NCFB VI (new)

29
Abstract The republic needs a leader who encourages jammed, unload the dead end, and cut berbenalu. Leaders decided responsive, fast acting, and not tolerant of delays. One thing that is the key to cleanliness in the era of democratic republican leadership: a leader must be able to actualize the capacity intelligently satisfaction. Leader was the golden boy of his time. However, the times are also formed by the will of the style and attitude of the previous leader. Engorgement of public confidence in the administration of the state can not be separated from the weakening of the leadership in this country. The leader must be a good example for people. Elections can be regarded as a court. Election is a political trial for the leader: if it is proper or not maintained. Leaders not talk, but Done. Weak leadership crisis due. What kind of leader we should have. What kind of a great leader and is able to answer the current issues, both internally and in external pressures (global) outstanding lately. Leaders Need to Confront Crisis Role. We Need a Strong Leader. Leaders must act like the sun, moon, stars, clouds, earth, ocean, fire, and wind. Trisakti Leadership: the three principles it is, sovereign politically, economically independent, and personality in the socio-cultural sphere. People Want Leaders Wanted Urus. Looking for Public Integrity Leader. Keywords: Management, leader, leadership PENDAHULUAN Setiap pemimpin mempunyai gaya yang berbeda antara yang satu dengan yang lain, hal ini dipengaruhi oleh faktor internal (dalam diri/sifat pemimpin) dan eksternal (organisasi/manajemen perusahaan) dimana ia memimpin. Dalam melaksanakan kepemimpinannya seorang pemimpin harus dapat menyesuaikan diri dengan situasi kerja yang dihadapi, artinya kemampuan seorang pemimpin dalam menerapkan gaya kepemimpinannya. Ada beberapa gaya kepemimpinan yang bisa diterapkan oleh seorang pemimpin dalam suatu organisasi sesuai dengan sifat dan karakteristik dari masing – masing individu. Salah satu contoh: ketika seorang pemimpin memberikan

Transcript of NCFB VI (new)

AbstractThe republic needs a leader who encourages jammed, unload the dead

end, and cut berbenalu. Leaders decided responsive, fast acting, and nottolerant of delays. One thing that is the key to cleanliness in the era ofdemocratic republican leadership: a leader must be able to actualize thecapacity intelligently satisfaction. Leader was the golden boy of his time.However, the times are also formed by the will of the style and attitude of theprevious leader. Engorgement of public confidence in the administration of thestate can not be separated from the weakening of the leadership in thiscountry. The leader must be a good example for people. Elections can beregarded as a court. Election is a political trial for the leader: if it is proper ornot maintained. Leaders not talk, but Done. Weak leadership crisis due. Whatkind of leader we should have. What kind of a great leader and is able toanswer the current issues, both internally and in external pressures (global)outstanding lately. Leaders Need to Confront Crisis Role. We Need a StrongLeader. Leaders must act like the sun, moon, stars, clouds, earth, ocean, fire,and wind. Trisakti Leadership: the three principles it is, sovereign politically,economically independent, and personality in the socio-cultural sphere. PeopleWant Leaders Wanted Urus. Looking for Public Integrity Leader.Keywords: Management, leader, leadership

PENDAHULUAN

Setiap pemimpin mempunyai gaya yang berbeda antara

yang satu dengan yang lain, hal ini dipengaruhi oleh faktor

internal (dalam diri/sifat pemimpin) dan eksternal

(organisasi/manajemen perusahaan) dimana ia memimpin. Dalam

melaksanakan kepemimpinannya seorang pemimpin harus dapat

menyesuaikan diri dengan situasi kerja yang dihadapi,

artinya kemampuan seorang pemimpin dalam menerapkan gaya

kepemimpinannya.

Ada beberapa gaya kepemimpinan yang bisa diterapkan

oleh seorang pemimpin dalam suatu organisasi sesuai dengan

sifat dan karakteristik dari masing – masing individu.

Salah satu contoh: ketika seorang pemimpin memberikan

kesempatan pada bawahan untuk memberi saran, berdiskusi,

bertukar pikiran maka gaya kepemimpinan tersebut dengan

gaya kepemimpinan demokratis. Tapi ada seorang pemimpin yang

membiarkan kondisi dan situasi pada bawahannya (Laissez – Fair)

The Lown Leadership Study (Luthans, 2002-57)

Kepemimpinan. Pemimpin merupakan ujung tombak bagi

suatu kelompok atauorganisasi untuk dapat mengarahkan

prilaku pengikutnya dalam proses pencapaian tujuan. Sebagai

suatu usaha memengaruhi orang perorangan (interpersonal)

melalui proses komunikasi untuk mencapai sesuatu atau

beberapa tujuan. Kepemimpinan otoritas (Authorian Leadership)

merupakan gaya kepemimpinan yang bersifat agak kaku dan

segala perintah yang diberikan pada bawahan merupakan hak

sepenuhnya dari seorang pemimpin. Dalam arti kata bahwa

tugas – tugas, fasilitas dan petunjuk – petunjuk diberikan

tanpa terlebih dahulu dikonsultasikan pada bawahan yang

bersangkutan. Kepemimpinan demokrasi (Democracy Leadership)

merupakan kepemimpinan yang menonjolkan partisipasi

kelompok, segala macam keputusan dalam menyelesaikan

masalah (Problem Solving) senantiasa berdasarkan pada

persetujuan kelompok organisasi/perusahaan. Kepemimpinan

ini mempunyai ciri khas yaitu sistem kebapakan dalam

hubungan antara pimpinan dan bawahan sehingga pemimpin

senantiasa mempunyai perlindungan dan arahan pada bawahan.

(Irawati et al., 2010)

Pemimpin seperti apa yang seharusnya kita miliki?

Pemimpin macam apa yang tepat dan mampu menjawab persoalan-

persoalan mutakhir, baik secara internal maupun dalam

desakan-desakan eksternal (global) yang luar biasa

belakangan ini. Apakah kita membutuhkan pemimpin yang

berani, berambegan keras, flamboyan, retorik, berdiplomasi

hebat, dan berani menantang dunia? Apakah kita membutuhkan

lagi Soekarno?Atau sebaliknya, kita membutuhkan seorang

pemimpin yang taktis, tekun, cermat dalam perhitungan

kebijakan dan tindakan, kurang populis tetapi pragmatis,

demi menjaga pertumbuhan yang di dunia lain pun untuk

bertahan mengalami kesulitan? (Kompas, 31 Oktober 2011)

Kita menghadapi aneka persoalan luar biasa: korupsi,

narkoba, fundamentalisme agama, kemiskinan, ancaman krisis

energi, ledakan penduduk, kerusakan lingkungan,

infrastruktur buruk, dan kriminalitas merajalela. (Kompas,

7 Mei 2012)

Krisis akibat Kepemimpinan Lemah. JAKARTA, KOMPAS –

Lemahnya kepemimpinan di Indonesia saat ini menjadi

penyebab berbagai krisis kebangsaan dan merosotnya

solidaritas. Pemimpin Minim Ambisi. Oleh RADHAR PANCA

DAHANA. (Kompas, 31 Oktober 2011)

LANDASAN TEORI

Manajemen berasal dari kata to manage yang artinya

mengatur. Pengaturan dilakukan melalui proses dan diatur

berdasarkan urutan dari fungsi-fungsi manajemen ini. Jadi

manajemen merupakan suatu proses untuk mewujudkan tujuan

yang diinginkan.

Kepemimpinan (leadership) merupakan intisari manajemen

dengan kepemimpinan yang baik, proses manajemen akan

berjalan baik pula. Tercapai atau tidaknya tujuan suatu

organisasi sebagian besar ditentukan oleh kecakapan leader

dalam melaksanakan kepemimpinanya untuk mengerahkan

bawahannya. Kecakapan dan kewibawaan seorang leader akan

mendorong gairah kerja, kreatifitas, partisipasi dan

loyalitas para bawahan untuk menyelesiakan tugas-tugasnya.

Leader adalah orangnya sedangkan leadership adalah

gaya atau style seorang pemimpin

mengarahkan,mengkoordinasikan dan membina bawahannya agar

bekerja sama dan bekerja produktif mencapai tujuan

organisasi. Sumber:

http://yanjepesangedukasi.blogspot.com/2012/08/manajemen-

kepemimpinan.html diakses pada 18 Agustus 2013, 16.00 WIB

Teori Kepemimpinan. The Traits Theory of Leadership (Teori

Sifat), teori ini mengemukakan sifat – sifat yang dimiliki

seorang pemimpin dianggap sebagai ukuran penting sebagai

syarat – syarat untuk menentukan potensi kepemimpinan

seorang pemimpin. The Situasional Theory of Leadership (Teori

Situasional), teori ini mengemukakan kepemimpinan

dipengaruhi oleh keadaan pemimpin, pengikut organisasi, dan

lingkungan sosial. Gaya kepemimpinan seseorang dalam

keadaan normal dan kritis akan berbeda. Keberhasilan karena

pengaruh situasi, artinya ada seorang pemimpin yang

berhasil dalam keadaan normal, namun ada pula yang dapat

berhasil dengan baik dalam keadaan kritis. Bagi seorang

pemimpin sejati keadaan – keadaan darurat justru merupakan

kesempatan baik untuk mengatasi keadaan kritis itu.

(Daryanto, 2013)

Hakikat Kepemimpinan. Apakah pemimpin (leader) itu?

Dari berbagai literatur yang ada, dapat dicatat bahwa

pemimpin adalah sosok yang, dengan segenap potensi dan

kewenangan yang ada, mampu memotivasi, mengarahkan, dan

menggerakkan orang lain untuk secara sadar dan sukarela

berpartisipasi di dalam mencapai tujuan organisasi.

Sedangkan kepemimpinan (leadership) adalah kemampuan yang

harus dimiliki oleh seorang pemimpin dalam memimpin

organisasi. Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang guna

mempengaruhi, memotivasi, dan mengaktivasi aneka potensi

dan sumber daya yang ada, sehingga organisasi yang

dipimpinnya mampu berjalan secara efektif dalam rangka

mengupayakan perwujudan tujuan-tujuannya (leadership is the

ability of an individual to influence, motivate, and enable others to contribute

toward the effectiveness and success of the organizations of which they are

members). Organisasi yang dimaksud adalah organisasi yang

teknis penyelenggaraannya sederhana hingga yang amat

kompleks. http://www.setneg.go.id/index.php?

option=com_content&task=view&id=728&Itemid=135 diakses pada

13 Agustus 2013, 13.20 WIB

METODE PENELITIAN

Metode riset sekuder (Secondary reseach) menggunakan data

riset yang telah dikumpulkan oleh orang lain dan dipaparkan

dalam buku, artikel dalam jurnal professional, atau sumber

dari media cetak dan internet

HASIL DAN PEMBAHASAN

Peringatan bagi Pemimpin. Oleh ANIES BASWEDAN. Makin

hari kegalauan itu tumbuh makin pesat, tetapi berhentilah

mengatakan bangsa ini bobrok. Hentikan tudingan bahwa

bangsa ini tenggelam. Tidak! Bangsa ini sedang bangkit dan

akan makin tinggi berdirinya.

Kini republik membutuhkan pemimpin yang berani

tegakkan integritas, berani perangi “jual-beli” kebijakan

dan jabatan, pemimpin yang mau bertindak tegas melihat APBN

untuk rakyat “dijarah” oleh mereka yang punya akses. Ya,

pemimpin yang bernyali menebas penyeleweng tanpa pandang

posisi atau partai, dan bukan pemimpin yang serba

mendiamkan seakan tidak pernah terjadi apa-apa.

Republik ini perlu pemimpin yang mendorong yang macet,

membongkar yang buntu, dan memangkas berbenalu. Pemimpin

yang tanggap memutuskan, cepat bertindak, dan tidak toleran

pada keterlambatan. Pemimpin yang siap untuk “lecet-lecet”

melawan status quo yang merugikan rakyat, berani bertarung

untuk melunasi tiap janjinya. Republik ini perlu pemimpin

yang memesona bukan saja saat dilihat dari jauh, tetapi

pemimpin yang justru lebih memesona dari dekat dan saat

kerja bersama. (KOMPAS, 25 Juli 2011).

Kepemimpinan Otentik. Satu hal yang menjadi kunci bagi

kebersihan kepemimpinan republik di era demokrasi: seorang

pemimpin harus mampu mengaktualisasikan kapasitas

kepuasannya secara cerdas. Pemimpin harus mampu

mengombinasikan antara soft power melalui persuasi, dorongan,

dan motivasi dengan hard power, yaitu sanksi, ketegasan, dan

ancaman. Kepada aparat negara ataupun warga Indonesia,

untuk menumbuhkan komitmen dan partisipasi mencapai nilai-

nilai bersama, pemimpin dapat menggunakan soft power yang

dilandasi oleh kebersihan diri dan otentisitas

kepemimpinan. Ketika menghadapi koruptor ataupun pihak-

pihak yang memaksakan nilai-nilai eksklusifnya kepada ruang

publik, sudah seharusnya pemimpin menjelma menjadi pemimpin

yang tegas dan mampu menjalankan hard power tanpa pandang

bulu. AIRLANGGA PRIBADI – Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas

Airlangga. (KOMPAS, 3 Agustus 2011).

Mengharap Gaya Baru Sang Pemimpin. Pemimpin adalah

anak emas dari zamannya. Namun, kehendak zaman juga

terbentuk oleh gaya dan sikap pemimpin sebelumnya.

Presiden Soekarno (1945-1966) merupakan presiden

dengan watak yang berani. Sikap politiknya yang

revolusioner dan anti-imperialisme terbentuk dari

pengalaman hidupnya di bawah kekuasaan kolonialisme

Belanda. Kombinasi karakter pribadi dan pengalaman hidupnya

mewarnai corak kepemimpinan.

Soeharto yang menggantikan Soekarno melalui transisi

kekuasaan berdarah merupakan antitesis dari karakter dan

sikap politik Soekarno. Sebagai perwira Angkatan Darat,

Soeharto sangat alergi terhadap PKI ataupun paham

komunisme/leninisme dan menganggapnya sebagai biang kerok

instabilitas pemerintahan. Ia berhasil menancapkan bayang-

bayang ketakutan terhadap komunisme bagi rakyat Indonesia.

Soeharto juga dikenal memiliki manajemen pemerintahan yang

tertata rapi.

Wakil Presiden BJ Habibie yang kemudian menggantikan

Soeharto sebagai presiden memiliki gaya dan sikap yang

berkebalikan dengan Soeharto. Sikap terbuka dan demokratis

diperlihatkan dalam pemilu multipartai pasca-Orde Baru.

Sebanyak 48 parpol mengambil bagian pada Pemilu 1999.

Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur terpilih

sebagai presiden periode berikutnya meskipun pemilu

dimenangi oleh partainya Megawati Soekarnoputri. Situasi

pasca-Orde Baru yang memunculkan banyak kelompok

kepentingan baru tampaknya memang membutuhkan seorang

solidarity maker (pemersatu) yang kebetulan ada pada diri Gus

Dur. Ia kerap dipandang sebagai presiden yang menjunjung

tinggi multikulturalisme, di samping sikapnya yang “ceplas-

ceplos”.

Megawati dipilih menggantikan Gus Dur setelah presiden

keempat ini gagal membekukan DPR/MPR melalui dekrit yang

dikeluarkannya. Berbeda dengan Gus Dur, kepemimpinan

Megawati lebih kalem sehingga pemerintahannya terkesan

berjalan lamban. Karakter Megawati sangat mendominasi

pemerintahan yang dipimpinnya.

Jaga Citra. Susilo Bambang Yudhoyono merupakan

presiden yang terpilih secara demokratis karena berhasil

memenangi pemilihan presiden secara langsung pada 2004 dan

2009. Meski pada pemilu terakhir menang dalam satu putaran

dengan meraih suara di atas 60 persen, Yudhoyono kerap

dipandang tidak tegas dan kurang berani melakukan

perubahan-perubahan. Ia juga terkenal lebih menjaga

popularitas dan citranya di mata publik daripada memancing

pertentangan atau kontroversi. (KOMPAS, 8 Agustus 2011).

Orientasi Kepemimpinan. Oleh YOHAN WAHYU. Kendurnya

kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan negara tidak

lepas dari melemahnya kepemimpinan di negeri ini. Tiadanya

sosok yang mampu menjadi simpul pengikat kekuatan

masyarakat menghadapkan bangsa ini pada krisis orientasi.

(KOMPAS, 8 Agustus 2011).

Etika Pemimpin dan Reputasi Bangsa. Oleh SYAFIQ BASRI

ASSEGAFF. Etika, “trust”, dan reputasi. Etika, kepercayaan

dan reputasi (nama baik) adalah tiga sekawan yang tidak

terpisahkan.

Masalahnya, penerapan etika memang memerlukan

keberanian moral dan hasilnya baru bisa dipetik dalam

jangka panjang. Namun tidak perlu khawatir: riset

membuktikan bahwa kemampuan menerapkan etika biasanya

sejalan dengan naiknya “pangkat” seseorang dalam kariernya.

Oleh sebab itu, kita berharap para pemimpin bisa menjadi

teladan dalam menjunjung etika agar mereka mendapatkan

kepercayaan demi reputasi dan kemajuan bangsa. SYAFIQ BASRI

ASSEGAFF - Dokter; Dosen Ilmu Komunikasi dan Peneliti di Pusat Studi Islam

dan Kenegaraan Universitas Paramadina. (KOMPAS, 22 Agustus 2011).

Pemimpin agar Beri Teladan. JAKARTA, KOMPAS – Pemimpin

harus bisa memberi teladan yang baik bagi rakyatnya. Rakyat

seyogianya juga mendoakan agar pemimpin mereka diberi

bimbingan Allah serta diberi kemampuan untuk menjalankan

amanah dengan baik. Masyarakat harus bersikap tulus kepada

pemimpin dan sebaliknya pemimpin harus tulus kepada rakyat.

(KOMPAS, 1 September 2011).

Pemimpin yang Efektif. Pemilihan umum bisa dikatakan

sebagai pengadilan. Pemilu adalah pengadilan politik bagi

pemimpin: apakah pantas dipertahankan atau tidak.

Apa yang terjadi di Argentina kiranya menegaskan hal

itu atau paling tidak menjadi sebuah contoh bagaimana

pemilu, “pengadilan politik” itu dilaksanakan secara jelas

dan terbuka. Lewat pemilu itu, rakyat Argentina memilih

kembali Cristina Fernandez de Kirchner sebagai presiden. Ia

bahkan dapat dikatakan memenangi pemilu secara mudah.

Padahal hasil pemilu sela pada tahun 2009 menggambarkan

bahwa ia sangat tidak populer. Hal itu tercermin dari

hilangnya kekuasaan mayoritas partainya, Partai Peronis, di

Kongres dan Senat.

Vonis rakyat untuk memilih dia kembali adalah bentuk

dari kepuasan mereka terhadap kinerja Cristina Fernandez.

Ada bukti kerja nyata dari Cristina Fernandez yang bisa

dirasakan rakyatnya. Bukankah pemimpin yang efektif bukan

soal pintar berpidato dan mencitrakan diri agar disukai,

melainkan kepemimpinan tergambar dari hasil kerjanya, bukan

atribut-atributnya. Begitu kata Peter F. Drucker. (KOMPAS,

26 Oktober 2011).

Pemimpin Bukan Bicara, tetapi Berbuat. Pemimpin

melakukan hal-hal yang baik bukan untuk mendapatkan pujian

atau mempertahankan citra dirinya. Jika pada akhirnya orang

lain mengakuinya, hal itu adalah buah dari “pohon” hal baik

yang sudah ditanamnya selama ini. Yang dibutuhkan negeri

ini adalah pemimpin politik atau pemimpin bangsa,

organisasi yang digunakan untuk menakar kepemimpinan

seseorang adalah partai politik. (KOMPAS, 27 Oktober 2011).

Krisis akibat Kepemimpinan Lemah. JAKARTA, KOMPAS –

Lemahnya kepemimpinan di Indonesia saat ini menjadi

penyebab berbagai krisis kebangsaan dan merosotnya

solidaritas. Kepemimpinan demokratis yang memiliki

kredibilitas publik, visioner, dan cepat merespons berbagai

masalah kini dibutuhkan. Selain itu, pemimpin berkarakter

juga dibutuhkan untuk menyembuhkan krisis itu. (KOMPAS, 29

Oktober 2011).

Pemimpin Minim Ambisi. Oleh RADHAR PANCA DAHANA.

Sesungguhya, dunia sekarang lebih dipenuhi oleh pemimpin

semacam ini: pragmatis, bukan idealis, dan lebih fokus pada

bagaimana negara dan bangsanya dapat bertahan dalam tekanan

dunia yang kian berat

Pemimpin idealis memiliki mimpi yang tentu tidak

dimiliki pemimpin negara maju, yang sudah direpotkan oleh

krisis sumber daya natural. Pemimpin di negeri ini tidak

bisa hanya berkemampuan bertahan ketika dunia diancam

krisis luar biasa dalam jangka dekat.

Mungkin, pemimpin seperti itu tidak harus meniru

Soekarno. Akan tetapi, ia harus memiliki mimpi yang

sebenarnya dimiliki seluruh rakyatnya. Masih bisakah

pemimpin kita bermimpi? RADHAR PANCA DAHANA – Budayawan.

(KOMPAS, 4 November 2011).

Pemimpin Harus Berperan Hadapi Krisis. “Bangsa Indonesia

Mengalami Krisis Nilai-nilai Kebangsaan”. JAKARTA, KOMPAS –

Pemimpin harus berperan dan tampil dalam menghadapi titik-

titik kritis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam

hal ini, pemimpin harus memperhatikan penderitaan dan

kepentingan masyarakat daripada memperhatikan kepentingan

diri sendiri, kelompok, dan golongan. Hal itu mengemuka

dalam diskusi film Soegija yang mengangkat nilai-nilai

kebangsaan dan kemanusiaan melalui peran tokoh pahlawan

nasional Mgr Soegijapranata, di Jakarta, Minggu (15/4).

(KOMPAS, 16 April 2012).

Pemimpin Biasa, Persoalan Luar Biasa. Oleh ANDI RAHMAN

ALAMSYAH. Kita menghadapi aneka persoalan luar biasa:

korupsi, narkoba, fundamentalisme agama, kemiskinan,

ancaman krisis energi, ledakan penduduk, kerusakan

lingkungan, infrastruktur buruk, dan kriminalitas

merajalela.

Pemimpin biasa membiarkan persoalan mengambang tanpa

keputusan. Padahal, keputusan diperlukan demi kepastian

sekalipun hal itu mungkin salah atau mendapat penentangan.

Jika pemimpin luar biasa berani menanggung risiko,

pemimpin biasa cenderung menghindari risiko. Ia lebih

memilih jalan aman yang menyenangkan semua orang. Ia

terlalu takut kehilangan banyak hal: jabatan, kekayaan,

gengsi, citra. (KOMPAS, 7 Mei 2012).

Kepemimpinan Muda. Oleh SAYIDIMAN SURYOHADIPROJO.

Angkatan muda yang berniat menjadi pemimpin politik di

Indonesia harus mulai dengan meninggalkan beberapa sifat

negatif yang melekat pada masyarakat kita. Pertama,

menunjukkan karakter yang konsisten, antara lain tidak

hanya pandai mewacanakan sesuatu, tetapi juga

menjalankannya dengan penuh tekad dan keberanian.

Kedua, harus menimbulkan kepercayaan bahwa ia pembela

Pancasila yang selalu memperhatikan semboyan Bhinneka

Tunggal Ika; tidak sudi dibawa satu golongan dan memojokkan

golongan lain sekalipun minoritas.

Ketiga, membina keluarganya menjadi keluarga bahagia,

yang anggotanya selalu mengejar yang terbaik sesuai dengan

aspirasinya. SAYIDIMAN SURYOHADIPROJO – Mantan Gubernur

Lemhanas. (KOMPAS, 9 Juni 2012).

Bermimpi Indonesia yang Jujur. Oleh RUMONGSO. Mimpi

tentang Indonesia yang baru dimulai dari lembar jawaban

ujian nasional dari tingkat SD hingga SMA sederajat tahun

2012. Dalam lembar jawaban tersebut, anak-anak diminta

menyalin dengan tulisan tangan sebuah kalimat yang

berbunyi, “Saya mengerjakan ujian nasional dengan jujur.”

Tentu dengan maksud agar kalimat tersebut terpatri

dalam hati sanubari siswa-siswi yang sedang mengerjakan

soal ujian nasional. Dengan demikian, mereka akan

mengerjakan soal dengan jujur, tidak menyontek, apalagi

dengan menggunakan joki.

Pejabat berjanji. Pikiran jahil dan konyol pun muncul.

Apakah yang akan terjadi di Indonesia jika para pejabat

melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh

anak-anak sewaktu mengerjakan ujian nasional itu. Para

pejabat di republik ini wajib menulis dengan tangan

kalimat, “Saya akan bekerja untuk rakyat dengan jujur” di

setiap surat yang mereka tanda tangani atau di bawah logo

jabatan kop surat.

Saya membayangkan di bawah logo surat kepresidenan

yang bergambar bintang dengan tulisan Presiden Republik

Indonesia, seorang presiden menulis tangan, “Saya akan

bekerja untuk rakyat dengan jujur.”

Atau dalam kop surat milik menteri, gubernur,

bupati/walikota yang bergambar burung garuda. Di bawahnya

mereka menulis tangan, “Saya akan bekerja untuk rakyat

dengan jujur.”

Demikian pula para anggota DPR wajib menulis dengan

tangan kalimat tersebut di bawah logo surat mereka.

Apakah mimpi tentang Indonesia yang lebih baik akan

menjadi kenyataan? Jika hal tersebut menjadi sebuah gerakan

nasional yang nyata – antara yang mereka tulis dan yang

mereka lakukan – Indonesia yang baik bukan sebuah mimpi.

(KOMPAS, 16 Juni 2012).

Defisit Kepemimpinan Responsif. Oleh NOVRI SUSAN.

Indikator demokrasi formal, seperti pemilu secara langsung,

prinsip multipartai, dan kebebasan sosial politik dalam

masyarakat, sering dijadikan klaim bahwa Indonesia adalah

negara demokrasi. Namun, dari indikator-indikator tersebut

ada unsur fundamental yang belum terpenuhi., yaitu hadirnya

kepemimpinan responsif (responsive leadership).

Sebaliknya, kepemimpinan dalam struktur kekuasaan

negara, mulai dari pusat sampai daerah, masih saja

berkarakter pragmatis, transaksional, berpihak pada kuasa

modal, dan abai pada keluhan rakyat kecil. (KOMPAS, 27 Juni

2012).

Kepemimpinan Orang-orang Kalah. Oleh RHENALD KASALI.

Joko Widodo yang maju dalam pencalonan gubernur DKI Jakarta

mengatakan dirinya tak punya uang. Maka, ia pun menjadi

bingung saat dituding telah menjalankan politik uang.

Belajar akui Kesalahan. Lima belas tahun yang lalu

saat masih bersekolah di Amerika Serikat, anak saya pulang

ke rumah dengan muka terluka. Begitu bertemu ibunya, ia

menangis sambil memeluk. “It’s OK mommy, it was my mistake. I was

wrong.” Saat kembali ke Indonesia ia suka protes, “Mengapa

teman-teman aku suka tak mengakui kesalahan? Mereka pun

selalu mengulanginya.”

Dari berbagai literatur diketahui bahwa di negara-

negara demokratis, selain komunikasi yang asertif, pada

anak-anak selalu ditanamkan sikap-sikap pemenang. Seorang

pemenang bukan otomatis memenangi persaingan, melainkan

yang menjaga kehormatannya. (KOMPAS, 6 Agustus 2012).

Mencari Pemimpin. Oleh JAKOB SUMARDJO. Ada peribahasa

dari China komunis: tidak peduli kucing itu hitam atau

putih, yang penting dapat menerkam tikus.

Makna di balik kisah kucing yang pandai menerkam

tikus-tikus itu masih dapat digali. Setiap kucing yang

cerdas tak asal tabrak-tubruk dengan cakar tajamnya. Kucing

tidak seperti manusia. Kucing justru berpegang teguh pada

hukum manusia yang dahulu disebut desakala, waktu dan

tempat, dan di Bali dikenal dengan desa-kala-patra. Bahwa

segala sesuatu akan terselesaikan dengan sempurna bila

manusia mengingat hukum kesatua: di mana, kapan, dan

bagaimana.

Itu sebabnya, pemimpin yang dicari sekarang ini adalah

semacam Satrio Piningit, pemimpin yang masih tersimpan

entah di mana. Pemimpin semacam ini adalah manusia sempurna

yang mampu mengubah kesengsaraan hidup kita sekarang jadi

adil dan makmur. (KOMPAS, 17 Agustus 2012).

Mencari Pemimpin yang Berkarakter Negarawan. Menjadi

negarawan dan pemimpin bangsa Indonesia sebagai bangsa yang

besar memang tidak mudah. Seorang pemimpin dan negarawan

harus memiliki kemampuan mempersatukan bangsa Indonesia

yang majemuk menjadi bangsa yang besar, damai, maju,

modern, sejahtera, dan dapat dibanggakan. (KOMPAS, 28

Agustus 2012).

Pemimpin dan Artis. Prinsip pemimpin kreatif. Seorang

pemimpin yang sukses pasti tahu cara memindahkan passion-nya

terhadap karya, serta konsep dan visinya ke dalam manajemen

dan keteraturan administratifnya. Keseimbangan antara masa

depan, dan masa sekarang, kerja kreatif dan administratif,

sudah dikuasainya betul, bahkan tidak berbatas. Respons

pemimpin yang kreatif lebih lincah dan bersifat real time,

fleksibel terhadap perubahan-perubahan last minute. (KOMPAS,

1 September 2012).

Mencari “Sukrasana”. Oleh INDRA TRANGGONO. Kriteria

orang baik itu mungkin bisa kita temukan dalam sosok

Sukrasana, tokoh dalam pewayangan yang buruk secara fisik

tapi sakti dan berwatak mulia. Ahli filsafat dari UGM,

Darmajati Supadjar, memaknai Sukrasana sebagai “suka

sarana” atau memberikan jalan penyelesaian atas masalah.

Makna itu merupakan analogi dari watak solider Sukrasana.

Ia selalu siap berkorban untuk kepentingan orang lain, atas

dasar cinta dan pengharapan mewujudkan dunia yang ideal.

Langkah terbesar dan strategis seluruh elemen bangsa

ini adalah menghadirkan manusia-manusia “Sukrasana” dalam

kontestasi politik pada Pemilu 2014. Partai-partai politik,

lembaga-lembaga sosial, budaya, agama, pendidikan, pers,

dan seluruh pemangku kepentingan lain bangsa ini bisa

membangun sinergisitas untuk memunculkan manusia-manusia

berkaliber “Sukrasana” menjadi pilihan rakyat. (KOMPAS, 7

Oktober 2012).

Kita Butuh Pemimpin yang Kuat. Kekayaan yang paling

nyata dari Indonesia adalah keberagaman. Tak hanya suku

bangsa, keberagaman pun hampir meliputi segala segi di

negeri ini. Sesungguhnya, keberagaman dapat menjadi modal

bagi kebesaran bangsa, asalkan ada kepemimpinan yang kuat,

jujur, demokratis, dan akuntabel. Oleh M. BURHANUDIN.

(KOMPAS, 27 Oktober 2012).

Pemimpin Muda dengan Idealisme Muda. Tan Malaka

menyatakan, “Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya

dimiliki pemuda.” Dengan itu, ia menekankan nilai penting

pemuda sebagai benteng terakhir pertahanan bangsa dan

kekuatan inti pemuda itu adalah idealisme.

Pendefinisi utama pemuda bukanlah usia, melainkan

idealisme “muda”, situasi kejiwaan yang bisa membebaskan

diri dari kejumuhan dan kerusakan mentalitas tua. Meski

begitu, mereka yang “berusia muda” mestinya lebih berani

mengemban visi perubahan karena tidak terlalu digelayuti

beban masa lalu. YUDI LATIF – Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan.

(KOMPAS, 30 Oktober 2012).

Bertanya-tanya tentang Pemimpin. Oleh DAVIS KRISNA

ALKA. Kita tak perlu tepuk dan sorak kalau kita tak sanggup

berjuang,” kata Bung Hatta. Ya, kita tak ingin pemimpin

yang tak sanggup berjuang, yang melulu berpijak pada teriak

dan slogan, bukan pada kenyataan!

Kepemimpinan politik yang diperlukan adalah pemimpin

bangsa yang berkepribadian, berkarakter, bervisi,

berkomitmen, dan menjadi suri teladan bagi bawahan dan

rakyatnya. Untuk menghadapi perubahan zaman seperti

sekarang, kita perlu pemimpin politik yang mampu

menyelenggarakan kekuasaan secara beradab, menyelengarakan

pemerintahan yang bersih, yang tidak menyalahgunakan

kekuasaan, wewenang, kesempatan, dan koneksi. Artinya,

tugas pemimpin pertama-tama ialah mendidik rakyat, bukan

memperalat rakyat. Memimpin berarti menyelami perasaan dan

pikiran rakyat serta memberikan inspirasi agar rakyat bisa

keluar dari kesulitan yang membebaninya. (KOMPAS, 31

Oktober 2012).

Presiden 2014: Muda Nonmiliter. Oleh AM HENDROPRIYONO.

Sipil berjiwa militer. Mengapa harus muda? Secara mental

kaum muda punya semangat lebih menggelora. Secara fisik

lebih kuat dan secara psikis lebih tahan, terutama dalam

daya tahan kerja intelektual mereka.

Para pemuda dari kalangan sipil kini harus didorong

agar berani dan mampu tampil di depan untuk membangun

negara Pancasila dalam bingkai demokrasi yang beretika.

Fenomena Jokowi dalam memenangi kursi gubernur DKI Jakarta

2012-2017 pelajaran yang berharga bagi kita. Bahwa

Indonesia menginginkan orang muda sipil berwajah baru, yang

berwibawa, yaitu tegas, berdisiplin, dan merakyat, sebagai

presiden RI yang akan datang. (KOMPAS, 5 November 2012).

Pemimpin Itu Matahari, Bulan, Air, Api… “Jika engkau

menjadi pemimpin, laksanakan delapan ajaran Hastabrata…,”

kata Panembahan Kasawasidi kepada Arjuna. Dalam Hastabrata,

kata sang Panembahan, pemimpin harus bertindak seperti

matahari, bulan, bintang, awan, bumi, samudra, api, dan

angin. Kasawasidi adalah Kresna yang menyamar sebagai tokoh

spiritual di gunung Kutharunggu. Hasta berarti delapan, dan

brata adalah tindakan atau budi luhur. Hasta brata adalah

delapan ajaran keutamaan yang harus dilaksanakan pemimpin

yang baik.

Matahari, memberi terang ke seluruh dunia serta

menjadi penghidupan bagi semua makhluk. “Demikian juga

seorang pemimpin, harus menjadi sumber penerangan serta

penghidupan bagi seluruh rakyat…,” kata Purbo Asmoro,

seperti termuat dalam buku Mahkota Rama-Makutharama, yang

akan diterbitkan Yayasan Lontar.

Pemimpin itu idealnya berlaku seperti bulan yang

menenteramkan hati dan memberikan pencerahan kepada

rakyatnya yang sedang dirundung kesedihan, seperti bintang

yang selain memperindah angkasa, juga menjadi arah mata

angin (ia adalah keteladanan dan sumber tata susila).

Pemimpin itu seperti awan yang menyejukkan hati

rakyat, seperti bumi yang kuat dan suci. “Tidak tergoyahkan

oleh bujuk rayu serta tidak terpengaruh hasutan,” kata

Purbo Asmoro.

Pemimpin itu seperti samudra: ia lapang dada. “Tidak

mudah sakit hati karena kritikan, tetapi juga tidak lengah

oleh pujian.” Seperti api yang membakar tanpa pandang bulu,

tetapi bermanfaat bagi kehidupan. “Pemimpin harus berani

menjatuhkan pidana kepada para pejabat yang bersalah tanpa

pandang bulu…,” kata Purbo Asmoro.

Juga seperti angin yang bertiup merata di segala

tempat. Pemimpin demikian pula harus mengetahui kehidupan

seluruh rakyatnya. (KOMPAS, 11 November 2012).

Pemimpin Tanpa Keteladanan. Oleh SAIFUR ROHMAN. Menuju

etika baru. Etika kepemimpinan, sebagaimana diungkapkan

Friedrich Wilhelm Nietzsche, perlu mengarah pada penciptaan

nilai baru yang berlandaskan pada keberanian. Nilai itu

direpresentasikan melalui sosok ubermensch (adimanusia

pencipta nilai). Pendeknya, sosok tersebut memiliki sikap

mental Dyonisian yang berani menghancurkan tatanan lama dan

membangunnya kembali berdasarkan nilai-nilai baru yang

visioner. Nilai-nilai tersebut tidak hanya berlaku bagi

pengikutnya, tetapi juga untuk dirinya sendiri.

Bila direfleksikan pada praktik kepemimpinan di

Nusantara, metamorfosis nilai itu dapat diketahui jejaknya.

Di dalam Nagarakrtama karangan Mpu Prapanca pada masa

Majapahit (ditulis pada 1365 Masehi), seorang pemimpin

haruslah memiliki atribut pangaranarya. Istilah itu mengacu

pada pengertian tentang pentingnya pembangunan sikap yang

mampu memimpin dirinya sebelum memimpin para pengikutnya.

(KOMPAS, 11 Desember 2012).

Menggagas Kepemimpinan Kolektif Kolegial. Oleh PRABOWO

SUBIANTO. Demi dan untuk Indonesia. Sebagaimana pemaparan

saya di forum Soegeng Sarjadi Syndicate, konsep

kepemimpinan yang terbaik bagi bangsa Indonesia adalah

kepemimpinan kolektif yang kolegial. Suatu konsep

kepemimpinan yang mengutamakan kepentingan nasional.

Di sini saya menyebut contoh Presiden Amerika Serikat,

Abraham Lincoln. Begitu memenangi pemilihan presiden,

Lincoln justru mengajak William H Seward, rival politiknya

yang paling keras – yang sudah berhadapan dengannya selama

bertahun-tahun untuk bergabung sebagai secretary of state di

dalam kabinet Lincoln dan memimpin Amerika Serikat.

Sewaktu Lincoln bertanya kepada Seward apakah ia mau

bergabung, Seward malah balik bertanya dengan kaget:

“Kenapa Anda memilih saya? Anda tahu saya tidak suka kepada

Anda?”

Dijawab oleh Lincoln: “Memang saya tahu Anda tidak

suka saya, dan benar saya juga tidak suka Anda. Akan

tetapi, saya tahu Anda cinta Amerika Serikat. Kalau

demikian, kenapa kita tidak bersama-sama bekerja untuk

Amerika Serikat”.

Kurang lebih seperti itu dialog di antara mereka yang

saya baca di dalam buku A Team of Rivals oleh ahli sejarah

Doris Kearns Goodwin. Inilah yang saya singgung.

Kepemimpinan semacam ini pun diperlihatkan oleh tokoh-tokoh

pemimpin Jepang semasa Oda Nobunaga dan Tokuga Ieyasu. Pada

masa Toyotomi Hideyoshi juga demikian. Semua rival dan

musuh mereka selalu diajak berunding dan bersatu untuk

membangun Jepang.

Jadi, alternatif kepemimpinan yang saya tawarkan

adalah kepemimpinan kolektif lintas partai, lintas suku,

lintas agama. (KOMPAS, 31 Desember 2012).

Kepemimpinan Trisakti. Oleh AIRLANGGA PRIBADI KUSMAN.

Persoalan kepemimpinan Indonesia menjadi tantangan ke depan

sekaligus krisis dalam kehidupan kita berbangsa. Krisis

kepemimpinan Indonesia ini tampil dalam beberapa indikator

utama, yang memperlihatkan runtuhnya prinsip-prinsip dalam

Trisakti yang pernah dicanangkan oleh Soekarno pada 1963

sebagai parameter kemajuan bangsa. Tiga prinsip itu adalah,

berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan

berkepribadian dalam ranah sosial-kebudayaan. Meskipun

Trisakti ini diucapkan hampir 50 tahun yang lalu, tetapi

prinsip-prinsipnya masih relevan dalam konteks

demokratisasi di Indonesia.

Hanya dengan jalan mendengarkan suara-suara

kebhinekaan Indonesia, yang dilakukan mendahului seleksi

formal pemilu, maka kita dapat memperjuangkan kembali

prinsip-prinsip Trisakti. Suatu prinsip yang terbukti tidak

mampu dijawab generasi lama yang tengah memimpin republik

kita saat ini. (KOMPAS, 2 Januari 2013).

Indonesia Butuhkan Pemimpin yang kuat. Indonesia masa

depan memerlukan pemimpin dan kepemimpinan yang kuat untuk

menyelesaikan permasalahan bangsa yang multikompleks ini.

Pemimpin yang kuat adalah pemimpin yang paling rendah

resistensinya dalam masyarakat. “Pemimpin yang kuat berarti

juga memiliki konsistensi, satunya kata dengan perbuatan,

tegas, dan tidak ambivalen,” kata Sultan Hamengku Bowono X

mengutip Ikatan Alumni Lemhanas, Senin (13/5), di Jakarta.

(KOMPAS, 14 Mei 2013)

Dicari Pemimpin Mau Urus Rakyat. Parpol Mesti Buka

Peluang. Rakyat mendambakan kehadiran sosok pemimpin yang

bersih, tegas, dan berintegritas. Selain itu, sosok

tersebut diharapkan juga pluralis, berani mengambil resiko,

serta dekat dan mau menggerakkan rakyat.

Oleh karena itu, calon presiden periode 2014 – 2019

harus fokus pada tugasnya untuk benar – benar mengurusi

Negara dan rakyat, bukan disibukkan dengan urusan partai,

keluarga, atau golongan.(KOMPAS, 31 Mei 2013)

Mencari Pemimpin Berintegritas Publik. Ada dialektika

antara pemimpin dan rakyat. Seorang pemimpin adalah buah

dari masyarakatnya. Jika kritis dan berdaya secara politik,

masyarakat akan menghasilkan pemimpin yang bermutu dan

sebaliknya. Pemimpin yang memiliki integritas publik

dibutuhkan untuk membangun sistem yang baik. Di sisi lain,

intuisi yang adil juga harus dibangun agar bisa memunculkan

pemimpin yang memiliki integritas publik. (KOMPAS, 4 Juni

2013)

KESIMPULAN

Republik ini perlu pemimpin yang mendorong yang macet,

membongkar yang buntu, dan memangkas berbenalu. Pemimpin

yang tanggap memutuskan, cepat bertindak, dan tidak toleran

pada keterlambatan.

Kendurnya kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan

negara tidak lepas dari melemahnya kepemimpinan di negeri

ini. Tiadanya sosok yang mampu menjadi simpul pengikat

kekuatan masyarakat menghadapkan bangsa ini pada krisis

orientasi.

Pemimpin Bukan Bicara, tetapi Berbuat. Pemimpin

melakukan hal-hal yang baik bukan untuk mendapatkan pujian

atau mempertahankan citra dirinya. Jika pada akhirnya orang

lain mengakuinya, hal itu adalah buah dari “pohon” hal baik

yang sudah ditanamnya selama ini.

Lemahnya kepemimpinan di Indonesia saat ini menjadi

penyebab berbagai krisis kebangsaan dan merosotnya

solidaritas. Kepemimpinan demokratis yang memiliki

kredibilitas publik, visioner, dan cepat merespons berbagai

masalah kini dibutuhkan. Selain itu, pemimpin berkarakter

juga dibutuhkan untuk menyembuhkan krisis itu.

Pemimpin idealis memiliki mimpi yang tentu tidak

dimiliki pemimpin negara maju, yang sudah direpotkan oleh

krisis sumber daya natural. Pemimpin di negeri ini tidak

bisa hanya berkemampuan bertahan ketika dunia diancam

krisis luar biasa dalam jangka dekat.

Seorang presiden untuk bangsa Indonesia yang begitu

besar jumlah penduduk dan aneka ragam sifatnya, hidup di

negara yang begitu luas wilayahnya ini jelas sekali harus

mempunyai kemampuan kepemimpinan yang mumpuni.

Pemimpin yang dicari sekarang ini adalah semacam

Satrio Piningit, pemimpin yang masih tersimpan entah di

mana. Pemimpin semacam ini adalah manusia sempurna yang

mampu mengubah kesengsaraan hidup kita sekarang jadi adil

dan makmur.

Kini kita hanya butuh pemimpin yang memiliki kapasitas

orang baik yang mrantasi (memberi solusi).

Tugas pemimpin pertama-tama ialah mendidik rakyat,

bukan memperalat rakyat. Memimpin berarti menyelami

perasaan dan pikiran rakyat serta memberikan inspirasi agar

rakyat bisa keluar dari kesulitan yang membebaninya.

Indonesia menginginkan orang muda sipil berwajah baru,

yang berwibawa, yaitu tegas, berdisiplin, dan merakyat,

sebagai presiden RI yang akan datang.

Hanya dengan jalan mendengarkan suara-suara

kebhinekaan Indonesia, yang dilakukan mendahului seleksi

formal pemilu, maka kita dapat memperjuangkan kembali

prinsip-prinsip Trisakti. Suatu prinsip yang terbukti tidak

mampu dijawab generasi lama yang tengah memimpin republik

kita saat ini.

Pemimpin yang benar – benar mau mengurus rakyat sangat

diperlukan, mengingat Indonesia memiliki seabrek masalah

dan tantangan.

Pemimpin yang memiliki integritas publik dibutuhkan

untuk membangun sistem yang baik. Di sisi lain, intuisi

yang adil juga harus dibangun agar bisa memunculkan

pemimpin yang memiliki integritas publik.

Pendapat / opini pribadi pemimpin yang baik adalah

pemimpin yang “memimpin dengan hati”; cara memimpin

masyarakat menggunakan hati, etika, moral dan tidak

menyalahgunakan kekuasaan.

SARAN

Satu hal yang menjadi kunci bagi kebersihan

kepemimpinan republik di era demokrasi: seorang pemimpin

harus mampu mengaktualisasikan kapasitas kepuasannya secara

cerdas. Pemimpin harus mampu mengombinasikan antara soft

power melalui persuasi, dorongan, dan motivasi dengan hard

power, yaitu sanksi, ketegasan, dan ancaman.

Pemimpin harus bisa memberi teladan yang baik bagi

rakyatnya. Rakyat seyogianya juga mendoakan agar pemimpin

mereka diberi bimbingan Allah serta diberi kemampuan untuk

menjalankan amanah dengan baik. Masyarakat harus bersikap

tulus kepada pemimpin dan sebaliknya pemimpin harus tulus

kepada rakyat.

Pemimpin harus berperan dan tampil dalam menghadapi

titik-titik kritis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam hal ini, pemimpin harus memperhatikan penderitaan dan

kepentingan masyarakat daripada memperhatikan kepentingan

diri sendiri, kelompok, dan golongan.

Seorang pemimpin dan negarawan harus memiliki

kemampuan mempersatukan bangsa Indonesia yang majemuk

menjadi bangsa yang besar, damai, maju, modern, sejahtera,

dan dapat dibanggakan.

DAFTAR PUSTAKA

Daryanto, Abdullah,. 2013. Pengantar Ilmu Manajemen dan Komunikasi. Jakarta: Prestasi Pustakahttp://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=728&Itemid= 135 diakses pada 13 Agustus 2013, 13.20 WIBhttp://yanjepesangedukasi.blogspot.com/2012/08/manajemen-kepemimpinan.html

diakses pada 18 Agustus 2013, 16.00 WIB

Irawati et all, 2010, Pengaruh Gaya Kepemimpinan Terhadap Kepuasan Kerja, Produktivitas Kerja, dan Kinerja Organisasi dalam Jurnal Studi Manajemen Vol 4 No. 1 April 2010. Bangkalan, Madura:Fakultas Ekonomi Universitas Trunojoyo(KOMPAS, 25 Juli 2011).(KOMPAS, 3 Agustus 2011).(KOMPAS, 8 Agustus 2011).(KOMPAS, 22 Agustus 2011).(KOMPAS, 1 September 2011).(KOMPAS, 26 Oktober 2011).(KOMPAS, 27 Oktober 2011).(KOMPAS, 29 Oktober 2011).(KOMPAS, 16 April 2012).(KOMPAS, 7 Mei 2012).(KOMPAS, 9 Juni 2012).(KOMPAS, 16 Juni 2012).(KOMPAS, 27 Juni 2012).(KOMPAS, 6 Agustus 2012).(KOMPAS, 17 Agustus 2012).(KOMPAS, 28 Agustus 2012).(KOMPAS, 1 September 2012).(KOMPAS, 7 Oktober 2012).(KOMPAS, 27 Oktober 2012).(KOMPAS, 30 Oktober 2012).(KOMPAS, 31 Oktober 2012).(KOMPAS, 5 November 2012).(KOMPAS, 11 November 2012).(KOMPAS, 11 Desember 2012).(KOMPAS, 31 Desember 2012).(KOMPAS, 2 Januari 2013).

(KOMPAS, 14 Mei 2013)(KOMPAS, 31 Mei 2013)(KOMPAS, 4 Juni 2013)Luthans Fred ; 1999, Corporate Culture and Performance, The Free Press, New York Machinrsky, Paul, M 1997, Psychology Applied to Work, First Edition, The Doncy Press, Chicago.