Kebijakan PPN atas Penyerahan Jasa Kepelabuhanan untuk Angkutan Laut Jalur Internasional
Transcript of Kebijakan PPN atas Penyerahan Jasa Kepelabuhanan untuk Angkutan Laut Jalur Internasional
LAPORAN KAJIAN AKADEMIK
KEBIJAKAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PENYERAHAN JASA KEPELABUHANAN
UNTUK ANGKUTAN LAUT DALAM JALUR PELAYARAN INTERNASIONAL
PUSAT KAJIAN ILMU ADMINISTRASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS INDONESIA
Depok, September 2011
i
KATA PENGANTAR
Kebijakan pajak termasuk kebijakan pemberian fasilitas pajak
diharapkan dapat menjadi leverage untuk mendorong kebijakan pembangunan
yang pro job dan pro growth. Ini pula yang akan mengukuhkan posisi
pemerintah sebagai Regulator, serta bukti nyata implementasi fungsi-fungsi
pemerintah, menciptakan level playing field yang fair sehingga tercipta
persaingan usaha yang sehat dan kompetitif.
Kebijakan pajak yang ideal, seyogyanya perlu memerhatikan dasar
berpijak penentuan sasaran-sasaran reformasi agar tercapai sistem pajak yang
baik. Oleh sebab itu prinsip peningkatan penerimaan (revenue productivity),
keadilan (equity/equality) dan kesederhanaan administrasi (ease of
administration) harus dipegang teguh dan dijaga keseimbangannya. Dengan
demikian peraturan perpajakan juga diharapkan dapat mencerminkan kepastian
dan netralitas, sehingga tercapai efisiensi dan efektifitas dalam biaya
administrasi (administration cost) dan biaya pemenuhan kewajiban pajak
(compliance cost) baik dari sisi Direktorat Jenderal Pajak maupun dari sisi
Wajib Pajak.
Dalam mendesain kebijakan pajak, tentunya diperlukan kajian yang
mendalam berdasarkan kerangka teori yang tepat dan relevan serta
internasional best practice. Oleh karena itu Kajian Akademik diperlukan untuk
mendukung kebijakan pajak yang baik.
Jakarta, September 2011
Tim Kajian
Pusat Kajian Ilmu Administrasi FISIP UI
ii
RINGKASAN EKSEKUTIF
Indonesia diharapkan dapat terus meningkatkan kinerja perdagangan
internasional agar dapat mengisi peluang perdagangan internasional dan
memberikan dampak positif dalam meningkatkan produksi nasional. Dalam hal
ekspor, efektvitas ekspor ditentukan oleh kapasitas produksi dan kemampuan
Negara untuk membawa barang-barang yang akan diperdagangkan ke pasaran
internasional dengan biaya yang relatif rendah sesuai dengan kondisi yang
diharapkan oleh importir dan konsumen. Oleh karena itu, kemajuan ekspor juga
didukung oleh kemampuan kualitas dan biaya transportasi. Pada umumnya
biaya transportasi untuk kegiatan ekspor yang dilakukan oleh negara
berkembang dapat mencapai rata-rata 2/3 dari biaya masuk yang dikenakan
oleh negara yang dituju.
Hingga saat ini 90%, perdagangan internasional dilakukan dengan jalur
laut. Dengan demikian jasa transportasi kelautan merupakan jasa transportasi
yang menjadi tumpuan utama dalam lalu lintas perdagangan internasional.
Bahkan melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2005, Presiden
telah memberikan instruksikan kepada 13 (tiga belas) Menteri dan para
Gubernur/Bupati/Walikota di seluruh Indonesia untuk mengoptimalkan
pelaksanaan kebijakan pemberdayaan industri pelayaran nasional. Inpres
tersebut juga menekankan pemberian fasilitas perpajakan kepada industri
pelayaran nasional dan industri perkapalan.
Angkutan laut berupa kapal-kapal dalam jalur pelayaran internasional
sangat berperan dalam meningkatkan perdagangan internasional Indonesia.
Termasuk yang tak kalah pentingnya adalah jasa kepelabuhanan yang menjadi
kegiatan yang tidak terpisahkan dalam kegiatan perdagangan internasional.
Pemberian fasilitas perpajakan termasuk juga pemberian fasilitas di
bidang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan suatu hal yang krusial
karena dapat mendorong penciptaan level playing field yang adil agar tercipta
kompetisi yang sehat, juga untuk mendorong daya saing nasional. Sudah
menjadi kelaziman di dunia Internasional bahwa jasa kepelabuhanan bagi
pelayaran Internasional dikecualikan dari pengenai Pajak Pertambahan Nilai
iii
(PPN). Termasuk juga upaya penerapan azas timbal balik terhadap perusahan
pelayaran Indonesia oleh negara yang mempunyai perjanjian bilateral.
Sejak menganut sistem PPN, pemerintah Indonesia telah memberikan
fasilitas PPN atas jasa kepelabuhanan berupa PPN dibebaskan dan atau PPN
Ditanggung Pemerintah. Perubahan kebijakan PPN terjadi dalam rejim PPN
Tahun 2000 di mana obyek jasa kepelabuhanan yang mendapat fasilitas
Pembebasan PPN hanya terbatas pada jasa tunda, jasa pandu, jasa tambat,
dan jasa labuh. Pembatasan obyek yang mendapat fasilitas PPN ini tidak
sesuai dengan nature of business dari jasa kepalabuhanan yang sesungguhnya
karena jenis-jenis jasa kepelabuhanan lebih luas dari keempat jenis jasa
tersebut di atas. Kebijakan pembebasan PPN yang bersifat parsial ini justru
menyebabkan cost administration yang tinggi sebagai konsekuensi administrasi
pemajakan yang berbeda atas dua perlakuan yang berbeda.
Pemberian fasilitas PPN atas jasa kepelabuhanan merupakan
internasional best practice karena Negara mempunya kepentingan yang
strategis atas jasa kepelabuhanan sebagai bagian dari faktor penentu
kelancaran arus lalu lintas barang, sehingga aktivitas ekonomi global dapat
berlangsung dengan baik. Adanya perlakuan khusus atas jasa kepelabuhan
yang dilakukan bagi kapal-kapal berbendera Korea (resident Korea) juga
menyebabkan unequal treatment dan distorstif terhadap asas netralitas yang
seharusnya dijunjung tinggi dalam mendisain sistem PPN, sehingga tidak
menciptakan level playing field yang sama bagi sesama pelaku usaha.
Akibatnya kurang kondusif terhadap kompetisi yang sehat dan justru
mengingkari upaya pencapaian RPJMN 2010-2014 dalam upaya meningkatkan
daya saing nasional.Penyerahan jasa kepelabuhanan untuk angkutan laut
dalam jalur pelayaran internasional seharusnya juga dilihat sebagai bagian dari
rangkaian jalur internasional sehingga perlakuan PPN hendaknya mengikuti
kelaziman internasional dan tidak semata mempertimbangkan place of supply.
Berdasarkan Pasal 16B UU PPN, pilihan skenario kebijakan dibatasi
hanya 2 (dua) alternatif yaitu pajak terutang dibebaskan dan pajak terutang
tidak dipungut. Masing-masing alternatif kebijakan ini mempunyai implikasi
yang berbeda karena keterkaitannya dengan ketentuan perpajakan lainnya,
iv
terutama UU KUP. Dari kedua alternatif tersebut, alternatif yang paling feasible
untuk diajukan dalam jangka pendek adalah fasilitas pajak terutang dibebaskan
atau fasilitas Pembebasan PPN, dengan beberapa alasan sebagai berikut:
a) Secara historis, fasilitas PPN yang pernah diberikan atas jasa
kepelabuhanan adalah exemption/pembebasan (baik object exemption
maupun VAT exemption) dan PPN Ditanggung oleh Pemerintah,
sehingga kebijakan ini bukan sesuatu yang sama sekali baru karena
pemerintah sudah mempunyai pengalaman dalam
pengimplementasiannya.
b) Pemberian fasilitas pembebasan PPN justru akan menciptakan level
playing field yang sama tanpa membedakan bendera Negara dari kapal
yang menggunakan jasa kepelabuhanan, karena kebijakan PPN yang
berlaku saat ini yang diberikan pada kapal resident Korea adalah
pembebasan PPN. Jika yang diberikan adalah fasilitas Pajak Terutang
Tidak Dipungut, maka justru akan menimbulkan bentuk persoalan baru.
c) Analisa konsepsi cost of taxation, secara aggregate kebijakan pajak
terutang dibebaskan dan pajak terutang tidak dipungut mempunyai
selisih beban pajak yang tidak terlalu signifikan sebagai implikasi dari
kebijakan pemeriksaan dan kebijakan restitusi yang berlaku saat ini.
Analisis system thinking menunjukkan bahwa kebijakan fasilitas PPN
atas jasa kepelabuhanan mempunyai magnitude terhadap aktivitas ekonomi
global bangsa Indonesia. Sesuai dengan konsepsi supply side tax policy,
kebijakan fasilitas PPN dapat mengurangi cost of taxation baik bagi
konsumen/pengguna jasa, maupun bagi penyedia jasa. Hal ini akan mendorong
meningkatkan produktivitas masyarakat. Dari sisi pemerintah, potential tax loss
yang akan terjadi akibat pemberian fasilitas PPN atas jasa kepelabuhan akan
dapat di-recapture dalam penerimaan pajak-pajak lainnya. Kebijakan ini justru
dapat menjadi leverage untuk mendorong kebijakan pembangunan yang pro job
dan pro growth. Pemberian fasilitas PPN atas jasa kepelabuhan justru akan
mengukuhkan posisi pemerintah sebagai Regulator, serta bukti nyata
implementasi fungsi-fungsi pemerintah. Lebih jauh, selain menunjukkan
v
pemerintah yang menunjukan perhatian terhadap kelaziman internasional,
pemberian fasilitas PPN atas seluruh jasa kepelabuhanan untuk angkutan laut
dalam jalur pelayaran internasional justru akan membuktikan bahwa pemerintah
tidak diskrimatif, namun pemerintah telah bertindak sebagai wasit yang adil
dalam menciptakan level playing field yang fair sehingga tercipta persaingan
usaha yang sehat dan kompetitif.
vi
DAFTAR ISIKATA PENGANTAR ............................................................................................i
RINGKASAN EKSEKUTIF .................................................................................. ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................vi
DAFTAR TABEL ................................................................................................ ix
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................xi
DAFTAR GRAFIK ............................................................................................. xii
BAB 1................................................................................................................. 1
Peran Jasa Kepelabuhanan Dalam Lalu Lintas Barang Untuk Mendukung
Kelancaran Perdagangan Internasional ............................................................. 1
1.1. Kegiatan Ekonomi Indonesia dalam Sistem Ekonomi Global ....................... 1
1.2. Arti Penting Jasa Kepelabuhanan dalam Aktivitas Ekonomi Global .............. 8
1.3 Identifikasi Masalah ................................................................................. 10
1.4. Tujuan dan Kegunaan Kajian ................................................................ 16
BAB 2............................................................................................................... 18
KERANGKA TEORI ......................................................................................... 18
2.1 Peran Pemerintah dan Kebijakan Fiskal ................................................ 18
2.2 Konsep Pajak Pertambahan Nilai .......................................................... 20
2.2.1 Legal Character dari Pajak Pertambahan Nilai............................. 21
2.2.2 Pengertian Value Added Tax........................................................ 24
2.2.3 Metode Penghitungan Pajak Pertambahan Nilai .......................... 26
2.2.4 Yurisdiksi Pemajakan dalam Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai
27
2.2.5 Penentuan Pengenaan PPN atas Jasa Kena Pajak ..................... 28
2.3 Insentif Pajak ....................................................................................... 29
BAB 3............................................................................................................... 35
METODE PENELITIAN.................................................................................... 35
3.1 Teknik Pengumpulan Data ................................................................... 36
3.1.1 Studi Dokumentasi : Pengumpulan dan Analisis Data Sekunder . 36
3.1.2 Melakukan Observasi dan Focused Group Discussion ................ 37
3.2 Melakukan Analisa Data ..................................................................... 38
3.3 Penulisan Laporan dan Presentasi ..................................................... 38
vii
BAB 4............................................................................................................... 40
GAMBARAN UMUM JASA KEPELABUHAN ................................................... 40
BAB 5............................................................................................................... 46
PERKEMBANGAN KEBIJAKAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS JASA
KEPELABUHANAN DI INDONESIA ................................................................ 46
5.1. Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa............................................ 46
5.1.1. Pengertian Jasa .............................................................................. 46
5.1.2. Pengertian Jasa Kena Pajak........................................................... 47
5.1.3 Pengertian Jasa Tidak Kena Pajak .................................................. 48
5.2 Pemetaan Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Kepelabuhanan di
Indonesia ...................................................................................................... 53
5.2.1. Perlakuan PPN atas jasa kepelabuhanan dalam kurun waktu 1983-
1994 (Rezim UU No. 8 Tahun 1983)......................................................... 53
5.2.2. Perlakuan PPN atas jasa kepelabuhanan dalam kurun waktu 1994-
2000 (Rezim UU No. 11 Tahun 1994)....................................................... 59
5.2.3. Perlakuan PPN atas jasa kepelabuhanan dalam kurun waktu 2000-
2009 (Rezim UU No. 18 Tahun 2000)....................................................... 63
BAB 6............................................................................................................... 70
skenario kebijakan pajak pertambahan nilai atas JASA KEPELABUHANAN : 70
urgensi dan implikasi pemberian tax incentives ............................................... 70
6.1 Urgensi Pemberian Fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa
Kepelabuhanan.............................................................................................. 70
6.1.1 Pemberikan Fasilitas PPN atas Jasa Kepelabuhanan Ditinjau dari
International Best Practice ........................................................................ 70
6.1.2 Perlakuan Khusus Jasa Kepelabuhanan...................................... 74
6.1.3 Beberapa Skenario Kebijakan PPN atas Jasa Kepelabuhanan dan
Implikasinya (Sesuai dengan Konsep/Teori PPN) .................................... 78
6.2. Implikasi Pemberian Fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa
Kepelabuhananan dalam mendorong Perdagangan Internasional Indonesia
..................................................................................................................... 81
6.2.1 Implikasi Fasilitas Pajak Terutang Tidak Dipungut atas Jasa
Kepelabuhanan......................................................................................... 82
viii
6.2.2. Implikasi Fasilitas Pajak Terutang Dibebaskan atas Jasa
Kepelabuhanan......................................................................................... 87
6.3. Urgensi dan Implikasi Pemberian Fasilitas PPN atas Jasa Kepelabuhanan . 88
6.3.1. Urgensi Pemberian Fasilitas PPN................................................... 88
6.3.2. Implikasi Pemberian Fasilitas PPN ................................................. 91
Bab 7................................................................................................................ 93
SIMPULAN....................................................................................................... 93
REFERENSI..................................................................................................... 96
LAMPIRAN....................................................................................................... 99
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Neraca Perdagangan Indonesia......................................................... 2
Tabel 1.2 Ekspor Utama dari Sektor Non Migas ................................................ 4
Tabel 1.3 Impor Utama Sektor Non Migas ......................................................... 5
Tabel 1.4 Nilai Impor Indonesia menurut Golongan Penggunaan Barang ......... 6
Tabel 1.5 Impor Non Migas Indonesia menurut Negara Asal Barang Utama..... 7
Tabel 2.1 Types of tax incentives employed .................................................... 33
Tabel 5.1 Pengertian Jasa menurut UU PPN................................................... 46
Tabel 5.2 Pengertian Jasa Tidak Kena Pajak menurut UU PPN ................. 48
Tabel 5.3 Peraturan PPN atas Jasa Kepelabuhanan....................................... 54
Tabel 5.4 Surat internal Direktorat Jenderal Pajak terkait dengan ................... 57
Tabel 5.5 Surat Direktur Jenderal Pajak terkait dengan PPN Jasa
Kepelabuhanan ................................................................................................ 60
Tabel 5.6 Kebijakan Fasilitas PPN Ditanggung Pemerintah ............................ 60
Tabel 5.7 Surat Direktur Jenderal Pajak terkait dengan................................... 62
Tabel 5.8 Fasilitas Pembebasan PPN atas Jasa Kepelabuhanan ................... 63
Tabel 5.9 PPN atas Jasa Pelayanan Peti Kemas ......................................... 64
Tabel 5.10 PPN atas Jasa Kepelabuhanan berdasarkan................................. 65
Tabel 5.11 PPN atas Kapal Jalur Internasional............................................ 66
Tabel 5.12 Bentuk Fasilitas PPN atas Jasa Kepelabuhanan ........................... 67
Tabel 6.1 Fasilitas PPN atas Jasa Kepelabuhanan di Beberapa Negara ........ 71
Tabel 6.2 Perbedaan Beban Pajak Antara Barang/Jasa yang Mendapat
Fasilitas Pembebasan PPN dan yang Tidak Mendapatkan Fasilitas PPN ....... 78
Tabel 6.3 Implikasi Skenario 1 : Beberapa Kelebihan dan Kekurangan Bagi
PKP.................................................................................................................. 85
Tabel 6.4 Implikasi Skenario 2 (Optimis): Beberapa Kelebihan dan Kekurangan
Bagi PKP.......................................................................................................... 85
Tabel 6.5 Implikasi Skenario 2 (Moderat) : Beberapa Kelebihan dan
Kekurangan Bagi PKP ..................................................................................... 86
Tabel 6.6 Implikasi Kebijakan PPN Dibebaskan atas Jasa Kepelabuhanan
Berdasarkan Skenario Optimis, Moderat dan Pesimis ..................................... 88
x
Tabel 6.7 Jumlah Pelabuhan di Indonesia ....................................................... 88
Tabel 6.8 Arus Volume Container di Pelabuhan Indonesia.............................. 89
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Komponen Biaya Pengangkutan.................................................... 9
Gambar 3.1 Diagram alir Metode Penelitian .................................................... 39
Gambar 4.1 Kegiatan Pengangkutan Peti Kemas............................................ 41
Gambar 4.2 Bagan Proses Bongkar Muat di Terminal..................................... 43
Gambar 6.1 Prosedur Bongkar Muat ............................................................... 74
Gambar 6.2 Prosedur Pembebanan dan Pengiriman ...................................... 75
Gambar 6.3 Implikasi Kebijakan VAT Exemption bagi Pengusaha Kena
Pajak................................................................................................................ 80
Gambar 6.4 Implikasi Kebijakan Zero Rate Bagi Pengusaha Kena Pajak . 81
Gambar 6.5 Skenario Kebijakan Pajak Terutang Tidak Dipungut .................... 86
Gambar 6.6 Skenario Kebijakan Pajak Terutang Dibebaskan ......................... 87
Gambar 6.7 Implikasi Kebijakan Fasiltas PPN Atas Jasa Kepelabuhanan ...... 92
xii
DAFTAR GRAFIK
Grafik 6.1 Jumlah Pelabuhan di Indonesia Tahun 2005-2009 ......................... 89
Grafik 6.2 Indonesia Import Development (Container) ..................................... 90
Grafik 6.3 Indonesia Export Development (Container) ..................................... 90
1
BAB 1
PERAN JASA KEPELABUHANAN DALAM LALU LINTAS BARANG UNTUK MENDUKUNG KELANCARAN
PERDAGANGAN INTERNASIONAL
1.1. Kegiatan Ekonomi Indonesia dalam Sistem Ekonomi Global
Sesungguhnya hakekat dari kegiatan ekonomi adalah transaksi antara
produsen dan konsumen. Produsen dalam pengertian yang luas adalah pihak
yang dapat menyediakan barang dan atau jasa yang dibutuhkan oleh
konsumen. Konsumen dalam arti yang luas adalah pihak yang membutuhkan
barang dan atau jasa guna pemenuhan kebutuhan kehidupan ekonominya.
Dalam prespektif ini selalu muncul pihak-pihak yang kuat dan yang lemah
sesuai dengan dinamika hubungan antar keduanya. Dalam rangka menjamin
transaksi ekonomi dapat berjalan secara wajar, maka diperlukan adanya pihak
yang dapat menengahi dan atau pihak yang dapat memfasilitasi
berlangsungnya aktivitas ekonomi masyarakat secara obyektif dan dapat
berlangsung secara berkesinambungan. Dalam konteks inilah, Negara menjadi
satu-satunya pihak yang dapat dan menjamin untuk menengahi penyelesaikan
konflik tersebut secara adil. Negara juga seharusnya menjadi satu-satunya
pihak yang mempunyai otoritas untuk untuk menentukan mana-mana saya
aktivitas ekonomi yang akan didorong atau sebaliknya.
Dinamika ekonomi politik yang semakin mengglobal, demarkasi batas-
batas wilayah sosial, ekonomis, politis yang semakin memudar, telah
meningkatkan inter-relasi dan inter-dependensi antara satu Negara dengan
Negara lainnya, khususnya terkait dengan perdagangan internasional. Dalam
tatanan perdagangan internasional, terdapat ketentuan-ketentuan dasar yang
digariskan dalam WTO, APEC dan AFTA yaitu “keterbukaan pasar”.
Ketentuan tersebut harus dilaksanakan dengan konsekuen agar negara
berkembang seperti Indonesia benar-benar mempunyai kesempatan untuk
memanfaatkan dampak-dampak positif. Keterbukaan perdagangan antara
2
negara ASEAN memberikan kesempatan kepada setiap negara untuk saling
mengisi peluang pasar yang ada sesuai kemampuan produksi masing-masing
negara. Sisi positif dari keterbukaan pasar tersebut dapat meningkatkan
produksi barang untuk dipasarkan ke negara yang membutuhan. Tentunya
Indonesia harus terus meningkatkan kinerja perdagangan internasional agar
dapat mengisi peluang perdagangan internasional dan memberikan dampak
positif dalam meningkatkan produksi nasional.
Laporan Bank Dunia menunjukan bahwa hingga kuartal kedua tahun
2010, Indonesia adalah satu dari tiga perekonomian dunia yang mampu
meningkatkan kinerja ekspor melampaui level sebelum krisis dunia. Trade
Watch Bank Dunia edisi 2010 memberikan informasi bahwa pada kuartal kedua
2010, perdagangan global semakin meningkat dibandingkan dengan kuartal
sebelumnya dengan peningkatan ekspor sebesar 4,2% sementara impor
meningkat sebesar 2,3%. Kinerja perdagangan hingga September 2010
menunjukkan pencapaian Surplus Neraca Perdagangan sebesar USD 13,5
miliar melampaui surplus pada periode yang sama tahun 2008 yaitu sebesar
USD 6 miliar. Surplus neraca perdagangan hingga bulan September 2010
mengalami peningkatan sebesar 14,2% dari surplus periode yang sama tahun
2009 dan meningkat 124,7% dari surplus tahun 2008 pada periode yang sama1.
Tabel 1.1Neraca Perdagangan Indonesia
NO URAIAN 2006 2007 2008 2009 2010TREND(%)
06-10Januari - Juni
2010Januari - Juni
2011*)
PERUBAHAN (%)11/10
I E K S P O R 100.798,6 114.100,9 137.020,4 116.510,0 157.779,1 9,60 72.521,2 98.644,1 36,02
- MIGAS 21.209,5 22.088,6 29.126,3 19.018,3 28.039,6 4,17 13.164,1 19.582,4 48,76
- NON MIGAS 79.589,1 92.012,3 107.894,2 97.491,7 129.739,5 10,91 59.357,1 79.061,6 33,20
II I M P O R **) 61.065,5 74.473,4 129.197,3 96.829,2 135.663,3 20,43 62.937,4 83.591,7 32,82
- MIGAS 18.962,9 21.932,8 30.552,9 18.980,7 27.412,7 6,10 13.123,5 19.239,8 46,61
- NON MIGAS 42.102,6 52.540,6 98.644,4 77.848,5 108.250,6 25,63 49.813,9 64.351,9 29,18
III TOTAL 161.864,1 188.574,3 266.217,7 213.339,3 293.442,4 14,03 135.458,6 182.235,8 34,53
- MIGAS 40.172,4 44.021,4 59.679,2 37.999,0 55.452,3 5,10 26.287,6 38.822,2 47,68
- NON MIGAS 121.691,7 144.552,9 206.538,6 175.340,2 237.990,1 16,59 109.170,9 143.413,5 31,37
IV NERACA 39.733,2 39.627,5 7.823,1 19.680,8 22.115,8 -17,07 9.583,8 15.052,3 57,06
- MIGAS 2.246,6 155,7 -1.426,6 37,6 626,9 0,00 40,6 342,6 742,86
- NON MIGAS 37.486,6 39.471,7 9.249,7 19.643,2 21.488,9 -16,56 9.543,2 14.709,7 54,14
Sumber: Kementerian Perdagangan RI
1 www.worldbank.org/id, diunduh pada 21 Agustus 2011.
3
Berdasarkan data diatas, kegiatan ekspor Indonesia lebih tinggi dari kegiatan
impornya. Selanjutnya, komoditi perdagangan sektor non migas lebih tinggi dari
sektor migas, sehingga arus barang ke luar negeri lebih tinggi dari arus barang
ke dalam negeri khususnya atas barang-barang sektor non migas.
Surplus perdagangan selama tahun 2010 yang berasal dari surplus
perdagangan sektor nonmigas mencapai USD 14 miliar, sementara
perdagangan sektor migas mengalami defisit USD 0,5 miliar. Penguatan ekspor
non migas periode Januari-September 2010 didorong oleh peningkatan ekspor
seluruh sektor, terutama sektor pertambangan dan manufaktur. Ekspor produk
manufaktur mengalami peningkatan yang signifikan sebesar 34,2% setelah
pada tahun 2009 mengalami penurunan sebesar 25,5%. Sampai dengan
kuartal III tahun 2010 nilai ekspor manufaktur Indonesia naik menjadi USD 68,9
miliar. Peningkatan ekspor disektor pertambangan dan pertanian masing-
masing mencapai 42% dan 15,7%.
Peningkatan ekspor manufaktur mendorong timbulnya ekspor produk
lainnya dan mengalami kenaikan secara signifikan. Ekspor produk karet
meningkat tajam selama periode Januari-Agustus 2010, sebesar 100,5%
karena dipengaruhi oleh naiknya volume ekspor sebesar 15,7%. Selain produk
karet, ekspor produk otomotif, alas kaki, produk hasil hutan dan kakao masing-
masing meningkat sebesar 49,2%, 38,2%, 35,8% dan 29,2%2.
Berdasarkan jenis barang kegiatan ekspor Indonesia ditunjukkan dalam
table di bawah ini:
2Litbang Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Kementerian Perdagangan
RI
4
Tabel 1.2
Ekspor Utama dari Sektor Non Migas
Sumber: Kementerian Perdagangan RI, data diolah
Tabel di atas menunjukkan bahwa ekspor non migas cenderung terus
mengalami peningkatan. Hal ini mengindikasikan geliat aktivitas ekonomi
Indonesia dalam dinamika sistem ekonomi global yang terus aktif dan
berkembang.
Hal yang sama terjadi dalam arus barang masuk ke Indonesia, yang
dinotasikan dalam impor utama sektor non migas di Indonesia sebagaimana
dapat dilihat dalam tabel 1.3 di bawah ini.
No Sektor 2006 2007 2008 2009 2010
I PERTANIAN 3.374 3.657 4.584,6 4.352,8 5.001,9
1 Ikan dan udang 1.460,1 1.498,6 1.683,3 1.426,2 1.687,2
2 Kopi teh, rempah-rempah 822,9 965,7 1.397,6 1.206,3 1.369,6
3 Kakao/Coklat 620,3 623,3 856,0 1.088,1 1.191,5
4 Biji-bijian berminyak 94,3 103,1 146,7 124,5 178,0
5 Buah-buahan 96,9 113,1 125,3 104,2 131,7
6 Tembakau 57,2 56,7 73,7 93,5 73,7
7 Bahan Pertanian Lainnya 222,30 296,50 302,00 310,00 370,20II INDUSTRI 65.014,5 76.454,1 88.390,4 73.434,1 98.010,6
Mesin dan peralatan listrik 7.287,4 7.515,1 8.120,2 8.020,4 10.373,2
1 Lemak nabati dan lemak hewani 6.062,6 10.205,6 15.603,1 12.204,3 16.286,4
Karet dan barang dari karet 5.511,7 6.236,5 7.620,9 4.899,9 9.339,7
Mesin-mesin/ pesawat mekanik 4.366,2 4.683,9 5.226,5 4.721,7 4.986,7
Pakaian jadi bukan dari rajutan 3.374,7 3.314,4 3.399,0 3.132,8 3.611,0
Kayu dan bahan dari kayu 3.352,6 3.123,0 2.876,1 2.340,2 2.935,4
Kertas/karton 2.800,8 3.327,8 3.736,8 3.357,3 4.186,2
Perabotan penerangan rumah 1.949,0 1.995,0 1.999,2 1.711,1 2.021,9
Tembaga 1.904,4 2.731,7 2.202,5 2.367,1 3.305,8
2 Bahan kimia organik 1.883,7 2.564,8 1.847,0 1.672,4 2.690,1
Plastik dan bahan dari plastik 1.738,0 1.906,2 2.132,2 1.771,7 2.150,1
Kendaraan dan bagian-bagiannya 1.666,2 2.196,0 2.970,6 1.957,8 2.899,9
Alas kaki 1.599,8 1.638,0 1.885,5 1.736,1 2.501,8
Besi dan baja 1.262,1 1.118,5 1.689,1 853,9 1.101,5
Industri lainnya 20.255,30 23897,6 27081,7 22687,4 29620,9III PERTAMBANGAN 11.191,5 11.884,9 14.906,2 19.692,3 26.712,6
Bahan bakar mineral 6.086,2 6.683,5 10.488,1 13.823,5 18.499,9
Bijih, kerak dan abu logam 4.993,5 5.102,3 4.288,8 5.800,5 8.139,7
Industri tambang lainnya 111,80 805,2 3826,5 8612,6 15632,9IV LAINNYA 8,9 8,8 9,9 10,8 9,9
TOTAL EKSPOR NON MIGAS 79.589,1 92.012,3 107.894,2 97.491,7 129.739,5
5
Tabel 1.3
Impor Utama Sektor Non Migas
No. Uraian 2006 2007 2008 2009 20101 Mesin-mesin/Pesawat
mekanik7.445,8 9.360,5 17.909,9 14.623,1 20.019,0
2 Bahan kimia organik 3.439,2 3.882,9 5.132,7 3.941,1 5.326,43 Mesin/ Peralatan listrik 3.082,0 4.744,7 14.715,0 11.305,3 15.633,24 Besi dan baja 2.865,1 4.175,0 8.281,9 4.356,6 6.371,55 Kendaraan dan bagiannya 2.455,5 2.455,5 5.839,7 3.151,1 5.737,46 Plastik dan bahan dari
plastik1.855,7 2.193,5 3.941,3 3.210,7 4.817,1
7 Kapal Laut 1.501,0 540,0 1.395,8 2.702,0 1.959,58 Benda-benda dari besi dan
baja1.261,7 1.370,1 3.335,0 2.784,1 3.451,0
9 Gandum-ganduman 1.229,1 1.804,5 2.196,5 1.506,2 2.159,210 Kapal terbang dan
bagiannya971,3 1.607,3 2.036,9 3.241,5 3.528,1
11 Ampas/Sisa Industri Makanan
882,7 1.147,5 1.740,6 1.678,8 1.870,8
12 Bubur kayu/pulp 852,7 1.022,5 1.474,8 950,9 1.596,4Bahan kimia anorganik 814,7 908,2 1.451,0 1.028,0 1.349,4
13 Kapas 782,4 953,0 1.991,7 1.476,1 2.232,114 Karet dan bahan dari karet 696,6 790,7 1.415,5 1.125,3 1.670,715 Impor lainnya 11.967,10 15.584,7 25.786,1 20.767,7 30.528,816 TOTAL IMPOR 42.102,6 52.540,6 98.644,4 77.848,5 108.250,6Sumber: Kementerian Perdagangan RI, data diolah
Aktivitas ekonomi global Indonesia cenderung mengalami peningkatan,
khususnya terkait dengan 22 produk. Hingga akhir tahun 2010 transaksi ke-22
produk tersebut mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Klasifikasi 22
produk tersebut dibagi ke dalam beberapa golongan:
a) Produk dengan pertumbuhan ekspor tinggi tetapi kontribusinya terhadap
ekspor non migas kecil yaitu bubur kayu/Pulp dengan pertumbuhan 43,5%
tetapi kontribusi hanya 1,2%.
b) Produk dengan pertumbuhan ekspor cukup besar dan kontribusinya
terhadap ekspor non migas tinggi, yaitu Lemak & Minyak Hewan/Nabati ,
Bijih, Kerak,, Dan Abu Logam dengan pertumbuhan masingmasing sebesar
20,2% dan 13,9% dan pangsa keduanya adalah 20,4%.
c) Produk dengan pertumbuhan kecil tetapi kontribusinya terhadap ekspor non
migas tinggi. Pada periode ini, yaitu Mesin/Peralatan Listrik (HS 85) dengan
pertumbuhan hanya 1,5% tetapi kontribusi cukup tinggi yaitu 8,1%.
d) Produk dengan pertumbuhan sangat tinggi tetapi kontribusinya terhadap
ekspor non migas kecil sekali, produk tersebut adalah Pupuk dengan
6
pertumbuhan sebesar 367% tetapi kontribusi tidak lebih dari 0,2% dari
keseluruhan total ekspor non migas Indonesia.
Dalam kegiatan impor, terdapat 14 jenis produk yang mengalami
penigkatan impor yang cukup tinggi. Produk-produk tersebut adalah hasil karya
seni yaitu sekitar 30%, payung (20%) ikan dan udang, tembakau (19%),
lokomotif (13%)dan peralatan kereta api (11%). Selebihnya, produk-produk
yang diimpor ke Indonesia hanya mengalami peningkatan dibawah 10%.
Jika dianalisa lebih lanjut, sebagian besar impor Indonesia dilakukan
untuk memenuhi kebutuhan industri. Secara umum, barang-barang yang
diimpor dalam 2 tahun terakhir adalah barang-barang yang untuk kebutuhan
industri seperti bahan baku yang akan diolah lebih lanjut. Selanjutnya barang
yang frekuensi impornya cukup tinggi adalah barang-barang modal. Barang-
barang kosumsi merupakan barang yang frekuensinya dalam jumlah kecil3.
Tabel berikut memberikan gambaran importasi barang menurut
penggunaannya.
Tabel 1.4
Nilai Impor Indonesia menurut Golongan Penggunaan Barang
Bulan 2009 2010Barang
KonsumsiBahan
Baku/PenolongBarang Modal
Total Barang Konsumsi
Bahan Baku/Penolong
Barang Modal
Total
Januari 464,4 4793,1 1343,1 6600,6 625,4 7047,6 1817,5 9490,5Februari 374,9 4183,7 1380,4 5939 683,2 6891,1 1923,8 9498,1
Maret 493,9 4518,0 1542,2 6554,1 868,8 7897,0 2206,8 10972,6April 505,6 4861,3 1345,9 6712,8 894,2 8062,4 2279,2 11235,8Mei 548,5 5439,5 1696,2 7684,2 709,7 7581,0 1689,7 9980,4Juni 738,0 5853,6 1533,4 8125 915,5 8749,2 2095,3 11760Juli 638,5 6151,1 1794,2 8583,8 895,6 8855,2 2875,1 12625,9
Agustus 557,2 6431,8 2637,0 9626 903,4 8737,7 2530,5 12171,6September 639,1 6508,2 1451,2 8598,5 676,8 6933,8 2043,5 9654,1
Oktober 639,2 7148,4 1642,5 9430,1 835,5 8774,2 2510,3 12120November 639,1 6494,0 1681,6 8814,7 989,2 9568,9 2449,5 13007,6Desember 653,7 7255,4 2390,8 10299,9 995,3 9599,4 2494,5 13089,2
Total 7652,6 69638,1 20438,5 97729,2 9992,6 98697,5 26916,0 135606,1% X total 6,79% 71,92% 21,11% 100% 7,37% 72,78% 19,85%
Sumber: Biro Pusat Statistik
Produk- produk yang diimpor ke Indonesia sebagian besar berasal dari
negara anggota ASEAN, negara-negara yang memiliki hubungan bilateral
3Laporan Tahunan, Data Statistik Ekonomi Indonesia 2010 : Biro Pusat Statistik
7
khususnya hubungan dagang dengan Indonesa dan negara anggota lainnya
seperti Cina, Jepang, Amerika Serikat, Korea Selatan serta beberapa negara
anggota Uni Eropa. Berikut tabel impor non migas Indonesia menurut asal
barang utama selama 2009-20104:
Tabel 1.5
Impor Non Migas Indonesia menurut Negara Asal Barang Utama
Negara Asal Jan-Des 2009
Jan-Des 2010
Peran terhadap
impor 2010(%)ASEAN1. Singapura 9236,6 10053,5 9,292. Thailand 4570,8 7420,6 6,853. Malaysia 3184,2 4520,9 4,18
ASEAN Lainnya 1054,9 1856,6 1,17Uni Eropa4. Jerman 2362,0 2986,1 2,765. Perancis 1622,8 1317,8 1,226. Inggris 844,0 937,0 0,86
Uni Eropa Lainnya 3820,4 4526,3 4,18Negara utama lainnya7. Jepang 9810,5 16908,4 15,628. Cina 13491,4 19687,2 18,199. Amerika Serikat 7037,6 9291,3 8,5810. Korea Selatan 3807,8 5593,7 5,1711. Australia 3374,1 4092,9 3,7812. Taiwan 2008,3 2956,5 2,73Total 61350,1 85765,9 79,23Negara lain
16498,4 22477,3 20,77
Total 77848,5 108243,2 100 Sumber: Biro Pusat Statistik, data diolah
4Data Sosial Ekonomi Indonesia, Buletin Statistik Indonesia Edisi 9 tahun 2010:
Biro Pusat Statistik
8
1.2. Arti Penting Jasa Kepelabuhanan dalam Aktivitas Ekonomi Global
Sejak dahulu kala, aktivitas ekonomi global dilakukan melalui media
darat dan laut, lalu kemudian berkembang melalui media transportasi udara.
Namun keterbatasan transportasi udara, baik secara ekonomis dan politis,
menyebabkan transportasi laut masih menjadi tumpuan utama dalam lalu lintas
perdagangan internasional. Hingga saat ini 90%, dapat dikatakan bahwa
perdagangan internasional dilakukan dengan jalur laut. Dengan demikian jasa
transportasi kelautan merupakan jasa transportasi yang dibutuhkan sepanjang
sejarah dalam dunia perdagangan.
Dengan didorongnya (hampir) seluruh Negara untuk bergabung dengan
WTO, maka hambatan perdagangan semakin berkurang dan frekuensi
penggunaan jasa transportasi semakin tinggi akan memacu pertumbuhan arus
pergerakan barang dunia5. Hal ini akan membuat perubahan mendasar
pergerakan produksi dan perdagangan dunia. Industri yang bergerak di bidang
penyediaan jasa kontainer akan semakin bertumbuh dengan perkembangan ini,
demikian pula sektor distribusi. Kondisi ini memberikan kesempatan bagi
pelabuhan yang mampu meningkatkan kapasitasnya dalam menangani arus
produksi dan perdagangan.
Trend saat ini menunjukkan semakin meningkatnya skala
(ukuran/dimensi) kapal dan arus lalu lintas pelayaran. Hal ini membuat tingkat
aksesibilitas suatu pelabuhan menjadi hal yang sangat penting. Akses kelautan
yang mudah (nautical access), tingkat kedalaman perairan, dan kualitas sistem
kendali pelayaran (Vessel Traffic Guidance System) akan menjadi sebuah
keharusan bagi suatu pelabuhan untuk dapat sukses pada era ini6.
Berikut adalah komponen biaya pengangkutan dan komponen-
komponen yang berhubungan di dalamnya.
5Haralambides H.E, Liner Shipping Economics, Center for Maritime Economics
and Logistic (MEL), Erasmus University Rotterdam: Netherlands6Biro Riset Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia,
Trend Perkembangan Pengelolaan Pelabuhan Dunia dan Implikasinya bagi BUMN Pelabuhan di Indonesia.
9
Gambar 1.1
Komponen Biaya Pengangkutan
Sumber: Shipping and Logistic Management
Dari sejumlah komponen biaya tersebut pada umumnya berhubungan dengan
jasa kepelabuhanan dimana komponen biaya movement, packaging dalam
konteks pengemasan dengan menggunakan peti kemas, jasa inventory yang
meliputi penimbunan sebelum pengankutan, jasa transportasi yang meliputi
pengangkutan peti kemas dari dan ke kapal laut pengangkut serta jasa
warehousing yang dilakukan dipelabuhan yaitu pengangkutan barang dari
kendaraan pengangkut untuk ditimbun dan pengangkutan dari tempat
penimbunan untuk dibawa oleh kapal laut jalur perdagangan internasional.
Terlebih lagi, pelabuhan merupakan sarana intermediary yang menghubungkan
proses pengangkutan barang dari daerah penghasil sebelum diangkut ke
pelabuhan internasional. Jadi, pelabuhan memegang peranan penting dalam
proses perdagangan internasional. Hal ini menyebabkan setiap negara
berlomba untuk melakukan perbaikan fasilitas dan sistem dalam pelabuhan.
Perkembangan yang demikian pesat akan menimbulkan besarnya
permintaan atas pelayanan jasa kepelabuhan. Jasa tersebut terjadi dan
dibutuhkan di setiap kegiatan yang berlangsung dipelabuhan. Jasa tersebut
meliputi kegiatan seperti yang telah disebutkan diatas yaitu jasa pembongkaran
peti kemas, jasa pemuatan petikemas, jasa penerimaan peti kemas, jasa
pengeluaran peti kemas dan jasa container freight station.
10
1.3 Identifikasi Masalah
Keberhasilan perdagangan Internasional terjadi dengan dukungan
beberapa faktor kunci antara lain infrastruktur perdagangan. Salah satu elemen
yang fital dalam infrastruktur perdagangan internasional adalah jasa
transportasi. Disinilah peranan industri pelayaran semakin penting karena kapal
merupakan sarana yang sangat tepat dalam perdagangan internasional.
Terdapat hubungan timbal balik antara dunia perdagangan industri dengan
industri jasa angkutan laut dan perkapalan. Untuk negara/daerah dengan
perekonomian yang telah maju, peran perdagangan merupakan pemacu
timbulnya industri jasa angkutan laut dan perkapalan. Sedangkan untuk
daerah/negara yang belum berkembang perekonomiannya, ketersediaan
prasarana dan saran transportasi terutama pelabuhan pelayaran dan kapal
serta infrastruktur pendukungnya merupakan pendorong kemajuan
perdagangan. Istilah ini disebut Ships Follow The Trade And Ships Promote
The Trade.7
Efektvitas ekspor ditentukan oleh kapasitas produksi dan kemampuan
negara tersebut untuk membawa barang-barang yang akan diperdagangkan ke
pasaran internasional dengan biaya yang relatif rendah sesuai dengan kondisi
yang diharapkan oleh importir dan konsumen. Oleh karena itu, kemajuan
ekspor juga didukung oleh kemampuan kualitas dan biaya transportasi. Pada
umumnya biaya transportasi untuk kegiatan ekspor yang dilakukan oleh negara
berkembang dapat mencapai rata-rata 2/3 dari biaya masuk yang dikenakan
oleh negara yang dituju. Hal ini dapat menimbulkan barrier untuk menjangkau
pasar yang dituju8.
Saat ini yang menjadi fokus utama perkembangan dalam bidang
transportasi tidaklah terletak pada tujuan transportasi tetapi hal yang paling
utama adalah volume barang yang dapat dibawa, kapasitas angkut barang,
7http://muislife.com/hubungan-timbal-balik-antara-perdagangan-dengan-
perkapalan-dan-pelayaran.html, diunduh 22 Agustus 20118 ----------, 2004, Trade and Transportation Facilities: Building a Secure and
Efficient Environtment for Trade, Sao Paulo: United Nation Press
11
kecepatan untuk membawa barang dan tingkat efisiensinya9. Jika kapasitas
angkut barang sangat terbatas dalam jangka waktu angkut yang cukup lama
maka hal ini akan menimbulkan biaya baru bagi komoditi yang akan
diperdagangkan terlebih lagi apabila komoditi yang diangkut tidak memiliki
sistem keamanan yang baik. Perdagangan barang-barang yang dianggap
mewah akan sangat sulit untuk dilakukan apabila system keamanan dalam
pengangkutan barang tidak baik.
Pada perkembangan sistem pengangkutan saat ini, kontainerisasi/ peti
kemas menjadi hal yang cukup penting. Kontainer/peti kemas merupakan suatu
unit yang dapat dipergunakan sebagai alat pengangkut oleh berbagai jenis alat
transportasi. Alat angkutan darat, laut pada umumnya mampu mengangkut
barang apabila menggunakan kemasan container. Selain dapat menjaga
kualitas komoditas yang diangkut, unit ini cukup fleksibel karena dapat dibawa
dengan berbagai jenis transportasi apabila alat transportasi yang direncanakan
untuk mengangkutnya mengalami kendala10.
Selanjutnya, usaha peningkatan kualitas alat angkutan internasional
dilakukan dengan mengintegrasikan sistem transportasi yang terpisah menjadi
suatu sistem yang terpadu. Hal ini dikenal dengan sistem transportasi
intermodal dimana dalam meningkatkan efisiensi pengangkutan komoditas
utama, maka perlu dilakukan sistem pengemasan dan pengangkutan yang
sesuai dengan sifat komoditas yang diangkut. Jadi, dalam hal ini rangkaian
kegiatan pengangkutan dipandang sebagai sebuah kesatuan sejak barang
tersebut dibawa dari gudang produsen hingga sampai kepada penerima.
Salah satu tantangan dalam transportasi perdagangan internasional
adalah skala geografi sehingga untuk mengangkut komoditas diperlukan suatu
sistem pengangkutan yang berskala teknologi tinggi. Hal ini menjadi faktor yang
cukup krusial karena diharapkan komoditas ekspor mampu mencapai lokasi
strategis yang diharapkan tepat pada waktu yang direncanakan. Alat
9 Paul Redique Jean, Transportation and Globalization, Departement of
Economics and Geography, Hofstra University Hempstead, New York: Hofstra University Press
10Lynch Clifford, Shifting Patterns and Growth of Global Trade Implication for Transportation System, Lynch and Associated: Pensylvania, 2004.
12
transportasi yang cukup memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan ini adalah
alat transportasi laut dan alat transportasi udara. Transportasi darat bukanlah
pilihan yang mampu mendukung efisiensi kegiatan pengangkutan berskala
internasional.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh World Trade Organization, 96%
barang yang diperdagangkan dalam pasaran internasional diangkut melalui alat
transportasi laut. Dengan demikian, kontainerisasi yang baik merupakan bagian
yang penting dalam sistem pengankutan ini karena akan digunakan untuk
mengangkut komoditas ekspor. Ketika barang yang impor sampai di daerah
pabean, maka segera dilakukan pembongkaran barang untuk diperiksa oleh
pihak kepabeanan negara yang bersangkutan. Selanjutnya barang tersebut
dimuat kembali untuk dibawa ke gudang importir.
Transportasi laut merupakan komponen yang cukup krusial dalam
perdagangan internasional. Kegiatan perdagangan dalam negeri dan
internasional akan dapat berjalan dengan baik apabila didorong oleh sistem
transportasi yang baik dan memadai. Hal terpenting dalam kegiatan ini adalah
kualitas dan kapasitas alat transportasi yang digunakan dan kualitas kemasan
produk impor.
Untuk menjangkau negara cukup jauh, diperlukan alat transportasi yang
handal dan mampu mengangkut komoditi ekspor dalam jumlah yang cukup
besar. Selain itu, peti kemas berupa kontainer merupakan faktor penting untuk
menjaga kualitas barang yang akan diperdagangkan hingga sampai ke lokasi
tujuan. Keterlambatan pengiriman komoditi dagang dapat mengakibatkan
kerugian yang cukup besar.
Sebagian besar kegiatan impor Indonesia dilakukan untuk memperoleh
bahan bahan baku industri dan barang modal. Keterlambatan pemasukan
barang ke daerah pabean Indonesia dapat mengakibatkan kerugian yang cukup
besar baik dari sisi negara pengekspor dan Indonesia sebagai negara
pengimpor. Khususnya bagi Indonesia, keterlambatan masuknya bahan baku
impor akan menghambat proses produksi. Selain kerugian materi yang nyata-
nyata dapat diperhitungkan, maka hal ini akan menimbulkan kerugian lain yang
tidak dapat diperhitungkan dengan nyata seperti waktu, dll.
13
Kegiatan importasi ke dalam daerah pabean tidak terlepas dari jasa
bongkar muat di pelabuhan, yaitu pembongkaran komoditi impor dari alat
pengangkut ke pelabuhan serta pengangkutan kembali ke gudang importir
untuk diolah sesuai dengan klasifikasi lapangan usaha importir. Dalam kegiatan
bongkar muat ini muncul pemberian jasa antara pemberi jasa dan penerima
jasa. Adanya timbunya transaksi penyerahan jasa tersebut dapat menimbulkan
potensi pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
Pengenaan pajak yang menekankan pada prinsip tidak mengakibatkan
distorsi bagi perekonomian dapat diaplikasikan dalam penyerahan jasa ini.
Walaupun dalam proses pengangkutan komoditi yang diimpor, fokus utama
tidak terletak pada jasa bongkar muat di pelabuhan saat barang. Namun, hal
yang terpenting adalah efisiensi pengangkutan dan kualitas kemasan yang
menjamin kualiatas komoditi sampai ke negara tujuan.
Angkutan laut berupa kapal-kapal dalam jalur pelayaran internasional
sangat berperan dalam meningkatkan perdagangan internasional Indonesia.
Termasuk yang tak kalah pentingnya adalah jasa kepelabuhan yang menjadi
kegiatan yang tidak terpisahkan dalam kegiatan perdagangan internasional.
Jasa kepelabuhanan meliputi antara lain:
a) Jasa Pelayanan Kapal termasuk:
i. Jasa Labuh
ii. Jasa Pemanduan
iii. Jasa Penundaan
iv. Jasa Tambat
b) Jasa Pelayanan Barang termasuk:
i. Jasa Dermaga untuk Peti Kemas
ii. Jasa Peti Kemas di Terminal Peti Kemas
iii. Jasa Penumpukan Peti Kemas
Pemerintah dapat berperan untuk mendorong perkembangan usaha dan
meningkatkan daya saing pengusaha di pasar internasional. Salah satu
peranan pemerintah adalah di bidang regulasi dengan memberikan fasilitas di
bidang pajak. Fasilitas tersebut dapat menurunkan biaya pelabuhan di
14
Indonesia yang pada akhirnya dapat meningkatkan komoditi ekspor Indonesia
ke Luar Negeri dan meningkatkan daya saing komiditi atau produk ekspor
Indonesia.
Dalam kurun waktu 1986 sampai dengan tahun 2003, Pemerintah
pernah membuat beberapa ketentuan yang memberikan fasilitas di bidang
Pajak Pertambahan Nilai terhadap jasa-jasa kepelabuhan khusunya untuk jalur
pelayaran internasional. Fasilitas pada dasarnya memberikan pengecualian dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas jasa kepelabuhanan. Pemberian
fasilitas didasarkan pada beberapa hal antara lain seperti:
Adanya kelaziman di dunia Internasional bahwa jasa pelabuhan bagi
pelayaran Internasional dikecualikan dari pengenai Pajak Pertambahan Nilai
Adanya hubungan integral antara jasa pelabuhan dengan jasa angkutan laut
yang dibebaskan dari Pajak Pertambahan Nilai
Azas timbal balik terhadap perusahan pelayaran Indonesia oleh negara
yang mempunyai perjanjian bilateral.
Pada tahun 1986 berdasarkan Keputusan Presiden No.18 Tahun 1986
yang diubah dengan Keputusan Presiden No.37 Tahun 1998, selanjutnya
diubah kembali dengan Keputusan Presiden No. 204/1998 yang mengatur
mengenai PPN Ditanggung Pemberintah atas Penyerahan Jasa Kena Pajak
Tertentu yang diterima oleh Perusahaan Pelayaran Niaga yang meliputi
a.jasa persewaan kapal;
b.jasa kepelabuhanan meliputi jasa tunda, jasa pandu, jasa tambat dan jasa
labuh;
c.jasa perawatan/reparasi (docking) kapal;
Sementara pada tahun 1990 Menteri Keuangan ternyata telah
mengambil kebijakan untuk mengecualikan pengenaan PPN terhadap seluruh
jasa pelabuhan yang digunakan oleh perusahaan pelayaran asing maupun
perusahaan pelayaran Indonesia yang melayari jalur pelayaran internasional.
Kebijakan tersebut diinformasikan melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
Nomor SE - 17/PJ.5.1/1990. Ketentuan ini telah diberitahukan oleh Menteri
Keuangan kepada Direktur Jenderal Transportasi Komisi Masyarakat Eropa
atau The Director General of The Commission of the European Communities
15
dalam surat nomor S-995/MK.04/1990 tanggal 20 Agustus 1990 yang
memberitahukan ketentuan memberikan pengecualian Pajak Pertambahan Nilai
terhadap semua jasa kepelabuhan untuk kapal-kapal dalam jalur pelayaran
internasional tanpa membedakan negara asal dari kapal yang melakukan
pelayaran tersebut.
Pada tahun 1999, Direktur Jenderal Pajak melalui Surat Edaran Nomor
SE-08/PJ.532/1999 menegaskan bahwa atas penyerahan jasa kepelabuhanan
tidak dikenakannya Pajak Pertambahan Nilai. Lebih rinci mengenai beberapa
ketentuan terkait dengan fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa
Kepelabuhanana, diikhtisarkan pada penjelasan bab 5.
Sementara di beberapa negara lain juga memberikan fasilitas tidak
mengenakan Pajak Pertambahan Nilai atas perusahaan pelayaran Indonesia
atas penggunaan jasa pelayanan kapal. Daftar Negara Asing yang tidak
mengenakan Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Pelayaran Kapal yang
dinyatakan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE -
02/PJ.32/1990 yaitu:
1. Australia; 15. Norwegia;
2. Belanda; 16. Papua Nugini;
3. Belgia; 17. Perancis;
4. Brunei Darussalam; 18. Philipina;
5. Denmark; 19. Polandia;
6. Hongkong; 20. R.R.C.;
7. India; 21. Singapura;
8. Inggris; 22. Spanyol;
9. Italia; 23. Srilangka;
10. Jepang; 24. Swedia;
11. Jerman; 25. Taiwan;
12. Korea; 26. Thailand;
13. Malaysia/Sabah/Serawak 27. U.S.A.
14. Mesir;
Pada tahun 2000 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 146 Tahun 2000
fasilias PPN tersebut diubah yaitu bahwa atas Penyerahan Jasa Kena Pajak
16
tertentu yang diterima oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional atau
perusahaan penangkapan ikan nasional, dibebaskan dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai yang meliputi :
a.Jasa persewaan kapal;
b.Jasa kepelabuhanan meliputi jasa tunda, jasa pandu, jasa tambat, dan jasa
labuh;
c.Jasa perawatan atau reparasi (docking) kapal;
Paska pengesahan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang
Perubahan Ketiga atas UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa
dan PPnBM, kebijakan PPN atas kepelabuhan mengalami perubahan.
Pemerintah tidak lagi memberikan fasilitas PPN sebagaimana rejim-rejim PPN
sebelumnya. Hal ini tentu menimbulkan suatu permasalah, karena dampak
kebijakan ini bukan saja meluas pada aspek ekonomis tetapi juga aspek
administrasi perpajakan. Terkait dengan hal tersebut, maka tentunya ada
beberapa masalah yang perlu dikaji sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas jasa kepelabuhanan
yang yang berlaku sejak tahun 1983 sampai dengan sekarang?
2. Bagaimanakah kelaziman kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas jasa
kepelabuhanan di dunia internasional?
3. Bagaimana alternatif kebijakan fasilitas PPN atas jasa kepelabuhanan dan
apa konsekuensi dari masing-masing alternative tersebut?
4. Bagaimana implikasi dari kebijakan fasilitas PPN terhadap aktivitas ekonomi
global bangsa Indonesia?
1.4. Tujuan dan Kegunaan Kajian
1.4.1 Tujuan
Tujuan dibuatnya Kajian Akademik ini adalah sebagai landasan ilmiah
bagi penyusunan kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas jasa kepelabuhanan,
yang memberikan arah, dan menetapkan ruang lingkup bagi penyusunan
peraturan pelaksananya. Berdasarkan identifikasi masalah tersebut di atas,
maka yang menjadi tujuan penulisan kajian akademik ini adalah sebagai
berikut:
17
1. Menganalisa kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas jasa
kepelabuhanan yang yang berlaku sejak tahun 1983 sampai dengan
sekarang.
2. Mengetahui kelajiman kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas jasa
kepelabuhanan di dunia internasional.
3. Memetakan beberapa scenario kebijakan fasilitas PPN atas jasa
kepelabuhanan dan konsekuensi dari pilihan bentuk-bentuk kebijakan
tersebut.
4. Menganalisa urgensi dan implikasi pemberian insentif Pajak
Pertambahan Nilai atas jasa kepelabuhanan terhadap aktivitas ekonomi
global bangsa Indonesia
1.4.2 Kegunaan
Kajian akademik ini berguna sebagai masukan dalam menyusun
peraturan pelaksana Pajak Pertambahan Nilai atas jasa kepelabuhanan. Hal ini
dimaksudkan agar ketentuan-ketentuan yang diusulkan dalam peraturan terkait
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi
latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup,
jangkauan, objek, atau arah pengaturan substansi rancangannya. Manfaat
disusunnya Kajian Akademik ini selain untuk bahan masukan bagi pembuat
peraturan (Kementerian Keuangan) juga dapat berguna bagi pihak-pihak yang
berkepentingan.
18
BAB 2
KERANGKA TEORI
2.1 Peran Pemerintah dan Kebijakan Fiskal
Dalam perekonomian modern, peran pemerintah dapat diklasifikasikan
dalam tiga golongan besar, yaitu: peran alokasi, yaitu peranan pemerintah
dalam alokasi sumber ekonomi, peranan distribusi, dan peranan stabilisasi. Hal
ini sejalan dengan pendapat Musgrave dan Musgrave bahwa fungsi utama
pemerintah yaitu fungsi alokasi, yang dimaksudkan untuk mengatasi kegagalan
pasar (market failure) dan inefisiensi dalam mengalokasikan sumber-sumber
ekonomi. Pemerintah juga mempunyai fungsi distribusi yang dimaksudkan
untuk menjamin terpenuhinya distribusi pendapatan dan kekayaan kepada
masyarakat agar tercapai distribusi yang merata dan adil. Fungsi stabilisasi
dimaksudkan sebagai penggunaan kebijakan anggaran sebagai suatu alat
untuk mempertahankan tingkat kesempatan kerja yang tinggi, tingkat stabilitas
harga dan laju pertumbuhan ekonomi yang tepat.
Setiap negara mempunyai cara yang berbeda untuk mendapatkan
penerimaan. Pemerintah dapat melakukan pemungutan pajak. Pajak digunakan
sebagai salah satu instrumen dalam kebijakan fiskal. Pengertian kebijakan
fiskal menurut Rahayu adalah “kebijakan pemerintah dengan menggunakan
belanja negara dan perpajakan dalam rangka menstabilkan perekonomian”.11
Dengan demikian, kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan ekonomi
makro yang sangat penting. Mansury mendefinisikan kebijakan fiskal dalam
pengertian luas sebagai “kebijakan untuk mempengaruhi produksi masyarakat,
kesempatan kerja dan inflasi, dengan mempergunakan instrumen pemungutan
pajak dan pengeluaran belanja negara”.12
11Ani Sri Rahayu, Pengantar Kebijakan Fiskal, Jakarta: Bumi Aksara, 2010,
hal.1.12R.Mansury, Kebijakan Fiskal, Jakarta: Yayasan Pengembangan dan
Penyebaran Pengetahuan (YP4), 1999, hal. 1
19
Pajak mempunyai peranan yang penting dalam mendukung pelaksanaan
fungsi negara. “The main purpose of taxation is to generate sufficient revenue
to finance public sector activities in a non-inflationary way.”13 Di negara
berkembang, motivasi utama pemajakan adalah pengumpulan dana
pembiayaan pemerintahaan dalam penyediaan barang dan jasa publik,
disamping motivasi lainnya adalah redistribusi penghasilan dan penyesuaian
kekurangsempurnaan mekanisme pasar.14 Jadi pada hakekatnya pajak
mempunyai fungsi utama yaitu untuk mengisi kas negara (to raise or to
generate government’s revenue), yang disebut sebagai fungsi budgetair atau
fungsi penerimaan (revenue function). Oleh karena itu, Rosdiana mengatakan
bahwa “suatu pemungutan pajak yang baik seharusnya memenuhi asas
revenue productivity.”15
Namun demikian, pajak tidak hanya sebagai fungsi untuk mengisi kas
negara (fungsi budgetair) sebagaimana telah diuraikan di atas. Pajak juga
dapat digunakan oleh pemerintah sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan
tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah. Pajak dapat digunakan untuk
berbagai program pemerintah, sebagaimana disitir oleh Karayan dan Swenson
“taxes impose costs on transactions, taxes affect human behavior, and thus can be (and are) used by governments to try to shape society. Indeed, the primary purpose of some taxes—such as excise taxes on the sale of machine guns, tobacco, and pollutants—is to further social engineering goals”.16
Sistem pajak juga akan mempengaruhi perilaku masyarakat, karena pajak juga
menjadi biaya yang cukup signifikan. Maka perencanaan pajak menjadi penting
bagi pelaku usaha untuk membuat keputusan keuangan terbaiknya. Hal
tersebut merupakan fungsi mengatur dari pajak (fungsi regulating/regulernd).
13Richard M Bird dan Eric M.Zolt, Introduction to Tax Policy Design and
Development, Washington: Word Bank, 2003, hal.9.14Gunadi, Ketentuan Dasar Pajak Penghasilan, Jakarta:Penerbit Salemba
Empat, 2002, hal. 2.15Haula Rosdiana, Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan Implementasi di
Indonesia, Jakarta: 2011,hal.40.16 Johne Karayan dan Charles W. Swenson, Strategic Business Tax Planning,
Second Edition, New Jersey, John Wiley & Sons, Inc, 2007, hal. 5
20
Sebagaimana dikatakan oleh Bird dan Zolt bahwa “The tax system can be used
to encourage or discourage certain activities.”17
2.2 Konsep Pajak Pertambahan Nilai
Pada saat ini perkembangan penerimaan pajak atas konsumsi terus
meningkat dan menjadi sumber penerimaan yang diperhitungkan, terutama
hampir seluruh negara-negara OECD18. Hal ini sejalan dengan peningkatan
perdagangan international barang dan jasa yang sangat cepat sebagai hasil
dari globalisasi yang dipacu melalui deregulasi, privatisasi dan revolusi
teknologi informasi. Termasuk juga masalah-masalah administrasi yang
berhubungan dengan perkembangan perdagangan internasional. Oleh sebab
itu OECD merekomendasikan perlunya perhatian terhadap penerimaan pajak
atas konsumsi. Para perumus kebijakan (policy maker) dan administrator
negara (legislator) juga harus lebih menaruh perhatian yang seksama terhadap
pajak atas konsumsi yang diterapkan secara internasional,19 dengan tetap
memperhatikan kemudahan, tidak berbelit dan pasti dalam pelakasanaannya.
Dalam mendesain kebijakan pajak atas konsumsi, pemerintah suatu
negara hendaknya memahami konsep dan teori yang mendasari apakah akan
mengenakan pajak dengan sistem pemungutan Pajak Penjualan atau sistem
pemungutan Pajak Pertambahan Nilai. Oleh sebab itu perlu pemahaman
terhadap legal character yang dapat didefinisikan sebagai ciri-ciri atau nature
dari suatu jenis pajak. Pemahaman tentang feature dan nature dari suatu jenis
pajak perlu dipahami sebagai petunjuk dalam menentukan sistem pemungutan
pajak atas konsumsi mana yang akan dipilih. Juga akan memberikan
konsekuesi bagaimana sebaiknya pajak tersebut harus dipungut. Sehingga
17Richard M Bird dan Eric M.Zolt, Loc.Cit.,hal.34.18OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) adalah
organisasi multilateral yang terdiri dari banyak negara-negara Eropa Barat, Amerika, Canada, Jepang, Australia dan New Zealand. Dibentuk pada tahun 1961, OECDmenjadi forum untuk perwakilan negara-negara industri guna mendiskusikan dan usaha untuk mengkoordinasikan kebijakan-kebijakan ekonomi dan sosial. Tujuan utamanya adalah menjaga dan menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Dalam bidang perpajakan, OECD juga merupakan organisasi international yang banyak memberikan kontribusi dibidang kebijakan pajak termasuk membuat model tax treaty yang dikenal dengan OECD Model Double Tax Agreement.
19Consumption Tax Guidance Series, OECD, http://www.oecd.org/document., diunduh pada tanggal 29 Maret 2004.
21
akibat yang ditimbulkan dari kebijakan yang ditempuh dapat dianalisa dan
dijelaskan berdasarkan konsep dan teori yang mendasari. Dengan demikian,
legislative structure dan interpretasi dari suatu terminologi seharusnya dipandu
oleh legal character. Berkaitan dengan hal ini, Terra mengatakan: “ Basically it
means that the intrinsic nature of a tax should be the guiding principle in
determining its consequences and not just the label, or the name of a tax.”20.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bukanlah suatu bentuk perpajakan baru,
namun pada dasarnya merupakan Pajak Penjualan yang dibebankan dalam
bentuk yang berbeda. Oleh karena itu maka Legal Character dari Pajak
Pertambahan Nilai adalah juga sebagai Pajak Tidak Langsung atas Konsumsi
yang bersifat umum ( general indirect tax on consumption) yang dipungut
dengan sistem yang berbeda dari Pajak Penjualan. Dengan berbagai
kelebihannya, konsep Pajak Pertambahan Nilai ini sekarang diterapka hampir di
seluruh negara di dunia, teruama di negara-negara Eropa.
2.2.1 Legal Character dari Pajak Pertambahan Nilai
2.2.1.1 Bersifat Umum (General).
Pertama, Pajak Penjualan merupakan pajak atas konsumsi yang bersifat
umum. Pengertian bersifat umum (general) yaitu bahwa Pajak penjualan (sales
tax) dikenakan terhadap semua atau sejumlah besar barang (dan termasuk
jasa). Inilah yang membedakannya dengan jenis pajak lainnya yaitu excise tax
(di Indonesia dikenal dengan cukai). Sales tax bersifat general, sedangkan
excise atau commodity taxes bersifat specific. Jadi artinya, Pajak Penjualan
dikenakan terhadap semua barang, sedangkan excise hanya dikenakan atas
barang-barang tertentu atau golongan barang tertentu saja seperti tembakau,
minuman beralkohol.
Ditegaskan oleh Terra, “A sales tax is a general tax on consumption”21
artinya bahwa Pajak Penjualan merupakan pajak atas konsumsi yang bersifat
umum, yang dikenakan pada semua pengeluaran (private expenditure).
20Ben Terra, Sales Taxation: The Case of Value Added Tax in The European
Community, Denventer-Boston, Kluwer Law and Taxation Publishers, 1988, hal.7.21 Ibid., hal.8.
22
Sebagai konsekuensinya, maka tidak boleh ada diskriminasi, karena Pajak
Penjualan seharusnya tidak dibedakan antara pengeluaran untuk barang-
barang dan jasa, dimana keduanya adalah pengeluaran untuk tujuan konsumsi.
Sehingga jika pajak atas konsumsi dimaksudkan untuk mencakup secara
umum dan menghindari distorsi ekonomi, maka seharusnya yang menjadi objek
Pajak Penjualan tidak hanya saja mencakup barang tetapi juga atas jasa. . ”If a
tax on consumption is to provide a uniform coverage and avoid economic
distortion, it should apply to all sales of services as well as goods.”22. Jadi
bukan hanya barang saja atau jasa saja, karena pengeluaran itu bisa dalam
bentuk barang maupun jasa. Pada hakekatnya barang tertentu juga menjadi
pengganti atas jasa tertentu. Misalnya, jika mesin cuci dikenakan pajak, maka
jasa binatu/cuci baju (laundry) juga harus dikenakan pajak, karena Pajak
Penjualan sebagai pajak atas konsumsi ditujukan untuk mengurangi pemakaian
dari penghasilan seseorang atau bahagian yang dibelanjakan. Dengan kata lain
pengenaan Pajak Penjualan adalah untuk semua pengeluaran (private
expenditure) baik barang maupun jasa.
2.2.1.2 Tidak Langsung (Indirect)
Kedua, Pajak Penjualan merupakan pajak tidak langsung. Ciri-ciri Pajak Tidak
Langsung yang dapat membedakannya dari Pajak Langsung antara lain:
Tidak memperhatikan keadaan Wajib Pajak seperti jumlah penghasilan,
namun hanya akan dipungut pajak kalau pada suatu ketika terdapat
suatu peristiwa atau perbuatan seperti penyerahan barang.23 Misalnya
jika seseorang membeli mesin cuci, maka akan dikenakan Pajak
Penjualan.
Suatu pajak dimana Wajib Pajak dapat melimpahkan beban pajaknya
baik seluruhnya atau sebagian kepada orang atau pihak lain. Beban
pajak yang dialihkan dapat berupa forward shifting atau backward
22United Nation, Sales Tax Adminsitration : Major Structural and Practical
Issues with Special Reference to the Needs of Developing Countries, New York : United Nation, Department of Economic and Social Affair, 1976, hal.72.
23 R Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung:Eresco, 1993, hal.85
23
shifting. Dengan kata lain, tidak selalu harus konsumen yang memikul
beban Pajak Penjualan sepenuhnya/seutuhnya. Beban pajak ini bisa
saja dipikul sebagian oleh penjual dengan cara mengurangi keuntungan
dan atau melakukan efisiensi. Beban pajak dapat dilimpahkan ke depan
kepada konsumen (jika forward shifting), tergantung dari elasitas harga
permintaan dan penawaran dari suatu barang. Beban pajak juga dapat
dilimpahkan ke belakang kepada faktor-faktor produksi dari produksen
(backward shifting). Oleh sebab itu dalam banyak hal, pembeli akhir
akan membayar sebagian (atau seluruhnya) dari pajak tidak langsung
ini. Hal ini sejalan dengan pengertian yang disampaikan oleh Newman:
”Shifting may be either forward or backward. The difference here is to the directionof movement from point of impact. If shifting is toward the consumer, it is said to be forward; if toward the factors of productions or their owners, it is said to be backward. Forward shifting means that price is higher than it would otherwise be; backward shifting means that price is lowered below what it would otherwise be. Suppose, for example, that a tax is levied on a manufacturer of a consumer good; the tax may be shifted forward toward the consumer in a higher price of the good in question, or it may be shifted backward in (say) lower wages. It is, of course, possible that in a given case a tax may be shifted partly forward and partly backward.”24
Meskipun konsumen merupakan pihak yang memikul beban pajak terakhir
(destinataris), namun yang ditentukan untuk melakukan kewajiban pajak
(antara lain memungut, menyetor dan melaporkan pajak yang terutang)
adalah Pengusaha Kena Pajak (taxabel person). Penjual akan bertindak
sebagai terminal atau kolektor untuk melakukan kewajiban pajak. Pembeli
terutama konsumen akhir (end user) akan sulit untuk ditentukan melakukan
kewajiban pajak, karena secara administratif menjadi tidak mudah (feasibel).
Dapat dibayangkan jika semua pembeli, harus melakukan pekerjaan
administratif pajak, tentu cost of collection akan tidak efisien.
Dalam administrasi pelaksanaannya, jenis Pajak Tidak Langsung antara
lain Pajak Penjualan, Pajak Peredaran, Pajak Pertambahan Nilai dan
Cukai (excise duties) seperti alcohol, tembakau, dapat terutang setiap
24 Herbert E. Newman, An Introduction to Public Finance, New York: John Wiley
and Sons, Inc., 1968, hal. 261-262.
24
saat. Baik pada saat impor atau ekspor barang, saat membayar secara
langsung barang yang dibeli, atau pada saat terjadi transaksi.
2.2.1.3 Atas Dasar Konsumsi (on Consumption)
Ketiga, Pajak Penjualan berdasarkan atas konsumsi (on consumption). Menurut
pengertian dari United Nation, Pajak Penjualan didefinisikan sebagai:
“A Sales Tax may be defined as a tax charged on the sales of a wide range of goods or on factors incidental to sales such as production, the movement of goods, the legal act of transfer of ownership, the actual delivery of goods or the rendering of services, or the payment or invoicing of the amount of the consideration involved.”25
Pajak penjualan dipungut atas sejumlah uang yang melekat pada penjualan
barang atau jasa, yang merupakan komponen dari biaya dalam formulasi
harga. Pengertian konsumsi lebih ditujukan sebagai pengeluaran (expenditure)
oleh konsumen untuk mengkonsumsi barang. Pajak akan dipungut segera
setelah orang mengeluarkan uangnya dan hanya memungut bagian belanja
yang dikeluarkan untuk konsumsi.
Semua konsumsi dihubungkan dengan peristiwa atau perbuatan atau kejadian
yang dapat berupa penjualan, pembelian, peredaran. Peristiwa ini mungkin
tidak satu kali, tapi merupakan peristiwa yang lebih dari satu kali. Jadi
pengertian konsumsi bukan sekedar mengkonsumsi suatu barang yang habis
dipakai seperti makanan, namun lebih kepada pengertian pengeluaran untuk
membelanjakan uang untuk barang termasuk barang yang akan diolah lebih
lanjut.
2.2.2 Pengertian Value Added Tax
Pajak Pertambahan Nilai (Value Added Tax atau Belasting Toegevoegde
Waarde) pada dasarnya merupakan Pajak Penjualan yang dipungut beberapa
kali (multyple stage levies) atas dasar nilai tambah yang timbul pada semua
25 United Nation., Op.Cit., hal. 1.
25
jalur produksi dan distribusi. Jadi PPN ini dapat dipungut beberapa kali pada
berbagai mata rantai jalur produksi dan distribusi namun hanya pada
pertambahan nilai yang timbul pada setiap jalur yang dilalui barang dan jasa.
Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Ebrill dkk bahwa:
“The key features of the Value- Added Tax are that it is a broad-based tax levied at multiple stage of production, with – crucially –taxes on iputs credited against taxes on output. That is, while sellers are required to charge the tax on all their sales, they can also claim in a credit for taxes that they have been charged on their input.”26
Nilai tambah tersebut tercermin pada selisih harga penjualan dengan
harga pembelian. Selisih ini merupakan nilai tambah yaitu semua biaya yang
dikeluarkan dalam memproduksi suatu barang atau menjual kembali barang
tersebut. Nilai tambah ini timbul karena dipakainya faktor produksi di setiap jalur
peredaran dalam menyiapkan, menghasilkan, menyalurkan dan
memperdagangkan barang atau pemberian pelayanan jasa kepada para
konsumen. Juga semua biaya untuk mendapatkan dan mempertahankan laba
termasuk bunga modal, sewa, penyusutan dan upah kerja. Pada setiap
produksi nilai produk dan harga jual produk selalu terdapat nilai tambah antra
lain, yang utama, karena setiap penjual menginginkan adanya keuntungan
sehingga dalam menentukan harga jual, harga perolehan ditambah dengan
laba bruto (mark up).
Sasaran yang dikenakan PPN adalah hanya pertambahan nilai yang
merupakan biaya yang dikeluarkan untuk faktor produksi mulai bahan
baku/bahan pembantu diterima, proses produksi, sampai hasil siap dijual.
Pertambahan nilai ini timbul karena dipakainya biaya-biaya faktor produksi di
setiap jalur produksi dan distribusi. Biaya-biaya tersebut akan tercermin dalam
harga barang yang akan dijual.
Kelebihan Pajak Pertambahan Nilai adalah:
a. Fiscal Advantages
Bagi pemerintah, terdapat beberapa keuntungan jika menerapkan VAT.
Pertama, karena cakupan yang luas yang meliputi seluruh jalur produksi dan
distribusi sehingga potensi pemajakannya juga besar. Kedua, karena sangat
26 Liam Ebrill dkk, The Modern VAT., Washington, D.C.:IMF, 2001, hal.3.
26
mudah untuk menimbulkan value added di setiap jalur produksi dan distribusi
sehingga potensi pemajakannya semakin besar. Terakhir, dengan
menggunakan sistem invoice (Faktur Pajak) lebih mudah untuk mengawasi
pelaksanaan kewajiban perpajakan oleh Wajib Pajak serta mendeteksi adanya
penyalahgunaan hak pengkreditan Pajak Masukan. PPN sebagai pajak tidak
langsung dikenakan pada setiap jalur produksi dan distribusi merupakan mesin
uang (money machine) pemerintah untuk menghimpun sumber penerimaan
negara yang produktif.
b. Psycological Advantages
Keuntungan psikologis dari pajak tidak langsung adalah sering kali
pembayar pajak tidak menyadari telah membayar pajak. Sebagai salah satu
bentuk pajak tidak langsung, keuntungan ini pun melekat (inherent) dalam PPN,
karena pajak pada umumnya sudah dimasukkan ke dalam harga jual/harga
yang dibayar oleh konsumen, maka seringkali konsumen tidak menyadari
bahwa dia sudah membayar pajak. Hal ini berbeda dengan Pajak Penghasilan
dimana pegawai, misalnya merasakan langsung beban pajak tersebut karena
langsung mengurangi gaji yang diterimanya, sementara jika penghasilan
tersebut dibelanjakan, umumnya tidak disadari bahwa ada beban pajak yang
telah dibayar karena harga barang/jasa yang dikonsumsi sebenarnya sudah
termasuk PPN yang dibayar.
c. Economic Advantages
PPN sebagai pajak atas konsumsi, maka keunggulan dari consumption-
based taxation adalah netral terhadap pilihan seseorang apakah akan saving
terlebih dahulu ataukan langsung mengkonsumsikan penghasilan yang
didapatnya. PPN juga diyakini dapat membentuk modal (capital formation) serta
mendorong pertumbuhan ekonomi lebih cepat.
2.2.3 Metode Penghitungan Pajak Pertambahan NilaiMetode penghitungan PPN yang dipilih di Indonesia adalah menerapkan
The Indirect Substraction Method (invoice-based credit atau credit method).
Metode ini merupakan metode yang paling umum digunakan dalam menghitung
PPN di beberapa negara. Melalui metode ini, pengusaha pada setiap tingkat
produksi sampai dengan distribusi mengenakan PPN atas penjualannya
kepada konsumen (the VAT on its output), mengkreditkan PPN yang telah
27
dibayar pada waktu pembelian (the VAT on its input) dan membayar pajak ke
Kas Negara. Pajak yang terutang adalah selisih antara (tarif x nilai penjualan)
dan (tarif x nilai pembelian), dimana t1 dan t2 masing-masing adalah tarif atas
nilai penjualan dan nilai pembelian. Dengan kata lain pajak yang terutang
merupakan selisih antara pajak yang dipungut pada waktu penyerahan barang
(jasa) dengan pajak yang dibayar pada waktu pembelian/perolehan barang
(jasa).
Dalam konsep PPN di Indonesia dikenal dengan Pajak Keluaran
dikurangi dengan Pajak Masukan. Jadi yang dikurangkan disini adalah
pajaknya. Karena adanya sistem kredit pajak maka metode ini dikenal juga
dengan metode kredit (credit method). Untuk mengetahui berapa jumlah pajak
yang dipungut dan yang telah dibayar, dibuktikan dengan adanya Faktur Pajak.
Karena dalam kredit pajak akan dapat berjalan baik bila didukung dengan
adanya Faktur Pajak, maka metode ini dikenal juga dengn metode Faktur Pajak
(Invoice Method). Metode ini merupakan metode asli dari model EEC.
Menurut Terra, ada 3 (tiga) kelebihan utama metode Tax Credit, yaitu
pertama, metode ini hampir secara universal digunakan di banyak negara.
Kedua, metode penghitungan VAT selain metode Tax Credit pada umumnya
lebih memerlukan laporan tahunan daripada laporan bulanan atau kwartalan
(triwulanan). Tentunya hal ini akan sangat membantu pemerinah karena lebih
selaras dengan asas revenue productivity. Ketiga, metode Tax Credit
memberikan kontribusi yang penting, bukan saja bagi penegakkan hukum PPN
itu sendiri, tetapi juga bagi kepentingan pemeriksaan Pajak Penghasilan. Hal ini
dapat dilihat dalam konteks kebijakan pemeriksaan pajak di Indonesia yang
juga kerap kali menerapkan metode equalisasi antara PPN dan PPh.
2.2.4 Yurisdiksi Pemajakan dalam Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai
Berdasarkan destination principle atau prinsip tujuan barang, negara
yang berhak mengenakan pajak adalah negara dimana barang diproduksi atau
dimana barang tersebut dikonsumsi. Jika barang di impor maka akan kena
pajak, tetapi jika barang di ekspor maka tidak akan dikenakan pajak.
“In VAT that defines its tax jurisdictional reach on the destination principle, the tax is imposed in the country of consumption –generally where the goods and services are delivered for personal
28
consumption. Imports are subject to VAT and exports are free of VAT. Most nations with destination principle VAT’s tax only some imported services and zero rate only some exported services.”27
Hampir banyak Negara sekarang ini menggunakan prinsip tujuan
barang, karena lebih netral untuk perdagangan international. Hal ini dilakukan
dalam rangka harmonisasi perpajakan demi tercapainya iklim perdagangan
international yang fair dan netral. Begitu juga dengan kebijakan Pajak
Pertambahan Nilai di Indonesia, menganut prinsip asal barang atau destination
principle.
2.2.5 Penentuan Pengenaan PPN atas Jasa Kena PajakPada penjelasan legal character disebutkan bahwa Pajak Penjualan
(PPn) merupakan pajak atas konsumsi yang bersifat umum (general) dan
ditujukan pada semua private expenditure. Sebagai konsekwensinya, maka
tidak boleh ada diskriminasi atau pembedaan antara barang dan jasa, karena
keduanya merupakan pengeluaran. Karena itu, yang dapat menjadi objek PPN
adalah konsumsi untuk barang dan konsumsi untuk jasa.
Setelah menetapkan konsumsi jasa masuk dalam lingkup objek PPN,
langkah selanjutnya adalah mengkaji pengertian jasa, untuk kemudian dipilih
alternatif yang paling tepat, yang sesuai dengan konsep Value Added Tax,
tetapi sekaligus asas-asas pemungutan pajak (antara lain asas revenue
productivity, equality dan ease administration).
Karakteristik jasa (services) antaranya adalah28:
Intangible yaitu bahwa jasa adalah produk yang tidak berwujud. Berbeda
dengan barang (goods) yang merupakan produk yang secara fisik jelas
wujudnya. Bahkan services dapat dikatakan produk yang bersifat immaterial
sedangkan barang yang sifatnya kongkrit.29
Heterogenous. Produk service adalah produk yang heterogen dimana
komsumen yang satu akan merasakan konsumsi yang berbeda dengan
konsumen yang lainnya. Sebab tidak ada satupun services yang dapat
27 Alan Schenck dan Oliver Oldman, Op.Cit, hal. 22.28Christian Gronross, Service Management and Marketing: Managing the
Momoent of Truthin Service Competition, Singapore, Lexington Books, 1990, hal.28.29 Gerard A Tocquer and Chan Cudennec, Service Asia: How the Tigers can
keep their Stripes, Singapore: Prentice Hall, 1998, hal. 4.
29
dirasakan oleh para konsumen. Sehingga upaya untuk menstandarisasikan
produk jasa sangat sulit dilakukan.30
Production, distribution and consumption simultaneous process. Dalam
produk pelayanan, proses produksi, distribusi dan konsumsi merupakan
sebuah proses yang stimultan, tidak dapat dipisahkan antara satu dengan
yang lainnya.
An activity or process. Pelayanan adalah sebuah aktifitas atau proses,
bukan barang jadi.
Core value produced in buyer-seller interaction. Nilai utama dalam suatu
produk pelayanan terletak pada terjadinya interaksi antara penyedia
pelayanan dan pengguna pelayanan.
Customer participate in the production process. Konsumen terlibat langsung
dalam proses produksinya.
Cannot be kept in stock. Produk jasa tidak dapat disimpan sebagai
persediaan yang dapat dipergunakan untuk kesempatan yang akan datang.
No transfer of ownership. Kepemilikan produk tidak dapat dipindahkan
kepada orang lain. Kepemilikan produk jasa hanya bagi orang yang terlibat
dalam proses produksi, distribusi dan konsumsi dalam sebuah proses yang
stimultan, tidak dapat digantikan atau dipindahkan sama sekali.
2.3 Insentif Pajak
Kebijakan pajak (tax policy) yang merupakan kebijakan fiskal dalam arti
sempit bisa menjadi alat yang dapat dipertimbangkan dalam pemberian insentif
pajak. Pilihan suatu negara mengenai bagaimana menyusun sistem pajaknya
tergantung dari beberapa faktor seperti tingkat pembangunan, kebutuhan dan
keinginan untuk meningkatkan pelayanan umum, dan kapasitas untuk
mengenakan pajak secara efektif. Diperlukan suatu analisa dengan pendekatan
yang multidisiplin, serta berbagai pengetahuan yang beragam dalam
mendesain suatu reformasi sistem perpajakan. Gordon dan Thuronyi
mengemukakan bahwa:
30 Ibid., hal. 4.
30
“To design a package of tax reform proposals, a variety of areas of knowledge must typically be brought to bear. Economicsts should analyze the economic effects of different policy alternatives, as well as their revenue effects. Tax law experts should develop the detailed design of proposed rules, based on knowledge of the details of tax rules of different countries. Tax lawyers with drafting experience should work on the actual legislative language. Lawyers should also ensure the integration of proposed rules with the rest of the legal system (commercial law, constitution, etc). Accountants should advise on the compatibility of proposed tax rules with accounting rules and practices. Experienced tax administrators should evaluate the administrative problem arising from proposed rules and suggest alternatives base on relevant experience (again, with comparative knowledge of practice of different countries where relevant).”31
Reformasi pajak hendaknya dimaksudkan untuk tujuan jangka panjang bukan
untuk kepentingan tujuan jangka pendek. Perubahan sistem pajak seharusnya
tidak bersifat sementara hanya untuk memenuhi kekurangan serta antisipasi
kebijakan pada tahun berjalan. Dalam mendesain suatu sistem perpajakan,
harus dilakukan dengan komprehensif dan holistik, untuk menghindari
seringnya frekuensi pergantian/perubahan kententuan perpajakan tersebut.32
Hal ini sejalan dengan pendapat Bird dan Zolt, “Frequent tax changes increase
enforcement and compliance costs and may increase efficiency costs,
especially where businesses make production and location decisions on the
basis of a particular tax structure”.33
Sistem perpajakan mencakup unsur kebijakan pajak (tax policy) dan
adminstrasi pajak (tax administration), dimana menurut Rosdiana, undang-
undang pajak (tax law) merupakan bagian dari kebijakan pajak.34 Kebijakan
pajak adalah kebijakan fiskal berdasarkan pengertian sempit, sebagaimana
dikemukakan oleh Mansury yaitu “kebijakan yang berhubungan dengan
penentuan siapa-siapa yang akan dikenakan pajak, apa yang akan dijadikan
31Richard K. Gordon and Victor Thuronyi, Chapter 1, Tax Legislative Process,
dalam Victor Thuronyi, Tax Law Design and Drafting, volume 1, ed., New York: International Monetary Fund, 1996, hal. 4-5.
32Haula Rosdiana, Loc.Cit., hal.73.33 Richard M Bird dan Eric M.Zolt, Loc.Cit.,hal.10.34 Haula Rosdiana, Op.Cit., hal.74.
31
dasar pengenaan pajak, bagaimana menghitung besarnya pajak yang harus
dibayar dan bagaimana tatacara pembayaran pajak yang terutang”.35
Pajak memang lebih banyak dimaksudkan untuk meningkatkan
penerimaan dan untuk membiayai program-program pemerintah. Oleh karena
itu politik perpajakan sering kali memperdebatkan untuk apa pajak digunakan
dan berapa tingkat tarif pajak harus dikenakan. Para pembuat kebijakan selalu
menggunakan sistem pajak baik sebagai instrumen kebijakan publik dan politik
dasar. Namun saat ini Steinmo mengatakan bahwa “Policy maker came to
believe that tax incentives could be used as instruments of economic
management”36. Bahkan saat ini banyak yang percaya, kebijakan pajak bisa
dimanipulasi untuk mendorong beberapa jenis perilaku ekonomi, walaupun juga
dapat sementara mengecewakan pihak yang lainnya. Pengertian insentif pajak,
termasuk jika pengeluaran pajak (tax expenditure) digunakan untuk mendorong
kegiatan-kegiatan tertentu atau perilaku ekonomi tertentu. Misalnya biaya untuk
amal dapat dikurangkan dari penghasilan untuk menghitung pajak (charitable
deduction), yang dimaksukdkan untuk mendorong tumbuhnya
philantropy.Termasuk juga kredit mesin untuk mengkontrol polusi. Pada
dasarnya penggunaan insentif pajak adalah sebagai cara untuk memberikan
bantuan pada pemerintah.
Insentif pajak banyak digunakan untuk menarik investasi. Terdapat
bermacam bentuk insentif investasi yang biasanya diklasifikasikan sebagai
insentif keuangan (financial incentives) atau insentif fiskal (fiscal incentives).
Kecenderungan di negara maju menggunakan insentif keuangan dalam
preferensi untuk insentif fiskal. Sebaliknya, negara-negara berkembang lebih
cenderung untuk menawarkan insentif pajak. Hal tersebut karena sering dana
tidak tersedia hanya untuk membuat hibah tunai di depan (an up-front cash
grant) atau memberikan pinjaman (loan). Insentif pajak (tax incentives) paling
banyak didiskusikan dalam kontek sebagai suatu kebijakan menarik investor
untuk menanamkan modalnya di suatu negara. Insentif pajak dianggap
pendekatan yang paling praktis untuk menarik investasi asing langsung (foreign
direct investmen/FDI)
35R.Mansury,Loc.Cit.,hal. 1.36 Sven Steinmo, Tax Policy, USA, Edward Elgar Publishing, Inc., 1998, hal. xiv.
32
Paling tidak terdapat dua isu dasar dalam kebijakan insentif investasi yaitu,
pertama investor atau kegiatan mana yang harus diberikan insentif, dan kedua
apa bentuk insentif yang mereka harus ambil. Pemberian insentif pajak,
dilakukan melalui sistem pajak dan memberikan manfaat dalam bentuk
pengurangan pajak yang seharusnya dibayar. Menurut Easson bentuk insentif
yang paling sering digunakan adalah antara lain:37
“Reduced rates of corporate income tax for particular activities or types
of enterprise;
Tax holiday (i.e. reduction or exemption from tax for a limited duration);
Investment credits or allowances for investment in capital assets;
Accerelated depreciation of capital assets;
Deductions rules that permit an amount greater than actual cost to be
claimed;
Deductions or credits for reinvested profits;
Reduced rates of withholding tax on remittances to the home country;
Reduced personal income tax and/or social security contributions for
executives and employees;
Exemption from, or reduction of, value added tax or other forms of sales
taxation;
Property tax reductions;
Reduces import taxes and duties.”
Pada tahun 1995 UNCTAD melaporkan lebih dari seratus negara
menggunakan insentif pajak untuk menarik investasi asing langsung (foreign
direct investment), sebagaimana disarikan dalam tabel berikut dalam buku
Easson38:
37 Alex Easson, Tax Incentives For Foreign Direct Investmen, Netherlands,
Kluwer Law International, 2004, hal.338Ibid., hal.132
33
Tabel 2.1
Types of tax incentives employed
Insentive Developing countries (52)
Developed countries (51)
Total (103)
Reduced CIT rate 43 40 83Tax holidays 37 30 67Accelerated depreciation 26 21 47Investment allowance 18 8 26Social security reduction 5 7 12Import duty exemption 39 24 63Other 32 13 45Note: the category “other” included both rules on deduction for income tax purposes and reduction in othe taxes (e.g. sales tax or VAT)Source: UNTAD, 1995
Oleh sebab itu perlu diketahui jenis instentif tertentu yang akan dipilih
agar sesuai dengan tujuan atau target yang hendak dicapai. Hampir semua
bentuk insentif pajak menciptakan distorsi dan mempengaruhi perilaku ekonomi
pada satu atau sisi lainnya. Sehingga perumus kebijakan perlu memperhatikan
apa tujuan kebijakan utama yang akan dicapai. Termasuk juga jenis insentif
pajak apa yang paling cocok untuk mencapai tujuan yang diharapkan tersebut.
Insentif pajak dapat didefinisikan baik dalam kontek hukum (statutory
terms) atau secara efektif (effective terms), sebagaimana disitir oleh Stotsky
dan Ley dalam Alex Easson mengatakan bahwa:39
“in statutory terms, it would be a special tax provision granted to qualified investment project (however determined) that represents a statutory favorabel deviations from corresponding provision applicabel to investment projects in general (i.e., projects that receive no special tax provision). an implication of this definition is that any tax provisions that is applicabel to all investment projects does not constitute a tax incentives. In effective terms, a tax incentive would be a special tax provision granted to qualified investment projects that has the effect to lowering the effective tax burden - measured in some way- on these projects, relative to the effective tax burden that would be borne by investors in the absence of the special tax provision.”
Namun demikian insentif pajak baik dalam kontek hukum (statutory
terms) maupun kontek efektif (effective terms), keduanya adalah merupakan
ketentuan ‘khusus (special)’ dan bukan “ketentuan umum (general)” yang
39Ibid., hal.3
34
diberikan dalam bentuk kebijakan. Dari pandangan investor, biasanya tidak
peduli apakah suatu ketentuan pajak memberikan insentif khusus atau
merupakan bagian dari sistem pajak secara umum. Namun demikian tetap
bahwa perbedaan harus dilakukan, ketentuan pajak yang mengatur secara
khusus dan bahagian yang merupakan ketentuan umum. Walaupun diakui
bahwa hal ini kadang-kadang sulit dan bahkan kadang tidak mungkin. Suatu
sistem pajak dapat disusun sedemikian rupa tidak ada patokan (benchmark)
dari mana harus mulai untuk memberikan insentif pajak.
Kerapkali penggunaan berbagai insentif oleh beberapa negara menjadi
kontra produktif, karena kurang memperhatikan hakekat dari tujuan pemberian
insentif tersebut. Lebih lanjut easson mengatakan bahwa
“Countries that introduce a large variety of incentives, each pursuing different objectives and which may be overlapping or conflicting, rarely succeed in achieving any of their desired objectives.”40
Negara-negara yang memperkenalkan berbagai macam insentif, masing-
masing mengejar tujuan yang berbeda dan yang mungkin tumpang tindih atau
bertentangan, jarang berhasil mencapai salah satu tujuan yang diinginkan
mereka.
Oleh sebab itu penting kiranya mengetahui apakah insentif pajak (tax
incentives) menjadi lebih berguna atau efisien yang menerapkan kebijakan
sosial sebagai pengeluaran pemerintah langsung (direct government
expenditures) seperti hibah, pinjaman, subsidi bunga dan pinjaman garanti.
“the term “tax expenditure” has ben used to describe those special provisions of the income tax system which represent government expenditures made through that system to achieve various social and economic objectives. These special provisions provide deductions, credits, exclusions, exemptions, defferals, adn preferential tares, and serve ends similar in nature to those served by direct government expenditures or loan program”41
40Ibid.,hal.158.41Ibid.
35
BAB 3
METODE PENELITIAN
Metodologi dan pendekatan dalam pelaksanaan kajian akademik ini
dibuat dengan menyusun urut-urutan pekerjaan secara sistematis dan
terstruktur mulai dari inventarisasi kondisi eksisting yang mencakup strategi
pengumpulan data sampai pada melakukan analisa. Hasil kajian literature
(benchmarking) data dan juga hasil kajian institusi/perorangan yang lain yang
terkait selanjutnya akan digunakan sebagai bahan analisa dan akan dibuat
inventarisasi data yang memuat tentang evaluasi kelebihan/kekurangannya,
kesesuaiannya dengan kelajiman dunia internasional dan perkembangan
kompetisi pasar, serta kemungkinan keperluan untuk penyesuaian dan
berujung pada analisis tinjaun kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas jasa
kepelabuhanan.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penyusunan kajian akademik
ini adalah pendekatan Yuridis Normatif maupun Yuridis Empiris dengan
menggunakan data sekunder maupun data primer. Metode yuridis normatif
dilakukan melalui studi pustaka yang menelaah (terutama) data sekunder, baik
yang berupa perundang-undangan maupun hasil-hasil penelitian, hasil
pengkajian dan referensi lainnya. Sedangkan pendekatan Yuridis Empiris dapat
dilakukan dengan menelaah data primer yang diperoleh/dikumpulkan langsung
dari masyarakat. Data primer dapat diperoleh dengan cara: pengamatan
(observasi), diskusi (Focus Group Discussion), wawancara, mendengar
pendapat narasumber atau para ahli.
Data akan dianalisis dengan menggunakan metoda induktif, artinya,
menggunakan pendekatan kualitatif karena yang dianalisis adalah meaning dan
understanding dari suatu fenomena sosial sehingga dapat dipahami verstehen
dari suatu interaksi yang terjadi dalam masyarakat.42 Analisis yang bersifat
42 Lihat Steven J. Taylor dan Robert Bogdan, Introduction to Qualitative
Reseach Methods : The Search fo Meanings, Second Edition, Singapore: John Wiley & Sons, hal. 2.
36
deskriptif diawali dengan mengumpulkan informasi mengenai status suatu
gejala yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat kajian.
Informasi tersebut diperlukan dengan tujuan untuk membuat penjelasan secara
sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta tersebut. Diharapkan
diperoleh suatu konsepsi yang komprehensif tentang urgensi pemberian
fasilitas Pajak Pertambahan Nilai Tidak dipungut untuk mendorong
perdagangan internasional. Hal ini sejalan dengan pengertian analisis data
kualitatif menurut Bogdan dan Biklen serta Seiddel sebagaimana dikutip
Moleong, yaitu upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data,
mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat
dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa
yang penting dan apa yang dipelajari, dan menganalisis makna, menemukan
pola dan hubungan-hubungan serta membuat temuan-temuan umum.43
3.1 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan terdiri melalui:
3.1.1 Studi Dokumentasi : Pengumpulan dan Analisis Data SekunderPada tahap awal, pengumpulan data sekunder serta literatur dilakukan
untuk memahami (verstehen) konteks perubahan ketentuan perpajakan dan
relevansinya dengan kondisi objektif yang berlaku saat ini. Tahap awal ini
dilakukan melalui studi dokumentasi. Patton mendefinisikan pengumpulan data
melalui studi dokumentasi sebagai:
“Written materials and other documents from organizational, clinical, or programs records; memoranda and correspondence, official publications and reports; personal diaries, letters, artistic works, photographs, and written responses to-open-ended surveys. Data consist of excerpts from documents captured in a way that records and preserves contexts.”44
Studi dokumentasi dilakukan dengan cara:
43 Lexy J. Moleong, MA., Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi revisi, Bandung:
Penerbit PT Remaja Rosda, 2008.44 Michael Quinn Patton, Qualitative Research and Evaluation Methods, 3rd
Edition, London: Sage Publications, 2002, hal. 4
37
o Mempelajari dokumen-dokumen terkait terutama Keputusan Menteri
Keuangan dan Keputusan serta Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak
mengenai Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Kepelabuhanan.
o Mengumpulkan regulasi-regulasi internasional berkaitan dengan kebijakan
pajak atas jasa kepelabuhanan
o Mengumpulkan data-data masalah khusus yang berkaitan dengan
pengertian jasa kepelabuhanan khususnya untuk angkutan laut luar negeri.
3.1.2 Melakukan Observasi dan Focused Group DiscussionSetelah menganalisis data sekunder, penelitian dilanjutkan dengan
observasi dan Focused Group Discussion (FGD). Yang dimaksud dengan FGD
adalah “The focus group is a special qualitative research technique in which
people are informally “interviewed” in a group-discussion setting”.45 FGD
dilaksanakan dengan cara menginterview 6-12 orang sekaligus dengan
seorang moderator yang memimpin para responden dalam suatu diskusi yang
relatif bebas mengenai suatu topik tertentu. “The procedure is that a researcher
gathers together 6 to 12 people in a room with a moderator to discuss a few
issues”.46 Dalam menyusun kajian akademik ini, topik yang diangkat dalam
FGD adalah perubahan ketentuan Pajak Pertambahan Nilai atas jasa
kepelabuhanan dan implikasinya bagi perdagangan internasional Indonesia.
Teknik pengumpulan data melalui Focused Group Discussion dilakukan dengan
memperhatikan beberapa kelebihannya sebagaimana dikemukakan oleh
Patton, yaitu:
- The natural setting allows people to express opinions/ideas freely.
- Open expression among members of marginalized social groups is encouraged.
- Survey researchers are provided a window into how people talkabout survey topics.
- The interpretation of quantitative survey results is facilitated.- Participant may query one another and explain their answer to
each others.47
45 Ibid, hal. 396.46 Ibid, hal. 433.47 Ibid
38
FGD akan dilakukan dengan pengurus DPP INSA dan DPP APTPI dan
para ahli perpajakan. Observasi juga dilakukan untuk memahami
(understanding) permasalahan-permasalahan yang ada dalam
pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atas jasa kepelabuhanan.
Sebagaimana dikemukakan oleh Kirk dan Miller yang menyatakan bahwa
“natural vision is binocular, for seeing the same thing simulaneously from
more than one perspective gives a fuller understanding of its depth”.48
3.2 Melakukan Analisa Data
Data yang dikumpulkan selanjutnya akan dianalisa, antara lain
menyangkut:
o Analisis kondisi eksisting ketentuan Pajak Pertambahan Nilai atas
jasa kepelabuhanan.
o Merumuskan dan tinjauan (review) implikasi pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai atas jasa kepelabuhanan dalam perdagangan
internasional
o Membandingkan kelajiman internasional mengenai kebijakan
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas jasa kepelabuhanan
Fokus Kajian Studi : Merumuskan justifikasi pemberian fasilitas Pajak
Pertambahan Nilai atas jasa kepelabuhanan.
3.3 Penulisan Laporan dan Presentasi
Sebagai output dari kajian ini, Tim Peneliti akan menyampaikan laporan
kepada DPP INSA dan DPP APTPI berupa laporan kajian akademik Pajak
Pertambahan Nilai atas Jasa Kepelabuhanan. Analisa akan dibuat berdasarkan
kategori-kategori yang diperlukan sesuai dengan maksud dan tujuan studi. Tim
Peneliti akan mempresentasikan temuan-temuan studi dan terbuka terhadap
konfirmasi baik yang bersifat metodologis maupun teknis studi.
Kajian akademik ini juga akan memuat rekomendasi kebijakan dapat
menjadi pedoman bagi policy maker dalam hal ini Kementrian Keuangan untuk
48Jorome Kirk dan Marc L. Miller, Realibility and Validity in Qualitative Reseach,
Qualitative Reseach Methods, Volume 1, London: Sage Publication, 1986, hal. 12.
39
membuat Ketentuan Peraturan Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa
Kepelabuhanan yang sesuai dengan konsep dan teori serta sejalan kebijakan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sebagai ringkasan (summary) dari pendekatan dan metodologi dalam
melaksanakan pekerjaan ini dapat digambarkan secara detil dalam diagram alir
(flow chart) seperti terlihat pada Gambar 3.1 di bawah ini.
Kajian data
eksisting
Review data &
analysis
Analisa hasil kajian akademik PPN atas Jasa
Kepelabuhanan
Interim
Report
Benchmark Kajian lain
Masukan dari
Pengarah
Regulasi
Pemerintah
Review/FGD
asosiasi
para ahli pajak
Draft Final Report &
Presentation
Review & feedback dari
Asosiasi
Dasar – dasar kajian
Pengumpulan
data eksisting
Laporan Akhir dan
Rekomendasi
Gambar 3.1 Diagram alir Metode Penelitian
40
BAB 4
GAMBARAN UMUM JASA KEPELABUHAN
Permintaan atas jasa kepelabuhanan timbul dari besarnya permintaan
terhadap barang. Jasa kepelabuhanan merupakan usaha pengankutan cargo
atau kontainer/peti kemas dari suatu daerah ke daerah lainnya yang didukung
oleh beberapa fasilitas dan jasa lainnya. Jadi, dalam sistem kepelabuhan
terdapat 3 komponen penting meliputi:
a. Infrastruktur yang memadai seperti pelabuhan dan terminal
b. Alat angkut seperti kapal angkut yang dilengkapi dengan peti kemas untuk
mengangkut barang
c. Suatu sistem pengadministrasian yang bertugas untuk memastikan bahwa
kegiatan pengangkutan dapat berjalan dengan baik, efektif dan efisien.
Sementara dalam kegiatan kepelabuhan meliputi beberapa pihak yang terlibat,
antara lain:
Shipowners, pemilik kapal yang memiliki hak untuk membuat keputusan
untuk memberikan jasa dan bagaimana sistem pemberian jasa dilakukan
Terminal operator, pihak yang memberikan jasa servis seperti berthing
(penyandaran kapal) dan cargo handling
Intermodal transport operator, pihak yang menyediakan jasa pelayaran
intermodal yang langsung diantarkan sampai gudang pemilik barang(door to
door)
Ship agent, badan usaha yang mewakili pemiliki kapal sebagai pihak yang
menjalankan kegiatan operasional kapal seperti keberangkatan dan tiba
kapal
Pada umumnya jasa kepelabuhanan dapat dikategorikan dalam 2 sektor.
Pertama, the bulk shipping sector, yaitu jenis jasa kepelabuhan yang sebagian
besar memberikan jasa atas pengangkutan bahan mentah seperti minyak, batu
bara, besi, dan bahan mentah lainny. Kedua, the liner shipping sector, yaitu
jenis jasa kepelabuhan yang sebagian besar memberikan jasa pengangkutan
barang jadi dan barang setengah jadi dari kegiatan industrialisasi seperti
barang tekstil.
41
Operasionalisasi pelabuhan pada hakekatnya merupakan sebuah
sistem. Sistem yaitu sebuah jaringan kerja yang saling berhubungan. Sistem
tersebut terdiri dari beberapa subsistem dan di dalamnya juga
didukung oleh subsubsistem yang lebih kecil. Kesemuanya ini berlangsung
dalam hubungan yang saling kait mengait dan didukung oleh net of
transportation yang menghubungkan pelabuhan dengan daerah hinterland baik
jalan kereta api maupun jalan raya.
Pada dasarnya, sistem industri suatu pelabuhan yang ada terdiri dari
tiga subsistem, yaitu: Port Administration/ Port Authority, Port Bisnis
(Perusahaan Pelabuhan) dan Pengguna Jasa Pelabuhan (Port Users).
Sistem ini berlangsung dan berkembang karena ada manajemen terhadap
aktivitas pelabuhan itu. Dalam konteks ini, manajemen dilihat dalam perspektif
suatu cara untuk mengendalikan dan mengembangkan suatu sistem
ekonomi dengan melakukan pengaturan terhadap fungsi-fungsi sistem
pelabuhan seefisien mungkin49.
Secara umum, kegiatan pengangkutan peti kemas di pelabuhan meliputi
kegiatan berikut:
Gambar 4.1
Kegiatan Pengangkutan Peti Kemas
Sumber : Shipping and Logisctic Management
49Indriyanto, Peran Pelabuhan dalam Menciptakan Peluang Usaha : Kajian
Historis Ekonomis, Universitas Diponegoro, Semarang Jawa Tengah.
42
Peti kemas yang diangkut akan melewati sistem dan line seperti yang
telah digambarkan diatas. Untuk mempercepat pengangkutan peti kemas,
dibutuhkan informasi dalam setiap line pengangkutan. Misalnya, informasi
mengenai pengakutan merupakan indikasi bahwa fisik peti kemas akan
diangkut dan isi dari peti kemas tersebut diinformasikan dalam dokumen-
dokumen terkait. Ketika peti kemas di tutup dan disegel, maka seluruh informasi
mengenai peti kemas tersebut telah dimuat dan peti kemas tersebut tidak dapat
dibongkar kembali. Hal ini menunjukkan bahwa informasi dalam kegiatan
pemuatan peti kemas tersebut merupakan bagian yang sangat penting dan
krusial.
Pada umumnya pelabuhan berfungsi sebagai terminal peti kemas
dimana peti kemas diangkut atau dibongkar dari atau ke dalam truck, diletakkan
di suatu tempat yang telah ditentukan oleh pelanggan. Di dalam terminal peti
kemas terdapat beberapa sistem seperti sistem operasi kapal, sistem
pergerakan peti kemas, sistem penyimpanan barang dan sistem pemberian
informasi. Kegiatan dalam kepelabuhan meliputi hal-hal berikut:
Ketika kapal berlabuh dan bersandar di pelabuhan, peti kemas dikeluarkan
dari kapal. Hal ini dilakukan oleh petugas pembongkaran peti kemas.
Selanjutnya peti kemas berisi barang dikeluarkan dari kapal ke kendaraan
pengangkut untuk di timbun di suatu tempat penimbunan tertentu setelah
memperoleh izin penimbunan dari petugas pelabuhan setempat. Kegiatan
ini meliputi pencatatan jumlah peti kemas yang akan ditimbun.
Ketika barang telah siap untuk dipindahkan, petugas memindahkan barang
tersebut dengan alat angkut. Proses yang sama juga terjadi dalam hal
pemuatan barang.
Berikut bagan proses bongkar muat di terminal:
43
Sumber: Shipping and Logistic Management
Kegiatan operasional dalam proses pengangkutan di pelabuhan meliputi:
a) Berth Planning, kegiatan ini meliputi manajemen informasi pengangkutan
yang meliputi informasi umum seperti rute dan navigasi, keberangkatan dan
tiba di pelabuhan, titik bersandar kapal. Berth Planning ini harus disediakan
fleksibel sesuai dengan keadaan perdagangan
b) Yard Planning, kegiatan ini meliputi rencana pelaksanaan ekspor dan impor,
transit kapal, penggunaan pesi kemas yang kosong, relokasi peti kemas.
Selain itu kegiatan ini juga meliputi pertimbangan apakah kendaraan layak
untuk berlayar dan apakah ada tempat kosong untuk melakukan
Proses dalam kegiatan bongkar muat di pelabuhan
Pemberangkatan kapal
Penumpukan barang di pelabuhan oleh kapal
pengangkut
Pengangkutan peti kemas ke kapal pengangkut
Pengangkutan peti kemas dari tempat pengangkutan
Proses pengemasan di pelabuhan
Tiba di pelabuhan
Penumpukan barang di pelabuhan oleh kapal
pengangkut
Proses pengemasan di pelabuhan
Pengangkutan peti kemas ke tempat penimbunan
Pembongkaran peti kemas dari kapal
pengangkut
Pengangkutan peti kemas ke tempat penimbunan
Gambar 4.2
Bagan Proses Bongkar Muat di
44
penimbunan. Alokasi untuk kegiatan importasi dapat dilakukan apabila
pelanggan telah melaksanakan seluruh kewajiban pembongkaran kapal.
c) Loading/unloading planning, kegitatan ini meliputi seluruh kegiatan
pengangkutan dan kendaraan yang digunakan seperti detail dan spesifikasi
kendaraan angkut yang digunakan, struktur peti kemas, data perhitungan
kekuatan angkut kapal, penggunaan jenis peti kemas, pembongkaran dan
pemuatan barang ke dalam kapal/alat angkut. Selain itu dalam kegiatan ini,
akan diperhitungkan juga banyaknya peti kemas yang akan dikeluarkan
dalam tiap-tiap pelabuhan, saat tiba dan berangkat kendaraan.
d) Railway Planning, pengangkutan saat tiba di pelabuhan
e) Resource allocation planning, kegiatan ini termasuk analisis penggunaan
alat dan sumber daya manusia yang dibutuhkan.
f) Overall Control, kegiatan ini meliputi kontrol kendaraan, kontrol pelabuhan,
kontrol pintu gerbang pelabuhan
g) Terminal operation, kegiatan ini meliputi pemasukan dan pengeluaran
barang di kapal pengangkut dan penunjukan peti kemas.
Jasa-jasa yang disediakan oleh perusahaan pelayaran di Indonesia yang
bergerak dalam jasa kepelabuhan dapat meliputi50:
a) Layanan Bongkar Petikemas
b) Layanan Pemuatan Petikemas
c) Layanan Penerimaan Petikemas
d) Layanan Pengeluaran Petikemas
e) Layanan Container Freight Station
Prosedur yang harus dijalani oleh pelanggan untuk memperoleh jasa
kepelabuhan untuk jasa diatas pada prinsipnya sama, yaitu51:
a. Dalam proses ini pelanggan harus melengkapi dokumen berupa
Master Cabel, CVIA (Container Vessel Identification Advice
Pemberitahuan Identifikasi Kapal Petikemas)
Statement of Fact (Surat Pernyataan Keadaan),
Statement Letter (email baplie file),
Import Summary List (ISL = Daftar Ringkasan Impor),
50 www.tps.co.id
45
Dangerous Cargo List (Daftar Kargo Berbahaya),
Approval from Harbor Master,
Reefer List (Daftar Reefer),
Crane Sequence List (Daftar Urutan Crane),
Discharge Stowage Plan (Rencana Penyimpanan Pembongkaran),
Discharge Bay Plan (Rencana Bay Pembongkaran),
Manifest,
Special Cargo List (Daftar Kargo Khusus)
b. Yard and Berth Planning, yaitu pemeriksaan dokumen dan perencanaan
penanganan peti kemas
c. Vessel Berth Planning, memproses rencana pembongkaran ke dalam
sistem komputerisasi berdasarkan data yang dikirimkan oleh perusahaan
d. Pembongkaran peti kemas, memuat ke dalam chassis head truck serta
membawa peti kemas tersebut ke lapangan penumpukan peti kemas
selanjutnya memberikan konfirmasi atas pembongkaran peti kemas
tersebut.
e. Proses pembongkaran dan pemuatan peti kemas ke dalam truck dilakukan
secara continue
f. Pelaporan hasil kegiatan pembongkaran di lapangan.
46
BAB 5
PERKEMBANGAN KEBIJAKAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS JASA KEPELABUHANAN DI INDONESIA
5.1. Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa
5.1.1. Pengertian JasaPengertian Jasa menurut UU PPN yang berlaku dapat dipersandingkan
sebagai berikut.
Tabel 5.1
Pengertian Jasa menurut UU PPN
UU No. 8
Tahun 1983
UU No. 11
Tahun 1994
UU No. 18
Tahun 2000
UU No. 42
Tahun 2009
Pasal 1 huruf e
Jasa adalah semua kegiatan usaha dan pemberian pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, atau hak tersedia untukdipakai
Pasal 1 huruf e
Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan;
Pasal 1 Angka 5
Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan
Pasal 1 Angka 5
Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
47
5.1.2. Pengertian Jasa Kena PajakPengertian Jasa Kena Pajak berdasarkan Pasal 1 angka 6 UU PPN
2009 adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang ini. Artinya
setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan
hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan atau hak
tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan
barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari
pemesan. Sedangkan pengertian Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap
kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak
Berdasarkan Pasal 4 huruf c UU PPN 2009, Pajak Pertambahan Nilai
dikenakan atas penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang
dilakukan oleh Pengusaha. Untuk menentukan apakah suatu Penyerahan Jasa
Kena Pajak terhutang pajak, harus dipenuhi syarat-syarat berikut :
a. Syarat yang disebutkan dalam Penjelasan Pasal 4 huruf c
Jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak
Penyerahan dilakukan di Daerah Pabean Indonesia
Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya
b. Syarat yang secara implisit tersirat dalam Undang-undang
Yang menyerahkan: Pengusaha Kena Pajak. Pengusaha yang
melakukan kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak meliputi baik Pengusaha
yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3A ayat (1) maupun Pengusaha yang seharusnya dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi belum dikukuhkan.
Termasuk dalam pengertian penyerahan Jasa Kena Pajak adalah Jasa
Kena Pajak yang dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri dan/atau yang
diberikan secara cuma-cuma.Seperti halnya Barang Kena Pajak, semua jasa
adalah Jasa Kena Pajak kecuali jasa yang tidak dikenakan PPN yang diatur
dalam pasal 4A UU No.42 Tahun 2009.
48
5.1.3 Pengertian Jasa Tidak Kena PajakJenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa
tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut, yang diatur dalam Pasal 4 A. Di
bawah ini dipersandingkan.
Tabel 5.2
Pengertian Jasa Tidak Kena Pajak menurut UU PPN
UU No. 8 Tahun 1983
UU No. 11
Tahun 1994
UU No. 18
Tahun 2000
UU No.42
Tahun 2009
Pasal 4 ayat 2Dengan Peraturan Pemerintah diatur penyerahan jenis-jenis jasayang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
Penjelasan Pasal 4Aa.jasa di bidang pelayanan kesehatan medik, seperti dokter umum, dokter spesialis;b.jasa di bidang pelayanan sosial, seperti panti asuhan, jasa pemakaman;c.jasa di bidang pengiriman surat;d.Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi;e.jasa dibidang keagamaan, seperti pemberian khotbah atau dakwah;f.jasa di bidang pendidikan;g.jasa di bidang kesenian, seperti pementasan kesenian tradisional;h.jasa di bidang penyiaran, seperti penyiaran radio dan televisi yang bukan bersifat iklan;i.jasa di bidang angkutan umum, seperti angkutan umum di darat dan di laut;j.jasa di bidang tenaga kerja, seperti jasa penyelenggaraan latihan bagi tenaga kerja;k.jasa di bidang perhotelan;l.jasa telepon umum coin-box dan jasa telegram.
Pasal 4A Angka 3a.jasa di bidang pelayanan kesehatan medik;b.jasa di bidang pelayanan sosial;c.jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko;d.jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi;e.jasa di bidang keagamaan;f.jasa di bidang pendidikan;g.jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan;h.jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan;i.jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air;j.jasa di bidang tenaga kerja;k.jasa di bidang perhotelan;l.jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum."
Pasal 4A Angka 3a. jasa pelayanan kesehatan medis;b. jasa pelayanan sosial;c. jasa pengiriman surat dengan perangko;d. jasa keuangan;e. jasa asuransi;f. jasa keagamaan;g. jasa pendidikan;h. jasa kesenian dan hiburan;i. jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;j. jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;k. jasa tenaga kerja;l. jasa perhotelan;m. jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secaraumum;n. Jasa penyediaan tempat parkir;o. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;p. Jasa pengiriman uang dengan wesel pos; danq. Jasa boga atau katering.
49
Dalam penjelasan Pasal 4A ayat 3 ditegaskan lebih lanjut jenis jasa yang
tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai yaitu jasa tertentu dalam kelompok jasa
sebagai berikut:
a. Jasa pelayanan kesehatan medis meliputi:
1. jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi;
2. jasa dokter hewan;
3. jasa ahli kesehatan seperti ahli akupuntur, ahli gigi, ahli gizi, dan ahli
fisioterapi;
4. jasa kebidanan dan dukun bayi;
5. jasa paramedis dan perawat;
6. jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium
kesehatan, dan sanatorium;
7. jasa psikologi dan psikiater;dan
8. jasa pengobatan alternatif, termasuk yang dilakukan oleh paranormal.
b. Jasa pelayanan sosial meliputi:
1. jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo;
2. jasa pemadam kebakaran;
3. jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan;
4. jasa lembaga rehabilitasi;
5. jasa penyediaan rumah duka atau jasa pemakaman, termasuk
krematorium; dan
6. jasa di bidang olahraga kecuali yang bersifat komersial.
c. jasa pengiriman surat dengan perangko;
Jasa pengiriman surat dengan perangko meliputi jasa pengiriman surat
dengan menggunakan perangko tempel dan menggunakan cara lain
pengganti perangko tempel.
d. jasa keuangan meliputi;
1. jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito
berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lain yang
dipersamakan dengan itu;
50
2. jasa menempatkan dana, meminjam dana, atau meminjamkan dana
kepada pihak lain dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi
maupun dengan wesel unjuk, cek, atau sarana lainnya;
3. jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah,
berupa:
a) sewa guna usaha dengan hak opsi;
b) anjak piutang;
c) usaha kartu kredit; dan/atau
d) pembiayaan konsumen;
4. jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk gadai
syariah dan fidusia; dan
5. jasa penjaminan.
e. jasa asuransi;
Yang dimaksud dengan "jasa asuransi" adalah jasa pertanggungan yang
meliputi asuransi kerugian, asuransi jiwa,dan reasuransi, yang dilakukan
oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis asuransi, tidak
termasuk jasa penunjang asuransi seperti agen asuransi, penilai
kerugian asuransi, dan konsultan asuransi.
f. jasa keagamaan meliputi;
1. jasa pelayanan rumah ibadah;
2. jasa pemberian khotbah atau dakwah;
3. jasa penyelenggaraan kegiatan keagamaan; dan
4. jasa lainnya di bidang keagamaan.
g. jasa pendidikan meliputi;
1. jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa
penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan
luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan
akademik, dan pendidikan profesional; dan
2. jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah.
h. jasa kesenian dan hiburan;
Jasa kesenian dan hiburan meliputi semua jenis jasa yang dilakukan
oleh pekerja seni dan hiburan.
i. jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;
51
Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan meliputi jasa penyiaran radio
atau televisi yang dilakukan oleh instansi pemerintah atau swasta yang
tidak bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang bertujuan
komersial.
j. jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam
negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan
udara luar negeri;
k. jasa tenaga kerja meliputi;
1. jasa tenaga kerja;
2. jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga
kerja tidak bertanggung jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja
tersebut; dan
3. jasa penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja.
l. jasa perhotelan meliputi;
1. jasa penyewaan kamar, termasuk tambahannya di hotel, rumah
penginapan, motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan
kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap; dan
2. jasa penyewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di
hotel, rumah penginapan, motel, losmen, dan hostel.
m. jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan
pemerintahan secara umum;
Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan
pemerintahan secara umum meliputi jenis-jenis jasa yang dilaksanakan
oleh instansi pemerintah, antara lain pemberian Izin Mendirikan
Bangunan, pemberian Izin Usaha Perdagangan, pemberian Nomor
Pokok Wajib Pajak, dan pembuatan kartu Tanda Penduduk.
n. Jasa penyediaan tempat parkir;
Yang dimaksud dengan "jasa penyediaan tempat parkir" adalah jasa
penyediaan tempat parkir yang dilakukan oleh pemilik tempat parkir
dan/atau pengusaha kepada pengguna tempat parkir dengan dipungut
bayaran.
o. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;
52
Yang dimaksud dengan "jasa telepon umum dengan menggunakan uang
logam" adalah jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam
atau koin, yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta.
p. Jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan
q. Jasa boga atau katering.
Dalam Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor 54/PJ.53/2002 tanggal 14
November 2002 tentang Jasa Yang Disediakan Oleh Pemerintah Dalam
Rangka Menjalankan Pemerintahan Secara Umum, dijelaskan lebih lanjut
pengertian jasa ini, yaitu bahwa yang dimaksud dengan jasa yang disediakan
oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum
adalah semua jenis jasa yang berasal dari semua kegiatan pelayanan yang
hanya bisa dilakukan oleh instansi pemerintah meliputi Departemen dan
Lembaga Non Departemen dan tidak dapat dilakukan oleh bentuk usaha lain.
Apabila jasa yang disediakan oleh instansi pemerintah tsb dapat dilakukan oleh
bentuk usaha lain maka jasa tsb dikenakan Pajak Pertambahan Nilai,
sepanjang tidak termasuk jasa yang tidak dikenakan atau dibebaskan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sesuai ketentuan yang berlaku.
Jenis jenis jasa yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah, antara lain
adalah pemberian Izin Mendirikan Bangunan, pemberian Izin Usaha
Perdagangan, pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak, pembuatan Kartu Tanda
Penduduk, pemberian Hak Paten, pemberian Merk, pemberian Hak Cipta,
pemberian Visa, dan pemberian Paspor. Penerimaan dari kegiatan pelayanan
yang dilaksanakan.oleh Pemerintah tsb tersebut merupakan Penerimaan
Negara Bukan Pajak.
53
5.2 Pemetaan Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Kepelabuhanan di Indonesia
5.2.1. Perlakuan PPN atas jasa kepelabuhanan dalam kurun waktu 1983-1994 (Rezim UU No. 8 Tahun 1983)
Sejak tahun 1988, issu PPN atas jasa kepelabuhan cukup marak terbukti
dengan dikeluarkannya beberapa aturan penjelas, penegas atau private ruling
dalam kurun waktu 1983-1994. UU PPN No. 8 tahun 1983 yang kemudian
diperjelas melalui PP No.28 tahun 1988 yang mengakomodasi bahwa jasa
angkutan laut dan angkutan darat yang dilakukan oleh pihak pemerintah
maupun pihak swasta dikeculikan dari pengenaan PPN. Namun jasa tersebut
dibedakan atas jasa EMKL maupun jasa EMKD dan freight forwarding.
Regulasi ini menyebutkan bahwa aturan lebih lanjut mengenai PPN atas jasa ini
akan ditetapkan melalui keputusan menteri keuangan.
Namun selama kurun waktu 1983-1994, pemerintah tidak mengeluarkan
peraturan khusus yang memberikan kepastian mengenai perlakukan PPN atas
jasa kepelabuhanan serta aturan penjelas yang terperinci . Hal ini memberikan
ketidakpastian kepada pelaku usaha mengingat banyaknya variasi jasa yang
berhubungan dengan kegiatan kepelabuhanan. Sebagian besar kententuan
yang dikeluarkan oleh pemerintah hanya berupa Surat Menteri Keuangan,
Surat Edaran atau bahkan hanya sekedar Surat Dirjen Pajak yang bersifat
internal berupa jawaban-jawaban atas pertanyaan pelaku usaha. Jika ditelusuri
lebih lanjut, pertanyaan para pelaku usaha pada umumnya berputar pada
penegasan pemerintah atas perlakuan PPN pada bagian-bagian dari jasa
dalam kegiatan kepelabuhanan. Hingga dikeluarkannya Surat Internal dari
Dirjen Pajak No.1001/PJ.51/1992 tentang PPN atas Jasa Pelabuhan dalam
Jalur Pelayaran Internasional, pemerintah memberikan fasilitas pengecualian
PPN atas jasa kepelabuhanan secara umum. Berikut regulasi berupa Surat
Edaran Dirjen Pajak maupun Surat Dirjen Pajak yang pada umumnya hanya
bersifat internal.
54
Tabel 5.3Peraturan PPN atas Jasa Kepelabuhanan
No.
Dasar Hukum Jenis Kebijakan
1. PP No.28 tahun 1988 tentang pengenaan PPN atas penyerahan BKP yang dilakukan oleh pedagang besar dan penyerahan JKP disamping jasa yang dilakukan oleh pemborong
Dalam penjelasan PP No.28 tahun 1988 jasa yang dikecualikan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai termasuk Jasa angkutan laut dan angkutan darat yang dilakukan oleh pihak Pemerintah maupun oleh pihak swasta. Jasa ini harus dibedakan dengan Jasa Ekspedisi Muatan Kapal Laut dan Expedisi Muatan Darat, Jasa Pengurusan Transportasi (Freight Forwarders), karena jasa pengusaha expedisi ini dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Tata cara penghitungan Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan. (selanjutnya tidak diatur dalam KMK)
2. Pengumuman Nomor PENG-139/PJ.63/1989 tentang pedagang besar sebagai PKP
Pengumuman ini merupakan produk hukum dari Dirjen Pajak yang berisi penegasan mengenai pedagang besar dan penyerahan JKP selain jasa yang dilakukan oleh pemborong serta yang dikeculikan dari pengenaan PPN. Regulasi ini merujuk pada aturan penjelas PP No. 28 tahun 1988.
Dalam regulasi ini disebutkan bahwa setiap PKP wajib melaporkan usahanya sampai batas waktu yang ditentukan oleh regulasi. Selain itu, kewajiban pelaporan usaha juga berlaku bagi pengusaha jasa yang dikecualikan. Dalam regulasi ini, kegiatan kepelabuhanan yang termasuk dalam kelompok jasa yang dikecualikan adalah dalam poin (a) jasa kepelabuhanan, (k) jasa pelabuhan laut dan udaratermasuk di dalamnya.
3. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No.SE-21/PJ.32/1989 tentang PPN yang berhubungan dengan perusahaan pelayaran atau agen pelayaran
Surat ini berisi penjelasan dan penegasan kepada Direktur Jenderal Perhubungan Laut yang berisi: Atas penyerahan jasa pelabuhan terutang PPN,
dan tidak ada pengecualian atas pembebasan pengenaan PPN atas penyerahan jasa pelabuhan.
Namun demikian sesuai dengan kebiasaan internasional, seperti halnya pada penyerahan jasa pendaratan, penempatan dan penyimpanan pesawat udara penerbangan internasional sebagaimana ditegaskan dalam Surat Direktur Jenderal Pajak kepada Direktur Utama Perum Angkasa Pura tertanggal 3 April 1989 No : S-081/PJ.631/1989, maka atas jasa Pelayanan Kapal berupa jasa labuh, tambat, tunda dan telepon kapal untuk pelayaran jalur internasional baik yang dilakukan oleh Perusahaan Asing maupun Perusahaan Dalam Negeri tidak terutang PPN sepanjang negara tempat kedudukan perusahaan pelayaran asing tersebut juga memberikan perlakuan yang sama terhadap perusahaan pelayaran Indonesia.
Atas penyerahan jasa pelabuhan lainnya tetap terutang PPN perlu diketahui bahwa apabila penggantian atas jasa pelabuhan tersebut dibayar oleh pemilik barang atau shipper, Faktur Pajak dibuka atas nama shipper.
Perusahaan Pelayaran Asing dikenakan PPN atas jasa keagenan yang diserahkan oleh Perusahaan Pelayaran. Akan tetapi karena Perusahaan Pelayaran asing bukan PKP, maka perusahaan tersebut tidak dapat mengkreditkan PPN yang telah dibayar. Namun demikian Perusahaan tersebut dapat memperhitungkan PPN sebagai biaya perusahaan.
55
No.Dasar Hukum Jenis Kebijakan
4. Surat direktur Jendral Pajak No. S -75/PJ.321/1990 tentang pengenaan PPN atas jasa pelabuhan
Berkenaan dengan PPN atas jasa pelabuhan yang dikenakan pada perusahaan-perusahaan pelayaran yang melakukan pelayaran internasional menuju Indonesia atau melewati Indonesia, maka sesuai dengan pembicaraan antara Kepala Perwakilan EEC di Jakarta : Mr. Robert van der Meulen, Wakil dari Overseas Shipowner's Representatives Association dan wakil dari Departemen Keuangan, kami sependapat bahwa pengecualian PPN atas jasa pelabuhan bagi kapal-kapal yang melakukan pelayaran dalam jalur internasional akan memberi kontribusi bagi peningkatan ekspor barang-barang Indonesia yang pada akhirnya juga bagi perekonomian nasional Indonesia.
Oleh karenanya, kami memutuskan untuk juga memberikan pengecualian PPN terhadap semua jasa pelabuhan yang digunakan bagi jalur pelayaran internasional kecuali jasa persewaan tanah dan bangunan dalam lingkungan pelabuhan.Dengan demikian jasa pelabuhan yang dikecualikan dari pengenaan PPN terhadap kapal-kapal yang melakukan pelayaran dalam jalur internasional adalah semua jasa pelabuhan yang disediakan oleh Perum Pelabuhan tanpa membedakan negara asal dari kapal yang melakukan pelayaran tersebut antara lain :
Jasa pelayanan kapal Jasa pelayanan barang Jasa pelayanan alat-alat Jasa pelayanan terminal Jasa pelayanan terminal peti kemas Jasa pelayanan rupa-rupa
Pengecualian ini hanya diberikan dengan syarat bahwa kapal-kapal asing tersebut tidak melakukan pengangkutan orang/barang dari suatu pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan lainnya
5. SE - 17/PJ.5.1/1990 tentang PPN atas Jasa Pelabuhan dalam jalur pelayaran Internasional.
Jasa pelabuhan laut dan jasa pelabuhan udara merupakan Jasa Kena Pajak. Namun demikian karena mempertimbangkan hal-hal antara lain seperti :
a. adanya hubungan integral antara jasa pelabuhan dengan jasa angkutan laut yang dibebaskan dari PPN.
b. adanya suatu kelaziman di dunia internasional bahwa jasa pelabuhan bagi pelayaran internasional dikecualikan dari pengenaan PPN,
Menteri Keuangan telah mengambil kebijaksanaan untuk mengecualikan pengenaan PPN terhadap seluruh jasa pelabuhan yang digunakan oleh perusahaan pelayaran asing maupun perusahaan pelayaran Indonesia yang melayari jalur pelayaran internasional. Oleh karenanya jasa pelabuhan berupa :
1. Pelayanan jasa kapal yang terdiri dari labuh, tambat, pandu, tunda dan telepon kapal,
2. Pelayanan barang yang terdiri dari penumpukan dan dermaga,
3. Pelayanan jasa alat-alat yang terdiri dari kran darat, kran apung, forklift, head trunk, chasis, tongkang, BKPP, towing tractor, timbangan dan pemadam kebakaran,
4. Pelayanan terminal yang terdiri dari : stevedoring, cargodoring, receiving, delivery dan oberbrengen,
56
No.Dasar Hukum Jenis Kebijakan
5. Pelayanan terminal peti kemas yang terdiri dari : bongkar muat, gerakan container, penumpukan dan mekanis,
6. Pelayanan tanah bangunan yang terdiri dari : sewa tanah dan sewa bangunan,
Pelayanan rupa-rupa yang terdiri dari : pas pelabuhan, retribusi kendaraan dan telepon extension, yang digunakan oleh kapal-kapal dalam jalur pelayaran internasional tidak dikenakan PPN. Pengecualian ini hanya berlaku sepanjang perusahaan pelayaran tersebut tidak mengangkut orang dan/atau barang dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya di dalam wilayah Indonesia. Namun demikian terhadap persewaan tanah dan bangunan di dalam daerah pelabuhan yang digunakan oleh perusahaan pelayaran (sebagai tempat/kantor perwakilan), tetap dikenakan PPN. Dalam rangka pelaksanaan kebijaksanaan yang baru ini, diminta agar para Kepala KPP menyampaikan materi Surat Edaran ini kepada Perum Pelabuhan di wilayah kerja masing-masing.
6. Surat Direktur Jenderal Pajak No. S-1001/PJ.51/1992 tentanag PPN atas Jasa Pelabuhan dalam Jalur Pelayaran Internasional
1. Penyerahan Jasa Pelabuhan untuk kapal yang melayari Jalur Pelayaran International dikecualikan dari pengenaan PPN kecuali jasa persewaan tanah dan bangunan.
2. Penyerahan yang tidak terutang PPN (baik karena bukan merupakan obyek PPN maupun karena dikecualikan dari pengenaan PPN) secara yuridis fiskal tidak sama dengan penyerahan yang terutang PPN tetapi dikenakan tarip 0%.
3. Konsekwensi yuridis dari masing-masing penyerahan akan sangat berbeda yakni :
- Pajak Masukan dari kegiatan yang penyerahannya tidak terutang PPN tidak dapat dikreditkan, karena Pajak keluarannya tidak ada.- Pajak Masukan dari kegiatan yang penyerahannya terutang PPN tetapi dikenakan tarip 0% tetap dapat dikreditkan terhadap Pajak Keluaran yang ada (yang jumlahnya adalah 0).
Jasa pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam butir 1 di atas yang dikecualikan dari pengenaan PPN, hendaknya tidak ditafsirkan sebagai jasa yang dikenakan tarif 0%.Karena Perum Pelabuhan II melakukan kegiatan usaha jasa yang atas penyerahannya terdapat penyerahan yang terutang dan yang tidak terutang PPN, maka Pajak Masukan atas perolehan barang atau Jasa Kena Pajak yang :
- digunakan semata-mata untuk unit atau kegiatan yang menyediakan jasa tersebut, tidak dapat dikreditkan;- digunakan baik untuk unit atau kegiatan yang menyediakan jasa tersebut, dan unit atau kegiatan yang menyediakan jasa lainnya yang terutang PPN , dapat dikreditkan dahulu untuk sementara waktu, namun dengan catatan bahwa Pajak Masukan tersebut nantinya harus di bayar
57
Setelah dikeluarkan regulasi diatas, pemerintah membuat perubahan
kebijakan atas jasa kepelabuhan dengan diundangkannya Keputusan Dirjen
Pajak yaitu KEP-05/PJ./1994 tentang perluasan kelompok pengusaha yang
dikenakan PPN. Keputusan ini merupakan perubahan dari Pengumuman
Direktur Jenderal Pajak PENG-139/PJ.63/1989 tentang pedagang besar
sebagai PKP. Dalam keputusan terdapat 23 jenis pengusaha jasa yang
dikenakan PPN. Pengusaha jasa yang berhubungan dengan kegiatan
kepelabuhan merupakan bagian dari jasa yang dikenakan PPN.
Adanya perubahan yang demikian menimbulkan kebingungan dan
ketidakpastian dari para pelaku usaha. Setelah diterbitkannya Keputusan Dirjen
Pajak tersebut, maka Direktur Jenderal Pajak juga mengeluarkan beberapa
surat yang pada umumnya berisi jawaban atas pertanyaan para pelaku usaha
yang kegiatan usahanya merupakan bagian dari jasa kepelabuhanan. Berikut
surat-surat internal dari Direktur Jenderal Pajak.
Tabel 5.4
Surat internal Direktorat Jenderal Pajak terkait dengan
No. Dasar Hukum Jenis Kebijakan
1. Surat Dirjen Pajak No. S-535/PJ.53/1994 tentang PPN atas jasa bongkar muat barang ekspor/impor yang diangkut oleh kapal-kapal yang melayari jalur internasional
Keputusan Dirjen Pajak KEP-05/PJ./1994 menetapkan jasa pelabuhan laut dan jasa pelabuhan udara merupakan Jasa Kena Pajak
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-17/PJ.51/1990 menetapkan jasa-jasa pelabuhan yang digunakan oleh kapal-kapal dalam jalur pelayaran internasional tidak dikenakan PPN. Jasa tersebut berupa:
- pelayanan jasa kapal yang terdiri-dari labuh, tambat, pandu, tunda dan telepon kapal
- pelayanan barang yang terdiri dari penumpukan dan dermaga
- pelayanan jasa alat-alat yang terdiri dari kran darat, kran apung, forklift, head trunk, chasis, tongkang, BKPP, towing tractor, timbangan dan pemadam kebakaran
- pelayanan terminal yang terdiri dari: stevedoring, cargodoring, receiving, delivery, dan overbrengen
- - pelayanan terminal peti kemas yang terdiri dari : bongkar muat, gerakan container, penumpukan dan mekanis,
- pelayanan tanah bangunan yang terdiri dari : sewa tanah dan sewa bangunan,
- pelayanan rupa-rupa yang terdiri dari : pas pelabuhan, retribusi kendaraan dan telepon extension
Ketentuan berlaku sepanjang perusahaan pelayaran tersebut tidak mengangkut orang dan/atau barang dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya di dalam wilayah Indonesia
58
No. Dasar Hukum Jenis Kebijakan
Pelayanan jasa pelabuhan terhadap jalur pelayaran internasional berupa jasa pandu, tunda labuh, tambat dari telepon kapal yang menjadi beban perusahaan pelayaran, tidak terutang PPN.
Pelayanan jasa pelabuhan terhadap pembongkaran barang di pelabuhan berupa jasa dermaga, pemindahan ke gudang, jasa penumpukan, jasa alat-alat yang dibebankan kepada pemilik barang, terutang PPN. PPN yang ditagih oleh Perum Pelabuhan merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan atau direstitusi oleh pemilik barang sepanjang pemilik barang adalah Pengusaha Kena Pajak.
Sesuai dengan asas timbal balik, karena ternyata pemberian pengecualian dari pengenaan PPN kepada Perusahaan Pelayaran Indonesia yang melayari jalur internasional dan berlabuh di pelabuhan negara lainnya pada umumnya hanya diberikan terbatas pada jasa pelayanan kapal yang meliputi :a. Jasa labuh,b. Jasa tambat,c. Jasa tunda,d. Jasa pandu,e. Jasa telepon kapal,f. Jasa air untuk kapal.
Maka, atas jasa bongkar muat (tidak hanya pembongkaran saja) yang berasal dari barang ekspor/impor yang diangkut oleh kapal-kapal yang melayari jalur internasional tetap terutang Pajak Pertambahan Nilai, karena pelayanan jasa bongkar muat tersebut merupakan beban dari pemilik barang dan apabila pemilik barang adalah PKP maka atas PPN tersebut dapat dikreditkan atau dapat dimintakan restitusi
2. Surat Dirjen Pajak No. S-1179/PJ.53/1994 tentang penegasan PPN atas PKP Jasa Kepelabuhanan
SE-17/PJ.51/1990 menyebutkan, atas jasa-jasa pelabuhan yang digunakan oleh kapal-kapal dalam jalur pelayaran internasional tidak dikenakan PPN. Jasa-jasa pelabuhan tersebut berupa :
- Pelayanan Jasa Kapal yang terdiri dari labuh, tambat, pandu, tunda, dan telepon kapal.
- Pelayanan barang yang terdiri dari penumpukan dan dermaga
- Pelayanan jasa alat-alat yang terdiri dari kran darat, kran apung, forklift, head trunk, chasis, tongkang, BKPP, towing tractor, timbangan, dan pemadam kebakaran.
- Pelayanan terminal yang terdiri dari : stevedoring, cargodoring, receiving, delivery, dan over brengen.
- Pelayanan terminal peti kemas yang terdiri dari : bongkar muat, gerakan container, penumpukan, dan mekanis
- Pelayanan tanah bangunan yang terdiri dari : sewa tanah dan sewa bangunan.
- Pelayanan rupa-rupa yang terdiri dari : pas pelabuhan, restribusi kendaraan, dan telepon extention.
S-1276/PJ.5/1990 menjelaskan 1 pelayanan jasa pelabuhan terhadap jalur pelayaran internasional berupa jasa pandu, tunda, labuh, tambat, dan telepon kapal yang menjadi beban perusahaan pelayaran, tidak terutang
59
No. Dasar Hukum Jenis Kebijakan
PPN. Pelayanan jasa pelabuhan terhadap pembongkaran barang di pelabuhan berupa jasa dermaga, pemindahan ke gudang, jasa penumpukan, jasa alat-alat yang dibebankan kepada pemilik barang, terutang PPN.
Maka jasa bongkar muat yang berasal dari barang ekspor/impor yang diangkut oleh kapal-kapal yang melayani jalur internasional tetap terutang Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10% dari seluruh penggantian yang dibayar oleh penerima jasa bongkar muat, karena pelayanan jasa bongkar muat tersebut merupakan beban dari pemilik barang dan apabila pemilik barang adalah PKP maka atas PPN tersebut dapat dikreditkan.
Dari surat-surat Direktur Jenderal Pajak diatas terlihat adanya
inkonsistensi perlakuan PPN atas beberapa jasa kepelabuhanan tertentu
dimana terhadap jasa kepelabuhanan tertentu pemerintah memberikan fasilitas
namun tidak memberikan fasilitas atas jasa lainnya. Sementara aturan yang
secara hirarkis lebih tinggi menetapkan adanya pengecualian atas seluruh jasa
kepelabuhanan.
5.2.2. Perlakuan PPN atas jasa kepelabuhanan dalam kurun waktu 1994-2000 (Rezim UU No. 11 Tahun 1994)
Sejak tahun 1983/1985, UU PPN Indonesia mengalami revisi pertama.
Namun, dalam hal pengaturan perlakuan PPN untuk jasa kepelabuhan, masih
menggunakan ketentuan pelaksana lama. Hal tersebut dapat dilihat dari surat
yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak atas pertanyaan para pelaku
usaha bahwa sebagian besar dari surat-surat tersebut masih menggunakan
ketentuan yang mengacu pada peraturan pelakasana UU No. 8 tahun 1983.
Pemerintah tidak mengeluarkan aturan khusus mengenai jasa ini meskipun
dalam kurun waktu sebelumnya terdapat sejumlah pelaku usaha yang meminta
penegasan dari pemerintah. Berikut surat-surat yang dikeluarkan oleh Direktur
Jenderal Pajak yang masih merujuk kepada ketentuan ketika UU No.8 tahun
1983 berlaku.
Surat Direktur Jenderal Pajak terkait dengan
60
Tabel 5.5
Surat Direktur Jenderal Pajak terkait dengan PPN Jasa Kepelabuhanan
No. Dasar Hukum Jenis kebijakan1. Surat Direktur Jenderal
Pajak S-1689/PJ.53/1995 tentang PPN atas Jasa pelabuhan untuk kapal-kapal dalam jalur pelayaran internasional
Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE17/PJ.51/1990, atas penyerahan jasa-jasa pelabuhankepada kapal-kapal dalam jalur pelayaran internasional, tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai, sepanjang kapal-kapal tersebut tidak mengangkut orang dan/atau barang dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya di wilayah Indonesia.
Dalam rentang waktu 1996-1998 pemerintah membuat instrumen baru
mengenai kebijakan fasilitas pemberian PPN Ditanggung Pemerintah.
Kebijakan ini diberikan atas kegiatan impor barang tertentu serta atas
penyerahan jasa yang berhubungan dengan kegiatan impor. Dikeluarkannya
kebijakan ini mempengaruhi pelaku usaha yang melakukan kegiatan
kepelabuhanan. Berikut regulasi yang mengatur kebijakan pemberian fasilitas
PPN Ditanggung Pemerintah (PPN DTP)
Tabel 5.6
Kebijakan Fasilitas PPN Ditanggung Pemerintah
No. Dasar Hukum Jenis Kebijakan
1. Keputusan Menteri Keuangan No.326/KMK.04/1996 tentang tata cara pemberian fasilitas PPN Ditanggung Pemerintah atas penyerahan impor kapal, penyerahan kapal, penyerahan jasa persewaan kapal, penyerahan jasa keagenan kapal, penyerahan jasa perawatan/reparasi kapal dan penyerahan jasa kepelabuhanan
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan jasa persewaan kapal laut, kapal sungai, kapal danau, dan segala jenis kapal yang digunakan untuk kegiatan usaha Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional, tetapi tidak termasuk kapal pesiar perorangan, ditanggung oleh Pemerintah.
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan jasa persewaan kapal penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, dan kapal untuk menangkap ikan, tetapi tidak termasuk kapal pesiar perorangan, ditanggung oleh Pemerintah.
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan jasa keagenan kapal laut, kapal sungai, kapal danau, dan segala jenis kapal yang digunakan untuk kegiatan usaha Perusahaan PelayaranNiaga Nasional, tetapi tidak termasuk kapal pesiar perorangan, ditanggung oleh Pemerintah.
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan jasa kepelabuhanan berupa jasa tunda, jasa pandu, jasa tambat, dan jasa labug, ditanggung oleh Pemerintah.
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan jasa kepelabuhanan kepada kapal-kapal yang melakukan pengangkutan orang dan/atau barang baik antar pelabuhan di Indonesia maupundalam jalur pelayaran internasional, berupa :
1. jasa labuh, jasa tambat, jasa pandu, jasa tunda, dan jasa telepon kapal;
2. jasa penumpukan barang dan jasa dermaga; 3. jasa alat-alat yang terdiri dari kran darat, kran apung,
61
No. Dasar Hukum Jenis Kebijakan
forklift, head trunk, chasis, tongkang,Kapal Motor Penggandeng tipe B (BKMP), towing, tractor, timbangan, dan pemadamkebakaran;
4. jasa terminal yang terdiri dari stevedoring, cargodoring, receiving, delivery, dan overbrengen;
5. jasa terminal peti kemas yang terdiri dari bongkar muat,gerakan kontainer, penumpukan,dan mekanis;
6. jasa tanah bangunan yang terdiri dari sewa tanah, dan bangunan;
7. jasa rupa-rupa yang terdiri dari pas pelabuhan, retribusi kendaraan, dan telepon extension;
ditanggung oleh Pemerintah, sepanjang Penggantian atas penyerahan jasa-jasa kepelabuhanann tersebut merupakan kewajiban Perusahaan Pelayaran. Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan jasa
perawatan/reparasi kapal (docking), termasuk suku cadang dan bahan pembantu yang menjadi satu kesatuan dengan penyerahan jasa perawatan/reparasi kapal tersebut, ditanggung oleh Pemerintah
Keputusan Menteri Keungan 326/KMK.04/1996 mengatur tata cara
pelaksanaan aturan untuk memperoleh fasilitas PPN Ditanggung Pemerintah,
dimana PKP harus mengajukan ke Direktur Jenderal Pajak. Tahun 1998
pemerintah mencabut kebijakan pemberian fasilitas PPN Ditanggung
Pemerintah dengan Keputusan Presiden RI No. 37 tahun 1998. Keppres ini
mencabut Keputusan Menteri Keungan 326/KMK.04/1996 mengenai fasilitas
atas jasa tertentu. Keppres ini menyebutkan bahwa atas Jasa Kena Pajak yang
ditanggung pemerintah hanyalah Jasa pemborongan rumah yang diserahkan
oleh Perumnas, Jasa Kontraktor untuk pembangunan rumah ibadah dan Jasa
Rumah Susun Sederaha. Setelah diundangkannya Keppres ini, maka
perlakuan PPN atas jasa kelabuhanan berlaku seperti sebelumnya.
Perubahan atas regulasi ini juga menimbulkan ketidakpastian bagi para pelaku
usaha sehingga setelah pencabutan fasilitas tersebut, para pelaku usaha
meminta penegasan dari Pemerintah. Pada umumnya surat Direktur Jenderal
Pajak yang berisi penegasan merujuk kepada peraturan dan ketentuan yang
dikeluarkan sebelum tahun 1996. Berikut Surat penegasan dari Direktur
Jenderal Pajak.
62
Tabel 5.7
Surat Direktur Jenderal Pajak terkait dengan
No. Dasar Hukum Jenis Kebijakan
1. Surat Direktur Jenderal Pajak No. S -2196/PJ.532/1998 atas jasa kepelabuhanan
Atas penyerahan jasa kepelabuhanan kepada kapal-kapal yang melakukan pelayaran dalam jalur pelayaran internasional sepanjang perusahaan pelayaran tersebut tidak mengangkut orang dan/atau barang dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya di wilayah Indonesia dan tempat kedudukan perusahaan pelayaran asing tersebut juga memberikan perlakuan yang sama kepada perusahaan pelayaran Indonesia, terhitung mulai 1 September 1990 dikecualikan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE -08/PJ.532/1999 tentang PPN atas Jasa Kepelabuhanan untuk Kapal Jalur Pelayaran Internasional
Pasal (2) dalam Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE -08/PJ.532/1999 menyebutkan:a. Atas hal-hal berikut:- Adanya kelaziman di dunia Internasional bahwa jasa
pelabuhan bagi pelayaran Internasional dikecualikan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
- Adanya hubungan integral antara jasa pelabuhan dengan jasa angkutan laut yang dibebaskan dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
- Azas timbal balik terhadap perusahaan pelayaran Indonesia oleh negara yang mempunyai perjanjian bilateral.
a. Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu Ditanggung Pemerintah, yaitu jasa yang diterima oleh Perusahaan Pelayaran Niaga yang meliputi 1) Jasa persewaan kapal2) jasa kepelabuhanan meliputi jasa tunda, jasa
pandu, jasa tambat dan jasa labuh) kapal3) jasa perawatan/ reparasi (docking)
b. PPN atas jasa dalam jalur pelayaran internasional, ditegaskan bahwa atas penyerahan jasa pelabuhan yang digunakan oleh kapal-kapal dalam jalur pelayaran internasional, tidak dikenakan PPN.
Berdasarkan hal-hal tersebut dengan ini ditegaskan bahwa atas penyerahan jasa kepelabuhanan antara lain : a. Jasa pelayanan kapal yang terdiri dari jasa labuh, jasa
tambat, jasa pandu, jasa tunda dan jasa telepon kapal;b. Jasa pelayanan barang yang terdiri dari jasa
penumpukan dan jasa dermaga;c. Jasa pelayanan alat-alat yang terdiri dari jasa kran darat,
jasa kran apung, jasa forklift, jasa head truck, jasa chasis, jasa tongkang, jasa BKMP (Kapal Motor Penggandeng Tipe B), jasa towing tractor, jasa timbangan dan jasa pemadam kebakaran;
d. Jasa pelayanan terminal yang terdiri dari stevedoring, cargodoring, receiving, delivery dan overbrengen;
e. Jasa pelayanan peti kemas yang terdiri dari jasa bongkar muat, jasa gerakan container, jasa penumpukan dan jasa mekanis
f. Jasa pelayanan rupa-rupa yang terdiri dari pas pelabuhan, retribusi kendaraan dan telepon extension; yang digunakan oleh perusahaan pelayaran asing maupun perusahaan pelayaran Indonesia dalam jalur pelayaran internasional tidak dikenakan PPN. Pengecualian ini hanya berlaku sepanjang perusahaan
63
No. Dasar Hukum Jenis Kebijakan
pelayaran tersebut tidak mengangkut orang dan/atau barang dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya di wilayah Indonesia dan negara tempat kedudukan perusahaan pelayaran asing tersebut juga memberikan perlakuan yang sama kepada perusahaan pelayaran Indonesia (azas timbal-balik).Termasuk dalam pengertian Jalur Pelayaran Internasional adalah jalur angkutan laut dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan angkutan laut ke atau dari luar negeri, misalnya kapal yang masuk ke pelabuhan Indonesia dan membongkar barang muatannya di beberapa pelabuhan Indonesia tanpa memuat barang dari pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia atau sebaliknya.
5.2.3. Perlakuan PPN atas jasa kepelabuhanan dalam kurun waktu 2000-2009 (Rezim UU No. 18 Tahun 2000)
Dalam kurun waktu setelah perubahan ketiga UU PPN yaitu UU No.
tahun 2000, pemerintah membuat instrumen baru atas fasilitas PPN untuk jasa
kepelabuhanan. Instrumen tersebut adalah pembebasan dari pengenaan
PPN. Peraturan Pemerintah berikut mengatur pemberian fasilitas PPN atas jasa
kepelabuhan.
Tabel 5.8
Fasilitas Pembebasan PPN atas Jasa Kepelabuhanan
No. Dasar Hukum Jenis Kebijakan PPN
1. PP Nomor 146 Tahun 2000 Tentang Impor dan Atau Penyerahan BKP Tertentu dan atau Penyerahan JKP Tertentu yang dibebaskan dari pengenaan PPN
Pasal 3 ayat (1) Jasa Kena Pajak tertentu yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah : Jasa yang diterima oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional atau perusahaan penangkapan ikan nasional yang meliputi :a.Jasa persewaan kapal;b.Jasa kepelabuhanan meliputi jasa tunda, jasa pandu, jasa tambat, dan jasa labuh;c.Jasa perawatan atau reparasi (docking) kapal;
Peraturan Pemerintah No.146 tahun 2000 menetapkan bahwa atas jasa
kepelabuhanan tertentu diberikan fasilitas pembebasan PPN. Namun,
pemerintah tidak memberikan ketentuan secara rinci bagian-bagian dari jasa
64
kepelabuhanan yang akan dikenakan PPN atau yang akan diberikan
pembebasan dari pengenaan PPN.
Jika diperhatikan dari sisi historis yang ada, sejak kurun waktu 1988,
setiap regulasi tidak memberikan pengaturan yang pasti mengenai penyerahan
jasa tersebut mengingat jasa-jasa atas kepelabuhan sangat variatif. Hal ini
terlihat dari permintaan penegasan dari para pelaku usaha dimana para pelaku
usaha meminta penjelasan atas penyerahan jasa yang hampir sama.
Berikut merupakan penegasan dari Direktur Jenderal Pajak mengenai
pemberian fasilitas PPN atas jasa kepelabuhanan. Disatu sisi, pemerintah
memberikan fasilitas pembebasan atas jasa kepelabuhanan namun disisi lain
pemerintah tetap mengenakan PPN atas jasa lain yang dilakukan di pelabuhan
seperti jasa pelayanan peti kemas. Berikut penegasan atas hal tersebut:
Tabel 5.9
PPN atas Jasa Pelayanan Peti Kemas
No. Dasar Hukum Jenis Kebijakan PPN
1. Surat Direktur Jenderal Pajak No. S-10/PJ.532/2000 tentang PPN atas jasa kepelabuhanan
Ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan jasa kepelabuhanan adalah jasa pelabuhan yang digunakan bagi kapal dalam jalur pelayaran internasional dan dalam lingkungan pelabuhan.
apabila terdapat jasa pelayanan peti kemas yang dilakukan di luar pelabuhan maka atas jasa tersebut bukan jasa kepelabuhanan dan atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai.
Selain ketidakpastian mengenai pengenaan PPN atas jasa
kepelabuhanan tersebut, para pelaku usaha juga berpendapat bahwa
penerapan PPN atas jasa kepelabuhanan bertentangan dengan Tax Treaty
antara Indonesia dengan negara lainnya yang memiliki hubungan bilateral.
Menurut pelaku usaha aturan pemajakan yang diberlakukan oleh Indonesia
menyalahi aturan Tax Treaty yang dibuat oleh Indonesia-Korea. Atas pendapat
tersebut, Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan aturan berupa surat penegasan
berikut.
65
Tabel 5.10
PPN atas Jasa Kepelabuhanan berdasarkan
No. Dasar Hukum Jenis Kebijakan1. Surat Direktur Jenderal
No. S-1059/PJ.53/2005 tentang penerapan PPN Jasa kepelabuhanan untuk jalur internasional kepada BUT tertentu
Berdasarkan Tax Treaty Indonesia - Korea yang sekaligus dijadikan dasar dalam pembuatan Agency Agreement dengan pihak pelaku usaha, dimana dalam Tax Treaty tersebut secara tegas tercantum bahwa PPN tidak dikenakan bagi perusahaan pelayaran Korea di Indonesia atau sebaliknya perusahaan Indonesia di Korea.
Atas penyerahan jasa-jasa kepelabuhanan oleh penyelenggara jasa pelabuhan kepada perusahaan pelayaran baik nasional maupun asing dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
Jenis jasa-jasa kepelabuhanan yang mendapat fasilitas pembebasan Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa kepelabuhanan meliputi jasa tunda, jasa pandu, jasa tambat dan jasa labuh yang diterima oleh Perusahaan Angkutan Laut Nasional, Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional, Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhanan Nasional atau Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan Nasional.
Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Korea telah mengadakan suatu persetujuan mengenai Penghindaran Pajak Berganda dan Pencegahan Pengelakan Pajak atas Penghasilan (Tax Treaty)dengan demikian pengaturan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dalam hubungannya dengan pengoperasian kapal-kapal dalam jalur pelayaran internasional tunduk pada (diatur dengan) Tax Treaty antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Korea.
Selain penegasan tersebut, pelaku usaha masih meminta penegasan
dari pemerintah atas jasa kepelabuhanan. Berikut surat penegasan dari
pemerintah atas jasa kepelabuhanan.
66
Tabel 5.11
PPN atas Kapal Jalur Internasional
No. Dasar Hukum Jenis Kebijakan
1. S-328/PJ.53/2006
tentang PPN Kapal
Jalur Internasional
Atas penyerahan jasa kepelabuhan kepada kapal-kapal yang melakukan pelayaran dalam jalur internasional maupun tidak, dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
Jenis jasa kepelabuhan yang mendapat fasilitas pembebasan Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa kepelabuhan meliputi jasa tunda, jasa pandu, jasa tambat dan jasa labuh yang diterima oleh Perusahaan Angkutan Laut Nasional, Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional, Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional atau perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan Nasional.
Surat Menteri Keuangan Nomor S-995/MK.04/1990 tanggal 20 Agustus 1990 tentang PPN Atas Jasa Pelabuhan dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-08/PJ.532/1999 tanggal24 Mei 1999 tentang PPN atas Jasa Kepelabuhan Untuk Kapal Jalur Pelayaran Internasional, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan diatasnya (Undang-undang, Peraturan Pemerintah dan Keputusan Menteri Keuangan Tahun 2000), maka dengan sendirinya ketetapan/penegasan tersebut tidak berlaku lagi.
Dari pemetaan kebijakan selama rezim UU PPN diberlakukan pertama
kali tahun 1985 (meskipun UU PPN No. 8 Tahun 1983 pertama kali disahkan
pada tahun 1984), kebijakan pemberian fasilitas PPN atas jasa kepelabuhan
mengalami perubahan yaitu semakin sedikitnya fasilitas yang diberikan atas
jasa kepelabuhan, yaitu dengan mempersempit jenis-jenis jasa kepelabuhan
yang diberikan fasilitas PPN. Hal ini sangat kontradiktif dengan perkembangan
jasa kepelabuhan yang ada saat ini, serta kemungkinan terjadinya jenis-jenis
jasa baru yang ada di pelabuhan yang muncul akibat perkembangan teknologi
navigasi.
67
Tabel 5.12
Bentuk Fasilitas PPN atas Jasa Kepelabuhanan
Rezim PPN
Bentuk Fasilitas
Jenis Jasa Kepelabuhanan yang Mendapat Fasilitas
Rezim UU No.8 tahun 1983
Pengecualian pengenaan PPN
(1988) Jasa angkutan laut, angkutan darat kecuali jasa EMKL dan EMKD
(1989) Jasa kepelabuhanan laut dan udara
(1989) Jasa labuh, jasa tambat, jasa tunda, jasa telepon kapal untuk pelayaran jalur internasional
(1990) Jasa pelayanan kapal, jasa pelayanan barang, jasa pelayanan alat, jasa pelayanan terminal, jasa pelayanan peti kemas, jasa pelayanan rupa-rupa.
(1990) pemberian fasilitas jasa kepelabuhanan semakin dispesifikkan terdiri dari:
o Pelayanan jasa kapal yang terdiri dari labuh, tambat, pandu, tunda dan telepon kapal internasional
o Pelayanan barang yang terdiri dari penumpukan dermaga
o Pelayanan jasa alat-alat yang terdiri dari kran darat, kran apung, forklift, head trunk, chasis, tongkang, BKPP, towing tractor, timbangan dan pemadam kebakaran,
o Pelayanan terminal yang terdiri dari : stevedoring, cargodoring, receiving, delivery dan oberbrengen,
o Pelayanan terminal peti kemas yang terdiri dari : bongkar muat, gerakan container, penumpukan dan mekanis,
o Pelayanan tanah bangunan yang terdiri dari : sewa tanah dan sewa bangunan
(1992) Jasa pelabuhan untuk kapal yang melayari jalur pelayaran internasional.
Rezim UU No.11 tahun 1994
Tidak terutang PPN
(1995) Jasa kepelabuhan kapal jalur pelayaran internasional
(1996) jasa kepelabuhanan kepada kapal-kapal yang melakukan pelayaran dalam jalur pelayaran internasional.
(1999) Jasa kepelabuhanan yang timbul atas kegiatan pelayaran internasional tidak dikenakan PPN terdiri dari:
a.asa pelayanan kapal yang terdiri dari jasa labuh, jasa tambat, jasa pandu, jasa tunda dan jasa telepon kapal;
68
Rezim PPN
Bentuk Fasilitas
Jenis Jasa Kepelabuhanan yang Mendapat Fasilitas
b. Jasa pelayanan barang yang terdiri dari jasa penumpukan dan jasa dermaga;
c. Jasa pelayanan alat-alat yang terdiri dari jasa kran darat, jasa kran apung, jasa forklift, jasa head truck, jasa chasis, jasa tongkang, jasa BKMP (Kapal Motor Penggandeng Tipe B), jasa towing tractor, jasa timbangan dan jasa pemadam kebakaran;
d. Jasa pelayanan terminal yang terdiri dari stevedoring, cargodoring, receiving, delivery dan overbrengen;
e. Jasa pelayanan peti kemas yang terdiri dari jasa bongkar muat, jasa gerakan container, jasa penumpukan dan jasa mekanis
f. Jasa pelayanan rupa-rupa yang terdiri dari pas pelabuhan, retribusi kendaraan dan telepon extension; yang digunakan oleh perusahaan pelayaran asing maupun perusahaan pelayaran Indonesia dalam jalur pelayaran internasional tidak dikenakan PPN.
PPN Ditanggung Pemerintah
(1996) Fasilitas PPN ditanggung pemerintah diberikan atas:
a. jasa persewaan kapal laut, kapal sungai, kapal danau, dan segala jenis kapal yang digunakan untuk kegiatan usaha Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional tidak termasuk kapal pesiar perorangan.
b. jasa persewaan kapal penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, dan kapal untuk menangkap ikan, tetapi tidak termasuk kapal pesiar perorangan
c. jasa keagenan kapal laut, kapal sungai, kapal danau, dan segala jenis kapal yang digunakan untuk kegiatan usaha Perusahaan PelayaranNiaga Nasional, tetapi tidak termasuk kapal pesiar perorangan
d. jasa kepelabuhanan berupa jasa tunda, jasa pandu, jasa tambat, dan jasa labuh
(1999) Fasilitas PPN ditanggung pemerintah diberikan kepada penyerahan jasa persewaan kapal, jasa kepelabuhanan meliputi jasa tunda, jasa pandu, jasatambat dan jasa labuh) kapal, jasa perawatan/ reparasi (docking)
Rezim UU No. 18 tahun 2000
Tidak dikenakan PPN
(2000) Fasilitas tidak dikenakan PPN diberikan atas jasa persewaan kapal, Jasa kepelabuhanan meliputi jasa tunda, jasa pandu, jasa tambat, dan jasa labuh, Jasa perawatan atau reparasi (docking) kapal.
(2006) Jasa yang mendapat fasilitas pembebasan PPN adalah jasa tunda, jasa pandu, jasa tambat dan jasa labuh yang diterima oleh Perusahaan Angkutan Laut Nasional,
69
Rezim PPN
Bentuk Fasilitas
Jenis Jasa Kepelabuhanan yang Mendapat Fasilitas
Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional, PerusahaanPenyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional atau perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan Nasional.
70
BAB 6SKENARIO KEBIJAKAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS
JASA KEPELABUHANAN : URGENSI DAN IMPLIKASI PEMBERIAN TAX INCENTIVES
6.1 Urgensi Pemberian Fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Kepelabuhanan
6.1.1 Pemberikan Fasilitas PPN atas Jasa Kepelabuhanan Ditinjau dari International Best Practice
Negara merupakan otoritas utama yang mempunyai kewenangan untuk
menjamin bahwa aktivitas ekonomi masyarakat dapat dilaksanakan dengan
efisien dan efektif. Dalam konteks ini, kewenangan Negara untuk mendorong
aktivitas tertentu yang dianggap penting menjadi suatu kelaziman yang biasa
dilakukan oleh Negara manapun yang ada di dunia ini. Karena itu, menjadi
suatu kelaziman pula suatu Negara memberikan kebijakan VAT Exemption
ataupun bentuk-bentuk tax incentives lainnya atas suatu barang dan jasa.
Paradigma inilah yang melatari kebijakan tax incentives, baik berupa
pembebasan PPN maupun PPN Ditanggung oleh Pemerintah atas jasa-jasa
kepelabuhan khususnya untuk jalur pelayaran internasional, selama kurun
waktu 1986 sampai dengan tahun 2003. Sebagaimana telah diuraikan dalam
Bab I serta pemetaan kebijakan PPN atas jasa kepelabuhan selama 25 tahun
terakhir (Bab 5), argumentasi pemerintah memberikan fasilitas adalah karena
adanya kelaziman di dunia Internasional bahwa jasa pelabuhan bagi pelayaran
Internasional dikecualikan dari pengenai Pajak Pertambahan Nilai dan azas
timbal balik terhadap perusahan pelayaran Indonesia oleh negara yang
mempunyai perjanjian bilateral.
Sebagai perbandingan beberapa Negara lainnya memberikan fasiltas
PPN atas kegiatan bongkar muat dan kepelabuan untuk beberapa negara,
sebagaimana dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:
71
Tabel 6.1
Fasilitas PPN atas Jasa Kepelabuhanan di Beberapa Negara
No Negara Kebijakan PPN atas kegiatan bongkar muat dan kepelabuhan
1. Thailand* Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Thailand atas industri yang bergerak dalam jasa kepelabuhanan sebagai berikut:
1. Pengecualian kewajiban perpajakan atas leasing kapal
2. Pengecualian pengenaan Pajak Penghasilan atas penjualan kapal bekas atau asuransi yang diterima.
3. Refund atas PPN yang telah dibayarkan dalam kegiatan pengangkutan
2 Singapura* Pemerintah Singapura sangat memperhatikan sistem transportasi laut dan setiap kegiatan yang berlangsung di pelabuhan. Pemerintah Singapura membuat perlakuan khusus dalam hal perpajakan bagi industri yang menyediakan jasa transportasi laut dan pelabuhan. Beberapa pengecualian yang diberlakukan oleh pemerintah Singapura adalah:1. Pengecualian atas pengenaan PPN atas penjualan
kapal2. Pengecualian pengenaan PPN atas persewaan kapal
yang disewakan kepada perusahaan di dalam negeri dan pengenaan PPN impor rendah apabila kapal disewa dari negara lain
3. Pengecualian pengenaan Pajak Penghasilan4. Pengecualian atas jasa-jasa yang diberikan ketika
melakukan kegiatan operasional di pelabuhan5. Pengecualian atas jasa angkutan dari pelabuhan bagi
perusahaan yang Country of Originnya berada di Singapura
Dalam Inland Revenue Authority of Singapore dijelaskan apabila sebelum pemuatan barang kedalam kapal dimungkinkan adanya mengumpulan/penumpukan barang di pelabuhan dari berbagai pengusaha kecil. Ketika kegitan pemuatan itu dilakukan, maka pihak penyedia jasa melakukan penggabungan dalam peti kemas. Apabila pihak yang melakukan penggabungan dan pemuatan barang tersebut memperoleh izin resmi dari pemerintah Singapura, maka jasa atas kegiatan tersebut dikenakan PPN sebesar 0%52.
52Inland Revenue Authority of Singapore Guideline 10th Edition dengan
perubahan terakhir 1 Januari 2011 dan diterbitkan 13 Januari 2011.
72
No Negara Kebijakan PPN atas kegiatan bongkar muat dan kepelabuhan
Malaysia* Kebijakan perpajakan yang ditetapkan oleh pemerintah Malaysia atas perusahaan yang bergerak dalam jasa pelayaran dan kepelabuhan adalah:1. Pengecualian pengenaan PPN ketikan kapal dijual2. Pengecualian pengenaan PPN atas jasa persewaan
kapal apabila kapal tersebut berasal dari dalam negeri3. Pengecualian pajak atas jasa pengangkutan bagi
perusahaan yang berpusat di Malaysia4. Fasilitas penyusutan dipercepat sebesar 60% pada
tahun pertama beroperasi dan 40% ditahun kedua beroperasi
4. Austria** Berdasarkan Decree 584/2003, jika jasa atas kegiatan kepelabuhanan merupakan bagian dari produksi barang dan jasa, maka jasa tersebut merupakan satu kesatuan dengan barang yang diimpor sehingga dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Jika jasa atas kegiatan pemuatan barang merupakan jasa yang terpisah dari produk yang diangkut dan diberikan oleh pihak lain ( diluar pihak yang melakukan transaksi barang), maka atas jasa tersebut tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
5. Irlandia Biaya atas kegiatan pengangkutan atau pemuatan barang dari dalam atau ke luar negari dikenakan PPN sepanjang kegiatan tersebut merupakan satu kesatuan dengan barang yang akan diangkut. Dengan kata lain jasa atas kegiatan pemuatan dan pembongkaran tersebut terintegrasi dengan produk yang akan diperjualkan akan dikenakan PPN dari seluruh nilai barang dan jasa.
Apabila atas kegiatan pembongkaran atau pemuatan barang yang diperjual belikan dilakukan oleh pihak lain dimana jasa tersebut terpisah dari produk yang diperjual belikan, maka atas jasa itu dikenakan PPN sebesar 0%.
6. Rusia Dalam Rusian Tax Code pasal 164.1 dijelaskan bahwa atas jasa-jasa kepelabuhanan dikenakan PPN sebesar 0%. Dalam regulasi tersebut, jasa-jasa yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah53:1. Jasa pelayaran internasional yang berasal dari
Rusia atau menuju Rusia2. Jasa freight forwarding dan seluruh jasa-jasa yang
disediakan oleh perusahaan forwarder. Jasa-jasa ini dapat meliputi jasa pengiriman dan pengangkutan barang, pembongkaran dan
53PricewaterhouseCoopers Rusia, New Law to Change how zero rate VAT is
applied to Transportation Service, Tax Flash Report, Edisi 20 November 2010.
73
No Negara Kebijakan PPN atas kegiatan bongkar muat dan kepelabuhan
pemuatan barang, jasa penyimpanan atau pengeluaran barang dari gudang, jasa asuransi pengangkutan. Namun, dengan adanya ketentuan terbaru, atas jasa-jasa ini dapat dikenakan 0% apabila berada dalam ruang lingkup/ perjanjian dengan perusahaan forwarder.
3. Jasa pengangkutan dan pemuatan barang yang dilakukan di dermaga kapal yang menyeberangi sungai.
7. Guyana Berdasarkan VAT Policy Pasal 41 mengenai transport service dijelaskan sbb:1. Jasa yang timbul akibat aktivitas pelayaran
internasional dikecualikan dari pengenaan PPN. Jasa yang timbul tersebut dapat berupa jasa bongkar muat di pelabuhan, jasa penambatan kapal, jasa penggunaan kargo, jasa pengurusan dokumen impor, jasa handling serta jasa pengankutan dan penyimpanan barang ke gudang. Atas jasa tersebut dikecualikan dari pengenaan PPN apabila jasa tersebut diberikan oleh pihak yang sama dengan yang melakukan eskpor barang. Dengan demikian jasa tersebut dipandang sebagai satu kesatuan dengan barang yang akan diekspor.
2. Apabila pihak yang memberikan jasa tersebut adalah pihak lain atau pihak ketiga atau pihak diluar penghasil produk, maka jasa itu diperhitungkan sebagai penyerahan jasa di dalam negeri sehingga dikenakan PPN.
8. Serbia Dalam Pasal 4 Official Herald of the RS Nos. 84/2004, 86/20084 and correction 61/2007 Pajak Pertambahan Nilai atas jasa pengangkutan tidak dikenakan atas penyerahan jasa berikut:1. Jasa pengangkutan barang yang akan diekspor
atau jasa pengurusan lainnya sepanjang berhubungan dengan barang yang akan dieskpor tersebut
2. Jasa pengangkutan barang untuk diperdagangkan secara internasional yang dilakukan oleh forwarder atau pihak ke tiga lainnya
3. Pengangkutan barang kepada kawasan perdagangan Free Trade Zone dimana pedagang untuk kawasan Free Trade Zone itu telah memiliki fasilitas pengurangan pajak ketika memperoleh barang-barang (sejenis bahan baku ) untuk dijual kembali
4. Penyediaan transportasi dan jasa pengangkutan
74
No Negara Kebijakan PPN atas kegiatan bongkar muat dan kepelabuhan
barang serta jasa lainnya yang berhubungan dengan kegiatan tersebut yang dilakukan di bandara internasional atau pelabuhan internasional atas barang-barang yang akan diperdagangkan di kawasan Free Trade Zone
Sumber : *Thailand Research Institute
** PricewaterhouseCoopers Austria 2005
6.1.2 Perlakuan Khusus Jasa Kepelabuhanan
Prinsip netralitas merupakan salah satu asas/prinsip yang sangat
diperhatikan dalam disain sistem Pajak Pertambahan Nilai. Hal ini tidak lepas
dari historis penciptaan PPN yang memang dimaksudkan untuk mengeliminir
cascading effect dalam Pajak Penjualan. Dengan demikian, sebagai model
penghitungan pajak penjualan yang dianggap paling netral, sudah selayaknya
policy maker mengedepankan asas netralitas dalam mendisain sistem PPN,
sebagaimana tercermin dalam peraturan PPN yang berlaku di Negara yang
bersangkutan.
Gambar 6.1
Prosedur Bongkar Muat
Sumber : Nurwendi Hendriyanto, PT Hutchison Ports Indonesia, 2011
75
Gambar 6.2
Prosedur Pembebanan dan Pengiriman
Sumber : Nurwendi Hendriyanto, PT Hutchison Ports Indonesia, 2011
Jasa kepelabuhanan untuk angkutan laut dalam jalur pelayaran
internasional , sebenarnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
pelayaran internasional itu sendiri. Dalam gambar di atas dapat dideskripsikan
bahwa tidak mungkin barang yang akan dikirim ke luar negeri maupun yang
akan dikirim ke luar negeri dapat dengan sendirinya dimuat ke atas kapal atau
sebaliknya, diturunkan dari kapal. Jasa kepelabuhan yang dilakukan mulai dari
jasa Pelayanan Kapal (antara lain, Jasa Labuh, Jasa Pemanduan, Jasa
Penundaan dan Jasa Tambat), hingga Jasa Pelayanan Barang (antara lain
Jasa Dermaga untuk Peti Kemas, Jasa Peti Kemas di Terminal Peti Kemas,
Jasa Penumpukan Peti Kemas) sepanjang dilakukan dalam jalur pelayaran
internasional sudah seharusnya diperlakukan sesuai dengan asas detination
principle dan kelaziman international.
Sangat disayangkan kemunduran kebijakan PPN atas jasa
kepelabuhanan angkutan laut paska rejim UU No. 18 Tahun 2000. Bukan saja
76
kebijakan ini menafikkan prinsip destination principle, kelaziman internasional,
asas netralitas namun juga mengabaikan prinsip equality karena tidak
memberikan perlakuan PPN yang sama (unequal treatment). Akibatnya tidak
tercipta level playing field yang sama bagi pelaku dunia usaha.
Perbedaan perlakuan PPN ini terlihat dari ada Negara tertentu yang
mendapat perlakuan khusus terkait dengan PPN atas jasa kepelabuhanan.
Dalam Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S - 1015/Pj.343/2005 tentang
Pengenaan PPN yang terdapat dalam Tax Treaty Indonesia - Korea Selatan
tanggal 24 November 2005, merupakan surat permohonan penegasan dari
pihak Wajib Pajak/Pengusaha Kena Pajak mengenai :
1. Apakah PPN termasuk dalam definisi pajak-pajak yang berlaku menurut
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) RI-Korea Selatan;
2. Perlakuan PPN atas jasa kepelabuhanan yang diserahkan kepada kapal-
kapal Korea Selatan, apakah dibebaskan dari pengenaan PPN sesuai
ketentuan Pasal 8 ayat (3) P3B RI-Korea Selatan.
Dalam surat Direktur Jenderal Pajak di atas, menjelaskan bahwa:
a. Sesuai dengan Pasal 2 ayat (3) P3B Indonesia-Korea Selatan, PPN bukan
merupakan jenis pajak yang tercakup dalam P3B. Hal ini sesuai pula
dengan model-model P3B yang dianut oleh Indonesia, yakni OECD Model
Tax Convention dan UN Model Tax Convention;
b. Namun demikian, masalah PPN telah masuk dalam ketentuan P3B RI-
Korea Selatan yakni pada Pasal 8 ayat (3) yang redaksi aslinya berbunyi :
"In respect of the operation of ships or aircraft in international traffic carried
on by an enterprise of a contracting State, that enterprise, if an enterprise,
of Indonesia shall also be exempt from the value added tax in Korea and, if
an enterprise of Korea, shall also be exempt from any tax similar to the
value added tax in Korea which may hereafter be imposed in Indonesia";
c. Masuknya PPN dalam klausul P3B tersebut tidak terlepas dari situasi dan
kondisi saat perundingan dilaksanakan, yakni bahwa pada saat pemarafan
draft P3B dilakukan (April 1985), Indonesia dalam masa hendak
menerapkan UU PPN hasil reformasi perpajakan tahun 1983.
d. Dalam Pararaph 1 of Article 3 dari P3B Indonesia - Korea Selatan
dinyatakan bahwa :
77
(g) the term "international traffic" means any transport by a ship or aircraft
operated by an enterprise of a Contracting State, except when the ship
or aircraft is operated solely between places in the other Contracting
State;
(f) the term "enterprise of a Contracting State" and "enterprise of the other
of a Contracting State" mean, respectively, an enterprise carried on by
a resident of a Contracting State and an enterprise carried on by a
resident of the other Contracting State;
Sementara itu dalam Paragraph 1 of Article 4 dinyatakan bahwa :
... the term "resident of a Contracting State" means any person who, under
the laws of that Contracting State, is treated as a resident for tax purposes
in that Contracting State. But this term does not include any person who is
liable to tax in that State in respect only of income from sources in that
States.
3. Selanjutnya dalam surat tersebut memberikan penegasan sebagai berikut :
a. Sepanjang jasa-jasa kepelabuhanan yang diserahkan pihak Indonesia-
Korea Selatan dimaksud terkait dengan international traffic dan
penerima jasa betul-betul merupakan kapal-kapal yang dimiliki dan
dioperasikan oleh perusahaan Korea Selatan, maka secara timbal balik
dibebaskan dari pengenaan PPN;
b. Untuk mengantisipasi bahwa fasilitas P3B tersebut tidak
disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak berhak, maka diharapkan
dapat meneliti lebih lanjut apakah kapal-kapal yang mengaku atau
berbendera Korea Selatan tersebut betul-betul dimiliki dan
manajemennya dioperasikan oleh perusahaan yang merupakan
resident Korea Selatan.
Pembebasan PPN yang hanya diberikan pada perusahaan Korea
menyebabkan terjadinya disparitas beban pajak karena adanya perlakuan pajak
yang tidak sama. Akibatnya tidak tercipta kompetisi yang sehat dan adil, karena
beban pajak yang dibayar resident Korea Selatan lebih rendah, sehingga
mereka lebih leluasa dalam menentukan harga yang lebih kompetitif. Sebagai
78
gambaran kasar, implikasi perbedaan beban pajak antara jasa yang tidak
mendapatkan fasilitas PPN dan yang mendapat fasilitas PPN adalah sebagai
berikut:
Tabel 6.2
Perbedaan Beban Pajak Antara Barang/Jasa yang Mendapat Fasilitas
Pembebasan PPN dan yang Tidak Mendapatkan Fasilitas PPN
Tidak Mendapat Fasilitas PPN(Terhutang PPN)
Mendapat Fasilitas PPNDibebaskan PPN
Penjualan 1,000.00 1,000.00 Harga Pokok (600.00) (660.00)
Laba kotor 400.00 340.00 Biaya oprasional (200.00) (200.00)
Laba bersih 200.00 140.00
Pajak Keluaran 100.00 - PM dapat dikreditkan (60.00) -
PPN Kurang Bayar/disetorkan ke Kas Negara
40.00 -
Beban PajakPPh Badan (tarif 25%) 50.00 35.00 PPN disetorkan 40.00 -
Total Beban Pajak 90.00 35.00
6.1.3 Beberapa Skenario Kebijakan PPN atas Jasa Kepelabuhanan dan Implikasinya (Sesuai dengan Konsep/Teori PPN)
Secara konseptual, dalam PPN dikenal 2 (dua) bentuk VAT Incentives,
yaitu berupa exemption dan zero rate. Masing-masing bentuk ini mempunyai
implikasi kebijakan yang berbeda sebagai konsekuensi logis sistem VAT yang
dianut oleh Negara besangkutan, maupun karena inherent dengan legal
character dari VAT baik secara konseptual teoritis maupun dari secara teknis.
Perbedaan implikasi kedua bentuk insentif PPN adalah sebagai berikut:54
54 Haula Rosdiana, Evaluasi 25 Tahun Implementasi PPN di Indonesia, 2011.
79
6.1.3.1 VAT Exemption
i. VAT Exemption, misalnya melalui kebijakan object exemption
memberikan konsekuensi legal bahwa Pengusaha yang melakukan
penyerahan/transaksi atas barang/jasa yang dibebaskan/dikecualikan
dari pemungutan PPN tersebut, bukan merupakan taxable person,
karena tidak memenuhi syarat-syarat sebagai taxable supplies.
ii. Sebagai konsekuensi dari metode penghitungan VAT, baik direct
maupun indirect substraction method, maka atas semua VAT input yang
terkait dengan perolehan barang atau jasa yang diberikan fasilitas VAT
exemption tersebut tidak dapat dikreditkan. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa secara ekonomis, masih ada VAT burden yang dapat
dialihkan, baik pada konsumen atau produsen.
iii. Jika pengusaha tersebut juga melakukan penyerahan yang bukan
merupakan VAT exemption, maka pemerintah dan legislasi harus
mendisain kebijakan khusus, baik yang terkait dengan masalah
Disallowed VAT input maupun mekanisme VAT credit lainnya.
iv. Apabila kebijakan insentif ini diberikan dalam bentuk kebijakan yang
bersifat ad hoc atau tidak disebutkan secara eksplisit dalam UU, maka
pemerintah pada umumnya mendisain kebijakan administrative untuk
mengawasi implementasinya agar tidak disalahgunakan. Dalam konteks
inilah kemudian beberapa kontrol pengawasan dilakukan, misalnya
dengan memberlakukan semacam Surat Keterangan Bebas (SKB).
6.1.3.2 Zero Rate
Berbeda dengan exemption, meskipun secara ekonomis mempunyai
kelebihan, yaitu netralitas atau cascading effect sepenuhnya dapat dihindari
sehingga secara konseptual teoritis dapat mengurangi tax burden bagi para
pelaku usaha maupun konsumen, namun secara administratif terdapat
beberapa konsekuensi pemajakannya, antara lain:
i. Karena dalam zero rate, sebenarnya VAT output tetap dianggap ada
(dengan nilai 0), maka sudah dapat dipastikan bahwa akan selalu terjadi
kelebihan pembayaran PPN, sepanjang terdapat VAT input yang memang
tidak termasuk dalam kategori disallowed VAT input.
80
ii. Sebagai konsekuensi poin i di atas, maka cost of taxation timbul jika
prosedur VAT Refund tidak didisain dengan fleksibel, sehingga pada
akhirnya taxable person (Pengusaha Kena Pajak) masih harus menanggung
compliance cost, baik yang bersifat tangible maupun intangible (misalnya
time cost dan phycological cost).
iii. Kebijakan ini pada akhirnya tidak dapat berdiri sendiri, melainkan juga harus
terintegrasi dengan kebijakan administrasi perpajakan. Sepanjang kebijakan
VAT Refund tidak dibuat dengan memenuhi asas ease of administration,
maka cost of taxation bagi kedua belah pihak, baik Pengusaha Kena Pajak
(dari sisi compliance cost), maupun fiskus (dari sisi administrative cost/
enforcement cost) justru mungkin lebih besar dibandingkan dengan VAT
Exemption.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka konsekuensi pilihan dari dua
alternative skenario kebijakan di atas, dapat dipetakan dalam gambar sebagai
berikut:
Gambar 6.3
Implikasi Kebijakan VAT Exemption bagi Pengusaha Kena Pajak
Compliance Cost (Low)
Compliance Cost (High)
VAT BurdenLow
VAT BurdenHigh
81
Gambar 6.4Implikasi Kebijakan Zero Rate Bagi Pengusaha Kena Pajak
Compliance Cost (Low)
Compliance Cost (High)
6.2. Implikasi Pemberian Fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Kepelabuhananan dalam mendorong Perdagangan Internasional Indonesia
Selama 25 tahun implementasi PPN di Indonesia, Pemerintah telah
mengembangkan model insentif/fasilitas PPN menjadi beberapa skenario
kebijakan, antara lain:
a) PPN Dibebaskan
b) PPN Tidak Dipungut
c) PPN Ditunda
d) PPN Ditangguhkan
e) PPN Ditanggung Pemerintah
f) PPN Dibayar Pemerintah
Meskipun demikian, fasilitas PPN yang secara eksplisit terdapat dalam Pasal
16B UU PPN 2009 hanya terdiri dari Pajak Terutang Dibebaskan dan Pajak
Administrative/Enforcement
Cost(Low)
Administrative/Enforcement
Cost(High)
82
Terutang Tidak Dipungut. Karena itu, analisis atas insentif PPN atas jasa
kepelabuhan akan difokuskan pada 2 (dua) alternatif VAT incentives tersebut.
6.2.1 Implikasi Fasilitas Pajak Terutang Tidak Dipungut atas Jasa Kepelabuhanan
Pemberian fasilitas Pajak Terutang Tidak Dipungut pada hakekatnya
mempunyai konsekuensi kebijakan yang hampir sama dengan zero rate,
namun mempunyai implikasi yang jauh lebih luas. Pertama, karena kebijakan
ini seperti memperlakukan bahwa PPN tetap terhutang, namun tidak dipungut.
Konsekuensinya adalah adanya tuntutan untuk tetap memenuhi prosedural/
kebijakan administratif pengenaan PPN yang berlaku umum, seperti
menerbitkan Faktur Pajak. Dimana Faktur Pajak tersebut menjadi alat kontrol
pemerintah maupun Pengusaha Kena Pajak untuk memastikan bahwa fasilitas
ini diberikan sebagaimana mestinya. Karena itu otoritas perpajakan
mengharuskan agar Faktur Pajak tersebut diberi cap “PPN Tidak Dipungut
Eks……. (Nama Peraturan yang Berlaku)”, guna memastikan bahwa fasilitas
dimanfaatkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.55
Keunggulan Pajak Terutang Tidak Dipungut, seperti halnya fasilitas zero
exemption adalah secara konseptual teoritis selaras dengan asas netralitas dan
tidak menimbulkan cascading effect. Artinya, secara harfiah, kebijakan ini
merupakan fasilitas dalam arti sebenarnya, karena semua Pajak Masukan yang
sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak tetap dapat dikreditkan, sehingga
tidak dibebankan dalam harga jual. Namun keunggulan ini mempunyai
konsekuensi administrasi yang luas karena spectrum kepentingan Negara
mengharuskan keterjagaan antara keselarasan asas ease of administration dan
asas revenue productivity. Diantara spektrum inilah konsepsi cost of taxation
harus dicermati oleh para perumus kebijakan maupun pelaku usaha agar
alternatif kebijakan yang dipilih, atau usulan kebijakan yang direkomendasikan
dilakukan dengan menyadari konsekuensi yang timbul secara komprehensif.56
Ada 5 (lima) Indikator Cost of Taxation, yaitu :
1. compliance costs
2. administrative costs,
55 Haula Rosdiana, Evaluasi 25 Tahun Implementasi PPN di Indonesia, 2011.56 Loc. Cit.
83
3. deadweight efficiency loss from taxation,
4. the excess burden of tax evasion, dan
5. avoidance costs57
Pengusaha Kena Pajak harus menangung Compliance cost, berupa
biaya-biaya atau beban-beban yang dapat diukur dengan nilai uang (tangible)
maupun yang tidak dapat diukur dengan nilai uang (intangible) yang harus
dikeluarkan/ditanggung berkaitan dengan proses pelaksanaan kewajiban-
kewajiban dan hak-hak perpajakan. Sebagaimana dikemukakan oleh Cedric
Sandford, Compliance costs tidak selalu biaya yang tangible yang dapat dinilai
dengan uang, tetapi juga dengan biaya yang intangible, sebagaimana dapat
dilihat dalam kutipan berikut ini:
Tax guru Cedric Sandford found that across a sample of UK industry VAT compliance costs in broad terms some 4% of revenues raised, which in macro-economic terms is 1.5% of GDP – a large sum of money for companies to bear. He also laid out three separate elements to the costs of compliance:1. Fiscal costs – the employee costs of running day to day VAT
accounting, the cost of expertise to understand and keep up with changes in policies and rates, the cost of submitting VAT returns, and the cost of external accountants for operational and advisory services
2. Time costs – the cost of senior management time in overseeing the function – in theory these can be turned into money, but in reality this is a very scarce resource in a company
3. Psychological costs – the significant worry brought about the fact that the onus is squarely on the business to conduct their VAT affairs properly, with financial and even criminal sanctions for failing to do so. VAT regulations can be very complex, and many companies know they lack some of the knowledge required to be certain that they are using the correct policies and rates for all their transactions. This “ fear factor” is often highlighted as a component of compliance costs, even though it is not easily quantified.58
a. Fiscal Costs/Direct Money Costs
Dari sisi Wajib pajak, Fiscal Costs/Direct Money Costs, adalah biaya
atau beban yang dapat diukur dengan nilai uang yang harus
57 Op.Cit58 Jon Abolins, VAT compliance costs – heavier than you realise?, 25 Maret
2002, http://www.accountingweb.co.uk/ cgi-bin/item.cgi?id=76097"
84
dikeluarkan/ditanggung oleh Pengusaha Kena Pajak berkaitan dengan proses
pelaksanaan kewajiban-kewajiban dan hak-hak perpajakan. Termasuk dalam
kelompok biaya ini adalah:
a) honor/gaji staf/pegawai Divisi Pajak (atau Divisi Akuntansi yang menangani
masalah perpajakan, pembukuan, pengisian/pembuatan Faktur Pajak,
Pemeriksaan Faktur Pajak Masukan dan Pengarsipannya, dan sebagainya);
b) jasa konsultan yang disewa Wajib Pajak;
c) biaya transportasi pengurusan perpajakan (misalnya biaya menyampaikan
SPT Masa PPN, biaya transport untuk menyetorkan PPN dan lain-lain);
d) biaya pencetakan dan penggandaan formulir-formulir perpajakan (tinta,
kertas, fotocopy, cetak SSP/Faktur Pajak Standar, dan lain lain);
e) biaya representasi (jamuan), dll.
b. Time cost
Selain fiscal cost yang tangible, compliance costs juga terdiri dari biaya
yang intangible dalam bentuk time costs dan Psychological costs. Time Costs
adalah biaya berupa waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan kewajiban-
kewajiban dan hak-hak perpajakan, misalnya:
a) Waktu yang dibutuhkan untuk mengisi formulir-formulir perpajakan.
b) Waktu yang dibutuhkan untuk mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) dan
menyampaikan SPT.
c) Waktu yang diperlukan untuk mendiskusikan tax management dan tax
exposure dengan pihak konsultan pajak.
d) Waktu yang diperlukan untuk membahas Laporan Hasil Pemeriksaan/
closing conference dengan pihak Fiskus/Pemeriksa Pajak
e) Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan keberatan dan atau banding.
c. Psychological Costs
Psychological costs /Psychic costs adalah biaya psikis/psikologis –
antara lain berupa stress dan atau ketidaktenangan, kegamangan, kegelisahan,
ketidakpastian yang terjadi dalam proses pelaksanaan kewajiban-kewajiban
dan hak-hak perpajakan, misalnya stress yang terjadi saat pemeriksaan pajak,
saat pengajuan keberatan dan atau banding.
85
Berdasarkan konsepsi cost of taxation tersebut, implikasi kebijakan
Pajak Terutang Tidak Dipungut adalah sebagai berikut:
Tabel 6.3
Implikasi Skenario 1 : Beberapa Kelebihan dan Kekurangan Bagi PKP
Kelebihan KekuranganNetralitas penuh Beban Administrasi yang TinggiMendorong Harga yang Kompetitif
Direct Money Costs, Time Costs untuk pengajuan restitusi
Dapat Menghemat Cashflow
Direct Money Costs, Time Costs dan Phyciological Costs dalam menghadapi pemeriksaanDiperlukan analisis yang mendalam untuk menghitung cost and benefit terkait dengan pengajuan restitusi dan menghadapi pemeriksaan
Tabel 6.4
Implikasi Skenario 2 (Optimis): Beberapa Kelebihan dan Kekurangan Bagi
PKP
Kelebihan KekuranganNetralitas penuh Beban Administrasi yang
Tinggi, terkait Faktur PajakMendorong Harga yang KompetitifMenghemat CashflowMendorong ProduktivitasMinimalisir compliance cost terkait dengan pengajuan restitusi dan menghadapi pemeriksaan
Skenario 2 (Optimis). a. Fasilitas : PPN Tidak Dipungut Atas Jasa Kepelabuhananb. Ketentuan Restitusi : Ada Kebijakan Khusus yang Pro Corporate Cashflow Tax dan Selaras Asas Ease of Administrationc. Ketentuan Pemeriksaan : Sederhana
Skenario 1. a. Fasilitas : PPN Tidak Dipungut Atas Jasa Kepelabuhananb. Ketentuan Restitusi : Sesuai Kondisi Saat inic. Ketentuan Pemeriksaan : Sesuai kondisi saat ini
86
Tabel 6.5
Implikasi Skenario 2 (Moderat) : Beberapa Kelebihan dan Kekurangan
Bagi PKP
Kelebihan KekuranganNetralitas penuh Beban Administrasi yang
Tinggi, terkait Faktur PajakMendorong Harga yang kompetitif secara parsial
Ketidaksamaan perlakuan
Menghemat Cashflow secara parsial Kompetisi Tidak SehatMendorong produktivitas secara parsialMinimalisir compliance cost terkait dengan pengajuan restitusi dan menghadapi pemeriksaan secara terbatas.Mendorong PKP untuk mendapatkan kategorisasi khusus
Gambar 6.5
Skenario Kebijakan Pajak Terutang Tidak Dipungut
Skenario 3 (Moderat). a. Fasilitas : PPN Tidak Dipungut Atas Jasa Kepelabuhananb. Ketentuan Restitusi : Ada Kebijakan Khusus yang Pro Corporate Cashflow
Tax dan Selaras Asas Ease of Administration, namun terbatas pada PKP Tertentu
c. Ketentuan Pemeriksaan : Dualisme Kebijakan
87
6.2.2. Implikasi Fasilitas Pajak Terutang Dibebaskan atas Jasa Kepelabuhanan
Fasilitas Pajak Terutang Dibebaskan secara parsial memang masih
mendistorsi harga sebagai konsekuensi Pajak Masukan yang sudah dibayar
PKP tidak dapat dikreditkan sehingga PKP cenderung menjadikan sebagai
unsur biaya (cost). Dengan demikian, manfaat fasilitas ini sebenarnya bukanlah
berupa pengurangan 10% dari harga, namun sesuai dengan prosentase nilai
tambah dikurangi dengan Pajak Masukan yang sudah dibayar oleh PKP.
Kebijakan ini tidak cenderung mempunyai dampak administratif yang
lebih luas dibanding kebijakan PPN tidak Dipungut, karena kemungkinan PKP
mengajukan restitusi tidak sebesar kebijakan Pajak Terutang Tidak Dipungut.
Meskipun demikian, cost of taxation, khususnya compliance cost akan tinggi
jika fasilitas Pajak Terutang Dibebaskan tidak dilakukan secara otomatis,
melainkan mengharuskan adanya prosedur persetujuan oleh Otoritas Pajak.
Berdasarkan kondisi-kondisi di atas, maka implikasi kebijakan dapat
dibedakan menjadi 3 (tiga), yaitu Optimis, Moderat dan Pesimis sebagaimana
dapat dilihat dalam gambar di bawah ini.
Gambar 6.6
Skenario Kebijakan Pajak Terutang Dibebaskan
88
Implikasi dari 3 (tiga) scenario di atas adalah sebagai berikut:
Tabel 6.6
Implikasi Kebijakan PPN Dibebaskan atas Jasa Kepelabuhanan
Berdasarkan Skenario Optimis, Moderat dan Pesimis
Optimis Moderat Pesimis
Kelebihan Compliance Costdapat diminimalisir
Compliance Costterjadi pada awal pengajuan SKB
Compliance Costtinggi
Kekurangan Harga tidak dapat kompetetif secara penuh
Harga tidak dapat kompetetif secara penuh
Harga tidak dapat kompetetif secara penuh
6.3. Urgensi dan Implikasi Pemberian Fasilitas PPN atas Jasa Kepelabuhanan
6.3.1. Urgensi Pemberian Fasilitas PPN
Secara garis besar. magnitude kebijakan fasilitas PPN atas jasa
kepelabuhanan dapat tergambar dalam jumlah pelabuhan yang ada di
Indonesia sebagaimana dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
Tabel 6.7
Jumlah Pelabuhan di Indonesia
Tabel 6.7 di atas menunjukkan bahwa jumlah pelabuhan di Indonesia terus
mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat pula dalam grafik berikut ini:
89
Grafik 6.1
Jumlah Pelabuhan di Indonesia Tahun 2005-2009
Banyaknya pelabuhan yang ada di Indonesia mengindikasikan kebutuhan jasa
kepelabuhan yang tinggi. Berdasarkan informasi yang disediakan oleh Asosiasi
Penyedia Jasa Logistik di Indonesia yang bernaung dibawah KADIN bahwa
terdapat sekitar 941 perusahaan yang menjadi anggota Indonesian National
Shipwoners Association). Dari jumlah tersebut, 82% adalah milik swasta
nasional yang mengoperasikan kurang lebih 3 kapal, 4% perusahaan dimiliki
oleh swasta asing dan mengoperasikan lebih dari 10 kapal sedangkan sisanya
adalah kegiatan. Jumlah anggota INSA yang besar, mengindikasikan
konsumen atau pangsa pasar jasa kepelabuhanan yang besar.
Secara lebih spesifik, kebutuhan jasa kepelabuhan ditunjukkan oleh
banyaknya volume container yang masuk dan keluar dari pelabuhan Indonesia,
sebagaimana dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
Tabel 6.8
Arus Volume Container di Pelabuhan Indonesia
Volume (TEUs)
Volume (TEUs)
2006 3,160,519
3,267,088
2007 3,532,832
3,680,549
2008 3,774,983
3,949,788
2009 4,163,088
4,058,360
2010 4,701,816
4,609,932
90
Grafik pergerakan volume container yang masuk ke dan keluar dari pelabuhan
Indonesia dapat dilihat dalam grafik di bawah ini:
Grafik 6.2
Indonesia Import Development (Container)
Grafik 6.3
Indonesia Export Development (Container)
91
6.3.2. Implikasi Pemberian Fasilitas PPN
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, pemberian fasilitas PPN
merupakan suatu hal yang krusial karena dapat mendorong penciptaan level
playing field yang adil agar tercipta kompetisi yang sehat, juga untuk
mendorong daya saing nasional. Dengan demikian penekanan bukan semata-
mata pada masalah tarif PPN yang hanya 10% atau jasa kepelabuhanan yang
merupakan bagian dari jasa transportasi secara keseluruhan. Dalam konteks
inilah menjadi strategis untuk memberikan fasilitas PPN atas jasa
kepelabuhanan. Deskripsi implikasi kebijakan fasilitas PPN dapat digambarkan
sebagai berikut:
92
Gambar 6.7
Implikasi Kebijakan Fasiltas PPN Atas Jasa Kepelabuhanan
Laba_Usaha_Exportir
Kebijakan_VAT_Exemption
Biaya_Jasa_Kepelabuhanan
?
Corporate_Income_Tax
Corporate_Income_Tax_Rate
Harga_Pokok_Penjualanmargin
Harga_Jual
Freight
Tarif_Jasa_Kepelabuhanan
contrainer_in
Demand_Transportation_1
Perusahaan_Trasportasi_Trucking
Biaya_Trans_Trucking
Demand_Transportation
Penerimaan_Bruto
Net_Profit
Constant_5
Demand_Driver
Total_Cost
Other_Cost
Salary
other_income_withholding_taxEmployment_Income_Tax Lapangan_Kerja
Direct_Labor Direct_MaterialFactory_Overhead
Eksport
Perusahaan_Penyedia_Jasa_Kepelabuhanan
container_out
Production_Goods
VAT
Perubahan_Harga_Jual
shipping_demand
Pembeli_di_LN
Harga_Kompetetif
Demand_Goods
Penjual_di_LN
import
93
BAB 7
SIMPULAN
1. Sejak menganut sistem PPN, pemerintah Indonesia telah memberikan
fasilitas PPN atas jasa kepelabuhanan berupa PPN dibebaskan dan atau
PPN Ditanggung Pemerintah. Perubahan kebijakan PPN terjadi dalam rejim
PPN Tahun 2000 di mana obyek jasa kepelabuhanan yang mendapat
fasilitas Pembebasan PPN hanya terbatas pada jasa tunda, jasa pandu,
jasa tambat, dan jasa labuh. Pembatasan obyek yang mendapat fasilitas
PPN ini tidak sesuai dengan nature of business dari jasa kepalabuhanan
yang sesungguhnya karena jenis-jenis jasa kepelabuhanan lebih luas dari
keempat jenis jasa tersebut di atas. Kebijakan pembebasan PPN yang
bersifat parsial ini justru menyebabkan cost administration yang tinggi
sebagai konsekuensi administrasi pemajakan yang berbeda atas dua
perlakuan yang berbeda.
2. Pemberian fasilitas PPN atas jasa kepelabuhanan merupakan internasional
best practice karena Negara mempunya kepentingan yang strategis atas
jasa kepelabuhanan sebagai bagian dari faktor penentu kelancaran arus lalu
lintas barang, sehingga aktivitas ekonomi global dapat berlangsung dengan
baik. Adanya perlakuan khusus atas jasa kepelabuhan yang dilakukan bagi
kapal-kapal berbendera Korea (resident Korea) juga menyebabkan unequal
treatment dan distorstif terhadap asas netralitas yang seharusnya dijunjung
tinggi dalam mendisain sistem PPN, sehingga tidak menciptakan level
playing field yang sama bagi sesama pelaku usaha. Akibatnya kurang
kondusif terhadap kompetisi yang sehat dan justru mengingkari upaya
pencapaian RPJMN 2010-2014 dalam upaya meningkatkan daya saing
nasional.Penyerahan jasa kepelabuhanan untuk angkutan laut dalam jalur
pelayaran internasional seharusnya juga dilihat sebagai bagian dari
rangkaian jalur internasional sehingga perlakuan PPN hendaknya mengikuti
kelaziman internasional dan tidak semata mempertimbangkan place of
supply.
94
3. Berdasarkan Pasal 16B UU PPN, pilihan skenario kebijakan dibatasi hanya
2 (dua) alternatif yaitu pajak terutang dibebaskan dan pajak terutang tidak
dipungut. Masing-masing alternatif kebijakan ini mempunyai implikasi yang
berbeda karena keterkaitannya dengan ketentuan perpajakan lainnya,
terutama UU KUP. Dari kedua alternatif tersebut, alternatif yang paling
feasible untuk diajukan dalam jangka pendek adalah fasilitas pajak terutang
dibebaskan atau fasilitas Pembebasan PPN, dengan beberapa alasan
sebagai berikut:
d) Secara historis, fasilitas PPN yang pernah diberikan atas jasa
kepelabuhanan adalah exemption/pembebasan (baik object exemption
maupun VAT exemption) dan PPN Ditanggung oleh Pemerintah,
sehingga kebijakan ini bukan sesuatu yang sama sekali baru karena
pemerintah sudah mempunyai pengalaman dalam
pengimplementasiannya.
e) Pemberian fasilitas pembebasan PPN justru akan menciptakan level
playing field yang sama tanpa membedakan bendera Negara dari kapal
yang menggunakan jasa kepelabuhanan, karena kebijakan PPN yang
berlaku saat ini yang diberikan pada kapal resident Korea adalah
pembebasan PPN. Jika yang diberikan adalah fasilitas Pajak Terutang
Tidak Dipungut, maka justru akan menimbulkan bentuk persoalan baru.
f) Analisa konsepsi cost of taxation, secara aggregate kebijakan pajak
terutang dibebaskan dan pajak terutang tidak dipungut mempunyai
selisih beban pajak yang tidak terlalu signifikan sebagai implikasi dari
kebijakan pemeriksaan dan kebijakan restitusi yang berlaku saat ini.
4. Analisis system thinking menunjukkan bahwa kebijakan fasilitas PPN atas
jasa kepelabuhanan mempunyai magnitude terhadap aktivitas ekonomi
global bangsa Indonesia. Sesuai dengan konsepsi supply side tax policy,
kebijakan fasilitas PPN dapat mengurangi cost of taxation baik bagi
konsumen/pengguna jasa, maupun bagi penyedia jasa. Hal ini akan
mendorong meningkatkan produktivitas masyarakat. Dari sisi pemerintah,
potential tax loss yang akan terjadi akibat pemberian fasilitas PPN atas jasa
kepelabuhan akan dapat di-recapture dalam penerimaan pajak-pajak
lainnya. Kebijakan ini justru dapat menjadi leverage untuk mendorong
95
kebijakan pembangunan yang pro job dan pro growth. Pemberian fasilitas
PPN atas jasa kepelabuhan justru akan mengukuhkan posisi pemerintah
sebagai Regulator, serta bukti nyata implementasi fungsi-fungsi pemerintah.
Lebih jauh, selain menunjukkan pemerintah yang menunjukan perhatian
terhadap kelaziman internasional, pemberian fasilitas PPN atas seluruh jasa
kepelabuhanan untuk angkutan laut dalam jalur pelayaran internasional
justru akan membuktikan bahwa pemerintah tidak diskrimatif, namun
pemerintah telah bertindak sebagai wasit yang adil dalam menciptakan level
playing field yang fair sehingga tercipta persaingan usaha yang sehat dan
kompetitif.
96
REFERENSIBuku
Bird, Richard M dan Eric M.Zolt, Introduction to Tax Policy Design and Development, Washington: Word Bank, 2003.
Brotodihardjo, R Santoso Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung:Eresco, 1993.
Clifford, Lynch Shifting Patterns and Growth of Global Trade Implication for Transportation System, Lynch and Associated: Pensylvania
Gronross Christian Service Management and Marketing: Managing the Momoent of Truthin Service Competition, Singapore, Lexington Books, 1990, hal.28.
Easson, Alex, Tax Incentives For Foreign Direct Investmen, Netherlands, Kluwer Law International, 2004.
Ebrill, Liam, dkk, The Modern VAT., Washington, D.C.:IMF, 2001.
Gordon, Richard K, and Victor Thuronyi, Chapter 1, Tax Legislative Process, dalam Victor Thuronyi, Tax Law Design and Drafting, volume 1, ed., New York: International Monetary Fund, 1996.
Gronross, Christian, Service Management and Marketing: Managing the Momoent of Truthin Service Competition, Singapore, Lexington Books, 1990.
Gunadi, Ketentuan Dasar Pajak Penghasilan, Jakarta:Penerbit Salemba Empat, 2002.
Jean, Paul Redique Transportation and Globalization, Departement of Economics and Geography, Hofstra University Hempstead, New York: Hofstra University Press
Karayan, Johne dan Charles W. Swenson, Strategic Business Tax Planning, Second Edition, New Jersey, John Wiley & Sons, Inc, 2007.
Kirk, Jorome dan Marc L. Miller, Realibility and Validity in Qualitative Reseach, Qualitative Reseach Methods, Volume 1, London: Sage Publication, 1986.
Lun Y.H.V, Lai K.H. dan Chen T., Shipping and Logistics Management, Spinger, 2010
97
Lynch Clifford, Shifting Patterns and Growth of Global Trade Implication for Transportation System, Lynch and Associated: Pensylvania, 2004
Mangkoesoebroto, Guritno, Ekonomi Publik, edisi ketiga, Yogyakarta, BPFE, 1993.
Mansury, R, Kebijakan Fiskal, Jakarta: Yayasan Pengembangan dan Penyebaran Pengetahuan (YP4), 1999.
Moleong, Lexy J. MA., Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi revisi, Bandung: Penerbit PT Remaja Rosda, 2008.
Musgrave, Richard A dan Peggy B Musgrave, Public Finance in Theory and Practice, terjemahan, Jakarta: Penerbit Erlangga, 1993.
Newman, Herbert E, An Introduction to Public Finance, New York: John Wiley and Sons, Inc., 1968.
Paul Redique Jean, Transportation and Globalization, Departement of Economics and Geography, Hofstra University Hempstead, New York: Hofstra University Press
Quinn Patton, Michael Qualitative Research and Evaluation Methods, 3rd Edition, London: Sage Publications, 2002.
Rahayu, Ani Sri, Pengantar Kebijakan Fiskal, Jakarta: Bumi Aksara, 2010.
Rosdiana, Haula, Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan Implementasi di Indonesia, Jakarta: 2011.
Rosdiana, Haula, Evaluasi 25 Tahun Implementasi PPN di Indonesia, 2011
Steinmo, Sven Tax Policy, USA, Edward Elgar Publishing, Inc., 1998.
Taylor, Steven J. dan Robert Bogdan, Introduction to Qualitative Reseach Methods : The Search fo Meanings, Second Edition, Singapore: John Wiley & Sons.
Terra, Ben, Sales Taxation: The Case of Value Added Tax in The European Community, Denventer-Boston, Kluwer Law and Taxation Publishers, 1988.
Tocquer, Gerard A and Chan Cudennec, Service Asia: How the Tigers can keep their Stripes, Singapore: Prentice Hall, 1998.
United Nation, Sales Tax Adminsitration : Major Structural and Practical Issues with Special Reference to the Needs of Developing Countries, New York : United Nation, Department of Economic and Social Affair, 1976
98
Artikel
Haralambides H.E. Liner Shipping Economics, Centre for Maritime Economics and Logistic (MEL), Erasmus University Rotterdam, Netherlands
Indriyanto, Peran Pelabuhan dalam Menciptakan Peluang Usaha, Kajian Historis Ekonomi, Universitas Diponegoro, Semarang Jawa Tengah
Lain-lain:
Biro Riset Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Trend Perkembangan Pengelolaan Pelabuhan Dunia dan Implikasinya bagi BUMN Pelabuhan di Indonesia.
Consumption Tax Guidance Series, OECD, http://www.oecd.org/document
Data Sosial Ekonomi Indonesia, Buletin Statistik Indonesia Edisi 9 tahun 2010: Biro Pusat Statistik
Litbang Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Kementerian Perdagangan RI
Laporan Tahunan, Data Statistik Ekonomi Indonesia 2010 : Biro Pusat Statistik
http://muislife.com/hubungan-timbal-balik-antara-perdagangan-dengan-perkapalan-dan-pelayaran.html, diunduh 22 Agustus 2011
----------, 2004, Trade and Transportation Facilities: Building a Secure and Efficient Environtment for Trade, Sao Paulo: United Nation Press
Biro Riset Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas, Trend Perkembangan Pengelolaan Pelabuhan Dunia dan Implikasinya bagi BUMN Pelabuhan di Indonesia
www.worldbank.org/id
www.tps.co.id
99
LAMPIRAN
PROFIL TIM PENELITI
Dra. Titi Muswati Putranti, M.Si (Ketua)
Dr. Haula Rosdiana, M.Si (Tenaga Ahli)
Maria Tambunan S.IA
100
Dra. Titi Muswati Putranti, M.Si
Pekerjaan:• Ketua Pusat Kajian Ilmu Administrasi FISIP UI (2009 – sekarang)• Dosen Tetap Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI (1993 – sekarang)
Pendidikan:• S1 Ilmu Administrasi Program Studi Administrasi Fiskal FISIP UI• S2 Program Pascasarjana bidang Ilmu Administrasi Kekhususan
Administrasi dan Kebijakan Perpajakan FISIP UI• Kandidat Program Doktor Pascasarjana Departemen Ilmu Administrasi
FISIP UI• Summercourse International Taxation IBFD, Belanda
Pengalaman Pekerjaan:• KPMG Tax Consultant (1987 – 1993)• Tax and Office Manager – PT Peddle Thorp Indonesia (1993 – 1997)• Tax and General Affair Manager - PT SAR Investment ( 1997 – 2000)• PricewaterhouseCoopers Tax Consultant (2001 – 2009)• Pelatih untuk indoor dan outdoor (outbound) training pada Sinergis (
2002 – sekarang)• Pembicara pada seminar dan workshop
Dr. Haula Rosdiana, M.Si
Pekerjaan: Dosen dan Peneliti Departemen Ilmu Administrasi UI
Pendidikan:• S1 Ilmu Administrasi Program Studi Administrasi Fiskal FISIP UI, • S2 Program Pascasarjana bidang Ilmu Administrasi Kekhususan
Administrasi dan Kebijakan Perpajakan FISIP UI, • -S3 Program Doktor Ilmu Administrasi FISIP UI, Judul Disertasi “Menuju
Disain Pro Corporate Cashflow Tax untuk Mendorong Pertumbuhan Industri Telekomunikasi”.
Pengalaman Pekerjaan:• Ketua Program Studi Administrasi Perpajakan Program D3/Vokasi UI
(2005-2010)• Staf Ahli DPR untuk amandemen UU Ketentuan Umum dan Tata cara
Perpajakan serta Pajak Penghasilan• Observer pada SGATAR (Study Group on Asian Tax Research and
Administration)• Observer pada Committee of Experts on International Cooperation in Tax
Matters – United Nations (Fifth Session)• Observer pada Committee of Experts on International Cooperation in Tax
Matters – United Nations (Fourth Session)• Tax Director KAP Rasin Ichwan (Alliot International) 1998-2002• Tax Advisor Bosowa Group (2007-2008)
101
Maria Tambunan S.IA
Pekerjaan:-Asisten Dosen Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI-Tax Consultant Ernst and Young Indonesia (2010-sekarang)
Pendidikan:• S1 Ilmu Administrasi Program Studi Administrasi Fiskal FISIP UI
Pengalaman Pekerjaan:Tax Consultant Ernst and Young Indonesia (2010-sekarang)
103
Pusat Kajian Ilmu Administrasi (Center for Administrative Studies) atau Puska merupakan sebuah lembaga di lingkungan Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI). Lembaga ini melakukan kegiatan penelitian, pelatihan, seminar, pengembangan ilmu dan pengabdian masyarakat di bidang disiplin ilmu administrasi. Puska menekankan pada analisis dan pengembangan kebijakan di bidang administrasi, baik dalam bidang administrasi publik, bisnis maupun perpajakan.
Puska membangun kemitraan dan kerjasama timbal balik dengan stakeholders yang mencakup badan-badan perencanaan di tingkat lokal, regional, dan nasional serta lembaga-lembaga sektoral maupun dengan berbagai organisasi kemasyarakatan (civil society organization). Upaya-upaya serupa juga dilakukan dengan perusahaan-perusahaan swasta serta badan-badan pembangunan multilateral dan internasional.
Kegiatan-kegiatan Puska meliputi:- kelompok kajian (research cluster), - penelitian, - pengolahan, pengembangan dan penyimpanan data, - pelatihan termasuk seminar, diskusi, lokakarya (workshop), in-house
training, sosialisasi,- publikasi journal bisnis dan birokrasi termasuk buku dan publikasi
lainnya,- perpustakaan, dan - pengabdian pada masyarakat (community services).
Kajian juga melibatkan peran serta akademisi atau para peneliti dari disiplin-disiplin lainnya dalam ilmu-ilmu sosial serta mengikutsertakan para praktisi yang terkait.Hasil kajian yang dilakukan berupa pengembangan keilmuan yang lebih berorientasi pada kebijakan, menyediakan masukan-masukan penting bagi para pengambil keputusan untuk dapat dimanfaatkan pihak-pihak terkait, baik pada sektor publik maupun sektor swasta.
Visi
Menjadi Center Of Excellence dalam penelitian, pelatihan di bidang pemerintahan, bisnis, dan perpajakan yang terkemuka di Asia.
104
Misi
- Menghasilkan kajian-kajian bermutu dalam bidang pemerintahan pusat dan daerah yang dapat dipergunakan oleh berbagai pihak untuk memajukan penyelenggaraan pemerintahan menuju good governance.
- Menghasilkan kajian-kajian bermutu dalam bidang bisnis untuk mencapai efisiensi dan efektivitas yang optimal melalui business process reengineering, excellent service management, buyer market oriented dan orientasi operasional konsep dari konsumen untuk konsumen.
- Menghasilkan kajian-kajian bermutu dalam bidang perpajakan dengan berorientasi pada upaya peningkatan penerimaan negara dan kesadaran wajib pajak dengan tetap menegakkan prinsip keadilan dan kepastian hukum.
- Menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dan memiliki kompetensi dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan, bisnis dan perpajakan yang dibutuhkan oleh masyarakat.
- Membuat jaringan kerjasama dengan berbagai lembaga dan atau organisasi yang kompeten baik secara nasional maupun internasional.
Dalam pelaksanaan kegiatan tersebut, Pusat Kajian Ilmu Administrasi didukung oleh sumber daya manusia yang kompeten dalam bidangnya masing-masing yang berasal dari staf pengajar tetap dan tidak tetap di lingkungan Departemen Ilmu Administrasi; Program Pascasarjana; Program Sarjana Reguler; Program Sarjana Ekstensi. Pelaksanaan kegiatan Pusat Kajian Ilmu Administrasi didukung pula oleh jaringan kerjasamadengan instansi-instansi pemerintah maupun swasta.
Research Cluster & Kompetensi
Cluster- Local & Regional Studies (Pemerintahan Daerah, Administrasi Lingkungan, Pembangunan Regional, Keuangan Daerah, Manajemen Perkotaan)
Cluster – Public Policy & Administrative Reform (Reformasi Administrasi Publik, Keuangan Negara, Pelayanan Publik, Public- Private Partnership, Kebijakan Publik, Pengembangan Organisasi)
Cluster – Human Resources in Public Sector (Hubungan Industrial, Pengembangan SDM, Kepegawaian Negara)
105
Cluster – Marketing (Pemasaran Internasional, Pemasaran Jasa, Riset Pemasaran, Komunikasi Pemasaran, Branding, Pemasaran Strategis, Manajemen Distribusi, Komunikasi Pemasaran, Manajemen Operasi & Produksi)
Cluster – Finance (Keuangan Internasional, Manajemen Keuangan, Manajemen Investasi, Asuransi)
Cluster – Human Resources in Privat Sector (Entrepreneurship, Pengembangan SDM)
Cluster – Tax Policy and Administration (Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Cukai, Kepabeanan, Pajak Internasional, Transfer Pricing, Pajak & Retribusi Daerah, Audit Perpajakan, Penyelesaian Sengketa Pajak)
Tenaga Ahli1. Dr. Roy V. Salomo, M.Soc.Sc. (Ahli Keuangan Negara & Daerah,
Ketua Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI)2. Prof. Dr.rer.publ. Eko Prasojo, Mag.rer.publ. (Ahli Pemerintahan
Daerah, Anggota DPOD Depdagri RI, Advisor GTZ-SfGG pada Kantor Menneg PAN, Ketua Program Pascasarjana Ilmu Administrasi FISIP UI)
3. Prof. Dr. Irfan Ridwan Maksum, M.Si. (Ahli Administrasi Pembangunan, Ketua Program Sarjana Ilmu Administrasi FISIP UI)
4. Prof. Dr. Bhenyamin Hoessein, SH (Ahli Pemerintahan Daerah)5. Prof. Azhar Kasim, MPA, Ph.D (Ahli Organisasi & Kebijakan
Publik)6. Prof. Martani Huseini, MBA, Ph.D (Ahli Manajemen Strategis &
Pemasaran Internasional)7. Prof. Dr. Ferdinand D. Saragih, MA (Ahli Manajemen Aset dan
Investasi)8. Prof. Safri Nugraha, SH, LLM, Ph.D (Ahli Hukum Administrasi
Negara)9. Prof. Dr. Gunadi, Ak, M.Sc. (Ahli Perpajakan Internasional)10. Dr. Chandra Wijaya, M.Si. (Ahli Manajemen Keuangan)11. Dr. Amy Y. S. Rahayu, M.Si. (Ahli Pelayanan Publik)12. Lisman Manurung, M.Si, Ph.D (Ahli Public-Private Partnership)13. Dr. Effy Zalfiana Rusfian, M.Si (Ahli Komunikasi Pemasaran)14. Dr. Haula Rosdiana, M.Si.(Ahli Perpajakan)15. Dr. Ning Rahayu, M.Si.(Ahli Perpajakan)16. Dr. Tafsir Nurhamid, M.Si.(Membidangi Akuntansi Perpajakan)17. Ir. B. Yuliarto Nugroho, MSM. Ph.D (Ahli Manajemen Keuangan)
106
Pelaksana
Ketua : Dra. Titi Muswati Putranti, M.Si Mobile: 0816 774055 [email protected]
Editor Journal : Dra. Rachma Fitriati, M.Si Mobile: 0812 9699323 [email protected][email protected]
KantorGedung Prof. Dr. Prajudi Atmosudirdjo (Gedung M), Lantai 2, FISIP UIKampus UI Depok 16424 – IndonesiaTelp.: +62 21 78849087 / Fax.: +62 21 78849078Website: www.admsci.ui.ac.id.