Media Studies

47
How's your view about media in society? 1. Are they free? 2. What‟s about their objectivity? 3. Are their content diverse? 4. Do The audience have choice? 5. Are their professionals autonomous? 6. Are the audience active to select the media, and the contents/programs? 7. Are their effect strong? 8. What‟s about media owner? Who are they? 9. What‟s interest they might be? 10. Can the media control the government?

Transcript of Media Studies

How's your view about media in society?

1. Are they free?

2. What‟s about their objectivity?

3. Are their content diverse?

4. Do The audience have choice?

5. Are their professionals autonomous?

6. Are the audience active to select the media, and the contents/programs?

7. Are their effect strong?

8. What‟s about media owner? Who are they?

9. What‟s interest they might be?

10. Can the media control the government?

1.Pers Bebas atau Media Bebas?

REP | 08 September 2014 | 09:13 Dibaca: 17 Komentar: 0 0

Informasi itu selaras dengan tanggung jawab. Dalam era yang kian berkembang dengan cepat

saat ini, setiap orang hampir memiliki kesempatan yang lebih banyak dan luas dalam

menggenggam informasi. Fakta ini menderet peluang pembagian kekuasaan, sebab salah satu

faktor dasar integritas berbangsa dan bernegara, yakni rakyat memeroleh informasi seluas-

luasnya.

Tanpa itu rakyat atau publik tidak akan memahami hak dan menjalankan kewajibannya. Alat

untuk memeroleh informasi itu adalah media yang independen dan bebas. Istilah yang biasa

dipakai adalah free press atau pers bebas, namun karena makin penting dan meningkatnya peran

media elektronik, dan jumlah warga dunia yang bergantung pada radio dan televisi istilah free

media atau media bebas lebih banyak digunakan. (Fahri Hamzah, 2012).

Banjir informasi yang ada saat ini membuat masyarakat disuguhi ragam peristiwa yang dicatat

dan dilaporkan pewarta. Publik hampir saja tidak memiliki kesempatan yang tidak mungkin

dielakkan. Sebagai misal, penulis setiap hari mencerna belasan berita di situs online, menyimak

televisi berita, mengintip isi siaran radio, dan membaca koran.

Luberan informasi itu bermuara pada satu kalimat penting, sejumlah media harus tetap berpijak

standar mutu liputan sebelum melaporkannya ke publik. Sebab kita hanya benar-benar berharap

pada media profesional dan mengabdikan diri dalam menyaring semua informasi sebelum

disajikan ke pembaca atau pemirsa. Publik selalu ingin mengetahui secara persis informasi yang

disampaikan media, apakah telah cukup adil, dan bertanggung jawab.

Media yang bebas sesungguhnya sama penting dengan sistem peradilan yang independen.

Keduanya banyak diistilahkan sebagai saudara kembar yang tidak bertanggung jawab pada

politisi, tetapi kepada publik. Keinginan untuk menarik minat pembaca, tumpukan iklan serta

untung sangat tergantung dari cara media mengelola tanggung jawabnya. Sayangnya itu

seringkali dipengaruhi oleh adanya konflik kepentingan di dalamnya.

Kita sedang tumbuh dalam perkembangan media baru: internet. Dimana seharusnya publik tidak

dididik dalam bisik-bisik informasi tetapi dalam kaidah dan kultur kebebasan berpendapat dan

menerima distribusi informasi secara bertanggung jawab. Sebab disanalah media menjadi hamba

pada publiknya.

Titimangsa media tengah berada pada situasi dimana jejaring sosial kerap lebih cepat

mengabarkan, dan menyulur fakta dari sisi yang berbeda dan khas. Untuk itu mau tidak mau,

kualitas wartawan atau jurnalis memasuki ruang pertarungan yang sungguh hebat. Bila media

konvesional tak mampu menyajikan informasi berimbang, dan akurat sedang jejaring media

sosial makin kuat, niscaya pembaca akan mengambil alih kuasanya.

Masyarakat pembaca yang kini memiliki kesempatan untuk menyeleksi media yang baik dan

bermanfaat, harus menjadi celah bagi pemilik media untuk meningkatkan kualitasnya. Serendah-

rendahnya strata pendidikan pembaca mereka tetap memerlukan kehadiran media yang akan

dinilainya memberi hal positif dan konstruktif. Bukan lagi era dimana ruang senyap redaksi

sebagai kastil tak tersentuh. Newsroom saat ini mesti adaptif, dan visioner.

Sebagai praktisi media, penulis tak pernah berhenti mengentalkan keprihatinan atas mutu

jurnalistik yang ada. Kebebasan pers tidak seharusnya membuat bebal. Sebab di situ ada

tanggung jawab sosial, dan efek hukum yang bisa menjerat. Bersyukurlah karena sebagian

pembaca, kalau mereka masih mau membaca, sedang bersikap pasif pada apa yang disimaknya.

Tapi percayalah publik memiliki cara bertindak.

Kelas pembaca secara jujur tidak memerlukan berita yang dibangun dari realitas duga-menduga

karena dibalik itu terselip kepentingan tertentu. Konsep hyperrality (hiper-realitas) yang

dikembangkan Jean Baudrillard dalam buku In The Shadow of The Silent Majorities untuk

menjawab dan menjelaskan perekayasaan dan distorsi informasi di dalam media (Hotman dkk,

2001).

Disebutkan, hiper-realitas menggiring orang mempercayai sebuah citra sebagai kebenaran, meski

kenyataannya hanyalah dramatisasi realitas dan pemalsuan kebenaran yang melampaui realitas.

Bila pembaca cermat, itu akan bisa dinilai akhir-akhir ini dalam isi siaran, pun kolom surat

kabar. Jika tak yakin, mulailah hari ini menjadi pembaca yang lebih kritis agar tak mudah

dibodohi. Bacalah lebih banyak sumber informasi.

Semakin jauh surat kabar atau media dari lokasi atau sumber berita, wartawan akan makin

banyak melakukan penyederhanaan yang muncul dalam bentuk simbolisasi. Keadaan ini

seharusnya disadari, sebab di luar kantor redaksi kini terdapat lebih banyak warga yang juga

mulai mengambil peran sebagai pewarta (citizen). Itu sebabnya keberpihakan hitam-putih

hampir-hampir tak lagi memiliki tempat.

Jadi berbenahlah. Proses framing berita harus dikonstruksi lebih dari sekadar teks yang

membangun, tetapi juga memberi warna, perspektif bagi pembaca. Tugas media itu menyelia

informasi, bukan saklek merunutkan kumpulan kabar sebagai kebenaran mutlak. Publiklah yang

menilai. (*)

Mamuju, 8 September 2014

http://media.kompasiana.com/new-media/2014/09/08/pers-bebas-atau-media-bebas-686297.html

2. “HILANGNYA JATI DIRI DAN OBJEKTIVITAS MEDIA MASSA DI ARUS

GLOBALISASI” Posted by Aniefy Jr Copr Kamis, 13 Juni 2013 0 comments

Mengintip Globalisasi

Sekarang ini kita menikmati kelimpahan informasi yang luar biasa. Hal ini tentu berkait

dengan makin banyak, beragam, dan cangginhnya industri media informasi dan komunikasi, mulai

cetak hingga elektronik, menawarkan berita dan sensasi. Disisi lain kita melihat kebebasan yang

dimiliki oleh penggiat media dalam berbagai pemberitaanya. Kita tentu saja dibuat bingung oleh

banyaknya berita yang diproduksi. Hal itu tidak lain karena berita yang disajiakan tiap kali

berbeda-beda bahkan berlawanan, belum lagi terkadang kita juga dibuat kaget oleh kemunculan

berita yang tampak tiba-tiba, asing dan berani (Eriyanto, 2001: V).

Dari relita diatas, kita kemudian dituntut untuk berperan aktif untuk mengetahuai apa

sebenarnaya yang terjadi dan tersembunyi dibalik teks-teks berita tersebut, tentunya dengan

bersikap objektif dan independen dalam menyikapi segala pemaknaan yang dilakukan oleh

kelompok tertentu pada kita, terlebih pada era global seperti ini.

Berbicara era Globalisasi, sudah pasti sering diidentikan dengan kemajuan teknologi

informasi dan komunikasi, yang memproyeksikan dunia sebagai ‘kampung global’ (global village),

yang nyaris tanpa batas dan jarak. Pada era global, informasi dapat cepat ditransformasikan melalui

alat-alat canggih lewat media massa, baik cetak, ataupun media elektronik. Media massa tersebut

mampu mentransformasikan pesan (message) dalam waktu singkat, serentak (simultan), dan

menjangkau khalayak banyak.

Begitu besar pengaruh globalisasi sehingga para pakar di bidang ini menyebutnya sebagai

efek bola salju (snowball effect), yaitu arus global yang sulit dihindari oleh siapapun dan oleh sistem

manapun.

Pada akhirnya, globalisasi membawa perubahan yang sangat cepat di segala bidang. Karena

itu, globalisasi menuntut sikap adaptatif dengan perkembangan yang sedang berjalan. Maka siapa

yang tidak mampu beradaptasi dengan zaman, maka akan tertinggal. Perubahan sosial yang

diakibatkan oleh pengaruh globalisasi dapat mengakibatkan perubahan nilai-nilai, sistem sosial dan

tatanan masyarakat lainnya. Dengan kata lain, perubahan itu bisa berdampak pada nilai-nilai

budaya, agama dan sistem sosial politik.

Realitas yang terjadi sekarang ini, media massa -terlebih actor media- sudah tidak lagi dapat

menemukan jati diri objektivitasnya dalam menjalankan tanggung jawab sosial. Kebanyakan

pelaku media hanya terpaku dan terjebur dalam kubangan teori jurnalisme semata tanpa

menghiraukan dampak yang terjadi dalam masyarakat akibat pemberitaan yang tidak seimbang

antara realitas yang dikonstruksikan oleh satu kelompk dengan yang lain.

Berangkat dari semua itu, yang sering kita khawatirkan adalah media massa sudah

kehilangan objektivitas pemberitaannya. Harapan agar media massa melakukan self cencorhsip

sebenarnya sampai sekarang masih (diper)sulit untuk direalisasikan dalam praktik jurnalisme.

Objektivitas sebenarnaya merupakan hal yang mudah dipahami, akan tetapi sangat sulit untuk

direalisasikan, terlebih jika kita membuka mata dan melihat keadaan praktik jurnalisme di

Indonesia.

Mempertanyakan Objektivitas Media

Berbicara tentang objektivitas media massa kita tidak akan bisa melepaskan diri dari

bahasan fakta dan opini/fiksi. Westerstahl (McQuail, 2000), pernah meyodorkan bahwa yang

dinamakan objektif setidaknya mengandung faktualitas dan imparsialitas.

Faktualitas berarti kebenaran yang di dalamnya memuat akurasi (tepat dan cermat), dan

mengkaitkan sesuatu yang relevan untuk diberitakan (relevansi). Sementara itu, imparsialitas

mensyaratkan adanya keseimbangan (balance) dan kenetralan dalam mengungkap sesuatu.

Dengan demikian, informasi yang objektif selalu mengandung kejujuran, kecukupan data,

benar dan memisahkan diri dari fiksi dan opini. Ia juga perlu untuk menghindarkan diri dari

sesuatu yang hanya mengejar sensasional semata. Apa yang dikemukakan oleh Westerstahl

tersebut di atas dalam praktiknya tidak mudah untuk diwujudkan. Media massa tidak lepas dari

subjektivitas atau subjektivitas yang objektif. Subjektivitas dilakukan jika media massa

memberitakan suatu kejadian yang tidak pernah terjadi. Sementara itu, subjektivitas yang objektif

terjadi ketika media massa secara terang-terangan atau tidak cenderung membela salah satu pihak

yang sedang diberitakan. Pemberitaannya berdasarkan fakta-fakta yang terjadi (objektif) tetapi

penulisannya secara subjektif.

Kecenderungan ini mewarnai setiap kebijakan media massa. Bahkan koran sebesar New

York Times (NYT) yang sudah berusia 100 tahun dan mengawal 20 presiden AS tidak lepas dari

kepentingan itu. Noam Chomsky pernah menulis bahwa cara pandang koran itu sangatlah elitis dan

sangat menekankan kepentingan AS dalam melihat negara dunia ketiga. Dalam masalah Timor

Timur misalnya sangat sedikit ditulis sementara di Vietnam (AS punya kepentingan di sana) begitu

gencarnya. Padahal pada tahun 70-an itu, di Timor Timur terjadi banyak pelanggaran HAM yang

membutuhkan perhatian serius bagi koran sebenar NYT (Haryanto, 2006).

Apalagi media massa di Indonesia yang usianya belum setengah abad, jelas sangat tidak

mudah melakukan objektivitas penulisan. Ini bukan bermaksud membela media massa, tetapi kita

juga perlu melihat sisi lain yang mengitari media massa. Paling tidak dibandingkan dengan era

Orba, media massa Indonesia jauh lebih baik.

Selain media massa cetak, yang tidak kalah menariknya adalah objektivitas yang terjadi

pada media televisi kita dalam beberapa kasus, televisi jauh lebih besar dalam melanggar

objektivitas tayangan. Ini bisa kita lihat dari tayangan infotainment yang sedang marak di televisi

kita. Tayangan itu sering mencampuradukkan antara fakta dan opini.

Pernyataan yang dibacakan oleh narator atau pembawa acara seringkali “menuduh” pihak

tertentu dan mengarahkan penonton untuk setuju dan tidak setuju terhadap realitas yang

disajikannya. Meskipun, mereka merasa hanya sekadar memberikan ilustrasi dari apa yang

disajikan. Kata-kata seperti “sungguh tragis”, “sayangnya”, “tidak disangka” dan sebagainya menjadi

contoh kongkrit keberpihakan tersebut.

Akibat pemberitaan yang tidak proporsional itu pula, ketidakadilan di masyarakat pasti

terjadi. Meskipun demikian, realitas yang terjadi dilapangan justru masyarakat secara sadar

ataupun tidak (sengaja) terbawa arus pemberitaan yang tidak seimbang seperti infotainment,

sementara korupsi yang menimpa anggota DPR dan jajaran pemerintah sering luput dari

pengamatan kita. Bagaimana pula dengan DPRD meminta gaji yang selangit dan berkilah atas dasar

PP no. 37/2006?.

Dalam bukunya yang berjudul “Analisis Wacana Teks-Teks Media”, Eriyanto mengatakan

bahwa dalam hal ini kaum Pluralis justru melihat media massa sebagai saluran yang bebas dan

netral, di mana semua pihak dan kepentingan dapat posisi dan kepentingannya secara bebas.

Namun pandangan teresebut ditolak oleh kaum Kritis. Pandangan kritis melihat medeia bukan

hanya alat dari kelompok dominan, tetapi juga memproduksi ideology dominan. Media membantu

kelompok dominan menyebarkan gagasannya, mengontrol kelompok lain, membentuk konsesus

antar anggota komunitas. Lewat medialah, apa yang baik maupun buruk, ideology domonan

dimapankan. Media bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subyek yang mengkonstruksi

realitas, lengkap dengan bias dan pemihakannya. Seoaerti yang dikatakan pleh Tonny Bannet,

media dipandang sebagai agen konstruksi social yang mendefinisikan realitas sesuai dengan

kepentingannya.

Dalam pandangan kritis media dipandang sebagai wujud dari pertarungan ideology antara

kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat. Di sinilah kemudian media dikatakan bukan

merupakan sarana netral yang menampilkan kelompok da\n kekuatan dalam masyarakat secara

apa adanya, tetapi kelompok dan ideology yang domonan itulah yang akan tampil dalam

pemberitaan.

Titik penting dalam memahami media menurut paradigm kritis adalah bagaimana media

melakukan politik pemaknaan. Menurut Stuart Hall, makna tidak tergantung pada struktur makna

itu sendiri, tetapi pada praktik pemaknaan. Makna adalah suatu produksi social, suatu praktik. Bagi

stuart Hall, media massa tidak mereproduksi melainkan menentukan (to define) realitas melalui

kata-kata yang dipilih. Makna, tidaklah secara sederhana dianggap sebagai reproduks dalam

bahasa, tetapi sebuah pertentangan social (social struggle), perjuangan dalam memenangkan

wacana. Oleh karena itu pemaknaan yang berbeda merupakan arena pertarungan dimana

memasukkan bahasa didalamnya. Perjuangan antar kelompok ini melahirkan pemaknaan untuk

mengunggulkan satu kelompok dfan merendakan kelompok lain. Media disini dipandang sebagai

arena perang atar kelas. Ia adalah media diskusi public dimana masing-masing kelompok social

saling bertarung, saling menyajikan perspektif untuk memberikan pemaknaan terhadap stu

persoalan. Tentu targetnya adalah pandangannya ditrima oleh public. Media dapat dilihat sebagai

forum bertemunya semua kelompok dengan sudut pandang yang berbeda. Setiap pihak berusaha

menonjolkan basis penafsirannya, klaim dan argumentasi masing-masing agar dapat diterima oleh

public. Dalam pandangan kritis, pada akhirnya kelompok dominanlah yang lebih menguasai

pembicaraan dan menentukan arena wacana(Eriyanto, 2001: 38).

Yang menjadi persoalan dalam lalu lintas pertukaran dan produksi makna ini adalah siapa

yang memegang kendali dalam memberikan pemaknaan. Dalam realitas social, siapa yang

memegang kendali sebagai agen pemroduksi makna dan siapa atau kelompok mana yang hanya

berperan sebagai konsumen saja dari pemaknaan tersebut. Siapa yang mendefinisikan apa atau

bahkan terus menerus menjadi objek pendefinisian?. Yang sering terjadi dalam pertarungan symbol

dan pemaknaan adalah suasana tidak seimbang, satu pihak lebih mempunyai previlese dan akses

kemediadibandingkan pihak lainsehingga pemaknaan satu kelompok lebih dominan dan menguasai

media.

Melihat realitas kehidupan praktik jurnalisme seperti itu tentunya kita sebagai individu

yang memiliki tanggung jawab sosial yang tinggi harus mampu memberi solusi atas semua problem

yang sudah mengakar sampai sekarang ini, terlebih kita juga merupakan pelaku media yang

sekiranya sudah dibekali cukup teori maupun pengalaman mengenai media massa secara umum.

Aniefy Jr Copr (PP. Biro Keilmuan Forkomnas KPI)

http://teraswacana.blogspot.com/2013/06/hilangnya-jati-diri-dan-objektivitas.html

Objektivitas Media dan Preferensi Audiens

Menyaksikan acara Today‟s Dialogue tanggal 22-05-2012 tempo hari di Metro TV, dapat penulis

simpulkan betapa acara tersebut menggiring pemirsa kepada opini negatif terhadap ormas Islam.

Walaupun tidak disebut-sebut ormas mana yang dimaksud oleh para pembicara, tetapi jelas

sekali dari judul acara tersebut, yaitu “Negara Tunduk Pada Kekerasan”. Walaupun kemudian

ketika acara dimulai judul (kecil) acara tersebut, ditambahkan dengan tanda tanya (?) di belakang

kalimat.

Mengapa penulis sebutkan acara tersebut tendensius memojokkan ormas Islam, hal tersebut

berkaitan dengan masalah penolakan diadakannya konser Lady Gaga oleh FPI (Front Pembela

Islam) beberapa waktu yang lalu. Terdapat dua hal yang tendensius dari acara tersebut, yaitu 1)

menyematkan stigma negatif terhadap FPI sebagai ormas yang identik dengan kekerasan atau

pelaku kekerasan, dan 2) mengarahkan pemahaman kepada lemahnya aparat negara (Kepolisian)

dalam menghadapi ormas (FPI).

Objektivitas media di sini sangat tergantung dari pemilik/pemimpin redaksi sebagai sumber

kebijakan pemberitaan. Seperti halnya Metro TV sendiri. Sebagai media televisi, menurut

penilaian penulis pada masa lalu ketika Surya Paloh (pemilik/pemimpin perusahaan) masih

tergabung dengan partai Golkar yang menjadi bagian dari koalisi pemerintahan Soesilo Bambang

Yudhoyono (SBY), tidak pernah dalam pemberitaannya memojokkan kebijakan pemerintahan.

Paling tidak hanya bersikap netral, ketika pihak-pihak oposisi mengkritik kebijakan

pemerintahan SBY tersebut. Namun kemudian pada perkembangannya, ketika Surya Paloh tidak

lagi menjadi bagian Golkar, dengan partainya yang baru, Nasdem, sikap media tersebut

cenderung menjadi oposan terhadap SBY. Oposan yang memberikan kritik membangun, tentu

dapat disepakati adalah oposan yang baik. Namun ketika sebagai oposan yang selalu

memberikan opini negatif terhadap pemerintahan (kebijakan apapun itu), hal tersebut akan

berpengaruh terhadap preferensi audiens.

Contoh lain adalah ketika RCTI (termasuk grup MNC yang dikelola oleh Harry Tanuseodibyo

dari Nasdem), memberitakan masalah penolakan warga Yogyakarta terhadap Rancangan

Undang-Undang (RUU) Keistimewaan Yogyakarta yang mengarah kepada hilangnya

keistimewaan Yogyakarta. Pemberitaan dilakukan selama seminggu lebih dengan isu yang sama

sehingga menggiring audiens kepada persepsi „niat buruk‟ pemerintah pusat (SBY) terhadap

Yogyakarta.

Selain media televisi, media on line dewasa ini juga sangat berperan terhadap preferensi/opini

audiens. Sebagai contoh adalah pergolakan di negara-negara timur tengah. Mobilisasi massa

besar-besaran salah satunya dipicu oleh peran internet dalam mempengaruhi demonstrasi dan

revolusi di Mesir. Warga Mesir mulai memanfaatkan media sosial tersebut untuk

mengumpulkan massa . Dalam sebuah komik disindir adanya virus “demokrasi”dari barat yang

menyebar di internet yang kemudian memobilisasi massa untuk menjatuhkan kekuasaan absolut

Husni Mubarak[1].

Keterkaitan media terhadap preferensi publik dalam politik juga terlihat jelas. Masalah Pemilihan

Kepala Daerah (Pilkada) DKI, misalnya, calon gubernur Joko Widodo dipersepsikan oleh

pemberitaan media, sebagai Walikota Solo yang berhasil. Dapat diduga selanjutnya, hasil

sementara perhitungan cepat (Rabu 11-07-2012) menunjukkan keunggulan Jokowi sebagai

gubernur mendatang. Padahal penduduk Jakarta tidak semuanya pernah ke Solo dan

menyaksikan sendiri keberhasilan manajerial Jokowi di sana. Walaupun relevansinya masih

perlu dikaji lebih jauh.

Uraian di atas merupakan sebagian kecil contoh kasus keterkaitan objektivitas media terhadap

preferensi audiens. Sudah seharusnya dalam pemberitaan atau segmen acara yang serupa harus

diproduksi secara objektif. Everret E. Denis dalam “Basic Issues in Mass Communication”

(1984), dalam prakteknya objektivitas pemberitaan hanya dapat dicapai dengan tiga cara: 1).

pemisahan antara fakta dan opini, 2). penyajian berita tanpa disertai dimensi emosional, dan 3.

bersikap jujur dan seimbang terhadap semua pihak[2]. Ketiga faktor objektivitas pemberitaan

tersebut, hanya akan tercapai oleh niat baik dan kecerdasan dari para jurnalis. Mengesampingkan

afiliasi politik, juga faktor suku-agama-ras-golongan (SARA), serta memahami bahwa

opini/pernyataan hipotetis bukanlah fakta. Faktor-faktor penentu objektivitas media tersebut

semakin memudar seiring dengan timbulnya kebebasan pers masa reformasi dewasa ini.

Ketidakobjektifan media terbukti dengan banyaknya pengaduan masyarakat (Islam) kepada KPI

atas tayangan Metro TV akhir September ini. Di mana 5 September 2012 Metro TV mengurai

acara dialog “Awas Generasi Baru Teroris!”, yang menyudutkan Rohis sebagai generasi baru

teroris. Sumber hidayatullah.com menyebutkan hingga Selasa, 18 September 2012, Pukul 17.09

WIB, menurut laporan dari bagian pengaduan KPI Pusat menyebutkan, angka pengaduan yang

masuk melalui SMS pengaduan di KPI Pusat mencapai 17191 SMS aduan. Sebagai catatan

penulis, tayangan dialog Metro TV atas kasus Sampang (Tajulmuluk/Syiah), cenderung

menyudutkan masyarakat Islam (Sunni), dengan hanya menyarikan informasi dari pihak Syiah

tanpa pihak Sunni sebagai pembanding.

[1] http://akusaeni.blogspot.com/2007/12/objektivitas-pemberitaan.html

[2] http://media.kompasiana.com/new-media/2012/04/20/online-media-mesin-opini-publik-

mutakhir/

https://vithakom.wordpress.com/2012/07/18/objektivitas-media-dan-preferensi-audiens/

objektivitas media massa

Media merupakan sarana manusia dalam menyampaikan dan menerima

informasi. Dalam hal ini media massa memiliki peran sentral dalam

membentuk opini public akan sebuah pemberitaan yang dipublikasikan,

baik melalui media cetak ( surat kabar/koran, majalah, tabloid, buku dan

lain-lain ), dan media elekronik ( televisi, radio, dan internet ) pesan dan

komunikasi yang berlangsung antara media dan khalayak lebih condong

membahas masalah politik, ekonomi, sosial budaya masyarakat, dan

hiburan sesuai dengan orientasi media tersebut. Namun seiring

perkembangan media massa saat ini, banyak masyarakat indonesia yang

menanyakan , dimanakah objektivitas suatu media massa dalam

mempublikasikan sebuah berita, dan bagaimanakah proses komunikasi

politik yang berlangsung antara „pemegang‟ kekuasaan dengan rakyat

yang menggunakan saluran media massa.

Hal ini menarik untuk kita mengkaji bagaimana orientasi media

massa di indonesia saat ini, apakah masih berpegang teguh pada prinsip

demokrasi yakni „bebas dan bertanggung jawab‟ atau mengikuti „arahan‟

dari sang pemilik modal perusahaan pers atau media tersebut, keduanya

memiliki ketimpangan yang jauh berbeda dimana satu sisi media dikatakan

objektif dan satu sisi lagi media hanyalah sarana yang membentuk citra

positif bagi siapa saja yang memiliki hak kuasa dalam organisasi media

atau pers tersebut.

Seperti yang telah kita ketahui selama ini, bahwa media massa

diindonesia dalam hal ini media elekronik, yaitu televisi sebagian besar

dimiliki oleh mereka yang terjun dibidang politik. Beberapa diantaranya

adalah sebagai berikut :

1. Abu rizal bakrie ( partai GolKar )

„ical‟ panggilan akrabnya, awalnya ia merupakan salah satu pengusaha

sukses dinegeri ini, dan masuk dalam daftar 10 orang terkaya untuk

kawasan Asia Tenggara, bisa dikatakan dengan pengalaman yang dimiliki

sangat mudah bagi ical dalam menginvestasi kekayaannya, ia memilih

menjadi investor terbesar diperusahaan televisi swasta, sehingga ia

berhasil „menguasai‟ 2 televisi swasta yang begitu konsisten dalam

menyiarkan berita politik terlebih lagi untuk pencitraan partai golkar

dipilpres 2014 mendatang. Tv one bisa dikatakan lebih dulu „mengiklankan‟

dan membangun citra Abu rizal bakrie sebagai calon presiden yang

diusung partai GolKar sehingga baru baru ini kita mengenal istilah ARB.

2. Surya paloh ( partai NasDem )

Kiprahnya lebih dulu dimedia massa, kemudian ia menjadi kader di partai

golkar, namun karena mengalami permasalahan internal partai, ia keluar

dan membentuk partai baru yaitu nasionalis demokrasi, yang lebih menarik

lagi ia mampu „join‟ dengan pemilik MNC group, yaitu Harry

Tanoesoedibyo, mereka bersama-sama membangun citra partai yang baru

lahir ini melalui televisi masing-masing, bisa dikatakan nasdem lebih

beruntung dalam membangun citra lewat media elektronik, sebut saja

Metro tv, MNC, RCTI, dan GLOBAL tv semuanya membangun partai

NasDem dengan slogan gerakan perubahan, sehingga tidak heran

walaupun baru lahir, namun partai ini mampu bersaing dengan partai

lainnya, bahkan sebuah lembaga survei pernah mengeluarkan hasil survey

yang mengatakan pamor Nasdem lebih tinggi dari pada Demokrat yang

hari ini diterpa badai kasus korupsi yang dilakukan kader-kader Demokrat.

Kekhawatiran masyarakat hari ini, terletak pada bagaimana sebuah

media massa yang bergantung pada sang pemiliknya, media saat ini tidak

mampu berdiri sendiri atau netral dalam menyiarkan berita ataupun

menyampaikan pesan politik, keterikatan media dengan sang pemilik

membuat media tidak mampu menjaga kredibilitasnya secara utuh, gerak-

gerik media diatur berdasarkan perintah sang pemilik, tidak bisa media itu

megeluarkan berita atau pesan yang berdasarkan fakta atau adanya

keberpihakan media dalam menyampaikan berita terhadap individu,

kelompok, atau partai politik tertentu.

Televisi swasta diindonesia pada umumya dipegang oleh mereka

yang memiliki jabatan sebagai ketua umum suatu partai politik, dengan

begitu kita bisa langsung mengetahui bagaimana suatu media membangun

partainya sendiri, dan sesekali menjatuhkan partai lawan, dan itu biasanya

berlaku ketika mulai mendekati pemilihan baik yudikatif maupun eksekutif,

begitu juga dalam menyiarkan berita seringkali kita melihat adanya

keberpihakan media terhadap individu, kelompok, atau partai politik.

Westerstahl (McQuail, 2000), pernah menyatakan bahwa yang dinamakan objektif

setidaknya mengandung faktualitas dan imparsialitas. Faktualitas berarti kebenaran yang

didalamnya memuat akurasi (tepat dan cermat), dan mengkaitkan sesuatu yang relevan untuk

diberitakan. Sementara itu, imparsialitas mensyaratkan adanya keseimbangan (balance) dan

kenetralan dalam mengungkap sesuatu. Dengan demikian, informasi yang objektif selalu

mengandung kejujuran, kecukupan data, benar, dan memisahkan diri dari fiksi dan opini. Dan

menghindarkan diri dari sesuatu yang hanya mengejar sensasional semata.

Dari pernyataan Westerstahl mengenai karakteristik media massa yang objektif, tidak

dimiliki oleh media massa khususnya media elektronik dan media cetak diindonesia hari ini,

sangat sulit bagi media kita yang sudah terikat oleh peraturan sesaat, siapa yang berkuasa dialah

yang memegang kendali, ketika adanya pergantian organisasional media tersebeut, maka

peraturan juga berganti, padahal pada hakikatnya prinsip dan peraturan merupakan pedoman atau

acuan hidup sebuah media agar dapat memiliki karakteristik yang bisa disebut objektif.

Apa yang dikemukakan oleh Westerstahl tersebut di atas dalam praktiknya tidak mudah

untuk diwujudkan. Media massa tidak lepas dari subjektivitas atau subjektivitas yang objektif.

Subjektivitas dilakukan jika media massa memberitakan suatu kejadian yang tidak pernah terjadi.

Sementara itu, subjektivitas yang objektif terjadi ketika media massa secara terang-terangan atau

tidak cenderung membela salah satu pihak yang sedang diberitakan. Pemberitaannya berdasarkan

fakta-fakta yang terjadi (objektif) tetapi penulisannya secara subjektif. padahal objektivitas suatu

berita atau pesan yang disampaikan oleh media sangat mempengaruhi paradigma atau pola pikir

masyarakat, apabila masyarakat terus menerima berita atau pesan yang berdasarkan subjektivitas,

hal itu sama saja dengan „membohongi‟ atau mengarahkan pola pikir masyarakat yang salah,

karena tidak berdasarkan fakta, atau terlebih lagi dibumbui oleh kepentingan politik, seharusnya

media dapat menyajikan berita diatas sebuah kejujuran dan fakta dari berita tersebut, tidak

memihak dan mengatakan yang sebenarnya kepada masyarakat.

Media massa sebagai pengawas mempunyai tugas untuk memunculkan berita, dan

memberikan fakta-fakta yang ada agar diketahui masyarakat. Dengan cara seperti itu diharapkan

masyarakat mengkritisi apa yang sudah diberitakan media massa tersebut. Perkara nanti mau

diproses biarlah hukum yang akan memutuskannya. Ini penting untuk dilakukan karena sistem

pemerintahan di Indonesia tidak berjalan dengan baik manakala tidak disorot media terus

menerus. Kasus korupsi yang menimpa mantan elite politik sangat jauh dari penyelesaiaan jika

media massa tidak terus-menerus mendorong untuk dilakukan pengusutannya. Di sinilah peran

penting media massa perlu didudukkan. bukan menjatuhkan atau men‟judge‟ partai politik itu

secara implisit atau eksplisit, melainkan menyajikan berita yang berimbang, tidak lantas mencari

tersangka baru, dan meyiarkan berita personal dari tersangka.

contoh kasus hari ini adalah bagaimana media massa menyudutkan partai Demokrat,

padahal bukan mantan elite politik dari partai ini saja yang tersandung masalah korupsi, masih

banyak elite politik diluar Demokrat yang lebih dulu tersandung masalah korupsi dinegeri ini,

namun media massa secara serentak memblock up berita ini secara besar-besaran, sehingga opini

pulic hari ini terbentuk bahwa partai Demokrat merupakan partai yang paling banyak kadernya

tersandung kasus korupsi, ditambah lagi pilpres yang semakin dekat, secara tidak langsung

menurunkan reputasi SBY. seandainya saja SBY, sama seperti Abu rizal bakrie, Surya paloh,

dan Harry tanoesoedibyo yang memiliki televisi swasta dinegeri ini, pastilah citra partai

Demokrat dan para elite politiknya tidak begitu terpuruk seperti yang terjadi hari ini, karena

televisi swasta tersebut akan membela, dan tidak menjatuhkan individu atau kelompok yang

berasal dari Demokrat secara frontal, kita pasti menemukan pembelaan secara tidak langsung

terhadap partai ini, namun hari ini , SBY bisa dikatakan tidak menguasai media massa secara

professional, sehingga sarana dan saluran yang paling „ampuh‟ ini tidak dapat berbuat banyak

bagi partai Demokrat.

inilah potret media massa indonesia yang terjadi hari ini, jauh dari objektivitas, dan dekat

dengan kepentingan serta subjektivitas yang berpihak pada sesuatu. tidak mencerminkan sebuah

kenetralan, dan independensi suatu media massa yang seharusnya. sulit bagia media massa kita

yang terlanjur telah dipengaruhi oleh hal-hal berbau politik dan kepentingan politik itu sendiri.

setidaknya media massa mampu menggambarkan bagaimana keadaan suatu negara, seperti

media massa indonesia yang menggambarkan kondisi negara ini yang banyak dipengaruhi oleh

para elite politik, dan ketidak sinambungan antara pemerintah dengan rakyat, atasan dengan

bawahan, dan masih banyak lagi differensiasi sosial yang terjadi dinegeri ini.

http://rahminovira.blogspot.com/2012/12/objektivitas-media-massa_13.html

3. LITERASI MEDIA

Pengarang: Apriadi Tamburaka

 Literasi media lahir dari suatu tuntutan akan pentingnya memahami dampak beragam konten

media yang menerpa khalayak media massa serta suatu upaya para khalayak konten media dan

penyedia konten media dalam menyikapi berbagai dampak konten media.

Pada dasarnya, konten media seperti dua sisi mata uang yaitu memiliki dampak positif dan dampak

negatif. Media massa baik cetak maupun elektronik menyajikan dan memenuhi kebutuhan khalayak

akan informasi dan hiburan sehingga menyajikan kejadian, peristiwa dan hiburan langsung di hadapan

kita. Pengaruh dampak negatif konten media terhadap khalayak seperti tayangan kekerasan yang dapat

ditiru oleh anak-anak, pornografi, dan bias informasi yang mempengaruhi opini, bahkan kini dengan

perkembangan teknologi informasi penggunaan jejaring sosial seperti facebook dapat disalahgunakan

untuk kejahatan.

Meskipun begitu mengabaikan atau antipati terhadap media bukan tindakan yang tepat, oleh karena

kita tetap membutuhkan konten media, yang terpenting adalah cara bijak kita dalam menyikapi

beragam media itu sendiri dan memberikan apresiasi terhadap konten media yang positif serta ikut

berpartisipasi di dalam media.

Perkembangan teknologi informasi juga membawa perubahan cara kita berkomunikasi, perubahan itu

terlihat dari pergeseran penggunaan media cetak ke media elektronik, maka mempengaruhi kecepatan,

feedback (umpan balik) informasi antara media massa dengan khalayak. Pergeseran itu juga mulai

mengubah peran dalam menyediakan konten media dari media massa kepada khalayak selaku penyedia

konten media mandiri.

Kajian literasi media di Indonesia masih terbilang baru dan masih belum terlalu berkembang, hal ini

berbeda dengan negara-negara maju yang telah lebih dulu mengembangkan kajian literasi media

menjadi fokus studi tersendiri. Oleh karena itu, diharapkan dengan adanya buku ini dapat memberikan

wawasan kepada pembaca dalam memahami media dan konten media, proses, dampaknya, cara

khalayak menyikapi serta cara berpartisipasi dengan konten media itu sendiri.

4. 6. Uses and Gratification Theory February 3, 2013

Filed under: college — anggidetyas @ 1:58 pm

Penelitian tentang teori uses and gratifications sebetulnya sudah dimulai sejak tahun 1940an

ketika para peneliti tertarik untuk mengetahui mengapa audiens memiliki pola penggunaan

media yang berbeda-beda (Wimmer dan Dominick, 1987). Penelitian tentang uses and

gratifications pada awalnya hanya berupa penelitian deskriptif yang berusaha untuk

mengklasifikasikan respons khalayak terhadap penggunaan media ke dalam beberapa ketegori

(Berelson, Lazarsfeld, & McPhee, 1954; Katz & Lazarsfeld, 1955; Lazarsfeld, Berelson, &

Gaudet, 1948; Merton, 1949 dalam Ruggerio, 2000).

Wimmer & Dominick (1987) menyebutkan baru pada tahun 1950an hingga 1960an penelitian

uses and gratifications ini lebih menfokuskan pada identifikasi variabel-variabel psikologis dan

sosial yang diperkirakan sebagai precursors dalam perbedaan pola konsumsi media massa.

Beberapa penelitian pada periode ini,disebutkan oleh Ruggerio (2000), dilakukan oleh banyak

peneliti dengan subyek dan obyek yang bervariasi. Schramm, Lyle, dan Parker (1961) misalnya

meneliti tentang penggunaan televisi oleh anak-anak yang dipengaruhi oleh perkembangan

mental anak bersangkutan dan hubungannya dengan orangtua dan teman-temannya. Ruggerio

(2000) pun mensitasi penelitian Katz dan Foulkes (1964) dalam mengkonsepsikan penggunaan

media massa sebagai pelarian sedangkan Klapper (1963) menekankan pentingnya menganalisa

efek dari penggunaan media daripada sekedar melabeli motif penggunaan seperti yang telah

dilakukan banyak peneliti sebelumnya. Greenberg and Dominick (1969) dalam penelitian

selanjutnya menyimpulkan bahwa ras dan kelas sosial berpengaruh pada bagaimana remaja

menggunakan televisi sebagai bahan pelajaran informal.

Selama tahun 1970an penelitian dengan intens menguji motivasi audiens dan membangun

tipologi-tipologi tambahan dalam penggunaan media untuk memperoleh kepuasan sosial dan

psikologis. Hal ini merupakan jawaban dari kritik-kritik yang disampaikan oleh beberapa

ilmuwan terhadap teori uses and gratifications.

Kritik yang disampaikan oleh Elliott (1974), Swanson (1977), serta Lometti, Reeves, and Bybee

(1977) yang mengungkit bahwa teori uses and gratifications ini memiliki empat masalah

konseptual yakni ketidakjelasan kerangka konseptual, konsep mayor yang kurang tepat,

penjelasan teori pendukung yang membingungkan dan kegagalan dalam memperhitungkan

persepsi audiens terhadap konten media (Ruggerio, 2000:4). Beberapa contoh penelitian dari

periode ini antara lain penelitian Rosengreen (1974) yang menyatakan bahwan beberapa

kebutuhan dasar beinteraksi dengan karakteristik personal dan lingkungan sosial seseorang akan

menghasilkan beberapa permasalahan dan beberapa solusi. Masalah dan solusi yang ditimbulkan

ini merupakan bagian dari perbedaan motif untuk pencarian gratifikasi yang muncul dari

penggunaan media atau aktivitias lain. Secara bersamaan penggunaan media atau aktivitas lain

dapat menghasilkan gratifikasi (atau non-gratifikasi) yang memiliki efek terhadap seseorang atau

masyarakat yang akhirnya menciptakan proses yang baru.

Tahun 1980 dan 1990an banyak penelitian yang mulai menganalisa penemuan-penemuan dari

penelitian terpisah dan menganggap bahwa penggunaan media massa sebagai sebuah komunikasi

terintegrasi sekaligus fenomena sosial (Rubin dalam Ruggerio, 2000:7). Contoh-contoh yang

mendukung penelitian pada tahun-tahun ini adalah penelitian yang dilakukan Eastman (1979)

yang menganalisa hubungan antara penggunaan media televisi dengan gaya hidup audiens,

Ostman and Jeffers (1980) menguji hubungan antara motivasi penggunaan televisi dengan gaya

hidup khalayak dan genre telvisi untuk mprediksikan motivasi menonton. Bantz‟s (1982)

melakukan studi komparatif antara motivasi penggunaan media secara umum dan menonton

program televisi tertentu.

Pada tahun 1980-an pula Windahl (dalam Ruggerio, 2000:6) mengemukakan terdapat perbedaan

mendasar antara pendekatan efek secara tradisional dan pendekatan teori uses and gratifications

dimana penelitian tentang efek sebelumnya selalu berangkat dari perspektif media massa, namun

pada penelitian uses and gratifications peneliti berangkat dari perspektif khalayak. Windahl

percaya untuk menggabungkan dua pendekatan ini dengan mencari persamaan dari keduanya

dan menamai penggabungan ini dengan istiah conseffects. Berbeda dengan Webster dan

Wakshlag (dalam Ruggerio:2000) yang berupaya untuk meningkatkan validitas dari determinan

struktural dengan cara menggabungkan perbedaan perspektif antara uses and gratifiactions

dengan model pemilihan. Pendekatan ini melihat perubahan antara struktur program, pilihan

konten media dan kondisi menonton dalam proses pemilihan program. Penelitian lain juga

dilakukan oleh Dobos yang menggunakan model uses and gratifications untuk mengamati

kepuasan penggunaan dan pemilihan media dalam sebuah organisasi yang dapat

mempredikasikan pemilihan saluran telvisi dan kepuasan dengan teknologi komunikasi tertentu.

Tidak bisa dipungkiri dengan adanya perkembangan baru teknologi yang menyuguhkan khalayak

dengan banyaknya pilihan media, analisa motivasi dan kepuasan menjadi komponen yang paling

krusial dalam penelitian khalayak (Ruggerio, 2000). Setiap kali teknologi komunikasi baru

tumbuh, dalam hal ini komunikasi massa, para peneliti kemudian berlomba-lomba untuk

mengaplikasikan pendekatan uses and geratifications ini terhadap medium baru

tersebut.Contohnya adalah Donohew, Palmgreen, and Rayburn (1987) yang mengeksplorasi

bagaimana kebutuhan untuk beraktivasi berkorelasi dengan faktor-faktor sosial dan psikologis

yang berdampak pada gratifikasi yang didapatkan oleh pemirsa televisi kabel. Walker and

Bellamy (1991) meneliti tentang hubungan antara penggunaan pengendali televise jarak jauh

dengan ketertaikan audiesn terhadap program tertentu. Lin (1993) melakukan studi untuk

mengetahui jika kepuasaan penggunaan VCR, frekuensi dan durasi penggunaan VCR dan

komunikasi antarpersonal tentang VCR berhubungan dengan tiga fungsi VCR yakni hiburan,

teknologi pengganti televisi dan utilitas social. Jacobs (1995) menguji hubungan antara

karakteristik sosiodemografis khalayak dan kepuasan menonton pada pemirsa televise kabel.

Perse dan Dunn (1998) meneliti tentang penggunaan computer dan bagaimana kepemilikan CD-

Rom dan fasilitas internet dapat berpenganruh tentang kegunaan komputer. Matthias Rickes,

Christian von Criegern, Sven Jöckel (2006) meneliti tentang gratifikasi yang didapatkan dari

penggunaan situs-situs internet.

Benang merah tentang penerapan teori uses and gratifications dalam media ini diungkapkan oleh

Williams, Phillips, & Lum pada tahun 1985 (dalam Ruggerio, 2000) bahwa setiap peneliti ingin

mengetahui apakah media baru dapat memenuhi kebutuhan khalayak yang sama dengan media

konvesional yang telah diuji sebelumnya. Ruggerio (2000) sendiri menganggap bahwa dengan

banyak pilihan media di masyarakat maka perlu diteliti alasan khalayak untuk terus

mengkonsumsi media tertentu dan gratifikasi apa yang mereka dapatkan dari penggunaan media

tersebut.

Model Uses and Gratification ini menunjukkan bahwa yang menjadi permasalahan utama

bukanlah bagaimana media mengubah sikap dan perilaku khalayak, tetapi bagaimana media

memenuhi kebutuhan pribadi dan sosial khalayak (Uchjana, 1993: 289-290).

Studi dalm bidang ini memusatkan perhatian pada penggunaan (uses), media untuk mendapatkan

kepuasan (gratification) atas kebutuhan sesorang,maka perilaku khalayak akan dijelaskan

melalui berbagai kebutuhan (needs) dan kepentingan individu.

Khalayak/penonton dianggap individu yang aktif, selektif dan memiliki tujuan tertentu terkait

dengan terpaan media kepadanya. Artinya individu atau audiens (khalayak) sebagai makhluk

sosial mempunyai sifat selektif dalam menerima pesan yang ada dalam media massa. Audiens

yang menerima pesan tidak serta merta lagi menerima semua pesan, informasi dari media seperti

halnya dalam teori peluru dan model jarum hipodermik melainkan audiens menggunakan media

tersebut hanya sebatas memenuhi kebutuhannya sehingga menciptakan kepuasaan dalam dirinya

untuk memenuhi kebutuhannya tersebut.

Riset yang dilakukan dengan pendekatan ini pertama kali dilakukan pada tahun 1940-an oleh

Paul Lazarfeld yang meneliti alasan masyarakat terhadap acara radio berupa opera sabun dan

kuis serta alasan mereka membaca berita di surat kabar (McQuail, 2002 : 387).

Kebanyakan perempuan yang mendengarkan opera sabun di radio beralasan bahwa dengan

mendengarkan opera sabun mereka dapat memperoleh gambaran ibu rumah tangga dan istri yang

ideal atau dengan mendengarkan opera sabun mereka merasa dapat melepas segala emosi yang

mereka miliki. Sedangkan para pembaca surat kabar beralasan bahwa dengan membeca surat

kabar mereka selain mendapat informasi yang berguna, mereka juga mendapatkan rasa aman,

saling berbagai informasi dan rutinitas keseharian (McQuail, 2002 : 387).

Riset yang lebih mutakhir dilakukan oleh Dennis McQuail dan kawan-kawan dan mereka

menemukan empat tipologi motivasi khalayak yang terangkum dalam skema media – persons

interactions sebagai berikut :

Diversion, yaitu melepaskan diri dari rutinitas dan masalah; sarana pelepasan emosi

Personal relationships, yaitu persahabatan; kegunaan sosial

Personal identity, yaitu referensi diri; eksplorasi realitas; penguatan nilai

Surveillance (bentuk-bentuk pencarian informasi) (McQuail, 2002 : 388).

Sebanyak apapun tayangan yang tidak mendidik, apabila khalayak menganggapnya tidak penting

dan tidak akan memberikan „keuntungan‟ bagi mereka, tidaklah berpengaruh negatif.

Perkembangan teori Uses and Gratification Media dibedakan dalam tiga fase (dalam

Rosengren dkk., 1974), yaitu:

Fase pertama, ditandai oleh Elihu Katz dan Blumler (1974) memberikan deskripsi tentang orientasi subgroup audiens untuk memilih dari ragam isi media. Dalam fase ini masih terdapat kelemahan metodologis dan konseptual dalam meneliti orientasi audiens.

Fase kedua, Elihu Katz dan Blumler menawarkan operasionalisasi variabel-variabel sosial dan psikologis yang diperkirakan memberi pengaruh terhadap perbedaan pola–pola konsumsi media. Fase ini juga menandai dimulainya perhatian pada tipologi penelitian gratifikasi media.

Fase ketiga, ditandai adanya usaha menggunakan data gratifikasi untuk menjelaskan cara lain dalam proses komunikasi, dimana harapan dan motif audiens mungkin berhubungan.

Menurut para pencetusnya Elihu Katz, Jay G. Blumler dan Michael Gurevitch menguraikan

lima elemen atau asumsi-asumsi dasar dari Uses and Gratification Media sebagai berikutb

(dalam Baran dan Davis, 2000) :

1. Audiens dianggap aktif, dan penggunaan media berorientasi pada tujuan. Artinya khalayak

sebagai bagian penting dari penggunaan media massa diasumsikan mempunyai tujuan.

2. Inisiative yang menghubungkan antara kebutuhan kepuasan dan pilihan media spesifik

terletak di tangan audiens.

3. Media bersaing dengan sumber-sumber lain dalam upaya memuaskan kebutuhan

audiens, kebutuhan yang dipenuhi media lebih luas, bagaimana kebutuhan ini terpenuhi melalui

konsumsi media amat bergantung pada perilaku audiens yang bersangkutan.

4. Tujuan pemilih media massa disimpulkan dari data yang diberikan anggota khalayak

atau audiens, artinya orang dianggap cukup mengerti untuk melaporkan kepentingan dan motif

pada situasi-situasi tertentu.

5. Penilaian tentang artikultular dari media massa harus ditangguhkan sebelum diteliti

lebih dahulu orientasi khalayak.

Elihu Katz, Jay G. Blumler dan Michael Gurevitch, juga menjelaskan uses and gratification

theory meneliti asal mula kebutuhan secara psikologis dan sosial, yang menimbulkan harapan

tertentu dari media massa atau sumber-sumber lain, yang membawa pada pola terpaan media

yang berlainan (atau keterlibatan pada kegiatan lain), dan menimbulkan pemenuhan kebutuhan

dan akibat-akibat lain.

McQuail (1995) mengatakan ada dua hal yang utama yang mendorong munculnya

pendekatan penggunaan ini. Pertama, ada oposisi terhadap pandangan deterministis tentang efek

media. Kedua, ada keinginan untuk lepas dari debat yang berkepanjangan tentang sslera media

massa.

Model-model kegunaan dan gratifikasi dirancang untuk menggambarkan proses penerimaan

dalam komunikasi massa dan menjelaskan penggunaaan media oleh individu atau kelompok-

kelompok individu.

Kritik Teori Uses and gratification

Pada derajat tertentu laporan penggunaan media oleh para pemirsanya memiliki keterbatasan-

keterbatasan. Banyak orang tidak benar-benar tahu alasan mengapa mereka memilih media atau

saluran tertentu, contohnya anak-anak hanya tahu bahwa mereka menghindari menonton saluran

yang menayangkan bincang-bincang orang dewasa, atau film berbahasa asing karena mereka

tidak mengerti, tetapi anak-anak tersebut tidak benar-benar sadar mereka berakhir di saluran

mana.

Walaupun teori ini menekankan pemilihan media oleh para pemirsanya, namun ada penelitian-

penelitian lain yang mengungkapkan bahwa penggunaan media sebenarnya terkait dengan

kebiasaan, ritual, dan tidak benar-benar diseleksi Teori ini mengesampingkan kemungkinan

bahwa media bisa jadi memiliki pengaruh yang tidak disadari pada kehidupan pemirsanya dan

mendikte bagaimana seharusnya dunia dilihat dari kacamata para perancang kandungan isi dalam

media.

Sebagai contoh saat anak-anak pulang sekolah, sudah menjadi kebiasaannya untuk mengambil

makan siang dan duduk dikursi sembari menyetel TV. Tidak ada alasan yang benar-benar nyata

mengapa ia menyetel TV dan bukannya membaca majalah atau koran, hanya kebiasaan, atau

justru sebaliknya, bagi orang dewasa mungkin ia langsung membaca koran dan bukannya

menyetel TV saat meminum kopinya dipagi hari. Pada banyak hal kejadian ini merupakan

kejadian alamiah sehari-hari dan tidak dilakukan secara sadar. Walaupun begitu menonton TV

dapat juga menjadi pengalaman seni dan menggugah motivasi seseorang untuk melakukan

sesuatu.

Namun sebuah teori yang menyatakan bahwa pemirsa media sebenarnya hanya menggunakan

media untuk menyalurkan pemenuhan akan kepuasannya sejujurnya tidak secara penuh dapat

menilai kekuatan media dalam lingkup sosial di masa kini. Teori Penggunaan dan Pemenuhan

Kepuasan dapat dikatakan tidak sempurna saat digunakan untuk menilai media yang telah

digunakan secara ritual (kebiasaan). Namun teori ini tetap tepat untuk digunakan untuk menilai

hal-hal spesifik tertentu yang menyangkut pemilihan pribadi saat menggunakan media.

Pengujian-pengujian terhadap asumsi-asumsi Uses and Gratification Media menghasilkan enam

(6) kategori identifikasi dan temuan-temuannya (dalam Rosengren dkk., 1974), sebaga berikut:

1. Asal usul sosial dan psikologis gratifikasi media.

John W.C. Johnstone (1974) menganggap bahwa anggota audiens tidak anonimous dan sebagai

individu yang terpisah, tetapi sebagai anggota kelompok sosial yang terorganisir dan sebagai

partisipan dalam sebuah kultur. Sesuai dengan anggapan ini, media berhubungan dengan

pemenuhan kebutuhan dan keperluan individu-individu, yang tumbuh didasarkan lokalitas dan

relasi sosial individu-individu tersebut.

Faktor-faktor psikologis juga berperan dalam memotivasi penggunaan media. Konsep-konsep

psikologis seperti kepercayaan, nilai-nilai, dan persepsi mempunyai pengaruh dalam pencarian

gratifikasi dan menjadi hubungan kausal dengan motivasi media.

2. Pendekatan nilai pengharapan.

Konsep pengharapan audiens yang perhatian (concern) pada karakteristik media dan potensi

gratifikasi yang ingin diperoleh merupakan asumsi pokok Uses and Gratification Media

mengenai audiens aktif. Jika anggota audiens memilih di antara berbagai alternatif media dan

non media sesuai dengan kebutuhan mereka, mereka harus memiliki persepsi tentang alternatif

yang memungkinkan untuk memperoleh kebutuhan tersebut. Kepercayaan terhadap suatu media

tertentu menjadi faktor signifikan dalam hal pengharapan terhadap media itu.

3. Aktifitas audiens.

Levy dan Windahl (1984) menyusun tipologi aktifitas audiens yang dibentuk melalui dua

dimensi:

o Orientasi audiens: selektifitas; keterlibatan; kegunaan. o Skedul aktifitas: sebelum; selama; sesudah terpaan ( baca handsout ”audiens”)

Katz, Gurevitch, dan Haas (1973) dalam penelitian tentang penggunaan media, menemukan

perbedaan anggota audiens berkenaan dengan basis gratifikasi yang dirasakan. Dipengaruhi

beberapa faktor. Yaitu: struktur media dan teknologi; isi media; konsumsi media; aktifitas non

media; dan persepsi terhadap gratifikasi yang diperoleh.

Garramore (1983) secara eksperimental menggali pengaruh ”rangkaian motivasi pada proses

komersialisasi politik melalui TV. Ia menemukan bahwa anggota audience secara aktif

memproses/mencerna isi media, dan pemrosesan ini dipengaruhi oleh motivasi.

4. Gratifikasi yang dicari dan yang diperoleh.

Pada awal sampai pertengahan 1970-an sejumlah ilmuwan media menekankan perlunya

pemisahan antara motif konsumsi media atau pencarian gratifikasi (GS) dan pemerolehan

gratifikasi (GO). Penelitian tentang hubungan antara GS dan GO, menghasilkan temuan sebagai

berikut GS individual berkorelasi cukup kuat dengan GO terkait. Di lain pihak GS dapat

dipisahkan secara empiris dengan GO, seperti pemisahan antara GS dengan GO secara

konseptual, dengan alasan sebagai berikut:

o GS dan GO berpengaruh, tetapi yang satu bukan determinan bagi yang lain. o Dimensi-dimensi GS dan GO ditemukan berbeda dalam beberapa studi. o Tingkatan rata-rata GS seringkali berbeda dari tingkatan rata-rata GO. o GS dan GO secara independen menyumbang perbedaan pengukuran konsumsi media

dan efek.

Penelitian GS dan GO menemukan bahwa GS dan GO berhubungan dalam berbagai cara dengan

variabel-variabel: terpaan; pemilihan program dependensi media; kepercayaan; evaluasi terhadap

ciri-ciri atau sifat-sifat media.

5. Gratifikasi dan konsumsi media.

Penelitian mengenai hubungan antata gratifikasi (GS-GO) dengan konsumsi media terbagi

menjadi dua kategori utama, yaitu:

o Studi tipologis mengenai gratifikasi media. o Studi yang menggali hubungan empiris antara gratifikasi di satu sisi dengan pengukuran

terpaan media atau pemilihan isi media di sisi lain.

Studi-studi menunjukkan bahwa gratifikasi berhubungan dengan pemilihan program. Becker dan

Fruit memberi bukti bahwa anggota audiens membandingkan GO dari media yang berbeda

berhubungan dengan konsumsi media. Studi konsumsi media menunjukkan terdapat korelasi

rendah sampai sedang antara pengukuran gratifikasi dan indeks konsumsi.

6. Gratifikasi dan efek yang diperoleh.

Windahl (1981) penggagas model uses and effects, menunjukkan bahwa bermacam-macam

gratifikasi audiens berhubungan dengan spectrum luas efek media yang meliputi pengetahuan,

dependensi, sikap, persepsi mengenai realitas social, agenda setting, diskusi, dan berbagai efek

politik.

Blumer mengkritisi studi uses and effects sebagai kekurangan perspektif. Dalam usaha untuk

menstimulasi suatu pendekatan yang lebih teoritis, Blumer menawarkan tiga hipotesis sebagai

berikut:

- Motivasi kognitif akan memfasilitasi penemuan informasi.

- Motivasi pelepasan dan pelarian akan menghadiahi penemuan audiens terhadap persepsi

mengenai situasi sosial.

- Motivasi identitas personal akan mendorong penguatan efek.

Sumber:

(Komunikasi Massa suatu pengantar, Drs. Elvinaro Ardianto, M.si., dkk.)

(http://www.syukrie.co.cc/2010/06/use-and-gratification-theory-teori_12.html)

(http://adiprakosa.blogspot.com/2007/11/uses-gratification.html)

(http://www.wikipedia.org)

(http://jurusankomunikasi.blogspot.com/2009/04/teory-komunikasi-massa.html)

7. Efek media

Teori Efek (Effect Theory) Komunikasi

Media Massa

Diposkan oleh Malista... | Label: Komunikasi Massa

undefined

undefined

Penelitian tentang pesan kekerasan di media terhadap anak-anak ini, membahas Powerful Effect.

Alasannya adalah karena selanjutnya peneliti memakai teori kultivasi untuk mengukur dampak

kekerasan media terhadap anak-anak, dengan pemikiran bahwa media akan berpengaruh bagi anak-

anak baik secara kognitif, afektif, maupun behavioral (Hipodermic Needle Theory). Berikut ini adalah

penjelasan historis mengenai teori efek:

Powerful Effect

Pada mulanya para peneliti kamonukasi percaya pada teori Hipodermic Needle atau yang mirip

dengan itu, teori Magic Bullet. Dalam teori Magic Bullet, media seperti sebuah pistol yang

menembakkan pesan kepada khalayak (audience). Sedangkan teori Hipodermik Needle menggunakan

analogi yang berbeda yaitu dengan mengumpamakan media seperti jarum yang menyuntikkan pesan

kepada khalayak. Kedua metafora ini menyatakan bahwa penyebab individu-individu berpikir dan

berperilaku adalah merujuk pada pesan yang mereka terima. Jadi, teori-teori ini berpendapat bahwa

media begitu kuat sehingga mereka dapat langsung mempengaruhi khalayak sesuai dengan cara yang

dimaksudkan oleh pendesain pesan. Pendeknya, para peneliti di era awal perkembangan ilmu

komunikasi ini berasumsi bahwa media memiliki kekuatan untuk memberitahu orang tentang apa yang

harus dipikir dan bagaimana harus berperilaku.

Teori ini memiliki kelemahan yaitu semua khalayak dianggap sama, baik dalam berpikir maupun

berperilaku. Perbedaan usia, ras, etnis, jenis kelamin, atau status sosial dan ekonomi tidak

mempengaruhi cara orang mengintepretasikan informasi yang diterima dari media. Para peneliti

tersebut tidak memperhitungkan fakta bahwa orang mungkin bereaksi berbeda pada pesan yang sama.

Khalayak dianggap pasif dan dapat dimanipulasi (Baldwin, Perry & Moffitt, 2004, hlm.194-195). Oleh

karena itu, Raymond Bauer kemudian menyangkalnya dan engatakan bahwa khalayak media

sebenarnya “keras kepala”. Bauer juga mengatakan banyak variabel yang dapat membentuk efek dalam

bermacam-macam cara (Littlejohn & Foss, 2005, hlm.298).

Teori Hipodermic Neddle kemudian diikuti dengan model Two-Step Flow. Disini khalayak tidak

semata-mata hanya dipengaruhi oleh media saja melainkan diakui adanya Opinion Leaders. Wright

mengatakan individu-individu yang, lewat kontak dari hari ke hari, mempengaruhi orang-orang lain

dalam pengambilan keputusan dan pembentukan pendapat (Tubbs & Moss, 2000, hlm.208). Individu-

individu tersebut misalnya keuarga, teman, rekan kerja, dan lain-lain. Model Two-Step Flow pun lama-

lama berkembang dan memunculkan model Multi-Step Flow.

Limited Effect

Scharmm dan Roberts (1971, hlm.191) melukiskan pandangan baru mengenai khlayak komunikasi

masa kini: Suatu khalayak yang sangat aktif mencari apa yang mereka inginkan, menolak lebih banyak isi

media, daripada menerimanya, berinteraksi dengan anggota-anggota kelompok yang mereka masuki

dengan isi media yang mereka terima, dan sering menguji pesan media massa dengan

membicarakannya dengan orang-orang lain atau membandingkannya dengan isi media lainnya (Tubbs &

Moss, 2000, hlm.209).

Meski teori Limited Effects meruntuhkan asumsi-asumsi Powerful Media, mereka menegaskan

pengaruh dari hubungan-hubungan sosial dan proses psikologis individual. Para peneliti lebih lagi

berkonsentrasi pada perbedaan di antara individu-individu dalam sebuah khalayak, seperti perbedaan

usia, ras, etnis, dan jenis kelamin. Mereka juga mulai mempertimbangkan pengaruh-pengaruh sosial,

seperti keanggotaaan politik, agama, dan terutama status ekonomi. Banyak peneliti setuju pada klaim

Joseph Klapper (1960) bahwa media hanya merupakan salah satu bagian dari sebuah puzzle, dan

perhatian lebih diberikan pada bagaimana individua-individu menginterpretasi pesan-pesan dan

bagaimana jenis-jenis pengauh sosial lainnya membentuk persepsi (Baldwin, Perry & Moffitt, 2004,

hlm.195-196).

Moderate Effect

Inti dari perspektif ini adalah gagasan mengenai khalayak aktif yang menggunakan isi media untuk

menciptakan pengalaman (Bryant & Street, 1988). Perspektif Moderat Effect menyatakan pentingnya

pengaruh media dapat terjadi pada masa yang lebih lama sebagai sebuah akibat langsung dari khalayak.

Khalayak dapat membuat media menyajikan tujuan pasti, seperti menggunakan media untuk

mempelajari informasi dan memperoleh pengalaman.

Perspektif ini adalah kelanjutan dari teori Limited Effect yang menekankan adanya selektivitas

yang dilakukan khalayak dalam mengkonsumsi media. Perspektif ini membahas tentang selective

exposure, yaitu suatu kecenderungan untuk memilih komunikasi yang akan menegaskan pendapat,

sikap, dan nilai-nilai diri sendiri. Orang cenderung menyukai dan mencari orang-orang yang

kepercayaan, sikap, dan nilai-nilainya serupa dengan dirinya, dan tidak menyukai serta menghindari

orang-orang yang dipandang berbeda dalam hal-hal ini (Tubbs & Moss, 2000, hlm.209-210).

Peneliti mulai menguji bagaimana orang-orang menginterpretaikan pesan secara berbeda melalui

selective attention, sellective perception, dan selective retention. Ini berarti para peneliti mulai menguji

pesan seperti apa yang menarik orang-orang, mengapa orang-orang memiliki interpretasi yang berbeda-

beda pada pesan yang sama, dan mengapa orang mengingat hal-hal yang berbeda-beda dari sebuah

pesan (Baldwin, Perry & Moffitt, 2004, hlm.195).

Sepanjang tahun 1970 dan 1980, para peneliti kembali berpikir bahwa media bisa saja memainkan

peranan yang kuat. Mereka mengakui bahwa efek media mungkin terbatas, tapi di beberapa area efek

yang kuat mulai terlihat (Baldwin, Perry & Moffitt, 2004, hlm.196).

Mungkin tokoh yang paling vokal pada era ini adalah Elisabeth Noelle-Neumann. Noelle-Neumann

percaya bahwa teori limited effect telah mengubah interpretasi hasil-hasil penelitian selama bertahun-

tahun. Ia juga mengatakan bahwa dogma “ketidakberdayaan media” tidak lagi dapat dipertahankan. Ia

menyatakan sejarah teori komunikasi bagai pendulum, yang berayun dari pekerjaan Klapper yang

terkenal sampai pada saat ini, yaitu kebanyakan para peneliti percaya bahwa media memiliki kekuatan

untuk mempengaruhi (Littlejohn & Foss, 2005, hlm.299).

Paradigma limited but powerfull effect mengakomodasi beberapa dari teori-teori limited effect

juga beberapa dari model-model powerful effect. Teori dependensi media, framing, dan agenda setting

merefleksikan ide bahwa efek media terbatas hanya pada satu dimensi dari sebuah topik dan tidak

menghubungkan pengaruh yang luas kepada media. Apa yang bisa dikatakan penelitian limited but

powerfull effect adalah bahwa media kadang memainkan peranan yang kuat dalam membentuk ide dan

perilaku orang-orang, kadang media hanya berpengaruh kecil terhadap khalayak (Baldwin, Perry &

Moffitt, 2004, hlm.197).

Sumber:

Baldwin, John R; Stephen D.P; Mary A.M. (2004). Communication Theories for Everyday Life. United States of

America: Pearson Education, Inc:.

Littlejohn, Stephen W; Karen A.F. (2005). Theories of Human Communication. Thomson.

Tubbs, Stewart L; Sylvia M. (2000). Human Communication: konteks-konteks komunikasi, buku 2, terjemahan:

Deddy Mulyana. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

8. Pemilik media

9. Ketertarikan pemilik media

Konglomerasi Media Dan Intervensi Pemilik Terhadap Media

Oleh Debby Kurniadi

1. Latar Belakang

Informations is commodity and power. Di era globalisasi saat ini informasi tidak lagi menjadi

kebutuhan sekunder, tetapi telah mengalami transisi sebagai komoditas utama bagi khalayak.

Mereka yang menguasai informasi adalah mereka yang memiliki power, kalimat tersebut sudah

menjadi pembahasan hari-hari masyarakat yang juga memperkuat betapa pentingnya informasi

sebagai suatu kebutuhan.

Media merupakan bagian dari komunikasi massa yang tentunya memegang posisi penting

dalam percepatan menyampaikan informasi terkini kepada masyarakat. Mengingat pentingnya

media sebagai saluran dalam menyampaikan informasi tentunya tidak lepas dari fungsi utama

media. Menurut Samuel L. Becker (1985) ada tujuh fungsi komunikasi massa terhadap individu,

sebagai berikut:

Pengawasan atau pencarian informasi Mengembangkan konsep diri Fasilitas dalam hubungan sosial Subtitusi dalam hubungan sosial Membantu melegakan emosi Sarana pelarian dari ketegangan dan keterasingan Sebagai bagian dari kehidupan rutin atau ritualisasi (dalam Yasir, 2009)

Kebutuhan masyarakat akan informasi telah menjadikan industri media berkembang pesat,

tidak saja di negara maju tetapi juga di Indonesia pasca Reformasi dengan isunya “Kebebasan

Pers”. Media lokal pun seakan-akan tidak ingin kehilangan moment ini, seperti halnya Riau Pos

Group dan beberapa media lainnya yang ada di Provinsi Riau.

Pesatnya perkembangan media massa saat ini, juga menjadikan media tidak lagi sebagai

institusi yang ideal dalam menyampaikan informasi yang akurat dan berimbang, sebagai alat

sosial, politik, budaya dan fungsinya dalam mengawasi jalannya pemerintahan dan regulasi.

Tetapi telah berubah menjadi institusi yang menjanjikan secara ekonomi bagi para pengusaha.

Begitu juga halnya dengan kepentingan pemilik media, yang mampu menggiring opini

masyarakat tehadap suatu realitas. Hal ini bertambah “tidak baik” dengan adanya beberapa

perusahaan berskala besar yang memiliki unit usaha berbagai media. Sehingga pemilik media

mampu mempengaruhi masyarakat dengan media yang dimiliknya, dan tidak jarang beberapa

media memiliki konten informasi yang sama. Hal ini disebut juga dengan konglomerasi media,

sehingga sulit bagi masyarakat pada saat ini untuk mencari media yang benar-benar netral dan

bertanggung jawab.

2. Konglomerasi Media

Konglomerasimedia merupakan kekuatan dari perusahaan yang berskala besar dalam memiliki

banyak dan jenis media massa sebagai bagian bisnisnya. Tentu saja konglomerasi media ini

sangat tidak sehat dalam iklim demokrasi mengingat kekuatan media (power full) yang sangat

berpengaruh terhadap masyarakat yang menkonsumsi informasi dari media media tersebut.

Bentuk konglomerasi ini tentunya sudah terjadi di Indonesia, sebut saja PT Media Nusantara

Citra,Tbk yang memiliki RCTI, MNC TV, Global TV, Radio Trijaya, Koran Seputar Indonesia,

Okezone.com dan Indovision. MNC Group ini dimiliki oleh Hary Tanoesoedibyo yang memiliki

latar belakang tidak saja sebagai seorang pengusaha tetapi juga tokoh politik.

Kemudian Visi Media Asia (Viva Group) yang dimiliki oleh putra Abu Rizal Bakrie yakni Anindya

Bakrie yang menaungi Vivanews.com, TV One dan ANTV. Surya Paloh juga memiliki Metro TV

dan Media Indonesia yang bernaung dibawah Group Media Indonesia. Pemilik dua perusahaan

besar ini adalah pelaku binis dan sekaligus sebagai tokoh politik di Indonesia.

Sementara CT Corp yang sebelumnya bernama Para Group milik Chairul Tanjung, tidak saja

menaungi beberapa perusahaan dibidang Perbankan, Pasar Modal, Pembiayaan, Asuransi,

Perhotelan, Property dan Retail ini juga memiliki unit usaha media massa. Sebut saja

Detik.com, Trans TV dan Trans 7 yang sebelumnya bernama TV 7 milik Kompas Gramedia

Group.

Pelaku bisnis media lokal pun seakan tidak ingin ketinggalan, seperti Riau Pos Group yang

dimiliki oleh Rida K Liamsi ini mememiliki unit bisnis media seperti Koran Harian Pagi Riau Pos,

Pekanbaru Pos, Pekanbaru MX, Dumai Pos, Xpresi Magazine, Riau TV dan Fresh Radio.

Dalam mengembangkan bisnis medianya, Riau Pos Group telah memperluas jaringannya

kebeberapa provinsi di Sumatera. Seperti Batam Pos, Tanjung Pinang Pos, Posmetro Batam,

Batam TV, Padang Ekspres, Posmetro Padang, Padang TV, Triarga TV, Sumut Pos dan

Posmetro Padang.

Singkat kata, nama-nama pemilik media diatas merupakan orang-orang yang membangun

kerajaan bisnis mereka dengan berupaya dekat dengan kekuasaan. Malah beberapa diantara

mereka adalah tokoh politik yang tentunya memiliki kepentingan dan tujuan. Akibatnya media

yang mereka miliki tentunya lebih mengutamakan informasi dan tayangan menarik ketimbang

informasi dan tayangan yang penting bagi masyarakat.

Ataupun karena adanya intervensi dari pemilik media tersebut, konten informasi yang

disampaikan oleh media pun akan menjadi bias. Baik itu kepentingan ekonomi, politik dan

ideologi sang pemilik, sehingga sulit bagi masyarakat untuk mencari informasi dan tayangan

yang netral dan realitas yang sesungguhnya. Dengan kondisi ini maka terlihat jelas

Konglomerasi media memiliki peran penting dalam menyaring informasi dan tayangan apa saja

yang boleh dan tidak boleh disampaikan kepada masyarakat.

Media massa mampu memilih dan menetapkan isu yang akan mereka sampaikan kepada

masyarakat. Dengan adanya penekanan pada isu-isu tertentu oleh media massa akan mampu

menggiring atau justru merubah opini masyarakat terhadap realitas yang terjadi. Media mampu

menggiring opini masyarakat terhadap suatu isu, dan kemampuan media dalam mempengaruhi

perubahan kognitif individu ini menjadi salah satu aspek terpenting dari kekuatan komunikasi

massa.

Teori Agenda Setting ditemukan oleh McComb dan Donald Shaw sekitar tahun 1968. Teori ini

berasumsi bahwa media mempunyai kemampuan untuk mentransfer isu untuk mempengaruhi

agenda publik. Khalayak akan menganggap suatu isu tersebut penting, karena media

menganggap isu tersebut penting (dalam Syaiful Rohim, 2009).

Dengan adanya kepemilikan media oleh segelintir orang ini, tentunya akan menimbulkan

dampak negatif, pada kelangsungan system media di Indonesia. Konglomerasi media ini juga

tentunya sangat bertentangan dengan fungsi dan etika media yang seharusnya.

3. Intervensi Ekonomi Dan Politik Pemilik Terhadap Media

Saat ini masyarakat Indonesia menjadikan media massa sebagai salah satu jembatan informasi

mengenai berbagai hal dan realitas dimasyarakat. Baik itu media massa seperti koran, bulletin,

majalah, televisi, radio ataupun film. Begitu pula halnya dengan masyarakat yang ada di

Provinsi Riau, membaca koran sambil menikmati secangkir kopi dipagi hari seakan-akan telah

menjadi ritual sebagian masyarakat.

Kondisi ini tentunya sangat sesuai dengan Teori Depensi Mengenai Efek Komunikasi Massa

yang dikembangkan oleh Sandra Ball-Rokeach dan Melvin L DeFleur (1976). Yang

memfokuskan perhatiannya pada kondisi struktural suatu masyarakat yang mengatur

kecenderungan terjadinya suatu efek media massa. Pemikiran terpenting dari teori ini bahwa

dalam masyarakat modern, audience menjadi tergantung pada media massa sebagai sumber

informasi bagi pengetahuan tentang, dan orientasi kepada, apa yang terjadi dalam

masyarakatnya. Kedua, berkaitan dengan apa yang dilakukan media yang pada dasarnya

melayani berbagai fungsi informasi (dalam Syaiful Rohim, 2009)

Media merupakan sarana publik yang seharusnya mampu menyajikan informasi yang benar,

komprehensif, dan cerdas. Media sebagai bagian dari komunikasi massa dituntut untuk selalu

akurat dan netral, fakta disampaikan dengan jujur dan tentunya dengan memperhatikan etika

jurnalisme. Begitu pula halnya dalam menyampaikan pendapat, bukan justru pendapat

disampaikan seakan fakta suatu realitas.

Media sebagai saluran juga harus berperan sebagai forum pertukaran pendapat, komentar dan

kritik. Mampu mengangkat aspirasi publik, dan membuka akses keberbagai sumber informasi.

Media juga harus mampu mengfungsikan diri sebagai instrument pendidik bagi masyarakat,

sehingga masyarakat memperoleh pengetahuan dan keterampilan.

Menurut lasswell dan Wright (1975) ada empat fungsi Komunikasi Massa terhadap masyarakat,

sebagai berikut:

Pengawasan lingkungan

Fungsi ini merujuk pada pengumpulan dan penyebaran informasi mengenai berbagai peristiwa

yang terjadi. Media massa menyebarkan segala kejadian dan peristiwa sehingga menjadi

informasi bagi khalayak. Kejadian dan peristiwa yang berkaitan dengan aspek-aspek sosial,

politik, ekonomi dan budaya akan selalu dilaporkan oleh media massa.

Penghubung antar bagian dalam masyarakat

Setiap sajian berita yang menyangkut hidup orang banyak, akan menjadi stimuli bagi khalayak

untuk memberikan tanggapan dan mengenalkan antara masyarakat satu dengan masyarakat

lainnya.

Sosialisai atau pewarisan nilai-nilai

Fungsi ini merujuk pada upaya transmisi dan pendidikan nilai-nilai serta norma-norma dari satu

generasi kepada generasi yang berikutnya, atau dari satu kelompok masyarakat terhadap para

anggota kelompok yang baru.

Hiburan

Fungsi hiburan merujuk upaya-upaya komunikatif yang bertujuan untuk memberikan hiburan

pada khalayak luas (dalam Yasir, 2009).

Melihat fungsi dari Komunikasi Massa diatas, maka pada pandangan kritis muncul satu

pertanyaan sederhana “apakah media mampu melakukan fungsinya tanpa intervensi dari

pemilik media?”.

Pesatnya perkembangan media massa saat ini, telah merubah media menjadi institusi yang

menjanjikan secara ekonomi bagi para pengusaha. Berbicara institusi secara ekonomi, tentunya

tidak akan lepas dari istilah pasar, produksi, barang, jasa dan keuntungan. Pasar media

tentunya memiliki karakteristik yang berbeda dengan pasar lainya. Tentunya media mampu

memproduksi barang berupa informasi atau tayangan yang menarik. Sementara jasa yang

ditawarkan adalah media sebagai saluran yang menghubungkan para pengiklan dengan

masyarakat yang menkonsumsi media tersebut.

Tetapi tidak sedikit media memberikan informasi atau tayangan mainstream. Tidak jarang pula

bertentangan dengan etika jurnalisme, media dan penyiaran, hal ini dilakukan semata mata

untuk kepentingan ekonomi. Televisi swasta selalu berupaya untuk meningkatkan rating dan

menarik pengiklan sebanyak mungkin, dengan kata lain televisi swasta Indonesia akan

berlomba lomba untuk mengejar keuntungan secara ekonomi dibandingkan kepentingan publik.

Marxisme klasik memandang media sebagai alat bantu dari kelas yang dominan dan sebuah

untuk para kapitalis menunjukkan ketertarikan mereka dalam menghasilkan keuntungan. Media

menyebarkan ideologi dari dorongan yang berkuasa dalam masyarakat dan dengan demikian

menindas golongan-golongan tertentu (dalam Stephen W Littlejohn dan Karen A Foss, 2009).

Media tidak saja mendapat tekanan secara ekonomi, tetapi juga secara politik dari pemilik

media. Ketika pemilik media adalah tokoh politik, maka akan muncul kecenderungan untuk

menggunakan kekuatan media sebagai alat untuk mancapai tujuan politiknya. Hal ini jelas

sudah mengesampingkan hak masyarakat untuk menerima informasi dan tayangan yang jujur

dan memuat kebenaran.

Lihat saja TV One dan ANTV yang tergabung dalam Bakrie Group milik Abu Rizal Bakrie yang

juga Ketua Umum partai Golkar (Partai Golongan Karya). Kedua stasiun Televisi ini tidak

sungkan-sungkan menyampaikan informasi pencitraan politik Abu Rizal Bakrie. Begitu pula

halnya dengan Metro TV dan Media Indonesia yang bernaung dibawah Group Media Indonesia.

Media massa milik Surya Paloh ini seakan akan tidak ingin ketinggalan untuk memberikan

informasi dan pencitraan politik Partai Nasdem (Partai Nasional Demokrat) yang juga diketuai

oleh Surya Paloh.

Dan bukan hal yang aneh apabila pemilik media adalah tokoh yang pro pemerintah, sudah

dapat dipastikan media yang dimilikinya akan memberikan informasi dan tayangan yang juga

pro terhadap pemerintah. Hal ini bisa dilihat pada media lokal seperti Riau Pos. Koran harian

pagi milik Rida K Liamsi ini bersedia memberikan dua belas halaman khusus dari empat puluh

delapan halaman, sebagai sarana informasi mengenai kegiatan pemerintah Provinsi Riau (yang

mungkin lebih tepat dengan sebutan pencitraan).

Kondisi ini tentunya bertolak belakang dengan televisi yang dimiliki oleh Republik ini, lihat saja

Televisi Republik Indonesia selaku Lembaga Penyiaran Publik. Bisa dikatakan tidak mampu

memberikan contoh yang baik untuk televisi-televisi swasta. Bahkan tayangannya cenderung

membosankan dan mungkin saat ini sebagian masyarakat sudah tidak lagi melihatnya. Belum

lagi masalah intern pada LPP ini, TVRI belum mampu menyelesaikan permasalahannya pada

tataran manajemen yang tentunya sangat berpengaruh terhadap produksi televisi ini.

Seharusnya kondisi ini menjadi perhatian dari pemilik media dan masyarakat, tetapi juga

menjadi perhatian khusus bagi pemerintah untuk mengatur regulasi media di Indonesia.

Bukankah media massa merupakan bagian dari demokrasi? Ketika media massa tidak lagi

mampu sebagai institusi ideal dalam menyampaikan informasi dan sudah menjadi media alat

bagi sang pemilik, hal ini tentunya akan terus merusak jalannya demokratisasi direpublik ini.

Media memiliki kekuatan yang besar dalam menyampaikan informasi dan tayangannya, akan

tetapi sangat lemah terhadap tekanan dari pemilik media. Dan kondisi ini hanyalah sebagian

kecil bentuk intervensi pemilik media dilihat dari kacamata ekonomi politik dan media.

4. Penutup

Media merupakan sarana publik yang seharusnya mampu menyajikan informasi yang benar,

komprehensif, dan cerdas. Media sebagai bagian dari komunikasi massa dituntut untuk selalu

akurat dan netral, fakta disampaikan dengan jujur dan tentunya dengan memperhatikan etika

jurnalisme.

Kepemilikan beberapa media oleh korporasi ini sangat tidak sehat dalam iklim demokrasi

Indonesia. Konglomerasi juga bentuk lain dari monopoli terhadap informasi dan monopoli

frekuensi yang seharusnya menjadi hak publik.

Fenomena konglomerasi media saat ini tentunya telah menjadi perhatian pemerintah Indonesia.

Tetapi regulasi mengenai kepemilikan media saat ini masih memiliki banyak kelemahan.

Sehingga tidak mengalami perubahan yang berarti bagi pemilik media-media massa Indonesia.

Selain menghadirkan regulasi mengenai kepemilikan media massa yang berpihak kepada

masyarakat. Berharap pemerintah Indonesia mampu menempatkan orang-orang yang ber-

kompeten dibidangnya, untuk menuju Indonesia yang lebih baik dimasa mendatang.

5. Referensi

Rohim, Syaiful. 2009. Teori Komunikasi. Rineka Cipta, Jakarta

Littlejhon, Stepen W, Foss, Karen A. 2009. Teori Komunikasi, Salemba Humanika, Jakarta

Yasir. 2009. Pengantar Ilmu Komunikasi, Wita Irzani, Pekanbaru

10. Media mengontrol pemerintah

Analisis Media Indonesia Menggunakan

Perspektif Marxist dan Pluralist

Diposting oleh cityofevil • Di: Tugas Kuliah Fikom

June172014

Sistem media Indonesia sebenarnya menganut sistem demokrasi yang artinya media diberikan

kebebasan, namun masih ada kontrol dari pemerintah. tapi pada kenyataannya media Indoneisa jika di

amati secara teliti, akan ada berapa ciri media berdasarkan Marxist dan Pluralist. Dibawah ini akan

menganalisis media Indonesia berdasarkan perspektif Marxist dan perspektif Pluralist. Sebelum

menganalisis media indonesia, alangkah lebih baiknya jika dibahasa terlebih dahulu apa itu perspektif

Marxist, dan apa Perspektif Pluralist.

Perspektif Pluralist.

Ciri-ciri atau asumsi dari perspektif pluralist

1. Media memberikan informasi bagi publik untuk bertindak.

2. Media dapat mengontrol pemerintah dan kelompok-kelompok yang ada di masyarakat karena

dianggap sebagai institusi independen.

3. Khalayak dianggap memiliki kehendak untuk menentukan berita sesuai dengan kebutuhan

mereka.

4. Media memberikan sarana agar debat publik bisa terjadi di situ.

5. Media merupakan institusi independen yang bebas dari campurtangan pemerintah

Analisis Media Berdasarkan Pluralist.

Setelah Indonesia reformasi, media massa diberikan kebebasan dalam menampilkan berita, dalam artian

media boleh menyajikan berita-berita baik itu dari aspirasi masyarakat atau hasil liputan media itu

sendiri. Berita yang di tayangkan sangat beragam ada yang mengkritisi pemerintah ada juga berita yang

sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari misalnya berita ekonomi, sosial dan budaya. Namun

berita tersebut masih mempunyai etika yang harus dipatuhi.

Sekarang masyarakat dapat dengan mudah menyuarakan aspirasi mereka atau hanya sekedar

memberikan pandangannya kepada pemerintah dan masyarakat luas. Dengan meluasnya jaringan

internet, menimbulkan semakin banyak media-media bercirikan/beraliran pluralistik. Ciri-ciri media

pluralistik itu sendiri sudah saya jelaskan diatas. Salahsatu media yang menganut kebebasan adalah

media berita online sebut saja Kompassiana, detikcom, kaskus, blogger. Dengan adanya media tersebut

masyarakat dengan mudah menulis dan meng-share tulisannya ke publik. Dengan fakta seperti ini, ada

sebagian media indonesia yang menganut pluralistik.

Perspektif Marxist

Ciri-ciri atau Asumsi Perspektif Marxist

1. Media massa dimiliki oleh orang-orang atau kelompok-kelompok borjuis.

2. Media dijalankan hanya semata-mata untuk kepentingan kaum borjuis

3. Media tidak memberikan akses kepada mereka yang yang memiliki pandangan politis

berlawanan

4. Media dianggap sebagai pertarungan ideologi antar kelas

5. Kontrol media sangat monopoli oleh para kaum borjuis

Analisis media berdasarkan Marxist.

Pada umunya seluruh media yang ada di Indonesia baik itu media cetak atau elektronik masing-masing

menyuarakan bahwa media tersebut independent. Namun pada kenyataan masih ada media yang

dikuasai/dibeli oleh individu untuk kepentingan pribadinya. Misalnya pada media Televisi, sekarang

banyak sekali pengusaha-pengusaha yang berlomba-lomba mendirikan media televisi. Motif dari

mendirikan media tersebut, mereka agar dapat dengan mudah menginformasikan pemikirannya (bisa

negatif/positif) kepada audiens atau khalayak. Dibawah ini beberapa media televisi yang dimilik oleh

perseorangan

Hary Tanoesoedibjopemilik Media MNC group (RCTI, Global, MNC, dll)

Aburizal Bakripemilik media televis TVONE

Surya Palohpemilik media televisi METROTV

Chairul Tanjungpemilik media televisi TRANS7 dan TRANSTV

Dengan semakin banyaknya televisi yang dimiliki oleh individu, maka kemungkinan akan mengarah ke

media Marxist yang ciri-cirinya sudah saya sebutkan diatas. Dengan kenyataan seperti ini maka semakin

jelas bahwa media di indonesia tidak sepuhnya independent. Karena televisi sekarang selain sebagai

motif ekonomi, juga sebagai tempat bertarungnya pengaruh oleh para pengusaha (mungkin kaum

borjuis)

Yang paling menyimpang adalah media tersebut sudah jauh melenceng dari prinsip media itu sendiri.

seperti televisi menayangkan berita-berita yang isinya hanya memintingkan kepentingan golongan

tertentu saja contohnya saat pemilu banyak sekali ditemukan kampanye-kampanye gelap. Seharusnya

media merupakan tempat untuk menampungnya aspirasi-aspira masyarakat.

Mengutip seperlunya dari

http://sharkiedick.wordpress.com/2010/03/10/studi-media-perspektif-pluralis-dan-perspektif-marxis/

(diakses: 23 Mei 2014, 06:34)

http://cityofevil.heck.in/analisis-media-indonesia-menggunakan-per.xhtml

Perspektif Sosiologis Dalam Media

Ada dua perspektif sosiologis dalam media, yaitu:

1. Pluralis-Liberalis

2. Marxist-Kritis

Adapun asumsi Pluralis adalah sebagai berikut:

1. Masyarakat adalah kumpulan orang-orang yang bersama merealisasikan kepentingan

mereka sebelum ditentukan pemerintah. Keragaman yang terbentuk pun seimbang dan

tidak timpang sebelah. Contohnya masyarakat Jawa yang sangat menjujung tradisi atau

budaya Jawa mereka.

2. Semua orang mempunyai kesempatan yang sama untuk mengungkapkan keinginan

mereka. Tidak ada dominasi ataupun pembatasan dari kelompok lain.

3. Pemerintah hanya mengkoordinasikan warga supaya sejahtera. Tugas pemerintah hanya

mengatur supaya kesehatan warga terjamin, warga mendapat makanan yang cukup setiap

harinya, dan warga dapat hidup layak. Pemerintah disini bersifat netral.

4. Politik terbebas dari ekonomi. Kaya dan miskin sama di hadapan hukum.

5. Pelaksanaan kekuasaan selalu nyata / transparan.

Menurut Curran and Gurevitch (1982), asumsi pluralis di atas memunculkan asumsi-asumsi

media, yaitu:

1. Media menolong atau member kesempatan kepada semua orang utnuk menyuarakan

pendapat mereka di dalam sebuah forum atau debat.

2. Media memberikan informasi-informasi yang dibutuhkan dari warga negara untuk

melakukan suatu tindakan.

3. Media dianggap independen atau terbebas dari ekonomi dan pemerintah.

4. Media dapat mengontrol pemerintah dan berbagai kelompok kepentingan yang ada di

suatu negara.

5. Informasi hanya dianggap sebagai pengetahuan saja, bukan hasil konstruksi model

komunikasi.

6. Organisasi media dilihat sebagai sistem organisasi yang terkait dan menikmati otonomi

yang mereka miliki dari negara, parpol, dan kelompok-kelompok penekan yang

melembaga.

7. Kalangan elit manajerial merupakan kelompok professional media yang dianggap

mempunyai kebebasan untuk menentukan suatu hal.

8. Khalayak dianggap mampu untuk melihat manipulasi media. Bukan khalayak yang

menerima mentah-mentah hal-hal apa saja yang disajikan oleh media.

Model Pluralis

Contoh dari interest group adalah pengusaha, pengiklan, stake holder

Audience adalah kelompok yang memiliki kepentingan dan kepentinganya tersebut

terpenuhi / sasaran dari suatu program. Contoh audience dari tayangan Sinchan adalah

anak-anak ataupun siapa saja yang menonton tayangan tersebut.

Sedangkan public adalah pihak luar yang turut mempunyai kepentingan tertentu.

Contohnya dari tayangan sinchan adalah pemerhati anak-anak yang turut mengkritik

tayangan Sinchan yang dianggap tidak mendidik bagi anak-anak.

Pressure group adalah kelompok yang mampu menekan media dan seringkali berkaitan

dengan politik, contohnya adalah FPI, keluarga Cendana, dll

Media dilihat sebagai area kompetisi kelompok dan kepentingan isu-isu tertentu, secara

relative bersifat otonomi.

Pandangan Marxist

Produksi materi turut mempengaruhi produksi mental, keduanya saling mempengaruhi. Pemilik

produksi materi pasti akan menguasai produksi mental juga.

Contoh: saat di sekolah dasar siswa diajarkan untuk selalu mendengarkan gurunya, bertindak

pasif (produksi materi). Akibatnya saat di perguruan tinggi ketika mahasiswa dituntut untuk

akftif, banyak dari mereka yang takut dan segan untuk mengungkapkan pendapatnya (produksi

mental).

Asumsi media menurut pandangan Marxis

1 Media massa dimiliki oleh kaum borjuis

2. Media melayani atau memenuhi kepentingan borjuis

3. Media mempromosikan kesadaran palsu

4. Akses media tertutup terhadap pada oposisi politik

5. Media dilihat sebagai bagian dari arena ideologis dari bermacam-macam

pandangan, walaupun dalam konteksnya didominasi kelas-kelas tertentu

6. Kontrol utama dikuasai oleh pemilik modal monopoli

7. Media professional disosialisasikan oleh budaya-budaya tertentu

8. Media dianggap sebagai suatu keseluruhan yang menyiarkan kerangka kerja sesuai dengan

kepentingan kelas yang dominan.

9. Audience bersifat pasif dan memiliki akses yang terbatas ke media.

3 Pendekatan Marxist ke media:

1. pendekatan strukturalis = penekanan pada “internal articulation” sistem media

2.pendekatan politik ekonomi = kekuatan media dilokasikan pada proses ekonomi yang

mendasari produksi media

3. pendekatan kulturalis = media memliki kekuatan penuh untuk menimbulkan kesadaran public

Perbedaan Pluralis dan Marxist

Pluralis Marxist

Masyarakat beragam, memiliki kekuasaan

yang setara satu sama lain, dan

bebas

terbentuk dari faktor-faktor

produksi dan ekonomi. Dan ada

kesenjangan antara yang kaya

dan yang miskin, oleh karena

itu ada kelompok yang dominan

dan didominasi sehingga tidak

ada kesetaraan kekuasaan.

media bebas, dapat diakses secara

kompetitif

tidak bebas karena dikuasai

kelompok dominan

pesan pesannya beragam karena

media bebas menentukan isu

mana yang mau ditampilkan

pesan tidak beragam karena

adanya dominasi kelompok

tertentu, akibatnya pesan

cenderung menyuarakan

kepentingan kelompok tersebut.

khalayak aktif, bebas memilih media

mana yang mereka butuhkan

pasif dan memiliki akses yang

terbatas

produksi kreatif, bebas, dan original terstandarisasi, terkontrol, dan

dirutinkan

efek Banyak, tapi tidak ada

konsistensi dan dtidak dapat

ditebak arahnya kemana,

seringkali tidak ada efek

Kuat dan disahkan aturan sosial

professional mandiri dan outonomous Adanya ilusi otonomi,

disosialisasikan dan

diinternalisasikan ke dalam

norma-norma dari suatu budaya

yang mendominasi.

https://merlynacamelia.wordpress.com/2010/03/07/perspektif-sosiologis-dalam-media-2/