hubungan antara akal, penginderaan, intuisi dan wahyu ...

12
141 Itqan, Vol. VI, No. 2, Juli - Desember 2015 HUBUNGAN ANTARA AKAL, PENGINDERAAN, INTUISI DAN WAHYU DALAM BANGUNAN KEILMUAN ISLAM Oleh: Muhammad Hatta Dosen Jurusan Tarbiyah STAIN Gajah Putih Takengon Email: [email protected] Abstrak Epistemologi dalam Islam memiliki segi yang komprehensif sebagai instrumen untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, yaitu indera, akal, hati (intuisi) dan wahyu. Kemudian keempat instrumen tersebut dikelompokkan ke dalam tiga pendekatan, yaitu bayani, irfani dan burhani. Hanya saja dari tiga kecenderungan pendekatan yang ada (bayani, irfani dan burhani), dalam perkembangannya lebih didominasi oleh corak berpikir bayani yang sangat tekstual dan corak berpikir irfani (kasyf) yang sangat sufistik. Kedua kecenderungan ini kurang begitu memperhatikan pada penggunaan rasio (burhani ) secara optimal. Tentu saja dalam menyikapi kemunduran pada Iptek yang dialami oleh umat Islam dewasa ini, maka seyogyanya umat Islam lebih mengedepankan pendekatan yang bercorak burhani dengan dipandu oleh kebersihan hati sebagai maninfestasi dari epistemologi irfani. Penggunaan akal yang maksimal bukan berarti pengabaian terhadap teks (nash). Teks tetap dipakai sebagai pedoman universal dalam kehidupan manusia. Kata kunci: Keilmuan Islam, Akal, Penginderaan, Intuisi, Wahyu Abstract The epistemology in Islam takes the comprehensive terms as an instrument to gain the knowledge, namely the senses, mind, heart (intuition) and revelation. The fourth instruments are grouped into three approaches, namely bayani, Irfani and Burhani. Unfortunately, based on the approaches (bayani, Irfani and Burhani) in the development of it, the approaches dominated by point of view of Bayani which too textual and Irfani which too sufistik. Both are less concerned in using of mind (Burhani) optimally. Actually, to behave the setback of science and technology that suffered by Muslims nowdays. So, the Muslims

Transcript of hubungan antara akal, penginderaan, intuisi dan wahyu ...

141 Hubungan Antara Akal, Penginderaan, Intuisi Dan Wahyu

Itqan, Vol. VI, No. 2, Juli - Desember 2015

HUBUNGAN ANTARA AKAL, PENGINDERAAN,

INTUISI DAN WAHYU DALAM BANGUNAN

KEILMUAN ISLAM

Oleh: Muhammad Hatta

Dosen Jurusan Tarbiyah STAIN Gajah Putih Takengon

Email: [email protected]

Abstrak

Epistemologi dalam Islam memiliki segi yang komprehensif

sebagai instrumen untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, yaitu

indera, akal, hati (intuisi) dan wahyu. Kemudian keempat

instrumen tersebut dikelompokkan ke dalam tiga pendekatan, yaitu

bayani, irfani dan burhani. Hanya saja dari tiga kecenderungan

pendekatan yang ada (bayani, irfani dan burhani), dalam

perkembangannya lebih didominasi oleh corak berpikir bayani

yang sangat tekstual dan corak berpikir irfani (kasyf) yang sangat

sufistik. Kedua kecenderungan ini kurang begitu memperhatikan

pada penggunaan rasio (burhani ) secara optimal. Tentu saja

dalam menyikapi kemunduran pada Iptek yang dialami oleh umat

Islam dewasa ini, maka seyogyanya umat Islam lebih

mengedepankan pendekatan yang bercorak burhani dengan

dipandu oleh kebersihan hati sebagai maninfestasi dari

epistemologi irfani. Penggunaan akal yang maksimal bukan

berarti pengabaian terhadap teks (nash). Teks tetap dipakai

sebagai pedoman universal dalam kehidupan manusia.

Kata kunci: Keilmuan Islam, Akal, Penginderaan, Intuisi, Wahyu

Abstract

The epistemology in Islam takes the comprehensive terms as an

instrument to gain the knowledge, namely the senses, mind, heart

(intuition) and revelation. The fourth instruments are grouped into

three approaches, namely bayani, Irfani and Burhani.

Unfortunately, based on the approaches (bayani, Irfani and

Burhani) in the development of it, the approaches dominated by

point of view of Bayani which too textual and Irfani which too

sufistik. Both are less concerned in using of mind (Burhani)

optimally. Actually, to behave the setback of science and

technology that suffered by Muslims nowdays. So, the Muslims

Muhammad Hatta 142

Itqan, Vol. VI, No. 2, Juli - Desember 2015

should be more emphasis toward Burhani approach by guided of

probity as the manifestation of Irfani epistemology. The using of

mind maximum does not mean neglect of the text (nass). The text

keep used as a universal guidelines in human life.

Key words: Islamic Scientific, Mind, Sensory, Intuition, Revelation

A. Pendahuluan

Pengertian Epistimologi menurut Harun Nasution adalah berasal dari kata

episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti teori. Epistemologi

adalah ilmu yang membahas tentang apa pengetahuan dan bagaimana memperoleh

ilmu pengetahuan (Nasution, 1978: 23). Dengan demikian epistemologi dapat

diartikan sebagai teori pengetahuan (theory of knowledge).

R.B.S. Furdyartanto memberikan pengertian epistemologi adalah ilmu

filsafat tentang pengetahuan atau dengan pendek kata, filsafat pengetahuan

(Furdyartarto, 1978: 44). Epistemologi berasal dari Bahasa Yunani, yaitu

kata episteme, yang berarti knowledge atau pengetahuan dan logos yang berarti

theory (teori) (Bagus, 1996: 56).

Istilah epistemologi pertama kali digunakan oleh J. F. Ferrier dalam

karyanya “institute of metaphysics”, dia membagi filsafat menjadi dua cabang,

yaitu: metafisika dan epistemology (Runes, 1971: 33). Harun Nasution, memberi

pengertian tentang epistemology, yaitu episteme yang berarti pengetahuan, dengan

demikian epistemologi ialah ilmu yang membahas tentang: (a) apa itu

pengetahuan, dan (b) bagaimana cara memperoleh pengetahuan (Nasution, 1973:

30).

Jika dikaitkan dengan Islam maka epistemologi Islam dapat dipahami

sebagai teori pengetahuan atau filsafat ilmu yang dijiwai oleh nilai-nilai dan ajaran

Islam, dan didedikasikan sebagai ibadah (pengabdian) kepada Allah Swt.

Kajian epistemologi Islam penting untuk dilakukan mengingat saat ini

sudah menyebar apa yang disebut oleh Syamsuddin Arif, “kanker epistemologis”

(Arif, 2005: 57). Kanker jenis ini telah melumpuhkan kemampuan menilai (critical

power) serta mengakibatkan kegagalan akal (intellectual failure), yang pada

gilirannya mengerogoti keyakinan dan keimanan, dan akhirnya menyebabkan

kekufuran. Gejala dari orang yang mengidap kanker ini, di antaranya suka berkata:

“Di dunia ini, kita tidak pernah tahu Kebenaran Absolut. Yang kita tahu hanyalah

kebenaran dengan “k” kecil.” “Kebenaran itu relatif.” “Agama itu mutlak, sedang

pemikiran keagamaan relatif.” “Semua agama benar dalam posisi dan porsinya

masing-masing” (Arif, 2005: 60). Oleh sebab itu, pembahasan tentang

143 Hubungan Antara Akal, Penginderaan, Intuisi Dan Wahyu

Itqan, Vol. VI, No. 2, Juli - Desember 2015

epistemologi Islam menjadi penting untuk dilakukan dalam rangka menemukan

ilmu yang benar.

Dalam Islam Ilmu datangnya dari Allah Swt, maka tauhid merupakan

prinsip dasar ilmu pengetahuan, yaitu prinsip yang menggariskan satu kebenaran,

yakni Allah Swt. (Al-Rasyidin, 2012: 32).

B. Epistemological Question: Hubungan Akal dan Wahyu

Al-Qur’an sebagai wahyu Allah yang hadir di tengah-tengah umat yang

mempunyai kultur dan budaya yang berbeda sehingga pada akhirnya mereka dapat

bertemu dalam mengemukakan kebanaran yang mutlak dengan perantara akal dan

wahyu.

Dengan demikian, penulis mencoba untuk memasukkan dalam makalah ini

yaitu pertemuan antara akal sebagai sumber ma’rifat dengan wahyu.

Akal merupakan salah satu sumber pengetahuan yang benar dalam diri

manusia dan di dalam al-Qur’an banyak ayat-ayat yang mengungkapkan betapa

penting akal dalam kehidupan manusia itu. Seperti dalam firman Allah dalam surat

ar-Ra’du ayat 19:

فمن نما لم يع أ

نزل أ

ب ك من ك إل أ و كمن ق ل ٱ ر ع ه

ى أ ما م ر إن يتذك ول وا

أ

ٱ ١٩ ب ب ل ل

“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari

Tuhanmu itu sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal

saja dapat mengambil pelajaran.”

Ayat lain terdapat dalam surat an-Nahl ayat 44

ٱب ن ل ب ر ٱت و ي لز نزل ك ٱك إل ا وأ ل إل ل للناس ما ن ز م هم ر ل بي ولعله

ون ر ٤٤يتفك“Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan

kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang

telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”

Jelaslah bahwa al-Qur’an sendiri menganjurkan kepada kita untuk

memberdayakan akal pikiran yang dimiliki agar supaya dapat menguak rahasia

dibalik yang ada. Muhammad Abduh berpendapat bahwa akal adalah tonggak

kehidupan manusia dari kelanjutan wujudnya, peningkatan daya akal merupakan

Muhammad Hatta 144

Itqan, Vol. VI, No. 2, Juli - Desember 2015

salah satu dasar pembicaraan budi pekerti mulia yang menjadi dasar dan sumber

kehidupan dan kebahagiaan bangsa-bangsa (Nasution, 1987: 34).

Akal itu terbagi ke dalam dua yaitu, (1) Akal praktis (amaliah) yang

menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indera pengingat yang ada pada

jiwa binatang, (2) Akal teoritis (alimah) yang menangkap arti-arti murni yang tak

pernah ada dalam materi, seperti Tuhan, roh dan malaikat (Nasution, 1982: 37).

Sementara Imam al-Gazali mengemukakan dalam kitabnya Ihya Ulum al-

Din, bahwa akal itu mempunyai empat pengertian: (1) Sebutan yang memisahkan

manusia dengan seluruh hewan, (2) Ilmu yang lahir pada saat anak-anak mencapai

akil baliq, sehingga bisa mengenal perbedaan yang boleh dilakukan dan yang tak

boleh dilakukan, (3) Ilmu yang didapat dari pengalaman, dan (4) Kekuatan

menghentikan dorongan naluriah untuk menerawan jauh ke angkasa, mengekang

dan menundukkan syahwat yang selalu mengelu-elukan kenikmatan sementara

(Al-Ghazali, 1909: 98).

Wahyu adalah merupakan cahaya dan petunjuk bagi manusia, tetapi

mereka masih banyak yang tidak merasakan kebahagiaan dengan adanya wahyu

tersebut, tercermin dalam ayat-ayat al-Qur‟an yaitu : QS. al-Syura 52-53; QS. al-

Maidah 44, 46, 48; QS. Ibrahim 1-2; QS. al-Nur : 35. dan masih banyak yang

menjelaskan bahwa dia merupakan sumber kebenaran yang tidak perlu diragukan

(QS. al-Isra 105). Maka jelaslah bahwa antara akal dan wahyu tidak bertentangan,

hanya saja akal jangkauannya terbatas, sementara wahyu yang otoritasnya dari

Yang Maha Benar tidak terbatas. Jadi akal sebagai sumber ma’rifat namun ma’rifat

yang bisa digalinya terbatas. Hakikat wahyu (yang bersifat defenitif) tidak

berbenturan dengan apa yang dicapai oleh akal manusia. Dan kalaupun terjadi

suatu kasus di mana akal juga ditemukan defenitifnya tetap mendahulukan akal

yang definitif (Gharizah, 1989: 77). Oleh karena itu agama dan akal buat pertama

kalinya menjalin persaudaraan. Di dalam persaudaraannya itu, akal menjadi tulang

punggung agama yang terkuat dan wahyu sendirinya yang terkuat (Nasution, 1982:

42). Antara akal dan wahyu tidak ada pertentangan, bahkan saling melengkapi.

C. Epistemological Question: Hubungan Akal, Indera, Intuisi dan Wahyu

dalam Bangunan Keilmuan Islam

Epistemologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membahas atau

membicarakan mengenai hakekat, keaslian, sumber, struktur, metode, validitas,

unsur, dasar, dari mana, dan bagaimana pengetahuan itu diperoleh. Rumusan

epistemologi Islam, yaitu untuk membangun ilmu pengetahuan berbasis Islami

bertujuan untuk membangun kehidupan umat lebih baik, karena epistemologi ini

berdasarkan pada nilai-nilai tauhid.

145 Hubungan Antara Akal, Penginderaan, Intuisi Dan Wahyu

Itqan, Vol. VI, No. 2, Juli - Desember 2015

Sementara itu epistemologi Islam menurut al-Qur’an yaitu dasar-dasar

pengetahuan yang selalu berdasarkan pada wahyu Tuhan dan juga tidak menolak

kekuatan akal dan indera (data empirik) dalam menyerap pengetahuan. Karena

dalam al-Qur'an banyak sekali ayat-ayat yang menjelaskan tentang wahyu, ilham,

fungsi akal dan indera (Barok, 2007: 45).

Menurut Barok ayat-ayat al-Qur’an yang ada hubungannya dengan

epistemologi terdapat kurang lebih 120 ayat bahkan lebih. Ayat-ayat tersebut oleh

epistemologi Islam ialah dijadikan sebagai dasar argumentative, menjadi landasan

dan rujukan epistemologi pengetahuan Islam sekaligus sebagai bentuk untuk

memperkuat eksistensinya. Menurut Barok (2007: 47) hal ini bisa dicermati dari

dasar teks, sumber, dan karakteristiknya sebagai berikut:

1) Sumber epistemologi Islam menurut al-Qur’an yaitu berdasarkan pada

wahyu, akal, dan data empirik (empirisme/ indera) serta intuisi, akan tetapi

yang paling pokok sebagai sumber epistemologi Islam, yaitu wahyu.

Sedangkan akal dan data empirik adalah sebagai sumber pendukung

sekaligus sebagai bentuk bukti kalau epistemologi Islam itu tidak

bertentangan dengan akal dan empirisme (indera).

2) Sedangkan dasar teks epistemologi Islam menurut al-Qur’an sebagaimana

dimaksud dalam pokok masalah, hal ini bisa dilacak pada ayat-ayat al-

Qur’an, baik langsung maupun tidak langsung yang merujuk pada

epistemologi. Hal ini bisa ditelaah pada sebuah kata ataupun ayat yang

memiliki makna dasar epistemologi. Adapun kata dan ayat baik langsung

maupun tidak langsung tersebut adalah: Pertama, kata tafakkarun, kedua

kata tadabbarun; ketiga, tadakkarun; keempat, ‘aqala.

3) Sementara itu karakteristik epistemologi menurut al-Qur’an, yaitu

Pertama, memiliki orientasi teosentris. Artinya ilmu tersebut mengemban

atau memiliki nilai-nilai Ketuhanan, sebagai nilai yang dapat memberikan

kesejahteraan dan kedamaian bagi semua makhluk, dan juga ilmu tersebut

tidak boleh menyimpang dari ajaran-ajaran Allah. Jika sains Barat tidak

memiliki kepedulian kepada Tuhan, maka ilmu Islam selalu diorientasikan

kepada ajaran Allah dengan untuk mencapai kebahagiaan hakiki. Kedua,

terikat nilai karena nilai dapat memberikan penghargaan yang tinggi

kepada manusia dan lingkungannya. Hal ini lah yang menjadi penekanan

atau tujuan keilmuan Islam karena sampai saat ini ilmu pengetahuan dan

teknologi yang notabenenya seharusnya bebas nilai itu justru menimbulkan

kerusakan, keresahan dan dekadensi moral yang sangat parah. Sebab

Muhammad Hatta 146

Itqan, Vol. VI, No. 2, Juli - Desember 2015

perkembangan sains yang dibangun itu tidak dilandasi dengan nilai-nilai

etik (Barok, 2007: 48).

Kemudian daripada itu, ilmu diperoleh oleh manusia dengan berbagai cara

dan dengan menggunakan berbagai alat. Menurut Juhaya S. Praja, pada dasarnya

terdapat dua cara pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang

benar. Yang pertama adalah mendasarkan diri kepada rasio, dan yang kedua

mendasarkan diri kepada pengalaman. Yang pertama disebut paham rasionalisme,

dan yang kedua disebut paham empirisme. Pengetahuan jenis pertama disebut

logis, dan pengetahuan jenis kedua disebut empiris (Praja, 2005: 27).

Menurut Jujun, kerjasama dari rasionalisme-empirisme ini kemudian

melahirkan paham positivisme, yakni paham yang menyatakan bahwa segala

pengetahuan yang ilmiah harus dan pasti dapat “terukur”. Panas diukur dengan

derajat panas, jauh diukur dengan meteran, berat diukur dengan timbangan. Di

samping rasionalisme dan empirisme, masih terdapat cara untuk mendapatkan

pengetahuan yang lain. Yang penting dari semua itu, adalah intuisi dan wahyu.

Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran

tertentu. Seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah tiba-

tiba saja menemukan jawaban atas permasalahan tersebut. Tanpa melalui proses

berpikir yang berliku-liku tiba-tiba saja dia sudah sampai di situ. Inilah yang

disebut intuisi. Sementara wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh

Tuhan kepada manusia. Pengetahuan ini disalurkan lewat nabi-nabi yang diutus-

Nya di setiap zaman (Sumantri, 1991: 56).

Lebih lanjut Sumantri (1991: 59) mengungkapkan, agama merupakan

pengetahuan bukan saja mengenai kehidupan manusia sekarang yang terjangkau

pengalaman, namun juga mencakup masalah-masalah yang bersifat transendental

seperti latar belakang penciptaan manusia dan hari kemudian di akhirat nanti.

Pengetahuan ini didasarkan kepada kepercayaan akan hal-hal yang gaib

(supernatural). Akan tetapi pengetahuan jenis ini banyak tidak diakui oleh para

ilmuwan yang kurang berpihak pada agama, seiring dibatasinya pengetahuan

ilmiah pada logis-empiris.

Perlu dicermati pemikiran al-Nasafi yang menyatakan terdapat tiga saluran

yang menjadi sumber ilmu, yaitu perspesi indera (idrâk al-hawâs), proses akal

sehat (ta’âqul) serta intuisi hati (qalb), dan melalui informasi yang benar (khabar

shâdiq). Oleh al-Attas, penguraian seperti al-Nasafi di atas dihitung empat, dengan

memisahkan proses akal sehat dan intuisi hati (Salam, 1997: 65).

Ibn Taimiyyah membagi indera pada indera lahir, yakni panca indera yang

kita maklumi, dan indera batin, yakni intuisi hati. Terhadap teori kasyf

147 Hubungan Antara Akal, Penginderaan, Intuisi Dan Wahyu

Itqan, Vol. VI, No. 2, Juli - Desember 2015

sebagaimana disinggung oleh Burhanuddin Salam di atas, Ibn Taimiyyah juga

memberikan kemungkinannya. Hanya menurutnya pengetahuan yang diperoleh

lewat ilham tersebut tidak boleh bertentangan dengan khabar yang statusnya lebih

kuat. Karena selain sama-sama berasal dari Allah swt, khabar ini juga disampaikan

kepada manusia pilihan-Nya, yaitu para Nabi. Sehingga jelas apa yang

disampaikan Allah swt kepada para Nabi lebih kuat kedudukannya ketika

berbenturan dengan ilham yang banyak di antaranya hanya berupa lintasan-lintasan

hati biasa dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Al-Ghazali menyampaikan

pendapat yang sama. Menurutnya, hakim dalam makna pemutus benar tidaknya

sesuatu itu ada tiga, yaitu hissî (indera), wahmî (intuisi), dan ‘aqlî (akal). Menurut

al-Ghazali, ketika hakim wahmî itu terkadang bertentangan dengan akal dan indera

yang kuat, padahal di sisi lainnya terdapat peringatan tentang adanya yang melintas

di dalam hati ini berupa bisikan syetan, maka al-Ghazali hanya mengakui saluran

wahmî dari orang yang dikuatkan oleh Allah swt dengan taufiq-Nya, yakni orang

yang dimuliakan Allah swt disebabkan orang yang bersangkutan hanya menempuh

jalan yang haqq. Menurut Salam (1997: 66) al-Ghazali tidak menyebutkannya

kedudukan wahyu secara tegas, bukan berarti ia tidak mengakuinya. Karena di

dalam berbagai karyanya, termasuk dalam menentang para filosof melalui Tahâfut

al-Falâsifah, al-Ghazali melandaskannya pada dalil-dalil wahyu. Itu semua

dikarenakan yang menjadi titik tekan al-Ghazali dalam pembahasannya ini adalah

hâkim dari diri manusia sendiri, bukan dari luar.

Al-Qadi Abu Bakar al-Baqillani, membagi sumber pengetahuan ini ke

dalam enam bagian. Lima di antaranya adalah jenis-jenis indera, yaitu hâssat al-

bashar (indera melihat), hâssat al-sam’ (indera mendengar), hâssat al-dzauq

(indera mengecap), hâssat al-syamm (indera mencium), dan hâssat al-lams (indera

merasa dan meraba). Adapun yang keenamnya, al-Baqillani menjelaskan: “Jenis

yang keenam adalah sesuatu keharusan yang timbul di dalam jiwa secara langsung

tanpa melalui indera-indera yang disebutkan tadi.”

Penjelasan al-Baqillani ini menguatkan kesimpulan bahwa pemahaman

para ulama terhadap sumber pengetahuan dalam Islam sama. Tidak ada pemilahan

di antara mereka antara yang logis, empiris, dan intuitif. Semuanya diakui asalkan

berdasar pada dalil-dalil yang kuat. Baik itu yang revelational/wahyu (naqlî),

rasional (‘aqlî) ataupun empirikal (hissî) (Salam, 1997: 70).

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa epistemologi dalam

Islam bersumber pada indera, akal, dan wahyu. Keempat komponen inilah yang

menjadi instrumen dalam meraih dan/atau menemukan ilmu pengetahuan.

Muhammad Hatta 148

Itqan, Vol. VI, No. 2, Juli - Desember 2015

Indera, sebagai salah satu sumber (sebagian orang menyebutnya alat)

pengetahuan, ia mempunyai peranan yang amat penting. Begitu pentingnya

sehingga oleh aliran filsafat empirisme, indra dipandang sebagai satu-satunya

sumber pengetahuan. Indera adalah sumber awal menuju pengenalan terhadap alam

sekeliling kita. Bagi kelompok filosofis rasionalis seperti Baqir al-Sadr, indera

merupakan sumber pemahaman untuk gambaran (tasawwur) dan berpikir (al-ifkar)

yang sederhana, bahkan di sana terdapat fitrah dalam mental yang membangkitkan

tingkat gambaran (al-Sadr, 1997: 88). Ia mencontohkan betapa kesimpulan teori

gravitasi oleh ilmuan alam dikarenakan dengan hasil penemuan hukumnya bukan

menginderai hukum tersebut, dan kesimpulan itu bersifat rasio.

Ibnu Sina, dengan teorinya yang sangat popular tentang “al-nafs” (jiwa),

mengatakan bahwa pengetahuan manusia berasal dari indera luar dan indera dalam

(batin). Indera luar memberi suatu pengalaman, kemudian pengalaman itu

dirasionalkan oleh indera dalam menjadi pengetahuan. Mengetahui dari luar

maksudnya dengan panca indera, yaitu: indera melihat (al-Bashr), mendengar (al-

sama’), mencium (al-samma), merasa dengan lidah (al-zauq), dan merasa dengan

sentuhan (al-lams) (al-Ahwani, 1952: 94).

Al-Ahwani (1952: 95) melanjutkan akal, sebagai sumber ilmu pengetahuan

oleh Ibnu Sina dikelompokkan dalam indera batin. Mengetahui dari dalam

maksudnya adalah dengan indera batin, dan ini ada dalam wujud mengetahui

pengetahuan inderawi dan pengertiannya.

Selanjutnya Ibnu Sina membagi kemampuan penginderaan batin manusia

dalam lima tahap, yaitu:

1) Indera bersama atau al-his al-musytarak, indera ini bertempat di bagian depan

otak dan memiliki daya untuk menerima semua bentuk atau pesan yang

berasal dari panca indera luar kemudian meneruskannya ke indera batin

berikutnya.

2) Indera penggambar atau al-khayal wal al-musawwarah, tempatnya juga

berada di bagian depan otak dan memiliki daya untuk menympan pesan-pesan

yang diterima indera bersama dari hasil cerapan panca indera.

3) Indera pereka atau al-mutakhayyilah, bertempat di bagian tengah otak dan

memiliki daya untuk mengatur gambar-gambar yang telah dilepaskan dari

materi oleh indera penggambar dengan cara mengklasifikasikannya kemudian

mencari hubungan antara satu dengan yang lainnya.

4) Indera penganggap atau al-wahmiah, tempatnya di bagian tengah otak dan

memiliki daya untuk menangkap pengertian-pengertian yang abstrak yang

149 Hubungan Antara Akal, Penginderaan, Intuisi Dan Wahyu

Itqan, Vol. VI, No. 2, Juli - Desember 2015

dikandung gambaran-gambaran yang bersifat inderawi, seperti mengetahui

bahwa harus menghindar dari serigala dan sebagainya.

5) Indera pengingat atau al-hafizah al-zakirah, bertempat di bagian belakang

otak dan memiliki daya untuk menyimpan dan mengingat apa yang diketahui

oleh indera penganggap yang bersifat abstrak tersebut (al-Ahwani, 1952: 96).

Kelima indera batin tersebut dikatakan Ibnu Sina dalam al-Ahwani (1952:

97) sebagai daya-daya dari “jiwa binatang” atau al-nafs al-hayawaniyah, Selain

dari indera-indera itu, menurutnya manusia juga memiliki “jiwa tumbuh-

tumbuhan” (al-nafs al-nabatiyah), dan jiwa manusia (al-nafs al insaniyah), yang

memiliki daya untuk berpikir (quwah an-natiqah) atau yang disebut juga dengan

akal.

Akal ini kemudian dibedakannya lagi menjadi dua macam, yaitu akal

praktis (‘amilah) dan akal teoritis (‘alimah). Akal praktis akan mengontrol jiwa

kebinatangan, yang kalau berhasil maka jadilah seseorang itu berakhlak mulia, dan

sebaliknya. Sedangkan akal teoritis memiliki daya untuk menangkap arti-arti

murni, arti-arti yang tidak pernah ada dalam materi, mengetahui yang didominasi

oleh pengetahuan-pengetahuan yang abstrak, seperti Tuhan, ruh, malaikat; dan

dengan daya inilah akan timbul ma’rifah.

Kemudian intuisi, sebagian orang menyebut hati (qalb) ini dengan intuisi.

Kalangan sufi mengklaim bahwa intuisi lebih unggul ketimbang akal. Hati dapat

memahami pengalaman langsung kadang-kadang tidak seperti yang dikonsepsikan

akal. Hati juga bisa mengenal objeknya secara lebih akrab dan langsung.

Secara umum, yang paling banyak berkutat dengan masalah hati ini adalah

para sufi, tetapi filosofis besar Ibnu Sina juga tak ketinggalan membahas masalah

ini, seperti pada karyanya al-Isyarat wa al-Tanbihat pada bagian akhirnya. Ibnu

Sina mengatakan bahwa ketika akal hanya berkutat pada tataran kesadaran, hati

bisa menerobos ke alam ketidaksadaran (semisal alam ghaib) sehingga mampu

memahami pengalaman-pengalaman non inderawi atau yang diistilahkan dengan

ESP (entra sensory perception), termasuk pengalaman-pengalaman mistik atau

religius.

Selanjutnya menarik untuk dicermati hubungan ketiganya dalam bangunan

ilmu dalam Islam. Mulyadhi Kertanegara, mencoba memberikan penjelasan

tentang hubungan ketiganya dalam kerangka epsitemologi Islam ke dalam tiga

pendekatan, yaitu:

1) Pendekatan Bayani. Dalam bahasa filsaat yang disederhanakan, pendekatan

bayani dapat diartikan sebagai Model metodologi berpikir yang didasarkan atas

teks. Dalam hal ini teks sucilah yang memilki otoritas penuh menentukan arah

Muhammad Hatta 150

Itqan, Vol. VI, No. 2, Juli - Desember 2015

kebenaran sebuah kitab. Fungsi akal hanya sebagai pengawal makna yang

terkandung di dalamnya. Dalam pendekatan bayani, oleh karena dominasi teks

sedemikian kuat, maka peran akal hanya sebatas sebagai alat pembenaran atau

justifikasi atas teks yang dipahami atau diinterpretasi. Dalam aplikasinya,

pendekatan bayani akan memperkaya lilmu fikih dan ushul fikih, lebih-lebih

qawaidul lughahnya. Namun, hal itu berarti bukan tanpa kelemahan.

Kelemahan mencolok pada Nalar Bayani adalah ketika harus berhadapan

dengan teks-teks yang berbeda, milik komunitas, bangsa, atau masyarakat

lainnya. Karena otoritas ada pada teks, dan rasio hanya berfungsi sebagai

pengawal teks, sementara sebuah teks belum tentu diterima oleh golongan lain.

2) Pendekatan Irfani. Kata ‘irfan adalah bentuk masdar dari kata ‘arafa yang

berarti ma’rifah ilmu pengetahuan. Kemudian ‘irfan lebih dikenal sebagai

terminologi mistik yang secara khusus berarti “ma’rifah” dalam pengertian

“pengetahuan tentang Tuhan”. Kalau ilmu (pengetahuan eksoterik) yakni

pengetahuan yang diperoleh indera dan intelek melalui istidlal, nazhar, dan

burhan, maka ‘irfan (pengetahuan esoterik) yaitu pengetahuan yang diperoleh

qalb melalui kasyf, ilham, i’iyan (persepsi langsung), dan isyra. Aliran-aliran

yang beragam dalam dunia Sufisme atau Irfan memiliki kesatuan pandangan

dalam permasalahan yang esensial dan substansial ini dimana mereka

menyatakan bahwa pencapaian dan penggapaian hakikat segala sesuatu hanya

dengan metode intuisi mistikal dan penitian jalan-jalan pensucian jiwa, bukan

dengan penalaran dan argumentasi rasional, karena hakikat suatu makrifat dan

pengetahuan adalah menyelami dan meraih hakikat segala sesuatu lewat jalur

penyingkapan, penyaksian, intuisi hati, manifestasi-manifestasi batin, dan

penyaksian alam metafisika atau alam nonmateri dengan mata batin serta

penyatuan dengannya.

3) Pendekatan Burhani. Al-Burhan dalam bahasa Arab berarti argumen yang clear.

Dalam pengertian logika, al-burhan adalah aktivitas fikir yang menetapkan

kebenaran sesuatu melalui penalaran dengan mengkaitkan pada pengetahuan

yang bukti-buktinya mendahului kebenaran. Sedangkan dalam pengertian

umum, al-burhan berarti aktivitas fikir untuk menetapkan kebenaran sesuatu.

Al-Jabiri menggunakan burhani sebagai sebutan terhadap sistem pengetahuan

yang berbeda dengan metode pemikiran tertentu dan memiliki world view

tersendiri, yang tidak bergantung pada hegemoni sistem pengetahuan lain.

Burhani mengandalkan kekuatan indera, pengalaman, dan akal dalam

mencapai kebenaran. Ketiga kecenderungan epistemologis Islam ini, secara

teologis mendapatkan justifikasi dari al-Qur’an. Dalam al-Qur’an banyak

151 Hubungan Antara Akal, Penginderaan, Intuisi Dan Wahyu

Itqan, Vol. VI, No. 2, Juli - Desember 2015

ditemukan ayat-ayat yang berbicara tentang pengetahuan yang bersumber

pada rasionalitas. Perintah untuk menggunakan akal dengan berbagai macam

bentuk kalimat dan ungkapan merupakan suatu indikasi yang jelas untuk

hal ini. Akan tetapi, meskipun demikian, tidak sedikit pula paparan ayat-ayat

yang mengungkapkan tentang pengetahuan yang bersumber pada intuisi (hati

atau perasaan) terdalam. Van Peursen mengatakan bahwa akal budi tidak dapat

menyerap sesuatu, dan panca indera tidak dapat memikirkan sesuatu. Namun,

bila keduanya bergabung timbullah pengetahuan, sebab menyerap sesuatu tanpa

dibarengi akal budi sama dengan kebutaan, dan pikiran tanpa isi sama dengan

kehampaan. Burhani atau pendekatan rasional argumentatif adalah pendekatan

yang mendasarkan diri pada kekuatan rasio melalui instrumen logika (induksi,

deduksi, abduksi, simbolik, proses, dll.)

D. Penutup

Epistemologi dalam Islam memiliki segi yang komprehensif sebagai

instrumen untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, yaitu indera, akal, hati (intuisi)

dan wahyu. Kemudian keempat instrumen tersebut dikelompokkan ke dalam tiga

pendekatan, yaitu bayani, irfani dan burhani. Hanya saja dari tiga kecenderungan

pendekatan yang ada (bayani, irfani dan burhani), dalam perkembangannya lebih

didominasi oleh corak berpikir bayani yang sangat tekstual dan corak

berpikir irfani (kasyf) yang sangat sufistik. Kedua kecenderungan ini kurang begitu

memperhatikan pada penggunaan rasio (burhani ) secara optimal.

Tentu saja dalam menyikapi kemunduran pada Iptek yang dialami oleh

umat Islam dewasa ini, maka seyogyanya umat Islam lebih mengedepankan

pendekatan yang bercorak burhani dengan dipandu oleh kebersihan hati sebagai

maninfestasi dari epistemologi irfani. Penggunaan akal yang maksimal bukan

berarti pengabaian terhadap teks (nash). Teks tetap dipakai sebagai pedoman

universal dalam kehidupan manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Rasyidin. (2012). Falsafah Pendidikan Islam; Membagun Kerangka Ontologi,

Epistimologi, daen Aksiologi Praktik Pendidikan, Bandung: Ciptapustaka.

Al-Ghazali. (1909). Ihya Ulum al-Din, Jilid I, Kairo: Maktabah al-Amira al-

Syafafiyyah.

Al-Sadr, Muhammad Baqir. ( 1977). Falsafatuna. Baghdad: Al-Maktabah al-

Wathaniyah.

Muhammad Hatta 152

Itqan, Vol. VI, No. 2, Juli - Desember 2015

Arif, Syamsuddin. (2005). “Prinsip-prinsip Dasar Epistemologi Islam”, Islamia,

Jakarta.

Barok, Ainul. (2007). Epistemologi dalam Al-Quran (Studi Tematik). Tesis, UIN

Bandung.

Furdyartanto, R.B.S. (1978). Epistemologi, Yogyakarta.

Gharizah, Ali. (1989). Metode Pemikiran Islam, Jakarta: Gema Insani Press.

Ibnu Sina. (1952). Ahwal an-Nafs, ditahkik oleh Ahmad Fu’ad al-Ahwani, Cet. I.

Mesir: Isal al-Babi al-Halabi wal Syirkuh.

Nasution, Harun. (1973). Falsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang.

--------. (1982). Kedudukan akal dalam Islam, Jakarta: Yayasan Idayu.

--------. (1987). Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Cet.I,

Jakarta: UI Press.

--------. (1978). Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Praja, Juhaya S. (2005). Aliran-aliran Filsafat dan Etika. Jakarta: Kencana.

Rakhmat, Jalaluddin. (1999). Islam Alternatif. Bandung: Mizan.

Runes, Dagobart D. (1971). Dictionary of Philosophy. New Jersey: Adams &

Company.

Salam, Burhanuddin. (1997). Logika Material: Filsafat Ilmu Pengetahuan.

Jakarta: Rineka Cipta.

Sumantri Jujun S. (1991). Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia.