NCFB VI (new)
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
6 -
download
0
Transcript of NCFB VI (new)
AbstractThe republic needs a leader who encourages jammed, unload the dead
end, and cut berbenalu. Leaders decided responsive, fast acting, and nottolerant of delays. One thing that is the key to cleanliness in the era ofdemocratic republican leadership: a leader must be able to actualize thecapacity intelligently satisfaction. Leader was the golden boy of his time.However, the times are also formed by the will of the style and attitude of theprevious leader. Engorgement of public confidence in the administration of thestate can not be separated from the weakening of the leadership in thiscountry. The leader must be a good example for people. Elections can beregarded as a court. Election is a political trial for the leader: if it is proper ornot maintained. Leaders not talk, but Done. Weak leadership crisis due. Whatkind of leader we should have. What kind of a great leader and is able toanswer the current issues, both internally and in external pressures (global)outstanding lately. Leaders Need to Confront Crisis Role. We Need a StrongLeader. Leaders must act like the sun, moon, stars, clouds, earth, ocean, fire,and wind. Trisakti Leadership: the three principles it is, sovereign politically,economically independent, and personality in the socio-cultural sphere. PeopleWant Leaders Wanted Urus. Looking for Public Integrity Leader.Keywords: Management, leader, leadership
PENDAHULUAN
Setiap pemimpin mempunyai gaya yang berbeda antara
yang satu dengan yang lain, hal ini dipengaruhi oleh faktor
internal (dalam diri/sifat pemimpin) dan eksternal
(organisasi/manajemen perusahaan) dimana ia memimpin. Dalam
melaksanakan kepemimpinannya seorang pemimpin harus dapat
menyesuaikan diri dengan situasi kerja yang dihadapi,
artinya kemampuan seorang pemimpin dalam menerapkan gaya
kepemimpinannya.
Ada beberapa gaya kepemimpinan yang bisa diterapkan
oleh seorang pemimpin dalam suatu organisasi sesuai dengan
sifat dan karakteristik dari masing – masing individu.
Salah satu contoh: ketika seorang pemimpin memberikan
kesempatan pada bawahan untuk memberi saran, berdiskusi,
bertukar pikiran maka gaya kepemimpinan tersebut dengan
gaya kepemimpinan demokratis. Tapi ada seorang pemimpin yang
membiarkan kondisi dan situasi pada bawahannya (Laissez – Fair)
The Lown Leadership Study (Luthans, 2002-57)
Kepemimpinan. Pemimpin merupakan ujung tombak bagi
suatu kelompok atauorganisasi untuk dapat mengarahkan
prilaku pengikutnya dalam proses pencapaian tujuan. Sebagai
suatu usaha memengaruhi orang perorangan (interpersonal)
melalui proses komunikasi untuk mencapai sesuatu atau
beberapa tujuan. Kepemimpinan otoritas (Authorian Leadership)
merupakan gaya kepemimpinan yang bersifat agak kaku dan
segala perintah yang diberikan pada bawahan merupakan hak
sepenuhnya dari seorang pemimpin. Dalam arti kata bahwa
tugas – tugas, fasilitas dan petunjuk – petunjuk diberikan
tanpa terlebih dahulu dikonsultasikan pada bawahan yang
bersangkutan. Kepemimpinan demokrasi (Democracy Leadership)
merupakan kepemimpinan yang menonjolkan partisipasi
kelompok, segala macam keputusan dalam menyelesaikan
masalah (Problem Solving) senantiasa berdasarkan pada
persetujuan kelompok organisasi/perusahaan. Kepemimpinan
ini mempunyai ciri khas yaitu sistem kebapakan dalam
hubungan antara pimpinan dan bawahan sehingga pemimpin
senantiasa mempunyai perlindungan dan arahan pada bawahan.
(Irawati et al., 2010)
Pemimpin seperti apa yang seharusnya kita miliki?
Pemimpin macam apa yang tepat dan mampu menjawab persoalan-
persoalan mutakhir, baik secara internal maupun dalam
desakan-desakan eksternal (global) yang luar biasa
belakangan ini. Apakah kita membutuhkan pemimpin yang
berani, berambegan keras, flamboyan, retorik, berdiplomasi
hebat, dan berani menantang dunia? Apakah kita membutuhkan
lagi Soekarno?Atau sebaliknya, kita membutuhkan seorang
pemimpin yang taktis, tekun, cermat dalam perhitungan
kebijakan dan tindakan, kurang populis tetapi pragmatis,
demi menjaga pertumbuhan yang di dunia lain pun untuk
bertahan mengalami kesulitan? (Kompas, 31 Oktober 2011)
Kita menghadapi aneka persoalan luar biasa: korupsi,
narkoba, fundamentalisme agama, kemiskinan, ancaman krisis
energi, ledakan penduduk, kerusakan lingkungan,
infrastruktur buruk, dan kriminalitas merajalela. (Kompas,
7 Mei 2012)
Krisis akibat Kepemimpinan Lemah. JAKARTA, KOMPAS –
Lemahnya kepemimpinan di Indonesia saat ini menjadi
penyebab berbagai krisis kebangsaan dan merosotnya
solidaritas. Pemimpin Minim Ambisi. Oleh RADHAR PANCA
DAHANA. (Kompas, 31 Oktober 2011)
LANDASAN TEORI
Manajemen berasal dari kata to manage yang artinya
mengatur. Pengaturan dilakukan melalui proses dan diatur
berdasarkan urutan dari fungsi-fungsi manajemen ini. Jadi
manajemen merupakan suatu proses untuk mewujudkan tujuan
yang diinginkan.
Kepemimpinan (leadership) merupakan intisari manajemen
dengan kepemimpinan yang baik, proses manajemen akan
berjalan baik pula. Tercapai atau tidaknya tujuan suatu
organisasi sebagian besar ditentukan oleh kecakapan leader
dalam melaksanakan kepemimpinanya untuk mengerahkan
bawahannya. Kecakapan dan kewibawaan seorang leader akan
mendorong gairah kerja, kreatifitas, partisipasi dan
loyalitas para bawahan untuk menyelesiakan tugas-tugasnya.
Leader adalah orangnya sedangkan leadership adalah
gaya atau style seorang pemimpin
mengarahkan,mengkoordinasikan dan membina bawahannya agar
bekerja sama dan bekerja produktif mencapai tujuan
organisasi. Sumber:
http://yanjepesangedukasi.blogspot.com/2012/08/manajemen-
kepemimpinan.html diakses pada 18 Agustus 2013, 16.00 WIB
Teori Kepemimpinan. The Traits Theory of Leadership (Teori
Sifat), teori ini mengemukakan sifat – sifat yang dimiliki
seorang pemimpin dianggap sebagai ukuran penting sebagai
syarat – syarat untuk menentukan potensi kepemimpinan
seorang pemimpin. The Situasional Theory of Leadership (Teori
Situasional), teori ini mengemukakan kepemimpinan
dipengaruhi oleh keadaan pemimpin, pengikut organisasi, dan
lingkungan sosial. Gaya kepemimpinan seseorang dalam
keadaan normal dan kritis akan berbeda. Keberhasilan karena
pengaruh situasi, artinya ada seorang pemimpin yang
berhasil dalam keadaan normal, namun ada pula yang dapat
berhasil dengan baik dalam keadaan kritis. Bagi seorang
pemimpin sejati keadaan – keadaan darurat justru merupakan
kesempatan baik untuk mengatasi keadaan kritis itu.
(Daryanto, 2013)
Hakikat Kepemimpinan. Apakah pemimpin (leader) itu?
Dari berbagai literatur yang ada, dapat dicatat bahwa
pemimpin adalah sosok yang, dengan segenap potensi dan
kewenangan yang ada, mampu memotivasi, mengarahkan, dan
menggerakkan orang lain untuk secara sadar dan sukarela
berpartisipasi di dalam mencapai tujuan organisasi.
Sedangkan kepemimpinan (leadership) adalah kemampuan yang
harus dimiliki oleh seorang pemimpin dalam memimpin
organisasi. Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang guna
mempengaruhi, memotivasi, dan mengaktivasi aneka potensi
dan sumber daya yang ada, sehingga organisasi yang
dipimpinnya mampu berjalan secara efektif dalam rangka
mengupayakan perwujudan tujuan-tujuannya (leadership is the
ability of an individual to influence, motivate, and enable others to contribute
toward the effectiveness and success of the organizations of which they are
members). Organisasi yang dimaksud adalah organisasi yang
teknis penyelenggaraannya sederhana hingga yang amat
kompleks. http://www.setneg.go.id/index.php?
option=com_content&task=view&id=728&Itemid=135 diakses pada
13 Agustus 2013, 13.20 WIB
METODE PENELITIAN
Metode riset sekuder (Secondary reseach) menggunakan data
riset yang telah dikumpulkan oleh orang lain dan dipaparkan
dalam buku, artikel dalam jurnal professional, atau sumber
dari media cetak dan internet
HASIL DAN PEMBAHASAN
Peringatan bagi Pemimpin. Oleh ANIES BASWEDAN. Makin
hari kegalauan itu tumbuh makin pesat, tetapi berhentilah
mengatakan bangsa ini bobrok. Hentikan tudingan bahwa
bangsa ini tenggelam. Tidak! Bangsa ini sedang bangkit dan
akan makin tinggi berdirinya.
Kini republik membutuhkan pemimpin yang berani
tegakkan integritas, berani perangi “jual-beli” kebijakan
dan jabatan, pemimpin yang mau bertindak tegas melihat APBN
untuk rakyat “dijarah” oleh mereka yang punya akses. Ya,
pemimpin yang bernyali menebas penyeleweng tanpa pandang
posisi atau partai, dan bukan pemimpin yang serba
mendiamkan seakan tidak pernah terjadi apa-apa.
Republik ini perlu pemimpin yang mendorong yang macet,
membongkar yang buntu, dan memangkas berbenalu. Pemimpin
yang tanggap memutuskan, cepat bertindak, dan tidak toleran
pada keterlambatan. Pemimpin yang siap untuk “lecet-lecet”
melawan status quo yang merugikan rakyat, berani bertarung
untuk melunasi tiap janjinya. Republik ini perlu pemimpin
yang memesona bukan saja saat dilihat dari jauh, tetapi
pemimpin yang justru lebih memesona dari dekat dan saat
kerja bersama. (KOMPAS, 25 Juli 2011).
Kepemimpinan Otentik. Satu hal yang menjadi kunci bagi
kebersihan kepemimpinan republik di era demokrasi: seorang
pemimpin harus mampu mengaktualisasikan kapasitas
kepuasannya secara cerdas. Pemimpin harus mampu
mengombinasikan antara soft power melalui persuasi, dorongan,
dan motivasi dengan hard power, yaitu sanksi, ketegasan, dan
ancaman. Kepada aparat negara ataupun warga Indonesia,
untuk menumbuhkan komitmen dan partisipasi mencapai nilai-
nilai bersama, pemimpin dapat menggunakan soft power yang
dilandasi oleh kebersihan diri dan otentisitas
kepemimpinan. Ketika menghadapi koruptor ataupun pihak-
pihak yang memaksakan nilai-nilai eksklusifnya kepada ruang
publik, sudah seharusnya pemimpin menjelma menjadi pemimpin
yang tegas dan mampu menjalankan hard power tanpa pandang
bulu. AIRLANGGA PRIBADI – Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas
Airlangga. (KOMPAS, 3 Agustus 2011).
Mengharap Gaya Baru Sang Pemimpin. Pemimpin adalah
anak emas dari zamannya. Namun, kehendak zaman juga
terbentuk oleh gaya dan sikap pemimpin sebelumnya.
Presiden Soekarno (1945-1966) merupakan presiden
dengan watak yang berani. Sikap politiknya yang
revolusioner dan anti-imperialisme terbentuk dari
pengalaman hidupnya di bawah kekuasaan kolonialisme
Belanda. Kombinasi karakter pribadi dan pengalaman hidupnya
mewarnai corak kepemimpinan.
Soeharto yang menggantikan Soekarno melalui transisi
kekuasaan berdarah merupakan antitesis dari karakter dan
sikap politik Soekarno. Sebagai perwira Angkatan Darat,
Soeharto sangat alergi terhadap PKI ataupun paham
komunisme/leninisme dan menganggapnya sebagai biang kerok
instabilitas pemerintahan. Ia berhasil menancapkan bayang-
bayang ketakutan terhadap komunisme bagi rakyat Indonesia.
Soeharto juga dikenal memiliki manajemen pemerintahan yang
tertata rapi.
Wakil Presiden BJ Habibie yang kemudian menggantikan
Soeharto sebagai presiden memiliki gaya dan sikap yang
berkebalikan dengan Soeharto. Sikap terbuka dan demokratis
diperlihatkan dalam pemilu multipartai pasca-Orde Baru.
Sebanyak 48 parpol mengambil bagian pada Pemilu 1999.
Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur terpilih
sebagai presiden periode berikutnya meskipun pemilu
dimenangi oleh partainya Megawati Soekarnoputri. Situasi
pasca-Orde Baru yang memunculkan banyak kelompok
kepentingan baru tampaknya memang membutuhkan seorang
solidarity maker (pemersatu) yang kebetulan ada pada diri Gus
Dur. Ia kerap dipandang sebagai presiden yang menjunjung
tinggi multikulturalisme, di samping sikapnya yang “ceplas-
ceplos”.
Megawati dipilih menggantikan Gus Dur setelah presiden
keempat ini gagal membekukan DPR/MPR melalui dekrit yang
dikeluarkannya. Berbeda dengan Gus Dur, kepemimpinan
Megawati lebih kalem sehingga pemerintahannya terkesan
berjalan lamban. Karakter Megawati sangat mendominasi
pemerintahan yang dipimpinnya.
Jaga Citra. Susilo Bambang Yudhoyono merupakan
presiden yang terpilih secara demokratis karena berhasil
memenangi pemilihan presiden secara langsung pada 2004 dan
2009. Meski pada pemilu terakhir menang dalam satu putaran
dengan meraih suara di atas 60 persen, Yudhoyono kerap
dipandang tidak tegas dan kurang berani melakukan
perubahan-perubahan. Ia juga terkenal lebih menjaga
popularitas dan citranya di mata publik daripada memancing
pertentangan atau kontroversi. (KOMPAS, 8 Agustus 2011).
Orientasi Kepemimpinan. Oleh YOHAN WAHYU. Kendurnya
kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan negara tidak
lepas dari melemahnya kepemimpinan di negeri ini. Tiadanya
sosok yang mampu menjadi simpul pengikat kekuatan
masyarakat menghadapkan bangsa ini pada krisis orientasi.
(KOMPAS, 8 Agustus 2011).
Etika Pemimpin dan Reputasi Bangsa. Oleh SYAFIQ BASRI
ASSEGAFF. Etika, “trust”, dan reputasi. Etika, kepercayaan
dan reputasi (nama baik) adalah tiga sekawan yang tidak
terpisahkan.
Masalahnya, penerapan etika memang memerlukan
keberanian moral dan hasilnya baru bisa dipetik dalam
jangka panjang. Namun tidak perlu khawatir: riset
membuktikan bahwa kemampuan menerapkan etika biasanya
sejalan dengan naiknya “pangkat” seseorang dalam kariernya.
Oleh sebab itu, kita berharap para pemimpin bisa menjadi
teladan dalam menjunjung etika agar mereka mendapatkan
kepercayaan demi reputasi dan kemajuan bangsa. SYAFIQ BASRI
ASSEGAFF - Dokter; Dosen Ilmu Komunikasi dan Peneliti di Pusat Studi Islam
dan Kenegaraan Universitas Paramadina. (KOMPAS, 22 Agustus 2011).
Pemimpin agar Beri Teladan. JAKARTA, KOMPAS – Pemimpin
harus bisa memberi teladan yang baik bagi rakyatnya. Rakyat
seyogianya juga mendoakan agar pemimpin mereka diberi
bimbingan Allah serta diberi kemampuan untuk menjalankan
amanah dengan baik. Masyarakat harus bersikap tulus kepada
pemimpin dan sebaliknya pemimpin harus tulus kepada rakyat.
(KOMPAS, 1 September 2011).
Pemimpin yang Efektif. Pemilihan umum bisa dikatakan
sebagai pengadilan. Pemilu adalah pengadilan politik bagi
pemimpin: apakah pantas dipertahankan atau tidak.
Apa yang terjadi di Argentina kiranya menegaskan hal
itu atau paling tidak menjadi sebuah contoh bagaimana
pemilu, “pengadilan politik” itu dilaksanakan secara jelas
dan terbuka. Lewat pemilu itu, rakyat Argentina memilih
kembali Cristina Fernandez de Kirchner sebagai presiden. Ia
bahkan dapat dikatakan memenangi pemilu secara mudah.
Padahal hasil pemilu sela pada tahun 2009 menggambarkan
bahwa ia sangat tidak populer. Hal itu tercermin dari
hilangnya kekuasaan mayoritas partainya, Partai Peronis, di
Kongres dan Senat.
Vonis rakyat untuk memilih dia kembali adalah bentuk
dari kepuasan mereka terhadap kinerja Cristina Fernandez.
Ada bukti kerja nyata dari Cristina Fernandez yang bisa
dirasakan rakyatnya. Bukankah pemimpin yang efektif bukan
soal pintar berpidato dan mencitrakan diri agar disukai,
melainkan kepemimpinan tergambar dari hasil kerjanya, bukan
atribut-atributnya. Begitu kata Peter F. Drucker. (KOMPAS,
26 Oktober 2011).
Pemimpin Bukan Bicara, tetapi Berbuat. Pemimpin
melakukan hal-hal yang baik bukan untuk mendapatkan pujian
atau mempertahankan citra dirinya. Jika pada akhirnya orang
lain mengakuinya, hal itu adalah buah dari “pohon” hal baik
yang sudah ditanamnya selama ini. Yang dibutuhkan negeri
ini adalah pemimpin politik atau pemimpin bangsa,
organisasi yang digunakan untuk menakar kepemimpinan
seseorang adalah partai politik. (KOMPAS, 27 Oktober 2011).
Krisis akibat Kepemimpinan Lemah. JAKARTA, KOMPAS –
Lemahnya kepemimpinan di Indonesia saat ini menjadi
penyebab berbagai krisis kebangsaan dan merosotnya
solidaritas. Kepemimpinan demokratis yang memiliki
kredibilitas publik, visioner, dan cepat merespons berbagai
masalah kini dibutuhkan. Selain itu, pemimpin berkarakter
juga dibutuhkan untuk menyembuhkan krisis itu. (KOMPAS, 29
Oktober 2011).
Pemimpin Minim Ambisi. Oleh RADHAR PANCA DAHANA.
Sesungguhya, dunia sekarang lebih dipenuhi oleh pemimpin
semacam ini: pragmatis, bukan idealis, dan lebih fokus pada
bagaimana negara dan bangsanya dapat bertahan dalam tekanan
dunia yang kian berat
Pemimpin idealis memiliki mimpi yang tentu tidak
dimiliki pemimpin negara maju, yang sudah direpotkan oleh
krisis sumber daya natural. Pemimpin di negeri ini tidak
bisa hanya berkemampuan bertahan ketika dunia diancam
krisis luar biasa dalam jangka dekat.
Mungkin, pemimpin seperti itu tidak harus meniru
Soekarno. Akan tetapi, ia harus memiliki mimpi yang
sebenarnya dimiliki seluruh rakyatnya. Masih bisakah
pemimpin kita bermimpi? RADHAR PANCA DAHANA – Budayawan.
(KOMPAS, 4 November 2011).
Pemimpin Harus Berperan Hadapi Krisis. “Bangsa Indonesia
Mengalami Krisis Nilai-nilai Kebangsaan”. JAKARTA, KOMPAS –
Pemimpin harus berperan dan tampil dalam menghadapi titik-
titik kritis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam
hal ini, pemimpin harus memperhatikan penderitaan dan
kepentingan masyarakat daripada memperhatikan kepentingan
diri sendiri, kelompok, dan golongan. Hal itu mengemuka
dalam diskusi film Soegija yang mengangkat nilai-nilai
kebangsaan dan kemanusiaan melalui peran tokoh pahlawan
nasional Mgr Soegijapranata, di Jakarta, Minggu (15/4).
(KOMPAS, 16 April 2012).
Pemimpin Biasa, Persoalan Luar Biasa. Oleh ANDI RAHMAN
ALAMSYAH. Kita menghadapi aneka persoalan luar biasa:
korupsi, narkoba, fundamentalisme agama, kemiskinan,
ancaman krisis energi, ledakan penduduk, kerusakan
lingkungan, infrastruktur buruk, dan kriminalitas
merajalela.
Pemimpin biasa membiarkan persoalan mengambang tanpa
keputusan. Padahal, keputusan diperlukan demi kepastian
sekalipun hal itu mungkin salah atau mendapat penentangan.
Jika pemimpin luar biasa berani menanggung risiko,
pemimpin biasa cenderung menghindari risiko. Ia lebih
memilih jalan aman yang menyenangkan semua orang. Ia
terlalu takut kehilangan banyak hal: jabatan, kekayaan,
gengsi, citra. (KOMPAS, 7 Mei 2012).
Kepemimpinan Muda. Oleh SAYIDIMAN SURYOHADIPROJO.
Angkatan muda yang berniat menjadi pemimpin politik di
Indonesia harus mulai dengan meninggalkan beberapa sifat
negatif yang melekat pada masyarakat kita. Pertama,
menunjukkan karakter yang konsisten, antara lain tidak
hanya pandai mewacanakan sesuatu, tetapi juga
menjalankannya dengan penuh tekad dan keberanian.
Kedua, harus menimbulkan kepercayaan bahwa ia pembela
Pancasila yang selalu memperhatikan semboyan Bhinneka
Tunggal Ika; tidak sudi dibawa satu golongan dan memojokkan
golongan lain sekalipun minoritas.
Ketiga, membina keluarganya menjadi keluarga bahagia,
yang anggotanya selalu mengejar yang terbaik sesuai dengan
aspirasinya. SAYIDIMAN SURYOHADIPROJO – Mantan Gubernur
Lemhanas. (KOMPAS, 9 Juni 2012).
Bermimpi Indonesia yang Jujur. Oleh RUMONGSO. Mimpi
tentang Indonesia yang baru dimulai dari lembar jawaban
ujian nasional dari tingkat SD hingga SMA sederajat tahun
2012. Dalam lembar jawaban tersebut, anak-anak diminta
menyalin dengan tulisan tangan sebuah kalimat yang
berbunyi, “Saya mengerjakan ujian nasional dengan jujur.”
Tentu dengan maksud agar kalimat tersebut terpatri
dalam hati sanubari siswa-siswi yang sedang mengerjakan
soal ujian nasional. Dengan demikian, mereka akan
mengerjakan soal dengan jujur, tidak menyontek, apalagi
dengan menggunakan joki.
Pejabat berjanji. Pikiran jahil dan konyol pun muncul.
Apakah yang akan terjadi di Indonesia jika para pejabat
melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh
anak-anak sewaktu mengerjakan ujian nasional itu. Para
pejabat di republik ini wajib menulis dengan tangan
kalimat, “Saya akan bekerja untuk rakyat dengan jujur” di
setiap surat yang mereka tanda tangani atau di bawah logo
jabatan kop surat.
Saya membayangkan di bawah logo surat kepresidenan
yang bergambar bintang dengan tulisan Presiden Republik
Indonesia, seorang presiden menulis tangan, “Saya akan
bekerja untuk rakyat dengan jujur.”
Atau dalam kop surat milik menteri, gubernur,
bupati/walikota yang bergambar burung garuda. Di bawahnya
mereka menulis tangan, “Saya akan bekerja untuk rakyat
dengan jujur.”
Demikian pula para anggota DPR wajib menulis dengan
tangan kalimat tersebut di bawah logo surat mereka.
Apakah mimpi tentang Indonesia yang lebih baik akan
menjadi kenyataan? Jika hal tersebut menjadi sebuah gerakan
nasional yang nyata – antara yang mereka tulis dan yang
mereka lakukan – Indonesia yang baik bukan sebuah mimpi.
(KOMPAS, 16 Juni 2012).
Defisit Kepemimpinan Responsif. Oleh NOVRI SUSAN.
Indikator demokrasi formal, seperti pemilu secara langsung,
prinsip multipartai, dan kebebasan sosial politik dalam
masyarakat, sering dijadikan klaim bahwa Indonesia adalah
negara demokrasi. Namun, dari indikator-indikator tersebut
ada unsur fundamental yang belum terpenuhi., yaitu hadirnya
kepemimpinan responsif (responsive leadership).
Sebaliknya, kepemimpinan dalam struktur kekuasaan
negara, mulai dari pusat sampai daerah, masih saja
berkarakter pragmatis, transaksional, berpihak pada kuasa
modal, dan abai pada keluhan rakyat kecil. (KOMPAS, 27 Juni
2012).
Kepemimpinan Orang-orang Kalah. Oleh RHENALD KASALI.
Joko Widodo yang maju dalam pencalonan gubernur DKI Jakarta
mengatakan dirinya tak punya uang. Maka, ia pun menjadi
bingung saat dituding telah menjalankan politik uang.
Belajar akui Kesalahan. Lima belas tahun yang lalu
saat masih bersekolah di Amerika Serikat, anak saya pulang
ke rumah dengan muka terluka. Begitu bertemu ibunya, ia
menangis sambil memeluk. “It’s OK mommy, it was my mistake. I was
wrong.” Saat kembali ke Indonesia ia suka protes, “Mengapa
teman-teman aku suka tak mengakui kesalahan? Mereka pun
selalu mengulanginya.”
Dari berbagai literatur diketahui bahwa di negara-
negara demokratis, selain komunikasi yang asertif, pada
anak-anak selalu ditanamkan sikap-sikap pemenang. Seorang
pemenang bukan otomatis memenangi persaingan, melainkan
yang menjaga kehormatannya. (KOMPAS, 6 Agustus 2012).
Mencari Pemimpin. Oleh JAKOB SUMARDJO. Ada peribahasa
dari China komunis: tidak peduli kucing itu hitam atau
putih, yang penting dapat menerkam tikus.
Makna di balik kisah kucing yang pandai menerkam
tikus-tikus itu masih dapat digali. Setiap kucing yang
cerdas tak asal tabrak-tubruk dengan cakar tajamnya. Kucing
tidak seperti manusia. Kucing justru berpegang teguh pada
hukum manusia yang dahulu disebut desakala, waktu dan
tempat, dan di Bali dikenal dengan desa-kala-patra. Bahwa
segala sesuatu akan terselesaikan dengan sempurna bila
manusia mengingat hukum kesatua: di mana, kapan, dan
bagaimana.
Itu sebabnya, pemimpin yang dicari sekarang ini adalah
semacam Satrio Piningit, pemimpin yang masih tersimpan
entah di mana. Pemimpin semacam ini adalah manusia sempurna
yang mampu mengubah kesengsaraan hidup kita sekarang jadi
adil dan makmur. (KOMPAS, 17 Agustus 2012).
Mencari Pemimpin yang Berkarakter Negarawan. Menjadi
negarawan dan pemimpin bangsa Indonesia sebagai bangsa yang
besar memang tidak mudah. Seorang pemimpin dan negarawan
harus memiliki kemampuan mempersatukan bangsa Indonesia
yang majemuk menjadi bangsa yang besar, damai, maju,
modern, sejahtera, dan dapat dibanggakan. (KOMPAS, 28
Agustus 2012).
Pemimpin dan Artis. Prinsip pemimpin kreatif. Seorang
pemimpin yang sukses pasti tahu cara memindahkan passion-nya
terhadap karya, serta konsep dan visinya ke dalam manajemen
dan keteraturan administratifnya. Keseimbangan antara masa
depan, dan masa sekarang, kerja kreatif dan administratif,
sudah dikuasainya betul, bahkan tidak berbatas. Respons
pemimpin yang kreatif lebih lincah dan bersifat real time,
fleksibel terhadap perubahan-perubahan last minute. (KOMPAS,
1 September 2012).
Mencari “Sukrasana”. Oleh INDRA TRANGGONO. Kriteria
orang baik itu mungkin bisa kita temukan dalam sosok
Sukrasana, tokoh dalam pewayangan yang buruk secara fisik
tapi sakti dan berwatak mulia. Ahli filsafat dari UGM,
Darmajati Supadjar, memaknai Sukrasana sebagai “suka
sarana” atau memberikan jalan penyelesaian atas masalah.
Makna itu merupakan analogi dari watak solider Sukrasana.
Ia selalu siap berkorban untuk kepentingan orang lain, atas
dasar cinta dan pengharapan mewujudkan dunia yang ideal.
Langkah terbesar dan strategis seluruh elemen bangsa
ini adalah menghadirkan manusia-manusia “Sukrasana” dalam
kontestasi politik pada Pemilu 2014. Partai-partai politik,
lembaga-lembaga sosial, budaya, agama, pendidikan, pers,
dan seluruh pemangku kepentingan lain bangsa ini bisa
membangun sinergisitas untuk memunculkan manusia-manusia
berkaliber “Sukrasana” menjadi pilihan rakyat. (KOMPAS, 7
Oktober 2012).
Kita Butuh Pemimpin yang Kuat. Kekayaan yang paling
nyata dari Indonesia adalah keberagaman. Tak hanya suku
bangsa, keberagaman pun hampir meliputi segala segi di
negeri ini. Sesungguhnya, keberagaman dapat menjadi modal
bagi kebesaran bangsa, asalkan ada kepemimpinan yang kuat,
jujur, demokratis, dan akuntabel. Oleh M. BURHANUDIN.
(KOMPAS, 27 Oktober 2012).
Pemimpin Muda dengan Idealisme Muda. Tan Malaka
menyatakan, “Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya
dimiliki pemuda.” Dengan itu, ia menekankan nilai penting
pemuda sebagai benteng terakhir pertahanan bangsa dan
kekuatan inti pemuda itu adalah idealisme.
Pendefinisi utama pemuda bukanlah usia, melainkan
idealisme “muda”, situasi kejiwaan yang bisa membebaskan
diri dari kejumuhan dan kerusakan mentalitas tua. Meski
begitu, mereka yang “berusia muda” mestinya lebih berani
mengemban visi perubahan karena tidak terlalu digelayuti
beban masa lalu. YUDI LATIF – Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan.
(KOMPAS, 30 Oktober 2012).
Bertanya-tanya tentang Pemimpin. Oleh DAVIS KRISNA
ALKA. Kita tak perlu tepuk dan sorak kalau kita tak sanggup
berjuang,” kata Bung Hatta. Ya, kita tak ingin pemimpin
yang tak sanggup berjuang, yang melulu berpijak pada teriak
dan slogan, bukan pada kenyataan!
Kepemimpinan politik yang diperlukan adalah pemimpin
bangsa yang berkepribadian, berkarakter, bervisi,
berkomitmen, dan menjadi suri teladan bagi bawahan dan
rakyatnya. Untuk menghadapi perubahan zaman seperti
sekarang, kita perlu pemimpin politik yang mampu
menyelenggarakan kekuasaan secara beradab, menyelengarakan
pemerintahan yang bersih, yang tidak menyalahgunakan
kekuasaan, wewenang, kesempatan, dan koneksi. Artinya,
tugas pemimpin pertama-tama ialah mendidik rakyat, bukan
memperalat rakyat. Memimpin berarti menyelami perasaan dan
pikiran rakyat serta memberikan inspirasi agar rakyat bisa
keluar dari kesulitan yang membebaninya. (KOMPAS, 31
Oktober 2012).
Presiden 2014: Muda Nonmiliter. Oleh AM HENDROPRIYONO.
Sipil berjiwa militer. Mengapa harus muda? Secara mental
kaum muda punya semangat lebih menggelora. Secara fisik
lebih kuat dan secara psikis lebih tahan, terutama dalam
daya tahan kerja intelektual mereka.
Para pemuda dari kalangan sipil kini harus didorong
agar berani dan mampu tampil di depan untuk membangun
negara Pancasila dalam bingkai demokrasi yang beretika.
Fenomena Jokowi dalam memenangi kursi gubernur DKI Jakarta
2012-2017 pelajaran yang berharga bagi kita. Bahwa
Indonesia menginginkan orang muda sipil berwajah baru, yang
berwibawa, yaitu tegas, berdisiplin, dan merakyat, sebagai
presiden RI yang akan datang. (KOMPAS, 5 November 2012).
Pemimpin Itu Matahari, Bulan, Air, Api… “Jika engkau
menjadi pemimpin, laksanakan delapan ajaran Hastabrata…,”
kata Panembahan Kasawasidi kepada Arjuna. Dalam Hastabrata,
kata sang Panembahan, pemimpin harus bertindak seperti
matahari, bulan, bintang, awan, bumi, samudra, api, dan
angin. Kasawasidi adalah Kresna yang menyamar sebagai tokoh
spiritual di gunung Kutharunggu. Hasta berarti delapan, dan
brata adalah tindakan atau budi luhur. Hasta brata adalah
delapan ajaran keutamaan yang harus dilaksanakan pemimpin
yang baik.
Matahari, memberi terang ke seluruh dunia serta
menjadi penghidupan bagi semua makhluk. “Demikian juga
seorang pemimpin, harus menjadi sumber penerangan serta
penghidupan bagi seluruh rakyat…,” kata Purbo Asmoro,
seperti termuat dalam buku Mahkota Rama-Makutharama, yang
akan diterbitkan Yayasan Lontar.
Pemimpin itu idealnya berlaku seperti bulan yang
menenteramkan hati dan memberikan pencerahan kepada
rakyatnya yang sedang dirundung kesedihan, seperti bintang
yang selain memperindah angkasa, juga menjadi arah mata
angin (ia adalah keteladanan dan sumber tata susila).
Pemimpin itu seperti awan yang menyejukkan hati
rakyat, seperti bumi yang kuat dan suci. “Tidak tergoyahkan
oleh bujuk rayu serta tidak terpengaruh hasutan,” kata
Purbo Asmoro.
Pemimpin itu seperti samudra: ia lapang dada. “Tidak
mudah sakit hati karena kritikan, tetapi juga tidak lengah
oleh pujian.” Seperti api yang membakar tanpa pandang bulu,
tetapi bermanfaat bagi kehidupan. “Pemimpin harus berani
menjatuhkan pidana kepada para pejabat yang bersalah tanpa
pandang bulu…,” kata Purbo Asmoro.
Juga seperti angin yang bertiup merata di segala
tempat. Pemimpin demikian pula harus mengetahui kehidupan
seluruh rakyatnya. (KOMPAS, 11 November 2012).
Pemimpin Tanpa Keteladanan. Oleh SAIFUR ROHMAN. Menuju
etika baru. Etika kepemimpinan, sebagaimana diungkapkan
Friedrich Wilhelm Nietzsche, perlu mengarah pada penciptaan
nilai baru yang berlandaskan pada keberanian. Nilai itu
direpresentasikan melalui sosok ubermensch (adimanusia
pencipta nilai). Pendeknya, sosok tersebut memiliki sikap
mental Dyonisian yang berani menghancurkan tatanan lama dan
membangunnya kembali berdasarkan nilai-nilai baru yang
visioner. Nilai-nilai tersebut tidak hanya berlaku bagi
pengikutnya, tetapi juga untuk dirinya sendiri.
Bila direfleksikan pada praktik kepemimpinan di
Nusantara, metamorfosis nilai itu dapat diketahui jejaknya.
Di dalam Nagarakrtama karangan Mpu Prapanca pada masa
Majapahit (ditulis pada 1365 Masehi), seorang pemimpin
haruslah memiliki atribut pangaranarya. Istilah itu mengacu
pada pengertian tentang pentingnya pembangunan sikap yang
mampu memimpin dirinya sebelum memimpin para pengikutnya.
(KOMPAS, 11 Desember 2012).
Menggagas Kepemimpinan Kolektif Kolegial. Oleh PRABOWO
SUBIANTO. Demi dan untuk Indonesia. Sebagaimana pemaparan
saya di forum Soegeng Sarjadi Syndicate, konsep
kepemimpinan yang terbaik bagi bangsa Indonesia adalah
kepemimpinan kolektif yang kolegial. Suatu konsep
kepemimpinan yang mengutamakan kepentingan nasional.
Di sini saya menyebut contoh Presiden Amerika Serikat,
Abraham Lincoln. Begitu memenangi pemilihan presiden,
Lincoln justru mengajak William H Seward, rival politiknya
yang paling keras – yang sudah berhadapan dengannya selama
bertahun-tahun untuk bergabung sebagai secretary of state di
dalam kabinet Lincoln dan memimpin Amerika Serikat.
Sewaktu Lincoln bertanya kepada Seward apakah ia mau
bergabung, Seward malah balik bertanya dengan kaget:
“Kenapa Anda memilih saya? Anda tahu saya tidak suka kepada
Anda?”
Dijawab oleh Lincoln: “Memang saya tahu Anda tidak
suka saya, dan benar saya juga tidak suka Anda. Akan
tetapi, saya tahu Anda cinta Amerika Serikat. Kalau
demikian, kenapa kita tidak bersama-sama bekerja untuk
Amerika Serikat”.
Kurang lebih seperti itu dialog di antara mereka yang
saya baca di dalam buku A Team of Rivals oleh ahli sejarah
Doris Kearns Goodwin. Inilah yang saya singgung.
Kepemimpinan semacam ini pun diperlihatkan oleh tokoh-tokoh
pemimpin Jepang semasa Oda Nobunaga dan Tokuga Ieyasu. Pada
masa Toyotomi Hideyoshi juga demikian. Semua rival dan
musuh mereka selalu diajak berunding dan bersatu untuk
membangun Jepang.
Jadi, alternatif kepemimpinan yang saya tawarkan
adalah kepemimpinan kolektif lintas partai, lintas suku,
lintas agama. (KOMPAS, 31 Desember 2012).
Kepemimpinan Trisakti. Oleh AIRLANGGA PRIBADI KUSMAN.
Persoalan kepemimpinan Indonesia menjadi tantangan ke depan
sekaligus krisis dalam kehidupan kita berbangsa. Krisis
kepemimpinan Indonesia ini tampil dalam beberapa indikator
utama, yang memperlihatkan runtuhnya prinsip-prinsip dalam
Trisakti yang pernah dicanangkan oleh Soekarno pada 1963
sebagai parameter kemajuan bangsa. Tiga prinsip itu adalah,
berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan
berkepribadian dalam ranah sosial-kebudayaan. Meskipun
Trisakti ini diucapkan hampir 50 tahun yang lalu, tetapi
prinsip-prinsipnya masih relevan dalam konteks
demokratisasi di Indonesia.
Hanya dengan jalan mendengarkan suara-suara
kebhinekaan Indonesia, yang dilakukan mendahului seleksi
formal pemilu, maka kita dapat memperjuangkan kembali
prinsip-prinsip Trisakti. Suatu prinsip yang terbukti tidak
mampu dijawab generasi lama yang tengah memimpin republik
kita saat ini. (KOMPAS, 2 Januari 2013).
Indonesia Butuhkan Pemimpin yang kuat. Indonesia masa
depan memerlukan pemimpin dan kepemimpinan yang kuat untuk
menyelesaikan permasalahan bangsa yang multikompleks ini.
Pemimpin yang kuat adalah pemimpin yang paling rendah
resistensinya dalam masyarakat. “Pemimpin yang kuat berarti
juga memiliki konsistensi, satunya kata dengan perbuatan,
tegas, dan tidak ambivalen,” kata Sultan Hamengku Bowono X
mengutip Ikatan Alumni Lemhanas, Senin (13/5), di Jakarta.
(KOMPAS, 14 Mei 2013)
Dicari Pemimpin Mau Urus Rakyat. Parpol Mesti Buka
Peluang. Rakyat mendambakan kehadiran sosok pemimpin yang
bersih, tegas, dan berintegritas. Selain itu, sosok
tersebut diharapkan juga pluralis, berani mengambil resiko,
serta dekat dan mau menggerakkan rakyat.
Oleh karena itu, calon presiden periode 2014 – 2019
harus fokus pada tugasnya untuk benar – benar mengurusi
Negara dan rakyat, bukan disibukkan dengan urusan partai,
keluarga, atau golongan.(KOMPAS, 31 Mei 2013)
Mencari Pemimpin Berintegritas Publik. Ada dialektika
antara pemimpin dan rakyat. Seorang pemimpin adalah buah
dari masyarakatnya. Jika kritis dan berdaya secara politik,
masyarakat akan menghasilkan pemimpin yang bermutu dan
sebaliknya. Pemimpin yang memiliki integritas publik
dibutuhkan untuk membangun sistem yang baik. Di sisi lain,
intuisi yang adil juga harus dibangun agar bisa memunculkan
pemimpin yang memiliki integritas publik. (KOMPAS, 4 Juni
2013)
KESIMPULAN
Republik ini perlu pemimpin yang mendorong yang macet,
membongkar yang buntu, dan memangkas berbenalu. Pemimpin
yang tanggap memutuskan, cepat bertindak, dan tidak toleran
pada keterlambatan.
Kendurnya kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan
negara tidak lepas dari melemahnya kepemimpinan di negeri
ini. Tiadanya sosok yang mampu menjadi simpul pengikat
kekuatan masyarakat menghadapkan bangsa ini pada krisis
orientasi.
Pemimpin Bukan Bicara, tetapi Berbuat. Pemimpin
melakukan hal-hal yang baik bukan untuk mendapatkan pujian
atau mempertahankan citra dirinya. Jika pada akhirnya orang
lain mengakuinya, hal itu adalah buah dari “pohon” hal baik
yang sudah ditanamnya selama ini.
Lemahnya kepemimpinan di Indonesia saat ini menjadi
penyebab berbagai krisis kebangsaan dan merosotnya
solidaritas. Kepemimpinan demokratis yang memiliki
kredibilitas publik, visioner, dan cepat merespons berbagai
masalah kini dibutuhkan. Selain itu, pemimpin berkarakter
juga dibutuhkan untuk menyembuhkan krisis itu.
Pemimpin idealis memiliki mimpi yang tentu tidak
dimiliki pemimpin negara maju, yang sudah direpotkan oleh
krisis sumber daya natural. Pemimpin di negeri ini tidak
bisa hanya berkemampuan bertahan ketika dunia diancam
krisis luar biasa dalam jangka dekat.
Seorang presiden untuk bangsa Indonesia yang begitu
besar jumlah penduduk dan aneka ragam sifatnya, hidup di
negara yang begitu luas wilayahnya ini jelas sekali harus
mempunyai kemampuan kepemimpinan yang mumpuni.
Pemimpin yang dicari sekarang ini adalah semacam
Satrio Piningit, pemimpin yang masih tersimpan entah di
mana. Pemimpin semacam ini adalah manusia sempurna yang
mampu mengubah kesengsaraan hidup kita sekarang jadi adil
dan makmur.
Kini kita hanya butuh pemimpin yang memiliki kapasitas
orang baik yang mrantasi (memberi solusi).
Tugas pemimpin pertama-tama ialah mendidik rakyat,
bukan memperalat rakyat. Memimpin berarti menyelami
perasaan dan pikiran rakyat serta memberikan inspirasi agar
rakyat bisa keluar dari kesulitan yang membebaninya.
Indonesia menginginkan orang muda sipil berwajah baru,
yang berwibawa, yaitu tegas, berdisiplin, dan merakyat,
sebagai presiden RI yang akan datang.
Hanya dengan jalan mendengarkan suara-suara
kebhinekaan Indonesia, yang dilakukan mendahului seleksi
formal pemilu, maka kita dapat memperjuangkan kembali
prinsip-prinsip Trisakti. Suatu prinsip yang terbukti tidak
mampu dijawab generasi lama yang tengah memimpin republik
kita saat ini.
Pemimpin yang benar – benar mau mengurus rakyat sangat
diperlukan, mengingat Indonesia memiliki seabrek masalah
dan tantangan.
Pemimpin yang memiliki integritas publik dibutuhkan
untuk membangun sistem yang baik. Di sisi lain, intuisi
yang adil juga harus dibangun agar bisa memunculkan
pemimpin yang memiliki integritas publik.
Pendapat / opini pribadi pemimpin yang baik adalah
pemimpin yang “memimpin dengan hati”; cara memimpin
masyarakat menggunakan hati, etika, moral dan tidak
menyalahgunakan kekuasaan.
SARAN
Satu hal yang menjadi kunci bagi kebersihan
kepemimpinan republik di era demokrasi: seorang pemimpin
harus mampu mengaktualisasikan kapasitas kepuasannya secara
cerdas. Pemimpin harus mampu mengombinasikan antara soft
power melalui persuasi, dorongan, dan motivasi dengan hard
power, yaitu sanksi, ketegasan, dan ancaman.
Pemimpin harus bisa memberi teladan yang baik bagi
rakyatnya. Rakyat seyogianya juga mendoakan agar pemimpin
mereka diberi bimbingan Allah serta diberi kemampuan untuk
menjalankan amanah dengan baik. Masyarakat harus bersikap
tulus kepada pemimpin dan sebaliknya pemimpin harus tulus
kepada rakyat.
Pemimpin harus berperan dan tampil dalam menghadapi
titik-titik kritis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam hal ini, pemimpin harus memperhatikan penderitaan dan
kepentingan masyarakat daripada memperhatikan kepentingan
diri sendiri, kelompok, dan golongan.
Seorang pemimpin dan negarawan harus memiliki
kemampuan mempersatukan bangsa Indonesia yang majemuk
menjadi bangsa yang besar, damai, maju, modern, sejahtera,
dan dapat dibanggakan.
DAFTAR PUSTAKA
Daryanto, Abdullah,. 2013. Pengantar Ilmu Manajemen dan Komunikasi. Jakarta: Prestasi Pustakahttp://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=728&Itemid= 135 diakses pada 13 Agustus 2013, 13.20 WIBhttp://yanjepesangedukasi.blogspot.com/2012/08/manajemen-kepemimpinan.html
diakses pada 18 Agustus 2013, 16.00 WIB
Irawati et all, 2010, Pengaruh Gaya Kepemimpinan Terhadap Kepuasan Kerja, Produktivitas Kerja, dan Kinerja Organisasi dalam Jurnal Studi Manajemen Vol 4 No. 1 April 2010. Bangkalan, Madura:Fakultas Ekonomi Universitas Trunojoyo(KOMPAS, 25 Juli 2011).(KOMPAS, 3 Agustus 2011).(KOMPAS, 8 Agustus 2011).(KOMPAS, 22 Agustus 2011).(KOMPAS, 1 September 2011).(KOMPAS, 26 Oktober 2011).(KOMPAS, 27 Oktober 2011).(KOMPAS, 29 Oktober 2011).(KOMPAS, 16 April 2012).(KOMPAS, 7 Mei 2012).(KOMPAS, 9 Juni 2012).(KOMPAS, 16 Juni 2012).(KOMPAS, 27 Juni 2012).(KOMPAS, 6 Agustus 2012).(KOMPAS, 17 Agustus 2012).(KOMPAS, 28 Agustus 2012).(KOMPAS, 1 September 2012).(KOMPAS, 7 Oktober 2012).(KOMPAS, 27 Oktober 2012).(KOMPAS, 30 Oktober 2012).(KOMPAS, 31 Oktober 2012).(KOMPAS, 5 November 2012).(KOMPAS, 11 November 2012).(KOMPAS, 11 Desember 2012).(KOMPAS, 31 Desember 2012).(KOMPAS, 2 Januari 2013).