang diprediksi berkontribusi terjadinya pneumonia dan COVID-19 sehingga dapat

menghitung naik turunnya jumlah kasus penyakit. Analisis menggunakan data hasil penelitian Kementerian

Kesehatan, Satuan Tugas COVID-19, Badan Pusat Statistik, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan

Kehutanan. Uji statistik yang digunakan adalah regresi linear untuk mengetahui pengaruh dari faktor-faktor

perilaku dan lingkungan terhadap penyakit pneumonia dan COVID-19. Hasil menunjukkan bahwa faktor

rumah layak huni, tidak mencuci tangan dengan benar, dan kombinasi perilaku berisiko yaitu merokok-

konsumsi alkohol berkontribusi sebesar 60% untuk kejadian penumonia. Pada penyakit COVID-19, sebesar

62% faktor yang penyebabnya adalah mantan perokok yang menderita penyakit tidak menular dan indeks

kualitas udara. Penelitian ini menunjukkan bahwa perilaku hidup sehat dan kesehatan lingkungan penting

untuk menurunkan penyakit infeksi saluran pernapasan. Oleh karena itu disarankan untuk mengutamakan

aspek perilaku dan kesehatan lingkungan. perunahan perilaku yang bisa dilakukan adalah berperilaku hidup

sehat seperti sering mencuci tangan, tidak merokok dan konsumsi alkohol, pentingnya menggunakan masker

saat berada di luar rumah untuk meminimalisir terpaparnya bahan beracun dalam udara ketersediaan rumah

layak huni juga diperlukan untuk pencegahan penyakit pernapasan..

Kata Kunci: Pneumonia, COVID-19, perilaku, kesehatan lingkungan

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 165

PENDAHULUAN

Infeksi saluran pernapasan adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh

manusia dan berkembang biak menyerang di setiap bagian saluran pernapasan sehingga menimbulkan

gejala batuk, pilek yang disertai dengan demam. . Penyakit ini sangat mudah menular dan paling banyak

diderita oleh anak-anak dan orang-orang lanjut usia. Terdapat dua jenis infeksi saluran pernapasan,

yaitu infeksi saluran pernapasan atas (upper respiratory tract infections), seperti batuk pilek,

sinusitis, rhinitis, tonsillitis, radang tenggorokan, dan laringitis; infeksi saluran pernapasan bawah

(lower respiratory tract infections) seperti bronkitis, bronkiolitis, pneumonia,

dan tuberkulosis (TBC) (1).

Infeksi saluran pernapasan bisa terjadi secara tiba-tiba atau akut (ISPA) yang dapat terjadi di

saluran napas atas atau pun bawah, seperti flu, SARS, dan COVID-19 (2). Kelompok orang yang

rentan terhadap penyakit ISPA adalah anak-anak dan lansia, orang dewasa dengan sistem

kekebalan tubuh lemah, penderita ganguan jantung dan paru-paru, dan perokok aktif (3,4). Selain

itu, kurang menjaga kebersihan seperti tidak rutin mencuci tangan sebelum makan atau setelah

melakukan aktivitas di luar rumah, berada di tempat ramai (seperti di rumah sakit, sekolah atau

pusat perbelanjaan), atau sedang melakukan perjalanan ke daerah yang sedang banyak kasus

infeksi saluran pernapasan (3–5) dapat meningkatkan kemungkinan terpapar penyakit. Seperti

penyakit ISPA pada umumnya, penularan pneumonia dan COVID-19 dapat terjadi melalui kontak

dengan percikan air liur (droplet) penderita atau orang yang terinfeksi saat sedang berbicara, bersin

atau batuk. Selain melalui droplet, virus atau bakteri dapat menyebar melalui sentuhan dengan

benda yang terkontaminasi, atau berjabat tangan dengan penderita(6).

Penyakit menular yang dapat disebabkan oleh bakteri atau virus ini merupakan penyebab utama

kematian dan kesakitan di dunia. Jumlah kematian akibat infeksi saluran pernapasan akut (ISPA)

setiap tahun sekitar empat juta orang, yang mana 98% disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan

bawah (6). Penyakit pneumonia menyebabkan kematian 15% dari semua kematian anak dibawah

lima tahun (balita) dengan sebanyak 808.694 kematian pada tahun 2017 (3). Kasus pneumonia

(radang paru) di Indonesia berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar 2018 dengan atau tanpa

foto dada (foto rontgen) oleh tenaga kesehatan dalam 1 tahun terakhir yang mengalami gejala

demam tinggi, batuk, kesulitan bernapas, sebesar 4%, dengan proporsi kasus pada balita sebanyak

4,8% (7). Menurut laporan Subdit ISPA Tahun 2017, kasus pneumonia per-1000 balita di Indonesia

sebesar 20,56%, sedangkan pada tahun 2018 jumlah kasus sebanyak 20,06%, dengan perkiraan

kasus pneumonia secara nasional sebesar 3,55% (8).

Penyakit COVID-19 mulai terdeteksi di Indonesia pada bulan Maret 2020. Hingga tanggal

27 September 2020, kasus yang terjadi sebanyak 275.213 kasus dengan jumlah kematian 10.386

orang atau sekitar 3,8% (9). Infeksi penyakit COVID-19 dapat menimbulkan beberapa gejala,

seperti gejala ringan, sedang, atau berat. Gejala utama yang muncul adalah demam, batuk, dan

kesulitan bernafas. Untuk gejala penyakit ringan bahkan tidak disertai demam dengan gejala

penyakit yang tidak spesifik. Penyakit ini bisa meningkat menjadi penumonia ringan, dan

pneumonia berat pada pasien dewasa (10).

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka peneliti ingin mengetahui faktor apa saja yang

berhubungan dengan kejadian penyakit pneumonia dan COVID-19 di Indonesia. Penelitian ini

bertujuan untuk mengidentifikasi faktor yang diprediksi berkontribusi terjadinya pneumonia dan

COVID-19 sehingga dapat menghitung kenaikan maupun penurunan jumlah kasus penyakit.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 166

METODE

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data agregasi provinsi yang telah

dipublikasikan dalam laporan. Sumber data yang digunakan adalah (1) Publikasi Riset Kesehatan

Dasar 2018 oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan; (2)

Publikasi Data kasus COVID-19 oleh Satuan Tugas Penanganan COVID-19; (3) Publikasi Indeks

Kualitas Lingkungan Hidup 2017 oleh Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan; dan (4)

Publikasi rumah layak huni oleh Badan Pusat Statistik

Dua variabel terikat yang dibahas dalam penelitian ini adalah prevalensi penumonia dan

persentase kasus COVID-19. Variabel bebas yang digunakan adalah:

1. Persentase perilaku mencuci tangan dengan benar. Kriteria benar yaitu mencuci tangan pakai

sabun dengan air mengalir sebelum menyiapkan makanan, setiap kali tangan kotor

(memegang uang, binatang dan berkebun), setelah buang air besar, setelah menceboki

bayi/anak, setelah menggunakan pestisida/insektisida, sebelum menyusui bayi, dan sebelum

makan (7)

2. Komposit persentase perilaku merokok dan persentase konsumsi minuman beralkohol.

Perilaku berisiko yaitu gabungan dari persentase kebiasaan merokok setiap hari dengan

persentase komsumsi minuman beralkohol selama 1 bulan terakhir

3. Komposit persentase Penyakit Tidak Menular (PTM) dan persentase perilaku merokok.

Kondisi berisiko adalah gabungan dari persentase mantan perokok dan persentase yang

menderita PTM (hipertensi, diabetes, jantung, dan stroke)

4. Persentase rumah layak huni. Penilaian rumah berdasarkan tujuh indicator komposit terkait

perumahan, yaitu: akses air layak, akses sanitasi layak, sufficient living area (luas lantai

perkapita > 7,2 m2), jenis lantai, jenis dinding, jenis atap, dan penerangan listrik (8).

5. Nilai Indeks Kualitas Udara (IKU). IKU merupakan hasil pengukuran dari dua parameter

pencemar utama udara yaitu sulfur dioksida (SO2) dan nitrogen dioksida (NO2) (11).

Nilai yang digunakan dalam analisis adalah angka dalam persen dan skor untuk IKU. Nilai

tersebut adalah hasil analisis agregasi tingkat provinsi. Besaran hubungan dan arah hubungan

antara variabel bebas dan terikat dilihat menggunakan uji korelasi COVID-19. Dilanjutkan dengan

uji regresi linear untuk mengestimasi dan melihat hubungan semua variabel bebas secara bersama-

sama dengan variabel terikat melalui suatu persamaan yang dihasilkan dari analisis.

HASIL PENELITIAN

Tabel 1 memperlihatkan hasil desktiptif analisis data yang digunakan dalam penelitian.

Informasi meliputi nilai minimum dan maksimum, nilai rata-rata, standard deviasi, nilai skewness

dan kurtosis.

Tabel 1. Hasil Statistik Deskriptif Penelitian

Variable (N=34) Minimum Maksimum Rata-

rata

Std.

Deviasi Skewness Kurtosis

Pneumonia 2,60 7,00 4,24 1,14 0,92 0,30

COVID19 0,13 25,44 2,94 5,09 3,38 12,55

Tidak mencuci tangan

dengan benar 32,60 79,60 53,52 10,22 0,406 0,383

Komsumsi rokok dan alkohol 21,90 39,50 28,55 4,20 0,84 0,79

Mantan perokok dan PTM 30,52 66,96 49,44 8,84 0,23 -0,28

Indeks kualitas udara 53,50 96,00 88,71 7,78 -3,09 12,59

Rumah layak huni 58,23 99,46 93,90 7,92 -3,55 13,85

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 167

Tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata prevalensi penyakit pneumonia 4,24. Nilai tersebut

lebih tinggi dibandingkan persentase penyakit COVID-19 dengan nilai rata-rata 2,94. Perbedaan

masalah antar provinsi terlihat sangat lebar pada persentase COVID. Nilai rata-rata indeks kualitas

udara adalah 88,71, hal ini menunjukkan kualitas udara di Indonesia pada umumnya sangat baik.

Demikian juga dengan rata-rata persentase rumah di Indonesia sudah layak huni (93,9).

Gambar 1

Proporsi Penyakit Pneumonia dan COVID-19 di Indonesia

Identifikasi kecenderungan tinggi rendahnya status penyakit pneumonia dan COVID-19

dengan menggunakan perhitungan nilai rata-rata persentase dan standar deviasi, maka

dikelompokkan dalam tiga kategori: yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Untuk pneumonia rentang

pengukuran dari tinggi ke rendah adalah ≥ 5,38 hingga < 3,09, sedangkan untuk COVID-19

rentang pengukuran dari tinggi ke rendah adalah ≥8,03 hingga < -2,14. Gambar 1 menunjukkan

penyakit pneumonia dan COVID-19 paling banyak berada pada kelompok sedang (76,5% dan

94,1%). Penyakit pneumonia lebih banyak ditemukan pada kelompok tinggi (14,7%) dibandingkan

COVID-19 (5,9%). Sedangkan penyakit COVID-19 tidak ditemukan pada kelompok rendah.

Tabel 2. Hasil Uji Korelasi Pneumonia dan COVID-19

Variable (N=34) Pneumonia P-value COVID19 P-value

Tidak mencuci tangan dengan benar 0,467 0,005* -0,276 0,115

Perilaku merokok dan mengonsumsi

alkohol 0,409 0,016* -0,223 0,204

Mantan perokok dan menderita

PTM -0,395 0,021* 0,416 0,014*

Rumah layak huni -0,684 0,000* 0,186 0,292

Indeks Kualitas Udara 0,097 0,584 -0,767 0,000*

Berdasarkan Tabel 2 faktor perilaku tidak mencuci tangan dengan benar serta perilaku

merokok dan mengonsumsi alkohol suatu wilayah berkorelasi positif dengan prevalensi penyakit

pneumonia suatu wilayah, artinya semakin banyak yang tidak mencuci tangan dengan benar dan

mengonsumi rokok-alkohol dapat meningkatkan prevalensi penyakit pneumonia. Sedangkan

jumlah rumah yang layak huni di suatu wilayah berkorelasi negatif dengan prevalensi pneumonia

suatu wilayah yang artinya semakin banyak rumah yang layak huni akan menurunkan

kemungkinan penyakit pneumonia.

Hal yang dapat menjadi perhatian pada penyakit COVID-19, jumlah mantan perokok dan

jumlah penderita PTM pada suatu wilayah berkorelasi positif dengan COVID-19, artinya

peningkatan mantan perokok yang mengidap PTM akan meningkatkan kemungkinan terpapar

Tinggi Sedang Rendah

14,7

76,5

8,8 5,9

94,1

Pneumonia Covid-19 (per-21092020)

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 168

COVID-19. Indeks kualitas udara berkorelasi negative dengan COVID-19, yang berarti semakin

baik kualitas udara akan menurunkan kemungkinan penyakit COVID-19.

Tabel 3. Hasil Analisis Regresi Pneumonia dan COVID-19

Variabel Koefisien

Korelasi

Standar

Error R R Square F P-Value t VIF

Pneumonia 11,118 3,017 0,773 0,598 14,879 0,000 3,685

Tidak mencuci tangan dengan benar -0,006 0,018 0,741 -0,334 1,928

Komsumsi rokok dan alkohol 0,098 0,031 0,004 3,108 1,013

Rumah layak huni -0,100 0,023 0,000 -4,331 1,914

COVID-19 38,704 8,524 0,787 0,619 25,225 0,000 4,541

Mantan perokok dan PTM 0,106 0,068 0,126 1,574 1,120

Indeks Kualitas Udara -0,462 0,077 0,000 -6,028 1,120

Hasil Tabel 3, menghasilkan persamaan yang diperoleh untuk prediksi penyakit pneumoni

adalah:

Y = 11,118 – 0,006 tidak mencuci tangan dengan benar + 0,098 konsumsi rokok dan alcohol

– 0,1

rumah layak huni.

Terdapat hubungan yang kuat antara antara pneumonia dengan perilaku tidak mencuci tangan

dengan benar, konsumsi rokok dan alcohol serta rumah layak huni (R= 0,77), dengan pengaruh

variable-variabel tersebut terhadap penyakit penumonia sebesar 60%.

Persamaan yang diperoleh untuk prediksi penyakit COVID-19 adalah:

Y = 38,704 + 0,106 mantan perokok PTM – 0,462 indeks kualitas udara.

Hubungan yang kuat juga terjadi antara mantan perokok yang menderita PTM dan indeks kualitas

udara (R=0,79), dengan pengaruh variable terhadap penyakit COVID-19 sebesar 62%.

Walaupun persentase tidak mencuci tangan dengan benar serta persentase mantan perokok

dan PTM tidak mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian penyakit, akan tetapi faktor

tersebut dianggap penting dalam penyebaran penyakit, maka kedua variable tersebut tetap

dimasukkan dalam model.

PEMBAHASAN

Hubungan Status Kesehatan Wilayah dengan Status Pneumonia

Secara umum, kasus pneumonia di Indonesia masih masih cukup tinggi. Perilaku cuci tangan

dengan benar menggunakan sabun dan air mengalir (CTPS) merupakan salah satu dari lima

program pemerintah tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM). STBM adalah suatu

upaya untuk mengubah perilaku higienis dan sanitasi melalui pemberdayaan masyarakat (12). Cuci

tangan menggunakan sabun dan air mengalir terbukti efektif dalam pencegahan penyakit diare,

ispa, pneumonia dan infeksi cacing (13). Dengan mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir

akan memutus mata rantai penyebaran penyakit karena tangan seringkali menjadi agen pembawa

kuman penyakit baik melalui kontak langsung maupun kontak tidak langsung (menggunakan

permukaan benda yang sudah terpapar kuman penyakit) (14–16).

Perilaku merokok setiap hari dan konsumsi alkohol dapat secara rutin dapat meningkatkan

risiko penyakit pneumonia. Hal ini terjadi karena merokok dan mengonsumsi alkohol dapat

merusak sistem kekebalan tubuh sehingga tubuh menjadi lebih rentan terkena infeksi (17,18).

Rokok dan alkohol dapat merusak paru-paru sehingga memicu berbagai macam penyakit paru-paru

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 169

diantaranya pneumonia (19,20). Bahkan, penyakit pneumonia akan lebih serius pada pengguna

alkohol. Dengan berhenti merokok dan mengonsumsi alkohol dapat mencegah kerusakan paru

lebih lanjut.

Kesehatan lingkungan pemukiman dan perumahan juga dapat menurunkan risiko penyakit

pneumonia. Penilaian rumah layak huni yang dibuat dengan mengacu pada Undang-Undang No.1

Tahun 2011 tentang perumahan dan pemukiman, diharapkan dapat melindungi penghuninya dari

penularan penyakit serta kecelakaan (8). Prasarana dan sarana yang tersedia dalam rumah layak

huni harus memenuhi standard untuk kebutuhan tempat tinggal yang layak, sehat, aman dan

nyaman. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa kondisi rumah berhubungan dengan kejadian

pneumonia. Asap dan debu akibat penggunaan bahan bakar untuk memasak, asap rokok maupun

penggunaan obat anti nyamuk akan memicu penyakit pneumonia terutama pada balita (21,22).

Hubungan Status Kesehatan Wilayah dengan penyakit COVID-19

Walaupun penyakit COVID-19 baru mewabah pada akhir 2019, akan tetapi jumlah

penderitanya sudah mencapai jutaan orang di dunia. Secara umum, kasus COVID-19 di Indonesia

cukup tinggi dengan proporsi 94,1% berada pada level sedang. Faktor yang mempengaruhi

penyakit COVID-19 dalam penelitian ini adalah mantan perokok yang menderita PTM dan indeks

kesehatan udara yang berkontribusi pada 62% kejadian penyakit dan sisanya berasal dari faktor

lainnya.

Sama halnya dengan perokok aktif, mantan perokok juga berisiko menderita penyakit,

salah satunya COVID-19. Dengan demikian, mantan perokok yang menderita PTM sangat berisiko

tinggi terpapar COVID-19, karena penderita PTM sangat rentan terkena infeksi yang disebabkan

menurunnya imunitas tubuh. Hasil review yang dilakukan oleh WHO menyebutkan bahwa dengan

adanya penyakit penyerta atau komorbid PTM menyebabkan seseorang menjadi berisiko tinggi

terkena penyakit yang lebih parah terkait COVID-19 bahkan hingga kematian (18,23). Dengan

demikian, sangat dianjurkan untuk hidup lebih sehat dengan menghentikan kebiasan merokok,

sebelum rokok memberikan efek buruk pada organ dalam tubuh.

Pengaruh lingkungan yang dianalisis pada penelitian ini yang memiliki hubungan dengan

penyakit COVID-19 adalah indeks kualitas udara. Penilaian IKU menggunakan parameter SO2

yang merupakan emisi dari industri dan kendaraan diesel, bahan bakar solar serta bahan bakar yang

menggunakan sulphur; dan parameter NO2 merupakan hasil emisi dari kendaraan bermotor yang

menggunakan bensin (11). Beberapa kajian menyebutkan bahwa tingkat polusi udara yang tinggi

dapat menjadi salah satu risiko dalam kasus COVID-19 yang fatal (24–26). Penurunan kualitas

udara akan berdampak pada kesehatan manusia yaitu menurunkan imunitas tubuh, sedangkan

paparan jangka panjang dapat merusak paru-paru dan jantung (18). Dengan adanya penyakit

penyerta inilah seseorang lebih rentan terpapar COVID-19, menderita penyakit COVID-19 yang

lebih parah, hingga meningkatkan risiko kematian.

Penelitian ini memiliki keterbatasan, yaitu hanya tersedia data agregasi provinsi sehingga

tidak dapat memberi gambaran lebih detil misalnya Kabupaten/Kota. Dengan demikian tidak dapat

melihat hubungan antar variable secara individu yang seharusnya dapat memberi gambaran

hubungan yang lebih riil.

KESIMPULAN DAN SARAN

Pentingnya menanamkan perilaku sehat sejak dini yaitu: perilaku cuci tangan dengan benar,

tidak membiasakan mengonsumsi rokok dan alkohol karena dapat merusak sistem kekebalan tubuh

sehingga tubuh menjadi lebih rentan terkena infeksi. Selain itu perlu mengondisikan rumah layak

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 170

huni. Rumah layak huni tidak berarti mahal. Kondisi itu semua dapat menurunkan kejadian

penyakit pneumonia di Indonesia

Kejadian COVID-19 di Indonesia menunjukkan adanya hubungan penyakit tidak menular

dengan penyakit menular. Status mantan perokok karena menderita PTM, kondisi yang sudah

terlambat. Didukung pula dengan indeks kualitas udara yang rendah. Kedua hal tersebut

meningkatkan kejadi COVID-19. Penelitian ini menunjukkan bahwa faktor perilaku dan kualitas

lingkungan sangat berpengaruh dalam peningkatan kasus penyakit infeksi pernapasan di

masyarakat.

Dengan demikian, penelitian ini menyarankan untuk mengutamakan perilaku hidup bersih

dan sehat yaitu sering mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir. Tidak merokok dan tidak

mengonsumsi alkohol agar terhindar dari penyakit PTM. Berhentilah merokok sesegera mungkin,

jangan menunggu setelah menderita PTM. Sangat disarankan menggunakan masker saat di luar

rumah agar tehindar dari paparan bahan beracun dalam udara. Fasilitas rumah layak huni juga

diperlukan untuk mengendalikan penyakit saluran pernapasan, yaitu kecukupan ventilasi dan selalu

membuka jendela kamar tidur.

DAFTAR PUSTAKA

1. Healthline Editorial Team. Acute Respiratory Infection [Internet]. Healthline Media. 2019

[cited 2020 Sep 30]. Available from: https://www.healthline.com/health/acute-respiratory-

disease

2. Alodokter Editorial Tim. Infeksi Saluran Pernapasan [Internet]. Alodokter.com. 2020 [cited

2020 Sep 29]. Available from: https://www.alodokter.com/infeksi-saluran-pernapasan

3. World Health Organization. Pneumonia [Internet]. WHO Fact sheet. 2019 [cited 2020 Sep

30]. p. 2–5. Available from: https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/pneumonia

4. World Health Organization. Pertanyaan dan jawaban terkait Coronavirus [Internet]. World

Health Organization. 2020. Available from: https://www.who.int/indonesia/news/novel-

coronavirus/qa-for-public

5. Burhan E, Isbaniah F, Susanto AD, Aditama TY, Sartono TR, Sugiri YJ, et al. Pneumonia

Covid-19: Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru

Indonesia; 2020. 58 p.

6. WHO. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut ( ISPA ) yang

Cenderung Menjadi Epidemi dan Pandemi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Pedoman

Interim WHO [Internet]. 2007;12. Available from:

http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/69707/14/WHO_CDS_EPR_2007.6_ind.pdf

7. Kementerian Kesehatan. Laporan Nasional Riskesdas 2018. Vol. 3, Lembaga Penerbit

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (LPB). 2019. 572 p.

8. Kemenkes RI. Profil Kesehatan Indonesia 2018 [Indonesia Health Profile 2018]. Jakarta:

Kementerian Kesehatan; 2019. 207 p.

9. Satuan Tugas Penanganan Covid-19. Analisis Data Covid-19 Indonesia. Jakarta; 2020.

10. Yuliana. Corona virus disease (Covid-19): Sebuah tinjauan literatur. Wellness adn Heal

Mag. 2020;2(February):187–92.

11. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup

Indonesia 2017. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik

Indonesia. Jakarta; 2018.

12. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pelaksanaan Teknis STBM Tahun

2012 [Internet]. Kesehatan. 2012. 1–72 p. Available from:

http://stbm.kemkes.go.id/public/docs/reference/5b99c4c2576e12f4c9a2019139312658b2f37

04c9abc5.pdf

13. The Global Handwashing Partnership. Why Handwashing [Internet]. 2020 [cited 2020 Oct

8]. p. 1–8. Available from: https://globalhandwashing.org/about-handwashing/why-

handwashing/health/

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 171

14. Chiu NC, Chi H, Tai YL, Peng CC, Tseng CY, Chen CC, et al. Impact of wearing masks,

hand hygiene, and social distancing on influenza, enterovirus, and all-cause pneumonia

during the coronavirus pandemic: Retrospective national epidemiological surveillance

study. J Med Internet Res. 2020;22(8).

15. Rani SVM, Garina LA, Ekowati R. Hubungan Antara Status Imunisasi , Perilaku Hidup

Bersih dan Sehat Melalui Cara Mencuci Tangan dengan Kejadian Pneumonia pada Balita (

Suatu Kajian Kasus di RSUD Al-Ihsan Kabupaten Bandung Tahun 2016). 2016;2(2):594–

601.

16. Aiello AE, Coulborn RM, Perez V, Larson EL. Effect of Hand Hygiene on Infectious

Disease Risk in the Community Setting : A Meta-Analysis. 2008;98(8):1372–82. Available

from: https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/334143/WHO-2019-nCoV-Non-

communicable_diseases-Evidence-2020.1-eng.pdf

17. Vertava Health Editorial Team. Effects Of Alcohol On The Lungs [Internet]. 2020 [cited

2020 Oct 8]. Available from: https://vertavahealth.com/alcohol/effects-on-lungs/

18. World Health Organization. Responding to non-communicable diseases during and beyond

the COVID-19 pandemic. 2020.

19. Simou E, Britton J, Leonardi-Bee J. Alcohol and the risk of pneumonia: A systematic

review and meta-analysis. BMJ Open. 2018;8(8):1–10.

20. Baskaran V, Murray RL, Hunter A, Lim WS, McKeever TM. Effect of tobacco smoking on

the risk of developing community acquired pneumonia: A systematic review and meta-

analysis. PLoS One. 2019;14(7):1–18.

21. Anwar A, Dharmayanti I, Teknologi P, Kesehatan I, Badan M, Kesehatan P. Pneumonia

pada Anak Balita di Indonesia Pneumonia among Children Under Five Years of Age in

Indonesia. 2013;(29):359–65.

22. Budiati E. Kondisi rumah dan pencemaran udara dalam rumah sebagai faktor risiko

kejadian pneumonia balita. Yars Med J [Internet]. 2016;20(2):87–101. Available from:

http://academicjournal.yarsi.ac.id/index.php/jurnal-fk-yarsi/article/view/163/99

23. Hernández-Galdamez DR, González-Block MÁ, Romo-Dueñas DK, Lima-Morales R,

Hernández-Vicente IA, Lumbreras-Guzmán M, et al. Increased Risk of Hospitalization and

Death in Patients with COVID-19 and Pre-existing Noncommunicable Diseases and

Modifiable Risk Factors in Mexico. Arch Med Res. 2020;(December 2019).

24. Farhan Bashir M, Jiang MA B, Bilal, Komal B, Adnan Bashir M, Hassan Farooq T, et al.

Correlation between environmental pollution indicators and Covid-19 pandemic: A brief

study in California context. Environ Res. 2020;187.

25. Frontera A, Cianfanelli L, Vlachos K, Landoni G, Cremona G. Severe air pollution links to

higher mortality in COVID-19 patients: The ―double-hit‖ hypothesis. J Infect [Internet].

2020;81(2):255–9. Available from: https://doi.org/10.1016/j.jinf.2020.05.031

26. Zhu Y, Xie J, Huang F, Cao L. Association between short-term exposure to air pollution

and COVID-19 infection: Evidence from China. Sci Total Environ [Internet].

2020;727(December 2019):138704. Available from:

https://doi.org/10.1016/j.scitotenv.2020.138704

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 172

PREVALENSI PENYAKIT JANTUNG PADA USIA PRODUKTIF MENJADI

ANCAMAN TERHADAP KUALITAS BONUS DEMOGRAFI DI INDONESIA:

TINJAUAN LITERATUR

Basuki Rachmat

*, Khadijah Azhar

National Institute of Research and Development, Ministry of Health of Republic of Indonesia

Jl. Percetakan Negara No.29A, Jakarta Pusat

Corresponding email: [email protected]

PREVALENCE OF HEART DISEASE IN PRODUCTIVE AGE: THREATS TO THE

QUALITY OF DEMOGRAPHIC BONUSES IN INDONESIA

ABSTRACT

A country is said to experience a demographic bonus if two people of productive age (15-64) bear one

unproductive person (less than 15 years and 65 years or more). Indonesia has a potential demographic

bonus if most of the productive age suffer from heart disease, then the benefits of the demographic dividend

in Indonesia cannot run optimally. This literature review aims to discuss the risk factors associated with the

incidence of heart disease in productive age in Indonesia. The data sources are secondary data from reports

on the results of Basic Health Research since 2007, 2013 and 2018 and the BPS Report on the projected

demographic bonus. The data were analyzed by translating in tabular and graphic form. Scientific databases

such as Google Scholar were chosen as databases for accessing various articles in open journals. They are

using a qualitative approach and descriptive data analysis from a database in the form of articles published

in the last 15 years (2005-2019) on Google Scholar. Based on the study of the Basic Health Research reports

in 2007, 2013, and 2018. It was found that the prevalence of heart disease in Indonesia has tended to

increase at a productive age in the last ten years. Physical and eating patterns that are not as recommended.

The increasing prevalence of heart disease in productive age has the potential to reduce the quality of the

demographic bonus in Indonesia. From the literature analysis, it was found that the increasing prevalence of

heart disease would increase the number of people with heart disease, as evidenced by the increase in the

cost of financing for the treatment of heart disease in the last ten years.So that it requires optimal

promotional and preventive efforts to reduce the risk of heart disease at a a productive age, namely at the

age of 15 - 64 years.

Keywords: Productive age, heart disease, smoking behavior, Demographic Bonus, Indonesia

ABSTRAK

Sebuah negara dikatakan mengalami bonus demografi jika dua orang penduduk usia produktif (15-64)

menanggung satu orang tidak produktif (kurang dari 15 tahun dan 65 tahun atau lebih). Indonesia memiliki

bonus demografi yang potensial, apabila sebagian besar usia produktif menderita penyakit jantung, maka

maanfaat bonus demografi di Indonesia tidak dapat berjalan secara optimal. Tinjauan literatur ini bertujuan

untuk membahas tentang faktor-faktor berisiko yang berhubungan dengan kejadian Penyakit Jantung pada

usia produktif di Indonesia. Sumber data adalah data sekunder laporan hasil Riset Kesehatan Dasar sejak

tahun 2007, 2013, dan 2018 dan Laporan BPS tentang proyeksi bonus demografi. Data tersebut dianalisis

dengan menterjemahkan dalam bentuk tabel dan gerafik. Databes ilmiah seperti Google Cendekia dipilih

sebagai basis data untuk mengakses berbagai artikel pada jurnal terbuka. Mengunakan pendekatan kualitatif

dan analisis data secara deskriptif dari database berupa artikel yang diterbitkan dalam kurun waktu 15 tahun

terakhir (2005-2019) di Google Cendekia.Berdasarkan analisis dari Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar

tahun 2007, 2013, dan 2018 di dapatkan prevalensi penyakit jantung di Indonesia cenderung meningkat pada

usia produktif dalam sepuluh tahun terakhir, prevalensi ini salah satunya di sebabkan karena meningkatnya

perilaku merokok pada usia produktif, kurangnya aktifitas fisik dan pola makan yang tidak sesuai anjuran.

Meningkatnya prevalensi penyakit jantung pada usia produktif, maka berpotensi terhadap penurunan kualitas

bonus demografi di Indonesia. Dari analisis literatur diperoleh dengan meningkatnya prevalensi penyakit

jantung maka jumlah penderita penyakit jantung akan bertambah, terbukti dengan bertambahnya bebab

pembiayaan untuk penanganan penyakin jantung dalam sepuluh tahun terakhir. Sehingga di perlukan upaya-

upaya promotif dan preventif yang optimal untuk menekan resiko terkena penyakit jantung pada usia

produktif, yaitu di usia 15 – 64 tahun.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 173

Kata Kunci: Usia produktif, penyakit jantung, perilaku merokok, Bonus Demografi, Indonesia

PENDAHULUAN

Bonus demografi (demographic dividend) adalah keuntungan ekonomis yang disebabkan

oleh menurunnya angka ketergantungan sebagai hasil proses penurunan fertilitas jangka panjang.1

Transisi demografi menurunkan proporsi umur penduduk muda dan meningkatkan proporsi

penduduk usia kerja, dan ini menjelaskan hubungan pertumbuhan penduduk dengan pertumbuhan

ekonomi. Penurunan proporsi penduduk muda mengurangi besarnya investasi untuk pemenuhan

kebutuhannya, sehingga sumber daya dapat dialihkan kegunaannya untuk memacu pertumbuhan

ekonomi dan peningkatan kesejahteraan keluarga.2

Bonus demografi sering dikaitkan dengan suatu kesempatan yang hanya akan terjadi satu

kali saja bagi semua penduduk negara yakni the window of opportunity.3 Kesempatan yang

diberikan oleh bonus demografi ini berupa tersedianya kondisi atau ukuran yang sangat ideal pada

perbandingan antara jumlah penduduk yang produktif dengan yang non-produktif.4 Pada saat itu

angka ketergantungan adalah yang terendah, selama usia penduduk tersebut, yang biasanya terletak

dibawah 50 persen. The window of opportunity ini hanya terbuka satu kali saja dalam sejarah suatu

bangsa, dan terbuka dalam waktu yang sangat singkat, yakni satu atau dua dekade saja sampai

jumlah orang tua meningkatkan angka ketergantungan. Jadi terbukanya the window of opportunity

yang menyediakan kondisi ideal untuk meningkatkan produktivitas ini harus dimanfaatkan sebaik-

baiknya bagi pemerintah suatu negara apabila ingin meningkatkan kesejahteraan penduduknya.5

Menurut Ahli Demografi, Sri Hartati Hambali (2009), ―bonus demografi hanya akan terjadi kalau

ada upaya rekayasa demografi yang dibarengi dengan peningkatan kualitas SDM (human capital

deepening). Kualitas ini bukan hanya menyangkut pendidikan, tetapi juga aspek gizi, kesehatan,

dan soft skill sehingga pendekatan kebijakannya juga harus life cycle approach dan lintas sektor

karena investasi modal manusia ini sifatnya investasi sosial jangka panjang yang hasilnya (return

on investment) baru akan bisa dinikmati dalam 30 tahun‖.6

Penyakit jantung merupakan salah satu penyakit yang sering terjadi di Indonesia, dua

diantaranya adalah penyakit jantung koroner (PJK) dan gagal jantung. Penyakit jantung koroner

adalah salah satu jenis penyakit yang disebabkan oleh ketidakmampuan arteri baik akut maupun

kronis untuk mengalirkan darah ke miokardium yang disebabkan oleh gangguan patologis pada

sistem arteri koroner.6,7

Ada beberapa faktor risiko Penyakit jantung Koroner, secara umum dibagi

menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama adalah faktor risiko perilaku seperti kebiasaan

merokok, aktivitas fisik, pola makan yang tidak sehat dan konsumsi minuman beralkohol.

Kelompok kedua adalah faktor risiko metabolik seperti peningkatan tekanan darah, peningkatan

kandungan gula darah, peningkatan kandungan lemak dalam darah, kelebihan berat badan (over

weight) dan Kegemukan (obesity). Kelompok ke tiga adalah faktor risiko lainnya seperti

kemiskinan dan pendidikan yang rendah, usia lanjut, jenis kelamin, keturunan, faktor pisikologi

(seperti stress, depresi) dan faktor lain (seperti kelebihan homosistein).8–10

Gagal jantung didefinisikan sebagai kondisi dimana jantung tidak lagi dapat memompakan

cukup darah ke jaringan tubuh.11

Keadaan ini dapat timbul dengan atau tanpa penyakit jantung.

Gangguan fungsi jantung dapat berupa gangguan fungsi diastolik atau sistolik, gangguan irama

jantung, atau ketidaksesuaian preload dan afterload. Keadaan ini dapat menyebabkan kematian

pada pasien.12

Gagal jantung dapat dibagi menjadi gagal jantung kiri dan gagal jantung kanan.

Gagal jantung juga dapat dibagi menjadi gagal jantung akut, gagal jantung kronis dekompensasi,

serta gagal jantung kronis. Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 174

merupakan penyebab peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien jantung.13,14

Gagal jantung

merupakan penyebab kematian yang cukup besar. Data-data di Pusat Jantung Nasional Harapan

Kita (PJNHK) sejak tahun 2003 menunjukan angka hospitalisasi pasien dengan diagnosa gagal

jantung yang semakin meningkat berkisar antara 1200-1300 pasien per tahun dengan angka

mortalitas yang juga terus meningkat dan mencapai 7.5 % pada tahun 2007.15

Pada tahun 2008 penyakit tidak menular merupakan penyebab kematian terbesar di dunia

yaitu sebesar 63% dari 57 juta kematian, dimana penyakit kardiovaskular, diabetes, kanker, dan

penyakit pernapasan kronis menjadi penyebab dari 36 juta kematian.16

Angka kematian ini

mengalami peningkatan di tahun 2016, kematian terbesar akibat penyakit tidak menular menjadi

sebesar 71% dari 57 juta kematian. Dimana penyakit utama yang bertanggung jawab kejadian ini

adalah penyakit kardiovaskular sebesar 17,9 juta kematian (44%).17

Penyakit kardiovaskuler juga

diestimasikan menjadi penyebab terbesar (35%) dari kematian yang disebabkan oleh penyakit tidak

menular di Indonesia.17

Menurut data Global Burden Diseases tahun 2010 penyakit jantung

merupakan penyebab kematian kedua terbesar (8,11%) setelah stroke di Indonesai.18

Faktor risiko

merokok berkontribusi terhadap 6,92% dari kematian yang disebabkan oleh penyakit jantung.

Angka kematian yang disebabkan kedua penyakit tersebut adalah 45,24 orang per-100.000

penduduk.19

Kesehatan merupakan salah satu sektor yang mendukung agar bonus demografi terlaksana

dengan maksimal, salah satunya adalah dengan upaya pencegahan terjadinya penyakit jantung di

Indonesia. Data Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, 2013 dan 2018, dapat digunakan untuk

menggambarkan pevalensi penyakit jantung pada usia produktif (15-64 tahun) dan faktor-faktor

penyebabnya sebagai upaya pencegahan. Oleh karena itu, tulisan ini di buat utuk mendeskripsikan

lebih lanjut tentang peningkatan prevalensi penyakit jantung, tren faktor risiko penyebabnya, beban

pembiayaan, serta upaya promotif dan preventif yang telah dilakukan untuk pengendalian kejadian

penyakit jantung guna memasuki periode bonus demografi (tahun 2020).

METODE

Penelitian ini adalah tinjauan literatur yang membahas tentang prevalensi, faktor-faktor dan

dampak terkait penyakit jantung. Faktor perilaku seperti kebiasaan merokok, aktivitas fisik,

konsumsi makanan berisiko dan konsumsi minuman beralkohol. Faktor risiko metabolik yang di

bahas pada artikel ini adalah seperti peningkatan tekanan darah, peningkatan kandungan gula

darah, peningkatan kandungan lemak dalam darah, kelebihan berat badan (over weight) dan

Kegemukan (obesity). Kelompok ke tiga adalah faktor risiko lainnya seperti kemiskinan dan

pendidikan yang rendah, usia lanjut, jenis kelamin, keturunan, faktor pisikologi (seperti stress,

depresi) dan faktor lain (seperti kelebihan homosistein).

Sumber data adalah data sekunder laporan hasil Riset Kesehatan Dasar sejak tahun 2007,

2013, dan 2018. Definisi porasional untuk penyakit jantung pada laporan hasil Riset Kesehatan

Dasar sejak tahun 2007, Untuk kasus penyakit jantung, riwayat pernah mengalami gejala penyakit

jantung dinilai dari 5 pertanyaan dan disimpulkan menjadi 4 gejala yang mengarah ke penyakit

jantung, yaitu penyakit jantung kongenital, angina, aritmia, dan dekompensasi kordis. Responden

dikatakan memiliki gejala jantung jika pernah mengalami salah satu dari 4 gejala termaksud.

Definisi porasional untuk penyakit jantung pada laporan hasil Riset Kesehatan Dasar sejak tahun

2013, Penyakit jantung pada orang dewasa yang sering ditemui adalah penyakit jantung koroner

dan gagal jantung. Definisi porasional untuk penyakit jantung pada laporan hasil Riset Kesehatan

Dasar sejak tahun 2018, Penyakit jantung adalah semua jenis penyakit jantung termasuk kelainan

jantung bawaan yang didiagnosis oleh dokter.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 175

Data tersebut dianalisis menggunakan literature ilmiah. Google Cendekia dipilih sebagai

basis data untuk mengakses berbagai artikel pada jurnal terbuka. Penelitian ini menerapkan

pendekatan kualitatif dan analisis data secara deskriptif dari database berupa artikel yang

diterbitkan dalam kurun waktu 15 tahun terakhir (2005-2019) di Google Cendekia. Tinjauan

literatur ini bertujuan untuk membahas tentang perilaku berisiko, faktor risiko metabolik dan faktor

risiko lainnya yang berhubungan dengan kejadian Penyakit Jantung 2007, 2013, dan 2018.

HASIL PENELITIAN

Hasil proyeksi penduduk Indonesia yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik

menunjukkan bahwa Indonesia akan mengalami Bonus Demografi pada tahun 2020-2030 20

. Hal

ini dapat dilihat dari gambar proyeksi piramida penduduk Indonesia sejak tahun 2010 hingga tahun

2025.

Gambar 1.

Piramida Penduduk Indonesia tahun 2010-2025

Sumber: Proyeksi Penduduk Indonesia Tahun 2010-202520

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 175

Bentuk piramida yang menggembung di tengah menunjukkan bahwa sejak tahun 2010

jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) lebih besar dibandingkan dengan jumlah penduduk

usia non produktif. Menurut Razali Ritonga, sebuah negara dikatakan mengalami bonus demografi

jika dua orang penduduk usia produktif (15-64) menanggung satu orang tidak produktif (kurang

dari 15 tahun dan 65 tahun atau lebih). Hal ini memberikan arti bahwa dengan banyaknya jumlah

penduduk produktif dan sedikitnya jumlah penduduk yang ditanggung, akan memberikan

keuntungan ekonomi bagi Indonesia. Menurut perhitungan, Indonesia sudah mengalami bonus

demografi sejak tahun 2012, dan puncaknya akan terjadi di tahun 2028-2030.21

.

Gambaran kenaikan pevalensi penyakit jantung pada semua umur menurut provinsi dan

berdasarkan pengelompokan umur, dapat dilihat pada gambar.2:

Gambar 2.

(a)Prevalensi Penyakit Jantung (diagnosis dokter) pada penduduk

semua umur menurut provinsi. (b) Prevalensi Penyakit Jantung (diagnosis

dokter) menurut kelompok umur (bawah)

Sumber: Laporan Hasil Riskesdas 2007, 2013 dan 2018

Pada gambar 2. (a) prevalensi penyakit jantung menurut diagnosis dokter dalam sepuluh

tahun (2007-2018) pada penduduk semua umur mengalami peningkatan di tiap provinsi.

Peningkatan prevalensi tertinggi pada tahun 2018 di provinsi Kalimantan Utara sebesar 2.2%, yang

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 176

sebebelumnya di tahun 2007 tertinggi pada provinsi Aceh sebesar 2%. Sedang prevalensi nasional

penyakit jantung menurut diagnosis dokter mengalami kenaikan dari 0.9 % pada tahun 2007

menjadi 1.5% pada tahun 2018. Jika dilihat berdasarkan kelompok umur (usia produktif) pada

gambar 2.(b), prevalensi penyakit jantung mengalami kenaikan di setiap interval kelompok umur.

Kenaikan tertinggi pada rentang usia produktif (15-64 tahun) terjadi pada kelompok umur dengan

interval 55-64 tahun.

Gambaran proporsi merokok pada penduduk umur ≥ 10 tahun menurut kelompok umur

dapat dilihat pada gambar.3:

Gambar 3.

(a) Proporsi merokok pada penduduk umur ≥ 10 tahun menurut kelompok umur;

(b) Prevalensi merokok pada populasi usia 10-18 tahun, 2018.

Sumber : Laporan Hasil Riskesdas 2013 dan 2018

Pada gambar 3 (a) proporsi merokok pada usia produktif terjadi sedikit peningkatan pada

interval 15-19 tahun (dari 18.3% tanun 2013 menjadi 19.6% tahun 2018) dan 25-29 tahun tahun

(dari 34.8% tanun 2013 menjadi 35.2% tahun 2018). Namun, jika di lihat menurut kelompok umur

secara keseluruhan proporsi merokok pada usia produktif mengalami penurunan. Ini sesuai dengan

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 177

proporsi nasional merokok pada penduduk umur ≥ 10 tahun mengalami penurunan dari 29.3% di

tahun 2013 menjadi 28.8% di tahun 2018. Peningkatan Prevalensi merokok justru terjadi pada

populasi usia 10-18 tahun, ini terlihat pada gambar 3 (b) dimana pada tahun 2013 sebesar 7.2%

menjadi 9.1% pada tahun 2018.

Gambaran proporsi kurang aktivitas fisik (kegiatan kumulatif kurang dari 150 menit

seminggu) pada penduduk umur ≥ 10 tahun menurut provinsi dapat dilihat pada gambar.4:

Gambar 4.

(a) Proporsi aktivitas fisik kurang pada penduduk umur ≥10

tahun menurut provinsi; (b) Proporsi aktivitas fisik kurang

pada menurut kelompok umur

Sumber : Laporan Hasil Riskesdas 2013 dan 2018

Pada gambar 4 (a) proporsi aktivitas fisik kurang pada penduduk usia ≥ 10 tahun mengalami

peningkatan di 27 provinsi pada tahun 2018 di bandingkan denga tahun 2013. Peningkatan proporsi

aktifitas fisik kurang juga terlihat pada angka prevalensi yang di dapatkan pada hasil pengukuran di

tingkat nasional dari 26.1% pada tahun 2013 menjadi 33.5 % pada tahun 2018. Namun, jika di lihat

menurut kelompok umur proporsi aktivitas fisik kurang tertinggi berada pada kelompok usia

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 178

remaja (10-14 tahun) sebesar 64.4%. Sedang pada usia produktif kelompok yang memiliki aktifitas

fisik tinggi adalah kelompok usia 15-19 tahun sebesar 49.6% dan kelompok dengan usia 20-24

tahun sebesar 33.2%.

Proporsi perilaku konsumsi minuman beralkohol dalam 1 bulan terakhir pada penduduk

umur >10 tahun menurut provinsi dan kelopok umur dapat dilihat pada gambar.5:

Gambar 5.

(a) Proporsi perilaku konsumsi minuman beralkohol dalam 1 bulan

terakhir pada penduduk umur ≥10 tahun menurut provinsi; (b)

Proporsi perilaku konsumsi minuman beralkohol dalam 1 bulan

terakhir pada kelompok umur

Sumber : Laporan Hasil Riskesdas 2013 dan 2018

Pada gambar 5 (a) proporsi perilaku konsumsi minuman beralkohol dalam 1 bulan terakhir

pada penduduk usia ≥ 10 tahun mengalami peningkatan di 30 provinsi pada tahun 2018 di

bandingkan denga tahun 2013. Peningkatan proporsi perilaku konsumsi minuman beralkohol juga

terlihat pada angka prevalensi yang di dapatkan pada hasil pengukuran di tingkat nasional dari

3.0% pada tahun 2013 menjadi 3.3 % pada tahun 2018. Namun, jika di lihat menurut kelompok

umur proporsi perilaku konsumsi minuman beralkohol tertinggi berada pada kelompok usia 20-24

tahun sebesar 64.4%.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 179

Proporsi prilaku konsumsi makanan berisiko (≥1 kali per hari) pada penduduk umur ≥10

tahun menurut provinsi dan kelopok umur dapat dilihat pada gambar.6:

Gambar 6.

(b) Proporsi prilaku konsumsi makanan berisiko (≥1 kali per

hari) pada penduduk umur ≥10 tahun di Indonesia; (b)

Proporsi prilaku konsumsi makanan berisiko (≥1 kali per

hari) pada penduduk umur ≥10 tahun menurut kelompok

umur

Sumber : Laporan Hasil Riskesdas 2013 dan 2018

Pada gambar 4 (a) proporsi perilaku konsumsi makanan berisiko (≥1 kali per hari) di tingkat

nasional pada penduduk umur ≥10 tahun mengalami penurunan pada jenis dan makanan olahan,

sedangkan peningkatan terjadi pada jenis makanan asin dan berlemak. Namun, jika di lihat menurut

kelompok umur proporsi perilaku konsumsi makanan berisiko (≥1 kali per hari) pada penduduk

umur ≥10 tahun di tiap jenis makanan berisiko relatif sama.

Prevalensi hipertensi pada penduduk umur ≥18 tahun menurut kelopok umur dapat dilihat

pada gambar.7:

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 180

Gambar 7.

Prevalensi hipertensi pada penduduk umur ≥18 tahun menurut

kelopok umur

Sumber : Laporan Hasil Riskesdas 2013 dan 2018

Pada gambar 7. Tahun 2013, prevalensi hipertensi mengalami kenaikan pada tiap kelompok

umur, nilai prevalensi tertinggi berada pada kelompok umur 65-74 tahun. Pada usia produktif,

kenaikan prevalensi hipertensi terjadi pada interval umur 25-64 tahun. Nilai prevalensi hipertensi

mengalami kenaikan ditingkat nasional, dimana hasil pengukuran tahun 2007 sebesar 7.2%,

menjadi 9.4% di tahun 2013, dan 8.36% di tahun 2018.

Peningkatan Beban Biaya Pengobatan

Penyakit jantung menciptakan beban ekonomi yang cukup tinggi untuk negara, yaitu melalui

pembiayaan kesehatan. Menurut data Jamkesmas penyakit jantung merupakan salah satu penyakit

terbanyak yang dialami oleh pasien rawat jalan dan rawat inap pada tahun 2012. Total biaya yang

dikeluarkanuntuk biaya rawat jalan dan rawat inap di tingkat lanjut sebesar Rp.22.995.073.768.22

Data BPJS menunjukkan adanya peningkatan biaya kesehatan untuk PJK dari tahun ke tahun. Pada

tahun 2014 penyakit jantung menghabiskan dana BPJS Kesehatan sebesar Rp 4,4 triliun, kemudian

meningkat menjadi 7,4 triliun pada 2016, masih terus meningkat pada 2018 sebesar Rp 9,3 triliun.23

Penyakit jantung merupakan penyakit akibat gaya hidup yang salah. Semakin banyak orang terkena

penyakit jantung, tentu membuat beban negara akan semakin semakin tinggi.

PEMBAHASAN

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, angka kejadian penyakit

jantung dan pembuluh darah semakin meningkat dari tahun ke tahun. Setidaknya, 15 dari 1000

orang, atau sekitar 2.784.064 individu di Indonesia menderita penyakit jantung.24

Penyakit jantung

merupakan salah satu penyakit yang berpotensi mengurangi keuntungan ekonomi, pada saat

Indonesia diprediksi akan memperoleh bonus demografi yang harusnya bisa dirasakan oleh

Indonesia pada tahun 2020. Jika usia produktif bisa berperan optimal enam tahun mendatang maka

bangsa ini diprediksi akan bisa memperoleh bonus demografi tersebut secara optimal. Namun jika

generasi yang diharapkan tersebut menderita penyakit maka hal ini akan menjadi salah satu faktor

penghambat untuk memperoleh bonus yang diharapkan. Banyak kajian menyimpulkan bahwa

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 181

75%-90% kejadian penyakit jantung disebabkan oleh faktor tradisional yaitu usia, riwayat

keluarga, hipertensi, dyslipidemia, diabetes, kurangnya aktivitas fisik dan obesitas 25

. Rokok, pola

makan dan aktivitas fisik adalah faktor yang diamati pada Riset Kesehatan Dasar dalam 10 tahun

terakhir 19,24,26

.

Oleh karena itu perlu dilakukan langkah-langkah pencegahan yang preventif, agar prilaku

merokok dapat di turunkan secara signifikan. Pada profil masyarakat ASEAN tahun 2011, salah

satu keuntungan demografi Indonesia adalah lebih dari 60% penduduk berusia dibawah 39 tahun.

Sementara jika melihat hasil RISKESDAS pada kelompok umur tersebut terpapar salah satu faktor

risiko terkena penyakit jantung yaitu merokok. Menurut penelitian di Banglades perokok aktif lebih

beresiko 1,3 kali di bandingkan mantan perokok. Kematian akibat penyakit jantung meningkat pada

laki-laki dan perempuan. Diestimasikan rokok berkonteribusi terhadap 25% kematian pada laki-

laki dan 7.6% pada perempuan.27

Perokok yang berhenti merokok sebelum usia 37 tahun ririko

terkena penyakit jantung sama dengan yang tidak pernah merokok.

Data Riskesdas menunjukkan bahwa proporsi perokok usia 25-34 tahun masing-masing

sebesar 29% pada tahun 2007 dan 31,1% pada tahun 2013.19,24,26

Terlihat bahwa terjadi peningkatan

proporsi jumlah perokok. Faktor risiko ini berpotensi untuk menyebabkan penyakit jantung pada

usia 40 tahun ke atas. Selain itu juga berisiko untuk menyebabkan kematian akibat penyakit

jantung yang diderita. Sementara, jika perilaku merokok ini bisa dikurangi sebelum usia 37 tahun,

maka risiko untuk menderita penyakit jantung bisa ditekan, karena risiko terkena penyakit jantung

pada mantan perokok yang berhenti sebelum usia 37 tahun sama dengan yang tidak pernah

merokok. Artinya berisiko lebih rendah terkena penyakit jantung.

Selain itu dari aspek pembiayaan kesehatan faktor risiko merokok ini juga akan membenai

belanja Negara pada sektor kesehatan, khususnya untuk biaya pelayanan kesehatan. Pada sisi lain

faktor risiko ini juga akan menimbulkan kerugian dalam bentuk kehilangan produktivitas yang jika

di konversikan secara nominal menunjukkan nilai yang besar. Hal ini bisa dilihat dari hasil

penelitian di Inggris bahwa biaya yang dikeluarkan untuk pelayanan kesehatan akibat merokok

pada tahun 1991 adalah sekitar 1,4-1,7 juta dan telah menyebabkan 100.000 kematian dalam 10

tahun terakhir. Diperkirakan kematian akibat rokok pada tahun 2005 adalah sekitar 109,164 (18%

dari kematian, 27% kematian pada pria dan 11% wanita). Rokok menjadi penyebab 12% dari

kegagalan hidup pada tahun 2002 (15% pada pria dan 8,5% pada wanita) serta membebani biaya

peyanan kesehatan nasional sebesar £5,2 juta pada tahun 2005-2006.28

Jika faktor risiko rokok tidak dikendalikan secepatnya maka bonus demografi akan

mengalami penurunan dari sektor sumber daya manusia dan pembiayaan kesehatan, akibat

meningkatnya prevalensi penyakit jantung dan kerugian ekonomi yang ditimbulkannya. Penelitian

di Amerika terhadap penduduk berkulit hitam menemukan bahwasanya aktifitas fisik yang kurang

berhubungan dengan penyakit jantung, gagal jantung dan penyakit jantung koroner.29

Aktifitas fisik

yang kurang, bisa meningkatkan risiko terkena penyakit jantung pada wanita.30

Suatu studi kohor

menemukan bahwa tingginya porsi kegiatan santai atau duduk berhubungan dengan peningkatan

fatalitas penyakit jantung di bandingkan waktu santai yang sedikit.31

Banyak laporan penelitian

menemukan hubungan antara waktu santai dengan penyakit jantung Lebih jauh lagi di temukan

hubungan antar kebiasaan duduk/sedentary, berhubungan dengan periko kematian akibat penyakit

jantung.32

Berdasarkan penelitian-penelitian yang pernah dilakukan terlihat bahwa aktivitas fisik yang

kurang akan meningkatkan risiko terkena penyakit jantung. Jika proporsi aktivitas fisik didominasi

oleh santai/duduk-duduk, maka itu juga akan meningkatkan faktor risiko penyakit jantung. Jika hal

ini dibiarkan, maka pada saat bonus demografi hal ini juga akan mengurangi produktivitas dan

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 182

kualitas sumberdaya manusia. Hal ini akan mengurangi keuntungan dari bonus demografi yang

seharusnya bisa diperoleh.

Penyakit jantung selain mengurangi kualitas bonus demografi, juga berdampak kepada biaya

penanggulangan. Sebuah penelitian di Inggris menyebutkan bahwa biaya yang diperlukan untuk

system penanganan penyakit jantung pada tahun 2004 adalah sekitar £29,1 juta, 29% (£8,5 juta)

dan 27% (£8.0 juta) dari total biaya. Biaya pelayanan kesehatan adalah bagian terbesar yang

diperlukan untuk penanganan penyakit jantung yaitu sebesar 60%, diikuti oleh biaya yang

ditimbulkan akibat kehilangan produktivitas selama sakit dan kematian sebesar 23% dan 17% biaya

yang dikeluarkan untuk pelayanan informal.33

di Korea biaya yang diperlukan untuk system

penanganan penyakit jantung secara nasional adalah $2,52 juta. Biaya tersebsar dikeluarkan untuk

biaya medis yaitu sebesar 53%, diikuti dengan biaya untuk kehilangan produktivitas selama sakit

dan kematian (33,6%), transportasi (8,1%) dan biaya perawatan lainnya (4,9%).34

Merujuk kepada

biaya yang dikeluarkan oleh kedua negara tersebut di atas, jika dikonversi kepada nilai mata uang

Indonesia maka biaya yang dikeluarkan berkisar antara Rp. 2.936.807.791.705 s/d Rp.

5.620.411.366.865. Inilah biaya yang dikeluarkan jika faktor-faktor risiko Penyakit jantung tidak di

kelola dengan baik.

Kurangnya aktivitas fisik, akan menyebabkan obesitas pada 68% orang dewasa. Biaya yang

ditimbulkan akibat obesitas pada perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat adalah sebesar $225.8

juta per-tahun untuk segala hal yang berhubungan dengan hilangnya produktivitas. Rata-rata biaya

pelayanan kesehatan yang dikeluarkan per-orang mencapai $3,000 per-tahun. Pekerja yang

kegemukan akan menambah biaya pengeluaran perusahaan untuk kesehatan dan sakit per-tahun

antara $460 to $2,500.35

Aktivitas fisik yang mencukupi bisa menurunkan risiko terkena penyakit

jantung.36

Dari beberapa penelitian tersebut terlihat bahwa, biaya yang dikeluarkan akibat

kurangnya aktivitas fisik bisa menambah pengeluaran kesehatan. Hal ini akan menjadi sebuah

konsekuensi yang harus dihadapi dari segi pembiayaan kesehatan pada saat bonus demografi, jika

tidak dilakukan intervensi sedini mungkin.

Salah satu cara yang umum digunakan utuk menurunkan biaya perawatan penderita

penyakit jantung adalah dengan berolahraga secara teratur. Ini bukan sekadar himbuan semata,

melainkan sudah dibuktikan melalui penelitian. Jika penderita penyakit jantung masih takut-takut

atau masih mencari alasan apa pentingnya berolahraga setiap hari, mulai saat ini buang jauh-jauh

keraguan untuk berolahraga. Menurut sebuah penelitian, penderita penyakit jantung yang rutin

melakukan olahraga intensitas sedang selama lebih kurang 30 menit minimal lima kali dalam

seminggu, dapat menghemat biaya berobat sampai 2.500 dolar Amerika, atau hampir 30 juta

rupiah. Penelitian ini sudah dimuat dalam Jurnal American Heart Association.

Yang dimaksud olahraga intensitas sedang adalah olahraga yang menghasilkan sedikit

keringat atau hanya sedikit meningkatkan napas dan detak jantung, misalnya jalan cepat,

memotong rumput, atau bersih-bersih. Bagi yang memiliki kekuatan lebih, bisa meningkatkan

intensitasnya dengan lari, berenang atau aerobic cukup masing-masing 25 menit 3 kali seminggu.

Siapa saja yang direkomendasikan melakukan olahraga rutin? Dalam penelitian ini, mereka

yang mendapatkan manfaat dengan olahraga adalah penderita penyakit kardiovaskular, termasuk

penderita penyakit arteri koroner, stroke, serangan jantung, gangguan irama jantung atau penderita

penyakit arteri perifer. Mereka inilah golongan penderita penyakit yang mengeluarkan biaya cukup

tinggi untuk perawatan sehari-hari.

Pada beberapa artikel ilmiah sudah banyak dinyatakan bahwa tidak ada satupun penyakit

yang tidak mendapatkan manfaat dari olahraga. Hanya karena mengidap penyakit jantung atau

pernah mengalami serangan jantung, tidak berarti sesorang harus diam dan tidak berolahraga sama

sekali. Berikut ini adalah manfaat berolahraga untuk kesehatan jantung dan pembuluh darah.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 183

Menguatkan otot jantung dan sistem kardiovaskular. Memperbaiki sirkulasi darah dan membantu

tubuh menyerap oksigen lebih baik. Memperbaiki gejala gagal jantung. Menurunkan tekanan darah.

Memperbaiki kadar kolesterol.

KESIMPULAN DAN SARAN

Faktor risiko merokok dan aktifitas fisik kurang pada kelompok usia di bawah 39 tahun jika

tidak dikelola dengan baik, maka bisa diprediksi kejadian penyakit jantung pada tahun 2020 akan

jauh lebih besar. Hal ini akan menimbulkan masalah bukan hanya dalam pembiayaan kesehatan,

akan tetapi juga menimbilkan konsekuensi pada kerugian yang ditimbulkan terganggunya

produktivitas kerja. Perlu dilakukan upaya-upaya prefentif yang optimal untuk menekan resiko

terkena penyakit jantung pada usia produktif. Seperti membuat fasilitas oleh raga di lingkungan

perkantoran; melakukan advokasi tentang bahaya rokok baik di lingkungan kerja, fasilitas umum,

maupun di wilayah pemukiman penduduk.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih di sampaikan kepada Kepala Badan Litbang Kesehatan, Kepala Pusat

Upaya Kesehatan Masyarakat, yang telah memberikan kemudahan dalam mengakses data Laporan

RISKESDAS tahun 2007, 2013, dan 2018.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ross J. Understanding the Demographic Dividend. POLICY Proj. 2004;

2. Adioetomo dan moertiningsih S. Bonus Demografi : Hubungan antara Pertumbuhan

Penduduk dengan Pertumbuhan Ekonomi. BKKBN. 2005;

3. Silva JR, Brito J, Akenhead R, Nassis GP. The Transition Period in Soccer: A Window of

Opportunity. Sport Med. 2016;

4. Raharjo Jati W. Bonus Demografi Sebagai Mesin Pertumbuhan Ekonomi : Jendela Peluang

Atau Jendela Bencana Di Indonesia ? Populasi. 2015;

5. Win O, Iba Z. Bonus Demografi Modal Membangun Bangsa yang Sehat dan Bermartabat.

Maj Ilm Unimus. 2011;

6. Mendis S, Puska P, Norrving B. Global atlas on cardiovascular disease prevention and

control. World Heal Organ. 2011;

7. Kaptoge S, Pennells L, De Bacquer D, Cooney MT, Kavousi M, Stevens G, et al. World

Health Organization cardiovascular disease risk charts: revised models to estimate risk in 21

global regions. Lancet Glob Heal. 2019;

8. Müller-Nordhorn J, Willich SN. Coronary Heart Disease. In: International Encyclopedia of

Public Health. 2016.

9. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). Pedoman Tatalaksana

Gagal Jantung Edisi Pertama. Buku Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung. 2015;

10. Reamy B V., Williams PM, Kuckel DP. Prevention of Cardiovascular Disease. Primary

Care - Clinics in Office Practice. 2018.

11. Heart Failure Society of America. Executive Summary: HFSA 2010 Comprehensive Heart

Failure Practice Guideline. J Card Fail. 2010;

12. Maggioni AP. Review of the new ESC guidelines for the pharmacological management of

chronic heart failure. Eur Hear Journal, Suppl. 2005;7(J):15–20.

13. Saler S. Gagal Jantung Kongestif. Kesehat Univ Sumatera Utara. 2013;

14. Djausal AN. Gagal Jantung Kongestif Congestive Heart Failure. J Medula Unila. 2016;

15. Sani A. Seluk beluk gagal jantung kongestif. jakarta; 2007.

16. Alwan A, Armstrong T, Cowan M RL. Non communicable Diseases Country Profiles 2011.

World Heal Organ. 2011;

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 184

17. WHO. Noncommunicable Diseases Country Profiles 2018. World Health Organization.

2018.

18. World Health Organization. Global status report on noncommunicable diseases. World Heal

Organ. 2010;

19. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Laporan Nasional Riskesdas 2007.

Kementeri Kesehat Republik Indones. 2008;

20. Badan Pusat Statistik Indonesia. Indonesia Population Projection 2010-2035. Badan Pusat

Statistik Indonesia. 2013.

21. Mason A. Population change and economic development in East Asia: challenges met,

opportunities seized. Choice Rev Online. 2002;

22. Kemenkes RI. Situasi kesehatan jantung. Pus data dan Inf Kementeri Kesehat RI [Internet].

2014;3. Available from:

http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin/infodatin-

jantung.pdf

23. P2PTM Kemenkes RI. Hari Jantung Sedunia (HJS) Tahun 2019 : Jantung Sehat, SDM

Unggul [Internet]. 2019. p. 1. Available from: http://p2ptm.kemkes.go.id/kegiatan-

p2ptm/pusat-/hari-jantung-sedunia-hjs-tahun-2019-jantung-sehat-sdm-unggul

24. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Laporan Riskesdas 2018 [Internet].

Lembaga Penerbit Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta; 2018.

Available from: https://www.litbang.kemkes.go.id/laporan-riset-kesehatan-dasar-riskesdas/

25. Kannel WB, Vasan RS. Adverse Consequences of the 50% Misconception. American

Journal of Cardiology. 2009.

26. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar 2013. Ris Kesehat

Dasar 2013. 2013;

27. Wu F, Chen Y, Parvez F, Segers S, Argos M, Islam T, et al. A Prospective Study of

Tobacco Smoking and Mortality in Bangladesh. PLoS One. 2013;

28. Luengo-Fernández R, Leal J, Gray A, Petersen S, Rayner M. Cost of cardiovascular

diseases in the United Kingdom. Heart. 2006;

29. Bell EJ, Lutsey PL, Windham BG, Folsom AR. Physical activity and cardiovascular disease

in African Americans in atherosclerosis risk in communities. Med Sci Sports Exerc. 2013;

30. Chomistek AK, Manson JE, Stefanick ML, Lu B, Sands-Lincoln M, Going SB, et al.

Relationship of sedentary behavior and physical activity to incident cardiovascular disease:

Results from the women‘s health initiative. J Am Coll Cardiol. 2013;

31. Ford ES, Caspersen CJ. Sedentary behaviour and cardiovascular disease: A review of

prospective studies. Int J Epidemiol. 2012;

32. Shiyovich A, Shlyakhover V, Katz A. Sitting and cardiovascular morbidity and mortality.

Harefuah. 2013.

33. Allender S, Balakrishnan R, Scarborough P, Webster P, Rayner M. The burden of smoking-

related ill health in the UK. Tob Control. 2009;

34. Chang HS, Kim HJ, Nam CM, Lim SJ, Jang YH, Kim S, et al. The socioeconomic burden

of coronary heart disease in Korea. J Prev Med Public Heal. 2012;

35. Darzi Ara BD of DEC. The price of inactivity. Public Finance. 2012.

36. Roohafza H, Khani A, Sadeghi M, Bahonar A, Sarrafzadegan N. Health volunteers‘

knowledge of cardiovascular disease prevention and healthy lifestyle following a

community trial: Isfahan healthy heart program. J Educ Health Promot. 2014;

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 185

STUDI KOHORT : ANALISIS KETAHANAN HIDUP PASIEN

HEMODIALISIS DENGAN KOMORBID HIPERTENSI DI RUMAH SAKIT

ABDOEL MOELEOK, LAMPUNG

Nurhalina Sari,

1* Nova Muhani,

1 Dias Dumaika,

2 Aprizal Hendardi

2

1Departemen Epid dan Biostatistik Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Malahayati

2Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Malahayati

Jl. Pramuka No.27 Kemiling, Bandar Lampung, Lampung

Corresponding email: [email protected]

KOHORT'S STUDY: SURVIVAL ANALYSIS OF HEMODIALISTIC PATIENTS WITH

HYPERTENSION COMORBIDES AT ABDOEL MOELEOK HOSPITAL, LAMPUNG

ABSTRACT

The presence of hemodialysis patients is one of the consequences of increasing cases of chronic kidney

disease (CKD). Hypertension is one of the main factors that can accelerate the decline in quality of life in

patients with CKD. The aim of the study was to determine the mean and correlation between patient survival

and comorbid hypertension on the death status of hemodialysis patients.This study used a retrospective

cohort study design. The data source comes from the medical record documents of hemodialysis patients at

the Abdoel Moeloek Hospital during 2016-2018. The data collected were 396 people. Data analysis using

Kaplan Meier and Cox regression. The frequency distribution showed that 320 (80.2%) people had

hypertension. The proportion of the hypertensive group who died was 184 (57.5%). The mean of survival in

the hypertensive group was 33 months, while in the non-hypertensive group was 44 months. The cox

regression test results show a p-value of 0.008 and a hazard ratio of 1.6 (95% confidence interval 1.1-2.3).

The mean length of life of CKD patients in the hypertension group was shorter than the non-hypertensive

group. The hypertensive group had a 1.6 times greater survival risk of dying than the non-hypertensive group

with a 95% confidence interval of 1.1-2.3 in hemodialysis patients undergoing hemodialysis. Awareness to

regularly measure blood pressure and perform early detection of hypertension is highly recommended. This

can be done by utilizing the Posbindu (Integrated Service Post) program in Primary Healthcare and

optimizing the socialization of the Germas (Healthy Living Community Movement) program to the public

through various media.

Keywords: Survival Analysis, Hemodialysis, Hypertension.

ABSTRAK

Keberadaan pasien hemodialisis adalah salah satu akibat dari meningkatnya kasus penyakit ginjal kronis

(PGK). Hipertensi menjadi salah satu faktor utama yang bisa mempercepat penurunan kualitas hidup pada

penderita PGK. Tujuan penelitian adalah mengetahui rerata dan hubungan ketahanan hidup pasien dengan

komorbid hipertensi terhadap status kematian pasien hemodialisis. Penelitian menggunakan desain penelitian

kohort retrospektif. Sumber data berasal dari dokumen rekam medis pasien hemodialisis di Rumah Sakit

Abdoel Moeloek selama tahun 2016-2018. Data yang terkumpul sebanyak 396 orang. Analisis data

menggunakan kaplan meier dan regresi cox. Distribusi frekuensi menunjukkan sebanyak 320 (80.2%) orang

yang mengalami hipertensi. Proporsi kelompok hipertensi yang meninggal dunia sebanyak 184 (57.5%)

orang. Rerata ketahanan hidup kelompok hipertensi adalah 33 bulan, sedangkan pada kelompok non-

hipertensi adalah 44 bulan. Hasil uji regresi cox menunjukkan nilai p-value sebesar 0.008 dan hazard rasio

1.6 (95% interval kepercayaan 1.1-2.3). Rerata lama hidup pasien hemodialisis pada kelompok hipertensi

lebih pendek dibandingkan kelompok non-hipertensi. Kelompok hipertensi memiliki risiko ketahanan hidup

1.6 kali lebih besar untuk mengalami kematian dibandingkan kelompok non-hipertensi dengan 95% interval

kepercayaan 1.1-2.3 pada pasien PGK yang menjalani hemodialisis. Kesadaran untuk rutin mengukur

tekanan darah dan melakukan deteksi dini hipertensisangat dianjurkan. Hal ini dapat dilakukan dengan

memanfaatkan program Posbindu (Pos Pelayanan Terpadu) di Puskemas dan mengoptimalkan sosialisasi

program Germas (Gerakan Masyarakat Hidup Sehat) kepada masyarakat melalui berbagai media.

Kata Kunci: Analisis Survival, Hemodialisis, Hipertensi.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 186

PENDAHULUAN

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan perkembangan kasus kesakitan dan

kematian yang diakibatkan oleh Penyakit Ginjal Kronis (PGK) terus meningkat setiap tahunnya.

Dalam laporan the Global Burden of Disease pada tahun 2017 menyebutkan PGK adalah penyebab

kematian yang terus meningkat menjadi urutan ke-15 pada tahun 2017.1 Laporan yang sama

menyebutkan sekitar 2 juta lebih penduduk dunia mendapatkan perawatan dialisis bahkan

menjalani transplantasi ginjal. Saat ini telah tercatat sekitar 10% penduduk di seluruh dunia

mengalami PGK dan jutaan orang meninggal setiap tahun karena ketiadaan akses pengobatan.

Kementerian Kesehatan Indonesia juga melaporkan bahwa dari total populasi Indonesia yang

berjumlah 258 juta jiwa, 73% kematian disebabkan oleh Penyakit Tidak Menular (PTM) dan 27%

diantaranya berisiko mengalami kematian dini. Salah satu penyumbang kematian dari PTM adalah

penyakit ginjal kronik.2

Perkembangan PGK di Indonesia tercatat memiliki prevalensi sebesar 2 persen berdasarkan

laporan Riskesdas 2013.3 PGK ini menimbulkan beban biaya kesehatan tinggi hingga trilyun

rupiah.2 Perhimpunan Nefrologi Indonesia melaporkan bahwa pasien PGK yang melakukan

hemodialisis tercatat hingga tahun 2016 ada sebanyak 25.446 pasien baru dan 52.835 pasien aktif.4

Faktor risiko penyakit ginjal kronik terbanyak adalah hipertensi dan diabetes mellitus.4–7

Berdasarkan laporan rutin yang dipublikasikan oleh Indonesian Renal Registry (IRR) tercatat PGK

dengan penyakit penyerta hipertensi sebesar 50% pada tahun 2016, kemudian naik menjadi 51%

dan stagnan hingga tahun 2018.5–8

Pada Laporan IRR terlihat PGK dengan hipertensi selalu

menduduki peringkat pertama sebagai penyakit penyerta pasien. Beberapa penelitian menyebutkan

bahwa terdapat hubungan hipertensi dengan kejadian PGK pada pasien yang menjalani

hemodialisis.9–11

Semakin lama menderita hipertensi maka risiko untuk PGK semakin besar. Faktor

risiko utama yang akan diteliti adalah riwayat hipertensi dengan faktor pengganggunya adalah

umur dan jenis kelamin. Berdasarkan hal yang telah dikemukakan di atas, peneliti ingin

mengetahui dan melakukan analisis lebih lanjut dengan studi kohort retrospektif mengenai

ketahanan hidup pasien hemodialisis dengan komorbid hipertensi di Rumah Sakit Abdoel

Moeloek, Lampung Tahun 2016 – 2018.

METODE

Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif. Populasi penelitian adalah pasien

dengan status PGK yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Abdoel Moeloek pada 01 Januari

2016 hingga 31 Desember 2018. Besar sampel minimal dihitung menggunakan rumus uji survival

dari Lwanga dan Lemeshow12

. Rumus ini menggunakan nilai kemaknaan 95 persen (α=5 persen),

kekuatan 80 persen (β=20 persen), dan rasio hazard pasien PGK dengan komorbid hipertensi

sebesar 3.02 dari penelitian Ding, et. al13, sehingga didapatkan jumlah minimal responden adalah

13. Sampel penelitian yang berhasil dikumpulkan sebanyak 396 pasien. Kriteria inklusi adalah

pasien terdiagnosis utama PGK, usia >18 tahun, menjalani hemodialisis, memiliki hasil

laboratorium fungsi ginjal (kreatin), dan catatan tekanan darah. Variabel yang diukur dalam

penelitian ini adalah pasien hemodialisis (meninggal dan hidup) tekanan darah yang dibagi menjadi

non-hipertensi (jika hasil ukur sistolik <140 mmHg dan diastolik <90 mmHg) dan hipertensi (jika

hasil ukur sistolik ≥140 mmHg dan diastolik >90 mmHg), jenis kelamin (perempuan dan laki-laki)

dan umur pasien (<50 tahun dan >50 tahun). Penelitian dilaksanakan di Rumah Sakit Abdul

Moeloek selama satu tahun pengumpulan data sejak Oktober 2018 hingga Oktober 2019. Analisis

data menggunakan uji survival, yaitu kaplan meier untuk rerata ketahanan hidup pasien

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 187

hemodialisis dan uji regresi cox digunakan untuk memperkirakan nilai rasio hazard (HR) dan 95%

interval kepercayaan (IK).

HASIL

1. Karakteristik Pasien

Pasien hemodialisis didominasi oleh laki-laki sebanyak 56.6%, mengalami hipertensi 80.8%,

dan meninggal 55.8 persen (tabel 1). Rerata usia pasien hemodialisis berusia 51 tahun dengan usia

termuda 19 tahun dan tertua 82 tahun. Pasien hemodialisis ini rerata telah menjalani proses cuci

darah selama 14 bulan dan pasien terlama selama 10.5 tahun/126 bulan.

Tabel 1. Karakteristik Pasien

Variabel Kategori n ( persen)

Jenis kelamin Perempuan Laki-laki

172 (43.4) 224 (56.6)

Usia <50 tahun

≥50 tahun

164 (41.4)

232 (58.6)

Status pasien Hidup Meninggal

175 (44.2) 221 (55.8)

Tekanan darah Non-hipertensi

Hipertensi

76 (19.2)

320 (80.8)

Gambar 1.

Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden berdasarkan Kelompok Non-hipertensi dan

Hipertensi

17 22

18 21

12 25

12 25

perempuan laki-laki <50 tahun >50 tahun

Jenis Kelamin Umur

Kelompok Non-hipertensi

hidup meninggal

70 66

61 75

73 111

73 111

perempuan laki-laki <50 tahun >50 tahun

Jenis Kelamin Umur

Kelompok Hipertensi

hidup meninggal

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 188

1. Survival Pasien Hemodialisis dengan Riwayat Hipertensi

Tabel 3. Regresi cox Ketahanan Hidup Pasien Hemodialisis dengan Komorbid Hipertensi

di RS Abdoel Moeloek Tahun 2016-2018

Variabel p-value Hazard rasio 95% Interval Keparcayaan

Terendah Tertinggi

Tekanan darah .008 1.615 1.133 2.301

Gambar 2.

Grafik Ketahanan Hidup Pasien Hemodialisis dengan Komorbid Hipertensi

di RS Abdoel Moeloek Tahun 2016-2018

Bulan

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 189

Proporsi pasien hemodialisis yang memiliki riwayat hipertensi dan kemudian meninggal

berjumlah 184 (57.5 persen) orang. Pada grafik survival diatas terlihat rerata ketahanan hidup

kelompok hipertensi, yaitu 33 bulan lebih pendek dibandingkan dengan kelompok non-hipertensi,

yaitu 44 bulan. Hasil uji log rank (Mantel-Cox) dan omnibus test pada analisis regresi cox

menunjukkan nilai p-value sebesar 0.007 (α=5 persen), nilai ini secara statistik menunjukkan ada

perbedaan survival rate antara kelompok hipertensi dengan non-hipertensi. Kelompok hipertensi

memiliki risiko ketahanan hidup 1.6 kali lebih besar untuk mengalami kematian dibandingkan

kelompok non-hipertensi dengan 95% interval kepercayaan 1.1-2.3 pada pasien hemodialisis.

PEMBAHASAN

Penyakit ginjal kronis (PGK) didefinisikan sebagai proses penurunan progresif fungsi

ginjal yang dapat terjadi dalam beberapa bulan bahkan tahun. Secara fisiologis, penyakit ini adalah

kerusakan ginjal dan/atau hingga penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR) dengan nilai kurang

dari 60mL/min/1,73m selama minimal 3 bulan lamanya.14

Laporan terakhir yang dirilis oleh

Registrasi IRR (Indonesian Renal Registry) tahun 20188, diagnosis penyakit utama pasien

hemodialisis di Indonesia berasal dari tiga jenis penyakit, yaitu: gagal ginjal akut (GGA) sebesar 8

persen, gagal ginjal kronik (GGK/PGK) sebesar 90 persen, dan GGA pada PGK sebesar 2 persen.

Adapun untuk penyakit penyertanya didominasi oleh hipertensi (51 persen) dan diabetes mellitus

(21 persen).

Pada penelitian ini dihasilkan bahwa pasien hemodialisis dari kelompok hipertensi yang

meninggal sejumlah 184 (57.5%). Proporsi pasien hemodialisis yang meninggal karena komorbid

hipertensi lebih besar dibandingkan dengan non-hipertensi. Faktor risiko penyakit ginjal kronis di

Indonesia menurut data Riskesdas 2018 adalah hipertensi dengan prevalensi sebesar 25.%, obesitas

15.4%, dan diabetes melitus 2.3%.15

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelompok hipertensi

memiliki risiko ketahanan hidup 1.6 kali lebih besar untuk mengalami kematian dibandingkan

kelompok non-hipertensi dengan 95% interval kepercayaan 1.1-2.3 pada pasien hemodialisis.

Beberapa laporan nasional juga menyebutkan penyebab kematian tertinggi pada pasien

hemodialisis adalah kardiovaskuler. Faktor risiko penyakit penyerta tertinggi penyakit

kardiovaskuler tersebut adalah hipertensi. Hipertensi masih merupakan komorbid tertinggi. Hal ini

dapat dijelaskan bahwa apapun penyakit dasar yang telah diderita oleh pasien, bila sudah

mengalami PGK dan menjalani hemodialisis maka kontrol tekanan darah pun akan terganggu.2,3,5–8

Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Nurcahyati16

dan Delima, et. al17

menyebutkan bahwa

adanya hubungan signifikan antara tekanan darah dengan kualitas hidup pasien PGK yang

menjalani hemodialisis. Hasil ini diperkuat dari beberapa penelitian yang juga menyatakan bahwa

pasien PGK yang menjalani hemodialisis dengan komorbid hipertensi memiliki ketahanan hidup

lebih rendah jika dibandingkan dengan pasien yang tidak memiliki riwayat penyakit apapun.9,18,19

Peluang risiko ketahanan hidup pasien hemodialisis dengan komorbid hipertensi semakin lama

akan semakin kecil. Menurut teori, penyakit hipertensi yang diderita dalam waktu lama akan

menyebabkan nefrosklerosis, kemudian berlanjut menjadi kerusakan glomerulus dan atrofi tubulus

hingga seluruh nefron rusak dan berdampak pada gagal ginjal.9 Penyakit ginjal kronik dapat

menyebabkan naiknya ukuran tekanan darah, begitu pula sebaliknya hipertensi dalam jangka

waktu lama juga dapat mengganggu fungsi kerja ginjal. Keterbatasan pada penelitian ini adalah

sulit untuk membedakan keadaan anatara hipertensi lebih dulu atau penyakit ginjak kronik dulu

yang terjadi. Keterbatasan informasi pada lembar rekam medis yang tertulis di dalamnya. Pengaruh

hipertensi pada ginjal tergantung dari ukuran tingginya tekanan darah dan lamanya waktu

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 190

menderita hipertensi. Semakin tinggi tekanan darah seseorang dan diderita dalam waktu lama,

maka berakibat pada semakin berat komplikasi penyakit yang mungkin dapat ditimbulkan.

Sejalan dengan hasil penelitian dan laporan nasional IRR menyebutkan bahwa pasien

hemodialisis didominasi oleh jenis kelamin laki-laki pada kisaran angka 56-60%. Penelitian

Sulistiowati dan Idaiani menyebutkan laki-laki memiliki risiko 2.97 kali lebih besar untuk

mengalami PGK.20

Penelitian Pranandari dan Supadmi juga menyatakan hal sama bahwa laki-laki

berisiko hingga 2 kali lebih tinggi untuk menderita PGK (p.value=0.04)21

dan beberapa penelitian

lainnya.22

Namun dalam penelitian lain menunjukkan tidak ada hubungan antara jenis kelamin

terhadap risiko ketahanan hidup pasien PGK.19

Perbedaan hasil penelitian ini disebabkan oleh

beberapa faktor seperti pengaruh perbedaan hormon reproduksi; gaya hidup seperti konsumsi

protein, garam, rokok dan konsumsi alkohol pada laki-laki dan perempuan. Pasien hemodialisis

pada penelitian ini didominasi oleh usia di atas 50 tahun sekitar 58.6%, meski pada data ditemukan

juga usia termuda pasien hemodialisis adalah 19 tahun.

KESIMPULAN DAN SARAN

Rerata lama hidup pasien hemodialisis dari kelompok hipertensi lebih rendah

dibandingkan kelompok non-hipertensi. Pasien hemodilasis dari kelompok hipertensi memiliki

risiko kematian lebih tinggi 1,6 kali jika dibandingkan kelompok non-hipertensi. Peneliti

menyarankan agar individu dan masyarakat memiliki kemadirian dan kesadaran tinggi untuk

melakukan kontrol rutin tekanan darah. Deteksi dini hipertensi sangat dianjurkan dengan

memanfaatkan program posbindu yang ada di puskemas dan mengoptimalkan sosialisasi germas

(Gerakan Hidup Sehat Masyarakat). Bagi mereka yang telah terdiagnosis positif mengalami

hipertensi juga disarankan untuk patuh mengonsumsi obat antihipertensi agar tekanan darahnya

terkontrol dan berupaya mengubah gaya hidup serta mengendalikan stres. Penelitian lanjutan perlu

dilakukan dengan menggunakan data pasien yang lebih akurat terkait status lamanya dan terkontrol

tidaknya hipertensi pasien dan faktor penting lainnya seperti gula darah/diabetes.

DAFTAR PUSTAKA

1. Stanaway JD, Afshin A, Gakidou E, Lim SS, Abate D, Abate KH, et al. Global, regional,

and national comparative risk assessment of 84 behavioural, environmental and

occupational, and metabolic risks or clusters of risks for 195 countries and territories, 1990-

2017: A systematic analysis for the Global Burden of Disease Stu. Lancet.

2018;392(10159):1923–94.

2. Moeloek NF. Air Bagi Kesehatan : Upaya Peningkatan Promotif Preventif bagi Kesehatan

Ginjal di Indonesia [Internet]. Jakarta; 2018 [cited 2018 Aug 31]. Available from:

https://www.persi.or.id/images/2018/data/materi_menkes.pdf

3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)

2013. Laporan Nasional 2013. Jakarta; 2013.

4. Lydia A, Nugroho P. Kondisi Kesehatan Ginjal Masyarakat Indonesia dan

Perkembangannya [Internet]. 2018 [cited 2018 Aug 31]. Available from:

https://www.persi.or.id/images/2018/data/aida_lydia.pdf

5. Indonesian Renal Registry Team. 8 th Report Of Indonesian Renal Registry 2015 [Internet].

2015 [cited 2018 Aug 30]. Available from:

https://www.indonesianrenalregistry.org/data/INDONESIAN RENAL REGISTRY

2015.pdf

6. Indonesia Renal Registry Team. 9 th Report Of Indonesian Renal Registry 2016 [Internet].

2016 [cited 2018 Aug 31]. Available from:

https://www.indonesianrenalregistry.org/data/INDONESIAN RENAL REGISTRY

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 191

2016.pdf

7. Indonesian Renal Registry Team. 10 th Report Of Indonesian Renal Registry 2017

[Internet]. 2017. Available from: https://www.indonesianrenalregistry.org/data/IRR 2017

.pdf

8. Indonesian Renal Rgistry Team. 11 th Report Of Indonesian Renal Registry 2018 [Internet].

2018. Available from: https://www.indonesianrenalregistry.org/data/IRR 2018.pdf

9. Yulianto D, Basuki H, Widodo. Analisis Ketahanan Hidup Pasien Penyakit Ginjal Kronis

Dengan Hemodialisis Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya. J Manaj Kesehat Yayasan RSDr

Soetomo [Internet]. 2017;3(1):96. Available from:

https://media.neliti.com/media/publications/258424-analisis-ketahanan-hidup-pasien-

penyakit-a82c8244.pdf

10. Hidayati T, Kushadiwijaya H, Suhardi. Hubungan antara Hipertensi, Merokok dan

Minuman Suplemen Energi dan Kejadian Penyakit Ginjal Kronik. Ber Kedokt Masy

[Internet]. 2008;24(2):90–102. Available from:

https://journal.ugm.ac.id/bkm/article/view/3600

11. Fitrianto H, Azmi S, Kadri H. Penggunaan Obat Antihipertensi pada Pasien Hipertensi

Esensial di Poliklinik Ginjal Hipertensi RSUP DR. M. Djamil Tahun 2011. J Kesehat

Andalas [Internet]. 2014;3(1):45–8. Available from: Penggunaan Obat Antihipertensi pada

Pasien Hipertensi Esensial di Poliklinik Ginjal Hipertensi RSUP DR. M. Djamil Tahun

2011

12. Ogston SA, Lemeshow S, Hosmer DW, Klar J, Lwanga SK. Adequacy of Sample Size in

Health Studies. Biometrics. 1991;47(1):347.

13. Ding C, Yang Z, Wang S, Sun F, Zhan S. The associations of metabolic syndrome with

incident hypertension, type 2 diabetes mellitus and chronic kidney disease: a cohort study.

Endocrine [Internet]. 2018;60(2):282–91. Available from: http://dx.doi.org/10.1007/s12020-

018-1552-1

14. KDIGO. KDIGO 2012 Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of

Chronic Kidney Disease. Kidney Int Suppl [Internet]. 2013 [cited 2018 Sep 1];3(1):1–150.

Available from: http://www.kidney-international.org

15. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Hasil Utama Riskesdas 2018. Kementerian

Kesehatan. 2018.

16. Nurcahyati S. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kualitas Hidup Pasien Hemodialisis

di Rumah Sakit Islam Fatimah Cilacap dan Rumah Sakit Umum Daerah Banyumas

[Internet]. Indonesia; 2011. Available from: http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20282431-T

Sofiana Nurchayati.pdf

17. Delima D, Tjitra E, Tana L, Halim FS, Ghani L, Siswoyo H, et al. Faktor Risiko Penyakit

Ginjal Kronik : Studi Kasus Kontrol di Empat Rumah Sakit di Jakarta Tahun 2014. Bul

Penelit Kesehat [Internet]. 2017;45(1):17–26. Available from:

http://ejournal.litbang.kemkes.go.id/index.php/BPK/article/download/7328/5123

18. Pongsibidang GS. Risk Factor Hypertension, Diabetes and Consuming Herbal Medicine of

Chronic Kidney Disease In Dr. Wahidin Sudirohusodo Hospitals Makassar 2015. J Wiyata

[Internet]. 2016;3(2):162–7. Available from:

https://ojs.iik.ac.id/index.php/wiyata/article/view/87

19. Ebad M. Survival analysis of chronic dialysis patients [Internet]. University of Waterloo;

2018 [cited 2018 Aug 31]. Available from: http://hdl.handle.net/10012/13584

20. Eva Sulistiowati, Sri Idaiani. RISK FACTORS OF CHRONIC KIDNEY DISEASE

BASED ON CROSS- SECTIONAL ANALYSIS BASELINE COHORT STUDY NON-

COMMUNICABLE DISEASES AT POPULATION 25-65 YEARS OLD IN KEBON

KELAPA, BOGOR 2011. Bul Penelit Kesehat [Internet]. 2015;43(3):163–72. Available

from: http://ejournal.litbang.kemkes.go.id/index.php/BPK/article/view/4344/4000

21. Pranandari R, Supadmi W. Risk factors cronic renal failure on hemodialysis unit in RSUD

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 192

Wates Kulon Progo. Maj Farm [Internet]. 2015;22(2):316–20. Available from:

https://jurnal.ugm.ac.id/majalahfarmaseutik/article/view/24120/15776

22. Chang PY, Chien LN, Lin YF, Wu MS, Chiu WT, Chiou HY. Risk factors of gender for

renal progression in patients with early chronic kidney disease. Med (United States)

[Internet]. 2016;95(30). Available from: https://journals.lww.com/md-

journal/fulltext/2016/07260/risk_factors_of_gender_for_renal_progression_in.26.aspx

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 193

PEMANFAATAN HASIL STUDI KOHOR

FAKTOR RISIKO PENYAKIT TIDAK MENULAR (FRPTM)

DI KOTA BOGOR 2011—2019

Sulistyowati Tuminah, Woro Riyadina, Sudikno, Dewi Kristanti Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Jl. Percetakan Negara No.29, Jakarta Pusat 10560

Corresponding e-mail: [email protected]

UTILIZATION OF THE RESULTS OF A COHORT STUDY OF

RISK FACTORS FOR NON-COMMUNICABLE DISEASES IN BOGOR CITY (2011—2019)

ABSTRACT

Cerebrovascular disease, ischemic heart disease and diabetes mellitus (DM) are the three leading causes of

death in Indonesia during 2015 and 2016 based on the Sample Registration System (SRS). The results of the

Basic Health Research (BHR) in 2007 showed that the prevalence of stroke, heart disease and diabetes

mellitus in Bogor City were higher than the national prevalence. This is one of the reasons for choosing the

Bogor City as the place for the Non-Communicable Disease Risk Factor (NCDRF) Cohort Study. This study

has been ongoing for 10 years, a lot of data has been produced but it is still not fully utilized. In fact, there

are still many who do not know about this study. The purpose of this paper was to provide information about

the NCDRF Cohort Study with stroke, coronary heart disease (CHD), and DM as the outcomes. For the local

government and the Bogor City health office, the results of the NCDRF Cohort Study are beneficial in

determining priority problems and potential resources. The benefits for the Primary Health Care (PHC)

include obtaining data on health status, morbidity and mortality of residents in their working areas, to

stimulate the formation of the NCD Integrated Founding Post (Posbindu), and improving the skills of health

workers and cadres. Subjects who participated in the NCDRF Cohort Study got the free and routine health

examination. Since 2012—2019 there have been 32 national, 6 international publications and 10 papers

socialyzed through seminars/conferences.

Key words: cohort study, non-communicable disease

ABSTRAK

Penyakit serebrovaskuler, penyakit jantung iskemik dan diabetes melitus (DM) merupakan tiga penyakit

yang menjadi penyebab utama kematian di Indonesia selama tahun 2015 dan 2016 berdasarkan Sample

Registration System (SRS). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan bahwa

prevalensi stroke, penyakit jantung dan DM di Kota Bogor lebih tinggi dari prevalensi nasional. Hal ini

menjadi salah satu alasan dipilihnya Kota Bogor sebagai tempat pelaksanaan Studi Kohor Faktor Risiko

Penyakit Tidak Menular (FRPTM). Studi ini telah berlangsung selama 10 tahun, banyak data yang dihasilkan

namun masih belum dimanfaatkan secara maksimal. Bahkan masih banyak yang belum mengetahui adanya

kegiatan ini. Tujuan makalah ini yaitu memberikan informasi tentang kegiatan Studi Kohor FRPTM dengan

stroke, penyakit jantung koroner (PJK), dan DM sebagai outcome. Studi Kohor FRPTM yang dimulai sejak

tahun 2011 ini, pelaksanaannya dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan bekerjasama

dengan berbagai instansi terkait. Bagi pemerintah daerah dan dinas kesehatan Kota Bogor, adanya hasil Studi

Kohor FRPTM memberikan manfaat dalam menentukan prioritas masalah dan sumber daya potensial.

Manfaat bagi PKM yang terlibat antara lain mendapatkan data status kesehatan, morbiditas dan mortalitas

warga di wilayah kerjanya, terbentuknya Pos Pembinaan Terpadu (posbindu) PTM, serta meningkatnya

keterampilan tenaga kesehatan dan kader. Warga yang menjadi sampel Studi Kohor FRPTM mendapat

manfaat berupa pemeriksaan rutin dan gratis. Sejak tahun 2012—2019 telah dihasilkan 32 publikasi nasional,

6 publikasi internasional dan 10 makalah yang disosialisasikan melalui seminar/konferensi.

Kata kunci: studi kohor, penyakit tidak menular

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 194

PENDAHULUAN

Di wilayah Asia Tenggara diperkirakan 62% (8,5 juta) dari seluruh kematian, diakibatkan

oleh Penyakit Tidak Menular (PTM). Sekitar 50% dari kematian tersebut terjadi pada usia di bawah

70 tahun. Empat PTM utama yaitu penyakit kardiovaskuler (PKV), diabetes, kanker dan penyakit

pernafasan kronis berkontribusi terhadap lebih dari 80% kematian premature terkait PTM.

Gangguan mental merupakan penyebab utama kelima dari beban PTM dan seringkali terjadi

dengan empat PTM utama. (Castillo-Carandang, 2020)

Penyakit serebrovaskuler, penyakit jantung iskemik dan diabetes melitus (DM) merupakan

tiga penyakit yang menjadi penyebab utama kematian di Indonesia selama tahun 2015 dan 2016

berdasarkan Sample Registration System (SRS). (Usman Y, 2018) Prediktor utama PTM, dan

lamanya perubahan faktor risiko menjadi PTM diperkirakan sangat bervariasi, tergantung jenis

PTM, jenis dan jumlah faktor risiko baik genetik, perilaku maupun lingkungan, lamanya

keterpaparan faktor risiko, dan derajat/dosis/kadar/frekuensi faktor risiko PTM pada seseorang. Hal

tersebut hanya dapat diketahui dengan pasti melalui penelitian etiologi yang dilakukan secara

longitudinal dengan desain studi kohor. Saat ini, Studi Kohor Faktor Risiko PTM secara

longitudinal masih sangat jarang dilakukan di Indonesia. Penelitian yang pernah dilakukan di

Indonesia dengan desain tersebut, masih dengan jumlah sampel, lama pelaksanaan, dan ruang

lingkup yang terbatas. Oleh karena itu Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (BPPK)

Kementerian Kesehatan RI merasa perlu menyelenggarakan studi ini secara komprehensif. Dengan

tersedianya data longitudinal dari faktor risiko yang dipantau secara prospektif dalam mengamati

kejadian PTM utama dapat dikembangkan berbagai studi intervensi yang lebih khusus untuk

mendapatkan berbagai model upaya pengendalian PTM secara efektif, baik pencegahan maupun

pengobatannya. (Lap SKFRPTM 2018)

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan, prevalensi diabetes,

stroke, dan penyakit jantung di Kota Bogor lebih tinggi dari prevalensi nasional. Prevalensi

tersebut secara berurutan 1,7%; 0,8% dan 1,2% untuk Kota Bogor; 0,7%; 0,6%; 0,9% untuk

Nasional. Hasil Riskesdas tersebut menjadi salah satu alasan dilakukannya Studi Kohor Faktor

Risiko Penyakit Tidak Menular (FRPTM) di Kota Bogor dan dilaksanakan sejak tahun 2011—

sekarang.

Masalah

1. Kegiatan Studi Kohor FRPTM telah berjalan selama 10 tahun, banyak data dihasilkan

namun belum banyak yang berminat membuat penelitian ―nested‖ ataupun analisis lanjut

dari data studi ini yang hasilnya diharapkan dapat digunakan sebagai acuan oleh para

pemegang program dalam rangka mencegah dan mengendalikan PTM utama.

2. Publikasi artikel hasil Studi Kohor FRPTM juga belum banyak dilakukan serta belum

terkoordinir dengan baik, sehingga dikuatirkan terjadinya salami akibat tidak melakukan

sitasi terhadap artikel-artikel yang sudah lebih dahulu dipublikasi.

Tujuan

1. Memperkenalkan Studi Kohor Faktor Risiko Penyakit Tidak Menular yang telah dilakukan

selama 10 tahun.

2. Mendukung pemanfaatan hasil-hasil Studi Kohor FRPTM oleh kalangan luas untuk dapat

dijadikan sebagai acuan dilakukannya penelitian-penelitian lebih lanjut yang lebih

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 195

mendalam guna memperbaiki kondisi kesehatan masyarakat Indonesia ke arah yang lebih

baik.

Pelaksanaan Studi Kohor FRPTM

a. Populasi dan sampel

Studi Kohor FRPTM merupakan studi kohor prospektif terhadap individu di lima kelurahan

di Kecamatan Bogor Tengah (Kelurahan Kebon Kalapa, Babakan Pasar, Babakan, Ciwaringin serta

Panaragan), yang dilakukan milai tahun 2011—sekarang. Populasi adalah penduduk tetap berusia

25—65 tahun (saat studi baseline) di kelurahan terpilih. Inklusi: mereka yang bersedia mengikuti

seluruh kegiatan Studi Kohor FRPTM yang akan berlangsung minimal 10 tahun. Eksklusi: mereka

yang menderita sakit berat, tidak mampu berkomunikasi atau menderita gangguan jiwa.

Pengambilan sampel dilakukan secara ―konsekutif‖ yaitu subyek yang memenuhi syarat,

diikutsertakan menjadi responden sampai jumlah yang diperlukan terpenuhi.

Dalam melaksanakan kegiatan Studi Kohor FRPTM, BPPK bekerjasama dengan Dinas

Kesehatan (Dinkes) Kota Bogor dan 3 Pusat Kesehatan Masyarakat (PKM) yang wilayah kerjanya

menjadi sampel Studi Kohor FRPTM, yaitu PKM Merdeka (Kel. Kebon Kalapa, Ciwaringin dan

Panaragan), PKM Sempur (Kel. Babakan) dan PKM Belong (Babakan Pasar).

Pada studi baseline dilakukan skrining guna menyeleksi subyek sesuai outcome masing-

masing. Studi baseline ini dilaksanakan dalam 3 tahap (tahun 2011, 2012 dan 2015) karena

keterbatasan dana dan sumber daya manusia. Jumlah total responden pada studi baseline sebanyak

5690 orang. Partisipasi responden selama 8 tahun pemantauan (2011—2019) digambarkan sebagai

berikut:

Gambar 1. Partisipasi responden Studi Kohor FRPTM selama 8 tahun (Laporan SKFRPTM 2019)

Selama 8 tahun perjalanan Studi Kohor FRPTM, rata-rata responden yang hadir di FU 3—4

bulanan sebanyak 92,4%. Rata-rata responden yang hadir pada FU 2 tahunan (tahun ke-2, tahun ke-

4, tahun ke-6) sebesar 84,6%. Sementara responden yang drop-out (DO) sebanyak 8,9%.

Pengumpulan data yang dilakukan dalam Studi Kohor FRPTM menurut lokasi, frekuensi,

tahun, dan jenis kegiatan dijelaskan pada tabel-tabel berikut ini:

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 196

Tabel 1. Pengumpulan data Studi Kohor FRPTM tahun 2011—2020 menurut lokasi dan

frekuensi pelaksanaan pemantauan (follow up/FU)

Tabel 1 menjelaskan bahwa sampai dengan tahun 2019, responden baseline 2011 telah

memasuki tahun ke-8 dan menjalani FU lengkap 2 tahunan yang ke-4 (FU-24). Untuk responden

baseline 2012 telah memasuki tahun ke-7 yaitu FU-21 di posbindu. Sedangkan untuk responden

baseline 2015 baru memasuki tahun ke-4 dan menjalani FU lengkap 2 tahunan yang ke-2. Di tahun

2020, seluruh kegiatan Studi Kohor FRPTM dihentikan akibat adanya pandemi Covid-19, hanya

dilakukan pengumpulan data online yang merupakan kajian dampak masa pandemi terhadap

kesehatan mental dan pola pencarian pelayanan pengobatan pada responden dengan komorbid

PTM.

Tabel 2. Pengumpulan data Studi Kohor FRPTM menurut tahun pelaksanaan

Tabel 3. Pengumpulan data Studi Kohor FRPTM menurut lokasi dan kegiatannya

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 197

b. Wawancara

Dalam Studi Kohor FRPTM terdapat 2 macam wawancara yang dilakukan menggunakan

kuesioner, yaitu wawancara mengenai kesehatan masyarakat (kesmas) dan gizi. Pada wawancara

kesmas dilakukan pendataan mengenai sosiodemografi, riwayat penyakit responden dan keluarga

responden, dalam hal ini penyakit tidak menular seperti penyakit jantung koroner (PJK), stroke,

diabetes melitus (DM), kanker (payudara dan leher rahim) serta penyakit paru obstruksi kronis

(PPOK) serta gejala-gejala yang dirasakan. Selain itu ditanyakan juga faktor risiko perilaku

(kebiasaan merokok, konsumsi alkohol serta aktivitas fisik) dan non perilaku (gangguan

mental/emosional). Sedangkan data konsumsi (pola dan jenis asupan makanan) diperoleh dari

wawancara menggunakan kuesioner gizi dengan cara Food Frequency Questionnaire (FFQ) dan

Recall Diet 24 jam. Wawancara kesmas dilakukan oleh enumerator lulusan ilmu kesehatan,

sedangkan wawancara gizi dilakukan khusus oleh enumerator lulusan sekolah gizi. Para

enumerator sebelum kegiatan Studi Kohor FRPTM dimulai, telah diberi pelatihan.

c. Pengukuran

Pada saat pengumpulan data di lapangan, dilakukan juga pengukuran tekanan darah (TD)

dan antropometri (berat badan/BB, tinggi badan/TB dan lingkar perut/LP). Pengukuran tekanan

darah dan antropometri di posbindu dilakukan oleh kader, sedangkan pada FU 2 tahunan dilakukan

oleh tenaga kesehatan dari PKM di bawah pengawasan tim Studi Kohor FRPTM. Pengukuran

tekanan darah dilakukan terhadap semua responden. Pengukuran antropometri dilakukan terhadap

semua responden kecuali responden yang sedang hamil.

d. Pemeriksaan laboratorium

Dalam Studi Kohor FRPTM dilakukan pemeriksaan kadar gula dan lipid darah terhadap

semua responden kecuali yang sedang hamil. Kadar gula darah yang diperiksa adalah kadar gula

darah puasa dan 2 jam setelah pembebanan (post prandial). Kadar lipid darah yang diperiksa yaitu

kolesterol total, low-density lipoprotein/LDL, high-density lipoprotein/HDL serta trigliserida.

Sebelum pengambilan darah, responden diminta berpuasa selama 12—14 jam serta tidak

diperkenankan beraktivitas fisik berat.

e. Pemeriksaan

Pada Studi Kohor FRPTM ini dilakukan beberapa pemeriksaan yaitu pemeriksaan

neurologi dan pemeriksaan rekam jantung (Elektrokardiograf/EKG) yang masih dilakukan hingga

kini (tahun 2019). Foto toraks (Rontgen) hanya dilakukan sejak tahun 2011—2016. Sedangkan

pemeriksaan payudara (Sadanis dan USG), pemeriksaan leher rahim (IVA) serta pemeriksaan

fungsi paru (Spirometri) hanya dilaksanakan saat baseline 2011 dan 2012.

e.1. Pemeriksaan neurologi

Pemeriksaan neurologi dilakukan terhadap responden yang memiliki gejala stroke atau

pernah stroke menggunakan formulir yang telah disiapkan, ditambah instrumen MMSE dan

MoCA-Ina. Pemeriksaan neurologi dilakukan oleh dokter spesialis syaraf dari RSUPN Cipto

Mangunkusumo.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 198

e.2. Pemeriksaan payudara

Pemeriksaan payudara secara klinis (Sadanis) dilakukan terhadap semua responden

perempuan, kecuali yang sedang hamil atau menyusui ≤6 bulan. Pemeriksaan dilakukan oleh para

perawat yang telah diberi pelatihan oleh dokter spesialis bedah onkologi dari RS Dharmais.

Sedangkan pemeriksaan payudara menggunakan USG dilakukan terhadap responden perempuan

berusia ≥40 tahun atau <40 tahun dengan hasil Sadanis Positif. Pemeriksaan dilakukan oleh dokter

spesialis radiologi dari RS Dharmais.

e.3. Pemeriksaan leher rahim

Pemeriksaan leher rahim dilakukan dengan metode inspeksi visual dengan asam asetat (IVA)

terhadap responden perempuan yang sudah/pernah melakukan hubungan seksual. Pemeriksaan IVA

dilakukan oleh para bidan yang telah diberi pelatihan oleh dokter spesialis onkologi ginekologi dari

RSUPN Cipto Mangunkusumo.

e.4. Pemeriksaan rekam jantung

Pemeriksaan rekam jantung dilakukan menggunakan elektrokardiograf (EKG) dengan kode

Minnesota. Pemeriksaan ini dilakukan terhadap responden berusia ≥40 tahun atau <40 tahun yang

mempunyai riwayat penyakit jantung dan atau hipertensi. Pemeriksaan dilakukan oleh petugas dari

laboratorium klinik swasta yang hasilnya kemudian dikonfirmasikan kepada 2 orang Profesor

spesialis penyakit jantung dan pembuluh darah dari RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita.

e.5. Pemeriksaan fungsi paru

Pemeriksaan ini dilakukan terhadap responden berusia ≥40 tahun. Pemeriksaan dilakukan

menggunakan spirometri oleh para dokter residen di bidang paru yang selalu diawasi secara

bergantian oleh para Profesor spesialis Paru.

e.6. Pemeriksaan Toraks

Dilakukan terhadap semua responden kecuali responden yang hamil, menggunakan alat

mobile Rontgen (foto toraks/bagian dada). Pengambilan foto toraks dan pembacaan hasil dilakukan

oleh pihak swasta.

f. Pengolahan data

Data hasil wawancara, pengukuran dan pemeriksaan diinput di bawah pengawasan tim

manajemen data Studi Kohor FRPTM. Setelah itu dilakukan cleaning data sebelum dianalisis oleh

tim Studi Kohor FRPTM. Dalam proses analisis data biasanya tim Studi Kohor FRPTM

berkonsultasi dengan pakar statistik.

HASIL STUDI KOHOR FRPTM

1. Laporan rutin

Laporan dikerjakan bersama-sama oleh tim Studi Kohor FRPTM, dengan membagi data

menjadi beberapa blok yaitu blok PJK, DM, Stroke, Hipertensi dan Sindroma Metabolik (SM).

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 199

Laporan diserahkan ke kantor Pusat Penelitian dan Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat di

Jakarta, Dinkes Kota Bogor, serta PKM yang terlibat dalam kegiatan Studi Kohor ini.

2. Laporan hasil pemeriksaan

Di akhir kegiatan FU 2 tahunan, tim Studi Kohor mengumpulkan dan merekapitulasi hasil

pemeriksaan kesehatan tiap-tiap responden yang selanjutnya dikirimkan melalui PKM yang terlibat

dalam kegiatan Studi Kohor FRPTM yang kemudian akan didistribusikan oleh para kader posbindu

masing-masing.

3. Publikasi

Semua anggota tim Studi Kohor FRPTM diberikan kesempatan untuk menulis artikel

menggunakan data hasil kegiatan ini. Dalam rangka menjaga agar tidak saling tumpang tindih,

maka setiap anggota yang akan menggunakan data Studi Kohor FRPTM terlebih dahulu

menuliskan perkiraan judul tulisan yang akan dibuat, ke dalam buku besar. Bagi orang dari luar

BPPK yang berminat untuk menggunakan data Studi Kohor FRPTM, terlebih dahulu harus

mengajukan proposal yang ditujukan kepada Kepala BPPK dan Kepala Laboratorium Manajemen

Data serta berkoordinasi dengan Ketua Pelaksana.

4. Diseminasi hasil-hasil Studi Kohor FRPTM

Sejauh ini, hasil-hasil Studi Kohor FRPTM belum secara luas didiseminasikan, hanya berupa

artikel-artikel dalam jurnal ilmiah. Baru pada tahun 2018, hasil-hasil Studi Kohor FRPTM

disajikan pada beberapa Konferensi Ilmiah seperti 9th

National Public Health Conference di

Malaysia, The International Epidemiological Association-South East Asia (IEASEA) ke-13 di Bali,

International Conference on Pharmaceutical Updates (ICPU) di Yogyakarta baik berupa presentasi

oral maupun poster.

MANFAAT HASIL STUDI KOHOR FRPTM

1. Hasil Studi Kohor FRPTM yang dilakukan selama 10 tahun telah memberikan manfaat bagi

Kemenkes, Pemerintah Kota Bogor dan PKM yang terlibat yang disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 4. Manfaat Hasil Studi Kohor Faktor Risiko PTM bagi Kemenkes dan Pemda

Kota Bogor dan PKM

*Sumber: Buku ―Rekam jejak Studi Kohor FRPTM‖

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 200

2. Kader posbindu

Meningkatnya ketrampilan para kader dalam melakukan pengukuran tekanan darah dan

antropometri serta penggunaan aplikasi (hp) dalam menghitung indeks massa tubuh (IMT)

responden. Memberikan pengalaman baru dalam penggunaan aplikasi online untuk pelaporan

morbiditas dan mortalitas responden.

3. Responden

Responden diperiksa kesehatannya secara berkala dan tidak dipungut biaya, sehingga

terpantau kondisi kesehatannya. Mendapatkan hasil pemeriksaan kesehatan yang jika hasilnya

tidak normal, dapat ditindak lanjuti oleh PKM atau dirujuk ke RS di Kota Bogor.

4. Peneliti dan Mahasiswa

Sejak tahun 2012—2019 tim Studi Kohor FRPTM telah menghasilkan 32 publikasi di

jurnal nasional, 6 publikasi di jurnal internasional dan 10 makalah yang dipublikasikan melalui

seminar/konferensi. Selain itu juga ada beberapa permintaa data Studi Kohor FRPTM dari luar

BPPK untuk tesis maupun disertasi. Berikut ini disajikan judul-judul publikasi/permintaan data

Studi Kohor FRPTM.

Tabel 5. Output yang dihasilkan Studi Kohor FRPTM sejak tahun 2012—2019

* Sumber: Buku Rekam Jejak Studi Kohor FRPTM

Layanan permintaan data hasil riset

BPPK memiliki unit Laboratorium Manajemen Data yang bertugas mengelola raw data

hasil penelitian dari satuan kerja di lingkungan BPPK baik yang dilakukan perorangan maupun

hasil penelitian skala besar, yaitu Survei Kesehatan Nasional (Surkesnas), Riset Kesehatan Dasar

(Riskesdas), Riset Fasilitas Kesehatan (Rifaskes), Studi Diet Total dan lain-lain.

Prosedur permohonan, persyaratan penggunaan data-data, biaya dan lain-lain, dapat dilihat

pada website berikut ini:

https://www.litbang.kemkes.go.id/layanan-permintaan-data-riset/

atau https://labmandat.litbang.kemkes.go.id/menu-layan

Untuk mengakses laporan hasil riset Badan Litbang Kesehatan dapat dilihat pada website:

https://labmandat.litbang.kemkes.go.id/

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 201

Tabel 6. Judul publikasi di jurnal nasional yang menggunakan data Studi Kohor FRPTM

No Judul Penulis Nama Jurnal Tahun

1 Determinan DM Analisis

Baseline Data Studi Kohor PTM

2011.

Olwin Nainggolan Buletin Penelitian Sistem

Kesehatan Vol. 16 N0 3,

Juli 2013

2013

2 Faktor risiko dan komorbiditas

migraine.

Woro Riyadina,

Yuda Turana.

Bulletin Penelitian Sistem

Kesehatan 2014, 17(4):

371-378.

2014

3 Stress as a major determinant of

migraine in women aged 25—65

years.

Woro Riyadina,

Lelly Andayasari.

Universa Medicina 2014,

33(2): 142-150.

2014

4 Faktor risiko tumor payudara

pada perempuan umur 25—65

tahun di lima kelurahan

Kecamatan Bogor Tengah.

Marice Sihombing,

April Nur Sapardin.

Jurnal Kesehatan

Reproduksi. Vol. 5 No. 3

Desember 2014; 175-184.

ISSN: 2087-703X.

2014

5 Hubungan konsumsi kopi

terhadap strok atau penyakit

jantung koroner (Baseline data

studi kohor faktor risiko

penyakit tidak menular).

Sulistyowati

Tuminah dan Woro

Riyadina.

Gizi Indonesia 2014,

37(1):29-40.

2014

6 Sindrom Metabolik Pada Orang

Dewasa di Kota Bogor, 2011-

2012.

Anna Maria Sirait,

Eva Sulistiowati.

Media Litbangkes 2014;

24(2):81-88.

2014

7 Penyakit Jantung Koroner [PJK]

dengan Obesitas di Kelurahan

Kebon Kalapa, Bogor [Baseline

Studi Kohor Faktor Risiko

PTM].

Rustika dan Ratih

Oemiati.

Bulletin Penelitian Sistem

Kesehatan 2014;

17(4):385-393

2014

8 Pengetahuan tentang Faktor

Risiko, Perilaku dan Deteksi

Dini Kanker Serviks dengan

Inspeksi Visual Asam Asetat

(IVA) pada Wanita di

Kecamatan Bogor Tengah, Kota

Bogor.

Eva Sulistiowati,

Anna Maria Sirait.

Buletin Penelitian

Kesehatan Vol. 42. No.3,

September 2014. Hal 193-

202.

2014

9 Faktor Risiko Penyakit Ginjal

Kronik berdasarkan Analisis

Cross Sectional Data Awal Studi

Kohor penyakit Tidak menular

Penduduk Usia 25-65 tahun di

Kelurahan Kebon Kalapa Kota

Bogor Tahun 2011.

Eva Sulistiowati, Sri

Idaiani

Buletin Penelitian

Kesehatan Vol. 43. No.3,

September 2015. Hal 163-

172.

2015

10 Frequent coconut milk intake

increases the risk of vascular

disease in adults.

Sulistyowati

Tuminah, Marice

Sihombing.

Universa Medicina May-

August 2015; 34(2):149-

159. pISSN: 1907-

3062/eISSN: 2407-2230.

2015

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 202

11 Hubungan komponen sindrom

metabolik dengan risiko

Diabetes Melitus tipe 2 di

lima kelurahan Kecamatan

Bogor Tengah.

Marice Sihombing,

Sulistyowati Tuminah.

Media Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan,

2015; 25(4):219—226.

ISSN: 0853—9987.

2015

12 Faktor risiko sindrom

metabolik pada orang

dewasa di Kota Bogor.

Marice Sihombing,

Hapsari Dwi

Tjandrarini.

Jurnal Penelitian gizi dan

makanan. Vol. 38 No. 1

Juni 2015; 21-

30. ISSN: 0125-9717.

2015

13 Gambaran Kohor 2011-2013

Gangguan Mental Emosional

Berdasarkan SRQ-20 pada

Penduduk Kelurahan Kebon

Kalapa Bogor.

Sri Idaiani, Aprildah

Nur Sapardin, Eva

Sulistiowati.

Buletin Penelitian

Kesehatan, Vol. 43, No. 4,

Desember 2015: 273-278.

2015

14 Gender, family income, and

the risk of mental emotional

disorders in selected

population.

Sri Idaiani, Aprildah

Nur Sapardin, Eva

Sulistiowati.

Health Science Journal of

Indonesia. Vol. 6 No. 1

Juni 2015. Page 23-28.

ISSN: 2087-7021

2015

15 Insiden dan Faktor Risiko

Diabetes Melitus pada Orang

Dewasa di Kota Bogor.

Anna Maria Sirait,

Eva Sulistiowati,

Marice Sihombing,

Arya Kusuma, Sri

Idaiani.

Bulletin Penelitian Sistem

Kesehatan. 2015:

18(2):151-160

2015

16 Faktor Risiko Penyakit

Jantung Koroner (PJK) pada

Perempuan (Baseline Studi

Kohor Faktor Risiko PTM).

Ratih Oemiati,

Rustika.

Buletin Penenlitian Sistem

Kesehatan 2015; 18(1):47-

55

2015

17 Survival Rate penyandang

hipertensi dengan konsumsi

natrium rendah terhadap

kejadian stroke.

Ekowati Rahajeng,

dan Woro Riyadina.

Gizi Indonesia 2016,

39(2):71-80.

2016

18 Perbedaan Laju Kecepatan

Terjadinya Hipertensi

Menurut Konsumsi Natrium

(Studi Kohort Prospektif di

Kota Bogor Jawa Barat,

Indonesia).

Ekowati Rahajeng,

Dewi Kristanti, Nunik

Kusumawardani.

Journal Penelitian Gizi

dan Makanan, Vol 39 No

1 tahun 2016. DOI

10.22435/pgm.v39i1.5972.

45-53.

2016

19 NCEP-ATP III and IDF

criteria for metabolic

syndrome predict type 2

diabetes mellitus.

Eva Sulistiowati,

Marice Sihombing.

Universa Medicina. Vol

35 No.1, January-April

2016. 46-55.

2016

20 Karakteristik peminum

alkohol, Studi Kohor PTM.

Ratih Oemiati dan

Dewi Kristanti

Majalah Kedokteran UKI 2016

21 Sensitifitas dan spesifisitas

pertanyaan gejala saluran

pernapasan dan faktor risiko

untuk kejadian PPOK.

Lusianawaty Tana Buletin Penelitian

Kesehatan Vol 44 No 4

tahun 2016

2016

22 Faktor Risiko Penyakit Tidak Sri Idaiani, Eva Cermin Dunia 2017

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 203

Menular pada Responden

yang diindikasikan Stroke

Berdasarkan Penelitian

Kohort Penyakit Tidak

Menular Bogor 2011-2013.

Sulistiowati, Aprildah

Nur Sapardin.

Kedokteran. CDK-249,

vol. 44 no. 2 th. 2017.

23 Determinan obesitas pada

perempuan pasca menopause

di Kota Bogor tahun 2014.

Woro Riyadina,

Nasrin Kodim dan

Madanijah S.

Gizi Indonesia 2017,

40(1):45-58.

2017

24 Trigliserida sebagai faktor

prognosis untuk hipertensi

tidak terkendali pada wanita

pasca menopause di Kota

Bogor, Tahun 2014.

Woro Riyadina W,

Nasrin Kodim,

Krisnawati Bantas,

Trihandini, Sartika

RAD, E Martha, Yuda

Turana, Ekowati

Rahajeng

Jurnal Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan

2017, 45(2):89-96.

2017

25 Faktor Determinan Penyakit

Jantung Koroner pada

Kelompok Umur 25-65 tahun

di Kota Bogor, Data Kohor

2011-2012.

Julianty Pradono, Asri

Werdhasari.

Buletin Penelitian

Kesehatan, Vol.46, No. 1,

Maret 2018: 23–34

2018

26 Perilaku Berisiko dan

Keluhan Subjektif Memori

(KSM) pada Kelompok Umur

25 Tahun ke Atas di Kota

Bogor Tengah.

Julianty Pradono Media Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan,

vol. 28, no. 2, Juni, 2018:

103-112

2018

27 Obesity Risk Factors among

25-65 Years Old Adults in

Bogor City, Indonesia: A

Prospective Cohort Study.

Sudikno, Hidayat

Syarief, Cesilia Meti

Dwiriani, Hadi Riyadi,

Julianty Pradono.

Jurnal Gizi dan Pangan

Vol 13, No 2, Juli 2018:

55-62.

2018

28 Obesitas Sentral pada Orang

Dewasa : Studi Kohor

Prospektif di Kota Bogor.

Sudikno, Woro

Riyadina, Ekowati

Rahajeng.

Jurnal Gizi Indonesia. Vol

1, No 2, September 2018:

105-116.

2018

29 Perilaku Pencegahan dan

Pengendalian Hipertensi:

Studi Pengetahuan, Sikap,

Perilaku (PSP) dak Kesehatan

Lingkungan pada Wanita

pasca menopause di Kota

Bogor.

Woro Riyadina, Evi

Martha, Athena

Anwar.

Jurnal Ekologi Kesehatan

2018.

2018

30 Perkembangan Diabetes

Melitus Tipe 2 dari

Prediabetes di Bogor, Jawa

Barat.

Eva Sulistiowati,

Marice Sihombing.

Jurnal Penelitian dan

Pengembangan Pelayanan

Kesehatan. Vol 2 No. 1,

April 2018. Hal 59-69.

2018

31 Hormonal contraception

increases risk of breast tumor

based on clinical breast

examination among adult

women.

Sulistyowati Tuminah,

Aprildah Nur Sapardin

Jurnal Universa Medicina.

Vol.36 No.2

May-August 2017. Hal:

139—149.

2017

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 204

32 High carbohydrate intake

increases risk of coronary

heart disease in adults: A

prospective cohort study.

Sulistyowati Tuminah,

Tri Wahyuningsih,

Sudikno

Jurnal Universa Medicina.

Vol.38 No.2 May-August

2019. Hal: 72—81.

2019

Tabel 7. Judul publikasi di jurnal internasional yang menggunakan data Studi Kohor FRPTM

No Judul Penulis Nama Jurnal Tahun

1 The Relationship of Obesity

Index and Lipid Profile in 25—

65 years old Adults in Bogor

City (Baseline Data of Cohort

Study on Non-Communicable

Disease in Bogor City, West Java

Province)

Sudikno, Syarief H,

Dwiriani CM,

Riyadi H, Julianty

Pradono

International Journal

of Sciences Basic and

Applied Research

2017

2 Controlled hypertension: a

prospective cohort study in

Bogor 2011-2016.

Julianty Pradono,

Woro Riyadina,

Dewi Kristanti,

Yuda Turana.

BMC public Health

(proses review ke 2)

2018

Incidence and Risk Factors of

Subjective Memory Complaints

in Women in Central Bogor City,

Indonesia.

Julianty Pradono,

Sudikno, Ika

Suswanti, Yuda

Turana.

Journal of Clinical

Gorontology (proses

review ke 2)

2018

4 Viceral adiposy index and lipid

accumulation product as a

predictor of type 2 Dabetes

Mellitus: The Bogor cohort study

of Non-communicable Disease

Risk Factors.

Dicky Tahapary,

Pradana, Woro

Riyadina, et al.

Diabetes Research and

Clinical Practice

(proses review)

2018

5 Hypertension as the main

predictor of stroke in the adult

population age 25 years and

above: a prospective cohort study

for 6 years in Bogor, Indonesia.

Woro Riyadina,

Julianty Pradono,

Dewi Kristanti,

Yuda Turana.

Journal of

Cardiovascular

Disease Research

(submitted)

2019

6 Hypertension in postmenopausal

women: The Pattern of weight

cycling decreased in bood

pressure.

Woro Riyadina, et

al.

MJI (submitted) 2019

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 205

Tabel 8. Judul makalah yang menggunakan data Studi Kohor FRPTM

dan disajikan dalam seminar/konferensi

No Judul Penulis Nama seminar/

conference

Tempat dan

Waktu

kegiatan

1 Determinan Penyakit Stroke

Pada Masyarakat di

Kelurahan Kebon Kalapa –

Bogor.

Tim kohor PTM Disajikan dalam acara

Simposium Regional I

(SIMREG)

Yogyakarta, 9-

12 Oktober 2012

2 Incidence Rates and Risk

Faktors of Diabetes

Mellitus, Coronary Heart

Disease, Stroke in District

of Central Bogor, West Java

Province. Cohort Study.

Pradono J, Woro

Riyadina.

Simposium Regional

Penelitian dan

Pengembangan

Kesehatan

Jakarta, 17-20

Nopember 2014.

3 The role of Lifestyle on

non-communicable disease

profile in Indonesia:

Evidence from

epidemiology study.

Julianty Pradono Jakarta Diabetes

Meeting 25 tahun.

Jakarta, 12

Nopember 2016.

4 The Hazard Ratio of Stroke

in Adult Population 25 years

and Above: A Perspective

Cohort Study 2011-2017 in

Bogor, Indonesia.

Woro Riyadina,

Julianty Pradono,

Dewi Kristanti.

9th National Public

Health Conference

Malaysia, 15-18

Juli 2018.

5 Controlled hypertension: a

prospective cohort study in

Bogor 2011-2016.

Julianty Pradono 13th IEA SEA

Meeting and ICPH –

Sdev

Bali, 2 Oktober

2018.

6 Risk factors of dyslipidemia

in adults: A cohort study

Sudikno, Julianty

Pradono

13th IEA SEA

Meeting and ICPH –

Sdev

Bali, 2 Oktober

2018.

7 Woman is higher risk

having metabolic syndrome

than man: A prospective

cohort study during 6 years

in Bogor, Indonesia

Srilaning Driyah,

Ratih Oemiati,

Nova Sri Hartati

13th IEA SEA

Meeting and ICPH –

Sdev

Bali, 2 Oktober

2018.

8 Risk Factors and Hazard

Rate of Diabetes Mellitus

Type 2 In A Cohort Study

of A Non-Communicable

Disease in Bogor.

Eva Sulistiowati,

Marice Sihombing.

13th IEA SEA

Meeting and ICPH –

Sdev

Bali, 2-5

Oktober 2018.

9 Predictors of Coronary

Heart Disease (CHD)

among adults (During six

years of Cohort Study on

The Risk Factors of Non-

Communicable Disease).

Sulistyowati

Tuminah Darjoko,

Tri Wahyuningsih,

Sudikno, Aprildah

Nur Sapardin

13th IEA SEA

Meeting and ICPH –

Sdev

Bali, 2-5

Oktober 2018

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 206

10 Hormonal contraception

increases risk of breast

tumor based on clinical

breast examination among

adult women (Baseline of

The Cohort Study on The

Risk Factors of Non-

Communicable Diseases).

Sulistyowati

Tuminah Darjoko,

Aprildah Nur

Sapardin.

International

Conference on

Pharmaceutical

Update (ICPU)

Yogyakarta, 17-

19 OKtober

2018

Tabel 9. Permintaan data Studi Kohor FRPTM untuk skripsi, tesis, disertasi, analisis lanjut

No Judul Instansi pengusul Tahun Kepentingan

1 Gambaran aktivitas fisik, asupan makan

dan kegemukan pada insiden PJK pada

laki-laki dan perempuan usia 25-44 tahun

di Bogor

UHAMKA 2016 Skripsi

2 Studi longitudinal faktor risiko non klinis

dan pengembangan hipertensi di Indonesia

(2011-2016)

Sekolah Tinggi

Farmasi Bandung

2017 Skripsi

3 Faktor yang mempengaruhi DM terkontrol

dan tidak terkontrol dari Studi Kohor

FRPTM tahun 2011 – 2016

FKM-UI 2017 Skripsi

4 Hubungan asupan serat dan LDL

FKM-UI 2012 Tesis

5 Analisis lanjut baseline data Kohort PTM

hubungan perokok pasif dengan asma

FKM-UI 2014 Tesis

6 Hubungan obesitas dengan asma

FKM-UI 2014 Tesis

7 Pengaruh status menopause terhadap PJK

FKM-UI 2014 Tesis

8 Hubungan DM dengan kejadian PJK

FKM-UI 2016 Tesis

9 Hubungan obesitas dengan hipertensi pada

orang dewasa (2011-2016)

FKM-UI 2017 Tesis

10 Analisis ketahanan (survival) terhadap

kejadian stroke pada penduduk dengan

status SM dan non SM yang dipengaruhi

usia, status merokok, aktivitas fisik dan

asupan berserat (2011-2016)

FKM-UI 2017 Tesis

11 Hubungan pola konsumsi sayur, buah dan

makanan berisiko dengan obesitas sentral

pada wanita usia 25-65 tahun di Bogor

FKM-UI 2017 Tesis

12 Hubungan DM dengan fungsi kognitif

FKM-UI 2017 Tesis

13 Hubungan stadium klinik penderita kanker

paru dengan ketahanan hidup kanker paru

FKM-UI 2017 Tesis

14 Hubungan kebiasaan merokok terhadap

kejadian PPOK (baseline 2011)

FKM-UI 2017 Tesis

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 207

15 hubungan DM tipe 2 dengan gangguan

fungsi paru

FKM-UI 2017 Tesis

16 Hubungan pengetahuan dengan perilaku

deteksi dini kanker serviks pada wanita di

Kelurahan Kebon Kalapa Kota Bogor

FKM-UI 2017 Tesis

17 Pengaruh aktivitas fisik terhadap kadar

gula darah penderita DM tipe 2 (2011-

2016)

FKM-UI 2018 Tesis

18 Pengaruh durasi obesitas menurut ABSI

terhadap kejadian DM tipe 2 (2011-2017)

FKM-UI 2018 Tesis

19 Hubungan gangguan tidur dengan

kejadian PJK baseline 2011)

FKM-UI 2018 Tesis

20 Hubungan stress dengan kejadian PJK

(baseline 2011)

FKM-UI 2018 Tesis

21 Stress dan konversi prediabetes menjadi

DM tipe 2 pada orang dewasa di Kota

Bogor

FKM-UI 2018 Tesis

22 Model prediksi risiko kardiovaskular pada

dewasa berusia 40-65 tahun

UGM 2019 Tesis

23 Perbedaan insidensi penyakit jantung

koroner pada pasien diabetes yang

mengkonsumsi obat oral diabetes dan

injeksi insulin: studi kohor Bogor

2011/2012 - 2015/2016

Fakultas Farmasi UI 2019 Tesis

24 Kualitas diet dan kejadian Diabetes

Melitus tipe 2 di Kota Bogor

Gizi IPB 2019 Tesis

25 Faktor risiko penyakit kardiovaskuler

pada orang dewasa umur 25-65 tahun

Gizi IPB 2019 Tesis

26 Faktor risiko diet dan non diet terhadap

kejadian sindrom metabolikpada orang

dewasa

Gizi IPB 2019 Tesis

27 Faktor risiko komplikasi obesitas pada

penderita hipertensi di usia dewasa hingga

lansia (25-65 tahun)

FKM-UI 2019 Tesis

28 Pengaruh konsumsi daging merah, daging

putih, produk olahannya dan makanan

berpengawet terhadap hipertensi pada usia

25-65 tahun (studi kohor faktor risiko

PTM tahun 2015, 2016 dan 2017)

FKM-UI 2019 Tesis

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 208

29 Faktor risiko obesitas pada penderita

daibaetes mellitus usia 25-65 tahun (studi

kohor faktor risiko PTM tahun 2015, 2016

dan 2017)

FKM-UI 2019 Tesis

30 Rasio LDL terhadap HDL dengan

kejadian stroke pada penduduk dewasa di

kota Bogor

FKM-UI 2019 Tesis

31 Hubungan antara perilaku merokok

dengan kejadian DM tipe 2 di Kecamatan

Bogor Tengah tahun 2011 – 2017

FKM-UI 2019 Tesis

32 Risiko Hipertensi Tidak Terkontrol dan

Peningkatan IMT (Analisis data

longitudinal 2011 – 2018)

FKM-UI 2019 Tesis

33 Perilaku makan dan dyslipidemia pada

penyandang diabetes di kecamatan Bogor

Tengah.

FKM-UI 2016 Disertasi

34 Faktor-faktor yang mempengaruhi

konversi prediabetes pada wanita.

FKM-UI 2017 Disertasi

35 Dinamika perubahan indeks massa tubuh

dan tekanan darah pada wanita pasca

menopause, tahun 2011/2012 –

2014/2015.

FKM-UI 2017 Disertasi

36 Faktor risiko obesitas dan dyslipidemia

pada orang dewasa di Kota Bogor.

IPB 2017 Disertasi

37 Insulin resistance risk score development

using dietary and non dietary indicators:

An approach to type 2 DM prevention

Program Gizi FK-UI 2019 Disertasi

38 Komponen Sindrom Metabolik sebagai

prediktor kualitas hidup terkait kesehatan

(Health Related Quality of Life) pada

orang dewasa di Kec. Bogor Tengah, Kota

Bogor

FKM-UI 2019 Disertasi

39 Status obesitas terhadap survival time

prediabetes di Kota Bogor tahun 2011 –

2018.

FKM-UI 2019 Disertasi

40 Hubungan kebiasaan konsumsi makanan

sumber lemak trans dengan profil lipid

darah masyarakat Bogor usia 25-60 tahun

FKM-UI 2019 Disertasi

41 Perbandingan kadar leptin pada individu

dengan TGT dan DM di Bogor tahun

2011 dan 2013

Puslitbang Biomedis 2015 Analisis lanjut

42 Persentase polimorfisme gen ADRB3

pada derajat obesitas penderita DM

Puslitbang Biomedis 2017 Analisis lanjut

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 209

43 Studi longitudinal hipertensi Sekolah Tinggi

Farmasi Bandung

2018 Analisis lanjut

44 Diet DASHI terhadap perubahan tekanan

darah pada penderita hipertensi

FKM-UI 2019 Analisis lanjut

Kesimpulan:

Studi Kohor FRPTM masih belum dimanfaatkan secara maksimal. Masih diperlukan studi

intervensi yang menindaklanjuti hasil-hasil dari Studi Kohor FRPTM ini.

Daftar Pustaka

1. Castillo-Carandang NT, Buenaventura RD, Chia YC, Van DD, Lee C, et al. Moving towards

optimized non-communicable disease management in the ASEAN Region: Recommendations

from a review and multidisciplinary expert panel. Risk Management and Healthcare Policy.

2020;13: 803—819.

2. Usman Y, Iriawan RW, Rosita T, Lusiana M, Kosen S, et al. Indonesia‘s Sample Registration

System in 2018: A Work in progress. Journal of Population and Social Studies. Volume 27

Number 1, January 2019: 39 – 52 DOI: 10.25133/JPSSv27n1.003.

3. Riyadina W, Sudikno, Pradono J, Rahajeng E, Sirait AM, et al. Laporan Akhir Penelitian Studi

Kohor Faktor Risiko Penyakit Tidak Menular dan Tumbuh Kembang Anak. Badan Penelitian

dan Pengembangan Kesehatan – Kementerian Kesehatan RI. 2018.

4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)

Tahun 2007 - Provinsi Jawa Barat. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan –

Kementerian Kesehatan. Jakarta. 2008.

5. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar

(Riskesdas) Tahun 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan – Kementerian

Kesehatan. Jakarta. 2008.

6. Riyadina W, Sudikno, Pradono J, Rahajeng E, Sirait AM, et al. Laporan Akhir Penelitian Studi

Kohor Faktor Risiko Penyakit Tidak Menular dan Tumbuh Kembang Anak. Badan Penelitian

dan Pengembangan Kesehatan – Kementerian Kesehatan RI. Jakarta. 2019.

7. Riyadina W, Rahajeng E, Pradono J, Tuminah S, Kristanti D, et al. Rekam Jejak Studi Kohor

Faktor Risiko Penyakit Tidak Menular Di Kota Bogor. UI Publishing. Jakarta. 2020.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 210

PERAN GEJALA DEPRESI TERHADAP KEJADIAN PENYAKIT TIDAK

MENULAR PADA POPULASI UMUM TAHUN 2007-2014

Rofingatul Mubasyiroh

*, Tri Wuriastuti

1Puslitbang Upaya Kesehatan Masyarakat, Balitbangkes, Kemenkes

Jl. Percetakan Negara No. 29, Jakarta Pusat

Corresponding email: [email protected]

THE ROLE OF DEPRESSION SYMPTOMS ON NON-COMMUNICABLE DISEASES IN

GENERAL POPULATION 2007-2014

ABSTRACT

Several studies have shown that non-communicable diseases (NCD) are associated with the incidence and

death from COVID-19. NCD prevalens in Indonesia are increasing year by year. On the other hand, mental

health is a public health issue that contributes to the burden of disease. This study aims to determine the role

of depressive symptoms in the incidence of NCDin the general population. Methods: This study is a further

analysis of Indonesian Family Life Survey (IFLS) data in 2007 and 2014. The sample is population aged 45

years and above in 2014, totaling 7,347 individuals, namely the same individuals in 2007 and 2014. The

dependent variable is diabetes, asthma, chronic lung disease, based on the results of diagnosis by health

professionals reported by respondents. The independent variable was depressive symptoms experienced in

2007. The analysis only involved (inclusion) samples who did not experience diabetes, asthma, chronic lung

disease before or during 2007 data collection. Control variables included were gender, age, education. ,

marital status, occupation, physical activity, smoking, body mass index, residence. Data were analyzed using

multivariate logistic regression. Results: The analysis showed that depressive symptoms played a role in the

incidence of diabetes (aOR=1.75;CI=1.11-2.75), incidence of asthma (aOR=1.83;CI=0.99-3.37), disease

incidence. chronic lungs (aOR=2.26;CI=1.22-4.18). Conclusion: depressive symptoms are associated with

an increased likelihood of diabetes, asthma, and chronic lung disease. Management of mental disorders

should be done before a severe condition, by involving attention to physical health and health behavior.

Keywords: depressive symptoms, NCD, diabetes, asthma, chronic lung disease

ABSTRAK

Latar belakang: Beberapa studi telah menunjukkan penyakit tidak menular (PTM) berhubungan dengan

kejadian dan kematian akibat COVID-19. Kondisi PTM di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke

tahun. Di sisi lain, kesehatan mental menjadi isu masalah kesehatan masyarakat yang berkontribusi pada

beban penyakit. Studi ini bertujuan megetahui peran kondisi gejala depresi terhadap kejadian PTM pada

populasi umum.

Metode: Studi ini merupakan analisis lanjut data Indonesian Family Life Survey (IFLS) tahun 2007 dan

2014. Sampel adalah penduduk usia 45 tahun ke atas pada tahun 2014 yang berjumlah 7.347 individu, yaitu

individu yang sama pada tahun 2007dan 2014. Variabel dependen adalah diabetes, asma, penyakit paru-paru

kronis, berdasarkan hasil diagnosis tenaga kesehatan yang dilaporkan oleh responden. Variabel independen

adalah gejala depresi yang dialami pada tahun 2007. Analisis hanya melibatkan (inklusi) sampel yang tidak

mengalami gangguan diabetes, asma, penyakit paru-paru kronis sebelum atau saat pengumpulan data tahun

2007. Variabel kontrol yang disertakan adalah jenis kelamin, umur, pendidikan, status kawin, pekerjaan,

aktivitas fisik, merokok, indeks massa tubuh, wilayah tempat tinggal. Data dianalisis menggunakan

multivariat regresi logistik.

Hasil: Analisis menunjukkan gejala depresi berperan pada kejadian diabetes (aOR=1,75;CI=1,11-2,75),

kejadian asma (aOR=1,83;CI=0,99-3,37), kejadian penyakit paru-paru kronik (aOR=2,26;CI=1,22-4,18).

Kesimpulan: gejala depresi berhubungan dengan peningkatan peluang kejadian diabetes, asma, penyakit

paru-paru kronik. Penanganan gangguan mental sebaiknya dilakukan sebelum kondisi yang parah, dengan

melibatkan perhatian pada kesehatan fisik dan perilaku kesehatan.

Kata Kunci: gejala depresi, PTM, diabetes, asma, penyakit paru kronik

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 211

PENDAHULUAN

Penyakit Coronavirus-19 (COVID-19) merupakan penyakit menular disebabkan virus

Coronavirus2 (SARS-CoV-2) menyebabkan sindrom pernafasan parah akut yang bisa terjadi

dengan cepat.1 Saat ini telah lebih dari 35 juta penduduk dunia menderita COVID-19, dengan lebih

dari satu juta kematian telah dilaporkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO).2 Beberapa kajian

klinis terbaru menunjukkan tingginya jumlah kasus parah dan kematian pada penderita COVID-19

yang memiliki komorbid penyakit tidak menular.3 Analisis dari para penderita COVID-19 di

beberapa negara juga menunjukkan hubungan penyakit tidak menular dengan penumonia dan

kematian akibat COVID.1,4

Beberapa penelitian menyebutkan rata-rata usia penderita COVID-19 dengan comorbid

adalah 46-49 tahun. Dengan beberapa jenis comorbid yang dimiliki oleh penderita COVID-19

adalah asma,Penyakit paru kronis, ginjal, penyakit jantung, diabetes, dan hipertensi.1,3

Seperti

dilaporkan di Meksiko,bahwa 47,4% dari 212.801 penderita COVID-19 memiliki minimal satu

comorbid PTM.5 Sistematik review menunjukkan diabetes berkaitan dengan keparahan COVID-

19. Kejadian diabetes lebih banyak terjadi pada kelompok yang tidak selamat dari COVID-19.6

Yang juga ditemukan di Meksiko, bahwa komorbid PTM meningkatkan keparahan infeksi COVID-

19.5

Penyakit tidak menular saat ini menyebabkan lebih banyak kematian daripada gabungan

semua penyebab lainnya. Kematian akibat PTM diproyeksikan meningkat dari 38 juta pada tahun

2012 menjadi 52 juta pada tahun 2030, dengan 82% kematian akibat PTM tersebut disebabkan oleh

empat PTM utama (jantung,kanker, penyakit paru kronik dan diabetes). Penyakit paru (termasuk

asma dan paru kronik) penyebab 10,7% dan diabetes penyebab 4% penyebab kematian akibat

PTM.7 Ada kecenderungan peningkatan prevalensi penyakit tidak menular di Indonesia dari tahun

ke tahun. Hal ini dapat dilihat dari data Riset Kesehatan Dasar dari tahun 2007, 2013 dan 2018.

prevalensi diabetes menurut diagnosis tenaga kesehatan meningkat dari 0,%7 pada 2007 menjadi

1,5% pada tahun 2013 dan 2018. Pada asma, prevalensi dari 1,9% pada tahun 2007 menjadi 4,5%

pada tahun 2013 dan 2,4% pada 2018. Prevalensi penyakit paru obstruktif kronis hanya

ditunjukkan pada tahun 2013 yaitu sebesar 3,7% dari penduduk usia 30 tahun ke atas.8-10

Orang yang mengalami gangguan mental memiliki risiko lebih tinggi untuk menderita

gangguan fisik tertentu11

,bahkan kematian dini.12,13

Mekanisme hubungan gangguan mental

dengan kondisi penyakit fisik mungkin dapat terjadi melalui penjelasan biologi, perilaku, efek obat

yang dikonsumsi dan juga kurangnya layanan kesehatan. Ada juga mekanisme lain yang perlu

diiungkap seperti genetik dan pola makan.11,12

Bedasarkan sistematik review 17 negara, diperoleh

hasil bahwa gangguan depresi (mood disorder) meningkatkan risiko terjadinya diabetes (aOR=1,3),

asma (aOR=1,3) dan penyakit paru kronik (aOR=1,7).11

Gangguan mental di dunia sudah menjadi hal yang umum. Tiap tahun terdapat satu dari lima

orang di dunia yang terpengaruh akibat masalah ini. Gangguan neuropsikiatri diperkirakan

berkontribusi 13% dari beban penyakit global.14

Depresi adalah salah satu ―common mental

disorder‖, yang prevalensinya tinggi di masyarakat dengan perkiraan jumlah penderitanya di dunia

sebanyak 300 juta penduduk, atau sekitar 4,4% dari total penduduk dunia. Gangguan depresi

ditandai dengan kesedihan, kehilangan minat atau kesenangan, perasaan bersalah atau rendah diri,

gangguan tidur atau nafsu makan, perasaan lelah, dan konsentrasi yang buruk. Depresi bisa

berlangsung lama atau berulang, secara substansial mengganggu kemampuan seseorang untuk

berfungsi di tempat kerja atau sekolah atau menghadapi kehidupan sehari-hari. Depresi yang paling

parah dapat menyebabkan bunuh diri.15

Data gangguan mental di Indonesia secara nasional coba

digambarkan dalam Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yaitu berupa gangguan mental emosional

yang digali menggunakan instrumen SRQ-20, yaitu sebesar 11,6% pada tahun 2007, 6% pada 2013

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 212

dan menjadi 9,8% pada 2013. Sedangkan pada tahun 2018 diukur gangguan depresi menggunakan

instrumen Mini International Neuropsychiatric Interview, diperoleh prevalensi 6% gangguan

depresi pada penduduk usia 15 tahun ke atas.8-10

Banyak hasil penelitian crosssectional yang telah membuktikan hubungan gangguan mental

dengan penyakit tidak menular. Idealnya, hubungan gangguan mental dengan penyakit tidak

menular dilakukan dengan disain kohort untuk melihat pengaruh gangguan mental terhadap

kejadian penyakit tidak menular. Studi ini berupaya mengetahui bagaimana peran kondisi gejala

depresi terhadap kejadian penyakit tidak menular pada seseorang menggunakan disain retrospektif.

METODE

Penelitian ini adalah analisis lanjut data Indonesian Family Life Survey (IFLS). Survei IFLS

dan segala prosedurnya terkait subjek penelitian, telah lolos dari tinjauan IRB (Institutional Review

Boards) di Amerika (oleh RAND di USA) dan di Indonesia oleh Universitas Gajah Mada. IFLS

merupakan survei longitudinal yang dimulai sejak tahun 1993 yang dilajutkan tahun 1997, 2000,

2007, dan 2014. Survei dilaksanakan di 13 provinsi terpilih di Indonesia dengan responden

individu dalam rumah tangga yang terpilih.16

Data dikumpulkan melalui wawancara terstruktur

dan pengukuran. Data IFLS merupakan data yang disediakan untuk umum (publik).

Data yang digunakan dalam analisis ini adalah data individu pada IFLS ke-empat dan ke-

lima, yaitu dilaksanakan pada tahun 2007 dan 2014. Populasi penelitian adalah individu yang sama

pada tahun 2007 dan 2014, dengan usia 45 tahun ke atas pada tahun 2014. Sampel yang dianalisis

adalah individu yang berusia 45 tahun ke atas yang tidak mengalami diagnosis PTM (diabetes,

asma, penyakit paru kronik) pada sebelum atau saat wawancara survei tahun 2007. Hal ini

dilakukan untuk meningkatkan ketepatan analisis pengaruh independen utama terhadap dependen.

Analisis dilakukan pada sejumlah 7.347 sampel. Responden yang lengkap variabel untuk analisis

asma berjumlah 7.160. Responden yang lengkap variabel untuk analisis penyakit paru lainnya

berjumlah 7.233. Sedangkan responden yang lengkap variabel untuk analisis asma berjumlah

7.160. Responden yang lengkap variabel untuk analisis diabetes berjumlah 6.411.

Variabel Dependen

Variabel dependen yang dianalisis adalah kejadian PTM yang dialami responden selama

kurun waktu setelah tanggal wawancara tahun 2007 hingga tahun 2014. Kondisi PTM digali

menurut pengakuan responden berdasarkan hasil wawancara. PTM yang dimaksud adalah diabetes,

asma, dan penyakit paru-paru kronik lainnya. Responden dikategorikan menderita diabetes jika

sedang mengkonsumsi obat diabetes atau pernah didiagnosis menderita diabetes oleh tenaga

kesehatan. Responden dikategorikan menderita asma jika pernah didiagnosis menderita asma oleh

tenaga kesehatan. Responden dikategorikan menderita penyakit paru-paru kronik lainnya jika

pernah didiagnosis menderita penyakit paru-paru kronik lainnya oleh tenaga kesehatan. Dalam data

IFLS terdapat variabel waktu/kapan pertama kali didiagnosis menderita penyakit, sehingga dalam

analisis hanya dipilih responden yang menderita penyakit setelah tanggal wawancara survei tahun

2007.

Variabel Independen

Variabel independen utama yang dianalisis adalah kondisi gangguan gejala depresi.

Informasi gangguan gejala depresi diperoleh dari instrumen CES-D dari blok KP buku 3 section

3B. Instrumen CES-D ditanyakan pada responden usia 15 tahun ke atas yang terdiri dari 10

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 213

pertanyaan seberapa sering kondisi kesehatan mental yang dialami responden dalam satu minggu

terakhir. Setiap item pertanyaan terdiri dari 4 jawaban, yaitu 1) Rarely or none (≤1 day), 2) Some

days (1-2 days), 3) Occasionally (3-4 days), 4) Most of the time (5-7 days). Setiap jawaban akan

diberikan skor sesuai ketentuan penggunaan instrumen CES-D. Khusus pada petanyaan nomor 5

dan 8, skor tertinggi (nilai 3) adalah pada jawaban berkode 1 (Rarely or none ). Dan pada

pertanyaan lainnya, skor tertinggi (nilai 3) adalah pada jawaban berkode 4(Most of the time). Skor

setiap pertanyaan akan dijumlahkan, dan batas skor 10 ke atas akan dikategorikan menjadi kondisi

depresi.17

Kondisi gejala depresi yang dianalisis adalah kondisi yang dialami pada tahun 2007.

Variabel kontrol

Variabel lain yang dilibatkan dalam analisis di tingkat individu dan rumah tangga di tahun

2007 dan tahun 2014. Yang terdiri dari: jenis kelamin; usia; status kawin; tingkat pendidikan yang

terakhir dicapai; pekerjaan; aktivitas fisik; merokok; indeks massa tubuh (IMT) dan variabel di

tingkat rumah tangga terdiri dari : tipe wilayah tempat tinggal. Variabel-variabel demografi

diperoleh dari buku K section AR. Aktivitas fisik diperoleh dari buku 3B section KK tentang waktu

yang dgunakan untuk berbagai macam kegiatan fisik, baik untuk pekerjaan, untuk aktifitas/kegiatan

sehari-hari di rumah, dan untuk waktu luang seperti rekreasi dan berolahraga dalam 7 hari terakhir,

yang terdiri dari data secara kualitatif (jawaban ―ya‖ dan ―tidak pernah‖) untuk aktivitas fisik berat

(kegiatan yang membuat bernafas jauh lebih berat dari biasanya, seperti mengangkat barang berat,

menggali, mencangkul, bersepeda sambil membawa beban berat, dan sebagainya), aktivitas sedang

(kegiatan yang membuat bernafas agak lebih berat dari biasanya, seperti mengangkat barang yang

tidak terlalu berat, bersepeda dalam kecepatan biasa, atau mengepel lantai (tidak termasuk berjalan

kaki), dan aktivitas jalan kaki (termasuk berjalan kaki di pekerjaan, di rumah, atau dari satu tempat

ke tempat lain. Ini termasuk juga pada saat berekreasi, olahraga, atau di waktu luang). Kebiasaan

merokok diperoleh dari buku 3B section KM, baik pada masa saat survei ataupun masa lalu. Indeks

massa tubuh diperoleh dari data pengukuran berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) di buku US.

IMT dihitung dari BB/(TB dalam meter)2.

Data Analisis

Analisis data dilakukan secara deskriptif univariat, bivariat dan multivariat. Gambaran

kondisi responden menurut demografi, perilaku dan kondisi gejala depresi ditampilkan menurut

distribusi secara univariat (tabel 1). Analisis bivariat untuk memberikan gambaran tentang sebaran

serta hubungan variabel penyakit tidak menular dengan karakteristik dan gejala depresi (Tabel 2).

Multivariat logistik regresi dilakukan untuk menghitung besar peluang kondisi gejala depresi

terhadap penyakit tidak menular setelah dikontrol variabel demografi dan perilaku (Tabel 3). Data

dianalisis menggunakan software SPSS.

HASIL PENELITIAN

Karakteristik responden

Sejumlah 7.347 responden terlibat dalam analisis ini. Responden perempuan (53,5%) sedikit

lebih banyak dari laki-laki (46,5%). Pada tahun 2014, sebagian besar responden pada kelompok

umur 45-64 tahun (78,9%). Rata-rata usia keseluruhan responden saat tahun 2014 adalah 58 tahun.

Status kawin responden sebagian besar kawin/tinggal bersama,baik pada tahun 2007 maupun 2014,

meski terjadi pergeseran persentase pada kelompok yang bercerai (hidup/mati) yaitu dari 14,1%

menjadi 21,6%. Tingkat pendidikan didominasi kelompok pendidikan rendah/ <=SD, baik pada

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 214

2007 dan 2014. Sebagian besar responden bekerja, baik pada tahun 2007 maupun 2014,meski

status bekerja menjadi berkurang pada tahun 2014 (62,0%) dari tahun 2007 (72,4%). Lebih dari

setengah responden tidak pernah merokok, baik tahun 2007 dan 2014. Dengan jumlah mantan

perokok bertambah pada 2014 (8,4%) yang sebelumnya hanya 3,6%. Pada tahun 2007, sebagian

besar responden biasa beraktivitas sedang (49,6%), namun perubahan terjadi pada tahun 2014,

dimana sebagian besar responden tidak biasa beraktivitas (42,3%). Gejala depresi meningkat dari

tahun 2007 (5,3%) ke tahun 2014 (17,4%). Pola tipe wilayah tempat tinggal responden juga terjadi

perubahan, yaitu lebih banyak di perdesaan pada 2007 (51,5%), namun berubah menjadi lebih

banyak yang tinggal di perkotaan pada tahun 2014 (56,1%).

Tabel 1.

Distribusi Responden menurut Karakteristik pada Tahun 2007 dan 2014

Tahun 2007 Tahun 2014

Karakteristik n % n %

Jenis Kelamin - Laki – laki 3419 46,5 3419 46,5

- Perempuan 3928 53,5 3928 53,5

Kelompok Umur - <45 tahun 2020 27,5 0 0

- 45-64 tahun 4644 63,2 5796 78,9

- 65+ tahun 683 9,3 1551 21,1

Status kawin - Kawin/tinggal

bersama

6209 84,5 5679 77,3

- belum kawin 99 1,3 82 1,1

- berpisah/cerai 1039 14,1 1586 21,6

Pendidikan - SMA+ 665 9,1 737 10,0

- SMP 1199 16,3 1219 16,6

- <=SD 5483 74,6 5391 73,4

Status Bekerja - Bekerja 5316 72,4 4552 62,0

- Tidak bekerja 2028 27,6 2795 38,0

Kebiasaan

merokok

- Tidak pernah 4523 61,6 4341 59,1

- Mantan perokok 266 3,6 619 8,4

- Saat ini merokok 2558 34,8 2387 32,5

Aktivitas Fisik - Aktivitas Berat 2528 34,4 1432 19,5

- Aktivitas sedang 3645 49,6 2806 38,2

- Tidak aktivitas 1174 16,0 3109 42,3

Gejala Depresi - Tidak 6957 94,7 6072 82,6

- Ya 390 5,3 1275 17,4

Wilayah tempat

tinggal

- Perkotaan 3564 48,5 4125 56,1

- Perdesaan 3783 51,5 3222 43,9

Total 7.347 100 7.347 100

Secara keseluruhan proporsi kejadian diabetes pada responden usia 45 tahun ke atas adalah

4,4%, kejadian asma adalah 3,0% dan kejadian penyakit paru kronis lainnya adalah 2,0% (gambar

1).

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 215

Gambar 1.

Proporsi Kejadian PTM pada Penduduk Usia 45 tahun ke Atas

Distribusi kejadian PTM berdasarkan beberapa faktor dapat dilihat pada tabel 2. Kejadian

diabetes lebih tinggi pada responden dengan usia 45-64 tahun, pendidikan SMAkeatas, yang

bekerja, riwayat mentan perokok, tidak biasa aktivitas fisik, IMT lebih, riwayat depresi, dan tinggal

di wilayah perkotaan. Kejadian asma lebih banyak diderita oleh kelompok usia 65 tahun ke atas,

tidak bekerja, riwayat mantan merokok, dan riwayat gejala depresi. Kejadian penyakit paru kronik

lainnya banyak dialami oleh responden mantan perokok, riwayat gejala depresi, dan wilayah

tempat tinggal di perkotaan.

Tabel 2.

Hubungan Beberapa Faktor Demografi dan Perilaku dengan Penyakit Tidak Menular

Diabetes

(N=6.411)

Asma

(N=7.160)

Penyakit paru

kronik lainnya

(N=7.233)

Karakteristik n % p-

value

n % p-

value

n % p-

value

Jenis Kelamin - Laki – laki 121 4,1 0,314 61 1,8 0,471 60 1,8 0,208

- Perempuan 162 4,7 79 2,1 55 1,4

Kelompok

Umur

- 45-64 tahun 236 4,7 0,021 95 1,7 0,001 93 1,6 0,637

- 65+ tahun 47 3,3 45 3,0 22 1,5

Status kawin

2014

- Kawin/tinggal

bersama

232 4,7 0,102 111 2,0 0,805 87 1,6 0,773

- belum kawin 1 1,4 1 1,3 2 2,5

- berpisah/cerai 50 3,6 28 1,8 26 1,7

Pendidikan

2014

- SMA+ 52 8,8 0,000 13 1,8 0,895 16 2,2 0,196

- SMP 54 5,4 22 1,8 14 1,2

- <=SD 177 3,7 105 2,0 85 1,6

Status Bekerja

2014

- Bekerja 142 3,6 0,000 73 1,6 0,013 63 1,4 0,102

- Tidak bekerja 141 5,7 67 2,5 52 1,9

Diabetes

Asma

Penyakit paru kronis

95,6

97,0

98,0

4,4

3,0

2,0

Proporsi Kejadian Penyakit Menular pada Penduduk Usia 45 tahun ke Atas (%)

Tidak Ya

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 216

Kebiasaan

merokok 2014

- Tidak pernah 190 5,0 0,000 76 1,8 0,000 67 1,6 0,000

- Mantan perokok 37 6,9 28 4,7 21 3,5

- Saat ini merokok 56 2,7 36 1,5 27 1,1

Aktivitas Fisik

2014

- Aktivitas Berat 30 2,4 0,001 25 1,8 0,165 21 1,5 0,705

- Aktivitas sedang 113 4,7 45 1,6 41 1,5

- Tidak aktivitas 140 5,1 70 2,3 53 1,7

Kategori IMT

2014

- Normal 145 3,5 0,000 119 2,9 0,717 85 1,8 0,090

- BB lebih 56 6,6 27 3,2 13 1,3

- Obesitas 82 5,9 45 3,2 17 1,1

Status kawin

2007

- Kawin/tinggal

bersama

246 4,5 0,443 121 1,0 0,731 94 1,5 0,691

- belum kawin 2 2,4 1 1,0 2 2,1

- berpisah/cerai 35 3,9 18 1,8 19 1,9

Status bekerja

2007

- Bekerja 196 4,3 0,306 85 1,6 0,001 90 1,7 0,159

- Tidak bekerja 87 4,8 55 2,8 25 1,3

Aktivitas Fisik

2007

- Aktivitas Berat 67 3,0 0,000 41 1,7 0,407 35 1,4 0,654

- Aktivitas sedang 163 5,1 75 2,1 61 1,7

- Tidak aktivitas 53 5,3 24 2,1 19 1,7

Kebiasaan

merokok 2007

- Tidak pernah 197 5,0 0,007 86 2,0 0,868 69 1,5 0,319

- Mantan perokok 13 5,7 6 2,4 7 2,8

- Saat ini merokok 73 3,3 48 1,9 39 1,5

Gejala Depresi

2007

- Tidak 260 4,3 0,013 128 1,9 0,066 103 1,5 0,011

- Ya 23 7,2 12 3,2 12 3,2

Wilayah

tempat tinggal

- Perkotaan 208 5,9 0,000 73 1,8 0,360 79 1,9 0,006

- Perdesaan 75 2,6 67 2,1 36 1,1

Tabel 3 menyajikan hasil multivariat regresi logistik pengaruh gejala depresi yang dialami

responden terhadap kejadian penyakit tidak menular yang dikontrol dengan beberapa variabel

demografi dan perilaku. Hasil analisis menunjukkan gejala depresi yang dialami berpengaruh

terhadap kejadian diabetes, dimana orang yang mengalami depresi berpeluang 1,75 kali mengalami

diabetes (aOR=1,75; 95% CI=1,11-2,75). Orang yang mengalami depresi juga berpeluang 1,83 kali

untuk mengalami asma (aOR=1,83; 95%CI=0,99-3,37) dibanding responden yang tidak depresi.

Juga berpeluang 2,25 kali lebih besar untuk mengalami penyakit paru kronik lainnya (aOR=2,25;

95%CI=1,22-4,18) dibandingkan orang yang tidak depresi.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 217

Tabel 3.

Regresi Logistik Gejala Depresi dengan Kejadian Penyakit Tidak Menular

Diabetes

Asma

Penyakit paru kronik lainnya

aOR 95% CI Sig.

aOR 95% CI Sig.

aOR 95% CI Sig.

Depresi Tidak 1

1

1

Ya 1,75 1,11 - 2,75 0,016

1,83 0,99 - 3,37 0,054

2,25 1,22 - 4,18 0,010

Jenis Kelamin Laki-laki 1

1

1

Perempuan 0,79 0,53 - 1,17 0,239

1,54 0,85 - 2,78 0,151

0,63 0,35 - 1,17 0,142

Kelompok Umur 45-64 tahun 1

1

1

65+ tahun 0,69 0,48 - 0,97 0,035

1,65 1,09 - 2,48 0,018

0,64 0,39 - 1,08 0,094

Wilayah tempat tinggal Perkotaan 1

1

1

Perdesaan 0,53 0,40 - 0,71 0,000

1,31 0,91 - 1,87 0,147

0,56 0,37 - 0,85 0,007

Status kawin 2014 Kawin/tinggal bersama 1

0,192

1

0,622

1

0,997

Belum kawin 1,48 0,92 - 2,37 0,105

1,36 0,73 - 2,52 0,330

1,03 0,52 - 2,03 0,943

Cerai 0,42 0,02 - 7,56 0,558

. 0,00 - . 0,999

0,00 - . 0,999

Pendidikan SMA+ 1

0,002

1

0,999

1

0,148

SMP 1,87 1,32 - 2,65 0,000

1,00 0,54 - 1,85 0,999

1,15 0,64 - 2,05 0,638

<=SD 1,11 0,79 - 1,54 0,552

1,01 0,62 - 1,65 0,963

0,59 0,33 - 1,06 0,079

Status kerja 2014 Bekerja 1

1

1

Tidak bekerja 1,60 1,22 - 2,09 0,001

1,15 0,78 - 1,70 0,483

1,57 1,03 - 2,38 0,035

Kebiasaan merokok 2014 Tidak pernah 1

0,006

1

0,000

1

0,001

Mantan perokok 1,76 1,00 - 3,10 0,051

0,87 0,42 - 1,78 0,696

2,49 1,14 - 5,43 0,022

Saat ini merokok 2,29 1,38 - 3,80 0,001

3,33 1,85 - 6,01 0,000

3,80 1,93 - 7,46 0,000

Aktivitas fisik 2014 Aktivitas berat 1

0,062

1

0,321

1

0,875

Aktivitas sedang 0,61 0,40 - 0,93 0,020

0,95 0,58 - 1,56 0,839

0,95 0,55 - 1,63 0,838

Tidak beraktivitas 0,87 0,67 - 1,13 0,295

0,75 0,51 - 1,10 0,138

0,90 0,59 - 1,36 0,606

Kategori IMT

1

0,019

1

0,450

1

0,019

0,82 0,61 - 1,10 0,193

0,77 0,50 - 1,18 0,227

2,08 1,20 - 3,59 0,009

1,31 0,92

1,87 0,138

0,92 0,52

1,63 0,781

1,32 0,63

2,74 0,462

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 218

Status kawin 2007 Kawin/tinggal bersama 1

0,767

1

0,902

1

0,723

Belum kawin 0,82 0,48 - 1,40 0,469

1,18 0,58 - 2,42 0,650

0,73 0,35 - 1,56 0,420

Cerai 0,77 0,09 - 6,42 0,809

0,00 0,00 - . 0,999

0,00 0,00 - . 0,999

Status kerja 2007 Bekerja 1

1

1

Tidak bekerja 0,89 0,66 - 1,19 0,425

1,64 1,09 - 2,46 0,017

1,61 0,97 - 2,66 0,063

Aktivitas fisik 2007 Aktivitas berat 1

0,362

1

0,704

1

0,566

Aktivitas sedang 0,82 0,55 - 1,22 0,333

1,01 0,58 - 1,77 0,962

0,82 0,45 - 1,50 0,522

Tidak beraktivitas 1,03 0,75 - 1,43 0,839

1,17 0,73 - 1,89 0,514

1,05 0,62 - 1,79 0,849

Kebiasaan merokok 2007 Tidak pernah 1

0,897

1

0,460

1

0,600

Mantan perokok 0,95 0,57 - 1,60 0,848

0,83 0,44 - 1,56 0,558

0,70 0,35 - 1,40 0,312

Saat ini merokok 0,85 0,43

1,69 0,642

0,55 0,22

1,42 0,219

0,82 0,33

2,04 0,665

*Depresi adalah gejala depresi yang dialami pada tahun 2007 sebelum terjadinya PTM dengan dikontrol variabel demografi dan perilaku

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 219

PEMBAHASAN

Penyakit tidak menular merupakan penghalang pembangunan. PTM dapat menggiring orang

menuju ke kemiskinan, terutama di negara dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah.18

Dimana

80% penderita diabetes berada di negara berkembang.19

Diabetes merupakan gangguan metabolik

yang sudah meluas di seluruh dunia. Proporsi diabetes yang dihasilkan dalam analisis ini (4,4%)

hampir sama dengan angka diabetes pada penduduk dunia (3-4%)19

, namun sedikit lebih rendah

dari penduduk perdesaan Asia Selatan (5-6%), Vietnam (5,7%), India (6,2%) dan Srilanka (10,9%).

Penyakit paru kronik sering sulit dibedakan dengan asma. Analisis data menghasilkan proporsi

penyakit paru kronik (2%) yang lebih rendah dengan kondisi di India (4%) dan Vietnam

(6,7%).18,20

Kejadian asma dari studi ini sebesar 3,0%. Angka hampir sama dengan hasil pada

penduduk dewasa Korea(2,8%). 21

Untuk kondisi gejala depresi pada saat baseline adalah 5,3%,

angka ini sedikit lebih tinggi dari prevalensi pada penduduk dewasa Korea (4,1%).21

Individu dengan gangguan mental memiliki risiko lebih tinggi mengalami masalah penyakit

kronis. Dalam studi ini ditunjukkan bahwa diabetes pada orang dengan gejala depresi adalah

sebesar 7,2%,lebih tinggi dibandingkan kelompok yang tidak mengalami depresi (4,3%). Diketahui

risiko seseorang dengan gejala depresi untuk mengalami diabetes adalah 1,8 kali lebih tinggi

dibandingkan orang tanpa gejala depresi. Hal ini sesuai dengan hasil meta-analisis yang

menujukkan risiko orang dengan depresi sebesar 1,60 (1,37–1,88) kali lebih tinggi mengalami

diabetes dibanding orang yang tidak menderita gejala depresi.22

Hal ini juga sejalan dengan hasil

yang menunjukkan risiko orang dengan depresi sebesar 1,2-2,6 kali lebih tinggi mengalami

diabetes dibanding orang yang tidak menderita gejala depresi.19

Ada beberapa mekanisme potensial yang berperan dalam peran depresi pada kejadian

diabetes. Individu dengan depresi lebih mungkin memiliki perubahan berat badan dan cenderung

tidak terlibat dalam perilaku sehat seperti olahraga, yang meningkatkan risiko terkena diabetes.

Selain itu, banyak obat yang digunakan untuk mengobati depresi menyebabkan penambahan berat

badan dan sedasi, seperti antidepresan trisiklik dan penghambat reuptake serotonin selektif, yang

juga dapat berkontribusi untuk memicu diabetes.23

Studi ini menunjukkan risiko orang denga gejala depresi memiliki risiko mengalami asma

sebesar 1,83 kali dibanding orang tanpa gejala depresi. Hasil ini sejalan dengan meta-analisis studi

prospektif yang menyatakan bahwa orang dengan gejala depresi memiliki risiko 1,43 kali lebih

tinggi dibandingkan individu yang tidak mengalami gejala depresi.24

Secara umum, stress dapat mempengaruhi system saraf otonom dan atau system

neuroendokrin yang akan meningkatkan risiko berkembangnya asma.25

Depresi dapat

menyebabkan asma melalui berbagai mekanisme. Pertama, depresi telah dikaitkan secara positif

dengan tingkat mediator inflamasi sistemik yang tinggi, yang memiliki peran patogen yang

mendasari asma. Kedua, depresi diketahui memiliki efek neuroendokrin (yaitu deregulasi sumbu

hipotalamus-hipofisis-adrenokortikal dan sistem saraf otonom), yang dapat memberikan hubungan

antara depresi dan asma. Ketiga, individu yang depresi cenderung menjadi gemuk dan perokok, dan

kondisi ini telah terbukti secara independen meningkatkan risiko asma. Keempat, depresi telah

dikaitkan dengan peningkatan tingkat stres oksidatif dan penurunan fungsi antioksidan, dan stres

oksidatif berkontribusi pada patogenesis asma. Secara keseluruhan, beberapa mekanisme pada

pasien dengan kerentanan genetik, baik sendiri atau gabungan, dapat berimplikasi pada munculnya

kejadian asma.24

Bahkan ibu yang mengalami stress pada masa kehamilan atau setelah

melahirkan,dapat meningkatkan risiko asma pada bayinya. Seperti hasil studi di Newyork yang

menunjukkan stress saat kehamilan dapat mengganggu system perkembangan pada bayi sehingga

bayi akan rentan terhadap asma dan perkembangan paru-paru terganggu.26

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 220

Penelitian ini menunjukkan kejadian penyakit paru kronik lebih tinggi pada responden yang

mengalami gangguan depresi (3,2%) dibandingkan pada orang tanpa gejala depresi (1,5%). Pola

yang sama juga terjadi pada populasi Amerika. Besar risiko untuk terjadinya penyakit paru kronik

pada orang dengan gejala depresi yang dihasilkan dalam analisis ini adalah 2,2 kali dibandingkan

pada orang tanpa gejala depresi. Risiko ini lebih besar dibandingkan risiko pada populasi Amerika

(OR=1,64) dan hasil meta-analisis 16 studi terkait depresi terhadap penyakit paru kronik

(OR=1,4).27,28

Gambaran fungsi paru pada orang dengan gejala depresi lebih rendah dibandingkan pada

orang tanpa gejala depresi, terutama pada kelompok umur di atas 50 tahun. Beberapa kemungkinan

mekanisme yang dapat dipertimbangkan diantaranya penurunan fungsi paru-paru mungkin terkait

dengan gejala seperti dispnea, yang dapat menyebabkan perasaan putus asa, berkurangnya aktivitas

fisik, isolasi sosial, dan gaya hidup yang tidak banyak bergerak. Semua faktor ini dapat dikaitkan

dengan peningkatan gejala depresi. Selain itu, penelitian sebelumnya menemukan bahwa hubungan

antara depresi dan fungsi paru tampaknya sebagian dimediasi oleh sitokin proinflamasi.29

KESIMPULAN DAN SARAN

Gejala depresi berhubungan dengan peningkatan peluang kejadian diabetes, asma, penyakit

paru-paru kronik dengan mempertimbangkan beberapa faktor demografi dan perilaku. Penanganan

gangguan mental sebaiknya dilakukan sebelum kondisi yang parah, dengan melibatkan perhatian

pada kesehatan fisik dan perilaku kesehatan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hernández-vásquez, A. Association of Comorbidities With Pneumonia and Death Among

COVID-19 Patients in Mexico : A Nationwide Cross-sectional Study Study Design and

Data Source. Journal of Preventive Medicine & Public Health, 2020, Vol.53: 211-219.

2. WHO. WHO Coronavirus Disease (COVID-19) Dashboard. Dipetik October 2020, dari

https://covid19.who.int/table. 2020.

3. Huang, C. Clinical features of patients infected with 2019 novel coronavirus in Wuhan ,

China. The Lancet, 2020, Vol. 395: 497-506.

4. Thapa, K. Prevalence of comorbidities among individuals with COVID-19 : A rapid review

of current literature. American Journal of Infection Control, 2020: 1-9.

5. Galdamez, D. Increased Risk of Hospitalization and Death in Patients with COVID-19 and

Pre-existing Noncommunicable Diseases and Modifiable Risk Factors in Mexico. Archives

of Medical Research, 2020.

6. Parveen, R. Association of diabetes and hypertension with disease severity in covid-19

patients: A systematic literature review and exploratory meta-analysis. Diabetes Research

and Clinical Practice, 2020.

7. WHO. Global Status Report on noncommunicable diseases. 2014.

8. MOH, N.-I. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta. 2008.

9. Indonesian Ministry of Health, N. Penyajian Pokok-Pokok Hasil Riset Kesehatan Dasar

2013. Jakarta. 2013.

10. NIHRD, I. M. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar 2018. Jakarta. 2018.

11. Caldas-de-almeida, J. M. Association of Mental Disorders With Subsequent Chronic

Physical Conditions World Mental Health Surveys From 17 Countries. JAMA Psychiatry,

2016., Vol. 73(2): 150-158.

12. Lawrence, D. The Epidemiology of Excess Mortality in People With Mental Illness. La

Revue canadienne de psychiatrie, 2010, Vol. 55 (12): 752-760.

13. Cunningham, R. Premature mortality in adults using New Zealand psychiatric services.

The New Zeland Medical Journal, 2014, Vol. 127: 31-41.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 221

14. Ganju, V. Non-communicable diseases and the mental health gap : what is to be done ?

papers Mental health and the World Health Organization : translating strategy into practice.

InternatIonal PsychIatry, 2012, Vol. 9(4): 79-80.

15. WHO. Depression and Other Common Mental Disorders Global Health Estimates. 2017.

16. Strauss, J. The Fifth Wave of the Indonesia Family Life Survey: Overview and Field

Report. 2016.

17. Miller, W. C. Measurement properties of the CESD scale among individuals with spinal

cord injury Measurement properties of the CESD scale among individuals with spinal cord

injury. Spinal Cord, 2008, vol. 46: 287-292.

18. Mohammed, S. Non ‐ Communicable Diseases ( NCDs ) in developing countries : a

symposium report . Globalization and Health, 2014, Vol. 10(81): 1-7.

19. Hert, M. D. Physical illness in patients with severe mental disorders . I . Prevalence ,

impact of medications and disparities in health care. World Psychiatry, 2011, Vo. 10.

20. Siegel,K. Non-communicable diseases in South Asia: contemporary perspectives,. British

Medical Bulletin, 2014, Vol.111: 31-44.

21. Choi,S. Association between depression and asthma in Korean adults.

allergyandasthmaproceedings, 2017, vol. 38 (3): 238-239.

22. Merzuk,B. Depression and Type 2 Diabetes Over the Lifespan. Diabetes Care, 2008,

Vo.31(12): 2383 – 2390.

23. Brown,L. History of Depression Increases Risk of Type 2 Diabetes in Younger Adults.

Diabetes Care, 2005, Vo. 28 (5): 1063 – 1067.

24. Ghao,Y. The Relationship between Depression and Asthma : A Meta-Analysis of

Prospective Studies. PLoS One, 2015, Vol. 10(7): 1-12.

25. Alonso, J. Association between mental disorders and subsequent adult onset asthma. J

Psychiatr Res, 2016: 179-188.

26. Rosa, M. Evidence establishing a link between prenatal and early life stress and asthma

development. Curr Opin Allergy Clin Immunol, 2018.

27. Goodwin, R. Depression , Anxiety , and COPD : The Unexamined Role of Nicotine

Dependence. Nicotine & Tobacco Research, 2012, vol. 14 (2): 176-183.

28. Atlantis,E. Bidirectional Associations Between Clinically Relevant Depression or Anxiety

and COPD. CHEST, 2013, Vol. 144 (3): 766-777.

29. Park, Y. Relationship between depression and lung function in the general population in

Korea : a retrospective cross-sectional study. International Journal of COPD, 2018, Vol.

13: 2207-2213.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 222

PERILAKU MASYARAKAT TENTANG PENCEGAHAN DEMAM BERDARAH

DENGUE DI DAERAH ENDEMIS DAN NON ENDEMIS KOTA PEKANBARU

Tyagita Widya Sari

1*, Martha Saptariza Yuliea

2, Novita Meqimiana Siregar

3, Raudhatul

Muttaqin4

1,2 Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat, Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran dan

Ilmu Kesehatan, Universitas Abdurrab, 3,4

Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas

Abdurrab,

Jl. Riau Ujung No.73 Kota Pekanbaru, Riau, Indonesia, 28292

Corresponding email : [email protected]

COMMUNITY BEHAVIOR ABOUT DENGUE HEMORRHAGIC FEVER PREVENTION

IN ENDEMIC AND NON-ENDEMIC AREAS PEKANBARU CITY

ABSTRACT

Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is an infectious disease caused by the dengue virus and transmitted

through the Aedes aegypti mosquito’s bite. DHF causes Extraordinary Events in several regions in

Indonesia, including Pekanbaru City. One of the dengue endemic areas in Pekanbaru City is the Payung

Sekaki Health Center working area, where 52 cases of DHF were reported throughout 2018 and without

deaths. The number of dengue cases increased in the January-August 2019 period by 53 cases and resulted

in 1 death (CFR = 1.89%). The work area of the Karya Wanita Rumbai Puskesmas is one of the non-endemic

areas of dengue fever in Pekanbaru City, where only 10 cases of dengue were reported in the January-

August 2019 period. The purpose of this research was to determine the comparison of community behavior

regarding DHF prevention between endemic and non-endemic areas Pekanbaru City. The study design was

an observational study with a cross sectional approach. The sampling technique used accidental sampling

method, namely 100 respondents for each working area of the puskesmas. The data analysis used the Mann

Whitney test which produced the p-value. There are differences in community behavior regarding the

prevention of DHF in endemic and non-endemic areas of Pekanbaru City with p-value 0.002 (p-value

<0.05). There are differences in community behavior regarding the prevention of DHF in endemic

and non-endemic areas. Health workers should be able to encourage the public to improve

effective and efficient DHF prevention behavior, namely the 3M Plus Mosquito Nest Eradication

(PSN) movement, including through efforts to increase knowledge and attitudes about dengue

prevention.

Keywords: DHF, Endemic, Prevention, Behavior

ABSTRAK

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus Dengue dan

ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Terdapat Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD di beberapa

daerah di seluruh Indonesia, termasuk Kota Pekanbaru. Salah satu daerah endemis DBD di Kota Pekanbaru

adalah wilayah kerja Puskesmas Payung Sekaki, di mana dilaporkan sepanjang tahun 2018 terdapat 52 kasus

DBD dan tanpa kematian. Pada periode Januari-Agustus tahun 2019 kasus DBD ini dilaporkan meningkat

sebesar 53 kasus dan menimbulkan 1 kematian (CFR=1,89%). Wilayah kerja Puskesmas Rawat Inap Karya

Wanita Rumbai merupakan salah satu daerah non endemis DBD di Kota Pekanbaru, di mana dilaporkan

hanya terdapat 10 kasus DBD pada periode Januari-Agustus tahun 2019. Tujuan dari penelitian ini adalah

mengetahui perbandingan perilaku masyarakat tentang pencegahan DBD antara daerah endemis dan non

endemis Kota Pekanbaru. Desain studi penelitian ini merupakan studi observasional dengan pendekatan

cross sectional. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan accidental sampling, yakni

100 responden untuk masing-masing wilayah kerja puskesmas. Analisis data menggunakan uji Mann

Whitney yang menghasilkan p-value. Diperoleh p-value 0,002 (p-value < 0,05) yaitu terdapat perbedaan

perilaku masyarakat tentang pencegahan DBD di daerah endemis dan non endemis Kota Pekanbaru.

Berdasarkan hasil terdapat perbedaan perilaku masyarakat tentang pencegahan DBD di daerah endemis dan

non endemis. Tenaga kesehatan hendaknya dapat mendorong masyarakat untuk meningkatkan perilaku

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 223

pencegahan DBD yang efektif dan efisien yaitu melalui gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) 3M

Plus, antara lain melalui upaya peningkatan pengetahuan dan sikap tentang pencegahan DBD.

Kata kunci : DBD, Endemis, Pencegahan, Perilaku

PENDAHULUAN

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh

virus Dengue, di mana virus ini ditularkan oleh nyamuk Aedes Spp. Demam Berdarah Dengue

(DBD) memiliki gejala serupa dengan Demam Dengue (DD), namun DBD memiliki gejala khas

lain berupa sakit/nyeri pada ulu hati terus-menerus, perdarahan pada hidung, mulut, gusi atau

memar pada kulit. Menurut data World Health Organization (WHO) tahun 2010, Indonesia

dilaporkan sebagai negara kedua dengan kasus DBD terbesar di antara 30 negara wilayah endemis

DBD. (1)

Kasus DBD yang dilaporkan di Provinsi Riau pada tahun 2017 sebanyak 1928 kasus dan

menimbulkan 15 kematian (Case Fatality Rate/CFR=7,78%). Selanjutnya, kasus DBD di Provinsi

Riau mengalami penurunan pada tahun 2018 sebanyak 918 kasus dan menimbulkan 8 kematian

(CFR=8,71%). (1,2) Dinas Kesehatan Provinsi Riau melaporkan kasus DBD sebanyak 358 kasus

dan 2 orang meninggal (CFR=0,56%) di Kota Pekanbaru pada tahun 2018. Adapun jumlah kasus

DBD yang dilaporkan pada semester pertama tahun 2019 adalah sebanyak 274 kasus, dimana yang

terbanyak terdapat di wilayah kerja Puskesmas Payung Sekaki sebanyak 52 kasus. (3,4) Jumlah

kasus DBD di wilayah kerja Puskesmas Payung Sekaki meningkat, yaitu sebanyak 52 kasus dan

tanpa kematian pada tahun 2018, menjadi 53 kasus dengan 1 kematian (CFR=1,89%) pada periode

Januari-Agustus tahun 2019. Kasus DBD yang dilaporkan di wilayah kerja Puskesmas Rawat Inap

Karya Wanita Rumbai pada periode Januari-Agustus 2019 adalah 10 kasus dan tanpa kematian.

(4,5)

Jumlah penyakit tertentu yang biasanya ada dalam suatu komunitas disebut sebagai garis

dasar atau tingkat endemis penyakit. (6) Wilayah kerja Puskesmas Payung Sekaki merupakan

daerah endemis DBD, di mana kejadian DBD selalu ada dan meningkat setiap tahun. Akan tetapi,

jumlah kasus DBD yang dilaporkan di wilayah kerja Puskesmas Rumbai tidak selalu ada dan tidak

selalu meningkat setiap tahun, sehingga dikategorikan sebagai daerah non endemis DBD.

Perilaku pencegahan DBD berkaitan dengan pengetahuan dan sikap masyarakat tentang

DBD, terutama ibu, yang memiliki peranan penting dalam pemeliharaan kesehatan keluarga dan

kebersihan lingkungan rumah. Seseorang akan melakukan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)

apabila dia mengetahui dengan baik terkait tujuan dan manfaat perilaku PSN bagi kesehatan diri

dan keluarganya dalam upaya pencegahan penyakit DBD. Seseorang itu juga harus mengetahui

pula tentang bahaya atau risiko apabila tidak melakukan perilaku PSN.(6) Penelitian ini bertujuan

untuk membandingkan perilaku pencegahan DBD pada masyarakat di daerah endemis dan non

endemis Kota Pekanbaru.

METODE

Penelitian ini menggunakan desain studi observasional analitik dengan metode potong

lintang (cross sectional). Penelitian ini mempelajari hubungan antara variabel independen dengan

variabel dependen, dengan melakukan pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (7). Penelitian

ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Payung Sekaki yang dikategorikan sebagai daerah

endemis DBD dan Puskesmas Rawat Inap Karya Wanita Kota Pekanbaru yang dikategorikan

sebagai daerah non-endemis DBD. Penelitian ini dilakukan pada rentang periode bulan Juli-

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 224

Agustus 2019. Sumber data penelitian terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer yang

dikumpulkan adalah untuk mengukur perilaku pencegahan DBD ibu yang terdiri dari praktik PSN

3M Plus. Data sekunder yang dikumpulkan adalah terkait perhitungan besar sampel minimal yaitu

data jumlah penduduk perempuan yang merupakan ibu yang berdomisili di wilayah kerja

Puskesmas Payung Sekaki dan Puskesmas Rawat Inap Karya Wanita Rumbai Kota Pekanbaru pada

tahun 2018.

Sampel penelitian ini adalah sebagian penduduk perempuan yang merupakan ibu yang

berdomisili di wilayah kerja Puskesmas Payung Sekaki dan Puskesmas Rawat Inap Karya Wanita

Rumbai Kota Pekanbaru tahun 2018, yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi penelitian.

Pengambilan sampel menggunakan teknik accidental sampling, yaitu teknik penentuan sampel

berdasarkan kebetulan, yaitu sampel merupakan siapa saja yang secara kebetulan bertemu dengan

peneliti, bila dipandang orang tersebut sesuai sebagai sumber data.(7) Pengisian kuesioner

dilakukan langsung oleh peneliti berdasarkan informasi yang diperoleh dari responden. Setelah

pengisian kuesioner, responden diberikan leaflet yang berisi ringkasan mengenai pengetahuan,

sikap, dan perilaku pencegahan DBD disertai penjelasan singkat oleh peneliti. Penelitian

dilaksanakan selama 7 hari, yang terdiri dari persiapan penelitian berupa Focus Group Discussion

(FGD) antara tim peneliti dan enumerator selama 1 hari, dilanjutkan dengan pengambilan data

penelitian selama 6 hari. Peneliti dibantu oleh 12 orang enumerator dalam pengambilan data

penelitian kepada responden, dimana enumerator yang merupakan mahasiswa Program Studi

Pendidikan Dokter semester 7 telah diberi pelatihan dan simulasi mengenai penelitian terlebih

dahulu.

Analisis data pada penelitian ini dilakukan dengan analisis univariat dilanjutkan dengan

analisis bivariat. Sebelum dilakukan uji statistik, dilakukan uji normalitas terlebih dahulu untuk

mengetahui sebaran data penelitian. Uji normalitas data yang digunakan adalah uji Kolmogorov

Smirnov karena sampel yang digunakan besar (lebih dari 50 responden). Uji hipotesis yang

digunakan adalah uji korelasi Mann Whitney, karena didapatkan hasil bahwa data penelitian tidak

terdistribusi normal. Hasil uji statistik berupa nilai kemaknaan p-value.(8)

HASIL PENELITIAN

Analisis Univariat

Analisis univariat adalah analisis yang hanya menghasilkan distribusi dan persentase dari

setiap variabel, dimana analisis univariat ini bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan

setiap variabel penelitian. (8)

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden

No Karakteristik Responden Endemis Non Endemis

N % N %

1. Umur (tahun)

20-29 13 13,0 15 15,0 30-39 40 40,0 36 36,0

40-49 29 29,0 30 30,0

50-59 13 13,0 13 13,0

60-69 3 3,0 5 5,0 70-79 2 2,0 1 1,0

2. Pendidikan

Tidak sekolah 3 3,0 1 1,0 SD 9 9,0 11 11,0

SMP 11 11,0 12 12,0

SMA 57 57,0 55 55,0

Akademi/PT 20 20,0 21 21,0

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 225

3. Pekerjaan Buruh 0 0,0 1 1,0

PNS/TNI/Polri 1 1,0 0 0,0

Pegawai Swasta 5 5,0 7 7,0

Wiraswasta 5 5,0 8 8,0 Pekerjaan Lainnya 5 5,0 5 5,0

Ibu 84 84,0 79 79,0

4 Perilaku Tentang Pencegahan

DBD

Kurang 27 27,0 25,0 25,0

Cukup 29 29,0 18 18,0

Baik 44 44,0 57 57,0

TOTAL 100 100,0 100 100,0

Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa responden pada daerah endemis dan non endemis

paling banyak berada pada rentang umur 30-39 tahun yaitu berturut-turut sebanyak 40 orang (40%)

dan 36 orang (36%). Selain itu, sebagian besar responden pada daerah endemis dan non endemis

sama-sama memiliki tingkat pendidikan SMA yaitu berturut-turut sebanyak 57 orang (57%) dan 55

orang (55%). Selain itu, sebagian besar responden di daerah endemis sama-sama memiliki

pekerjaan sebagai ibu yaitu berturut-turut sebanyak 84 orang (84%) dan 79 orang (79%). Perilaku

pencegahan DBD responden pada daerah endemis dan non endemis paling banyak berada pada

kategori perilaku baik yaitu berturut-turut sebanyak 44 orang (44%) dan 57 orang (57%).

Analisis Bivariat

Analisis bivariat adalah analisis yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga

berhubungan atau berkorelasi, dalam hal ini perilaku masyarakat tentang pencegahan DBD di

daerah endemis dan non-endemis. Uji statistik yang dipakai adalah uji Mann-Whitney, karena skala

data yang digunakan adalah rasio dan data penelitian terdistribusi tidak normal.(8)

Tabel 2.

Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Masyarakat Tentang Pencegahan DBD

Variabel Mann Whitney

Perilaku Masyarakat tentang Pencegahan DBD

N 200

p-value 0,002

Berdasarkan hasil uji Mann Whitney pada Tabel 2, dapat dilihat bahwa perilaku masyarakat

tentang pencegahan DBD memiliki p-value < 0,05 sehingga dapat dinyatakan bahwa terdapat

perbedaan perilaku masyarakat tentang pencegahan DBD pada daerah endemis dan non endemis

Kota Pekanbaru.

PEMBAHASAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap 200 responden yang terdiri dari 100

orang ibu di wilayah kerja Puskesmas Payung Sekaki Kota Pekanbaru dan 100 orang ibu di

wilayah kerja Puskesmas Karya Wanita Rumbai pada bulan Juli-Agustus 2019, diperoleh nilai

signifikansi yang bermakna antara perilaku pencegahan DBD ibu pada daerah endemis dan non

endemis yaitu p-value 0,002 (p-value < 0,05). Jadi, dapat dinyatakan bahwa terdapat perbedaan

perilaku masyarakat tentang pencegahan DBD pada daerah endemis dan non endemis Kota

Pekanbaru.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 226

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dimana tahu ini terjadi setelah orang melakukan

penginderaan terhadap suatu stimulus (objek) tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera

manusia antara lain indera penglihatan, indera pendengaran, indera penciuman, indera perasa,

dan indera peraba. Adapun, sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata yang

merupakan indera penglihatan dan telinga yang merupakan indera pendengaran. Pengetahuan

atau ranah kognitif merupakan variabel yang sangat penting dalam membentuk perilaku

seseorang. Sedangkan, sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang

terhadap suatu stimulus (objek) tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas,

akan tetapi sikap merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap merupakan kesiapan

untuk bereaksi terhadap stimulus (objek) di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan

terhadap stimulus (objek) tersebut.(6)

Terbentuknya perilaku baru (adopsi perilaku) pada seseorang dimulai dari seseorang harus

mengetahui dengan baik terkait pengertian dan manfaat perilaku tersebut bagi dirinya atau

keluarganya terlebih dahulu. Dalam proses adopsi perilaku baru, di dalam diri seseorang terjadi

proses yang berturutan antara lain sebagai berikut :

1. Awareness (kesadaran) yaitu seseorang menyadari atau mengetahui stimulus (objek) terlebih

dahulu,

2. Interest (ketertarikan) yaitu seseorang mulai tertarik kepada stimulus (objek) tersebut,

3. Evaluation (evaluasi) yaitu seseorang mempertimbangkan baik atau buruknya stimulus tersebut

bagi dirinya,

4. Trial (mencoba) yaitu seseorang sudah mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa

yang dikehendaki oleh stimulus (objek),

5. Adoption (adopsi) yaitu seseorang telah memiliki perilaku yang baru sesuai dengan

pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus (objek).

Dalam penelitian ini, kami menemukan bahwa ibu yang tinggal di daerah endemis

memiliki pengetahuan dan sikap yang lebih baik tentang pencegahan DBD, tetapi mereka

memiliki praktik pencegahan DBD yang lebih buruk, dibandingkan dengan ibu yang tinggal di

daerah non endemis. Hal ini mirip dengan penelitian sebelumnya di Vietnam bahwa orang yang

melaporkan kepadatan tinggi nyamuk ditemukan lebih cenderung memiliki pengetahuan yang

baik, sikap yang baik. Namun, hasilnya tidak mirip dengan penelitian sebelumnya bahwa orang

yang melaporkan kepadatan tinggi nyamuk ditemukan lebih mungkin untuk memiliki praktik

yang baik dalam pencegahan DBD. Hal ini dapat dijelaskan oleh fakta bahwa orang yang tinggal

di daerah berisiko tinggi atau endemis memiliki persepsi yang lebih serius terhadap penyakit

yang ditularkan oleh nyamuk seperti DBD dan DF, meskipun persepsi tidak selalu sejalan

dengan praktik.(9) Hasil penelitian ini adalah juga tidak mirip dengan penelitian lain yang

dilakukan di Selangor, Malaysia bahwa masyarakat yang tinggal di daerah non endemik wabah

demam berdarah memiliki pengetahuan dan sikap yang lebih baik tentang demam berdarah

daripada masyarakat yang tinggal di daerah endemis, tetapi tidak ada perbedaan signifikan yang

ditemukan dalam kategori praktik.(10)

Perilaku pencegahan DBD yang efektif dan efisien antara lain praktik PSN 3M Plus

berhubungan dengan kejadian DBD di suatu daerah. PSN 3M Plus adalah salah satu contoh

perilaku hidup bersih dan sehat karena berkaitan dengan upaya pencegahan penyakit DBD

dengan cara memutus daur hidup nyamuk Aedes Spp yang merupakan rantai penularan DBD.

PSN 3M Plus hendaknya dilaksanakan secara aktif, mandiri, dan terus-menerus, serta

berkesinambungan oleh seluruh lapisan masyarakat.(11) Hasil penelitian oleh Jata et al tahun

2016 menemukan bahwa ada hubungan perilaku masyarakat dalam PSN dengan kejadian DBD

di wilayah Puskesmas I Denpasar Selatan dan Puskesmas I Denpasar Timur.(12) Menurut hasil

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 227

penelitian lainnya oleh Priesley et al, terdapat hubungan yang bermakna antara perilaku PSN 3M

Plus dengan kejadian DBD di Kelurahan Andalas Kota Padang tahun 2017 (p-value =

0,001).(13)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan penelitian ini adalah terdapat perbedaan perilaku masyarakat tentang

pencegahan DBD di daerah endemis dan non endemis Kota Pekanbaru.

Saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah tenaga kesehatan

hendaknya dapat senantiasa melakukan upaya peningkatan pengetahuan masyarakat di wilayah

kerjanya tentang pencegahan DBD yang efektif dan efisien yaitu melakukan Pemberantasan

Sarang Nyamuk (PSN) 3M Plus secara aktif, mandiri, dan berkesinambungan. Pengetahuan

responden tentang pencegahan DBD yang baik akan dapat membentuk sikap responden yang

baik terhadap pencegahan DBD sehingga dapat terwujud pada perilaku pencegahan DBD yang

baik pula. Hal ini dapat membantu dalam mengendalikan penularan dan menurunkan angka

kejadian DBD baik di daerah endemis maupun non-endemis.

DAFTAR PUSTAKA

1. Indonesian Ministry of Health. Situation of Dengue Hemorrhagic Fever in Indonesia in

2017 [Internet]. Jakarta: Center of Data and Information Indonesian Ministry of Health;

2018. Available from:

http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin/InfoDatin-

Situasi-Demam-Berdarah-Dengue.pdf

2. Indonesian Ministry of Health. Indonesian Health Profile 2018 [Internet]. Jakarta:

Indonesian Ministry of Health; 2019. 1 p. Available from:

http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-indonesia/profil-

kesehatan-indonesia-2018.pdf

3. Pekanbaru City Health Department. Data Report of Dengue Hemorrhagic Fever in

Pekanbaru City 2018. Pekanbaru; 2019.

4. Pekanbaru City Health Department. Data Report of Dengue Hemorrhagic Fever in

Pekanbaru City January-August 2019. Pekanbaru; 2019.

5. Payung Sekaki Health Center. Payung Sekaki Health Center Profile 2019. Pekanbaru; 2019.

6. Notoatmodjo S. Health Promotion and Health Behavior. Jakarta: Rineka Cipta; 2012.

7. Notoatmodjo S. Public Health : Science and Art. Jakarta: Rineka Cipta; 2011.

8. Notoatmodjo S. Health Research Methodology. Jakarta: Rineka Cipta; 2015.

9. Nguyen H Van, Than PQT, Nguyen TH, Vu GT, Hoang CL, Tran TT, et al. Knowledge,

attitude and practice about dengue fever among patients experiencing the 2017 outbreak in

vietnam. Int J Environ Res Public Health. 2019;16(6).

10. Ghani NA, Shohaimi S, Hee AKW, Chee HY, Emmanuel O, Ajibola LSA. Comparison of

knowledge, attitude, and practice among communities living in hotspot and non-hotspot

areas of dengue in Selangor, Malaysia. Trop Med Infect Dis. 2019;4(1):1–10.

11. Indonesian Ministry of Health. Technical Guidance for PSN 3M Plus Implementation with

1 Home 1 Jumantik Movement. Jakarta: Indonesian Ministry of Health; 2016. 49–51 p.

12. Jata D, Adi Putra N, Pujaastawa IBG. The Correlation between Community Behavior in the

Mosquito Breeding Place Eradication and Environmental Factors with the Dengue

Hemorrhagic Fever Event in the Region of Health Center I South Denpasar and Health

Center I East Denpasar. ECOTROPHIC J Ilmu Lingkung (Journal Environ Sci [Internet].

2016;10(1):17. Available from:

https://ojs.unud.ac.id/index.php/ECOTROPHIC/article/view/21516/14216

13. Priesley F, Reza M, Rusjdi SR. The Correlation between Mosquito Breeding Place

Eradication Behavior by PSN 3M Plus to the Occurrence of Dengue Hemorrhagic Fever in

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 228

Andalas Village, Padang, West Sumatra. J Kesehat Andalas. 2018;7(1):124–30.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 229

DETERMINAN PEMILIHAN ALAT KONTRASEPSI

DI PUSKESMAS MAKRAYU PALEMBANG

Farina Eka Agustine,

1 Dian Safriantini

2 *

1Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya

2Bagian Administrasi Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya

Jl. Palembang Prabumulih KM. 32, Indralaya Indah Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan

Corresponding email : [email protected]

DETERMINANTS OF CONTRACEPTION METHOD SELECTION

IN PUSKESMAS MAKRAYU, PALEMBANG

ABSTRACT

The rapid population growth as a result of high fertilization rates is one of the causes of poverty and a

barrier to economic growth. To address this problem, the government requires couples of childbearing age

to take part in the Family Planning (KB) program, one of which is through the use of contraception. This

study aims to determine the determinant factors that influence the choice of contraceptives method at

Makrayu Health Center in Palembang. The research design was cross sectional, with a quantitative

approach. The sample in this study amounted to 80 people. The sampling technique was accidental sampling.

Data analysis was performed using univariate and bivariate methods. Bivariate analysis using the Chi-

Square test. The role of medical officers is an influencing factor in the selection of contraceptives method for

women of fertile age (WUS). The higher role of a health worker has a chance of 1,278 times greater than the

lower one. The variables of education, occupation, knowledge, availability of contraceptives and husband's

support had no relationship with the choice of contraceptives. There is a need to increase the role of health

workers who handle the contraceptive division to provide education about contraceptives to the public on a

regular basis so that people are better able to identify the suitable contraceptives method for their condition

in order to manage the births.

Keywords: Family Planning, Contraception, Women of Childbering Age (WUS)

ABSTRAK

Laju pertumbuhaan penduduk yang pesat akibat dari tingkat fertilisasi yang tinggi menjadi salah satu

penyebab kemiskinan dan penghambat pertumbuhan ekonomi. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah

mewajibkan pasangan usia subur untuk mengikuti program Keluarga Berencana (KB) salah satunya melalui

penggunaan kontrasepsi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui determinan factor yang mempengaruhi

pemilihan alat kontrasepsi di Puskesmas Makrayu Palembang. Desain penelitian adalah cross sectional,

dengan pendekatan kuantitatif. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 80 orang. Teknik pengambilan sampel

secara accidental sampling. Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariate. Analisis bivariat

menggunakan uji Chi-Square. Peran petugas menjadi faktor yang berpengaruh dalam pemilihan alat

kontrasepsi pada Wanita Usia Subur (WUS). Peran petugas kesehatan yang tinggi memiliki peluang 1,278

kali lebih besar dibandingkan dengan peran petugas kesehatan yang rendah. Variabel pendidikan, pekerjaan,

pengetahuan, ketersediaan alat kontrasepsi dan dukungan suami tidak terdapat hubungan dengan pemilihan

alat kontrasepsi. Perlunya meningkatkan peran petugas kesehatan yang menangani bagian alat kontrasepsi

untuk memberikan edukasi mengenai alat kontrasepsi kepada masyarakat secara rutin agar masyarakat lebih

mampu untuk mengidentifikasi alat kontrasepsi yang sesuai dengan keadaannya guna mengatur jumlah

kelahiran yang diharapkan.

Kata Kunci: Keluarga Berencana, Alat Kontrasepsi, Wanita Usia Subur (WUS)

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 230

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki permasalahan dengan jumlah

penduduk yang besar namun persebarannnya tidak merata dan memiliki kualitas yang rendah.

Jumlah penduduk Indonesia menempati urutan ke empat terbesar di dunia setelah Negara China,

India dan Amerika Serikat. Berdasarkan data Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) tahun 2015,

jumlah penduduk Indonesia adalah sebesar 255.18 juta jiwa dengan laju pertumbuhan sebesar

pertumbuhan sebesar 1,43 persen per tahun1.

Pemerintah Republik Indonesia telah mewajibkan pasangan usia subur untuk mengikuti

program Keluarga Berencana (KB) dalam hal mengatasi masalah laju pertumbuhan penduduk.

Salah satu upaya yang dilakukan di Program KB adalah penggunaan alat kontrasepsi. Kontrasepsi

berperan dalam hal mencegah kehamilan2. Data yang dikeluarkan World Health Organization

(WHO) pada tahun 2013 menginformasikan bahwa penggunaan alat kontrasepsi di Indonesia

adalah sebesar 61%. Angka ini telah melebihi angka rata-rata penggunaaan alat kontrasepsi di

Negara ASEAN (58,1%), namun lebih rendah jika dibandingka dari Negara Vietnam (78%),

Kamboja (79%) dan Thaniland (80%). Padahal jumlah Wanita Usia Subur di Indoneisa adalah

tertinggi di kawasan ASEAN dengan jumlah sebesar 65 juta jiwa3.

Jenis alat kontrasepsi terbagi menjadi dua jenis yaitu alat kontrasepsi modern dan alat

kontrasepsi tradisional. Jenis alat kontrasepsi modern memiliki risiko kegagalan yang lebih kecil

jika dibandingkan alat kontrasepsi tradisional. Namun jenis alat kontrasepsi modern memiliki biaya

yang lebih besar dikarenakan perlu dilakukan secara berulang. Jenis alat kontrasepsi tradisional

tentunya lebih murah karena tidak membutuhkan biaya, alat maupun obat- obatan2.

Propinsi Bengkulu merupakan propinsi yang memiliki cakupan peserta KB aktif tertinggi di

Indonesia yaitu sebesar 71,15%. Sedangkan Propisni Papua memiliki cakupan peserta KB aktif

terendah di Indonesia yaitu 25,73%. Jika dilihat dari target nasional Propinsi Sumatera Selatan

berada di posisi 9 (Sembilan) dalam capaian target nasional yaitu sebesar 66,80% dari 57.436 jiwa

pasangan (PUS)4

Di Kota Palembang, cakupan peserta KB aktif tertinggi berada di Kecamatan

Kalidoni (20.730 PUS) dan cakupan terendah di Kecamatan Bukit Kecil (3.805 PUS)5.

Beberapa penelitian menemukan factor-faktor yang berpengaruh terhadap pemilihan jenis

alat kontrasepsi. Penelitian yang dilakukan oleh Simbolon mendapatkan hasil bahwa pengetahuan

dan peran dari petugas kesehatan memiliki hubungan terhadap pemilihan jenis alat kontrasepsi6.

Penelitian yang dilakukan oleh Fatimah juga mendapatkan hasil bahwa tingkat pendidikan dan

dukungan suami memiliki hubungan terhadap pemilihan jenis alat kontrasepsi7.Penelitian Supriadi

juga menemukan bahwa pekerjaan memiliki hubungan terhadap pemilihan jenis alat kontrasepsi8.

Ketersediaan alat kontrasepsi juga memiliki hubungan dengan pemilihan jenis alat kontrasepsi9.

Sebagai satu-satunya puskesmas di wilayah Kecamatan Ilir Barat II, Puskesmas Makrayu

memiliki jumlah peserta KB aktif 10.628 jiwa atau 82.57% pada tahun 2017 dan menurun menjadi

8.957 jiwa atau sebesar 79.2% pada tahun 20185. Berdasarkan uraian diatas, tujuan penelitian ini

adalah menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan wanita usia subur (WUS) dalam

memilih alat kontrasepsi.

METODE

Desain penelitian adalah cross sectional, dengan pendekatan kunatitatif. Populasi dalam

penelitian ini adalah Wanita Usia Subur (WUS) yang merupakan akseptor KB di wilayah kerja

Puskesmas Makrayu Palembang.Sampel dalam penelitian ini berjumlah 80 orang. Teknik

pengambilan sampel secara Accidental Sampling. Cara pengumpulan data nya adalah wawancara

dengan instrumen kuesioner. Alat pengumpulan data yang digunakan adalah alat tulis, kuesioner,

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 231

informed consent dan PSP.Analisa data dilakukan secara univariat dan bivariate. Analisa bivariat

menggunakan uji analisis Chi-Square dengan tingkat kepercayaan sebesar 95% dan tingkat

kemaknaan (α) sebesar 5%.

HASIL PENELITIAN

Analisis Univariat

Analisis univariat dalam penelitian ini terdiri dari distribusi pemakaian alat kontrasepsi

responden dan distribusi karakteristik responden. Hasil analisis univariat secara rinci akan

ditampilkan pada Tabel 1 berikut ini:

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karaktersitik Wanita Usia Subur (WUS)

di Wilayah Kerja Puskesmas Makrayu Palembang

Variabel Total Responden

n %

Variabel Dependen

Pemilihan Alat Kontrasepsi Modern 72 90%

Tradisional 8 10%

Variabel Independen

Pendidikan Tinggi 76 95,0

Rendah 4 5,0

Pekerjaan

Bekerja 29 36,3

Tidak Bekerja 51 63,7

Pengetahuan

Tinggi 64 80,0

Rendah 16 20,0

Ketersediaan Alat Kontrasepsi

Ya 35 43,8

Tidak 45 56,2

Dukungan Suami Mendukung 48 60,0

Tidak Mendukung 32 40,0

Peran Petugas Kesehatan

Tinggi 50 62,5 Rendah 30 37,5

Berdasarkan Tabel 1 diatas, responden yang memilih alat kontrasepsi modern sebanyak

90,0%. Mayoritas responden berpendidikan tinggi dengan persentase 95,0%. Responden yang

tidak bekerja lebih banyak dibandingkan dengan responden yang tidak bekerja dengan persentasi

63,7%. Dilihat dari tingkat pengetahuan responden yang dominan dengan pengetahuan tinggi yaitu

sebesar 80,0%. Responden yang mengatakan tidak pada ketersediaan alat kontrasepsi lebih besar

dibandingkan dengan yang mengatakan ya dengan persentase 56.2%. Suami yang mendukung pada

responden memiliki persentase lebih tinggi yaitu sebesar 60,0%. Responden dengan peran petugas

kesehatan tinggi persentasenya yaitu 62,5%.

Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk meengetahui hubungan antara variabel independen yaitu

pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, ketersediaan alat kontrasepsi, dukungan suami dan peran

tenaga kesehatan dengan variabel dependen yaitu pemilihan alat kontrasepsi pada wanita usia subur

(wus) di wilayah kerja Puskesmas Makrayu Palembang yang dijelaskan dalam Tabel 2 berikut:

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 232

Tabel 2. Hubungan Pemilihan Alat Kontrasepsi Dengan Pendidikan, Pekerjaan,

Pengetahuan, Ketersediaan Alat Kontrasepsi, Dukungan Suami dan Peran Petugas

Kesehatan Di Wilayah Kerja Puskesmas Makrayu Palembang

Variabel

Pemilihan Alat Kontrasepsi

Total

p-value

PR

(95% CI)

Modern Tradisional

N % n % n %

Pendidikan

0,350

1,211 (0,648-2.141)

Tinggi 69 90,8 7 9,2 76 100,0

Rendah 3 75,0 1 25,0 4 100,0

Pekerjaan

0,131

0,879

(0,735-1,052) Bekerja 24 82,8 5 17,2 29 100,0

Tidak Bekerja 48 94,1 3 5,9 51 100,0

Pengetahuan

1,000

0,950

(0,815-1,107) Tinggi 57 89,1 7 10,9 64 100,0

Rendah 15 93,8 1 6,2 16 100,0

Ketersediaan Alat

Kontrasepsi

0,073

1,150

(1,002-1,320) Ya 34 97,1 1 2,9 35 100,0

Tidak 38 84,4 7 15,6 45 100,0

Dukungan Suami

0,054

1,179

(0,989-1,407)

Mendukung 46 95,8 2 4,2 48 100,0

Tidak Mendukung 26 81,3 6 18,7 32 100,0

Peran Petugas

Kesehatan

0,004

1,278

(1,045-1,563) Tinggi 49 98,0 1 2,0 50 100,0

Rendah 23 76,7 7 23,3 30 100,0

Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan bahwa ada hubungan antara peran petugas kesehatan (p-

value = 0,004) dengan pemilihan alat kontrasepsi sedangkan tidak ada hubungan antara pendidikan

(p-value = 0,350), pekerjaan (p-value = 0,131), pengetahuan (p-value = 1,000), ketersediaan alat

kontrasepsi (p-value = 0,073) dan dukungan suami (p-value = 0,054) dengan pemilihan alat

kontrasepsi.

PEMBAHASAN

Hubungan Pendidikan Dengan Pemilihan Alat Kontrasepsi

Pendidikan adalah jenjang latar belakang sekolah yang berhasil ditamatkan oleh seseorang

dan ditandai dengan adanya ijazah. Di Indonesia, pendidikan wajib adalah 12 tahun yaitu dari

Sekolah Dasar (SD)-Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Akhir (SMA)10

.

Pendidikan mempunyai pengaruh positif terhadap pemakaian alat kontrasepsi. Dalam hal ini

pendidikan dikaitkan dengan informasi yang didapatkan. Informasi mengani kebutuhan untuk

menunda atau membatasi jumlah anak11

.

Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa responden yang pendidikannya tinggi sebanyak 76

responden dan yang pendidikannya rendah sebanyak 4 responden. Ibu yang memilih alat

kontrasepsi modern didominasi oleh ibu yang pendidikannya tinggi dengan jumlah 69 responden

(90,8%). Hasil penelitian ini menunjukkaan bahwa responden yang lebih banyak memilih alat

kontrasepsi modern adalah responden yang pendidikannya tinggi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pendidikan dan pemilihan

alat kontrasepsi di wilayah kerja Puskesmas Makrayu Palembang (nilai p = 0,350 atau p > 0,05).

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 233

Hasil tersebut disebabkan karena baik responden yang berstatus pendidikan tinggi dan pendidikan

rendah memilih untuk menggunakan alat kontrasepsi modern. Hal ini sejalan dengan penelitian

yang dilakukan Grestasari yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pendidikan dan

pemilihan alat kontrasepsi dengan nilai p = 0,05512

. Hal ini berbeda dengan penelitian yang

dilakukan oleh Fatimah yang menunjukkan bahwa tingkat pendidikan memiliki hubungan terhadap

pemilihan jenis alat kontrasepsi dengan nilai p = 0,0007. Demikian pula penelitian yang dilakukan

oleh Lontaan yang mendapatkan hasil bahwa ada hubungan antara pendidikan dengan pemilihan

alat kontrasepsi (p = 0,000)13

.

Hubungan Pekerjaan Dengan Pemilihan Alat Kontrasepsi

Pekerjaan adalah aktivitas atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan

penghasilan. Seseorang akan menghabiskan banyak waktunya untuk menyelesaikan pekerjaan

yang dianggaapnya penting sehingga berpengaruh terhadap sedikitnya waktu untuk memperoleh

tambahan informasi yang lain 14

.

Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa responden yang bekerja sebanyak 29 responden dan

yang tidak bekerja sebanyak 51 responden. Ibu yang memilih alat kontrasepsi modern didominasi

oleh ibu yang tidak bekerja dengan jumlah 48 responden (94,1%). Hasil penelitian menunjukkan

bahwa tidak ada hubungan antara pekerjaan dan pemilihan alat kontrasepsi di wilayah kerja

Puskesmas Makrayu Palembang ( nilai p = 0,131 atau p > 0,05). Hal tersebut disebabkan karena

mayoritas ibu yang tidak bekerja maupun yang bekerja sama-sama memilih untuk menggunakan

alat kontrasepsi modern. Beberapa responden yang bekerja mengatakan bahwa dengan

menggunakan alat kontrasepsi modern maka tidak perlu sibuk untuk mengingat kapan waktunya

masa subur karena mereka sedikit memiliki waktu luang untuk memikirkan hal selain pekerjaan

dan keluarga. Selain itu, nilai waktu yang dimiliki ibu yang bekerja lebih mahal dibandingkan

dengan ibu yang tidak bekerja15

.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Supriadi yang menunjukkan

hasil bahwa tidak ada hubungan antara pekerjaan dan pemilihan alat kontrasepsi dengan nilai p =

0,9608. Hasil penelitian lainnya juga menunjukan tidak ada hubungan yang bermakna antara

pekerjaan dengan pemilihan alat kontrasepsi dengan nilai p = 0,0616

. Namun hasil ini tidak sejalan

dengan penelitian yang dilakukan Megawati yang menunjukkan bahwa pekerjaan memiliki

hubungan terhadap pengetahuan tentang alat kontrasepsi dengan nilai p = 0,00917

.

Hubungan Pengetahuan Dengan Pemilihan Alat Kontrasepsi

Pengetahuan adalah hasil dari ―tahu‖ setelah melakukan penginderaan terhadap objek

tertentu melalui indera-indera manusia seperti indera penglihatan, indera pendengaran, indera

penciuman, indera perasa dan juga indera peraba. Pengetahuan sebagian besar dihasilkan dari

indera penglihatan dan juga indera pendengaran (mata dan telinga). Pengetahuan yang baik tentang

kontrasepsi tentu dapat memberikan peluang untuk dapat memilih kontrasepsi dengan benar dan

baik sesuai dengan kondisi diri18

. Pengetahuan memiliki 6 (enam) tingkatan, yaitu Tahu (know);

Memahami (comprehension); Aplikasi (application); Analisis (analysis) Sintesis (synthesis);

Evaluasi (evaluation) antara lain19

:

Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa responden yang memiliki tingkat pengetahuan tinggi

sebanyak 64 responden dan yang memiliki tingkat pengetahuan rendah sebanyak 16 responden. Ibu

yang memilih alat kontrasepsi modern didominasi oleh ibu yang memiliki tingkat pengetahuan

yang tinggi dengan jumlah 57 responden (89,1%).

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 234

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan dan pemilihan

alat kontrasepsi di wilayah kerja Puskesmas Makrayu Palembang (nilai p = 1,000 atau p > 0,05).

Meskipun WHO (1984) mengatakan bahwa pengetahuan dapat dijadikan sebuah

pertimbangan guna membentuk prilaku tertentu, didasarkan pertimbangkan untung-rugi, manfaat

dan sumber daya maupun uang yang tersedia dan sebagainya, namun responden yang memiliki

tingkat pengetahuan tinggi dalam penelitian ini tidak semuanya memilih untuk menggunakan alat

kontrasepsi modern dan hampir seluruh ibu yang memilih alat kontrasepsi tradisional adalah ibu

yang tingkat pengetahuannya tinggi dengan jumlah 7 dari 8 responden. Hal ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Ahmad yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara

pengetahuan ibu usia muda dan ibu usia remaja terhadap pemilihan alat kontrasepsi dengan nilai p

masing-masing adalah 0,400 dan 1,00020

. Hal ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang

dilakukan Simbolon bahwa tingkat pengetahan memiliki hubungan terhadap pemilihan jenis alat

kontrasepsi dengan nilai p = 0,0036. Penelitia yang dilakukan Syukaisih juga mendapatkan hasil

bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan pemilihan alat kontrasespsi (p = 0,000)21

.

Pengetahuan dipengaruhi oleh pengalaman seseorang, faktor lingkungan dan sosial budaya

yang kemudian pengalaman tersebut diketahui, dipersepsikan dan diyakini sehingga menimbulkan

suatu motivasi serta niat untuk bertindak sehingga terjadi perwujudan niat berupa perilaku. Oleh

karena itu, banyak faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang yang membuat hasil

penelitian ini menghasilkan hubungan yang tidak signifikan, salah satunya adalah faktor

lingkungan dan faktor budaya.

Hubungan Ketersediaan Alat Kontrasepsi Dengan Pemilihan Alat kontrasepsi

Pelayanan Kontrasepsi adalah bagian dari pelayanan Keluarga Berencana (KB) yang belum

terintegrasi secara keseluruhan terhadap pelayanan komponen yang lain daripada kesehatan

reproduksi. Alasan mengapa pelayanan kontrasepsi tidak termanfaatkan anatara lain adalah karena

kelengkapan alat dan jenis kontrasepsi kurang tersedia sehingga masyarakat tidak memiliki

kesempatan untuk menggunakan alat kontrasepsi tersebut. Alasan lainnya adalah karena rendahnya

akses untuk mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan keinginan dari masyarakat tersebut22

.

Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa responden yang mengatakan bahwa ketersediaan alat

kontrasepsinya lengkap sebanyak 35 responden dan yang tidak sebanyak 45 responden. Ibu yang

memilih alat kontrasepsi modern didominasi oleh ibu yang mengatakan bahwa ketersediaan alat

kontrasepsinya tidak lengkap dengan jumlah 38 responden (84,4%). Hasil penelitian menunjukkan

bahwa tidak ada hubungan antara ketersediaan alat kontrasepsi dan pemilihan alat kontrasepsi di

wilayah kerja Puskesmas Makrayu Palembang (nilai p = 0,073 atau p > 0,05).

Hal ini tidak sejalan dengan penelitian terdahulu yang menunjukan hasil bahwa ketersediaan

alat kontrasepsi memiliki hubungan dengan pemilihan jenis alat kontrasepsi dengan nilai p =0,0399.

Perbedaan ini dapat disebabkan karena responden terkadang dan bahkan tidak pernah bertanya

mengenai jenis alat kontrasepsi apa saja yang tersedia kepada petugas kesehatan sesaat sebelum

pelaksaan penggunaan kontrasepsi.

Hubungan Dukungan Suami Dengan Pemilihan Alat Kontrasepsi

Dukungan suami adalah bentuk perhatian yang diberikan suami kepada istri dalam

memberikan bantuan baik berupa motivasi, perhatian, penerimaan serta dorongan. Metode

kontrasepsi tertentu tidak dapat digunakan tanpa adanya kerjasama suami. Kesadaran akan fertilitas

membutuhkan kerjasama dan juga rasa saling percaya antara pasangan suami istri. Keadaaan ideal

yang mebutuhkan kerja sama antara pasangan sumi istri antara lain :

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 235

a. Suami istri bersama-sama memilih jenis alat kontrasepsi terbaik

b. Suami istri bekerjasama dalam pemakaian alat kontrasepsi

c. Suami istri bersama-sama membiayai pengeluaran untuk alat kontrasepsi

d. Suami istri bersama-sama memperhatikan tanda bahaya dari alat kontrasepsi23

.

Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa responden yang memiliki dukungan suami tinggi

sebanyak 48 responden dan yang memiliki dukungan suami rendah sebanyak 32 responden. Ibu

yang memilih alat kontrasepsi modern didominasi oleh ibu yang dukungan suaminya tinggi yang

berjumlah 46 responden (95,8%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara

dukungan suami dan pemilihan alat kontrasepsi di wilayah kerja Puskesmas Makrayu Palembang(

nilai p = 0,054 atau p < 0,05). Hal ini sejalan dengan penelitian terdahulu yang menunjukan bahwa

tidak ada hubungan antara dukungan suami dengan pemilihan alat kontrasepsi dengan nilai p =

0,01438. Tetapi tidak sejalan dengan penelitian lain yang menunjukan hasil bahwa dukungan suami

memiliki hubungan dengan pemilihan jenis alat kontrasepsi dengan nilai p = 0,0007. Perilaku

seseorang dalam mengambil keputusan didasari oleh adanya kebebasan pribadi untuk mengambil

keputusan, terlebih jika suami memberikan seluruh keputusan tersebut kepada istri dalam memilih

alat kontrasepsi yang dirasa cocok untuk digunakan18

.

Hubungan Peran Petugas Kesehatan Dengan Pemilihan Alat Kontrasepsi

Informasi-informasi mengenai jenis, cara ataupun efektivitas merupakan hal utama yang

harus dimiliki pos pelayanan KB sesuai dengan metode kontrasepsi yang diberikan. Jika pelayanan

yang diberikan petugas kesehatan kurang baik dan kurang berkualitas, maka harapan untuk

pemanfaatannya pun semakin kecil. Persepsi seseorang terhadap petugas kesehatan merupakan

suatu cermin kesiapan dalam bereaksi terhadap objek tertentu, yang dalam hal ini adalah memilih

alat kontrasepsi6.

Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa responden dengan peran petugas kesehatan yang tinggi

sebanyak 50 responden dan peran petugas kesehatan yang rendah sebanyak 30 responden. . Ibu

yang memilih alat kontrasepsi modern didominasi oleh ibu dengan peran peran petugas yang tinggi

dan memilih alat kontrasepsi modern sebanyak 49 responden (98,0%). Hasil penelitian

menunjukkan bahwa ada hubungan antara peran petugas kesehatan dan pemilihan alat kontrasepsi

di wilayah kerja Puskesmas Makrayu Palembang (nilai p = 0,004 atau p < 0,05).

Sesuai dengan Teori Stimulus-Organisme-Rasksi (SOR) oleh Skiner yang mengatakan

bahwa pengertian yang diberikan oleh pihak lain akan menghasilkan respon yang positif, dapat

berupa perubahan perilaku sesuai dengan informasi yang diberikan. Dapat disimpulkan bahwa

peran petugas kesehatan dalam memberikan informasi-informasi terkait alat kontrasepsi yang

sesuai dengan kondisi masing-masing responden berpengaruh dalam pemilihan alat kontrasepsi

yang dilakukan responden.

Hal ini sejalan dengan penelitian terdahulu yang menunjukkan hasil bahwa peran petugas

kesehatan memiliki hubungan dengan pemilihan jenis alat kontrasepsi dengan nilai p = 0,0166.

Peran petugas kesehatan yang tinggi pada wanita usia subur (WUS) di Puskesmas Makrayu

Palembang memiliki peluang 1,278 kali lebih besar untuk memilih alat kontrasepsi modern

dibandingkan dengan peran petugas kesehatan yang rendah (PR= 1,278; CI= 95%; 1,045-1,563).

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa determinan factor yang mempengruhi

pemilihan alat kontrasepsi pada Wanita Usia Subur (WUS) di wilayah kerja Puskesmas Makrayu

Palembang adalah peran petugas kesehatan dengan nilai p = 0,004. Peran petugas kesehatan yang

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 236

tinggi memiliki peluang 1,278 kali lebih besar dibandingkan dengan peran petugas kesehatan yang

rendah (PR= 1,278; CI= 95%; 1,045-1,563).

Variabel pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, ketersediaan alat kontrasepsi dan dukungan

suami tidak terdapat hubungan dengan pemilihan alat kontrasepsi pada Wanita Usia Subur (WUS)

di wilayah kerja Puskesmas Makrayu Palembang.

Saran pada penelitian ini adalah:

1. Puskesmas Makrayu : Meningkatkan peran petugas kesehatan yang menangani bagian alat

kontrasepsi untuk memberikan edukasi mengenai alat kontrasepsi kepada masyarakat secara

rutin agar masyarakat lebih mampu untuk mengidentifikasi alat kontrasepsi yang sesuai dengan

keadaannya guna mengatur jumlah kelahiran yang diharapkan.

2. Peneliti selanjutnya : Mengidentipikasi factor-faktor yang lain seperti paritas, sosial, ekonomi,

sikap, status kesehatan, pengalaman dan sebagainya. Selain itu, diharapkan juga dapat

melakukan penelitian dengan pendekatan kualitatif sehingga pengumpulan datanya secara

wawancara mendalam.

DAFTAR PUSTAKA

1. BPS (Badan Pusat Statistik). 2016. Profil Penduduk Indonesia Hasil Supas 2015. Jakarta:

Badan Pusat Statistik

2. Proverawati, A. 2010. Panduan Memilih Kontrasepsi. Yogyakarta: Nuha Medika

3. Kemenkes. 2013. Situasi Keluarga Berencana di Indonesia. Jakarta: Kementrian Kesehatan

4. Kemenkes. 2019. Profil Kesehatan Indonesia 2018. Jakarta: Kementrian Kesehatan

5. Dinkes Kota Palembang. 2019. Profil Puskesmas Kota Palembang Tahun 2018.

Palembang: Dinas Kesehatan Kota Palembang

6. Simbolon, Marlina L. 2017. Faktor-faktor Yang mempengaruhi Akseptor KB Dalam

pemakaian Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) Di Puskesmas Tegal Sari III Medan

Sumatera Utara Tahun 2017 [TESIS]. Medan: Universitas Sumatera Utara

7. Fatimah, D. 2013. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Penggunaan Alat Kontrasepsi

Dalam Rahim (AKDR) Di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo Jakarta

Timur [skripsi]. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah

8. Supriadi. 2017. Faktor Yang Berhubungan Dengan penggunaan Alat Kontrasepsi Pada

Pasangan Usia subur Di Wilayah Kerja Puskesmas Kapasa [skripsi]. Makassar: Universitas

Hasanuddin

9. Musu, Appriana B. 2012. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemakaian

Kontrasepsi Implan Pada Akseptor KB Di Puskesmas Ciomas Kecamatan Ciomas,

Kabupaten Bogor Tahun 2012 [skripsi]. Depok: Universitas Indonesia

10. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Lembaran

Negara RI Tahun 2003. Jakarta

11. Notoatmojo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta

12. Grestasari, Luluk Erdika. 2014. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan, Pengetahuan Dan

Usia Ibu PUS Dengan Pemilihan Jenis Kontrasepsi Di Desa Jetak Kecamatan Sidoharjo

Kabupaten Sragen [skripsi]. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta

13. Lontaan, Anita., Kusmiyati., Robin Dompas. 2014. Faktor-Faktor Yang Berhubungan

Dengan Pemilihan Kontrasepsi Pasangan Usia Subur Di Puskesmas Damau Kabupaten

Talaud. Jurnal Ilmiah Bidan. Vol.2 (1): 27-32

14. Notoatmojo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan Edisi Revisi. Jakarta:

Rineka Cipta

15. Nuraidah. 2011. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemilihan Alat Kontrasepsi

MKET dan Non MKET Pada Akseptor KB Di Kelurahan Pasir Putih Dan Bungo Timur

Kecamatan Muara Bungo Kabupaten Bungo Jambi Periode 1999/ 2000 [TESIS]. Jakarta:

Universitas Indonesia

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 237

16. Hartini, Lia. 2019. Hubungan Pendidikan Dan Pekerjaan Ibu Dengan Pemakaian Alat

Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR). Jurnal Kesmas Asclepius (JKA). Vol.1 (2): 126-135

17. Megawati, Tobing., kolibu Febi., Rumayar Adisty. 2015. Hubungan Antara Faktor-Faktor

Yang Mempengaruhi Penggunaan KB Dengan Pengetahuan Tentang KB Di Wilayah Kerja

Puskesmas Kapitu Kecamatan Amurang Barat. Jurnal Ilmiah Farmasi. Vol.4 (4): 312-319

18. Asih, Leli dan Hadriah Oesman. 2009. Analisa Lanjut SDKI 2007: Faktor-faktor Yang

Mempengaruhi Pemakaian Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP). Jakarta: BKKBN

19. Notoatmojo, Soekidjo. 2003. Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta

20. Ahmad, S., Esther Hutagaol dan Reginus Malara. 2014. Hubungan Pengetahuan Ibu Usia

Remaja Dan Dewasa Muda Tentang KB Dengan Penggunaan Alat Kontrasepsi Setelah

Melahirkan Di Puskesmas Mabapura Kabupaten Halmahera Timur. Jurnal Keperawatan.

Vol.2(2): 1-7

21. Syukaisih. 2015. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemilihan Kontrasepsi Di

Puskesmas Rambah Samo Kabupaten Rokan Hulu. Jurnal Kesehatan Komunitas. Vol.3 (1):

34-40

22. BKKBN. 2010. Pedoman Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Dasar, Rumah Sakit

Pemerintah Swasta Dan LSM Dalam Pelayanan KB Tahun 2010-2014. Jakarta: BKKBN

Hartanto, Hanafi. 2003. Keluarga Berencana dan Kontrasepsi. Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 238

PEMBERIAN MAKANAN TAMBAHAN PEMULIHAN (PMT-P) PADA BALITA

GIZI KURANG DITINJAU DARI TEORI PERILAKU TERENCANA (TPB)

Ersa Yolanda¹, Fatmalina Febry² ¹Prodi Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya

²Prodi Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya

Jl. Palembang Prabumulih KM.32 Indralaya, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan

Corresponding email : [email protected]

PROVIDING ADDITIONAL FOOD RECOVERY IN UNDERNUTRITION CHILDREN

UNDER FIVE REVIEWED FROM THEORY OF PLANNED BEHAVIOR (TPB)

ABSTRACT

Undernutrition is a health problem in toddlers caused by a deficiency or imbalance of nutrients the body

needs. Riskesdas data shows that there is almost no decrease in the prevalence of malnourished children

under five in Indonesia from year to year. Providing additional food recovery (PMT-P) is one of the

government programs to address undernutrition in children under five. The purpose of this research is how

to provide additional recovery food (PMT-P) for undernutrition children under five reviewed from the

theory of planned behavior (TPB). This study was an observational analytic survey with a cross sectional

design. Data were analyzed and performed univariate and bivariate analysis. Samples were women who

had malnourished children under five and received 127 PMT-P biscuits. The results showed that there was

a relationship between attitudes, subjective norms and perceived behavioral control with the mother's

intention to provide additional recovery food (PMT-P). The intention of the mother in giving additional food

to toddlers can be formed from positive maternal attitudes, supportive subjective norms and perceptions of

good maternal behavior control.

Keyword : Providing additional food recovery (PMT-P), undernutrion children under five. Theory of

Planned Behavior (TPB)

ABSTRAK

Gizi kurang merupakan gangguan kesehatan yang dialami balita yang disebabkan kekurangan atau tidak

seimbangnya zat gizi yang diperlukan tubuh. Data Riskesdas menunjukan bahwa hampir tidak ada

penurunan prevalensi balita gizi kurang di Indonesia dari tahun ke tahun. Pemberian Makanan Tambahan

Pemulihan (PMT-P) merupakan salah satu program pemerintah untuk mengatasi masalah gizi kurang pada

balita. Tujuan penelitian ini bagaimana Pemberian PMT-P pada balita gizi kurang dilihat dari Teori Perilaku

Terencana (TPB). Penelitian ini adalah survey analitik observasional menggunakan desain cross sectional.

Data penelitian diolah dan dilakukan analisis univariat dan bivariat. Sampel adalah ibu yang mempunyai

balita gizi kurang dan menerima biskuit PMTP sebanyak 127 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

ada hubungan antara sikap, norma subjektif dan persepsi control perilaku dengan niat ibu dalam pemberian

makanan tambahan pemulihan (PMT-P). Niat ibu dalam pemberian makanan tambahan pada balita dapat

terbentuk dari sikap ibu yang positif, norma subjektif yang mendukung dan persepsi kontrol perilaku ibu

yang baik.

Kata Kunci : Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan (PMT-P), balita gizi kurang, Teori Perilaku

Terencana

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 239

PENDAHULUAN

Balita memiliki resiko tinggi terjadi masalah gizi, karena pada usia ini proses

perkembangan anak sangat pesat sehingga membutuhkan asupan gizi untuk memenuhi

kebutuhannya1,2

. Kekurangan zat gizi yang tidak mencukupi baik kuantitas maupun kualitas dapat

menyebabkan anak kurang gizi dan mempunyai dampak yang sangat luas yaitu menyebabkan

kesakitan dan kematian, terganggunya aspek psikososial dan perkembangan intelektual sehingga

dapat mempengaruhi kecerdasan anak dan berdampak pada pembentukan kualitas sumber daya

manusia di masa mendatang3,4

.

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), Indonesia masih memiliki masalah

gizi kurang pada balita. Prevalensi balita gizi kurang pada tahun 2007 yaitu 13,0%, pada tahun

2010 prevalensi balita gizi kurang tetap pada angka 13,0%, kemudian naik menjadi 13,9% pada

tahun 2013 dan pada tahun 2018 prevalensi balita gizi kurang yaitu 13,8%. Hal ini menunjukkah

bahwa hampir tidak adanya penurunan prevalensi balita gizi kurang di Indonesia. Prevalensi balita

gizi kurang di provinsi Sumatera Selatan pada tahun 2016 yaitu 9,3%, tahun 2017 meningkat

menjadi 10,2% dan tahun 2018 yaitu 12,3% 5,6,7,8

. Hal ini menunjukan prevalensi balita gizi

kurang di provinsi Sumatera Selatan terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, angka

tersebut juga melebihi ambang batas suatu wilayah dengan kategori baik menurut WHO yaitu ≤

10%.

Salah satu kabupaten yang memiliki prevalensi gizi kurang di Provinsi Sumatera Selatan

yaitu Kabupaten Lahat dengan prevalensi 12,1%, angka tersebut mendekati angka prevalensi gizi

kurang di Provinsi Sumatera Selatan, hal ini juga menunjukan bahwa Kabupetan Lahat juga

memiliki prevalensi gizi kurang yang melebihi ambang batas suatu wilayah dengan kategori baik

menurut WHO9.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk masalah gizi kurang pada balita adalah dengan

pemberian makanan tambahan (PMT). Kementerian Kesehatan Republik Indonesia di tahun 2011

melaksanakan kegiatan pemberian PMT Pemulihan dan PMT Penyuluhan di setiap puskesmas

untuk balita 6 - 59 bulan. PMT-P kemasan adalah biskuit dengan kandungan 10 vitamin dan 7

mineral. Biskuit ini diberikan pada balita selama 90 hari berturut-turut dan dikonsumsi sekali

setiap hari10

.

Theory of Planned Behavior (teori perilaku terencana) menjelaskan karena niat untuk

berperilaku maka muncul perilaku seseorang. Perilaku spesifik lebih ditekankan daripada perilaku

secara umum. Tiga hal yang dapat memprediksi niat seseorang dalam berperilaku yaitu sikap

terhadap perilaku (attitude toward the behavior) yang merupakan penilaian positif atau negatif

terhadap perilaku tertentu, norma subyektif (subjective norm) adalah kepercayaan terhadap orang

lain untuk mendukung atau tidak mendukung suatu perilaku tertentu sesuai dengan tuntutan, dan

persepsi pengendalian diri (perceived behavioral control) seseorang terhadap kemampuan untuk

menampilkan suatu perilaku tertentu11

. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui Pemberian

Makanan Tambahan Pemulihan (PMT-P) pada balita gizi kurang dilihat dari Teori Perilaku

Terencana (TPB).

METODE

Penelitian survei analitik observasional dengan desain cross sectional. Populasi adalah ibu

balita gizi kurang dan tercatat di tiga puskesmas yang memiliki distribusi tetinggi biskuit PMT di

wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Lahat yaitu Puskesmas Bandar Jaya, Puskesmas Pagar

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 240

Agung dan Puskesmas Perumnas. Sampel penelitian ini berjumlah 127 responden. Teknik sampel

yang digunakan adalah purposive sampling. Variabel Independen dan variabel dependen diukur

menggunakan kuesioner. Analisa data yang dilakukan adalah univariat dan bivariat. Analisis

dilakukan dengan uji statistik menggunakan uji Chi Square.

HASIL PENELITIAN

Hasil Univariat

Distribusi frekuensi karakteristik responden dan variabel sikap, norma subjektif, persepsi

pengendalian diri dan niat ibu dalam pemberian makanan tambahan pemulihan dapat dilihat pada

tabel berikut:

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Umur Ibu Balita, Umur Balita dam Jenis Kelamin

Balita Gizi Kurang

Variabel Frekuensi Persentase

Umur Ibu

< 30 th 52 40,9

≥ 30 th 75 59,1

Umur Balita

6-11 bulan 20 15,7

12-59 bulan 107 84,3

Jenis kelamin Balita

Laki-laki 65 51,2

Perempuan 62 48,8

Sikap

Positif 87 68,5

Negatif 40 31,5

Norma Subjektif

Mendukung 30 23,6

Kurang mendukung 97 76,4

Persepsi Pengendalian Diri

Baik

Kurang baik

99

28

78,0

22,0

Niat

Kuat

Lemah

45

82

35,4

64,6

Berdasarkan Tabel 1 di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar ibu berusia diatas 30 tahun

yaitu 59,1%, sebagian besar anak berusia 12-59 bulan sebanyak 84,3% dengan jenis kelamin

terbanyak yaitu laki-laki 51,2%. Sebagian besar ibu memiliki sikap positif sebesar 68,5%, variabel

norma subjektif ibu kurang mendukung sebanyak 76,4 % sedangkan persepsi pengendalian diri ibu

yaitu perilaku ibu yang baik sebanyak 78,0%. Dari hasil penelitian didapat data bahwa sebagian

besar ibu mempunyai niat lemah dalam pemberian makanan tambahan pemulihan sebesar 64,6%.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 241

Analisis Bivariat

Berdasarkan distribusi data variabel sikap ibu, norma subjektif dan persepsi pengendalian diri

ibu sebagai variabel independen dengan niat ibu dalam pemberian makanan tambahan pemulihan

pada balita diperoleh tabulasi yang ditunjukkan dalam tabel berikut ini :

Tabel 2.Analisis Sikap, Norma Subjektif dan Persepsi Pengendalian Diri dengan Niat Ibu

dalam Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan Balita Gizi Kurang

Berdasarkan Tabel 2 di atas dapat diketahui bahwa proporsi ibu dengan sikap yang positif

dan memiliki niat kuat sebesar 46,0% sedangkan ibu dengan sikap yang negatif dan memiliki niat

kuat sebesar 12,5%. Hasil uji statistik didapat p-value < 0,05 (0,001) dengan kesimpulan tedapat

hubungan yang signifikan antara variabel sikap dan niat memberikan PMT-P pada balita gizi

kurang, proporsi ibu dengan norma subjektif mendukung yang memiliki niat kuat sebesar 80,0%

sedangkan ibu dengan norma subjektif kurang mendukung yang memiliki niat kuat sebesar

21,6%. Hasil uji statistik didapat p-value < 0,05 (<0,0001) dengan kesimpulan terdapat hubungan

signifikan antara norma subjektif dan niat memberikan PMT-P pada balita gizi kurang dan

proporsi persepsi pengendalian diri ibu yang baik dan melakukan niat kuat sebesar 40,4%

sedangkan persepsi pengendalian diri ibu yang kurang baik dan melakukan niat kuat sebesar

17,9%. Hasil uji statistik didapat p-value < 0,05 (0,048) dengan kesimpulan terdapat hubungan

yang signifikan antara variabel persepsi pengendalian diri ibu dengan niat memberikan PMT-P

pada balita gizi kurang.

PEMBAHASAN

Hubungan antara Sikap dengan Niat Ibu dalam Memberikan PMT-P

Berdasarkan model teori perilaku terencana, sikap sangat mempengaruhi niat ibu dalam

memberikan PMT-P pada balita gizi kurang. Sikap merupakan hasil dari akibat suatu perilaku

yang dilakukan atau tidak dilakukan pada tindakan tertentu12

. Dalam penelitian ini sikap ibu

dapat dilihat dari penilaian positif dan negatif ibu terhadap pemberian biskuit makanan tambahan

pada balitanya serta keyakinan ibu mengenai konsekuensi dari tindakan tersebut dengan berbagai

manfaat dan kerugian yang mungkin diperoleh setelah balitanya diberikan biskuit makanan

Variabel Niat

Kuat Lemah P-value PR (95% CI)

Sikap n % n % 3,678

Positif 40 46 47 54 0,001 (1,571-8,614)

Negatif 5 12,5 35 87,5

Norma Subjektif

Mendukung 24 80 6 20 <0,0001 3,695

Kurang Mendukung

21 21,6 76 78,4 (2,431-5,617)

Persepsi

Pengendalian

Diri

Baik 40 40,4 59 59 0,048 2,263

Kurang Baik 5 17,9 23 82,1 (0,987-5,187)

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 242

tambahan. Sikap terhadap perilaku memiliki pengaruh yang nyata dan merupakan faktor yang

paling besar berpengaruh pada niat seseorang13,14

.

Biskuit PMT Pemulihan mempunyai kandungan minimal 160 kalori, 3,2-4,8 gram

protein, dan 4-7,2 gram lemak untuk setiap 40 gram biskuit. Sasaran utama pemberian makanan

tambahan adalah balita kurus usia 6-59 bulan selama 90 hari15. PMT Pemulihan bertujuan

memenuhi kebutuhan energi dan protein balita gizi kurang sehingga jika diberikan secara tepat

maka dapat meningkatkan status gizi menjadi lebih baik16. Penyataan tersebut di setujui oleh

semua responden pada penelitian ini, mereka menilai bahwa biskuit makanan tambahan yang

diberikan pada balita bermanfaat pada status gizi anak.

Adanya hubungan sikap dan niat dalam memberikan PMT-P pada balita gizi kurang

terjadi karena ibu yang menganggap biskuit makanan tambahan mempunyai manfaat bagi

balitanya maka ibu tesebut akan memberikan respon positif sehingga mebentuk niat yang kuat

untuk memberikan biskuit makanan tambahan untuk balitanya dengan keinginan adanya

perubahan status gizi buruk menjadi status gizi baik, sebaliknya ibu yang menganggap biskuit

makanan tambahan tidak mempunyai manfaat bagi balitanya maka ibu tersebut akan memberikan

respon negatif sehingga niat ibu untuk memberikan biskuit makanan pada anaknya juga lemah.

Hubungan antara Norma Subjektif dengan Niat Ibu dalam Memberikan PMT-P

Norma subyektif (subjective norm) merupakan perilaku yang dilakukan atau tidak

dilakukan karena persepsi tekanan dari lingkungan. Subjective norm adalah kombinasi

kepercayaan seseorang mengenai setuju dan atau tidak setuju terhadap suatu perilaku (normative

beliefs)17

. PMT-Pemulihan dalam bentuk biskuit pabrikan yang diberikan pada balita untuk

memenuhi kebutuhan gizinya. Namun dari penelitian ini masih banyak ditemukan ibu balita yang

tidak memberikan makanan lainnya lagi setelah balita diberikan biskuit PMT-P karena

menganggap balita sudah kenyang setelah mengkonsumsi biskuit tersebut.

Salah satu kendala yang dihadapi dalam pemberian biskuit PMT-P pada balita adalah

rendahnya kesadaran ibu akan pentingnya mengkonsumsi makanan utama sehat dan gizi oleh

balita gizi kurang (biskuit PMT-P dijadikan sebagai makanan utama), sehingga menyebabkan

tidak ada kenaikan berat badan balita gizi kurang meskipun telah mengkonsumsi biskuit PMT-

Pemulihan. Dalam pemberian biskuit PMT-Pemulihan, biskuit tersebut seharusnya hanya

dikonsumsi oleh balita gizi kurang sebagai tambahan makanan sehari-hari bukan sebagai

makanan pengganti makanan utama18

. Untuk mendukung efektifitas biskuit PMT-P kepada balita

gizi kurang, maka peran ibu sangat penting dalam memberikan berbagai makanan yang beragam

untuk meningkatan status gizi balita. Karena sebagian besar ibu balita masih memberikan biskuit

PMT-P tersebut untuk dikonsumsi oleh anggota keluarga lainnya, sedangkan menurut petunjuk

teknis PMT-Pemulihan balita, setiap biskuit makanan tambahan yang diberikan harus dihabiskan

oleh balita gizi kurang yang menerima biksuit PMT-P19

.

Hasil penelitian ini menunjukan adanya hubungan antara norma subjetif dengan niat ibu

dalam memberikan PMT-P pada balita gizi. Hal ini terjadi karena ibu dengan normative beliefs

yang tinggi mempunyai kesadaran yang tinggi dalam memberikan biskuit makanan tambahan

pada balitanya dan norma subjektif ibu terbentuk dari lingkungan sosial yang mendukung

sehingga memotivasi ibu untuk memberikan biskuit makanan tambahan pada balita.

Hubungan antara Persepsi Pengendalian Diri dengan Niat Ibu dalam Memberikan PMT-P

Persepsi pengendalian diri merupakan fungsi berdasarkan control dari beliefs yaitu belief

seseorang tentang faktor pendukung atau penghambat dalam berprilaku. Kontrol terhadap prilaku

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 243

akan dirasakan lebih besar apabila seseorang merasakan adanya faktor pendukung yang lebih

banyak dibandingkan faktor penghambat, begitu juga sebaliknya11

. Hasil penelitian ini

menunjukan ada hubungan yang signifikan antara variabel persepsi pengendalian diri ibu dengan

niat ibu memberikan PMT-P pada balita gizi kurang. Penelitian ini sejalan dengan penelitian

Ariwati, dkk yaitu terdapat hubungan persepsi kontrol perilaku ibu dengan niat dalam pemberian

ASI ekslusif pada bayi 6-12 bulan di Kabupaten Kelaten20

. Menurut Ajzen (2012) persepsi

pengendalian diri merupakan keyakinan individu terhadap factor yang mendukung dan

menghambat suatu tindakan. Persepi pengendalian diri ditentukan oleh pandangan seseorang

apakah sulit atau tidak dalam melakukan suatu tindakan tertentu21

.

Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa Anggota keluarga lain yang ikut

mengkonsumsi biskuit makanan tambahan menjadi hambatan sebagian besar dari ibu balita yang

menjadi responden penelitian, sedangkan anak yang menyukai rasa biskuit PMT-Pemulihan

menjadi hal yang mempermudah ibu dalam memberikan biskuit PMT-P pada balitanya. Namun

ternyata tidak semua balita menyukai biscuit PMT-P, berdasarkan hasil penelitian Putri dan

Mahmudiono, 2020 bahwa sebanyak 73,7% balita tidak menghabiskan biscuit PMT-P yang

diberikan dengan alasan balita kurang menyukai rasa biscuit PMT-P yang diberikan karena

membuat enek dan sebagian lain menjawab balita bosan mengonsumsi PMT yang diberikan22

.

Adanya hubungan antara persepsi kontrol perilaku ibu dalam memberikan PMT-P

dikarenakan persepsi pengendalian diri ibu mempunyai implikasi motivasional terhadap niat. Ibu-

ibu balita yang percaya mereka tidak mempunyai kemudahan atau memiliki hambatan untuk

memberikan biskuit makanan tambahan akan berpeluang untuk tidak akan membentuk niat yang

kuat untuk melakukannya meskipun ibu-ibu balita tersebut mempunyai sikap yang positif

terhadap pemberian biskuit makanan tambahan untuk balitanya.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan dari penelitian ini adalah niat ibu dalam pemberian biskuit makanan

tambahan dapat terbentuk dari sikap ibu yang postif, norma subjektif yang mendukung dan

persepsi pengendalian diri ibu yang baik dalam pemberian biskuit makanan tambahan pemulihan

pada balitanya.

Sarannya adalah meningkatkan edukasi pada ibu balita oleh puskesmas melalui

penyuluhan terkait prosedur pemberian biskuit makanan tambahan sesuai dengan yang

dianjurkan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Patel, A., Badhoniya, N., Khadse, S., Senarath, U., Agho, K.E. and Dibley, M.J.

2006. Infant and Young Child Feeding Indicators and Deter-minants of Poor Feeding

Practices in India: Secondary Data Analysis of National Family Health Survey 2005–

06. Food and Nutrition Bulletin, 31(2)

2. Wong , D. L et al. (2010).Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Volume 1. Edisi 6. Jakarta:

EGC

3. Skalicky, A., Meyers, A.F., Adams, W.G., Yang, Z., Cook, J.T. and Frank, D.A.

2006. Child Food Insecurity and Iron De! ciency Anemia in Low-Income Infants and

Toddlers in the United States.Maternal and Child Health Journal, 10(2)

4. Blossner M, de Onis M. Malnutrition quantifying the health impact at national

and local levels. Geneva: World Health Organization; 2005.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 244

5. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). (2007). Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan Kementerian RI tahun 2007.

6. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). (2010). Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan Kementerian RI tahun 2010.

7. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). (2013). Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan Kementerian RI tahun 2013.

8. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). (2018). Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan Kementerian RI tahun 2018.

9. Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan. Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan

Tahun 2018. Palembang : Dinkes Prov. Sumsel

10. Kementerian Kesehatan RI. 2011. Panduan Penyelenggaraan Pemberian Makanan

Tambahan Pemulihan Bagi Balita Gizi Kurang. Jakarta

11. Ajzen, I., 1991. Theory of Planned Behavior. Organizational Behavior and Human

Decision Processes, Volume 50, pp. 179-211

12. Ajzen, I. (2005). Attitudes, Personality and Behavior, (2ndedition), Berkshire, UK: Open

University Press-Mc Graw Hill Education

13. Wikamorys, DA., Rochmach, TN. 2017. Aplikasi Theory Of Planned Behavior dalam

Membangkitkan Niat Pasien Untuk melakukan Operasi Katarak. Jurnal Administrasi

Kesehatan Indonesia Volume 5 Nomor 1 Januari - Juni 2017. 32-40

14. Haghighi, M., 2012. An Application of the Theory of Planned behavior (TBP) in

describing Customers‟ Use of Cash Cards in Points of Sale (POS). International Journal

of Learning and Development, 2 (6)

15. Kementerian Kesehatan RI. 2017. Petunjuk Teknis Pemberian Makanan Tambahan

(Balita - Anak Sekolah - Ibu Hamil).

16. Adelasanti, A. N. & Rakhma, L. R. Hubungan Antara Kepatuhan Konsumsi Pemberian

Makanan Tambahan Balita dengan Perubahan Status Gizi Balita di Puskesmas

Pucangsawit Surakarta. J. Dunia Gizi1, 92–100 (2018)

17. Ajzen, I., 2006. Constructing a TPB Questionnaire : Conceptual and Methodological

Considerations. http://www.people.umass.edu

18. Rahma. (2016). Program Pemberian Makanan Tambahan untuk Peningkatan Status Gizi

Ibu Hamil dan Balita di Kecamatan Cilamaya Kulon dan Cilamaya Wetan , Karawang

(Complementary Foods Giving Program to Increase Nutritional Status of Pregnant

Women and Infants in Cilamaya K. Jurnal CARE Jurnal Resolusi Konflik, CSR, dan

Pemberdayaan Juni 2016, Vol. 1 (1): 44-49 ISSN: 2528-0848, 1(1), 44–49.

19. Kementrian Kesehatan RI. 2011. Makanan Sehat Untuk Bayi. Jakarta : Kementrian

Kesehatan RI

20. Ariwati, V. D., Tamtomo, D., & Sulaeman, E. S. (2016). Path Analysis on the

Effectiveness of Exclusive Breastfeeding Advocacy Program on Breastfeeding Practice

using Theory of Planned Behavior. Journal of Health Promotion and Behavior, 01(03),

149–159. https://doi.org/10.26911/thejhpb.2016.01.03.02

21. Ajzen, Icek. (2012). ―The Theory of Planned Behavior. In P. A. M. Lange, A. W.

Kruglanski & E. T.Higgins (Eds.)‖. Handbook of Theories of Social psychology(Vol. 1,

pp. 438-459). London, UK: Sage

22. Putri, ASR,. Mahmudiono.T., 2020. Efektivitas Pemberian Makanan Tambahan (PMT)

Pemulihan Pada Status Gizi Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Simomulyo, Surabaya

Amerta Nutr (2020).58-64

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 245

PROFIL TAHAPAN ANEMIA DEFISIENSI BESI PADA ANAK SEKOLAH

DASAR

DI DAERAH PEDESAAN: STUDI CROSS SECTIONAL DI KECAMATAN

TUAH NEGERI KABUPATEN MUSI RAWAS

Rostika Flora1*

, Mohammad Zulkarnain2, Nur Alam Fajar

1, Achmad Fickry Faisa

3, Indah

Yuliana4, Nurlaili

5, Ikhsan

5, Samwilson Slamet

5, Risnawati Tanjung

6, Aguscik

7

1Prodi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sriwijaya

2Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran,Universitas Sriwijaya

3Prodi Ilmu Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sriwijaya

4Prodi Ilmu Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sriwijaya

5Prodi D-III Keperawatan, Fakultas Matematika& Ilmu Pengetahuan Alam,Universitas Bengkulu

6Prodi Kesehatan Lingkungan, Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan, Medan

7Prodi Keperawatan, Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan, Palembang

Jl. Palembang Prabumulih Km.32 Inderalaya Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan

*Corresponding email : [email protected]

PROFILE STAGES OF IRON DEFICIENCY ANEMIA IN ELEMENTARY SCHOOL

CHILDREN IN RURAL AREA: A CROSS SECTIONAL STUDY IN SUB DISTRICT

TUAH NEGERI, DISTRICT MUSI RAWAS

ABSTRACT

Background: Elementary school children are considered vulnerable group to have iron deficiency anemia,

because of the high needs for iron during their growing period. Insufficient iron consumption and low iron

absorption are the main causes of iron deficiency anemia. This condition is more common in rural areas.

Rural areas are commonly related to the limited availability of health facilities and food. This study aims to

determine the profile of the stages of iron deficiency anemia in elementary school children in rural areas in

Kecamatan Tuah Negeri. Methods: The study design was cross sectional, with samples of 7-12 years old

elementary school children in Kecamatan Tuah Negeri. The total sample is 91 children that were taken

randomly. Hb levels, Fe serum levels, TIBC levels and transferrin saturation were examined, while the

characteristic data from the samples were obtained through a questionnaire. The stages of iron deficiency

anemia are classified into 3 stages. After that, the obtained data were analyzed with univariate analysis.

Results: the results of the hematological examination showed that most of the children had low Hb levels

(52.7%), 48.3% had Fe serum level <40 µg / dL and 27.5% had TIBC levels > 390 µg / dL and 28.6% had

transferrin saturation <10%. Based on the stages of deficiency anemia, it was found that 15.4% of children

had anemia without iron deficiency, 33% of children had iron deficiency, 37.4% of children had iron

deficiency anemia and only 14.3% of children were normal. Conclusion: iron deficiency and low levels of

Hb increase the incidence of iron deficiency anemia in elementary school children in Tuah Negeri, Musi

Rawas Regency.

Keywords: iron, iron deficiency anemia, elementary school children

ABSTRAK

Latar belakang: Anak sekolah dasar dianggap sebagai kelompok yang rentan mengalami anemia defisiensi

besi, karena tingginya kebutuhan zat besi pada masa pertumbuhan. Konsumsi zat besi yang tidak cukup dan

absorbsi zat besi yang rendah menjadi penyebab utama anemia defisiensi besi. Kondisi ini lebih sering

terjadi di daerah pedesaan. Wilayah pedesaan berkaitan dengan terbatasnya ketersediaan fasilitas kesehatan

maupun ketersediaan pangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil tahapan anemia defisiensi besi

pada anak sekolah dasar di daerah pedesaan, Kecamatan Tuah Negeri. Metode: Desain penelitian ini adalah

cross sectional, dengan sampel anak Sekolah Dasar di Kecamatan Tuah Negeri berusia 7-12 tahun. Sampel

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 246

berjumlah 91 orang yang diambil secara random. Dilakukan pemeriksaan kadar Hb, kadar Fe serum dan

kadar TIBC serta saturasi transferin, sedangkan data karakteristik sampel diperoleh melalui kuesioner.

Tahapan anemia defisiensi besi dikelompokkan menjadi 3 tahapan. Selanjutnya data yang diperoleh

dianalisis secra univariate. Hasil: hasil pemeriksaan hematologi menunjukkan bahwa, sebagian besar anak

mempunyai kadar Hb yang rendah (52.7%), 48.3% anak mempunyai kadar Fe serum < 40 µg/dL dan 27.5%

anak mempunyai kadar TIBC >390 µg/dL serta 28,6% anak mempunyai saturasi transferin < 10%.

Berdasarkan tahapan anemia defisiensi diperoleh bahwa 15.4% anak mengalami anemia tanpa disertai

defisiensi zat besi, 33% anak mengalami defisiensi besi, 37,4% anak mengalami anemia defisiensi besi dan

hanya 14.3% anak yang normal. Kesimpulan: defisiensi besi dan rendahnya kadar Hb meningkatkan angka

kejadian anemia defisiensi besi pada anak sekolah dasar di kecamatan Tuah Negeri Kabupaten Musi Rawas.

Kata Kunci: zat besi, anemia defisiensi besi, anak sekolah dasar

PENDAHULUAN

Anemia defisiensi besi merupakan masalah kesehatan yang umum terjadi di negara

berkembang. Anemia defisiensi besi terjadi Anemia defisiensi besi terjadi karena terbatasnya

persediaan zat besi untuk pembentukan eritrosis yang berdampak terhadap penurunan kadar

hemoglobin. Anak sekolah dasar dianggap sebagai kelompok yang rentan mengalami anemia

defisiensi besi dikarenakan tingginya kebutuhan zat besi pada masa pertumbuhan.1 Menurut WHO

(2008), 48% anak usia 5-14 tahun di negara berkembang mengalami anemia.2 Sementara data

Riskesdas (2013) menyebutkan, prevalensi anemia defisiensi besi di Indonesia pada anak kelompok

usia 5-12 tahun sebesar 29%. Prevalensi ini lebih tinggi dibandingkan prevalensi pada kelompok

balita (28,1%) dan wanita usia subur(23,9%).3

Prevalensi anemia yang tinggi pada anak sekolah akan berdampak terhadap penurunan

konsentrasi,prestasi belajar dan kebugaran jasmani. Defisiensi zat besi baik yang disertai dengan

adanya anemia ataupun tanpa disertai anemia, akan berpengaruh terhadap perkembangan kognitif

anak. Zat besi merupakan salah satu mikronutrien penting yang berperan terhadap proses

perkembangan otak, yaitu pada proses mielinisasi, metabolisme neuron, dan proses di

neurotransmitter. 4

Oleh karena itu, defisiensi zat besi akan mengakibatkan penurunan sitokrom

dalam mitokondria yang akan mengakibatkan gangguan pertumbuhan, bahkan abnormalitas

pertumbuhan termasuk di dalamnya adalah kecerdasan intelektual.5 Beberapa penelitian

menyebutkan, anemia defisensi besi mengakibatkan gangguan pada fungsi kognitif yang berkaitan

dengan rendahnya konsentrasi dan pemahaman konsep pada anak.6,7,8

Kurangnya konsumsi zat besi, dan rendahnya absorbsi zat besi serta pola makan yang

sebagian besar terdiri dari nasi dengan menu yang tidak bervariasi menjadi penyebab utama anemia

defisiensi besi pada anak. Kondisi ini lebih sering terjadi di daerah pedesaan. Menurut Hu et al

(2014) wilayah perkotaan dan perdesaan berpengaruh terhadap suatu masalah gizi melalui

mekanisme yang berhubungan dengan ketersediaan fasilitas kesehatan maupun ketersediaan

makanan.9

Kabupaten Musi Rawas merupakan salah satu Kabupaten di Propinsi Sumatera Selatan.

Angka gizi buruk (42 anak, tahun 2016) di Kabupaten ini masih cukup tinggi.10

Gizi buruk erat

kaitannya dengan kejadian anemia defisiensi besi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil

anemia defisiensi besi pada anak sekolah dasar di daerah pedesaan di Kabupaten Musi Rawas,

yaitu Kecamatan Tuah Negeri.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 247

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional yang dilakukan terhadap anak sekolah

dasar di Kecamatan Tuah Negeri. Sampel berjumlah 91 orang yang merupakan anak sekolah dasar

usia 7-13 tahun yang diambil secara random. Dilakukan pengambilan darah di vena cubitii untuk

pemeriksaan kadar Hb, kadar Fe serum dan kadar TIBC. Data saturasi transferin diperoleh dengan

menggunakan rumus: (kadar Fe serum / TIBC) x 100%, sedangkan data karakteristik sampel

diperoleh melalui kuesioner. Penentuan anemia defisiensi besi berdasarkan hasil pemeriksaan

kadar Hb, kadar Fe serum dan kadar TIBC serta saturasi transferin. Kadar Hb dikategorikan

menjadi 2 yaitu normal ≥ 12 gr/dL dan anemia < 12 gr/dL; kadar Fe serum kategorikan menjadi 3

yaitu Tahap 1 (normal), Tahap II (<60 µg/dL), Tahap III (<40 µg/dL); kadar TIBC dikategorkan

menjadi 3 yaitu Tahap I (360-390 µg/dL), Tahap II (>390 µg/dL), Tahap III (> 410 µg/dL);

saturasi transferin dikategorikan menjadi III yaitu Tahap 1 (20-30%), Tahap II (<15%), Tahap III

(<10%). Tahapan anemia defisiensi besi dikategorikan menjadi Tahap 1 (normal); Tahap II

(defisiensi besi) dan Tahap III (anemia defisiensi besi). Selanjutnya data yang diperoleh diolah dan

dipresentasikan dalam bentuk distribusi frekuensi. Penelitian ini telah mendapat persetujuan etik

dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan FKM Unsri dengan No. 150/UN9.1.10/KKE/2020.

HASIL

Berdasarkan data karakteristik anak (Tabel 1) didapatkan bahwa, sebagian besar anak

berusia > 9 – 12 tahun dan berjenis kelamin perempuan (59.3%). Data karakteristik orang tua

diperoleh sebagian besar ibu (67%) dan ayah (70%) berpendidikan rendah, 42.9% ibu bekerja,

93.4% ayah bekerja dan 86.8% mempunyai status ekonomi rendah.

Tabel 1. Karakteristik Anak Sekolah Dasar di Kecamatan Tuah Negeri

Berdasarkan hasil pemeriksaan hematologi (Tabel 2) didapatkan bahwa, sebagian besar

anak mempunyai kadar Hb rendah (52.7%), 48.3% anak mempunyai kadar Fe serum < 40 µg/dL

dan 27.5% anak mempunyai kadar TIBC >390 µg/dL serta 28,6% anak mempunyai saturasi

transferin < 10%.

Distribusi Frekuensi n %

1. Usia

a. 7 – 9 tahun

b. > 9 – 12 tahun

40

51

43.9

56.1

2. Jenis Kelamin

a. Laki- Laki

b. Perempuan

37

54

40.7

59.3

3. Pendidikan Ibu

a. Rendah

b. Tinggi

61

30

67.0

33.0

4. Pekerjaan Ibu

a. Bekerja (Petani)

b. Tidak bekerja

39

52

42.9

57.1

5. Pendidikan ayah

a. Rendah

b. Tinggi

64

27

70.0

30.0

6. Pekerjaan Ayah

a. Bekerja (Petani)

b. Bukan petani

85

6

93.4

6.6

7. Status Ekonomi

a. Rendah

b. Tinggi

79 12

86.8 13.2

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 248

Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Hematologi Berdasarkan Tahapan Defisiensi Besi

Grafik 1. Profil Anemia Defisiensi Besi Pada Anak Sekolah Dasar

Berdasarkan hasil pemeriksaan hematologi (Tabel 2), diperoleh sebaran tahapan anemia

defisiensi pada anak sekolah dasar (Grafik 1) yaitu 15.4% anak mengalami anemia tanpa disertai

defisiensi zat besi, 33% anak mengalami defisiensi besi, 37,4% anak mengalami anemia defisiensi

besi dan hanya 14.3% anak yang tidak mengalami anemia, defisiensi besi maupun anemia

defisiensi besi.

PEMBAHASAN

Gambaran hasil hematologi (Tabel 2) pada penelitian ini menunjukkan bahwa, sebagian

besar anak mempunyai kadar Hb yang rendah (52.7%). Hal ini menunjukkan sebagian besar anak

mengalami anemia. Menurut WHO (2008), sebagian besar anak sekolah di seluruh dunia

mengalami anemia.2 Di Indonesia prevalensi anemia pada anak sekolah masih menunjukkan angka

yang cukup tinggi. Rendahnya asupan zat besi, masa pertumbuhan dan aktifitas fisik yang tinggi

mengakibatkan anak sekolah rentan terhadap kejadian anemia. Anemia yang paling sering terjadi

pada anak sekolah adalah anemia yang disebabkan oleh defisiensi besi.11

0

10

20

30

40

Anemia Defisiensi besi Anemia Defisiensibesi

Normal

Per

sen

tase

(%

)

Tahapan Defisiensi Besi

Distribusi Frekuensi n %

1. Kadar Hemoglobin

a. Normal b. Rendah

43 48

47.3 52.7

2. Kadar Fe Serum

a. Tahap 1 (Normal)

b.Tahap 2 c. Tahap 3

27

20 44

29.7

22.0 48.3

3. Kadar TIBC

a. Tahap 1 (Normal)

b. Tahap 2 c. Tahap 3

37

19 35

51.6

27.5 20.9

4. 4. Saturasi Transferin

5. a. Tahap 1 (Normal)

6. b. Tahap 2 7. c. Tahap 3

41

24 26

45.0

26.4 28.6

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 249

Hasil pengukuran kadar zat besi pada penelitian ini menunjukkan bahwa, 68,3 % anak

mempunyai kadar Fe serum yang rendah. Rendahnya asupan zat besi dan masalah kemiskinan

terutama di pedesaan menjadi faktor yang berperan terhadap tingginya angka anemia defisiensi

besi.11

Data Riskesdas (2013) menunjukkan menunjukkan anemia defisiensi besi pada anak usia 5-

12 tahun sebesar 29%, dengan prevalensi di pedesaan sebesar 31%.3 Terbatasnya jenis pekerjaan

dan rendahnya pendapatan di pedesaan berpengaruh terhadap tingginya defisiensi besi pada anak.

Data karakteristik anak (Tabel 1) menunjukkan bahwa hampir keseluruhan orang tua bekerja

sebagai petani dan 86.8% orang tua berpenghasilan rendah. Penghasilan berpengaruh terhadap

kemampuan daya beli pangan dari keluarga dalam memenuhi kebutuhan asupan zat gizi keluarga.

Oleh karena itu, rendahnya penghasilan orang tua juga akan bepengaruh terhadap pemenuhan zat

gizi anak, termasuk pemenuhan makanan sumber zat besi. Selain itu asupan zat besi yang rendah

juga dapat dikarenakan pada anak usia sekolah merupakan usia dimana anak sangat aktif bermain

dan mengalami penurunan nafsu makan, sehingga konsumsi makanan dan asupan zat besi menjadi

tidak seimbang dengan kebutuhan zat besi yang diperlukan.12

Menurut World Health Organization

(2008), defisiensi zat besi merupakan salah satu dari sepuluh masalah kesehatan yang paling

serius.2

Adanya defisiensi besi yang disertai dengan penurunan kadar hemoglobin meningkatkan

angka kejadian anemia defisiensi besi pada anak. Hasil penelitian ini menunjukkan sebagian besar

anak mempunyai kadar Hb yang rendah (52.7%), 48.3% anak mempunyai kadar Fe serum < 40

µg/dL dan 27.5% anak mempunyai kadar TIBC >390 µg/dL serta 28,6% anak mempunyai saturasi

transferin < 10%. (Tabel 2). Berdasarkan pengukuran hematologi tersebut, didapatkan 37,4% anak

mengalami anemia defisiensi besi (Grafik 1). Anemia Defisiensi besi adalah anemia yang terjadi

akibat kekurangan zat besi dalam darah, artinya konsentrasi hemoglobin dalam darah berkurang

karena terganggunya pembentukan sel-sel darah merah akibat kurangnya kadar zat besi dalam

darah. Jika simpanan zat besi dalam tubuh seseorang sudah sangat rendah berarti orang tersebut

mendekati anemia walaupun belum ditemukan gejala-gejala fisiologis. Simpanan zat besi yang

sangat rendah lambat laun tidak akan cukup untuk membentuk selsel darah merah di dalam

sumsum tulang sehingga kadar hemoglobin terus menurun di bawah batas normal, keadaan inilah

yang disebut anemia defisiensi besi.13

Prevalensi anemia defisiensi besi pada anak sekolah di Indonesia masih menunjukkan angka

yang cukup tinggi. Data Riskesdas (2013) menyebutkan 29% anak usia sekolah di Indonesia

menglami anemia defisiensi besi dengan prevalensi di pedesaan sebesar 31%.3 Menurut Khumaidi

(1989) tingginya prevalensi anemia defisiensi besi di negara berkembang adalah keadaan sosial

ekonomi yang rendah meliputi pendidikan orang tua dan penghasilan yang rendah serta kesehatan

pribadi di lingkungan yang buruk. Meskipun anemia disebabkan oleh berbagai faktor, namun lebih

dari 50 % kasus anemia yang terbanyak diseluruh dunia secara langsung disebabkan oleh

kurangnya asupan zat besi.14

Kurangnya asupan zat besi dapat menimbulkan gangguan atau

hambatan pada pertumbuhan, baik sel tubuh maupun sel otak, sementara rendahnya kadar Hb dapat

menimbulkan gejala lesu, lemah, letih, lelah dan cepat lupa. Rendahnya kadar Hb akan

menyebabkan transpor oksigen menjadi berkurang dan mengakibatkan produksi energi menjadi

rendah sehingga anak menjadi mudah lelah dan kurang dapat berkonsentrasi.15

Hal ini akan

menurunkan prestasi belajar, kebugaran jasmani, produktifitas kerja serta menurunkan daya tahan

tubuh anak.13

KESIMPULAN

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 250

Defisiensi besi dan rendahnya kadar hemoglobin meningkatkan angka kejadian anemia

defisiensi besi pada anak sekolah dasar di kecamatan Tuah Negeri Kabupaten Musi Rawas

UCAPAN TERIMAKASIH

Peneliti mengucapkan terimakasih atas didanainya penelitian ini dari hibah penelitian

Kementrian Riset dan Teknologi dan Pendidikan Tinggi skim hibah Penelitian Dasar Tahun 2020,

No. Kontrak 0125.07/UN9/SB3.LP2M.PT/2020 dengan Dr. Rostika Flora sebagi Ketua Peneliti.

DAFTAR PUSTAKA

1. Naufal SN, Mulatsih S, Triasih S (Ed). 2005. Anemia Defisiensi Besi: Bioavailibilitas Zat

Besi. Yogyakarta: Medika Fakultas Kedokteran UGM

2. WHO. Worldwide prevalence of anemia 1993 – 2005, WHO global database on anaemia.

Geneva: WHO library cataloguing-in-publication data; 2008

3. Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang Kemenkes RI.

4. McCann JC, Ames BN. An overview of evidence for a causal relation between iron

deficiency during development and deficits in cognitive or behavioral function. Am J Clin

Nutr. 2007 Apr;85(4):931-45.

5. Goudarzi, A & Mehrabi, M.R. & Goodarzi, Kourosh. (2008). The Effect of Iron Deficiency

Anemia on Intelligence Quotient (IQ) in under 17 Years Old Students. Pakistan journal of

biological sciences: PJBS. 11. 1398-400. 10.3923/pjbs.2008.1398.1400.

6. Doom, J.R.; Gunnar, M.R.; Georgieff, M.K.; Kroupina, M.G.; Frenn, K.; Fuglestad, A.J.

Beyond stimulus deprivation: Iron deficiency and cognitive deficits in postinstitutionalized

children. Child Dev. 2014, 85, 1805–1812

7. Carter, R.C.; Jacobson, J.L.; Burden, M.J.; Armony-Sivan, R.; Dodge, N.C.; Angelilli, M.L.;

Lozoff, B.; Jacobson, S.W. Iron deficiency anemia and cognitive function in infancy.

Pediatrics 2010, 126, e427–e434.

8. Geng F, Mai X, Zhan J, Xu L, Zhao Z, Georgieff M, et al. Impact of fetal-neonatal iron

deficiency on recognition memory at 2 months of age. J Pediatr. 2015;167:1226–32.

9. Hu et al, 2014, Disparity of anemia prevalence and associated factors among rural to urban

migrant and the local children under two years old: a population based crosssectional study in

Pinghu, China. BMC Public Health 2014.

10. Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Selatan. Profil Kesehatan Propinsi Sumatera Selatan.

2017. Palembang.

11. Bekele G, Wondimagegn A, Yaregal A, Lealem G. Anemia and Associated Factors Among

School-Age Children in Filtu Town, Somali Region, Southeast Ethiopia. BMC Hematol.

2014;14(7):9511-9528.

12. Notoatmodjo, S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-Prinsip Dasar. PT. Rineka Cipta.

Jakarta.

13. Masrizal. (2007). Anemia defisiensi besi. Jurnal Kesehatan Masyarakat, II(1), 140–145

14. Khumaidi, M., 1989. Gizi Masyarakat. Pusat Antar Universitas Pangan & Gizi IPB, Bogor

15. Sudargo, T, Kusmayanti, N.A dan Hidayanti N.L. 2014. Defisiensi Yodium, Zat Besi, dan

Kecerdasan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 251

ANALISIS FAKTOR RISIKO KEJADIAN KATARAK DI INDONESIA

Bima Andika Persada,

1 Feranita Utama

2

1Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya

2Bagian Epidemiologi dan Biostatistik Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya

Jl. Palembang Prabumulih KM. 32, Indralaya Indah Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan

Corresponding email: [email protected]

RISK FACTOR ANALYSIS OF CATARACTS IN INDONESIA

ABSTRACT

Cataract is one of the main causes of blindness in Indonesia. The results of Basic Health Research showed

an increase in the prevalence of cataracts in Indonesia from 1.3% in 2007 to 1.8% in 2013. The purpose of

this study was to determine the risk factors that affect the incidence of cataracts in Indonesia. This study

analyzed the secondary data of IFLS 2014 with a cross sectional design. The sample in this study was a

sample of all individuals aged > 40 years who were successfully interviewed in the survey and met the

inclusion and exclusion criteria of the study. This study conducted univariate, bivariate and multivariate

analysis. The results showed that there was a significant relationship between gender (p = 0.048), age (p =

<0.001), education (p = 0.008), type of area (p = 0.041), hypertension (p = <0.001), diabetes ( p = <0.001)

and glaucoma (p = <0.001) with the incidence of cataracts, and it can be concluded that the most dominant

risk factor for cataract incidence in Indonesia is glaucoma. To reduce the risk of cataracts, it is advisable to

reduce the use of eye drops, people over 40 years of age should carry out routine eye health checks and for

workers outside the building are advised to use personal protective equipment so that their eyes avoid direct

sun exposure.

Keywords: IFLS, Glaucoma, Cataract

ABSTRAK

Katarak merupakan salah satu penyebab utama kebutaan di Indonesia. Hasil Riset Kesehatan Dasar

menunjukkan peningkatan prevalensi katarak di Indonesia dari 1,3% pada tahun 2007 menjadi 1,8% pada

tahun 2013. Tujuan peneltian ini adalah untuk mengetahui faktor risiko yang mempengaruhi kejadian katarak

di Indonesia. Penelitian ini menganalisis data sekunder IFLS 2014 dengan desain cross sectional. Sampel

dalam penelitian ini adalah sampel seluruh individu usia > 40 tahun yang berhasil diwawancarai dalam

survey, serta memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi penelitian. Penelitian ini melakukan analisis univariat,

bivariat dan multivariat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara jenis

kelamin (p = 0,048 ), umur (p = <0,001), pendidikan (p = 0,008 ), tipe daerah (p = 0,041), hipertensi (p =

<0,001), diabetes (p = <0,001) dan glaukoma (p = <0,001) dengan kejadian katarak, dan dapat disimpulkan

bahwa faktor risiko paling dominan terhadap kejadian katarak di Indonesia adalah glaukoma. Untuk

mengurangi risiko katarak disarankan untuk mengurangi penggunaan tetes mata, masyarakat usia di atas 40

tahun sebaiknya melakukan pemeriksaan kesehatan mata secara rutin dan bagi pekerja di luar gedung

disarankan untuk menggunakan alat pelindung diri agar mata terhindar paparan sinar matahari langsung.

Kata Kunci: IFLS, Glaukoma, Katarak

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 252

PENDAHULUAN

Katarak merupakan suatu keadaan dimana lensa mata mengalami kekeruhan yang dapat

terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa atau diakibatkan oleh

kedua.1 Proses degenerasi terkait usia merupakan penyebab utama penyakit ini.

2 Faktor yang dapat

mempengaruhi kejadian katarak antara lain jenis kelamin, umur, rokok, konsumsi alkohol, paparan

sinar matahari, traumatik, pekerjaan, ekonomi, serta riwayat penyakit sistemik seperti diabetes

mellitus.1,3

Penyakit hipertensi juga merupakan faktor risiko dari penyakit katarak.4 Seiring

bertambahnya usia protein pada lensa mata akan semakin menurun, sehingga usia menjadi

penyebab yang paling sering menyebabkan katarak.5

Satu orang di dunia menderita kebutaan setiap 5 detik, dan WHO memperkirakan terdapat

lebih dari 7 juta orang menjadi buta setiap tahun. Sekitar 0,58% atau 39 juta orang menderita

kebutaan dan 82% dari penyandang kebutaan berusia 50 tahun atau lebih, 51% kebutaan di dunia

disebabkan oleh katarak6 dan angka ini diperkirakan akan meningkat 40 juta pada tahun 2020.

7

Gangguan penglihatan kedua di dunia dengan angka kejadian sebesar 33% juga disebabkan oleh

katarak.8 Penyakit katarak cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dan telah

menyebar ke seluruh dunia. Di Amerika Serikat terdapat 10% orang mengalami katarak.9

Katarak paling di banyak terjadi di negara yang sedang berkembang seperti Asia dan Afrika. Negara

ini 10 kali lebih besar mengalami katarak dibandingkan dengan penduduk di negara maju. Saat ini

beberapa negara seperti di India katarak telah banyak menyerang usia produktif (prevalensi katarak

sebesar 24% pada kelompok 50-60 tahun, dan sebesar 16% berada di kelompok 30-50 tahun), di

Afrika sebesar 23,5% katarak terjadi pada kelompok usia 70 tahun dan 2,4% berada di kelompok

usia 40-49 tahun. Hasil Survei Kesehatan Indra Penglihatan Departemen Kesehatan Indonesia

Tahun 1993-1996, menunjukkan prevalensi katarak 33,4% pada kelompok umur antara 55-64, dan

62,2% pada kelompok umur 65 tahun ke atas. Data Surkesnas menunjukkan prevalensi katarak

1,6% pada umur produktif 40-54 tahun.10

Angka kebutaan di Indonesia menempati urutan pertama di Asia, sedangkan di dunia

Indonesia menempati urutan kedua setelah Ethiopia dengan angka prevalensi di atas 1%.4 WHO

menetapkan batas maksimal angka kebutaan di suatu negara adalah 0,5%. Bila prevalensi kebutaan

di suatu negara menunjukkan angka di atas 1% ini menandakan bahwa terdapat keterlibatan

masalah sosial/lintas sektor.7 Rata-rata angka kebutaan di Indonesia untuk penduduk di atas usia 50

tahun berdasarkan Rapid Assessment of Avoidable Blindness (RAAB) adalah 3%, dengan

penyebab utama katarak. Indonesia juga menempati urutan tertinggi paling banyak penderita

katarak di Asia Tenggara.

Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 dan 2013, menunjukkan peningkatan prevalensi

katarak di Indonesia dari 1,3% pada tahun 2007 menjadi 1,8% pada tahun 2013. Insidensi katarak

diperkirakan sebesar 0,1% per tahun. Penduduk Indonesia cenderungan lebih cepat 15 tahun untuk

menderita katarak bila dibandingkan penduduk di daerah subtropis.11

Permasalahan katakrak perlu

segera di atasi agar tidak berlanjut menjadi peningkatan angka kebutaan, terutama di Indonesia

yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat dan dininy usia awal mengalami katarak. Untuk

itu perlu diteliti faktor risiko kejadian katarak dengan memanfaatkan data sekuder yang ada.

METODE

Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain studi cross sectional menggunakan

data sekunder IFLS tahun 2014. Metode pengambilan sampel dengan multistage random sampling.

Sampel yang digunakan berjumlah 13.806 responden yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 253

Analisis yang dilakukan menggunakan complex sample. Pada analisis bivariat menggunakan uji

chi-square dan analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik berganda.

HASIL PENELITIAN Analisis Univariat

Berdasarkan data dari Indonesia Family Life Survey (IFLS) 2014, didapatkan informasi

mengenai kejadian katarak pada penduduk usia ≥ 40 tahun di Indonesia. Adapun hasil univariat

disajikan dalam tabel 1:

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan

Variabel Penelitian

Variabel Total Responden

n %

Variabel Dependen

Katarak

Ya 629 4,6%

Tidak 13.177 95,4%

Variabel Independen

Usia

>50 tahun 7.406 53,6%

<50 tahun 6.400 46,4%

Jenis Kelamin Perempuan 7.288 52,8%

Laki-Laki 6.518 47,2%

Pendidikan

Rendah 10.161 73,6% Tinggi 3.645 26,4%

Tipe Daerah

Perdesaan 6.650 48,2%

Perkotaan 7.146 51,8%

Status Merokok

Perokok 3.880 40,8

Mantan Perokok 258 2,7

Bukan Perokok 5.364 56,5

Riwayat Diabetes

Diabetes 648 4,7%

Tidak Diabetes 13.158 95,3%

Riwayat Hipertensi Hipertensi 2.995 21,7%

Tidak Hipertensi 10.811 78,3%

Riwayat Glaukoma

Glaukoma 110 0,8% Tidak Glaukoma 13.695 99,2%

Tabel 1 menunjukkan dari 13.806 responden terdapat 4,6% penderita katarak di Indonesia.

Mayoritas responden berada pada > 50 tahun (53,6%), jenis kelamin perempuan (52,8%),

pendidikan tinggi (73,6%), tidak merokok (63,1%), tinggal di kota (51,8%), tidak diabetes (95,3%),

tidak hipertensi (78,3%), dan tidak glaukoma (99,2%).

Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan dengan tujuan untuk melihat hubungan variabel dependen yaitu

katarak dan variabel independen yaitu umur, jenis kelamin, pendidikan, tipe daerah, status

merokok, riwayat diabetes riwayat hipertensi, riwayat glaukoma. Hasil analisis bivariat disajikan

dalam tabel dengan menampilkan nilai p-value, Prevalence Risk (PR), dan Confidence Interval (CI)

dari masing-masing variable pada tabel 2.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 254

Tabel 2. Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Katarak di Indonesia

Variabel

Katarak

p-value PR

(95% CI) Ya Tidak

n % n %

Usia ≥ 40 tahun 505 6,8 6.901 93,2 < 0,001 3,498

< 40 tahun 125 1,9 6.275 98,1 (2,983-4,102)

Jenis Kelamin

Perempuan 362 5 6.926 95 0,001 1,214 Laki-Laki 267 4,1 6.251 95,9 (1,080-1,365)

Pendidikan

Rendah 512 5 9.648 95 < 0,001 1,575

Tinggi 117 3,2 3.528 96,8 (1,336-1,858)

Tipe Daerah

Perdesaan 275 4,1 6.385 95,9 0,018 0,831

Perkotaan 355 5 6.791 95 (0,713-0,969)

Status Merokok

Merokok 216 4,2 4.876 95,8 0,062

0,894

(0,794-1,006) Tidak Merokok 413 4,7 8301 95,3

Riwayat Diabetes

Diabetes 74 11,5 574 88,5 <0,001 2,721 Tidak Diabetes 555 4,2 12.603 95,8 (2,300-3,220)

Riwayat Hipertensi

Hipertensi 219 7,3 2.776 92,7 <0,001 1,932

Tidak Hipertensi 410 3,8 10.401 96,2 (1,715-2,175) Riwayat Glaukoma

Glaukoma 45 40,8 65 59,2 <0,001 9,572

Tidak Glaukoma 584 4,3 13.112 95,7 (7,921-11,569)

Tabel 2 menunjukkan terdapat 6 variabel yang berhubungan (p-value < 0,05) dengan

kejadian katarak yaitu umur, jenis kelamin, pendidikan, tipe daerah, status merokok, diabetes,

hipertensi dan glaukoma.

Analisis Multivariat

Setelah melakukan analisis bivariat, langkah selanjutnya pada tahap analisis multivariat

adalah menganalisis hubungan antara variabel independen terhadap variabel dependen. Analisis

dilakukan menggunakan uji regresi logistik pada complex samples dengan memperhatikan strata,

cluster, dan bobot yang sudah dinormalisasi. Hasil analisis multivariat disajikan dalam tabel 3.

Tabel 3. Hasil Pemodelan Akhir Multivariat (Final Model)

Variabel p-value PRAdjusted

95% CI

Lower Upper

Usia <0,001 3,134 2,644 3,716 Jenis Kelamin 0,048 1,203 1,001 1,446

Pendidikan 0,008 1,277 1,067 1,528

Tipe Daerah 0,041 0,846 0,721 0,993

Status Merokok 0,414 1,080 0,897 1,300 Riwayat Diabetes <0,001 1,884 1,565 2,268

Riwayat Hipertensi <0,001 1,505 1,325 1,709

Riwayat Glaukoma <0,001 11,288 8,160 15,616

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 255

Berdasarkan tabel 3 di atas, dapat diketahui bahwa faktor yang paling dominan adalah

glaukoma. Glaukoma dapat meningkatkan risiko terjadinya katarak di Indonesia sebesar 11,288

kali lebih besar dibandingkan tidak glaukoma (p-value = < 0,001; PRAdjusted = 11,288; 95% CI =

8,160-15,616).

PEMBAHASAN Usia

Hasil penelitian didapatkan bahwa yang mengalami kejadian katarak lebih banyak pada

kelompok usia > 50 tahun (6,8%) daripada yang berusia ≤ 50 tahun (1,9%). Uji statistik

menunjukkan bahwa individu yang berada pada kelompok usia > 50 tahun mempunyai peluang

3,134 kali lebih besar untuk mengalami kejadian katarak dibandingkan dengan individu yang

berusia ≤ 50 tahun setelah dikontrol oleh variabel glaukoma, riwayat diabetes, riwayat hipertensi,

pendidikan, tipe daerah, dan jenis kelamin. Secara teori usia dapat mempengaruhi terjadinya

katarak. Peningkatan usia menyebabkan perubahan dalam fungsi sel, struktur, jaringan, serta sistem

organ.12

Semakin bertambah usia seseorang proses non enzimatik terjadi pada protein lensa,

kerentanan terhadap proses oksidasi juga meningkat seiring dengan perkembangan genetik,

terjadinya perubahan susunan molekul lensa dan meningkatnya penghamburan cahaya. Risiko

kerusakan oksidatif akan meningkat pada usia 40 tahun disebabkan lensa manusia yang terus

bertumbuh dan mempengaruhi inti lensa dalam jangka waktu yang lama. Ini mengakibatkan inti

lensa menjadi lebih kaku dan transparansi lensa berkurang sehingga mengalami kesulitan dalam

kemampuan akomodasi mata dan memperberat dalam pembentukan katarak.13 Semakin tua usia

seseorang maka semakin besar kemungkinannya untuk terkena katarak. Ukuran lensa akan

bertambah dengan timbulnya serat-serat lensa baru seiring dengan meningkatnya usia, sehingga

kebeningan lensa berkurang.14

Jenis Kelamin

Hasil penelitian didapatkan bahwa yang mengalami kejadian katarak lebih banyak pada

perempuan (5%) daripada laki-laki (4,1%). Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa jenis

kelamin adalah salah satu faktor terjadinya katarak dengan PR= 1,141, 95% CI = 1,002-1,533 yang

berarti bahwa perempuan 1,141 kali lebih berisiko mengalami katarak dibandingan laki-laki setelah

dikontrol oleh variabel glaucoma, usia, riwayat diabetes, riwayat hipertensi, pendidikan, dan tipe

daerah. Secara teori perempuan lebih berisiko terkena katarak karena hormon ovarian

meningkatkan katarak yang didinduksi radiasi. Endogen utama estrogen, ẞ-estradiol memiliki

mitogenik dan efek anti-oksidatif pada konsentrasi fisiologis, sedangkan tingkat farmakologi

menginduksi stres oksidatif dan bertindak proapoptosis dalam lensa. Suplemen hormon percobaan

menunjukkan bahwa estrogen bertanggung jawab dalam pembentukan katarak. Tingkat hormon

dan konsentrasi metabolit yang berbeda akan menghasilkan kerentanan yang berbeda dalam

pembentukan katarak. Oleh karena itu, kadar hormon seks dapat dianggap sebagai faktor risiko

kataraktogenesis. Selain itu, albumin dan kadar trigliserida serum pada wanita dan defisiensi

estrogen pascamenopause dapat menjadi faktor yang terkait dengan kecenderungan yang lebih

besar untuk katarak.15

Pendidikan

Hasil penelitian didapatkan bahwa responden yang mengalami katarak mayoritas terjadi

pada responden yang pendidikan tinggi (5%) dibandingkan responden yang pendidikan rendah

(3,2%). Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa pendidikan merupakan faktor risiko dengan

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 256

nilai PR= 1,280, 95% CI= 1,070-1,533 yang berarti bahwa individu dengan pendidikan rendah

lebih berisiko terkena katarak 1,280 kali lebih besar dibandingkan individu dengan pendidikan

tinggi setelah dikontrol oleh variabel glaukoma, usia, riwayat diabetes, riwayat hipertensi, tipe

daerah, dan jenis kelamin. Pendidikan yang rendah pada masyarakat berdampak pada kurangnya

pemahaman dan kesadaran akan penyakit katarak, ditambah lagi dengan tenaga kesehatan yang

kurang dalam memberikan informasi atau penyuluhan tentang katarak. Umumnya masyarakat yang

memiliki pendidikan yang rendah belum memahami secara dini munculnya tanda-tanda penyakit

katarak.16

Salah satu indikator kualitas sumber daya manusia adalah pendidikan, umumnya ini akan

terkait dengan penghasilan seseoarang. Penghasilan yang rendah akan mempengaruhi status nutrisi

seseorang. Pendidikan yang rendah umumnya akan menyebabkan seseorang memiliki pekerjaan

seperti nelayan, buruh dan pedagang jalanan yang kegiatan sehari-harinya terkena dengan sinar

matahari.17

Tipe Daerah

Hasil penelitian didapatkan bahwa responden yang mengalami katarak mayoritas bertempat

tinggal di kota (5%) dibandingkan responden yang tinggal di desa (4,1%). Hasil analisis statistik

multivariat menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara tipe daerah dengan katarak

(PR = 0,847; 95% CI = 0,720-0,994) sehingga dapat disimpulkan bahwa rumah tangga yang tinggal

di perdesaan memiliki risiko 0,847 kali lebih rendah dibandingkan rumah tangga yang tinggal di

perkotaan setelah dikontrol oleh variabel glaucoma, usia, riwayat diabetes, riwayat hipertensi,

pendidikan, dan jenis kelamin. Secara teori tipe daerah bisa menyebabkan katarak karena

disebabkan oleh masyarakat pedesaan lebih banyak terpajan oleh sinar matahari karena mayoritas

masyarakat pedesaan umumnya bekerja sebagai petani, nelayan ataupun buruh. Pekerjaan ini dapat

dikategorikan sebagai pekerjaan di luar rumah sehingga ada pajanan kronis sinar matahari yang

diterima pekerja. Pekerjaan di luar rumah dan adanya pajanan radiasi ultraviolet (UV) B

merupakan faktor yang mempunyai hubungan dengan berkembangnya katarak. Paparan sinar UV

secara akut akan berdampak pada kulit, kornea dan lensa mata. Secara kronis, pajanan UV dengan

tingkat bermakna dan waktu yang berlebihan menyebabkan kulit kehilangan elastisitasnya atau

kulit mengalami penuaan dini dan beririsiko untuk terjadinya kanker kulit dan kekeruhan lensa.10

Peelitian Tana et.al juga memnyebutkan bahwa radiasi sinar ultraviolet dari sinar matahari yang

diperoleh secara terus menerus dapat mengakibatkan terjadinya kekeruhan pada lensa dan

menyebabkan katarak. 18

Tipe daerah menjadi faktor protektif kemungkinan dikarenakan jumlah

penduduk desa yang bekerja di lapangan seperti petani dan nelayan sudah banyak menurun. Badan

Pusat Statistik menyebutkan bahwa jumlah penduduk di Indonesia yang bekerja di sektor pertanian

terus menurun dari 39,22 juta pada tahun 2013 menjadi 38,97 juta pada tahun 2014 dan jumlahnya

kembali turun menjadi 37,75 juta pada tahun 2015. Berkurangnya masyarakat yang bekerja sebagai

petani maka risiko terkena katarak akibat paparan sinar matahari saat bertani pun ikut menurun

sehingga tipe daerah menjadi faktor protektif.

Status Merokok

Hasil penelitian didapatkan bahwa responden yang mengalami katarak mayoritas terjadi

pada responden yang tidak merokok (4,7%) dibandingkan responden yang merokok (4,2%). Risiko

katarak enam kali lebih besar disebabkan karena merokok. Asap rokok merupakan sebagian kecil

dari berbagai jenis polutan dan sumber radikal bebas dalam tubuh. 19

Merokok dapat

mengakibatkan terjadinya penumpukan molekul berpigmen 3 hydroxikhynurine dan chromophores

sehingga menyebabkan terjadinya penguningan warna lensa.20

Merokok dapat menginduksi stress

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 257

oksidatif serta dihubungkan dengan penurunan kadar antioksidan, askorbat dan karotenoid yang

yang akan mempercepat kerusakan protein lensa bila terjadi secara terus menerus.21

Selain itu,

tembakau mengandung logam berat seperti timbal, kadmium, dan tembaga yang menumpuk dalam

lensa menyebabkan kerusakan secara langsung.22

Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara merokok dengan kejadian

katarak. Tidak adanya hubungan yang signifinan antara perilaku merokok dengan kejadian katarak

dicurigai karena karakteristik responden yang berjenis kelamin perempuan lebih banyak

dibandingkan yang berjenis kelamin laki-laki. Selain itu, tidak berhubungannya merokok dengan

katarak kemungkinan karena ada nya perokok yang telah berhenti merokok sehingga mengurangi

risiko katarak. Terdapat 1098 responden yang telah berhenti merokok atau sebanyak 19,3 dari

keseluruhan. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan di Swedia yang menyebutkan bahwa

terdapat penurunan risiko katarak pada seorang pria yang telah berhenti merokok. Karbon

monoksida yang dilepaskan saat pembakaran tembakau dan dihirup sebagai bagian asap rokok

dapat menjadi racun bagi tubuh pada tingkat tinggi. Karbon monoksida dapat terikat baik dengan

sel darah, kandungan tinggi dari zat ini mencegah sel darah mengikat oksigen. Setelah berhenti

merokok, kadar karbon monoksida di dalam tubuh akan menurun sampai pada tingkat normal dan

kadar oksigen di dalam darah kembali ke tingkat normal. Merokok dapat membuat mata memerah,

kering dan tampak lebih keruh. Apabila berhenti merokok maka efek-efek buruk pada mata ini

akan menghilang.

Riwayat Diabetes

Hasil penelitian didapatkan bahwa responden yang mengalami katarak mayoritas terjadi

pada responden yang penderita diabetes (11,5%) dibandingkan responden yang bukan penderita

diabetes (4,2%). Uji statistik menunjukkan terdapat hubungan antara diabetes dengan kejadian

katarak dengan PR = 1,882, 95% CI = 1,563-2,265 yang berarti bahwa penderita diabetes lebih

berisiko 1,5 kali lebih besar mengalami katarak dibandingkan yang bukan penderita diabetes

setelah dikontrol oleh variabel glaucoma, usia, riwayat hipertensi, pendidikan, tipe daerah, dan

jenis kelamin. Peningkatan kadar glukosa di dalam darah berperan penting dalam perkembangan

katarak. Hiperglikemia menyebabkan efek patologi yang dapat terlihat jelas pada jaringan tubuh

yang tidak bergantung langsung pada insulin pada saat selnya dimasuki oleh glukosa, seperti pada

lensa mata dan ginjal,sehingga ketika terjadi peningkatan konsentrasi gula di ekstraseluler, jaringan

ini tidak mampu mengatur transportasi glukosa yang masuk ke dalam sel. Beberapa penelitian

menunjukkan pada penderita diabetes jalur poliol memainkan peran dalam perkembangan katarak.

Di dalam lensa, melalui jalur poliol enzim aldose reduktase (AR) mengkatalisis reduksi glukosa

menjadi sorbitol. Sorbitol intrasel yang terakumulasi mengakibatkan perubahan osmotik sehingga

serat lensa hidropik mengalami degenerasi dan menghasilkan gula katarak. Enzim sorbitol

dehydrogenase (SD) di dalam lensa memproduksi sorbitol lebih cepat daripada diubah menjadi

fruktosa, dan terjadi peningkatan akumulasi sorbitol disebabkan sifat sorbitol yang sukar keluar

dari lensa melalui proses difusi. Hal ini menyebabkan infuse osmotik sebagai efek hiperosmotik

yang tercipta, guna menyeimbangkan gradien osmotik. Akibatnya, terjadi keruntuhan dan

pencairan serat lensa yang pada akhirnya membentuk kekeruhan lensa. Selain itu, pengembangan

ke arah katarak terjadi karena stres osmotik pada lensa akibat akumulasi sorbitol menginduksi

apoptosis pada sel epitel lensa. 23

Riwayat Hipertensi

Hasil penelitian didapatkan bahwa responden yang mengalami katarak mayoritas terjadi

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 258

pada responden yang penderita hipertensi (7,3%) dibandingkan responden yang bukan penderita

hipertensi (3,8%). Uji statistik menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara hipertensi

dengan kejadian katarak dengan PR = 1,505, 95% CI = 1,325-1,709 yang berarti bahwa penderita

hipertensi lebih berisiko 1,5 kali lebih besar mengalami katarak dibandingkan bukan penderita

hipertensi setelah dikontrol oleh variabel glaukoma, usia, riwayat diabetes, pendidikan, tipe daerah,

dan jenis kelamin. Pada saat tekanan darah seseorang meningkat, terdeteksi adanya peningkatan

protein C-reaktif (CRP). Hipertensi juga menyebabkan peningkatan sitokinin inflamasi seperti

interleukin-6 (IL-6), tumor necrosis factor-alpha (TNF-α). Beberapa referensi menyebutkan katarak

berhubungan erat dengan inflamasi sistemik yang hebat, karena perkembangan katarak melibatkan

hipertensi dalam jalur patologis melalui mekanisme inflamasi. Selain itu, mekanisme hipertensi

menyebabkan katarak senilis dengan cara mempengaruhi perubahan struktur protein lensa

menyebabkan ketidakseimbangan osmotik dalam lensa yang mengakibatkan terjadinya katarak

senilis.4

Riwayat Glaukoma

Hasil penelitian didapatkan bahwa responden yang mengalami katarak mayoritas terjadi

pada responden yang penderita glaukoma (40,8%) dibandingkan responden yang bukan penderita

glaukoma (4,3%). Hasil analisis multivariat menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara

glaukoma dengan katarak (PR = 11,276; 95% CI = 8,150-15,600) sehingga dapat disimpulkan

bahwa penderita glaukoma lebih berisiko terkena katarak 11,276 kali lebih besar dibandingkan

bukan penderita glaukoma setelah dikontrol oleh variabel usia, riwayat diabetes, riwayat hipertensi,

pendidikan, tipe daerah, dan jenis kelamin.

Secara teori hal ini bisa terjadi karena kaitan antara glaukoma dan katarak mungkin

berhubungan dengan tingkat keparahan glaukoma atau trauma operasi yang dilakukan untuk

meringankan glaukoma. Apabila glaukoma sudah berada pada tahap yang parah maka perlu

dilakukan adanya operasi. Setelah operasi maka akan menyebabkan traumatik kepada mata dan

meningkatkan risiko terjadinya katarak. Sehubungan dengan pengobatan glukoma, penderita

glaukoma mempunyai masalah dimana harus mengkonsumsi obat-obatan setiap hari sedangkan

paparan kumulatif dari obat glaukoma dapat meningkatkan risiko katarak. Semakin sering

penggunaan obat glaukoma maka semakin bertambah risiko terjadinya katarak. Obat seperti

kortikosteroid, statin, agen topikal biasanya digunakan dalam pengobatan glukoma.4 Obat

kortikosteroid dapat mempercepat terbentuknya katarak, hal ini dikarenakan adanya migrasi

abnormal dari sel epitel lensa. Aktivasi reseptor glukokortikoid pada sel epitel lensa mengakibatkan

terjadinya penurunan apotosis, proliferasi sel, dan menghambat diferensiasi sel. Berdasarkan

penjelasan diatas maka glaukoma dapat meningkatkan risiko katarak melalui operasi dan

pengobatannya.

Efek samping yang sering ditemukan pada pemakaian kortikosteroid pada pengobatan

glaukoma jangka panjang adalah adanya oksidasi protein struktural sebagai akibat terbentuknya

ikatan kovalen antara steroid dan protein lensa. Pembentukan ikatan kovalen antara kortikosteroid

dengan residu lisin pada lensa dan menurunnya kadar antioksidan asam askorbat dalam cairan

aqueous merupakan patofisiologi Protein Subcapsular Cataract (PSC) yang diakibatkan

kortikosteroid. Ikatan kovalen tersebut menyebabkan kekeruhan lensa pada katarak. Selain itu,

kortikosteroid menyebabkan akumulasi cairan dan koagulasi protein lensa yang menyebabkan

kekeruhan lensa sebagai dampak terhambatnya pompa Na-K pada lensa. 1

Glaukoma sering terjadi

pada usia diatas 50 tahun yaitu sekitar 55-65 tahun.24

Prevalensi galukoma umumnya lebih banyak

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 259

pada perempuan. Hal ini kemungkinan disebabkan sudut bilik mata depan perempuan volumenya

10% lebih kecil dibandingkan laki-laki.25

KESIMPULAN DAN SARAN

Adapun kesimpulan dari penelitian ini antara lain:

1. Hasil analisis univariat responden menunjukkan bahwa terdapat 4,6% responden yang

mengalami katarak di Indonesia pada tahun 2014 berdasarkan analisis data sekunder IFLS.

Jumlah responden berada pada usia >50 tahun (53,6%), jenis kelamin perempuan (52,8%),

pendidikan rendah (73,6%), merokok (36,9%), tinggal di desa (48,2 %), diabetes (4,7 %),

hipertensi (21,7 %), dan glaukoma (0,8%).

2. Hasil analisis bivariat didapatkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan secara statistik

antara usia, jenis kelamin, pendidikan, tipe daerah, riwayat diabetes, riwayat hipertensi dan

glaukoma dengan katarak di Indonesia. Sedangkan variabel yang tidak berhubungan dengan

katarak yaitu status merokok.

3. Hasil analisis multivariat didapatkan bahwa variabel yang paling dominan berpengaruh

terhadap katarak yaitu glaukoma setelah dikontrol oleh variabel usia, jenis kelamin,

pendidikan, tipe daerah, riwayat diabetes dan riwayat hipertensi.

Saran dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penggunaan alat pelindung diri agar terhindar dari sinar matahari bagi yang bekerja di luar

gedung.

2. Mengurangi penggunaan obat tetes mata karena dapat meningkatkan risiko katarak.

3. Melakukan pemeriksaan kesehatan mata secara rutin terutama bagi yang berusia diatas 40

tahun.

4. Peneliti selanjutnya diharapkan menambah variabel independen lainnya seperti konsumsi

alkohol, riwayat keluarga dan pekerjaan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas S, Sri RY. Ilmu Penyakit Mata Edisi Kelima. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI; 2015. p.

210.

2. Mo‘otapu A, Rompas S, Bawotong, J. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian

Penyakit Katarak di Poli Mata RSUP Prof. Dr. R.D Kandou Manado. e-Journal Keperawatan

(eKp). 2015;3: 1–6.

3. Lukas VR, Pangkerego SB, Rumende RR. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Katarak

Senilis di Wilayah Kerja Puskesmas Modayag Kabupaten Bolaang Mongondow Timur. E-

Jurnal Sariputra. 2017;4(2): 82–87.

4. Aini N A, Santik YDP. Kejadian Katarak Senilis di RSUD Tugurejo. Higea Journal of Public

Health. 2018;2(2).

5. Awopi G, Wahyuni TD. Sulasmini. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian

Katarak di Poliklinik Mata Puskesmas Dau Kabupaten Malang. Nursing News. 2016;1: 550–

556.

6. World Health Organization. Global Invititive For The Elimination Of Advoidable Blindness.

Geneva: WHO; 2013.

7. Bradford CA, Charnblee DR, Hunnewell JM, Morgan RK, Sigler SC. Basic Ophthalmology

for Medical Students and Primary Care Residents. 7th ed. San Francisco: American

Academy of Ophthalmology; 1999.

8. Kemenkes RI. Infodatin: Situasi Gangguan Penglihatan dan Kebutaan. Jakarta: Kementerian

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 260

Kesehatan Republik Indonesia; 2014.

9. Soehardjo. Faktor-Faktor Risiko, Penanganan Klinis dan Pengendalian. Jurnal: Kebutaan

Katarak. 2004;3.

10. Tana L, Rif‘ati L, Kristanto AY. Determinan Kejadian Katarak di Indonesia Riset Kesehatan

Dasar 2007. Buletin Penelitian Kesehatan. 2007;37: 114–125

11. Kemenkes RI. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2013. Jakarta: Kementrian

Kesehatan Republik Indonesia; 2013.

12. Fatma. Pengantar Lanjut Usia. Jakarta: Rineka Cipta; 2010.

13. Michael R, Bron AJ. The Ageing Lens and Cataract: a Model of Normal and Pathological

Ageing. Philosophical Transactions of the Royal Society B: Biological Sciences.

2011;366(1568): 1278–1292.

14. Pujiyanto. Faktor-Faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Katarak Senilis.

Semarang: Universitas Diponegoro; 2004.

15. Srinivasian S, Raman R, Swaminathan G. Incidence, Progession and Risk Factors For

Cataract in Type 2 Diabetes. Arvo Journals. 2017;58(13).

16. Hadini MA, Eso A. Wicaksono S. Analisis Faktor Risiko yang Berhubungan dengan

Kejadian Katarak Senilis Di RSU Bahteramas Tahun 2016. 2016; 256–267.

17. Laila A, Raupong I, Saimin J. Analisis Faktor-Faktor Risiko Kejadian Katarak di Daerah

Pesisir Kendari. 2017;4: 377–387.

18. Tana L, Delima, Enny H, Gondhowiharjo T. Katarak pada Petani dan Keluarganya di

Kecamatan Teluk Jambe Barat. Media Litbang Kesehatan. 2006;14(4).

19. Kartikasari IAKP, Nursayanto H, Yoga IBKW. Pola Konsumsi Makanan Sumber Beta-

Karoten dan Tingkat Konsumsi Vitamin Antioksidan pada Penderita dan Bukan Penderita

Katarak Senilis di Rumah Sakit Indera Provinsi Bali. Jurnal Virgin. 2015;1(1).

20. Yunianingsih A, Sahrudin, Ibrahim K. Analisis Faktor Risiko Kebiasaan Merokok, Paparan

Sinar Ultravioler dan Konsumsi Antioksidan Terhadap Kejadian Katarak di Poli Rumah

Umum Bahteramas Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2017. Jurnal Ilmu

Mahasiswa Kesehatan Masyarakat. 2017;2(6).

21. Hamidi MNS, Royadi A. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Terjadinya Katarak

Senilis pada Pasien di Poli Mata RSUD Bangkinang. Jurnal Ners Universitas Pahlawan

Tuanku Tambusai. 2017;3(1).

22. Ye J, He J, Wang C, Wu H. Smoking and Risk of Age-Related Cataract: A Meta Analysis.

IOVS. 2012:53(7): 3885-3895.

23. Pollreisz A, Erfurth US. Diabetic Cataract-Pathogenesis, Epidemiology and Treatment.

Hindawi Publishing Corporation Journal of Ophthalmology. 2010;2010.

24. Ismandari F. Kebutaan pada Pasien Glaukoma Primer di Rumah Sakit Umum Dr Cipto

Mangunkusumo Jakarta. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2011: 5(4).

25. Stamper RL, Lieberman MF, Drake MV. Becker-Shaffer‘s Diagnosis and Therapy of the

Glaucomas 8th ed., Elsevier: 2009.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 261

ANALISIS KESIAPSIAGAAN MASYARAKAT TERHADAP

KEBAKARAN DI KELURAHAN TUAN KENTANG KECAMATAN

JAKABARING PALEMBANG 2019

Ade Pratama1, Novrikasari

2*

1Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya

2Bagian K3KL Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya

Jl. Palembang Prabumulih KM. 32, Indralaya Indah Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan

Corresponding email: [email protected]

ANALYSIS OF COMMUNITY PREPAREDNESS FOR FIRES IN TUAN

KENTANG VILLAGE IN JAKABARING DISTRICT PALEMBANG 2019

ABSTRACT

Fire is an emergency disaster and needs to be handled quickly, efficiently and appropriately to prevent

major losses. Preparedness is an activity carried out before a disaster occurs. The purpose of preparedness

is to minimize the impact or side effects of an event occurring in the community through effective, timely,

adequate, and efficient precautions and countermeasures. This research aims to look at the preparedness of

the community in the face of fires in Tuan Kentang Village, Jakabaring District Palembang 2019. This

research is quantitative research with a cross sectional approach, research instruments in the form of

questionnaires. The sample count is 104 KOs. Data analysis is done univariate and bivariate with the test

used is fisher exact test. The results showed that the variables associated with fire preparedness are

emergency response plan (p-value = 0.000), disaster warning system (p-value = 0.021, resource

mobilization (p-value =0.000), gender (p-value = 0.000), age (p-value = 0.012), education (p-value=0.023),

and house type (p-value=0.009), while unrelated knowledge variables (p-value = 0, 206), Attitude (p-value

= 0.119), and length of stay (p-value = 0.351). It can be concluded that there is a meaningful relationship

between emergency response plan, disaster warning system, resource mobilization, gender, age, education,

and type of house with fire preparedness in the community in Tuan Kentang Village, Jakabaring District

Palembang, so it is advisable to the relevant agencies to conduct regular socialization regarding fires and

training on emergency response plans as well as fire preparedness as an effort to understand and prepare

for the threat of fire hazards.

Keywords: fire, preparedness, preparedness parameters, individual characteristics

ABSTRAK

Kebakaran merupakan bencana yang bersifat darurat dan perlu penanganan yang cepat, efisien dan tepat

untuk mencegah timbulnya kerugian yang besar. Kesiapsiagaan merupakan kegiatan yang dilakukan sebelum

kejadian bencana terjadi. Adapun yang menjadi tujuan dari kesiapsiagaan adalah untuk meminimalkan

dampak atau efek samping dari suatu kejadian yang terjadi dimasyarakat melalui tindakan pencegahan dan

penanggulangan yang efektif, tepat waktu, memadai, dan efisien. Penelitian ini bertujuan untuk melihat

kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi kebakaran di Kelurahan Tuan Kentang Kecamatan Jakabaring

Palembang 2019. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan pendekatan cross sectional, Instrumen

penelitian berupa kuesioner . Jumlah sampel adalah 104 KK. Analisis data dilakukan secara univariat dan

bivariat dengan uji yang digunakan adalah uji Fisher Exact. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel

yang berhubungan dengan kesiapsiagaan kebakaran adalah rencana tanggap darurat (p-value = 0,000), sistem

peringatan bencana (p-value = 0,021, mobilisasi sumberdaya (p-value =0,000), jenis kelamin (p-value =

0,000), usia (p-value = 0,012), pendidikan (p-value= 0,023), dan jenis rumah (p-value= 0,009), sedangkan

yang tidak berhubungan yaitu variabel pengetahuan (p-value = 0, 206), Sikap (p- value = 0,119), dan lama

tinggal (p-value = 0,351). Dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara rencana tanggap

darurat, sistem peringatan bencana, mobilisasi sumberdaya, jenis kelamin, usia, pendidikan, dan jenis rumah

dengan kesiapsiagaan kebakaran pada masyarakat di Kelurahan Tuan Kentang Kecamatan Jakabaring

Palembang, sehingga disarankan kepada instansi terkait untuk mengadakan sosialisasi berkala mengenai

kebakaran dan pelatihan mengenai rencana tanggap darurat maupun kesiapsiagaan kebakaran sebagai upaya

pemahaman dan kesiapsiagaan menghadapi ancaman bahaya kebakaran.

Kata kunci: kebakaran, kesiapsiagaan, parameter kesiapsiagaan, karakteristik individu

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 262

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu negara yang masih berada dalam taraf berkembang, dengan

kondisi seperti itu sering membuat indonesia menjadi lemah dalam menghadapi suatu bencana,

baik itu bencana yang disebabkan oleh faktor alam atau bencana akibat kelalaian manusia.

Kebakaran pemukiman adalah bencana yang paling banyak kaitannya yang disebabkan oleh

kelalaian manusia.¹ Berdasarkan data dari International Association of Fire and Rescue Services

tahun 2017, menyatakan bahwa dari 31 negara yang mewakili 14% dari populasi dunia, terdapat 41,9

juta kali panggilan mengenai kebakaran, 3,5 juta kali kejadian kebakaran, 18.500 kematian warga

sipil akibat kebakaran dan 45.000 warga sipil yang mengalami luka-luka.² Selain itu, kebakaran

juga merupakan bencana yang bersifat darurat dan perlu penanganan yang cepat, efisien dan tepat

untuk mencegah timbulnya kerugian yang besar. Kerugian akibat kebakaran secara global di dunia

mencapai sekitar 10 miliar USD dan secara kasar diperkirakan sebesar 1% dari GDP (Gross

Domestic Product) Global per tahun dengan kerugian jiwa sebanyak 0,5 sampai 1,5 orang per

100.000 populasi di dunia per tahun.ᶟ Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan

Bencana (BNPB) tercatat ada 1336 kasus kebakaran permukiman yang terjadi di Indonesia dari

tahun 2011-2018.⁴ Berdasarkan data Dinas Pemadam Kebakaran Penanggulangan Bencana Kota

Palembang Menunjukan bahwa sepanjang tahun 2018 telah terjadi kasus kebakaran sebanyak 260

kasus dengan 65 kasus kebakaran rumah yang terjadi dan tersebar dibeberapa wilayah dikota

Palembang, yang salah satunya adalah terjadi di Kelurahan Tuan Kentang Kecamatan Jakabaring

Palembang .

Kelurahan Tuan Kentang merupakan sentra industri salah satu kain khas Palembang yaitu

kain jumputan. Sebagai sentra industri kain jumputan khas palembang yang menjadikan kelurahan

Tuan Kentang yang harus dijaga dari berbagai resiko yang salah satunya adalah resiko kebakaran

pemukiman, mengingat karakteristik lokasi kelurahan tuan kentang juga merupakan lokasi

pemukiman yang padat serta lingkungan fisik yang berupa jalan dan gang yang sempit yang sulit

untuk dilalui mobil pemadam kebakaran jika terjadi suatu kejadian kebakaran, dimana waktu

efektif untuk pemadaman api sebelum api membesar adalah 3-10 menit.⁵

Kesiapsiagaan merupakan kegiatan yang dilakukan sebelum kejadian bencana terjadi.

Adapun yang menjadi tujuan dari kesiapsiagaan adalah untuk meminimalkan dampak atau efek

samping dari suatu kejadian yang terjadi dimasyarakat melalui tindakan pencegahan dan

penanggulangan yang efektif, tepat waktu, memadai, dan efisien.⁶ Kesiapsiagaan juga berfungsi

untuk meminimalkan terhadap korban jiwa maupun korban harta benda ketika bencana terjadi.⁶

Kesiapsiagaan dalam menghadapi kejadian kebakaran sangat diperlukan untuk mengantisipasi

dampak buruk yang ditimbulkan dari kejadian kebakaran. Maka dari itu dilakukan penelitian terkait

Analisis Kesiapsiagaan Masyarakat Terhadap Kebakaran Di Kelurahan Tuan Kentang Kecamatan

Jakabaring Palembang‖

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat kuantitatif dengan desain cross sectional.

Sampel pada penelitian ini yaitu 104 KK (Kepala Keluarga) dimana teknik pengambilan sampel

dilakukan dengan purposive sampling dengan menetapkan kriteria inklusi dan eksklusi. Analisis

data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis univariat dan bivariat dengan menggunakan

uji fisher exact dan Instrumen pada penelitian ini adalah kuesioner.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 263

HASIL PENELITIAN

Analisis Univariat

Penelitian ini dilakukan pada 104 Kepala Keluarga (KK) di Kelurahan Tuan Kentang

Kecamatan Jakabaring Palembang, Mayoritas subjek penelitian berumur ≥ 30 tahun yaitu 68,8%,

dengan jenis kelamin subjek penelitian mayoritas perempuan yaitu 68,3% dan Hasil dari analisis

univariat penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Parameter Kesiapsiagaan dan Karakteristik

Individu

Parameter Kesiapsiagaan Frekuensi

(104)

Persentase

(100%)

Pengetahuan 1. Kurang baik

2. Baik

13

91

12,5 %

87,5 %

Sikap 1. Kurang baik

2. Baik

16

88

15,4 %

84,6 %

Rencana Tanggap Darurat

1. Kurang Baik 2. Baik

76 28

73,21 % 26,9 %

Sistem Peringatan Bencana

1. Kurang baik

2. Baik

81

23

77,9 %

22,1 %

Mobilisasi Sumberdaya

1. Kurang baik

2. Baik

93

11

89,4%

10,6%

Variabel Karakteristik Individu Frekuensi

(104)

Persentase

(100%)

Jenis Kelamin 1. Laki-Laki

2. Perempuan

33

71

31,7 %

68,3 %

Usia

1. Tua 2. Muda

83 21

79,8 % 20,2 %

Pendidikan

1. Pendidikan rendah

2. Pendidikan tinggi

50

50

50,0 %

50,0 % Lama Tinggal

1. < 5 Tahun

2. ≥ 5 Tahun

9

95

8,7 %

91,3 %

Jenis Rumah 1. Semi Permanen

2. Permanen

67

37

64,4 %

35,6 %

Berdasarkan tabel 1 diatas distribusi frekuensi responden berdasarkan parameter

kesiapsiagaan menunjukkan bahwa responden penelitian cenderung memiliki pengetahuan baik

yaitu 87,5% dibandingkan dengan pengetahuan kurang baik yaitu 12,5% kemudian untuk

parameter sikap hasil menunjukkan bahwa responden penelitian cenderung memiliki sikap baik

yaitu 84,6% dibandingkan dengan responden yang memiliki sikap kurang baik yaitu 15,4%.

Distribusi frekuensi rencana tanggap darurat 73,1% responden penelitian memiliki rencana tanggap

darurat yang kurang baik dan rencana tanggap darurat baik yaitu 26,9% Kemudian sistem

peringatan bencana yang kurang baik yaitu 77,9% dibandingkan dengan sistem peringatan bencana

yang baik yaitu 22,1%.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 264

Kemudian parameter mobilisasi sumber daya cenderung memiliki mobilisasi sumberdaya

yang kurang baik yaitu 89,4% dibandingkan dengan mobilisasi sumberdaya baik yaitu 10,6%.

Sedangkan distribusi frekuensi untuk jenis kelamin responden adalah mayoritas perempuan sebesar

68,3% dan laki-laki sebesar 31,7%. Distribusi frekuensi untuk usia responden mayoritas adalah

usia tua dimana kategori usia tua adalah ≥ 30 tahun sebanyak 79,8% dan sisanya usia muda yaitu

<30 tahun sebesar 20,2%.

Distribusi frekuensi untuk jenjang pendidikan terakhir responden adalah sama dimana

responden dengan pendidikan tinggi dan rendah yaitu sebesar 50,0%, distribusi frekuensi

responden berdasarkan lama tinggal ≥ 5 tahun yaitu sebesar 91,3% dan < 5 tahun yaitu sebesar 8,7

%. Kemudian distribusi frekuensi jenis rumah responden, mayoritas rumah responden adalah semi

permanen yaitu sebesar 64,4% dan sisanya adalah responden dengan jenis rumah permanen yaitu

sebesar 35,6% .

Analisis Bivariat

Hasil dari Analisis Bivariat pada penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan

bermakna secara statistik antara variabel pengetahuan, sikap, rencana tanggap darurat dan

pendidikan dengan kesiapsiagaan masyarakat terhadap kebakaran. Analisis Bivariat pada

penelitian ini dapat dilihat secara lengkap pada tabel berikut :

Tabel 2. Hasil Analisis Bivariat Untuk Setiap Variabel Penelitian

Variabel Penelitian p-value PR

(CI 95%)

Pengetahuan 0,206 1,197

(1,093-1,312)

Sikap 0,119 1,205

(1,097-1,325)

Rencana Tanggap Darurat 0,000 2,154

(1,447-3,206)

Sistem Peringatan Bencana 0,021 1,296

(0,979-1,714)

Mobilisasi Sumberdaya 0,000 5,145

(1,467-18,044)

Jenis Kelamin 0,000 0,624

(0,472-0,823)

Usia 0,012 1,355

(0,994-1,849)

Pendidikan 0,023 1,225

(1,040-1,442)

Lama tinggal 0,351 1,188

(1,008-1,296)

Jenis Rumah 0,009 1,268

(1,030-1,561)

PEMBAHASAN

Hubungan Pengetahuan dengan Kesiapsiagaan Kebakaran

Pada penelitian ini pengetahuan responden dibedakan menjadi dua kategori yaitu

pengetahuan responden dengan kategori kurang baik dan pengetahuan responden dengan kategori

baik di mana hasil penelitian menunjukkan bahwa 87,5% responden penelitian memiliki

pengetahuan baik dan 12,5% responden memiliki pengetahuan kurang baik. Hasil penelitian juga

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 265

menunjukan bahwa 100% responden menyatakan bahwa kompor gas, korsleting listrik, rokok,

korek api serta cairan mudah terbakar adalah beberapa contoh yang dapat menjadi penyebab

kejadian kebakaran. Kemudian 93,3% responden penelitian menyatakan bahwa bentuk pencegahan

yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya kebakaran adalah dengan mewaspadai rokok,

menjauhkan pemantik dan korek dari jangkauan anak-anak, penggunaan alat-alat listrik

secukupnya, serta perilaku memasak yang baik, perilaku masak yang baik dapat dicontohkan

seperti tidak meninggalkan kompor terlalu lama jika sedang memasak.

Berdasarkan hasil analisis data didapat p-value yaitu 0,206 atau p-value > 0,05 yang dapat

diartikan bahwa secara statistik tidak ada hubungan antara variabel pengetahuan dengan

kesiapsiagaan masyarakat terhadap kebakaran di Kelurahan Tuan Kentang Kecamatan Jakabaring

Palembang. Pengetahuan seseorang adalah tahu nya terhadap suatu objek setelah orang melakukan

penginderaan terhadap objek tersebut, dimana untuk terbentuknya suatu tindakan, domain

pentingnya adalah pengetahuan.⁷ Penelitian ini tidak berbanding lurus dengan Teori Lawrence

Green, dimana pada teori tersebut menjelaskan bahwa pengetahuan adalah faktor yang

mempermudah untuk terjadinya suatu perilaku pada seseorang.8 Penelitian ini sejalan dengan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Zahra Nurdina Fitriani pada bagian Spinning IV OE terkait faktor-

faktor yang berhubungan dengan kesiapsiagaan tanggap darurat di PT. APAC INTI CORPORA

SEMARANG.

Hubungan Sikap dengan Kesiapsiagaan Kebakaran

Pada penelitian ini sikap responden dibedakan menjadi dua yaitu sikap kurang baik dan

sikap baik berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa responden penelitian cenderung

memiliki sikap baik yaitu 84,6% dibandingkan dengan responden yang memiliki sikap kurang baik

yaitu 15,4%. Hasil penelitian menunjukan bahwa sikap responden yaitu 52,9% responden

penelitian setuju dan 44,2% sangat setuju bahwa kebakaran sering terjadi diakibatkan oleh

kelalaian manusia. Terkait sikap masyarakat dalam hal pencegahan mayoritas responden

menyatakan sangat setuju yaitu 55,8% dan 41,3% setuju untuk tidak membuang puntung rokok

sembarangan. Bentuk lain dari sikap masyarakat dalam hal pencegahan kebakaran adalah dengan

menggunakan peralatan listrik yang SNI (Standar Nasional Indonesia) dan mayoritas masyarakat

setuju dengan tindakan tersebut yaitu 62,5%.

Berdasarkan hasil analisis data penelitian diperoleh hasil p-value yaitu 0,119 atau p-value >

0,05 yang dapat diartikan bahwa tidak terdapat hubungan secara statistik antara variabel sikap

dengan variabel kesiapsiagaan pada penelitian ini. Sikap adalah respon seseoarang atau reaksi

seseorang yang masih tertutup terhadap suatu objek tertentu . sikap memiliki beberapa tingkatan

yaitu dari sikap yang menerima, merepon atau menanggapi, menghargai sampai pada sikap yang

bertanggung jawab.9

Penelitian ini berbanding lurus dengan penelitian yang dilakukan oleh Patuju

di Kelurahan Air Putih Kecamatan Samarinda Ulu dengan total responden yaitu 83 orang, yang

hasilnya adalah secara statistik variabel sikap tidak terdapat hubungan yang bermakna terhadap

kesiapsiagaan dalam menghadapi kebakaran pemukiman.

Hubungan Rencana Tanggap Darurat dengan Kesiapsiagaan Kebakaran

Pada penelitian ini rencana tanggap darurat dibedakan menjadi dua kategori yaitu kurang

baik dan baik dan hasil menunjukkan bahwa 73,1% responden penelitian memiliki rencana tanggap

darurat yang kurang baik dan 26,9% responden penelitian memiliki rencana tanggap darurat yang

baik. Berdasarkan analisis data penelitian hasil p-value yaitu 0,000 atau p-value < 0,05 , yang

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 266

dapat diartikan bahwa secara statistik terdapat hubungan antara variabel rencana tanggap darurat

dengan kesiapsiagaan masyarakat terhadap kebakaran pada penelitian ini. Dari hasil penelitian

terkait rencana evakuasi untuk menyelamatkan diri ketika terjadi kebakaran mayoritas masyarakat

menjawab menghubungi pemadam kebakaran serta berusaha memadamkan api dengan peralatan

yang ada yakni 80,8% namun yang diharapkan peneliti adalah masyarakat menjawab menjauhi

lokasi kebakaran di karenakan hal ini terkait evakuasi untuk menyelamatkan diri. Ketersediaan

sarana jalur evakuasi bahwa 93,3% responden penelitian mengatakan bahwa daerah tempat tinggal

mereka tidak terdapat jalur evakuasi ketika terjadi kebakaran, selanjutnya adalah terkait

ketersediaan kotak P3K, 88,5% tidak tersedia kotak P3K dirumah mereka.Hal ini tidak memenuhi

salah satu indikator yang ditetapkan LIPI (2006) terkait kesiapsiagaan bencana dalam parameter

rencana tanggap darurat yaitu tersedianya peta, tempat, jalur evakuasi keluarga, tempat

berkumpulnya keluarga dan tersedianya kotak P3K atau obat-obatan penting untuk pertolongan

pertama keluarga.6

selanjutnya adalah terkait pelatihan keadaan darurat dan manejemn bencana,

mayoritas masyarakat belum pernah mengikuti pelatihan keadaan darurat yakni 93,3% hal ini juga

tidak memenuhi indikator yang ditetapkan LIPI-UNESCO (2006) terkait kesiapsiagaan bencana

dalam parameter rencana tanggap darurat yaitu mengenai adanya anggota keluarga yang mengikuti

pelatihan. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Laila Fitriana di PT.

Sandang Asia Maju Abadi yang responden nya adalah karyawan bagian produksi, dimana hasilnya

adalah terdapat hubungan antara pelatihan dengan upaya kesiapsiagaan yang dilakukan oleh

karyawan bagian produksi untuk menghadapi ancaman bahaya kebakaran. sebagai contoh bentuk

antisipasi atau upaya dalam menghadapi kemungkinan kejadian kebakaran yang peristiwanya tidak

dapat di prediksi adalah dengan pelatihan terkait kebakaran.

Hubungan Sistem Peringatan Bencana dengan Kesiapsiagaan Kebakaran

Berdasarkan penelitian hasil p-value yaitu 0,021 (p-value < 0,05) yang artinya ada hubungan

antara variabel sistem peringatan bencana dengan kesiapsiagaan masyarakat terhadap kebakaran di

Kelurahan Tuan Kentang Kecamatan Jakabaring Palembang. Sistem peringatan bencana kebakaran

adalah serangkaian sistem yang berfungsi untuk memberitahukan akan terjadinya kejadian

kebakaran. Tujuan dari adanya sistem peringatan bencana kebakaran adalah di harapkan akan dapat

dikembangkan upaya-upaya yang tepat untuk mencegah atau paling tidak mengurangi terjadinya

dampak dari kejadian kebakaran bagi masyarakat. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa di

Kelurahan Tuan Kentang belum terdapat sistem peringatan bencana kebakaran baik yang bersifat

tradisional maupun modern. Sistem peringatan bencana kebakaran merupakan sebuah sarana,

dalam upaya meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi ancaman bahaya

kebakaran, dengan tersedianya suatu sistem peringatan kebakaran yang dapat memberikan alarm

informasi bagi masyarakat ketika terjadi kebakaran hal yang diharapkan adalah dapat mengurangi

dampak dari peristiwa kebakaran tersebut.

Hubungan Mobilisasi Sumberdaya dengan Kesiapsiagaan Kebakaran

Berdasarkan analisis data penelitian didapatkan hasil p-value yaitu 0,000 atau p-value <

0,05, yang dapat diartikan bahwa secara statistik terdapat hubungan antara variabel mobilisasi

sumberdaya dengan kesiapsiagaan masyarakat terhadap kebakaran. Hasil penelitian menunjukan

bahwa responden penelitian cenderung tidak menyediakan alokasi dana khusus untuk

kesiapsiagaan kejadian kebakaran yaitu 97,1% dan hanya 2,9% responden menyatakan

menyiapkan alokasi khusus seperti tabungan, investasi, maupun asuransi sebagai upaya

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 267

kesiapsiagaan terhadap kejadian kebakaran. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwasanya 96,2%

menyatakan ada keluarga yang bersedia membantu jika terjadi keadaan darurat kebakaran. Hasil

penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan LIPI-UNESCO/ISDR (2006) bahwasannya

dalam mengukur parameter mobilisasi sumberdaya adalah masyarakat bisa menjadi makhluk sosial

dalam membantu atau dibantu keluarga lain selama terjadinya bencana.6

Hubungan Jenis Kelamin dengan Kesiapsiagaan Kebakaran

Pada penelitian ini mayoritas responden berjenis kelamin perempuan dengan proporsi 70,6

% dan berjenis kelamin laki-laki 29,4%. Hasil analisis data penelitian didapatkan p-value yaitu

0,000 atau p-value < 0,05, yang dapat diartikan bahwa ada hubungan antara variabel jenis kelamin

dengan kesiapsiagaan masyarakat terhadap kebakaran. Peran, fungsi, serta tanggung jawab antara

laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil dari konstruksi sosial dan dapat berubah mengikuti

kesesuaian perkembangan jaman disebut jenis kelamin10

. Jenis kelamin juga dapat artikan interaksi

secara historis, sosial, budaya serta ikatan kontekstual11.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa

tidak ada hubungan secara statistik antara variabel jenis kelamin dengan kesiapsiagaan masyarakat

terhadap kebakaran, dan dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin bisa mempengaruhi cara berpikir,

mempengaruhi perasaan dalam merasakan sesuatu, serta mempengaruhi cara bertindak yang semua

hal itu dapat berpengaruh pada kesiapsiagaan dalam menghadapi kebakaran12

.

Hubungan Usia dengan Kesiapsiagaan dengan Kebakaran

Dalam penelitian ini variabel usia dibedakan menjadi dua yaitu usia tua dan usia muda usia

tua yaitu > 30 tahun dan usia muda yaitu < 30 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

sebagian besar responden penelitian tergolong ke dalam usia tua yaitu (79,8%) dan responden

penelitian yang tergolong dalam usia muda yaitu (20,2%). Berdasarkan analisis data penelitian

didapatkan hasil p-value yaitu 0,012 atau p-value < 0,05, yang dapat diartikan secara statistik

bahwa ada hubungan antara variabel usia dengan kesiapsiagaan masyarakat terhadap kebakaran.

Menurut teori Gibson usia merupakan faktor dari suatu individu, dimana artinya seiring

bertambahnya usia seseorang akan berpengaruh pada tingkat kedewasaan seseorang itu juga,

semakin bertambah dewasa seseorang akan mempengaruhi daya serap informasi seseorang tersebut

termasuk juga dalam hal ini terkait kesiapsiagaan13

.

Hubungan Pendidikan dengan Kesiapsiagaan Kebakaran

Dalam penelitian ini variabel pendidikan dibedakan menjadi pendidikan rendah yaitu SD-

SMP dan pendidikan tinggi yaitu SMA-PT. Hasil analisis data penelitian didapatkan hasil p-value

yaitu 0,012 atau p-value < 0,05, yang artinya secara statistik ada hubungan antara pendidikan

dengan kesiapsiagaan masyarakat terhadap kebakaran. Suatu usaha dalam mengembangkan

kepribadian serta kemampuan baik didalam maupun diluar sekolah dan berlangsung terus menerus

seumur hidup disebut pendidikan. Pendidikan berpengaruh pada proses belajar, yang artinya

seseorang dengan pendidikan yang tinggi akan lebih mudah menerima informasi baik dari orang

lain maupun dari edia massa. Semakin banyak informasi yang diterima akan berpengaruh pada

pengetahuan seseorang, pengetahuan memiliki kaitan erat dengan pendidikan, harapannya adalah

orang yang memiliki pendidikan tinggi akan memiliki pengetahuan yang luas pula14

.

Hubungan Lama Tinggal dengan Kesiapsiagaan Kebakaran

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 268

Pada penelitian ini lama tinggal dibedakan menjadi dua yaitu <5 tahun dan ≥ 5 tahun. Lama

tinggal dalam penelitian ini ditujukan pada responden yang telah tinggal dilokasi penelitian yaitu

kurang dari lima tahun dan lebih dari lima tahun, dengan asumsi bahwa responden yang lama

tinggalnya lebih dari lima tahun lebih memahami kondisi lingkungan disekitarnya dibandingkan

dengan responden yang lama tinggalnya kurang dari lima tahun. Namun jika lama tinggal nya saja

yang lama tetapi tidak diiringi dengan keikut sertaan pada kegiatan-kegiatan bersama dalam

masyarakat,serta minimnya pergaulan serta sosialisasi bersama dengan masyarakat lainnya, akan

berpengaruh pada kurangnya memahami kondisi lingkungan dan karakteristik tempat tinggal.

Berdasarkan hasil analisis data penelitian didapat hasil p-value yaitu 0,351 atau p-value >

0,05, yang secara statistik artinya tidak terdapat hubungan antara variabel lama tinggal dengan

kesiapsiagaan masyarakat terhadap kebakaran di Kelurahan Tuan Kentang Kecamatan Jakabaring

Palembang. Hal ini dikarenakan lama nya seseorang tinggal disuatu tempat atau suatu daerah bukan

faktor utama yang menentukan bahwa seseorang tersebut akan mengetahui informasi-informasi

terkait daerah atau tempat tersebut, ada faktor lain yang dapat mempengaruhi diantaranya adalah

hubungan sosial masyarakat oang tersebut, mudah atau tidak orang tersebut beradaptasi, faktor lain

tersebut berdampak pada seberapa banyak informasi-informasi yang diperoleh orang tersebut,

dalam hal ini informasi terkait upaya-upaya kesiapsiagaan kebakaran.

Hubungan Jenis Rumah dengan Kesiapsiagaan Kebakaran

Pada penelitian ini jenis rumah dibedakan menjadi dua yaitu rumah semi permanen dan

rumah permanen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden cenderung memiliki jenis rumah

semi permanen yaitu 64,4% dan jenis rumah permanen yaitu 35,6%. Hasil analisis data penelitian

didapatkan hasil p-value yaitu 0,009 atau p-value < 0,05, yang artinya secara statistik ada

hubungan antara variabel jenis rumah dengan kesiapsiagaan masyarakat terhadap kebakaran.

Dalam penelitian ini rumah dengan kategori permanen adalah rumah yang sudah menggunakan

atap genteng, metal (metal roof), kemudian menggunakan kusen-kusen, daun pintu serta jendela

yang terbuat dari panel kayu dan ada juga yang sudah menggunakan panel kayu dengan kaca, lantai

rumah menggunakan keramik , menggunakan pondasi batu kali dan umumnya telah menggunakan

balok sloof, dan dinding rumah terbuat dari batu bata. Sedangkan untuk rumah dengan kategori

semi permanen adalah rumah yang mayoritas bahan yang digunakan adalah berbahan dasar kayu,

baik kusen, rangka jendela, dinding maupun lantai.15

Kayu merupakan benda padat yang mudah

terbakar dan kayu termasuk dalam klasifikasi kebakaran kelas A. Hal ini menunjukan adanya risiko

lebih tinggi yang dimiliki oleh responden yang memiliki rumah semi permanen untuk lebih

waspada dan meningkatkan kesiapsiagaan terhadap kejadian kebakaran.

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Distribusi frekuensi parameter kesiapsiagaan yaitu pengetahuan cenderung baik sebesar

87,5%, sikap cenderung baik sebesar 84,6%, Rencana tanggap darurat cenderung kurang

baik yaitu 73,1%, sistem peringatan bencana cenderung kurang baik yaitu 77,9%, dan

mobilisasi sumberdaya cenderung kurang baik yaitu 89,4%. Distribusi frekuensi

karakteristik responden yaitu jenis kelamin cenderung perempuan 68,3% , usia cenderung

usia tua 79,8, pendidikan cenderung sama yaitu 50% responden dengan pendidikan rendah

dan 50% responden dengan pendidikan tinggi, lama tinggal responden cenderung ≥ 5 tahun

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 269

91,3%, dan jenis rumah responden cenderung semi permanen 64,4%. Kemudian

kesiapsiagaan kebakaran masyarakat cenderung tidak siap yaitu 85,6%.

2. Hasil anilisis bivariat antara pengetahuan dan sikap, dengan kesiapsiagaan kebakaran tidak

memiliki hubungan yang bermakna, sedangkan untuk sistem peringatan bencana , rencana

tanggap darurat dan mobilisasi sumberdaya memiliki hubungan yang bermakna secara

statistik.

3. Hasil analisis bivariat antara jenis kelamin, usia, pendidikan, dan jenis rumah dengan

kesiapsiagaan kebakaran masyarakat terhadap kebakaran di Kelurahan Tuan Kentang

memiliki hubungan yang bermakna. Sedangkan variabel lama tinggal secara statistik tidak

menunjukan adanya hubungan yang bermakna.

Saran dari penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut:

1. Perlu adanya sosiaslisasi berkala dari instansi resmi dalam penyampaian informasi

mengenai kebakaran baik pencegahan, penanggulangan maupun upaya kesiapsiagaan

kebakaran.

2. Perlu diadakan pelatihan/seminar/workshop kepada masyarakat mengenai rencana tanggap

darurat kebakaran

3. Bagi yang akan melakukan penelitan serupa mengenai kesiapsiagaan masyarakat terhadap

kebakaran, diharapkan agar bisa menambah variabel lain yang mendukung dalam

mengukur kesiapsiagaan kebakaran ( Seperti karakteristik lingkungan yaitu jarak rumah

dengan jalan raya mapun variabel-variabel lain seperti pelatihan manejemen bencana,

pengalaman menghadapi bencana, dan lain-lain) guna mendapatkan hasil yang lebih

absolut.

DAFTAR PUSTAKA

1. Wiranto, S. A. Modul Ajar Pengintegrasian Pengurangan Resiko Kebakaran: Bahan Ajar

Pengayaan Bagi Guru SMA/SMK/MA/MAK. Jakarta: Pusat Kurikulum Badan

Penelitian dan Badan Pengembangan Kementrian PendidikanNasional. 2009.

2. Brushlinsky, Ahrens, Sokolov, and Wagner. Center of Fire Statistic.Building & Plant

Institute dan Ditjen Binawas Depnaker RI.2005. Training Penanggulangan Kebakaran.

Jakarta. 2017;

3. Haryono, Nono, Adrianus Pangaribuan, and Fatma Lestari. ―Evaluasi Penerapan

Keselamatan Kebakaran Menggunakan Computerized Fire Safety Evaluation

System(CFSES) Pada Gedung Pendidikan Dan Laboratorium Fakultas Ilmu Keperawatan

Universitas Indonesia Tahun 2014‖. 2014;

4. Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Data Kejadian Bencana Kebakaran

Pemukiman.2018.

5. Ramli, Soehatman. Petunjuk Praktis Manajemen Kebakaran (Fire Management). Jakarta :

Dian Rakyat. 2010.

6. LIPI, UNESCO/ ISDR. Kajian Kesiapsiagaan masyarakat dalam Menghadapi Ancaman

Bencana Alam. Jakarta: LIPI Press. 2006.

7. Sudiastono B. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pengetahuan dan Sikap

Kesiapsiagaan Bencana pada Mahasiswa Keperawatan Universitas Muhammadiyah

Semarang.Fakultas Keperawatan Universitas Muhammadiyah Semarang. 2015;

8. Akbar IN. Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Praktik Keselamatan Kebakaran

Operator SPBU dalam Upaya Pencegahan Kebakaran di Areal SPBU Kecamatan Ngaliyan

Semarang Barat. Fakultas KesehataMasyarakat Universitas Diponegoro. 2008;

9. Soebiyono SW. Pengaruh Pelatihan Terhadap KeterampilanKaryawan dalam Penggunaan

APAR di Apartemen Mediterania Garden II Agung Podomoro Jakarta Barat. Fakultas Ilmu

Kesehatan Universitas Esa Unggul.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 270

10. BKKBN - Pusat Pelatihan Gender dan Peningkatan Kualitas Perempuan. Konsep dan Teori

Gender.Jakarta: Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 2007.

11. Alston, Margaret. 2013. Research, Action dan Policy: Addressing the Gendered Impacts of

Climate Change. Springer Science+Business Media Dordrecht. 2013; DOI 10.1007/978-

94-007-5518- 5.

12. Zahra Nurdina, F. et.al. 2019, ―Faktor-faktor yang berhubungan dengan kesiapsiagaan

tanggap darurat ‖PT. APAC INTI CORPORASEMARANG (Studi Pada Bagian Spinning

IV OE)‖, Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-journal) Universitas Diponegoro. 2019; Vol.7,

No.4. http://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jkm.

13. Gibson, J.L, Ivancevich, J.M, Donnelly, J.H. Organisasi : Perilaku, Struktur dan Proses

(Terjemahan). Jakarta : Erlangga. 1987.

14. Notoatmodjo, Soekidjo. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Cetakan Kesatu, Jakarta :

Rineka Cipta. 2003.

15. Hadibroto, B.Analisis Karakteristik Rumah di Kota Medan Terhadap Pedoman Teknis

Rumah dan Bangunan Gedung Tahan Gempa. Jurnal Education Building. 2017; Vol.3,

No.2 https://jurnal.unimed.ac.id

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 271

DETEKSI RESIKO ANEMIA DAN PENDIDIKAN GIZI PRAKONSEPSI PADA

CALON PENGANTIN WANITA DI KABUPATEN OKI SUMATERA SELATAN

Ditia Fitri Arinda

1*, Rostika Flora

2, Widya Lionita

3

1,2 Bagian Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya

3Bagian Promosi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya

Jl. Palembang Prabumulih KM. 32, Indralaya Indah Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan

Corresponding email: [email protected]

ANEMIA RISK DETECTION AND PRECONCEPTION NUTRITION EDUCATION FOR

WOMEN PROSPECTIVE IN OKI DISTRICT, SOUTH SUMATRA

ABSTRAC

Stunting is a linear growth disorder characterized by height that is not suitable for age.Stunting causes

physical growth and intellectuality of toddlers to experience disruption which results in the quality of a

country's Human Resources. The percentage of stunting in South Sumatra Province in the toddler group was

22.8%.The percentage of stunting reflects the cumulative effect of malnutrition and infection early even

before birth. Failure to fulfill nutrition in 1000 HPK is largely beyond repair.The focus of stunting

interventions can be done since early pregnancy and even before pregnancy. Knowledge about stunting can

be intervention with integrated preconception nutrition education.Included in conveying nutritional

information, programs involving various components of government are needed to run the intervention

program consistently.The purpose of this study was to determine the effect of preconception nutrition

education on women of childbearing age as a preventive stunting event in OKI Regency, South Sumatra.This

study used a quasi-experimental pre-post one group design with purposive sampling technique and data

analysis using paired t-test. The results of this study obtained a mean pre-test 50.4857, while the mean post-

test 50.9714. The average change in knowledge of respondents after being given health education was

10.48571 with a standard deviation of 1.296668. The P-Value 0.111 (P>0,05) results, which means that the

provision of health education does not have a significant influence on the knowledge of respondents.There is

a difference in knowledge scores before and after the provision of preconception nutrition education which is

not significant. Nevertheless, extension services still make an effective contribution in increasing knowledge

of stunting information

Keywords: anemia, education, nutrition, preconception, women

ABSTRAK

Stunting merupakan gangguan pertumbuhan secara linier yang ditandai dengan ukuran tinggi badan yang

tidak sesuai dengan umur. Stunting menyebabkan pertumbuhan fisik dan intelektualitas balita mengalami

gangguan yang berakibat pada kualitas Sumber Daya Manusia suatu Negara. Stunting menggambarkan

dampak dari kurangnya asupan gizi dan kejadian infeksi sejak dini dalam waktu yang lama bahkan sebelum

bayi lahir. Kegagalan pemenuhan gizi pada 1000 HPK ini sebagian besar tidak bisa diperbaiki setelahnya.

Permasalahan stunting yang terjadi salah satunya disebabkan karena kurangnya pengetahuan gizi ibu

mengenai 1000 HPK. Fokus pemberian intervensi stunting dapat di lakukan bahkan sebelum kehamilan.

Pengetahuan mengenai stunting dapat diperbaiki dengan pendidikan gizi prakonsepsi secara terintegrasi dan

melibatkan multisektor sangat diperlukan guna berjalannya program intervensi secara konsisten. Tujuan

penelitian ini untuk mengetahui pengaruh edukasi gizi prakonsepsi pada calon pengantin wanita sebagai

preventif kejadian stunting di Kabupaten OKI, Sumatera Selatan. Penelitian ini menggunakan desain Quasi

eksperiment pre-post one group dengan purposive sampling dan analisis data menggunakan paired t-test.

Hasil penelitian ini menunjukkan sebelum mendapatkan pendidikan kesehatan tentang gizi prakonsepsi rata-

rata pengetahuan responden tentang gizi prakonsepsi adalah 50,4857, sedangkan rata-rata pengetahuan

responden tentang gizi prakonsepsi meningkat setelah dilakukan intervensi menjadi 50,9714. Rata-rata

pengetahuan responden setelah diberikan pendidikan gizi prakonsepsi adalah 10,48571dengan standar deviasi

1,29668. Hasil p-value 0,111 (p>0,05), menunjukkan bahwa pemberian pendidikan gizi prakonsepsi tidak

memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pengetahuan responden. Meskipun demikian, penyuluhanan

tetap memberikan kontribusi yang efektif dalam meningkatkan pengetahuan pasangan usia subur terhadap

informasi mengenai stunting.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 272

Kata Kunci: anemia, pendidikan, gizi, prakonsepsi, wanita

PENDAHULUAN

Stunting merupakan gangguan pertumbuhan secara linier yang ditandai dengan ukuran tinggi

badan yang tidak sesuai dengan umur. Stunting dapat di lihat dari indikator skor-Z tinggi badan

menurut umur (TB/U) kurang dari -2 standar deviasi. Stunting mengindikasikan kejadian gizi salah

yang akumukatif dalam jangka waktu yang lama karena tidak adekuatnya konsumsi zat gizi makro

dan mikro, pola asuh yang tidak tepat dan kondisi kesehatan yang kurang baik 1,2

. Stunting menjadi

salah satu target Sustainable Development Goals (SDGs) yakni poin kedua yang bertujuan untuk

menghilangkan kelaparan dan berbagai bentuk malnutrisi serta menjamin semua orang dapat

menikmati makanan yang aman dan bernutrisi pada tahun 2030. Joint Child Malnutrition

Eltimates (2018) menunjukkan bahwa 150,8 juta atau sama dengan sekitar 22% balita di dunia

mengalami stunting. Indonesia menjadi salah satu Negara dengan prevalensi stunting tertinggi ke-3

di South-East Asia Regional (SEAR). Prevalensi rata-rata balita stunting di Indonesia pads tahun

2005 sampai 2017 sebesar 36,4% 3,4

.

Data Riskesdas 2018 menunjukkan terjadinya grafik penurunan angka stunting di

bandingkan dengan tahun sebelumnya. Tahun 2013 proporsi stunting sebesar 37,2% dan pada

tahun 2018 turn menjadi 30,8% yang terdiri atas 19,3% balita pendek dan 11,5% balita sangat

pendek. Menurut data PSG 2017, persentase stunting pada kelompok balita secara nasional sebesar

29,6%. Persentase stunting di Provinsi Sumatera Selatan pada kelompok balita sebesar 22,8%. Di

Sumatera Selatan, beberapa kabupaten yang menjadi perhatian karena angka stunting yang tinggi

diantaranya adalah Musi Rawas Utara (32,8%), Banyuasin (32,8%), Ogan Ilir (29,5%), Lahat

(28,2%), Empat Lawang (27,7%), dan Ogan Komering Ilir (OKI) sebesar 22,6%. Masalah Stunting

di Indonesia akan dianggap cukup berat apabila 30-39% merupakan prevalensi pendek dan

dianggap serius apabila ≥40% prevalensi pendek. Stunting menggambarkan dampak dari

kurangnya asupan gizi dan kejadian infeksi sejak dini dalam waktu yang lama bahkan sebelum bayi

lahir 5,6

.

Penyebab Stunting bersifat kompleks dan multi faktor. Kondisi ekonomi, politik mendasari

status sosial ekonomi, pendidikan dan lingkungan yang berpengaruh terhadap higien sanitasi,

kejadian infeksi dan asupan makan yang tidak adekuat. Asupan gizi yang tidak memenuhi

kebutuhan balita akan berdampak terhadap kesehatan dan kecerdasan, sehingga dapat

mengakibatkan terjadinya peningkatan angka morbiditas dan mortalitas pada balita, fungsi kognitif

dan psikologis pada masa sekolah menjadi rendah dan peningkatan biaya kesehatan6.

Program Intervensi Stunting dapat dilakukan saat prenatal dan pascanatal. Dalam lingkup

global pencegahan stunting dilakukan melalui strategi SUN(Scalling Up Nutrition), di Indonesia

dikenal dengan Program 1000 Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK) melalui Gerakan Nasional

Sadar Gizi dalam Rangka Percepatan Perbaikan Gizi4. 1000 HPK adalah tahapan kehidupan

dimulai sejak terjadinya kosepsi dan terbentuknya janin di kandungan sampai anak berusia dua

tahun. 1000 HPK adalah masa golden age dan masa untuk memperbaiki (window of opportunity).

Kegagalan pemenuhan gizi pada 1000 HPK ini sebagian besar tidak bisa diperbaiki setelahnya.

Sasaran utama program 1000 HPK adalah anak dibawah usia dua tahun, remaja putri, ibu hamil,

dan ibu menyusui5.

Pasangan usia subur merupakan salah satu kelompok sasaran yang perlu diintervensi dalam

upaya mencegah angka stunting11. Pada pasangan usia subur yang baru menikah, memiliki anak

juga menjadi hal yang paling diharapkan. Prinsip dari pencegahan stunting adalah pentingnya

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 273

untuk menjaga status gizi dan kesehatan ibu sebelum dan selama kehamilan agar ibu terhidar dari

resiko malnutrisi yang dapat mengakibatkan kelahiran bayi pendek (<48 cm) dan BBLR (<2500

gram) yang memiliki risiko stunting. Sehingga perlu adanya upaya pencegahan dimulai dari

persiapan kehamilan yang akan berdampak pada kelahiran bayi, sehingga persiapan harus sedini

mungkin dengan tujuan supaya memiliki bayi yang sehat sempurna dengan status gizi yang baik.5,12

Selama ini Pasangan usia subur selama ini hanya berfokus pada kondisi kehamilan dan

kelahiran, banyak yang belum mengetahui bahwa titik kritis terjadi saat sebelum konsepsi. Hal

tersebut dapat diajadikan evaluasi bahwa masih minimnya informasi yang disampaikan kepada

masyarakat terkait pengetahuan tentang gizi prakonsepsi13

. Bayi yang normal dan sehat sangat

dipengaruhi dari status gizi ibu selama 6 bulan pertama masa prakonsepsi14

.

Kesehatan dan Status Gizi Ibu saat masa sebelum kehamilan, masa kehamilan dan menyusui

menjadi kunci pertumbuhan dan perkembagan anak yang akan dilahirkan. Sehingga menjadi

kewajiban seorang ibu untuk menjaga status gizinya, tentunya hal juga sangat perlu dukungan dari

suami dan keluarga besar. Ibu dengan status gizi yang buruk memiliki resiko 7 kali lebih besar

melahirkan anak yang stunting dibandingkan ibu dengan status gizi baik15

. Ibu hamil KEK beresiko

mengandung janin dengan pertumbuhan yang terhambat dan kelahiran bayi BBLR16

.

Lingkar lengan atas (LiLA) <23,5cm menjadi tanda bahwa KEK telah terjadi pada ibu hamil.

Ibu hamil dengan status gizi kurang berisiko 3 kali lebih besar dibandingkan ibu dengan status gizi

normal untuk menderita anemia, sehingga ibu harus mengonsumsi Tabtet Tambah Darah (TTD)

setiap hari selama kehamilan (minimal 90 tablet selama kehamilan)17,18

. Pemenuhan zat gizi

lainnya juga harus tetap diperhatikan dan juga didukung dengan sanitasi lingkungan yang terjamin

agar ibu terhindar dari masalah gizi serta terhindar dari resiko melahirkan anak yang stunting19.

Permasalahan stunting yang terjadi salah satunya disebabkan karena kurangnya pengetahuan

gizi ibu mengenai 1000 HPK. Pengetahuan gizi yang kurang akan mempengaruhi perilaku

terhadap pola asuh dan pola pemberian makan pada anak20

. Pengetahuan gizi selayaknya

didapatkan bukan hanya dari pendidikan formal saja, tetapi banyak informasi yang bisa didapatkan

dari pendidikan non-formal. Pengetahuan bisa didapatkan dari infromasi yang disampaikan orang

lain melalui berbagai media seperti televisi, radio, koran, hingga penyebaran informasi berdasarkan

pengalaman orang lain yang dibagikan melalui media sosial berbasis jaringan internet22

.

Pengetahuan dan sikap yang baik terhadap kesehatan dan gizi sangat dipengaruhi ada

tidaknya pendidikan kesehatan yang disampaikan dan disebarkan kepada masyarakat23

. Informasi

kesehatan sebenarnya telah banyak tersebar di masyarakat, namun untuk mendukung informasi

tersebut mudah dipahami dan mampu memberikan dampak terhadap perubahan pengetahuan dan

sikap masyarakat, diharapkan informasi yang disampaiakan didukung dengan media yang menarik

dan interaktif bagi masayarakat sehingga lebih mudah diingat. Sehingga tujuan akhir penyampaian

pendidikan tersebut dapat tercapai, yaitu mampu mengubah sikap dan perilaku masyarakat menjadi

lebih baik24

Fokus pemberian intervensi stunting dapat di lakukan sejak awal kehamilan dan bahkan saat

sebelum hamil. Banyak wanita tidak mendapatkan akses pengetahuan gizi saat lima sampai enam

bulan kehamilan8. Tumbuh kembang individu sudah dimulai sejak terbentuknya janin di dalam

kandungan ibu, sampai menjadi remaja hingga menjadi manusia dewasa9,12

. Pengetahuan mengenai

stunting dapat dilakukan dengan pendidikan gizi prakonsepsi secara terintegrasi. Termasuk dalam

menyampaikan informasi gizi, program yang melibatkan berbagai komponen pemerintahan sangat

diperlukan guna berjalannya program intervensi secara konsisten13

. Untuk mencapai tujuan

pendidikan kesehatan, informasi yang disampaikan harus menggunakan bahasa yang sesuai dengan

karakteritik objek pendidikan sehingga mudah dipahami, media pendidikan pendidikan yang

sederhana dan sesuai dengan sasaran dari pendidikan yang dilakukan10,11,24

.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 274

METODE

Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan SP Padang Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI),

Sumatera Selatan. Waktu penelitian selama 1 tahun dengan waktu interveni pada bulan April – Juni

2019. Jenis penelitian eksperimen deskriptif analitik dengan Metode penelitian quasi eksperiment,

pre-post test one group.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh wanita usia subur yang tercatat di Kantor

Urusan Agama ( KUA) di Kecamatan SP Padang Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera

Selatan periode bulan April-Mei 2019 dengan jumlah sampel sebanyak 35 orang.

Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive sampling dengan

menggunkan kriteria inklusi menjadi responden adalah wanita usia produktif (15-49 tahun,

Kemenkes RI), dan bersedia mengikuti penelitian sampai selesai. Kriteria eksklusinya adalah

wanita yang sedang menjalani diit tertentu karena penyakit.

Data yang dianalisis adalah data univariat dan bivariat. Paired t-test digunakan pada

analisis bivariat untuk melihat perbedaan sebelum dan sesudah intervensi dengan signifikansi

p<0,05. Data yang dianalisis adalah data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan

melalui kuesioner dan wawancara terhadap informan (indepth interview). Data sekunder

didapatkan berdasarkan data yang diperoleh dari puskesmas dan kantor KUA terdiri dari data profil

lembaga, dokumen terkait daftar pesert dan laporan tahunan.

HASIL PENELITIAN

Tabel 1. Karakteristik Responden Penelitian

Karakteristik n %

Usia <20

20-35

6

29

17,1

82,9

Pendidikan

Terakhir

SD

SMP

SMA

PT

1

4

27

3

2,9

11,4

77,1

8,6

Indeks Massa

Tubuh

Kekurangan BB tingkat berat

Kekurangan BB tingkat ringan

Normal

Kelebihan BB tingkat ringan Kelebihan BB tingkat berat

2

5

24

2 2

5,7

14,3

68,6

5,7 5,7

LILA Normal

Tidak Normal

29

6

82,9

17,1

Kadar HB Normal Tidak Normal

23 12

65,7 34,3

Berdasarkan hasil analisis table diatas, dari 35 responden dapat dilihat bahwa 29 orang

(82,9%) berada pada rentang umur 20-35 tahun. Mayoritas tingkat pendidikan responden SMA

yaitu 27 orang (77,1%). Mayoritas indeks massa tubuh responden berada dalam kondisi normal

sebanyak 24 orang (68,6%). Selanjutnya, mayoritas ukuran lingkar lengan atas responden berada

dalam kondisi normal sebanyak 29 orang (82,9%). Dan mayoritas kadar HB responden berada

dalam kondisi normal sebanyak 23 responden (65,7%).

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 275

Tabel 2. Hasil Analisis Pengetahuan Pretest dan Post Testtest

Tabel berikut menunjukkan bahwa sebelum mendapatkan pendidikan kesehatan tentang

gizi prakonsepsi rata-rata pengetahuan responden tentang gizi prakonsepsi adalah 5,4857 (SD

2,33101). Kemudian Rata-rata pengetahuan terkait gizi prakonsepsi meningkat setelah dilakukan

intervensi, yaitu menjadi 5,9714 (SD 1,94763). Pengetahuan responden setelah diberikan

pendidikan kesehatan rata-rata mengalami perubahan sebesar 0,48571 (SD 1,29668). Berdasarkan

Uji paired t-test didapatkan hasil p-value 0,111, yang berarti bahwa pendidikan kesehatan tidak

memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pengetahuan responden.

PEMBAHASAN

Hasil penelitian yang didapatkan mengenai pengetahuan pencegahan stunting sebelum

pendidikan menunjukkan skor rata-rata sebesar 5,4857. Sedangkan pada setelah diberikan

pendidikan prakonsepsi terjadi peningkatan pengetahuan yang menunjukkan skor rata-rata sebesar

5,9714.

Pengetahuan merupakan informasi, maupun ide yang didapatkan seseorang melalui

penyampaian media maupun secara langsung dari seseorang baik secara formal maupun informal25

.

Pengetahuan juga merupakan suatu proses pembentukan informasi dan pemahaman yang dilakukan

terus-menerus oleh seseorang dan masih akan terus mengalami perubahan baru. Dalam pemberian

pendidikan kesehatan mengenai stunting, responden yang pernah terpapar tentang materi stunting

atau 1000 HPK lebih melekat pada ingatannya yang pernah dialami. Sehingga saat diberikan

pendidikan kesehatan mengenai stunting akan lebih mudah menyerap materi yang diberikan.

Intelegensia seseorang dipengaruhi beberapa faktor yaitu pembawaan, pembentukan, minat dan

pembawaan yang khas serta kebebasan.26

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa media yang sesuai dengan sasaran, menarik dan

penyampaian juga dilakukan dengan strategi yang tepat dapat meningkatkan pengetahuan wanita

usia subur tentang upaya pencegahan stunting. Selain itu, hal ini juga dapat menjadi usaha untuk

meningkatkan sosialisasi pencegahan stunting di wilayah Sirah Pulau Padang. Penggunaan media

baik tulisan, gambar ataupun instrumen yang dapat didemokan mampu meningkatkan pengetahuan

lebih signifikan dibandingkan hanya dengan metode ceramah tanpa alat bantu. Media dirancang

agar penerimaan informasi dapat lebih maksimal27

.

Meskipun hasil uji beda menunjukkan p-value yang tidak signifikan, skor pengetahuan

menunjukkan peningkatan. Skor pengetahuan responden mengalami peningkatan dikarenakan

responden fokus pada apa yang disampaikan oleh pemberi materi, pemateri mengupayakan

informasi yang disampaikan dapat mudah dipahami dan dengan ilustrasi yang sederhana sehingga

responden dapat mengambil kesimpulan dan maksud dari informasi tersebut secara tepat. Ketika

dalam kelompok yang lebih kecil, fokus dan perhatian responden benar-benar akan tertuju pada

penceramah (peneliti) yang sedang menyampaikan materi. Hal ini sejalan dengan penelitian

Maelafitri yang menyatakan bahwa media pendidikan dengan buku bergambar 3D merupakan

sebuah media visual yang berpengaruh terhadap pengetahuan mengenai anemia pada remaja putri

dengan dengan nilai signifikan 0,0001<0,005. Pendidikan dengan ceramah yang didukung dengan

Pengetahuan Mean SD Mean SD P

Pretest 5,4857 2,33101 0,48571 1,29668 0,111

Posttest 5,9714 1,94763

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 276

gambar dan ilustrasi pada bahan informasi yang educator sampaikan, lebih efektif dibandingkan

multimedia flash card yang berisikn tulisan dan gambar. Metode ceramah tetap efektif karena

edukator mampu menjelakan dengan jelas dan bahasa yang mudah diterima oleh reponden, serta

mampu berdiskusi secqra interaktif dengan responden. Pengetahuan responden mengalami

peningkatan setelah diberikan intervensi berupa pendidikan gizi dengan metode ceramah

dibandingkan dengan sebelum diberikan intervensi (p<0,001)28

.

Menurut peneliti, peningkatan skor pengetahuan pada kelompok perlakuan tersebut mungkin

disebabkan karena berbagai faktor yang berkaitan dengan penerimaan informasi terkait stunting.

Diantaranya adalah, Konten materi yang disanpaikan berkaitan dengan hal yang sangat penting

untuk mereka yaitu tentang status gizi dan kesehatan anak. Seperti yang kita ketahui, wanita usia

subur cenderung masih memiliki anak yg usianya belia dan jika yang hendak menikah, sudah

terdaftar di KUA untuk melangsungkan pernikahan. Sehingga hal ini menjadi hal yang cukup

menggerakkan mereka untuk lebih serius mendengarkan karna hal ini merupakan hal penting yang

sangat berkaitan dengan prioritas mereka saat ini. Selain itu media yang digunakan untuk

menyampaikan informasi sebelumnya kepada responden membuat responden cukup menerima

informasi, dapat juga disebabkan karena pemberi informasi (peneliti) adalah orang yang

diperkenalkan kepada responden sebagai seorang pakar dibidang gizi sehingga responden dengan

serius mendengarkan informasi yang disampaikan oleh orang yang memangmenurut mereka ahli

dibidangnya. Kesuksesan penyampaian informasi pada akhirnya akan ditentukan oleh mutu dan

kualitas seseorang yang menyampaikan informasi tersebut secara lugas dan meyakinkan sehingga

informasinya mudah diingat.29

Penelitian lainnya menyatakan bahwa penggunaan media visual yang unik dan menarik yang

belum pernah mereka lihat juga mampu meningkatkan pengetahuan pasangan calon pengantin

tentang informasi yang berkaitan dengan 1000 Hari Pertama Kehidupan. Metode yqng digunakan

adalah dengan memberikan kartu berisi informasi yang dapat dibaca berulang kali, serta bentuk

yang unik dari Kartu Cinta Anak (KCA) mampu memberikan peningkatan pengetahuan secara

signifikan.29,30

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, didapatkan kesimpulan bahwa terdapat

perbedaan skor pengetahuan sebelum dan sesudah pemberian edukasi gizi prakonsepsi meskipun

tidak signifikan. Meskipun demikian, penyuluhanan tetap memberikan kontribusi yang efektif

dalam meningkatkan pengetahuan pasangan usia subur terhadap informasi mengenai stunting.

DAFTAR PUSTAKA

1. KDPDTT. Buku Saku Desa dalam Penanganan Stunting. Jakarta. 2017.

2. Apriluana, Gladys dan Fikawati, Sandra. Analisis Faktor-Faktor Risiko terhadap Kejadian

Stunting pada Balita (0-59 Bulan) di Negara Berkembang dan Asia Tenggara. Media

Litbangke. 2018; Volume 28 Nomor 4 Halaman 247 – 256.

3. Kemenkes. Kesehatan dalam Kerangka Sustainable Development Goals (SDGs). Jakarta. 2015.

4. United Nations Children‘s Fund, World Health Organization, World Bank Group. Levels and Trends in

Child Malnutrition: Key Findings of The 2018 Edition of The Joint Child Malnutrition Estimates. 2018.

5. Pusdatin Kemenkes RI,. Buletin Jendela Data dan Informasi : Situasi Balita Pendek (stunting)

di Indonesia. Jakarta. 2018.

6. Kemenkes. Buku Saku Pemantauan Status Gizi Tahun 2017. Jakarta. 2018.

7. Maelafitri N, Laras S, Anugrah N., The Effect of Nutritional Education with the Media

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 277

Explosion Box on Knowledge and Attitudes about Anemia to Teenage Girl in Senior High

School 23 Jakarta Barat. 2019;

8. Marimbi, H. Tumbuh Kembang, Status Gizi, dan Imunisasi Dasar pada Balita. Yogyakarta :

Nuha Offset. 2010.

9. Welasasih BD, Wirjatmadi RB. Beberapa faktor yang berhubungan dengan status gizi balita

stunting. The Indonesian Journal of PublicHealth. 2012; Vol 8 Nomor 3.

10. Kholid, Ahmad. Promosi Kesehatan : Dengan Pendekatan Teori Perilaku, Media, dan Aplikasi

untuk Mahasiswa dan Praktisi Kesehatan. Jakarta : Rajawali Pers. 2014.

11. Achadi, Umar Fahmi. Kesehatan Masyarakat : Teori dan Aplikasi. Jakarta : Raja Grafindo

Persada. 2013.

12. Tentama F, Delflores HDL, Wicaksono AE, Fatonah SF. Penguatan Keluarga sebagai Upaya

Menekan Angka Stunting dalam Program Kependudukan, Keluarga Berencana dan

Pembangunan Keluarga (KKBPK). Jurnal Pemberdayaan: Publikasi Hasil Pengabdian Kepada

Masyarakat. 2018; Volume 2 Nomor 1. ISSN: 2088 4559

13. Sunarsih, Tri. Asuhan kehamilan untuk kebidanan. Jakarta: Salemba Medika. 2011.

14. Paratmanitya, Yhona. Hadi, Hamam. Susetyowati. Citra tubuh, asupan makan, dan status gizi

wanita usia subur pranikah. Jurnal Gizi Klinik Indonesia. 2012;Volume 8 Nomor 3 Halaman

126-134.

15. Sujiono, Bambang & Sujiono, Yuliani Nurani. Persiapan dan Saat Kehamilan. Jakarta : PT

Elex Media Computindo 5. 2004.

16. Susilowati, Kuspriyanto. Gizi Dalam daur Kehidupan. Bandung : PT. Refika Aditama. 2016.

17. Senbajo IO, Olawiyola IO, Senbajo OC. Maternal and Child Under Nutrition in Rural and

urban Communities of Lagos State, Nigeria : The Relationship and Risk Factor. BMC Research

Notes. 2013; ISSN : 1756-0500.

18. Prabandari, Yunilla. Hubungan Kurang Energi Kronik dan Anemia pada Ibu Hamil dengan

Status Gizi Bayi Usia 6-12 Bulan Di Kabupaten Boyolali. Penelitian Gizi dan Makanan: 2016;

Volume 39 Nomor 1 Halaman 1-8.

19. Marlapan S, Wantouw B, Sambeka J. Hubungan Status Gizi dengan Kejadian Anemia pada

Ibu Hamil Di Wilayah Kerja Puskesmas Tuminting Kec. Tuminting Kota Manado. ejournal

keperawatan (e-Kp): 2013; Volume 1 Nomor 1.

20. Citrakesumasari, Dwi Susilowati, Suriah, Bohari. MAPPACCI sebagai Pendekatan Pemberian

Pemahaman Calon Pengantin tentang Anemia Gizi dan Kurang Energi Kronik (KEK) Di

Kabupaten Barru Sulawesi Selatan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Kementerian Kesehatan RI. 2012; ISSN : 978-602-235-256-3.

21. Zahraini, Y. 1000 Hari Pertama Kehidupan : Mengubah Hidup, Mengubah Masa Depan. Subdit

Bina Gizi Makro. 2013. Diakses dari http://gizi.depkes.go.id/1000-hari-mengubah-hidup-

mengubah-masa-depan pada tanggal 23 April 2019.

22. Mubarak & Chayatin. Teori dan Aplikasi Ilmu Kesehatan Masyarakat,Pendidikan Kesehatan,

Konsep Perilaku dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika. 2009.

23. Kumboyono. Perbedaan Efek Penyuluhan Kesehatan Menggunakan Media Cetak dengan

Media Audio Visual terhadap Peningkatan Pengetahuan Pasien Tuberkulosis. Jurnal Ilmiah

Kesehatan Keperawatan. 2011; Volume 7 Nomor 1.

24. Andriani.Wa Ode Sri, dkk. Perbedaan pengetahuan, sikap, dan motivasi ibu sesudah diberikan

program Mother Smart Grounding (MSG) dalam pencegahan Stunting di Wilayah Kerja

Puskesmas Puuwatu Kota Kendari tahun 2017. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kesehatan

Masyarakat. 2017; Volume 2 Nomor 6.

25. Maelafitri N, Laras S, Anugrah N. The Effect of Nutritional Education with the Media

Explosion Box on Knowledge and Attitudes about Anemia to Teenage Girl in Senior High

School 23 Jakarta Barat. 2019;

26. Wawan & Dewi. Teori & Pengukuran Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Manusia. Yogyakarta:

Nuha Medika. 2011.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 278

27. Marchianti ACN, Sakinah EN, Diniya N. Efektifitas penyuluhan gizi pada kelompok 1000

HPK dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap kesadaran gizi. Journal of Agromedicine and

Medical Sciences. 2017; Volume 3 Nomor 3.

28. Dalyono, Muhammad. 2007. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta. 2007.

29. Ganiajri, Faqihani dkk. 2011. Perbedaan Pemanfaatan Multimedia Flash dan Ceramah sebagai

Media Pendidikan Reproduksi Remaja pada Remaja Awal di SMP N 3 Turi Kabupaten

Sleman. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2017; Volume 1 Nomor 2.

30. Gloria, Angeline. Pengaruh Penyuluhan Kesehatan dengan Metode Ceramah dan Diskusi

Kelompok terhadap Pengetahuan dan Sikap Mengenai Kesehatan Reproduksi Remaja. 2014;

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 279

KORELASI FREKUENSI SENAM HAMIL DENGAN LAMA PERSALINAN

KALA II DI RUMAH SAKIT UMUM YK MADIRA PALEMBANG TAHUN 2020

Erma Puspita Sari

1, Rini Gustina Sari

2*

1Bagian Kebidanan Universitas Kader Bangsa

2Bagian Kebidanan Universitas Kader Bangsa

Jln. Mayjend H.M Ryacudu No 88 Palembang

Corresponding email : [email protected]

THE CORRELATION BETWEEN THE FREQUENCY OF PREGNANCY EXERCISE AND

THE DURATION OF THE SECOND STAGE OF LABOR AT THE YK MADIRA

PALEMBANG GENERAL HOSPITAL IN 2020

ABSTRACT

The delivery process is influenced by five reasons, three main reasons, namely the power to expel the fetus

(power), namely contraction of the uterine muscles, contraction of the abdominal wall muscles, contraction

of the thoracic diaphragm and ligaments, other causes are the fetus and the birth canal. Of the five factors

that influence the delivery process, only the power factor can be controlled, namely routine pregnancy

exercise classes, so that prolonged labor can be prevented. The purpose of this study was to determine the

correlation between the frequency of pregnancy exercise and the second stage of labor at YK Madira

General Hospital. The research method used was quantitative, using an observational study with a

retrospective approach. The population was all post partum mothers, amounting to 20 respondents who met

the inclusion and exclusion criteria, while the study sample used the Probability Sampling Technique (not

random) with purposive sampling (criteria determined by the researcher). Analysis of the data using the

Simple Linear Regression Correlation Test, the results obtained a p value of 0.037 ≤ 0.05, meaning that there

is a proven correlation between the frequency of pregnancy exercise and the duration of the second stage of

labor. Then also obtained the pearson correlation value -0.662 which gives an interpretation that the

correlation between the frequency of exercise and the length of labor has a strong degree and has a negative

pattern, meaning that the more routine the mother does pregnancy exercises, the easier it is for the mother to

go through the normal labor process. There is a correlation between the frequency of pregnancy exercise

and the duration of the second stage of labor at the YK Madira Palembang General Hospital in 2020. It is

hoped that health workers can motivate pregnant women to participate in pregnancy exercise classes which

aim to make it easier for mothers to go through the normal labor process.

Keywords: Frequency of Pregnant Exercise, Duration of Second Stage Labor

ABSTRAK

Proses melahirkan dipengaruhi oleh lima sebab, tiga sebab utama yaitu kekuatan mengeluarkan janin (power)

yaitu kontraksi otot rahim, kontraksi otot-otot dinding perut, kontraksi thoracic diaphragma dan ligamentum,

sebab lain adalah janin dan jalan lahir. Dari kelima faktor yang mempengaruhi proses persalinan hanya faktor

power yang dapat dikontrol, yaitu rutin mengikuti kelas senam hamil, sehingga persalinan lama dapat

dicegah. Tujuan penelitian ini diketahuinya korelasi frekuensi senam hamil terhadap proses persalinan kala II

diRumah Sakit Umum YK Madira. Metode penelitian yang digunakan adalah kuantitatif, menggunakan studi

observasional dengan pendekatan Retrospektif. Populasi yaitu keseluruhan ibu post partum yaitu berjumlah

20 responden yang memenuhi kriterian inklusi dan eksklusi, sedangkan sampel penelitian menggunakan

Teknik Probability Sampling (tidak acak) dengan purposive sampling (kriteria yang ditentukan peneliti).

Analisa data menggunakan Uji Korelasi Regresi Linier Sederhana, Hasil penelitian diperoleh nilai p.value

0,037 ≤ 0,05 artinya terbukti ada korelasi frekuensi senam hamil dengam lama proses persalinan Kala II.

Kemudian diperoleh juga nilai pearson correlation -0,662 yang memberikan interpretasi bahwa korelasi

frekuensi senam dengan lama persalinan mempunyai derajat yang kuat dan berpola negatif artinya semakin

rutin ibu melakukan senam hamil semakin mempermudah ibu melewati proses persalinan secara normal. ada

korelasi frekuensi senam hamil dengan lama proses persalinan kala II di Rumah Sakit Umum YK Madira

Palembang tahun 2020. Diharapkan pada tenaga kesehatan dapat memberikan motivasi kepada ibu hamil

untuk mengikuti kelas senam hamil yang bertujuan mempermudah ibu melewati proses persalinan secara

normal.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 280

Kata Kunci: Frekuensi Senam Hamil, Lama Proses Persalinan Kala II

PENDAHULUAN

Persalinan dapat diartikan poses pengeluaran hasil konsepsi melalui vagina yang dapat hidup

di luar. Persalinan Kala II atau kala pengeluaran yaitu dimulai dari pembukaan lengkap (10cm)

sampai bayi dilahirkan. Proses ini berlansung 90 menit bagi ibu yang melahirkan untuk pertama

kalinya dan 30 menit bagi ibu yang melahirkan lebih dari satu kali. Proses persalinan yang lama

dapat menyebabkan timbulnya masalah/penyulit bahkan kematian saat proses persalinan. Proses

persalinan lama dapat di cegah dengan rutin mengikuti senam hamil. (Sondakh, 2013).

Program Pemerintah dalam menurunkan angka kematian ibu dan mordibitas yaitu

memberikan pelayanan antenatal terpadu, seperti memberikan intervensi kesehatan yang efektif

selama kehamilan dengan kelas senam hamil. Tenaga kesehatan khususnya bidan dalam

memberikan pelayanan pada ibu hamil memiliki kewajiban untuk membimbing ibu melakukan

senam hamil sesuai dengan trimester kehamilan. Senam hamil dapat diartikan sebagai latihan olah

tubuh bagi ibu hamil yang tidak ada komplikasi/penyulit selama kehamilan untuk mempersiapkan

kondisi fisik ibu saat melahirkan dengan menjaga kondisi otot-otot panggul ibu dan persendian

yang berperan dalam proses persalinan sehingga bayi dapat keluar melalui vagina.

Sebenarnya sejarah perkembangan senam hamil di mulai pada saat Crel Vosky dan Lamaze

memperkenalkan metode psikopropilaksis. Lamaze menerapkan dengan teknik relaksasi. Sejak

hamil ibu melakukan latihan untuk mengubah pandangan tentang rasa sakit saat kontraksi, dari

pandangan negatif menjadi pandangan positif. Tahun 1996 Depkes RI mengeluarkan standar

pelayanan minimum Rumah Sakit Sayang Ibu yang terdiri dari 10 tahapan menuju perlindungan

Ibu secara terpadu dan maksimal. Sehingga, waktu kunjungan Antenatal Care diharapkan

memberikan Antenatal Edukasi, yaitu dari 10 langkah menuju perlindungan ibu secara terpadu dan

maksimal salah satunya dengan program senam hamil sebagai bentuk sayang ibu (Maryunani,

2011).

Adapun keuntungan melakukan senam hamil rutin tidak hanya memberikan kenyamanan ibu

selama kehamilan, tetapi juga memberikan banyak keuntungan dalam proses persalinan.

Keuntungan senam hamil di kala I, dapat menurunkan kejadian persalinan lama, mengurangi rasa

nyeri dan menurunkan rasa cemas ibu dalam melewati proses persalinan karena dengan mengikuti

senam hamil yang rutin dapat menyebabkan otot menjadi elastis dan ligamen di panggul, mengatur

tehnik respirasi serta memperbaiki posisi tubuh. Keuntungan senam hamil di kala II, yaitu

membantu ibu melewati proses persalinan yang normal sehingga persalinan lama dapat dicegah,

karena waktu mengikuti kelas senam hamil ibu dilatih cara mengejan dan mengatur pernapasan,

mengatur his dan relaksasi serta melatih kelenturan otot-otot dinding abdomen dan dasar panggul

sehingga mempermudah proses persalinan. Selama kala III dan kala IV senam hamil bermanfaat

mencegah terjadinya perdarahan yang berlebihan, karena waktu mengikuti latihan senam hamil ibu

di latih meningkatkan kemampuan mengkoordinasikan kekuatan kontraksi otot uterus (Dewi,

2013).

Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di Rumah Sakit Umum YK Madira tahun 2017

jumlah kunjungan ibu hamil sebanyak 8.024 orang yang melakukan senam hamil 42 orang

(0,52%), tahun 2018 jumlah kunjungan ibu hamil 7.608 orang yang melakukan senam hamil 22

orang (0,28%), tahun 2019 kunjungan ibu hamil berjumlah 6.102 orang yang melakukan senam

hamil 27 orang (0,44%). Sedangkan jumlah persalinan pada tahun 2017 jumlah ibu bersalin 986

orang, tahun 2018 jumlah ibu bersalin 972 orang dan tahun 2019 jumlah ibu bersalin 878 orang.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 281

Tujuan penelitian ini diketahuinya korelasi frekuensi senam hamil dengan lamanya persalinan kala

II di Rumah Sakit Umum YK Madira Palembang.

METODE

Desain penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif, menggunakan studi

observasional dengan pendekatan Retrospektif yaitu penelitian yang melihat ke belakang, yang

artinya data dikumpulkan dimulai dari akibat yang terjadi, kemudian dari akibat tersebut dicari

penyebabnya yang mempengaruhi akibat tersebut. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus-

September 2020 di RSU YK Madira Palembang.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu post partum di unit rawat inap Bagian

Obsterti dan Ginekologi di Rumah Sakit Umum YK Madira Palembang. Penelitian ini

menggunakan sampel sebanyak 10 yang memenuhi kriterian inklusi dan ekslusi. Pengambilan

sampel menggunakan Teknik Probability Sampling (tidak acak) dengan purposive sampling.

(kriteria yang ditentukan peneliti) Teknik pengumpulan data menggunakan data primer dari

kuesioner dan data sekunder dari catatan rekam medik (CM) ibu post partum pervaginam di unit

rawat inap Bagian Obsterti dan Ginekologi di Rumah Sakit Bunda Palembang.

Pengolahan data dalam penelitian ini terdiri dari proses penyuntingan data, pengkodean data,

tabulasi data dan pembersihan data. Analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa

bivariat dengan Uji Korelasi Regresi Linier Sederhana. Sebelum melakukan analisis korelasi senam

hamil dengan lama persalinan Kala II menggunakan uji Korelasi Regresi Linier, maka disini

dilakukan analisis normalitas data terlebih dahulu.

HASIL PENELITIAN

Uji Normalitas

Dalam melakukan analisis regresi linier sederhana data penelitian harus di uji kenormalan

distribusinya, yang merupakan salah satu persyaratan analisis data. Uji Kolmogorov-Smirnov

bertujuan untuk mengetahui apakah data yang digunakan dalam penelitian berdistribusi normal

atau tidak. Uji penelitian dalam hal ini menggunakan One-Sample Kolomogorov-Smirnov. Dasar

yang digunakan adalah dengan uji Asymp-sig(2-tailed) dengan taraf signifikansi sebesar 5%. Jika

nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 artinya data penelitian berdistribusi normal, sebaliknya jika

nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05 artinya data peneltian tidak berdistribusi secara normal.

Berikut hasil uji normalitas di terangkan pada tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov Data Lama Persalinan

di RSU YK Madira Tahun 2020

Frekuensi Senam Lama Persalinan

N 10 10

Normal Parametersab Mean 3,60 80,60

Std Deviation ,699 4,949 Most Extreme Absolute ,416 ,152

Differences Positive ,284 ,098

Negative -,416 -,152

Kolmogorov-Smirnov Z 1,317 ,480 Asymp Sig (2-tailed) ,062 ,970

a. Test Distribution is Normal

b. Calculated from data

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 282

Berdasarkan Tabel 1 diatas, bahwa variabel frekuensi senam dan lama persalinan memiliki

nilai Asymp-sig(2-tailed) di atas 0,05 (frekuensi senam 0,062 dan lama persalinan 0,975) sehingga

dapat di simpulkan memiliki data yang berdistribusi normal.

Tabel 2 menunjukkan hasil analisis frekuensi senam dan lama persalinan di RSU YK Madira

dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2. Hasil Analisis Data Numerik Frekuensi Senam dan Lama Proses Persalinan

di Rumah Sakit Umum YK Madira Tahun 2020

Frekuensi Senam Lama Persalinan

N Valid 10 10

Missing 0 0

Nilai Mean 3,60 80,60

Nilai Median 4,00 81,50 Mode 4 70a

Std. Deviation ,699 4,949

Variance ,489 24,489

Range 2 17 Nilai Minimum 2 70

Nilai Maximum 4 87

a. Multiple modes exixt The smallest value is shown

BerdasarkanTabel 2 diatas, diperoleh bahwa untuk variabel frekuensi senam nilai rata-rata

3,60, nilai tengah 4,00, mode 4, Standar Deviation 0,699, nilai terendah 2 dan nilai tertinggi 4,

sedangkan variabel lama persalinan nilai rata-rara 80,60, nilai tengah 81,50, mode 70, Standar

Deviation 4,949, nilai terendah 70 dan nilai tertinggi 87.

Tabel 3 menunjukkan hasil korelasi frekuensi senam hamil dengan lama proses persalinan

Kala II di Rumah Sakit Umum YK Madira Palembang dapat dilihat pada pabel dibawah ini :

Tabel 3. Korelasi Frekuensi Senam Hamil dengan Lama Proses Persalinan Kala II

di Rumah Sakit Umum YK Madira Tahun 2020

Frekuensi Senam Lama Persalinan

Frekuensi Senam Pearson Correlation 1 -,662

Sig (2-tailed) ,037

N 10 10 Lama Persalinan Pearson Correlation -,662 1

Sig (2-tailed) ,037

N 10 10

Correlation is significant at the 0,05 level (2-tailed)

BerdasarkanTabel 3 diatas, dapat dilihat nilai p.value = 0,037 ≤ 0,05 yang artinya

terbukti ada korelasi frekuensi senam hamil dengan lama proses persalinan kala II

kemudian diperoleh nilai r = -0,662 yang memberikan interpretasi bahwa korelasi

frekuensi senam dengan lama proses persalinan mempunyai derajat yang kuat dan berpola

negatif artinya semakin sering ibu melakukan senam, proses persalinan kala II semakin

cepat.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 283

PEMBAHASAN

Senam Ibu Hamil

Senam hamil dapat diartikan sebagai latihan olah tubuh bagi ibu hamil yang tidak ada

komplikasi/penyulit selama kehamilan untuk mempersiapkan kondisi fisik ibu saat melahirkan

dengan menjaga kondisi otot-otot panggul ibu dan persendian yang berperan dalam proses

persalinan sehingga bayi dapat keluar melalui vagina atau jalan lahir, apabila ibu tidak melakukan

senam hamil kemungkinan persalinan pada kala II menjadi lama sehingga meningkatkan terjadinya

gawat janin pada waktu persalinan (Susiloningtyas, 2013).

BerdasarkanTabel 2 diatas, diperoleh bahwa untuk variabel frekuensi senam nilai rata-rata

3,60, nilai tengah 4,00, mode 4, Standar Deviation 0,699, nilai terendah 2 dan nilai tertinggi 4,

sedangkan variabel lama persalinan nilai rata-rara 80,60, nilai tengah 81,50, mode 70, Standar

Deviation 4,949, nilai terendah 70 dan nilai tertinggi 87. Dalam hal ini berarti ada hubungan yang

signifikan frekuensi senam hamil pada ibu bersalin dengan kala II (pengeluaran) normal, dimana

nilai rata-rata senam yang dilakukan ibu hamil sebanyak 4 kali dalam seminggu dan nilai mean

untuk lama ibu bersalin di kala II adalah 80 menit. Latihan senam hamil yang diikuti selama

kehamilan secara rutin membuat tubuh menjadi relaksasi sempurna, dengan latihan kontraksi dan

relaksasi membuat elastisitas otot-otot dinding abdomen, ligament, otot-otot dasar dasar panggul

yang berhubungan dengan proses melahirkan menjadi lebih kuat, latihan senam hamil dapat

menguasai teknik-teknik pernapasan yang mempunyai manfaat penting dalam proses persalinan.

Sesuai dengan tujuan senam hamil menurut Agnesti (2009), bahwa secara umum ada lima tujuan

senam hamil yaitu : agar ibu hamil menguasai teknik pernapasan dengan baik yang bermanfaat

untuk memperlancar suplai oksigen bagi bayi dan teknik pernapasan juga membantu ibu hamil

ketika menjalani proses persalinan sehingga bisa berjalan normal.

BerdasarkanTabel 3 diatas, dapat dilihat nilai p.value = 0,037 ≤ 0,05 yang artinya terbukti

ada korelasi frekuensi senam hamil dengan lama proses persalinan kala II kemudian diperoleh nilai

r = -0,662 yang memberikan interpretasi bahwa korelasi frekuensi senam dengan lama proses

persalinan mempunyai derajat yang kuat dan berpola negatif artinya semakin sering ibu melakukan

senam, proses persalinan kala II semakin cepat.

Penelitian ini ternyata sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Maryunani senam hamil

adalah suatu latihan fisik yang penting untuk mempertahankan atau memperbaiki keseimbangan

fisik ibu hamil agar proses persalinan dapat berlangsung cepat, mudah dan aman (Maryunani,

2014).

Latihan senam hamil yang dilakukan mempunyai tujuan utama yaitu agar ibu hamil

mendapatkan kekuatan dan tonus otot yang baik, teknik respirasi yang baik sehingga proses

persalinan terutama saat persalinan kala II diperoleh power pada persalinan. (Muhimah,2010). Ibu

yang melakukan senam hamil secara teratur, memberikan keuntungan di kala II menjadi lebih

pendek, mengurangi kejadian operasi section caesarea, dan mengurangi terjadinya gawat janin pada

waktu persalinan, hal ini menunjukkan bahwa ibu hamil yang jarang mengikuti senam hamil akan

mengalami kala II yang lebih panjang atau lama dibandingkan ibu yang sering mengikuti senam

hamil. (Anggraeni, 2010).

Penelitian ini didukung penelitian terdahulu oleh Nugraeny (2019) dengan judul hubungan

keteraturan senam hamil dengan durasi persalinan kala II pada ibu bersalin diklinik Nurhayati,

yang hasilnya adalah ibu yang pertama kali melahirkan yang teratur senam hamil mengalami

persalinan cepat sebesar 37,5%, sedangkan multigravida yang teratur senam hamil mengalami

persalinan cepat sebesar 28,6%. Hasil uji statitistik chi square didapatkan nilai p.value = 0,004 < α

0,05 yang artinya ada hubungan yang signifikan senam hamil dengan durasi persalinan kala II.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 284

Hasil X2hitung=11,185 artinya bahwa ibu yang mengikuti senam hamil secara rutin cenderung

mengalami proses persalinan kala II dengan waktu yang lebih cepat jika dibandingkan dengan

ketidak teratur ibu melakukan senam hamil.

Proses melahirkan dipengaruhi oleh lima sebab, tiga sebab utama yaitu kekuatan

mengeluarkan janin (power) diantaranya his (kontraksi otot rahim), kontraksi otot-otot dinding

perut, kontraksi thoracic diaphragma dan ligamentum, sebab lain adalah janin (passager) dan jalan

lahir (passage). Dari kelima faktor yang mempengaruhi proses persalinan hanya faktor tenaga atau

power yang dapat dikendalikan, yaitu rutin mengikuti kelas senam hamil, sehingga persalinan

lama dapat dicegah. Senam selama kehamilan memberikan manfaat positif terhadap pembukaan

serviks, selain itu ditemukan secara bermakna proses melahirkan yang lebih awal dan persalinan

yang lebih singkat dibandingkan dengan yang tidak melakukan senam hamil, selain itu senam

hamil juga dapat membantu ibu bersalin sehingga dapat melahirkan tanpa kesulitan. (Sulistyawati,

2010).

Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Sari (2015) yang berjudul, hubungan

frekuensi senam hamil terhadap lama persalinan kala II di RB Rahmi Kota, hasilnya menunjukkan

ada hubungan frekuensi senam hamil dengan lama persalinan kala II di RB Rahmi berdasarkan

hasil analisis statistik yaitu diperoleh nilai p.value (0,028 < α 0,05).

Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan Septaningtia (2015), dengan

judul hubungan senam hamil dengan lama proses persalinan kala II pada ibu primigravida di RSIA

Sadewa, hasil uji univariat diperoleh responden yang melakukan senam hamil secara rutin dan

melewati persalinan kala II yang berlangsung normal sebanyak 66,7%. Berdasarkan hasil uji chi

square diperoleh p.value 0,000 yang artinya terdapat hubungan senam hamil dengan lama proses

persalinan kala II.

Hal ini juga sesuai dengan penelitian terdahulu yaitu penelitian Barus (2013) yang berjudul

Hubungan frekuensi senam hamil terhadap lama persalinan kala II pada ibu primigravida di RB

Rachmi, Hasil penelitian di dapatkan koefisien korelasi frekuensi senam hamil terhadap kala II

lama sebanyak 0,518 > 0,482 dengan signifikan sebanyak 0,048 sedangkan frekuensi senam hamil

dengan kala II normal sebanyak 0,538 > 0,482 dengan signifikan sebanyal 0,038. Sehingga H0 di

tolak dan Ha diterima artinya ada hubungan yang signifikan antara frekuensi senam hamil terhadap

lama persalinan kala II.

Penelitian Diarini (2015) di wilayah kerja Puskesmas Sumowono, diperoleh hasil penelitian

sebesar 88,2% yang mengikuti senam hamil teratur dan proses persalinannya spontan. Selain itu

diperoleh hasil penelitian sebesar 56,4% yang mengikuti senam hamil teratur dan proses

persalinannya tidak spontan. Hasil analisis bivariat didapatkan nilai p.value 0,000 ≤ α 0,05 artinya

terdapat hubungan yang signifikan senam hamil terhadap proses persalinan pada ibu bersalin di

wilayah kerja Puskesmas Sumowono Kabupaten semarang.

Penelitian Kabuhung (2016) di wilayah kerja Puskesmas Tanta, diperoleh bahwa ada

hubungan yang signifikan senam hamil dengan lama persalinan di Puskesmas Tanta. Ibu yang

melakukan senam hamil sebagian besar melewati persalinan secara normal dibandingkan ibu yang

tidak melakukan senam hamil rata-rata mengalami kala II lama, berdasarkan hasil penelitian

diperoleh nilai p.vaue 0,000 ≤ α 0,05.

Nilai korelasi berdasarkan hasil penelitian di RSU YK Madira Palembang melalui uji

korelasi dan regresi linier sederhana diperoleh sebesar -0,662 dengan nilai p.value 0,037 ≤ α 0,05,

berdasarkan tabel hubungan antara variabel memperlihatkan arah korelasi negatif yang artinya

dapat disimpulan bahwa semakin rutin ibu melakukan senam hamil maka proses persalinan akan

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 285

semakin cepat sedangkan semakin jarang ibu melakukan senam hamil maka proses persalinan

akan semakin lama.

Menurut hasil penelitian yang telah dilakukan di Rumah Sakit Umum YK Madira, Ibu yang

melakukan senam hamil secara rutin, terbukti dapat mempercepat proses ibu bersalin dengan durasi

yang normal dibandingkan dengan yang melakukan senam hamil secara tidak rutin, yang artinya

ada hubungan yang signifikan antara keteraturan mengikuti senam hamil dengan durasi ibu

melahirkan, sehingga diharapkan ibu hamil lebih termotivasi mengikuti senam hamil secara rutin

dipelayanan kesehatan dengan tujuan bisa melewati proses persalinan secara normal. Rata-rata ibu

dalam penelitian ini melakukan senam hamil secara rutin, proses persalinan kala II berlansgung

singkat, sehingga dapat disimpulkan bahwa ibu yang rutin melakukan senam hamil maka lama

persalinan pada kala II akan berlangsung normal.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan analisis, maka dapat disimulkan ada hubungan yang signifikan antara frekuensi

senam hamil dengan lamanya persalinan kala II di Rumah Sakit Umum YK Madira tahun 2020, hal

ini dapat dibuktikan berdasarkan hasil perhitungan koefisien korelasi yang menunjukkan bahwa

nilai p.value = 0,037 ≤ 0,05 yang artinya terbukti ada korelasi frekuensi senam hamil dengan lama

proses persalinan kala II kemudian diperoleh nilai r = -0,662 yang memberikan interpretasi bahwa

korelasi frekuensi senam dengan lama proses persalinan mempunyai derajat yang kuat dan berpola

negatif artinya semakin sering ibu melakukan senam, proses persalinan kala II semakin cepat.

Sarannya diharapkan bagi tenaga kesehatan agar terus mempertahankan dalam memberikan

penyuluhan kesehatan pada masyarakat tentang pentingnya senam hamil dengan cara lebih

memotivasi ibu hamil untuk melakukan senam hamil mengingat senam hamil dapat melatih

pernapasan dan melenturkan elastisitas otot-otot rahim sehingga membantu proses persalinan dapat

berjalan dengan lancar. Diharapkan untuk peneliti selanjutnya agar melakukan penelitian secara

eksperimen dengan pendekatan waktu prospektif.

DAFTAR PUSTAKA

1. Achadi, Endang L. 2019. ―Kematian Maternal Dan Neonatal Di Indonesia.‖ Rakerkernas

2019: 1–47.

2. Agnesti, renvilia dkk. 2009. Senam Hamil Praktis. Yogyakarta: Media Pressindo

3. Anggraeini, P. 2010. Serba-serbi senam hamil. Yogyakarta : Intan Media

4. Asrinah, dkk. 2010. Asuhan Kebidanan Masa Kehamilan. Yogyakarta: Graha Ilmu.

5. Artikel PT Johnson & Johnson Indonesia.

2015. https://www.johnsonsbaby.co.id/artikel/pilihan-olahraga-yang-aman-untuk- trimester-

3-kehamilan

6. Barus, E. A., & Sarwinanti, S. (2013). Hubungan Frekuensi Senam Hamil dengan Lama

Persalinan Kala II pada Ibu Primipara di RB Rachmi Yogyakarta Tahun 2013 (Doctoral

dissertation, STIKES'Aisyiyah Yogyakarta).

7. Dewi, dkk. 2013.Asuhan kehamilan untuk kebidanan. Jakarta: Salemba Medika

8. Diarini, Dwi Okta, dkk. 2015. Hubungan Antara Senam Hamil Dengan Proses

Persalinanpada Ibu Bersalin di Wilayah Kerja Puskesmas Sumowono. Semarang: Stikes

Ngudi Waluyo Ungaran.

9. Dinas Kesehatan Kota Palembang. 2019. Laporan Tahunan Seksi Kesehatan Keluarga.

Palembang.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 286

10. Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Selatan. 2019. Laporan Tahunan Seksi Kesehatan

Keluarga. Palembang.

11. Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan. 2015. Profil Kesehatan Provinsi Sumatera

Selatan Tahun 2014. Palembang.

12. ———. 2018. Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2017. Palembang

13. Haswita, S. 2012. Hubungan motivasi ibu hamil dengan pelaksanaan senam hamil di dusun

Krajan Desa Jambewangi Wilayah Kerja Puskesmas Sempu Banyuwangi tahun 2012

14. Hidayat, A Azis Alimul. 2014. Metode Penelitian Kebidanan Dan Teknik Analisis Data.

Jakarta: Salemba Medika

15. Kabuhung, E. I., Yunita, L., & Sinaga, R. (2017). Hubungan senam hamil dengan persalinan

pada ibu bersalin di wilayah kerja Puskesmas Tanta Tahun 2016. DINAMIKA

KESEHATAN: JURNAL KEBIDANAN DAN KEPERAWATAN, 8(1), 11-18.

16. Maryunani, Ani. 2011. Senam Hamil, senam Nifas dan Terapi Musik. Jakarta : CV Trans

Info media

17. Muhimah. 2010. Senam sehat selama kehamilan. Jakarta : Alfabeta

18. Nugraeny, L., Sumiatik, S., & Aritonang, J. (2020). Hubungan Keteraturan Senam Hamil

dengan Durasi Persalinan Kala II pada Ibu Bersalin di Klinik Nurhayati Tahun

2019. JOURNAL OF HEALTHCARE TECHNOLOGY AND MEDICINE, 6(1), 76-84.

19. Nugroho, Taufan. 2014. Patologi Kebidanan. Yogyakarta : Nuha Medika.

20. Notoatmodjo, Soekidjo. 2012. Metodologi Penelitian. Jakarta: Rineka Medika

21. Prawirohardjo, Sarwono. 2016. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Bina Pustaka

22. Putri, Shinta. 2014. Panduan Senam Hamil. Jakarta : Platinum

23. Sari, T. P., Mindarsih, E., & Hartini, C. M. W. (2016). Hubungan frekuensi senam hamil

dengan lama persalinan kala II di RB Rahmi Kota Yogyakarta Tahun 2015. Medika Respati:

Jurnal Ilmiah Kesehatan.

24. SDG‘s. 2017. ―Sustainable Development Goals

25. Septaningtia, Y. D., & Anjarwati, A. (2015). Hubungan Senam Hamil dengan Lama Proses

Persalinan Kala II pada Ibu Primigravida di RSKIA Sadewa Yogyakarta (Doctoral

dissertation, STIKES'Aisyiyah Yogyakarta).

26. Sondakh, .J.S. 2013. Asuhan kebidanan persalinan danbayi baru lahir.Jakarta:Erlanga.

27. Susilonihgtyas. 2013. Serba-serbi Senam Hamil. Yogyakarta. Intan Media

28. Sulistyawati, Ari dan EstiNugraheny. 2013. Asuhan Kebidanan Pada Ibu Bersalin .Salemba

Medika: Jakarta.

29. Walyani. (2015). Asuhan kebidanan masa nifas dan menyusui. Yogyakarta: Pustaka Baru

Pres

30. World Health Organization. (2019). Levels and Trends in Child Mortality: Report

2019 (No. 141926, pp. 1-52). The World Bank.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 287

PERUBAHAN KESADARAN KESEHATAN AKIBAT PANDEMIK COVID-19

PADA MAHASISWA DI SUMATERA SELATAN

Windi Indah Fajar Ningsih

1*, Fatmalina Febry,

2 Indah Purnama Sari,

3 Ditia Fitri

Arinda4

1Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya

2Program Studi Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya

Jl. Palembang Prabumulih KM. 32, Indralaya Indah Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan

Corresponding email : [email protected]

THE CHANGES OF HEALTH AWARENESS DUE TO COVID-19 PANDEMIC

OUTBREAK AMONG COLLEGE STUDENTS IN SOUTH SUMATERA

ABSTRACT

COVID-19 pandemic is a problem facing in the world today. Efforts were made to suppress the spread of

SARS-CoV-2 as a cause of it. The implementation of health protocols are one of them. South Sumatra has an

urge implementing the protocols considering for 6 months its pandemic status is still in the red zone.

Students are youth who are able to access information regarding health protocols. During pandemic, they

are expected to apply the health protocols so that they can contribute stopping the spread of COVID-19. This

study aims to see the health awareness changes influenced by COVID-19 pandemic among students in South

Sumatra. The study design of the research was observational with the cross-sectional method through online

survey conducted in August 2020. Samples were obtained by non-random sampling, with inclusive

criteriums: college students in South Sumatra, aged 18-24 years, attended the research and completed

questionnaires. There were 612 students participated. Univariate analysis was carried out for respondents

answers in the form of percentage. There were 91.2% respondents lived in their own house during pandemic

compared while before lived in boarding houses. More than 80% of health awareness was implemented

except physical activity which did not change much than before the pandemic. Wearing masks had been

carried out by 99.5% of respondents. There have been positive attitude changes among students in South

Sumatra related to health awareness due to the outbreaks. It has become a form of community effort to obey

health protocols and protect themselves from COVID-19.

Keywords: Primary dysmenorrhea, female students, senior high school

ABSTRAK

Pandemi COVID-19 menjadi permasalahan yang dihadapi dunia saat ini. Berbagai upaya dilakukan untuk

menekan penyebaran virus SARS-Cov-2 sebagai penyebab pandemi. Penerapan protokol kesehatan

merupakan salah satu solusinya. Sumatera Selatan memiliki urgensi dalam penerapan hal tersebut mengingat

selama 6 bulan status pandeminya masih berada di zona merah. Mahasiswa merupakan golongan usia muda

yang mampu mengakses informasi mengenai protokol kesehatan selama pandemi COVID-19 dan diharapkan

menerapkannya sehingga bisa berkontribusi dalam memutus mata rantai penyebaran COVID-19. Penelitian

ini bertujuan untuk melihat perubahan sikap terkait kesadaran kesehatan akibat pandemi COVID-19 pada

mahasiswa di Sumatera Selatan. Desain penelitian yang digunakan adalah observasional dengan metode

potong lintang melalui survei online yang dilaksanakan pada bulan Agustus 2020. Sampel didapat secara non

random sampling yaitu mahasiswa perguruan tinggi di Sumatera Selatan, berusia 18-24 tahun, bersedia

mengikuti penelitian dan menyelesaikan pengisian kuesioner, sebanyak 612 mahasiwa/i berpatisipasi.

Analisis univariat dilakukan dan disajikan dalam bentuk tabel persentase jawaban responden. Sebanyak

91,2% responden tinggal di rumah orang tua selama pandemik COVID-19 dibanding sebelumnya tinggal di

kos. Lebih dari 80% kesadaran kesehatan diterapkan kecuali aktivitas fisik yang tidak banyak berubah dari

sebelum ke saat pandemik COVID-19. Kesadaran menggunakan masker sudah dilakukan 99,5% responden.

Terdapat perubahan sikap positif pada mahasiswa di Sumatera Selatan terkait kesadaran kesehatan akibat

pandemi COVID-19. Perubahan tersebut menjadi bentuk usaha masyarakat dalam mematuhi protokol

kesehatan dan melindungi diri dari COVID-19.

Kata Kunci: COVID-19, kesehatan, aktivitas fisik, Sumatera Selatan

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 288

PENDAHULUAN

Organisasi Kesehatan Dunia, WHO telah mengumumkan secara resmi bahwa mereka telah

mengidentifikasi coronavirus jenis baru pada Januari 2020 yang diberi nama 2019-nCoV.

Keberadaan virus ini pertama kali dilaporkan pada Desember 2019 terjadi di Wuhan, China. 2019-

nCov ini banyak dikenal dengan sebutan Covid-19 yaitu virus yang disebabkan oleh Severe Acute

Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Virus tersebut menyerang saluran

pernafasan dengan menyebar melalui carrier tanpa bergejala, bergejala awal dan bergejala (1) .

Pada akhir Juni 2020 sejumlah besar kasus Covid-19 secara global terjadi melebihi 10 juta kasus

sehingga WHO menetapkan kejadian ini sebagai pandemi.

Pandemi COVID-19 menjadi permasalahan yang dihadapi dunia saat ini. Berbagai upaya

dilakukan untuk menekan penyebaran virus SARS-Cov-2 yang menyebar cepat melalui droplet

yang keluar saat berbicara, batuk ataupun bersin saat berinteraksi dan saling berhadapan (1).

Temuan terbaru juga menyatakan bahwa toilet berpotensi menjadi tempat transmisi SARS-CoV-2

setelah dideteksi keberadaannya pada kloset dan wastafel yang telah digunakan oleh pasien positif

COVID-19 dengan gangguan saluran pernapasan atas ringan (2). Pemerintah melakukan berbagai

upaya untuk menekan penyebaran virus COVID-19 ini salah satunya adalah pengambilan

kebijakan di bidang pendidikan berupa kebijakan belajar dari rumah (3) .Mahasiswa salah satu

yang mengalami dampak kebijakan ini sehingga kegiatan belajar mengajar perkuliahan dilakukan

secara daring. Penelitian menunjukan bahwa dampak pandemic COVID-19 dialami oleh

mahasiswa dimana mahasiswa lebih banyak melakukan kegiatan sedentari, mengalami peningkatan

kecemasan dan gejala depresi (4) .

Saat ini berbagai upaya dilakukan oleh ilmuan dalam mengembangkan vaksin untuk

pengobatan infeksi COVID-19 . Berbagai negara melakukan aksi kesehatan dalam rangka

mencegah peningkatan kasus COVID-19 dan sebelum vaksin yang benar- benar teruji efektif

ditemukan, maka penyebaran COVID-19 diupayakan untuk dicegah melalui serangkaian usaha

promosi kesehatan yang disebarkan melalui berbagai media seperti televisi, surat kabar dan

platform media sosial. Propaganda kesehatan terkait COVID-19 melalui berbagai media dan

pengembangan edukasi promosi kesehatan sangat diperlukan untuk memperbaiki prilaku tidak

sehat baik pada orang kota maupn desa (5). Indonesia melalui Kementerian Kesehatan telah

mengeluarkan Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease (COVID-19) (6) serta

promosi kesehatan yang dilakukan secara masif. Indonesia sebagai salah satu negara yang

mengalami dampak besar akibat infeksi Covid-19 ini memiliki jumlah kasus 299.506 per 3 Oktober

2020. Jumlah kasus yang terus meningkat berdampak pada keluarnya kebijakan larangan pada

beberapa negara seperti Malaysia, India, dan Amerika Serikat agar WNI tidak mengunjungi negara

mereka saat ini begitupun warga negara mereka yang ingin berkunjung ke Indonesia(7). Hal ini

menyebabkan Indonesia mempunyai urgensi dalam pengendalian pandemi ini. Sumatera Selatan

sebagai bagian di dalamnya juga memiliki urgensi untuk melakukan pengendalian tersebut

mengingat selama 6 bulan status pandeminya masih berada di zona merah dengan total jumlah

kasus positif per 3 Oktober 2020 yaitu 6277 orang (8). Selama pandemi COVID-19 sangat penting

untuk memperbaiki pengetahuan dan kepercayaan pada masyarakat umum untuk mencegah

penyebaran infeksi COVID-19 (9).

COVID-19 memberikan dampak pada berbagai aspek kehidupan baik sosial, ekonomi,

politik hingga pendidikan. Hal ini dikarenakan salah satu upaya pencegahan menyebarnya COVID-

19 melalui aksi personal yaitu menjaga jarak, menerapkan personal higiene, dan menggunakan alat

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 289

proteksi diri, tetap di rumah, membatasi menggnakan transportasi umum yang dikampanyekan di

berbagai media promosi. Perubahan tersebut menghasilkan pembatasan aktivitas normal,

pariwisata, hingga aktivitas latihan fisik seperti ditutupnya klub kebugaran dan ditiadakannya

pertemuan karena peningkatan aksi menjaga jarak/ social distancing (10). Orang – orang secara

aktif mempelajari dan memperoleh informasi terkait COVID-19 melalui berbagai saluran TV,

website (11). Mahasiswa merupakan golongan usia muda yang paling banyak memanfaatkan media

sosial dalam kehidupan sehari – harinya sehingga mereka mampu mengakses informasi mengenai

upaya agar terhindar dari paparan COVID-19. Protokol kesehatan yang dipromosikan selama

pandemi COVID-19 akan sering mereka jumpai sehingga diharapkan mereka dapat menerapkannya

sehingga bisa berkontribusi dalam memutus mata rantai penyebaran COVID-19. Hal ini juga

sesuai dengan (12) yang menyatakan bahwa golongan usia muda memiliki kemampuan mengakses

informasi yang lebih cepat daripada golongan orang tua sehingga risiko terpapar COVID-19 lebih

rendah dibanding orang tua. Mahasiswa menunjukan persepsi positif dalam pencegahan dan control

COVID-19, mahasiswa kesehatan sesuai dengan pendidikan dan pemahaman dasar mereka dapat

berperan penting dalam meningkatkan kesadaran keseriusan pandemi COVID-19 di kalangan

masyarakat (9).

METODE

Penelitian ini menggunakan desain observasional dengan metode potong lintang. Data pada

penelitian ini berupa kuisioner yang diunggah dan disebarkan secara online menggunakan Google

form dengan link

https://docs.google.com/forms/d/e/1FAIpQLSeNPmHp5jyW88FpREuSSCb16Hyw4Sgo9H1

IPcFY8dNDiaABg/viewform yang dibagikan secara meluas melalui rekan dan kolega yang ada di

17 kabupaten/kota di seluruh Sumatera Selatan dengan undangan pengisian melalui WhatsApp,

Instagram, dan E-mail. Akses pengisian dibuka selama 1 bulan Agustus 2020. Kuisioner online

berisi 7 pertanyaan terkait karakteristik diri dan 16 pertanyaan terkait kesadaran kesehatan.

Pertanyaan terkait kesadaran kesehatan dikembangkan berdasarkan protokol kesehatan yang

dikeluarkan oleh Kemenkes RI (6). Pertanyaan tersebut berkaitan dengan bagaimana perilaku

penerapan protokol kesehatan serta upaya menjaga kesehatan dan daya tahan tubuh dari paparan

COVID-19. Pertanyaan pada kuisioner online tersebut disajikan dalam bentuk yang mudah

dipahami responden dan harus dijawab langsung dengan format pertanyaan kebiasaan ―sebelum

dan selama‖ pandemi COVID-19. Penelitian ini bertujuan untuk melihat perubahan sikap terkait

kesadaran kesehatan akibat pandemi COVID-19 pada mahasiswa di Sumatera Selatan. Sampel

diperoleh secara non random sampling dengan kriteria inklusi meliputi mahasiswa perguruan tinggi

di Sumatera Selatan, berusia 18-24 tahun, bersedia mengikuti penelitian, dan menyelesaikan

pengisian kuisioner. Sebanyak 633 orang terlibat dalam pengisian kuisioner namun hanya sebanyak

612 data yang memenuhi syarat pengolahan data. Analisis univariat dilakukan serta disajikan

dalam bentuk tabel berisi persentase jawaban responden. Penelitian ini sudah mendapat telaah dan

ijin etik dari komisi etik FKM Unsri dengan nomer kode etik No:196/UN9.1.10/KKE/2020.

HASIL PENELITIAN

Karakteristik responden disajikan dalam tabel 1 berdasarkan usia, jenis kelamin, asal

perguruan tinggi, rumpun program studi, domisili sebelum dan saat pandemi, dan keikutsertaan uji

tes COVID-19. Total sebanyak 612 responden berpartisipasi dalam penelitian ini dengan responden

berusia 17-24 tahun, mayoritas responden adalah perempuan 78,8 %. Responden berasal dari

berbagai perguruan tinggi di Sumatera Selatan dengan mayoritas berkuliah di rumpun program

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 290

studi kesehatan dan kedokteran (43,6 %) diikuti oleh ilmu pendidikan (24,8 %). Sebanyak 91,2 %

responden tinggal di rumah orang tua selama pandemi COVID-19 dibanding sebelum pandemi

sejumlah 46,2 %. Mayoritas responden yaitu sebanyak 95,1 % belum pernah melakukan pengujian

tes COVID-19.

Tabel 1. Karakteristik Responden

Karakteristik Total Responden

n %

Usia

17 tahun 1 0,2

18 tahun 59 9,6 19 tahun 144 23,5

20 tahun 182 29,7

21 tahun 145 23,7

22 tahun 61 10 23 tahun 15 2,5

24 tahun 5 0,8

Jenis Kelamin

Laki-laki 130 21,2 Perempuan 482 78,8

Asal Perguruan Tinggi

Universitas Sriwijaya 267 43,6

Universitas PGRI Palembang 73 11,9 Multi Data Palembang 1 0,2

UIN Raden Fatah 65 10,6

Polsri 54 8,8

STAI OKI 2 0,3

Poltekkes Kemenkes Palembang 20 3,3

STAI Baturaja 7 1,1

Universitas Taman Siswa Palembang 10 1,6

Akbid Nusantara Indonesia Linggau 9 1,5 STIKES Pembina Palembang 8 1,3

STIKES Muhammadiyah Palembang 20 3,3

Universitas Terbuka Palembang 1 0,2

Universitas Sjakhyakirti 7 1,1 Universitas Tridinanti 4 0,7

AKPER Pembina Palembang 1 0,2

Poltekpar Palembang 11 1,8

STIK Bina Husada Palembang 2 0,3 STIK Siti Khadijah Palembang 5 0,8

STIKES Mitra Adiguna Palembang 4 0,7

Universitas IGM Palembang 1 0,2

Universitas Kader Bangsa Palembang 4 0,7 Universitas Islam OKI 2 0,3

Universitas Musi Rawas 11 1,8

Universitas Palembang 3 5

Universitas Muhammadiyah Palembang 20 3,3

Rumpun Program Studi

Kesehatan & Kedokteran 267 43,6

Non-Kesehatan (Sains dan Teknologi) 60 9,8

Ilmu Sosial 27 4,4 Ilmu Agama 5 0,8

Ilmu Pendidikan 152 24,8

Lainnya 101 16,5

Domisili/Tempat Tinggal (Sebelum

COVID-19)

Rumah Orang Tua 300 49

Kos/Asrama 283 46,2

Rumah Kerabat 28 4,6

Lainnya 1 0,2

Domisili/Tempat Tinggal (Saat COVID-

19)

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 291

Tabel 2.

Perubahan Kesadaran Kesehatan Sebelum dan Saat Pandemi COVID-19

No Variabel Sebelum COVID-19 Saat COVID-19

n % n %

1. Anda selalu menggunakan masker ketika bepergian

a. Ya 304 49,7 609 99,5

b. Tidak 308 50,3 3 0,5

2. Anda selalu menutup mulut dan hidung ketika batuk dan bersin

a. Ya 564 92,2 606 99

b. Tidak 48 7,8 6 1,00

3. Anda selalu menjaga jarak minimal 1 meter

dengan lawan bicara

a. Ya 66 10,8 566 92,5

b. Tidak 546 89,2 46 7,5 4. Anda selalu mencuci tangan sebelum makan,

setelah batuk atau bersin, setelah memegang

benda, atau setelah dari luar rumah

a. Ya 497 81,2 603 98,5

b. Tidak 115 18,8 9 1,5

5. Anda membersihkan tangan dengan cara

a. Air saja 177 28,9 5 0,8 b. Air dengan sabun 396 64,7 510 83,3

c. Hand sanitizer 28 4,6 94 15,4

d. Tisu basah 11 1,8 3 0,5

6. Apakah Anda selalu mandi dan mengganti pakaian setelah bepergian

a. Ya 340 55,6 577 94,3

b. Tidak 272 44,4 35 5,7

7. Apakah Anda menyempatkan diri untuk berjemur setiap pagi

a. Tiap hari 104 17 232 36,4

b. Seminggu 1x 234 38 182 29,7

c. Seminggu 2x 110 18 100 16,3 d. Seminggu 3x 22 3,6 58 9,5

e. Tidak melakukan 142 23,2 49 8

8. Pukul berapakah biasanya Anda berjemur

a. 07.00-10.00 370 60,5 381 62,3

b. 10.00-11.00 89 14,5 171 27,9

c. 11.00-12.00 3 0,5 6 1

d. >12.00 10 1,6 5 0,8

e. Tidak melakukan 140 22,9 49 8 9. Berapa lama durasi Anda berjemur

a. <10 menit 277 45 200 32,7

b. 10-20 menit 165 27 312 51

c. >20 menit 27 4,4 49 8 d. Tidak melakukan 143 23,4 51 8,3

10. Bagaimana Anda mengakses makanan sehari-

hari

a. Masakan rumahan 411 67,2 591 96,6 b. Membeli di luar 201 32,8 21 3,4

11. Apakah Anda mengonsumsi

Rumah Orang Tua 558 91,2 Kos/Asrama 34 5,6

Rumah Kerabat 19 3,1

Lainnya 1 0,2

Mengikuti Uji Tes COVID-19 Ya, rapid test 28 4,6

Ya, swab test 2 0,3

Tidak pernah 582 95,1

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 292

suplemen/vitamin minimal 1 minggu a. Ya 264 43,1 403 65,8

b. Tidak 348 56,9 209 34

12. Suplemen yang dikonsumsi (saat COVID-19)

Vitamin C 286 51 360 49 Lainnya 274 49 376 51

13. Apakah Anda mengonsumsi ramuan

tradisional minimal 1 minggu sekali

a. Ya 161 26,3 252 41,2 b. Tidak 451 73,7 360 58,8

14. Apakah Anda melakukan olahraga secara

rutin minimal 30 menit setiap hari

a. Ya 192 31,4 302 49,3 b. Tidak 420 68,8 310 50,7

15. Lama waktu yang Anda gunakan untuk

mengerjakan tugas/kuliah di depan laptop

a. <1 jam / hari 62 10,1 54 8,8 b. 1-2 jam 213 34,8 167 27,3

c. 3-4 jam 229 37,4 198 32,4

d. 5-6 jam 64 10,5 98 16

e. >6 jam 44 7,2 95 15,5 16. Berapa lama waktu luang yang Anda miliki

dan dapat digunakan untuk bersantai dalam

sehari

a. <1 jam/hari 53 8,7 30 4,9 b. 1-2 jam 235 38,4 109 17,8

c. 3-4 jam 324 52,9 473 77,3

TOTAL 612 100 612 100

Penelitian ini mencari tahu perubahan sikap terkait kesadaran kesehatan akibat pandemi

COVID-19 pada mahasiswa di Sumatera Selatan dengan menanyakan sikap dan perilaku kesehatan

sebelum dan saat pandemi COVID-19 yang disajikan pada tabel 2. Kesadaran dalam menerapkan

protokol kesehatan seperti menggunakan masker, menutup mulut dan hidung saat bersin, menjaga

jarak, mencuci tangan, dan mandi setelah bepergian menunjukkan adanya peningkatan kesadaran

kesehatan dari sebelum dan saat pandemi COVID-19. Persentase penggunaan masker ketika

bepergian mencapai 99,5 % selama pandemi COVID-19, perilaku menutup mulut dan hidung saat

bersin tidak banyak mengalami perubahan dari sebelum hingga selama pandemi yaitu 92,2 %

menjadi 99 %. Perubahan yang drastis terlihat pada perilaku menjaga jarak minimal 1 meter di

mana sebelum pandemi COVID-19 hanya 10,8 % responden yang melakukan namun bertambah

menjadi 92,5 % selama pandemi. Perilaku mencuci tangan hanya tidak dilakukan oleh 1,5 %

responden dan pilihan terbanyak cara mencuci tangan adalah dilakukan dengan sabun oleh 83,3 %

responden. Setengah dari responden (55,6 %) selalu mandi dan mengganti pakaian setelah

bepergian sebelum pandemi namun persentasenya bertambah di mana saat pandemi 94,3 %

responden melakukan hal tersebut. Upaya lain yang dapat dilakukan dalam melindungi diri dari

infeksi COVID-19 yaitu dengan meningkatkan daya tahan tubuh dengan berjemur, mengonsumsi

makanan bergizi, mengonsumsi vitamin maupun suplemen kesehatan, dan melakukan aktivitas

fisik. Kegiatan berjemur dilakukan oleh 36,4 % responden selama pandemi COVID-19 yang

dominan dilakukan pada pukul 07.00 hingga 10.00 selama 10-20 menit setiap harinya. Selama

pandemi COVID-19, responden lebih banyak mengakses makanan dengan cara mengonsumsi

makanan rumahan (96,6 %). Selain itu, terdapat peningkatan konsumsi suplemen/vitamin yang

dilakukan oleh responden selama pandemi yaitu sebesar 22,7 % dari sebelum pandemi. Hal

tersebut menunjukkan bahwa terdapat perubahan sikap yang positif pada mahasiswa di Sumatera

Selatan terkait kesadaran kesehatan akibat pandemi COVID-19. Perubahan tersebut menjadi bentuk

usaha masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan dan melindungi diri dari COVID-19.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 293

Penelitian lain sudah banyak menunjukkan bahwa orang-orang sudah mengetahui dan menyatakan

bahwa cara untuk mencegah infeksi COVID-19 dapt dilakukan dengan olahraga rutin, makan

makanan bergizi, mengubah gaya hidup, berjemur di bawah sinar matahari, tetap berada di rumah,

dan menjaga daya tahan tubuh mereka (11)(13)(14) .

PEMBAHASAN Penerapan Protokol Kesehatan

Kesadaran kesehatan diartikan sebagai sikap yang dilakukan oleh responden dalam upaya

melindungi dirinya dari infeksi COVID-19. Kesadaran kesehatan dituangkan dalam bentuk

pertanyaan dalam penerapan protokol kesehatan yang sudah dipromosikan oleh pemerintah melalui

GERMAS (Gerakan Masyarakat Hidup Sehat) yaitu menggunakan masker, mencuci tangan, dan

menjaga jarak. Hasil tabel 2 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan sebesar 49,8 % dalam

penggunaan masker pada saat COVID-19 yaitu sebanyak 99,5 % responden menggunakan masker

ketika bepergian pada masa pandemi COVID-19 saat ini. Hasil yang serupa dinyatakan oleh (15) di

mana penggunaan masker sebagai perubahan perilaku dominan di masa pandemi. Hal ini

menunjukkan bahwa responden telah sadar akan bahaya dari penyebaran COVID-19. Selain itu,

peningkatan perilaku dalam menggunakan masker sejalan dengan penelitian Jacob dalam (16), di

mana terjadi peningkatan perilaku masyarakat dalam menggunakan masker dan mencuci tangan

hingga 84 %. Hal ini juga menunjukkan bahwa mahasiswa telah memahami masker sebagai salah

satu Alat Pelindung Diri (APD) untuk menurunkan risiko infeksi COVID-19 yang masuk melalui

hidung dan mulut. Masker merupakan sistem penghalang yang efektif dalam mencegah cairan yang

berpotensi sebagai sumber infeksi (17).

Anjuran dalam menerapkan protokol kesehatan berupa menutup hidung dan mulut ketika

bersin dilakukan oleh 99 % responden selama pandemi. Menutup hidung dan mulut merupakan

salah satu tindakan pencegahan infeksi COVID-19. Hal ini dikarenakan bersin dan batuk yang

dilakukan oleh seseorang memungkinkan keluarnya droplet dan aerosol yang dapat menjadi

sumber penularan COVID-19. Penularan COVID-19 dari manusia ke manusia lain dapat terjadi

melalui penularan dari droplet maupun aerosol saat seseorang berbica, batuk, dan bersin (17) .

Perilaku menjaga jarak minimal 1 meter dilakukan oleh responden sebelum dan saat

pandemi berturut-turut sebesar 10,8 % dan 92,5 %. Hal ini penting untuk diterapkan karena selain

dapat mencegah penularan virus, menjaga jarak juga merupakan langkah untuk menurunkan angka

kejadian infeksi COVID-19. Penularan virus penyebab COVID-19 dapat terjadi akibat droplet yang

keluar saat seseorang batuk, bersin, maupun berbicara. Senada dengan hal itu, jika masyarakat

tidak menerapkan aturan menjaga jarak maka akan terjadi penambahan jumlah orang yang

terinfeksi COVID-19 (16). Selain menjaga jarak, hal lain yang dilakukan dalam upaya memutus

rantai penyebaran COVID-19 adalah dengan menghindari keramaian (18). Hasil penelitian di

Pakistan juga menunjukkan responden telah melakukan praktik jaga jarak aman untuk

menghindari infeksi COVID-19 salah satunya dengan tidak melaksanakan salat di masjid selama

pandemi COVID-19 (19).

Berdasarkan tabel 2, terdapat perubahan kebiasaan saat pandemi dalam membersihkan

tangan yaitu mencuci tangan dengan air dan sabun yang dilakukan oleh 83,3 % responden. Salah

satu promosi kesehatan melawan COVID-19 yang disebarkan oleh pemerintah adalah Cuci Tangan

Pakai Sabun (CTPS). Namun di sisi lain terdapat responden lainnya yang melakukan hal alternatif

yaitu mencuci tangan dengan air saja, hand sanitizer, serta tisu basah untuk membersihkan tangan

mereka. Hasil tersebut menunjukkan bahwa terjadi perubahan yang positif di mana responden

mengubah kebiasaannya yaitu mencuci tangan dengan air dan sabun untuk melindungi diri dari

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 294

infeksi COVID-19. Usaha tersebut sejalan dengan GERMAS sebagai langkah untuk

mengampanyekan perubahan gerakan masyarakat di mana program tersebut memperkenalkan

kepada masyarakat untuk sering mencuci tangan mereka dalam memperlambat penyebaran

COVID-19 (16) .

Peningkatan Daya Tahan Tubuh

Daya tahan tubuh merupakan modal individu dalam mempertahankan dirinya dari serangan

infeksi COVID-19 karena COVID-19 menyerang seseorang dengan daya tahan tubuh yang lemah.

Daya tahan tubuh dapat ditingkatkan melalui usaha-usaha yang dapat meningkatkan sistem

kekebalan tubuh. (20) Konsumsi banyak air, mineral seperti magnesium dan zink, mikronutrien,

rempah, dan makanan kaya vitamin C, D, dan E, di mana perbaikan pola konsumsi ini dapat

meningkatkan kesehatan khususnya dalam menghadapi infeksi. Tabel 2 menunjukkan adanya

peningkatan perilaku responden dalam berjemur sebesar 19,4 % jika dibandingkan dengan sebelum

pandemi. Selain itu, sebagian besar responden melakukan kegiatan berjemur setiap hari (36,4 %)

dibandingkan sebelum pandemi COVID-19 (17 %). Saat pandemi COVID-19 sebagian besar

responden berjemur pada pukul 07.00-10.00 (62,3 %). Sebelum COVID-19 , sebagian besar

responden berjemur dengan durasi kurang dari 10 menit (45 %). Kegiatan berjemur tersebut

mengalami peningkatan sebesar 6 % saat pandemi COVID-19 di mana sebanyak 51 % responden

melakukan kegiatan berjemur dengan durasi 10-20 menit. Kegiatan berjemur dilakukan untuk

mendapatkan paparan cahaya matahari yang bermanfaat sebagai pemicu imunosupresi dan

memperbaiki respon imun yang rusak melalui kulit kemudian ke seluruh tubuh (21). Berbagai studi

telah menunjukkan peran penting vitamin D dalam mengatasi infeksi virus influenza melalui

kategori imunitas adaptif, penghalang fisik, dan kekebalan seluler alami

Pemenuhan makanan sehari-hari mengalami perubahan yang ditunjukkan oleh data pada

tabel 2. Kebiasaan makan seseorang sangat dipengaruhi oleh kondisi fisiologi, psikologi, sosial-

budaya, dan juga kondisi darurat seperti pandemi yang sedang dialami (22). Terjadi peningkatan

akses makanan rumahan yang dilakukan oleh responden sebesar 29,4 % bila dibandingkan antara

sebelum dan saat pandemi COVID-19. Sebanyak 96, 6 % responden mengakses makanan melalui

masakan rumahan untuk makan sehari-hari. Salah satu kebijakan penerapan protokol kesehatan

yang ditetapkan pemerintah pada masa pandemi ini adalah menjaga jarak dan berada di rumah. Hal

ini berdampak pada banyaknya tempat makan yang tutup maupun menerapkan sistem makanan

dibawa pulang (take away service) sehingga menimbulkan perubahan kegiatan makan di luar saat

pandemi. Kekhawatiran terhadap kualitas makanan dari luar rumah mungkin menjadi alasan akses

makanan dari luar rumah menurun selama pandemi (3,4 %). Kondisi ini juga didukung oleh

tingginya kasus positif COVID-19 yang berdampak pada mahasiswa lebih banyak pulang ke rumah

orang tua masing-masing (91,2 %) sehingga akses masakan rumahan pun menjadi lebih tinggi. Hal

ini didukung oleh pernyataan (3) bahwa mahasiswa dari berbagai daerah pulang ke kampung nya

masing-masing akibat diterapkannya program pembelajaran jarak jauh. Bahkan, kondisi ini

menjadikan India mengarahkan masyaratnya untuk melakukan pemanfaatan lahan pribadi untuk

menanam sayuran dan makan makanan yang sehat dan organik (23)

Tingkat konsumsi suplemen/vitamin pun mengalami peningkatan saat pandemi dengan

pilihan konsumsi terbanyak adalah vitamin C yaitu sebanyak 58,82 % responden. Konsumsi

suplemen/vitamin diyakini dapat meningkatkan imunitas tubuh. Vitamin/suplemen yang biasa

dikonsumsi adalah vitamin C yang telah diketahui berperan sebagai antioksidan untuk mengurangi

radikal bebas atau racun dalam tubuh manusia. Pangan fungsional berupa rempah-rempah menjadi

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 295

sorotan selama pandemi COVID-19. Berdasarkan penelitian, kandungan zat di dalamnya

merupakan komponen bioaktif yang dapat meningkatkan sistem imunitas tubuh karena berperan

sebagai imunostimulator (24). Penelitian (22) menemukan bahwa jahe, kunyit, dan lemon menjadi

rempah-rempah pilihan dominan saar pandemi COVID-19. Hal tersebut berbeda dengan hasil

penelitian ini yaitu meskipun terdapat peningkatan konsumsi ramuan tradisional jika dibandingkan

sebelum dan saat pandemi yaitu sebesar 14,9 %, mahasiswa masih banyak yang memilih untuk

tidak mengonsumsinya selama pandemi COVID-19 (58,8 %). Hal ini kemungkinan dikarenakan

mahasiswa belum terbiasa mengonsumsi rempah-rempah dan tidak menyukai rasanya sehingga

diperlukan pengolahan rempah yang dapat disukai oleh semua kalangan. Berbeda dengan hal itu,

orang tua biasa mengombinasikan rempah dengan minuman lain ataupun mencampurnya dengan

makanan mereka (20). Rempah secara umum dapar dimanfaatkan sebagai bahan dalam minuman

seperti teh sehingga komponen bioaktifnya dapat dimanfaatkan (25). Menurut Xue, 2020 dalam

(20) , penggunaan rempah dalam mencegah infeksi selama pandemi juga harus menyertakan

olahraga, psikologi, pengobatan medis, dan diet

Beraktivitas fisik juga diyakini sebagai salah satu kegiatan yang dapat meningkatkan sistem

imunitas tubuh. Anjuran GERMAS untuk beraktivitas fisik minimal 30 menit setiap harinya

diketahui tidak mengalami banyak perubahan pada responden sebelum dan saat pandemi COVID-

19 (17,9 %). Meskipun perkuliahan dilakukan secara daring dengan menghabiskan banyak waktu

di rumah saja, namun minat mahasiswa untuk beraktivitas fisik masih rendah (49,3 %). Pandemi

COVID-19 menyebabkan penurunan aktivitas fisik dan meningkatnya aktivitas sedentari sebagai

akibat dari anjuran menjaga jarak dan tetap di rumah (26), Penelitian ini menunjukkan adanya

penurunan level aktivitas fisik selama pandemi terutama pada laki-laki. Durasi paling lama

responden mengisi waktu dengan melakukan perkuliahan secara daring maupun mengerjakan

tugas di depan laptop adalah 3-4 jam per hari (32,4 %). Sementara itu, sebanyak 77,3 % responden

menggunakan waktu kesehariannya untuk bersantai selama lebih dari 3-4 jam saat kebijakan proses

pembelajaran jarak jauh diterapkan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh (10) juga menyatakan

bahwa adanya pandemi COVID-19 menyebabkan penurunan aktivitas secara umum seperti gaya

hidup dan aktivitas fisik.

Secara umum penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perubahan kesadaran kesehatan

pada mahasiswa di Sumatera Selatan baik dari segi kepatuhan menjalankan protokol kesehatan

maupun upaya meningkatkan daya tahan tubuh. Hasil ini sejalan dengan penelitian (27) yang

menyatakan bahwa sebanyak 92 % masyarakat telah memahami cara meningkatkan sistem imun

tubuh mereka. Perubahan positif tersebut dilakukan oleh responden dengan keyakinan bahwa

mengambil tindakan protektif akan mengurangi risiko terpapar COVID-19 (15). Penelitian (28)

menyatakan bahwa tuntutan psikologis akan pengetahuan dan intervensi selama pandemi COVID-

19 pada mahasiswa tinggi sehingga mereka mencari tahu informasi lebih banyak terkait COVID-19

untuk menghindari kecemasan dan depresi akan pandemi COVID-19. Kecemasan yang dihadapi

mahasiswa meliputi pilihan untuk tinggal di rumah orang tua atau yang lain, bagaimana pandemi

COVID-19 mempengaruhi penghasilan orang tua, dan apakah ada kenalan mereka yang terinfeksi

COVID-19 (29).

Kondisi pandemi COVID-19 juga tak lepas dari berita hoaks dan mitos yang beredar

sehingga sangat diperlukan program edukasi terkait pengetahuan, persepsi, dan praktik terkait

COVID-19 yang dapat dilakukan melalui media maupun jejaring sosial (30). Hal ini juga berkaitan

dengan kemampuan mengakses informasi yang mudah oleh mahasiswa sebagai golongan usia

muda. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian (31) yang menyatakan bahwa jejaring media

sosial dan televisi menjadi sumber terbesar yang diperoleh orang-orang dalam mendapatkan dan

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 296

mengadopsi informasi terkait COVID-19. Kemampuan tersebut selanjutnya membentuk kesadaran

untuk berperilaku preventif dalam melindungi diri sendiri dan memiliki persepsi risiko yang

moderat (32). Perilaku melindungi diri di publik berperan penting dalam mengendalikan

penyebaran COVID-19 (15).

KESIMPULAN DAN SARAN

Terdapat perubahan sikap positif pada mahasiswa di Sumatera Selatan terkait kesadaran

kesehatan akibat pandemi COVID-19. Perubahan kesadaran yang dilakukan yaitu menerapkan

protokol kesehatan dan melakukan upaya dalam meningkatkan daya tahan tubuh untuk mencegah

infeksi COVID-19. Perubahan tersebut menjadi bentuk usaha masyarakat dalam mematuhi

protokol kesehatan. Hasil pada penelitian ini tidak dapat digeneralisasi dan hanya menunjukkan

hasil dari data responden yang diperoleh. Dengan demikian, peneliti menyarankan untuk

melakukan penelitian lebih lanjut menggunakan sampel yang representatif secara proporsi pada

setiap kabupaten dan kota di Sumatera Selatan. Hal ini disarankan agar data hasil penelitian dapat

membedakan responden tiap daerah zona infeksi COVID-19.

DAFTAR PUSTAKA

1. Wiersinga WJ, Rhodes A, Cheng AC, Peacock SJ, Prescott HC. Pathophysiology,

Transmission, Diagnosis, and Treatment of Coronavirus Disease 2019 (COVID-19): A

Review. JAMA - J Am Med Assoc. 2020;2019.

2. Ong SWX, Tan YK, Chia PY, Lee TH, Ng OT, Wong MSY, et al. Air, Surface

Environmental, and Personal Protective Equipment Contamination by Severe Acute

Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) from a Symptomatic Patient. JAMA -

J Am Med Assoc. 2020;323(16):1610–2.

3. Pandemi P, Kota C-DI, Larasati RA. https://ejurnal.ung.ac.id/index.php/jej/index ,.

2020;2(2):90–9.

4. Huckins JF, da Silva AW, Wang W, Hedlund E, Rogers C, Nepal SK, et al. Mental health

and behavior of college students during the early phases of the COVID-19 pandemic:

Longitudinal smartphone and ecological momentary assessment study. J Med Internet Res.

2020;22(6).

5. Knowledge, Attitudes and Practices of COVID‑19 Among Urban and rural.pdf.

6. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. KMK No. HK.01.07-MENKES-413-2020

tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian COVID-19. 2020. p. 31–4.

7. Aldila N. 59 Negara Tutup Pintu untuk WNI, Begini Tanggapan Kemenlu [Internet]. 2020.

Available from: https://kabar24.bisnis.com/read/20200909/15/1289123/59-negara-tutup-

pintu-untuk-wni-begini-tanggapan-kemenlu

8. Pemprov Sumsel. Sumatera Selatan Tanggap COVID-19 [Internet]. 2020. Available from:

http://corona.sumselprov.go.id/index.php?module=home&id=1

9. Anum S. Minhas, M.D., Paul Scheel, M.D., Brian Garibaldi, M.D., Gigi Liu, M.D., M.Sc.,

Maureen Horton, M.D., Mark Jennings, M.D., M.H.S., Steven R. Jones, M.D., Erin D.

Michos, M.D., M.H.S., Allison G. Hays MD. Knowledge and Perceptions about COVID-19

among the Medical and Allied Health Science Students in India: An Online Cross-Sectional

Survey. Ann Oncol. 2020;(January):19–20.

10. Ammar A, Brach M, Trabelsi K, Chtourou H, Boukhris O. Effects of COVID-19 Home

Confinement on Eating Behaviour and Physical Activity : Results of the ECLB-COVID19

International Online Survey. 2020;(May).

11. Zhong BL, Luo W, Li HM, Zhang QQ, Liu XG, Li WT, et al. Knowledge, attitudes, and

practices towards COVID-19 among chinese residents during the rapid rise period of the

COVID-19 outbreak: A quick online cross-sectional survey. Int J Biol Sci.

2020;16(10):1745–52.

12. Vahia I V., Blazer DG, Smith GS, Karp JF, Steffens DC, Forester BP, et al. COVID-19,

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 297

Mental Health and Aging: A Need for New Knowledge to Bridge Science and Service. Am

J Geriatr Psychiatry. 2020;28(7):695–7.

13. Yang J, Zheng Y, Gou X, Pu K, Chen Z, Guo Q. Prevalence of comorbidities and its effects

in patients infected with SARS-CoV-2 : a systematic review and meta-analysis.

2020;(January).

14. Ayoub S, Al-khlaiwi T, Mahmood A, Sultan A. Biological and epidemiological trends in

the prevalence and mortality due to outbreaks of novel coronavirus COVID-19.

2020;(January).

15. Huang J, Liu F, Teng Z, Chen J, Zhao J, Wang X, et al. Public behavior change,

perceptions, depression, and anxiety in relation to the COVID-19 outbreak. Open Forum

Infect Dis. 2020;1–8.

16. Triyanto E, Kusumawardani LH. an Analysis of People ‘ S Behavioral Changes To Prevent

Covid -19 Transmission Based on Integrated Behavior Model. J Keperawatan Soedirman.

2020;15(2):66–73.

17. Cirrincione L, Plescia F, Ledda C, Rapisarda V, Martorana D, Moldovan RE, et al. COVID-

19 Pandemic: Prevention and protection measures to be adopted at the workplace. Sustain.

2020;12(9):1–18.

18. Azlan AA, Hamzah MR, Sern TJ, Ayub SH, Mohamad E. Public knowledge, attitudes and

practices towards COVID-19: A cross-sectional study in Malaysia. PLoS One [Internet].

2020;15(5):1–15. Available from: http://dx.doi.org/10.1371/journal.pone.0233668

19. Afzal et al. Community‑Based Assessment of Knowledge, Attitude, Practices and Risk

Factors Regarding COVID‑19 Among Pakistanis Residents.pdf.

20. Sajid M, Urooj A, Anam K, Waseem S, Hussain M, Yasmeen A, et al. Coronavirus disease

( COVID-19 ) and immunity booster green foods : A mini review. 2020;(April):3971–6.

21. González Maglio DH, Paz ML, Leoni J. Sunlight Effects on Immune System: Is There

Something Else in addition to UV-Induced Immunosuppression? Darvin ME, editor.

Biomed Res Int [Internet]. 2016;2016:1934518. Available from:

https://doi.org/10.1155/2016/1934518

22. Saragih, B. SF. GAMBARAN KEBIASAAN MAKAN MASYARAKAT PADA MASA

PANDEMI COVID-19.

23. Nandy S. Food for Urban Resilience in India. 2019;1–5.

24. Kathal R, Rawat P. Immunity Booster Herbs and their Conservation-A Review. 2016;135–

40.

25. Chandrasekara A, Shahidi F. Journal of Traditional and Complementary Medicine Herbal

beverages : Bioactive compounds and their role in disease risk reduction - A review. 2018;8.

26. Sekulic D, Blazevic M, Gilic B, Kvesic I, Zenic N. Prospective analysis of levels and

correlates of physical activity during COVID-19 pandemic and imposed rules of social

distancing; gender specific study among adolescents from Southern Croatia. Sustain.

2020;12(10):4–6.

27. Sari DK, Amelia R, Dharmajaya R, Sari LM, Fitri NK. Positive Correlation Between

General Public Knowledge and Attitudes Regarding COVID-19 Outbreak 1 Month After

First Cases Reported in Indonesia. J Community Health [Internet]. 2020;(0123456789).

Available from: https://doi.org/10.1007/s10900-020-00866-0

28. Wang Z, Yang H, Yang Y, Liu D, Li Z, Zhang X, et al. Prevalence of anxiety and

depression symptom , and the demands for psychological knowledge and interventions in

college students during COVID-19 epidemic : A large cross-sectional study.

2020;275(1023):188–93.

29. Cao W, Fang Z, Hou G, Han M, Xu X, Dong J. The psychological impact of the COVID-19

epidemic on college students in China. 2020;287(March):1–5.

30. Narayana G, Pradeepkumar B, Dasaratha J. Knowledge, perception, and practices towards

COVID-19 pandemic among general public of India: A cross-sectional online survey.

2020;(January).

31. Hager E, Odetokun IA, Bolarinwa O, Zainab A, Okechukwu O, Al-Mustapha AI.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 298

Knowledge, attitude, and perceptions towards the 2019 Coronavirus Pandemic: A bi-

national survey in Africa. PLoS One [Internet]. 2020;15(7 July):1–13. Available from:

http://dx.doi.org/10.1371/journal.pone.0236918

32. Taghrir MH, Borazjani R, Shiraly R. COVID-19 and iranian medical students; A survey on

their related-knowledge, preventive behaviors and risk perception. Arch Iran Med.

2020;23(4):249–54.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 299

MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN PADA IBU HAMIL DIMASA

PANDEMI COVID-19 : TINJAUAN LITERATUR TERKINI

Ade Tyas Mayasari

*, Elsa Fitri Ana, Komalasari, Dessy Nur Safitri

Fakultas Kesehatan Universitas Aisyah Pringsewu, Lampung

Corresponding email : [email protected]

ABSTRACT

Since December 2019, in Wuhan (Hubei Province, China), has successively found a new cases of infection

had never been detected before. This infection attacks the respiratory tract. The infection is called Covid-19

with the SARS-COv-2 virus as the main cause. After being first discovered in Wuhan, the Covid-19 outbreak

spread rapidly to other areas in China and around the world. Currently, there is an increase in new cases

globally as many as 1,844,959 million cases. Pregnant women are one of the groups susceptible to

transmission of the SARS-Cov-2 virus. Based on the cohort studies that have been conducted, viral infection

in pregnant women can cause complications for the mother and the fetus and can even lead to death in both.

We conducted a literacy study of health service management policies in pregnant women during the Covid-

19 pandemic from around the world published from February to September 2020. The literature we use is the

literature that has been published in the Pubmed and Sciencedirect databases. Management of maternal

health services in accordance with established health protocols can improve the quality of Maternal and

Child Health (MCH) services during the Covid-19 pandemic and support health service providers to

continue to pay attention to management of infection prevention and transmission. The availability of service

guidelines globally can help health workers prevent morbidity and mortality in mothers and babies related to

Covid-19.

Keyword : Health service management, Pregnant Women, Covid-19

ABSTRAK

Pada bulan Desember 2019, di Provinsi Wuhan-Hubei, China ditemukan kasus infeksi baru yang belum

pernah terdeteksi sebelumnya. Infeksi ini menyerang saluran pernafasan. Infeksi tersebut disebut dengan

Covid-19 dengan virus SARS-COv-2 sebagai penyebab utamanya. Setelah pertama kali ditemukan di

Wuhan, wabah Covid-19 menyebar dengan cepat ke daerah lain di China dan seluruh dunia. Saat ini secara

global terjadi peningkatan kasus baru sebanyak 1.844.959 juta kasus. Ibu hamil adalah salah satu kelompok

yang rentan terhadap penularan virus SARS-Cov-2. Berdasarkan studi kohort yang telah dilakukan, infeksi

virus pada ibu hamil dapat mengakibatkan komplikasi terhadap ibu dan janin bahkan dapat mengakibatkan

kematian pada keduanya. Kami melakukan studi literasi kebijakan manajemen pelayanan kesehatan pada ibu

hamil dimasa pandemi Covid-19 dari seluruh dunia yang dipublikasikan sejak Februari sampai September

2020. Literatur yang kami gunakan adalah literatur yang telah dipublikasikan di database Pubmed dan

Sciencedirect. Manajemen pelayanan kesehatan ibu sesuai dengan protokol kesehatan yang telah ditetapkan

dapat meningkatkan kualitas pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dimasa pandemi Covid-19 dan

mendukung penyedia layanan kesehatan untuk tetap memperhatikan manajemen pencegahan dan penularan

infeksi. Adanya panduan pelayanan secara global dapat membantu tenaga kesehatan dalam mencegah

kesakitan dan kematian pada ibu dan bayi terkait dengan Covid-19.

Kata Kunci: Manajemen pelayanan kesehatan, Ibu Hamil, Covid-19

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 300

PENDAHULUAN

Pada akhir bulan Desember 2019 di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Cina ditemukan beberapa

kasus baru secara berturut-turut dengan gejala novel coronavirus pneumonia (NCP)3. Penyakit ini

disebabkan oleh infeksi virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2 )3.

Kasus pertama ditemukan di pasar ikan daerah kota Wuhan. Sejak tanggal 18-29 Desember 2019,

sebanyak lima pasien dirawat dengan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Kemudian

pada tanggal 31 Desember 2019 hingga 03 Januari 2020 dilaporkan ada 44 kasus baru dengan

keluhan dan diagnosa yang sama. Dalam kurun waktu satu bulan, kasus ini meningkat dengan pesat

ke seluruh Cina bahkan sampai ke Negara Thailand, Jepang dan Korea Selatan13

. Karena

percepatan penyebaran penyakit ini sangat pesat, maka Pemerintah Republik Rakyat Tingkok

memasukkannya kedalam golongan penyakit menular kelas B. Selain itu, pencegahan dan

pengendalian penyakit menular serta tindakan pencegahan dan pengelolaan infeksi kelas A

dimasukkan kedalam Undang-Undang Republik Rakyat Tiongkok3. Pada tanggal 12 Januari 2020,

sebutan 2019 Novel Corona Virus (2019-nCoV) secara resmi ditetapkan oleh World Health

Organization (WHO)4. Seiring dengan berkembangnya penelitian yang dilakukan pada virus

jenis baru ini, pada tanggal 11 Februari 2020, WHO mengumumkan perubahan nama penyakit ini

yang telah menjadi wabah dunia, yaitu Coronavirus Disease-19 (COVID-19)13

. Penyakit ini terus

menyebar dengan cepat ke seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia sehingga pada tanggal 12

Maret 2020 WHO resmi mengumumkan bahwa COVID-19 sebagai pandemik.

Lembaga kesehatan dunia atau WHO melaporkan terlah terjadi lebih dari 32,7 juta kasus

COVID-19 di seluruh dunia. Pada tanggal 21 sampai dengan 27 September 2020 terdapat kurang

lebih 2 juta kasus baru dan 36.000 kematian baru. Peningkatan kasus terbesar dalam kurun waktu

antara 21-27 September 2020 terjadi di wilayah Amerika dengan presentase peningkatan kasus

baru sebanyak 38% dan kasus kematian baru sebanyak 52%. Negara-negara di wilayah Mediterania

Timur melaporkan peningkatan kasus sebanyak 9% jika dibandingkan dengan kasus pada minggu

sebelumnya. Wilayah Eropa melaporkan peningkatan kematian yang subtansial sebanyak 9%.

Sedangkan Negara-negara di wilyah Afrika, Pasifik Barat dan Asia Tenggara melaporkan adanya

penurunan kasus baru dan kematian yang terjadi dalam satu minggu ini. Meskipun WHO

melaporkan bahwa Wilayah Asia Tenggara mengalami penurunan kasus baru dan kematian baru,

namun Indonesia terus mengalami peningkatan kasus COVID-19 ini. Dari tanggal 01 Oktober

hingga 02 Oktober 2020, terjadi peningkatan kasus baru sebanyak 4.317 kasus dan kasus kematian

baru meningkat sebanyak 116 kasus, namun peningkatan kasus dan kematian baru tersebut diiringi

pula kasus pasien yang sembuh yaitu sebanyak 2.853. Jumlah kasus di Indonesia pada tanggal 02

Oktober 2020 yaitu, positif COVID-19 sebanyak 295.499, pasien sembuh (positif COVID-19)

sebanyak 221.340, dan pasien meninggal (positif COVID-19) sebanyak 10.972.

COVID-19 awalnya adalah infeksi yang penularannya terjadi dari hewan vertebrata ke

manusia (zoonosis). Selanjutnya virus ini berkembang melalui transmisi dari manusia ke manusia

lainnya melalui percikam cairan sekresi dari saluran pernafasan orang yang terinfeksi1. COVID-19

adalah penyakit yang menyerang saluran pernafasan yang kemudian bermanifestasi dengan gejala

demam, batuk, kelelahan, hidung tersumbat dan sesak nafas, batuk kering, sakit kepala, diare 7,3,1.

Namun 23% orang yang telah terinfeksi menunjukkan kondisi tanpa gejala. Komplikasi yang tejadi

dari infeksi ini adalah adanya pneumonia berat, sindrom pernafasan akut, kelainan jantung, sepsis

dan syok septik1. Masa inkubasi dari virus ini adalah sekita 4 sampai dengan 6 hari dan dapat

bervariasi antara 2 sampai dengan 14 hari1.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 301

Data mengenai peningkatan kasus COVID-19 ini telah dilaporkan secara nasional maupun

secara global, namun hingga saat ini belum ada data spesifik mengenai jumlah ibu hamil yang

terpapar virus COVID-19 di Indonesia. Meskipun demikian, jika dilihat, dari wabah yang pernah

terjadi sebelumnya di daerah Timur Tengah pada tahun 2012 yang disebabkan oleh keluarga virus

yang sama dengan COVID-19 yaitu Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus (MERS-CoV)

menunjukkan bahwa lebih dari 10.000 pasien di seluruh dunia terinfeksi MERS-CoV ini. Dari

jumlah tersebut, sebanyak 25% menginfeksi wanita hamil4. Hal tersebut karena wanita hamil lebih

rentan terhadap penularan infeksi yang dapat mengakibatkan komplikasi. Faktanya, seorang wanita

hamil akan mengalami perubahan yang fisiologis pada sistem kardiovaskuler, pernafasan dan

sistem koagulasi yang dapat menyebabkan meningkatnya risiko morbiditas dan mortalitas1. Selain

dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas pada ibu hamil, COVID-19 juga dapat berdampak

terjadinya komplikasi pada janin, diantaranya adalah, keguguran, Pertumbuhan Janin Terhambat

(PJT) atau Intra Uterine Growth Restriction (IUGR) dan kelahiran prematur, kelainan pada saraf

dan kematian pada bayi baru lahir2.

METODE

Studi yang kami lakukan menggunakan metodologi tinjauan literatur terkini. Metode yang

digunakan adalah dengan melakukan studi literasi tentang kebijakan manajemen pelayanan

kesehatan pada ibu hamil dimasa pandemi Covid-19 dari seluruh dunia yang dipublikasikan sejak

bulan Februari sampai September 2020. Databased yang kami gunakan adalah Pubmed dan

Sciencedirect. Kata kunci yang kami gunakan adalah ―pregnancy management AND covid-19‖.

HASIL PENELITIAN

1. GEJALA COVID-19

Sebagian besar pasien pada awal terinfeksi memiliki gejala yang ringan dan sekitar 20%

mengalami gejala yang berat1. Secara umum, ibu hamil lebih berisiko mengalami morbiditas dan

mortalitas dari terjadinya infeksi saluran pernafasan tertentu, seperti pada kasus infeksi virus H1N1

dan varicella pneumonia. Oleh karena itu, ibu hamil yang terinfeksi virus SARS-CoV-2 juga dapat

berisiko mengalami gangguan saluran pernafasan yang dapat mengganggu kondisi ibu dan janin

yang dikandungnya. Sama seperti pasien umum yang didiagnosis COVID-19, ibu hamil juga

mengalami gejala yang sering ditemukan yaitu : demam, batuk dan flu serta sesak nafas. Kondisi

sesak nafas pada ibu hamil lebih sulit ditegakkan diagnosis nya jika tidak dilakukan pemeriksaan

secara menyeluruh karena secara fisiologis, ibu hamil mengalami peningkatan kebutuhan oksigen

untuk metabolisme ibu dan janinnya. Kurang lebih 80% Ibu hamil yang mengalami COVID-19

menunjukkan gejala ringan, 15% mengalami gejala berat dan 5% mengalami kondisi kritis13

.

Gambaran umum dari gejala yang sering dialami oleh wanita hamil dengan COVID-19 dapat

dilihat dari tabel 1 berikut ini :

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 302

Tabel 1. Gambaran umum dari gejala yang sering dialami oleh wanita hamil dengan

COVID-19

Gejala

Lopez et al. 1 Dashraath et

al. 2

Elshafeey et al.

17

Chen et al. 16 Yu et al. 15

% % % % % Demam 80-100 84 67.3 75 86

Batuk 59-82 28 65.7 73 14

Sesak Nafas 31-54 18 7.3 7 14

Sakit Kepala 6-17 Kelelahan 44-70

Diare 2-10 7.3 7 14

Seorang ibu hamil akan mengalami perubahan secara fisiologis pada sistem kardiovaskuler,

pernafasan dan sistem koagulasi sehingga komplikasi akibat COVID-19 pada ibu hamil harus

diidentifikasi dan ditangani sejak dini1.

2. Komplikasi Pada Janin Dengan Ibu Positif COVID-19

Terjadinya demam selama masa kehamilan dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan pada

saraf janin. Komplikasi lainnya yang dapat terjadi pada bayi dengan ibu positif COVID-19 adalah

keguguran atau abortus, timbulnya kecacatan, persalinan prematur, Intra Uterine Growth

Restriction (IUGR) atau Pertumbuhan Janin Terhambat (PJT)1. Dari beberapa komplikasi yang

dapat terjadi pada janin tersebut, kelahiran prematur adalah komplikasi yang sering terjadi yaitu

sebanyak 41-47%. Namun hingga saat ini, belum ada cukup bukti untuk menentukan hubungan

antara COVID-19 dan persalinan prematur, meskipun pada beberapa kasus ibu hamil dengan

COVID-19 terjadi ruptur membran13

. Studi pada ibu hamil dengan positif COVID-19 belum

menunjukkan bahwa COVID-19 bersifat teratogenik. Sebuah studi lapangan menunjukkan bahwa

telah terjadi kegugran pada usia kehamilan 19 minggu yang menggambarkan adanya insufisiensi

akut pada plasenta yang mengakibatkan terjadinya keguguran. Kasus tersebut didukung oleh

adanya virus pada plasenta, namun belum ada bukti konkreat adanya transmisi secara vertikal

antara ibu dan janin yang dikandungnya sehingga masih diperlukan adanya penelitian lebih lanjut

untuk menyelidiki hubungan potensial tersebut. Tidak hanya itu, potensial terjadinya pertumbuhan

janin terhambat dan komplikasi lainnya pada janin dengan ibu hamil positif COVID-19 juga belum

dapat ditentukan dengan pasti dan masih memerlukan data penelitian lebih lanjut13

.

3. Penularan Penyakit

SARS-CoV-2 adalah virus RNA sense positif yang tidak tersegmentasi. Virus ini adalah

virus dalam kelompok keluarga virus corona (CoV). Keluarga virus corna terdiri dari empat virus

yang dua diantaranya dapat menyebabkan terjadinya flu. Dua virus tersebut adalah Severe Acute

Respratory Syndrome (SARS) CoV, Middle East Respiratory syndrome (MERS) CoV. SARS-

CoV dan MERS-CoV telah menyebabkan epidemi dan mengakibatkan borbiditas dan mortalitas

yang tinggi, terutama pada ibu hamil6. COVID-19 adalah infeksi yang disebabkan oleh virus

SARS-CoV-2, virus ini awalnya adalah virus yang bersifat zoonosis atau infeksi yang menular dari

hewan ke manusia. Transmisi virus SARS-CoV-2 kemudian berkembang dari satu orang ke orang

lain melalui tetesan udara dari hasil pernafasan2. Penelitian yang dilakukan sejauh ini menunjukkan

bahwa penularan COVID-19 melalui tiga mekanisme, yaitu tetesan udara, kontak langsung dari

orang ke orang lainnya dan kontak dengan fomites7. Tetesan udara dari orang yang terinfeksi dalam

jarak < 2 meter atau adanya kontak langsung dengan orang yang terinfeksi dapat membangun mata

rantai penularan virus ini. Hingga saat ini belum ada bukti bahwa virus juga dapat berkembang

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 303

dalam cairan genital, urin, cairan ketuban, darah pada tali pusat dan Air Susu Ibu (ASI)1. Namun

ada risiko transmisi atau penularan secara vertikal jika dilihat dari jenis virus yang serupa dengan

SARS. Mayoritas ibu hamil yang tertular COVID-19 adalah pada trimester tiga kehamilan2.

4. Manajemen Ibu Hamil dengan COVID-19

Tujuan pengelolaan pelayanan COVID-19 oleh WHO adalah :

a. Mengidentifikasi, perbaikan jalan nafas, isolasi dan perawatan lebih awal pada bayi baru

lahir yang terpapar COVID-19 dan mengoptimalkan perawatan untuk pasien yang telah

dinyatakan terinfeksi.

b. Mencegah penularan dari satu orang ke orang lainnya untuk mengurangi infeksi sekunder

dan kontak dengan petugas kesehatan

c. Membangun dan memelihara ikatan antara ibu dan bayinya dengan sebaik mungkin.

Berikut ini adalah pedomam umum dalam pelayanan kebidanan untuk mengurangi risiko

penularan COVID-19 :

a. Mengurangi kunjungan ANC dan memfokuskan kunjungan ANC pada empat kali kunjungan

yaitu pada usia kehamilan < 16, 28, 32 dan 38 minggu dan memodfikasi jadwal kunjungan

pada usia kehamilan > 36 minggu dengan menggunakan pelayanan online, hal ini bertujuan

untuk meminimalkan trejadinya risiko infeksi

b. Menghindari pemeriksaan ANC dari keramaian sehingga perlu diatur jadwal untuk setiap

pasien

c. Selama proses konsultasi, petugas kesehatan harus menjaga jarak aman dari pasien

d. Menerapkan kewaspadaan universal untuk semua penyakit menular

e. Sebelum dan setelah proses konsultasi, tenaga kesehatan harus mencuci tangan dengan

menggunakan sabun atau cairan pembersih tangan

f. Saat dilakukan skrining pada kunjungan ANC, harus ditanyakan riwayat perjalanan dalam

beberapa hari sebelumnya, apakah pernah melakukan perjalanan dari daerah berisiko tinggi.

Selain itu apakah ibu memiliki gejala demam, batuk dan sesak nafas. Apabila ditemukan factor

risiko tersebut maka perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut di area yang terpisah dari pasien yang

lainnya

g. Konsultasi melalui telfon harus direncanakan untuk kondisi non daruratan dengan tujuan untuk

mengurangi kunjungan ke klinik atau rumah sakit

h. Pasien dengan keluhan dan kondisi serius harus dikategorikan kedalam kondisi darurat tanpa

mempertimbangkan usia kehamilan dan status pemeriksaan dengan tujuan agar ia mendapat

prioritas pelayanan dengan tepat

i. Tindakan operasi SC disarankan dengan penanganan anastesi dan neurologi yang tepat

Ibu hamil dianjurkan untuk menerapkan jarak sosial atau social distancing dan mengikuti

panduan isolasi diri untuk mencegah terpaparnya COVID-19. Selain itu, selalu menjaga kebersihan

tangan dengan cara rajin mencuci tangan juga direkomendasikan13

. Ibu hamil yang memiliki gejala

akan dinilai sebagai suspect sampai didapatkan hasil pemeriksaan klinis secara menyeluruh. Hal ini

dilakukan untuk menciptakan management isolasi dan pengobatan yang kondusif secara dini3.

Apabila ditemukan salah satu keluhan dan sejarah epidemiologi penularan serta adanya manifestasi

pemeriksaan klinis maka tindakan yang harus dilakukan adalah :

Historikal epidemiologi3 :

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 304

1. Riwayat perjalanan atau tempat tingga di daerah yang ada kasus positif COVID-19 atau

berkumpul dengan komunitas yang didalamnya ada kasus positif COVID-19 pada 14 hari

sebelum timbulnya gejala infeksi

2. Riwayat kontak dengan pasien terkonfirmasi terinfeksi SARS-CoV-2 dalam waktu 14 hari

sebelumnya

3. Riwayat kontak dengan pasien yang mengalami demam atau gejala gangguan pernafasan dalam

waktu 14 hari sebelumnya

4. Adanya clustering positif COVID-19 ditempat ia berada

Manifestasi Klinis3,1

:

1. Demam persistem > 380C meskipun sudah diobati menggunakan paracetamol

2. Adanya gejala gangguan pernafasan

3. Adanya pengurangan jumlah total leukosit dan limfosit

4. Pada foto rontgen menunjukka adanya pneumonia

5. Wanita hamil dengan penyakit penyerta lainnya seperti hipertensi kronis, penyakit paru-paru,

diabetes sebelum kehamilan, imunosupresi, penerima transplantasi organ, terinfeksi HIV dengan

<350 sel CD4 +, pasien yang menerima kortikosteroid

6. Penilaian keparahan dengan skala CURB, yaitu :

a. Confusion (Acute) atau kecemasan yag berlebihan

b. Urea > 19 mg/dL atau kandungan urea dalam urin > 19 mg/dL

c. Respiratory : ≥ 30 bpm atau pernafasan ≥30 kali per menit

d. Blood Pressure Systolic ≤ 90 or diatolic ≤ 60 mmHg atau tekanan darah sistolik ≤ 90 dan

diastole ≤ 60 mmHg

Selama masa pandemi, prinsip umum yang diterapkan pada pelayanan antenatal care (ANC)

adalah dengan meminimalkan kunjungan langsung ke fasilitas pelayanan kesehatan. Konsultasi via

telfon dan video call merupakan salah satu cara efektif untuk mencegah penularan COVID-19. Ibu

hamil dengan gejala COVID-19 harus dilakukan pemeriksaan secara menyeluruh dan jika

memungkinan, jadwal kunjungan ANC ditunda serta harus menjalani karantina mandiri. Apabila

gejala masih berlanjut, maka ibu harus mengkonfirmasi ke tenaga kesehatan untuk di tes dan/atau

dirawat inap sesuai dengan protap penanganan COVID-19. Ibu hamil yang sebelumnya

terkonfirmasi COVID-19 dan telah dinyatakan sembuh dari infeksi virus SARS-CoV-2, tetap harus

dilakukan pemantauan secara teratur dan penilaian kondisi perkembangan serta kesejahteraan

janin.13

Berikut ini adalah beberapa pedoman umum dalam pengelolaan pelayanan ANC untuk

mengurangi risiko penularan/paparan COVID-19.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 305

Gambar 1 Rangkuman manajemen penanganan COVID-19 selama kehamilan

Lopez et al. Coronavirus Disease 2019 in Pregnancy: A Clinical Management Protocol and

Considerations for Practice. S. Karger AG 2020

Adanya demam yang menetap (> 380C) meskipun sudah diberikan paracetamol

Pada foto rontgen terdapat kriteria pneumonia

Adanya penyakit penyerta seperti : hipertensi kronik, diabetes sebelum kehamilan,

penyakit paru-paru, insufisiensi ginjal dan immunosuppression

Adanya skor CURB > 0 :

Confusion (Acute)

Urea > 19 mg/dL

Respiratory : ≥ 30 bpm

Blood Pressure Systolic ≤ 90 or diatolic ≤ 60 mmHg

Tidak ada Ada

Perawatan di Rumah Sakit Isolasi mandiri di rumah

Pemenuhan hidrasi

Pemberian antivirus : lopinavir/ritonavir

dalam 7-14 hari (Penggunaan harus

diawasi secara ketat)

Hydroxychloroqiune dalam 4 hari

(Penggunaan harus diawasi secara ketat)

Azitromisin dalam 4 hari

Low Molecular Weight Heparin

(LMWH) profilaksis (diberikan sampai

dengan 2 minggu setelah perawatan)

Jika alveolar mengecil dan prokalsitonin

meningkat, pertimbangkan pemberian

ceftriaxone + teicoplanin

Pertahankan SO2 > 94%

Pemantauan detak jantung janin (CTG

jika > 28 minggu)

Pertimbangkan persalinan jika usia

kehamilan antara 32-34 minggu

Pemenuhan hidrasi

Jika diperlukan, minum

paracetamol dengan dosis

maksimal 4 gram per hari

Pemantauan melalui telfon dalam

24 jam, 48 jam dan 7 hari

Penundaan kunjungan rutin secara

langsung dalam waktu 4 minggu

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 306

Jika ditemukan salah satu dari manifestasi gejala klinik, maka segera lakukan penanganan

pada kasus infeksi ringan dengan cara melalukan isolasi mandiri di rumah. Selama melakukan

isolasi tersebut harus dilakukan tindakan :

a. Hidrasi

b. Mengontrol suhu 2 kali sehari

c. Jika diperlukan, minum paracetamol 500 – 1.000 mg dalam jangka waktu 6-8 jam

d. Memberikan kabar atau pemantauan melalui telefon dalam 24 jam, 48 jam hingga 7 hari

e. Penundaan kunjungan rutin secara langsung dalam waktu 4 minggu

f. Melakukan aktivitas fisik ringan dan menghindari bed rest yang terlalu lama untuk mencegah

risiko terjadinya thrombosis.

Pada kasus tingkat sedang hingga berat, pelayanan yang harus diterapkan adalah sebagai

berikut :

1. Dilakukan perawatan di Rumah Sakit pada unit isolasi dengan pemantauan rutin tanda-tanda

vital yang meliputi tekanan darah, detak jantung, frekuensi pernafasan dan SO2

2. Meskipun belum ada bukti dari uji coba klinis yang dapat digunakan, namun pengobatan

farmakologis dibutuhkan untuk mengurangi gejala COVID-19. Pengobatan farmakologis

tersebut yaitu :

a. Lopinavir/ritonavir (100 mg/25 mg) 2 tablet setiap 12 hari (7-14 hari tergantung pada

evolusi kondsi klinis)

b. Hydroxychloroquine sulphate 400 mg setiap 12 jam di hari pertama kemudian dilanjutkan

dengan dosis 200 mg setiap 12 jam dalam 4 hari

c. Azitromisin 500 mg pada dosis pertama kemudian dilanjutkan dengan dosis 250 mg setiap

24 jam sampai dengan 4 hari yang diberikan secara oral atau intravena.

Perawatan farmakologis ini memiliki kontraindikasi dalam kehamilan, namun perlu

persetujuan dan pemantuan secara ketat dalam penggunaanya.

a. Dalam kasus infiltrate alveolar dan/atau prokalsitonin meningkat (dalam dugaan adanya

peningkatan infeksi bakteri), pemberian ceftriaxone 1-2 gram per 24 jam secara intravena +

teicoplanin 400 mg setiap 12 jam untuk 3 kali pemberian kemudian dilanjutkan dengan 400 mg

setiap 24 jam

b. Pemberian methyiprednisolone (untuk pengelolaan sindrom gangguan pernafasan akut),

Tocilizumab (sebagai anti inflamasi nonoklonal antibody dengan efek penghambatan IL-6) atau

Remdesivir (sebagai penghambat RNA polymerase dengan aktivitas in vitro dalam melawan

SARS-CoV-2). Namun pemberian obat golongan ini masih terus diteliti keamanannya bagi ibu

hamil

Pemantauan kesejahteraan janin dengan menggunakan Cardiotocography (CTG) secara rutin

dan tergantung pada usia kehamilan dan kondisi ibu1.

Gambar 2.

Skema kontinuitas pelayanan dan pengendalian infeksi di tiap unit kerja kebidanan

Tujuan : Menjamin kontinuitas pelayanan, jarak sosial petugas kesehatan dan pengendalian infeksi

Tenaga Kesehatan yang tergabung dalam satu tim dapat terdiri dari resident, perawat dan tenaga

medis lainnya, misalnya sonographer. Waktu kerja dalam satu shift adalah 12 jam dan dilaksanakan

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 307

salam satu minggu, kecuali hari libur yang telah ditentukan. Tenaga kesehatan juga harus

memastikan waktu istirahat yang cukup.

× ×

Tim Rawat Jalan :

Tempat pelayanan rawat

jalan meliputi :

1. Klinik kehamilan

2. Klinik Spesialis ibu

dan anak

3. Klinik USG

Hal-hal yang harus

dilakukan pada setiap

kunjungan :

Pemeriksaan suhu

secara rutin

Memetakan pasien

berdasarkan zonasi

wilayah terpapar

COVID-19

Jika memungkinkan,

menunda

pemeriksaan USG

Jika memungkinkan,

perimbangkan untuk

menunda layanan

ART

Memfasilitasi

pelacakan interaksi

yang telah dilakukan

sebelumnya jika

pasien dinyatakan

positif COVID-19

Tetap memberikan

pelayanan kesehatan

reproduksi

Tim Rawat Inap :

Tempat pelayanan rawat

jalan adalah Rumah

Sakit dengan pelayanan :

1. Menerima perawatan

pasien antenatal

2. Menerima perawatan

pasien postnatal

3. Menerima perawatan

pasien rujukan

(termasuk pasien

dengan kasus-kasus

infeksi)

Pelayanan yang harus

diberikan pada unit

rawat inap adalah :

Perawatan Enhanced

Recovery After

Surgery (ERAS)

sesuai dengan

protocol kesehatan

yang berlaku

Pemberian obat-

obatan yang masih

terbungkus dalam

kemasannya

Pemulihan setelah

operasi

Tim Penanganan

Kelahiran :

Tempat pelayanan rawat

jalan adalah Rumah

Sakit dengan pelayanan :

1. Pelayanan persalinan

2. Pelayanan operasi

SC elektif dan

darurat

Hal-hal yang harus

dilakukan pada unit

penanganan kelahiran

adalah :

Pemeriksan suhu

rutin

Menggunakan Alat

Perlindungan Diri

(APD) berdasarkan

profil risiko infeksi

Persalinan SC untuk

meminimalkan risiko

komplikasi

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 308

Note : × Meminimalkan kontak fisik antar tim untuk mengurangi risiko infeksi silang

Dashraath. COVID-19 pandemic and pregnancy. Am J Obstet Gynecol 2020.

Dalam masa pandemi, menjaga jarak sosial telah terbukti efektif untuk mencegah penularan

COVID-19. Pemberian pelayanan kebidanan dapat diterapkan dengan skema ini. Dalam

memberikan pelayanan, harus memperhatikan prinsip pencegahan infeksi dengan memakai Alat

Perlindungan Diri (APD) sesuai tingkat level infeksi. Jika salah satu dari anggota tim dinyatakan

terinfeksi COVID-19, maka ia harus dikarantina selama 2 minggu2.

Selain menerapkan pembagian tim dalam pelayanan, pemeriksaan kehamilan dilaksanakan

sesuai dengan pedoman perawatan kesehatan berdasarkan perjanjian antara ibu hamil dan tenaga

kesehatan. Ibu hamil juga harus memperhatikan pergerakan janin nya terutama dalam usia

kehamilan trimester tiga. Apabila ada ibu hamil yang dicurigai terdiagnosis COVID-19 maka ia

harus menjalani pemeriksaan menyeluruh di Rumah Sakit rujukan yang telah ditentukan.

Pemantauan detak jantung janin dan pemeriksaan USG dilakukan untuk menilai kondisi dan

kesejahteraan janin di dalam kandungan. Untuk meminimalkan terjadinya penularan virus dan

infeksi silang, pemeriksaan kehamilan disarankan melalui konsultasi online untuk memberikan

asuhan pada ibu hamil3.

Ibu hamil yang memiliki gejala klinis mengarah pada COVID-19 harus segera diisolasi

dalam ruangan tersendiri. Kasus yang telah dinyatakan positif harus dirawat dalam ruangan tertutup

dan diminimalkan untuk berinteraksi dengan orang lain. Ibu hamil dengan gejala dan kondisi kritis

harus dirawat di unit perawatan intensif. Rumah sakit juga harus menyediakan ruangan bersalin

tersendiri untuk proses operasi SC bagi ibu hamil yang terkonfirmasi positif COVID-19. Selain itu,

ruang perawatan untuk isolasi bayi yang dilahirkan dari ibu yang positif juga harus dibedakan.

Idealnya, ruangan antara ruang operasi dan ruang bayi letak nya berdekatan satu sama lain untuk

membatasi wilayah pergerakan tenga medis yang menanganinya. Pengunjung pasien juga harus

dibatasi dan interaksi antara pasien dengan keluarganya dapat melalui jendela tertutup4. Berikut ini

adalah diagram alur konsultasi ibu hamil dengan suspected infeksi COVID-19 :

Gambar 3. Alur konsultasi ibu hamil dengan suspected infeksi COVID-19

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 309

Chen et al. Expert consensus for managing pregnant women and neonates born to mothers

with suspected or confirmed novel coronavirus (COVID-19) infection. Int. Journal of

Gynecology Obstetric. 2020

Ibu hamil dan bayi baru lahir dengn gejala COVID-19 harus dirujuk ke Rumah Sakit rujukan

yang telah ditentukan

Suspected COVID-19

Direkomendasikan menjalani isolasi di ruang khusus yang tertutup

Memeriksa etiologi penularan infeksi secara lengkap

Setelah dilakukan dua kali tes

patogenik didapatkan hasil tes

negative (waktu pengambilan

sampel minimal berjarak 1 hari)

Dikecualikan dari kasus

infeksi COVID-19

Penghentian isolasi dan

pemeriksaan rutin

antenatal di klinik

kebidanan

Jika dilakukan test

dengan hasil positif

Terkonfirmasi positif

COVID-19

Direkomendasikan untuk

menjalani isolasi pada

ruang khusus untuk

dilakukan pemeriksaan

ANC secara rutin dan

proses persalinan

Apabila kondisi pasien

kritis, maka perawatan

dipindahkan ke ruang

ICU khusus isolasi pasien

COVID-19

Tim medis dari multidisiplin merencanakan terminasi

kehamilan, metode persalinan dan metode anastesi

Penyembuhan dari

COVID-19

Bayi baru lahir harus

diisolasi selama 14 hari dan

harus dipantau secara ketat,

tidak dierkomendasikan

untuk menyusu langsung

pada ibu selama isolasi

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 310

COVID-19 ditularkan melalui infeksi droplet dan kontak terhadap permukaan (face-to-

fomite), penularan juga dapat melalui udara. Persistensi virus dapat hidup dipermukaan sampai

empat hari. Orang tanpa gejala juga dapat menularkan penyakit ini, sehingga penggunaan masker

ketika keluar rumah sangat disarankan untuk memutus mata rantai penularan. Berikut ini adalah

pedoman untuk mempertimbangkan kerentanan ibu hamil terhadap COVID-196:

Pedoman 1 : Setiap ibu hamil dianggap sebagai kelompok berisiko tinggi karena

adanya perubahan respon imun. Ibu hamil yang terinfeksi akan mengalami kondisi lebih

berat dan membutuhkan perawatan yang lebih banyak dibandingkan dengan orang yang tidak

hamil. Oleh karena itu, semua ibu hamil harus selalu melakukan tindakan pencegahan secara

rutin dengan cara menjaga kebersihan tangan dan mendisinfeksi dengan etanol >60% serta

menjaga jarak social, termasuk dengan pasangannya

Pedoman 2 : Bagi ibu hamil yang bekerja di lingkunan dengan risiko tinggi (missal

ruang persalinan, operasi, bangsal perawatan khusus pernafasan dan unit perawatan intensif)

sebaiknya dipindahkan ke lingkungan kerja dengan risiko rendah.

Pedoman 3 : Sampai saat ini, ibu hamil mengalami gejala perjalanan penyakit yang

hampir sama dengan masyarakat umum. Namun pada wabah sebelumnya yang hampir serupa

dengan virus ini, ibu hamil tidak hanya lebih rentan tetapi juga mengalami gejala yang lebih

parah. Manajemen perawatan pada ibu hamil akan lebih sulit dan intensif, sehingga ibu hamil

dengan usia kehamilan lebih dari 24 minggu harus dipantau secara intensif, bahkan

disarankan untuk ibu hamil diberhentikan dari tempat kerja yang berisiko tinggi.

Pedoman 4 : Komplikasi potensial yang dapat terjadi pada ibu hamil dengan COVID-

19 adalah kelahiran prematur, premature rupture of membranes (PPROM) dan gawat janin,

hal ini karena ibu hamil mengalami hipoksemia. Persalinan dengan operasi SC lebih

disarankan demi mengurangi risiko

Pedoman 5 : Waktu persalinan harus segera ditentukan oleh tim medis multidisiplin

berdasarkan tingkat keparahan dan kondisi klinis ibu dan janinnya. Manajemen perawatan

intensif ibu hamil pada usia kehamilan > 24 minggu harus lebih intensif seperti manajemen

pernafasan, pemantauan janin dan pemantauan lainnya

Pedoman 6 : Terjadinya pertumbuhan janin terhambat menjadi salah satu komplikasi

potensial jangka panjang setelah pasien pulih dari COVID-19. Oleh karena itu, pertumbuhan

janin harus dipantau secara intensif melalui pemeriksaan USG pada usia kehamilan 24-28-

32-36 minggu. Selain itu, pengukuran kecukupan cairan ketuban juga harus dipantau.

Pedoman 7 : Sejauh ini belum ditemukan adanya penularan secara vertikal antara ibu

dan janinnya pada usia kehamilan 25 hingga 39 minggu. Begitupun komplikasi yang dapat

terjadi pada trimester pertama.

Pedoman 8 : Penularan vertikal melalui jalan lahir mungkin tidak terjadi. Oleh karena

itu, pemantauan kondisi ibu dan janin harus dipastikan dalam kondisi stabil.

KESIMPULAN DAN SARAN

1. COVID-19 adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus SARS-Cov-2 yang dapat

ditularkan dari satu orang ke orang lainnya. Penyakit ini menyerang saluran pernafasan melalui

tetesan atau percikan air setelah kontak dengan orang terinfeksi pada jarak < 2 meter atau

adanya kontak langsung dengan permukaan yang terkontaminasi

2. Sebagian besar pasien memiliki gejala ringan

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 311

3. Ibu hamil adalah kelompok yang rentan terhadap infeksi virus dan penyakit menular lainnya

karena adanya perubahan fisiologis dan fungsi imunologi sehingga pemantauan kesehatan ibu

dan janin harus dijaga dan dipantau. Pencegahan dan pemantauan tersebut dilakukan dengan

tindakan pencegahan khusus untuk meminimalkan infeksi silang antara petugas kesehatan dan

pasien

4. Manajemen kebidanan pada ibu hamil didasarkan pada rekomendasi praktik terbaik. Terapi

antivirus dan penggunaan kortikosteroid dapat diberikan untuk meringankan gejala

5. Manajemen pelayanan kesehatan ibu sesuai dengan protokol kesehatan yang telah ditetapkan

dapat meningkatkan kualitas pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dimasa pandemi

Covid-19 dan mendukung penyedia layanan kesehatan untuk tetap memperhatikan manajemen

pencegahan dan penularan infeksi.

6. Adanya panduan pelayanan secara global dapat membantu tenaga kesehatan dalam mencegah

kesakitan dan kematian pada ibu dan bayi terkait dengan COVID-19.

DAFTAR PUSTAKA

1. Lopez Marta., Gonce Anna., Meler Eva., Plaza Ana., Hernandez Sandra et al. 2020.

Coronavirus Disease 2019 in Pregnancy: A Clinical Management Protocol and Considerations

for Practice. S.Karger, Basel. Doi : DOI: 10.1159/000508487

2. Dashraath Pradip et al. 2020. Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Pandemic and

Pregnancy. Am J Obstet Gynecol. Doi : 10.1016/j.ajog.2020.03.021

3. WANG Shao-Shuai et al. 2020. Experience of Clinical Management for Pregnant Women and

Newborns with Novel Coronavirus Pneumonia in Tongji Hospital, China. Current Medical

Science. Doi : https://doi.org/10.1007/s11596-020-2174-4

4. Chen Dunjin et al. 2020. Expert consensus for managing pregnant women and neonates born to

mothers with suspected or confirmed novel coronavirus (COVID-19) infection. . Int. Journal of

Gynecology Obstetric. Doi : 10.1002/ijgo.13146

5. Donders Francesca et al. 2020. ISIDOG Recommendations Concering COVID-19 and

Pregnancy. Diagnostics. Doi : 10.3390/diagnostics10040243

6. Ezenwa B.N et al. 2020. Management of covid-19: a practical guideline for maternal and

newborn health care providers in Sub-Saharan Africa. The Journal of Maternal-fetal &

Neonatal Medicine. Doi : 10.1080/14767058.2020.1763948

7. Lou Yongwen. Yin Kai. 2020. Management of Pregnant Women Infected with a COVID-19.

The Lancet. Doi : https://doi.org/10.1016/S1473-3099(20)30191-2

8. Abourida Yassamine et al. 2020. Management of Severe COVID-19 in Pregnancy. Case

Report Obstetrics and Gynecology. Doi : https://doi.org/10.1155/2020/8852816

9. Mei Youwen et al. 2020. Obstetric Management of COVID-19 in Pregnant Women. Frontiers

in Microbiology. Doi : 10.3389/fmicb.2020.01186

10. Susilo Adityo dkk. 2020. Coronavirus Disease 2019. Tinjauan Literatur Terkini. Jurnal

Penyakit Dalam Indonesia Vol.7, No.1.

11. Ryan A. Gillian et al. 2020. Clinical Update on COVID-19 in Pregnancy :A Review Article. J.

Obstet. Gynecol. Res. Doi : 10.1111/jog.14321

12. Wu Xiaoqing et al. 2020. Radiological Findings and Clinical Characteristics of Pregnant

Women with COVID-19 Pneumonia. Int. Journal of Gynecology Obstetrics. Doi :

10.1002/ijgo.13165

13. Omer Sumaira et al. 2020. Preventive Measures and Management of COVID-19 in Pregnancy.

Grugs & Therapy Perspective. Doi : https://doi.org/10.1007/s40267-020-00725-x

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 312

DETERMINAN KELUHAN MATA PADA PEKERJA

DI DEPOT PASIR KOTA PALEMBANG

Dini Arista Putri,

1 Amrina Rosyada,

2 Desri Maulina Sari

3

1 Bagian Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya

2Bagian Biostatistik Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya

3Bagian Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya

Jl. Palembang Prabumulih KM. 32, Indralaya Indah Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan

Corresponding email : [email protected]

DETERMINAT OF EYESTRAIN SYMPTOM ON WORKS IN

THE DEPOT SAND IN PALEMBANG CITY

ABSTRACT

The work area of the sand depot contains various potential hazards that can affect the health of workers or

can cause disease. One of the polluting factors in the workplace is dust. Dust is solid particles caused by

natural or mechanical forces from organic and inorganic materials. Dust can irritate the eyes, namely Total

Dust and PM10. Palembang City is a city flowed by the Musi River. The Musi River, the Musi River are also

a sand mining site for development in Palembang City. Several miners carry out their activities which are

then taken to sand depots on the banks of the Musi River, so that workers are likely to be directly exposed to

dust. The number of respondents was 74 people and the data were processed by univariate and bivariate

analysis. Based on the results of the study, the variables related to smoking (Pavlue = 0.002) and body mass

index (Pavlue = 0.002) with eye complaints. The characteristics of the respondent influence the occurrence of

eye complaints so that the respondent should adjust their diet and reduce smoking, especially when working.

Keywords: Dust, Depot Sand, Symptom of Eyestrain

ABSTRAK

Area kerja Depot pasir menghasilkan bermacam-macam bahaya yang berdampak pada kesehatan

pekerjanya.. Debu merupakan salah satu faktor yang berpotensi memberikan efek buruk terhadap pekerja di

depot pasir. Debu terdiri dari partikel zat padat yang dihasilkan dari proses alamiah atau bisa disebabkan oleh

proses mekanis dari bahan-bahan alam yang mudah terurai dan tidak terurai. Debu yang dapat menganggu

mata yakni Debu Total dan PM10. Kota Palembang adalah kota yang dialiri Sungai Musi. Sungai Musi juga

menjadi tempat penambangan pasir untuk pembangunan di Kota Palembang. Beberapa penambang

melakukan aktivitasnya untuk selanjutnya dibawa ke depot-depot pasir yang ada di pinggiran Sungai Musi,

sehingga terdapat kemungkinan besar untuk pekerja terkena langsung paparan debu. Jumlah responden

sebanyak 74 orang dan data diolah dengan analisis univariat dan bivariat. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa variabel yang berhubungan adalah merokok (P value =0,002) dan indeks massa tubuh (P value

=0,002) dengan keluhan mata. Karakteristik umur responden tidak berhubungan dengan keluhan mata,

namun variable merokok dan IMT mempengaruhi kejadian keluhan mata sehingga responden sebaiknya

mengatur pola makan dan mengurangi rokok terutama saat bekerja.

Kata Kunci: Debu, Depot Pasir, Keluhan Mata

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 313

PENDAHULUAN

Lingkungan kerja sebagai tempat mencari nafkah diri sendiri maupun keluarga merupakan

tempat yang paling banyak dihabiskan waktunya oleh para pekerja. Para pekerja bisa

menghabiskan waktu dari pagi sampai malam. Kondisi demikian tentu saja tidak lepas dari potensi

bahaya, baik bahaya fisik, kimiawi maupun biologis. Bahaya inilah yang kemudian menghasilkan

suatu penyakit yang disebut dengan penyakit akibat kerja. Pekerjaan di depot pasir merupakan

pekerjaan yang berpotensi terpapar debu. Pekerjaan ini menuntut seseorang untuk melakukan

pengepulan pasir dari suatu tempat ke tempat lain. Meskipun pada saat pelaksanaannya, pekerja

menggunakan alat bantu seperti cangkul atau sekop, namun sayangnya mereka kurang

memperhatikan alat pelindung seperti masker atau kacamata. Pasalnya, paparan debu bukan hanya

mengganggu sistem pernafasan namun juga penglihatan.

Debu adalah suatu kumpulan yang terdiri dari berbagai macam partikel padat di udara yang

berukuran kasar dan tersebar, yang biasanya disebut dengan koloid. Debu termasuk ke dalam

substansi yang bersifat toksik (racun). Salah satu efek paparan debu terhadap kesehatan adalah

munculnya efek iritan, yaitu gangguan iritasi pada membrane mukosa mata dan saluran

pernafasan.1 Partikulat debu yang melayang dan berterbangan di udara akan mengakibatkan iritasi

pada mata dan dapat menghalangi daya tembus pandang mata.2 Pencemaran udara dapat

mengakibatkan iritasi mata ringan hingga berat, ketidaknyamanan penglihatan, dan meningkatkan

kepekaan terhadap cahaya.3

Mata merupakan anggota tubuh yang rumit dan sangat sensitif terhadap cahaya dan warna

yang dipancarkan oleh benda. Organ ini memiliki suatu system lensa untuk memfokuskan

bayangan dan selapis sel fotosintetif serta sel syaraf yang berperan mengumpulkan, memproses dan

meneruskan informasi yang tampak oleh penglihatan ke otak.4 Iritasi kronik dari lingkungan akibat

debu dapat menyebabkan keluhan pada mata, biasanya disebut dengan Pterygium. Mata berarir,

tampak merah dan seperti ada benda asing merupakan keluhan yang sering terjadi pada pasien.5

Pada tahun 2010 World Health Organization (WHO) mengeluarkan estimasi global terbaru

dimana 285 juta orang di dunia mengalami gangguan penglihatan dan 39 juta orang diantaranya

mengalami kebutaan.6 Hasil penelitian di Kecamatan Nongsa Batam pada masyarakat daerah

penambangan pasir menunjukkan bahwa 70% responden mengalami iritasi mata.7 Hasil penelitian

lain menyebutkan bahwa sebesar 62,5% karyawan di Pabrik Beton menderita mata merah, pedih

(81,2%), dan gatal (75%) akibat paparan debu PM10.8

Sebagaimana penjelasan diawal bahwa debu bisa terbentuk dari proses mekanis dan bisa

berdampak terhadap kenyamanan kerja dan gangguan penglihatan. Total Suspended Particulate

(TSP) merupakan debu yang bisa ditemui di sekitar perumahan. Debu yang bisa berdampak

langsung pada masyarakat adalah debu PM10, PM2,5, dan debu yang mudah terhirup serta dapat

masuk ke dalam saluran pernafasan manusia.9

Sungai Musi merupakan sebuah sungai dengan panjang 750 km yang membelah Kota

Palembang. Seberang Ilir di bagian utara dan seberang Hulu di bagian selatan. Sungai ini menjadi

tempat penambangan pasir untuk pembangunan Kota Palembang. Hampir setiap hari truk dan

mobil pengangkut pasir lalu lalang menuju dan keluar dari area depot pasir. Risiko kesehatan yang

ditimbulkang oleh aktivitas ini bukan hanya dirasakan oleh warga namun juga pekerja itu sendiri.

Pekerja Depot Pasir di Sungai Musi Kota Palembang bekerja setiap hari dengan paparan

debu yang cukup tinggi. Oleh karena itu, kajian tentang keluhan pada mata yang dialami pekerja

perlu dilakukan lebih lanjut. Agar bisa diketahui faktor apa saja yang mempengaruhinya.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 314

METODE

Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif menggunakan desain studi cross

sectional. Populasi penelitian adalah seluruh pekerja depot pasir di Kota Palembang. Sampel pada

studi ini adalah semua pekerja depot pasir yang berada di Kota Palembang yang diambil dengan

teknik total sampling dan memenuhi kriteria penelitian, yaitu berusia 17-60 tahun dan bersedia

menjadi responden. Jumlah responden sebanyak 74 orang dan data diolah dengan analisis univariat

dan bivariat.

HASIL PENELITIAN

Karakteristik responden pada pekerja depot pasir dalam penelitian ini meliputi usia, status

gizi, dan status merokok. Distribusi karakteristik responden pekerja depot pasir tersaji pada Tabel

1.

Tabel 1. Karakteristik Responden

Variabel Total Responden

n %

Umur ≥40 tahun 31 41,9

< 40 tahun 43 58,1

Keluhan mata Ada 52 70,3

Tidak 22 29,7

IMT

Tidak normal 32 43,2 Normal 42 56,8

Perilaku merokok Ya 48 64,9

Tidak 26 35,1

Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa lebih dari separuh responden berusia <40 tahun

(58,1%). Sebagian besar responden memiliki keluhan dengan mata (70,3%). Responden yang

memiliki indeks massa tubuh normal sebanyak 56,8%. Sebagian besar responden juga memiliki

perilaku merokok (64,9%).

Tabel 2. Kadar PM10 dan Total Suspended Particulate (TSP)

Variabel n Mean + SD Median (Min-Max) Test of normality

PM10 (mg/m3) 74 1,332 + 1,938 0,49 (0,002-9,930) <0,001

TSP (mg/m3) 74 3,393 + 6,327 6,33 (0,002-19,900) <0,001

Hasil penelitian ini juga mengamati kadar PM10 dan TSP. Berdasarkan Tabel 2 diketahui

bahwa rata-rata kadar PM10 sebesar 1,332 mg/m3, sedangkan rata-rata kadar TSP sebesar 3,393

mg/m3.

Tabel 3. Hubungan antara umur dengan keluhan mata

Umur Keluhan mata Total PR(95% CI) P-value

Ya Tidak

≥40 Tahun

<40 Tahun

20 (64,5%)

32 (74,4%)

11 (35,5%)

11 (25,6%)

31

43

0,867

(0,633-1,187)

0,508

Total 52 22 74

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 315

Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa dari 31 responden yang memiliki umur ≥40

Tahun terdapat 64,5% responden yang mengalami keluhan mata sedangkan dari 43 responden yang

memiliki umur <40 Tahun terdapat 74,4% yang mengalami keluhan mata. Dilihat dari nilai p value

0,508 hasil ini menunjukkan bahwa umur bukanlah faktor yang mempengaruhi keluhan pada mata.

Tabel 4. Korelasi antara IMT dengan keluhan mata

IMT

Keluhan mata Total PR(95% CI) P-value

Ya Tidak

Tidak normal

normal

16 (50,0%)

36 (85,7%)

16 (50,0%)

6 (14,3%)

32

42

0,583

(0,404-0,843)

0,002

Total 52 22 74

Status gizi responden dilihat dari indeks massa tubuhnya (IMT). Berdasarkan tabel diatas

diketahui bahwa dari 32 responden yang memiliki IMT tidak normal terdapat 50,0% responden

yang mengalami keluhan mata sedangkan dari 42 responden yang memiliiki IMT normal; terdapat

85,7% yang mengalami keluhan mata. Dilihat dari nilai p value 0,002 menunjukkan bahwa IMT

pekerja depot berkontribusi terhadap terjadinya keluhan pada mata.

Tabel 5. Hubungan antara perilaku merokok dengan keluhan mata

Kebiasaan merokok

Keluhan mata Total PR(95% CI) P-value

Ya Tidak

Ya

Tidak

40 (83.3%)

12 (46.2%)

8 (16.7%)

14 (53.8%)

32

42

1,806

(1,170-2,787)

0,002

Total 52 22 74

Tabel 5 memberikan informasi bahwa dari 32 responden yang merokok terdapat 83,3%

responden yang mengalami keluhan mata sedangkan dari 42 responden yang tidak memiliki

kebiasaan merokok terdapat 46,2% yang mengalami keluhan mata. Dilihat dari nilai p value 0,002

menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan keluhan

keluhan mata.

Tabel 6. Hubungan antara PM10 dengan keluhan mata

Pvalue PR (95%CI)

PM10 0,530 1,082 (0,846-1,384)

Tabel 6 menunjukkan hasil bahwa setiap kenaikan 1 angka PM10 beresiko untuk

mengalami keluhan mata meningkat 1,082 kali dengan 95% CI 0,846-1,384. Meskipun memiliki

risiko, namun tidak signifikan.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 316

Tabel 7. Hubungan antara TSP dengan keluhan mata

Pvalue PR (95%CI)

TSP 0,877 0,994 (0,916-1,077)

Tabel 7 menunjukkan hasil penelitian bahwa setiap kenaikan 1 angka TSP beresiko untuk

mengalami keluhan mata sebesar 0,994 kali dengan 95% CI 0,916-1,077. Ini menunjukkan bahwa

TSP tidak signifikan memberi dampak pada keluhan mata responden.

PEMBAHASAN

Karakteristik Responden

Produktivitas kerja dapat berjalan dengan optimal salah satunya dipengaruhi oleh

lingkungan kerja. Masalah kesehatan pada pekerja karena adanya bermacam-macam faktor di

lingkungan kerja tersebut, seperti faktor kimiawi, fisik, fisiologis, biologis,dan psikologis.10

Karakteristik pada penelitian ini meliputi usia, status gizi dan perilaku merokok.

Usia dengan Keluhan Mata

Penelitian ini memberikan informasi bahwa usia responden sebagian besar berada dibawah

40 tahun. Selain itu, usia bukanlah faktor yang mempengaruhi keluhan mata dikarenakan pekerja

dalam berbagai usia bisa mengalami keluhan mata. Daya tahan tubuh seseorang tidak ada yang

sama, setiap pekerja memiliki kadar toleransi yang berbeda dalam merespon paparan zat kimia

yang masuk ke dalam tubuh walaupun berada pada usia yang sama.11

Jadi tidak bisa disimpulkan

bahwa semakin bertambahnya usia, maka semakin besar pula peluang untuk mengalami keluhan

pada mata.

Status Gizi dengan Keluhan Mata

Status gizi pekerja yang dilihat dari IMT dikategorikan menjadi normal dan tidak normal.

hasil penelitian ini menunjukkan bahwa IMT responden merupakan faktor yang mempengaruhi

keluhan mata. IMT yang tidak normal berkontribusi untuk memberikan dampak keluhaan mata

dikarenakan gizi yang kurang baik dapat memicu kurangnya konsentrasi dalam bekerja sehingga

berdampak pada rendahnya respon imun terhadap paparan debu. Tubuh membutuhkan vitamin dan

mineral sebagai antioksidan agar dapat membangun daya tahan tubuh.12

Mengkonsumsi makanan

bergizi setiap hari sangat penting bagi pekerja agar tercapai produktivitas kerja yang diharapkan,

karena makanan bergizi merupakan sumber energi yang menentukan gizi seseorang.13

Perilaku Merokok dengan Keluhan Mata

Perilaku merokok menunjukkan hasil yang signifikan terhadap adanya keluhan mata pada

responden. responden perokok memiliki risiko 1,8 kali untuk mengalami keluhan mata

dibandingkan yang bukan perokok. Berbagai macam keluhan kesehatan dihasilkan dari konsumsi

rokok, seperti iritasi mata, masalah pada hidung, kanker paru, asma, dan batuk berdahak.14

Hasil

penelitian pada pekerja kantoran menunjukkan adanya hubungan antara perilaku merokok dengan

sindrom mata kering.15

Hasil penelitian lain juga memberikan hasil serupa yaitu kelompok perokok

mengalami keluhan mata yang signifikan jika dibandingkan dengan kelompok yang bukan,

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 317

kemudian terdapat korelasi antara keberadaan asap rokok dengan iritasi mata seperti mata merah,

perih, berpasir, gatal dan frekuensi kedip yang signifikan.16

Kadar PM10 dengan Keluhan Mata

Pengambilan data PM10 dilakukan saat responden bekerja dan saat istirahat siang. Alat

pengukur TSP dan PM10, Haz-Dust Model EPAM-5000 diletakkan di 12 titik. Kadar NAB

maksimal PM10 menurut PERMENAKERTRANS no 13 Tahun 2011 adalah 10 mg/m3.17

Hasil

penelitian menunjukkan bahwa setiap kenaikan 1 angka PM10 resiko untuk mengalami keluhan

mata meningkat 1,082 kali. Artinya semakin lama terpapar dengan debu saat bekerja maka berisiko

untuk mengalami keluhan mata. Hasil penelitian ini tidak memberikan dampak yang signifikan

dikarenakan rerata kadar PM10 masih berada pada batas aman. Meskipun demikian, ditemukan

satu titik pengukuran yang memiliki PM10 pada kondisi tidak aman karena hampir mendekati

kadar bahaya yaitu depot pasir I dan II 1 Ilir sebesar 9,93 mg/m3.

Debu merupakan partikel padat yang dihasilkan dari aktivitas manusia maupun alam serta

berasal dari proses penguraian bahan produksi.18

Pada penelitian ini, debu berasal dari pasir-pasir

yang terletak di pinggir Sungai Musi. Pengamatan PM10 dilakukan di pinggir sungai, disamping

gundukan pasir dan di jalur keluar masuknya truk dan mobil pick up. Paparan debu menjadi lebih

sering dikarenakan jam kerja responden sebagian besar lebih dari delapan jam.

Partikel-partikel halus atau debu halus yang dikenal ―particulate matter‖ (PM) dihasilkan

oleh adanya debu permukaan tanah yang ditiupkan angin serta bahan-bahan yang berasal dari

permukaan gelombang. Bahan pencemar seperti debu dapat masuk ke dalam tubuh melalui mata.

Mata adalah organ penglihatan yang terbuka dengan lingkungan sekitar.19

Adanya faktor suhu,

kelembaban, kecepatan angin, dan arah angin merupakan aspek penting yang berhubungan dengan

kadar debu. Dengan kata lain, lokasi yang berbeda atau perbedaan ruang berkontribusi pada kadar

partikel debu PM10.20

Faktor musim juga berdampak pada konsentrasi partikel debu (PM10).21

Kadar TSP dengan Keluhan Mata

Debu halus yang sering disebut sebagai partikulat (TSP: Total Suspended Particulates)

adalah salah satu zat pencemar yang memberikan dampak negatif bagi tubuh. Berbagai macam zat

kimia di udara bergabung dalam partikulat tersebut. Besar atau kecilnya debu itu memberikan

pengaruh yang signifikan terhadap keberadaannya di udara, semakin kecil bentuknya semakin lama

ia beredar di udara dan semkain luas sebarannya.22

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata kadar TSP melebihi angka 1, namun

tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan dengan keluhan pada mata pekerja depot

pasir. Jika dibandingkan dengan NAB TSP yang dikeluarkan PERMENAKERTRANS sebesar 3

mg/m3, maka rerata kadar TSP penelitian ini sebenarnya masih berisiko (3,39 mg/m

3). Temuan lain

dalam penelitian ini adalah terdapat tiga titik pengukuran yang memiliki kadar TSP yang sangat

berbahaya, yaitu depot pasir I dan II Jakabaring 15 Ulu dengan kadar tertinggi sebesar 15,38

mg/m3, depot pasir I dan II 1 Ilir sebesar 16,66 mg/m

3, dan depot pasir VII dan VIII 1 Ilir sebesar

19.90 mg/m3. Faktor curah hujan rendah atau cuaca panas dan gundukan pasir yang tinggi

membuat jumlah debu semakin banyak, sehingga risiko untuk masalah kesehatan juga semakin

tinggi. Apalagi penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) seperti masker kurang dimanfaatkan. Tentu

saja akan menambah keluhan pada mata jika terlalu lama terpapar debu.

Secara umum terlihat bahwa semakin tinggi kecepatan angin, bangkitan debu jatuh dan

TSP yang terbentuk semakin tinggi pula.23

Partikulat yang beredar di udara jika tanpa sengaja

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 318

dihirup oleh manusia bisa menyebabkan penyakit.24

Menurut International Agency for Research on

Cancer (IARC) partikel TSP merupakan salah satu partikulat utama dari polusi udara yang dapat

menyebabkan kanker atau bersifat karsinogen.25

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai

berikut: faktor-faktor yang mempengaruhi keluhaan mata adalah indeks massa tubuh dan perilaku.

Usia tidak memliki efek yang signifikan terhadap keluhaan mata. Saran dari penelitian ini adalah

reponden sebaiknya mulai mengatur pola makan dan mengurangi konsumsi rokok terutama saat

bekerja agar tidak mengalami keluhaan mata. Selain itu, perlunya penggunaan APD yang sesuai

saat bekerja agar dapat mengurangi risiko masalah kesehatan dikemudian hari.

DAFTAR PUSTAKA

1. Riyadina, Woro. Efek Biologis dari Paparan Debu. Media Litbangkes Vol.VI No.01, 1996.

2. Prabowo K, Muslim B. 2018. Bahan Ajar Kesehatan Lingkungan: Penyehatan Udara.

Jakarta: PPSDMK Kemenkes RI [diakses 18 Oktober 2020].

3. Gupta SK, Gupta SC, Agarwal Renu, Sushma Srivastava, Agrawal SS, Saxena Rohit SK.

A Multicentric Case-Control Study on The Impact of Air Pollution on Eyes in a

Metropolitan City of India. Indian Journal of Occupational and Environmental Medicine.

Volume 11, Nomor 1:37-40 (2007).

4. Ilyas, S. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto; 2010. Hal 38, 116-

117, 133-137

5. Novitasari, Andra. Buku Ajar Sistem Indera Mata. Fakultas Kedokteran Universitas

Muhammadiyah Semarang. 2015. Hal 8-9.

6. Muchtar H, Triswanti N. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Pterygium Pada

Pasien Yang Berobat di RSUD DR. H. Abdoel Moeloek Provinsi Lampung Tahun 2013-

2014. Jurnal Medika Malahayati Vol 2, No.1, Januari 2015 : 8 – 14.

7. Fahmaliza. Analisis lingkungan fisik dan keluhan kesehatan pada masyarakat daerah

penambangan pasir di Kecamatan Nongsa Batam tahun 2017. Skripsi. Diakses tanggal 18

Oktober 2020.

8. Pitaloka AP, Adriyani R. Paparan PM10 dan Keluhan Kesehatan Mata Pekerja Bagian

Produksi PT. Varia Usaha Beton, Sidoarjo. Jurnal Ilmiah Keperawatan Vol. 2 No. 2

(2016).

9. Bachtiar VS, Rani PSS. Analisis Debu Respirable Terhadap Masyarakat Di Kawasan

Perumahan Sekitar Lokasi Pabrik Pt. Semen Padang. Jurnal Teknik Lingkungan Unand

13(1) : 1-9 (Januari 2016).

10. Suma‘mur, PK. 2013. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (HIPERKES). Jakarta:

Agung Seto

11. Ardam, KAY. Hubungan Paparan Debu Dan Lama Paparan Dengan Gangguan Faal Paru

Pekerja Overhaul Power Plant. The Indonesian Journal Of Occupational Safety And

Health, Vol. 4, No. 2 Jul-Des 2015: 155–166.

12. Siswanto, Budisetyawati, Ernawati F. Peran Beberapa Zat Gizi Mikro Dalam Sistem

Imunitas. Gizi Indon 2013, 36(1):57-64.

13. Utami, SR. Status Gizi, Kebugaran Jasmani Dan Produktivitas Kerja Pada Tenaga Kerja

Wanita. Jurnal Kesehatan Masyarakat KEMAS 8 (1) (2012) 74-80.

Seminar Nasional Kesehatan Masyarakat (SNKM) 2020 319

14. Istiqomah, U. 2003. Upaya Menuju Generasi Tanpa Rokok. Surakarta: CV. Setia Aji.

15. Putantri, Hana. Hubungan antara perilaku merokok dan sindrom mata kering pada pekerja

kantoran. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti. Skripsi [diakses 18 Oktober

2020].

16. Tanjaya, AR, Rares L, Saerang JSM. Hubungan Pengaruh Asap Rokok Dengan Terjadinya

Keluhan Pada Mata. Jurnal Ilmiah Kedokteran Klinik Vol 1, No 2 (2013)

17. Permenakertrans Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Nilai Ambang Batas

Faktor Fisika Dan Faktor Kimia Di Tempat Kerja. www.ditjenpp.kemenkumham.go.id.

[Diakses tgl 18 Oktober 2020].

18. Mukono, HJ. 2005. Toksikologi Lingkungan. Surabaya: Airlangga University Press.

19. Sembel, DT. 2015. Toksikologi Lingkungan: Dampak Pencemaran dari Berbagai Bahan

Kimia dalam Kehidupan Sehari-hari.Yogyakarta: Penerbit Andi.

20. Zuzana, H., Jaroslav, M., Miroslav, K., dan Vitezslav, V. 2008. Identification of factor

affecting air pollution by dust aerosol PM10 in Brno City, Czech Republic. Atmospheric

Environment, 42, 8661-8673

21. Chaloulakou, A., Kassomenos, P., Spyrellis, N., Demokritou, P., dan Koutrakis P. (2002).

Measurement of PM10 and PM2.5 particle concentration in Athens, Greece. Atmospheric

Environment, 37, 649- 660

22. Sinolungan, Jehosua SV. Dampak Polusi Partikel Debu Dan Gas Kendaraan Bermotor

Pada Volume dan Kapasitas Paru. Jurnal Biomedik, Volume 1, Nomor 2, Juli 2009, hlm.

65-80

23. Yuwono AS, Mulyanto B, Kurniawan A. Penentuan Faktor Emisi Debu Jatuh Dan Partikel

Tersuspensi Dalam Udara Ambien Di Pulau Jawa. Prosiding Seminar Hasil-Hasil PPM IPB

2015 Vol. I : 181–191 Isbn : 978-602-8853-27-9.

24. Rahmadini, R. Syafrudin & Andarani P. Analisis Risiko Total Suspended Particulate (TSP)

Pada Tahap Pembangunan Jalan Terhadap Kesehatan Pekerja (Studi Kasus: Pembangunan

Jalan Kendal – Batas Kota Semarang, Jawa Tengah). Jurnal Teknik Lingkungan, Vol 4, No

4 (2015).

25. International Agency for Research on Cancer (IARC). 2013. Press Release No.221

Outdoor air pollution a leading environmental cause of cancer deaths. France: World

Health Organization.