KOMISI OMBUDSMAN DAERAH : Sebuah Tawaran Mewujudkan Good Governance di Daerah

23
KOMISI OMBUDSMAN DAERAH : Sebuah Tawaran Mewujudkan Good Governance di Daerah By. M.Rifqinizamy Karsayuda https://rifq1.wordpress.com/perihal/ Pendahuluan Munculnya gagasan mengenai otonomi daerah yang ditandai dengan kelahiran Undang-undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang kemudian diperbaharui dengan lahirnya UU No.32/2004 dan UU No.33/2004 . Kedua UU tersebut menempatkan daerah sebagai daerah otonom dengan kewenangan yang sangat luas. Otonomi daerah sendiri oleh Pasal 1 angka 4 UU No. 32/2004 dimaknai sebagai hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai peraturan perundang-undangan. Pemerintahan daerah memiliki kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal dan agama[1] . Munculnya banyak kewenangan yang diberikan kepada daerah tersebut, tentu sangat berseberangan dengan masa orde baru, dimana kewenangan-kewenangan tersebut dipegang oleh pemerintah pusat.

Transcript of KOMISI OMBUDSMAN DAERAH : Sebuah Tawaran Mewujudkan Good Governance di Daerah

KOMISI OMBUDSMAN DAERAH : SebuahTawaran Mewujudkan Good Governance

di Daerah

By. M.Rifqinizamy Karsayudahttps://rifq1.wordpress.com/perihal/

Pendahuluan

Munculnya gagasan mengenai otonomi daerah yang ditandai

dengan kelahiran Undang-undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999

Tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.25 Tahun 1999

Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang

kemudian diperbaharui dengan lahirnya UU No.32/2004 dan

UU No.33/2004 . Kedua UU tersebut menempatkan daerah

sebagai daerah otonom dengan kewenangan yang sangat

luas. Otonomi daerah sendiri oleh Pasal 1 angka 4 UU

No. 32/2004 dimaknai sebagai hak, wewenang dan

kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus

sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat

setempat sesuai peraturan perundang-undangan.

Pemerintahan daerah memiliki kewenangan dalam seluruh

bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang

politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan,

moneter dan fiskal dan agama[1]. Munculnya banyak

kewenangan yang diberikan kepada daerah tersebut, tentu

sangat berseberangan dengan masa orde baru, dimana

kewenangan-kewenangan tersebut dipegang oleh pemerintah

pusat.

Karl D. Jason sebagaimana dikutip oleh Yahya Muhaimin

menyatakan bahwa politik orde baru adalah bereucratic

politic (politik birokrasi), yaitu suatu kondisi politik

yang menempatkan negara pada posisi sangat dominan.[2]

Sejalan dengan konsepsi Jason di atas, Harry J. Benda

menyebut (pemerintahan) negara orde baru yang lahir

pasca kolonialisasi sebagai Beamtenstaat[3], yang oleh

Arief Budiman dimaknai sebagai Beamtenstaat Indonesia

yang di dukung oleh militer sebagai motornya.[4]

Dengan karakteristik demikian watak pemerintahan di

bawah rezim orde baru lebih dekat dengan karakteristik

rezim totaliter, Suatu rezim yang menurut Alfian

ditandai dengan tertutupnya ideologi. Ideologi yang

tertutup tersebut , karena adanya monopoli ideologi

oleh penguasa[5]. Penguasa menggunakan monopoli

ideologi sebagai senjata ampuh untuk melumpuhkan dan

menghancurkan siapa saja yang mengkritik apalagi

menentang kekuasaannya.[6]Komunikasi politik antara

penguasa dan rakyat tidak berjalan, sebab penguasa

melakukan doktrinisasi ideologi, dimana kebenaran

ideologi menurut penapsiran penguasa tak dapat

dipertanyakan, apalagi di bantah[7].

Dalam sistem politik totaliter, penguasa biasanya

mendominir atau mengontrol semua jaringan politik, baik

supra struktur politik (eksekutif, legislatif,

yudikatif), maupun inpra struktur politik, seperti

partai politik, preasure group, pers dan lain-lain. Hal

tersebut turut berpengaruh pada hubungan antara

pemerintahan pusat dan daerah di era orde baru, dimana

pada saat itu seluruh kebijakan berpusat pada

pemerintahan pusat (sentralisasi).

Reformasi di medio 1998 memberikan implikasi besar pada

kondisi makro sosio-politik, termasuk perubahan

hubungan pemerintahan pusat dan daerah, dari

sentralisasi menjadi desentralisasi[8]. Pemerintahan

daerah diberi berbagai kewenangan untuk mengurus dan

mengatur pemerintahan serta masyarakatnya. Pemberian

kewenangan yang sangat besar tersebut dalam

implikasinya membuat ketidaksiapan di level daerah[9].

Dilapangan praktis, otonomi daerah memunculkan

“dilema”. Disatu sisi pemberian kewenangan yang besar

kepada pemerintahan daerah yang tidak didukung oleh

kesiapan yang memadai, membuat pemerintahan daerah

tidak dapat secara optimal menggunakan kewenangan

tersebut untuk mengurus dan mengatur daerahnya,

Sedangkan di lain sisi, masyarakat daerah terus

mengharapkan suatu pemerintahan daerah yang demokratis,

yang dapat diakses, transparan, serta akuntabel. Dalam

kontek ini, otonomi daerah yang sejatinya adalah

pemberdayaan masyarakat dan potensi daerah dalam rangka

pembangunan daerah, lebih didominasi oleh praktek-

praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)[10] dan mal

administrasi disemua lini birokrasi, serta kurang

transparan dan minimnya publikasi peraturan-peraturan

umum[11].

Sementara berbagai instrumen yang dimiliki pemerintah

daerah juga belum mampu menunjukkan signifikasinya

dalam mengatasi berbagai “kebobrokan” pemerintahan

daerah diatas. Sehingga untuk mengatasi problemantika

tersebut di butuhkan suatu media yang dapat menjadi

jembatan antara pemerintahan daerah dengan

masyarakatnya atau sebaliknya. Dalam kontek ini wacana

pembentukan Komisi Ombudsman Daerah sebagai suatu

komisi yang memiliki fungsi dasar untuk menampung

aspirasi masyarakat, sekaligus menjadikan masyarakat

sebagai pengawas bagi pemerintahan daerah menjadi

menarik untuk segera direalisasikan. Tulisan ini secara

berturut-turut mencoba untuk mengkaji perihal 1) Fungsi

Komisi Ombudsman Daerah dan 2) Strategi Pembentukannya

di Daerah 3) Relasi antara Good Governance dan Ombudsman

Daerah.

Komisi Ombudsman : Sebuah Gambaran Umum

Komisi ombudsman pada dasarnya merupakan sebuah lembaga

yang secara mandiri menerima dan menyelidiki tuduhan-

tuduhan kesalahan administrasi (mal administrasi).[12]

Menurut Jeremy Pope fungsi dari komisi ombudsman adalah

Pertama ; memeriksa keputusan, proses, rekomendasi,

tindakan kelalaian atau perbuatan yang bertentangan

dengan hukum, aturan-aturan atau peraturan, atau

pembebasan dari praktek atau prosudur yang sudah ada,

kecuali kalau dilakukan dengan itikad baik dan

mempunyai alasan yang masuk akal yang berlawanan,

sewenang-wenang atau tidak masuk akal, tidak adil,

menyimpang, intimidatif, atau diskriminasi: yang

berlandaskan dasar-dasar yang tidak relevan atau yang

melibatkan penggunaan kekuasaan, atau menolak hal

serupa itu karena alasan korupsi, kolusi dan nepotisme,

atau motif yang tidak patut seperti penyogokan,

kebobrokan, akses administratif. Kedua ; memeriksa

keteledoran, ketiadaan perhatian, kelambanan,

ketidakberwenangan, ketidak efisienan dan

ketidakcakapan dalam administrasi atau pelaksanaan

tugas dan tanggung jawab.[13]

Sedangkan Teten Masduki menyebutkan fungsi ombudsman

sebagai, Pertama ; mengakomodasi partisipasi masyarakat

dalam upaya memperoleh pelayanan umum yang berkualitas

dan efisien, penyelenggaraan peradilan yang adil, tidak

memihak dan jujur. Kedua ; meningkatkan perlindungan

perorangan dalam memperoleh pelayanan publik, keadilan

dan kesejahteraan, serta mempertahankan hak-haknya

terhadap kejanggalan tindakan penyalahgunaan wewenang

(abuse of power), keterlambatan yang berlarut-larut (undue

delay), serta diskresi yang tidak layak.[14]

Di banyak negara, Ombudsman telah menjadi lembaga

alternatif bagi warga masyarakat untuk menyelesaikan

keluhan atau ketidakpuasan terhadap birokrasi

pemerintah secara cepat, gratis, tidak perlu membayar

pengacara dan aman (kerahasiaan pelapor terlindungi).

Penyelesaian melalui lembaga peradilan untuk masalah

maladministrasi telah banyak ditinggalkan karena sangat

lamban, mahal dan jauh dari kemudahan, di sebabkan

proses dan prosudure beracaranya.[15]

Sebagai gambaran, berikut akan di gambarkan secara

singkat mengenai keberadaan, serta fungsi komisi

ombudsan di beberapa negara ;

 

1. Ombudsman di Swedia

Di Swedia ombudsman berdiri pada tahun 1809, sebagai

pelopor pertama berdirinya ombudsman di dunia, bahkan

sekitar 200 tahun sebelum kejaksaan modern berdiri di

Perancis dan polisi modern di Inggris, merupakan

ombudsman yang bertanngung jawab kepada parlemen.

Tugasnya melakukan pengawasan terhadap pengadilan dan

administrasi publik untuk kepentingan para individu,

bekerja secara independen dari pemerintah dan atas nama

parlemen.

Cakupan tugas dan wewenang dari ombudsman di Swedia

adalah seluruh lembaga peradilan, pemerintahan, pejabat

eksekutif, pejabat publik, namun tidak mengawasi

parlemen, hal ini dikarenakan pertanggung jawabannya

kepada parlemen. Dalam hubungannya dengan lembaga

peradilan, ombudsman menghindari masalah substantif

keputusan dari Pengadilan Umum dan Pengadilan Tata

Usaha Negara dan hanya mengerjakan masalah-masalah

prosudural. Mempunyai wewenang untuk menuntut dan

melakukan investigasi terhadap para pejabat birokrasi

dan pegawai pemerintah, militer dan hakim. Sedangkan

bila ombudsaman sendiri melakukan penyimpangan, maka

yang berwenang mengadili adalah Mahkamah Agung Swedia.

[16]

 

2. Ombudsman di Belanda

Ombudsman di Belanda di atur dalam konstitusi negara

tersebut, Anggotanya dipilih oleh Majelis Rendah

Parlemen atas rekomendasi Wakil Ketua Dewan Negara,

Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Badan Pemeriksa

Keuangan. Para anggota tersebut tidak diperkenankan

merangkap jabatan. Rekomendasi yang di keluarkan

ombudsama bersifat tidak mengikat, sehingga tergantung

otoritas administrasi pemerintah.[17]

 

3. Ombudsman di Selandia Baru

Ombudsman dibentuk beradasarkan rekomendasi DPR,

anggotanya tidak boleh merangkap jabatan. Masa

jabatannya sama dengan masa jabatan DPR dan hanya dapat

dicopot oleh Gubernur Jenderal.

Investigasi yang dilakukan ombudsman di Selandia Baru

mencakup segala hal yang berkaitan dengan tindakan

menyimpang/melalaikan kewajiban dari aparat pemerintah.

Sedangkan Komisi Ombudsman Nasional di Indonesia yang

di bentuk berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor

44 Tahun 2000 tidaklah mengatur secara terperinci

mengenai peran, fungsi, maupun wewenang komisi

tersebut. Dalam Pasal 2 Kepres tersebut di sebutkan ; Ombudsman Nasional adalah lembaga pengawasan masyarakat yangberasaskan Pancasila dan bersifat mandiri, serta berwenangmelakukan klarifikasi, monitoring atau pemeriksaan atas

laporan masyarakat mengenai penyelenggaraan negara khususnyapelaksanaan oleh aparatur pemerintahan termasuk lembagaperadilan terutama dalam memberikan pelayanan kepadamasyarakat.Adapun tugas dari Komisi Ombudsman Nasional ini

berdasarkan pasal 4 Kepres di atas adalah ;

a) Menyebar luaskan pemahaman mengenai lembaga

ombudsman

b) Melakukan koordinasi dan atau kerjasama dengan

Instansi Pemerintah, Perguruan Tinggi, Lembaga

Swadaya Masyarakat, Para Ahli, Praktisi,

Organisasi Profesi dan lain-lain.

c) Melakukan langkah untuk menindaklanjuti laporan

atau informasi mengenai terjadinya penyimpangan

oleh penyelenggara negara dalam melaksanakan

tugasnya maupun dalam memberikan pelayanan umum.

d) Mempersiapkan konsep Rancangan Undang-undang

tentang Ombudsman Nasional.

 

Komisi Ombudsman Daerah : Menggagas Fungsinya

Di dalam Kepres No.4/2000 tidak di sebutkan mengenai

adanya Komisi Ombudsman Daerah, padahal sebagaimana di

sebutkan di atas urgensi pembentukan Komisi Ombudsman

Daerah seiring dengan diterapkannya otonomi daerah

sangatlah penting. Sementara RUU mengenai Komisi

Ombudsman Nasional yang diamanatkan pasal 4 Kepres No

44/2000 di atas belum terealisasi menjadi UU sampai

sekarang.

Pemberian kewenangan yang besar kepada daerah pasca di

terapkannya otonomi daerah mengandung konsekwensi bahwa

banyak persoalan yang berkaitan dengan publik di

tangani daerah, bukan pusat seperti sebelum

diterapkannya otonomi daerah. Sehingga Kedudukan Komisi

Ombudsman yang berada di pusat di rasa kurang relevan.

Pembentukan Komisi Ombudsman Daerah akan jauh lebih

efektif, atas alasan kedekatannya dengan masyarakat

setempat serta dengan pemerintahan daerah.

Pertanyaannya bagaimana fungsi Komisi Ombudsman Daerah

agar dapat bekerja secara efektif dan menjawab berbagai

persoalan maladministrasi publik di daerah.

Fungsi dari Komisi Ombudsman Daerah menurut penulis

sama dengan komisi ombudsman pada umumnya, sebagaimana

di gambarkan di atas, yaitu ;

1) Sebagai lembaga pengawasan eksternal terhadap

pelayanan umum yang merupakan kewenangan

pemerintahan daerah.

2) Memberikan rekomendasi yang bersifat non legal binding

kepada pejabat dan atau badan tata usaha di daerah

yang berwenang sesuai dengan persoalan yang

ditangani. Dalam kontek ini ombudsman daerah di

posisikan sebagai “mahkamah pemberi pengaruh”,

sehingga ombudsman daerah harus berwibawa dengan

cara mendapat rekognisi politik yang kuat dan

kedudukan hukum yang tinggi.

3) Sebagai lembaga yang memiliki kekuasaan untuk ;

a. memeriksa, mengajukan pertanyaan-pertanyaan

tertulis dan memaksa untuk meminta jawaban

kepada lembaga atau pejabat di daerah sesuai

dengan kewenangannya.

b. memiliki kekuasaan untuk mengakses dokumen

dan memaksa orang atau instansi untuk

menyerahkan dokumen dan bukti-bukti yang

relevan

c. memiliki hak inisiatif dan diskresi untuk

melakukan penyelidikan dan mengajukan

perbaikan sistemik, dan menyampaikan hasil

penyelidikan, penilaian dan rekomendasi yang

diusulkan kepada publik.

Kewenangan yang dimiliki oleh daerah otonom sebagaimana

di tegaskan dalam pasal 7 UU No.22/199 yang di pertegas

kembali setelah berlakunya UU No.32/2004 dalam pasal 10

ayat (3) UU tersebut, menyatakan bahwa pemerintahan

daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang

menjadi kewenangannya, kecuali kewenangan-kewenangan di

bidang ;

1) politik luar negeri

2) pertahanan

3) keamanan

4) yustisi

5) moneter dan fiskal nasional

6) agama

Bersandar pada kewenangan daerah di atas, maka menurut

penulis yurisdiksi ombudsman daerah berada pada bidang

public administration yang di limpahkan ke daerah, Sedangkan

berkaitan dengan enam (6) kewenangan yang dimiliki

pemerintahan pusat, Komisi Ombudsman Daerah dapat

melakukan koordinasi dengan Komisi Ombudsman Nasional.

Langkah demikian di praktekkan dalam konteks komisi

ombudsman federal Australia, yang memiliki kewenangan

mengawasi kualitas pelayanan publik di negara federal.

[18]

Dalam menjalankan fungsi tersebut, hendaknya Komisi

Ombudsman Daerah di arahkan untuk ;

1) Independen dalam melakukan kerjanya.

Ombudsman sedapat mungkin bersifat mandiri

(independen) dan tidak memiliki hubungan organik

dengan lembaga-lembaga lain atau disubordinasi

oleh kekuasaan negara, meskipun ombudsman

dirancang untuk dipilih oleh DPRD dan diangkat

oleh Gubernur atau Bupati/Walikota dan harus

memberikan laporan pertanggung jawaban kepada yang

memilihnya.

2) Dapat langsung memberikan rekomendasi kepada atasan

pejabat yang diduga melakukan maladministrasi, tak

terkecuali Gubernur dan atau Bupati/Walikota.

3) Dapat mempublikasikan rekomendasi-rekomendasi yang

di keluarkannya di media massa. Hal ini penting agar

ombudsman daerah dapat di akses oleh semua lapisan

masyarakat, sehingga ombudsman tidak melayani atau

dinikmati oleh segelintir orang saja, sekaligus

sebagai shock therapy atas perilaku mal administrasi.

4) Secara hukum, ombudsman daerah sedapat mungkin

diberikan hak imunitas dari berbagai tuntutan dan

gugatan di pengadilan atas tindakan-tindakan dalam

menjalankan kewenangannya.

5) Dari sisi anggaran, ombudsman daerah harus didukung

oleh pembiayaan yang cukup, rutin dan teralokasikan

secara khusus dalam pos anggaran.

 

Strategi Pembentukan Komisi Ombudsman Daerah

Strategi pembentukan komisi ombudsman di daerah

berkaitan dengan beberapa hal, yaitu ;

1. Kedudukan Komisi Ombudsman Daerah.2. Lembaga pembentuk Komisi Ombudsman Daerah.3. Alas hukum yang di gunakan dalam rangka

pembentukan Komisi Ombudsman Daerah.

Untuk itu tulisan dalam bagian ini di arahkan untuk

mengkaji ketiga hal tersebut, sebagai berikut ;

 

1. Kedudukan Komisi Ombudsman Daerah

Perdebatan yang menarik dari kedudukan Komisi Ombudsman

Daerah adalah, dimana seharusnya komisi ombudsman

diletakkan dalam rangka mewujudkan pemerintahan daerah

yang baik. Dari kaca mata hukum tata negara, perdebatan

tersebut dapat dijawab dengan mendasarkan pada di mana

kewenangan otonomi daerah itu di berikan secara luas.

Berdasarkan UU No.32/2004 kewenangan pemerintahan

daerah provinsi lebih luas di banding pemerintahan

daerah kabupaten dan/atau kota, hal ini dapat di

telusuri dalam pasal 13 UU tersebut, di mana

pemerintahan daerah provinsi mencakup urusan yang

berkaitan dengan lintas kabupaten dan/ atau kota,

begitu pula dengan kewenangan Gubernur selaku kepada

daerah provinsi di berikan kewenangan untuk

menyelesaikan perselisihan dalam penyelenggaraan fungsi

pemerintahan antar kabupaten/kota.[19]

Dalam konteks kewenangan provinsi yang mencakup urusan

lintas kabupaten/kota itu, kiranya relevan untuk

membentuk Komisi Ombudsman Daerah di level provinsi.

Hal ini juga dimaksudkan sebagai embrio awal lahirnya

komisi ombudsman lainnya di level kabupaten/kota.

 

 

 

2. Lembaga Pembentuk Komisi Ombudsman Daerah

Menurut Pratikno, ada dua (2) jenis ombudsman dilihat

dari segi lembaga pembentuknya, yaitu[20] ;

1) Ombudsman Parlementer.

Ombudsman ini dipilih oleh parlemen atau kepala

negara, tetapi bertanngung jawab kepada

parlemen.

2) Ombudsman Eksekutif

Ombudsman ini diangkat oleh Kepala Negara dan

bertanggung jawab kepada kepala negara.

Kedu jenis ombudsman tersebut tentu memiliki

keuntungan, sekaligus kelemahan masing-masing ;

a) Ombudsman Parlementer memiliki legitimasi yang

jauh lebih kuat di banding ombudsman eksekutif,

hal tersebut di karenakan pembentukan ombudsman

tersebut oleh parlemen, yang dalam teori demokrasi

merupakan wakil-wakil rakyat. Kendati demikian

ombudsman parlementer sangat rawan akan terjadinya

kepentingan-kepentingan politik, karena tidak

dapat dihindari orang-orang yang duduk di parlemen

sejatinya adalah mereka yang berlatar belakang

entitas politik tertentu.

b) Sedangkan ombudsman eksekutif secara legitimasi

tidak sekuat ombudsman yang di bentuk oleh

parlemen, karena ia hanya di bentuk oleh suatu

organ yang sejatinya akan menjadi objek kerjanya.

Atas dasar hal tersebutlah, ombudsman eksekutif

menjadi ambigu, karena di satu sisi ia di bentuk

oleh eksekutif dan di lain sisi ia harus bekerja

sebagai lembaga pengawasan eksternal atas

eksekutif itu sendiri.

Dalam kontek pembentukan Komisi Ombudsman Daerah,

melihat dari kedua jenis ombudsman tersebut. Menurut

penulis, Komisi Ombudsman Daerah akan lebih efektif

untuk di bentuk oleh DPRD dari pada oleh kepala daerah,

hal tersebut dikarenakan ;

1) Komisi Ombudsman Daerah adalah lembaga

pengawasan ekternal atas kinerja pelayanan

publik yang secara riil dilakukan oleh

eksekutif, sehingga ia tidak relevan untuk

dibentuk oleh eksekutif itu sendiri.

2) Legitimasi Komisi Ombudsman Daerah yang di

bentuk oleh DPRD jauh lebih kuat di bandingkan

dengan pembentukan komisi tersebut oleh

eksekutif.

Pemberian kewenangan pembentukan Komisi Ombudsman

Daerah oleh DPRD memang tidak ditegaskan dalam Pasal 42

UU No.32/2004 tentang tugas dan wewenang DPRD. Tetapi

hal tersebut dapat dipahami, jika mengacu kepada pasal

41 UU No.32/2004 tentang fungsi DPRD, yaitu sebagai

unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah yang memiliki

fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan.

Dalam menjalankan fungsi terakhir (pengawasan)

tersebut, DPRD dapat membentuk Komisi Ombudsman Daerah

yang pada dasarnya merupakan lembaga pengawasan

eksternal yang bersifat non-legal binding, yang dalam

kinerjanya dapat membantu fungsi pengawasan oleh

DPRD.Rekomendasi yang dikeluarkan oleh Komisi Ombudsman

Daerah dapat ditindaklanjuti oleh DPRD sebagai lembaga

pengawas eksekutif daerah.

Hal lain yang perlu mendapat perhatian dalam rangka

pembentukan Komisi Ombudsman Daerah ini adalah mengenai

kreteria kenggotaan komisi tersebut, hal ini menjadi

penting sebab para anggota inilah yang akan menjalankan

fungsi ombudsman daerah nantinya.

 

3. Alas Hukum Pembentukan Komisi Ombudsman Daerah

Alas hukum pembentukan Komisi Ombudsman Daerah

berkaitan dengan lembaga mana yang menjadi pembentuk

ombudsman tersebut. Sebagaimana dikatakan di atas,

Komisi Ombudsman Daerah sedapat mungkin di bentuk oleh

DPRD setempat dengan alasan legitimasi dan efektifitas

kerjanya.

Persoalan yang muncul adalah, apa yang menjadi alas

hukum pembentukan komisi ombudsman darah oleh DPRD ?,

Selama ini tidak dikenal produk hukum yang dikeluarkan

oleh DPRD, kalaupun ada bentuknya adalah peraturan

daerah (perda), yang sesungguhnya merupakan produk DPRD

dan pemerintah daerah sebagaimana di tegaskan dalam

pasal 136 ayat (1) UU No.32/2004 , yaitu ; Perda

ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat

persetujuan DPRD, serta pasal 140 ayat (1) UU

No.32/2004 yang menyatakan ; Rancangan Perda dapat

berasal dari DPRD, Gubernur, atau Bupati/Walikota.

Jika perda yang dijadikan alas hukumnya, hal tersebut

tidak mungkin untuk dilakukan, sebab berdasarkan pasal

136 ayat (3) UU No.32/2004 menyatakan bahwa ; Perda

merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan

perundang-udangan yang lebih tinggi dengan

memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Dalam

kontek Komisi Ombudsman Daerah, UU yang mengatur

mengenai hal tersebut tidak ada, sehingga dengan

sendirinya perda mengenao hal itupun tidak dapat

dilakukan.

Sehingga alas hukum yang peling memungkinkan dalam

rangka pembentukan Komisi Ombudsman Daerah adalah surat

keputusan (SK) kepala daerah, yang dalam hal ini berupa

SK Gubernur.Sebab SK Gubernur dalam konsep hukum

administrasi negara merupakan keputusan tata usaha

negara yang bersifat sepihak, yang artinya tidak

diperlukan persetujuan oleh pihak lain, termasuk DPRD.

Hal ini tentu terlihat akan semakin rancu, sebab

pembentukan komisi ombudsman dilakukan oleh DPRD,

sementara alas hukum pembentuknya berupa SK Gubernur

yang merupakan produk eksekutif. Sehingga untuk

menyiasati persoalan tersebut perlu kiranya diatur

dalam SK Gubernur tersebut mengenai tata cara pemilihan

anggota komisi ombudsman, yang menurut penulis

wewenangnya diberikan kepada DPRD, sedangkan pengesahan

anggota Komisi Ombudsman Daerah yang telah dipilih oleh

DPRD dilakukan oleh Gubernur.

Pola demikian adalah pola yang paling memungkinkan,

ditengah belum diaturnya Komisi Ombudsman Daerah dalam

suatu UU, sementara di lain sisi pembentukan Komisi

Ombudsman Daerah mendesak untuk dilakukan.

 

Ombudsman Daerah dan Good Governance

Good Governance muncul setelah adanya kritik atas

dominasi institusi pemerintah (government) dalam

menjalankan fungsi governing (pemerintahan). Dalam

terminologi good governance, pemerintah hanyalah salah

satu pilar dari beberapa penyelenggara fungsi

pemerintahan, disamping private sector (dunia usaha) dan

civil society (masyarakat sipil)[21].

Terciptanya Good Governance (tata kelola pemerintahan

yang baik) yang secara prinsip terdiri atas tiga pilar,

yaitu ; akuntabilitas, transparansi dan aksestabilitas,

[22] salah satunya dapat dicapai melalui penguatan

lembaga pengawasan, baik lembaga pengawasan intern

seperti DPR, DPD, BPK, Irjen sampai dengan Bawasda,

maupun lembaga pengawasan ekstern, seperti NGO, Pers,

termasuk ombudsman.

Sebagai bagian dari lembaga pengawasan, Ombudsman

memiliki beberapa “harapan” dalam mewujudkan good

governance. Pertama ; Ombudsman daerah memposisikan

masyarakat sebagai aktor dalam tata kelola (governance)

pemerintahan daerah, Selama ini masyarakat diposisikan

sebagai objek tata kelola pemerintahan daerah. Pola

interaksi pemerintah dan masyarakat nyaris tak

terbangun dan menghasilkan pola pemerintahan yang tak

aspiratif dan sulit dikontrol masyarakat. Ombudsman

dapat menembus dinding tersebut dengan membangun

partnership (kemitraan) dengan pemerintah. Disinilah akan

terbangun checks and balances antara keduanya dalam bentuk

yang elegan.

Kedua ; Ombudsman sebagai lembaga pengawasan ekstern

yang menggunakan masyarakat sebagai kekuatan utamanya

menjadi harapan paling mutakhir ditengah mandulnya

berbagai sistem, mekanisme dan lembaga pengawasan yang

ada (khususnya di daerah) saat ini. Harapan itu muncul,

sebab selama ini lembaga pengawasan yang ada belum

satupun yang dapat menggunakan kekuatan masyarakat

secara otonom untuk mengontrol jalannya tata kelola

pemerintahan. Kekuatan masyarakat yang otonom sebagai

lembaga pengawasan sangat relevan untuk diwujudkan

detik ini, seiring dengan semakin menguatnya kekuatan

masyarakat sipil pro-demokrasi pasca reformasi.

Penutup

Komisi Ombudsman daerah yang memiliki fungsi dasar

sebagai lembaga pengawasan yang diperankan oleh

masyarakat secara otonom diharapkan dapat mewujudkan

cita-cita banyak pihak pasca diterapkannya otonomi

daerah, yaitu terciptanya pemerintahan daerah yang pro-

rakyat. Pemerintahan daerah yang mengedepankan tata

kelola pemerintahannya secara akuntabel, transparan dan

aksestabel sebagai jalan bagi terwujudnya good governance

(tata kelola pemerintahan yang baik) di daerah.

Penulis mengusulkan untuk merealisasikan terbentuknya

Komisi Ombudsman Daerah yang dimulai dari tingkat

provinsi yang pembentukannya dilakukan oleh DPRD

Provinsi, serta menggunakan SK Gubernur sebagai alas

legitimasi yuridisnya.

Jika Komisi Ombudsman Daerah dapat direalisasikan

dibanyak provinsi di negeri ini, Penulis berkeyakinan

masih ada secercah harapan untuk membangun pilar-pilar

pemerintahan yang baik.Insya Allah.

Bahan Bacaan

Alfian, Komunikasi Politik dan Sistem Politik di Indonesia,

PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993

Muhadjir Darwin, Good Governance dan Kebijakan

Publik dalam Good Governance Untuk Daulat Siapa ?, Forum

LSM DIY-Yappika, 2001

Moh.Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Rineka

Cipta, Jakarta, Juli 2000

Syafinuddin Al-Mandari, HMI & Wacana Sosial, Hijau

Hitam Pusat Studi Paradigma Ilmu, Jakarta, 2003

Suparman Marzuki dkk, Ombudsman Daerah, Mendorong

Pemerintahan Yang Bersih, Kerjasama PUSHAM UII dengan

Partnership Kemitraan dan Governance Reform in

Indonesia, 2003

Yahya Muhaimin, Beberapa Segi Birokrasi di Indonesia,

Majalah Prisma Nomor 10 tahun 1980

Republik Indonesia, Undang-Undang No.32 Tahun 2004

Tentang Pemerintahan Daerah.

Keputusan Presiden Republik Indonesia No.4 tahun

2000 Tentang Komisi Ombudsman Daerah.

[1] Lihat Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 jo pasal 10 UUNo.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

[2] Yahya Muhaimin, Beberapa Segi Birokrasi di Indonesia,Majalah Prisma Nomor 10 tahun 1980.

[3] Harry J.Benda sebagaimana dikutip olehMoh.Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, RinekaCipta, Jakarta, Juli 2000, hlm 105.

[4] Arief Budiman, Negara Kelas dan Formasi Sosial(wawancara) majalah Keadilan, edisi I, tahun XII/1985,hlm 39, dalam Ibid.

[5] Monopoli ideologi oleh pemerintahan orde barudapat dilihat dari dikeluarkannya UU Nomor 3 Tahun 1985yang mensyaratkan kewajiban menggunakan asas Pancasilaoleh seluruh organisasi sosial, politik dankemasyarakatan.

[6] Alfian, Komunikasi Politik dan Sistem Politik di Indonesia,PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993, hlm 5.

[7] Hal ini dapat dilihat dari dicekalnya beberapakelompok yang tetap mempertahankan asas organisasinyadan menolak mengakomodasi asas Pancasila dalamorganisasinya, seperti beberapa kelompok dalam tubuhHimpinan Mahasiswa Islam (HMI) yang kemudianmendeklarasikan diri sebagai Himpunan Mahasiswa Islam-Majelis Penyelamat Organisasi (HMI-MPO), begitu jugayang terjadi pada Pelajar Islam Indonesia (PII). Lihat

Syafinuddin Al-Mandari, HMI & Wacana Sosial, Hijau HitamPusat Studi Paradigma Ilmu, Jakarta, 2003, hlm vi.

[8] Desentralisasi ini dapat ditelusuri lewatlahirnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 TentangPemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun1999 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

[9] Dalam laporan penelitian yang dilakukan PUSHAMUII terhadap proses pelayanan publik di DIY munculbeberapa persoalan mengenai pelayanan publik yangdilakukan oleh pemerintah daerah, seperti perizinan,transparansi yang rendah, rendahnya akuntabilitas danmahalnya berurusan dengan polisi serta pelayanankesehatan yang tidak manusiawi. Lihat dalam MenujuOmbudsman daerah: Suatu Tinjauan Lapangan di DIY dalamOmbudsman Daerah, Mendorong Pemerintahan Yang Bersih,Kerjasama PUSHAM UII dengan Partnership Kemitraan danGovernance Reform in Indonesia, 2003, hlm 101-109.

[10] Berdasarkan laporan Indonesia Corruption Wacht(ICW) pada periode Januari-Juli 2004 telah terjadi 65kasus korupsi yang dilakukan oleh DPRD di seluruhIndonesia, lihat dalam http://www.antikorupsi.org

[11] Suparman Marzuki, Ombudsman Daerah dan GoodGovernance dalam Ombudsman Daerah, Mendorong PemerintahanYang Bersih, Kerjasama PUSHAM UII dengan PartnershipKemitraan dan Governance Reform in Indonesia, 2003, hlm12

[12] Sobirin Malian, Menimbang Perlunya KomisiOmbudsman di Daerah dalam Ombudsman Daerah, MendorongPemerintahan Yang Bersih, Kerjasama PUSHAM UII denganPartnership Kemitraan dan Governance Reform inIndonesia, 2003, hlm 4.

[13] Jeremy Pope dalam Ibid, hlm 4-5.

[14] Teten Masduki, Ombudsman (Daerah) danPemberdayaannya dalam dalam Ombudsman Daerah, MendorongPemerintahan Yang Bersih, Kerjasama PUSHAM UII denganPartnership Kemitraan dan Governance Reform inIndonesia, 2003, hlm 146.

[15] Ibid.

[16] Pratikno, Relevansi pembentukan OmbudsmanDaerah dalam Ombudsman Daerah, Mendorong Pemerintahan YangBersih, Kerjasama PUSHAM UII dengan PartnershipKemitraan dan Governance Reform in Indonesia, 2003, hlm127-128.

 

[17] Ibid, hlm 128.

[18] Pratikno, Op.Cit.

[19] Lihat Pasal 198 UU No.32/2004.

[20] Pratikno, Op.Cit, hlm 126.

[21] Francis Fukuyama, The Great Discruption : Human Natureand the Recontruction of Social Order , New York : The FreePress, 1999. dalam Muhadjir Darwin, Good Governance danKebijakan Publik dalam Good Governance Untuk Daulat Siapa ?,Forum LSM DIY-Yappika, 2001, hal 27.

[22] Ibid, hal 29

(Salah satu tulisan dalam buku Membangun IndonesiaBaru: Refleksi Pemikiran Kader HMI, Total MediaYogyakarta, 2006)