lingkungan fisik kerja
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
1 -
download
0
Transcript of lingkungan fisik kerja
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Lingkungan Fisik
2.1.1. Pengertian Lingkungan Fisik
Lingkungan kerja merupakan salah satu penyebab dari keberhasilan dalam
melaksanakan suatu pekerjaan, tetapi juga dapat menyebabkan suatu kegagalan dalam
pelaksanaan suatu pekerjaan, karena lingkungan kerja dapat mempengaruhi pekerja,
terutama lingkungan kerja yang bersifat psikologis. Sedangkan pengaruhnya itu
sendiri dapat bersifat positif dan dapat bersifat negatif.
Di dalam meningkatkan semangat kerja perawat tidak terlepas dari lingkungan
kerja yang mendukung seperti kualitas lingkungan fisik. Lingkungan fisik adalah
salah satu unsur yang harus didaya gunakan oleh organisasi sehingga menimbulkan
rasa nyaman, tentram, dan dapat meningkatkan hasil kerja yang baik untuk
meningkatkan kinerja organisasi tersebut (Sihombing, 2004)
Lingkungan kerja fisik adalah segala sesuatu yang ada di sekitar para pekerja
yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan,
misalnya penerangan, suhu udara, ruang gerak, keamanan, kebersihan, musik dan
lain-lain (Nawawi, 2001)
Manusia sebagai mahluk sempurna tetap tidak luput dari kekurangan, dalam
arti segala kemampuannya masih dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor
tersebut berasal dari diri sendiri (intern), dapat juga dari pengaruh luar (ekstern).
Salah satu faktor yang berasal dari luar adalah kondisi fisik lingkungan kerja yaitu
semua keadaan yang terdapat di sekitar tempat kerja seperti temperatur, kelembapan
udara, sirkulasi udara, pencahayaan, kebisingan, getaran mekanis, bau-bauan, warna
dan lain-lain. Hal-hal tersebut dapat berpengaruh secara signifikan terhadap hasil
kerja manusia (Wignjosoebroto, 1995)
Banyak faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja karyawan, salah
satunya adalah lingkungan kerja. Ravianto, (1986) mengemukakan lingkungan kerja
adalah segala sesuatu yang ada disekitar karyawan dan dapat mempengaruhi dirinya
dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan. Faktor-faktor yang termasuk
lingkungan kerja dan banyak pengaruhnya terhadap produktivitas kerja antara lain
kebersihan,pertukaran udara, penerangan, musik, keamanan, kebisingan.
Lingkungan fisik adalah sesuatu yang berada disekitar para pekerja yang
meliputi cahaya, warna, udara, suara serta musik yang mempengaruhi dirinya dalam
menjalankan tugas-tugas yang dibebankan (Moekijat, 1995). Sedangkan menurut Gie
(2000) lingkungan fisik merupakan segenap faktor fisik yang bersama-sama
merupakan suatu suasana fisik yang meliputi suatu tempat kerja.
Leavitt (1997) mendefinisikan lingkungan sebagai sebuah dunia tempat
tinggal kita yang relatif masih lapang, yang masih jarang baik penduduknya maupun
organisasi yang ada didalamnya. Menurut Ahyari (1986) secara umum lingkungan
kerja didalam perusahaan merupakan lingkungan dimana para karyawan
melaksanakan tugas dan pekerjaan sehari-hari. Kartono (1989) mengatakan bahwa
lingkungan kerja adalah kondisi – kondisi material dan psikologis yang ada dalam
perusahaan dimana karyawan tersebut bekerja.
Menurut Anoraga dan Widiyanti (2001) lingkungan kerja adalah segala
sesuatu yang ada disekitar karyawan dan yang dapat mempengaruhi dirinya dalam
menjalankan tugas-tugas yang dibebankannya. Jadi lingkungan kerja disini
merupakan faktor yang penting dan besar pengaruhnya bagi perusahaan yang
bersangkutan. Nitisemito (2000) mendefinisikan lingkungan kerja sebagai sesuatu
yang ada disekitar para pekerja dan yang dapat mempengaruhi dirinya dalam
menjalankan tugas-tugas yang dibebankan. Sedangkan Feldman (1983) bahwa
lingkungan fisik adalah sumber kepuasan, keluhan mengenai lingkungan fisik, adalah
simbol atau perwujudan dari prestasi yang dalam, karena itu perlu mendapat
perhatian dari pengelola lingkungan.
Suasana lingkungan kerja yang menyenangkan akan dapat mempengaruhi
karyawan dalam pekerjaannya. Bekerja dalam lingkungan kerja yang menyenangkan
merupakan harapan sekaligus impian dari setiap pekerja. Menurut Nitisemito (2000)
lingkungan kerja dapat berpengaruh terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh para
pegawai, sehingga setiap organisasi atau perusahaan harus mengusahakan agar
lingkungan kerja dimana pegawai berada selalu dalam kondisi yang baik.
Seperti dijelaskan di atas bahwa lingkungan kerja juga berpengaruh terhadap
produktivitas kerja karyawan. Ditambahkan oleh Gibson (1996) bahwa lingkungan
kerja merupakan serangkaian hal dari lingkungan yang dipersepsikan oleh orang-
orang yang bekerja dalam suatu lingkungan organisasi dan mempunyai peran yang
besar dalam mengarahkan tingkat laku karyawan. Artinya bagaimana karyawan
merasakan bahwa lingkungan kerjanya baik atau buruk, menyenangkan atau tidak
menyenangkan, mendukung atau justru menjadi tekanan, tergantung dari bagaimana
karyawan akan memandang, menafsirkan dan memberi arti terhadap sesuatu yang
terjadi didalam lingkungan kerjanya baik kondisi fisik maupun kondisi perusahaan
dan hubungan interpersonal didalamnya. Selanjutnya persepsi tersebut akan
berpengaruh terhadap semangat kerja karyawan.
Harapannya bahwa setiap perusahaan membangun lingkungan kerja yang
menyenangkan agar setiap karyawan yang bekerja pada instansi atau perusahaan
tersebut mencintai pekerjaannya dan senang melakukan pekerjaannya sehingga
akhirnya bisa bekerja pada tingkat optimal. Lingkungan kerja yang menyenangkan,
rekan kerja yang kooperatif, pimpinan yang selalu memperhatikan keluh kesah
karyawannya, kebijaksanaan yang mempengaruhi kerja dan karier serta kompensasi
yang adil merupakan dambaan bagi para karyawan sehingga karyawan bekerja lebih
semangat, memiliki komitmen yang tinggi, dan pada akhirnya dapat meningkatkan
produktivitas kerja.
Tetapi dalam kenyataannya, penilaian baik atau buruknya lingkungan fisik
kerja ditentukan oleh penilaian karyawannya. Seseorang mungkin menganggap
lingkungan yang sama adalah buruk sedangkan yang lain menganggap baik. Hal ini
disebabkan karena ada perbedaan pandangan masing-masing individu terhadap
lingkungan kerja. Perbedaan ini dapat terjadi karena masing-masing individu
mempunyai kebutuhan, kepentingan maupun harapan yang berbeda-beda antara satu
dengan yang lain. Menurut Cary Cooper (Rini, 2002) Kondisi kerja yang buruk
berpotensi menjadi penyebab karyawan mudah jatuh sakit, mudah stres, sulit
berkonsentrasi, dan menurunnya produktivitas kerja. Kondisi lingkungan kerja
meliputi ruang kerja yang tidak nyaman, panas, sirkulasi udara kurang memadai,
ruang kerja terlalu padat, lingkungan kerja yang kurang bersih, dan bising atau
berisik.
Dari pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan lingkungan fisik adalah keadaan di sekitar rumah sakit seperti suhu udara,
pencahayaan, suara, penghawaan ruangan, kebersihan dan sikap kerja yang
mempengaruhi perawat dalam menjalankan pekerjaannya. Yang dibahas dalam
penelitian ini adalah segala sesuatu yang berada disekitar para pekerja yang meliputi
suhu udara, pencahayaan, suara, penghawaan, kebersihan serta sikap kerja yang dapat
memengaruhi perawat dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan.
Fokus perhatian pada metode ini adalah manusia atau karakteristik yang harus
dipenuhi perawat agar mereka mampu atau akan melaksanakan tugas-tugasnya
dengan tepat, benar, dan sempurna sehingga mempunyai prestasi yang bagus.
Sihombing (2004) menyatakan bahwa didalam meningkatkan semangat kerja
pegawai tidak terlepas dari lingkungan tempat kerja yang harus mendukung seperti
kualitas lingkungan fisik. Lingkungan fisik adalah unsur yang harus didaya gunakan
oleh organisasi sehingga menimbulkan rasa nyaman, tentram, dan dapat
meningkatkan hasil kerja yang baik untuk meningkatkan kinerja organisasi tersebut.
2.1.2. Evaluasi Pasca Huni (Post Occupancy Evaluation)
Menurut Haryadi dan Slamet (1996), pengertian dari Evaluasi Paska Huni
(EPH) adalah penilaian tingkat keberhasilan suatu bangunan dalam memberikan
kepuasan dan dukungan kepada penghuni/pemakai, terutama nilai-nilai (individu
maupun kelompok) dan kebutuhannya.
Penggunaan EPH adalah untuk menilai tingkat kesesuaian antara bangunan
(lingkungan binaan) dengan nilai-nilai dan kebutuhan penghuni/pemakainya dan
sebagai masukan dalam merancang bangunan dengan fungsi yang sama.
Rumah sakit merupakan sebuah fasilitas umum yang sarat dengan prasarana
pengguna sarana. Sebuah rumah sakit sangat berpengaruh dengan keadaan dan fungsi
dari prasarana dan sarananya, terlebih pada rumah sakit modern yang menggunakan
teknologi maju. Banyak manajemen rumah sakit yang kurang memperhatikan hal ini.
Seperti diketahui sebuah bangunan bukan hanya terdiri atas ruangan dan pembatas-
pembatasnya saja, tetapi berfungsi juga komponen lain yaitu komponen servis.
Komponen servis ini terdiri atas perlengkapan elektrikal dan mekanikal dan
perabotan yang jenis dan jumlah serta kualitasnya tergantung dari kegiatan yang
berlangsung di dalam rumah tersebut. Dengan demikian ada 2 faktor penting, yaitu
manusia sebagai pengguna dan bangunan beserta komponen-komponennya sebagai
lingkungan binaan yang mengakomodasi kegiatan manusia.
Peningkatan fungsi dan pelayanan rumah sakit merupakan fenomena yang
selalu dihadapi oleh para pengelola rumah sakit. Menurut Haryadi dan Slamet (1996)
perencanaan pengembangan dalam rangka peningkatan fungsi dan pelayanan rumah
sakit selalu berdasarkan keadaan sebenarnya saat ini, untuk mencapai kondisi yang
lebih baik di saat mendatang. Untuk mengetahui keadaan sebenarnya dari prasarana
dan sarana fisik saat ini perlu dilakukan evaluasi, yaitu evaluasi pasca huni (post
occupancy evaluation).
Menurut Haryadi dan Slamet (1996), Evaluasi Pasca Huni (EPH)
didefinisikan sebagai pengkajian atau penilaian tingkat keberhasilan suatu bangunan
dalam memberikan kepuasan dan dukungan kepada pemakai, terutama nilai-nilai dan
kebutuhannya. Evaluasi terhadap tingkat kepuasan pengguna atas sebuah bangunan
dengan mempelajari Performance (tampilan) elemen-elemen bangunan tersebut
setelah digunakan beberapa saat. Pengetahuan tentang performansi bangunan rumah
sakit merupakan dasar peningkatan fungsi dan pelayanan rumah sakit.
Pengertian dari Evaluasi Pasca Huni adalah :
1. Merupakan sebuah proses evaluasi bangunan dalam suatu cara yang ketat dan
sistematis setelah bangunan tersebut dihuni beberapa saat.
2. Evaluasi pasca huni dipusatkan pada pengguna bangunan dan kebutuhan-
kebutuhannya.
3. Tujuan adalah untuk menghasilkan bangunan yang lebih baik dikemudian hari.
4. Evaluasi merupakan penilaian performansi bangunan, secara informal telah
dilakukan sehari-hari (sadar atau tidak, terstruktur atau tidak).
5. Kegunaan
a. Jangka pendek
• Mengidentifikasikan keberhasilan dan kegagalan bangunan.
• Membuat rekomendasi untuk mengatasi masalah.
• Memberi masukan untuk tahapan pembiayaan proyek
b. Jangka menengah
• Membuat keputusan bagi pengguna kembali dan pembangunan baru
• Memecahkan masalah bagi bangunan yang ada.
c. Jangka panjang
• Digunakan sebagai acuan pembangunan mendatang
• Mengembangkan “state of the art” bangunan dengan fungsi yang sama.
Tiga tingkatan dari Evaluasi Paska Huni (EPH)
1. Indikatif EPH
Indikasi keberhasilan dan kegagalan bangunan, dilakukan dalam waktu yang
sangat singkat (kurang lebih 3 jam). Biasanya evaluator sudah sangat mengenal
dengan objek evaluasinya. Perolehan data dapat diperoleh salah satunya dari
mempelajari dokumen (blue print), walk in through, kuesioner, wawancara.
2. Investigatif EPH
Berlangsung lebih lama dan lebih kompleks, biasanya dilakukan setelah
ditemukan isu-isu (saat indukatif EPH) dikerjakan selama 2-4 minggu.
3. Diagnostik
Menggunakan metode yang lebih canggih, dengan hasil yang lebih
tepat/akurat memerlukan waktu beberapa bulan. Hasilnya merupakan evaluasi yang
menyeluruh.
Tahap Kegiatan
1. Planning : rancangan evaluasi (tujuan, sasaran, waktu, tenaga, sumber informasi,
cara dan alat.
2. Conducting : pengumpulan data, analisis, temuan dan rekomendasi evaluasi.
3. Applying : tindak lanjut/implementasi
2.1.3. Unsur-unsur Lingkungan Kerja Fisik
Lingkungan kerja fisik merupakan salah satu penyebab dari keberhasilan
dalam melaksanakan suatu pekerjaan, tetapi juga dapat menyebabkan suatu kegagalan
dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, karena lingkungan kerja dapat mempengaruhi
pekerja, terutama lingkungan kerja yang bersifat psikologis, sedangkan pengaruh itu
sendiri dapat bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif.
Menurut Anoraga dan Widiyanti (2001) kondisi lingkungan kerja fisik
meliputi aspek-aspek sebagai berikut :
1) Pertukaran udara, yaitu agar setiap ruang diberi ventilasi yang cukup supaya
karyawan merasa nyaman saat bekerja.
2) Penerangan yang cukup, untuk pekerjaan yang memerlukan ketelitian maka
diperlukan penerangan yang cukup dan tidak menyilaukan.
3) Kebisingan, lingkungan kerja yang ramai dapat mengganggu konsentrasi
dalam melaksanakan pekerjaan.
Tiffin dan Mc Cormick (Trianasari, 2005) mengemukakan beberapa aspek
lingkungan kerja fisik yaitu :
1) Peralatan kerja, perlengkapan yang tersedia merupakan komponen yang
menunjang aktivitas kerja.
2) Sirkulasi udara, sirkulasi udara yang cukup didalam ruangan sangat
diperlukan terutama jika didalam ruangan yang penuh dengan pegawai.
3) Penerangan atau pencahayaan, fasilitas penerangan dalam ruangan yang
cukup memadai akan mendukung kelancaran dalam bekerja.
4) Kebisingan atau suara gaduh, bising yang ada dalam lingkungan kerja akan
mengganggu konsentrasi.
5) Tata ruang kerja, penataan, pewarnaan dan kebersihan setiap ruangan akan
berpengaruh terhadap karyawan pada saat melakukan pekerjaan.
Menurut As’ad (1999) lingkungan fisik merupakan jenis lingkungan yang
berhubungan dengan kondisi fisik lingkungan kerja :
1) Tempat kerja di dalam atau di luar, jenis pekerjaan, pengaturan waktu kerja
dan waktu istirahat, perlengkapan kerja, keadaan ruangan, serta suhu.
2) Kondisi – kondisi penerangan.
3) Kondisi – kondisi ventilasi.
4) Kondisi – kondisi keriuhan suara.
5) Segi – segi berbahaya dan tak sehat.
2.1.4. Unsur-unsur Lingkungan Fisik Terkait Penelitian
Menurut Munandar (2001) kondisi lingkungan kerja fisik mencakup setiap hal
dari fasilitas parkir di luar gedung perusahaan, lokasi dan rancangan gedung sampai
jumlah cahaya dan suara yang menimpa meja kerja atau ruang kerja seorang tenaga
kerja. Lingkungan kerja fisik yang spesifik antara lain meliputi :
1) Penerangan (iluminasi). Sinar yang menyilaukan merupakan faktor lain yang
mengurangi efisiensi visual dan meningkatkan ketegangan mata (eyestrain).
Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam iluminasi adalah kadar (intensity)
cahaya, distribusi cahaya, dan sinar-sinar yang menyilaukan.
2) Warna. Penggunaan warna atau kombinasi warna yang tepat akan meningkatkan
produksi, menurunkan kecelakaan dan kesalahan, serta meningkatkan semangat
kerja.
3) Bising (noise). Dalam kehidupan sekarang ini bising merupakan keluhan yang
banyak didengar. Menurut Mc Cormick (Munandar, 2001) bising mempengaruhi
tingkat prestasi kerja pada tugas-tugas yang menuntut kewaspadaan tinggi, tugas-
tugas mental yang majemuk, tugas-tugas yang memerlukan ketrampilan dan
kecepatan, serta tugas-tugas yang menuntut kemampuan perseptual pada tingkat
yang tinggi.
4) Musik dalam bekerja. Musik memiliki pengaruh yang baik pada pekerjaan-
pekerjaan yang sederhana, rutin dan monoton, sedangkan pada pekerjaan yang
lebih majemuk dan memerlukan konsentrasi yang tinggi pada pekerjaan,
pengaruhnya dapat menjadi sangat negatif. Musik menjadi suara yang bising dan
mengganggu.
Menurut Nitisemito (2000) lingkungan kerja fisik meliputi :
a. Penerangan. Penerangan dalam suatu lingkungan kerja ditentukan oleh tingkat
intensitas cahaya. Penerangan lingkungan kerja harus diatur cukup dan sesuai
dengan karakteristik pekerjaan yang sedang dilakukan.
b. Kebisingan. Kebisingan dapat mengganggu ketenangan kerja dan konsentrasi
dalam bekerja, serta dapat mengurangi kesehatan, sehingga berdampak pada
timbulnya kesalahan kerja.
c. Pewarnaan. Warna dapat mempengaruhi jiwa seseorang yang ada disekitarnya.
Warna dari suatu ruangan kerja dapat mempengaruhi semangat dan unjuk kerja
karyawan.
d. Kebersihan. Lingkungan kerja yang bersih akan membuat seseorang pekerja
bekerja dengan senang dan lebih bersemangat.
e. Musik. Musik diperdengarkan dalam suatu lingkungan kerja akan dapat
menimbulkan suasana gembira dan mengurangi kelelahan kerja.
f. Sirkulasi kerja. Sirkulasi udara yang baik akan memberikan kesegaran fisik
kepada para pekerja, sehingga semangat dan gairah kerja muncul.
g. Keamanan. Jaminan keamanan yang diberikan oleh perusahaan akan
menimbulkan ketenangan dalam bekerja, sehingga semangat dan gairah kerja
meningkat.
Menurut Gie (2000), unsur didalam lingkungan fisik rumah sakit meliputi
sebagai berikut :
a. Suhu Udara
Usia sebuah bangunan dapat mencapai 50-100 tahun, karena itu penting sekali
dipikirkan mengenai pemakaian energi dalam tahap disain. Apabila kita salah dalam
mengambil keputusan dalam tahap disain, akibatnya harus ditanggung selama gedung
ini berdiri. Misalnya kalau kita lebih banyak menggunakan AC, padahal bisa dihemat
dengan membuka jendela, lubang angin, tanaman, pelindung (awning), beranda.
Selain kerugian dalam bentuk materi (uang) juga merusak lingkungan dan
menghabiskan energi yang tidak perlu.
Thermal comfort Zone, Moore (1999) adalah kombinasi dari temperature
udara, kelembaban, radiant temperature, arus udara, dan hal yang berpengaruh
di dalam comfort zone adalah temperatur udara dan kelembaban.
Menurut American Society for Heating, refrigerating and air conditioning
engineers (ASHRAE Standard 55-56). Thermal comfort-that conditioning of mind
which expresses satisfaction with the thermal environment. Comfort Zone tidak
absolut tetapi tergantung dari kultur, musim, kesehatan, lapisan lemak seseorang,
tebalnya baju pakaian, kegiatan fisik. Kalau banyak kegiatan fisik maka comfort zone
turun kearah bawah.
Tata laksana penghawaan dan pengaturan suhu udara menurut KEPMENKES
RI No. 1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah
Sakit :
1. Penghawaan atau ventilasi di rumah sakit harus mendapat perhatian yang
khusus. Bila menggunakan sistem pendingin, hendaknya dipelihara dan
dioperasikan sesuai buku petunjuk. Sehingga dapat menghasilkan suhu, aliran
udara, dan kelembaban nyaman bagi pasien dan karyawan. Untuk rumah sakit
yang menggunakan pengatur udara sentral harus diperhatikan cooling
tower-nya agar tidak menjadi perindukan bakteri legionella dan untuk AHU
(Air Handling Unit) filter udara harus dibersihkan dari debu dan bakteri atau
jamur.
2. Suplai udara dan Exhaust hendaknya digerakkan secara mekanis, dan exhaust
fan hendaknya diletakkan pada ujung sistem ventilasi.
3. Ruangan dengan volume 100 m3 sekurang-kurangnya 1 (satu) fan dengan
diameter 50 cm dengan debit udara 0,5 m3
4. Pengambilan suplai udara dari luar, kecuali unit ruang individual, hendaknya
diletakkan sejauh mungkin, minimal 7,50 Meter dari exhauster atau
perlengkapan pembakaran
/detik, dan frekuensi pergantian
udara per jam adalah 2 (dua) sampai dengan 12 kali
5. Tinggi intake minimal 0,9 meter dari atap.
6. Sistem hendaknya dibuat keseimbangan tekanan.
7. Suplai udara untuk daerah sensitif : ruang operasi, perawatan bayi, diambil
dekat langit-langit dan exhaust dekat lantai, hendaknya disediakan 2 (dua)
buah exhaust fan dan diletakkan minimal 7,50 cm dari lantai.
8. Suplai udara di atas lantai
9. Suplai udara koridor atau buangan exhaust fan dari tiap ruang hendaknya
tidak digunakan sebagai suplai udara kecuali untuk suplai udara ke WC, toilet,
gudang.
10. Ventilasi ruang-ruang sensitif hendaknya dilengkapi saringan 2 beds.
Saringan I pasang di bagian penerimaan udara dari luar dengan efisiensi 30%
dan saringan II (filter bakteri) dipasang 90%. Untuk mempelajari sistem
ventilasi sentral dalam gedung hendaknya mempelajari khusus central air
conditioning system.
11. Penghawaan alamiah, lubang ventilasi diupayakan sistem silang (cross
ventilation) dan dijaga agar aliran udara tidak terhalang.
12. Penghawaan ruang operasi harus dijaga agar tekanannya lebih tinggi
dibandingkan ruang-ruang yang lain dan menggunakan cara mekanis
(air conditioner).
13. Penghawaan mekanis dengan menggunakan exhaust fan atau air conditioner
dipasang pada ketinggian minimum 2,00 meter di atas lantai atau minimum
0,20 meter dari langit-langit.
14. Untuk mengurangi kadar kuman dalam udara ruang (indoor) 1 (satu) kali
sebulan harus di disinfeksi dengan menggunakan electron presipitator
(resorcinol, trieylin glikol) atau disaring dengan electron presipitator atau
menggunakan penyinaran ultraviolet.
15. Pemantauan kualitas udara ruang minimum 2 (dua) kali setahun dilakukan
pengambilan sampel dan pemeriksaan parameter kualitas udara (kuman, debu,
dan gas)
b. Pencahayaan
Pencahayaan merupakan faktor yang sangat penting dalam suatu rumah sakit
karena dapat memperlancar pekerjaan di rumah sakit. Apalagi seorang perawat
yang pekerjaannya berkaitan dengan jiwa manusia maka kegiatannya seperti
memasang infus dan memberi obat-obatan dan ketatabukuan harus terlihat jelas
tanpa terlindung oleh bayangan. Penerangan yang cukup akan menambah
semangat kerja perawat, karena mereka dapat lebih cepat menyelesaikan tugas-
tugasnya, matanya tidak mudah lelah karena cahaya yang gelap, dan kesalahan-
kesalahan dapat dihindari. Banyak kesalahan pekerjaan disebabkan karena
penerangan yang buruk, misalnya ruangan yang terlampau gelap atau karyawan
harus bekerja di bawah penerangan yang menyilaukan.
Penerangan atau cahaya yang cukup merupakan pertimbangan yang penting
dalam fasilitas fisik rumah sakit. Pelaksanaan pekerjaan yang sukses memerlukan
penerangan yang baik. Penerangan yang baik membantu karyawan terlihat dengan
cepat, mudah, dan senang. Cahaya matahari tidak dapat diatur dengan sempurna
menurut keinginan orang. Lebih-lebih dalam gedung yang luas dan kurang
jendelanya, cahaya alam itu tidak dapat menembus sepenuhnya, karena itu sering
dipergunakan cahaya lampu untuk mengatur penerangan dalam ruangan. Apabila
disusun dengan baik maka akan memberikan penerangan yang sempurna untuk
ruang kerja yang gelap maupun bekerja pada malam hari.
Cahaya penerangan buatan manusia dapat dibedakan menjadi empat macam
yaitu :
1) Cahaya langsung
Cahaya ini memancarkan langsung dari sumbernya kearah permukaan meja.
Apabila dipakai lampu biasa, cahaya bersifat sangat tajam dan bayangan yang
ditimbulkan sangat tegas. Cahaya ini lekas melelahkan mata dan menyilaukan
pekerja. Pancaran cahaya adalah tinggi, bayangan-bayangan tajam dan langit-
langit umumnya menjadi gelap. Biasanya ini merupakan cahaya yang paling
tidak disukai.
2) Cahaya setengah langsung
Cahaya ini memancar dari sumbernya dengan melalui tudung lampu yang
biasanya terbuat dari gelas yang berwarna seperti susu. Cahaya ini tersebar
sehingga bayangan yang ditimbulkan tidak begitu tajam. Akan tetapi
kebanyakan cahaya tetap langsung jatuh ke permukaan meja dan memantul
kembali ke arah mata pekerja, sehingga hal ini masih kurang memuaskan
walaupun sudah lebih baik daripada cahaya langsung.
3) Cahaya setengah tidak langsung
Penerangan ini terjadi dari cahaya yang sebagian besar merupakan pantulan
dari langit-langit dan dinding ruangan, sebagian lagi terpancar melalui tudung
kaca. Cahaya ini sudah lebih baik daripada cahaya setengah tidak langsung
karena sifat dan bayangan yang diciptakan sudah tidak begitu tajam
dibandingkan dengan cahaya setengah langsung.
4) Cahaya tidak langsung
Cahaya ini sumbernya memancarkan kearah langit-langit ruangan, kemudian
baru dipantulkan ke arah meja. Hal ini memberikan cahaya yang lunak dan
tidak memberikan bayangan yang tajam. Sesungguhnya langit-langit
merupakan sumber cahaya bagi ruang kerja, karena itu langit-langit
mempunyai daya pantul yang tinggi. Sifat cahaya ini benar-benar sudah lunak,
tidak mudah menimbulkan kelelahan mata karena cahaya tersebar merata
keseluruh penjuru. Sistem penerangan ini merupakan sistem penerangan yang
terbaik (Gie, 2000).
Keuntungan penerangan yang baik adalah :
a) Perpindahan pegawai kurang
b) Semangat kerja lebih tinggi
c) Prestise lebih besar
d) Hasil kerja lebih banyak
e) Kesalahan berkurang
f) Keletihan berkurang (Moekijat, 2002)
Keuntungan tersebut dapat terwujud bila mutu penerangan yang ada
bermutu baik. Penerangan yang bermutu baik penerangan yang secara relatif tidak
menyilaukan mata dan dipancarkan secara merata. Kejernihan penerangan yang
relatif sama. Bayang-bayangan harus dikurangi sebanyak-banyaknya, meskipun
tidak mungkin untuk menghilangkan sama sekali (Moekijat, 2002). Pencahayaan
menurut Simha (2001) bertujuan untuk :
1. Untuk mendukung aktivitas dan kegiatan lain pengguna bangunan.
2. Untuk mendukung fungsi keamanan.
3. Untuk menciptakan lingkungan yang sesuai dan menyenangkan
Cahaya sendiri dapat dibagi dua, yaitu cahaya alam (matahari) dan cahaya
buatan (lampu). Kenyamanan dari sebuah cahaya menurut Moore (1999) ditentukan
oleh : kondisi fisiologis mata, latar belakang objek, bentuk/wujud objek yang
dipandang, mengontrol silau tingkat kekuatan penyinaran.
Menurut KEPMENKES RI No. 1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan
Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit bahwa tata laksana pencahayaan adalah sebagai
beikut :
1. Lingkungan rumah sakit baik dalam maupun luar ruangan harus mendapat
cahaya dengan intensitas cukup berdasarkan fungsinya.
2. Semua ruang yang digunakan baik untuk bekerja ataupun untuk menyimpan
barang /peralatan perlu diberi penerangan.
3. Ruangan pasien harus diberikan penerangan umum dan penerangan untuk
malam hari dan disediakan saklar dekat pintu masuk, saklar individu
ditempatkan pada titik yang mudah dijangkau dan tidak menimbulkan berisik.
Disetiap setiap area pencahayaan adalah faktor yang sangat penting,
sebaiknya digunakan sistem pencahayaan dengan standar yang tinggi. Masing-masing
cahaya perlu mempunyai suatu tenaga 30,000 lux, untuk menerangi suatu ukuran
bidang sedikitnya 150 mm dan dengan konstruksi yang sempurna. Pertimbangan lain
sebaiknya area klinis juga tetap harus diberikan pencahayaan walaupun dalam
keadaan siang karena hal ini dapat mengurangi efek disorientasi bagi para staff dan
pasien.
d. Suara
Suara bising yang keras, tajam dan tidak terduga adalah penyebab gangguan yang
kerap dialami pekerja tulis menulis. Gangguan ini seringkali didiamkan saja
walaupun tindakan perbaikan yang sederhana dapat dilakukan apabila waktu dan
pikiran diluangkan untuk masalah itu. (Budiyanto, 1991).
Sebagian besar dari pekerjaan kantor merupakan pekerjaan yang
membutuhkan konsentrasi pikiran, oleh karena itu diusahakan agar jangan banyak
terjadi suara-suara gaduh. Suara yang gaduh menyebabkan kesulitan memusatkan
fikiran, dalam menggunakan telepon dan dalam melaksanakan pekerjaan kantor
dengan baik. Seorang mungkin tidak menyadari pengaruh kegaduhan suara, tetapi
setelah beberapa waktu orang akan menjadi sangat lelah dan lekas marah sebagai
pengaruh suara yang gaduh. Pengaruh suara yang gaduh adalah :
1) Gangguan mental dan syaraf pegawai
2) Kesulitan mengadakan konsentrasi
3) Kelelahan yang bertambah dan semangat kerja yang berkurang
(Moekijat, 2002).
Banyak sumber suara terdapat dalam kantor antara lain percakapan, gesekan
kursi-kursi pada lantai, dan mesin mesin kantor yang mengeluarkan suara. Kondisi
suara yang baik adalah kondisi suara yang tidak gaduh atau tenang, tidak terganggu
dari alat-alat kantor itu sendiri maupun dari luar kantor sehingga pegawai dapat
bekerja sebaik mungkin. Kebisingan dapat dikurangi dengan pengaturan maupun
pengendalian sumber suara, isolasi dari suara, penggunaan peredam suara,
penggunaan sistem akuistik dan pemakaian alat pelindung telinga.
Bunyi mempunyai definisi:
1. Secara fisis, bunyi adalah penyimpangan tekanan, pergeseran partikel dalam
medium elastic seperti udara. Ini adalah bunyi objektif.
2. Secara fisiologis, bunyi adalah sensasi pendengaran yang disebabkan
penyimpangan fisis yang digambarkan di atas. Ini adalah bunyi subjektif.
Menurut Doelle (1998) Bunyi dapat dihasilkan :
1. Di udara (airborne sound), misalnya suara manusia bercakap atau bernyanyi.
2. Karena benturan/tumbukan (impact sound) atau bunyi struktur (structure sound).
3. Karena getaran mesin.
Telinga normal tanggap terhadap bunyi diantara jangkauan frekuensi audio
sekitar 20 sampai 20.000 Hz. Gelombang bunyi yang merambat dari sumbernya
dengan muka gelombang berbentuk bola yang terus-menerus membesar, segera
melemah bila jarak dari sumbernya bertambah. Sebagian energinya akan dipantulkan,
diserap, disebarkan, dibelokkan atau ditransmisikan ke ruang yang berdampingan,
tergantung pada sifat akustik dindingnya.
Bising adalah semua bunyi yang mengalihkan perhatian, mengganggu atau
berbahaya bagi kegiatan sehari-hari. Dengan kata lain tiap bunyi yang tidak
diinginkan oleh penerima dianggap sebagai bising. Jadi pembicaraan atau musik
dianggap sebagai bising bila mereka tidak diinginkan. Seseorang cenderung
mengabaikan bising bila bising itu secara wajar menyertai pekerjaan, seperti mesin
ketik atau mesin di pabrik. Sumber bising dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
(1) bising interior bisa dari alat-alat seperti mobil, motor, kipas angin, AC, televisi,
radio, penghisap debu, mesin bor, dan (2) outdoor, seperti bunyi air hujan, angin, air
mengalir. Bising berfrekuensi tinggi lebih mengganggu dari pada bising frekuensi
rendah. Secara umum bising bias menghasilkan gangguan yang jauh lebih besar pada
malam hari dari pada siang hari.
Sebuah rumah sakit adalah jenis bangunan yang penghuninya sangat
dipengaruhi oleh bising. Karena itu pemilihan lokasi yang sesuai harus
dipertimbangkan agar dapat mengurangi bising outdoor. Sedangkan bising interior
dalam rumah sakit disebabkan oleh:
• Peralatan mekanik ( mesin diesel, kompresor, AC, elevator )
• Fasilitas operasional ( unit pipa ledeng, mesin cuci, mesin cetak, fasilitas masuk )
• Fasilitas pelayanan pasien ( tangki oksigen, trolley, alat-alat kesehatan )
• Kegiatan karyawan dan pasien (pembicaraan, langkah orang berjalan)
Menurut Doelle (1998), bising yang cukup keras di atas 70 dB dapat
menyebabkan kegelisahan (nervousness), kurang enak badan, kejenuhan mendengar,
sakit lambung dan masalah peredaran darah. Bising yang sangat keras, di atas 85 dB
dapat menyebabkan kemunduran yang serius pada kondisi kesehatan seseorang pada
umumnya dan bila berlangsung lama, kehilangan pendengaran sementara atau
permanen dapat terjadi, juga penyakit jantung, tekanan darah tinggi dan luka perut.
Pengaruh bising dapat menurunkan produktivitas dari pekerja. Hal ini telah
dibuktikan dalam bidang industri, produksi akan turun dan pekerja-pekerja akan
membuat lebih banyak kesalahan. Bila dipengaruhi oleh bising di atas 80 dB untuk
waktu yang lama. Sebaliknya, juga terbukti bahwa hal yang sama dapat terjadi bila
pekerja bekerja di tempat yang terlalu sunyi. Ini dibuktikan bahwa bising dalam
jumlah tertentu dapat ditolerir dan sebenarnya sejumlah bising dibutuhkan untuk
mempertahankan kesehatan jiwa. Bising buatan disebut acoustical deodorant.
Misalnya musik latar belakang yang dipilih secara tepat dan didistribusikan dengan
baik, seperti di ruang tunggu, hotel dan restoran.
Untuk mengendalikan bising yang disebabkan bantingan pintu dapat dihindari
dengan menggunakan penahan pintu karet. Lantai dapat ditutup dengan penutup
elastic (tegel karet, tegel gabus, tegel vinyl atau linoleum) untuk mengurangi bising
benturan. Selain itu petugas rumah sakit juga dilatih untuk berbicara dengan sopan
dan menghargai orang lain, seperti tidak berbicara atau tertawa keras-keras.
d. Penghawaan Ruangan
Pertukaran udara yang cukup terutama dalam ruangan sangat diperlukan, apalagi
dalam ruangan tersebut penuh pegawai. Pertukaran udara yang cukup dalam ruangan
akan menyebabkan kesegaran fisik karyawan dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
Sebaliknya pertukaran udara yang kurang akan dapat menimbulkan rasa pengap
sehingga mudah menimbulkan kelelahan dari karyawan (Nitisemito, 2000)
Suhu udara yang baik harus dipertahankan di tempat orang yang bekerja
(kecuali untuk jangka waktu singkat), yaitu minimum 160C (60,80
1) Produktivitas yang lebih tinggi.
F) setelah jam
pertama. Thermometer harus disediakan pada setiap lantai agar pegawai dapat
mengecek suhu (Budiyanto, 1991). Keuntungan udara yang baik adalah :
2) Mutu pekerjaan yang lebih tinggi.
3) Kesenangan dan kesehatan pegawai yang bertambah.
4) Kesan yang menyenangkan bagi para tamu (Moekijat, 2002)
Sedangkan menurut Prof.Soetarman mengemukakan beberapa hal sebagai
usaha udara yang baik (Gie, 2000) yaitu:
1) Mengatur suhu dalam kantor dengan alat air conditioning. Walaupun alat tersebut
mahal harganya, tetapi bagi pekerjaan-pekerjaan yang menghendaki ketelitian dan
ketenangan sebesar-besarnya alat ini merupakan keharusan apabila dikehendaki
mutu pekerjaan yang tinggi.
2) Mengusahakan peredaran udara yang cukup dalam ruang kerja. Hal ini dapat
tercapai dengan membuat lubang-lubang udara yang cukup banyak pada dinding
kamar. Demikian pula sewaktu bekerja jendela haruslah dibuka.
3) Mengatur pakaian kerja sebaik-baiknya yang dipakai oleh para pekerja. Untuk
bekerja di Indonesia, mengenakan pakaian jas lengkap dengan dasi secara Barat
adalah kurang tepat.
Selain penggunaan air conditioning, ventilasi yang cukup kipas angin,
konstruksi gedung juga berpengaruh pada pertukaran udara. Gedung yang
mempunyai plafon yang tinggi akan menimbulkan pertukaran udara yang baik dari
pada yang plafonnya rendah. Demikian pula luasnya ruangan dengan jumlah
karyawan yang sedang bekerja akan mempengaruhi pertukaran udara.
Tabel 2.1. Perbandingan Standar Fisika Bangunan Menurut Depkes
Performansi
Fisik Depkes
Building
Env. Std
Neufert
Standard Ies
Mangun.
W
Wiku.
A
Pencahayaan
(lux)
100-300 100-200 200-300 500-
200
150
Suhu Udara
(0
26-28
C)
24-27
Suara (dB) 52 45 35-45 30-
40
Kelembaban 50-60
e. Kebersihan Ruangan
Kebersihan ruangan dan lingkungan di rumah sakit merupakan bentuk
rangkaian kegiatan yang penting mendapat perhatian. Kurangnya perhatian terhadap
tingkat kebersihan rumah sakit dapat menimbulkan berbagai dampak, antara lain:
gangguan estetika, berkembangbiaknya vektor penyakit, penularan penyakit, dan
terjadinya infeksi nosokomial (Lestari, 2011).
Pemeliharaan keberihan ruang dan bangunan harus memenuhi persyaratan
sesuai dengan aturan Depkes (2006) bahwa kegiatan pembersihan ruangan dilakukan
2 kali sehari (pagi dan sore). Pembersihan lantai di ruang perawatan dilakukan setelah
pembenahan/merapikan tempat tidur pasien (verbeden) setelah jam makan, setelah
kunjungan keluarga dan sewaktu-waktu bila dibutuhkan. Cara-cara pembersihan
ruang yang dapat menebarkan debu harus dihindari. Harus menggunakan cara
pembersihan dengan perlengkapan pembersih (pel) yang memenuhi syarat dan bahan
antiseptik yang tepat. Pada masing-masing ruang supaya disediakan perlengkapan pel
tersendiri. Pembersihan dinding dilakukan secara periodik minimal 2 (dua) kali
setahun dan di cat ulang apabila sudah kotor atau cat sudah pudar. Setiap percikan
ludah, darah, eksudat luka pada dinding/lantai harus segera dibersihkan dengan
menggunakan antiseptik.
f. Sikap Kerja
Sikap kerja juga diartikan sebagai kecenderungan pikiran dan perasaan puas
atau tidak puas terhadap pekerjaannya (Aniek dalam Purwanto, 2008). Kemudian
pada saat bekerja perlu diperhatikan postur tubuh dalam keadaan seimbang agar dapat
bekerja dengan nyaman dan tahan lama (Merulalia, 2010). Berdasarkan beberapa
definisi di atas dapat dikatakan sikap kerja adalah proses kerja yang sesuai ditentukan
oleh anatomi tubuh dan ukuran peralatan yang digunakan pada saat bekerja. Untuk
menerapkan sikap kerja didalam ergonomi maka ada beberapa persyaratan yang harus
dilaksanakan antara lain :
a. Posisi duduk atau bekerja dengan duduk, ada beberapa persyaratan :
1. Terasa nyaman selama melaksanakan pekerjaannya.
2. Tidak menimbulkan gangguan psikologis.
3. Dapat melakukan pekerjaannya dengan baik dan memuaskan.
b. Posisi bekerja dengan berdiri :
Berdiri dengan posisi yang benar dengan tulang punggung yang lurus dan bobot
badan
terbagi rata pada kedua tungkai (Suma’mur, 1996).
Terdapat 3 macam sikap dalam bekerja, yaitu:
1. Kerja posisi duduk
Ukuran tubuh yang penting adalah tinggi duduk, panjang lengan atas,
panjang lengan bawah dan tangan, jarak lekuk lutut dan garis punggung, serta
jarak lekuk lutut dan telapak kaki. Posisi duduk pada otot rangka
(musculoskletal) dan tulang belakang terutama pada pinggang harus dapat
ditahan oleh sandaran kursi agar terhindar dari nyeri dan cepat lelah (Santoso,
2004).
Pada posisi duduk, tekanan tulang belakang akan meningkat dibanding
berdiri atau berbaring, jika posisi duduk tidak benar. Tekanan posisi tidak
duduk 100%, maka tekanan akan meningkat menjadi 140% bila sikap duduk
tegang dan kaku, dan tekanan akan meningkat menjadi 190% apabila saat
duduk dilakukan membungkuk kedepan. Oleh karena itu perlu sikap duduk
yang benar dapat relaksasi (tidak statis) (Nurmianto dalam Santoso, 2004).
Sikap kerja yang baik dengan duduk yang tidak berpengaruh buruk
terhadap sikap tubuh dan tulang belakang adalah sikap duduk dengan sedikit
lordosa pada pinggang dan sedikit kifosa pada punggung dimana otot-otot
punggung menjadi terasa enak dan tidak menghalangi pernafasan. Pekerjaan
sejauh mungkin dilakukan sambil duduk. Keuntungan bekerja sambil duduk
adalah sebagai berikut: kurangnya kelelahan pada kaki, terhindarnya sikap-
sikap yang tidak alamiah, berkurangnya pemakaian energi, dan kurangnya
tingkat keperluan sirkulasi darah (Suma’mur, 1989).
Duduk memerlukan lebih sedikit energi dari pada berdiri, karena hal
itu dapat mengurangi banyaknya beban otot statis pada kaki. Seorang operator
bekerja yang bekerja sambil duduk memerlukan sedikit istirahat dan secara
potensial lebih produktif. Sikap duduk yang keliru akan merupakan penyebab
adanya masalah-masalah punggung. Tekanan pada bagian tulang belakang akan
meningkat pada saat duduk, dibandingkan dengan saat berdiri atau pun
berbaring. Jika diasumsikan tekanan tersebut sekitar 100%, maka cara duduk
yang tegang atau kaku (erect posture) dapat menyebabkan tekanan tersebut
mencapai 140% dan cara yang dilakukan dengan membungkuk kedepan
menyebabkan tekanan tersebut sampai 190%.
Sikap duduk yang tegang lebih banyak memerlukan aktivitas otot atau
urat saraf belakang dari pada sikap duduk yang condong kedepan. Kenaikan
tekanan tersebut dapat meningkat dari suatu perubahan dalam suatu lekukan
tulang belakang pada saat duduk. Suatu keletihan pada pinggul sekitar 900
2. Kerja posisi berdiri
tidak
akan dicapai hanya dengan rotasi dari tulang pada sambungan paha.
Ukuran tubuh yang penting dalam bekerja dengan posisi berdiri adalah
tinggi badan berdiri, tinggi bahu, tinggi siku, tinggi pinggul, panjang lengan.
Bekerja dengan posisi berdiri terus menerus sangat mungkin akan
mengakibatkan penumpukan darah dan berbagai cairan tubuh pada kaki
(Santoso, 2004).
3. Membungkuk
Berdasarkan penelitian bahwa tenaga kerja yang telah terbiasa bekerja
dengan posisi berdiri tegak dirubah menjadi posisi setengah duduk tanpa
sandaran dan setengah duduk dengan sandaran menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan tingkat kelelahan otot biomekanik antar kelompok (Santoso dalam
Romanenko, 2004). Yang mana posisi kerja yang baik adalah bergantian antara
posisi duduk dan posisi berdiri, akan tetapi antara posisi duduk dan berdiri lebih
baik dalam posisi duduk (Romanenko dalam Suma’mur, 1989). Hal itu
dikarenakan sebagian berat tubuh di sangga oleh tempat duduk juga konsumsi
energi dan kecepatan sirkulasi lebih tinggi dibandingkan tiduran, tetapi lebih
rendah dari pada berdiri. Posisi duduk juga dapat mengontrol kekuatan kaki
dalam pekerjaan.
2.2. Semangat Kerja
2.2.1. Pengertian Semangat Kerja
Semangat kerja digunakan untuk menggambarkan suasana keseluruhan yang
dirasakan para perawat dalam ruangan perawatan. Apabila perawat merasa bergairah,
bahagia, optimis menggambarkan bahwa perawat tersebut mempunyai semangat
kerja tinggi dan jika perawat suka membantah, menyakiti hati, kelihatan tidak tenang
maka perawat tersebut mempunyai semangat kerja rendah. Dengan kata lain bahwa
individu ataupun kelompok data bekerjasama secara menyeluruh, seperti halnya
Westra (1980) menyatakan bahwa “Semangat kerja adalah sikap dari individu
ataupun sekelompok orang terhadap kesukarelaannya untuk bekerjasama agar dapat
mencurahkan kemampuannya secara menyeluruh”. Sedangkan menurut Alex S.
Nitisemito (2000), semangat kerja adalah melakukan pekerjaan secara lebih giat
sehingga dengan demikian pekerjaan dapat diharapkan lebih cepat dan lebih baik.
Semangat dan kegairahan kerja pada hakekatnya adalah perwujudan moral
kerja yang tinggi, bahkan ada yang mengidentifikasikan secara bebas, moral kerja
yang tinggi adalah semangat dan kegairahan kerja. Pada umumnya terdapat
kecenderungan hubungan produktivitas yang tinggi dengan semangat kerja dan
kegairahan yang tinggi. Dibawah kondisi semangat dan kegairahan kerja yang buruk
akan mengakibatkan penurunan produktivitas kerja secara keseluruhan.
Penurunan produktivitas ini akan mempengaruhi keuntungan yang didapat
oleh perusahaan di masa yang akan datang. Hal ini akan memberatkan prospek
perusahaan di masa yang akan datang, bila semangat dan kegairahan kerja tersebut
dibebani secara serius oleh perusahaan. Semangat dan kegairahan kerja yang tinggi
tidak harus menyebabkan produktivitas yang tinggi, hal ini hanyalah merupakan
suatu pengaruh bagi produktivitas secara keseluruhan, misalnya : sekelompok pekerja
yang mempunyai semangat dan kegairahan kerja yang tinggi, tetapi mereka hanya
bersenda gurau saja tanpa menghiraukan pekerjaan pada waktu ditinggal oleh
pengawasnya.
Semangat kerja adalah sikap individu untuk bekerja sama dengan disiplin dan
rasa tanggung jawab terhadap kegiatannya (Lateiner, 1983). Sedangkan menurut
Moekijat (1995) menyatakan bahwa : “Semangat kerja menggambarkan perasaan
berhubungan dengan jiwa, semangat kelompok, kegembiraan, dan kegiatan. Apabila
pekerja tampak merasa senang, optimis mengenai kegiatan dan tugas, serta ramah
satu sama lain, maka karyawan itu dikatakan mempunyai semangat kerja yang tinggi.
Sebaliknya, apabila karyawan tampak tidak puas, lekas marah, sering sakit, suka
membantah, gelisah, dan pesimis, maka relasi ini dikatakan sebagai bukti semangat
yang rendah”.
Dari beberapa pendapat para ahli tersebut diatas maka dapat disimpulkan
bahwa yang dimaksud dengan semangat kerja adalah kemampuan atau kemauan
setiap individu atau sekelompok orang untuk saling bekerjasama dengan giat dan
disiplin serta penuh rasa tanggungjawab disertai kesukarelaan dan kesediaannya
untuk mencapai tujuan organisasi. Jadi untuk mengetahui tinggi rendahnya semangat
kerja karyawan suatu organisasi adalah melalui presensi, kerjasama, tanggungjawab,
kegairahan dan hubungan yang harmonis (Westra, 1980).
Untuk memahami pengertian diatas penjelasannya sebagai berikut :
I. Presensi
Presensi merupakan kehadiran karyawan yang berkenaan dengan tugas
dan kewajibannya. Pada umumnya suatu instansi/organisasi selalu mengharapkan
kehadiran karyawannya tepat waktu dalam setiap jam kerja sehingga
pekerjaannya akan mempengaruhi terhadap produktivitas kerja. Jika kehadiran
karyawan tidak tepat waktu maka suatu organisasi tidak akan mencapai
tujuannya secara optimal. Presensi / kehadiran karyawan dapat diukur melalui :
1. Kehadiran karyawan ditempat kerja
2. Ketepatan karyawan datang / pulang kerja
3. Kehadiran karyawan apabila mendapat undangan mengikuti kegiatan / acara
dan organisasi.
II. Kerja Sama
Kerjasama adalah sikap dari individu atau sekelompok untuk saling
membantu atau menginformasikan agar dapat mencurahkan kemampuannya
secara menyeluruh (Westra, 1980). Kerjasama dapat menimbulkan dampak positif
apabila dilakukan dengan niat baik, tujuan baik dan dilakukan dengan cara yang
baik pula. Kerjasama ini sangat bermanfaat dan digunakan untuk memecahkan
berbagai masalah dengan berorganisasi sedangkan bekerjasama yang negatif yaitu
adalah kerjasama yang dilakukan dengan niat dan tujuan yang tidak baik. Yaitu
untuk mendapatkan kepentingan pribadi dengan cara yang dapat merugikan orang
lain.
Untuk mengukur adanya kerjasama dalam kantor digunakan kriteria
sebagai berikut :
a. Kesediaan karyawan untuk bekerjasama baik dengan teman sejawat maupun
pimpinan berdasarkan kesadaran untuk mencapai tujuan.
b. Adanya kemauan untuk membantu teman yang mengalami kesulitan dalam
melaksanakan pekerjaan.
c. Adanya kemauan untuk memberikan kritik atau menerima kritik dan saran
sehingga diperoleh cara yang baik.
d. Cara mengatasi kesulitan didalam menyelesaikan pekerjaan.
III. Tanggung Jawab
Selanjutnya Moekijat (2002) menyatakan bahwa ”Tanggung jawab
merupakan suatu kewajiban untuk melaksanakan suatu tugas dan untuk dapat
dipertanggungjawabkan oleh seseorang dalam pelaksanaan tugas yang
diserahkan. Tanggung jawab adalah penting dan harus ada dalam setiap
pelaksanaan”. Penyelesaian pekerjaan karena tanggung jawab dan mempunyai
semangat kerja karyawan. Dengan adanya tanggung jawab yang diberikan
pimpinan maka karyawan terdorong untuk melaksanakan pekerjaan tersebut
apalagi jika karyawan merasa ikut memiliki organisasi tersebut ia akan berusaha
semaksimal mungkin untuk dapat menyelesaikan pekerjaan sebaik-baiknya
sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai. Untuk mengukur daya tangung
jawab dapat diukur dari :
a. Kesanggupan karyawan melaksanakan perintah dan kesanggupan dalam
bekerja.
b. Kemampuan karyawan menyelesaikan tugas-tugas dengan cepat.
c. Melaksanakan tugas yang telah diberikan dengan sebaik-baiknya.
d. Mempunyai perasaan bahwa pekerjaan yang diberikan tidak hanya untuk
kepentingan kantor / organisasi tetapi juga untuk kepentingan sendiri.
IV. Kegairahan Kerja
Setiap karyawan yang memiliki kesenangan yang mendalam (minat)
terhadap pekerjaan yang dipercayakan kepadanya, pada umumnya memiliki
semangat kerja yang positif atau tinggi. Karena beban kerja, jenis dan sifat
volume pekerjaannya sesuai dengan minat dan perhatiannya yang akan
menimbulkan rasa senang dan bergairah dalam arti tidak merasa terpaksa dan
tertekan dalam bekerja.
V. Hubungan yang Harmonis
Pergaulan antara pimpinan dan karyawan yang dipimpin sangat besar
pengaruhnya terhadap semangat kerja. Pimpinan yang memperlakukan karyawan
secara manusiawi, dengan sikap saling menghormati, saling menghargai, saling
mempercayai dan saling menerima satu sama lain, baik selama melakukan
pekerjaan maupun di luar jam kerja akan menimbulkan rasa senang yang dapat
meningkatkan semangat kerja.
2.2.2. Aspek – aspek Semangat Kerja
Aspek-aspek semangat kerja perlu untuk dipelajari karena di dalam aspek
tersebut dapat mengukur tinggi rendahnya semangat kerja. Menurut Maier (1998)
seseorang yang memiliki semangat kerja tinggi mempunyai alasan tersendiri untuk
bekerja yaitu benar-benar menginginkannya. Hal tersebut mengakibatkan orang
tersebut memiliki kegairahan, kualitas bertahan dalam menghadapi kesulitan untuk
melawan frustasi, serta memiliki semangat berkelompok. Ada empat aspek yang
menunjukan seseorang mempunyai semangat kerja yang tinggi yaitu :
a. Kegairahan
Seseorang yang memiliki kegairahan dalam bekerja berarti juga memiliki
motivasi dan dorongan bekerja. Motivasi tersebut akan terbentuk bila seseorang
memiliki keinginan atau minat dalam mengerjakan pekerjaannya dan yang lebih
dipentingkan oleh para karyawan adalah mereka seharusnya bekerja untuk
organisasi bukan lebih mementingkan pada apa yang mereka dapat.
b. Kekuatan untuk melawan frustasi
Aspek ini menunjukan adanya kekuatan seseorang untuk selalu konstruktif
walaupun sedang mengalami kegagalan yang ditemuinya dalam bekerja.
Seseorang yang memiliki semangat kerja yang tinggi tentunya tidak akan
memiliki sifat pesimis apabila menemui kesulitan dalam pekerjaannya.
c. Kualitas untuk bertahan
Aspek ini tidak langsung menyatakan seseorang yang mempunyai
semangat kerja yang tinggi maka tidak mudah putus asa dalam menghadapi
kesukaran-kesukaran di dalam pekerjaannya. Ini berarti ada ketekunan dan
keyakinan penuh dalam dirinya. Keyakinan ini menurut (Maier, 1998)
menunjukan bahwa seseorang yang mempunyai energi dan kepercayaan untuk
memandang masa yang akan datang dengan baik. Hal ini yang meningkatkan
kualitas untuk bertahan. Ketekunan mencerminkan seseorang memiliki
kesungguhan dalam bekerja. Sehingga tidak menganggap bahwa bekerja bukan
hanya menghasilkan waktu saja, melainkan sesuatu yang penting.
d. Semangat kelompok
Semangat kelompok menggambarkan hubungan antar karyawan. Dengan
adanya semangat kerja maka para karyawan akan saling bekerja sama, tolong
menolong, dan tidak saling menjatuhkan. Jadi semangat kerja di sini
menunjukkan adanya kesediaan untuk bekerja sama dengan orang lain agar orang
lain dapat mencapai tujuan bersama.
2.2.3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Semangat Kerja
Didalam melaksanakan aktivitas kerjanya maka sangat perlu diketahui tentang
faktor-faktor yang mempengaruhi semangat kerja tersebut. Sebagaimana Westra
(1980) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi semangat kerja adalah
sebagai berikut :
1. Hubungan yang harmonis antara pimpinan dan bawahan, yaitu adanya hubungan
timbal balik yang saling menguntungkan antara pimpinan dan bawahan sehingga
dapat bekerjasama untuk mencapai tujuan organisasi.
2. Kepuasan para karyawan pada tugas dan pekerjaannya, yaitu adanya rasa percaya
diri para karyawan untuk menyelesaikan tugas dan kewajibannya secara sungguh-
sungguh dan semaksimal mungkin demi tercapainya tujuan organisasi.
3. Terdapatnya sesuatu suasana dan iklim kerja yang bersahabat dengan anggota-
anggota lain dalam organisasi, yaitu tercapainya suatu kondisi yang dapat
memberikan semangat kerja dan mendukung terselesainya tugas dan
pekerjaannya dengan rasa senang kondisi semacam ini akan tercipta jika
hubungan kerja terjalin semestinya sesuai dengan tugas dan tanggungjawab serta
hal dan kewajibannya masing-masing.
4. Adanya tingkat kepuasan ekonomi sebagai imbalan untuk jerih payahnya, yaitu
adanya upah yang sesuai dengan pekerjaan yang diberikan sehingga dapat
memberikan rasa nyaman dan nyaman yang mampu memenuhi kebutuhannya
secara layak.
5. Rasa kemanfaatan bagi tercapainya tujuan organisasi yang juga merupakan tujuan
bersama, yaitu adanya tujuan yang jelas yang ingin dicapai yang pada akhirnya
akan berguna untuk kepentingan bersama.
6. Adanya ketenangan jiwa, jaminan kepastian serta perlindungan dari organisasi,
yaitu adanya perlindungan kerja dan jaminan keselamatan pada setiap kecelakaan
yang terjadi pada karyawan saat dia menjalankan tugas dan tanggungjawabnya
sehingga karyawan merasa aman dan dalam menyelesaikan pekerjaannya.
7. Adanya lingkungan fisik suatu kantor yaitu adanya suatu kondisi fisik dimana
karyawan melaksanakan tugas dan kewajiban serta mempengaruhi dirinya dalam
memberikan tugas yang diberikan kepadanya.
Kemudian Nawawi (2001) menyatakan bahwa ”faktor yang mempengaruhi
semangat kerja karyawan adalah minat atau perhatian terhadap pekerjaan, upah/gaji,
status sosial berdasarkan jabatan, tujuan yang mulia dan pengabdian, suasana
lingkungan kerja, dan hubungan manusiawi”.
Beberapa faktor lain yang mempengaruhi semangat kerja menurut Anoraga
(2001) menyatakan bahwa ”faktor yang mempengaruhi semangat kerja adalah
keamanan kerja, kesempatan untuk mendapatkan kemajuan, lingkungan kerja, rekan
sekerja yang baik, dan gaji atau pendapatan”. Dari sekian banyak faktor yang
mempengaruhi semangat kerja karyawan, maka faktor yang sama dikelompokkan
menjadi satu sehingga dapat dikatakan bahwa faktor yang mempengaruhi semangat
kerja adalah penempatan karyawan, minat kerja, kesempatan berprestasi, kesempatan
berpartisipasi, hubungan kerja, kepemimpinan, kompensasi, lingkungan kerja,
karakteristik pekerjaan, kebijakan manajemen, dan kepribadian.
2.2.4. Indikasi Turunnya Semangat Kerja
Indikasi turunnya semangat kerja penting untuk diketahui oleh setiap
perusahaan, karena dengan pengetahuan tentang indikasi ini akan dapat diketahui
sebabnya turun semangat kerja. Dengan demikian perusahaan akan dapat mengambil
tindakan-tindakan pencegahan masalah seawal mungkin. Apabila dilihat dari
indikasi-indikasi turunnya semangat kerja maka Nitisemito (2000), menyatakan
bahwa indikasi-indikasi turunnya semangat kerja antara lain :
1. Turun/rendahnya produktivitas kerja
Turun/Rendahnya semangat kerja ini dapat diukur atau dipertimbangkan dengan
waktu sebelumnya. Produktivitas kerja yang turun ini dapat terjadi karena
kemalasan atau penundaan pekerjaan.
2. Tingkat absensi yang naik/tinggi
Untuk melihat apakah naiknya tingkat absensi tersebut merupakan indikasi
turunnya semangat dan kegairahan kerja maka kita tidak boleh melihat naiknya
tingkat absensi ini secara perseorangan tapi harus dilihat secara rata-rata.
3. Tingkat perpindahan pegawai yang tinggi
Keluar masuknya karyawan yang meningkat tersebut terutama adalah disebabkan
karena ketidak senangan mereka bekerja pada perusahaan tersebut, sehingga
mereka berusaha untuk mencari pekerjaan lain yang dianggap lebih sesuai.
Tingkat keluar masuknya buruh yang tinggi selain dapat menurunkan
produktivitas kerja, juga dapat mengganggu kelangsungan jalannya perusahaan.
4. Tingkat kerusakan yang naik/tinggi
Naiknya tingkat kerusakan sebetulnya menunjukkan bahwa perhatian dalam
pekerjaan berkurang, terjadi kecerobohan dalam pekerjaan dan sebagainya.
5. Kegelisahan dimana-mana
Kegelisahan dilingkungan kerja akan terjadi bila mana semangat dan kegairahan
kerja menurun. Seorang pemimpin harus dapat mengetahui adanya kegelisahan-
kegelisahan. Kegelisahan itu dapat terwujud dalam bentuk ketidak tenangan kerja,
keluh kesah serta hal-hal yang lain.
6. Tuntutan yang sering terjadi
Tuntutan sebetulnya merupakan perwujudan dari ketidak puasan, dimana pada
tahap tertentu akan menimbulkan keberanian untuk mengajukan tuntutan.
7. Pemogokan
Tingkat indikasi yang paling kuat tentang turunnya semangat dan kegairahan
kerja adalah bila mana terjadi pemogokan. Hal ini disebabkan bila terjadi
pemogokan merupakan perwujudan dari ketidak puasan dan kegelisahan para
karyawan.
Menurut Zainun (2004) menyatakan bahwa ”ada beberapa faktor yang
mempengaruhi tinggi rendahnya semangat kerja karyawan dalam suatu organisasi
yaitu : komunikasi, kepuasan kerja, lingkungan kerja, partisipasi, motivasi dan
kepemimpinan”.
2.2.5. Sebab-sebab Turunnya Semangat dan Kegairahan Kerja
Menurut Nitisemito (2000) turunnya semangat dan kegairahan kerja itu
karena banyak sebab, misalnya : upah yang terlalu rendah, ketidaksesuaian dengan
gaya kepemimpinan, lingkungan kerja yang buruk dan sebagainya. Untuk
memecahkan persoalan tersebut maka perusahaan harus dapat menemukan penyebab
dari turunnya semangat dan kegairahan kerja tersebut. Pada prinsipnya turunnya
semangat dan kegairahan kerja disebabkan karena ketidakpuasan dari para karyawan.
Sumber ketidakpuasan dapat bersifat material dan non material. Yang bersifat
material misalnya : rendahnya upah yang diterima, fasilitas yang minim dan lain-lain.
Sedangkan yang bersifat non material misalnya : penghargaan sebagai manusia,
kebutuhan untuk partisipasi dan lain-lain.
2.2.6. Cara Meningkatkan Semangat dan Gairah Kerja
Setiap perusahaan selalu berusaha untuk meningkatkan semangat dan
kegairahan kerja para karyawannya semaksimal mungkin, dan batas-batas
kemampuan perusahaan tersebut. Bagaimana meningkatkan semangat dan kegairahan
kerja semaksimal mungkin. Terdapat beberapa cara bagaimana meningkatkan
semangat dan kegairahan kerja, baik yang bersifat material maupun bersifat non
material. Cara mana yang paling tepat sudah tentu tergantung kepada situasi dan
kondisi perusahaan tersebut serta tujuan yang ingin dicapai. Untuk meningkatkan
semangat dan gairah kerja menurut Nitisemito (2000) dapat ditempuh dengan cara :
a. Gaji yang cukup. Setiap perusahaan seharusnya memberikan gaji yang cukup
kepada karyawannya. Cukup berarti jumlah uang yang mampu dibayarkan
perusahaan tanpa menimbulkan kerugian bagi perusahaan.
b. Pemberian fasilitas yang menyenangkan. Setiap perusahaan bilamana
memungkinkan hendaknya menyediakan fasilitas yang menyenangkan bagi
karyawannya. Fasilitas itu dapat berupa tempat ibadah, kantin, dan sebagainya.
c. Menempatkan karyawan pada posisi yang tepat. Posisi yang tepat maksudnya
adalah sesuai dengan ketrampilan masing-masing, ketidaktepatan menempatkan
posisi para karyawan akan menyebabkan jalannya pekerjaan kurang lancar dan
hasilnya tidak memuaskan.
d. Memberikan kesempatan pada karyawan untuk maju. Dengan adanya kesempatan
untuk maju maka akan mendorong semangat dan gairah kerja karyawan untuk
mencapai tujuan perusahaan.
e. Mengusahakan karyawan mempunyai loyalitas. Kesetiaan atau loyalitas karyawan
pada perusahaan dapat menimbulkan rasa tanggungjawab. Tanggung jawab dapat
menciptakan semangat dan gairah kerja. Adapun caranya dengan memberikan
kesempatan pada karyawan untuk ikut serta dalam pembelian saham perusahaan
yang bersangkutan dan lain sebagainya.
f. Harga diri perlu mendapatkan perhatian. Pemimpin perusahaan harus dapat
menghargai diri karyawannya bila mereka ingin dihargai. Orang akan lebih
senang bekerja dengan gaji yang rendah tapi dihargai daripada dengan gaji yang
tinggi tetapi perusahaan tersebut merendahkan mereka.
g. Mengajak karyawan untuk berunding serta mengatasi pelaksanaan pada
perusahaan. Apabila pimpinan dalam melaksanakan pekerjaannya mengalami
suatu masalah untuk dipecahkan secara pribadi maka karyawan perlu diajak
berunding.
h. Memperhatikan rasa aman untuk menghadapi masa depan. Untuk menciptakan
rasa aman menghadapi masa depan, perusahaan dalam melaksanakan program
pensiun bagi karyawan. Variasi dengan cara ini adalah bahwa disamping
menyisihkan sebagian dari keuntungan perusahaan, gaji karyawan dipotong untuk
disetor bagi jaminan hari tua.
i. Sekali-sekali perlu menciptakan suasana santai. Memberikan suasana santai bagi
karyawan dimaksudkan agar karyawan tidak mengalami kebosanan dalam
melakukan pekerjaan tiap hari.
2.2.7. Unsur-unsur yang Memengaruhi Semangat Kerja
Untuk melihat seberapa besar semangat kerja karyawan terhadap
pekerjaannya dapat diukur melalui unsur-unsur semangat kerja. Berikut ini diuraikan
unsur-unsur yang mempengaruhi semangat kerja:
a. Disiplin Kerja
Disiplin dapat diartikan sebagai suatu sikap, tingkah laku dan perbuatan
yang sesuai dengan peraturan dari perusahaan baik yang tertulis maupun tidak,
sebaliknya apabila kedisiplinan tersebut tidak dapat ditegakkan maka
kemungkinan tujuan yang ditetapkan tidak dapat tercapai secara efektif dan
efisien (Nitisemito, 2000)
Kedisiplinan sangat penting bagi suatu organisasi sebab dengan adanya
disiplin diharapkan sebagian besar peraturan dapat dijalani oleh karyawan dan
pekerjaan dilakukan seefektif mungkin (Halili, 1997).
Tingkat kedisiplinan kerja dapat diukur dari:
1) Kepatuhan pegawai pada jam kerja
2) Kepatuhan pegawai pada instruksi
3) Kepatuhan pegawai pada tata tertib dan peraturan
4) Bekerja sesuai dengan prosedur dan peraturan perusahaan atau instansi
(Nitisemito, 2000).
b. Kerjasama
Kerjasama adalah kemampuan seseorang tenaga kerja untuk bekerja sama
dengan orang lain menyelesaikan suatu tugas atau pekerjaan yang telah
ditentukan sehingga mencapai daya guna yang sebesar-besarnya (Siswanto,
1989). Keberhasilan atau kegagalan suatu organisasi tergantung dari orang yang
terlibat dalam organisasi tersebut. Kerjasama dapat diukur menurut kriteria
sebagai berikut :
1) Adanya kesadaran untuk bekerjasama dengan teman sekerja, atasan maupun
bawahan.
2) Mau memberi dan menerima kritikan maupun saran
3) Mau membantu teman sekerja, atasan maupun bawahan yang mengalami
kesulitan dalam pekerjaannya
4) Bagaimana tindakan seseorang apabila mengalami kesulitan dalam pekerjaan
c. Tanggung Jawab
Tanggung jawab adalah kesanggupan tenaga kerja dalam menyelesaikan
tugas dan pekerjaan yang telah diserahkan kepadanya dengan sebaik-baiknya dan
tepat pada waktunya serta berani menanggung resiko atas tindakan yang
diambilnya (Siswanto, 1989). Tanggung jawab dapat diukur melalui:
1) Kesanggupan bekerja dan kesanggupan melaksanakan perintah
2) Mampu melaksanakan tugas dengan cepat dan benar
3) Mampu melaksanakan tugas dengan baik
4) Kesadaran bahwa tugas menjadi tanggung jawabnya bukan hanya untuk
kepentingan organisasi atau instansi tetapi juga untuk kepentingan sendiri.
2.3. Landasan Teori
Landasan teori dalam penelitian ini didasarkan pada teori lingkungan fisik dan
semangat kerja. Berdasarkan teori-teori lingkungan fisik yang dikemukakan oleh
Moekijat (2002), Gie (2000), Nitisemito (2000), Wignjosoebroto (1995) didapatkan
bahwa lingkungan fisik adalah keadaan disekitar para pekerja (perawat) seperti
pencahayaan, suhu udara, suara (kebisingan), penghawaan ruangan (kelembaban),
kebersihan, serta sikap kerja yang dapat memengaruhi perawat dalam menjalankan
pekerjaannya.
Lingkungan fisik merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan
seorang pimpinan. Lingkungan fisik tersebut meliputi keadaan seperti pencahayaan,
suhu udara, suara, penghawaan ruangan, kebersihan dan sikap kerja yang ada didalam
ruangan yang penerapannya sesuai dengan kebutuhan karyawan.
Dengan adanya lingkungan fisik yang baik, nyaman dan menyenangkan dapat
membuat karyawan bekerja dengan tenang, merasa betah untuk berada ditempat kerja
serta giat dalam melakukan pekerjaannya. Kondisi lingkungan fisik (suhu,
pencahayaan, suara, penghawaan ruangan, kebersihan dan sikap kerja) ruang
perawatan yang baik akan meningkatkan semangat kerja perawat dalam
menyelesaikan pekerjaannya.
Penerangan yang baik dapat memberikan keuntungan diantaranya; 1)
Perpindahan pegawai kurang, 2) Semangat kerja lebih tinggi, 3) Prestise lebih besar,
4) Hasil kerja lebih banyak, 5) Kesalahan berkurang, 6) Keletihan berkurang
(Moekijat, 2002).
Pertukaran udara yang cukup dalam ruangan akan menyebabkan kesegaran
fisik karyawan dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Sebaliknya pertukaran udara
yang kurang akan dapat menimbulkan rasa pengap sehingga mudah menimbulkan
kelelahan bagi karyawan (Nitisemito, 2000). Keuntungan udara yang baik ; 1)
Produktivitas yang lebih tinggi, 2) Mutu pekerjaan yang lebih tinggi, 3) Kesenangan
dan kesehatan pegawai yang bertambah, 4) Kesan yang menyenangkan bagi para
tamu (Moekijat, 2002)
Suara bising yang keras, tajam dan tidak terduga adalah penyebab gangguan
yang kerap dialami pekerja tulis menulis. Gangguan ini sering kali didiamkan saja
walaupun tindakan perbaikan yang sederhana dapat dilakukan apabila waktu dan
pikiran diluangkan untuk masalah itu (Budiyanto, 1991). Pengaruh suara yang gaduh
; 1) Gangguan mental dan syaraf pegawai, 2) Kesulitan mengadakan konsentrasi, 3)
Kelelahan yang bertambah dan semangat kerja yang berkurang (Moekijat, 2002).
Menurut Miller dan Swensson (1995) mengenai disain fisik yang
berhubungan dengan kebutuhan pelanggan meliputi :
a. Physical comfort, meliputi kenyamanan temperatur, cahaya yang sesuai, tidak
bising, furniture yang nyaman, ruangan yang tidak berbau.
b. Social contact, meliputi cukup privasi (percakapan dengan dokter tidak mudah
didengar orang yang tidak berkepentingan.
c. Symbolic meaning, seperti ruang tunggu yang sempit dan kursi yang tidak
nyaman akan mengesankan merendahkan pasien.
Komponen-komponen lingkungan fisik bangunan adalah sebagai berikut :
1. Suhu-panas: ventilasi (bangunan), pengatur suhu (peralatan).
2. Pencahayaan: bukaan (bangunan), lampu (peralatan)
3.Suara-bising-gema:perletakan, bukaan (bangunan), sistem akustik (peralatan/bahan)
4. Kelembapan : Arah dan dimensi bukaan (bangunan), pengaturan (peralatan)
Menurut Adeyani (2010) sikap kerja dan lingkungan kerja merupakan bagian
dari aspek ergonomik yaitu penyesuaian pekerjaan antara alat kerja, lingkungan kerja
dan manusia, dengan memperhatikan kemampuan dan keterbatasan manusia itu
sehingga tercapai suatu keserasian antara manusia dan pekerjaannya yang akan
meningkatkan kenyamanan kerja dan produktifitas kerja.
Menurut Yenni (2011) sikap tubuh merupakan bagian dari sikap dalam
bekerja, yang merupakan faktor resiko ditempat kerja. Sikap tubuh dalam bekerja
berhubungan dengan tempat duduk, meja kerja dan luas pandangan. Sikap tubuh saat
melakukan setiap pekerjaan dapat berpengaruh terhadap keberhasilan suatu
pekerjaan. Lingkungan fisik yang baik akan mendorong timbulnya semangat kerja
karyawan. Dengan semangat kerja yang tinggi, karyawan akan dapat bekerja dengan
perasaan senang dan bergairah sehingga mereka dapat berprestasi dengan baik.
Fokus perhatian pada metode ini adalah manusia atau karakteristik yang harus
dipenuhi perawat agar mereka mampu atau akan melaksanakan tugas-tugasnya
dengan tepat, benar, dan sempurna sehingga mempunyai prestasi yang bagus.
Seseorang mungkin menganggap lingkungan yang sama adalah buruk sedangkan
yang lain menganggap baik. Hal ini disebabkan karena ada perbedaan pandangan
masing-masing individu terhadap lingkungan kerja. Perbedaan ini dapat terjadi
karena masing-masing individu mempunyai kebutuhan, kepentingan maupun harapan
yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain.
Menurut Cary Cooper (Rini, 2002) Kondisi kerja yang buruk berpotensi
menjadi penyebab karyawan mudah jatuh sakit, mudah stres, sulit berkonsentrasi, dan
menurunnya produktivitas kerja. Kondisi lingkungan kerja meliputi ruang kerja yang
tidak nyaman, panas, sirkulasi udara kurang memadai, ruang kerja terlalu padat,
lingkungan kerja yang kurang bersih, dan bising atau berisik.
Sihombing (2004) menyatakan bahwa didalam meningkatkan semangat kerja
pegawai tidak terlepas dari lingkungan tempat kerja yang harus mendukung seperti
kualitas lingkungan fisik. Lingkungan fisik adalah unsur yang harus didaya gunakan
oleh organisasi sehingga menimbulkan rasa nyaman, tentram, dan dapat
meningkatkan hasil kerja yang baik untuk meningkatkan kinerja organisasi tersebut.
Semangat dan kegairahan kerja pada hakekatnya adalah perwujudan moral
kerja yang tinggi, bahkan ada yang mengidentifikasikan secara bebas, moral kerja
yang tinggi adalah semangat dan kegairahan kerja. Dibawah kondisi semangat dan
kegairahan kerja yang buruk akan mengakibatkan penurunan produktivitas kerja
secara keseluruhan.
Menurut Moekijat (2002), semangat kerja merupakan kemauan sekelompok
orang untuk bekerja giat dan terpadu dalam mengerjakan tujuan bersama. Sedangkan
menurut Alex S.Nitisemito (2000) semangat kerja adalah melakukan pekerjaan secara
lebih giat sehingga dengan demikian pekerjaan dapat diharapkan lebih cepat dan
lebih baik. Untuk melihat seberapa besar semangat kerja karyawan terhadap
pekerjaannya dapat diukur melalui unsur-unsur yang mempengaruhi semangat kerja
yaitu ; 1) Disiplin kerja, 2) Kerjasama, 3) Tanggung jawab. Untuk mengetahui tinggi
rendahnya semangat kerja karyawan suatu organisasi adalah melalui presensi,
kerjasama, tanggungjawab, kegairahan, dan hubungan yang harmonis (Nitisemito,
2000)
Setiap instansi harus selalu berusaha untuk dapat meningkatkan semangat
kerja karyawan semaksimal mungkin dalam batas kemampuan instansi tersebut.
Dengan adanya semangat kerja yang tinggi pada karyawannya, akan tercapai
kelancaran kerja, rencana yang telah ditetapkan dapat terealisasi dengan baik sesuai
dengan yang diharapkan sehingga tujuan organisasi bisa tercapai. Oleh karena itu
setiap karyawan yang semangat kerjanya rendah harus selalu mengusahakan agar
dapat meningkatkan semangat kerjanya. Begitu juga bagi karyawan yang semangat
kerjanya tinggi dapat mempertahankan semangat kerjanya yang telah dimiliki.
Karena dengan meningkatnya semangat kerja maka karyawan akan memiliki disiplin,
kerjasama dan tanggungjawab penuh terhadap tugas yang diberikan.
Untuk meningkatkan semangat kerja karyawan, pimpinan perlu
memperhatikan kebutuhan-kebutuhan para karyawan, baik berupa materi maupun
non materi.
2.4. Kerangka Konsep
Lingkungan fisik yang baik merupakan peranan yang penting dalam membantu
mengurangi kejenuhan dan kelelahan, sehingga diharapkan dapat meningkatkan
semangat kerja pegawai (Moekijat, 2002).
Lingkungan kerja diasumsikan mempunyai pengaruh terhadap kinerja
perawat (Depkes RI, 1994). Lingkungan kerja merupakan segala sesuatu yang ada di
sekitar perawat pada saat bekerja yang berbentuk fisik, langsung atau tidak langsung,
yang dapat mempengaruhi dirinya dan pekerjaannya saat bekerja. Lingkungan fisik
yang dibahas dalam penelitian ini adalah semua keadaan yang terdapat disekitar
tempat kerja seperti 1) Suhu 2) Pencahayaan, 3) Suara, 4) Penghawaan Ruangan, 5)
Kebersihan dan 6) Sikap Kerja, hal-hal tersebut dapat berpengaruh secara signifikan
terhadap hasil kerja manusia (Wignjosoebroto, 1995).
Semangat kerja karyawan menurut Moekijat (2002) merupakan kemauan
sekelompok orang untuk bekerja giat dan terpadu dalam mengerjakan tujuan
bersama. Sedangkan semangat kerja menurut Alex S.Nitisemito (2000) adalah
melakukan pekerjaan secara lebih giat sehingga dengan demikian pekerjaan dapat
diharapkan lebih cepat dan lebih baik.
Untuk melihat seberapa besar semangat kerja karyawan terhadap
pekerjaannya dapat diukur melalui unsur-unsur semangat kerja. Menurut Nitisemito
(2000) unsur-unsur yang mempengaruhi semangat kerja yaitu; 1) Disiplin kerja, 2)
Kerjasama, 3) Tanggung jawab. Untuk mengetahui tinggi rendahnya semangat kerja
karyawan suatu organisasi adalah melalui presensi, kerjasama, tanggungjawab,
kegairahan dan hubungan yang harmonis. Jadi semangat kerja yang akan diteliti
dalam penelitian ini adalah sikap perawat dalam melakukan pekerjaan dengan lebih
giat (kerajinan), bekerjasama, berdisiplin, bertanggung jawab, bergairah dan memiliki
hubungan yang harmonis dengan pimpinan dan rekan kerja sehingga pekerjaan dapat
dilakukan dengan lebih cepat, lebih baik dan berkualitas. Berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan diatas, maka kerangka konsep yang digunakan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian
Semangat Kerja
Lingkungan Fisik
1. Suhu 2. Pencahayaan 3. Suara 4. Penghawaan Ruangan 5. Kebersihan 6. Sikap Kerja