Kebijakan PPN atas Penyerahan Jasa Kepelabuhanan untuk Angkutan Laut Jalur Internasional

119
LAPORAN KAJIAN AKADEMIK KEBIJAKAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PENYERAHAN JASA KEPELABUHANAN UNTUK ANGKUTAN LAUT DALAM JALUR PELAYARAN INTERNASIONAL PUSAT KAJIAN ILMU ADMINISTRASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA Depok, September 2011

Transcript of Kebijakan PPN atas Penyerahan Jasa Kepelabuhanan untuk Angkutan Laut Jalur Internasional

LAPORAN KAJIAN AKADEMIK

KEBIJAKAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PENYERAHAN JASA KEPELABUHANAN

UNTUK ANGKUTAN LAUT DALAM JALUR PELAYARAN INTERNASIONAL

PUSAT KAJIAN ILMU ADMINISTRASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS INDONESIA

Depok, September 2011

i

KATA PENGANTAR

Kebijakan pajak termasuk kebijakan pemberian fasilitas pajak

diharapkan dapat menjadi leverage untuk mendorong kebijakan pembangunan

yang pro job dan pro growth. Ini pula yang akan mengukuhkan posisi

pemerintah sebagai Regulator, serta bukti nyata implementasi fungsi-fungsi

pemerintah, menciptakan level playing field yang fair sehingga tercipta

persaingan usaha yang sehat dan kompetitif.

Kebijakan pajak yang ideal, seyogyanya perlu memerhatikan dasar

berpijak penentuan sasaran-sasaran reformasi agar tercapai sistem pajak yang

baik. Oleh sebab itu prinsip peningkatan penerimaan (revenue productivity),

keadilan (equity/equality) dan kesederhanaan administrasi (ease of

administration) harus dipegang teguh dan dijaga keseimbangannya. Dengan

demikian peraturan perpajakan juga diharapkan dapat mencerminkan kepastian

dan netralitas, sehingga tercapai efisiensi dan efektifitas dalam biaya

administrasi (administration cost) dan biaya pemenuhan kewajiban pajak

(compliance cost) baik dari sisi Direktorat Jenderal Pajak maupun dari sisi

Wajib Pajak.

Dalam mendesain kebijakan pajak, tentunya diperlukan kajian yang

mendalam berdasarkan kerangka teori yang tepat dan relevan serta

internasional best practice. Oleh karena itu Kajian Akademik diperlukan untuk

mendukung kebijakan pajak yang baik.

Jakarta, September 2011

Tim Kajian

Pusat Kajian Ilmu Administrasi FISIP UI

ii

RINGKASAN EKSEKUTIF

Indonesia diharapkan dapat terus meningkatkan kinerja perdagangan

internasional agar dapat mengisi peluang perdagangan internasional dan

memberikan dampak positif dalam meningkatkan produksi nasional. Dalam hal

ekspor, efektvitas ekspor ditentukan oleh kapasitas produksi dan kemampuan

Negara untuk membawa barang-barang yang akan diperdagangkan ke pasaran

internasional dengan biaya yang relatif rendah sesuai dengan kondisi yang

diharapkan oleh importir dan konsumen. Oleh karena itu, kemajuan ekspor juga

didukung oleh kemampuan kualitas dan biaya transportasi. Pada umumnya

biaya transportasi untuk kegiatan ekspor yang dilakukan oleh negara

berkembang dapat mencapai rata-rata 2/3 dari biaya masuk yang dikenakan

oleh negara yang dituju.

Hingga saat ini 90%, perdagangan internasional dilakukan dengan jalur

laut. Dengan demikian jasa transportasi kelautan merupakan jasa transportasi

yang menjadi tumpuan utama dalam lalu lintas perdagangan internasional.

Bahkan melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2005, Presiden

telah memberikan instruksikan kepada 13 (tiga belas) Menteri dan para

Gubernur/Bupati/Walikota di seluruh Indonesia untuk mengoptimalkan

pelaksanaan kebijakan pemberdayaan industri pelayaran nasional. Inpres

tersebut juga menekankan pemberian fasilitas perpajakan kepada industri

pelayaran nasional dan industri perkapalan.

Angkutan laut berupa kapal-kapal dalam jalur pelayaran internasional

sangat berperan dalam meningkatkan perdagangan internasional Indonesia.

Termasuk yang tak kalah pentingnya adalah jasa kepelabuhanan yang menjadi

kegiatan yang tidak terpisahkan dalam kegiatan perdagangan internasional.

Pemberian fasilitas perpajakan termasuk juga pemberian fasilitas di

bidang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan suatu hal yang krusial

karena dapat mendorong penciptaan level playing field yang adil agar tercipta

kompetisi yang sehat, juga untuk mendorong daya saing nasional. Sudah

menjadi kelaziman di dunia Internasional bahwa jasa kepelabuhanan bagi

pelayaran Internasional dikecualikan dari pengenai Pajak Pertambahan Nilai

iii

(PPN). Termasuk juga upaya penerapan azas timbal balik terhadap perusahan

pelayaran Indonesia oleh negara yang mempunyai perjanjian bilateral.

Sejak menganut sistem PPN, pemerintah Indonesia telah memberikan

fasilitas PPN atas jasa kepelabuhanan berupa PPN dibebaskan dan atau PPN

Ditanggung Pemerintah. Perubahan kebijakan PPN terjadi dalam rejim PPN

Tahun 2000 di mana obyek jasa kepelabuhanan yang mendapat fasilitas

Pembebasan PPN hanya terbatas pada jasa tunda, jasa pandu, jasa tambat,

dan jasa labuh. Pembatasan obyek yang mendapat fasilitas PPN ini tidak

sesuai dengan nature of business dari jasa kepalabuhanan yang sesungguhnya

karena jenis-jenis jasa kepelabuhanan lebih luas dari keempat jenis jasa

tersebut di atas. Kebijakan pembebasan PPN yang bersifat parsial ini justru

menyebabkan cost administration yang tinggi sebagai konsekuensi administrasi

pemajakan yang berbeda atas dua perlakuan yang berbeda.

Pemberian fasilitas PPN atas jasa kepelabuhanan merupakan

internasional best practice karena Negara mempunya kepentingan yang

strategis atas jasa kepelabuhanan sebagai bagian dari faktor penentu

kelancaran arus lalu lintas barang, sehingga aktivitas ekonomi global dapat

berlangsung dengan baik. Adanya perlakuan khusus atas jasa kepelabuhan

yang dilakukan bagi kapal-kapal berbendera Korea (resident Korea) juga

menyebabkan unequal treatment dan distorstif terhadap asas netralitas yang

seharusnya dijunjung tinggi dalam mendisain sistem PPN, sehingga tidak

menciptakan level playing field yang sama bagi sesama pelaku usaha.

Akibatnya kurang kondusif terhadap kompetisi yang sehat dan justru

mengingkari upaya pencapaian RPJMN 2010-2014 dalam upaya meningkatkan

daya saing nasional.Penyerahan jasa kepelabuhanan untuk angkutan laut

dalam jalur pelayaran internasional seharusnya juga dilihat sebagai bagian dari

rangkaian jalur internasional sehingga perlakuan PPN hendaknya mengikuti

kelaziman internasional dan tidak semata mempertimbangkan place of supply.

Berdasarkan Pasal 16B UU PPN, pilihan skenario kebijakan dibatasi

hanya 2 (dua) alternatif yaitu pajak terutang dibebaskan dan pajak terutang

tidak dipungut. Masing-masing alternatif kebijakan ini mempunyai implikasi

yang berbeda karena keterkaitannya dengan ketentuan perpajakan lainnya,

iv

terutama UU KUP. Dari kedua alternatif tersebut, alternatif yang paling feasible

untuk diajukan dalam jangka pendek adalah fasilitas pajak terutang dibebaskan

atau fasilitas Pembebasan PPN, dengan beberapa alasan sebagai berikut:

a) Secara historis, fasilitas PPN yang pernah diberikan atas jasa

kepelabuhanan adalah exemption/pembebasan (baik object exemption

maupun VAT exemption) dan PPN Ditanggung oleh Pemerintah,

sehingga kebijakan ini bukan sesuatu yang sama sekali baru karena

pemerintah sudah mempunyai pengalaman dalam

pengimplementasiannya.

b) Pemberian fasilitas pembebasan PPN justru akan menciptakan level

playing field yang sama tanpa membedakan bendera Negara dari kapal

yang menggunakan jasa kepelabuhanan, karena kebijakan PPN yang

berlaku saat ini yang diberikan pada kapal resident Korea adalah

pembebasan PPN. Jika yang diberikan adalah fasilitas Pajak Terutang

Tidak Dipungut, maka justru akan menimbulkan bentuk persoalan baru.

c) Analisa konsepsi cost of taxation, secara aggregate kebijakan pajak

terutang dibebaskan dan pajak terutang tidak dipungut mempunyai

selisih beban pajak yang tidak terlalu signifikan sebagai implikasi dari

kebijakan pemeriksaan dan kebijakan restitusi yang berlaku saat ini.

Analisis system thinking menunjukkan bahwa kebijakan fasilitas PPN

atas jasa kepelabuhanan mempunyai magnitude terhadap aktivitas ekonomi

global bangsa Indonesia. Sesuai dengan konsepsi supply side tax policy,

kebijakan fasilitas PPN dapat mengurangi cost of taxation baik bagi

konsumen/pengguna jasa, maupun bagi penyedia jasa. Hal ini akan mendorong

meningkatkan produktivitas masyarakat. Dari sisi pemerintah, potential tax loss

yang akan terjadi akibat pemberian fasilitas PPN atas jasa kepelabuhan akan

dapat di-recapture dalam penerimaan pajak-pajak lainnya. Kebijakan ini justru

dapat menjadi leverage untuk mendorong kebijakan pembangunan yang pro job

dan pro growth. Pemberian fasilitas PPN atas jasa kepelabuhan justru akan

mengukuhkan posisi pemerintah sebagai Regulator, serta bukti nyata

implementasi fungsi-fungsi pemerintah. Lebih jauh, selain menunjukkan

v

pemerintah yang menunjukan perhatian terhadap kelaziman internasional,

pemberian fasilitas PPN atas seluruh jasa kepelabuhanan untuk angkutan laut

dalam jalur pelayaran internasional justru akan membuktikan bahwa pemerintah

tidak diskrimatif, namun pemerintah telah bertindak sebagai wasit yang adil

dalam menciptakan level playing field yang fair sehingga tercipta persaingan

usaha yang sehat dan kompetitif.

vi

DAFTAR ISIKATA PENGANTAR ............................................................................................i

RINGKASAN EKSEKUTIF .................................................................................. ii

DAFTAR ISI .......................................................................................................vi

DAFTAR TABEL ................................................................................................ ix

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................xi

DAFTAR GRAFIK ............................................................................................. xii

BAB 1................................................................................................................. 1

Peran Jasa Kepelabuhanan Dalam Lalu Lintas Barang Untuk Mendukung

Kelancaran Perdagangan Internasional ............................................................. 1

1.1. Kegiatan Ekonomi Indonesia dalam Sistem Ekonomi Global ....................... 1

1.2. Arti Penting Jasa Kepelabuhanan dalam Aktivitas Ekonomi Global .............. 8

1.3 Identifikasi Masalah ................................................................................. 10

1.4. Tujuan dan Kegunaan Kajian ................................................................ 16

BAB 2............................................................................................................... 18

KERANGKA TEORI ......................................................................................... 18

2.1 Peran Pemerintah dan Kebijakan Fiskal ................................................ 18

2.2 Konsep Pajak Pertambahan Nilai .......................................................... 20

2.2.1 Legal Character dari Pajak Pertambahan Nilai............................. 21

2.2.2 Pengertian Value Added Tax........................................................ 24

2.2.3 Metode Penghitungan Pajak Pertambahan Nilai .......................... 26

2.2.4 Yurisdiksi Pemajakan dalam Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai

27

2.2.5 Penentuan Pengenaan PPN atas Jasa Kena Pajak ..................... 28

2.3 Insentif Pajak ....................................................................................... 29

BAB 3............................................................................................................... 35

METODE PENELITIAN.................................................................................... 35

3.1 Teknik Pengumpulan Data ................................................................... 36

3.1.1 Studi Dokumentasi : Pengumpulan dan Analisis Data Sekunder . 36

3.1.2 Melakukan Observasi dan Focused Group Discussion ................ 37

3.2 Melakukan Analisa Data ..................................................................... 38

3.3 Penulisan Laporan dan Presentasi ..................................................... 38

vii

BAB 4............................................................................................................... 40

GAMBARAN UMUM JASA KEPELABUHAN ................................................... 40

BAB 5............................................................................................................... 46

PERKEMBANGAN KEBIJAKAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS JASA

KEPELABUHANAN DI INDONESIA ................................................................ 46

5.1. Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa............................................ 46

5.1.1. Pengertian Jasa .............................................................................. 46

5.1.2. Pengertian Jasa Kena Pajak........................................................... 47

5.1.3 Pengertian Jasa Tidak Kena Pajak .................................................. 48

5.2 Pemetaan Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Kepelabuhanan di

Indonesia ...................................................................................................... 53

5.2.1. Perlakuan PPN atas jasa kepelabuhanan dalam kurun waktu 1983-

1994 (Rezim UU No. 8 Tahun 1983)......................................................... 53

5.2.2. Perlakuan PPN atas jasa kepelabuhanan dalam kurun waktu 1994-

2000 (Rezim UU No. 11 Tahun 1994)....................................................... 59

5.2.3. Perlakuan PPN atas jasa kepelabuhanan dalam kurun waktu 2000-

2009 (Rezim UU No. 18 Tahun 2000)....................................................... 63

BAB 6............................................................................................................... 70

skenario kebijakan pajak pertambahan nilai atas JASA KEPELABUHANAN : 70

urgensi dan implikasi pemberian tax incentives ............................................... 70

6.1 Urgensi Pemberian Fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa

Kepelabuhanan.............................................................................................. 70

6.1.1 Pemberikan Fasilitas PPN atas Jasa Kepelabuhanan Ditinjau dari

International Best Practice ........................................................................ 70

6.1.2 Perlakuan Khusus Jasa Kepelabuhanan...................................... 74

6.1.3 Beberapa Skenario Kebijakan PPN atas Jasa Kepelabuhanan dan

Implikasinya (Sesuai dengan Konsep/Teori PPN) .................................... 78

6.2. Implikasi Pemberian Fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa

Kepelabuhananan dalam mendorong Perdagangan Internasional Indonesia

..................................................................................................................... 81

6.2.1 Implikasi Fasilitas Pajak Terutang Tidak Dipungut atas Jasa

Kepelabuhanan......................................................................................... 82

viii

6.2.2. Implikasi Fasilitas Pajak Terutang Dibebaskan atas Jasa

Kepelabuhanan......................................................................................... 87

6.3. Urgensi dan Implikasi Pemberian Fasilitas PPN atas Jasa Kepelabuhanan . 88

6.3.1. Urgensi Pemberian Fasilitas PPN................................................... 88

6.3.2. Implikasi Pemberian Fasilitas PPN ................................................. 91

Bab 7................................................................................................................ 93

SIMPULAN....................................................................................................... 93

REFERENSI..................................................................................................... 96

LAMPIRAN....................................................................................................... 99

ix

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Neraca Perdagangan Indonesia......................................................... 2

Tabel 1.2 Ekspor Utama dari Sektor Non Migas ................................................ 4

Tabel 1.3 Impor Utama Sektor Non Migas ......................................................... 5

Tabel 1.4 Nilai Impor Indonesia menurut Golongan Penggunaan Barang ......... 6

Tabel 1.5 Impor Non Migas Indonesia menurut Negara Asal Barang Utama..... 7

Tabel 2.1 Types of tax incentives employed .................................................... 33

Tabel 5.1 Pengertian Jasa menurut UU PPN................................................... 46

Tabel 5.2 Pengertian Jasa Tidak Kena Pajak menurut UU PPN ................. 48

Tabel 5.3 Peraturan PPN atas Jasa Kepelabuhanan....................................... 54

Tabel 5.4 Surat internal Direktorat Jenderal Pajak terkait dengan ................... 57

Tabel 5.5 Surat Direktur Jenderal Pajak terkait dengan PPN Jasa

Kepelabuhanan ................................................................................................ 60

Tabel 5.6 Kebijakan Fasilitas PPN Ditanggung Pemerintah ............................ 60

Tabel 5.7 Surat Direktur Jenderal Pajak terkait dengan................................... 62

Tabel 5.8 Fasilitas Pembebasan PPN atas Jasa Kepelabuhanan ................... 63

Tabel 5.9 PPN atas Jasa Pelayanan Peti Kemas ......................................... 64

Tabel 5.10 PPN atas Jasa Kepelabuhanan berdasarkan................................. 65

Tabel 5.11 PPN atas Kapal Jalur Internasional............................................ 66

Tabel 5.12 Bentuk Fasilitas PPN atas Jasa Kepelabuhanan ........................... 67

Tabel 6.1 Fasilitas PPN atas Jasa Kepelabuhanan di Beberapa Negara ........ 71

Tabel 6.2 Perbedaan Beban Pajak Antara Barang/Jasa yang Mendapat

Fasilitas Pembebasan PPN dan yang Tidak Mendapatkan Fasilitas PPN ....... 78

Tabel 6.3 Implikasi Skenario 1 : Beberapa Kelebihan dan Kekurangan Bagi

PKP.................................................................................................................. 85

Tabel 6.4 Implikasi Skenario 2 (Optimis): Beberapa Kelebihan dan Kekurangan

Bagi PKP.......................................................................................................... 85

Tabel 6.5 Implikasi Skenario 2 (Moderat) : Beberapa Kelebihan dan

Kekurangan Bagi PKP ..................................................................................... 86

Tabel 6.6 Implikasi Kebijakan PPN Dibebaskan atas Jasa Kepelabuhanan

Berdasarkan Skenario Optimis, Moderat dan Pesimis ..................................... 88

x

Tabel 6.7 Jumlah Pelabuhan di Indonesia ....................................................... 88

Tabel 6.8 Arus Volume Container di Pelabuhan Indonesia.............................. 89

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Komponen Biaya Pengangkutan.................................................... 9

Gambar 3.1 Diagram alir Metode Penelitian .................................................... 39

Gambar 4.1 Kegiatan Pengangkutan Peti Kemas............................................ 41

Gambar 4.2 Bagan Proses Bongkar Muat di Terminal..................................... 43

Gambar 6.1 Prosedur Bongkar Muat ............................................................... 74

Gambar 6.2 Prosedur Pembebanan dan Pengiriman ...................................... 75

Gambar 6.3 Implikasi Kebijakan VAT Exemption bagi Pengusaha Kena

Pajak................................................................................................................ 80

Gambar 6.4 Implikasi Kebijakan Zero Rate Bagi Pengusaha Kena Pajak . 81

Gambar 6.5 Skenario Kebijakan Pajak Terutang Tidak Dipungut .................... 86

Gambar 6.6 Skenario Kebijakan Pajak Terutang Dibebaskan ......................... 87

Gambar 6.7 Implikasi Kebijakan Fasiltas PPN Atas Jasa Kepelabuhanan ...... 92

xii

DAFTAR GRAFIK

Grafik 6.1 Jumlah Pelabuhan di Indonesia Tahun 2005-2009 ......................... 89

Grafik 6.2 Indonesia Import Development (Container) ..................................... 90

Grafik 6.3 Indonesia Export Development (Container) ..................................... 90

1

BAB 1

PERAN JASA KEPELABUHANAN DALAM LALU LINTAS BARANG UNTUK MENDUKUNG KELANCARAN

PERDAGANGAN INTERNASIONAL

1.1. Kegiatan Ekonomi Indonesia dalam Sistem Ekonomi Global

Sesungguhnya hakekat dari kegiatan ekonomi adalah transaksi antara

produsen dan konsumen. Produsen dalam pengertian yang luas adalah pihak

yang dapat menyediakan barang dan atau jasa yang dibutuhkan oleh

konsumen. Konsumen dalam arti yang luas adalah pihak yang membutuhkan

barang dan atau jasa guna pemenuhan kebutuhan kehidupan ekonominya.

Dalam prespektif ini selalu muncul pihak-pihak yang kuat dan yang lemah

sesuai dengan dinamika hubungan antar keduanya. Dalam rangka menjamin

transaksi ekonomi dapat berjalan secara wajar, maka diperlukan adanya pihak

yang dapat menengahi dan atau pihak yang dapat memfasilitasi

berlangsungnya aktivitas ekonomi masyarakat secara obyektif dan dapat

berlangsung secara berkesinambungan. Dalam konteks inilah, Negara menjadi

satu-satunya pihak yang dapat dan menjamin untuk menengahi penyelesaikan

konflik tersebut secara adil. Negara juga seharusnya menjadi satu-satunya

pihak yang mempunyai otoritas untuk untuk menentukan mana-mana saya

aktivitas ekonomi yang akan didorong atau sebaliknya.

Dinamika ekonomi politik yang semakin mengglobal, demarkasi batas-

batas wilayah sosial, ekonomis, politis yang semakin memudar, telah

meningkatkan inter-relasi dan inter-dependensi antara satu Negara dengan

Negara lainnya, khususnya terkait dengan perdagangan internasional. Dalam

tatanan perdagangan internasional, terdapat ketentuan-ketentuan dasar yang

digariskan dalam WTO, APEC dan AFTA yaitu “keterbukaan pasar”.

Ketentuan tersebut harus dilaksanakan dengan konsekuen agar negara

berkembang seperti Indonesia benar-benar mempunyai kesempatan untuk

memanfaatkan dampak-dampak positif. Keterbukaan perdagangan antara

2

negara ASEAN memberikan kesempatan kepada setiap negara untuk saling

mengisi peluang pasar yang ada sesuai kemampuan produksi masing-masing

negara. Sisi positif dari keterbukaan pasar tersebut dapat meningkatkan

produksi barang untuk dipasarkan ke negara yang membutuhan. Tentunya

Indonesia harus terus meningkatkan kinerja perdagangan internasional agar

dapat mengisi peluang perdagangan internasional dan memberikan dampak

positif dalam meningkatkan produksi nasional.

Laporan Bank Dunia menunjukan bahwa hingga kuartal kedua tahun

2010, Indonesia adalah satu dari tiga perekonomian dunia yang mampu

meningkatkan kinerja ekspor melampaui level sebelum krisis dunia. Trade

Watch Bank Dunia edisi 2010 memberikan informasi bahwa pada kuartal kedua

2010, perdagangan global semakin meningkat dibandingkan dengan kuartal

sebelumnya dengan peningkatan ekspor sebesar 4,2% sementara impor

meningkat sebesar 2,3%. Kinerja perdagangan hingga September 2010

menunjukkan pencapaian Surplus Neraca Perdagangan sebesar USD 13,5

miliar melampaui surplus pada periode yang sama tahun 2008 yaitu sebesar

USD 6 miliar. Surplus neraca perdagangan hingga bulan September 2010

mengalami peningkatan sebesar 14,2% dari surplus periode yang sama tahun

2009 dan meningkat 124,7% dari surplus tahun 2008 pada periode yang sama1.

Tabel 1.1Neraca Perdagangan Indonesia

NO URAIAN 2006 2007 2008 2009 2010TREND(%)

06-10Januari - Juni

2010Januari - Juni

2011*)

PERUBAHAN (%)11/10

I E K S P O R 100.798,6 114.100,9 137.020,4 116.510,0 157.779,1 9,60 72.521,2 98.644,1 36,02

- MIGAS 21.209,5 22.088,6 29.126,3 19.018,3 28.039,6 4,17 13.164,1 19.582,4 48,76

- NON MIGAS 79.589,1 92.012,3 107.894,2 97.491,7 129.739,5 10,91 59.357,1 79.061,6 33,20

II I M P O R **) 61.065,5 74.473,4 129.197,3 96.829,2 135.663,3 20,43 62.937,4 83.591,7 32,82

- MIGAS 18.962,9 21.932,8 30.552,9 18.980,7 27.412,7 6,10 13.123,5 19.239,8 46,61

- NON MIGAS 42.102,6 52.540,6 98.644,4 77.848,5 108.250,6 25,63 49.813,9 64.351,9 29,18

III TOTAL 161.864,1 188.574,3 266.217,7 213.339,3 293.442,4 14,03 135.458,6 182.235,8 34,53

- MIGAS 40.172,4 44.021,4 59.679,2 37.999,0 55.452,3 5,10 26.287,6 38.822,2 47,68

- NON MIGAS 121.691,7 144.552,9 206.538,6 175.340,2 237.990,1 16,59 109.170,9 143.413,5 31,37

IV NERACA 39.733,2 39.627,5 7.823,1 19.680,8 22.115,8 -17,07 9.583,8 15.052,3 57,06

- MIGAS 2.246,6 155,7 -1.426,6 37,6 626,9 0,00 40,6 342,6 742,86

- NON MIGAS 37.486,6 39.471,7 9.249,7 19.643,2 21.488,9 -16,56 9.543,2 14.709,7 54,14

Sumber: Kementerian Perdagangan RI

1 www.worldbank.org/id, diunduh pada 21 Agustus 2011.

3

Berdasarkan data diatas, kegiatan ekspor Indonesia lebih tinggi dari kegiatan

impornya. Selanjutnya, komoditi perdagangan sektor non migas lebih tinggi dari

sektor migas, sehingga arus barang ke luar negeri lebih tinggi dari arus barang

ke dalam negeri khususnya atas barang-barang sektor non migas.

Surplus perdagangan selama tahun 2010 yang berasal dari surplus

perdagangan sektor nonmigas mencapai USD 14 miliar, sementara

perdagangan sektor migas mengalami defisit USD 0,5 miliar. Penguatan ekspor

non migas periode Januari-September 2010 didorong oleh peningkatan ekspor

seluruh sektor, terutama sektor pertambangan dan manufaktur. Ekspor produk

manufaktur mengalami peningkatan yang signifikan sebesar 34,2% setelah

pada tahun 2009 mengalami penurunan sebesar 25,5%. Sampai dengan

kuartal III tahun 2010 nilai ekspor manufaktur Indonesia naik menjadi USD 68,9

miliar. Peningkatan ekspor disektor pertambangan dan pertanian masing-

masing mencapai 42% dan 15,7%.

Peningkatan ekspor manufaktur mendorong timbulnya ekspor produk

lainnya dan mengalami kenaikan secara signifikan. Ekspor produk karet

meningkat tajam selama periode Januari-Agustus 2010, sebesar 100,5%

karena dipengaruhi oleh naiknya volume ekspor sebesar 15,7%. Selain produk

karet, ekspor produk otomotif, alas kaki, produk hasil hutan dan kakao masing-

masing meningkat sebesar 49,2%, 38,2%, 35,8% dan 29,2%2.

Berdasarkan jenis barang kegiatan ekspor Indonesia ditunjukkan dalam

table di bawah ini:

2Litbang Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Kementerian Perdagangan

RI

4

Tabel 1.2

Ekspor Utama dari Sektor Non Migas

Sumber: Kementerian Perdagangan RI, data diolah

Tabel di atas menunjukkan bahwa ekspor non migas cenderung terus

mengalami peningkatan. Hal ini mengindikasikan geliat aktivitas ekonomi

Indonesia dalam dinamika sistem ekonomi global yang terus aktif dan

berkembang.

Hal yang sama terjadi dalam arus barang masuk ke Indonesia, yang

dinotasikan dalam impor utama sektor non migas di Indonesia sebagaimana

dapat dilihat dalam tabel 1.3 di bawah ini.

No Sektor 2006 2007 2008 2009 2010

I PERTANIAN 3.374 3.657 4.584,6 4.352,8 5.001,9

1 Ikan dan udang 1.460,1 1.498,6 1.683,3 1.426,2 1.687,2

2 Kopi teh, rempah-rempah 822,9 965,7 1.397,6 1.206,3 1.369,6

3 Kakao/Coklat 620,3 623,3 856,0 1.088,1 1.191,5

4 Biji-bijian berminyak 94,3 103,1 146,7 124,5 178,0

5 Buah-buahan 96,9 113,1 125,3 104,2 131,7

6 Tembakau 57,2 56,7 73,7 93,5 73,7

7 Bahan Pertanian Lainnya 222,30 296,50 302,00 310,00 370,20II INDUSTRI 65.014,5 76.454,1 88.390,4 73.434,1 98.010,6

Mesin dan peralatan listrik 7.287,4 7.515,1 8.120,2 8.020,4 10.373,2

1 Lemak nabati dan lemak hewani 6.062,6 10.205,6 15.603,1 12.204,3 16.286,4

Karet dan barang dari karet 5.511,7 6.236,5 7.620,9 4.899,9 9.339,7

Mesin-mesin/ pesawat mekanik 4.366,2 4.683,9 5.226,5 4.721,7 4.986,7

Pakaian jadi bukan dari rajutan 3.374,7 3.314,4 3.399,0 3.132,8 3.611,0

Kayu dan bahan dari kayu 3.352,6 3.123,0 2.876,1 2.340,2 2.935,4

Kertas/karton 2.800,8 3.327,8 3.736,8 3.357,3 4.186,2

Perabotan penerangan rumah 1.949,0 1.995,0 1.999,2 1.711,1 2.021,9

Tembaga 1.904,4 2.731,7 2.202,5 2.367,1 3.305,8

2 Bahan kimia organik 1.883,7 2.564,8 1.847,0 1.672,4 2.690,1

Plastik dan bahan dari plastik 1.738,0 1.906,2 2.132,2 1.771,7 2.150,1

Kendaraan dan bagian-bagiannya 1.666,2 2.196,0 2.970,6 1.957,8 2.899,9

Alas kaki 1.599,8 1.638,0 1.885,5 1.736,1 2.501,8

Besi dan baja 1.262,1 1.118,5 1.689,1 853,9 1.101,5

Industri lainnya 20.255,30 23897,6 27081,7 22687,4 29620,9III PERTAMBANGAN 11.191,5 11.884,9 14.906,2 19.692,3 26.712,6

Bahan bakar mineral 6.086,2 6.683,5 10.488,1 13.823,5 18.499,9

Bijih, kerak dan abu logam 4.993,5 5.102,3 4.288,8 5.800,5 8.139,7

Industri tambang lainnya 111,80 805,2 3826,5 8612,6 15632,9IV LAINNYA 8,9 8,8 9,9 10,8 9,9

TOTAL EKSPOR NON MIGAS 79.589,1 92.012,3 107.894,2 97.491,7 129.739,5

5

Tabel 1.3

Impor Utama Sektor Non Migas

No. Uraian 2006 2007 2008 2009 20101 Mesin-mesin/Pesawat

mekanik7.445,8 9.360,5 17.909,9 14.623,1 20.019,0

2 Bahan kimia organik 3.439,2 3.882,9 5.132,7 3.941,1 5.326,43 Mesin/ Peralatan listrik 3.082,0 4.744,7 14.715,0 11.305,3 15.633,24 Besi dan baja 2.865,1 4.175,0 8.281,9 4.356,6 6.371,55 Kendaraan dan bagiannya 2.455,5 2.455,5 5.839,7 3.151,1 5.737,46 Plastik dan bahan dari

plastik1.855,7 2.193,5 3.941,3 3.210,7 4.817,1

7 Kapal Laut 1.501,0 540,0 1.395,8 2.702,0 1.959,58 Benda-benda dari besi dan

baja1.261,7 1.370,1 3.335,0 2.784,1 3.451,0

9 Gandum-ganduman 1.229,1 1.804,5 2.196,5 1.506,2 2.159,210 Kapal terbang dan

bagiannya971,3 1.607,3 2.036,9 3.241,5 3.528,1

11 Ampas/Sisa Industri Makanan

882,7 1.147,5 1.740,6 1.678,8 1.870,8

12 Bubur kayu/pulp 852,7 1.022,5 1.474,8 950,9 1.596,4Bahan kimia anorganik 814,7 908,2 1.451,0 1.028,0 1.349,4

13 Kapas 782,4 953,0 1.991,7 1.476,1 2.232,114 Karet dan bahan dari karet 696,6 790,7 1.415,5 1.125,3 1.670,715 Impor lainnya 11.967,10 15.584,7 25.786,1 20.767,7 30.528,816 TOTAL IMPOR 42.102,6 52.540,6 98.644,4 77.848,5 108.250,6Sumber: Kementerian Perdagangan RI, data diolah

Aktivitas ekonomi global Indonesia cenderung mengalami peningkatan,

khususnya terkait dengan 22 produk. Hingga akhir tahun 2010 transaksi ke-22

produk tersebut mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Klasifikasi 22

produk tersebut dibagi ke dalam beberapa golongan:

a) Produk dengan pertumbuhan ekspor tinggi tetapi kontribusinya terhadap

ekspor non migas kecil yaitu bubur kayu/Pulp dengan pertumbuhan 43,5%

tetapi kontribusi hanya 1,2%.

b) Produk dengan pertumbuhan ekspor cukup besar dan kontribusinya

terhadap ekspor non migas tinggi, yaitu Lemak & Minyak Hewan/Nabati ,

Bijih, Kerak,, Dan Abu Logam dengan pertumbuhan masingmasing sebesar

20,2% dan 13,9% dan pangsa keduanya adalah 20,4%.

c) Produk dengan pertumbuhan kecil tetapi kontribusinya terhadap ekspor non

migas tinggi. Pada periode ini, yaitu Mesin/Peralatan Listrik (HS 85) dengan

pertumbuhan hanya 1,5% tetapi kontribusi cukup tinggi yaitu 8,1%.

d) Produk dengan pertumbuhan sangat tinggi tetapi kontribusinya terhadap

ekspor non migas kecil sekali, produk tersebut adalah Pupuk dengan

6

pertumbuhan sebesar 367% tetapi kontribusi tidak lebih dari 0,2% dari

keseluruhan total ekspor non migas Indonesia.

Dalam kegiatan impor, terdapat 14 jenis produk yang mengalami

penigkatan impor yang cukup tinggi. Produk-produk tersebut adalah hasil karya

seni yaitu sekitar 30%, payung (20%) ikan dan udang, tembakau (19%),

lokomotif (13%)dan peralatan kereta api (11%). Selebihnya, produk-produk

yang diimpor ke Indonesia hanya mengalami peningkatan dibawah 10%.

Jika dianalisa lebih lanjut, sebagian besar impor Indonesia dilakukan

untuk memenuhi kebutuhan industri. Secara umum, barang-barang yang

diimpor dalam 2 tahun terakhir adalah barang-barang yang untuk kebutuhan

industri seperti bahan baku yang akan diolah lebih lanjut. Selanjutnya barang

yang frekuensi impornya cukup tinggi adalah barang-barang modal. Barang-

barang kosumsi merupakan barang yang frekuensinya dalam jumlah kecil3.

Tabel berikut memberikan gambaran importasi barang menurut

penggunaannya.

Tabel 1.4

Nilai Impor Indonesia menurut Golongan Penggunaan Barang

Bulan 2009 2010Barang

KonsumsiBahan

Baku/PenolongBarang Modal

Total Barang Konsumsi

Bahan Baku/Penolong

Barang Modal

Total

Januari 464,4 4793,1 1343,1 6600,6 625,4 7047,6 1817,5 9490,5Februari 374,9 4183,7 1380,4 5939 683,2 6891,1 1923,8 9498,1

Maret 493,9 4518,0 1542,2 6554,1 868,8 7897,0 2206,8 10972,6April 505,6 4861,3 1345,9 6712,8 894,2 8062,4 2279,2 11235,8Mei 548,5 5439,5 1696,2 7684,2 709,7 7581,0 1689,7 9980,4Juni 738,0 5853,6 1533,4 8125 915,5 8749,2 2095,3 11760Juli 638,5 6151,1 1794,2 8583,8 895,6 8855,2 2875,1 12625,9

Agustus 557,2 6431,8 2637,0 9626 903,4 8737,7 2530,5 12171,6September 639,1 6508,2 1451,2 8598,5 676,8 6933,8 2043,5 9654,1

Oktober 639,2 7148,4 1642,5 9430,1 835,5 8774,2 2510,3 12120November 639,1 6494,0 1681,6 8814,7 989,2 9568,9 2449,5 13007,6Desember 653,7 7255,4 2390,8 10299,9 995,3 9599,4 2494,5 13089,2

Total 7652,6 69638,1 20438,5 97729,2 9992,6 98697,5 26916,0 135606,1% X total 6,79% 71,92% 21,11% 100% 7,37% 72,78% 19,85%

Sumber: Biro Pusat Statistik

Produk- produk yang diimpor ke Indonesia sebagian besar berasal dari

negara anggota ASEAN, negara-negara yang memiliki hubungan bilateral

3Laporan Tahunan, Data Statistik Ekonomi Indonesia 2010 : Biro Pusat Statistik

7

khususnya hubungan dagang dengan Indonesa dan negara anggota lainnya

seperti Cina, Jepang, Amerika Serikat, Korea Selatan serta beberapa negara

anggota Uni Eropa. Berikut tabel impor non migas Indonesia menurut asal

barang utama selama 2009-20104:

Tabel 1.5

Impor Non Migas Indonesia menurut Negara Asal Barang Utama

Negara Asal Jan-Des 2009

Jan-Des 2010

Peran terhadap

impor 2010(%)ASEAN1. Singapura 9236,6 10053,5 9,292. Thailand 4570,8 7420,6 6,853. Malaysia 3184,2 4520,9 4,18

ASEAN Lainnya 1054,9 1856,6 1,17Uni Eropa4. Jerman 2362,0 2986,1 2,765. Perancis 1622,8 1317,8 1,226. Inggris 844,0 937,0 0,86

Uni Eropa Lainnya 3820,4 4526,3 4,18Negara utama lainnya7. Jepang 9810,5 16908,4 15,628. Cina 13491,4 19687,2 18,199. Amerika Serikat 7037,6 9291,3 8,5810. Korea Selatan 3807,8 5593,7 5,1711. Australia 3374,1 4092,9 3,7812. Taiwan 2008,3 2956,5 2,73Total 61350,1 85765,9 79,23Negara lain

16498,4 22477,3 20,77

Total 77848,5 108243,2 100 Sumber: Biro Pusat Statistik, data diolah

4Data Sosial Ekonomi Indonesia, Buletin Statistik Indonesia Edisi 9 tahun 2010:

Biro Pusat Statistik

8

1.2. Arti Penting Jasa Kepelabuhanan dalam Aktivitas Ekonomi Global

Sejak dahulu kala, aktivitas ekonomi global dilakukan melalui media

darat dan laut, lalu kemudian berkembang melalui media transportasi udara.

Namun keterbatasan transportasi udara, baik secara ekonomis dan politis,

menyebabkan transportasi laut masih menjadi tumpuan utama dalam lalu lintas

perdagangan internasional. Hingga saat ini 90%, dapat dikatakan bahwa

perdagangan internasional dilakukan dengan jalur laut. Dengan demikian jasa

transportasi kelautan merupakan jasa transportasi yang dibutuhkan sepanjang

sejarah dalam dunia perdagangan.

Dengan didorongnya (hampir) seluruh Negara untuk bergabung dengan

WTO, maka hambatan perdagangan semakin berkurang dan frekuensi

penggunaan jasa transportasi semakin tinggi akan memacu pertumbuhan arus

pergerakan barang dunia5. Hal ini akan membuat perubahan mendasar

pergerakan produksi dan perdagangan dunia. Industri yang bergerak di bidang

penyediaan jasa kontainer akan semakin bertumbuh dengan perkembangan ini,

demikian pula sektor distribusi. Kondisi ini memberikan kesempatan bagi

pelabuhan yang mampu meningkatkan kapasitasnya dalam menangani arus

produksi dan perdagangan.

Trend saat ini menunjukkan semakin meningkatnya skala

(ukuran/dimensi) kapal dan arus lalu lintas pelayaran. Hal ini membuat tingkat

aksesibilitas suatu pelabuhan menjadi hal yang sangat penting. Akses kelautan

yang mudah (nautical access), tingkat kedalaman perairan, dan kualitas sistem

kendali pelayaran (Vessel Traffic Guidance System) akan menjadi sebuah

keharusan bagi suatu pelabuhan untuk dapat sukses pada era ini6.

Berikut adalah komponen biaya pengangkutan dan komponen-

komponen yang berhubungan di dalamnya.

5Haralambides H.E, Liner Shipping Economics, Center for Maritime Economics

and Logistic (MEL), Erasmus University Rotterdam: Netherlands6Biro Riset Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia,

Trend Perkembangan Pengelolaan Pelabuhan Dunia dan Implikasinya bagi BUMN Pelabuhan di Indonesia.

9

Gambar 1.1

Komponen Biaya Pengangkutan

Sumber: Shipping and Logistic Management

Dari sejumlah komponen biaya tersebut pada umumnya berhubungan dengan

jasa kepelabuhanan dimana komponen biaya movement, packaging dalam

konteks pengemasan dengan menggunakan peti kemas, jasa inventory yang

meliputi penimbunan sebelum pengankutan, jasa transportasi yang meliputi

pengangkutan peti kemas dari dan ke kapal laut pengangkut serta jasa

warehousing yang dilakukan dipelabuhan yaitu pengangkutan barang dari

kendaraan pengangkut untuk ditimbun dan pengangkutan dari tempat

penimbunan untuk dibawa oleh kapal laut jalur perdagangan internasional.

Terlebih lagi, pelabuhan merupakan sarana intermediary yang menghubungkan

proses pengangkutan barang dari daerah penghasil sebelum diangkut ke

pelabuhan internasional. Jadi, pelabuhan memegang peranan penting dalam

proses perdagangan internasional. Hal ini menyebabkan setiap negara

berlomba untuk melakukan perbaikan fasilitas dan sistem dalam pelabuhan.

Perkembangan yang demikian pesat akan menimbulkan besarnya

permintaan atas pelayanan jasa kepelabuhan. Jasa tersebut terjadi dan

dibutuhkan di setiap kegiatan yang berlangsung dipelabuhan. Jasa tersebut

meliputi kegiatan seperti yang telah disebutkan diatas yaitu jasa pembongkaran

peti kemas, jasa pemuatan petikemas, jasa penerimaan peti kemas, jasa

pengeluaran peti kemas dan jasa container freight station.

10

1.3 Identifikasi Masalah

Keberhasilan perdagangan Internasional terjadi dengan dukungan

beberapa faktor kunci antara lain infrastruktur perdagangan. Salah satu elemen

yang fital dalam infrastruktur perdagangan internasional adalah jasa

transportasi. Disinilah peranan industri pelayaran semakin penting karena kapal

merupakan sarana yang sangat tepat dalam perdagangan internasional.

Terdapat hubungan timbal balik antara dunia perdagangan industri dengan

industri jasa angkutan laut dan perkapalan. Untuk negara/daerah dengan

perekonomian yang telah maju, peran perdagangan merupakan pemacu

timbulnya industri jasa angkutan laut dan perkapalan. Sedangkan untuk

daerah/negara yang belum berkembang perekonomiannya, ketersediaan

prasarana dan saran transportasi terutama pelabuhan pelayaran dan kapal

serta infrastruktur pendukungnya merupakan pendorong kemajuan

perdagangan. Istilah ini disebut Ships Follow The Trade And Ships Promote

The Trade.7

Efektvitas ekspor ditentukan oleh kapasitas produksi dan kemampuan

negara tersebut untuk membawa barang-barang yang akan diperdagangkan ke

pasaran internasional dengan biaya yang relatif rendah sesuai dengan kondisi

yang diharapkan oleh importir dan konsumen. Oleh karena itu, kemajuan

ekspor juga didukung oleh kemampuan kualitas dan biaya transportasi. Pada

umumnya biaya transportasi untuk kegiatan ekspor yang dilakukan oleh negara

berkembang dapat mencapai rata-rata 2/3 dari biaya masuk yang dikenakan

oleh negara yang dituju. Hal ini dapat menimbulkan barrier untuk menjangkau

pasar yang dituju8.

Saat ini yang menjadi fokus utama perkembangan dalam bidang

transportasi tidaklah terletak pada tujuan transportasi tetapi hal yang paling

utama adalah volume barang yang dapat dibawa, kapasitas angkut barang,

7http://muislife.com/hubungan-timbal-balik-antara-perdagangan-dengan-

perkapalan-dan-pelayaran.html, diunduh 22 Agustus 20118 ----------, 2004, Trade and Transportation Facilities: Building a Secure and

Efficient Environtment for Trade, Sao Paulo: United Nation Press

11

kecepatan untuk membawa barang dan tingkat efisiensinya9. Jika kapasitas

angkut barang sangat terbatas dalam jangka waktu angkut yang cukup lama

maka hal ini akan menimbulkan biaya baru bagi komoditi yang akan

diperdagangkan terlebih lagi apabila komoditi yang diangkut tidak memiliki

sistem keamanan yang baik. Perdagangan barang-barang yang dianggap

mewah akan sangat sulit untuk dilakukan apabila system keamanan dalam

pengangkutan barang tidak baik.

Pada perkembangan sistem pengangkutan saat ini, kontainerisasi/ peti

kemas menjadi hal yang cukup penting. Kontainer/peti kemas merupakan suatu

unit yang dapat dipergunakan sebagai alat pengangkut oleh berbagai jenis alat

transportasi. Alat angkutan darat, laut pada umumnya mampu mengangkut

barang apabila menggunakan kemasan container. Selain dapat menjaga

kualitas komoditas yang diangkut, unit ini cukup fleksibel karena dapat dibawa

dengan berbagai jenis transportasi apabila alat transportasi yang direncanakan

untuk mengangkutnya mengalami kendala10.

Selanjutnya, usaha peningkatan kualitas alat angkutan internasional

dilakukan dengan mengintegrasikan sistem transportasi yang terpisah menjadi

suatu sistem yang terpadu. Hal ini dikenal dengan sistem transportasi

intermodal dimana dalam meningkatkan efisiensi pengangkutan komoditas

utama, maka perlu dilakukan sistem pengemasan dan pengangkutan yang

sesuai dengan sifat komoditas yang diangkut. Jadi, dalam hal ini rangkaian

kegiatan pengangkutan dipandang sebagai sebuah kesatuan sejak barang

tersebut dibawa dari gudang produsen hingga sampai kepada penerima.

Salah satu tantangan dalam transportasi perdagangan internasional

adalah skala geografi sehingga untuk mengangkut komoditas diperlukan suatu

sistem pengangkutan yang berskala teknologi tinggi. Hal ini menjadi faktor yang

cukup krusial karena diharapkan komoditas ekspor mampu mencapai lokasi

strategis yang diharapkan tepat pada waktu yang direncanakan. Alat

9 Paul Redique Jean, Transportation and Globalization, Departement of

Economics and Geography, Hofstra University Hempstead, New York: Hofstra University Press

10Lynch Clifford, Shifting Patterns and Growth of Global Trade Implication for Transportation System, Lynch and Associated: Pensylvania, 2004.

12

transportasi yang cukup memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan ini adalah

alat transportasi laut dan alat transportasi udara. Transportasi darat bukanlah

pilihan yang mampu mendukung efisiensi kegiatan pengangkutan berskala

internasional.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh World Trade Organization, 96%

barang yang diperdagangkan dalam pasaran internasional diangkut melalui alat

transportasi laut. Dengan demikian, kontainerisasi yang baik merupakan bagian

yang penting dalam sistem pengankutan ini karena akan digunakan untuk

mengangkut komoditas ekspor. Ketika barang yang impor sampai di daerah

pabean, maka segera dilakukan pembongkaran barang untuk diperiksa oleh

pihak kepabeanan negara yang bersangkutan. Selanjutnya barang tersebut

dimuat kembali untuk dibawa ke gudang importir.

Transportasi laut merupakan komponen yang cukup krusial dalam

perdagangan internasional. Kegiatan perdagangan dalam negeri dan

internasional akan dapat berjalan dengan baik apabila didorong oleh sistem

transportasi yang baik dan memadai. Hal terpenting dalam kegiatan ini adalah

kualitas dan kapasitas alat transportasi yang digunakan dan kualitas kemasan

produk impor.

Untuk menjangkau negara cukup jauh, diperlukan alat transportasi yang

handal dan mampu mengangkut komoditi ekspor dalam jumlah yang cukup

besar. Selain itu, peti kemas berupa kontainer merupakan faktor penting untuk

menjaga kualitas barang yang akan diperdagangkan hingga sampai ke lokasi

tujuan. Keterlambatan pengiriman komoditi dagang dapat mengakibatkan

kerugian yang cukup besar.

Sebagian besar kegiatan impor Indonesia dilakukan untuk memperoleh

bahan bahan baku industri dan barang modal. Keterlambatan pemasukan

barang ke daerah pabean Indonesia dapat mengakibatkan kerugian yang cukup

besar baik dari sisi negara pengekspor dan Indonesia sebagai negara

pengimpor. Khususnya bagi Indonesia, keterlambatan masuknya bahan baku

impor akan menghambat proses produksi. Selain kerugian materi yang nyata-

nyata dapat diperhitungkan, maka hal ini akan menimbulkan kerugian lain yang

tidak dapat diperhitungkan dengan nyata seperti waktu, dll.

13

Kegiatan importasi ke dalam daerah pabean tidak terlepas dari jasa

bongkar muat di pelabuhan, yaitu pembongkaran komoditi impor dari alat

pengangkut ke pelabuhan serta pengangkutan kembali ke gudang importir

untuk diolah sesuai dengan klasifikasi lapangan usaha importir. Dalam kegiatan

bongkar muat ini muncul pemberian jasa antara pemberi jasa dan penerima

jasa. Adanya timbunya transaksi penyerahan jasa tersebut dapat menimbulkan

potensi pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

Pengenaan pajak yang menekankan pada prinsip tidak mengakibatkan

distorsi bagi perekonomian dapat diaplikasikan dalam penyerahan jasa ini.

Walaupun dalam proses pengangkutan komoditi yang diimpor, fokus utama

tidak terletak pada jasa bongkar muat di pelabuhan saat barang. Namun, hal

yang terpenting adalah efisiensi pengangkutan dan kualitas kemasan yang

menjamin kualiatas komoditi sampai ke negara tujuan.

Angkutan laut berupa kapal-kapal dalam jalur pelayaran internasional

sangat berperan dalam meningkatkan perdagangan internasional Indonesia.

Termasuk yang tak kalah pentingnya adalah jasa kepelabuhan yang menjadi

kegiatan yang tidak terpisahkan dalam kegiatan perdagangan internasional.

Jasa kepelabuhanan meliputi antara lain:

a) Jasa Pelayanan Kapal termasuk:

i. Jasa Labuh

ii. Jasa Pemanduan

iii. Jasa Penundaan

iv. Jasa Tambat

b) Jasa Pelayanan Barang termasuk:

i. Jasa Dermaga untuk Peti Kemas

ii. Jasa Peti Kemas di Terminal Peti Kemas

iii. Jasa Penumpukan Peti Kemas

Pemerintah dapat berperan untuk mendorong perkembangan usaha dan

meningkatkan daya saing pengusaha di pasar internasional. Salah satu

peranan pemerintah adalah di bidang regulasi dengan memberikan fasilitas di

bidang pajak. Fasilitas tersebut dapat menurunkan biaya pelabuhan di

14

Indonesia yang pada akhirnya dapat meningkatkan komoditi ekspor Indonesia

ke Luar Negeri dan meningkatkan daya saing komiditi atau produk ekspor

Indonesia.

Dalam kurun waktu 1986 sampai dengan tahun 2003, Pemerintah

pernah membuat beberapa ketentuan yang memberikan fasilitas di bidang

Pajak Pertambahan Nilai terhadap jasa-jasa kepelabuhan khusunya untuk jalur

pelayaran internasional. Fasilitas pada dasarnya memberikan pengecualian dari

pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas jasa kepelabuhanan. Pemberian

fasilitas didasarkan pada beberapa hal antara lain seperti:

Adanya kelaziman di dunia Internasional bahwa jasa pelabuhan bagi

pelayaran Internasional dikecualikan dari pengenai Pajak Pertambahan Nilai

Adanya hubungan integral antara jasa pelabuhan dengan jasa angkutan laut

yang dibebaskan dari Pajak Pertambahan Nilai

Azas timbal balik terhadap perusahan pelayaran Indonesia oleh negara

yang mempunyai perjanjian bilateral.

Pada tahun 1986 berdasarkan Keputusan Presiden No.18 Tahun 1986

yang diubah dengan Keputusan Presiden No.37 Tahun 1998, selanjutnya

diubah kembali dengan Keputusan Presiden No. 204/1998 yang mengatur

mengenai PPN Ditanggung Pemberintah atas Penyerahan Jasa Kena Pajak

Tertentu yang diterima oleh Perusahaan Pelayaran Niaga yang meliputi

a.jasa persewaan kapal;

b.jasa kepelabuhanan meliputi jasa tunda, jasa pandu, jasa tambat dan jasa

labuh;

c.jasa perawatan/reparasi (docking) kapal;

Sementara pada tahun 1990 Menteri Keuangan ternyata telah

mengambil kebijakan untuk mengecualikan pengenaan PPN terhadap seluruh

jasa pelabuhan yang digunakan oleh perusahaan pelayaran asing maupun

perusahaan pelayaran Indonesia yang melayari jalur pelayaran internasional.

Kebijakan tersebut diinformasikan melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak

Nomor SE - 17/PJ.5.1/1990. Ketentuan ini telah diberitahukan oleh Menteri

Keuangan kepada Direktur Jenderal Transportasi Komisi Masyarakat Eropa

atau The Director General of The Commission of the European Communities

15

dalam surat nomor S-995/MK.04/1990 tanggal 20 Agustus 1990 yang

memberitahukan ketentuan memberikan pengecualian Pajak Pertambahan Nilai

terhadap semua jasa kepelabuhan untuk kapal-kapal dalam jalur pelayaran

internasional tanpa membedakan negara asal dari kapal yang melakukan

pelayaran tersebut.

Pada tahun 1999, Direktur Jenderal Pajak melalui Surat Edaran Nomor

SE-08/PJ.532/1999 menegaskan bahwa atas penyerahan jasa kepelabuhanan

tidak dikenakannya Pajak Pertambahan Nilai. Lebih rinci mengenai beberapa

ketentuan terkait dengan fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa

Kepelabuhanana, diikhtisarkan pada penjelasan bab 5.

Sementara di beberapa negara lain juga memberikan fasilitas tidak

mengenakan Pajak Pertambahan Nilai atas perusahaan pelayaran Indonesia

atas penggunaan jasa pelayanan kapal. Daftar Negara Asing yang tidak

mengenakan Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Pelayaran Kapal yang

dinyatakan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE -

02/PJ.32/1990 yaitu:

1. Australia; 15. Norwegia;

2. Belanda; 16. Papua Nugini;

3. Belgia; 17. Perancis;

4. Brunei Darussalam; 18. Philipina;

5. Denmark; 19. Polandia;

6. Hongkong; 20. R.R.C.;

7. India; 21. Singapura;

8. Inggris; 22. Spanyol;

9. Italia; 23. Srilangka;

10. Jepang; 24. Swedia;

11. Jerman; 25. Taiwan;

12. Korea; 26. Thailand;

13. Malaysia/Sabah/Serawak 27. U.S.A.

14. Mesir;

Pada tahun 2000 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 146 Tahun 2000

fasilias PPN tersebut diubah yaitu bahwa atas Penyerahan Jasa Kena Pajak

16

tertentu yang diterima oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional atau

perusahaan penangkapan ikan nasional, dibebaskan dari pengenaan Pajak

Pertambahan Nilai yang meliputi :

a.Jasa persewaan kapal;

b.Jasa kepelabuhanan meliputi jasa tunda, jasa pandu, jasa tambat, dan jasa

labuh;

c.Jasa perawatan atau reparasi (docking) kapal;

Paska pengesahan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang

Perubahan Ketiga atas UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa

dan PPnBM, kebijakan PPN atas kepelabuhan mengalami perubahan.

Pemerintah tidak lagi memberikan fasilitas PPN sebagaimana rejim-rejim PPN

sebelumnya. Hal ini tentu menimbulkan suatu permasalah, karena dampak

kebijakan ini bukan saja meluas pada aspek ekonomis tetapi juga aspek

administrasi perpajakan. Terkait dengan hal tersebut, maka tentunya ada

beberapa masalah yang perlu dikaji sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas jasa kepelabuhanan

yang yang berlaku sejak tahun 1983 sampai dengan sekarang?

2. Bagaimanakah kelaziman kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas jasa

kepelabuhanan di dunia internasional?

3. Bagaimana alternatif kebijakan fasilitas PPN atas jasa kepelabuhanan dan

apa konsekuensi dari masing-masing alternative tersebut?

4. Bagaimana implikasi dari kebijakan fasilitas PPN terhadap aktivitas ekonomi

global bangsa Indonesia?

1.4. Tujuan dan Kegunaan Kajian

1.4.1 Tujuan

Tujuan dibuatnya Kajian Akademik ini adalah sebagai landasan ilmiah

bagi penyusunan kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas jasa kepelabuhanan,

yang memberikan arah, dan menetapkan ruang lingkup bagi penyusunan

peraturan pelaksananya. Berdasarkan identifikasi masalah tersebut di atas,

maka yang menjadi tujuan penulisan kajian akademik ini adalah sebagai

berikut:

17

1. Menganalisa kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas jasa

kepelabuhanan yang yang berlaku sejak tahun 1983 sampai dengan

sekarang.

2. Mengetahui kelajiman kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas jasa

kepelabuhanan di dunia internasional.

3. Memetakan beberapa scenario kebijakan fasilitas PPN atas jasa

kepelabuhanan dan konsekuensi dari pilihan bentuk-bentuk kebijakan

tersebut.

4. Menganalisa urgensi dan implikasi pemberian insentif Pajak

Pertambahan Nilai atas jasa kepelabuhanan terhadap aktivitas ekonomi

global bangsa Indonesia

1.4.2 Kegunaan

Kajian akademik ini berguna sebagai masukan dalam menyusun

peraturan pelaksana Pajak Pertambahan Nilai atas jasa kepelabuhanan. Hal ini

dimaksudkan agar ketentuan-ketentuan yang diusulkan dalam peraturan terkait

dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi

latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup,

jangkauan, objek, atau arah pengaturan substansi rancangannya. Manfaat

disusunnya Kajian Akademik ini selain untuk bahan masukan bagi pembuat

peraturan (Kementerian Keuangan) juga dapat berguna bagi pihak-pihak yang

berkepentingan.

18

BAB 2

KERANGKA TEORI

2.1 Peran Pemerintah dan Kebijakan Fiskal

Dalam perekonomian modern, peran pemerintah dapat diklasifikasikan

dalam tiga golongan besar, yaitu: peran alokasi, yaitu peranan pemerintah

dalam alokasi sumber ekonomi, peranan distribusi, dan peranan stabilisasi. Hal

ini sejalan dengan pendapat Musgrave dan Musgrave bahwa fungsi utama

pemerintah yaitu fungsi alokasi, yang dimaksudkan untuk mengatasi kegagalan

pasar (market failure) dan inefisiensi dalam mengalokasikan sumber-sumber

ekonomi. Pemerintah juga mempunyai fungsi distribusi yang dimaksudkan

untuk menjamin terpenuhinya distribusi pendapatan dan kekayaan kepada

masyarakat agar tercapai distribusi yang merata dan adil. Fungsi stabilisasi

dimaksudkan sebagai penggunaan kebijakan anggaran sebagai suatu alat

untuk mempertahankan tingkat kesempatan kerja yang tinggi, tingkat stabilitas

harga dan laju pertumbuhan ekonomi yang tepat.

Setiap negara mempunyai cara yang berbeda untuk mendapatkan

penerimaan. Pemerintah dapat melakukan pemungutan pajak. Pajak digunakan

sebagai salah satu instrumen dalam kebijakan fiskal. Pengertian kebijakan

fiskal menurut Rahayu adalah “kebijakan pemerintah dengan menggunakan

belanja negara dan perpajakan dalam rangka menstabilkan perekonomian”.11

Dengan demikian, kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan ekonomi

makro yang sangat penting. Mansury mendefinisikan kebijakan fiskal dalam

pengertian luas sebagai “kebijakan untuk mempengaruhi produksi masyarakat,

kesempatan kerja dan inflasi, dengan mempergunakan instrumen pemungutan

pajak dan pengeluaran belanja negara”.12

11Ani Sri Rahayu, Pengantar Kebijakan Fiskal, Jakarta: Bumi Aksara, 2010,

hal.1.12R.Mansury, Kebijakan Fiskal, Jakarta: Yayasan Pengembangan dan

Penyebaran Pengetahuan (YP4), 1999, hal. 1

19

Pajak mempunyai peranan yang penting dalam mendukung pelaksanaan

fungsi negara. “The main purpose of taxation is to generate sufficient revenue

to finance public sector activities in a non-inflationary way.”13 Di negara

berkembang, motivasi utama pemajakan adalah pengumpulan dana

pembiayaan pemerintahaan dalam penyediaan barang dan jasa publik,

disamping motivasi lainnya adalah redistribusi penghasilan dan penyesuaian

kekurangsempurnaan mekanisme pasar.14 Jadi pada hakekatnya pajak

mempunyai fungsi utama yaitu untuk mengisi kas negara (to raise or to

generate government’s revenue), yang disebut sebagai fungsi budgetair atau

fungsi penerimaan (revenue function). Oleh karena itu, Rosdiana mengatakan

bahwa “suatu pemungutan pajak yang baik seharusnya memenuhi asas

revenue productivity.”15

Namun demikian, pajak tidak hanya sebagai fungsi untuk mengisi kas

negara (fungsi budgetair) sebagaimana telah diuraikan di atas. Pajak juga

dapat digunakan oleh pemerintah sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan

tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah. Pajak dapat digunakan untuk

berbagai program pemerintah, sebagaimana disitir oleh Karayan dan Swenson

“taxes impose costs on transactions, taxes affect human behavior, and thus can be (and are) used by governments to try to shape society. Indeed, the primary purpose of some taxes—such as excise taxes on the sale of machine guns, tobacco, and pollutants—is to further social engineering goals”.16

Sistem pajak juga akan mempengaruhi perilaku masyarakat, karena pajak juga

menjadi biaya yang cukup signifikan. Maka perencanaan pajak menjadi penting

bagi pelaku usaha untuk membuat keputusan keuangan terbaiknya. Hal

tersebut merupakan fungsi mengatur dari pajak (fungsi regulating/regulernd).

13Richard M Bird dan Eric M.Zolt, Introduction to Tax Policy Design and

Development, Washington: Word Bank, 2003, hal.9.14Gunadi, Ketentuan Dasar Pajak Penghasilan, Jakarta:Penerbit Salemba

Empat, 2002, hal. 2.15Haula Rosdiana, Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan Implementasi di

Indonesia, Jakarta: 2011,hal.40.16 Johne Karayan dan Charles W. Swenson, Strategic Business Tax Planning,

Second Edition, New Jersey, John Wiley & Sons, Inc, 2007, hal. 5

20

Sebagaimana dikatakan oleh Bird dan Zolt bahwa “The tax system can be used

to encourage or discourage certain activities.”17

2.2 Konsep Pajak Pertambahan Nilai

Pada saat ini perkembangan penerimaan pajak atas konsumsi terus

meningkat dan menjadi sumber penerimaan yang diperhitungkan, terutama

hampir seluruh negara-negara OECD18. Hal ini sejalan dengan peningkatan

perdagangan international barang dan jasa yang sangat cepat sebagai hasil

dari globalisasi yang dipacu melalui deregulasi, privatisasi dan revolusi

teknologi informasi. Termasuk juga masalah-masalah administrasi yang

berhubungan dengan perkembangan perdagangan internasional. Oleh sebab

itu OECD merekomendasikan perlunya perhatian terhadap penerimaan pajak

atas konsumsi. Para perumus kebijakan (policy maker) dan administrator

negara (legislator) juga harus lebih menaruh perhatian yang seksama terhadap

pajak atas konsumsi yang diterapkan secara internasional,19 dengan tetap

memperhatikan kemudahan, tidak berbelit dan pasti dalam pelakasanaannya.

Dalam mendesain kebijakan pajak atas konsumsi, pemerintah suatu

negara hendaknya memahami konsep dan teori yang mendasari apakah akan

mengenakan pajak dengan sistem pemungutan Pajak Penjualan atau sistem

pemungutan Pajak Pertambahan Nilai. Oleh sebab itu perlu pemahaman

terhadap legal character yang dapat didefinisikan sebagai ciri-ciri atau nature

dari suatu jenis pajak. Pemahaman tentang feature dan nature dari suatu jenis

pajak perlu dipahami sebagai petunjuk dalam menentukan sistem pemungutan

pajak atas konsumsi mana yang akan dipilih. Juga akan memberikan

konsekuesi bagaimana sebaiknya pajak tersebut harus dipungut. Sehingga

17Richard M Bird dan Eric M.Zolt, Loc.Cit.,hal.34.18OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) adalah

organisasi multilateral yang terdiri dari banyak negara-negara Eropa Barat, Amerika, Canada, Jepang, Australia dan New Zealand. Dibentuk pada tahun 1961, OECDmenjadi forum untuk perwakilan negara-negara industri guna mendiskusikan dan usaha untuk mengkoordinasikan kebijakan-kebijakan ekonomi dan sosial. Tujuan utamanya adalah menjaga dan menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Dalam bidang perpajakan, OECD juga merupakan organisasi international yang banyak memberikan kontribusi dibidang kebijakan pajak termasuk membuat model tax treaty yang dikenal dengan OECD Model Double Tax Agreement.

19Consumption Tax Guidance Series, OECD, http://www.oecd.org/document., diunduh pada tanggal 29 Maret 2004.

21

akibat yang ditimbulkan dari kebijakan yang ditempuh dapat dianalisa dan

dijelaskan berdasarkan konsep dan teori yang mendasari. Dengan demikian,

legislative structure dan interpretasi dari suatu terminologi seharusnya dipandu

oleh legal character. Berkaitan dengan hal ini, Terra mengatakan: “ Basically it

means that the intrinsic nature of a tax should be the guiding principle in

determining its consequences and not just the label, or the name of a tax.”20.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bukanlah suatu bentuk perpajakan baru,

namun pada dasarnya merupakan Pajak Penjualan yang dibebankan dalam

bentuk yang berbeda. Oleh karena itu maka Legal Character dari Pajak

Pertambahan Nilai adalah juga sebagai Pajak Tidak Langsung atas Konsumsi

yang bersifat umum ( general indirect tax on consumption) yang dipungut

dengan sistem yang berbeda dari Pajak Penjualan. Dengan berbagai

kelebihannya, konsep Pajak Pertambahan Nilai ini sekarang diterapka hampir di

seluruh negara di dunia, teruama di negara-negara Eropa.

2.2.1 Legal Character dari Pajak Pertambahan Nilai

2.2.1.1 Bersifat Umum (General).

Pertama, Pajak Penjualan merupakan pajak atas konsumsi yang bersifat

umum. Pengertian bersifat umum (general) yaitu bahwa Pajak penjualan (sales

tax) dikenakan terhadap semua atau sejumlah besar barang (dan termasuk

jasa). Inilah yang membedakannya dengan jenis pajak lainnya yaitu excise tax

(di Indonesia dikenal dengan cukai). Sales tax bersifat general, sedangkan

excise atau commodity taxes bersifat specific. Jadi artinya, Pajak Penjualan

dikenakan terhadap semua barang, sedangkan excise hanya dikenakan atas

barang-barang tertentu atau golongan barang tertentu saja seperti tembakau,

minuman beralkohol.

Ditegaskan oleh Terra, “A sales tax is a general tax on consumption”21

artinya bahwa Pajak Penjualan merupakan pajak atas konsumsi yang bersifat

umum, yang dikenakan pada semua pengeluaran (private expenditure).

20Ben Terra, Sales Taxation: The Case of Value Added Tax in The European

Community, Denventer-Boston, Kluwer Law and Taxation Publishers, 1988, hal.7.21 Ibid., hal.8.

22

Sebagai konsekuensinya, maka tidak boleh ada diskriminasi, karena Pajak

Penjualan seharusnya tidak dibedakan antara pengeluaran untuk barang-

barang dan jasa, dimana keduanya adalah pengeluaran untuk tujuan konsumsi.

Sehingga jika pajak atas konsumsi dimaksudkan untuk mencakup secara

umum dan menghindari distorsi ekonomi, maka seharusnya yang menjadi objek

Pajak Penjualan tidak hanya saja mencakup barang tetapi juga atas jasa. . ”If a

tax on consumption is to provide a uniform coverage and avoid economic

distortion, it should apply to all sales of services as well as goods.”22. Jadi

bukan hanya barang saja atau jasa saja, karena pengeluaran itu bisa dalam

bentuk barang maupun jasa. Pada hakekatnya barang tertentu juga menjadi

pengganti atas jasa tertentu. Misalnya, jika mesin cuci dikenakan pajak, maka

jasa binatu/cuci baju (laundry) juga harus dikenakan pajak, karena Pajak

Penjualan sebagai pajak atas konsumsi ditujukan untuk mengurangi pemakaian

dari penghasilan seseorang atau bahagian yang dibelanjakan. Dengan kata lain

pengenaan Pajak Penjualan adalah untuk semua pengeluaran (private

expenditure) baik barang maupun jasa.

2.2.1.2 Tidak Langsung (Indirect)

Kedua, Pajak Penjualan merupakan pajak tidak langsung. Ciri-ciri Pajak Tidak

Langsung yang dapat membedakannya dari Pajak Langsung antara lain:

Tidak memperhatikan keadaan Wajib Pajak seperti jumlah penghasilan,

namun hanya akan dipungut pajak kalau pada suatu ketika terdapat

suatu peristiwa atau perbuatan seperti penyerahan barang.23 Misalnya

jika seseorang membeli mesin cuci, maka akan dikenakan Pajak

Penjualan.

Suatu pajak dimana Wajib Pajak dapat melimpahkan beban pajaknya

baik seluruhnya atau sebagian kepada orang atau pihak lain. Beban

pajak yang dialihkan dapat berupa forward shifting atau backward

22United Nation, Sales Tax Adminsitration : Major Structural and Practical

Issues with Special Reference to the Needs of Developing Countries, New York : United Nation, Department of Economic and Social Affair, 1976, hal.72.

23 R Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung:Eresco, 1993, hal.85

23

shifting. Dengan kata lain, tidak selalu harus konsumen yang memikul

beban Pajak Penjualan sepenuhnya/seutuhnya. Beban pajak ini bisa

saja dipikul sebagian oleh penjual dengan cara mengurangi keuntungan

dan atau melakukan efisiensi. Beban pajak dapat dilimpahkan ke depan

kepada konsumen (jika forward shifting), tergantung dari elasitas harga

permintaan dan penawaran dari suatu barang. Beban pajak juga dapat

dilimpahkan ke belakang kepada faktor-faktor produksi dari produksen

(backward shifting). Oleh sebab itu dalam banyak hal, pembeli akhir

akan membayar sebagian (atau seluruhnya) dari pajak tidak langsung

ini. Hal ini sejalan dengan pengertian yang disampaikan oleh Newman:

”Shifting may be either forward or backward. The difference here is to the directionof movement from point of impact. If shifting is toward the consumer, it is said to be forward; if toward the factors of productions or their owners, it is said to be backward. Forward shifting means that price is higher than it would otherwise be; backward shifting means that price is lowered below what it would otherwise be. Suppose, for example, that a tax is levied on a manufacturer of a consumer good; the tax may be shifted forward toward the consumer in a higher price of the good in question, or it may be shifted backward in (say) lower wages. It is, of course, possible that in a given case a tax may be shifted partly forward and partly backward.”24

Meskipun konsumen merupakan pihak yang memikul beban pajak terakhir

(destinataris), namun yang ditentukan untuk melakukan kewajiban pajak

(antara lain memungut, menyetor dan melaporkan pajak yang terutang)

adalah Pengusaha Kena Pajak (taxabel person). Penjual akan bertindak

sebagai terminal atau kolektor untuk melakukan kewajiban pajak. Pembeli

terutama konsumen akhir (end user) akan sulit untuk ditentukan melakukan

kewajiban pajak, karena secara administratif menjadi tidak mudah (feasibel).

Dapat dibayangkan jika semua pembeli, harus melakukan pekerjaan

administratif pajak, tentu cost of collection akan tidak efisien.

Dalam administrasi pelaksanaannya, jenis Pajak Tidak Langsung antara

lain Pajak Penjualan, Pajak Peredaran, Pajak Pertambahan Nilai dan

Cukai (excise duties) seperti alcohol, tembakau, dapat terutang setiap

24 Herbert E. Newman, An Introduction to Public Finance, New York: John Wiley

and Sons, Inc., 1968, hal. 261-262.

24

saat. Baik pada saat impor atau ekspor barang, saat membayar secara

langsung barang yang dibeli, atau pada saat terjadi transaksi.

2.2.1.3 Atas Dasar Konsumsi (on Consumption)

Ketiga, Pajak Penjualan berdasarkan atas konsumsi (on consumption). Menurut

pengertian dari United Nation, Pajak Penjualan didefinisikan sebagai:

“A Sales Tax may be defined as a tax charged on the sales of a wide range of goods or on factors incidental to sales such as production, the movement of goods, the legal act of transfer of ownership, the actual delivery of goods or the rendering of services, or the payment or invoicing of the amount of the consideration involved.”25

Pajak penjualan dipungut atas sejumlah uang yang melekat pada penjualan

barang atau jasa, yang merupakan komponen dari biaya dalam formulasi

harga. Pengertian konsumsi lebih ditujukan sebagai pengeluaran (expenditure)

oleh konsumen untuk mengkonsumsi barang. Pajak akan dipungut segera

setelah orang mengeluarkan uangnya dan hanya memungut bagian belanja

yang dikeluarkan untuk konsumsi.

Semua konsumsi dihubungkan dengan peristiwa atau perbuatan atau kejadian

yang dapat berupa penjualan, pembelian, peredaran. Peristiwa ini mungkin

tidak satu kali, tapi merupakan peristiwa yang lebih dari satu kali. Jadi

pengertian konsumsi bukan sekedar mengkonsumsi suatu barang yang habis

dipakai seperti makanan, namun lebih kepada pengertian pengeluaran untuk

membelanjakan uang untuk barang termasuk barang yang akan diolah lebih

lanjut.

2.2.2 Pengertian Value Added Tax

Pajak Pertambahan Nilai (Value Added Tax atau Belasting Toegevoegde

Waarde) pada dasarnya merupakan Pajak Penjualan yang dipungut beberapa

kali (multyple stage levies) atas dasar nilai tambah yang timbul pada semua

25 United Nation., Op.Cit., hal. 1.

25

jalur produksi dan distribusi. Jadi PPN ini dapat dipungut beberapa kali pada

berbagai mata rantai jalur produksi dan distribusi namun hanya pada

pertambahan nilai yang timbul pada setiap jalur yang dilalui barang dan jasa.

Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Ebrill dkk bahwa:

“The key features of the Value- Added Tax are that it is a broad-based tax levied at multiple stage of production, with – crucially –taxes on iputs credited against taxes on output. That is, while sellers are required to charge the tax on all their sales, they can also claim in a credit for taxes that they have been charged on their input.”26

Nilai tambah tersebut tercermin pada selisih harga penjualan dengan

harga pembelian. Selisih ini merupakan nilai tambah yaitu semua biaya yang

dikeluarkan dalam memproduksi suatu barang atau menjual kembali barang

tersebut. Nilai tambah ini timbul karena dipakainya faktor produksi di setiap jalur

peredaran dalam menyiapkan, menghasilkan, menyalurkan dan

memperdagangkan barang atau pemberian pelayanan jasa kepada para

konsumen. Juga semua biaya untuk mendapatkan dan mempertahankan laba

termasuk bunga modal, sewa, penyusutan dan upah kerja. Pada setiap

produksi nilai produk dan harga jual produk selalu terdapat nilai tambah antra

lain, yang utama, karena setiap penjual menginginkan adanya keuntungan

sehingga dalam menentukan harga jual, harga perolehan ditambah dengan

laba bruto (mark up).

Sasaran yang dikenakan PPN adalah hanya pertambahan nilai yang

merupakan biaya yang dikeluarkan untuk faktor produksi mulai bahan

baku/bahan pembantu diterima, proses produksi, sampai hasil siap dijual.

Pertambahan nilai ini timbul karena dipakainya biaya-biaya faktor produksi di

setiap jalur produksi dan distribusi. Biaya-biaya tersebut akan tercermin dalam

harga barang yang akan dijual.

Kelebihan Pajak Pertambahan Nilai adalah:

a. Fiscal Advantages

Bagi pemerintah, terdapat beberapa keuntungan jika menerapkan VAT.

Pertama, karena cakupan yang luas yang meliputi seluruh jalur produksi dan

distribusi sehingga potensi pemajakannya juga besar. Kedua, karena sangat

26 Liam Ebrill dkk, The Modern VAT., Washington, D.C.:IMF, 2001, hal.3.

26

mudah untuk menimbulkan value added di setiap jalur produksi dan distribusi

sehingga potensi pemajakannya semakin besar. Terakhir, dengan

menggunakan sistem invoice (Faktur Pajak) lebih mudah untuk mengawasi

pelaksanaan kewajiban perpajakan oleh Wajib Pajak serta mendeteksi adanya

penyalahgunaan hak pengkreditan Pajak Masukan. PPN sebagai pajak tidak

langsung dikenakan pada setiap jalur produksi dan distribusi merupakan mesin

uang (money machine) pemerintah untuk menghimpun sumber penerimaan

negara yang produktif.

b. Psycological Advantages

Keuntungan psikologis dari pajak tidak langsung adalah sering kali

pembayar pajak tidak menyadari telah membayar pajak. Sebagai salah satu

bentuk pajak tidak langsung, keuntungan ini pun melekat (inherent) dalam PPN,

karena pajak pada umumnya sudah dimasukkan ke dalam harga jual/harga

yang dibayar oleh konsumen, maka seringkali konsumen tidak menyadari

bahwa dia sudah membayar pajak. Hal ini berbeda dengan Pajak Penghasilan

dimana pegawai, misalnya merasakan langsung beban pajak tersebut karena

langsung mengurangi gaji yang diterimanya, sementara jika penghasilan

tersebut dibelanjakan, umumnya tidak disadari bahwa ada beban pajak yang

telah dibayar karena harga barang/jasa yang dikonsumsi sebenarnya sudah

termasuk PPN yang dibayar.

c. Economic Advantages

PPN sebagai pajak atas konsumsi, maka keunggulan dari consumption-

based taxation adalah netral terhadap pilihan seseorang apakah akan saving

terlebih dahulu ataukan langsung mengkonsumsikan penghasilan yang

didapatnya. PPN juga diyakini dapat membentuk modal (capital formation) serta

mendorong pertumbuhan ekonomi lebih cepat.

2.2.3 Metode Penghitungan Pajak Pertambahan NilaiMetode penghitungan PPN yang dipilih di Indonesia adalah menerapkan

The Indirect Substraction Method (invoice-based credit atau credit method).

Metode ini merupakan metode yang paling umum digunakan dalam menghitung

PPN di beberapa negara. Melalui metode ini, pengusaha pada setiap tingkat

produksi sampai dengan distribusi mengenakan PPN atas penjualannya

kepada konsumen (the VAT on its output), mengkreditkan PPN yang telah

27

dibayar pada waktu pembelian (the VAT on its input) dan membayar pajak ke

Kas Negara. Pajak yang terutang adalah selisih antara (tarif x nilai penjualan)

dan (tarif x nilai pembelian), dimana t1 dan t2 masing-masing adalah tarif atas

nilai penjualan dan nilai pembelian. Dengan kata lain pajak yang terutang

merupakan selisih antara pajak yang dipungut pada waktu penyerahan barang

(jasa) dengan pajak yang dibayar pada waktu pembelian/perolehan barang

(jasa).

Dalam konsep PPN di Indonesia dikenal dengan Pajak Keluaran

dikurangi dengan Pajak Masukan. Jadi yang dikurangkan disini adalah

pajaknya. Karena adanya sistem kredit pajak maka metode ini dikenal juga

dengan metode kredit (credit method). Untuk mengetahui berapa jumlah pajak

yang dipungut dan yang telah dibayar, dibuktikan dengan adanya Faktur Pajak.

Karena dalam kredit pajak akan dapat berjalan baik bila didukung dengan

adanya Faktur Pajak, maka metode ini dikenal juga dengn metode Faktur Pajak

(Invoice Method). Metode ini merupakan metode asli dari model EEC.

Menurut Terra, ada 3 (tiga) kelebihan utama metode Tax Credit, yaitu

pertama, metode ini hampir secara universal digunakan di banyak negara.

Kedua, metode penghitungan VAT selain metode Tax Credit pada umumnya

lebih memerlukan laporan tahunan daripada laporan bulanan atau kwartalan

(triwulanan). Tentunya hal ini akan sangat membantu pemerinah karena lebih

selaras dengan asas revenue productivity. Ketiga, metode Tax Credit

memberikan kontribusi yang penting, bukan saja bagi penegakkan hukum PPN

itu sendiri, tetapi juga bagi kepentingan pemeriksaan Pajak Penghasilan. Hal ini

dapat dilihat dalam konteks kebijakan pemeriksaan pajak di Indonesia yang

juga kerap kali menerapkan metode equalisasi antara PPN dan PPh.

2.2.4 Yurisdiksi Pemajakan dalam Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai

Berdasarkan destination principle atau prinsip tujuan barang, negara

yang berhak mengenakan pajak adalah negara dimana barang diproduksi atau

dimana barang tersebut dikonsumsi. Jika barang di impor maka akan kena

pajak, tetapi jika barang di ekspor maka tidak akan dikenakan pajak.

“In VAT that defines its tax jurisdictional reach on the destination principle, the tax is imposed in the country of consumption –generally where the goods and services are delivered for personal

28

consumption. Imports are subject to VAT and exports are free of VAT. Most nations with destination principle VAT’s tax only some imported services and zero rate only some exported services.”27

Hampir banyak Negara sekarang ini menggunakan prinsip tujuan

barang, karena lebih netral untuk perdagangan international. Hal ini dilakukan

dalam rangka harmonisasi perpajakan demi tercapainya iklim perdagangan

international yang fair dan netral. Begitu juga dengan kebijakan Pajak

Pertambahan Nilai di Indonesia, menganut prinsip asal barang atau destination

principle.

2.2.5 Penentuan Pengenaan PPN atas Jasa Kena PajakPada penjelasan legal character disebutkan bahwa Pajak Penjualan

(PPn) merupakan pajak atas konsumsi yang bersifat umum (general) dan

ditujukan pada semua private expenditure. Sebagai konsekwensinya, maka

tidak boleh ada diskriminasi atau pembedaan antara barang dan jasa, karena

keduanya merupakan pengeluaran. Karena itu, yang dapat menjadi objek PPN

adalah konsumsi untuk barang dan konsumsi untuk jasa.

Setelah menetapkan konsumsi jasa masuk dalam lingkup objek PPN,

langkah selanjutnya adalah mengkaji pengertian jasa, untuk kemudian dipilih

alternatif yang paling tepat, yang sesuai dengan konsep Value Added Tax,

tetapi sekaligus asas-asas pemungutan pajak (antara lain asas revenue

productivity, equality dan ease administration).

Karakteristik jasa (services) antaranya adalah28:

Intangible yaitu bahwa jasa adalah produk yang tidak berwujud. Berbeda

dengan barang (goods) yang merupakan produk yang secara fisik jelas

wujudnya. Bahkan services dapat dikatakan produk yang bersifat immaterial

sedangkan barang yang sifatnya kongkrit.29

Heterogenous. Produk service adalah produk yang heterogen dimana

komsumen yang satu akan merasakan konsumsi yang berbeda dengan

konsumen yang lainnya. Sebab tidak ada satupun services yang dapat

27 Alan Schenck dan Oliver Oldman, Op.Cit, hal. 22.28Christian Gronross, Service Management and Marketing: Managing the

Momoent of Truthin Service Competition, Singapore, Lexington Books, 1990, hal.28.29 Gerard A Tocquer and Chan Cudennec, Service Asia: How the Tigers can

keep their Stripes, Singapore: Prentice Hall, 1998, hal. 4.

29

dirasakan oleh para konsumen. Sehingga upaya untuk menstandarisasikan

produk jasa sangat sulit dilakukan.30

Production, distribution and consumption simultaneous process. Dalam

produk pelayanan, proses produksi, distribusi dan konsumsi merupakan

sebuah proses yang stimultan, tidak dapat dipisahkan antara satu dengan

yang lainnya.

An activity or process. Pelayanan adalah sebuah aktifitas atau proses,

bukan barang jadi.

Core value produced in buyer-seller interaction. Nilai utama dalam suatu

produk pelayanan terletak pada terjadinya interaksi antara penyedia

pelayanan dan pengguna pelayanan.

Customer participate in the production process. Konsumen terlibat langsung

dalam proses produksinya.

Cannot be kept in stock. Produk jasa tidak dapat disimpan sebagai

persediaan yang dapat dipergunakan untuk kesempatan yang akan datang.

No transfer of ownership. Kepemilikan produk tidak dapat dipindahkan

kepada orang lain. Kepemilikan produk jasa hanya bagi orang yang terlibat

dalam proses produksi, distribusi dan konsumsi dalam sebuah proses yang

stimultan, tidak dapat digantikan atau dipindahkan sama sekali.

2.3 Insentif Pajak

Kebijakan pajak (tax policy) yang merupakan kebijakan fiskal dalam arti

sempit bisa menjadi alat yang dapat dipertimbangkan dalam pemberian insentif

pajak. Pilihan suatu negara mengenai bagaimana menyusun sistem pajaknya

tergantung dari beberapa faktor seperti tingkat pembangunan, kebutuhan dan

keinginan untuk meningkatkan pelayanan umum, dan kapasitas untuk

mengenakan pajak secara efektif. Diperlukan suatu analisa dengan pendekatan

yang multidisiplin, serta berbagai pengetahuan yang beragam dalam

mendesain suatu reformasi sistem perpajakan. Gordon dan Thuronyi

mengemukakan bahwa:

30 Ibid., hal. 4.

30

“To design a package of tax reform proposals, a variety of areas of knowledge must typically be brought to bear. Economicsts should analyze the economic effects of different policy alternatives, as well as their revenue effects. Tax law experts should develop the detailed design of proposed rules, based on knowledge of the details of tax rules of different countries. Tax lawyers with drafting experience should work on the actual legislative language. Lawyers should also ensure the integration of proposed rules with the rest of the legal system (commercial law, constitution, etc). Accountants should advise on the compatibility of proposed tax rules with accounting rules and practices. Experienced tax administrators should evaluate the administrative problem arising from proposed rules and suggest alternatives base on relevant experience (again, with comparative knowledge of practice of different countries where relevant).”31

Reformasi pajak hendaknya dimaksudkan untuk tujuan jangka panjang bukan

untuk kepentingan tujuan jangka pendek. Perubahan sistem pajak seharusnya

tidak bersifat sementara hanya untuk memenuhi kekurangan serta antisipasi

kebijakan pada tahun berjalan. Dalam mendesain suatu sistem perpajakan,

harus dilakukan dengan komprehensif dan holistik, untuk menghindari

seringnya frekuensi pergantian/perubahan kententuan perpajakan tersebut.32

Hal ini sejalan dengan pendapat Bird dan Zolt, “Frequent tax changes increase

enforcement and compliance costs and may increase efficiency costs,

especially where businesses make production and location decisions on the

basis of a particular tax structure”.33

Sistem perpajakan mencakup unsur kebijakan pajak (tax policy) dan

adminstrasi pajak (tax administration), dimana menurut Rosdiana, undang-

undang pajak (tax law) merupakan bagian dari kebijakan pajak.34 Kebijakan

pajak adalah kebijakan fiskal berdasarkan pengertian sempit, sebagaimana

dikemukakan oleh Mansury yaitu “kebijakan yang berhubungan dengan

penentuan siapa-siapa yang akan dikenakan pajak, apa yang akan dijadikan

31Richard K. Gordon and Victor Thuronyi, Chapter 1, Tax Legislative Process,

dalam Victor Thuronyi, Tax Law Design and Drafting, volume 1, ed., New York: International Monetary Fund, 1996, hal. 4-5.

32Haula Rosdiana, Loc.Cit., hal.73.33 Richard M Bird dan Eric M.Zolt, Loc.Cit.,hal.10.34 Haula Rosdiana, Op.Cit., hal.74.

31

dasar pengenaan pajak, bagaimana menghitung besarnya pajak yang harus

dibayar dan bagaimana tatacara pembayaran pajak yang terutang”.35

Pajak memang lebih banyak dimaksudkan untuk meningkatkan

penerimaan dan untuk membiayai program-program pemerintah. Oleh karena

itu politik perpajakan sering kali memperdebatkan untuk apa pajak digunakan

dan berapa tingkat tarif pajak harus dikenakan. Para pembuat kebijakan selalu

menggunakan sistem pajak baik sebagai instrumen kebijakan publik dan politik

dasar. Namun saat ini Steinmo mengatakan bahwa “Policy maker came to

believe that tax incentives could be used as instruments of economic

management”36. Bahkan saat ini banyak yang percaya, kebijakan pajak bisa

dimanipulasi untuk mendorong beberapa jenis perilaku ekonomi, walaupun juga

dapat sementara mengecewakan pihak yang lainnya. Pengertian insentif pajak,

termasuk jika pengeluaran pajak (tax expenditure) digunakan untuk mendorong

kegiatan-kegiatan tertentu atau perilaku ekonomi tertentu. Misalnya biaya untuk

amal dapat dikurangkan dari penghasilan untuk menghitung pajak (charitable

deduction), yang dimaksukdkan untuk mendorong tumbuhnya

philantropy.Termasuk juga kredit mesin untuk mengkontrol polusi. Pada

dasarnya penggunaan insentif pajak adalah sebagai cara untuk memberikan

bantuan pada pemerintah.

Insentif pajak banyak digunakan untuk menarik investasi. Terdapat

bermacam bentuk insentif investasi yang biasanya diklasifikasikan sebagai

insentif keuangan (financial incentives) atau insentif fiskal (fiscal incentives).

Kecenderungan di negara maju menggunakan insentif keuangan dalam

preferensi untuk insentif fiskal. Sebaliknya, negara-negara berkembang lebih

cenderung untuk menawarkan insentif pajak. Hal tersebut karena sering dana

tidak tersedia hanya untuk membuat hibah tunai di depan (an up-front cash

grant) atau memberikan pinjaman (loan). Insentif pajak (tax incentives) paling

banyak didiskusikan dalam kontek sebagai suatu kebijakan menarik investor

untuk menanamkan modalnya di suatu negara. Insentif pajak dianggap

pendekatan yang paling praktis untuk menarik investasi asing langsung (foreign

direct investmen/FDI)

35R.Mansury,Loc.Cit.,hal. 1.36 Sven Steinmo, Tax Policy, USA, Edward Elgar Publishing, Inc., 1998, hal. xiv.

32

Paling tidak terdapat dua isu dasar dalam kebijakan insentif investasi yaitu,

pertama investor atau kegiatan mana yang harus diberikan insentif, dan kedua

apa bentuk insentif yang mereka harus ambil. Pemberian insentif pajak,

dilakukan melalui sistem pajak dan memberikan manfaat dalam bentuk

pengurangan pajak yang seharusnya dibayar. Menurut Easson bentuk insentif

yang paling sering digunakan adalah antara lain:37

“Reduced rates of corporate income tax for particular activities or types

of enterprise;

Tax holiday (i.e. reduction or exemption from tax for a limited duration);

Investment credits or allowances for investment in capital assets;

Accerelated depreciation of capital assets;

Deductions rules that permit an amount greater than actual cost to be

claimed;

Deductions or credits for reinvested profits;

Reduced rates of withholding tax on remittances to the home country;

Reduced personal income tax and/or social security contributions for

executives and employees;

Exemption from, or reduction of, value added tax or other forms of sales

taxation;

Property tax reductions;

Reduces import taxes and duties.”

Pada tahun 1995 UNCTAD melaporkan lebih dari seratus negara

menggunakan insentif pajak untuk menarik investasi asing langsung (foreign

direct investment), sebagaimana disarikan dalam tabel berikut dalam buku

Easson38:

37 Alex Easson, Tax Incentives For Foreign Direct Investmen, Netherlands,

Kluwer Law International, 2004, hal.338Ibid., hal.132

33

Tabel 2.1

Types of tax incentives employed

Insentive Developing countries (52)

Developed countries (51)

Total (103)

Reduced CIT rate 43 40 83Tax holidays 37 30 67Accelerated depreciation 26 21 47Investment allowance 18 8 26Social security reduction 5 7 12Import duty exemption 39 24 63Other 32 13 45Note: the category “other” included both rules on deduction for income tax purposes and reduction in othe taxes (e.g. sales tax or VAT)Source: UNTAD, 1995

Oleh sebab itu perlu diketahui jenis instentif tertentu yang akan dipilih

agar sesuai dengan tujuan atau target yang hendak dicapai. Hampir semua

bentuk insentif pajak menciptakan distorsi dan mempengaruhi perilaku ekonomi

pada satu atau sisi lainnya. Sehingga perumus kebijakan perlu memperhatikan

apa tujuan kebijakan utama yang akan dicapai. Termasuk juga jenis insentif

pajak apa yang paling cocok untuk mencapai tujuan yang diharapkan tersebut.

Insentif pajak dapat didefinisikan baik dalam kontek hukum (statutory

terms) atau secara efektif (effective terms), sebagaimana disitir oleh Stotsky

dan Ley dalam Alex Easson mengatakan bahwa:39

“in statutory terms, it would be a special tax provision granted to qualified investment project (however determined) that represents a statutory favorabel deviations from corresponding provision applicabel to investment projects in general (i.e., projects that receive no special tax provision). an implication of this definition is that any tax provisions that is applicabel to all investment projects does not constitute a tax incentives. In effective terms, a tax incentive would be a special tax provision granted to qualified investment projects that has the effect to lowering the effective tax burden - measured in some way- on these projects, relative to the effective tax burden that would be borne by investors in the absence of the special tax provision.”

Namun demikian insentif pajak baik dalam kontek hukum (statutory

terms) maupun kontek efektif (effective terms), keduanya adalah merupakan

ketentuan ‘khusus (special)’ dan bukan “ketentuan umum (general)” yang

39Ibid., hal.3

34

diberikan dalam bentuk kebijakan. Dari pandangan investor, biasanya tidak

peduli apakah suatu ketentuan pajak memberikan insentif khusus atau

merupakan bagian dari sistem pajak secara umum. Namun demikian tetap

bahwa perbedaan harus dilakukan, ketentuan pajak yang mengatur secara

khusus dan bahagian yang merupakan ketentuan umum. Walaupun diakui

bahwa hal ini kadang-kadang sulit dan bahkan kadang tidak mungkin. Suatu

sistem pajak dapat disusun sedemikian rupa tidak ada patokan (benchmark)

dari mana harus mulai untuk memberikan insentif pajak.

Kerapkali penggunaan berbagai insentif oleh beberapa negara menjadi

kontra produktif, karena kurang memperhatikan hakekat dari tujuan pemberian

insentif tersebut. Lebih lanjut easson mengatakan bahwa

“Countries that introduce a large variety of incentives, each pursuing different objectives and which may be overlapping or conflicting, rarely succeed in achieving any of their desired objectives.”40

Negara-negara yang memperkenalkan berbagai macam insentif, masing-

masing mengejar tujuan yang berbeda dan yang mungkin tumpang tindih atau

bertentangan, jarang berhasil mencapai salah satu tujuan yang diinginkan

mereka.

Oleh sebab itu penting kiranya mengetahui apakah insentif pajak (tax

incentives) menjadi lebih berguna atau efisien yang menerapkan kebijakan

sosial sebagai pengeluaran pemerintah langsung (direct government

expenditures) seperti hibah, pinjaman, subsidi bunga dan pinjaman garanti.

“the term “tax expenditure” has ben used to describe those special provisions of the income tax system which represent government expenditures made through that system to achieve various social and economic objectives. These special provisions provide deductions, credits, exclusions, exemptions, defferals, adn preferential tares, and serve ends similar in nature to those served by direct government expenditures or loan program”41

40Ibid.,hal.158.41Ibid.

35

BAB 3

METODE PENELITIAN

Metodologi dan pendekatan dalam pelaksanaan kajian akademik ini

dibuat dengan menyusun urut-urutan pekerjaan secara sistematis dan

terstruktur mulai dari inventarisasi kondisi eksisting yang mencakup strategi

pengumpulan data sampai pada melakukan analisa. Hasil kajian literature

(benchmarking) data dan juga hasil kajian institusi/perorangan yang lain yang

terkait selanjutnya akan digunakan sebagai bahan analisa dan akan dibuat

inventarisasi data yang memuat tentang evaluasi kelebihan/kekurangannya,

kesesuaiannya dengan kelajiman dunia internasional dan perkembangan

kompetisi pasar, serta kemungkinan keperluan untuk penyesuaian dan

berujung pada analisis tinjaun kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas jasa

kepelabuhanan.

Metode pendekatan yang digunakan dalam penyusunan kajian akademik

ini adalah pendekatan Yuridis Normatif maupun Yuridis Empiris dengan

menggunakan data sekunder maupun data primer. Metode yuridis normatif

dilakukan melalui studi pustaka yang menelaah (terutama) data sekunder, baik

yang berupa perundang-undangan maupun hasil-hasil penelitian, hasil

pengkajian dan referensi lainnya. Sedangkan pendekatan Yuridis Empiris dapat

dilakukan dengan menelaah data primer yang diperoleh/dikumpulkan langsung

dari masyarakat. Data primer dapat diperoleh dengan cara: pengamatan

(observasi), diskusi (Focus Group Discussion), wawancara, mendengar

pendapat narasumber atau para ahli.

Data akan dianalisis dengan menggunakan metoda induktif, artinya,

menggunakan pendekatan kualitatif karena yang dianalisis adalah meaning dan

understanding dari suatu fenomena sosial sehingga dapat dipahami verstehen

dari suatu interaksi yang terjadi dalam masyarakat.42 Analisis yang bersifat

42 Lihat Steven J. Taylor dan Robert Bogdan, Introduction to Qualitative

Reseach Methods : The Search fo Meanings, Second Edition, Singapore: John Wiley & Sons, hal. 2.

36

deskriptif diawali dengan mengumpulkan informasi mengenai status suatu

gejala yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat kajian.

Informasi tersebut diperlukan dengan tujuan untuk membuat penjelasan secara

sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta tersebut. Diharapkan

diperoleh suatu konsepsi yang komprehensif tentang urgensi pemberian

fasilitas Pajak Pertambahan Nilai Tidak dipungut untuk mendorong

perdagangan internasional. Hal ini sejalan dengan pengertian analisis data

kualitatif menurut Bogdan dan Biklen serta Seiddel sebagaimana dikutip

Moleong, yaitu upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data,

mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat

dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa

yang penting dan apa yang dipelajari, dan menganalisis makna, menemukan

pola dan hubungan-hubungan serta membuat temuan-temuan umum.43

3.1 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan terdiri melalui:

3.1.1 Studi Dokumentasi : Pengumpulan dan Analisis Data SekunderPada tahap awal, pengumpulan data sekunder serta literatur dilakukan

untuk memahami (verstehen) konteks perubahan ketentuan perpajakan dan

relevansinya dengan kondisi objektif yang berlaku saat ini. Tahap awal ini

dilakukan melalui studi dokumentasi. Patton mendefinisikan pengumpulan data

melalui studi dokumentasi sebagai:

“Written materials and other documents from organizational, clinical, or programs records; memoranda and correspondence, official publications and reports; personal diaries, letters, artistic works, photographs, and written responses to-open-ended surveys. Data consist of excerpts from documents captured in a way that records and preserves contexts.”44

Studi dokumentasi dilakukan dengan cara:

43 Lexy J. Moleong, MA., Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi revisi, Bandung:

Penerbit PT Remaja Rosda, 2008.44 Michael Quinn Patton, Qualitative Research and Evaluation Methods, 3rd

Edition, London: Sage Publications, 2002, hal. 4

37

o Mempelajari dokumen-dokumen terkait terutama Keputusan Menteri

Keuangan dan Keputusan serta Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak

mengenai Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Kepelabuhanan.

o Mengumpulkan regulasi-regulasi internasional berkaitan dengan kebijakan

pajak atas jasa kepelabuhanan

o Mengumpulkan data-data masalah khusus yang berkaitan dengan

pengertian jasa kepelabuhanan khususnya untuk angkutan laut luar negeri.

3.1.2 Melakukan Observasi dan Focused Group DiscussionSetelah menganalisis data sekunder, penelitian dilanjutkan dengan

observasi dan Focused Group Discussion (FGD). Yang dimaksud dengan FGD

adalah “The focus group is a special qualitative research technique in which

people are informally “interviewed” in a group-discussion setting”.45 FGD

dilaksanakan dengan cara menginterview 6-12 orang sekaligus dengan

seorang moderator yang memimpin para responden dalam suatu diskusi yang

relatif bebas mengenai suatu topik tertentu. “The procedure is that a researcher

gathers together 6 to 12 people in a room with a moderator to discuss a few

issues”.46 Dalam menyusun kajian akademik ini, topik yang diangkat dalam

FGD adalah perubahan ketentuan Pajak Pertambahan Nilai atas jasa

kepelabuhanan dan implikasinya bagi perdagangan internasional Indonesia.

Teknik pengumpulan data melalui Focused Group Discussion dilakukan dengan

memperhatikan beberapa kelebihannya sebagaimana dikemukakan oleh

Patton, yaitu:

- The natural setting allows people to express opinions/ideas freely.

- Open expression among members of marginalized social groups is encouraged.

- Survey researchers are provided a window into how people talkabout survey topics.

- The interpretation of quantitative survey results is facilitated.- Participant may query one another and explain their answer to

each others.47

45 Ibid, hal. 396.46 Ibid, hal. 433.47 Ibid

38

FGD akan dilakukan dengan pengurus DPP INSA dan DPP APTPI dan

para ahli perpajakan. Observasi juga dilakukan untuk memahami

(understanding) permasalahan-permasalahan yang ada dalam

pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atas jasa kepelabuhanan.

Sebagaimana dikemukakan oleh Kirk dan Miller yang menyatakan bahwa

“natural vision is binocular, for seeing the same thing simulaneously from

more than one perspective gives a fuller understanding of its depth”.48

3.2 Melakukan Analisa Data

Data yang dikumpulkan selanjutnya akan dianalisa, antara lain

menyangkut:

o Analisis kondisi eksisting ketentuan Pajak Pertambahan Nilai atas

jasa kepelabuhanan.

o Merumuskan dan tinjauan (review) implikasi pengenaan Pajak

Pertambahan Nilai atas jasa kepelabuhanan dalam perdagangan

internasional

o Membandingkan kelajiman internasional mengenai kebijakan

pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas jasa kepelabuhanan

Fokus Kajian Studi : Merumuskan justifikasi pemberian fasilitas Pajak

Pertambahan Nilai atas jasa kepelabuhanan.

3.3 Penulisan Laporan dan Presentasi

Sebagai output dari kajian ini, Tim Peneliti akan menyampaikan laporan

kepada DPP INSA dan DPP APTPI berupa laporan kajian akademik Pajak

Pertambahan Nilai atas Jasa Kepelabuhanan. Analisa akan dibuat berdasarkan

kategori-kategori yang diperlukan sesuai dengan maksud dan tujuan studi. Tim

Peneliti akan mempresentasikan temuan-temuan studi dan terbuka terhadap

konfirmasi baik yang bersifat metodologis maupun teknis studi.

Kajian akademik ini juga akan memuat rekomendasi kebijakan dapat

menjadi pedoman bagi policy maker dalam hal ini Kementrian Keuangan untuk

48Jorome Kirk dan Marc L. Miller, Realibility and Validity in Qualitative Reseach,

Qualitative Reseach Methods, Volume 1, London: Sage Publication, 1986, hal. 12.

39

membuat Ketentuan Peraturan Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa

Kepelabuhanan yang sesuai dengan konsep dan teori serta sejalan kebijakan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sebagai ringkasan (summary) dari pendekatan dan metodologi dalam

melaksanakan pekerjaan ini dapat digambarkan secara detil dalam diagram alir

(flow chart) seperti terlihat pada Gambar 3.1 di bawah ini.

Kajian data

eksisting

Review data &

analysis

Analisa hasil kajian akademik PPN atas Jasa

Kepelabuhanan

Interim

Report

Benchmark Kajian lain

Masukan dari

Pengarah

Regulasi

Pemerintah

Review/FGD

asosiasi

para ahli pajak

Draft Final Report &

Presentation

Review & feedback dari

Asosiasi

Dasar – dasar kajian

Pengumpulan

data eksisting

Laporan Akhir dan

Rekomendasi

Gambar 3.1 Diagram alir Metode Penelitian

40

BAB 4

GAMBARAN UMUM JASA KEPELABUHAN

Permintaan atas jasa kepelabuhanan timbul dari besarnya permintaan

terhadap barang. Jasa kepelabuhanan merupakan usaha pengankutan cargo

atau kontainer/peti kemas dari suatu daerah ke daerah lainnya yang didukung

oleh beberapa fasilitas dan jasa lainnya. Jadi, dalam sistem kepelabuhan

terdapat 3 komponen penting meliputi:

a. Infrastruktur yang memadai seperti pelabuhan dan terminal

b. Alat angkut seperti kapal angkut yang dilengkapi dengan peti kemas untuk

mengangkut barang

c. Suatu sistem pengadministrasian yang bertugas untuk memastikan bahwa

kegiatan pengangkutan dapat berjalan dengan baik, efektif dan efisien.

Sementara dalam kegiatan kepelabuhan meliputi beberapa pihak yang terlibat,

antara lain:

Shipowners, pemilik kapal yang memiliki hak untuk membuat keputusan

untuk memberikan jasa dan bagaimana sistem pemberian jasa dilakukan

Terminal operator, pihak yang memberikan jasa servis seperti berthing

(penyandaran kapal) dan cargo handling

Intermodal transport operator, pihak yang menyediakan jasa pelayaran

intermodal yang langsung diantarkan sampai gudang pemilik barang(door to

door)

Ship agent, badan usaha yang mewakili pemiliki kapal sebagai pihak yang

menjalankan kegiatan operasional kapal seperti keberangkatan dan tiba

kapal

Pada umumnya jasa kepelabuhanan dapat dikategorikan dalam 2 sektor.

Pertama, the bulk shipping sector, yaitu jenis jasa kepelabuhan yang sebagian

besar memberikan jasa atas pengangkutan bahan mentah seperti minyak, batu

bara, besi, dan bahan mentah lainny. Kedua, the liner shipping sector, yaitu

jenis jasa kepelabuhan yang sebagian besar memberikan jasa pengangkutan

barang jadi dan barang setengah jadi dari kegiatan industrialisasi seperti

barang tekstil.

41

Operasionalisasi pelabuhan pada hakekatnya merupakan sebuah

sistem. Sistem yaitu sebuah jaringan kerja yang saling berhubungan. Sistem

tersebut terdiri dari beberapa subsistem dan di dalamnya juga

didukung oleh subsubsistem yang lebih kecil. Kesemuanya ini berlangsung

dalam hubungan yang saling kait mengait dan didukung oleh net of

transportation yang menghubungkan pelabuhan dengan daerah hinterland baik

jalan kereta api maupun jalan raya.

Pada dasarnya, sistem industri suatu pelabuhan yang ada terdiri dari

tiga subsistem, yaitu: Port Administration/ Port Authority, Port Bisnis

(Perusahaan Pelabuhan) dan Pengguna Jasa Pelabuhan (Port Users).

Sistem ini berlangsung dan berkembang karena ada manajemen terhadap

aktivitas pelabuhan itu. Dalam konteks ini, manajemen dilihat dalam perspektif

suatu cara untuk mengendalikan dan mengembangkan suatu sistem

ekonomi dengan melakukan pengaturan terhadap fungsi-fungsi sistem

pelabuhan seefisien mungkin49.

Secara umum, kegiatan pengangkutan peti kemas di pelabuhan meliputi

kegiatan berikut:

Gambar 4.1

Kegiatan Pengangkutan Peti Kemas

Sumber : Shipping and Logisctic Management

49Indriyanto, Peran Pelabuhan dalam Menciptakan Peluang Usaha : Kajian

Historis Ekonomis, Universitas Diponegoro, Semarang Jawa Tengah.

42

Peti kemas yang diangkut akan melewati sistem dan line seperti yang

telah digambarkan diatas. Untuk mempercepat pengangkutan peti kemas,

dibutuhkan informasi dalam setiap line pengangkutan. Misalnya, informasi

mengenai pengakutan merupakan indikasi bahwa fisik peti kemas akan

diangkut dan isi dari peti kemas tersebut diinformasikan dalam dokumen-

dokumen terkait. Ketika peti kemas di tutup dan disegel, maka seluruh informasi

mengenai peti kemas tersebut telah dimuat dan peti kemas tersebut tidak dapat

dibongkar kembali. Hal ini menunjukkan bahwa informasi dalam kegiatan

pemuatan peti kemas tersebut merupakan bagian yang sangat penting dan

krusial.

Pada umumnya pelabuhan berfungsi sebagai terminal peti kemas

dimana peti kemas diangkut atau dibongkar dari atau ke dalam truck, diletakkan

di suatu tempat yang telah ditentukan oleh pelanggan. Di dalam terminal peti

kemas terdapat beberapa sistem seperti sistem operasi kapal, sistem

pergerakan peti kemas, sistem penyimpanan barang dan sistem pemberian

informasi. Kegiatan dalam kepelabuhan meliputi hal-hal berikut:

Ketika kapal berlabuh dan bersandar di pelabuhan, peti kemas dikeluarkan

dari kapal. Hal ini dilakukan oleh petugas pembongkaran peti kemas.

Selanjutnya peti kemas berisi barang dikeluarkan dari kapal ke kendaraan

pengangkut untuk di timbun di suatu tempat penimbunan tertentu setelah

memperoleh izin penimbunan dari petugas pelabuhan setempat. Kegiatan

ini meliputi pencatatan jumlah peti kemas yang akan ditimbun.

Ketika barang telah siap untuk dipindahkan, petugas memindahkan barang

tersebut dengan alat angkut. Proses yang sama juga terjadi dalam hal

pemuatan barang.

Berikut bagan proses bongkar muat di terminal:

43

Sumber: Shipping and Logistic Management

Kegiatan operasional dalam proses pengangkutan di pelabuhan meliputi:

a) Berth Planning, kegiatan ini meliputi manajemen informasi pengangkutan

yang meliputi informasi umum seperti rute dan navigasi, keberangkatan dan

tiba di pelabuhan, titik bersandar kapal. Berth Planning ini harus disediakan

fleksibel sesuai dengan keadaan perdagangan

b) Yard Planning, kegiatan ini meliputi rencana pelaksanaan ekspor dan impor,

transit kapal, penggunaan pesi kemas yang kosong, relokasi peti kemas.

Selain itu kegiatan ini juga meliputi pertimbangan apakah kendaraan layak

untuk berlayar dan apakah ada tempat kosong untuk melakukan

Proses dalam kegiatan bongkar muat di pelabuhan

Pemberangkatan kapal

Penumpukan barang di pelabuhan oleh kapal

pengangkut

Pengangkutan peti kemas ke kapal pengangkut

Pengangkutan peti kemas dari tempat pengangkutan

Proses pengemasan di pelabuhan

Tiba di pelabuhan

Penumpukan barang di pelabuhan oleh kapal

pengangkut

Proses pengemasan di pelabuhan

Pengangkutan peti kemas ke tempat penimbunan

Pembongkaran peti kemas dari kapal

pengangkut

Pengangkutan peti kemas ke tempat penimbunan

Gambar 4.2

Bagan Proses Bongkar Muat di

44

penimbunan. Alokasi untuk kegiatan importasi dapat dilakukan apabila

pelanggan telah melaksanakan seluruh kewajiban pembongkaran kapal.

c) Loading/unloading planning, kegitatan ini meliputi seluruh kegiatan

pengangkutan dan kendaraan yang digunakan seperti detail dan spesifikasi

kendaraan angkut yang digunakan, struktur peti kemas, data perhitungan

kekuatan angkut kapal, penggunaan jenis peti kemas, pembongkaran dan

pemuatan barang ke dalam kapal/alat angkut. Selain itu dalam kegiatan ini,

akan diperhitungkan juga banyaknya peti kemas yang akan dikeluarkan

dalam tiap-tiap pelabuhan, saat tiba dan berangkat kendaraan.

d) Railway Planning, pengangkutan saat tiba di pelabuhan

e) Resource allocation planning, kegiatan ini termasuk analisis penggunaan

alat dan sumber daya manusia yang dibutuhkan.

f) Overall Control, kegiatan ini meliputi kontrol kendaraan, kontrol pelabuhan,

kontrol pintu gerbang pelabuhan

g) Terminal operation, kegiatan ini meliputi pemasukan dan pengeluaran

barang di kapal pengangkut dan penunjukan peti kemas.

Jasa-jasa yang disediakan oleh perusahaan pelayaran di Indonesia yang

bergerak dalam jasa kepelabuhan dapat meliputi50:

a) Layanan Bongkar Petikemas

b) Layanan Pemuatan Petikemas

c) Layanan Penerimaan Petikemas

d) Layanan Pengeluaran Petikemas

e) Layanan Container Freight Station

Prosedur yang harus dijalani oleh pelanggan untuk memperoleh jasa

kepelabuhan untuk jasa diatas pada prinsipnya sama, yaitu51:

a. Dalam proses ini pelanggan harus melengkapi dokumen berupa

Master Cabel, CVIA (Container Vessel Identification Advice

Pemberitahuan Identifikasi Kapal Petikemas)

Statement of Fact (Surat Pernyataan Keadaan),

Statement Letter (email baplie file),

Import Summary List (ISL = Daftar Ringkasan Impor),

50 www.tps.co.id

45

Dangerous Cargo List (Daftar Kargo Berbahaya),

Approval from Harbor Master,

Reefer List (Daftar Reefer),

Crane Sequence List (Daftar Urutan Crane),

Discharge Stowage Plan (Rencana Penyimpanan Pembongkaran),

Discharge Bay Plan (Rencana Bay Pembongkaran),

Manifest,

Special Cargo List (Daftar Kargo Khusus)

b. Yard and Berth Planning, yaitu pemeriksaan dokumen dan perencanaan

penanganan peti kemas

c. Vessel Berth Planning, memproses rencana pembongkaran ke dalam

sistem komputerisasi berdasarkan data yang dikirimkan oleh perusahaan

d. Pembongkaran peti kemas, memuat ke dalam chassis head truck serta

membawa peti kemas tersebut ke lapangan penumpukan peti kemas

selanjutnya memberikan konfirmasi atas pembongkaran peti kemas

tersebut.

e. Proses pembongkaran dan pemuatan peti kemas ke dalam truck dilakukan

secara continue

f. Pelaporan hasil kegiatan pembongkaran di lapangan.

46

BAB 5

PERKEMBANGAN KEBIJAKAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS JASA KEPELABUHANAN DI INDONESIA

5.1. Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa

5.1.1. Pengertian JasaPengertian Jasa menurut UU PPN yang berlaku dapat dipersandingkan

sebagai berikut.

Tabel 5.1

Pengertian Jasa menurut UU PPN

UU No. 8

Tahun 1983

UU No. 11

Tahun 1994

UU No. 18

Tahun 2000

UU No. 42

Tahun 2009

Pasal 1 huruf e

Jasa adalah semua kegiatan usaha dan pemberian pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, atau hak tersedia untukdipakai

Pasal 1 huruf e

Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan;

Pasal 1 Angka 5

Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan

Pasal 1 Angka 5

Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.

47

5.1.2. Pengertian Jasa Kena PajakPengertian Jasa Kena Pajak berdasarkan Pasal 1 angka 6 UU PPN

2009 adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang ini. Artinya

setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan

hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan atau hak

tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan

barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari

pemesan. Sedangkan pengertian Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap

kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak

Berdasarkan Pasal 4 huruf c UU PPN 2009, Pajak Pertambahan Nilai

dikenakan atas penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang

dilakukan oleh Pengusaha. Untuk menentukan apakah suatu Penyerahan Jasa

Kena Pajak terhutang pajak, harus dipenuhi syarat-syarat berikut :

a. Syarat yang disebutkan dalam Penjelasan Pasal 4 huruf c

Jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak

Penyerahan dilakukan di Daerah Pabean Indonesia

Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya

b. Syarat yang secara implisit tersirat dalam Undang-undang

Yang menyerahkan: Pengusaha Kena Pajak. Pengusaha yang

melakukan kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak meliputi baik Pengusaha

yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 3A ayat (1) maupun Pengusaha yang seharusnya dikukuhkan

sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi belum dikukuhkan.

Termasuk dalam pengertian penyerahan Jasa Kena Pajak adalah Jasa

Kena Pajak yang dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri dan/atau yang

diberikan secara cuma-cuma.Seperti halnya Barang Kena Pajak, semua jasa

adalah Jasa Kena Pajak kecuali jasa yang tidak dikenakan PPN yang diatur

dalam pasal 4A UU No.42 Tahun 2009.

48

5.1.3 Pengertian Jasa Tidak Kena PajakJenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa

tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut, yang diatur dalam Pasal 4 A. Di

bawah ini dipersandingkan.

Tabel 5.2

Pengertian Jasa Tidak Kena Pajak menurut UU PPN

UU No. 8 Tahun 1983

UU No. 11

Tahun 1994

UU No. 18

Tahun 2000

UU No.42

Tahun 2009

Pasal 4 ayat 2Dengan Peraturan Pemerintah diatur penyerahan jenis-jenis jasayang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

Penjelasan Pasal 4Aa.jasa di bidang pelayanan kesehatan medik, seperti dokter umum, dokter spesialis;b.jasa di bidang pelayanan sosial, seperti panti asuhan, jasa pemakaman;c.jasa di bidang pengiriman surat;d.Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi;e.jasa dibidang keagamaan, seperti pemberian khotbah atau dakwah;f.jasa di bidang pendidikan;g.jasa di bidang kesenian, seperti pementasan kesenian tradisional;h.jasa di bidang penyiaran, seperti penyiaran radio dan televisi yang bukan bersifat iklan;i.jasa di bidang angkutan umum, seperti angkutan umum di darat dan di laut;j.jasa di bidang tenaga kerja, seperti jasa penyelenggaraan latihan bagi tenaga kerja;k.jasa di bidang perhotelan;l.jasa telepon umum coin-box dan jasa telegram.

Pasal 4A Angka 3a.jasa di bidang pelayanan kesehatan medik;b.jasa di bidang pelayanan sosial;c.jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko;d.jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi;e.jasa di bidang keagamaan;f.jasa di bidang pendidikan;g.jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan;h.jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan;i.jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air;j.jasa di bidang tenaga kerja;k.jasa di bidang perhotelan;l.jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum."

Pasal 4A Angka 3a. jasa pelayanan kesehatan medis;b. jasa pelayanan sosial;c. jasa pengiriman surat dengan perangko;d. jasa keuangan;e. jasa asuransi;f. jasa keagamaan;g. jasa pendidikan;h. jasa kesenian dan hiburan;i. jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;j. jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;k. jasa tenaga kerja;l. jasa perhotelan;m. jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secaraumum;n. Jasa penyediaan tempat parkir;o. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;p. Jasa pengiriman uang dengan wesel pos; danq. Jasa boga atau katering.

49

Dalam penjelasan Pasal 4A ayat 3 ditegaskan lebih lanjut jenis jasa yang

tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai yaitu jasa tertentu dalam kelompok jasa

sebagai berikut:

a. Jasa pelayanan kesehatan medis meliputi:

1. jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi;

2. jasa dokter hewan;

3. jasa ahli kesehatan seperti ahli akupuntur, ahli gigi, ahli gizi, dan ahli

fisioterapi;

4. jasa kebidanan dan dukun bayi;

5. jasa paramedis dan perawat;

6. jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium

kesehatan, dan sanatorium;

7. jasa psikologi dan psikiater;dan

8. jasa pengobatan alternatif, termasuk yang dilakukan oleh paranormal.

b. Jasa pelayanan sosial meliputi:

1. jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo;

2. jasa pemadam kebakaran;

3. jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan;

4. jasa lembaga rehabilitasi;

5. jasa penyediaan rumah duka atau jasa pemakaman, termasuk

krematorium; dan

6. jasa di bidang olahraga kecuali yang bersifat komersial.

c. jasa pengiriman surat dengan perangko;

Jasa pengiriman surat dengan perangko meliputi jasa pengiriman surat

dengan menggunakan perangko tempel dan menggunakan cara lain

pengganti perangko tempel.

d. jasa keuangan meliputi;

1. jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito

berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lain yang

dipersamakan dengan itu;

50

2. jasa menempatkan dana, meminjam dana, atau meminjamkan dana

kepada pihak lain dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi

maupun dengan wesel unjuk, cek, atau sarana lainnya;

3. jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah,

berupa:

a) sewa guna usaha dengan hak opsi;

b) anjak piutang;

c) usaha kartu kredit; dan/atau

d) pembiayaan konsumen;

4. jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk gadai

syariah dan fidusia; dan

5. jasa penjaminan.

e. jasa asuransi;

Yang dimaksud dengan "jasa asuransi" adalah jasa pertanggungan yang

meliputi asuransi kerugian, asuransi jiwa,dan reasuransi, yang dilakukan

oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis asuransi, tidak

termasuk jasa penunjang asuransi seperti agen asuransi, penilai

kerugian asuransi, dan konsultan asuransi.

f. jasa keagamaan meliputi;

1. jasa pelayanan rumah ibadah;

2. jasa pemberian khotbah atau dakwah;

3. jasa penyelenggaraan kegiatan keagamaan; dan

4. jasa lainnya di bidang keagamaan.

g. jasa pendidikan meliputi;

1. jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa

penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan

luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan

akademik, dan pendidikan profesional; dan

2. jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah.

h. jasa kesenian dan hiburan;

Jasa kesenian dan hiburan meliputi semua jenis jasa yang dilakukan

oleh pekerja seni dan hiburan.

i. jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;

51

Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan meliputi jasa penyiaran radio

atau televisi yang dilakukan oleh instansi pemerintah atau swasta yang

tidak bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang bertujuan

komersial.

j. jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam

negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan

udara luar negeri;

k. jasa tenaga kerja meliputi;

1. jasa tenaga kerja;

2. jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga

kerja tidak bertanggung jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja

tersebut; dan

3. jasa penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja.

l. jasa perhotelan meliputi;

1. jasa penyewaan kamar, termasuk tambahannya di hotel, rumah

penginapan, motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan

kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap; dan

2. jasa penyewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di

hotel, rumah penginapan, motel, losmen, dan hostel.

m. jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan

pemerintahan secara umum;

Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan

pemerintahan secara umum meliputi jenis-jenis jasa yang dilaksanakan

oleh instansi pemerintah, antara lain pemberian Izin Mendirikan

Bangunan, pemberian Izin Usaha Perdagangan, pemberian Nomor

Pokok Wajib Pajak, dan pembuatan kartu Tanda Penduduk.

n. Jasa penyediaan tempat parkir;

Yang dimaksud dengan "jasa penyediaan tempat parkir" adalah jasa

penyediaan tempat parkir yang dilakukan oleh pemilik tempat parkir

dan/atau pengusaha kepada pengguna tempat parkir dengan dipungut

bayaran.

o. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;

52

Yang dimaksud dengan "jasa telepon umum dengan menggunakan uang

logam" adalah jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam

atau koin, yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta.

p. Jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan

q. Jasa boga atau katering.

Dalam Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor 54/PJ.53/2002 tanggal 14

November 2002 tentang Jasa Yang Disediakan Oleh Pemerintah Dalam

Rangka Menjalankan Pemerintahan Secara Umum, dijelaskan lebih lanjut

pengertian jasa ini, yaitu bahwa yang dimaksud dengan jasa yang disediakan

oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum

adalah semua jenis jasa yang berasal dari semua kegiatan pelayanan yang

hanya bisa dilakukan oleh instansi pemerintah meliputi Departemen dan

Lembaga Non Departemen dan tidak dapat dilakukan oleh bentuk usaha lain.

Apabila jasa yang disediakan oleh instansi pemerintah tsb dapat dilakukan oleh

bentuk usaha lain maka jasa tsb dikenakan Pajak Pertambahan Nilai,

sepanjang tidak termasuk jasa yang tidak dikenakan atau dibebaskan dari

pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sesuai ketentuan yang berlaku.

Jenis jenis jasa yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah, antara lain

adalah pemberian Izin Mendirikan Bangunan, pemberian Izin Usaha

Perdagangan, pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak, pembuatan Kartu Tanda

Penduduk, pemberian Hak Paten, pemberian Merk, pemberian Hak Cipta,

pemberian Visa, dan pemberian Paspor. Penerimaan dari kegiatan pelayanan

yang dilaksanakan.oleh Pemerintah tsb tersebut merupakan Penerimaan

Negara Bukan Pajak.

53

5.2 Pemetaan Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Kepelabuhanan di Indonesia

5.2.1. Perlakuan PPN atas jasa kepelabuhanan dalam kurun waktu 1983-1994 (Rezim UU No. 8 Tahun 1983)

Sejak tahun 1988, issu PPN atas jasa kepelabuhan cukup marak terbukti

dengan dikeluarkannya beberapa aturan penjelas, penegas atau private ruling

dalam kurun waktu 1983-1994. UU PPN No. 8 tahun 1983 yang kemudian

diperjelas melalui PP No.28 tahun 1988 yang mengakomodasi bahwa jasa

angkutan laut dan angkutan darat yang dilakukan oleh pihak pemerintah

maupun pihak swasta dikeculikan dari pengenaan PPN. Namun jasa tersebut

dibedakan atas jasa EMKL maupun jasa EMKD dan freight forwarding.

Regulasi ini menyebutkan bahwa aturan lebih lanjut mengenai PPN atas jasa ini

akan ditetapkan melalui keputusan menteri keuangan.

Namun selama kurun waktu 1983-1994, pemerintah tidak mengeluarkan

peraturan khusus yang memberikan kepastian mengenai perlakukan PPN atas

jasa kepelabuhanan serta aturan penjelas yang terperinci . Hal ini memberikan

ketidakpastian kepada pelaku usaha mengingat banyaknya variasi jasa yang

berhubungan dengan kegiatan kepelabuhanan. Sebagian besar kententuan

yang dikeluarkan oleh pemerintah hanya berupa Surat Menteri Keuangan,

Surat Edaran atau bahkan hanya sekedar Surat Dirjen Pajak yang bersifat

internal berupa jawaban-jawaban atas pertanyaan pelaku usaha. Jika ditelusuri

lebih lanjut, pertanyaan para pelaku usaha pada umumnya berputar pada

penegasan pemerintah atas perlakuan PPN pada bagian-bagian dari jasa

dalam kegiatan kepelabuhanan. Hingga dikeluarkannya Surat Internal dari

Dirjen Pajak No.1001/PJ.51/1992 tentang PPN atas Jasa Pelabuhan dalam

Jalur Pelayaran Internasional, pemerintah memberikan fasilitas pengecualian

PPN atas jasa kepelabuhanan secara umum. Berikut regulasi berupa Surat

Edaran Dirjen Pajak maupun Surat Dirjen Pajak yang pada umumnya hanya

bersifat internal.

54

Tabel 5.3Peraturan PPN atas Jasa Kepelabuhanan

No.

Dasar Hukum Jenis Kebijakan

1. PP No.28 tahun 1988 tentang pengenaan PPN atas penyerahan BKP yang dilakukan oleh pedagang besar dan penyerahan JKP disamping jasa yang dilakukan oleh pemborong

Dalam penjelasan PP No.28 tahun 1988 jasa yang dikecualikan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai termasuk Jasa angkutan laut dan angkutan darat yang dilakukan oleh pihak Pemerintah maupun oleh pihak swasta. Jasa ini harus dibedakan dengan Jasa Ekspedisi Muatan Kapal Laut dan Expedisi Muatan Darat, Jasa Pengurusan Transportasi (Freight Forwarders), karena jasa pengusaha expedisi ini dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Tata cara penghitungan Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan. (selanjutnya tidak diatur dalam KMK)

2. Pengumuman Nomor PENG-139/PJ.63/1989 tentang pedagang besar sebagai PKP

Pengumuman ini merupakan produk hukum dari Dirjen Pajak yang berisi penegasan mengenai pedagang besar dan penyerahan JKP selain jasa yang dilakukan oleh pemborong serta yang dikeculikan dari pengenaan PPN. Regulasi ini merujuk pada aturan penjelas PP No. 28 tahun 1988.

Dalam regulasi ini disebutkan bahwa setiap PKP wajib melaporkan usahanya sampai batas waktu yang ditentukan oleh regulasi. Selain itu, kewajiban pelaporan usaha juga berlaku bagi pengusaha jasa yang dikecualikan. Dalam regulasi ini, kegiatan kepelabuhanan yang termasuk dalam kelompok jasa yang dikecualikan adalah dalam poin (a) jasa kepelabuhanan, (k) jasa pelabuhan laut dan udaratermasuk di dalamnya.

3. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No.SE-21/PJ.32/1989 tentang PPN yang berhubungan dengan perusahaan pelayaran atau agen pelayaran

Surat ini berisi penjelasan dan penegasan kepada Direktur Jenderal Perhubungan Laut yang berisi: Atas penyerahan jasa pelabuhan terutang PPN,

dan tidak ada pengecualian atas pembebasan pengenaan PPN atas penyerahan jasa pelabuhan.

Namun demikian sesuai dengan kebiasaan internasional, seperti halnya pada penyerahan jasa pendaratan, penempatan dan penyimpanan pesawat udara penerbangan internasional sebagaimana ditegaskan dalam Surat Direktur Jenderal Pajak kepada Direktur Utama Perum Angkasa Pura tertanggal 3 April 1989 No : S-081/PJ.631/1989, maka atas jasa Pelayanan Kapal berupa jasa labuh, tambat, tunda dan telepon kapal untuk pelayaran jalur internasional baik yang dilakukan oleh Perusahaan Asing maupun Perusahaan Dalam Negeri tidak terutang PPN sepanjang negara tempat kedudukan perusahaan pelayaran asing tersebut juga memberikan perlakuan yang sama terhadap perusahaan pelayaran Indonesia.

Atas penyerahan jasa pelabuhan lainnya tetap terutang PPN perlu diketahui bahwa apabila penggantian atas jasa pelabuhan tersebut dibayar oleh pemilik barang atau shipper, Faktur Pajak dibuka atas nama shipper.

Perusahaan Pelayaran Asing dikenakan PPN atas jasa keagenan yang diserahkan oleh Perusahaan Pelayaran. Akan tetapi karena Perusahaan Pelayaran asing bukan PKP, maka perusahaan tersebut tidak dapat mengkreditkan PPN yang telah dibayar. Namun demikian Perusahaan tersebut dapat memperhitungkan PPN sebagai biaya perusahaan.

55

No.Dasar Hukum Jenis Kebijakan

4. Surat direktur Jendral Pajak No. S -75/PJ.321/1990 tentang pengenaan PPN atas jasa pelabuhan

Berkenaan dengan PPN atas jasa pelabuhan yang dikenakan pada perusahaan-perusahaan pelayaran yang melakukan pelayaran internasional menuju Indonesia atau melewati Indonesia, maka sesuai dengan pembicaraan antara Kepala Perwakilan EEC di Jakarta : Mr. Robert van der Meulen, Wakil dari Overseas Shipowner's Representatives Association dan wakil dari Departemen Keuangan, kami sependapat bahwa pengecualian PPN atas jasa pelabuhan bagi kapal-kapal yang melakukan pelayaran dalam jalur internasional akan memberi kontribusi bagi peningkatan ekspor barang-barang Indonesia yang pada akhirnya juga bagi perekonomian nasional Indonesia.

Oleh karenanya, kami memutuskan untuk juga memberikan pengecualian PPN terhadap semua jasa pelabuhan yang digunakan bagi jalur pelayaran internasional kecuali jasa persewaan tanah dan bangunan dalam lingkungan pelabuhan.Dengan demikian jasa pelabuhan yang dikecualikan dari pengenaan PPN terhadap kapal-kapal yang melakukan pelayaran dalam jalur internasional adalah semua jasa pelabuhan yang disediakan oleh Perum Pelabuhan tanpa membedakan negara asal dari kapal yang melakukan pelayaran tersebut antara lain :

Jasa pelayanan kapal Jasa pelayanan barang Jasa pelayanan alat-alat Jasa pelayanan terminal Jasa pelayanan terminal peti kemas Jasa pelayanan rupa-rupa

Pengecualian ini hanya diberikan dengan syarat bahwa kapal-kapal asing tersebut tidak melakukan pengangkutan orang/barang dari suatu pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan lainnya

5. SE - 17/PJ.5.1/1990 tentang PPN atas Jasa Pelabuhan dalam jalur pelayaran Internasional.

Jasa pelabuhan laut dan jasa pelabuhan udara merupakan Jasa Kena Pajak. Namun demikian karena mempertimbangkan hal-hal antara lain seperti :

a. adanya hubungan integral antara jasa pelabuhan dengan jasa angkutan laut yang dibebaskan dari PPN.

b. adanya suatu kelaziman di dunia internasional bahwa jasa pelabuhan bagi pelayaran internasional dikecualikan dari pengenaan PPN,

Menteri Keuangan telah mengambil kebijaksanaan untuk mengecualikan pengenaan PPN terhadap seluruh jasa pelabuhan yang digunakan oleh perusahaan pelayaran asing maupun perusahaan pelayaran Indonesia yang melayari jalur pelayaran internasional. Oleh karenanya jasa pelabuhan berupa :

1. Pelayanan jasa kapal yang terdiri dari labuh, tambat, pandu, tunda dan telepon kapal,

2. Pelayanan barang yang terdiri dari penumpukan dan dermaga,

3. Pelayanan jasa alat-alat yang terdiri dari kran darat, kran apung, forklift, head trunk, chasis, tongkang, BKPP, towing tractor, timbangan dan pemadam kebakaran,

4. Pelayanan terminal yang terdiri dari : stevedoring, cargodoring, receiving, delivery dan oberbrengen,

56

No.Dasar Hukum Jenis Kebijakan

5. Pelayanan terminal peti kemas yang terdiri dari : bongkar muat, gerakan container, penumpukan dan mekanis,

6. Pelayanan tanah bangunan yang terdiri dari : sewa tanah dan sewa bangunan,

Pelayanan rupa-rupa yang terdiri dari : pas pelabuhan, retribusi kendaraan dan telepon extension, yang digunakan oleh kapal-kapal dalam jalur pelayaran internasional tidak dikenakan PPN. Pengecualian ini hanya berlaku sepanjang perusahaan pelayaran tersebut tidak mengangkut orang dan/atau barang dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya di dalam wilayah Indonesia. Namun demikian terhadap persewaan tanah dan bangunan di dalam daerah pelabuhan yang digunakan oleh perusahaan pelayaran (sebagai tempat/kantor perwakilan), tetap dikenakan PPN. Dalam rangka pelaksanaan kebijaksanaan yang baru ini, diminta agar para Kepala KPP menyampaikan materi Surat Edaran ini kepada Perum Pelabuhan di wilayah kerja masing-masing.

6. Surat Direktur Jenderal Pajak No. S-1001/PJ.51/1992 tentanag PPN atas Jasa Pelabuhan dalam Jalur Pelayaran Internasional

1. Penyerahan Jasa Pelabuhan untuk kapal yang melayari Jalur Pelayaran International dikecualikan dari pengenaan PPN kecuali jasa persewaan tanah dan bangunan.

2. Penyerahan yang tidak terutang PPN (baik karena bukan merupakan obyek PPN maupun karena dikecualikan dari pengenaan PPN) secara yuridis fiskal tidak sama dengan penyerahan yang terutang PPN tetapi dikenakan tarip 0%.

3. Konsekwensi yuridis dari masing-masing penyerahan akan sangat berbeda yakni :

- Pajak Masukan dari kegiatan yang penyerahannya tidak terutang PPN tidak dapat dikreditkan, karena Pajak keluarannya tidak ada.- Pajak Masukan dari kegiatan yang penyerahannya terutang PPN tetapi dikenakan tarip 0% tetap dapat dikreditkan terhadap Pajak Keluaran yang ada (yang jumlahnya adalah 0).

Jasa pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam butir 1 di atas yang dikecualikan dari pengenaan PPN, hendaknya tidak ditafsirkan sebagai jasa yang dikenakan tarif 0%.Karena Perum Pelabuhan II melakukan kegiatan usaha jasa yang atas penyerahannya terdapat penyerahan yang terutang dan yang tidak terutang PPN, maka Pajak Masukan atas perolehan barang atau Jasa Kena Pajak yang :

- digunakan semata-mata untuk unit atau kegiatan yang menyediakan jasa tersebut, tidak dapat dikreditkan;- digunakan baik untuk unit atau kegiatan yang menyediakan jasa tersebut, dan unit atau kegiatan yang menyediakan jasa lainnya yang terutang PPN , dapat dikreditkan dahulu untuk sementara waktu, namun dengan catatan bahwa Pajak Masukan tersebut nantinya harus di bayar

57

Setelah dikeluarkan regulasi diatas, pemerintah membuat perubahan

kebijakan atas jasa kepelabuhan dengan diundangkannya Keputusan Dirjen

Pajak yaitu KEP-05/PJ./1994 tentang perluasan kelompok pengusaha yang

dikenakan PPN. Keputusan ini merupakan perubahan dari Pengumuman

Direktur Jenderal Pajak PENG-139/PJ.63/1989 tentang pedagang besar

sebagai PKP. Dalam keputusan terdapat 23 jenis pengusaha jasa yang

dikenakan PPN. Pengusaha jasa yang berhubungan dengan kegiatan

kepelabuhan merupakan bagian dari jasa yang dikenakan PPN.

Adanya perubahan yang demikian menimbulkan kebingungan dan

ketidakpastian dari para pelaku usaha. Setelah diterbitkannya Keputusan Dirjen

Pajak tersebut, maka Direktur Jenderal Pajak juga mengeluarkan beberapa

surat yang pada umumnya berisi jawaban atas pertanyaan para pelaku usaha

yang kegiatan usahanya merupakan bagian dari jasa kepelabuhanan. Berikut

surat-surat internal dari Direktur Jenderal Pajak.

Tabel 5.4

Surat internal Direktorat Jenderal Pajak terkait dengan

No. Dasar Hukum Jenis Kebijakan

1. Surat Dirjen Pajak No. S-535/PJ.53/1994 tentang PPN atas jasa bongkar muat barang ekspor/impor yang diangkut oleh kapal-kapal yang melayari jalur internasional

Keputusan Dirjen Pajak KEP-05/PJ./1994 menetapkan jasa pelabuhan laut dan jasa pelabuhan udara merupakan Jasa Kena Pajak

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-17/PJ.51/1990 menetapkan jasa-jasa pelabuhan yang digunakan oleh kapal-kapal dalam jalur pelayaran internasional tidak dikenakan PPN. Jasa tersebut berupa:

- pelayanan jasa kapal yang terdiri-dari labuh, tambat, pandu, tunda dan telepon kapal

- pelayanan barang yang terdiri dari penumpukan dan dermaga

- pelayanan jasa alat-alat yang terdiri dari kran darat, kran apung, forklift, head trunk, chasis, tongkang, BKPP, towing tractor, timbangan dan pemadam kebakaran

- pelayanan terminal yang terdiri dari: stevedoring, cargodoring, receiving, delivery, dan overbrengen

- - pelayanan terminal peti kemas yang terdiri dari : bongkar muat, gerakan container, penumpukan dan mekanis,

- pelayanan tanah bangunan yang terdiri dari : sewa tanah dan sewa bangunan,

- pelayanan rupa-rupa yang terdiri dari : pas pelabuhan, retribusi kendaraan dan telepon extension

Ketentuan berlaku sepanjang perusahaan pelayaran tersebut tidak mengangkut orang dan/atau barang dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya di dalam wilayah Indonesia

58

No. Dasar Hukum Jenis Kebijakan

Pelayanan jasa pelabuhan terhadap jalur pelayaran internasional berupa jasa pandu, tunda labuh, tambat dari telepon kapal yang menjadi beban perusahaan pelayaran, tidak terutang PPN.

Pelayanan jasa pelabuhan terhadap pembongkaran barang di pelabuhan berupa jasa dermaga, pemindahan ke gudang, jasa penumpukan, jasa alat-alat yang dibebankan kepada pemilik barang, terutang PPN. PPN yang ditagih oleh Perum Pelabuhan merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan atau direstitusi oleh pemilik barang sepanjang pemilik barang adalah Pengusaha Kena Pajak.

Sesuai dengan asas timbal balik, karena ternyata pemberian pengecualian dari pengenaan PPN kepada Perusahaan Pelayaran Indonesia yang melayari jalur internasional dan berlabuh di pelabuhan negara lainnya pada umumnya hanya diberikan terbatas pada jasa pelayanan kapal yang meliputi :a. Jasa labuh,b. Jasa tambat,c. Jasa tunda,d. Jasa pandu,e. Jasa telepon kapal,f. Jasa air untuk kapal.

Maka, atas jasa bongkar muat (tidak hanya pembongkaran saja) yang berasal dari barang ekspor/impor yang diangkut oleh kapal-kapal yang melayari jalur internasional tetap terutang Pajak Pertambahan Nilai, karena pelayanan jasa bongkar muat tersebut merupakan beban dari pemilik barang dan apabila pemilik barang adalah PKP maka atas PPN tersebut dapat dikreditkan atau dapat dimintakan restitusi

2. Surat Dirjen Pajak No. S-1179/PJ.53/1994 tentang penegasan PPN atas PKP Jasa Kepelabuhanan

SE-17/PJ.51/1990 menyebutkan, atas jasa-jasa pelabuhan yang digunakan oleh kapal-kapal dalam jalur pelayaran internasional tidak dikenakan PPN. Jasa-jasa pelabuhan tersebut berupa :

- Pelayanan Jasa Kapal yang terdiri dari labuh, tambat, pandu, tunda, dan telepon kapal.

- Pelayanan barang yang terdiri dari penumpukan dan dermaga

- Pelayanan jasa alat-alat yang terdiri dari kran darat, kran apung, forklift, head trunk, chasis, tongkang, BKPP, towing tractor, timbangan, dan pemadam kebakaran.

- Pelayanan terminal yang terdiri dari : stevedoring, cargodoring, receiving, delivery, dan over brengen.

- Pelayanan terminal peti kemas yang terdiri dari : bongkar muat, gerakan container, penumpukan, dan mekanis

- Pelayanan tanah bangunan yang terdiri dari : sewa tanah dan sewa bangunan.

- Pelayanan rupa-rupa yang terdiri dari : pas pelabuhan, restribusi kendaraan, dan telepon extention.

S-1276/PJ.5/1990 menjelaskan 1 pelayanan jasa pelabuhan terhadap jalur pelayaran internasional berupa jasa pandu, tunda, labuh, tambat, dan telepon kapal yang menjadi beban perusahaan pelayaran, tidak terutang

59

No. Dasar Hukum Jenis Kebijakan

PPN. Pelayanan jasa pelabuhan terhadap pembongkaran barang di pelabuhan berupa jasa dermaga, pemindahan ke gudang, jasa penumpukan, jasa alat-alat yang dibebankan kepada pemilik barang, terutang PPN.

Maka jasa bongkar muat yang berasal dari barang ekspor/impor yang diangkut oleh kapal-kapal yang melayani jalur internasional tetap terutang Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10% dari seluruh penggantian yang dibayar oleh penerima jasa bongkar muat, karena pelayanan jasa bongkar muat tersebut merupakan beban dari pemilik barang dan apabila pemilik barang adalah PKP maka atas PPN tersebut dapat dikreditkan.

Dari surat-surat Direktur Jenderal Pajak diatas terlihat adanya

inkonsistensi perlakuan PPN atas beberapa jasa kepelabuhanan tertentu

dimana terhadap jasa kepelabuhanan tertentu pemerintah memberikan fasilitas

namun tidak memberikan fasilitas atas jasa lainnya. Sementara aturan yang

secara hirarkis lebih tinggi menetapkan adanya pengecualian atas seluruh jasa

kepelabuhanan.

5.2.2. Perlakuan PPN atas jasa kepelabuhanan dalam kurun waktu 1994-2000 (Rezim UU No. 11 Tahun 1994)

Sejak tahun 1983/1985, UU PPN Indonesia mengalami revisi pertama.

Namun, dalam hal pengaturan perlakuan PPN untuk jasa kepelabuhan, masih

menggunakan ketentuan pelaksana lama. Hal tersebut dapat dilihat dari surat

yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak atas pertanyaan para pelaku

usaha bahwa sebagian besar dari surat-surat tersebut masih menggunakan

ketentuan yang mengacu pada peraturan pelakasana UU No. 8 tahun 1983.

Pemerintah tidak mengeluarkan aturan khusus mengenai jasa ini meskipun

dalam kurun waktu sebelumnya terdapat sejumlah pelaku usaha yang meminta

penegasan dari pemerintah. Berikut surat-surat yang dikeluarkan oleh Direktur

Jenderal Pajak yang masih merujuk kepada ketentuan ketika UU No.8 tahun

1983 berlaku.

Surat Direktur Jenderal Pajak terkait dengan

60

Tabel 5.5

Surat Direktur Jenderal Pajak terkait dengan PPN Jasa Kepelabuhanan

No. Dasar Hukum Jenis kebijakan1. Surat Direktur Jenderal

Pajak S-1689/PJ.53/1995 tentang PPN atas Jasa pelabuhan untuk kapal-kapal dalam jalur pelayaran internasional

Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE17/PJ.51/1990, atas penyerahan jasa-jasa pelabuhankepada kapal-kapal dalam jalur pelayaran internasional, tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai, sepanjang kapal-kapal tersebut tidak mengangkut orang dan/atau barang dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya di wilayah Indonesia.

Dalam rentang waktu 1996-1998 pemerintah membuat instrumen baru

mengenai kebijakan fasilitas pemberian PPN Ditanggung Pemerintah.

Kebijakan ini diberikan atas kegiatan impor barang tertentu serta atas

penyerahan jasa yang berhubungan dengan kegiatan impor. Dikeluarkannya

kebijakan ini mempengaruhi pelaku usaha yang melakukan kegiatan

kepelabuhanan. Berikut regulasi yang mengatur kebijakan pemberian fasilitas

PPN Ditanggung Pemerintah (PPN DTP)

Tabel 5.6

Kebijakan Fasilitas PPN Ditanggung Pemerintah

No. Dasar Hukum Jenis Kebijakan

1. Keputusan Menteri Keuangan No.326/KMK.04/1996 tentang tata cara pemberian fasilitas PPN Ditanggung Pemerintah atas penyerahan impor kapal, penyerahan kapal, penyerahan jasa persewaan kapal, penyerahan jasa keagenan kapal, penyerahan jasa perawatan/reparasi kapal dan penyerahan jasa kepelabuhanan

Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan jasa persewaan kapal laut, kapal sungai, kapal danau, dan segala jenis kapal yang digunakan untuk kegiatan usaha Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional, tetapi tidak termasuk kapal pesiar perorangan, ditanggung oleh Pemerintah.

Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan jasa persewaan kapal penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, dan kapal untuk menangkap ikan, tetapi tidak termasuk kapal pesiar perorangan, ditanggung oleh Pemerintah.

Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan jasa keagenan kapal laut, kapal sungai, kapal danau, dan segala jenis kapal yang digunakan untuk kegiatan usaha Perusahaan PelayaranNiaga Nasional, tetapi tidak termasuk kapal pesiar perorangan, ditanggung oleh Pemerintah.

Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan jasa kepelabuhanan berupa jasa tunda, jasa pandu, jasa tambat, dan jasa labug, ditanggung oleh Pemerintah.

Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan jasa kepelabuhanan kepada kapal-kapal yang melakukan pengangkutan orang dan/atau barang baik antar pelabuhan di Indonesia maupundalam jalur pelayaran internasional, berupa :

1. jasa labuh, jasa tambat, jasa pandu, jasa tunda, dan jasa telepon kapal;

2. jasa penumpukan barang dan jasa dermaga; 3. jasa alat-alat yang terdiri dari kran darat, kran apung,

61

No. Dasar Hukum Jenis Kebijakan

forklift, head trunk, chasis, tongkang,Kapal Motor Penggandeng tipe B (BKMP), towing, tractor, timbangan, dan pemadamkebakaran;

4. jasa terminal yang terdiri dari stevedoring, cargodoring, receiving, delivery, dan overbrengen;

5. jasa terminal peti kemas yang terdiri dari bongkar muat,gerakan kontainer, penumpukan,dan mekanis;

6. jasa tanah bangunan yang terdiri dari sewa tanah, dan bangunan;

7. jasa rupa-rupa yang terdiri dari pas pelabuhan, retribusi kendaraan, dan telepon extension;

ditanggung oleh Pemerintah, sepanjang Penggantian atas penyerahan jasa-jasa kepelabuhanann tersebut merupakan kewajiban Perusahaan Pelayaran. Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan jasa

perawatan/reparasi kapal (docking), termasuk suku cadang dan bahan pembantu yang menjadi satu kesatuan dengan penyerahan jasa perawatan/reparasi kapal tersebut, ditanggung oleh Pemerintah

Keputusan Menteri Keungan 326/KMK.04/1996 mengatur tata cara

pelaksanaan aturan untuk memperoleh fasilitas PPN Ditanggung Pemerintah,

dimana PKP harus mengajukan ke Direktur Jenderal Pajak. Tahun 1998

pemerintah mencabut kebijakan pemberian fasilitas PPN Ditanggung

Pemerintah dengan Keputusan Presiden RI No. 37 tahun 1998. Keppres ini

mencabut Keputusan Menteri Keungan 326/KMK.04/1996 mengenai fasilitas

atas jasa tertentu. Keppres ini menyebutkan bahwa atas Jasa Kena Pajak yang

ditanggung pemerintah hanyalah Jasa pemborongan rumah yang diserahkan

oleh Perumnas, Jasa Kontraktor untuk pembangunan rumah ibadah dan Jasa

Rumah Susun Sederaha. Setelah diundangkannya Keppres ini, maka

perlakuan PPN atas jasa kelabuhanan berlaku seperti sebelumnya.

Perubahan atas regulasi ini juga menimbulkan ketidakpastian bagi para pelaku

usaha sehingga setelah pencabutan fasilitas tersebut, para pelaku usaha

meminta penegasan dari Pemerintah. Pada umumnya surat Direktur Jenderal

Pajak yang berisi penegasan merujuk kepada peraturan dan ketentuan yang

dikeluarkan sebelum tahun 1996. Berikut Surat penegasan dari Direktur

Jenderal Pajak.

62

Tabel 5.7

Surat Direktur Jenderal Pajak terkait dengan

No. Dasar Hukum Jenis Kebijakan

1. Surat Direktur Jenderal Pajak No. S -2196/PJ.532/1998 atas jasa kepelabuhanan

Atas penyerahan jasa kepelabuhanan kepada kapal-kapal yang melakukan pelayaran dalam jalur pelayaran internasional sepanjang perusahaan pelayaran tersebut tidak mengangkut orang dan/atau barang dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya di wilayah Indonesia dan tempat kedudukan perusahaan pelayaran asing tersebut juga memberikan perlakuan yang sama kepada perusahaan pelayaran Indonesia, terhitung mulai 1 September 1990 dikecualikan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;

Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE -08/PJ.532/1999 tentang PPN atas Jasa Kepelabuhanan untuk Kapal Jalur Pelayaran Internasional

Pasal (2) dalam Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE -08/PJ.532/1999 menyebutkan:a. Atas hal-hal berikut:- Adanya kelaziman di dunia Internasional bahwa jasa

pelabuhan bagi pelayaran Internasional dikecualikan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

- Adanya hubungan integral antara jasa pelabuhan dengan jasa angkutan laut yang dibebaskan dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

- Azas timbal balik terhadap perusahaan pelayaran Indonesia oleh negara yang mempunyai perjanjian bilateral.

a. Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu Ditanggung Pemerintah, yaitu jasa yang diterima oleh Perusahaan Pelayaran Niaga yang meliputi 1) Jasa persewaan kapal2) jasa kepelabuhanan meliputi jasa tunda, jasa

pandu, jasa tambat dan jasa labuh) kapal3) jasa perawatan/ reparasi (docking)

b. PPN atas jasa dalam jalur pelayaran internasional, ditegaskan bahwa atas penyerahan jasa pelabuhan yang digunakan oleh kapal-kapal dalam jalur pelayaran internasional, tidak dikenakan PPN.

Berdasarkan hal-hal tersebut dengan ini ditegaskan bahwa atas penyerahan jasa kepelabuhanan antara lain : a. Jasa pelayanan kapal yang terdiri dari jasa labuh, jasa

tambat, jasa pandu, jasa tunda dan jasa telepon kapal;b. Jasa pelayanan barang yang terdiri dari jasa

penumpukan dan jasa dermaga;c. Jasa pelayanan alat-alat yang terdiri dari jasa kran darat,

jasa kran apung, jasa forklift, jasa head truck, jasa chasis, jasa tongkang, jasa BKMP (Kapal Motor Penggandeng Tipe B), jasa towing tractor, jasa timbangan dan jasa pemadam kebakaran;

d. Jasa pelayanan terminal yang terdiri dari stevedoring, cargodoring, receiving, delivery dan overbrengen;

e. Jasa pelayanan peti kemas yang terdiri dari jasa bongkar muat, jasa gerakan container, jasa penumpukan dan jasa mekanis

f. Jasa pelayanan rupa-rupa yang terdiri dari pas pelabuhan, retribusi kendaraan dan telepon extension; yang digunakan oleh perusahaan pelayaran asing maupun perusahaan pelayaran Indonesia dalam jalur pelayaran internasional tidak dikenakan PPN. Pengecualian ini hanya berlaku sepanjang perusahaan

63

No. Dasar Hukum Jenis Kebijakan

pelayaran tersebut tidak mengangkut orang dan/atau barang dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya di wilayah Indonesia dan negara tempat kedudukan perusahaan pelayaran asing tersebut juga memberikan perlakuan yang sama kepada perusahaan pelayaran Indonesia (azas timbal-balik).Termasuk dalam pengertian Jalur Pelayaran Internasional adalah jalur angkutan laut dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan angkutan laut ke atau dari luar negeri, misalnya kapal yang masuk ke pelabuhan Indonesia dan membongkar barang muatannya di beberapa pelabuhan Indonesia tanpa memuat barang dari pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia atau sebaliknya.

5.2.3. Perlakuan PPN atas jasa kepelabuhanan dalam kurun waktu 2000-2009 (Rezim UU No. 18 Tahun 2000)

Dalam kurun waktu setelah perubahan ketiga UU PPN yaitu UU No.

tahun 2000, pemerintah membuat instrumen baru atas fasilitas PPN untuk jasa

kepelabuhanan. Instrumen tersebut adalah pembebasan dari pengenaan

PPN. Peraturan Pemerintah berikut mengatur pemberian fasilitas PPN atas jasa

kepelabuhan.

Tabel 5.8

Fasilitas Pembebasan PPN atas Jasa Kepelabuhanan

No. Dasar Hukum Jenis Kebijakan PPN

1. PP Nomor 146 Tahun 2000 Tentang Impor dan Atau Penyerahan BKP Tertentu dan atau Penyerahan JKP Tertentu yang dibebaskan dari pengenaan PPN

Pasal 3 ayat (1) Jasa Kena Pajak tertentu yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah : Jasa yang diterima oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional atau perusahaan penangkapan ikan nasional yang meliputi :a.Jasa persewaan kapal;b.Jasa kepelabuhanan meliputi jasa tunda, jasa pandu, jasa tambat, dan jasa labuh;c.Jasa perawatan atau reparasi (docking) kapal;

Peraturan Pemerintah No.146 tahun 2000 menetapkan bahwa atas jasa

kepelabuhanan tertentu diberikan fasilitas pembebasan PPN. Namun,

pemerintah tidak memberikan ketentuan secara rinci bagian-bagian dari jasa

64

kepelabuhanan yang akan dikenakan PPN atau yang akan diberikan

pembebasan dari pengenaan PPN.

Jika diperhatikan dari sisi historis yang ada, sejak kurun waktu 1988,

setiap regulasi tidak memberikan pengaturan yang pasti mengenai penyerahan

jasa tersebut mengingat jasa-jasa atas kepelabuhan sangat variatif. Hal ini

terlihat dari permintaan penegasan dari para pelaku usaha dimana para pelaku

usaha meminta penjelasan atas penyerahan jasa yang hampir sama.

Berikut merupakan penegasan dari Direktur Jenderal Pajak mengenai

pemberian fasilitas PPN atas jasa kepelabuhanan. Disatu sisi, pemerintah

memberikan fasilitas pembebasan atas jasa kepelabuhanan namun disisi lain

pemerintah tetap mengenakan PPN atas jasa lain yang dilakukan di pelabuhan

seperti jasa pelayanan peti kemas. Berikut penegasan atas hal tersebut:

Tabel 5.9

PPN atas Jasa Pelayanan Peti Kemas

No. Dasar Hukum Jenis Kebijakan PPN

1. Surat Direktur Jenderal Pajak No. S-10/PJ.532/2000 tentang PPN atas jasa kepelabuhanan

Ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan jasa kepelabuhanan adalah jasa pelabuhan yang digunakan bagi kapal dalam jalur pelayaran internasional dan dalam lingkungan pelabuhan.

apabila terdapat jasa pelayanan peti kemas yang dilakukan di luar pelabuhan maka atas jasa tersebut bukan jasa kepelabuhanan dan atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai.

Selain ketidakpastian mengenai pengenaan PPN atas jasa

kepelabuhanan tersebut, para pelaku usaha juga berpendapat bahwa

penerapan PPN atas jasa kepelabuhanan bertentangan dengan Tax Treaty

antara Indonesia dengan negara lainnya yang memiliki hubungan bilateral.

Menurut pelaku usaha aturan pemajakan yang diberlakukan oleh Indonesia

menyalahi aturan Tax Treaty yang dibuat oleh Indonesia-Korea. Atas pendapat

tersebut, Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan aturan berupa surat penegasan

berikut.

65

Tabel 5.10

PPN atas Jasa Kepelabuhanan berdasarkan

No. Dasar Hukum Jenis Kebijakan1. Surat Direktur Jenderal

No. S-1059/PJ.53/2005 tentang penerapan PPN Jasa kepelabuhanan untuk jalur internasional kepada BUT tertentu

Berdasarkan Tax Treaty Indonesia - Korea yang sekaligus dijadikan dasar dalam pembuatan Agency Agreement dengan pihak pelaku usaha, dimana dalam Tax Treaty tersebut secara tegas tercantum bahwa PPN tidak dikenakan bagi perusahaan pelayaran Korea di Indonesia atau sebaliknya perusahaan Indonesia di Korea.

Atas penyerahan jasa-jasa kepelabuhanan oleh penyelenggara jasa pelabuhan kepada perusahaan pelayaran baik nasional maupun asing dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

Jenis jasa-jasa kepelabuhanan yang mendapat fasilitas pembebasan Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa kepelabuhanan meliputi jasa tunda, jasa pandu, jasa tambat dan jasa labuh yang diterima oleh Perusahaan Angkutan Laut Nasional, Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional, Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhanan Nasional atau Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan Nasional.

Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Korea telah mengadakan suatu persetujuan mengenai Penghindaran Pajak Berganda dan Pencegahan Pengelakan Pajak atas Penghasilan (Tax Treaty)dengan demikian pengaturan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dalam hubungannya dengan pengoperasian kapal-kapal dalam jalur pelayaran internasional tunduk pada (diatur dengan) Tax Treaty antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Korea.

Selain penegasan tersebut, pelaku usaha masih meminta penegasan

dari pemerintah atas jasa kepelabuhanan. Berikut surat penegasan dari

pemerintah atas jasa kepelabuhanan.

66

Tabel 5.11

PPN atas Kapal Jalur Internasional

No. Dasar Hukum Jenis Kebijakan

1. S-328/PJ.53/2006

tentang PPN Kapal

Jalur Internasional

Atas penyerahan jasa kepelabuhan kepada kapal-kapal yang melakukan pelayaran dalam jalur internasional maupun tidak, dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

Jenis jasa kepelabuhan yang mendapat fasilitas pembebasan Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa kepelabuhan meliputi jasa tunda, jasa pandu, jasa tambat dan jasa labuh yang diterima oleh Perusahaan Angkutan Laut Nasional, Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional, Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional atau perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan Nasional.

Surat Menteri Keuangan Nomor S-995/MK.04/1990 tanggal 20 Agustus 1990 tentang PPN Atas Jasa Pelabuhan dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-08/PJ.532/1999 tanggal24 Mei 1999 tentang PPN atas Jasa Kepelabuhan Untuk Kapal Jalur Pelayaran Internasional, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan diatasnya (Undang-undang, Peraturan Pemerintah dan Keputusan Menteri Keuangan Tahun 2000), maka dengan sendirinya ketetapan/penegasan tersebut tidak berlaku lagi.

Dari pemetaan kebijakan selama rezim UU PPN diberlakukan pertama

kali tahun 1985 (meskipun UU PPN No. 8 Tahun 1983 pertama kali disahkan

pada tahun 1984), kebijakan pemberian fasilitas PPN atas jasa kepelabuhan

mengalami perubahan yaitu semakin sedikitnya fasilitas yang diberikan atas

jasa kepelabuhan, yaitu dengan mempersempit jenis-jenis jasa kepelabuhan

yang diberikan fasilitas PPN. Hal ini sangat kontradiktif dengan perkembangan

jasa kepelabuhan yang ada saat ini, serta kemungkinan terjadinya jenis-jenis

jasa baru yang ada di pelabuhan yang muncul akibat perkembangan teknologi

navigasi.

67

Tabel 5.12

Bentuk Fasilitas PPN atas Jasa Kepelabuhanan

Rezim PPN

Bentuk Fasilitas

Jenis Jasa Kepelabuhanan yang Mendapat Fasilitas

Rezim UU No.8 tahun 1983

Pengecualian pengenaan PPN

(1988) Jasa angkutan laut, angkutan darat kecuali jasa EMKL dan EMKD

(1989) Jasa kepelabuhanan laut dan udara

(1989) Jasa labuh, jasa tambat, jasa tunda, jasa telepon kapal untuk pelayaran jalur internasional

(1990) Jasa pelayanan kapal, jasa pelayanan barang, jasa pelayanan alat, jasa pelayanan terminal, jasa pelayanan peti kemas, jasa pelayanan rupa-rupa.

(1990) pemberian fasilitas jasa kepelabuhanan semakin dispesifikkan terdiri dari:

o Pelayanan jasa kapal yang terdiri dari labuh, tambat, pandu, tunda dan telepon kapal internasional

o Pelayanan barang yang terdiri dari penumpukan dermaga

o Pelayanan jasa alat-alat yang terdiri dari kran darat, kran apung, forklift, head trunk, chasis, tongkang, BKPP, towing tractor, timbangan dan pemadam kebakaran,

o Pelayanan terminal yang terdiri dari : stevedoring, cargodoring, receiving, delivery dan oberbrengen,

o Pelayanan terminal peti kemas yang terdiri dari : bongkar muat, gerakan container, penumpukan dan mekanis,

o Pelayanan tanah bangunan yang terdiri dari : sewa tanah dan sewa bangunan

(1992) Jasa pelabuhan untuk kapal yang melayari jalur pelayaran internasional.

Rezim UU No.11 tahun 1994

Tidak terutang PPN

(1995) Jasa kepelabuhan kapal jalur pelayaran internasional

(1996) jasa kepelabuhanan kepada kapal-kapal yang melakukan pelayaran dalam jalur pelayaran internasional.

(1999) Jasa kepelabuhanan yang timbul atas kegiatan pelayaran internasional tidak dikenakan PPN terdiri dari:

a.asa pelayanan kapal yang terdiri dari jasa labuh, jasa tambat, jasa pandu, jasa tunda dan jasa telepon kapal;

68

Rezim PPN

Bentuk Fasilitas

Jenis Jasa Kepelabuhanan yang Mendapat Fasilitas

b. Jasa pelayanan barang yang terdiri dari jasa penumpukan dan jasa dermaga;

c. Jasa pelayanan alat-alat yang terdiri dari jasa kran darat, jasa kran apung, jasa forklift, jasa head truck, jasa chasis, jasa tongkang, jasa BKMP (Kapal Motor Penggandeng Tipe B), jasa towing tractor, jasa timbangan dan jasa pemadam kebakaran;

d. Jasa pelayanan terminal yang terdiri dari stevedoring, cargodoring, receiving, delivery dan overbrengen;

e. Jasa pelayanan peti kemas yang terdiri dari jasa bongkar muat, jasa gerakan container, jasa penumpukan dan jasa mekanis

f. Jasa pelayanan rupa-rupa yang terdiri dari pas pelabuhan, retribusi kendaraan dan telepon extension; yang digunakan oleh perusahaan pelayaran asing maupun perusahaan pelayaran Indonesia dalam jalur pelayaran internasional tidak dikenakan PPN.

PPN Ditanggung Pemerintah

(1996) Fasilitas PPN ditanggung pemerintah diberikan atas:

a. jasa persewaan kapal laut, kapal sungai, kapal danau, dan segala jenis kapal yang digunakan untuk kegiatan usaha Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional tidak termasuk kapal pesiar perorangan.

b. jasa persewaan kapal penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, dan kapal untuk menangkap ikan, tetapi tidak termasuk kapal pesiar perorangan

c. jasa keagenan kapal laut, kapal sungai, kapal danau, dan segala jenis kapal yang digunakan untuk kegiatan usaha Perusahaan PelayaranNiaga Nasional, tetapi tidak termasuk kapal pesiar perorangan

d. jasa kepelabuhanan berupa jasa tunda, jasa pandu, jasa tambat, dan jasa labuh

(1999) Fasilitas PPN ditanggung pemerintah diberikan kepada penyerahan jasa persewaan kapal, jasa kepelabuhanan meliputi jasa tunda, jasa pandu, jasatambat dan jasa labuh) kapal, jasa perawatan/ reparasi (docking)

Rezim UU No. 18 tahun 2000

Tidak dikenakan PPN

(2000) Fasilitas tidak dikenakan PPN diberikan atas jasa persewaan kapal, Jasa kepelabuhanan meliputi jasa tunda, jasa pandu, jasa tambat, dan jasa labuh, Jasa perawatan atau reparasi (docking) kapal.

(2006) Jasa yang mendapat fasilitas pembebasan PPN adalah jasa tunda, jasa pandu, jasa tambat dan jasa labuh yang diterima oleh Perusahaan Angkutan Laut Nasional,

69

Rezim PPN

Bentuk Fasilitas

Jenis Jasa Kepelabuhanan yang Mendapat Fasilitas

Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional, PerusahaanPenyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional atau perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan Nasional.

70

BAB 6SKENARIO KEBIJAKAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS

JASA KEPELABUHANAN : URGENSI DAN IMPLIKASI PEMBERIAN TAX INCENTIVES

6.1 Urgensi Pemberian Fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Kepelabuhanan

6.1.1 Pemberikan Fasilitas PPN atas Jasa Kepelabuhanan Ditinjau dari International Best Practice

Negara merupakan otoritas utama yang mempunyai kewenangan untuk

menjamin bahwa aktivitas ekonomi masyarakat dapat dilaksanakan dengan

efisien dan efektif. Dalam konteks ini, kewenangan Negara untuk mendorong

aktivitas tertentu yang dianggap penting menjadi suatu kelaziman yang biasa

dilakukan oleh Negara manapun yang ada di dunia ini. Karena itu, menjadi

suatu kelaziman pula suatu Negara memberikan kebijakan VAT Exemption

ataupun bentuk-bentuk tax incentives lainnya atas suatu barang dan jasa.

Paradigma inilah yang melatari kebijakan tax incentives, baik berupa

pembebasan PPN maupun PPN Ditanggung oleh Pemerintah atas jasa-jasa

kepelabuhan khususnya untuk jalur pelayaran internasional, selama kurun

waktu 1986 sampai dengan tahun 2003. Sebagaimana telah diuraikan dalam

Bab I serta pemetaan kebijakan PPN atas jasa kepelabuhan selama 25 tahun

terakhir (Bab 5), argumentasi pemerintah memberikan fasilitas adalah karena

adanya kelaziman di dunia Internasional bahwa jasa pelabuhan bagi pelayaran

Internasional dikecualikan dari pengenai Pajak Pertambahan Nilai dan azas

timbal balik terhadap perusahan pelayaran Indonesia oleh negara yang

mempunyai perjanjian bilateral.

Sebagai perbandingan beberapa Negara lainnya memberikan fasiltas

PPN atas kegiatan bongkar muat dan kepelabuan untuk beberapa negara,

sebagaimana dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:

71

Tabel 6.1

Fasilitas PPN atas Jasa Kepelabuhanan di Beberapa Negara

No Negara Kebijakan PPN atas kegiatan bongkar muat dan kepelabuhan

1. Thailand* Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Thailand atas industri yang bergerak dalam jasa kepelabuhanan sebagai berikut:

1. Pengecualian kewajiban perpajakan atas leasing kapal

2. Pengecualian pengenaan Pajak Penghasilan atas penjualan kapal bekas atau asuransi yang diterima.

3. Refund atas PPN yang telah dibayarkan dalam kegiatan pengangkutan

2 Singapura* Pemerintah Singapura sangat memperhatikan sistem transportasi laut dan setiap kegiatan yang berlangsung di pelabuhan. Pemerintah Singapura membuat perlakuan khusus dalam hal perpajakan bagi industri yang menyediakan jasa transportasi laut dan pelabuhan. Beberapa pengecualian yang diberlakukan oleh pemerintah Singapura adalah:1. Pengecualian atas pengenaan PPN atas penjualan

kapal2. Pengecualian pengenaan PPN atas persewaan kapal

yang disewakan kepada perusahaan di dalam negeri dan pengenaan PPN impor rendah apabila kapal disewa dari negara lain

3. Pengecualian pengenaan Pajak Penghasilan4. Pengecualian atas jasa-jasa yang diberikan ketika

melakukan kegiatan operasional di pelabuhan5. Pengecualian atas jasa angkutan dari pelabuhan bagi

perusahaan yang Country of Originnya berada di Singapura

Dalam Inland Revenue Authority of Singapore dijelaskan apabila sebelum pemuatan barang kedalam kapal dimungkinkan adanya mengumpulan/penumpukan barang di pelabuhan dari berbagai pengusaha kecil. Ketika kegitan pemuatan itu dilakukan, maka pihak penyedia jasa melakukan penggabungan dalam peti kemas. Apabila pihak yang melakukan penggabungan dan pemuatan barang tersebut memperoleh izin resmi dari pemerintah Singapura, maka jasa atas kegiatan tersebut dikenakan PPN sebesar 0%52.

52Inland Revenue Authority of Singapore Guideline 10th Edition dengan

perubahan terakhir 1 Januari 2011 dan diterbitkan 13 Januari 2011.

72

No Negara Kebijakan PPN atas kegiatan bongkar muat dan kepelabuhan

Malaysia* Kebijakan perpajakan yang ditetapkan oleh pemerintah Malaysia atas perusahaan yang bergerak dalam jasa pelayaran dan kepelabuhan adalah:1. Pengecualian pengenaan PPN ketikan kapal dijual2. Pengecualian pengenaan PPN atas jasa persewaan

kapal apabila kapal tersebut berasal dari dalam negeri3. Pengecualian pajak atas jasa pengangkutan bagi

perusahaan yang berpusat di Malaysia4. Fasilitas penyusutan dipercepat sebesar 60% pada

tahun pertama beroperasi dan 40% ditahun kedua beroperasi

4. Austria** Berdasarkan Decree 584/2003, jika jasa atas kegiatan kepelabuhanan merupakan bagian dari produksi barang dan jasa, maka jasa tersebut merupakan satu kesatuan dengan barang yang diimpor sehingga dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Jika jasa atas kegiatan pemuatan barang merupakan jasa yang terpisah dari produk yang diangkut dan diberikan oleh pihak lain ( diluar pihak yang melakukan transaksi barang), maka atas jasa tersebut tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

5. Irlandia Biaya atas kegiatan pengangkutan atau pemuatan barang dari dalam atau ke luar negari dikenakan PPN sepanjang kegiatan tersebut merupakan satu kesatuan dengan barang yang akan diangkut. Dengan kata lain jasa atas kegiatan pemuatan dan pembongkaran tersebut terintegrasi dengan produk yang akan diperjualkan akan dikenakan PPN dari seluruh nilai barang dan jasa.

Apabila atas kegiatan pembongkaran atau pemuatan barang yang diperjual belikan dilakukan oleh pihak lain dimana jasa tersebut terpisah dari produk yang diperjual belikan, maka atas jasa itu dikenakan PPN sebesar 0%.

6. Rusia Dalam Rusian Tax Code pasal 164.1 dijelaskan bahwa atas jasa-jasa kepelabuhanan dikenakan PPN sebesar 0%. Dalam regulasi tersebut, jasa-jasa yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah53:1. Jasa pelayaran internasional yang berasal dari

Rusia atau menuju Rusia2. Jasa freight forwarding dan seluruh jasa-jasa yang

disediakan oleh perusahaan forwarder. Jasa-jasa ini dapat meliputi jasa pengiriman dan pengangkutan barang, pembongkaran dan

53PricewaterhouseCoopers Rusia, New Law to Change how zero rate VAT is

applied to Transportation Service, Tax Flash Report, Edisi 20 November 2010.

73

No Negara Kebijakan PPN atas kegiatan bongkar muat dan kepelabuhan

pemuatan barang, jasa penyimpanan atau pengeluaran barang dari gudang, jasa asuransi pengangkutan. Namun, dengan adanya ketentuan terbaru, atas jasa-jasa ini dapat dikenakan 0% apabila berada dalam ruang lingkup/ perjanjian dengan perusahaan forwarder.

3. Jasa pengangkutan dan pemuatan barang yang dilakukan di dermaga kapal yang menyeberangi sungai.

7. Guyana Berdasarkan VAT Policy Pasal 41 mengenai transport service dijelaskan sbb:1. Jasa yang timbul akibat aktivitas pelayaran

internasional dikecualikan dari pengenaan PPN. Jasa yang timbul tersebut dapat berupa jasa bongkar muat di pelabuhan, jasa penambatan kapal, jasa penggunaan kargo, jasa pengurusan dokumen impor, jasa handling serta jasa pengankutan dan penyimpanan barang ke gudang. Atas jasa tersebut dikecualikan dari pengenaan PPN apabila jasa tersebut diberikan oleh pihak yang sama dengan yang melakukan eskpor barang. Dengan demikian jasa tersebut dipandang sebagai satu kesatuan dengan barang yang akan diekspor.

2. Apabila pihak yang memberikan jasa tersebut adalah pihak lain atau pihak ketiga atau pihak diluar penghasil produk, maka jasa itu diperhitungkan sebagai penyerahan jasa di dalam negeri sehingga dikenakan PPN.

8. Serbia Dalam Pasal 4 Official Herald of the RS Nos. 84/2004, 86/20084 and correction 61/2007 Pajak Pertambahan Nilai atas jasa pengangkutan tidak dikenakan atas penyerahan jasa berikut:1. Jasa pengangkutan barang yang akan diekspor

atau jasa pengurusan lainnya sepanjang berhubungan dengan barang yang akan dieskpor tersebut

2. Jasa pengangkutan barang untuk diperdagangkan secara internasional yang dilakukan oleh forwarder atau pihak ke tiga lainnya

3. Pengangkutan barang kepada kawasan perdagangan Free Trade Zone dimana pedagang untuk kawasan Free Trade Zone itu telah memiliki fasilitas pengurangan pajak ketika memperoleh barang-barang (sejenis bahan baku ) untuk dijual kembali

4. Penyediaan transportasi dan jasa pengangkutan

74

No Negara Kebijakan PPN atas kegiatan bongkar muat dan kepelabuhan

barang serta jasa lainnya yang berhubungan dengan kegiatan tersebut yang dilakukan di bandara internasional atau pelabuhan internasional atas barang-barang yang akan diperdagangkan di kawasan Free Trade Zone

Sumber : *Thailand Research Institute

** PricewaterhouseCoopers Austria 2005

6.1.2 Perlakuan Khusus Jasa Kepelabuhanan

Prinsip netralitas merupakan salah satu asas/prinsip yang sangat

diperhatikan dalam disain sistem Pajak Pertambahan Nilai. Hal ini tidak lepas

dari historis penciptaan PPN yang memang dimaksudkan untuk mengeliminir

cascading effect dalam Pajak Penjualan. Dengan demikian, sebagai model

penghitungan pajak penjualan yang dianggap paling netral, sudah selayaknya

policy maker mengedepankan asas netralitas dalam mendisain sistem PPN,

sebagaimana tercermin dalam peraturan PPN yang berlaku di Negara yang

bersangkutan.

Gambar 6.1

Prosedur Bongkar Muat

Sumber : Nurwendi Hendriyanto, PT Hutchison Ports Indonesia, 2011

75

Gambar 6.2

Prosedur Pembebanan dan Pengiriman

Sumber : Nurwendi Hendriyanto, PT Hutchison Ports Indonesia, 2011

Jasa kepelabuhanan untuk angkutan laut dalam jalur pelayaran

internasional , sebenarnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

pelayaran internasional itu sendiri. Dalam gambar di atas dapat dideskripsikan

bahwa tidak mungkin barang yang akan dikirim ke luar negeri maupun yang

akan dikirim ke luar negeri dapat dengan sendirinya dimuat ke atas kapal atau

sebaliknya, diturunkan dari kapal. Jasa kepelabuhan yang dilakukan mulai dari

jasa Pelayanan Kapal (antara lain, Jasa Labuh, Jasa Pemanduan, Jasa

Penundaan dan Jasa Tambat), hingga Jasa Pelayanan Barang (antara lain

Jasa Dermaga untuk Peti Kemas, Jasa Peti Kemas di Terminal Peti Kemas,

Jasa Penumpukan Peti Kemas) sepanjang dilakukan dalam jalur pelayaran

internasional sudah seharusnya diperlakukan sesuai dengan asas detination

principle dan kelaziman international.

Sangat disayangkan kemunduran kebijakan PPN atas jasa

kepelabuhanan angkutan laut paska rejim UU No. 18 Tahun 2000. Bukan saja

76

kebijakan ini menafikkan prinsip destination principle, kelaziman internasional,

asas netralitas namun juga mengabaikan prinsip equality karena tidak

memberikan perlakuan PPN yang sama (unequal treatment). Akibatnya tidak

tercipta level playing field yang sama bagi pelaku dunia usaha.

Perbedaan perlakuan PPN ini terlihat dari ada Negara tertentu yang

mendapat perlakuan khusus terkait dengan PPN atas jasa kepelabuhanan.

Dalam Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S - 1015/Pj.343/2005 tentang

Pengenaan PPN yang terdapat dalam Tax Treaty Indonesia - Korea Selatan

tanggal 24 November 2005, merupakan surat permohonan penegasan dari

pihak Wajib Pajak/Pengusaha Kena Pajak mengenai :

1. Apakah PPN termasuk dalam definisi pajak-pajak yang berlaku menurut

Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) RI-Korea Selatan;

2. Perlakuan PPN atas jasa kepelabuhanan yang diserahkan kepada kapal-

kapal Korea Selatan, apakah dibebaskan dari pengenaan PPN sesuai

ketentuan Pasal 8 ayat (3) P3B RI-Korea Selatan.

Dalam surat Direktur Jenderal Pajak di atas, menjelaskan bahwa:

a. Sesuai dengan Pasal 2 ayat (3) P3B Indonesia-Korea Selatan, PPN bukan

merupakan jenis pajak yang tercakup dalam P3B. Hal ini sesuai pula

dengan model-model P3B yang dianut oleh Indonesia, yakni OECD Model

Tax Convention dan UN Model Tax Convention;

b. Namun demikian, masalah PPN telah masuk dalam ketentuan P3B RI-

Korea Selatan yakni pada Pasal 8 ayat (3) yang redaksi aslinya berbunyi :

"In respect of the operation of ships or aircraft in international traffic carried

on by an enterprise of a contracting State, that enterprise, if an enterprise,

of Indonesia shall also be exempt from the value added tax in Korea and, if

an enterprise of Korea, shall also be exempt from any tax similar to the

value added tax in Korea which may hereafter be imposed in Indonesia";

c. Masuknya PPN dalam klausul P3B tersebut tidak terlepas dari situasi dan

kondisi saat perundingan dilaksanakan, yakni bahwa pada saat pemarafan

draft P3B dilakukan (April 1985), Indonesia dalam masa hendak

menerapkan UU PPN hasil reformasi perpajakan tahun 1983.

d. Dalam Pararaph 1 of Article 3 dari P3B Indonesia - Korea Selatan

dinyatakan bahwa :

77

(g) the term "international traffic" means any transport by a ship or aircraft

operated by an enterprise of a Contracting State, except when the ship

or aircraft is operated solely between places in the other Contracting

State;

(f) the term "enterprise of a Contracting State" and "enterprise of the other

of a Contracting State" mean, respectively, an enterprise carried on by

a resident of a Contracting State and an enterprise carried on by a

resident of the other Contracting State;

Sementara itu dalam Paragraph 1 of Article 4 dinyatakan bahwa :

... the term "resident of a Contracting State" means any person who, under

the laws of that Contracting State, is treated as a resident for tax purposes

in that Contracting State. But this term does not include any person who is

liable to tax in that State in respect only of income from sources in that

States.

3. Selanjutnya dalam surat tersebut memberikan penegasan sebagai berikut :

a. Sepanjang jasa-jasa kepelabuhanan yang diserahkan pihak Indonesia-

Korea Selatan dimaksud terkait dengan international traffic dan

penerima jasa betul-betul merupakan kapal-kapal yang dimiliki dan

dioperasikan oleh perusahaan Korea Selatan, maka secara timbal balik

dibebaskan dari pengenaan PPN;

b. Untuk mengantisipasi bahwa fasilitas P3B tersebut tidak

disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak berhak, maka diharapkan

dapat meneliti lebih lanjut apakah kapal-kapal yang mengaku atau

berbendera Korea Selatan tersebut betul-betul dimiliki dan

manajemennya dioperasikan oleh perusahaan yang merupakan

resident Korea Selatan.

Pembebasan PPN yang hanya diberikan pada perusahaan Korea

menyebabkan terjadinya disparitas beban pajak karena adanya perlakuan pajak

yang tidak sama. Akibatnya tidak tercipta kompetisi yang sehat dan adil, karena

beban pajak yang dibayar resident Korea Selatan lebih rendah, sehingga

mereka lebih leluasa dalam menentukan harga yang lebih kompetitif. Sebagai

78

gambaran kasar, implikasi perbedaan beban pajak antara jasa yang tidak

mendapatkan fasilitas PPN dan yang mendapat fasilitas PPN adalah sebagai

berikut:

Tabel 6.2

Perbedaan Beban Pajak Antara Barang/Jasa yang Mendapat Fasilitas

Pembebasan PPN dan yang Tidak Mendapatkan Fasilitas PPN

Tidak Mendapat Fasilitas PPN(Terhutang PPN)

Mendapat Fasilitas PPNDibebaskan PPN

Penjualan 1,000.00 1,000.00 Harga Pokok (600.00) (660.00)

Laba kotor 400.00 340.00 Biaya oprasional (200.00) (200.00)

Laba bersih 200.00 140.00

Pajak Keluaran 100.00 - PM dapat dikreditkan (60.00) -

PPN Kurang Bayar/disetorkan ke Kas Negara

40.00 -

Beban PajakPPh Badan (tarif 25%) 50.00 35.00 PPN disetorkan 40.00 -

Total Beban Pajak 90.00 35.00

6.1.3 Beberapa Skenario Kebijakan PPN atas Jasa Kepelabuhanan dan Implikasinya (Sesuai dengan Konsep/Teori PPN)

Secara konseptual, dalam PPN dikenal 2 (dua) bentuk VAT Incentives,

yaitu berupa exemption dan zero rate. Masing-masing bentuk ini mempunyai

implikasi kebijakan yang berbeda sebagai konsekuensi logis sistem VAT yang

dianut oleh Negara besangkutan, maupun karena inherent dengan legal

character dari VAT baik secara konseptual teoritis maupun dari secara teknis.

Perbedaan implikasi kedua bentuk insentif PPN adalah sebagai berikut:54

54 Haula Rosdiana, Evaluasi 25 Tahun Implementasi PPN di Indonesia, 2011.

79

6.1.3.1 VAT Exemption

i. VAT Exemption, misalnya melalui kebijakan object exemption

memberikan konsekuensi legal bahwa Pengusaha yang melakukan

penyerahan/transaksi atas barang/jasa yang dibebaskan/dikecualikan

dari pemungutan PPN tersebut, bukan merupakan taxable person,

karena tidak memenuhi syarat-syarat sebagai taxable supplies.

ii. Sebagai konsekuensi dari metode penghitungan VAT, baik direct

maupun indirect substraction method, maka atas semua VAT input yang

terkait dengan perolehan barang atau jasa yang diberikan fasilitas VAT

exemption tersebut tidak dapat dikreditkan. Dengan demikian, dapat

dikatakan bahwa secara ekonomis, masih ada VAT burden yang dapat

dialihkan, baik pada konsumen atau produsen.

iii. Jika pengusaha tersebut juga melakukan penyerahan yang bukan

merupakan VAT exemption, maka pemerintah dan legislasi harus

mendisain kebijakan khusus, baik yang terkait dengan masalah

Disallowed VAT input maupun mekanisme VAT credit lainnya.

iv. Apabila kebijakan insentif ini diberikan dalam bentuk kebijakan yang

bersifat ad hoc atau tidak disebutkan secara eksplisit dalam UU, maka

pemerintah pada umumnya mendisain kebijakan administrative untuk

mengawasi implementasinya agar tidak disalahgunakan. Dalam konteks

inilah kemudian beberapa kontrol pengawasan dilakukan, misalnya

dengan memberlakukan semacam Surat Keterangan Bebas (SKB).

6.1.3.2 Zero Rate

Berbeda dengan exemption, meskipun secara ekonomis mempunyai

kelebihan, yaitu netralitas atau cascading effect sepenuhnya dapat dihindari

sehingga secara konseptual teoritis dapat mengurangi tax burden bagi para

pelaku usaha maupun konsumen, namun secara administratif terdapat

beberapa konsekuensi pemajakannya, antara lain:

i. Karena dalam zero rate, sebenarnya VAT output tetap dianggap ada

(dengan nilai 0), maka sudah dapat dipastikan bahwa akan selalu terjadi

kelebihan pembayaran PPN, sepanjang terdapat VAT input yang memang

tidak termasuk dalam kategori disallowed VAT input.

80

ii. Sebagai konsekuensi poin i di atas, maka cost of taxation timbul jika

prosedur VAT Refund tidak didisain dengan fleksibel, sehingga pada

akhirnya taxable person (Pengusaha Kena Pajak) masih harus menanggung

compliance cost, baik yang bersifat tangible maupun intangible (misalnya

time cost dan phycological cost).

iii. Kebijakan ini pada akhirnya tidak dapat berdiri sendiri, melainkan juga harus

terintegrasi dengan kebijakan administrasi perpajakan. Sepanjang kebijakan

VAT Refund tidak dibuat dengan memenuhi asas ease of administration,

maka cost of taxation bagi kedua belah pihak, baik Pengusaha Kena Pajak

(dari sisi compliance cost), maupun fiskus (dari sisi administrative cost/

enforcement cost) justru mungkin lebih besar dibandingkan dengan VAT

Exemption.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka konsekuensi pilihan dari dua

alternative skenario kebijakan di atas, dapat dipetakan dalam gambar sebagai

berikut:

Gambar 6.3

Implikasi Kebijakan VAT Exemption bagi Pengusaha Kena Pajak

Compliance Cost (Low)

Compliance Cost (High)

VAT BurdenLow

VAT BurdenHigh

81

Gambar 6.4Implikasi Kebijakan Zero Rate Bagi Pengusaha Kena Pajak

Compliance Cost (Low)

Compliance Cost (High)

6.2. Implikasi Pemberian Fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Kepelabuhananan dalam mendorong Perdagangan Internasional Indonesia

Selama 25 tahun implementasi PPN di Indonesia, Pemerintah telah

mengembangkan model insentif/fasilitas PPN menjadi beberapa skenario

kebijakan, antara lain:

a) PPN Dibebaskan

b) PPN Tidak Dipungut

c) PPN Ditunda

d) PPN Ditangguhkan

e) PPN Ditanggung Pemerintah

f) PPN Dibayar Pemerintah

Meskipun demikian, fasilitas PPN yang secara eksplisit terdapat dalam Pasal

16B UU PPN 2009 hanya terdiri dari Pajak Terutang Dibebaskan dan Pajak

Administrative/Enforcement

Cost(Low)

Administrative/Enforcement

Cost(High)

82

Terutang Tidak Dipungut. Karena itu, analisis atas insentif PPN atas jasa

kepelabuhan akan difokuskan pada 2 (dua) alternatif VAT incentives tersebut.

6.2.1 Implikasi Fasilitas Pajak Terutang Tidak Dipungut atas Jasa Kepelabuhanan

Pemberian fasilitas Pajak Terutang Tidak Dipungut pada hakekatnya

mempunyai konsekuensi kebijakan yang hampir sama dengan zero rate,

namun mempunyai implikasi yang jauh lebih luas. Pertama, karena kebijakan

ini seperti memperlakukan bahwa PPN tetap terhutang, namun tidak dipungut.

Konsekuensinya adalah adanya tuntutan untuk tetap memenuhi prosedural/

kebijakan administratif pengenaan PPN yang berlaku umum, seperti

menerbitkan Faktur Pajak. Dimana Faktur Pajak tersebut menjadi alat kontrol

pemerintah maupun Pengusaha Kena Pajak untuk memastikan bahwa fasilitas

ini diberikan sebagaimana mestinya. Karena itu otoritas perpajakan

mengharuskan agar Faktur Pajak tersebut diberi cap “PPN Tidak Dipungut

Eks……. (Nama Peraturan yang Berlaku)”, guna memastikan bahwa fasilitas

dimanfaatkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.55

Keunggulan Pajak Terutang Tidak Dipungut, seperti halnya fasilitas zero

exemption adalah secara konseptual teoritis selaras dengan asas netralitas dan

tidak menimbulkan cascading effect. Artinya, secara harfiah, kebijakan ini

merupakan fasilitas dalam arti sebenarnya, karena semua Pajak Masukan yang

sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak tetap dapat dikreditkan, sehingga

tidak dibebankan dalam harga jual. Namun keunggulan ini mempunyai

konsekuensi administrasi yang luas karena spectrum kepentingan Negara

mengharuskan keterjagaan antara keselarasan asas ease of administration dan

asas revenue productivity. Diantara spektrum inilah konsepsi cost of taxation

harus dicermati oleh para perumus kebijakan maupun pelaku usaha agar

alternatif kebijakan yang dipilih, atau usulan kebijakan yang direkomendasikan

dilakukan dengan menyadari konsekuensi yang timbul secara komprehensif.56

Ada 5 (lima) Indikator Cost of Taxation, yaitu :

1. compliance costs

2. administrative costs,

55 Haula Rosdiana, Evaluasi 25 Tahun Implementasi PPN di Indonesia, 2011.56 Loc. Cit.

83

3. deadweight efficiency loss from taxation,

4. the excess burden of tax evasion, dan

5. avoidance costs57

Pengusaha Kena Pajak harus menangung Compliance cost, berupa

biaya-biaya atau beban-beban yang dapat diukur dengan nilai uang (tangible)

maupun yang tidak dapat diukur dengan nilai uang (intangible) yang harus

dikeluarkan/ditanggung berkaitan dengan proses pelaksanaan kewajiban-

kewajiban dan hak-hak perpajakan. Sebagaimana dikemukakan oleh Cedric

Sandford, Compliance costs tidak selalu biaya yang tangible yang dapat dinilai

dengan uang, tetapi juga dengan biaya yang intangible, sebagaimana dapat

dilihat dalam kutipan berikut ini:

Tax guru Cedric Sandford found that across a sample of UK industry VAT compliance costs in broad terms some 4% of revenues raised, which in macro-economic terms is 1.5% of GDP – a large sum of money for companies to bear. He also laid out three separate elements to the costs of compliance:1. Fiscal costs – the employee costs of running day to day VAT

accounting, the cost of expertise to understand and keep up with changes in policies and rates, the cost of submitting VAT returns, and the cost of external accountants for operational and advisory services

2. Time costs – the cost of senior management time in overseeing the function – in theory these can be turned into money, but in reality this is a very scarce resource in a company

3. Psychological costs – the significant worry brought about the fact that the onus is squarely on the business to conduct their VAT affairs properly, with financial and even criminal sanctions for failing to do so. VAT regulations can be very complex, and many companies know they lack some of the knowledge required to be certain that they are using the correct policies and rates for all their transactions. This “ fear factor” is often highlighted as a component of compliance costs, even though it is not easily quantified.58

a. Fiscal Costs/Direct Money Costs

Dari sisi Wajib pajak, Fiscal Costs/Direct Money Costs, adalah biaya

atau beban yang dapat diukur dengan nilai uang yang harus

57 Op.Cit58 Jon Abolins, VAT compliance costs – heavier than you realise?, 25 Maret

2002, http://www.accountingweb.co.uk/ cgi-bin/item.cgi?id=76097"

84

dikeluarkan/ditanggung oleh Pengusaha Kena Pajak berkaitan dengan proses

pelaksanaan kewajiban-kewajiban dan hak-hak perpajakan. Termasuk dalam

kelompok biaya ini adalah:

a) honor/gaji staf/pegawai Divisi Pajak (atau Divisi Akuntansi yang menangani

masalah perpajakan, pembukuan, pengisian/pembuatan Faktur Pajak,

Pemeriksaan Faktur Pajak Masukan dan Pengarsipannya, dan sebagainya);

b) jasa konsultan yang disewa Wajib Pajak;

c) biaya transportasi pengurusan perpajakan (misalnya biaya menyampaikan

SPT Masa PPN, biaya transport untuk menyetorkan PPN dan lain-lain);

d) biaya pencetakan dan penggandaan formulir-formulir perpajakan (tinta,

kertas, fotocopy, cetak SSP/Faktur Pajak Standar, dan lain lain);

e) biaya representasi (jamuan), dll.

b. Time cost

Selain fiscal cost yang tangible, compliance costs juga terdiri dari biaya

yang intangible dalam bentuk time costs dan Psychological costs. Time Costs

adalah biaya berupa waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan kewajiban-

kewajiban dan hak-hak perpajakan, misalnya:

a) Waktu yang dibutuhkan untuk mengisi formulir-formulir perpajakan.

b) Waktu yang dibutuhkan untuk mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) dan

menyampaikan SPT.

c) Waktu yang diperlukan untuk mendiskusikan tax management dan tax

exposure dengan pihak konsultan pajak.

d) Waktu yang diperlukan untuk membahas Laporan Hasil Pemeriksaan/

closing conference dengan pihak Fiskus/Pemeriksa Pajak

e) Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan keberatan dan atau banding.

c. Psychological Costs

Psychological costs /Psychic costs adalah biaya psikis/psikologis –

antara lain berupa stress dan atau ketidaktenangan, kegamangan, kegelisahan,

ketidakpastian yang terjadi dalam proses pelaksanaan kewajiban-kewajiban

dan hak-hak perpajakan, misalnya stress yang terjadi saat pemeriksaan pajak,

saat pengajuan keberatan dan atau banding.

85

Berdasarkan konsepsi cost of taxation tersebut, implikasi kebijakan

Pajak Terutang Tidak Dipungut adalah sebagai berikut:

Tabel 6.3

Implikasi Skenario 1 : Beberapa Kelebihan dan Kekurangan Bagi PKP

Kelebihan KekuranganNetralitas penuh Beban Administrasi yang TinggiMendorong Harga yang Kompetitif

Direct Money Costs, Time Costs untuk pengajuan restitusi

Dapat Menghemat Cashflow

Direct Money Costs, Time Costs dan Phyciological Costs dalam menghadapi pemeriksaanDiperlukan analisis yang mendalam untuk menghitung cost and benefit terkait dengan pengajuan restitusi dan menghadapi pemeriksaan

Tabel 6.4

Implikasi Skenario 2 (Optimis): Beberapa Kelebihan dan Kekurangan Bagi

PKP

Kelebihan KekuranganNetralitas penuh Beban Administrasi yang

Tinggi, terkait Faktur PajakMendorong Harga yang KompetitifMenghemat CashflowMendorong ProduktivitasMinimalisir compliance cost terkait dengan pengajuan restitusi dan menghadapi pemeriksaan

Skenario 2 (Optimis). a. Fasilitas : PPN Tidak Dipungut Atas Jasa Kepelabuhananb. Ketentuan Restitusi : Ada Kebijakan Khusus yang Pro Corporate Cashflow Tax dan Selaras Asas Ease of Administrationc. Ketentuan Pemeriksaan : Sederhana

Skenario 1. a. Fasilitas : PPN Tidak Dipungut Atas Jasa Kepelabuhananb. Ketentuan Restitusi : Sesuai Kondisi Saat inic. Ketentuan Pemeriksaan : Sesuai kondisi saat ini

86

Tabel 6.5

Implikasi Skenario 2 (Moderat) : Beberapa Kelebihan dan Kekurangan

Bagi PKP

Kelebihan KekuranganNetralitas penuh Beban Administrasi yang

Tinggi, terkait Faktur PajakMendorong Harga yang kompetitif secara parsial

Ketidaksamaan perlakuan

Menghemat Cashflow secara parsial Kompetisi Tidak SehatMendorong produktivitas secara parsialMinimalisir compliance cost terkait dengan pengajuan restitusi dan menghadapi pemeriksaan secara terbatas.Mendorong PKP untuk mendapatkan kategorisasi khusus

Gambar 6.5

Skenario Kebijakan Pajak Terutang Tidak Dipungut

Skenario 3 (Moderat). a. Fasilitas : PPN Tidak Dipungut Atas Jasa Kepelabuhananb. Ketentuan Restitusi : Ada Kebijakan Khusus yang Pro Corporate Cashflow

Tax dan Selaras Asas Ease of Administration, namun terbatas pada PKP Tertentu

c. Ketentuan Pemeriksaan : Dualisme Kebijakan

87

6.2.2. Implikasi Fasilitas Pajak Terutang Dibebaskan atas Jasa Kepelabuhanan

Fasilitas Pajak Terutang Dibebaskan secara parsial memang masih

mendistorsi harga sebagai konsekuensi Pajak Masukan yang sudah dibayar

PKP tidak dapat dikreditkan sehingga PKP cenderung menjadikan sebagai

unsur biaya (cost). Dengan demikian, manfaat fasilitas ini sebenarnya bukanlah

berupa pengurangan 10% dari harga, namun sesuai dengan prosentase nilai

tambah dikurangi dengan Pajak Masukan yang sudah dibayar oleh PKP.

Kebijakan ini tidak cenderung mempunyai dampak administratif yang

lebih luas dibanding kebijakan PPN tidak Dipungut, karena kemungkinan PKP

mengajukan restitusi tidak sebesar kebijakan Pajak Terutang Tidak Dipungut.

Meskipun demikian, cost of taxation, khususnya compliance cost akan tinggi

jika fasilitas Pajak Terutang Dibebaskan tidak dilakukan secara otomatis,

melainkan mengharuskan adanya prosedur persetujuan oleh Otoritas Pajak.

Berdasarkan kondisi-kondisi di atas, maka implikasi kebijakan dapat

dibedakan menjadi 3 (tiga), yaitu Optimis, Moderat dan Pesimis sebagaimana

dapat dilihat dalam gambar di bawah ini.

Gambar 6.6

Skenario Kebijakan Pajak Terutang Dibebaskan

88

Implikasi dari 3 (tiga) scenario di atas adalah sebagai berikut:

Tabel 6.6

Implikasi Kebijakan PPN Dibebaskan atas Jasa Kepelabuhanan

Berdasarkan Skenario Optimis, Moderat dan Pesimis

Optimis Moderat Pesimis

Kelebihan Compliance Costdapat diminimalisir

Compliance Costterjadi pada awal pengajuan SKB

Compliance Costtinggi

Kekurangan Harga tidak dapat kompetetif secara penuh

Harga tidak dapat kompetetif secara penuh

Harga tidak dapat kompetetif secara penuh

6.3. Urgensi dan Implikasi Pemberian Fasilitas PPN atas Jasa Kepelabuhanan

6.3.1. Urgensi Pemberian Fasilitas PPN

Secara garis besar. magnitude kebijakan fasilitas PPN atas jasa

kepelabuhanan dapat tergambar dalam jumlah pelabuhan yang ada di

Indonesia sebagaimana dapat dilihat dalam tabel berikut ini:

Tabel 6.7

Jumlah Pelabuhan di Indonesia

Tabel 6.7 di atas menunjukkan bahwa jumlah pelabuhan di Indonesia terus

mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat pula dalam grafik berikut ini:

89

Grafik 6.1

Jumlah Pelabuhan di Indonesia Tahun 2005-2009

Banyaknya pelabuhan yang ada di Indonesia mengindikasikan kebutuhan jasa

kepelabuhan yang tinggi. Berdasarkan informasi yang disediakan oleh Asosiasi

Penyedia Jasa Logistik di Indonesia yang bernaung dibawah KADIN bahwa

terdapat sekitar 941 perusahaan yang menjadi anggota Indonesian National

Shipwoners Association). Dari jumlah tersebut, 82% adalah milik swasta

nasional yang mengoperasikan kurang lebih 3 kapal, 4% perusahaan dimiliki

oleh swasta asing dan mengoperasikan lebih dari 10 kapal sedangkan sisanya

adalah kegiatan. Jumlah anggota INSA yang besar, mengindikasikan

konsumen atau pangsa pasar jasa kepelabuhanan yang besar.

Secara lebih spesifik, kebutuhan jasa kepelabuhan ditunjukkan oleh

banyaknya volume container yang masuk dan keluar dari pelabuhan Indonesia,

sebagaimana dapat dilihat dalam tabel berikut ini:

Tabel 6.8

Arus Volume Container di Pelabuhan Indonesia

Volume (TEUs)

Volume (TEUs)

2006 3,160,519

3,267,088

2007 3,532,832

3,680,549

2008 3,774,983

3,949,788

2009 4,163,088

4,058,360

2010 4,701,816

4,609,932

90

Grafik pergerakan volume container yang masuk ke dan keluar dari pelabuhan

Indonesia dapat dilihat dalam grafik di bawah ini:

Grafik 6.2

Indonesia Import Development (Container)

Grafik 6.3

Indonesia Export Development (Container)

91

6.3.2. Implikasi Pemberian Fasilitas PPN

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, pemberian fasilitas PPN

merupakan suatu hal yang krusial karena dapat mendorong penciptaan level

playing field yang adil agar tercipta kompetisi yang sehat, juga untuk

mendorong daya saing nasional. Dengan demikian penekanan bukan semata-

mata pada masalah tarif PPN yang hanya 10% atau jasa kepelabuhanan yang

merupakan bagian dari jasa transportasi secara keseluruhan. Dalam konteks

inilah menjadi strategis untuk memberikan fasilitas PPN atas jasa

kepelabuhanan. Deskripsi implikasi kebijakan fasilitas PPN dapat digambarkan

sebagai berikut:

92

Gambar 6.7

Implikasi Kebijakan Fasiltas PPN Atas Jasa Kepelabuhanan

Laba_Usaha_Exportir

Kebijakan_VAT_Exemption

Biaya_Jasa_Kepelabuhanan

?

Corporate_Income_Tax

Corporate_Income_Tax_Rate

Harga_Pokok_Penjualanmargin

Harga_Jual

Freight

Tarif_Jasa_Kepelabuhanan

contrainer_in

Demand_Transportation_1

Perusahaan_Trasportasi_Trucking

Biaya_Trans_Trucking

Demand_Transportation

Penerimaan_Bruto

Net_Profit

Constant_5

Demand_Driver

Total_Cost

Other_Cost

Salary

other_income_withholding_taxEmployment_Income_Tax Lapangan_Kerja

Direct_Labor Direct_MaterialFactory_Overhead

Eksport

Perusahaan_Penyedia_Jasa_Kepelabuhanan

container_out

Production_Goods

VAT

Perubahan_Harga_Jual

shipping_demand

Pembeli_di_LN

Harga_Kompetetif

Demand_Goods

Penjual_di_LN

import

93

BAB 7

SIMPULAN

1. Sejak menganut sistem PPN, pemerintah Indonesia telah memberikan

fasilitas PPN atas jasa kepelabuhanan berupa PPN dibebaskan dan atau

PPN Ditanggung Pemerintah. Perubahan kebijakan PPN terjadi dalam rejim

PPN Tahun 2000 di mana obyek jasa kepelabuhanan yang mendapat

fasilitas Pembebasan PPN hanya terbatas pada jasa tunda, jasa pandu,

jasa tambat, dan jasa labuh. Pembatasan obyek yang mendapat fasilitas

PPN ini tidak sesuai dengan nature of business dari jasa kepalabuhanan

yang sesungguhnya karena jenis-jenis jasa kepelabuhanan lebih luas dari

keempat jenis jasa tersebut di atas. Kebijakan pembebasan PPN yang

bersifat parsial ini justru menyebabkan cost administration yang tinggi

sebagai konsekuensi administrasi pemajakan yang berbeda atas dua

perlakuan yang berbeda.

2. Pemberian fasilitas PPN atas jasa kepelabuhanan merupakan internasional

best practice karena Negara mempunya kepentingan yang strategis atas

jasa kepelabuhanan sebagai bagian dari faktor penentu kelancaran arus lalu

lintas barang, sehingga aktivitas ekonomi global dapat berlangsung dengan

baik. Adanya perlakuan khusus atas jasa kepelabuhan yang dilakukan bagi

kapal-kapal berbendera Korea (resident Korea) juga menyebabkan unequal

treatment dan distorstif terhadap asas netralitas yang seharusnya dijunjung

tinggi dalam mendisain sistem PPN, sehingga tidak menciptakan level

playing field yang sama bagi sesama pelaku usaha. Akibatnya kurang

kondusif terhadap kompetisi yang sehat dan justru mengingkari upaya

pencapaian RPJMN 2010-2014 dalam upaya meningkatkan daya saing

nasional.Penyerahan jasa kepelabuhanan untuk angkutan laut dalam jalur

pelayaran internasional seharusnya juga dilihat sebagai bagian dari

rangkaian jalur internasional sehingga perlakuan PPN hendaknya mengikuti

kelaziman internasional dan tidak semata mempertimbangkan place of

supply.

94

3. Berdasarkan Pasal 16B UU PPN, pilihan skenario kebijakan dibatasi hanya

2 (dua) alternatif yaitu pajak terutang dibebaskan dan pajak terutang tidak

dipungut. Masing-masing alternatif kebijakan ini mempunyai implikasi yang

berbeda karena keterkaitannya dengan ketentuan perpajakan lainnya,

terutama UU KUP. Dari kedua alternatif tersebut, alternatif yang paling

feasible untuk diajukan dalam jangka pendek adalah fasilitas pajak terutang

dibebaskan atau fasilitas Pembebasan PPN, dengan beberapa alasan

sebagai berikut:

d) Secara historis, fasilitas PPN yang pernah diberikan atas jasa

kepelabuhanan adalah exemption/pembebasan (baik object exemption

maupun VAT exemption) dan PPN Ditanggung oleh Pemerintah,

sehingga kebijakan ini bukan sesuatu yang sama sekali baru karena

pemerintah sudah mempunyai pengalaman dalam

pengimplementasiannya.

e) Pemberian fasilitas pembebasan PPN justru akan menciptakan level

playing field yang sama tanpa membedakan bendera Negara dari kapal

yang menggunakan jasa kepelabuhanan, karena kebijakan PPN yang

berlaku saat ini yang diberikan pada kapal resident Korea adalah

pembebasan PPN. Jika yang diberikan adalah fasilitas Pajak Terutang

Tidak Dipungut, maka justru akan menimbulkan bentuk persoalan baru.

f) Analisa konsepsi cost of taxation, secara aggregate kebijakan pajak

terutang dibebaskan dan pajak terutang tidak dipungut mempunyai

selisih beban pajak yang tidak terlalu signifikan sebagai implikasi dari

kebijakan pemeriksaan dan kebijakan restitusi yang berlaku saat ini.

4. Analisis system thinking menunjukkan bahwa kebijakan fasilitas PPN atas

jasa kepelabuhanan mempunyai magnitude terhadap aktivitas ekonomi

global bangsa Indonesia. Sesuai dengan konsepsi supply side tax policy,

kebijakan fasilitas PPN dapat mengurangi cost of taxation baik bagi

konsumen/pengguna jasa, maupun bagi penyedia jasa. Hal ini akan

mendorong meningkatkan produktivitas masyarakat. Dari sisi pemerintah,

potential tax loss yang akan terjadi akibat pemberian fasilitas PPN atas jasa

kepelabuhan akan dapat di-recapture dalam penerimaan pajak-pajak

lainnya. Kebijakan ini justru dapat menjadi leverage untuk mendorong

95

kebijakan pembangunan yang pro job dan pro growth. Pemberian fasilitas

PPN atas jasa kepelabuhan justru akan mengukuhkan posisi pemerintah

sebagai Regulator, serta bukti nyata implementasi fungsi-fungsi pemerintah.

Lebih jauh, selain menunjukkan pemerintah yang menunjukan perhatian

terhadap kelaziman internasional, pemberian fasilitas PPN atas seluruh jasa

kepelabuhanan untuk angkutan laut dalam jalur pelayaran internasional

justru akan membuktikan bahwa pemerintah tidak diskrimatif, namun

pemerintah telah bertindak sebagai wasit yang adil dalam menciptakan level

playing field yang fair sehingga tercipta persaingan usaha yang sehat dan

kompetitif.

96

REFERENSIBuku

Bird, Richard M dan Eric M.Zolt, Introduction to Tax Policy Design and Development, Washington: Word Bank, 2003.

Brotodihardjo, R Santoso Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung:Eresco, 1993.

Clifford, Lynch Shifting Patterns and Growth of Global Trade Implication for Transportation System, Lynch and Associated: Pensylvania

Gronross Christian Service Management and Marketing: Managing the Momoent of Truthin Service Competition, Singapore, Lexington Books, 1990, hal.28.

Easson, Alex, Tax Incentives For Foreign Direct Investmen, Netherlands, Kluwer Law International, 2004.

Ebrill, Liam, dkk, The Modern VAT., Washington, D.C.:IMF, 2001.

Gordon, Richard K, and Victor Thuronyi, Chapter 1, Tax Legislative Process, dalam Victor Thuronyi, Tax Law Design and Drafting, volume 1, ed., New York: International Monetary Fund, 1996.

Gronross, Christian, Service Management and Marketing: Managing the Momoent of Truthin Service Competition, Singapore, Lexington Books, 1990.

Gunadi, Ketentuan Dasar Pajak Penghasilan, Jakarta:Penerbit Salemba Empat, 2002.

Jean, Paul Redique Transportation and Globalization, Departement of Economics and Geography, Hofstra University Hempstead, New York: Hofstra University Press

Karayan, Johne dan Charles W. Swenson, Strategic Business Tax Planning, Second Edition, New Jersey, John Wiley & Sons, Inc, 2007.

Kirk, Jorome dan Marc L. Miller, Realibility and Validity in Qualitative Reseach, Qualitative Reseach Methods, Volume 1, London: Sage Publication, 1986.

Lun Y.H.V, Lai K.H. dan Chen T., Shipping and Logistics Management, Spinger, 2010

97

Lynch Clifford, Shifting Patterns and Growth of Global Trade Implication for Transportation System, Lynch and Associated: Pensylvania, 2004

Mangkoesoebroto, Guritno, Ekonomi Publik, edisi ketiga, Yogyakarta, BPFE, 1993.

Mansury, R, Kebijakan Fiskal, Jakarta: Yayasan Pengembangan dan Penyebaran Pengetahuan (YP4), 1999.

Moleong, Lexy J. MA., Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi revisi, Bandung: Penerbit PT Remaja Rosda, 2008.

Musgrave, Richard A dan Peggy B Musgrave, Public Finance in Theory and Practice, terjemahan, Jakarta: Penerbit Erlangga, 1993.

Newman, Herbert E, An Introduction to Public Finance, New York: John Wiley and Sons, Inc., 1968.

Paul Redique Jean, Transportation and Globalization, Departement of Economics and Geography, Hofstra University Hempstead, New York: Hofstra University Press

Quinn Patton, Michael Qualitative Research and Evaluation Methods, 3rd Edition, London: Sage Publications, 2002.

Rahayu, Ani Sri, Pengantar Kebijakan Fiskal, Jakarta: Bumi Aksara, 2010.

Rosdiana, Haula, Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan Implementasi di Indonesia, Jakarta: 2011.

Rosdiana, Haula, Evaluasi 25 Tahun Implementasi PPN di Indonesia, 2011

Steinmo, Sven Tax Policy, USA, Edward Elgar Publishing, Inc., 1998.

Taylor, Steven J. dan Robert Bogdan, Introduction to Qualitative Reseach Methods : The Search fo Meanings, Second Edition, Singapore: John Wiley & Sons.

Terra, Ben, Sales Taxation: The Case of Value Added Tax in The European Community, Denventer-Boston, Kluwer Law and Taxation Publishers, 1988.

Tocquer, Gerard A and Chan Cudennec, Service Asia: How the Tigers can keep their Stripes, Singapore: Prentice Hall, 1998.

United Nation, Sales Tax Adminsitration : Major Structural and Practical Issues with Special Reference to the Needs of Developing Countries, New York : United Nation, Department of Economic and Social Affair, 1976

98

Artikel

Haralambides H.E. Liner Shipping Economics, Centre for Maritime Economics and Logistic (MEL), Erasmus University Rotterdam, Netherlands

Indriyanto, Peran Pelabuhan dalam Menciptakan Peluang Usaha, Kajian Historis Ekonomi, Universitas Diponegoro, Semarang Jawa Tengah

Lain-lain:

Biro Riset Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Trend Perkembangan Pengelolaan Pelabuhan Dunia dan Implikasinya bagi BUMN Pelabuhan di Indonesia.

Consumption Tax Guidance Series, OECD, http://www.oecd.org/document

Data Sosial Ekonomi Indonesia, Buletin Statistik Indonesia Edisi 9 tahun 2010: Biro Pusat Statistik

Litbang Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Kementerian Perdagangan RI

Laporan Tahunan, Data Statistik Ekonomi Indonesia 2010 : Biro Pusat Statistik

http://muislife.com/hubungan-timbal-balik-antara-perdagangan-dengan-perkapalan-dan-pelayaran.html, diunduh 22 Agustus 2011

----------, 2004, Trade and Transportation Facilities: Building a Secure and Efficient Environtment for Trade, Sao Paulo: United Nation Press

Biro Riset Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas, Trend Perkembangan Pengelolaan Pelabuhan Dunia dan Implikasinya bagi BUMN Pelabuhan di Indonesia

www.worldbank.org/id

www.tps.co.id

99

LAMPIRAN

PROFIL TIM PENELITI

Dra. Titi Muswati Putranti, M.Si (Ketua)

Dr. Haula Rosdiana, M.Si (Tenaga Ahli)

Maria Tambunan S.IA

100

Dra. Titi Muswati Putranti, M.Si

Pekerjaan:• Ketua Pusat Kajian Ilmu Administrasi FISIP UI (2009 – sekarang)• Dosen Tetap Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI (1993 – sekarang)

Pendidikan:• S1 Ilmu Administrasi Program Studi Administrasi Fiskal FISIP UI• S2 Program Pascasarjana bidang Ilmu Administrasi Kekhususan

Administrasi dan Kebijakan Perpajakan FISIP UI• Kandidat Program Doktor Pascasarjana Departemen Ilmu Administrasi

FISIP UI• Summercourse International Taxation IBFD, Belanda

Pengalaman Pekerjaan:• KPMG Tax Consultant (1987 – 1993)• Tax and Office Manager – PT Peddle Thorp Indonesia (1993 – 1997)• Tax and General Affair Manager - PT SAR Investment ( 1997 – 2000)• PricewaterhouseCoopers Tax Consultant (2001 – 2009)• Pelatih untuk indoor dan outdoor (outbound) training pada Sinergis (

2002 – sekarang)• Pembicara pada seminar dan workshop

Dr. Haula Rosdiana, M.Si

Pekerjaan: Dosen dan Peneliti Departemen Ilmu Administrasi UI

Pendidikan:• S1 Ilmu Administrasi Program Studi Administrasi Fiskal FISIP UI, • S2 Program Pascasarjana bidang Ilmu Administrasi Kekhususan

Administrasi dan Kebijakan Perpajakan FISIP UI, • -S3 Program Doktor Ilmu Administrasi FISIP UI, Judul Disertasi “Menuju

Disain Pro Corporate Cashflow Tax untuk Mendorong Pertumbuhan Industri Telekomunikasi”.

Pengalaman Pekerjaan:• Ketua Program Studi Administrasi Perpajakan Program D3/Vokasi UI

(2005-2010)• Staf Ahli DPR untuk amandemen UU Ketentuan Umum dan Tata cara

Perpajakan serta Pajak Penghasilan• Observer pada SGATAR (Study Group on Asian Tax Research and

Administration)• Observer pada Committee of Experts on International Cooperation in Tax

Matters – United Nations (Fifth Session)• Observer pada Committee of Experts on International Cooperation in Tax

Matters – United Nations (Fourth Session)• Tax Director KAP Rasin Ichwan (Alliot International) 1998-2002• Tax Advisor Bosowa Group (2007-2008)

101

Maria Tambunan S.IA

Pekerjaan:-Asisten Dosen Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI-Tax Consultant Ernst and Young Indonesia (2010-sekarang)

Pendidikan:• S1 Ilmu Administrasi Program Studi Administrasi Fiskal FISIP UI

Pengalaman Pekerjaan:Tax Consultant Ernst and Young Indonesia (2010-sekarang)

102

PROFILE

PUSAT KAJIAN ILMU

ADMINISTRASI FISIP UI

103

Pusat Kajian Ilmu Administrasi (Center for Administrative Studies) atau Puska merupakan sebuah lembaga di lingkungan Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI). Lembaga ini melakukan kegiatan penelitian, pelatihan, seminar, pengembangan ilmu dan pengabdian masyarakat di bidang disiplin ilmu administrasi. Puska menekankan pada analisis dan pengembangan kebijakan di bidang administrasi, baik dalam bidang administrasi publik, bisnis maupun perpajakan.

Puska membangun kemitraan dan kerjasama timbal balik dengan stakeholders yang mencakup badan-badan perencanaan di tingkat lokal, regional, dan nasional serta lembaga-lembaga sektoral maupun dengan berbagai organisasi kemasyarakatan (civil society organization). Upaya-upaya serupa juga dilakukan dengan perusahaan-perusahaan swasta serta badan-badan pembangunan multilateral dan internasional.

Kegiatan-kegiatan Puska meliputi:- kelompok kajian (research cluster), - penelitian, - pengolahan, pengembangan dan penyimpanan data, - pelatihan termasuk seminar, diskusi, lokakarya (workshop), in-house

training, sosialisasi,- publikasi journal bisnis dan birokrasi termasuk buku dan publikasi

lainnya,- perpustakaan, dan - pengabdian pada masyarakat (community services).

Kajian juga melibatkan peran serta akademisi atau para peneliti dari disiplin-disiplin lainnya dalam ilmu-ilmu sosial serta mengikutsertakan para praktisi yang terkait.Hasil kajian yang dilakukan berupa pengembangan keilmuan yang lebih berorientasi pada kebijakan, menyediakan masukan-masukan penting bagi para pengambil keputusan untuk dapat dimanfaatkan pihak-pihak terkait, baik pada sektor publik maupun sektor swasta.

Visi

Menjadi Center Of Excellence dalam penelitian, pelatihan di bidang pemerintahan, bisnis, dan perpajakan yang terkemuka di Asia.

104

Misi

- Menghasilkan kajian-kajian bermutu dalam bidang pemerintahan pusat dan daerah yang dapat dipergunakan oleh berbagai pihak untuk memajukan penyelenggaraan pemerintahan menuju good governance.

- Menghasilkan kajian-kajian bermutu dalam bidang bisnis untuk mencapai efisiensi dan efektivitas yang optimal melalui business process reengineering, excellent service management, buyer market oriented dan orientasi operasional konsep dari konsumen untuk konsumen.

- Menghasilkan kajian-kajian bermutu dalam bidang perpajakan dengan berorientasi pada upaya peningkatan penerimaan negara dan kesadaran wajib pajak dengan tetap menegakkan prinsip keadilan dan kepastian hukum.

- Menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dan memiliki kompetensi dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan, bisnis dan perpajakan yang dibutuhkan oleh masyarakat.

- Membuat jaringan kerjasama dengan berbagai lembaga dan atau organisasi yang kompeten baik secara nasional maupun internasional.

Dalam pelaksanaan kegiatan tersebut, Pusat Kajian Ilmu Administrasi didukung oleh sumber daya manusia yang kompeten dalam bidangnya masing-masing yang berasal dari staf pengajar tetap dan tidak tetap di lingkungan Departemen Ilmu Administrasi; Program Pascasarjana; Program Sarjana Reguler; Program Sarjana Ekstensi. Pelaksanaan kegiatan Pusat Kajian Ilmu Administrasi didukung pula oleh jaringan kerjasamadengan instansi-instansi pemerintah maupun swasta.

Research Cluster & Kompetensi

Cluster- Local & Regional Studies (Pemerintahan Daerah, Administrasi Lingkungan, Pembangunan Regional, Keuangan Daerah, Manajemen Perkotaan)

Cluster – Public Policy & Administrative Reform (Reformasi Administrasi Publik, Keuangan Negara, Pelayanan Publik, Public- Private Partnership, Kebijakan Publik, Pengembangan Organisasi)

Cluster – Human Resources in Public Sector (Hubungan Industrial, Pengembangan SDM, Kepegawaian Negara)

105

Cluster – Marketing (Pemasaran Internasional, Pemasaran Jasa, Riset Pemasaran, Komunikasi Pemasaran, Branding, Pemasaran Strategis, Manajemen Distribusi, Komunikasi Pemasaran, Manajemen Operasi & Produksi)

Cluster – Finance (Keuangan Internasional, Manajemen Keuangan, Manajemen Investasi, Asuransi)

Cluster – Human Resources in Privat Sector (Entrepreneurship, Pengembangan SDM)

Cluster – Tax Policy and Administration (Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Cukai, Kepabeanan, Pajak Internasional, Transfer Pricing, Pajak & Retribusi Daerah, Audit Perpajakan, Penyelesaian Sengketa Pajak)

Tenaga Ahli1. Dr. Roy V. Salomo, M.Soc.Sc. (Ahli Keuangan Negara & Daerah,

Ketua Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI)2. Prof. Dr.rer.publ. Eko Prasojo, Mag.rer.publ. (Ahli Pemerintahan

Daerah, Anggota DPOD Depdagri RI, Advisor GTZ-SfGG pada Kantor Menneg PAN, Ketua Program Pascasarjana Ilmu Administrasi FISIP UI)

3. Prof. Dr. Irfan Ridwan Maksum, M.Si. (Ahli Administrasi Pembangunan, Ketua Program Sarjana Ilmu Administrasi FISIP UI)

4. Prof. Dr. Bhenyamin Hoessein, SH (Ahli Pemerintahan Daerah)5. Prof. Azhar Kasim, MPA, Ph.D (Ahli Organisasi & Kebijakan

Publik)6. Prof. Martani Huseini, MBA, Ph.D (Ahli Manajemen Strategis &

Pemasaran Internasional)7. Prof. Dr. Ferdinand D. Saragih, MA (Ahli Manajemen Aset dan

Investasi)8. Prof. Safri Nugraha, SH, LLM, Ph.D (Ahli Hukum Administrasi

Negara)9. Prof. Dr. Gunadi, Ak, M.Sc. (Ahli Perpajakan Internasional)10. Dr. Chandra Wijaya, M.Si. (Ahli Manajemen Keuangan)11. Dr. Amy Y. S. Rahayu, M.Si. (Ahli Pelayanan Publik)12. Lisman Manurung, M.Si, Ph.D (Ahli Public-Private Partnership)13. Dr. Effy Zalfiana Rusfian, M.Si (Ahli Komunikasi Pemasaran)14. Dr. Haula Rosdiana, M.Si.(Ahli Perpajakan)15. Dr. Ning Rahayu, M.Si.(Ahli Perpajakan)16. Dr. Tafsir Nurhamid, M.Si.(Membidangi Akuntansi Perpajakan)17. Ir. B. Yuliarto Nugroho, MSM. Ph.D (Ahli Manajemen Keuangan)

106

Pelaksana

Ketua : Dra. Titi Muswati Putranti, M.Si Mobile: 0816 774055 [email protected]

Editor Journal : Dra. Rachma Fitriati, M.Si Mobile: 0812 9699323 [email protected][email protected]

KantorGedung Prof. Dr. Prajudi Atmosudirdjo (Gedung M), Lantai 2, FISIP UIKampus UI Depok 16424 – IndonesiaTelp.: +62 21 78849087 / Fax.: +62 21 78849078Website: www.admsci.ui.ac.id.