KEPUTUSAN DPD RI NOMOR 32 TAHUN 2015-2016 ... - JDIHN

22
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32/DPD RI/II/2015-2016 TENTANG HASIL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ATAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2014 TENTANG KELAUTAN JAKARTA 2015 301

Transcript of KEPUTUSAN DPD RI NOMOR 32 TAHUN 2015-2016 ... - JDIHN

DEWAN PERWAKILAN DAERAHREPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSANDEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIANOMOR 32/DPD RI/II/2015-2016

TENTANGHASIL PENGAWASAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

ATAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG

REPUBLIK INDONESIANOMOR 32 TAHUN 2014

TENTANGKELAUTAN

JAKARTA 2015

301

DEWAN PERWAKILAN DAERAHREPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSANDEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIANOMOR 32/DPD RI/II/2015-2016

TENTANG

HASIL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

ATAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 32 TAHUN 2014

TENTANGKELAUTAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESADEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki sumber daya alam yang melimpah yang merupakan rahmat dan karunia Tuhan Yang Maha Esa bagi seluruh bangsa dan negara Indonesia yang harus dikelola secara berkelanjutan untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. bahwa wilayah laut sebagai bagian terbesar dari wilayah Indonesia, yang memiliki posisi dan nilai strategis dari berbagai aspek kehidupan yang mencakup politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, dan keamanan merupakan modal dasar pembangunan nasional;

c. bahwa salah satu kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan

303

pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama;

d. bahwa berdasarkan ketentuan pada huruf a, huruf b, dan huruf c diatas, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia melalui Komite II Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia sesuai dengan lingkup tugasnya telah melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang kelautan yaitu Undang-undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan;

e. bahwa hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada huruf d telah disampaikan dan diputuskan dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia sebagai Hasil Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia untuk disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti;

f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu menetapkan Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia tentang Hasil Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia atas Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan;

Mengingat : 1. Pasal 22D ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568).

3. Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia;

4. Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah;

5. Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 25/DPD/2007 tentang Tata Naskah Dinas Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia;

Dengan Persetujuan Sidang Paripurna ke-6Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

Masa Sidang II Tahun Sidang 2015-2016 Tanggal 18 Desember 2015

304

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG HASIL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ATAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2014 TENTANG KELAUTAN.

PERTAMA : Hasil Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia atas Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

KEDUA : Isi dan rincian Hasil Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Diktum PERTAMA, disusun dalam naskah terlampir yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan ini.

KETIGA : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakartapada tanggal 18 Desember 2015

DEWAN PERWAKILAN DAERAHREPUBLIK INDONESIA

PIMPINAN

Ketua,

IRMAN GUSMAN

Wakil Ketua,

G.K.R. HEMAS

Wakil Ketua,

Prof. Dr. FAROUK MUHAMMAD

305

DEWAN PERWAKILAN DAERAHREPUBLIK INDONESIA

LAMPIRAN

KEPUTUSANDEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIANOMOR 32/DPD RI/II/2015-2016

TENTANG

HASIL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

ATAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 32 TAHUN 2014TENTANG

KELAUTAN

JAKARTA2015

307

____________________________________________

HASIL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

ATAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 32 TAHUN 2014TENTANG

KELAUTAN ____________________________________________

309

BAB 1PENDAHULUAN

1.1. Latar BelakangUU Kelautan merupakan satu-satunya UU inisiatif pertama DPD RI yang

diundangkan dari sederet Undang-Undang dalam daftar prioritas prolegnas tahun 2014. Urgensi dan kebutuhan akan UU Kelautan berdasarkan pada fakta empirik, bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan potensi dan kekayaan alam yang berlimpah. Indonesia memiliki wilayah seluas 7,7 juta km2 dengan luas daratan hanya 1/3 dari luas lautan dan memiliki garis pantai terpanjang ke-4 di dunia, yaitu + 95.181 km serta memiliki + 17.499 pulau (Dishidros, 2012).

Tahun 2014, RUU Kelautan ditetapkan menjadi Undang-Undang Republik Indonesia yang lebih mirip “primary legislation” karena Indonesia memiliki lebih dari satu perundang-undangan sektoral yang mengatur tentang laut. Undang-Undang sektoral tersebut dapat dipandang sebagai “secondary legislation”. Dengan perkembangan kebutuhan hukum di Indonesia, yang tidak lagi mengenal UU pokok, maka asas hukum yang berlaku adalah asas lex specialis derogat legi generalis.

Asas lex specialis derogat legi generalis mensyaratkan bahwa ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus, ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex generalis (undang-undang dengan undang-undang) dan ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum-rezim yang sama dengan lex generalis. Oleh karena itu, UU Kelautan tetap akan menjadi landasan pokok regulasi dan kebijakan dari seluruh aspek kelautan di Indonesia.

Selain potensi dan luas wilayah itu, secara geografis Indonesia terletak di antara dua benua, yaitu Asia dan Australia dan dua samudera, yaitu Hindia dan Pasifik yang merupakan kawasan paling dinamis dalam percaturan dunia, baik secara ekonomis maupun politis. Keunikan letak geografis tersebut menjadikan Indonesia memiliki keunggulan serta sekaligus ketergantungan yang tinggi terhadap bidang kelautan.

Bidang kelautan yang selanjutnya didefinisikan sebagai sektor perikanan, pariwisata bahari, pertambangan laut, industri maritim, perhubungan laut, bangunan kelautan, dan jasa kelautan, merupakan andalan pembangunan ekonomi Indonesia di masa depan. Dalam UU Kelautan definisi yang demikian itu dimuat dalam ketentuan tentang ruang lingkup. Arah, jangkauan dan cakupan pembangunan kelautan adalah peningkatan pendapatan masyarakat, kesempatan kerja, perolehan devisa dan pembangunan daerah.

UU Kelautan telah menggeser paradigma pembangunan ekonomi nasional dari yang semula diposisikan sebagai pinggiran menjadi arus utama pembangunan.

311

Dengan posisi sebagai arus utama pembangunan, sektor kelautan dan perikanan diharapkan dapat menunjukkan konstribusi tinggi terhadap pembangunan ekonomi nasional.

Salah satu bukti potensi ekonomi bidang kelautan adalah di sektor perikanan, yang diperkirakan memiliki nilai ekonomi sebesar US$ 82 miliar per tahun. Nilai ekonomi dengan satu jenis komoditas saja, antara lain berasal dari kegiatan budidaya tambak, yang luas potensi lahannya mencapai 913.000 ha. Apabila 500.000 ha saja dapat dimanfaatkan dengan produktivitas 2 ton/ha./tahun, maka total produksi yang dapat dicapai adalah 1.000.000 (satujuta) ton setiap tahunnya. Dengan harga udang US$ 8/kg, maka devisa yang dapat diraih adalah US$ 8 miliar per 1 tahun atau sekitar dua kali lipat devisa sektor kehutanan.

Namun demikian, pengelolaan dan pengembangan bidang kelautan memiliki sejumlah hambatan dan masalah. Hambatan dan masalah tersebut antara lain sistem hukum dan kelembagaan, tatakelola dan koordinasi, pembagian kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah, perizinan, pendanaan, pelatihan dan pengembangan sumber daya laut dan minimnya dukungan sarana dan prasarana serta implementasi pengawasan, sanksi hukum yang lemah dan penegakan hukum yang tidak konsisten dan terintegrasi.

Undang-Undang 32 Tahun 2014 tentang Kelautan telah berlaku efektif. Namun demikian pemberlakuan suatu Undang-Undang memerlukan pengawasan agar dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan, arah dan jangkauan yang diatur dalam Undang-Undang yang dimaksud.

Pengawasan Undang-Undang 32 Tahun 2014 tentang Kelautan berlandas pijak pada konsideran huruf (b) yang menyatakan bahwa wilayah laut sebagai bagian terbesar dari wilayah Indonesia, yang memiliki posisi dan nilai strategis dari berbagai aspek kehidupan yang mencakup politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, dan keamanan merupakan modal dasar pembangunan nasional.

1.2. Tujuan Tujuan pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan adalah:a. Untuk mengetahui apakah dalam pelaksanaan UU 32 Tahun 2014 tentang

Kelautan, terdapat hal-hal yang merugikan daerah, masyarakat, negara dan bangsa;

b. Untuk mengetahui apakah terdapat penyimpangan dan ketidakpatuhan terhadap pelaksanan UU 32 Tahun 2014 tentang Kelautan dalam rangka menciptakan kepastian hukum bidang kelautan di Indonesia;

c. Mengawasi pelaksanaan UU 32 Tahun 2014 tentang Kelautan agar asas kemanfaatan Undang-Undang dapat dirasakan secara langsung oleh stakeholders kelautan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat;

312

d. Menetapkan rekomendasi kebijakan bidang kelautan kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang bersumber dari pelaksanaan tugas pengawasan DPD RI sebagai rumusan kebijakan bidang kelautan baik nasional maupun daerah.

1.3. Dasar HukumDasar hukum pelaksanaan tugas pengawasan DPD RI berdasarkan pada aturan-aturan yuridis formal sebagai berikut:a. Pasal 22D UUD 1945;b. Pasal 248 ayat 1 huruf (d) UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD,

dan DPRD;c. Keputusan DPD RI Nomor 1 tahun 2014 tentang Tata Tertib.

1.4. Mekanisme Pengawasan Mekanisme pengawasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan adalah: a. Pasal 248 ayat 1 huruf (d) UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR,

DPD, dan DPRD menegaskan bahwa salah satu tugas dan wewenang DPD RI adalah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama.

b. DPD RI memiliki kewenangan untuk menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang tertentu dalam rangka melakukan pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang tertentu.

c. Mekanisme pengawasan Undang-Undang tertentu dilaksanakan melalui penyerapan aspirasi dan menampung pengaduan masyarakat dan daerah. Selain penyerapan aspirasi, dilaksanakan pula kunjungan kerja ke beberapa daerah, termasuk melakukan dialog langsung dengan konstituen dan masyarakat umum di daerah.

1.5. Anggaran Seluruh biaya atas kegiatan pengawasan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan dibebankan pada anggaran rutin DPD RI yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) Tahun 2015.

313

BAB 2PELAKSANAAN PENGAWASAN

2.1. Subjek Pengawasan Subyek pengawasan pelaksanaan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan adalah anggota DPD RI. Sesuai dengan kewenangan DPD RI berdasarkan Pasal 248 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa salah satu fungsi DPD RI adalah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama.

2.2. Objek Pengawasan Objek pengawasan adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan dan Peraturan Pelaksana atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan.

2.3. Metode Pengawasan Metode pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan adalah metode deskriptif-kualitatif dengan pendekatan yuridis-normatif yang memadukan berbagai intsrumen pengawasan DPD RI sebagaimana disajikan penjelasannya pada bagian 2.4. Instrumen Pengawasan.

2.4. Instrumen Pengawasan Instrumen pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan meliputi :a. Rapat Dengar Pendapat (RDP) dan Expert Meeting

RDP dan expert meeting diselengggarakan dengan para pemangku kepentingan (stake holders) di bidang kelautan. Instrumen pengawasan yang dipergunakan dalam rapat dengar pendapat, meliputi dan tidak terbatas pada hak bertanya anggota DPD RI, dialog dan diskusi antara Komite II DPD RI dengan para pemangku kepentingan (stake holders). Hasil rapat dengar pendapat selanjutnya diinventarisir ke dalam identifikasi masalah.

b. Kunjungan KerjaKunjungan kerja dilakukan untuk memperoleh gambaran yang sebenarnya tentang kondisi di lapangan terkait dengan berbagai permasalahan pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Permasalahan tersebut, mengemuka baik pada saat pelaksanaan rapat dengar pendapat maupun berdasarkan hasil penyerapan aspirasi masyarakat di daerah.

314

c. Kajian Yuridis Formal atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan dilakukan dengan analisis terhadap pasal demi pasal yang terkait dengan kebijakan kelautan, baik yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah maupun stakeholders kelautan lainnya. Instrumen pengawasan yang digunakan dalam melakukan kajian yuridis meliputi : (i) Kajian terhadap berbagai ketentuan perundang-undangan yang berhubungan dengan kelautan; (ii) Kajian dengan pendekatan law in books (aturan-aturan tertulis); dan (iii) Kajian dengan pendekatan law in actions (kenyataan dalam masyarakat).

2.5. Waktu Pengawasan Pengawasan pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan dilakukan pada Masa Sidang II Tahun Sidang 2015-2016.

315

BAB 3HASIL PENGAWASAN

Berdasarkan mekanisme dan instrumen pengawasan pada Bab 2, maka dirumuskan hasil pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, yang selanjutnya dalam naskah pengawasan ini disingkat UU Kelautan, sebagai berikut:1. Dari sisi kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, implementasi UU

Kelautan belum sepenuhnya dapat dilaksanakan. Pertama, UU Kelautan baru ditetapkan pada tahun 2014; Kedua, sebagai konsekuensi dari yang pertama adalah kurangnya diseminasi UU Kelautan termasuk sosialisasi perundang-undangannya. Selain kurangnya sosialisasi, pemerintah banyak melakukan perubahan nomenklatur kementerian dan kebijakan terkait dengan bidang kelautan yang menyebabkan seluruh sektor pembangunan yang disebutkan dalam UU Kelautan membutuhkan penyesuaian.

2. Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan belum dapat memenuhi tujuan UU Kelautan, terutama tujuan pada pasal 3 huruf (b) yaitu mendayagunakan Sumber Daya Kelautan dan/atau kegiatan di wilayah Laut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum laut internasional demi tercapainya kemakmuran bangsa dan Negara. Tidak terpenuhinya tujuan UU Kelautan tersebut, dapat dilihat dari kontribusi sektor kelautan dan perikanan yang tidak mengalami peningkatan terhadap pendapatan negara. Pada tahun 2014, sektor perikanan secara umum hanya menyumbang penerimaan negara bukan pajak sebesar 158,4 milyar rupiah dari target sebesar 250 milyar rupiah. Pada tahun 2015, Pemerintah menargetkan pendapatan dari sektor perikanan sebesar 1,27 Trilyun. Namun sampai dengan bulan Oktober 2015, pendapatan dari sektor perikanan baru terealisasi 30 milyar rupiah. Volume ekspor hasil perikanan tahun 2015 juga mengalami penurunan menjadi -14,91 persen, dibarengi dengan penurunan nilai ekspor menjadi -8,57 persen dibandingkan tahun 2014.

3. Ruang lingkup pengaturan yang sangat luas dengan melibatkan stakeholders kelautan yang beragam, berimplikasi pada tumpang tindihnya kebijakan dan sulitnya koordinasi antar instansi terkait, yang menyebabkan pula terjadinya benturan kepentingan bidang kelautan di tingkat pusat dan daerah.

4. Alokasi anggaran pemerintah bidang kelautan masih rendah karena formula penyusunannya ke dalam anggaran belanja pemerintah dan pemerintah daerah tidak didasarkan pada variabel luas wilayah laut. Pasal 15 ayat (4) menyebutkan “Untuk menjadikan kelautan sebagai basis pembangunan ekonomi bangsa, sepanjang frasa, Pemerintah wajib menyertakan luas wilayah laut sebagai dasar pengalokasian anggaran Pembangunan Kelautan. Ketentuan tentang ruang fiskal untuk bidang kelautan dinyatakan pula pada pasal 15 ayat (5) yaitu ”Anggaran Pembangunan Kelautan berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah”.

316

5. Pemerintah belum membangun sistem logistik ikan dan konektivitas antar wilayah yang dapat memudahkan distribusi ikan ke seluruh wilayah Indonesia. Konsekuensinya menyebabkan fluktuasi harga di tingkat nelayan dan terjadinya kelangkaan bahan baku untuk industri pengolahan hasil perikanan. Pasal 18 UU Kelautan menyebutkan untuk kepentingan distribusi hasil perikanan, Pemerintah harus mengatur sistem logistik ikan nasional.

6. Pembangunan infrastruktur pelabuhan untuk mendukung pengembangan dan peningkatan penggunaan angkutan perairan dalam rangka konektivitas antar wilayah (tol laut) sebagaimana diamanatkan Pasal 30, belum memberikan hasil yang optimal. Pemerintah juga belum mampu mewujudkan adanya return cargo yang dapat merangsang pelaku usaha bidang transportasi laut untuk mengembangkan usahanya. Selama ini angkutan laut hanya memperoleh muatan dari wilayah barat ke timur, sedangkan sebaliknya masih belum ada.

7. Peran serta masyarakat dalam pembangunan kelautan masih rendah. Pasal 22 ayat 2 huruf (c) menyatakan bahwa untuk memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif masyarakat dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan, dan berkelanjutan; dan huruf (d) meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat melalui peran serta masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil.

8. Pemerintah belum menyusun rencana tata ruang laut nasional dan juga perencanaan zonasi kawasan laut, termasuk pemasangan pipa dan kabel bawah laut untuk meminimalisir konflik pemanfaatan ruang laut antarsektor. Dasar hukum penataan ruang laut di atas 12 mil diatur lebih lanjut dalam UU Kelautan pasal 42, bahwa pemerintah memiliki kewajiban menyusun penataan ruang laut dalam kerangka perlindungan dan pemanfaatan potensi sumber daya kelautan di atas 12 mil.

9. Pasal 47 dan pasal 49 UU Kelautan hanya mengatur perizinan pemanfaatan ruang laut namun tidak mengatur pembatasan kepemilikan dan pengelolaan individu dan korporasi atas SDA Laut. Pembatasan keikutsertaan asing dalam pengelolaan SDA laut Indonesia dan mengedepankan kepemilikan/keikutsertaan nasional dalam pengelolaan SDA laut tidak diatur dalam UU Kelautan. Pembatasan keikutsertaan asing dalam UU Kelautan secara limitatif hanya diatur dalam Pasal 39 mengenai izin penelitian untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagaimana telah disebutkan pada bagian (i) tentang diktum perizinan.

10. Tumpang tindih keamanan dan kewenangan penegakan hukum di laut belum dapat diatasi melalui Badan Keamanan Laut (Bakamla). Pengamanan dan penegakan hukum dilaksanakan oleh 12 Kementerian Lembaga. Pasal 60 UU Kelautan mengamanatkan pentingnya koordinasi keamanan dan penegakan hukum di laut. Bakamla bertanggungjawab langsung kepada Presiden (pasal 60) dan bertugas melakukan patroli keamanan serta keselamatan di wilayah perairan dan wilayah Indonesia. Pada pasal 62 dijelaskan, Bakamla memiliki fungsi melaksanakan

317

penjagaan, pengawasan, pencegahan, dan penindakan pelanggaran hukum di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia.

11. Sampai dengan saat ini Indonesia masih memiliki permasalahan terkait dengan penegakan batas-batas wilayah laut Indonesia dengan negara tetangga yang tidak diatur secara lebih spesifik dalam UU Kelautan. Adapun negara-negara tersebut meliputi Australia, Filiphina, India, Malaysia, Papua Nugini, Singapura, Timor Leste, Thailand dan Vietnam

12. Sejumlah temuan bidang perikanan dan kelautan di 33 Provinsi yang merupakan aspirasi masyarakat di daerah, baik sebagian maupun seluruhnya, menekankan pentingnya budi daya ikan termasuk pengembangan pasar ikan tuna, peningkatan kesejahteraan nelayan termasuk kapasitas produksi perikanan, pengembangan wisata bahari, pembangunan infrastruktur laut, industri matirim, pengembangan wilayah pesisir dan pula-pulau kecil, perizinan dalam hal penangkapan ikan dan penegakan hukum sebagaimana telah diatur dalam UU Kelautan.

13. Terdapat 10 pasal dalam UU Kelautan yang mengamanatkan kepada pemerintah untuk membentuk Peraturan Pemerintah (PP). Kesepuluh PP itu adalah: - PP tentang kebijakan Pembangunan Kelautan;- PP tentang industri maritim dan jasa maritim;- PP tentang kriteria, persyaratan, dan mekanisme pendirian dan/atau

penempatan bangunan di Laut;- PP tentang kebijakan budaya bahari;- PP tentang pembentukan pusat fasilitas Kelautan serta tugas, kewenangannya,

dan pembiayaannya;- PP tentang perencanaan ruang Laut;- PP tentang izin lokasi di Laut yang berada di wilayah perairan dan wilayah

yurisdiksi; dan tata cara pengenaan sanksi administratif;- PP tentang kebijakan tata kelola dan kelembagaan Laut;- PP tentang bentuk dan tata cara peran serta masyarakat dalam Pembangunan

Kelautan; dan - PP tentang kebijakan Pembangunan Kelautan.

318

BAB 4REKOMENDASI HASIL PENGAWASAN

Berdasarkan pembahasan hasil pengawasan, maka DPD RI merumuskan rekomendasi atas hasil pengawasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan sebagai berikut: 1. DPD RI merekomendasikan kepada seluruh stakeholders kelautan terutama

kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan serta pemerintah daerah untuk meningkatkan sosialisasi UU Kelautan dan melakukan langkah-langkah percepatan agar potensi ekonomi kelautan dapat memberikan konstribusi dalam pembangunan ekonomi di daerah.

2. DPD RI merekomendasikan kepada seluruh stakeholders kelautan untuk mengoptimalkan produksi perikanan budi daya nasional (ikan dan rumput laut) dan produksi perikanan tangkap di ZEEI dan laut lepas; mendorong pertumbuhan PDB perikanan; pengelolaan pulau-pulau kecil sebagai kekuatan ekonomi, mendorong industri pengolahan perikanan, khususnya di kawasan Indonesia Bagian Timur, meningkatkan pengawasan terhadap illegal fishing, peningkatan kawasan konversi laut nasional serta menumbuh kembangkan kapasitas SDM kelautan dan perikanan melalui diseminasi teknologi dan tata kelola pembangunan kelautan dan perikanan nasional dan daerah. Optimalisasi produksi perikanan budi daya nasional dan produksi perikanan tangkap di ZEEI dan laut lepas dilakukan dalam rangka meningkatkan penerimaan Negara dari sektor kelautan dan perikanan.

3. DPD RI merekomendasikan kepada pemerintah dan pemerintah daerah untuk mengedapankan koordinasi lintas kementerian/lembaga non kementerian dan pemerintah daerah serta melakukan sinkronisasi ketentuan turunan dari masing-masing sektor yang diatur dalam UU Kelautan dengan UU sektoral yang mengatur tentang kelautan serta UU tentang Pemerintahan Daerah.

4. DPD RI merekomendasikan kepada kementerian keuangan untuk memasukkan variabel luas wilayah laut dalam formula perhitungan dana perimbangan sebagaimana ketentuan pasal 15 UU Kelautan. Terkait dengan pasal 15 tentang dasar pengalokasian anggaran pembangunan kelautan berdasarkan luas wilayah laut, DPD RI merekomendasikan kepada Pemerintah untuk segera merevisi Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Alokasi Umum.

5. DPD RI merekomendasikan kepada pemerintah untuk segera membangun sistem logistik ikan nasional. Sistem logistik ikan nasional diperlukan untuk menumbuhkan industri pengolahan ikan nasional sejalan dengan penataan konektivitas pelabuhan perikanan dengan industri pengolahan ikan. Pembangunan pelabuhan perikanan dan industri pengolahan ikan harus diperbanyak di wilayah Indonesia Timur.

6. DPD RI merekomendasikan kepada pemerintah untuk memprioritaskan pembangunan infrastruktur pelabuhan di Indonesia bagian timur, dan memberikan kemudahan investasi serta subsidi transportasi laut untuk akselerasi konektivitas

319

guna mengatasi ketimpangan ekonomi antarwilayah serta mempermudah arus barang antar wilayah termasuk di dalamnya distribusi ikan dari wilayah timur ke barat.

7. Untuk meminimalisir konflik kepentingan atas pemanfaatan ruang laut dan penggunaan atas ruang laut yang tepat sasaran, DPD RI merekomendasikan kepada pemerintah untuk segera menetapkan Tata Ruang Laut yang dibagi ke dalam zonasi dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang kelautan antara pemerintah dan pemerintah daerah.

8. DPD RI merekomendasikan kepada pemerintah untuk menerapkan syarat perizinan yang ketat terutama untuk pemanfaatan ruang laut. Persyaratan itu dilakukan untuk menjaga daya dukung sumber daya laut dari kemungkinan terjadinya penangkapan ikan berlebihan (maximum suitainability yield) dan pemanfatan ruang laut yang merusak eksositem laut.

9. DPD RI merekomendasikan kepada pemerintah untuk memisahkan tupoksi penegakan hukum di laut dengan cara menyerahkan segala bentuk penegakan hukum dan keamanan di laut kepada Bakamla sebagai single agency multi tasking yang diberi kewenangan mengkoordinasi dan mengintegrasikan seluruh kebijakan keamanan dan penegakan hukum di laut, sebagaimana telah di atur dalam UU Kelautan. Untuk itu DPD RI merekomendasikan kepada pemerintah untuk memberikan kepastian kewenangan kepada Bakamla yang harus diikuti dengan kejelasan desain otoritasnya sehingga dapat harmonis dengan 12 kementerian dan lembaga yang memiliki yurisdiksi keamanan dan penegakan hukum di laut. 12 Kementerian Lembaga dengan UU tersendiri harus dapat diharmonisasikan dengan melalui ketentuan yang diatur dalam pasal 62 (d) UU Kelautan, yaitu Bakamla menjalankan fungsi menyinergikan dan memonitor pelaksanaan patroli perairan oleh instansi terkait. Dengan UU Kelautan , integrasi kewenangan pengamanan laut dapat ditegakkan tanpa harus melanggar UU sektoral yang ada.

10. Terkait dengan keikutsertaan asing dalam pengelolaan SDA laut, DPD RI merekomendasikan kepada pemerintah untuk menyesuaikan pengaturannya melalui UU Penanaman Modal. Selanjutnya, DPD RI merekomendasikan kepada pemerintah untuk menetapkan limitasi pemanfaatan ruang laut dalam rangka menjaga ekosistem laut sebagai persyaratan utama pemberian izin pemanfaatan ruang laut. Limitasi pemanfaatan ruang laut dapat dilakukan dengan memasukkan biaya ekternalitas (internalization of externalities). Biaya ekternalitas atas internalitas tidak cukup diatur dengan penerapan sanksi pencemaran berdasarkan prinsip pencemar membayar sebagaimana disebutkan pada pasal 52 dan 54.

11. DPD RI merekomendasikan kepada pemerintah untuk menyelesaikan secara menyeluruh persoalan yang berhubungan dengan perbatasan Negara. Selain itu, DPD RI juga merekomendasikan kepada pemerintah untuk mengadopsi langkah-langkah diplomatik untuk melindungi aktivitas nelayan pada wilayah perairan yang belum disepakati batasnya sebagaimana yang dilakukan antara Badan Keamanan Laut dengan Angkatan Penguatkuasaan Maritim Malaysia melalui Memorandum Of Understanding Between The Government Of The Republic Of Indonesia And

320

The Government Of Malaysia In Respect Of The Common Guidelines Concerning Treatment Of Fishermen By Maritime Law Enforcement Agencies Of The Republic Of Indonesia And Malaysia.

12. Sebagai langkah tindaklanjut atas seluruh temuan di 33 Provinsi yang terkait dengan UU Kelautan, DPD RI merekomendasikan kepada pemerintah dan pemerintah daerah untuk konsisten menjalankan amanat UU Kelautan dan UU sektoral lainnya yang terkait dengan laut. Arah, jangkauan dan sasaran UU Kelautan harus dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah dan memaksimalkan potensi sumber daya laut sebagai bagian penting dari pendapatan keuangan di daerah.

13. Terkait dengan 10 peraturan pemerintah yang belum ditetapkan, DPD RI mendesak pemerintah untuk menyelesaikan peraturan pemerintah tersebut, sesuai dengan tenggat waktu yang diamanatkan dalam UU Kelautan yang meliputi PP tentang kebijakan Pembangunan Kelautan; industri maritim dan jasa maritim; kriteria, persyaratan, dan mekanisme pendirian dan/atau penempatan bangunan di Laut; kebijakan budaya bahari; pembentukan pusat fasilitas Kelautan serta tugas, kewenangannya, dan pembiayaannya; perencanaan ruang Laut; izin lokasi di Laut yang berada di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi; dan tata cara pengenaan sanksi administratif; dan PP tentang kebijakan tata kelola dan kelembagaan Laut.

321

BAB 5PENUTUP

Demikian hasil pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia tentang pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan.

Ditetapkan di JakartaPada tanggal 18 Desember 2015

DEWAN PERWAKILAN DAERAHREPUBLIK INDONESIA

PIMPINAN

Ketua,

IRMAN GUSMAN

Wakil Ketua,

G.K.R. HEMAS

Wakil Ketua,

Prof. Dr. FAROUK MUHAMMAD

322