Illegal, Unreported, Unregulated Fishing

32
ILEGAL, UNREPORTED, UNREGULATED FISHING MENURUT HUKUM INTERNASIONAL DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA Ahmad Syofyan, S.H.,M.H. 1 dan El Renova Ed. Siregar 2 Ilegal, Unreported, Unregulated Fishing Menurut Hukum Internasional Dan Implementasinya Di Indonesia A. Latar Belakang Bagian terbesar dari wilayah dunia terdiri dari perairan, terutama perairan laut, dengan permukaan bumi yang memiliki luas 200 juta mil persegi, 70% atau 140 juta mil persegi terdiri dari air, yang memiliki rincian yaitu 97% terdiri dari air asin atau 135.800.000 mil persegi dan 3% air tawar atau 4.200.000 mil persegi. 3 Laut merupakan salah satu wilayah dari sebuah negara (negara pantai/kepulauan) yang memiliki banyak fungsi, antara lain dalam hal pertahanan dan keamanan negara, sebagai sumber kekayaan alam misalnya terumbu karang, ikan, dan biota laut lainnya yang dapat menjadi salah satu income dari sebuah negara, dan masih banyak fungsi lainnya. Kesadaran masyarakat bangsa-bangsa akan tertib hukum yang mengatur wilayah laut, baik untuk kepentingan negara pantai maupun kepentingan masyarakat internasional, mencapai puncaknya pada Tahun 1982 di Montego Bay (Jamaika) setelah ditandatanganinya UNCLOS 1982 yang menyepakati berbagai persoalan kelautan yang menjadi isu penting sampai saat itu, termasuk penentuan lebar laut teritorial suatu negara beserta cara pengukurannya. 4 Berdasarkan hal tersebut setiap negara 1 Staf Pengajar pada Bagian Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Lampung. 2 Mahasiswa bagian Hukum Internasional angkatan 2012 Fakultas Hukum Universitas Lampung. 3 Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peran dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Bandung, Penerbit Alumni, 2003, hlm. 269 4 Khaidir Anwar, Batas Wilayah Negara di Perairan Laut, Bandar Lampung, Universitas 1

Transcript of Illegal, Unreported, Unregulated Fishing

ILEGAL, UNREPORTED, UNREGULATED FISHING MENURUT HUKUMINTERNASIONAL DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA

Ahmad Syofyan, S.H.,M.H.1 dan El Renova Ed. Siregar2

Ilegal, Unreported, Unregulated Fishing Menurut HukumInternasional Dan Implementasinya Di Indonesia

A. Latar BelakangBagian terbesar dari wilayah dunia terdiri dari

perairan, terutama perairan laut, dengan permukaan bumiyang memiliki luas 200 juta mil persegi, 70% atau 140juta mil persegi terdiri dari air, yang memilikirincian yaitu 97% terdiri dari air asin atau135.800.000 mil persegi dan 3% air tawar atau 4.200.000mil persegi.3

Laut merupakan salah satu wilayah dari sebuahnegara (negara pantai/kepulauan) yang memiliki banyakfungsi, antara lain dalam hal pertahanan dan keamanannegara, sebagai sumber kekayaan alam misalnya terumbukarang, ikan, dan biota laut lainnya yang dapat menjadisalah satu income dari sebuah negara, dan masih banyakfungsi lainnya.

Kesadaran masyarakat bangsa-bangsa akan tertibhukum yang mengatur wilayah laut, baik untukkepentingan negara pantai maupun kepentingan masyarakatinternasional, mencapai puncaknya pada Tahun 1982 diMontego Bay (Jamaika) setelah ditandatanganinya UNCLOS1982 yang menyepakati berbagai persoalan kelautan yangmenjadi isu penting sampai saat itu, termasuk penentuanlebar laut teritorial suatu negara beserta carapengukurannya.4Berdasarkan hal tersebut setiap negara

1 Staf Pengajar pada Bagian Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Lampung.2 Mahasiswa bagian Hukum Internasional angkatan 2012 Fakultas Hukum Universitas Lampung.3 Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peran dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global,Bandung, Penerbit Alumni, 2003, hlm. 2694Khaidir Anwar, Batas Wilayah Negara di Perairan Laut, Bandar Lampung, Universitas

1

mempunyai hak untuk menetapkan lebar laut teritorialnyasampai suatu batas yang tidak melebihi 12 mil laut,diukur dari garis pangkal yang ditentukan sesuai denganKonvensi ini (UNCLOS).5

Pentingnya penentuan dan pengaturan mengenaibatas-batas sebuah negara, dalam hal ini negara pantai,disebabkan oleh beberapa faktor. Hal ini erat kaitannyadengan pertahanan dan keamanan suatu negara sebagaimanatelah dijelaskan sebelumnya. Salah satu masalah yangterjadi pada perairan (laut) di sebuah negara pantaiatau kepulauan yaitu Ilegal, Unreported, Unregulated Fishingmerupakan masalah yang berkaitan dengan penangkapanikan di laut.

IUU Fishing adalah masalah global yang mengancamekosistem laut dan keseimbangan perikanan.6Masalah IUUFishing biasanya datang dari perikanan yang kurangmemiliki Undang-Undang konservasi dan managementperikanan yang kuat dan efektif seperti pada perikananU.S. IUU Fishing sering melanggar Undang-Undang manajemendan konservasi, seperti kuota atau batas penangkapanyang diijinkan dibawah persetujuan internasional.Dengansangat mengganggu perikanan, ekosistem laut,keseimbangan pangan dan komunitas pantai diseluruhdunia, IUU Fishing mengganggu usaha manajemen konservasiluar maupun dalam negeri. Lebih lanjut, IUU Fishingmengancam keseimbangan dari industri jutaan dolar.

Penangkapan ikan yang ilegal, tidak dilaporkan dantidak diatur (IUU Fishing) bukanlah fenomena baru dalampenangkapan ikan maupun juga tidak terikat pada aturanperikanan di Laut Lepas. Hal ini juga terjadi di zonaekonomi eksklusif (ZEE) di negara pantai dengan kapalnasional dan asing dan dalam sungai dan perikanan diperairan darat. Namun, dalam perikanan laut, sulituntuk memperkirakan secara tepat jumlah tangkapan IUUFishing dalam tonase atau nilai istilah lain, tingkat

Lampung, 2011, hlm. 7-8.5UNCLOS, Part 2, Section 2, Article 3.6http://www.nmfs.noaa.gov/ia/iuu/iuu_overview.html , diakses 14 November 2014, pk.17.25 WIB.

2

tangkapan ikan yang IUU Fishing telah mencapai proporsibesar bagi beberapa spesies. Tangkapan tersebut, dalambanyak kasus, dilakukan oleh baik nelayan yangberwenang maupun yang non-resmi; yaitu, hasil tangkapantidak diambil hanya dengan kapal yang beroperasi dibawah 'flags of non-compliance' (FOC).7 Berdasarkan uraiandi atas maka dapat dirumuskan permasalahan, yaitubagaimana pengaturan Illegal, Unreported, Unregulated Fishingdalam Hukum Internasional dan implementasinya diIndonesia?B. PEMBAHASAN

Permasalahan sering terjadi pada wilayah laut(perairan) pada Negara-negara pantai di dunia salahsatunya adalah IUU Fishing (penangkapan ikan). Pelanggaranyang berkaitan dengan hal tersebut sangatlah merugikanpendapatan dari sebuah Negara pantai, sebagai contohpada Negara Indonesia yang dirugikan akan masalahtersebut sebesar 1,4 milyar dollar AS akibat kegiatanpencurian ikan.8 Tidak hanya itu, kerugian yangterbesar dialami sumber daya perikanan itu sendiri dankerusakan ekosistem laut.

IUU Fishing menunjuk pada aktivitas dalam halpenangkapan ikan secara ilegal atau tidak dilaporkan(tidak sah).9IUU fishing adalah contributor terbanyakdalam penurunan stok ikan dan perusaskan habitatlaut.Secara umum, IUU fishing mengambil banyak bentukbaik dalam perairan yang terkontrol maupun laut lepas.Walaupun belum pasti berapa banyak IUU fishing terjadi,diperkiarakn bahwa IUU fishing mengambil sekitar 30% dariseluruh aktifitas perikanan di seluruh dunia.10

7http://www.fao.org/fishery/iuu-fishing/en , diakses 14 November 2014, pk. 17.05 WIB.

8Marhaeni Ria, Hukum Perikanan Nasional dan Internasional, Jakarta, PT. Gramedia PustakaUtama, 2010, hlm. 54.9Agreement On Port State Measures To Prevent, Deter And Eliminate Illegal, Unreported And Unregulated Fishing, Part 1, Article 1 , Point e.10http://www.dfo-mpo.gc.ca/international/isu-iuu-eng.htm , diakses 14 November pk. 16.45 WIB.

3

IUU Fishing terdiri dari tiga unsur, yaitu Ilegal(Penangkapan ikan secara gelap), Unreported (tidakdilaporkan), dan Unregulated (tidak sesuaiaturan).11Penangkapan ikan secara gelap (ilegal) mengacupada:

a. Penangkapan ikan oleh kapal nasional maupunasing dalam Zona Ekonomi Eksklusif suatu negaratanpa izin, atau, melakukan kegiatanpenangkapan ikan yang bertentangan hukum atauperaturan negara itu;

b. Memancing oleh kapal mengibarkan bendera NegaraPihak ke relevan Regional Fisheries ManagementOrganization (RFMO) yang bertentangan tindakankonservasi atau pengelolaan yang diadopsi olehorganisasi atau bagian dari hukuminternasional;

c. Penangkapan ikan yang melanggar hukum nasionalatau kewajiban internasional.

Sedangkan Penangkapan ikan yang tidak dilaporkanmengacu pada yang belum dilaporkan, atau telah salahdilaporkan, kepada otoritas nasional yang relevan atauRFMO. Dan memancing yang tidak sesuai aturan mengacupada12:

a. Memancing di zona regulasi dari RFMO kapaltanpa kebangsaan, atau oleh kapal mengibarkanbendera negara yang tidak ikut serta organisasi(Bendera kenyamanan), yang bertentangan dengankonservasi dan pengelolaan ukuran yangditetapkan oleh RFMO tersebut;

b. Memancing di luar zona aturan, yang tidakkonsisten dengan hukum internasional dengantujuan untuk melestarikan sumber daya hayatilaut.

Akar permasalahan dari IUU Fishing adalah kurangnyaefektivitas pengontrolan bendera Negara. Apabila duniaini sempurna dimana pengontrolan bendera Negara11http://www.dfo-mpo.gc.ca/international/isu-iuu-eng.htm , diakses 14 November 2014Pk. 16.45 WIB.12 Ibid.

4

dilakukan secara efektif maka kasus IUU Fishing akansangat berkurang. Meskipun begitu, dunia ini tidaksempurna dan beberapa Negara, setelah mengesahkan kapaluntuk mengibarkan benderanya, gagal untuk memenuhiobligasi dibawah hokum internasional dengan penuhhormat atas pengawasan dan pengontrolan kapal-kapalini. Lalu, beberapa Negara tidak menyediakan hak yangsesuai untuk kapal-kapal melakukan penangkapan ikanwalaupun sudah mengibarkan bendera Negara.Kekurangandari pengawasan dan pengontrolan untuk menangkap ikanini membuat kapal-kapal tersebut melakukan IUU Fishingdengan mengabaikan hukum yang ada.13

1. Pengaturan Illegal, Unreported, dan Unregulated Fishing (IUUFishing) dalam Hukum Internasional

a. United Nation Convention on The Law of The Sea (UNCLOS)1982

UNCLOS 1982 merupakan perjanjian internasionalyang dihasilkan oleh masyarakat internasional dalammenyusun seperangkat aturan (hukum) yang mengatursegala bentuk penggunaan laut dan pemanfaatan kekayaanalam yang terkandung didalamnya. Konvensi ini merupakanlangkah awal dari lahirnya pengaturan-pengaturaninternasional lainnya yang mengatur mengenai penggunaanlaut dan pemanfaatan sumber daya alam lautinternasional.

Dalam pengaturannya terkait perikanan, diaturmengenai 3 aturan wilayah yurisdiksi, yaitu:

a. Wilayah di bawah kedaulatan negara pantaitermasuk perairan pedalaman, perairankepulauan, dan laut teritorial;

b. Wilayah dimana negara pantai memiliki hak-hakberdaulat atas sumber daya alam termasuk yangterdapat di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) danLandas Kontinen; dan

c. Laut Lepas.Laut teritorial merupakan wilayah laut dimana

suatu negara pantai berdaulat penuh baik atas airnya,13http://www.fao.org/fishery/iuu-fishing/en , diakses 14 November 2014, pk. 17.05 WIB.

5

dasar laut dan tanah di bawahnya, segala kekayaanalamnya, dan udara di atasnya, yang secara tegasdituliskan dalam Pasal 2 ayat (1), (2), dan (3) UNCLOS1982. Dalam hal negara yang merupakan negara kepulauan,wilayahnya dan juga kedaulatannya meliputi jugaperairan kepulauannya, yang pelaksanaannya harus tundukpada ketentuan konvensi dan peraturan hukuminternasional lainnya.14

Pada wilayah laut lainnya, yaitu Zona EkonomiEksklusif merupakan suatu daerah di luar danberdampingan dengan laut teritorial, yang tunduk padarezim khusus yang ditetapkan dalam ketentuan ini(UNCLOS 1982) berdasarkan mana hal-hak dan yurisdiksinegara pantai dan hak-hak serta kebebasan-kebebasannegara lain.15 Berdasarkan ketentuan tersebut berlakukebebasan-kebebasan setiap negara dalam halpenerbangan, pelayaran, pemasangan kabel dan pipa dasarlaut. Dalam kaitannya dengan pemanfaatan danpengelolaan sumber daya ikan, UNCLOS 1982 berisiketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan hukumperikanan yang berlaku di pelbagai macam zona maritimyang berada di bawah dan di luar batas yurisdiksinasional.16 Untuk mencapai pemanfaatan yang optimumdari sumber daya ikan, negara pantai harus menetapkankemampuannya untuk menangkap dan memberikan kesempatannegara-negara lain yang secara geografis kurangberuntung untuk memanfaatkan surplus dari jumlahtangkapan ikan yang diperbolehkan yang tidakdimanfaatkan negara pantai.17

Larangan penangkapan ikan secara gelap diaturdalam UNCLOS 1982 Pasal 42 ayat (1) huruf (c) tentangPeraturan Perundang-undangan Negara yang Berbatasandengan Selat yanng Bertalian dengan Lintas Transit,

14 I Wayan Parthiana, Hukum Laut Internasional dan Hukum Laut Indonesia, Bandung: Yrama Widya, 2014, hlm. 69.15 Pasal 55 UNCLOS 1982.16 Didik Mohammad Sodik, Hukum Laut Internasional & Pengaturannya di Indonesia, Bandung : Refika Aditama, 2011, hlm. 84.17 Ibid.,hlm. 83.

6

menyatakan bahwa negara yang berbatasan dengan selatdapat membuat peraturan perundang-undangan yangbertalian dengan lintas transit melalui selat, mengenaisemua atau setiap hal yanng bertalian dengan kapalpenangkapan ikan, pencegahan penangkapan ikan, termasukcara penyimpanan alat penangkap ikan.18

b. The Agreement to PromoteCompliance with InternationalConservation and Management Measures by Fishing Vessels onthe High SeasDalam Pasal 87 UNCLOS 1982, dijelaskan bahwa di lautlepas diakui adanya

Beberapa kebebasan (freedom of the high seas). Secara hukum,laut lepas tidak termasuk dalam yurisdiksi negaramanapun, sehingga semua negara mempunyai hak yang samaatas sumber daya ikan yang ada di wilayah laut lepas.Oleh sebab itu, dalam uraiannya UNCLOS 1982mensyaratkan kewajiban semua negara untuk dapatbekerjasama dalam pemanfaatan sumber daya ikan di lautlepas demi menciptakan kelestarian sumber daya.

Dalam prakteknya banyak ditemui kesenjangan-kesenjangan oleh karena tidak adanya suatu kerangkakelembagaan yang efektif, yang dapat mengawasipelaksanaan penerapan aturan-aturan yang berkaitandengan pengelolaan sumber daya di laut lepas,sebagaimana yang telah diatur dalam UNCLOS 1982tersebut. Untuk mengatasi kesenjangan tersebutdibentuklah Regional Fisheries Management Organization (RFMO).

Pada tahun 1993 atas prakarsa FAO (Food andAgricultural Organization) dilakukan sebuah Konferensi yangmenghasilkan sebuah perjanjian yaitu Agreement to PromoteCompliance with International Conservation and Management Measuresby Fishing Vessel on the High Seas 1993. Perjanjian inimerupakan ketentuan internasional yang sifatnyamengikat (legally binding) yang mengatur langsung tentangreflagging dan flag of convenience, khususnya mengenaikepatuhan dan penguatan tanggung jawab negara bendera.

FAO Compliance Agreement 1993 ini mempertegas ketentuanyang terdapat dalam UNCLOS 1982 bahwa negara bendera18 UNCLOS 1982 Pasal 42 ayat (1) huruf (c)

7

wajib melaksanakan pengendalian secara efektif terhadapkapal-kapal perikanannya yang berada di laut lepas yangberlaku untuk semua kapal penangkap ikan yang digunakanuntuk penangkapan ikan di laut lepas, kecuali kapal-kapal dengan ukuran kurang dari 24 meter.19

Setiap negara bendera harus menjamin bahwa kapal-kapal perikanannya tidak melakukan kegiatan yangbertentangan dengan efektivitas langkah-langkahpengelolaan dan konservasi internasional.20 Secarakhusus tidak ada satu negara pihak pun yangmemperbolehkan kapal ikannya untuk menangkap ikan dilaut lepas kecuali telah diberi izin untuk itu olehotorita yang tepat dari negara tersebut.21 Setiapnegara pihak juga tidak boleh memberi izin kepada kapalikan manapun yang mengibarkan benderanya untukmenangkap ikan di laut lepas kecuali jika negaratersebut mampu melaksanakan kewajibannya.22 Penandaankapal dengan bendera kapal tersebut pun sesuai denganstandar umum yang berlaku terhadap kapal-kapal ikanyang beroperasi di laut lepas agar mudah dikenaliidentitas negara kapal-kapal ikan tersebut.23

Selain itu, negara-negara juga diwajibkan untukmembuat daftar kapal-kapal ikan yang telah diberikanizin untuk menangkap ikan di laut lepas.24 Negara-negara pihak berkewajiban untuk melakukan kerjasamadalam hal tukar menukar informasi termasuk bahan buktiterkait dengan kegiatan kapal-kapal ikan suatu negarabendera yang dianggap melakukan pelanggaran terhadapketentuan-ketentuan internasional tentang pengelolaandan konservasi, dengan tujuan unutk memudahkanidentifikasi kapal-kapal ikan dalam rangka pencegahanterjadinya pelanggaran-pelanggaran tersebut.25

19 Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 3 ayat (1) huruf (b) FAO Compliance Agreement 1993.20 Pasal 3 ayat (1) FAO Compliance Agreement 1993.21 Pasal 3 ayat (2) FAO Compliance Agreement 1993.22 Pasal 3 ayat (3) FAO Compliance Agreement 1993.23 Pasal 3 ayat (6) FAO Compliance Agreement 1993.24 Pasal 4 FAO Compliance Agreement 1993.25 Pasal 5 ayat (1) FAO Compliance Agreement 1993.

8

Singkatnya, dalam hal negara-negara yang inginmelakkukan pengkapan ikan di wilayah laut lepas wajibtunduk pada aturan-aturan hukum internasional yangberkaitan dengan hal tersebut. Setiap negara harusmenunjukkan identitas negaranya melalui bendera kapaldan memberikan informasi terkait kegiatan kapalpenangkapan ikannya selama proses penangkapan ikanberlangsung.c. The Agreement for the Implementation of the Provision of the

UNCLOS of 10 December 1982 relating to the Conservation andManagement of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory FishStocks 1995

Persetujuan ini lahir karena adanya perkembanganteknologi penangkapan ikan yang menyebabkan konflik danmenurunnya sumber daya ikan, dimana persetujuan inidianggap sebagai peraturan pelaksana dari beberapaketentuan terkait dalam UNCLOS 1982. Dalam persetujuanini secara khusus mengatur mengenai stok ikan yangberimigrasi jauh dan berimigrasi terbatas.

Secara garis besar UN Fish Stock Agreement 1995 inimengatur beberapa ketentuan penting, yaitu pendekatankehati-hatian, dalam rangka melindungi sumber dayahayati laut dan melestarikan lingkungan laut26;kesesuaian tindakan konservasi an pengelolaan;kerjasama konservasi; kewajiban negara bendera; danpenegakkan hukumnya.

Dalam Pasal 21 ayat (1) UN Fish Stock Agreement 1995,wilayah laut lepas yang termasuk dalam wilayahpengelolaan RFMO atau pengaturan subregional atauregional, inspektur yang berwenang dari suatu negarapihak pada perjanjian ini atau anggota dari RFMOtersebut dapat menaiki kapal dan memeriksa kapal-kapalperikanan yang mengibarkan bendera negara pihak lainpada perjanjian ini tanpa memperhatikan apakah negaratersebut juga menjadi anggota dari RFMO atau menjadipeserta pada peraturan tersebut.

Singkatnya UN Fish Stock Agreement 1995 inimensyaratkan kebijakan untuk menaiki dan dan inspeksi26 Pasal 6 ayat (1) UN Fish Stock Agreement 1995.

9

kapal kapal harus didasarkan pada prosedur yangditetapkan oleh RFMO atau didasarkan pada pengaturanpengelolaan dan konservasi.27

d. Code of Conduct for Responsible Fisheries 1995 (AturanPerilaku tentang Pengelolaan Perikanan yangBertanggung Jawab)

Salah satu dokumen penting yang dihasilkankonferensi ini adalah agenda 21, dimana bagianpengelolaan dan pengembangan sumber daya alam lautdiatur pada Bab 17 yang mengatur pemanfaatan danperlindungan sumber daya ikan secara berkelanjutan dibagian laut yang berada di bawah yurisdiksi nasionaldan di laut lepas. Agenda 21 meminta negara-negaramengambil langkah-langkah baik di tingkat regionalmaupun global untuk menjamin agar perikanan di lautlepas dikelola sesuai dengan UNCLOS 1982 denganmenyusun peraturan pelaksananya.28 Selanjutnya, amanatparagraf 17.49 (e) Agenda 21 yang dilanjutkan dengandikeluarkannya Resolusi Majelis Umum PBB No. 47/1992,atas rekomendasi UNCED, yang menghendakidiselenggarakannya konferensi Organisasi Pangan danPertanian PBB ke-27 yang menghasilkan instrumeninternasional, yaitu Code of Conduct for Responsible Fisheries1995 (CCRF) dan FAO Compliance Agreement 1993.

CCRF berisi pedoman, prinsip-prinsip dan standarinternasional yang berlaku untuk kegiatan perikananyang bertanggungjawab serta bertujuan menjamin langkah-langkah konservasi dan pengelolaan perikanan yangefektif dengan memperhatikan aspek-aspek lingkungan,biologis, teknis, ekonomis, sosial, dan niaga.29 CCRFdibuat untuk melengkapi ketentuan-ketentuan dalamUNCLOS 1982 dan persetujuan PBB tentang persediaan ikan1995 dalam menunjang kegiatan penanngkapan ikan yangbertanggung jawab.30 Segi penting yang tidak dapatdiabaikan adalah CCRF dibuat untuk merespon kepentingan

27 Pasal 21 ayat (2) UN Fishing Stock Agreement 1995.28 Marhaeni Ria, Op.Cit.,hlm. 64.29 Didik Mohammad Sodik, Op.Cit.,hlm.158.30 Ibid., hlm. 160.

10

negara-negara non-pihak kedua instrumen perikananinternasional.

CCRF merupakan pedoman bagi upaya-upaya nasionaldan internasional untuk menjamin perusahaan sumber dayahayati akuatik secara lestari, yang selaras dan serasidengan lingkungan.Asas umum dari Code of Conduct forResponsible Fisheries (CCRF) adalah:31

a. Negara-negara dan pengguna sumber daya hayatiakuatik harus melakukan konservasi ekosistemakuatik terutama dalam hal menangkap ikan danwajib melakukan konservasi dengan cara yangbertanggung jawab.

b. Pengelolaan harus menjamin mutu, keanekaragamandan ketersediaan sumber daya perikanan untukgenerasi kini dan yang akan datang.

c. Negara-negara harus mencegah penangkapan ikanyang melebihi kapasitas, dan menjaminpenangkapan yang seimbang dan pemanfaatan yanglestari.

d. Negara harus memberikan prioritas kepadapenelitian dalam meningkatkan pengetahuanilmiah, teknis perikanan dan interaksinyadengan ekosistem serta mendorong kerjasamabilateral dan multilateral.

e. Negara harus memberlakukan pendekatan kehati-hatian terhadap konservasi, pengelolaan danpemanfaatan sumber daya ikan.

f. Negara harus mengembangkan alat penangkapanyang selektif dan ramah lingkungan.

g. Negara harus memperhatikan kestabilan nilaigizi yang terkandung dalam ikan pada saatpenangkapan ikan, pengolahan dan distribusi.

h. Negara harus mengupayakan rehabilitasi untukmelindungi perusakan, pencemaran, penurunanmutu ikan yang diakibatkan oleh kegiatanmanusia yang mengancam kelangsungan SDI.

31Ibid., hlm. 65.

11

i. Negara harus menjamin kepatuhan hukum dalamusaha mengendalikan kegiatan kapal penangkapikan.

j. Negara harus bekerja sama dengan Negara laindalam memajukan konservasi dan penangkapanikan yang bertanggung jawab.

k. Negara harus menjamin transparansi dalampengambilan keputusan yang berkaitan denganpengelolaan perikanan yang bertanggung jawab.

Untuk perlindungan terhadap konsumen hasilperikanan, CCRF menekankan bahwa pengelolaan mutuperikanan dan kestabilan gizi ikan hasil tangkapanharus mendapat perhatian yang serius dari negara-negarapenghasil ikan karena maraknya penggunaan zat-zat kimiaberbahaya untuk mengawetkan ikan agar dapat bertahanlama saat sampai ke tangan konsumen.32 Untuk itu baginegara penghasil ikan pun diatur mengenai aturanoperasi penangkapan ikan, yaitu:33

a. Setiap negara harus menjaminbahwa operasipenangkapan ikan hanya diperkenankan diwilayah yuridisnya dan dilakukan dengan cara-cara yang bertanggung jawab.

b. Setiap negara harus memiliki data mengenaistatistik perikanan dan seluruh surat izinyang telah diterbitkan dan memperbaharuinyasecara berkala.

c. Setiap negara harus bekerja sama denganorganisasi internasional untuk mengembangkansistem MCS dan penegakkan hukum di luarperairan yuridis nasional.

d. Setiap negara harus meningkatkan pendidikandan keterampilan serta kualifikasiprofesionalisme pelaut di bidang perikanansesuai dengan standar internasional melaluiprogram-program pendidikan dan latihan.

e. Tindakan-tindakan terhadap nahkoda dan awakkapal yang telah melanggar ketentuan

32Ibid., hlm. 66.33Ibid., hlm. 67.

12

pengoperasian kapal ikan harus memungkinkanuntuk menolak, mencabut, atau menangguhkanizinnya.

Mengenai pengelolaan perikanan ini, diatur secarakhusus pada Pasal 7, yang pengaturannya meliputi,bagian umum, tujuan pengelolaan, kerangka kerja danprosedur pengelolaan, petunjuk pengumpulan danpengelolaan data, pendekatan yang bersifat kehati-hatian, langkah-langkah pengelolaan, pelaksanaan, danlembaga pembiayaan.

Tindakan-tindakan terhadap nahkoda dan awak kapalyang telah melanggar ketentuan pengoperasian kapal ikanharus memungkinkan untuk menolak, mencabut, ataumenangguhkan izinnya.e. International Plan of Action to Deter, Prevent and Eliminate IUU

Fishing (IPOA-IUU) 2001Untuk memperkuat pencegahan IUU Fishing, pada tahun

2001 dibentuklah International Plan of Action to Deter, Prevent andEliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (IPOA-IUU).Tujuannya adalah untuk mencegah, mengurangi, danmenghapus kegiatan IUU Fishing dengan memberikan pedomanpada semua negara dalam menyusun langkah-langkahkomprehensif, efektif dan transparan dengan bekerjasamadengan organisasi pengelolaan perikanan regional yangberkompeten.34

Menurut naskah IPOA-IUU Fishing, pengertian Illegal,Unreported, dan Unregulated Fishing adalah:35

1. Yang dimaksud dengan illegal fishing adalah kegiatanpenangkapan ikan secara tidak sah yang:a. Dilakukan oleh kapal-kapal nasional atau

kapal-kapal asing di perairan yang berada dibawah yurisdiksi satu negara, tanpa izindari negara tersebut, atau bertentangandengan pengaturan perundang-undangannya.

b. Dilakukan oleh kapal-kapal yang mengibarkanbendera negara anggota suatu organisasipengelolaan perikanan regional tetapi

34 Ibid.,hlm. 161.35 Paragraf 3.1 sampai Paragraf 3.3 IPOA on IUU Fishing.

13

bertindak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan konservasi dan pengelolaan yangditetapkan oleh organisasi regional tersebutdan mengikat negara tersebut, ataupunketentuan hukum internasional yang terkaitlainnya.

c. Melanggar ketentuan hukum nasional ataukewajiban internasional lainnya, termasukyang dilakukan oleh negara-negara yangbekerjasama dengan suatu organisasipengelolaan perikanan regional terkait.

2. Yang dimaksud dengan unreported fishing adalahkegiatan penangkapan ikan yang:a. Tidak dilaporkan, atau sengaja dilaporkan

dengan memberi data yang tidak benar, kepadapenguasa otorita nasional terkait, yangbertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara tersebut.

b. Dilakukan di dalam wilayah yang menjadikompetensi suatu organisasi pengelolaanperikanan regional, dimana kegiatan tersebuttidak dilaporkan atau salah dilaporkan,sehingga bertentangan dengan prosedurpelaporan dari organisasi tersebut.

3. Yang dimaksud dengan unregulated fishing adalahkegiatan penangkapan ikan yang dilakukan:a. Di wilayah yang berada di bawah pengaturan

organisasi pengelolaan perikanan regional,oleh kapal-kapal tanpa kebangsaan, atau olehkapal-kapal yang mengibarkan bendera negarayang bukan anggota organisasi tersebut, atauoleh salah suatu entitas perikanan, dengancara yang tidak sesuai ataupun bertentangandengan ketentuan-ketentuan konservasi danlangkah-langkah pengelolaan dari organisasitersebut.

b. Di wilayah atau terhadap stok ikan yangbelum memiliki pengaturan tentangpengelolaan dan konservasinya, dimana

14

kegiatan tersebut dilaksanakan dengan carayang bertentangan dengan tanggungjawabnegara berdasarkan ketentuan hukuminternasional mengenai konservasi sumberdaya hayati laut.

IPOA-IUU dibentuk sebagai suatu instrumeninternasional yang tidak mengikat dalam kerangka CCRF,untuk merespon keprihatinan Sidang Komisi PerikananOrganisasi Pangan dan Pertanian PBB yang ke-23 padaFebruari tahun 1999. Tujuan dari IPOA-IUU adalah untukmencegah, menguragi, dan menghapus kegiatan IUU Fishingdengan memberikan prdoman kepda semua negara dalammenyusun langkah-langkah yang komprehensif, efektif,dan transparan dengan bekerja sama dengan organisasipengelolaan perikanan regional yang berkompeten. Olehkarena itu IPOA-UU membagi langkah-langkah yangdilaksanakan negara berdasarkan:

Pembagian tanggungjawab antara semua Negara,Negara bendera kapal, dan negara pantai.

Langkah-langkah yang telah disepakati dalampersetujuan tentang perdagangan.Tanggung jawab organisasi melengkapi ketentuan

Untuk negara pantai (Pasal 51 IPOA-IUU) dalammelaksanakan hak-hak berdaulatnya diwajibkan untukmengambil langkah-langkah pencegahan, pengurangan danpenghapusan IUU Fishing di ZEE, yaitu:36

1. Penyusunan peraturan perundang-undangan tentangpemantauan, pengawasan dan pengendalian yangefektif untuk kegiatan perikanan di ZEE.

2. Program kerjasama dan pertukaran informasidengan negara-negara dan organisasi pengelolaanperikanan regional.

3. Jaminan bahwa semua kapal perikanan yangmelakukan kegiatan penangkapan ikan di perairannasionalnya memiliki izin yang dikeluarkan olehotoritas perikanan.

2. Implementasi Pengaturan Illegal, Unreported, danUnregulated Fishing di Indonesia

36 Didik Mohammad Sodik, Op.Cit.,hlm.163.

15

a. Perundang-Undangan yang berkaitan dengan perikanandi Indonesia

Sebagai negara maritim yang juga merupakan negarakepulauan, Indonesia memiliki wilayah laut yang lebihluas dibandingkan dengan daratannya. Wilayah lautIndonesia memiliki potensi sumber daya alam hayati yangsangat banyak dan memberikan pengaruh yang besarterhadap Indonesia di berbagai sektor, terutamaperekonomia. Dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya alam di laut, Indonesia memiliki banyak aturanperundang-undangan baik dari hasil ratifikasi hukuminternasional maupun bentukan Indonesia sendirimengenai perlindungan dan pengelolaan laut sertaperikanan di Indonesia.

Perkembangan hukum perikanan di Indonesia dimulaipada tahun 1983 dengan diterbitkannya Undang-UndangNomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif yangmemuat pengaturan yang bertalian dengan konservasipengelolaan sumber daya ikan.37

United Nation Convention On The Law Of The Sea yang telahdisahkan oleh pemerintah Indonesia melalui Undang-undang No. 17 Tahun 1985, mengandung substansi sebagaiberikut:38

a. Kodifikasi dari ketentuan-ketentuan hukum laut,yaitu tentang rezim kebebasan di laut lepas,hak lintas damai di laut teritorial, lebar lautteritorial menjadi 12 mil, dan kriteria landaskontinen yang ditetapkan berdasarkan kelanjutanalamiah wilayah daratan suatu negara hinggaperairan luar tepian kontinennya atau jarak 200mil laut dihitung dari garis dasar untukmengukur lebar laut teritorial jika pinggiranlaut tepian kontinen tidak mencapai jarak 200mil laut tersebut.

b. Penetapan rezim hukum baru, yaitu rezim negarakepulauan, zona ekonomi eksklusif, danpenambangan di dasar laut internasional.

37 Ibid., hlm. 165-166.38Marhaeni Ria, Op.Cit. hlm. 91.

16

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang ZonaEkonomi Eksklusif Indonesia memuat tentang segalaketentuan-ketentuan yang mengatur kegiatan pemanfaatansumber daya ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia(ZEEI). Pada wilayah ini Indonesia memiliki hakberdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi,pengelolaan dan konservasi sumber daya alam hayati dannon hayati dari dasar laut dan tanah di bawahnya sertaair di atasnya dan kegiatan-kegiatan lainnya untukeksplorasi dan eksploitasi ekonomis zona tersebut,seperti pembangkitan tenaga dari air, arus dan angin.39

Negara lain dapat melakukan aktivitasnya juga di ZEEini, namun harus tunduk pada hukum internasional danhukum nasional sebagaimana yang diatur dalam undang-undang ini. Berkaitan dengan penangkapan ikan,Pemerintah Negara Asing dapat diizinkan melakukanpenangkapan ikan jika jumlah tangkapan yangdiperbolehkan oleh Pemerintah Republik Indonesia untukjenis tersebut melebihi kemampuan Indonesia untukmemanfaatkannya.40 Apabila terjadi pelanggaran atasketetapan-ketepan tersebut, Negara asing dapat dijatuhisanksi oleh negara regional yang dalam hal iniIndonesia dan juga Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagaiorganisasi internasional yang melatarbelakangi jugalahirnya ketentua-ketentuan tentang laut.

Selain itu, dalam peraturan perundang-undanganlainnya tertuang pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004tentang Perikanan. Pada awalnya Undang-Undang tentangperikanan ini adalaha Undang-Undang Nommor 9 Tahun1985. Namun, Pemerintah Indonesia mencoba menyesuaikandiri dengan hukum internasional seiring perkembanganglobal sehingga menggantinya dengan Undang-Undang Nomor31 Tahun 2004 tentang Perikanan dikarenakan UU yangsebelumnya dianggap belum mampu menampung semua aspekpegelolaan sumber daya ikan dan kurang mampu

39 Pasal 4 ayat (1) huruf (a) UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia40 Pasal 5 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia

17

mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum sertaperkembangan teknologi dalam rangka pengelolaan sumberdaya ikan.

Wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesiameliputi, perairan Indonesia, Zona Ekonomi EksklusifIndonesia, dan sungai, danau, waduk, rawa, dan genanganair lainnya yang dapat diusahakan serta lahanpembudidayaan ikan yang potensial di wilayah RepublikIndonesia.41 Usaha perikananan di wilayah pengolahanperikanan Republik Indonesia hanya boleh dilakukan olehwarga negara Republik Indonesia.42 Pengecualianterhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)diberikan kepada orang atau badan hukum asing yangmelakukan penangkapan ikan di ZEE Indonesia, sepanjanghal tersebut menyangkut kewajiban Negara RepublikIndonesia berdasarkan persetujuan internasional atauketentuan hukum internasional yang berlaku.43

Banyaknya kasus IUU Fishing di Indonesia, padadasarnya tidak lepas dari masih lemahnya penegakkanhukum dan pengawasan di Perairan Indonesia, terutamaterhadap pengelolaan sumber daya alam hayati laut,serta ketidaktegasan aparat dalam penanganan parapelaku illegal fishing. Berdasarkan Pasal 85 jo Pasal 101Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanandinyatakan secara tegas bahwa pelaku illegal fishing dapatdikenai ancaman hukuman penjara maksimal 5 tahun.Tetapi terdapat kelemahan dari undang-undang tersebutyaitu kurang memperhatikan nasib nelayan dankepentingan nasional terhadap pengelolaan sumber dayalaut.

Ketentuan mengenai kapal asing masuk ke wilayahIndonesia, antara lain pemberian surat izin perikanankepada orang dan/atau badan hukum asing yang beroperasidi ZEE Indonesia harus didahului dengan perjanjianperikanan, pengaturan akses atau pengaturan lainnya,antara Republik Indonesia dan pemerintah negara bendera41 Pasal 5 ayat (1) UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan42 Pasal 29 ayat (1) UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan43 Pasal 29 ayat (2) UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

18

kapal.44 Perjanjian perikanan yang dibuat antarapemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negarabendera kapal sebagaimana dimaksud pada Pasal 30 ayat(1) UU No. 31 Tahun 2004, harus mencantumkan kewajibanpemerintah negara bendera kapal untuk bertanggung jawabatas kepatuhan orang atau badan hukum negara benderakapal untuk mematuhi perjanjian perikanan tersebut.45

Pada sektor lainnya diatur juga mengenai Pelayarandalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 sebagaipengganti Undang-Undang Nommor 21 Tahun 1992 tentangPelayaran. Kapal yang dinyatakan memenuhi persyaratankeselamatan kapal diberi sertifikat keselamatan olehMenteri , sementara sertifikat keselamatan tersebutterdiri atas: sertifikat keselamatan kapal penumpang;sertifikat keselamatan kapal barang; dan sertifikatkelayakan dan pengawakan kapal penangkap ikan.Keselamatan kapal tersebut ditentukan melaluipemeriksaan dan pengujian.46 Dalam pasal 154 UU No. 17Tahun 2008 mengatakan bahwa dalam pemberian statushukum kapal ditentukan setelah melalui beberapa proses,yaitu pengukuran kapal, pendaftaran, dan penetapankebangsann kapal.47 b. Peraturan Pemerintah yang berkaitan dengan Perikanan

di IndonesiaSelain undang-undang terdapat juga berbagai

Peraturan Pemerintah terkait perikanan. Undang-UndangNomor 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber DayaAlam Hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia,mengatur hal-hal terkait pengelolaan sumber daya alamhayati laut. Secara garis besar, pada PeraturanPemerintah ini memuat materi pokok, yaitu:

a. Mengenai pemanfaatan sumber daya alam hayati diZEEI untuk mengembangkan usaha perikananIndonesia. Dalam rangka meningkatkankemampuannya untuk memanfaatkan sumber daya

44 Pasal 30 ayat (1) UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.45 Pasal 30 ayat (2) UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.46 Pasal 126 UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.47 Pasal 154 UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.

19

alam hayati di ZEEI, orang atau badan hukumIndonesia yang bergerak di bidang usahaperikanan di Indonesia dapat mengadakankerjasama dengan orang atau badan hukum asingdalam bentuk usaha patungan atau bentukkerjasama lainnya menurut peraturan perundang-undangan yang berlakku. Pasal 3 PP Nomor 15Tahun 1984 menyebutkan bahwa orang atau badanhukum asing dapat diberi kesempatan untukmelakukan penangkapan ikan di ZEEI sepanjangorang atau badan hukum Indonesia yang bergerakdi bidang usaha perikanan Indonesia belum dapatsepenuhnya memanfaatkan jumlah tangkapan yangdiperbolehkan berdasarkan peraturan pemerintahini.48

b. Mengenai konservasi, dalam Pasal 4 PP Nomor 15Tahun 1984 dinyatakan bahwa untuk menciptakanpengelolaan perikanan berkelanjutan, MenteriPertanian menetapkan JTB menurut jenis ataukelompok jenis sumber daya alam hayati disebagian atau seluruh ZEEI.49 Dalam kegiatanpemanfaatan sumber daya hayati di ZEEI, setiaporang dilarang melakukan penangkapan ikandengan menggunakan bahan peledak, racun,listrik, dan bahan atau alat lainnya yangberbahaya.50

c. Mengenai perizinan, dalam Pasal 7 PP Nomor 15Tahun 1984 menyatakan bahwa orang atau badanhukum yang melakukan penangkapan ikan di ZEEIharus terlebih dahulu memperoleh izin daripemerintah Republik Indonesia. Pemberian izinkepada orang atau badan hukum Indonesia inisesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

48 Pasal 3 PP Nomor 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.49 Pasal 4 PP Nomor 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.50 Pasal 6 PP Nomor 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.

20

undangan di bidang perikanan yang berlaku bagiusaha perikanan perikanan di Indonesia.51

Pada peraturan pemerintah lainnya dalam PP Nomor51 Tahun 2002 tentang Perkapalan, merupakan PeraturanPelaksana dari UU Nomor 21 Tahun 1992, yang telahdiganti menjadi UU Nomor 17 Tahun 2008, memuat 11 babdan 128 pasal. Setiap kapal harus memenuhi standarberlayar atau biasa disebut sebagai kelayaklautankapal. Setiap kapal wajib memenuhi persayaratankelaiklautan kapal yang meliputi : keselamatan kapal;pengawakan kapal; manajemen keselamatan pengoperasiankapal dan pencegahan pencemaran darikapal; pemuatan; dan status hukum kapal.52 Sedangkanmenurut Pasal 23, pendaftaran hak milik atas kapaldilakukan dengan pembuatan akta pendaftaran olehPejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal,sementara akta pendaftaran harus memuat hal-hal sebagaiberikut: (a) nomor dan tanggal akta; (b) nama dantempat kedudukan Pejabat pendaftaran Kapal; (c) namadan domisili pemilik; (d) data kapal; dan (e) uraiansingkat kepemilikan kapal.53

Dalam pendaftaran hak milik atas kapal harusdilengkapi dengan dokumen-dokumen, yaitu buktikepemilikan, identitas pemilik, dan surat ukur.54 Bagikapal-kapal yang sudah didaftarkan, dapat diberikansurat tanda kebangsaan kapal Indonesia sebagai buktikebangsaan.55

Mengenai usaha perikanan diatur dalam peraturanpemerintah lainnya, yaitu PP Nomor 54 Tahun 2002tentang Usaha Perikanan. Sebelum peraturan pemerintahini keluar, ada tiga peraturan pemerintah yang mengaturtentang usaha perikanan, yaitu PP Nomor 15 Tahun 1990tentang Usaha Perikanan, PP Nomor 46 Tahun 1993 tentang

51 Pasal 6 PP Nomor 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.52 Pasal 5 ayat (1) PP Nomor 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan.53 Pasal 23 ayat (1) PP Nomor 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan54 Pasal 24 ayat (1) PP Nomor 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan55 Pasal 41 ayat (1) PP Nomor 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan

21

Perubahan atas PP Nomor 15 Tahun 1990 tentang UsahaPerikanan, dan PP Nomor 141 Tahun 2000 tentangPerubahan kedua atas PP Nomor 15 Tahun 1990 tentangUsaha Perikanan.

Perusahaan yang melakukan usaha perikanan wajibmemiliki Izin Usaha Perikanan (IUP).56 Untuk kegiatanperikanan tangkap dalam IUP, tercantum koordinat daerahpenangkapan ikan, jumlah dan ukuran kapal perikanan,jenis alat tangkap, dan pelabuhan pangkalan. Kewajibanmemilik IUP ini tidak hanya berlaku bagi nelayan lokal,tetapi juga diberlakukan kepada orang atau badan hukumasing yang akan melakukan penangkapan ikan di ZEEI,juga masa berlakunya IUP untuk kapal ikan asing sesuaidengan jangka waktu perjanjian antara PemerintahIndonesia dengan Pemerintah asing.57

Usaha perikanan tidak hanya berkewajiban untukmemiliki IUP, dalam Pasal 8 dikatakan bahwa kapalperikanan berbendera Indonesia dan kapal perikananberbendera asing wajib dilengkapi dengan suratPenangkapan Ikan (SPI).58 Sedangkan bagi kapalpengangkut ikan diwajibkan memiliki Surat Izin KapalPengangkut Ikan.59

c. Keputusan Menteri yang berkaitan dengan Perikanan diIndonesia

Beberapa Keputusan Menteri terkait perikanandibuat guna mengatur masalah perikanan dalam halpengelolaan kekayaan alam hayati laut, dan lainnya.Kep.46/Men/2001 Kementerian Kelautan dan Perikanantentang Pendaftaran Ulang Perizinan Usaha PenangkapanIkan, dibentuk dengan tujuan pemutahiran data perizinanusaha penangkapan ikan, khususnya mengenai IUP, PPKA,SPI, SIKPPII, SIKPIA, dan SPKPIA.

Keputusan Menteri lainnya yaitu Kep.60/Men/2001tentang Penataan Penggunaan Kapal Perikanan di ZEEI,fokus pada penghapusan penggunaan kapal berbendera

56 Pasal 5 PP Nomor 54 Tahun 2002 tetang Usaha Perikanan.57 Pasal 7 PP Nomor 54 Tahun 2002 tetang Usaha Perikanan.58 Pasal 8 PP Nomor 54 Tahun 2002 tetang Usaha Perikanan.59 Pasal 9 PP Nomor 54 Tahun 2002 tetang Usaha Perikanan.

22

asing, sebagaimana yang diatur oleh Keputusan MenteriPertanian Nomor 508 Tahun 1996 tentang Pengadaan KapalPerikanan dan Penghapusan Sistem Sewa Kapal KapalPerikanan. Bagi perusahaan perikanan yang menyewa kapalperikanan diberi prioritas membeli kapal yang disewadan diberi kesempatan membentuk usaha patungan, dengansyarat sebagian atau seluruh kapal yang disewamerupakan penyertaan modal pihak asing.60 Penataanpenggunaan kapal perikanan dilakukan dalam tiga bentuk,yaitu usaha patungan (join venture), beli-angsur (purchaseon instalment), dan lisensi61, yang bertujuan agar setiappenangkapan ikan di ZEEI oleh kapal perikanan dilakukansecara bertanggungjawab dengan tetap menjagakelestarian sumber daya ikan.62

Lain halnya dengan pengaturan pelaksanaanpengawasan dalam penangkapan ikan, yang diatur dalamKepmen KP Nomor Kep.02/Men/2002 tentang PedomanPelaksanaan Pengawasan Penangkapan Ikan. Pada keputusanmenteri ini memiliki ruang lingkup yang mengaturterhadap kegiatan penangkapan dan/atau pengangkutanikan, yang dilakukan dengan prinsip-prinsip pemantauan,pemeriksaan, pengamatan lapangan dan/ataupenyelidikan.63 Agar terciptanya tertib administrasidan operasional terhadap kapal perikanan dalammelakukan kegiatan penangkapan dan pengangkutan ikan64,lahirlah Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan NomorKep.03/Men/2002 tentang Log Book Penangkapan dan60 Konsideran menimbang Kepmen Kelautan dan Perikanan Nomor: Kep.60/Men/2001 tentang Penataan Penggunaan Kapal Perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia huruf (a).61 Pasal 2 ayat (2) Kepmen Kelautan dan Perikanan Nomor: Kep.60/Men/2001 tentang Penataan Penggunaan Kapal Perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.62 Pasal 3 ayat (2) Kepmen Kelautan dan Perikanan Nomor: Kep.60/Men/2001 tentang Penataan Penggunaan Kapal Perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.63 Pasal 3 ayat (1) dan (2) Kepmen Kelautan dan Perikanan Nomor: Kep.02/Men/2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan PenangkapanIkan.64 Pasal 2 Kepmen Kelautan dan Perikanan Nomor: Kep.03/Men/2002 tentang Log Book Penangkapan dan Pengangkutan Ikan.

23

Pengangkutan Ikan. Pada Kepmen ini diatur mengenaitindakan-tindakan pengawasan dan pengendalian terhadappengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dengancara dibuatkannya Log Book penangkapan dan pengangkutanikan.

Selanjutnya Menteri Kelautan dan Perikananmengeluarkan Kepmen KP dengan Nomor Kep.12/Men/2002tentang Pendaftaran Ulang Perizinan Usaha PenangkapanIkan Tahap Kedua. Kepmen ini dikeluarkan karena padaKepmen yang sebelumnya mengenai hal ini, sebagianperusahaan perikanan belum melakukan pendaftaran ulangatas perizinan usaha penangkapan ikan yang dimiliknya.Sehingga dikeluarkannya Kepmen ini sebagai pembaharuandari Kepmen sebelumnya diharapkan dapat mengoptimalkanpemutakhiran data perizinan usaha penangkapan ikan.

Pada tahun 2004, Kementerian Kelautan danPerikanan Indonesia kembali mengeluarkan KeputusanMenteri, yakni Kepmen KP Nomor Kep.11/Men/2004 tentangPelabuhan Pangkalan bagi Kapal Perikanan. Kepmen inidikeluarkan dalam rangka pengawasan terhadappelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam hayati dansekaligus untuk menunjang kelancaran operasional kapalperikanan berbendera asing dan kapal perikananberbendera Indonesia.65

d. Peraturan Menteri yang berkaitan dengan Perikanan diIndonesia

Dalam melaksanakan tugasnya, Kementerian Kelautandan Perikanan tidak hanya mengeluarkan KeputusanMenteri sebagai aturan-aturan yang akan melindungipengelolaan dan pemanfaatan wilayah laut dan sumberdaya alam hayati yang terkandung di dalamnya.Kementerian Kelautan dan Perikanan juga mengeluarkanaturan lain yang berbentu Peraturan Menteri. Peraturan-peraturan Menteri tersebut antara lain, Permen KP NomorPer.16/Men/2006 tentanng Pelabuhan Perikanan.Dikeluarkannya Peraturan Menteri tersebut didasari oleh65 Konsideran menimbang Kepmen Kelautan dan Perikanan Nomor: Kep.11/Men/2004 tentang Penataan Penggunaan Kapal Perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.

24

pentingnya keberadaan pelabuhan perikanan sebagai salahsatu tempat pelaksanaan kegiatan transaksi penangkapan,pengangkutan, dan perdagangan ikan. Sebagaimana telahdituangkan dalam konsideran menimbang yang menyebutkanbahwa pelabuhan perikanan mempunyai peran penting dalammendukung peningkatan produksi perikanan, memperlancararus lalu lintas kapal perikanan, mendorong pertumbuhanperekonomian masyarakat perikanan, pelaksanaan danpengendalian sumber daya ikan dan mempercepat pelayananterhadap kegiatan di bidang usaha perikanan.

Selanjutnya dikeluarkan pula Permen KP NomorPer.03/Men/2007 tentang Sistem laik Operasi KapalPerikanan, sebagai peraturan yang mengatur tentang,kewajiban kapal perikanan, persyaratan administrasi dankelayakan teknis operasional kapal perikanan, prosedurpengisian SLO, pelaporan, dan bentuk serta format SLOdan hasil pemeriksaan kapal perikanan.66

Dalam mengoptimalkan pelaksanaan ataupenyelenggaraan segala bentuk kegiatan di bidangperikanan, dikeluarkan pula Permen KP NomorPer.05/Men/2007 tentang Penyelenggaraan SistemPemantauan Kapal Perikanan. Penyelenggaraan sistempemantauan kapal perikanan diselenggarakan dengantujuan67: meningkatkan efektivitas pengelolaan sumberdaya ikan melalui pengendalian dan pemantauan terhadapkapal perikanan; meningkatkan efisiensi dan efektivitaspengelolaan usaha perikanan yang dilakukan olehperusahaan perikanan; meningkatkan ketaatan kapalperikanan yang melakukan kegiatan penangkapan dan/ataupengangkutan ikan terhadap ketentuan peraturanperundang-undangan yang berlaku; dan memperoleh datadan informasi tentang kegiatan kapal perikanan dalamrangka pengelolaan sumber daya ikan secarabertanggungjawab dan berkelanjutan.

66 Pasal 3 Permen KP Nomor Per.03/Men/2007 tentang Sistem Laik Operasi Kapal Perikanan.67 Pasal 2 Permen KP Nomor Per.05/Men/2007 tentang PenyelenggaraanSistem Pemantauan Kapal Perikanan

25

Pada tahun berikutnya Peraturan Menteri KP kembalidikeluarkan yaitu Permen KP Nomor Per.05/Men/2008tentang Usaha Perikanan Tangkap, yang mengatur tentanngjenis-jenis usaha penangkapan ikan, antara lainpenangkapan ikan, penangkapan dan pengangkutan ikandalam satuan armada penangkapan ikan, dan pengangkutanikan.

Peraturan Menteri yang berkaitan dengan Perikananbukan hanya berasal dari Kementerian Kelautan danPerikanan. Adanya Peraturan Menteri Perhubungan yanngdikeluarkan pada tahun 2005 dengan Nomor 08 Tahun 2005tentang Telekomunikasi Pelayaran, yang merupakanpelaksana dari Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2000tentang Kenavigasian, juga merupakan bagian dari upayaperlindungan laut Indonesia.

Pada saat ini, Kementerian Kelautan dan PerikananIndonesia juga baru mengeluarkan Peraturan Menteri yangberkaitan dengan perikanan. Peraturan Menteri tersebutyaitu Permen Nomor 1/Permen-KP/2015 tentang PenangkapanLobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), danRajungan (Portunus pelagicus spp.) Peraturan inidikeluarkan oleh karena jenis ikan sebagaimana judulPermen ini merupakan salah satu jenis ikan yangmemiliki nilai ekonomis yang tinggi, sehingga peraturanini diperlukan dalam hal kontrol penangkapan berlebihanyang dilakukan negara asing dan sekaligus menjagakelestarian jenisnya sehingga dibutuhkan pertauran yangdapat mengatur penangkapannya.

Bukan hanya itu, Kemnterian Kelautan jugamengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 2 /Permen-KP/2015tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan PukatHela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di WilayahPengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.Peraturan Menteri ini dikeluarkan didasari banyaknyapermasalahan yang ditimbulkan akibat pelanggaran yangdilakukan para penangkap ikan khususnya kapalberbendera negara asing, yang melakukan penangkapanikan secara besar-besaran di wilayah laut Indonesia.Hal ini tentu saja sangan merugikan Negara, karena

26

penangkapan ikan dilakukan dengan menggunakan alat yangdapat menangkap ikan dengan kapasitas atau kuotamelebihi dari jumlah yang diperbolehkan. Maka semenjakPeraturan Menteri ini diberlakuakan, penggunaan alatpenangkapan ikan pukat hela dan pukat tarik di wilayahRepublik Indonesia dinyatakan dicabut atau tidakberlaku.68

C. PENUTUP1. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas mengenai Ilegal, Unreported,and Unregulated Fishing dapat diambil kesimpulan yaitu:1. Masalah di wilayah perairan khususnya laut sering

terjadi. Hal ini disebabkan karena sebagian besarwilayah bumi ini adalah perairan. Kasus yang tidakasing lagi didengar salah satunya adalah Ilegal,Unreported, and Unregulated Fishing.IUU Fishing terdiri daritiga unsur, yaitu Ilegal (Penangkapan ikan secaragelap), Unreported (tidak dilaporkan), dan Unregulated(tidak sesuai aturan).Ilegal Unreported and Unregulated(IUU) fishing adalah ancaman global untuk perikananberkelanjutan dan pengelolaan dan konservasi sumberdaya perikanan dan keanekaragaman hayati laut.Sebagai alat untuk memerangi IUU fishing, sangatlahpenting meningkatkan kontrol negara pelabuhan,semakin menguat sepanjang decennium terakhir. SetiapPihak (negara) wajib, dalam kapasitasnya sebagainegara pelabuhan, menerapkan Perjanjian inisehubungan dengan kapal yang tidak berhak untukmengibarkan benderanya yang ingin masuk kepelabuhanatau berada di salah satu pelabuhan kecuali: (a)kapal dari suatu Negara tetangga yang terlibat dalampemancingan artisanal untuk subsisten, asalkanNegara pelabuhan dannegara benderabekerja sama untukmemastikan bahwa kapal tersebut tidak terlibat dalam

68 Pasal 7 Peraturan Menteri Nomor 2 /Permen-KP/2015 tentangLarangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) danPukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan NegaraRepublik Indonesia.

27

IUU fishing atau kegiatan memancing terkait dukunganmemancing seperti IUU fishing; (b) kontainerkapalyang tidak membawa ikan atau, jika membawaikan, hanya ikan yang sebelumnya telah mendarat,asalkan tidak ada alasan yang jelas untuk mencurigaibahwa kapal tersebu ttelah terlibat dalam kegiatanpenangkapan ikan terkait dengan dukungan aktifitasIUU fishing.

2. Sebagian besar negara Indonesia merupakan perairan,yang terdiri dari laut dan perairan pedalaman.Sangat penting bagi Indonesia untuk melindungiseluruh wilayah Indonesia terutama wilayah lautnya.Indonesia meratifikasi perjanjian-perjanjianinternasional yang dianggap diperlukan bagipengaturan sistem di Indonesia yang dalam hal initidak luput perairan Indonesia khususnya laut.Permasalah yang hampir semua negara pantai alami,yaitu IUU Fishing juga tidak luput dirasakan diperairan Indonesia. Oleh sebab itu beberapaperaturan dibentuk untuk melindungi laut Indonesiadan isinya. Di Indonesia peraturan yang mengaturtentang perikanan yaitu Undang-undang Nomor 31 Tahun2004 yang setidaknya dipengaruhi oleh KetentuanUNCLOS 1982 dan oleh berbagai kesepakataninternasional di bidang perikanan. Kapal ikan asingdiperbolehkan melakukan penangkapan ikan di wilayahZona Ekonomi Eksklusif Indonesia, sepanjang iatunduk pada peraturan perundang-undangan Indonesiayang dibentuk berdasarkan ketentuan hukuminternasional dan kebiasaan internasional.

2. SaranIlegal, Unreported, and Unregulated Fishing merupakan salahsatu pelanggaran dalam hal penangkapan ikan padawilayah laut Negara pantai atau kepulauan. Kegiatantersebut sangat merugikan Negara pantai ataukepulauan karena tidak adanya pemberitahuan mengenaipenangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal asing(Negara lain). Oleh sebab itu berbagai peraturan

28

mengenai hal tersebut yang diatur secarainternasional dan diadopsi oleh Negara-negara pantaiatau kepulauan.Dari uraian di atas diharapkan agarsetiap Negara masing-masing saling menghormatikedaulatan Negara-negara di dunia dan melakukansegala aktivitas internasional khususnya dalam halpenangkapan ikan sesuai dengan hukum regional Negarapantai dan hukum internasional.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Khaidir.Batas Wilayah Negara di Perairan Laut, Lampung:Universitas Lampung, 2011.

Bowett, D.W. Hukum Organisasi Internasional, Jakarta : Sinar Grafika, 1995.

Heryandi, Hukum Pengelolaan Sumber Daya Alam Kelautan,Lampung: Universitas Lampung, 2010.

Muthalib, Abdul. Hukum Internasional dan Perkembangannya, Bandar Lampung:

Fakultas Hukum Universitas Lampung, 2012.

Mauna, Boer.HukumInternasional :Pengertian,PeranandanFungsidalamEra Dinamika Global, Edisi II PT.Alumni, Bandung, 2005.

Parthiana, I Wayan.Pengantar Hukum Internasional, Bandung:CV. Mandar Maju.

Ria, Marhaeni.Hukum Perikanan Nasional dan Internasional,Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010.

Sodik , Didik Mohammad, Hukum Laut Internasional & Pengaturannya di Indonesia, Bandung : Refika Aditama, 2011

29

Starke,J.G. Pengantar Hukum Internasional, Bagian 1, Jakarta: Sinar Grafika, 2003.

Starke,J.G. Pengantar Hukum Internasional, Bagian 2, AksaraPersadaIndonesia, Jakarta, 1989.

Tsani, Mohd. Burhan.Hukum dan Hubungan Internasional,Yogyakarta: Liberty, 1990.

http://www.fao.org/fishery/iuu-fishing/en

http://www.nmfs.noaa.gov/ia/iuu/iuu_overview.html

http://ec.europa.eu/fisheries/cfp/illegal_fishing/index_en.htm

AGREEMENT DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:

The Agreement to Promote Compliance with International Conservationand Management Measures by Fishing Vessel on the High Seas 1993.

The Agreement for the Implementation of the Provision of the UNCLOS of10 December 1982 relating to the Conservation and Managementof Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks 1995.

Agreement On Port State Measures To Prevent, Deter And Eliminate Illegal,Unreported And Unregulated Fishing, 2001.

Code of Conduct for Responsible Fisheries 1995.

United Nation Convention On The Law Of The Sea 1982.

Undang-Undanng Nomor 5 Tahun 1983 tentang ZEEI.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

30

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.

PP No. 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber DayaAlam Hayati di ZEEI.

PP No. 51 Tahun 2002 tentanng Perkapalan.

PP No. 54 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan.

Kepmen KP Nomor Kep.46/Men/2001 tentang PendaftaranUlang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan.

Kepmen KP Nomor Kep.60/Men/2001 tentang PenataanPenggunaan Kapal Perikanan di ZEEI.

Kepmen KP Nomor Kep.02/Men/2002 tentang PedomanPelaksanaan Pengawasan Penangkapan Ikan.

Kepmen KP Nomor Kep.03/Men/2002 tentang Log BookPenangkapan dan Pengangkutan Ikan.

Kepmen KP Nomor Kep.12/Men/2002 tentang PendaftaranUlang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan TahapKedua.

Kepmen KP Nomor Kep.11/Men/2004 tentang PelabuhanPangkalan bagi Kapal Perikanan.

Permen KP Nomor Per.16/Men/2006 tentang PelabuhanPerikanan.

Permen KP Nomor Per.03/Men/2007 tentang Sistem LaikOperasi Kapal Perikanan.

Permen KP Nomor Per.05/Men/2007 tentang PenyelenggaraanSistem Pemantauan Kapal Perikanan.

Permen KP Nomor Per.05/Men/2008 tentang Usaha PerikananTangkap.

31

Permen KP Nomor 1/PERMEN-KP/2015 tentang PenangkapanLobster (Panulirus Spp.), Kepiting (Scylla Spp.), DanRajungan (Portunus Pelagicus Spp.)

Permen KP Nomor 2/PERMEN-KP/2015 Tentang LaranganPenggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela(Trawls) Dan Pukat Tarik (Seine Nets) Di WilayahPengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

ARTIKEL:

Dr. Dina Sunyowati,SH.,Mhum, Dampak Kegiatan Iuu-Fishing DiIndonesia,

Fakultas Hukum,Universitas Airlangga.

Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi Departemen Kelautan dan Perikanan

(DKP), Soen'an H Poernomo, Jakarta.

LAIN-LAIN:Tesis Akhmad Solihin tentang Pemberantasan Illegal,Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing Menurut HukumInternasional dan Implementasinya dalam Peraturan Perundang-Undangan Nasional.

32