mengapa sains layak dipercaya? - PhilPapers

120
ESAI-ESAI TENTANG FILSAFAT DAN SAINS TAUFIQURRAHMAN mengapa sains layak dipercaya?

Transcript of mengapa sains layak dipercaya? - PhilPapers

ESAI-ESAI TENTANG FILSAFAT DAN SAINS

TAUFIQURR AHMAN

mengapasains layakdipercaya?

ESAI-ESAI TENTANG FILSAFAT DAN SAINS

mengapasains layakdipercaya?

mengapasains layakdipercaya?ESAI-ESAI TENTANGFILSAFAT DAN SAINS

Taufiqurrahman

Mengapa Sains Layak Dipercaya?Esai-esai tentang Filsafat dan SainsTaufiqurrahman ©2021

Diterbitkan pertamakali oleh

Antinomi Institute 2021

Terbitan Pertama: September 2021 (e-book)

Editor: Khoiril Maqin

Layout: Rée

Cover: Rée

Penerbit Antinomi

Jl. Kaliurang Km 5.2, No.12 Manggung,

Caturtunggal, Depok, Sleman,

Daerah Istimewa Yogyakarta 55281

Email: [email protected]

https://antinomi.org

ISBN 978-623-96375-6-9 (PDF)

vi + 108 pages (12,5 x 19 cm)

Buku ini dapat diunduh gratis secara mandiri melaluiantinomi.org/publikasi, dan kalian dapat menyebarluaskannya untukkepentingan diseminasi pemikiran. Dilarang keras menggunakannya

untuk keperluan komersial.

PENGANTAR

S E P U L U H esai dalam buku ini lahir dengan cara yang ber-agam. Esai 1 dan 2 adalah esai media massa, sehingga ben-tuknya pun seperti esai populer pada umumnya. Keduanyaterbit pertama kali di detik.com. Esai 3, 4, 6, dan 7 lahir daripolemik-semi-tawuran di media sosial.

Sekitar setahun lalu, ada perdebatan hangat dan panjangdi Facebook tentang sains—yang belakangan diseret-seret un-tuk dipertentangkan dengan filsafat dan agama. Perdebatanitu melibatkan banyak tokoh seperti Goenawan Mohamad,A.S. Laksana, Ulil Abshar-Abdalla, Hamid Basyaib, FitzeraldKennedy Sitorus, dan Fransisco Budi Hardiman. Saya turutserta meramaikan perdebatan itu, sekadar untuk mengisi wak-tu luang di masa pandemi, dengan menulis empat esai.

Esai 3 dan 4 memuat kritik saya terhadap Goenawan Mo-hamad (atau siapa saja) yang menaruh kecurigaan berlebihanterhadap sains dan ingin memberi banyak ruang pada miste-ri. Esai 6 dan 7 memuat pandangan saya tentang hubungan

M E N G A P A S A I N S L A Y A K D I P E R C A Y A ?

filsafat dan sains (yang dalam polemik tersebut sering diper-tentangkan) dan juga posisi filosofis saya dalam memandangsains. Kecuali beberapa detail kecil, pandangan-pandangandalam empat esai tersebut masih saya pegang sampai seka-rang—meski juga tidak menutup kemungkinan, karena bebe-rapa alasan yang muncul kemudian, suatu saat pandangantersebut saya tinggalkan.

Beberapa esai dalam buku ini juga lahir dari ruang ke-las selama kuliah sarjana di Fakultas Filsafat UGM. Esai 5ditulis untuk keperluan tugas matakuliah Filsafat Psikologi;sedangkan esai 8 ditulis untuk tugas matakuliah Sosiologi Il-mu. Keduanya sudah pernah diterbitkan di situs web LingkarStudi Filsafat Cogito (http://lsfcogito.org/).

Esai 9, yang juga sudah pernah terbit di situs web LSFCogito, lahir dari kegelisahan pribadi setelah membaca bebe-rapa literatur tentang fisikalisme. Esai ini, karenanya, lebihtepat disebut sebagai respons atas beberapa bacaan—yangbeberapa poinnya tak lagi merepresentasikan pandangan sa-ya sekarang. Esai 10, sebagaimana esai 9, adalah catatan ha-sil membaca artikel Rudolf Carnap yang berjudul “Empiri-cism, Semantics, and Ontology”. Esai ini belum pernah di-publikasikan di mana pun kecuali di blog pribadi saya (ht-tps://philtaufiq.wordpress.com/).

Sepuluh esai tersebut, meski lahir dari konteks yangberbeda-beda, terikat oleh satu hal yang sama: persinggunganantara filsafat dan sains. Bagi saya, dua bidang penyelidikanini, selain tidak dapat direduksi satu sama lain, juga tidakdapat dipisahkan satu sama lain. Keduanya harus saling me-lengkapi; keduanya harus saling belajar. Hanya dengan caraitu, pengetahuan kita tentang banyak hal bisa berkembang.

Terakhir, terima kasih kepada Antinomi yang telah me-

ii T A U F I Q U R R A H M A N

P E N G A N T A R

nyajikan sepuluh esai ini sebagai buku elektronik yang bisadinikmati semua orang. Terima kasih juga untuk kalian yangsudi membaca buku ini.

Yogyakarta,Taufiqurrahman

T A U F I Q U R R A H M A N iii

untukUmat manusia

Daftar Isi

PENGANTAR i

DAFTAR ISI v

1 WABAH DAN SIKAP ILMIAH 1

2 MENGAPA SAINS LAYAK DIPERCAYA? 7

3 SAINS MEMANG TIDAK SEMPURNA,

TAPI IA ADALAH JENIS PENGETAHUAN TERBAIK

YANG MUNGKIN KITA PUNYA 13

4 MENGHINDARI JEBAKAN

SKEPTISISME DAN FIDEISME 21

5 FILSAFAT DAN PROBLEM

IRASIONALITAS MANUSIA 35

6 FILSAFAT DAN SAINS:

SEBUAH KLARIFIKASI [BAGIAN I] 51

7 FILSAFAT SAINS:

SEBUAH KLARIFIKASI [BAGIAN II] 63

8 KRITIK MARXISME TERHADAP

KONSEP OBJEKTIVITAS KONVENSIONALISME 71

9 FISIKALISME DAN CELAH BAGI TUHAN 91

10 METAONTOLOGI CARNAP 103

1WABAH DAN SIKAP ILMIAH

M U S U H terbesar manusia adalah ketidaktahuannya sendi-ri. Ketidaktahuan inilah yang akan terus menggoda manusiauntuk membuat cerita-cerita fantastis tentang dirinya, sesama-nya, dan juga lingkungan sekitarnya. Kecenderungan ini adadi setiap masa, dengan konteks dan spektrum yang berbeda.

Cerita fantastis yang dibuat oleh seorang manusia ten-tang dirinya sendiri kita sebut sebagai ‘sikap delusional’ atau‘waham kebesaran’. Cerita fantastis yang dibuat oleh seorangmanusia tentang sesamanya kita sebut sebagai gosip. Ceritafantastis yang dibuat oleh seseorang atau sekelompok orangtentang lingkungan sekitarnya kita sebut sebagai mitos.

Di balik cerita-cerita megah dan fantastis itu sebenarnyaterdapat ketidaktahuan yang coba ditutupi dengan cerita kha-yal dan fantasi liar. Untuk memahami sebuah peristiwa ataugejala alam yang tidak mampu ia pahami, misalnya, manu-sia membuat penjelasan yang paling sederhana yang sesu-ai dengan keyakinan personalnya. Dari situ kemudian lahir

M E N G A P A S A I N S L A Y A K D I P E R C A Y A ?

mitos-mitos yang belakangan berguguran setelah terbantaholeh temuan-temuan ilmiah.

Dulu, misalnya, nenek moyang kita percaya bahwa ger-hana bulan itu terjadi karena bulan dimakan oleh sesosokmakhluk bernama Batara Kala. Lalu muncul keyakinan tu-runan: jika sedang terjadi gerhana, kita tidak boleh keluarrumah. Persis seperti inilah sikap dan pandangan sebagianumat beragama dalam menghadapi virus Corona.

Virus, meskipun memilik efek kausal yang jelas, merupak-an entitas biologis yang takterlihat oleh mata telanjang. Untukmelihatnya, kita memerlukan alat. Ketakterlihatan oleh matatelanjang inilah yang menyisakan lubang ketidaktahuan bagiorang awam. Maka, untuk menutupi lubang ketidaktahuanitu, mereka mencari satu penjelasan yang paling sesuai de-ngan apa yang sudah diyakininya. Orang-orang beragama,misalnya, akan memilih penjelasan yang didasarkan padaagama.

Hal tersebut sudah terbukti. Salah seorang penceramahdalam satu kesempatan bilang bahwa Corona adalah tentaraAllah. Tentu pernyataan ini tidak benar, tetapi tetap saja di-sampaikan, sebab ia sesuai dengan keyakinan personal SangPenceramah.

Sebab, jika memang benar bahwa Corona adalah tentaraAllah, maka tentu ia hanya akan menyerang musuh-musuhAllah. Namun, faktanya, wabah ini meyerang siapa saja, takpeduli apa suku dan agamanya. Apakah umat Muslim sepertidi Iran, Arab Saudi, Bahrain, Malaysia, dan juga Indonesiayang terkena Corona juga termasuk musuh Allah? Tentu akansangat menyakiti sesama Muslim jika penceramah tersebutberani menjawab ‘Iya!’.

Terlepas dari soal etis atau tidak dalam melabeli seseorang

2 T A U F I Q U R R A H M A N

W A B A H D A N S I K A P I L M I A H

sebagai musuh Allah, hal yang sangat memilukan dari per-nyataan tersebut adalah ketiadaan sikap ilmiah: sebuah sikapyang lebih menghargai upaya empiris dan rasional daripadapraduga-praduga simplistik yang serampangan dalam menje-laskan dan menyelesaikan persoalan. Karena tiadanya sikapilmiah inilah, kemudian muncul pernyataan-pernyataan lainyang lebih konyol, seperti “Corona adalah azab Allah” atau“Corona bisa ditangkal dengan doa kunut”.

Itulah sikap antisains yang bisa jadi justru lebih berbahayadaripada Corona itu sendiri. Sikap antisains lainnya yangditunjukkan oleh sebagian umat beragama belakangan iniadalah sikap tidak takut Corona. Mereka memiliki keyakinanteologis bahwa siapa pun yang akan terinfeksi virus itu sudahditentukan oleh Allah, sehingga kita tidak perlu takut padavirusnya tetapi takutlah pada Allah.

Pada tingkat keyakinan, pandangan tersebut mungkin sa-ja dibenarkan, sebab di dalam teologi sendiri memang adaberagam pandangan, yang salah satunya adalah pandanganfatalistik seperti itu. Namun, keyakinan tersebut akan men-jadi satu hal yang sangat berbahaya saat diturunkan padatingkat tindakan: orang-orang ngeyel dengan imbauan untukmenghindari keramaian dan malah berkumpul dalam jumlahribuan untuk doa bersama atau kegiatan keagamaan lainnya.Alasannya: “Virus adalah ciptaan Allah. Kami tidak takutpada virus, kami hanya takut pada penciptanya, yaitu Allah”.

Kebebalan yang dibungkus dengan narasi teologis dalammenyikapi virus Corona itu mengingatkan saya pada novelThe Plague (1948). Novel yang ditulis oleh Albert Camus inibercerita tentang Kota Oran yang diserang wabah mematik-an. Setidaknya ada dua tokoh penting dalam novel ini, yaituDokter Bernard Rieux dan Pastur Paneloux.

T A U F I Q U R R A H M A N 3

M E N G A P A S A I N S L A Y A K D I P E R C A Y A ?

Sebagai seorang dokter, Rieux tentu merespon wabahyang menyerang banyak orang dan hewan itu dengan si-kap ilmiah. Selain melakukan upaya-upaya medis, Rieux jugamendesak pemerintah untuk mengambil tindakan tegas gunamenghentikan penyebaran wabah. Paneloux, sebagai seorangpastur, malah berkhotbah dan mengajak umatnya untuk ba-nyak berdoa.

Dalam salah satu khotbahnya, Sang Pastur itu bahkanberkata:

“Saudara-saudaraku! Bencana mencengkeram kota kitakarena memang sepantasnyalah Anda sekalian menda-patkan kemalangan itu.

“Pertama-tama bencana itu muncul dalam sejarah ialahuntuk menyerang musuh-musuh Tuhan. Fir’aun memera-ngi takdir Yang Kuasa, kemudian wabah membuat dia ber-tekuk lutut. Sejak permulaan sejarah dunia, bencana Tu-han mengalahkan orang-orang yang angkuh dan buta ter-hadap ajaran-Nya. Renungkanlah itu baik-baik serta ber-lututlah kalian!”

Dia adalah pastur yang sangat disegani. Saat khotbah ter-sebut disampaikan, penduduk kota memenuhi ruangan gereja,bahkan sampai tumpah hingga di halaman depan serta anak-anak tangga paling bawah. Begitu Sang Pastur berkata “Ber-lututlah kalian!”, beberapa orang bahkan langsung meluncurdari kursi mereka untuk berlutut sebagai tanda penyesalanatas dosa-dosa.

Namun, setelah khotbah itu, wabah tidak juga mereda.Bahkan satu bocah tanpa dosa meninggal karenanya. Di situDokter Rieux semakin jengkel dengan Pastur Paneloux yangterus-menerus berkhotbah bahwa wabah adalah azab Tuhanuntuk orang-orang yang berdosa. Bahkan setelah kematianbocah tanpa dosa itu, Pastur Paneloux masih saja berapolo-

4 T A U F I Q U R R A H M A N

W A B A H D A N S I K A P I L M I A H

gi dalam khotbahnya bahwa kematian tersebut adalah ujiankeimanan.

Beberapa saat setelah itu, Sang Pastur sendiri yang sakit.Akan tetapi, dia menolak untuk memanggil dokter, dan hanyapasrah pada Tuhan, dan akhirnya dia pun meninggal. Tentusaja dia orang suci dan bukan musuh Tuhan dan kita jugatidak tahu iman siapa yang sedang diuji saat dia sendiri yangmeninggal.

Jika Sang Pastur itu dianggap meninggal karena wabah,maka yang membunuhnya sebenarnya bukan wabah, me-lainkan sikapnya sendiri yang menjauhi sikap ilmiah. Sayaberharap itu tidak terjadi pada masyarakat Indonesia, masya-rakat yang menaruh kepercayaan tinggi pada agama.

Memang tidak ada yang salah dengan berdoa. Hanya saja,untuk hal-hal yang sekiranya masih bisa diupayakan olehdaya manusia, kita tak perlu bikin repot Tuhan yang telahmemberi kita akal agar menjadi makhluk terbaik di antaramakhluk-makhluk-Nya. Sikap ilmiah adalah upaya untukmenggunakan akal sampai pada batas terjauhnya.

Jadi, dengan sikap ilmiah, kita sebenarnya ingin memas-tikan bahwa Tuhan menciptakan akal tidak sia-sia.

T A U F I Q U R R A H M A N 5

2MENGAPA SAINS LAYAK DIPERCAYA?

(Ulasan Buku The Scientific Attitude: Defending Science from denial, Fraud, and

Pseudoscience [2019] karya Lee McIntyre)

A PA yang membuat sains itu berbeda dari berbagai jenis pe-ngetahuan lain? Jawaban yang biasa diberikan adalah: me-todenya. Sains memiliki metode khusus untuk memperolehpengetahuan yang andal dan dapat dipertanggungjawabkan.Metode itu kemudian disebut sebagai metode ilmiah (scientificmethod).

Melalui apa yang disebut sebagai metode ilmiah itulah, pa-ra filsuf sains membuat demarkasi antara sains dan non-sains.Namun, persoalannya, sampai saat ini tidak ada kesepakatandi antara para filsuf sains tentang metode ilmiah seperti apayang bisa menjadi garis pemisah antara sains dan non-sains.Para filsuf punya pandangan yang berbeda-beda, bahkan ber-tentangan, tentang persoalan ini.

Oleh karena itu, Lee McIntyre, penulis buku ini dan se-kaligus peneliti di Centre for Philosophy and History of Sciencedi Universitas Boston, menawarkan pandangan lain tentang

M E N G A P A S A I N S L A Y A K D I P E R C A Y A ?

apa yang membuat sains itu spesial dan layak dipercaya. Me-nurutnya, bukan metodenya yang membuat sains itu layakdipercaya, melainkan apa yang disebut sebagai “sikap ilmiah”(scientific attitude) (hlm. 52).

Apa itu sikap ilmiah? Ia adalah sikap untuk berkomitmenpada dua prinsip dasar, yaitu 1) peduli pada bukti empirisdan 2) mau mengubah teori jika ditemukan bukti empiris baruyang membuktikan bahwa teori itu salah (hlm. 57).

Sikap ilmiah itulah, menurut McIntyre, yang membedakansains dari non-sains ataupun dari pseudosains. Sikap ini jugayang tidak dimiliki oleh para penyangkal sains (denialists) danoleh para ahli teori konspirasi (conspiracy theorists). Merekasama-sama tidak peduli dengan bukti empiris, sebab mere-ka hanya ingin melihat bukti-bukti yang bisa mendukungkeyakinan mereka.

Para penyangkal sains, misalnya. Mereka menolak untukmemercayai teori-teori ilmiah yang sudah terjamin bahkanmeskipun bukti-buktinya sudah melimpah (hlm. 174). Hal ituterjadi ketika teori-teori ilmiah yang ada bertentangan dengankeyakinan ideologis mereka. Itulah yang terjadi, misalnya,pada para penyangkal perubahan iklim (climate change deniers).

Meskipun sudah ada konsensus di antara para ilmu-wan—yang tentu didasari oleh bukti-bukti empiris—bahwatelah telah terjadi perubahan iklim, climate change deniers initetap saja menolak untuk percaya. Mereka bahkan melakukankontra-narasi terhadap kampanye perubahan iklim dan me-nentang upaya untuk menyelamatkan bumi dari iklim yangjauh lebih buruk.

Sama seperti penyangkalan terhadap sains (denialism),pseudosains juga tidak memedulikan bukti-bukti empiris. Ar-tinya, keduanya sama-sama jauh dari sikap ilmiah. Hanya saja

8 T A U F I Q U R R A H M A N

M E N G A P A S A I N S L A Y A K D I P E R C A Y A ?

pseudosains ini tidak sefrontal denialism. Alih-alih menolakteori ilmiah seperti denialism, pseudosains berusaha memakaijubah sains untuk mempromosikan apa yang disebut “teoripinggiran” (fringe theory). Namun, begitu ada bukti-bukti em-piris yang menolak “teori pinggiran” tersebut, mereka engganuntuk mengubah keyakinannya (hlm. 174).

Salah satu contoh pseudosains adalah teori perancangancerdas (intelligent design theory) yang diajukan sebagai teorialternatif (atau “teori pinggiran”) terhadap teori evolusi. Te-ori ini menyatakan bahwa ciri-ciri tertentu yang ada di alamsemesta adalah hasil dari sebuah perancangan yang cerdas,bukan hasil dari sebuah proses takterarah seperti seleksi alam,dan perancangnya tiada lain adalah Tuhan.

Dengan kata lain, teori perancangan cerdas itu sebenar-nya adalah doktrin teologis tetapi dibungkus dengan jubahsains sehingga seolah-olah saintifik. Dalam sudut pandangMcIntyre, ia hanya akan punya status ilmiah, bukan pseudoil-miah, jika pertama-pertama perumusannya didasarkan padabukti-bukti empiris dan begitu ada bukti empiris baru yangmenyangkalnya maka ia dengan suka rela mengubah ataubahkan membuang teorinya. Namun, sayangnya, itu tidakterjadi.

Ketiadaan sikap ilmiah juga terjadi pada teori konspirasi.Contoh paling aktual adalah teori konspirasi tentang pandemivirus corona. Ia berpandangan bahwa situasi yang terjadisaat ini bukanlah sesuatu yang alamiah, melainkan hasil darikonspirasi elite global guna mengontrol penduduk di seluruhdunia.

Teori semacam itu disusun dengan memilah-milih (cherry-picking) data dan fakta yang kira-kira bisa mendukung keya-kinan pembuatnya dan mengabaikan data dan fakta lain yang

T A U F I Q U R R A H M A N 9

M E N G A P A S A I N S L A Y A K D I P E R C A Y A ?

dapat menggugurkannya. Maka dicarilah fakta-fakta parsialyang dapat menunjukkan adanya konspirasi elite global dibalik pandemi corona dan fakta-fakta itu kemudian dihubung-hubungkan sehingga menjadi satu narasi besar yang tampaksangat meyakinkan.

Namun, begitu disodori data-data empiris yang menun-jukkan bahwa virus corona itu bukan hasil rekayasa, mela-inkan memang benar-benar terjadi secara alamiah, para pen-dukung teori konspirasi ini akan menolak mentah-mentah.Oleh karena itu, Carl Sagan menyebut teori konspirasi sebagaiteori yang tertutup dan, karenanya, tidak ilmiah (hlm. 179). Iatidak pernah mau mengoreksi dirinya di hadapan fakta-faktaempiris yang menentangnya.

Kemauan untuk mengoreksi diri sendiri (self-correcting)itulah yang tidak dimiliki oleh teori-teori lain di luar teoriilmiah. Alasan mengapa kita layak memercayai teori ilmiahbukan karena ia pasti benar dan tidak pernah salah, melainkankarena kemauannya untuk mengubah dan mengoreksi dirinyasendiri di hadapan data dan fakta.

Teori ilmiah bukan tidak mungkin salah dan, dalam se-jarahnya, memang banyak teori ilmiah yang terbukti salah.Namun, begitu ada fakta-fakta empiris yang membuktikanbahwa ia salah, ia mau untuk segera mengakui dan mengo-reksi kesalahannya. Hal itu yang terjadi, misalnya, pada ilmukedokteran saat mengganti teori miasma dengan teori kuman(germ theory).

Sebelum akhir abad ke-19, dunia kedokteran—meminjamistilah Kuhn—memiliki satu paradigma bahwa penyakit se-perti kolera dan Maut Hitam (Black Death) itu disebabkanoleh “miasma” yang dalam bahasa Yunani berarti polusi atau“udara buruk” atau dikenal juga sebagai udara malam. Ma-

10 T A U F I Q U R R A H M A N

M E N G A P A S A I N S L A Y A K D I P E R C A Y A ?

ka, berdasarkan teori itu, penyakit tersebut tidak diperolehmelalui penularan antarindividu, tetapi melalui lingkungantempat seseorang itu tinggal.

Pada 1880-an, teori miasma itu mulai ditinggalkan, kare-na ditemukan adanya mikroorganisme yang dikenal sebagai“kuman”. Mikroorganisme ini menyerang makhluk hidup lainsebagai inangnya. Di dalam inangnya inilah, dia berkembangdan melakukan reproduksi, sehingga dapat menimbulkanpenyakit bagi inang yang dia tempati. Dengan penemuan teo-ri kuman tersebut, dunia kedokteran mengubah banyak haldalam caranya menangani penyakit menular.

Dengan demikian, meskipun sains tidak bisa menjaminbahwa teorinya pasti benar, tetapi dengan kamampuannya un-tuk terus memperbaiki diri, sains bisa membawa kita semakindekat pada kebenaran.

T A U F I Q U R R A H M A N 11

3SAINS MEMANG TIDAK SEMPURNA,TAPI IA ADALAH JENIS PENGETAHUAN TERBAIKYANG MUNGKIN KITA PUNYA1

G O E N AWA N M O H A M A D ( G M ), sang budayawan adilu-hung itu, memang seorang peragu—walau mungkin ia jenisperagu yang syahdu. Kali ini ia ragu pada ilmu (science). Iamengutip Popper, Husserl, dan Heidegger untuk memper-tahankan keraguannya. Namun, sejauh mana keraguan GMpada sains itu dapat dipertahankan?

Ulil, yang juga dikenal sebagai tokoh liberal sebagai-mana GM, mengungkapkan ketidaksukaannya pada saintis-me—yang ia bedakan dari sains. Ia kagum pada sains, ta-pi jengkel dengan saintisme. Sebab, menurutnya, saintismeadalah sebuah “kepongahan saintifik” dan sains per se tidakmeniscayakan saintisme. Namun, mungkinkah sains tanpasaintisme? Juga seberapa relevan kritiknya terhadap apa yangia sebut “saintisme”?

* * *1 Catatan untuk Gunawan Mohammad dan Ulil Abshar Abdalla

M E N G A P A S A I N S L A Y A K D I P E R C A Y A ?

Dalam tanggapannya untuk kritik As. Laksana, GM me-rasa perlu untuk mengutip Popper, karena pandangan Pop-per dianggap sebagai “caveat”, protes, terhadap sains. Benar-kah? Tidak! Ini justru kembali membuktikan kebiasaan burukGM dalam menulis esai: “cherry-picking” kutipan. Ia senga-ja memilah-milih pernyataan pemikir-pemikir besar untukmengonfirmasi pandangannya sendiri sembari menyembu-nyikan pernyataan lain dari pemikir yang sama. Itulah yangdisebut sebagai “confirmation bias”.

Mari kita lihat bagaimana GM melakukan “confirmationbias”.

GM mencomot separuh paragraf dari kuliah Popper yangberjudul “Knowledge and the Shaping of Reality: The Searchfor a Better World”:

“Despite my admiration for scientific knowledge, I am not anadherent of scientism. For scientism dogmatically asserts the au-thority of scientific knowledge; whereas I do not believe in anyauthority and have always resisted dogmatism; and I continueto resist it, especially in science. I am opposed to the thesis thatthe scientist must believe in his theory. . . ”

Potongan separuh paragraf itu sebenarnya punya kon-teks khusus, tetapi oleh GM digunakan untuk mengonfir-masi pandangannya sendiri yang berusaha memberi protespada sains. Popper bukan jenis pemikir yang meragukan sa-ins—sebagaimana GM. Paragraf yang dikutip GM itu sebe-narnya bukan pandangan Popper tentang sains, melainkanhanya klarifikasi terhadap pernyataan sebelumnya yang, kataPopper, ”will doubtless lead to my being associated with ‘positivism’or with ‘scientism’ once again”.

Apa pernyataan yang sudah disampaikan Popper sebelumparagraf tersebut? Ia menulis:

14 T A U F I Q U R R A H M A N

S A I N S M E M A N G T I D A K S E M P U R N A , T A P I . . .

“We live in a time in which irrationalism has once more becomefashionable. Consequently, I want to begin by declaring that Iregard scientific knowledge as the best and most important kindof knowledge we have—though I am far from regarding it as theonly one”

Meskipun bukan satu-satunya, kata Popper, pengetahuanilmiah merupakan jenis pengetahuan terbaik dan terpentingyang kita punya. Ini membuktikan bahwa potongan paragrafPopper yang dikutip GM itu—bahkan keseluruhan pemikiranPopper—tidak tepat dijadikan sebagai alat protes pada sains.Bahkan kriteria keterbantahan (falsifiabilty) dalam falsifikasio-nisme Popper sebenarnya merupakan lanjutan dari tradisipositivisme logis yang membuat demarkasi antara sains dannonsains atau pseudosains. Artinya, baik Popper maupunkaum positivis logis sama-sama mengakui perlunya ada pem-bedaan tegas antara sains dan nonsains. Hanya saja keduapihak itu mengajukan kriteria pembedaan yang berbeda: posi-tivisme logis mengajukan kriteria keterbuktikan (verifiability);sementara Popper mengajukan kriteria keterbantahan (falsifia-bilty). Jadi, alih-alih memprotes sains, falsifikasionisme Popperhanya mengkritik cara positivisme membedakan sains dannonsains.

Itu kekeliruan pertama GM. Hal kedua yang membuat esaiGM itu kurang berdasar adalah saat ia membuat proposisiimplikatif:

“Ketika sains menjadi panglima—ketika masyarakatmenonjolkan (“asserts”) otoritas pengetahuan ilmiahuntuk menjelaskan pelbagai hal—sains akan terdorongmengedepankan kepastian, bukan masuk ke dalamproses pencarian kebenaran”

T A U F I Q U R R A H M A N 15

M E N G A P A S A I N S L A Y A K D I P E R C A Y A ?

“Dalam posisi sebagai sumber utama, ilmu ini mau takmau didorong “mengistirahatkan” prosesnya sendiri. Iatak bisa berpanjang-panjang melakukan riset”.

Dua premis tersebut jelas merupakan klaim besar yang me-nuntut pembuktian: Benarkah ketika sains menjadi panglima,sains akan terdorong mengedepankan kepastian? Benarkah ke-tika ilmu dijadikan sebagai sumber utama, ilmu pasti berhentiberproses mencari kebenaran? Itu semua mungkin hanya be-nar dalam pikiran GM sendiri. Sebab apa yang membuat sainsspesial, yang membuatnya layak dijadikan sumber utama me-mahami dunia alamiah, adalah adanya prinsip umum dalamkomunitas ilmiah yang—oleh Lee McIntyre—disebut “scien-tific attitude”: bahwa ilmuwan mesti punya kesiapan untukmengubah teorinya jika ada bukti empiris yang menyangkal-nya. Dengan prinsip itu, alih-alih menjadi produk pengeta-huan yang beku, sains tak lain adalah sebuah proses yangakan melahirkan “scientific progress”. Artinya, kita memerca-yai sains untuk menjadi panglima dalam memahami duniaalamiah bukan karena ia menjanjikan kepastian, melainkankarena ia bisa mengoreksi dirinya sendiri (self-correcting) dihadapan data-data baru yang terus bermunculan. Begitu sainstak lagi bisa mengoreksi dirinya sendiri, maka ia bukan lagisains, tetapi sudah berubah menjadi dogma. Dengan demi-kian, secara epistemologis, tidak ada korelasi niscaya antarasains sebagai panglima dengan sains yang mencari kepastian.Sebab, semakin ia tidak pasti—dalam arti: terus memperbaikidiri—maka sains semakin layak kita percayai.

Satu-satunya kritik GM terhadap sains yang cukup berda-sar adalah saat ia memanggil Husserl dan Heidegger. Namun,bagi saya, kritik Husserl terhadap sains itu juga sedikit pro-blematik. Apa yang Husserl maksud sebagai “Krisis” dalam

16 T A U F I Q U R R A H M A N

S A I N S M E M A N G T I D A K S E M P U R N A , T A P I . . .

The Crisis of European Sciences and Transcendental Phenomenologyadalah hilangnya kebermaknaan sains bagi dunia-kehidupan(Lebenswelt) yang secara langsung dialami oleh manusia. Kare-nanya, bagian pertama buku ini adalah “The Crisis of the Sci-ences as an Expression of the Radical Life-Crisis of EuropeanHumanity”. Dengan kata lain, apa yang disebut sebagai “krisissains” di situ bukanlah krisis epistemologis yang terjadi padasains itu sendiri, melainkan krisis kemanusiaan yang—kataHusserl—disebabkan oleh sains yang bekerja dengan fondasimatematika. Sains menjadi jauh dari dunia yang konkret, du-nia yang kita hidupi bersama. Di situ sains menjadi sesuatuyang nirmanusia. Maka, untuk mengatasi krisis kemanusia-an yang disebabkannya, sains mesti mengubah fondasinya:dari matematika ke fenomenologi transendental. Sains seha-rusnya tidak berangkat dari kalkulasi matematis, tetapi daripengalaman langsung manusia dalam dunia kehidupannya.

Tawaran itu, jika diterapkan pada bidang ilmu seperti an-tropologi dan etnografi, mungkin cukup besar signifikansinya.Namun, begitu diterapkan pada ilmu alam, ia justru akan me-nyulitkan ilmuwan untuk bekerja. Bagaimana cara ilmuwanuntuk punya pengalaman langsung tentang virus, misalnya?Apakah ia perlu terinfeksi virus terlebih dahulu agar pengeta-huannya tentang virus menjadi pengetahuan yang valid? Jikamemang harus demikian, tidak akan ada lagi orang yang maumenjadi ahli virologi, kecuali mungkin tuan GM sendiri.

Kritik Heidegger terhadap sains—juga terhadap teknolo-gi—bisa saya terima: bahwa dunia yang tampil melalui sains(juga melalui teknologi) adalah dunia yang telah mengalamipembingkaian (enframing). Pembingkaian inilah, kata Heideg-ger, yang menjadi esensi dari teknologi. Namun, pertanya-annya: memangnya ada jenis pengetahuan lain yang tidak

T A U F I Q U R R A H M A N 17

M E N G A P A S A I N S L A Y A K D I P E R C A Y A ?

membingkai atau—dalam istilah GM—“mereduksi” objek-nya? Menghadapi pertanyaan ini, Heidegger di fase akhirpemikirannya kemudian melirik puisi. Di situlah kritik Hei-degger terhadap sains pada akhirnya tidak menghasilkan apa-apa, selain hanya kata-kata penuh metafora.

* * *

Tulisan panjang Ulil itu, yang banyak menyebut namailmuwan dan filsuf (alias: name-dropping), sebenarnya hanyapunya satu poin bahwa ia tidak suka dengan saintisme yangia definisikan sebagai “pandangan yang melihat sains mo-dern—terutama sains dalam pengertian ilmu-ilmu kealam-an—sebagai model paradigmatik bagi pengetahuan manusiayang paling sempurna, karena memberikan dasar-dasar pe-ngetahuan yang pasti dengan berbasis data-data empiris”.Selebihnya adalah otobiografi intelektual Ulil sendiri.

Saya tidak akan mengomentari perjalanan intelektual Ulilsebab ia memang tidak penting untuk polemik ini. Saya hanyaakan menunjukkan satu kekeliruan dan satu kelemahan Ulildalam mengungkapkan ketidaksukaannya pada saintisme.

Ulil keliru mendefinisikan saintisme. Dalam arti yang di-berikan oleh kamus, “scientism” setidaknya punya dua pe-ngertian: 1) methods and attitudes typical of or attributed to thenatural scientist; dan 2) an exaggerated trust in the efficacy of themethods of natural science applied to all areas of investigation (as inphilosophy, the social sciences, and the humanities).

Pengertian pertama merupakan pengertian asali dari sain-tisme. Dalam lingkup pengertian itu, Mario Bunge kemudianmendefinisikan saintisme sebagai “the thesis that all cognitiveproblems concerning the world are best tackled adopting the scien-tific approach, also called ‘the spirit of science’ and ‘the scientific

18 T A U F I Q U R R A H M A N

S A I N S M E M A N G T I D A K S E M P U R N A , T A P I . . .

attitude’.”Semua persoalan terkait pengetahuan tentang dunia seba-

iknya diselesaikan dengan menggunakan pendekatan ilmiahatau “sikap ilmiah”. Itulah poin utama tesis saintisme yangmuncul di tengah gerakan Pencerahan Prancis abad ke-18. Didalam tesis ini, sama sekali tidak ada kepongahan seperti yangdituduhkan oleh Ulil; saintisme justru merupakan antitesisdari sikap keras kepala. Ilmuwan harus selalu tunduk padabukti-bukti empiris yang ditemuinya, bukan pada keyakinanpersonal atau bahkan teori yang telah dirumuskannya. Dalampengertian inilah, kata Bunge, “para ilmuwan mempraktikkansaintisme bahkan meskipun mereka tidak pernah mengenalkata itu”. Apakah salah jika ilmuwan alam menuntut orangyang menekuni bidang-bidang keilmuan lain seperti ilmu so-sial untuk memiliki sikap ilmiah yang sama? Saya pikir, baiksecara etis maupun epistemologis, tidak ada yang salah dalamtesis semacam itu.

Namun, belakangan istilah ’saintisme’ digunakan dalampengertian peyoratif seperti pada arti kedua yang diberikanoleh kamus. Ia menjadi semacam kartu joker (wild-card) yangbisa digunakan untuk mencemooh ilmuwan mana saja tanpakriteria yang jelas. Begitu ada ilmuwan yang membeberkantemuan ilmiah yang bertentangan dengan keyakinan perso-nal seseorang, maka kartu joker ini bisa dikeluarkan denganmenuduh ilmuwan tersebut mengidap penyakit saintisme.

Dalam pengertian peyoratif inilah, Ulil menyusun defi-nisinya tentang saintisme. Namun, dalam pengertian peyo-ratifnya sekalipun, saintisme sebenarnya tak seremeh yangdigambarkan Ulil sebagai “kepongahan saintifik”. Ia adalahsebentuk reduksionisme yang termanifestasi dalam naturalis-me. Naturalisme, dalam dua varian utamanya, dibangun di

T A U F I Q U R R A H M A N 19

M E N G A P A S A I N S L A Y A K D I P E R C A Y A ?

atas dasar ontologis dan epistemologis yang rigid; sementarakritik Ulil terhadapnya hanyalah kritik etis yang tampak begi-tu lemah—jika bukan malah tidak punya dasar sama sekali,selain hanya dasar ketidaksukaan pribadi.

Kritik berdasarkan ketidaksukaan tidak pernah membuk-tikan apa pun tentang hal yang dikritiknya. Kita bisa tidaksuka terhadap apa saja, tanpa membuktikan bahwa ia salah.Hukum gravitasi akan tetap sahih dan terus bekerja, betapapun kita membencinya. Jika Ulil memang hendak mengkritiknaturalisme, semestinya ia membangun kritik metodologisatau ontologis. Tanpa kritik semacam itu, kritiknya terhadapnaturalisme hanya akan menjadi kritik yang tidak relevan danjuga takberdasar.

* * *

Catatan ini bukan untuk mengagung-agungkan sains. Ba-gaimanapun juga, sains tetaplah tidak sempurna. Namun, iaadalah satu-satunya pengetahuan terbaik tentang dunia alami-ah yang mungkin kita punya. Dan filsafat adalah cara palingtepat untuk melakukan evaluasi kritis terhadapnya.

20 T A U F I Q U R R A H M A N

4MENGHINDARI JEBAKANSKEPTISISME DAN FIDEISME

G O E N AWA N M O H A M A D , dalam tanggapannya untuk ca-tatan saya, membuat setidaknya delapan komentar. Oleh ka-rena itu, sebelum menjelaskan perbedaan posisi saya denganGoenawan dalam masalah sains yang menjadi topik utamapolemik ini, saya akan terlebih dahulu menanggapi komentar-komentar tersebut.

* * *

Saya mulai dari komentar kedua—komentar pertama ak-an saya simpan untuk bagian berikutnya. Di bagian ini, Goe-nawan menyebut kritik saya sebagai “satu penilaian yangmirip adhominem” (Sic!). Tidak, Mas Goen. Argumentum adHominem itu bagian dari sesat pikir irrelevansi. Tidak semuaserangan terhadap pribadi itu bisa dikategorikan sebagai adhominem. Sejauh ia relevan dengan pokok soal yang dibicarak-an, maka ia bukan ad hominem. Serangan terhadap pribadi bisadisebut ad hominem hanya jika digunakan untuk menyangkal

M E N G A P A S A I N S L A Y A K D I P E R C A Y A ?

argumen seseorang tanpa pembuktian. Jika, semisal, Andamengatakan “Merokok itu tidak baik bagi kesehatan” lalu sa-ya menjawab “Lah, Anda sendiri merokok”, maka itu berartisaya telah melakukan ad hominem. Di situ, alih-alih membuk-tikan pernyataan Anda keliru, saya malah membuat seranganterhadap pribadi Anda yang sebenarnya tidak relevan dengankebenaran atau kekeliruan pernyataan Anda. Namun, jikasaya mengatakan “Goenawan punya kebiasaan buruk dalammenulis” dengan didasari beberapa pembuktian, maka klaimitu, meskipun berupa serangan terhadap pribadi, sama sekalibukan ad hominem. Mirip pun tidak. Ia adalah hasil dari prosespenyimpulan.

Hal itu sama dengan saat Goenawan menyebut saya tidakmengerti kata ‘caveat’. Itu juga bukan ad hominem—bahkanmeskipun frase ‘tidak mengerti’ di situ diganti dengan kata‘goblok’ atau ‘dungu’. Sebab di situ Goenawan melakukanpembuktian terhadap kekeliruan saya—dan, oleh karena itu,saya meminta maaf, saya keliru memilih kata ‘protes’ sebagaiaposisi bagi ‘caveat’. Namun, poin utama saya di bagian itusebenarnya adalah bahwa Goenawan melakukan disinformasidengan mengutip Popper tanpa konteks. Pandangan Popperbahwa “scientific knowledge as the best and most important kindof knowledge we have” sudah ditegaskan di awal—dan persispoin ini yang diabaikan oleh Goenawan.

Sikap abai Goenawan yang lain adalah saat ia tidak mem-bedakan antara sains dan kebijakan sains (science policy). Sainstetaplah upaya pencarian kebenaran yang—dalam pengerti-an Popperian—berarti “pencarian teori yang secara objektifbenar dan bersifat menjelaskan”; sedangkan apa yang dike-mukakan Goenawan dalam komentarnya itu—mulai dari soalpendanaan riset, penerjemahan temuan ilmiah menjadi inova-

22 T A U F I Q U R R A H M A N

M E N G H I N D A R I J E B A K A N S K E P T I S I S M E D A N F I D E I S M E

si teknologi, hingga upaya menjadikan sains sebagai panglimadalam perumusan kebijakan publik—adalah kebijakan sains.Itu adalah dua hal yang berbeda.

Pertanyaannya: apakah adanya kebijakan sains bisa meng-ubah sifat sains—sebagaimana ditengarai oleh Goenawan?Tentu saja bisa. Sudah banyak contoh-contoh praktik saintifikyang ternyata hanya sekadar pesanan untuk menjustifikasikebijakan tertentu atau kepentingan ekonomi-politik tertentu.Ini adalah contoh malapraktik di dalam sains: sains tidak lagimencari kebenaran, tetapi mencari pembenaran. Dan ini tidakhanya terjadi pada sains, tetapi juga bisa terjadi pada aga-ma, budaya, dan bentuk-bentuk otoritas lain. Namun, adanyamalapraktik seperti ini tidak lantas membatalkan argumenmengapa sains layak menjadi panglima. Sebab malapraktikitu hanyalah ekses dari posisi sains yang dipercaya sebagaipanglima; sedangkan dasar mengapa sains layak dipercayasebagai panglima adalah karena ia secara epistemik bersifatprogresif. Bukankah, sebagaimana diwanti-wanti Goenawan,posisi sains sebagai panglima itu akan menghalangi progre-sivitas epistemiknya? Benar, tetapi itu adalah konsekuensipraktis yang sebenarnya juga bisa diperbaiki secara praktis.Artinya, sains masih mungkin memiliki progresivitas epis-temik meskipun diposisikan sebagai panglima dalam peru-musan kebijakan publik. Dengan demikian, apa yang kitabutuhkan di sini agar sains tetap memiliki progresivitas epis-temik adalah kritik terhadap (mala)praktik saintifik, bukanmenghalangi sains dari menjadi dasar perumusan kebijakanpublik.

Mungkin Goenawan akan menjawab: sains tetap tidak bisamenjadi dasar kebijakan publik karena “sains tak memperta-nyakan semua, dan sebab itu tak menjawab semua”. Betul,

T A U F I Q U R R A H M A N 23

M E N G A P A S A I N S L A Y A K D I P E R C A Y A ?

sains memang tidak berpretensi menjawab semua persoalan.Sains—dalam arti spesifik: ilmu alam—hanya berupaya men-jawab soal-soal dunia alamiah. Maka, dalam hal ini, kritikHusserl dan Heidegger terhadap sains tentu saja benar. Na-mun, bagi sains sendiri, itu tak terlalu jadi soal. Sebab sains,tak seperti fenomenologi, memang tidak hendak menangkapdimensi subjektif manusia dalam pengalamannya berhadap-an dengan dunia. Sains justru berupaya mengetahui duniasebagaimana ia ada dalam dirinya, bukan dunia sebagaimanayang dialami manusia. Dunia yang ingin diketahui sains ada-lah dunia yang keberadaannya tidak bergantung pada penga-laman dan pikiran manusia (mind-independent world), duniayang objektif, ada di sana. Dunia semacam itu bisa diaksesoleh manusia melalui matematika, bukan melalui fenomeno-logi transendental ataupun melalui kata-kata penuh metafora.Mengapa? Quentine Meillassoux, filsuf Prancis yang menjadisalah satu dentuman besar dalam sejarah filsafat Barat abadXXI, memiliki penjelasan menarik tentang hal ini. Di dalamAfter Finitude (2008), Meillassoux menulis:

“. . . all those aspects of the object that can be formulated inmathematical terms can be meaningfully conceived as properti-es of the object in itself. All those aspects of the object that cangive rise to a mathematical thought (to a formula or to digitali-zation) rather than to a perception or sensation can be meaning-fully turned into properties of the thing not only as it is with me,but also as it is without me.”

Sifat-sifat objek, sejauh dapat diformulasikan ke dalambahasa matematis, adalah sifat yang objek yang independendari persepsi atau sensasi kita, sifat yang tidak hanya adakarena kita ada, tetapi juga bisa ada meskipun kita tidak ada.Dengan kata lain, ia adalah sifat objek di dalam dirinya, bukanobjek sejauh terpersepsi oleh kita. Dalam istilah John Locke,

24 T A U F I Q U R R A H M A N

M E N G H I N D A R I J E B A K A N S K E P T I S I S M E D A N F I D E I S M E

sifat semacam ini disebut sebagai kualitas primer (primaryqualities)—yang dibedakan dari kualitas sekunder (secondaryqualities) seperti warna, panas, dan bau. Panas, misalnya, ada-lah sifat objek yang baru muncul begitu ada relasi antarasubjek dan objek, begitu subjek menyentuh objek pembawasifat panas. Karena ia muncul karena adanya relasi subjek-objek, maka tingkat kepanasan objek yang sama akan terasaberbeda bagi subjek yang berbeda. Sedangkan temperatur,karena bisa diformulasikan secara matematis, bukanlah sifatyang bergantung pada sensasi subjek. Siapa pun subjek yangmengukurnya, temperatur dari objek yang sama dalam kon-disi yang sama akan tetap sama. Sifat objek semacam inilahyang merupakan kualitas primer, sifat yang menggambarkankondisi objek dalam dirinya, yang terlepas dari perasaan senti-mentil seorang sastrawan atau bias ideologis seorang politisi.

Dengan demikian, sains, melalui perangkat matematisnya,mampu menggambarkan dunia dalam dirinya, dunia yangindependen dari segala bentuk subjektivitas manusia. Sedang-kan fenomenologi justru hendak menyingkap dunia dalamketerberiannya pada manusia. Artinya, prinsip fenomenologiHusserl “Zurück zu den Sachen selbst!” (Kembalilah pada bendadalam dirinya!) itu tidak lain adalah ajakan untuk kembalikepada benda sejauh benda itu terberikan kepada kesadaranmanusia, bukan benda yang transenden dan independen darikesadaran manusia. Oleh karena itu, dunia yang hendak di-tangkap oleh fenomenologi adalah dunia-kehidupan (Lebens-welt), dunia yang dihidupi oleh (inter)subjektivitas manusia.Itulah mengapa, meskipun fenomenologi memiliki banyaksumbangan penting bagi ilmu-ilmu kemanusiaan, kritiknyaterhadap ilmu alam menjadi tidak begitu relevan.

Kembali ke soal sains sebagai panglima: jika sains me-

T A U F I Q U R R A H M A N 25

M E N G A P A S A I N S L A Y A K D I P E R C A Y A ?

mang tidak menjawab semua soal, mengapa ia dijadikan seba-gai panglima? Di sini kita perlu melengkapi sains—dalam artispesifik: ilmu alam—dengan ilmu sosial-kemanusiaan. Arti-nya, narasi “sains sebagai panglima” hanya bisa dipertahank-an jika sains di situ dipahami dalam arti luas yang mencakupilmu alam dan sekaligus ilmu sosial-kemanusiaan. Dengandemikian, setiap kebijakan publik semestinya didasarkan pa-da temuan-temuan ilmiah yang ada dalam ilmu alam dansekaligus ilmu sosial-kemanusiaan. Sebab jika bukan kepa-da ilmu, kepada apa lagi kebijakan publik mesti didasarkan?Kepada desas-desus dan propaganda? Tentu kita tidak maumenanggung akibatnya!

Komentar Goenawan yang terakhir adalah soal saintis-me. Menurutnya, bahkan saintisme dalam pengertian Bungesekalipun itu problematik karena “menganggap pemakaianpendekatan sains sebagai yang paling bagus”. Saya kira di siniGoenawan tidak cermat membaca. Selain kata ‘best’ yang men-jadi kata kuncinya, kita juga perlu memperhatikan dua frasebertanda petik yang menjadi penjelas dari ‘scientific approach’,yaitu ‘the spirit of science’ dan ‘the scientific attitude’. Artinya, ba-gi saintisme dalam pengertian Bunge, yang sebaiknya diado-psi dalam memecahkan semua masalah pengetahuan adalah‘spirit sains’ atau ‘sikap ilmiah’: sikap yang lebih menguta-makan bukti daripada keyakinan pribadi. Dalam pengertianini, menolak saintisme berarti merayakan pesta pora pasca-kebenaran dalam problem pengetahuan. Lebih ekstrem lagi,penolakan terhadap saintisme juga bisa membawa kita padaskeptisisme yang menolak kemungkinan adanya pengetahu-an. Posisi skeptis inilah—meskipun dalam tingkatan terten-tu—yang dapat kita temukan pada banyak tulisan Goenawan.

26 T A U F I Q U R R A H M A N

M E N G H I N D A R I J E B A K A N S K E P T I S I S M E D A N F I D E I S M E

* * *

Ketika saya menulis “Goenawan Mohamad memang seo-rang peragu,” Goenawan menjawab: “Kayaknya Taufiq benar.Ragu sering jadi awal filsafat dan ilmu—misalnya ‘keraguanDescartes’, ‘Cartesian doubt’.” Apakah jawaban itu mengan-daikan bahwa Goenawan memang seorang Cartesian? Jugaapakah semua ragu sering menjadi awal dari filsafat dan ilmu?Tidak! Goenawan bukan seorang Cartesian; dan tidak semuaragu sering menjadi awal dari filsafat dan ilmu.

Dalam diskursus filsafat, ada pembedaan antara skeptisis-me metodologis dan skeptisisme filosofis; antara skeptisismesebagai sebuah metode dan skeptisisme sebagai sebuah dok-trin. Skeptisisme sebagai metode adalah upaya mencari dasarpengetahuan yang kokoh dan pasti dengan meragukan klaim-klaim pengetahuan terlebih dahulu. Itulah yang menjadi ciriskeptisisme Cartesian. Descartes tak memperlakukan keragu-an sebagai doktrin, melainkan sebagai jalan untuk mencapaipengetahuan yang takteragukan. Dalam pengertian ini, per-nyataan Goenawan bahwa keraguan sering jadi awal darifilsafat dan ilmu benar belaka. Sains modern sedikit banyakmemang mendapatkan pendasaran epistemologisnya dari pe-mikiran Descartes. Namun, keraguan Cartesian ini tidak men-cakupi seluruh pengertian ragu.

Ada jenis ragu yang lain yang, alih-alih mengantarkankita pada pengetahuan, justru menghalangi kita dari tercapai-nya pengetahuan. Itulah skeptisisme sebagai sebuah doktrin.Skeptisisme jenis ini memiliki dua varian. Varian pertamamenolak kemungkinan pengetahuan sama sekali; sedangkanvarian kedua, karena menganggap tidak ada bukti memadaibagi kemungkinan pengetahuan, menunda putusan tentang

T A U F I Q U R R A H M A N 27

M E N G A P A S A I N S L A Y A K D I P E R C A Y A ?

semua pertanyaan terkait pengetahuan. Jika varian pertamamengatakan bahwa kita tidak mengetahui apa-apa kecualibahwa kita tidak tahu apa-apa, maka varian kedua tidak me-ngatakan apa-apa sebab, menurutnya, segala klaim tentangpengetahuan harus selalu ditunda. Varian pertama dikenal se-bagai skeptisisme Akademik karena dirumuskan di AkademiPlatonik oleh filsuf seperti Arcesilas (315-241 SM) dan Carne-ades (213-129 SM); sedangkan varian kedua dikenal sebagaiskeptisisme Pyrrhonian, nama yang dinisbatkan pada tokohawalnya: Pyrrho dari Elis (360-275 SM).

Oleh karena itu, begitu Goenawan mengafirmasi pernyata-an saya tentang dirinya sembari mengaitkannya dengan kera-guan Cartesian, saya hanya bisa heran dan geleng-geleng ke-pala. Sejauh saya membaca beberapa tulisan-tulisannya, sayatidak menemukan Goenawan yang Cartesian (Tolong koreksijika saya salah, Pak Goen!). Ia bahkan sering menyebut Descar-tes—dan juga modernisme yang dilahirkannya—dengan nadanegatif. Semisal, pada Caping berjudul “Pigura” (30 Januari1993); “Montaigne” (20 Maret 1993); dan “Nippon” (1 Septem-ber 2003). Entah bagaimana caranya ia bisa mengasosiasikandirinya dengan keraguan Cartesian. Padahal, jenis keraguanyang sering muncul dalam tulisan-tulisan Goenawan bukan-lah keraguan metodis, melainkan keraguan sebagai sebuahdoktrin.

Skeptisisme metodis Cartesian tentu berbeda jauh dariskeptisisme filosofis. Dengan keraguan sebagai metode, alih-alih menolak kemungkinan pengetahuan, Descartes justruberupaya mencari dasar pengetahuan—dan kemudian me-nemukannya pada Cogito dan juga pada Tuhan yang tidakmungkin menipu. Di situ keraguan hanyalah awal sebelum ke-mudian sampai pada dasar pengetahuan yang takteragukan.

28 T A U F I Q U R R A H M A N

M E N G H I N D A R I J E B A K A N S K E P T I S I S M E D A N F I D E I S M E

Sedangkan pada Goenawan, keraguan adalah awal sekaligusakhir—sebab ia sudah jadi doktrin. Di awal ragu, di akhir tetapragu. Kecenderungan ini tampak, misalnya, pada pernyataan-pernyataan berikut: “ . . . setelah akal berkuasa, akal tak lagisadar bahwa ada yang tak dapat dijangkaunya. Ada Entahyang diabaikan” (“Entah”, 7 Maret 2020); dan “. . . selalu adayang kita belum tahu dan tak bisa tahu” (“Pakar”, 18 April2020).

Itulah skeptisisme Goenawanian yang jelas berbeda da-ri skeptisisme Cartesian. Hal itu setidaknya menunjukkandua soal. Pertama, kebiasaan Goenawan berlindung di baliknama-nama besar dan kekaburan. Kedua, posisi epistemologisGoenawan yang problematik. Dalam soal pertama, saya mem-perlakukan Goenawan sebagai persona; sedangkan dalam soalkedua, saya memperlakukan Goenawan sebagai paradigma.Soal kedua akan saya elaborasi lebih lanjut di bawah ini.

* * *

Skeptisisme filosofis biasanya didasarkan pada argumenkedaifan manusia. Manusia begitu lemah, sehingga ia tidakmungkin mengetahui segalanya, bahkan—dalam bentuk radi-kalnya—tidak satu pun pengetahuan yang mungkin ia punya.Argumen kedaifan ini begitu sering muncul dalam tulisan-tulisan Goenawan. Dalam “Babel” (19 Februari 2007), misal-nya, ia menulis:

“Agama yang sejati, katanya, selalu menyimpan rasa gun-dah (uneasiness). Orang tahu, Tuhan yang disembahnyamelampaui takaran ’manusia yang terbatas’. Semetara itumanusia sendiri ‘terus-menerus tergoda untuk lupa akanketerbatasan kebudayaan dan peradabannya,’ dan mengi-ra mampu menangkap kebenaran yang terpuncak. Di si-tulah kisah Menara Babel membantah: manusia memang

T A U F I Q U R R A H M A N 29

M E N G A P A S A I N S L A Y A K D I P E R C A Y A ?

piawai, tapi daif. Kita perlu hidup bersama orang lain de-ngan (istilah saya) sebuah ’etika kedaifan’”.

Demikian juga dalam “Perspektif” (17 Juli 2017), Goena-wan menulis:

“Tapi modernitas mengandung antitesisnya sendiri. Ke-percayaan diri manusia sebenarnya tak kokoh. Berbarengdengan kesadaran perspektif, geometri dan matematikatumbuh. Sains makin canggih dan manusia makin tahutak ada surga. Ia juga ternyata tak mengendalikan bintang-bintang. Lewat teleskop-teleskop baru, makin sering tam-pak galaksi yang tak masuk hitungan—dan makin disada-ri betapa kecilnya bumi dan betapa sedikitnya yang manu-sia ketahui. . . . Di saat itulah ia mengenal kedaifan dirinya,mengenal yang-tak-terhingga”.

Mengapa pandangan epistemologis semacam itu jadi pro-blematik? Bukankah secara etik itu mengandaikan sikap ren-dah hati? Mengakui bahwa kita tidak tahu segalanya memangsebuah kerendahan hati. Namun, menetapkan batas bagi pikir-an, menghalangi pikiran dari akses pada pengetahuan, adalahjalan mulus menuju fideisme irasional. Ketika nalar dibatasi,maka apa yang dianggap berada di luar batas nalar hanya bisadigapai dengan iman. Semakin sempit memberi batas padanalar, maka semakin luas wilayah yang diberikan pada iman.

Dalam konteks inilah, kita bisa memahami pernyataanGoenawan yang tampak kontradiktif itu: “Di saat itulah iamengenal kedaifan dirinya, mengenal yang-tak-terhingga”. Ji-ka (nalar) manusia memang daif, bagaimana bisa ia mengenalyang-tak-terhingga, yang dianggap berada di luar batas na-lar yang terhingga? Jawabnya tentu melalui iman. Di situlahskeptisisme Goenawan yang dibangun di atas dasar argu-men kedaifan pada akhirnya hanyalah tempat bagi tumbuh-kembangnya fideisme irasional. Ini tentu bukan hanya hasil

30 T A U F I Q U R R A H M A N

M E N G H I N D A R I J E B A K A N S K E P T I S I S M E D A N F I D E I S M E

penyimpulan saya sendiri, tapi bahkan tampak secara jelas,misalnya, di Caping berjudul “Indonesia” (16 Juni 2008). Disitu Goenawan menulis begini:

“Itulah yang tersirat dalam iman. Kita percaya kepada Tu-han: kita percaya kepada yang tak alang kepalang jauhnyadi atas kita. Ia Yang Maha Sempurna yang kita ingin deka-ti tapi tak dapat kita capai dan samai. Dengan kata lain,iman adalah kerinduan yang mengakui keterbatasan diri.Iman membentuk, dan dibentuk, sebuah etika kedaifan”.

Dengan kata lain, bagi Goenawan, keterbatasan diri inimemaksa kita untuk menggapai apa yang kita rindukan, apayang berada di luar wilayah kemampuan nalar, dengan im-an. Dan hanya iman yang mampu mengantar kita ke arahsana, sebab daya rasional sudah dianggap begitu daif un-tuk bisa mengaksesnya. Di sini, skeptisisme dan fideismebukanlah dua tesis yang niscaya bertentangan. Bahkan ke-duanya bisa saling mengandaikan: kita butuh iman untukmengatasi keterbatasan atau ketidakmungkinan pengetahu-an; dan—sebagaimana dikatakan Kant dalam pengantar edisikedua Critique of Pure Reason—kita juga “perlu menyangkalpengetahuan untuk memberi ruang bagi iman”. Ini adalahsejenis jebakan: memilih ketidaktahuan atau memilih penge-tahuan tapi dalam bentuknya yang dogmatis.

Oleh karena itu, Meillassoux menyebut pembatasan terha-dap nalar itu memantik ‘an exacerbated return of the religious’,‘kembalinya yang-religius yang lebih buruk’. Filsafat yangmemercayai kekuatan pikiran untuk mengenal yang-absolutdicurigai sebagai sebentuk dogmatisme. Pikiran mesti dikri-tisi, ditunjukkan batas-batasnya, bahkan klaimnya tentangpengetahuan mesti ditunda, kalau perlu ditolak saja. Itulahposisi skeptis terhadap pikiran rasional. Namun, begitu pikir-

T A U F I Q U R R A H M A N 31

M E N G A P A S A I N S L A Y A K D I P E R C A Y A ?

an ditetapkan batasnya untuk mengakses yang-absolut, ma-ka yang akan muncul di situ justru keyakinan religius (atau‘puitika-religius’) terhadap yang-absolut. Artinya, mendesakpikiran rasional mundur dari akses pada yang-absolut samasaja dengan mempersilakan iman atau keyakinan religius un-tuk kembali mengklaim yang-absolut.

Mengapa itu dianggap sebagai kembalinya yang-religiusyang lebih buruk? Karena pada saat itu, saat pikiran dite-tapkan batasnya, menjadi tidak sah secara rasional untukmendiskualifikasi diskursus irasional. Kita menjadi begitutak berdaya di hadapan klaim-klaim religius tentang apa saja.Kita tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya mengutuknya.Persis inilah yang terjadi dalam tragedi The Black Death Perse-cutions and Massacres, ketika orang-orang Kristen pada 1349membantai dan membakar hidup-hidup ribuan orang Yahudi.Pengetahuan ilmiah didesak mundur, sehingga yang munculadalah klaim religius yang takberdasar bahwa pembawa mauthitam (black death) yang membuat Eropa kacau kala itu adalahorang-orang Yahudi.

* * *

Berdasarkan penjelasan di atas, Goenawan sebagai sebuahparadigma—atau singkatnya: Goenawanianisme —sebenar-nya adalah perpaduan antara skeptisisme filosofis denganfideisme irasional. Ia memberi batas pada pengetahuan untukkemudian pada saat yang sama memberi ruang pada iman.Iman di sini tidak hanya dalam pengertian sempit sebagaikeyakinan religius, tetapi juga dalam pengertian luas yangmencakup segala bentuk keyakinan subjektif.

Berbeda dari Goenawanianisme, saya mengakui perlu-nya skeptisisme, tapi bukan skeptisisme filosofis, melainkan

32 T A U F I Q U R R A H M A N

M E N G H I N D A R I J E B A K A N S K E P T I S I S M E D A N F I D E I S M E

skeptisisme metodis. Bersamaan dengan skeptisisme metodisinilah, saya juga mengakui bahwa sains mungkin melahirkanteori ilmiah yang bisa menjelaskan dunia sebagaimana ada-nya, dunia yang independen dari manusia. Para filsuf ilmumenyebut posisi ini sebagai realisme ilmiah. Dengan posisiinilah, kita bisa menghindari jebakan ketidaktahuan skepti-sisme dan pengetahuan dogmatis fideisme. Dengan kata lain,melalui realisme ilmiah, kita mungkin memiliki pengetahuantentang dunia meskipun bukan dengan cara yang dogmatis.

T A U F I Q U R R A H M A N 33

5FILSAFAT DAN PROBLEMIRASIONALITAS MANUSIA

A PA yang mesti dilakukan seorang filsuf di abad setelah ber-kembangnya psikologi? Atau dengan kata lain: apa yang mestidilakukan filsafat terhadap hasil-hasil penelitian ilmiah psi-kologi tentang manusia? Pertanyaan tersebut memojokkanfilsafat ke dalam posisi dilematis. Pertama, jika filsafat menga-mini apa yang dikatakan oleh psikologi, maka berarti ia bunuhdiri. Kedua, jika filsafat menolak mentah-mentah bukti em-piris yang diajukan oleh psikologi, maka ia akan dihantuioleh sesuatu yang hendak dibunuhnya, yaitu dogmatisme.Mengapa?

Kita mulai dari yang pertama. Psikologi eksperimental,seperti yang akan saya tunjukkan nanti, punya bukti-bukti em-piris bahwa manusia itu irasional. Oleh karena itu, di tahun-tahun 1970-an, banyak para psikolog berkomentar negatiftentang rasionalitas manusia. Semisal, sebagaimana dicatatJonathan Cohen1, beberapa komentar berikut ini: “temuan-

1 Lih. Jonathan Cohen, “Can Human Irrationality be Experimentally Demon-strated?”, The Behavioral and Brain Sciences (1981) 4, 317-370.

M E N G A P A S A I N S L A Y A K D I P E R C A Y A ?

temuan psikologis yang dapat dipercaya punya implikasi su-ram (bleak implications) bagi rasionalitas manusia,” (Nisbett &Borgida, 1975); “orang yang ingin melihat manusia sebagaimakhluk rasional, pasti akan menemukan hasil yang menge-cewakan,” (Kahneman & Tversky, 1972); atau “manusia seringsecara sistematis melanggar prinsip-prinsip pembuatan ke-putusan secara rasional ketika menilai probabilitas, membuatprediksi, atau usaha-usaha lain yang berkaitan dengan soalprobabilitas,” (Slovic, Fischhoff & Lichtenstein, 1976).

Jika hasil penelitian ilmiah psikologi eksperimental ituditerima begitu saja, maka filsafat sebenarnya hanya ilusi seja-rah. Subjek filsafat tidak pernah berpikir secara rasional, tetapihanya sebagai manusia bijak yang menunggu wangsit untukkemudian diwartakan kepada sesamanya. Filsafat, dengandemikian, akan selalu lolos dari kritik, bukan karena ia selalubenar atau tak bisa dikritik, melainkan karena basis epistemikyang memungkinkan kritik itu tidak ada. Oleh karenanya,sekali filsafat mengafirmasi tesis irasionalitas manusia, padasaat itulah ia sedang memaklumatkan kematiannya.2

2 Pilihan sikap semacam ini, dengan berbagai variannya, bisa kita lihat dalamtren filsafat pascamodernisme. Sejak Immanuel Kant melancarkan kritiknyaterhadap metafisika, dengan mempertimbangkan batas-batas kognitif ma-nusia, pengetahuan rasional tentang yang absolut (das Ding an sich) tidaklagi dimungkinkan untuk ada. Pengetahuan manusia, dalam filsafat pasca-modernisme, karenanya, bukan lagi pengetahuan rasional, melainkan pe-ngetahuan “irasional” yang mewujud dalam konsep, misalnya, “kehendakkuasa” (Nietzsche), “hasrat” (Lacan), “relasi kuasa-pengetahuan” (Fouca-ult), dan “intertekstualitas” (Derrida). Varian filsafat pascamodern itu, olehQuentin Meillassoux, disebut sebagai korelasionisme yang memblokade pi-kiran (rasional) manusia untuk mengetahui sesuatu-pada-dirinya (things inthemselves), sehingga, karenanya, satu-satunya pengetahuan yang dimung-kinkan hanyalah pengetahuan yang selalu berkorelat dengan subjektivitasmanusia. Pada titik ini, selain menumbuhkan relativisme dengan seruan un-tuk merayakan perbedaan, filsafat pascamodern juga menemui tumpulnyanalar rasional, sehingga ia menjadi demikian tidak berdaya secara epistemikuntuk melakukan kritik rasional terhadap, misalnya, dogmatisme agama.

36 T A U F I Q U R R A H M A N

F I L S A F A T D A N P R O B L E M I R A S I O N A L I T A S M A N U S I A

Pilihan kedua, filsafat menolak bukti-bukti empiris daripsikologi. Walaupun pilihan sikap seperti ini punya prese-dennya dari artikel sepanjang 53 halaman yang ditulis olehJonathan Cohen3, tapi bagi saya itu bukanlah sikap yang tepatbagi filsafat. Dengan mengambil sikap ini, filsafat akan men-jadi sejenis solipsisme yang hanya memikirkan pikirannyasendiri, tanpa mau tahu apa yang dipikirkan oleh, misalnya,sains atau jenis-jenis pengetahuan yang lain. Pada titik ini,filsafat jadi sama “buta”-nya dengan musuh yang dari awalhendak dilawannya, yaitu dogmatisme.

Jika pilihan pertama mengarah pada kematian filsafat danakhirnya menjadikan filsafat tidak berdaya di hadapan fideis-me dan dogmatisme, maka pilihan kedua mengurung filsafatke dalam keyakinannya sendiri dan itu berarti menjadikanfilsafat sebagai fideisme dalam bentuknya yang lain. Oleh ka-rena itu, artikel ini bertujuan untuk menyelamatkan filsafatdari jebakan fideisme religius saat ilmu psikologi mewartakantesis irasionalitas manusia. Sikap yang akan diambil artikel iniadalah mengafirmasi tesis irasionalitas manusia dan kemudi-an memberikan justifikasi rasional terhadapnya. Dengan sikapseperti ini, filsafat masih bisa memperpanjang umurnya tanpaharus bersikap dogmatis terhadap ajaran rasionalismenya.

Oleh karena itu, pembahasan artikel ini akan dibagi menja-di tiga bagian. Pertama, penjelasan tentang klaim psikologi eks-

Filsafat, karenanya, kehilangan daya kritisnya. “Correlationism provides nopositive ground for any specific variety of religious belief, but it undermines reason’sclaim to be able to disqualify a belief on the grounds that its content is unthinka-ble.” Lih. Quentin Meillassoux, After Finitude: An Essay on the Necessity ofContingency, terj. Ray Brassier, London: Continuum, 2008, hlm. 41.

3 Cohen menolak tesis irasionalitas karena tesis itu tidak tepat jika didemon-strasikan secara eksperimental. Sebab eksperimen untuk menguji kemam-puan rasional manusia, menurutnya, menggunakan kriteria normatif yangmendapat kredensialnya justru dari sistematisasi intuisi. Lih. Jonathan Co-hen, Op.cit.

T A U F I Q U R R A H M A N 37

M E N G A P A S A I N S L A Y A K D I P E R C A Y A ?

perimental terkait irasionalitas manusia serta bukti-bukti yangmendukungnya. Kedua, penjelasan tentang problem yang di-hadapi oleh tesis irasionalitas manusia. Ketiga, upaya untukmenemukan basis epistemik yang rasional untuk menjusti-fikasi tesis irasionalitas manusia. Pada bagian inilah upayapenyelamatan filsafat yang tengah menghadapi tantangandilematis dari ilmu psikologi dilakukan.

Memahami Tesis Irasionalitas

Sebelum lebih jauh memahami tesis irasionalitas manusia,kita perlu memahami kata dasarnya, yaitu rasional, besertakata-kata derivatifnya, seperti rasionalitas dan rasionalisme.Kata ‘rational’ dalam bahasa Inggris punya pengertian “(of be-haviour, ideas, etc.) based on reason rather than emotions,” (OxfordAdvanced Learner’s Dictionary) atau “relating to, based on, or agre-eable to reason,” (Merriam-Webster). Dari pengertian tersebut,setiap subjek yang mendapat ajektif ‘rasional’ berarti sesuatuyang didasarkan pada pertimbangan nalar daripada emosi.Sebaliknya, jika sebuah keputusan atau tindakan lebih dida-sarkan pada emosi subjektif manusia, maka berarti keputusanatau tindakan tersebut tidak rasional.

Rasionalitas, dengan demikian, dapat dipahami sebagaikemampuan manusia untuk berpikir sesuai dengan prinsip-prinsip normatif penalaran (logika). Sedangkan rasionalismelebih merujuk pada suatu pandangan bahwa pengetahuansejati dapat diperoleh dengan penalaran logis yang bersifata priori yang berdasarkan pada kriteria-kriteria normatif lo-gika. Jika ‘rasionalitas’ diimbuhi privative ‘i’, maka ia akanmenjadi negasi dari ‘rasionalitas’. Tesis rasionalitas manusia,karenanya, secara sederhana dapat dipahami sebagai sebuah

38 T A U F I Q U R R A H M A N

F I L S A F A T D A N P R O B L E M I R A S I O N A L I T A S M A N U S I A

klaim bahwa kemampuan berpikir manusia merepresentasik-an prinsip-prinsip normatif penalaran; sedangkan tesis ira-sionalitas manusia adalah klaim bahwa kemampuan berpikirmanusia merepresentasikan prinsip-prinsip penalaran yangberbeda dari aturan normatif yang seharusnya.4

Psikologi, berdasarkan hasil eksperimentasinya, secarategas mengafirmasi tesis irasionalitas manusia. Manusia da-lam membuat sebuah pilihan ataupun keputusan di antarasekian banyak kemungkinan (probability) tidak mampu men-jelmakan prinsip-prinsip normatif penalaran yang seharusnyadilakukan. Dengan kata lain, ketika dihadapkan pada problemprobabilitas, manusia memilih berdasarkan kecenderunganemosionalnya. Bagaimana eksperimen yang dilakukan olehpsikologi untuk membuktikan hal ini? Salah satu contoh eks-perimen yang terkenal adalah teka-teki logika yang ditemuk-an oleh seorang psikolog kognitif Peter Cathcart Wason yangkemudian diberi nama Wason selection task (WST).

Teka-teki WST itu juga dikenal dengan istilah four-card pro-blem karena menggunakan empat kartu. Andaikan ada empatkartu di atas sebuah meja yang ditunjukkan kepada Anda.Masing-masing kartu punya dua sisi. Satu sisi berisi abjad,satu sisi lainnya berisi angka. Dua kartu pertama menampil-kan sisi abjad yang masing-masing terdiri dari huruf A dan B.Dua kartu berikutnya menampilkan sisi angka yang masing-masing terdiri dari angka 5 dan 8 (lihat gambar di bawahini).

4 Lih. Edward Stein, “Can We Be Justified in Believing that Humans AreIrrational?”, Philosophy and Phenomenological Research, Vol. 57, No. 3 (Sep.,1997), hlm. 545-565. “What I call the rationality thesis says that human reasoningcompetence embodies the normative principles of reasoning, while the irrationalitythesis says that human reasoning competence embodies principles of reasoning thatdiverge from the norms.”

T A U F I Q U R R A H M A N 39

M E N G A P A S A I N S L A Y A K D I P E R C A Y A ?

Sang penguji (experimenter) kemudian memberitahu Andabahwa jika terdapat huruf A pada satu sisi kartu, maka sisi lainnyapasti terdapat angka 5. Tugas Anda adalah menguji kebenaranpernyataan sang penguji tersebut dengan membalik palingbanyak dua kartu. Kartu manakah yang akan Anda balik?

Ketika eksperimen ini dilakukan, hanya sekitar 10% darisubjek eksperimen yang berhasil membuat pilihan yang tepat.Sekitar 75-90% subjek eksperimen memilih untuk membalikkartu (a) dan (c), atau hanya kartu (a). Padahal pilihan yangbenar adalah kartu (a) dan (d), karena hanya dua kartu itulahyang bisa membuktikan kebenaran pernyataan sang pengu-ji. Apa pun yang ada di sisi lain kartu (b) dan (c) itu tidakrelevan dengan pernyataan sang penguji di atas.5 Mengapa?Mari kita ingat kembali materi logika dasar, sebab teka-teki diatas hanya bentuk kasuistik dari implikasi material (A→5). Pe-nyelesaiannya adalah dengan menggunakan model penalaranmodus ponens dan modus tollens.

Pertama, dengan modus ponens, untuk membuktikan pro-posisi implikatif A→5, maka kartu (a) yang berhuruf A harusdibalik. Jika ternyata di sisi lain kartu (a) bukan angka 5, maka

5 George Botterill & Peter Carruthers, The Philosophy of Psychology, Cambridge:Cambridge University Press, 1999, hlm. 109.

40 T A U F I Q U R R A H M A N

F I L S A F A T D A N P R O B L E M I R A S I O N A L I T A S M A N U S I A

pernyataan sang penguji di atas salah. Kedua, dengan modustollens, kita harus membalik kartu yang bukan angka 5, yaitukartu (d), untuk memastikan bahwa ia di sisi lainnya tidakmemiliki huruf A. Jika ternyata kartu (d) yang salah satu sisi-nya adalah angka 8 itu di sisi lainnya terdapat huruf A, makapernyataan sang penguji salah. Itu berarti bahwa ada kartuberhuruf A tetapi sisi lainnya bukan angka 5. Padahal klaim-nya: jika satu sisi A, maka sisi lainnya pasti 5. Oleh karenaitu, membalik kartu (a) saja tidak cukup untuk membuktikankebenaran pernyataan sang penguji.

Bagaimana dengan kartu (b) dan (c)? Dari dua kartu itukita bisa melihat huruf B dan angka 5 pada masing-masingsalah satu sisinya. Jika sisi lain dari kartu (b) bukan angka 5,maka itu tidak berpengaruh pada pernyataan sang penguji,karena sang penguji tidak membuat klaim apa pun tentangkartu berhuruf B. Sang penguji hanya membuat klaim tentangkartu berhuruf A. Kartu (c) yang salah satu sisinya terdapatangka 5 juga tidak relevan untuk dijadikan dasar pembuktianpernyataan sang penguji. Jadi, meskipun di sisi lain kartu ber-angka 5 itu ternyata tidak terdapat huruf A, maka pernyataansang penguji di atas tetap tidak bisa disalahkan. Mengapa?Karena proposisi A→5 tidak menjadikan angka 5 eksklusifpada huruf A. Angka 5 bisa berada di kartu berhuruf apa punselain A. Ini sama dengan proposisi, semisal, “jika hujan turun,maka jalanan basah”. Konsekuen “jalanan basah” tidak eks-klusif pada anteseden “hujan turun”, sebab bisa jadi jalananbasah bukan karena hujan, melainkan karena ada air selokanyang meluap.

Itu salah satu bentuk eksperimen yang membuktikan bah-wa manusia pada dasarnya adalah irasional. Hasil eksperimensemacam itu semakin menemukan justifikasinya dalam seja-

T A U F I Q U R R A H M A N 41

M E N G A P A S A I N S L A Y A K D I P E R C A Y A ?

rah dan juga dalam kehidupan sehari-hari di dunia kita. Salahsatu momen paling bersejarah dalam perkembangan ilmu pe-ngetahuan adalah Revolusi Kopernikan. Revolusi ilmiah yangdiprakarsai oleh Nicolaus Copernicus (1473-1543) ini mam-pu membalik seratus delapan puluh derajat pandangan kitatentang semesta. Bukan bumi tempat subjek pengamat yangmerupakan pusat tata surya, melainkan matahari lah pusat ta-ta surya. Pandangan heliosentrismenya itu dituangkan dalamsebuah risalah berjudul On the Revolutions.

Fakta yang tak banyak diketahui orang di balik kesuk-sesan Copernicus dalam melakukan revolusi ilmiah adalahsesuatu yang eksternal dari bukti-bukti ilmiah yang dijabar-kan Copernicus untuk mendukung pandangannya. Sebelummemulai penjelasannya tentang bukti-bukti empiris dan mate-matis dari heliosentrisme, Copernicus terlebih dahulu menulissatu surat khusus kepada Paus Paul III. Berikut adalah salahsatu bagian paragrafnya:

“Saya yakin bahwa astronom yang tajam dan terpelajar akan

sepakat dengan saya, jika mereka mau memeriksa dan mem-

pertimbangkan, tidak secara dangkal tetapi secara menyeluruh,

apa yang saya kemukakan dalam buku ini. Tetapi, agar orang

terpelajar maupun orang tidak terpelajar (uneducated) meng-

anggap saya tidak menghindar dari penilaian orang lain sama

sekali, saya memilih untuk mendedikasikan studi saya ini un-

tuk Keagungan Yang Mulia daripada orang lain. Karena bahkan

di daerah terpencil tempat saya hidup, Yang Mulia dianggap

sebagai otoritas tertinggi lantaran kehebatan Yang Mulia dan

kecintaan Yang Mulia pada buku-buku dan astronomi. Oleh

karena itu, meskipun dengan wibawa Yang Mulia, Yang Mulia

dapat dengan mudah membuat putusan untuk mendiamkan

serangan fitnah, namun—sebagaimana kata pepatah—tetap

tidak ada obat untuk sikap suka memfitnah.”6

6 Lih. Nicolaus Copernicus, On the Revolutions, terj. Edward Rosen, Baltimore:John Hopkins University, (versi ebook tanpa tahun dan halaman).

42 T A U F I Q U R R A H M A N

F I L S A F A T D A N P R O B L E M I R A S I O N A L I T A S M A N U S I A

Kutipan tersebut merepresentasikan keseluruhan isi suratCopernicus kepada Paus. Artinya, peristiwa penting dalambidang sains pun masih melibatkan sisi emosionalitas. Di situCopernicus tampak sedang memberikan persuasi daripadaargumentasi untuk memengaruhi perasaan Paus. Oleh kare-na itulah, Copernicus selamat dari dakwaan gereja sekalipunmewartakan pengetahuan yang bertentangan dengan doktrinresmi gereja. Jika semisal Copernicus tidak pernah berpikiruntuk melakukan tindakan persuasif terhadap Paus, maka bi-sa jadi paradigma ilmiah yang tetap berkembang sampai saatini adalah geosentrisme, dan kita tidak akan pernah mengenalnama Copernicus dalam sejarah ilmu pengetahuan.

Justifikasi berikutnya sering kita jumpai dalam kehidupansehari-hari. Semisal saat kita melihat orang yang mulanyasangat rajin, cerdas, dan selalu punya pilihan-pilihan cemer-lang nan rasional, tetapi karena jatuh cinta atau patah hati, iamenjadi berantakan, bukan lagi anak muda dengan semangatbelajar yang berkobar-kobar, kita akan segera berkomentar:“Ah, hanya manusia biasa!” Komentar tersebut seolah-olahmenegaskan bahwa saat orang itu rasional, ia bukan sebagaimanusia biasa, atau malah melampaui manusia, tetapi saatorang itu menjadi sosok yang emosional seolah kemanusiaan-nya kembali menjelma. Dengan kata lain, sifat kemanusiaanitu identik dengan emosionalitas yang dapat berseberangandengan rasionalitas.7

7 Saya mendapatkan contoh ini dari salah satu fragmen dalam buku YosieHizkia Polimpung, Ontoantropologi: Fantasi Realisme Spekulatif Quentin Mei-llassoux, Yogyakarta: Aurora, 2017.

T A U F I Q U R R A H M A N 43

M E N G A P A S A I N S L A Y A K D I P E R C A Y A ?

Problem Tesis Irasionalitas

Berdasarkan bukti-bukti empiris yang dijabarkan di atas tam-pak bahwa irasionalitas merupakan fakta fundamental ma-nusia. Namun, apakah dengan itu berarti bahwa irasionalitasmanusia sudah sah sebagai sebuah tesis? Sayangnya: belum!Irasionalitas sebagai sebuah tesis masih dihantui oleh pro-blem inkonsistensi logis, dan ini nantinya akan berimplikasipada pembatalan tesisnya sendiri secara otomatis. Problemitu secara umum dapat disebut problem self-refutation ataupenyangkalan-diri.

Secara sederhana, self-refutation ini dapat dipahami sebagaisebuah tesis/statemen yang mengandung kontradiksi dalamdirinya sehingga dapat menyangkal (refute) dirinya sendiri. Iasetidaknya memiliki tiga macam bentuk: 1) penyangkalan-diripragmatis; 2) penyangkalan-diri mutlak; dan 3) penyangkalan-dirioperasional.8 Penyangkalan-diri pragmatis adalah sebuah state-men yang disampaikan dengan cara yang bertetangan denganpokok soal yang disampaikan. Semisal, saya menulis “Sayatidak bisa menulis”. Kalimat “Saya tidak bisa menulis” jelassalah dengan sendirinya, karena kalimat itu sendiri ternyataditulis oleh saya sendiri. Contoh lain: saya berkata “saya tidakbisa bicara”.

Penyangkalan-diri mutlak adalah statemen yang me-nyangkal dirinya karena secara substansial mengandung kon-tradiksi internal. Semisal, kata-kata bijak yang begitu terkenaldari Sokrates, “Saya tahu bahwa saya tidak tahu apa-apa”;atau “kita dapat membuktikan bahwa tidak ada yang dapatdibuktikan”. Tahu bahwa saya tidak tahu itu sudah merupakan

8 Lih. J. L. Mackie, “Self-Refutation–A Formal Analysis”, The PhilosophicalQuarterly (1950-), Vol. 14, No. 56 (Jul., 1964), hlm. 193-203.

44 T A U F I Q U R R A H M A N

F I L S A F A T D A N P R O B L E M I R A S I O N A L I T A S M A N U S I A

sebuah pengetahuan, sehingga klaim bahwa “saya tidak ta-hu apa-apa” dengan sendirinya terbatalkan. Demikian jugadengan pembuktian bahwa tidak ada yang dapat dibuktikan.

Penyangkalan-diri operasional adalah bentuk penyang-kalan-diri yang lebih kuat daripada penyangkalan-diri prag-matis, tetapi lebih lemah dibandingkan penyangkalan-diriabsolut. Jika dalam penyangkalan-diri pragmatis pokok soalyang disampaikan bertentangan dengan cara ia disampaikan,maka dalam penyangkalan-diri operasional ini pokok soal-nya sama sekali tidak bisa disampaikan, walaupun kontennyabisa saja benar. Semisal, dalam kehidupan sehari-hari bisasaja saya memang tidak punya keyakinan pada apa pun, te-tapi saya tidak bisa menyampaikan hal itu secara koheren.Sebab, untuk menyatakan “saya tidak punya keyakinan padaapa pun” itu butuh sebuah keyakinan—dan jika itu dilaku-kan, berarti pokok soal yang disampaikan dengan sendirinyaternegasikan.

Tesis irasionalitas juga merupakan salah satu bentuk daripenyangkalan-diri. Jika tesisnya dieksplisitasi, kira-kira ber-bunyi seperti ini: saya menyimpulkan bahwa semua kesimpulanyang dibuat oleh manusia itu melanggar norma-norma penalaran.Artinya, jika benar bahwa semua kesimpulan yang dibuat olehmanusia itu melanggar norma-norma penalaran, maka kesimpul-an apa pun yang dibuat oleh seseorang (termasuk psikolog)semestinya juga tidak valid—betapa pun itu sudah disertai de-ngan bukti-bukti empiris. Oleh karena itu, tesis ini lebih tepatdisebut sebagai penyangkalan-diri operasional. Berdasarkanbukti empiris, kita akui bahwa manusia memang irasional.Persoalannya: bagaimana para psikolog itu, yang adalah ma-nusia, bisa membuat tesis yang rasional saat ia sendiri diklaimtidak rasional? Maka, sebagaimana problem penyangkalan-

T A U F I Q U R R A H M A N 45

M E N G A P A S A I N S L A Y A K D I P E R C A Y A ?

diri operasional, pokok soal irasionalitas manusia tidak bisadidemonstrasikan, karena untuk melakukan demonstrasi atasirasionalitas manusia kita butuh rasionalitas.

Filsafat dapat dengan mudah membuat argumen sema-cam itu. Pokok argumentasinya: tesis irasionalitas tidak dapatdiakses (inaccessible) secara epistemologis. Sebanyak apa punbukti empiris yang disajikan oleh para psikolog, bagi filsafat,kita tetap tidak akan bisa punya akses pengetahuan yang validtentang irasionalitas. Inilah problem pilihan kedua dari filsa-fat: ia mengabaikan bukti-bukti empiris yang diajukan olehsains, hanya karena pikirannya sendiri tidak bisa mengakseshal itu. Sebuah solipsisme naif, saya kira! Oleh karena itu, tan-tangan berat artikel ini berikutnya adalah bagaimana filsafatbisa punya akses epistemologis terhadap bukti-bukti empirisyang disajikan oleh psikologi terkait irasionalitas manusia?

Akrobat Fisikalisme Non-Reduktif

Untuk menyelesaikan persoalan bagaimana kita bisa punyajustifikasi rasional terhadap tesis irasionalitas manusia, kita da-pat meniru akrobat ontologis emergentism dalam menjelaskandunia. Emergentism ini adalah salah bentuk dari varian fisika-lisme non-reduktif. Ia setidaknya punya tiga doktrin utama:landasan ontologis, kemunculan sifat, dan ketidakreduksiansifat-sifat yang muncul (the irreducibility of the emergents).9

Secara ontologis, sebagai bagian dari fisikalisme, emergen-tism mengasumsikan bahwa semua hal yang eksis di duniaruang dan waktu adalah partikel-partikel dasar yang diakuidalam fisika. Dengan kata lain, hanya yang bersifak fisik lah

9 Lih. Jaegwon Kim, Philosophy of Mind, Colorado: Westview Press, 1998, hlm.227-228.

46 T A U F I Q U R R A H M A N

F I L S A F A T D A N P R O B L E M I R A S I O N A L I T A S M A N U S I A

yang eksis. Namun, dari ranah fisikal yang merupakan basisontologis yang fundamental, dapat muncul (emerge) sifat-sifattertentu yang menunjukkan kompleksitas struktur ranah fi-sikal. Contoh sederhananya adalah sifat transparan pada air.Sifat itu tidak ada pada partikel material oksigen dan hidrogen.Namun, ketika partikel oksigen dan hidrogen itu disatukan, ja-dilah air yang punya sifat transparan. Sifat-sifat yang muncul(emergent properties) itu tidak dapat direduksi ke, dan tidak da-pat diprediksi dari, fenomena di level yang lebih rendah yangdarinya mereka muncul. Artinya, kita tidak bisa menjelaskansifat transparan air itu di level partikel material oksigen danhidrogen, karena pada level itu kita bahkan tidak bisa mem-prediksi bahwa jika partikel oksigen dan hidrogen disatukanakan muncul sifat transparan.

Mengikuti akrobat ontologis emergentism tersebut, kitaakui bahwa irasionalitas memang merupakan fakta funda-mental manusia. Namun, ketika manusia sudah mencapaitahapan struktur yang kompleks (melalui perkembangan tek-nologi dan ilmu pengetahuan), dalam dirinya dapat munculsifat-sifat tertentu yang memungkinkan manusia menjadi ra-sional. Sifat-sifat yang memungkinkan rasionalitas itu tidakdapat lagi direduksi ke dalam fakta fundamental irasionalitasmanusia. Oleh karenanya, dengan rasionalitas yang munculdi level yang lebih tinggi dari level fakta fundamentalnya,manusia dapat punya dasar epistemik yang rasional untukmenjelaskan irasionalitasnya.

Hal tersebut dimungkinkan karena sifat rasional yangmuncul pada struktur yang kompleks sudah bersifat indepen-den dari basis fundamentalnya—dalam arti: rasionalitas yangmuncul tidak lagi dapat direduksi ke dalam irasionalitas yangdianggap sebagai fakta fundamental manusia. Penyelesaian

T A U F I Q U R R A H M A N 47

M E N G A P A S A I N S L A Y A K D I P E R C A Y A ?

semacam ini saya pikir mampu menyelematkan filsafat daridua pilihan yang sama-sama merugikan.

Pertama-tama, untuk menghindari solipsisme pikiran filo-sofis, filsafat harus menerima bukti-bukti empiris yang disa-jikan oleh psikologi bahwa manusia irasional. Namun, agarfilsafat tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama denganpascamodernisme, maka ia harus menemukan basis epistemikyang rasional untuk menjustifikasi tesis irasionalitas. Mung-kin Anda masih akan berpikir bahwa dengan cara itu filsafatjustru semakin menegaskan irasionalitas—bahkan dengan ca-ra yang rasional! Cara itu kemudian menjadikan filsafat samagelapnya dengan pascamodernisme. Tapi tidak demikian se-benarnya.

Jika dalam varian filsafat pascamodern rasionalitas sa-ma sekali tidak dimungkinkan, sehingga pengetahuan yangmungkin selalu didasarkan pada dorongan hasrat, pada dis-kursus wacana, pada relasi kuasa, atau pada kearifan lokal,maka dalam model berpikir emergentism rasionalitas itu te-tap dimungkinkan sekalipun ia sekali waktu menjustifikasisesuatu yang bertentangan dengan dirinya (irasionalitas). Ka-rena rasionalitas merupakan realitas yang independen dariirasionalitas, maka filsafat tetap memungkinkan kita untukberdebat secara rasional tentang klaim apa pun. Sekalipunfakta fundamental manusia adalah irasional, filsafat masihmemungkinkan kita, dengan rasionalitas yang muncul di le-vel atas, untuk melakukan kritik rasional terhadap fideismereligius—yang tidak hanya menjelma dalam rupa agama, teta-pi juga bisa berupa kapital, pasar, dan komoditas simbolik.

Kebangkrutan filsafat pascamodern adalah karena ia tidakmampu mengatakan “tidak” secara rasional bahkan terha-dap musuhnya sendiri. Ia hanya mampu memberikan seruan

48 T A U F I Q U R R A H M A N

F I L S A F A T D A N P R O B L E M I R A S I O N A L I T A S M A N U S I A

etis “hargailah perbedaan!”—sekalipun perbedaan itu hendakmembunuhnya. Menjustifikasi irasionalitas manusia denganmodel emergentism ini tidak punya ekses negatif seperti pasca-modernisme meruntuhkan rasionalitas. Meskipun mengafir-masi fakta fundamental manusia adalah irasional, akrobat on-tologis emergentism dengan topangan epistemologisnya masihmemungkinkan rasionalitas. Daya kritis filsafat, karenanya,terselamatkan dari ancaman amputasi. Dan itu berarti filsafatmasih mungkin untuk hidup seribu tahun lagi!

Referensi

Botterill, George & Peter Carruthers, The Philosophy of Psycho-logy, Cambridge: Cambridge University Press, 1999.

Cohen, Jonathan, “Can Human Irrationality be ExperimentallyDemonstrated?”, The Behavioral and Brain Sciences (1981) 4.

Copernicus, Nicolaus, On the Revolutions, terj. Edward Rosen,Baltimore: John Hopkins University, (versi ebook tanpatahun).

Kim, Jaegwon, Philosophy of Mind, Colorado: Westview Press,1998.

Mackie, J. L., “Self-Refutation–A Formal Analysis”, The Philo-sophical Quarterly (1950-), Vol. 14, No. 56 (Jul., 1964), hlm.193-203.

Meillassoux, Quentin, After Finitude: An Essay on the Necessity ofContingency, terj. Ray Brassier, London: Continuum, 2008.

Stein, Edward, “Can We Be Justified in Believing that HumansAre Irrational?”, Philosophy and Phenomenological Research,Vol. 57, No. 3 (Sep., 1997).

T A U F I Q U R R A H M A N 49

6FILSAFAT DAN SAINS:SEBUAH KLARIFIKASI [BAGIAN I]

P O L E M I K yang pada awalnya adalah soal bagaimana sikapkita terhadap sains, terutama di masa pandemi, kini sudahmulai berubah menjadi polemik yang menghadap-hadapkanfilsafat dengan sains. Ini terlihat, misalnya, pada tulisan Ha-mid Basyaib yang kemudian ditanggapi oleh Fitzerald Ken-nedy Sitorus. Pergeseran ini sangat bisa dipahami karena,dalam polemik ini, suara “kritis”—yang oleh sebagian orangmungkin disebut sebagai sikap “anti”—terhadap sains itu per-tama kali datang dari Goenawan Mohamad yang suka sekalimembawa-bawa nama filsuf besar seperti Whitehead, Popper,Husserl, dan Heidegger. Karenanya, saya menduga, ketikaHamid Basyaib menghadap-hadapkan filsafat dengan sainsdan kemudian dengan begitu bersemangat menyerang filsafat,yang dijadikan sebagai representasi filsafat dalam pikirannyatak lain adalah Goenawan Mohamad.

Goenawan Mohamad tentu bukan representasi yang pasbagi filsafat. Tulisan-tulisannya pun jauh dari ciri tulisan filsa-fat yang argumentatif. Bagi saya, Goenawan Mohamad lebih

M E N G A P A S A I N S L A Y A K D I P E R C A Y A ?

tepat disebut sebagai penenun kata-kata—dan untuk satu halini, saya sangat kagum padanya. Namun, sayang, tenunankata-kata tidak otomatis membuat sebuah tulisan menjaditulisan filsafat. Karenanya, menyerang filsafat dengan menja-dikan Geonawan Mohamad sebagai representasinya itu hanyaakan terjebak ke dalam salah satu dari dua sesat pikir beri-kut: atau terjebak pada sesat pikir manusia jerami (straw manfallacy) karena kritiknya terhadap filsafat didasarkan padamisrepresentasi atau terjebak pada generalisasi gegabah (has-ty generalisation) karena, meskipun memang ada pandangansebagian filsuf yang serupa dengan pandangan GoenawanMohamad, pandangan itu bukanlah keseluruhan filsafat.

Oleh karena itu, selain akan memberikan tanggapan kepa-da Goenawan Mohamad, saya juga akan memberikan klari-fikasi bagaimana sebenarnya filsafat bekerja dan bagaimanahubungan ia dengan sains lengkap dengan contoh-contohnya.Klarifikasi ini, selain ditujukan kepada orang-orang yangmenganggap filsafat sudah mati atau—dengan kemajuan sa-ins—filsafat tidak dibutuhkan lagi, pertama-tama justru di-tujukan kepada orang-orang yang menganggap filsafat bisaberdiri sendiri, terlepas dari sains sama sekali.

* * *

Filsafat sering disebut sebagai “armchair discipline”, sebu-ah disiplin ilmu yang bisa dikerjakan hanya dengan duduk-duduk di atas kursi, tanpa perlu masuk ke dalam laborato-rium untuk melakukan eksperimen atau turun ke lapanganuntuk melakukan survei atau observasi. Istilah tersebut benaruntuk menggambarkan salah satu ciri dari filsafat—bahwa,tidak seperti sains yang mengupayakan bukti-bukti empirisbagi setiap hipotesisnya, filsafat lebih bersifat spekulatif da-

52 T A U F I Q U R R A H M A N

F I L S A F A T D A N S A I N S [ B A G I A N I ]

lam merumuskan tesis-tesisnya. Namun, sifat spekulatif initidak berarti bahwa filsafat boleh mengajukan tesis apa saja se-enaknya. Setiap tesis filosofis mesti didasarkan pada argumenrasional yang bisa diuji premis-premisnya. Argumen rasionalinilah yang bisa dikatakan sebagai inti dari filsafat.

Jenis argumen yang bersesuaian dengan ciri spekulatiffilsafat adalah argumen deduktif; dan bisa dikatakan bahwasebagian besar tesis filosofis itu lahir dari model penalaran de-duktif. Model penalaran ini bergerak dari satu prinsip umum(premis mayor) dan satu keadaan tertentu (premis minor) me-nuju ke sebuah klaim akhir (konklusi). Contoh klasik darimodel penalaran deduktif adalah silogisme Aristotelian: “Se-mua manusia itu fana” (P1) dan “Sokrates adalah manusia”(P2), maka “Sokrates itu fana” (K). Contoh lainnya, di dalamlogika proposisional, adalah bentuk penalaran modus ponens(P → Q,P ` Q) dan modus tolens (P → Q,¬Q ` ¬P ). Pdan Q dalam notasi formal tersebut adalah variabel yang bisamerujuk pada berbagai macam proposisi; sedangkan → dan¬ adalah konstanta logis yang masing-masing berarti “impli-kasi” (jika . . . , maka . . . ) dan “negasi”.

Semisal, kita gunakan P untuk merujuk pada proposisi“Air ini bersuhu 100°C” dan Q untuk proposisi “Air ini mendi-dih”. Modus ponens, yang berisi penegasan terhadap antesedendari relasi implikasi P → Q, akan menghasilkan penalaranseperti ini:

“Jika air ini bersuhu 100°C, maka air ini mendidih” (P → Q)

“Air ini bersuhu 100°C” (P )

“Air ini mendidih” (Q)

Modus tolens, yang berisi penyangkalan terhadap konseku-en dari relasi implikasi P → Q, akan menghasilkan penalaran

T A U F I Q U R R A H M A N 53

M E N G A P A S A I N S L A Y A K D I P E R C A Y A ?

seperti ini:

“Jika air ini bersuhu 100°C, maka air ini mendidih” (P → Q)

“Air ini tidak mendidih” (¬Q)

“Air ini tidak bersuhu 100°C” (¬P )

Semua bentuk penalaran tersebut valid. Artinya, kesim-pulannya bernilai benar karena diperoleh dari premis-premisyang mendahuluinya melalui proses penyimpulan yang sesu-ai dengan aturan formal penalaran. Namun, argumen yangbisa kita terima bukan argumen yang hanya valid, melainkanargumen yang andal (sound), yaitu argumen yang, selain ke-simpulannya diperoleh melalui proses penalaran yang benar,premis-premisnya juga bernilai benar. Maka pertanyaannya:apa yang menjadi dasar bahwa P1 dan P2 dalam silogisme diatas itu benar sehingga K bisa kita terima? Apa yang menda-sari bahwa premis P → Q; premis P ; dan premis ¬Q itu benarsehingga Q pada modus ponens dan ¬P pada modus tolensdi atas juga bisa kita terima?

Pada titik itulah, filsafat tidak bisa berdiri sendiri denganspekulasi rasionalnya. Ia memerlukan data-data pendukunguntuk menjamin bahwa premis-premis yang dibuat untukmenyusunan tesisnya itu benar. Untuk mengetahui apakah Pitu benar atau tidak, misalnya, filsafat paling tidak membu-tuhkan termometer untuk mengukur suhu air. Bahkan untukmengetahui kebenaran P → Q, filsafat masih memerlukankonfirmasi sains. Temuan sains ternyata mengungkapkan bah-wa berlaku ceteris paribus untuk P → Q pada contoh di atas.Artinya, air yang bersuhu 100°C itu akan mendidih jika bera-da pada tekanan udara 1 ATM atau pada posisi sejajar denganpermukaan air laut; dan akan selalu demikian jika dan hanyajika tidak ada faktor-faktor lain yang memengaruhi (ceteris

54 T A U F I Q U R R A H M A N

F I L S A F A T D A N S A I N S [ B A G I A N I ]

paribus). Mengapa berlaku ceteris paribus? Karena sains menje-laskan bahwa titik didih itu muncul ketika tekanan uap padaair sama dengan tekanan udara di sekitar. Begitu tekanan uda-ra di sekitar turun (kurang dari 1 ATM), maka untuk membuattekanan uap pada air sama dengan tekanan udara sekitar ha-nya memerlukan suhu di bawah 100°C. Ini berarti bahwa titikdidih air di dataran tinggi dengan tekanan udara yang rendahtidak sampai 100°C.

Maka, meskipun secara logis valid, modus ponens danmodus tolens di atas masih mungkin tidak andal karena pre-misnya keliru. Argumen yang tidak andal bukan argumenyang layak kita terima. Karenanya, jika filsafat hendak me-lakukan refleksi atau spekulasi tentang hal-hal yang terkaitdunia empiris atau dunia alamiah, maka ia harus menyusunpremis-premisnya berdasarkan pada temuan-temuan ilmiah.Tanpa dasar temuan ilmiah, tesis-tesis yang dihasilkan pastihanya omong kosong belaka.

Contoh di atas tentu hanya contoh sederhana. Kita bisamengubah premis-premis di atas dengan proposisi-proposisilain yang dapat menghasilkan tesis filosofis. Contoh tesis filo-sofis yang secara menyedihkan miskin data ilmiah adalah tu-lisan filsuf Italia Giorgio Agamben perihal COVID-19. Pande-mi COVID-19 yang disebabkan oleh SARS-CoV-2 ini pertama-tama merupakan bagian dari dunia alamiah—sebelum ke-mudian bisa ditarik menjadi bagian dari domain ekonomi,politik, dan budaya. Jika seorang filsuf hendak mengajukansatu tesis filosofis yang terkait dengannya, maka pertama-tama dia mesti tahu temuan-temuan sains perihal COVID-19.Berdasarkan temuan-temuan sains itulah dia mesti menyusunpremis-premisnya untuk kemudian dia refleksikan menjadisebuah tesis filosofis.

T A U F I Q U R R A H M A N 55

M E N G A P A S A I N S L A Y A K D I P E R C A Y A ?

Agamben, sialnya, mengajukan satu tesis filosofis perihalCOVID-19 dengan menggunakan premis yang miskin datailmiah. Di dalam tulisannya “L’invenzione di un’epidemia” (“TheInvention of an Epidemic”) yang terbit pertama kali di Quodli-bet pada 26 Februari 2020 (sebelum WHO mendeklarasikanCOVID-19 ini sebagai pandemi), Agamben mengajukan sa-tu tesis bahwa penemuan epidemi ini menjadi dalih (pretext)bagi pemberlakukan kondisi pengecualian (state of exception)yang memungkinkan pemerintah untuk mengambil tindakan-tindakan yang melampaui hukum, seperti membatasi kebebas-an warga untuk melakukan aktivitas sehari-hari sebagaimanabiasa. Artinya, di dalam kondisi pengecualian, pemerintahboleh mengambil tindakan-tindakan luar biasa (extraordinarymeasures) karena diandaikan bahwa kita sedang menghadapisatu kondisi tertentu yang juga tidak biasa. Tesis Agambenini muncul dari beberapa premis yang diyakininya sendiri:bahwa 1) “tidak ada epidemi SARS-CoV-2 di Italia” dan, ji-kapun ada, “virus ini pada sebagian besar kasusnya hanyamenyebabkan gejala ringan atau sedang sebagaimana virusinfluenza”; tetapi 2) “media dan pemerintah menyebarkankepanikan kepada masyarakat sehingga muncul kebutuhandiberlakukannya kondisi pengecualian (state of exception)”;oleh karena itu, 3) “penemuan epidemi SARS-CoV-2 hanyalahdalih bagi pemberlakuan kondisi pengecualian”.

Berdasarkan pada premis 1) dan 2), kesimpulan 3) secaralogis valid. Jika diterjemahkan ke dalam bentuk proposisilogis kira-kira seperti ini:

“Jika SARS-CoV-2 tidak ada di Italia dan ia sebenarnyasama dengan virus Influenza tetapi media dan peme-rintah menyebarkan kepanikan kepada masyarakat,maka SARS-CoV-2 ini hanyalah dalih bagi pemberlakuankondisi pengecualian” (P → Q)

56 T A U F I Q U R R A H M A N

F I L S A F A T D A N S A I N S [ B A G I A N I ]

“SARS-CoV-2 tidak ada di Italia dan ia sebenarnya samadengan virus Influenza tetapi media dan pemerintahmenyebarkan kepanikan kepada masyarakat” (P )

“SARS-CoV-2 ini hanyalah dalih bagi pemberlakuan kon-disi pengecualian” (Q)

Meskipun valid, apakah argumen Agamben ini andal (so-und)? Untuk mengetahui keandalan (soundness) sebuah argu-men, kita perlu memastikan apakah premis-premisnya itubenar atau tidak. Karenanya, menanggapi argumen Agambenini, kita perlu bertanya: benarkah SARS-CoV-2 tidak ada di Ita-lia dan ia sama dengan Flu biasa? Data menunjukkan bahwadua kasus pertama COVID-19 di Italia itu sudah terkonfirmasisejak 31 Januari 2020; sementara Agamben menyatakan “tidakada SARS-CoV-2 di Italia” pada 26 Februari 2020. Ini sungguhmenyedihkan. Temuan-temuan sains juga menyatakan bahwameskipun COVID-19 dan Flu menimbulkan gejala yang seru-pa, tetapi COVID-19 memiliki tingkat penularan yang lebihcepat daripada Flu dan, ini yang dilupakan Agamben, belumada vaksin yang terbukti ampuh bagi COVID-19 sebagaimanabagi Flu. Dengan demikian, argumen Agamben ini, meskipunvalid dan bahkan tampak menunjukkan sikap kritis, sebenar-nya hanya omong kosong belaka karena salah satu premisnyakeliru.

Dalam konteks ini, kita mau tidak mau harus menerima se-bagian tesis naturalisme metodologis Quine bahwa sains danfilsafat itu mesti berkesinambungan dan bahwa filsafat mestidiletakkan sebagai bagian dari upaya ilmiah (Tesis Kontinui-tas). Artinya, karena filsafat merupakan refleksi lebih lanjutterhadap temuan-temuan sains, maka tesis-tesisnya pun jugamesti diuji dengan berdasarkan bukti-bukti saintifik. Hal itu

T A U F I Q U R R A H M A N 57

M E N G A P A S A I N S L A Y A K D I P E R C A Y A ?

hanya mungkin jika kita menolak tesis otonomi filsafat darisains. Sebab begitu kita menganggap filsafat otonom dari sa-ins, maka kita akan kesulitan untuk membantah, misalnya,omong kosong Agamben.

Namun, kita tidak bisa menerima bagian lain, dan mung-kin bagian utama, dari tesis naturalisme metodologis yangmenyatakan bahwa “di dalam sains itu sendiri, bukan di da-lam filsafat sebelum sains, realitas itu semestinya diidentifikasidan dideskripsikan”. Jika ‘realitas’ yang dimaksud Quine disitu adalah realitas alamiah, maka tentu saja pernyataan Qui-ne itu bisa kita terima sepenuhnya. Setiap upaya mengenalidan mendeskripsikan realitas alamiah harus selalu melaluisains dan, dalam konteks ini, filsafat mesti hadir bersama de-ngan sains, bukan mendahului sains. Persoalannya munculketika tesis naturalisme metodologis ini berpadu dengan na-turalisme ontologis yang beranggapan bahwa apa yang adahanyalah apa yang bisa ditelaah oleh ilmu alam, yaitu entitasalamiah. Konsekuensi dari perpaduan ini adalah tidak ada-nya filsafat sebelum sains (prior philosophy) karena realitas ituseluruhnya adalah realitas alamiah yang bisa ditelaah olehilmu alam. Ini juga berarti tidak mungkinnya segala bentukpengetahuan a priori atau pengetahuan analitik. (Quine me-nolak pembedaan pernyataan analitik-sintetik. Tapi saya tidakingin terlalu masuk ke dalam perdebatan ini, karena butuh ru-ang tersendiri). Oleh karena itu, menerima naturalisme dalampengertian metodologis dan ontologis sekaligus tidak hanyaberarti menghilangkan kemungkinan adanya filsafat sebelumsains, yaitu filsafat yang bersifat analitik dan a priori, tetapi ju-ga menghilangkan kemungkinan adanya logika dan salah satuperangkat penting di dalam sains, yaitu matematika. Logikadan matematika, di dalam kerangka naturalisme ini, hanya

58 T A U F I Q U R R A H M A N

F I L S A F A T D A N S A I N S [ B A G I A N I ]

mungkin dalam bentuknya yang psikologistik. (Kritik terha-dap logika dan matematika yang psikologistik ini sudah sejaklama disampaikan oleh filsuf seperti Frege dan Husserl).

Menolak naturalisme semacam itu, selain berarti membu-ka kemungkinan bagi logika dan matematika dalam bentuk-nya yang non-psikologistik, juga berarti memberi ruang bagifilsafat untuk ada sebelum, pada saat, dan sesudah sains be-kerja—sejauh yang menjadi objek investigasi filsafat itu bukanentitas alamiah. Jika yang menjadi objek investigasi filsafatadalah entitas non-alamiah, seperti proposisi, konsep, bahasa,makna, dan nilai, maka filsafat dapat bekerja tanpa perlu me-nunggu pembuktian empiris dari sains, sebab entitas-entitasitu memang tidak mungkin diselidiki melalui metode empirissains. Dalam konteks ini, posisi filsafat itu seperti yang di-gambarkan oleh Wittgeinstein, yaitu bukan di samping ilmualam, melainkan di atas atau di bawah ilmu alam. Filsafatbertugas untuk memberikan klarifikasi terhadap pemikirandan proposisi-proposisi baik yang digunakan di dalam per-cakapan sehari-hari maupun dalam aktivitas ilmiah. Hal inimenggambarkan filsafat sebagai analisis konseptual. Objekanalisisnya adalah konsep-konsep dan pemikiran dan, kare-nanya, filsafat tak harus selalu menunggu data-data empirissebagai penopang.

Filsafat bisa bekerja tanpa topangan sains begitu objek in-vestigasinya bukan entitas alamiah. Ia, misalnya, bisa bekerjadengan menggunakan apa yang disebut sebagai eksperimenpikiran (thought experiment). Berbeda dari eksperimen parailmuwan, eksperimen pikiran ini dilakukan secara imajinerdengan membayangkan satu situasi tertentu yang mungkinterjadi. Dari situasi imajiner itulah, seorang filsuf kemudianmenarik satu klaim filosofis tertentu. Semisal, eksperimen

T A U F I Q U R R A H M A N 59

M E N G A P A S A I N S L A Y A K D I P E R C A Y A ?

pikiran Twin-Earth yang dilakukan oleh Hilary Putnam: an-daikan ada satu planet yang komponen-komponennya danseluruh penghuninya sama dengan planet Bumi ini. Sebutsaja planet itu sebagai “Bumi Kembar”. Segala hal yang adadi Bumi ini pasti memiliki kembarannya di Bumi Kembar.Saya yang sedang duduk di atas sebuah kursi dan mengetikdi sebuah laptop ini juga memiliki kembaran di Bumi Kem-bar. Bedanya, apa yang tampak seperti kembaran air di BumiKembar itu ternyata tidak terdiri dari unsur kimiawi H2O,melainkan XYZ. Namun, karena penampakannya persis samaseperti air di Bumi ini, maka penghuni Bumi dan Bumi Kem-bar tidak tahu bahwa cairan itu tidak terdiri dari H2O dan,karena itu, mereka tetap menyebut cairan tersebut dengankata “air”.

Eksperimen pikiran tersebut oleh Putnam digunakan un-tuk mendukung tesis eksternalisme semantiknya bahwa mak-na sebuah kata tidak ditentukan oleh pengalaman psikologispenuturnya, melainkan oleh faktor-faktor yang eksternal da-rinya. Artinya, meskipun saya dan kembaran-saya di BumiKembar itu memiliki pengalaman yang sama tentang cairanyang tampak seperti air, tetapi ketika kembaran-saya menye-but kata “air” itu berbeda maknanya dengan saat saya menye-but kata yang sama. “Air” dalam bahasa saya merujuk padacairan yang terdiri dari H2O; sedangkan “air” dalam bahasakembaran-saya merujuk pada cairan yang terdiri dari XYZ.Oleh karena itu, dalam kalimat Putnam yang terkenal, “mak-na itu tidak ada di dalam kepala”. Persoalan status ontologismakna di dalam teori semantik itu jelas tidak bisa dihampiridengan pendekatan empiris. Eksternalisme semantik, karena-nya, tetap sah sebagai sebuah tesis filosofis meskipun tidakmemiliki bukti empiris.

60 T A U F I Q U R R A H M A N

F I L S A F A T D A N S A I N S [ B A G I A N I ]

Contoh lain eksperimen pikiran adalah “Ruang Cina” (Chi-nese Room): andaikan saya ada di sebuah ruangan dan, me-lalui sebuah lubang di ruangan itu, saya bisa menerima danmemberikan pesan kepada seseorang yang ada di luar ru-angan. Suatu ketika, ada orang Cina mengirim pesan-pesanpendek kepada saya dengan huruf Cina. Tentu saya tidak pa-ham huruf-huruf yang ia tulis, tetapi di dalam ruangan itusaya memiliki satu buku panduan bahasa Cina. Saya pun bisamemberikan tanggapan kepada orang Cina tersebut hanyaberdasarkan buku panduan yang saya miliki. Saya tinggalmencocok-cocokkan: jika, misalnya, saya mendapati hurufHFSBGO, maka huruf-huruf yang harus saya keluarkan ber-dasarkan buku panduan tersebut adalah KNSFPOHGEOG.Saya pun bisa melakukan dialog dengan orang Cina tersebut,sehingga orang Cina itu merasa saya benar-benar paham ba-hasa Cina. Padahal saya sama sekali tidak mengerti apa yangsaya sendiri sampaikan, apalagi apa yang dia sampaikan.

Eksperimen pikiran “Ruang Cina” itu pertama kali dike-mukan oleh John Searle untuk membantah tesis fungsiona-lisme dalam filsafat akal-budi (philosophy of mind). Fungsio-nalisme berpandangan bahwa pikiran (mind) hanyalah satusistem pemroses-informasi (information-processing system) yangberoperasi berdasarkan simbol-simbol formal. Implikasinya,menurut fungsionalisme, objek apa pun yang memiliki sistempemroses-informasi tersebut bisa dikatakan memiliki pikiran.Jika sebuah robot benar-benar bisa diprogram dengan sistemtersebut, maka robot itu bisa kita sebut memiliki pikiran seba-gaimana yang kita miliki. Melalui eksperimen pikiran “RuangCina”, Searle berhasil membantah tesis fungsionalisme ini.Ketika sebuah robot bisa memberikan respons yang tepat ter-hadap masukan (input) yang kita berikan, maka hal itu sama

T A U F I Q U R R A H M A N 61

M E N G A P A S A I N S L A Y A K D I P E R C A Y A ?

dengan apa yang terjadi pada saya saat berada dalam “Ru-ang Cina”. Saya tidak mengerti apa yang saya terima (input)dan apa yang saya berikan (output). Saya melakukan “dialog”hanya berdasarkan buku panduan; dan dengan hal itu sajasaya tidak bisa disebut memiliki pikiran, karena tidak adakonten mental yang saya miliki saat menerima dan membe-rikan pesan. Persis inilah yang terjadi pada robot atau punkomputer yang dilengkapi dengan kecerdasan buatan. Ia bisamengatakan sesuatu tanpa harus mengerti apa yang ia ka-takan. Ia melakukan itu hanya berdasarkan pada programtertentu yang telah terpasang, tanpa memiliki konten mentalatau sikap intensional terkait apa yang ia sampaikan. Robotdan komputer, karenanya, tidak bisa disebut memiliki pikiran.

Contoh-contoh eksperimen pikiran tersebut hanya untukmenunjukkan bahwa filsafat, ketika objek investigasinya ada-lah entitas non-alamiah, mungkin bekerja tanpa perlu buktiempiris dari sains. Di sini filsafat menggunakan argumen yangmurni rasional untuk menyusun ataupun menyangkal tesisfilosofis tertentu. Dan kerja-kerja filsafat yang demikian itutidak bisa diremehkan begitu saja hanya karena tidak meng-hasilkan teknologi yang bernilai guna. Kerja-kerja filsafat ber-guna untuk menerangi pikiran dari kegelapan atau—dalambahasa orang beragama—untuk membedakan yang-hak danyang-batil. “Tanpa filsafat,” kata Wittgenstein, “pemikiranakan kabur dan suram”.

62 T A U F I Q U R R A H M A N

7FILSAFAT SAINS:SEBUAH KLARIFIKASI [BAGIAN II]

P E M B I C A R A A N tentang sains mungkin dilakukan tanpasains. Artinya, klaim-klaim yang muncul dari pembicaraantentang sains ini mungkin diterima tanpa perlu pembukti-an empiris. Sebab sains sendiri bukanlah sesuatu yang bersi-fat empiris, melainkan perangkat epistemik manusia untukmenjangkau dunia empiris secara objektif. Sebagai sebuahperangkat epistemik, sains mungkin dibicarakan tanpa meto-de empiris. Itulah yang dilakukan oleh filsafat tentang sainsatau—disebut secara lebih singkat—filsafat sains (philosophyof science).

Jika sains berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaanseperti “Mengapa langit berwarna biru?” atau “Berapa ba-nyak air yang dibutuhkan oleh sebuah tanaman untuk tum-buh?”, maka filsafat sains berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang sains itu sendiri, seperti apa hakikat sains,apa yang membedakannya dari bentuk-bentuk pengetahuanlain, bagaimana sains menemukan jawaban untuk pertanyaan-pertanyaannya, atau apa peran teori di dalam penelitian ilmi-

M E N G A P A S A I N S L A Y A K D I P E R C A Y A ?

ah. Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, filsafatsains tidak melulu menggunakan metode empiris, tetapi lebihsering menggunakan justifikasi rasional berdasarkan padapenalaran deduktif dan abduktif. Di dalam wilayah filsafatsains inilah, saya sebenarnya ingin bertukar pikiran denganGoenawan Mohamad.

* * *

Di dalam tanggapan terakhirnya, Goenawan Mohamadmenulis dua catatan untuk saya. Berikut saya kutip secaralangsung:

“Pertama, ia tidak menganggap sains sebagai satu-satunya jalan terang—atau jalan yang paling diridhoiLogos—untuk memahami dunia dan kehidupan. Taufiqbukan neo-positivis. Seperti saya. Alhamdulillah.”

“Kedua, Taufiq dengan baik menjelaskan apa spesialitassains. Ia mulai dengan menyebut adanya dua ‘kualitas’ da-lam benda-benda dalam alam, seperti dalam theori JohnLocke: kualitas primer (‘primary qualities’), yang dibeda-kan dari kualitas sekunder (‘secondary qualities’) sepertiwarna, panas, dan bau.”

Saya hanya akan memberikan tanggapan terhadap catatanpertama, sebab saya pikir tak ada yang perlu ditanggapi padacatatan kedua. Goenawan menyebut saya tidak menganggapsains sebagai satu-satunya jalan terang memahami dunia dankehidupan. Klaim ini benar sejauh makna “dunia” dan “ke-hidupan” di situ tidak terbatas pada dunia dan kehidupanalamiah. Jika dunia dan kehidupan alamiah (natural kind) yangmenjadi objek investigasi kita, maka sains adalah satu-satunyaakses terbaik yang kita punya. Bahkan di tulisan pertama, sa-ya juga sudah mengatakan bahwa sains adalah satu-satunya

64 T A U F I Q U R R A H M A N

F I L S A F A T S A I N S [ B A G I A N I I ]

pengetahuan terbaik tentang dunia alamiah yang mungkinkita punya. Namun, ini tak berarti bahwa saya menafikan fil-safat, karena filsafat juga memiliki objek investigasi lain selaindunia alamiah yang tidak bisa, dan tidak akan pernah bisa,dihampiri oleh sains. Bahkan soal kealamiahan (naturalness)dunia alamiah atau apa yang membuat dunia alamiah menja-di alamiah itu dibahas oleh filsafat, bukan oleh sains. Inilahmengapa filsafat dan sains tidak bisa dipisahkan; keduanyasaling membutuhkan satu sama lain.

Selain itu, di catatan pertamanya, Goenawan juga meng-anggap saya bukan neo-positivis, sama seperti Goenawan.Benarkah?!

Cara Goenawan menggunakan istilah “neo-positivis” disini menunjukkan kedangkalan pemahamannya. Dia memaha-mi neopositivisme secara sederhana hanya sebagai pandanganyang “menganggap sains sebagai satu-satunya jalan terang un-tuk memahami dunia dan kehidupan”. Pemahaman simplistisini tentu tidak salah. Memang benar bahwa para neopositi-vis menganggap sains sebagai satu-satunya cara memahamidunia. Namun, ini bukan ciri yang eksklusif dimiliki oleh ne-opositivisme. Beberapa posisi lain dalam filsafat sains jugapunya pandangan serupa. Kecuali relativisme dan anarkismeepistemologis ala Feyerabend, semua posisi di dalam filsafatsains itu tidak pernah memberikan penyangkalan terhadapklaim bahwa sains adalah satu-satunya akses yang mungkindimiliki manusia untuk memahami dunia alamiah.

Apa yang membedakan neopositivisme—atau biasa dise-but positivisme logis—dari posisi-posisi lain dalam filsafat sa-ins adalah sikapnya terhadap metafisika. Alur pikirnya sepertiini. Pernyataan tentang dunia hanya mungkin dirumuskandalam dua bentuk pernyataan, yaitu pernyataan analitik dan

T A U F I Q U R R A H M A N 65

M E N G A P A S A I N S L A Y A K D I P E R C A Y A ?

pernyataan sintetik. Pernyataan analitik adalah pernyataanyang kebenarannya hanya bergantung pada makna termnya.Misalnya: “semua lajang tidak menikah”. Pernyataan ini benardengan sendirinya karena predikat “tidak menikah” sudahterkandung di dalam subjek “lajang”. Contoh lain pernyataananalitik adalah proposisi-proposisi formal yang ada dalamlogika dan matematika. Jadi, kaum positivis logis tidak adasoal dengan pernyataan analitik. Pernyataan sintetik, sebalik-nya, adalah pernyataan yang kebenarannya tidak bisa hanyadidasarkan pada makna termnya, tetapi harus diverifikasi ke-sesuaiannya dengan fakta yang dirujuk. Semisal, “Angsa ituputih”. Predikat “putih” tidak terkandung di dalam subjek“angsa”, sehingga kebenaran pernyataan tersebut harus dive-rifikasi untuk memastikan bahwa angsa yang dirujuk dalampernyataan itu memang benar-benar putih.

Masalahnya adalah tidak semua pernyataan sintetik itubisa diverifikasi (verifiable). Semisal, “Nyi Roro Kidul itu can-tik”. Pernyataan tersebut bukan pernyataan analitik karenapredikat “cantik” tidak terkandung di dalam subjek “Nyi Ro-ro Kidul”. Karenanya, ia adalah pernyataan sintetik. Namun,kita tidak bisa memverifikasi kebenaran pernyataan tersebutkarena objek yang dirujuk melampaui kemungkinan penga-laman indrawi kita. Pernyataan sintetik yang tidak bisa dive-rifikasi semacam itu oleh kaum positivis logis dianggap seba-gai pernyataan yang nirmakna (meaningless statement)—danpernyataan-pernyataan seperti itulah yang ada dalam metafi-sika. Oleh karena itu, kaum positivis logis, menolak metafisikasebagai klaim-klaim abstrak yang nirmakna.

Penolakan terhadap metafisika inilah yang membedakanpositivisme logis dari posisi-posisi lain di dalam filsafat ilmu,terutama dari berbagai varian realisme. Karena penolakan-

66 T A U F I Q U R R A H M A N

F I L S A F A T S A I N S [ B A G I A N I I ]

nya terhadap metafisika ini pula, positivisme logis, bersamadengan empirisisme konstruktif, instrumentalisme, dan re-lativisme, dikelompokkan ke dalam gerbong antirealis. Jikakita masih ingin mencari ciri spesifik positivisme logis yangmembedakannya dari posisi lain dalam gerbong antirealis,maka jawabannya tentu adalah tesisnya tentang kepaduanilmu (unity of sciences) yang menyatakan bahwa semua ca-bang ilmu bisa direduksi pada satu ilmu tunggal, yaitu fisika.Positivisme logis memiliki argumen epistemologis bagi pro-yek reduksionismenya ini—dan argumen itu semestinya kitaperdebatkan dengan sikap intelektual, bukan dengan sikapgampangan. Sayangnya, kebanyakan kaum intelektual kitapunya sikap gampangan terhadap positivisme logis: “apa punyang berbau positivisme harus ditolak karena berbahaya bagikeluhuruan kemanusiaan kita”.

Sikap gampangan ini rupanya juga dimiliki oleh Goena-wan Mohamad—entah kalau suatu saat nanti dia bisa menje-laskan argumen positivisme logis secara tepat dan kemudianmemberikan argumen bantahan yang cukup kuat. Sejauh ini,yang saya tahu, dia hanya mengatakan positivisme logis su-dah lama ditinggalkan. “Pengaruh filsafatnya,” kata Goena-wan dengan merujuk pada Carnap, “pudar sejak awal 1960-an”. Selain gampangan, pernyataan ini juga menunjukkanbahwa Goenawan Mohamad tidak membaca perkembang-an filsafat dalam dua dekade terakhir ini. Pengaruh Carnapbelum benar-benar pudar: saat ini masih banyak filsuf yang,sebagaimana Carnap, memiliki pandangan deflasioner terha-dap metafisika.

Dalam konteks sikapnya terhadap metafisika inilah, sayaberbeda pandangan dengan kaum positivis logis. Ketidaksetu-juan saya terhadap mereka, dan juga terhadap berbagai varian

T A U F I Q U R R A H M A N 67

M E N G A P A S A I N S L A Y A K D I P E R C A Y A ?

antirealisme dalam filsafat sains, terletak pada bagaimana me-reka menyikapi entitas takteramati (unobservable entities) atauentitas teoretik (theoretical entities) yang takterhindarkan dalamsains, seperti gen, molekul, atom, quark, elektron, dan proton.Karena takteramati, maka setiap pernyataan yang merujukpada entitas teoretik ini tentu tidak bisa diverifikasi. Namun,entitas ini di dalam sains tidak bisa dihindari. Oleh karena itu,positivisme logis, bersama dengan empirisisme konstruktifdan instrumentalisme, menolak memberikan komitmen onto-logis terhadap entitas takteramati. Klaim teori ilmiah apa punyang mempostulatkan entitas takteramati akan dianggap se-bagai klaim yang nirmakna tetapi diterima sejauh ia bergunabagi prediksi ilmiah (instrumentalisme); atau dimaknai secaranon-harafiah (positivisme logis); atau diabaikan begitu sajakarena apa yang diklaim dalam teori itu dianggap takteraksesoleh pengetahuan manusia (empirisisme konstruktif).

Figure 1 “(CC-BY 4.0) 2014-2017 Ryan Reece philosophy-in-figures.tumblr.com”

68 T A U F I Q U R R A H M A N

F I L S A F A T S A I N S [ B A G I A N I I ]

Pemaknaan non-harafiah terhadap klaim yang memuatistilah takteramati (unobservable terms) ini adalah upaya positi-visme logis untuk menghindari komitmen ontologis terhadapentitas takteramati. Ketika sebuah teori ilmiah menggunak-an istilah ‘elektron’, misalnya, maka positivisme logis akanmemaknainya dengan sesuatu yang teramati seperti ‘garisputih di kamar kabut’ (white streak in a cloud chamber). Rea-lisme ilmiah, berbeda dari positivisme logis dan juga instru-mentalisme serta empirisisme konstruktif, menerima entitastakteramati secara harafiah dan memiliki komitmen ontologisterhadapnya. Artinya, jika sebuah teori ilmiah yang terbaik itumelibatkan sebuah entitas takteramati, maka realisme ilmiahini akan menganggap entitas tersebut sebagai sesuatu yangbenar-benar ada, meskipun tidak ada observasi empiris yangmungkin untuk memverifikasinya. Mengapa?

Pandangan realisme ilmiah ini muncul dari kebutuhanuntuk menjelaskan pertanyaan “Mengapa teori ilmiah yangterbaik itu bisa memberikan prediksi, retrodiksi, dan eksplana-si yang akurat tentang objek investigasinya?” Realisme ilmiahmenjawab: karena teori itu benar dalam mendeskripsikan du-nia yang mandiri dari pikiran manusia (mind-independent wor-ld). Penegasan bahwa sebuah teori itu benar mengandaikanbahwa entitas apa pun yang dipostulatkan oleh teori terse-but, entah teramati atau takteramati, itu pasti benar-benar adadi dunia nyata. Dengan kata lain, realisme ilmiah menyika-pi apa yang diutarakan oleh teori ilmiah itu secara harafiah(literal semantics): apa pun yang dikatakan oleh teori ilmiahterbaik, maka memang demikianlah adanya di dunia nyata,tidak perlu lagi ditafsiri secara non-harafiah seperti yang di-lakukan oleh positivisme logis. Mengapa demikian? Karenajika sebuah teori ilmiah tidak benar secara harafiah tetapi ia

T A U F I Q U R R A H M A N 69

M E N G A P A S A I N S L A Y A K D I P E R C A Y A ?

berhasil memberikan prediksi empiris yang akurat, maka ke-berhasilannya itu akan menjadi sebuah keajaiban. Ada bagiandunia yang takterjelaskan oleh sains, tetapi sains secara ajaibmampu mempredikasi bagaimana dunia bekerja. Agar keber-hasilan teori ilmiah terbaik dalam membuat prediksi itu tidaktampak seperti sebuah keajaiban, maka teori tersebut harusdiakui kebenarannya secara harafiah, meskipun ia mempos-tulatkan entitas yang takteramati oleh indra manusia. Karenaitulah, Hilary Putnam menyatakan bahwa realisme adalahsatu-satunya filsafat yang membuat keberhasilan sains tidakmenjadi sebuah keajaiban.

Argumen keajaiban ini adalah argumen dasar realisme ba-gi komitmen ontologisnya terhadap entitas takteramati yangdipostulatkan oleh teori ilmiah. Tentu ada argumen bantah-an terhadap argumen keajaiban ini; dan realisme ilmiah jugamemiliki argumen pembantah untuk menyangkal argumenbantahan tersebut. Namun, di sini bukan tempatnya jika sayaharus memaparkan seluruh argumen dalam perdebatan rea-lisme dan antirealisme. Di sini saya hanya ingin memberikanklarifikasi bahwa dalam perdebatan realisme-antirealisme, sa-ya berada dalam posisi realis. Karenanya, Goenawan benarketika menyatakan bahwa saya bukan seorang neo-positivis.

Namun, apakah saya dan Goenawan Mohamad sama?Belum tentu. Kodok dan mobil sama-sama bukan manusia;tetapi kodok dan mobil bukan dua hal yang sama. Saya danGoenawan bisa sama-sama bukan seorang neo-positivis; tetapiitu tidak berarti bahwa saya dan Goenawan berada dalamposisi yang sama. Lalu di mana posisi Goenawan? Hanya diadan Tuhan yang tahu!

70 T A U F I Q U R R A H M A N

8KRITIK MARXISME TERHADAPKONSEP OBJEKTIVITAS KONVENSIONALISME

D A L A M pandangan konvensionalisme yang menjadi salahsatu wacana dominan dalam Sosiologi Ilmu, kebenaran ilmiahselalu ditautkan dengan proses sosial tempat sains itu berada.Artinya, tidak ada kebenaran ilmiah yang objektif yang kalisdari intervensi sosial. Di sisi lain, Marxime sebagai sains jugaberpandangan bahwa pengetahuan ilmiah mesti punya basissosial yang objektif (dalam arti: berada di sana, di luar kesadar-an subjek)—sehingga, karenanya, Marxisme juga memung-kinkan analisis pengetahuan ilmiah secara sosiologis. Namun,jika sains Marxisme itu mengafirmasi beberapa pandangankonvensionalisme, maka ia akan menghadapi setidaknya duaproblem.

Pertama, terkait dengan landasan ontologisnya. Marxisme,secara ontologis, adalah materialisme. Posisi materialisme, de-ngan mengabaikan beberapa persoalan, jika ditarik ke ranahperdebatan yang lebih luas, menjadi bagian dari dari posi-si realisme—yang di sisi seberangnya terdapat anti-realisme.

M E N G A P A S A I N S L A Y A K D I P E R C A Y A ?

Inilah titik problematiknya: di satu sisi, sains Marxisme kom-patibel dengan realisme yang secara niscaya mengandaikanobjektivitas ilmiah dan, di sisi lain, konvensionalisme—saatmengklaim objektivitas ilmiah selalu bertumpu pada praksisilmiah—kompatibel dengan antirealisme yang dengan tegasmenyatakan tak ada kebenaran ilmiah yang absolut (bebas)dari korelat (inter)subjektivitas manusia.

Jika sains Marxisme menerima klaim konvensionalisme,berarti harus mengingkari prinsip ontologisnya sendiri (materi-alis) dan, dengan itu, juga mengasumsikan bahwa objektivitasilmiah adalah hasil konstruksi intersubjektif dalam komu-nitas ilmiah. Padahal, aspek objektivitas itulah yang justrumemungkinkan tujuan utama sains Marxisme tercapai, yaitupembebasan manusia dari penindasan dan ketidakadilan.

Problem objektivitas dan pembebasan itu kemudian me-munculkan persoalan yang kedua: bagaimana sains Marxisme,jika menerima asumsi konvensionalisme, bisa mencapai tu-juannya untuk melawan kapital sementara pada saat yangsama basis material yang mengondisikan kerja-kerja ilmiahdikuasai oleh para kapitalis? Mengikuti asumsi konvensiona-lisme, jika basis material kerja-kerja ilmiah dikuasai oleh parakapitalis, maka segala andaian ilmiah yang dibuat pasti meru-pakan hasil kesepakatan untuk semakin memperkokoh posisikapitalis—dan itu berarti semakin melemahkan proletariat.

Oleh karena dua problem itulah, saya akan mengangkatsains Marxisme vis-a-vis konvensionalisme untuk memung-kinkan sains yang punya daya emansipasi dan pembebasan.Tesis yang akan saya pertaruhkan dalam artikel ini adalahbahwa Marxisme sebagai materialisme mesti menolak andaian epis-temologis konvensionalisme dan mengafirmasi corak epistemologisrealisme ilmiah. Dengan posisi tersebut, sains Marxisme memung-

72 T A U F I Q U R R A H M A N

K R I T I K M A R X I S M E T E R H A D A P K O N S E P O B J E K T I V I T A S

K O N V E N S I O N A L I S M E

kinkan objektivitas ilmiah yang menjadi prasyarat bagi pembebasanmanusia.

Artikel ini, dengan demikian, akan mencakup tiga po-kok bahasan. Pertama, membahas pokok soal objektivitas daridua sudut pandang: sudut pandang realisme (yang merep-resentasikan pandangan materialisme) dan sudut pandangkonvensionalisme. Kedua, membahas genealogi dan ontolo-gi materialisme serta kritiknya terhadap corak epistemologikonvensionalisme. Ketiga, berdasarkan asumsi ontologis danepistemologis materialisme, akan dijelaskan materialisme da-lam diskursus pengetahuan ilmiah. Pada bagian ini juga akandijelaskan bagaimana sains Marxisme bisa punya daya eman-sipasi dan pembebasan.

Memahami Objektivitas Ilmiah

Ada dua sudut pandang tentang objektivitas ilmiah yang akancoba dipertentangkan dalam bagian ini. Pertama, sudut pan-dang realisme yang saya elaborasi dari pandangan AndrewCollier; dan kedua, sudut pandang konvensionalisme yangjuga saya elaborasi dari pandangan tokoh terkemuka konven-sionalisme: Henri Poincaré. Kedua sudut pandang tersebutdalam bagian berikutnya akan dibedah asumsi-asumsi on-tologis dan epistemologisnya untuk mendasari pembahasantentang materialisme serta kritiknya terhadap konvensionalis-me.

Kita mulai dari pandangan realisme. Andrew Collier me-mahami problem objektivitas dengan dua cara: secara positifdan secara negatif. Pemahaman kedua itu sebenarnya untuklebih menjelaskan pemahaman yang pertama. Namun, secaraumum, Collier sejatinya memahami objektivitas sebagai satu

T A U F I Q U R R A H M A N 73

M E N G A P A S A I N S L A Y A K D I P E R C A Y A ?

kebenaran yang independen dari subjek yang menilai kebenar-an itu sebagai benar.1 Artinya, keberadaan kebenaran ilmiahtidak bergantung pada sang ilmuwan ataupun komunitas il-miah yang menilai kebenaran tersebut sebagai benar. Semisal,kebenaran teori gravitasi. Nilai kebenaran teori gravitasi tidakbergantung pada Newton yang menemukan dan sekaligusmembenarkan teori gravitasi tersebut. Sebelum Newton me-nemukan teori gravitasi, gravitasi sudah ada secara objektifdi alam semesta dan, karenanya, ia benar bahkan sebelumNewton melihat buah apel jatuh ke tanah.

Penemuan ilmiah hanyalah momen penyingkapan episte-mologis atas dunia yang secara ontologis ada di luar dan takbergantung pada pikiran manusia.2 Oleh karena itu, Colliermemahami objektivitas dengan pertama-tama memberikanspesifikasi ontologis berupa independensi dunia serta nilai ke-benarannya dari manusia. Dari prinsip independensi tersebut,Collier lebih lanjut menyatakan bahwa sebuah putusan ilmiahbisa dikatakan objektif apabila putusan tersebut didasarkanpada objeknya, bukan pada subjek yang membuat putusantentangnya.3 Dalam pengertian ini, Collier juga memahami ob-jektivitas sebagai sikap manusia di hadapan dunia.4 Artinya,ketika manusia membuat sebuah klaim objektif, ia memurnik-

1 Lih. Andrew Collier, In Defence of Objectivity and Other Essays, London:Routledge, 2003, hlm. 134.

2 Kelompok anti-realis biasanya memang sering merancukan ranah ontologidengan ranah epistemologi. Dunia eksternal yang secara ontologis mandiridari pikiran diapropriasi sedemikian rupa sehingga menjadi tak terbedakandengan pikiran yang mengapropriasinya. Gejala ini, dalam istilah Bhaskar,disebut sebagai “deontologisasi dunia”. Lih. Jolyon Agar, “Towards Objecti-vity: from Kant to Marx,” Margaret S. Archer dan William Outhwaite [eds.],Defending Objectivity: Essays in Honour of Andrew Collier, London: Routledge,2004, hlm. 163.

3 Lih. Andrew Collier, Op.Cit., hlm. 135.4 Lih. Ibid., hlm. 137.

74 T A U F I Q U R R A H M A N

K R I T I K M A R X I S M E T E R H A D A P K O N S E P O B J E K T I V I T A S

K O N V E N S I O N A L I S M E

an klaimnya itu dari seluruh tendensi subjektifnya.Namun demikian, meskipun objektivitas menuntut pe-

nyingkiran (decentering) seluruh tendensi subjektif manusia,Collier justru menolak untuk menyamakan objektivitas de-ngan netralitas.5 Bersikap objektif, bagi Collier, tidak berartibahwa kita harus bersikap imparsial di hadapan realitas. Semi-sal, pernyataan “Nazi membunuh jutaan orang Yahudi yangtak bersalah”. Jika pernyataan itu benar secara objektif bukanberarti kita harus menolak memberikan simpati pada orang-orang Yahudi dan tetap bersikap dingin terhadap kejahatanNazi. Justru dengan fakta objektif yang diungkapkan olehpernyataan itulah, kita mesti mengambil sikap imparsial. Ob-jektivitas dalam konsepsi realisme, dengan demikian, masihmemungkinkan adanya keberpihakan, sehingga sains, seba-gaimana cita-cita materialisme Marxis, dimungkinkan untukmemiliki daya emansipasi dan pembebasan.

Berdasarkan klaim independensi dunia, objektivitas ilmi-ah juga bukan berarti tidak dapat salah.6 Orang sering mema-hami bahwa klaim yang (dianggap) objektif tidak dapat salah.Bagi Collier, itu adalah kesalahpahaman umum. Ketika prin-sip pokok objektivitas adalah independensi dunia eksternal,maka segala putusan tentang realitas—sejauh ia berbicara ten-tang dunia eksternal, tentang dunia yang ada di luar pikiranmanusia—dapat salah dan berkontradiksi dengan putusan-putusan lainnya. Objektivitas, dengan demikian, bukan berartikebenaran mutlak atau seperti keyakinan religius yang tak da-pat diperdebatkan. Ia dapat terus-menerus disanggah dengantemuan-temuan ilmiah yang lebih bisa dipertanggungjawab-kan dan yang paling mendekati kenyataan.

5 Lih. Ibid., hlm. 139.6 Lih. Ibid., hlm. 140.

T A U F I Q U R R A H M A N 75

M E N G A P A S A I N S L A Y A K D I P E R C A Y A ?

Berikutnya penjelasan tentang objektivitas dalam sudutpandang konvensionalisme. Dalam pengertiannya yang pa-ling sederhana, konvensionalisme bisa kita pahami sebagaipendasaran kebenaran pada konvensi. Oleh karena itu, seba-gai salah satu contoh pemahaman konvensionalisme terhadapobjektivitas, Evandro Agazzi mencirikan objektivitas ilmiahsebagai intersubjektivitas7 dengan berdasarkan pada klaim on-tologis (yang sebenarnya diapropriasi secara epistemologis)bahwa objek dalam sains adalah konstruksi intelektual dari komuni-tas ilmiah.8

Henri Poincaré, sebagai tokoh terkemuka konvensionalis-me, menjelaskan dengan jernih bagaimana intersubjektivitasbisa mendasari kebenaran objektif. Menurutnya, objektivitasitu dimungkinkan oleh adanya fakta bahwa dunia yang kitahidupi sama bagi kita semua. Dengan dasar demikian, apayang objektif menurut Poincaré mesti tampak sama bagi se-mua orang dan, karenanya, dapat ditransmisikan dari satuke lain orang.9 Artinya, dunia yang hendak kita pahami pa-da dasarnya adalah satu dan, karenanya, pemahaman objektiftentangnya bisa ada sejauh ada pemahaman intersubjektif diantara kita. Poincaré, oleh karena itu, dengan tegas menyim-pulkan bahwa “Hal yang objektif tak lain adalah apa yangidentik bagi kita semua [...]. Oleh karenanya, tidak ada yangdapat memiliki nilai objektif kecuali ia dapat ditransmisikandengan jelas (intelligible) melalui ‘diskursus’.”10 Sederhananya,bagi Poincaré, objektivitas itu bersandar pada intersubjektivitas.

7 Lih. Evandro Agazzi, Scientific Objectivity and Its Contexts, Heidelberg: Spri-nger, 2014, hlm. 57.

8 Lih. Ibid., hlm. 98.9 Lih. Henri Poincare, The Value of Science, terj. George Bruce Halsted, New

York: Dover Publications, Inc., 1958, hlm. 135-136.10 Lih. Ibid., hlm. 137.

76 T A U F I Q U R R A H M A N

K R I T I K M A R X I S M E T E R H A D A P K O N S E P O B J E K T I V I T A S

K O N V E N S I O N A L I S M E

Kesimpulan tersebut, oleh Poincaré, diperoleh dari penga-matannya terhadap problem geometri. Bagi Poincaré, aksiomadan teorema geometri tidak menyatakan kebenaran a prioriataupun kebenaran empiris. Apa yang dinyatakan dalam aksi-oma dan teorema geometri adalah apa yang disebut Poincarésebagai “konvensi”.11 Mengapa demikian? Hal itu karena bagiPoincaré, sebagaimana bagi Kant, ruang tidak bisa diaksesdengan penyelidikan empiris—dalam arti: pemahaman ten-tangnya tidak dapat diperoleh dengan cara sintesis a posteriori.Namun tidak sepenuhnya mengafirmasi Kant, Poincaré jugamenyebut teorema geometri bukan sintesis a priori.12 Artinya,pemahaman kita atas ruang bukanlah hasil sintesis fakta spa-sial yang dikondisikan oleh prasyarat a priori pikiran.

Pertanyaannya: dari mana aksioma dan teorema geometriitu muncul jika ruang tidak bisa diakses secara empiris dan ju-ga tidak bisa dipahami secara a priori? Jawaban Poincaré: darikesepakatan! Implikasinya: tak ada perbedaan substansial diantara berbagai macam bentuk geometri, sebab ia hanya berbe-da cara dalam mengekspresikan objeknya, tetapi objeknya itusejatinya sama.13 Semisal, geometri Euclid dan non-Euclid ituhanya berbeda formula bahasanya karena dibentuk oleh kon-vensi yang berbeda, tetapi senyatanya objek yang dibicarakantetaplah ruang yang sama. Oleh karena itu, aksioma-aksiomageometri non-Euclid dapat direkonstruksi ke dalam kerangkageometri Euclid tanpa harus mengorbankan konsistensinya.

Corak pemahaman Poincaré, meskipun dalam beberapahal ia tidak setuju dengan Kant, masih bercorak Kantian. Disitu tampak bahwa Poincaré mempostulatkan inaksesibilitas

11 Lih. Yemima Ben-Menahem, Conventionalism, Cambridge: Cambridge Uni-versity Press, 2006, hlm. 41.

12 Lih. Ibid., hlm. 46.13 Lih. Ibid., hlm. 58.

T A U F I Q U R R A H M A N 77

M E N G A P A S A I N S L A Y A K D I P E R C A Y A ?

ruang, sebagaimana das Ding an sich dalam Kant, sehinggapemahaman kita atas ruang selalu dibentuk berdasarkan epis-temologi konvensionalis. Hal tersebut sama dengan menyatakanbahwa ruang dalam dirinya tidak dapat diketahui, sehing-ga ketika kita hendak membicarakan soal ruang, kita perluaksioma-aksioma tertentu yang telah disepakati.

Tendensi Kantian dalam konvensionalisme itu semakin di-pertegasi oleh Evandro Agazzi ketika menjelaskan soal objekilmiah. Apa yang dibicarakan oleh sains, menurutnya, bu-kanlah benda-dalam-dirinya, melainkan benda yang sudahdiberi kualitas-kualitas abstrak berdasarkan hasil kesan indra-wi kita.14 Pemberian kualitas abstrak terhadap objek sains itu,dalam konsepsi Poincaré, dapat didasarkan pada konvensi.Artinya, dalam konteks geometri seperti dibicarakan Poincaré,oleh karena ruang tidak dapat diakses dengan sintesis a posteri-ori ataupun sintesis a priori, maka geometri perlu membentukaksioma dan teorima berdasarkan kesepakatan bersama yangdibangun di atas intersubjektivitas antarmanusia. Oleh karenaitu, konvensionalisme sejatinya tidak beranjak terlalu jauhdari epistemologi Kantian.

Materialisme sebagai Realisme

Bagian ini akan membahas konteks kemunculan materialismeMarxis, ontologinya, serta kritiknya terhadap konvensiona-lisme. Pandangan materialisme Karl Marx tidak muncul dariruang hampa. Ia disituasikan oleh konteks pemikiran yangberkembang di masanya. Dalam pembacaan yang umum dipa-hami, materialisme Karl Marx sering disebut sebagai responsterhadap tradisi idealisme dalam filsafat Jerman, terutama

14 Lih. Ibid., hlm. 58.

78 T A U F I Q U R R A H M A N

K R I T I K M A R X I S M E T E R H A D A P K O N S E P O B J E K T I V I T A S

K O N V E N S I O N A L I S M E

idealisme Hegelian. Namun, dalam pembacaan ini, saya beru-saha mencari akar problematik materialisme Marx yang lebihdalam—dan akhirnya sampai pada pokok pemikiran Imma-nuel Kant.

Immanuel Kant membelah dunia menjadi dua, yaitu fe-nomena dan nomena. Fenomena adalah dunia sebagaimana iatampak (as it appears) kepada kita. Nomena, berbeda dari feno-mena, adalah dunia sebagaimana ia ada (as it is) dalam dirinya.15

Prasyarat pengetahuan kognitif manusia tidak memungkink-an untuk menjangkau benda-dalam-dirinya (das Ding an sich)atau nomena. Pikiran manusia hanya mampu mengetahuicara di mana benda itu menampak kepada manusia melaluikonstitusi subjektifnya.16 Dengan kata lain, manusia hanyabisa mengetahui fenomena dunia; sementara nomena duniatetap berada di luar jangkauan pengetahuan manusia.

Berdasarkan pembelahan dunia itulah, David-Hillel Ru-ben menyebut pemikiran Kant memiliki dua klaim pokok,yaitu klaim interpretatif (KIT) dan klaim independensi (KID).Dua klaim tersebut, oleh Ruben, dirumuskan sebagai berikut:

KIT: Membuat sebuah putusan atau mengklaim adanyasebuah pengetahuan secara niscaya mengandaikanadanya aktivitas pemikiran interpretatif.17

KID: Ada objek yang secara esensial independen dari se-mua pemikiran, atau dari semua aktivitas interpetatif men-tal.18

15 Lih. Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, terj. Paul Guyer dan Allen W.Wood, Cambridge: Cambridge University Press, 1998, hlm. 347.

16 Lih. Ibid., hlm. 348.17 “To make a judgment or claim to knowledge necessarily presupposes the activity of

interpretive thought”. Lih. David-Hillel Ruben, Marxism and Materialism: AStudy in Marxist Theory of Knowledge, Sussex: The Harvester Press Limited,1979, hlm. 14.

18 “There are objects essentially independent of all thought, or of all interpretive mental

T A U F I Q U R R A H M A N 79

M E N G A P A S A I N S L A Y A K D I P E R C A Y A ?

KIT adalah bentuk klaim epistemologis Kantian. Artinya,pengetahuan manusia tentang suatu objek tidak pernah secaralangsung menjangkau objek dalam dirinya, tetapi selalu di-konstitusikan oleh dimensi-dimensi subjektif manusia—yangterdiri dari: konsep a priori ruang dan waktu, 12 kategori apriori, dan apersepsi transendental.19 Tanpa ada konstitusidari dimensi-dimensi subjektif manusia atau—dalam baha-sa Ruben—tanpa ada aktivitas interpretatif pemikiran, makapengetahuan manusia tentang suatu objek adalah mustahil.Asumsi epistemologis Kant, dengan demikian, adalah antirea-lis.20

Namun, meskipun semua klaim pengetahuan menganda-ikan adanya pengaruh subjektif melalui tindakan interpretatif,bagi Kant, masih tetap ada objek yang independen dari semuapemikiran. Objek itu mandiri dari segala aktivitas intepretatifpikiran. Itulah yang di awal tadi disebut sebagai nomena ataubenda-dalam-dirinya (das Ding an sich). Klaim independensitersebut jelas sekali menampakkan posisi realisme ontologis.KIT dan KID, dengan demikian, membawa Kant pada posisiyang bimbang: antirealis secara epistemologis, tapi realis secara

activity”. Lih. Ibid., hlm. 1919 Terkait dengan keterbatasan ruang, maka tidak mungkin jika saya harus

menjelaskan secara detail bagaimana peran ketiga dimensi subjektif tersebutdalam proses formasi pengetahuan ala Kant. Penjelasan tentang ketigakonsep tersebut dalam bahasa Indonesia yang, menurut saya, sangat baikdan jernih adalah penjelasan Martin Suryajaya dalam Materalisme Dialektis:Kajian tentang Marxisme dan Filsafat Kontemporer (2012, 27-39).

20 Pada titik itulah, Kant memantik adanya Revolusi Kopernikan II. Jika se-jak Kopernikus mencetuskan heliosentrisme posisi subjek pengamat yangberada di bumi dipinggirkan (decentered) dari formasi epistemik, makaKant ingin menarik kembali posisi subjek dengan memasukkan pengaruhdimensi-dimensi subjektif. Revolusi Kopernikan II, karenanya, dapat di-pahami sebagai perubahan radikal dari “Up to now it has been assumed ourcognition must conform to the objects” menjadi “[...] let us once try whether we donot get farther with the problems of metaphysics by assuming that the objects mustconform to our cognition,” (Kant 1998, 110).

80 T A U F I Q U R R A H M A N

K R I T I K M A R X I S M E T E R H A D A P K O N S E P O B J E K T I V I T A S

K O N V E N S I O N A L I S M E

ontologis.Terhadap posisi Kant yang bimbang itulah, para filsuf

pasca-Kant memberikan dua respons utama. Respons pertama,diwakili oleh idealisme Hegel, menolak KID dan menerimaKIT.21 Penolakan terhadap KID didasarkan pada pandanganHegel bahwa dunia adalah kreasi pikiran. Artinya, antara pi-kiran dan dunia, antara aspek subjektif dan aspek objektif,terdapat relasi internal, sehingga keduanya saling menganda-ikan. Ruben membahasakannya: objek adalah subjek dalamkelainannya (the subject in its otherness).22 Oleh karena itu, ti-dak ada objek yang mandiri dari subjek. Berhubung objekdalam dirinya dinegasikan, sebab ia hanya dianggap seba-gai ciptaan pikiran, maka tak ada pengetahuan yang tidakbercorak interpretatif yang selalu dikonstitusi oleh dimensisubjektif. Penolakan terhadap KID, yang adalah klaim onto-logis, berimplikasi pada afirmasi KIT yang merupakan klaimepistemologis.

Respons kedua, yang diwakili oleh Ludwig Feuerbach,menandai titik transisi dalam filsafat Jerman dari tradisi idea-lisme ke materialisme. Feuerbach menerima KID dan menolakKIT.23 Ia dengan tegas menyatakan: “Saya tidak mengasalkanobjek dari pemikiran, tetapi pemikiran lah yang muncul dariobjek; dan saya beranggapan bahwa objek itu sendiri memilikieksistensi yang berada di luar (beyond) pikiran manusia.”24 Me-nolak klaim independensi, bagi Feuerbach, berarti menerimadoktrin teologi: bahwa dunia bergantung pada Tuhan yang

21 Lih. David-Hillel Ruben, Op.Cit., hlm. 56.22 Lih. Ibid., hlm. 43.23 Lih. Ibid., hlm. 56.24 “I do not generate the object from the thought, but the thought from the object; and I

hold that alone to be an object which has an existence beyond one’s own brain.” Lih.Ludwig Feuerbach, The Essence of Christianity, New York: Frederick UngarPublishing Co., 1957, hlm. 2.

T A U F I Q U R R A H M A N 81

M E N G A P A S A I N S L A Y A K D I P E R C A Y A ?

menjelma lewat pikiran. Oleh karena itu, agar pengetahuantentang dunia tidak bias teologis, maka formasi epistemik ha-rus sepenuhnya bergantung pada objek, bukan pada subjek.

Formasi epistemik Kantian, yang menyesuaikan objek de-ngan prasyarat kognitif subjek, adalah bentuk konsepsi pe-ngetahuan yang bercorak teologis. Pada titik ini, Feuerbachmemiliki posisi tegas terhadap konsepsi epistemologis Kant.Ia menolak KIT sebagai konsekuensi logis dari penerimaannyaterhadap KID.

“Idealisme Kantian yang menyesuaikan objek pada pema-haman dan bukan menyesuaikan pemahaman pada objek,oleh karena itu, tidak lain dari realisasi konsepsi teologisatas pikiran, yang alih-alih pikiran itu dideterminasi olehobjek, tetapi pikiran itulah yang mendeterminasi objek.”25

Di antara dua respons utama terhadap Kant tersebut, Marxmembangun proyek filsafatnya dengan mengikuti trajektoriyang telah dibuka oleh Feuerbach.26 Artinya, Marx bekerjadalam kerangka ontologi realis.27 Materialisme Marxis seba-gai realisme beranggapan bahwa ada dunia eksternal yangeksis secara mandiri dari pikiran manusia, dari seluruh ak-

25 “Kantian idealism in which the objects conform to the understanding and not theunderstanding to the objects, is therefore nothing other than the realisation of thetheological conception of the divine mind, which is not determined by the objects butrather determines them.” Lih. Ludwig Feuerbach, Principles of the Philosophy ofthe Future, terj. Manfred H. Vogel, Indianapolis: The Bobbs-Merrili Company,1966, hlm. 28.

26 Lih. David-Hillel Ruben, Op.Cit., hlm. 6327 David-Hillel Ruben memang sengaja sering mempertukarkan penggunaan

istilah realisme dengan materialisme. Dalam konteks Feuerbach, menurutRuben memang tak ada pembedaan antara realisme dan materialisme, kare-na dua istilah itu sebenarnya memiliki satu tesis pokok yang sama, yaituindependensi dunia dari pikiran. Hanya saja, klaim materialisme labih detaillagi, dengan asumsi ontologis bahwa dunia tidak hanya independen dari pi-kiran, tetapi juga bahwa dunia dalam strukturnya yang paling fundamentaladalah materi.

82 T A U F I Q U R R A H M A N

K R I T I K M A R X I S M E T E R H A D A P K O N S E P O B J E K T I V I T A S

K O N V E N S I O N A L I S M E

tivitas subjektifnya28; dan bahwa ada lebih utama daripadapikiran.29 Pada titik itulah, materialisme Marxis mengafirma-si kebenaran ilmiah yang objektif dalam pengertian realisme,bukan konvensionalisme.

Untuk mengelaborasi lebih lanjut pandangan objektivi-tas dalam materialisme Marxis, saya akan masuk ke dalamanalisis teks V.I. Lenin yang berjudul Materialism and Empirio-Criticism. Lenin dikenal sebagai tokoh Marxis yang pendekat-an filsafatnya sangat naturalistik. Ia sangat optimis bahwailmu alam dapat mewartakan kebenaran objektif tentang su-atu dunia yang ada di seberang pikiran, yang mandiri daripikiran. Berikut saya terjemahkan kutipan penting dari Leninyang menggambarkan pandangan ontologis dan epistemolo-gisnya yang bercorak naturalistik:

Sama sekali tak ada keraguan dalam ilmu alam terkait kla-imnya bahwa bumi eksis sebelum manusia adalah sebuahkebenaran. Ini sepenuhnya sesuai dengan teori pengeta-huan materialis: bahwa eksistensi sesuatu yang direfleksikanindependen dari yang merefeleksikannya (independensi duniaeksternal dari pikiran) adalah prinsip fundamental materialis-me. Pernyataan yang dibuat oleh sains bahwa bumi eksissebelum manusia adalah sebuah kebenaran objektif. Pro-posisi ilmu alam tidak kompatibel dengan filsafat Machiandan doktrin kebenarannya: jika kebenaran adalah bentukpengorganisasian pengalaman manusia, maka pernyataanbahwa bumi eksis di luar pengalaman manusia tidak da-pat menjadi benar.30

Secara umum, pandangan yang naturalistik dipahami se-cara peyoratif: bahwa ia adalah pandangan yang reduksio-nis, positivistik, dan mekanistik. Namun, satu hal yang perlu28 Lih. Ibid., hlm. 65.29 Lih. V.I. Lenin, Materialism and Empirio-Criticism, Peking: Foreign Languages

Press, 1972, hlm. 86.30 Lih. Ibid., hlm. 136-137.

T A U F I Q U R R A H M A N 83

M E N G A P A S A I N S L A Y A K D I P E R C A Y A ?

diakui dari naturalisme: ia telah menyelamatkan sains darisolipsisme teologis. Kebenaran ilmiah sepenuhnya bertumpupada alam yang eksternal dari pikiran manusia, bukan pa-da determinasi pikiran subjektif manusia. Ketika kebenaranilmiah ditumpukan pada subjek, bukan pada objek, maka sa-at itulah gelombang religus dapat merasuk ke dalam sains.Persis itulah yang dikhawatirkan Lenin ketika mengkritik pan-dangan Bogdanov tentang objektivitas yang lebih cenderungpada konvensionalisme daripada materialisme.

Dalam bukunya yang berjudul Empirio-Monism sebagai-mana dikutip Lenin,31 Bogdanov menulis:

“Dasar objektivitas mesti terletak pada ruang pengalamankolektif. Kita menyebut data pengalaman itu objektif jikadata itu punya makna penting yang sama bagi kita danjuga bagi orang lain [...]. Ciri objektif dunia fisikal terdiridari fakta bahwa ia eksis tidak hanya bagiku secara perso-nal, tetapi juga eksis bagi setiap orang dan ia juga memilikisatu makna tertentu bagi setiap orang, sebagaimana jugabagiku. Objektivitas seri fisikal adalah signifikansi univer-salnya.”32

Bogdanov, sebagaimana kaum konvensionalis, menyebutdasar objektivitas terletak pada ruang pengalaman kolektif.Artinya, sesuatu disebut objektif jika dan hanya jika ia me-miliki makna penting yang sama bagi satiap orang. Dalamistilah Bogdanov sendiri, objektivitas adalah nilai signifikansiuniversal—dalam arti: ia benar sejauh ada sekumpulan pe-ngalaman subjektif yang menganggapnya benar. Pandangan

31 Lih. Ibid., hlm. 137.32 “The basis of objectivity must lie in the sphere of collective experience. We term

those data of experience objective which have the same vital meaning for us and forother people [...]. The objective character of the physical world consists in the factthat it exists not for me personally, but for everybody and has a definite meaning foreverybody, the same, I am convinced, as for me. The objectivity of the physical seriesis its universal significance."

84 T A U F I Q U R R A H M A N

K R I T I K M A R X I S M E T E R H A D A P K O N S E P O B J E K T I V I T A S

K O N V E N S I O N A L I S M E

ini memberikan satu aspek sosiologis bagi kebenaran ilmi-ah—bahwa kebenaran bergantung pada relasi intersubjektifdari pengalaman individu dalam memahami dunia.

Kritik Lenin terhadap Bogdanov (dan demikian juga ter-hadap konvensionalisme) adalah bahwa konsepsi objektivitasmereka dapat kompatibel dengan fideisme. Jika kebenaranobjektif adalah kebenaran yang punya “signifikansi univer-sal”—dalam arti: pengalaman subjektif yang terorganisasisecara sosial—maka doktrin religius seperti Katolisisme punjuga dapat menjadi kebenaran objektif karena memiliki “signi-fikansi universal” yang bahkan lebih besar daripada doktrinilmiah.33 Oleh karena itu, memahami objektivitas berdasarkanaspek sosiologisnya (dengan kriteria pengalaman yang teror-ganisasi secara sosial), menurut Lenin, keliru secara funda-mental. Pemahaman tersebut sama saja dengan menganggaptidak ada kebenaran objektif, karena merelatifkan kebenaranpada bentuk pengorganisasian pengalaman manusia. Doktrinapa pun, betapapun ia misalnya tidak masuk akal atau dapatmelanggengkan penindasan, jika bertopang pada pengalamanmanusia yang terorganisasi secara sosial, juga dapat bernilaibenar.

Materialisme dalam Diskursus PengetahuanIlmiah

Dalam dua bagian sebelumnya, telah dijelaskan pandanganobjektivitas realisme vis-a-vis konvensionalisme. Marxismedengan klaim independensinya kompatibel dengan realisme,sedangkan konvensionalisme diam-diam masih menjadi ba-

33 Lih. Ibid., hlm. 138-139.

T A U F I Q U R R A H M A N 85

M E N G A P A S A I N S L A Y A K D I P E R C A Y A ?

gian dari varian epistemologi Kantian. Jika berdasarkan pen-dekatan historis Marxisme adalah penolakan terhadap Kant,maka dapat dipahami bahwa Marxisme juga kontra konven-sionalisme. Apa implikasinya dalam diskursus pengetahuanilmiah (sains) jika Marxisme kontra konvensionalisme?

Lazimnya, diskursus sains lebih banyak didominasi olehdiskursus epistemologi beserta turunannya: soal metodolo-gi. Namun, pengandaian epistemologis tidak bisa lepas, ataubahkan dibangun, dari asumsi ontologis. Bagaimana model sa-ins Marxisme kontra konvensionalisme, itu bergantung padamodel epistemologinya yang dibangun dari asumsi ontologis-nya. Klaim ontologis Marxisme adalah independensi duniaeksternal atau realisme. Klaim independensi dalam Marxis-me itu, menurut Ruben, meniscayakan adanya pengandaianepistemologis tentang teori pengetahuan korespondensi atau‘refleksi’.34

Pendapat Ruben tersebut menemukan justifikasi tekstual-nya dari pernyataan Lenin: The recognition of theory as a copy, asan approximate copy of objective reality, is materialism.35 Artinya,materialisme mengandaikan adanya satu asumsi epistemolo-gis bahwa teori, konsep, ataupun hukum ilmiah merupakansalinan dari, atau setidaknya mendekati, realitas objektif. De-ngan demikian, formasi epistemik sains Marxisme tidak ber-dasarkan pada pengalaman (inter)subjektif yang terorganisasisecara sosial sebagaimana konvensionalisme, tetapi berdasark-an pada objek yang hendak dipahaminya. Kerja ilmiah sainsMarxisme, karenanya, bukanlah kerja memahami pengalamansosial sebagaimana konvensionalisme, melainkan kerja men-cerminkan atau merefleksikan realitas objektif ke dalam suatu

34 Lih. David-Hillel Ruben, Op.Cit., hlm. 6435 Lih. V.I. Lenin, Op.Cit., hlm. 317.

86 T A U F I Q U R R A H M A N

K R I T I K M A R X I S M E T E R H A D A P K O N S E P O B J E K T I V I T A S

K O N V E N S I O N A L I S M E

konsep, teori, ataupun hukum ilmiah. Jika formasi epistemikkonvensionalisme berangkat dari pengalaman sosial, makaformasi epistemik sains Marxisme bermula dari pengertian-nya tentang objek eksternal.

Kerja ilmiah sains Marxisme yang demikian itu sama seka-li tidak berarti hendak menjauhkan sains dari problem sosialyang dialami secara objektif oleh masyarakat. Tujuan utamakerja sains Marxisme yang bercorak realis itu justru untukmenghindari bias kuasa sosio-politik dalam setiap rumusanepistemik. Sebaliknya, jika sains Marxisme berdasarkan padaformasi epistemik konvensionalisme, maka objektivitas ilmi-ah yang diharapkan dapat mendorong keberpihakan padakaum tertindas dapat dimanipulasi, sebab dalam konvensio-nalisme objektivitas tidak lagi terletak pada objek eksternal,tetapi pada pengalaman sosial. Pada titik ini, sains Marxisme,berdasarkan asumsi ontologis dan epistemologisnya, berartijuga realisme ilmiah.

Realisme ilmiah, sebagaimana dipahami Ruben, berpan-dangan bahwa “Teori-teori ilmiah dapat merujuk pada objek-objek tak-terobservasi, yang, sebagai ‘objek intransitif sains’,objek-objek tak-terobservasi itu secara esensial independen da-ri usaha teoretis manusia untuk memahaminya.”36 Pengertiantersebut merangkum sekaligus asumsi ontologis dan episte-mologis materialisme Marxis. Pertama, bahwa teori ilmiahdapat merujuk pada objek yang tidak bisa diobservasi (unob-servable) adalah klaim epistemologis. Dengan kata lain, teoriilmiah punya kemampuan untuk mencerminkan “objek in-

36 “Scientific theories can refer to unobservables, are sometimes about such unobserva-bles, which, as ’the intransitive objectives of science’, are essentially independent ofman’s theoretical attempts to cognise them.” Lih. David-Hillel Ruben, Op.Cit.,hlm. 189.

T A U F I Q U R R A H M A N 87

M E N G A P A S A I N S L A Y A K D I P E R C A Y A ?

transitif sains”,37 betapapun kemampuan inderawi manusiatak mampu untuk mengobservasinya. Kedua, klaim ontologisbahwa objek teori ilmiah (intransitive) independen dari setiapusaha teoretik ilmuwan untuk memahaminya. Artinya, olehkarena teori ilmiah itu mencerminkan objek intransitif yangindependen dari aktivitas ilmiah, maka kebenaran ilmiah punbersifat objektif dan tidak bergantung pada formulasi teoretikyang diusahakan oleh manusia.

Dengan demikian, dalam sains Marxisme yang bercorakrealis, terdapat keterpilahan yang jelas antara ranah ontologidan epistemologi. Di situ tidak ada apa yang oleh Bhaskardisebut “epistemic fallacy” atau reduksi ada pada pengetahuan.38

Dengan kata lain, keberadaan suatu dunia tidak mensyarat-kan keberadaan pengetahuan tentangnya. Namun sebaliknya,pengetahuan tentang suatu dunia meniscayakan bahwa du-nia itu sendiri mesti ada. Dengan demikian, formasi episte-mik sains Marxisme tidak bergantung pada sensasi inderawimanusia sebagaimana empirisme dan positivisme, atau pa-da pengalaman intersubjektif manusia sebagaimana dalamkonvensionalisme. Sains Marxisme sepenuhnya berpijak darirealitas objektif dunia, karena dari sanalah sains punya ke-kuatan untuk menyingkap selubung ideologis yang dapatmengaburkan pemahaman manusia.

37 Istilah tersebut berasal dari Roy Bhaskar saat ia membagi aspek pokok sainsmenjadi dua, yaitu: aspek transitif dan aspek intransitif. Jika aspek tran-sitif sains terkait dengan proses sosio-historis dari produksi pengetahuanilmiah, maka aspek intransitifnya adalah objek pengetahuan ilmiah yangkeberadaannya tidak bergantung sama sekali pada sains. Artinya, sains adaatau tidak ada, objek intransitif sains ini akan tetap ada. Lih. Roy Bhaskar,Scientific Realism and Human Emancipation, London: Routledge, 2009, hlm. 16.

38 Lih. Ibid., hlm. 15.

88 T A U F I Q U R R A H M A N

K R I T I K M A R X I S M E T E R H A D A P K O N S E P O B J E K T I V I T A S

K O N V E N S I O N A L I S M E

Penutup

Berangkat dari kritik atas Kantianisme, pandangan materialis-me Marxis akhirnya bertemu pada posisi yang berseberangandengan konvensionalisme. Pada titik itu, materialisme tidakmemahami objektivitas ilmiah sebagai intersubjektivitas seba-gaimana konvensionalisme, melainkan sebagai salinan yangmendekati (an approximate copy) realitas eksternal yang inde-penden dari manusia. Ketika sains berhasil membuat salinanobjektif tentang realitas eksternal, maka di situlah keberpiha-kan dan pembebasan dimungkinkan. Sains, dengan demikian,bisa bebas dari bias ideologis yang—terorganisasi secara sosi-al—dapat memalsukan kesadaran dan menggagalkan keber-pihakan.[]

T A U F I Q U R R A H M A N 89

9FISIKALISME DAN CELAH BAGI TUHAN

K A U M agamawan biasanya akan segera berang ketika men-dengar istilah fisikalisme, atau yang lebih populer lagi, materi-alisme. Dua istilah itu dipandang dapat menggugurkan iman.Umat beragama, karenanya, terhadap dua istilah itu dituntutuntuk bersikap ingkar—bahkan sejak dalam pikiran.

Sejauh sebagai konsekuensi logis dari keimanan pada Tu-han (teisme), pengingkaran terhadap fisikalisme dan materi-alisme itu dapat dibenarkan. Keyakinan teistik menganggapTuhan itu non-fisikal atau immaterial. Sementara fisikalisme,secara sederhana, dapat dipahami sebagai sebuah klaim onto-logis yang menyatakan bahwa segala sesuatu bersifat fisikalatau—dalam pengertian kontemporernya—segala sesuatu ber-topang pada yang-fisikal.

Oleh karenanya, bagi penganut teisme, menerima klaimfisikalisme sama saja dengan bunuh diri. Bangunan klaimteistiknya akan dirusak langsung dari elemen-eleman fun-damentalnya. Berdoa dan segala bentuk ritual lainnya akansangat sia-sia, jika ternyata Tuhan tidak ada, segala sesuatudi dunia terjadi karena struktur kausal hukum alamiah, dan

M E N G A P A S A I N S L A Y A K D I P E R C A Y A ?

manusia setelah mati hanya tersisa tulang yang ditumbundengan tanah.

Tapi benarkah fisikalisme sama sekali tidak memung-kinkan adanya teisme? Benarkah fisikalisme sudah berhasilmenyingkirkan Tuhan sama sekali dari semesta fisik? Ataujangan-jangan fisikalisme tanpa sadar masih memberi celahbagi Tuhan untuk terkekeh-kekeh di atas sana menentukansegala yang ada di dunia?

Kecurigaan semacam itu sempat diungkapkan, dan ter-buktikan, oleh Daniel Lim dalam salah satu bab dari bukunyayang berjudul God and Mental Causation.1 Tulisan ini pertama-tama akan memberikan eksposisi tentang fisikalisme sertaeksesnya yang (tanpa disadari) memberi ruang bagi teisme,untuk kemudian merisikokan diri menjadi bagian dari barisanpara fisikalis yang mau tak mau harus membersihkan fisika-lisme dari bid’ah teisme demi konsistensi terhadap komitmenontologisnya.

* * *

Banyak filsuf menyebut fisikalisme hanya sebagai namaKontemporer dari materialisme. Artinya, fisikalisme denganmaterialisme tidak perlu dibedakan dan penggunaan termino-logisnya dapat saling dipertukarkan. Keduanya sama-samamerujuk pada sebuah klaim ontologis yang memberikan posi-si istimewa terhadap semesta fisik. Namun nyatanya, fisika-lisme dan materialisme memiliki latar belakang historis yangberbeda.

Materialisme adalah istilah yang sudah sangat tua. Ia mun-cul bahkan sejak zaman Yunani antik sebagai bagian dari

1 Daniel Lim, God and Mental Causation, Heidelberg: Springer, 2015, hal. 21-45.

92 T A U F I Q U R R A H M A N

F I S I K A L I S M E D A N C E L A H B A G I T U H A N

asumsi ontologis monisme filosofis. Di antara para ekspo-nennya adalah Thales, Anaxagoras, Demokritos, dan (dalambeberapa hal) juga Aristoteles. Sedangkan fisikalisme barudiperkenalkan ke dalam filsafat pada tahun 1930-an oleh duatokoh penting Lingkaran Wina: Otto Neurath dan Rudolf Car-nap.

Mulanya tidak begitu jelas Neurath dan Carnap itu me-mahami fisikalisme dalam pengertian apa. Hanya saja waktuitu fisikalisme sering diatributkan pada satu tesis linguistikbahwa setiap pernyataan sinonim dengan beberapa pernyata-an fisikal. Pada titik itulah perbedaannya: jika materialismeadalah tesis metafisik, fisikalisme dalam penggunaan awalnyaadalah tesis linguistik.2 Namun, dalam tulisan ini, fisikalismeakan digunakan dalam pengertian yang lazim digunakan da-lam filsafat Kontemporer, yakni sebagai sebuah tesis metafisik.

Dalam perkembangannya, tesis fisikalisme mengalami pe-luasan. Sejauh ini setidaknya ia sudah merasuk ke dalam tigapersoalan: ontologi, objektivitas, dan eksplanasi.3 Dalam ranahontologi, seperti sudah disebutkan tadi, fisikalisme mengkla-im bahwa segala sesuatu yang eksis atau terjadi di dunia ini secaraontologis bergantung pada ranah fisikal. Tidak ada yang bisa eksisatau terjadi tanpa kehadiran objek, sifat, atau peristiwa fisi-kal. Terkait objektivitas, fisikalisme secara tegas menyatakanbahwa fakta dan kebenaran fisikal mengondisikan semua fakta dankebenaran objektif. Oleh karena domain fisikal menjadi dasarontologis segala sesuatu yang ada dan terjadi di dunia (klaimontologis) serta mengondisikan kebenaran objektifnya (klaimobjektivitas), maka keseluruhan struktur dunia dapat dimengerti

2 Lih. Daniel Stoljar, Physicalism, Oxford: Routledge, 2010, hal. 10.3 Lih. Jeffrey Poland, Physicalism: The Philosophical Foundations, Oxford: Oxford

University Press, I994, hlm. 14.

T A U F I Q U R R A H M A N 93

M E N G A P A S A I N S L A Y A K D I P E R C A Y A ?

dengan eksplanasi tunggal pada level fisikal (klaim eksplanasi).Klaim pada tiga ranah tersebut memberikan kekuatan

tersendiri terhadap fisikalisme untuk menjadi cara paling sa-hih memahami dunia. Oleh karenanya, Daniel Stoljar dalamPhysicalism berkali-kali menegaskan bahwa “physicalism is athesis we have overwhelming reason to believe...; fisikalisme adalahsebuah tesis yang kita punya banyak alasan untuk meneri-manya....”4 Namun, dalam tulisan ini saya perlu membatasipembahasannya hanya pada ranah ontologi, mengingat olehranah ontologilah dua ranah lainnya dideterminasi.

Sebagai sebuah tesis metafisik, fisikalisme bersifat umum,mencakupi segala realitas dari A sampai Z. Namun ia sering-kali diasosiasikan dengan problem tubuh-pikiran (mind-bodyproblem). Problem tubuh-pikiran ini menjadi contoh ideal bagiproblem filosofis fisikalisme. Ia sangat tepat untuk menggam-barkan ketegangan antara ranah fisikal dan ranah mental yangmasing-masing diwakili oleh tubuh dan pikiran.

Berdasarkan tiga klaim di atas, fisikalisme ini sejatinyapunya watak reduksionis. Klaim eksplanasi semakin mem-pertegas watak reduksionis fisikalisme tersebut. Penjelasantentang pikiran sebagai ranah mental dapat direduksi ke da-lam penjelasan tentang tubuh yang merupakan ranah fisikal.Varian fisikalisme reduktif ini kemudian muncul dalam bebe-rapa nama, mulai dari epifenomenalisme sampai materialis-me eliminatif. Sebagai koreksi terhadap fisikalisme reduktifmuncullah fisikalisme non-reduktif. Di antara tesis pokoknyaadalah kebertopangan pikiran pada tubuh (mind-body superve-nience), ketaktereduksian ranah mental pada ranah fisikal (thephysical irreducibility of the mental), dan adanya kekuatan kausal

4 Lih. Daniel Stoljar, Op.Cit., hal. 13.

94 T A U F I Q U R R A H M A N

F I S I K A L I S M E D A N C E L A H B A G I T U H A N

dari ranah mental (the causal efficaciousness of the mental).5

Tesis supervenience inilah yang nantinya diam-diam mem-beri celah bagi teisme. Berikut bunyi tesisnya:

Sifat-sifat mental bertopang (supervene) pada sifat-sifat fi-sikal. Jika ada satu sistem (s) menginstansiasi sifat-sifatmental (M) pada waktu tertentu (t), maka di dalam s itupasti ada sifat fisikal (P) yang menginstansiasi P pada wak-tu t, dan setiap sesuatu yang menginstansiasi P pada wak-tu tertentu niscaya juga menginstansiasi M di waktu yangsama.6

Artinya, perubahan pada mental hanya dimungkinkanapabila level fisikal yang menopangnya mengalami perubah-an. Semisal, ‘rasa sakit’ yang merupakan sifat mental itu berto-pang pada struktur neorufisiologis yang berada di level fisikal.Oleh karena itu, ‘rasa sakit’ itu akan muncul jika dan hanyajika ada rangsangan fiber-C pada struktur syaraf otak.

Relasi fiber-C dengan rasa sakit itu adalah relasi determi-nasi yang bersifat vertikal. Ia dibedakan dengan relasi kausalyang bersifat horizontal. Fiber-C yang berada di level dasar,level fisikal, mendeterminasi level yang berada di atasnya,yakni level mental, untuk memunculkan ‘rasa sakit’. Sedang-kan relasi kausal itu terjadi di level yang sama: fisikal-fisikalatau mental-mental. Oleh karenanya, relasi kausal ini meng-andaikan temporalitas: masa lalu mengakibatkan masa kinidan masa kini mengakibatkan masa depan. Itu semua terjadidi level yang sama.

Oleh karena itu, tesis supervenience yang beroperasi de-ngan relasi determinasi fisikal-mental dimungkinkan oleh apa

5 Lih. Jaegwon Kim, Physicalism, or Something Near Enough, Princeton: Prince-ton Unversity Press, 2005, hal. 33.

6 Lih. Ibid.

T A U F I Q U R R A H M A N 95

M E N G A P A S A I N S L A Y A K D I P E R C A Y A ?

yang dikenal sebagai “Diktum Edwards”. Diktum itu ber-bunyi: “There is a tension between “vertical” determination and“horizontal” causation. In fact, vertical determination excludeshorizontal causation. Ada tegangan antara determinasi “verti-kal” dan penyebaban “horizontal”. Namun, determinasi ver-tikal menyingkirkan penyebaban horizontal,”7 (lihat gambar1).

Gambar 1

Munculnya M2, berdasarakan gambar di atas, bisa dise-babkan oleh M1 yang muncul sebelumnya (relasi kausal hori-zontal) atau karena dideterminasi oleh P2 yang menopangnya(relasi determinasi vertikal). Tapi tidak mungkin ada satuperistiwa yang disebabkan oleh dua hal yang berbeda. Olehkarena itu, di antara M1 (relasi kausal horizontal) dan P2 (re-lasi determinasi vertikal) harus ada yang disingkirkan salahsatunya. Berdasarkan diktum Edwards, M1 lah yang harusdisingkirkan, sehingga hanya P2 yang diakui sebagai faktoryang menentukan munculnya M2.

Sekali determinasi vertikal itu bekerja, maka penyababandari mental ke mental yang bersifat horizontal akan sia-sia.Ketika, semisal, seseorang mengalami rangsangan fiber-C pa-da syaraf otaknya karena terkena benturan, maka tak peduli

7 Lih. Ibid., hal. 36.

96 T A U F I Q U R R A H M A N

F I S I K A L I S M E D A N C E L A H B A G I T U H A N

sebelumnya ia telah membaca beribu-ribu mantra atau doauntuk menyugesti mentalnya agar tidak mengalami rasa sakit,orang itu pasti akan menjerit “Awww...!” sebagai ‘ekspresi sa-kit’. Apa pun yang terjadi sebelum munculnya M2 di waktu t1

sama sekali tidak relevan dengan munculnya M2 pada waktut2, sebab munculnya M2 di waktu t2 dideterminasi oleh P2

pada waktu yang sama.Pada titik itulah teisme justru bisa diam-diam masuk me-

nempati ruang penalaran fisikalisme. Diktum Edwards—yangsecara formal kompatibel dengan tesis supervenience—itusejatinya dirumuskan oleh seorang teolog abad XVIII yangbernama Jonathan Edwards (1703-1758). Ia memprioritaskandeterminasi vertikal daripada penyebaban horizontal sebagai-mana tesis supervenience justru untuk meneguhkan kuasa Tu-han atas segala apa yang terjadi di dunia. Antara superveniencedan diktum Edwards itu hanya berbeda konten argumentasi-nya, tetapi strukturnya persis sama.

Jika supervenience menyebut dasar kebertopangan sifatmental adalah sifat fisikal, dan tidak mungkin ada penyebab-an horizontal dari mental di t1 terhadap mental di t2, ma-ka penganut teisme ortodoks—berdasarkan diktum Edwa-rds—menyebut bahwa dasar kebertopangan segala hal yangada dan terjadi di dunia ini, baik mental atau fisikal, ada-lah Tuhan, dan tidak mungkin ada penyebaban horizontaldari yang-selain-Tuhan (makhluk) di t1 terhadap yang-selain-Tuhan (makhluk lain) di t2. Baik supervenience ataupun teismeortodoks sama-sama memprioritaskan determinasi vertikaldan membuang jauh-jauh penyebaban horizontal.

Dengan determinasi vertikal itulah, mukjizat, karamah,mistik, dan sisi-sisi irasionalitas lainnya dari agama dimung-kinkan untuk ada. Nabi Ibrahim dibakar oleh Raja Namrud,

T A U F I Q U R R A H M A N 97

M E N G A P A S A I N S L A Y A K D I P E R C A Y A ?

namun ia sama sekali tidak merasakan rasa panas. Hal itu ter-jadi, menurut narasi agama, karena Tuhan yang menjadi dasarkebertopangan segala kejadian di dunia tidak menghendakiNabi Ibrahim kepanasan, sehingga bodo amat sekalipun RajaNamrud telah membakarnya dengan api yang berkobar-kobar.Segala usaha Namrud untuk menyebabkan Ibrahim terbakarhanya akan berakhir sia-sia, karena determinasi Tuhan terha-dap dunia sangatlah sempurna.

Segala usaha yang dilakukan oleh seorang manusia dimasa lalu itu tidak relevan untuk dijadikan alasan keberada-annya di masa kini. Apa yang ia lakukan di masa kini jugatidak menjamin seperti apa ia di masa depan. Semua kejadiandi dunia, apa pun itu, dideterminasi oleh kehendak Tuhan, takpeduli pada apa pun yang terjadi sebelumnya. Itulah doktrinpokok occasionalism: pandangan filosofis dari teisme ortodoksbahwa hanya Tuhan satu-satunya yang menjadi penyebabsegala yang ada dan terjadi di dunia.

* * *

Sejauh ini, satu hal telah diungkap, bahwa model fisika-lisme supervenience dan teisme menempati struktur penalar-an yang sama, hanya kontennya saja yang berbeda nama.Supervenience menamai dasar kebertopangan segala sesuatusebagai “ranah fisikal”, sedangkan teisme menamai dasar ke-bertopangan segala sesuatu sebagai “Tuhan”. Tapi masihkahkeduanya bisa dianggap sama ketika asumsi ontologisnya ber-beda (supervenience mengasumsikan sifat fisikal, saat teismemengasumsikan Tuhan)? Jawabannya: iya dan tidak. Iya, jikadilihat dari sudut pandang epistemologis; tidak, jika dilihatdari sudut pandang ontologis.

98 T A U F I Q U R R A H M A N

F I S I K A L I S M E D A N C E L A H B A G I T U H A N

Secara ontologis, supervenience dan teisme memang meng-asumsikan dua hal yang berbeda, tetapi implikasi epistemo-logisnya tetap sama. Ketika supervenience memprioritaskandeterminasi vertikal daripada penyebaban horizontal sejati-nya ia juga membuka celah bagi Tuhan. Diandaikan bahwasegala sifat dan peristiwa mental dideterminasi oleh sifat atauperistiwa yang ada pada ranah fisikal. Lalu, sifat dan peris-tiwa fisikal itu dideterminasi oleh apa? Adakah ranah yanglebih elementer dari ranah fisikal?

Oleh karena tidak ada lagi ranah di bawah ranah fisikal,maka mau tidak mau kita harus menerima penyebaban hori-zontal pada ranah fisikal. P2 yang mendeterminasi M2 dalamgambar di atas itu tidak dideterminasi oleh ranah yang adadi bawahnya lagi, tetapi disebabkan oleh P1 yang terjadi sebe-lumnya.8 Menerima P1 sebagai sebab dari P2, maka akal sehatkita akan kembali bertanya: yang menyebabkan P1 mungkinada itu apa? Konsekuensi logisnya adalah regresi tak berujungsampai entah.

Di titik entah itulah, akal yang mencari sebab tak berujungakan merasa lelah, lalu untuk mengakhiri regresi akan segerabersandar pada satu substansi yang keberadaanya tidak lagidisebabkan oleh yang lain.9 Segala rentetan peristiwa, baikdi level fisikal maupun mental, hanyalah efek kausal dari sa-tu substansi tersebut. Di situlah dogmatisme mengibarkan

8 Argumen ini dikokohkan oleh dua prinsip sekaligus, yaitu prinsip ekslusidan prinsep ketertutupan kausal. Prinsip eksklusi menyatakan bahwa tidakada satu peristiwa yang disebabkan oleh lebih dari satu penyebab yangterjadi pada waktu sama. Prinsip ketertutupan kausal menegaskan bahwajika sebuah peristiwa fisikal memiliki sebuah sebab yang terjadi pada waktutertentu, maka sebab itu pastilah sebab fisikal (physical cause). Lih. JaegwonKim, Op.Cit., hal. 42-43.

9 Dalam term Aristotelian substansi itu disebut “Unmoved mover”, penggerakyang tidak digerakkan, yang seringkali diidentifikasi sebagai Tuhan.

T A U F I Q U R R A H M A N 99

M E N G A P A S A I N S L A Y A K D I P E R C A Y A ?

benderanya. Kita sejatinya tidak bisa berbuat apa-apa, tidakpunya kehendak bebas untuk melakukan ini atau itu di dunia,sebab semuanya akan terjadi begitu saja berdasarkan hukumkausalitas pada semesta fisik yang penyebab primordialnyatelah dipancang sejak semula. Sebuah pencarian rasional yangsia-sia, bukan?! Dari awal menolak Tuhan, tetapi pada akhir-nya harus bersandar kepada sebentuk keyakinan dogmatis.

* * *

Setelah menunjukkan ekses negatif dari fisikalisme yangpada akhirnya memberi celah bagi teisme dan dogmatisme,inilah tantangan tulisan ini berikutnya: bagaimana agar fi-sikalisme itu bebas dari bias bid’ah keyakinan teistik yangdogmatis?

Jika fisikalisme supervenience untuk mempertahankan tesisontologisnya sebagai fisikalis menggunakan prinsip eksklusidan prinsip ketertutupan kausal, maka untuk memurnikanfisikalisme dari tendensi teistik dan dogmatis kita perlu sa-tu prinsip lain yang barangkali justru akan menggugurkandua prinsip tersebut. Prinsip yang, saya kira, dapat menye-lamatkan fisikalisme dari tendensi teistik itu adalah PrinsipTanpa-Alasan (principle of unreason) yang dirumuskan olehQuentin Meillassoux. Tapi penggunaan prinsip tanpa-alasanitu tentu dengan sedikit modifikasi.

Prinsip itu berbunyi: “There is no reason for anything to beor to remain the way it is; everything must, without reason, be ablenot to be and/or be able to be other than it is. Tidak ada alasanbagi segala sesuatu untuk ada atau tetap ada sebagaimana iaada; segala sesuatu harus, dengan tanpa alasan, bisa tidak adadan/atau bisa ada dengan cara yang lain daripada adanya

100 T A U F I Q U R R A H M A N

F I S I K A L I S M E D A N C E L A H B A G I T U H A N

sekarang.”10

Kita tahu bahwa Meillassoux menolak entitas niscaya, se-mentara fisikalisme, dengan tesis ontologisnya, tegas mengkla-im objek fisikal itu niscaya ada. Oleh karenanya, penggunaanprinsip tanpa-alasan untuk menyelamatkan fisikalisme ini ti-dak membawa-sertakan klaim ontologis Meillassoux. Objekfisikal tetap niscaya ada, hanya saja adanya bisa berubah sa-ma sekali dari yang saat ini tanpa alasan apa pun, tanpa adasebab apa pun. Kita tak perlu mencari alasan atau sebab bagiadanya perubahan pada objek fisikal, bukan karena kita tidaktahu alasan atau sebabnya, melainkan karena kita tahu bahwaobjek fisikal itu niscaya ada, namun bisa berubah kapan sajatanpa harus ada alasan atau sebab sebelumnya.

Bagaimana dengan sifat-sifat mental? Di sini tesis superve-nience tetap dipertahankan (tentu dengan sedikit modifikasi)bahwa sifat-sifat mental bertopang pada ranah fisikal, tetapibukan dengan menggunakan diktum Edwards, melainkan de-ngan asumsi fisikalis sendiri bahwa sifat-sifat mental tidak da-pat berdiri sendiri tanpa ada ranah yang menopangnya. Posisisifat mental dan ranah fisikal itu sama dengan posisi predikatdan subjek. Predikat tidak mungkin ada tanpa ada subjek yangmenopangnya. Ketika subjek mengalami perubahan, makapredikat yang ditopangnya juga akan berubah—bukan kare-na determinasi vertikal dari subjek ke predikat, melainkansemata karena subjek dan predikatnya telah menyatu.

Solusi ini memang tampak reduksionis, namun “prinsiptanpa-alasan” itulah yang membedakannya dari fisikalismereduktif biasa. Tesis utama fisikalisme bahwa ranah fisikalniscaya ada tetap dijaga, hanya saja dengan “prinsip tanpa-

10 Lih. Quentin Meillassoux, After Finitude: An Essay on the Necessity of Conti-ngency, terj. Ray Brassier, London: Continuum, 2008, hal. 102 (versi e-book).

T A U F I Q U R R A H M A N 101

M E N G A P A S A I N S L A Y A K D I P E R C A Y A ?

alasan”, ranah fisikal itu dapat berubah kapan saja tanpa harusada alasan atau sebab sebelumnya. Hanya dengan solusi se-macam itulah, saya kira, betapa pun reduktifnya, fisikalismedapat dijauhkan dari tendensi teistik.

* * *

Fisikalisme mesti cukup hati-hati membangun argumen-tasinya dalam menjaga komitmen ontologisnya. Sebab teis-me dapat muncul dalam banyak kesempatan, dengan rupayang beragam. Tidak mesti berteriak “Allahu akbar!” Saatmenyisakan ruang di luar rasionalitas, saat itulah kita tanpasadar memberi celah bagi Tuhan. Di situ Tuhan hadir sebagaiyang-tak-terpikirkan, yang kadang menuntut kita bela dengancara-cara irasional.

102 T A U F I Q U R R A H M A N

10METAONTOLOGI CARNAP

P E R TA N YA A N fundamental ontologi, menurut Quine, ada-lah “Apa itu ada?”. Maka bidang filsafat yang mempertanyakanpertanyaan ontologis pasti bukan ontologi itu sendiri, mela-inkan bidang yang melampaui ontologi. Peter van Inawagenmenyebut bidang itu dengan nama ‘meta-ontologi’. Pertanya-an metaontologis bisa dirumuskan dengan pertanyan berikut:“Apa yang kita tanyakan ketika kita bertanya ‘apa itu ada?’”.Dengan kata lain, metaontologi mempertanyakan makna per-tanyaan ontologis; dan jawaban terhadap pertanyaan tersebutakan menunjukkan bagaimana seharusnya kita merumuskanpertanyaan ontologis atau bagaimana seharusnya kita ber-ontologi. Jawaban terhadap pertanyaan metaontologis inilahyang diupayakan Rudolf Carnap dalam “Empiricism, Semanti-cs, and Ontology”.

Pertanyaan ontologis yang dipertanyakan Carnap dalamartikel ini adalah pertanyaan tentang entitas abstrak seper-ti bilangan, sifat, dan entitas teoretik. Ini adalah pertanyaanyang sudah lama muncul dalam filsafat dan sampai sekarang

M E N G A P A S A I N S L A Y A K D I P E R C A Y A ?

masih menyisakan perdebatan yang tak selesai. Di abad Te-ngah, misalnya, pertanyaan tentang entitas abstrak ini munculdengan istilah ‘yang-universal’. Jika ada buku berwarna me-rah, baju berwarna merah, dan bibir berwarna merah, apakahke-merah-an atau merah-universal yang meliputi semua objekyang berwarna merah (merah-partikular) itu ada? Ini juga ber-laku semua hal lainnya, seperti ke-manusia-an untuk manusia,ke-cantik-an untuk cantik, dan ke-kuda-an untuk kuda. Makapertanyaan umumnya adalah: “Apakah yang-universal ituada?”. Karena yang-universal itu pasti bersifat abstrak teta-pi entitas abstrak belum tentu yang-universal, maka dalamversi kontemporernya pertanyaan tersebut menjadi begini:“Apakah entitas abstrak itu ada?”

Ada dua kelompok besar filsuf yang berselisih mempe-rdebatkan pertanyaan tentang entitas abstrak. Pertama, ke-lompok realis-Platonik. Kelompok ini berpandangan bahwaentitas abstrak seperti bilangan dan ke-merah-an (red-ness) itubenar-benar ada. Kedua, kelompok nominalis. Kelompok ini,sebaliknya, menolak keberadaan yang-universal atau entitasabstrak. Segala macam nama yang dianggap menandai enti-tas abstrak, seperti ‘ke-merah-an’, ‘lima’, dan ‘neutron’, ituhanya sekadar nama (flatus vocis) tanpa merujuk pada realitasobjektif apa pun di dunia nyata.

Empirisisme, paham yang juga diamini oleh Carnap, se-benarnya lebih dekat ke nominalisme daripada ke realisme.Dasar ontologis keberadaan sesuatu, bagi kaum empirisis,adalah keterberiannya di dalam data-indrawi (sense-data). Ar-tinya, sejauh sesuatu terberikan kepada indra, sejauh itulahsesuatu itu bisa dikatakan ada. Sementara entitas abstrak itutak pernah terberikan kepada indra kita. Yang terberikan kepa-da indra kita hanyalah bibir yang merah, bukan ke-merah-an

104 T A U F I Q U R R A H M A N

M E T A O N T O L O G I C A R N A P

yang mengatasi semua bibir merah atau objek-objek lain yangberwarna merah. Kita juga tidak pernah melihat dan menci-um dan memeluk ke-cantik-an, tetapi kita hanya bisa melihatdan mencium dan memeluk kekasih kita yang cantik. Olehkarenanya, ke-merah-an dan ke-cantik-an dan semua entitasabstrak lainnya oleh kaum empirisis itu dianggap tidak ada,lantaran ketakterberiannya kepada indra.

Namun, di dalam konteks ilmiah, entitas abstrak ini nyaristakterhindarkan (seperti elektron dan bidang elektromagnetikdi dalam fisika, bilangan dan fungsinya di dalam matematika,gen di dalam biologi, dan kompleks ketaksadaran di dalampsikologi). Dengan demikian, Carnap merasa ada yang perludipertanyakan dalam cara para filsuf ber-ontologi, dalam caramereka memperdebatkan ‘keberadaan’ atau ‘ketidaan’ entitasabstrak. Carnap melihat ada problem linguistik yang belumterpecahkan sehingga semua persoalan ontologis yang dipe-rdebatkan para filsuf itu tak pernah mencapai titik temu. Enti-tas abstrak yang memecah para filsuf menjadi kaum realis dannominalis, misalnya, itu bukanlah objek spasio-temporal, se-dangkan bahasa yang digunakan untuk memperdebatkannyaadalah bahasa-benda (thing language) yang hanya mengacukepada objek-objek spasio-temporal. Jadi, sejak awal, perta-nyaan ontologis tentang keberadaan entitas abstrak itu sudahbermasalah.

Di sini Carnap membedakan dua macam pertanyaan. Per-tama, pertanyaan tentang keberadaan entitas baru di dalamkerangka linguistik yang tersedia dan disebutnya pertanyaaninternal. Kedua, pertanyaan tentang keberadaan sebuah sistementitas secara keseluruhan yang ada di luar kerangka linguistikyang tersedia dan disebutnya pertanyaan eksternal. Pertanya-an pertama adalah pertanyaan empiris atau logis. Artinya,

T A U F I Q U R R A H M A N 105

M E N G A P A S A I N S L A Y A K D I P E R C A Y A ?

untuk menilai kebenaran jawaban yang diajukan terhadappertanyaan tersebut hanya diperlukan verifikasi empirisi atauanalisis logis. Semisal, pernyataan bahwa “ada buku berwarnamerah di atas meja” itu dapat dinilai kebenarannya melaluipenyelidikan empiris. Demikian juga, pernyataan bahwa “adabilangan prima yang lebih besar dari seratus” itu dapat dini-lai kebenarannya secara analitis di dalam kerangka linguistikmatematika.

Namun, ketika para filsuf itu ber-ontologi, pertanyaanyang diajukan bukan pertanyaan pertama, melainkan perta-nyaan kedua, yaitu pertanyaan eksternal “Apakah bilangansecara keseluruhan itu ada?” atau “Apakah sifat ke-merah-anuniversal itu ada?” Apa yang ditanyakan di dalam pertanyaaneksternal ini adalah sesuatu yang ada di luar dan independendari semua kerangka linguistik yang tersedia. Oleh karenaitu, tulis Carnap, “Jika seseorang ingin membicarakan entitasbaru di dalam bahasanya, maka dia harus memperkenalkansistem pembicaraan yang baru, yang mengikuti aturan-aturanyang juga baru; kita akan menyebut prosedur ini sebagai pem-bentukan kerangka linguistik untuk entitas baru yang hendakdibicarakan”. Artinya, kerangka linguistik yang biasa kitagunakan (yaitu, bahasa-benda) itu tidak memadai untuk digu-nakan dalam pertanyaan ontologis terkait entitas abstrak dan,karenanya, kita memerlukan kerangka linguistik baru yangmemungkinkan kita untuk merujuk pada entitas abstrak.

Itulah yang membedakan Carnap dengan para filsuf yangdengan serta-merta langsung ber-ontologi. Para filsuf padaumumnya berpandangan bahwa pertanyaan ontologis ten-tang entitas baru itu perlu diajukan dan dijawab terlebih da-hulu sebelum kita membangun kerangka linguistik yang baru.Sebab, menurut mereka, pembentukan kerangka linguistik

106 T A U F I Q U R R A H M A N

M E T A O N T O L O G I C A R N A P

yang baru itu hanya akan absah jika dan hanya jika sudahterjustifikasi secara ontologis bahwa entitas baru yang dirujukitu benar-benar ada. Tanpa ada justifikasi ontologis terlebihdahulu, maka pembentukan kerangka linguistik yang baruakan menjadi problematik. Carnap, sebaliknya, berpandanganbahwa pembentukan kerangka linguistik yang baru itu tidakmemerlukan justifikan ontologis apa pun, sebab saat kita me-nerima kerangka linguistik baru itu tidak berarti bahwa kitajuga menerima dan meyakini keberadaan entitas baru.

Pada titik itu, alih-alih langsung menjawab pertanyaan on-tologis tentang entitas abstrak, Carnap malah naik satu tingkatke atas problem ontologi untuk melihat apa yang bermasa-lah dalam problem ontologi dan kemudian memberi solusibagaimana seharusnya kita ber-ontologi. Tawaran metaonto-logis Carnap ini adalah tawaran semantik nonkognitif. Sebabkerangka linguistik baru yang dibentuk untuk membicarak-an entitas baru itu tidak memuat konten kognitif apa pun.Sebuah pernyataan dikatakan memiliki konten kognitif jikaia merujuk atau menandai sesuatu dan bersifat informatif.Semisal, “rumput itu hijau”. Karena memiliki konten kogni-tif, maka pernyataan tersebut bisa dinilai apakah benar atausalah. Kerangka linguistik, karena tidak memiliki konten kog-nitif, tidak bisa dinilai apakah benar atau salah. Demikianjuga dengan pernyataan metafisik. Ia tidak memiliki kontenkognitif dan, karenanya, tidak bisa dinilai apakah benar atausalah. Keputusan untuk menggunakan kerangka linguistikyang bersifat metafisik itu tidak bergantung pada penilaianbenar atau salah, tetapi pada asas kebergunaan dan keman-faatan: sejauh mana kerangka linguistik tertentu itu bergunabagi pengembangan ilmu pengetahuan?

Oleh karena itu, Carnap menutup artikel ini dengan per-

T A U F I Q U R R A H M A N 107

M E N G A P A S A I N S L A Y A K D I P E R C A Y A ?

nyataan berikut: “Berilah kebebasan kepada orang-orang yangmelakukan penyelidikan dalam bidang khusus untuk meng-gunakan bentuk ungkapan apa pun yang tampak bergunabagi mereka; cepat atau lambat penyelidikan dalam bidangkhusus itu akan menyingkirkan bentuk-bentuk ungkapanyang ternyata tidak memiliki fungsi yang berfaedah. Mari-lah kita berhati-hati dalam membuat pernyataan dan kritis dalammenguji pernyataan tersebut, dan mari kita juga toleran terhadappenggunaan bentuk-bentuk kebahasaan."

108 T A U F I Q U R R A H M A N

Produksi pengetahuan hari-hari ini nyaris selalu membutuhkan topangan (pe)modal. Tepat ketika produksi pengetahuan itu menyandarkan diri sepenuhnya pada modal, maka saat itulah juga terjadi produksi kekuasaan—yang pada akhirnya juga akan memproduksi ketidaksetaraan: ada orang yang mampu mengakses pengetahuan, juga ada yang tidak mampu mengaksesnya. Antinomi Institute, sebuah organisasi nonprofit yang membaktikan dirinya untuk pengembangan pengetahuan, ingin memutus ketergantungan produksi pengetahuan pada modal—yang watak primordialnya adalah selalu untuk melipatgandakan dirinya—dan juga ingin memastikan bahwa pengetahuan itu bisa dinikmati oleh semua orang.

Sejauh ini, Antinomi Institute telah melakukan produksi dan distribusi pengetahuan melalui dua bentuk: situs web dan buku. Semuanya dikerjakan dengan semangat untuk memproduksi pengetahuan, bukan untuk mengakumulasi kapital. Semua konten di situs web kami bisa diakses secara gratis, beberapa buku cetak dijual hanya untuk mengganti biaya produksi, selebihnya dibagikan secara gratis, dan semua buku elektronik (ebook) yang kami buat juga dibagikan secara gratis. Namun, untuk memastikan keberlanjutan itu semua, kami memerlukan keterlibatan Anda sebagai pembaca dan penikmat pengetahuan untuk memberikan bantuan dan dukungan material.

Sebagaimana moto “Sci-Hub”, kami ada untuk “removing barriers on the way of knowledge”.

Jika kalian merasa terbitan-terbitan Antinomi penting, kaliandapat membantu kami untuk tetap konsisten dalam memproduksipengetahuan yang dapat diakses semua orang melalui:

BCA: 521-1386-747 (Fajar Nurcahyo)DANA: 081294567235 (Fajar Nurcahyo)OVO: 081294567235 (Fajar Nurcahyo)LINKAJA: 081294567235 (Fajar Nurcahyo)

antinomidotorgantinomi.org antinomi.institute

ISBN 978-623-96375-6-9 (PDF)

9 786239 637569

NON F IKSI / F ILSAFAT

Meskipun sains tidak bisa menjamin bahwa teorinya pasti benar, tetapi dengan kamampuannya untuk terus memperbaiki diri, sains bisa membawa kita semakin dekat pada kebenaran.

Berilah kebebasan kepada orang-orang yang melakukan penyelidikan dalam bidang khusus untuk menggunakan bentuk ungkapan apa pun yang tampak berguna bagi mereka; cepat atau lambat penyelidikan dalam bidang khusus itu akan menyingkirkan bentuk-bentuk ungkapan yang ternyata tidak memiliki fungsi yang berfaedah. Marilah kita berhati-hati dalam membuat pernyataan dan kritis dalam menguji pernyataan tersebut, dan mari kita juga toleran terhadap penggunaan bentuk-bentuk kebahasaan.” (Rudolf Carnap)

mengapasains layakdipercaya?