Historical Perception: Japan-China-South Korea's problem (Indonesian Languange)
Transcript of Historical Perception: Japan-China-South Korea's problem (Indonesian Languange)
Persepsi Sejarah: Hambatan dalam
Hubungan Jepang dan Korea Selatan
Tri Indah Oktavianti (120910101038)
Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Jember
Abstract
This paper examines the implications of
historical perception towards the
relationship between Japan and South Korea.
Japan as one of the biggest world’s
economic country has tried to build strong
relation with its neighbors and creating
such a regional stability in East Asia. The
effort has seen trough trilateral agreement
between Japan-South Korea-United States to
become partnership in regional defense
against North Korea Nuke program and
China’s economic invasion. But the
withdrawal of South Korea from this
agreement shows that it is not going to be
easy for Japan to build regional integrity
with its ex colony. Later on, this study
finds out that history still matter in the
eyes of Korean people that would make it
harder to integrate with Japan nowadays.
Keywords: Historical Perceptions, Japan-
South Korea relations
Total words: 3685 words including abstract
and footnote
Pendahuluan
Jepang dan Korea Selatan kerap kali diberi slogan
“Close but Distant Neighbour” atau “Tetangga Dekat tapi
Jauh”. Dikatakan tetangga dekat, karena Jepang dan
Korea Selatan memiliki letak geografis yang
berdekatan, mereka tergabung dalam satu area atau
kawasan Asia dibagian Timur Laut.Namun dikatakan jauh,
karena selama ini hubungan tetangga ini tidaklah
berjalan rukun dan kerap kali ditimpa isu yang
menyebabkan ketegangan antar kedua negara.
Jepang dan Korea Selatan terikat dengan catatan
sejarah memilukan yaitu ketika masa kolonialisasi
Jepang pada tahun 1910 sampai tahun 1945 di daratan
Korea, Cina, dan beberapa negara di Asia Tenggara.
Kemerdekaan yang didapat Korea setelah kekalahan telak
yang dialami Jepang pada perang dunia ke II, membuat
sebagian besar masyarakat Korea menjadi anti terhadap
Jepang.Sikap anti-Jepang ini berlangsung selama
beberapa dekade dan hubungan dua negara ini sangat
rentan terhadap tersulutnya konflik. Barulah pada
tahun 1998, hubungan normalisasi Korea Selatan dan
Jepang secara resmi dibuka oleh kunjungan presiden
Korea Selatan, Kim Dae-Jung, kepada Perdana Menteri
Jepang Keijo Obuchi untuk membahas kerja sama ekonomi
yang lebih intens.1 Pada dekade pertama setelah kerja
sama ekonomi diberlakukan, perekonomian Jepang dan
Korea Selatan mengalami peningkatan yang cukup pesat.
Kedua negara menjadi negara dengan sebutan ‘macan
Asia’ karena industrialisasi yang maju.Selain itu,
pada awal tahun 2000an, Jepang menjadi negara dengan
ekonomi terbesar dunia setelah Amerika Serikat.
Sedangkan Korea Selatan menjadi negara ekonomi
terbesar ke 12, dimana Korea Selatan mengalami
peningkatan yang sangat drastis mengingat bahwa negara
ini merupakan negara yang baru saja ditimpa masalah
perang saudara dengan Korea Utara.Selain itu, Korea
menjadi pasar perdagangan produk Jepang yang utama,
dan Jepang merupakan partner dagang utama dalam
industrialisasi Korea Selatan.2
Namun kenyataannya, hubungan ekonomi yang telah
dibangun kuat masih belum dapat mencegah konflik antar
kedua negara.Sentimen kedua negara yang berhubungan
dengan masa lalu kerap kali muncul didalam isu-isu
kontemporer. Misalnya dalam kasus persengketaan 2
pulau kecil yang disebut Dokdo oleh warga Korea, atau
disebut Takeshima oleh warga Jepang, dan atau disebut
Liancourt Rocks oleh dunia internasional. Dua pulau kecil
1 Sheen, Seungho. 2003. Japan-South Korea Relations : Slowly Lifting the Burden ofHistory? [jurnal on-line] Asia-Pasific Center for Security Studies.hal 22 Mukoyama, Hidehiko. 2010. Japan-South Korea Economic Relations Grow Stronger in a Globalized Environment. [jurnal on-line] hal 3
ini awalnya diakuisisi menjadi milik Korea Selatan
karena tidak adanya pengakuan dari Jepang atas
kepemilikan pulau ini. Tapi setelah beberapa tahun
menjadi bagian dari Korea Selatan, Jepang baru
mengklaim pulau yang Ia yakini menjadi miliknya. Pulau
Dokdo/Takeshima ini ditengarai memiliki sumber minyak
sehingga menjadi sesuatu yang diperebutkan.Hal yang
pasti, perairan di sekitar pulau Dokdo/Takeshima
memiliki hasil laut yang melimpah.Namun, menurut
beberapa pengamat, perebutan pulau Dokdo/Takeshima
lebih mengarah kepada ketidakpuasan Korea Selatan
terhadap sikap Jepang yang dianggap hirau terhadap
luka yang dialami warga Korea Selatan.Dan sebaliknya
bagi Jepang, hal ini mengarah pada prestige Jepang yang
telah diinjak-injak karena akuisisi tersebut.3
Masalah persengketaan Dokdo/Takeshima kembali
mencuat akhir-akhir ini seiring dengan protes
masyarakat Korea Selatan terhadap peningkatan
aktivitas militer Jepang terutama aktivitas militer
disekitar perairan Dokdo/Takeshima yang dianggap
sebagai bentuk offensiveJepang terhadap Korea Selatan.
Sikap agresif Korea Selatan terhadap Jepang semakin
terlihat ketika Jepang mengeluarkan “Wartime Contingency
Bill” yang menyatakan bahwa Jepang akan meningkatkan
3 E. Wiegand, Krista. 2013. South Korea: National Security or National Pride Regarding Japan? [serial on-line] Asia Pasific Bulletin. edisi 214 hal 2
peran militer melalui prinsip self-defense dalam hubungan
internasional. Niatan Jepang untuk meningkatkan peran
militer juga semakin terlihat ketika Perdana Menteri
Jepang saat ini, PM Shinzo Abe, mengunjungi kuil
Yasukuni untuk pertama kalinya setelah kuil ini tidak
dikunjungi selama 6 tahun oleh PM Jepang. Mengunjungi
kuil yang dianggap sebagai symbol agresi militer
Jepang membuat masyarakat Korea geram.Bersamaan dengan
isu persengkataan pulau yang diikuti isu militerisme,
muncul pula isu-isu lain yang berhubungan dengan
sejarah kolonialisme Jepang seperti isu Comfort Women
dan isu buku teks sejarah.
Hal ini menunjukkan bahwa Jepang dan Korea
Selatan tidak pernah benar-benar terlepas dari ikatan
sejarah mereka.Persepsi Sejarah yang ada, kerap kali
memperkeruh hubungan kedua negara.Persepsi Sejarah itu
sendiri mengandung banyak unsur-unsur kepentingan yang
pada akhirnya mengubah fakta sejarah.Hal ini
dikarenakan penambahan variabel-variabel masa kini
terhadap kenyataan masa lampau membuat sejarah tidak
lagi menjadi objektif dan sulit diketahui
kebenarannya.4
4Kan, Kimura. 2011. Why Are the Issues of Historical Perceptions Between Japan and South Korea Persisting?.[series on-line] Journal of International Cooperation StudiesVol. 19 No. 1
Rumusan MasalahPaper ini akan menjelaskan tentang duduk
permasalahan antara Jepang dan Korea Selatan, yaitu:
1. Isu-isu sejarah apakah yang menjadi permasalahan
tak berujung dan hambatan bagi hubungan Jepang
dan Korea Selatan?
2. Bagaimana persepsi dari masing-masing negara
terhadap isu-isu yang berhubungan dengan sejarah?
3. Bagaimana isu-isu yang berhubungan dengan sejarah
dapat mempengaruhi hubungan Jepang dan Korea
Selatan?
Isu tentang kuil Yasukuni (Yasukuni Shrine
issue)
Kuil Yasukuni merupakan kuil agama Shinto di
Jepang yang sekaligus menjadi tempat peristirahatan
bagi tentara Jepang yang gugur di medan
perang5.Diantara tentara Jepang yang gugur terdapat
beberapa orang yang bahkan dicap oleh dunia
internasional sebagai penjahat perang Jepang “kelas
A”.mereka yang dikategorikan sebagai penjahat perang
kelas A adalah orang-orang yang telah melakukan “crimes
against peace”.Oleh karena itu, kuil ini dianggap sebagai
kuil terkutuk bagi Korea Selatan, mengingat bahwa
orang-orang yang dimakamkan di kuil ini adalah para
penjajah yang kejam menyiksa masyarakat Korea pada
jaman perang.
Kuil penuh kontroversi ini kerap kali mendapatkan
kunjungan dari Perdana Menteri dan pejabat tinggi
Jepang.Sebelum tahun 1985, kunjungan Perdana Menteri
Jepang ke kuil Yasukuni dilakukan secara pribadi dan
tertutup dari ruang publikasi.Namun pada 15 Agustus
1985, PM Nakasone Yasuhiro mengunjungi Yasukuni dan5 Kuil Yasukuni didirikan di Tokyo pada Tahun 1896 dengan nama Shokon-Sha dan diganti menjadi Yasukuni pada tahun 1879. Kuil ini berada di bawah pengawasan militer yaitu kementerian angkatan perang dan angkatan laut hingga tahun 1945.Saat ini menjadi salah satu kuil peninggalan warisan budaya Jepang yang dilindungi negara. (M. Mochizuki, Mike. The Yasukuni Shrine Conundrum: Japan’s Contested Identity and Memory. [jurnal on-line] hal 5)
mempublikasikan hal ini sebagai kunjungan kerja.Berita
ini membuat protes dari Korea Selatan dan Cina
bermunculan.Mereka menganggap bahwa Jepang tidak
menghargai perasaan para korban yang mengalami luka
mendalam akibat agresi militer Jepang.Protes ini tak
lantas membuat kunjungan kerja ke kuil Yasukuni
berhenti.Pada tahun 1996, PM Hashimota Ryutaro
melakukan hal yang sama, begitu pula dengan PM Koizumi
Jun’ichiro di tahun 2001. Bahkan pada 26 Desember 2013
lalu, kunjungan ke kuil Yasukuni yang dilakukan oleh
PM Jepang saat ini, Shinzo Abe, telah menyulut
ketegangan Korea Selatan dan Jepang terlebih
sebelumnya telah terdapat isu mengenai persengketaan
pulau Dokdo/Takeshima yang menimbulkan polemik
diantara kedua negara.6Akibat kunjungan ini, presiden
Korea Selatan saat ini, Park Geun Hye, menyatakan
penyesalannya akan kunjungan PM Abe ke kuil Yasukuni
dan secara implisit dalam pidatonya pada 30 Desember
lalu, Ia menyampaikan tentang sedikitnya peluang bagi
Jepang dan Korea Selatan untuk bekerja sama.7
6Sumber: Berita Harian. 2013. PM Shinzo Abe kunjungi Kuil Yasukuni..
http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2013/12/131226_yasukunitrip.shtml[26 Desember 2013]7 Nakano, Akira. 2013. http://ajw.asahi.com/article/asia/AJ201312310045 [31 Desember 2013]
Penentangan terhadap kunjungan ke kuil Yasukuni
ini muncul karena warga Korea dan Cina menganggap
dengan mengunjungi kuil ini berarti Jepang tidak
menyesali kejahatannya di masa lampau.Ketika Jepang
dirasa tidak menyesali perbuatannya maka ini merupakan
suatu bentuk penghinaan bagi korban agresi Jepang
terutama Cina dan Korea Selatan. Menurut Park Yu Ha,
seorang akademisi Korea Selatan yang meneliti tentang
kesastraan dan sejarah Jepang, Kunjungan ke Yasukuni
menunjukkan bahwa Jepang masih berhasrat terhadap
perang8. Kenyataannya, Kuil Yasukuni lebih terlihat
sebagai symbol militer dibandingkan symbol agama
Shinto itu sendiri.Hal ini dikarenakan oleh pemakaman
khusus bagi pasukan militer Jepang dari jaman
imperialisme hingga jaman perang dunia ke
II.Penghormatan bagi para penjajah, menunjukkan sikap
dukungan terhadap realisme Jepang. Atas alasan ini
pula, Masyarakat Korea menentang program kunjungan
Perdana Menteri Jepang ke kuil Yasukuni, karena
ditakutkan akan menyulut keinginan Jepang untuk
membentuk militernya kembali dan jika militer Jepang
kembali terbentuk, dikhawatirkan agresi militer Jepang
akan terulang kembali di abad modern ini.
Namun bagi pemimpin Jepang, mengunjungi Yasukuni
Shrine merupakan bentuk penghormatan terhadap nenek
8Yu Ha, Park. 2005. For The Compromise. [E-book]
moyang mereka sekaligus bentuk penyesalan terhadap
agresi militer yang menyisakan cerita kekejaman dan
trauma.Hal ini dianggap wajar sebagaimana seorang
pemimpin berziarah kepada para pendahulunya. Seperti
yang telah dilansir kantor berita BBC pada hari
kunjungan Abe ke Yasukuni pada 26 Desember lalu, PM
Abe menyatakan bahwa tujuannya ke kuil adalah untuk
bersumpah bahwa pertumpahan darah seperti yang telah
terjadi saat perang tidak akan pernah terjadi lagi.
Selain itu, Ia juga mengatakan bahwa aksinya bukan
bertujuan untuk melukai Cina dan Korea, namun semata
sebagai wujud kunjungan pada para leluhur. Lagipula
ini merupakan bentuk kebudayaan yang dipercayai oleh
bangsa Jepang dan ini merupakan otoritas pemerintah
Jepang untuk melakukannya. PM Abe pun menekankan bahwa
kepentingan nasional Jepang merupakan prioritas
mereka, dan Abe percaya bahwa kepentingan untuk
membangun kerja sama dengan Korea Selatan dan Cina
jauh lebih krusial daripada berdebat tentang sejarah.
Isu tentang Comfort Women
Comfort women merupakan sebutan bagi para wanita
pada jaman perang yang berasal dari daratan Korea dan
Cina, dimana mereka dipaksa untuk melayani nafsu seks
para tentara Jepang. Wanita-wanita ini dijadikan budak
seks oleh tentara Jepang dan mereka juga dipaksa untuk
ikut dalam pertempuran melawan bangsanya sendiri.Isu
tentang Comfort Women menjadi hangat diperbincangkan
ketika mantan tentara Jepang bernama, Seij Yoshida,
menulis buku berjudul “My War Crimes” pada tahun 1983.9
Buku itu berisi pengakuan tentang adanya perburuan
comfort women di pulau Jeju. Pengakuan ini serentak
membuat Cina dan Korea Selatan berang terhadap Jepang
dan menuntut perminta-maafan dari Jepang, walaupun
sebenarnya tulisan Seiji sangatlah meragukan. Banyak
terdapat kata ambigu dan kalimat yang mengandung
pertanyaan seperti Siapakah yang melakukan perburuan
comfort women? Tentara Jepang ataukah pihak lain? Selain
itu, lokasi perburuan di pulau Jeju yang digambarkan
dalam buku ini dianggap fiksi karena ketika ditelusuri
tempat dengan ciri-ciri yang disebutkan tidak pernah
ditemukan.
Walaupun kebenaran dari tulisan tersebut patut
dipertanyakan, nyatanya gelombang unjuk rasa menuntut
permohonan maaf dan keadilan dari pemerintah Jepang
terhadap mantan comfort women yang masih hidup terus
bergulir di Korea Selatan.Dunia internasional mengecam
isu ini karena menganggap Jepang sebagai negara yang
tidak menghormati hak-hak manusia.Puncaknya, pada
9Ikeda, Nobuo. 2011. An Introduction to the Comfort Women Issue. [jurnal on-line] hal 2
bulan agustus 1991, seorang nenek bernama Kim Hak Sun,
datang ke stasiun televisi Jepang, NHK TV Show, dan Ia
mengaku sebagai mantan comfort women. Ia meminta
pertanggung jawaban pemerintah Jepang atas kerugian
secara fisik dan mental yang Ia alami akibat perilaku
tentara Jepang pada saat perang. Setelah ditelusuri,
ternyata Kim Hak Sun menjadi comfort women karena Ia
dijual oleh ayah tirinya menjadi Gi-Saeng (Wanita Tuna
Susila). Ayah tiri Hak Sun membawanya ke markas
tentara Jepang dan memperoleh bayaran, sehingga Hak
Sun menjadi budak seks tentara Jepang.10
Dengan semakin merebaknya protes negara tetangga
Jepang, akhirnya Kepala Sekretaris Kabinet Jepang pada
tahun 1993, Yohei Kono, mengeluarkan pernyataan maaf
mewakili pemerintahan Jepang dan menyanggupi bentuk
kompensasi apapun sebagai tanggung jawab Jepang
terhadap korban Comfort Women yang masih hidup maupun
keluarganya.Pernyataan ini dikenal dengan sebutan Kono
Statementyang sekaligus menjadi harapan baru bagi
penyelesaian kasus Comfort Women.11
Namun akhir-akhir ini, PM Abe menyatakan bahwa
Kono statement perlu direvisi. PM Abe berpendapat bahwa
Jepang tetap menyesali agresi militer Jepang dan tetap
10Ibidhal 311Chanlett-Avery, Manyin, Cooper, Rinehart. 2013. Japan-US Relations : Issue for Congress. [jurnal on-line] hal 10
meminta maaf akan hal itu. Namun Ia menyangkal bahwa
isu comfort women adalah murni akibat perilaku buruk
tentara Jepang. Melalui pernyataan Kim Hak Sun yang
menjadi comfort women karena dijual oleh ayahnya,
menunjukkan bahwa fenomena comfort women terjadi bukan
semata-mata paksaan dari tentara Jepang, namun juga
terdapat faktor lain yang menyebabkan fenomena ini
terjadi. Karena melalui kisah Kim Hak Sun, comfort women
tidak secara langsung ditangkap oleh tentara Jepang,
namun comfort women itu sendiri telah diberikan kepada
tentara Jepang.
Pernyataan PM Abe lantas membuat aksi permusuhan
rakyat Korea terhadap Jepang semakin parah. Demo massa
yang turut menyertakan mantan comfort women yang masih
hidup terus terjadi selama sepekan ini didepan
kedutaan besar Jepang di Seoul, Korea Selatan.12 Bahkan
presiden Korea Selatan, Park Geun Hye, juga menyerukan
tentang keraguannya akan bekerja sama dengan Jepang
dalam Free Trade Area Agreement jika permasalahan Comfort
Women tak ditanggapi serius oleh pemerintah Jepang.
Namun terdapat hal unik yang perlu dipertanyakan,
mengapa isu comfort women jauh lebih popular
dibandingkan isu eksploitasi pekerja yang juga terjadi
12Chulwoo Lee, David. 2013. Opinion: Healing the wounds of 'comfort women'.http://www.newsday.com/opinion/oped/opinion-healing-the-wounds-of-comfort-women-1.6677024. [26 Desember 2013]
pada masa perang?Padahal jumlah para pekerja yang
diperlakukan semena-mena pada jaman perang menurut
catatan sejarah berjumlah kurang lebih 600.000 orang.
Hal ini tentu jauh lebih besar jika dibandingkan
dengan jumlah comfort women yang diperkirakan tidak
mencapai 200.000 orang karena jumlah populasi wanita
muda Korea yang pada waktu itu yang bahkan tidak
mencapai setengah populasi pria dewasa.13
Namun hingga saat ini, kebenaran akan cerita
Comfort Women masih dipertanyakan. Kalaupun comfort
women memang benar adanya, maka bukan berarti negara-
negara tetangga seperti Korea Selatan harus bersikap
keras dalam kebijakan luar negerinya dengan Jepang.
Karena bagaimana pun juga, Jepang merupakan partner
menguntungkan bagi perkembangan kawasan Asia Timur.
Isu tentang Buku Sejarah Jepang (Historical
Textbook)
Kasus tentang buku sejarah kontroversial yang
paling mencuat adalah pada tahun 2002. Pada saat itu,
perusahaan pencetakan buku Tsukurukai (Japanese
Textbook Reform Society) mendapat persetujuan dari
Kementerian Pendidikan, Budaya, Olah Raga, Sains dan13 Ikeda, Nobuo. 2011. An Introduction to the Comfort Women Issue. [jurnal on-line] hal 7
Teknologi Jepang untuk menerbitkan buku berjudul
Fushosha (The New History Textbook) bagi pelajar
sekolah menengah.14Buku ini dianggap kontroversial
karena isi dari buku yang dianggap tidak sesuai dengan
kebenaran sejarah.Referensi tentang “comfort women”
dihapuskan.Selain itu kata “agresi” diganti dengan
kata “advance” atau “memajukan”. Sehingga buku
Fushosha ini dianggap:
1. Tidak Objektif. Fakta sejarah yang telah ada
sengaja diubah oleh pihak-pihak tertentu
berdasarkan pandangan dan keinginan mereka.
2. Etnosentris. Buku ini terlalu mengagung-agungkan
bangsa Jepang. Sehingga segala bentuk keburukan
yang pernah dilakukan nyaris tidak pernah dibahas
dalam buku ini. Bahkan buku ini menyatakan bahwa
tanpa Jepang, Korea Selatan tidak akan maju dan
berkembang.
3. Rasis. Dikatakan dalam buku ini bahwa Jepang
merupakan tentara di barisan pertama yang melawan
kulit putih maupun kulit kuning. Pemilihan kata
yang mengandung unsur warna kulit, atau ciri-ciri
fisik lainnya yang merujuk pada ciri khas suatu
suku bangsa, merupakan bentuk rasisme yang
seharusnya tidak diajarkan.14 Won-Deong, Lee. 2001. A normal State without Remorse: The Textbook Controversy and Korea-Japan Relations. [Jurnal on-line] East Asian Review vol 13 no 3.
Hal ini menimbulkan Korea Selatan geram sehingga
pada tahun 2002, Korea Selatan secara periodik mulai
mengurangi kuota pertukaran pelajar ke Jepang.Bahkan
hal ini masih terjadi hingga sekarang.
Isu mengenai buku sejarah Jepang yang tidak
sesuai dengan fakta sejarah sebenarnya sudah ada sejak
tahun 1982.Dan terjadi untuk kedua kalinya pada tahun
1986.Kemudian kali ketiga terjadi di tahun 2002.Akibat
buku sejarah kontroversial ini, pemerintah Jepang
dianggap tidak tegas dalam menyikapi hal ini.Akhirnya
Korea Selatan sendiri tidak mempercayai sistem
pendidikan di Jepang hingga sekarang.
Sebenarnya, Pemerintah Jepang tidak tinggal diam
akan permasalahan ini. Ketika isu ini mencuat pada
tahun 1982, PM Jepang Nakasone Yasuhiro langsung
memecat menteri pendidikan yang menjabat pada saat
itu.Kemudian pada kasus tahun 1992, PM Kiichi
Miyazawa, mengklarifikasi isi buku dengan menyatakan
bahwa Jepang mengakui kesalahan di masa lalu termasuk
isu “Comfort Women”.Selain itu PM Morihiro Hosokawa
pada tahun 1993, juga mengatakan kata “agresi” untuk
menggambarkan zaman kolonialisme Jepang di Asia Timur.
Pada tahun 1995, PM Tomiichi Murayama juga secara
resmi meminta maaf kepada Korea Selatan atas kasus
buku sejarah yang dianggap “menghapuskan” kenyataan
sejarah.
Sayangnya, seiring dengan mencuatnya kasus
sengketa pulau Dokdo/Takeshima, masalah buku sejarah
Jepang ini juga mulai mencuat bersamaan dengan isu
Yasukuni Shrine dan Comfort Women. Masyarakat Korea
menganggap buku sejarah Jepang sebagai cerminan
tentang kesombongan bangsa Jepang untuk mengakui
kesalahan dengan cara mengganti fakta sejarah.PM Abe
telah mencoba mengkonfirmasi isu ini dengan menjamin
bahwa buku sejarah Jepang berada dalam restriksi keras
pemerintah. Menteri Pendidikan saat ini, Hakubun
Shimomura, juga menjamin tentang buku sejarah yang
tidak etnosentris dan rasis seperti di tahun 2002
serta meyakinkan bahwa sistem pendidikan di Jepang
merupakan salah satu yang terbaik.
Faktanya, kaum oposisi – partai sayap kanan
pecahan faksi dari partai LDP (Liberal Democratic Party)
yang saat ini berkuasa di Parlemen dan kaum nasionalis
dari partai Sosialis Jepang – merupakan pihak yang
menyesalkan permohonan maaf yang terus disampaikan
pemerintah Jepang terhadap negara tetangga. Kaum
oposisi beranggapan bahwa pemerintah terlalu lemah
dalam menghadapi tekanan regional. Mereka berpikir
bahwa para generasi muda di Jepang perlu diajarkan
tentang “positive history” yang akan membentuk nasionalisme
bangsa. Kita tidak perlu menunjukkan keburukan bangsa
karena hal itu akan membuat perpecahan dan rasa tidak
percaya terhadap pemerintah.Adanya fakta tentang aksi
penolakan terhadap sikap pemerintah dari kaum oposisi,
menjadikan isu buku sejarah ini bukan lagi tentang
sejarah ataupun pendidikan, namun lebih menjurus
kearah permasalahan politik.
Ketika dimensi politik terlibat didalam
permasalahan ini, maka tidak seharusnya Korea Selatan
mengambil kesimpulan bahwa pemerintah Jepang adalah
pihak yang murni bersalah akan kasus buku sejarah ini.
Kemungkinan adanya kelompok kepentingan yang mencoba
membuat citra pemerintah berkuasa jatuh, juga dirasa
cukup masuk akal. Apalagi setelah ditelusuri, sekitar
542 sekolah dalam satu distrik hanya ditemukan 1
sekolah saja yang menggunakan buku Fushosha bahkan
rata-rata hasil penelusuran menyatakan tidak ada satu
pun sekolah dalam satu distrik yang menggunakan buku
Fushosha. Sehingga prosentase penggunaan buku ini di
Jepang hanya berkisar 0,1% saja.Hal ini menunjukkan
bahwa masyarakat Jepang sendiri cukup selektif dan
tahu tentang fakta sejarah yang sebenarnya.
Kesimpulan
Hubungan antara Jepang dan Korea Selatan terus
mengalami pasang surut.Masalah perebutan pulau yang
juga diikuti dengan terbukanya kembali luka-luka
akibat sejarah yang pahit, membuat Jepang dan Korea
Selatan terjebak dalam satu hubungan yang
kompleks.Masalah kontemporer yang terjadi selalu
dikaitkan dengan persepsi sejarah dan masa lalu.Hal
ini membuat hubungan antar kedua negara tidak pernah
mengalami kemajuan.Persepsi sejarah yang didalamnya
terdapat unsur-unsur kepentingan sebagai akibat
penambahan variabel masa kini dalam cerita masa lampau
membuat Jepang dan Korea Selatan terjebak dalam
konflik mengenai isu yang sama dalam beberapa dekade.
Dalam isu Yasukuni Shrine, fakta bahwa kuil tersebut
merupakan makam para anggota militer Jepang ditambah
dengan kebudayaan mengunjungi makam leluhur oleh
Perdana Menteri Jepang, dijadikan sebagai alasan yang
sebenarnya terlalu sepeleh untuk dijadikan sebagai
faktor pemicu konflik. Bagaimana pun, Yasukuni Shrine
berada di territorial Jepang dan Mengunjungi kuil
tersebut atau tidak merupakan hak bagi warga Jepang
yang tidak bisa diganggu gugat oleh warga negara lain.
Selain itu, mengunjungi kuil tersebut merupakan bentuk
nasionalisme para pemimpin Jepang terhadap negara dan
bangsanya, dimana seharusnya hal ini tidak dibatasi
oleh warga negara lain. Walaupun Korea Selatan dan
Cina memiliki hubungan pahit dengan Yasukuni Shrine,
namun mereka saat ini sudah menjadi negara merdeka dan
tidak terikat sebagai bagian dari Jepang.Sehingga
tidak ada alasan bagi mereka untuk menuntut perubahan
kebijakan domestik Jepang terhadap Yasukuni Shrine.
Dalam isu Comfort Women, bukti-bukti yang
menguatkan kebenaran cerita tersebut juga belum cukup
terkumpul.Bahkan dalam sejumlah kasus juga ditemukan
ketidakcocokan dengan sejumlah fakta. Kebenaran akan
kasus ini jelas akan sulit terungkap karena kurangnya
dokumen yang membenarkan tentang adanya tindakan
penculikan dan pemerkosaan para wanita untuk dijadikan
budak seks. Pengakuan beberapa saksi hidup belum cukup
untuk dijadikan sebagai sumber rujukan objektif
terhadap kasus ini.Oleh karenanya, ketiadaan bukti
yang cukup kuat justru menjadikan tuntutan yang ada
menjadi terkesan dibuat-buat dan disesuaikan dengan
momentum yang ada.
Dalam isu Historical Textbook, telah dibuktikan dalam
sesi pembahasan bagaimana reaksi pemerintah Jepang
terhadap permasalahan ini.Selain itu telah dibuktikan
pula bagaimana peranan masyarakat Jepang yang selektif
terhadap bahan bacaan yang mereka pilih.Permasalahan
ini ditengarai hanyalah bentuk manifestasi penyerangan
secara sistematik terhadap pencitraan
pemerintah.Lagipula permasalahan buku sejarah yang
menyimpang ini sudah lama ditangani oleh pemerintah
Jepang, namun akhir-akhir ini mencuat kembali dengan
motif kemunculan yang tidak pasti.
Setelah 6 dekade setelah perang dunia ke dua,
nyatanya normalisasi hubungan kedua negara ini
mengalami kebuntuan karena masalah persepsi sejarah
yang tidak pernah bersatu.Padahal masalah terberat
yang seharusnya menjadi konsentrasi Jepang dan Korea
adalah masalah stabilitas regional mereka dimana Korea
Utara jelas menjadi ancaman utama melalui pengembangan
senjata nuklirnya. Perekonomian kedua negara ini juga
saling tergantung sama lain. Korea Selatan merupakan
pasar bagi barang-barang produksi Jepang, sedangkan
Jepang adalah partner utama Korea Selatan dalam
pengembangan industri.
Permasalahan tentang pulau Dokdo/Takeshima
seharusnya diselesaikan melalui jalur diplomasi dan
melalui kaedah hukum internasional. Dengan begitu,
hasil yang dicapai akan memuaskan kedua belah pihak.
Namun ketika isu Dokdo/Takeshima juga diiringi dengan
ketegangan yang dipicu oleh masalah yang berkenaan
dengan jaman agresi militer Jepang di masa lalu, maka
sampai kapanpun, normalisasi hubungan tidak akan
pernah berjalan. Karena pada hakikatnya, sejarah
bukanlah hal yang seharusnya diperdebatkan, karena
hanya sedikit atau mungkin tidak ada yang tau
kebenaran sejarah secara utuh.
Seharusnya prioritas bagi Jepang dan Korea
Selatan adalah tentang masa depan kedua negara bukan
masa lalu kedua negara. Memang harga diri,
nasionalisme, dan patriotisme terhadap negara
sangatlah dibutuhkan. Namun wujud dari nasionalisme
bukan hanya tentang pembelaan terhadap negara atas apa
yang terjadi di masa lalu. Memprioritaskan kepentingan
negara dalam bidang keamanan, kesejahteraan dan
sebagainya, juga merupakan bentuk nasionalisme karena
itu berarti sebagai suatu bangsa kita peduli terhadap
keberlangsungan negara bagi anak cucu kita kelak. Oleh
karenanya, dalam paper ini saya menyimpulkan bahwa
Jepang dan Korea Selatan perlu menyatukan persepsi
sejarah dan mulai untuk meninggalkan perdebatan
mengenai isu di masa lampau, sampai ketika hal itu
berhasil dilakukan, maka hubungan bilateral antara
Korea Selatan dan Jepang akan membentuk integritas
regional yang kuat dan menguntungkan satu sama lain.