10 Tahun: Mengukur Efektivitas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)di Indonesia
KOMISI OMBUDSMAN DAERAH : Sebuah Tawaran Mewujudkan Good Governance di Daerah
-
Upload
muhamadiyahmalang -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of KOMISI OMBUDSMAN DAERAH : Sebuah Tawaran Mewujudkan Good Governance di Daerah
KOMISI OMBUDSMAN DAERAH : SebuahTawaran Mewujudkan Good Governance
di Daerah
By. M.Rifqinizamy Karsayudahttps://rifq1.wordpress.com/perihal/
Pendahuluan
Munculnya gagasan mengenai otonomi daerah yang ditandai
dengan kelahiran Undang-undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999
Tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.25 Tahun 1999
Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang
kemudian diperbaharui dengan lahirnya UU No.32/2004 dan
UU No.33/2004 . Kedua UU tersebut menempatkan daerah
sebagai daerah otonom dengan kewenangan yang sangat
luas. Otonomi daerah sendiri oleh Pasal 1 angka 4 UU
No. 32/2004 dimaknai sebagai hak, wewenang dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai peraturan perundang-undangan.
Pemerintahan daerah memiliki kewenangan dalam seluruh
bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang
politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan,
moneter dan fiskal dan agama[1]. Munculnya banyak
kewenangan yang diberikan kepada daerah tersebut, tentu
sangat berseberangan dengan masa orde baru, dimana
kewenangan-kewenangan tersebut dipegang oleh pemerintah
pusat.
Karl D. Jason sebagaimana dikutip oleh Yahya Muhaimin
menyatakan bahwa politik orde baru adalah bereucratic
politic (politik birokrasi), yaitu suatu kondisi politik
yang menempatkan negara pada posisi sangat dominan.[2]
Sejalan dengan konsepsi Jason di atas, Harry J. Benda
menyebut (pemerintahan) negara orde baru yang lahir
pasca kolonialisasi sebagai Beamtenstaat[3], yang oleh
Arief Budiman dimaknai sebagai Beamtenstaat Indonesia
yang di dukung oleh militer sebagai motornya.[4]
Dengan karakteristik demikian watak pemerintahan di
bawah rezim orde baru lebih dekat dengan karakteristik
rezim totaliter, Suatu rezim yang menurut Alfian
ditandai dengan tertutupnya ideologi. Ideologi yang
tertutup tersebut , karena adanya monopoli ideologi
oleh penguasa[5]. Penguasa menggunakan monopoli
ideologi sebagai senjata ampuh untuk melumpuhkan dan
menghancurkan siapa saja yang mengkritik apalagi
menentang kekuasaannya.[6]Komunikasi politik antara
penguasa dan rakyat tidak berjalan, sebab penguasa
melakukan doktrinisasi ideologi, dimana kebenaran
ideologi menurut penapsiran penguasa tak dapat
dipertanyakan, apalagi di bantah[7].
Dalam sistem politik totaliter, penguasa biasanya
mendominir atau mengontrol semua jaringan politik, baik
supra struktur politik (eksekutif, legislatif,
yudikatif), maupun inpra struktur politik, seperti
partai politik, preasure group, pers dan lain-lain. Hal
tersebut turut berpengaruh pada hubungan antara
pemerintahan pusat dan daerah di era orde baru, dimana
pada saat itu seluruh kebijakan berpusat pada
pemerintahan pusat (sentralisasi).
Reformasi di medio 1998 memberikan implikasi besar pada
kondisi makro sosio-politik, termasuk perubahan
hubungan pemerintahan pusat dan daerah, dari
sentralisasi menjadi desentralisasi[8]. Pemerintahan
daerah diberi berbagai kewenangan untuk mengurus dan
mengatur pemerintahan serta masyarakatnya. Pemberian
kewenangan yang sangat besar tersebut dalam
implikasinya membuat ketidaksiapan di level daerah[9].
Dilapangan praktis, otonomi daerah memunculkan
“dilema”. Disatu sisi pemberian kewenangan yang besar
kepada pemerintahan daerah yang tidak didukung oleh
kesiapan yang memadai, membuat pemerintahan daerah
tidak dapat secara optimal menggunakan kewenangan
tersebut untuk mengurus dan mengatur daerahnya,
Sedangkan di lain sisi, masyarakat daerah terus
mengharapkan suatu pemerintahan daerah yang demokratis,
yang dapat diakses, transparan, serta akuntabel. Dalam
kontek ini, otonomi daerah yang sejatinya adalah
pemberdayaan masyarakat dan potensi daerah dalam rangka
pembangunan daerah, lebih didominasi oleh praktek-
praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)[10] dan mal
administrasi disemua lini birokrasi, serta kurang
transparan dan minimnya publikasi peraturan-peraturan
umum[11].
Sementara berbagai instrumen yang dimiliki pemerintah
daerah juga belum mampu menunjukkan signifikasinya
dalam mengatasi berbagai “kebobrokan” pemerintahan
daerah diatas. Sehingga untuk mengatasi problemantika
tersebut di butuhkan suatu media yang dapat menjadi
jembatan antara pemerintahan daerah dengan
masyarakatnya atau sebaliknya. Dalam kontek ini wacana
pembentukan Komisi Ombudsman Daerah sebagai suatu
komisi yang memiliki fungsi dasar untuk menampung
aspirasi masyarakat, sekaligus menjadikan masyarakat
sebagai pengawas bagi pemerintahan daerah menjadi
menarik untuk segera direalisasikan. Tulisan ini secara
berturut-turut mencoba untuk mengkaji perihal 1) Fungsi
Komisi Ombudsman Daerah dan 2) Strategi Pembentukannya
di Daerah 3) Relasi antara Good Governance dan Ombudsman
Daerah.
Komisi Ombudsman : Sebuah Gambaran Umum
Komisi ombudsman pada dasarnya merupakan sebuah lembaga
yang secara mandiri menerima dan menyelidiki tuduhan-
tuduhan kesalahan administrasi (mal administrasi).[12]
Menurut Jeremy Pope fungsi dari komisi ombudsman adalah
Pertama ; memeriksa keputusan, proses, rekomendasi,
tindakan kelalaian atau perbuatan yang bertentangan
dengan hukum, aturan-aturan atau peraturan, atau
pembebasan dari praktek atau prosudur yang sudah ada,
kecuali kalau dilakukan dengan itikad baik dan
mempunyai alasan yang masuk akal yang berlawanan,
sewenang-wenang atau tidak masuk akal, tidak adil,
menyimpang, intimidatif, atau diskriminasi: yang
berlandaskan dasar-dasar yang tidak relevan atau yang
melibatkan penggunaan kekuasaan, atau menolak hal
serupa itu karena alasan korupsi, kolusi dan nepotisme,
atau motif yang tidak patut seperti penyogokan,
kebobrokan, akses administratif. Kedua ; memeriksa
keteledoran, ketiadaan perhatian, kelambanan,
ketidakberwenangan, ketidak efisienan dan
ketidakcakapan dalam administrasi atau pelaksanaan
tugas dan tanggung jawab.[13]
Sedangkan Teten Masduki menyebutkan fungsi ombudsman
sebagai, Pertama ; mengakomodasi partisipasi masyarakat
dalam upaya memperoleh pelayanan umum yang berkualitas
dan efisien, penyelenggaraan peradilan yang adil, tidak
memihak dan jujur. Kedua ; meningkatkan perlindungan
perorangan dalam memperoleh pelayanan publik, keadilan
dan kesejahteraan, serta mempertahankan hak-haknya
terhadap kejanggalan tindakan penyalahgunaan wewenang
(abuse of power), keterlambatan yang berlarut-larut (undue
delay), serta diskresi yang tidak layak.[14]
Di banyak negara, Ombudsman telah menjadi lembaga
alternatif bagi warga masyarakat untuk menyelesaikan
keluhan atau ketidakpuasan terhadap birokrasi
pemerintah secara cepat, gratis, tidak perlu membayar
pengacara dan aman (kerahasiaan pelapor terlindungi).
Penyelesaian melalui lembaga peradilan untuk masalah
maladministrasi telah banyak ditinggalkan karena sangat
lamban, mahal dan jauh dari kemudahan, di sebabkan
proses dan prosudure beracaranya.[15]
Sebagai gambaran, berikut akan di gambarkan secara
singkat mengenai keberadaan, serta fungsi komisi
ombudsan di beberapa negara ;
1. Ombudsman di Swedia
Di Swedia ombudsman berdiri pada tahun 1809, sebagai
pelopor pertama berdirinya ombudsman di dunia, bahkan
sekitar 200 tahun sebelum kejaksaan modern berdiri di
Perancis dan polisi modern di Inggris, merupakan
ombudsman yang bertanngung jawab kepada parlemen.
Tugasnya melakukan pengawasan terhadap pengadilan dan
administrasi publik untuk kepentingan para individu,
bekerja secara independen dari pemerintah dan atas nama
parlemen.
Cakupan tugas dan wewenang dari ombudsman di Swedia
adalah seluruh lembaga peradilan, pemerintahan, pejabat
eksekutif, pejabat publik, namun tidak mengawasi
parlemen, hal ini dikarenakan pertanggung jawabannya
kepada parlemen. Dalam hubungannya dengan lembaga
peradilan, ombudsman menghindari masalah substantif
keputusan dari Pengadilan Umum dan Pengadilan Tata
Usaha Negara dan hanya mengerjakan masalah-masalah
prosudural. Mempunyai wewenang untuk menuntut dan
melakukan investigasi terhadap para pejabat birokrasi
dan pegawai pemerintah, militer dan hakim. Sedangkan
bila ombudsaman sendiri melakukan penyimpangan, maka
yang berwenang mengadili adalah Mahkamah Agung Swedia.
[16]
2. Ombudsman di Belanda
Ombudsman di Belanda di atur dalam konstitusi negara
tersebut, Anggotanya dipilih oleh Majelis Rendah
Parlemen atas rekomendasi Wakil Ketua Dewan Negara,
Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Badan Pemeriksa
Keuangan. Para anggota tersebut tidak diperkenankan
merangkap jabatan. Rekomendasi yang di keluarkan
ombudsama bersifat tidak mengikat, sehingga tergantung
otoritas administrasi pemerintah.[17]
3. Ombudsman di Selandia Baru
Ombudsman dibentuk beradasarkan rekomendasi DPR,
anggotanya tidak boleh merangkap jabatan. Masa
jabatannya sama dengan masa jabatan DPR dan hanya dapat
dicopot oleh Gubernur Jenderal.
Investigasi yang dilakukan ombudsman di Selandia Baru
mencakup segala hal yang berkaitan dengan tindakan
menyimpang/melalaikan kewajiban dari aparat pemerintah.
Sedangkan Komisi Ombudsman Nasional di Indonesia yang
di bentuk berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor
44 Tahun 2000 tidaklah mengatur secara terperinci
mengenai peran, fungsi, maupun wewenang komisi
tersebut. Dalam Pasal 2 Kepres tersebut di sebutkan ; Ombudsman Nasional adalah lembaga pengawasan masyarakat yangberasaskan Pancasila dan bersifat mandiri, serta berwenangmelakukan klarifikasi, monitoring atau pemeriksaan atas
laporan masyarakat mengenai penyelenggaraan negara khususnyapelaksanaan oleh aparatur pemerintahan termasuk lembagaperadilan terutama dalam memberikan pelayanan kepadamasyarakat.Adapun tugas dari Komisi Ombudsman Nasional ini
berdasarkan pasal 4 Kepres di atas adalah ;
a) Menyebar luaskan pemahaman mengenai lembaga
ombudsman
b) Melakukan koordinasi dan atau kerjasama dengan
Instansi Pemerintah, Perguruan Tinggi, Lembaga
Swadaya Masyarakat, Para Ahli, Praktisi,
Organisasi Profesi dan lain-lain.
c) Melakukan langkah untuk menindaklanjuti laporan
atau informasi mengenai terjadinya penyimpangan
oleh penyelenggara negara dalam melaksanakan
tugasnya maupun dalam memberikan pelayanan umum.
d) Mempersiapkan konsep Rancangan Undang-undang
tentang Ombudsman Nasional.
Komisi Ombudsman Daerah : Menggagas Fungsinya
Di dalam Kepres No.4/2000 tidak di sebutkan mengenai
adanya Komisi Ombudsman Daerah, padahal sebagaimana di
sebutkan di atas urgensi pembentukan Komisi Ombudsman
Daerah seiring dengan diterapkannya otonomi daerah
sangatlah penting. Sementara RUU mengenai Komisi
Ombudsman Nasional yang diamanatkan pasal 4 Kepres No
44/2000 di atas belum terealisasi menjadi UU sampai
sekarang.
Pemberian kewenangan yang besar kepada daerah pasca di
terapkannya otonomi daerah mengandung konsekwensi bahwa
banyak persoalan yang berkaitan dengan publik di
tangani daerah, bukan pusat seperti sebelum
diterapkannya otonomi daerah. Sehingga Kedudukan Komisi
Ombudsman yang berada di pusat di rasa kurang relevan.
Pembentukan Komisi Ombudsman Daerah akan jauh lebih
efektif, atas alasan kedekatannya dengan masyarakat
setempat serta dengan pemerintahan daerah.
Pertanyaannya bagaimana fungsi Komisi Ombudsman Daerah
agar dapat bekerja secara efektif dan menjawab berbagai
persoalan maladministrasi publik di daerah.
Fungsi dari Komisi Ombudsman Daerah menurut penulis
sama dengan komisi ombudsman pada umumnya, sebagaimana
di gambarkan di atas, yaitu ;
1) Sebagai lembaga pengawasan eksternal terhadap
pelayanan umum yang merupakan kewenangan
pemerintahan daerah.
2) Memberikan rekomendasi yang bersifat non legal binding
kepada pejabat dan atau badan tata usaha di daerah
yang berwenang sesuai dengan persoalan yang
ditangani. Dalam kontek ini ombudsman daerah di
posisikan sebagai “mahkamah pemberi pengaruh”,
sehingga ombudsman daerah harus berwibawa dengan
cara mendapat rekognisi politik yang kuat dan
kedudukan hukum yang tinggi.
3) Sebagai lembaga yang memiliki kekuasaan untuk ;
a. memeriksa, mengajukan pertanyaan-pertanyaan
tertulis dan memaksa untuk meminta jawaban
kepada lembaga atau pejabat di daerah sesuai
dengan kewenangannya.
b. memiliki kekuasaan untuk mengakses dokumen
dan memaksa orang atau instansi untuk
menyerahkan dokumen dan bukti-bukti yang
relevan
c. memiliki hak inisiatif dan diskresi untuk
melakukan penyelidikan dan mengajukan
perbaikan sistemik, dan menyampaikan hasil
penyelidikan, penilaian dan rekomendasi yang
diusulkan kepada publik.
Kewenangan yang dimiliki oleh daerah otonom sebagaimana
di tegaskan dalam pasal 7 UU No.22/199 yang di pertegas
kembali setelah berlakunya UU No.32/2004 dalam pasal 10
ayat (3) UU tersebut, menyatakan bahwa pemerintahan
daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangannya, kecuali kewenangan-kewenangan di
bidang ;
1) politik luar negeri
2) pertahanan
3) keamanan
4) yustisi
5) moneter dan fiskal nasional
6) agama
Bersandar pada kewenangan daerah di atas, maka menurut
penulis yurisdiksi ombudsman daerah berada pada bidang
public administration yang di limpahkan ke daerah, Sedangkan
berkaitan dengan enam (6) kewenangan yang dimiliki
pemerintahan pusat, Komisi Ombudsman Daerah dapat
melakukan koordinasi dengan Komisi Ombudsman Nasional.
Langkah demikian di praktekkan dalam konteks komisi
ombudsman federal Australia, yang memiliki kewenangan
mengawasi kualitas pelayanan publik di negara federal.
[18]
Dalam menjalankan fungsi tersebut, hendaknya Komisi
Ombudsman Daerah di arahkan untuk ;
1) Independen dalam melakukan kerjanya.
Ombudsman sedapat mungkin bersifat mandiri
(independen) dan tidak memiliki hubungan organik
dengan lembaga-lembaga lain atau disubordinasi
oleh kekuasaan negara, meskipun ombudsman
dirancang untuk dipilih oleh DPRD dan diangkat
oleh Gubernur atau Bupati/Walikota dan harus
memberikan laporan pertanggung jawaban kepada yang
memilihnya.
2) Dapat langsung memberikan rekomendasi kepada atasan
pejabat yang diduga melakukan maladministrasi, tak
terkecuali Gubernur dan atau Bupati/Walikota.
3) Dapat mempublikasikan rekomendasi-rekomendasi yang
di keluarkannya di media massa. Hal ini penting agar
ombudsman daerah dapat di akses oleh semua lapisan
masyarakat, sehingga ombudsman tidak melayani atau
dinikmati oleh segelintir orang saja, sekaligus
sebagai shock therapy atas perilaku mal administrasi.
4) Secara hukum, ombudsman daerah sedapat mungkin
diberikan hak imunitas dari berbagai tuntutan dan
gugatan di pengadilan atas tindakan-tindakan dalam
menjalankan kewenangannya.
5) Dari sisi anggaran, ombudsman daerah harus didukung
oleh pembiayaan yang cukup, rutin dan teralokasikan
secara khusus dalam pos anggaran.
Strategi Pembentukan Komisi Ombudsman Daerah
Strategi pembentukan komisi ombudsman di daerah
berkaitan dengan beberapa hal, yaitu ;
1. Kedudukan Komisi Ombudsman Daerah.2. Lembaga pembentuk Komisi Ombudsman Daerah.3. Alas hukum yang di gunakan dalam rangka
pembentukan Komisi Ombudsman Daerah.
Untuk itu tulisan dalam bagian ini di arahkan untuk
mengkaji ketiga hal tersebut, sebagai berikut ;
1. Kedudukan Komisi Ombudsman Daerah
Perdebatan yang menarik dari kedudukan Komisi Ombudsman
Daerah adalah, dimana seharusnya komisi ombudsman
diletakkan dalam rangka mewujudkan pemerintahan daerah
yang baik. Dari kaca mata hukum tata negara, perdebatan
tersebut dapat dijawab dengan mendasarkan pada di mana
kewenangan otonomi daerah itu di berikan secara luas.
Berdasarkan UU No.32/2004 kewenangan pemerintahan
daerah provinsi lebih luas di banding pemerintahan
daerah kabupaten dan/atau kota, hal ini dapat di
telusuri dalam pasal 13 UU tersebut, di mana
pemerintahan daerah provinsi mencakup urusan yang
berkaitan dengan lintas kabupaten dan/ atau kota,
begitu pula dengan kewenangan Gubernur selaku kepada
daerah provinsi di berikan kewenangan untuk
menyelesaikan perselisihan dalam penyelenggaraan fungsi
pemerintahan antar kabupaten/kota.[19]
Dalam konteks kewenangan provinsi yang mencakup urusan
lintas kabupaten/kota itu, kiranya relevan untuk
membentuk Komisi Ombudsman Daerah di level provinsi.
Hal ini juga dimaksudkan sebagai embrio awal lahirnya
komisi ombudsman lainnya di level kabupaten/kota.
2. Lembaga Pembentuk Komisi Ombudsman Daerah
Menurut Pratikno, ada dua (2) jenis ombudsman dilihat
dari segi lembaga pembentuknya, yaitu[20] ;
1) Ombudsman Parlementer.
Ombudsman ini dipilih oleh parlemen atau kepala
negara, tetapi bertanngung jawab kepada
parlemen.
2) Ombudsman Eksekutif
Ombudsman ini diangkat oleh Kepala Negara dan
bertanggung jawab kepada kepala negara.
Kedu jenis ombudsman tersebut tentu memiliki
keuntungan, sekaligus kelemahan masing-masing ;
a) Ombudsman Parlementer memiliki legitimasi yang
jauh lebih kuat di banding ombudsman eksekutif,
hal tersebut di karenakan pembentukan ombudsman
tersebut oleh parlemen, yang dalam teori demokrasi
merupakan wakil-wakil rakyat. Kendati demikian
ombudsman parlementer sangat rawan akan terjadinya
kepentingan-kepentingan politik, karena tidak
dapat dihindari orang-orang yang duduk di parlemen
sejatinya adalah mereka yang berlatar belakang
entitas politik tertentu.
b) Sedangkan ombudsman eksekutif secara legitimasi
tidak sekuat ombudsman yang di bentuk oleh
parlemen, karena ia hanya di bentuk oleh suatu
organ yang sejatinya akan menjadi objek kerjanya.
Atas dasar hal tersebutlah, ombudsman eksekutif
menjadi ambigu, karena di satu sisi ia di bentuk
oleh eksekutif dan di lain sisi ia harus bekerja
sebagai lembaga pengawasan eksternal atas
eksekutif itu sendiri.
Dalam kontek pembentukan Komisi Ombudsman Daerah,
melihat dari kedua jenis ombudsman tersebut. Menurut
penulis, Komisi Ombudsman Daerah akan lebih efektif
untuk di bentuk oleh DPRD dari pada oleh kepala daerah,
hal tersebut dikarenakan ;
1) Komisi Ombudsman Daerah adalah lembaga
pengawasan ekternal atas kinerja pelayanan
publik yang secara riil dilakukan oleh
eksekutif, sehingga ia tidak relevan untuk
dibentuk oleh eksekutif itu sendiri.
2) Legitimasi Komisi Ombudsman Daerah yang di
bentuk oleh DPRD jauh lebih kuat di bandingkan
dengan pembentukan komisi tersebut oleh
eksekutif.
Pemberian kewenangan pembentukan Komisi Ombudsman
Daerah oleh DPRD memang tidak ditegaskan dalam Pasal 42
UU No.32/2004 tentang tugas dan wewenang DPRD. Tetapi
hal tersebut dapat dipahami, jika mengacu kepada pasal
41 UU No.32/2004 tentang fungsi DPRD, yaitu sebagai
unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah yang memiliki
fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan.
Dalam menjalankan fungsi terakhir (pengawasan)
tersebut, DPRD dapat membentuk Komisi Ombudsman Daerah
yang pada dasarnya merupakan lembaga pengawasan
eksternal yang bersifat non-legal binding, yang dalam
kinerjanya dapat membantu fungsi pengawasan oleh
DPRD.Rekomendasi yang dikeluarkan oleh Komisi Ombudsman
Daerah dapat ditindaklanjuti oleh DPRD sebagai lembaga
pengawas eksekutif daerah.
Hal lain yang perlu mendapat perhatian dalam rangka
pembentukan Komisi Ombudsman Daerah ini adalah mengenai
kreteria kenggotaan komisi tersebut, hal ini menjadi
penting sebab para anggota inilah yang akan menjalankan
fungsi ombudsman daerah nantinya.
3. Alas Hukum Pembentukan Komisi Ombudsman Daerah
Alas hukum pembentukan Komisi Ombudsman Daerah
berkaitan dengan lembaga mana yang menjadi pembentuk
ombudsman tersebut. Sebagaimana dikatakan di atas,
Komisi Ombudsman Daerah sedapat mungkin di bentuk oleh
DPRD setempat dengan alasan legitimasi dan efektifitas
kerjanya.
Persoalan yang muncul adalah, apa yang menjadi alas
hukum pembentukan komisi ombudsman darah oleh DPRD ?,
Selama ini tidak dikenal produk hukum yang dikeluarkan
oleh DPRD, kalaupun ada bentuknya adalah peraturan
daerah (perda), yang sesungguhnya merupakan produk DPRD
dan pemerintah daerah sebagaimana di tegaskan dalam
pasal 136 ayat (1) UU No.32/2004 , yaitu ; Perda
ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat
persetujuan DPRD, serta pasal 140 ayat (1) UU
No.32/2004 yang menyatakan ; Rancangan Perda dapat
berasal dari DPRD, Gubernur, atau Bupati/Walikota.
Jika perda yang dijadikan alas hukumnya, hal tersebut
tidak mungkin untuk dilakukan, sebab berdasarkan pasal
136 ayat (3) UU No.32/2004 menyatakan bahwa ; Perda
merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan
perundang-udangan yang lebih tinggi dengan
memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Dalam
kontek Komisi Ombudsman Daerah, UU yang mengatur
mengenai hal tersebut tidak ada, sehingga dengan
sendirinya perda mengenao hal itupun tidak dapat
dilakukan.
Sehingga alas hukum yang peling memungkinkan dalam
rangka pembentukan Komisi Ombudsman Daerah adalah surat
keputusan (SK) kepala daerah, yang dalam hal ini berupa
SK Gubernur.Sebab SK Gubernur dalam konsep hukum
administrasi negara merupakan keputusan tata usaha
negara yang bersifat sepihak, yang artinya tidak
diperlukan persetujuan oleh pihak lain, termasuk DPRD.
Hal ini tentu terlihat akan semakin rancu, sebab
pembentukan komisi ombudsman dilakukan oleh DPRD,
sementara alas hukum pembentuknya berupa SK Gubernur
yang merupakan produk eksekutif. Sehingga untuk
menyiasati persoalan tersebut perlu kiranya diatur
dalam SK Gubernur tersebut mengenai tata cara pemilihan
anggota komisi ombudsman, yang menurut penulis
wewenangnya diberikan kepada DPRD, sedangkan pengesahan
anggota Komisi Ombudsman Daerah yang telah dipilih oleh
DPRD dilakukan oleh Gubernur.
Pola demikian adalah pola yang paling memungkinkan,
ditengah belum diaturnya Komisi Ombudsman Daerah dalam
suatu UU, sementara di lain sisi pembentukan Komisi
Ombudsman Daerah mendesak untuk dilakukan.
Ombudsman Daerah dan Good Governance
Good Governance muncul setelah adanya kritik atas
dominasi institusi pemerintah (government) dalam
menjalankan fungsi governing (pemerintahan). Dalam
terminologi good governance, pemerintah hanyalah salah
satu pilar dari beberapa penyelenggara fungsi
pemerintahan, disamping private sector (dunia usaha) dan
civil society (masyarakat sipil)[21].
Terciptanya Good Governance (tata kelola pemerintahan
yang baik) yang secara prinsip terdiri atas tiga pilar,
yaitu ; akuntabilitas, transparansi dan aksestabilitas,
[22] salah satunya dapat dicapai melalui penguatan
lembaga pengawasan, baik lembaga pengawasan intern
seperti DPR, DPD, BPK, Irjen sampai dengan Bawasda,
maupun lembaga pengawasan ekstern, seperti NGO, Pers,
termasuk ombudsman.
Sebagai bagian dari lembaga pengawasan, Ombudsman
memiliki beberapa “harapan” dalam mewujudkan good
governance. Pertama ; Ombudsman daerah memposisikan
masyarakat sebagai aktor dalam tata kelola (governance)
pemerintahan daerah, Selama ini masyarakat diposisikan
sebagai objek tata kelola pemerintahan daerah. Pola
interaksi pemerintah dan masyarakat nyaris tak
terbangun dan menghasilkan pola pemerintahan yang tak
aspiratif dan sulit dikontrol masyarakat. Ombudsman
dapat menembus dinding tersebut dengan membangun
partnership (kemitraan) dengan pemerintah. Disinilah akan
terbangun checks and balances antara keduanya dalam bentuk
yang elegan.
Kedua ; Ombudsman sebagai lembaga pengawasan ekstern
yang menggunakan masyarakat sebagai kekuatan utamanya
menjadi harapan paling mutakhir ditengah mandulnya
berbagai sistem, mekanisme dan lembaga pengawasan yang
ada (khususnya di daerah) saat ini. Harapan itu muncul,
sebab selama ini lembaga pengawasan yang ada belum
satupun yang dapat menggunakan kekuatan masyarakat
secara otonom untuk mengontrol jalannya tata kelola
pemerintahan. Kekuatan masyarakat yang otonom sebagai
lembaga pengawasan sangat relevan untuk diwujudkan
detik ini, seiring dengan semakin menguatnya kekuatan
masyarakat sipil pro-demokrasi pasca reformasi.
Penutup
Komisi Ombudsman daerah yang memiliki fungsi dasar
sebagai lembaga pengawasan yang diperankan oleh
masyarakat secara otonom diharapkan dapat mewujudkan
cita-cita banyak pihak pasca diterapkannya otonomi
daerah, yaitu terciptanya pemerintahan daerah yang pro-
rakyat. Pemerintahan daerah yang mengedepankan tata
kelola pemerintahannya secara akuntabel, transparan dan
aksestabel sebagai jalan bagi terwujudnya good governance
(tata kelola pemerintahan yang baik) di daerah.
Penulis mengusulkan untuk merealisasikan terbentuknya
Komisi Ombudsman Daerah yang dimulai dari tingkat
provinsi yang pembentukannya dilakukan oleh DPRD
Provinsi, serta menggunakan SK Gubernur sebagai alas
legitimasi yuridisnya.
Jika Komisi Ombudsman Daerah dapat direalisasikan
dibanyak provinsi di negeri ini, Penulis berkeyakinan
masih ada secercah harapan untuk membangun pilar-pilar
pemerintahan yang baik.Insya Allah.
Bahan Bacaan
Alfian, Komunikasi Politik dan Sistem Politik di Indonesia,
PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993
Muhadjir Darwin, Good Governance dan Kebijakan
Publik dalam Good Governance Untuk Daulat Siapa ?, Forum
LSM DIY-Yappika, 2001
Moh.Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Rineka
Cipta, Jakarta, Juli 2000
Syafinuddin Al-Mandari, HMI & Wacana Sosial, Hijau
Hitam Pusat Studi Paradigma Ilmu, Jakarta, 2003
Suparman Marzuki dkk, Ombudsman Daerah, Mendorong
Pemerintahan Yang Bersih, Kerjasama PUSHAM UII dengan
Partnership Kemitraan dan Governance Reform in
Indonesia, 2003
Yahya Muhaimin, Beberapa Segi Birokrasi di Indonesia,
Majalah Prisma Nomor 10 tahun 1980
Republik Indonesia, Undang-Undang No.32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah.
Keputusan Presiden Republik Indonesia No.4 tahun
2000 Tentang Komisi Ombudsman Daerah.
[1] Lihat Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 jo pasal 10 UUNo.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
[2] Yahya Muhaimin, Beberapa Segi Birokrasi di Indonesia,Majalah Prisma Nomor 10 tahun 1980.
[3] Harry J.Benda sebagaimana dikutip olehMoh.Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, RinekaCipta, Jakarta, Juli 2000, hlm 105.
[4] Arief Budiman, Negara Kelas dan Formasi Sosial(wawancara) majalah Keadilan, edisi I, tahun XII/1985,hlm 39, dalam Ibid.
[5] Monopoli ideologi oleh pemerintahan orde barudapat dilihat dari dikeluarkannya UU Nomor 3 Tahun 1985yang mensyaratkan kewajiban menggunakan asas Pancasilaoleh seluruh organisasi sosial, politik dankemasyarakatan.
[6] Alfian, Komunikasi Politik dan Sistem Politik di Indonesia,PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993, hlm 5.
[7] Hal ini dapat dilihat dari dicekalnya beberapakelompok yang tetap mempertahankan asas organisasinyadan menolak mengakomodasi asas Pancasila dalamorganisasinya, seperti beberapa kelompok dalam tubuhHimpinan Mahasiswa Islam (HMI) yang kemudianmendeklarasikan diri sebagai Himpunan Mahasiswa Islam-Majelis Penyelamat Organisasi (HMI-MPO), begitu jugayang terjadi pada Pelajar Islam Indonesia (PII). Lihat
Syafinuddin Al-Mandari, HMI & Wacana Sosial, Hijau HitamPusat Studi Paradigma Ilmu, Jakarta, 2003, hlm vi.
[8] Desentralisasi ini dapat ditelusuri lewatlahirnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 TentangPemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun1999 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
[9] Dalam laporan penelitian yang dilakukan PUSHAMUII terhadap proses pelayanan publik di DIY munculbeberapa persoalan mengenai pelayanan publik yangdilakukan oleh pemerintah daerah, seperti perizinan,transparansi yang rendah, rendahnya akuntabilitas danmahalnya berurusan dengan polisi serta pelayanankesehatan yang tidak manusiawi. Lihat dalam MenujuOmbudsman daerah: Suatu Tinjauan Lapangan di DIY dalamOmbudsman Daerah, Mendorong Pemerintahan Yang Bersih,Kerjasama PUSHAM UII dengan Partnership Kemitraan danGovernance Reform in Indonesia, 2003, hlm 101-109.
[10] Berdasarkan laporan Indonesia Corruption Wacht(ICW) pada periode Januari-Juli 2004 telah terjadi 65kasus korupsi yang dilakukan oleh DPRD di seluruhIndonesia, lihat dalam http://www.antikorupsi.org
[11] Suparman Marzuki, Ombudsman Daerah dan GoodGovernance dalam Ombudsman Daerah, Mendorong PemerintahanYang Bersih, Kerjasama PUSHAM UII dengan PartnershipKemitraan dan Governance Reform in Indonesia, 2003, hlm12
[12] Sobirin Malian, Menimbang Perlunya KomisiOmbudsman di Daerah dalam Ombudsman Daerah, MendorongPemerintahan Yang Bersih, Kerjasama PUSHAM UII denganPartnership Kemitraan dan Governance Reform inIndonesia, 2003, hlm 4.
[13] Jeremy Pope dalam Ibid, hlm 4-5.
[14] Teten Masduki, Ombudsman (Daerah) danPemberdayaannya dalam dalam Ombudsman Daerah, MendorongPemerintahan Yang Bersih, Kerjasama PUSHAM UII denganPartnership Kemitraan dan Governance Reform inIndonesia, 2003, hlm 146.
[15] Ibid.
[16] Pratikno, Relevansi pembentukan OmbudsmanDaerah dalam Ombudsman Daerah, Mendorong Pemerintahan YangBersih, Kerjasama PUSHAM UII dengan PartnershipKemitraan dan Governance Reform in Indonesia, 2003, hlm127-128.
[17] Ibid, hlm 128.
[18] Pratikno, Op.Cit.
[19] Lihat Pasal 198 UU No.32/2004.
[20] Pratikno, Op.Cit, hlm 126.
[21] Francis Fukuyama, The Great Discruption : Human Natureand the Recontruction of Social Order , New York : The FreePress, 1999. dalam Muhadjir Darwin, Good Governance danKebijakan Publik dalam Good Governance Untuk Daulat Siapa ?,Forum LSM DIY-Yappika, 2001, hal 27.
[22] Ibid, hal 29
(Salah satu tulisan dalam buku Membangun IndonesiaBaru: Refleksi Pemikiran Kader HMI, Total MediaYogyakarta, 2006)