LoA group: China's Foreign Policy in Central Asia

28
0 Analisis Kelompok Pembuat Kebijakan: Politik Luar Negeri China di Asia Tengah Ujian Akhir Semester GUSTY PRAMESWARY – 071112096

Transcript of LoA group: China's Foreign Policy in Central Asia

0

Analisis Kelompok Pembuat Kebijakan:

Politik Luar Negeri China di Asia

Tengah Ujian Akhir Semester

GUSTY PRAMESWARY – 071112096

1

Hubungan Internasional

Fakultas Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Airlangga

Abstract

The disintegration of the former superpower state Union of Soviet Socialist

Republicts (USSR) turned up new phenomenal in the history which Central Asian that

the region is exposed to various external actors like the US, Arab World, Iran, South

Korea, Japan, and don’t miss China. When looking at the geographic location of

Central Asian, China is the most likely area of great benefit because its located

directly adjacent to the Central Asian countries like Tajikistan, Kyrgistan, and

Kazakhstan on the west to then influence the development in Central Asia. Looking

at the phenomena, this article will focus on the question What are China’s interest in

Central Asian? Why China has focused its foreign policy in Central Asia in 2001? And

How China runs its foreign policy in Central Asian? This article attempts to address

these question critically with group decision making level of analysis.

Keyword: Central Asia, China, Decision Maker

Abstrak

Disintegrasi dari bekas negara adikuasa Union of Soviet Socialist

Republics (USSR) telah menimbulkan fenomena baru sepanjang

sejarah di mana Asia Tengah menjadi kawasan yang menarik

banyak kepentingan eksternal seperti Amerika Serikat, Dunia

Arab, Iran, Korea Selatan, Jepang, dan tidak ketinggalan

China. Bila memandang letak geografis Asia Tengah, China

merupakan kawasan yang paling memungkinkan mendapat

2

keuntungan besar karena letaknya berbatasan langsung dengan

negara Asia Tengah seperti Tajikistan, Kyrgyztan, dan

Kazakhtan di sebelah barat untuk lantas mempengaruhi

perkembangan di Asia Tengah. Memandang fenomena tersebut maka

tulisan ini akan fokus pada pertanyaan Apa kepentingan China

di Asia Tengah? Lantas mengapa China memfokuskan politik luar

negerinya di Asia Tengah pada tahun 2001? Dan Bagaimana China

menjalalankan politik luar negerinya di Asia Tengah? Artikel

ini akan berusaha menjawab pertanyaan tersebut dengan kritis

dengan menggunakan level analisis kelompok pembuat kebijakan.

Kata kunci: Asia Tengah, China, Pembuat Keputusan

Pendahuluan

Disintegrasi Uni Soviet pada tahun 1991 berujung pada

kemunculan lima negara berdaulat yakni Republik Asia Tengah

yang terdiri dari Kazakhstan, Kyrgyztan, Tajikistan,

Turmenistan, dan Uzbekistan di kawasan Eurasia. Memandang

fenomena yang demikian China, seperti negara lain (Russia,

Iran, dan Afghanistan) yang berbatasan langsung dengan kawasan

Asia Tengah dihadapkan dengan perubahan situasi geopolitik

perbatasan. The Chinese Xinjiang Uyghur Autonomus Region (XUAR)

memiliki perbatasan yang sama panjang dengan wilayah

Kazakhstan, Kyrgystan dan Tajikistan. Selama periode Soviet,

batas utara dan barat China telah bermasalah sebagai akibat

3

dari kepahitan Sino-Soviet. Kepahitan tersebut berawal pada

tahun 1954, yang mana pemerintah China menerbitkan sebuah peta

yang menunjukan bagian dari Kazakhstan, Kyrgystan dan

Tajikistan sebagai wilayah China dan mengklaim bahwa Rusia

telah mencaplok wilayah tersebut sejak 1880. Meskipun Moskow

dan Beijing telah memulai dialog untuk menyelesaikan sengketa

perbatasan pada tahun 1987, runtuhnya Uni Soviet meninggalkan

masalah baru yang menuai kegelisahan tersendiri. Dialog ini

dimulai setelah Sekretaris Jenderal Partai Komunis Uni Soviet

(CPSU) Mikhail Gorbachev S. berpidato di Vladivostok, di mana

ia menawarkan untuk mengadakan pembicaraan dengan para

pemimpin China atas kasus sengketa perbatasan Sino-Soviet.

Namun sebagai akibat runtuhnya Uni Soviet, pemerintah China

sangat khawatir dengan masalah sengketa perbatasan di sebelah

barat yang pada akhirnya kekhawatiran tersebut ditunjukkan

dengan perintah Wang Zhen, Wakil Presiden China, era Jiang

Zemin, kepada Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) untuk membentuk

dinding baja di wilayah perbatasan Xinjiang guna menjaga

sosialisme dan integrasi tanah air (Dwivedi, 2006: 139).

Maka jelas sudah, awal 1990-an menjaga stabilitas di

Xinjiang dan menyelesaikan sengketa perbatasan dengan Rusia

dan Republik Asia Tengah adalah agenda utama China. Dalam

bayangan China saat itu Asia Tengah merupakan arena di mana

China, Rusia, dan republik-republik independen dapat membangun

kerjasama internasional, terutama dalam mengatasi tantangan

ekonomi dan politik guna menjaga stabilitas regional.

Perkembangan sektor energi di Asia Tengah, perluasan

4

perdagangan, dan menyelesaikan sengketa perbatasan merupakan

prioritas tinggi China untuk mencapai agenda utamanya. Selama

15 tahun diplomasi regional China telah membuahkan hasil

penting diantaranya penentuan batas wilayah (demakrasi) Sino-

Asia Tengah, meningkatnya perdagangan sebanyak 15 kali lipat,

serta kerjasama dalam pendanaan pipa minyak dari Kazakhstan

ke Xinjiang. Selain itu telah terjalin pula kekerabatan yang

erat dan harmonis dengan Republik Asia Tengah, serta kemampuan

China dalam mengatasi ancaman terorisme, nasionalisme etnis,

dan ekstemisme agama. Dengan begitu, dapat dikatakan China

berhasil melakukan pendekatan melalui soft power guna mencapai

interestnya di wilayah Asia Tengah. Bak pepatah sekali mendayung

dua tiga pulau terlampaui, China berhasil mencapai interestnya untuk

menjaga stabilitas wilayah Xinjiang, menyelesaikan sengketa

perbatasan, meningkatkan pendapatan ekonomi melalui

kerjasamanya dengan Asia Tengah di bidang sumber daya alam dan

China juga dapat memperluas pengaruhnya di Asia Tengah

(Dwivedi, 2006: 140).

Melihat latar belakang di atas, penulis memandang adanya

problematika yang terjadi di mana China lebih memfokuskan

pendekatan yang lebih soft power khususnya melalui Silk Route

Diplomacy dengan negara Republik Asia Tengah dari pada mejalin

kerjasama dengan Rusia yang notabenenya sama-sama negara

komunis yang sebelumnya lebih dulu terlibat masalah sengketa

perbatasan dengan China. Memandang problematika yang ada

lantas penulis akan memfokuskan tulisan ini untuk menjelaskan

secara konperhensif tentang Mengapa China memfokuskan politik

5

luar negerinya pada kerjasama dengan negara-negara Asia Tengah

melalui Soft Power (New Silk Road Policy)? Dan lantas faktor apa saja

yang melatarbelakangi China untuk mengambil kebijakan politik

luar negeri seperti demikian? Untuk menjawab pertanyaan

tersebut penulis akan menggunakan level analisis group dengan

melihat dinamika yang terjadi dalam kelompok pengambil

keputusan di tingkat pemerintah China.

Peringkat Analisis

Politik luar negeri merupakan salah satu kajian yang erat

kaitannya dengan studi Hubungan Internasional. Politik luar

negeri juga merupakan salah satu aspek penting dan tak akan

terlewatkan kajiannya karena hal tersebut merupakan kebutuhan

semua negara dalam menunjang national Interestnya dalam sistem

internasional. Dalam kajian politik luar negeri pun, tak akan

terlewatkan oleh kita mengenai bagaimana analisis suatu

politik luar negeri suatu negara, sehingga kemudian kita dapat

mengetahui latar belakang apa yang menjadi alasan suatu

kebijakan dikeluarkan. Politik luar negeri juga merupakan

instrumen yang dinamis serta fleksibel yang seringkali

mengalami perubahan oleh beberapa faktor seperti ekonomi

domestik, ideologi, situasi internasional, serta kepribadian

pemimpin suatu negara sebagai pemegang otoritas tertinggi.

Namun, tetap saja didamping perubahan yang terjadi, politik

luar negeri senantiasa didorong kepentingan nasional negara-

bangsa untuk mencapai apa yang hendak dicapainya.

6

Kebijakan Luar negeri suatu negara dapat dianalisis

dengan banyak cara. Salah satunya adalah dengan menggunakan

konsep kerangka kerja yang didasarkan pada 3 level teori

analisis, yaitu : teori tingkat internasional, teori nasional,

dan di tingkat individu. (Singer, 1991. 78). Berdasarkan teori

di atas maka pengaruh pembuatan kebijakan luar negeri yang

muncul dari 3 tingkat analisis di atas, (internasional,

nasional, individu), didefinisikan bahwa kebijakan luar negeri

suatu negara merupakan hasil dari interaksi yang kompleks

antara situasi sejarah, kondisi kelembagaan, orientasi

psikologis serta perilaku individu pembuat kebijakan tersebut.

(Singer, 1961: 89).

Beberapa faktor domestik dan internasional dapat dan akan

mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara, di mana

pengaruh yang muncul mau tidak mau akan terkait dengan

struktur politik dari sebuah identitas, keputusan, dan

implementasi suatu politik luar negeri pemerintah sebagai

kelompok pembuat kebijakan. Dalam struktur tersebut terdapat

seperangkat otoritas dengan kemampuan pada suatu bidang

tertentu, kewenangan terhadap suatu masalah, dan otoritas

untuk membuat suatu keputusan yang tidak dapat diserahkan

kepada pihak lain. Kita dapat menyebutnya sebagai “ultimate

decision unit”, bahkan dalam realitasnya sebuah unit mungkin

terdiri dari beberapa badan atau divisi yang terpisah

ketimbang dari suatu entitas yang sama. Dengan demikian maka

konfigurasi dan dinamika dari ultimate decision unit membantu

7

membentuk substansi perilaku kebijakan luar negeri (Neack,

2008: 66).

Kerangka unit keputusan mungkin melampaui siapa saja yang

duduk di dalam lingkaran pengambil kebijakan luar negeri.

Namun pendekatan ini menekankan pada pentingnya pemahaman

dinamika atau proses di mana keputusan dibuat mengingat

konfigurasi yang berbeda yang mungkin berdampak pada keputusan

akhir suatu kebijakan luar negeri. Banyak pendapat mengenai

dinamika yang berperan berasal dari studi kognitif dan

kepribadian pemimpin, di mana terdapat tiga unit dasar

keputusan yang mana Hermann dan kawan-kawan menguraikannya

pada; single yakni peran dari pemimpin yang dominan, kelompok

tunggal, dan kelompok yang terdiri dari beberapa unit otonom

(Neack, 2008: 67).

Pemimpin yang dominan atau predominant leader adalah seorang

individu yang memiliki poweruntuk membuat pilihan dan dapat

melumpuhkan oposisi. Dalam tulisannya Neack (2008: 67)

menuturkan bahwasannya tidak semua “single”, memiliki dominasi

kepemimpinan yang sama, tetapi bagaimanapun juga penting

adanya sebuah orientasi pemimpin untuk senantiasa memantau

segala informasi dari lingkungan politik dunia guna dijadikan

bahan pertimbangan dalam menetapkan kebijakan yang berurusan

dengan kebijakan luar negeri. Seorang pemimpin yang sensitif

cenderung menggunakan diplomasi dan kerjasama, mengambil

pendekatan bertahap dalam bertindak dengan menantikan umpan

balik dari lingkungan. Namun konsekuensi dari pemimpin yang

dominan ialah adanya kemungkinan pemimpin hanya mencari

8

petunjuk yang mengkonfirmasi keyakinannya ketika membuat

keputusan yang pada akhirnya ia akan relatif tidak sensitif

terhadap saran dan data yang tidak sesuai dengan apa yang ia

yakini (Neack, 2008: 67).

Kelompok tunggal ialah sekelompok individu di mana semua

anggotanya terdiri dari satu kelompok atau lembaga saja, yang

mana secara kolektif memilih tindakan dalam interaksi face to

face. Kelompok ini mungkin dapat terdiri dari dua orang atau

sebagian besar parlemen asalkan terdapat keputusan kolektif

yang interaktif dari proses di mana semua anggota yang

diperlukan untuk membuat komitmen otorotatif berpartisipasi.

Individu dalam kelompok tunggal ini harus mampu membentuk atau

mengubah posisi mereka pada masalah tanpa campur tangan pihak

luar. Meskipun anggota tidak mewakili departemen,

anggotakelompok tunggal mungkin terbuka terhadap pengaruh

luar, terutama informasi yang relevan dengan keputusan

kelompok. Namun kelompok tunggal juga dapat tidak terbuka

untuk informasi luar dan cepat dalam mencapai konsensus.

Penting untuk dipahami tentang bagaimana teknik pengambilan

keputusan dalam kelompok tunggal, teknik yang digunakan untuk

mengelola konflik dalam kelompok dan sejauh mana loyalitas

kelompok tersebut. Konsekuensi dari pendekatan ini ialah

kebiasaan akan menekan pendapat lain yang tidak sesuai dengan

groupthink yakni batasan dalam kelompok yang memungkinkan

terjadinya kegagalan dalam pengambilan keputusan karena pada

hakekatnya kelompok tunggal fokus pada proses pencapaian

loyalitas dan keharmonisan kelompok (Neack, 2008: 68).

9

Menurut Hermann, Stein, Sundelius dan Walker, groupthink

merupakan suatu dinamika yang menghasilkan tendensi untuk

menghindari konflik dalam kelompok dan mendorong kelompok

untuk membuat keputusan secara cepat. Prosesnya cenderung

kepada kebulatan keputusan bukan pada kohesivitas kelompok.

Memandang hal tersebut lantas Hermann dkk. Membuat pohon

keputusan yang mengambil peneliti melalui cabang-cabang yang

berbeda dengan mengeksplorasi peran pemimpin dan pengambilan

keputusan norma-norma kelompok. Cabang-cabang ini mengarah

pada empat jenis keputusan yang mungkin terjadi. Empat

keputusan tersebut ialah; the adoption of the dominant solution, a

deadlocked solution, an integrative solution, dan a subset solution. Lihat figure

4.1 (Neack, 2008: 69-70).

Yang ketiga dari decision unit ialah koalisi dari beberapa

aktor dari banyak otoritas atau dapat disebut multiple autonomous

actors. Dari unit ini, kebutuhan aktor yakni individu, kelompok,

atau koalisi yang berbeda, di mana jika beberapa atau semua

setuju maka akan menjadi sikap atau kebijakan pemerintah.

Namun dalam unit ini tidak ada salah satu individu yang

memiliki kemampuan untuk memutuskan atau memaksa kepatuhan

pada orang lain. Apalagi tidak ada badan otorotatif menyeluruh

di mana semua pihak memiliki kemampuan pada bidang masing-

masing. Seperti biasa analisis harus menentukan aturan

interaksi dalam kelompok terutama dalam urusan mengatur

konflik di mana kelompok harus menentukan suara bulat atau

plural. Untuk memahami unit keputusan ini, kita perlu memahami

bahwa sebenarnya aktor termotivasi untuk melindungi

10

kepentingan kelompok-kelompok yang mereka wakili. Jadi pada

dasarnya kita harus memahami beberapa asumsi dasar dari apa

yang disebut model politik birokrasi. Dalam karya Graham

Allison, Allison dan Philip menyatakan bahwa;

“The nature of foreign policy problems permits

fundamenttal disagreement among reasonable people about

how to solve them. Because most players participate in

policymaking by virtue of their role, for example as

secretary of the Treasury or the ambassador to the United

Nations, it is quite natural that each feels special

responsibility to call attention to ramifications of an

issue for his or her domain ..... because their

preferences and beliefs are related to the different

organizations they represent, their analyses yield

conflicting recommendations.” (Neack, 2008: 76)

11

Dari penjabaran mengenai tingkat analisis group di atas

maka penulis akan menganalisis lebih lanjut mengenai fenomena

kerjasama China dengan negara-negara yang tergabung dalam

Republik Asia Tengah, guna melihat lebih jauh mengenai alasan

China untuk kemudian mengambil keputusan tuk memfokuskan

politik luar negerinya pada kerjasama dengan negara-negara

Asia Tengah melalui soft diplomacy sejak tahun 2001. Dengan

mencoba menganalisis dari level group yang fokus pada

pertanyaan bagaimana dinamika kelompok pembuat keputusan China

sehingga pada akhirnya memutuskan untuk memilih kerjasama

12

dengan Asia Tengah dari pada Rusia yang notabenenya sama-sama

negara komunis.

Analisis Kasus

Partai Komunis China (PKC) telah berkuasa selama 63

tahun. PKC muncul di puncak kekuasaan pada tahun 1949 dari

kemenangan perang sipil atas kekuatan Nasionalis Chiang Kai –

Shek, di mana saat ini kekuasaan mereka pidah dan tumbuh subur

di Republik China, Taiwan. Hingga hari ini, PKC berkomitmen

untuk mempertahankan monopoli permanen pada puncak kekuasaan

dan tidak membiarkan siapa pun untuk menggeser pengaruh serta

kekuasaannya di jajaran tinggi kepemerintahan. Sesuai dengan

paham Leninis, PKC mendominasi negara dan masyarakat di China.

Kekuatannya terletak pada empat pilar yakni; State Council, People’s

Liberation Army (PLA), National People’s Congress, dan Chinese People’s Political

Consultative Conference. Dalam hal pelaksanaan kebijakan dan

administrasi sehari-hari, PKC mempercayakannya kepada lembaga

Negara yang dipimpin oleh Dewan Negara termasuk kementerian

negara dan komisi negara. Para pejabat tinggi negara di setiap

tingkat administrasi biasanya merangkap sebagai anggota senior

partai, untuk memastikan kontrol partai.

Seperti yang tercantum dalam konstitusi negara China,

Kongres Rakyat Nasional (NPC) mengawasi Dewan Negara, serta

empat lembaga lain; Kepresidenan, Mahkamah Agung, Kantor

Kejaksaan, dan militer. Kongres rakyat memiliki empat fungsi

utama dan kekuasaan: legislasi, pengawasan, pengangkatan dan

pemberhentian pejabat, dan pengambilan keputusan mengenai isu-

isu utama. Fungsi-fungsi ini merupakan cerminan utama dari

13

cara orang-orang China menggunakan kekuasaan mereka sebagai

penguasa negara melalui sistem kongres rakyat. Untuk bertahan,

meningkatkan dan mengembangkan sistem merupakan bagian penting

dari pembangunan demokrasi politik di Cina, hal tersebut

terbukti dalam Sesi Ketiga dari Sidang Paripurna ke-11 Partai

Komunis China (CPC) pada tahun 1978, di mana sistem kongres

rakyat telah terlihat peningkatan konstan serta pengembangan

yang signifikan (Lawrance & Martin, 2013: 1-2). Sekiranya 50

tahun terakhir telah membuktikan bahwa sistem kongres rakyat

tersebut sesuai dengan kondisi nasional China. Ini tidak hanya

memastikan bahwa orang-orang melaksanakan kekuasaan negara

secara terpadu dan memberikan kontribusi penuh terhadap

antusiasme dan inisiatif sebagai penguasa negara mereka,

tetapi juga menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi

lembaga negara untuk berbagi pekerjaan dan saling membantu

dalam mengatur pembangunan sosialis.

China sudah tidak memiliki sosok pemimpin layaknya Deng

Xiaoping sejak kematiannya pada tahun 1997. Namun, sistem

politik China saat ini sudah membentuk the Communist Party’s

Politburo Standing Committee (PSC) sebagai penerus pemikiran Deng

Xiaoping dalam politik luar negeri China. PSC merupakan

beberapa orang komite yang terdiri dari pimpinan puncak Partai

Komunis China. Setiap anggota memiliki portofolio yang

meliputi berbagai isu sebagai agenda utama yang hendak dicapai

China seperti isu ekonomi, undang-undang, korupsi, dan

keamanan nasional. Akibat dominasi PKC pada sistem politik

China, membuat Politbiro Komite Tetap yang tergabung dalam PSC

14

di dominasi oleh anggota-anggota PKC yang berpengaruh kuat

sebagai badan pembuat keputusan di China. Dengan demikian

dapat ditarik kesimpulan bahwa PSC merupakan kelompok yang

kemudian akan dijadikan unit analisis terkait dinamika dan

karakteristik pengambilan keputusan politik luar negeri,

khususnya terkait pada fokus kerjasama dengan Asia Tengah.

Disintegrasi Uni Soviet pada tahun 1991 membuat perubahan

geopolitik di sekitar wilayah Eurasia. Terpecahnya Uni Soviet

memunculkan lima negara berdaulat (Kazakhstan, Kyrgyztan,

Tajikistan, Turmenistan, dan Uzbekistan) yang tergabung dalam

Republik Asia Tengah. Fenomena baru muncul ketika ke lima

negara ini telah menjadi negara berdaulat di mana mereka mulai

menarik banyak kepentingan eksternal dari beberapa aktor

seperti US, Inggris, Japan, Korea Selatan, dan tak ketinggalan

China. China mulai memperhatikan gerak-gerik Asia Tengah sejak

tahun 1991 karena kekhawatiran China di wilayah perbatasan

sebelah baratnya (wilayah Xinjiang) yang berbatasan langsung

dengan tiga negara Asia Tengah yakni Kyrgystan, Kazakhstan,

dan Tajikistan (dominasi kaum muslim). Terlebih lagi wilayah

Asia Tengah yang memiliki geostrategis tinggi (persimpangan

antara Afghanistan, Asia Timur, Iran, Asia Selatan, dan Rusia)

serta memiliki cadangan minyak dan gas yang melimpah (Dwivedi,

2006: 144).

Selaras dengan fenomena internasional yang terjadi, pada

tahun 1991, di mana China masih di pimpin oleh Jiang Zemin

terdorong untuk kemudian fokus menjaga stabilitas di Xinjiang

dan menyelesaikan sengketa perbatasan yang dahulu menjadi

15

kepahitan Sino-Soviet dengan Rusia dan sekarang dengan

Republik Asia Tengah adalah agenda utama China. Di era Jiang

Zemin politik luar negeri China mendapat tantangan untuk

bagaimana melanjutkan moderenisasi militer dalam rangka

kesiapan kekuatan militer guna menjaga integrasi nasional

khususnya di wilayah barat dan utara China dengan tidak

mengkonsumsi secara berlebihan sumber daya yang ada.

Setidaknya ada empat strategi yang mungkin akan di ambil Jiang

Zemin kala itu, yakni; (1). Memainkan permainan adidaya; (2).

Meningkatkan kekuatan; (3). Mengubah aturan permainan; atau

(4). Tidak memainkan peranan sama sekali (Scobell, 2000: iii).

Namun, opsi tiga dan empat tidak memungkinkan Jiang Zemin dan

anggota PSC pilih karena dorongan fenomena internasional yang

sedang terjadi saat itu, selain itu juga karena akan berimbas

pada kreadibilitas dan dominasi PKC di China, sehingga Jiang

Zemin memutuskan untuk mengambil dua opsi yakni opsi ke satu

dan ke dua. Hal tersebut selaras dengan pernyataan laksamana

Liu Huaqing pada tahun 1993 :

“The mission of our armed forces is to saveguard our inviolable territory...

and sea rights and interests... therefore, we pursue... (a) military

moderenization (that) serves the needs oof territorial and offshore defense.. in

order to win a high-tech local and limited war with the available weapons and

equipment.” (Scobell, 2000: 6).

Selaras dengan hal tersebut, China juga mulai pendekatan

dengan negara-negara Asia Tengah guna menjalin kerjasama

dalam menyelesaikan masalah perbatasan.

16

Disisi lain PSC tidak ingin fokus pertahanan

mengkesampingkan pertumbuhan ekonomi China. Dengan begitu, di

awal tahun 2000-an PSC sepakat untuk fokus menjalin kerjasama

dengan negara –negara Republik Asia Tengah melalui beberapa

strategi dengan mengangkat isu energi, menghidupkan kembali

perdagangan “Silk Route”, terorisme internasional sebagai

relevansi pasca 9/11, ekstremisme agama dan isu perdagangan

narkoba. Bagi negara-negara Republik Asia Tengah, China

pilihan yang paling memungkinkan untuk wilayah mereka yang

“landlocked”. Disintegrasi yang tiba-tiba terjadi membuat

tantangan dan peluang tersendiri untuk China yang memungkinkan

kehadiran “Silk Route” baru untuk keamanan dan kebijakan ekonomi

China di Republik Asia Tengah (Dwivedi, 2006: 146).

Keberhasilan menjalin kerjasama terwujud dengan terbentuknya

Shanghai Cooperation Organization (SCO) pada tahun 2001 yang

beranggotakan China, Kazakhstan, Kyrgyztan, Russia,

Tajikistan, dan Uzbekistan (Clarke, tt: 1).

Pada era Jiang Zemin, PSC merupakan single decision unit yang

didominasi oleh sosok Jiang Zemin yang tidak lepas dari

bayang-bayang Deng Xiaoping sebagai penentu keputusan akhir

dari suatu kebijakan. Dalam prakteknya mulai dari seleksi

keanggotaan PSC saat itu tetap berjalan top-down ketimbang

bottom-up; di mana anggota organ-organ partai terkemuka

memandu pemilihan anggota tingkat bawah badan kepemimpinan

seperti komite sentral. Hal ini kemudian berlanjut pada proses

pengambilan keputusan di mana tetap berjalan top-down, yang

mana Jiang Zemin menjadi penentu akhir suatu kebijakan. Namun,

17

PSC juga tidak menutup kemungkinan untuk melakukan jajak

pendapat di antara komite sentral dan komite non-sentral

setingkat menteri dan pimpinan provinsi guna memperoleh

informasi ataupun data sebagai bahan pertimbangan suatu

kebijakan yang akan diambil. Adanya gesekan diantara kelompok

politik, tentu saja, bukan sebuah perkembangan baru di Cina.

Peristiwa besar seperti revolusi kebudayaan,  dan  krisis

Tiananmen di tahun 1989 semuanya terkait dengan pertikaian

antar faksi dan perjuangan suksesi dalam kepemimpinan di tubuh

PKC. (Scobell, 2000: 17).

Memandang sistem PSC yang masih kaku dan lebih

mengedepankan militer dalam politik luar negerinya, maka

keberlangsungan kerjasama dengan Asia Tengah era Jiang Zemin

di nilai kurang komperhensif, di tambah dengan krisis di

Taiwan pada tahun 1995-1996 yang kemudian menjadi isu serta

agenda utama China dalam mempertahankan integritas wilayahnya.

Hal itu terjadi mengingat pertimbangan PSC apabila melihat

potensi ekonomi Taiwan yang sangat besar pada sektor swasta

(relevansi Teori Tiga Perwakilan Jiang Zenmin) (Scobell, 2000:

15). Maka dari itu, kerjasama antarChina dan Asia Tengah era

Jiang Zemin berjalan lambat dan kurang signifikan.

Hingga akhirnya Hu Jintao hadir sebagai sosok pemimpin

yang kurang kharismatik, namun memiliki dukungan kuat dari

organisasi pemuda China yang terkenal dengan gayanya yang

mengedepankan keharmonisan dalam sistem dan keharmonisan pada

dunia internasional. Sifatnya yang lebih menekankan nilai

serta praktek konsensus di tubuh PSC membuat PSC berjalan

18

dengan hati-hati yang senantiasa mempertimbangkan semua

pendapat dari masing-masing komite untuk kemudian dijadikan

bahan diskusi maupun pertimbangan dalam memutuskan suatu

kebijakan luar negeri China. Bagi Hu keharmonisan di nilai

perlu demi menjaga keeksistensian Partai dan loyalitas anggota

Partai. Selain itu keharmonisan menjadi penting ketika singe

decision unit memutuskan suatu keputusan yang berkenaan dengan

negara di mana gagal atau suksesnya kebijakan yang diambil,

akan menentukan nasib PKC di masa yang akan datang. Hal itu

selaras dengan artikel pada situs resmi China di mana Era Hu

masih mengadopsi politik luar negeri Den Xiaoping yang lebih

mengedepankan perdamaian, keamanan kedaulatan negara,

integritas teritori dan martabat nasional.

“In the coming year, China will continue to follow Mr. Deng Xiaoping's

thinking on diplomacy by unswervingly pursuing an independent foreign

policy of peace, firmly safeguarding state sovereignty, territorial integrity and

national dignity, and steadfastly pressing ahead with the great cause of the

reunification of the motherland. We are ready to increase, on the basis of the

Five Principles of Peaceful Co-existence, friendly relations and cooperation

with countries in the world. In international affairs, we will continue to uphold

justice, oppose hegemonism and power politics, maintain world peace and

stability and promote common development of mankind”.

(www.fmprc.gov.en).

Adapun anggota PSC era Hu Jintao berjumlah 9 orang (di

muat pada tabel 1).

19

The 16th CCP Politburo Standing Committee’s Division of Policy

Work (2002)

Member Other posts

held

Policy sector Leading small

group(s)

Hu Jintao CCP general

secretary, PRC

president, CMC

chairman

Foreign

relations,

military

affairs

Foreign

affairs;

Taiwan affairs

Wu Bangguo Chairman,

National

People’s

Congress

Legislative

affairs

Wen Jiabao Premir, State

Council

Goverment

administration

Director,

Financce &

Economy

Jia Qinglin Chairman,

Chinese

People’s

Political

Consultative

Conferene

United front

affairs

Zeng Qinghong Executive

Secretary, CC

Secretariat,;

president

Party

apparaturs;

Hong Kong &

Party

building; Hong

Kong & Macao

20

Central Party

School; PRC

Vice President

Macao affairs affairs

Huang Ju Executive vice

premier, State

Council

Finance &

economy

Deputy

director,

Finance &

Economy

Wu Guangzheng Chairman,

Central

Discipline

Inspection

Commission

Party

discipline

Li Changchun Ideology and

propaganda

affairs

Ideology &

Propaganda

Luo Gan Internal

Security

Politics & Law

Committee

(Miller, tt: 3)

Era Hu Jintao, membawa warna baru bagi tubuh kepemerintahan

China. China semakin terbuka dan demokratis dengan menekankan

pada harmonitas sosial. Hal tersebut dapat terlihat dari

pernyataan Hu pada opening statementnya di sebuah seminar Partai

di Beijing tahun 2007:

“Building a harmonious society has been placed at the top of the

agenda of the Communist Party of China (CPC) and the central

21

government. The programme is based on the goal of building a well-

off society and creating a new socialist situation. Since China

introduced its reform and opening-up policies in 1978, profound

changes have taken place in the economy and in the domestic and

international environments. It is against such a backdrop that the

Chinese Government has raised the goal of building a harmonious

society” (www.english-people.com.cn).

Berdasarkan pernyataan tersebut terlihat bahwa Hu melihat

peluang guna meningkatkan pengaruhnya melalui norma, sistem,

dan praktek yang sebelumnya dinilai bertolak belakang.

Era Hu Jintao membawa perubahan yang cukup signifikan di

mana Hu menekankan pada keputusan yang harus diputuskan

melalui suara bulat PSC dengan mempertimbangkan semua

kemungkinan dan pendapat anggota PSC. Dengan prinsip

harmonitas sosial yang diterapkan pada sistem pemerintahan

maupun kebijakan yang diambil, membuat PSC bekerja bersama

dengan hampir tidak ada konflik antar faksi. Terlebih politik

faksi di Cina saat ini tidak lagi menjadi “zero-sum game” di

mana sang pemenang mengambil semuanya dan sang pecundang harus

dibersihkan atau diperlakukan buruk. Melainkan semuanya fokus

pada proses pencapaian loyalitas dan keharmonisan kelompok.

Hal didukung oleh pernyataan Bo (2005) dalam tulisan Duchatel

& Godement (2009: 4) yang menekankan bahwa dibawah

kepemerintahan Hu Jintao terdapat transformasi model

kepemimpinan;

22

“The transformation of the leadership succession process from a “winner

takes all” model to a “power balancing” pattern... Therefore, a pattern of

collective leadership has emerged from Congress, redefining the role of

general secretary as the most powerful arbitrator within the Politburo and its

standing committee.”

Segala keputusan yang di ambil merupakan keputusan bersama

yang telah dipertimbangkan oleh masing-masing komite dengan

mempertimbangkan kondisi, isu, dan masalah internasional

maupun domestik.

Apabila dilihat dari distribusi power era Hu Jintao pada

tubuh PSC, penekanan akan profesionalitas, pemerataan

distribusi power sesuai dengan skill individu masing-masing,

serta rasa kepercayaan antaranggota menjadi fokus utama dalam

tubuh PSC. Hal tersebut diharapkan akan mampu menciptakan

collective rationalization yang banyak sehingga dapat memunculkan

kemungkinan-kemungkinan yang menjadi pertimbangan suatu

kebijakan. Hal tersebut juga diharapkan dapat meminimalisir

kegagalan, bias serta kurangnya informasi yang dapat

mempengaruhi keberlangsungan pencapaian suatu national interest

yang telah diagendakan. Jika sistem konsensus menjadi penentu

suatu kebijakan, maka dapat dipastikan adanya horizontal

sekaligus vertical pressure yang dapat menciptakan konflik internal

dalam memutuskan suatu kebijakan. Namun dalam hal tersebut

penulis memandang PSC mampu mengatasi konflik yang kemungkinan

dapat terjadi, mengingat PSC merupakan single decision unit yang

berasal dari partai yang sama (PKC), di mana sebisa mungkin

23

konflik dapat dihindari bila berkaca pada keinginan Partai

dalam mempertahankan puncak kekuasaan pemerintahan di China.

Berkaitan dengan menjawab pertanyaan mengapa China

memfokuskan kerjasama melalui New Silk Route Diplomacy pada tahun

2001, penulis menggunakan pohon keputusan milik Hermann dkk

(Lihat figure 4.1). Bila diurut dari pertanyaan pertama

members primary identity with group? maka jawabanya Yes, hal ini

diperkuat dengan fakta bahwa PSC merupakan beberapa orang

komite yang terdiri dari pimpinan puncak Partai Komunis “China

The Politburo Standing Committee is the CCP’s decision-making center on all major

policy issues” (Miller, tt:1). Maka cabang dari jawaban yes

tersebut membawa pada pertanyaan Leader suppresses dissent?

Jawabannya No. Jawaban tersebut didukung dengan fakta

bahwasannya kecenderungan single decision unit adalah tidak ada

otoritas dominan karena mereka berada dan berasal dari satu

latar belakang atau norma kelompok yang sama (groupthink).

Sehingga masing-masing otoritas memiliki derajat dan pendapat

yang harus dipertimbangkan dengan hasil akhir ditentukan oleh

kesepakatan bersama (konsensus). Hal ini sejalan dalam parktek

PSC era Hu Jintao. Cabang berlanjut pada pertanyaan Group norms

discourage dissent? Yes. Karena sebisa mungkin perbedaan ditiadakan,

perbedaan hanya menyebabkan konflik yang membawa pada

kejatuhan PKC secara keseluruhan. Selain itu pada hakekatnya

single decision unit fokus pada proses pencapaian loyalitas dan

keharmonisan kelompok (Neack, 2008: 68). Dengan demikian

pernyataan berakhir pada kemungkinan keputusan yang selalu

dominant solution.

24

Solusi dominan dimaksudkan kepada hasil dari keputusan

bersama berdasarkan konsensus yang dilakukan anggota PSC, yang

mana arah politik luar negeri China ialah menjalin kerjasama

melalui Silk Route Diplomacy. Hal tersebut menjadi proses dari

politik luar negeri dari sebuah agenda politik luar negeri

China di mana situasi Internasional, situasi domestik

khususnya di wilayah Xinjiang, dan politik domestik terkait

mempertahankan eksistensi PKC menjadi pertimbangan dalam

pengambilan keputusan. Selain itu faktor geopolitik serta

geostrategis yang dimiliki Asia Tengah juga menarik perhatian

China dalam menjalin kerjasama strategis. Dan terakhir faktor

dari ekspansi politik maupun ekonomi juga sedang diperlihatkan

China bila dilihat dari usahanya yang intens dalam

kerjasamanya di Asia Tengah guna menjadi hegemon di Asia.

Penutup

Sebagai penutup dari tulisan ini, penulis menyimpulkan

bahwasannya faktor kondisi internasional, situasi domestik

entah itu terkait wilayah, politik domestik, dan model

kepemimpinan, serta geostrategi dan geoekonomi merupakan

faktor penggerak kelompok pembuat kebijakan suatu negara dalam

membuat suatu kebijakan luar negeri. Sehingga dalam menentukan

suatu kebijakan, kelompok tersebut akan terlebih dulu

memperhatikan beberapa faktor penentu kebijakan apa yang akan

dan sebaiknya mereka ambil. Selain itu dari faktor-faktor

tersebut juga, kita dapat menganalisa dinamika yang terjadi

dalam kelompok, di mana dari dinamika tersebut kemudian kita

25

mampu menyimpulkan pola-pola interaksi sebuah kelompok dalam

mengambil kebijakan.

Bila dilihat dari kasus serta analisis di atas, PSC

merupakan single decision group yang berasal dari Partai Komunis

China (PKC). Yang mana dalam prakteknya pengambilan keputusan

dilakukan dengan mendiskusikan terlebih dahulu kasus yang

menjadi agenda pembicaraan, dengan selanjutnya memberi dan

mendengarkan pendapat dari masing-masing background (komite),

sehingga terkumpul lah berbagai collective rationalization dari

masing-masing komite. Setelah itu, sistem konsensus digunakan

sebagai penentu akhir suatu kebijakan apa yang hendak diambil.

Bila di lihat dari dinamika kelompok tersebut, PSC cenderung

berpendapat sesuai dengan groupthink yang berlaku karena sebisa

mungkin mereka terhindar dari konflik yang bisa jadi sebagai

boomerang bagi Partai. Maka dari itu keputusan dominan

merupakan kemungkinan akhir dalam proses penentuan kebijakan.

Namun, kelemahannya terlihat pada keterbatasan setiap komite

untuk berpendapat di luar dari groupthink yang berlaku sehingga,

individu cenderung berpendapat sama. Selain itu tidak adanya

otoritas yang berhak memutuskan karena dalam single decision group

setiap komite atau individu memiliki otoritas yang sama

sehingga terkadang kemungkinan suatu kebijakan akan mengalami

kegagalan itu merupakan hal yang wajar selaras dengan

pengambilan keputusan yang relatif cepat.

Adapun saran penulis, agaknya sulit menerapkan level

analisis kelompok pada kasus ini, khususnya kasus yang terjadi

dalam sistem kepemerintahan yang tertutup layaknya China. Hal

26

ini terkait dengan kuantitas data yang sedikit serta sulitnya

memprediksi pola maupun dinamika kelompok untuk kasus atau

fenomena serupa. Adapun data yang diperoleh memungkinkan hasil

analisis menjadi kurang validitas dan realibilitasnya.

Sehingga level analisis lain mungkin dapat menjadi acuan dalam

menganalisis suatu kasus seperti ini seperti misal analisis

geostrategi dan geopolitik.

Referensi

Duchatel Mathieu & Godment Francois. 2009. China’s Politics Under Hu

Jintao. in: Journal of Current Chinese Affairss, pp. 3-11.

Dwivedi, Ramakant. 2006. China,s Central Asia Policy in Recent Times. in:

China and Eurasia Forum Quarterly, Vol. 4, No. 4, pp. 139-159.

Lawrance, V. S & Martin, F. Michael. 2013. Understanding China’s

Political System. in: CRS Report for Congress.

Scobell, Andrew. 2000. Chinese Army Building In The Era of Jiang Zemin.

Strategic Studies Institute

Singer, J. David. (1961). The Level of AnalysisProblem in International

Relation. in: World politics, 14 (1), pp. 77-92.

Neack, L. 2008. The New Policy: Power Seeking in a Globalization Era.

Plymouth:Rowman & Littlefield Publisher.

Online

Anonim. 2000. Spokesperson on China’s Diplomacy in 2000. Available at

(http://www.fmprc.gov.cn/eng/wjdt/wjzc/t24886.shtml) accessed

in 7 January 2014.

27

Anonim. 2007. Harmonious Society. in: China Daily available at

http://english.people.com.cn/90002/92169/92211/6274603.html

accessed in 6 January 2014.