Kesepahaman dengan Gereja. Sentire cum Ecclesia
Transcript of Kesepahaman dengan Gereja. Sentire cum Ecclesia
1 | h l m
Th. Surya Awangga Budiono Handout Teologi Latihan Rohani
MENJADI MANUSIA LATIHAN ROHANI DEWASA DI DALAM GEREJA:
Analisis Kesepahaman dengan Gereja St. Ignasius Loyola
LR 352-370
Situasi Gereja Katolik pada abad XVI ditandai dengan korupsi dan kemerosotan moral. Gereja condong
kepada semangat keduniawian sehingga muncul krisis kepercayaan dan perpecahan. Sementara, gerakan
reformasi menyebar luas ke pelbagai belahan Eropa. Ignasius memang lahir dan dibesarkan di lingkungan
yang amat kental dengan kekatolikan. Namun, dalam sejarah hidupnya, tidak jarang ia berurusan berat
dengan otoritas Gereja. Ia pernah ditolak di Yerusalem, dilarang mengenakan jubah, dipenjara, dilarang
mengajar, dituduh alumbrados, dan bersitegang dengan Kardinal Gian Pietro Caraffa (Paus Paulus IV). Ia
tidak membenci perlakuan Gereja kepadanya. Ia pun justru membentuk kelompok sahabat pembela Gereja
yang disahkan oleh Paus Paulus III.
Dalam bidang ajaran, meski bukan teolog kenamaan atau pujangga Gereja, Ignasius pun mengajak
orang semakin mencintai Gereja Katolik Roma secara mendalam. Pedoman tersebut ditempatkan dalam
kerangka Latihan Rohani 30 hari. Dari gaya penulisan dan isinya, Pedoman Kesepahaman dengan Gereja
bukanlah ajakan untuk berdoa sebagaimana ditemukan dalam Minggu I, II, III, IV. Teks itu pun bukan
katekese tentang Gereja, sebab Ignasius tidak pernah menulis satupun traktat teologi. Lantas, apakah yang
dimaksud Pedoman Kesepahaman dengan Gereja, apa makna teologisnya, apa implikasinya bagi LR?
Tulisan ini beraksud menjelaskan latar belakang, tujuan, isi, dan makna dari kesepahaman dengan
Gereja menurut Ignasius Loyola. Sebagian besar paparan ini akan didasakan pada pemikiran George Ganss
dan H. Coathalem.
1. Asal muasal Pedoman Kesepahaman dengan Gereja
Untuk membaca teks ini, perlu dilihat konteks tempat tinggal Ignasius. Ia lahir dan bertumbuh di
Spanyol (1491-1527), belajar di Paris (1528-1534), dan berkarya di Roma (1538-1556). Orang-orang yang
tidak mau sepaham dengan Gereja atau tetap berada di dalamnya di zaman itu dapat dibagi menjadi tiga
golongan. Pertama, orang-orang yang mempraktikkan mistisisme namun menyangkal ajaran dogmatik dan
memandang rendah teologi skolastik. Saat itu, ada sedemikian banyak alumbrados di Spanyol. Kedua, para
kaum heretik terbuka, seperti Luther, Melanchthon, dan kaum Lutherizantes di Universitas Paris. Golongan
ini bersikukuh bahwa merekalah yang merestorasi Injil secara murni. Ketiga, mereka yang bukan golongan
ini dikategorikan sebagai orang Katolik yang terlalu kritis atau tidak puas akan Gereja. Orang-orang ini masih
Katolik kendati suka mengkritik Gereja secara terbuka, dengan satir maupun pernyataan yang
membingungkan. Erasmus adalah salah satu contohnya. Ia ingin mereformasi skandal-skandal Gereja namun
2 | h l m
dengan mempergunakan fiksi yang penuh dengan penghinaan atas paus, uskup, imam, rahib, biarawati, serta
doktrin-doktrin. Meskipun dicap sebagai musuh besar skolastisisme, faktanya ia tetap beragama Katolik. Ia
diperkarakan ke meja parlemen oleh Sorbonne pada 1526 atas tuduhan penghinaan serius akan Gereja.
Ketika Ignasius tinggal di Paris (1528-1534), karya-karya Erasmus masih menjadi kontroversi hebat.
Gerald M. Fagin, dosen teologi di Loyola University dan mantan provinsial New Orleans, memakai
pendekatan Autobiografi. Ia menghubungkan teks Pedoman Kesepahaman dengan kisah kegagalan Ignasius
tinggal di Yerusalem. Provinsial Fransiskan menolak permohonan Ignasius untuk tinggal di Tanah Suci.
Ignasius menaatinya dengan segera dan pergi meninggalkan tempat itu pada hari berikutnya. Suara otoritas
gerejawi mengesampingkan penegasan pribadi Ignasius. Dalam Autobiografi [46] dikatakan:
Dengan hormat ia mengemukakan bahwa juga kalau pater provinsial tidak setuju, ia tidak akan meninggalkan
niatnya karena takut akan sesuatu, sebab ini bukan soal dosa. Akan tetapi pater provinsial menjawab bahwa
beliau punya kuasa dari Takhta Suci untuk menyuruh orang pergi dari situ atau membiarkannya tinggal,
menurut pendapatnya sendiri. Ia juga diberi kuasa untuk mengenakan ekskomunikasi kepada orang yang tidak
mau menaatinya. Dalam kasus ini beliau berpendapat bahwa ia tidak dapat tinggal di situ, dst.
Pada paparannya, Fagin menambahkan cikal bakal inspirasi kecintaan Ignasius akan Gereja. Pada
masa mudanya, Ignasius bermimpi dan mengidamkan petualangan dan romantisme sebagaimana tertuang
dalam novel Amadis de Gaula. Novel mengisahkan pengabdian ksatria yang giat dan setia kepada raja. Nilai-
nilai yang membentuk hidup Ignasius banyak berakar pada novel ini. Nilai feudal tampak dalam relasi antara
raja dan bawahan, persahabatan, kesetiaan, keberanian, kemurahan hati, kehendak melayani, dan kerelaan
menderita. Ignasius masih membawa nilai-nilai abad pertengahan ke dunia barunya sebagai rohaniwan. Ini
memotivasinya dalam fase sesudah pertobatan sehingga memilih mengabdikan diri kepada Kristus di bawah
Sri Paus di Roma. Bak ksatria setia dalam pengabdian kepada raja dan budak setia melayani tuannya,
demikianlah Ignasius ingin setia melayani Kristus di dalam Gereja-Nya.
Latihan Rohani ditulis sebagai catatan perjalanan rohani Ignasius di Manresa sejak 1521. Sebagian
besar teks sudah ditulis pada saat Ignasius meninggalkan Manresa. Namun, Ignasius belum menuliskan
Pedoman Kesepahaman hingga masa kuliahnya di Paris, yakni tiga belas atau empat belas tahun pasca
Manresa. Teks Kesepahaman dengan Gereja ditulis pada masa yang berbeda. Kemungkinan besar, aturan 1
hingga 12 ditulis Ignasius ketika tinggal di Paris pada 1528-1534 dan aturan 14 sampai 18 ditulis di Roma
sebelum 1541. Patokan ini lahir bukan hanya dari pelbagai kecurigaan atas Ignasius dan kelompoknya
sebagai bagian dari alumbrados, melainkan memiliki nilai jauh lebih luhur dan positif dalam kerangka
referensi eklesial dari suatu proses diskresi dalam pengalaman personal LR. Di tengah suasana zaman itu,
tulisan Ignasius bagaikan polusi karena ia menunjukkan sikap yang amat berbeda. Ia menyikapi Gereja
dengan tidak melancarkan kritik-kritik di depan khalayak melainkan langkah yang lebih positif, yakni
merencanakan aturan sebagai pedoman rohani individu. Ia tidak ingin orang kehilangan daya kritik yang
membangun yang dimotivasi oleh cinta. Ia ingin mengajak orang yang mengolah diri selama sebulan kembali
berkecimpung dalam kehidupan sehari-hari di tengah situasi genting Gereja saat itu.
Ignasius ingin menyediakan anjuran praktis yang dapat ditarik sebagai pedoman pribadi guna
membantu orang menghidupi relasi dengan Kristus melalui kepercayaan dan praktik hidup menggereja.
Maka, rasa cinta mendalam akan Gereja haruslah menjadi satu dengan tindakan. Inilah corak teologi Ignasius
3 | h l m
yang hidup, teologi peziarahan, bukan teologi yang berhenti di diktat-diktat. Ignasius menyebut Gereja secara
afektif sebagai “mempelai sejati Kristus Tuhan kita” dan “bunda Gereja kita yang kudus”. Dengan kata Gereja
hierarkis [353] dimaksudkan identifikasinya dengan gereja yang tampak secara institusional yang berpusat
di Roma, yang tampak dalam paroki-paroki, dan juga dalam pribadi uskup, imam, religius, dan para awam
anggotanya.
Ignasius menempatkan pedoman ini di bagian-bagian akhir LR. Pedoman ini hanya disarankan
kepada retretan yang dirasa memerlukannya. Dan memang harus diingat, LR bukanlah buku bagi retretan
melainkan pemberi retret. Dengan mengacu kepada Direktori Latihan Rohani masa lalu (Directorium Polanci,
no 112), pedoman ini dimaksudkan bagi retretan yang sesampainya tiga puluh hari merasa tergugah akan
kasih Kristus dan kerajaan-Nya dan mendengar panggilan untuk mewartakannya, bahkan di kalangan tak
beriman atau yang lemah iman Katoliknya.
2. Relasi antara Pedoman Kesepahaman dengan Gereja dengan Praktik Latihan Rohani
Kerap kali orang berhenti pada definisi LR sebagaimana tertera dalam LR 1 ialah “… mempersiapkan
jiwa dan menyediakan hati untuk melepaskan diri dari segala rasa lekat tak teratur”. Padahal, ada frasa yang
menyertainya, “… dan selepasnya dari itu mencari dan menemukan kehendak Allah dalam hidup nyata guna
keselamatan jiwa kita.” LR tidak bisa disebut utuh tanpa melihat kesinambungan antara proses retret dengan
hidup berikutnya. Sejak nomor awal hingga menjelang akhir, Ignasius lebih banyak menyebut tentang
perkembangan jiwa individu. Namun, perkembangan jiwa individu tidak mendominasi gagasan Ignasius.
Mengejar keselamatan dan kesempurnaan tidak bersifat individualistik dan abstrak. Ia percaya bahwa untuk
merasul, menjadi pelayan Kristus yang baik, individu harus membutuhkan orang lain, referensi objektif, dan
komunitas orang-orang serupa. Kerasulan Kristiani itu secara fundamental dan konstan berhubungan
dengan Gereja.
Letak Pedoman Kesepahaman dengan Gereja di bagian akhir LR bukanlah suatu kebetulan. Ignasius
mengendaki agar setelah menyelesaikan waktu yang ditentukan, pembimbing juga mengarahkan retretan
menaati apa yang ditulisnya. Namun, pertama-tama pembimbing harus memperhatikan disposisi retretan.
Jangan sampai orang justru tidak mengambil buah apa pun karena pembimbing gegabah memberikan
Pedoman ini. Arah Pedoman ini sejalan dengan gagasan Minggu IV, yakni mempersiapkan orang terjun di
kehidupan sehari-hari dengan sikap iman dan batin yang terbarukan. Namun, Pedoman Kesepahaman
dengan Gereja secara spesifik membatasi ranah aplikasinya pada Gereja.
3. Tentang Judul Pedoman Kesepahaman dengan Gereja (352)
Judul “Pedoman Kesepahaman dengan Gereja” tidak berasal dari Ignasius. Akan tetapi, judul ringkas
ini ‘disucikan’ selama empat abad dan kemudian diterima secara luas untuk menjelaskan maksud Ignasius
sendiri.
Para ahli membandingkan teks-teks yang muncul dari masa ke masa. Dokumen awal versio prima
(1541) berjudul “pedoman kesepahaman di dalam Gereja” dan teks Polanco berjudul “pedoman
kesepahaman dengan Gereja.” Diperkirakan ada perbedaan terpendam antara kedua formula ini. Yves
Congar mengambil kesimpulan bahwa ada dua posisi berbeda yang ingin mencerminkan maksud Ignasius,
sebab, keduanya sama-sama diterima pada saat yang sama. Akan tetapi, teks pertama, yang termuat dalam
autograf Ignasius lebih kaya dan dalam maknanya. Teks kedua lebih ‘dingin’ dan lebih bercorak yuridis.
4 | h l m
Di berbagai nomor LR, Sentire merupakan kata yang kaya akan makna. Ignasius memakai kata benda
sentido, dari kata kerja sentir (memiliki tanggapan sepenuh hati). Sentido (Sp.) rupanya tidak dapat
dirangkum dalam satu kata saja, sebagaimana dalam bahasa Inggris dapat diterangkan menjadi sense, reason,
feeling, and many other meanings. Mengutip George Ganss, David Fleming menunjukkan bahwa Sentir
berkonotasi baik rasional maupun afektif, sejenis kesepahaman yang menyangkut diri manusia sepenuhnya.
Sentire melibatkan pengetahuan namun lebih besar daripada pengetahuan intelek. Sentire mengungkapkan
pengetahuan yang nyata, yang meresap kuat, menunjukkan kecintaan terhadap objeknya. Mengacu pada
gagasan ini, Coathalem memparafrasekan judulnya sebagai: “Pedoman untuk mengambil tindakan sesuai
dengan gerak hati sebagai putra sejati dan anggota Gereja pejuang…”Sementara, dalam versio prima-nya,
Ignasius memberi catatan “… Gereja pejuang, yaitu (Gereja) Roma.”
Dalam tradisi penerjemahan LR, dipergunakanlah sumber-sumber teks Autograf Spanyol (sumber A),
teks Latin Vulgata (sumber V) serta dua terjemahan Latin Versio Prima A 1541 (diberi kode P1) dan Versio
Prima A 1547 (diberi kode P2). Empat sumber asli (Textus Archetypi)1 ini menjadi sumber referensi
terjemahan LR di pelbagai belahan dunia. Sebagai panorama mengenai kemajemukan judul, berikut
ditampilkan aneka versi terjemahan resmi bahasa Spanyol, Latin, Inggris, dan Indonesia:
Textus Hispanicus
(Obras Completas)
TEXTO AUTÓGRAPHO (=A)
The Spanish Autograph
Translation
By Elder Mullan, S.J
Translation
By George E. Ganss, SJ
Para el sentido verdadero que en la
Yglesia militante debemos tener, se
guarden las reglas siguientes
To Have the True Sentiment
which We ought to Have in
the Church Militant
Let the following Rules
Be observed.
[RULES FOR THINKING, JUDGING,
AND FEELING WITH THE CHURCH]
To Have the Genuine Attitude which
We ought to Maintain in the Church
Militant, we should Observe the
Following Rules
VERSIO VULGATA (=V) The Latin Vulgate 1548
Translation By Pierre Wolff
REGULAE ALIQUOT
SERVANDAE, UT CUM
ORTHODOXA ECCLESIA VERE
SENTIAMUS
Some Rules to be Observed
in order to truly feel with the
orthodox Church
VERSIO LITTERALIS
Auctore Joanne Roothan (1852)
New English Translation
(L.J. Puhl, 1951)
Terjemahan Indonesia
(JD, 1993)
[REGULAE AD SENTIENDUM CUM
ECCLESIA]
AD SENTIENDUM VERE, SICUT
DEBEMUS, IN ECCLESIA MILITANTE,
SERVENTUR REGULAE SEQUENTES
Towards acquiring the genuine
attitude which we ought to maintain
in the Church militant, the following
directives should be observed
[PEDOMAN KESEPAHAMAN
DENGAN GEREJA]
Pedoman-pedoman berikut
hendaknya ditaati, supaya dapat
mempunyai sikap benar yang harus
kita pegang dalam Gereja Pejuang.
1 Format kolom-kolom paralel empat versi teks paralel LR. Diterbitkan dalam SpExMHSJ69, p. 374-375.
5 | h l m
Melalui pendekatan teks Formula Institusi (FI), kita juga dapat melacak perkembangan pemakaian
kata ‘Gereja’ (la Iglesia) dalam teks Ignasius. FI 1540 yang disahkan Paus Paulus III belum mencantumkan
kata ‘Gereja’ di dalam rumusan visi-misi SJ. Baru pada FI 1550 yang diteguhkan oleh Paus Julius III terdapat
perubahan eksplisit. FI tidak berhubungan langsung dengan LR, namun setidaknya keduanya ditulis oleh
pengarang yang sama dan kurun penyempurnaan teks LR berdekatan dengan perkembangan perumusan FI
1540 dan 1550. Berikut perbandingan kedua teks ini:
Regimini militantis Ecclesiae 1540 Exposcit debitum 1550
…melulu melayani Tuhan dan Sri Paus di Roma,
Wakil-Nya di dunia…
…melulu melayani Tuhan dan Gereja mempelai-Nya,
di bawah Sri Paus di Roma, Wakil Kristus di dunia…
Dalam analisis teks, pendekatan dari sudut pandang literer tergolong yang paling sukar. Penjelasan
Georges Bottereau, arsiparis di Kuria Roma mengenai kata ‘Gereja’ dalam FI menarik untuk diikuti. Serupa
dengan pendekatan Gerald M. Fagin di bagian atas tulisan ini, Bottereau mengacu pada kisah pertimbangan
Ignasius untuk berlayar ke Yerusalem. Ignasius barangkali bertahun-tahun melayani membantu jiwa-jiwa
tanpa terendus oleh institusi Roma. Namun, sekembalinya dari Yerusalem ia bertanya pada dirinya sendiri
apakah yang akan dia lakukan bagi Kristus. Ia memutuskan studi tetapi tidak berarti untuk menjadi imam.
Ada dua pokok mengapa Ignasius akhirnya sampai kepada Paus. Pertama, dalam renungannya akan kata-
kata St. Paulus mengenai tubuh Kristus yang adalah Gereja, ia sadar bahwa Kristus itu hadir dan dilayani
dalam diri mempelai-Nya saja. Kedua, situasi Gereja yang menyedihkan pada masa itu dan dampak
Reformasi. Bagi jiwa Ignasius yang bermurah hati, kesulitan demikian itu tidaklah sedemikian
menghalanginya.
4. Bagian-bagian Pedoman Kesepahaman
Para komentator berusaha keras menemukan struktur Pedoman Kesepahaman, namun tidak
ditemukan satu persetujuan. Penulis akan memakai klasifikasi Pedoman Kesepahaman dengan Gereja
menurut Pedro Leturia, SJ sebagai berikut (tubuh teks LR 352-370 tidak perlu dicantumkan di sini):
- Ignasius menyatakan asas dasarnya pada pedoman I
- Kemudian, ia mengembangkan pedoman dasar tersebut ke dalam tiga kelompok.
- Kelompok 1 (pedoman I-IX) memberikan anjuran untuk mengembangkan sikap devosi dan jalan
hidup sebagai umat Katolik yang baik.
- Kelompok 2 (pedoman X-XII) membangun pandangan batin retretan dengan menghormati
yurisdiksi, pengajaran, dan kesucian di dalam Gereja.
- Kelompok 3 (pedoman XIII-XVIII) mengandung masalah doktrin yang kompleks pada zaman
Ignasius dan bahkan masa kini. Ignasius menguraikan secara hati-hati pokok persoalan yang
dipermasalahkan atau dipertanyakan pada abad ke-16.
Penulis tidak akan mengomentari satu per satu nomor di atas, tetap memberi penekanan pada
beberapa pokok penting saja. Ignasius memulai dengan “asas dan dasar” Pedoman Kesepahaman dengan
Gereja, yang berbunyi: Dengan meninggalkan semua pendapat sendiri, kita harus berusaha, agar hati kita
tetap terbuka dan sedia untuk taat dalam segala hal kepada Mempelai Kristus Tuhan kita yang benar, Ibu
Gereja yang suci dan hierarkis. Konotasi kalimat ini ialah tentang seluruh konsep ketaatan. Persisnya,
ketaataan yang menyertakan doa reflektif pada perintah dan wujud nyata Gereja. Berdasarkan asas ini,
6 | h l m
Ignasius menganjurkan praktik devosi yang waktu itu dijalani umat Katolik dengan setia namun
dipertanyakan dan dikritik, yakni pengakuan dosa, menerima komuni berkala, ibadat harian, selibat dan kaul
biara, pembaktian kepada orang kudus, silih dosa, dan ornamen Gereja. Khusus pada Pedoman XI, Ignasius
membimbing retretan untuk memuji semua perintah Gereja dan bahkan mencari alasan untuk
mempertahankannya. Pedoman ini bisa dikatakan sebagai kesimpulan kelompok 1 dan transisi yang tepat ke
kelompok 2. Kata ‘mencari alasan’ berimplikasi banyak hal, seperti pada formasi yang lama dan kokoh dalam
bidang teologi dan misi berdialog dengan golongan Protestan.
Kelompok 2 dimulai dengan Pedoman X mengenai kesepahaman pada para pembesar (mayores)2.
Ignasius menekankan kecondongan untuk membenarkan perintah atasan dan cara bertindak mereka
meskipun melihat ada yang salah dalam diri mereka. Mengatakan keburukan itu tidak dilarang, namun
hendaknya kepada orang yang dapat membantu memperbaikinya. Inilah cara bertindak Ignasius yang lazim
dipakai dan dianjurkannya di mana-mana. Pedoman XII memberikan peringatan untuk tidak secara gampang
menyanto-nyantokan orang yang masih hidup. Ia barangkali menimba inspirasinya dari orang yang dianggap
memiliki keutamaan dan kesalehan hidup pada zamannya namun akhirnya jatuh ke dalam ajaran sesat,
misalnya Juan de Taxeda, Valdes, Bernardino Ochino, dan Agostino Mainardi.
Dalam Kelompok 3, Ignasius menganjurkan para retretannya, yakni pencinta Gereja, untuk memeluk
doktrin Gereja mengajarkannya secara saksama. Asas utama termuat dalam Pedoman XIII yang tidak lain
adalah parafrase Pedoman I. Substansi keduanya sama tetapi penekanannya berbeda. Ignasius menunjukkan
peran Roh Kudus dan Tuhan yang sama dan kontinu sejak zaman Musa (bdk. eklesiologi kawanan Israel
dalam LG 2) dan kini hadir dalam Gereja Kudus. Tentang pengajaran doktrin Gereja, Ignasius memberikan
anjuran atas sensitivitas debat teologi zamannya: (i) janganlah terlalu banyak berbicara tentang predestinasi
sehingga melalaikan pekerjaan yang menolong keselamatan dan kesempurnaan rohani; (ii) janganlah terlalu
menekankan iman sehingga malas dalam pekerjaan; (iii) janganlah terlalu mengedepankan rahmat sehingga
mengabaikan kemerdekaan manusia; (iv) memuji rasa takut kepada Allah.
5. Teologi Ignasius
Berkenaan dengan tema mengenai gereja, menariklah mengupas eklesiologi Ignasius. Dia
memandang bahwa Gereja sebagai kerajaan Kristus yang harus disebarluaskan, sebagai tubuh di dunia yang
dipimpin oleh wakil-Nya. Dari Dialah segala perintah diturunkan secara hierarkis. Mencari dan mewujudkan
kehendak Kristus, khususnya yang ditunjukkan secara resmi oleh Gereja, adalah salah satu dambaan hidup
Ignasius.
Ignasius melihat Gereja sebagai mempelai Kristus dan Ibunda. Konsep Gereja sebagai Mempelai
Kristus dan Bunda adalah salah satu pokok gagasan yang paling ia tekankan dari delapan belas pedoman ini.
Ia tidak melihat Gereja dalam arti Gereja yang mulia setelah Parousia, bukan Gereja yang abstrak, bukan ideal
Gereja menurut idaman para teolog, akan tetapi Gereja pejuang (the church militant, la iglesia militante) yang
konkret, yakni dengan segala kekurangan manusiawi yang ditemukan dalam para paus, uskup, dan
anggotanya. Dan, perlu diingat, Ignasius sangat tahu dan mampu menemukan aneka jenis cacat Gereja.
2 Mayores (Sp.) berarti pemimpin; pada teks Ignasius ini mengacu kepada otoritas gerejawi dan sipil (DalmMan, 200; Leturia,
Estudios, 2:164). LR terj. Ganss, 164.
7 | h l m
Kardinal Avery Dulles SJ (1918-2008), memberikan penjelasan menarik. Pertama-tama ia berangkat
dari pemahaman bahwa Ignatius Loyola sama-sama mengakui kedekatan jiwa pribadi dengan Tuhan3 dan
menekankan mediasi gereja (Pedoman Kesepahaman). Ignasius berulang kali berbicara tentang gereja
sebagai Bunda kaum beriman dan Mempelai Kristus (LR 353). "Dalam Kristus, Tuhan kita, Sang Pengantin,
dan Gereja Mempelai-Nya," tandasnya, "hanya ada satu Roh yang memerintah dan memimpin kita" (LR 365).
Ignatius berbicara pula tentang melayani Kristus di gereja pejuang dan pada dua kesempatan menyebutnya
sebagai "gereja hirarkis" (LR 170, 353). Mengacu perbandingan beberapa versi LR, Ignasius (atau
editor/penerjemah) menambahkan bahwa gereja itu ialah “gereja hirarkis Roma” pada pedoman I [353].
Ignasius (atau editor/penerjemah) menambahkan kata “Roma” di dekat kata “hierarkis” ketika pertama kali
menerjemahkan LR dari bahasa Spanyol Castilia ke bahasa Latin. Kata “Roma” belakangan tidak muncul
dalam LR 170 juga menunjukkan penegasan berarti bahwa orang yang dipanggil dalam Roh Kudus tidak
boleh memilih sesuatu yang berlawanan dengan Gereja hierarkis. Ciri mistik Gereja ini yang diangkat
kembali dalam bidang teologi oleh Jesuit Prancis Henri de Lubac, serta oleh teman dan muridnya, Hans Urs
von Balthasar.
De Lubac, seperti Rahner, sangat dipengaruhi oleh pandangan [Jesuit Belgia Joseph] Maréchal bahwa
jiwa manusia pada dasarnya memiliki keterarahan dinamis untuk mengatasi semua objek terbatas dalam
pencarian akan sesuatu yang lebih besar dari segala sesuatu yang mungkin ada (bdk. The Discovery of God).
Kegelisahan jiwa demi mencari Allah mendorong orang untuk maju terus menerus pada-Nya. “Pengenalan
Primordial” datang ke dirinya sendiri dalam konsep refleksif, tetapi konsep ini tidak pernah berakhir; konsep
selalu tunduk pada kritik dan koreksi (lih. Balthasar, The Theology of Henri de Lubac).
Meskipun percaya akan gerak batin pribadi manusia, de Lubac tidak ingin jatuh ke dalam
individualisme religius. Mengambil sebutan Ignatian gereja sebagai Mempelai Kristus dan sebagai Bunda
semua umat beriman, ia menegaskan bahwa ada "identitas mistik" antara Kristus dan Gereja. Meskipun
Gereja memilki dimensi tak kelihatan, namun Gereja pada dasarnya berciri tampak dan hierarkis. Lebih
lanjut, de Lubac dalam The Splendor of the Church mengatakan, “Tanpa hierarki, yang merupakan pokok
organisasi, pengatur, dan pemandu, kita sama sekali tidak bisa berbicara tentang Gereja.”
6. Penerapan Pedoman ini
Ada tiga wilayah penerapan pedoman Kesepahaman dengan Gereja, yakni peribadatan (354-361),
otoritas gerejawi (362-364), dan pengajaran (365-370).
a. Peribadatan (observing worship): iman Kristiani diungkapkan baik secara pribadi maupun dalam
komunitas. Keanggotaan sebagai warga Gereja juga mensyaratkan keterlibatan dalam ibadat,
liturgi, dan sakramen. Mengikuti konteks zamannya, Ignasius menyebutkan tentang ibadat
harian, pengakuan dosa, hidup membiara dan kaul-kaulnya, memuji relikui, indulgensi, ziarah,
aflat perang salib, puasa, vigili, hiasan gereja, patung para kudus, dan perintah gereja. Semuanya
dipandang sebagai jalan menuju keselamatan dan kesempurnaan.
b. Otoritas gerejawi (dealing with authorities): Ketika menyebut ‘Gereja’, Ignasius mengacu pada
gereja dalam arti nyata, bukan gereja abstrak. Gereja mengandung umat, struktur, bangunan, dan
pemimpin. Ia melihat banyak waligereja yang tidak sempurna pada zamannya. Akan tetapi,
ketidaksempurnaan tidak mempengaruhi validitas jabatan dan keabsahan wewenang. Ignasius
3 membiarkan Pencipta dan Tuhan secara pribadi mewahyukan Diri kepada jiwa yang bakti. LR 15
8 | h l m
menganjurkan sikap membangun (ad aedificationem) lebih daripada menggerutu atau
membicarakan mereka dari belakang. Ignasius kemudian memberi peringatan akan pentingnya
teologi apa yang dapat membantu orang menjadi putra-putri sejati Gereja.
Ia menganjurkan orang untuk mempelajari ajaran para teolog positif dan teolog skolastik serta
mengambangkan keseimbangan dinamisnya. Namun perlu dipahami bahwa pada 1500-an
banyak humanis dan reformis bereaksi terhadap teolog-teolog skolastik dan metode mereka,
bahkan sering dengan cemoohan. Kaum humanis dan reformis memandang teologi skolastik dan
positif sebagai musuh, tetapi Ignatius melihat kebaikan di antara keduanya. Dengan demikian,
melalui LR [363] dan aturan Konstitusi mengenai bahan studi teologi [351, 353, 366, 446, 464,
467], Ignasius berpengaruh luas pada pengajaran teologi selama berabad-abad.
Sudah ada catatan abad V masehi dari St. Vincentius de Lerins agar umat waspada akan anak-
anak muda yang sesat karena diajar oleh guru-guru yang ajarannya ‘cacat’. Dari inspirasi ini,
Ignasius barangkali secara berhati-hati mengantisipasi pengaruh Luther, Calvin dan humanis
seperti Erasmus. Persisnya, ia memiliki pengalaman meredakan kegaduhan akibat ramalan
bahwa Onfroy dan Oviedo yang terpengaruh seorang Fransiskan, Juan de Tajeda, bahwa
Fransiskus Borgias adalah “Santo Fransiskus Asisi baru” dan bahwa ia akan menjadi “Paus
Malaikat” karena terkenal suci.4 Pada 1538, di Roma, Ignasius juga menyaksikan hiruk pikuk akan
Landivar, Mudarra, dan Barreda serta pengkhotbah lain yang dianggap amat suci oleh banyak
orang.
c. Pengajaran (evaluating preaching and teaching): bagian ini paling sering didiskusikan dan di
perdebatkan di kalangan para ahli. Bagian ini memuat cakupan perdebatan pada masa Ignasius,
di antaranya kodrat manusia dan tuhan, hubungan antara predestinasi dengan usaha manusia,
rahmat dan kebebasan, cinta dan rasa takut, dan sebagainya. Ignasius menekankan sikap yang
diambil retretan ketika menghadapi masalah ini. Ia tidak meminta retretan membiarkan diri larut
dalam arus zaman, namun tetap waspada dan menyikapinya dengan kebijaksanaan dan diskresi.
Sikap ini berakar mendalam pada sikap kemuridan (humble docility) pada seluruh ajaran Gereja.
Agar tidak terjebak dalam sikap ekstrem, kita harus memperhatikan secara cermat kata-kata di
dalamnya. Ganss memberi contoh: Jika Gereja hierarkis menghendaki sesuatu dikatakan hitam
namun retretan melihatnya sebagai putih5, sebagai pencinta Gereja ia secara rendah hati
mengakui bahwa kesalahan ada pada pandangannya dan tetap percaya kepada pernyataan
Gereja. Namun, ia tidak diminta berpikir bahwa putih itu hitam.
Ignasius mengharapkan agar retretan ambil bagian lebih aktif dalam hidup Katolik, menghidupi
“Gereja sehari-harinya”. Ia tahu bahwa orang yang maju lebih baik dalam hidup menggereja membutuhkan
pedoman praktis. Kembali kepada gagasan dasar bahwa LR tidak boleh dipaksa-paksakan, pedoman 352-370
bukanlah kewajiban. Pedoman ini tidak dipahami dalam kerangka pikir “kamu memerintah, aku menaati”,
melainkan melibatkan afeksi dan diskresi pihak yang terlibat. Bagi Ignasius, ketaatan kepada Gereja hanya
akan suci apabila orang yang menaatinya itu orang yang mampu berdiskresi.
Dalam pikiran Ignasius, dalam banyak hal kita diminta selalu mengharapkan penilaian lebih matang
dari Gereja hierarkis. Berhadapan dengan patokan ini kiranya yang penting adalah menafsirkan dan
4 Kasus ini dibahas dalam Surat Ignasius kepada Fransiskus Borgias, Juli 1549.
5 Yang dimaksud Ignasius ialah “what seems to me to be white,” atau “what I see” [que yo veo] “as white”.
9 | h l m
menyesuaikan semuanya dengan eklesiologi yang berkembang dan berubah. Beberapa pergulatan konkret
Kesepahaman dengan Gereja:
1. Kaul keempat sering dikatakan sebagai bentuk radikal dari kesepahaman dengan Gereja. Kaul primi
patres 1534 adalah salah satu sikap eksplisitnya. Dalam “pemeriksaan pertama lagi umum 7”, yakni
dokumen yang harus diperkenalkan kepada mereka yang menjalani masa percobaan pertama
(novisiat) dan Bagian V Konstitusi [529], Ignasius menyuruh para Yesuit siap pergi ke mana saja Paus
mengutus mereka. Namun, pada abad XIX muncul pula sikap ultramontanisme, yakni kecenderungan
membela kepausan dan hak paus dari segala gangguan, dari dalam maupun luar Gereja, yang
merongrong otoritas religius dan sekular kepausan.
2. Pada 6 Oktober 1981, Paus Yohanes Paulus II memperlihatkan ketidakpercayaannya dengan Serikat
dengan menunjuk delegatnya, Paolo Dezza SJ, untuk mengurus Serikat pada saat Pedro Arrupe SJ
menderita stroke. Reaksi para Yesuit beraneka ragam, meratap, sedih, terkejut hingga marah. Namun,
tak ada yang membuat pernyataan publik melawan tindakan paus. Karl Rahner, misalnya, menulis
surat penuh hormat yang menyatakan bahwa ia tidak paham akan tindakan paus. Namun, ia
menyatakan akan tetap menaatinya.
3. Pada 1999, Kongregasi Ajaran Iman Vatikan memulai penyelidikan Jacques Dupuis SJ (1923-2004),
profesor Universitas Gregoriana Roma yang menulis buku Toward a Christian Theology of Religious
Pluralism. Temanya ialah bagaimana keselamatan diperoleh oleh mereka yang memeluk agama non-
Kristen. Pada 2001 ia dibebaskan dari segala tuduhan dan dipulihkan kembali hak mengajarnya.
Namun, konon segala penyelidikan oleh Vatikan menyebabkan kemunduran fisik dan mentalnya.
Masih ada berbagai contoh pergulatan orang yang menjalani Latihan Rohani terbentur dengan otoritas
gerejawi. Namun, seorang manusia Latihan Rohani akan berpegang teguh pada keyakinan yang termuat di
dalamnya, meskipun tidak ditempuh dengan pergulatan mudah. Sebab, ada diskresi pribadi dan faktor lain
yang mempengaruhi kesepahaman dengan Gereja. Tegangan. Kata kunci inilah yang memuat ciri kesetiaan
kreatif manusia Latihan Rohani kepada ibadat, ajaran, dan otoritas Gereja.
Epilog
Ignasius menulis dengan bahasa cinta, bukan bahasa apologetik atau bahasa teologi. Ia tidak
bermaksud melawan alumbrados maupun heretik atau orang Katolik yang sedang ragu. Setiap manusia akan
melihat kekurangan dalam diri ibunya. Namun cinta anak akan tetap mengalir dan selalu berusaha
membantu sang ibu ketika ibunya diterpa masalah. Demikian pulalah dengan Gereja. Gereja memiliki banyak
kekurangan yang diperbuat oleh manusia-manusia di dalamnya. Karl Rahner (1904-1984) mengatakan,
"Gereja adalah wanita tua dengan banyak kerut dan kerenyit, tetapi dia adalah ibuku, dan tak seorang pun
boleh memukul ibuku".
Kembali kepada judul tulisan ini, orang yang menjalani dan mempelajari LR semakin memiliki
pemahaman ideal dan real mengenai Gereja, namun secara khusus kedewasaan mendalam dalam pelayanan
akan Gereja Kudus. Latihan demi latihan mengajak orang mendalami disposisi pribadi dan sapaan-sapaan
Allah dalam diri retretan. Bak perutusan Ekaristi, “Ite, missa est”, Pedoman Kesepahaman dengan Gereja
memberikan aspek misioner kepada retretan; pergi merasul di tengah dunia sebagai manusia-manusia
Latihan Rohani pada umumnya dan manusia-manusia Gereja pada khususnya. Kedewasaan mendalam itu
10 | h l m
akan teruji melalui perjalanan panjang nan berliku. Ignasius memiliki keprihatinan besar untuk membantu
sesama melalui Gereja. Dalam Gereja sebagai sarana manusiawi dan Gereja Kudus Hierarkis tempat Tubuh
Kristus di dunia inilah Ignasius mewariskan cara-cara mengabdi Allah dengan lebih baik.
Dari judul handout ini “Menjadi Manusia Latihan Rohani Dewasa di dalam Gereja” tersirat gerak maju
menjadi warga Gereja Katolik yang semakin peduli dan melayani. Bukan banyaknya kegiatan (aktivisme)
atau pengetahuan gerejawi (intelektualisme) yang menjadikan orang suci melainkan kualitas cinta akan
Gereja (baik komitmen, sense of belonging, keterlibatan aktif, kemauan belajar, kesalehan pribadi dan karya
amal kasih, termasuk juga hidup menjemaat dll.). Dengan pengandaian bahwa peserta retret adalah para
remaja Katolik level SMA, contoh pertanyaan reflektif yang dapat diberikan bagi mereka misalnya:
1. Ignasius terinspirasi oleh bacaan ksatria yang setia mengabdi dan mau melakukan apa saja demi
rajanya. Apakah bacaan yang menginspirasiku untuk semakin bertumbuh sebagai pelajar? atau dalam
semangat iman? atau cinta akan Gereja? Renungkan dan sharingkan!
2. Ignasius melihat kekurangan Gereja namun tidak semakin memperlebarnya. Ia menghormati Gereja
sebagai Ibu dan mau menanggung kerapuhannya. Apakah aku mudah menerima kekurangan anggota
keluargaku? teman-teman sekolahku? Adakah pengalaman akan itu? Renungkan dan sharingkan!
3. Konteks Indonesia: dalam hal apakah aku mencintai kegiatan gerejawi? Kegiatan apa saja yang
menarik bagiku? Apakah aku pernah minder sebagai warga Gereja? Apakah yang dapat
kukembangkan sehingga kehidupan menggerejaku lebih baik, khususnya di tengah dan bagi
masyarakat beragama lain? Renungkan dan sharingkan!
4. Bagi anak SMA terpanggil (kategori khusus): apakah aku merasa berkembang dan menemukan jati
diri sebagai anak muda di Gereja? Apakah minat besarku dalam bidang pelayanan gerejawi? Sejauh
aku kenal, figur uskup/imam/bruder/suster/tokoh awam mana yang menjadi inspirasiku?
Tantangan eksternal apakah yang akan kutemui jika aku memutuskan terlibat sebagai pelayan
Gereja? Renungkan dan sharingkan!
Daftar pustaka:
TEKS LATIHAN ROHANI:
Ignasius Loyola, Latihan Rohani, terj. J. Darminta SJ,
Yogyakarta: Kanisius, 1993.
__________________, Exercitia Spiritualia Sancti Patris
Ignatii de Loyola: Textus Hispanicus et Versio
Litteralis Autographi Hispani, Taurini-Romae,
Domus Editorialis Marietti: 1928.
__________________, The Spiritual Exercises of Saint
Ignatius Loyola: The Spanish Autograph and The
Latin Vulgate with Translations in English, ed. Eric
Jensen, SJ (manuskrip), Ontario: Ignatius Jesuit
Centre.
__________________, The Spiritual Exercises of Saint
Ignatius Loyola: A Translation and Commentary by
George E. Ganss, S.J., St. Louis: The Institute of
Jesuit Sources, 1992.
__________________, The Spiritual Exercises of St.
Ignatius: Based on Studies in the Language of the
Autograph, terj. Louis J. Puhl, SJ., Chicago: Loyola
Press, 1951.
SUMBER PENULISAN:
11 | h l m
Cahyadi, Krispurwana, SJ., Ignasius: Warisan Rohani dan
Cara Bertindak, Yogyakarta: Kanisius, 2013. (p. 169-
188).
Coathalem, Hervé, SJ., Ignatian Insights: A Guide to the
Complete Spiritual Exercises, terj. Charles J.
McCarthy, SJ. 2nd ed. Taichung, Taiwan: Kuangchi
Press, 1971. (p. 295-308).
Dulles, Avery, SJ., “Ignatius Among Us: Great 20th-century
theologians share a common spiritual heritage”,
dalam America, 4 Februari 2013. P. 28-33. (Ninth
Annual Spring McGinley Lecture, Fordham, 10 April
1997).
Endean, Philip, SJ., “Ignatius and Church Authority”, The
Way Supplement 70, 1991, (p. 76–90).
Fagin, Gerald M., SJ., “Fidelity in the Church – Then and
Now”, STUDIES in the Spirituality of Jesuits, Vol.
XXXI, No. 3, Mei 1999.
Fleming, David L., SJ. Like the Lightning: The Dynamics of
the Spiritual Exercises, St. Louis: The Institute of
Jesuit Sources, 2004.
Ganss, George E., SJ., “St. Ignatius's Rules for Thinking
with the Church”, STUDIES in the Spirituality of
Jesuits, Vol. VII, No. 1, Januari 1975. (p. 12-20).
Ganss, George E., SJ., “Thinking With The Church: The
Spirit Of St Ignatius's Rules”, The Way Supplement,
20, 1973. (p. 72-82).
Ignasius Loyola, Surat-surat St. Ignasius Loyola, cetakan
ke-2, (ed. Surya Awangga), Semarang: Provinsi
Indonesia Serikat Yesus, 2013. (p. 131-151, 283-
303).
Lonsdale, David, SJ., Eyes to See, Ears to Hear: An
Introduction to Ignatian Spirituality, London:
Darton, Longman, and Todd Ltd., 2000.
Sardi, Leo Agung, SJ, Jesuit Magis: Pengalaman Formasi 6
Jesuit Awal. Yogyakarta: Kanisius, 2006
.